BAB III PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN A....
Transcript of BAB III PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN A....
55
BAB III
PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN
A. Gambaran Umum Desa Purwoasri
1. Profil Desa
a. Sejarah desa
Pada zaman dahulu Desa Purwoasri adalah suatu daerah yang
masih dalam ruang lingkup kawasan hutan Alas Purwo dimana pada
awalnya penduduk desa purwoasri adalah bukan penduduk asli dari
Banyuwangi yang melainkan pendatang dari daerah lain, yang dimana
wilayah desa purwoasri masih menjadi hutan belantara.
Desa Purwoasri pada awalnya adalah sebuah Desa hasil
pemekaran dari Desa Grajagan yang Kepala Desanya bernama Tirto
Samudro dan Desa Purwoasri asal mulanya sebuah pedukuhan yang
diberi nama Tegalsari. Kemudian pada sekitar tahun 1940 atas
kesepakatan seluruh Warga maka wilayah yang tadinya bernama
Tegalsari dirubah menjadi Desa Purwoasri. Sedangkan yang menjadi
Kepala Desa Pertama adalah Bapak Sujak.
Nama Purwoasri diambil karena pada Zaman dulu kawasan ini
adalah hutan belantara yang masih satu kawasan dengan hutan Alas
Purwo yang sangat lebat namun kelihatan indah dan asri, maka jadilah
nama Purwoasri yang sampai saat ini nama itu masih tetap dipakai.50
50 Wawancara Kepada Bapak Santoso, Kepala Desa, Purwoasri 11 Januari 2016.
56
b. Letak Desa
Berdasarkan Data Monografi, Desa Purwoasri terletak di
Kecamatan Tegaldlimo Kabupaten Banyuwazngi Provinsi Jawa Timur.
Jarak Desa dari kota sebagai pusat wilayah administrasi dan ekonomi
adalah:
a) Jarak ke kecamatan kurang lebih 5 km
b) Jarak ke kabupaten/kota kurang lebih 32 km
c) Jarak ke ibukota provinsi kurang lebih 140 km
c. Luas Desa
Menurut data yang diperoleh luas Desa Purwoasri Kecamatan
Tegaldlimo Kabupaten Banyuwangi Pada Bulan Januari Tahun 2016,
diperoleh data sebagai berikut.
a) Luas wilayah = 401.831 Ha
b) Luas Darat = 300 Ha
c) Luas Tanah pertanian (sawah) =101.831
d. Batas wilayah
a) Sebelah Utara : Desa Kendalrejo
b) Sebelah Selatan : Desa Sumberasri
c) Sebelah Barat : Desa curahjati
d) Sebelah Timur : Desa kalipait
e. Jumlah Penduduk
57
Secara keseluruhan jumlah penduduk di desa ini adalah 5595
jiwa. Desa ini merupakan desa yang makmur di desa purwoasri
Kecamatan tegaldlimo kabupaten banyuwangi, oleh karena itu jumlah
penduduk di desa ini cukup banyak.
Tabel 1 Jumlah Penduduk di Desa Purwoasri Kecamatan Tegaldlimo Kabupaten Banyuwangi (jenis kelamin laki-laki dan perempuan).
No
Jenis Kelamin (L/P)
Jiwa
1 Laki-Laki (L) 2821
2 Perempuan (P) 2774
Jumlah 5595 Sumber Data, Dokumen dari Kantor Desa Purwoasri, Tanggal
11 Januari Tahun 2015
Dari tabel diaatas menunjukan bahwa tingkat penduduk yang
ada Didesa Purwoasri Kecamatan Tegaldlimo Kabupaten Banyuwangi
lebih banyak didominasi oleh laki-laki dan penduduk perempuan lebih
sedikit daripada laki-laki.
f. Mata Pencaharian Penduduk
Mata pencaharian penduduk suatu daerah dengan daerah lain
tidak sama. Perbedaan itu disebabkan karena perbedaan letak geografis
keadaan alam dan pendapatan penduduknya. Mata pencaharian
penduduk Desa Purwoasri sebagian besar sebagai petani karena letak
geografis desa ini sebagian besar tanah pertanian di Desa Purwoasri.
58
Tabel .2
Jumlah Penduduk Desa Purwoasri Kecamatan Tegaldlimo Kabupaten Banyuwangi Menurut Tingkat Mata Pencaharian.
No Mata Pencaharian Jumlah
1 Petani 2023
2 PNS 220 3 Pegawai Swasta 1103
4 Pensiunan 134
5 Pengusaha 140
6 Lain-Lain 330
Jumlah 3950
Sumber Data, Dokumen dari Kantor Desa Purwoasri, Tanggal 11 Januari Tahun 2016
Dari tabel diatas menunjukan bahwa tingkat penduduk yang lebih
banyak adalah petani, karena di Desa Purwoasri masih banyak lahan
pertanian dan banyaknya lahan pertanian tersebut sehingga menimbulkan
terjadinya perjanjian bagi hasil.
g. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Pendidikan
Pendidikan mempunyai peran penting bagi kehidupan manusia.
Semakin tinggi tingkat pendidikan dapat dijadikan sebagai tolak ukur
untuk menentukan kemajuan dalam berfikir serta dapat mendapatkan
banyak pengetahuan.
59
Tabel 3
Jumlah Penduduk Didesa Purwoasri Kecamatan Tegaldlimo Kabupaten Banyuwangi Menurut Tingkat Pendidikan.51
No Tingkat pendidikan Jiwa
1 Tidak tamat SD 1703 2 Tamat SD 2492 3 Tamat SMP 567 4 Tamat SMA 575 5 Perguruan tnggi 258
Jumlah 5595 Sumber Data, Dokumen dari Kantor Desa Purwoasri, Tanggal
11 Januari Tahun 2016
Dari tabel diatas menunjukan bahwa tingkan pendidikan yang
paling banyak adalah tamat SD (Sekolah Dasar), dari banyaknya
tamatan SD tersebut menimbulkan banyaknya pengangguran di Desa
Purwoasri karena mereka tidak mempunyai banyak pilihan dalam
pekerjaan dan pekerjaan yang mampu mereka lakukan hanyalah dalam
bidang pertanian.
2. Visi Misi dan Struktur desa
a. Visi
Terwujutnya masyarakat desa yang damai, aman, dan sejahtera.52
b. Misi
a) Menciptakan sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
b) Mengoptimalkan fungsi dan pokok perangkat desa
c) Melaksanakan tugas dan pelayanan pada masyarakat secara
maksimal. 51 Sumber Data, Kantor Desa, Purwoasri, Tanggal 8 Desember Tahun 2015
60
d) Mewujutkan kinerja yang harmonis antara lembaga desa.
e) Mewujudkan program dan pelaporan secara transparan dan
akuntable.
c. Struktur Organisasi Desa
Bagan 1.
Strutur Organisasi Pemerintahan
Desa Purwoasri Kecamatan Tegaldlimo
Kabupaten Banyuwangi
PBD
Sumber Bagan: Dokumen dari Kantor Desa Purwoasri, Tanggal 11 Januari Tahun 2015
KEPALA DESA
SEKERTARIS DESA
KASI
KESEJAHTERAAN
RAKYAT
KASI
PEMBANGUNAN
KASI
PEMERINTAHAN
KAUR
KEUANGAN
KAUR UMUM
KASUN TEGALSARI LOR
KASUN TEGALSARI KIDUL
KASUN KALISARI
61
B. Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Dalam Bidang Pertanian Sawah Di
Desa Purwoasri Kecamatan Tegaldlimo Kabupaten Banyuwangi
Perjanjian bagi hasil pertanian sudah dilakukan secara turun-
temurun oleh masyarakat di Desa Purwoasri. Pemilik tanah yang
mempunyai lahan pertanian yang luas, biasanya tidak bisa menggarap
semua lahan pertaniannya sendiri, maka pemilik tanah menawarkan
kepada orang lain guna mengolah lahan pertanian miliknya dengan cara
bagi hasil. Selain itu, ada pula pihak yang sengaja menawarkan diri kepada
pemilik tanah untuk memberikan ijin mengolah tanah pertanian miliknya.
Masyarakat di Desa Purwoasri telah mengenal bagi hasil tanah
pertanian, gadai, sewa dan jual beli tanah. Sistem bagi hasil tanah
pertanian atau mertelu telah membudaya dikalangan masyarakat secara
turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya sebagai adat. Dari
beberapa dusun di desa purwoasri dapat ditemukan beberapa orang yang
masih menggunakan perjanjian bagi hasil seperti tabel di bawah ini.
Tabel 4
Jumlah Responden Yang Melakukan Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.
No Dusun f % 1. 2. 3.
Tegalsari kidul Tegalsari lor Kalisari
8 4 3
60 25 15
Jumlah 15 100 Sumber Data, Hasil wawancara, Purwoasri, Tanggal 14 November
Tahun 2015
62
Dari tabel diatas Desa Purwoasri memiliki tiga dusun yaitu dusun
Tegalsari Kidul 8 responden, Tegalsari Lor 4 responden Dan Kalisari
hanya 3 responden, dari ketiga dusun penulis hanya mengambil 15
responden sebagai contoh masyarakat masyarakat yang melakukan
perjanjian bagi hasil, jadi total masyarakat yang melakukan perjanjian bagi
hasil di Desa Purwoasri Kecamatan Tegaldlimo sejumlah 30 orang, 15
orang sebagai pemilik tanah dan 15 orang sebagai penggarap.
Menurut Santoso selaku Kepala Desa Purwoasri mengatakan
bahwa.“Perjanjian bagi hasil yang ada di desa purwoasri ini masih
menggunakan hukum adat , mungkin karena mereka tidak ingin ribet dan
mereka juga sudah saling percaya satu sama lain, jadi tidak mengacu
menurut undang-undang yang ada”.53
Dalam melaksanakan perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa
Purwoasri Kecamatan Tegaldlimo Kabupaten Banyuwangi, pemilik tanah
pertanian tidak mau mempercayakan pengerjaan tanahnya kepada orang
yang belum dikenal. Hal ini dilakukan agar pemilik tanah merasa yakin
atas sawah yang akan dipercayakannya tersebut dapat mendapatkan hasil
sesuai dengan yang diharapkannya.
Perjanjian bagi hasil antara petani penggarap dan petani pemilik di
desa ini diadakan secara lisan atau dengan cara musyawarah untuk
mufakat diantara pihak-pihak yang berkepentingan dan tidak pernah
menghadirkan saksi sehingga mempunyai kekuatan hukum yang sangat
53 Wawancara Dengan Santoso, Kepala Desa Purwoasri, Purwoasri 10 Januari 2016
63
lemah. Alasannya karena ada rasa saling percaya dan kebiasaan yang pada
umumnya terjadi didesa tersebut.
Undang-Undang No 2 tahun 1960 Tentang tentang Bagi Hasil
Pertanian, pada Pasal 3 yang berbunyi “Semua perjanjian bagi-hasil harus
dibuat oleh pemilik dan penggarap sendiri secara tertulis dihadapkan
Kepala dari Desa atau daerah yang setingkat dengan itu tempat letaknya
tanah yang bersangkutan, Selanjutnya dalam undang-undang ini disebut
"Kepala Desa" dengan dipersaksikan oleh dua orang, masing-masing dari
pihak pemilik dan penggarap”.
Dapat dianalisa dalam bagi hasil pertanian sawah di Desa
Purwoasri terdapat adanya kesenjangan antara kenyataan yang ada dengan
peraturan yang sudah dikeluarkan berbentuk Undang-Undang No 2 tahun
1960 Tentang Bagi Hasil Pertanian. Peraturan ini sudah diketahui oleh
para aparat desa maupun sebagian masyarakat di desa tersebut akan tetapi
mereka sama sekali tidak mempermasalahkannya. Bentuk perjanjian lisan
ini sudah terjadi dari dahulu kala dan masih tetap berlaku sampai sekarang
ini.
Adanya rasa saling percaya antara pemilik tanah dengan petani
penggarap ini sudah lama terjadi, dan memangsampai sekarangpun tidak
mengalami kerugian diantaranya. Sebenarnya menurut penulis, perjanjian
yang baik adalah perjanjian tertulis, agar dapat dipertanggungjawabkan
kelak, baik secara hukum maupun secara kekeluargaaan. Dengan
perjanjian tertulis ini pula, apabila ada salah satu pihak yang wanprestasi
64
dapat diproses secara hukum mengenai kerugian-kerugian yang
ditanggungnya kelak, tetapi apabila perjanjian ini hanya bersifat lisan saja,
tidak menutup kemungkinan sulitnya mencari siapa-siapa yang harus
bertanggung jawab atas kerugian yang diderita diantara aparat desa
maupunpetani penggarap.
Perjanjian bagi hasil yang terjadi di Desa Purwoasri Kecamatan
Tegaldlimo ini merupakan perjanjian yang benar-benar dilakukan oleh
para petani penggarap dengan kesungguhan hati, mereka sengaja tidak
mempersoalkan tentang kerugian-kerugian yang mungkin terjadi karena
apabila ada itupun dibicarakan dengan cara kekeluargaan, atau
musyawarah mufakat. Sehingga ditemui jalan keluar yang damai, yang
dipecahkan oleh para aparat desa dengan para petani penggarap.
1. Alasan Terjadinya Pelaksanaan Bagi Hasil Tanah Pertanian Di Desa Purwoasri Kecamatan Tegaldlimo Kabupaten Banyuwangi
Data monografi Desa Purwoasri Kecamatan Tegaldlimo Kabupaten
Banyuwangi menyebutkan luas wilayah di desa ini adalah 401.831 Ha
yang diantaranya merupakan tanah pertanian yang menyebabkan
mayoritas masyarakat di desa tersebut bekerja sebagai petani. Hal ini
berarti bahwa masyarakat bekerja pada sektor pertanian, baik sebagai
petani, penyewa sawah, penggarap sawah, maupun buruh pertanian. Lahan
pertanian memegang peranan penting disebabkan taraf pendidikan
masyarakat di desa masih rendah. Selain itu, kurangnya keterampilan dan
keahlian masyarakat yang menyebabkan mereka bekerja di bidang
pertanian.
65
Bagi hasil merupakan suatu lembaga Hukum Adat yang hidup
dalam masyarakat. Hingga saat ini lembaga tersebut di Kabupaten
Banyuwangi Desa Purwoasri masih ada dan dibutuhkan karena sektor
pertanian masih mempunyai arti penting dalam menunjang perekonomian
masyarakat tersebut, keadaan demikian dapat kita lihat pada tabel di atas,
di mana masyarakat Desa Purwoasri penduduknya terkonsentrasi di bidang
pertanian.
Karena penduduknya lebih banyak terkonsentrasi di bidang
pertanian, tidaklah mengherankan bila banyak dilakukan transaksi-
transaksi untuk mengolah lahan pertanian dengan cara bagi hasil.
Perjanjian bagi hasil di Desa Purwoasri lebih dikenal dengan istilah
“Mertelu” ( sepertiga ).
Untuk memproduktifkan tanah di Desa Purwoasri selain sistem
bagi hasil ada juga dengan sistem menyewa ( nyewo ) yang akhir-akhir ini
cenderung terjadi pada masyarakat tersebut. Bagi hasil kadang-kadang
berfungsi sebagai lembaga pemeliharaan sanak keluarga. Dalam perjanjian
bagi hasil tersebut hubungan sanak keluarga tetap diprioritaskan untuk
menggarap tanah, jika tidak ada lagi sanak keluarga yang bersedia
menggarap tanah tersebut, penawaran baru diberikan kepada orang lain
yaitu tetangga dekat atau orang pendatang yang tidak ada hubungan
kekerabatan.
Dalam bagi hasil tanah pertanian terdapat tiga unsur pokok, yaitu
pemilik tanah, penggarap sawah dan tanah garapan. Pemilik tanah adalah
66
orang yang mempunyai tanah pertanian yang mana karena keadaan
tertentu menyerahkan hak pengerjaan tanahnya kepada orang lain yang
disebut penggarap sawah. Penggarap sawah yaitu orang yang mengerjakan
tanah pertanian milik pemilik tanah dan mendapatkan bagian dari hasil
sawah sesuai dengan cara pembagian yang telah disepakati oleh kedua
belah pihak. Sawah garapan adalah suatu lahan yang menjadi objek
pengolahan yang dimiliki oleh pemilik tanah dan kemudian diserahkan
kepada pihak penggarap dengan tujuan mendapatkan hasil.
Hubungan Kekerabatan Dalam Mengolah Tanah Dapat Dilihat
Pada Tabel Berikut :
Tabel 5
Hubungan kekerabatan dalam perjanjian bagi hasil di Desa Purwoasri Kecamatan Tegaldlimo Kabupaten Banyuwangi.
No Hubungan
kekerabatan
f
%
1
2..
Ada
Tidak ada
6
9
23
77
jumlah 15 100
Sumber Data, Dokumen dari Kantor Desa Purwoasri, Tanggal 6 Januari Tahun 2015
Dari tabel di atas, bahwa ada hubungan kekerabatan ( 23% )
misalnya : adik kandung, kakak kandung, saudara ipar, saudara ayah atau
saudara ibu dan lain sebagainya. Yang tidak ada hubungan keluarga (
67
kekerabatan ) ada 77 % misalkan : tetanggga dekat atau orang pendatang
dari kampung lain.
a. Alasan Pemilik Sawah
Keadaan demikian secara kuantitatif dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.
Tabel 6 Alasan Pemilik Dalam Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.
No Alasan pemilik f % 1. 2. 3. 4. 5.
Tidak ada waktu mengerjaka Sudah tua Tanahnya jauh dari rumah Rasa sosial/ balas jasa Tidak mampu mengolah tanahnya sendiri
4 5 3 2 1
25 30 20 15 10
Jumlah 15 100 Sumber Data, Wawancara dengan pemilik, Tanggal 11
November Tahun 2015 Perjanjian bagi hasil tanah pertanian pada umumya terjadi
dikarenakan pemilik tidak dapat mengerjakan tanah pertanian
miliknya. Pemilik tidak mempunyai waktu, oleh karena itu pemilik
menawarkan kepada orang lain yang mau mengerjakan sawahnya
dengan cara bagi hasil
Beberapa faktor yang menjadi alasan pemilik tanah pertanian
melakukan perjanjian bagi hasil pertanian adalah sebagai berikut.
a) Tidak ada waktu (dikarenakan pemilik tanah bukan petani tulen
dan mempunyai pekerjaan, Dalam hal ini pemilik tidak dapat
mengerjakan tanahnya dikarenakan tidak ada waktu karena 25%
68
pemilik memiliki pekerjaan lain, contohnya para pemilik ada
yang berprofesi sebagai PNS dan pekerjaan lain nya sehingga
tidak dapat mengelola tanah pertaniannya).
b) Tidak cukup tenaga (pemilik tanah mempunyai lahan pertanian
yang cukup luas sehingga tidak mampu untuk mengerjakan
semua lahannya dan keadaan raga dari pemilik tidak sanggup
mengelola tanah itu sendirian dan faktor usia yang sudah tidak
bisa mengelola tanah itu sendiri).
c) Faktor kemanusiaan (memberikan kesempatan kepada orang
lain yang tidak punya tanah garapan sendiri sehingga timbul rasa
saling tolong menolong).
d) Faktor ekonomi (berkaitan dengan dana yang tidak cukup untuk
menggarap semua lahan sawahnya sehingga melakukan bagi
hasil pertanian).
b. Alasan Penggarap Sawah
Keadaan demikian secara kuantitatif dapat dilihat pada
tabel dibawah ini.
Tabel 7 Alasan Penggarap Dalam Perjanjian Bagi Hasil Tanah
Pertanian. No Alasan bagi hasil f %
1. 2. 3.
Tidak mempunyai tanah garapan Tidak bisa mencukupi kebutuhan Tidak mempunyai keahlian
9 4 1
60
20
10
69
4.
dalam bidang lain Rasa sosial/ balas jasa
1
10
Jumlah 15 100 Sumber Data, Wawancara dengan responden, Purwoasri,
Tanggal 14 November Tahun 2015
Pada umumnya penggarap sawah melakukan bagi hasil
pertanian sawah adalah tidak mempunyai tanah garapan atau
sawahnya sedikit sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
keluarga. Dapat disimpulkan penggarap sawah melakukan
pelaksanaan bagi hasil pertanian sawah sebagai berikut.
a) Tidak mempunyai tanah garapan. (dari 60% penggarap yang
tidak mempunyai tanah garapan sehingga penggarap
melakukan perjanjian bagi hasil untuk mencukupi kebutuhan
hidup).
b) Mempunyai sedikit tanah garapan. (dari 20% penggarap yang
mempunyai tanah garapan sedikit dikarenakan mereka
beralasan karena tanah garapan mereka tidak bisa mencukupi
kebutuhan hidup)
c) Karena pekerjaan yang tidak tetap. (dari 10% penggarap yang
melakukan perjanjian bagi hasil dikarenakan mereka tidak
memiliki pekerjaan tetap yang bisa mencukupi kebutuhan
hidup).
70
d) Karena faktor ekonomi. ( dari 10% penggarap melakukan
perjanjian bagi hasil dikarenakan faktor ekonomi yang lemah).
2. Kajian Undang-Undang No 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil
Tanah Pertanian
Pada dasarnya peraturan yang harus dilaksanakan dengan baik
namun dalah hal ini Undang-Undang No 2 tahun 1960 Tentang tentang
Bagi Hasil Pertanian, pada Pasal 3 yang berbunyi “Semua perjanjian bagi-
hasil harus dibuat oleh pemilik dan penggarap sendiri secara tertulis
dihadapkan Kepala dari Desa atau daerah yang setingkat dengan itu tempat
letaknya tanah yang bersangkutan, selanjutnya dalam undang-undang ini
disebut "Kepala Desa" dengan dipersaksikan oleh dua orang, masing-
masing dari pihak pemilik dan penggarap”.
Dalam pasal 3 Undang-Undang No 2 Tahun 1960 Tentang
Perjanjian Bagi Hasil ini dapat dianalisa bahawa dalam undang-undang
berbunyi “semua perjanjian harus dibuat secara tertulis dan dihadapan
kepala desa dan dipersaksikan 2 orang saksi, namu pada kenyataan
pelaksanaanya tidak sesuai dengan kenyataan dimana dalam lapangan
perjanjian itu dibuat secara lisan dan hanya berdasarkan saling percaya
kepada kedua belah pihak dan peraturan perundang-undangan ini tidak
dilaksanakan dengan baik oleh semua masyarakat Desa Purwoasri
Kecamatan Tegaldlimo Kabupaten Banyuwangi.
Mengenai jangka waktu perjanjian bagi hasil dapat kita temukan
dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 2 Tahun 1960 yang berbunyi “Perjanjian
71
bagi hasil diadakan untuk waktu yang dinyatakan di dalam surat perjanjian
tersebut dalam Pasal 3, dengan ketentuan bahwa bagi sawah waktu itu
adalah sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan bagi tanah kering sekurang-
kurangnya 5 (lima) tahun”
Ketentuan di atas menyatakan bahwa untuk tanah sawah sekurang-
kurangnya lamanya waktu perjanjian bagi hasil adalah 5 (lima) tahun.
Namun dalam faktanya mengenai jangka waktu tidak sesuai dengan
keadaan dalam masyarakat dalam pasal 4 ini tidak dilaksanakan, dimana
dalam kenyataan kebiasaan masyarakat menentukan jangka waktu dengan
kesepakan yang telah mereka sepakati sebelumnya, tidak ada masyarakat
yang menggunakan acuan undang-undang bagi hasil tanah pertanian ini.
Menurut Pasal 10 UU No. 2 Tahun 1960, berakhirnya perjanjian
bagi hasil karena telah berakhirnya jangka waktu perjanjian maupun salah
satu sebab seperti yang disebutkan dalam Pasal 6 dan penggarap wajib
menyerahkan tanah yang bersangkutan dalam keadaan baik. Pemutusan
bagi hasil seperti apa yang disebutkan dalam Pasal 6 dapat terjadi apabila
atas persetujuan kedua belah pihak dan setelah melaporkan kepada kepala
desa, tetapi masyarakat sudah biasa melakukan pemutusan perjanjian
dengan perjanjian sebelumnya yang telah dibuat dan tidak mengacu pada
undang-undang yang ada.
Dalam Pasal 14 Jika pemilik tidak bersedia mengadakan perjanjian
bagi hasil menurut ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini, sedang
tanahnya tidak pula diusahakan secara lain, maka Camat, atas usul Kepala
72
Desa berwenang untuk, atas nama pemilik, mengadakan perjanjian bagi
hasil mengenai tanah yang bersangkutan. Dan dalam pasal (15) ayat (1)
Dapat dipidana dengan hukuman denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,-;
a.pemilik yang tidak memenuhi ketentuan dalam pasal 3 atau pasal 11;
b.penggarap yang melanggar larangan tersebut pada pasal 2; c.barang
siapa melanggar larangan tersebut pada pasal 8 ayat 3. Ayat (2) Perbuatan
pidana tersebut pada ayat 1 diatas adalah pelanggaran.
Dapat di analisa dalam hal ini barang siapa yang tidak
melaksanakan perjanjian bagi hasil tanah pertanian sesuai dengan undang-
undang yang berlaku dapat sanksi dalam pasal 14, dan 15.
3. Kajian Perjanjian Bagi Hasil Menurut Asas-Asas Perjanjian
Jika dianalisa dalam hal ini Undang-Undang No 2 Tahun 1960
Tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian dengan asas-asas
perjanjian dalam hal ini kita bisa lihat dalam pasal 1320 yaitu ; Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya, Kecakapan untuk membuat suatu
perikatan, Sutu hal tertentu, Suatu sebab yang legal/ halal.
Dalam hal ini masyarakat cukup menggunakan pasal 1320
mengenai syarat sahnya perjanjian untuk melakukan perjanjian bagi hasil
pertanian, karena dalam hal ini suatu perjanjian sah apa bila dilakukan
dengan menggunakan pasal 1320 KUHPerdata yaitu mengenai syarat
sahnya perjanjian dan tidak perlu menggunakan Undang-undang No 2
tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil, jadi apapila masyarakat
melakukan perjanjian bagi hasil tanah pertanian tidak sesuai dengan
73
undang-undang yang berlaku itu sama saja sah demi hukum karena jika
dilihat dari hukum KUHPerdata itu sah demi hukum dan masyarakat tidak
perlu menggunakan Undang-Undang No 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian
Bagi Hasil.
Kewajiban dalam melakukan perjanjian bagi hasil ini juga
didukung dengan adanya asas-asas yang belaku yaitu, asas kebebasan
berkontrak, asas konsensualisme, asas kepastian hukum, itikad baik dan
kepribadian, dimana dalam melaksanakan perjanjian jika memenuhi
persyaratan dalam ke 5 asas tersebut sudah dipastikan sah dalam, dan
dalam hal perjanjian bagi hasil tanah pertanian sedah memenuhi atau
mencakup dari asas-asas tersebut, bahwasanya jika masyarakat tidak
mengunakan Undang-undang yang ada namun sudah sesuai dengan asas-
asas perjanjian berarti perjanjian itu sudah sah menurut hukum yang
berlaku.
4. Kajian Perjanjian Bagi Hasil Menurut Hukum Adat
Hukup adat merupakan hukum kebiasaan yang dilakukan
masyarakat secara turun temurun atas dasar saling percaya kepada satu
sama lain, jika dikaji dalam Undang-Undang No 2 Tahun 1960 Tentang
Perjanjian Bagi Hasil, dimana peraturan perundang-undangan telah
membuat peraturan yang mengatur mengenai berlangsungnya perjanjian
bagi hasil tanah pertanian, namun faktanya dalam hal ini masyarakat ditak
menggunakan peraturan perundang-undangan yang ada melainkan
menggunakan hukum adat jika kita liahat dari undang-undang hukum adat
74
ini bertentangan dengan peraturan namun jika dilihat dari asas-asas
perjanjian hukum adat selaras dengan hal itu, dimana perjanjian sah
apabila memenuhi syarat sahnya perjanjian dalam pasal 1320
KUHPerdata.
5. Analisa Hukum Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian
Dalam hal ini penulis menganalisa mengenai kajian dari undang-
undang no 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil, hukum adat dan
asas-asas perjanjian, jika dilihat peraturan mengenai perjanjian bagi hasil
memang tidak sejalan dengan fakta yang ada dilapangan, dimana
masyarakat tidak ada yang menggunakan peraturan perjanjian bagi hasil
menurut undang-undang yang berlaku melainkan menggunakan hukum
adat setempat yang belaku dah sudah berlangsung selama berabad-abad.
Selain itu, jika dilihat dari asas-asas perjanjian dan syarat sahnya
perjanjian hukum adat sudah memenuhi unsur-unsur tersebut karena hal
ini yang mengakibatkan Undang-Undang No 2 Tahun 1960 Tentang
Perjanjian Bagi hasil tidak terlakasana dengan baik dan peraturan yang
mengatur mengenai perjanjian bagi hasil tidaklah sesuai dalam kehidupan
masyarakat saat ini.
Berdasarkan analisa diatas bahwasanya undang-undang perjanjian
bagi hasil ini harus di revisi dan jika perlu dihapuskan dan diganti dengan
undang-undang yang bisa sejalan dengan kehidupan masyarakat petani,
sehingga peraturan dapat terlaksana dengan baik dan dan dapat
mensejahterakan masyarakat petani.
75
6. Pembagian Hasil Panen Bagi Hasil Tanah Pertanian Di Desa Purwoasri Kecamatan Tegaldlimo Kabupaten Banyuwangi a. Hak Dan Kewajiban Pemilik dan Penggarap
Kewajiban pemilik dan penggarap sawah berarti segala sesuatu
yang harus dilakukan oleh mereka. Kewajiban pemilik adalah membiayai
segala sesuatu yang dipergunakan untuk mengolah sawah dari bibit,
pemupukan, maupun pengobatan. Sedangkan kewajiban penggarap sawah
adalah mengolah sawah dengan sebaik-baiknya dari awal perjanjian
sampai pasca panen. Dalam bagi hasil tanah pertanian yang diinginkan
kedua belah pihak adalah hasil yang menguntungkan satu sama lain.
Hak pemilik tanah adalah mendapatkan hasil yang maksimal dari
hasil panen tanaman yang ditanam oleh penggarap sawah. Oleh sebab itu,
penggarap sawah harus rajin mengolah sawah dan merawat tanaman agar
kemudian hari mendapatkan hasil yang maksimal. Hak penggarap sawah
sendiri adalah memperoleh perlakuan yang baik dari pemilik sawah dan
mendapatkan hasil panen dengan pembagian yang adil.
Dalam pasal (8),(9) Undang-Undang Nomer 2 Tahun 1960
Tentang perjanjian bagi hasil mengenai kewajiban pemilik dan penggarap
pada angka (1) pembayaran uang atau pemberian benda apapun kepada
pemilik dilarang. Dilanjutkan pada pasal 9 dimana kewajiban pembayaran
pajak tanah dilarang untuk dibebankan kepada penggarap.
Dapat dianalisa pemilik maupun penggarap dalam melakukan
kerjasama bagi hasil pertanian sawah mempunyai tanggung jawab dalam
menjamin hak maupun kewajiban mereka. Pemilik sawah dan penggarap
76
sawah juga harus melakukan hak dan kewajibanya guna mendapatkan
keuntungan bersama dan tidak saling dirugikan.
Kemudian yang menjadi kewajiban penggarap, sebagaimana
diuraikan di atas, juga merupakan kewajiban bersama antara pemilik dan
penggarap, untuk itu penggarap berkewajiban pula untuk :
a) Mengusahakan tanah tersebut dengan baik.
b) Menyerahkan bagian hasil yang menjadi hak dari pemilik.
c) Memenuhi beban-beban yang menjadi tanggungan selaku
penggarap
d) Meminta izin kepada pemilik apabila penggarap ingin
menyerahkan pengusahaan tanah yang bersangkutan kepada
pihak ketiga.
Di Desa Purwoasri Kecamatan Tegaldlimo Kabupaten
Banyuwangi, dari hasil penelitian dapat diketahui bentuk imbangan bagi
hasil panen anatara lahan satu dengan lahan lainya sangat bervariasi,
bahkan lokasi lahan satu dengan lainya sama hal ini disebabkan oleh
faktor, antara lain:
a) Tingkat kesuburan tanah yang berbeda
b) Lokasi lahan/sawah dekat atau jauh dari desa tempat tinggal
penggarap
c) Kesesuaian jadwal air (irigasi) dengan musim panen
77
Di samping itu ada juga imbangan bagi hasil yang ditentukan oleh
masyarakat setempat seperti hal nya yang ada pada tabel dibawah ini.
b. Besar bagian hasil para pihak
Tabel.8 Pembagian Hasil Panen Di Desa Purwoasri Kecamatan
Tegaldlimo Kabupaten Banyuwangi No Imbangan Bagi hasil f % 1 2 3
1/3pemilik, 2/3 penggarap 2/3 pemilik, 1/3 penggarap
½ pemilik, ½ penggarap
11 4 6
60 15 25
Jumlah 15 100 Sumber Data, Hasil wawancara dengan responden, Purwoasri,
Tanggal 14 November Tahun 2015 Berdasarkan tabel diatas bentuk imbangan antara pemilik dan
penggarap yang ditentukan oleh masyarakat adalah 1 banding 1, artinya
setengah bagian untuk pemilik dan setengah bagian untuk penggarap yang
dibagi dari hasil bersih setelah dipotong bibit/ benih, pupuk, obat-obatan
serta proses penggilingan hal ini di kemukakan oleh 6 responden/ 25%
responden, sendangkan 11 responden 60 % menyatakan bahwa melakukan
imbangan 1/3 untuk pemilik dan 2/3 untuk penggarap dengan kententuan
pemilik hanya menyediakan lahan, sedangkan bibit, pupuk, dan obat-batan
semuanya ditanggung oleh penggarap, sendangkan 4 responden
melakukan bentuk imbangan 1/3 untuk penggarap dan 2/3 untuk pemilik
yang dimana semua beban untuk pengerjaan lahan ditanggung oleh
pemilik penggarap hanya melakukan perawatan dengan baik.
Walaupun imbangan itu sudah berlaku terkadang ada juga
masyarakat yang melakukan bentuk imbangan dengan memperbanyak
78
hasil untuk penggrap dikarenakan penggarap masih ada hubungan
kekeluargaan dengan pemilik lahan, hal ini sangat menguntungkan bagi
penggarap karena rasa sosial yang dimiliki oleh pengarap.
Pembagian panen bagi hasil di desa Purwoasri akan tetap adil
terhadap orang yang sudah lama bekerja sebagai penggarap sawah ataupun
yang masih baru menjadi penggarap sawah. pemilik tanah sama sekali
tidak membeda-bedakan antara pekerja baru ataupun penggarap sawah
yang sudah mengabdi bertahun-tahun.
Dari pernyataan diatas, dapat dianalisa bahwa kegiatan bagi hasil
di Desa Purwoasri Kecamatan Tegaldlimo Kabupaten Banyuwangi
dilakukan antara pemilik sawah dan orang lain ataupun keluarga
penggarap yang ekonominya kurang mampu dan tidak memiliki
lahan/sawah dikarenakan ada faktor tenggang rasa antar tetangga dan rasa
ingin menolong.
Pembagian hasil panen dari pelaksanaan bagi hasil di Desa
Purwoasri Kecamatan tegaldlimo Kabupaten banyuwangi dapat dikatakan
berbeda–beda, dikarenakan sistem permbagiannya juga berbeda tergantung
dari siapa biaya yang mengeluarkan. Biaya yang dikeluarkan guna
perawatan tanaman dari pembibitan sampai panen bisa dari pemilik sawah
atau penggarap sawah.
Sistem pembagian hasil panen pertanian sawah di Desa Purwoasri,
Kecamatan Tegaldlimo, Kabupaten Banyuwangi adalah sebagai berikut.
79
a. Pemilik tanah mendapatkan hasil panen 1/3 dan pihak penggarap
mendapatkan 2/3 apabila pupuk, benih, serta lain-lainnya
ditanggung oleh pihak penggarap (pemilik tanah hanya
bermodalkan tanah pertanian sawah saja).
b. Pemilik serta penggarap sawah sama-sama mendapatkan hasil
panen 1/2 apabila pupuk, benih, serta lain-lainnya dibiayai oleh
kedua belah pihak (biaya keseluruhan sampai tanaman dapat
dipanen ditanggung oleh kedua belah pihak).
c. Pemilik tanah mendapatkan 2/3 hasil panen dan pihak penggarap
mendapatkan 1/3 apabila semua pupuk, benih, serta lain-lainnya
ditanggung oleh pemilik tanah (biaya keseluruhan ditanggung
oleh pemilik tanah).
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa bentuk
imbangan perjanjioan bagi hasil tanah pertanian di Desa Purwoasri
Kecamatan Tegaldlimo Kabupaten Banyuwangi, sesuai dengan Undang-
Undang no 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil tanah pertanian,
yang menyatakan pembagian hasil antara pemilik dan penggarap adalah 1
banding 1, namun jika disuatu daerah yang berlaku adalah pemilik lebih
besar dari penggarap maka, yang berlaku adalah yang menguntungkan
penggarap. Dalah hal ini di Desa Purwoarsri bentuk imbangan masih
menguntungkan penggarap bila dibanding dengan yang ditetapkan oleh
pasal 4 Inpres No. 13 Tahun 1980, oleh sebab itu ketentuan dalam bentuk
imbangan bagi hasil ini harus dipertahankan karena telah sesuai dengan
80
Keputusan Bersama Mentri Dalam Negeri Dan Merteri Pertanian No.211
Tahun 1980 Jo.No. 714/Kpts/Um/9/1980, bagian kedua angka 6 titik 5.
Kesesuaian mengenai imbangan bagi hasil antara yang berlaku
pada masyarakat adat dengan apa yang ditetapkan oleh pemerintah dalam
peraturan perundang-undangan, ternyata bukanya masyarakat patuh
dengan ketentuan yang dimaksud, karena sudah menjadi kebiasaan
setempat. Hal ini terbukti dari 100% responden tidak mengetahui
keberadaan Undang-Undang No2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi
Hasil.
Dari uraian diatas dapat dianalisa bahwa diDisa Purwoasri
Kecamatan Tegaldlimo Kabupaten Banyuwangi pelaksanaan imbangan
bagi hasil atas tanah pertanian tidak melanggar ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, karena kebetulan peraturan yang
dipakai masyarakat selama ini sejalan dengan peraturan yang ditentukan
oleh Undang-Undang No 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil
Tanah Pertanian.
7. Jangka Waktu Pelaksanaan Bagi Hasil
Dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil tidak kalah penting nya
adalah masalah jangka waktu perjanjian yaitu untuk mengetahui berapa
lama suatu perjanjian dapat berlangsung. Di Desa Purwoasri Kecamatan
Tegaldlimo Kabupaten banyuwangi, dari hasil penelitian dilapangan
masalah jangka waktu perjanjian pada umumnya tidak di bicarakan pada
81
saat melakukan perjanjian, akan tetapi mengenai jangka waktu ini
disesuaikan menurut kebiasaan yang berlaku diditempat. Dan perjanjian
akan berakhir dengan sendirinya, setelah selesai panen berlangsung. Untuk
lebih jalasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 10 Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil Atas Tanah Pertanian Di Desa
Purwoasri Kecamatan Tegaldlimo Kabupaten Banyuwangi No Keterangan Jumlah %
1 Ditentukan 4 20
2 Tidak ditentukan
a. Berdasarkan musim panen
b. Selama penggarap mau mengolah tanah
c. Selama diijinkan pemilik
7
2
2
40
15
15
jumlah 15 100
Sumber Data, Hasil Wawancara Dengan Pemilik, Tanggal 11 November 2015
Berdasarkan tabel diatas dapat dijelaskan bahwa jangka waktu
perjanjian bagi hasil tidak di tentukan secara tegas. 11 responden (40%)
menyatakan bahwa perjanjian bagi hasil ini hanya berlaku 1 kali musim
panen, sesudah selesai panen, maka berakhir pula perjanjian yang dibuat
kedua belah pihak dan tidak menutup kemungkinan perjanjian itu di
perpanjang kembali, asal saja kedua belah pihak sepakat, dengan demikian
perjanjian dapat berlangsung secara berkeselanjutan selama penggarap
masih mau mengelola lahan dan pemilik masih mengijinkan untuk
mengerjakannya.
82
Disamping perjanjian bagi hasil dapat diakhiri untup setiap kali
panen, ada pula perjanjian bagi hasil yang jangka waktunya ditentukan
untuk beberapa kali musim tanam. Hal ini dikemukakan oleh 4 responden
(20%). Informasi ini diperoleh dari kepala desa dan perangkatnya,
termasuk responden, tentang adanya ketentuan minimal untuk beberapa
kali musim panen artinya lebih dari musim tanam, hal ini terjadi terhadap
tanah yang membutuhkan pengolahan secara khusus, misalnya tanah yang
harus di cetak ulang, karena sudah lama tidak diusahakan, sehingga
kondisi tanah jelek atau rusak. Dalam hal ini pengelola memerlukan
perlakuan khusus untuk memperbaiki kondisi tanah, sehingga di perlukan
jangka waktu perjanjian bagi hasil yang agak lama, agar penggarap
mendapat hasil yang seimbang.
Terhadap kasus-kasus diatas sebagaimana dikemukakan ,
penentuan jangka waktu minimal dan memadai sangat diperlukan,
tujuannya agar pihak penggarap tidak merasa dirugikan, sedangkan untuk
tanah yang kondisinya normal, maka jangka waktu perjanjian tidak
ditentuka, sehingga pemilik dapat saja mengakhiri perjanjian setiap kali
habis penen dan dapat juga berlangsung secara berkesinambungan, asal
saja para pihak sepakat.
Ketentuan mengenai jangka waktu perjanjian bagi hasil tanah
pertanian yang berlaku di Desa Purwoasri Kecamatan Tegaldlimo
Kabupaten Banyuwangi yang telah diuraikan diatas, sangat berbeda
dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No 2 Tahun 1960,
83
pasal 4 (1) menegaskan bahwa perjanjian bagi hasil untuk lahan sawah
sekurang-kurangnya 3 tahun dan tanah kering 5 tahun. Disini dapat dilihat
bahwa apa yang berlaku dalam masyarakat dalam melakukan perjanjian
bagi hasil, umumnya mengikuti ketentuan sebagaimana yang diatur
menurut kebiasan yang berlaku ditempat. Hal ini sejalan dengan apa yang
di kemukakan oleh Ter Haar, bahwa perjanjian paruh hasil tanam dapat
diakhiri setiap kali musim panen.
Menurut para Kepala Desa dan Camat setempat ketentuan hukum
adat tersebut sudah cukup memadai dan bahkan jika ketentuan Undang-
undang No. 2 Tahun 1960 yang menetapkan jangka waktu minimal 3
tahun untuk sawah dan 5 Tahun untuk tanah keringitu diterapkan kepada
masyarakat, dikawatirkan akan menimbulkan masalah baru, dimana
banyak pemilik yang enggan menyerahkan tanahnya untuk diusahai orang
lain berdasarkan perjanjian bagi hasil, hal ini tentu saja akan berdampak
negatif artinya penggarap akan sulit memperoleh tanah garapan.
84
C. Faktor Penghambat Dalam Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Dalam
Bidang Pertanian Di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil.
Dalam hal ini penulis akan menjelaskan mengenai faktor-faktor apa
saja yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil
tanah pertanian jika di tinjau dari undang-undang perjanian bagi hasil
nomor 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil.
Undang-Undang No 2 Tahun 1960 tentang perjanjian Bagi Hasil,
di undangkan sejak tanggal 7 januari 1960 dan berlaku untuk seluruh
masyarakat. Undang- Undang ini bertujuan untuk memperbaiki nasib para
penggarap tanah milik pihak lain, jika benar-benar dilaksanakan, menurut
Boedi Harsono akan mempunyai efek yang sama dengan penyelenggaraan
redistribusi tanah kelebihan tanah absentee terhadap penghasilan para
petani penggarap, karena menurut Undang-Undang ini mereka akan
menerima bagian yang lebih besar dari hasil tanahnya. Menurut Hukum
Adat imbangan pembagian hasil di tetapkan atas persetujuan kedua belah
pihak yang umumnya tidak menguntungkan bagi pihak penggarap. Hal ini
disebabkan karena tanah yang tersedia untuk di bagi-bagikan tidak
seimbang dengan jumlah petani yang memerlukan tanah garapan. Hasil
penelitian diDesa Purwoasri Kecamatan Tegaldlimo Kabupaten
Banyuwangi, pada umumnya masyarakat lebih memilih sistem perjanjian
Bagi Hasil mendasarkan pada Hukum Adat setempat (kebiasaan setempat
secara turun temurun ) walaupun sudah ada peraturan yang mengatur
tentang perjanjian bagi hasil tanah pertanian.
85
Kendala-kendala yang dihadapi dalam Pelaksanaan Perjanjian Bagi
Hasil Tanah Didesa Purwoasri Kecamatan Tegaldlimo Kabupaten
Banyuwangi, dilihat dari faktor-faktor keefektifitasan suatu
peraturan/hukum, kendala/faktor tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Faktor Hukum Itu Sendiri
Peraturan yang telah dibuat dengan sedemikian rupa mengenai
perjanjian bagi hasil tanah pertanian untuk tujuan keadilan, kepastian dan
kemanfaatan hukum, yang harus disesuaikan dengan kewenangan yang
seharusnya berwenang. Ada beberapa hambatan dalam pelaksanaan UU
No. 2 Tahun 1960 Tentang perjanjian bagi hasil, sebagai mana akan di
uraikan dibawah ini. Dari pertanyaan yang di ajukan kepada responden,
bertitik pada yang di atur dalam UU No. 2 Tahun 1960 mengenai syarat
formal dari suatu perjanjian tentang bagi hasil. Berdasarkan temuan
dilapangan diketahui bahwa perjanjian bagi hasil dilakukan secara lisan,
tanpa ada saksi dan juga tidak dibuat dihadapan kepala desa serta
pengesahan dari camat. Hal ini juuga dikuatkan oleh keterangan tokoh
masyarakat desa setempat saat diwawancarai, yang menyatakan bahwa
dalam melakukan perjanjian bagi hasil tidak pernah dilakukan dalam
bentuk tertulis. Kalupun ada hanya dalam bentuk tanaman seperti jeruk
dan coklat. Masyarakat desa melakukan perjanjian bagi hasil atas darar
suka sama suka tidak ada paksaan.
86
Disamping itu faktor saling percaya diantara para pihak juga
memegang peranan penting dalam hal membuat perjanjian, sehingga
perjanjian itu tidak perlu dibuat secara tertulis. Tetapi cukup dengan lisan
saja. Hal ini disebabkan karena mereka sudah saling mengenal dan hidup
bertetanggaan dalam satu lingkungan. Sebagaimana yang telah diuraikan
diatas bahwa 100% masyarakat menjadi responden dan kepala desa selaku
informan, belum pernah mengetahui keberadaan Undang-undang No. 2
Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil, sehingga ditemukan indikasi
bahwa Undang-Undang yang mengatur tentang perjanjian bagi hasil
tersebut untuk desa purwoasri kecamatan tegaldlimo kabupaten
banyuwangi belum pernah disosialisasikan.
Temuan tersebut sangat bertolak belakang dengan apa yang
diinstruksikan oleh Presiden RI melalui inpres No. 13 Tahun 1980 Pasal 2
ayat (4) menegaskan bahwa penertiban dan peningkatan pelaksanaan UU
No. 2 Tahun 1960 dilakukan dengan menyelenggarakan:
a. Penyuluhan secara terencana, teratur, intensif dan
berkesinambungan kepada pentani penggarap, pemilik tanah
maupun seluruh masyarakat desa.
b. Pengendalian dan pengawasan secara efektif dan efisien
terhadap pelaksanaan UU No.2 Tahun 1960 tentang perjanjian
bagi hasil.
87
Melihat kenyataan ini, jelas tidak mengherankan apabila
masyarakat belum pernah mendengar atau mengetahui keberadaan UU No
2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil.
Dalam masyarakat desa perraturan yang dibuat tidaklah effisien
karena sangat merepotkan masyarakat dalam mengelola tanah pertanian
dimana pada umumnya masyarakat sudah mempunyai rasa saling percaya
terhadap satu sama lain dan juga penerapan Undang-undang tersebut juga
tidak disosialisasikan secara menyeluruh jadi jika masyarakat tidak
menggunakan aturan yang ada karena tidak tahuan masyarakat mengenai
sosialisasi dan keberadaan Undang-undang No.2 Tahun 1960 tentang
perjanjian bagi hasil tanah pertanian.
2. Faktor Aparatur Penegak Hukum
Aparatur penegak hukum dalam penelitian ini adalah, Kantor
Kecamatan dan Kantor Desa yang memiliki peran sangat penting dalam
kaitannya dengan sosialisasi adanya Undang-Undang No 2 tahun 1960
tentang perjanjian bagi hasil tanah pertanian yang dimana seharusnya para
petani atau pemilik dan penggarap sawah mengetahui mengenai peraturan
yang mengatur tentang perjanjian bagi hasil tanah pertanian, namun pada
kenyataannya Didesa Purwoasri Kecamatan Tegaldlimo Kabupaten
Banyuwangi masyarakatnya masih mengunakan hukum kebiasaan atau
yang lebih dikenal dengan hukum adat.
Hal ini karena ketidak tahuan masyarakat mengenai Undang-
undang yang mengatur mengenai perjanjian bagi hasil tanah pertanian,
88
sehingga sampai saat ini masyarakat masih menggunakan perjanjian atau
hukum yang berlaku dikalangan masyarakat yaitu hukum adat. Dalam
Undang- undang No 2 tahun 1960 pasal 3 ayat 1 berbunyi “ semua
perjanjian bagi hasil harus dibuat oleh pemilik dan penggarap sendiri
secara tertulis dihadapan kepala desa atau daerah yang setingkat dengan
itu tempat letaknya tanah yang bersangkutan selanjutnya dalam undang-
undang ini disebut (Kepala Desa) dengan dipersaksikan oleh kedua orang
dari pihak pemilik dan penggarap”.
Dalam peraturan ini sudah jelas bahwa semua perjanjian bagi hasil
tanah harus dibuat dihadapan kela desa setempat dengan dua (2) saksi,
pada kenyataanya berbeda masyarakat masih menggunakan hukum adat
sebagai landasan dalam melakukan perjanjian bagi hasil tanah. Dalam hal
ini aparatur penegak hukum dapat mensosialisasikan kembali pertaruran
mengenai perjanjian bagi hasil tanah pertanian sehingga kelak tidak
menimbulkan permasalahan dalam melakukan perjanjian bagi hasil dalam
bidang pertanian.
3. Faktor Masyarakat
Faktor inilah yang mempengaruhi masyarakat Desa Purwoasri
tidak melaksanakan bagi hasil pertanian menurut Undang-Undang Nomor
2 tahun 1960 yaitu:
a. Masyarakat tidak mengetahui adanya ketentuan bagi hasil
pertanian yang diatur dalam Undang-undang tersebut karena
89
tidak adanya sosialisasi dari perangkat desa maupun dinas yang
terkait.
b. Kurangnya wawasan dari masyarakat karena rendahnya tingkat
pendidikan.
c. Adanya kebiasaan buruk dari masyarakat yang menyepelekan
setiap peraturan yang berhubungan dengan pertanian.
d. Masih kuatnya sistem kekeluargaan di Desa Purwoasri
Kecamatan Tegaldlimo Kabupaten Banyuwangi, sehingga
mengkesampingkan bentuk perjanjian tertulis dan hanya
berdasarkan pada kepercayaan terhadap seseorang.
Hampir seluruh masyarakat di Desa Purwoasri tidak mengetahui
keberadaan Undang- Undang No 2 Tahun 1960 untuk mengatur perjanjian
Bagi Hasil. Hal ini terjadi karena kurangnya kegiatan penyuluhan dari
pihak pemerintah khususnya kegiatan penyuluhan dari pihak pemerintah
Kecamatan, khususnya tentang penyuluhan pertanian hanya dilaksanakan
satu kali dalam satu tahun.
Kesadaran hukum masyarakat masih lemah dan tingkat pendidikan
yang kurang sehingga menimbulkan ketidak pedulian masyarakat
mengenai peraturan yang dibuat oleh pemerintah, karena masyarakat
masih nyaman menggunakan hukum adat yang berlaku.
90
Dari hasil wawancara terhadap masyarakat setempat Bapak
mispan54 selaku pemilik tanah “ bahwa masyarakat tidak ada yang
mengetahui mengenai Undang-Undang no 2 tahun 1960 tentang perjanjian
bagi hasil tanah, dikarenakan masyarakat tani ada ada yang mengetahui
adanya peraturan ini” dalam hal ini peneliti dapat menganalisa bahwa
masyarakat desa masih nyaman menggunakan perjanjian secara lisan.
54 Wawancara Dengan Salah Satu Pemilik Tanah Yaitu Bapak Mispan, Desa Purwoasri Kecamata Tegaldlimo Kabupaten Banyuwangi, Tanggal 11 Januari 2016