Post on 06-Dec-2015
description
PRESENTASI KASUS
SYOK ANAFILAKTIK
Oleh:
Annisa Nur Hafika
G99142108
KEPANITERAAN KLINIK UPF/LABORATORIUM FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
I. DEFINISI
Secara harafiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan
phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang
seharusnya melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain
kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).1,2
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai
oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah
jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya
suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang
sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok anafilaktik merupakan salah satu
manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan syok distributif, ditandai oleh
adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah
dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya
kematian.2
II. EPIDEMIOLOGI
Insiden anafilaksis di Amerika Serikat disebutkan bahwa angka kejadian
anafilaksis antara 49,8 kasus/100.000 penduduk, dengan prevalensi life-time
0,05–2%, dan mortalitas 1%. Resiko anafilaksis dua kali lipat pada pasien asma
ringan dan tiga kali lipat pada pasien dengan penyakit yang berat. Prevalensi
dan tingkat mortalitas yang sebenar-benarnya bisa jadi lebih besar karena
kejadian yang tidak diprediksi dari perjalanan suatu penyakit.3
1
III. FAKTOR PREDISPOSISI DAN ETIOLOGI
Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis
adalah sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan
paparan alergen. Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis
adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting,
kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu
adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-
obatan yang bisa menyebabkan anafilaksis seperti antibiotik khususnya
penisilin, obat anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin
B1, asam folat, dan lain-lain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan
fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.1,4
IV. PATOFISIOLOGI
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam
hipersensitivitas tipe I (Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis
melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan
waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor
spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan fase aktivasi
merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang
sama sampai timbulnya gejala.1,2,4
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran
makan ditangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen
tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13)
yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel
2
plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada
reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.1,2.4
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen
yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E
spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif
antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain
dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.1,2,4
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari
membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG)
yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed
mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks
(anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan
aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek
bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya
menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos.
Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan
meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa
faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien
yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.1,2,4
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan
terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini
menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun
yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan
3
tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang
berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.2
Gambar. 1. Patofisiologi syok anafilaktik
V. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3
tipe dari reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit
sampai 1 jam setelah terpapar dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1
sampai 24 jam setelah terpapar dengan alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih
dari 24 jam setelah terpapar dengan alergen.2,5
4
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi
kadang-kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga
dibagi dalam derajat ringan, sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan
keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak di mulut dan tenggorok.
Dapat juga terjadi kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-
bersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama
setelah pemajanan. Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan
ditambah bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea,
batuk dan mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga
sering terjadi. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan. Derajat berat
mempunyai awitan yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala
yang sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat
kearah bronkospame, edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi
gejala disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti
jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas,
aritmia ventrikel atau renjatan yang irreversible.2,6
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat
terjadi pada satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi,
gastrointestinal, kulit, mata, susunan saraf pusat dan sistem saluran kencing, dan
sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa
takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada
tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.1,4
Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang
berlebihan. Pada rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di
bawah palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak. Pada kulit terdapat
5
eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin, lembab/basah,
dan diaphoresis.2,4
Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun,
penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan
penurunan volume tidal. Obstruksi saluran napas yang komplit adalah penyebab
kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila
saluran napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa. 2,4
Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran
sampai terjadi koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada
sistem kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-
tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang menyebabkan
terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi
hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri
atau anuri) akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan
terjadinya gagal ginjal akut. 2,4
Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis
sel sentral, peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul
pada sistem gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan
spasme otot polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. 2,4
Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati,
gangguan fungsi trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi.
Sementara gangguan pada system neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi
kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status
mental. Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari aerob menjadi
anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara histologis
6
terjadi keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta
kebocoran sel.2,4
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu
menentukan diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan
digunakan untuk memonitor hasil pengobatan serta mendeteksi komplikasi
lanjut. Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian
halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan
lain yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik dengan
RAST (radioimmunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked
Immunosorbent Assay test ), namun memerlukan biaya yang mahal.1,4
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen
penyebab yaitu denganuji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point
titration/ SET). Pemeriksaan lainnya antara lain analisa gas darah, elektrolit,
dan gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses lengkap,
elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain.1,4
VII. DIAGNOSIS
Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ
atau lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu
menegakkan diagnosis maka American Academy of Allergy, Asthma and
Immunology telah membuat suatu kriteria.5
7
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit
hingga beberapajam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-
duanya (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus,
kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory
compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing , penurunan
PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan
dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).5
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak
setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit
hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-
bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan
bibir-lidah-uvula); Respiratory compromise (misalnya sesak nafas,
bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia); penurunan
tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop,
inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri
abdominal, kram, muntah).5
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada
alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik).
Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur)
atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa,
tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan darah sistolik lebih
dari 30% dari tekanan darah awal.5
8
Gambar. 2
Algoritme Diagnosis Anafilaksis
Sedangkan kriteria dari Syok Anafilaksis sebagai berikut 8:
1. Secara tiba-tiba onsetnya dan progresi yang cepat dari gejala
- Pasien terlihat baik atau tidak baik
- Kebanyakan reaksi terjadi dalam beberapa menit, jarang reaksi terjadi lebih
lambat dari onset
- Waktu onset reaksi anfilaksis tergantung tipe trigger. Trigger intravena
akan lebih cepat onsetnya daripada sengatan, dan cenderung disebabkan
lebih cepat onsetnya dari trigger ingesti oral.
- Pasien biasanya cemas dan dapat mengalami “sense of impending”
2. Life-threatening Airway and/or Breathing and/or Circulation Problems
Pasien dapat mengalami masalah A atau B atau C atau kombinasinya.
9
Airway Problem :
- Pembengkakan jalan nafas seperti tenggorokan dan lidah membengkak
(faring/laring edem). Pasien sulit bernafas dan menelan dan merasa
tenggorokan tertutup.
- Suara Hoarse
- Stridor, tingginya suara inspirasi karena saluran nafas atas yang mengalami
obstruksi.
Breathing Problems :
- Nafas pendek, pengingkatan frekuensi nafas
- Wheezing
- Pasien menjadi lelah
- Kebingungan karena hipoksia
- Sianosis (muncul biru), ini biasanya pada late sign
- Respiratory arrest
Circulation problem
- Tanda syok, pucat, berkeringat.
- Peningkatan frekuensi nadi (takikardi)
- Tekanan darah rendah (hipotensi), merasa ingin jatuh (dizziness), kolaps.
- Penurunan tingkat kesadaran atau kehilangan kesadaran
- Anafilaksi dapat menyebabkan iskemik myokardial dan ECG berubah
walaupun individu dengan normal arteri kononer.
- Cardiac arrest
3. Perubahan Kulit dan/atau Mukosa
10
Sering muncul gambaran pertama dan muncul lebih dari 80% dari reaksi
anafilaksis.
- Dapat berlangsung halus atau secara dramatis.
- Mungkin hanya perubahan kulit, hanya perubahan mukosa, atau keduanya
- Mungkin eritema setengahnya atau secara general, rash merah.
- Mungkin urtikaria yang muncul dimana saja pada tubuh, berwarna pucar,
merah muda, atau merah dan mungkin menunjukan seperti sengatan.
- Angioedema mungkin seperti urtikaria tetapi termasuk pada jaringan lebih
dalam sering pada kelopak mata dan bibir, kadang pada mulut dan
tenggorokan.
VIII. DIAGNOSIS BANDING
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis
yang tidak spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit
dibedakan dengan penyakit lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini
terjadi karena anafilaksis mempengaruhi seluruh system organ pada tubuh
manusia sebagai akibat pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast dan
basofil, dimana masing-masing mediator tersebut memiliki afinitas yang
berbeda pada setiap reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang
menyerupai reaksi anafilaksis dan syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal,
infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris, Carsinoid syndrome,
Chinese restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis alergika.1,2
Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan.
Pasien tampak pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan
reaksi anafilaktik, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi
sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan
11
biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik. Sementara infark miokard akut,
gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala
tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi
saluran napas. Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.1,2
Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau
sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar.
Tekanan darah kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda
obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi
saluran napas. Sedangkan pada reaksi histeris, tidak dijumpai adanya tanda-
tanda gagal napas, hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan
meskipun hanya sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi
anafilaksis.1,2
Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan,
nyeri kepala, diare, serangan sesak napas seperti asma. Chinese restaurant
syndrome, dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah
pada beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1gr, bila
penggunaan lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma. Namun tekanan darah,
kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang
diberi makanan tanpa MSG.1,2
Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk
berdahak, dan suara napas mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena
faktor pencetus seperti debu, aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering
terjadi pada pagi hari. Rhinitis alergika, penyakit ini menyebabkan gejala seperti
pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang hilang-timbul, mata berair yang
disebabkan karena faktor pencetus seperti debu, terutama di udara dingin.1,2
12
IX. PENATALAKSANAAN
Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik
peroral maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting
dilakukan adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen
yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada
alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan
aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan
tekanan darah.1,2,4,9
Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation
dari tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan
hidup dasar.
o Airway / penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar
tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi
kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan
napas, yaitu dengan melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi kepala,
tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan
jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi
endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
o Breathing support segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada
tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke
hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat
mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita
13
yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-
obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter/menit.
o Circulation support yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis
atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.1,2,4,9
Obat-obatan
Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk
mengobati syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan
darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan
aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan
histamin dan mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah
meningkatkan cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat
terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan mediator lainnya.
Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri
dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah
naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek.4,8
Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun
sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada
penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah
pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi
intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. Berikan
0,5 ml larutan 1:1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB
untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai
tekanan darah dan nadi menunjukkan perbaikan.2,4,8,10
Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada
keadaan tertentu saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun
14
selama anestesia. Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan
sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-benar diragukan,
adrenalin mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500
mcg (5ml dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan
kecepatan 100 mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada
anak-anak dapat diberi dosis 10 mcg/kg BB(0,1 ml/kg BB dari pengenceran
injeksi adrenalin 1:10000) dengan injeksi intravena lambat selama beberapa
menit. Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok
anafilaksis perlu membawa adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu
diajarkan cara penyuntikkan yang benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada
kasus kolaps yang cepat orang lain dapat memberikan adrenalin tersebut.2,4,8
Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-
obat yang sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan
bronkodilator. Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses
vasodilatasi dan peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang
diakibatkan oleh pelepasan mediator dengan cara menghambat pada tempat
reseptor-mediator tetapi bukan bukan merupakan obat pengganti adrenalin.
Tergantung beratnya penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral.
Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk
AH2 seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin (150mg) harus diencerkan dengan
20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila penderita
mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai
gantinya dipakai ranitidin. Antihistamin yang juga dapat diberikan adalah
dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit), diulang tiap 6
jam selama 48 jam.2,4,7,9
15
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan,
kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan
hanya digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek episode
anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang. Glukokortikoid intravena baru
diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg
intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang biasanya
tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB,
dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg
BB.2,4,9
Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin
intravena 4-7 mg/KgBB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6
mg/Kg BB/jam, atau aminofilin 5-6mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc
dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit.
Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan
salbutamol atau agonis β2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl
0,99% diberikan melalui nebulisasi.2,4,9
Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat
diberikan vasopresor melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin
1:1000 dalam 250 ml dextrose (konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4
mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan
dosis dapat dinaikan sampai dosis maksimum 10 mg/ml, atau aramin 2-5 mg
bolus IV pelan-pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter dengan dekstrosa
5% dengan kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam secara
infus dengan dextrose 5%. 2, 4, ,9
Terapi Cairan.
16
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena
untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular
sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan
meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.
Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan
mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada
dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali
dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik
berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma.
Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang
sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma.10
Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan
pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume
intravaskuler, volume nterstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti
plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler. 10
Observasi
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok
anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan.
Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian harus
seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi
penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam
posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah teratasi,
penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama
selama 24 jam, 6 jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik.
17
Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum,
kesadaran, vital sign, dan produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi,
dan komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest.
Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria
dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan
gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin
lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit.10
18
Gambar. 3 Algoritme Resusitasi Syok Anafilaksis9
Pencegahan
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok
anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis
riwayat alergi penderita dengan cermat akan sangat membantu menentukan
19
etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat
penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat,
mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok
anafilaktik.2
Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian
bahwa tes kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian
obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami
reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi
positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan
kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.2
Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila
pemberian dengan jalur subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena
dan observasi selama pemberian. Pemberian obat harus benar-benar atas
indikasi yang kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok
anafilaktik. Catat obat penderita pada status yang menyebabkan alergi. Jelaskan
kepada penderita supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan
alergi. Hal yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk
mengantisipasi reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi
kegawatan. Desensitisasi alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan
jangka panjang.2
X. PROGNOSIS
Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan prinsip
kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun
reaksi anafilaksis tersebut dapat kambuh kembali akibat paparan antigen
20
spesifik yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi setelah terjadinya
serangan anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih
luas lagi.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi
anafilaksis yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu
umur, tipe alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif
kronis, asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang
dikonsumsi seperti β-blocker dan ACE Inhibitor, serta interval waktu dari mulai
terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi
adrenalin.
BAB II
ILUSTRASI KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. D
21
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 30 tahun
Berat badan : 56 kg
Tinggi badan : 155 cm
Status pernikahan : Belum menikah
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam
Alamat : Mojolaban, Surakarta
Tanggal mondok : 12 Juli 2015
No. CM : 01 23 xx xx
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Penurunan kesadaran
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien menjalani rawat inap di RSUD Dr.Moewardi untuk hari pertama
dengan diagnosa meningitis dan mendapatkan terapi penisilin G injeksi.
Setelah penyuntikan obat, pasien mengeluh pusing, lemas, dan berkeringat
dingin. Kemudian berangsur-angsur pasien mengalami penurunan
kesadaran.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat sakit serupa : disangkal
- Riwayat alergi : disangkal
- Riwayat trauma : disangkal
- Riwayat kejang : disangkal
- Riwayat hipertensi : disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan
- Riwayat sakit serupa : disangkal
- Riwayat alergi : + pada ibu (alergi penisilin)
- Riwayat trauma : disangkal
- Riwayat kejang : disangkal
- Riwayat hipertensi : disangkal
E. Riwayat Kebiasaan dan Gizi
- Riwayat merokok : disangkal
22
- Riwayat minum alkohol : disangkal
F. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien sehari-hari merupakan pedagang kain di pasar klewer
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik yang dilakukan :
A. Keadaan Umum
Keadaan umum lemah, somnolen, gizi kesan cukup
B. Tanda Vital
Tekanan Darah : 90/60mmHg
Nadi : 150 kali/menit, teraba lemah dan cepat
Respirasi : 24 kali/menit, irama teratur, tipe torakoabdominal
Suhu : 37°C per aksiler
C. Kulit
Warna sawo matang, luka (-), ikterik (-), petechiae (-)
D. Kepala
Bentuk mesocephal, luka (-)
E. Mata
Conjunctiva pucat (-), sklera ikterik (-), reflek cahaya langsung dantak
langsung (+/+), pupil isokor (3mm/3mm)
F. Telinga
Bentuk normal, darah (-)
G. Hidung
Bentuk normal,nafas cuping hidung (-), darah(-)
H. Mulut
Sianosis (-), bibir kering (-), mukosa pucat (-)
I. Leher
Pulsasi arteri carotis tidak tampak, simetris, trakea ditengah
J. Tenggorokan
Tonsil membesar (-), hiperemi faring(-)
K. Thorak
Retraksi (-), nafas tipe torakoabdominal, ginekomasti (-)
L. Jantung
23
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : konfigurasi jantung tidak melebar
Auskulasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal, bising (-)
M. Paru
Inspeksi : Pengembangan dada kanan dan kiri simetris
Palpasi : Fremitus kanan =kiri
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-)
N. Abdomen
Inspeksi : dinding perut // dinding dada
Auskultasi : bising usus normal
Perkusi : timpani, pekak beralih (-)
Palpasi : supel
O. Ekstremitas
Edema
- -
- -
Akral dingin
+ +
+ +
P. Kesadaran
GCS E3 V5 M5
IV. DIAGNOSIS BANDING
Syok anafilaktik
Syok septik
Reaksi vasovagal
V. DIAGNOSIS KERJA
Syok anafilaktik
24
VI. TUJUAN TERAPI
Prinsip tata laksana kasus syok anafilaktik adalah penanganan sesegera
mungkin mengingat merupakan kasus kegawatdaruratan. Penurunan kesadaran
yang terjadi pada syok anafilaktik dapat disebabkan oleh tekanan darah yang
turun drastis. Penanganan yang pertama kali dilakukan adalah survey primer
dan melakukan basic life support yakni airway, breathing, dan circulation
mengingat sering terjadi kegagalan napas dan sirkulasi pada kasus syok
anafilaktik.
Obat-obatan yang dapat dipakai adalah adrenalin injeksi 1 :1000 sebanyak
0,3-0,5 ml diberikan secara intramuskular. Pemilihan adrenalin didasarkan pada
kemampuan adrenalin untuk meningkatkan tekanan darah dengan cepat guna
mengatasi hipotensi yang terjadi dan efek relaksasi bronkus sehingga
diharapkan dapat mengatasi kontriksi dan spasme pada bronkus yang kadang
menyertai kasus syok anafilaktik.
Pengobatan tambahan yang dapat diberikan adalah pemberian antihistamin.
Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan
peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh
pelepasan mediator dengan cara menghambat pada tempat reseptor-mediator
tetapi bukan bukan merupakan obat pengganti adrenalin. Selain itu dapat juga
diberikan Kortikosteroid. Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon
keradangan, kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata laksana akut
anafilaksis dan hanya digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk
memperpendek episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang.
Keadaan bronkospasme pada pasien dapat ditatalaksana dengan injeksi
Aminofilin, selain itu dapat juga menggunakan bronkodilator aerosol (terbotilin,
salbutamol).
Apabila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena
untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular
sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan
meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.
Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan
mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler.
VII. PENATALAKSANAAN
25
A. Survey primer dan basic life support
- Baringkan pasien pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari
kepala untuk meningkatkan aliran baik vena dalam usaha memperbaiki
curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
- Amankan jalan napas, bila terjadi gagal napas bisa dilakukan bantuan
napas atau diberikan oksigen.
- Bila terjadi kegagalan sirkulasi bisa diberikan kompresi pijat jantung
luar.
B. Terapi medikamentosa
- Injeksi Adrenalin 0,5 mL IM
- Infus Ringer Laktat 60 tpm.
- Injeksi Chlorpheniramine 10 mg IM
- Injeksi Hidrokortison 200 mg IM
Dokter : Hafika
R / Andrenalin injeksi cc 1 amp No III
Cum dispossable syringe No I
S imm
R / Ringer laktat infus No III
Cum infus set No I
IV catheter no 22 No I
Three way No I
S imm
R / Chlorpheniramine inj cc 1 amp No I
Cum dispossable syringe No I
S imm
R / Hidrokortison inj amp No I
26
Cum dispossable syringe No I
S imm
Pro : Tn. D (30 th)
C. Planning
- Monitor KU dan Vital sign per 2 jam
- Balance cairan per 4 jam
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia
Ad sanam : Dubia
Ad fungsionam : Dubia
BAB III
PEMBAHASAN OBAT
I. ADRENALIN
Farmakodinamik
27
Pemberian adrenalin (epinefrin) menimbulkan efek mirip stimulasi saraf
adrenergik. Ada beberapa perbedaan karena neurotransmitter saraf adrenergik
adalah NE. Efek yang paling menonjol adalah efek terhadap jantung, otot polos
pembuluh darah dan otot polos lain. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan
tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan
meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat
pelepasan histamin dan mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin
adalah meningkatkan cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat
terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan mediator lainnya.
Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri
dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah
naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek.4,8,11
Farmakokinetik
Pada pemberian oral, adrenalin tidak mencapai dosis terapi, karena sebagian
besar dirusak oleh enzim COMT dan MAO yang banyak terdapat di dinding
usus dan hati. Pada penyuntikan SC absorbsi lambat karena adanya
vasokontriksi lokal. Absorbsi yang lebih cepat terjadi dengan penyuntikan IM.
Adrenalin stabil dalam darah. Degradasi adrenalin terutama terjadi di dalam hati
yang banyak mengandung COMT dan MAO.11
Indikasi
Penggunaan adrenalin adalah untuk mengatasi dengan cepat reaksi
hipersensitivitas, termasuk anafilaksis, terhadap obat dan alergen lainnya.
Adrenalin bekerja dengan sangat cepat (segera) sebagai vasokonstriktor dan
bronkodilator. 11
Efek samping
Pemberian adrenalin dapat menimbulkan gejala seperti gelisah, nyeri kepala
berdenyut, tremor dan palpitasi. Gejala ini mereda ketika pasien istirahat.
Adrenalin dapat menimbulkan aritmia ventrikel. Pada pasien angina pektoris,
adrenalin mudah menimbulkan serangan. 11
Sediaan dan dosis
Suntikan adrenalin adalah larutan steril 1 mg/ml (1:1000) epinefrin HCl dalam
air untuk peyuntikan SC; ini digunakan untuk mengatasi syok anafilaktik dan
reaksi – reaksi hipersensitivitas akut lainnya. Dosis dewasa berkisar antara 0,2-
0,5 mg (0,2-0,5 mL larutan 1:1000). Untuk penyuntikan IV, yang jarang
28
dilakukan, larutan ini harus diencerkan dan disuntikkan secara perlahan.
Inhalasi epinefrin adalah larutan tidak steril 1% Epi HCl atau 2% Epi bitartat
dalam air untuk inhalasi oral yang digunakan untuk menghilangkan
bronkokontriksi. Epinefrin tetes mata adalah larutan 0,1-2% Epi HCl 0,5-2%
Epi borat dan 2% Epi bitartat. 11
II. RINGER LAKTAT
Farmakologi
Kandungan elektrolit cairan ringer laktat hampir sama dengan ion-ion utama di
dalam plasma normal, sehingga cairan ini cocok sebagai cairan pengganti
parenteral terhadap kehilangan cairan dan elektrolit dari kompartemen
ekstraseluler. 11
Indikasi
Kehilangan cairan tubuh, dehidrasi hipotonis dan isotonis. 11
Dosis
Disesuaikan dengan kebutuhan cairan, umumnya 30-40 mL/kgBB/hari pada
dewasa. 11
Efek Samping
Demam, infeksi, flebitis, nyeri pada tempat suntikan, ekstravasasi. 11
III. CHLORPHENIRAMINE
Farmakodinamik
Chlorpheniramine adalah antagonis reseptor H1, yang kerjanya memblok
reseptor H1 di jaringan. AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah,
bronkus dan bermacam – macam otot polos. Bronkokontriksi akibat perilisan
histamin akan dapat dihambat menggunakan AH1. Beberapa efek lain dari
pemberian AH1 adalah efek perangsangan histamin terhadap ekskresi asam
lambung tidak dapat dihambat oleh AH1, AH1 dapat merangsan maupun
menghambat SSP, beberapa AH1 bersifat sebagai anastesi lokal, dan
antikolinergik.11
Farmakokinetik
Chlorpheniramine memiliki durasi kerja 4-6 jam. Absorbsi secara lambat pada
saluran pencernaan (oral), obat akan mencapai konsentrsi puncak plasma setelah
2,5-6 jam. Distribusi obat sangat luas, termasuk ke SSP. Chlorpheniramine akan
29
diubah menjadi dismetil dan didismetilklofeniramin. Obat diekskresikan melalui
urin. 11
Indikasi
Pada sediaan oral dapat digunakan untuk obat gangguan alergi (antialergi) pada
kulit termasuk urtikaria, pruritus, gigitan serangga, beberapa alergi obat dan
alergi akibat kontak tanaman. Hal ini juga efektif dalam mengurangi gejala
musiman, batuk dan flu, migrain, mabuk (motion sickness), mual/muntah dan
perennial rhinitis alergi seperti bersin, gatal hidung dan konjungtivitis.
Sedangkan pada sediaan injeksi digunakan untuk penatalaksaaan syok
anafilaktik. 11
Dosis
Dosis Anak-anak : oral (Usia 1 - 6 tahun) = dosis lazim 1 mg setiap 6 - 12 jam,
maksimum 6 mg per hari (Usia 6 - 12 tahun) = Preparat standar: dosis lazim 2
mg setiap 4 - 6 jam, maksimum 12 mg per hari. Preparat selanjutnya: dosis
lazim 8 mg sekali sehari. Subkutan (SC) dosis lazim 87,5 ug/kg, diberikan 4 kali
sehari 11
Dosis Dewasa : oral preparat standar: dosis lazim 4 mg setiap 4 - 6 jam,
maksimum 24 mg sehari. Preparat selanjutnya: dosis lazim 8 - 12 mg setiap 12
jam. IV lambat , IM , SC = dosis lazim 10 - 20 mg, maksimum 40 mg sehari. 11
Efek samping
Efek samping yang paling sering adalah sedasi, selain itu adalah vertigo, tinitus,
lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euforia, gelisah,
insomnia dan tremor. 11
IV. HIDROCORTISON
Farmakodinamik
Hidrokortison adalah kortikosteroid yag berkhasiat sebagai anti inflamasi dan
imunosupresif. Anti inflamasi terjadi karena terdapat supresi dari perpindahan
sel – sel polimorfonuklear dan efeknya terhadap peningkatan permeabilitas
kapiler. Hidrokortison juga dapat digunakan sebagai terapi insufisiensi
adrenokortikal. 11
Farmakokinetik
Hidrokortison diabsorbsi di saliran pencernaan. Kandungan hidrokortison yang
berupa sodium fosfat dan ester sodium suksinat dengan cepat diabsorbsi, tetapi
30
alkohol bebas dan ester lipid soluble diabsorbsi secara lambat. Distribusi obat
dapat melewati placenta. Metabolisme terjadi di hati dan diekskres via urin. 11
Indikasi
Indikasi kortikosteroid dibagi menjadi dua yaitu terapi substitusi yang bertujuan
memperbaiki kekurangan akibat insufisiensi sekresi korteks adrenal dan terapi
non endrokrin dimana dasar pemakaiannya adalah efek anti inflamasinya da
kemampuannya menekan reaksi imun. 11
Dosis
Oral (5-20 mg), parenteral 25,50 mg/ml, topikal (0,1%-2%) krim; lotion; salep,
suspensi (0,2%) suspensi; salep. 11
Efek samping
Efek samping karena penggunaan jangka lama adalah insufisiensi adrenal akut,
gangguan cairan dan elektrolit, hiperglikemia, glikosuria, alkalosis hipokalemik,
tukak peptik. 11
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
I. SIMPULAN
Pasien menjalani rawat inap di RSUD Dr.Moewardi untuk hari pertama
dengan diagnosa meningitis dan mendapatkan terapi penisilin G injeksi. Setelah
31
penyuntikan obat, pasien mengeluh pusing, lemas, dan berkeringat dingin.
Kemudian berangsur-angsur pasien mengalami penurunan kesadaran. Keadaan
umum lemah, somnolen, gizi kesan cukup. Pemeriksaan fisik : vital sign
(tekanan darah : 90/60mmHg, nadi : 150 kali/menit, teraba lemah dan cepat,
respirasi : 24 kali/menit, irama teratur, tipe torakoabdominal, suhu : 37°C per
aksiler), respirasi normal ,nafas cuping hidung (-), darah(-), sianosis (-), bibir
kering (-), mukosa pucat (-), retraksi (-), nafas tipe torakoabdominal, akral
dingin di keempat ekstremitas, GCS E3 V5 M5. Diagnosis banding : syok
anafilaktik, syok septik dan reaksi vasovagal. Diagnosis kerja : syok anafilaktik.
PROGNOSIS
Ad vitam : dubia
Ad sanam : dubia
Ad fungsionam : dubia
II. SARAN
A. Survey primer dan basic life support
- Baringkan pasien pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari
kepala untuk meningkatkan aliran baik vena dalam usaha memperbaiki
curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
- Amankan jalan napas, bila terjadi gagal napas bisa dilakukan bantuan
napas atau diberikan oksigen.
- Bila terjadi kegagalan sirkulasi bisa diberikan kompresi pijat jantung
luar.
B. Terapi medikamentosa
- Injeksi Adrenalin 0,5 mL IM
- Infus Ringer Laktat 60 tpm.
- Injeksi Chlorpheniramine 10 mg IM
- Injeksi Hidrokortison 200 mg IM
C. Planning
- Monitor KU dan Vital sign per 2 jam
- Balance cairan per 4 jam
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Longecker DE, Brown DL, Newman MF, Zapol WM. Anesthesiology :
Anaphylactic Reaction and Anesthesia. New York, McGrow-Hill; 2008. P : 1948-
1963.
33
2. Kim H, Fischer D. Anaphylaxis. Allergy, Asthma & Clinical Immunology 2011;
7(Suppl 1):1-7.
3. Arnold JJ, Williams PM. Anaphylaxis: Recognition and Management. American
Family Physician 2011; 84(10):111-118.
4. Ewan, PW. Anaphylaxis dalam ABC of Allergies. BMJ 1998; 316:1442-14455.
5. Sampson HA, et al. Clinical Immunologist and Allergist Pricess. Western
Australia : Margaret and Fremantle Hospitals; 2006.
6. Brown SGA. Clinical Feature and Severity Grading of Anaphylaxis. Hobart,
Australia : Allergy Clinical Immunology; 2004. P:371-376.9.
7. Tupper J, Visser S. Anaphylaxis A Review and Update. Canadian Family
Physician 2010; 56:1009-1011.
8. Working Group of the Resuscitation Council (UK) Emergency treatment of
anaphylactic reactions Guidelines for healthcare providers. January 2008.
9. Putra TR, Herman H. Reaksi Anafilaksis dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi
Penyakit Dalam. SMF Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana; 1994. hal 77-80.12.
10. Passmore J. Anaphylaxis/Anaphylactic Shock. NHS 2013; P:1-9.
11. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Farmakologi dan Terapi. Balai Penerbit FKUI 2009.
34