Post on 30-Jun-2019
16
BAB II
PENGATURAN PERJANJIAN BAGIHASIL ATAS TANAH PERTANIAN
A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
1. Pengertian perjanjian Secara Umum
Pengertian Perjanjian Secara Umum adapun yang dimaksud
dengan perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau
dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu
hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk
memenuhi tuntutan itu.
Menurut R. Subekti mendefisikan perjanjian suatu peristiwa
dimana seseorang berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.13
Menurut Mariam darus perjanjian atau perikatan adalah suatu
hubungan yang terjadi antara dua orang atau lebih, yang terletak dalam
bidang harta kekayaan, dengan mana pihak yang satu berhak atas prestasi
dan pihak lainnya wadib memenuhi prestasi itu.14
Menurut wirjono prodjodikoro mengemukakan bahwa perjanjian
adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua
pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk
melakukan sesuatu hal sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan
janji itu.15
13 R. Subekti.1994. Hukum Perjanjian. Jakarta. Intermasa. Hal 1 14 Mariam Darus Badrulzaman. 1994. Aneka Hukum Bisnis. Bandung. Alumni. Hal 3 15 Wirjono Prodjodikoro. 1982. Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan tertentu. Bandung;sumur. Hal 7
17
Menurut Abdulkadir Muhammad bahwa “perikata adalah hal-hal
yang mengikat orang yang satu terhadap orang lain”. Hal yang mengikat
itu menurut kenyataan dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang,
dapat berupa peristiwa tertentu seperti lahirnya seorang bayi dan dapat
pula berupa persetujuan jasa tertentu. Karena hal yang mengikat itu
selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk
undang-undang dan masyarakat diakui dan diberi akibat hukum. Dengan
demikian perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain
disebut hubungan hukum.16
Dengan memperhatikan beberapa pengertian perjanjian diatas
terlihat bahwa perjanjian selalu melahirkan hak dan kewajiban. Karena
perjanjian merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek
hukum yang menimbulkan akibat hukum. Hal tersebut tidak timbul
dengan sendrinya, tetapi karena adanya tindakan hukum dari subyek
hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Setiap mengadakan hukum harus ada kesepakatan antara kedua
belah pihak. Jika kesepakatan itu tidak tercapai, maka dalam hal ini, R.
subekti mengemukakan bahwa, yang mengadakan perjanjian harus setuju
mengenai hal-hal yang pokok, apa yang dikehendaki oleh pihak yang
satu juga dikehendaki oleh yang lain secara timbal balik.
Pengertian Perjanjian Secara Umum adapun yang dimaksud
dengan perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau
16 Abdulkadir Muhammad. 1982. Hukum perikatan. Bandung;alumni. Hal 5
18
dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu
hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk
memenuhi tuntutan itu.
Perjanjian adalah sumber penting yang melahirkan perikatan.
Pengertian perjanjian diatur dalam pasal 1313 KUH Perdata yaitu
“perjanjian atau persetujuan adalah sumber perbuatan hukum dimana
seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang atau lebih.
Atau juga dapat diartikan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji
kepada seseorang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu.17
Perjanjian tersebut menerbitkan perikatan, oleh karena itu
perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan.
Dalam bentuknya perjanjian itu berupa rangkaian kata-kata yang
mengandung janji-jani atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau
persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
2. Syarat Sahnya Perjanjian Menurut Undang-Undang Hukum Perdata
Suatu perjanjian dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi
syarat yang terdapat pada pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan
bahwa sahnya suatu perjanjian diperlukan 4(empat) syarat yaitu:
17 Komariah, SH, M.Si. 2010. Hukum Perdata. Malang. Penerbit UPT UMM. Hal 169
19
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Pernyataan sepakat mereka yang mengikat diri dan kecakapan
untuk membuat suatu perjanjian digolongkan ke dalam syarat subyektif
karena berkenaan dengan kapasitas orang yang mengadakan perjanjian,
sedangkan syarat tentang suatu hal tertentu dan sebab yang halal di
golongkan ke dalam syarat obyektif karena menyangkut objek perjanjian.
Keempat syarat diatas merupakan syarat liminatif dalam suatu
perjanjian, syarat tersebut harus terpenuhisehingga perjanjian yang dibuat
oleh para pihak dapat dikatakan sah dan mempunyai kekuatan mengikat,
jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut
dapat berakibat batal (nietig) atau dapat dibatalkan .
Menurut R.Subekti mengatakan apabila tidak dipenuhinya syarat-
syarat pertama dan kedua, maka perjanjian tersebut dapat dimintakan
pembatalanya kepada hakim, sedangkan apabila tidak dipenuhnya syarat
ketiga dan keempat maka perjanjian tersebut batal demi hukum.18
Dengan demikian bila ada kepincangan kata sepakat dalam
perjanjian, maka dapat dimintakan pembatalan melalui hakim di
pengadilan. Selama pembatalan itu tidak diminta oleh pihak yang
bersangkutan, perjanjian tetap berlaku. Hal ini ditegaskan dalam pasal
18 R. Subekti.1994. Hukum Perjanjian. Jakarta. Intermasa. Hal 20
20
1449 KUHPerdata yang menyebutkan.”perjanjian-perjanjian yang dibuat
dengan paksaan, kehilafan atau penipuan, menerbitkan hak tuntutan
untuk membatalkanya.
3. Unsur-Unsur Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal
1313 BW). Pengertian perjanjian ini mengandung unsur :
a. Perbuatan
Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang
Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum
atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat
hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;
b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih,
Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua
pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan
pernyataan yang cocok satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang
atau badan hukum.
c. Mengikatkan dirinya,
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan
oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini
orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena
kehendaknya sendiri.
21
Salah satu sendi yang terpenting dari hukum perjanjian
adalah semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik,
sebagaimana diatur dalam pasal 1339 KUHPerdata yang
menyebutka “persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan
tegas ditentukan didalamnya, melainkan juga untuk segala sesuatu
yang menurut sifatnya bahwa dalam setiap persetujuan dituntut
berdasarkan keadilan, kebiasaan atau Undang-undang.
4. Asas-Asas Perjanjian
Selanjutnya dalam proses pembentukan dan pelaksanaan
perjanjian, secara prinsip harus berpedoman pada asas-asas tertentu yaitu:
(1) asas kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomi), (2) asas
konsensualisme (persesuaian kehendak), (3) asas kepercayaan, (4) asas
kekuatan mengikat, (5) asas persamaan hak, (6) asas keseimbangan, (7)
asas kepastian hukum, (8) asas moral, (9) asa kepatutan, (10) asas
kebiasaan.19
Asas kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomi) dimana
para pihak sepakat untuk mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian.
Dan asa ini merupakan hal yang sangat esensial dalam suatu perjanjian,
sehingga dapat disebut sebagai asas partij otonomi.20
Asas konsensualisme (persesuaian kehendak) yaitu asas kebebasan
mengadakan perjanjian. Asas ini dapat ditemukan dalam pasal 1338 ayat
(1) KUHPerdata disebutkan bahwa semuapersetujuan yang dibuat secara
19 Mariam darus badrulzaman.1960. asas-asas hukum perjanjian. Sumur. Bandung. Hal 42 20 Ibid
22
sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Namun terhadap asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh pasal 1337
KUHPerdata yang menyatakan bahwa “suatu sebab adalah terlarang, jika
sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan
dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum”.
Asas kepercayaan, dapat diartikan bahwa seseorang yang
mengadakan perjanjian dengan pihak lain harus mampu menumbuhkan
rasa kepercayaanya diantara kedua belah pihak, maka akan memenuhi
prestasi di kemudian hari.
Asas kekuatan mengikat , dimana para pihak tidak hanya semata-
mata terikat kepada apa yang diperjanjiakan saja, tetapi terkait terhadap
unsur lain, seperti moral, kepatuhan dan kebiasaan.
Asas persamaan hak, yakni kewajiban para pihak untuk saling
menghormati, dengan dasar persamaan drajat, tanpa membedakan ras,
suku bangsa, kekayaan, kekuasaan dan lain-lain.
Asas keseimbangan, mengandung arti bahwa kedua belah pihak
harus memenuhi dan melaksanakan perjanjian yang telah disepakati.21
Asas kepatutan, ditemukan dalam pasal 1339 KUHPerdata yang
menyatakan “persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal
yang secara tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifatn perjanjian itu diharuskanoleh kepatutan,
kebiasaan atau undang-undang.
21 Ibid
23
Asas kepastian hukum yaitu suatu perjanjian yang mengandung
unsur kepastian, karena apa yang diperjanjikan merupakan hukum bagi
mereka yang mengikatkan diri.
Asas moral, terlihat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan
sukrela dari seseorang dengan tidak menimbulkan hak baginya untuk
menggugat kontrprestasi pihak lain. Dengan kata lain tidak ada paksaan
dalam mengikatkan diri.
Kemudian dalam pasal 1338 KUHPerdata disebutkan bahwa
semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian dinyatakan
mengikat, apabila telah ada kata sepakat mengenai sesuatu hal tertentu.
Sejak saat itulah lahirnya hubungan hukum antara para pihak yang
membuatnya dan masing-masing pihak terkait satu sama lain, sekaligus
menimbulkan hak dan kewajiban. Dan perjanjian yang dibuat secara sah
tidak dapat ditarik kembali, apabila ingin ditarik, maka harus dengan
persetujuan kedua belah pihak.
24
B. Tinjauan Umum Perjanjian Bagi Hasil Menurut Undang-Undang Nomor
2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian
1. Pengertian Bagi Hasil
Bagi hasil (deelbouw) merupakan lembaga hukum adat yang
dikenal dalam sistem hukum adat kita dengan berbagai istilah, dimana
disetiap wilayah memiliki istilah tersendiri seperti: maro atau
jejuron(Jawa Barat, Priangan), nyakap (Lombok), mawaih (Aceh),
meperduai (Sumatera Barat), volah pinang (Toba), toyo (Minahasa),
tesang (Sulawesi Selatan), untuk palembang, Scheltema memberikan
istilah “separoan”22 Khusus di Kecamatan Karo, disebut dengan istilah
“pembelahken atau melahi”23
Kata paroan berasal dari kata paruhan, yang berarti pembagihan
hasilnya dari semua produksi atau pendapatan di bagi 50% untuk pemilik
tanah dan 50% untuk penggarap/buruh tani.
Berdasarkan tradisi bagi hasil apabila suatu perjanjian telah
mendapat persetujuan dari kedua belah pihak, berarti sudah mengikat dan
keadaan itu terus berlangsung hingga sekarang, hal ini dikarenakan faktor
ekonomi dan keuangan. Sehingga prinsip yang mengandung asas
pemerataan mulai bergeser kearah kepentingan ekonomi. Pergeseran itu
dapat dilihat pada sistem paroan bagi tiga, paroan bagi lima dan
sebagainya. 22 AMPA. 1985. Bagi Hasil Di Hindia Belanda. Jakarta. Penerbit yayasan obor Indonesia. Hal 56 23 Malem Ginting. Hasil Penelitian Lapang Tentang Perjanjian Bagi Hasil di Kecamatan Payung Kabupaten Karo. Juli 2006
25
Mengenai besarkecilnya jumlah yang diterima oleh kedua belah
pihak, sangat tergantung pada nilai produktivitas dari baiknya lahan.
Sebaliknya apabila produktivitas lahan semakin berkurang dan letaknya
jauh dari desa, maka keadaan ini membawa akibat dimana hasil yang
diterima penggarap akan semakin banyak pula.
Dalam penjelasan Undang-undang perjanjian bagi hasil, pada
bagian umum dikatakan bahwa biarpun tidak disebut dengan nama yang
sama, tetapi perjanjian pengusahaan tanah dengan bagi hasil secara
umum dijumpai diseluruh indonesia. Hukum yang dipakai masyarakat
dalam melakukan perjanjian bagi hasil adalah hukum adat yang tidak
tertulis. Jadi apabila seseorang memiliki sebidang tanah , karena suatu
sebab tidak dapat mengerjakanya sendiri, tetapi tetap berkeinginan untuk
mendapatkan hasil, maka yang bersangkutan akan memperkenankan
orang lain untuk menyelenggarakan usaha pertanian tersebut, dan
pembagian hasil sesuai atas kesepakatan sebelumnya.
Selanjutnya imbangan pembagian hasil untuk masing-masing
pihak, maka bahan perbandingannya dapat dilihat pada masyarakat Jawa
tenah dan Bali Selatan, dengan ketentuan:
a. Pemilik tanah dan penggarap memperoleh pembagian yang
sama (maro)
b. Pemilik tanah memperoleh 2/3 bagian(mertelu)
c. Pemilik tanah mendapat 1/5 bagian untuk tanaman kacang.
26
Khususnya untuk didaerah Bali Selatan sebagai berikut:
a. Pemilik tanah dan penggarap memperoleh bagian yang sama
(nandu)
b. Pemilik tanah mendapat 3/5 bagian dan penggarap 2/5 (nelon)
c. Pemilik tanah memperoleh 2/3, sedangkan penggarap 1/3
(ngapit)
d. Pemilik tanah mendapat ¾, sedangkan penggarap ¼ (merapat).24
Dengan dibuatnya peraturan seperti ini, maka lembaga bagi hasil
yang dijumpai didalam masyarakat pertanian kita pada kenyataannya
sekarang ini masih hidup dan memiliki segi-segi sosial maupun ekonomis
yang tidak dapat langsung diganti atau dihapus, karena sangat berperan
dalam kehidupan masyarakat.
Pernyataan tersebut sesuai dengan apa yang di kemukakan oleh
Moh. Koesnoe bahwa “ Hukum adat adalah hukum yang menjelmakan
perasaan hukum yang nyata dari rakyat dan sebagai hukum rakyat,
hukum adat terus menerus dalam keaadaan tumbuh dan berkembang
seperti hidup rakyat.25
Menurut Ensiklopedia hindia belanda bagi hasil merupakan
transaksi mengenai tanah yang biasa terjadi diseluruh Indonesia
dikalangan orang-orang pribumi, dimana pemilik tanah atau penerima
24 Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko. 1981. Hukum Adat Indonesia. Jakarta. Rajawali Indonesia. Hal 232 25 Moh. Koesno. 1992. Hukumadat sebagai Model hukum. Bagian I. Bandung. Penerbit Bandar Maju. Hal 4
27
gadai tanah menyerahkan tanah pada pribumi lain dengan syarat harus
menyerahkan bagian panen yang seimbang.26
Didalam Undang-undang No.2Tahun 1960, mengatakan bahwa
perjanjian bagi hasil adalah perjanjian dengan nama apapun juga yang
diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan
hukum pada pihak lain, yang dalam Undang-undang ini disebut
penggarap berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan pleh
pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah
pemilik dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak (Pasal 1
huruf c).
Perjanjian bagi hasil juga diatus dalam ketentuan hukum adat,
yang biasanya disebut sebagai hak menggarap, yaitu hak seseorang untuk
mengusakan pertanian diatas tanah milik orang lain dengan persetujuan ,
dengan pertimbangan agar pembagian hasil tanahnya dilakukan atas
dasar adil serta terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi
penggarap.27
Hak usaha bagi hasil ini merupakan salah satu hak yang sifatnya
sementara seperti yang diatur dalam pasal 53 (1) Undang-undang No.5
Tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok-pokok Agraria, berbunyi :”Hak-
hak yang sifatnya sementara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 16
(1) huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan
sea tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang
26 Ibid. Hal 7 27 K. Wantjik Saleh. 1987. Hak Anda Atas Tanah. Jakarta. Ghalia Indonesia. Hal 51
28
bertentangan dengan undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan
hapusnya dalam waktu yang singkat”.
2. Bentuk Perjanjian Bagi Hasil
Untuk mengetahui bentuk-bentuk perjanjian bagi hasil menurut
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil
pertanian dijelaskan dalam pasal 3 ayat 1, yaitu
“Semua perjanjian bagi-hasil harus dibuat oleh pemilik dan penggarap sendiri secara tertulis dihadapkan Kepala dari Desa atau daerah yang setingkat dengan itu tempat letaknya tanah yang bersangkutan - selanjutnya dalam undang-undang ini disebut "Kepala Desa" dengan dipersaksikan oleh dua orang, masing-masing dari fihak pemilik dan penggarap”
Mengenai bentuk perjanjian bagi hasil ini disebutkan dalam pasal
3 Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil
Pertanian , yang menyatakan bahwa :
Semua perjanjian bagi hasil harus dibuat oleh pemilik dan
penggarap sendiri secara tertulis dihadapan kepala desa atau yang
setingkat dengan itu, tempat letaknya tanah yang bersangkutan dengan
dipersaksikan oleh kedua orang, masing-masing dari pihak pemilik dan
pengarap.
Perjanjian secara tertulis ini dimaksudkan untuk menghindarkan
keragu-raguan, yang mungkin menimbulkan perselisihan mengenai hak-
hak dan kewajiban kedua belah pihak, lamanya jangka waktu perjanjian.
Perjanjian bagi hasil memerlukan pengesahan dari camat/ kepala
kecamatan yang bersangkutan atau pejabat lain yang setingkat dengan
itu. Hal ini dimaksudkan agar pengawasan secara preventif dapat
29
diselenggarakan dengan sebaik-baiknya. Perjanjian bagi hasil yang
dibuat secara tertulis dihadapan kepala desa tersebut perlu mendapat
perlu mendapat pengesahan dan diumumkan dalam kerapatan desa yang
bersangkutan dan pentingnya kepala desa mengumumkan tentang adanya
perjanjian bagi hasil pada kerapatan desa agar segala sesuatunya menjadi
jelas.28
3. Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil
Jangka waktu perjanjian bagi hasil di atur dalampasal 4 ayat 1
Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah
Pertanian ;
“Perjanjian bagi-hasil diadakan untuk waktu yang dinyatakan didalam surat perjanjian tersebut pada pasal 3, dengan ketentuan, bahwa bagi sawah waktu itu adalah sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan bagi tanah-kering sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun”
Penjelasan mengenai jangka waktu perjanjian bagi hasil ini
dimana dalam perjanjian bagi hasil diadakan untuk jangka waktu 3 (tiga)
tahun bagi tanah persawahan dan lima (5) tahun untuk tanah kering.
Sesuai dengan memori penjelasan, maka yang dimaksud dengan tahun
pada ayat 1 adalah tahun tanaman jadi bukan tahun kalender.
Dalam hal khusus, camat dapat diizinkan diadakanya perjanjian
bagi hasil dengan waktu kurang dari yang ditetapkan. Jika pada waktu
berakhirnya perjanjian bagi hasil diatas tanah yang bersangkutan masih
terdapat tanaman yang belum dipanen, maka perjanjian tersebut berlaku
28 Prof. DR.A.P. Parlindungan,S.H. 1991. Undang-Undang Bagi Hasil Di Indonesia (Suatu Studi Komparatif). Bandung. Mandar maju. Hal 19
30
terus sampai waktu tanaman itu selesai dipanen, tetapi perpanjangan
waktu itu tidak boleh lebh dari satu tahun.29
Perjanjian bagi hasil tidak terputus karena pemindahan hak milik
atas tanah yang bersangkutan kepada orang lain. Semua hak dan
kewajiban pemilik berdasarkan perjanjian bagi hasil itu beralih kepada
pemilik baru. Dan jika penggarap meninggal dunia, maka perjanjian bagi
hasil itu beralih kepada ahli warisnya, dengan hak dan kewajiban yang
sama.30
Pemutusan perjanjian bagi hasil hasil sebelum berakhirnya jangka
waktu perjanjian hanya mungkin dalam hal sebagai berikut :
a. Atas persetujuan kedua belah pihak yang bersangkutan dan setelah
mereka laporkan ke kepala desa.
b. Dengan izin kepala desa atas tuntutan si pemilik, didalam hal
penggarap tidak mengusahakan tanah yang bersangkutan
sebagaimana mestinya atau tidak memenuhi kewajibanya untuk
menyerahkan sebagian dari hasil tanah yang telah ditentukan
kepada pemilikatau tidak memenuhi beban-beban yang menjadi
tanggungannya.
4. Syarat Sahnya Perjanjian Bagi Hasil
Perjanjian bagi hasil tanah pertanian sah menurut UU No. 2
Tahun 1960, adalah :
a. Dalam Pasal 3 ayat (1) dirumuskan, bahwa semua perjanjian bagi
29 Ibid. Hal 23 30 Ibid .
31
hasil harus dibuat oleh pemilik dan penggarap sendiri secara
tertulis dihadapan Kepala Desa tempat letaknya tanah yang
bersangkutan, dengan dipersaksikan oleh 2 orang, masing-masing
dari pihak pemilik dan penggarap. Maksud dari ketentuan ini ialah
1) Agar dapat dihindarkan terjadinya keragu-raguan di
kemudian hari, yang mungkin menimbulkan perselisihan
mengenai hal sesuatu yang bersangkutan dengan perjanjian
itu (jangka waktu perjanjian, hak-hak dan kewajiban-
kewajiban pemilik dan lain sebagainya).
2) Agar dapat diselenggarakan pula pengawasan, baik secara
preventif, supaya ketentuan-ketentuan dari UU No. 2
Tahun 1960 itu diindahkan sebagaimana mestinya. 31
b. Jika pemilik tanah belum dewasa ia diwakili oleh walinya, yang
bertindak untuk dan atas namanya, jika pemilik sudah sangat lanjut
usianya atau sakit sehingga tidak dapat datang sendiri kehadapan
Kepala Desa untuk menandatangani surat perjanjian itu, maka
dapatlah pemilik tersebut diperkenankan menunjuk kuasa untuk
menandatangani atas namanya. Didalam hal yang demikian, maka
didalam surat perjanjian yang bersangkutan supaya dicatat pula
alasan, mengapa pemilik tidak dapat menandatanganinya sendiri.
c. 1). Oleh Kepala Desa yang bersangkutan pada waktu diadakan
31 Malem Ginting. 2006. Pelaksanaan Undang-Undang No. 2 tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian.”Studi Di Kabupaten Karo”. Universitas Sumatera Utara. Hal 74
32
perjanjian hendaknya dijelaskan kepada pemilik dan penggarap
ketentuan-ketentuan dari UU No. 2 Tahun 1960 serta ketentuan-
ketentuan yang disebutkan dalam surat perjanjian itu, khususnya
mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka masing-
masing. Jika pemilik dan penggarap mengadakan syarat- syarat
yang tidak diperbolehkan atau bertentangan dengan penetapan
kepala daerah mengenai imbangan pembagian hasil tanahnya,
maka hal itu hendaknya diberitahukan pula pada mereka untuk
ditiadakan atau diganti dengan syarat lain. 32
2). Oleh Kepala Desa hendaknya juga diperiksa, apakah pemilik
berwenang mengadakan perjanjian bagi hasil mengenai tanah yang
bersangkutan. Apakah penggarap memenuhi syarat sebagai yang
disebutkan dalam Pasal 2, yaitu bahwa ia harus seorang petani.
Sebagaimana diketahui, maka jika penggarap dengan perjanjian
yang diadakan itu akan mempunyai tanah garapan lebih dari 3
hektare maka diperlukan izin dari Camat yang bersangkutan (Surat
Keputusan No. SK. 322/Ka/1960). Demikian pula diperlukan izin
dari Camat kalau jangka waktu perjanjian kurang dari apa yang
ditentukan dalam Pasal 14 (yaitu untuk sawah 3 tahun dan tanah
kering 5 tahun). Untuk mempersingkat waktu, maka izin itu dapat
diminta bersamaan dengan diajukannya surat perjanjian yang
bersangkutan kepada Camat untuk disahkan.
32 Ibid.
33
d. Jika penggarap itu adalah suatu badan hukum, maka sebelum
perjanjian bagi hasil diadakan dengan pemilik daerah Swantantra
Tingkat II (sekarang daerah Kabupaten/Kota) dari daerah
tempatnya tanah yang akan dibagihasilkan itu, yaitu kalau badan
hukum tersebut berbentuk koperasi tani atau koperasi desa.
Mengenai badan-badan hukum lainnya izin itu harus diminta
kepada Menteri Agraria (Pasal 2 ayat (2) jo. Surat Keputusan No.
SK./322/Ka/1960).
Dalam penjelasan UU No. 2 Tahun 1960 dinyatakan,
bahwa pada asasnya badan-badan hukum apapun juga dilarang
untuk menjadi penggarap, karena dalam perjanjian bagi hasil ini
penggarap haruslah seorang petani, tetapi ada kalanya, bahwa
justru untuk kepentingan umum atau kepentingan desa, sesuatu
badan hukum perlu diberi izin untuk menjadi penggarap atas tanah-
tanah yang terlantar di desa-desa. Dalam hal ini hanyalah koperasi-
koperasi tani atau desa yang akan diizinkan dan buk33an badan-
badan hukum lain, seperti PT, CV dan lain sebagainya.
Di samping itu adakalanya juga sesuatu badan hukum yang
berbentuk Perseroan Terbatas atau Yayasan perlu dipertimbangkan
untuk diberi izin menjadi penggarap. Misalnya dalam hubungannya
dengan usaha pembukaan tanah secara besar-besaran di daerah
Sumatera, Kalimantan dan lain-lainnya. Di daerah – daerah itu
33 Ibid.
34
masalah pembukaan tanah yang pertama, jadi dalam tahun- tahun
yang pertama, ialah pekerjaan berat yang umumnya perlu dibantu
dengan tenaga mesin, seperti traktor dan lain sebagainya, dalam hal
ini suatu perusahaan pembukaan tanah yang berbentuk bukan
koperasi, akan tetapi Yayasan atau Perseroan Terbatas kiranya
dapat dipertimbangkan juga untuk dapat diterima sebagai
penggarap dalam batas waktu yang ditentukan. Pengusahaan tanah
yang dimaksudkan itu akan sangat bermanfaat, bagi pemilik tanah
maupun bagi pembangunan dan pembukaan tanah yang masih
merupakan padang ilalang atau hutan semak belukar.
Dalam menentukan diizinkan atau tidaknya suatu badan
hukum menjadi penggarap, harus diadakan penilaian dari sudut
kepentingan desa atau kepentingan umum. 34
Didalam pemberian izin kepada koperasi desa dan koperasi
tani itu hendaknya diminta pertimbangan pada instansi-instansi
setempat yang bersangkutan, misalnya pejabat-pejabat dari jawatan
agraria, koperasi, pertanian dan lain-lain yang dianggap perlu.
e. Surat-surat perjanjian bagi hasil dibuat dalam rangkap tiga, yang
asli dibubuhi materai, disimpan pemilik atau penggarap sebagai
turunan. Lembar kedua dan ketiga tidak ditanda tangani oleh
pemilik, penggarap dan para saksi, tetapi merupakan turunan yang
diberikan oleh Kepala Desa. Dengan demikian tak perlu
34 Istiqomah. 1982. Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria Nasional. Surabaya. Usaha Nasional. Hal 102
35
bermaterai. Surat perjanjian itu dicatat oleh Kepala Desa di dalam
buku register.
f. Oleh karena keadaan daerah tidak selalu sama, maka kiranya
kuranglah bijaksana jika besarnya biaya administrasi yang boleh
dipungut oleh Kepala Desa berhubung dengan pekerjaannya
yang bersangkutan dengan pembuatan surat- surat perjanjian itu
ditetapkan secara sentral. Lebih tepatlah kiranya bilamana
penetapan itu diadakan untuk tiap-tiap Daerah Swatantra Tingkat II
dipersilahkan untuk menetapkan besarnya biaya yang dimaksudkan
itu, untuk daerahnya masing-masing. Untuk tidak menambah
beratnya beban pihak-pihak yang bersangkutan maka penetapan
biaya tersebut janganlah hendaknya melampaui Rp. 10,- (sepuluh
rupiah) untuk tiap perjanjian, yang harus dibayar oleh pemilik,
kecuali penggarap adalah suatu badan hukum, dalam hal mana
penggaraplah yang membayarnya.
g. Surat-surat perjanjian yang ditandatangani oleh pemilik, penggarap,
para saksi dan Kepala Desa secepat mungkin diajukan kepada
Camat untuk memperoleh pengesahan.35
h. Surat-surat perjanjian yang diterima oleh Camat itu dicatat dalam
buku register. Oleh Camat hendaknya diadakan pemeriksaan
apakah segala sesuatu yang sudah memenuhi atau tidak
35 Ibid.
36
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dari UU No. 2 tahun
1960 serta dengan penetapan Kepala Daerah mengenai imbangan
pembagian hasil tanahnya. Jika diperlukan izin bagi penggarap
karena tanah garapannya melebihi 3 hektare (Pasal 2 ayat (2) jo
surat keputusan No. SK. 322/Ka/1960) maka hendaknya
diperhatikan apa yang disebut dalam Penjelasan UU No. 2 tahun
1960, yang harus dipakai sebagai pedoman. Pada asasnya seorang
petani yang sudah mempunyai tanah 3 hektare tidak diperkenankan
untuk mendapat tanah garapan lagi, tetapi kalau luas tanah yang
melebihi 3 hektare itu tidak seberapa (sebagai pedoman ditetapkan
paling banyak 1⁄2 (seperdua) hektare maka tidaklah ada keberatan
untuk diberi izin). Di dalam hal-hal yang sama dapat diberikan
izin untuk mengadakan perjanjian dengan jangka waktu yang
kurang dari 3 tahun untuk sawah dan 5 tahun untuk tanah kering
telah diberikan contohnya dalam penjelasan Pasal 4 ayat (2) di atas.
Izin itu hanya dapat diberikan dalam hal-hal yang memaksa dan
terbatas terhadap tanah-tanah yang biasanya diusahakan sendiri
oleh pemilik. Misalnya jika pemilik perlu naik haji, sakit keras atau
hal lain sebagainya dan hanya menghendaki perjanjian untuk
jangka waktu satu tahun saja, karena tanah yang dikerjakan sendiri
pada tahun berikutnya akan diusahakan kembali. Demikian pula
kiranya diberikan izin kepada orang yang menyewa tanah selama
masa jangka waktu kurang dari yang ditentukan menurut Pasal 4,
37
serta dapat membagi hasilkan tanah tersebut kepada yang menyewa
sesuai jangka waktu lamanya persewaan tersebut. 36
Agar pihak-pihak yang berkepentingan dapat segera
memperoleh kepastian mengenai perjanjian yang dilakukan
tersebut, maka hendaknya para Camat memberi keputusan untuk
mengesahkan perjanjian yang diterima dalam waktu paling lama 1
(satu) minggu.
i. Perjanjian-perjanjian yang telah mendapat pengesahan Camat
diumumkan oleh Kepala Desa dalam kerapatan desa/adat yang
akan datang berikutnya .
5. Pembagian Hasil Atas Tanah Pertanian Dalam Perjanjian Bagi Hasil
Dalam perjanjian bagi hasil bentuk pembagian hasil tanah di atur
dalam pasal 7 ayat (1 dan 2) Undang –Undang No. 2 Tahun 1960
Tentang perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian, yaitu;
“Besarnya bagian hasil-tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik untuk tiap-tiap Daerah Swatantara tingkat II ditetapkan oleh Bupati/Kepala Daerah Swatantra tingkat II yang bersangkutan, dengan memperhatikan jenis tanaman, keadaan tanah, kepadatan penduduk, zakat yang disisihkan sebelum dibagi dan faktor-faktor ekonomis serta ketentuan-ketentuan adat setempat”
Dalam penjelasan bentuk pembagian hasil tanah pertanian dapat
diketahui agar terdapat imbangan yang sebaik-baiknya antara
kepentingan pemilik dan penggarap , dan bukan untuk mendahulukan
kepentingan satu dengan yang lain sebagaimana sudah dijelaskan dalam
36 Kartasapoetra. 1995. Hukum Tanah dan Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah. Jakarta. PT.Bina Angkasa. Hal 45
38
Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian No. 211/1980
dan No. 714/Kpts/Um/9/1980 telah mengadakan telah menjelaskan
mengenai bentuk imbangan bagi hasil tanah yang menjadi hak pemilik
dan penggarap. Dinyatakan bahwa jika hasil yang dicapai oleh penggarap
tidak melebihi hasil produksi rata-rata daerah tingkat II atau Kecamatan
yang titetapkan oleh Bupati kepada daerah yang bersangkutan, maka
hasil kotor, setelah dikurangi biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga
ternak, tenaga tanam dan panen yang dihitung menurut rumus berikut:
(Rumus I) X-2 X-1/4X Hak Penggarap = Hak Pemilik= = 2 2
Jika hasil produksi rata-rata di tingkat II/ Kecamatan sebagaimana
yang ditetapkan oleh bupati kepada daerah yang bersangkutan, maka
besarnya bagian yang menjadi hak penggarap dan pemilik sebagai
berikut:37
a. Hasil kotor sampai dengan hasil produksi rata-rata dibagi menurut
rumus satu (1).
b. Hasil selebihnya dari hasil produksi rata-rata dibagi antara
penggarap dan pemilik dengan imbangan 4 bagian bagi penggarap
dan satu (1) bagian bagi pemilik, atau dalam bentuk rumus berikut
:
Rumus (II)
Y-Z 4(X-Y) Y-1/4Y 4(X-Y)
37 Parlindungan AP. Undang-Undang Bagi Hasil Di Indonesia Studi Komparatif. Bandung. Mandar Maju
39
Hak penggarap = + = + 2 5 2 2 Hak Pemilik = Y-X 1(X-Y) Y-1/4Y X-Y + = + 2 5 2 5
Dimana Y = hasil produksi rata-rata daerah tingkat II atau
kecamatan yang bersangkutan.
Jika disuatu daerah yang menjadi bagian penggarap pada
kenyataannya lebih besardari apa yang ditentukan dalam rumus I
dan II diatas, maka tetap diperlakukan imbangan ini lebih
menguntungkan penggarap dan sesuai dengan penjelasan pasal 7
Undang-undang No. 2 Tahun 1960 bahwa zakat disisihkan dari
hasil kotor yang mencapai nisab untuk padi, ditetapkan 14 kwintal.
Dan pajak tanah juga dibebankan sepenuhnya kepada pemilik
tanah bukan kepada penggarap.38
6. Hak Dan Kewajiban Pemiik Dan Penggarap Dalam Perjanjian Bagi
Hasil.
a. Hak Kewajiban Pemilik dan Penggarap
Kewajiban penggarap seperti yang diatur pada Pasal 8, 9 dan 10
Undang-undang No. 2 tahun 1960, yakni : 39
a) Larangan pembayaran uang atau pemberian benda apapun juga
kepada pemilik yang bersangkutan dengan maksud untuk
38 Ibid. 39 Prof. DR.A.P. Parlindungan,S.H. 1991. Undang-Undang Bagi Hasil Di Indonesia (Suatu Studi Komparatif). Bandung. Mandar maju. Hal 32
40
memperoleh hak mengusahakan tanah pemilik dengan perjanjian
bagi hasil.
b) Pelanggaran terhadap larangan tersebut pada point di atas
berakibat, bahwa uang yang dibayarkan atau harga benda yang
diberikan itu dikurangkan pada bagian pemilik dari hasil tanah
termaksud dalam Pasal 7.
c) Larangan adanya pembayaran oleh siapapun, termasuk pemilik dan
penggarap, kepada penggarap atau pemilik dalam bentuk apapun
juga yang mempunyai unsur-unsur ijon.
d) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana Pasal 15, maka apa
yang dibayarkan tersebut pada point 3 di atas, tidak dapat dituntut
kembali dalam bentuk apapun juga.
e) Kewajiban membayar pajak mengenai tanah yang bersangkutan
dilarang untuk dibebankan kepada penggarap, kecuali kalau
penggarap itu adalah pemilik tanah yang bersangkutan.
f) Dengan berakhirnya perjanjian bagi hasil, baik karena berakhirnya
jangka waktu maupun karena salah satu sebab pada Pasal 6,
penggarap wajib menyerahkan kembali tanah yang bersangkutan
kepada pemilik dalam keadaan baik.
1. Hak Kewajiban Penggarap
Penggarap selama perjanjian bagi hasil berlangsung berhak
untuk mengusahakan tanah yang bersangkutan dan menerima
41
bagian dari hasil tanah itu sesuai dengan imbangan pembagian
yang ditetapkan bagi daerah tersebut.40
Kemudian yang menjadi kewajiban penggarap,
sebagaimana diuraikan di atas, juga merupakan kewajiban bersama
antara pemilik dan penggarap, untuk itu penggarap berkewajiban
pula untuk :
a) Mengusahakan tanah tersebut dengan baik.
b) Menyerahkan bagian hasil yang menjadi hak dari pemilik.
c) Memenuhi beban-beban yang menjadi tanggungan selaku
penggarap
d) Meminta izin kepada pemilik apabila penggarap ingin
menyerahkan pengusahaan tanah yang bersangkutan
kepada pihak ketiga
40 Ibid.
42
C. Teori Tentang Efektivitas Hukum
1. Pengertian Efektivitas Hukum
a. Menurut Achmad Ali
Menurut Achmad ali tentang teori efektivitas hukum
berpendapat bahwa ketika kita ingin mengetahui sejauh mana
efektivitas dari hukum, maka pertama-tama harus mengukur “sejauh
mana aturan hukum itu ditaati”.41
b. Menurut Hans Kelsen
Menurut Hans Kelsen, Jika Berbicara tentang efektifitas
hukum, dibicarakan pula tentang Validitas hukum. Validitas hukum
berarti bahwa norma-norma hukum itu mengikat, bahwa orang harus
berbuat sesuai dengan yang diharuskan oleh norma-norma hukum.,
bahwa orang harus mematuhi dan menerapkan norma-norma hukum.
Efektifitas hukum berarti bahwa orang benar-benar berbuat sesuai
dengan norma-norma hukum sebagaimana mereka harus berbuat,
bahwa norma-norma itu benar-benar diterapkan dan dipatuhi.42
c. Menurut Soerjono Soekanto
Menurut Soerjono Soekanto, Hukum sebagai kaidah
merupakan patokan mengenai sikap tindak atau perilaku yang pantas.
Metode berpikir yang dipergunakan adalah metode deduktif-rasional,
41 Pratamaiin. 2012.” Efektivitas Hukum “ Http://Pratamaiin.Blogspot.Com. Diakses Tanggal 1 Desember 2015. Pukul 23.31 42 ibid.
43
sehingga menimbulkan jalan pikiran yang dogmatis. Di lain pihak ada
yang memandang hukum sebagai sikap tindak atau perilaku yang
teratur (ajeg). Metode berpikir yang digunakan adalah induktif-
empiris, sehingga hukum itu dilihatnya sebagai tindak yang diulang-
ulang dalam bentuk yang sama, yang mempunyai tujuan tertentu.43
Efektivitas hukum dalam tindakan atau realita hukum dapat
diketahui apabila seseorang menyatakan bahwa suatu kaidah hukum
berhasil atau gagal mencapai tujuanya, maka hal itu biasanya
diketahui apakah pengaruhnya berhasil mengatur sikap tindak atau
perilaku tertentu sehingga sesuai dengan tujuannya atau tidak. )
Efektivitas hukum artinya efektivitas hukum akan disoroti dari tujuan
yang ingin dicapai, yakni efektivitas hukum. Salah satu upaya yang
biasanya dilakukan agar supaya masyarakat mematuhi kaidah hukum
adalah dengan mencantumkan sanksi-sanksinya. Sanksi-sanksi
tersebut bisa berupa sanksi negatif atau sanksi positif, yang
maksudnya adalah menimbulkan rangsangan agar manusia tidak
melakukan tindakan tercela atau melakukan tindakan yang terpuji.
Teori efektivitas hukum menurut soerjono soekamto adalah
bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima)
faktor, yaitu:
a) Faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang).
b) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
43 Soerjono Soekanto, 1988. Efektivitas Hukum Dan Penerapan Sanksi. Bandung. Cv. Ramadja Karya. Hal 88
44
maupun menerapkan hukum.
c) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
d) Faktor masyarakat, yang lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan.
e) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil kerya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.
Kelima faktor diatas saling berkaitan dengan eratnya karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur
daripada efektivitas penegakan hukum.
Menurut Soerjono Soekanto bahwa masalah yang berpengaruh
terhadap efektivitas hukum tertulis ditinjau dari segi aparat akan
tergantung pada hal berikut:44
Sampai sejauh mana petugas terkait oleh peraturan-peraturan yang
ada.
1. Sampai batas mana petugas diperkenankan memberikan
kebijaksanaan.
2. Teladan macam apa yang sebaiknya diberikan oleh petugas
kepada masyarakat.
3. Sampai sejauh mana derajat sinkronisasi penugasan-penugasan
yang diberikan kepada petugas sehingga memberikan batasan-
batasan yang tegas pada wewenangnya.
Sehubungan dengan persoalan efektivitas hukum,
44 Ibid.
45
pengidentikan hukum tidak hanya dengan unsur paksaan eksternal
namun juga dengan proses pengadilan. Ancaman paksaan pun
merupakan unsur yang mutlak ada agar suatu kaidah dapat
dikatagorikan sebagai hikum.
Hal berlakunya hukum dalam masyarakat demi terciptanya
tujuan hukum yang benar secara filosofis, yuridis dan sosiolagis.
a. Secara filosofis
Berlakunya hukum secara filosofis berarti bahwa
hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum, sebagai nilai
positif yang tertinggi.
b. Secara yuridis
Berlakunya hukum secara secara yuridis, dijumpai
anggapan-anggapan sebagai berikut:
Hans kelsen, yang menyatakan bahwa kaidah
hukum mempunyai kelakuan yuridis, apabila penetuannya
berdasarkan kaidah yang lebih tinggi tingkatannya. Ini
berhubungan dengan teori “stufenbau” dari kelsen W.
Zevenbergen, menyatakan bahwa suatu kaidah hukum
mempunyai kelakuan yuridis, jikalau kaidah tersebut “op de
verischte ize is tot sand gekomen”
c. Secara sosiologis
Kaedah hukum berlaku secara sosiologis, apabila
kaedah tersebut efektif, artinya, kaedah tersebut dapat
46
dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak
diterima oleh warga masyarakt (Teori kekuasaan), atau
kaedah tadi berlaku karena diterima dan diakui oleh
masyarakat (teori pengakuan).
Berlakunya kaidah hukum secara sosiologis menurut
teori pengakuan adalah apabila kaidah hukum tersebut
diterima dan diakui masyrakat. Sedangkan menurut teori
paksaan berlakunya kaidah hukum apabila kaidah hukum
tersebut dipaksakan oleh penguasa.
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Hukum
Menurut Prof. Dr. Soerjono Soekamto, SH.,MA antara lain :45
a. Faktor Hukumnya Sendiri
Hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian dan
kemanfaatan. Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan
ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan
keadilan.
Kepastian Hukum sifatnya konkret berwujud nyata,
sedangkan keadilan bersifat abstrak sehingga ketika seseorang
hakim memutuskan suatu perkara secara penerapan undang-undang
saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak tercapai. Maka
ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya
keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum tidaklah semata-
45 Op Cit. Hal 89
47
mata dilihat dari sudut hukum tertulis saja, Masih banyak aturan-
aturan yang hidup dalam masyarakat yang mampu mengatur
kehidupan masyarakat. Jika hukum tujuannya hanya sekedar
keadilan, maka kesulitannya karena keadilan itu bersifat subjektif,
sangat tergantung pada nilai-nilai intrinsik subjektif dari masing-
masing orang. Menurut Prof. Dr. Achmad Ali apa yang adil bagi si
Baco belum tentu di rasakan adil bagi si Sangkala.
b. Faktor Penegak Hukum
Faktor ini meliputi pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum atau law enforcement. Bagian-bagian itu law
enforcement adalah aparatur penegak hukum yang mampu
memberikan kepastian, keadilan, dan kemanfaat hukum secara
proporsional. Aparatur penegak hukum menyangkup pengertian
mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak
hukum, sedangkan aparat penegak hukum dalam arti sempit
dimulai dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman, penasehat hukum
dan petugas sipir lembaga pemasyarakatan. Setiap aparat dan
aparatur diberikan kewenangan dalam melaksanakan tugasnya
masing-masing, yang meliputi kegiatan penerimaan laporan,
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, penbuktian, penjatuhan
vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pembinaan kembali
terpidana.
48
Sistem peradilan pidana harus merupakan kesatuan terpadu
dari usaha-usaha untuk menangulangi kejahatan yang
sesungguhnya terjadi dalam masyarakat. Apabila kita hanya
memakai sebagian ukuran statistik kriminalitas, maka keberhasilan
sistem peradilan pidana akan dinilai berdasarkan jumlah kejahatan
yang sampai alat penegak hukum. Beberapa banyak yang dapat
diselesakan kepolisian, kemudian diajukan oleh kejaksaan ke
pengadilan dan dalam pemeriksaan di pengadilan dinyatakan
bersalah dan dihukum. Sebenarnya apa yang diketahui dan
diselesakan melalui sistem peradilan pidana hanya puncaknya saja
dari suatu gunung es. Masih banyak yang tidak terlihat, tidak
dilaporkan (mungkin pula tidak diketahui, misalnya dalam hal
“kejahatan dimana korbanya tidak dapat ditentukan”atau “crimes
without victims”) dan karena itu tidak dapat di selesaikan. Keadaan
seperti ini tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya kepada sistem
peradilan pidana. Karena tugas sistem ini adalah terutama
menyelesekan kasus-kasus yang sampai padanya.46
Secara sosiologis, setiap aparat penegak hukum tersebut
mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan
(sosial) merupakan posisi tertentu di daloam struktur
kemasyarakatan. Kedudukan tersebut merupakan peranan atau role,
oleh karena itu seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu,
46 Achmad Ali, 2010. Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan.. Jakarta. Kencana . Vol 1 No. 375
49
lazimnya mempunyai peranan. Suatu hak merupakan wewenang
untuk berbuat dan tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah
beban atau tugas. Suatu peranan tertentu dapat di jabarkan dalam
unsur- unsur sebagai berikut : (1) peranan yang ideal / ideal role ;
(2) peranan yang seharusnya / expected role; (3) peranan yang
dianggap oleh diri sendiri / perceived role; dan (4) perana yang
sebenarnya dilakukan / actual role.
Penegak hukum dalam menjalankan perannya tidak dapat
berbuat sesuka hati mereka juga harus memperhatikan etika yang
berlaku dalam lingkup profesinya, etika memperhatikan atau
mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan
keputusan moral. Dalam profesi penegak hukum sendiri mereka
telah memiliki kode etik yang diatur tersendiri, tapi dalam
prakteknya kode etik yang telah ditetapkan dan di sepakati itu
masih banyak di langgar oleh para penegak hukum. Akibat
perbuatan-perbuatan para penegak hukum yang tidak memiliki
integritas bahkan dapat dikatakan tidak beretika dalam
menjalankan profesinya, sehingga mengakibatkan lambatnya
pembangunan hukum yang diharapkan oleh bangsa ini, bahkan
menimbulkan pikiran-pikiran negative dan mengurangi
kepercayaan masyarakat terhadap kinerja penegak hukum.
Aturan para aparat dan aparatur penegak hukum dijabarkan
sebagai berikut :
50
a. Kepolisian, kekuasaan polisi/polri adalah merupakan
sebagai perwujudan istilah yang mengambarkan
penjelmaan tugas, status, organisasi,wewenang dan
tanggung jawab polisi. Secara umum kedudukan,
fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI.
b. Kejaksaan, secara umum kedudukan, fungsi dan tugas
kepolisian diatur dalam undang-undang nomor 16
tahun 2004 tentang kejaksaan RI.
c. Kehakiman, secara umum kedudukan, fungsi dan tugas
kepolisian diatur dalam undang-undang nomor 4 tahun
2004 tentang kekuasan hakim.
d. Lembaga pemasyarakatan, secara umum kedudukan,
fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam undang-
undang nomor 19 tahun 2005 tentang pemasyarakatan.
Menurut Soerjono Soekanto hambatan maupun halangan
penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum tersebut dapat
diatasi dengan cara mendidik, membiasakan diri untuk mempunyai
sikap-sikap antara lain : sikap terbuka, senantiasa siap menerima
perubahan, peka terhadap masalah yang terjadi, senantiasa
mempunyai informasi yang lengkap, oreentasi ke masa kini dan
masa depa, menyadari potensi yang dapat di kembangkan,
berpegang pada suatu perencanaan, percaya pada kemampuan
51
iptek, menyadari dan menghormati hak dan kewajiban, berpegang
teguh pada keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan
perhitungan yang mantap.47
c. Faktor Sarana Atau Fasilitas Yang Mendukung Penegakan Hukum
Fasilitas pendukung secara sederhana dapat dirumuskan
sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Ruang lingkupnya terutama
adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung.
Fasilitas pendukung mencangkup tenaga manusia yang
berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang
memadai, keuangan yang cukup dan sebagainya.
Jika fasilitas pendukung tidak terpenuhi maka mustahil
penegakan hukum akan nencapai tujuannya. Kepastian dan
kecepatan penyelesaian perkara tergantung pada fasilitas
pendukung yang ada dalam bidang-bidang pencegahan dan
pemberantasan kejahatan.
Peningkatan tehnologi deteksi kriminalitas, mempunyai
peranan yang sangat penting bagi kepastian dan penanganan
perkara-perkara pidana, sehingga tanpa adanya sarana atau fasilitas
tersebut tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan
peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual.
d. Faktor Masyarakat
47 Soerjono Soekanto. 1983. Penegakan Hukum. Bandung. Bina Cipta.Hal 80
52
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan
untuk mencapai kedamaian didalam masyarakat. Masyarakat
mempunyai pendapat-pendapat tertentu mengenai
hukum. Masyarakat Indonesia mempunyai pendapat mengenai
hukum sangat berfareasi antara lain :
a) Hukum diartikan sebagai ilmu pengetahuan;
b) hukum diartikan sebagai disiplin, yakni sistem ajaran
tentang kenyataan;
c) hukum diartikan sebagai norma atau kaidah, yakni patokan
perilaku pantas yang diharapkan.
d) hukum diartikan sebagai tata hukum (yakni hukum positif
tertulis) ;
e) hukum diartikan sebagai petugas atau pejabat
f) hukum diartikan sebagai keputusan pejabat atau penguasa;
g) hukum diartikan sebagai proses pemerintahan;
h) hukum diartikan sebagai perilaku teratur dan unik;
i) hukum diartikan sebagai jalinan nilai;
j) hukum diartikan sebagai seni.48
Salah satu akibatnya adalah bahwa baik buruknya hukum
senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku penegak hukum itu
sendiri yang merupakan pendapatnya sebagai cermina dari hukum
sebagai struktur dan proses. Keadaan tersebut juga dapat
48 Ibid.
53
memberikan pengaruh baik, yakni bahwapenegak hukum akan
merasa bahwa perilakunya senantiasa mendapat perhatian dari
masyarakat.
e. Faktor Kebudayaan
Faktor kebudayaan sebernarnya bersatu padu dengan faktor
masyarakat sengaja dibedakan, karena didalam pembahasannya
diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari
kebudayaan spiritual atau non material. Hal ini dibedakan sebab
menurut Lawrence M. Friedman yang dikutip Soerdjono Soekamto
,bahwa sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem
kemasyarakatan), maka hukum menyangkup, struktur, subtansi dan
kebudayaan. Struktur menyangkup wadah atau bentuk dari sistem
tersebut yang, umpamanya, menyangkup tatanan lembaga-lembaga
hukum formal, hukum antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak
dan kewajiban-kewajibanya, dan seterusnya.49 Kebudayaan
(sistem) hukum pada dasarnya mencangkup nilai-nilai yang
mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yangmerupakan
konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik
(hingga dianuti) dan apa yang diangap buruk (sehingga dihindari).
Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang
mencerminkan dua keadaan exstrim yang harus diserasikan.
49 Romli Atmasasmita. 2001. Reformasi Hukum Dan Penegakan Hukum. Bandung. Mandar Maju. Hal 55
54
Dengan adanya keserasian nilai dengan kebudayaan
masyarakat setempat diharapkan terjalin hubungan timbal balik
antara hukum adap dan hukum positif di Indonesia, dengan
demikian ketentuan dalam pasal-pasal hukum tertulis dapat
mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat
supaya hukum perundang-undangan tersebut dapat berlaku secara
efektif. Kemudian diharapkan juga adanya keserasian antar kedua
nilai tersebut akan menempatkan hukum pada tempatnya.50
50 Monalisawati. 2012. Perubahan Dan Efektivitas Hukum. Http//Monalisawati.Blogspot.Com. Diakses Pada Tanggal 27 November 2015 Pukul 22.43