Post on 28-Dec-2016
UJI VIABILITAS MIKROENKAPSULASI Lactobacillus
casei MENGGUNAKAN MATRIK KITOSAN
SKRIPSI
HENNY PRADIKANINGRUM
1111102000080
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
JAKARTA
DESEMBER 2015
ii
UJI VIABILITAS MIKROENKAPSULASI Lactobacillus
casei MENGGUNAKAN MATRIK KITOSAN
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Farmasi
HENNY PRADIKANINGRUM
1111102000080
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
JAKARTA
DESEMBER 2015
iii
HALAMAN PERSETUJUAN ORISINILITAS
Skripsi ini adalah benar hasil karya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan benar.
Nama : Henny Pradikaningrum
NIM : 1111102000080
Tanda Tangan :
Tanggal : 11 Desember 2015
iv
v
vi
ABSTRAK
Nama : Henny Pradikaningrum
Program studi : Farmasi
Judul skripsi : Uji Viabilitas Mikroenkapsulasi Lactobacillus casei
Menggunakan Matrik Kitosan
Bakteri Lactobacillus casei bersifat tidak patogen dan aman untuk dikonsumsi
sehingga sering digunakan untuk menghasilkan produk probiotik.
Mikroenkapsulasi dapat melindungi sel probiotik dari lingkungan yang dapat
merusaknya. Kitosan merupakan polimer alami, biokompatibel, biodegradable,
dan tidak beracun, serta dapat membentuk mikroenkapsulasi dengan penaut silang
tripolifosfat, sehingga kitosan digunakan sebagai matrik pada mikroenkapsulasi
Lactobacillus casei. Pembuatan mikroenkapsulasi Lactobacillus casei
menggunakan matrik kitosan konsentrasi 2%; 2,5%; 3% dibuat dengan metode
ekstrusi. Mikroenkapsulasi yang terbentuk diukur diameter, jumlah sel
Lactobacillus casei yang terenkapsulasi matrik kitosan dan diuji viabilitas dalam
simulasi cairan lambung (0,2% NaCl, 0,08 M HCl, pH 1,5) selama 120 menit.
Diameter mikroenkapsulasi Lactobacillus casei menggunakan matrik kitosan
berurut-turut 1,25470 mm; 1,66230 mm; 2,03610 mm, jumlah sel Lactobacillus
casei yang terenkapsulasi matrik kitosan konsentrasi 2% 1,8025 x 105 koloni/g,
konsentrasi 2,5% 1,5225 x 104 koloni/g dan konsentrasi 3% <30 koloni/g dan
setelah dilakukan uji viabilitas, jumlah sel Lactobacillus casei tiap 1 gram
berjumlah <30 koloni/g pada ketiga konsentrasi.
Kata kunci : Mikroenkapsulasi, Lactobacillus casei, kitosan, ekstrusi,
simulasi cairan lambung.
vii
ABSTRACT
Name : Henny Pradikaningrum
Major : Pharmacy
Title : Viability Test of Microencapsulation of Lactobacillus casei
Using Matrix Chitosan
Lactobacillus casei bacteria are not pathogenic and safe to eat so often used to
produce probiotics. Microencapsulation of probiotics may protect cells from the
environment that can cause damage. Chitosan is a natural polymer, a
biocompatible, biodegradable, non-toxic and can form a microencapsulated with a
cross linker tripolyphosphate that chitosan is used as a matrix in the
microencapsulation of Lactobacillus casei. The manufacture microencapsulation
of Lactobacillus casei using chitosan matrix concentration of 2%; 2.5%; 3% were
made by extrusion method. Microencapsulation formed was measured diameter,
number of cells Lactobacillus casei encapsulated matrix chitosan and viability
tested in simulated gastric fluid (0.2% NaCl, 0.08 M HCl, pH 1.5) for 120
minutes. Diameter microencapsulation of Lactobacillus casei using a matrix
chitosan respectively 1.25470 mm; 1.66230 mm; 2.03610 mm, number of cells
Lactobacillus casei encapsulated matrix chitosan concentration of 2% 1.8025 x
105 CFU/g, a concentration of 2.5% 1.5225 x 10
4 CFU/g and a concentration of
3% <30 CFU/g and after the viability test, the cell number of Lactobacillus casei
per 1 gram amounted <30 CFU/g on the third concentration.
Keyword : Microencapsulation, Lactobacillus casei, chitosan, extrusion,
simulated gastric fluid.
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi ini. Shalawat serta salam tidak lupa penulis panjatkan kepada junjungan
Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Uji Viabilitas Mikroenkapsulasi
Lactobacillus casei Menggunakan Matrik Kitosan”.
Skripsi ini penulis susun untuk memenuhi salah satu tugas syarat
memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari, penyusunan skripsi ini tidak
akan selesai tanpa bantuan, dukungan, bimbingan, dan doa dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada segenap yang
telah ikut membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih penulis
sampaikan kepada:
1. Ibu Ofa Suzanti Betha, M.Si., Apt. dan Ibu Nelly Suryani, Ph.D., M.Si.,
Apt. sebagai dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu,
kesabaran, dan tenaga untuk membimbing, memberi masukan, memberi
ilmu, memberi nasihat, dan dukungan kepada penulis.
2. Dr. Arief Sumantri, SKM, M.Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Yardi, Ph.D., Apt. selaku ketua Program Studi Farmasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Ibu Nelly Suryani, Ph.D., Apt. selaku sekretaris
Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Seluruh dosen di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu pengetahuan selama
penulis menempuh pendidikan.
5. Kedua orang tua tercinta, bapak Arif Budi Purwanto dan mama Winarti
Sumantri dan Mbah Sumiati tersayang yang tidak pernah lelah untuk
memberikan doa, nasihat, semangat, dukungan moril maupun materil, dan
motivasi kepada penulis dari kecil hingga sekarang.
ix
6. Kakak tercinta Esthi Rekaningsih, Ibu Sundari, Om Mudi atas pemberian
semangat dan mengingatkan penulis untuk selalu ke kampus dan Lutfi,
Panji, Dewi, Dimas, Tantri yang selalu meminjamkan laptopnya, hahaha.
7. Sahabat geng ulang tahun tersayang Khoirunnisa Robbani, Meri
Rahmawati, Ayu Diah Gunardi, Nicky Annisiana Fortunita, Gina Kholisoh,
Wina Oktaviani, Nurul Hikmah Tanjung atas doa, semangat, dukungan,
kebersamaan, persaudaraan, persahabatan, serta selalu menemani penulis
dan mendengarkan cerita penulis.
8. Teman seperjuangan penelitian Qurry Mawaddana dan Gina Kholisoh atas
bantuan, semangat, dan hari - hari di white area selama masa penelitian
hingga penyusunan skripsi.
9. Teman-teman belajar dan bermain penulis Ali, Haidar, Wahidin, Fio, Elsa,
Windi, Brasti, Puspita, Vernanda, Fathiyah, Rhesa, Akas, yang telah
memberikan bantuan dan meramaikan masa perkuliahan penulis
10. Teman-teman Farmasi 2011 khususnya Farmasi 2011 AC atas kebersamaan
dan tawa selama perkuliahan.
11. Kakak laboran yang sabar Kak Lisna, Kak Tiwi, Kak Rahmadi, Kak Eris,
Kak Walid, Mba Rani, Kak Yaenab yang telah banyak membantu penulis
selama penulis melakukan penelitian.
12. Seluruh pihak yang telah banyak membantu penulis dalam penelitian dan
penulisan skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu diperlukan kritik dan saran dari pembaca yang membangun demi
penyempurnaan skripsi ini. Semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi
ilmu pengetahuan khususnya dunia kefarmasian.
Jakarta, Desember 2015
Penulis
x
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Henny Pradikaningrum
NIM : 1111102000080
Program Studi : Strata-1 Farmasi
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK)
Jenis Karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah
saya, dengan judul :
UJI VIABILITAS MIKROENKAPSULASI LACTOBACILLUS CASEI
MENGGUNAKAN MATRIK KITOSAN
untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain, yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian persetujuan publikasi skripsi/karya ilmiah ini saya buat dengan
sebenarnya.
Dibuat di : Ciputat
Pada tanggal : Desember 2015
Yang menyatakan,
Henny Pradikaningrum
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN ORISINILITAS ...................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... v
ABSTRAK .................................................................................................. vi
ABSTRACT ................................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ................................................................................ viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ........... x
DAFTAR ISI ............................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xiii
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xv
BAB 1. PENDAHULUAN .......................................................................... 1
1.1. LatarBelakang........................................................................ 1
1.2. RumusanMasalah .................................................................. 3
1.3. TujuanPenelitian .................................................................... 3
1.4. ManfaatPenelitian .................................................................. 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 4
2.1. Probiotik ................................................................................ 4
2.2. Manfaat Probiotik .................................................................. 6
2.3. Lactobacillus ......................................................................... 8
2.3.1. Lactobacillus casei .................................................. 9
2.4. Mikroenkapsulasi .................................................................. 10
2.5. Bahan Mikroenkapsulasi ....................................................... 13
2.5.1. Kitosan .................................................................... 13
2.5.2. Alginat ..................................................................... 15
2.5.3. Karagenan ................................................................ 16
2.5.4. Dadih Probiotik ....................................................... 16
2.5.5. Gelatin ..................................................................... 17
2.5.6. Selulosa Asetat Ftalat .............................................. 17
2.5.7. Locust Bean Gum dan Pati ...................................... 17
2.6. Metode Mikroenkapsulasi ..................................................... 18
2.6.1. Ekstruksi .................................................................. 18
2.6.2. Emulsi ...................................................................... 18
2.6.3. Spray Drying ........................................................... 19
2.7. Metode Pembuatan Mikropartikel Kitosan ........................... 20
2.7.1. Gelasi Ionik ............................................................. 20
2.7.2. Pengeringan Semprot .............................................. 20
2.7.3. Ikatan Silang Emulsi ............................................... 21
2.7.4. Koarsivasi ................................................................ 21
2.8. Natrium Tripolifosfat............................................................. 22
2.9. Kitosan – Tripolifosfat ......................................................... 23
xii
BAB 3. METODE PENELITIAN .............................................................. 24
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................... 24
3.2. Alat dan Bahan yang Digunakan ........................................... 24
3.2.1. Alat .......................................................................... 24
3.2.2. Bahan ....................................................................... 24
3.3. Prosedur Penelitian ................................................................ 25
3.3.1. Pembuatan Medium MRS Broth ............................. 25
3.3.2. Pembuatan Medium MRS Agar .............................. 25
3.3.3. Peremajaan Lactobacillus casei .............................. 25
3.3.4. Identifikasi Mikroba Uji .......................................... 25
3.3.5. Pembuatan Suspensi Bakteri ................................... 26
3.3.6. Perhitungan Populasi Sel Suspensi
Lactobacillus casei .................................................. 26
3.3.7. Pembuatan Mikroenkapsulasi Lactobacillus
casei Menggunakan Matrik Kitosan ....................... 27
3.3.7.1. Pembuatan Larutan Tripolifosfat ............ 27
3.3.7.2. Pembuatan Larutan Kitosan .................... 27
3.3.7.3. Pembuatan Mikroenkapsulasi ................. 27
3.3.8. Pengukuran Diameter Mikroenkpasulasi
Lactobacillus casei ................................................. 28
3.3.9. Perhitungan Lactobacillus casei
yang Terenkapsulasi ................................................ 28
3.3.10. Uji Viabilitas Mikroenkapsulasi
Lactobacillus casei Pada Cairan Lambung ............. 28
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... 29
4.1. Peremajaan Lactobacillus casei ............................................ 29
4.2. Identifikasi Lactobacillus casei ............................................. 29
4.3. Persiapan Suspensi Lactobacillus casei ................................ 30
4.4. Perhitungan Populasi Sel Suspensi Lactobacillus casei ........ 30
4.5. Pembuatan Mikroenkapsulasi Lactobacillus casei
Menggunakan Matrik Kitosan ............................................... 31
4.6. Perhitungan Lactobacillus caseiI yang Terenkapsulasi ........ 34
4.7. Uji Viabilitas Mikroenkapsulasi Lactobacillus casei
Pada Simulasi Cairan Lambung ............................................ 36
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 38
5.1. Kesimpulan ............................................................................ 38
5.2. Saran ...................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 39
LAMPIRAN ................................................................................................. 43
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Lactobacillus casei ................................................................ 10
Gambar 2.2. Mikroenkapsulasi Bakteri Probiotik ...................................... 11
Gambar 2.3. Prinsip Enkapsulasi ............................................................... 12
Gambar 2.4. Struktur Kitosan..................................................................... 14
Gambar 2.5. Struktur Natrium Tripolifosfat .............................................. 22
Gambar 4.1. Lactobacillus casei Perbesaran 100x ..................................... 27
Gambar 4.2. Mikroenkapsulasi Lactobacillus casei mengggunakan
matrik kitosan ........................................................................ 30
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1. Formula mikroenkapsulasi Lactobacillus casei menggunakan
matrik kitosan ............................................................................. 26
Tabel 4.1. Hasil pemeriksaan organoleptik mikroenkapsulasi
Lactobacillus casei menggunakan matrik kitosan ..................... 29
Tabel 4.2. Hasil pemeriksaan diameter rata–rata mikroenkapsulasi
kitosan tripolifosfat dengan dan tanpa Lactobacillus casei ....... 29
Tabel 4.3. Hasil perhitungan Lactobacillus casei yang terenkapsulasi
matrik kitosan ............................................................................. 31
Tabel 4.4. Hasil pemeriksan ketahanan mikroenkapsulasi
Lactobacillus casei pada simulasi cairan lambung .................... 32
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Alur penelitian ......................................................................... 43
Lampiran 2. Uji Paired Sample t-Test dengan membandingkan ukuran
diameter pada mikroenkapsulasi kitosan 2% dengan
dan tanpa Lactobacillus casei .................................................. 44
Lampiran 3. Uji Paired Sample t-Test dengan membandingkan ukuran
diameter pada mikroenkapsulasi kitosan 2,5% dengan
dan tanpa Lactobacillus casei .................................................. 45
Lampiran 4. Uji Paired Sample t-Test dengan membandingkan ukuran
diameter pada mikroenkapsulasi kitosan 3% dengan
dan tanpa Lactobacillus casei .................................................. 46
Lampiran 5. Uji Paired Sample t-Test dengan membandingkan perbedaan
jumlah free cell Lactobacillus casei dengan jumlah
sel Lactobacillus casei yang terenkapsulasi kitosan 2% ......... 47
Lampiran 6. Uji Paired Sample t-Test dengan membandingkan perbedaan
jumlah free cell Lactobacillus casei dengan jumlah
sel Lactobacillus casei yang terenkapsulasi kitosan 2,5% ...... 48
Lampiran 7. Uji Paired Sample t-Test dengan membandingkan perbedaan
jumlah free cell Lactobacillus casei dengan jumlah sel
Lactobacillus casei yang terenkapsulasi kitosan 3% ............... 49
Lampiran 8. Pembuatan dapar fosfat pH 6,8 ............................................... 49
Lampiran 9. Pengukuran diameter mikroenkapsulasi matrik kitosan
konsentrasi 2%; 2,5%; 3% ....................................................... 50
Lampiran 10.Pengukuran diameter mikroenkapsulasi Lactobacillus casei
matrik kitosan konsentrasi 2%; 2,5%; 3% ............................... 50
Lampiran 11.Perhitungan populasi sel suspensi Lactobacillus casei ........... 51
Lampiran 12.Sterilisasi alat dan bahan ......................................................... 51
Lampiran 13.Gambar peremajaan Lactobacillus casei ................................. 52
Lampiran 14.Gambar koloni suspensi Lactobacillus casei ........................... 52
Lampiran 15.Gambar koloni mikroenkapsulasi Lactobacillus casei matrik
kitosan 2%; 2,5%; 3% ............................................................. 53
Lampiran 16.Gambar mikroenkapsulasi Lactobacillus casei matrik
kitosan setelah simulasi cairan lambung ................................. 54
Lampiran 17.Sertifikat analisa Lactobacillus casei ...................................... 55
Lampiran 18.Sertifikat analisa kitosan .......................................................... 56
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Probiotik didefinisikan sebagai suplemen makanan berupa mikroba hidup
yang memberikan efek menguntungkan pada host dengan meningkatkan
keseimbangan mikroba pada usus (Fuller, 1992). Penggunaan bakteri probiotik
dalam makanan untuk memberikan manfaat kesehatan saat ini tengah diminati
dalam industri makanan (Rokka dan Pirjo, 2010). Salah satu mikroba hidup
yang sering digunakan untuk menghasilkan produk probiotik adalah
Lactobacillus casei karena sifatnya yang tidak patogen dan aman untuk
dikonsumsi. Bakteri ini dapat mengurangi keparahan dan durasi diare,
merangsang sistem kekebalan tubuh dari usus, meredakan gejala-gejala Crohn’s
disease dan memiliki sifat antimikroba yang kuat (Figueroa-Gonzalez dkk,
2011), aktivasi sistem kekebalan mukosa (Islam dkk, 2010) juga diklaim
memiliki hubungan antara anti-hipersensitivitas dan konsumsi susu fermentasi
yang mengandung Lactobacillus. casei (Desai, 2008). Lactobacillus casei tidak
memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dalam keadaan asam seperti pada
kondisi asam di lambung (pH 1,5–2,5) dan pada suhu yang tinggi selama proses
pengolahan (Mandal dkk, 2005). Sehingga diperlukan penambahan zat
pembawa agar probiotik dapat bertahan hidup saat melewati lambung dan dapat
berkoloni di usus (Piano, 2011).
Salah satu upaya untuk meningkatkan ketahanan hidup Lactobacillus
casei maka dibuatlah mikroenkapsulasi. Mikroenkapsulasi strain probiotik
dengan bahan khusus yang resisten terhadap asam lambung mampu melindungi
sel – sel selama transit di lambung dan mampu meningkatkan efektivitas
suplemen probiotik. Konsep mikroenkapsulasi memungkinkan bahan inti
fungsional (sel–sel probiotik) dipisahkan oleh lapisan pelindung dari
lingkungan yang dapat merusaknya (Piano, 2011). Pada penelitian sebelumnya
yang dilakukan Chavarri dkk, 2010 pembuatan mikroenkapsulasi Lactobacillus
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
gasseri menggunakan polimer alginat dan kitosan, dimana kitosan digunakan
sebagai pelapis dari bead alginat. Pelapisan ini dilakukan karena Lactobacillus
gasseri yang terperangkap dalam alginat yang mengandung kitosan memiliki
viabilitas yang lebih tinggi daripada alginat tanpa kitosan. Karena kitosan
memiliki gugus amin bebas bermuatan positif sehingga dapat membentuk
membrane semipermeabel pada sekitar polimer bermuatan negatif seperti
alginat. Membran yang terbentuk tidak larut dalam penaut silang alginat, CaCl2
sehingga dapat meningkatkan stabilitas gel dan membentuk penghalang pada
pelepasan sel (Chavarri dkk., 2010).
Berdasarkan alasan diatas, maka saya melakukan penelitian dengan
membuat mikroenkapsulasi Lactobacillus casei hanya dengan menggunakan
polimer kitosan karena kitosan memiliki gugus amin bebas bermuatan positif
sehingga dapat membentuk membran semipermeabel pada sekitar polimer
bermuatan negatif selain itu kitosan merupakan polimer alami, biokompatibel,
biodegradable, dan tidak beracun, serta memiliki kemampuan dalam
membentuk film (Penihiche dkk, 2003). Penaut silang yang digunakan untuk
membentuk mikroenkapsulasi adalah sodium tripolifosfat, karena tripolifosfat
merupakan multivalen anion yang tidak toksik yang dapat membentuk gel
dengan reaksi sambung silang ionik antara gugus anion dari tripolifosfat dengan
gugus amin bebas bermuatan positif dari kitosan (Rijal dkk, 2010). Proses
penautan silang secara fisika ini tidak hanya menghindari penggunaan pelarut
organik, namun juga mencegah kemungkinan rusaknya bahan aktif yang akan
dienkapsulasi dalam mikropartikel kitosan (Mardliyati, Muttaqien, dan
Setyawati, 2012).
Metode yang digunakan untuk membuat mikroenkapsulasi Lactobacillus
casei adalah metode ekstruksi karena dapat dengan mudah dilakukan,
menggunakan alat sederhana berupa jarum suntik (Kailasapathy, 2002),
bentuknya lebih seragam dari pada metode emulsi, dan tidak menurunkan
kelangsungan hidup Lactobacillus casei karena tidak menggunakan suhu tinggi
(Rokka dan Pirjo, 2010).
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Enkapsulasi dikatakan berhasil jika bahan yang diekapsulasi memiliki
viabilitas sel yang relatif tinggi. Karena itu perlu diuji viabilitas sel
Lactobacillus casei setelah dienkapsulasi. pH merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi viabilitas oleh karena itu, dilakukan uji viabilitas Lactobacillus
casei yang telah terenkapsulasi terhadap simulasi cairan lambung.
Berdasarkan definisi probiotik di atas, uji viabilitas sangat penting
dilakukan agar Lactobacillus casei yang telah terenkapsulasi dengan polimer
kitosan dapat memberikan manfaat ketika dikonsumsi. Penelitian ini difokuskan
untuk mengevaluasi penggunaan polimer kitosan dalam mengenkapsulasi
Lactobacillus casei dengan harapan kitosan dapat meningkatkan viabilitas sel
Lactobacillus casei saat berada di cairan lambung.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh konsentrasi kitosan dalam meningkatkan viabilitas sel
Lactobacillus casei yang telah terenkapsulasi?
2. Bagaimana viabilitas Lactobacillus casei yang telah terenkapsulasi saat
diinkubasi pada simulasi cairan lambung?
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi kitosan terhadap viabilitas
Lactobacillus casei di dalam cairan asam lambung.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
penggunaan kitosan yang digunakan untuk mengenkapsulasi Lactobacillus
casei dan memberikan informasi jumlah sel Lactobacillus casei yang dapat
bertahan setelah dilakukan uji viabilitas pada simulasi cairan lambung.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Probiotik
Probiotik berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘hidup’. Definisi
probiotik menurut Fuller, 1992 adalah suplemen makanan berupa mikrobial
hidup yang memberikan efek menguntungkan pada host dengan meningkatkan
keseimbangan mikroba pada usus. Definisi ini menekankan perlunya probiotik
untuk kehidupan.
Konsentrasi probiotik dalam produk susu komersial biasanya dikisaran
108-10
9 koloni/ml. Konsentrasi ini lebih tinggi dari rekomendasi minimum yang
disarankan oleh Federasi International Dairy (setidaknya 107 koloni/g dalam
produk dengan tanggal kedaluwarsa) (Rokka dan Pirjo, 2010).
Efek menguntungkan dari probiotik pada flora usus manusia termasuk
efek antagonis dan efek kekebalan tubuh. Kultur bakteri probiotik menstimulasi
pertumbuhan bakteri baik, mengkrumuni bakteri yang berpotensial
membahayakan, dan memperkuat mekanisme pertahanan tubuh. Mekanisme
efek anti-patogen mungkin melalui penurunan pH lumen dengan memproduksi
asam lemak rantai pendek seperti asam asetat, asam laktat atau asam propionat,
tidak tersedianya nutrisi penting untuk patogen, mengubah potensi redoks pada
lingkungan, menghasilkan hidrogen peroksida atau memproduksi bakteriosin
atau zat penghambah lainnya (Anal dkk, 2007).
Mikroba yang dapat atau mungkin dapat dipakai sebagai probiotik harus
mempunyai syarat tertentu: (Simadibrata, M, 2011)
1. Merupakan mikroorganisme yang berasal dari manusia (secara
alamiah terdapat di tubuh manusia).
2. Tidak bersifat patogen.
3. Tahan terhadap pemaparan asam lambung dan cairan empedu.
4. Mampu menempel pada dinding saluran cerna dan bertahan dalam
populasi yang banyak.
5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Mampu menghasilkan zat antimikroba dan meningkatkan sistem
imunitas tubuh.
6. Tahan terhadap proses produksi dalam pembuatan sediaan.
7. Secara genetik stabil.
Mekanisme probiotik melindungi atau memperbaki kondisi kesehatan
antara lain dengan menghambat pertumbuhan bakteri pathogen melalui
beberapa cara antara lain dengan: (Simadibrata, M, 2011)
1. Memproduksi substansi–substansi penghambat. Probiotik mampu
memproduksi zat–zat penghambat pertumbuhan bakteri Gram positif
maupun negatif. Zat–zat ini termasuk asam organik, hidrogen
peroksida, bakteriosin, reuterin yang mampu menghambat tidak
hanya bakteri hidup namun juga produksi toksin.
2. Menghambat perlekatan bakteri pathogen dengan berkompetisi di
tempat perlekatan permukaan mukosa saluran cerna diduga juga
merupakan salah satu cara probiotik menghambat invasi dari bakteri
pathogen.
3. Kompetisi nutrisi. Bakteri–bakteri yang menguntungkan (probiotik)
akan berkompetisi dengan bakteri pathogen dalam hal
memperebutkan nutrisi dalam saluran cerna.
4. Merusak reseptor toksin dan mendegradasi toksin.
5. Memperbaiki respon imun melalui peningkatan ekspresi dari
limfosit-B dan sekresi immunoglobulin A baik secara local maupun
sistemik.
6. Meningkatkan resistensi terhadap kolonisasi patogen.
7. Menstimulasi kekebalan (imunitas) lokal dan perifer.
8. Mencegah translokasi mikrobial.
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.2. Manfaat Probiotik
Probiotik dapat digunakan untuk mengatasi berbagai gangguan
kesehatan seperti :
1. Diare
Beberapa penelitian menunjukan bahwa probiotik dapat mereduksi
gejala diare. Hal ini telah dibuktikan dengan mengkonsumsi probiotik
yang mengandung strain Lactobacillus rhamnosus GG dan
Bifidobacterium lactis BB-12 dapat mencegah dan menjadi pilihan terapi
diare akut pada anak yang disebabkan oleh rotavirus. Selain rotavirus,
probiotik juga dapat menghambat bakteri patogen lain seperti Salmonella
dengan menghambat pertumbuhan bakteri patogen dalam mukosa usus
dengan cara kompetisi dalam mengadakan perlekatan dengan enterosit (sel
epitel mukosa) dengan bakteri patogen (WHO, 2002).
2. Melawan infeksi Helicobacter pylori
Helicobacter pylori adalah bakteri gram negatif yang
menyebabkan Gastritis tipe B, tukak lambung dan kanker lambung.
Penggunaan bakteri asam laktat dapat menghambat pertumbuhan bakteri
patogen ini dengan menurunkan aktivitas enzim urease yang diperlukan
patogen untuk tetap berada di lingkungan asam lambung (WHO, 2002).
Adanya asam organik, hidrogen peroksida dan bakteriosin yang
diproduksi oleh Bakteri asam laktat diduga menjadi zat anti mikroba yang
digunakan untuk melawan Helicobacter pylori (WHO,2002).
3. Kanker
Mikroorganisme probiotik dapat mencegah atau menunda
timbulnya kanker tertentu. Hal ini berdasarkan bahwa mikroflora usus
dapat menghasilkan zat karsinogen seperti nitrosamin. Oleh karena itu,
pemberian Lactobacilli dan Bifidobacteria secara teoritis dapat
memodifikasi flora yang mengarah ke penurunan β- glukuronidase.
7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Penurunan resiko kanker usus besar mungkin diperoleh melalui
kontrol pertumbuhan bakteri patogen seperti E.coli, S. faecalis dan C.
paraputrificum pada usus melalui kompetisi alat penempelan dan nutrisi.
Dinding sel bakteri asam laktat menunjukan kemampuannya menstimulir
fagositosis dari magrofag sehingga menekan terbentuknya tumor dan
kanker usus. Enzim-enzim yang berperan untuk mengubah komponen-
komponen prokarinogen menjadi komponen karsinogen seperti β-
glukosidase, β-glukoronidase, nitroreduktase, dan azoreduktase terbukti
ditekan jumlahnya dengan konsumsi susu fermentasi yang mengandung
Bifidobacteria longum dan Lactobacillus acidophillus. Namun, masih
terlalu dini untuk membuat kesimpulan klinis definitif mengenai
kemampuan probiotik dalam pencegahan kanker (WHO, 2002).
4. Gejala IBS (Irritable Bowel Sindrome)
Ada beberapa mekanisme yang diduga menjelaskan pengurangan
gejala IBS dengan probiotik. Probiotik dapat mempengaruhi gejala dengan
menyeimbangkan mikrobiota, dan dengan mengembalikan kemungkinan
penyimpangan produksi gas atau produksi asam lemak rantai pendek.
Banyak probiotik dapat memodulasi sistem kekebalan tubuh misalnya
dengan menyeimbangkan rasio antara pro-inflamasi dan anti-inflamasi
sitokin, sehingga dapat mengurangi kemungkinan tingkat peradangan.
Selain menyeimbangkan mikrobiota dan efek imunomodulator, studi
terbaru juga menunjukkan bahwa probiotik dapat mempengaruhi motilitas
usus. Penelitian secara in vitro pada usus yang diisolasi dari kelinci
percobaan telah menunjukkan bahwa probiotik, khususnya Bifidobacteria,
memiliki efek relaksasi pada usus (WHO,2002).
5. Konstipasi
Kemampuan terapi probiotik untuk mengurangi sembelit (kesulitan
buang air besar, feses yang keras, transit lambat melalui usus) masih
diperdebatkan, tetapi mungkin tergantung strain yang dipilih (WHO,
2002).
8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6. Meningkatkan imunitas saluran cerna
Probiotik akan berinteraksi dengan sistem imunitas saluran cerna
dengan menimbulkan respon imun lokal. Pada dua penelitian terpisah L.
johnsonii LJ-1 (previously L. acidophilus LA1) dan L. salivarius UCC
118 terbukti dapat menstimulasi respon IgA mukosa dan meningkatkan
aktivitas makrofag (WHO, 2002).
7. Alergi
Mekanisme probiotik dalam mengatasi alergi diduga dengan
meningkatan permeabilitas usus, meningkatkan respon spesifik IgA,
meningkatkan penghalang usus melalui restorasi mikroba normal, dan
meningkatkan faktor pertumbuhan beta dan produksi interleukin 10 dan
sitokin yang mempengaruhi peningkatan produksi antibodi IgE (WHO,
2002).
8. Sistem kardivaskular
Ada bukti awal bahwa penggunaan probiotik Lactobacillus
berpotensi memberi manfaat bagi jantung, termasuk pencegahan dan
terapi berbagai sindrom iskemik jantung dan menurunkan serum
kolesterol (WHO, 2002).
9. Bakteri vaginosis
Ada beberapa penelitian klinik menunjukkan bahwa pemberian
oral dan vaginal lactobacillus dapat membasmi asimtomatik dan gejala
Bakteri Vaginosis. Sediaan oral Lactobacillus acidophilus dan yogurt
telah digunakan dalam pencegahan dan terapi vaginitis kandidiasis.
Diduga karena bakteri probiotik menghasilkan hidrogen peroksida yang
mempu membunuh bakteri penyebab vaginosis (WHO, 2002).
2.3. Lactobacillus
Lactobacilli adalah salah satu organisme probiotik yang paling
banyak dan ditandai dengan sifat-sifat yang paling umum seperti Gram
positif, non-bersporulasi, katalase-negatif dan oksidase-negatif, tanpa
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sitokrom, non-aerobik di alam tetapi dapat mentolerir oksigen sampai batas
tertentu, pemilih dan ketat dalam fermentatif. Produk akhir dari fermentasi
gula mereka adalah asam laktat. Lactobacilli memiliki efek menguntungkan
bagi kesehatan usus berupa menimbulkan pencernaan yang mudah, stimulasi
kekebalan tubuh, dan menghambat patogen (Nag, 2011).
2.3.1. Lactobacillus casei
Nama organisme : Lactobacillus casei casei ATCC 393
Domain organisme : Bacterial
Phylogeny : Firmicutes
Genus : Lactobacillus
Species : Lactobacillus casei
Subspecies : casei
Strain : ATCC 393
( https://gold.jgi.doe.gov/project?id=Gp0001198 )
Lactobacillus casei merupakan bakteri Gram-positif, anaerob fakultatif, non
motil, tidak berspora, dan berbentuk batang dengan ukuran: lebar 0,7–1,1
mm dan panjang 2,0–4,0 mm. Bakteri non patogen ini toleran terhadap asam,
tidak dapat mensintesis porfirin, dan memiliki metabolism yang ketat
fermentasi dan asam laktat merupakan produk akhir metabolism utama.
Dalam genus Lactobacillus, bentuk Lactobacillus casei bagian dari klaster
spesies heterofermentatif fakultatif (Grup II), yang menghasilkan asam laktat
dari gula heksosa melalui jalur Embden-Meyerhof dan dari pentosa oleh
jalur 6-fosfoglukonat/phosphoketolase. Pertumbuhan Lactobacillus casei
terjadi pada suhu 15–45 °C pada pH 3,5 atau lebih dan membutuhkan
riboflavin, asam folat, kalsium pantotenat, dan niasin sebagai faktor tumbuh
( http://genome.jgi-psf.org/lacca/lacca.home.html )
10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 2.1. Lactobacillus casei [Sumber: Photo courtesy of Jeff Broadbent, Utah State University]
Menurut Yakult Honsha peranan bakteri Lactobacillus casei dalam
usus manusia adalah: (1) mengatur keseimbangan mikroflora alami di dalam
usus; (2) merangsang usus untuk memproduksi asam organik seperti asam
laktat yang berguna untuk membantu proses pencernaan dan penyerapan zat-
zat; (3) mengurangi junlah bakteri patogen dan pembusuk, serta menekan
produksi senyawa beracun di dalam tubuh seperti amonia, fenol, dan
hidrogen sulfida (Suseno dkk, 200).
Manfaat yang juga didapat dari Lactobacillus casei adalah dapat
mengurangi keparahan dan durasi diare, merangsang sistem kekebalan tubuh
dari usus, meredakan gejala-gejala Crohn’s disease dan memiliki sifat
antimikroba yang kuat (Figueroa-Gonzalez dkk, 2011), aktivasi sistem
kekebalan mukosa (Islam dkk, 2010), juga diklaim memiliki hubungan
antara anti-hipersensitivitas dan konsumsi susu fermentasi yang mengandung
Lactobacillus casei (Desai, 2008), namun Lactobacillus spp. tidak memiliki
kemampuan untuk bertahan hidup dalam keadaan asam seperti pada kondisi
asam di lambung dan empedu dan pada suhu yang tinggi selama proses
pengolahan (Mandal dkk, 2005).
11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.4. Mikroenkapsulasi
Mikroenkapsulasi adalah proses dimana partikel kecil atau tetesan
dikelilingi oleh lapisan untuk menghasilkan mikro kapsul. Konsep
mikroenkapsulasi memungkinkan bahan inti (sel–sel probiotik) dipisahkan dari
lingkungannya oleh lapisan pelindung (Piano, 2011), menurut Corona-
Hernandez dkk, 2013 mikroenkapsulasi adalah proses pembentukan lapisan
dengan matrik hingga bagian dalam terlapisi seluruhnya dan terbentuk dinding
kapsul.
Gambar 2.2. Mikroenkapsulasi bakteri probiotik. Titik titik tersebut
merupakan bakteri dan lingkaran dengan titik – titik merupakan bakteri yang
berinteraksi dengan bahan pelapis. [Sumber: Corona-Hernandez, dkk, 2013]
Mikroenkapsulasi membantu untuk memisahkan bahan inti dari
lingkungannya sampai dilepaskan. Melindungi inti stabil dari lingkungannya,
sehingga meningkatkan stabilitas, memperpanjang umur simpan inti, dan
pelepasan yang berkelanjutan dan terkontrol. Struktur yang terbentuk oleh
bahan mikroenkapsulasi pada sekitar bahan inti dikenal sebagai dinding. Sifat
dari sistem dinding ini dirancang untuk melindungi inti dan untuk
melepaskannya secara terkontrol dalam kondisi tertentu sekaligus
memungkinkan molekul kecil untuk lewat dan keluar dari membran. Ukuran
kapsul berkisar dari submikron hingga milimeter dan memiliki berbagai bentuk
(Kailasapathy, 2002).
12
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 2.3. Prinsip Enkapsulasi: membran penghalang mengisolasi sel dari
sistem kekebalan tubuh host sekaligus memungkinkan pengangkutan
metabolit dan nutrisi ekstraseluler. Membran dengan ukuran pori – pori
selektif (30 – 70 kDa). [Sumber: Kailasapathy, 2003]
Dalam arti luas, enkapsulasi dapat digunakan untuk banyak aplikasi
dalam industri makanan, termasuk menstabilkan bahan inti, mengendalikan
reaksi oksidatif, pelepasan yang berkelanjutan dan terkontrol, menutupi rasa,
warna atau bau, memperpanjang masa simpan, dan melindungi komponen
untuk tidak kehilangan manfaatnya. Food-grade polimer seperti alginat,
kitosan, karboksimetil selulosa (CMC), karagenan, gelatin dan pektin
digunakan dalam berbagai teknologi mikroenkapsulasi (Anal et.al., 2007).
Dibandingkan dengan teknik imobilisasi, teknik mikroenkapsulasi
memiliki banyak keuntungan, diantaranya (Kailasapathy, 2003) mikrokapsul
terdiri dari dinding membran semipermeabel, bulat, tipis, dan kuat;
dibandingkan dengan matrik penjerap, mikrokapsul tidak berinti yang padat
atau gel dan diameter yang kecil membantu mengurangi keterbatasan
perpindahan massa; nutrisi dan metabolit dapat menyebar melalui membran
semipermeabel dengan mudah.
13
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.5. Bahan Mikroenkapsulasi
Berbagai sistem polimer telah digunakan untuk mengenkapsulasi
mikroorganisme probiotik untuk melindungi dari pH rendah dan konsentrasi
empedu yang tinggi dan untuk meningkatkan stabilitas fisik selama proses
pengolahan (Anal dan Harjinder, 2007). Aspek lain yang perlu dipertimbangkan
ketika membuat mikroenkapsulasi probiotik adalah sifat kimia dari bahan
pelapis. Telah ditunjukan bahwa dengan penambahan bahan pelapis pada teknik
mikroenkapsulasi dapat meningkatkan kelangsungan hidup probiotik baik
ketika di dalam makanan ataupun selama melewati saluran pencernaan, namun
bahan pelapis dapat membentuk struktur dengan cara yang berbeda dan oleh
karena itu kemampuan untuk melindungi mikroorganisme hidup dan/ atau
mengantarkan zat bioaktif juga berbeda.
Efektivitas bahan juga bukan hanya tergantung pada kemampuan
membenruk kapsul, kekuatan, dan kemampuan meningkatkan kelangsungan
hidup tetapi juga pada murahnya harga bahan pelapis, availabilitas,
biokompatibilitas. Banyak bahan yang telah digunakan untuk menjerap bakteri,
seperti pembentuk gel polisakarida (seperti pati, selulosa, alginat, pektin,
karagenan, dan kitosan), protein (seperti kedelai, whey, kasein, gelatin, dan B-
laktoglobulin), dan lipid (seperti lilin) ( Corona-Hernandez, dkk, 2013).
2.5.1. Kitosan
Kitosan diproduksi melalui proses deasetilisasi senyawa kitin yakni
komponen utama pada cangkang binatang crustaceae seperti rajungan dan
udang. Kitosan merupakan biopolimer alam, berbentuk polisakarida linier
yang tersusun atas β-(1-4)-linked D-glucosamine dan N-acetyl-D-glucosamine
dengan distribusi acak (Mardliyati, Muttaqien, dan Setyawati, 2012).
14
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 2.4. Struktur Kitosan [Sumber: Islam dkk, 2010]
Kitosan diproduksi melalui proses deasetilisasi senyawa kitin yakni
komponen utama pada cangkang binatang crustaceae seperti rajungan dan
udang. Kitosan merupakan biopolimer alam, berbentuk polisakarida linier
yang tersusun atas β-(1-4)-linked D-glucosamine dan N-acetyl-D-
glucosamine dengan distribusi acak (Mardliyati, Muttaqien, dan Setyawati,
2012).
Kitosan larut dalam sebagian besar larutan asam organik pada pH
kurang dari 6,5 termasuk asam format, asetat, tartrat, dan sitrat. Kitosan tdak
larut dalam asam fosfat dan asam sulfat. Kitosan tersedia dalam rentang
berat molekul dan derajat deasetilisasi yang luas. Berat molekul (BM) dan
derajat deasetilisasi (DD) adalah faktor utama yang mempengaruhi ukuran
partikel, pembentukan partikel, dan agregasi (Irianto dan Muljanah, 2011).
Kitosan merupakan zat yang dapat meningkatkan viskositas dalam
keadaan asam karena berat molekul tinggi dan linier, strukturnya yang
bercabang. Kitosan berfungsi sebagai bahan pseudoplastik, dilihat dari
penurunan viskositas dengan meningkatnya rates of shear. Viskositas larutan
kitosan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi kitosan, penurunan
suhu, dan meningkatkan derajat deasetilasi. Kitosan serbuk stabil pada suhu
kamar, meskipun higroskopis setelah pengeringan. Kitosan harus disimpan
dalam wadah tertutup rapat di tempat sejuk dan kering (Rowe dkk, 2009).
Kitosan menjadi biopolimer alami yang menarik disebabkan adanya
gugus amino reaktif dan gugus fungsional hidroksil. Kitosan memiliki
15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
karakteristik biokompatibilitas yang diinginkan serta kemampuan untuk
meningkatkan permeabilitas membran. Oleh karenanya kitosan merupakan
salah satu matriks imobilisasi yang paling menjanjikan karena memiliki
kemampuan membentuk membran, sifat adhesi yang baik, harga murah,
tidak beracun, kekuatan mekanis, dan hidrofilisitas yang tinggi serta
perbaikan stabilitas (Irianto dan Muljanah, 2011).
Kitosan memiliki beberapa keuntungan misalnya mengandung
sejumlah gugus amin bebas bermuatan positif yang dapat digunakan untuk
reaksi sambung silang dengan gugus lain bermuatan negatif, toksisitas
rendah, biokompatibel dengan jaringan tubuh (Rijal dkk, 2010),
mengendalikan pelepasan bahan aktif, bersifat mukoadesif (Sari, dkk 2012),
untuk flokulasi, menyembuhkan luka, penguat kertas, biomaterial untuk
imobilisasi (Irianto dan Muljanah, 2011).
Dewasa ini kitosan telah banyak diaplikasikan secara komersil pada
industri kimia, pangan, dan farmasi. Kitosan merupakan biomaterial yang
sangat menjanjikan untuk penggunaannya sebagai pembawa pada sistem
penghantaran obat. Sebagai penghantar obat, kitosan telah dikembangkan
dalam berbagai bantuk sediaan farmasi, seperti tablet, bead, microspher, dan
nanopartikel (Mardliyati, Muttaqien, dan Setyawati, 2012).
2.5.2. Alginat
Alginat merupakan polimer linear dari struktur heterogen yang terdiri
dari dua unit monosakarida: α-L-guluronat acid (G) dan asam β-D-
manuronat (M) dihubungkan oleh β (1-4) ikatan glikosidik. Munculnya G
dan M monomer dalam rantai alginat terjadi di blok sequen, tidak secara
acak. Susunan rantai secara luas dijelaskan dalam literatur dan bervariasi
dari satu struktur yang lain. Rasio M / G menentukan fungsi teknologi
alginat. Kekuatan gel sangat penting bahwa proporsi blok G tinggi. Suhu di
kisaran 60° C hingga 80° C diperlukan untuk melarutkan alginat dalam air.
Gel alginat diketahui larut dalam media asam. Keberhasilan penggunaan
16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
alginat dalam mikroenkapsulasi probiotik adalah karena perlindungan dasar
terhadap keasaman terhadap ke sel (Gbassi & Vandamme, 2012).
2.5.3. Karagenan
Karagenan merupakan polimer dari struktur linier yang terdiri dari
unit D-galaktosa dihubungkan oleh ikatan α (1-3) dan β (1-4). Tiga jenis
karagenan yang dikenal: kappa (κ) karagenan, iota (ι) karagenan, dan lambda
(λ) karagenan. κ-karaginan (monosulfat) dan ι-karagenan (bisulfat) memiliki
jembatan oksigen antara karbon 3 dan 6 dari D-galaktosa. Jembatan ini
bertanggung jawab untuk transisi konformasi. Hal ini juga bertanggung
jawab untuk pembentukan gel dari κ-karaginan dan ι-karagenan. λ-
karagenan (trisulfat) yang tidak memiliki jembatan ini tidak dapat
membentuk gel. Pembentukan gel karagenan diinduksi oleh perubahan suhu.
Kenaikan suhu (60 sampai 80 °C) diperlukan untuk melarutkan dan
pembentukan gel terjadi dengan pendinginan sampai suhu kamar. Karagenan
umumnya digunakan sebagai zat tambahan makanan; keamanannya telah
disetujui oleh beberapa instansi pemerintah termasuk FDA, Codex
Alimentarius dan FAO/WHO. Menggunakan karagenan dalam
mikroenkapsulasi probiotik karena kemampuannya untuk membentuk gel
sehingga dapat menjerap sel. Namun, sel harus ditambahkan pada suspensi
sterilisasi panas antara 40 dan 45 °C, jika gel mengeras pada suhu kamar
(Gbassi & Vandamme, 2012).
2.5.4. Dadih Protein
Dadih protein biasanya digunakan karena karakter amfoternya. Dapat
dengan mudah dicampur dengan polisakarida bermuatan negatif seperti
alginat, karagenan atau pektin. Ketika pH disesuaikan di bawah titik
isoelektriknya, muatan dari protein menjadi positif, menyebabkan interaksi
dengan polisakarida bermuatan negatif (Gbassi & Vandamme, 2012).
17
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.5.5. Gelatin
Gelatin sering digunakan dalam industri makanan dan farmasi.
Gelatin adalah protein yang diperoleh dari hidrolisis parsial kolagen yang
berasal dari hewan. Gelatin memiliki struktur yang sangat khusus dan sifat
fungsional serbaguna, dan membentuk larutan viskositas tinggi dalam air,
yang membentuk gel selama pendinginan. Gelatin tidak membentuk beads
namun masih bisa dianggap sebagai bahan untuk mikroenkapsulasi (Gbassi
& Vandamme, 2012).
2.5.6. Selulosa Asetat ftalat
Selulosa asetat ftalat adalah polimer yang tidak larut pada pH di
bawah 5 tetapi larut ketika pH lebih besar dari 6. Kelarutan ini sangat
penting untuk probiotik enkapsulasi karena biomaterial tidak harus larut
dalam lambung, tetapi larut dalam usus. Kerugian dari selulosa asetat ftalat
adalah tidak dapat membentuk beads gel dengan ionotropik pembentukan
gel; hanya kapsul yang telah dikembangkan oleh emulsifikasi menggunakan
biomaterial ini. Selulosa asetat ftalat banyak digunakan sebagai agen pelapis
(Gbassi & Vandamme, 2012).
2.5.7. Locust Bean Gum dan Pati
Locust bean gum dan pati biasanya dicampur dengan alginat atau
karagenan untuk mengembangkan beads gel atau kapsul. Interaksi tertentu
terjadi selama pencampuran. Rasio antara proporsi masing-masing
biomaterial sebelum pencampuran sangat penting (Gbassi & Vandamme,
2012).
18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.6. Metode Mikroenkapsulasi
2.6.1. Ekstruksi
Teknik tertua dan paling umum untuk menghasilkan kapsul dengan
bahan hidrokoloid (misalnya, alginat dan karagenan) meliputi penyiapan
larutan hidrokoloid, penambahan mikroorganisme dan pembentukan tetesan
dengan mengekstrusi suspensi melalui jarum suntik (skala laboratorium)
atau alat pengekstrusi (skala pilot) untuk bebas jatuh ke dalam larutan
pengerasan (misalnya kalsium klorida). Ukuran dan bentuk dari kapsul yang
terbentuk tergantung pada diameter nozzle dan jarak antara nozzle dengan
larutan CaCl2. Metode ini sederhana dan biaya yang efektif. Tidak
menyebabkan kerusakan sel dan menghasilkan kelangsungan hidup sel yang
tinggi. Teknologi ini tidak menggunakan pelarut berbahaya dan dapat
dilakukan di kondisi aerob dan anaerob. Kerugian utama dari metode ini
adalah sulit untuk digunakan dalam produksi skala besar karena
pembentukan mikrosfer yang lambat (Serna-Cock dkk, 2013).
Produksi massal mikroenkapsulasi dapat dicapai dengan sistem multi-
nozzle, cakram atomizer yang berputar atau dengan teknik jet cutting. Sistem
sentrifugal menggunakan sistem multi-nozzle atau cakram berputar juga
telah dikembangkan untuk produksi massal mikrokapsul. Proses ekstrusi
sentrifugal adalah proses co-extrusion cair memanfaatkan nozzle yang terdiri
dari lubang konsentris yang terletak di lingkar luar silinder yang berputar.
Bahan cair atau inti dipompa melalui lubang bagian dalam dan bahan
pelindung cair melalui lubang luar membentuk batang dari bahan inti yang
dikelilingi oleh bahan pelindung. Sebagai sistem yang berputar, hasil
ekstruksi berupa batang memecah menjadi tetesan yang membentuk kapsul
(Kailasapathy, 2002).
2.6.2. Emulsi
Teknik ini menambahkan sedikit dari volume suspensi hidrokoloid
yang mengandung mikroorganisme (fase diskontinyu) ke minyak nabati (fase
19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kontinyu). Campuran dihomogenisasi untuk membentuk emulsi air dalam
minyak dengan menggunakan emulsifier. Setelah emulsi terbentuk, gel kapsul
terbentuk dalam fase minyak (Serna-Cock dkk, 2013) kemudian dicuci untuk
menghilangkan minyak (Kailasapathy, 2002).
Teknik emulsi ini relatif baru dalam industri makanan dan mudah
untuk skala besar. Teknik ini mengenkapsulasi dan menjerap bahan inti.
Ukuran partikel yang terbentuk lebih kecil (25 µm-2 mm) dari ukuran partikel
yang dibentuk dengan metode ekstrusi (2-5 mm). Ukuran partikel yang
dibentuk oleh ekstrusi tergantung pada ukuran jarum, sedangkan ukuran
partikel yang dihasilkan oleh emulsifikasi tergantung pada kecepatan agitasi
dan jenis emulsifier. Kerugian utama dari metode ini adalah menghasilkan
ukuran dan bentuk yang beragam, kebutuhan minyak nabati dalam formulasi
dapat meningkatkan biaya operasi bila dibandingkan dengan metode ekstrusi
(Serna-Cock dkk, 2013) dan mungkin tidak cocok untuk pengembangan
aplikasi produk makanan rendah lemak (Kailasapathy, 2002).
2.6.3. Spray Drying
Spray drying adalah teknik yang tepat untuk industri dalam skala
besar. Campuran cairan diatomisasi dalam tangki menggunakan nozzle atau
cakram dan pelarut menguap setelah berkontak dengan udara panas atau gas.
Penerapannya dalam Lactobacillus spp. dan Bifidobacterium banyak diminati
(Serna-Cock dkk, 2013).
Keuntungan dari proses ini adalah dapat dioperasikan secara terus
menerus. Kelemahannya adalah suhu tinggi yang digunakan dalam proses
mungkin tidak cocok untuk enkapsulasi bakteri probiotik. Namun,
penyesuaian yang tepat dan pengontrolan kondisi pengolahan seperti suhu
inlet dan outlet dapat mencapai viabilitas enkapsulasi dan distribusi ukuran
partikel yang diinginkan (Kailasapathy, 2002).
20
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.7. Metode Pembuatan Mikropartikel Kitosan
2.7.1. Gelasi Ionik
Gelasi ionik, merupakan metode yang banyak menarik perhatian
peneliti dikarenakan prosesnya yang sederhana, tidak menggunakan pelarut
organik, dan dapat dikontrol dengan mudah. Prinsip pembentukan partikel
pada metode ini adalah terjadinya interaksi ionic antara gugus amino pada
kitosan yang bermuatan positif dengan polianion yang bermuatan negatif
membentuk struktur network inter- dan/atau intramolekul tiga dimensi
(Mardliyati, Muttaqien, dan Setyawati, 2012).
Gelasi ionik terdiri dari tautan silang ion kitosan dengan ion lawan
yang multivalent: Fe(CN)64-
, Fe(CN)63-
, dan sitrat. Natrium tripolifosfat,
TPP, umumnya digunakan untuk memancing gelasi ionik kitosan (Peniche
dkk, 2003). Mekanisme pembentukan kitosan dengan metode ini didasarkan
pada interaksi elektrostatik antara grup amina kitosan dengan grup muatan
negatif polianion tripolifosfat (TPP). Akibat kompleksasi antara muatan
yang berbeda, kitosan mengalami gelasi ionik dan presipitasi membentuk
partikel bulat seperti bola (Irianto dan Muljanah, 2011). Mikropartikel dapat
diperoleh dengan penambahan larutan kitosan ke dalam larutan TPP atau
sebaliknya disertai dengan pengadukan. Ukuran partikel sangat tergantung
pada konsentrasi larutan (Peniche dkk, 2003).
2.7.2. Pengeringan Semprot
Metode ini didasarkan pada pengeringan droplet atom dalam aliran
panas. Di dalam metode ini, pertama–tama kitosan dilarutkan atau
didespersikan dalma larutan dan kemudian ditambahkan bahan yang tepat
untuk pembentukan ikatan silang. Larutan atau disperse ini diatomisasi
dalam aliran udara panas untuk pembentukan droplet kecil. Dari proses ini,
pelarut secara instan menguap dan menghasilkan partikel yang bergerak
bebas. Ukuran partikel tergantung pada ukuran nozel, kecepatan aliran
semprot, tekanan atomisasi, suhu udara inlet, dan tingkat ikatan silang
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Irianto dan Muljanah, 2011). Namun, meskipun banyak keuntungan dari
metode spray drying, suhu tinggi diperlukan untuk memfasilitasi penguapan
air sehingga menurunkan kelangsungan hidup probiotik dan mengurangi
manfaat probiotik dalam produk akhir (Rokka dan Pirjo, 2010).
2.7.3. Ikatan Silang Emulsi
Metode ini menggunakan grup amina fungsional reaktif dari kitosan
berikatan silang dengan grup aldehid dari agen ikatan silang. Pada metode
ini, emulasi air dalam minyak (a/m) disiapkan dengan mengemulsikan
larutan encer kitosan dalam fase minyak. Droplet encer distabilkan dengan
menggunakan surfaktan yang tepat. Emulsi yang stabil direaksikan dengan
bahan yang tepat agar terjadi ikatan silang, misalnya glutaraldehid, untuk
mengeraskan droplet.Microsphere disaring dan dicuci berulang kali dengan
n-heksana diikuti dengan alkohol kemudian dikeringkan. Dengan metode ini,
ukuran partikel dapat dikontrol dengan mengendalikan ukuran droplet encer.
Tetapi ukuran partikel produk akhir tergantung pada kemampua bahan katan
silang yang digunakan mengeraskan dan kecepaan pengadukan selama
pembentukan emulsi (Irianto, H. E., dan Muljanah, I., 2011).
2.7.4. Koarsivasi
Metode ini memanfaatkan sifat fisikokimia kitosan yang tidak larut
pada medium dengan pH alkali, sehingga presipitasi/koarsivasi terjadi pada
saat kontak dengan larutan alkali. Partikel dihasilkan dengan memancarkan
larutan kitosan pada larutan alkali seperti natrium hidroksida, NaOH-
metanol atau etanadiamin menggunakan nozel udara bertekanan untuk
membentuk droplet koaservat. Separasi dan purifikasi dari partikel dilakukan
dengan filtrasi/ sentrifugasi yang diikuti pencucian dengan air panas dan air
dingin secara berurutan. Variasi tekanan udara atau diameter nozel
digunakan untuk mengatur ukuran partikel. Pada teknik lain, larutan natrium
sulfat ditambahkan tetes demi tetes pada larutan kitosan dalam asam encer
22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang mengandung surfaktan dengan pengadukan dan ultrasonikasi selama 30
menit. Microsphere dimurnikan dengan sentrifugasi dan disuspensi kembali
dalam air yang telah didemineralisasi. Partikel ditambahkan dengan
glutaraldehid agar terjadi ikatan silang (Irianto dan Muljanah, 2011).
2.8. Natrium Tripolifosfat
Gambar 2.5. Struktur Natrium Tripolifosfat
[sumber: http://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/24455#section=Top]
Natrium tripolifosfat adalah serbuk berwarna putih. Kelarutan natrium
tripolifosfat dalam air (g/100 ml) pada suhu 25 °C adalah 20 gram, pada suhu
100 °C adalah 86,5 gram. Larutan tripolifosfat 1% pada suhu 25 °C memiliki
pH 9,7-9,8. Stabilitas natrium tripolifosfat lebih tinggi daripada metafosfat,
tetapi lebih tidak stabil dibandingkan dengan tetrasodium pirofosfat
(http://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/24455#section=Top).
Natrium tripolifosfat merupakan bahan tambahan makanan,
penambahan natrium tripolifosfat untuk memperbaiki daya ikat air,
meningkatkan pH, memberikan sifat pasta yang lebih lembut pada produk-
produk olahan, mencegah denaturasi protein, sebagai pengawet serta
mempertahankan sifat gel (Suryaningsih dan Putranto, 2011).
23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.9. Kitosan-Tripolifosfat
Tripolifosfat merupakan multivalen anion yang tidak toksik yang dapat
membentuk gel dengan reaksi sambung silang ionik antara gugus anion dari
tripolifosfat dengan gugus amin bebas bermuatan positif dari kitosan.
Meningkatnya jumlah dan menurunnya pH larutan tripolifosfat menyebabkan
jumlah gugus negatif tripolifosfat yang reaksi sambung silang ionik dengan
gugus positif dari kitosan semakin banyak sehingga memperlambat pelepasan
obat dari mikropartikel. (Rijal, Mikail, dan Sari, 2010).
Reaksi sambung silang kitosan dengan tripolifosfat secara ionik terjadi
lebih banyak pada pH rendah dibandingkan pada pH tinggi. Pada pH rendah
atau asam, tripolifosfat lebih banyak terionisasi dalam bentuk ion -P3O105-
dibandingkan bentuk ion –OH-. Sedangkan pada pH yang lebih tinggi atau basa,
tripolifosfat lebih banyak terionisasi dalam bentuk ion –OH-
dibandingkan
dalam bentuk ion –P3O105-
. Reaksi sambung silang secara ionik terjadi antara
ion –P3O105-
dari tripolifosfat dengan ion –NH+
3 dari kitosan, sedangkan reaksi
antara ion –OH- dari tripolifosfat dengan ion –NH
+3 dari kitosan terjadi secara
deprotonasi (Rijal, Mikail, dan Sari, 2010).
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Formulasi Sediaan Steril,
Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia, dan Laboratorium Kimia Obat pada
bulan Februari 2015–selesai.
3.2. Alat dan Bahan yang Digunakan
3.2.1. Alat
Alat–alat yang digunakan antara lain syringe (Terumo) dan jarum
25G (Terumo), pipet volume (Pyrex), labu ukur (Pyrex), gelas piala (Pyrex),
erlemeyer (Schott Duran), tabung reaksi (Pyrex), batang pengaduk, spatula,
mikropipet (Bio-Rad), pH meter (Horiba), alumunium foil, kertas perkamen,
vortex, neraca analitik (Ogawa Seiki), oven (Memmert) autoklaf (ALP),
termometer, cawan petri (Petriq), inkubator, lemari pendingin (Sanyo),
spreader, api bunsen, Laminar air flow (Ogawa Seiki), shaker incubator,
dan coloni counter (Rocker).
3.2.2. Bahan
Bahan–bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain
Lactobacillus casei ATCC 393 (PT Dipa Puspa Labsains, Indonesia),
Kitosan (food grade dengan viskositas 31,75 cps, dan derajat deasetilasi
86,51%, Biotech Surindo, Cirebon), Medium MRS Broth (Oxoid), Medium
MRS Agar (Oxoid), asam asetat glacial (Merck, Jerman), natrium
tripolifosfat, larutan NaCl 0,9% steril, kalium dihidrogenfosfat (Merck) dan
aquadest steril.
25
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3. Prosedur Penelitian
3.3.1. Pembuatan Medium MRS Broth
Sebanyak 52 gram serbuk MRS ditambahkan 1 liter aqua destilata
dan dipanaskan pada suhu 60 ºC. Lalu disterilkan dengan autoklaf pada suhu
121 °C selama 15 menit (Oxoid, 1998).
3.3.2. Pembuatan Medium MRS Agar
Sebanyak 62 gram serbuk MRS ditambahkan 1 liter aqua destilata
lalu dipanaskan hingga melarut. Lalu disterilkan dengan autoklaf pada suhu
121 °C selama 15 menit (Oxoid, 1998).
3.3.3. Peremajaan Lactobacillus casei
Peremajaan Lactobacillus casei dilakukan dengan menggoreskan 1
ose jarum secara zigzag pada tabung reaksi steril yang berisi MRS agar
miring, tabung ditutup dengan kapas. Diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 24
jam. Didapatkan kultur stock.
3.3.4. Identifikasi Mikroba Uji
Lactobacillus casei yang telah diremajakan diambil 1 ose kemudian
digoreskan pada permukaan kaca objek yang telah ditetesi NaCl 0,9%
kemudian difiksasi dengan panas bunsen hingga membentuk noda pada kaca
objek. Setelah itu diteteskan dengan gentian violet sebanyak 1 tetes, diamkan
selama 1 menit lalu dicuci dengan aquadest hingga warna luntur lalu
dikeringkan. Selanjutkan diteteskan kembali dengan larutan lugol sebanyak
1 tetes, diamkan selama 1 menit lalu dicuci dengan aquadest dan
dikeringkan. Kemudian diteteskan kembali dengan alkohol sebanyak 1 tetes,
dicuci dengan aquadest dan dikeringkan. Selanjutkan diteteskan kembali
dengan larutan safranin sebanyak 1 tetes, diamkan selama 1 menit lalu dicuci
dengan aquadest dan dikeringkan. Setelah itu preparat tersebut diamati
dengan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 100x (Pratiwi, 2008).
26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3.5. Pembuatan Suspensi Bakteri
Sebanyak 1 ose Lactobacillus casei yang diambil dari kultur stock
diinokulasi dalam 10 mL MRS broth lalu diinkubasi pada suhu 37° C selama
24 jam di shaker incubator. Kemudian kultur dipindahkan ke dalam 100 ml
MRS broth lalu diinkubasi kembali pada suhu 37 °C selama 24 jam di
shaker incubator. Sel dipanen dengan sentrifugasi 4400 rpm selama 10
menit pada suhu 4 °C. Kemudian dilakukan pencucian dua kali, supernatan
dibuang dan endapan sel disuspensikan dengan larutan NaCl 0,9% steril lalu
disentrifugasi, supernatan dibuang. Endapan sel disuspensikan kembali
dengan larutan NaCl 0,9% steril dan didapatkan suspensi sel Lactobacillus
casei (Mandal dkk, 2006). Kemudian dilakukan perhitungan populasi sel
pada suspensi Lactobacillus casei tersebut.
3.3.6. Perhitungan Populasi Sel Suspensi Lactobacillus casei
Perhitungan populasi sel pada suspensi Lactobacillus casei dilakukan
dengan cara melakukan pengenceran hingga 109 koloni/ml. Pengenceran
dilakukan dengan mengambil sebanyak 1 ml suspensi Lactobacillus casei
menggunakan mikropipet kemudian dimasukan ke dalam tabung reaksi steril
yang berisi 9 ml NaCl 0,9% streil lalu divortek. Setelah itu suspensi
Lactobacillus casei yang telah dilakukan pengenceran kemudian diambil
sebanyak 100 µl dengan menggunakan mikropipet kemudian dimasukan ke
dalam cawan petri steril yang telah berisi MRS agar steril setelah itu
dilakukan penggoresan metode spread dengan menggunakan batang L steril
hingga permukaan MRS agar kering. Selanjutnya cawan petri tersebut
dimasukan kedalam inkubator untuk diinkubasi selama 48 jam pada suhu
37°C. Koloni yang tumbuh kemudian dihitung dengan menggunakan colony
counter. Perhitungan jumlah total koloni dengan rumus (Yousef dan
Carolyn, 2003):
27
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3.7. Pembuatan Mikroenkapsulasi Lactobacillus casei Menggunakan Matrik
Kitosan
Tabel 3.1. Formula Mikroenkapsulasi Lactobacillus casei Menggunakan
Matrik Kitosan
2% 2,5% 3%
Kitosan 2 gram 2,5 gram 3 gram
Suspensi Lactobacillus casei 50 ml 50 ml 50 ml
Asam asetat 50 ml 50 ml 50 ml
Tripolifosfat 4% 4% 4%
3.3.7.1. Pembuatan Larutan Tripolifosfat
Sebanyak 4 gram tripolifosfat ditimbang lalu dilarutkan dengan 100
ml aquadest, diaduk hingga homogen. Selanjutnya disterilisasi dengan
autoklaf pada suhu 121° C selama 15 menit.
3.3.7.2. Pembuatan Larutan Kitosan
Pembuatan larutan kitosan dibuat dalam tiga konsentrasi, yaitu
konsentrasi 4%, 5%, dan 6%. Untuk konsentrasi 2% kitosan ditimbang
sebanyak 2 gram, konsentrasi 2,5% kitosan ditimbang sebanyak 2,5 gram,
konsentrasi 3% kitosan ditimbang sebanyak 3 gram kemudian kitosan dari
ketiga konsentrasi tersebut dilarutkan dengan asam asetat 1% sebanyak 50
ml dan selanjutnya disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121° C selama 15
menit. Kemudian ditambahkan suspensi Lactobacillus casei sebanyak 50 ml.
3.3.7.3. Pembuatan Mikroenkapsulasi
Selanjutnya larutan kitosan steril yang telah mengandung suspensi
Lactobacillus casei dimasukan ke dalam spuit dengan nomor jarum 25G lalu
diteteskan ke dalam larutan tripolifosfat 4% steril, diamkan selama 15 menit
28
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
hingga terbentuk mikroenkapsulasi. Kemudian mikroenkapsulasi yang telah
terbentuk dicuci dengan larutan NaCl 0,9% steril sebanyak dua kali.
3.3.8. Pengukuran Diameter Mikroenkapsulasi Lactobacillus casei
Sebanyak 10 mikroenkapsulasi Lactobacillus casei dari konsentrasi
2%, 2,5% dan 3% diukur diameter menggunakan milimeter skrup.
3.3.9. Perhitungan Lactobacillus casei yang Terenkapsulasi
Sebanyak 1 gram mikroenkapsulasi Lactobacillus casei ditambahkan
dengan 9 mL buffer fosfat (pH 6,8) kemudian distirer selama 2 jam untuk
konsentrasi 2% dan 5 jam untuk konsentrasi 2,5% dan 3%. Setelah itu
dilakukan pengenceran dengan NaCl 0,9% steril, diambil 100 µL lalu
dipindahkan ke medium MRS agar dan selanjutnya diinkubasi pada suhu 37
°C selama 72 jam (Ivanovska dkk, 2012). Kepadatan bakteri setiap 1 gram
yang terbentuk dihitung dengan rumus:
3.3.10. Uji Viabilitas Mikroenkapsulasi Lactobacillus casei Pada Cairan
Lambung
Sebanyak 1 gram mikroenkapsulasi Lactobacillus casei didispersikan
dengan 10 ml larutan simulasi cairan lambung steril (0,2% NaCl, 0,08 M
HCl, pH 1,5) dan kemudian diinkubasi pada suhu 37 °C selama 120 menit.
Setelah diinkubasi, mikroenkapsulasi Lactobacillus casei dicuci dengan
larutan NaCl 0,9% steril. Kemudian dilakukan perhitungan koloni
Lactobacillus casei dengan metode seperti poin 3.3.6. (Mokarram, dkk,
2009).
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Peremajaan Lactobacillus casei
Peremajaan Lactobacillus casei dilakukan dengan menggoreskan 1 ose
jarum secara zigzag pada tabung reaksi steril yang berisi MRS agar miring,
diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam lalu didapatkan kultur stock.
Pemilihan media MRS agar didasarkan karena MRS agar dirancang untuk
mendorong pertumbuhan bakteri asam laktat.
4.2. Identifikasi Lactobacillus casei
Untuk memastikan bahwa koloni yang tumbuh adalah Lactobacillus
casei maka dilakukan identifikasi mikroorganisme, pada dasarnya pewarnaan
mikroorganisme adalah prosedur mewarnai mikroorganisme dengan
menggunakan zat warna yang dapat menonjolkan struktur tertentu dari
mikroorganisme yang ingin kita amati. Prosedur pewarnaan yang dilakukan
adalah pewarnaan gram. Pewarnaan gram ini mampu membedakan dua
kelompok besar bakteri, yaitu Gram positif dan Gram negatif. Bakteri yang
tetap berwarna ungu digolongkan ke dalam Gram positif, sedangkan bakteri
yang berwarna merah digolongkan ke dalam Gram negatif (Pratiwi, 2008).
Hasil identifikasi mikroorganisme secara pewarnaan Gram menunjukan koloni
bakteri yang tumbuh merupakan bakteri Gram positif, ditunjukan pada gambar
4.1.
30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 4.1. Lactobacillus casei perbesaran 100x
4.3. Persiapan Suspensi Lactobacillus casei
Hasil peremajaan selanjutnya digunakan untuk pembuatan suspensi
Lactobacillus casei, 1 ose kultur stok terlebih dahulu diinokulasi dalam MRS
broth setelah itu dilakukan pencucian dengan larutan NaCl 0,9% steril lalu
disentrifugasi. Endapan yang terbentuk kemudian disuspensikan dengan larutan
NaCl 0,9% steril dan selanjutnya dilakukan perhitungan populasi sel pada
suspensi tersebut dengan cara pengenceran yang bertujuan untuk mengetahui
jumlah populasi sel pada suspensi Lactobacillus casei.
4.4. Perhitungan Populasi Sel Suspensi Lactobacillus casei
Perhitungan populasi sel pada suspensi Lactobacillus casei dilakukan
dengan cara melakukan pengenceran dengan larutan NaCl 0,9% steril lalu
digoreskan di cawan petri setril yang telah berisi MRS agar steril kemudian
diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37 °C dan didapatkan jumlah populasi
sebesar 8,2 x 107
koloni/ml dan 5,63 x 107 koloni/ml.
31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.5. Pembuatan Mikroenkapsulasi Lactobacillus casei Menggunakan Matrik
Kitosan
Pembuatan mikroenkapsulasi Lactobacillus casei menggunakan matrik
kitosan dilakukan dengan metode ekstruksi dan metode gelasi ionik. Metode
ekstruksi yaitu ketika larutan polimer yang telah disiapkan ditambahkan
suspensi bakteri setelah itu campuran tersebut dimasukan ke dalam spuit lalu
diteteskan dengan menggunakan jarum ke dalam larutan pengeras (Rokka dan
Rantamaki, 2010). Sedangkan prinsip pembentukan partikel pada metode gelasi
ionik adalah terjadinya interaksi ionik antara gugus amino pada kitosan yang
bermuatan positif dengan polianion yang bermuatan negatif membentuk
struktur network inter- dan/atau intramolekul tiga dimensi (Mardliyati,
Muttaqien, dan Setyawati, 2012). Alasan pemilihan metode ekstruksi untuk
membentuk mikroenkapsulasi Lactobacillus casei karena metode ini dapat
dengan mudah dilakukan, menggunakan alat sederhana berupa jarum suntik
(Kailasapathy, 2002), bentuknya lebih seragam dari pada metode emulsi, dan
tidak menurunkan kelangsungan hidup Lactobacillus casei karena tidak
menggunakan suhu tinggi (Rokka dan Pirjo, 2010). Sedangkan pemilihan
metode gelasi ionik dikarenakan prosesnya yang sederhana, tidak menggunakan
pelarut organik, dan dapat dikontrol dengan mudah (Mardliyati, Muttaqien, dan
Setyawati, 2012). Mikroenkapsulasi Lactobacillus casei yang telah tebentuk
kemudian disimpan dalam lemari pendingin suhu 4 °C dengan alasan suhu yang
lebih rendah mengakibatkan tingkat penurunan reaksi kimia yang merugikan,
seperti oksidasi asam lemak (Heidebach dkk, 2010).
Mikroenkapsulasi yang terbentuk kemudian dilakukan pemeriksaan
organoleptik dan diameter, hasil mikroenkapsulasi Lactobacillus casei
menggunakan matrik kitosan dapat dilihat pada tabel 4.1. dan gambar 4.2.
32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.1. Hasil pemeriksaan organoleptik mikroenkapsulasi Lactobacillus casei
menggunakan matrik kitosan
Konsentrasi Organoleptis
Bentuk Warna Bau
2% Bulat tidak sempurna Putih Tidak berbau
2,5% Bulat tidak sempurna Putih Tidak berbau
3% Bulat tidak sempurna Putih agak kekuningan Tidak berbau
Tabel 4.2. Hasil pemeriksaan diameter rata–rata mikroenkapsulasi kitosan
tripolifosfat dengan dan tanpa Lactobacillus casei
Konsentrasi Diameter Rata–rata Mikroenkapsulasi
Tanpa Lactobacillus casei (mm) Dengan Lactobacillus casei (mm)
2% 1,70430 1,25470
2,5% 2,05350 1,66230
3% 2,19220 2,03610
33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Keterangan: (a) Mikroenkapsulasi Lactobacillus casei kitosan 2%, (b) Mikroenkapsulasi
Lactobacillus casei kitosan 2,5%, (c) Mikroenkapsulasi Lactobacillus casei kitosan 3%
Gambar 4.2. Mikroenkapsulasi Lactobacillus casei mengggunakan matrik
kitosan.
Berdasarkan tabel 4.1. dan gambar 4.2. terlihat bahwa organoleptis dari
mikroenkapsulasi Lactobacillus casei yang dihasilkan pada ketiga konsentrasi
memiliki bentuk bulat namun memiliki permukaan yang kurang halus pada
ketiga konsentrasi. Sedangkan warna yang dihasilkan dari ketiga konsentrasi
adalah berwarna putih pada konsentrasi 2% dan 2,5% dan berwarna putih agak
kekuningan pada konsentrasi 3%. Dari ketiga konsentrasi mikroenkapsulasi
Lactobacillus casei tidak berbau.
(a)
(b) (c)
34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Berdasarkan tabel 4.2. pemeriksaan diameter rata – rata
mikroenkapsulasi Lactobacillus casei pada tiap konsentrasinya diuji
menggunakan Uji Paired Sample t-Test, pengujian yang dilakukan yaitu
membandingkan ukuran diameter pada mikroenkapsulasi kitosan dengan dan
tanpa Lactobacillus casei. Hasil analisa pada konsentrasi 2% menunjukan
ukuran diameter yang berbeda secara nyata dengan nilai signifikansi 0,000
(p<0,05). Pada konsentrasi 2,5% analisa juga menunjukan ukuran diameter
yang berbeda secara nyata dengan nilai signifikansi 0,000 (p<0,05) dan begitu
pula pada konsentrasi 3% analisa juga menunjukan ukuran diameter yang
berbeda secara nyata dengan nilai signifikansi 0,000 (p<0,05). Ukuran diameter
mikroenkapsulasi dari ketiga konsentrasi diatas masih memenuhi syarat
mikroenkapsulasi yang dibentuk dengan metode ekstruksi yaitu berkisar 0,1–10
mm (Solanki dkk, 2013). Hasil perbedaan ukuran diameter di atas dapat
disebabkan karena meningkatnya jumlah konsentrasi kitosan tripolifosfat yang
digunakan (Sari dkk, 2012), ukuran jarum yang digunakan (Rokka dan Pirjo,
2010), jarak antara jarum dengan larutan pengeras (Solanki dkk, 2013), waktu
pengerasan pada larutan pengeras, jumlah sel probiotik yang terjerap pada
mikroenkapsulasi (Chavarri dkk, 2010), dan alasan lain juga dapat disebabkan
nilai viskositas (Krasaekoopt, 2003).
4.6. Perhitungan Lactobacillus casei yang Terenkapsulasi
Untuk mengetahui keberhasilan pembuatan mikroenkapsulasi
Lactobacillus casei menggunakan matrik kitosan maka dilakukan perhitungan
Lactobacillus yang terenkapsulasi. Hasil perhitungan ditunjukan pada tabel 4.3.
35
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.3. Hasil perhitungan Lactobacillus casei yang terenkapsulasi matrik
kitosan
Jumlah sel bakteri Lactobacillus casei dianalisis dengan Uji Paired
Sample t-Test dengan membandingkan perbedaan jumlah free cell
Lactobacillus casei dengan jumlah sel Lactobacillus casei yang terenkapsulasi.
Pada konsentrasi 2% analisa menunjukan nilai signifikansi 0,000 (p<0,05) yang
berarti terdapat perbedaan secara nyata pada perbandingan jumlah sel
Lactobacillus casei pada kondisi free cell dengan yang terenkapsulasi. Pada
konsentrasi 2,5% analisa juga menunjukan perbedaan secara nyata antara
jumlah sel Lactobacillus casei pada kondisi free cell dengan nilai signifikansi
0,000 (p<0,05). Pada konsentrasi 3% analisa tidak dapat menunjukan nilai
signifikansi karena nilai standard error pada difference adalah nol. Perbedaan
yang jelas terlihat jumlah sel Lactobacillus casei yang terenkapsulasi pada
kitosan 3% hal ini mungkin dapat disebabkan jauhnya jarak pembuatan dengan
proses pengujian yaitu selama 4 minggu, menurut (Chavarri dkk, 2010) bakteri
asam laktat dapat mengalami tekanan yang disebabkan oleh perubahan
lingkungan sehingga jumlah sel – sel Lactobacillus casei mengalami penurunan
viabilitas. Menurut Castilla dkk, 2010 faktor yang dapat menyebabkan
berkurangnya jumlah sel Lactobacillus casei yang terenkapsulasi adalah
Konsentrasi
Free cell
Lactobacillus casei
(koloni/ml)
Lactobacillus casei yang
terenkapsulasi
(koloni/ml)
2% 5,63 x 107
1,87 x 105
1,735 x 105
2,5% 5,63 x 107
2,04 x 104
1,005 x 104
3% 8,2 x 107
< 30 koloni
< 30 koloni
36
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kehilangan sel dalam larutan CaCl2 dan kehilangan viabilitas sel di dalam
mikroenkapsulasi, hal ini mungkin juga terjadi pada larutan tripolifosfat.
4.7. Uji Viabilitas Mikroenkapsulasi Lactobacillus casei pada Simulasi Cairan
Lambung
Untuk melihat ketahanan mikroenkapsulasi Lactobacillus casei yang
telah terbentuk maka dilakukan inkubasi dalam simulasi cairan lambung dengan
pH 1,5 dan diinkubasi selama 120 menit pada larutan NaCl. Hasil pengujian
viabilitas ditunjukan pada tabel 4.4.
Tabel 4.4. Hasil pemeriksan ketahanan mikroenkapsulasi Lactobacillus casei
pada simulasi cairan lambung
Konsentrasi Sebelum Simulasi Cairan
Lambung (koloni/g)
Setelah Simulasi
Cairan Lambung
(koloni/g)
2% 1,87 x 10
5 < 30 koloni
1,735 x 105 < 30 koloni
2,5% 2,04 x 10
4 < 30 koloni
1,005 x 104 < 30 koloni
3% < 30 koloni < 30 koloni
< 30 koloni < 30 koloni
Tabel 4.4. memperlihatkan jumlah koloni yang terjerap di dalam
mikroenkapsulasi setelah diinkubasi dalam simulasi cairan lambung. Ternyata
setelah diinkubasi kitosan belum mampu mempertahankan kelangsungan hidup
Lactobacillus casei, hal ini terlihat dari jumlah koloni yang berjumlah < 30
koloni. Hasil percobaan viabilitas probiotik dapat berbeda–beda dari percobaan
lainnya karena faktor–faktor seperti metode enkapsulasi yang digunakan,
persiapan kultur, strain bakteri, dan prosedur uji yang dilakukan (Sohail dkk,
2011).
37
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Metode enkapsulasi yang digunakan pada penelitian ini ialah metode
ekstruksi karena metode ini menguntungkan dalam mempertahankan viabilitas
Lactobacillus casei karena tidak menggunakan panas tinggi. Namun hasil
penelitian menunjukan hasil yang sebaliknya, yaitu viabilitas Lactobacillus
casei menurun setelah diinkubasi pada simulasi cairan lambung. Tidak
terlihatnya viabilitas Lactobacillus casei juga dapat disebabkan persiapan
kepadatan suspensi Lactobacillus casei yang dibentuk dan yang terenkapsulasi
cukup sedikit karena menurut (Denkova dkk, 2007) probiotik akan menunjukan
aksi yang positif dengan menyupali organisme dengan konsentrasi tinggi.
Konsentrasi kitosan untuk membentuk mikroenkapsulasi menentukan
kemampuan viabilitas, penulis beranggapan semakin tinggi konsentrasi kitosan
maka akan semakin mampu melindungi viabilitas sel Lactobacillus casei di
dalam simulasi cairan lambung namun hal ini tidak terlihat pada hasil
penelitian. Kemungkinan kemampuan difusi kitosan mempengaruhi pelepasan
Lactobacillus casei yang terenkapsulasi dengan cara sel – sel Lactobacillus
casei keluar melalui pori–pori yang terdapat pada matrik kitosan dan jika
ditinjau dari jenis ikatannya, ikatan sambung silang kitosan – tripolifosfat
merupakan ikatan ionik yang bersifat reversible dan lemah. Dalam media cairan
lambung buatan, ikatan sambung silang kitosan – tripolifosfat ini mudah rusak
atau terlepas sehingga penghambatan pelepasan Lactobacillus casei dari
mikroenkapsulasi rendah (Rijal dan Aga, 2010) hal ini terlihat dari hasil yang
ditunjukan pada tabel 4.4. yaitu <30 koloni Lactobacillus casei yang bertahan
dalam pH 1,5.
Masa penyimpanan mikroenkapsulasi Lactobacillus casei yang
disimpan selama 4 minggu juga mempengaruhi viabilitas probiotik. Menurut
(Chavarri dkk, 2010) bakteri asam laktat dapat mengalami tekanan yang
disebabkan oleh perubahan lingkungan, sehingga jumlah sel – sel Lactobacillus
casei mengalami penurunan viabilitas.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Setelah dilakukan penelitian dapat disimpulkan mikroenkapsulasi
Lactobacillus casei menggunakan matrik kitosan konsentrasi 2%; 2,5%; 3%
dengan kepadatan jumlah sel 1,8025 x 105 koloni/g; 1,5225 x 10
4 koloni/g;
<30 koloni/g belum mampu mempertahankan sel Lactobacillus casei yang
diinkubasi dalam simulasi cairan lambung pH 1,5 selama 120 menit.
5.2. Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan:
1. Perlu dilakukan penambahan jumlah kepadatan suspensi Lactobacillus
casei yang akan dienkapsulasi.
2. Perlu dilakukan optimasi metode pengeringan untuk mendapatkan ukuran
diameter yang lebih kecil.
3. Perlu dilakukan Scanning Electron Microscope (SEM) pada matrik yang
sudah terbentuk mikroenkapsulasi.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Anal, A.K., Singh, H. 2007. Recent advances in microencapsulation of probiotics
for industrial applications and targeted delivery. Trends in Food Science &
Technology. 18, 240-251.
Betha, O.S., Setyahadi, S., Suryadi, H. 2009. Amobilisasi sel Lactobacillus
achidophillus 116 untukdemineralisasi limbah kulit udang dalam
pengolahan kitin. Majalah Ilmu Kefarmasian. VI(3), 119-131.
Castilla OS, Calleros CL, Galindo HSG, Ramirez JA, dan Carter EJV. 2010.
Textural properties of alginate-pectin beads and survivability of entrapped
Lb. caseiin simulated gastrointestinal condition and in yoghurt. Food
Research International. 43: 111 – 117.
Chavarri, M., dkk. 2010. Microencapsulation of a probiotic and prebiotic in
alginate-chitosan capsules improves survival in simulated gastro-intestinal
conditions. International Journal of Food Microbiology. 142, 185-189.
Denkova, Z., dkk. 2007. The efect of the immobilization of probiotic lactobacilli
in chitosan on their tolerance to a laboratory model of human gut.
Biotechnology & Biotechnological Equipment. 21, 442 – 450.
Departemen Kesehatan RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III.
Desai, A., 2008. Strain identification, viability, and probiotics properties of
Lactobacillus casei. Victoria University. Australia
Donthidi, A.R., Tester, R.F., Aidoo, K.E. 2010. Effect of lecithin and starch on
alginate-encapsulated probiotic bacteria. Journal of Microencapsulation.
27(1), 67-77.
FAO/WHO (2006) Probiotics in food. Health and nutritional properties and
guidelines for evaluation, FAO Food and Nutrition Paper No. 85. World
Health Organization and Food and Agriculture Organization of the United
Nations, Rome
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Figueroa-Gonzalez, I. et.al. 2011. Probiotics and prebiotics-perspectives and
challenges. J Sci Food Agric. 91, 1341-1348.
Fuller, R. 1992. Probiotics The Scientific Basis. Edinburgh: Springer
Science+Businer Media Dordrecht.
Ggassi, G.K., Vandamme, T. 2012. Probiotic encapsulation technology: from
microencapsulation to release into gut. Pharmaceutical. 4, 149-163.
Heidebach, T., Petra. F., Ulrich. K. 2010. Influence of casein-based
microencapsulation on freeze-drying and storage of probiotic cells.
Journal of Food Engineering. 98, 309 – 316.
http://genome.jgi-psf.org/lacca/lacca.home.html diakses pada tanggal 21-11-2015,
pukul 17.34 WIB.
https://gold.jgi.doe.gov/project?id=Gp0001198 diakses pada tanggal 21-11-2015,
pukul 20.35 WIB.
http://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/24455#section=Top diakses pada
tanggal 15-12-2015, pukul 23.01 WIB.
Irianto, H. E. dan Ijah. M. 2011. Proses dan aplikasi nanopartikel kitosan sebagai
penghantar obat. Squalen. 6, 1 – 8.
Islam., dkk. 2010. Microencapsulation of live probiotic bacteria. Journal of
Microbiology and Biotechnology. 20(10), 1367-1377.
Kailasapathy, K. 2002. Microencapsulation of probiotic bacteria: technology and
potential applications. Curr. Issues. Microbiol. 3, 39-48.
Krasaekoopt, W., Bhandari, B., Deeth, H. 2004. The influence of coating
materials on some properties of alginate beads and survivability of
microencapsulated probiotic bacteria. International Dairy Journal. 14,
737-743.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Li, X.Y. dkk., 2009. Microencapsulation of a probiotic bacteria with alginate-
gelatin and its properties. Journal of Microencapsulation. 26(4), 315 –
324.
Mandal, S., A. K. Puniya., K. Singh. 2005. Effect of alginate concentrations on
survival of microencapsulated Lactobacillus casei NCDC-298.
International Dairy Journal. 16, 1190 – 1195.
Mardliyati, E., dkk. 2012. Sintesis nanopartikel kitosan- trypolyphosphate dengan
metode gelasi ionic: pengaruh konsentrasi dan rasio volume terhadap
karakteristik partikel. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi Bahan. ISSN 1411-2213, 90 – 93.
Mokarram, R. R., dkk. 2009. The influence of multi stage alginate coating on
survivability of potential probiotic bacteria in simulated gastric and
intestinal juice. Food Research International. 42, 1040 – 1045.
Nag, A. 2011. Development of a microencapsulation technique for probiotic
bacteria Lactobacillus casei 431 using a protein-polysaccharide complex.
Massey University, New Zealand.
Peniche, C., dkk. 2003. Chitosan: an attractive biocompatible polymer for
microencapsulation. Macromol. Biosci. 3, 511-520.
Piano, M.D., dkk. 2011. Is microencapsulation the future of probiotic preparation
? The increased officacy of gastro-protected probiotics. Gut Microbes. 2:2,
120-123.
Rijal, M. A.S., Aga. M., Retno. S. 2010. Pengaruh ph larutan tripolifosfat
terhadap karakteristik fisik serta profil pelepasan mikropartikel teofilin-
chitosan. Majalah Farmasi Airlangga. 8, 28 - 33
Rokka, S., Rantamaki P. 2010. Protecting probiotic bacteria by
microencapsulation: challenges for industrial applications. Eur Food
Technol. 231, 1-12.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sari, R., dkk., 2012. Pengaruh perbandingan obat–polimer terhadap karakteristik
fisik dan pelepasan mikropartikel ketoprofen–kitosan. 1(2), 10 -16.
Serna-Cock, L dan Vladimir. V. 2013. Probiotic Encapsulation. African Journal
of Mikrobiology Research. 7 (40), 4743 – 4753.
Sohail, A., dkk. 2011. Survivability of probiotics encapsulated in alginate gel
microbeads using a novel impinging aerosols method. International
Journal of Food Microbiology. 145, 162-168.
The Oxoid Manual 8th
Edition 1998. OXOID Limited, England.
Yonekura,L., dkk. 2014. Microencapsulation of Lactobacillus acidophilus
NCIMB 701748 in matrices containing soluble fibre by spray drying:
Technological characterization, storage stability and survival after in vitro
digestion. Journal of Functional Food. 6. 205 – 214.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 1. Alur Penelitian
Peremajaan Lactobacillus casei
Pembuatan suspensi sel Lactobacillus casei
Pembuatan larutan kitosan dan larutan tripolifosfat
Pembuatan mikroenkapsulasi Lactobacillus casei menggunakan matrik kitosan
Uji viabilitas mikroenkapsulasi Lactobacillus casei pada cairan lambung
Hasil dan pembahasan
Kesimpulan
Perhitungan populasi populasi sel Lactobacillus casei yang terenkapsulasi
Perhitungan populasi sel Lactobacillus casei
Identifikasi Lactobacillus casei
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 2. Uji Paired Sample t-Test dengan membandingkan ukuran diameter
pada mikroenkapsulasi kitosan 2% dengan dan tanpa Lactobacillus casei
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 bead 2% tanpa L.casei 1.70430 10 .027988 .008851
bead 2% dengan L.casei 1.25470 10 .021618 .006836
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1 bead 2% tanpa L.casei &
bead 2% dengan L.casei 10 .277 .439
Paired Samples Test
Paired Differences
t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair
1
bead 2% tanpa
L.casei - bead
2% dengan
L.casei
.449600 .030266 .009571 .427949 .471251 46.975 9 .000
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 3. Uji Paired Sample t-Test dengan membandingkan ukuran diameter
pada mikroenkapsulasi kitosan 2,5% dengan dan tanpa Lactobacillus casei
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 bead 2,5% tanpa L.casei 2.05350 10 .082957 .026233
bead 2,5% dengan L.casei 1.66230 10 .019044 .006022
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1 bead 2,5% tanpa L.casei &
bead 2,5% dengan L.casei 10 .112 .758
Paired Samples Test
Paired Differences
t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair
1
bead 2,5% tanpa
L.casei - bead
2,5% dengan
L.casei
.391200 .083012 .026251 .331816 .450584 14.902 9 .000
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 4. Uji Paired Sample t-Test dengan membandingkan ukuran diameter
pada mikroenkapsulasi kitosan 3% dengan dan tanpa Lactobacillus casei
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 bead 3% tanpa L.casei 2.19220 10 .058252 .018421
bead 3% dengan L.casei 2.03610 10 .042399 .013408
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1 bead 3% tanpa L.casei &
bead 3% dengan L.casei 10 .777 .008
Paired Samples Test
Paired Differences
t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair
1
bead 3% tanpa
L.casei - bead
3% dengan
L.casei
.156100 .036804 .011638 .129772 .182428 13.412 9 .000
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 5. Uji Paired Sample t-Test dengan membandingkan perbedaan jumlah
free cell Lactobacillus casei dengan jumlah sel Lactobacillus casei yang
terenkapsulasi kitosan 2%
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 free cell L.casei 5.63E7 2 .000 .000
L.casei terenkapsulasi
kitosan 2% 1.80E5 2 9545.942 6750.000
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1 free cell L.casei & L.casei
terenkapsulasi kitosan 2% 2 . .
Paired Samples Test
Paired Differences
t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair
1
free cell L.casei
- L.casei
terenkapsulasi
kitosan 2%
5.612E7 9545.942 6750.000 5.603E7 5.621E7 8.314E3 1 .000
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 6. Uji Paired Sample t-Test dengan membandingkan perbedaan jumlah
free cell Lactobacillus casei dengan jumlah sel Lactobacillus casei yang
terenkapsulasi kitosan 2,5%
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 free cell L.casei 5.63E7 2 .000 .000
L.casei terenkapsulasi
kitosan 2,5% 1.52E4 2 7318.555 5175.000
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1 free cell L.casei & L.casei
terenkapsulasi kitosan 2,5% 2 . .
Paired Samples Test
Paired Differences
t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair
1
free cell L.casei
- L.casei
terenkapsulasi
kitosan 2,5%
5.628E7 7318.555 5175.000 5.622E7 5.635E7 1.088E4 1 .000
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 7. Uji Paired Sample t-Test dengan membandingkan perbedaan jumlah
free cell Lactobacillus casei dengan jumlah sel Lactobacillus casei yang
terenkapsulasi kitosan 3%
Warnings
The Paired Samples Correlations table is not produced.
The Paired Samples Test table is not produced.
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 free cell L.casei 8.20E7a 2 .000 .000
L.casei terenkapsulasi
kitosan 3% .00
a 2 .000 .000
a. The correlation and t cannot be computed because the standard error of the difference is 0.
Lampiran 8. Pembuatan dapar fosfat pH 6,8
Sebanyak 0,68 gram kalium dihidrogenfosfat (KH2PO4) 0,2 M ditimbang
lalu dilarutkan dengan 25 ml aquadest. Sebanyak 80 mg natrium hidroksida
(NaOH) 0,2 N ditimbang lalu dilarutkan dengan 25 ml aquadest. Kemudian 25 ml
KH2PO4 diencerkan dengan aquadest hingga mendekati 100 ml setelah itu
dicampurkan dengan NaOH hingga pH 6,8.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 9. Pengukuran diameter mikroenkapsulasi matrik kitosan konsentrasi
2%; 2,5%; 3%
Konsentrasi
2% (mm) 2,5% (mm) 3% (mm)
1,738 2,144 2,258
1,724 2,037 2,193
1,670 2,054 2,226
1,675 2,111 2,040
1,714 2,147 2,211
1,663 1,977 2,192
1,733 1,935 2,183
1,730 1,941 2,230
1,706 2,147 2,191
1,690 2,042 2,198
Lampiran 10. Pengukuran diameter mikroenkapsulasi Lactobacillus casei
menggunakan matrik kitosan konsentrasi 2%; 2,5%; 3%
Konsentrasi
2% (mm) 2,5% (mm) 3% (mm)
1,276 1,675 1,988
1,270 1,672 2,096
1,265 1,649 2,026
1,245 1,650 2,006
1,251 1,635 2,026
1,250 1,639 1,971
1,220 1,660 2,075
1,280 1,673 2,044
1,220 1,696 2,094
1,270 1,674 2,035
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 11. Perhitungan Populasi Sel Suspensi Lactobacillus casei
Pengulangan Populasi Lactobacillus casei (koloni)
10-1
10-2
10-3
10-4
10-5
10-6
1 >300 >300 >300 423 59 10
2 >300 >300 >300 426 55 11
3 >300 >300 >300 448 55 4
Dihitung menggunakan rumus:
Lampiran 12. Sterilisasi alat dan bahan
Nama Alat Cara Sterilisasi
Suspensi kitosan Autoklaf, 121 °C, 15 menit
Larutan tripolifosfat Autoklaf, 121 °C, 15 menit
Larutan dapar fosfat Autoklaf, 121 °C, 15 menit
MRS agar Autoklaf, 121 °C, 15 menit
MRS broth Autoklaf, 121 °C, 15 menit
Cawan petri Autoklaf, 121 °C, 15 menit
Erlenmeyer Autoklaf, 121 °C, 15 menit
Tabung reaksi Autoklaf, 121 °C, 15 menit
Tip mikropipet Autoklaf, 121 °C, 15 menit
Tube sentrifugasi Autoklaf, 121 °C, 15 menit
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Corong Autoklaf, 121 °C, 15 menit
Kertas saring Autoklaf, 121 °C, 15 menit
Batang pengaduk Panas bunsen
Batang L Panas bunsen
Lampiran 13. Gambar peremajaan Lactobacillus casei
Keterangan: Peremajaan Lactobacillus casei
Lampiran 14. Gambar koloni suspensi Lactobacillus casei
Keterangan: Koloni Lactobacillus casei
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 15. Gambar koloni mikroenkapsulasi Lactobacillus casei matrik
kitosan 2%; 2,5%; 3%
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Keterangan: Koloni mikroenkapsulasi Lactobacillus casei matrik kitosan 2%; 2,5%; 3% berturut-
turut (a), (c), (e) sebelum simulasi cairan lambung; (b), (d), (f) setelah simulasi cairan lambung.
Lampiran 16. Gambar mikroenkapsulasi Lactobacillus casei matrik kitosan
setelah simulasi cairan lambung
Keterangan: Mikroenkapsulasi Lactobacillus casei matrik kitosan setelah simulasi cairan lambung
(a) kitosan 2%; (b) kitosan 2,5%; (c) kitosan 3%.
(c) (b) (a)
(a)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 17. Sertifikat Analisa Lactobacillus casei
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 18. Sertifikat Analisa Kitosan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta