Post on 29-Jan-2016
description
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bronkiektasis merupakan penyebab kematian yang amat penting
pada negara-negara berkembang. Di negara-negara maju seperti AS,
bronkiektasis mengalami penurunan sering dengan kemajuan pengobatan.
Prevalensi bronkiektasis lebih tinggi pada penduduk dengan golongan
sosial ekonomi yang rendah. 1,2
Angka kejadian yang sebenarnya dari bronkiektasis tidak diketahui
pasti. Di negara-negara Barat, insidensi bronkiektasis diperkirakan
sebanyak 1,3% diantara populasi. Insidensi bronkiektasis cenderung
menurun dengan adanya kemajuan pengobatan antibiotika. Akan tetapi
perlu diingat bahwa insidensi ini juga dipengaruhi oleh kebiasaan
merokok, polusi udara dan kelainan kongenital. 2,3
Karadag dkk menggambarkan bahwa bronkiektasis tetap menjadi
salah satu penyebab paling umum dari morbiditas anak di negara-negara
berkembang.4 Twiss dkk baru-baru ini menunjukkan bahwa anak-anak
dengan bronkiektasis memiliki obstruksi jalan napas yang memburuk
secara signifikan dari waktu ke waktu. 5
Di Indonesia belum ada laporan tentang angka-angka yang pasti
mengenai penyakit ini. Kenyataannya penyakit ini cukup sering ditemukan
di klinik-klinik dan diderita oleh laki-laki maupun wanita. Penyakit ini
dapat diderita mulai sejak anak bahkan dapat berupa kelainan kongenital 2,3,6
B. Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah mengetahui tentang definisi,
etiologi, patogenesis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan
prognosis bronkiektasis di bidang ilmu kesehatan anak.
1
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi
(ektasis) dan distorsi bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik,
persisten atau irrevesibel. Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-
perubahan dalam dinding bronkus berupa destruksi elemen elastis, otot polos
brokus, tulang rawan dan pembuluh-pembuluh darah. Bronkus yang terkena
umumnya adalah bronkus ukuran sedang (medium size), sedangkan bronkus besar
umumnya jarang. 2
B. Klasifikasi
Berdasarkan kelainan anatomis bronkiektasis, dibagi 3 variasi:
1. Bronkiektasis tabung (tubular, silindris, fusiformis), merupakan
bronkiektasis yang paling ringan dan sering ditemukan pada bronkiektasis
yang menyertai bronchitis kronik.
2. Bronkiektasis Kantong (saccular) merupakan bentuk bronkiektasis yang
klasik, ditandai dengan adanya dilatasi dan penyempitan bronkus yang
bersifat irregular. Bentuk ini kadang – kadang berbentuk kista (cystic
bronkiektasis).
3. Bronkiektasis varicose merupakan bentuk diantara bentuk tabung dan
kantung. Istilah ini digunakan karena perubahan bentuk bronkus
menyerupai varises pembuluh vena.
C. Etiologi
Etiologi bronkiektasis sampai sekarang masih belum jelas. Namun diduga
bronkiektasis dapat timbul secara kongenital maupun didapat.
1. Kelainan kongenital
Bronkiektasis terjadi sejak individu masih dalam kandungan. Faktor genetik atau
faktor pertumbuhan dan perkembangan memegang peranan penting. Bronkiektasis
yang timbul kongenital biasanya mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada
satu atau kedua bronkus. Selain itu, bronkiektasis kongenital biasanya menyertai
2
penyakit-penyakit kongenital seperti Fibrosis kistik, Kertagener Syndrome,
William Campbell syndrome, Mounier-Kuhn Syndrome, Young syndrome, Ciliary
dyskinesia, Marfan syndrome, Bruton agammaglobulinemia, dll. 2,7
2. Kelainan didapat
Bronkietasis yang didapat sering berkaitan dengan obstruksi bronkus.
Dilatasi bronkus mungkin disebabkan karena kelainan didapat dan
kebanyakan merupakan akibat dari proses berikut:
a. Infeksi
Bronkiektasis sering terjadi sesudah seorang anak menderita
pneumonia yang sering kambuh dan berlangsung lama. Pneumonia
merupakan komplikasi pertusis maupun influenza yang diderita semasa
anak, tuberkulosis paru, dan sebagainya.2
Kehadiran Staphylococcus aureus dikaitkan dengan fibrosis kistik
atau aspergillosis bronkopulmonalis alergi. Aspergillus fumigatus
merupakan organisme komensal. Aspergillosis bronkopulmonalis alergi
adalah suatu keadaan yang mempengaruhi pasien asma dan melibatkan
kerusakan saluran napas yang disebabkan oleh beberapa faktor.
Bronkiektasis pada pasien dengan aspergillosis bronkopulmonalis alergi
ini disebabkan oleh reaksi imun pada aspergillus, kerja dari mikotoksin,
elastase dan interleukin-4 dan interleukin-5 dan pada tahap lanjut terjadi
invasi jamur secara langsung pada saluran napas. Sebuah laporan baru-
baru ini menunjukkan peningkatan dan penurunan fungsi paru dengan
penggunaan kortikosteroid setelah terapi itrakonazol menunjukkan
organisme Aspergillus juga mungkin menginfeksi. Tidak mengherankan
bahwa bronkiektasis dapat digambarkan pada pasien dengan Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS), menyebabkan terjadinya infeksi
saluran pernapasan berulang dan merusak respons host. Kebanyakan
pasien memiliki jumlah CD4 yang rendah, sebelumnya ada infeksi
piogenik, pneumocystic, dan infeksi mikobakteri, dan pneumonia
interstisial limfositik (pada anak). 6
3
b. Obstruksi bronkus
Obstruksi bronkus dapat disebabkan oleh berbagai macam sebab
seperti korpus alienum, karsinoma bronkus atau tekanan dari luar lainnya
terhadap bronkus. Menurut penelitian para ahli diketahui bahwa infeksi
ataupun obstruksi bronkus tidak selalu nyata (automatis) menimbulkan
bronkiektasis.
Gambar 1. Perbedaan gambaran paru normal dengan paru pengidap
bronkiektasis.
c. Aspirasi kronis, yang berhubungan dengan disfungsi menelan, penyakit
gastroesophageal reflux, atau fistula trakeoesofageal
d. Gangguan jaringan ikat, termasuk rheumatoid arthritis dan lupus
eritematosus sistemik
e. Trakea stenosis dengan gangguan pembersihan mukosiliar
f. Tracheomalacia berat atau bronchomalacia dengan gangguan clearance
mukosiliar
g. Penyakit fibrosis paru-paru yang berhubungan dengan sarkoidosis atau
fibrosis paru idiopatik
h. atelektasis persistent 7,8
4
D. Epidemiologi
Bronkiektasis merupakan penyebab kematian yang amat penting pada
negara-negara berkembang. Di negara-negara maju seperti AS, bronkiektasis
mengalami penurunan seiring dengan kemajuan pengobatan. Prevalensi
bronkiektasis lebih tinggi pada penduduk dengan golongan sosioekonomi yang
rendah. Sebab kematian yang terbanyak pada bronkiektasis adalah karena gagal
napas. Bronkiektasis lebih sering terjadi pada perempuan daripada laki-laki. 1,9
E. Patogenesis
Berdasarkan defenisinya, bronkiektasis menggambarkan suatu keadaan
dimana terjadi dilatasi bronkus yang ireversibel (> 2 mm dalam diameter) yang
merupakan akibat dari destruksi komponen muskular dan elastis pada dinding
bronkus. Rusaknya kedua komponen tersebut adalah akibat dari suatu proses
infeksi, dan juga oleh pengaruh cytokine inflamasi, nitrit okside dan netrophilic
protease yang dilepaskan oleh sistem imun tubuh sebagai respon terhadap
antigen.9
Bronkiektasis dapat terjadi pada kerusakan secara langsung dari dinding
bronkus atau secara tidak langsung dari intervensi pada pertahanan normal jalan
nafas. Pertahanan jalan nafas terdiri dari silia yang berukuran kecil pada jalan
nafas. Silia tersebut bergerak berulang-ulang, memindahkan cairan berupa mucus
yang normal melapisi jalan nafas. Partikel yang berbahaya dan bakteri yang
terperangkap pada lapisan mukus tersebut akan dipindahkan naik ke tenggorokan
dan kemudian batukkan keluar atau tertelan.9
Gambar 2. Gambaran bronkus pada bronkiektasis
5
F. Diagnosis
1. Gambaran klinis
Manifestasi klasik dari bronkiektasis adalah batuk dan produksi
sputum harian yang mukopurulen sering berlangsung bulanan sampai
tahunan. Batuk kronik yang produktif merupakan gejala yang menonjol.
Dapat juga terjadi infeksi berulang pernapasan, sesak napas, dan sesekali
hemoptisis. 2,6,7
Sputum yang bercampur darah atau hemoptisis dapat menjadi
akibat dari kerusakan jalan napas dengan infeksi akut. Sputum yang
dihasilkan dapat berbagai macam, tergantung berat ringannya penyakit dan
ada tidaknya infeksi sekunder. Sputum dapat berupa mukoid,
mukopurulen, kental dan purulen. Jika terjadi infeksi berulang, sputum
menjadi purulen dengan bau yang tidak sedap. Dahulu, jumlah total
sputum harian digunakan untuk membagi karakteristik berat ringannya
bronkiektasis. Sputum yang kurang dari 10 ml digolongkan sebagai
bronkiektasis ringan, sputum dengan jumlah 10-150 ml perhari
digolongkan sebagai bronkiektasis moderat dan sputum lebih dari 150 ml
digolongkan sebagai bronkiektasis berat. Namun sekarang, berat ringannya
bronkiektasis dikalsifikasikan berdasarkan temuan radiologis. Pada pasien
fibrosis kistik, volume sputum pada umumnya lebih banyak dibanding
penyakit penyebab bronkiektasis lainnya. Dispnea dan mengi terjadi pada
75 % pasien. Nyeri dada pleuritis terjadi pada 50 % pasien dan
mencerminkan adanya distensi saluran napas perifer atau pneumonitis
distal yang berdekatan dengan permukaan pleura viseral.6
2. Pemeriksaan fisik
Ditemukannya suara napas tambahan pada pemeriksaan fisik dada,
termasuk crackles (70 %), wheezing (34 %), dan ronki (44 %) adalah
petunjuk untuk diagnosis. Dahulu, clubbing finger atau jari tabuh adalah
gambaran yang sering ditemukan, tapi saat ini prevalensi gambaran
tersebut hanya 3 %.
6
3. Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan radiologis
Rontgen thoraks
Temuan umum yang diharapkan pada radiografi posterior-
anterior dan lateral meliputi:
a. Peningkatan gambaran corakan paru
Gambar 3. Radiografi thorax posteroanterior pada anak
karena aspirasi kronis
b. Honeycomb
Honeycomb appearance merupakan gambaran seperti
sarang lebah, yang merupakan kista multipel yang meng
andung cairan. 2
Gambar 4. Gambaran honeycomb appearance
7
c. Atelektasis
Atelektasis berasal dari bahasa Yunani yaitu ateles dan
ekstasis yang berarti pengembangan yang tidak sempurna.10
Atelektasis merupakan kolapsnya paru atau alveolus,
alveolus yang kolaps tidak mengandung udara sehingga
tidak dapat ikut serta di dalam pertukaran gas. Kondisi ini
mengakibatkan penurunan luas permukaan yang tersedia
untuk proses difusi dan kecepatan pernafasan berkurang.11
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-
paru akibat penyumbatan saluran udara ( bronkus maupun
bronkiolus ) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.12
Gambar 5. Atelektasis
Dengan pemeriksaan foto thoraks, maka pada bronkiektasis dapat
ditemukan gambaran spesifik seperti dibawah ini 1,9
a. Bronkus yang melebar pada bronkiektasis varikosa
b. Kista kluster pada bronkiektasis kistik
c. Garis linear lusen dan tram tracking pada bronkiektasis silindris
/ Tramline shadow
Gambaran ini dapat terlihat pada bagian perifer paru. Bayangan
ini terlihat terdiri atas dua garis paralel yang putih dan tebal yang
dipisahkan oleh daerah berwarna hitam. Gambaran seperti ini
8
(A) (B)
sebenarnya normal ditemukan pada daerah parahilus. Tramline
shadow yang sebenarnya terlihat lebih tebal dan bukan pada daerah
parahilus.
d. Ring shadow
Terdapat bayangan seperti cincin dengan berbagai ukuran (dapat
mencapai diameter 1 cm). Dengan jumlah satu atau lebih bayangan
cincin sehingga membentuk gambaran ‘honeycomb appearance’
atau ‘bounches of grapes’. Bayangan cincin tersebut menunjukkan
kelainan yang terjadi pada bronkus.
e. Tubular shadow Ini merupakan bayangan yang putih dan tebal.
Lebarnya dapat mencapai 8 mm. Gambaran ini sebenarnya
menunjukkan bronkus yang penuh dengan sekret. Gambaran ini
jarang ditemukan, namun gambaran ini khas untuk bronkiektasis.
Gambar 6. (A). Tanda panah menunjukan gambaran Ring shadow, (B).
Gambaran tubular shadow.
Bronkografi
Merupakan pemeriksaan foto dengan pengisian media kontras
ke dalam sistem saluran bronkus pada berbagai posisi (AP, Lateral,
Oblik). Pemeriksaan ini selain dapat menentukan adanya
bronkiektasis, juga dapat menentukan bentuk-bentuk bronkiektasis
yang dibedakan dalam bentuk silindris (tubulus, fusiformis), sakuler
(kistik) dan varikosis.6
9
Gambar 7. Bronkografi; dapat menunjukkan bronkiektasis silindris
yang disertai dilatasi bronkus lobus bawah
CT-Scan thorax
CT-Scan dengan resolusi tinggi berguna untuk mengkonfirmasi
dan monitoring bronkiektasis.13 CT-Scan dengan resolusi tinggi
menjadi pemeriksaan penunjang terbaik untuk mendiagnosis
bronkiektasis, mengklarifikasi temuan dari foto thorax dan melihat
letak kelainan jalan napas yang tidak dapat terlihat pada foto polos
thorax. CT-Scan resolusi tinggi mempunyai sensitivitas sebesar 97%
dan spesifisitas sebesar 93%. CT-Scan resolusi tinggi akan
memperlihatkan dilatasi bronkus dan penebalan dinding bronkus.
Modalitas ini juga mampu mengetahui lobus mana yang terkena,
terutama penting untuk menentukan apakah diperlukan pembedahan. 1,2
CT-Scan, terutama resolusi tinggi dapat menghasilkan gambar
yang menunjukan dilatasi saluran napas dengan ketebalan dengan
ketebalan 1,0-1,55 mm. Sebagai konsekuensinya, saat ini pemeriksaan
ini adalah teknik standar atau untuk mengkonfirmasi diagnosis
bronkiektasis. 1,2
10
G. Diagnosis banding 7
Aspiration Pneumonitis Bacterial Pneumonia Chronic Obstructive Pulmonary Disease Emfisema Asthma Bronchitis Tuberkulosis
H. Penatalaksanaan
a. Non medikamentosa
Pengelolaan ini ditujukan terhadap semua pasien bronkiektasis, meliputi:
1. Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien
Contohnya membuat ruangan hangat, udara ruangan kering, mencegah
atau menghentikan paparan terhadap rokok, mencegah atau menghindari
debu, asap dan sebagainya. 2
2. Memperbaiki drainase sekret bronkus
Melakukan drainase portural tindakan ini merupakan cara yang
paling efektif untuk mengurangi gejala, tetapi harus terjadi secara terus-
menerus. Pasien diletakkan dengan posisi tubuh sedemikaian rupa
sehingga dapat dicapai drainase sputum secara maksimal. Tiap kali
11
Gambar 8. Pada CT resolusi tinggi menunjukan dilatasi saluran napas pada kedua lobus dan lingula. Pada potongan melintang, dilatasi saluran napas menunjukan ringlike appearance.
melakukan drainase postural dikerjakan selama 10-20 menit samapi
sputum tidak keluar lagi dan tiap hari dikerjakan 2 sampai 4 kali. Prinsip
drainase postural ini adalah usaha mengeluarkan sputum dengan bantuan
gravitasi. Untuk keperluan tersebut, posisi tubuh saat dilakukan drainase
postural harus disesuaikan dengan letak bronkiektasisnya. Tujuannya
adalah untuk menggerakkan sputum dengan pertolongan gaya gravitasi
agar menuju ke hilus paru bahkan mengalir sampai tenggorokan sehingga
mudah dibatukkan keluar. Apabila dengan mengatur posisi tubuh pasien
seperti tersebut diatas belum diperoleh drainase sputum secara maksimal
dapat dibantu dengan tindakan memberikan ketukan dengan jari pada
punggung pasien (tabotage). 2
b. Medikamentosa
1. Antibiotik
Antibiotik pada bronkiektasis dapat digunakan:1). Secara kontinyu
untuk mengontrol infeksi bronkus (ISPA), 2). Untuk pengobatan
eksaserbasi infeksi akut pada bronkus/paru, atau 3). Keduanya. Pemilihan
antibiotik mana yang harus dipakai sebaiknya berdasarkan hasil uji
sensitivitas kuman terhadap antibiotik. Antibiotik intravena diberikan
apabila terdapat eksaserbasi infeksi akut. Antibiotik diberikan selama 7-10
hari, terapi tunggal atau kombinasi beberapa antibiotik, samapai kuman
penyebab infeksi terbasmi atau sampai terjadi konversi warna sputum
yang semula berwarna kuning/hijau menjadi mukoid (putih jernih).
Selanjutnya ada dosis pemeliharaan. Ada yang berpendapat bahwa
kemoterapi dengan antibiotik ini apabila berhasil akan dapat mengurangi
gejala batuk, jumlah sputum dan gejala lainnya terutama pada saat ada
eksaserbasi akut, tetapi keadaan ini hanya bersifat sementara. 2,7
Antibiotik yang dapat digunakan antara lain:
a. Amoksisilin
Amoksisilin menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan
mengikat penicillin-binding proteins. Untuk usia < 3 bulan
dosis 30 mg/kg/hari PO dibagi tiap 12 jam. Untuk usia > 3
12
bulan, jika infeksi ringan diberi 20 mg/kg/hari PO dibagi tiap 8
jam, atau 25 mg/kg/hari PO dibagi tiap 12 jam. Jika pada
infeksi berat, infeksi saluran nafas bawah, sinusitis, diberi 40
mg/kg/hari PO dibagi tiap 8 jam, atau 45 mg/kg/hari PO dibagi
tiap 12 jam. Jika berat badan >40 kg, maka diberikan seperti
dosis dewasa. 7
b. Ciprofloksasin
Untuk usia dibawah 1 tahun, keamanan dan efikasinya belum
diketahui. Untuk usia > 1 tahun (IV) 6-10 mg/kg dibagi tiap 8
jam.; individual dose, maximal 400 mg, diberikan selama 10-
21 hari. ≥1 tahun (PO) 10-20 mg/kg dibagi tiap 12 jam;
individual dose, maksimal 750 mg, diberikan selama 10-21
hari. Untuk kasus kistik fibrosis dosis lebih besar, yaitu PO: 40
mg/kg/hari, dibagi tiap 12 jam; maksimal 2 g/hari . untuk IV:
20-30 mg/kg/hari, dibagi tiap 8-12 jam; maksimal 1.2 g/hari. 7
c. Trimethoprim dan sulfamethoxazole
Agen ini adalah antibiotik sintetik kombinasi. Mekanisme kerja
dengan menghambat biosintesis asam nukleat dan protein yang
dibutuhkan oleh banyak mikroorganisme. Agen ini
menyediakan dapat digunakan untuk organisme gram positif
dan gram negatif. Obat ini dikontraindikasikan untuk bayi usia
< 2bulan. Untuk infeksi ringan dan sedang dosis 8 mg /kg/hari
PO dibagi tiap 12 jam. Untuk infeksi berat dosis 15-20 mg
/kg/hari PO dibagi tiap 6 jam, atau 8-12 mg /kg/hari IV dibagi
tiap 6-12 jam. 7
d. Levofloksasin
Fluoroquinolones digunakan secara empiris pada pasien dengan
eksaserbasi karena organisme resisten terhadap antibiotik
lainnya. Levofloxacin biasa digunakan pada pneumonia.
Mekanisme kerjanya dengan menghambat aktivitas DNA
girase. Untuk rhinosinusitis bakterial akut dosis 10-20
mg/kg/hari PO dibagi tiap 12 jam. Untuk pneumonia, pada usia
13
6 bulan - 5 tahun dosis 16-20 mg/kg/hari PO untuk 10 hari.
Untuk usia 5-16 tahun: 8-10 mg/kg/hari PO selama 10 hari,
maksimal 750 mg/hari. 7
2. Drainase sekret dengan bronkoskop
Cara ini penting dikerjakan terutama pada permulaan perawatan
pasien. Keperluannya antara lain adalah untuk 1). Menentukan darimana
asal sekret, 2). Mengidentifikasi lokali stenosis atau obstruksi bronkus, dan
3). Menghilangkan obstruksi bronkus dengan sustion drainage daerah
obstruksi tadi (misalnya pada pengobatan atelektasis paru).
3. Pengobatan simtomatik
Pengobatan ini hanya diberikan jika timbul gejala yang mungkin
menganggu atau membahayakan pasien.
a) Pengobatan obstruksi bronkus
Apabila ditemukan tanda obstruksi bronkus. Sebaiknya saat
diketahui adanya tanda obstruksi saluran, dilakukan tes terhadap obat
bronkodilator. Apabila hasil tes bronkodilator positif, pasien perlu
diberikan obat bronkodilator tersebut.2 Bronkodilator yang dapat
digunakan antara lain:
i) Albuterol
Albuterol melemaskan otot polos bronkus dengan bekerja
pada beta2-reseptor. Ini memiliki sedikit efek pada
kontraktilitas otot jantung. Dosis untuk inhaler aerosol
digunakan pada usia ≥4 tahun: 90-180 mcg (1-2 puffs)
dihirup PO tiap 4-6 jam. Untuk usia <4 tahun belum
diketahui keamanan dan efikasinya. Sedangkan dosis untuk
nebulizer
<2 tahun: 0.2-0.6 mg/kg/hari dibagi tiap 4-6 jam
2-12 tahun dan <15 kg: 2.5 mg/0.5mL (0.5 % solution)
tiap 6-8 jam; maksimal 10 mg (4 vials)/24 jam
2-12 tahun dan >15 kg: 1 vial (2.5 mg/3mL) tiap 6-8
jam; maksimal 10 mg (4 vials)/24 jam
>12 tahun: 2.5 mg (1 vial) tiap 6-8 jam PRN. 7
14
ii) Levalbuterol
Levalbuterol digunakan untuk pengobatan atau pencegahan
bronkospasme. Ini adalah agen agonis beta2 selektif.
Dosis untuk nebulizer solution
<5 tahun: 0.31-1.25 mg tiap 4-6 jam PRN
5-12 tahun: 0.31 mg tiap 8 jam; maksimal 0.63 mg
tiap 8 jam PRN
>12 years: 0.63-1.25 mg tiap 8 jam PRN
Aerosol
<4 tahun: keamanan dan efikasi belum diketahui.
≥4 tahun: 90 mcg (2 aktuasi metered-dose inhaler)
tiap 4-6 jam PRN. 7
b) Pengobatan hipoksia
Pada pasien yang mengalami hipoksia (terutama pada waktu
terjadinya eksaserbasi akut) perlu diberikan oksigen. Apabila pada
pasien telah terdapat komplikasi bronkitis kronik, pemberian oksigen
harus hati-hati, harus dengan aliran rendah (cukup 1 liter/menit). 2
Terapi oksigen bertujuan untuk mempertahankan saturasi
oksigen di atas 95%. Terapi oksigen ini diindikasikan pada kasus
hipoksia, sesak nafas, dan kenaikan denyut jantung yang diikuti
dengan penurunan saturasi oksigen (SaO2) secara progresif. 14 Menurut
PDPI pemberian oksigen diindikasikan pada kondisi PaO2 < 60mmHg
atau Saturasi O2 < 90% PaO2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 >
89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P pullmonal, Ht >55% dan
tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain. 15
Sehingga kebutuhan oksigen tiap pasien berbeda dan pemberian terapi
oksigen tergantung kondisi klinis, saturasi oksigen pasien tersebut, dan
alat bantu oksigen yang digunakan (headbox, nasal kanul, beberapa
jenis masker). 14
c) Pengobatan hemoptisis
15
Apabila perdarahan cukup banyak (masif), mungkin
merupakan perdarahan arterial yang memerlukan tidakan operatif
segera untuk menghentikan perdarahannya, dan sementara harus
diberikan transfusi darah untuk menggantikan darah yang hilang. 2
Hemoptisis yang mengancam kehidupan (lebih dari 600 ml darah
per hari) dapat terjadi pada pasien dengan bronkiektasis. Setelah jalan
napas telah dilindungi dengan pasien berbaring di sisi tempat
perdarahan yang dicurigai atau dengan intubasi endotrakeal,
bronkoskopi atau CT dari thoraks diyakinkan membantu menentukan
lobus atau sisi yang mengalami perdarahan. Jika intervensi radiologi
tersedia, aortography dan kanulasi dari arteri bronkial dapat digunakan
untuk memgambarkan lokasi ekstravasasi darah atau neovaskularisasi
sehingga embolisasi yang dapat ditunjukan. Pembedahan mungkin
masih diperlukan untuk direseksi daerah yang dicurigai mengalami
perdarahan. 2,6
d) Pengobatan demam
Pada pasien dengan eksaserbasi akut sering terdapat demam,
terlebih jika terjadi septikemia. Pada keadaan ini selain perlu diberikan
antibiotik yang sesuai, dosis cukup, perlu ditambahkan abat antipiretik
lainnya.
e) Pembedahan
Peran pembedahan untuk bronkiektasis telah menurun tetapi
tidak menghilang. Tujuan dari operasi pengangkatan tumor termasuk
menghilangkan tumor obstruktif atau residu dari benda asing,
pengangkatan segmen atau lobus yang paling rusak dan diduga
berkontribusi terhadap eksaserbasi akut, sekret yang sangat kental,
impaksi lendir. Pengambilan daerah yang memiliki perdarahan
abnormal yang tidak terkontrol, dan pengambilan dari paru rusak yang
dicurigai mengandung organisme seperti M. TB atau Mycobacterium
avium. Tiga pusat bedah telah menggambarkan pengalaman mereka
dengan operasi tersebut selama dekade terakhir, dengan rata-rata
tindak lanjut empat sampai enam tahun. Mereka telah mencatat
16
perbaikan dalam gejala di lebih dari 90 % pasien, dengan mortalitas
perioperatif kurang dari 3 %. 6
Indikasi pembedahan berupa pasien bronkiektasis yang terbatas
dan resektabel yang tidak berespon terhadap tindakan konservatif yang
adekuat, dan pasien bronkiektasis yang terbatas tetapi sering
mengalami infeksi berulang atau hemoptisis masif. Kontraindikasi
pembedahan berupa pasien bronkiektasis dengan PPOK, pasien
bronkiektasis berat dan pasien dengan komplikasi korpulmonum
kronik dekompensata. 2
I. Komplikasi
Bronkiektasis progresif dari penyakit yang mendasari (misalnya,
fibrosis kistik) atau kerusakan paru yang sedang berlangsung (misalnya,
sindrom aspirasi) menyebabkan obstruktif progresif dan dapat berujung
pada gangguan pernapasan. Hal ini dapat bermanifestasi sebagai dyspnea
pada saat istirahat atau dengan olahraga dan gangguan pernapasan saat
tidur. Pada akhirnya, pasien mungkin mengalami hipoksemia kronis,
hipertensi paru, cor pulmonale, hiperkarbia, kegagalan pernafasan, dan
kematian. 7
J. Prognosis
Prognosis pasien dengan bronkiektasis tergantung pada berat-
ringannya serta luasnya penyakit waktu pasien berobat pertama kali.
Pemilihan pengobatan secara tepat (konservatif atau pembedahan) dapat
memperbaiki prognosis penyakit. Pada kasus yang berat dan tidak diobati,
prognosisnya buruk, survivalnya tidak akan lebih dari 5-15 tahun. Pada
kasus-kasus tanpa komplikasi bronkitis kronik berat dan difus biasanya
disabilitasnya ringan. 2
Namun secara keseluruhan bronkiektasis memiliki prognosis yang
baik. Kunci keberhasilan adalah menentukan apakah penyebab (misalnya,
aspirasi kronis) dan kemudian mengobati masalah mendasar. Pertumbuhan
jaringan paru baru pada anak-anak berlangsung cepat sampai sekitar usia 6
17
tahun dan kemudian berangsur-angsur berkurang saat masa kanak-kanak.
Kerusakan pada usia dini dapat dikompensasikan dengan pertumbuhan
paru sehat yang normal dengan tidak adanya kerusakan yang sedang
berlangsung. Dengan tidak adanya kondisi yang mendasari, anak-anak
dengan bronkiektasis sering memiliki prognosis yang baik.7
III. KESIMPULAN
18
1. Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi
(ektasis) dan distorsi bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan
kronik, persisten atau irrevesibe.
2. Etiologi bronkiektasis sampai sekarang masih belum jelas. Bronkiektasis
dapat timbul secara kongenital maupun didapat.
3. Tanda gejala dari bronkiektasis adalah batuk, produksi sputum, infeksi
berulang pernapasan, sesak napas, dan hemoptisis.
4. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan crackles (70 %), wheezing (34 %),
dan ronki (44 %) dan clubbing finger.
5. Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan adalah rontgen thorax, CT scan
thorax, dan bronkografi.
6. Penatalaksanaaan bronkiektasis meliputi non medikamentosa dan
medikamentosa.
DAFTAR PUSTAKA
19
1. Emmons EE. 2014. Bronchiectasis. Diakses pada tanggal 1 Juli 2015. dari
http://emedicine.medscape.com/article/296961-overview#showall.
2. Rahmatullah P. Bronkiektasis, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi Kelima. Editor Aru W Sudoyo. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009
3. Alsagaff H, Mukty A. Bronkiektasis. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru,
Surabaya : Airlangga University Press; 2006. Pp 256-61
4. Karadag B, Karakoc F, Ersu R, et al. Non-cystic-fibrosis bronchiectasis in
children: a persisting problem in developing countries. Respiration. 2005
May-Jun. 72(3):233-8.
5. Twiss J, Stewart AW, Byrnes CA. Longitudinal pulmonary function of
childhood bronchiectasis and comparison with cystic fibrosis. Thorax.
2006 May. 61(5):414-8.
6. Barker, Alan F. Bronchiectasis. The New English Journal of Medicine,
Vol. 346, No. 18 May 2, 2002
7. Bye, Michael R. 2013. Pediatric Bronchiectasis. Diakses tanggal 30 Juni
2015 dari http://emedicine.medscape.com/article/1004692-overview#a4
8. Sirmali M, Turut H, Kisacik E, et al. 2005. The relationship between time
of admittance and complications in paediatric tracheobronchial foreign
body aspiration. Acta Chir Belg. 2005 Nov-Dec. 105(6):631-4
9. Hassan I, Holbert John M. 2013. Bronchiectasis Imaging.Diakses pada
tanggal 1 Juli 2015 dari http://emedicine.medscape.com/article/354167-
overview# showall.
10. Madappa, Tarun, Rylan P Byrd, et al. 2014. Atelectasis. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/296468-overview tanggal 1 Juli
2015.
11. Corwin, Elizabeth J. Buku Suku Patofisiologi . Jakarta: EGC; 2009
12. Price, Sylvia, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses
Penyakit, Ed. 6. Jakarta: EGC; 2006
13. Marcdante, Karen J, Robert M Kliegman. Nelson Essentials of Pediatrics
7th Edition. Philadelphia: Elsevier Inc; 2015
20
14. 14. Goddard, Bernadette. Guideline Oxygen Therapy an Delivery Devices
for Paediatrics John Hunter Children’s Hospital. New South Wales:
Kaleidoscope The Children’s Health Network; 2012
15. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta:
PDPI; 2003
21