Post on 26-Jul-2018
8
BAB II
EKSPLORASI ISU BISNIS
2.1. Conceptual Framework
Suatu sistem penelitian memiliki beberapa rangkaian proses yang terdiri
dari langkah-langkah yang terencana, terstruktur dan sistematis, yang pada
akhirnya nanti akan mendapatkan suatu pemecahan permasalahan terbaik terhadap
masalah yang dihadapi. Dalam mempermudah proses pencapaian tujuan dalam
penelitian ini, maka diperlukan adanya suatu conceptual framework (kerangka
pemecahan masalah). Adapun kerangka sistem pemecahan masalah yang akan
dikaji di dalam penelitian ini terdapat dalam Gambar 2.1 berikut ini.
SIXSIGMA
Produk Ballast
Domestik
External BusinessEnvironment
(Porter 5 Forces)
- Bahan Baku- Proses Produksi- Produk Setengah Jadi- Produk Jadi
Internal BusinessEnvironment
(SWOT Analysis)
Proses Inspeksi
Peta Proses Operasi
Bahan Baku
Business Environment
ImprovePhase
MeasurePhase
DefinePhase
ControlPhase
AnalyzePhase
- Identifikasi Masalah/ Cacat Produk
- Peta Kontrol (Control Chart)- Pengukuran Kemampuan Proses (Process Capability)- Menentukan CTQ (Critical To Quality)- Perhitungan (DPO,DPMO,Sigma Level)
- Analisis Kapabilitas Melalui Performansi Kualitas proses- Mencari Penyebab Permasalahan dengan Interrelationship Diagraph- Identifikasi Faktor Penyebab Kecacatan Yang Mendapat Prioritas (PFMEA)
- Identifikasi Usulan Pengambilan Keputusan Mengenai Solusi Perbaikan
- Pemetaan Performansi Kualitas Melalui Peta Kontrol (Control Chart)- Perhitungan Performansi Proses (Process Capability)- Perhitungan (DPO,DPMO,Sigma Level)- Uji Verifikasi
Sistem Pengendalian
Mutu Perusahaan
Gambar 2.1 Conceptual Framework
9
2.2. External/Business Environment
Faktor eksernal merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
perkembangan lajunya perusahaan. Dengan Porter’s Five Forces perusahaan
dapat menggambarkan keadaan perusahaan dari sisi lingkungan eksternal yang
juga dapat menjelaskan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi bisnis tersebut.
Faktor-faktor eksternal mencakup competitor, new entrance, buyers, substitute
product, dan suppliers. Hal tersebut dilihat pada Gambar 2.2.
COMPETITOR/ RIVALRYPhilips
BallastronBASE
Nasional
THREAT FOR NEW ENTRANTS
- Product differentiation - Product High Tech and Inovation - Access Distribution
BARGAININGPOWER OF SUPPLIERS
- Low Bargain Power - Materials,parts, components,and other resources
Political, Environment, Social, Technology and Natural Resource
BARGAININGPOWER OF BUYERS
- Customer - High Bargain Power
THREAT FOR SUBTITUTE PRODUCT
- Energy Saving Lamp
Gambar 2.2 Porter’s Five Forces
2.2.1. Rivalry
Pesaing utama yang dihadapi perusahaan Nikkatsu dalam memasarkan produk
Ballast Domestik yaitu : Phillips, Ballastron, BASE, dan Nasional. Hingga saat
ini para pesaing tersebut berkompetisi untuk mengadaptasi teknologi tercanggih
dan berlomba untuk meningkatkan kualitas produknya.
2.2.2. Threat for New Entrants
Terdapat beberapa Faktor yang menjadi penghalang untuk para pendatang baru
dalam memasuki industri kelistrikan yaitu:
10
1. Product differentiation
Membedakan produk yang ditawarkan kepada konsumen merupakan tahapan
pertama yang harus dilakukan oleh para pendatang baru dan hal tersebut
menjadikan suatu hambatan bagi para pendatang baru untuk menghadapi
produk yang sudah ada.
2. High Techology and Innovation
Untuk memasuki Industri kelistrikan yang berbasis teknologi tinggi, maka
para pendatang baru harus bisa mengadopsi teknologi yang lebih baru dan
Inovasi yang berkesinambungan, karena konsumen akan semakin
membutuhkan suatu teknologi yang efektif dan efisien. Dengan adanya suatu
teknologi dan daya inovatif yang tinggi maka akan berdampak pada
ketersediaan modal yang akan dikeluarkan oleh perusahaan pendatang untuk
mengadopsi teknologi tersebut.
3. Access Distribution
Pendatang baru harus memiliki saluran distribusi yang banyak dan tepat,
terlebih lagi produk ini ditujukan tidak hanya bagi pelanggan individu
(consumer) namun juga bagi pelanggan bisnis (corporate). Dalam hal ini jika
jumlah saluran distribusi seperti wholesaler dan retail terbatas, maka akan
lebih sulit bagi perusahaan pendatang baru untuk dapat memasuki industri
peralatan lampu ini.
2.2.3. Bargaining Power of Buyers
Pihak yang merupakan pembeli (buyers) atau yang menggunakan Produk dari
Nikkatsu yaitu Consumer dan Corporate. Bargaining power konsumen untuk
produk di sektor kelistrikan cenderung mempunyai level yang tinggi sehubungan
dengan banyaknya kompetitor yang bermain di sektor kelistrikan tersebut.
2.2.4. Bargaining Power of Suppliers
Supplier merupakan pihak yang berfungsi sebagai pengadaan material dan
komponen bagi perusahaan dalam hal ini supplier mempunyai bargaining power
yang rendah karena supplier sudah terlalu banyak yang masuk ke perusahaan
untuk menawarkan baik supplier dari domestik dan supplier dari luar negeri.
11
Karena produk yang diproduksi sebagian besar sesuai dengan stok yang harus
diproduksi maka supplier yang dipilihnya pun berbeda-beda untuk setiap produk
yang dipesan.
2.2.5. Substitute Product
Produk pengganti (substitute products) untuk produk Tafo Ballast yang
ditawarkan perusahaan saat ini akan semakin banyak kemungkinan yang terjadi,
hal tersebut seiring dengan semakin tingginya teknologi yang semakin
berkembang dan mempermudah konsumen. LHE (Lampu Hemat Energi)
merupakan salah satu produk inovasi yang lebih effektif dan effisien yang akan
menjadikan sebagai produk pengganti untuk Trafo Ballast.
2.3. Analisis SWOT
Analisis SWOT digunakan untuk melihat faktor internal dalam perusahaan dan
dapat juga dijadikan suatu tolak ukur bagi perusahaan untuk memantau laju
perkembangan perusahaan. Dengan analisis SWOT perusahaan dapat
menggambarkan keadaan perusahaan dari sisi Kekuatan (Strength) yang dimiliki
perusahaan, Kelemahan (Weakness) yang dimiliki perusahaan, Kesempatan
(Opportunity) yang dimiliki perusahaan, dan Ancaman (Threat) yang mungkin
akan terjadi pada perusahaan. Hasil analisis SWOT yang akan dijelaskan secara
rinci dibawah ini merupakan hasil dari diskusi dengan pihak perusahaan.
2.3.1. Strengths
Kekuatan perusahaan merupakan modal utama untuk menghadapi persaingan
dengan kompetitor. Kekuatan-kekuatan yang dimiliki perusahaan yaitu:
1. Tersedianya saluran distribusi untuk domestik dan ekspor
PT. Nikkatsu sudah lama berdiri dari tahun 1971 di Indonesia, tentu saja
perusahaan tersebut telah mempunyai saluran distribusi yang cukup banyak
untuk memasarkan produknya di Indonesia dan di luar negeri seperti Jepang
dan Saudi Arabia. Hal tersebut merupakan salah satu kekuatan yang dimiliki
perusahaan untuk memasarkan seluruh produknya.
12
2. Mempunyai Line Product yang banyak
Jenis produk yang terdapat dipasaran bervariasi sehingga konsumen dapat
memilih produk yang sesuai dengan kebutuhannya.
3. Kualitas Bahan Baku
Sebagian bahan baku untuk pembuatan Trafo Ballast berasal dari Jepang yang
mempunyai kualitas yang baik, seperti Steel Plate (Plat Baja) digunakan untuk
membuat case yang kuat dan tahan lama.
4. Harga Competitive
Harga produk yang ditetapkan untuk dipasarkan sejajar dengan harga yang
ditetapkan kompetitor, hal tersebut dilakukan untuk melakukan persaingan
dengan kompetitor dari segi harga. Selain itu dengan menetapkan harga
tersebut dapat menjadi suatu alasan penting untuk menarik konsumen.
2.3.2. Weaknesses
Kelemahan merupakan faktor yang dapat memberikan nilai negatif bagi
perusahaan, dan faktor tersebut harus segera ditanggulangi agar bisa tetap
bersaing dengan kompetitor lainnya. Kelemahan-Kelemahan yang dimiliki
perusahaan saat ini :
1. Promosi
Kegiatan promosi yang yang dilakukan oleh perusahaan saat ini belum begitu
optimal, sebagai buktinya bahwa masyarakat secara luas belum mengenali
dengan baik merek dagang “sinar”.
2. Adaptasi Teknologi
Adaptasi teknologi harus secara berkala disesuaikan, teknologi yang di adopsi
perusahaan cenderung lambat sehingga mengakibatan keterlambatan dalam
proses inovasi produk ke arah yang lebih canggih.
2.3.3. Opportunities
Agar dapat memenangkan suatu persaingan dalam menjalankan bisnisnya,
perusahaan harus dapat melihat secara cermat kesempatan-kesempatan yang
mungkin terjadi untuk memenangkan suatu persaingan, Kesempatan-kesempatan
yang dapat ditempuh perusahaan yaitu :
13
1. Perluasan Sistem Distribusi
Perluasan sistem distribusi merupakan suatu kesempatan bagi PT.Nikkatsu
untuk menjadikannya lebih fokus. Dengan mengandalkan sistem distribusi
yang telah ada maka perusahaan seharusnya berusaha untuk lebih memperluas
lagi jaringan distribusinya sampai ke pelosok Indonesia.
2. Pengembangan Produk (Inovasi)
Untuk menjadikan produk PT. Nikkatsu sebagai market leader, maka harus
peka terhadap perkembangan konsumen dengan melakukan inovasi dan
peningkatan kualitas terhadap produk.
3. Promosi
Kegiatan promosi merupakan salah-satu kegiatan yang vital dalam kegiatan
perusahaan, dimana kegiatan promosi merupakan kegiatan yang bertujuan
untuk mengenalkan produk ke masyarakat secara luas. Promosi dapat
dilakukan dengan lebih rutin atau berkala serta dilakukan dengan lebih jelas
lagi dengan membawa brand image “sinar” untuk menarik kosumen.
2.3.4. Threats
Ancaman merupakan faktor yang harus diwaspadai oleh perusahaan dalam
menjalankan bisnisnya, Ancaman yang akan terjadi datang dari kompetitor baru
yaitu perusahaan-perusahaan yang berasal dari Negara Korea dan China yang
menyediakan produk-produk peralatan listrik yang lebih murah dari produk
Nikkatsu.
2.4. Mekanisme Kerja Perusahaan
Untuk melihat aktivitas perusahaan selama terjadinya order sampai produk
tersebut siap untuk dikirimkan ke konsumen akan digambarkan pada gambar 2.3.
Mekanisme alur kerja perusahaan diawali pada saat bagian pemasaran
memperoleh data yang harus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan konsumen,
kemudian bagian pemasaran memberikan laporan mengenai jumlah yang harus di
produksi. Bagian laboratorium teknik berperan serta dalam penelitian pembuatan
produk baru, pembelian bahan baku yang akan digunakan selama berproduksi dan
melaporkan biaya yang harus disiapkan ke bagian keuangan. Bahan baku yang
14
diperoleh bisa didapatkan dari supplier lokal maupun luar negri, setelah bahan
baku tersebut dipesan kemudian dilakukan pemeriksaan dibagian inspection
material, jika terdapat bahan baku yang dianggap cacat maka bahan baku tersebut
dikembalikan kepada supplier dan jika bahan baku tersebut layak untuk
diproduksi maka bahan tersebut bisa langsung diproses di bagian produksi.
Pemasaran
Laboratorium & Teknik
Pembelian Bahan
Keuangan
Akunting
Teknisi Advisor
Master of Planning Control
Factory Manager
EkspedisiProduksi
Konsumen
Konsumen
Suplier LokalImpor
Incoming Material Inspection
Bahan BaikTidak
Ya
Suplier Luar NegriYa
Tidak
Fasilitas BAPEKSTA
Produk Baru
Gambar 2.3 Mekanisme Kerja Perusahaan
15
2.5. Produk (Trafo Ballast Domestik)
Ballast merupakan bagian komponen yang digunakan untuk perlengkapan lampu
neon, fungsi dari ballast tersebut yaitu sebagai pengatur tegangan listrik dan
memberikan penerangan terhadap lampu.
Gambar 2.4 Produk Ballast Domestik
Pada bagian dalam produk ballast, terdapat beberapa penggabungan dari berbagai
bagian/ part seperti bagian Terminal, Core E, Kabel, Hasil Solder, Lilitan kawat
pada Bobbin dan Case sebagai penutup. Untuk lebih jelas lagi bagian dalam dari
produk ballast dapat dilihat secara lengkap pada gambar 2.5 di bawah ini:
Bobbin
Core E
Terminal
Core E
CaseCase
Solder
Kabel
Lilitan Kawat
Gambar 2.5 Bagian dalam Produk Ballast TB 210 (Sumber : Bagian Quality Control di PT. Nikkatsu)
16
2.5.1. Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan pada pembuatan produk ballast terdiri dari steel plate
(plat baja), bobbin, kawat, kabel, lem, varnish, label, timah dan terminal.
1. Steel Plate (Plat Baja)
Steel Plate (Plat baja) digunakan untuk pembuatan Core, Case dan Terminal
yang akan diproses melalui mesin press. Untuk bahan baku seperti plat baja
standar kriteria pemilihan bahan lebih ditekankan pada dimensi (ukuran) dan
jenis bahan. Dimensi ukuran yang digunakan seperti panjang, lebar dan tebal
plat baja, sedangkan untuk bahan dibutuhkan bahan yang kuat dan anti
korosif.
2. Bobbin
Bobbin digunakan sebagai tempat untuk melilitkan kawat yang terbuat dari
bahan plastik. Untuk bahan baku bobbin standarisasi pemilihan ditekankan
pada dimensi (ukuran), Jenis bahan yang kuat dan tidak mudah mengkerut,
dan warna dasar plastik berwarna putih.
3. Kawat
Untuk bahan baku seperti kawat standarisasi pemilihan ditekankan pada
dimensi (ukuran) ketebalan yang akan digunakan sesuai dengan kebutuhan
serta jenis bahan kawat yang tentunya jenis bahan yang baik untuk
menghantarkan arus listrik.
4. Kabel
Untuk bahan baku kabel digunakan standarisasi pemilihan yang ditekankan
pada dimensi (ukuran) ketebalan kawat yang akan digunakan sesuai dengan
kebutuhan serta jenis bahan kawat yang tentunya jenis bahan yang baik untuk
menghantarkan arus listrik dan jenis bahan karet yang tahan lama.
5. Lem
Lem digunakan untuk menggabungkan suatu part, untuk itu kriteria pemilihan
untuk bahan baku seperti lem harus mempunyai viskositas yang baik agar part
yang telah digabungkan tidak mudah lepas atau rusak. Untuk warna dipakai
warna yang netral untuk memberikan nilai tambah secara visual.
17
6. Varnish
Untuk Bahan baku seperti Varnish kriteria pemilihan ditekankan pada warna
dan tingkat viskositas.
7. Label
Label digunakan sebagai lambang atau identitas pembuat produk, untuk itu
kriteria, pemilihan bahan untuk label ditekankan pada dimensi (ukuran), jenis
kertas yang digunakan, dan warna untuk membedakan dengan produk yang
lain.
8. Timah
Timah digunakan untuk proses penyolderan, untuk itu kriteria pemilihan yang
ditekankan yaitu pada jenis bahan, warna, dan tingkat viskositas yang baik
agar hasil proses penyolderan tidak mudah lepas dan dapat menghantarkan
arus listrik dengan baik.
9. Terminal
Terminal terbuat dari bahan plastik berwarna putih yang digunakan untuk
menutupi C&C (hasil penggabungan core E dengan Core I atau core E dengan
Core E yang telah dilapisi dengan tape pembungkus). Kriteria pemilihan pada
jenis bahan baku terminal yaitu pada ukuran terminal yang telah ditentukan
spesifikasinya, jenis bahan, dan warna bahan.
2.5.2. Proses Pembuatan produk
Proses pembuatan ballast dari mulai bahan baku sampai dengan produk jadi dapat
digambarkan pada peta proses operasi, dimana pada peta tersebut dapat
didapatkan beberapa informasi mengenai proses-proses yang terlibat dalam
pembuatan produk, waktu tiap-tiap proses, material yang digunakan, tempat dan
alat yang digunakan. Pada gambar 2.6 dapat dilihat secara lengkap proses
pembuatan produk ballast dari mulai bahan baku sampai produk tersebut jadi dan
dikirimkan ke bagian gudang.
1. Proses Winding (O-1)
Proses winding adalah proses melilitkan kawat pada bobbin, mesin yang
digunakan pada proses winding adalah mesin semi otomatis jenis MT 880.
18
Proses ini dikerjakan oleh mesin di mana apabila masih ada kawat pada mesin,
maka mesin akan melilitkan kawat secara otomatis ke bobbin.
2. Proses Kupas Email (O-2)
Setelah kawat selesai dililitkan pada bobbin, kemudian diselotip. Setelah itu
dilakukan proses kupas email dimana kupas email adalah proses
menghilangkan lapisan luar kawat. Proses kupas email dikerjakan dimeja
perakitan dan dilakukan dengan cara manual dengan menggunakan alat bantu.
3. Proses Press Core E (O-3)
Proses press digunakan pada pembuatan Core E dan case (Case atas dan Case
bawah), bahan baku yang digunakan pada proses operasi ini yaitu steel plate.
Jenis mesin yang digunakan pada proses press yaitu jenis mesin ISIS dan
mesin Komatsu.
4. Proses Inserting/Assembly 1 (O-4)
Setelah dilakukan proses kupas email, selanjutnya dilakukan penggabungan
antara Coil (Bobbin yang sudah dililit dengan kawat dan sudah dilakukan
kupas email) dengan Core E disebut ½ Core, proses penggabungan dilakukan
dengan menggunakan lem pada bagian Core dan Coil.
5. Proses Soldering (O-5)
Setelah proses penggabungan ½ Core dengan Core E selesai, kemudian
dilakukan proses soldering dengan melakukan pemasangan terminal terlebih
dahulu (menjadi C&C). Proses soldering dilakukan untuk menyambungkan
bagian kawat yang telah dikupas emailnya sebagian dengan bagian terminal.
6. Proses Test Ampere Tanpa Case (O-6 & I-1)
Setelah proses soldering selesai dilakukan kemudian dilakukan proses Test
Ampere dan pemeriksaan pada C&C. Proses Test Ampere dilakukan pada
mesin Test Meter dengan cara menempelkan ujung kabel Test Meter ke bagian
hasil solderan pada bagian terminal. Proses Test Ampere dilakukan untuk
mengetahui besaran ampere yang terjadi pada C&C setelah dilakukan
beberapa proses sebelumnya.
7. Proses Press Case Atas (O-7) dan Proses Press Case Bawah (O-8)
Proses press digunakan pada pembuatan core dan case (Case atas dan Case
bawah), bahan baku yang digunakan pada proses operasi ini yaitu steel plate.
19
Jenis mesin yang digunakan pada proses press yaitu jenis mesin ISIS dan
mesin Komatsu.
8. Proses Inserting/Assembly 1 (O-9)
Setelah proses Test Ampere selesai dilakukan kemudian selanjutnya dilakukan
proses penggabungan antara C&C dengan Case (atas dan bawah). Proses
penggabungan tersebut dilakukan dengan menggunakan lem pada bagian
permukaan dalam Case (atas dan bawah).
9. Proses Melipat Kasime (O-10)
Untuk menguatkan proses penggabungan (C&C dengan Case) dilakukan
proses melipat kasime. Kasime adalah bagian pada Case yang fungsinya
sebagai pengunci antara case atas (penutup) dengan case bawah dengan cara
membengkokkan bagian kasime. Proses melipat kasime dilakukan di meja
perakitan.
10. Proses Test Ampere Memakai Case (O-11 & I-2)
Setelah proses penggabungan Case selesai dilakukan kemudian dilakukan
proses Test Ampere dan pemeriksaan. Proses Test Ampere dikerjakan pada
mesin Test Meter dengan cara menempelkan ujung kabel Test Meter ke
bagian hasil solderan pada terminal. Proses Test Ampere dilakukan untuk
mengetahui besaran ampere yang terjadi setelah dilakukan proses
penggabungan Case.
11. Proses PreOven (O-12)
Setelah proses Test Ampere dengan memnggunakan case selesai dilakukukan,
kemudian dilakukan proses PreOven pada ballast yang fungsinya untuk
mengeringkan lem pada bagian permukaan Case dalam.
12. Proses Varnish (O-13)
Setelah proses PreOven dilakukan kemudian ballast didinginkan terlebih
dahulu, setelah temperaturnya turun kemudian dilakukan proses varnish pada
ballast. Proses varnish dilakukan pada mesin varnish, mesin varnis dapat
menampung 14 jala. Operator sesekali harus memeriksa kadar varnis dalam
mesin (dapat dilakukan selama proses vernis berjalan), serta mengawasi
mesin, misalnya menghentikan mesin bila ada ballast yang terjatuh dari
hanger. Proses dalam mesin varnis sendiri berjalan berkesinambungan, artinya
20
setiap ada satu hanger keluar, maka satu hanger berikutnya dapat langsung
dimasukkan ke mesin varnis.
13. Proses Oven (O-14)
Setelah proses varnish selesai, kemudian dilakukan proses Oven pada ballast
yang fungsinya untuk mengeringkan varnish pada ballast. Oven memiliki 3
pintu dan ketiganya dapat menampung 54 jala (1 jala terdiri dari 39 buah
produk). Proses pengovenan dimulai bersamaan antara pintu kesatu, kedua,
dan ketiga. Hal ini disebabkan karena ruang dalam oven sebenarnya satu
walaupun pintunya ada tiga. Panas yang timbul disalurkan secara konveksi,
jadi selama proses ketiga pintu oven tidak boleh dibuka, karena dapat
mempengaruhi suhu ruangan oven.
14. Proses Pengawatan (O-15)
Setelah ballast selesai dioven kemudian dilakukan proses pengawatan yaitu
memberi kabel pada ballast. Proses pengawatan dikerjakan dengan cara
menyolder kabel pada bagian terminal (bagian solder pada terminal).
15. Proses Test Ampere (O-16 & I-3)
Test Ampere dilakukan kembali di mesin Test Meter setelah proses
pengawatan selesai dilakukan.
16. Proses Labelling (O-17)
Setelah proses Test Ampere selesai dilakukan, kemudian dilakukan proses
menempelkan label pada bagian permukaan luar Case atas (penutup). Proses
Labelling dikerjakan dimeja perakitan dan dikerjakan oleh 2 operator yang
berhadapan.
17. Proses Packing (O-18)
Setelah proses labelling selesai, kemudian dilakukan proses packing. Proses
Packing dikerjakan dengan cara memasukan ballast pada kardus yang sudah
disiapkan, Setelah kardus tersebut terisi semua kemudian kardus dikirimkan
ke bagian gudang dan selanjutnya akan dikirimkan kepada agen – agen yang
akan mendistribusikannya ke masyarakat.
21
0-8 O-10-30-7
0-2
0-4
0-5
0-6I-1
0-13
0-12
0-9
0-10
0-11I-2
0-14
0-15
0-16I-3
0-18
0-17
BOBBIN(Plastik)
CORE E(Steel Plate)
CASE ATAS(Steel Plate)
CASE BAWAH(Steel Plate)
Press
Mesin Press
Press
Press
Mesin Press
Mesin Press
2,4' 2,1' Winding
MesinPBO.13
Wire
2.1'
Magn Wire
Kupas Email
Meja Perakitan
Inserting/Assembly1
Meja perakitan
Soldering
Mesin Solder
Test No Case
MesinTest Meter
Assembly 1
Meja Perakitan
Kasime
Mesin Kasime
Test With Case
(Mesin Test Meter)
Pre Oven
Mesin Oven
Varnish
Mesin Cat
Oven
Mesin Oven
Pengawatan
Meja Perakitan
Labeling
Meja perakitan
Packing
Meja Perakitan
Gudang
Insul Tape
Lem
Sold Wire
Lem
Varnish
Lead Wire
Label
Kart Box
0.5'
0.6'
3.5'
3'
3.9'
1.5'
3.0'
2.96'
2.78'
2.96'
3.25'
3.0'
2.1'
21.18'
Test With Case
(Mesin Test Meter)
Terminal
1,2'
PETA PROSES OPERASI (OPC)Nama Objek : TB 210 Ballast DomestikDipetakan Oleh : TUKINOTanggal dipetakan : 13 Februari 2002
RESUME
Activity Sum Time
TOTAL
15
3
1
9'
-
54,23'
19 63,23'
Process
Test Meter
Werehouse
Gambar 2.6 Peta Proses Operasi pada Trafo Ballast TB 210
22
2. 6. Sistem Pengendalian Mutu Perusahaan
Perusahaan saat ini telah mempunyai bagian yang khusus menangani masalah
pengendalian mutu yaitu bagian Quality Control, Adanya prosedur pengendalian
kualitas produk didalam perusahaan dimaksudkan untuk mengatur tata cara
penanganan produk yang tidak sesuai dengan spesifikasi atau pun penanganan
dalam pembuatan produk. Pertanggung jawaban pelaksanaan pengendalian
kualitas dapat dilakukan oleh :
1. Manager Jaminan Mutu ( QA Manager)
Bertanggung jawab terhadap efektifitas pelaksanaan prosedur ini secara tepat.
2. Manager produksi
Bertanggung jawab terhadap pelaksanaan prosedur ini secara tepat dan cepat.
3. Kepala bagian laboratorium dan atau yang ditunjuk
Bertanggung jawab membuat laporan terhadap produk yang tidak sesuai
bersama-sama dengan kepala bagian yang bersangkutan terhadap masalah
tersebut.
Prosedur pengendalian kualitas yang akan ditempuh untuk menyelesaikan
masalah ketidak-sesuaian pada produk meliputi:
1. Pengaduan Masalah
a. Kepala bagian produksi membuat laporan dan stratifikasi masalah.
b. Barang yang ditemukan tidak sesuai standar atau masuk dalam kategori
NG (Not Good) karena sesuatu sebab, dipisahkan dengan kartu warna
merah dengan memberikan keterangan masalah, tanggal terjadi masalah
dan untuk kemudian dicari permasalahannya.
c. Kepala bagian membuat laporan masalah.
d. Kepala Departemen Produksi dan atau yang mewakili melaporkan masalah
ke bagian Laboratorium dan diketahui oleh bagian QC untuk selajutnya
dilakukan penanganan masalah.
2. Penanganan Produk yang tidak sesuai
a. Kepala Bagian Produksi dan atau yang mewakili bersama-sama dengan
bagian Laboratorium dan QC meneliti penyebab permasalahan yang
timbul dari produk yang tidak sesuai.
23
b. Bagian QC dan atau Laboratorium atau yang mewakili mencatat,
mendokumentasikan dengan form yang telah ditentukan dan melaporkan
kepada kepala Departemen yang bersangkutan.
c. Tindakan – tindakan penanggulangan masalah (Test Ulang, Barang
dibongkar, analisis masalah dan keputusan diperbaiki atau di buang)
d. Setiap permasalahan yang muncul dan penaggulangan yang telah
dilakukan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan oleh bagian yang bersangkutan.
Untuk dapat menghasilkan mutu produk yang sesuai dengan standar dan
spesifikasi yang telah ditetapkan maka perusahaan harus dapat menerapkan sistem
pengendalian mutu. Pengendalian mutu sangat diperlukan dalam memproduksi
segala jenis produk, mulai produk tersebut dalam rencana produksi sampai dengan
produk tersebut siap dijual ke pasaran.
1. Inspeksi Pada Bahan Baku
Metoda pemeriksaan yang digunakan untuk pengendalian bahan baku yaitu
dengan menggunakan metoda AQL (Acceptable Quality Level) atau konsep
taraf mutu diterima. Pada saat ini perusahaan menggunakan tingkat AQL
1,25% yang artinya proporsi cacat maksimum yang masih dapat diterima yaitu
1,25% dari jumlah seluruh lot yang ada. Tabel 2.1 menjelaskan mengenai
ukuran standar bahan baku yang digunakan pada saat pemeriksaan bahan
baku: Tabel 2.1
Pemeriksaan Standard Bahan baku
Dimensi (Ukuran) Jenis Bahan Warna Viskositas
1 Steel Plate2 Bobbin3 Kawat4 Kabel5 Lem6 Varnish7 Label8 Timah7 Terminal
No Jenis Bahan Baku
Kriteria Bahan Baku yang Diizinkan
Keterangan : Warna kuning menunjukkan pemeriksaan standar bahan baku
24
2. Inspeksi pada proses produksi
Inspeksi pada proses produksi lebih difokuskan pada penyetelan mesin,
dimana kegiatan inspeksi dilakukan pada awal pengerjaan (set-up) dan pada
akhir proses tersebut selesai. Inspeksi pada proses produksi dapat dilakukan
oleh bagian operator dan secara keseluruhan tugas tersebut dibebankan pada
bagian supervisior.
3. Inspeksi pada produk setengah jadi
Produk ballast melewati beberapa proses pengerjaannya, proses inspeksi yang
dilakukan pada produk dalam keadaan setengah jadi dimulai pada stasiun
kerja Winding dan stasiun kerja Assembling dimana di dalam masing-masing
stasiun kerja tersebut terdapat proses pemeriksaan.
4. Inspeksi pada produk jadi
Untuk proses pemeriksaan tahap akhir pada produk jadi, dilakukan pada
stasiun kerja Packing. Standar mutu yang ditetapkan oleh perusahaan pada
produk akhirnya, yaitu tidak terdapatnya kotoran pada produk akhir, wujud
produk yang presisi dari segi dimensi, besaran Ampere dan Voltage sesuai,
dan produk dapat bekerja dengan optimal.
2.7. Six Sigma
Kata Sigma (σ), merupakan sebuah huruf dalam bahasa Yunani yang digunakan di
dalam statistik untuk mengukur variasi dari rata-rata suatu proses yang dihasilkan
suatu data, yang menggambarkan suatu distribusi atau penyebaran data terhadap
rata-rata proses /standar deviasi (Breyfogle, 2003). Definisi mengenai Six Sigma
” Suatu sistem yang komprehensif dan fleksible untuk mencapai, memberi
dukungan dan memaksimalkan proses usaha, yang berfokus pada pemahaman
akan kebutuhan pelanggan dengan menggunakan fakta, data dan analisis statistik
serta terus-menerus memperhatikan pengaturan, perbaikan dan mengkaji ulang
proses usaha” (Miranda, 2002).
Six Sigma Motorola merupakan suatu metode atau teknik pengendalian dan
peningkatan kualitas dramatik yang diterapkan oleh perusahaan Motorola sejak
tahun 1986, yang merupakan terobosan baru dalam bidang manajemen kualitas.
Banyak ahli manajemen kualitas menyatakan bahwa metode Six Sigma Motorola
25
dikembangkan dan diterima secara luas oleh dunia industri, karena manajemen
industri frustasi terhadap sistem-sistem manajemen kualitas yang ada, yang tidak
mampu melakukan peningkatan kualitas secara dramatik menuju tingkat
kegagalan nol (zero defect). Banyak sistem manajemen kualitas, seperti: Malcolm
Baldrige National Quality Award (MBNQA), ISO 9000, dan lain-lain, hanya
menekankan pada upaya peningkatan terus menerus berdasarkan kesadaran
mandiri dari manajemen, tanpa memeberikan solusi yang ampuh dalam hal
kesadaran mandiri dari manajemen, tanpa memberikan solusi yang ampuh dalam
hal terobosan-terobosan yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas secara
dramatik menuju tingkat kegagalan nol. Prinsip-prinsip pengendalian dan
peningkatan kualitas Six Sigma Motorola mampu menjawab tantangan ini, dan
terbukti perusahaan Motorola selama kurang lebih 10 tahun setelah implementasi
konsep Six Sigma telah mampu mencapai tingkat kualitas 3,4 DPMO (defect per
million opportunities – kegagalan per sejuta kesempatan). Beberapa keberhasilan
Motorola yang patut di catat dari aplikasi program Six Sigma adalah sebagai
berikut:
1. Peningkatan produktivitas rata-rata: 12,3 % per tahun
2. Penurunan COPQ (cost of poor quality) lebih dari 84%.
3. Eliminasi tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata: 17% dalam penerimaan,
keuntungan, dan harga saham Motorola.
2.7.1. Starategi Six Sigma
Tiga strategi Six Sigma yang dilakukan selama proses implementasi didalam
perusahaan meliputi (Miranda, 2002):
1. Perbaikan proses (Process Improvement)
Perbaikan proses berarti menemukan solusi untuk mencapai target. Meliputi
strategi untuk mengembangkan solusi untuk menghilangkan akar penyebab
masalah pada kinerja usaha. Disebut juga ” Continous Improvement”
(Perbaikan kesinambungan), ”Incremental Improvement” (Perbaikan
tambahan), “Kaizen” (Perbaikan Kesinambungan ala Jepang).
26
2. Desain Ulang Proses (Process Design)
Desain ulang proses berarti membangun bisnis yang lebih baik. Tujuan dari
desain ulang proses bukan untuk menyesuaikan suatu proses tetapi cenderung
menembaptkan suatu proses dengan proses yang baru. Juga sering disebut
dengan “Desain Six Sigma”, yaitu prinsip-prinsip Six Sigma digunakan untuk
membuat produk atau jasa baru yang berhubungan erat dengan kebutuhan
pelanggan dan divalidasikan dengan data serta pengujian.
3. Manajemen Proses (Process Management).
Strategi ketiga ini sifatnya paling revolusioner karena melibatkan perubahan
dari kesalahan dan arah fungsi hingga pemahaman dan pemudahan proses,
yang merupakan aliran kerja yang melibatkan nilai pelanggan dan pemegang
saham. Pada manajemen proses ini, kebijakan dan metoda Six Sigma menjadi
bagian yang menyatu dalam menjalankan usaha seperti :
a) Pencatatan dan pengaturan proses ”end to end” dan tanggung jawab
dibuat sedemikian rupa untuk menjamin adanya manajemen proses lintas
fungsional (cross-functional) yang kritis.
b) Kebutuhan pelanggan diartikan secara jelas dan dimutakhirkan secara
teratur, Pengukuran keluaran, aktivitas proses dan masukan yang
menyeluruh dan berarti.
c) Manajer dan bawahannya (termasuk orang yang bersangkutan dengan
proses tersebut) menggunkan pengukuran dan pemahaman proses untuk
menilai kinerja pada ”saat yang tepat” dan mengambil tindakan untuk
mengetahui permasalahan dan kesempatan apa yang muncul.
d) Perbaikan proses dan desain ulang proses yang dilaksanakan bersamaan
dengan alat-alat perbaiakan Six Sigma digunakan secara terus-menerus
untuk meningkatkan kinerja, daya saing dan profitabilitas perusahaan.
27
2.7.2. Keuntungan Implementasi Six Sigma
Keuntungan dari penerapan Six Sigma akan berbeda untuk setiap peruahaan yang
bersangkutan, tergantung pada usaha yang dijalankannya, biasanya ada perbaikan
pada hal-hal berikut ini (Miranda, 2002) :
1. Pengurangan biaya
2. Perbaikan produktivitas
3. Pertumbuhan pangsa pasar
4. Pengurangan waktu siklus
5. Retensi pelanggan
6. Pengurangan cacat
7. Perubahan budaya kerja
8. Pengembangan produk/jasa
2.7.3. Istilah-Istilah Dalam Six Sigma
Beberapa istilah yang sering digunakan dalam metode Six Sigma, yaitu :
1. Black Belt
Meruapakan pemimpin (team leader) yang bertanggung jawab untuk
pengukuran, analisis, peningkatan, dan pengendalian proses-proses kunci yang
mempengaruhi kepuasan pelanggan dan atau pertumbuhan produktivitas.
Black Belt adalah orang yang menempati posisi pemimpin penuh waktu (full-
time position) dalam proyek Six Sigma. Calon Black Belt harus menguasai
prinsip-prinsip statistika dan mahir dalam pengoperasian paket-paket software
statistika, seperti: Minitab, Statgraphics, SPSS, dan lain-lain.
2. Green Belt
Serupa dengan Black Belt, kecuali posisinya tidak penuh waktu (not full-time
position).
3. Master Black Belt
Guru yang melatih Black Belt, sekaligus merupakan mentor atau konsultan
proyek Six Sigma yang sedang ditangani oleh Black Belt. Kriteria pemilihan
atau kualifikasi dari seorang Master Black Belt adalah keterampilan analisis
kuantitatif yang sangat kuat dan kemampuan mengajar serta memberikan
konsultasi tentang manajemen proyek yang berhasil. Master Black Belt
28
merupakan posisi penuh waktu. Seorang Master Black Belt dapat menangani
sekitar 25-30 orang Black Belt.
4. Champion
Dalam struktur Six Sigma, Champion merupakan individu yang berada pada
manajemen atas (top management) yang memahami Six Sigma dan
bertanggung jawab untuk keberhasilan dari Six Sigma itu. Dalam organisai
besar, Six Sigma akan dipimpin oleh individu penuh waktu, high level
champion, seperti seorang Excecutive Vice-President.
5. Critical to Quality (CTQ)
Adalah atribut-atribut yang sangat penting untuk diperhatikan karena
berkaitan langsung dengan kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Merupakan
elemen dari suatu produk, proses, atau praktek-praktek yang berdampak
langsung pada kepuasan pelanggan.
6. Defect
Kegagalan untuk memberikan apa yang diinginkan oleh pelanggan.
7. Defect Per Opportunity (DPO)
Ukuran kegagalan yang dihitung dalam Program Peningkatan Kualitas Six
Sigma, yang menunjukkan banyaknya cacat atau kegagalan per satu
kesempatan. Dihitung menggunakan formula: DPO = banyaknya cacat atau
kegagalan yang ditemukan dibagi dengan banyaknya unit yang diperiksa.
Besaran DPO ini, apabila dikalikan dengan konstanta 1.000.000, akan menjadi
ukuran Defect Per Million Opportunities = DPMO. Jadi, DPMO = DPO x
1.000.000.
8. Defect Per Miliion Opportunities (DPMO)
Ukuran kegagalan dalam Program Peningkatan Kualitas Six Sigma, yang
menunjukkan kagagalan per sejuta kesempatan. Target dari pengendalian
kualitas Six Sigma Motorola sebesar 3,4 DPMO seharusnya tidak
diinterpretasikan sebagai 3,4 unit output yang cacat dari sejuta unit output
yang diproduksi, tetapi diinterpretasikan sebagai dalam satu unit produk
tunggal terdapat rata-rata kesempatan untuk gagal dari suatu karakteristik
CTQ (critical to quality) adalah hanya 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan
(DPMO).
29
9. Process Capability
Kemampuan proses untuk memproduksi atau menyerahkan output atau
menyerahkan output sesuai dengan ekspektasi dan kebutuhan pelanggan.
Process Capability merupakan suatu ukuran kinerja kritis yang menunjukkan
proses mampu menghasilkan sesuai dengan spesifikasi produk yang
ditetapkan oleh manajemen berdasarkan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan.
10. Variation
Merupakan apa yang pelanggan lihat dan rahasiakan dalam proses transaksi
antara pemasok dan pelanggan itu. Semakin kecil variation akan semakin
disukai, karena menunjukkan konsistensi dalam kualitas. Variasi mengukur
suatu perubahan dalam proses atau praktek-praktek bisnis yang mungkin
mempengaruhi hasil yang diharapkan.
11. Stable Operation
Jaminan konsistensi, proses-proses yang dapat diperkirakan dan dikendalikan
guna meningkatkan apa yang pelanggan lihat dan rasakan, meningkatkan
ekspektasi dan kebutuhan pelanggan.
12. Design for Six Sigma (DFFS)
Suatu desain untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dan kemampuan proses
(process capability). DFSS merupakan suatau metodologi sistematik yang
menggunakan peralatan, pelatihan, dan pengukuran untuk memungkinkan
pemasok mendesain produk dan proses yang memenuhi ekspektasi dan
kebutuhan pelanggan, serta dapat diproduksi atau dioperasikan pada tingkat
kualitas Six Sigma.
13. Define, Measure, Analyze, Improve and Control (DMAIC)
Merupakan proses untuk peningkatan terus menerus menuju target Six Sigma.
DMAIC dilakukan secara sistematik, berdasarkan ilmu pengetahuan dan fakta
(systematic, scientific and fact based). Proses closed-loop ini (DMAIC)
menghilangkan langkah-langkah proses yang tidak produktif, sering berfokus
pada pengukuran-pengukuran baru, dan menerapkan teknologi untuk
peningkatan kualitas menuju target Six Sigma.
30
14. Six Sigma
Suatu visi peningkatan kualitas menuju target 3,4 kegagalan per sejuta
kesempatan (DPMO) untuk setiap transaksi produk (barang atau jasa). Suatu
upaya yang terus menerus menuju kesempurnaan (zero defect-kegagalan nol).
2.8. Metode Six Sigma
Six Sigma merupakan suatu metode yang didalam dalam proses implementasinya
mempunyai tahapan-tahapan yang harus dilakukan untuk dapat
diimplementasikan. Secara umum tahapan itu adalah :
2.8.1. Define
Fase Pertama DMAIC yang menentukan masalah, proses dan persyaratan
pelanggan; karena siklus DMAIC iteratif, maka masalah proses, aliran dan
persyaratan harus diverifikasi dan diperbaharui di sepanjang fase-fase yang lain
guna untuk mendapatkan kejelasan (Pande, 2000). Tahap Definisi (Define Phase):
terdiri dari tahapan identifikasi masalah/cacat produk, Pada tahap ini diidentifikasi
dan didefinisikan produk atau proses yang nantinya akan menjadi kriteria
penelitian dengan menggunakan metode Six Sigma. Kriteria yang dipilih yaitu
kriteria presentase cacat untuk proses akibat kualitas buruk dalam memilih
produk/proses paling bermasalah. Tahap ini menentukan harapan dari usaha
perbaikan yang akan dilakukan pada tahap berikutnya, dan menjaga agar tetap
berfokus pada persyaratan pelanggan terhadap produk. Output dari tahap ini
adalah beberapa informasi mengenai kualitas kritis suatu produk (barang/jasa)
yang disebut Critical to Quality (CTQ).
Dari hasil survey dan wawancara yang dilakukan dengan bagian produksi dan
bagian Quality Control, terdapat beberapa kategori jenis cacat pada beberapa
proses untuk pembuatan produk Ballast Domestik TB 210 yang dapat dilihat pada
tabel 2.2 di bawah ini :
31
Tabel 2.2 Kategori Jenis Cacat Ballast TB 210
No. Proses Jenis Cacat (Masalah) Keterangan
- Lost Kekurangan Lilitan karena karena gulungan kawat habis - Kawat Miring Posisi Kawat tidak presisi dan terlalu miring - Gemuk Posisi alur kawat terlalu menumpuk ditengah - Putus Awal Kawat putus pada awal proses winding - Putus Akhir Kawat putus di akhir proses winding - Bobbin Cacat (Bolong) Bobbin tempat penggulungan kawat bocor (bolong) - Kawat Terjepit Posisi kawat terlalu minggir dan terjepit kawat lain - Kawat Putus Kawat putus saat produk dalam kondisi setengah jadi - Kawat Kotor Terdapat kotoran pada kawat seperti oli dan karat - Kontak Terjadinya hubungan antara kawat dengan bahan besi (Core) - Ampere Tinggi Nilai ampere pada produk berada di atas nilai standar - Ampere Rendah Nilai ampere pada produk berada di bawah nilai standar - Short Terjadinya hubungan antara kawat dengan kawat - Noise Terjadi bunyi jika saat produk dioperasikan - Kawat Putus Kawat putus saat produk dalam kondisi 100% - Kawat Kotor Terdapat kotoran pada kawat seperti oli dan karat - Kontak Terjadinya hubungan antara kawat dengan bahan besi (Core) - Ampere Tinggi Nilai ampere pada produk berada di atas nilai standar - Ampere Rendah Nilai ampere pada produk berada di bawah nilai standar - Short Terjadinya hubungan antara kawat dengan kawat - Noise Terjadi bunyi jika saat produk dioperasikan - Layer Lepas Lapisan pelindung kawat (layer) pada bobbin Lepas
Assembling2
Winding1
3 Packing
Terdapat 3 kategori umum jenis ketidaksesuaian yang sering terjadi selama proses
produksi. Ketiga jenis ketidaksesuaian tersebut dikategorikan secara umum
kedalam setiap proses Winding, Assembling dan Packing. Pemeriksaan terhadap
produk dapat dilakukan pada saat produk tersebut dalam keadaan setengah jadi
dan dalam keadaan produk seratus persen. Pada saat proses produksi berlangsung
pemeriksaan dapat dilakukan oleh operator yang bersangkutan.
2.8.2. Measure
Pada Tahap ini dilakukan pengukuran terhadap proses yang terjadi untuk
menentukan kemampuan perusahaan saat ini. Tahap measure ini berfungsi untuk
memvalidasi atau menyaring masalah dan memulai meneliti akar masalah sasaran
analyze (Pande, 2000).
Tahap Pengukuran (Measure Phase) terdiri dari tahapan :
1. Peta Kontol (Control Chart)
Peta kontrol adalah peta yang menunjukkan pergerakan atau variasi data dari
waktu ke waktu. Suatu bagan kontrol terdiri atas suatu garis tengah yang
diapit oleh batas kontrol atas dan kontrol bawah. Bagan kendali dapat
digunakan untuk :
32
a) Membedakan variasi yang bersifat acak (random) terhadap variasi yang
timbul akibat sebab-sebab tertentu.
b) Memonitor terjadinya perubahan proses.
c) Membantu menentukan sebab-sebab terjadinya suatu variasi.
Bagan kendali Shewhart merupakan salah satu alat terpenting dalam
pengendalian mutu secara statistik. Keunggulan dari bagan kendali Shewhart
ini terletak pada kemampuan untuk memisahkan sebab-sebab terusut dari
keragaman mutu.
Ada 4 (empat) alat kerja statistik paling umum dalam pengendalian kualitas,
yaitu :
a) Bagan-bagan kendali Shewhart untuk karakteristik mutu yang terukur,
yang dinyatakan sebagai bagan-bagan variabel atau sebagai bagan X dan
R.
b) Bagan kendali Shewhart untuk bagian yang ditolak, yang dinyatakan
sebagai bagan p.
c) Bagan kendali Shewhart untuk banyaknya ketaksesuaian per unit, yang
dinyatakan sebagai bagan c.
d) Bagian dari teori penarikan sampel yang berhubungan dengan proteksi
mutu yang diperoleh dari prosedur penarikan sampel penerimaan.
Dari alat kerja statistik untuk pengendalian kulaitas yang ada, dapat
digolongkan menjadi 2 (dua) jenis (Breyfogle, 2003), yaitu:
a)
Peta Kendali Variabel ini digunakan untuk memeriksa kualitas suatu
produk berdasarkan karakteristik yang terukur misalnya : dimensi, berat
dan lain-lain. Yang termasuk dalam Peta Kendali Variabel adalah :
Peta Kendali Variabel
Peta kendali X
Peta kendali R
Batas kendali yang umum digunakan adalah 3 sigma sehingga secara
umum persamaan batas kendali dapat dirumuskan sebagai berikut :
σσ
33
−=+=
xLCLxUCL
x
x (2.1)
33
b)
Peta Kendali Atribut digunakan untuk memeriksa kualitas suatu produk
berdasarkan karakteristik yang tidak terukur misalnya jumlah cacat, warna
dan lain-lain.
Peta Kendali Atribut
Yang termasuk dalam Peta Kendali Atribut adalah :
Bagan p
Bagan p digunakan untuk bagian yang ditolak karena dinilai tidak
sesuai dengan spesifikasi. Bagan p merupakan rasio dari banyaknya
barang yang tidak sesuai terhadap total barang yang diperiksa. Batas
kendali untuk bagan kendali p adalah :
ip
ip
npp
pLCL
npp
pUCL
)1(3
)1(3
−−=
−+=
(2.2)
Bagan np
Bagan np merupakan bagan kendali yang digunakan untuk banyaknya
butir/unit yang tidak sesuai. Bagan np hanya digunakan untuk ukuran
sampel yang sama.Batas kendali untuk bagan kendali np adalah :
)1(3
)1(3
ppnpnLCL
ppnpnUCL
np
np
−−=
−+= (2.3)
Bagan c
Bagan c merupakan bagan kendali yang digunakan untuk banyaknya
ketaksesuaian dalam suatu subgroup yang berukuran konstan. Bagan
kendali c tidak terbatas pada satu jenis ketaksesuaian, bisa juga
digunakan untuk berbagai macam ketaksesuaian yang diamati pada
setiap unit produk.
34
Penentuan bagan kendali c didasarkan pada distribusi poisson.
Asumsi yang digunakan adalah kesempatan munculnya ketaksesuaian
banyak sekali dan munculnya ketaksesuaian pada satu titik kecil.
Batas kendali untuk bagan kendali c adalah :
ccLCLc
ccUCLc
−=
+=
(2.4)
Bagan u
Bagan kendali u digunakan untuk banyaknya ketaksesuaian persatuan
atau sejumlah unit yang ditolak dalam subgroup yang berukuran
berbeda-beda.
Batas kendali untuk bagan kendali u adalah :
iu
iu
nuuLCL
nuuUCL
3
3
−=
+=
(2.5)
2. Pengukuran Kemampuan Proses (Process Capability)
Kemampuan proses adalah determinasi dari apakah sebuah proses, dengan
variasi normal, mampu memenuhi persyaratan pelanggan: mengukur tingkat
proses dalam memenuhi atau tidak memenuhi persyaratan pelanggan,
dibandingkan dengan distribusi proses (Pande, 2000).
Indeks yang digunakan untuk menyatakan kemampuan proses adalah Cp dan
Cpk. Cp adalah ukuran dari sebaran data toleransi yang diperbolehkan, dibagi
sebaran data 6 σ aktual. Sedangkan Cpk mempunyai perbandingan yang
serupa dengan Cp, kecuali bahwa perbandingan tersebut dipilih berdasarkan
pergeseran dari nilai rata-rata, realtif terhadap spesifikasi sentral target
(Breyfogle, 2003).
Dengan kata lain, Cp hanya digunakan untuk menunjukan range/jangkauan
distribusi hasil. Sedangkan Cpk menggambarkan kemampuan proses untuk
mencapai nilai spesifikasi target. Cp dan Cpk dinyatakan sebagai berikut:
35
Cp = (USL –LSL) / 6 σ (2.6)
CPU = (USL - µ) / 3 σ (2.7)
CPL = (µ - LSL) / 3 σ (2.8)
Cpk = min (CPU ; CPL) (2.9)
Dalam program Six Sigma Motorola, menyebutkan bahwa kondisi yang baik
adalah nilai Cpk ≥ 1,5 dan nilai Cp ≥ 2, 267.
3. Menentukan CTQ (Critical to Quality)
Critical to Quality (CTQ) adalah atribut–atribut yang sangat penting untuk
diperhatikan, karena berkaitan langsung dengan kebutuhan dan kepuasan
pelanggan. CTQ merupakan elemen dari suatu produk, proses atau praktek–
praktek yang berdampak langsung pada pelanggan. Berdasarkan data historis
dan juga hasil wawancara dengan pihak perusahan, permasalahan yang sedang
dihadapi oleh PT. Nikkatsu adalah tingginya jumlah cacat di lantai produksi
pembuatan produk Ballast TB 210 terutama untuk proses winding. Sehingga
jumlah cacat ini harus segera diatasi supaya tidak mengakibatkan kerugian
yang besar bagi pihak perusahaan.
Oleh karena itu dalam proyek akhir ini masalah yang menimbulkan dampak
biaya akibat cacat yang terbesar akan dicari faktor-faktor penyebab terjadinya
kegagalan (defect) dengan menggunakan metode-metode Six Sigma. Sehingga
masalah yang memiliki dampak biaya akibat cacat yang terbesar akan
dijadikan sebagai karakteristik kritis atau Critical To Quality (CTQ). Biaya-
biaya yang diperhitungkan antara lain:
a) Besarnya biaya tenaga kerja.
b) Besarnya biaya bongkar pasang.
c) Besarnya biaya komponen yang terlibat.
36
4. Perhitungan Level Sigma
Tahap ini mencakup perhitungan kemampuan proses (Process Capability
Analysis) dengan menghitung DPMO (Defects per Million Opprtunities), dan
Tingkat Sigma (Sigma Level) untuk menilai apakah proses yang menjadi
karakteristik kritis (CTQ) mampu atau tidak memenuhi target spesifikasi yang
telah ditentukan.
Dengan data yang terkumpul dilakukan analisis kemampuan proses dengan
langkah sebagai berikut:
a) Menghitung Defect Per Opportunities (DPO)
DPO = Jumlah Cacat / (Jumlah Produksi x CTQ Potensial) (2.10)
b) Menghitung Defect Per Million Opportunities (DPMO)
DPMO = DPO X 1.000.000 (2.11)
c) Menentukan Tingkat Sigma
Tingkat sigma diperoleh dengan menerjemahkan DPMO ke nilai sigma
dengan menggunakan tabel konversi DPMO ke nilai sigma berdasarkan
konsep Motorola.
Nilai sigma = Normsinv ((1.000.000-DPMO)/1.000.000) + 1,5 (2.12)
Level Sigma ditentukan melalui konversi nilai DPMO yang didapat ke
nilai terdekat dari DPMO yang ada pada Nilai Sigma di Lampiran (hal.
L-4) : Konversi DPMO ke Nilai Sigma Berdasarkan Konsep Motorola.
2.8.3. Analyze
Pada tahap ini, detail proses akan diperiksa secara cermat untuk peluang-peluang
perbaikan. Selain itu pada tahap ini, data diinvestigasi dan diverifikasi untuk
membuktikan akar masalah yang diperkirakan dan memperkuat pernyataan
masalah (Pande, 2000).
37
Tahap Analisis (Analyze Phase): terdiri dari tahapan analisis kapabilitas proses
melalui performansi kualitas proses, mencari penyebab potensial permasalahan
dengan menggunakan The Interrelationship Diagraph serta identifikasi faktor
penyebab kecacatan yang mendapat prioritas (PFMEA).
1. Analisis Kapabilitas Melalui Performansi Kualitas Proses
Tahap ini mencakup analisis kemampuan proses (Process Capability Analysis)
dengan menghitung DPO, DPMO, dan Tingkat Sigma (Sigma Level) untuk
menilai apakah prosesnya mampu atau tidak memenuhi target spesifikasi yang
telah ditentukan dan juga ukuran DPO, DPMO, dan Sigma Level itu untuk
mengetahui ukuran performansi perusahaan saat ini maupun setelah adanya
proses perbaikan terhadap proses produksi pembuatan produk (barang/jasa).
Berdasarkan pola data DPMO hasil perhitungan kemudian dilakukan analisis
untuk membandingkan DPMO periode dengan DPMO proses dan juga
dilakukan analisis berdasarkan pola data Level Sigma hasil perhitungan untuk
membandingkan Level Sigma periode dengan Level Sigma proses.
2. Mencari Penyebab Permasalahan Melalui Interrelationship Diagraph.
Setelah mengetahui kinerja saat ini, maka perlu dicari penyebab dan akar
masalah yang mengakibatkan kecacatan atau kegagalan. Pengidentifikasian
tersebut dilakukan dengan terlebih dahulu mengadakan brainstorming,
dilanjutkan dengan menggambarkan The Interrelationship Diagraph dengan
mengidentifikasikan faktor-faktor kunci/penyebab-penyebab mendasar, seperti
format Gambar 2.7 berikut ini.
Causal Faktor 1
Problem 3
Problem 2
Problem 1
3
2
1
4
5
6
Gambar 2.7 Format The Interrelationship Diagraph
38
3. Identifikasi Faktor Penyebab Kecacatan yang mendapat Prioritas (PFMEA)
PFMEA (Potential Failure Mode and Effect Analysis) adalah sekumpulan
petunjuk, sebuah proses dan form untuk mengidentifikasi dan mendahulukan
masalah-masalah potensial (kegagalan). Langkah-langkah yang dapat
dilakukan untuk membuat PFMEA yaitu (Pyzdeck, 2002) :
a. Mengidentifikasi proses atau produk/jasa.
b. Mendaftarkan masalah-masalah potensial yang dapat muncul (Failure
Modes).
c. Beri skala pada masalah berdasarkan kerumitannya, kemungkinan terjadi
atau kemampuan terdeteksi. Dengan menggunakan skala 1- 10, berikan
skor pada masing-masing faktor untuk setiap masalah potensial. Masalah-
masalah yang paling serius mendapatkan rating lebih tinggi.
d. Menghitung RPN (Risk Priority Number) dan tindakan-tindakan yang
diutamakan. Rating resiko keseluruhan diperoleh dengan mengalikan tiga
skor bersama-sama.
e. Melakukan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko
Faktor-faktor yang mempengaruhi suatu potential failure mode and effect
analysis (Breyfogle,2003) :
a. Potential Failure mode, menggambarkan keadaan dimana suatu bagian
atau proses dapat gagal memenuhi spesifikasi yang diinginkan, dapat
meliputi sebab potential failure mode di level tinggi atau rendah dari
proses step tersebut.
b. Potential effect(s) of failure, adalah pengaruh jika failure mode tidak
dicegah atau diperbaiki.
c. Potential Causes(s) of failure, menunjukan hal apa yang akan membuat
komponen, proses atau produk gagal dalam usaha memenuhi apa yang
diharapkan melalui potential failure mode.
d. Severity (SEV), pengaruh buruk yang merupakan suatu estimasi atau
perkiraan subyektif tentang bagaimana buruknya pelanggan akan
merasakan akibat dari kegagalan tersebut. Pelanggan yang dimaksud bisa
berarti pelanggan akhir dan atau proses operasi selanjutnya.
39
e. Occurance (OCC), adalah kemungkinan (likehood) yang merupakan suatu
perkiraan subyektif tentang probabilitas atau peluang bahwa penyebab itu
akan terjadi.
f. Detection (DET), perkiraan subyektif tentang bagaimana kemampuan dari
metode pencegahan atau deteksi menghilangkan failure mode.
g. Current Design Control, merupakan identifikasi metode-metode yang
ditetapkan untuk mencegah penyebab kegagalan terjadi.
h. Risk Priority Number (RPN), merupakan kalkulasi angka resiko untuk
suatu failure mode.
RPN = SEV x OCC x DET (2.13)
Nilai RPN terbesar menunjukan prioritas proses yang perlu mendapat
penganan utama. Namun pertimbangan khusus perlu diberikan untuk
peringkat severty yang tinggi, meskipun peringkat occurance dan
detection-nya rendah.
Rating Severity, Occurrence, dan detection dinyatakan kedalam skala dari 1
sampai dengan 10, untuk lebih spesifik tentang rating tersebut dapat dilihat
pada halaman L-5 di lampiran.
2.8.4. Improve
Improve adalah tahap dimana solusi-solusi dan ide-ide secara kreatif dibuat dan
diputuskan. Peter S. Pande dalam bukunya ” The Six Sigma Way” menyatakan ada
beberapa hal yang dapat dilakukan pada tahap improve ini yaitu (Pande, 2000):
1. Berkonsentrasi untuk melihat proses dalam cara yang baru
2. Menentukan kriteria kinerja untuk menganalisis rancangan
3. Memperbaiki dan meningkatkan proses secara iteratif
4. Melakukan uji coba proses dalam banyak fase ketika diperlukan
Tahap Perbaikan (Improve Phase): terdiri dari tahapan identifikasi usulan
pengambilan tindakan pengendalian terhadap solusi perbaikan.
40
1. Identifikasi Usulan Pengambilan Tindakan Pengendalian Terhadap Solusi
Perbaikan
Fase perbaikan mengkonfirmasikan solusi yang diusulkan untuk dapat
memenuhi atau melampaui target perbaikan mutu atau kualitas produk. Dalam
fase perbaikan, dilakukan test solusi yang diusulkan untuk memastikan bahwa
penyebab variasi telah diatasi dan solusi akan signifikan bekerja jika
diimplementasikan. Output dari fase ini berupa solusi yang diusulkan dan
diimplementasikan
2.8.5. Control
Control Berarti menjaga sebuah proses beroperasi dalam range variasi yang dapat
diprediksi. Sasarannya adalah untuk memelihara kinerja yang baik dari sebuah
proses yang stabil dan konsisten. Tahap control merupakan tahap dimana setelah
solusi-solusi diimplementasikan maka ukuran-ukuran tidak terhenti untuk
mengikuti dan memverifikasi stabilitas perbaikan dan prediktabilitas dari proses
(Pande, 2000).
Tahap Pengendalian (Control Phase): terdiri dari tahapan Pemetaan performansi
kualitas melalui peta kontrol, Perhitungan performansi proses, perhitungan level
sigma dan melakukan uji verifikasi untuk melihat adanya perbaikan hasil atau
tidak setelah imlementasi.
1. Pemetaan Performansi Kualitas Melalui Peta Kontrol (Contol Chart)
Pembuatan peta kendali harus dilakukan secara berkala setelah proses
implementasi dilakukan. Dalam tahap control hasil pemetaan akan terlihat
perubahan dari waktu ke waktu yang menunjukkan penyimpangan. Peta
kendali yang akan digunakan adalah peta kendali p, dimana bagan
p digunakan untuk bagian yang ditolak karena dinilai tidak sesuai dengan
spesifikasi.
2. Perhitungan Performansi Proses
Setelah dilakukan pemetaan performansi proses setelah implementasi
kemudian dilakukan kembali pengujian kemampuan proses winding untuk
mengetahui berapa indeks kapabilitas proses (Cp dan Cpk). Untuk mengetahui
perkiraan kemampuan proses ini, data pengukuran diolah dengan
41
menggunakan bantuan program Minitab versi 13.1 atau dengan menggunakan
rumus manual pada rumus 2.6, 2.7, 2.8 dan 2.9.
3. Perhitungan Level Sigma
Selanjutnya setelah dilakukan tahap perbaikan kemudian dilakukan kembali
perhitungan level sigma untuk mengetahui kapabilitas proses. Setelah nilai
kapabilitas proses implementasi diperoleh dan mengalami peningkatan, maka
selanjutnya akan dibuktikan dalam uji proporsi. Dengan data yang terkumpul
dilakukan perhitungan paramater kualitas dengan langkah-langkah seperti
rumus 2.10, 2.11, serta 2.12.
4. Uji Verifikasi
Uji verifikasi ini dimaksudkan untuk melihat adanya perbaikan hasil atau tidak
sebelum perbaikan dengan sesudah perbaikan dengan menggunakan uji selisih
proporsi.
2.9. Data Jumlah Cacat
Dalam proses Winding (Proses pelilitan kawat pada Bobbin), terdapat 7 jenis cacat
yang sering terjadi (Berdasarkan standar pengujian Quality Control), berikut
adalah jumlah cacat yang terjadi selama semester ke-1 pada tahun 2008.
Tabel 2.3 Data Jumlah Cacat Proses Winding
Jenis Cacat (Masalah) Januari Februari Maret April Mei Juni
- Lost 28 35 15 43 52 93 266 - Kawat Miring 0 5 0 20 15 30 70 - Gemuk 5 3 2 0 0 7 17 - Putus Awal 3 2 0 0 2 1 8 - Putus Akhir 0 0 0 0 5 0 5 - Bobbin Cacat (Bolong) 3 0 0 0 0 6 9 - Kawat Terjepit 0 0 0 0 2 5 7
39 45 17 63 76 142 3825753 6350 5100 12326 9480 19620 586290.68 0.71 0.33 0.51 0.80 0.72 0.65
Bulan ke-ProsesNo.
Total persemester
Winding
Total Produksi (Unit)
1
Presentase (%)
Total Cacat (Unit)
Untuk proses Assembling (Perakitan), terdapat 7 kategori jenis cacat yang paling
sering terjadi. Pada tabel 2.4 dapat dijelaskan jumlah cacat yang terjadi selama
semester 1 2008.
42
Tabel 2.4 Data Jumlah Cacat Proses Assembling Jenis Cacat (Masalah) Januari Februari Maret April Mei Juni
- Kawat Putus 0 2 0 0 0 40 42 - Kawat Kotor 0 0 4 2 6 41 53 - Kontak 3 0 0 0 0 0 3 - Ampere Tinggi 3 4 2 0 0 0 9 - Ampere Rendah 2 3 0 0 0 0 5 - Short 0 0 1 0 0 0 1 - Noise 0 0 0 3 0 0 3
8 9 7 5 6 81 1165035 5024 4964 3575 7003 24479 500800.16 0.18 0.14 0.14 0.09 0.33 0.23
Bulan ke- Total persemester
Total Cacat (Unit)Total Produksi (Unit)
Assembling
No. Proses
Presentase (%)
2
Dalam proses Packing (pengepakan), terdapat 8 jenis cacat yang sering terjadi
(Berdasarkan standar pengujian Quality Control), berikut adalah jumlah cacat
yang terjadi selama semester ke-1 pada tahun 2008.
Tabel 2.5 Data Jumlah Cacat Proses Packing
Jenis Cacat (Masalah) Januari Februari Maret April Mei Juni
- Kawat Putus 5 0 0 0 3 0 8 - Kawat Kotor 0 3 0 2 0 4 9 - Kontak 0 0 0 0 5 6 11 - Ampere Tinggi 3 0 5 0 7 23 38 - Ampere Rendah 0 0 2 0 0 10 12 - Short 2 0 0 0 0 0 2 - Noise 0 2 0 7 0 0 9 - Layer Lepas 2 7 2 5 29 13 58
12 12 9 14 44 56 1471989 2056 1980 2770 6320 17960 330750.60 0.58 0.45 0.51 0.70 0.31 0.44Presentase (%)
3Packing
Bulan ke- Total persemester
Total Cacat (Unit)Total Produksi (Unit)
No. Proses
2.10. Rumusan Permasalahan
Untuk membantu perusahaan dalam meminimasi tingginya jumlah cacat pada
produk Ballast domestik TB 210, maka diperlukan suatu alat pengendalian
kualitas yang mampu meminimasi jumlah cacat yang terjadi pada perusahaan saat
ini. Hingga saat ini proses pemeriksaan pada proses produksi ballast TB 210
dibagi menjadi 3 pemeriksaan yaitu pada proses Winding, Assembling, dan
Packing. Dari hasil pengumpulan data kecacatan dari bulan Januari sampai
dengan Juni 2008, diperoleh persentase kecacatan terbesar yaitu pada stasiun kerja
Winding yaitu sebesar 0.65 %. Untuk membantu perusahaan dalam pelaksanaan
pengendalian kualitas pada stasiun kerja Winding untuk perioda semester 1 tahun
43
2008 maka penulis akan menggunakan alat pengendalian mutu secara statistika
dengan menggunakan Six Sigma yang diharapkan akan membantu kelancaran
proses produksi perusahaan, serta meningkatkan kualitas produk sesuai dengan
tingkat kualitas yang diinginkan oleh PT. Nikkatsu dan para konsumen.
Six Sigma dapat dikatakan sebagai metode yang berfokus pada proses dan
pencegah cacat (defect). Pencegahan cacat dilakukan dengan cara mengurangi
variasi yang ada dalam setiap proses dengan menggunakan teknik-teknik statistika
yang sudah dikenal secara umum. Oleh karena itu dalam penelitian tugas akhir ini
masalah yang menimbulkan dampak biaya akibat cacat yang terbesar akan dicari
faktor-faktor penyebab terjadinya kegagalan (defect) dengan menggunakan
metode Six Sigma. Sehingga kegagalan yang terjadi dapat dikendalikan dan
jumlahnya dapat dikurangi dan pada akhirnya dapat dihilangkan.
2.11. Unit Analisis Penelitian
Unit analisis yang dilakukan untuk melaksanakan penelitian ini difokuskan pada
produk yang dipasarkan secara domestik dan masalah yang dihadapi perusahaan
pada saat ini yaitu terjadinya sejumlah cacat pada produk Trafo Ballast TB 210.
Dengan adanya sejumlah cacat yang terjadi pada saat ini tentunya akan merugikan
perusahaan dalam hal waktu, biaya, bahan baku dan tenaga kerja. Supaya
pembahasan yang dilakukan dapat lebih terarah maka pembatasan permasalahan
sangat perlu dilakukan. Adapun batasan-batasanya adalah sebagai berikut:
1. Penelitian hanya dilakukan pada Departemen Quality Control dan Departemen
Produksi.
2. Proses Pengambilan data dilaksanakan melalui sistem dokumentasi data
perusahaan, survey, dan wawancara.
3. Pemeriksaan kualitas dilakukan berdasarkan standar pengujian kualitas
perusahaan.
4. Data jumlah pemeriksaan hanya dilakukan pada bulan Juni 2008.
5. Penelitian yang dilakukan tidak dibahas mengenai biaya yang dikeluarkan
untuk melakukan usulan perbaikan.
44
2.12. Tujuan Penelitian
Selama melaksanakan penelitian di perusahaan, terdapat beberapa tujuan yang
ingin dicapai penulis dalam penelitian ini yaitu:
1. Mengetahui jenis cacat apa saja yang sering terjadi pada proses pembuatan
produk Ballast TB 210.
2. Membantu perusahaan dalam upaya mengurangi sejumlah cacat yang terjadi
pada proses Winding melalui penerapan metode Six Sigma.
3. Pemenuhan target perusahaan dalam upaya mengurangi persentase kecacatan
untuk jenis cacat Lost sampai dengan 0,3 %.
4. Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan adanya sejumlah cacat Lost pada
proses Winding.
5. Menentukan tindakan perbaikan yang sesuai untuk mengurangi adanya
sejumlah cacat Lost pada proses Winding.