Post on 22-Jan-2020
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
A.1. Konsep Sistem Peradilan Pidana
Secara umum sistem peradilan pidana dapat dimaknai sebagai suatu
proses bekerjanya beberapa lembaga yang dimulai dari tahap penyidikan,
penuntutan, pemeriksaan di pengadilan hingga adanya putusan hakim yang
dijalankan oleh lembaga pemasyarakatan.22 Menurut Romli Atmasasmita
yang dikutip dari sebuah jurnal yang ditulis oleh Michael Barama
mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana sebagai suatu penegakan
hukum atau law enforcement, maka didalamnya terkandung aspek hukum
yang menitik beratkan kepada operasionalisasi berjalannya suatu peraturan
perundang-undangan dalam hal mengupayakan penanggulangan kejahatan
dan bertujuan untuk mencapai kepastian hukum.23
Kemudian menurut Mardjono yang dikutip dalam buku Romli
Atmasasmita yang berjudul Sistem Peradilan Pidana Kontemporer
menyatakan bahwa sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu
masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi
diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada di batas-batas
22 Supriyanta, KUHAP dan Sistem Peradilan Pidana Terpadu, http://download.
portalgaruda.org/article.php?article=114843&val=5264, diakses tanggal 09 Desember 2017
23 Michael Barama. 2016. Model Sistem Peradilan Pidana dalam Perkembangan. Jurnal
Ilmu Hukum. Vol. 3. No. 8. Hal. 9
20
toleransi masyarakat. Sehingga definisi disini memberikan maksud bahwa
dengan adanya sistem peradilan pidana digunakan untuk upaya
pengendalian terhadap masalah hukum yangtimbul agar tetap berada di
batas toleransi masyarakat atau dapat dikatakan tidak melebihi batas.24
Selanjutnya pembahasan mengenai tujuan akhir dari sistem
peradilan pidana yakni dalam jangka panjang untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat yang merupakan tujuan kebijakan sosial dan
dalam jangka pendek untuk mengurangi terjadinya kejahatan dan
residivisme (kecenderungan individu atau kelompok untuk mengulangi
perbuatan tercela walaupun telah pernah dihukum karena melakukan
perbuatan tersebut). Jika tujuan ini tidak tercapai maka dapat dipastikan
bahwa sistem itu tidak berjalan secara efisien.25
Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem peradilan pidana
merupakan suatu ciri dengan pendekatan sistem dalam mengatasi
kejahatan yang ada di masyarakat untuk menjamin kesejahteraan dan
perlindungan terhadap masyarakat di Indonesia.
Kemudian berdasarkan peraturan perundang-undangan tahapan
dalam proses peradilan pidana di Indonesia ada 4 yakni tahap penyelidikan
dan penyidikan, tahap penuntutan, tahap pemeriksaan pengadilan dan
24 Romli Atmasasmita, 2011. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta. Kencana
Prenadamedia Group. Hal. 3
25 Ibid
21
tahap pelaksanakan putusan.26 Sehingga dalam hal ini tahapan-tahapan
tersebut harus dilewati untuk menyelesaikan perkara pidana.
Pada umumnya dalam menjalankan sistem peradilan di Indonesia
disini dilakukan oleh suatu lembaga peradilan seperti Mahkamah
Konstitusi, Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan dibawah
Mahkamah Agung yakni Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Setiap lembaga peradilan
memiliki tugas dan wewenang masing-masing dalam menjalankan
peradilan di Indonesia. Akan tetapi dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara pidana ialah peradilan umum seperti pengadilan negeri dan/atau
pengadilan khusus yang diatur oleh undang-undang lain.
A.2. Sub Sistem Peradilan Pidana
Sub sistem peradilan pidana di Indonesia yang diakui baik dalam
pengetahuan kebijakan pidana maupun dalam ruang lingkup penegakan
hukum terdiri dari beberapa 4 sub dan/atau komponen dan/atau unsur
yakni Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.
Namun, apabila sistem peradilan pidana dilihat sebagai salah satu
pendukung dari suatu kebijakan kriminal maka unsur pembuat undang-
undang juga memiliki peran penting dalam sistem peradilan pidana.27
26 Rusli Muhammad, 2011. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Yogyakarta. UII
Press. Hal. 62
27 Romli Atmasasmita, Op.cit. Hal. 16
22
Hal yang mendasari dari sub sistem yang disebutkan di atas,
Indonesia mengacu kepada peraturan Undang-undang RI Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut dengan Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dimana dalam hal ini,
peraturan tersebut juga memuat tugas dan wewenang dari tiap sub sistem
yang dimulai dari penyelidikan hingga pelaksanaan hukuman.28
Penjelasan lebih lanjut mengenai sub sistem dalam peradilan
pidana akan diuraikan sebagai berikut :
a. Kepolisian
Kepolisian diatur dalam Undang-undang RI Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Menurut pasal 13
kepolisian mempunyai tugas pokok yakni memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Kemudian sebelum berlakunya KUHAP, penyidik terdahulu adalah
kejaksaan dan polisi hanya sebagai pembantu jaksa penyidik akan tetapi
setelah diberlakukan KUHAP di Indonesia diatur dalam pasal 5 sampai
7 KUHAP polisi memiliki kewenangan khusus yakni sebagai penyidik.
b. Kejaksaan
Kejaksaan diatur dalam Undang-undang RI Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Kejaksaan sebagai salah
28 Junelpri saragih, Komponen Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, http://www.
hukumpedia.com/junelsidauruk/komponen-sistem-peradilan-pidana-di-indonesia, diakses tanggal
17 Desember 2017
23
satu sub sistem peradilan pidana, mempunyai tugas dan wewenang
dibidang pidana sebagaimana diatur Pasal 14 KUHAP, yaitu :
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari
penyidik atau penyidik pembantu;
b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat
(3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan
atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan
setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d. Membuat surat dakwaan;
e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang
ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai
surat panggilan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi
untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
g. Melakukan penuntutan;
h. Menutup perkara demi kepentingan hukum;
i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung
jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-
undang ini;
j. Melaksanakan penetapan hakim.29
c. Pengadilan
Keberadaan lembaga pengadilan diatur dalam Undang-undang
RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dimana pada
pasal 1 disebutkan bahwa :
”Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya
negara hukum Republik Indonesia.”
Tugas Pengadilan dalam hal ini adalah menerima, memeriksa
dan memutus perkara yang diajukan kepadanya. Dalam peradilan
29 Ibid
24
pidana apabila memeriksa seseorang terdakwa, hakim bertitik tolak
pada surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan
mendasarkan pada alat bukti sebagaimana ketentuan Pasal 184
KUHAP, yang kemudian dengan alat bukti sekurang-kurangnya 2 alat
bukti dan keyakinan hakim.
d. Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS
diatur dalam Undang-undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyaratakan. Hal ini mengubah sistem pemenjaraan menjadi
sistem pemsyarakatan. Sistem pemsyarakatan disini merupakan suatu
rangkaian penegakan hukum, sehingga dalam pelaksanaannya tidak
dapat terlepas dari pengembangan konsep umum mengenai
pemidanaan. Lembaga Pemasyarakatan disini adalahsebagai tempat
untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik
pemsyarakatan.30
A.3. Tujuan Sistem Peradilan Pidana
Sistem peradilan pidana merupakan salah satu sarana untuk
menanggulangi kejahatan dengan tujuan untuk :
a. Mencegah masyarakat menjadi korban;
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat
puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah di pidana;
30 Ibid
25
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan
tidak mengulangi lagi kejahatan.31
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan dari sistem
peradilan pidana disini adalah sebagai upaya pencegahan agar masyarakat
tidak menjadi korban kejahatan dengan cara menyelesaikan permasalahan
dan kasus-kasus yang terjadi sehingga masyarakat merasa aman dan
mengusahakan agar perbuatan kejahatan tersebut tidak diulangi kembali
baik dari pelaku sendiri maupun dari orang lain.
B. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia
B.1. Pengertian Kekuasaan Kehakiman
Setiap proses acara di pengadilan selalu dipimpin oleh hakim yang
berwenang untuk memutuskan suatu perkara di pengadilan. Pada proses
pemberian putusan hakim memiliki kewenangan atau kekuasaan yang
dikenal dengan istilah Kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan kehakiman
dapat diartikan sebagai kewenangan untuk dalam situasi konkret tertentu,
menetapkan nilai hukum dan tindakan warga masyarakat atau keadaan
tertentu berdasarkan kaidah hukum positif dan menautkan akibat hukum
tertentu pada tindakan atau keadaan tersebut.32 Menurut Undang-undang
RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, kekuasaan
31 H.R Abdussalam dan DPM Sitompul, 2007. Sistem Peradilan Pidana. Jakarta. Restu
Agung. Hal. 3
32 Rachmani Puspitadewi. 2006. Sekelumit Catatan Tentang Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia. Jurnal Hukum Pro Justitia. Vol. 24 No.1. Hal. 1
26
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.
Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu elemen dari rumusan
berdasar atas hukum (rechtsstaat). Pengertian kekuasaan yang dijabarkan
oleh Aristoteles dalam buku Zainal Arifin yang berjudul Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia menyatakan bahwa kekuasaan harus bersumber
kepada hukum dan oleh sebab itu hukum disini tidak hanya harus memiliki
kewibawaan ataupun kedaulatan melainkan juga harus menjadi landasan
kehidupan bernegara bagi yang diperintah maupun yang memerintah
sehingga kedua belah pihak memiliki kedudukan hukum yang sama.
Kemudian arti mengenai kehakiman diberikan oleh Subekti yang
menyatakan bahwa kehakiman dapat diartikan sebagai hukum dan
peradilan.33
Sehingga dari dua pengertian yang dikemukakan oleh dua ahli
tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang bersumber dari hukum yang nantinya akan
menjadi landasan atau dasar dalam menjalankan peradilan dimana setiap
orang memiliki kedudukan yang sama di dalam hukum.
33 Zainal Arifin Hoesein, 2016. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Setara Press.
Malang. Hal. 47
27
B.2. Pengaturan Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman disini diatur tersendiri di dalam bab IX
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Diaturnya
kekuasaan kehakiman secara tersendiri dalam bab tertentu menunjukkan
bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan negara yang mandiri
(otonom) yang berarti tidak diperintah, tidak menerima perintah maupun
mendampingi kekuasaan pemerintah lainnya. Kekuasaan kehakiman disini
memiliki kedudukan yang sama dengan lembaga pemerintahan negara
lainnya sehingga dalam hal ini kekuasaan kehakiman dapat menjalankan
fungsinya mengenai penegakan hukum dan penemuan hukum.34
Selanjutnya selain diatur tersendiri di dalam bab IX Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kekuasaan
kehakiman juga diatur dalam Undang-undang RI Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang di dalamnya mengatur mengenai
pelaku kekuasaan kehakiman disertai dengan asas-asas hingga
pengangkatan para hakimnya. Kemudian di dalam pasal 24 angka 3
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan
bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan
lembaga peradilan dibawahnya yang meliputi Lingkungan Peradilan
Negeri, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Agama, dan
Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara serta oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.
34 Zainal Arifin Hoesein, Op.cit. Hal. 131 dan 132
28
B.3. Kekuasaan Kehakiman Sebagai Kekuasaan yang Merdeka
Kekuasaan kehakiman sebagaimana disebutkan dalam Undang-
undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yakni
sebagai kekuasa negara yang merdeka dalam memutus suatu perkara,
hakim memiliki kemerdekaan dari campur tangan atau intervensi dari
pihak manapun yang dikenal dengan ungkapan “Kekuasaan kehakiman
yang merdeka” atau dapat diartikan sebagai kekuasaan kehakiman yang
bebas dari campur tangan pihak manapun. Kekuasaan kehakiman yang
merdeka ini merupakan suatu kemandirian atau kemerdekaan yang
dimiliki oleh hakim yang bertujuan untuk terciptanya suatu putusan yang
bersifat objektif dan imparsial.35
Maksud dari sifat putusan yang objektif adalah dalam proses
pemberian putusan hakim harus berpendirian jujur, berpandangan yang
benar atau berpandangan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dengan
mengacu pada ukuran atau kriteria objektif yang berlaku umum,
sedangkan maksud dari putusan yang bersifat imparsial adalah putusan
yang dihasilkan seorang hakim tidak memihak kepada salah satu pihak
yang menimbulkan rasa ketidakadilan dari pihak-pihak yang berperkara
atau bersengketa. Disamping itu, keputusan yang diberikan tersebut secara
langsung memberi kepastian hukum kepada masyarakat. Jadi, kekuasaan
kehakiman yang merdeka, harus menjamin terlaksananya peradilan yang
35 Rachmani Puspitadewi, Loc.cit
29
jujur dan adil serta memenuhi kepastian hukum masyarakat berdasarkan
aturan yang berlaku.36
C. Putusan Mahkamah Konstitusi
C.1. Pengertian Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan merupakan hakikat peradilan, inti dan tujuan dari segala
kegiatan atau proses peradilan, memuat penyelesaian perkara yang sejak
proses bermula telah membebani para pihak. Menurut Sudikno
Mertokusumo putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim,
sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan
dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu
perkara atau sengketa antara para pihak.37
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai peradilan konstitusi,
mempunyai karakter khas yang membedakannya dengan peradilan umum
atau peradilan biasa. Salah satu sifat khas tersebut ialah sifat putusan
Mahkamah Konstitusi bersifat final dan tidak ada upaya hukum lainnya.
Sifat ini berbeda dengan putusan lembaga peradilan di lingkungan
Mahkamah Agung (MA) yang menyediakan mekanisme upaya hukum
lain, termasuk melalui mekanisme Peninjauan Kembali (PK). Pasal 47
Undang-undang RI Nomor 24 Tahun 2003 Mahkamah Konstitusi
36 Ibid. Hal. 2
37 Fajar Laksono Soeroso. 2014. Aspek Keadilan dalam Sifat Final Putusan Mahkamah
Konstitusi. Jurnal Konstitusi. Vol. 11. No. 1. Hal 80
30
mempertegas sifat final tersebut dengan menyatakan bahwa Putusan MK
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno
yang terbuka untuk umum. Berdasarkan ketentuan tersebut, sifat final
menunjukkan sekurang-kurangnya 2 (dua) hal, yaitu (1) bahwa Putusan
MK secara langsung memperoleh kekuatan hukum; (2) karena telah
memperoleh kekuatan hukum maka Putusan MK memiliki akibat hukum
bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan.38
Hal ini merupakan ciri khas yang membedakan putusan MK
dengan putusan peradilan lain. Selain bersifat final, putusan MK disini
juga bersifat konkrit dan mengikat, dimana konkrit disini berarti putusan
ini dianggap ada dan/atau nyata sedangkan mengikat yakni mengikat bagi
seluruh masyarakat Indonesia termasuk bagi lembaga dan badan negara.
C.2. Jenis Putusan Mahkamah Konstitusi
Terdapat dua jenis putusan hakim dalam suatu proses peradilan,
yaitu putusan yang mengakhiri suatu perkara atau sengketa yang diadili
yang disebut dengan putusan akhir dan putusan yang dibuat dalam dan
menjaid bagian dari proses peradilan yang belum mengakhiri perkara atau
sengketa yang disebut dengan putusan sela atau putusan provisi. Putusan
sela atau putusan provisi merupakan putusan yang diberikan oleh hakim
berdasarkan permohonan pihak yang bersengketa terkait dengan sesuatu
hal yang berhubungan dengan perkara yang diperiksa yang dapat berupa
38 Ibid. Hal. 60
31
permintaan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terkait dengan
status hukum sebelum adanya putusan akhir.
Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi, pada awalnya putusan
sela atau putusan provisi hanya ada dalam perkara sengketa kewenangan
lembaga negara. Namun seiring dengan perkembangan akhirnya putusan
sela disini juga dikenal dalam perkara pengujian undang-undang (judicial
review) dan juga perselisihan hasil pemilu.39
Dilihat dari amar dan akibat hukumnya putusan dapat dibedakan
menjadi tiga yakni :
a. Putusan declaratoir adalah putusan hakim yang menyatakan
apa yang menjadi hukum.
b. Putusan constitutief adalah putusan yang meniadakan suatu
keadaan hukum dan atau menciptakan suatu keadaan hukum
baru.
c. Putusan condemnatoir adalah putusan yang berisi
penghukuman tergugat atau termohon untuk melakukan suatu
prestasi.40
Lebih khususnya mengenai putusan dalam perkara pengujian
undang- undang (judicial review) terdapat beberapa jenis putusan, yakni :
a. Putusan tidak diterima, dimana dalam hal ini pemohon ataupun
termohon tidak memenuhi syarat legal standing;
39 Sekretaris Jendral Mahkamah Konstitusi, 2010. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Jakarta. Hal. 51
40 Ibid. Hal. 55
32
b. Putusan dikabulkan, dalam hal permohonan yang diajukan
beralasan;
c. Putusan ditolak, dalam hal permohonan yang diajukan tidak
berasalan hukum.
Pada perkembangannya, Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku
kekuasaan kehakimn menciptakan beberapa varian putusan yakni putusan
konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), putusan
inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional,, putusan yang
menunda pemberlakuan putusan (limited constitutional) dan yang terakhir
putusan yang merumuskan norma baru.dari keempat varian putusan
tersebutlah Mahkamah Konstitusi mengubah perannya dari negative
legislatore menjadi positive legislator dimana Mahkamah Konstitusi ikut
berperan penting dalam proses legislasi.41
Putusan konstitusional bersyarat dan putusan inkonstitusional
bersyarat, pada hakikatnya Mahkamah Konstitusi menjadi pencipta hukum
meskipun tidak secara langsung melalui proses legislasi, karena pada
dasarnya memang bukan merupakan kompetensi Mahkamah Konstitusi.
Kedua varian putusan tersebut memberikan syarat dan makna kepada
addressat bahwa putusan MK dalam memaknai dan melaksanakan suatu
ketentuan undang-undang dengan memperhatikan penafsiran Mahkamah
Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan materiil undang-undang yang
41 Mohammad Mahrus Ali.(et.al). 2014. Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi
yang Bersifat Konstitutional Bersyarat Serta Memuat Norma Baru.http://www.mahkamah
konstitusi.go.id/public/content/infoumum/penelitian/pdf/Tindak%20Lanjut%20Putusan%20Konsti
tusional%20Bersyarat%20MK.pdf. Diakses pada tanggal 27 Desember 2017
33
sudah diuji. Bilamana syarat itu tidak dipenuhi atau ditafsirkan lain oleh
addressat putusan MK, maka ketentuan undang-undang yang sudah diuji
tersebut dapat diajukan pengujian kembali ke Mahkamah Konstitusi (re-
judicial review).
Begitupula dengan varian putusan yang merumuskan norma baru,
Mahkamah Konstitusi tidak hanya sekadar membatalkan norma, akan
tetapi mengubah atau membuat baru suatu bagian tertentu dari isi suatu
undang-undang yang diuji, sehingga akibatnya norma dari undang-undang
yang diuji juga berubah dari yang sebelumnya.42
C.3. Kekuatan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap
sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Dimana hal ini
merupakan konsekuensi dari sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang
bersifat mengikat dan final. Dimana berarti putusan Mahkamah Konstitusi
disini mengikat bagi seluruh lapisan masyarakat dan final berarti tidak ada
upaya hukum. Setelah putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan,
Mahkamah Konstitusi wajib mengirimkan salinan putusan kepada para
pihak dalam jangka waktu paling lambat 7 hari kerja sejak putusan
diucapkan.43
42 Ibid
43 Sekretaris Jendral Mahkamah Konstitusi, Op.cit. Hal. 59
34
D. Upaya Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Sebagaimana telah tercantum dalam pasal 1 angka 12 Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
disebutkan bahwa :
“Upaya hukum merupakan hak terdakwa atau penuntut umum untuk
tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau
banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan hak
peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur undang-
undang ini.”
Sehingga dapat disimpulkan bahwa upaya hukum merupakan suatu
usaha dari diri pribadi dan/atau suatu badan hukum dalam hal merasa tidak
puas terhadap adanya putusan dari suatu pengadilan.
Upaya hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia ada 2 (dua)
yakni upaya hukum biasa yang meliputi banding dan kasasi dan upaya hukum
luar biasa yang meliputi peninjauan kembali dan kasasi demi kepentingan
umum.44 Upaya hukum terakhir yang sering digunakan oleh masyarakat kita
pada umumnya adalah upaya hukum luar biasa yakni peninjauan kembali.
Dimana peninjauan kembali disini diartikan sebagai upaya hukum terakhir
yang dapat ditempuh untuk memperjuangkan hak-hak yang telah dianggap
hilang.
Menurut Subekti dan R. Tjitrosoedibjo dalam artikel yang ditulis oleh
Ravica Setia Anggarini, peninjauan kembali adalah suatu upaya hukum atas
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
44 Ihsan Fauzia, Pengertian Upaya Hukum dalam Acara Perdata, http://www.
academia.edu/18431091/PENGERTIAN_UPAYA_HUKUM_Acara_Perdata, akses tanggal 31
Oktober 2017
35
berhubungan dengan ditemukannya fakta-fakta yang dahulu tidak diketahui
oleh hakim. Kemudian menurut Soedirjo dalam artikel yang ditulis oleh
Ravica Setia Anggarini, peninjauan kembali adalah suatu upaya hukum yang
dipakai untuk memperoleh pemeriksaan kembali yang pada umumnya tidak
dapat diganggu gugat lagi.45
Pada umumnya pengertian peninjauan kembali tidak ada definisi
khusus sehingga definisi peninjauan kembali mengacu pada pendapat para ahli
tersebut. Kemudian menurut ketentuan pasal 263 ayat (1) KUHAP, jika diurai
mengenai ketentuan pasal tersebut memiliki unsur yang sangat limitatif yaitu :
1. Putusan pengadilan yang dimintakan peninjauan kembali telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
2. Bukan merupakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan.
3. Diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya.
Selanjutnya dalam ketentuan pasal 263 ayat (2) diatur mengenai syarat
pengajuan peninjauan kembali yaitu :
1. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat,
bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih
berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan
lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum
tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan
pidana yang lebih ringan.
2. Apabila dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu
telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan
putusan yang telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu
dengan yang lain.
3. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan
hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.46
45 Ravica Setia Anggraini et.al, Kesesuaian Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali
dalam Perkara Korupsi dan Pemerasan dengan Ketentuan Pasal 263 KUHAP,
file:///C:/Users/User/Downloads/391-742-1-SM.pdf, akses tanggal 31 Oktober 2017
46 Ahmad Fauzi, Analisis Yuridis Terhadap Upaya Hukum Luar Biasa Peninjauan
Kembali (PK) oleh Jaksa dalam Sistem Hukum Acara di Indonesia,
file:///C:/Users/User/Downloads/103-268-1-SM.pdf, akses tanggal 31 Oktober 2017
36
Sehingga dapat disimpulkan bahwa peninjauan kembali merupakan
suatu upaya hukum luar biasa yang diajukan terhadap putusan yang telah
memiliki kekuatan hukum atau inkrah yang dilakukan oleh terpidana atau ahli
warisnya dengan beberapa syarat yang telah ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian mengenai tata cara pengajuan permintaan peninjauan
kembali yakni diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus
perkara tersebut pada tingkat pertama dengan menyebut secara jelas alasannya
(pasal 264 ayat (1) KUHAP).47
Hal ini berarti berbeda dengan permohonan kasasi yang harus
mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kemudian baru menyusul berkas
memori kasasi. Pada permintaan peninjauan kembali, pengajuan peninjauan
kembali telah memuat alasan-alasannya. Dengan demikian permintaan dan
alasan permintaan telah dilengkapi dalam satu surat permintaan.48
Selanjutnya mengenai pengajuan peninjauan kembali disini yang
berwenang menangani ialah Mahkamah Agung. Mahkamah Agung
merupakan lembaga tinggi negara di bidang kehakiman yang membawahi
badan-badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan tata
usaha negara.
47 Leden Marpaung, 2011. Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan dan
Pengadilan Negeri Upaya Hukum dan Ekseskusi). Jakarta. Sinar Grafika. Hal. 209
48 Ibid. Hal. 210
37
Kewenangan Mahkamah Agung diatur dalam ketentuan pasal 24A ayat
(1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Mahkamah Agung
berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-
undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang dan mempunyai
wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-undang.49
Kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang yakni tercantum
dalam pasal 28 ayat (1) huruf c Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terkahir kalinya dengan
Undang-undang RI No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang
menyatakan bahwa Mahakamah Agung berwenang memeriksa, mengadili dan
memutus permohonan peninjauan kembali.50
Selain itu, Mahkamah Agung juga memiliki kewenangan memberikan
petunjuk di semua lingkungan peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan
Undang-undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
E. Mahkamah Konstitusi
Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan yang
ditentukan oleh pasal 24C Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang meliputi :
49 Jimly Asshidiqie, 2010. Perkembangan dan Konslidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi. Sinar Grafika. Jakarta. Hal. 135
50 Sovia Hasanah, Perbedaan Kasasi Demi Kepentingan Hukum dengan Peninjauan
Kembali, http://m.hukumonline.com/klinik/detai/lt5970264663d2d/perbedaan-kasasi-demi-
kepentingan-hukum-dengan-peninjauan-kembali, diakses tanggal 09 November 2017
38
a. Menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar NRI Tahun
1945.
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar NRI Tahun
1945.
c. Memutus pembubaran partai politik.
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Selain 4 kewenangan tersebut, Mahkamah Konstitusi memiliki
kewajiban memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) mengenai dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia.51
Kewenangan-kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi
tersebut diharapkan agar menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai pelindung
konstitusi (the guardian of constitution) terutama untuk melindungi hak-hak
asasi manusia dan hak konstitusional warga negara untuk mewujudkan Negara
Indonesia menjadi Negara Hukum yang demokratis.52
F. Hierarki Peraturan Perundang-undangan
F.1. Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
Hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia, saat ini merujuk pada pasal 7 ayat (1) Undang-
51 Sekretaris Jendral Mahkamah Konstitusi, Op.cit. Hal. 11
52Ibid
39
undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, yang menyebutkan:
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai
berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.53
F.2. Kedudukan SEMA dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) adalah sebuah produk-
produk hukum MA berbentuk surat yang berisi bimbingan dalam
penyelenggaraan peradilan, yang lebih bersifat administrasi. SEMA
merupakan petunjuk bagi hakim peradilan dibawah MA dalam
menjalankan fungsi “Pembinaan dan Pengawasan” sebagaimana tercantum
dalam pasal 32 ayat (4) Undang-undang RI Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Mahkamah Agung.
Petunjuk tersebut merupakan penjelasan atau penafsiran peraturan
undang-undang agar dalam praktek pengadilan tidak terjadi disparitas
53 Ali Salmandhe, Hierarki Peraturan Perundang-undangan, http://www. hukum
online.com, diakses tanggal 15 Maret 2017
40
dalam memberikan keadilan yang menimbulkan tidak tercapainya
kepastian hukum.54
Merujuk pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah diganti dengan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun
2011 Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur:
“Jenis peraturan perundang-undangan selain yang disebut dalam
pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh MPR,
DPR, DPD, MA, BPK, KY, BI, Menteri, badan, lembaga, atau
komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau
pemerintah atas perintah undang-undang, DPRD Provinsi,
Gubernur, DPRD Kab/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau
setingkat”.
Kemudian pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan peraturan
perundang-undangan tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan.55
Sehingga disini dapat disimpulkan bahwa SEMA berkedudukan
sebagai peraturan meskipun tidak dikatakan jelas dalam pasal 7 ayat (1).
Namun, keberadaannya diperkuat dengan adanya pasal 8 ayat (1) Undang-
undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
54 Padang Saputra, Op.cit. Hal. 16
55 Muhammad Yasin, Kekuatan Hukum Produk-produk Hukum MA (Perma, SEMA,
Fatwa, SK KMA),http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6102/kekuatan-hukum-produk-
produk-hukum-ma-(perma,-sema,-fatwa,-sk-kma), diakses tanggal 22 Oktober 2017
41
Perundang-undangan, akan tetapi perlu diketahui pula bahwa SEMA disini
dibuat sebagai petunjuk pelaksanaan atau peraturan semu yang tidak wajib
untuk diikuti.
F.3. Kedudukan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Hierarki
Peraturan Perundang-undangan
Sebagaimana tercantum dalam pasal 53 ayat (1), (2), dan (3)
disebutkan bahwa :
(1) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya
menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian
undang-undang bertentangan dengan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan, ayat,
pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya
menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud
tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang
berdasarkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, undang-undang tersbut tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
(3) Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan
pemohon wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan
diucapkan.
Apabila melihat putusan MK mengenai pengujian undang-undang
terhadap UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa materi muatan,
ayat dan pasal atas suatu undang-undang bertentangan dengan UUD NRI
Tahun 1945 dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
maka dapat dikategorikan ke dalam jenis putusan declaratoir constitutief.
Declaratoir yang artinya putusan dimana hakim sekedar menyatakn apa
yang menjadi hukum, tidak melakukan penghukuman. Bersifat constitutief
42
artinya suatu putusan yang menyatakan tentang ketiadaan suatu keadaan
hukum dan atau menciptakan suatu keadaan hukum yang baru.56
Putusan Mahkamah Konstitusi disini, seperti yang telah banyak
diketahui memiliki sifat final dan mengikat. Dimana putusan Mahkamah
Konstitusi tidak ada upaya hukum lagi untuk lakukan dan mengikat sejak
putusan itu diucapkan baik bagi para pihak, badan hukum, lembaga negara
hingga seluruh masyarakat.
Apabila pemerintah atau lembaga negara lain tidak mematuhi
putusan tersebut dan justru masih memberlakukan undang-undang yang
telah dinyatakan batal dan/atau tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum.
Dikarenakan suatu putusan Mahkamah Konstitusi yang berlaku mengikat
berbeda dengan putusan pengadilan biasa, dimana putusan tersebut berlaku
seperti hukum sebagaimana hukum diciptakan oleh pembuat undang-
undang.57
Kemudian berbicara mengenai eksistensi atau kekuatan hukum
suatu putusan MK yang dalam hal ini dikaitkan dengan kedudukannya
dalam peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan
adalah semua hukum dalam arti luas yang dibentuk dengan cara tertentu,
oleh pejabat yang berwenang dan dituangkan dalam bentuk tertulis. Dalam
artian yang luas itu sebenarnya hukum dapat diartikan juga sebagai
56 Amrizal J. Prang, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi, http://www.academia.edu/
10264897/Implikasi_Hukum_Putusan_Mahkamah_Konstitusi, diakses tanggal 22 Oktober 2017
57 Ibid
43
putusan hakim, terutama yang sudah berkekuatan hukum tetap dan
menjadi yurisprudensi. Hukum dalam arti luas mencakup semua peraturan
yang dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu sesuai dengan tingkat dan
lingkup kewenangannya yang biasanya disebut peraturan perundang-
undangan.58
Dengan demikian peraturan perundang-undangan adalah berbagai
jenis peraturan tertulis yang dibentuk oleh berbagai lembaga dengan
kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945
sesuai dengan tingkat dan lingkupnya masing-masing. Jadi, status putusan
MK dianggap sederajat dengan undang-undang, karena putusan MK
melahirkan produk perundang-undangan yang nantinya akan berlaku
setelah dibacakan putusan tersebut.59
G. Kepastian Hukum
Kepastian hukum berpegang pada prinsip bahwa bagaimana hukumnya
berlaku secara positif itulah yang berlaku, tidak boleh menyimpang (fiat
justitia et pereat mundus, meskipun dunia ini runtuh hukum harus
ditegakkan). Hal itulah yang merupakan esensi dari kepastian hukum.
Kepastian hukum merupakan perlindungan terhadap yustisiabel tindakan yang
sewenang-wenang, yang berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu
yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan kepastian
58 Frista Prilla Sambuari, Eksistensi Putusan Judicial Review Oleh Mahkamah Konstitusi,
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/administratum/article/viewFile/3012/2557, diakses tanggal
04 November 2017
59 Ibid
44
hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib.
Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan kepentingan
masyarakat.60
Adapun penjelasan mengenai apa yang disampaikan oleh Sudikno
Mertokusumo yang dikutip dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh Sulardi dan
Yohana Puspita Wardoyo, Kepastian hukum menekankan agar hukum atau
peraturan itu ditegakkan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum atau
peraturannya. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam
hal terjadi peristiwa yang konkret. Bagaimana hukumnya itulah yang harus
berlaku, sehingga pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang, meskipun
dunia ini runtuh namun hukum harus ditegakkan.61
Menurut Radbruch yang dikutip dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh
Sulardi dan Yohana Puspita Wardoyo, memberi pendapat yang cukup
mendasar mengenai kepastian hukum, ada empat hal yang berhubungan
dengan makna kepastian hukum. Pertama bahwa hukum itu positif. Kedua,
bahwa hukum itu didasarkan pada fakta atau hukum yang ditetapkan itu pasti
yaitu dengan adanya keterangan. Ketiga, bahwa kenyataan (fakta) harus
dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam
60 Willy Riawan Tjandra, Dinamika Keadilan dan Kepastian Hukum dalam Peradilan
Tata Usaha Negara, file:///C:/Users/User/Downloads/16158-30706-1-PB.pdf, diakses tanggal 28
September 2017
61 Sulardi dan Yohana Puspitasari Wardoyo. 2015. Kepastian Hukum, Kemanfaatan, Dan
Keadilan Terhadap Perkara Pidana Anak (Kajian Putusan Nomor 201/Pid.Sus/2014/PN.Blt).
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. Hal 258 – 259
45
pemaknaan di samping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak
boleh mudah berubah.62
Aliran normatif atau yuridis dogmatis memberikan pemikiran yang
bersumber pada positivisme dimana hukum yang otonom dan mandiri terdapat
pada aturan yang tertulis untuk menjamin adanya kepastian hukum. Sehingga
menurut aliran ini, apabila penerapan hukum tidak dapat memberikan rasa adil
dan manfaat yang besar kepada mayoritas masyarakat bukanlah suatu masalah
akan tetapi yang terpenting kepastian hukumnya harus tetap ditegakkan.
Kepastian hukum menginginkan hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan
tanpa adanya penyimpangan. 63
62 Ibid
63 Ahmad Rifa’i, 2010. Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Perspektif Hukum
Progresif. Sinar Grafika. Jakarta. Hal. 130 dan 131