Post on 15-Feb-2015
description
1. Definisi dan Istilah
Berakhirnya kehamilan baik secara spontan maupun induksi
(buatan), sebelum fetus dapat berkembang dan bertahan hidup.
Dengan kata lain, abortus biasanya didefinisikan sebagai
pengakhiran kehamilan menjelang kehamilan 20 minggu atau berat
badan kurang 500 gram.
Abortus spontan, secara luas dipakai istilah miscarriage yaitu
abortus terjadi tanpa intervensi medis atau mekanik untuk
mengosongkan uterus.
Menurut Green-top Guideline No. 25, Oktober 2006 oleh Royal
College of Obstet-ricians and Gynaecologists (RCOG) terdapat
beberapa istilah yang direkomendasikan untuk dipakai sekarang ini,
(tabel 1.1.)
Tabel 1.1. Istilah-istilah yang direkomendasikan
Dahulu RekomendasiSehari-hari (Indonesia)
Spontaneous abortionThreatened abortionInevitable abortionIncomplete abortionComplete abortionMissed abortion
MiscarriageThreatened miscarriageInevitable miscarriageIncomplete miscarriage
Abortus spontanAbortus iminensAbortus insipienAbortus inkomplitAbortus komplitAbortus tertahanAbortus sepsis
1
Septic abortionRecurrent abortion
Complete miscarriageMissed miscarriageSeptic miscarriageRecurrent miscarriage
Abortus berulang
2. Patologi
Perdarahan kedalam desidua basalis diikuti dengan nekrosis
jaringan yang berdekatan dengan perdarahan biasanya menyertai
abortus. Bila terjadi secara dini, ovum yang terlepas merangsang
kontraksi uterus sehingga terjadi ekspulsi (pengeluaran) ovum
tersebut. Bila sudah terbentuk kantong kehamilan, cairan sering
terlihat disekitar fetus yang berukuran kecil dan telah mengalami
maserasi, atau alternatif lain tidak tampak fetus yang hidup, dikenal
dengan blighted ovum.
Pada abortus dengan usia kehamilan yang lebih tua, terjadi
beberapa luaran. Fetus yang tertahan mengalami maserasi, tulang
tengkorak kolaps, abdomen mengalami distensi dengan cairan yang
mengandung darah dan organ interna mengalami degenerasi. Kulit
melunak dan mengelupas in utero (dalam rahim) atau bila disentuh.
Selanjutnya, bila cairan amnion diserap, fetus mengalami kompresi
2
dan desikasi membentuk suatu fetus compressus. Kadang-kadang,
fetus menjadi sangat kering dan tertekan (kompresi) membentuk
fetus papyraceous.
3. Etiologi
Lebih dari 80% abortus terjadi dalam usia kehamilan 12 minggu
pertama dan pa-ling kurang setengahnya disebabkan karena
kelainan kromosom (53%), (gambar 3.1). Data yang diambil dari
penelitian Shiota K, dkk dari 3040 fetus yang mengalami abortus
spontan, 60% disebabkan karena kelainan kromosom, menurun
sampai 7% pada akhir usia kehamilan 24 minggu. Angka kelainan
genetik lebih tinggi pada anembryonic miscarriages (tidak ada
embrio). Trisomi autosomal merupakan kelainan genetik yang
paling banyak (51,9%).
3
Grafik 3.1. Frekuensi kelaianan kromosom pada abortus dan lahir mati pada tiap-tiap trimester dibandingkan dengan frekuensi
kelainan kromosom pada bayi lahir hidup.
A.Faktor Ibu
Beberapa gangguan medis, keadaan lingkungan, dan
perkembangan abnormal dapat merupakan penyebab terjadinya
abortus.
a.Infeksi
Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists
(ACOG), tahun 2001,beberapa infeksi merupakan penyebab abortus
yang luar biasa pada manusia. Menurut Sauerwein dkk tahun 1993,
Brucella abortus dan Campylobacter fetus menyebabkan abortus
kronik pada ternak (cattle), tetapi tidak bermakna pada manusia.
Pada beberapa penelitian, Feist dkk tahun 1999, Osser dan Persson
tahun 1996, Paukku dkk tahun 1999 menemukan tidak terdapat
bukti Listeria monocytogenes atau Chlamydia trachomatis
menyebabkan abortus pada manusia. Bukti bahwa Toxoplasma
gondii menyebabkan abortus pada manusia tetap tidak
meyakinkan. Menurut The Cochrane Colaboration yang baru-baru
ini dipublikasikan dalam The Cochrane Database of Systematic
Reviews 2009 issue 2 tidak ditemukan uji kontrol random
4
(randomised controlled trials/RCT) dalam pengobatan untuk
toksoplasmosis dalam kehamilanTetapi pada kenyataannya dalam
praktik sehari-hari, baik dokter umum, dokter spesialis kebidanan
dan kandungan maupun pasien sendiri mempunyai anggapan yang
sangat besar terhadap toksoplasma sebagai penyebab abortus,
sehingga pemeriksaan untuk kasus toksoplasma meningkat.
Oakesshott pada tahun 2002 melaporkan adanya hubungan antara
abortus spontan trimester kedua bukan trimester pertama dengan
vaginosis bakterial.
b.Penyakit kronis
Dalam kehamilan dini, fetus jarang mengalami keguguran
sekunder akibat penya-kit kronis seperti tuberkulosis atau
karsinomatosis. Pada penelitian Sher dkk tahun 1994, Celiac Sprue,
suatu sindrom malabsorpsi dilaporkan menyebabkan infertilitas
pada wanita dan laki-laki serta abortus berulang.
c. Kelainan endokrin
c.1. Hipotiroid
Pada kebanyakan pasien, hipotiroid sulit untuk didiagnosa secara
klinis, paling banyak ditegakkan secara laboratoris. Hipotiroid klinis
atau overt hypothyroidism didiagnosa bila kadar thyrotropin serum
5
tinggi secara abnormal diikuti dengan kadar thyroxine (T4) yang
rendah secara abnormal.
Pada penelitian Castaneda dkk tahun 2002, defisiensi iodium
dihubungkan dengan kejadian abortus spontan yang terlalu banyak.
Thyroid autoantibodies sebagai penyebab abortus masih
merupakan kontroversi. Pada penelitian Dayan dan Daniels tahun
1996, Stagnaro-Green dkk tahun 1990, thyroid autoantibodies
dihubungkan dengan peningkatan insiden abortus. Tetapi
sebaliknya penelitian Esplin dkk tahun 1998, Pratt dkk tahun 1994
pada wanita dengan abortus berulang tidak ditemukan insiden yang
lebih besar dari thyroid autoantibodies dibandingkan kontrol yang
normal. Tambahan lagi, penelitian yang dilakukan Rushworth dkk
tahun 2000 pada kelompok 870 wanita yang mengalami abortus
berulang menemukan bahwa wanita yang tidak diobati dengan
antithyroid antibodies cenderung melahirkan bayi hidup sama
halnya dengan wanita tanpa antibodies.
c.2. Diabetes mellitus
Pada penelitian Greene tahun 1999, angka abortus spontan dan
malformasi kongenital mayor meningkat pada wanita dengan
insulin-dependent diabetes. Risiko tampaknya berhubungan dengan
derajat kontrol metabolik dalam trimester pertama. Dalam suatu
6
penelitian prospektif yang dilakukan oleh Mills dkk tahun 1988
melaporkan bahwa kontrol glukosa yang baik sekali dalam 21 hari
konsepsi menghasilkan angka abortus spontan sama dengan
kontrol yang bukan pendrita diabetes. Kontrol glukosa yang jelek
menyebabkan angka peningkatan yang nyata dalam angka
keguguran. Craig dkk tahun 2002 telah melaporkan insiden yang
lebih tinggi pada wanita dengan resistensi insulin yang mengalami
abortus berulang. Makin dini pemeriksaan glukosa darah pada
seorang wanita yang menginginkan kehamilan, maka angka
keguguran makin menurun, begitu pula halnya pada wanita yang
mengalami abortus berulang, pemeriksaan hormon insulin sangat
bermanfaat untuk mencari ada atau tidak resistensi insulin.
c.3. Defisiensi progesteron
Istilah defek fase luteal, sekresi progesteron yang kurang adekuat
oleh korpus luteum atau plasenta telah diusulkan sebagai suatu
penyebab abortus. Namun menurut Salem dkk tahun 1984,
produksi progesteron yang kurang merupakan konsekuensi bukan
penyebab keguguran dini. Sedangkan menurut (RCOG) dalam
penanganan keguguran dini, progesteron serum dapat berguna
sebagai penunjang dalam menentukan kehamilan bila pemeriksaan
ultrasonografi (USG) tidak dapat menentukan lokasi kehamilan. USG
7
transvaginal, kadar serial human chorionic gonadotropin (hCG) dan
progesteron serum, semua itu diperlukan untuk menetapkan
diagnosa pasti, dengan derajat rekomendasi B. Kehamilan yang
bisa bertahan dilaporkan dengan kadar progesteron awal kurang
dari 5 ng/ml. Kadar progesteron diatas 7.86 ng/ml lebih
menunjukkan dan diatas 18.87 ng/ml dihubungkan kuat dengan
kehamilan dan setelah itu kehamilan memperlihatkan normal. Pada
penelitian Jacoeb TZ, tahun 2001 mendapat nilai potong (cut-off
point) 18.9 ng/ml. Jadi salah satu keuntungan pemeriksaan
progesteron ini dapat mengurangi tindakan evakuasi uterus yang
terburu-buru.
d.Nutrisi
Defisiensi diet dari setiap satu nutrien atau defisiensi sedang dari
semua nutrien tampaknya tidak penting dalam menyebabkan
keguguran. Sama halnya dengan nausea dan muntah yang sering
terjadi selama kehamilan dini dan penurunan berat badan akibat
diatas jarang diikuti dengan abortus spontan.
e.Pemakaian obat-obatan dan faktor lingkungan.
Beberapa zat yang berbeda telah dilaporkan berhubungan
dengan insiden abortus yang meningkat.
8
e.1. Tembakau
Menurut Harlap dan Shiono, tahun 1980, merokok erat
hubungannya dengan peningkatan risiko untuk abortus euploid.
Bagi wanita yang merokok lebih dari 14 batang per hari, risikonya
kira-kira 2 kali lipat lebih besar dibandingkan kontrol (Kline dkk,
tahun 1980).
e.2. Alkohol
Menurut penelitian Floyd dkk tahun 1999, pemakaian alkohol
yang sering selama kehamilan 8 minggu pertama, dapat
menyebabkan abortus spontan dan kelainan janin. Menurut Klien
dkk tahun 1980, bahwa angka keguguran dua kali lipat pada wanita
yang minum alkohol 2 kali seminggu dan tiga kali lipat pada wanita
yang mengkon-sumsi alkohol setap hari dibandingkan yang tidak
minum alkohol.
e.3. Kafein
Armstrong dkk tahun 1992 melaporkan bahwa wanita yang
mengkonsumsi paling sedikit 5 cangkir kopi per hari menunjukkan
peningkatan sedikit risiko abortus, dan untuk yang minum diatas 5
cangkir per hari, risikonya berkorelasi dengan jumlah cangkir yang
dikonsumsi setiap hari.
9
e.4. Radiasi
Dalam dosis yang cukup, radiasi dapat menimbulkan keguguran,
tetapi pada manusia dosis yang menimbulkan efek abortus tidak
pasti diketahui.
e.5. Kontrasepsi
Pemakaian kontrasepsi oral atau obat-obat spermatisid dalam
bentuk krim atau jeli tidak ada hubungannya dengan insiden
abortus yang meningkat.Bila alat kontrasepsi dalam rahim
(IUD/intrauterine devices) gagal untuk mencegah kehamilan, maka
dalam kenyataannya risiko abortus dan khususnya abortus sepsis
meningkat.
e.6. Toksin yang berhubungan dengan lingkungan
Menurut penelitian Barlow dan Sullivan tahun 1982, toksin berupa
arsenik, lead, formaldehid, benzen, etilen oksida merupakan zat
yang dapat menyebabkan abortus. Menurut penelitan Schnorr dkk
tahun 1991, stasiun pertunjukan video dan paparan
elektromaknetik tidak memberikan pengaruh merugikan terhadap
angka abortus. Sama halnya dengan penelitian Taskinen dkk tahun
1990, tidak ditemukan efek dengan paparan USG yang
berhubungan dengan pekerjaan. Rowland dkk tahun 1995
10
melaporkan risiko abortus spontan meningkat pada asisten dokter
gigi yang terpapar > 3 jam nitros oksida setiap hari di klinik tanpa
gas-scavenging equipment, teapi risiko tidak meningkat pada yang
memakai gas-scavenging equipment.
f. Faktor imunologi
Kehamilan dikenal sebagai benda asing (bapak meletakkan
antigen HLA pada plasenta yang berbeda dari si ibu). Bila ini terjadi
si ibu akan membuat suatu antibodi yang disebut dengan antibodi
penghambat yang menempelkan plasenta dan si ibu beranggapan
bahwa benda asing itu merupakan bagian dari dirinya sehingga
tidak membunuh tetapi melindungi bayi dan membuat sel-sel
plasenta cepat tumbuh. (Lihat gambar 3.1)
11
Gambar 3.2. Peranan HLA-G pada kehamilan normal
Pada abortus berulang dimana terjadi disfungsi imun, HLA-G ini
tidak terbentuk, malah sebaliknya terbentuk antibodi terhadap HLA-
G. Jenis pertama dari disfungsi imun yang berperanan dalam
abortus berulang adalah generasi auto-antibodies. Antibodi
bertindak melawan antigennya sendiri. Pada prinsipnya tubuh
menyerang dirinya sendiri. Sejumlah data yang besar menunjukkan
bahwa anti-fosfolipid meru-pakan pusat dari proses ini. Sindrom
antibodi antifosfolipid mempunyai gambaran klinis dan laboratories
seperti tabel 3.1 dibawah ini.
12
Tabel 3.1. Kriteria diagnosis dari sindroma antibodi antifosfolipid
yang dianjurkan.
Suggested clinical and laboratory criteria for the diagnosis of antiphospholipid antibody syndrome
Clinical Features Laboratory Features
Pregnancy Loss Lupus anticoagulant
Fetal death
Recurrent Pregnancy Loss
Thrombosis IgG anticardiolipin antibodies(< 20 GPL)
Venous
Arterial, Stroke
Autoimmune thrombocytopenia
Other IgM anticardiolipin antibodies (<20 MPL)
Coombs' positive hemolytic anemia
Levido reticularis
Pasien dengan sindroma antibody antifosfolipid harus
mempunyai minimal 1 temuan klinis dan 1 laboratoris. Uji
labortaorium positif pada 2 pemeriksaan dengan interval >
8 minggu.
Sindroma disebut dengan primer bila tidak ada penyakit yang
mendasarinya dan sekunder bila ditemukan sistemik lupus
13
eritematosus (SLE). Kira-kira 15% pasien dengan sindroma antibodi
antifosfolipid mengalami abortus berulang. Pilihan pengo-batan
meliputi steroid untuk menekan sistem imun, aspirin 81 mg per hari
dan heparin 5000 unit subkutan 2 kali sehari untuk menurunkan
pembekuan dan gamma globulin intravena. Terapi ini dimulai bila
kehamilan telah didiagnosa dan dilanjutkan sampai persalinan atau
lahir. Angka lahir hidup secara umum melebihi 70% dengan
regimen ini
g. Defek uterus
Kira-kira 10-15% dari wanita yang mengalami abortus berulang
mempunyai kelainan pada uterus. Kelainan uterus meliputi kelainan
mulerian (uterus septus, bikornus, unikornu) lihat vgambar 3,
leiomioma uteri (fibroid) dan sindroma Asherman (sinekia/parut
intra uterin) lihat gambar 3. Kondisi diatas dapat didiagnosa dengan
pemeriksaan USG transvaginal dengan memasukkan cairan NaCl
fisiologis/salin intraservikal (Salin intraservikal sonografi/SIS),
histerosalpingogram (HSG) tau histeroskopi yang dilakukan di klinik.
Wanita dengan kelainan uterus kongenital atau didapat
merupakan predisposisi untuk abortus berulang karena
vaskularisasi yang tidak adekuat untuk perkembangan embrio dan
plasenta atau volume intrauterin yang menurun. Uterus septus
14
kelainan uterus kongenital yang paling sering yang dihubungkan
dengan abortus berulang.
Gambar 3.3. Defek pada uterus
Reseksi septum uterus dengan histeroskopi (metroplasti)
menyebabkan peningkatan luaran reproduksi yang bermakna.
Pengobatan bedah dilaksanakan untuk uterus bikornus atau
unikornu. Asherman sindrom merupakan kondisi yang didapat
dimana terdapat perlengketan intrauterin paska trauma akibat
tindakan dilatasi dan kuretase dengan infeksi paska operasi.
Perlengketan ini dapat sebagian atau komplit dari obliterasi kavum
uteri. Endometrium kurang respon terhadap hormon steroid dalam
area yang dikenai oleh perlengketan. Pemisahan perlengketan
15
secara bedah dengan sukses tanpa fibrosis ekstensif dapat
memperbaiki respon endometrium. Namun, fibrosis yang tebal
dihubungkan dengan suatu prognosis yang jelek. Leiomioma uteri
(fibroid) juga dapat mempengaruhi implantasi embrio. Terdapat 3
kategori dari fibroid uteri: submukosa (distorsi dari kavum uteri),
intramural (dalam lapisan otot dari uterus) dan subserosa (dalam
lapisan yang paling luar dari uterus) lihat gambar 4. Sejumlah
penelitian retrospektif dan kohor menunjukkan bahwa terdapat
bukti yang bagus untuk mengangkat submukosa fibroid dalam
menurunkan abortus dan terdapat beberapa bukti pengangkatan
intramural fibroid juga menurunkan abortus.
. Gambar 3.4. Jenis fibromioma uteri
B.Faktor Bapak
Hanya sedikit yang diketahui tentang faktor bapak dalam
terjadinya abortus spontan. Menurut Carrell dkk tahun 2003,
kelainan kromosom dalam sperma dihu-bungkan dengan abortus.
16
Subserosa fibroid
Subserosa fibroid
Subserosa fibroid
Intramural fibroid
4. Kategori dari abortus spontan
Aspek klinis dari abortus spontan dibagi atas 5 subgrup: abortus
mengancam, abortus insipien, abortus komplit atau inkomplit,
missed abortion, dan abortus berulang.
Tabel 4.1. Manifestasi klinis dari abortus spontan
Manifestasi klinis
Diagnosa
A.iminens A.insipien A.inkomplit
A.komplit
Missed abortion
Perdarahan pervaginam
sedikit Banyak Sedikit atau banyak
Tidak ada sedikit
Nyeri kram perut
+ ++ - - -
Tinggi fundus uteri
Sesuai usia kehamilan
Sesuai usia kehamilan
Kecil dari usia kehamilan
Kecil dari usia kehamilan
Kecil dari usia kehamilan
Ostium uteri internum
tertutup terbuka terbuka tertutup tertutup
Penanganan USG transvaginal, atau serial hCG dan kadar progesteron
Evakuasi segera
evakuasi Tidak ada Dilatasi dan kuretase
Gambar
5. Evakuasi uterus
17
Evakuasi uterus terdiri dari 3 yaitu manajemen ekspektatif,
manajemen medis (obat-obatan), manajemen bedah (kuretase).
A.Manajemen ekspektatif
Dalam tahun-tahun terakhir memperlihatkan bahwa manajemen
ekspektatif menghasilkan angka abortus komplit 50-60%,
mengurangi kebutuhan kuretase dan komplikasinya. Di Netherland,
kuretase baru direncanakan 1 minggu setelah diag-nosis early
pregnancy failure ditegakkan. Menurut RCOG, manajemen
ekspektatif merupakan metode efektif yang lain dipakai dalam
kasus terseleksi dari abortus spontan trimester pertama, dengan
derajat rekomendasi A. Pada uji observasi dan uji kontrol
manajemen ekspektatif , bedah maupun medis juga
memperlihatkan variasi yang besar dalam laporan efikasinya (25-
100%). Beberapa uji randomisasi telah membandingkan
manajemen ekspektatif, medis maupun bedah. Dalam uji dengan
122 wanita, angka efektifnya 47% pada manajemen ekspektatif,
dan 95% pada manajemen bedah. Setelah 7 hari, 37% dari wanita
yang ditangani dengan ekspektatif mengalami abortus komplit.
Suatu meta analisis dari 13 uji membandingkan manajemen
ekspektatif dengan manajemen medis, ditemukan 28% mengalami
abortus komplit pada manajemen ekspektatif untuk kasus missed
18
miscarriage, dan 81% pada manajemen medis, untuk kasus abortus
inkomplit, 94% dan 99%.
B.Manajemen medis (obat-obatan)
Pada pengobatan medis saat ini obat yang sering dipakai untuk
evakuasi uterus adalah misoprostol. Misoporstol harganya murah,
merupakan analog prostaglandin yang tinggi efektifitasnya, aktif
secara oral dan pervaginam (dari 1 uji trandomisasi terkontrol
mengusulkan bahwa pemberian pervaginam lebih efektif
sedangkan 2 uji randomisasi terkontrol lain mengusulkan bahwa
pemberian oral, sublingual maupun pervaginam efektifitasnya
sama), serta dapat diberikan di praktik klinik dan terdiri dari 4
tablet (1 tablet dosis 200 µg) diletakkan di forniks posterior dengan
memakai suatu spekulum. Efek pengobatan ini dievaluasi 24 jam
setelah dosis misoprostol pertama dengan memakai USG
transvaginal. Pengobatan dikatakan berhasil bila tidak ada
ditemukan tanda tertinggalnya hasil konsepsi seperti massa
intrauterin hiperekoik fokal dengan diameter anterior-posterior
tidak melebihi 15 mm. Bila masih ditemukan sisa hasil konsepsi,
dosis kedua 800µg misoprostol diberikan melalui vagina dan
dievaluasi setelah 24 jam kemudian. Pengobatan dianggap gagal
bila terdapat perdarahan abnormal dan tanda-tanda sisa hasil
19
konsepsi seperti massa intrauterin hiperekoik fokal dengan
diameter anterior-poste`rior melebihi 15 mm pada saat USG. Dalam
kondisi ini, tidak adanya evakuasi komplit setelah > 3 hari setelah
pemberian awal, maka kuretase dilakukan. Menurut Hinshaw dkk
tahun 1993, Creinin dkk tahun 1997, Herabutya dan Prasertsawat
tahun 1997, Zalanyi tahun 1998, Chung dkk tahun 1999,
Demetroulis dkk tahun 2001, Ngai dkk tahun 2001, Sahin dkk tahun
2001, Kovavisarach dan Sathapanachai, 2002, Muffley tahun 2002,
menemukan bahwa pengobatan dengan misoprostol merupakan
suatu alternatif kuret, dapat menimbulkan ekspulsi dalam 50-99%
wanita dengan early pregnancy failure lebih dari usia kehamilan 14
minggu.Dari penelitian uji randomisasi yang dilakukan oleh Graziosi
dkk pada 3 rumah sakit pendidikan di Netherlands antara
November 2001 sampai Juni 2003 pada wanita usia 18-45 tahun
dengan diagnosis early pregnancy failure antara usia kehamilan 6-
14 minggu yang telah dimanajemen ekspektatif selama 1 minggu,
dibagi atas 2 kelompok. Kelompok pertama sebanyak 75 wanita
untuk tindakan kuretase, 79 wanita untuk pengobatan dengan
misoprostol. Dari kesimpulan penelitian ini didapatkan kuretase
secara bermakna lebih superior dalam keberhasilan evakuasi
dibandingkan misoprostol, namun misoprostol dapat dipakai di
klinik karena dapat menurunkan kebutuhan kuretase setengahnya
20
dan mempunyai angka komplikasi yang lebih rendah seperti angka
perforasi uterus, kerusakan serviks, perdarahan banyak dan risiko
yang dihubungkan dengan anestesi. Pada penelitian ini misoprostol
tidak diberikan pada keadaan hemodinamik yang tidak stabil,
riwayat seksio sesarea, diketahuinya terdapat anomali uterus,
kehamilan kembar, kecurigaan kehamilan diluar rahim, koagulopati,
adanya infeksi, penyakit paru yang berat, penyakit jantung
kongenital atau yang didapat, penyakit hati, glaucoma, sickle cell
disease, pemakaian kortikosteroid jangka lama atau insufisiensi
kelenjar adrenal. Efek samping dari pemberian pervaginam pada
misoprostol dilaporkan adanya efek pada taktus digestivus berupa
nausea dan diare tetapi tidak berat.
C.Manajemen bedah (kuretase)
Evakuasi uterus melalui bedah untuk kasus abortus harus
dilakukan dengan memakai suction curettage (aspirasi vakum),
dengan derajat rekomensasi A (menurut RCOG). Pada review oleh
Cochrane menyimpulkan bahwa aspirasi vakum lebih baik
dibandingkan kuret yang tajam pada kasus abortus inkomplit,
dengan keuntungan yang bermakna secara statistik yaitu
berkurangnya kehilangan darah, waktu prosedur yang lebih
21
pendek.Pemakaian rutin kuret logam setelah aspirasi vakum tidak
diperlukan.
Keuntungan dan kerugian evakuasi uterus secara medis dan
bedah dipaparkan dalam tabel 5.1
Tabel 5.1. Karakteristik evakuasi uterus secara medis dan
kuretase
Evakuasi secara medis (obat-obatan)
Evakuasi dengan kuretase
Dilakukan pada usia kehamilan 9 mingguAngka keberhasilan tinggi (95-99%)Paling tidak memerlukan 2 kali visitMenghindari pemakaian alat-alat pada uterusProses abortus terjadi dalam 24 jamBeberapa proses terjadi di rumahDipakai obat anti nyeri oralPerlu penambahan beberapa obat dirumahObat-obatan merangsang kram dan perdarahan, dan pengeluaran jaringan
Dilakukan pada usia kehamilan 14 mingguAngka keberhasilan (99%)Dapat dilakukan dalam 1 visitMemerlukan pemakaian alat-alat pada uterusMemerlukan waktu prosedur 5-10 menitProsedur dilakukan di klink/RSObat-obat sedasi oral atau intravena Prosedur dilakukan di klinik/RSMinimal nyeri dan perdarahan setelah prosedur dilakukan
Rujukan
22
1. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, et al. Abortion. In Williams
Obstetrics, twenty-second edition, McGRAW-HILL, New
York,2005,p 231-51.
2. Porter TF, Branch DW, Scott. Early Pregnancy Loss. In Danforth’s
Obstetrics and Gynecology, tenth edition, Gibbs RS et al (editors),
Walters Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins,2008,p 60-70.
3. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists, The
Management of Early Pregnancy Loss. Green-top Guideline No.25,
Oktober 2006,p 1-18.
4. Graziosi GCM, Mol BWJ, Reuwer PJH, et al, Misoprostol versus
curettage in women with early pregnancy failure after initial
expectant management: a randomized trial. Human Reproduction
Vol19, No8,2004,p1894-99.
5. Jacoeb TZ, Nasib kehamilan triwuan pertama: Manfaat penentuan
progesterone dan antibody antikardiolipin serum.
23
\
24