Post on 07-Feb-2021
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Hakikat Pembelajaran Matematika
1. Hakikat Matematika
Penggunaan kalimat-kalimat matematika secara sadar maupun tidak telah
sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu menunjukkan bahwa
matematika merupakan bahasa yang dapat dipakai secara universal, dan
matematika adalah suatu ilmu terapan yang dapat membantu manusia untuk
berkomunikasi menyelesaikan masalahnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Kline
(dalam Suwangsih & Tiurlina, 2010, hlm. 4) yang mengatakan bahwa
„Matematika itu bukan pengetahuan yang menyendiri yang dapat sempurna
karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu
manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan
alam‟.
Matematika selain dapat membantu menyelesaikan masalah dalam kehidupan
sehari-hari juga merupakan suatu ilmu yang di dalamnya terdapat konsep-konsep
yang tersusun berdasarkan pola, hingga karena pola tersebut menjadikan
matematika ialah suatu seni, hal ini diungkapkan oleh Reys (dalam Suwangsih &
Tiurlina, 2010, hlm. 4) bahwa „Matematika adalah telaahan tentang pola dan
hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa dan suatu alat‟.
Matematika disebut sebagai ilmu tentang pola karena di dalam matematika
sering dicari keseragaman seperti keterkaitan pola dari sekumpulan konsep-
konsep tertentu untuk dibuat generalisasinya, sedangkan matematika disebut
sebagai hubungan karena konsep-konsep dalam matematika saling memiliki
hubungan.
Matematika disebut sebagai suatu pola berpikir karena dilihat dari asal
katanya yaitu mathematike yang juga berhubungan dengan kata yang hampir sama
yaitu mathein atau mathenein yang berarti belajar (berpikir), menunjukkan bahwa
pemecahan masalah dalam matematika didapat dari hasil proses berpikir. Menurut
Courant & Robbin (dalam Wira, 2012) untuk dapat mengetahui apa matematika
itu sebenarnya, seseorang harus mempelajari sendiri ilmu matematika tersebut.
14
Matematika dapat dipelajari dengan baik bila disertai dengan proses berlatih
mengerjakannya. Dalam proses belajar tersebut diperlukan keterlibatan berpikir,
terlebih ketika mengerjakan soal matematika yang seringkali memiliki beragam
penyelesaian. Semakin sering seseorang berlatih mengerjakan soal matematika,
maka melatih orang tersebut juga untuk berpikir kritis, kreatif, dan berpikir
tingkat tinggi lainnya.
Pada pembahasan di atas, dikatakan bahwa matematika merupakan ilmu
tentang pola dan hubungan. Adanya pola keteraturan tersebut menghasilkan
keindahan, seperti halnya pola angka pada sebuah bentuk. Hal itulah yang
menjadikan matematika juga disebut sebagai seni. Berikut salahsatu contoh
keindahan matematika berdasarkan pola yang dituangkan dalam angka:
1 x 8 + 1 = 9
12 x 8 + 2 = 98
123 x 8 + 3 = 987
1234 x 8 + 4 = 9876
12345 x 8 + 5 = 98765
123456 x 8 + 6 = 987654
1234567 x 8 + 7 = 9876543
12345678 x 8 + 8 = 98765432
123456789 x 8 + 9 = 987654321
Matematika disebut sebagai suatu bahasa dan suatu alat, karena notasi-notasi
dalam matematika seperti penjumlahan (+), pengurangan (-), dan lain sebagainya
seringkali dijadikan sebagai suatu bahasa lisan di masyarakat. Seluruh manusia
mengerti notasi-notasi tersebut meskipun tidak semua orang mempelajari secara
dalam matematika. Simbol-simbol dalam matematika juga sering diucapkan
sebagai bahasa komunikasi yang berarti semua orang pun mengerti, oleh
karenanya matematika dapat dikatakan sebagai bahasa yang universal karena
dapat diterima secara umum dan sebagai alat komunikasi dalam penyelesaian
masalah.
Beragam pendapat di atas menggambarkan bahwa matematika tidak hanya
suatu disiplin ilmu yang berisi simbol-simbol, namun juga memiliki pola yang
indah dan peranan yang besar terhadap disiplin ilmu lainnya. Hal tersebut terbukti
15
dari kegunaannya yang dapat diterapkan pada pemecahan masalah dalam disiplin
ilmu lain.
2. Hakikat Pembelajaran Matematika di SD
a. Pembelajaran Matematika di SD
Matematika merupakan matapelajaran yang juga diajarkan di sekolah dasar
(SD). Cakupan materi dalam matematika merupakan hal yang abstrak, karena
berisi simbol-simbol yang tidak ada dalam bentuk nyatanya. Sementara Piaget
(dalam Pitajeng, 2006) pernah berpendapat bahwa tahapan umur pada peserta
didik sekolah dasar (sekitar 6/7 - 11/12 tahun) berada pada periode operasi
konkret, artinya peserta didik tidak akan dapat memahami matematika yang
memiliki isi yang abstrak tanpa dibantu oleh benda-benda konkret karena peserta
didik yang masih duduk di bangku SD belum dapat berpikir formal. Pendapat
tersebutlah yang menjadi alasan, agar dalam mengajarkan matematika yang
memiliki kajian materi yang abstrak di SD harus dengan media pembelajaran agar
konsep matematika dapat dengan mudah dipahami oleh peserta didik.
Suwangsih & Tiurlina (2006) berpendapat mengenai karakteristik
pembelajaran matematika di SD, yaitu sebagai berikut.
1) Pembelajaran matematika menggunakan metode spiral
Pembelajaran matematika dengan menggunakan metode spiral merupakan
pembelajaran dengan mengaitkan konsep yang sedang dipelajari dengan konsep
yang sudah dipelajari sebelumnya. Konsep yang sedang dipelajari merupakan
perluasan konsep sebelumnya sekaligus pematangan konsep yang ada di struktur
kognitif peserta didik. Pembelajaran dimulai dari penggunaan benda konkret lalu
dilanjutkan dengan pemahaman yang lebih abstrak dengan menggunakan notasi
matematika yang lebih umum.
2) Pembelajaran matematika bertahap
Pembelajaran yang bertahap maksudnya pembelajaran dimulai dari hal yang
paling sederhana menuju hal yang kompleks, atau dimulai dari sesuatu yang
konkret ke semi konkret barulah dilanjutkan pada hal yang abstrak. Sebagai
contoh, jika seorang guru ingin mengajarkan konsep perkalian pada peserta didik
dapat dimulai dengan cara menjumlahkan secara berulang dulu dengan
16
menggunakan sebuah media, barulah konsep penjumlahan tersebut diubah
menjadi konsep perkalian dengan tidak lagi menggunakan media.
3) Pembelajaran matematika menggunakan metode induktif
Metode induktif ialah metode yang dimulai dari suatu contoh-contoh kecil
barulah kemudian ditarik menjadi sebuah generalisasi. Penggunaan metode
induktif di SD dikarenakan pembelajaran harus disesuaikan dengan tahap
perkembangan mental peserta didik di SD.
Contoh:
Pembelajaran bangun ruang tidak dimulai dari definisi, tetapi dimulai dengan
cara memperlihatkan contoh-contoh dari bangun tersebut, mengenal namanya dan
menentukan sifat-sifat yang terdapat dalam bangun ruang tersebut sampai kepada
pemahaman konsep bangun-bangun ruang. Akan tetapi, setelah peserta didik
sudah duduk pada sekolah menengah pertama dan atas, pembuktian dalam
matematika dilakukan dengan metode deduktif.
4) Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi
Kebenaran dalam matematika merupakan kebenaran yang konsisten artinya
tidak ada pertentangan antara satu kebenaran dengan kebenaran lainnya. Suatu
pernyataan dianggap benar jika telah didasarkan kepada pernyataan-pernyataan
sebelumnya.
5) Pembelajaran matematika hendaknya bermakna
Konsep pembelajaran bermakna yakni pembelajaran yang didasarkan kepada
pengertian dan kegiatan penemuan sendiri jadi bukan didasarkan pada hapalan.
Dalam pembelajaran matematika di SD, aturan-aturan, sifat-sifat, dan dalil-dalil
tidak diberikan dalam bentuk jadi, melainkan peserta didik dibimbing untuk
menemukan sendiri melalui contoh-contoh secara induktif agar lebih diingat oleh
peserta didik. Proses pembelajaran dengan peserta didik yang mengkonstruksi
ilmu pengetahuannya itulah yang menjadikan pembelajaran bermakna.
b. Tujuan Pembelajaran Matematika di SD
Matematika selalu digunakan dalam berbagai bidang kehidupan karena segala
hal dalam kehidupan ini memerlukan keterampilan matematika seperti berhitung,
membaca grafik, berjualan, dan sebagainya. Oleh karenanya matematika menjadi
17
subjek pelajaran yang penting sejak di SD, karena peserta didik harus terbiasa
dilatih pembelajaran matematika dengan soal-soal yang beragam.
Adapun tujuan pembelajaran matematika di SD tersebut dapat dilihat di
dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (BSNP, 2006, hlm. 30) yaitu
sebagai berikut.
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algortima, secara luwes, akurat,
efesien, dan tepat dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirikan
solusi yang diperoleh.
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari
matematika sifat-sifat ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Tujuan pembelajaran matematika dalam kurikulum di atas terangkum dalam
Maulana (2011) mengenai kemampuan matematika tingkat tinggi.
c. Ruang Lingkup Pembelajaran Matematika di SD
Ruang lingkup mata pelajaran matematika menurut Adjie & Maulana (2006)
yaitu sebagai berikut ini.
1) Bilangan. Materi ini mencakup melakukan dan menggunakan sifat-sifat
operasi hitung bilangan dalam pemecahan masalah dan menaksir operasi
hitung.
2) Pengukuran dan Geometri. Materi ini mencakup mengidentifikasi bangun
datar dan bangun ruang menurut sifat, unsur, atau kesebangunannya;
melakukan operasi hitung yang melibatkan keliling, luas, volume, dan
satuan pengukuran, menaksir ukuran (misalnya panjang, luas, volume) dari
benda atau bangun geometri; menentukan dan menggambarkan letak titik
atau benda dalam sistem kordinat.
3) Pengelolaan Data. Materi ini mencakup mengumpulkan, menyajikan, dan
menafsirkan data (ukuran pemusatan data).
18
Materi dalam penelitian ini termasuk kepada bidang kajian geometri. Lebih
tepatnya, pada subpokok bahasan bangun ruang sederhana dan jaring-jaringnya.
Materi yang tercakup dalam subpokok bahasan ini adalah bangun kubus dan balok
beserta jaring-jaringnya. Adapun materi tersebut terdapat pada standar kompetensi
nomor 8 yakni memahami sifat bangun ruang sederhana dan hubungan antar
bangun datar. Kompetensi dasar yang akan diteliti yaitu 8.1 yakni menentukan
sifat-sifat bangun ruang sederhana dan 8.2 yakni menentukan jaring-jaring balok
dan kubus. Berikut ini merupakan standar kompetensi dan kompetensi dasar
matapelajaran matematika untuk kelas IV semester 2 yang tercantum di dalam
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Badan Nasional Satuan Pendidikan
(BNSP), 2006, hlm. 33-34) dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1
Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar untuk Materi Geometri Bangun
Ruang dan Jaring-jaringnya Kelas IV
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
Geometri dan Pengukuran
8. Memahami sifat bangun ruang sederhana dan hubungan antar bangun
datar
8.1Menentukan sifat-sifat bangun ruang sederhana
8.2 Menentukan jaring-jaring balok dan kubus
Sumber: Panduan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SD/MI, BSNP Tahun 2006.
B. Kemampuan Pemahaman Matematis
Maulana (2011) mengatakan bahwa kemampuan matematika yang
ditargetkan dalam kurikulum ialah pemahaman matematis, pemecahan masalah
matematis, penalaran matematis, koneksi matematis, dan komunikasi matematis.
Penelitian ini membahas mengenai kemampuan pemahaman matematis peserta
didik pada materi bangun ruang sederhana dan jaring-jaringnya. Adapun
pemfokusan terhadap bangun ruang sederhana didasarkan kepada hasil penelitian
yang dilakukan oleh Soejadi (dalam Nur‟aeni, 2008, hlm. 2) yang menyebutkan
antara lain.
1. Peserta didik sukar mengenali dan memahami bangun-bangun geometri
terutama bangun ruang serta unsur-unsurnya, 2. Peserta didik sulit
menyebutkan unsur-unsur bangun ruang, misal peserta didik menyatakan
bahwa pengertian rusuk bangun ruang sama dengan sisi bangun datar.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemahaman peserta didik akan
materi bangun ruang masih rendah. Peserta didik hanya mengenal bentuk dari
19
bangun ruang, tidak memahami mendalam sifat-sifat yang dimiliki dari bangun
ruang tersebut. Hal tersebut dikarenakan pada proses pembelajarannya, guru
kurang memberikan pembelajaran yang bermakna pada peserta didik dan pusat
pembelajaran ialah guru (teacher centered). Sebenarnya pembelajaran dengan
menerapkan teacher centered tidak terlalu buruk, hanya pada peserta didik yang
tidak memiliki kemampuan mendengar dan menyimak yang baik akan kesulitan
untuk mengikuti pembelajaran, terlebih ketika karakteristik peserta didik yang
diajar tersebut cepat bosan dengan sistem pembelajaran yang berpusat pada guru.
Menurut Sanjaya (dalam Mediaharja, 2012) pemahaman adalah kemampuan
peserta didik yang berupa penguasaan sejumlah materi pelajaran, yang tidak
hanya sekedar mengetahui atau mengingat sejumlah konsep yang dipelajari, tetapi
mampu mengungkapkan kembali dalam bentuk lain yang mudah dimengerti,
memberikan interprestasi data dan mampu mengaplikasikan konsep yang sesuai
dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Adapun kemampuan pemahaman
matematis ialah kemampuan yang dimiliki seseorang ketika ia dapat menjelaskan
kembali maksud dari suatu informasi yang berhubungan dengan matematika
dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti, serta mampu memikirkan strategi
penyelesaian masalah yang berhubungan dengan matematika. Pada saat
pembelajaran, peserta didik harus diberikan kesempatan untuk mengkonstruksi
sendiri materi yang sedang dipelajari dengan menggunakan benda-benda konkret.
Dengan begitu pembelajaran akan lebih bermakna.
Kemampuan pemahaman matematis memiliki beragam jenis menurut para
ahli, jenis-jenis tersebut dapat dikembangkan menjadi indikator. Polya (dalam
Maulana, 2011, hlm. 53-54) mengatakan bahwa kemampuan pemahaman
matematik terdiri dari empat tahap, yaitu:
1. Pemahaman mekanikal yang dicirikan oleh kemampuan mengingat dan menerapkan rumus secara rutin dan menghitung secara sederhana.
2. Pemahaman induktif, yaitu dapat menerapkan rumus atau konsep dalam kasus sederhana atau dalam kasus serupa.
3. Pemahaman rasional, yaitu dapat membuktikan kebenaran suatu rumus atau teorema.
4. Pemahaman intuitif, yaitu dapat memperkirakan kebenaran tanpa ragu-ragu sebelum menganalisis lebih lanjut.
20
Kemampuan pemahaman menurut Pollatsek yakni pemahaman
komputasional dan pemahaman fungsional telah dijelaskan pada Bab I. Sementara
Skemp (dalam Maulana, 2011, hlm. 54) mengklasifikasikan pemahaman ke dalam
dua jenis, yaitu.
1. Pemahaman instrumental, dengan ciri hafal konsep/prinsip tanpa kaitan dengan yang lainnya, dapat menerapkan rumus dalam perhitungan
sederhana, dan melakukan pengerjaan hitung secara algoritmik.
2. Pemahaman relasional, yakni mengaitkan suatu konsep dengan konsep lainnya, atau suatu prinsip dengan prinsip lainnya.
Beragam jenis pemahaman matematis menurut para ahli di atas tidak akan diteliti
seluruhnya, namun penelitian ini membatasi jenis pemahaman matematis menurut
Pollatsek.
C. Teori yang Mendukung Pendekatan Generatif, Kemampuan
Pemahaman Matematis dan Pengajaran Geometri di SD
Menurut Orton (dalam Pitajeng, 2006, hlm. 27) „Untuk mengajar matematika
diperlukan teori, yang digunakan antara lain untuk membuat keputusan di kelas‟.
Selain itu, teori belajar juga diperlukan untuk mengobservasi tingkah laku peserta
didik dalam pembelajaran. Kedua hal tersebut merupakan bagian dari faktor-
faktor yang mempengaruhi keberhasilan seorang guru dalam menentukan suatu
pendekatan yang tepat digunakan untuk menciptakan pembelajaran yang efektif
dan menyenangkan, selain tentunya bermakna. Penjelasan tersebut menunjukkan
bahwa seorang guru harus memahami teori belajar yang disesuaikan dengan
jenjang pendidikan peserta didik.
Penelitian ini membahas mengenai salahsatu pendekatan yang dapat
digunakan dalam pembelajaran matematika yakni pendekatan generatif, dan
pengaruhnya terhadap kemampuan pemahaman matematis dalam materi bangun
ruang sederhana dan jaring-jaringnya. Berikut beberapa teori belajar yang
melandasi ketiganya.
1. Teori Belajar Jean Piaget
Piaget (dalam Suwangsih & Tiurlina, 2010) terkenal dengan teori
perkembangan mentalnya, bahwa perkembangan mental setiap orang melewati
empat tahap. Adapun tahapan-tahapannya dipaparkan di halaman selanjutnya.
21
a. Tahap sensori motor
Tahap sensori motor dimulai dari anak lahir sampai sekitar umur 2 tahun.
Adapun ciri dari tahap sensori motor menurut pendapat Maulana (2011, hlm. 70)
ialah sebagai berikut.
1) Anak belajar mengembangkan dan menyelaraskan gerak jasmaninya. 2) Anak berpikir/belajar melalui perbuatan dan gerak. 3) Anak belajar mengaitkan simbol benda dengan benda konkretnya, hanya
masih sukar. Misal: mengaitkan penglihatan mentalnya dengan
penglihatan real dari benda yang disembunyikan.
4) Mulai mengotak-atik benda.
b. Tahap pra operasional
Tahap ini berada pada rentang umur 2-7 tahun. Perkembangan kemampuan
pada tahap ini yaitu anak dapat menggunakan simbol-simbol untuk
menggambarkan objek yang ada di sekitarnya, menggunakan bahasa untuk
menyatakan ide yang ada dalam pikirannya melalui kalimat pendek yang mereka
ucapkan, selain itu anak sudah dapat melakukan peniruan.
c. Tahap operasional konkret
Tahap ini berada pada rentang umur 7-11 tahun. Menurut Maulana (2011,
hlm. 73), “Selama tahap ini anak mengembangkan konsep dengan menggunakan
benda-benda konkret untuk menyelidiki hubungan dan model-model ide abstrak”.
Penggunaan benda-benda konkret sangat diperlukan untuk membuat anak paham
mengenai sesuatu hal. Selain itu, anak yang ada dalam tahap operasional konkret
sudah mampu melihat sudut pandang orang lain dan mengetahui mana benar dan
mana salah. Anak juga mulai senang untuk membuat benda bentukan.
d. Tahap operasional formal
Tahap ini ada pada umur 11-dewasa. Anak sudah dapat berpikir secara
abstrak, tidak lagi memerlukan bantuan media konkret dalam upaya membuat
dirinya paham akan sesuatu hal, dapat menganalisis masalah secara ilmiah dan
kemudian menyelesaikan masalah.
Lebih lanjut, Piaget (dalam Pitajeng, 2006, hlm. 28) juga menyebutkan bahwa
„Perkembangan belajar matematika anak melalui empat tahap yaitu tahap konkret,
semi konkret, semi abstrak, dan abstrak‟. Pada tahap konkret peserta didik usia
SD harus mendapatkan suatu pengalaman belajar secara langsung, mereka harus
22
mencoba sendiri apa yang sedang mereka pelajari atau guru memanipulasi objek-
objek konkret untuk peserta didik. Pada tahap semi konkret, peserta didik sudah
tidak memerlukan suatu manipulasi objek tetapi hanya diberikan gambaran materi
yang sedang dipelajari. Pada tahap semi abstrak, peserta didik akan masuk ke
dalam pemanipulasian simbol atau notasi matematika pada objek-objek konkret
tersebut sebagai langkah awal mereka untuk mampu berpikir abstrak, sedangkan
pada tahap abstrak, peserta didik sudah dapat membaca notasi matematika dan
sudah tidak memerlukan pemanipulasian objek.
Pendekatan generatif juga memperhatikan perkembangan mental peserta
didik. Adanya tahap pengungkapan ide yang dibantu dengan penggunaan media
pembelajaran yang dibuat konkret bertujuan untuk memfasilitasi peserta didik
yang masih dalam tahap operasional konkret. Tahapan-tahapan pembelajaran
dalam penelitian dengan menggunakan pendekatan generatif juga memfasilitasi
peserta didik untuk mengotak-atik media pembelajaran guna menemukan sendiri
konsep materi yang sedang dipelajari.
2. Teori Belajar David Ausubel
Sejalan dengan teori belajar Piaget, teori belajar Ausubel juga terkenal
dengan konsep belajar bermaknanya. Ausubel (dalam Suwangsih & Tiurlina,
2010) berpendapat mengenai bahan pelajaran yang diberikan untuk peserta didik
haruslah yang bermakna, artinya bahan yang dipelajari itu harus sesuai dengan
kemampuan peserta didik dan harus relevan dengan struktur kognitif yang
dimiliki oleh peserta didik. Oleh karenanya dalam melakukan pengajaran,
seorang guru haruslah mengaitkan dengan konsep-konsep yang sudah dimiliki
oleh struktur kognitif peserta didik, sehingga konsep-konsep baru yang dipelajari
benar-benar terserap dalam otaknya dan tersimpan dalam memori jangka
panjang.
Menurut Ausubel (dalam Suwangsih & Tiurlina, 2010) antara belajar
menemukan dengan menerima itu berbeda. Pada belajar menemukan, peserta
didik sendiri yang menemukan konsep yang sedang dipelajari, sedangkan belajar
menerima, peserta didik tidak menemukan secara langsung konsep yang sedang
dipelajari melainkan diberikan oleh guru dan peserta didik tinggal
menghapalkannya. Belajar menemukan akan membuat pembelajaran menjadi
23
bermakna karena materi yang telah diperolehnya akan dikembangkan kembali
oleh mereka sendiri dalam situasi lain sehingga mereka lebih bisa mengerti.
Kaitan antara pendekatan generatif dengan teori Ausubel ialah pada proses
kebermaknaan belajar. Keduanya sama-sama mewujudkan proses kebermaknaan
belajar dengan cara mengaitkan konsep materi yang akan dipelajari dengan
konsep pengetahuan yang telah ada dalam struktur kognitif peserta didik. Selain
itu, proses pembelajaran yang membimbing dan mengarahkan agar peserta didik
menemukan konsep materi juga yang membuat pendekatan generatif memiliki
kaitan erat dengan teori Ausubel. Keterkaitan-keterkaitan tersebutlah yang
menjadikan alasan bahwa teori Ausubel salahsatu teori yang melandasi
pendekatan generatif.
3. Teori belajar Jerome Bruner
Bruner (dalam Ruseffendi, 1992, hlm. 109) menjelaskan bahwa „Belajar
matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada konsep-
konsep dan struktur-struktur yang termuat dalam pokok bahasan yang diajarkan di
samping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur-struktur‟. Teori
Bruner sejalan dengan Teori Ausubel bahwa dalam pembelajaran hendaknya
menerapkan konstruktivisme pada peserta didik. Dalam pandangan
konstruktivisme, cara memperoleh akan lebih sering diingat daripada cara
menghapal, meskipun hapalan juga penting untuk diterapkan. Pendapat Bruner
(dalam Amelia, 2010, hlm. 36) mengenai teorema konstruktivisme tersebut yakni
„Dalam teori konstruksi cara berpikir terbaik bagi seorang anak untuk belajar
konsep dan prinsip adalah dengan mengkonstruksikan konsep dan prinsip itu‟.
Selain itu, Bruner (dalam Ruseffendi dkk, 1992) juga menyatakan bahwa
peserta didik melewati 3 tahap pada proses belajarnya, yaitu:
a. Tahap Enaktif
Dalam tahap ini peserta didik dilibatkan dalam pemanipulasian objek dengan
tujuan agar peserta didik memiliki pengalaman belajar dengan benda-benda
konkret dan dapat lebih memahami konsep dari materi yang diajarkan.
b. Tahap Ikonik
Pada tahap ini, peserta didik sudah mulai bisa untuk membayangkan objek-
objek berkat pemanipulasian yang telah ia mainkan. Misalnya, cukup hanya
24
menunjukkan sebuah gambar atau sajian grafik dan penjelasan singkat, maka
peserta didik sudah mampu menggambarkan grafik tersebut.
c. Tahap Simbolik
Dalam tahap ini peserta didik sudah mulai dapat menuliskan simbol atau
notasi matematika pada objek-objek tertentu tanpa ketergantungan terhadap objek
real/konkret.
Sama halnya dengan kaitan teori Ausubel, kaitan antara pendekatan generatif
dengan teori Bruner ialah bagaimana pengetahuan harus dikonstruks sendiri oleh
peserta didik dengan mengaitkan informasi baru itu dengan informasi
pengetahuan yang sudah ada sebelumnya di otak. Teori Bruner dan pendekatan
generatif juga mementingkan pemberian konsep dan struktur-struktur yang
termuat dalam pokok bahasan. Pada tahap awal pendekatan generatif, yaitu tahap
orientasi dan pengungkapan ide, pembelajaran akan difokuskan untuk
membimbing peserta didik menemukan struktur-struktur yang termuat dalam
pokok bahasan. Pembelajaran dalam penelitian ini juga memperhatikan tiga tahap
proses belajar yang mana peserta didik masuk ke dalam tahap enaktif yang masih
membutuhkan pemanipulasian benda-benda konkret dalam belajar. Adanya media
pembelajaran yang digunakan mengacu kepada tahap enaktif pada teori Bruner,
dan tahap operasional konkret pada teori Piaget.
4. Teori belajar Van Hiele
Teori belajar Van Hiele ialah teori belajar yang menguraikan tahap-tahap
perkembangan mental peserta didik dalam mempelajari geometri. Van Hiele
(dalam Pitajeng, 2006) mengatakan bahwa terdapat lima tahapan belajar peserta
didik dalam mempelajari geometri, yaitu sebagai berikut.
a. Tahap pengenalan
Tahap ini ialah ketika peserta didik sudah mengenal bentuk bangun ruang,
seperti bangun ruang kubus, balok dan sebagainya. Namun, tahap pengenalan
pada peserta didik hanya sampai melakukan pengamatan terhadap bentuk bangun
ruang saja.
b. Tahap analisis
Pada tahap ini, peserta didik sudah mulai mempelajari sifat-sifat dari bangun
ruang. Penganalisisan yang dilakukan peserta didik bisa dilakukan melalui
25
pengamatan, pada tahap analisis peserta didik sudah mampu menganalisis sifat-
sifat bangun kubus seperti memiliki 6 sisi yang besarnya sama, 12 rusuknya sama
panjang dan sudah dapat membedakan bangun kubus dengan balok berdasarkan
ciri-ciri sifatnya.
c. Tahap pengurutan
Tahap ini ialah ketika peserta didik sudah mampu menarik kesimpulan, atau
kata lainnya ialah sudah bisa berpikir deduktif, meskipun kemampuan ini belum
sepenuhnya berkembang. Pada tahap ini peserta didik telah dapat mengklasifikasi
dan menggeneralisasi sifat-sifat, sudah mengenal bentuk-bentuk geometri,
memahami sifat-sifatnya, dan juga sudah mampu untuk mengurutkan bentuk-
bentuk geometri yang satu sama lain saling berhubungan.
d. Tahap deduksi
Dalam tahap ini peserta didik sudah dapat menarik kesimpulan secara
deduktif. Ia telah mengerti unsur tak terdefinisi seperti titik dan garis memiliki
peranan yang penting di samping unsur yang terdefinisikan.
e. Tahap akurasi
Tahap ini peserta didik sudah mulai menyadari pentingnya ketepatan dari
prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Tahap akurasi merupakan
tahap berpikir yang tinggi, rumit dan kompleks. Oleh karenanya tidak heran jika
terdapat peserta didik yang masih belum sampai pada tahapan ini.
Penelitian ini berfokus kepada materi bangun ruang dan jaring-jaringnya,
karena itulah pembelajaran dalam penelitian ini juga dilandaskan pada teori Van
Hiele. Tahapan-tahapan generatif yang akan diterapkan dalam pembelajaran juga
mengacu kepada tahapan-tahapan dalam Teori Van Hiele.
D. Bangun Ruang Sederhana dan Jaring-jaringnya
Bangun ruang sederhana dan jaring-jaringnya ialah materi matematika yang
menjadi perhatian dalam penelitian ini. Alasan memilih materi bangun ruang dan
jaring-jaringnya ialah karena materi matematika ini mudah untuk dibuatkan
media konkret untuk membantu peserta didik mencapai pemahaman matematis.
Selain itu, terdapat banyaknya bentuk-bentuk bangun ruang yang ada di sekitar
peserta didik, makin memudahkan guru dalam proses pembelajaran.
26
Bangun ruang disebut juga bangun tiga dimensi. Bangun ruang merupakan
sebuah bangun yang memiliki ruang yang dibatasi oleh beberapa sisi, sedangkan
jaring-jaring ialah susunan bangun datar yang membentuk bangun ruang. Dalam
penelitian ini sifat-sifat dari bangun ruang difokuskan pada panjang rusuk, bentuk
daerah sisi, dan titik sudut.
Sisi adalah bidang-bidang yang membatasi kubus. Rusuk ialah garis-garis
yang merupakan pertemuan dua sisi. Titik sudut adalah titik pertemuan dari tiga
buah rusuk pada bangun ruang.
1. Kubus
Gambar 2.1
Bangun Kubus
Nama bangun ruang di atas ialah kubus ABCD.EFGH. Kubus ialah sebuah
bangun ruang yang dibatasi oleh enam persegi yang berukuran sama. Kubus
memiliki sifat-sifat sebagai berikut.
a. Memiliki 8 titik sudut yaitu A, B, C, D, E, F, G, dan H
b. Memiliki 12 rusuk yang sama panjang, rusuk AB = rusuk BC = rusuk CD =
rusuk AD = rusuk BF = rusuk AE = rusuk CG = rusuk DH= rusuk GH =
rusuk GF = rusuk FE = rusuk HE
c. Memiliki 6 buah sisi berbentuk persegi yang saling kongruen yaitu ABCD,
EFGH, ABFE, DCGH, BCGF, dan ADHE
2. Balok
Balok adalah bangun ruang tiga dimensi yang dibentuk oleh tiga pasang
persegi atau persegipanjang, dengan terdapat minimal satu pasang di antaranya
berukuran berbeda. Bentuk balok dapat dengan mudah ditemukan di lingkungan
G H
E F
D C
B A
27
sekitar, seperti kardus-kardus pembungkus barang. Berikut contoh gambar bangun
balok.
H G
E
A B
Gambar 2.2
Bangun Balok
Balok memiliki sifat-sifat sebagai berikut.
a. Memiliki 8 titik sudut A, B, C, D, E, F, G, dan H.
b. Memiliki 12 rusuk, rusuk yang sejajar memiliki panjang yang sama,
sehingga,
Rusuk AB = rusuk EF = rusuk HG = rusuk DC
Rusuk BC = rusuk FG = rusuk EH = rusuk AD
Rusuk AE = rusuk BF = rusuk CG = rusuk DH
c. Memiliki 6 buah sisi berbentuk persegipanjang, dengan sisi yang berhadapan
sama besar, sehingga,
sisi ABCD = sisi EFGH
sisi ABFE = sisi CDGH
sisi BCGF = sisi ADHE
3. Persamaan sifat-sifat bangun kubus dan balok
a. Memiliki jumlah sisi yang sama yaitu 6 buah.
b. Memiliki jumlah rusuk yang sama yaitu 12 rusuk.
c. Memiliki jumlah titik sudut yang sama yaitu 8 buah.
4. Perbedaan sifat-sifat bangun kubus dan balok
Tabel 2.2
Perbedaan Sifat-sifat Bangun Kubus dan Balok
Kubus Balok
Setiap rusuk memiliki ukuran panjang yang
sama
Ukuran panjang rusuknya berbeda.
Setiap sisi memiliki ukuran luas yang sama. Pasangan sisi yang saling berhadapan sama
luasnya
Semua sisi berbetuk persegi Bentuk sisi persegipanjang, namun ada yang
sebagian persegi
F D
C
28
5. Jaring-jaring kubus
Jaring-jaring kubus ialah susunan bangun datar persegi yang jika dilipat
menurut ruas-ruas garis pada dua persegi yang berdekatan akan membentuk
bangun kubus. Jaring-jaring bangun kubus terdiri atas enam buah persegi.
Pembelajaran jaring-jaring dalam penelitian ini dengan cara membuka sisi-
sisinya. Guru menyiapkan kubus satuan yang terbuat dari karton, kemudian guru
meminta peserta didik untuk memotong sepanjang garis tepi kotak, namun dengan
syarat tidak boleh ada bagian yang terputus. Seperti pada gambar di halaman
selanjutnya.
Gambar 2.3
Ilustrasi Pemotongan Bangun Kubus
Setelahnya, peserta didik diminta untuk menggambarkan hasil pemotongan
tersebuh dan menunjukkannya kepada peserta didik lainnya agar yang lain
mengetahui bahwa kubus memiliki lebih dari satu jaring-jaring. Berikut ini adalah
beberapa model-model jaring-jaring kubus.
Gambar 2.4
Jaring-jaring Kubus
29
6. Jaring-jaring balok
Jaring-jaring balok ialah gabungan dari beberapa persegipanjang dan persegi
yang membentuk balok. Balok memiliki 54 model jaring-jaring yang merupakan
hasil pengembangan dari jaring-jaring kubus. Sama hal nya dengan pembelajaran
kubus, pembelajaran jaring-jaring balok juga dilakukan dengan cara membuka
sisi-sisi tiap bangun balok. Di bawah ini dapat dilihat ilustrasi pemotongan
bangun ruang balok.
Gambar 2.5
Ilustrasi Pemotongan Bangun Balok
Di bawah ini adalah beberapa contoh jaring-jaring balok tersebut.
Gambar 2.6
Jaring-jaring Balok
E. Pendekatan Pembelajaran Konvensional Ekspositori
1. Pengertian Pendekatan Pembelajaran Konvensional Ekspositori
Selain menggunakan pendekatan generatif, penelitian ini juga menggunakan
pendekatan konvensional di kelas yang berbeda yaitu di kelas kontrol. Hasil dari
30
penerapan pendekatan di dua kelas tersebut, nantinya akan dibandingkan.
Pendekatan konvensional dalam penelitian ini ialah pendekatan yang biasa
dilakukan guru pada saat mengajar, yakni pendekatan konvensional dengan
metode ekspositori. Menurut Sanjaya (2006) metode pembelajaran ekspositori
ialah metode pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi
secara verbal dari seorang guru kepada kelompok peserta didik dengan maksud
agar peserta didik dapat menguasai materi pelajaran secara optimal. Jadi metode
ekspositori lebih menekankan kepada proses menjelaskan materi secara ceramah,
bertanya jawab dan kemudian pemberian latihan soal yang dapat dilakukan
secara individu ataupun kelompok.
2. Langkah-langkah Pembelajaran Konvensional Ekspositori
Pada pelaksanaannya, pendekatan konvensional ekspositori memiliki
tahapan-tahapan. Sanjaya (2006) berpendapat bahwa secara garis besar tahapan-
tahapan pendekatan konvensional ekspositori terdiri dari tahap persiapan, tahap
penyajian, tahap korelasi, tahap menyimpulkan, dan tahap pengaplikasian.
Adapun penjelasan mengenai tahapannya ialah sebagai berikut.
a. Tahap persiapan
Tahap ini ialah tahap untuk mempersiapkan peserta didik untuk belajar.
Pemberian motivasi diberikan pada tahap ini bertujuan agar peserta didik
memiliki minat untuk belajar, memiliki rasa ingin tahu, dan pada tahap ini pula
guru harus menciptakan suasana pembelajaran yang terbuka dan menyenangkan
untuk menarik minat peserta didik agar semangat belajar.
b. Tahap penyajian
Penyajian materi dilakukan oleh guru dengan cara menjelaskan konsep
kepada peserta didik yang dilakukan secara lisan ataupun tertulis. Jika dilakukan
secara lisan, maka yang perlu diperhatikan ialah intonasi suara dan penggunaan
bahasa serta tak lupa gaya penyampaian guru yang menyenangkan agar terhindar
dari kebosanan dan mengantuk.
c. Tahap menghubungkan
Tahap menghubungkan ialah tahap yang dilakukan guru melalui tanya jawab
dengan peserta didik. Hal itu dimaksudkan untuk menyamakan pemahaman
31
peserta didik terhadap suatu materi dengan pemahaman yang seharusnya mereka
mengerti. Pada tahap ini juga terdapat pengaitan materi yang sedang dipelajari
dengan kehidupan sehari-hari dan materi yang sudah peserta didik pelajari
sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas kemampuan
pemahaman peserta didik terhadap materi.
d. Tahap menyimpulkan
Tahap ini dilakukan dengan mengulang inti-inti materi pelajaran dan
melakukan tanya jawab terhadap materi. Tahap menyimpulkan dalam peneltian
ini terdapat sebelum peserta didik diberikan latihan-latihan soal. Biasanya
dilakukan oleh guru dengan membimbing peserta didik untuk mengulang materi
yang sudah tersampaikan. Pengulangan tersebut dilakukan agar tidak terjadi
kesalahan pemahaman tentang materi yang diajarkan, dan agar peserta didik tetap
fokus pada materi yang sedang dipelajari hari itu.
e. Tahap pengaplikasian
Tahap pengaplikasian ialah tahap pemberian latihan soal kepada peserta didik
yang dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana pemahaman peserta didik
pada waktu menyimak konsep pelajaran yang diberikan oleh guru.
3. Keunggulan Pendekatan Konvensional Ekspositori
Pendekatan konvensional tidak selamanya buruk untuk diterapkan, asalkan
guru mampu mengomptimalkan kinerja selama mengajar dengan pendekatan ini.
Pendekatan konvensional dengan metode ekspositori juga memiliki keunggulan
dan kelemahan. Menurut Sakdiah (2012) keunggulan dari pendekatan ini adalah
guru dapat mengontrol urutan dan keluasan materi yang akan diajarkan, waktu
yang dimiliki dapat disesuaikan sehingga biasanya guru yang menggunakan
pendekatan konvensional ekspositori tidak akan terlalu bermasalah dengan waktu
mengajar, dapat diterapkan dalam kelas dengan jumlah peserta didik yang besar,
dan peserta didik dapat mendengar langsung penjelasan materi dari guru.
4. Kelemahan Pendekatan Konvensional Ekspositori
Adapun kelemahan pendekatan konvensional ekspositori masih menurut
Sakdiah (2012) ialah hanya dapat dilakukan pada peserta didik yang memiliki
kemampuan mendengar dan menyimak yang baik, sulit mengembangkan
32
kemampuan dan bakat peserta didik, gaya komunikasi hanya terjadi satu arah
yang didominasi oleh guru, sehingga beresiko menimbulkan kebosanan bahkan
mengantuk pada peserta didik. Adapun sintaks tahapan pendekatan konvensional
ekspositori terhadap materi bangun ruang sederhana dapat dilihat pada Tabel 2.3
yang ada di halaman selanjutnya.
Tabel 2.3
Sintaks Pembelajaran Bangun Ruang dengan Pendekatan Konvensional
Ekspositori
Kegiatan
Pembelajaran
Tahapan Pendekatan
Konvensional Ekspositori
Kegiatan yang Dilakukan
Kegiatan Awal Tahap Persiapan 1. Guru melakukan apersepsi materi
pelajaran melalui tanya jawab bangun
ruang yang sering peserta didik temui
di lingkungan sekitar mereka.
2. Guru mengingatkan peserta didik
terhadap materi bangun datar sebagai
bangun yang membentuk bangun
ruang.
3. Guru menjelaskan tujuan dan langkah
pembelajaran.
Kegiatan Inti Tahap penyajian 4. Guru menyampaikan materi bangun
ruang dengan cara ceramah.
Tahap menyambungkan 5. Guru melakukan tanya jawab terhadap
materi bangun ruang yang sudah
diberikan guru dan meminta contoh
dari materi dalam kehidupan sehari-
hari, agar pemahaman peserta didik
semakin meningkat.
Tahap menyimpulkan 6. Guru mengulang inti-inti materi
pelajaran tentang bangun ruang
bersama dengan peserta didik.
Tahap Aplikasi 7. Guru memberikan latihan soal kepada
peserta didik untuk dikerjakan
kelompok.
8. Guru dan peserta didik membahas
latihan soal tersebut.
Kegiatan Akhir 9. Guru melakukan refleksi pembelajaran
dan mengambil manfaat pembelajaran.
10. Guru menutup pembelajaran hari ini.
F. Pendekatan Pembelajaran Generatif
1. Pengertian dan Konsep Dasar Pendekatan Pembelajaran Generatif
Pendekatan generatif dipilih karena pendekatan ini sesuai dengan materi yang
akan diajarkan dan juga sesuai dengan kemampuan pemahaman matematis.
33
Menurut Hassard (dalam Lusiana, dkk. 2009, hlm. 30) „The generative learning
model is a teaching sequence based on the view that knowledge is contructed by
the learner‟, maksudnya pendekatan generatif adalah suatu pendekatan
pembelajaran yang didasarkan pada suatu pandangan bahwa pengetahuan itu
dikonstruksi oleh peserta didik sendiri atau yang disebut dengan pandangan
kontrukstivisme.
Pendekatan generatif yang dilakukan secara benar oleh guru, dapat
mengembangkan minat peserta didik terhadap pelajaran sehingga mereka aktif.
Menurut Waluya (2009, hlm. 22) “Intisari dari pendekatan generatif bahwa otak
tidak menerima informasi dengan pasif melainkan justru juga aktif
mengkonstruksi suatu interpretasi dari informasi tersebut kemudian membuat
kesimpulan”. Proses konstruksi ini dilakukan dengan cara mengaitkan antara
konsep yang sudah ada dalam struktur kognitif peserta didik dengan konsep yang
akan mereka pelajari. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Wittrock (dalam
Amelia, 2010, hlm. 37) bahwa “Model generatif adalah suatu model pembelajaran
dimana siswa membangun pengetahuan (memperoleh pemahaman) dengan
menghubungkan pengetahuan (pengalaman) yang telah ada sebelumnya dengan
informasi yang baru”. Salahsatu kelebihan dengan adanya pengkonstruksian
pengetahuan yang dilakukan oleh peserta didik, dapat membuat pembelajaran
menjadi lebih efektif, karena peserta didik lah yang mencari, mempelajari
langsung, dan menjelaskan konsep materi yang sedang dipelajari sedangkan guru
sebagai fasilitator. Hal itu sejalan dengan pendapat Eugen dan Kauchak (dalam
Yulianus, 2013) bahwa pembelajaran akan efektif jika peserta didik secara aktif
dilibatkan dalam pengorganisasian dan penemuan informasi (pengetahuan).
Pendekatan generatif bertujuan untuk memperkenalkan konsep materi baru
namun juga dapat memahami konsep materi baru tersebut terhadap apa yang telah
mereka ketahui sebelumnya. Adapun karakteristik pendekatan generatif menurut
Holil (2008) yaitu berpusat pada peserta didik, berlandasan teori konstruktivisme,
peserta didik secara aktif membangun makna dari pembelajaran, pengajaran
dimulai dari masalah-masalah kompleks untuk dipecahkan, adanya
pengelompokkan peserta didik saat pembelajaran, dan didasarkan kepada
pengalaman peserta didik
34
2. Langkah-langkah Pendekatan Pembelajaran Generatif
Menurut Osborne dan Wittrock (dalam Lusiana, dkk. 2009, hlm. 30) „Model
pembelajaran generatif mempunyai empat tahapan, yaitu: (1) the preliminary step
(tahap persiapan), (2) the focus step (tahap menfokuskan), (3) the challenge step
(tahap tantangan), dan (4) the application step (tahap aplikasi)‟. Mengacu dari
empat tahapan Osborne dan Wittrock yang dikutip oleh Lusiana, dkk., Waluya
(2009) juga mengemukakan tahapan pembelajaran generatif menurut Osborne dan
Wittrock, yaitu (1) tahap orientasi, (2) tahap pengungkapan ide, (3) tahap
tantangan dan restrukturisasi, (4) tahap penerapan, dan (5) tahap melihat kembali.
Selanjutnya, terdapat peneliti lain yang mengembangkan tahapan pendekatan
generatif menurut Osborne dan Wittrock yaitu tahapan pendekatan generatif
menurut Khalidin (dalam Hutapea, 2012) yang menyatakan bahwa langkah-
langkah pendekatan generatif terdiri dari enam tahap, yakni tahap orientasi, tahap
pengungkapan ide, tahap tantangan dan restrukturisasi, tahap penerapan, tahap
melihat kembali, dan tahap generalisasi.
Berdasarkan beberapa penjelasan tahapan generatif di atas, tahapan
pendekatan generatif dalam penelitian ini menggunakan tahapan yang
dikembangkan oleh Khalidin, sebab tahapan pendekatannya tertulis secara rinci
namun tetap mengacu kepada empat tahapan menurut Osborn dan Wittrock.
Tahap orientasi, dalam tahap ini peserta didik akan dijelaskan mengenai
serangkaian kegiatan serta tujuan yang akan mereka laksanakan dalam
pembelajaran. Guru melakukan tanya jawaba dengan peserta didik untuk akan
mengetahui pengetahuan awal mereka mengenai materi yang akan dipelajari.
Pengetahuan awal tersebut akan menjadi titik tolak pembelajaran yang akan
dilakukan. Tahap ini juga tahap pemberian motivasi yang diberikan guru.
Tahap pengungkapan ide yaitu tahap ketika guru memperkenalkan suatu
materi kepada peserta didik dan melakukan tanya jawab mengenai materi tersebut.
Dalam tahap ini guru bertugas membangkitkan motivasi peserta didik agar aktif
merespon dan mengungkapkan ide mereka mengenai materi.
Pada tahap tantangan dan restrukturisasi, peserta didik akan diberikan suatu
tantangan. Untuk menemukan penyelesaian konteks masalah, guru membagi
peserta didik ke dalam kelompok-kelompok kecil untuk memudahkan peserta
35
didik dalam menyelesaikan soal-soal tantangan dari guru. Hal ini didasarkan pada
pendapat menurut Slavin (Yulianus, 2013) yakni dalam proses pembelajaran
peserta didik akan lebih mudah dalam memahami konsep-konsep yang sulit
apabila mereka dapat saling mendiskusikannya bersama dengan teman-temannya.
Pada tahap penerapan, peserta didik sudah menemukan cara penyelesaian
masalah yang diberikan guru, lalu cara tersebut diterapkan untuk menyelesaikan
masalah dengan kondisi soal yang lain. Tahap penerapan bisa juga dijadikan
tahapan evaluasi dalam pembelajaran.
Tahap melihat kembali, yaitu tahap ketika peserta didik sudah menyelesaikan
soal-soal yang diberikan oleh guru, kemudian dilajutkan untuk saling memberikan
koreksi mengenai pengerjaan mereka sendiri, sehingga mereka secara mandiri
dapat mengetahui dimana kesalahan mereka.
Tahap generalisasi, yaitu tahap ketika guru membimbing peserta didik untuk
menarik generalisasi dari materi yang sudah dipelajari sekaligus membimbing
peserta didik merangkum serta mengelaborasi pemahaman dan penguasaan
peserta didik terhadap materi yang telah diperoleh.
3. Kelebihan Pendekatan Pembelajaran Generatif
Menurut Imam (dalam Dika, 2013) kelebihan pembelajaran generatif antara
lain (1) pembelajaran generatif memberikan peluang kepada peserta didik untuk
belajar secara kooperatif, (2) merangsang rasa ingin tahu peserta didik, (3)
meningkatkan keterampilan proses, (4) meningkatkan aktivitas belajar peserta
didik, di antaranya dengan bertukar pikiran dengan peserta didik lainnya,
menjawab pertanyaan dari guru melalui tahap pengungkapan ide, berani tampil
untuk mempresentasikan hasil pengerjaannya bersama dengan teman sekelompok.
Selain itu, menurut Hutapea (2012, hlm. 46)
Langkah-langkah yang dikemukakan dalam pendekatan generatif sangat
menguntungkan guru memahami cara berpikir siswa dan membantu
memodifikasi jawaban siswa. Selain itu juga guru dapat mengetahui darimana
dan bagaimana siswa memperoleh jawaban itu. Kesulitan siswa dalam
memahami, mengkomunikasikan ide-ide matematis dan memecahkan
masalah dapat dibantu/difasilitasi oleh guru.
36
Selain itu, pendekatan pembelajaran generatif juga dapat melatih tanggung
jawab pada diri peserta didik untuk bekerjasama dan membantu teman satu
kelompoknya yang mengalami kesulitan.
4. Kekurangan Pendekatan Generatif
Menurut Imam (dalam Dika, 2013) kekurangan yang terdapat dalam
pendekatan generatif ialah memerlukan waktu yang relatif lama. Hal itu
disebabkan pendekatan generatif mengharuskan peserta didik untuk membangun
sendiri pengetahuan mereka, sehingga jika guru tidak membimbingnya
ditakutkan adanya kesalahan konsep pada peserta didik. Oleh karenanya, jika
ingin kekurangan ini dihindari, guru harus banyak berlatih menerapkan
pendekatan generatif di kelas sehingga dapat belajar untuk menyesuaikan alokasi
waktu yang tersedia dengan materi yang hendak diajarkan dan juga saling
bertukar pikiran dengan sesama ahli pendidikan yang lebih memahami
pendekatan pembelajaran generatif. Selain itu, guru dapat membimbing peserta
didik dalam mengaitkan hubungan materi yang sedang dipelajari dengan materi
sebelumnya yang ada pada tahap tantangan dan tahap pengungkapan ide agar
tidak memakan waktu yang terlalu lama bagi peserta didik dalam menyelesaikan
tugas-tugas dari guru.
5. Sintaks Pembelajaran dengan Pendekatan Generatif
Tahapan pembelajaran yang menjadi sintaks pendekatan generatif pada
penelitian ini ialah tahapan-tahapan pendekatan generatif menurut Osborn dan
Wittrock yang dikembangkan oleh Khalidin yakni, tahap orientasi, tahap
pengungkapan ide, tahap tantangan dan restrukturisasi, tahap penerapan, tahap
melihat kembali, dan tahap generalisasi.
Ketujuh tahap itu diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemahaman
matematis peserta didik pada materi bangun ruang sederhana dan jaring-
jaringnya. Adapun dalam penelitian ini, tahap orientasi dan pengungkapan ide
terdapat di kegiatan awal. Pada kegiatan inti, tahapan pembelajaran yang
dilakukan ialah tahap tantangan & restrukturisasi, tahap penerapan, dan tahap
melihat kembali, sedangkan pada kegiatan akhir ialah tahap generalisasi atau
37
menaruk kesimpulan. Penggambaran sintaks pembelajaran bangun ruang
menggunakan pendekatan generatif dapat dilihat di bawah ini.
Tabel 2.4
Sintaks Pembelajaran Bangun Ruang dengan Pendekatan Generatif
Tahapan
Pembelajaran
Tahapan Pendekatan
Generatif
Kegiatan yang dilakukan
Kegiatan Awal Tahap Orientasi 1. Guru melakukan apersepsi dengan menanyakan bentuk bangun ruang yang
sering mereka temukan di lingkungan sekitar.
2. Guru mengaitkan konsep materi yang akan dipelajari peserta didik dengan konsep dalam
matematika yang sudah peserta didik pelajari
sebelumnya.
Tahap Pengungkapan Ide
3. Guru melakukan tanya jawab secara mendalam mengenai konsep materi yang
sudah peerta didik terima agar guru mampu
mengetahui sampai sejauh mana pengetahuan
awal peserta didik melalui pengungkapan ide
mereka, serta mengaitkannya dengan konsep
yang akan mereka pelajari.
Kegiatan Inti Tahap Tantangan dan
Restruksturisasi
1. Peserta didik dibagi dalam kelompok.
2. Guru memberikan tantangan permasalahan yang akan dipecahkan oleh masing-masing
kelompok. Tantangan yang diberikan ialah
menganalisis sendiri sifat-sifat bangun ruang.
3. Guru berkeliling, membimbing sekaligus mengawasi setiap kelompok untuk melakukan
inquiry.
4. Setelah waktu habis, siswa akan maju untuk mempresentasikan hasil diskusinya.
5. Guru mengarahkan peserta didik untuk aktif bertanya, memberikan pendapat, berkomentar
dalam diskusi kelas.
Tahapan Penerapan 6. Peserta didik dibagikan lembar soal mengenai materi hari ini untuk dikerjakan secara
mandiri untuk menerapkan pemahaman
mereka pada soal-soal.
Tahapan Melihat
Kembali
7. Hasil pengerjaan lembar soal dibahas secara bersama-sama oleh guru, sehingga peserta
didik dapat melihat kembali penjelasan
jawaban yang benar, sehingga mereka dapat
mempelajari kembali jawaban mereka dan
jawaban yang benar.
Kegiatan Akhir Tahapan Generalisasi 1. Mengarahkan peserta didik untuk menarik kesimpulan pembelajaran dan membuat
intisari kesimpulan berdasarkan pada solusi
peserta didik setelah diskusi kelas.
38
G. Hubungan Pendekatan Generatif dengan Kemampuan Pemahaman
Matematis
Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pendekatan generatif cocok untuk
meningkatkan kemampuan pemahaman matematis. Hal tersebut dapat dilihat dari
pengertian menurut Waluya (2009) bahwa pendekatan generatif ialah pendekatan
yang menjelaskan bahwa otak tidak menerima informasi dengan pasif melainkan
justru juga aktif mengkonstruksi suatu interpretasi dari informasi dan kemudian
membuat kesimpulan dengan cara pengaitan antara pengetahuan yang sudah ada
dalam struktur kognitif peserta didik dengan pengetahuan yang sedang mereka
pelajari. Pengaitan tersebut, dilakukan tentu saja untuk membimbing peserta
didik agar memahami secara mendalam tentang konsep suatu materi dalam
jangka panjang. Hal itulah yang menjadikan pendekatan generatif cocok untuk
meningkatkan kemampuan pemahaman matematis.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya pada Bab I (hlm. 7) bahwa jenis
pemahaman matematis yang akan digunakan ialah pemahaman menurut
Pollatsek, yakni pemahaman komputasional dan pemahaman fungsional.
Pemahaman komputasional erat kaitannya dengan kemampuan peserta didik
dalam mengingat materi dan mengaplikasikan konsep dalam penyelesaian
masalah, sedangkan pemahaman fungsional erat kaitannya dengan pengaitan
antar konsep pengetahuan. Kedua jenis kemampuan pemahaman ini kemudian
dikembangkan menjadi indikator untuk menjadi petunjuk pencapaian pemahaman
peserta didik terhadap materi bangun ruang sederhana dan jaring-jaringnya.
H. Perbedaan Pendekatan Generatif dengan Pendekatan Konvensional
Ekspositori
Pendekatan generatif dan pendekatan konvensional ekspositori ialah
pendekatan yang dapat diterapkan dalam melakukan pembelajaran dan
merupakan dua pendekatan yang diterapkan dalam penelitian ini. Pada
pendekatan generatif, karena pusat pembelajaran yaitu peserta didik, maka
penyampaian materi dikonstruksi sendiri oleh peserta didik. Guru hanya bertugas
sebagai moderator, fasilitator, motivator, manajer, dan evaluator. Berbeda dengan
pendekatan konvensional yang menjadikan guru sebagai pusat pembelajaran.
Materi dipelajari oleh peserta didik dengan cara diberikan langsung oleh guru
39
dengan cara ceramah. Peserta didik tidak mengembangkan sendiri
kemampuannya, sumber belajar hanya guru. Meskipun kelima tugas guru
tersebut tetap ada dalam pendekatan konvensional ekspositori namun,
penerapannya tidak begitu optimal. Adapun dalam penelitian ini, perbedaan
penjelasan mengenai tahap-tahap pembelajaran antara pendekatan generatif
dengan pendekatan konvensional ekspositori dapat dilihat pada Tabel 2.5 di
bawah ini.
Tabel 2.5
Perbedaan Tahapan Pembelajaran Pendekatan Generatif dengan
Pendekatan Konvensional
Kegiatan Awal
Tahapan
Pendekatan
Generatif
Kegiatan Pembelajaran Tahapan
Konvensional
Ekspositori
Kegiatan
Pembelajaran
1. Tahap Orientasi Guru melakukan apersepsi dan
menyampaikan tujuan pembelajaran
serta langkah-langkah
pembelajaran.
1. Tahap Persiapan Guru melakukan
apersepsi dan
menyampaikan
tujuan pembelajaran
serta langkah-
langkah
pembelajaran
2. Tahap
pengungkapan
ide
Guru mengaitkan konsep materi
pelajaran dengan konsep terdahulu
yang sudah peserta didik terima.
Kegiatan Inti
3. Tahap
Tantangan dan
restrukturisasi
Guru membagi peserta didik ke
dalam kelompok dan memberikan
tantangan kepada tiap kelompok
untuk menemukan konsep pelajaran
yang sedang dipelajari.
2. Tahap Penyajian Guru menjelaskan
informasi materi
secara lisan atau
tulisan kepada
peserta didik
4. Tahap
Penerapan
Guru memberikan latihan soal
sebagai bentuk penerapan dan
penguatan pemahaman peserta
didik terhadap materi pelajaran.
Tahap penerapan ini dilakukan
peserta didik secara individu.
3. Tahap
Menyambungkan.
Guru melakukan
tanya jawab dengan
peserta didik
mengenai materi
pelajaran
5. Tahap Melihat
Kembali
Guru melakukan koreksi bersama
dengan peserta didik terhadap hasil
pengerjaan latihan, sehingga
masing-masing peserta didik dapat
melihat kesalahan jawaban mereka
4. Tahap
menyimpulkan
Guru mengulang
inti-inti materi
pelajaran untuk
memastikan peserta
didik benar-benar
paham.
5. Tahap aplikasi Guru memberikan
latihan soal
mengenai materi
pelajaran.
Kegiatan Akhir
6. Tahap
Generalisasi
Guru membimbing peserta didik
untuk menyimpulkan pembelajaran
hari ini dan bertanya mengenai
manfaat pembelajaran
40
I. Hasil Penelitian yang Relevan
Hasil penelitian Lusiana dkk, dkk. (2009) yang berjudul “Penerapan Model
Pembelajaran Generatif (MPG) untuk Pelajaran Matematika di Kelas X SMA
Negeri 8 Palembang yang telah dianalisis, didapat temuan-temuan sebagai
berikut.
1. Pada tahap persiapan yang terdapat pada awal kegiatan inti, terlihat peserta
didik memiliki banyak ide melalui serangkaian pertanyaan dari guru.
Semakin banyak pertanyaan yang diajukan, semakin banyak pula ide-ide
yang diajukan oleh peserta didik.
2. Pada tahap pemfokusan, motivasi belajar peserta didik terlihat ketika
mengkonstruksi pengetahuannya melalui fasilitas belajar yang sudah guru
siapkan seperti LKS.
3. Pada tahap tantangan, terdapat sharing idea yaitu saat guru memberikan
waktu untuk peserta didik saling berdiskusi.
4. Pada tahap aplikasi, peserta didik jadi lebih mudah menggunakan konsep
yang baru setelah mereka dapat mengaitkan sendiri hubungan antara konsep
yang telah mereka pelajari dengan yang sedang dipelajari. 51
Hasil yang diperoleh penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan model
pembelajaran generatif untuk pelajaran matematika di kelas X dapat
meningkatkan ketuntasan belajar dari sebelumnya. Hal ini didasarkan pada hasil
penelitian pada kelas eksperimen yaitu kemampuan prasyarat rata-rata 56,2
dengan standar deviasi 21,2 setelah dilakukan penerapan model pembelajaran
generatif menghasilkan rata-rata hasil belajar 76,3 dengan standar deviasi 15,2.
Dilihat dari hasil belajar tersebut, berarti penerapan model pembelajaran generatif
dikatakan berhasil.
Hasil penelitian Chujaemah, dkk (2012) yang berjudul “Penggunaan
Pendekatan Konstruktivisme dalam Peningkatan Hasil Belajar Matematika Siswa
Kelas IV Materi Bangun Ruang” didapat gambaran bahwa penggunaan
pendekatan kontruktivisme dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik pada
materi bangun ruang di setiap siklusnya. Metode yang dilakukan ialah penelitian
tindakan kelas pada peserta didik kelas IV. Peningkatan hasil yang disebutkan di
atas dapat dilihat dari hasil pengerjaan soal-soal dalam bentuk tes tertulis di tiap
41
siklusnya. Pada nilai awal diperoleh nilai rata-rata kelas yaitu 52. Setelah
dilakukan tindakan siklus I terjadi peningkatan menjadi 63,2 dan dengan tindakan
siklus II terjadi peningkatan kembali menjadi 80, sedangkan pada siklus III terjadi
peningkatan kembali menjadi 90. Jadi dapat disimpulkan bahwa pendekatan
konstruktivisme dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik terhadap materi
bangun ruang di kelas IV. Meningkatnya hasil belajar peserta didik menunjukkan
bahwa pemahaman peserta didik pada materi bangun ruang makin bertambah.
Pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran konstruktivisme itu sejalan
dengan pembelajaran menggunakan pendekatan generatif karena pendekatan
generatif dilandasi oleh teori konstruktivisme. Oleh karenanya pendekatan
generatif diharapkan dapat juga meningkatkan kemampuan pemahaman.
Pada penelitian yang dilakukan Amelia (2010) dengan judul Pengaruh Model
Pembelajaran Generatif terhadap Kemampuan Koneksi Matematis Siswa
didapatkan hasil bahwa rata-rata kemampuan koneksi matematis peserta didik
pada kelompok eksperimen yang menggunakan pendekatan generatif lebih tinggi
dibandingkan dengan kemampuan koneksi matematis peserta didik yang
menggunakan pendekatan konvensional. Metode yang digunakan ialah kuasi
eksperimen pada di kelas X SMAN I Tirtayasa Serang.
Pertemuan pertama pada kelas eksperimen, peserta didik yang pintar
cenderung untuk mengerjakan latihan dari guru sendirian, sedangkan pada waktu
untuk menjelaskan di depan teman-temannya, mereka tidak mau karena malu.
Namun, pada pertemuan kedua dan ketiga sedikit demi sedikit perubahan terlihat,
peserta didik sudah mau menyelesaikan latihan soal secara bersama-sama, sudah
tidak malu lagi untuk tampil di depan kelas, sudah tidak malu lagi untuk bertanya
atau mengajukan pendapat. Pembelajaran seperti ini berbeda dengan kelas yang
memakai pendekatan konvensional, yang mana pada pertemuan satu sampai
pertemuan tiga hanya didominasi oleh ceramah guru, akibatnya pembelajaran
menjadi kurang efektif. Berdasarkan hasil tes kemampuan koneksi matematis
peserta didik dapat diketahui bahwa pembelajaran yang menggunakan pendekatan
generatif memiliki rata-rata kemampuan koneksi matematika sebesar 48,94,
sedangkan hasil tes kemampuan koneksi matematis peserta didik pada kelas
kontrol yang memakai pendekatan konvensional memiliki rata-rata 33,59.
42
Diharapkan hasil peningkatan dengan menerapkan pendekatan generatif pada
materi yang berbeda dapat juga meningkatkan pemahaman dan hasil rata-rata
belajar peserta didik.
J. Hipotesis
Rumusan hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Pembelajaran konvensional ekspositori dapat meningkatkan kemampuan
pemahaman matematis peserta didik pada materi bangun ruang sederhana dan
jaring-jaringnya.
2. Pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan generatif dapat
meningkatkan kemampuan pemahaman matematis peserta didik pada materi
bangun ruang sederhana dan jaring-jaringnya.
3. Peningkatan kemampuan pemahaman matematis peserta didik yang
mengikuti pembelajaran generatif lebih baik dibandingkan dengan peserta
didik yang mengikuti pembelajaran konvensional ekspositori pada materi
bangun ruang sederhana dan jaring-jaring bangun ruang sederhana.