Post on 01-Oct-2021
KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN DALAM MENERIMAHARTA WARISAN MENURUT HUKUM WARIS ADAT SUKU
BIAK DI DAERAH PAPUA
TESIS
Oleh
NOVILDA ANASTASIA RUMWAROPEN147011155 / M.Kn
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN2017
Universitas Sumatera Utara
KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN DALAM MENERIMAHARTA WARISAN MENURUT HUKUM WARIS ADAT SUKU
BIAK DI DAERAH PAPUA
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan PadaProgram Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
NOVILDA ANASTASIA RUMWAROPEN147011155 / M.Kn
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN2017
Universitas Sumatera Utara
Judul Tesis : KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN DALAMMENERIMA HARTA WARISAN MENURUTHUKUM WARIS ADAT SUKU BIAK DI DAERAHPAPUA
Nama Mahasiswa : NOVILDA ANASTASIA RUMWAROPEN
Nomor Pokok : 147011155Program Studi : KENOTARIATAN
MenyetujuiKomisi Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)
Pembimbing Pembimbing
(Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum) (Dr. Yefrizawati, SH, MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,MHum)
Tanggal lulus : 07 February 2017
Universitas Sumatera Utara
Telah diuji pada
Tanggal : 07 February 2017
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
Anggota : 1. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum
2. Dr. Yefrizawati, SH, MHum
3. Dr. T. Keizerina Devi, SH, CN, MHum
4. Dr. Rosnidar Sembiring, SH, MHum
Universitas Sumatera Utara
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : NOVILDA ANASTASIA RUMWAROPEN
Nim : 147011155
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN DALAMMENERIMA HARTA WARISAN MENURUT HUKUMWARIS ADAT SUKU BIAK DI DAERAH PAPUA
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,Yang membuat Pernyataan
Nama : NOVILDA ANASTASIA RUMWAROPENNim : 147011155
Universitas Sumatera Utara
i
ABSTRAK
Suku Biak menganut sistem kekerabatan patrilineal yaitu sistem kekerabatanyang menarik garis keturunan dari sisi ayah (laki-laki). Sama halnya dengan sistemPatrilineal pada umumnya, maka dalam hal waris, hukum adat masyarakat Suku Biakmengatur bahwa hanya anak laki-laki yang berhak menerima warisan dan akanmenutup hak-hak anak perempuan sebagai penerima bagian dari orang tuanya.Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian tesis iniadalah bagaimana mekanisme pembagian waris pada masyarakat Suku Biak di daerahPapua, bagaimana kedudukan hak waris anak perempuan pada masyarakat Suku Biakdan bagaimana upaya penyelesaian sengketa jika terjadi sengketa waris pada SukuBiak.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan yang digunakanadalah yuridis normatif dan yuridis empiris.Data yang dikumpulkan kemudian diolahdan dianalisis secara kualitatif, dengan menggunakan metode deduktif untuk ditariksuatu kesimpulan.
Pembagian warisan Masyarakat Suku Biak terjadi saat pewaris masih hidup,masyarakat Suku Biak menganut sistem kewarisan individual dan kolektif, anak laki-laki dan anak perempuan sama-sama mendapat warisan hanya bagian anak laki-lakilebih besar dari pada bagian anak perempuan. Apabila terjadi sengketa dalam halkewarisan adat, maka Para pihak dapat memilih jalan penyelesaian dengan melihatkembali keadaan para pihak yang bersengketa. Upaya penyelesaian yang dapatdilakukan adalah melalui musyawarah secara keluarga, melalui musyawarah denganmenghadirkan Mananwir atau orang-orang yang dituakan dalam adat dan dapat jugamelalui Lembaga Dewan Adat Biak yaitu “KanKain Karkara Byak”.
Kata Kunci : Kedudukan Anak Perempuan, Hukum Waris Adat Suku Biak.
Universitas Sumatera Utara
ii
ABSTRACT
Biak tribe follows patrilineal kinship system which draws line of descent fromfather side (man). As what occurs in patrilineal system, in inheritance, the adat(customary) law of Biak tribe regulates that only the son who has the right to inherithis parents’ wealth which means that daughters have no right at all. The researchproblems were as follows: how about the mechanism of the distribution of inheritancein Biak community in Papua, how about the position of a daughter in inheriting inBiak community, and how about the settlement of dispute, if any, in Biak community.
The research used descriptive analytic method with judicial normative andjudicial empirical approach. The data were gathered, processed, and analyzed byusing deductive method for drawing the conclusion.
The distribution of inheritance in Biak tribe occurs when a testator is stillalive. Biak community follows individual ad collective inheritance system. Both sonand daughter get inheritance although the share of the son is more than that of adaughter. When there is a dispute in the adat inheritance, the parties concernedchoose the method of settlement by viewing the condition of the conflicting parties.Settlement can be done by negotiation in consanguinity by presenting ‘Mananwir’ oradat leaders or through Adat Biak Council, ‘Kankain Karkara Byak’.
Keywords: Position of Daughter, Inheritance Law of Adat Biak Tribe
Universitas Sumatera Utara
iii
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena
atas segala rahmat kasih dan karunia-Nya-lah penulis mampu menempuh dan
menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul “Kedudukan Anak Perempuan
Dalam Menerima Harta Warisan Menurut Hukum Waris Adat Suku Biak di Daerah
Papua”.
Rasa syulur dan terima kasih bahwa beberapa kendala dan hambatan yang
dijumpai dalam penulisan tesis ini telah dapat diatasi dengan baik, disamping itu
penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna dan masih
banyak kekurangan-kekurangan lainnya, maka dari itu saran dan kritik yang
membangun dari semua pihak akan menjadi masukan yang sangat diharapkan.
Pada kesempatan ini penulis menghaturkan banyak terima kasih, khususnya
kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera
Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, Selaku Ketua Program
Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara dan selaku Ketua Komisi
Pembimbing yang telah memberi bantuan, bimbingan dan masukan dengan penuh
kesabaran sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
4. Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH.,M.Hum, selaku anggota Komisi
Pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan,
masukan serta arahan untuk penyelesaian tesis ini.
5. Ibu Dr. Yefrizawati, SH., M.Hum, selaku anggota Komisi Pembimbing yang
telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, masukan serta arahan
untuk penyelesaian tesis ini.
Universitas Sumatera Utara
iv
6. Ibu Dr. T. Keizerina Devi, SH, CN, M.Hum dan Ibu Dr. Rosnidar Sembiring,
SH, M.Hum, selaku dosen penguji yang telah berkenan memberikan bimbingan
dan saran terhadap penyempurnaan tesis ini.
7. Bapak Gerald Kafiar, selaku Ketua Dewan Adat Suku Biak di daerah Papua
yang telah meluangkan waktu untuk memberi informasi dan pengetahuan yang
berkaitan dengan penulisan tesis ini.
8. Para Guru Besar dan Staf pengajar Program studi Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara.
9. Para pegawai/ karyawan pada program studi Magister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara.
10. Kepada seluruh rekan-rekan mahasiswa angkatan 2014 program studi Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.
Teristimewa kepada orang tua dari penulis Bapak Ir. Simon Rumwaropen dan
Ibu Delila Wanma yang telah memberikan doa, dukungan moril dan materil dengan
tulus kepada penulis hingga penyelesaian studi dan menempuh gelar Magister
Kenotariatan. Kepada kakak Irnawati Nazar, Irwansyah Nazar & Sadfa Alhamid,
Roni Kasman, Ria Ronsumbre, Jili Rumwaropen dan kepada adik Medtra
Rumwaropen, Imelda Rumwaropen, Wihelmina Rumwaropen, Frederik Rumwaropen
dan yang terkasih Maratama Prima Habicaran Siregar, atas semua doa dan
dukungannya hingga diselesaikannya penulisan tesis ini. Kepada seluruh keluarga
besar Rumwaropen dan Wanma di Papua yang telah mendukung hingga diselesaikan
penulisan tesis ini.
Penulis juga berterima kasih atas bantuan dan perhatian dari semua
pihak dalam penelitian ini yang tidak mungkin dapat disebutkan satu persatu dan
semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas segala kebaikan dengan berkat yang
melimpah dan damai sejahtera selalu.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan tesis ini. Kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Universitas Sumatera Utara
v
Dan akhir kata, dengan penuh kerendahan hati, penulis panjatkan doa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, agar kiranya berkenan untuk memberkati dan melindungi kita
semua. Amin
Medan, Februari 2017Penulis
Novilda A Rumwaropen
Universitas Sumatera Utara
2005 dari SMP Negeri 01 Prafi Manokwari Papua Barat oleh karena penulis pindah
sekolah mengikuti orang tua penulis yang pindah tugas. Kemudian pada tahun 2005
penulis melanjutkan pendidikan S
Manokwari Papua Barat dan tamat pada tahun 2008. Pada tahun 2008 penulis
melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Swasta, tepatnya di Universitas HKBP
Nommensen (UHN) dengan mengambil Program Studi Ilmu Hukum dan pen
menyelesaikan kuliah strata
kemudian melanjutkan pendidikan Strata
di Universitas Sumatera Utara (USU)dengan mengambil Program Studi Magister
Kenotariatan yang kemudian peneliti menyelesaikan kuliah tersebut pada tahun 2017.
Peneliti selalu beryukur untuk semua pencapaian sampai saat ini, peneliti menyadari
bahwa semua hanya karena anugerah Tuhan. Peneliti juga mempunyai motto “Long
Life Education” yaitu teru
sebelum mencoba semua hal yang bisa dilakukan. Demikian riwayat hidup peneliti.
Novilda.Prima@Gmail.com
Ayub 42:2
vi
DAFAR RIWAYAT HIDUP
Novilda Anastasia Rumwaropen, dilahirkan di
Kota Jayapura Papua tepatnya di rumah sakit
umum Dok II Jayapura pada tanggal 26
November 1990, merupakan anak kedua dari
enam bersaudara pasangan Ir. Simon
Rumwaropen dan Ny. Delila Wanma.
menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar
(SD) YPPK Dunumamoi Kabupaten Kerom
Provinsi Papua pada tahun 2002. Setelah tamat
Sekolah Dasar maka di tahun 2002 Peneliti
melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 01
Kabupaten Kerom Papua dan tamat pada tahun
2005 dari SMP Negeri 01 Prafi Manokwari Papua Barat oleh karena penulis pindah
sekolah mengikuti orang tua penulis yang pindah tugas. Kemudian pada tahun 2005
penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 01
Manokwari Papua Barat dan tamat pada tahun 2008. Pada tahun 2008 penulis
melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Swasta, tepatnya di Universitas HKBP
Nommensen (UHN) dengan mengambil Program Studi Ilmu Hukum dan pen
menyelesaikan kuliah strata-I (S1) Pada tahun 2013. Pada tahun 2014 Peneliti
kemudian melanjutkan pendidikan Strata-II (S2) di Perguruan Tinggi Negeri tepatnya
di Universitas Sumatera Utara (USU)dengan mengambil Program Studi Magister
ang kemudian peneliti menyelesaikan kuliah tersebut pada tahun 2017.
Peneliti selalu beryukur untuk semua pencapaian sampai saat ini, peneliti menyadari
bahwa semua hanya karena anugerah Tuhan. Peneliti juga mempunyai motto “Long
Life Education” yaitu terus belajar seumur hidup dan jangan pernah menyerah
sebelum mencoba semua hal yang bisa dilakukan. Demikian riwayat hidup peneliti.
Novilda.Prima@Gmail.com
Ayub 42:2
DAFAR RIWAYAT HIDUP
Novilda Anastasia Rumwaropen, dilahirkan di
Kota Jayapura Papua tepatnya di rumah sakit
umum Dok II Jayapura pada tanggal 26
November 1990, merupakan anak kedua dari
bersaudara pasangan Ir. Simon
Delila Wanma. Peneliti
menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar
(SD) YPPK Dunumamoi Kabupaten Kerom
Provinsi Papua pada tahun 2002. Setelah tamat
Sekolah Dasar maka di tahun 2002 Peneliti
ikan di SMP Negeri 01
Kabupaten Kerom Papua dan tamat pada tahun
2005 dari SMP Negeri 01 Prafi Manokwari Papua Barat oleh karena penulis pindah
sekolah mengikuti orang tua penulis yang pindah tugas. Kemudian pada tahun 2005
ekolah Menengah Atas di SMA Negeri 01
Manokwari Papua Barat dan tamat pada tahun 2008. Pada tahun 2008 penulis
melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Swasta, tepatnya di Universitas HKBP
Nommensen (UHN) dengan mengambil Program Studi Ilmu Hukum dan peneliti
I (S1) Pada tahun 2013. Pada tahun 2014 Peneliti
II (S2) di Perguruan Tinggi Negeri tepatnya
di Universitas Sumatera Utara (USU)dengan mengambil Program Studi Magister
ang kemudian peneliti menyelesaikan kuliah tersebut pada tahun 2017.
Peneliti selalu beryukur untuk semua pencapaian sampai saat ini, peneliti menyadari
bahwa semua hanya karena anugerah Tuhan. Peneliti juga mempunyai motto “Long
s belajar seumur hidup dan jangan pernah menyerah
sebelum mencoba semua hal yang bisa dilakukan. Demikian riwayat hidup peneliti.
Universitas Sumatera Utara
vii
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ..................................................................................................... i
ABSTRACT ..................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ..................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. vii
DAFTAR ISTILAH ....................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Perumusan Masalah .............................................................. 6
C. Tujuan Penelitian .................................................................. 7
D. Manfaat Penelitian ................................................................ 7
E. Keaslian Penelitian ................................................................ 8
F. Kerangka Teori dan Konsepsi................................................ 10
1. Kerangka Teori ............................................................... 10
2. Kerangka Konsepsi ......................................................... 12
G. Metode Penelitian................................................................... 16
1. Sifat dan Jenis Penelitian ................................................ 16
2. Lokasi Penelitian............................................................. 16
3. Populasi dan Sampel ....................................................... 17
4. Responden dan Informan ................................................ 18
5. Sumber Data.................................................................... 19
6. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ............................... 20
7. Analisis Data ................................................................... 21
BAB II MEKANISME PEMBAGIAN WARIS PADAMASYARAKAT SUKU BIAK DI DAERAH PAPUA ............ 23
A. Masyarakat Suku Biak ........................................................... 23
1. Sejarah Suku Biak........................................................... 23
Universitas Sumatera Utara
viii
2. Sistem Kekerabatan Suku Biak....................................... 29
B. Pembagian Warisan Pada Masyarakat Suku Biak ................. 42
C. Asas-asas Dalam Hukum Waris Adat Suku Biak .................. 47
D. Harta Warisan Pada Masyarakat Suku Biak .......................... 51
E. Ahli Waris Pada Masyarakat Suku Biak................................ 56
F. Tata Cara Membagi Harta Warisan........................................ 62
BAB III KEDUDUKAN HAK WARIS ANAK PEREMPUAN PADAMASYARAKAT SUKU BIAK DI DAERAH PAPUA ............ 70
A. Perkembangan Kedudukan Anak Perempuan........................ 70
B. Gambaran Umum Pendidikan Wanita Indonesia................... 73
C. Kedudukan Anak Perempuan Sebagai Ahli Waris ................ 76
D. Porsi Dan Pembagian Untuk Anak Perempuan ..................... 81
BAB IV UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA JIKA TERJADISENGKETA WARIS PADA SUKU BIAK DI DAERAHPAPUA ......................................................................................... 86
A. Sengketa Warisan Pada Suku Biak ........................................ 86
B. Penyelesaian Sengketa Warisan Pada Suku Biak .................. 88
1. Hukum adat Biak tentang penyelesaian sengketakhususnya dalam hukum waris adat Suku Biak ............. 88
2. Upaya yang dilakukan para pihak dalam penyelesaiansengketa........................................................................... 93
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 96
A. Kesimpulan ............................................................................ 96
B. Saran ...................................................................................... 97
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 99
Universitas Sumatera Utara
ix
DAFTAR ISTILAH
1. Borias : Kekuatan atau Ilmu gaib/ mistik
2. Ern K’bordan Insos : Upacara inisiasi pemuda dan pemudi
3. Fam : Marga
4. Fan nanggi : Upacara persembahan kepada tuhan langit
5. Insos : Perempuan dalam bahasa Biak
6. Iyakyaker : Mas kawin
7. Keret : Marga
8. Kainkain Karkara Byak : Bermusyawarah, bermufakat untukmemutuskan satu keputusan
9. Kamam : Kakek (Tete) sebutan Orang Papua
10. Kamasan : Orang-orang yang mempunyai
keterampilan khusus
11. Mampapok : Pemuda-pemuda yang kuat baik fisikmaupun mental dan yang berani sertaberpengalaman
12. Mananwir : Kepala suku
13. Mananwir keret : Kepala Marga
14. Mananwir Mnu : Kepala suku dalam satu kampong
15. Mansorandak : Upacara selamatan bagi seseorang yanguntuk pertama kalinya pergi ketempatasing
16. Melintas Keret : Perempuan yang kawin keluar kepadamarga lain
17. Mite atau Mitos : Cerita proposa rakyat yang ditokohi paradewa atau makhluk setengah dewa yangterjadi di dunia lain atau khayangan dandianggap benar-benar terjadi olehempunya cerita atau penganutnya
18. Mnu : Kampung
19. Ram rem : Memberikan wangi-wangian ataumencelupkan wangi-wangian
Universitas Sumatera Utara
x
20. Rum Sram : Pembangunan atau perbaikan rumahPemuda
21. Sim-sim : Keluarga-keluarga batih
22. Seriar : Berkumpul atau rapat
23. Sarak : Gelang besi putih
24. Sex Ratio : Perbandingan antara jumlah penduduklaki-laki dan jumlah penduduk perempuandi suatu daerah atau Negara pada suatuwaktu tertentu
25. Tanah Baboser : Tanah Pemberian dari Orang tua/Saudara-saudara laki-laki mereka kepadaPerempuan
26. Wor : Upacara Sakral / Nyanyian Tradisional
27. Wor Fasfesmandwampur : Upacara yang dilakukan untuk ibu hamil,untuk menjaga kehamilannya
28. Wor Papaf : Penyapihan anak
29. Wor Kapanaknik : Upacara cukur rambut anak
30. Wor Kabor : Pesta inisiasi keluarga inti
Universitas Sumatera Utara
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Sistem kekerabatan pada masyarakat Suku Biak............................... 33
Tabel 2 Pembagian Warisan Pada Masyarakat Suku Biak ............................. 45
Tabel 3 Kelompok Ahli Waris Pada Masyarakat Suku Biak ......................... 58
Tabel 4 Anak Angkat Sebagai Ahli Waris Pada Masyarakat Biak ................ 60
Tabel 5 Saat Pembagian Warisan Pada Masyarakat Suku Biak .................... 63
Tabel 6 Jenis Harta Warisan Dalam Sistem Kewarisan Kolektif danIndividual Pada Masyarakat Suku Biak di Daerah Papua ................ 70
Tabel 7 Pendidikan/ Education ...................................................................... 75
Tabel 8 Jenis-jenis Gelar Adat Perempuan Biak ........................................... 77
Tabel 9 Kedudukan Anak Perempuan Sebagai Ahli Waris ............................ 79
Tabel 10Bagian Warisan Anak Perempuan ..................................................... 82
Tabel 11 Jenis Sengketa yang Sering Terjadi Pada Masyarakat Suku Biak 87
Universitas Sumatera Utara
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia mempunyai beragam adat, budaya serta latar belakang yang
melandasi kehidupan masyarakatnya. Begitu pula dalam hukum waris berdasarkan
adat sangatlah beragam bergantung dari sifat kedaerahannya. Oleh sebab itu di
Indonesia terdapat beraneka sistem hukum kewarisan yang berlaku bagi warga
Negara Indonesia.1 Sistem hukum kewarisan yang saat ini ada di Indonesia yaitu
hukum waris berdasarkan pada KUHPerdata, hukum waris berdasarkan adat dan
hukum waris Islam.
Hukum waris adat meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta
kekayaan baik yang materiil maupun yang immateriil yang manakah dari seseorang
yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta yang sekaligus juga mengatur saat,
cara dan proses peralihannya.2 Proses peralihannya itu sendiri, sesungguhnya sudah
dapat dimulai semasa pemilik harta kekayaan itu sendiri masih hidup serta proses itu
selanjutnya berjalan terus hingga keturunannya itu masing-masing menjadi keluarga-
keluarga baru yang berdiri sendiri-sendiri.3
1Mohd. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat(Burgerlijk Wetboek), (Jakarta: Sinar Grafika,1993), Hal. 1
2Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: PT. Toko GunungAgung,1995), Hal. 161
3Ibid
1
Universitas Sumatera Utara
2
Hukum waris adat sebenarnya adalah hukum penerus harta kekayaan dari
suatu generasi kepada keturunannya, seperti yang dikemukakan oleh Ter Haar:
“Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur carabagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaanyang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi berikut”4
Hukum adat mengatur bahwa anak-anak dari sipeninggal warisan merupakan
golongan ahli waris yang terpenting oleh karena mereka pada hakikatnya merupakan
satu-satunya golongan ahli waris, apabila sipeninggal warisan meninggalkan anak-
anak. Jadi dengan adanya anak-anak, maka kemungkinan lain-lain anggota keluarga
dari sipeninggal warisan untuk menjadi ahli waris menjadi tertutup.5 Hukum waris
adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang berlaku pada
masyarakat yang bersangkutan, yang mungkin merupakan prinsip patrilineal murni,
patrilineal beralih-alih (alternerend) matrilineal ataupun bilateral (walaupun sukar
ditegaskan dimana berlakunya di Indonesia), adapula prinsip unilateral berganda atau
(dubbel-unilateral). Prinsip-prinsip garis keturunan terutama berpengaruh terhadap
penetapan ahli waris maupun bagian harta peninggalan yang diwariskan (baik yang
materiel maupun immateriel).6
Dari berbagai pemaparan di atas, dapat dilihat dan diketahui bahwa
keberagaman mengenai hukum waris yang ada di Indonesia, dipengaruhi oleh adanya
kehidupan masyarakat Indonesia yang pluralisme. Dari keberagaman hukum waris
4 Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan R. Ng Surbakti Presponoto,Let. N. Voricin Vahveve, (Bandung: 1990), hal. 47
5Ibid., hal. 1826 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 259,
(Selanjutnya Disebut Buku 1)
Universitas Sumatera Utara
3
yang ada, akan lebih dibahas mengenai hukum waris adat khususnya kepada
masyarakat adat Suku Biak di daerah Papua. Di daerah Papua ada beragam suku, adat
dan bahasa di mana masing-masing suku dapat terbagi lagi adat dan bahasanya.
Propinsi Papua memiliki keanekaragaman budaya yang merupakan suatu
potensi yang besar selain potensi alamnya, untuk itu perlu perhatian baik dari segi
pembinaan maupun segi pelestarianya. Memang tidak dapat disangkal bahwa di
Papua memiliki suku-suku yang sangat banyak. Oleh karena itu Dinas Kebudayaan
Propinsi Papua bekerja sama dengan Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih
(UNCEN), Summer Institute Linguistic (SIL), Dewan Adat Papua (DAP), Badan
Pusat Statistik (BPS) Propinsi Papua, berupaya mengumpulkan data tentang seluruh
suku-suku di wilayah Tanah Papua secara implisit. Memang selama ini angka yang
digunakan untuk menyatakan jumlah suku bangsa di wilayah Papua adalah 250,
bahkan ada pernyataan 253 dan beberapa angka lain, tanpa ada pembuktian yang
valid. Dari hasil pengumpulan data oleh tim dan setelah diseleksi dan ditetapkan
melalui seminar yang melibatkan tokoh Adat, tokoh Agama, tokoh Perempuan, tokoh
Pemuda dan tokoh Masyarakat mewakili 7 wilayah adat, ternyata ada sebanyak 248
suku.7
Adapun dalam pendataan lainnya disebutkan bahwa kelompok suku asli di
Papua terdiri dari 255 suku, dengan bahasa yang masing-masing berbeda. Suku-suku
tersebut antara lain :
7nfokebudayaanpapua.blogspot.com/2010/02/buku-pemetaan-suku-suku-di-tanahpapua_20.html, diakses pada tanggal 16 Maret 2016, Jam 01.45 WIB
Universitas Sumatera Utara
4
1) Ansus;2) Amungme;3) Asmat;4) Ayamaru;5) Bauzi;6) Biak;7) Dani;8) Empur;9) Amberbaken;10) Hatam;11) Iha;12) Komoro;13) Mee;14) Meyakh;15) Moskona;16) Nafri;17) Sentani;18) Souk;19) Waropen;20) Wamesa mendiami daerah sebelah selatan Teluk Wondawa (wandamen);21) Muyu;22) Tobati;23) Enggros;24) Korowai;25) Fuyu.8
Dari berbagai suku yang ada di daerah Papua, adapun akan dibahas secara
khusus mengenai hukum waris adat yang ada pada suku Biak yaitu salah satu
masyarakat adat yang ada di daerah Papua. Kabupaten Biak Numfor terdiri dari 19
(Sembilan belas) Kecamatan. Suku Biak merupakan salah satu kelompok masyarakat
Papua yang hidup dan tinggal di kabupaten Biak/Biak Numfor. Secara turun temurun,
setiap kegiatan yang terkait dengan alur kehidupan masyarakat adat ini berjalan
8Website Resmi Pemerintah Provinsi Papua, https://papua.go.id/view-detail-page-254/Sekilas-Papua-.html, diakses pada tanggal 17 Maret 2016, jam 00:21 WIB
Universitas Sumatera Utara
5
berdasarkan aturan adat. Aturan adat itu berasal dari para leluhur suku Biak yang
diyakini sebagai ketua adat.
Kepulauan Biak-Numfor yang merupakan tempat asal dan tempat tinggal
orang Biak terletak di sebelah utara Teluk Cendrawasih dan terdiri dari tiga pulau
besar dan puluhan pulau-pulau kecil. Tiga pulau besar adalah Pulau Biak, Pulau
Supiori dan Pulau Numfor. Sedangkan pulau-pulau kecil adalah gugusan Kepulauan
Padaido, yang terdapat di sebelah timur Pulau Biak, Pulau-pulau Rani dan Insumbabi
yang terdapat di sebelah selatan Pulau Supiori, Pulau-pulau Meosbefandi dan Ayau
yang terdapat di sebelah utara Pulau Supiori dan Kepulauan Mapia yang letaknya
jauh di sebelah utara Pulau Ayau. Secara geografis Kepulauan Biak-Numfor terletak
antara 134043’-137050’ Bujur Timur dan antara 010-10045’ Lintang Selatan. Luas
seluruh pulau-pulau yang tergabung dalam gugusan Kepulauan Biak-Numfor adalah
2.500 km2 dengan perincian Pulau Biak dengan luas 1.832 km2, Pulau Supiori
dengan luas 434 km2 dan Pulau Numfor dengan luas 324 km2. Kecuali Pulau
Supiori, yang merupakan salah satu punggung sisi luar dari lipatan sedimen formasi
zone Pasifik Utara yang merupakan lanjutan dari lipatan sedimen Kepala Burung,
pulau-pulau lainnya dari gugusan Kepulauan Biak-Numfor, secara geologis
merupakan pulau-pulau karang yang masih dalam proses pertumbuhan.
Suku Biak menganut sistem kekerabatan patrilineal yaitu sistem kekerabatan
yang menarik garis keturunan dari sisi ayah (laki-laki). Sistem Patrilineal pada suku
Biak mengatur bahwa kelompok keturunan laki-laki selain sebagai penerus marga
(suku/klan) juga dapat menerima gelar-gelar adat misalnya dalam sistem
Universitas Sumatera Utara
6
kepemimpinan dalam kampung di mana suatu kampung dapat terbagi menjadi klen-
klen kecil atau keret-keret, di mana masing-masing keret dikepalai oleh seorang
pemimpin yang disebut mananwir keret.9 Sama halnya dengan sistem Patrilineal
pada umumnya, maka dalam hal waris, hukum adat masyarakat Suku Biak mengatur
bahwa hanya anak laki-laki yang berhak menerima warisan dan akan menutup hak-
hak anak perempuan sebagai penerima bagian dari orang tuanya.
Dari uraian-uraian di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul:
“Kedudukan Anak Perempuan Dalam Menerima Harta Warisan Menurut Hukum
Waris Adat Suku Biak Di Daerah Papua”.
B. Perumusan Masalah.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana mekanisme pembagian waris pada masyarakat Suku Biak di daerah
Papua?
2. Bagaimana kedudukan hak waris anak perempuan pada masyarakat Suku Biak di
daerah Papua?
3. Bagaimana upaya penyelesaian sengketa jika terjadi sengketa waris pada Suku
Biak di daerah Papua?
9George Mentansan, Etnografi Papua, (Yogyakarta: Kepel Press, 2013), hal. 110
Universitas Sumatera Utara
7
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan tesis ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui mekanisme pembagian waris pada masyarakat Suku Biak di
daerah Papua.
2. Untuk mengetahui kedudukan hak waris anak perempuan pada masyarakat Suku
Biak di daerah Papua.
3. Untuk mengetahui upaya penyelesaian sengketa jika terjadi sengketa waris pada
Suku Biak di daerah Papua.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan penelitian ini diharapkan dapat diambil manfaatnya baik bagi
penulis sendiri maupun bagi pihak lain. Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Memperluas wawasan atau wacana terkait dalam hukum waris khususnya
Hukum waris adat Masyarakat Suku Biak di daerah Papua.
b. Dapat memberikan bahan dan masukan serta referensi bagi penelitian yang
dilakukan selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Hasil dari penulisan tesis ini diharapkan akan memberikan manfaat secara
praktis, yaitu kepada:
Universitas Sumatera Utara
8
a. Instansi terkait dan praktisi hukum, yaitu untuk memberikan masukan
mengenai kedudukan hak waris anak perempuan Suku Biak di daerah Papua.
b. Peneliti, yaitu memberikan masukan dan bahan pembandingan bagi para
peneliti yang tertarik mendalami hal-hal yang berkaitan dengan hukum waris
adat, khususnya hukum waris adat Suku Biak di daerah Papua.
E. Keaslian Penelitian
Menurut data yang ada berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil judul
penelitian yang ada pada perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU), penelitian
mengenai Kedudukan Anak Perempuan Menurut Hukum Waris Adat Suku Biak di
Daerah Papua belum pernah dilakukan, hingga penelitian ini ditulis, meskipun dalam
bentuk makalah pada seminar-seminar, maupun dalam diskusi panel sudah pernah
dilakukan pembahasan atau diskusi. Akan tetapi ada beberapa penelitian yang
menyangkut masalah kedudukan anak perempuan dalam hukum waris adat, di
antaranya adalah:
1. Tigor Sinambela (Nim : 117011115), Mahasiswa Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Status Kepemilikan Tanah
Pemberian Orang tua Kepada Anak Perempuan Melalui Pauseang Pada
Masyarakat Batak di Kecamatan Dolok Sanggul Kabupaten Humbang
Hasundutan”. Rumusan permasalahan yang dibahas adalah:
Universitas Sumatera Utara
9
1) Mengapa dilakukan pemberian tanah oleh orangtua kepada anak
perempuannya melalui pauseang di Kecamatan Dolok Sanggul Kabupaten
Humbang Hasundutan?
2) Bagaimana status kepemilikan tanah yang diberikan kepada anak perempuan
melalui pauseang?
2. Tiorista (Nim : 067011100), Mahasiswi Magister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Pergeseran Hak Mewaris Anak
Perempuan Dalam Masyarakat Patrilineal (Studi Di Kabupaten Samosir)”.
Rumusan permasalahan yang dibahas adalah:
1) Bagaimanakah struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya
dengan kedudukan anak perempuan di Kecamatan Pangururan Kabupaten
Samosir ?
2) Bagaimanakah kedudukan anak perempuan dalam hukum waris pada
masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir ?
3) Apakah ada pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat
Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir ?
Oleh karena itu, dapat dipertanggungjawabkan bahwa penelitian ini memiliki
keaslian dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi yaitu
jujur, rasional, objektif serta terbuka. Hal ini merupakan implikasi etis dari proses
menemukan kebenaran ilmiah sehingga dengan demikian penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah, keilmuan dan terbuka untuk
kritisi yang sifatnya konstruktif (membangun).
Universitas Sumatera Utara
10
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Suatu penelitian sangat membutuhkan teori sebagai pemandu untuk dijadikan
sebagai bahan untuk memperjelas dan mempertajam permasalahan yang diteliti.10
Teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses
tertentu terjadi. 11 Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis
artinya mendudukan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka
teoritis yang relevan sehingga mampu menerangkan masalah tersebut. Teori
berfungsi sebagai pisau analisis dalam penelitian dan teori merupakan suatu
penjelasan yang bersifat rasional serta harus dengan obyek yang dipermasalahkan dan
harus didukung dengan adanya fakta atas permasalahan yang diteliti agar dapat diuji
kebenarannya. 12 Dengan pedoman tersebut diharapkan akan memberi wawasan
berpikir untuk menemukan kebenaran dan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian. Penelitian hukum harus berpijak pada teori hukum, karena teori
hukum adalah seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem
konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut
untuk sebagian yang penting dipositifkan.
Teori menempati kedudukan yang penting dalam dunia ilmu sebagai sarana
untuk merangkum serta memahami masalah secara lebih baik. Hal-hal yang semula
10Sugiyo, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D (Bandung : Alfabeta, 2011),hal. 1011Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press,
1986), hal.22, (Selanjutnya Disebut Buku 2)12Ibid., hal. 22
Universitas Sumatera Utara
11
tampak tersebar dan berdiri sendiri bisa disatukan dan ditunjukkan kaitannya satu
sama lain secara bermakna. Teori memberikan penjelasan melalui cara
mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakannya.13
Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya
mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka teoritis
yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.14 Kerangka teori adalah
kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, mengenai kasus atau permasalahan
(problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.15
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Living Law yang
dikemukakan oleh Eugen Ehrlich dan teori keadilan. Titik pokok teori Living Law
dalam pendekatan Ehrlich adalah meremehkan perbedaan antara hukum dan norma-
norma sosial lainnya yang bersifat memaksa. Aturan-aturan tersebut merupakan
norma-norma sosial aktual yang mengatur semua aspek kemasyarakatan yang
olehnya disebut sebagai hukum yang hidup (Living Law).16
Teori Keadilan diperlukan juga untuk menjelaskan dengan adanya perbedaan
kedudukan hak waris adat antara anak laki-laki dan anak perempuan khususnya pada
Suku Biak di daerah Papua. Keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial,
sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan
ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar; demikian juga hukum
13Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 25314Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, (Yogyakarta:
Andi, 2006), hal. 615M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 8016Muslan Abdurrahman, Sosiologi Dan Metode Penelitian Hukum, (Malang: UMM Press,
2009), hal. 13
Universitas Sumatera Utara
12
dan institusi, tidak peduli betapapun efisien dan rapinya, harus direformasi atau
dihapuskan jika tidak adil. Setiap orang memiliki kehormatan yang berdasar pada
keadilan sehingga seluruh masyarakat sekalipun tidak bisa membatalkannya. Atas
dasar ini keadilan menolak jika lenyapnya kebebasan bagi sejumlah orang dapat
dibenarkan oleh hal lebih besar yang didapatkan orang lain. 17
Pada teorinya Aristoteles mengemukakan bahwa ada 5 jenis perbuatan yang
tergolong dengan adil. Lima jenis keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles ini
adalah sebagai berikut.
1. Keadilan Komutatif
2. Keadilan Distributif
3. Keadilan Kodrat Alam
4. Keadilan Konvensional
5. Keadilan Perbaikan.18
Adapun teori keadilan menurut Aristoteles tersebut yang dapat digunakan
dalam penelitian ini yaitu teori keadilan kodrat alam. Teori keadilan kodrat alam
adalah memberi sesuatu sesuai dengan apa yang diberikan oleh orang lain kepada kita
sendiri.19
2. Kerangka Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi
dalam penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak dan
17John Rawls, Teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 3-418 http://www.habibullahurl.com/2015/01/teori-keadilan-menurut-aristoteles.html, diakses
pada tanggal 18 Maret 2016, 01:40 WIB19Ibid,
Universitas Sumatera Utara
13
kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.20
Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan
atau konsep-konsep khusus yang akan diteliti yaitu mengenai struktur kekerabatan
masyarakat Suku Biak di Daerah Papua dalam kaitannya dengan kedudukan anak
perempuan menurut hukum waris adat pada Suku Biak di Daerah Papua. Adapun
uraian dari pada konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah:
a. Hukum adat;
Adalah kompleks-kompleks yang kebanyakan tidak dikitabkan (dibukukan),
tidak dikodifisir (ongecodofoceerd), dan bersifat paksaan (dwang),
mempunyai sanksi (dari itu hukum) yang mempunyai akibat hukum
(rechtsgevolg), kompleks ini disebut hukum adat (adatrecht).21
b. Hukum adat waris;
Adalah norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang
materiil maupun yang immaterial yang manakah dari seseorang yang dapat
diserahkan kepada keturunannya serta yang sekaligus juga mengatur saat, cara
dan proses peralihannya.22
c. Patrilineal;
20Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo, 1998), hal. 3121Hendra Nurtjahjo, Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Berperkara di
Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), Hal. 1122Soerojo Wignjodipoero, Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
14
Adalah sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari pihak bapak.23
d. Altenerend;
Adalah sistem kekerabatan yang penarikan garis keturunan dilakukan
terhadap klan pihak bapak dan ibu secara berganti-ganti.24
e. Pewaris;
Adalah setiap orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta
peninggalan (harta kekayaan).25
f. Ahli waris;
Adalah orang yang mempunyai hak untuk dapat menerima warisan,
dimana ahli waris merupakan keturunan garis lurus baik garis lurus ke atas
orang tua, kakek nenek dan seterusnya ke atas, maupun garis lurus ke bawah
yaitu anak-anak, cucu dan seterusnya ke bawah.26
g. Harta warisan;
Adalah harta yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia kepada
ahli warisnya.27
h. Harta bawaan atau harta asal;
Adalah harta yang dimiliki seseorang sebelum kawin dan harta itu akan
kembali kepada keluarganya bila ia meninggal tanpa anak.28
23Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, (Bandung: Alumni,1993), Hal. 48
24Ibid25Mohd. Idris Ramulyo, Op. cit., hal. 2126Zainuddin Ali, Loc. cit.27Ibid., hal. 328Ibid
Universitas Sumatera Utara
15
i. Harta bersama dalam perkawinan;
Adalah harta yang diperoleh dari hasil usaha suami-istri selama dalam
ikatan perkawinan.29
j. Harta pusaka;
Yaitu harta warisan yang hanya diwariskan kepada ahli waris tertentu
karena sifatnya tidak terbagi, melainkan hanya dinikmati/dimanfaatkan
bersama oleh semua ahli waris dan keturunannya.30
k. Harta yang menunggu;
Harta yang menunggu adalah harta yang akan diterima oleh ahli waris,
tetapi karena satu-satunya ahli waris yang akan menerima harta itu tidak
diketahui dimana ia berada. 31
l. Anak;
Adalah keturunan yg kedua.32
m. Orang tua;
Adalah ayah ibu kandung.33
n. Masyarakat Suku Biak;
Suku Biak adalah salah satu kelompok masyarakat Papua yang hidup dan
tinggal di kabupaten Biak atau Biak Numfor.34
29Ibid., hal. 430Ibid31Ibid32Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)33ibid34http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1115/suku-biak, diakses pada tanggal 05 April
2016, jam 13:08 WIB
Universitas Sumatera Utara
16
G. Metode Penelitian
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis, bersifat Deskriptif
karena penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara cermat karakteristik dari
fakta-fakta (individu, kelompok atau keadaan), dan untuk menentukan frekuensi
sesuatu yang terjadi.35
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian maka jenis penelitian
yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Yuridis empiris yaitu
untuk mengevaluasi keterkaitan aspek-aspek empiris atau normatif.36 Yuridis empiris
melihat respon masyarakat Suku Biak di daerah Papua berkaitan dengan kedudukan
hak waris anak perempuan dalam masyarakat adat tersebut.
Penelitian yuridis normatif digunakan untuk mengkaji hukum waris adat,
khususnya hukum waris adat Suku Biak. Penelitian yuridis empiris digunakan untuk
mengkaji hak waris anak perempuan pada masyarakat Suku Biak.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi dari penelitian ini yaitu Kabupaten Biak di Daerah Papua, dimana
Kabupaten Biak terdiri dari 19 (Sembilan belas) Distrik/ Kecamatan. Lima Distrik
diantaranya ada di Pulau Numfor yaitu Numfor Barat, Numfor Timur, Orkeri, Poiru,
dan Bruyadori. Sementara itu terdapat 12 distrik di Pulau Biak yaitu Distrik Oridek,
Biak Timur, Biak Kota, Samofa, Yendidori, Biak Utara, Yawosi, Andey, Bondifuar,
35Rianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Garanit, 2004), hal. 5836Muslan Abdurrahman, Op. cit, hal. 94
Universitas Sumatera Utara
17
Warsa, Biak Barat, dan Swandiwe. Adapun 2 (dua) Distrik lainnya berada di
Kepulauan yaitu Distrik Padaido, dan Aimando.37
Dari 19 (Sembilan belas) kecamatan ini akan dipilih 3 (tiga) kecamatan yaitu
Kecamatan Biak Kota, Kecamatan Biak Utara dan Kecamatan Biak Timur, dengan
alasan:
1) Masyarakat Suku Biak yang ada pada kecamatan-kecamatan tersebut masih
menggunakan hukum adat yang berlaku;
2) Masih sedikit dari pengaruh-pengaruh perkembangan zaman yang dapat
merubah pemahaman masyarakat Suku Biak tersebut terhadap hukum
adatnya;
3) Kedudukan anak perempuan pada masyarakat Suku Biak masih di bawah
kedudukan anak laki-laki.
3. Populasi dan Sampel
Populasi adalah keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri yang sama.
Populasi dapat berupa himpunan orang, benda (hidup atau mati), kejadian, kasus-
kasus, waktu atau tempat, dengan sifat atau ciri yang sama.38 Oleh karena populasi
biasanya sangat besar dan luas, kerap kali tidak mungkin untuk meneliti seluruh
populasi itu tetapi cukup diambil sebagian saja untuk diteliti sebagai sampel sehingga
memberikan gambaran yang tepat dan benar.
37 Badan Pusat Statistik Biak Numfor dalam Angka 201638 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2011), hal. 118
Universitas Sumatera Utara
18
Pembatasan populasi pada orang atau unit atau dapat berupa kumpulan kasus-
kasus yang terkait dengan kedudukan hak waris anak perempuan pada masyarakat
Suku Biak. Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Suku Biak yang tinggal
di 3 (tiga) Kecamatan yang ada pada Pulau Biak yaitu Kecamatan Biak Kota,
Kecamatan Biak Timur dan Biak Utara.
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara
random sampling. Random Sampling adalah cara pengambilan sampel secara random
(tidak pandang bulu), artinya setiap elemen dari populasi mendapat kesempatan yang
sama untuk dipilih menjadi sampel. 39 Teknik random sampling digunakan dalam
penelitian ini oleh karena masyarakat adat Suku Biak yang tinggal di daerah Papua
bersifat homogen.
Sampling dalam penelitian ini ditetapkan pada masyarakat adat Suku Biak
yang pernah membagi waris atau sedang membagi waris yang tinggal di 3 (tiga)
Kecamatan tersebut dengan cara Random Sampling.
4. Responden Dan Informan
1) Responden;
Responden dalam penelitian ini yaitu:
1. Kecamatan Biak Kota , diambil sebanyak 10 (sepuluh) orang yang terdiri dari
5 (lima) orang laki-laki dan 5 (lima) orang perempuan.
2. Kecamatan Biak Timur, diambil sebanyak 10 (sepuluh) orang yang terdiri dari
5 (lima) orang laki-laki dan 5 (lima) orang perempuan.
39Muslan Abdurrahman,Op. Cit, hal. 105
Universitas Sumatera Utara
19
3. Kecamatan Biak Utara, diambil sebanyak 10 (sepuluh) orang yang terdiri dari
5 (lima) orang laki-laki dan 5 (lima) orang perempuan.
Jadi, jumlah responden untuk keseluruhannya adalah sebanyak 30 (tiga puluh)
orang.
2) Informan;
Informan penelitian adalah seseorang yang, karena memiliki informasi (data)
banyak mengenai objek yang sedang diteliti, dimintai informasi mengenai objek
penelitian tersebut. Lazimnya informan penelitian ini ada dalam penelitian yang
subjek penelitiannya berupa “kasus” (satu kesatuan unit), antara lain yang berupa
lembaga atau organisasi atau institusi (pranata) sosial. Di antara sekian banyak
informan tersebut, ada yang disebut key informan–seorang ataupun beberapa
orang, yaitu orang atau orang-orang yang paling banyak menguasai informasi
(paling banyak tahu) mengenai objek yang sedang diteliti tersebut.40 Informan
yang akan diwawancarai adalah:
a. Kepala-kepala Suku Biak di Biak Kota, Biak Timur dan Biak Utara.
b. Kepala-kepala marga Suku Biak di Biak Kota, Biak Timur dan Biak Utara.
c. Pemuka adat masyarakat Suku Biak di Biak Kota, Biak Timur dan Biak Utara.
5. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini diperoleh melalui data primer dan data
sekunder. Data primer didapat dengan melihat dan meneliti mengenai kedudukan hak
40 http://iiesweety.blogspot.co.id/2012/12/objek-penelitian-subjek-penelitian.html, diaksespada hari senin, 21 Maret 2016 Jam 14:21 WIB
Universitas Sumatera Utara
20
waris adat anak perempuan Suku Biak di daerah Papua. Selanjutnya data primer
dilakukan melalui wawancara dengan informan yang berkaitan dengan kedudukan
anak perempuan menurut hukum waris adat suku Biak tersebut.
Data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap
bahan kepustakaan yang bersumber dari:
1) Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat
sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini di antaranya
adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang No.1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan.
2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan
hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari
kalangan ahli hukum, serta dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan
masalah kedudukan hak waris anak perempuan menurut hukum waris adat
suku Biak di daerah Papua.
3) Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, jurnal
ilmiah, esiklopedia yang berhubungan atau berkaitan dengan materi
penelitian.
6. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Berkaitan dengan penelitian yuridis empiris maka metode pengumpulan data
dilakukan dengan cara:
Universitas Sumatera Utara
21
a. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara studi kepustakaan
(Library Research), studi kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan atau
mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, asas-asas dan hasil-hasil pemikiran
lainnya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini.41
b. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara studi lapangan (Field
Research), data tersebut diperoleh dengan cara:
1) Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara.
Pedoman wawancara yang digunakan yaitu wawancara mendalam (in-
depth interview) atau menggali informasi lebih dalam (Probing), sehingga
diperoleh jawaban yang lebih mengarah.42
2) Kuisioner yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kuisioner campuran
di mana kombinasi pertanyaan tertutup dan terbuka yaitu jenis pertanyaan
ini jawabannya sudah ditentukan tetapi tetapi kemudian disusul dengan
pertanyaan terbuka.43
7. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis data
kualitatif, ialah data yang tidak berbentuk angka44 tetapi berdasarkan atas peraturan
perundang-undangan, yurisprudensi, pandangan-pandangan nara sumber sehingga
dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini. Semua data yang diperoleh disusun
41Muis, Pedoman Penulisan Skripsi dan Metode Penelitian Hukum, (Medan: Fakultas HukumUniversitas Sumatera Utara, 1990), hal. 48
42Muslan Abdurrahman, Op.,Cit, hal. 11543Ibid, hal. 11244Ibid
Universitas Sumatera Utara
22
secara sistematis, diolah dan diteliti serta dievaluasi. Oleh karena itu data yang
dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif. Dengan menggunakan
metode deduktif ditarik suatu kesimpulan dari analisis yang telah selesai diolah
tersebut yang merupakan hasil penelitian, sehingga dari kesimpulan diharapkan akan
memberi solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
23
BAB II
MEKANISME PEMBAGIAN WARIS PADA MASYARAKAT SUKU BIAKDI DAERAH PAPUA
A. Masyarakat Suku Biak
1. Sejarah Suku Biak
Kabupaten Biak Numfor terdiri dari 19 (Sembilan belas) Distrik/ Kecamatan.
Lima Distrik di antaranya ada di Pulau Numfor yaitu Numfor Barat, Numfor Timur,
Orkeri, Poiru, dan Bruyadori. Sementara itu terdapat 12 (dua belas) Distrik di Pulau
Biak yaitu Distrik Oridek, Biak Timur, Biak Kota, Samofa, Yendidori, Biak Utara,
Yawosi, Andey, Bondifuar, Warsa, Biak Barat, dan Swandiwe. Adapun 2 (dua)
Distrik lainnya berada di kepulauan yaitu Distrik Padaido, dan Aimando.45
Kepulauan Biak-Numfor yang merupakan tempat asal dan tempat tinggal
orang Biak terletak di sebelah utara Teluk Cendrawasih dan terdiri dari tiga pulau
besar dan puluhan pulau-pulau kecil. Tiga pulau besar adalah pulau Biak, pulau
Supiori dan pulau Numfor. Sedangkan pulau-pulau kecil adalah gugusan Kepulauan
Padaido, yang terdapat di sebelah timur pulau Biak, pulau-pulau Rani dan Insumbabi
yang terdapat di sebelah selatan pulau Supiori, pulau-pulau Meosbefandi dan Ayau
yang terdapat di sebelah utara pulau Supiori dan Kepulauan Mapia yang letaknya
jauh di sebelah utara pulau Ayau.
45 Badan Pusat Statistik Kabupaten Biak Numfor, Katalog BPS: 1102001. 9409, Biak Numfordalam Angka 2016.
23
Universitas Sumatera Utara
Secara geografis Kepulauan Biak
Bujur Timur dan antara 010
tergabung dalam gugusan Kepulauan Biak
perincian pulau Biak dengan luas 1.832 km2, pulau Supiori dengan luas 434
pulau Numfor dengan luas 324 km2. Kecuali pulau Supiori, yang
satu punggung sisi luar dari lipatan sedimen formasi Zone Pasifik Utara yang
merupakan lanjutan dari lipatan Kepala Burung, pulau
Kepulauan Biak-Numfor, secara geologis merupakan pulau
dalam proses pertumbuhan.
Jumlah penduduk Kabupaten Biak Numfor tahun 2014 adalah 135.831 jiwa
yang terdiri dari 69.908 jiwa penduduk laki
46J.R. Mansoben,
Tradisional. Volume 01 No. 03 Agustus 2003
Secara geografis Kepulauan Biak-Numfor terletak antara 134043’
Bujur Timur dan antara 010-10045’ Lintang Selatan. Luas seluruh pulau
tergabung dalam gugusan Kepulauan Biak-Numfor adalah 2.500 km2 dengan
perincian pulau Biak dengan luas 1.832 km2, pulau Supiori dengan luas 434
pulau Numfor dengan luas 324 km2. Kecuali pulau Supiori, yang
satu punggung sisi luar dari lipatan sedimen formasi Zone Pasifik Utara yang
merupakan lanjutan dari lipatan Kepala Burung, pulau-pulau lainnya dari gugusan
Numfor, secara geologis merupakan pulau-pulau karang yang
m proses pertumbuhan.46
Sumber: Penelusuran Google (Internet)
Jumlah penduduk Kabupaten Biak Numfor tahun 2014 adalah 135.831 jiwa
yang terdiri dari 69.908 jiwa penduduk laki-laki dan 65.923 jiwa penduduk
J.R. Mansoben, Jurnal Sistem Politik Tradisional Etnis Byak Kajian Tentang Pemerintahan. Volume 01 No. 03 Agustus 2003
24
Numfor terletak antara 134043’-137050’
ng Selatan. Luas seluruh pulau-pulau yang
Numfor adalah 2.500 km2 dengan
perincian pulau Biak dengan luas 1.832 km2, pulau Supiori dengan luas 434 km2 dan
pulau Numfor dengan luas 324 km2. Kecuali pulau Supiori, yang merupakan salah
satu punggung sisi luar dari lipatan sedimen formasi Zone Pasifik Utara yang
pulau lainnya dari gugusan
pulau karang yang masih
Jumlah penduduk Kabupaten Biak Numfor tahun 2014 adalah 135.831 jiwa
laki dan 65.923 jiwa penduduk
Jurnal Sistem Politik Tradisional Etnis Byak Kajian Tentang Pemerintahan
Universitas Sumatera Utara
25
perempuan. Jumlah ini menunjukkan penduduk laki-laki lebih banyak dari penduduk
perempuan. Sex rasio Kabupaten Biak Numfor pada tahun 2014 menunjukkan angka
setiap 100 perempuan terdapat 106 laki-laki. Dengan luas wilayah 2.602 km2,
kepadatan penduduk di Kabupaten Biak Numfor sebesar 52,20 jiwa per km2.
Kepadatan tertinggi terjadi di Distrik Biak Kota, yakni hampir mencapai 1.039 jiwa
per km2.47
Pada waktu pemerintah Belanda berkuasa di daerah Papua hingga awal tahun
1960-an nama yang dipakai untuk menamakan Kepulauan Biak-Numfor adalah
Schouten Eilanden, menurut nama orang Eropa pertama berkebangsaan Belanda,
yang mengunjungi daerah ini pada awal abad ke-17. Nama-nama lain yang sering
dijumpai dalam laporan-laporan tua untuk penduduk dan daerah kepulauan ini adalah
Numfor atau Wiak. Fonem w pada kata wiak sebenarnya berasal dari fonem v yang
kemudian berubah menjadi b sehingga munculah kata Biak seperti yang digunakan
sekarang. Dua nama terakhir itulah kemudian digabungkan menjadi satu nama yaitu
Biak-Numfor, dengan tanda garis mendatar di antara dua kata itu sebagai tanda
penghubung antara dua kata tersebut, yang dipakai secara resmi untuk menamakan
daerah dan penduduk yang mendiami pulau-pulau yang terletak di sebelah utara
Teluk Cenderawasih itu. Dalam percakapan sehari-hari orang hanya menggunakan
nama Biak saja yang mengandung pengertian yang sama juga dengan yang
disebutkan di atas.
47 Badan Pusat Statistik Kabupaten Biak Numfor, Katalog BPS: 1102001. 9409, Biak Numfordalam Angka 2016.
Universitas Sumatera Utara
26
Tentang asal-usul nama serta arti kata tersebut ada beberapa pendapat.
Pertama ialah bahwa nama Biak yang berasal dari kata v’iak itu yang pada mulanya
merupakan suatu kata yang dipakai untuk menamakan penduduk yang bertempat
tinggal di daerah pedalaman pulau-pulau tersebut. Kata tersebut mengandung
pengertian orang-orang yang tinggal di dalam hutan’,‘orang-orang yang tidak pandai
kelautan’, seperti misalnya tidak cakap menangkap ikan di laut, tidak pandai berlayar
di laut dan menyeberangi lautan yang luas dan lain-lain. Nama tersebut diberikan oleh
penduduk pesisir pulau-pulau itu yang memang mempunyai kemahiran tinggi dalam
hal-hal kelautan. Sungguhpun nama tersebut pada mulanya mengandung pengertian
menghina golongan penduduk tertentu, nama itulah kemudian diterima dan dipakai
sebagai nama resmi untuk penduduk dan daerah tersebut. 48
Pendapat lain, berasal dari keterangan cerita lisan rakyat berupa mite, yang
menceritakan bahwa nama itu berasal dari warga klen Burdam yang meninggalkan
Pulau Biak akibat pertengkaran mereka dengan warga klen Mandowen. Menurut mite
itu, warga klen Burdam memutuskan berangkat meninggalkan Pulau Warmambo
(nama asli Pulau Biak) untuk menetap di suatu tempat yang letaknya jauh sehingga
Pulau Warmambo hilang dari pandangan mata. Demikianlah mereka berangkat, tetapi
setiap kali mereka menoleh ke belakang mereka melihat Pulau Warmambo nampak di
atas permukaan laut. Keadaan ini menyebabkan mereka berkata, v’iak wer’, atau
‘v’iak’, artinya ia muncul lagi. Kata v’iak inilah yang kemudian dipakai oleh mereka
48 J.R. Mansoben, Jurnal Sistem Politik Tradisional Etnis Byak Kajian Tentang PemerintahanTradisional. Volume 01 No. 03 Agustus 2003
Universitas Sumatera Utara
27
yang pergi untuk menamakan Pulau Warmambo dan hingga sekarang nama itulah
yang tetap dipakai.49
Nama-nama lain yang sering dijumpai dalam laporan-laopran tua untuk
penduduk dan daerah kepulauan ini adalah Numfor atau Wiak. Fonem ‘W’ pada kata
Wiak sebenarnya berasal dari fonem ‘V’ yang kemudian berubah menjadi ‘B’
sehingga munculah kata ‘Biak” seperti yang digunakan sekarang. Dua nama terakhir
itulah kemudian digabungkan menjadi satu nama yaitu Biak-Numfor.50
Kata Biak secara resmi dipakai sebagainama untuk menyebut daerah dan
penduduknya yaitu pada saat dibentuknya lembaga Kankain Karkara Byak pada
tahun 1947. Lembaga tersebut merupakan pengembangan dari lembaga adat kankain
karkara mnu yaitu suatu lembaga adat yang mempunyai fungsi mengatur kehidupan
bersama dalam suatu komunitas yang disebut mnu atau kampung.51
Nama Numfor berasal dari nama pulau dan golongan penduduk asli Pulau
Numfor. Penggabungan nama Biak dan Numfor menjadi satu nama dan
pemakaiannya secara resmi terjadi pada saat terbentuknya lembaga dewan daerah di
Kepulauan Schouten yang diberi nama Dewan daerah Biak-Numfor pada tahun 1959.
Nama Biak-Numfor digunakan untuk menyebut daerah geografisnya dan
daerah administrasi pemerintahannya. Nama Biak digunakan untuk menyebut bahasa
dan orang yang memeluk kebudayaan Biak yang bertempat tinggal di daerah
49 J.R. Mansoben, Jurnal Sistem Politik Tradisional Etnis Byak Kajian Tentang PemerintahanTradisional. Volume 01 No. 03 Agustus 2003
50 Diakses dari Internet Wikipedia Pada Tanggal 02 Desember 201651 J.R. Mansoben, Jurnal Sistem Politik Tradisional Etnis Byak Kajian Tentang Pemerintahan
Tradisional. Volume 01 No. 03 Agustus 2003
Universitas Sumatera Utara
28
Kepulauan Biak-Numfor sendiri maupun yang bertempat tinggal di daerah-daerah
perantauan yang terletak di luar kepulauan tersebut.
Tentang sejarah orang Biak, baik sejarah asal usul maupun sejarah kontaknya
dengan dunia luar, tidak diketahui banyak karena tidak tersedia keterangan tertulis.
Satu-satunya sumber lokal yang memberikan keterangan tentang asal-usul orang Biak
seperti halnya juga pada suku-suku bangsa lainnya di Papua, adalah mite. Menurut
mite moyang orang Biak berasal dari satu daerah yang terletak di sebelah timur,
tempat matahari terbit. Moyang pertama datang ke daerah kepulauan ini dengan
menggunakan perahu. Ada beberapa versi cerita kedatangan moyang pertama itu.
Salah satu versi mite itu menceritakan bahwa moyang pertama dari orang Biak terdiri
dari sepasang suami isteri yang dihanyutkan oleh air bah di atas sebuah perahu dan
ketika air surut kembali terdampar di atas satu bukit yang kemudian diberi nama oleh
kedua pasang suami isteri itu Sarwambo. Bukit tersebut terdapat di bagian timur laut
Pulau Biak (di sebelah selatan kampung Korem sekarang). Dari Bukit Sarwambo,
moyang pertama itu bersama anak-anaknya berpindah ke tepi Sungai Korem dan dari
tempat terakhir inilah mereka berkembang biak memenuhi seluruh Kepulauan Biak-
Numfor.
Orang Biak, baik yang bertempat tinggal di daerah Kepulauan Biak-Numfor
maupun yang berdomisili di tempat-tempat perantauan, menggunakan satu bahasa,
yaitu bahasa Biak. Walaupun mereka menggunakan satu bahasa yang sama akan
tetapi terdapat perbedaan dialek antara penduduk pada satu daerah dengan daerah
yang lainnya. Namun, secara prinsip dialek-dialek yang berbeda itu tidak
Universitas Sumatera Utara
29
menghalangi mereka untuk saling mengerti satu sama lain. Di Kepulauan Biak-
Numfor sendiri terdapat sepuluh dialek sedangkan di daerah-daerah migrasi atau
perantauan terdapat tiga dialek.
Secara linguistik, bahasa Biak adalah salah satu bahasa di Papua yang
dikategorikan dalam keluarga bahasa Austronesia dan khususnya termasuk pada sub
grup South-Halmahera-West New Guinea. Oleh karena bahasa tersebut digunakan
oleh para migran Biak di daerah-daerah perantauan, maka ia berfungsi di tempat-
tempat itu sebagai bahasa pergaulan antara orang-orang asal Biak dengan penduduk
asli. Jumlah penduduk yang menggunakan bahasa Biak di daerah Kepulauan Biak-
Numfor sendiri pada saat sekarang berjumlah ± 70.000 orang. Membandingkan
jumlah penduduk yang menggunakan bahasa Biak dengan bahasa-bahasa daerah
lainnya di Papua, maka bahasa Biak termasuk dalam kelompok bahasa-bahasa daerah
di Papua yang jumlah penuturnya lebih dari 10.000 orang. Kecuali itu, jika dilihat
dari segi luas wilayah pesebarannya maka bahasa Biak merupakan bahasa yang
paling luas wilayah pesebarannya di seluruh Papua.52
2. Sistem Kekerabatan Suku Biak
a. Sistem kekerabata dalam hukum adat
Dalam hukum waris adat perlu dilihat kembali pada hukum kekerabatan yang
berlaku dalam suatu masyarakat. Kaitan hukum kekerabatan dan hukum kewarisan,
52J.R. Mansoben, Jurnal Sistem Politik Tradisional Etnis Byak Kajian Tentang Pemerintahan
Tradisional. Volume 01 No. 03 Agustus 2003
Universitas Sumatera Utara
30
Wirjono Prodjodikoro dalam hal ini mengemukakan pendapat yang pokoknya dapat
diuraikan sebagai berikut::
“manusia di dunia ini mempunyai macam-macam sifat kekeluargaan dan sifatwarisan yang dalam suatu masyarakat tertentu berhubung erat dengan sifatkekeluargaan serta berpengaruh pada kekayaan dalam masyarakat itu. Sifat darikekeluargaan tertentu menentukan batas-batas, yang berada dalam tiga unsur darisoal warisan yaitu peninggal warisan (erflater), ahli waris (erfgenaam) dan hartawarisan (natalatenschap). Maka dalam membicarakan hukum waris perludiketahui kekeluargaan masyarakatnya. Di Indonesia di berbagai daerah terdapatsifat kekeluargaan yang berbeda dan dapat dimasukkan dalam tiga macamgolongan :1. Sifat kebapakan (partriarchaat, faderrechfelijk),2. Sifat keibuan (matriarchaat, moedrrechtelijk), dan3. Sifat kebapakibuan (parental, ouderrechtelijk).53
Sebelum membahas tentang keluarga, uraian ini diawali dengan persekutuan
hukum yang ada di Indonesia dan pernah digagas oleh ahli hukum. Masyarakat asli
Indonesia mempunyai kaum atau warga yang teratur dan yang tampak bahwa orang-
orangnya sudah menetap diam dan mempunyai pemerintahan sendiri, yang terdiri
atas kepala persekutuan adat dengan pembantu-pembantunya.54
Persekutuan-persekutuan hukum di Indonesia memiliki perbedaan satu sama
lain dalam susunannya antara lain:
a) Persekutuan hukum yang geneologis
Pada persekutuan hukum (masyarakat hukum) genealogis dasar pengikat utama
anggota kelompok adalah persamaan dalam keturunan, artinya anggota-anggota
kelompok itu terikat karena merasa berasal dari nenek moyang yang sama.
53 Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1988), Hal. 14-1654 Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, Pelajaran Hukum Indonesia, (Jakarta: Gunung
Agung, 1957), Hal. 75
Universitas Sumatera Utara
31
Menurut para ahli hukum adat di masa Hindia Belanda masyarakat hukum
genealogis ini dapat dibedakan dalam tiga macam yaitu yang bersifat patrilineal,
matrilineal dan parental.55
b) Persekutuan hukum yang teritorial berdasarkan kependudukan, yakni
persekutuan hukum yang dipengaruhi, baik faktor geneologis maupun faktor
teritorial.56 Dasar dari pada ikatan-ikatan anggota persekutuan hukum territorials
(wilayah) ialah hubungan bersama terhadap suatu daerah yang sama atau
tertentu 57 , contoh dari pada masyarakat territorials ini adalah di desa Jawa,
Sunda, Madura dan Bali dan lainnya. Orang-orang yang mendiami dusun atau
wilayah dalam masyarakat territorials ini merupakan suatu golongan dan satu
kesatuan, dengan kekuasaan pembelaan keluar dan penyusunan ke dalam.
Sistem kekeluargaan/kekerabatan yang hidup dalam kelompok masyarakat
yang satu dengan kelompok masyarakat yang lainnya tidak selalu sama. Hal tersebut
umumnya dapat diketahui dari susunan kelompok masyarakat yang bersangkutan.
Salah satu cara untuk melihat hal tersebut adalah dengan memperhatikan susunan
kelompok masyarakat tersebut berdasarkan ikatan genealogis.
Berdasarkan ikatan genealogis, susunan masyarakat pada dasarnya terbagi ke
dalam 4 (empat) kelompok, yaitu patrilineal, matrilineal, parental dan alternerend.
1) Patrilineal
55 Dessy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Rafika Aditama), 2005, Hal.210
56 Nani Soewondo, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, Hal. 2957 Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2003), Hal. 584
Universitas Sumatera Utara
32
Pada susunan patrilineal penarikan garis keturunan dilakukan terhadap
klan pihak bapak. Susunan masyarakat tersebut ditemui pada masyarakat Nias,
Gayo, Batak, dan lain-lain.
2) Matrilineal
Susunan matrilineal merupakan kebalikan dari susunan patrilineal. Pada
susunan tersebut, penarikan garis keturunan dilakukan terhadap klan pihak ibu.
Susunan masyarakat tersebut ditemui pada masyarakat Minangkabau, Kerinci
dan lain-lain.
3) Parental
Pada susunan parental penarikan garis keturunan dapat dilakukan terhadap
kedua pihak, yaitu klan pihak bapak dan klan pihak ibu. Susunan masyarakat
tersebut ditemui pada masyarakat Jawa.
4) Alternerend
Pada susunan alternerend penarikan garis keturunan dilakukan terhadap
klan pihak bapak dan klan pihak ibu secara berganti-ganti. Susunan masyarakat
tersebut dapat dijumpai pada masyarakat Indonesia bagian timur.
Ruang lingkup hukum kekeluargaan pada dasarnya meliputi pertalian
darah, hubungan orang tua dan anak, pengambilan anak dan perwalian. Tiga hal
pertama sangat erat hubungannya dengan hukum kewarisan, yaitu berkaitan
dengan siapa-siapa yang merupakan ahli waris.58
58Otje Salman, Loc. cit
Universitas Sumatera Utara
33
b. Sistem Kekerabatan Pada Masyarakat Suku Biak
Masyarakat Suku Biak menganut sistem kekerabatan patrilineal yaitu
penarikan garis keturunan dilakukan terhadap klan pihak bapak, hal ini dapat dilihat
pada masyarakat Suku Biak yang menarik garis keturunan dengan memiliki marga
yang diambil dari bapak/ ayahnya kemudian diturunkan kepada anak-anaknya. Hal
ini dapat dilihat dari pendapat responden seperti tercantum dalam tabel berikut.
Tabel. 1
Sistem kekerabatan pada masyarakat Suku Biak n = 30
Keterangan L= Responden Laki-lakiP = Responden Perempuan
Budaya Suku Biak dan juga orang Papua, menganut sistem kekerabatan
patrilineal, sehingga melalui sistem ini pada saat dilahirkan sudah tahu bahwa
mereka hidup ikut pada klan pihak bapak bukan pada klan pihak ibu. Suku Biak
menganut sistem kekerabatan patrilineal murni karena sekali mengikuti marga dari
klan pihak bapak maka harus tetap mengikuti marga dari klan pihak bapak dan tidak
dapat diubah dengan mengikuti marga dari klan pihak ibu. Namun, Pada masyarakat
No. Sistemkekerabatan
BiakKota
BiakTimur
BiakUtara
Frekuensi volume
L P L P L P1.
2.
3.
Patrilineal
Matrilineal
Parental
5
-
-
5
-
-
5
-
-
5
-
-
5
-
-
5
-
-
30
-
-
100%
-
-
Total 30 100%
Universitas Sumatera Utara
34
Suku Biak sering juga ditemukan anak yang mengikuti garis keturunan dari klan
pihak ibunya, hal ini disebabkan karena seorang bapak yang pergi meninggalkan anak
atau melepas tanggung jawabnya sebagai orang tua sehingga anak tersebut atas
persetujuan saudara-saudara dari pihak ibunya diberi marga dari klan pihak ibunya
tersebut. Hal ini menurut Suku Biak dinyatakan salah karena sistem kekerabatan yang
dianut adalah sistem patrilineal dan hal ini dikatakan dosa karena anak tersebut telah
diambil dari marga lain atau klan pihak bapak.59
Sistem kekerabatan patrilineal yang dianut pada masyarakat Suku Biak ini,
pada akhirnya menimbulkan hubungan-hubungan hukum seperti:
a) Hubungan Suami dan Istri pada masyarakat Suku Biak
Hubungan suami isteri pada masyarakat Suku Biak di daerah Papua dalam
kekeluargaan patrilineal, seorang isteri setelah dibeli dengan dibayarnya mas
kawin atau pada suku Biak disebut iyakyaker oleh pihak keluarga suaminya
kepada keluarga pihak isteri, maka isteri tersebut telah masuk ke dalam keluarga
suaminya dan berperan penting di dalam keluarga suaminya. 60
Hubungan suami isteri merupakan hubungan hak dan kewajiban yang tidak
saja dimaksudkan untuk menegakkan rumah tangga,61 tetapi juga dimaksudkan
untuk mendapatkan dan meneruskan keturunan serta memelihara hubungan
59Wawancara dengan Bapak Gerald Kafiar Ketua Dewan Adat Suku Biak di GedungLembaga Dewan Adat Biak pada Tanggal 03 Agustus 2016
60Wawancara dengan Bapak Mananwir Jhon Rumansara di Biak Timur Pada Tanggal 02Agustus 2016
61Lihat pasal 30 Undang-undang no.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
35
kekerabatan kedua pihak. Hubungan kekerabatan dalam arti tolong menolong dan
saling memperhatikan antara kerabat yang satu dan kerabat yang lain.
Terjadinya hubungan suami dan istri ini diawali dengan terjadinya perkawinan
di mana setelah perkawinan isteri melepaskan kewargaan adat dari kerabat
bapaknya dan memasuki kewargaan adat kerabat suaminya. Hak dan kedudukan
suami lebih tinggi dari hak dan kedudukan isteri.
Isteri adalah pendamping dan pembantu suami dalam menegakkan rumah
tangga, dalam mempertahankan kedudukan suami, meneruskan keturunannya
serta memelihara hubungan kekerabatan antara pihak suami dan pihak isteri.
Suami adalah kepala keluarga dalam kehidupan rumah tangga, dan jika ia anak
tertua laki-laki seperti berlaku di Lampung, maka suami adalah juga kepala
kerabat dan isteri adalah juga sebagai ibu dari seluruh anggota kerabat.
Bertambah tua kedudukan suami dalam keturunan kerabatnya bertambah luas
peranannya dalam hubungan kekerabatan.
Di dalam musyawarah adat untuk menentukan kedudukan seseorang warga
adat, bukan hak dan kewajiban isteri melainkan hak dan kewajiban suami.
Namun, keputusan yang akan diambil oleh musyawarah adat dengan
memperhatikan usul pendapat yang dikemukakan oleh para isteri. Jadi isteri tidak
dibenarkan bersikap tindak dan mengambil keputusan sendiri terhadap hal-hal
yang menyangkut kepentingan keluarga atau kerabat.
Universitas Sumatera Utara
36
Suami isteri wajib saling cinta mencintai dan hormat menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir batin antara yang satu dan yang lain.62 Tetapi kewajiban
itu tidak semata-mata hanya diperuntukan bagi suami isteri itu sendiri, melainkan
juga harus diberikan kepada orang tua (mertua) dan kerabat kedua pihak, terutama
dipihak laki-laki.
b) Hubungan Anak Dan Orang Tua
Sejauh mana kedudukan anak terhadap orang tuanya, yang menyebabkan
adanya hak dan kewajiban yang timbal balik antara anak dan orang tua
dipengaruhi oleh susunan kekerabatan, sistem pertalian darahnya, perkawinan dan
bentuk perkawinan dari ayah ibunya dan tidak adanya pertalian adat diantara
sianak dan orang tua. Dalam susunan kekerabatan yang patrilineal maka sistem
pertalian darah lebih diutamakan adalah kewangsaan ayah dan pada umumnya
berlaku adat perkawinan dengan pembayaran jujur, di mana setelah perkawinan
isteri masuk dalam kekerabatan suami. Kemudian jika tidak mempunyai
keturunan berlaku adat pengangkatan anak laki-laki.
Dalam susunan kekerabatan patrilineal kewangsaan lebih dititikberatkan
menurut garis keturunan laki-laki, maka kedudukan anak laki-laki lebih diutamakan
dari anak perempuan. Anak laki-laki adalah penerus keturunan bapaknya yang ditarik
dari satu bapak asal, sedangkan anak perempuan disiapkan untuk menjadi anak orang
lain yang akan memperkuat keturunan orang lain. Oleh karenanya apabila suatu
62Lihat Pasal 33 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
37
keluarga tidak mempunyai anak laki-laki lebih-lebih tidak mempunyai keturunan
sama sekali dikatakan “putus keturunan” (Batak: punu, Lampung: mupus, Bali:
putung).
Pada umumnya menurut hukum adat sebagaimana juga diatur di dalam
Undang-undang no.1 tahun 1974, bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan
mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri
sendiri. Sebaliknya anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak
mereka yang baik, serta wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan
keluarga dalam garis lurus ke atas.
Kedudukan anak dalam masyarakat adat pada umumnya dan di Biak pada
khususnya di dasarkan pada hubungan:
(1) Pertalian darah
Dalam susunan kekerabatan yang pertalian darahnya lebih mengutamakan
keanggotaan kerabat menurut garis keturunan laki-laki (Batak: marga; Rejang:
petulai; Lampung: buai; Timor: kanaf, fukun; Rote: leo; Biak: Fam), maka
semua anggota kerabat merasa mempunyai hubungan kewangsaan yang akrab
dari satu Poyang asal pendiri kesatuan keturunannya, sedangkan anak-anak
perempuan adalah pembuah dari keturunan laki-laki yang kedudukannya
dibawah pengaruh kekuasaan ayahnya dan saudara-saudara laki-laki ayahnya,
dan apabila ia kawin mengikuti suaminya ia berada di bawah pengaruh
kekuasaan suami dan saudara-saudara suaminya.
(2) Pertalian perkawinan
Universitas Sumatera Utara
38
Selain dari apa yang diuraikan di atas, kedudukan anak laki-laki terhadap
orang tuanya dalam kekerabatan patrilineal, dapat pula dilihat dari latar
belakang sah tidaknya perkawinan orang tuanya serta bentuk perkawinan
orang tuanya dan bentuk perkawinannya sendiri. Begitu pula jika bapaknya
mempunyai beberapa isteri, maka kedudukan anaknya pun dipengaruhi
kedudukan ibunya.
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah.Sedangkan anak yang dilahirkan diluar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dengan keluarga
ibunya.63
Pada dasarnya baik menurut hukum perundang-undangan maupun adat
untuk menentukan sah tidaknya sianak adalah dilihat pada kenyataan yuridis
bukan kenyataan biologis.
(3) Pertalian adat
Hubungan anak dengan orang tua karena pertalian adat yang dimaksud
adalah hubungan anak yang bukan anak kandung, yang terjadi karena adanya
pengangkatan anak adat atau anak akuan. “Anak akuan” adalah anak orang
lain yang diakui sebagai anak, misalnya seperti “anak pungut” atau “anak
piara”.
63Lihat Pasal 42-43 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Universitas Sumatera Utara
39
Kedudukan anak akuan dalam keluarga berbeda dengan kedudukan anak
kandung dan anak tiri. Ia tidak mempunyai hak sebagai waris dari orang tua
yang mengakuinya dan ia hidup hanya tergantung pada belas kasihan dari
orang tua yang mengakuinya. Tetapi juga ia tidak terikat pada ikatan
kekerabatan adat dari keluarga yang mengakuinya, ia bebas untuk mentukan
sendiri kedudukannya, apakah ia ingin tetap ada hubungan dengan keluarga
bersangkutan atau ia ingin beralih ke keluarga lain atau “mandiri”.
Kedudukan anak angkat pada masyarakat suku Biak, diketahui pada
umumnya orang Biak tidak pandang bulu, anak angkat mendapat perhatian
dan kasih sayang yang sama dengan anak kandung. Kebanyakan dari orang
Biak lebih mencurahkan kasih sayang mereka kepada anak angkatnya,
berbeda dengan suku-suku lain yang ada di tanah yang besar, orang Biak
sedikit berbeda.64
c) Hubungan Anak Dan Kerabat
Adanya hubungan anak dan kerabat terjadi dikarenakan ayah dan ibu
sianak mempunyai hubungan kekerabatan. Jika ayah dan atau ibu tidak
mempunyai kerabat atau menjauhi hubungan kekerabatan, maka dengan
sendirinya hubungan kekerabatan antara anak dan kerabat orang tuanya tidak
ada. Hubungan kekerabatan dimaksud ialah hubungan timbal balik yang
mengandung hak dan kewajiban antara anak dan kerabat orang tuanya.
64Wawancara dengan Bapak Jhon Rumansara Mananwir di Biak Timur Pada Tanggal 02Agustus 2016
Universitas Sumatera Utara
40
Hubungan kekerabatan antara anak dan kerabat orang tua ada yang luas
danada yang sempit. Yang luas nampak pada susunan masyarakat yang
patrilineal dan matrilineal, sedangkan yang sempit nampak pada susunan
masyarakat yang parental atau pada keluarga-keluarga modern yang menetap
diam di kota-kota besar, yang dikarenakan penuh kesibukan tugas sehari-hari
hubungan kekerabatannya lemah.
a) Anak dan kerabat bertali darah
Hubungan anak dan kerabat bertali darah yang diuraikan disini dilihat dari
dua segi, yaitu yang sepertalian darah dari pihak bapak dan yang sepertalian darah
dari pihak ibu. Yang mana dalam susunan patrilineal, kerabat dari pihak bapak
lebih diutamakan dari kerabat pihak ibu.
b) Sepertalian darah dari bapak
Semua anak laki-laki dan perempuan yang berasal dari satu bapak asal
yang ditarik dari bapak kandung adalah anggota kerabat seketurunan bapak
(Batak: dongan sebutuha, semarga; Lampung: jak beteng sai, sebuway), artinya
yang berasal dari satu perut bapak. Ke semua anak terutama anak laki-laki
merasakan dan menyatakan bahwa semua laki-laki saudara bapaknya, adalah
bapaknya juga.
c) Sepertalian darah dari ibu
Anak-anak terhadap anggota-anggota kerabat yang sepertlian darah
(semarga, sebuway) dengan ibu, terutama yang laki-laki beserta isterinya, yang
Universitas Sumatera Utara
41
setingkat dengan orang tua sianak, adalah juga merupakan orang tuanya yang
patut dihormati dan dijunjung tinggi. Orang-orang tua menyatakan bahwa hidup
ini tidak ada jika ibu tidak ada, oleh karenanya hormatilah kerabat asal dari ibu.
d) Anak dan kerabat bertali perkawinan
Dikarenakan terjadinya ikatan perkawinan maka timbul hubungan
kekerabatan, menantuan, besanan, periparan, persemendaan, yang diberbagai
daerah terdapat istilah-istilah kekerabatan tersendiri berupa tutur, panggilan dan
sebutan yang mengandung makna dan sekaligus menunjukan kedudukan,fungsi
dan peranan seseorang didalam hubungan kekerabatan.
(1) Anak menantu dengan mertua
(2) Periparan dan persemendaan
e) Anak dan kerabat bertali adat
Hubungan kekerabatan bertali adat terjadi diantara anggota-anggota
kerabat yang tidak bertali darah atau bertali perkawinan. Hubungan mana dapat
dibedakan antara hubungan yang beradat dan hubungan yang tidak beradat.
Hubungan yang beradat adalah hubungan kekerabatan yang terjadi karena adanya
ikatan berdasarkan hukum adat, sedangkan hubungan yang tidak beradat adalah
hubungan kekerabatan yang terjadi karena berdasarkan pengakuan oleh keluarga
tertentu saja.
Pada masyarakat Suku Biak di daerah Papua, anak laki-laki dan anak
perempuan mempunyai hubungan yang erat dengan kerabat-kerabat dari orang
tuannya. Sebagai contoh anak laki-laki pada Suku Biak mempunyai hubungan
Universitas Sumatera Utara
42
yang erat dengan pamannya atau saudara laki-laki dari klan ibunya. demikian juga
anak perempuan. Pada masyarakat Suku Biak, peran paman sangat penting
terhadap keponakan-keponakannya. Hal ini dapat di lihat dalam adat Suku Biak
dahulu kala hingga saat ini dimana seorang keponakan laki-laki bertanggung
jawab untuk menjaga dan melindungi paman dari klan pihak ibunya, sehingga
saudara-saudara ibunya atau pamannya juga bertanggung jawab untuk memberi
kekuatankepada keponakannya laki-laki secara adat. Kekuatan yang dimaksud
adalah kekuatan mistik, di Suku Biak ini disebut dengan istilah borias. Selain
bertanggung jawab menjaga dan melindungi pamannya, keponakan laki-laki juga
bertanggung jawab untuk membalaskan dendam kepada orang-orang yang
mencelakai atau membunuh pamannya tersebut, sehingga paman atau om wajib
memberi kekuatan tambahan kepada keponakannya laki-laki pada Suku Biak
dikenal dengan istilah ram rem yaitu memberikan wangi-wangian atau
mencelupkan wangi-wangian di atas kepala keponakannya pada saat keponakan
itu menjelang dewasa atau pada saat akan membentuk rumah tangga baru. Hal ini
juga merupakan berkat dari paman kepada keponakan laki-laki tersebut. 65
Hubungan anak dengan kerabat pada masyarakat Suku Biak masih sangat luas hal
ini dapat dilihat dalam upacara-upacara adat di dalam hukum adat Suku Biak.
B. Pembagian Warisan Pada Masyarakat Suku Biak
65Wawancara dengan Bapak Gerald Kafiar Ketua Dewan Adat Suku Biak di GedungLembaga Dewan Adat Biak pada Tanggal 03 Agustus 2016
Universitas Sumatera Utara
43
Hukum waris adat mempunyai kaitan erat dengan hukum kekerabatan dan
hukum perkawinan. Pembentukan hukum waris adat suatu masyarakat tidak terlepas
dari pengaruh hukum kekerabatan dan hukum perkawinannya.
Menurut Soerojo Wignjodipuro :
“bahwa hukum waris adat sangatlah erat hubungannya dengan sifat-sifatkekeluargan dari masyarakat hukum yang bersangkutan, serta berpengaruhpada harta kekayaan yang ditinggalkan dalam masyarakat tersebut. Olehsebab itu, dalam membicarakan masalah kewarisan mesti dibahas pula tentanghukum kekerabatan dan hukum perkawinan masyarakat”.66
Sistem pewarisan yang ada dalam masyarakat Indonesia menurut Djaren
Saragih adalah:
1) Sistem pewarisan di mana harta peninggalan dapat dibagi-bagikan,
2) Sistem pewarisan di mana harta peninggalan tidak dapat dibagi-bagikan.
Sistem yang pertama pada umumnya terdapat pada masyarakat bilateral
seperti di Pulau Jawa, sedangkan sistem yang kedua terdapat pada masyarakat
unilateral. Sistem kedua dapat dibedakan lagi dalam bentuk sistem pewarisan kolektif
dan sistem pewarisan mayorat. Sistem pewarisan kolektif, harta peninggalan dilihat
sebagai keseluruhan dan tidak terbagi-bagi dimiliki bersama-sama oleh para ahli
waris, seperti pada masyarakat Minangkabau dan Ambon. Sistem Pewarisan mayorat,
harta peninggalan secara keseluruhan tidak dibagi-bagi, tetapi jatuh ke tangan anak
yang tertua. Dalam sistem pewarisan mayorat, ada yang bersifat mayorat laki-laki
66 Soerojo Wignyodipoero, Op.Cit., Hal. 165
Universitas Sumatera Utara
44
yang berarti harta peninggalan jatuh ke tangan anak laki-laki tertua dan mayorat
perempuan di mana harta peningglan jatuh ke tangan anak perempuan yang tertua. 67
Tentang sistem pewarisan individu, kolektif dan mayorat pada prinsipnya,
Hilman Hadikusuma mengemukakan pendapat yang sama hanya ditambahkannya
bahwa sistem individual banyak berlaku di kalangan masyarakat yang sistem
kekerabatannya parental sebagaimana di kalangan masyarakat adat Jawa atau juga di
kalangan masyarakat adat lainnya seperti masyarakat Batak yang berlaku adat manjae
(Jawa, rnancar, mentas); atau juga di kalangan masyarakat adat yang kuat
dipengaruhi hukum Islam, seperti di kalangan masyarakat adat Lampung beradat
peminggir, di pantai-pantai Selatan Lampung.68 Kebaikan sistem pewaris individual,
ahli waris dapat bebas menguasai dan memiliki harta warisan tanpa dapat dipengaruhi
anggota keluarga yang lain. Kelemahannya, pecahnya harta warisan dan
merenggangnya tali kekerabatan serta timbulnya hasrat ingin memiliki kebendaan
secara pribadi dan mementingkan diri sendiri.
Selanjutnya, kebaikan sistem pewarisan kolektif tampak apabila fungsi harta
kekayaan digunakan untuk kelangsungan hidup keluarga besar itu pada masa
sekarang dan masa seterusnya masih tetap berperan, tolong menolong antara yang
satu dan yang lain di bawah pimpinan kepala kerabat yang penuh tanggung jawab
masih tetap dapat dipelihara, dibina dan dikembangkan. Kelemahan sistem tersebut
dapat menimbulkan cara berpikir yang terlalu sempit kurang terbuka bagi orang luar,
67 Djaren Saragih, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali,1980), Hal. 16368 Hilman Hadikusuma, Hukum Kekerabatan Adat, (Jakarta: fajar Agung, 1997), Hal. 24.
(Selanjutnya Disebut Buku I)
Universitas Sumatera Utara
45
sulit mencari kerabat yang kepemimpinannya bisa diandalkan, di samping rasa setia
kawan dan rasa setia kerabat semakin bertambah luntur. Sistem pewarisan mayorat
sebenarnya merupakan sistem pewarisan kolektif, hanya saja penerusan hak diberikan
kepada anak tertua sebagai pemimpin keluarga, menggantikan ayah dan ibunya. Ia
hanya berkedudukan sebagai pemegang mandat, dan bukan pemilik harta secara
perseorangan. Kebaikan sistem ini terletak pada kepemimpinan anak tertua, bila ia
penuh tanggung jawab maka keutuhan dan kerukunan keluarga dapat dipertahankan,
sedangkan kelemahannya bila terjadi sebaliknya.
Pembagian warisan pada masyarakat Suku Biak di daerah Papua juga dilihat
pada sistem kekerabatan yang dianut yaitu sistem kekerabatan patrilineal.
Tabel. 2
Pembagian Warisan Pada Masyarakat Suku Biak
n=30
No. PembagianWarisan
Jawaban Responden Frekuensi Volume
BiakKota
BiakTimur
BiakUtara
L P L P L P
1. Hanya anaklaki-laki yangmenerimabagian dariorang tuanya
2 2 3 1 4 1 13 41%
Universitas Sumatera Utara
46
Keterangan : L= Responden Laki-lakiP= Responden Perempuan
Berdasarkan hasil penelitian pada masyarakat Suku Biak, 41% responden
menyatakan bahwa hanya anak laki-laki yang berhak menerima harta warisan dari
orang tuanya. Namun, 59% responden lagi menyatakan bahwa anak perempuan juga
menerima warisan dari orang tuanya namun bagiannya tidak lebih besar dari pada
bagian anak laki-laki. Pada tabel 2 jika dilihat dari segi anak perempuan Suku Biak
maka dapat dilihat bahwa 4 (empat) anak perempuan dari 15 (lima belas) anak
perempuan di tiga Kecamatan tersebut di atas menyatakan bahwa hanya anak laki-
laki yang menerima warisan dari orang tuanya dan ada 11 (sebelas) responden
perempuan yang menyatakan bahwa perempuan juga menerima bagian warisan dari
orang tuanya, namun bagiannya tidak lebih besar dari pada bagian yang diterima oleh
anak laki-laki.
Masyarakat Suku Biak pada dasarnya memandang bahwa hanya anak laki-laki
yang dapat menerima bagian dari pewaris. Oleh sebab itu, sebagian dari anak
perempuan menyatakan bahwa mereka tidak dapat berbuat apa-apa dan menganggap
bahwa dirinya sudah menikah keluar/melintas keret dan sudah seharusnya seperti itu.
2. Anakperempuansebagai ahliwaris
2 4 2 4 2 3 17 59%
Total 30 100%
Universitas Sumatera Utara
47
Namun, sebagian perempuan ada yang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan
tindakan yang tidak adil, bahwa hanya anak laki-laki yang berhak untuk menerima
warisan dari orang tuanya, akan tetapi mereka berkata bahwa tidak dapat menuntut
bagiannya. Anak perempuan hanya bisa diam dan menunggu untuk diberi bagian dari
orang tua maupun saudara laki-laki mereka yang mewaris.69
C. Asas-asas Dalam Hukum Waris Adat Suku Biak
1. Asas Hukum Waris Adat Secara Umum
Asas-asas yang terdapat dalam hukum waris adat yaitu kalau hukum
kewarisan adat masyarakat di Indonesia dianalisis, maka ditemukan 5 (lima) asas
hukum kewarisan adat. Hal dimaksud, diuraikan sebagai berikut.
a. Asas KeTuhanan dan Pengendalian diri
Asas KeTuhanan dan pengendalian diri, yaitu adanya kesadaran bagi para
ahli waris bahwa rezeki berupa harta kekayaan manusia yang dapat dikuasai
dan dimiliki merupakan karunia dan keridhaan Tuhan atas keberadaan harta
kekayaan. Oleh karena itu, untuk mewujukan ridha Tuhan bila seorang
meninggal dan meninggalkan harta warisan, maka para ahli waris itu
menyadari dan menggunakan hukum-Nya untuk membagi harta warisan
mereka, sehingga tidak berselisih dan saling berebut harta warisan karena
perselisihan di antara para ahli waris memberatkan perjalanan arwah pewaris
untuk menghadap kepada Tuhan. Oleh karena itu, terbagi atau tidak
69 Wawancara dengan Bapak Gerald Kafiar Ketua Dewan Adat Biak di Distrik Biak KotaPada Tanggal 03 Agustus 2016
Universitas Sumatera Utara
48
terbaginya harta warisan bukan tujuan tetapi yang penting adalah menjaga
kerukunan hidup di antara para ahli waris dan semua keturunannya.
b. Asas Kesamaan dan Kebersamaan Hak
Asas kesamaan dan kebersamaan hak, yaitu setiap ahli waris mempunyai
kedudukan yang sama sebagai orang yang berhak untuk mewarisi harta
peninggalan pewarisnya, seimbang antara hak dan kewajiban tanggung jawab
bagi setiap ahli waris untuk memperoleh harta warisannya. Oleh karena itu,
memperhitungkan hak dan kewajiban tanggung jawab setiap ahli waris
bukanlah berarti pembagian harta warisan itu mesti sama banyak, melainkan
pembagian itu seimbang berdasarkan hak dan tanggung jawabnya.
c. Asas Kerukunan dan Kekeluargaan
Asas kerukunan dan kekeluargaan, yaitu para ahli waris mempertahankan
untuk memelihara hubungan kekerabatan yang tenteram dan damai, baik
dalam menikmati dan memanfaatkan harta warisan tidak terbagi maupun
dalam menyelesaikan pembagian harta warisan terbagi.
d. Asas Musyawarah dan Mufakat
Asas musyawarah dan mufakat, yaitu para ahli waris membagi harta
warisannya melalui musyawarah yang dipimpin oleh ahli waris yang dituakan
dan bila terjadi kesepakatan dalam pembagian harta warisan, kesepakatan itu
bersifat tulus ikhlas yang dikemukakan dengan perkataan yang baik yang
keluar dari hati nurani pada setiap ahli waris.
e. Asas Keadilan
Universitas Sumatera Utara
49
Asas keadilan, yaitu keadilan berdasarkan status, kedudukan, dan jasa,
sehingga setiap keluarga pewaris mendapatkan harta warisan, baik bagian
sebagai ahli waris maupun bagian sebagai bukan ahli waris, melainkan bagian
jaminan harta sebagai anggota keluarga pewaris.
2. Asas Hukum Waris Adat Biak
Berdasarkan data yang diperoleh melalui wawancara dan kuesioner maka,
asas-asas yang terdapat dan dikenal dalam hukum waris adat suku Biak adalah:
a. Asas musyawarah mufakat;
Asas musyawarah mufakat dilihat pada masyarakat Suku Biak dalam
pembagian hak waris di mana para ahli waris bersama-sama duduk dengan
seluruh keluarga yang hendak membagi waris, mendengar pesan dan nasehat
dari orang yang akan membagi waris baik oleh mananwir ataupun pewaris, di
mana semua duduk bersama, bicara bersama-sama dan memutuskan apa yang
menjadi keputusan akhir secara bersama-sama dengan jujur, tulus dan iklas.
b. Asas kerukunan dan kekeluargaan;
Asas kerukunan dan kekeluargaan yaitu para ahli waris mempertahankan
untuk memelihara hubungan kekerabatan yang tenteram dan damai, baik
dalam menikmati dan memanfaatkan harta warisan tidak terbagi maupun
dalam menyelesaikan pembagian harta warisan terbagi. Pada masyarakat Suku
Biak hal ini dilihat dalam kebiasaan orang tua meninggalkan warisan leluhur
yang tidak dapat di bagi-bagi yang dinikmati dan dijaga secara bersama-sama
oleh semua ahli waris laki-laki.
Universitas Sumatera Utara
50
c. Asas keadilan;
Asas keadilan, yaitu keadilan berdasarkan status dan kedudukan. Hal ini
dapat dilihat dalam hukum waris adat Suku Biak yang tidak membedakan
antara kedudukan anak kandung dan anak angkat.
d. Kebersamaan hak;
Asas kebersamaan hak, yaitu setiap ahli waris mempunyai kedudukan
yang sama sebagai orang yang berhak untuk mewarisi harta peninggalan
pewarisnya, seimbang antara hak dan kewajiban tanggung jawab bagi setiap
ahli waris untuk memperoleh harta warisannya. Oleh karena itu,
memperhitungkan hak dan kewajiban tanggung jawab setiap ahli waris
bukanlah berarti pembagian harta warisan itu mesti sama banyak, melainkan
pembagian itu seimbang berdasarkan hak dan tanggung jawabnya. Hal ini
dapat dilihat dalam hukum waris adat Suku Biak dalam hal pemberian warisan
berdasarkan besarnya hak dan tanggung jawab antara setiap ahli waris.70
Berdasarkan asas-asas yang diuraikan di atas, ditemukan warga
masyarakat yang melaksanakan pembagian harta warisannya memahami
bahwa hukum waris berkaitan dengan proses pengalihan harta peninggalan
dari seseorang (pewaris) kepada ahli warisnya. Tolok ukur dalam proses
pewarisan itu, supaya penerusan atau pembagian harta warisan dapat berjalan
70 Wawancara dengan Bapak Gerald Kafiar Ketua Dewan Adat Suku Biak di GedungLembaga Dewan Adat Biak pada Tanggal 03 Agustus 2016
Universitas Sumatera Utara
51
dengan rukun, damai, dan tidak menimbulkan silang sengketa di antara para
ahli waris atas harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pewaris.71
D. Harta Warisan Pada Masyarakat Suku Biak
Harta warisan adalah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh sesorang yang
meninggal dunia kepada ahli warisnya. Segala harta keluarga, dengan tidak
mengindahkan asalnya, jadi baik barang asal suami, barang asal istri, maupun barang
gono-gini, barang pencarian, akan oper kepada anak-anak, demikian kata Soepomo.72
Harta warisan ada yang dapat dibagi-bagi dan ada pula harta warisan yang
tidak dapat dibagi-bagi. Dalam hal ini Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa untuk
mengetahui apakah harta dapat terbagi atau memang tidak terbagi, harta warisan itu
perlu dikelompokkan ke dalam harta asal, harta pencaharian dan harta pemberian.73
Termasuk ke dalam harta asal, semua kekayaan yang dikuasai dan dimiliki
pewaris, baik berupa harta peninggalan ataupun harta bawaan yang dibawa masuk ke
dalam perkawinan. Harta peninggalan dapat dibedakan lagi dengan harta peninggalan
yang tidak terbagi, peninggalan yang belum terbagi dan peninggalan yang terbagi.
Harta pencaharian merupakan harta yang didapat suami isteri secara bersama selama
dalam ikatan perkawinan. Di samping itu, dikenal harta pemberian yang merupakan
harta warisan yang bukan karena jerih payah seseorang bekerja untuk
mendapatkannya. Pemberian dapat dilakukan seseorang atau sekelompok orang atau
71H Zainudin Ali, Op.Cit., Hal. 8-1072Otje Salman, Op. cit, Hal. 5673 Hilman Hadikusuma, Op.Cit., Hal. 37
Universitas Sumatera Utara
52
seseorang atau kepada suami-isteri. Untuk harta pemberian ini, bila terjadi perceraian
maka dapat dibawa kembali oleh masing-masing, sebagaimana peruntukan yang
dimaksud pemberinya.
Di pihak lain Soerjono Soekanto mengatakan :
“di dalam setiap perkawinan pada dasarnya diperlukan harta yang menjadidasar materiel bagi kehidupan keluarga. Harta tersebut dinamakan hartakeluarga atau harta perkawinan, mencakup: (1) Harta suami atau isteri yangdiperoleh sebelum perkawinan atau sebagai warisan, (2) Harta suami danisteri yang didapat atas hasil usahanya sebelum atau semasa perkawinan (hartapembujangan atau harta penantian) (3) Harta yang diperoleh suami dan isteribersama-sama selama perkawinan (4) Harta yang diberikan kepada mempelaiketika menikah”.74
Harta warisan itu terdiri atas:
1. Harta bawaan atau harta asal
Harta bawaan atau harta asal adalah harta yang dimiliki seseorang sebelum
kawin dan harta itu akan kembali kepada keluarganya bila ia meninggal tanpa
anak.
2. Harta perkawinan
Harta bersama dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh dari hasil usaha
suami-istri selama dalam ikatan perkawinan.
3. Harta pusaka
Harta pusaka adalah harta warisan yang hanya diwariskan kepada ahli waris
tertentu karena sifatnya tidak terbagi melainkan hanya dinikmati/ dimanfaatkan
bersama oleh semua ahli waris dan keturunannya. Harta pusaka yang biasa
74 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Hukum Adat, (Bandung: Alumni,1981), Hal. 61,(Selanjutnya disebut Buku III).
Universitas Sumatera Utara
53
disebut mbara-mbara nimana dalam hukum waris adat suku Kaili di Sulawesi
Tengah, dan
4. Harta yang menunggu.
Harta yang menunggu adalah harta yang akan diterima oleh ahli waris, tetapi
karena satu-satunya ahli waris yang akan menerima harta itu tidak diketahui di
mana ia berada.
Berdasarkan hasil penelitian lapangan yang dilakukan pada masyarakat Suku
Biak di daerah Papua, diperoleh keterangan melalui wawancara bahwa jenis-jenis
harta warisan yang terdapat pada masyarakat Suku Biak baik harta warisan yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan harta warisan yang dapat terbagi-bagi
dan yang tidak dapat terbagi-bagi adalah sebagai berikut:
a. Harta bersama dalam perkawinan
Harta bersama dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh dari hasil
usaha suami-istri selama dalam ikatan perkawinan. Dalam hal ini berupa
benda berwujud yang dapat di bagi-bagi seperti rumah, perhiasan, peralatan
rumah, piring-piring, guci, gelang (sarak) dan lainnya.
b. Harta pusaka
Harta pusaka adalah harta warisan yang hanya diwariskan kepada ahli
waris tertentu karena sifatnya tidak terbagi melainkan hanya dinikmati/
dimanfaatkan bersama oleh semua ahli waris dan keturunannya. Jenis-jenis
harta warisan pada masyarakat Suku Biak yang merupakan warisan leluhur
Universitas Sumatera Utara
54
dan tidak dapat dibagi-bagi adalah berupa tanah, dusun sagu, dusun kelapa,
sungai, tanjung, pesisir, pantai/ laut, goa dan lainnya, semua itu merupakan
warisan leluhur nenek moyang yang dijaga, diolah dan dinikmati bersama/
merupakan hak milik bersama marga.
Masyarakat Suku Biak juga mengenal jenis-jenis warisan yang tidak
berwujud. Warisan yang tidak berwujud tersebut dapat dilihat pada ilmu-ilmu
atau mistik yang dimiliki oleh orang tua dan dapat diwariskan kepada anak
mereka kelak. Dalam adat Biak hal ini dikenal dengan istilah “borias” yaitu
kekuatan atau ilmu. Contoh ilmu atau borias yang diberikan oleh orang tua
adalah ilmu yang dipakai untuk mencari ikan di laut, mencari harta, dipakai
untuk menjadi ahli tempa perahu dan juga membuat parang yang pada suku
Biak dikenal dengan istilah “Kamasan” artinya yaitu orang-orang ahli yang
mempunyai keterampilan khusus, dan ilmu ini juga dapat dipakai untuk
“Wor” atau menyanyi.75
Wor merupakan upacara sakral yang berfungsi melindungi individu dalam
momen peralihan peran sosialnya, mulai lahir, hidup hingga mati. Upacara
wor ini memiliki banyak jenis, berkenaan dengan kepentingan
dilaksanakannya upacara tersebut. Wor fasfesmandwampur dilakukan untuk
ibu hamil, khususnya untuk menjaga kehamilannya. Selain jenis tersebut juga
dikenal wor asfasnai, wor anmam, wor papaf (penyapihan), wor kapanaknik,
75Wawancara dengan Bapak Gerald Kafiar Ketua Dewan Adat Suku Biak di GedungLembaga Dewan Adat Biak pada Tanggal 03 Agustus 2016
Universitas Sumatera Utara
55
wor kabor, wor beba, wor farbakbuk, upacara berkabung, wor rasnus, dan
masih banyak jenis yang lain.
Sementara itu, wor sebagai nyanyian tradisional, bentuknya mirip puisi
yang dilagukan. Wor sebagai nyanyian ini tidak dapat dipisahkan dari wor
sebagai upacara adat. Hal ini bersinggungan dengan kenyataan bahwa orang
Biak tidak mengenal seni pertunjukan. Tarian, nyanyian, lukisan, dan ukiran
merupakan bagian dari upacara adat. Sebagai nyanyian, wor berfungsi sebagai
pelindung hidup.76
c. Harta bawaan
Harta bawaan, yaitu harta yang dibawa baik oleh mempelai wanita
maupun pria ke dalam perkawinan. Harta bawaan dapat berupa harta benda
pemberian seperti rumah, tanah, perhiasan dan lainnya. 77 Pada Suku Biak
harta yang dibawa masuk ke dalam perkawinan atau harta bawaan menjadi
harta yang bercampur yaitu dimiliki bersama oleh suami dan istri.78
Warisan yang sesungguhnya menurut adat ini bukan berupa rumah dan
perabot-perabot, tetapi warisan itu adalah hak yang diperoleh yang dapat
menghidupkan secara turun-temurun yaitu seperti tanah, laut/ air, dusun,
pantai, dan lainnya, di mana ketika pewaris meninggal maka anak cucu pun
dapat hidup dan menikmati peninggalan/ warisan tersebut. Sedangkan harta
warisan berupa rumah dan perabot-perabot yang dikumpulkan selama hidup
76Sabjan Badio, Aku Papua Aku Indonesia, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo), Hal. 19-2077Soerjono Soekanto., Op.Cit, Hlm. 27878 Bapak David Rumwaropen, Responden Laki-laki di Biak Kota
Universitas Sumatera Utara
56
untuk diwariskan itu sudah merupakan hal biasa yang dapat diwariskan oleh
setiap suku yang ada. Oleh sebab itu hak waris tersebut tidak dapat
sembarangan diberikan kepada anak perempuan, karena anak lagi-laki yang
akan dianggap sebagai pencari nafkah bagi isteri dan anak-anaknya di dalam
kelurga.79 Harta warisan yang dimaksud ini termasuk ke dalam jenis harta
pusaka yaitu dimiliki dan diolah bersama oleh marga/ keluarga.
E. Ahli Waris Pada Masyarakat Suku Biak
Ahli waris adalah orang yang berhak mewarisi harta peninggalan pewaris,
yakni anak kandung, orang tua, saudara, ahli waris pengganti, dan orang yang
mempunyai hubungan perkawinan dengan pewaris (janda atau duda). Selain itu,
dikenal juga anak angkat, anak tiri, dan anak luar kawin, yang biasanya diberikan
bagian harta warisan dari ahli waris bila para ahli waris membagi harta warisan di
antara mereka.80
Terdapat suatu perbedaan antara suatu daerah dengan daerah yang lain tentang
para waris, baik terhadap ahli waris yang berhak mewarisi maupun yang bukan ahli
waris tetapi mendapat warisan. Berhak atau tidaknya para waris sebagai penerima
warisan sangat dipengaruhi oleh sistem kekerabatan dan agama yang dianut. Secara
umum menurut Hilman Hadikusuma para waris ialah anak termasuk anak dalam
kandungan ibunya jika lahir hidup, tetapi tidak semua anak adalah ahli waris,
kemungkinan para waris lainnya seperti anak tiri, anak angkat, anak piara, waris balu,
79Wawancara dengan Bapak Gerald Kafiar Ketua Dewan Adat Suku Biak di Biak Kota PadaTanggal 03 Agustus 2016
80H Zainuddin Ali, Op.Cit., Hal.1-6
Universitas Sumatera Utara
57
waris kemenakan dan para waris pengganti seperti cucu, ayah-ibu, kakek-kakek,
waris anggota kerabat dan waris lainnya.81
Ahli waris atau para ahli waris dalam sistem hukum waris adat patrilineal,
terdiri atas:
1. Anak laki-laki
Yaitu semua anak laki-laki yang sah yang berhak mewarisi seluruh harta
kekayaan. Baik harta pencaharian maupun harta pusaka. Jumlah harta kekayaan
pewaris dibagi sama di antara para ahli waris. Apabila pewaris tidak mempunyai
anak laki-laki, yang ada hanya anak perempuan dan isteri, maka harta pusaka
tetap dapat dipakai, baik oleh anak-anak perempuan maupun oleh isteri seumur
hidupnya, setelah itu harta pusaka kembali kembali kepada asalnya atau kembali
kepada “pengulihen”.82
2. Anak angkat
Dalam masyarakat Karo, anak angkat merupakan ahli waris yang
kedudukannya sama seperti halnya anak sah, namun anak angkat ini hanya
menjadi ahli waris terhadap harta pencaharian/ harta bersama orang tua
angkatnya. Sedangkan untuk harta pusaka, anak angkat tidak berhak.83
3. Ayah dan Ibu serta saudara-saudara sekandung si pewaris.
Apabila anak laki-laki yang sah maupun anak angkat tidak ada, maka yang
menjadi ahli waris adalah ayah dan ibu serta saudara-saudara kandung si pewaris
yang mewaris bersama-sama.84
81 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Cipta Aditya Bakti, 1993), Hal. 67,(Selanjutnya Disebut Buku II)
82H. Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, (Bandung: PT Reika Aditama, 2013), Hal. 47
83 ibid84 ibid
Universitas Sumatera Utara
58
4. Keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu.
Apabila anak laki-laki yang sah, anak angkat, maupun saudara-saudara
sekandung pewaris dan ayah-ibu pewaris tidak ada, maka yang tampil sebagai
ahli waris adalah keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu.85
5. Persekutuan adat
Apabila para ahli waris yang disebutkan di atas sama sekali tidak ada, maka
harta warisan jatuh kepada persekutuan adat.86
Dari uraian di atas, hukum waris adat pada masyarakat Suku Biak tidak
mengenal adanya garis pokok penggantian atau penggantian tempat. Ahli waris
menurut hukum waris adat Suku Biak yaitu:
Tabel. 3
Kelompok Ahli Waris Pada Masyarakat Suku Biak
n=30
85 Ibid86 Ibid., Hal. 48
No Ahli Warisdi Masyarakat Biak
Jawaban Responden Frekuensi Persen
BiakKota
BiakTimur
BiakUtara
L P L P L P1. Anak laki-laki 2 1 1 1 3 2 10 32%
2. Anak perempuan- - - - - - - -
3. Anak laki-laki dananak perempuan 3 4 4 4 2 3 20 68%
Total 30 100 %
Universitas Sumatera Utara
59
Pada masyarakat Suku Biak berdasarkan data yang diperoleh melalui
kuesioner, dilihat bahwa ada 10 (sepuluh) responden yang terdiri dari 6 (enam) orang
laki-laki dan 4 (empat) orang perempuan yang menyatakan bahwa hanya anak laki-
laki yang menjadi ahli waris pada Suku Biak. Sedangkan, ada terdapat 20 (dua puluh)
responden lagi yang terdiri dari 9 (sembilan) orang laki-laki dan 11 (sebelas) orang
perempuan yang menyatakan bahwa anak laki-laki dan anak perempuan sama-sama
merupakan ahli waris pada Suku Biak.
a. Anak laki-laki
Yaitu semua anak laki-laki yang berhak mewarisi seluruh harta kekayaan baik
yang berwujud maupun yang tidak berwujud yang dapat dibagi-bagi dan tidak
dapat dibagi-bagi.
b. Anak angkat
Masyarakat Suku Biak biasanya tidak membedakan antara anak kandung dan
anak angkat. Orang Biak kebanyakan mencurahkan kasih sayang kepada anak
angkat. Dalam hal warisan juga anak angkat dan anak kadung mendapat bagian
yang sama/ sama rata. Hal ini merupakan sedikit perbedaan dari suku Biak.87
Dari tiga puluh responden yang pendapatnya diambil melalui data kuesioner,
ada 10 (sepuluh) orang responden yang terdiri dari 6 (enam) orang laki-laki dan 4
(empat) orang perempuan yang memiliki anak angkat dan 20 (dua puluh) orang
responden lagi yang terdiri dari 10 (sepuluh) orang laki-laki dan 10 (sepuluh)
orang perempuan menyatakan bahwa mereka tidak memiliki anak angkat. Dari
87Wawancara dengan Bapak Jhon Rumansara Mananwir Biak Timur Pada Tanggal 02Agustus 2016
Universitas Sumatera Utara
60
hasil data kuesioner tersebut, baik yang memiliki anak angkat ataupun tidak
memiliki anak angkat, ada terdapat 26 (dua puluh enam) orang responden dari 30
(tiga puluh) responden, yang terdiri dari 14 (empat belas) orang laki-laki dan 12
(dua belas) orang perempuan atau 88% responden yang menyatakan bahwa anak
angkat mendapat kasih sayang yang sama dengan anak kandung oleh karena telah
dianggap sebagai anak sendiri, demikian pula dalam hal menerima warisan maka
anak angkat mendapat bagian yang sama dengan anak kandung, baik anak
perempuan maupun anak laki-laki. Sedangkan, ada 12% responden yang terdiri
dari 3 (tiga) orang perempuan dan 1 (satu) orang laki-laki yang menyatakan
bahwa anak angkat bukan merupakan ahli waris dan tidak mendapat bagian
warisan.
Tabel. 4
Anak Angkat Sebagai Ahli Waris Pada Masyarakat Biak
n=30
Anak angkat mendapat bagian atas dasar
waris
tidak
memb
erikan
bagian
kepad
a anak
No Anak AngkatPada
MasyarakatSuku Biak
BiakKota
BiakTimur
BiakUtara
Frekuensi Persen
L P L P L P
1.
Anak angkatsebagai ahli
waris/mendapat
bagian
5 4 5 5 4 3 26 88%
2.
Anak angkatbukan ahliwaris/ tidakmendapat
bagian
- 1 - - 1 2 4 12%
Total 30 100%
Universitas Sumatera Utara
61
angkat tersebut.
c. Ayah dan Ibu serta saudara-saudara sekandung si pewaris.
Apabila anak laki-laki maupun anak angkat tidak ada, maka yang menjadi ahli
waris adalah anak-anak perempuan atau ayah dan ibu serta saudara-saudara kandung
si pewaris yang mewaris bersama-sama, tergantung keputusan si pewaris kepada
siapa akan diberikan harta warisannya. Orang-orang yang dipilih oleh pewaris untuk
dapat menerima warisan yaitu kembali kepada penilaian pewaris. Apabila pewaris
tidak mempunyai anak laki-laki baik anak kandung ataupun anak angkat, maka
pewaris berhak memberikan harta kepada anak-anaknya yang perempuan. Hal ini
menjadi penilaian dari pada pewaris kepada ahli warisnya. Biasanya pada suku Biak
orang tua melihat anak-anak yang baik atau menghormati orang tuanya maka mereka
dapat menerima warisan yang lebih dari orang tuanya. Demikian pula halnya warisan
yang akan diberikan kepada saudara-saudaranya. Pewaris melihat dan menilai
saudara-saudara mana yang dapat menerima warisan dari padanya. Biasanya atas
dasar hubungan kasih sayang dan kedekatan antara pewaris dengan saudara-
saudaranya. 88
Jadi, dalam hal ini yang menjadi prioritas bagi pewaris untuk memberikan
warisan kepada anak-anak perempuan atau saudara-saudaranya, yaitu atas dasar kasih
sayang dan rasa percaya kepada siapa akan diberikan warisan tersebut.
d. Keluarga terdekat dalam garis lurus ke atas
88 Wawancara dengan Eddyan Wanma Responden Laki-laki di Biak Kota, 02 Agustus 2016
Universitas Sumatera Utara
62
Apabila ahli waris anak, orang tua dan saudara-saudara kandungnya tidak ada,
maka akan dilihat kembali melalui garis lurus ke atas yaitu saudara-saudara dari tete
(kamam)/ kakek. Dalam hal ini yang menjadi ahli waris yaitu saudara-saudara
kandung dari kakek dan nenek dari pewaris beserta keturunannya. Pewarisan
diberikan oleh pewaris menurut penilaian dari pewaris kepada siapa hendak memberi
warisan tersebut yaitu atas dasar kasih sayang dan kedekatan hubungan antara
pewaris dan ahli waris serta rasa percaya dari pewaris kepada keluarganya yang
hendak menjadi ahli waris tersebut.89
F. Tata Cara Membagi Harta Warisan
Soepomo menyatakan bahwa Hukum waris itu memuat peraturan-peraturan
yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan
barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu
angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Proses itu telah mulai dalam waktu
orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi akut oleh sebab orang tua
meninggal dunia. Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang
penting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal
proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut.90
Proses pewarisan yang berlaku menurut hukum adat di dalam masyarakat
Indonesia hanya ada dua bentuk. Pertama, proses pewarisan yang dilakukan semasa
89 Wawancara dengan Eddyan Wanma Responden laki-laki di Biak Kota, 02 Agustus 201690Soerjono Soekanto, Op.Cit., (Buku I), Hal. 259
Universitas Sumatera Utara
63
pewaris masih hidup. Kedua, proses pewarisan yang dilakukan setelah pewaris wafat.
Proses pewarisan itu sendiri menurut Hilman Hadikusuma adalah :
“merupakan cara bagaimana pewaris berbuat untuk meneruskan ataumengalihkan harta kekayaan yang akan ditinggalkan kepada waris ketikapewaris itu masih hidup dan bagaimana cara warisan itu diteruskan penguasadan pemakaiannya atau cara bagaimana melaksanakan pembagian warisankepada para waris setelah pewaris wafat”.91
Pembagian warisan pada masyarakat Suku Biak berlangsung pada saat
pewaris masih hidup atau sebelum adanya kematian dari pewaris.
Tabel. 5
Saat Pembagian Warisan Pada Masyarakat Suku Biak
n=30
91 Hilman Hadikusuma, Op.Cit., Hal. 95
No Saatpewarisan
diMasyarakatSuku Biak
Jawaban Responden Frekuensi Volume
BiakKota
BiakTimur
BiakUtara
L P L P L P
1. Pewarismasih hidup 5 5 5 5 5 5 30 100%
2. Pewaris telahmati - - - - - - - -
Total 30 100 %
Universitas Sumatera Utara
64
Pewarisan terjadi selagi orang tua masih hidup.92 Apabila pewaris atau orang
tua laki-laki meninggal dan belum sempat membagi-bagikan waris maka yang berhak
untuk membagi warisan menggantikan orang tua adalah bapak tua/ atau saudara laki-
laki dari pewaris. Jika pewaris adalah anak tunggal maka yang dapat memberi
warisan adalah garis lurus ke atas yaitu melihat saudara-sudara dan anak-anak laki-
laki dari kakek (tete) dalam bahasa Biak disebut kamam. Tante atau kakak perempuan
tertua juga isteri dari pewaris tidak mempunyai hak untuk membagi warisan
tersebut.93 Pembagian warisan terjadi setelah 3 (tiga) bulan ke atas sejak kematian
pewaris.94 Namun, sejauh ini pewarisan pada masyarakat Suku Biak dilakukan selagi
pewaris masih hidup dan masih kuat. Hal ini dilakukan oleh orang tua (pewaris) agar
menghindari konflik atau pertikaian diantara para ahli waris. Oleh sebab itu, selagi
orang tua masih ada dan masih kuat maka mereka membagikan warisan kepada anak-
anaknya.95
Tata cara pembagian waris sebelum pewaris meninggal dunia pada
masyarakat Suku Biak dalam hal ini terhadap harta waris dalam keluarga (harta
bersama), yaitu dilakukan dengan cara lisan di dalam keluarga dimana pewaris
memanggil anak-anak dan istri/ suami, dengan dihadiri oleh saksi-saksi yaitu orang-
orang yang dituakan dalam keluarga/ keret atau dihadiri oleh mananwir keret (kepala
marga), oleh karena masyarakat Suku Biak menganggap bahwa saksi-saksi yang
92 Wawancara dengan Bapak Gerald Kafiar, Ketua Dewan Adat Suku Biak di Papua, PadaTanggal 03 Agustus 2016
93Wawancara dengan Bapak Gerald Kafiar Ketua Dewan Adat Suku Biak di GedungLembaga Dewan Adat Biak pada Tanggal 03 Agustus 2016
94 Bapak Eddyan wanma Responden Laki-laki di Biak Kota pada Tanggal 02 November 201695 Bapak S. Rumwaropen Responden Laki-laki di Biak Kota pada Tanggal 18 Januari 2016
Universitas Sumatera Utara
65
hadir dalam musyawarah keluarga merupakan alat bukti yang kuat dan sah,
masyarakat Suku Biak secara adat tidak mengakui pembuktian dengan sertifikat,
melainkan percaya dan mengakui keterangan atau cerita dari saksi yang hadir dalam
musyawarah keluarga yang membagi warisan96. Pewarisan dapat dilakukan dalam
keluarga itu sendiri tanpa dihadiri oleh keluarga yang lainnya atas dasar rasa saling
percaya. Hal ini menjadi keputusan dari pewaris dengan cara apa dapat membagi-
bagikan harta kepada anak-anaknya.
Bagian-bagian pewarisan pada masyarakat Suku Biak adalah sebagai berikut:
1) Anak Laki-laki;
Anak laki-laki di Suku Biak dapat menerima harta warisan secara otomatis
dari orang tuanya. Harta warisan yang diterima secara otomatis itu berupa hak-
hak ulayat yaitu hak milik bersama marga yang dipakai/ diolah dan dijaga
bersama-sama oleh seluruh ahli waris. Harta warisan ini tidak dapat terbagi-bagi
namun untuk dipakai bersama. Hak ulayat ini tidak diterima oleh anak
perempuan. Jika dalam suatu keluarga tidak memiliki anak laki-laki maka
dianggap “sial”. Harta dapat diberikan kepada anak perempuan atas toleransi dari
orang tuanya dan saudara-saudaranya harus menghargai keputusan tersebut dari
orang tuanya.97
96Wawancara dengan Bapak Gerald Kafiar Ketua Dewan Adat di Gedung Lembaga Dewan
Adat Suku Biak di Distrik Biak Kota Pada Tanggal 03 Agustus 201697Wawancara dengan Bapak Gerald Kafiar Ketua Dewan Adat di Gedung Lembaga Dewan
Adat Suku Biak di Distrik Biak Kota Pada Tanggal 03 Agustus 2016
Universitas Sumatera Utara
66
Bagian yang diterima anak laki-laki dari orang tuanya adalah sama rata.
Bentuk warisannya biasanya berupa tanah dan rumah. Cara pembagian warisan
dalam bentuk tanah masih dilakukan dengan cara lisan (berbicara) dengan
memberi patok-patok. Pembagian waris ini harus dihadiri saksi-saksi dari keret-
keret yang lain.98
2) Anak Perempuan;
Berdasarkan hasil penelitian maka dari data yang diperoleh dikatakan bahwa
anak perempuan mempunyai hak atas harta warisan dari orang tuanya. Namun,
besar bagian yang dapat diterima oleh anak perempuan tidak lebih besar dari
anak laki-laki, karena anak perempuan dianggap telah kawin keluar dan masuk
ke dalam keret suaminya (melintas keret). Bahkan, anak perempuan terkadang
tidak diberi bagian haknya oleh orang tuannya. Banyak anak perempuan banyak
yang merasa tidak adil dengan keadaan tersebut, namun hanya dapat diam dan
menunggu bagian yang akan diberikan kepadanya.
3) Anak Angkat;
Besar bagian yang diterima anak angkat berdasarkan hasil penelitian, sebagian
besar menyatakan bahwa bagian anak angkat dan anak kandung adalah sama
besar oleh karena anak angkat telah dianggap masuk dan menjadi anak sendiri.
Anak angkat bahkan mendapat kasih sayang yang sedikit lebih dari anak
kandung baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Anak angkat dalam hal ini
98Wawancara dengan Bapak Jhon Rumansara Mananwir Biak Timur Pada Tanggal 02Agustus 2016
Universitas Sumatera Utara
67
yaitu karena keluarga yang mengangkat anak tersebut tidak mempunyai
keturunan (anak), anak yang diangkat karena orang tua yang menelantarkan anak
tersebut (tidak bertanggungjawab), hal ini biasa terjadi di dalam keluarga/ antara
keluarga dekat. Inilah yang menjadi dasar pada masyarakat Suku Biak dalam
mengangkat anak.99
Orang Biak biasanya tidak membeda-bedakan antara anak kandung dan anak
angkat. Orang Biak kebanyakan memberikan kasih sayang yang lebih kepada
anak angkat baik atas dasar tidak memiliki keturunan atau karena anak angkat
tersebut ditinggalkan oleh orang tuanya yang tidak bertanggungjawab . oleh
sebab itu, dalam hal warisan juga anak angkat dan anak kadung mendapat bagian
yang sama/ sama rata. Hal ini merupakan sedikit perbedaan dari Suku Biak.100
Contoh hal waris terhadap anak angkat yaitu dikatakan oleh mananwir keret
di Biak kota bahwa beliau memiliki 2 (dua) orang anak 1 (satu) anak kandung
dan 1 (satu) lagi anak angkat dan keduanya mendapat kasih sayang yang sama
dengan tidak ada perbedaan, demikian juga dalam menerima warisan.101
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan serta tata cara pembagian dan
besar bagian yang diterima masing-masing ahli waris, maka dapat dikatakan
masyarakat Suku Biak menganut sistem kewarisan individual dan sistem
kewarisan kolektif.
99 Ibu Delila Rumwaropen Perempuan Responden di Biak Kota100 Wawancara dengan Bapak Jhon Rumansara Mananwir di Biak Timur Pada Tanggal 02
Agustus 2016101Wawancara dengan Bapak Tinus Rumwaropen Mananwir Keret di Biak Kota Kampung
Yenures Pada Tanggal 25 Juli 2016
Universitas Sumatera Utara
68
Tabel. 6
Jenis Harta Warisan Dalam Sistem Kewarisan Kolektif dan IndividualPada Masyarakat Suku Biak di Daerah Papua
No Jenis Harta Kewarisan Individual Kewarisan Kolektif
1. Berwujud Harta berwujud yang dapatditerima oleh anak perempuansecara ind ividual dari orangtuanya atau saudara-saudaralaki-lakinya. Contohnyaadalah seperti tanah baboser.
---
2. Tidak berwujud Harta warisan jenis ini hanyadapat diterima oleh anak laki-laki yaitu berupa ilmu/ mistikyang dalam masyarakat Biakdikenal dengan istilah“Borias”. Namun, kepada anakperempuan juga dapat diberidalam hal tertentu yaitu seperti“wor”.
---
3. Dapat dibagi-bagi Harta warisan dari orang tuakepada anak perempuanberupa, perhiasan, piring,gelang (sarak), peralatan dapur(rumah) dan lainnya. Kepadaanak laki-laki berupa rumah,tanah dan harta lainnya yangdapat dibagi-bagi.
---
4. Tidak dapat di
bagi-bagi
---
Harta warisan yanghanya dapat diterimaoleh anak laki-laki dansifatnya tidak dapatterbagi-bagi. Jenis hartawarisan tersebut adalahhak ulayat/ hak milikbersama marga. Contoh:Hak ulayat atas tanah,dusun, pesisir, pantai,laut dan lainnya.
Universitas Sumatera Utara
69
Dari besar bagian yang diterima oleh ahli waris pada masyarakat Suku Biak,
anak laki-laki dan anak perempuan sama-sama mempunyai hak dalam memperoleh
harta warisan dari orang tuanya demikian juga anak angkat. Namun, untuk besar
bagian yang dapat diterima oleh masing-masing ahli waris, ditentukan kembali oleh
orang tua sebagai pewaris.
Universitas Sumatera Utara
70
BAB III
KEDUDUKAN HAK WARIS ANAK PEREMPUAN PADA MASYARAKATSUKU BIAK DI DAERAH PAPUA
A. Perkembangan Kedudukan Anak Perempuan
a. Sejarah munculnya gender
Kesamaan perempuan dan laki-laki dimulai dengan dikumandangkannya
“emansipasi” di tahun 1950 dan 1960-an. Setelah itu tahun 1963 muncul gerakan
kaum perempuan yang mendeklarasikan suatu resolusi melalui badan ekonomi sosial
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Kesamaan perempuan dan laki-laki diperkuat
dengan deklarasi yang dihasilkan dari konferensi PBB tahun 1975, yang
memprioritaskan pembangunan bagi kaum perempuan. Berkaitan dengan itu
dikembangkan berbagai program pemberdayaan perempuan, dan mulai diperkenalkan
tema woman in development (WID), yang bermaksud mengintegrasi perempuan
dalam pembangunan. Sampai akhirnya sekitar tahun 1980-an, berbagai studi
menunjukan bahwa kualitas kesetaraan lebih penting dari pada sekedar kuantitas,
maka tema WID diubah menjadi Woman and Development (WAD).102
Tahun 1992 dan 1993, studi Anderson dan Moser memberikan rekomendasi
bahwa tanpa kerelaan, kerjasama, dan keterlibatan kaum laki-laki maka program
pemberdayaan perempuan tidak akan berhasil dengan baik. Dengan alasan tersebut
maka dipergunakan pendekatan gender yang dikenal dengan Gender and
102Maria Kaban, Kesetaraan Perempuan Dalam Pengambilan Keputusan, (Medan: PustakaBangsa Press, 2011), Hlm. 14
70
Universitas Sumatera Utara
71
Development (GAD) yang menekankan prinsip hubungan kemitraan dan
keharmonisan antara perempuan dan laki-laki.103
Pada tahun 2000 konferensi PBB menghasilkan “The Millenium Development
Goals” (MDGs) yang mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan
perempuan sebagai cara efektif untuk memerangi kemiskinan, kelaparan, dan
penyakit serta menstimulasi pembangunan yang sungguh-sungguh dan
berkelanjutan.104
b. Kedudukan Wanita di Mata Hukum
Segi-segi hukum wanita dalam dapat dirumuskan berbagai ketentuan-
ketentuan hukum yang mempengaruhi peranan dan kedudukan wanita. Adapun
ketentuan-ketentuan hukum yang disoroti dalam tulisan ini terutama yang
menyangkut peranan sentralnya dalam keluarga dan sebagai pencari nafkah (gainful
employment).
Menyoroti kedudukan pria-wanita di dalam hukum yang berlaku di Indonesia
perlu kiranya diketahui asas umum apa yang dipakai sebagai dasar pelaksanaan
hukum di Indonesia sekarang. Berkaitan dengan masalah ini baiklah dicari pada
Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa segala warga Negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Tiap-tiap warga Negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.105
103Ibid
104Ibid.105Lihat Pasal 27 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945
Universitas Sumatera Utara
72
Melalui konsep antropologi diketahui bahwa di dalam masyarakat dengan
teknologi sederhana ini, wanita pun punya kedudukan penting dibanding pria. Hal ini
dapat dijelaskan karena pada masa dimana tinggal teknologi rendah dan pada masa
manusia masih mengembara dalam kelompok-kelompok kecil, bahaya yang paling
besar adalah musnahnya kelompok itu. Karena anggota kelompok ini satu-persatu
meninggal, untuk mempertahankan eksistensi kelompok, jumlah anggota kelompok
sedapat-dapatnya diperbesar dengan menambah kelahiran (bayi-bayi) baru. Disini
fungsi wanita adalah mempertahankan eksistensi kelompoknya dengan melahirkan
(fungsi reproduksi) bayi-bayinya.
Keadaan di mana wanita secara relatif dianggap lebih penting dari pria
menciptakan kondisi di mana kaum wanita lebih mendapat perlindungan dari
pekerjaan-pekerjaan yang memberi kemungkinan akan membahayakan bagi
keselamatan dirinya.
Dengan pemahaman secara fungsional, tampak bahwa dalam unit keluarga
ada dua fungsi utama/ dasar, yakni fungsi untuk membesarkan dan mendidik anak-
anak dan fungsi lain menghasilkan makanan. Agar fungsi ini dapat dilaksanakan
dengan baik, diperlukan adanya pembagian kerja di mana wanita karena fungsi
utamanya melahirkan, maka dia mendapat kedudukan di rumah tangga, sedang fungsi
kedua diberikan kepada pasangan hidupnya (suaminya).
Keadaan tersebut di atas berkembang terus melalui tahap-tahap dan tingkat
budaya masyarakat, sampai sekarang di mana masyarakat telah mengenal teknologi
maju membutuhkan pembagian peran dari lembaga-lembaga masyarakat semakin
Universitas Sumatera Utara
73
khusus dan kompleks. Pembagian peran ini didapati pula dalam unit keluarga
misalnya di mana dulu kondisi wanita demikian rupa, sehingga dia dituntut
kehadirannya untuk tetap dirumahnya.
Dengan adanya pergeseran beberapa fungsi yang dilakukan wanita di rumah,
menciptakan kondisi baru bagi wanita, yang mana wanita tidak berperan sentral lagi
di rumah (konsumtif) sehingga dimungkinkan melakukan fungsi lain di luar rumah,
antara lain turut dalam proses produksi (menciptakan). Keadaan baru ini tentunya
akan mempengaruhi hukum yang berlaku terutama yang menyangkut hak-hak dan
kewajiban-kewajiban wanita.106
B. Gambaran Umum Pendidikan Wanita Indonesia
Di Indonesia, semenjak sistem ko-edukasi (didikan bersama) dan ko-instruksi
(belajar bersama) mulai diperkenalkan maka anak-anak laki-laki dan perempuan
mulai diberi kesempatan menempuh pendidikan dan pengajaran bersama-sama. Pada
mulanya memang ada yang tidak setuju adanya ko-edukasi, karena ada anggapan
bahwa adalah kurang baik akan hal berkumpulnya gadis dengan laki-laki. Sebenarnya
ini tidaklah bertentangan dengan kodrat maupun adat istiadat pada umumnya; dapat
dijumpai atau dilihat dalam kehidupan keluarga. Meskipun dari satu keluarga pada
umumnya terlihat bahwa sebelum anak mengalami masa remaja (puberteits periode)
maka anak laki-laki dan perempuan mendapat pengajaran dan pendidikan bersama.
Apabila pubertas datang, maka hanya di waktu malam saja anak laki-laki dan
106 Ibid
Universitas Sumatera Utara
74
perempuan dipisahkan, tetapi dalam sehari-harinya mereka tetap dapat bergaul seperti
biasa.
Menurut sensus penduduk tahun 1971 di Indonesia sejumlah 60.135.000
orang adalah terdiri dari wanita (50,8%), dan sejumlah 59.008.000 orang adalah laki-
laki. Pada umumnya pendidikan wanita di Indonesia untuk semua golongan umur dari
tingkat membaca dan menulis terus-menerus mengalami kenaikan.
Pendidikan khusus untuk wanita telah diadakan sejak lama. Hanya pada
permulaannya sekolah tersebut masih terbatas untuk wanita Eropa di Indonesia
sebagai realisasi gerakan emansipasi wanita di Eropa. Pada tahun 1876 mulai
didirikan sekolah rendah Eropa untuk wanita yang pertama di Betawi. Sesudah itu
sekolah menengah untuk wanita juga didirikan. Kemudian pengaruh gagasan R. A.
Kartini, pemerintah (Hindia-Belanda) mulai memberikan perhatian kepada
pendidikan kejuruan kewanitaan. Pada tahun 1918 didirikan sekolah Kepandaian
Putri, yang juga memakai nama Huishoud School (Sekolah Rumah Tangga).
Pendidikan ini setingkat Sekolah Lanjutan Pertama sekarang. Lama pendidikan 3
(tiga) tahun dan menerima lulusan HIS (Hollandsch Inlandsches School), HCS
(Hollandsch Chineessches School) dan Schakel School (setingkat Sekolah Dasar
sekarang). Sesudah itu hingga sekarang juga didirikan pendidikan sejenis dari tingkat
SLP sampai tingkat pendidikan tinggi, di mana kemudian proses pembangunan mulai
menyentuh bidang pendidikan ini.107
107Victor Situmorang, Kedudukan Wanita Di Mata Hukum, (Jakarta: PT. Bina Aksara,1988),Hlm. 52
Universitas Sumatera Utara
75
Gambaran pedidikan masyarakat Suku Biak di ambil dari website resmi
Badan Statistik adalah sebagai berikut:
Tabel 7PENDIDIKAN/ EDUCATION
Persentase Penduduk Usia 7-24 Tahun Menurut Jenis Kelamin, KelompokUmur Sekolah, dan Partisipasi Sekolah di Kabupaten Biak Numfor 2015
Sumber Badan Pusat Statistik Kabupaten Biak Numfor, Katalog BPS: 1102001. 9409, BiakNumfor dalam Angka 2016.
(1) (2) (3) (4)
Partisipasi Sekolah
Laki-laki/ male
Perempuan/ Female
Laki-laki + Perempuan
Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional kor, maret 2015
Jenis Kelamin dankelompok umur
sekolah
Tidak/Belumpernah sekolah
Masih Sekolah Tidak sekolah lagi
7-12 2.10 32.75 0.1013-15 0.00 16.66 0.0016-18 0.00 13.25 3.4719-24 0.00 15.02 16.637-24 2.10 77.69 20.21
7-12 0.75 35.22 1.2013-15 0.10 16.39 0.0016-18 0.00 14.70 1.8919-24 0.57 10.91 18.287-24 1.43 77.21 21.37
7-12 1.46 33.92 0.6213-15 0.05 16.53 0.0016-18 0.00 13.94 2.7219-24 0.27 13.08 17.417-24 1.78 77.46 20.76
(1) (2) (3) (4)
Universitas Sumatera Utara
76
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten
Biak Numfor, dapat dilihat bahwa pendidikan anak perempuan di suku Biak cukup
baik. Hal tersebut dapat dilihat pada angka/ jumlah perempuan dan laki-laki yang
masih sekolah ataupun tidak sekolah lagi memiliki angka yang hampir sama. Angka/
jumlah anak perempuan yang masih sekolah adalah 77.21 dan anak laki-laki yang
masih sekolah berjumlah 77.69.
C. Kedudukan Anak Perempuan Sebagai Ahli Waris
1. Kedudukan perempuan Biak sebagai ahli waris
Perempuan pada Suku Biak disebut dengan insos. Kedudukan anak
perempuan dalam hukum adat Suku Biak dapat dijuluki sebagai “Binsyowi” yaitu
“perempuan terhormat” dalam kedudukannya sebagai perempuan Biak. Disebut
sebagai binsyowi oleh karena perempuan yang mempunyai multi fungsi yaitu
perempuan yang dapat mencari nafkah, bisa memberi jiwa, dapat menghasilkan
ekonomi bagi keluarganya misalnya keluarga dapat menerima harta dari pemberian
mas kawin kepada anak perempuannya baik berupa uang, piring dan harta lainnya.
Dalam situasi perangpun perempuan hadir sebagai pendamai dan sebagai penebus
apabila saudaranya telah membunuh/ menjatuhkan korban pada saat perang
tersebut.108
108Wawancara dengan Bapak Gerald Kafiar Ketua Dewan Adat Biak Di Distrik Biak KotaPada Tanggal 03 Agustus 2016
Universitas Sumatera Utara
77
Binsyowi merupakan salah satu gelar adat yang pada umumnya dapat
diberikan kepada anak perempuan yang layak atau memenuhi syarat untuk dapat
menerima gelar tersebut. Adapun beberapa gelar yang diberikan kepada perempuan
Biak sesuai fungsinya di dalam Masyarakat Suku Biak diantaranya adalah:
Tabel. 8Jenis-jenis Gelar Adat Perempuan Biak
Sumber: Wawancara dengan Bapak Jhon Rumansara
No Nama Gelar Makna & Pemberian Gelar
1. Binsyowi Binsyowi artinya adalah perempuan
terhormat. Gelar ini diberikan kepada
anak perempuan yang kuat dan
berintegritas, mempunyai multifungsi
dalam keluarganya.
2. Bin Mambri Bin mambri adalah perempuan yang
mempunyai kekuatan, yaitu selalu
membela kebenaran, tampil sebagai
pemimpin dan membela pihak
perempuan.
3. Bin Serf Bin serf yaitu perempuan yang disayang.
Universitas Sumatera Utara
78
Pemberian gelar-gelar adat tergantung kepada siapa dapat diberikan. Cara
pemberiannya yaitu, seseorang datang dan orang tua melihat dan menilai, kemudian
mereka menggelari pertemuan adat dan menggelari orang tersebut di mana gelar itu
harus dipertanggung jawabkan. Dalam pemberian gelar ini sebelumnya harus
disiapkan piring, gelang dan lainnya kepada seseorang yang akan menerima gelar
adat tersebut.
Gelar-gelar adat yang dapat diberikan kepada anak perempuan yaitu;
“binsyowi”; perempuan yang dihormati, di mana perempuan yang masih ingat akan
saudara-saudaranya, dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan, perempuan
yang punya integritas dan tidak gampang terhadap rayuan dan menikah secara
murnih. “bin mambri”; perempuan yang punya kekuatan, yaitu selalu membela
kebenaran, tampil sebagai pemimpin, membela pihak perempuan dan juga membela
saudara-saudaranya. “bin serf”; perempuan yang disayang, dan lainnya.109
Pada saat ini yang menjadi persoalan dalam hal kaitannya dengan anak
perempuan pada masyarakat Suku Biak yaitu tentang pergeseran nilai-nilai, dimana
perempuan dilihat hanya sebagai nilai komersil. Hal tersebut dilihat dalam hal
perempuan yang akan menikah yang dipikir oleh keluarga hanya harta iyakyaker (mas
kawin), padahal adat yang sesungguhnya adalah bagaimana seorang perempuan dapat
menjadi investasi yang besar bagi keluarga di masa depan. Perempuan juga memiliki
multi fungsi yaitu perempuan dapat melahirkan anak bagi keturunan, dapat mencari
109Wawancara dengan Bapak Jhon Rumansara Mananwir Di Biak Timur Pada Tanggal 02Agustus 2016
Universitas Sumatera Utara
79
makan (bekerja), bisa menjadi perempuan pendamai, dapat melintas keret misalnya
perempuan berasal dari keret Rumwaropen, dia dapat melitas kepada keret Koibur
yaitu melalui pernikahan. Laki-laki tidak dapat melintas keret karena Suku Biak
menganut sistem patrilinealisme.
Kedudukan anak perempuan dalam hukum adat Biak dari penjelasan di atas
sangat dihargai dan mempunyai peran yang penting dalam fungsinya sebagai
perempuan. Oleh sebab itu, jika dihubungkan kedudukan perempuan di dalam hukum
waris adat Suku Biak, maka dari hasil penelitian yang dilakukan terlihat bahwa anak
perempuan dan anak laki-laki mempunyai hak yang sama dalam menerima harta
warisan.110
Tabel. 9
Kedudukan Anak Perempuan Sebagai Ahli Waris
n=30
110 Wawancara dengan Bapak Yan Pitter Yarangga, Ketua Dewan Adat Papua, Pada Tanggal08 Agustus 2016
No. Nama Kecamatan RespondenLaki-laki
Respondenperempuan
Ya Tidak Ya Tidak1. Biak Kota 3 2 4 1
2. Biak Timur 4 1 2 3
3. Biak Utara 2 3 3 2
Total 9 6 9 6
Universitas Sumatera Utara
80
Kedudukan anak perempuan sebagai ahli waris pada Suku Biak dari data
kuesioner yang diperoleh, maka terdapat 18 (delapan belas) orang responden yang
terdiri dari 9 (Sembilan) orang laki-laki dan 9 (Sembilan) orang perempuan yang
menyatakan bahwa anak perempuan merupakan ahli waris. Namun, 12 (dua belas)
responden lagi yang terdiri dari 6 (enam) responden laki-laki dan 6 (enam) responden
perempuan menyatakan bahwa anak perempuan bukan merupakan ahli waris.
Pada dasarnya hanya anak laki-laki yang berhak menerima harta warisan dari
orang tuanya karena anak perempuan dianggap telah kawin keluar (melintas keret).
Perempuan tidak masuk dalam menerima warisan oleh karena perempuan kawin
keluar hal ini dilihat pada sistem kekerabatan patrilineal pada masyarakat Suku Biak.
Perempuan dapat menerima warisan atas dasar toleransi dan kasih sayang dari
saudara-saudaranya dan juga orang tuanya.111
Oleh sebab itu, kedudukan anak perempuan menurut hukum waris adat Suku
Biak di daerah Papua mempunyai hak atas warisan orang tuanya. Namun, karena
dipengaruhi oleh sistem kekerabatan yang dianut yaitu kekerabatan patrilineal, maka
perbedaan antara anak laki-laki dan anak anak perempuan muncul, dimana hak anak
laki-laki lebih diutamakan dari pada hak anak perempuan oleh karena anak laki-laki
dianggap sebagai penerus keturunan. Oleh sebab itu, anak perempuan hanya dapat
menunggu bagian yang akan diberikan kepadanya atas dasar toleransi dari orang
tuanya ataupun saudaranya laki-laki.
111Wawancara dengan Bapak Gerald Kafiar, Ketua Dewan Adat Suku Biak di Papua, PadaTanggal 03 Agustus 2016
Universitas Sumatera Utara
81
D. Porsi Dan Pembagian Untuk Anak Perempuan
Masyarakat Suku Biak menganut sistem kekerabatan patrilineal yaitu menarik
garis keturunan dari klan pihak ayah (laki-laki). Hal ini terlihat dari marga/ Fam yang
dipakai oleh orang Biak yang turun dari marga ayahnya. Melihat dari hal ini jugalah
secara otomatis bahwa kedudukan kaum ayah atau laki-laki dalam masyarakat adat
dapat dikatakan lebih tinggi dari kaum wanita. Namun, bukan berarti kedudukan
wanita lebih rendah, dengan adanya perkembangan zaman yang menyetarakan
kedudukan antara wanita dan pria terutama dalam hal pendidikan.
Hal-hal tersebut di atas sangat mempengaruhi sistem kewarisan adat
masyarakat Suku Biak. Berdasarkan hasil penelitian, banyak masyarakat Suku Biak
yang telah dipengaruhi oleh perkembangan zaman sehingga orang tua dalam memberi
warisan kepada anak-anaknya tidak lagi membedakan antara anak laki-laki dan anak
perempuan. Dalam bahasa Biak dikatakan “Sinan suya su rarwas nana (robena)
subena fara romawa inai subesi” yang artinya kedua orang tua membagikan harta
warisan kepada anak laki-laki dan anak perempuan mereka. Hal ini dikarenakan
orang tua dalam memberikan warisan atas dasar kasih sayang kepada anak-
anaknya.112
Pada Suku Biak anak laki-laki dan anak perempuan sama-sama mempunyai
hak dalam menerima warisan dari orang tuanya. 113 Dari data yang dikumpulkan
banyak yang menyatakan bahwa anak laki-laki dan anak perempuan sama-sama
mendapat warisan hanya bagian anak laki-laki lebih besar dari pada bagian anak
perempuan karena perempuan di anggap kawin keluar.
112 Wawancara dengan Ibu Paula Kafiar di distrik Biak Kota pada Tanggal 11 Agustus 2016113 Wawancara dengan Bapak Yan Pitter Yarangga Ketua Dewan Adat Papua Di Distrik Biak
Kota pada Tanggal 08 Agustus 2016
Universitas Sumatera Utara
82
Anak perempuan pada Suku Biak dari pembahasan sebelumnya dinyatakan
bahwa mempunyai hak yang sama dengan anak laki-laki terhadap harta warisan orang
tuanya. Namun, karena anak perempuan dianggap akan/ telah kawin keluar (melintas
keret) ke keluarga suaminya maka anak perempuan dianggap tidak dapat menerima
warisan. Dalam keadaan demikian anak perempuan merasa tidak adil namun hanya
dapat diam dan menunggu bagian yang akan diberikan kepadanya atas dasar
toleransi/ atau kasih sayang dari orang tua dan saudara-saudaranya laki-laki.
Berdasarkan hasil penelitian maka 75% orang menyatakan bahwa anak
perempuan mendapat bagian warisan dari orang tuanya namun untuk porsi atau
bagian yang diterima anak perempuan tidak lebih besar dari bagian yang diterima
oleh anak laki-laki.
Tabel. 10Bagian Warisan Anak Perempuan
n=30
Dari data kuesioner yang diperoleh, ada 8 (delapan) responden yang terdiri
dari 5 (lima) responden laki-laki dan 3 (tiga) responden perempuan menyatakan
No. Porsi / bagianperempuan
BiakKota
BiakTimur
BiakUtara
Total
L P L P L P1. Menerima ½ bagian
dari orang tua3 1 2 1 - 1 8
2. Menerima seluruhbagian
- - - - - - -
3. Tidak menerima - - - - - - -
4. Menerima sebagiankecil dari orang tuadan saudara laki-
lakinya
2 4 3 4 5 4 22
Universitas Sumatera Utara
83
bahwa anak perempuan menerima ½ (setengah) bagian dari orang tuanya. ½ bagian
yang dimaksud adalah sisa ½ dari warisan orang tuanya yang sudah terbagi. Maka,
sisa ½ bagian tersebut kemudian dibagikan kepada anak perempuan. Sedangkan, 22
(dua puluh dua) responden lagi yang terdiri dari 10 (sepuluh) responden laki-laki dan
12 (dua belas) responden perempuan menyatakan bahwa anak perempuan menerima
sebagian kecil dari orang tua ataupun saudara laki-lakinya. Sebagian kecil yang
dimaksud adalah menurut ukuran/ porsi orang tua ataupun saudara laki-lakinya dalam
memberi warisan kepada saudara perempuannya.
Harta warisan yang diterima oleh anak perempuan dari orang tuanya biasanya
dalam bentuk hibah seperti peralatan-peralatan dapur/ rumah tangga, perhiasan dan
lainnya. Anak perempuan dapat menerima warisan berupa tanah, dusun sagu, dusun
kelapa, pantai atau laut, sungai, danau dan lainnya apabila dihibahkan oleh saudara-
saudaranya laki-laki atau oleh orang tuanya atas dasar kasih sayang. Harta yang
diberikan tersebut akan menjadi hak milik bagi anak perempuan dan tidak dapat
ditarik kembali atau diganggu oleh saudara-saudaranya laki-laki karena hak milik
tersebut sudah menjadi hak mutlak. Hak milik anak perempuan yang dimaksud
adalah hak milik secara adat, untuk kepengurusan sertifikat belum bisa atau tidak
mungkin karena kepemilikannya sangat luas dan besar. Misalnya pembagian pada
saat itu tidak menggunakan atau menarik meter berapa kali berapa akan tetapi orang
tua hanya berbicara menentukan dengan menggunakan patok atau batas-batas
kepemilikan atas tanah tersebut.114
114 Wawancara dengan Bapak Gerald Kafiar Ketua Dewan Adat Biak di Distrik Biak KotaPada Tanggal 03 Agustus 2016
Universitas Sumatera Utara
84
Oleh sebab itu, apabila orang tua maupun saudara-saudara laki-laki hendak
memberi kepada saudara perempuannya maka akan diberikan sebagian kecil saja atas
kesepakatan bersama marga atau keluarganya. Sedangkan, untuk anak laki-laki tidak
dapat diberikan sebagian kecil untuk menjadi hak miliknya seperti halnya kepada
anak perempuan, karena anak laki-laki secara otomatis memiliki warisan leluhur
tersebut dengan hak ulayat yaitu hak milik bersama marga oleh keluarga besar baik
Kakek atau dalam Suku Biak disebut Kamam, bapak dan sampai kepada anak laki-
laki seterusnya secara turun temurun.115
Pada Suku Biak anak perempuan kadang kala diberikan bagian oleh orang tua
atau saudara laki-lakinya. Pemberian ini dalam bentuk hibah oleh saudara laki-laki
kepada perempuan di Suku Biak dikenal dengan istilah “tanah baboser” yaitu tanah
yang diberikan kepada pihak perempuan. Pemberian tanah tersebut atas dasar kasih
sayang di mana saudara laki-lakinya ingat kepada saudara perempuannya yang telah
kawin keluar/ melintas keret. Maka, saudara laki-laki tersebut memberikan tanah
baboser kepada pihak perempuan, supaya suatu hari nanti anak-anak mereka bisa
bekerja dengan saudara perempuannya itu di tanah baboser tersebut. Tanah baboser
itu apabila saudara perempuannya telah meninggal maka tidak dapat ditarik kembali
oleh paman-pamannya atau saudara-saudaranya karena itu sudah menjadi hak milik
dari saudara perempuannya.116
115Wawancara dengan Bapak Gerald Kafiar Ketua Dewan Adat Biak di Distrik Biak KotaPada Tanggal 03 Agustus 2016
116Wawancara dengan Bapak Jhon Rumansara Mananwir di Biak Timur Pada Tanggal 02Agustus 2016
Universitas Sumatera Utara
85
Anak perempuan biasanya dapat menerima borias dari orang tuanya dalam
bentuk lain. Borias yang biasa diberikan orang tua kepada anak perempuan adalah
borias atau ilmu untuk dapat menyembuhkan orang sakit dan juga ilmu untuk
menyanyi atau wor. Cara pemberian borias atau ilmu tersebut dari orang tua kepada
anak-anaknya yaitu diberi dalam bentuk air yang diminum, dalam bentuk batu, tanah,
kayu, daun dan juga angin.
Dari penjelasan mengenai porsi dan pembagian kepada anak perempuan maka
bagian anak perempuan tidak lebih besar dari pada bagian yang diberikan kepada
anak laki-laki. Anak perempuan pada masyarakat Suku Biak juga menerima warisan
dalam bentuk hibah dari saudara laki-lakinya. Warisan yang diberikan oleh orang tua
kepada anak perempuan menjadi hak milik yang tidak dapat di tarik kembali oleh
saudara-saudaranya.
Universitas Sumatera Utara
86
BAB IV
UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA JIKA TERJADI SENGKETA WARISPADA SUKU BIAK DI DAERAH PAPUA
A. Sengketa Warisan Pada Suku Biak
Hukum waris adat Suku Biak di daerah Papua berdasarkan hasil penelitian
pada masyarakat Suku Biak, dikatakan bahwa anak perempuan tidak pernah menuntut
hak warisnya sampai menimbulkan sengketa, baik di dalam keluarga yang membagi
waris maupun sampai ke Lembaga adat Biak.
Jenis-jenis sengketa yang sering terjadi pada masyarakat Suku Biak baik di
dalam keluarga bahkan sampai ke Lembaga adat Biak yang sering ditangani di
antaranya adalah mengenai masalah pelanggaran norma-norma adat, sengketa tanah
adat, pembunuhan dan yang paling banyak ditangani adalah masalah pelanggaran
norma-norma adat tersebut.117
Jenis sengketa yang sering terjadi pada anak perempuan Suku Biak yaitu
mengenai sengketa pelanggaran norma-norma adat di antaranya seperti kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT), anak perempuan yang hamil di luar nikah (kumpul
kebo) dan masalah tanah adat. Tanah adat yang dimaksud adalah tanah yang telah
diberikan oleh orang tua kepada anak perempuan dan saudara-saudaranya mengklaim
kepemilikan atas tanah tersebut. Sengketa tersebut kemudian diproses secara adat di
mana tanah yang dihibahkan tersebut adalah sebagian dari tanah adat yang di proses
117Wawancara dengan Bapak Gerald Kafiar, Ketua Dewan Adat Suku Biak di Papua, PadaTanggal 03 Agustus 2016
86
Universitas Sumatera Utara
87
dan di dalamnya ada pengakuan dan saksi yang mendengar dan melihat bahwa tanah
tersebut merupakan tanah yang telah diberikan oleh orang tuanya kepada anak
perempuan itu. Dengan adanya hal tersebut maka saudara-saudaranya harus mundur
karena tanah itu sudah menjadi hak milik dan bukan merupakan hak ulayat lagi yaitu
hak milik bersama marga.118
Tabel 11
Jenis Sengketa yang Sering Terjadi
Pada Masyarakat Suku Biak
No Jenis Sengketa Objek Sengketa
1. Tanah 1. Kepemilikan atas tanahBaboser yaitu tanahpemberian orang tuayang diberikan kepadaanak perempuannya dankemudian di klaimkembali oleh saudara-saudaranya ataskepemilikan tanahtersebut.
2. Batas-batas tanah adat3. Kepemilikan atas tanah-
tanah ulayat2. Tanjung (pantai) 1. Kepemilikan atas
tanjung yaitu antarapihak marga yang satudengan pihak margayang lain. Contohperebutan TanjungSaruni di Biak Utaraantara keret Noriwari
118Wawancara dengan Bapak Gerald Kafiar, Ketua Dewan Adat Suku Biak di Papua, PadaTanggal 03 Agustus 2016
Universitas Sumatera Utara
88
dan keretRumwaropen.119
3. Kampung/ wilayah 1. Kepemilikan bataswilayah. Contohkepemilikan ataskampung Sor di BiakUtara. Menurut ceritasilsilah keret yangpertama kali datang danmenempati daerah Soradalah keretRumwaropen, olehsebab itu, keretRumwaropen saat iniberusaha merebutkembali kepemilikanatas batas wilayahtersebut.120
B. Penyelesaian Sengketa Warisan Pada Suku Biak
1. Hukum adat Biak tentang penyelesaian sengketa khususnya dalam hukumwaris adat Suku Biak
Siapapun yang ingin mengetahui tentang berbagai lembaga hukum yang ada
dalam suatu masyarakat, seperti lembaga hukum tentang perkawinan, lembaga hukum
tentang pewarisan, lembaga hukum tentang jual beli barang, lembaga hukum tentang
milik tanah dan lain-lain, harus mengetahui struktur masyarakat yang bersangkutan.
Struktur masyarakat menentukan sistem (struktur) hukum yang berlaku di masyarakat
itu, Soepomo menulis: “penyelidikan hukum adat, yang hingga sekarang telah
berlangsung kira-kira 50 (lima puluh) tahun, sungguh membenarkan pernyataan Van
119 Wawancara dengan Bapak Hugo Rumwaropen, Mananwir di Biak Utara pada Tanggal 04Agustus 2016
120Wawancara dengan Bapak Hugo Rumwaropen, Mananwir di Biak Utara pada Tanggal 04
Agustus 2016
Universitas Sumatera Utara
89
Vollenhoven dalam orasinya pada tanggal 02 Oktober 1901; bahwa untuk mengetahui
hukum, maka perlu diselidiki untuk waktu dan di daerah manapun juga, siat dan
susunan badan-badan persekutuan hukum, di mana orang-orang yang dikuasai oleh
hukum itu, hidup sehari-hari. Paling dirasakan gunanya mempelajari masyarakat adat
itu, jikalau kita hendak memahami segala hubungan hukum dan tindakan hukum di
bidang perkawinan menurut adat, di bidang pertalian anak (keluarga) menurut adat
dan di bidang waris menurut adat.121
Hukum adat Biak dalam mengatur masyarakat adatnya atau pun dalam
penyelesaian setiap sengketa-sengketa yang berkaitan dengan masyarakat Suku Biak,
memiliki suatu lembaga adat yang disebut “Aidoram Kankain Karkara Byak” yang
artinya “bermusyawarah, bermufakat untuk memutuskan satu keputusan”.
Musyawarah tersebut dapat berlangsung selama satu sampai dengan dua hari
tergantung dari apa yang dibahas. Lembaga Dewan Adat tersebut memiliki stuktur
kepemimpinan yang telah disusun melalui proses-proses adat yang berlaku. Gedung
Lembaga adat ini terletak di Jalan Majapahit Distrik Biak kota.
Selain adanya Lembaga Dewan Adat yang berlaku mengatur seluruh
masyarakat Suku Biak, adapun Lembaga Kankain Karkara Mnu. Dalam struktur
pemerintahan mnu, atau kampung pada orang Biak dikenal suatu lembaga yang
disebut kankain karkara mnu atau dewan kampung. Dewan tersebut dipimpin oleh
mananwir mnu dan anggota-anggotanya terdiri dari para mananwir keret ialah
kepala-kepala keret, para sinan keret atau tokoh-tokoh tua keret, para mampapok
121Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2006), Hal. 21
Universitas Sumatera Utara
90
(pemuda-pemuda yang kuat baik fisik maupun mental dan yang berani serta
berpengalaman) dan perempuan-perempuan dewasa yang berpengalaman luas.
Tempat berapat atau berunding lembaga tersebut biasanya di halaman terbuka dalam
kampung. Itulah sebabnya lembaga itu disebut juga seriar, artinya berkumpul atau
berapat di luar. Lembaga tersebut selain berfungsi sebagai wadah untuk
merundingkan segala aktivitas yang menyangkut bidang pemerintahan, juga berfungsi
sebagai badan pengadilan yang memutuskan hukuman bagi mereka yang melanggar
ketentuan-ketentuan adat. Masalah-masalah yang dirundingkan dalam bidang
pemerintahan itu meliputi aspek keamanan dan gengsi, aspek ekonomi dan aspek
agama.122
Dalam aspek keamanan dan gengsi, dewan bertugas untuk memutuskan hal-
hal seperti :
a. Berperang terhadap musuh atau tidak;
b. Melakukan ekspedisi pengayauan dan pengkapan budak ke tempat lain (yang
jauh atau dekat);
c. Menerima atau menolak tawaran kampung lain untuk membantu dalam
perang menghadapi lawannya;
d. Bersaing dengan kampung lain untuk berlayar ke tempat-tempat yang jauh
yang belum pernah didatangi oleh orang lain;123
122J.R. Mansoben, Jurnal Sistem Politik Tradisional Etnis Byak Kajian Tentang
Pemerintahan Tradisional. Volume 01 No. 03 Agustus 2003123Unsur bersaing untuk melebihi orang atau kelompok lain sangat kuat dalam kebudayaan
orang Biak. Hal itu disebut fanandi atau korfandi. Wujud fanandi itu antara lain dinyatakan dalam hal
Universitas Sumatera Utara
91
e. Merundingkan pemberian gelar kepada keponakan atau menerima gelar dari
paman.124
Dalam aspek ekonomi, dewan memutuskan hal-hal seperti:
a. Membuat perahu dagang baru;
b. Melakukan pelayaran perdagangan;
c. Melakukan perburuan atau penangkapan ikan untuk kepentingan umum
tertentu;
d. Membuka kebun baru.
Dalam aspek agama, dewan bertugas untuk merundingkan hal-hal seperti:
a. Pembangunan atau perbaikan rumah pemuda, rum sram ;
b. Upacara ern k’bordan insos yaitu upacara inisiasi pemuda dan pemudi;
c. Upacara fan nanggi (nangki) atau upacara persembahan kepada ‘tuhan
langit’:
d. Upacara mansorandak yaitu upacara selamatan bagi seseorang yang untuk
pertama kalinya pergi ke tempat asing.125
mengunjugi tempat-tempat yang jauh letaknya dari Kepulauan Biak-Numfor, seperti Kepulauan RajaAmpat, Ternate, Tidore atau Seram. Keret atau kampung yang warganya mengunjugi tempat-tempatyang lebih jauh letaknya dan belum pernah didatangi mengangkat prestise dimuka kelompok lawanatau orang lain.
124 J.R. Mansoben, Jurnal Sistem Politik Tradisional Etnis Byak Kajian TentangPemerintahan Tradisional. Volume 01 No. 03 Agustus 2003
125 J.R. Mansoben, Jurnal Sistem Politik Tradisional Etnis Byak Kajian TentangPemerintahan Tradisional. Volume 01 No. 03 Agustus 2003
Universitas Sumatera Utara
92
Selanjutnya kedudukan lembaga kankain karkara mnu sebagai lembaga
pengadilan ialah bertugas untuk menyelesaikan atau memutuskan hal -hal seperti:
a. Penetapan pembalasan atau pembayaran atas pembunuhan tertentu;
b. Pembayaran denda karena perbuatan zina;
c. Pembayaran kembali maskawin karena isteri menyeleweng;
d. Menyelesaikan sengketa yang timbul antara warga kampung karena masalah
tanah atau hasil hutan;
e. Pembayaran denda karena menghina orang lain.
Masyarakat Suku Biak di dalam mengatur setiap masyarakat adatnya memiliki
aturan-aturan atau norma-norma adat berlaku. Apabila adanya pelanggaran terhadap
norma-norma adat tersebut maka berlakulah seluruh ketentuan hukum adat.126
Apabila terjadinya sengketa maka dari data yang diperoleh dikatakan bahwa
penyelesaian sengketa dilakukan secara keluarga apabila masalah tersebut tak dapat
diselesaikan secara keluarga maka akan di panggil mananwir, bila mananwir tidak
dapat menyelesaikan masalah tersebut maka diselesaikan melalui Dewan adat di
kantor Lembaga Dewan Adat.127
Adapun dalam penyelesaian masalah pada masyarakat Suku Biak dapat dilihat
dalam skema sebagai berikut:
126J.R. Mansoben, Jurnal Sistem Politik Tradisional Etnis Byak Kajian Tentang PemerintahanTradisional. Volume 01 No. 03 Agustus 2003
127Wawancara dengan Bapak Gerald Kafiar, Ketua Dewan Adat Suku Biak di Papua, PadaTanggal 03 Agustus 2016
Universitas Sumatera Utara
93
Langkah Kedua Langkah Ketiga Langkah Keempat
Langkah Pertama
Hukum adat Biak khususnya dalam penyelesaian sengketa waris adat
berdasarkan pada hasil penelitian maka dikatakan bahwa masalah waris pada
masyarakat Suku Biak sebelum sampai ke pengadilan, harus ada keputusan adat
terlebih dahulu. Apabila perkara tersebut langsung ke pengadilan maka pihak
pengadilan akan bertanya tentang penyelesaian secara adat terlebih dahulu. Hukum
waris adat Biak tidak melihat pembuktian dengan sertifikat tetapi kembali melihat
pembuktian secara adat yaitu dengan adanya saksi yang menyatakan benar atas
kepemilikan tersebut.128
2. Upaya yang dilakukan para pihak dalam penyelesaian sengketa
Upaya yang dilakukan dalam penyelesaian sengketa waris adat dalam
keluarga yang membagi waris adalah sebagai berikut:
128Wawancara dengan Bapak Gerald Kafiar, Ketua Dewan Adat Suku Biak di Papua, PadaTanggal 03 Agustus 2016
Skema Penyelesaian
Sengketa Masyarakat Biak
Konflik
KeluargaKeluarga
Mananwir
KeretKantor
Dewan Adat
Pengadilan
Negeri
Universitas Sumatera Utara
94
1) Kekeluargaan;
Orang tua berperan penting dalam penyelesaian sengketa tersebut, dimana
orang tua dapat mengumpulkan semua anak-anaknya kemudian memberikan
arahan kepada anak-anaknya dan mencari jalan keluar bersama-sama secara
kekeluargaan.
2) Melalui Mananwir keret;
Apabila masalah waris tersebut tidak dapat diselesaikan secara keluarga,
maka akan di panggil mananwir yang bertanggung jawab atas keret keluarga
yang bersengketa, untuk duduk bersama dan mencari penyelesaian bersama
dimana mananwir akan memberi nasehat-nasehat kepada pihak yang
bersengketa.
3) Lembaga Dewan Adat;
Lembaga ini adalah upaya terakhir yang akan di pakai dalam
penyelesaian sengketa khususnya dalam hal waris adat. Pada Lembaga Dewan
adat ini maka para pihak di sidang, kemudian dicari keputusan akhir yang baik
bagi para pihak. Apabila ada pihak yang dinyatakan salah dalam hal ini maka
dewan adat akan memberi sanksi/ hukuman berdasarkan pada hukum adat
Biak.
Universitas Sumatera Utara
95
Penyelesaian sengketa khususnya mengenai hukum waris adat suku Biak,
dapat memilih jalan penyelesaian mana yang dapat ditempuh dengan melihat kembali
keadaan para pihak yang bersengketa.129
129Wawancara dengan Bapak Gerald Kafiar, Ketua Dewan Adat Suku Biak di Papua, Pada tanggal03 Agustus 2016
Universitas Sumatera Utara
96
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pembagian warisan pada masyarakat Suku Biak berlangsung pada saat pewaris
masih hidup. Masyarakat Suku Biak menganut sistem kewarisan individual di
mana para ahli waris menerima warisan secara perorangan yaitu terhadap jenis
harta yaitu harta bersama baik yang berwujud maupun tidak berwujud benda
yang dapat dibagi-bagi. Masyarakat Suku Biak juga menganut sistem kewarisan
kolektif di mana para ahli waris secara bersama-sama mewarisi harta
peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi dalam hal ini terhadap hak ulayat/ hak
milik bersama marga. Anak laki-laki dan anak perempuan sama-sama mendapat
warisan hanya bagian anak laki-laki lebih besar dari pada bagian anak perempuan
karena perempuan dianggap kawin keluar dan laki-laki dianggap sebagai penerus
marga serta pencari nafkah bagi keluarganya.
2. Kedudukan anak perempuan dalam hukum adat Biak sangat dihargai dan
mempunyai peran yang penting dalam fungsinya sebagai perempuan. Oleh sebab
itu, kedudukan perempuan di dalam hukum waris adat Suku Biak sangat kuat
karena anak perempuan berhak sebagai ahli waris sama halnya dengan anak laki-
laki. Namun, warisan yang diterima oleh anak perempuan tidak lebih besar (tidak
sama) dari pada bagian yang diterima oleh anak laki-laki. Anak perempuan selain
96
Universitas Sumatera Utara
97
menerima bagian warisan dari orang tuanya juga menerima bagian warisan yang
diberikan kepadanya atas dasar kasih sayang dari saudara laki-lakinya.
3. Para pihak dalam penyelesaian sengketa khususnya mengenai hukum waris adat
Suku Biak, dapat memilih jalan penyelesaian dengan melihat kembali keadaan
para pihak yang bersengketa. Upaya penyelesaian yang dapat dilakukan adalah
pertama melalui musyawarah secara keluarga, kedua melalui musyawarah
dengan menghadirkan Mananwir atau orang-orang yang dituakan dalam adat dan
ketiga dapat juga melalui Lembaga Dewan Adat Biak yaitu “KanKain Karkara
Byak”.
B. Saran
Adapun saran-saran dalam penelitian tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Dalam mekanisme pembagian menurut hukum waris adat Suku Biak, diharapkan
agar menjaga kerukunan di dalam keluarga dengan lebih memperhatikan hak
waris adat anak perempuan. Hal tersebut agar adanya keadilan yang dapat
dirasakan dan diterima oleh anak perempuan di dalam keluarga, dengan melihat
kesetaraan gender pada saat ini dan perempuan juga sebagai penghasil ekonomi
bagi keluarganya.
2. Diharapkan agar pernyataan bahwa hak anak perempuan dan anak laki-laki
adalah sama terhadap warisan orang tuanya, benar-benar diwujudkan dengan
tidak menganggap bahwa anak laki-laki lebih tinggi kedudukannya dari pada
anak perempuan. Anak perempuan memiliki multi fungsi di dalam keluarga
Universitas Sumatera Utara
98
untuk itu hak anak perempuan harus lebih diperhatikan lagi khususnya dalam
hukum waris adat Suku Biak.
3. Apabila terjadinya sengketa waris di dalam keluarga yang membagi waris,
diharapkan agar dapat menyelesaikannya melalui upaya secara keluarga dengan
bermusyawarah mencari jalan keluar bersama yang menciptakan keadilan
diantara para ahli waris sehingga tidak ada pihak manapun yang merasa
dirugikan. Diharapkan juga kepada para orang tua untuk lebih bijaksana dalam
mengambil keputusan dalam membagi warisan kepada para ahli waris baik anak
laki-laki maupun anak perempuan.
Universitas Sumatera Utara
99
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdurrahman Muslan, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, UMM Press,Bandung, 2009.
Achmadi Abu & Narbuko Cholid, Metodologi Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta,2001.
Adi Rianto, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Garanit, Jakarta, 2004.
Ali Zainuddin H, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,2008.
Dessy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Rafika Aditama, 2005.
Badio Sabjan, Aku Papua Aku Indonesia, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2014.
Haar Ter, Asas-asas dan Tatanan Hukum Adat, Mandar Maju, Bandung, 2011.
Hadikusuma Hilman, Hukum Kekerabatan Adat, Fajar Agung, Jakarta, 1997.
-------------------------, Hukum Waris Adat, Cipta Aditya Bakti, Bandung, 1993.
Kaban Maria, Kesetaraan Perempuan Dalam Pengambilan Keputusan, PustakaBangsa Press, Medan, 2011.
Lubis Solly. M, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994.
Mentansan George, Etnografi Papua, Kepel Press, Yogyakarta, 2013.
Muhammad Bushar, Asas-asas Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006.
Muis, Pedoman Penulisan Skripsi dan Metode Penelitian Hukum, Fakultas HukumUniversitas Sumatera Utara, Medan, 1990.
Nasution Johan Bahder, Metode Penelitian Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008.
Nurtjahjo Hendra, Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat DalamBerperkara di Mahkamah Konstitusi, Salemba Humanika, Jakarta, 2010.
99
Universitas Sumatera Utara
100
Perangin Effendi, Hukum Waris, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.
Prodjodikoro Wirjono, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1980.
Rahardjo Satjipto, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Ramulyo Idris, Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat(Burgerlijk Wetboek), Sinar Grafika, Jakarta, 1993.
Rawls John, Teori Keadilan (A Theory Of Justice), Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2006.
Salman Otje, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Alumni,Bandung, 1993.
Saragih Djaren, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1980.
Shadily Hassan, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2003).
Situmorang Victor, Kedudukan Wanita Di Mata Hukum, PT. Bina Aksara, Jakarta,1988.
Soewondo Nani, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat,
Soekanto Soerjono, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2010.
-----------------------, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press,Jakarta, 1986.
------------------------, Pokok-pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1981.
Sastro Woerjono dan Simorangkir, Pelajaran Hukum Indonesia, Gunung Agung,Jakarta, 1957.
Sugiyo, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, Alfabeta, Bandung,2011.
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2011.
Suparman Eman H, Hukum Waris Indonesia, PT Reika Aditama, Bandung, 2013.
Suryabrata Samadi, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo, Jakarta, 1998.
Universitas Sumatera Utara
101
Wignjodipoero Soerojo, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, PT. Gunung-gunungAgung, Jakarta, 1995.
Wiratha Made, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis,Andi,Yogyakarta, 2006.
B. Peraturan Undang-undang
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
C. Jurnal
Mansoben, J.R, Sistem Politik Tradisional Etnis Byak Kajian Tentang Pemerintahan
Tradisional, Jurnal Antropologi Papua, Volume 01, No. 03 Agustus 2003.
D. Internet
nfokebudayaanpapua.blogspot.com/2010/02/buku-pemetaan-suku-suku-di-tanah-papua_20.html, diakses pada tanggal 16 Maret 2016, Jam 01.45 WIB.
Website Resmi Pemerintah Provinsi Papua, https://papua.go.id/view-detail-page-254/Sekilas-Papua-.html, diakses pada tanggal 17 Maret 2016, jam 00:21 WIB.
http://www.habibullahurl.com/2015/01/teori-keadilan-menurut-aristoteles.html,diakses pada tanggal 18 Maret 2016, 01:40 WIB.
http://akperku.blogspot.co.id/2012/06/atnografi-papua-suku-biak.html, diakses padatanggal 18 Maret 2016.
http://www.subliyanto.id/2010/06/subyek-penelitian-dan-responden.html, diaksespada hari Senin 21 Maret 2016, jam 14:35 WIB.
http://iiesweety.blogspot.co.id/2012/12/objek-penelitian-subjek-penelitian.html,diakses pada hari senin, 21 Maret 2016 Jam 14:21 WIB.
Metodologi Penelitian: Apa Itu Riset atau Penelitian?,diakses, sabtu 12 maret, jam00:52 WIB.
Universitas Sumatera Utara