Post on 20-Oct-2015
description
Abstrak
Latar Belakang
Alergi pada mata mempengaruhi sebagian besar populasi masyarakat dan sering
bersamaan dengan manifestasi alergi yang lainnya. Dalam penelitian ini dievaluasi
prevalensi konjungtivitis alergi dan alergen tersering pada pasien alergi di unit rawat
jalan Thessaloniki, Yunani.
Metode
Jenis penelitian ini yaitu retrospektif tentang pasien alergi yang dirujuk ke klinik
rawat jalan antara 1 Januari 1996 hingga 31 Desember 2010. Mereka mengisi
kuestioner relatif mengenai kondisi alergi mereka. Pasien yang masuk ke dalam
penelitian ini yaitu yang memiliki konjuntivitis alergi yang dikonfirmasi oleh dokter
spesialis mata dan dibagi dalam 4 kelompok. Kriteria yang digunakan adalah adanya
konjungtivitis alergi saja atau dengan komorbitas alergi lainnya. Para pasien
kemudian menjalani tes tusuk kulit (prick test) setelah persetujuan sesuai dengan
pedoman saat ini.
Hasil
Arsip dari 1239 pasien alergi yang dievaluasi dan 497 pasien (40,11%) dengan
manifestasi gejala alergi pada mata dimasukkan dalam penelitian ini. 448 pasien
(90,14%) menderita konjungtivitis alergi dalam hubungannya dengan asma atau
rinitis atau keduanya. Sebanyak 370 pasien menjalani pemeriksaan tes tusuk kulit dan
284 orang diantaranya (124 laki-laki dan 160 wanita) yang positif untuk setidaknya 1
dari 8 alergen yang diuji (76,75%). 166 positif untuk jenis rumput-rumputan
(58,45%), 130 untuk olea Eropa (45,77%), 124 untuk debu tungau (43,66%), 58
untuk cypress (20,42%), 71 untuk Parieta officinalis (25,00%), 67 untuk bulu kucing
(23,59%), 35 untuk bulu anjing (12,32%) dan 32 untuk altenaria (11,26%).
Kesimpulan
Gejala alergi pada mata sangat umum pada pasien dengan rinitis alergi dan asma. Pria
memiliki persentase sedikit lebih tinggi dari tes tusuk kulit positif, kecuali untuk bulu
kucing dan Altenaria. Konjungtivitis harus tidak boleh diabaikan sebagai entitas
alergi ketika mengevaluasi pasien alergi.
Kata kunci: Alergen, Prevalensi, Sensitisasi, Konjungtivitis alergi, Rinitis alergi,
Asma, Tes tusuk kulit.
Latar belakang
Konjuntivitis alergi sering bersamaan dengan rinitis alergi dikenal dengan
“rinokonjungtivitis alergi” terjadi karena tingginya frekuensi dari rinitis alergi dan
asma alergi1-6. Terlepas dari kenyataan bahwa pasien alergi sering timbul dengan
manifestasi lain seperti rinitis, asma, urtikaria atau eksema, gejala okular
mungkin di awal dan indikasi yang paling menonjol dari respon alergi.
Secara umum, diperkirakan bahwa alergi okular mempengaruhi 5-22% dari
populasi7. Terutama di Amerika Serikat, alergi pada mata diperkirakan
mempengaruhi 15-20% dari populasi umum. Mata adalah bagian tersering dan target
untuk berkembanganya dari gangguan inflamasi alergi, meskipun dari fakta bahwa air
mata dapat mencegah dampak alergen, seperti serbuk sari, pada permukaannya8. Mata
merah adalah tanda paling umum pada konjungtivitis alergi. Gejala umum lainnya
berupa gejala mata berair (88%), gatal-gatal (88%), kemerahan (78%), nyeri (75%),
bengkak (72%) atau menyengat (65%)9.
Alergi pada mata merupakan suatu inflamasi, terdiri dari
manifestasi alergi yang bervariasi dengan presentasi yang berbeda
seperti: a) konjungtivitis alergi musiman (Seasonal Allergic Conjunctivitis/SAC),
merupakan yang paling umum, b) konjungtivitis alergi persisten (PerennialAlergic
Conjungtivitis/PAC), c) konjungtivitis papiler raksasa (Giant Papillary
Conjunctivitis/GPC), d) keratokonjungtivitis vernal (Vernal
Keratoconjunctivitis/VKC) dan e) keratokonjungtivitis atopik (Atopic
keratoconjunctivitis/AKC)10. GPC biasanya berhubungan dengan penggunaan lensa
kontak atau disebabkan oleh trauma fisik. Jenis yang paling umum dari alergi pada
mata adalah SAC dan PAC9. AKC dan VKC ditandai dengan peradangan kronis oleh
sistem imun dengan infiltrasi sel T dan mungkin bisa mengancam. Sebaliknya, SAC
dan PAC tetap sembuh dengan sendiri11.
Dalam prakteknya, sekitar 6% dari konsultasi umum praktisi menyangkut
inflamasi atau mata merah, setengahnya karena alergi okular12. Namun, latar belakang
konjungtivitis alergi biasanya diabaikan. Oleh karena itu, konjungtivitis alergi sering
salah terdiagnosis dan akibatnya salah diobati kecuali bila sudah parah dan jadi
keluhan utama saat konsultasi pada klinik spesialisasi. Pengobatan farmakologis
utama mencakup stabilisator sel mast okular topikal atau antihistamin dan
korticosteroid dalam kasus yang lebih parah, obat penekan kekebalan dan
imunoterapi13,14. Evaluasi pasien dengan tes tusuk kulit (SPT) biasanya diabaikan.
SPT mewakili langsung IgE dimediasi reaksi alergi dan dapat memberikan bukti yang
jelas untuk diagnosis dari setiap manifestasi alergi spesifik1,15,16.
Fakta-fakta tersebut dibutuhkan untuk membenarkan dalam mengidentifikasi
prevalensi konjungtivitis alergi pada populasi alergi dan keberadaan konjungtivitis
alergi dengan manifestasi alergi lainnya, sehingga memungkinkan dokter untuk
mengatasi alergi pada mata lebih efektif. Selain itu, identifikasi fekuensi proporsional
dari sensitisasi terhadap alergen yang paling umum memberikan wawasan yang
berguna untuk faktor yang memperburuk dari konjungtivitis alergi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi prevalensi
konjungtivitis alergi tunggal atau bersama dengan rhinitis alergi dan asma dan
melaporkan hasil SPT pada populasi alergi Yunani bagian utara.
Material dan Metode
Ini adalah sebuah penelitian retrospektif mengenai pasien alergi dewasa
yang dirujuk ke klinik rawat jalan antara 1 Januari 1996 dan 31 Desember 2010.
Mereka menyelesaikan kuesioner relatif mengenai kondisi alergi mereka dengan 200
pertanyaan, dibutuhkan sekitar 15 menit untuk mengisi dan dilakukan
dengan bantuan perawat. Kuestioner tersebut di atas digunakan oleh departemen paru
dari Universitas Aristoteles Thessaloniki selama 30 tahun terakhir
dan memberikan informasi yang berkaitan dengan gejala alergi
(mengi, sesak, batuk, dahak, rhinoroea, bersin, mata berair, mata gatal, mata merah),
latar belakang alergi seperti diagnosa medis sebelumnya dan terapi. Pertanyaan
skrining untuk konjungtivitis alergi mengenai mata berair, merah dan gatal.
Setelah kuesioner untuk setiap entitas (asma, rhinitis alergi, konjungtivitis
alergi) diagnosis dikonfirmasi oleh dokter spesialis . Para pasien yang dilibatkan
dalam penelitian yang menderita konjungtivitis alergi dikonfirmasi oleh dokter mata
dan dibagi menjadi 4 kelompok. Kriteria yang digunakan adalah adanya
konjungtivitis alergi saja atau dengan alergi penyerta lainnya. Pasien kemudian
menjalani SPT setelah persetujuan, seperti yang dipersyaratkan oleh Akademi Eropa
Allergology dan Klinis Imunologi dan Joint Council AS Alergi Asma
dan Imunologi17-19. SPT positif untuk setiap 40 alergen yang digunakan dalam setiap
kelompok pasien didata. Selain itu , SPT positif untuk delapan alergen yang paling
umum berdasarkan literatur internasional (campuran rumput, zaitun
Eropa, Parietaria officinalis, cemara, tungau debu campuran,
bulu kucing dan bulu anjing dan Altenaria) dinilai untuk masing-masing
pasien. Ekstrak alergen berasal dari produsen yang sama (Allergopharma - Jerman).
Para SPT dianggap bermakna ketika positif diameter wheal ≥ 3 mm dan
kemerahan ≥ 10 mm, 15 menit setelah tes. Para pasien
diinstruksikan untuk menghindari per os atau penggunaan obat-obatan topikal
antihistamin atau steroid serta anxiolytics 20.
Hasil
1.239 pasien alergi (518 laki-laki - 721 wanita) yang dirujuk ke klinik dan
menyelesaikan kuesioner tersebut. 497 pasien ( 186 laki-laki – 311 perempuan)
berusia 18 hingga 70 tahun (usia rata-rata: 42. 30 untuk laki-laki dan 41,35 untuk
wanita) memiliki gejala mata (40,11%) dan dikategorikan dalam kelompok berikut:
Kelompok 1: 49 dari 497 (9,86%) pasien hanya konjungtivitis (C).
Kelompok 2: 102 dari 497 (20,53%) pasien menderita asma dan konjungtivitis
(A+C).
Kelompok 3: 117 dari 497 (23,54%) pasien mengalami rhinitis dan konjungtivitis
(R+C).
Kelompok 4: 229 dari 497 (46,07%) pasien memiliki ketiga comorbiditas
(conjunctivitis, asma dan rhinitis) (A+R+C).
Sebanyak 370 dari 497 pasien dengan konjungtivitis alergi
di tes SPT (127 pasien menolak untuk menjalani SPT karena alasan sosial-ekonomi).
284 pasien (124 laki-laki - 160 perempuan) memiliki SPT positif untuk setidaknya 1
dari 8 alergen yang paling sering (76,76%).
Allergens JumlahSPT Positif
(%)Jumlah
SPT positif (%)
JumlahSPT positif
(%)Rumput-rumputan
284 166 (58.45%) 124 78 (62.90%) 160 88 (55.00%)
Olive Eropa 284 130 (45.77%) 124 61 (49.20%) 160 69 (43.10%)Tungau debu 284 124 (43.66%) 124 58 (46.80%) 160 66 (41.30%)
Cypress 284 58 (20.42%) 124 30 (24.20%) 160 28 (17.60%)Parietaria officinalis
284 71 (25.00%) 124 35 (28.20%) 160 36 (22.60%)
Bulu kucing 284 67 (23.59%) 124 33 (26.60%) 160 34 (21.30%)Bulu anjing 284 35 (12.32%) 124 15 (12.10%) 160 20 (12.50%)Altenaria 284 32 (11.26%) 124 13 (10.50%) 160 19 (11.90%)
Prevalensi sensitisasi terhadap 8 alergen tersering (rumput, zaitun Eropa,
Parietaria officinalis, cemara, tungau debu, bulu kucing dan bulu anjing dan
Altenaria) dan frekuensi relatif disajikan pada Tabel 1. Hasil di atas menunjukkan
bahwa alergen yang paling sering yaitu rumput campuran 166 (78 laki-laki, 88
perempuan), zaitun Eropa 130 (61 laki-laki, 69 perempuan) dan tungau debu 124 (58
laki-laki, 66 perempuan).
Pria memiliki persentase yang sedikit lebih tinggi dari SPT positif
untuk sebagian besar alergen daripada wanita, kecuali untuk
bulu anjing dan Altenaria dimana perempuan memiliki sedikit
dominan.
Selain itu, yang layak disebut sensitisasi alergen musiman seperti rumput-
rumputan, zaitun Eropa, cypress dan Parietaria officinalis, yang juga dapat
menyebabkan alergi serbuk sari, adalah sangat umum. Sama halnya dengan bukan
alergen musiman seperti tungau debu adalah yang paling sering. Sebaliknya,
sensitisasi terhadap alergen non-musiman lainnya seperti bulu kucing dan bulu anjing
serta Altenaria lebih rendah. Hasil menunjukkan bahwa prevalensi alergi musiman
lebih sering daripada alergen perrenial kecuali debu.
Dalam penelitian ini, pasien dari kelompok 2, kelompok 3 dan kelompok 4,
yang memiliki konjungtivitis dalam hubungannya dengan setidaknya satu co-
morbiditas, adalah 448 (20,53% +23.54% + 46.07%), sedangkan pasien yang hanya
dengan konjungtivitis alergi adalah 49 (9,86 %). Dengan demikian, 90,14 % pasien
dengan konjungtivitis alergi berhubungan dengan asma atau rhinitis atau keduanya.
Hal ini jelas maka konjungtivitis alergi terabaikan karena pasien
ke spesialis karena alasan yang paling mengganggu dari gejala
alergi mereka.
Diskusi
Pasien dalam penelitian ini dievaluasi di unit klinik rawat jalan dan
memberikan gambaran tentang prevalensi konjungtivitis alergi, baik sebagai entitas
terisolasi atau dalam hubungannya dengan alergi pada saluran pernapasan, serta
frekuensi proporsional yang bertanggung jawab terhadap sensitisasi ke 8 jenis alergen
tersering.
Sebanyak 497 (40,11%) dari 1239 pasien diperiksa tes alergi yang
bermanifestasi konjungtivitis alergi. Dalam kelompok ini, konjungtivitis alergi tanpa
adanya manifestasi alergi lainnya, terdeteksi hanya 9.86% dari pasien. Selain itu,
dari 370 pasien yang menjalani SPT, 76,76% positif untuk setidaknya 1 dari 8 alergen
yang diperiksa.
Hal ini mengejutkan dimana tidak ada cukup data detail
dalam literatur internasional mengenai prevalensi konjungtivitis alergi baik sebagai
entitas yang terisolasi atau sebagai co-morbiditas alergi.
Dalam suatu penelitian yang berlangsung di Amerika Serikat dari tahun 1988
sampai 1994, kuesioner khusus digunakan mengenai okular dan gejala alergi pada
hidung dalam hubungannya dengan SPT21. Jumlah total pasien adalah 20010. 1285
(6,4%) dari mereka melaporkan adanya gejala okular, 3294 (16,5%) gejala pada
hidung, 5944 (29,7%) baik mata maupun hidung gejala, dan 9487 (47,4%) tidak ada
gejala sama sekali. 40% dari kohort study melaporkan setidaknya terjadinya satu
gejala ocular pada tahun lalu. Pada usia 50 tahun atau lebih tua, frekuensi gejala
okular terisolasi adalah lebih tinggi karena peningkatan gejala mata kering dalam
kelompok usia ini. Namun demikian, pada pasien yang lebih muda (sampai 50 tahun),
terjadi peningkatan frekuensi gejala hidung baik sebagai manifestasi terisolasi
maupun kombinasi dengan gejala okular. Gejala okular dibandingkan dengan gejala
hidung lebih sering berhubungan sensitisasi terhadap hewan, debu rumah tangga, dan
serbuk sari 21.
Dalam penelitian ini, gejala okular dan konjungtivitis alergi lebih sering
terjadi pada usia yang lebih muda. Selain itu , hasil kami menunjukkan nilai yang
lebih tinggi sensitisasi terhadap serbuk sari dan debu rumah tangga, tetapi lebih
rendah untuk hewan. Hal ini mungkin disebabkan oleh fakta bahwa bulu kucing dan
anjing bukan alergen musiman.
Raukas - Kivioja et al dalam penelitian mereka menunjukkan bahwa
prevalensi konjungtivitis alergi atau rhinitis adalah 34,50% dan prevalensi SPT
positif adalah terbalik terkait dengan usia. Penulis juga melaporkan bahwa sensitisasi
terhadap serbuk sari secara bermakna dikaitkan dengan konjungtivitis alergi22. Dalam
penelitian kami sensitisasi pollen juga tinggi .
Dalam penelitian lainnya oleh Navvaro et al dalam sampel 4991 pasien , yang
datang untuk pertama kalinya ke medis alergi di Spanyol, 55 % didiagnosis memiliki
rinitis alergi, 65 % di antaranya juga menderita konjungtivitis dan 37 % asma 23.
Pollen adalah alergen yang paling sering ( 51 % ) diikuti oleh tungau debu ( 42 % ).
Dalam penelitian kohort kami yang paling sering alergen dengan SPT positif , adalah
rumput campuran (58,45%), zaitun Eropa (45,77%) dan tungau debu
campuran ( 43,66 % ).
Wuthrich et al, mengevaluasi prevalensi dan keparahan gejala pada 509 pasien
bergejala demam di Swiss 24. Konjungtivitis dikonfirmasi pada 93,3% dari kasus
(tanpa manifestasi alergi lain hanya 8%), rhinitis 92% (sebagai entitas yang terisolasi
6,7%) dan asma 24,2%. Kelompok rhinitis menunjukkan gejala paling parah dan
rhinokonjungtivitis kelompok terakhir paling parah. Dalam kelompok usia muda,
konjungtivitis adalah lebih sering dari rhinitis, sedangkan asma meningkat dengan
usia 24. Dalam penelitian kami, konjungtivitis alergi dikonfirmasi 90,14% kasus dan
konjungtivitis terisolasi didiagnosis pada 9,86% pasien, yang menunjukkan
prevalensi yang sama terhadap konjungtivitis dalam dua studi tersebut.
Terakhir, dalam studi populasi di Helsinki oleh Pallasaho et al., Riwayat
keluarga konjungtivitis atau rhinitis ditemukan menjadi faktor risiko yang signifikan
untuk sensitisasi alergi serbuk sari lainnya 25. Dalam penelitian kami riwayat keluarga
tidak dipertimbangkan. Penelitian kami sependapat dengan Pallasaho et al.,
di mana laki-laki berada di risiko yang lebih tinggi untuk gejala alergi daripada
perempuan, untuk setiap serbuk sari dan binatang 25. Selain itu, dalam studi yang
sama itu menunjukkan bahwa tinggal di daerah perkotaan di masa kanak-kanak
sampai 5 tahun pertama dikaitkan dengan risiko yang lebih besar terhadap serbuk sari
apapun.
Meskipun populasi dalam penelitian ini tidak dikategorikan sesuai dengan
daerah di mana mereka tinggal (perkotaan atau pedesaan), pesan penting adalah
bahwa konjungtivitis alergi biasanya gejala tersembunyi dari alergi saluran
pernapasan dan sering salah dianggap sebagai entitas umum dengan rhinitis (rhino-
konjungtivitis). Akibatnya latar belakang alergi konjungtivitis sering diabaikan dan
dokter meresepkan obat tanpa melakukan tes tusuk kulit.
Kesimpulan
Penelitian ini menyoroti bahwa frekuensi konjungtivitis alergi besar pada
populasi alergi dan dengan demikian , dokter mata harus memainkan peran penting
dalam pengelolaan penyakit tersebut. Tanda-tanda, gejala dan pertimbangan latar
belakang konjungtivitis alergi serta prosedur terapi harus dinilai dengan bantuan SPT.
Penting untuk lebih banyak pasien dengan rhinitis alergi dan asma bisa merujuk ke
klinik alergi dan tidak dokter mata.
Biasanya gejala alergi okular sangat umum pada pasien dengan rhinitis alergi
dan asma. Konjungtivitis alergi, tanpa komorbiditas alergi lainnya,
terdeteksi hanya dalam 9,86%. Oleh karena itu, harus diingat sebagai entitas yang
terpisah atau co-morbiditas dengan alergi lain dalam mengevaluasi pasien alergi.
Penggunaan SPT sebagai alat diagnostik memberikan informasi yang berguna
tentang alergen yang bertanggung jawab dan memungkinkan kita untuk memberikan
instruksi dan menyembuhkan pasien lebih efektif.