Post on 08-Jul-2016
description
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit hemolisis pada bayi baru lahir (HDN) adalah suatu kelainan darah pada fetus atau bayi
baru lahir. Penyakit hemolisis pada bayi baru lahir yang juga dikenal sebagai erythroblastosis
fetalis merupakan suatu sindrom yang ditandai oleh anemia berat pada janin dikarenakan ibu
menghasilkan antibodi yang menyerang sel darah janin. Sindrom ini merupakan hasil dari
inkompatibilitas kelompok darah ibu dan janin. Perbedaan faktor golongan darah ini akan
mengakibatkan terbentuknya sistem imun (antibodi) ibu sebagai respon terhadap sel darah bayi
yang mengandung suatu antigen.1
Eritroblastosis fetalis terjadi akibat antibodi aktif ibu melewati plasenta dan melawan
antigen sel darah merah bayi, yang menyebabkan kenaikan angka penghancuran sel eritrosit.
Penyakit ini berlanjut menjadi penyebab penting anemia dan ikterus pada bayi baru lahir. Pada
tahun 1932, Diamond, Blackfan dan Baty melaporkan bahwa anemia fetus yang ditandai oleh
sejumlah eritroblas dalam darah menggambarkan sindrom ini.2 Kini HDN merupakan terminasi
yang digunakan pada seluruh bayi yang menderita hemolisis alloimun, tanpa melihat ada atau
tidaknya eritroblas.3
Secara garis besar, terdapat dua tipe penyakit inkompatibilitas yaitu inkompatibilitas
Rhesus dan inkompatibilitas ABO. Tipe yang pertama menyebabkan HDN adalah
inkompatibilitas ABO, umumnya gejala yang ditimbulkan tidak terlalu parah. Penyebab yang
lainnya adalah inkompatibilitas rhesus. Tipe ini hampir selalu dapat dicegah, namun jika sudah
terjadi, tipe ini umumnya menimbulkan masalah yang lebih berat. Penyakit hemolisis pada bayi
baru lahir harus dipikirkan sebagai diagnosis banding pada bayi dengan ikterus yang terjadi dini,
parah, atau dengan prolonged jaundice. Penyakit tersebut juga harus dipikirkan pada bayi dengan
neonatal anemia.1,3
BAB II
PENYAKIT HEMOLISIS PADA BAYI BARU LAHIR
2.1 DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI
Eritroblastosis fetalis adalah suatu sindrom yang ditandai oleh anemia berat pada janin
dikarenakan ibu menghasilkan antibodi yang menyerang sel darah janin. Sindrom ini merupakan
hasil dari inkompabilitas kelompok darah ibu dan janin. Antibodi maternal isoimun bersifat
spesifik terhadap eritrosit janin dan timbul sebagai reaksi terhadap antigen eritrosit janin.
Penyebab hemolisis tersering pada neonatus adalah pasase transplasental antibodi maternal yang
merusak eritrosit janin. Sekitar 3 – 80 dari 100.000 pasien per tahun menderita penyakit
hemolisis pada bayi baru lahir ini. Penyakit ini berlanjut menjadi penyebab penting terjadinya
anemia dan ikterus pada bayi baru lahir walaupun metode pencegahan isoimunisasi oleh ibu
dengan antigen Rh telah dikembangkan. Walaupun telah diidentifikasi bahwa ada lebih dari 60
macam antigen sel darah merah yang mampu mendatangkan respons antibodi pada resipien yang
sesuai, penyakit yang berarti terutama dihubungkan dengan antigen D grup Rh dan dengan
inkompatibilitas faktor ABO.4
2.2 ETIOLOGI
Secara garis besar, terdapat dua tipe penyakit inkompatibilitas yaitu inkompatibilitas Rhesus dan
inkompatibilitas ABO.1 Keduanya mempunyai gejala yang sama, tetapi penyakit Rh lebih berat
karena antibodi anti Rh yang melewati plasenta lebih menetap bila dibandingkan dengan antibodi
anti-A atau anti-B. Insidens pasien yang mengalami inkompatibilitas Rhesus (yaitu rhesus
negatif) adalah 15% pada ras berkulit putih dan 5% berkulit hitam dan jarang pada bangsa asia.
Rhesus negatif pada orang Indonesia jarang terjadi, kecuali adanya perkawinan dengan orang
asing yang bergolongan rhesus negatif.5
1. Inkompatibilitas Rhesus (Rh)
Sistem rhesus membedakan darah menjadi dua golongan yaitu golongan darah rhesus positif
yang mengandung antigen rhesus dan golongan darah rhesus negatif yang tidak mengandung
antigen rhesus. Apabila antigen rhesus pada darah rhesus positif masuk ke dalam sirkulasi
darah rhesus negatif, maka tubuh orang rhesus negatif akan membentuk antibodi untuk
melawan antigen dari darah rhesus positif tadi.6
Antibodi adalah suatu protein yang berfungsi menyerang dan menghancurkan sel-sel
yang dianggap benda asing atau membawa benda asing (antigen). Contohnya apabila ada
donor darah dari darah rhesus positif yang diberikan kepada resipien yang berdarah rhesus
negatif, maka pada tubuh resipien akan mengalami pembekuan darah. Hal ini tidak
membantu tapi justru merugikan resipien karena ginjalnya akan bekerja lebih keras
membersihkan darah yang membeku. Hal sebaliknya tidak terjadi apabila darah rhesus
negatif didonorkan pada resipien berdarah rhesus positif, tidak terjadi pembekuan darah
sebab darah dari donor tidak mengandung antigen.6
Gambar 1. Inkompatibilitas Rhesus.6
Penyakit hemolitik isoimun dari antigen D sekitar tiga kali lebih sering pada orang kulit
putih daripada orang kulit berwarna/hitam. Bila darah Rh positif dimasukkan pada wanita Rh
negatif karena kesalahan atau bila sejumlah kecil (biasanya lebih dari 1 ml) darah janin Rh
positif yang mengandung antigen D yang diwariskan ayah Rh positif masuk ke dalam
sirkulasi ibu selama kehamilan, lewat abortus spontan atau buatan, atau pada persalinan,
pembentukan antibodi terhadap antigen D dapat dipacu pada ibu resipien Rh negatif yang
belum disensitisasi. Bila imunisasi telah terjadi, dosis antigen yang jauh lebih kecil dapat
merangsang kenaikan titer antibodi.6
Penyakit hemolitik jarang terjadi pada kehamilan pertama karena transfusi darah janin
yang Rh positif ke dalam ibu yang Rh negatif cenderung terjadi dekat waktu persalinan, dan
sudah terlambat bagi ibu untuk menjadi tersensitisasi serta memindahkan antibodinya kepada
bayi sebelum persalinan. Pada wanita Rhesus negatif yang melahirkan bayi pertama Rhesus
positif, risiko terbentuknya antibodi sebesar 8%, sedangkan insidens timbulnya antibodi pada
kehamilan berikutnya sebagai akibat sensitisitas pada kehamilan pertama sebesar 16%.
Tertundanya pembentukan antibodi pada kehamilan berikutnya disebabkan oleh proses
sensitisasi, diperkirakan berhubungan dengan respons imun sekunder yang timbul akibat
produksi antibodi pada kadar yang memadai. Kurang lebih 1% dari wanita akan tersensitasi
selama kehamilan terutama trimester ketiga.7,8 Kemungkinan terjadinya imunisasi Rh
diperkirakan 1-2% dari semua kehamilan namun di Asia frekuensi ini lebih rendah.
Kenyataannya 55% ayah Rh positif adalah heterozigot (D/d) dan dapat memiliki anak Rh
negatif, dan hanya 50% kehamilan yang mengalami transfusi janin-ibu sehingga mengurangi
peluang terjadinya sensitisasi. Akhirnya, kapasitas wanita wanita Rh negatif untuk
membentuk antibodi beragam, beberapa wanita menghasilkan titer rendah walaupun sudah
kemasukan antigen yang adekuat. Jadi, keseluruhan insidens isoimuninisasi ibu Rh negatif
yang berisiko adalah rendah, dengan antibodi terhadap antigen D yang terdeteksi kurang dari
10% dari mereka yang diteliti, bahkan sesudah lima kehamilan atau lebih, hanya sekitar 5%
yang pernah mempunyai bayi dengan penyakit hemolitik.
2. Inkompatibilitas ABO
Dua puluh sampai 25% kehamilan terjadi inkompatibilitas ABO, yang berarti bahwa serum
ibu mengandung anti-A atau anti-B sedangkan eritrosit janin mengandung antigen respektif.
Inkompatibilitas ABO nantinya akan menyebabkan penyakit hemolitik pada bayi yang baru
lahir dimana terdapat lebih dari 60% dari seluruh kasus.9 Penyakit ini sering tidak parah jika
dibandingkan dengan akibat Rh, ditandai anemia neonatus sedang dan hiperbilirubinemia
neonatus ringan sampai sedang, serta kurang dari 1% kasus yang membutuhkan transfusi
tukar.10
Mayoritas inkompatibilitas ABO diderita oleh anak pertama (40% menurut Mollison),
dan anak-anak berikutnya makin lama makin baik keadaannya. Gambaran klinis penyakit
hemolitik pada bayi baru lahir berasal dari inkompatibilitas ABO sering ditemukan pada
keadaan dimana ibu mempunyai tipe darah O, karena tipe darah grup masing-masing
menghasilkan anti A dan anti B yang termasuk kelas IgG yang dapat melewati plasenta
untuk berikatan dengan eritrosit janin.10 Pada beberapa kasus, penyakit hemolitik ABO
tampak hiperbilirubinemia ringan sampai sedang selama 24-48 jam pertama kehidupannya.
Hal ini jarang muncul dengan anemia yang signifikan. Tingginya jumlah bilirubin dapat
menyebabkan kern ikterus terutama pada neonatus preterm. Fototerapi pada pengobatan awal
dilakukan meskipun transfusi tukar yang mungkin diindikasikan untuk hiperbilirubinemia.
Seks predominan eritroblastosis fetalis akibat inkompatibilitas ABO adalah sama antara laki-
laki dan perempuan.11
2.3 PATOFISIOLOGI
Penyakit inkompabilitas Rh dan ABO terjadi ketika sistem imun ibu menghasilkan antibodi yang
melawan sel darah merah janin yang dikandungnya. Pada saat ibu hamil, eritrosit janin dalam
beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah ibu yang dinamakan fetomaternal
microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki antigen seperti yang terdapat pada eritrosit janin, maka
ibu akan distimulasi untuk membentuk imun antibodi. Imun antibodi tipe IgG tersebut dapat
melewati plasenta dan kemudian masuk kedalam peredaran darah janin sehingga sel-sel eritrosit
janin akan diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi dan
hemolisis, yang kemudian akan menyebabkan anemia (reaksi hipersensitivitas tipe II). Hal ini
akan dikompensasi oleh tubuh bayi dengan cara memproduksi dan melepaskan sel-sel darah
merah imatur yang berinti banyak, disebut dengan eritroblas (yang berasal dari sumsum tulang)
secara berlebihan.12,13
Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran hati dan limpa yang
selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa. Produksi eritroblas ini
melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, seperti platelet dan faktor penting lainnya untuk
pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor pembekuan dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan yang banyak dan dapat memperberat komplikasi. Lebih dari 400 antigen terdapat
pada permukaan eritrosit, tetapi secara klinis hanya sedikit yang penting sebagai penyebab
penyakit hemolitik. Kurangnya antigen eritrosit dalam tubuh berpotensi menghasilkan antibodi
jika terpapar dengan antigen tersebut. Antibodi tersebut berbahaya terhadap diri sendiri pada saat
transfusi atau berbahaya bagi janin.13,14
Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal sebelumnya,
misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan, amniosentesis, transfusi darah
Rhesus positif, atau pada kehamilan kedua dan berikutnya.15 Penghancuran sel-sel darah merah
dapat melepaskan pigmen darah merah (hemoglobin), bahan tersebut dikenal dengan bilirubin.
Bilirubin secara normal dibentuk dari sel-sel darah merah yang telah mati, tetapi tubuh dapat
mengatasi kekurangan kadar bilirubin dalam sirkulasi darah pada suatu waktu. Eritroblastosis
fetalis menyebabkan terjadinya penumpukan bilirubin yang dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia, yang nantinya menyebabkan jaundice pada bayi. Bayi dapat berkembang
menjadi kern ikterus.16
Gejala lain yang mungkin hadir adalah penumpukan cairan pada tubuh, yang memberikan
gambaran membengkak (swollen) di mana keadaan ini disebut sebagai hidrops fetalis.
Penumpukan cairan ini menghambat pernapasan normal, karena paru
tidak dapat mengembang maksimal dan mungkin mengandung cairan. Jika keadaan ini berlanjut
untuk jangka waktu tertentu akan mengganggu pertumbuhan paru. 17,18
2.4 GEJALA KLINIS
Spektrum penyakit hemolitik yang luas terdapat pada bayi yang terkena dan dilahirkan dari ibu
yang tersensitisasi, bergantung pada sifat respons imun tiap bayi. Keparahan penyakit dapat
berkisar dari adanya hemolisis ringan secara laboratoris saja (15% kasus) sampai anemia berat
dengan hiperplasia kompensatoar jaringan eritropoetikyang menyebabkan pembesaran masif
pada hati dan limpa. Bila kapasitas kompensatoar sistem hematopoetik dilebihi, anemia berat
mengakibatkan pucat, tanda-tanda dekompensasi jantung (kardiomegali, kegawatan pernapasan),
anasarka masif, dan kolaps sirkulasi. Gambaran klinis ini disebut hidrops fetalis dan sering kali
mengakibatkan kematian dalam rahim atau segera setelah lahir.6
Keparahan hidrops dihubungkan dengan kadar anemia dan derajat penurunan albumin
serum (tekanan onkotik), yang sebagian disebabkan oleh disfungsi hati. Cara lain, gagal jantung
dapat menaikkan tekanan jantung kanan dengan berkembangnya edema dan asites. Kegagalan
untuk memulai ventilasi efektif spontan akibat adanya edema paru atau efusi pleura bilateral
dapat menimbulkan asfiksia. ptekie, purpura, dan trombositopenia juga dapat ditemui pada kasus
yang berat, menggambarkan penurunan produksi trombosit atau adanya koagulasi intravaskular
tersebar (diseminata) yang bersamaan.19
Gambar 2. Bayi hidrops fetalis.19
Penumpukan bilirubin dalam aliran darah menyebabkan pigmentasi kuning dalam plasma
darah yang menimbulkan perubahan warna pada jaringan yang memperoleh banyak aliran darah
tersebut. Kadar bilirubin serum akan menumpuk jika produksi dari heme melampaui
metabolisme dan ekskresinya. Ketidakseimbangan antara produksi dan klirens dapat terjadi
akibat pelepasan prekursor bilirubin secara berlebihan ke dalam aliran darah atau akibat proses
fisiologi yang mengganggu ambilan (uptake) hepar, metabolisme ataupun ekskresi metabolit ini.
Ikterus biasanya tidak ada pada saat lahir karena pembersihan plasenta dari bilirubin tak
terkonjugasi yang larut lemak, tetapi pada kasus-kasus yang berat, pigmen bilirubin mewarnai
cairan amnion, tali pusat, dan verniks kasesa menjadi kuning. Ikterus biasanya jelas pada usia
satu hari karena bayi mengkonjugasi bilirubin dan sistem ekskresi tidak mampu mengatasi beban
dari hemolisis yang masif. Karenanya, bilirubin indirek terakumulasi pasca lahir dan dapat
dengan cepat mencapai kadar yang sangat tinggi, menunjukkan risiko ensefalopati bilirubin yang
berarti.20,21
Bayi yang diobati dengan transfusi intrauteri dapat mengalami perjalanan penyakit pasca
lahir yang ringan, jika anemia dan hidrops sembuh sebelum lahir. Anemia akibat hemolisis yang
terus menerus dapat tertutupi oleh transfusi intrauteri sebelumnya.6
Pada inkompatibilitas ABO, sebagian kasusnya ringan, dengan ikterus sebagai satu-
satunya manifestasi klinis. Bayi biasanya tidak pucat, dan hydrops fetalis sangat jarang terjadi.
Hati dan limpa tidak didapatkan pembesaran atau hanya sedikit membesar. Ikterus biasanya
muncul pada 24 jam pertama dan dapat berkembang menjadi kern ikterus dengan cepat.21
2.5 DIAGNOSIS
Diagnosis pasti eritroblastosis fetalis memerlukan peragaan adnaya golongan darah yang tidak
cocok (inkompatibilitas) dan ikatan antibodi yang sesuai pada sel darah merah bayi. Wanita Rh
negatif yang sebelumnya mempunyai riwayat transfusi, aborsi, atau kehamilan memberi kesan
bahwa ia telah mengalami sensitisasi. Penderita yang mengaharapkan kelahiran bayi harus
diperiksa jenis darahnya terhadap kemungkinan inkompatibilitas, dan titer antibodi IgG ibu
terhadap antigen D harus diperiksa pada minggu ke 12-16, minggu ke 28-32, dan minggu ke 36.
Adanya titer antibodi yang dapat diukur pada permulaan kehamilan, kenikan titer yang cepat,
atau perbandingan titer 1:64 atau lebih besar memberi kesan penyakit hemolitik yang berarti.
Keparahan penyakit janin harus dipantau melalui amniosintesis, pengambilan sampel darah
umbilikus perkutan, dan ultrasonografi. Bila sebelumnya ada riwayat bayi yang terkena atau lahir
mati, bayi yang Rh positif biasanya terkena sama berat atau lebih berat dari bayi yang
sebelumnya.6,22
Ultrasonografi digunakan untuk mendeteksi adanya hidrops yang ditentukan sebagai
edema kulit atau kulit kepala, efusi pleura atau perikardium, dan asites. Tanda-tanda
ultrasonografi awal hidrops meliputi organomegali (hati, limpa, jantung), tanda usus berdinding
ganda (edema usus), dan penebalan plasenta. Selanjutnya dapat terjadi polihidramnion, asites,
efusi pleura atau perikardium, dan edema kulit atau kulit kepala.6,22
Amniosentesis digunakan untuk menilai hemolisis janin. Hemolisis eritrosit janin
menimbulkan hiperbilirubinemi sebelum tejadi anemia berat. Bilirubin dibersihkan oleh plasenta
namun sebagian yang berarti masuk dalam cairan amnion dan dapat diukur dengan
spektrofotometri. Amniosentesis dilakukan jika ada bukti
sensitisasi pada ibu (titer 1:16), jika ayahnya Rh positif, atau jika pada ultrasonografi ada tanda-
tanda hemolisis, hidrops, atau kegawatan.
Jika terdapat hidrops atau tanda-tanda lain memberi kesan adanya anemia janin,
pengambilan sampel darah umbilikus perkutan harus dilakukan utnuk menentukan kadar
hemoglobin janin, dan sel darah merah harus ditransfusikan jika timbul anemia yang serius
(hematokrit 25-30%).6,23
Segera setelah setiap kelahiran bayi oleh wanita Rh negatif, darah dari tali pusat atau dari
bayi harus diperiksa untuk golongan darah ABO, tipe RH, hematokrit dan hemoglobin, serum
bilirubin, dan reaksi uji coombs direk. Untuk melakukan tes ini, serum darah pasien dicampur
dengan eritrosit yang diketahui mengandung mengandung antigen eritrosit tertentu, diinkubasi,
lalu eritrosit dicuci. Suatu substansi lalu ditambahkan untuk menurunkan potensi listrik dari
membran eritrosit, yang penting untuk membantu terjadinya aglutinasi eritrosit. Serum Coombs
ditambahkan dan jika imunoglobulin ibu ada dalam eritrosit, maka aglutinasi akan terjadi. Jika
test positf, diperlukan evaluasi lebih lanjut untuk menentukan antigen spesifik.23,24
Gambar 3. Coomb’s test.24
Pada inkompatibilitas ABO, diagnosis dugaan didasarkan pada adanya inkompatibilitas
ABO. Uji coombs direk ditemukan positif, dan sering kali dijumpai adanya sferosit pada pulasan
darah. Hiperbilirubinemia sering merupakan satu-satunya kelainan laboratorium dengan kadar
bilirubin indirek dapat mencapai 20 mg/dL pada 10-20% kasus. Kadar hemoglobin biasanya
normal atau mencapai 10-12 g/dL. Retikulosit dapat naik sampai 10-15% dengan polikromasia
yang luas dan kenaikan jumlah sel darah merah berinti.6,25
2.6 PENATALAKSANAAN
Bentuk ringan tidak memerlukan pengobatan spesifik, kecuali bila terjadi kenaikan bilirubin
yang tidak wajar. Bentuk sedang memerlukan tranfusi tukar, umumnya dilakukan dengan darah
yang sesuai dengan darah ibu (Rhesus dan ABO). Jika tak ada donor Rhesus negatif, transfusi
tukar dapat dilakukan dengan darah Rhesus positif sesering mungkin sampai semua eritrosit yang
diliputi antibodi dikeluarkan dari tubuh bayi. Bentuk berat tampak sebagai hidrops atau lahir
mati yang disebabkan oleh anemia berat yang diikuti oleh gagal jantung. Pengobatan ditujukan
terhadap pencegahan terjadinya kematian intrauteri atau ekstrauteri akibat anemia dan hipoksia
berat dan menghindari neurotoksisitas dari hiperbilirubinemia.26
1. Transfusi tukar
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang dilanjutkan
dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan berulang
sampai sebagian besar darah penderita tertukar. Tujuan transfusi tukar yang dapat dicapai
adalah untuk memperbaiki keadaan anemia, tetapi tidak menambah volume darah,
menggantikan eritrosit yang telah diselimuti oleh antibodi (coated cells) dengan eritrosit
normal (menghentikan proses hemolisis), serta mengurangi kadar serum bilirubin.27,28
Hal yang perlu diperhatikan dalam transfusi tukar :
a. Tipe Darah
Pada inkompatibilitas ABO darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau rhesus yang sama
dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan bayi yang mempunyai titer rendah
antibodi anti A dan anti B. Biasanya menggunakan eritrosit golongan O dengan plasma AB,
untuk memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul.
Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus golongan O
dengan rhesus (-), crossmatched terhadap ibu. Bila darah disiapkan setelah kelahiran,
dilakukan juga crossmatched terhadap bayi.
b. Kesegaran darah dan penyimpanannya
Dianjurkan untuk menggunakan darah segar (kurang dari 72 jam) yang diawetkan dengan
sitrat. Hematokrit yang dihendaki untuk bayi adalah 50-70%. Selama prosedur darah di
goyang pelan secara periodik untuk menjaga hematokrit tetap konstan.
c. Jumlah darah yang digunakan
Darah yang ditransfusi tukar sebanyak dua kali lipat volume darah bayi (2 x 85 mL/KgBB)
Pada penyakit hemolitik segera dilakukan tranfusi tukar apabila ada indikasi sebagai
berikut.
a. Kadar bilirubin tali pusat > 4,5 mg/dL
b. Kadar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam walaupun sedang mendapatkan terapi sinar
dan kadar Hb 11 – 13 gr/dL
c. Didapatkan anemia yang progresif walaupun kadar bilirubin dapat dikontrol secara
adekuat dengan terapi sinar.28
2. Transfusi intra uterin
Pada tahun 1963, Liley memperkenalkan transfusi intrauterin. Sel eritrosit donor
ditransfusikan ke peritoneal cavity janin, yang nantinya akan diabsorbsi dan masuk kedalam
sirkulasi darah janin (intraperitoneal transfusion). Bila paru janin masih belum matur,
transfusi intrauterin adalah pilihan yang terbaik. Darah bayi Rhesus (D) negatif tak akan
mengganggu antigen D dan karena itu tak akan merangsang sistem imun ibu memproduksi
antibodi. Tiap antibodi yang sudah ada pada darah ibu tak dapat mengganggu darah bayi.
Namun harus menjadi perhatian bahwa risiko transfusi intrauterin sangat besar sehingga
mortalitas sangat tinggi. Untuk itu para ahli lebih memilih intravasal transfusi, yaitu dengan
melakukan cordocentesis (pungsi tali pusat perkutan).
Transfusi dilakukan beberapa kali pada kehamilan minggu ke 26–34 dengan
menggunakan Packed Red Cells golongan darah O Rh negatif sebanyak 50–100 ml. Induksi
partus dilakukan pada minggu ke 32 dan kemudian bayi dibantu dengan transfusi tukar 1x
setelah partus. Induksi pada kehamilan 32 minggu dapat menurunkan angka mortalitas
sebanyak 60%.29,30
Gambar 3. Transfusi Intrauterin.30
3. Fototerapi
Foto terapi dengan bantuan lampu blue violet dapat menurunkan kadar bilirubin.
Fototerapi sifatnya hanya membantu dan tidak dapat digunakan sebagai terapi tunggal.31
Gambar 4. Blue light theraphy.31
Sinar fototerapi akan mengubah bilirubin yang ada di dalam kapiler-kapiler
superfisial dan ruang-ruang usus menjadi isomer yang larut dalam air yang dapat
diekstraksikan tanpa metabolisme lebih lanjut oleh hati. Bila fototerapi menyinari kulit,
akan memberikan foton-foton diskrit energi, sama halnya seperti molekul-molekul obat,
sinar akan diserap oleh bilirubin dengan cara yang sama dengan molekul obat yang
terikat pada reseptor.32
Molekul-molekul bilirubin pada kulit yang terpapar sinar akan mengalami reaksi
fotokimia yang relatif cepat menjadi isomer konfigurasi, dimana sinar akan merubah
bentuk molekul bilirubin dan bukan mengubah struktur bilirubin. Isomer bilirubin ini
mempunyai bentuk yang berbeda dari isomer asli, lebih polar dan bisa diekskresikan dari
hati ke dalam empedu tanpa mengalami konjugasi atau membutuhkan pengangkutan
khusus untuk ekskresinya. Bentuk isomer ini mengandung 20% dari jumlah bilirubin
serum. Eliminasi melalui urin dan saluran cerna sama-sama penting dalam mengurangi
muatan bilirubin. Reaksi fototerapi menghasilkan suatu fotooksidasi melalui proses yang
cepat. Fototerapi juga menghasilkan lumirubin, dimana lumirubin ini mengandung 2%
sampai 6% dari total bilirubin serum. Lumirubin diekskresikan melalui empedu dan urin.
Lumirubin bersifat larut dalam air.32,33
Usia
(jam)
Pertimbangan
terapi sinar
Terapi sinar Transfusi tukar Transfusi tukar
dan terapi sinar
25-48 >12mg/dl
(>200 µmol/L)
>15 mg/dl
( >250 µmol/L)
>20 mg/dl
(>340 µmol/L)
>25 mg/dl
(425 µmol/L)
49-72 >15mg/dl
(>250 µmol/L)
>18 mg/dl
(>300µmol/L)
>25mg/dl
(425 µmol/L)
>30 mg/dl
(510µmol/L)
>72 >17 mg/dl
(>290 µmol/L)
>20mg/dl
(>340µmol/L
>25mg/dl
(>425 µmol/L)
>30mg/dl
(>510 µmol/L)
Tabel 1. Rekomendasi AAP penanganan hiperbilirubinemia pada neonatus sehat dan cukup
bulan.34
2.7 KOMPLIKASI
Komplikasi penyakit hemolitik pada bayi baru lahir dapat berkisar dari ringan sampai parah.
Berikut ini adalah beberapa masalah yang dapat terjadi.
a. Selama masa kehamilan
Anemia ringan, hiperbilirubinemia, dan penyakit kuning. Plasenta membantu
menyingkirkan sejumlah bilirubin, tapi tidak semua dapat disingkirkan. Anemia
berat dengan pembesaran hati dan limpa terjadi ketika organ-organ tersebut dan
sumsum tulang tidak dapat mengkompensasi destruksi yang cepat dari sel-sel
darah merah.
Hidrops fetalis. Hal ini terjadi akibat organ bayi yang tidak mampu untuk
menangani anemia. Mulai terjadi kegagalan jantung dan banyak cairan
menumpuk di jaringan serta organ bayi. Janin dengan hidrops berisiko besar lahir
mati.35,36
b. Setelah lahir
Hiperbilirubinemia dan ikterus. Hati bayi tidak dapat menangani sejumlah besar
bilirubin yang dihasilkan dari pemecahan sel darah merah. Hati bayi membesar
dan anemia terus berlanjut.
Kernikterus. Kernikterus adalah bentuk yang paling parah dari hiperbilirubinemia
dan hasil dari penumpukan bilirubin dalam otak. Hal ini dapat menyebabkan
kejang, kerusakan otak, ketulian, dan kematian.35,36
2.8 PROGNOSIS
Pengukuran titer antibodi dengan tes Coombs indirek < 1:16 berarti bahwa janin mati dalam
rahim akibat kelainan hemolitik tak akan terjadi dan kehidupan janin dapat dipertahankan dengan
perawatan yang tepat setelah lahir. Titer yang lebih tinggi menunjukan kemungkinan adanya
kelainan hemolitik berat. Titer pada ibu yang sudah mengalami sensitisasi dalam kehamilan
berikutnya dapat naik meskipun janinnya Rhesus negatif. Jika titer antibodi naik sampai secara
klinis bermakna, pemeriksaan titer antibodi diperlukan. Titer kritis tercapai jika didapatkan nilai
1:16 atau lebih. Jika titer di dibawah 1:32, maka prognosis janin diperkirakan baik.37
Mortalitas
Angka mortalitas dapat diturunkan jika :
a. Ibu hamil dengan Rhesus negatif dan mengalami isoimunisasi dapat dideteksi secara dini.
b. Hemolisis pada janin dari ibu Rhesus negatif dapat diketahui melalui kadar bilirubin yang
tinggi didalam cairan amnion atau melalui sampling pembuluh darah umbilikus yang
diarahkan secara USG.
c. Pada kasus yang berat, janin dapat dilahirkan secara prematur sebelum meninggal di
dalam rahim atau/dan dapat diatasi dengan transfusi intraperitoneal atau intravaskuler
langsung sel darah merah Rhesus negatif.
d. Pemberian Ig-D kepada ibu Rhesus negatif selama atau segera setelah persalinan dapat
menghilangkan sebagian besar proses isoimunisasi D.38,39
Perkembangan anak selanjutnya.
Menurut Bowman (1978), kebanyakan anak yang berhasil hidup setelah mengalami tranfusi
janin akan berkembang secara normal. Dari 89 anak yang diperiksa ketika berusia 18 bulan atau
lebih, 74 anak berkembangan secara normal, 4 anak abnormal dan 11 anak mengalami gangguan
tumbuh kembang.38,39
2.9 PENCEGAHAN
Tindakan terpenting untuk menurunkan insidens kelainan hemolitik akibat isoimunisasi Rhesus
adalah imunisasi pasif pada ibu. Risiko sensitisasi awal ibu Rh negatif telah menurun dari antara
10-20% hingga kurang dari 1% dengan dilakukannya injeksi intramuskular 300 mikrogram anti
D globulin manusia (1 ml RhoGAM) dalam 72 jam persalinan atau aborsi. Jumlah ini cukup
untuk mengeliminasi sekitar 10 ml sel janin yang mungkin bersifat antigenik dari sirkulasi darah
ibu. pemindahan darah janin ke ibu yang besar mungkin memerlukan RhoGAM yang lebih
proporsional. RhoGAM diberikan pada kehamilan 28-30 minggu dan juga pada saat lahir, dapat
lebih efektif dari dosis tunggal.40
BAB III
KESIMPULAN
Penyakit hemolisis pada bayi baru lahir (HDN) adalah suatu kelainan darah pada fetus atau bayi
baru lahir. Penyakit hemolisis pada bayi baru lahir yang juga dikenal sebagai erythroblastosis
fetalis adalah suatu sindrom yang ditandai oleh anemia berat pada janin dikarenakan ibu
menghasilkan antibodi yang menyerang sel darah janin. Sindrom ini merupakan hasil dari
inkompabilitas kelompok darah ibu dan janin. Penyakit ini berlanjut menjadi penyebab penting
terjadinya anemia dan ikterus pada bayi baru lahir walaupun metode pencegahan isoimunisasi
oleh ibu dengan antigen Rh telah dikembangkan.penyakit yang berarti terutama dihubungkan
dengan antigen D grup Rh dan dengan inkompatibilitas faktor ABO.
Keparahan penyakit dapat berkisar dari adanya hemolisis ringan secara laboratoris saja
(15% kasus) sampai anemia berat dengan hiperplasia kompensatoar jaringan eritropoetik yang
menyebabkan pembesaran masif pada hati dan limpa, hingga terjadinya tanda-tanda kegagalan
jantung yang menyebabkan adanya edema.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan menggunakan ultrasonografi saat kehamilan serta
dapat dilakukan amniosentesis dan pengambilan sampel darah umbilikus perkutan. Saat bayi
lahir harus dilakukan golongan darah ABO, tipe RH, hematokrit dan hemoglobin, serum
bilirubin, dan reaksi uji coombs direk.
Pengobatan ditujukan terhadap pencegahan terjadinya kematian intrauteri atau ekstrauteri
akibat anemia dan hipoksia berat dan menghindari neurotoksisitas dari hiperbilirubinemia
dengan melakukan transfuse tukar, transfuse intrauterine, serta fototerapi. Pencegahan dapat
dilakukan dengan memberikan RhoGAM pada wanita dengan Rh negative untuk menurunkan
risiko terjadinya penyakit ini.