Sejarah Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Indonesia
-
Upload
subagyo-yangdari-banggle -
Category
Documents
-
view
1.691 -
download
9
Transcript of Sejarah Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Indonesia
Makalah Sejarah Hukum
ASAS KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG MERDEKA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH HUKUM
DI INDONESIA
Oleh:
SUBAGYO
NIM: 10.6.9.0006
Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum
Universitas Sunan Giri Surabaya 2010
A. PENDAHULULAN
1. Latar Belakang
Sejarah hukum tentang perkembangan pelaksanaan asas kekuasaan
kehakiman yang merdeka (disebut juga asas kebebasan kekuasaan kehakiman) di
Indonesia merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah hukum nasional, terkait
dengan konsep negara hukum (rechtstaat) yang dianut Undang-undang Dasar
1945 (disingkat UUD 1945).
Dalam penyusunan badan-badan negara pemerintahan Indonesia, para
pendiri negara Indonesia dipengaruhi oleh ajaran Trias Politica tentang
pemisahan kekuasaan. Muhammad Yamin selaku salah satu penyusun Naskah
Persiapan UUD 145 menjelaskan bahwa Bab IX UUD 1945 tentang kekuasaan
kehakiman (judicial power) yang berdiri sendiri atau dalam keadaan bebas dan
terpisah dari kekuasaan lainnya (eksekutif dan legislatif) sebagai akibat dari
ajaran Trias Politica.1
Ajaran Trias Politica pada mulanya dikemukakan John Locke di abad XVII
dalam Two Treatises On Civil Government yang mengritik kekuasaan raja Inggris
yang sewenang-wenang. John Locke mengemukakan gagasan agar kekuasaan
negara dibagi menjadi tiga, yakni: kekuasaan membuat undang-undang
(legislatif), kekuasaan melaksanakan undang-undang (eksekutif) dan kekuasaan
di bidang keamanan dalam hubungannya dengan negara lain (federatif).2
1 Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945, Jilid III, Siguntang,
Jakarta, 1960, hal. 798. 2 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, Cet. XI, 1988, hal. 151.
Ajaran John Locke selanjutnya dikembangkan oleh Montesquieu, seorang
filsuf Perancis, yang dalam karyanya L’Esprit des Lois membagi kekuasaan
negara menjadi tiga, yaitu kekusaan legislatif, eksekutif dan yudisiil (kekuasaan
mengadili).3
Hingga saat ini, satu-satunya sistem yang rasional untuk menghindari
absolutisme kekuasaan adalah dengan pembagian kekuasaan negara. M. Nasroen
menyatakan bahwa bentuk wajar suatu negara yang berdasarkan kemauan rakyat
bukanlah negara berbentuk absolut, tetapi bentuk negara yang terdapat
pembagian kekuasaan negara di mana tiap-tiap kekuasaan negara dijalankan oleh
badan-badan tertentu.4
Meskipun pada kenyataannya ajaran Trias Politica tidak dapat dilaksanakan
secara murni, pada umumnya para ahli hukum sepakat bahwa pemisahan
kekuasaan (separation of power) yudisiil dari kekuasaan lainnya harus
dilaksanakan secara murni. Pendirian tersebut juga dapat dilihat dari sejarah
penyusunan Bab IX UUD 1945 sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Yamin
tersebut.
Di Indonesia, ajaran Trias Politica dijalankan dengan konsep distribution of
power (distribusi kekuasaan), bukan lagi separation of power (pemisahan
kekuasaaan). Pola itu dapat dilihat di dalam UUD 1945 di mana lembaga
tertinggi negara adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang secara
struktural membawahi lembaga legislatif, eksekutif dan yudisiil. Lembaga
legislatif dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama-sama atau
3 Ibid, hal. 152. 4 M. Nasroen, Asal Mula Negara, Aksara Baru, Jakarta, Cet. Kedua, 1986, hal. 63.
bekerjasama dengan Presiden. Sedangkan lembaga yudisiil semula dijalankan
oleh Mahkamah Agung (MA) dan lembaga-lembaga pengadilan di bawahnya.
Namun dalam perkembangannya lembaga yudisiil juga dilaksanakan Mahkamah
Konstitusi (MK) setelah amandemen UUD 1945.
Perkembangan Hukum Tata Negara Indonesia, dengan adanya amandemen
UUD 1945, wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi
berkurang, di mana MPR tidak lagi mengangkat Presiden, sebab kini Presiden
juga dipilih oleh rakyat secara langsung. Namun demikian fungsi distribusi
kekuasaan masih ada di tangan MPR yang berwenang memberhentikan jabatan
Presiden melalui alasan khusus dan hukum acara yang ditentukan dalam UUD
1945 yang telah diamandemen (pasal 7A dan 7B. Sistem bikameral MPR yang
berisi DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagaimana ditentukan pasal
2 UUD 1945 yang telah diamandemen menunjukkan kekuasaan-kekuasaan MPR
yang terdistribusi melalui kedua lembaga negara tersebut, serta membagi-bagi
kekuasaan negara yang ditetapkan dalam UUD 1945 yang perubahan dan
penetapannya memang menjadi wewenang MPR sebagaimana ditentukan pasal 3
ayat (1) UUD 1945.
Apabila diteliti seksama, tampaknya UUD 1945 memang dikonstruksikan
adanya distribusi kekuasaan negara yang dilakukan MPR tetapi di sisi lain
mempertahankan konsep separation of power khusus untuk lembaga yudisiil
dengan lembaga-lembaga lainnya dalam pemerintahan negara, dalam rangka
mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Namun, kemerdekaan
kekuasaan kehakiman tidak dimaksudkan sebagai kebebasan yang liberal sebab
dalam sistem kekuasaan kehakiman dibentuk Komisi Yudisial (KY) yang
merupakan lembaga di luar badan peradilan yang berwenang mengontrol para
hakim berkaitan dengan penegakan kehormatan, keluhuran martabat serta
perilaku para hakim (lihat pasal 24B ayat (1) UUD 1945).
Perkembangan Hukum Tata Negara tersebut mempunyai korelasi penting
dan sejalan dengan sejarah perkembangan pelaksanaan asas kekuasaan
kehakiman yang merdeka yang akan dijelaskan berikut ini.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan tersebut, maka pokok masalah
yang dikemukakan dalam makalah ini adalah: “Bagaimanakah sejarah hukum
implementasi asas kebebasan kekuasaan kehakiman di Indonesia?”
B. PEMBAHASAN
Studi yang mempelajari perkembangan pelaksanaan asas kebebasan
kerkuasaan kehakiman merupakan bagian dari studi sejarah hukum. Apabila
dilihat dalam sejarahnya, asas kebebasan kekuasaan kehakiman merupakan
pengembangan dari Ilmu Negara dan kini menjadi bagian Hukum Tata Negara,
terbukti asas tersebut termaktub dalam Bab IX UUD 1945 (pasal 24 ayat (1) dan
penjelasannya.
Sejarah hukum dalam suatu negara tentu berbeda dengan negara-negara
lainnya. Setiap negara mempunyai karakteristik hukum yang dipengaruhi oleh
perkembangan kebudayaan masing-masing sebagai faktor internal dan pengaruh-
pengaruh eksternal karena adanya interaksi dengan kebudayaan-kebudayaan
maupun sistem hukum asing.
Perkembangan sejarah hukum Indonesia dipengaruhi oleh unsur-unsur
kebudayaan dan cara hidup bangsa Indonesia serta pengaruh hukum Belanda
yang beraliran Eropa Kontinental (Civil Law), karena faktor sejarah penjajahan
Belanda yang menerapkan hukumnya di Indonesia, serta terdapat pengaruh
hukum aliran Anglo Saxon (Common Law) karena banyak sarjana hukum yang
menjadi pemikir negara yang telah menjalani studi di Amerika Serikat, Australia
dan Inggris. Sedangkan perkembangan hukum Belanda setidaknya dipengaruhi
oleh kebudayaan dan tata cara hidup bangsa Belanda yang dipengaruhi juga oleh
hukum Perancis yang pernah menjajahnya serta pemikiran-pemikiran hukum
modern yang berkembang di dunia.
Sebagaimana Soedjono Dirdjosisworo menyatakan bahwa sejarah hukum
adalah suatu bidang studi hukum yang mempelajari perkembangan dan asal-usul
sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu, dan memperbandingkan antara
hukum yang berbeda kerena dibatasi oleh perbedaan waktu.5
Tentu saja bahwa asal-usul sistem hukum dalam suatu masyarakat berkaitan
dengan pengaruh faktor internal dan eksternal yang telah dijelaskan tersebut.
Friedrich Carl Von Savigny (1779-1861) merupakan pelopor sejarah hukum,
sebagai reaksi terhadap mazhab hukum alam yang berkembang di Eropa pada
zamannya. Pemikiran Von Savigny melahirkan mazhab sejarah hukum dalam
ilmu pengetahuan hukum. Von Savigny mengatakan bahwa hukum merupakan
5 Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, Cet. Ketiga, 1991, hal. 58-59.
penjelmaan dari kehendak rakyat, yang pada suatu saat juga akan mati jika suatu
bangsa kehilangan kepribadiannya.6
Hukum tentang asas kekuasaan kehakiman yang merdeka bermula dari kritik
terhadap absolutisme kekuasaan monarki atau raja-raja di Eropa, sebagaimana
dikemukakan John Locke dan Montesquieu tersebut. Apabila membaca sejarah
pemikiran kedua filsuf tersebut, harus diakui bahwa mereka merupakan para
filsuf beraliran liberal yang mengedepankan pemikiran tentang perlindungan hak-
hak individu.
Namun demikian, konsep pemisahan kekuasaan negara (separation of
power) yang digagas Locke dan Montesquieu sejalan dengan prinsip negara
demokrasi yang tidak menghendaki penumpukan kekuasaan di satu tangan.
Dalam negara modern sering terjadi sengketa antara warga negara dengan
penguasa, terutama sengketa antara badan atau pejabat pemerintah dengan
masyarakat. Jika kekuasaan mengadili (yudisiil) berada di tangan badan atau
pejabat pemerintah itu sendiri, tentu kemungkinan besar tidak akan membuahkan
putusan perkara yang dilandasi independensi hakim. Itulah yang menjadi bagian
dari pemikiran dasar dilaksanakannya asas kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Sejarah penerapan asas kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat dibagi
dalam dua masa, sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia. Masa sebelum
kemerdekaan dapat dibagi menjadi dua rentang waktu, yakni masa kolonial
Belanda dan masa pendudukan Jepang. Sengaja pada masa penjajahan Inggris
yang sebentar tidak akan diuraikan di sini sebab pada masa itu tidak ada
6 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
Cet. Ketujuh, 1986, hal. 60-61.
perubahan hukum yang substansial tentang penerapan asas kekuasaan kehakiman
di Hindia Belanda.
Sedangkan pada masa setelah kemerdekaan dapat dibagi kurun sejarah di
masa Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Selengkapnya akan dibahas
selanjutnya ini.
1. Masa Kolonial Belanda
Untuk melihat kesinambungan sejarah asas kekuasaan kehakiman yang
merdeka di Indonesia, hendaknya kita juga melacak perkembangan hukumnya di
Belanda, sebab harus diakui bahwa sistem hukum di Indonesia dan peradilannya
banyak dipengaruhi oleh sistem hukum Belanda.
Mr. R. Tresna mencatat bahwa tanggal 1 Mei 1848 merupakan garis waktu
yang amat penting untuk mengetahui riwayat perkembangan hukum Indonesia.
Tanggal itu merupakan saat hapusnya kekuatan hukum Belanda kuno dan hukum
Romawi yang dinyatakan dalam pasal 1 Bepalingen omtrent de invoering van-en
de overgang tot de nieuwe wet geving (Ketentuan-ketentuan tentang berlakunya
dan peralihan perundang-undangan baru) tanggal 3 Maret 1848, Stb. nomor 10).
Perundang-undangan baru tersebut adalah akibat dari penghapusan hukum
Kerajaan Perancis setelah Belanda merdeka dari Perancis.7
Berdasarkan asas concordans-beginsel (penyesuaian) maka perundang-
undangan baru di negeri Belanda tersebut diberlakukan pula di Indonesia (Hindia
Belanda). Firman Raja Belanda tanggal 15 Desember 1845 Nomor 67
7 MR. R. Tresna, Komentar HIR, Pradnya Paramita, Jakarta, Cet. Keenam, 1976. hal. 5.
menetapkan Mr. H.L. Wichers diutus ke Hindia Belanda untuk memangku
jabatan Ketua Mahkamah Agung (MA) dan MA Tentara. Selanjutnya Raja
Belanda mengeluarkan firman tanggal 16 Mei 1846 Nomor 1 untuk
memberlakukan beberapa produk hukum Belanda kepada Hindia Belanda.8
Dalam firman Raja Belanda tanggal 16 Mei 1846 Nomor 1 tersebut
ditentukan bahwa Gubernur Jenderal Hindia Belanda berwenang mengatur dan
menentukan berlakunya peraturan-peraturan yang diberlakukan di Hindia
Belanda termasuk Peraturan tentang susunan kehakiman dan kebijaksanaan
pengadilan (pasal 1 dan 2), serta diberikan kuasa untuk menetapkan dan
mengeluarkan segala ketentuan hukum dan peraturan serta petunjuk yang
dianggap perlu untuk memperlakukan peraturan perundang-undangan baru secara
tertib yang akan disahkan Raja di dalam hal-hal yang ditentukan Peraturan
Pemerintah.9
Catatan sejarah tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan asas kekuasaan
kekuasaan kehakiman yang merdeka di tahun 1846 itu masih dalam tahap
kebebasan fungsional, belum sampai pada kemerdekaan struktural. Pembagian
kekuasaan pemerintahan Belanda pada masa itu telah dilakukan, namun fungsi-
fungsi legislatif dijalankan oleh Raja Belanda dan di Hindia Belanda juga
dijalankan Gubernur Jenderal. Sedangkan lembaga yudisiil di Hindia Belanda
masih berada di bawah kontrol Gubernur Jenderal, meskipun sudah dibentuk
badan peradilan yang secara teknis berpuncak di MA (Hooggerechtshof).
8 Ibid, hal. 5-6. 9 Ibid, hal. 6-8.
Dalam pasal 9 firman Raja Belanda tanggal 16 Mei 1846 Nomor 1 tersebut
memang ditentukan bahwa dalam menetapkan peraturan-peraturan di Hindia
Belanda, atas kuasa raja, dengan meminta pertimbangan MA, namun pasal 4
firman raja Belanda tersebut juga memberi wewenang Gubernur Jenderal untuk
menetapkan peraturan-peraturan termasuk tentang tata usaha pengadilan sipil.
Selain itu, ternyata fungsi legislatif di Hindia Belanda di masa tersebut juga
melibatkan pejabat lembaga yudisiil. Mr. Wichers yang telah diangkat Raja
Belanda menjadi Ketua MA di Hindia Belanda juga ditugaskan untuk menyusun
perundang-undangan dalam tim Hooggerechtshof (pengadilan tertinggi di Hindia
Belanda yang berpusat di Jakarta, sejenis MA). Salah satu produk perundang-
undangan yang disusun dan akhirnya disetujui Gubernur Jenderal Rochussen
adalah Inlandsch Reglement tanggal 5 April 1848, Stb. nomor 16 yang kemudian
disahkan dengan firman Raja Belanda tanggal 29 September 1849 Nomor 93 Stb.
nomor 63.10
Begitu pula soal jabatan hakim. Ketua atau Presiden Hooggerechtshof
ditetapkan oleh raja Belanda. Para hakim di pengadilan karesidenan
(Residentiegerecht) di luar Jawa juga ada yang merupakan pegawai pemerintah
Belanda. Bahkan pengadilan distrik (Districtsgerecht) bagi golongan Indonesia di
Jawa dan Madura diselenggarakan oleh Wedana sebagai hakim tunggal.
Pengadilan banding di kabupaten (Regentschapsgerecht) juga diselenggarakan
oleh bupati atau Patih. Begitu pula pengadilan Magistraatsgerecht ditangani para
10 Ibid, hal. 10-14.
pegawai pemerintah Belanda di daerah masing-masing yang diangkat Residen.
Hal serupa juga berlaku di pengadilan Landgerecht.11
Pada 1854 di Hindia Belanda juga diterbitkan Regerings Reglement
(disingkat RR) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan yang mengatur tentang
pembatasan terhadap eksekutif (Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap
proses peradilan yang bebas. Namun demikian Kerajaan Belanda sendiri
mempunyai Menteri Kehakiman yang mengatur para hakim, sehingga sistem
hukum demikian berpengaruh di Hindia Belanda. Meski secara asas dijamin
adanya peradilan yang bebas namun secara struktural tidak ada pemisahan
lembaga yudisiil dengan lembaga eksekutif.
Di masa pemerintahan kolonial Belanda tersebut asas kekuasaan kehakiman
yang merdeka tidak ditunjukkan adanya pemisahan tegas badan pemerintah
(eksekutif) dengan lembaga yudisiil. Tetapi justru badan-badan pengadilan diatur
oleh pemerintah yang menugaskan para pegawai pemerintah Hindia Belanda
serta pejabat administrasi negara semacam Wedana dan Bupati untuk menjadi
hakim yang menjalankan fungsi peradilan di daerah-daerah masing-masing. Di
Kerajaan Belanda pada waktu itu juga ada Menteri Kehakiman yang merupakan
kekuasaan eksekutif yang mengatur kekuasaan kehakiman.
2. Masa Pendudukan Jepang
Pada 7 Maret 1942 Balatentara Jepang menguasai Hindia Belanda, sehingga
pemerintahan Hindia Belanda waktu itu dijalankan oleh Pemerintah Balatentara
11 R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Bandung, Edisi
Kedua, Cet. Ketiga, 1996 hal. 34-43.
Jepang yang berpedoman pada undang-undang yang disebut Gunseirei. Untuk
pemerintahan di Jawa dan Madura dibuat pedoman Osamu Seirei berdasarkan
Gunseirei tersebut. Peraturan pelaksanaannya disebut Osamu Kanrei.12
Dalam bidang hukum Pemerintah Balatentara Jepang menerbitkan Osamu
Seirei Nomor 1 Tahun 1942, di mana pasal 3-nya menentukan bahwa semua
badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari
pemerintah yang dahulu tetap diakui sah untuk sementara waktu asalkan tidak
bertentangan dengan aturan pemerintah militer Jepang.
Pengadilan-pengadilan yang ada di zaman kolonial Belanda hanya diubah
namanya. Tetapi untuk Hooggerechtshof tidak disebut dalam beberapa peraturan
konversi nama-nama badan-badan pengadilan yang ada. Hanya saja pemerintah
Balatentara Jepang membentuk Saiko Hooin (Pengadilan Agung) dan Kootoo
Hooin (Pengadilan Tinggi).13
Pada masa pendudukan Jepang ini tidak terlalu banyak perubahan berkaitan
dengan pelaksanaan asas kebebasan kekuasaan kehakiman. Justru Pemerintah
Balatentara Jepang mempunyai kekuasaan absolut untuk mengatur badan-badan
pengadilan.
3. Masa Orde Lama
Setelah Indonesia merdeka maka pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan
UUD 1945 sebagai hukum dasar (konstitusi) tertulis negara. Aturan Peralihan
12 Ibid, hal. 55. 13 Ibid, hal. 57.
yang ada di pasal I UUD 1945 menjadi dasar untuk mengambil alih segala
peraturan perundang-undangan dan lembaga-lembaga negara atau pemerintah
yang ada di masa sebelum kemerdekaan selama belum diganti dengan yang baru
menurut UUD 1945.
Seperti diuraikan di bagian terdahulu, kemerdekaan kekuasaan kehakiman di
masa kolonial Belanda dan pemerintahan Balatentara Jepang di Indonesia tidak
mecerminkan adanya pemisahan tegas antara lembaga yudisiil dengan lembaga-
lembaga lainnya, terutama masih ada hakim-hakim yang merangkap menjadi
pegawai pemerintah (eksekutif).
Keadaan tersebut tampaknya berlanjut di masa Orde Lama. Prof. Dr. Jur. A.
Hamzah, S.H. menguraikan bahwa dalam hal "mandiri", hakim dan jaksa 1945-
1959 berada dibawah "atap" departemen (kementerian) Kehakiman. Namun
semua orang tahu dari pengalaman empiris, bahwa baik hakim maupun jaksa
sungguh-sungguh independen pada waktu itu. Jaksa Agung Suprapto pernah
menangkap Menteri Kehakiman yang secara administratif adalah atasannya.
Itulah bukti betapa independennya Jaksa Agung yang pensiun pada umur 65
tahun (teoritis seumur hidup) pada waktu itu. Di sini juga ternyata, bahwa boleh
saja tidak mandiri asal independen dalam menjalankan tugasnya.14
Pada zaman Orde Lama, dengan Undang-undang Nomor 19 tahun 1964
diatur campur tangan presiden dalam peradilan. Ketua Mahkamah Agung
diangkat menjadi menteri (pembantu presiden). Dengan demikian, asas
14 Jur. A. Hamzah, Kemandirian dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman, makalah dalam
acara yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia di Denpasar, 14 -18 juli 2003.
kekuasaan kehakiman yang merdeka menurut UUD 1945, telah dihapuskan oleh
suatu undang-undang yang lebih rendah tingkatnya.15
Pada zaman Orde Lama diterbitkan berbagai undang-undang terkait
kekuasaan kehakiman tersebut antara lain: (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun
1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman dan
Kejaksaan, (2) Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Susunan
dan Kekuasaan Pengadilan, (3) Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, (4) Undang-undang Nomor
13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Peradilan Umum dan Mahkamah
Agung.
Begitu halnya dengan kekuasaan kehakiman pada pengadilan militer dapat
dilacak dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-
undang Darurat Nomor 16 Tahun 1950 tentang Susunan dan Kekuasaan
Pengadilan/Kejaksaan dalam Lingkungan Peradilan Ketentaraan sebagai Undang-
undang Federal, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 22
Pnps Tahun 1965. Ketua, Ketua Pengganti, Hakim Perwira pada Pengadilan
Tentara (Militer) dan Pengadilan Tentara (Militer) Tinggi diangkat oleh Menteri
Koordinator Kompartimen Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan
Bersenjata atas usul Menteri/Penglima Angkatan yang bersangkutan (pasal 9 ayat
(1) dan pasal 15 ayat (1)). Di tingkat MA-pun ada hakim-hakim perwira yang
berpangkat serendah-rendahnya Kolonel juga diangkat oleh Menteri Koordinator
15 Ibid.
Kompartimen Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata atas usul
Menteri/Penglima Angkatan yang bersangkutan (pasal 23 ayat (2)).
Di masa Orde Lama pada mulanya pengakuan asas kekuasaan kehakiman
yang merdeka dapat dibaca dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948. Pasal
3 ayat (2) dan ayat (3) undang-undang ini menentukan:
(2) Para hakim merdeka dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman dan hanya
tunduk pada undang-undang;
(3) Pemegang kekuasaan pemerintah dilarang campur tangan dalam urusan
kehakiman, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam Undang-Undang
Dasar.
Namun dalam perkembangannya asas tersebut diterjang dengan Undang-
undang Nomor 19 Tahun 1964 yang pada pasal 19-nya menentukan bahwa demi
kepentingan revolusi, kemerdekaan negara dan bangsa atau kepentingan
masyarakat yang mendesak, Presiden dapat turun atau campur tangan dalam soal-
soal pengadilan. Penjelasan pasal 19 tersebut menjelaskan: “Pengadilan adalah
tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat undang-
undang, bahwa Presiden/ Pemimpin Besar Revolusi harus dapat turun atau
campur tangan baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana.
Demikian pula dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang
Pengadilan dalam Peradilan Umum dan Mahkamah Agung yang mewajibkan
hakim untuk memihak pada kebenaran sebagaimana dirumuskan dalam Pancasila
dan Manipol Usdek yang menempatkan Presiden sebagai Pemimipin Besar
Revolusi yang memiliki kedudukan seperti terhadap lembaga-lembaga negara
lainnya, termasuk terhadap kekuasaan kehakiman.
Keseluruhan undang-undang yang terkait kekuasaan kehakiman zaman
Orde Lama tersebut meski dimaksudkan sebagai undang-undang organik untuk
melaksanakan pasal 24 dan 25 UUD 1945 yang memuat asas kekuasaan
kehakiman yang merdeka, namun ternyata masih menempatkan kekuasaan
kehakiman sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif karena keberadaan Menteri
Kehakiman sebagai atasan organisatoris, administratif dan finansial dari para
hakim, bahkan para hakim dinyatakan harus tunduk kepada Manipol Usdek yang
dipimpin oleh Presiden Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi.
4. Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru tampil muncul arus pemikiran tentang pemurnian
pelaksanaan UUD 1945 yang salah satu agendanya adalah menyusun undang-
undang yang baru yang mengatur kembali asas kebebasan kekuasaan kehakiman
yang bebas dan mandiri seperti telah pernah diatur sebelumnya oleh Undang-
undang Nomor 19 Tahun 1948.16
Dalam hal tersebut Yudhi Setiawan menguraikan sejarahnya sebagai
berikut:
Dengan Keputusan Presiden RI Nomor 38 tahun 1967 tanggal 28 Maret 1967 pemerintah membentuk Panitia Interdepartemental Peninjauan Kembali Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965. Selanjutnya dengan Keppres Nomor 271 Tahun 1967 tanggal 29
16 Yudhi Setiawan, Pengaturan Kekuasaan Kehakiman yang Bebas dan Mandiri,
http://fh.wisnuwardhana.ac.id, 19 Mei 2010.
Desember 1967 Panitia Interdepartemenal ini diganti dengan Panitia Negara dengan tugas yang sama yaitu meninjau kembali kedua undang-undang tersebut dengan menyiapkan Rancangan Undang-Undang baru sebagai penggantinya. Pada tanggal 30 Juni 1968 Panitia tersebut telah berhasil merampungkan tugas-tugasnya dan pada tanggal 13 Agustus 1968 Presiden secara resmi menyampaikan kedua rancangan undang-undang tersebut kepada Ketua DPRGR untuk dibicarakan dan mendapat persetujuan. Akhirnya Rancangan Undang-Undang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman berhasil disetujui DPRGR dan kemudian disahkan serta diundangkan pada tanggal 17 Desember 1970 sebagai Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970. Undang-Undang ini menentukan 4 jenis “peradilan” untuk menjalankan kekuasaan kehakiman. Keempat jenis peradilan itu adalah : a. Peradilan Umum diatur dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986. b. Peradilan Agama diatur dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. c. Peradilan Tata Usaha Negara diatur dengan Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986. d. Peradilan Militer diatur dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997.17
Meskipun semangat pembentukan Undang-undang Nomor 14 tahun 1970
tersebut adalah pemurnian pelaksanaan asas kekuasaan kehakiman yang merdeka
menurut UUD 1945, namun dalam praktiknya menimbulkan dugaan kuat adanya
intervensi kekuasaan eksekutif sebab pada hakim juga menjadi bawahan Menteri
Kehakiman secara administrasi, organisasi dan finansial.
Contohnya adalah keluarnya Surat Ketua MA No. KMA/126/IV/1985,
tanggal 5 April 1995 yang menyatakan bahwa putusan Peninjauan Kembali MA
No. 381 PK/Pdt/1989 tanggal 28 Juli 1992 tidak dapat dieksekusi (nonexecutable)
dengan alasan bahwa Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Irian Jaya (dan tergugat
lainnya) bukan badan hukum publik yang mempunyai kekayaan sendiri tetapi
hanya mewakili daerahnya. Dalam perkara Tanah Adat Jayapura ini para
penggugat memenangkan perkara tanah adat hak mereka di mana pengadilan
mewajibkan Tergugat I, IV dan VIII untuk membayar ganti rugi sebesar Rp. 18,6
17 Ibid.
miliar. Perkara tersebut menjadi kontroversi pada saat itu dan disinyalir akan
intervensi ekstrayudisiil yang mengakibatkan adanya intervensi Ketua MA untuk
menyatakan putusan tersebut tidak dapat dieksekusi.
Begitu pula dalam kasus pembebasan tanah rakyat Kedung Ombo, diputus
oleh Pengadilan Negeri Semarang No.117/Pdt/G/1990 dan dikuatkan putusan
Pengadilan Tinggi Jawa Tengah No.143/Pdt/1991, dilanjutkan pada tingkat kasasi
MA No. 2263.K/Pdt/1991 yang memberi keadilan bagi rakyat.
Tetapi putusan kasasi tersebut dibatalkan oleh putusan PK MA No. 650
PK/Pdt/1994 yang menyatakan gugatan warga Kedungombo tidak dapat diterima.
Salah satu pertimbangan putusan PK MA tersebut adalah: pada saat gugatan kasus
Kedung Ombo ini diperiksa ditingkat kasasi, telah terjadi perubahan peraturan
yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975, diganti dengan
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993, sehingga berdasar atas azas Lex
posteriori derogat legi priori, maka akan diterapkan ketentuan Keputusan
Presiden Nomor 55 Tahun 1993 dan MA mengharuskan penyelesaiannya melalui
Keppres tersebut. Tentu saja putusan PK demikian itu irasional sebab gugatan
warga Kedung Ombo diajukan tahun 1990.
Selain kasus Tanah Adat Jayapura, kasus Kedung Ombo, juga kasus-kasus
pembredelan pers pada zaman Orde Baru yang disahkan dengan putusan-putusan
MA sehingga membuahkan kontroversi hukum, disinyalir akibat intervensi
kekuasaan eksekutif karena keberadaan lembaga yudisiil yang dikatakan
kepalanya ada di MA tetapi perutnya ada di eksekutif (di bawah Departemen
Kehakiman). Hal itu dirumuskan dalam pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor
14 Tahun 1970.
5. Masa Orde Reformasi
Setelah berakhirnya pemerintahan tirani Orde Baru, hukum mengalami
perkembangan yang lebih demokratis. Pada tahun 1998 Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 tentang
Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan pada Sidang MPR bulan November 1998.
Ketetapan MPR tersebut dilaksanakan dengan Keputusan Presiden Nomor
21 tahun 1999 tentang Pembentukan Tim Kerja Terpadu untuk melakukan kajian
Tap MPR tersebut yang memerintahkan pemisahan yang tegas antara fungsi
yudisiil dengan fungsi eksekutif. Hasil kerja Tim Terpadu tersebut
merekomendasikan pemisahan fungsi yudisiil dari fungsi eksekutif dengan
mengubah Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, khususnya pasal 11 dan pasal
22. Berdasarkan rekomendasi tersebut Presiden B.J. Habibie mengajukan
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970, khususnya pasal 11 dan pasal 22.
Selanjutnya, DPR menyetujui dengan menetapkan RUU tersebut sebagai
Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
yaitu Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 yang berlaku pada tanggal 31
Agustus 1999. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 merupakan hukum transisi
pemisahan kekuasaan kehakiman dengan kekuasaan pemerintah (eksekutif).
Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 mengubah pasal 11 Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970, di mana Badan-badan Peradilan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) secara organisatoris, administratif dan finansial
berada di bawah kekuasaan MA. Namun demikian pada saat itu status
kepegawaian para hakim secara struktural belum benar-benar terpisah dari
lembaga eksekutif sebab para hakim adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang
masih tunduk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian jo. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 dan tunduk pula pada Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri
Sipil.
Tahun 2000 MPR mengeluarkan ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/2000
tentang Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara pada Sidang
Tahunan MPR Tahun 2000. MPR membuat rekomendasi kepada MA agar segera
melaksanakan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman, dan MA perlu memantapkan kemandirian dalam melaksanakan tugas
dan fungsinya serta menjadikan MA bebas dari KKN. MPR kembali
mengeluarkan rekomendasi serupa pada Ketetapan MPR Nomor X/MPR/2001
tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR oleh Lembaga Tinggi Negara pada
Sidang Tahunan MPR Tahun 2001.
Tahun 2004 di masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri
merupakan masa pemisahan lembaga yudisiil dengan lembaga eksekutif secara
lebih tegas, dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999
dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
disusun hampir bersamaan dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung, Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan
Umum, Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Pada tahun 2006 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006. Sedangkan Peradilan
Militer tetap diatur dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer.
Terbitnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 termasuk dalam rangka
menyesuaikan dengan amandemen UUD 1945 dengan keberadaan Mahkamah
Konstitusi. Pasal 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 menentukan bahwa
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Berkenaan dengan pelaksanaan pemisahan struktural lembaga peradilan
dari kekuasaan eksekutif maka pasal 42 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004
menentukan bahwa pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam
lingkungan peradilan umum dan peradilan tata usaha negara selesai dilaksanakan
paling lambat tanggal 31 Maret 2004, dalam lingkungan peradilan agama selesai
dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004, dalam lingkungan peradilan
militer selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004. Pengalihan
organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud pada ditetapkan
dengan Keputusan Presiden.
Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, terjadi konflik
hukum antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudiasial yang menjalankan
fungsi pengawasan eksternal kepada para hakim berdasarkan UUD 1945. Para
Hakim Agung mengajukan uji materiil terhadap Undang-undang Nomor 4 Tahun
2004 dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Akhirnya, Mahkamah Konstitusi dengan putusan Nomor 005/PUU/2006
menyatakan pasal 34 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 dan ketentuan
pengawasan hakim dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 dinyatakan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila berkenaan dengan
pengawasan kepada kepada Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sempat menuai kecaman dan
menjadi polemik hukum sebab Mahkamah Konstitusi dianggap memangkas
wewenang konstitusional Komisi Yudisial berdasarkan pasal 24 B ayat (1) UUD
1945. Hakim yang dimaksudkan dalam ketentuan tersebut diartikan hakim secara
keseluruhan sehingga termasuk Hakim Agung dan hakim Mahkamah Konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menjadi bahan untuk menyusun
perubahan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Pada tahun 2009 diterbitkan
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menggantikan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Dalam undang-undang ini
secara lebih tegas dinyatakan bahwa para hakim dan hakim konstitusi adalah
pejabat negara (pasal 19) sehingga bukan lagi menjadi PNS biasa.
Konsekuensinya, kedudukan para hakim tidak lebih rendah atau sejajar jika
dibandingkan presiden dan para anggota lembaga-lembaga tinggi negara lainnya.
Dalam Bab VI Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 ditentukan adanya
bentuk pengawasan para hakim. Para hakim pengadilan yang berada di bawah
MA berada dalam pengawasan internal MA dan dalam pengawasan eksternal
Komisi Yudisial. Sedangkan hakim Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004, diubah kedua kalinya
dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009. Dalam undang-undang ini
tampaklah adanya politik hukum negara yang mengembalikan wewenang Komisi
Yudisial yang juga berwenang mengawasi Hakim Agung selain para hakim
pengadilan di bawah Mahkamah Agung. Hal itu dapat dilihat dari ketentuan pasal
32 A ayat (2) yang menentukan bahwa pengawasan eksternal para Hakim Agung
dilakukan oleh Komisi Yudisial.
Namun demikian wewenang konstitusional Komisi Yudisial masih tidak
utuh sebab politik hukum berdasarkan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
tetap tidak memberikan akses pengawasan Komisi Yudisial kepada para hakim
Mahkamah Konstitusi. Artinya, dalam hal ini masih terjadi inkonstitusionalitas
dengan cara mereduksi wewenang Komisi Yudisial tersebut. Untuk itu maka
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 membuat perbedaan istilah antara
“hakim” dengan “hakim konstitusi” sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1 angka
5 dan 7.
Selain adanya perubahan undang-undang tentang kekuasaan kehakiman
dan Mahkamah Agung, juga terjadi beberapa perubahan undang-undang di bidang
peradilan. Apabila diuraikan, struktur badan peradilan di Indonesia adalah sebagai
berikut:
a. Mahkamah Konstitusi berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003
dan Mahkamah Agung berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 dan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009.
b. Mahkamah Agung membawahi badan-badan peradilan:
- Peradilan Umum berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004
dan Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009.
- Peradilan Agama berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009.
- Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004
dan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009.
- Peradilan Militer masih tetap dengan Undang-undang Nomor 31 tahun
1997.
Selain itu terdapat badan-badan peradilan khusus, antara lain:
Peradilan khusus di bawah Peradilan Umum, yaitu:
- Pengadilan Anak berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997.
- Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) berdasarkan Undang-undang
Nomor 26 Tahun 2000.
- Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) berdasarkan Undang-undang
Nomor 46 Tahun 2009.
- Pengadilan Perikanan berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004
yang diubah dengan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009.
- Pengadilan Industrial berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004.
- Pengadilan Niaga yang belum diatur dalam undang-undang tersendiri,
semula dibentuk atas dasar Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 1998 yang kemudian disahkan dengan
Undang-undang Nomor 4 tahun 1998 tentang Kepailitan yang selanjutnya
diganti dengan diganti dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, serta
dalam berbagai undang-undang tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual.
Peradilan khusus lainnya di bawah Peradilan Tata Usaha Negara yakni
Pengadilan Pajak berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002.
Sedangkan Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
berada di dua lingkungan peradilan, yaitu: peradilan khusus di bawah
lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut
kewenangan peradilan agama dan peradilan khusus di lingkungan peradilan
umum sepanjang kewenangannya menyangkut peradilan umum (pasal 3A
ayat (2) Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009).
Pada masa Orde Reformasi kekuasaan lembaga yudisiil benar-benar
terlepas dari kekuasaan eksekutif. Prof. Muchsin mengistilahkan keadaan tersebut
sebagai peradilan satu atap yang implikasinya mengharuskan adanya
pengembangan, peningkatan profesionalisme para hakim serta perbaikan sarana
dan prasarana pengadilan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap
citra lembaga pengadilan sebagai benteng terakhir bagi para pencari keadilan.18
Memang, kini dalam praktiknya ketika MA kurang mampu dalam
melakukan kontrol internal dan Komisi Yudisial kekurangan tenaga dalam kontrol
eksternal, kekebasan kekuasaan kehakiman telah membuahkan peradilan yang
liberal. Dalam kasus-kasus yang melibatkan korporasi besar ada kecenderungan
pengadilan Indonesia tidak memperhatikan keadilan sosial tetapi lebih melindungi
investor. Sebagai contoh pada kasus pencemaran lingkungan di Buyat Sulawesi
Tenggara, kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo Jawa Timur, kasus divestasi saham
Rio Tinto di Kalimantan Timur. Banyak pula pandangan miring masyarakat
kepada pengadilan yang seringkali berlaku tidak adil kepada rakyat kecil yang
sedang berhadapan dengan hukum.
Lembaga yudisiil Indonesia meski telah bebas merdeka dari kekuasaan
lain secara fungsional dan struktural, tetapi masih belum merdeka dari intervensi
uang. Maka selanjutnya yang dibutuhkan adalah membangun sistem pengawasan
dan penegakan kode etik hakim.
18 H. Muchsin, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka (Independence Judiciary) Sesudah
Perubahan UUD 1945 Menurut UU No. 48 Tahun 2009, Untag Press, Surabaya, 2010, hal. 116.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Asas kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan bagian dari ajaran
Trias Politica, di mana kekuasaan lembaga yudisiil terpisah dengan lembaga-
lembaga lainnya dalam suatu negara. Implementasi pemisahan kekuasaan
kehakiman dengan lembaga lainnya di negara Indonesia baru terwujud pada
era Orde Reformasi, namun masih terdapat masalah baru berupa
ketidakbebasan para hakim dari intervensi uang yang indikasinya tampak dari
kecenderungan keberpihakan para hakim kepada para penguasa modal dan
mengabaikan keadilan sosial.
2. Saran
Fungsi pengawasan eksternal dari Komisi Yudisial hendaknya dikembalikan
berdasarkan UUD 1945, selain kewenangan mengawasi para hakim di
lingkungan MA juga mengawasi para hakim Mahkamah Konstitusi. Selain
itu, Komisi Yudisial harus melanjutkan dan memperkuat sistem jejaring
masyarakat dalam menjalankan fungsinya. Fungsi pengawasan internal oleh
MA dan Mahkamah Konstitusi juga perlu diperkuat dengan membentuk
tenaga khusus di bidang pengawasan oleh para hakim yang tidak ditugasi
merangkap menangani perkara sehingga pengawasan akan lebih fokus dan
konsisten.
DAFTAR BACAAN
a. Buku
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, Cet. Ketujuh, 1986.
H. Muchsin, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka (Independence Judiciary)
Sesudah Perubahan UUD 1945 Menurut UU No. 48 Tahun 2009, Untag Press, Surabaya, 2010.
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, Cet. XI,
1988. M. Nasroen, Asal Mula Negara, Aksara Baru, Jakarta, Cet. Kedua, 1986. Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945, Jilid III,
Siguntang, Jakarta, 1960. R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada,
Bandung, Edisi Kedua, Cet. Ketiga, 1996. Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, Sinar Grafika, Jakarta,
2002. R. Tresna, Komentar HIR, Pradnya Paramita, Jakarta, Cet. Keenam, 1976. Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, Cet.
Ketiga, 1991.
b. Makalah
Jur. A. Hamzah, Kemandirian dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman, makalah dalam acara yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia di Denpasar, 14 -18 juli 2003.
c. Artikel dari internet
Yudhi Setiawan, Pengaturan Kekuasaan Kehakiman yang Bebas dan
Mandiri, http://fh.wisnuwardhana.ac.id, 19 Mei 2010.