Post on 01-May-2021
1
i
ANALISIS NILAI TUKAR PETANI (NTP) SEBAGAI
BAHAN PENYUSUNAN RPJMN TAHUN 2015-2019
KERJASAMA
KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/BAPPENAS
JAPAN INTERNATIONAL COOPERATION AGENCY (JICA)
2013
2
ii
Analisis Nilai Tukar Petani(NTP)sebagai bahanpenyusunan RJMNTahun 2015-2019
Penanggung Jawab : Deputi Bidang SDA-LH
Editor : Ali Muharam
Tim Penulis : Ir. Nono Rusono, Msi
Dr. Ir. Anwar Sunari, MP
Ade Candradijaya, STP,MSi,MSc
Ifan Martino
Tejaningsih
Cover Depan : http://p2tel.or.id/wp-content/uploads/2013/01/Petani-Miskin-Indonesia.jpg
Direktorat Pangan dan Pertanian,BappenasGedung TS.2A, Lantai 5Jl. Taman Suropati, No.2Jakarta Pusat,10310Telephone : 021-31934323Fax : 021-3915404Email : pertanian@bappenas.go.id
i
i
KATA PENGANTAR
Pembangunan nasional pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, untuk itu dalam setiap tahapan pembangunan,kesejahteraan masyarakat selalu menjadi tujuan utama. Sebagai negara agraris, jumlah penduduk yang terlibat dalam kegiatan pertanian/agribisnis sangat besar, sehingga perhatian terhadap kesejahteraan petani dinilai sangat strategis. Salah satu indikator/alat ukur yang dapat digunakan untuk menilai tingkat kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP). Pengetahuan secara mendalam tentang perilaku nilai tukar petani, dampak pembangunan, dan identifikasi faktor-faktor penentu nilai tukar akan sangat berguna bagi perencanaan kebijakan pembangunan, perbaikan program-program pembangunan, serta alokasi anggaran yang lebih berpihak pada usaha-usaha peningkatan kesejahteraan petani khususnya terkait dengan penyusunan studi pendahuluan (background study) RPJMN 2015-2019 yang saat ini sedang kami susun sehingga diharapkan dalam pembangunan pertanian lima tahun ke depan kesejahteraan petani dapat meningkat.
Laporan ini merupakan hasil kajian yang dilakukan Bappenas bekerjasama dengan JICA yang dibantu oleh Tim Penyusun dari berbagai latar belakang yang memahami esensi NTP sebagai salah satu alat ukur kesejahteraan petani. Atas kerjasama yang telah dijalin dengan JICA, kami mengucapkan terima kasih kepada JICA dan juga kepada Tim Penyusun atas kerja kerasnya sehingga analisis ini dapat tersusun dengan baik. Disadari bahwa dalam hasil kajian ini masih terdapat kekurangan, sehingga masukan dari berbagai pihak untuk perbaikan hasil kajian sangat kami harapkan.
Terima kasih.Jakarta, Desember 2013
Direktur Pangan dan Pertanian
ii
ii
RINGKASAN
1) Pembangunan nasional pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, untuk itu dalam setiap tahapan pembangunankesejahteraan masyarakat selalu menjadi tujuan utama. Sebagai negara agraris, jumlah penduduk yang terlibat dalam kegiatan pertanian/agribisnis sangat besar, sehingga perhatian terhadap kesejahteraan petani dinilai sangat strategis. Dalam rencana rencana jangka panjang pembangunan nasional peningkatan kesejahteraan petani telah dan akan menjadi prioritas pembangunan pertanian mendatang.
2) Salah satu indikator/alat ukur yang dipakai untuk menilai tingkat kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP). Pengetahuan secara mendalam tentang perilaku nilai tukar petani, dampak pembangunan dan identifikasi faktor-faktor penentu nilai tukar akan sangat berguna bagi perencanaan kebijakan pembangunan, perbaikan program-programpembangunan ke depan. Sejalan dengan itu dilakukan kajian tentang NTP sebagai bahan dalam merumuskan kebijakan peningkatan kesejahteraan petani.
3) Secara umum, kajian bertujuan untuk merumuskan kebijakan peningkatan kesejahteraan petani sebagai bahan dasar RPJMN 2015-2019 Bidang Pertanian. Secara lebih rinci tujuan kajian adalah: (1) Menganalisa perilaku nilai tukar petani Indonesia, (2) Menganalisa faktor-faktor dan kebijakan yang mempengaruhi nilai tukar petani, dan (3) Merumuskan kebijakan peningkatan nilai tukar/kesejahteraan petani.
Perilaku Nilai Tukar Petani
4) Nilai Tukar Petani (NTP) dihitung dari perbandingan antara harga yang diterima petani (HT) terhadap harga yang dibayar petani (HB). Apabila laju peningkatan HT lebih tinggi dari laju HB maka NTP akan meningkat, dan sebaliknya. Pergerakan NTP mengidentifikaskan pergerakan tingkat kesejahteraan petani. Dalam periode bulan Januari 2008–Mei 2013,perkembangan NTP menunjukkan tren meningkat dengan laju peningkatan marjinal 0,0038/bulan. Peningkatan ini disebabkan oleh peningkatan laju HT (sebesar 0,0233/bulan) lebih tinggi dibandingkan laju HB (0,0180/bulan).
5) Indeks HT disusun oleh unsur-unsur indeks harga sub sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan. PeningkatanHT terutama disebabkan oleh kontribusi yang lebih besar dari sub sektor tanaman pangan (laju 0,0273/bulan) dan sub sektor hortikultura (laju 0,0264/bulan); menyusul sub sektor perikanan (laju 0,0180/bulan), perkebunan (laju 0169/bulan) dan peternakan (laju 0,0155/bulan).
iii
iii
6) Penelusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa peningkatan harga yang diterima petani sub sektor tanaman pangan disebabkan oleh peningkatan harga palawija (laju 0,0273/bulan) lebih besar dari peningkatan harga padi (laju 0,0233/bulan). Sementara pada sub sektor hortikultura kontribusi peningkatan harga buah-buahan relatif lebih tinggi (laju 0,0262/bulan) dibandingkan peningkatan harga sayuran (laju 0,0262/bulan). Pada sub sektor perkebunan tidak dirinci menurut kelompok komoditas secara lebih rinci, sehingga komponen sub sektor perkebunan yang dimaksud berarti juga kelompok tanaman perkebunan rakyat. Pada sub sektor peternakan, kontribusi terbesar dari peningkatan harga yang diterima petani terjadi pada kelompok komoditas ternak kecil (laju 0,0213/bulan) menyusul hasil peternakan (laju 0,0178/bulan), ternak unggas (laju 0,0171/bulan) dan kelompok ternak besar (laju 0,0120/bulan). Sementara pada sub sektor perikanan kontribusi terbesar dari peningkatan harga yang diterima petani ikan dan nelayan terjadi pada harga produk penangkapan (laju 0,1880/bulan) sementara laju harga produk budidaya ikan sebesar 0,01380/bulan.
7) Indeks HB disusun dari oleh unsur harga pembelian barang konsumsi rumahtangga dan harga pembelian faktor produksi dan barang modal. Dalam periode Januari 2008 sampai dengan Mei 2013 HB meningkat dengan laju 0,0180/bulan, dan peningkatan tersebut terutama disebabkan oleh kontribusi pembelian barang konsumsi rumahtangga (laju 0,0202/bulan), sementara pengeluaran biaya produksi dan penambahan barang modal meningkat dengan laju 0,0117/bulan.
8) Penelusuran lebih lanjut menunjukkan komponen utama peningkatan pengeluaran konsumsi rumahtangga adalah konsumsi bahan makanan (laju 0,0238/bulan), disusul oleh konsumsi makanan jadi (laju 0,0214/bulan), sandang (laju 0,0195/bulan), perumahan (laju 0,0193/bulan), kesehatan (laju 0,0130/bulan), pendidikan-rekreasi dan olahraga (laju 0,0105/bulan), serta transportasi dan komunikasi (laju 0,0035/bulan). Sementara itu dalam komponen penyusun biaya produksi dan penambahan barang modal, peran terbesar terjadi karena peningkatan biaya modal (laju 0,0140/bulan), disusul biaya bibit (laju 0,0123/bulan), upah buruh (laju 0,0119/bulan), obat-pupuk (laju 0,0119/bulan), sewa lahan (laju 0,0105/bulan), dan transportasi (laju 0,0073/bulan).
Faktor-Faktor dan Kebijakan yang Mempengaruhi NTP
9) Dari rumus pembentukan NTP dapat diturunkan besaran koefisien pertambahan marjinal dan elastisitas masing-masing komponen unsur penyusun terhadap NTP. Besaran nilai marjinal dan elastisitas NTP tersebut menggambarkan besarnya pengaruh dari perubahan harga-harga terhadap NTP. Pengaruh perubahan harga-harga HT terhadap NTP bertanda positifdan pengaruh perubahan harga HB terhadap NTP bertanda negatif.
iv
iv
10) Diantara lima sub sektor penyusun HT, nilai elastisitas harga komoditas sub sektor tanaman pangan terhadap NTP menunjukkan nilai terbesar (0,50) menyusul sub sektor hortikultura (0,19), perkebunan (0,18), peternakan (0,16), dan perikanan (0,13). Nilai elastisitas harga sub sektor tanaman pangan terhadap NTP sebesar 0,50 berarti peningkatan harga-hargatertimbang sub sektor sebesar 1 persen akan meningkatkan NTP sebesar 0,50 persen, demikian seterusnya. Sementara itu, dari unsur pengeluaranpenyusun HB, nilai elastisitas harga produk konsumsi rumahtangga sebesar -0,08 lebih besar dari elastisitas harga penambahan barang modal sebesar -0,46.
11) Penelusuran lebih rinci menunjukkan pada sub sektor tanaman pangan, elastisitas harga padi terhadap NTP sebesar 0,28 lebih besar dibandingkan dengan elastisitas harga palawija sebesar 0,25. Pada sub sektor hortikultura, elastisitas harga sayuran dan buah terhadap NTP menunjukkan nilai yang sama, yaitu masing-masing 0,18. Nilai elastisitas harga komoditas perkebunan 0,18. Sedangkan pada sub sektor peternakan, nilai elastisitasterbesar terjadi pada harga ternak besar (0,10), disusul harga ternak kecil (0,08), hasil ternak (0,07), dan unggas (nilai elastisitas 0,06). Pada sub sektor perikanan, nilai elastisitas harga produk hasil tangkap sebesar 0,08dan harga produk budidaya sebesar 0,06.
12) Dalam komponen penyusun HB, pada kelompok konsumsi rumahtangga, nilaielastisitas harga produk bahan makanan menunjukkan nilai tertinggi(elastisitas -0,50), disusul produk makanan jadi (-0,25), perumahan (-0,10), transportasi dan komunikasi (-0,05), sandang (-0,04), dan kesehatan serta pendidikan dengan elastisitas`masing-masing -0,03. Pada kelompok sarana produksi dan barang modal, nilai elastisitas terbesar dijumpai pada elastisitas upah terhadap NTP sebesar -0,08, disusul elastisitas pupuk-obat (-0,05), transportasi (-0,05), sewa (-0,03), penambahan barang modal (-0,03), dan elastisitas harga bibit (-0,02).
13) Indeks pengeluaran konsumsi rumahtangga (KRT) merupakan indeks inflasi pedesaan. Dengan demikian hasil analisa menunjukkan inflasi pedesaan memberi pengaruh besar terhadap penurunan NTP (elastisitas -0,80), dan faktor terbesar penyumpang inflasi pedesaan tersebut adalah bahan makanan (elastisitas -0,50), disusul bahan makanan jadi (-0,25), selanjutnya perumahan, transportasi dan komunikasi, sandang, kesehatan dan pendidikan. Dalam rangka kepentingan mengendalikan inflasi pedesaan, langkah strategis yang dapat dilakukan adalah pengendalian harga yang diterima petani (HT) karena HT sangat berhubungan erat dengan harga dan juga akan berdampak kepada stabilitas NTP. NTP yang stabil berarti kenaikan harga-harga terjadi secara proporsional antara HT dan HB. Diperlukan kebijakan pengaturan harga yang merangsang petani berusahatani dan akan meningkatkan kesejahteraan petani (NTP) dan pengendalian inflasi.
v
v
14) Terdapat hubungan erat antara harga konsumsi rumahtangga (KRT) terutama bahan makanan (BM) dari sisi biaya yang dibayar petani (HB), dengan harga yang diterima petani (HT) terutama harga komoditas tanaman pangan (HTTP). Nilai elastisitas HT terhadap KRT dan BM masing-masing sebesar 0,869 dan 0,988; sementara elastisitas HTTP terhadap KRT dan BM masing-masing 0,721 dan 0,821. Dengan demikian kebijakan peningkatan harga yang diterima petani (HT) terutama harga sub sektor tanaman pangan (HTTP) akan berdampak kepada harga bahan makanan dan KRT (inflasi pedesaan), atau berarti pula kebijakan peningkatan harga pangan (HTTP) dalam rangka meningkatkan NTP juga berakibat meningkatkan KRT (inflasi di pedesaan).
15) Dampak penyesuaian harga BBM terhadap NTP yang terjadi pada bulan Mei tahun 2008 dan Juni pada tahun 2013 menunjukkan pengaruh berbeda. Kebijakan kenaikan BBM tahun 2008 bersamaan dengan kondisi harga harga produk pertanian di pasar domestik dan internasional yang meningkat pesat, sehingga kenaikan harga/biaya transportasi dan HB akibat kenaikan harga BBM masih lebih kecil dibandingkan kenaikan HT akibat kenaikan harga produk komoditas yang diterima, sehingga NTP masih menunjukkan peningkatan. Kondisi sebaliknya terjadi pada tahun 2013, kenaikan harga BBM bulan Juni 20013 telah berakibat kenaikan harga transportasi dan kenaikan HB yang jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan harga produk pertanian yang diterima petani (HT), sehingga telah menurunkan NTP.
16) Dari data mikro menunjukkan hasil analisa usahatani beberapa komoditaspertanian (komoditas tanaman pangan, hortikultura, perkebunan rakyat dan peternakan) menghasilkan keuntungan positif. Berdasarkan hasil studi Panel, tingkat keuntungan usaha pertanian tersebut cenderung meningkat, dan peningkatan tersebut terutama karena peningkatan harga jual hasil produksi dibandingkan karena pengaruh peningkatan produktivitas. Kondisi ini terjadi terutama pada usahatani tanaman pangan, hortikultura dan usaha ternak.
17) Terjadi peningkatan biaya produksi berkaitan dengan peningkatan nilai sewa lahan, upah buruh tani dan harga sarana produksi. Peningkatan biaya produksi terjadi dengan laju lebih besar dibanding laju peningkatan nilai produksi, sehingga daya tukar atau profitabilitas usaha komoditas pertanian cenderung menurun.
18) Kegiatan pembangunan yang berjalan juga telah meningkatkan pendapatan rumahtangga pertanian, baik pada rumahtangga berbasis agroekosistemlahan sawah dengan komoditas utama tanaman padi maupun rumahtangga berbasis tanaman perkebunan. Peningkatan pendapatan rumahtangga terutama disebabkan oleh peningkatan pendapatan dari kegiatan di luarpertanian (non pertanian) dan pendapatan dari usahatani (on-farm). Peningkatan pendapatan dari non pertanian (non-farm) sejalan dengan terbukanya lapangan kerja usaha non pertanian. Tarikan untuk bekerja di luar pertanian dengan fasilitas yang lebih baik menyebabkan partisipasi kerja
vi
vi
sebagai buruh tani menurun, dan ini ditunjukkan oleh penurunan proporsi curahan kerja dan pendapatan dari berburuh tani di hampir semua lokasi contoh.
19) Indikator lain yang mencerminkan keragaan kesejahteraan masyarakat dapat dinilai dari struktur pengeluaran rumahtangga. Terdapat indikasi semakin tinggi pendapatan/ kesejahteraan, semakin menurun proporsi pengeluaran untuk makanan, sementara proporsi untuk konsumsi barang bukan makanan cenderung meningkat. Data tahun 2002-2011 menunjukkan gambaran tersebut. Proporsi pengeluaran rumahtangga untuk makanan menurun dari 58,47 persen menjadi 49,45 persen (atau turun sebesar 1,54 persen/tahun), sementara proporsi untuk bukan makanan meningkat dari 41,53 persen menjadi 50,55 persen atau meningkat sebesar 2,17 persen/tahun. Gambaran makro di atas juga ditunjang oleh data hasil penelitian primer. Proporsi pengeluaran untuk bahan makanan relatif paling besar, namun cenderung menurun sejalan dengan peningkatan pendapatan. Sementara proporsi pengeluaran untuk makanan jadi, perumahan, pendidikan-rekreasi serta transportasi-komunikasi menunjukan keragaman antar daerah.
20) Dengan kondisi dasar skala usahatani (skala pemilikan) rumahtangga petani skala kecil, maka pola usahatani petani perlu dilakukan melalui pendekatan pengembangan usahatani terpadu dengan memaksimalkan pemanfaatan lahan yang terbatas. Melalui pengembangan pola usahatani terpadu akan mengurangi resiko akibat kegagalan produksi dari suatu tanaman tertentu. Pengembangan pola usahatani terpadu juga dinilai strategis sebagai langkah antisipasi kondisi anomali iklim yang semakin sulit diprediksi.
21) Peningkatan produktivitas usahatani merupakan salah satu peluang peningkatan pendapatan petani. Peningkatan produktivitas dan nilai jualnya perlu didukung dengan peningkatan akses kepada teknologi (melalui bimbingan dan penyuluhan), peningkatan akses terhadap layanan usahatani dan infrastruktur untuk memperoleh kemudahan sarana produksi dan peningkatan akses pasar.
22) Kebijakan dan program pemerintah telah dilakukan untuk peningkatan pendapatan petani melalui bantuan subidi, penyediaan infrastruktur; serta kebijakan untuk pengendalian pengeluaran konsumsi rumahtangga (seperti pemberian raskin, subsidi pendidikan, subsidi kesehatan, dan lainnya) dinilai sangat relevan dalam perbaikan kesejahteraan petani.
Relevansi NTP sebagai Indikator Kesejahteraan petani
23) Konsep NTP yang dikembangkan BPS dihitung dari rasio harga yang diterima petani (HT) terhadap harga yang dibayar petani (HB). Konsep ini secara sederhana dapat menggambarkan daya beli petani. Dalam penghitungan NTP digunakan indeks Laspeyres dimana nilai indeks
vii
vii
tertimbang terhadap kuantitas tahun dasar tertentu dan pergerakan indeks ditentukan oleh pergerakan harga harga. Dengan dasar asumsi tersebut maka rasio harga yang diterima petani terhadap harga yang dibayar petani dipakai sebagai indikator daya beli pendapatan petani terhadap pengeluarannya, dan indikator tersebut digunakan sebagai indikator kesejahteran petani.
24) Indikator NTP yang dibangun BPS mempunyai unit analisa nasional danmerupakan agregasi dari provinsi dan sub sektor /komoditi. Dengan demikian disamping dapat diketahui daya beli petani nasional juga dapat diketahui dan diperbandingkan daya beli petani antar regional provinsi dan daya beli antar sub sektor. Disagreagasi juga dapat dilakukan dengan lebih rinci atas masing-masing komponen komoditi penyusunnya, seperti NT padi terhadap pupuk, NTP sayuran terhadap sewa lahan, NTP unggas terhadap upah dan sebagainya. Indeks nilai tukar komponen penyusun NTP tersebut merupakan parameter penting kebijakan pembangunan pertanian.
25) Dalam kaitan dengan NTP sebagai alat ukur kesejahteraan petani, penggunaan asumsi tingkat produksi yang tetap (indeks Laspeyres) dinilai kurang relevan, karena dengan kuantitas tetap berarti NTP tidak mengakomodasikan kemajuan produktivitas pertanian, kemajuan teknologi dan pembangunan. NTP sebagai indikator daya beli petani yang didasarkan kepada rasio harga harga dinilai belum menunjukkan kesejahteraan petani, karena daya beli yang lebih mendekati kesejahteraan petani sesungguhnya adalah daya beli penerimaan petani terhadap pengeluaran petani.
26) Dengan struktur tataniaga pertanian yang terjadi saat ini, kenaikan harga produk yang diterima petani tidak identik dengan peningkatan pendapatanpetani. Kenaikan harga yang diterima petani justru mengindikasikan kelangkaan suplai/produksi pertanian. Peningkatan NTP berarti kenaikan harga yang diterima petani (harga produsen) dengan proporsi yang lebih tinggi dari harga yang dibayar petani (harga konsumen). Pada kondisi demikian maka NTP yang konstan dinilai lebih baik, karena pada NTP yang konstan berarti perubahan harga yang diterima petani meningkat (atau menurun) secara proporsional dengan perubahan harga yang dibayar petani.
27) Dengan beberapa kekurangan dalam penghitungan NTP, diperlukanpenyempurnaan penghitungan NTP yang lebih mendekati pengukuran kesejahteraan petani. Penyempurnaan dapat dilakukan antara lain melalui penghitungan pendekatan dengan menggunakan konsep nilai, yaitu dengan memasukkan unsur kuantitas dalam penghitungan NTP, sehingga NTP merupakan rasio antara nilai pendapatan terhadap nilai pengeluaran. Dengan memasukkan unsur kuantitas maka perhitungan NTP menjadi lebih kompleks. Cara paling sederhana adalah dengan disusun dan diakomodasikannya Indeks Produksi Pertanian dan Indeks Konsumsi
viii
viii
Rumahtangga Pertanian dalam rumus penghitungan NTP. Dengan konsep nilai tersebut maka indeks NTP baru merupakan rasio antara nilai penerimaan terhadap nilai pengeluaran.
28) Pada bagian lain penyusunan NTP yang dilakukan BPS saat ini juga masih memiliki kekurangan berkaitan dengan cakupan/definisi "petani" belum sepenuhnya mengakomodasikan seluruh sub sektor pertanian (seperti petani kawasan hutan) dan cakupan komoditas dari masing-masing sub sektor. Penyempurnaan tersebut perlu mendapat kesepakatan bersama karena terkait dengan pemahaman, ketersediaan data dan analisa.
ix
DAFTAR ISI
Hal
KATA PENGANTAR i
RINGKASAN ii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xvii
DAFTAR LAMPIRAN xix
1.1. PENDAHULUAN
1.2. Latar Belakang 1
1.3. Dasar Pertimbangan 3
1.4. Tujuan 6
1.5. Keluaran 7
II. TINJAUAN PUSTAKA 9
2.1. NTP sebagai Indikator Kesejahteraan Petani 9
2.2. Pengukuran Nilai Tukar Petani (NTP) 13
2.2.1. Harga yang Diterima Petani (HT) 14
2.2.2. Harga yang Dibayar Petani (HB) 15
2.3. Kebijakan Pembangunan dalam Peningkatan Kesejahteraan
Petani 18
2.3.1. Peningkatan Produksi Pertanian 20
2.3.2. Pemberian Dukungan Subsidi dan Insentif 21
2.3.3. Kebijakan Perdagangan 22
2.3.4. Penyediaan Infrastruktur 23
2.3.5. Kebijakan Khusus Peningkatan Kesejahteraan Rakyat 24
III. METODOLOGI 27
3.1. Kerangka Pemikiran 27
3.1.1. Pengaruh Perubahan Harga yang Diterima Petani (HT) 29
3.1.2.Pengaruh Perubahan Harga yang Dibayar Petani (HB) 30
x
DAFTAR ISI
Hal
KATA PENGANTAR i
RINGKASAN ii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xvii
DAFTAR LAMPIRAN xix
1.1. PENDAHULUAN
1.2. Latar Belakang 1
1.3. Dasar Pertimbangan 3
1.4. Tujuan 6
1.5. Keluaran 7
II. TINJAUAN PUSTAKA 9
2.1. NTP sebagai Indikator Kesejahteraan Petani 9
2.2. Pengukuran Nilai Tukar Petani (NTP) 13
2.2.1. Harga yang Diterima Petani (HT) 14
2.2.2. Harga yang Dibayar Petani (HB) 15
2.3. Kebijakan Pembangunan dalam Peningkatan Kesejahteraan
Petani 18
2.3.1. Peningkatan Produksi Pertanian 20
2.3.2. Pemberian Dukungan Subsidi dan Insentif 21
2.3.3. Kebijakan Perdagangan 22
2.3.4. Penyediaan Infrastruktur 23
2.3.5. Kebijakan Khusus Peningkatan Kesejahteraan Rakyat 24
III. METODOLOGI 27
3.1. Kerangka Pemikiran 27
3.1.1. Pengaruh Perubahan Harga yang Diterima Petani (HT) 29
3.1.2.Pengaruh Perubahan Harga yang Dibayar Petani (HB) 30
xi
3.1.3.Nilai Tukar Penerimaan/Pendapatan Petani 30
3.2. Ruang Lingkup Kegiatan 33
3.3. Metoda Analisa 34
3.4. Sumber Data 35
IV. KERAGAAN RUMAHTANGGA PERTANIAN DAN
KESEJAHTERAAN PETANI 37
4.1. Keragaan Rumahtangga Pertanian 37
4.1.1.Keragaan Rumahtangga Tanaman Pangan 40
4.1.2. Keragaan Rumahtangga Hortikultura 46
4.1.3. Keragaan Rumahtangga Perkebunan 50
4.1.4.Keragaan Rumahtangga Peternakan 53
4.2. Keragaan Kesejahteraan Rumahtangga Petani 55
V. PERILAKU NILAI TUKAR PETANI 61
5.1. Perkembangan NTP Tahun 2008-2013 61
5.2. Perilaku Harga yang Diterima Petani (HT) 63
5.2.1. Perilaku Harga yang Diterima Petani Sub Sektor
Tanaman Pangan 65
5.2.2. Perilaku Harga yang Diterima Petani Sub Sektor
Hortikultura 66
5.2.3. Perilaku Harga yang Diterima Petani Sub Sektor
Perkebunan 67
5.2.4. Perilaku Harga yang Diterima Petani Sub Sektor
Peternakan 68
5.2.5. Perilaku Harga yang Diterima Petani Sub Sektor
Perikanan 69
5.3. Perilaku Harga yang Dibayar Petani (HB) 70
5.3.1. Indeks Harga Konsumsi Rumahtangga 72
5.3.2. Indeks Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal 73
xii
VI. FAKTOR-FAKTOR DAN KEBIJAKAN YANG MEMPENGARUHI NTP 75
6.1. Pengaruh Perubahan Harga-harga terhadap NTP 75
6.1.1. Pengaruh Perubahan Harga Diterima Petani (HT) 76
6.1.2. Pengaruh Perubahan Harga Dibayar Petani (HB) 78
6.2. KeterkaitanantaraInflasidenganNTP 79
6.3. Dampak Kebijakan BBM terhadap NTP 81
6.4. Pengaruh Peningkatan Produk Pertanian terhadap NTP 84
VII. NILAI TUKAR PENDAPATAN PETANI DAN RUMAHTANGGA TANI 87
7.1. Nilai Tukar Pendapatan Usahatani 87
7.1.1. Nilai Tukar Usahatani Tanaman Pangan 87
7.1.2. Nilai Tukar Usahatani Tanaman Hortikultura 94
7.1.3. Nilai Tukar Usahatani Tanaman Perkebunan 99
7.1.4. Nilai Tukar Usaha Peternakan 100
7.2. Marjin Pemasaran Komoditas Pertanian 102
7.3. Perubahan Pendapatan Rumahtanga Petani 104
7.3.1. Pendapatan Rumahtangga pada Agroekosistem
Lahan Sawah 105
7.3.2. Pendapatan Rumahtangga pada Agroekosistem
Lahan Perkebunan 107
VIII. RELEVANSI NTP DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN
KESEJAHTERAAN PETANI 113
8.1. Relevansi NTP sebagai Indikator Kesejahteraan Petani 113
8.2. Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Rumahtangga Petani 117
8.2.1. Kebijakan Di Bidang Pendapatan Rumahtangga Petani 118
8.2.2. Kebijakan Di Bidang Pengeluaran Rumahtangga Petani 124
IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 129
9.1. Kesimpulan 129
9.2. Implikasi Kebijakan 133
DAFTAR PUSTAKA 137
LAMPIRAN 141
xiii
DAFTAR TABEL
Hal
3.1. Perubahan HT dan HB terhadap NTP 31
3.2. Perubahan Penawaran/Produksi dan Permintaan terhadap
Harga Produk Pertanian 32
3.3. NTP dan Produksi di Tingkat Regional 33
4.1. Perkembangan Jumlah Rumahtangga Pertanian 1993-2003
Berdasarkan Sub Sektor Pertanian (juta) 37
4.2. Perkembangan Jumlah Rumahtangga Pertanian 1993-2003
Berdasarkan Regional (juta) 38
4.3. Struktur Rumahtangga Pertanian Menurut Golongan Luas
Pemilikan Lahan Tahun 1983-2003 39
4.4. Distribusi Rumahtangga Petani Menurut Kelompok Pemilikan Lahan,
Tahun 2007 (dalam persen) 40
4.5. Proporsi Jumlah Rumahtagga Tanaman Pangan Tahun 2003 41
4.6. Proporsi Jumlah Rumahtangga (RT) berdasarkan Peran Pendapatan
Usahatani Tanaman Padi Sawah dan Padi Ladang Tahun 2003 42
4.7. Permasalahan/Kendala Utama dalam Usahatani Padi Tahun 2003 43
4.8. Sumber Pembiayaan Usahatani Padi Tahun 2003 43
4.9. Tingkat Penerapan Teknologi Budidaya Padi Tahun 2003 44
4.10. Banyaknya Rumahtangga Tani Padi yang Mendapat Bantuan Faktor
Produksi Padi dari Pemerintah Tahun 2003 46
4.11. Jumlah Rumahtangga Tanaman Hortikultura 1993 dan 2003 47
4.12. Rata-rata Luas Lahan yang Dikuasai Rumah tangga Hortikultura Menurut
Status Penguasaan Lahan dan Penggunaan Lahan, Tahun 2003 (m2) 48
4.13. Rata-rata Luas Lahan yang Dikuasai Rumahtangga Usaha Hortikultura
Menurut Jenis Lahan, Tahun 2003 (m2) 48
4.14. Jumlah Rumahtangga Usaha Tanaman Hortikultura yang Modalnya dari
Kredit dan Bentuk Pinjaman Tahun 2003 49
xiv
4.15. Jumlah Rumahtangga Usaha Tanaman Hortikultura yang
Sebagian Modalnya dari Bantuan Pemerintah Tahun 2003 49
4.16. Perkembangan Jumlah Rumahtangga Komoditas Perkebunan
Terpilih Tahun 1993-2003 51
4.17. Proporsi Rumahtangga (RT) Perkebunan Berdasarkan
Luas Lahan Usaha Ternak yang Dikuasai Tahun 2003 51
4.18. Rata-Rata Luas Lahan yang Dikuasai Rumahtangga Usaha Komoditas
Perkebunan Terpilih Menurut Status Penguasaan Lahan
dan Penggunaan Lahan (m2) Tahun 2003 52
4.19. Rata-Rata Luas Lahan yang Dikuasai Rumahtangga Usaha Komoditas
Perkebunan Menurut Jenis Lahan Tahun 2003 (m2) 52
4.20. Persentase Banyaknya Rumahtangga Perkebunan yang Menghadapi
Masalah dalam Pembudidayaan Tanaman Menurut Jenis
Masalah Utama Tahun 2003 53
4.21. Jumlah Rumahtangga Peternakan Tahun 2003 53
4.22. Jumlah Rumahtangga Usaha Ternak Berdasarkan Jenis Ternak yang
Diusahakan Tahun 2003 54
4.23. Proporsi Jumlah Rumahtangga Berdasarkan Lahan Usaha Ternak yang
Dikuasai 54
4.24. Proporsi Jumlah Rumahtangga Peternakan Berdasarkan Lahan
Usaha untuk Pertanian Lain 55
4.25. Laju Pertumbuhan PDB, Tenaga Kerja, dan Produktivitas Sektor Terpilih,
2000-2011 57
4.26. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia, 2000-2012 58
4.27. Sumber Penghasilan Utama Rumahtangga (%) 59
4.28. Struktur Pengeluaran Rumahtangga Per Kapita Per Bulan, 2002 dan 2011
(Rp/Kap/Bulan) 60
5.1. Nilai Regresi Indeks Harga yang Diterima Petani Tahun 2008-2013 65
6.1. Rangkuman Nilai Marjinal dan Elastisitas dari Pengaruh HT
terhadap NTP 76
xv
6.2. Pengaruh Perubahan Harga Dibayar Petani (HB) terhadap NTP 79
7.1. Perubahan Nilai Tukar Pendapatan Usaha
tani Padi, Jagung, Kedelai, dan Ubikayu Tahun 2008-2011 92
7.2. Perubahan Nilai Tukar Pendapatan Usahatani
Kubis, Kentang, Tomat, dan Cabe Merah Tahun 2005-2012 97
7.3. Perubahan Nilai Tukar Pendapatan Usahatani Tebu dan Tembakau 100
7.4. Perubahan Nilai Tukar Pendapatan Usahatani Sapi dan Kambing
Tahun 2008-2011 102
7.5. Marjin Pemasaran Beberapa Komoditas Pertanian 104
7.6. Struktur dan Nilai Tukar Pendapatan Rumahtangga Petani pada
Agroekosistem Sawah Tahun 2007-2010 106
7.7. Struktur Pendapatan Rumahtangga Petani Perkebunan
Tahun 2009-2012 110
7.8. Struktur Pendapatan Rumahtangga Petani pada
Agroekosistem Perkebunan Tahun 2009-2012 111
8.1. Skenario Perubahan HT dan HB terhadap NTP 116
xvi
xvii
DAFTAR GAMBAR
Hal
2.1. Pembentukan NTP 17
2.2. Kebijakan-kebijakan yang Mempengaruhi NTP 20
4.1. Perkembangan Produktivitas per Sektor, 2000-2011 56
5.1. Perkembangan Indeks Diterima Petani, Indeks Dibayar Petani,
dan Nilai Tukar Petani, Januari 2008-Mei 2013 62
5.2. Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani, Indeks Harga
Dibayar Petani, dan Nilai Tukar Petani Per Sub sektor dan
Gabungan, Januari 2008-Mei 2013 64
5.3. Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani Sub Sektor
Tanaman Pangan, Indeks Harga Padi dan Palawija,
Januari 2008-Mei 2013 66
5.4. Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani Sub Sektor
Hortikultura, Indeks Harga Sayur-sayuran dan Buah-buahan,
Januari 2008-Mei 2013 67
5.5. Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani Sub sektor Perkebunan/
Tanaman Perkebunan Rakyat, Januari 2008-Mei 2013 68
5.6. Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani Sub Sektor Peternakan,
Indeks Harga Ternak Besar, Ternak Kecil, Unggas, dan Hasil Ternak,
Januari 2008-Mei 2013 69
5.7. Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani Sub Sektor Perikanan,
Indeks Harga Ikan Hasil Penangkapan dan Ikan Hasil Budidaya,
Januari 2008-Mei 2013 70
5.8. Perkembangan Indeks Harga yang Dibayar Petani,
Indeks Harga Konsumsi Rumahtangga dan Biaya Produksi
dan Penambahan Barang Modal, Januari 2008-Mei 2013 71
5.9. Perkembangan Indeks Harga Konsumsi Rumahtangga dan Komponen
Penyusunnya, Januari 2008-Mei 2013 73
xviii
5.10. Perkembangan Indeks Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal,
Januari 2008-Mei 2013 74
6.1. Dampak Kenaikan Harga BBM Bulan Mei 2008 dan Juni 2013
terhadap NTP 82
6.2. Dampak kenaikan Harga BBM Bulan Juni 2013 terhadap NTP 84
6.3. Perkembangan Indeks Produksi dan Rata-rata NTP Tahun 2008-2012 85
6.4. Perkembangan Indeks Produksi Sub Sektor dan Rataan NTP Sub Sektor,
Tahun 2008-2012 86
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Hal
Tabel Lampiran 1. Nilai Tukar Petani Nasional 142
Tabel Lampiran 2. Bobot Komponen Penyusun NTP 148
Tabel Lampiran 3. Analisa Usahatani Komoditas Padi, Jagung,
Kedelai dan Ubikayu Tahun 2008 dan 2011 (Rp 000) 150
Tabel Lampiran 4. Analisa Usahatani Kubis, Kentang, Tomat dan Cabe Merah
Tahun 2005 dan 2012 (Rp 000) 151
Tabel Lampiran 5. Analisa Usahatani Komoditas Tebu dan Tembakau Tahun
2008, 2009, 2011 dan 2012 (Rp 000) 152
xx
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Peningkatan kesejahteraan masyarakat sangat relevan untuk terus
mendapat perhatian, hal ini berkaitan dengan beberapa aspek, antara lain: (a)
kehidupan yang sejahtera merupakan hak dari setiap anggota masyarakat, (b)
Pembukaan UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa Indonesia yang
sejahtera merupakan tujuan akhir dari pembentukan negara Indonesia, (c)
peningkatan kesejahteraan telah menjadi kesepakatan dunia seperti yang
tertuang dalam Millennium Development Goals (MDGs), dan (d) kesejahteraan
masyarakat selalu menjadi prioritas pembangunan nasional. Peningkatan
kesejahteraan rakyat ditunjukkan oleh membaiknya berbagai indikator
pembangunan sumberdaya manusia, antara lain peningkatan pendapatan per
kapita; penurunan angka kemiskinan dan tingkat pengangguran.
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang mempunyai
kontribusi penting dalam pembangunan nasional, melalui perannya dalam
pembentukan PDB, penyerapan tenaga kerja, dan sumber pendapatan
masyarakat, serta perannya dalam memproduksi produk pertanian untuk
penyediaan pangan, pakan, bahan baku industri dan ekspor.
Dalam dekade terakhir, PDB sektor pertanian secara luas terus meningkat.
Atas dasar harga konstan, PDB pertanian meningkat dari Rp 66,2 trilyun pada
tahun 2000 menjadi Rp 166,8 trilyun pada tahun 2011, atau terdapat peningkatan
rata-rata 4,0 persen/tahun. Keberhasilan transformasi ekonomi yang berjalan
menyebabkan laju pertumbuhan di banyak sektor di luar pertanian tumbuh lebih
tinggi dibanding sektor pertanian, sehingga kontribusi sektor pertanian terhadap
pembentukan PDB total nasional mengalami penurunan.
Kontribusi penting lain dari sektor pertanian adalah sebagai penyedia
lapangan kerja masyarakat. Pada tahun 2000-2011 jumlah tenaga kerja di sektor
2
2
pertanian cenderung menurun dari 40,7 juta jiwa (45,3 persen total tenaga kerja)
pada tahun 2000 menjadi 39,3 juta jiwa (35,9 persen total tenaga kerja) pada
tahun 2011, sejalan dengan tumbuhnya lapangan kerja di luar sektor pertanian.
Namun demikian, jumlah serapan tenaga kerja tersebut masih cukup dominan.
Aktivitas sektor pertanian sebagian besar dilakukan di wilayah pedesaan dan
didominasi kegiatan on farm atau usahatani budidaya. Aktivitas dilakukan oleh
petani penggarap dan para buruh tani yang memperoleh upah tenaga kerja.
Pelaksanaan pembangunan pertanian pada dasarnya ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama petani. Oleh karena itu, dalam
setiap tahap kegiatan pembangunan pertanian kesejahteraan petani selalu
menjadi tujuan pembangunan. Melalui berbagai kebijakan dan program
pembangunan pertanian yang dilaksanakan, pemerintah telah berupaya
peningkatan produksi pertanian, menjaga stabilitas pasokan bahan pangan, dan
meningkatkan pendapatan/kesejahteraan petani.
Diantara kegiatan-kegiatan pembangunan telah berjalan diyakini banyak
keberhasilan yang dicapai, terutama dalam peningkatan produksi, perekonomian
pedesaan serta bagi konsumen pedesaan dan perkotaan. Namun kemiskinan
masih menjadi masalah yang belum sepenuhnya terpecahkan, terutama
kemiskinan di pedesaan. Peningkatan produksi hasil pertanian melalui berbagai
rekayasa teknologi dan kelembagaan dinilai belum cukup mampu meningkatkan
pendapatan, kesejahteraan petani dan penangggulangan kemiskinan di pedesaan
(Dillon et al., 1999; Simatupang et al., 2000). Kondisi ini didukung oleh data yang
menunjukkan jumlah masyarakat miskin di Indonesia terutama di pedesaan masih
besar. Data BPS menunjukkan pada tahun 2012 jumlah penduduk miskin di
Indonesia mencapai 29,13 juta jiwa, dan sebagian besar, yaitu 18,48 juta (63,4
persen) berada di pedesaan dan sebesar 10,65 juta jiwa (36,6 persen) penduduk
miskin berada di perkotaan.
Pembangunan pertanian berorientasi ke arah perbaikan kesejahteraan
pelaku pembangunan, yaitu petani. Oleh karena itu, sangat relevan untuk
3
3
mengkaji dampak pembangunan yang dilaksanakan terhadap kesejahteraan
petani. Kajian tersebut terutama ditujukan untuk menilai kebijakan yang memberi
dampak positif, negatif, atau netral terhadap produksi dan kesejahteraan petani.
Salah satu indikator/alat ukur yang dapat digunakan untuk menilai tingkat
kesejahteraan petani adalah indeks Nilai Tukar Petani (NTP). NTP merupakan
ukuran kemampuan daya beli/daya tukar petani terhadap barang yang dibeli
petani. Peningkatan nilai tukar petani menunjukkan peningkatan kemampuan riil
petani dan mengindikasikan peningkatan kesejahteraan petani, atau sebaliknya.
Pengetahuan secara mendalam tentang perilaku nilai tukar petani, dampak
pembangunan, dan identifikasi faktor-faktor penentu nilai tukar akan sangat
berguna bagi perencanaan kebijakan pembangunan, perbaikan program-program
pembangunan ke depan.
1.2. Dasar Pertimbangan
Dalam periode tiga dasawarsa terakhir sektor pertanian dalam arti luas
telah menunjukkan peran penting dalam pembangunan nasional, terutama dalam
menggerakkan perekonomian nasional. Sektor pertanian diharapkan masih akan
menjadi motor penggerak perekonomian pedesaan ke depan. Beberapa dekade
yang lalu, pertumbuhan pertanian menunjukkan pertumbuhan yang cukup besar
dan telah memberi kontribusi berarti dalam penurunan tingkat kemiskinan.
Sektor pertanian memiliki multifungsi, antara lain mencakup aspek
produksi, peningkatan kesejahteraan masyarakat, atau penanggulangan
kemiskinan dan kelestarian lingkungan. Dalam aspek produksi, pertanian berperan
dalam menghasilkan produksi untuk bahan pangan pokok, bahan baku industri
domestik, bahan pakan, bio energi, dan produksi untuk ekspor. Dalam aspek
peningkatan kesejahteraan masyarakat, sektor pertanian merupakan sumber
lapangan kerja dan pendapatan masyarakat, pembentukan kapital yang berperan
besar dalam penanggulangan kemiskinan. Penyediaan/produksi berbagai produk
pertanian dengan harga yang murah juga telah meningkatkan kesejahteraan
masyarakat terutama konsumen. Sektor pertanian juga berperan dalam menjaga
4
4
kelestarian lingkungan melalui perannya dalam menciptakan alam yang hijau dan
menciptakan keseimbangan lingkungan, menghindari erosi, dan pengurangan
polusi.
Berbagai kebijakan dan program dalam kegiatan pembangunan pertanian
yang berjalan, ditujukan untuk memaksimalkan multifungsi di atas. Kebijakan dan
program pembangunan tersebut seperti: penyediaan infrastruktur produksi seperti
(irigasi, jalan usahatani); pemberian berbagai bantuan, insentif dan subsidi sarana
produksi (benih, pupuk) dan subsidi harga; dan dukungan penyuluhan dan
pembinaan dalam usahatani serta panen dan pascapanen.
Walaupun pembangunan pertanian telah berdampak positif bagi
masyarakat pedesaan, namun belum mampu memecahkan masalah kemiskinan di
pedesaan. Meskipun jumlah penduduk miskin di pedesaan menunjukkan
penurunan, jumlah penduduk miskin di pedesaan masih besar. Produksi pertanian
telah tumbuh secara signifikan, namun kesejahteraan petani belum dapat
meningkatkan secara signifikan. Hal ini disebabkan antara lain karena umumnya
harga yang diterima petani dan yang dibayar konsumen relatif masih rendah. Hal
ini berkaitan dengan rendahnya daya tawar petani. Kondisi ini menunjukkan
sistem agribisnis yang terbangun belum dapat sepenuhnya mensejahterakan
petani. Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya daya tawar petani tersebut
seperti kesetaraan kelembagaan dalam pasar, infrastruktur, serta kualitas produk
dan lain. Dalam pandangan yang bersifat positif, kondisi demikian menunjukkan
bahwa masih ada peluang meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat
pedesaan secara keseluruhan melalui perbaikan dan melonggarkan kendala-
kendala yang ada.
Sektor pertanian mempunyai potensi besar dalam perekonomian nasional.
Potensi pertanian mencakup wilayah yang luas dengan keragaman kondisi
agroekosistem dan potensi besar komoditas untuk dikembangkan. Namun,
pembangunan pertanian terkendala oleh sejumlah keterbatasan, antara lain: (1)
sumberdaya alam yang terbatas dan rusak, (2) ketersediaan infrastruktur
5
5
pendukung pengembangan pertanian terbatas, (3) penguasaan lahan oleh
rumahtangga relatif kecil, (4) keterbatasan akses petani terhadap modal, (4)
kelembagaan pertanian belum kuat, (5) kebijakan dan pembinaan pertanian
(agribisnis) yang tersekat oleh banyak lembaga.
Peningkatan kesejahteraan petani telah dan akan menjadi prioritas
pembangunan pertanian mendatang, sejalan dengan arahan yang tertuang
dalam rencana jangka panjang pembangunan nasional. Dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, Visi Pembangunan
Nasional tahun 2005-2025 adalah: INDONESIA YANG MANDIRI, MAJU, ADIL
DAN MAKMUR. Dalam tahapan pelaksanaan pembangunan jangka menengah
(PJM) tahun 2004-2009 telah ditetapkan tiga strategi pembangunan ekonomi,
yaitu Pro Growth, Pro Jobs, dan Pro Poor. Strategi pembangunan nasional
tersebut dilanjutkan pada PJM 2010-2014 dengan memperluas fokus menjadi
Triple + One Track Strategy, yaitu Pro Growth, Pro Poor, Pro Jobs, dan Pro
Environment. Dalam strategi pembangunan tersebut, aspek kesejahteraan
masyarakat termasuk masyarakat pertanian (petani) menjadi perhatian,
sehingga agenda peningkatan kesejahteraan rakyat tetap menjadi prioritas dari
pemerintah mendatang. Wujud akhir dari perbaikan kesejahteraan akan
tercermin pada peningkatan pendapatan, penurunan tingkat pengangguran dan
perbaikan kualitas hidup rakyat. Dalam RPJM tahun 2015-2019 diyakini fokus
kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pendalaman dari strategi
Triple + One Track Strategy, yaitu Pro Growth, Pro Poor, Pro Jobs, dan Pro
Environment masih akan menjadi perhatian utama.
Sebagai negara agraris, jumlah masyarakat yang terlibat dalam kegiatan
pertanian/agribisnis relatif besar. Dengan demikian peningkatan kesejahteraan
masyarakat pertanian (petani) akan mendapat perhatian besar pembangunan
nasional melalui kegiatan pembangunan pertanian. Oleh karena itu, dalam setiap
tahapan kegiatan pembangunan pertanian yang telah dilaksanakan dan yang
sedang berjalan, kesejahteraan petani selalu menjadi salah satu tujuan utama dan
6
6
ke depan diyakini masih menjadi salah satu prioritas/target utama pembangunan
pertanian.
Dengan orientasi pembangunan pertanian ke arah perbaikan kesejahteraan
pelaku pembangunan, yaitu petani, maka sangat relevan untuk mengkaji tingkat
kesejahteraan petani dan dampak pembangunan yang dilaksanakan terhadap
kesejahteraan petani. Pengetahuan secara mendalam tingkat kesejahteraan petani
dalam bentuk alat ukur nilai tukar petani, dampak pembangunan dan identifikasi
faktor-faktor penentu nilai tukar akan sangat berguna bagi perencanaan kebijakan
pembangunan, perbaikan program-program pembangunan ke depan.
1.3. Tujuan
Secara umum kajian bertujuan untuk merumuskan kebijakan peningkatan
nilai tukar petani sebagai bahan penyusunan RPJMN 2015-2019 Bidang Pertanian.
Secara lebih rinci tujuan kajian adalah:
1) Menganalisa perilaku nilai tukar petani Indonesia,
2) Menganalisa faktor-faktor dan kebijakan yang mempengaruhi nilai tukar
petani,
3) Menganalisa nilai tukar pendapatan usahatani dan pendapatan rumahtangga,
4) Merumuskan kebijakan peningkatan kesejahteraan petani sebagai bahan
dasar RPJMN 2015-2019 Bidang Pertanian.
1.4. Keluaran
Sesuai dengan tujuan, maka keluaran kajian adalah rumusan kebijakan
peningkatan nilai tukar petani sebagai bahan penyusunan RPJMN 2015-2019
Bidang Pertanian. Secara lebih rinci keluaran kajian adalah:
1) Analisa perilaku nilai tukar petani Indonesia,
2) Analisa faktor-faktor dan kebijakan yang mempengaruhi nilai tukar petani,
5) Analisa nilai tukar pendapatan usahatani dan pendapatan rumahtangga,
6) Rumusan kebijakan peningkatan kesejahteraan petani sebagai bahan dasar
RPJMN 2015-2019 Bidang Pertanian.
7
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Nilai Tukar Petani sebagai Indikator Kesejahteraan Petani
Unsur penting yang dijadikan sebagai indikator kesejahteraan petani
adalah besarnya pendapatan dan perimbangannya dengan pengeluaran. Dalam
kaitan tersebut salah satu alat ukur yang sering digunakan adalah nilai tukar
petani (NTP). Perhitungan NTP diperoleh dari perbandingan indeks harga yang
diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani. Nilai tukar petani
menggambarkan tingkat daya tukar/daya beli petani terhadap produk yang
dibeli/dibayar petani yang mencakup konsumsi dan input produksi yang dibeli.
Semakin tinggi nilai tukar petani, semakin baik daya beli petani terhadap produk
konsumsi dan input produksi tersebut, dan berarti secara relatif lebih sejahtera.
Simatupang dan Maulana (2008) mengemukakan bahwa penanda
kesejahteraan yang unik bagi rumahtangga tani praktis tidak ada, sehingga NTP
menjadi pilihan satu-satunya bagi pengamat pembangunan pertanian dalam
menilai tingkat kesejahteraan petani. Dengan demikian, NTP merupakan salah
satu indikator relatif tingkat kesejahteraan petani. Semakin tinggi NTP, relatif
semakin sejahtera tingkat kehidupan petani (Silitonga, 1995; Sumodiningrat,
2001; Tambunan, 2003; BPS, 2006; Masyhuri, 2007).
Konsep NTP yang dikembangkan BPS, identik dengan konsep nisbah
paritas (parity ratio) yang dikembangkan di Amerika Serikat pada tahun 1930an
(Tomek dan Robinson, 1981). Konsep tersebut sampai sekarang masih digunakan
dan secara dinamis dilakukan beberapa modifikasi sesuai dengan perubahan
relatif komoditas penyusunnya. Konsep nisbah paritas dirumuskan sebagai
berikut:
8
8
Dengan menggunakan teori keseimbangan umum Rachmat (2000)
menunjukkan bahwa NTP dapat dijadikan sebagai alat ukur tingkat kesejahteraan
petani. Secara konsepsi arah dari NTP (meningkat atau menurun) merupakan
resultan dari arah setiap komponen penyusunnya, yaitu komponen penerimaan
yang mempunyai arah positif terhadap kesejahteraan petani dan komponen
pembayaran yang mempunyai arah negatif terhadap kesejahteraan. Apabila laju
komponen penerimaan lebih tinggi dari laju pembayaran maka nilai tukar petani
akan meningkat, demikian sebaliknya. Pergerakan naik atau turun NTP
menggambarkan naik turunnya tingkat kesejahteraan petani.
Lebih lanjut Rachmat (2000) menunjukkan bahwa NTP mempunyai
karakteristik yang cenderung menurun. Hal ini berkaitan dengan karakteristik yang
melekat dari komoditas pertanian dan non pertanian. Ada tiga penjelasan
mengenai terjadinya penurunan NTP, yaitu: (1) Elastisitas pendapatan produk
pertanian bersifat inelastik, sementara produk non pertanian cenderung lebih
elastis, (2) Perubahan teknologi dengan laju yang berbeda menguntungkan
produk manufaktur, dan (3) Perbedaan dalam struktur pasar, dimana struktur
pasar dari produk pertanian cenderung kompetitif, sementara struktur pasar
produk manufaktur cenderung kurang kompetitif dan mengarah ke pasar
monopoli/oligopoli.
Secara umum, nilai tukar mempunyai arti yang luas dan dapat digolongkan
menjadi lima konsep nilai tukar, yaitu: (1) Nilai Tukar Barter, (2) Nilai Tukar
Faktorial, (3) Nilai Tukar Penerimaan, (4) Nilai Tukar Subsisten, (5) Nilai Tukar
Pendapatan, dan (6) Nilai Tukar Petani (Diakosawas dan Scandizzo, 1991;
Simatupang, 1992; Simatupang dan Isdijoso, 1992; Rachmat et al., 2000;
Supriyati et al., 2000).
1) Konsep Barter/Pertukaran
Konsep barter (Nilai Tukar Barter) mengacu kepada harga nisbi suatu
komoditas pertanian tertentu terhadap barang/produk non pertanian. Nilai Tukar
Barter (NTB) didefinisikan sebagai rasio antara harga pertanian terhadap harga
9
9
produk non pertanian. Secara matematik dirumuskan sebagai berikut:
dimana: NTB = Nilai Tukar Barter Pertanian,Px = Harga komoditas pertanian,Py = Harga komoditas non pertanian.
Konsep nilai tukar ini mampu mengidentifikasi perbandingan harga relatif
dari komoditas pertanian tertentu terhadap harga produk yang dipertukarkan.
Peningkatan NTB berarti semakin kuat daya tukar harga komoditas pertanian
terhadap barang yang dipertukarkan. Konsep NTB hanya berkaitan dengan
komoditas dan produk tertentu dan tidak mampu memberi penjelasan berkaitan
dengan perubahan produktivitas (teknologi) komoditas pertanian dan komoditas
non pertanian tersebut.
2) Konsep Faktorial
Konsep faktorial merupakan perbaikan dari konsep barter, yaitu dengan
memasukkan pengaruh perubahan teknologi (produktivitas). Nilai Tukar Faktorial
(NTF) pertanian didefinisikan sebagai rasio antara harga pertanian terhadap harga
non pertanian, dikalikan dengan produktivitas pertanian (Zx). Apabila hanya
memperhatikan produktivitas pertanian maka disebut Nilai Tukar Faktorial Tunggal
(NTFT). Apabila produktivitas non pertanian (Zy) juga diperhitungkan, maka
disebut Nilai Tukar Faktorial Ganda (NTFG). NTFT dan NTFG dirumuskan sebagai
berikut:
10
10
dimana: NTFT = Nilai Tukar Faktorial Tunggal,NTFG = Nilai Tukar Faktorial Ganda,ZX = Produktivitas komoditas pertanian,Zy = Produktivitas produk non pertanian,Z = Rasio produktivitas pertanian (x) terhadap non pertanian (y).
3) Konsep Penerimaan
Konsep penerimaan (Nilai Tukar Penerimaan) merupakan pengembangan
dari konsep nilai tukar faktorial. Nilai Tukar Penerimaan (NTR) merupakan daya
tukar dari penerimaan (nilai hasil) komoditas pertanian yang diproduksikan petani
per unit (hektar) terhadap nilai input produksi untuk memproduksi hasil tersebut.
Dengan demikian NTR menggambarkan tingkat profitabilitas dari usahatani
komoditas tertentu. Namun NTR hanya menggambarkan nilai tukar komoditas
tertentu, belum keseluruhan komponen penerimaan dan pengeluaran petani.
dimana: NTR = Nilai Tukar Penerimaan,PX = Harga komoditas pertanian,Py = Harga input produksi,QX = Jumlah komoditas pertanian yang dihasilkan,Qy = Jumlah input produksi yang digunakan.
4) Konsep Subsisten
Konsep nilai tukar subsisten (NTS) merupakan pengembangan lebih lanjut
dari NTR. NTS menggambarkan daya tukar dari penerimaan total usahatani petani
terhadap pengeluaran total petani untuk kebutuhan hidupnya (Pramonosidhi,
1984). Penerimaan petani merupakan penjumlahan dari seluruh nilai hasil
produksi komoditas pertanian yang dihasilkan petani dan pengeluaran nilai hasil
produksi komoditas pertanian yang dihasilkan petani. Pengeluaran petani
merupakan penjumlahan dari pengeluaran untuk konsumsi rumahtangga dan
pengeluaran untuk biaya produksi usahatani. NTS dirumuskan sebagai berikut:
11
11
dimana: NTS = Nilai Tukar Subsisten,PXi = Harga komoditas pertanian ke i,QXi = Produksi komoditas pertanian ke i,PYj = Harga produk konsumsi,PYj = Harga produk input produksi,QYi = Jumlah produk konsumsi,PYj = Jumlah input produksi.
Dengan demikian, NTS menggambarkan tingkat daya tukar/daya beli dari
pendapatan petani dari usahatani terhadap pengeluaran rumahtangga petani
untuk kebutuhan hidupnya yang mencakup pengeluaran konsumsi dan
pengeluaran untuk biaya produksi. Dalam operasionalnya konsep NTS ini hanya
dapat dilakukan pada tingkat mikro, yaitu unit analisa rumahtangga.
2.2. Pengukuran Nilai Tukar Petani (NTP)
Secara konsepsi NTP mengukur daya tukar dari komoditas pertanian yang
dihasilkan petani terhadap produk yang dibeli petani untuk keperluan konsumsi
dan keperluan dalam memproduksi usahatani. Nilai tukar petani (NTP Padi )
didefinisikan sebagai rasio antara harga yang diterima petani (HT) dengan harga
yang dibayar petani (HB) atau NTP = HT/HB. Pengukuran NTP dinyatakan dalam
bentuk indeks sebagai berikut:
dimana: INTP = Indeks Nilai Tukar Petani,IT = Indeks harga yang diterima petani,IB = Indeks harga yang dibayar petani.
Indeks tersebut merupakan nilai tertimbang terhadap kuantitas pada
tahun dasar tertentu. Pergerakan nilai tukar akan ditentukan oleh penentuan
tahun dasar karena perbedaan tahun dasar akan menghasilkan keragaan
perkembangan indeks yang berbeda. Formulasi indeks yang digunakan adalah
Indeks Laspeyres (BPS, 1995).
12
12
dimana: I = Indeks Laspeyres,Qo = Kuantitas pada tahun dasar tertentu (tahun 0),P0 = Harga pada tahun dasar tertentu (tahun 0),Pi = Harga pada tahun ke i.
Dalam operasionalisasi penghitungan NTP, BPS memodifikasi Indeks Laspeyres
sebagai berikut:
dimana: In = Indeks harga bulanan bulan ke n (IT dan IB),Pni = Harga bulan ke n untuk jenis barang ke i,P(n-1)i = Harga bulan ke (n-1) untuk jenis barang ke i,Pni/P(n-1)i = Relatif harga bulan ke n untuk jenis barang ke i,Poi = Harga dasar tahun dasar untuk jenis barang ke i,Qoi = Kuantitas pada tahun dasar untuk jenis barang ke i,m = Banyaknya jenis barang yang tercakup dalam paket
komoditas.
2.2.1. Harga yang Diterima Petani (HT)
Harga yang diterima petani merupakan harga tertimbang dari harga setiap
komoditas pertanian yang diproduksi/dijual petani. Penimbang yang digunakan
adalah nilai produksi yang dijual petani dari setiap komoditas. Harga komoditas
pertanian merupakan harga rataan yang diterima petani atau "Farm Gate".
Petani yang dimaksud dalam konsep NTP dari BPS adalah petani yang
berusaha di sub sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan rakyat,
peternak, serta petani ikan budidaya dan nelayan. Petani sub sektor tanaman
pangan mencakup petani yang berusaha pada usahatani padi dan palawija; petani
sub sektor hortikultura mencakup petani sayur-sayuran dan buah-buahan; petani
perkebunan rakyat terdiri usahatani komoditas perdagangan rakyat; petani
peternak yang bergerak dalam usaha ternak besar, ternak kecil, unggas, dan hasil
peternakan; serta petani nelayan yang mencakup petani budidaya ikan dan
nelayan penangkapan. Harga yang diterima petani (HT) dirumuskan sebagai
berikut:
13
13
dimana: HT = Harga yang diterima petani,PTi = Harga kelompok komoditas dalam sub sektor ke i (i= tanaman
pangan, hortikultura, perkebunan rakyat, peternakan danperikanan),
ai = Pembobot dari masing-masing sub sektor ke i.
Harga dari setiap sub sektor merupakan harga tertimbang dari harga setiap
komoditas penyusunnya.
2.2.2. Harga yang Dibayar Petani (HB)
Harga yang dibayar petani merupakan harga tertimbang dari harga/biaya
konsumsi makanan, konsumsi non makanan dan biaya produksi dan penambahan
barang modal dari barang yang dikonsumsi atau dibeli petani. Komoditas yang
dihasilkan sendiri tidak masuk dalam perhitungan harga yang dibayar petani.
Harga yang dimaksud adalah harga eceran barang dan jasa yang di pasar
pedesaan. Harga yang dibayar petani (HB) dirumuskan berikut:
dimana: HB = Harga yang dibayar petani, PBi = Harga kelompok produk ke i yang dibeli petani,b = Pembobot dari komoditas ke i,i = Kelompok produk konsumsi pangan, non pangan (perumahan,
pakaian, aneka barang dan jasa), dan sarana produksi (faktorproduksi, non, barang modal).
Konsep NTP dikembangkan BPS sebagai alat ukur untuk melihat
perbandingan relatif kesejahteraan petani. Pada awal penyusunannya, cakupan
petani hanya yang berusaha dalam kegiatan usahatani tanaman bahan makanan
(tanaman pangan dan hortikultura sayur-sayuran dan buah-buahan) dan
perkebunan rakyat, serta hanya dilakukan di tingkat provinsi. Sesuai dengan
berjalannya waktu, pada tahun 2008 dilakukan penyempurnaan pengukuran NTP
baik dalam cakupan petani dan cakupan wilayah (provinsi). Cakupan dalam
14
14
definisi “petani” diperluas mencakup petani yang berusaha pada kegiatan
usahatani tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan (petani ternak),
dan perikanan (petani ikan dan nelayan).
NTP dikembangkan dengan unit analisa nasional dan regional, sehingga
diperoleh keunggulan karena merupakan indikator makro nasional dan regional
dari tingkat kesejahteraan petani regional. Melalui NTP dan komponennya dapat
diketahui perbandingan relatif Nilai Tukar Petani atau Nilai Tukar Komoditas
Pertanian antar regional (provinsi).
Secara konsepsi arah dari NTP (kesejahteraan petani) merupakan resultan
dari arah setiap Nilai Tukar Komponen Pembentuknya, yaitu nilai tukar komponen
penerimaan petani yang mempunyai arah positif terhadap kesejahteraan petani
dan nilai tukar komponen pembayaran yang mempunyai arah negatif terhadap
kesejahteraan petani. Apabila laju nilai tukar komponen penerimaan lebih tinggi
dari laju nilai tukar komponen maka Nilai Tukar Petani (NTP) akan meningkat,
demikian sebaliknya. Pembentukan NTP yang dikembangkan BPS terangkum
dalam Gambar 2.1.
15
15
Padi
Jagung, Kedelai,...dst...
Kubis, Bw Merah,...dst...
Pisang, Mangga,...dst...
Karet, Kopi,...dst...
Sapi, Kerbau
Kambing, Domba
Ayam, Itik
Susu, Telur
Tuna, Cakalang
Gurame, Mas
Padi
Palawija
Sayuran
Buah-buahan
PerkebunanRakyat
Ternak Besar
Ternak Kecil
Unggas
Hasil Ternak
Penangkapan
Budidaya
NT Komoditas NT Kelompok Komoditas NT Subsektor NT Petani
Perikanan
Peternakan
Perkebunan
Hortikultura
Tanaman Pangan
HT NTPetani HB
Konsumsi
Sarana Produksi
HARGA YANG DITERIMA PETANI HARGA YANG DIBAYAR PETANI
Kesehatan
Sewa Lahan, Pajak
Upah buruh
Transportasi
Obat, Pupuk
Perumahan
Bahan Makanan
Sandang
Pendidikan, Rekreasi,Olahraga
Transportasi dan Komunikasi
Penambahan Barang Modal
Makanan Jadi
Bibit
Gambar 2.1. Pembentukan NTP.
Perhitungan NTP merupakan merupakan agregasi dari nilai tukar
penyusunnya. NTP merupakan agregasi dari NTP sub sektor (yaitu sub sektor
tanaman pangan, sub sektor hortikultura, sub sektor perkebunan, sub sektor
peternakan, dan sub sektor perikanan). NTP sub sektor tanaman pangan disusun
dari komponen NTP padi dan NTP kelompok palawija, dan NTP palawija disusun
dari NTP komoditas palawija (jagung, kedelai, dan sebagainya) dan seterusnya
seperti terangkum dalam Gambar 2.1.
Pandangan umum yang selama ini berlaku sebagaimana disampaikan BPS
adalah peningkatan NTP berarti peningkatan kesejahteraan, demikian sebaliknya.
BPS mendefinisikan dan memberi arti NTP sebagai berikut:
16
16
(a) NTP > 100, berarti petani mengalami surplus. Harga produksinya naik lebih
besar dari kenaikan harga konsumsi dan biaya produksi. Pendapatan petani
naik lebih besar dari pengeluarannya, dengan demikian tingkat kesejahteraan
petani lebih baik dibanding tingkat kesejahteraan petani sebelumnya.
(b) NTP = 100, berarti petani mengalami impas/break even.
Kenaikan/penurunan harga produksi sama dengan persentase
kenaikan/penurunan harga konsumsi dan biaya produksi. Tingkat
kesejahteraan petani tidak mengalami perubahan.
(c) NTP < 100, berarti petani mengalami defisit. Harga produksinya naik lebih
kecil dari kenaikan harga konsumsi dan biaya produksi. Tingkat
kesejahteraan petani mengalami penurunan dibanding tingkat kesejahteraan
petani sebelumnya.
2.3. Kebijakan Pembangunan dalam Peningkatan Kesejahteraan
Petani
Peningkatan kesejahteraan petani telah dan diyakini tetap menjadi prioritas
pembangunan pertanian mendatang, sejalan dengan arahan yang tertuang dalam
rencana jangka panjang pembangunan nasional. Indikator pencapaian sasaran
peningkatan kesejahteraan petani tercermin dari peningkatan pendapatan petani,
penurunan tingkat pengangguran di pedesaan, dan perbaikan kualitas hidup
petani. Langkah perbaikan kesejahteraan petani dituangkan dalam sejumlah
kebijakan dan program bidang pertanian dan di luar sektor pertanian terkait.
Kebijakan pertanian pada dasarnya adalah serangkaian tindakan yang
telah, sedang dan akan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan
pembangunan pertanian, yaitu memajukan pertanian, mengusahakan agar
pertanian menjadi lebih produktif dan efisien serta dapat meningkatkan tingkat
penghidupan/kesejahteraan petani meningkat.
Dengan didasarkan kepada konsep NTP sebagai indikator kesejahteraan
petani, konsep NTP mengacu kepada kemampuan daya beli petani, yaitu
17
17
kemampuan pendapatan yang diterima petani untuk dapat memenuhi kebutuhan
konsumsinya. Peningkatan kesejahteraan identik dengan peningkatan pendapatan
untuk memperbaiki/meningkatkan kebutuhan konsumsinya. Dengan demikian
peningkatan kesejahteraan dapat ditempuh melalui upaya untuk meningkatkan
pendapatan dan atau meningkatkan kebutuhan konsumsi rumahtangga.
Banyak faktor yang mempengaruhi pendapatan dan pola konsumsi
rumahtangga petani. Dari sisi pendapatan, tingkat pendapatan petani dapat dibagi
dalam tiga kelompok, yaitu: (a) pendapatan dari usahatani (on-farm), (b)
pendapatan dari kegiatan bidang pertanian di luar usahatani (off-farm) seperti
sebagai buruh tani, buruh di bidang usaha pascapanen pertanian, dan (d)
pendapatan dari usaha di luar kegiatan pertanian seperti pegawai negeri, buruh
non farm, kegiatan dagang, jasa dan lain-lain.
Besarnya tingkat pendapatan dari usaha pertanian (on-farm) dipengaruhi
oleh besarnya asset produksi pertanian (terutama pemilikan lahan usaha), jenis
komoditas yang diusahakan, produktivitas, dan harga produksi. Besarnya
pendapatan dari off-farm dipengaruhi oleh kesempatan/peluang berusaha dan
tingkat upah. Tingkat pendapatan non farm juga dipengaruhi oleh aset dan
kemampuan untuk dapat akses terhadap layanan, iklim usaha, produktivitas usaha
dan harga produk yang dihasilkan.
Besarnya tingkat pendapatan ini akan mempengaruhi struktur dan pola
konsumsi rumahtangga. Beberapa penelitian menunjukkan pada tingkat
pendapatan yang rendah, proporsi pengeluaran untuk pemenuhan makanan relatif
lebih besar dan proporsi tersebut semakin menurun dengan meningkatnya
pendapatan rumahtangga. Pola konsumsi tersebut juga pada akhirnya dipengaruhi
oleh harga-harga produk yang akan dibeli. Dengan demikian, banyak kebijakan
berkaitan dengan pembentukan pendapatan dan konsumsi rumahtangga, seperti
kebijakan peningkatan produksi dan produktivitas pertanian; sistem distribusi dan
pemasaran produksi hasil pertanian, pembentukan harga produksi, kebijakan
subsidi dan insentif, penyediaan infrastruktur, dan berbagai kebijakan di luar
18
18
pertanian terkait dengan konsumsi rumahtangga. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan dalam rangka memperbaiki daya beli petani adalah dengan penerapan
subsidi yang dapat mengurangi tingkat pengeluaran rumahtangga, melalui
pemberian bantuan langsung, subsidi harga jual dan keringanan lainnya (Gambar
2.2).
KomoditasPertanian:
- Tanaman Pangan- Hortikultura- Perkebunan- Peternakan- Perikanan
HT NTPetani HB
Konsumsi RumahTangga
Biaya Produksi dan Barang
Modal
Subsektor:- Tanaman Pangan- Hortikultura- Perkebunan- Peternakan- Perikanan
- Bahan Makanan- Bahan Makanan Jadi- Perumahan- Sandang- Kesehatan- Pendidikan- Transportasi & Komunikasi
- Penambahan Barang Modal- Transportasi - Bibit- Upah Buruh- Sewa Lahan, Pajak- Obat, Pupuk
KebijakanProduksiPertanian
KebijakanSubsidiHarga
Pangan,BBM,
Perumahan,Kesehatan
KebijakanSubsidi
Harga Input,BBM
KebijakanHarga
Gambar 2.2. Kebijakan-kebijakan yang Mempengaruhi NTP.
2.3.1. Peningkatan Produksi Pertanian
Pendapatan petani secara langsung ditentukan oleh besarnya produksi
yang dihasilkan petani, sedangkan besarnya produksi tersebut dipengaruhi oleh
penguasaan lahan yang dikuasai dan produktivitas usahatani. Dalam kaitan
dengan lahan pertanian, data menunjukkan ketersediaan lahan pertanian per
kapita mengalami penurunan akibat peningkatan jumlah penduduk dan
kecenderungan konversi lahan, terutama untuk lahan sawah. Ketersediaan lahan
yang sesuai untuk pertanian yang sangat terbatas perlu dilindungi. Kebijakan
untuk mencegah terjadinya konversi lahan pertanian ke non pertanian telah
banyak dibuat. Telah banyak ditetapkan undang-undang dan peraturan
Pemerintah lain yang mengatur tentang pendayagunaan lahan dan pengendalian
konversi lahan. Kebijakan terakhir adalah dengan diterbitkannya UU No. 41/2009
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Secara umum,
undang-undang tersebut bertujuan untuk melindungi kawasan dan lahan
19
19
pertanian pangan dalam rangka menjamin tersedianya lahan pertanian dan
mewujudkan kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan.
Dalam rangka meningkatkan produktivitas, penyelenggaraan program
peningkatan kesejahteraan rakyat akan dilaksanakan seiring dengan upaya
peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Peningkatan
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi akan mendukung terciptanya
penyelenggaraan program pembangunan ekonomi yang makin berkualitas, yaitu
pembangunan ekonomi yang berlandaskan pada peningkatan produktivitas dan
daya saing, serta makin memacu terciptanya kreativitas dan inovasi.
Peningkatan produktivitas dilakukan melalui kegiatan penelitian dan
pengembangan pertanian yang mampu menciptakan benih unggul, cara-cara
produksi yang dapat menghasilkan produk berkualitas. Adanya dinamika
perubahan iklim yang mengarah pada anomali iklim menuntut proses mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim. Hal ini menuntut langkah-langkah kongkrit terkait
mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
2.3.2. Pemberian Dukungan Subsidi dan Insentif
Untuk mendorong peningkatan produksi dan produktivitas pertanian
terutama pangan, pemerintah memberi subsidi dan insentif dalam bentuk: (a)
subsidi sarana produksi (benih, pupuk, pestisida); (b) dukungan dan jaminan
harga jual produk dengan menetapkan harga dasar; (c) kredit bersubsidi; dan (d)
air irigasi bersubsidi.
Subsidi harga sarana produksi diberikan untuk pupuk, benih, pestisida, dan
kredit. Pupuk merupakan input utama yang memperoleh subsidi paling besar.
Subsidi pupuk mulai diberlakukan sejak tahun 1971 dengan argumen dasar
adalah: (a) merangsang penggunaan pupuk sebagai bagian penerapan teknologi
pertanian dan peningkatan produksi, (b) menstabilkan harga di tingkat petani, dan
(c) meningkatkan efisiensi transfer sumberdaya dari pemerintah ke petani dalam
rangka pembangunan pedesaan. Selain pupuk, subsidi diberikan pada penyediaan
20
20
prasarana produksi seperti irigasi, penyuluhan, penelitian dan pengembangan.
Selama 40 tahun pemberian subsidi terhadap pupuk telah meningkatkan
penggunaan pupuk di tingkat petani dan berperan besar dalam peningkatan
produksi pertanian. Subsidi-subsidi di muka menjadi beban bagi pemerintah
karena besarannya terus meningkat dari tahun ke tahun.
Kebijakan lain yang dinilai strategis adalah kebijakan harga (price support).
Sasaran kebijakan ini adalah: (a) melindungi produsen dari kemerosotan harga
pasar, yang umumnya terjadi pada musim panen, (b) melindungi konsumen dari
kenaikan harga yang melebihi daya beli, yang umumnya terjadi pada musim
paceklik, (c) mengendalikan inflasi melalui stabilitasi harga. Falsafah dasar
kebijaksanaan harga tersebut mencakup komponen: (1) menjaga agar harga
dasar cukup tinggi untuk merangsang produksi, (2) perlindungan harga batas
tertinggi yang menjamin harga yang layak bagi konsumen, (3) perbedaan antara
harga dasar dan harga batas tertinggi cukup layak memberi keuntungan yang
wajar bagi penyimpanan beras, dan (4) hubungan harga yang wajar antar daerah
maupun terhadap harga internasional (Amang, 1993).
2.3.3. Kebijakan Perdagangan
Kebijakan perdagangan dilakukan untuk menjaga stabilitas pasokan dan
harga komoditas di dalam negeri, mempertahankan daya saing produksi dalam
negeri, meningkatkan kesejahteraan petani produsen, melindungi konsumen dari
harga tinggi, dan menjaga keseimbangan neraca perdagang luar negeri
komoditas. Tujuan akhir dari kebijakan perdagangan diarahkan pada perbaikan
tataniaga produk pertanian, sehingga marjin tataniaga dari petani sampai dengan
konsumen akhir menjadi minimal dan petani menerima harga yang maksimal.
2.3.4. Penyediaan Infrastruktur
Kondisi infrastruktur pertanian Indonesia sangat tidak memadai. Sarana
jalan usahatani tidak memadai untuk mendukung peningkatan/pengembangan
pertanian, antara lain dalam hal adopsi teknologi, pemanfaatan mekanisasi dan
21
21
pemasaran secara efisien. Dalam aspek infrastruktur irigasi, jaringan irigasi yang
ada sudah tua dan kurang pemeliharaan, sehingga tingkat efisiensinya rendah.
Sementara itu, pembangunan jaringan irigasi yang baru belum sepenuhnya
optimal karena beberapa kendala yang sebelumnya tidak diperhitungkan. Sarana
dan prasarana bagi petani untuk akses terhadap pemasaran produk juga sangat
rendah, misalnya keberadaan cold storage untuk produk segar, gudang, tempat
pengolahan, dan lain masih terbatas.
Kurangnya infrastruktur pertanian sering menjadi kendala bagi
pengembangan agribisnis berbasis iptek mutakhir. Penerapan inovasi teknologi
sering terhambat karena tidak tersedianya infrastruktur penyediaan input
produksi, jaringan informasi atau infrastruktur pemasaran hasil. Kebijakan
infrastruktur tidak hanya dibutuhkan untuk mendukung usaha agribisnis yang
sudah ada, tetapi juga merangsang tumbuhnya usaha-usaha baru yang
dibutuhkan dalam pembangunan sistem dan usaha agribisnis.
Pengembangan infrastruktur sebagai bagian dari pelayanan publik akan
lebih efektif apabila: (a) sesuai dengan kebutuhan/kepentingan publik, (b) mampu
menunjang pengembangan usaha yang dilakukan masyarakat banyak, dan (c)
mampu merangsang tumbuhnya usaha-usaha atau investasi baru yang dapat
memacu perkembangan ekonomi wilayah. Dalam kaitannya dengan pembangunan
sistem dan usaha agribisnis, maka kebijakan pembangunan infrastruktur perlu
diarahkan pada infrastruktur yang dibutuhkan oleh banyak pelaku agribisnis dan
mampu merangsang para investor untuk melakukan usaha agribisnis.
Infrastruktur seperti sarana pengairan dan drainase, jalan, listrik, farm road,
pelabuhan (khususnya pelabuhan-pelabuhan ekspor baru di wilayah timur
Indonesia), transportasi dan telekomunikasi merupakan prasarana yang sangat
dibutuhkan dalam pembangunan sistem dan usaha agribisnis.
22
22
2.3.5. Kebijakan Khusus Peningkatan Kesejahteraan Rakyat
Dalam program pembangunan nasional, peningkatan kesejahteraan rakyat
selalu menjadi perhatian. Hal ini sejalan dengan empat pilar strategi
pembangunan yang dilakukan yaitu: pembangunan yang pro-pertumbuhan (pro-
growth), pro-lapangan pekerjaan (pro-job), pro-pengurangan kemiskinan (pro-
poor), serta pro-pengelolaan dan atau ramah lingkungan (pro-environment).
Disamping program pembangunan sektoral yang dilaksanakan oleh
kementrian, untuk mengentaskan kemiskinan, pemerintah telah menggulirkan
program khusus. Perpres No. 13 tahun 2009 dilanjutkan dengan Perpres No. 15
tahun 2010, program khusus penanggulangan kemiskinan dikelompokkan dalam 4
klaster program, yaitu : (a) Klaster pertama: Bantuan dan perlindungan sosial
berbasis keluarga, dengan sasaran mengurangi beban kehidupan dan
memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat miskin. Bentuk program ini adalah
bantuan langsung Raskin, BOS, dan Program Keluarga Harapan. (b) Klaster
kedua: Pemberdayaan Masyarakat, dengan sasaran Meningkatkan Kapasitas
Kelompok Masyarakat Miskin untuk Terlibat dalam Proses Pembangunan. Bentuk
program ini adalah mengembangkan PNPM Mandiri. (c) Klaster ketiga:
Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil, dengan sasaran Meningkatkan Tabungan
dan Menjamin Keberlanjutan Usaha. Bentuk program ini adalah Klaster
penyediaan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Corporate Social Responsibility (CSR),
dan (d) Klaster keempat: Program Pro Rakyat, dengan sasaran Menyediakan
Fasilitas Dasar Bagi Masyarakat Miskin dengan Harga Murah Melalui Koordinasi
Pelaksanaan Kegiatan Sektoral pada Wilayah Tertentu. Bentuk program berupa
program rumah murah, angkutan umum murah, air bersih dan listrik yang makin
merata, serta peningkatan kehidupan nelayan dan masyarakat miskin di perkotaan
(Pidato Presiden 16 Agustus 2012).
Dalam klaster pertama, pemberian bantuan raskin (beras untuk orang
miskin) ditujukan dalam rangka menjaga ketahanan pangan masyarakat dari
kondisi gejolak pangan yang terjadi akibat adanya gejolak pangan dunia yang
23
23
juga mempengaruhi gejolak pangan dalam negeri. Bantuan pangan tersebut
secara langsung menekan pengeluaran rumahtangga untuk bahan pangan.
Bidang pendidikan, bantuan diberikan dalam rangka pengurangan beban biaya
pendidikan yang dilakukan melalui subsidi Program Wajib Belajar Sembilan Tahun
dan Bantuan Operasional Sekolah/BOS. Bidang kesehatan bantuan dalam upaya
menjamin kesehatan masyarakat dengan biaya terjangkau dilakukan melalui
pemberian Jaminan Kesehatan masuarakat (Jamkesmas), jaminan kesehatan,
jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan persalinan,
dan jaminan kematian.
Dalam klaster kedua, upaya pemberdayaan untuk meningkatkan akses dan
kapasitas kelompok masyarakat miskin untuk terlibat dalam proses
pembangunan, dilakukan melalui pengembangan Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. PNPM Mandiri dimaksudkan untuk
menjadi payung program penanggulangan kemiskinan dengan menggunakan
pendekatan pembangunan berbasis masyarakat sejalan dengan target pencapaian
MDGs (Millennium Development Goals). Tujuan PNPM Mandiri adalah
meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara
mandiri dengan cara menciptakan atau meningkatkan kapasitas masyarakat, baik
secara individu maupun berkelompok dalam memecahkan berbagai persoalan
terkait upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian serta kesejahteraan hidup
dengan memanfaatkan potensi ekonomi dan sosial yang mereka miliki melalui
proses pembangunan secara mandiri. PNPM Mandiri telah dilaksanakan sejak
tahun 2007, dimulai dengan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan
Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). Atas keberhasilan PPK
dan P2KP menjadi model pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat di
perdesaan dan perkotaan.
Dalam klaster ketiga, upaya pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil
dilakukan dengan penyediaan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Corporate Social
Responsibility (CSR). Kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah kredit/pembiayaan yang
24
24
diberikan oleh perbankan kepada UMKMK yang layak tapi belum bankable.
Maksudnya adalah usaha tersebut memiliki prospek bisnis yang baik dan memiliki
kemampuan untuk mengembalikan. Sasaran program KUR adalah UMKM dan
Koperasi yang bergerak di sektor usaha produktif antara lain: pertanian,
perikanan dan kelautan, perindustrian, kehutanan, dan jasa keuangan simpan
pinjam. Penyaluran KUR dapat dilakukan langsung melalui kantor pelayanan bank
pelaksana KUR atau dapat juga melalui Lembaga Keuangan Mikro dan KSP/USP
Koperasi, atau melalui kegiatan linkage program lain yang bekerjasama dengan
Bank Pelaksana. Program KUR diluncurkan pada 5 November 2007, dengan bank
Pelaksana adalah Bank BRI, Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BTN, Bank Syariah
Mandiri, dan Bank Bukopin; dan dengan fasilitas penjaminan kredit dari
Pemerintah melalui PT Askrindo dan Perum Jamkrindo.
Dalam klaster keempat, program pro rakyat, dilakukan dalam rangka
menyediakan fasilitas dasar bagi masyarakat miskin dengan harga murah, dalam
bentuk program rumah murah, angkutan umum murah, air bersih dan listrik yang
makin merata, serta peningkatan kehidupan nelayan dan masyarakat miskin.
Kebijakan yang bersifat pro rakyat dalam rangka pengurangan kemiskinan dan
peningkatan kesejahteraan rakyat ini sebagian besar sangat relevan dalam rangka
menjaga memperbaiki NTP .
25
25
BAB III
METODOLOGI
3.1. Kerangka Pemikiran
Salah satu unsur kesejahteraan petani adalah kemampuan pendapatan
petani untuk memenuhi kebutuhan perbaikan pengeluaran rumahtangga petani.
Alat ukur yang sering digunakan untuk menilai kesejahteraan petani tersebut
adalah NTP. Indeks NTP dihitung dari perbandingan antara harga yang diterima
petani terhadap harga yang dibayar petani. Secara konsepsi arah dari NTP
merupakan resultan dari arah komponen pembentuknya tersebut, yaitu komponen
harga yang diterima petani yang mempunyai arah positif terhadap NTP dan
komponen harga yang dibayar petani yang mempunyai arah negatif terhadap
NTP. Apabila laju pergerakan harga yang diterima petani lebih tinggi dari laju
harga yang dibayar petani maka NTP akan meningkat, dan sebaliknya. Pergerakan
NTP mengidentifikaskan pergerakan tingkat kesejahteraan petani.
Perilaku NTP tersebut dapat digambarkan oleh garis tren mengikuti
pergerakan nilainya, dan pergerakan tersebut dapat diduga dengan menggunakan
persamaan regresi. Pendugaan persamaan regresi yang paling sesuai dapat
dilakukan berdasarkan nilai R2 tertinggi. Koefisien regresi dari setiap persamaan
dugaan menggambarkan perubahan laju NTP sepanjang periode analisa.
Dalam Gambar 2.1 ditunjukkan rangkuman pembentukan NTP termasuk
unsur-unsur penyusunnya. Hubungan antara komponen penyusun dengan NTP
dapat digambarkan dengan nilai marjinal dan elastisitas penyusun terhadap NTP.
Perhitungan nilai marjinal dan elastisitas NTP terhadap komponen penyusun dapat
diturunkan sebagai berikut (Rachmat, 2000).
NTP = ;
Harga yang diterima petani (HT) merupakan harga tertimbang dari harga
setiap komoditas pertanian yang diproduksi/dijual petani, dengan penimbang
26
26
adalah nilai produksi yang dijual petani dari setiap komoditas. Harga yang dibayar
petani (HB) merupakan harga tertimbang dari harga/biaya konsumsi rumahtangga
yang mencakup konsumsi makanan dan konsumsi non makanan; dan harga/biaya
produksi dan penambahan barang modal dari barang yang dibeli petani.
Apabila diasumsikan hanya ada dua komoditas yang dihasilkan, yaitu T1
dan T2, dengan harga PT1 dan PT2 dan dua produk yang dibeli petani, yaitu B1 dan
B2 dengan harga PB1 dan PB2, maka:
HT = a1 PT1 + a2 PT2; atau HT = PTi
HB = b1 PB1 + b2 PB2; atau HB = PBk
dimana: NTP = Nilai Tukar Petani,HT = Harga yang diterima petani,HB = Harga yang diterima petani,PTi = Harga yang diterima petani dari komoditas ke i yang dihasilkan
petani,PBk = Harga yang dibayar petani dari produk ke k yang dibeli petani, ai = Pembobot komoditas yang dihasilkan ke i,bk = Pembobot produk yang dibeli petani ke k.
sehingga:
NTP =
Dari persamaan di atas dihasilkan turunan total sebagai berikut:
NTP =
NTP =
NTP =
NTP =
sehinggga dihasilkan rumus umum sebagai berikut:
27
27
NTP =
3.1.1. Pengaruh Perubahan Harga yang Diterima Petani (HT)
Pengaruh perubahan harga komoditas Ti (PTi) terhadap NTP dapat
diturunkan sebagai berikut:
Pengaruh perubahan HT terhadap NTP dapat berupa pengaruh langsung
dan pengaruh tidak langsung. Pengaruh langsung perubahan harga komoditas
terhadap nilai tukar petani merupakan respon langsung perubahan nilai tukar
petani akibat perubahan harga PTi, sedangkan pengaruh tidak langsung mencakup
pengaruh perubahan harga tersebut terhadap harga komoditas pertanian lain
yang diproduksikan ( dan terhadap produk manufaktur yang dibeli
( Besarnya pengaruh tersebut dirumuskan sebagai berikut:
Pengaruh langsung:
Pengaruh tidak langsung:
Dari analisa marjinal ini dapat diturunkan elastisitas sebagai berikut:
27
NTP =
3.1.1. Pengaruh Perubahan Harga yang Diterima Petani (HT)
Pengaruh perubahan harga komoditas Ti (PTi) terhadap NTP dapat
diturunkan sebagai berikut:
Pengaruh perubahan HT terhadap NTP dapat berupa pengaruh langsung
dan pengaruh tidak langsung. Pengaruh langsung perubahan harga komoditas
terhadap nilai tukar petani merupakan respon langsung perubahan nilai tukar
petani akibat perubahan harga PTi, sedangkan pengaruh tidak langsung mencakup
pengaruh perubahan harga tersebut terhadap harga komoditas pertanian lain
yang diproduksikan ( dan terhadap produk manufaktur yang dibeli
( Besarnya pengaruh tersebut dirumuskan sebagai berikut:
Pengaruh langsung:
Pengaruh tidak langsung:
Dari analisa marjinal ini dapat diturunkan elastisitas sebagai berikut:
28
28
3.1.2. Pengaruh Perubahan Harga yang Dibayar Petani (HB)
Pengaruh perubahan harga produk yang dibeli (PBk) terhadap NTP
diturunkan sebagai berikut:
Pengaruh langsung dan tidak langsung dari perubahan harga produk yang dibeli
petani terhadap nilai tukar petani dapat dituliskan sebagai berikut:
Pengaruh langsung:
Pengaruh tidak langsung:
Dari analisa marjinal ini dapat diturunkan elastisitas sebagai berikut:
3.1.3. Nilai Tukar Penerimaan/Pendapatan Petani
Konsep NTP yang didasarkan kepada Indeks Laspeyres sebagaimana yang
dilakukan oleh BPS pada akhirnya merumuskan NTP sebagai rasio harga antara
yang diterima petani dan dibayar petani. Perilaku NTP hanya ditentukan oleh
perilaku harga-harga. Konsep ini sejalan dengan konsep NTP sebagai konsep daya
beli. Namun demikian, konsep daya beli yang dikembangkan tidak sepenuhnya
menggambarkan tingkat kesejahteraan. Konsep NTP tidak memperhitungkan
jumlah yang diproduksi dan jumlah yang dikonsumsi.
Perhitungan NTP ini diperoleh dari perbandingan indeks harga yang
diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani (NTP = HT/HB). Nilai
NTP akan meningkat apabila HT meningkat dengan laju lebih tinggi dari 28
3.1.2. Pengaruh Perubahan Harga yang Dibayar Petani (HB)
Pengaruh perubahan harga produk yang dibeli (PBk) terhadap NTP
diturunkan sebagai berikut:
Pengaruh langsung dan tidak langsung dari perubahan harga produk yang dibeli
petani terhadap nilai tukar petani dapat dituliskan sebagai berikut:
Pengaruh langsung:
Pengaruh tidak langsung:
Dari analisa marjinal ini dapat diturunkan elastisitas sebagai berikut:
3.1.3. Nilai Tukar Penerimaan/Pendapatan Petani
Konsep NTP yang didasarkan kepada Indeks Laspeyres sebagaimana yang
dilakukan oleh BPS pada akhirnya merumuskan NTP sebagai rasio harga antara
yang diterima petani dan dibayar petani. Perilaku NTP hanya ditentukan oleh
perilaku harga-harga. Konsep ini sejalan dengan konsep NTP sebagai konsep daya
beli. Namun demikian, konsep daya beli yang dikembangkan tidak sepenuhnya
menggambarkan tingkat kesejahteraan. Konsep NTP tidak memperhitungkan
jumlah yang diproduksi dan jumlah yang dikonsumsi.
Perhitungan NTP ini diperoleh dari perbandingan indeks harga yang
diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani (NTP = HT/HB). Nilai
NTP akan meningkat apabila HT meningkat dengan laju lebih tinggi dari
29
29
peningkatan HB, atau HB tetap atau HB menurun. NTP juga akan meningkat pada
kondisi HT menurun, namun dengan laju lebih rendah dari penurunan HB.
Berbagai skenario perubahan HT dan HB terhadap NTP terangkum dalam Tabel
3.1.
Tabel 3.1. Perubahan HT dan HB terhadap NTP
Harga yang diterima petani
(HT)
Harga yang dibayar Petani (HB)
Laju perubahan HT dan HB NTP
Naik Naik Laju HT = laju HB TetapNaik Naik Laju HT > laju HB Meningkat Naik Naik Laju HT < laju HB MenurunNaik Tetap MeningkatNaik Turun Meningkat
Turun Turun Laju HT = laju HB TetapTurun Turun Laju HT > laju HB MenurunTurun Turun Laju HT < laju HB MeningkatTurun Tetap MenurunTurun Naik Menurun
BPS mendefinisikan bahwa peningkatan NTP berarti peningkatan
kesejahteraan. Definisi tersebut benar pada asumsi bahwa produktivitas selalu
tetap dan petani selalu menguasai produksi, sehingga kenaikan produksi juga
berarti kebaikan penerimaan. Kenyataan seringkali menunjukkan bahwa kenaikan
harga terjadi pada saat pasokan berkurang dibanding permintaannya. Penurunan
pasokan dapat terjadi karena penurunan produksi atau permintaan naik lebih
tinggi dibandingkan penawaran (produksi). Pada skala nasional atau regional,
kenaikan NTP/kenaikan harga produk justru mengidentifikasikan
kekurangan/kelangkaan pasokan/produksi untuk mengimbangi permintaan dan
terjadinya inflasi. Dengan demikian peningkatan peningkatan harga produk
pertanian yang berakibat NTP naik tidak sepenuhnya menggambarkan kondisi
yang diinginkan. Skenario perubahan penawaran dan permintaan terhadap harga
produk terangkum dalam Tabel 3.2.
29
peningkatan HB, atau HB tetap atau HB menurun. NTP juga akan meningkat pada
kondisi HT menurun, namun dengan laju lebih rendah dari penurunan HB.
Berbagai skenario perubahan HT dan HB terhadap NTP terangkum dalam Tabel
3.1.
Tabel 3.1. Perubahan HT dan HB terhadap NTP
Harga yang diterima petani
(HT)
Harga yang dibayar Petani (HB)
Laju perubahan HT dan HB NTP
Naik Naik Laju HT = laju HB TetapNaik Naik Laju HT > laju HB Meningkat Naik Naik Laju HT < laju HB MenurunNaik Tetap MeningkatNaik Turun Meningkat
Turun Turun Laju HT = laju HB TetapTurun Turun Laju HT > laju HB MenurunTurun Turun Laju HT < laju HB MeningkatTurun Tetap MenurunTurun Naik Menurun
BPS mendefinisikan bahwa peningkatan NTP berarti peningkatan
kesejahteraan. Definisi tersebut benar pada asumsi bahwa produktivitas selalu
tetap dan petani selalu menguasai produksi, sehingga kenaikan produksi juga
berarti kebaikan penerimaan. Kenyataan seringkali menunjukkan bahwa kenaikan
harga terjadi pada saat pasokan berkurang dibanding permintaannya. Penurunan
pasokan dapat terjadi karena penurunan produksi atau permintaan naik lebih
tinggi dibandingkan penawaran (produksi). Pada skala nasional atau regional,
kenaikan NTP/kenaikan harga produk justru mengidentifikasikan
kekurangan/kelangkaan pasokan/produksi untuk mengimbangi permintaan dan
terjadinya inflasi. Dengan demikian peningkatan peningkatan harga produk
pertanian yang berakibat NTP naik tidak sepenuhnya menggambarkan kondisi
yang diinginkan. Skenario perubahan penawaran dan permintaan terhadap harga
produk terangkum dalam Tabel 3.2.
30
30
Tabel 3.2. Perubahan Penawaran/Produksi dan Permintaan terhadap Harga Produk Pertanian
Penawaran produk/produksi pertanian
(S)
Permintaan produk pertanian
(D)
Laju penawaran dan permintaan
Harga produk pertanian
Naik Naik Laju S = laju D TetapNaik Naik Laju S > laju D TurunNaik Naik Laju S < laju D NaikNaik Tetap TurunNaik Turun Turun
Turun Turun Laju S = laju D TetapTurun Turun Laju S > laju D naik Turun Turun Laju S < laju D TurunTurun Tetap NaikTurun Naik Naik
Harga produksi dan NTP yang meningkat tidak sepenuhnya meningkatkan
pendapatan petani. Pendapatan meningkat apabila harga produksi naik dan/atau
tingkat produksi meningkat. Dalam kaitan itu penggunaan alat ukur NTP dalam
pengukuran kesejahteraan petani perlu memasukkan unsur produksi karena
kesejahteraan identik dengan pendapatan. Kesejahteraan petani akan naik
apabila NTP naik dengan tingkat produksi naik, tetap, atau turun namun dengan
laju peningkatan NTP lebih tinggi dari laju penurunan produksi. Keterkaitan antara
NTP produksi dengan kesejahteraan petani terangkum di dalam Tabel 3.3.
Tabel 3.3. NTP dan Produksi di Tingkat Regional
NTP Produksi petani (P) Laju NTP dan produksi
Kesejahteraan Petani
Naik Turun Laju NTP > laju P TetapNaik Turun Laju NTP > laju P NaikNaik Turun Laju NTP < laju P Turun Naik Tetap NaikNaik Naik Naik
Turun Naik Laju NTP = laju P TetapTurun Naik Laju NTP > laju P TurunTurun Naik Laju NTP < laju P NaikTurun Tetap Turun Turun Turun Turun
30
Tabel 3.2. Perubahan Penawaran/Produksi dan Permintaan terhadap Harga Produk Pertanian
Penawaran produk/produksi pertanian
(S)
Permintaan produk pertanian
(D)
Laju penawaran dan permintaan
Harga produk pertanian
Naik Naik Laju S = laju D TetapNaik Naik Laju S > laju D TurunNaik Naik Laju S < laju D NaikNaik Tetap TurunNaik Turun Turun
Turun Turun Laju S = laju D TetapTurun Turun Laju S > laju D naik Turun Turun Laju S < laju D TurunTurun Tetap NaikTurun Naik Naik
Harga produksi dan NTP yang meningkat tidak sepenuhnya meningkatkan
pendapatan petani. Pendapatan meningkat apabila harga produksi naik dan/atau
tingkat produksi meningkat. Dalam kaitan itu penggunaan alat ukur NTP dalam
pengukuran kesejahteraan petani perlu memasukkan unsur produksi karena
kesejahteraan identik dengan pendapatan. Kesejahteraan petani akan naik
apabila NTP naik dengan tingkat produksi naik, tetap, atau turun namun dengan
laju peningkatan NTP lebih tinggi dari laju penurunan produksi. Keterkaitan antara
NTP produksi dengan kesejahteraan petani terangkum di dalam Tabel 3.3.
Tabel 3.3. NTP dan Produksi di Tingkat Regional
NTP Produksi petani (P) Laju NTP dan produksi
Kesejahteraan Petani
Naik Turun Laju NTP > laju P TetapNaik Turun Laju NTP > laju P NaikNaik Turun Laju NTP < laju P Turun Naik Tetap NaikNaik Naik Naik
Turun Naik Laju NTP = laju P TetapTurun Naik Laju NTP > laju P TurunTurun Naik Laju NTP < laju P NaikTurun Tetap Turun Turun Turun Turun
30
Tabel 3.2. Perubahan Penawaran/Produksi dan Permintaan terhadap Harga Produk Pertanian
Penawaran produk/produksi pertanian
(S)
Permintaan produk pertanian
(D)
Laju penawaran dan permintaan
Harga produk pertanian
Naik Naik Laju S = laju D TetapNaik Naik Laju S > laju D TurunNaik Naik Laju S < laju D NaikNaik Tetap TurunNaik Turun Turun
Turun Turun Laju S = laju D TetapTurun Turun Laju S > laju D naik Turun Turun Laju S < laju D TurunTurun Tetap NaikTurun Naik Naik
Harga produksi dan NTP yang meningkat tidak sepenuhnya meningkatkan
pendapatan petani. Pendapatan meningkat apabila harga produksi naik dan/atau
tingkat produksi meningkat. Dalam kaitan itu penggunaan alat ukur NTP dalam
pengukuran kesejahteraan petani perlu memasukkan unsur produksi karena
kesejahteraan identik dengan pendapatan. Kesejahteraan petani akan naik
apabila NTP naik dengan tingkat produksi naik, tetap, atau turun namun dengan
laju peningkatan NTP lebih tinggi dari laju penurunan produksi. Keterkaitan antara
NTP produksi dengan kesejahteraan petani terangkum di dalam Tabel 3.3.
Tabel 3.3. NTP dan Produksi di Tingkat Regional
NTP Produksi petani (P) Laju NTP dan produksi
Kesejahteraan Petani
Naik Turun Laju NTP > laju P TetapNaik Turun Laju NTP > laju P NaikNaik Turun Laju NTP < laju P Turun Naik Tetap NaikNaik Naik Naik
Turun Naik Laju NTP = laju P TetapTurun Naik Laju NTP > laju P TurunTurun Naik Laju NTP < laju P NaikTurun Tetap Turun Turun Turun Turun
31
31
Pengukuran NTP dapat dikembangkan menjadi Nilai Tukar Penerimaan
Usaha Pertanian (NTU) yang memasukkan unsur kuantitas, sehingga NTR
merupakan kemampuan daya beli dari penerimaan petani.
Nilai Tukar Penerimaan Usaha Pertanian (NTU) dirumuskan sebagai
berikut:
dimana: NTU = Nilai Tukar Penerimaan Usaha Pertanian,Px = Harga komoditas pertanian,Qx = Produksi komoditas pertanian, Py = Harga input produksi,Qy = Jumlah input produksi.
Peningkatan kesejahteraan petani juga dapat dilihat dari perubahan tingkat
pendapatan rumahtangga. Peningkatan pendapatan rumahtangga petani
mengindikasikan peningkatan daya beli rumahtangga dalam rangka pemenuhan
kebutuhan konsumsinya. Peningkatan pendapatan akan berakibat perbaikan
dalam pola konsumsi dan standar hidup, dan ini berarti perbaikan dalam
kesejahteraan.
3.2. Ruang Lingkup Kegiatan
Sesuai dengan tujuan dan sasaran, maka lingkup kajian adalah:
1) Menganalisa perilaku nilai tukar petani Indonesia,
2) Menganalisa faktor-faktor dan kebijakan yang mempengaruhi nilai tukar
petani,
3) Menganalisa nilai tukar pendapatan usahatani dan pendapatan rumahtangga,
4) Merumuskan kebijakan peningkatan kesejahteraan petani sebagai bahan dasar
RPJMN 2015-2019 Bidang Pertanian.
3.3. Metoda Analisa
Sesuai dengan lingkup kegiatan di atas, metoda analisa yang digunakan
adalah:
32
32
1) Analisa Nilai Tukar Petani Nasional
Dalam analisa digunakan metoda regresi data perkembangan NTP secara
nasional. Data yang digunakan dalam analisa ini adalah data bulanan sejak
Januari 2008 sampai dengan Mei 2013 yang berasal BPS. Hasil analisa
regresi NTP nasional dan perilakunya akan digambarkan dalam bentuk grafik
yang sesuai.
2) Analisa Faktor-faktor dan Kebijakan yang Mempengaruhi Nilai
Tukar Petani
Analisa faktor-faktor yang mempengaruhi NTP dilakukan dengan cara
menghitung dampak dari masing-masing komponen penyusun NTP (harga-
harga) terhadap NTP. Dampak tersebut ditunjukkan dalam bentuk nilai
marjinal dan elastisitas dari perubahan harga-harga terhadap NTP.
Dampak dari perubahan harg-harga tersebut juga dapat terjadi karena
penerapan kebijakan, sehingga melalui analisa ini juga dapat dilakukan
analisa dampak dan kebijakan terhadap NTP.
3) Analisa Nilai Tukar Pendapatan Usahatani dan Pendapatan
Rumahtangga
Analisa ini mencakup: (a) Analisa NT Pendapatan Usahatani komoditas
terpilih menurut sub sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan
peternakan serta, (b) Analisa NT Pendapatan Rumahtangga dari
agroekosistem sawah dan lahan kering.
4) Perumusan Alternatif Kebijakan Nilai Tukar Petani sebagai Ukuran
Kesejahteraan Petani sebagai Bahan Dasar RPJMN 2015-2019
Bidang Pertanian
Perumusan kebijakan dilakukan dengan cara merangkum semua hasil
temuan analisa di atas dan merumuskan implikasi kebijakan dari hasil
temuan tersebut yang terkait dengan RPJM 2015-2019.
33
33
3.4. Sumber Data
Kajian akan dilakukan dengan menggunakan data sekunder, yaitu (a) Data
NTP yang dipublikasikan oleh BPS, (b) Publikasi BPS yang terkait dengan
rumahtangga pertanian, usaha pertanian, harga-harga pertanian, dan lain-lain, (c)
Publikasi hasil-hasil penelitian Panel Petani Nasional dari PSE-KP, dan (d) Data dari
direktorat teknis terkait di dalam Kementerian Pertanian.
34
34
35
35
BAB IVKERAGAAN RUMAHTANGGA PERTANIAN DAN KESEJAHTERAAN
PETANI
4.1. Keragaan Rumahtangga Pertanian
Berdasarkan sensus pertanian tahun 1993 dan 2003 telah terjadi
pertambahan jumlah rumahtangga pertanian dari 20,51 juta menjadi 24,84 juta.
Artinya, telah terjadi kenaikan rata-rata sebesar 21,13 persen. Kenaikan jumlah
rumahtangga yang sangat pesat terjadi pada sub sektor hortikultura dari 4,86 juta
ribu rumahtangga menjadi 8,45 juta ribu rumahtangga, atau mencapai kenaikan
hingga 73,93 persen. Kenaikan yang besar ini diduga karena dua sebab, yaitu: (a)
Meningkatnya minat masyarakat terhadap usaha di subsektor hortikultura sebagai
komoditas yang bernilai tinggi, dan (b) Penambahan statistik jumlah komoditas
hortikultura yang dicatat di BPS. Dalam tahun 2006 komoditas hortikultura yang
tercatat di BPS baru 17 komoditas dari sejumlah 323 komoditas hortikultura,
sesuai Kepmentan 511/Kpts/PD.9/2006. Dalam perkembangannya, jumlah jenis
hortikultura yang dicatat dalam statistik terus meningkat. Kenaikan terbesar kedua
adalah sub sektor perkebunan, yaitu 13,72 persen, menyusul sub sektor tanaman
pangan sebesar 3,86 persen, dan yang terendah sub sektor peternakan 2,89
persen (Tabel 4.1).
Tabel 4.1. Perkembangan Jumlah Rumahtangga Pertanian 1993-2003 Berdasarkan Sub Sektor Pertanian (juta)
No Sektor 1993 2003 Perubahan (%)1 Tanaman Pangan 17,55 18,23 3,862 Hortikultura 4,86 8,45 73,933 Perkebunan 6,11 6,94 13,724 Peternakan 5,47 5,62 2,89
Pertanian 20,51 24,84 21,13Sumber: BPS; Sensus pertanian 1993 dan 2003.
Penelusuran lebih lanjut menurut wilayah menunjukkan peningkatan
jumlah rumahtangga relatif lebih besar terjadi di luar Pulau Jawa, yaitu 26,07
persen, sedangkan di Pulau Jawa hanya sekitar 17,30 persen atau di bawah rata-
35
BAB IVKERAGAAN RUMAHTANGGA PERTANIAN DAN KESEJAHTERAAN
PETANI
4.1. Keragaan Rumahtangga Pertanian
Berdasarkan sensus pertanian tahun 1993 dan 2003 telah terjadi
pertambahan jumlah rumahtangga pertanian dari 20,51 juta menjadi 24,84 juta.
Artinya, telah terjadi kenaikan rata-rata sebesar 21,13 persen. Kenaikan jumlah
rumahtangga yang sangat pesat terjadi pada sub sektor hortikultura dari 4,86 juta
ribu rumahtangga menjadi 8,45 juta ribu rumahtangga, atau mencapai kenaikan
hingga 73,93 persen. Kenaikan yang besar ini diduga karena dua sebab, yaitu: (a)
Meningkatnya minat masyarakat terhadap usaha di subsektor hortikultura sebagai
komoditas yang bernilai tinggi, dan (b) Penambahan statistik jumlah komoditas
hortikultura yang dicatat di BPS. Dalam tahun 2006 komoditas hortikultura yang
tercatat di BPS baru 17 komoditas dari sejumlah 323 komoditas hortikultura,
sesuai Kepmentan 511/Kpts/PD.9/2006. Dalam perkembangannya, jumlah jenis
hortikultura yang dicatat dalam statistik terus meningkat. Kenaikan terbesar kedua
adalah sub sektor perkebunan, yaitu 13,72 persen, menyusul sub sektor tanaman
pangan sebesar 3,86 persen, dan yang terendah sub sektor peternakan 2,89
persen (Tabel 4.1).
Tabel 4.1. Perkembangan Jumlah Rumahtangga Pertanian 1993-2003 Berdasarkan Sub Sektor Pertanian (juta)
No Sektor 1993 2003 Perubahan (%)1 Tanaman Pangan 17,55 18,23 3,862 Hortikultura 4,86 8,45 73,933 Perkebunan 6,11 6,94 13,724 Peternakan 5,47 5,62 2,89
Pertanian 20,51 24,84 21,13Sumber: BPS; Sensus pertanian 1993 dan 2003.
Penelusuran lebih lanjut menurut wilayah menunjukkan peningkatan
jumlah rumahtangga relatif lebih besar terjadi di luar Pulau Jawa, yaitu 26,07
persen, sedangkan di Pulau Jawa hanya sekitar 17,30 persen atau di bawah rata-
36
36
rata nasional yang mencapai 21,13 persen. Rumahtangga tersebut mencakup
rumahtangga petani yang memiliki lahan dan rumahtangga buruh tani (Tabel 4.2).
Tabel 4.2. Perkembangan Jumlah Rumahtangga Pertanian 1993-2003 Berdasarkan Wilayah (juta)
No Regional 1993 2003 Perubahan (%)1 Pulau Jawa 11,55 13,55 17,302 Luar Pulau Jawa 8,95 11,29 26,07
Indonesia 20,51 24,84 21,13Sumber: BPS, Sensus pertanian 1993 dan 2003.
Salah satu dari aset petani yang menggambarkan potensi pengembangan
usaha pertanian adalah distribusi kepemilikan lahan, semakin luas pemilikan akan
semakin baik peluang peningkatan produksi dan kesejahteraannya. Dengan hanya
melihat rumahtangga yang memiliki lahan, jumlah rumahtangga petani tahun
1993-2003 meningkat dari 19,71 juta RT menjadi 23,67 juta RT atau peningkatan
sebesar 29,92 persen. Pertanian Indonesia didominasi pertanian skala kecil,
bahkan sebagian diantaranya dioperasikan oleh buruh tani yang tidak memiliki
lahan. Hasil sensus pertanian 2003 menunjukkan jumlah dan proporsi
rumahtangga skala kecil (<0,5 ha) meningkat dibandingkan tahun 1993, yaitu dari
10,63 juta RT menjadi 14,03 juta RT atau peningkatan sebesar 31,95 persen
(Tabel 4.3).
Tabel 4.3. Struktur Rumahtangga Pertanian Menurut Golongan Luas Pemilikan LahanTahun 1983-2003
TahunGolongan Luas Lahan (ha)
<0,5 0,50 – 0,99 1,00 – 1,99 > 2,00 Total
1983 6.412.246(42,26)
3.671.243(24,19)
2.922.294(19,26)
2.168.315(14,29)
12.254.726(100)
1993 10.631.887(53,93)
4.348.303(22,06)
3.132.145(15,89)
1.601.409(8,12)
19.713.744(100)
2003 14.028.589(56,41)
4.578.053(18,41)
3.460.406(13,91)
2.801.627(11,27)
23.668.457(100)
Perubahan Jumlah Rumahtangga1983 - 1993 +65,81 +18,44 +7,18 -26,15 +29,921993 - 2003 +31,95 +5,28 +10,48 +74,95 +20,061983 - 2003 +118,78 +24,70 +18,41 +29,21 +55,98Sumber: Sensus Pertanian 1983, 1992, 2003 (BPS).
36
rata nasional yang mencapai 21,13 persen. Rumahtangga tersebut mencakup
rumahtangga petani yang memiliki lahan dan rumahtangga buruh tani (Tabel 4.2).
Tabel 4.2. Perkembangan Jumlah Rumahtangga Pertanian 1993-2003 Berdasarkan Wilayah (juta)
No Regional 1993 2003 Perubahan (%)1 Pulau Jawa 11,55 13,55 17,302 Luar Pulau Jawa 8,95 11,29 26,07
Indonesia 20,51 24,84 21,13Sumber: BPS, Sensus pertanian 1993 dan 2003.
Salah satu dari aset petani yang menggambarkan potensi pengembangan
usaha pertanian adalah distribusi kepemilikan lahan, semakin luas pemilikan akan
semakin baik peluang peningkatan produksi dan kesejahteraannya. Dengan hanya
melihat rumahtangga yang memiliki lahan, jumlah rumahtangga petani tahun
1993-2003 meningkat dari 19,71 juta RT menjadi 23,67 juta RT atau peningkatan
sebesar 29,92 persen. Pertanian Indonesia didominasi pertanian skala kecil,
bahkan sebagian diantaranya dioperasikan oleh buruh tani yang tidak memiliki
lahan. Hasil sensus pertanian 2003 menunjukkan jumlah dan proporsi
rumahtangga skala kecil (<0,5 ha) meningkat dibandingkan tahun 1993, yaitu dari
10,63 juta RT menjadi 14,03 juta RT atau peningkatan sebesar 31,95 persen
(Tabel 4.3).
Tabel 4.3. Struktur Rumahtangga Pertanian Menurut Golongan Luas Pemilikan LahanTahun 1983-2003
TahunGolongan Luas Lahan (ha)
<0,5 0,50 – 0,99 1,00 – 1,99 > 2,00 Total
1983 6.412.246(42,26)
3.671.243(24,19)
2.922.294(19,26)
2.168.315(14,29)
12.254.726(100)
1993 10.631.887(53,93)
4.348.303(22,06)
3.132.145(15,89)
1.601.409(8,12)
19.713.744(100)
2003 14.028.589(56,41)
4.578.053(18,41)
3.460.406(13,91)
2.801.627(11,27)
23.668.457(100)
Perubahan Jumlah Rumahtangga1983 - 1993 +65,81 +18,44 +7,18 -26,15 +29,921993 - 2003 +31,95 +5,28 +10,48 +74,95 +20,061983 - 2003 +118,78 +24,70 +18,41 +29,21 +55,98Sumber: Sensus Pertanian 1983, 1992, 2003 (BPS).
36
rata nasional yang mencapai 21,13 persen. Rumahtangga tersebut mencakup
rumahtangga petani yang memiliki lahan dan rumahtangga buruh tani (Tabel 4.2).
Tabel 4.2. Perkembangan Jumlah Rumahtangga Pertanian 1993-2003 Berdasarkan Wilayah (juta)
No Regional 1993 2003 Perubahan (%)1 Pulau Jawa 11,55 13,55 17,302 Luar Pulau Jawa 8,95 11,29 26,07
Indonesia 20,51 24,84 21,13Sumber: BPS, Sensus pertanian 1993 dan 2003.
Salah satu dari aset petani yang menggambarkan potensi pengembangan
usaha pertanian adalah distribusi kepemilikan lahan, semakin luas pemilikan akan
semakin baik peluang peningkatan produksi dan kesejahteraannya. Dengan hanya
melihat rumahtangga yang memiliki lahan, jumlah rumahtangga petani tahun
1993-2003 meningkat dari 19,71 juta RT menjadi 23,67 juta RT atau peningkatan
sebesar 29,92 persen. Pertanian Indonesia didominasi pertanian skala kecil,
bahkan sebagian diantaranya dioperasikan oleh buruh tani yang tidak memiliki
lahan. Hasil sensus pertanian 2003 menunjukkan jumlah dan proporsi
rumahtangga skala kecil (<0,5 ha) meningkat dibandingkan tahun 1993, yaitu dari
10,63 juta RT menjadi 14,03 juta RT atau peningkatan sebesar 31,95 persen
(Tabel 4.3).
Tabel 4.3. Struktur Rumahtangga Pertanian Menurut Golongan Luas Pemilikan LahanTahun 1983-2003
TahunGolongan Luas Lahan (ha)
<0,5 0,50 – 0,99 1,00 – 1,99 > 2,00 Total
1983 6.412.246(42,26)
3.671.243(24,19)
2.922.294(19,26)
2.168.315(14,29)
12.254.726(100)
1993 10.631.887(53,93)
4.348.303(22,06)
3.132.145(15,89)
1.601.409(8,12)
19.713.744(100)
2003 14.028.589(56,41)
4.578.053(18,41)
3.460.406(13,91)
2.801.627(11,27)
23.668.457(100)
Perubahan Jumlah Rumahtangga1983 - 1993 +65,81 +18,44 +7,18 -26,15 +29,921993 - 2003 +31,95 +5,28 +10,48 +74,95 +20,061983 - 2003 +118,78 +24,70 +18,41 +29,21 +55,98Sumber: Sensus Pertanian 1983, 1992, 2003 (BPS).
37
37
Gambaran ini ditunjang oleh hasil kajian mikro, Penelitian Patanas tahun
2000, yang menunjukkan sekitar 88 persen rumahtangga petani di Jawa
menguasai lahan sawah kurang dari 0,5 hektar dan sekitar 76 persen menguasai
lahan sawah kurang dari 0,25 hektar. Kondisi penguasaan lahan sawah di luar
Pulau Jawa masih relatif lebih baik. Kondisi penguasaan lahan yang sempit dan
ketimpangan pemilikan lahan menyebabkan kemustahilan petani kecil mampu
meningkatkan kesejahteraannya apabila hanya menggantungkan pada mata
pencaharian yang berbasis pada lahan.
Hasil penelitian Sumaryanto (2009) menunjukkan adanya 8,84 persen
rumahtangga pertanian yang tidak memiliki lahan usaha (tunakisma). Tingkat
tunakisma di Pulau Jawa lebih tinggi dibanding luar Jawa, yaitu masing-masing
12,4 persen dan 7,05 persen. Apabila digunakan definisi luas pemilikan lahan
sangat sempit di bawah 0,25 ha, maka rata-rata pemilikan lahan sangat sempit di
Indonesia sekitar 27,35 persen, dengan rincian di Jawa 40 persen dan di luar Jawa
20,75 persen. Selama ini definisi petani gurem adalah pemilikan lahan di bawah
0,5 ha. Dengan kriteria tersebut, maka jumlah petani gurem di Indonesia sekitar
44 persen, dengan rincian di Jawa sebanyak 57 persen dan di luar Jawa 37,3
persen. Apabila lahan usahatani yang dianggap layak dapat memberi
pendapatan bagi rumahtangga tani harus lebih dari dua hektar, berdasarkan studi
ini, di Pulau Jawa tidak didapatkan petani yang bisa menghidupi keluarga
rumahtangga tani dari lahan usahatani. Pemilikan lahan di atas dua hektar hanya
dijumpai di luar Pulau Jawa, yaitu sebesar 12,86 persen (Tabel 4.4.) Ketimpangan
distribusi kepemilikan lahan di Pulau Jawa semakin mengkhawatirkan. Hal ini
mengakibatkan tanah absentee yang menjadi salah satu penyebab kesulitan
pelaksanaan berbagai program peningkatan produksi dan pendapatan petani.
Selain pemilikan dan penguasaan lahan yang sempit, sumberdaya lahan juga
menghadapi permasalahan degradasi.
38
38
Tabel 4.4. Distribusi Rumahtangga Petani Menurut Kelompok Pemilikan Lahan, Tahun 2007 (dalam persen)
Luas Pemilikan (ha) Pulau Jawa Luar Pulau Jawa TotalTunakisma 12,40 7,05 8,84< 0,25 40,50 20,75 27,35O,25 -0,50 16,53 16,60 16,57O,51 – 1,00 14,05 9,13 5,25> 1,01 – 2,00 16,52 33,61 29.13> 2,00 - 12,86 12,86
Sumber: Sumaryanto, 2009.
Pembangunan pertanian menghadapi kendala keterbatasan infrastruktur
pertanian. Sarana jalan usahatani tidak memadai untuk memanfaatkan teknologi
mekanisasi secara efisien. Saluran irigasi banyak sudah tua dan rusak. Upaya
operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi masih terbatas, sehingga tingkat
efisiensinya sangat rendah. Kendala infrastruktur pertanian menjadi kendala
pengembangan produksi dan produktivitas pertanian serta pemasaran hasil
pertanian.
4.1.1. Keragaan Rumahtangga Tanaman Pangan
Berdasarkan Sensus Pertanian 2003, jumlah rumahtangga tanaman
pangan tahun 2003 sebanyak 24,55 juta. Pada kelompok rumahtangga tanaman
pangan ini, lebih dari setengahnya adalah rumahtangga padi (56,09 persen)
seperempatnya adalah kelompok rumahtangga jagung (25,82 persen) dan
terbanyak ketiga adalah rumahtangga ubikayu (18,33 persen). Jumlah
rumahtangga lain yang relatif banyak adalah aneka kacang dan ubijalar (Tabel
4.5).
38
Tabel 4.4. Distribusi Rumahtangga Petani Menurut Kelompok Pemilikan Lahan, Tahun 2007 (dalam persen)
Luas Pemilikan (ha) Pulau Jawa Luar Pulau Jawa TotalTunakisma 12,40 7,05 8,84< 0,25 40,50 20,75 27,35O,25 -0,50 16,53 16,60 16,57O,51 – 1,00 14,05 9,13 5,25> 1,01 – 2,00 16,52 33,61 29.13> 2,00 - 12,86 12,86
Sumber: Sumaryanto, 2009.
Pembangunan pertanian menghadapi kendala keterbatasan infrastruktur
pertanian. Sarana jalan usahatani tidak memadai untuk memanfaatkan teknologi
mekanisasi secara efisien. Saluran irigasi banyak sudah tua dan rusak. Upaya
operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi masih terbatas, sehingga tingkat
efisiensinya sangat rendah. Kendala infrastruktur pertanian menjadi kendala
pengembangan produksi dan produktivitas pertanian serta pemasaran hasil
pertanian.
4.1.1. Keragaan Rumahtangga Tanaman Pangan
Berdasarkan Sensus Pertanian 2003, jumlah rumahtangga tanaman
pangan tahun 2003 sebanyak 24,55 juta. Pada kelompok rumahtangga tanaman
pangan ini, lebih dari setengahnya adalah rumahtangga padi (56,09 persen)
seperempatnya adalah kelompok rumahtangga jagung (25,82 persen) dan
terbanyak ketiga adalah rumahtangga ubikayu (18,33 persen). Jumlah
rumahtangga lain yang relatif banyak adalah aneka kacang dan ubijalar (Tabel
4.5).
39
39
Tabel 4.5. Proporsi Jumlah Rumahtagga Tanaman Pangan Tahun 2003
No Tanaman Pangan 2003 Persen1 Padi 13.770.100 56,092 Palawija 10.781.454 43,913 Jagung 6.339.576 25,824 Kedelai 1.015.751 4,135 Kacang Tanah 1.894.011 7,716 Kacang Hijau 801.723 3,277 Ubikayu 4.500.486 18,338 Ubijalar 813.746 3,319 Shorgum 23.686 0,1010 Talas 266.281 1,0811 Lain 34.536 0,14
Tanaman pangan 24.551.554 100,00Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Pada kasus rumahtangga padi, sumbangan pendapatan dari usahatani padi
terhadap total pendapatan rumahtangga terbesar pada proporsi 51-75 persen,
yaitu sebesar 45,51 persen, menyusul proporsi 25-50 persen sebesar 30,67
persen. Sementara itu, rumahtangga padi dengan kontribusi pendapatan dari
usahatani padi di atas 75 persen hanya 6,72 persen. Hal ini memberi indikasi
bahwa usahatani padi tidak dapat sepenuhnya menjamin kebutuhan rumahtangga
padi, dan/atau berarti pula bahwa sumber pendapatan rumahtangga padi telah
terdiversifikasi (Tabel 4.6). Peran usahatani padi terhadap rumahtangga lebih
tinggi terjadi pada petani padi sawah dibanding rumahtangga padi ladang.
Artinya, tingkat diversifikasi usaha (sumber pendapatan rumahtangga) dari
rumahtangga padi ladang lebih tinggi.
39
Tabel 4.5. Proporsi Jumlah Rumahtagga Tanaman Pangan Tahun 2003
No Tanaman Pangan 2003 Persen1 Padi 13.770.100 56,092 Palawija 10.781.454 43,913 Jagung 6.339.576 25,824 Kedelai 1.015.751 4,135 Kacang Tanah 1.894.011 7,716 Kacang Hijau 801.723 3,277 Ubikayu 4.500.486 18,338 Ubijalar 813.746 3,319 Shorgum 23.686 0,1010 Talas 266.281 1,0811 Lain 34.536 0,14
Tanaman pangan 24.551.554 100,00Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Pada kasus rumahtangga padi, sumbangan pendapatan dari usahatani padi
terhadap total pendapatan rumahtangga terbesar pada proporsi 51-75 persen,
yaitu sebesar 45,51 persen, menyusul proporsi 25-50 persen sebesar 30,67
persen. Sementara itu, rumahtangga padi dengan kontribusi pendapatan dari
usahatani padi di atas 75 persen hanya 6,72 persen. Hal ini memberi indikasi
bahwa usahatani padi tidak dapat sepenuhnya menjamin kebutuhan rumahtangga
padi, dan/atau berarti pula bahwa sumber pendapatan rumahtangga padi telah
terdiversifikasi (Tabel 4.6). Peran usahatani padi terhadap rumahtangga lebih
tinggi terjadi pada petani padi sawah dibanding rumahtangga padi ladang.
Artinya, tingkat diversifikasi usaha (sumber pendapatan rumahtangga) dari
rumahtangga padi ladang lebih tinggi.
40
40
Tabel 4.6. Proporsi Jumlah Rumahtangga (RT) berdasarkan Peran Pendapatan Usahatani Tanaman Padi Sawah dan Padi Ladang Tahun 2003
NoProporsi sumbangan pendapatan
usahatani padi terhadap pendapatan keluarga
RT Padi Sawah RT PadiLadang RT Padi
1 RT dengan sumbangan pendapatan usatahani padi < 25 persen
1.880.498(15,61)
489.756(28,43)
2.370.254(17,21)
2 RT dengan sumbangan pendapatan usatahani padi 25 – 50persen
3.604.934(29,92)
617.842(35,88)
4.222.776(30,67)
3 RT dengan sumbangan pendapatan usatahani padi 51 – 75persen
5.693.691(47,26)
558.646(32,44)
6.252.337(45,51)
4 RT dengan sumbangan pendapatan usatahani padi > 75 persen
868.763(7,21)
55.970(3,25)
924.733(6,72)
Total Rumahtangga usaha padi sawah
12.047.886(100)
1.722.214(100)
13.770(100)
Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Berdasarkan hasil sensus 2003, beberapa kendala dijumpai dalam usahatani
padi dan palawija, yaitu berturut-turut adalah masalah harga produksi yang
rendah, kekurangan modal, harga saprotan yang mahal, serangan hama dan
penyakit dan lain (Tabel 4.7). Kendala ini disamping berpengaruh terhadap
produksi, juga mempengaruhi nilai tukar petani ditunjukkan oleh banyaknya
petani padi dan palawija yang mengalami harga jual hasil panen yang rendah,
berturut-turut sebanyak 30,47 dan 38,32 persen.
Tabel 4.7. Permasalahan/Kendala Utama dalam Usahatani Padi Tahun 2003
No Akses Petani Padi Jumlah RT Padi Persentase Jumlah RT
Palawija Persentase
1 Kekurangan Modal 3.798.335 27,58 2.886.510 26,772 Harga Saprotan Mahal 2.533.990 18,40 996.868 9,253 Kelangkaan Saprotan 82.071 0,60 50.688 0,474 Harga Produksi Rendah 4.195.256 30,47 4.131.961 38,325 Hama/Penyakit 1.181.105 8,58 627.947 5,826 Lain 1.976.888 14,36 2.087.480 19,36
Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
40
Tabel 4.6. Proporsi Jumlah Rumahtangga (RT) berdasarkan Peran Pendapatan Usahatani Tanaman Padi Sawah dan Padi Ladang Tahun 2003
NoProporsi sumbangan pendapatan
usahatani padi terhadap pendapatan keluarga
RT Padi Sawah RT PadiLadang RT Padi
1 RT dengan sumbangan pendapatan usatahani padi < 25 persen
1.880.498(15,61)
489.756(28,43)
2.370.254(17,21)
2 RT dengan sumbangan pendapatan usatahani padi 25 – 50persen
3.604.934(29,92)
617.842(35,88)
4.222.776(30,67)
3 RT dengan sumbangan pendapatan usatahani padi 51 – 75persen
5.693.691(47,26)
558.646(32,44)
6.252.337(45,51)
4 RT dengan sumbangan pendapatan usatahani padi > 75 persen
868.763(7,21)
55.970(3,25)
924.733(6,72)
Total Rumahtangga usaha padi sawah
12.047.886(100)
1.722.214(100)
13.770(100)
Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Berdasarkan hasil sensus 2003, beberapa kendala dijumpai dalam usahatani
padi dan palawija, yaitu berturut-turut adalah masalah harga produksi yang
rendah, kekurangan modal, harga saprotan yang mahal, serangan hama dan
penyakit dan lain (Tabel 4.7). Kendala ini disamping berpengaruh terhadap
produksi, juga mempengaruhi nilai tukar petani ditunjukkan oleh banyaknya
petani padi dan palawija yang mengalami harga jual hasil panen yang rendah,
berturut-turut sebanyak 30,47 dan 38,32 persen.
Tabel 4.7. Permasalahan/Kendala Utama dalam Usahatani Padi Tahun 2003
No Akses Petani Padi Jumlah RT Padi Persentase Jumlah RT
Palawija Persentase
1 Kekurangan Modal 3.798.335 27,58 2.886.510 26,772 Harga Saprotan Mahal 2.533.990 18,40 996.868 9,253 Kelangkaan Saprotan 82.071 0,60 50.688 0,474 Harga Produksi Rendah 4.195.256 30,47 4.131.961 38,325 Hama/Penyakit 1.181.105 8,58 627.947 5,826 Lain 1.976.888 14,36 2.087.480 19,36
Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
40
Tabel 4.6. Proporsi Jumlah Rumahtangga (RT) berdasarkan Peran Pendapatan Usahatani Tanaman Padi Sawah dan Padi Ladang Tahun 2003
NoProporsi sumbangan pendapatan
usahatani padi terhadap pendapatan keluarga
RT Padi Sawah RT PadiLadang RT Padi
1 RT dengan sumbangan pendapatan usatahani padi < 25 persen
1.880.498(15,61)
489.756(28,43)
2.370.254(17,21)
2 RT dengan sumbangan pendapatan usatahani padi 25 – 50persen
3.604.934(29,92)
617.842(35,88)
4.222.776(30,67)
3 RT dengan sumbangan pendapatan usatahani padi 51 – 75persen
5.693.691(47,26)
558.646(32,44)
6.252.337(45,51)
4 RT dengan sumbangan pendapatan usatahani padi > 75 persen
868.763(7,21)
55.970(3,25)
924.733(6,72)
Total Rumahtangga usaha padi sawah
12.047.886(100)
1.722.214(100)
13.770(100)
Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Berdasarkan hasil sensus 2003, beberapa kendala dijumpai dalam usahatani
padi dan palawija, yaitu berturut-turut adalah masalah harga produksi yang
rendah, kekurangan modal, harga saprotan yang mahal, serangan hama dan
penyakit dan lain (Tabel 4.7). Kendala ini disamping berpengaruh terhadap
produksi, juga mempengaruhi nilai tukar petani ditunjukkan oleh banyaknya
petani padi dan palawija yang mengalami harga jual hasil panen yang rendah,
berturut-turut sebanyak 30,47 dan 38,32 persen.
Tabel 4.7. Permasalahan/Kendala Utama dalam Usahatani Padi Tahun 2003
No Akses Petani Padi Jumlah RT Padi Persentase Jumlah RT
Palawija Persentase
1 Kekurangan Modal 3.798.335 27,58 2.886.510 26,772 Harga Saprotan Mahal 2.533.990 18,40 996.868 9,253 Kelangkaan Saprotan 82.071 0,60 50.688 0,474 Harga Produksi Rendah 4.195.256 30,47 4.131.961 38,325 Hama/Penyakit 1.181.105 8,58 627.947 5,826 Lain 1.976.888 14,36 2.087.480 19,36
Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
41
41
Masalah permodalan yang dijumpai di atas sejalan dengan informasi
tentang sumber modal yang digunakan dalam usahatani yang sebagian besar
(95,4 persen) berasal dari modal sendiri. Sementara petani yang mempunyai
akses terhadap kredit baik dari Bank maupun Non Bank hanya sebanyak 2,02
persen (Tabel 4.8). Kondisi ini berdampak kepada upaya peningkatan produksi.
Petani mengalami kesulitan untuk menerapkan teknologi anjuran karena
kekurangan modal. Hal ini perlu menjadi perhatian dalam hal peningkatan akses
petani terhadap lembaga permodalan (Bank dan Non Bank) dalam rangka
peningkatan usaha pertanian.
Tabel 4.8. Sumber Pembiayaan Usahatani Padi Tahun 2003
No Sumber Pembiayaan Jumlah RTPadi Persentase Jumlah RT
Palawija Persentase
1 Modal Sendiri 13.104.575 95,17 10.346.070 89,682 Kredit Bank 111.404 0,81 25.576 0,243 Kredit Non Bank 165.992 1,21 112.380 1,044 Lain 388.129 2,82 974.282 9,04
Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Keterbatasan modal usaha akan menyebabkan anjuran paket teknologi
usahatani tidak akan dapat dipenuhi dan mengakibatkan berkurangnya
produktivitas hasil/produksi rendah. Karena harga saprotan mahal, maka secara
keseluruhan usahatani padi dan palawija tidak dapat berkembang secara optimal
dan tidak memperoleh keuntungan yang memadai. Hal ini dapat berakibat petani
mengalihkan jenis komoditas, sehingga secara keseluruhan akan dapat
mengurangi produksi nasional.
Penerapan teknologi dalam budidaya pertanian, bukan hanya dapat
meningkatkan produktivitas, tetapi juga dapat meningkatkan efisiensi penggunaan
sarana produksi yang dapat meningkatkan pendapatan petani. Tabel 4.9
menggambarkan penerapan teknologi budidaya padi pada tahun 2003 dan
menunjukkan bahwa penggunaan benih padi berlabel dan varietas yang sesuai
41
Masalah permodalan yang dijumpai di atas sejalan dengan informasi
tentang sumber modal yang digunakan dalam usahatani yang sebagian besar
(95,4 persen) berasal dari modal sendiri. Sementara petani yang mempunyai
akses terhadap kredit baik dari Bank maupun Non Bank hanya sebanyak 2,02
persen (Tabel 4.8). Kondisi ini berdampak kepada upaya peningkatan produksi.
Petani mengalami kesulitan untuk menerapkan teknologi anjuran karena
kekurangan modal. Hal ini perlu menjadi perhatian dalam hal peningkatan akses
petani terhadap lembaga permodalan (Bank dan Non Bank) dalam rangka
peningkatan usaha pertanian.
Tabel 4.8. Sumber Pembiayaan Usahatani Padi Tahun 2003
No Sumber Pembiayaan Jumlah RTPadi Persentase Jumlah RT
Palawija Persentase
1 Modal Sendiri 13.104.575 95,17 10.346.070 89,682 Kredit Bank 111.404 0,81 25.576 0,243 Kredit Non Bank 165.992 1,21 112.380 1,044 Lain 388.129 2,82 974.282 9,04
Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Keterbatasan modal usaha akan menyebabkan anjuran paket teknologi
usahatani tidak akan dapat dipenuhi dan mengakibatkan berkurangnya
produktivitas hasil/produksi rendah. Karena harga saprotan mahal, maka secara
keseluruhan usahatani padi dan palawija tidak dapat berkembang secara optimal
dan tidak memperoleh keuntungan yang memadai. Hal ini dapat berakibat petani
mengalihkan jenis komoditas, sehingga secara keseluruhan akan dapat
mengurangi produksi nasional.
Penerapan teknologi dalam budidaya pertanian, bukan hanya dapat
meningkatkan produktivitas, tetapi juga dapat meningkatkan efisiensi penggunaan
sarana produksi yang dapat meningkatkan pendapatan petani. Tabel 4.9
menggambarkan penerapan teknologi budidaya padi pada tahun 2003 dan
menunjukkan bahwa penggunaan benih padi berlabel dan varietas yang sesuai
42
42
dengan kondisi agroekologi lahan sawah sangat penting dalam rangka
meningkatkan produktivitas. Penggunaan benih padi berlabel pada lahan sawah
belum banyak, hanya sekitar 35,5 persen, sedangkan pada padi ladang hanya
mencapai 12,9 persen. Selain varietas padi, penggunaan pupuk sangat
mempengaruhi produktivitas padi, hal ini dirasakan oleh petani padi sawah. Lebih
dari setengah petani padi telah melakukan pemupukan sesuai anjuran (54,6
persen), namun pada padi ladang baru mencapai 31,3 persen saja.
Tabel 4.9. Tingkat Penerapan Teknologi Budidaya Padi Tahun 2003
No Penerapan Teknologi Budidaya
Padi Sawah Padi LadangRT Persentase RT Persentase
1 Penggunaan benih berlabel 4.281.083 35,53 221.657 12,87
2 Penggunaan pupuk sesuai anjuran 6.576.013 54,58 539.657 31,33
3 Melakukan pengendalian OPT 2.493.694 20,70 294.664 17,11
4 Melakukan penjualan hasil panen 5.916.324 49,11 388.017 22,53
5 Melakukan pengeringan hasil 10.748.753 89,22 1.572.918 91.33
Jumlah rumahtangga 12.047.886 100,00 1.722.214 100,00Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) harus disesuaikan
dengan kondisi gangguan di lapangan, tidak semua budidaya harus melakukan
pengendalian OPT, bila tidak atau masih dalam batas ambang toleransi, tidak
diperlukan pengendalian OPT. Pada padi ladang pengendalian OPT hanya
dilakukan tingkat 20,1 persen dan pada padi ladang hanya sekitar 17,1 persen.
Usahatani padi merupakan sumber pendapatan keluarga, sehingga sebagian dari
hasil padi yang diperoleh dijual untuk kebutuhan rumahtangga. Pada petani padi
sawah hampir setengahnya melakukan penjualan hasil panen, dan pada padi
ladang yang menjual hasil panen hanya sekitar 22,5 persen. Gambaran tersebut
menjelaskan bahwa hasil panen petani padi ladang hanya dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan pangan keluarga, sehingga tidak ada yang dapat dijual.
42
dengan kondisi agroekologi lahan sawah sangat penting dalam rangka
meningkatkan produktivitas. Penggunaan benih padi berlabel pada lahan sawah
belum banyak, hanya sekitar 35,5 persen, sedangkan pada padi ladang hanya
mencapai 12,9 persen. Selain varietas padi, penggunaan pupuk sangat
mempengaruhi produktivitas padi, hal ini dirasakan oleh petani padi sawah. Lebih
dari setengah petani padi telah melakukan pemupukan sesuai anjuran (54,6
persen), namun pada padi ladang baru mencapai 31,3 persen saja.
Tabel 4.9. Tingkat Penerapan Teknologi Budidaya Padi Tahun 2003
No Penerapan Teknologi Budidaya
Padi Sawah Padi LadangRT Persentase RT Persentase
1 Penggunaan benih berlabel 4.281.083 35,53 221.657 12,87
2 Penggunaan pupuk sesuai anjuran 6.576.013 54,58 539.657 31,33
3 Melakukan pengendalian OPT 2.493.694 20,70 294.664 17,11
4 Melakukan penjualan hasil panen 5.916.324 49,11 388.017 22,53
5 Melakukan pengeringan hasil 10.748.753 89,22 1.572.918 91.33
Jumlah rumahtangga 12.047.886 100,00 1.722.214 100,00Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) harus disesuaikan
dengan kondisi gangguan di lapangan, tidak semua budidaya harus melakukan
pengendalian OPT, bila tidak atau masih dalam batas ambang toleransi, tidak
diperlukan pengendalian OPT. Pada padi ladang pengendalian OPT hanya
dilakukan tingkat 20,1 persen dan pada padi ladang hanya sekitar 17,1 persen.
Usahatani padi merupakan sumber pendapatan keluarga, sehingga sebagian dari
hasil padi yang diperoleh dijual untuk kebutuhan rumahtangga. Pada petani padi
sawah hampir setengahnya melakukan penjualan hasil panen, dan pada padi
ladang yang menjual hasil panen hanya sekitar 22,5 persen. Gambaran tersebut
menjelaskan bahwa hasil panen petani padi ladang hanya dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan pangan keluarga, sehingga tidak ada yang dapat dijual.
43
43
Hasil panen petani padi sawah cukup banyak dan sebagian dapat dijual. Agar
dapat lebih lama disimpan, semua jenis dan varietas padi memerlukan
pengeringan hasil panen, sehingga petani melakukan penjemuran padi setelah
panen dan sebelum menyimpannya. Terlihat dalam Tabel 4.9, hampir semua
petani padi melakukan pengeringan/penjemuran hasil panen, baik pada padi
ladang maupun padi sawah. Petani yang tidak melakukan penjemuran hasil panen
disebabkan langsung dijual ke pengumpul di lapangan.
Untuk memperbaiki tingkat penerapan teknologi budidaya diperlukan
intervensi Pemerintah dalam bentuk bantuan faktor produksi padi. Hasil sensus
tahun 2003 menunjukkan intervensi pemerintah dalam bantuan sarana produksi
padi sawah maupun padi ladang masih relatif kecil (Tabel 4.10). Belum banyak
kelompok rumahtangga tanaman pangan yang memperoleh bantuan faktor
produksi uasahatani dari Pemerintah. Selama tahun 2003 tercatat hanya sekitar
407,39 ribu yang memperoleh bantuan dari Pemerintah (kurang dari tiga persen).
Setengah dari bantuan tersebut berupa bibit tanaman dan yang cukup banyak
bantuan dalam bentuk pupuk, sedangkan faktor produksi lain relatif sedikit.
Sebagian besar dari bantuan faktor produksi dalam bentuk paket program
peningkatan produksi tanaman pangan dan usaha pengembangan agribisnis.
Tabel 4.10. Banyaknya Rumahtangga Tani Padi yang Mendapat Bantuan Faktor Produksi Padi dari Pemerintah Tahun 2003
No Bantuan Faktor Produksi Padi
Jumlah RT Padi Persentase Jumlah RT
Palawija Persentase
1 Bibit 210.193 1,53 129.121 1,202 Pupuk 116.875 0,85 51.378 0,483 Pestisida 14.901 0,11 7.874 0,074 Alsintan 14.377 0,10 3.916 0,045 Lain 51.042 0,37 37.550 0,35
Jumlah yang mendapat bantuan 407.388 2,96 229.839 2,14
Jumlah rumahtangga Padi 13.770.100 100 1.722.214 1,20
Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
43
Hasil panen petani padi sawah cukup banyak dan sebagian dapat dijual. Agar
dapat lebih lama disimpan, semua jenis dan varietas padi memerlukan
pengeringan hasil panen, sehingga petani melakukan penjemuran padi setelah
panen dan sebelum menyimpannya. Terlihat dalam Tabel 4.9, hampir semua
petani padi melakukan pengeringan/penjemuran hasil panen, baik pada padi
ladang maupun padi sawah. Petani yang tidak melakukan penjemuran hasil panen
disebabkan langsung dijual ke pengumpul di lapangan.
Untuk memperbaiki tingkat penerapan teknologi budidaya diperlukan
intervensi Pemerintah dalam bentuk bantuan faktor produksi padi. Hasil sensus
tahun 2003 menunjukkan intervensi pemerintah dalam bantuan sarana produksi
padi sawah maupun padi ladang masih relatif kecil (Tabel 4.10). Belum banyak
kelompok rumahtangga tanaman pangan yang memperoleh bantuan faktor
produksi uasahatani dari Pemerintah. Selama tahun 2003 tercatat hanya sekitar
407,39 ribu yang memperoleh bantuan dari Pemerintah (kurang dari tiga persen).
Setengah dari bantuan tersebut berupa bibit tanaman dan yang cukup banyak
bantuan dalam bentuk pupuk, sedangkan faktor produksi lain relatif sedikit.
Sebagian besar dari bantuan faktor produksi dalam bentuk paket program
peningkatan produksi tanaman pangan dan usaha pengembangan agribisnis.
Tabel 4.10. Banyaknya Rumahtangga Tani Padi yang Mendapat Bantuan Faktor Produksi Padi dari Pemerintah Tahun 2003
No Bantuan Faktor Produksi Padi
Jumlah RT Padi Persentase Jumlah RT
Palawija Persentase
1 Bibit 210.193 1,53 129.121 1,202 Pupuk 116.875 0,85 51.378 0,483 Pestisida 14.901 0,11 7.874 0,074 Alsintan 14.377 0,10 3.916 0,045 Lain 51.042 0,37 37.550 0,35
Jumlah yang mendapat bantuan 407.388 2,96 229.839 2,14
Jumlah rumahtangga Padi 13.770.100 100 1.722.214 1,20
Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
44
44
Tidak berbeda dengan tanaman padi, Pemerintah juga membantu sarana
produksi untuk usahatani tanaman palawija sebagaimana dirangkum dalam Tabel
4.10. Bantuan sarana produksi bibit tanaman palawija terbanyak disalurkan
Pemerintah kepada petani palawija, yaitu mencapai 1,20 persen dari total
rumahtangga petani palawija. Bantuan sarana produksi lain seperti pupuk,
pestisida dan alsintan di bawah setengah persen bahkan di bawah satu persen.
Tahun 2003 tercatat dalam sensus pertanian hanya sekitar 2,14 persen saja
petani palawija yang memperoleh bantuan sarana produksi atau sebanyak 229,84
ribu rumahtangga palawija.
4.1.2. Keragaan Rumahtangga Hortikultura
Peningkatan jumlah rumahtangga petani hortikultura dalam kurun waktu
1993 sampai 2003 mengalami pertumbuhan yang pesat dari tahun 1993
berjumlah 5,04 juta naik menjadi 8,44 juta rumahtangga pada tahun 2003, atau
naik 67 persen. Kegiatan usahatani hortikultura menjadi andalan lebih dari 34 juta
orang untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehingga sub sektor ini tidak dapat
diabaikan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani Indonesia.
Selain itu, sub sektor ini merupakan andalan bagi buruh tani hortikultura yang
jumlahnya hampir dua juta orang.
Seperti kita ketahui kegiatan usahatani hortikultura ini relatif lebih rentan
terhadap perubahan iklim dan serangan hama penyakit tanaman dibanding jenis
tanaman lain, sehingga tidak jarang petani hortikultura mengalami kegagalan
panen. Namun, seringkali harga komoditas hortikultura “jatuh” atau rendah (jauh
di bawah titik impas) akibat surplus penawaran, sehingga petani hortikultura
mengalami kerugian. Hal sebaliknya dapat terjadi, dimana harga komoditas sayur-
sayuran tiba-tiba tinggi karena kekurangan pasokan dari petani produsen. Kondisi
ini dapat memberi keuntungan lebih tinggi bagi petani produsen, sehingga
mempengaruhi jumlah rumahtangga petani hortikultura (Tabel 4.11).
45
45
Tabel 4.11. Jumlah Rumahtangga Tanaman Hortikultura 1993 dan 2003
No Jumlah Rumahtangga (RT) 1993 2003 Perubahan(%)1 Jumlah R T Hortikultura 5.044.000 8.444.042 67,402 Jumlah anggota RT Hortikultura - 34.346.492 -3 Jumlah Buruh Tani Hortikultura - 1.909.051 -
Sumber: Sensus Pertanian 1993 dan 2003 (BPS).
Rata-rata luas lahan yang dikuasai petani hortikultura cukup luas,
mencapai 0,89 ha. Sebagian besar lahan yang diusahakan untuk kegiatan
usahatani komoditas hortikultura merupakan lahan milik (85,7 persen), tetapi
cukup banyak juga petani hortikultura yang menyewa atau gadai dari pihak lain
(lebih dari 10 persen). Tanda bahwa petani hortikultura kekurangan lahan adalah
petani menyewa lahan dari tetangga, sedangkan yang menyewakan pada teman
relatif sedikit (3,65 persen). Status penguasaan lahan hortikultura secara rinci
dalam Tabel 4.12.
Tabel 4.12. Rata-rata Luas Lahan yang Dikuasai Rumahtangga Hortikultura Menurut Status Penguasaan Lahan dan Penggunaan Lahan, Tahun 2003 (m2)
No Status penguasaan lahan Luas (m2) Persen1 Lahan yang dimiliki 8.334,90 85,712 Lahan yg berasal dari pihak lain 953,59 10,643 Lahan yang berada dipihak lain 327,20 3,65
Lahan yang dikuasai 8.961,29 100Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Sebagian besar lahan yang diusahakan petani hortikultura adalah lahan
bukan sawah (tegal, kebun, dan darat/ladang). Lahan sawah yang diusahakan
untuk usahatani komoditas hortikultura hanya sekitar 23 persen dari total lahan
pertanian yang diusahakan. Hanya sedikit proporsi lahan bukan pertanian yang
diusahakan untuk usahatani hortikultura (Tabel 4.13).
45
Tabel 4.11. Jumlah Rumahtangga Tanaman Hortikultura 1993 dan 2003
No Jumlah Rumahtangga (RT) 1993 2003 Perubahan(%)1 Jumlah R T Hortikultura 5.044.000 8.444.042 67,402 Jumlah anggota RT Hortikultura - 34.346.492 -3 Jumlah Buruh Tani Hortikultura - 1.909.051 -
Sumber: Sensus Pertanian 1993 dan 2003 (BPS).
Rata-rata luas lahan yang dikuasai petani hortikultura cukup luas,
mencapai 0,89 ha. Sebagian besar lahan yang diusahakan untuk kegiatan
usahatani komoditas hortikultura merupakan lahan milik (85,7 persen), tetapi
cukup banyak juga petani hortikultura yang menyewa atau gadai dari pihak lain
(lebih dari 10 persen). Tanda bahwa petani hortikultura kekurangan lahan adalah
petani menyewa lahan dari tetangga, sedangkan yang menyewakan pada teman
relatif sedikit (3,65 persen). Status penguasaan lahan hortikultura secara rinci
dalam Tabel 4.12.
Tabel 4.12. Rata-rata Luas Lahan yang Dikuasai Rumahtangga Hortikultura Menurut Status Penguasaan Lahan dan Penggunaan Lahan, Tahun 2003 (m2)
No Status penguasaan lahan Luas (m2) Persen1 Lahan yang dimiliki 8.334,90 85,712 Lahan yg berasal dari pihak lain 953,59 10,643 Lahan yang berada dipihak lain 327,20 3,65
Lahan yang dikuasai 8.961,29 100Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Sebagian besar lahan yang diusahakan petani hortikultura adalah lahan
bukan sawah (tegal, kebun, dan darat/ladang). Lahan sawah yang diusahakan
untuk usahatani komoditas hortikultura hanya sekitar 23 persen dari total lahan
pertanian yang diusahakan. Hanya sedikit proporsi lahan bukan pertanian yang
diusahakan untuk usahatani hortikultura (Tabel 4.13).
45
Tabel 4.11. Jumlah Rumahtangga Tanaman Hortikultura 1993 dan 2003
No Jumlah Rumahtangga (RT) 1993 2003 Perubahan(%)1 Jumlah R T Hortikultura 5.044.000 8.444.042 67,402 Jumlah anggota RT Hortikultura - 34.346.492 -3 Jumlah Buruh Tani Hortikultura - 1.909.051 -
Sumber: Sensus Pertanian 1993 dan 2003 (BPS).
Rata-rata luas lahan yang dikuasai petani hortikultura cukup luas,
mencapai 0,89 ha. Sebagian besar lahan yang diusahakan untuk kegiatan
usahatani komoditas hortikultura merupakan lahan milik (85,7 persen), tetapi
cukup banyak juga petani hortikultura yang menyewa atau gadai dari pihak lain
(lebih dari 10 persen). Tanda bahwa petani hortikultura kekurangan lahan adalah
petani menyewa lahan dari tetangga, sedangkan yang menyewakan pada teman
relatif sedikit (3,65 persen). Status penguasaan lahan hortikultura secara rinci
dalam Tabel 4.12.
Tabel 4.12. Rata-rata Luas Lahan yang Dikuasai Rumahtangga Hortikultura Menurut Status Penguasaan Lahan dan Penggunaan Lahan, Tahun 2003 (m2)
No Status penguasaan lahan Luas (m2) Persen1 Lahan yang dimiliki 8.334,90 85,712 Lahan yg berasal dari pihak lain 953,59 10,643 Lahan yang berada dipihak lain 327,20 3,65
Lahan yang dikuasai 8.961,29 100Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Sebagian besar lahan yang diusahakan petani hortikultura adalah lahan
bukan sawah (tegal, kebun, dan darat/ladang). Lahan sawah yang diusahakan
untuk usahatani komoditas hortikultura hanya sekitar 23 persen dari total lahan
pertanian yang diusahakan. Hanya sedikit proporsi lahan bukan pertanian yang
diusahakan untuk usahatani hortikultura (Tabel 4.13).
46
46
Tabel 4.13.Rata-rata Luas Lahan yang Dikuasai Rumahtangga Usaha Hortikultura MenurutJenis Lahan, Tahun 2003 (m2)
No Jenis Lahan Rata-rata Luas (m2) Persen1 Lahan Sawah 2.038,63 22,752 Lahan Bukan Sawah 6.384,83 71,253 Lahan Bukan Pertanian 537,83 6,0
Lahan yang Dikuasai 8.961,29 100,00 Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Modal usahatani sangat diperlukan bagi petani hortikultura karena biaya
yang dibutuhkan relatif besar. Selain itu, modal yang dimiliki petani terbatas,
sehingga perlu bantuan atau pinjaman modal dari pihak lain. Pada Tabel 4.14
digambarkan bantuan atau pinjaman kredit modal usahatani hortikultura yang
diperoleh petani. Hanya 2,4 persen rumahtangga hortikultura yang memperoleh
pinjaman/kredit dari total rumahtangga hortikultura, selebihnya petani
mengusahakan hortikultura dengan modal usaha milik sendiri. Petani hortikultura
yang memperoleh pinjaman kredit, sebagian besar berupa uang tunai (61 persen),
selebihnya beragam dalam bentuk bibit/benih (9,8 persen), pupuk (hampir 15
persen), dan alat pertanian (3,2 persen). Dengan kepemilikan modal yang
terbatas dan kesulitan memperoleh modal usaha, maka banyak petani hortikultura
yang tidak dapat melaksanakan paket teknologi anjuran dan berdampak pada
produktivitas dan pendapatan usahatani hortikultura tidak optimal.
Tabel 4.14.Jumlah Rumahtangga Usaha Tanaman Hortikultura yang Modalnya dari Kredit dan Bentuk Pinjaman Tahun 2003
No Jenis Kredit yang diperoleh Jumlah Rumahtangga Persen (%)
1 Bentuk kredit uang tunai 172.109 2,042 Bentuk pinjaman bibit/benih 19.943 0,243 Bentuk pinjaman pupuk 30.278 0,364 Bentuk pinjaman alat pertanian 6.467 0,085 Bentuk pinjaman lain 21.653 0,26
Jumlah rumahtangga yang memperoleh kredit/pinjaman
202.524 2,40
Jumlah RT Hortikultura 8.444.042 100,00Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
46
Tabel 4.13.Rata-rata Luas Lahan yang Dikuasai Rumahtangga Usaha Hortikultura MenurutJenis Lahan, Tahun 2003 (m2)
No Jenis Lahan Rata-rata Luas (m2) Persen1 Lahan Sawah 2.038,63 22,752 Lahan Bukan Sawah 6.384,83 71,253 Lahan Bukan Pertanian 537,83 6,0
Lahan yang Dikuasai 8.961,29 100,00 Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Modal usahatani sangat diperlukan bagi petani hortikultura karena biaya
yang dibutuhkan relatif besar. Selain itu, modal yang dimiliki petani terbatas,
sehingga perlu bantuan atau pinjaman modal dari pihak lain. Pada Tabel 4.14
digambarkan bantuan atau pinjaman kredit modal usahatani hortikultura yang
diperoleh petani. Hanya 2,4 persen rumahtangga hortikultura yang memperoleh
pinjaman/kredit dari total rumahtangga hortikultura, selebihnya petani
mengusahakan hortikultura dengan modal usaha milik sendiri. Petani hortikultura
yang memperoleh pinjaman kredit, sebagian besar berupa uang tunai (61 persen),
selebihnya beragam dalam bentuk bibit/benih (9,8 persen), pupuk (hampir 15
persen), dan alat pertanian (3,2 persen). Dengan kepemilikan modal yang
terbatas dan kesulitan memperoleh modal usaha, maka banyak petani hortikultura
yang tidak dapat melaksanakan paket teknologi anjuran dan berdampak pada
produktivitas dan pendapatan usahatani hortikultura tidak optimal.
Tabel 4.14.Jumlah Rumahtangga Usaha Tanaman Hortikultura yang Modalnya dari Kredit dan Bentuk Pinjaman Tahun 2003
No Jenis Kredit yang diperoleh Jumlah Rumahtangga Persen (%)
1 Bentuk kredit uang tunai 172.109 2,042 Bentuk pinjaman bibit/benih 19.943 0,243 Bentuk pinjaman pupuk 30.278 0,364 Bentuk pinjaman alat pertanian 6.467 0,085 Bentuk pinjaman lain 21.653 0,26
Jumlah rumahtangga yang memperoleh kredit/pinjaman
202.524 2,40
Jumlah RT Hortikultura 8.444.042 100,00Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
46
Tabel 4.13.Rata-rata Luas Lahan yang Dikuasai Rumahtangga Usaha Hortikultura MenurutJenis Lahan, Tahun 2003 (m2)
No Jenis Lahan Rata-rata Luas (m2) Persen1 Lahan Sawah 2.038,63 22,752 Lahan Bukan Sawah 6.384,83 71,253 Lahan Bukan Pertanian 537,83 6,0
Lahan yang Dikuasai 8.961,29 100,00 Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Modal usahatani sangat diperlukan bagi petani hortikultura karena biaya
yang dibutuhkan relatif besar. Selain itu, modal yang dimiliki petani terbatas,
sehingga perlu bantuan atau pinjaman modal dari pihak lain. Pada Tabel 4.14
digambarkan bantuan atau pinjaman kredit modal usahatani hortikultura yang
diperoleh petani. Hanya 2,4 persen rumahtangga hortikultura yang memperoleh
pinjaman/kredit dari total rumahtangga hortikultura, selebihnya petani
mengusahakan hortikultura dengan modal usaha milik sendiri. Petani hortikultura
yang memperoleh pinjaman kredit, sebagian besar berupa uang tunai (61 persen),
selebihnya beragam dalam bentuk bibit/benih (9,8 persen), pupuk (hampir 15
persen), dan alat pertanian (3,2 persen). Dengan kepemilikan modal yang
terbatas dan kesulitan memperoleh modal usaha, maka banyak petani hortikultura
yang tidak dapat melaksanakan paket teknologi anjuran dan berdampak pada
produktivitas dan pendapatan usahatani hortikultura tidak optimal.
Tabel 4.14.Jumlah Rumahtangga Usaha Tanaman Hortikultura yang Modalnya dari Kredit dan Bentuk Pinjaman Tahun 2003
No Jenis Kredit yang diperoleh Jumlah Rumahtangga Persen (%)
1 Bentuk kredit uang tunai 172.109 2,042 Bentuk pinjaman bibit/benih 19.943 0,243 Bentuk pinjaman pupuk 30.278 0,364 Bentuk pinjaman alat pertanian 6.467 0,085 Bentuk pinjaman lain 21.653 0,26
Jumlah rumahtangga yang memperoleh kredit/pinjaman
202.524 2,40
Jumlah RT Hortikultura 8.444.042 100,00Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
47
47
Dalam rangka memenuhi kebutuhan komoditas hortikultura dalam negeri
(substitusi impor) dan peningkatan ekspor produk hortikultura, Pemerintah
(khususnya Kementerian Pertanian) telah mengusahakan berbagai program
peningkatan produksi hortikultura. Diantara program peningkatan produksi
tersebut dalam bentuk bantuan sarana dan prasarana produksi hortikultura (Tabel
4.15).
Tabel 4.15.Jumlah Rumahtangga Usaha Tanaman Hortikultura yang Sebagian Modalnya dari Bantuan Pemerintah Tahun 2003
No Jenis bantuan modal Jumlah RT Persen1 Bentuk bantuan pengolahan lahan 14.780 0,173 Bentuk bantuan pinjaman bibit/benih 80.041 0,954 Bentuk bantuan pinjaman pupuk 30.964 0,365 Bentuk bantuan lain 20.876 0,25
Rumatangga yang memperoleh bantuan 146.661 1,74Jumlah RT Hortikultura 8.444.042 100,00
Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Bantuan bibit dan benih dari program Pemerintah paling popular di
kalangan masyarakat hortikultura, baik kelompok komoditas sayur-sayuran
maupun buah-buahan. Lebih dari setengah program bantuan Pemerintah dalam
bentuk bibit dan benih komoditas yang diusahakan. Sebagian program
peningkatan produksi hortikultura berupa paket bantuan, misalnya bibit dan biaya
pengolahan lahan, benih dan pupuk diperlukan petani termasuk kompos, dan lain-
lain. Bentuk bantuan selain bibit/benih yang cukup banyak diusahakan adalah
bantuan pupuk dan biaya pengolahan lahan.
Berbagai upaya dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan produksi
komoditas hortikultura dan sekaligus untuk mencapai sasaran peningkatan
pendapatan/kesejahteraan petani, seperti mengembangkan koperasi petani
hortikultura untuk meningkatkan kelembagaan usahatani termasuk melakukan
inovasi teknologi melalui penyuluhan pertanian. Upaya-upaya tersebut diharapkan
dapat mengembangkan usahatani hortikultura di tingkat petani melalui upaya
penguatan modal usaha, pemasaran hasil, inovasi teknologi dan kelembagaan
petani.
47
Dalam rangka memenuhi kebutuhan komoditas hortikultura dalam negeri
(substitusi impor) dan peningkatan ekspor produk hortikultura, Pemerintah
(khususnya Kementerian Pertanian) telah mengusahakan berbagai program
peningkatan produksi hortikultura. Diantara program peningkatan produksi
tersebut dalam bentuk bantuan sarana dan prasarana produksi hortikultura (Tabel
4.15).
Tabel 4.15.Jumlah Rumahtangga Usaha Tanaman Hortikultura yang Sebagian Modalnya dari Bantuan Pemerintah Tahun 2003
No Jenis bantuan modal Jumlah RT Persen1 Bentuk bantuan pengolahan lahan 14.780 0,173 Bentuk bantuan pinjaman bibit/benih 80.041 0,954 Bentuk bantuan pinjaman pupuk 30.964 0,365 Bentuk bantuan lain 20.876 0,25
Rumatangga yang memperoleh bantuan 146.661 1,74Jumlah RT Hortikultura 8.444.042 100,00
Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Bantuan bibit dan benih dari program Pemerintah paling popular di
kalangan masyarakat hortikultura, baik kelompok komoditas sayur-sayuran
maupun buah-buahan. Lebih dari setengah program bantuan Pemerintah dalam
bentuk bibit dan benih komoditas yang diusahakan. Sebagian program
peningkatan produksi hortikultura berupa paket bantuan, misalnya bibit dan biaya
pengolahan lahan, benih dan pupuk diperlukan petani termasuk kompos, dan lain-
lain. Bentuk bantuan selain bibit/benih yang cukup banyak diusahakan adalah
bantuan pupuk dan biaya pengolahan lahan.
Berbagai upaya dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan produksi
komoditas hortikultura dan sekaligus untuk mencapai sasaran peningkatan
pendapatan/kesejahteraan petani, seperti mengembangkan koperasi petani
hortikultura untuk meningkatkan kelembagaan usahatani termasuk melakukan
inovasi teknologi melalui penyuluhan pertanian. Upaya-upaya tersebut diharapkan
dapat mengembangkan usahatani hortikultura di tingkat petani melalui upaya
penguatan modal usaha, pemasaran hasil, inovasi teknologi dan kelembagaan
petani.
48
48
4.1.3. Keragaan Rumahtangga Perkebunan
Jumlah rumahtangga pekebun pada tahun 2003 sebanyak 6,88 juta,
dengan pengusahaan terbesar adalah karet (18,36 persen), kelapa (16,1 persen)
dan kopi (15,86 persen). Dalam kurun waktu 1993-2003 usaha perkebunan yang
tumbuh paling cepat adalah karet (38,8 persen) dan kopi (7,30 persen),
sementara kelapa menurun (-33,8 persen). Dalam kurun waktu 1923-2003
perkebunan sawit rakyat belum berkembang (Tabel 4.16).
Dari jumlah rumahtangga pekebun pada tahun 2003 sebanyak 6,88 juta,
hampir setengah dari jumlah rumahtangga tersebut yang memiliki luas lahan
perkebunan antara 0,5 sampai 2,0 ha. Rumahtangga pekebun yang memiliki lahan
sempit, yaitu kurang dari 0,5 ha berjumlah 1,35 juta atau 19,60 persen. Kelompok
rumahtangga pekebun ini sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga apabila
hanya menggantungkan “hidupnya” dari pendapatan hasil kebun saja.
Tabel 4.16.Perkembangan Jumlah Rumahtangga Komoditas Perkebunan Terpilih Tahun 1993-2003
No Jenis Komoditas 1993 2003 Perubahan (%)
1 Karet 910.000 1.263.122 38,802 Kelapa 1.667.000 1.107.093 -33,593 Kopi 1.017.000 1.091.211 7,30
Total 6.376.000 6.878.289 7,88Sumber: BPS, Sensus Pertanian tahun 1993 dan 2003.
Berdasarkan hasil sensus 2003, proporsi terbesar pengusahaan
perkebunan rakyat adalah 0,5-2,0 hektar, sementara yang di atas 2 hektar hanya
31 persen. Apabila dikatakan bahwa luas lahan komoditas perkebunan terpilih
untuk petani memperoleh pendapatan yang layak paling sedikit 2,0 hektar, maka
jumlah rumahtangga petani yang memenuhi kriteria tersebut hanya sekitar 2,14
juta atau 31 persen dari total jumlah rumahtangga pekebun. Artinya, 69 persen
dari rumahtangga pekebun belum memiliki skala usaha yang memadai untuk
memenuhi hidup keluarganya (Tabel 4.17). Dengan sistem waris dan penjualan
48
4.1.3. Keragaan Rumahtangga Perkebunan
Jumlah rumahtangga pekebun pada tahun 2003 sebanyak 6,88 juta,
dengan pengusahaan terbesar adalah karet (18,36 persen), kelapa (16,1 persen)
dan kopi (15,86 persen). Dalam kurun waktu 1993-2003 usaha perkebunan yang
tumbuh paling cepat adalah karet (38,8 persen) dan kopi (7,30 persen),
sementara kelapa menurun (-33,8 persen). Dalam kurun waktu 1923-2003
perkebunan sawit rakyat belum berkembang (Tabel 4.16).
Dari jumlah rumahtangga pekebun pada tahun 2003 sebanyak 6,88 juta,
hampir setengah dari jumlah rumahtangga tersebut yang memiliki luas lahan
perkebunan antara 0,5 sampai 2,0 ha. Rumahtangga pekebun yang memiliki lahan
sempit, yaitu kurang dari 0,5 ha berjumlah 1,35 juta atau 19,60 persen. Kelompok
rumahtangga pekebun ini sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga apabila
hanya menggantungkan “hidupnya” dari pendapatan hasil kebun saja.
Tabel 4.16.Perkembangan Jumlah Rumahtangga Komoditas Perkebunan Terpilih Tahun 1993-2003
No Jenis Komoditas 1993 2003 Perubahan (%)
1 Karet 910.000 1.263.122 38,802 Kelapa 1.667.000 1.107.093 -33,593 Kopi 1.017.000 1.091.211 7,30
Total 6.376.000 6.878.289 7,88Sumber: BPS, Sensus Pertanian tahun 1993 dan 2003.
Berdasarkan hasil sensus 2003, proporsi terbesar pengusahaan
perkebunan rakyat adalah 0,5-2,0 hektar, sementara yang di atas 2 hektar hanya
31 persen. Apabila dikatakan bahwa luas lahan komoditas perkebunan terpilih
untuk petani memperoleh pendapatan yang layak paling sedikit 2,0 hektar, maka
jumlah rumahtangga petani yang memenuhi kriteria tersebut hanya sekitar 2,14
juta atau 31 persen dari total jumlah rumahtangga pekebun. Artinya, 69 persen
dari rumahtangga pekebun belum memiliki skala usaha yang memadai untuk
memenuhi hidup keluarganya (Tabel 4.17). Dengan sistem waris dan penjualan
49
49
lahan perkebunan, dikhawatirkan ke depan kelompok usaha perkebunan yang
skala usahanya belum layak akan semakin bertambah.
Tabel 4.17.Proporsi Rumahtangga (RT) Perkebunan Berdasarkan Luas Lahan Usaha Ternak yang Dikuasai Tahun 2003
No Rata-rata luas lahan usaha ternak Jumlah Rumahtangga
Persentase (%)
1 Lahan usaha perkebunan <=1.000 m2 80.476 1,172 Lahan usaha perkebunan 1.000 – 4.999 m2 1.267.669 18,433 Lahan usaha perkebunan 5.000 – 9.999 m2 1.380.472 20,074 Lahan usaha perkebunan 10.000 – 19.999 m2 2.014.651 29,295 Lahan usaha perkebunan 20.000 – 29.999 m2 1.208.515 17,576 Lahan usaha perkebunan >= 30.000 m2 927.193 13,47
Jumlah rumahtangga usaha Perkebunan 6.878.289 100,00Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Rata-rata luas lahan milik tanaman karet jauh lebih luas dibanding
tanaman kelapa dan kopi. Kebun karet relatif lebih banyak yang disewakan/gadai
atau sakap ke pihak lain dibanding perkebunan kelapa dan kopi. Demikian pula
lahan yang dikuasai oleh rumahtangga pekebun karet lebih luas dibanding dua
komoditas lain (Tabel 4.18).
Tabel 4.18.Rata-Rata Luas Lahan yang Dikuasai Rumahtangga Usaha KomoditasPerkebunan Terpilih Menurut Status Penguasaan Lahan dan Penggunaan Lahan (m2)
Tahun 2003
No Uraian Karet Kelapa Kopi1 Lahan yang dimiliki 24.518,07 16.210,82 13.021,742 Lahan yg berasal dari pihak lain 1.782,10 945,62 1.155,553 Lahan yang berada dipihak lain 705,64 546,16 283,95
Lahan yang dikuasai 25.594,52 16.610,28 13.893,34Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Pada semua komoditas perkebunan terpilih jauh lebih banyak diusahakan
pada lahan bukan sawah atau lahan kering (Tabel 4.19). Rata-rata luas lahan
kebun karet yang bukan sawah relatif luas pada rumahtangga pekebun karet
dibanding kelapa dan kopi. Demikian pula untuk lahan bukan pertanian yang
diusahakan untuk pengembangan ketiga komoditas perkebunan terpilih. Rata-rata
luas lahan yang dikuasai pekebun karet hampir dua kali lipat dibanding pekebun
49
lahan perkebunan, dikhawatirkan ke depan kelompok usaha perkebunan yang
skala usahanya belum layak akan semakin bertambah.
Tabel 4.17.Proporsi Rumahtangga (RT) Perkebunan Berdasarkan Luas Lahan Usaha Ternak yang Dikuasai Tahun 2003
No Rata-rata luas lahan usaha ternak Jumlah Rumahtangga
Persentase (%)
1 Lahan usaha perkebunan <=1.000 m2 80.476 1,172 Lahan usaha perkebunan 1.000 – 4.999 m2 1.267.669 18,433 Lahan usaha perkebunan 5.000 – 9.999 m2 1.380.472 20,074 Lahan usaha perkebunan 10.000 – 19.999 m2 2.014.651 29,295 Lahan usaha perkebunan 20.000 – 29.999 m2 1.208.515 17,576 Lahan usaha perkebunan >= 30.000 m2 927.193 13,47
Jumlah rumahtangga usaha Perkebunan 6.878.289 100,00Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Rata-rata luas lahan milik tanaman karet jauh lebih luas dibanding
tanaman kelapa dan kopi. Kebun karet relatif lebih banyak yang disewakan/gadai
atau sakap ke pihak lain dibanding perkebunan kelapa dan kopi. Demikian pula
lahan yang dikuasai oleh rumahtangga pekebun karet lebih luas dibanding dua
komoditas lain (Tabel 4.18).
Tabel 4.18.Rata-Rata Luas Lahan yang Dikuasai Rumahtangga Usaha KomoditasPerkebunan Terpilih Menurut Status Penguasaan Lahan dan Penggunaan Lahan (m2)
Tahun 2003
No Uraian Karet Kelapa Kopi1 Lahan yang dimiliki 24.518,07 16.210,82 13.021,742 Lahan yg berasal dari pihak lain 1.782,10 945,62 1.155,553 Lahan yang berada dipihak lain 705,64 546,16 283,95
Lahan yang dikuasai 25.594,52 16.610,28 13.893,34Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Pada semua komoditas perkebunan terpilih jauh lebih banyak diusahakan
pada lahan bukan sawah atau lahan kering (Tabel 4.19). Rata-rata luas lahan
kebun karet yang bukan sawah relatif luas pada rumahtangga pekebun karet
dibanding kelapa dan kopi. Demikian pula untuk lahan bukan pertanian yang
diusahakan untuk pengembangan ketiga komoditas perkebunan terpilih. Rata-rata
luas lahan yang dikuasai pekebun karet hampir dua kali lipat dibanding pekebun
49
lahan perkebunan, dikhawatirkan ke depan kelompok usaha perkebunan yang
skala usahanya belum layak akan semakin bertambah.
Tabel 4.17.Proporsi Rumahtangga (RT) Perkebunan Berdasarkan Luas Lahan Usaha Ternak yang Dikuasai Tahun 2003
No Rata-rata luas lahan usaha ternak Jumlah Rumahtangga
Persentase (%)
1 Lahan usaha perkebunan <=1.000 m2 80.476 1,172 Lahan usaha perkebunan 1.000 – 4.999 m2 1.267.669 18,433 Lahan usaha perkebunan 5.000 – 9.999 m2 1.380.472 20,074 Lahan usaha perkebunan 10.000 – 19.999 m2 2.014.651 29,295 Lahan usaha perkebunan 20.000 – 29.999 m2 1.208.515 17,576 Lahan usaha perkebunan >= 30.000 m2 927.193 13,47
Jumlah rumahtangga usaha Perkebunan 6.878.289 100,00Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Rata-rata luas lahan milik tanaman karet jauh lebih luas dibanding
tanaman kelapa dan kopi. Kebun karet relatif lebih banyak yang disewakan/gadai
atau sakap ke pihak lain dibanding perkebunan kelapa dan kopi. Demikian pula
lahan yang dikuasai oleh rumahtangga pekebun karet lebih luas dibanding dua
komoditas lain (Tabel 4.18).
Tabel 4.18.Rata-Rata Luas Lahan yang Dikuasai Rumahtangga Usaha KomoditasPerkebunan Terpilih Menurut Status Penguasaan Lahan dan Penggunaan Lahan (m2)
Tahun 2003
No Uraian Karet Kelapa Kopi1 Lahan yang dimiliki 24.518,07 16.210,82 13.021,742 Lahan yg berasal dari pihak lain 1.782,10 945,62 1.155,553 Lahan yang berada dipihak lain 705,64 546,16 283,95
Lahan yang dikuasai 25.594,52 16.610,28 13.893,34Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Pada semua komoditas perkebunan terpilih jauh lebih banyak diusahakan
pada lahan bukan sawah atau lahan kering (Tabel 4.19). Rata-rata luas lahan
kebun karet yang bukan sawah relatif luas pada rumahtangga pekebun karet
dibanding kelapa dan kopi. Demikian pula untuk lahan bukan pertanian yang
diusahakan untuk pengembangan ketiga komoditas perkebunan terpilih. Rata-rata
luas lahan yang dikuasai pekebun karet hampir dua kali lipat dibanding pekebun
50
50
kopi, sedangkan rata-rata luas pekebun kelapa sedikit lebih luas dibanding rata-
rata pekebun kopi.
Tabel 4.19.Rata-Rata Luas Lahan yang Dikuasai Rumahtangga Usaha KomoditasPerkebunan Menurut Jenis Lahan Tahun 2003 (m2)
No Uraian Karet Kelapa Kopi1 Lahan Sawah 1.981,89 2.555,24 1.962,922 Lahan Bukan Sawah 22.400,94 13.418,49 11.438,943 Lahan Bukan Pertanian 1.211,70 636,54 491,49
Lahan yang Dikuasai 25.594,52 16.610,28 13.893,34Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Sebagaimana petani umumnya, di sub sektor perkebunan pun lebih dari
setengah rumahtangga pekebun mengalami masalah kekurangan modal usaha
untuk mengembangkan perkebunannya karena pengembangan perkebunan
membutuhkan modal yang cukup besar (Tabel 4.20). Keterampilan budidaya yang
terbatas juga dialami oleh sebagian rumahtangga pekebun (14,44 persen). Mutu
hasil produksi yang rendah menjadi kendala pekebun untuk memperoleh
pendapatan yang memadai. Dalam banyak kasus, tidak hanya disebabkan
keterampilan pekebun untuk memperoleh/menghasilkan mutu yang baik, tetapi
pasar produk kurang merespon terhadap hasil komoditas perkebunan yang
bermutu baik, sehingga pekebun kurang berminat (bermotivasi rendah) untuk
menghasilkan produk bermutu baik.
Tabel 4.20.Persentase Banyaknya Rumahtangga Perkebunan yang Menghadapi Masalah dalam Pembudidayaan Tanaman Menurut Jenis Masalah Utama Tahun 2003
No Jenis masalah utama Persentase1 Kurangnya Modal 51,642 Kurangnya Pengetahuan Budidaya 14,443 Rendahnya Mutu Produksi 14,894 Lain 19,03
Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
4.1.4. Keragaan Rumahtangga Peternakan
Jumlah rumahtangga peternakan pada tahun 2003 mencapai 5,63 juta,
yang meliputi jumlah anggota rumahtangga sebanyak 23,60 juta orang. Umumnya
usaha peternakan ternak besar dengan skala usaha kecil, diusahakan oleh 50
kopi, sedangkan rata-rata luas pekebun kelapa sedikit lebih luas dibanding rata-
rata pekebun kopi.
Tabel 4.19.Rata-Rata Luas Lahan yang Dikuasai Rumahtangga Usaha KomoditasPerkebunan Menurut Jenis Lahan Tahun 2003 (m2)
No Uraian Karet Kelapa Kopi1 Lahan Sawah 1.981,89 2.555,24 1.962,922 Lahan Bukan Sawah 22.400,94 13.418,49 11.438,943 Lahan Bukan Pertanian 1.211,70 636,54 491,49
Lahan yang Dikuasai 25.594,52 16.610,28 13.893,34Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Sebagaimana petani umumnya, di sub sektor perkebunan pun lebih dari
setengah rumahtangga pekebun mengalami masalah kekurangan modal usaha
untuk mengembangkan perkebunannya karena pengembangan perkebunan
membutuhkan modal yang cukup besar (Tabel 4.20). Keterampilan budidaya yang
terbatas juga dialami oleh sebagian rumahtangga pekebun (14,44 persen). Mutu
hasil produksi yang rendah menjadi kendala pekebun untuk memperoleh
pendapatan yang memadai. Dalam banyak kasus, tidak hanya disebabkan
keterampilan pekebun untuk memperoleh/menghasilkan mutu yang baik, tetapi
pasar produk kurang merespon terhadap hasil komoditas perkebunan yang
bermutu baik, sehingga pekebun kurang berminat (bermotivasi rendah) untuk
menghasilkan produk bermutu baik.
Tabel 4.20.Persentase Banyaknya Rumahtangga Perkebunan yang Menghadapi Masalah dalam Pembudidayaan Tanaman Menurut Jenis Masalah Utama Tahun 2003
No Jenis masalah utama Persentase1 Kurangnya Modal 51,642 Kurangnya Pengetahuan Budidaya 14,443 Rendahnya Mutu Produksi 14,894 Lain 19,03
Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
4.1.4. Keragaan Rumahtangga Peternakan
Jumlah rumahtangga peternakan pada tahun 2003 mencapai 5,63 juta,
yang meliputi jumlah anggota rumahtangga sebanyak 23,60 juta orang. Umumnya
usaha peternakan ternak besar dengan skala usaha kecil, diusahakan oleh 50
kopi, sedangkan rata-rata luas pekebun kelapa sedikit lebih luas dibanding rata-
rata pekebun kopi.
Tabel 4.19.Rata-Rata Luas Lahan yang Dikuasai Rumahtangga Usaha KomoditasPerkebunan Menurut Jenis Lahan Tahun 2003 (m2)
No Uraian Karet Kelapa Kopi1 Lahan Sawah 1.981,89 2.555,24 1.962,922 Lahan Bukan Sawah 22.400,94 13.418,49 11.438,943 Lahan Bukan Pertanian 1.211,70 636,54 491,49
Lahan yang Dikuasai 25.594,52 16.610,28 13.893,34Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Sebagaimana petani umumnya, di sub sektor perkebunan pun lebih dari
setengah rumahtangga pekebun mengalami masalah kekurangan modal usaha
untuk mengembangkan perkebunannya karena pengembangan perkebunan
membutuhkan modal yang cukup besar (Tabel 4.20). Keterampilan budidaya yang
terbatas juga dialami oleh sebagian rumahtangga pekebun (14,44 persen). Mutu
hasil produksi yang rendah menjadi kendala pekebun untuk memperoleh
pendapatan yang memadai. Dalam banyak kasus, tidak hanya disebabkan
keterampilan pekebun untuk memperoleh/menghasilkan mutu yang baik, tetapi
pasar produk kurang merespon terhadap hasil komoditas perkebunan yang
bermutu baik, sehingga pekebun kurang berminat (bermotivasi rendah) untuk
menghasilkan produk bermutu baik.
Tabel 4.20.Persentase Banyaknya Rumahtangga Perkebunan yang Menghadapi Masalah dalam Pembudidayaan Tanaman Menurut Jenis Masalah Utama Tahun 2003
No Jenis masalah utama Persentase1 Kurangnya Modal 51,642 Kurangnya Pengetahuan Budidaya 14,443 Rendahnya Mutu Produksi 14,894 Lain 19,03
Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
4.1.4. Keragaan Rumahtangga Peternakan
Jumlah rumahtangga peternakan pada tahun 2003 mencapai 5,63 juta,
yang meliputi jumlah anggota rumahtangga sebanyak 23,60 juta orang. Umumnya
usaha peternakan ternak besar dengan skala usaha kecil, diusahakan oleh
51
51
pemiliknya sendiri, tidak menggunakan buruh, sehingga jumlah buruh yang
terlibat dalam usaha peternakan ini hanya sekitar 509,30 ribu orang (Tabel 4.21).
Tabel 4.21.Jumlah Rumahtangga Peternakan Tahun 2003
No Uraian Jumlah rumahtangga1 Jumlah rumahtangga usaha Peternakan 5.627.3952 Jumlah Anggota rumahtangga Peternakan 23.596.8833 Jumlah buruh usaha peternakan 509.298
Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Dari jumlah rumahtangga ternak 5,63 juta, hampir setengahnya
merupakan peternak sapi, yaitu sebanyak 2,57 juta rumahtangga (45,65 persen),
sedangkan peternak lain relatif lebih sedikit. Peternak kambing hanya 597,83 ribu
rumahtangga (10,62 persen) dan peternak ayam buras 724,65 ribu rumahtangga
(12,88 persen). Sisanya adalah rumahtangga peternak dari jenis ternak lain,
seperti babi, kuda, itik dan lain sebagainya (Tabel 4.22).
Tabel 4.22.Jumlah Rumahtangga Usaha Ternak Berdasarkan Jenis Ternak yang Diusahakan Tahun 2003
No Jenis Usaha Ternak Jumlah rumahtangga Persentase (%)
1 Peternakan Sapi 2.568.825 45,652 Peternakan Kambing 597.832 10,623 Peternakan Ayam Buras 724.650 12,884 peternakan lain 1.736.088 30,855 Total rumahtangga usaha peternakan 5.627.395 100,00
Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Skala usaha peternakan, selain dapat dilihat dari jumlah ekor ternak yang
diusahakan, juga dapat dilihat dari luas lahan yang dikuasai untuk usaha
peternakan. Jumlah rumahtangga peternakan berdasarkan kelompok luas lahan
yang dikuasai terbanyak adalah rumahtangga kelompok luas lahan usaha ternak
yang dikuasai <= 500 m2, mencapai 4,94 juta rumahtangga atau 87,75 persen
dari total rumahtangga peternak (Tabel 4.23). Kelompok terbanyak kedua adalah
pada luas lahan 500-10.000 m2, mencapai 656,84 ribu rumahtangga (11,67
persen). Kelompok rumahtangga ternak yang relatif sedikit adalah luas lahan yang
dikuasai lebih besar dari 10.000 m2 (satu hektar), hanya 32,52 ribu rumahtangga 51
pemiliknya sendiri, tidak menggunakan buruh, sehingga jumlah buruh yang
terlibat dalam usaha peternakan ini hanya sekitar 509,30 ribu orang (Tabel 4.21).
Tabel 4.21.Jumlah Rumahtangga Peternakan Tahun 2003
No Uraian Jumlah rumahtangga1 Jumlah rumahtangga usaha Peternakan 5.627.3952 Jumlah Anggota rumahtangga Peternakan 23.596.8833 Jumlah buruh usaha peternakan 509.298
Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Dari jumlah rumahtangga ternak 5,63 juta, hampir setengahnya
merupakan peternak sapi, yaitu sebanyak 2,57 juta rumahtangga (45,65 persen),
sedangkan peternak lain relatif lebih sedikit. Peternak kambing hanya 597,83 ribu
rumahtangga (10,62 persen) dan peternak ayam buras 724,65 ribu rumahtangga
(12,88 persen). Sisanya adalah rumahtangga peternak dari jenis ternak lain,
seperti babi, kuda, itik dan lain sebagainya (Tabel 4.22).
Tabel 4.22.Jumlah Rumahtangga Usaha Ternak Berdasarkan Jenis Ternak yang Diusahakan Tahun 2003
No Jenis Usaha Ternak Jumlah rumahtangga Persentase (%)
1 Peternakan Sapi 2.568.825 45,652 Peternakan Kambing 597.832 10,623 Peternakan Ayam Buras 724.650 12,884 peternakan lain 1.736.088 30,855 Total rumahtangga usaha peternakan 5.627.395 100,00
Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Skala usaha peternakan, selain dapat dilihat dari jumlah ekor ternak yang
diusahakan, juga dapat dilihat dari luas lahan yang dikuasai untuk usaha
peternakan. Jumlah rumahtangga peternakan berdasarkan kelompok luas lahan
yang dikuasai terbanyak adalah rumahtangga kelompok luas lahan usaha ternak
yang dikuasai <= 500 m2, mencapai 4,94 juta rumahtangga atau 87,75 persen
dari total rumahtangga peternak (Tabel 4.23). Kelompok terbanyak kedua adalah
pada luas lahan 500-10.000 m2, mencapai 656,84 ribu rumahtangga (11,67
persen). Kelompok rumahtangga ternak yang relatif sedikit adalah luas lahan yang
dikuasai lebih besar dari 10.000 m2 (satu hektar), hanya 32,52 ribu rumahtangga 51
pemiliknya sendiri, tidak menggunakan buruh, sehingga jumlah buruh yang
terlibat dalam usaha peternakan ini hanya sekitar 509,30 ribu orang (Tabel 4.21).
Tabel 4.21.Jumlah Rumahtangga Peternakan Tahun 2003
No Uraian Jumlah rumahtangga1 Jumlah rumahtangga usaha Peternakan 5.627.3952 Jumlah Anggota rumahtangga Peternakan 23.596.8833 Jumlah buruh usaha peternakan 509.298
Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Dari jumlah rumahtangga ternak 5,63 juta, hampir setengahnya
merupakan peternak sapi, yaitu sebanyak 2,57 juta rumahtangga (45,65 persen),
sedangkan peternak lain relatif lebih sedikit. Peternak kambing hanya 597,83 ribu
rumahtangga (10,62 persen) dan peternak ayam buras 724,65 ribu rumahtangga
(12,88 persen). Sisanya adalah rumahtangga peternak dari jenis ternak lain,
seperti babi, kuda, itik dan lain sebagainya (Tabel 4.22).
Tabel 4.22.Jumlah Rumahtangga Usaha Ternak Berdasarkan Jenis Ternak yang Diusahakan Tahun 2003
No Jenis Usaha Ternak Jumlah rumahtangga Persentase (%)
1 Peternakan Sapi 2.568.825 45,652 Peternakan Kambing 597.832 10,623 Peternakan Ayam Buras 724.650 12,884 peternakan lain 1.736.088 30,855 Total rumahtangga usaha peternakan 5.627.395 100,00
Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Skala usaha peternakan, selain dapat dilihat dari jumlah ekor ternak yang
diusahakan, juga dapat dilihat dari luas lahan yang dikuasai untuk usaha
peternakan. Jumlah rumahtangga peternakan berdasarkan kelompok luas lahan
yang dikuasai terbanyak adalah rumahtangga kelompok luas lahan usaha ternak
yang dikuasai <= 500 m2, mencapai 4,94 juta rumahtangga atau 87,75 persen
dari total rumahtangga peternak (Tabel 4.23). Kelompok terbanyak kedua adalah
pada luas lahan 500-10.000 m2, mencapai 656,84 ribu rumahtangga (11,67
persen). Kelompok rumahtangga ternak yang relatif sedikit adalah luas lahan yang
dikuasai lebih besar dari 10.000 m2 (satu hektar), hanya 32,52 ribu rumahtangga
52
52
(0,58 persen). Kenyataan menunjukkan bahwa peternak di Indonesia didominasi
oleh peternak kecil.
Tabel 4.23.Proporsi Jumlah Rumahtangga Berdasarkan Lahan Usaha Ternak yang Dikuasai
No Kelompok luas lahan usaha ternak Jumlah rumahtangga Persentase (%)
Jumlah rumahtangga usaha peternakan 5.627.395 100,001 Luas lahan usaha ternak <= 500 m2 4.938.031 87,752 Luas lahan usaha ternak 500 – 10.000 m2 656.846 11,673 Luas lahan usaha ternak 10 000 – 25.000 m2 26.885 0,484 Luas lahan usaha ternak > 25.000 m2 5.633 0,10
Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Umumnya usaha peternakan dilakukan bersamaan dengan usaha pertanian
lain, baik yang berhubungan dengan usaha peternakan (misalnya pengembangan
pakan ternak), atau usaha tanaman lain yang sisa hasil produksinya dapat
dimanfaatkan untuk pakan ternak. Jumlah terbanyak adalah rumahtangga yang
mengusahakan lahan pertanian untuk pertanian lain dengan luas lahan <= 5.000
m2 (setengah hektar) sebanyak 3,42 juta rumahtangga atau 60,69 persen. Kedua
adalah kelompok luas lahan untuk usaha pertanian lain 5.001-15.000 m2 mencapai
1,50 juta rumahtangga atau 26,59 persen. Kelompok rumahtangga dengan luas
lahan usaha pertanian lain lebih luas dari 15.000 m2 hanya 715,76 ribu
rumahtangga atau 12,72 persen (Tabel 4.24).
Tabel 4.24.Proporsi Jumlah Rumahtangga Peternakan Berdasarkan Lahan Usaha untuk Pertanian Lain
No Kelompok luas lahan usaha untuk pertanian lain Jumlah rumahtangga
Persentase (%)
Rumahtangga usaha peternakan 5.627.395 100,001 Luas lahan usaha lain <=5.000 m2 3.415.377 60,692 Luas lahan usaha lain 5.001 – 15.000 m2 1.496.261 26,593 Luas lahan usaha lain > 15.000 – 25.000 m2 453.848 8,624 Luas lahan usaha lain > 25.000 m2 261.909 4,10
Sumber: BPS, Sensus Pertanian 2003.
52
(0,58 persen). Kenyataan menunjukkan bahwa peternak di Indonesia didominasi
oleh peternak kecil.
Tabel 4.23.Proporsi Jumlah Rumahtangga Berdasarkan Lahan Usaha Ternak yang Dikuasai
No Kelompok luas lahan usaha ternak Jumlah rumahtangga Persentase (%)
Jumlah rumahtangga usaha peternakan 5.627.395 100,001 Luas lahan usaha ternak <= 500 m2 4.938.031 87,752 Luas lahan usaha ternak 500 – 10.000 m2 656.846 11,673 Luas lahan usaha ternak 10 000 – 25.000 m2 26.885 0,484 Luas lahan usaha ternak > 25.000 m2 5.633 0,10
Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Umumnya usaha peternakan dilakukan bersamaan dengan usaha pertanian
lain, baik yang berhubungan dengan usaha peternakan (misalnya pengembangan
pakan ternak), atau usaha tanaman lain yang sisa hasil produksinya dapat
dimanfaatkan untuk pakan ternak. Jumlah terbanyak adalah rumahtangga yang
mengusahakan lahan pertanian untuk pertanian lain dengan luas lahan <= 5.000
m2 (setengah hektar) sebanyak 3,42 juta rumahtangga atau 60,69 persen. Kedua
adalah kelompok luas lahan untuk usaha pertanian lain 5.001-15.000 m2 mencapai
1,50 juta rumahtangga atau 26,59 persen. Kelompok rumahtangga dengan luas
lahan usaha pertanian lain lebih luas dari 15.000 m2 hanya 715,76 ribu
rumahtangga atau 12,72 persen (Tabel 4.24).
Tabel 4.24.Proporsi Jumlah Rumahtangga Peternakan Berdasarkan Lahan Usaha untuk Pertanian Lain
No Kelompok luas lahan usaha untuk pertanian lain Jumlah rumahtangga
Persentase (%)
Rumahtangga usaha peternakan 5.627.395 100,001 Luas lahan usaha lain <=5.000 m2 3.415.377 60,692 Luas lahan usaha lain 5.001 – 15.000 m2 1.496.261 26,593 Luas lahan usaha lain > 15.000 – 25.000 m2 453.848 8,624 Luas lahan usaha lain > 25.000 m2 261.909 4,10
Sumber: BPS, Sensus Pertanian 2003.
52
(0,58 persen). Kenyataan menunjukkan bahwa peternak di Indonesia didominasi
oleh peternak kecil.
Tabel 4.23.Proporsi Jumlah Rumahtangga Berdasarkan Lahan Usaha Ternak yang Dikuasai
No Kelompok luas lahan usaha ternak Jumlah rumahtangga Persentase (%)
Jumlah rumahtangga usaha peternakan 5.627.395 100,001 Luas lahan usaha ternak <= 500 m2 4.938.031 87,752 Luas lahan usaha ternak 500 – 10.000 m2 656.846 11,673 Luas lahan usaha ternak 10 000 – 25.000 m2 26.885 0,484 Luas lahan usaha ternak > 25.000 m2 5.633 0,10
Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS).
Umumnya usaha peternakan dilakukan bersamaan dengan usaha pertanian
lain, baik yang berhubungan dengan usaha peternakan (misalnya pengembangan
pakan ternak), atau usaha tanaman lain yang sisa hasil produksinya dapat
dimanfaatkan untuk pakan ternak. Jumlah terbanyak adalah rumahtangga yang
mengusahakan lahan pertanian untuk pertanian lain dengan luas lahan <= 5.000
m2 (setengah hektar) sebanyak 3,42 juta rumahtangga atau 60,69 persen. Kedua
adalah kelompok luas lahan untuk usaha pertanian lain 5.001-15.000 m2 mencapai
1,50 juta rumahtangga atau 26,59 persen. Kelompok rumahtangga dengan luas
lahan usaha pertanian lain lebih luas dari 15.000 m2 hanya 715,76 ribu
rumahtangga atau 12,72 persen (Tabel 4.24).
Tabel 4.24.Proporsi Jumlah Rumahtangga Peternakan Berdasarkan Lahan Usaha untuk Pertanian Lain
No Kelompok luas lahan usaha untuk pertanian lain Jumlah rumahtangga
Persentase (%)
Rumahtangga usaha peternakan 5.627.395 100,001 Luas lahan usaha lain <=5.000 m2 3.415.377 60,692 Luas lahan usaha lain 5.001 – 15.000 m2 1.496.261 26,593 Luas lahan usaha lain > 15.000 – 25.000 m2 453.848 8,624 Luas lahan usaha lain > 25.000 m2 261.909 4,10
Sumber: BPS, Sensus Pertanian 2003.
53
53
4.2. Keragaan Kesejahteraan Rumahtangga Petani
Secara makro, kesejahteraan masyarakat pertanian diukur melalui
produktivitas pertanian, yaitu rasio antara PDB pertanian dengan jumlah tenaga
kerja yang terlibat di sektor pertanian (petani dan buruh). Dalam kurun waktu
2000-2011, produktivitas pertanian cenderung paling rendah dibandingkan sektor
lain, seperti terangkum dalam Gambar 4.1. Namun demikian, selama kurun waktu
2000-2011, produktivitas sektor pertanian meningkat dari Rp 5,3 juta/kap/tahun
pada tahun 2000 menjadi Rp 8,0 juta/kap/tahun pada tahun 2011, atau
peningkatan rata-rata sebesar 3,37 persen/tahun. Produktivitas tertinggi
ditunjukkan oleh sektor industri pengolahan yang meningkat dari Rp 33,1
juta/kap/tahun pada tahun 2000, menjadi Rp 43,6 juta/kap/tahun pada tahun
2011, atau peningkatan rata-rata sebesar 2,72 persen/tahun. Sektor lain, di luar
pertanian menunjukkan peningkatan produktivitas dalam kurun waktu 2000-2011.
Secara keseluruhan, produktivitas nasional meningkat dari Rp 15,5 juta/kap/tahun
pada tahun 2000, menjadi Rp 22,5 juta/kap/tahun pada tahun 2011, atau
peningkatan rata-rata sebesar 3,35 persen/tahun (Gambar 4.1 dan Tabel 4.25).
54
54
Gambar 4.1. Perkembangan Produktivitas per Sektor, 2000-2011.
Diantara lima sektor terpilih, laju pertumbuhan PDB tertinggi ditunjukkan
oleh sektor perdagangan, rumah makan, hotel, yaitu sebesar 6,15 persen/tahun,
sedangkan laju pertumbuhan PDB terendah ditunjukkan sektor pertanian, yang
hanya mencapai 3,41 persen/tahun. Sektor dengan laju pertumbuhan tenaga
kerja tertinggi ditunjukkan oleh sektor bangunan, yaitu sebesar 4,75
persen/tahun, sedangkan sektor pertanian laju pertumbuhan tenaga kerjanya
paling rendah, sebesar 0,04 persen/tahun. Produktivitas lima sektor terpilih
menunjukkan laju pertumbuhan yang positif (cenderung meningkat), atau sejalan
dengan laju pertumbuhan produktivitas nasional. Diantara sektor terpilih, laju
pertumbuhan produktivitas sektor jasa adalah terendah dibanding sektor lain. Hal
55
55
ini sejalan dengan pertumbuhan tenaga kerja yang terlibat di sektor jasa yang
meningkat cukup besar.
Tabel 4.25. Laju Pertumbuhan PDB, Tenaga Kerja, dan Produktivitas Sektor Terpilih, 2000-2011
SektorLaju Pertumbuhan (Persen/Tahun)
PDB Tenaga Kerja ProduktivitasPertanian, Kehutanan, Perikanan 3,41 0,04 3,37Industri Pengolahan 4,50 1,79 2,72Bangunan 6,99 4,75 2,24Perdagangan, Rumah Makan, Hotel 6,15 2,70 3,45Jasa 5,43 4,72 0,72Total 5,28 1,93 3,35Sumber: Statistik Indonesia 2001-2012 (diolah).
Peningkatan laju produktivitas pertanian yang tinggi dibanding laju PDBnya
sejalan dengan menurunnya beban tenaga kerja di sektor pertanian. Hal ini
membawa implikasi penting bahwa tumbuhnya sektor di luar pertanian yang
mengalihkan beban tenaga kerja dari pertanian ke non pertanian telah
memperbaiki produktivitas pertanian.
Peningkatan pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh tumbuhnya
sektor-sektor pembangunan ternyata belum sepenuhnya mengentaskan
kemiskinan baik di perkotaan dan pedesaan. Pertumbuhan ekonomi memang telah
menurunkan jumlah penduduk miskin, namun jumlah penduduk miskin masih
cukup besar. Dalam kurun waktu tahun 1980-2012 jumlah penduduk miskin
Indonesia mengalami peningkatan jumlah, namun persentasenya terhadap total
jumlah penduduk menurun.
Dalam tahun 2012 jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 29,13
juta jiwa atau 11,96 persen dari total penduduk Indonesia. Jumlah penduduk
miskin terbesar masih terdapat di pedesaan, yaitu 18,48 juta jiwa atau 15,12
persen dari jumlah penduduk pedesaan. Sementara jumlah penduduk miskin di
perkotaan sebesar 10,65 juta jiwa atau 8,78 persen dari jumlah penduduk
perkotaan (Tabel 4.26).
55
ini sejalan dengan pertumbuhan tenaga kerja yang terlibat di sektor jasa yang
meningkat cukup besar.
Tabel 4.25. Laju Pertumbuhan PDB, Tenaga Kerja, dan Produktivitas Sektor Terpilih, 2000-2011
SektorLaju Pertumbuhan (Persen/Tahun)
PDB Tenaga Kerja ProduktivitasPertanian, Kehutanan, Perikanan 3,41 0,04 3,37Industri Pengolahan 4,50 1,79 2,72Bangunan 6,99 4,75 2,24Perdagangan, Rumah Makan, Hotel 6,15 2,70 3,45Jasa 5,43 4,72 0,72Total 5,28 1,93 3,35Sumber: Statistik Indonesia 2001-2012 (diolah).
Peningkatan laju produktivitas pertanian yang tinggi dibanding laju PDBnya
sejalan dengan menurunnya beban tenaga kerja di sektor pertanian. Hal ini
membawa implikasi penting bahwa tumbuhnya sektor di luar pertanian yang
mengalihkan beban tenaga kerja dari pertanian ke non pertanian telah
memperbaiki produktivitas pertanian.
Peningkatan pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh tumbuhnya
sektor-sektor pembangunan ternyata belum sepenuhnya mengentaskan
kemiskinan baik di perkotaan dan pedesaan. Pertumbuhan ekonomi memang telah
menurunkan jumlah penduduk miskin, namun jumlah penduduk miskin masih
cukup besar. Dalam kurun waktu tahun 1980-2012 jumlah penduduk miskin
Indonesia mengalami peningkatan jumlah, namun persentasenya terhadap total
jumlah penduduk menurun.
Dalam tahun 2012 jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 29,13
juta jiwa atau 11,96 persen dari total penduduk Indonesia. Jumlah penduduk
miskin terbesar masih terdapat di pedesaan, yaitu 18,48 juta jiwa atau 15,12
persen dari jumlah penduduk pedesaan. Sementara jumlah penduduk miskin di
perkotaan sebesar 10,65 juta jiwa atau 8,78 persen dari jumlah penduduk
perkotaan (Tabel 4.26).
56
56
Penelusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa rumahtangga miskin
mempunyai sumber penghasilan utama dari sektor pertanian. Sementara
rumahtangga tidak miskin mempunyai sumber penghasilan utama di luar sektor
formal, seperti jasa.
Tabel 4.26. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia, 2000-2012
Tahun 1980 1990 2000 2012*Pedesaan
Jumlah Penduduk Miskin (juta jiwa) 32,8 17,8 26,4 18,48persen thd Penduduk Pedesaan 28,4 14,3 22,38 15,12
PerkotaanJumlah Penduduk Miskin (juta jiwa) 9,5 9,4 12,3 10,65persen thd Penduduk Perkotaan 29,0 16,8 14,6 8,78
Perdesaan + PerkotaanJumlah Penduduk Miskin (juta jiwa) 42,3 27,2 38,7 29,13persen thd Penduduk Perdesaan + Perkotaan 28,6 15,1 19,14 11,96
*Maret 2012.Sumber: Statistik Indonesia, 1980, 1990, 2000, 2012 (Diolah).
Pada tahun 2012, kelompok rumahtangga miskin yang mempunyai sumber
penghasilan utama dari pertanian sebesar 55,51 persen, atau persentase tersebut
mengalami penurunan dibandingkan dengan periode tahun 2010 yang menempati
proporsi 57,78 persen. Pada rumahtangga tidak miskin proporsi rumahtangga
yang berpenghasilan utama dari pertanian juga menurun (Tabel 4.27).
Tabel 4.27. Sumber Penghasilan Utama Rumahtangga (%)
KarakteristikRumahtangga Miskin Rumahtangga Tidak Miskin
2010 2011 2012 2010 2011 2012Tidak bekerja 8,39 11,67 11,50 5,85 11,61 11,29Pertanian 57,78 56,62 55,51 34,60 32,06 32,69Industri 8,81 6,27 5,71 10,67 9,04 9,23Lainnya 25,03 25,4 27,28 48,89 47,29 46,79Sumber: Statistik Indonesia 2012 (BPS).
Indikator lain yang mencerminkan keragaan kesejahteraan masyarakat
dapat dinilai dari struktur pengeluaran rumahtangga. Terdapat indikasi semakin
56
Penelusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa rumahtangga miskin
mempunyai sumber penghasilan utama dari sektor pertanian. Sementara
rumahtangga tidak miskin mempunyai sumber penghasilan utama di luar sektor
formal, seperti jasa.
Tabel 4.26. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia, 2000-2012
Tahun 1980 1990 2000 2012*Pedesaan
Jumlah Penduduk Miskin (juta jiwa) 32,8 17,8 26,4 18,48persen thd Penduduk Pedesaan 28,4 14,3 22,38 15,12
PerkotaanJumlah Penduduk Miskin (juta jiwa) 9,5 9,4 12,3 10,65persen thd Penduduk Perkotaan 29,0 16,8 14,6 8,78
Perdesaan + PerkotaanJumlah Penduduk Miskin (juta jiwa) 42,3 27,2 38,7 29,13persen thd Penduduk Perdesaan + Perkotaan 28,6 15,1 19,14 11,96
*Maret 2012.Sumber: Statistik Indonesia, 1980, 1990, 2000, 2012 (Diolah).
Pada tahun 2012, kelompok rumahtangga miskin yang mempunyai sumber
penghasilan utama dari pertanian sebesar 55,51 persen, atau persentase tersebut
mengalami penurunan dibandingkan dengan periode tahun 2010 yang menempati
proporsi 57,78 persen. Pada rumahtangga tidak miskin proporsi rumahtangga
yang berpenghasilan utama dari pertanian juga menurun (Tabel 4.27).
Tabel 4.27. Sumber Penghasilan Utama Rumahtangga (%)
KarakteristikRumahtangga Miskin Rumahtangga Tidak Miskin
2010 2011 2012 2010 2011 2012Tidak bekerja 8,39 11,67 11,50 5,85 11,61 11,29Pertanian 57,78 56,62 55,51 34,60 32,06 32,69Industri 8,81 6,27 5,71 10,67 9,04 9,23Lainnya 25,03 25,4 27,28 48,89 47,29 46,79Sumber: Statistik Indonesia 2012 (BPS).
Indikator lain yang mencerminkan keragaan kesejahteraan masyarakat
dapat dinilai dari struktur pengeluaran rumahtangga. Terdapat indikasi semakin
56
Penelusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa rumahtangga miskin
mempunyai sumber penghasilan utama dari sektor pertanian. Sementara
rumahtangga tidak miskin mempunyai sumber penghasilan utama di luar sektor
formal, seperti jasa.
Tabel 4.26. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia, 2000-2012
Tahun 1980 1990 2000 2012*Pedesaan
Jumlah Penduduk Miskin (juta jiwa) 32,8 17,8 26,4 18,48persen thd Penduduk Pedesaan 28,4 14,3 22,38 15,12
PerkotaanJumlah Penduduk Miskin (juta jiwa) 9,5 9,4 12,3 10,65persen thd Penduduk Perkotaan 29,0 16,8 14,6 8,78
Perdesaan + PerkotaanJumlah Penduduk Miskin (juta jiwa) 42,3 27,2 38,7 29,13persen thd Penduduk Perdesaan + Perkotaan 28,6 15,1 19,14 11,96
*Maret 2012.Sumber: Statistik Indonesia, 1980, 1990, 2000, 2012 (Diolah).
Pada tahun 2012, kelompok rumahtangga miskin yang mempunyai sumber
penghasilan utama dari pertanian sebesar 55,51 persen, atau persentase tersebut
mengalami penurunan dibandingkan dengan periode tahun 2010 yang menempati
proporsi 57,78 persen. Pada rumahtangga tidak miskin proporsi rumahtangga
yang berpenghasilan utama dari pertanian juga menurun (Tabel 4.27).
Tabel 4.27. Sumber Penghasilan Utama Rumahtangga (%)
KarakteristikRumahtangga Miskin Rumahtangga Tidak Miskin
2010 2011 2012 2010 2011 2012Tidak bekerja 8,39 11,67 11,50 5,85 11,61 11,29Pertanian 57,78 56,62 55,51 34,60 32,06 32,69Industri 8,81 6,27 5,71 10,67 9,04 9,23Lainnya 25,03 25,4 27,28 48,89 47,29 46,79Sumber: Statistik Indonesia 2012 (BPS).
Indikator lain yang mencerminkan keragaan kesejahteraan masyarakat
dapat dinilai dari struktur pengeluaran rumahtangga. Terdapat indikasi semakin
57
57
tinggi pendapatan/kesejahteraan, semakin kecil proporsi pengeluaran untuk
makanan. Sementara proporsi untuk konsumsi barang bukan makanan cenderung
meningkat. Data tahun 2002-2011 menunjukkan gambaran tersebut. Proporsi
pengeluaran rumahtangga untuk makanan menurun dari 58,47 persen menjadi
49,45 persen, atau turun sebesar 1,54 persen/tahun. Sementara proporsi untuk
bukan makanan meningkat dari 41,53 persen menjadi 50,55 persen, atau
meningkat sebesar 2,17 persen/tahun (Tabel 4.28).
Pada kelompok makanan konsumsi terjadi penurunan pada semua
kelompok barang, kecuali makanan dan minuman jadi. Penurunan terbesar terjadi
pada padi-padian (makanan pokok), menyusul daging, minuman, dan bumbu-
bumbuan. Pada kelompok bukan makanan terjadi peningkatan pengeluaran
konsumsi kecuali untuk kelompok barang pakaian, alas kaki, dan tutup kepala
serta keperluan pesta dan upacara. Peningkatan pengeluaran terbesar terjadi
untuk pajak dan asuransi, disusul barang-barang tahan lama, barang dan jasa,
biaya pendidikan, biaya kesehatan, serta perumahan dan fasilitas rumahtangga.
58
58
Tabel 4.28. Struktur Pengeluaran Rumahtangga Per Kapita Per Bulan, 2002 dan 2011 (Rp/Kap/Bulan)
Kelompok Barang2002 2011 Perubahan
(persen/Th)Rp/Kap perse
n Rp/Kap persen
A. Makanan 120.649 58,47 293.556 49,45 -1,54Padi-padian 25.722 12,47 44.427 7,48 -4,00Umbi-umbian 1.329 0,64 3.008 0,51 -2,13Ikan 10.675 5,17 25.369 4,27 -1,74Daging 5.903 2,86 10.972 1,85 -3,54Telur dan susu 6.760 3,28 17.106 2,88 -1,20Sayur-sayuran 9.750 4,73 25.563 4,31 -0,89Kacang-kacangan 4.161 2,02 7.500 1,26 -3,74Buah-buahan 5.868 2,84 12.759 2,15 -2,44Minyak dan lemak 4.642 2,25 11.342 1,91 -1,51Bahan minuman 5.589 2,71 10.681 1,80 -3,36Bumbu-bumbuan 3.202 1,55 6.268 1,06 -3,20Konsumsi lainnya 2.826 1,37 6.381 1,07 -2,15Makanan dan minuman jadi 20.012 9,70 81.536 13,73 4,16Minuman yang mengandung alkohol 170 0,08 - 0,00 -Tembakau dan sirih 14.041 6,80 30.647 5,16 -2,41
B. Bukan Makanan 85.687 41,53 300.108 50,55 2,17Perumahan dan fasilitas RT 36.734 17,80 118.218 19,91 1,19Barang dan Jasa 15.475 7,50 66.757 11,24 4,99Biaya Pendidikan 5.100 2,47 21.580 3,64 4,71Biaya Kesehatan 4.333 2,10 18.075 3,04 4,50Pakaian, alas kaki, dan tutup kepala 10.692 5,18 11.987 2,02 -6,10Barang-barang tahan lama 8.470 4,10 44.657 7,52 8,32Pajak dan asuransi 1.648 0,80 9.731 1,64 10,52Keperluan pesta dan upacara 3.235 1,57 9.101 1,53 -0,22
TOTAL 206.336 100,0
0 593.664 100 0,00Sumber: Statistik Indonesia, 2002, 2012 (Diolah).
59
59
BAB V
PERILAKU NILAI TUKAR PETANI
Nilai Tukar Petani (NTP) didefinisikan sebagai rasio antara harga yang
diterima petani (HT) dengan harga yang dibayar petani (HB). HT dan HB
merupakan harga tertimbang dari harga-harga pembentuknya (harga komoditas
dan harga barang konsumsi dan sarana produksi) dengan pembobot besarnya
nilai produksi yang dijual dan nilai yang dibeli petani. Dengan demikian
pembentukan NTP merupakan mekanisme yang kompleks berkaitan dengan aspek
pendapatan petani dan aspek pengeluaran (konsumsi) petani. Adanya keragaman
setiap daerah dalam hal sumberdaya dan produksi pertanian, komoditas yang
dihasilkan dan teknologi, serta keragaman dalam pola konsumsi akan
menyebabkan keragaman pembentukan harga-harga dan keragaman NTP.
Pembentukan indeks NTP sebagai indikator kesejahteraan petani telah
dilakukan oleh BPS tahun 1987 dan terus dilakukan penyempurnaan. Pada
awalnya definisi “petani” terbatas kepada petani yang berusaha di lahan, sehingga
cakupan petani hanya petani tanaman bahan makanan dan tanaman perkebunan
rakyat, dengan cakupan wilayah di 14 provinsi. Sejak tahun 2008 dilakukan
penyempurnaan dengan mencakup nelayan di dalam sub sektor perikanan.
5.1. Perkembangan NTP Tahun 2008-2013
Perkembangan NTP bulan Januari 2008–Mei 2013 menunjukkan tren
meningkat dengan laju 0,0038/bulan. Peningkatan ini terjadi karena laju HT
meningkat lebih tinggi dibandingkan HB. HB dan HT bergerak mengikuti garis tren
yang cenderung linier dengan penambahan (marjinal) HT sebesar 0,0233/bulan
dan HB sebesar 0,0180/bulan, sehingga NTP masih bergerak naik walaupun
dengan kenaikan yang relatif rendah (Gambar 5.1). Detil NTP, HT, dan HB di
dalam Tabel Lampiran 1.
Perilaku NTP seperti diuraikan di atas tidak lepas dari faktor-faktor
penyusunnya, baik komponen penyusun HT maupun komponen penyusun HB.
60
60
Faktor yang mempengaruhi perilaku NTP, HT dan HB tersebut tercermin dari
pergerakan nilai marjinal faktor-faktor penyusunnya.
Gambar 5.1 menunjukkan bahwa perilaku NTP dibandingkan perilaku HT
dan HB tidak banyak perubahan dari bulan dasar, Januari 2008. Harga yang
diterima petani dan yang dibayar petani meningkat secara simultan, namun harga
yang diterima petani meningkat lebih tinggi (43 persen) dibandingkan harga yang
dibayar (37 persen) selama Januari 2008-Mei 2013, sehingga terjadi kesenjangan
antara harga yang diterima dan dibayar petani.
Variabel Dugaan Regresi R2
Indeks Harga Diterima Petani (IHT) 0,0233x - 812,2 0,9866Indeks Harga Dibayar Petani (IHB) 0,018x - 601,64 0,9837Nilai Tukar Petani (NTP) 0,0038x - 51,004 0,8131
Gambar 5.1. Perkembangan Indeks Diterima Petani, Indeks Dibayar Petani, dan Nilai Tukar Petani, Januari 2008-Mei 2013.
Dengan asumsi bahwa kuantitas produksi komoditas yang dihasilkan petani
tetap bersamaan dengan perubahan harga-harga barang konsumsi dan produksi,
perilaku NTP di atas mencerminkan bahwa daya beli petani relatif naik selama
periode tersebut, atau kesejahteraan petani meningkat. Apabila diukur dengan
kriteria standar hidup, hampir sepanjang lima tahun terakhir, kecuali pada bulan
60
Faktor yang mempengaruhi perilaku NTP, HT dan HB tersebut tercermin dari
pergerakan nilai marjinal faktor-faktor penyusunnya.
Gambar 5.1 menunjukkan bahwa perilaku NTP dibandingkan perilaku HT
dan HB tidak banyak perubahan dari bulan dasar, Januari 2008. Harga yang
diterima petani dan yang dibayar petani meningkat secara simultan, namun harga
yang diterima petani meningkat lebih tinggi (43 persen) dibandingkan harga yang
dibayar (37 persen) selama Januari 2008-Mei 2013, sehingga terjadi kesenjangan
antara harga yang diterima dan dibayar petani.
Variabel Dugaan Regresi R2
Indeks Harga Diterima Petani (IHT) 0,0233x - 812,2 0,9866Indeks Harga Dibayar Petani (IHB) 0,018x - 601,64 0,9837Nilai Tukar Petani (NTP) 0,0038x - 51,004 0,8131
Gambar 5.1. Perkembangan Indeks Diterima Petani, Indeks Dibayar Petani, dan Nilai Tukar Petani, Januari 2008-Mei 2013.
Dengan asumsi bahwa kuantitas produksi komoditas yang dihasilkan petani
tetap bersamaan dengan perubahan harga-harga barang konsumsi dan produksi,
perilaku NTP di atas mencerminkan bahwa daya beli petani relatif naik selama
periode tersebut, atau kesejahteraan petani meningkat. Apabila diukur dengan
kriteria standar hidup, hampir sepanjang lima tahun terakhir, kecuali pada bulan
61
61
Maret-April 2008 dan periode Oktober 2008-Juli 2009, petani relatif lebih sejahtera
ditunjukkan oleh peningkatan NTP.
5.2. Perilaku Harga yang Diterima Petani (HT)
Harga yang diterima petani merupakan harga tertimbang di tingkat
petani/peternak/nelayan dari harga-harga sub sektor tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan rakyat, peternakan, dan perikanan. Harga dari masing-
masing sub sektor sendiri juga dibangun dari harga tertimbang dari komoditas
penyusunnya. Penimbang dari masing-masing adalah nilai produksi.
Perilaku HT dari Januari 2008 sampai dengan Mei 2013 terangkum di
dalam Gambar 5.2. Seperti dijelaskan di atas, HT meningkat dengan marjinal
sebesar 0,0233/bulan. Peningkatan tersebut terutama disebabkan oleh kontribusi
peningkatan yang lebih besar dari sub sektor tanaman pangan (marjinal =
0,0273/bulan) dan sub sektor hortikultura (marjinal = 0,0264/bulan); menyusul
sub sektor perikanan dengan marjinal 0,0180/bulan, perkebunan sebesar
0,0169/bulan dan peternakan sebesar 0,0155/bulan.
62
62
Variabel Dugaan Regresi R2
Indeks Harga Diterima Petani NAS (HT ) 0,0233x - 812,2 0,9866Indeks Harga Diterima Petani T.Pangan (HT TP) 0,0273x - 974,74 0,9756Indeks Harga Diterima Petani Hortikultura (HT HOR) 0,0264x - 931,8 0,9596Indeks Harga Diterima Petani Perkebunan (IHT BUN) 0,0169x - 547,78 0,8805Indeks Harga Diterima Petani Ternak (HT NAK) 0,0155x - 497,56 0,8996Indeks Harga Diterima Petani Perikanan (HT IK) 0,018x - 596,39 0,9295Nilai Tukar Petani NAS (NTP ) 0,0038x - 51,004 0,8131
Gambar 5.2. Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani, Indeks Harga Dibayar Petani, dan Nilai Tukar Petani per Sub sektor dan Gabungan, Januari 2008-Mei 2013.
Penulusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa peningkatan harga yang
diterima petani sub sektor tanaman pangan (HTTP) pengaruh peningkatan harga
palawija relatif lebih besar dibanding peningkatan harga padi, yaitu dengan nilai
peningkatan marjinal sebesar 0,0273/bulan untuk palawija dan 0,0233/bulan
untuk padi (Tabel 5.1). Sementara itu, pada sub sektor hortikultura, kontribusi
peningkatan harga buah-buahan relatif lebih tinggi dibandingkan peningkatan
harga sayuran, yaitu masing-masing dengan peningkatan marjinal sebesar
0,0262/bulan dan 0,0259/bulan. Pada sub sektor perkebunan nilai marjinal yang
dimaksud adalah nilai marjinal kelompok tanaman perkebunan rakyat.
Pada sub sektor peternakan, kontribusi terbesar dari peningkatan harga
yang diterima petani terjadi pada kelompok komoditas ternak kecil (nilai marjinal
0,0213/bulan) menyusul hasil peternakan (nilai marjinal 0,0178/bulan), unggas 62
Variabel Dugaan Regresi R2
Indeks Harga Diterima Petani NAS (HT ) 0,0233x - 812,2 0,9866Indeks Harga Diterima Petani T.Pangan (HT TP) 0,0273x - 974,74 0,9756Indeks Harga Diterima Petani Hortikultura (HT HOR) 0,0264x - 931,8 0,9596Indeks Harga Diterima Petani Perkebunan (IHT BUN) 0,0169x - 547,78 0,8805Indeks Harga Diterima Petani Ternak (HT NAK) 0,0155x - 497,56 0,8996Indeks Harga Diterima Petani Perikanan (HT IK) 0,018x - 596,39 0,9295Nilai Tukar Petani NAS (NTP ) 0,0038x - 51,004 0,8131
Gambar 5.2. Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani, Indeks Harga Dibayar Petani, dan Nilai Tukar Petani per Sub sektor dan Gabungan, Januari 2008-Mei 2013.
Penulusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa peningkatan harga yang
diterima petani sub sektor tanaman pangan (HTTP) pengaruh peningkatan harga
palawija relatif lebih besar dibanding peningkatan harga padi, yaitu dengan nilai
peningkatan marjinal sebesar 0,0273/bulan untuk palawija dan 0,0233/bulan
untuk padi (Tabel 5.1). Sementara itu, pada sub sektor hortikultura, kontribusi
peningkatan harga buah-buahan relatif lebih tinggi dibandingkan peningkatan
harga sayuran, yaitu masing-masing dengan peningkatan marjinal sebesar
0,0262/bulan dan 0,0259/bulan. Pada sub sektor perkebunan nilai marjinal yang
dimaksud adalah nilai marjinal kelompok tanaman perkebunan rakyat.
Pada sub sektor peternakan, kontribusi terbesar dari peningkatan harga
yang diterima petani terjadi pada kelompok komoditas ternak kecil (nilai marjinal
0,0213/bulan) menyusul hasil peternakan (nilai marjinal 0,0178/bulan), unggas
63
63
(nilai marjinal 0,0171/bulan) dan kelompok ternak besar (nilai marjinal
0,0120/bulan). Sementara pada sub sektor perikanan kontribusi terbesar dari
peningkatan harga yang diterima petani ikan dan nelayan terjadi pada harga
produk penangkapan (nilai marjinal 0,188/bulan) dan nilai marjinal harga produk
budidaya ikan sebesar 0,0138/bulan.
Tabel 5.1. Nilai Regresi Indeks Harga yang Diterima Petani Tahun 2008-2013
Sub sektor Komoditas Dugaan Regresi R2
Tanaman Pangan (TP)
Padi (PAD) 0,0271x - 968,64 0,9744Palawija (PLW) 0,0286x - 1019,1 0,9682
Hortikultura (HT)Sayur-sayuran (SYR) 0,0259x - 909,93 0,8947Buah-buahan (BUH) 0,0262x - 924,23 0,9642
Perkebunan (BUN) Tanaman Perkebunan Rakyat (TPR)
0,0169x - 547,78 0,8805
Peternakan (NAK)
Ternak Kecil (TNK) 0,0213x - 724,06 0,9104Ternak Besar (TNB) 0,0120x - 361,75 0,8489Unggas (UGS) 0,0171x – 559,66 0,8671Hasil Ternak (HST) 0,0178x - 584,17 0,9004
Perikanan (IK) Penangkapan (KAP) 0,0188x – 629,51 0,9241Budidaya (BDY) 0,0138x - 439,51 0,9179
5.2.1. Perilaku Harga yang Diterima Petani Sub Sektor Tanaman
Pangan
Indeks harga yang diterima petani tanaman pangan meningkat dengan
penambahan marjinal sebesar 0,0273/bulan. Dua komoditas tanaman pangan,
yaitu padi dan palawija menunjukkan penambahan marjinal harga yang diterima
masing-masing sebesar 0,0271/bulan untuk padi dan 0,0286/bulan untuk
palawija. Detil perilaku harga yang diterima petani padi dan palawija ditunjukkan
Gambar 5.3 dimana palawija tampak dominan disbanding padi.
63
(nilai marjinal 0,0171/bulan) dan kelompok ternak besar (nilai marjinal
0,0120/bulan). Sementara pada sub sektor perikanan kontribusi terbesar dari
peningkatan harga yang diterima petani ikan dan nelayan terjadi pada harga
produk penangkapan (nilai marjinal 0,188/bulan) dan nilai marjinal harga produk
budidaya ikan sebesar 0,0138/bulan.
Tabel 5.1. Nilai Regresi Indeks Harga yang Diterima Petani Tahun 2008-2013
Sub sektor Komoditas Dugaan Regresi R2
Tanaman Pangan (TP)
Padi (PAD) 0,0271x - 968,64 0,9744Palawija (PLW) 0,0286x - 1019,1 0,9682
Hortikultura (HT)Sayur-sayuran (SYR) 0,0259x - 909,93 0,8947Buah-buahan (BUH) 0,0262x - 924,23 0,9642
Perkebunan (BUN) Tanaman Perkebunan Rakyat (TPR)
0,0169x - 547,78 0,8805
Peternakan (NAK)
Ternak Kecil (TNK) 0,0213x - 724,06 0,9104Ternak Besar (TNB) 0,0120x - 361,75 0,8489Unggas (UGS) 0,0171x – 559,66 0,8671Hasil Ternak (HST) 0,0178x - 584,17 0,9004
Perikanan (IK) Penangkapan (KAP) 0,0188x – 629,51 0,9241Budidaya (BDY) 0,0138x - 439,51 0,9179
5.2.1. Perilaku Harga yang Diterima Petani Sub Sektor Tanaman
Pangan
Indeks harga yang diterima petani tanaman pangan meningkat dengan
penambahan marjinal sebesar 0,0273/bulan. Dua komoditas tanaman pangan,
yaitu padi dan palawija menunjukkan penambahan marjinal harga yang diterima
masing-masing sebesar 0,0271/bulan untuk padi dan 0,0286/bulan untuk
palawija. Detil perilaku harga yang diterima petani padi dan palawija ditunjukkan
Gambar 5.3 dimana palawija tampak dominan disbanding padi.
64
64
Variabel Dugaan Regresi R2
Indeks Harga Diterima Petani (IHT) 0,0273x - 974,74 0,9756Padi (PAD) 0,0271x - 968,64 0,9744Palawija (PLW) 0,0286x - 1019,1 0,9682
Gambar 5.3. Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani Sub Sektor Tanaman Pangan, Indeks Harga Padi dan Palawija, Januari 2008-Mei 2013.
5.2.2. Perilaku Harga yang Diterima Petani Sub Sektor Hortikultura
Indeks harga yang diterima petani hortikultura meningkat dengan
penambahan marjinal sebesar 0,0264/bulan, lebih rendah dari penambahan
marjinal harga yang diterima petani hortikultura. Dua komoditas hortikultura, yaitu
sayur-sayuran dan buah-buahan menunjukkan penambahan marjinal harga yang
diterima masing-masing sebesar 0,0259/bulan untuk sayur-sayuran dan
0,0262/bulan untuk buah-buahan. Detil perilaku harga yang diterima petani sayur-
sayuran dan buah-buahan ditunjukkan Gambar 5.4.
64
Variabel Dugaan Regresi R2
Indeks Harga Diterima Petani (IHT) 0,0273x - 974,74 0,9756Padi (PAD) 0,0271x - 968,64 0,9744Palawija (PLW) 0,0286x - 1019,1 0,9682
Gambar 5.3. Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani Sub Sektor Tanaman Pangan, Indeks Harga Padi dan Palawija, Januari 2008-Mei 2013.
5.2.2. Perilaku Harga yang Diterima Petani Sub Sektor Hortikultura
Indeks harga yang diterima petani hortikultura meningkat dengan
penambahan marjinal sebesar 0,0264/bulan, lebih rendah dari penambahan
marjinal harga yang diterima petani hortikultura. Dua komoditas hortikultura, yaitu
sayur-sayuran dan buah-buahan menunjukkan penambahan marjinal harga yang
diterima masing-masing sebesar 0,0259/bulan untuk sayur-sayuran dan
0,0262/bulan untuk buah-buahan. Detil perilaku harga yang diterima petani sayur-
sayuran dan buah-buahan ditunjukkan Gambar 5.4.
65
65
Variabel Dugaan Regresi R2
Indeks Harga Diterima Petani (IHT) 0,0264x - 931,8 0,9596Sayur-sayuran (SYR) 0,0259x - 909,93 0,8947Buah-buahan (BUH) 0,0262x - 924,23 0,9642
Gambar 5.4. Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani Sub Sektor Hortikultura, Indeks Harga Sayur-sayuran dan Buah-buahan, Januari 2008-Mei 2013.
5.2.3. Perilaku Harga yang Diterima Petani Sub Sektor Perkebunan
Indeks harga yang diterima petani tanaman perkebunan hanya disusun
oleh satu komoditas, yaitu tanaman perkebunan rakyat. Selama Januari 2008-Mei
2013 indeks harga yang diterima oleh petani perkebunan/tanaman perkebunan
rakyat meningkat dengan penambahan marjinal sebesar 0,0169/bulan atau lebih
rendah dari indeks harga yang diterima petani tanaman pangan maupun petani
hortikultura. Detil perilaku harga yang diterima petani perkebunan/tanaman
perkebunan rakyat ditunjukkan Gambar 5.5.
65
Variabel Dugaan Regresi R2
Indeks Harga Diterima Petani (IHT) 0,0264x - 931,8 0,9596Sayur-sayuran (SYR) 0,0259x - 909,93 0,8947Buah-buahan (BUH) 0,0262x - 924,23 0,9642
Gambar 5.4. Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani Sub Sektor Hortikultura, Indeks Harga Sayur-sayuran dan Buah-buahan, Januari 2008-Mei 2013.
5.2.3. Perilaku Harga yang Diterima Petani Sub Sektor Perkebunan
Indeks harga yang diterima petani tanaman perkebunan hanya disusun
oleh satu komoditas, yaitu tanaman perkebunan rakyat. Selama Januari 2008-Mei
2013 indeks harga yang diterima oleh petani perkebunan/tanaman perkebunan
rakyat meningkat dengan penambahan marjinal sebesar 0,0169/bulan atau lebih
rendah dari indeks harga yang diterima petani tanaman pangan maupun petani
hortikultura. Detil perilaku harga yang diterima petani perkebunan/tanaman
perkebunan rakyat ditunjukkan Gambar 5.5.
66
66
Variabel Dugaan Regresi R2
Indeks Harga Diterima Petani (IHT) 0,0169x - 547,78 0,8805Tanaman Perkebunan Rakyat (TPR) 0,0169x - 547,78 0,8805
Gambar 5.5. Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani Sub SektorPerkebunan/Tanaman Perkebunan Rakyat, Januari 2008-Mei 2013.
5.2.4. Perilaku Harga yang Diterima Petani Sub Sektor Peternakan
Indeks harga yang diterima petani sub sektor peternakan/peternak disusun
oleh empat komoditas, yaitu ternak besar, ternak kecil, unggas, dan hasil ternak.
Indeks harga yang diterima peternak bergerak naik dengan penambahan marjinal
sebesar 0,0155/bulan. Penambahan marjinal harga yang indeks harga yang
diterima peternak lebih rendah dibandingkan petani tanaman pangan, petani
hortikultura, dan petani perkebunan. Artinya, indeks harga yang diterima peternak
adalah terendah dibandingkan yang diterima petani di tiga sub sektor lain.
Diantara empat komoditas penyusunnya, ternak kecil menunjukkan penambahan
marjinal tertinggi, yaitu 0,0213/bulan, diikuti hasil ternak dengan penambahan
marjinal sebesar 0,0178/bulan, lalu disusul oleh unggas dengan penambahan
marjinal sebesar 0,0171/bulan, dan terendah adalah ternak besar dengan
penambahan marjinal sebesar 0,0120/bulan. Perilaku indeks harga yang diterima
peternak beserta komoditas penyusunnya ditunjukkan Gambar 5.6.
66
Variabel Dugaan Regresi R2
Indeks Harga Diterima Petani (IHT) 0,0169x - 547,78 0,8805Tanaman Perkebunan Rakyat (TPR) 0,0169x - 547,78 0,8805
Gambar 5.5. Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani Sub SektorPerkebunan/Tanaman Perkebunan Rakyat, Januari 2008-Mei 2013.
5.2.4. Perilaku Harga yang Diterima Petani Sub Sektor Peternakan
Indeks harga yang diterima petani sub sektor peternakan/peternak disusun
oleh empat komoditas, yaitu ternak besar, ternak kecil, unggas, dan hasil ternak.
Indeks harga yang diterima peternak bergerak naik dengan penambahan marjinal
sebesar 0,0155/bulan. Penambahan marjinal harga yang indeks harga yang
diterima peternak lebih rendah dibandingkan petani tanaman pangan, petani
hortikultura, dan petani perkebunan. Artinya, indeks harga yang diterima peternak
adalah terendah dibandingkan yang diterima petani di tiga sub sektor lain.
Diantara empat komoditas penyusunnya, ternak kecil menunjukkan penambahan
marjinal tertinggi, yaitu 0,0213/bulan, diikuti hasil ternak dengan penambahan
marjinal sebesar 0,0178/bulan, lalu disusul oleh unggas dengan penambahan
marjinal sebesar 0,0171/bulan, dan terendah adalah ternak besar dengan
penambahan marjinal sebesar 0,0120/bulan. Perilaku indeks harga yang diterima
peternak beserta komoditas penyusunnya ditunjukkan Gambar 5.6.
67
67
Variabel Dugaan Regresi R2
Indeks Harga Diterima Petani (IHT) 0,0155x - 497,56 0,8996Ternak Besar (TNB) 0,012x - 361,75 0,8489Ternak Kecil (TNK) 0,0213x - 724,06 0,9104Unggas (UGS) 0,0171x – 559,66 0,8671Hasil Ternak (HST) 0,0178x - 584,17 0,9004
Gambar 5.6. Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani Sub Sektor Peternakan, Indeks Harga Ternak Besar, Ternak Kecil, Unggas, dan Hasil Ternak, Januari 2008-Mei 2013.
5.2.5. Perilaku Harga yang Diterima Petani Sub Sektor Perikanan
Indeks harga yang diterima petani sub sektor perikanan/nelayan disusun
oleh dua komoditas, yaitu penangkapan dan budidaya. Indeks harga yang
diterima nelayan bergerak naik dengan penambahan marjinal sebesar
0,0155/bulan. Penambahan marjinal indeks harga yang diterima nelayan lebih
tinggi dibandingkan indeks harga yang diterima petani perkebunan dan peternak,
namun lebih rendah dibandingkan indeks harga yang diterima petani tanaman
pangan dan hortikultura.
Indeks harga perikanan penangkapan bergerak naik dengan penambahan
marjinal sebesar 0,0188/bulan, sedangkan indeks harga perikanan budidaya
bergerak naik dengan penambahan marjinal sebesar 0,0138/bulan. Perilaku indeks
67
Variabel Dugaan Regresi R2
Indeks Harga Diterima Petani (IHT) 0,0155x - 497,56 0,8996Ternak Besar (TNB) 0,012x - 361,75 0,8489Ternak Kecil (TNK) 0,0213x - 724,06 0,9104Unggas (UGS) 0,0171x – 559,66 0,8671Hasil Ternak (HST) 0,0178x - 584,17 0,9004
Gambar 5.6. Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani Sub Sektor Peternakan, Indeks Harga Ternak Besar, Ternak Kecil, Unggas, dan Hasil Ternak, Januari 2008-Mei 2013.
5.2.5. Perilaku Harga yang Diterima Petani Sub Sektor Perikanan
Indeks harga yang diterima petani sub sektor perikanan/nelayan disusun
oleh dua komoditas, yaitu penangkapan dan budidaya. Indeks harga yang
diterima nelayan bergerak naik dengan penambahan marjinal sebesar
0,0155/bulan. Penambahan marjinal indeks harga yang diterima nelayan lebih
tinggi dibandingkan indeks harga yang diterima petani perkebunan dan peternak,
namun lebih rendah dibandingkan indeks harga yang diterima petani tanaman
pangan dan hortikultura.
Indeks harga perikanan penangkapan bergerak naik dengan penambahan
marjinal sebesar 0,0188/bulan, sedangkan indeks harga perikanan budidaya
bergerak naik dengan penambahan marjinal sebesar 0,0138/bulan. Perilaku indeks
68
68
harga yang diterima nelayan beserta komoditas penyusunnya ditunjukkan Gambar
5.7. Tampak bahwa indeks harga perikanan penangkapan lebih dominan dalam
penyusunan indeks harga yang diterima oleh nelayan.
Variabel Dugaan Regresi R2
Indeks Harga Diterima Petani (IHT) 0,0155x - 497,56 0,8996Ternak Besar (TNB) 0,012x - 361,75 0,8489Ternak Kecil (TNK) 0,0213x - 724,06 0,9104Unggas (UGS) 0,0171x – 559,66 0,8671Hasil Ternak (HST) 0,0178x - 584,17 0,9004
Gambar 5.7. Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani Sub Sektor Perikanan, Indeks Harga Ikan Hasil Penangkapan dan Ikan Hasil Budidaya, Januari 2008-Mei 2013.
5.3. Perilaku Harga yang Dibayar Petani (HB)
Harga yang dibayar petani juga merupakan harga tertimbang pembayaran
di tingkat petani/peternak/nelayan dari harga-harga atas pembelian barang
konsumsi dan faktor produksi dan barang modal. HB meningkat dengan
penambahan marjinal sebesar 0,0180/bulan, dan peningkatan tersebut terutama
disebabkan oleh kontribusi peningkatan yang lebih besar dari pengeluaran
konsumsi rumahtangga (marjinal = 0,0202/bulan). Pengeluaran biaya produksi
dan penambahan barang modal meningkat dengan nilai marjinal sebesar
69
69
0,0117/bulan. Detil perilaku harga barang yang dikonsumsi dan biaya produksi
akan ditunjukkan Gambar 5.8.
Gambar 5.8 menunjukkan bahwa sejak Januari 2008, kenaikan NTP
tertinggi hanya mencapai 5 persen, sedangkan kenaikan pengeluaran konsumsi
rumahtangga mencapai 40 persen dan biaya produksi dan penambahan barang
modal mencapai 26 persen. Peningkatan NTP yang rendah selama Januari 2008-
Mei 2013 mengindikasikan bahwa tidak ada perubahan tren perilaku NTP.
Kenaikan harga barang konsumsi dan biaya produksi pertanian mencerminkan
telah terjadi perubahan kebijakan subsidi pada harga input produksi dan barang
yang dikonsumsi rumahtangga petani (Khan and Ahmed, 2004).
Variabel Dugaan Regresi R2
Konsumsi Rumahtangga (KRT) 0,0202x - 686,48 0,9871Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal (BPPBM) 0,0117x - 350,41 0,9474
Gambar 5.8. Perkembangan Indeks Harga yang Dibayar Petani, Indeks Harga Konsumsi Rumahtangga dan Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal, Januari 2008-Mei 2013.
70
70
Namun, seperti dijelaskan di muka harga yang diterima petani pada periode yang
sama meningkat tajam (43 persen) dan lebih tinggi dibandingkan kenaikan harga-
harga yang dibayar petani, sehingga perubahan kebijakan harga yang dilakukan
pemerintah tidak banyak mengubah perilaku NTP. Hal ini menunjukkan bahwa
kebijakan harga input produksi dan subsidi harga produk pertanian dapat
dialihkan untuk pembangunan infrastruktur produksi dan pemasaran hasil
pertanian.
5.3.1. Indeks Harga Konsumsi Rumahtangga
Harga konsumsi rumahtangga adalah harga tertimbang dari harga barang-
barang yang dikonsumsi oleh rumahtangga, yang mencakup kelompok bahan
makanan, makanan jadi, perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan, rekreasi,
dan olahraga, serta transportasi dan komunikasi. Harga konsumsi rumahtangga
mencerminkan inflasi di pedesaan. Sesuai dengan definisi, inflasi merupakan
persentase perubahan harga-harga konsumen pada periode tertentu.
Berdasarkan data Januari 2008-Mei 2013 indeks harga konsumsi
rumahtangga meningkat dengan peningkatan marjinal sebesar 0,0202/bulan
(Gambar 5.9). Peningkatan marjinal tertinggi ditunjukkan oleh konsumsi bahan
makanan (0,0238/bulan), disusul oleh konsumsi makanan jadi (0,0214/bulan), lalu
sandang (0,0195/bulan), perumahan (0,0193/bulan), kesehatan (0,0130/bulan),
pendidikan, rekreasi, dan olahrga (0,0105/bulan), serta transportasi dan
komunikasi (0,0035/bulan).
71
71
Variabel Dugaan Regresi R2
Konsumsi Rumahtangga (KRT) 0,0202x - 686,48 0,9871Bahan Makanan (BM) 0,0238x - 828,25 0,9799Makanan Jadi (MKJ) 0,0214x - 737,59 0,9926Perumahan (PRM) 0,0193x - 649,02 0,9766Sandang (SDG) 0,0195x - 661,06 0,9860Kesehatan (KSH) 0,013x - 403,09 0,9863Pendidikan, Rekreasi, & Olahraga (PDK) 0,0105x - 304,88 0,9731Transportasi dan Komunikasi (TRP) 0,0035x - 26,85 0,2833
Gambar 5.9. Perkembangan Indeks Harga Konsumsi Rumahtangga dan Komponen Penyusunnya, Januari 2008-Mei 2013.
5.3.2. Indeks Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal
Indeks biaya produksi dan penambahan barang modal (BPPBM) adalah
harga tertimbang dari biaya untuk pembelian bibit, obat obatan dan pupuk, sewa
lahan dan pajak, upah buruh, transportasi, dan penambahan barang modal.
Dalam periode Januari 2008-Mei 2013 indeks BPPBM meningkat dengan
peningkatan marjinal sebesar 0,0117/bulan (Gambar 5.10). Peningkatan marjinal
tertinggi ditunjukkan oleh biaya penambahan barang modal (peningkatan marjinal
= 0,0140/bulan), disusul biaya bibit (peningkatan marjinal = 0,0123/bulan), upah
buruh tani dan obat/ pupuk (peningkatan marjinal = 0,0119/bulan), sewa lahan
72
72
(peningkatan marjinal = 0,0105/bulan), dan transportasi (peningkatan marjinal =
0,0073/bulan).
Variabel Dugaan Regresi R2
BPPBM 0,0117x - 350,41 0,9474Penambahan Barang Modal (PBM) 0,0140x - 441,62 0,9410Transportasi (TRS) 0,0073x - 175,62 0,5657Bibit (BBT) 0,0123x - 37,75 0,9690Upah Buruh Tani (UBT) 0,0119x - 361,78 0,9579Obat-obatan & Pupuk (ODP) 0,0119x - 359,62 0,9261Sewa Lahan, Pajak & Lainnya (SPL) 0,0105x - 307,33 0,9642
Gambar 5.10. Perkembangan Indeks Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal, Januari 2008-Mei 2013.
73
73
BAB VI
FAKTOR-FAKTOR DAN KEBIJAKAN YANG MEMENGARUHI NTP
Dalam kerangka pemikiran dan metoda analisa dikemukakan bahwa
analisa faktor-faktor yang mempengaruhi NTP dapat ditelusuri analisa komponen
penyusunnya, dalam bentuk pengukuran pengaruh perubahan harga-harga
penyusun NTP terhadap NTP dalam bentuk nilai marjinal dan elastisitas harga.
Dari nilai-nilai marjinal dan elastisitas tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk
mengevaluasi dampak kebijakan yang terkait terhadap NTP.
6.1. Pengaruh Perubahan Harga-harga terhadap NTP
Nilai Tukar Petani (NTP) merupakan rasio antara harga yang diterima
petani (HT) dengan harga yang dibayar petani (HB). Harga yang diterima petani
(HT) merupakan harga produsen (farm gate) dari hasil produksi petani. Petani
yang dimaksud adalah yang mengusahakan tanaman pangan (padi dan palawija),
tanaman hortikultura (sayur-sayuran dan buah-buahan), tanaman perkebunan
rakyat, peternakan (ternak besar, ternak kecil, unggas, dan hasil ternak), dan
usaha perikanan (penangkapan dan budidaya). Sementara itu harga yang dibayar
petani (HB) adalah harga eceran barang/jasa yang dikonsumsi/dibeli petani baik
untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga sendiri maupun untuk keperluan biaya
produksi dan penambahan barang modal pertanian. Kebutuhan rumahtangga
mencakup bahan makanan, makanan jadi, perumahan, sandang, kesehatan,
pendidikan, rekreasi, dan olahraga, serta transportasi dan telekomunikasi.
Sedangkan kebutuhan biaya produksi dan penambahan barang modal mencakup
benih, obat dan pupuk, sewa lahan dan pajak, transportasi, penambahan barang
modal, serta upah buruh tani. Pengaruh perubahan harga-harga tersebut dapat
dikelompokkan ke dalam pengaruh perubahan harga diterima petani (HT) dan
pengaruh perubahan harga dibayar petani (HB).
74
74
6.1.1. Pengaruh Perubahan Harga Diterima Petani (HT)
Secara teori dan ditunjukkan oleh hasil analisa, harga-harga yang diterima
petani berpengaruh positif terhadap NTP. Hasil perhitungan nilai marjinal dan
elastisitas pengaruh HT terhadap NTP terangkum dalam Tabel 6.1. Dari hasil
analisa menunjukkan nilai elastisitas harga komoditas sub sektor tanaman pangan
terhadap NTP menunjukkan nilai terbesar (0,50), disusul sub sektor hortikultura
(0,19), perkebunan (0,18), peternakan (0,16) dan perikanan (0,13). Besaran nilai
elastisitas ini juga sejalan dengan nilai marjinal dari dampak kenaikan harga-harga
terhadap NTP. Besaran nilai elastisitas dan nilai marjinal masing-masing
terangkum dalam Tabel 6.1
Tabel 6.1. Rangkuman Nilai Marjinal dan Elastisitas dari Pengaruh HT terhadap NTP
Sub SektorDampak Marjinal
Elastisitas (%)Langsung T. Langsung Total
T Pangan 0,0037 0,0002 0,0039 0,50Padi 0,0024 -0,0002 0,0023 0,28Palawija 0,0013 0,0005 0,0019 0,25
Hortikultura 0,0013 0,0002 0,0015 0,19Sayur-sayuran 0,0005 0,0008 0,0013 0,18Buah-buahan 0,0008 0,0006 0,0014 0,18
Perkebunan 0,0011 0,0003 0,0014 0,18T. Perkebunan Rakyat 0,0011 0,0003 0,0014 0,18
Peternakan 0,0010 0,0003 0,0013 0,16Ternak Besar 0,0004 0,0004 0,0008 0,10Ternak Kecil 0,0002 0,0004 0,0006 0,08Unggas 0,0002 0,0003 0,0005 0,06Hasil Ternak 0,0002 0,0003 0,0005 0,07
Perikanan 0,0008 0,0003 0,0010 0,13Penangkapan 0,0005 0,0001 0,0007 0,08Budidaya 0,0002 0,0003 0,0005 0,06
Sumber: Analisa Data Sekunder (2013).
Nilai elastisitas harga yang diterima tanaman pangan sebesar 0,50 berarti
kenaikan harga kelompok tanaman pangan sebesar 1 persen meningkatkan NTP
sebesar 0,5 persen, dan demikian seterusnya untuk komoditas sub sektor lain,
atau dalam bentuk marjinal kenaikan 1 (satu) unit indeks harga kelompok
74
6.1.1. Pengaruh Perubahan Harga Diterima Petani (HT)
Secara teori dan ditunjukkan oleh hasil analisa, harga-harga yang diterima
petani berpengaruh positif terhadap NTP. Hasil perhitungan nilai marjinal dan
elastisitas pengaruh HT terhadap NTP terangkum dalam Tabel 6.1. Dari hasil
analisa menunjukkan nilai elastisitas harga komoditas sub sektor tanaman pangan
terhadap NTP menunjukkan nilai terbesar (0,50), disusul sub sektor hortikultura
(0,19), perkebunan (0,18), peternakan (0,16) dan perikanan (0,13). Besaran nilai
elastisitas ini juga sejalan dengan nilai marjinal dari dampak kenaikan harga-harga
terhadap NTP. Besaran nilai elastisitas dan nilai marjinal masing-masing
terangkum dalam Tabel 6.1
Tabel 6.1. Rangkuman Nilai Marjinal dan Elastisitas dari Pengaruh HT terhadap NTP
Sub SektorDampak Marjinal
Elastisitas (%)Langsung T. Langsung Total
T Pangan 0,0037 0,0002 0,0039 0,50Padi 0,0024 -0,0002 0,0023 0,28Palawija 0,0013 0,0005 0,0019 0,25
Hortikultura 0,0013 0,0002 0,0015 0,19Sayur-sayuran 0,0005 0,0008 0,0013 0,18Buah-buahan 0,0008 0,0006 0,0014 0,18
Perkebunan 0,0011 0,0003 0,0014 0,18T. Perkebunan Rakyat 0,0011 0,0003 0,0014 0,18
Peternakan 0,0010 0,0003 0,0013 0,16Ternak Besar 0,0004 0,0004 0,0008 0,10Ternak Kecil 0,0002 0,0004 0,0006 0,08Unggas 0,0002 0,0003 0,0005 0,06Hasil Ternak 0,0002 0,0003 0,0005 0,07
Perikanan 0,0008 0,0003 0,0010 0,13Penangkapan 0,0005 0,0001 0,0007 0,08Budidaya 0,0002 0,0003 0,0005 0,06
Sumber: Analisa Data Sekunder (2013).
Nilai elastisitas harga yang diterima tanaman pangan sebesar 0,50 berarti
kenaikan harga kelompok tanaman pangan sebesar 1 persen meningkatkan NTP
sebesar 0,5 persen, dan demikian seterusnya untuk komoditas sub sektor lain,
atau dalam bentuk marjinal kenaikan 1 (satu) unit indeks harga kelompok
75
75
komoditas tanaman pangan akan meningkatkan indeks NTP sebesar 0,0039, dan
demikian seterusnya untuk kelompok komoditas lainnya.
Dampak marjinal dari pengaruh perubahan harga-harga terhadap NTP
berupa dampak langsung dan dampak tidak langsung perubahan harga masing-
masing terhadap NTP. Dampak langsung yang dimaksud adalah pengaruh ikutan
dari perubahan harga komoditas yang bersangkutan terhadap harga komoditas
lain yang dihasilkan petani (yang berpengaruh positif terhadap NTP) dan
pengaruhnya terhadap kenaikan harga/biaya sarana produksi dan barang modal
(yang berpengaruh negatif terhadap NTP). Dari hasil analisa ditunjukkan pengaruh
langsung dari perubahan harga komoditas relatif lebih dominan dibandingkan
pengaruh tidak langsung.
Pada sub sektor tanaman pangan, elastisitas dan nilai marjinal perubahan
harga padi terhadap NTP relatif lebih besar dibandingkan dengan palawija.
Kenaikan satu persen indeks harga padi dan palawija berdampak meningkatkan
NTP sebesar masing-masing 0,28 persen dan 0,25 persen; atau dalam bentuk
marjinal peningkatan satu satuan indeks harga masing-masing akan meningkatkan
indeks NTP masing-masing sebesar 0,0023 dan 0,0019.
Pada sub sektor hortikultura, elastisitas harga sayur-sayuran dan buah-
buahan terhadap NTP menunjukkan nilai yang sama, yaitu masing-masing 0,18,
yang berarti kenaikan satu persen indeks harga sayur-sayuran dan buah-buahan
akan berdampak meningkatkan NTP sebesar masing-masing 0,18 persen, namun
terdapat perbedaan dalam pengaruh marjinalnya, yaitu masing-masing sebesar
0,0013 dan 0,0014.
Pada sub sektor perkebunan, dalam penyusunan NTP belum dirinci
menurut komoditas utama penyusunnya. Pada sub sektor ini perkebunan yang
dimaksud adalah perkebunan rakyat. Nilai elastisitas harga terhadap NTP sebesar
0,18 menunjukkan kenaikan satu persen indeks harga perkebunan akan
meningkatkan NTP sebesar 0,18 persen, atau kenaikan satu satuan indeks harga
perkebunan akan meningkatkan NTP sebesar 0,0014 unit.
76
76
Pada sub sektor peternakan, nilai elastisitas dan nilai marjinal terbesar
terjadi pada komoditas ternak besar (dengan nilai elastisitas 0,10 dan nilai
marjinal 0,0008), menyusul ternak kecil (nilai elastisitas 0,08 dan nilai marjinal
0,0006), hasil ternak (nilai elastisitas 0,07 dan nilai marjinal 0,0005), dan unggas
(nilai elastisitas 0,06 dan nilai marjinal 0,0005). Pada sub sektor perikanan, nilai
elastisitas dan nilai marjinal dari perubahan harga kegiatan penangkapan sebesar
0,08 dan nilai marjinal 0,0007; sedangkan pada kegiatan budidaya perikanan nilai
elastisitas 0,06 dan nilai marjinal 0,0005.
6.1.2. Pengaruh Perubahan Harga Dibayar Petani (HB)
Pengaruh harga yang dibayar terhadap NTP mempunyai arah yang negatif.
Hasil analisa pengaruh harga-harga yang dibayar terangkum dalam Tabel 6.2.
Hasil analisa menunjukkan dari sisi harga yang dibayar petani, nilai elastisitas dan
nilai dampak marjinal perubahan harga-harga Konsumsi Rumahtangga (KRT) lebih
besar dibanding Harga/Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal (BPPBM).
Nilai elastisitas harga kelompok konsumsi terhadap NTP sebesar -0,80 berarti
peningkatan indeks harga konsumsi sebesar 1 (satu) persen akan menurunkan
NTP sebasar 0,80 persen, atau dengan nilai marjinal sebesar -0,0064 berarti
peningkatan indeks harga konsumsi 1 (satu) unit akan menurunkan indeks
konsumsi sebesar -0,0064 unit. Sementara pada kelompok sarana produksi dan
barang modal, nilai elastisitas sebesar -0,46 dan nilai marjinal sebesar -0,0039.
Pada kelompok konsumsi rumahtangga tersebut, elastisitas dan nilai
marjinal harga produk bahan makanan menunjukkan nilai tertinggi (yaitu
elastisitas sebesar -0,50 dan nilai marjinal -0,0038), disusul produk makanan jadi
(yaitu elastisitas sebesar -0,25 dan nilai marjinal -0,0020), dan terkecil adalah
biaya kesehatan (Tabel 6.2).
77
77
Tabel 6.2. Pengaruh Perubahan Harga Dibayar Petani (HB) terhadap NTP
PengeluaranDampak Marjinal Elastisitas
(%)Langsung T. Langsung TotalKonsumsi RT -0,0062 -0,0002 -0,0064 -0,80
B. Makanan -0,0029 -0,0008 -0,0038 -0,50Makanan Jadi -0,0015 -0,0005 -0,0020 -0,25Perumahan -0,0008 0,0000 -0,0008 -0,10Sandang -0,0003 0,0000 -0,0003 -0,04Kesehatan -0,0002 0,0000 -0,0002 -0,03Pendidikan -0,0003 0,0000 -0,0003 -0,03Transport & Telekomunikasi -0,0004 0,0000 -0,0004 -0,05
Biaya Produksi & PBM -0,0019 -0,0020 -0,0039 -0,46Bibit -0,0002 0,0000 -0,0001 -0,02Obat & Pupuk -0,0005 0,0000 -0,0004 -0,05Transportasi -0,0002 -0,0002 -0,0005 -0,05Sewa & Pajak -0,0002 0,0000 -0,0002 -0,03PBM -0,0003 0,0000 -0,0003 -0,03Upah -0,0005 -0,0001 -0,0007 -0,08
Sumber: Analisa Data Sekunder (2013).
Pada kelompok harga yang dibayar untuk biaya produksi dan penambahan
barang modal, elastisitas dan nilai marjinal terbesar pada upah (yaitu elastisitas
sebesar -0,08 dan nilai marjinal -0,0007), disusul obat dan pupuk (elastisitas
sebesar -0,05 dan nilai marjinal sebesar -0,0004), transportasi (elastisitas sebesar
-0,05 dan nilai marjinal -0,0005), dan terkecil adalan bibit (elastisitas sebesar -
0,02 dan nilai marjinal -0,0001).
6.2. Keterkaitan Antara Inflasi dengan NTP
Indeks inflasi ditunjukkan oleh perubahan indeks harga konsumen atau
indeks konsumsi rumahtangga, dan dirumuskan sebagai berikut:
dimana IHK = Indeks Harga Konsumen - Indeks Konsumsi Rumahtangga. Dengan
demikian, dalam struktur pembentukan NTP, indeks harga yang dibayar pada
kelompok konsumsi rumahtangga (KRT) adalah indeks inflasi pedesaan. Seperti
77
Tabel 6.2. Pengaruh Perubahan Harga Dibayar Petani (HB) terhadap NTP
PengeluaranDampak Marjinal Elastisitas
(%)Langsung T. Langsung TotalKonsumsi RT -0,0062 -0,0002 -0,0064 -0,80
B. Makanan -0,0029 -0,0008 -0,0038 -0,50Makanan Jadi -0,0015 -0,0005 -0,0020 -0,25Perumahan -0,0008 0,0000 -0,0008 -0,10Sandang -0,0003 0,0000 -0,0003 -0,04Kesehatan -0,0002 0,0000 -0,0002 -0,03Pendidikan -0,0003 0,0000 -0,0003 -0,03Transport & Telekomunikasi -0,0004 0,0000 -0,0004 -0,05
Biaya Produksi & PBM -0,0019 -0,0020 -0,0039 -0,46Bibit -0,0002 0,0000 -0,0001 -0,02Obat & Pupuk -0,0005 0,0000 -0,0004 -0,05Transportasi -0,0002 -0,0002 -0,0005 -0,05Sewa & Pajak -0,0002 0,0000 -0,0002 -0,03PBM -0,0003 0,0000 -0,0003 -0,03Upah -0,0005 -0,0001 -0,0007 -0,08
Sumber: Analisa Data Sekunder (2013).
Pada kelompok harga yang dibayar untuk biaya produksi dan penambahan
barang modal, elastisitas dan nilai marjinal terbesar pada upah (yaitu elastisitas
sebesar -0,08 dan nilai marjinal -0,0007), disusul obat dan pupuk (elastisitas
sebesar -0,05 dan nilai marjinal sebesar -0,0004), transportasi (elastisitas sebesar
-0,05 dan nilai marjinal -0,0005), dan terkecil adalan bibit (elastisitas sebesar -
0,02 dan nilai marjinal -0,0001).
6.2. Keterkaitan Antara Inflasi dengan NTP
Indeks inflasi ditunjukkan oleh perubahan indeks harga konsumen atau
indeks konsumsi rumahtangga, dan dirumuskan sebagai berikut:
dimana IHK = Indeks Harga Konsumen - Indeks Konsumsi Rumahtangga. Dengan
demikian, dalam struktur pembentukan NTP, indeks harga yang dibayar pada
kelompok konsumsi rumahtangga (KRT) adalah indeks inflasi pedesaan. Seperti
78
78
diuraikan di atas, hasil analisa menunjukkan elastisitas KRT (atau inflasi pedesaan)
terhadap NTP sebesar 0,80 yang berarti bahwa kebaikan inflasi pedesaan sebesar
1 (satu) persen akan menurunkan NTP sebesar 0,80 persen. Dalam bentuk nilai
marjinal hasil analisa menunjukkan kenaikan inflasi pedesaan sebesar 1 (satu) unit
akan menurunkan NTP sebesar -0,0064 unit.
Seperti diuraikan sebelumnya, komponen terbesar penyumbang harga
konsumsi (inflasi pedesaan) adalah harga bahan makanan dengan elastisitas
sebesar -0,50, disusul makanan jadi (elastisitas -0,25), transportasi dan
komunikasi (elastisitas -0,05) dan terkecil adalan produk sandang.
Hasil analisa juga menunjukkan terhadap hubungan erat antara harga
konsumsi rumahtangga (KRT) terutama bahan makanan (BM) dari sisi biaya yang
dibayar petani (HB), dengan harga yang diterima petani (HT) terutama harga
komoditas tanaman pangan (HTTP). Nilai elastisitas HT terhadap KRT dan BM
masing-masing sebesar 0,869 dan 0,988; sementara elastisitas HTTP terhadap
KRT dan BM masing-masing 0,721 dan 0,821. Ini berarti kenaikan harga yang
diterima petani (HT) sebesar 1 persen akan meningkatkan harga/biaya konsumsi
rumahtangga (KRT) sebesar 0,869 persen dan biaya bahan makanan yang
dikonsumsi sebesar 0,988 persen; sedangkan kenaikan harga komoditas tanaman
pangan yang diterima petani (HTTP) sebesar 1 persen akan meningkatkan
harga/biaya konsumsi rumahtangga (KRT) sebesar 0,721 persen dan biaya bahan
makanan yang dikonsumsi sebesar 0,821 persen. Dengan demikian kebijakan
peningkatan HT terutama harga sub sektor tanaman pangan (HTTP) akan
berdampak kepada harga bahan makanan dan KRT (inflasi pedesaan) atau juga
berarti kebijakan harga pangan (HTTP) dalam rangka meningkatkan NTP juga
berakibat meningkatkan KRT (inflasi di pedesaan). Dengan demikian kebijakan
peningkatan HT terutama harga sub sektor tanaman pangan (HTTP) akan
berdampak kepada harga bahan makanan dan KRT (inflasi pedesaan). Kebijakan
harga pangan (HTTP) dalam rangka meningkatkan penerimaan/pendapatan
petani telah berperan dalam peningkatan NTP sekaligus mengakibatkan kenaikan
inflasi di pedesaan.
79
79
Dalam kaitan mengendalikan inflasi pedesaan dapat dilakukan melalui
pengendalian harga yang diterima petani (HT), dan hal ini berarti juga akan
berdampak kepada stabilitas NTP. NTP yang stabil juga berarti adanya kenaikan
harga-harga yang proporsional antara HT dan HB.
6.3. Dampak Kebijakan BBM terhadap NTP
Penyesuaian harga BBM dilakukan pemerintah melalui kebijakan kenaikan
BBM seperti dilakukan pada bulan Mei tahun 2008 dan Juni pada tahun 2013.
Dalam kaitan pengaruh kenaikan BBM terhadap NTP, kenaikan BBM dapat dilihat
dari indikator indeks biaya transportasi yang meningkat. Indeks biaya transportasi
merupakan komponen indeks biaya yang dibayar petani (HB) melalui dua cara,
yaitu bagian dari biaya konsumsi RT (KRT) dan komponen biaya produksi
(BPPBM). Sebagai bagian dari komponen pengeluaran (harga yang dibayar petani
HB) maka kenaikan biaya transportasi akan menurunkan NTP. Namun, kenaikan
harga BBM juga berdampak kepada kenaikan harga-harga yang diterima petani
(HT) seperti terlihat dari kenaikan harga sub sektor perkebunan dan sub sektor
lain yang mempunyai pengaruh positif terhadap NTP (Gambar 6.1).
80
80
Gambar 6.1. Dampak Kenaikan Harga BBM Bulan Mei 2008 dan Juni 2013 terhadap NTP.
Pada kasus kebijakan kenaikan harga BBM bulan mei tahun 2008 terdapat
indikasi bahwa kenaikan BBM yang mengakibatkan kenaikan harga (biaya)
transportasi dan indeks harga yang dibayar petani (HB), namun peran kenaikan
harga transportasi terhadap HB tersebut relatif lebih kecil dibandingkan pengaruh
peningkatan HT akibat kenaikan harga produk komoditas yang diterima, sehingga
NTP masih menunjukkan peningkatan. Peningkatan harga cukup besar yang
diterima petani secara konsisten terjadi pada harga komoditas pertanian terutama
komoditas tanaman pangan dan perkebunan.
Kenaikan harga produk yang cukup besar pada tahun 2008 berkaitan dengan
kenaikan harga harga produk pertanian (pangan dan non pangan) di pasar
domestik yang dipicu oleh kenaikan harga harga produk internasional terutama
81
81
harga produk pangan (Kasryno, 2012; Timmer, 2008). Dalam kaitan ini, Timmer
(2008) mengemukakan penyebab kenaikan harga pangan tersebut karena
meningkatnya permintaan pangan oleh Negara berkembang serta adanya
spekulasi pelaku pasar modal untuk memindahkan investasinya ke pasar
komoditas. Selanjutnya Bank Dunia (2011) mengemukakan kenaikan harga
pangan dunia pada periode tahun 2007-2008 disamping berkaitan dengan
produksi bahan baku biji bijian juga dipengaruhi oleh melemahnya nilai dolar
Amerika dan kenaikan harga energi. Kenaikan harga produk pertanian tersebut
telah memberikan keuntungan (wind fall) bagi petani dan perekonomian
Indonesia.
Kondisi sebaliknya terjadi pada tahun 2013, kenaikan harga BBM telah
berakibat kenaikan harga trasportasi dan kenaikan HB yang jauh lebih tinggi
dibandingkan kenaikan harga produk pertanian yang diterima petani (HT). Akibat
laju kenaikan HB yang lebih besar dari laju kenaikan HT, maka dampak kenaikan
harga BBM pada tahun 2013 telah menurunkan NTP (Gambar 6.2).
82
82
Gambar 6.2. Dampak Kenaikan Harga BBM Bulan Juni 2013 terhadap NTP.
6.4. Pengaruh Peningkatan Produksi Pertanian terhadap NTP
Dalam penyusunan NTP yang dikembangkan BPS, daya beli petani yang
diukur dengan indeks nilai tukar petani hanya didasarkan kepada rasio harga yang
diterima petani dan harga yang dibayar petani. Harga yang diterima petani adalah
harga tertimbang dari seluruh komoditas pertanian (sub sektor tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan rakyat, peternakan, dan perikanan). Unit analisa NTP
adalah nasional dan regional (provinsi). Peran produktivitas dari masing-masing
komoditas hanya tercermin dari besarnya nilai pembobot komoditas/sub sektor
yang didasarkan kepada nilai produksi masing-masing. Dengan demikian, nilai
pembobot masing-masing komoditas berbeda antar provinsi. Pada kondisi
demikian peningkatan produksi (produktivitas) suatu komoditas akan berperan
83
83
meningkatkan NTP apabila (asumsi) harga komoditas tersebut tetap atau
meningkat. Nilai bobot masing-masing komponen penyusun NTP ditunjukkan
Lampiran 2.
Data menunjukkan kegiatan pembangunan telah meningkatkan produksi
pertanian. Dalam periode tahun 2008-2012, produksi pertanian terus meningkat
sebagaimana tercermin dari kenaikan indeks produksi. Dari hubungan antara
indeks produksi pertanian dengan NTP menunjukkan, secara umum peningkatan
indeks produksi diikuti oleh indeks NTP baik total pertanian (Gambar 6.3 ) maupun
menurut sub sektor (Gambar 6.4).
Gambar 6.3. Perkembangan Indeks Produksi dan Rata-rata NTP Tahun 2008-2012.
84
84
Gambar 6.4. Perkembangan Indeks Produksi Sub Sektor dan Rataan NTP Sub Sektor,Tahun 2008-2012.
85
85
BAB VII
NILAI TUKAR PENDAPATAN PETANI DAN RUMAHTANGGA TANI
Sebagaimana dikemukakan dalam kerangka pemikiran, untuk melengkapi
analisa NTP akan dilakukan analisa nilai tukar dengan pendekatan nilai, yaitu nilai
tukar pendapatan usahatani dan analisa perubahan pendapatan rumahtangga
petani. Bab berikut akan menganalisa nilai tukar pendapatan usahatani masing-
masing sub sektor dengan beberapa komoditas contoh dan analisa perubahan
pendapatan rumahtangga pertanian pada daerah contoh agroekosistem lahan
sawah dan agroekosistem lahan kering perkebunan.
Data yang digunakan dalam analisa ini terutama berasal dari hasil-hasil
penelitian Panel Petani Nasional (Patanas) yang dilakukan oleh PSE-KP Badan
Litbang Pertanian. Patanas merupakan studi dinamika pedesaan yang meneliti
indikator pembangunan pertanian termasuk usahatani dan pendapatan
rumahtangga secara berulang (panel) dalam kurun waktu periode tertentu dengan
rumahtangga contoh yang tetap.
7.1. Nilai Tukar Pendapatan Usahatani
Analisa tentang Nilai Tukar Pendapatan Usahatani mencakup usahatani
tanaman pangan, usahatani tanaman hortikultura, usahatani tanaman
perkebunan, dan usaha peternakan.
7.1.1. Nilai Tukar Usahatani Tanaman Pangan
Untuk menggambarkan perilaku nilai tukar pendapatan usahatani
komoditas pada sub sektor tanaman pangan didasarkan kepada data analisa
usahatani tanaman padi, jagung, kedelai, dan ubikayu, diolah dari data primer
penelitian Patanas tahun 2008 dan tahun 2011. Dari hasil analisa seperti
terangkum dalam Tabel 7.1 dan Tabel Lampiran 3.
Secara keseluruhan pendapatan usahatani komoditas tanaman pangan
menunjukkan nilai positif. Dalam tahun 2011 nilai pendapatan usahatani terbesar
86
86
dihasilkan oleh usahatani ubikayu (Rp 7,61 juta/ha) disusul usahatani tanaman
padi (Rp 6,69 juta/ha), jagung (Rp 6,22 juta/ha), dan kedelai (Rp 1,84 juta/ha).
Dalam peride tahun 2008-2011 terjadi peningkatan pendapatan usahatani dari
keempat komoditas tersebut. Peningkatan terbesar terjadi pada komoditas kedelai
(peningkatan 69,61 persen dalam 3 tahun atau 23,20 persen/tahun), disusul
usahatani jagung (peningkatan 48,28 persen dalam 3 tahun atau 16,10
persen/tahun, usahatani ubikayu (peningkatan 31,16 persen dalam 3 tahun atau
10,39 persen/tahun), dan usahatani padi dengan peningkatan 20,06 persen dalam
3 tahun atau 6,69 persen/tahun.
Perubahan peningkatan pendapatan usahatani dari masing-masing
komoditas tersebut ternyata lebih rendah dari perubahan peningkatan nilai
produksi. Hal ini karena biaya produksi usahatani meningkat dengan perubahan
yang lebih besar. Nilai produksi usahatani dari keempat komodisi tersebut
meningkat dengan perubahan rata-rata 58,54 persen dalam tiga tahun atau 19,51
persen/tahun, sementara biaya produksi usahatani meningkat rata-rata 91,74
persen atau 30,58 persen/tahun.
Dalam periode analisa tahun 2008 dan tahun 2011, peningkatan nilai
produksi usahatani terbesar terjadi pada usahatani kedelai, yaitu 90,77 persen;
disusul jagung 65,19 persen; ubikayu 46,87 persen; dan padi 31, 34 persen.
Sementara itu peningkatan biaya produksi usahatani terbesar juga terjadi pada
usahatani kedelai (121,07 persen) disusul ubikayu (99,20 persen), jagung (94,00
persen), dan usahatani padi sebesar 52,69 persen.
Dari hasil analisa juga terlihat bahwa peningkatan nilai produksi usahatani
dari keempat komoditas lebih disebabkan oleh peningkatan harga jual (dengan
perubahan yang lebih besar) dibandingkan peningkatan produktivitas, dan bahkan
produktivitas usahatani jagung di lokasi contoh menunjukkan penurunan. Dalam
periode tahun 2008-2011 tersebut terjadi peningkatan harga jual produk yang
dihasilkan petani, yaitu terbesar pada jagung (79,82 persen), kedelai (62,68
persen), ubikayu (37,47 persen), dan padi (5,30 persen). Peningkatan
produktivitas usahatani petani terbesar terjadi pada komoditas kedelai (17, 23
87
87
persen) disusul ubukayu (6,90 persen) dan padi (5,30 persen), sementara
produktivitas jagung menurun -8,16 persen.
Peningkatan biaya produksi dengan perubahan yang cukup besar tersebut
berkaitan dengan peningkatan nilai sewa lahan, upah buruh tani, dan harga
sarana produksi. Dalam tahun 2008-2011 terjadi kenaikan yang cukup besar sewa
lahan, yaitu rata-rata 40,59 persen atau 13,53 persen/tahun. Peningkatan sewa
lahan terbesar dijumpai di daerah basis komoditas padi, yaitu sebesar 42,26
persen (atau rata-rata peningkatan 14,09 persen/tahun), lebih tinggi dibandingkan
sewa lahan di daerah palawija yang meningkat rata-rata 40,03 persen (atau
peningkatan 13,34 persen/tahun).
Dalam 3 tahun, upah buruh tani juga meningkat rata-rata 22,73 persen
atau 7,58 persen/tahun. Peningkatan upah buruh paling besar terjadi pada
kegiatan usahatani ubikayu (12,30 persen/tahun), menyusul usahatani padi (6,41
persen/tahun) dan jagung serta dan kedelai masing-masing 5,80 persen/tahun.
Peningkatan biaya pupuk berkaitan dengan peningatan HET pupuk yang
dalam periode tahun 2008-2011 meningkat 33,33 persen, yaitu dari Rp 1.200/kg
menjadi Rp 1.600/kg. Hasil penelitian Patanas juga ditunjukkan bahwa harga
pupuk yang dibeli petani rata-rata 11,22 persen lebih tinggi dibandingkan HET.
Hal ini berkaitan dengan biaya trasportasi dari lini IV ke kios terdekat tempat
pembelian petani.
Salah satu pertimbangan petani untuk memilih komoditas apa yang akan
diusahakan untuk memperoleh keuntungan yang optimal adalah nilai tukar (rasio)
antara nilai pendapatan usaha dengan biaya produksi. Semakin tinggi nilai rasio
antara pendapatan dibanding biaya (terutama modal kerja) semakin banyak
diminati petani dan berlaku sebaliknya. Dari hasil analisa di atas dapat
dikemukakan bahwa nilai tukar pendapatan usahatani terhadap biaya produksi
dan sewa lahan pada komoditas padi, kedelai, dan ubikayu menurun, sementara
pada usahatani jagung meningkat. Penurunan yang terbesar pada komoditas
kedelai (-68,9 persen), ubikayu (-34,1 persen), dan padi (-21,4 persen).
Penurunan nilai tukar tersebut menggambarkan penurunan daya beli atau
88
88
profitabilitas usahatani masing-masing komoditas. Dengan demikian dapat
disimpulkan untuk ketiga komoditas tersebut telah terjadi penurunan daya beli
dan profitabilitas usahatani.
Nilai tukar pendapatan usahatani dibanding nilai sewa lahan pada empat
komoditas tersebut terjadi penurunan, kecuali pada jagung mengalami sedikit
kenaikan. Penurunan nilai tukar pendapatan terhadap nilai sewa lahan sekitar 15-
19 persen, hal ini cukup signifikan bagi petani yang tidak mempunyai lahan. Oleh
karena itu, bagi petani yang tidak mempunyai lahan, lebih memilih menyakap atau
bagi hasil dengan pemilik lahan, dibandingkan menyewa lahan. Usahatani banyak
mengandung resiko, sehingga dengan menyakap petani berbagi resiko dengan
pemilik lahan, sedangkan bila menyewa lahan, kerugian akan ditanggung sendiri.
Dalam konsep nilai tukar yang dibangun BPS, NTP didefinisikan sebagai
rasio antara harga yang diterima petani dengan harga yang dibayar petani.
Konsep nilai tukar tersebut dapat diterapkan dengan menghitung nilai tukar
terhadap pupuk dan upah buruh, dengan menghitung rasio antara harga produk
yang dijual/diterima patani dengan harga pupuk dan upah buruh. Berdasarkan
perhitungan, kecuali pada padi, nilai tukar petani terhadap pupuk urea pada
komoditas jagung, kedelai, dan ubikayu menunjukkan peningkatan. Kenaikan nilai
tukar tertinggi terjadi pada komoditas jagung (27,68 persen), disusul kedelai
(12,10 persen), dan ubikayu (5,94 persen), sedangkan nilai tukar komoditas padi
menurun -13,41 persen. Kebijakan harga dasar gabah yang diberlakukan selama
ini dinilai telah berhasil mengendalikan harga jual, namun kondisi ini justru
menurunkan profitabilitas padi dibanding komoditas tanaman pangan lain.
Nilai tukar petani terhadap upah untuk semua komoditas tanaman pangan
menunjukkan peningkatan, yang berarti kenaikan harga-harga produk yang
diterima petani relatif lebih tinggi dibanding kenaikan upah. Kenaikan nilai tukar
tertinggi terjadi pada komoditas jagung (29,41 persen), disusul kedelai (18,47
persen), padi (4,66 persen) dan ubikayu (0,41 persen).
89
89
Tabel 7.1. Perubahan N
ilai Tukar Pendapatan Usahatani Padi, Jagung, Kedelai,dan U
bikayuTahun 2008-2011
N0
Uraian
PadiJagung
KedelaiU
bikayu
2008*2011**
Prbh (%
)2008*
2011**Prbh (%
)2008*
2011**Prbh (%
)2008*
2011**Prbh (%
)
1Analisa usahatani/ha
(Rp 000)
Nilai produksi
8.522,3211.193,00
31,346.922,00
9.657,2265,19
2.442,504.817,98
90,777.541,54
11.076,2146,87
Biaya produksi2.946,40
4,498,8452,69
2.559,83.431,25
94,00815,48
2.975,10121,07
1.741,333.468,76
99,20
Pendapatan5.575,90
6,694,1920,06
4.361,76.225,97
48,281.627,02
1.842,8869,61
5.800,217.607,45
31,16
Produktivitas (kg/ha)
3.756,003,955,19
5,304.390,2
4.031,76-8,16
671,18786,81
17,232.6446,4
28.270,806,90
Harga jual produk
(Rp/kg)2.268,00
2,830,024,78
1.5802.400,00
79,823.640,00
5.920,0062,68
285392
37,47
Sewa
lahan/ha (Rp 000/ha)
2.511,903.573,52
42,26740,71
1.037,1840,03
740,711037,18
40,03740,71
1.037,1840,03
Harga
pupuk urea
di petani
(Rp/kg)1.350
1.94043,65
1.4801.760
18,981.220
176044,80
12801670
29,76
HET
pupuk urea
(Rp 000/kg)1.200
1.60033,33
1.2001.600
33,331.200
160033,33
12001600
33,33
Upah
buruh tani
(Rp 000/hari)25,95
30,9419,23
23,3527,41
17,3925,00
29,3517,40
21,0028,75
36,90
2N
T Pendapatan
terhadap total
biaya produksi1,89
1,49-
21,371,70
1,816,49
2,000,62
-68,953,33
2,19-34,16
NT
terhadap sew
a lahan2,22
1,87-
15,615,89
6,001,94
2,201,78
-19,117,83
7,33-6,33
NT
terhadap upah
214,87216,36
0,69186,80
227,1421,60
65,0862,79
-3,52276,20
264,61-4,20
NT
Pendapatan terhadap pupuk
4,133,45
-16,46
2,953,54
20,031,33
1,05-21,49
4,534,56
0,53
90
90
N0
Ura
ian
Padi
Jagu
ngKe
dela
iU
bika
yu
2008
*20
11**
Prbh
(%
)20
08*
2011
**Pr
bh
(%)
2008
*20
11**
Prbh
(%
)20
08*
2011
**Pr
bh
(%)
3N
ilai T
ukar
Har
ga
NT
Har
ga o
utpu
t te
rhad
ap
pupu
k ur
ea1,
681,
46-
13,1
71,
071,
3627
,73
2,98
3,36
12,7
40,
220,
235,
42
NT
Har
ga o
utpu
t te
rhad
ap
sew
a la
han
0,90
0,79
-12
,29
2,13
2,31
8,48
4,91
5,71
16,1
50,
380,
38-1
,77
NT
harg
a ou
tput
te
rhad
ap u
pah
87,4
091
,47
4,66
67,6
787
,56
29,4
014
5,60
201,
7038
,53
13,5
713
,63
0,47
Cata
tan:
Bia
ya p
rodu
ksi t
anpa
pen
yusu
tan
alat
dan
bia
ya s
ewa
laha
n.Su
mbe
r: *
) D
iola
h da
ri da
ta p
rimer
Pat
anas
200
8, *
*) D
iola
hda
ri da
ta p
rimer
Pat
anas
201
1.
91
91
7.1.2. Nilai Tukar Usahatani Tanaman Hortikultura
Analisa nilai tukar pendapatan usahatani komoditas pada sub sektor
hortikultura akan diwakili oleh komoditas sayuran, yaitu kubis, kentang, tomat,
dan cabe merah. Data yang digunakan dalam analisa berasal dari publikasi
Vademekum Tanaman Sayuran tahun 2006 dan 2012 yang diterbitkan oleh
Direktorat Jenderal Hortikultura. Hasil analisa terangkum di dalam Tabel 7.2 dan
Tabel Lampiran 4.
Secara keseluruhan pendapatan usahatani komoditas tanaman sayuran
menunjukkan nilai positif. Dalam tahun 2012, usahatani dengan nilai pendapatan
usahatani terbesar dihasilkan oleh usahatani cabe merah (Rp 26,14 juta/ha)
disusul usahatani tanaman kubis (Rp 24,99 juta/ha), tomat (Rp 22,61 juta/ha),
dan kentang (Rp 14,46 juta/ha). Dalam periode tahun 2006-2012 terjadi
peningkatan pendapatan usahatani dari keempat komoditas tersebut. Peningkatan
terbesar terjadi pada usahatani kentang (peningkatan 144,26 persen dalam 7
tahun atau 20,61 persen/tahun), disusul usahatani kubis (peningkatan 141,11
persen dalam 7 tahun atau 20,16 persen/tahun), usahatani cabe merah
(peningkatan 69,64 persen dalam 7 tahun atau 9,95 persen/tahun), dan usahatani
tomat (peningkatan 42,63 persen dalam 7 tahun atau 6,09 persen/tahun).
Pada komoditas cabe merah dan tomat perubahan peningkatan
pendapatan lebih rendah dibanding perubahan penerimaan (nilai produksi). Hal ini
disebabkan biaya produksi usahatani meningkat dengan perubahan yang lebih
besar. Kondisi berbeda terjadi pada komoditas kubis dan kentang, dimana
perubahan peningkatan nilai produksi relatif sama dengan perubahan peningkatan
biaya produksi.
Dalam periode analisa tahun 2006 dan tahun 2012, peningkatan nilai
produksi usahatani terbesar terjadi pada usahatani cabe merah, yaitu 185,71
persen; disusul kentang 144,19 persen; kubis 128,58 persen; dan tomat 105,88
persen. Sementara itu peningkatan biaya produksi usahatani terbesar juga terjadi
pada usahatani cabe merah (277,00 persen) disusul tomat (161,14 persen),
kentang (144,17 persen), dan usahatani kubis sebesar 114,64 persen.
92
92
Dari hasil analisa juga terlihat bahwa peningkatan nilai produksi usahatani
dari keempat komoditas lebih disebabkan oleh peningkatan harga jual (dengan
perubahan yang lebih besar) dibandingkan peningkatan produktivitas, dan bahkan
produktivitas usahatani kubis dan kentang menunjukkan penurunan. Dalam
periode tahun 2006-2012 tersebut terjadi peningkatan harga jual produk yang
dihasilkan petani, yaitu terbesar pada cabe marah (185,71 persen), kentang
(167,44 persen), kubis (157,00 persen), dan tomat (60,00 persen). Sementara itu
peningkatan produktivitas usahatani petani terbesar hanya terjadi pada komoditas
tomat (29,41 persen), produktivitas cabe merah relatif tetap, sedangkan
produktivitas kubis dan kentang menurun masing-masing -11,11 persen dan -8,70
persen.
Sebagaimana dijumpai pada usaha tanaman pangan, peningkatan biaya
produksi dengan perubahan yang cukup besar tersebut terutama berkaitan
dengan peningkatan nilai sewa lahan. Dalam tahun 2006-2012 terjadi kenaikan
yang cukup besar sewa lahan di daerah contoh, yaitu rata-rata 414,2 persen atau
rata-rata 59,18 persen/tahun. Peningkatan terbesar dijumpai di daerah basis
komoditas cabe marah, yaitu sebesar 757,14 persen (atau rata-rata peningkatan
108,16 persen/tahun), disusul daerah berbasis komoditas tomat sebesar 500
persen (atau rata-rata peningkatan 71,43 persen/tahun), basis komoditas kubis
sebesar 300 persen (atau rata-rata peningkatan 42,86 persen/tahun), dan basis
komoditas kentang sebesar 100 persen (atau rata-rata peningkatan 14,29
persen/tahun)
Dalam 7 tahun pengamatan, upah buruh tani juga meningkat rata-rata
93,75 persen atau 13,40 persen/tahun. Peningkatan upah buruh paling besar
terjadi pada kegiatan usahatani kentang (200 persen), menyusul usahatani tomat
(75 persen), cabe, dan kubis masing-masing 50 persen.
Dengan kondisi usahatani di atas, antara tahun 2006-2012 nilai tukar
pendapatan usahatani kubis dan kentang meningkat sedangkan tomat dan cabe
merah menurun. Penurunan nilai tukar tersebut sejalan dengan peningkatan biaya
93
93
produksi produksi tomat dan cabe merah yang meningkat lebih cepat
dibandingkan nilai produksinya.
Peningkatan nilai sewa lahan dengan laju yang lebih besar dari
peningkatan nilai-nilai tukar pendapatan usahatani sayuran (kecuali kentang)
terhadap sewa lahan menurun. Penurunan nilai tukar tersebut menggambarkan
penurunan daya sewa atau profitabilitas usahatani masing-masing komoditas.
Pada komoditas kubis dan cabe merah nilai tukar pendapatan usahatani
terhadap upah meningkat, sejalan dengan peningkatan upah yang lebih tinggi
pada kedua komoditas tersebut, sedangkan pada komoditas kentang dan tomat
menurun. Nilai tukar harga produksi terhadap pupuk urea secara keseluruhan
meningkat, sedangkan nilai tukar harga produksi terhadap sewa lahan secara
umum menurun (kecuali kentang). Nilai tukar petani terhadap upah untuk
komoditas kentang dan cabe merah meningkat sedangkan untuk kentang dan
tomat menurun.
94
94
Tabe
l 7.2
.Pe
ruba
han
Nila
i Tuk
ar P
enda
pata
n U
saha
tani
Kub
is, K
enta
ng, T
omat
,dan
Cab
e M
erah
Tah
un 2
006-
2012
No
Ura
ian
Kubi
sKe
ntan
gTo
mat
Cabe
Mer
ah
2006
*20
12*
Prbh
(%
)20
06*
2012
*Pr
bh
(%)
2006
*20
12*
Prbh
(%
)20
06*
2012
*Pr
bh
(%)
1An
alis
a us
ahat
ani/h
a (R
p 00
0)
Nila
i pro
duks
i19
.687
45.0
0012
8,58
38.7
0094
.500
144,
1934
.000
70.0
0010
5,88
35.0
0010
0.00
018
5,71
Biay
a pr
oduk
si9.
321
20.0
0711
4,64
32.7
8080
.040
144,
1718
.146
47.3
8716
1,14
19.5
9273
.862
277,
00
Pend
apat
an10
.366
24.9
9314
1,11
5.92
014
.460
144,
2615
.854
22.6
1342
,63
15.4
0826
.138
69,6
4
Prod
uktiv
itas
(kg/
ha)
33,7
530
,00
-11,
1123
21-8
,70
1722
29,4
110
100,
00
Har
ga ju
al p
rodu
k (R
p/kg
)58
31.
500
157
1.68
34.
500
167,
442.
000
3.20
060
,00
3.50
010
.000
185,
71
Sew
a la
han/
ha (
Rp 0
00/h
a)50
02.
000
300
1.50
03.
000
100,
0050
03.
000
500,
0035
03.
000
757,
14
Har
ga p
upuk
ure
a di
pet
ani (
Rp/k
g)1.
400
1.80
028
,57
1.20
01.
800
50,0
01.
300
1.80
038
,46
1.30
01.
800
38,4
6
HET
pup
uk u
rea
(Rp
000/
kg)
1.20
01.
800
50,0
01.
200
1.80
050
,00
1.20
01.
800
50,0
01.
200
1.80
050
,00
Upa
h bu
ruh
tani
(Rp
000
/har
i)20
.000
30.0
0050
10.0
0030
.000
200,
0020
.000
35.0
0075
,00
20.0
0030
.000
50,0
0
2N
T Pe
ndap
atan
te
rhad
ap
tota
l bi
aya
prod
uksi
1,11
1,25
12,3
30,
180,
180,
030,
870,
48-4
5,38
0,79
0,35
-55,
00
NT
terh
adap
sew
a la
han
20,7
312
,50
-39,
723,
954,
8222
,13
31,7
17,
54-7
6,23
44,0
28,
71-8
0,21
NT
terh
adap
upa
h0,
520,
8360
,74
0,59
0,48
-18,
580,
790,
65-1
8,50
0,77
0,87
13,0
9
NT
Pend
apat
an t
erha
dap
pupu
k7,
4013
,89
87,5
34,
938,
0362
,84
12,2
012
,56
3,01
11,8
514
,52
22,5
2
3N
ilai T
ukar
Har
ga
NT
Har
ga o
utpu
t te
rhad
ap p
upuk
ure
a0,
420,
8310
0,11
1,40
2,50
78,2
51,
541,
7815
,56
2,69
5,56
106,
35
NT
Har
ga o
utpu
t te
rhad
ap s
ewa
laha
n1,
170,
75-3
5,68
1,12
1,50
33,6
94,
001,
07-7
3,33
10,0
03,
33-6
6,67
NT
harg
a ou
tput
ter
hada
p up
ah0,
030,
0571
,53
0,17
0,15
-10,
870,
100,
09-8
,57
0,18
0,33
90,4
8
Sum
ber:
*)
Ditj
end
Hor
tikul
tura
, 200
6,**
) D
itjen
d H
ortik
ultu
ra, 2
012.
95
95
7.1.3. Nilai Tukar Usahatani Tanaman Perkebunan
Untuk menggambarkan nilai tukar usahatani perkebunan diwakili oleh
usahatani komoditas tebu dan tembakau, berdasarkan data hasil penelitian
Patanas tahun 2008, 2009, 2011 dan 2012. Hasil analisa seperti terangkum dalam
Tabel 7.3 dan Tabel Lampiran 5.
Secara keseluruhan pendapatan usahatani komoditas perkebunan
menunjukkan nilai positif. Dalam tahun 2012 nilai pendapatan usahatani tebu
mencapai Rp 32,18 juta/ha dan pendapatan usahatani tembakau Rp 44,38
juta/ha. Dalam peride tahun 2009-2012 terjadi peningkatan pendapatan usahatani
sebesar 172,37 persen (atau 57,46 persen/tahun) untuk tebu, sedangkan
tembakau sebesar 158,30 persen (atau 52,77 persen/tahun). Peningkatan
pendapatan usahatani dari masing-masing komoditas tersebut terutama
disebabkan oleh peningkatan harga jual produksi. Harga jual produksi tebu
meningkat sebesar 41,58 persen (atau 13,86 persen/tahun), sedangkan harga jual
tembakau meningkat 14,06 persen (atau 4,69 persen/tahun).
Dari sisi biaya produksi terjadi peningkatan biaya sewa lahan rata-rata
54,37 persen atau 18,12/tahun; peningkatan harga pupuk urea di tingkat petani
sebesar 34,53 persen atau 11,51 persen/tahun sejalan dengan peningkatn HET
pupuk urea. Peningkatan juga terjadi pada upah buruh rata-rata sebesar 41,80
persen atau 13,93 persen/tahun.
Dengan kondisi usahatani di atas, terjadi kenaikan nilai tukar pendapatan
usahatani tebu dan tembakau terhadap total biaya produksi, dengan peningkatan
rata-rata 23,91 persen/tahun. Peningkatan nilai tukar ini sejalan dengan
peningkatan nilai tukar pendapatan usahatani terhadap sewa lahan, pupuk urea,
dan upah, masing-masing dengan rata-rata peningkatan nilai tukar terhdap sewa
lahan sebesar 23, 97 5/tahun; terhadap pupuk 32,81 persen/tahun, dan terhadap
upah 29,04 persen/tahun
Dalam konsep nilai tukar petani, yaitu rasio antara harga yang diterima
petani terhadap harga yang dibayar, nilai tukar harga output terhadap harga
pupuk, sewa lahan dan upah pada komoditas tebu dan tembakau menurun.
96
96
Penurunan nilai tukar terjadi terhadap sewa lahan yang mencapai -5,66
persen/tahun, disusul nilai tukar terhadap upah sebesar -3,00 5/tahun, dan nilai
tukar terhadap pupuk urea -1,21 persen/tahun.
Tabel 7.3. Perubahan Nilai Tukar Pendapatan Usahatani Tebu dan Tembakau
No UraianTebu Tembakau
2009* 2012* Prbh (%) 2008* 2011* Prbh
(%)
1 Analisa usahatani/ha (Rp 000)
Nilai produksi 16.128,09 32.178,27 99,52 18.616,07 44.375,14 138,37
Biaya produksi 9.112,00 12.830,45 43,42 4.310,27 7.422,65 72,21
Pendapatan 7.016,09 19.109,72 172,37 14.305,80 36.952,49 158,30
Produktivitas (kg/ha) 431,75 - - 558,04 1.166,26 108,99
Harga jual produk (Rp/kg) 8.299 11.750 41,58 33,00 38,05 14,06
Sewa lahan/ha (Rp 000/ha) 3.000,00 4.761,90 58,73 2.000,00 3.000,00 50,00
Harga pupuk urea di petani (Rp/kg) 1.404 2063 46,92 1400 1.710 22,14
HET pupuk urea (Rp 000/kg) 1.200 1800 50 1200 1.600 33,33
Upah buruh tani (Rp 000/hari) 26.508 37781 42,53 23.890 33.700 41,06
2 NT Pendapatan terhadap total biaya produksi 0,77 1,49 93,43 3,32 4,98 50,00
NT terhadap sewa lahan 2,34 4,01 71,59 7,15 12,32 72,20
NT terhadap upah 0,26 0,51 91,10 0,60 1,10 83,11
NT Pendapatan terhadap pupuk 5,00 9,26 85,36 10,22 21,61 111,48
3 Nilai Tukar Harga
NT Harga output terhadap pupuk urea 5,91 5,70 -3,64 0,02
NT Harga output terhadap sewa lahan 2,77 2,47 -10,80 0,02 0,01 -23,13
NT harga output terhadap upah 0,31 0,31 -0,66 0,00 0,00 -18,26
Sumber: *) Diolah dari data primer Patanas tahun 2009 & 2012; **) Diolah dari data primer Patanas tahun 2008 & 2011
7.1.4. Nilai Tukar Usaha Peternakan
Analisa nilai tukar usahatani peternakan diwakili oleh usaha peternakan
sapi dan kambing. Data analisa usaha peternakan berasal dari data primer
penelitian Patanas tahun 2008 dan 2011.
Hasil penelitian menunjukkan pendapatan usaha peternakan sapi dan
kambing menunjukkan nilai positif. Dalam peride tahun 2008-2011 terjadi
96
Penurunan nilai tukar terjadi terhadap sewa lahan yang mencapai -5,66
persen/tahun, disusul nilai tukar terhadap upah sebesar -3,00 5/tahun, dan nilai
tukar terhadap pupuk urea -1,21 persen/tahun.
Tabel 7.3. Perubahan Nilai Tukar Pendapatan Usahatani Tebu dan Tembakau
No UraianTebu Tembakau
2009* 2012* Prbh (%) 2008* 2011* Prbh
(%)
1 Analisa usahatani/ha (Rp 000)
Nilai produksi 16.128,09 32.178,27 99,52 18.616,07 44.375,14 138,37
Biaya produksi 9.112,00 12.830,45 43,42 4.310,27 7.422,65 72,21
Pendapatan 7.016,09 19.109,72 172,37 14.305,80 36.952,49 158,30
Produktivitas (kg/ha) 431,75 - - 558,04 1.166,26 108,99
Harga jual produk (Rp/kg) 8.299 11.750 41,58 33,00 38,05 14,06
Sewa lahan/ha (Rp 000/ha) 3.000,00 4.761,90 58,73 2.000,00 3.000,00 50,00
Harga pupuk urea di petani (Rp/kg) 1.404 2063 46,92 1400 1.710 22,14
HET pupuk urea (Rp 000/kg) 1.200 1800 50 1200 1.600 33,33
Upah buruh tani (Rp 000/hari) 26.508 37781 42,53 23.890 33.700 41,06
2 NT Pendapatan terhadap total biaya produksi 0,77 1,49 93,43 3,32 4,98 50,00
NT terhadap sewa lahan 2,34 4,01 71,59 7,15 12,32 72,20
NT terhadap upah 0,26 0,51 91,10 0,60 1,10 83,11
NT Pendapatan terhadap pupuk 5,00 9,26 85,36 10,22 21,61 111,48
3 Nilai Tukar Harga
NT Harga output terhadap pupuk urea 5,91 5,70 -3,64 0,02
NT Harga output terhadap sewa lahan 2,77 2,47 -10,80 0,02 0,01 -23,13
NT harga output terhadap upah 0,31 0,31 -0,66 0,00 0,00 -18,26
Sumber: *) Diolah dari data primer Patanas tahun 2009 & 2012; **) Diolah dari data primer Patanas tahun 2008 & 2011
7.1.4. Nilai Tukar Usaha Peternakan
Analisa nilai tukar usahatani peternakan diwakili oleh usaha peternakan
sapi dan kambing. Data analisa usaha peternakan berasal dari data primer
penelitian Patanas tahun 2008 dan 2011.
Hasil penelitian menunjukkan pendapatan usaha peternakan sapi dan
kambing menunjukkan nilai positif. Dalam peride tahun 2008-2011 terjadi
97
97
peningkatan pendapatan usaha ternak sapi dari Rp 4,16 juta/ekor menjadi Rp
5,28 juta/ekor atau peningkatan sebesar 172,37 persen (atau 57,46
persen/tahun), sedangkan pada usaha ternak kambing terjadi peningkatan
pendapatan dari Rp 249,53 ribu menjadi Rp 503,14 ribu atau peningkatan sebesar
158,30 persen (atau 52,77 persen/tahun) untuk kambing.
Dengan unit analisa usaha per ekor, nilai produksi usaha ternak juga
berarti harga jual per ekor. Pada usaha ternak sapi, nilai produksi/harga jual sapi
tahun 2008-2011 meningkat sebesar 30,02 persen atau rata-rata 10,0
persen/tahun, sedangkan nilai produksi atau harga jual kambing meningkat 61,25
persen atau rata-rata 20,42 persen/tahun.
Dari hasil penelitian juga menunjukkan biaya produksi usaha ternak
meningkat lebih besar dibanding usaha kambing, yaitu 52,69 persen (atau rata-
rata 17,56 persen/tahun), sedangkan untuk usaaha ternak sapi dan 19,85 persen
(atau rata-rata 6,62 persen/tahun).
Dengan nilai usaha ternak di atas, nilai tukar pendapatan terhadap biaya produksi
usaha sapi mengalami penurunan sampai 17 persen, sedangkan pada usaha
kambing terjadi peningkatan sebesar 68,25 persen. Hal ini disebabkan biaya
produksi kambing lebih rendah peningkatannya dibanding biaya usaha sapi dan
kenaikan harga kambing relatif lebih tinggi dibanding kenaikan harga sapi.
Demikian pula nilai tukar pendapatan terhadap harga jual produk, pada usaha sapi
mengalami penurunan -2,42, sedangkan pada usaha kambing meningkat sampai
25 persen.
98
98
Tabel 7.4.Perubahan Nilai Tukar Pendapatan Usahatani Sapi dan Kambing Tahun 2008-2011
No UraianSapi Kambing
2008* 2011** Prbh (%) 2008* 2011** Prbh
(%)1 Analisa usaha ternak per ekor (Rp 000)
Nilai produksi atau harga/ekor(Rp) 4.734,38 6.155,68 30,02 492,86 794,76 61,25
Biaya produksi 572,32 875,00 52,69 243,33 291,62 19,85Pendapatan 4.162,06 5.280,68 20,06 249,53 503,14 101,64
2 Nilai Tukar Pendapatan UsahataniNT terhadap total biaya produksi 7,27 6,04 -17,01 1,03 1,73 68,25NT terhadap harga sapi/kambing 0,88 0,86 -2,42 0,51 0,63 25,04
Sumber: Pengolahan data primer penelitian Patanas tahun 2008 dan 2011.
7.2. Marjin Pemasaran Komoditas Pertanian
Salah satu komponen nilai tukar penting yang menentukan pendapatan
petani adalah marjin tataniaga komoditas yang diusahakan. Pada berbagai
komoditas pertanian dan di berbagai wilayah akan dijumpai beberapa saluran
tataniaga atau pemasaran hasil pertanian. Berdasarkan teori, semakin panjang
rantai tataniaga (semakin banyak lembaga yang terlibat), akan semakin tinggi
marjin pemasaran dan semakin rendah tingkat penerimaan petani (farmer share).
Marjin tataniaga adalah selisih antara harga yang dibayarkan oleh konsumen
dengan harga yang diterima oleh petani. Marjin ini akan diterima oleh lembaga
tataniaga yang terlibat dalam proses pemasaran tersebut. Marjin pemasaran
merupakan perbedaan antara harga yang dibayarkan konsumen dengan harga
yang diterima petani. Komponen marjin pemasaran ini terdiri dari biaya-biaya
yang diperlukan lembaga-lembaga pemasaran untuk melakukan fungsi-fungsi
pemasaran yang disebut biaya pemasaran.
Pada Tabel 7.5 diuraikan rekapitulasi hasil beberapa kajian mikro marjin
pemasaran dari beberapa komoditas empat sub sektor pertanian. Pada kelompok
komoditas tanaman pangan marjin pemasaran relatif efisien atau farmer share
cukup tinggi, misalnya padi mencapai 90 persen, palawija mencapai 80 persen,
dan ubikayu dapat mencapai 90 persen. Kisaran marjin tataniaga dari komoditas
tanaman pangan ini merupakan hasil kontribusi kadar air dan biaya transportasi.
Artinya semakin tinggi kadar air maka semakin rendah farmer share yang diterima
98
Tabel 7.4.Perubahan Nilai Tukar Pendapatan Usahatani Sapi dan Kambing Tahun 2008-2011
No UraianSapi Kambing
2008* 2011** Prbh (%) 2008* 2011** Prbh
(%)1 Analisa usaha ternak per ekor (Rp 000)
Nilai produksi atau harga/ekor(Rp) 4.734,38 6.155,68 30,02 492,86 794,76 61,25
Biaya produksi 572,32 875,00 52,69 243,33 291,62 19,85Pendapatan 4.162,06 5.280,68 20,06 249,53 503,14 101,64
2 Nilai Tukar Pendapatan UsahataniNT terhadap total biaya produksi 7,27 6,04 -17,01 1,03 1,73 68,25NT terhadap harga sapi/kambing 0,88 0,86 -2,42 0,51 0,63 25,04
Sumber: Pengolahan data primer penelitian Patanas tahun 2008 dan 2011.
7.2. Marjin Pemasaran Komoditas Pertanian
Salah satu komponen nilai tukar penting yang menentukan pendapatan
petani adalah marjin tataniaga komoditas yang diusahakan. Pada berbagai
komoditas pertanian dan di berbagai wilayah akan dijumpai beberapa saluran
tataniaga atau pemasaran hasil pertanian. Berdasarkan teori, semakin panjang
rantai tataniaga (semakin banyak lembaga yang terlibat), akan semakin tinggi
marjin pemasaran dan semakin rendah tingkat penerimaan petani (farmer share).
Marjin tataniaga adalah selisih antara harga yang dibayarkan oleh konsumen
dengan harga yang diterima oleh petani. Marjin ini akan diterima oleh lembaga
tataniaga yang terlibat dalam proses pemasaran tersebut. Marjin pemasaran
merupakan perbedaan antara harga yang dibayarkan konsumen dengan harga
yang diterima petani. Komponen marjin pemasaran ini terdiri dari biaya-biaya
yang diperlukan lembaga-lembaga pemasaran untuk melakukan fungsi-fungsi
pemasaran yang disebut biaya pemasaran.
Pada Tabel 7.5 diuraikan rekapitulasi hasil beberapa kajian mikro marjin
pemasaran dari beberapa komoditas empat sub sektor pertanian. Pada kelompok
komoditas tanaman pangan marjin pemasaran relatif efisien atau farmer share
cukup tinggi, misalnya padi mencapai 90 persen, palawija mencapai 80 persen,
dan ubikayu dapat mencapai 90 persen. Kisaran marjin tataniaga dari komoditas
tanaman pangan ini merupakan hasil kontribusi kadar air dan biaya transportasi.
Artinya semakin tinggi kadar air maka semakin rendah farmer share yang diterima
99
99
petani, demikian pula biaya transportasi semakin tinggi akan semakin rendah
harga yang diterima petani produsen.
Pada kelompok komoditas hortikultura marjin pemasaran cukup tinggi,
yang berarti harga yang diterima petani relatif rendah, seperti pada komoditas
cabe besar hanya sekitar 64 persen, kentang sekitar 67-70 persen, pisang dan
jeruk menunjukkan marjin yang cukup tinggi, yaitu 75-81 persen, sedangkan
pepaya relatif rendah hanya sekitar 50 persen. Komoditas pepaya umumnya dijual
petani dalam kondisi buah belum masak, sehingga pedagang eceran memerlukan
waktu pemasakan sebelum menjual kepada konsumen. Hal ini dhitung sebagai
biaya oleh pedagang, sehingga menyebabkan harga yang dibayar kepada petani
menjadi rendah.
Kakao yang merupakan komoditas sub sektor perkebunan. Petani menjual
dalam bentuk buah kering, tetapi di berbagai daerah cukup bervariasi tingkat
kekeringan dan kualitasnya, sehingga harga pun berbeda. Namun, harga yang
diterima petani cukup baik, yaitu sekitar 83 persen. Harga komoditas jahe selain
ditentukan oleh jenis dan tingkat kadar air, juga ditentukan oleh kadar kotoran,
sehingga harga yang diterima petani cukup bervariasi. Komoditas jahe biasa
ditanam pada daerah marjinal yang akses transportasinya mahal/sulit, sehingga
menyebabkan biaya pemasaran cukup tinggi. Komoditas karet berbeda dengan
komoditas perkebunan lain karena umumnya petani menjual dalam bentuk bahan
olahan karet rakyat (bokar) dengan kualitas, kadar air, dan kadar kotoran
bervariasi antar daerah. Menurut berbagai penelitian bokar ini kandungan
lumpnya hanya sekitar 40-50 persen, selebihnya adalah air, kotoran dan bahan
lain. Hal ini yang menyebabkan harga bokar yang diterima petani sangat rendah.
Berdasarkan kandungan lump karet bokar, harga yang diterima petani berkisar
50-57 persen. Biaya transportasi karet relatif mahal dan tidak efisien.
Dibandingkan dengan sub sektor lain, pemasaran hasil komoditas
peternakan relatif lebih efisien. Daerah sentra produksi peternakan terdapat pasar
hewan dan rumah pemotongan hewan (RPH), secara fisik pasar hewan
mengorganisasikan pemasaran hewan dengan baik, sehingga harga yang diterima
100
100
peternak menjadi relatif tinggi, seperti sapi potong dan kambing sekitar 90 persen
dan telur itik mencapai 80 persen. Informasi harga komoditas peternakan relatif
mudah diakses peternak dan cenderung stabil, tidak seperti harga komoditas
sayur-sayuran yang cukup tinggi berfluktuasi.
Tabel 7.5.Marjin Pemasaran Beberapa Komoditas Pertanian
No Sub sektor/Komoditas
Proporsi harga jual petani terhadap harga eceran
(%)
Tahun Studi Keterangan
A. Tanaman Pangan1. Gabah 85,6-95,7 2006 GKG2. Jagung 72 2007 Pipilan 3. Ubikayu 91 - Ubi basah4 Kacang Tanah 86 2007 Biji kering/Ose
B. Hortikultura1. Cabe Besar 64 2011 Cabe segar2. Kentang 67-70 - Umbi segar3. Pepaya 49,3-58,4 - Buah segar4. Pisang 75 2007 Buah segar5. Jeruk 81 2007 Buah segar
C. Perkebunan1. Kakao 82,9 - Buah kering2. Karet 24,5-28,8 1984 Bokar3. Jahe 42-86 - Umbi kering
D. Peternakan1. Sapi Potong 85,7-93,5 2007 Ekor sapi2. Kambing 90 2007 Ekor kambing3. Telur Itik 80 2006 Butir telur
Sumber: Berbagai hasil penelitian/kajian/studi mikro (lihat daftar Pustaka).
7.3. Perubahan Pendapatan Rumahtanga Petani
Perubahan kesejahteraan petani juga dapat diukur dari perubahan tingkat
pendapatan rumahtangga petani. Analisa perubahan pendapatan rumahtangga
berikut didasarkan dari data yang diperoleh dari penelitian Panel Petani nasional
(Patanas) yang dilakukan oleh PSE-KP Badan Litbang pertanian pada daerah
contoh agroekosistem sawah dan agroekosistem perkebunan.
100
peternak menjadi relatif tinggi, seperti sapi potong dan kambing sekitar 90 persen
dan telur itik mencapai 80 persen. Informasi harga komoditas peternakan relatif
mudah diakses peternak dan cenderung stabil, tidak seperti harga komoditas
sayur-sayuran yang cukup tinggi berfluktuasi.
Tabel 7.5.Marjin Pemasaran Beberapa Komoditas Pertanian
No Sub sektor/Komoditas
Proporsi harga jual petani terhadap harga eceran
(%)
Tahun Studi Keterangan
A. Tanaman Pangan1. Gabah 85,6-95,7 2006 GKG2. Jagung 72 2007 Pipilan 3. Ubikayu 91 - Ubi basah4 Kacang Tanah 86 2007 Biji kering/Ose
B. Hortikultura1. Cabe Besar 64 2011 Cabe segar2. Kentang 67-70 - Umbi segar3. Pepaya 49,3-58,4 - Buah segar4. Pisang 75 2007 Buah segar5. Jeruk 81 2007 Buah segar
C. Perkebunan1. Kakao 82,9 - Buah kering2. Karet 24,5-28,8 1984 Bokar3. Jahe 42-86 - Umbi kering
D. Peternakan1. Sapi Potong 85,7-93,5 2007 Ekor sapi2. Kambing 90 2007 Ekor kambing3. Telur Itik 80 2006 Butir telur
Sumber: Berbagai hasil penelitian/kajian/studi mikro (lihat daftar Pustaka).
7.3. Perubahan Pendapatan Rumahtanga Petani
Perubahan kesejahteraan petani juga dapat diukur dari perubahan tingkat
pendapatan rumahtangga petani. Analisa perubahan pendapatan rumahtangga
berikut didasarkan dari data yang diperoleh dari penelitian Panel Petani nasional
(Patanas) yang dilakukan oleh PSE-KP Badan Litbang pertanian pada daerah
contoh agroekosistem sawah dan agroekosistem perkebunan.
101
101
7.3.1. Pendapatan Rumahtangga pada Agroekosistem Lahan Sawah
Secara rata-rata dalam periode waktu 3 tahun terjadi peningkatan
pendapatan rumahtangga pertanian dari rata-rata Rp 14,23 juta menjadi Rp 27,39
juta atau meningkat 87,84 persen dalam 3 tahun atau rata-rata peningkatan 29,3
persen/tahun (Tabel 7.6). Berdasarkan sumbernya, proporsi pendapatan terbesar
berasal dari kegiatan sektor pertanian, yaitu pada tahun 2012 menempati proporsi
58,6 persen dan proporsi pendapatan dari non pertanian 41,4 persen. Pendapatan
sektor pertanian tersebut terutama didominasi oleh pendapatan dari kegiatan
usahatani (on-farm) dengan proporsi sebesar 55,56 persen dan buruh tani hanya
3,04 persen.
Peningkatan pendapatan rumahtangga yang terjadi pada periode tahun
2007-2010, terjadi terutama karena peningkatan pendapatan pendapatan
usahatani (on-farm) dan pendapatan dari kegiatan di luar pertanian (non
pertanian); sementara pendapatan dari kegiatan off-farm, yaitu berburuh tani
menurun. Secara rata-rata kontribusi peningkatan pendapatan dari non-pertanian
paling tinggi, yaitu peningkatan sebesar 109,0 persen dalam kurun waktu 3 tahun,
atau meningkat dari rata-rata Rp 16,48 juta menjadi 28,89 juta. Sedangkan
peningkatan pendapatan dari kegiatan usahatani (on-farm) sebesar 92,46 persen,
yaitu peningkatan dari Rp 14,23 juta menjadi 27,38 juta dalam kurun waktu 3
tahun.
102
102
Tabel 7.6. Struktur dan Nilai Tukar Pendapatan Rumahtangga Petani padaAgroekosistem Sawah Tahun 2007-2010
No Uraian 2007* 2010** Perubahan1 Struktur pendapatan (Rp 000)
Pendapatan on-farm rumahtangga 14.230,77 27.387,97 92,46Pendapatan buruh tani (off-farm) 2.247,46 1.498,55 -33,32Pendapatan sektor pertanian (on-farm dan off-farm) 16.478,23 28.886,52 75,30Pendapatan non pertanian (non-farm) 9.764,07 20.407,88 109,00Total pendapatan 26.242,30 49.294,40 87,84
2 Proporsi pendapatan (%)Pendapatan on-farm terhadap total 54,23 55,56 2,45Pendapatan off-farm terhadap total 8,56 3,04 -64,49Pendapatan sektor pertanian terhadap total 62,79 58,60 -6,67Pendapatan non pertanian terhadap total 37,21 41,40 11,26
3 Proporsi pengeluaran terhadap pengeluaran totalProporsi konsumsi bahan makanan 46,92 47,49 1,21Proporsi konsumsi makanan jadi 5,18 4,48 -13,51Proporsi konsumsi sandang (pakaian) 4,74 3,39 -28,48Kesehatan 8,29 8,65 4,34Proporsi konsumsi papan (perumahan) 13,65 10,80 -20,88Proporsi konsumsi pendidikan, rekreasi, olahraga 17,68 12,90 -27,04Proporsi transportasi dan komunikasi 3,54 10,62 200,0
Sumber: *) Irawan et al., 2007, **) Susilowati et al., 2011.
Dari data seperti terangkum dalam Tabel 7.6 terlihat bahwa perubahan
peningkatan pendapatan dari non pertanian (non-farm) lebih tinggi dari
pendapatan dari usahatani (on-farm). Hal ini menunjukkan adanya upaya untuk
meningkatkan pendapatan rumahtangga petani dengan bekerja pada kegiatan
non pertanian. Kondisi ini terjadi karena dorongan untuk dapat meningkatkan
pendapatan dengan didukung oleh terbukanya lapangan kerja usaha non
pertanian. Tarikan untuk bekerja di luar pertanian dengan fasilitas yang lebih baik
menyebabkan lapangan kerja sebagai buruh tani menurun. Hal ini sejalan dengan
penurunan sumber pendapatan dari buruh tani (off-farm).
Dengan kondisi di atas, dalam kurun waktu pengamatan tahun 2007-2010,
proporsi pendapatan on-farm terhadap pendapatan total mengalami peningkatan,
namun karena adanya penurunan pendapatan off-farm, maka secara keseluruhan
proporsi pendapatan dari sektor pertanian mengalami penurunan sebesar -6,67
persen dalam 3 tahun atau rata-rata penurunan -2,22 persen pertanian. Dalam 3 102
Tabel 7.6. Struktur dan Nilai Tukar Pendapatan Rumahtangga Petani padaAgroekosistem Sawah Tahun 2007-2010
No Uraian 2007* 2010** Perubahan1 Struktur pendapatan (Rp 000)
Pendapatan on-farm rumahtangga 14.230,77 27.387,97 92,46Pendapatan buruh tani (off-farm) 2.247,46 1.498,55 -33,32Pendapatan sektor pertanian (on-farm dan off-farm) 16.478,23 28.886,52 75,30Pendapatan non pertanian (non-farm) 9.764,07 20.407,88 109,00Total pendapatan 26.242,30 49.294,40 87,84
2 Proporsi pendapatan (%)Pendapatan on-farm terhadap total 54,23 55,56 2,45Pendapatan off-farm terhadap total 8,56 3,04 -64,49Pendapatan sektor pertanian terhadap total 62,79 58,60 -6,67Pendapatan non pertanian terhadap total 37,21 41,40 11,26
3 Proporsi pengeluaran terhadap pengeluaran totalProporsi konsumsi bahan makanan 46,92 47,49 1,21Proporsi konsumsi makanan jadi 5,18 4,48 -13,51Proporsi konsumsi sandang (pakaian) 4,74 3,39 -28,48Kesehatan 8,29 8,65 4,34Proporsi konsumsi papan (perumahan) 13,65 10,80 -20,88Proporsi konsumsi pendidikan, rekreasi, olahraga 17,68 12,90 -27,04Proporsi transportasi dan komunikasi 3,54 10,62 200,0
Sumber: *) Irawan et al., 2007, **) Susilowati et al., 2011.
Dari data seperti terangkum dalam Tabel 7.6 terlihat bahwa perubahan
peningkatan pendapatan dari non pertanian (non-farm) lebih tinggi dari
pendapatan dari usahatani (on-farm). Hal ini menunjukkan adanya upaya untuk
meningkatkan pendapatan rumahtangga petani dengan bekerja pada kegiatan
non pertanian. Kondisi ini terjadi karena dorongan untuk dapat meningkatkan
pendapatan dengan didukung oleh terbukanya lapangan kerja usaha non
pertanian. Tarikan untuk bekerja di luar pertanian dengan fasilitas yang lebih baik
menyebabkan lapangan kerja sebagai buruh tani menurun. Hal ini sejalan dengan
penurunan sumber pendapatan dari buruh tani (off-farm).
Dengan kondisi di atas, dalam kurun waktu pengamatan tahun 2007-2010,
proporsi pendapatan on-farm terhadap pendapatan total mengalami peningkatan,
namun karena adanya penurunan pendapatan off-farm, maka secara keseluruhan
proporsi pendapatan dari sektor pertanian mengalami penurunan sebesar -6,67
persen dalam 3 tahun atau rata-rata penurunan -2,22 persen pertanian. Dalam 3
103
103
tahun pengamatan di lokasi contoh, proporsi pendapatan dari non pertanian
meningkat sebesar 11,26 persen atau rata-rata 3,75 persen/tahun.
Dari struktur perilaku konsumsi rumahtangga petani, dihasilkan data
bahwa telah terjadi peningkatan proporsi pengeluaran untuk konsumsi bahan
makanan, kesehatan, dan perumahan, sementara proporsi pengeluaran untuk
makanan jadi, sandang, pendidikan-rekreasi-olah raga, serta pengeluaran untuk
transportasi dan komusikasi mengalami penurunan.
Peningkatan proporsi pengeluaran terbesar terjadi untuk perumahan (200
persen) menyusul untuk kesehatan (4,34 persen), dan bahan makanan (1,21
persen); Sedangkan penurunan proporsi pengeluaran rumahtangga terbesar
terjadi pada pengeluaran untuk sandang (-28,48) disusul pengeluaran untk
transportasi dan komunikasi (-27,04 persen) dan untuk pendidikan-rekreasi-olah
raga (0,88 persen), serta untuk konsumsi makanan jadi (-3,51 persen).
7.3.2. Pendapatan Rumahtangga pada Agroekosistem Lahan
Perkebunan
Secara nominal rata-rata tingkat pendapatan rumahtangga tahun 2012
sebesar RP 49,86 Juta (Tabel 7.7). Tingkat pendapatan rumahtangga perkebunan
paling besar terjadi pada rumahtangga perkebunan berbasis sawit, menyusul
rumahtangga karet, rumahtangga tebu, dan rumahtangga kakao. Dalam tahun
2012 tingkat pendapatan rumahtangga perkebunan berbasis kelapa sawit rata-
rata sebesar Rp 72,15 juta, disusul rumahtangga berbasis karet sebesar Rp 46,04
juta, rumahtangga berbasis tebu sebesar Rp 44,37 juta, dan rumahtangga
berbasis kakao sebesar Rp 36,88 juta (Tabel 7.7).
Berdasarkan sumber pendapatannya, proporsi pendapatan terbesar berasal
dari kegiatan sektor pertanian, yaitu pada tahun 2012 menempati proporsi 68,2
persen dan terutama didominasi oleh pendapatan dari kegiatan usahatani (on-
farm) dengan proporsi sebesar 67,2 persen, dan buruh tani hanya 0,9 persen,
sedangkan proporsi pendapatan non pertanian rata-rata 31,8 persen (Tabel 7.7).
104
104
Dalam kurun waktu tahun 2009-2012 terjadi peningkatan pendapatan
rumahtangga perkebunan dengan rata-rata peningkatan sebesar 134,0 persen
atau rata 44,67 persen/tahun. Rataan pendapatan rumahtangga meningkat dari
Rp 21,31 juta pada tahun 2009 menjadi Rp 49,86 juta. Penulusuran lebih lanjut
menunjukkan peningkatan pendapatan rumahtangga relatif paling tinggi terjadi
pada rumahtangga petani tebu, yaitu 244,7 persen, disusul rumahtangga karet
123,5 persen, kelapa sawit 111,8 persen, dan kakao 108,5 persen masing-masing
dalam kurun waktu 3 tahun (Tabel 7.8).
Sebagaimana terjadi agroekosistem lahan sawah, pada agroekosistem
lahan berbasis tanaman perkebunan, peningkatan pendapatan rumahtangga
terbesar terjadi karena peningkatan pendapatan pendapatan non pertanian (non-
farm) dan pendapatan dari kegiatan usahatani (on-farm); sementara pendapatan
dari kegiatan off-farm, yaitu berburuh tani menurun. Secara rata-rata kontribusi
peningkatan pendapatan dari kegiatan non pertanian meningkat sebesar 158,7
persen dalam kurun waktu 3 tahun, yaitu meningkat dari rata-rata Rp 6,13 juta
menjadi RP 15,88 juta. Pendapatan dari kegiatan usahatani meningkat sebesar
137,5 persen, yaitu peningkatan dari Rp 14,11 juta menjadi Rp 33,52 juta dalam
kurun waktu 3 tahun.
Perubahan pendapatan dari non pertanian (non-farm) lebih tinggi dari
pendapatan dari usahatani (on-farm). Kondisi ini juga menunjukkan terbukanya
lapangan kerja usaha non pertanian dengan fasilitas yang lebih baik.
Dari struktur perilaku konsumsi rumahtangga petani, proporsi pengeluaran
untuk bahan makanan relatif paling besar, namun pada periode tahun 2009-2012
cenderung menurun, yaitu dari 59,69 persen menjadi 56,12 persen. Penurunan
juga terjadi pada proporsi pengeluaran untuk sandang dan kesehatan. Sementara
proporsi pengeluaran untuk makanan jadi, perumahan, pendidikan-rekreasi-
olahraga, serta transportasi-komunikasi menunjukan peningkatan.
105
105
Tabel 7.7.Struktur Pendapatan Rum
ahtangga Petani Perkebunan Tahun 2009-2012
Sumber Pendapatan
KaretKakao
Kelapa Sawit
TebuRata-rata
2009*2012*
Prbh2009*
2012*Prbh
2009*2012*
Prbh2009*
2012*Prbh
2009*2012*
Prbh1. Pendapatan usahatani off-farm
15.841,235.036,2
121,26.933,8
13.386,593,1
26.849,561.043,1
127,46.833,2
24.630,9260,5
14.114,533.524,1
137,5
2. Pendapatan off-farm102,5
1,0-99,0
2.300,8866,01
-62,41.431,3
590,2-58,8
387,8385,8
-0,51.055,6
460,8-56,4
3. Pendapatan pertanian15.943,7
35.037,2119,8
9.234,614.252,6
54,328.280,8
61.633,3117,9
7.221,025.016,7
246,415.170,1
33.984,9124,0
3. Pendapatan non farm4.660,8
11.003,9136,1
8.452,922.632,9
167,85.780,2
10.515,781,9
5.653,019.358,8
242,56.136,7
15.877,9158,7
4. Pendapatan total 20.604,5
46.041,1123,5
17.687,536.885,5
108,534.061,0
72.149,0111,8
12.874,044.375,5
244,721.306,8
49.862,8134,0
Proporsi pendapatan (%
)Pendapatan on-farmterhadap total
76,976,1
-1,0239,2
36,3-7,4
78,884,6
7,353,1
55,54,6
66,267,2
1,5
Pendapatan off-farmterhadap total
0,50,0
-99,5513,0
2,3-82,0
4,20,8
-80,53,0
0,9-71,1
5,00,9
-81,3
Pendapatan pertanian terhadap total
77,476,1
-1,6552,2
38,6-26,0
83,085,4
2,956,1
56,40,5
71,268,2
-4,3
Pendapatan non pertanian terhadap total
22,623,9
5,6647,8
61,428,4
17,014,6
-14,143,9
43,6-0,6
28,831,8
10,6
Sumber: *) Susilow
ati et al., 2010, **) Susilowati et al., 2012.
106
106
Tabel 7.8. Struktur Pendapatan Rumahtangga Petani pada Agroekosistem Perkebunan Tahun 2009-2012
No Uraian 2009* 2012** Perubahan1 Struktur pendapatan (Rp 000)
Pendapatan on-farm rumahtangga 14.114,50 33.524,10 137.5Pendapatan buruh tani (off-farm) 1.055,60 460,80 -56.4Pendapatan sektor pertanian (on-farm dan off-farm) 15.170,10 33.984,90 124.0
Pendapatan non pertanian (non-farm) 6.136,70 15.877,90 158.7Total pendapatan 21.306,80 49.862,80 134.0
2 Proporsi pendapatan (%)Pendapatan on-farm terhadap total 66.2 67.2 1.5Pendapatan off-farm terhadap total 5.0 0.9 -81.3Pendapatan sektor pertanian terhadap total 71.2 68.2 -4.3Pendapatan non pertanian terhadap total 28.8 31.8 10.6
3 Proporsi pengeluaran terhadap pengeluaran totalProporsi konsumsi bahan makanan 59.69 56.12 -5.98Proporsi konsumsi makanan jadi 3.41 3.9 14.37Proporsi konsumsi sandang (pakaian) 4.19 2.66 -36.52Kesehatan 6.16 5.60 -9.09Proporsi konsumsi papan (perumahan) 4.59 7.17 56.21Proporsi konsumsi pendidikan, rekreasi, olahraga 9.62 11.19 16.32
Proporsi transportasi dan komunikasi 12.36 13.76 11.33Sumber: *) Susilowati et al., 2010, **) Susilowati et al., 2012.
107
107
BAB VIII
RELEVANSI NTP DAN KEBIJAKAN PENINGKATANKESEJAHTERAAN PETANI
8.1. Relevansi NTP sebagai Indikator Kesejahteraan Petani
Pembangunan nasional pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, untuk itu dalam setiap tahapan pembangunan,
kesejahteraan masyarakat selalu menjadi tujuan utama. Sejalan dengan itu, dalam
rencana rencana jangka panjang pembangunan nasional peningkatan
kesejahteraan petani telah dan akan menjadi prioritas pembangunan nasional dan
sektor pertanian.
Saat ini NTP dijadikan sebagai indikator kesejahteraan petani. NTP dihitung
dari rasio harga yang diterima petani (HT) terhadap harga yang dibayar petani
(HB). Kenaikan HT dengan laju yang lebih besar akan menghasilkan kenaikan
daya beli dan sebaliknya. HT sebagai indikator penerimaan petani mempunyai
arah positif terhadap kesejahteraan petani (NTP) dan HB sebagai indikator
pengeluaran petani mempunyai arah negatif terhadap kesejahteraan petani (NTP).
Pergerakan NTP ditentukan oleh komponen penyusunnya tersebut.
Indikator NTP yang dibangun BPS mempunyai unit analisa nasional dan
regional (provinsi). NTP nasional merupakan agregasi dari NTP regional dan sub
sektor dan komoditas. Dengan demikian NTP dapat didisagregasi menjadi unit
NTP provinsi dan agregasi menurut sub sektor dan komoditas. Dengan demikian
disamping dapat diketahui indikator kesejahteraan petani nasional juga dapat
diketahui dan diperbandingkan tingkat kesejahteraan petani antar regional
provinsi, perbandingan tingkat kesejehteraan antar sub sektor dan antar
komoditas. NTP dapat pula diturunkan menurut NTP menurut provinsi (NTP Aceh,
NTP Jawa Barat, NTP NTB dsb.), NTP menurut sub sektor (NTP sub sektor
tanaman pangan, NTP sub sektor hortikultura, NTP sub sektor perkebunan, NTP
sub sektor peternakan dan pangan, NTP sub sektor perikanan); dan NTP
108
108
komoditas penyusun sub sektor (contohnya NTP Padi, NTP sayur-sayuran, NTP
ternak unggas, dan sebagainya). Dari NTP juga dapat diturunkan NTP dari
masing-masing komponen seperti NT Padi terhadap pupuk, NTP sayuran terhadap
sewa lahan, NTP unggas terhadap upah, dan sebagainya. Disamping sebagai
komponen penyusun NTP, nilai tukar komponen penyusun NTP itu sendiri
merupakan parameter penting kebijakan pembangunan pertanian. Contohnya,
Nilai Tukar Padi terhadap Pupuk (NTPADI-PUPUK) yang didefinisikan sebagai rasio
antara harga padi terhadap harga pupuk, atau yang dikenal sebagai Rumus Tani
merupakan parameter yang digunakan dalam kebijaksanaan harga pangan.
Penurunan NTPADI-PUPUK berarti penurunan daya beli padi terhadap pupuk.
Setiap nilai tukar komponen NTP tersebut masing-masing dapat dipelajari
pembentukan dan perilakunya. Contoh lain NT Padi terhadap sandang yang
merupakan rasio antara harga padi terhadap harga sandang menggambarkan
perkembangan daya beli petani padi terhadap sandang. Dengan kemungkinan
dilakukan agregasi dan disagregasi NTP tersebut menjadi keunggulan dan konsep
pembentukan NTP.
Namun demikian penyusunan NTP yang dibangun oleh BPS sebagai
indikator kesejahteraan petani memiliki kelemahan. Pertama, dari sisi cakupan/
definisi “petani” belum sepenuhnya memasukkan seluruh sub sektor dan
komoditas pertatian. Definisi "petani" dalam NTP telah mencakup petani tanaman
pangan, petani hortikultura, petani pekebun, petani ternak, dan petani ikan dan
nelayan perikanan, namun belum termasuk petani yang bergerak di usaha
kehutanan. Di masing-masing sub sektor, belum semua komoditas tercakup
dalam penghitungan NTP seperti: (a) belum memasukkan usaha tanaman obat
dan tanaman hias pada sub sektor hortikultura, dan (b) penyusun sub sektor
perkebunan rakyat perlu lebih dirinci, misalnya dalam kelompok komoditas
tanaman tahunan dan tanaman semusim. Kedua, Penghitungan NTP dinyatakan
dalam bentuk indeks didasarkan kepada metoda indeks Laspeyres. Asumsi utama
dari penghitungan indeks metoda Laspeyres adalah tidak ada perubahan
109
109
kuantitas dalam periode pengukuran. Kuantitas selalu tertimbang pada awal titik
pengamatan (Qo) dan perkembangan nilai indeks bertumpu pada perubahan
harga-harga, sehingga perhitungan NTP tidak mengakomodasikan perkembangan
produktivitas, sebagai dampak dari kemajuan teknologi dan kegiatan
pembangunan, dan Ketiga, konsep NTP yang didasarkan kepada Indeks
Laspeyres sebagaimana yang dilakukan oleh BPS pada akhirnya merumuskan NTP
sebagai rasio harga antara yang diterima petani dan dibayar petani. Dengan
didasarkan kepada indeks Laspeyres, perkembangan NTP bertumpu pada
perubahan harga-harga. Pada pasar komoditas pertanian yang kompetitif, harga
ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan. Kenaikan harga terjadi
karena adanya kekurangan pasokan dibanding permintaan. Penurunan pasokan
dapat terjadi karena penurunan produksi atau permintaan naik lebih tinggi
dibandingkan penawaran (produksi). Pada skala nasional atau regional, kenaikan
harga produk justru mengidentifikasikan kekurangan/kelangkaan pasokan/
produksi untuk mengimbangi permintaan dan mendorong kenaikan inflasi. Pada
sisi lain, dengan struktur tataniaga produk pertanian yang terjadi saat ini kenaikan
harga produk yang diterima petani tidak identik dengan peningkatan pendapatan
petani. Dengan demikian peningkatan harga produk pertanian yang berakibat
NTP naik tidak sepenuhnya menggambarkan kondisi yang diinginkan. Harga
produksi yang meningkat tidak sepenuhnya meningkatkan pendapatan petani,
atau berarti kenaikan NTP belum sepenuhnya berarti peningkatan
pendapatan/kesejehteraan petani. BPS mendefinisikan bahwa peningkatan NTP
berarti peningkatan kesejahteraan. Definisi tersebut benar pada asumsi bahwa
produktivitas selalu tetap dan petani selalu menguasai produksi, sehingga
kenaikan produksi juga berarti kenaikan penerimaan /pendapatan petani.
Nilai NTP akan meningkat apabila HT meningkat dengan laju lebih tinggi
dari peningkatan HB, atau HB tetap atau HB menurun. NTP juga akan meningkat
pada kondisi HT menurun, namun dengan laju lebih rendah dari penurunan HB
(Tabel 8.1). Pada kondisi demikian maka penilaian NTP yang konstan lebih sesuai
untuk menggambarkan tingkat kestabilan kesejahteraan petani. NTP yang
110
110
konstan berarti perubahan harga yang diterima petani meningkat (atau menurun)
sejalan dengan perubahan harga yang dibayar petani secara proporsional.
Tabel 8.1. Skenario Perubahan HT dan HB terhadap NTP
Harga yang diterima petani
(HT)
Harga yang dibayar Petani (HB)
Laju perubahan HT dan HB NTP
Naik Naik Laju HT = laju HB TetapNaik Naik Laju HT > laju HB Meningkat Naik Naik Laju HT < laju HB MenurunNaik Tetap MeningkatNaik Turun Meningkat
Turun Turun Laju HT = laju HB TetapTurun Turun Laju HT > laju HB MenurunTurun Turun Laju HT < laju HB MeningkatTurun Tetap MenurunTurun Naik Menurun
Dengan beberapa kekurangan yang ada dalam penghitungan NTP selama
ini, perlu adanya penyempurnaan penghitungan NTP yang lebih mendekati
pengukuran kesejahteraan. Penyempurnaan tersebut berkaitan dengan: (a)
cakupan/ definisi “petani” dengan penyempurnaan seluruh sub sektor dan
komoditas pertanian , (b) penyusunan indeks baru NTP dengan memasukkan
indeks unsur kuantitas dalam bentuk indeks produksi dan indeks konsumsi,
sehingga NTP didefinisikan sebagai indeks nilai penerimaan terhadap indeks nilai
pengeluaran.
dimana:
NTP = NiLai Tukar Petani,
IT = Indeks harga yang diterima petani,
111
111
IB = Indeks harga yang dibayar petani,
IP = Indeks produksi pertanian,
Pi = Indeks konsumsi rumahtangga petani.
Formulasi indeks didasarkan kepada konsep nilai.
dimana: I = Indeks Nilai,
Qo = Kuantitas pada awal pengamatan,
Qi = Kuantitas pada saat ini,
P0 = Harga pada pada awal pengamatan,
Pi = Harga pada saat ini.
Dengan indeks nilai maka tingkat/nilai daya beli dan perubahannya secara
langsung dapat dihitung dan di dalamnya sudah memasukkan unsur pengaruh
pembangunan seperti produktivitas. Dengan konsep nilai tersebut, peningkatan
daya beli sebagai indikator kesejahteraan petani yang ditunjukkan oleh
peningkatan NTP dinilai lebih relevan.
Dengan memasukkan unsur kuantitas maka perhitungan NTP menjadi
lebih kompleks, yaitu dengan menyusun dan memasukkan Indeks Produksi
Pertanian Dan Indeks Konsumsi Rumahtangga Pertanian dalam penghitungan
NTP. Penyempurnaan tersebut perlu mendapat kesepakatan bersama karena
terkait dengan pemahaman, ketersediaan data dan analisa.
8.2. Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Rumahtangga Petani
Konsep NTP sebagai indikator kesejahteraan petani mengacu kepada
kemampuan daya beli petani, yaitu kemampuan pendapatan yang diterima petani
untuk dapat memenuhi memperbaiki kebutuhan konsumsi. Peningkatan
kesejahteraan identik dengan peningkatan pendapatan untuk
memperbaiki/meningkatkan kebutuhan konsumsi. Dengan demikian peningkatan
112
112
kesejahteraan dapat ditempuh melalui upaya untuk meningkatkan pendapatan
dan atau meningkatkan kebutuhan konsumsi rumahtangga.
Sejalan dengan peningkatan daya beli petani tersebut, secara garis besar
terkait dengan dua aspek penting kebijakan, yaitu: Pertama, kebijakan untuk
meningkatkan sebesar besarnya pendapatan rumahtangga petani, dan Kedua,
kebijakan untuk sedapat mungkin menekan biaya/pengeluaran rumahtangga
petani.
8.2.1. Kebijakan Di Bidang Pendapatan Rumahtangga Petani
Pendapatan rumahtangga petani dapat berasal dari kegiatan usaha di
bidang pertanian, yaitu kegiatan usahatani (on-farm) dan pendapatan kegiatan
pertanian di luar usahatani (off-farm) seperti usaha pascapanen, pengolahan hasil
pertanian, dan buruh tani secara luas; dan pendapatan rumahtangga dari usaha di
luar kegiatan pertanian (non-farm) seperti kegiatan dagang, kegiatan industri non
pertanian, jasa, pegawai, buruh non pertanian dan lain-lain. Peningkatan
pendapatan rumahtangga petani berkaitan dengan peningkatan akses petani
terhadap sumber pendapatan petani lebih beragam.
Kegiatan pembangunan yang berjalan telah meningkatkan pendapatan
rumahtangga petani. Hasil kajian pada rumahtangga berbasis agroekosistem lahan
sawah dan rumahtangga tanaman perkebunan menunjukan pendapatan
rumahtangga petani meningkat dan pendapatan dari usahatani (on-farm) masih
menunjukkan peran tersebar, namun dalam perkembangannya peran pendapatan
dari non pertanian menunjukkan proporsi yang semakin meningkat. Peningkatan
pendapatan dari non pertanian (non-farm) tersebut sejalan dengan terbukanya
peluang usaha di kegiatan non pertanian akibat pertumbuhan ekonomi yang telah
berjalan. Terbukanya kesempatan kerja pada kegiatan non pertanian merupakan
tarikan bagi anggota rumahtangga pedesaan untuk bekerja di kegiatan non
pertanian.
113
113
Hasil kajian juga menunjukkan, analisa usahatani beberapa komoditas
pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan rakyat dan peternakan
menghasilkan keuntungan cukup memadai, sehingga usaha pertanian dinilai layak
sebagai sumber usaha dan pendapatan masyarakat. Permasalahannya adalah
skala usaha petani yang ditunjukkan oleh rata-rata penguasaan lahan usaha relatif
sempit dan cenderung terus menyempit, sehingga tingkat pendapatan usahatani
tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga dan upaya
meningkatkan perbaikan pola konsumsi. Kondisi ini mendorong anggota
rumahtangga untuk mencari sumber pendapatan lain. Dengan demikian disamping
adanya tarikan peluang kerja di non pertanian, peningkatan kerja dan pendapatan
rumahtangga dari non pertanian juga disebabkan oleh dorongan dari dalam
kegiatan usaha pertanian. Dorongan keterbatasan kerja sebagai buruh yang
cenderung musiman dan adanya tarikan untuk bekerja di luar pertanian dengan
fasilitas yang lebih baik menyebabkan penurunan proporsi pendapatan sebagai
buruh tani turun di hampir semua lokasi contoh.
Peningkatan lapangan kerja di luar bidang pertanian telah berdampak
positif dalam diversifikasi sumber lapangan kerja dan pendapatan rumahtangga
petani, dan kondisi ini berkontribusi positif dalam perluasan kesempatan kerja dan
peningkatan pendapatan rumahtangga petani. Untuk itu pengembangan sektor di
luar pertanian perlu terus didorong. Terbukanya kesempatan kerja di non
pertanian berarti adanya pengurangan beban tenaga kerja di sektor pertanian
(usahatani). Hal ini berdampak positif dalam peningkatan produktfivitas kerja
pertanian. Dengan penurunan beban tenaga kerja pertanian memungkinkan
penerapan teknologi maju yang relatif lebih padat modal seperti dalam penerapan
alsintan.
Dalam kaitannya dengan pendapatan usahatani sebagai sumber utama
rumahtangga petani, hasil kajian menunjukkan bahwa peningkatan nilai produksi
usahatani terutama disebabkan oleh faktor peningkatan harga jual hasil produksi
yang meningkat lebih tinggi dibanding peningkatan produktivitas. Peningkatan
114
114
harga jual produk petani (harga yang diterima petani) telah berperan dalam
peningkatan pendapatan dan tentunya nilai tukar petani (sesuai dengan definisi
NTP). Pada bagian lain, peningkatan harga juga dapat mengindikasikan adanya
kelangkaan produksi. Dalam sistem produksi pertanian, kenyataan seringkali
menunjukkan bahwa kenaikan harga terjadi pada saat pasokan berkurang
dibanding permintaan. Pada skala nasional atau regional, kenaikan harga produk
justru mengindikasikan adanya kekurangan/kelangkaan pasokan/produksi untuk
mengimbangi permintaan. Kenaikan harga juga berkaitan dengan kenaikan inflasi.
Adanya trade-off antara pasokan/produksi dan harga di tingkat petani serta inflasi.
Dari sisi petani, sedikit kelangkaan produksi/pasokan dapat peningkatan harga jual
yang menguntungkan petani dibandingkan keberhasilan produksi yang
menyebabkan harga anjlok dan merugikan petani. Dalam kaitan itu dituntut
adanya kebijakan pemerintah untuk mengatur harga yang merangsang petani
berproduksi namun masih dalam batas wajar terhadap inflasi.
Dari hasil kajian di atas juga dinyatakan bahwa peran teknologi dalam
peningkatan produktivitas masih rendah. Dalam pandangan positif, ini berarti
masih adanya peluang besar peningkatan pendapatan petani melalui peningkatan
produktivitas usahatani. Peningkatan produktivitas usahatani dilakukan melalui
perbaikan cara-cara budidaya, penerapan teknologi produksi dan teknologi
pascapanen untuk menekan kehilangan hasil.
Hasil kajian juga menunjukkan peningkatan nilai produksi diikuti oleh
peningkatan biaya produksi dengan laju yang lebih besar, sehingga daya tukar
atau profitabilitas usaha komoditas pertanian cenderung menurun. Peningkatan
biaya produksi tersebut berkaitan dengan peningkatan yang besar dari nilai sewa
lahan, upah buruh tani, dan harga sarana produksi. Bagi kegiatan usahatani,
peningkatan nilai sewa lahan, upah buruh tani, dan harga sarana produksi
termasuk harga jual merupakan faktor yang berada di luar kendali petani, untuk
itu peningkatan produktivitas usahatani menjadi penting dalam menjaga
profitabilitas usaha pertanian.
115
115
Peningkatan produktivitas usahatani perlu didukung oleh peningkatan
akses terhadap teknologi, perolehan input produksi , modal kerja, dan pasar.
Dengan keterbatasan yang dialami oleh petani kecil, untuk meningkatkan akses
petani terhadap layanan usahatani tersebut perlu dukungan pemerintah dengan
pemberian subsidi input produksi (benih, pupuk, pestisida), kredit bersubsidi, dan
jaminan pasar dan harga jual produk yang dihasilkan. Selama ini kebijakan subsidi
input produksi telah dilakukan pemerintah melalui pemberian bantuan dan subsidi
harga benih, subsidi harga pupuk, pestisida dan subsidi bunga kredit. Melalui
mekanisme subsidi juga merupakan media dalam transfer teknologi baru.
Kebijakan jaminan harga telah dilakukan pemerintah namun terbatas
kepada komoditas tertentu, yaitu beras dan gula, sementara untuk komoditas lain
masih ditentukan oleh mekanisme pasar. Kebijakan harga (price support) yang
dilakukan pemerintah terhadap beras dan gula ditujukan dalam rangka: (a)
melindungi produsen dari kemerosotan harga pasar, yang umumnya terjadi pada
musim panen, (b) melindungi konsumen dari kenaikan harga yang melebihi daya
beli, yang umumnya terjadi pada musim paceklik, (c) mengendalikan inflasi
melalui stabilitasi harga. Kondisi ini dinilai strategis dalam rangka pencapaian
solusi terbaik pembentukan harga bagi produsen, konsumen dan pembentukan
inflasi. Dengan keterbatasan pemerintah dan dengan banyaknya komoditas
pertanian yang perlu mendapat perhatian, maka langkah yang dapat ditempuh
adalah melalui pengembangan pola kemitraan petani-pengolah-eksportir dengan
mengembangkan sistem rantai pasok. Pengembangan kemitraan dan rantai pasok
ini dinilai strategis sebagai solusi memperbaiki mutu produk yang dihasilkan
petani, kepastian pasar dan harga yang diterima petani serta memperbaiki sistem
tataniaga (pemasaran) hasil pertanian yang tidak efisien. Kondisi ini ditunjang dari
hasil kajian yang menunjukkan marjin harga petani dalam tata niaga hasil
pertanian yang sangat rendah, yaitu antara 24,4-95,7 persen. Marjin harga petani
relatif lebih baik terjadi pada komoditas tanaman pangan dan peternakan
dibandingkan komoditas hortikultura dan perkebunan.
116
116
Dengan kondisi dasar skala usahatani (skala pemilikan) rumahtangga
petani skala kecil, maka pola usahatani petani perlu dilakukan melalui pendekatan
pengembangan usahatani terpadu dengan memaksimalkan pemanfaatan lahan
yang terbatas. Dengan pola usahatani terpadu akan mengurangi resiko akibat
kegagalan produksi dari suatu tanaman tertentu. Pengembangan pola usahatani
terpadu juga dinilai strategis sebagai langkah antisipasi kondisi anomali iklim yang
sulit diprediksi yang terjadi saat ini.
Dari uraian di muka masalah skala usaha dan pemilikan lahan menjadi
faktor penting dalam peningkatan kesejahteraan petani. Skala usaha dan
pemilikan lahan petani cenderung semakin mengecil. Hal ini berkaitan dengan
ketersediaan lahan per individu petani. Penyediaan lahan untuk produksi pertanian
khususnya pertanian pangan menghadapi tekanan persaingan penggunaannya
dengan sektor lain sebagai akibat pertumbuhan ekonomi dan penduduk.
Ketersediaan lahan pertanian perlu mendapat perhatian utama berkaitan dengan
penurunan luas lahan produktif akibat konversi lahan, degradasi sumberdaya
lahan, air dan lingkungan. Pada bagian lain pola pemilikan dan penggarapan lahan
mengarah kepada semakin besarnya tanah absentee, semakin meningkatnya
petani gurem dan petani penggarap.
Aspek lain yang berkaitan dengan kegiatan produksi dan peningkatan
pendapatan petani adalah penyediaan infrastruktur. Infrastruktur seperti sarana
jalan, pengairan dan drainase, listrik, farm road, dan telekomunikasi merupakan
prasarana yang sangat dibutuhkan dalam pembangunan agribisnis. Keterbatasan
infrastruktur pertanian sering menjadi kendala bagi pengembangan agribisnis.
Penerapan inovasi teknologi sering terhambat karena tidak tersedianya
infrastruktur penyediaan input produksi, jaringan informasi atau infrastruktur
pemasaran hasil. Kebijakan infrastruktur tidak hanya dibutuhkan untuk
mendukung usaha agribisnis yang sudah ada, tetapi juga merangsang tumbuhnya
usaha-usaha baru yang dibutuhkan dalam pembangunan sistem dan usaha
agribisnis.
117
117
Dalam konsep penghitungan NTP sebagai indikator kesejahteraan petani,
aspek penerimaan petani diformulasikan dalam bentuk harga yang diterima petani
(HT), yaitu harga tertimbang di tingkat petani/peternak/nelayan dari harga-harga
komoditas dari sub sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan rakyat,
peternakan, dan perikanan. Dalam pembentukan HT, penimbang/pembobot dari
masing-masing sub sektor/komoditas adalah nilai produksi, dan unsur kuantitas
(produksi) berperan dalam penghitungan pembobot dari masing-masing
komponen tersebut.
Hasil kajian menunjukan peningkatan HT terutama disebabkan oleh
kontribusi peningkatan yang lebih besar dari harga-harga komoditas sub sektor
tanaman pangan (marjinal = 0,0273/bulan), menyusul harga-harga sub sektor
hortikultura (marjinal = 0,0264/bulan); sub sektor perikanan dengan marjinal
0,0180/bulan, sub sektor perkebunan sebesar 0,0169/bulan dan harga-harga
komoditas sub sektor peternakan sebesar 0,0155/bulan.
Dari faktor-faktor yang mempengaruhi NTP, hasil analisa menghasilkan
bahwa nilai elastisitas harga komoditas sub sektor tanaman pangan terhadap NTP
menunjukkan nilai terbesar (0,50), disusul sub sektor hortikultura (0,19),
perkebunan (0,18), peternakan (0,16) dan perikanan (0,13). Besaran nilai
elastisitas ini juga sejalan dengan nilai marjinal dari dampak kenaikan harga-harga
terhadap NTP, serta sejalan pula dengan nilai bobot komponen masing-masing
dalam penyusunan NTP. Bobot sub sektor tanaman pangan terhadap HT (sebesar
0,48), disusul sub sektor hortikultura (0,16), perkebunan (0,14), peternakan
(0,12) dan perikanan (0,10).
Penelusuran lebih rinci menunjukkan pada sub sektor tanaman pangan,
elastisitas harga padi terhadap NTP sebesar 0,28 lebih besar dibandingkan dengan
elastisitas harga palawija sebesar 0,25. Pada sub sektor hortikultura, elastisitas
harga sayuran dan buah terhadap NTP menunjukkan nilai yang sama, yaitu
masing-masing 0,18. Nilai elastisitas harga komoditas perkebunan 0,18.
Sedangkan pada sub sektor peternakan, nilai elastisitas terbesar terjadi pada
118
118
harga ternak besar (0,10), disusul harga ternak kecil (0,08), hasil ternak (0,07)
dan unggas (nilai elastisitas 0,06). Pada sub sektor perikanan, nilai elastisitas
harga produk hasil tangkap sebesar 0,08 dan harga produk budidaya sebesar
0,06.
Dari hasil hasil analisa NTP tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam
struktur pertanian nasional saat ini peran sub sektor tanaman pangan dan
terutama komoditas padi masih dominan. Hal ini berkaitan dengan kebijakan yang
memberi prioritas kepada komoditas tersebut. Dari aspek positif, hal ini juga
berarti terdapat peluang besar pengembangan pertanian dalam rangka
peningkatan pendapatan masyarakat melalui pengembangan usaha
komoditas/sub sektor lain.
Kebijakan pemerintah dalam pengembangan usaha pada setiap komoditas
dilakukan melalui program sektoral. Disamping itu terdapat pula program khusus
peningkatan kesejahteraan petani dan penanggulangan kemiskinan,
pengembangan usaha kecil, mikro, dan menengah melalui pemberian Kredit
Usaha Rakyat (KUR) dan program PNPM Mandiri. Kedua program tersebut masih
sangat relevan dalam merangsang tumbuhnya usaha di bidang pertanian.
8.2.2. Kebijakan Di Bidang Pengeluaran Rumahtangga Petani
Aspek lain dari peningkatan daya beli petani adalah pengurangan beban
pengeluaran rumahtangga. Terdapat hubungan negatif antara pengeluaran petani
terhadap NTP, sehingga upaya peningkatan NTP dapat dilakukan melalui
penurunan harga/biaya dari unsur HB, yaitu meliputi harga-harga produk yang
dikonsumsi (yang mencakup produk bahan makanan, produk makanan, biaya
sandang, biaya perumahan, biaya pendidikan, biaya kesehatan, biaya transportasi
dan komunikasi) dan harga/ biaya sarana produksi dan barang modal (yang
mencakup harga/biaya pembelian bibit, pupuk-obat, sewa lahan, tansportasi dan
penambahan barang modal.
Hasil analisa menunjukkan faktor dominan yang mempengaruhi HB adalah
119
119
harga pembelian barang konsumsi rumahtangga (KRT) dengan nilai elastisitas -
0,80; sedangkan faktor harga pembelian faktor produksi dan barang modal
(BPPBM) menghasilkan elastisitas 0,46. Pada kelompok konsumsi rumahtangga
(KRT), nilai elastisitas harga produk bahan makanan menunjukkan nilai tertinggi
(elastisitas -0,50), disusul produk makanan jadi (-0,25), perumahan (-0,10),
transportasi dan komunikasi (-0,005), sandang (-0,04), dan kesehatan serta
pendidikan dengan elastisitas masing-masing -0,03. Pada kelompok sarana
produksi dan barang modal (BPPBM), nilai elastisitas terbesar dijumpai pada
elastisitas upah terhadap NTP sebesar -0,08, disusul elastisitas pupuk-obat (-
0,05), transportasi (-0,05), sewa (-0,03), penambahan barang modal (-0,03), dan
elastisitas harga bibit (-0,02).
Indeks pengeluaran konsumsi rumahtangga (KRT) juga merupakan indeks
inflasi pedesaan, sehingga pengaruh inflasi pedesaan memberi pengaruh besar
terhadap penurunan NTP (elastisitas -0,80), dan faktor terbesar penyumpang
inflasi pedesaan tersebut adalah bahan makanan (elastisitas -0,50), disusul produk
makanan jadi (-0,25), selanjutnya perumahan, transportasi dan komunikasi,
sandang, kesehatan dan pendidikan.
Hasil analisa juga menunjukkan terdapat hubungan erat antara harga
konsumsi rumahtangga (KRT) terutama bahan makanan (BM) dari sisi biaya yang
dibayar petani (HB), dengan harga yang diterima petani (HT) terutama harga
komoditas tanaman pangan (HTTP). Nilai elastisitas HT terhadap KRT dan BM
masing-masing sebesar 0,869 dan 1,00; sementara elastisitas HTTP terhadap KRT
dan BM masing-masing 0,741 dan 0,852. Ini berarti kenaikan harga komoditas
tanaman pangan yang diterima petani (HTTP) sebesar 1 persen akan
meningkatkan harga/biaya konsumsi rumahtangga (KRT) sebesar 0,87 persen dan
biaya bahan makanan yang dikonsumsi sebesar 1,0 persen juga. Kenaikan harga
yang diterima petani (HT) sebesar 1 persen akan meningkatkan harga/biaya
konsumsi rumahtangga (KRT) sebesar 0,74 persen dan biaya bahan makanan
yang dikonsumsi sebesar 0,85 persen. Dengan demikian kebijakan peningkatan
120
120
HT terutama harga sub sektor tanaman pangan (HTTP) akan berdampak kepada
harga bahan makanan dan KRT (inflasi pedesaan). Kebijakan harga pangan
(HTTP) dalam rangka meningkatkan NTP juga berakibat meningkatkan KRT (inflasi
di pedesaan). Dalam kaitan pengendalian inflasi tersebut, dapat dilakukan melalui
pengendalian harga yang diterima petani (HT), yang juga akan berdampak kepada
pengendalian NTP. NTP yang stabil juga berarti adanya kenaikan harga-harga
yang proporsional antara HT dan HB.
Dalam HB, komponen biaya transportasi berada pada KRT dan BPPM
dengan elsatisitas masing-masing sebesar -0,05. Dengan asumsi bahwa kenaikan
BBM akan berkaitan langsung dengan biaya transportasi, maka pada kasus
kebijakan kenaikan harga BBM tahun 2008 dan pengaruhnya terhadap NTP dapat
ditelusuri dari perbandingan peran kenaikan biaya trasportasi terhadap NTP dan
perbandingannya terhadap kenaikan HT. Dengan melihat nilai elastisitas masing-
masing, terdapat indikasi bahwa peran pengeluaran untuk transportasi terhadap
HB relatif lebih kecil dibandingkan pengaruh peningkatan HT akibat kenaikan
harga produk komoditas yang diterima petani, sehingga kenaikan HT (akibat
kenaikan harga komoditas) lebih tinggi dari HB (kenaikan biaya transportasi) dan
NTP petani masih menunjukkan peningkatan.
Dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengentasan
kemiskinan, pemerintah telah melakukan beberapa langkah yang searah dengan
penekanan HB, baik yang berkaitan dengan penekanan harga KRT merpun harga
BPPBM. Berkaitan dengan pengurangan beban KRT pemerintah telah melakukan
intervensi antara lain: (a) pemberian bantuan beras untuk orang miskin (Raskin)
yang secara langsung menekan pengeluaran rumahtangga untuk bahan pangan,
(b) penekanan biaya pendidikan melalui subsidi Program Wajib Belajar Sembilan
Tahun dan Bantuan Operasional Sekolah, (c) penekanan biaya kesehatan, dalam
bentuk Jaminan Kesehatan Masyarakat, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari
tua, jaminan pensiun, jaminan persalinan dan jaminan kematian, (d) program
rumah murah, angkutan umum murah, air bersih dan listrik dan lainnya. Untuk
121
121
mengurangi biaya produksi, pemerintah memberi subsidi sarana produksi (benih
dan pupuk) dan subsidi bunga kredit. Kebijakan yang bersifat pro rakyat untuk
mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagian besar
relevan untuk memperbaiki NTP.
122
122
123
123
BAB IX
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
9.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di muka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Konsep NTP yang didasarkan kepada rasio harga yang diterima petani (HT)
terhadap harga yang dibayar petani (HB) dapat menunjukkan
perkembangan daya beli petani. Indikator NTP yang dibangun BPS
mempunyai cakupan nasional yang merupakan agregasi provinsi, sub sektor
dan komoditi, sehingga disamping dapat diketahui daya beli petani nasional,
juga dapat dilakukan dis-agregasi kedalam daya beli petani masing-masing
provinsi, sub sektor dan komoditi.
2) Dalam periode Januari 2008–Mei 2013, perkembangan NTP (daya beli
petani) menunjukkan peningkatan, sebagai akibat dari peningkatan laju HT
lebih tinggi dibandingkan laju HB. Peningkatan HT terutama disebabkan
oleh kontribusi yang lebih besar dari sub sektor tanaman pangan dan sub
sektor hortikultura menyusul sub sektor perikanan, perkebunan dan
peternakan. Sedangkan faktor utama laju HB adalah peran dari konsumsi
rumahtangga disusul harga pembelian faktor produksi dan barang modal.
3) Dari sisi HT, peningkatan harga yang diterima petani sub sektor tanaman
pangan disebabkan oleh peran peningkatan harga palawija lebih besar dari
peningkatan harga padi, Sementara pada sub sektor hortikultura kontribusi
peningkatan harga buah-buahan relatif lebih tinggi dibandingkan
peningkatan harga sayuran. Pada sub sektor peternakan kontribusi terbesar
terjadi pada kelompok komoditas ternak kecil menyusul hasil peternakan,
ternak unggas dan kelompok ternak besar. Sementara pada sub sektor
perikanan kontribusi terbesar dari peningkatan harga yang diterima petani
ikan dan nelayan terjadi pada harga produk penangkapan menyusul harga
124
124
produk ikan budidaya.
4) Sementara dari sisi HB, komponen utama peningkatan pengeluaran
konsumsi rumahtangga adalah konsumsi bahan makanan,disusul oleh
konsumsi makanan jadi, sandang, perumahan, kesehatan pendidikan-
rekreasi dan olahraga serta transportasi dan komunikasi. Dalam komponen
penyusun biaya produksi dan penambahan barang modal, peran terbesar
terjadi karena peningkatan biaya modal, disusul biaya bibit, upah buruh,
obat-pupuk, sewa lahan, dan transportasi.
5) Dari persamaan NTP dapat diturunkan nilai elastisitas perubahan harga
harga terhadap NTP. Dari sisi HT, nilai elastisitas harga komoditas sub
sektor tanaman pangan terhadap NTP menunjukkan nilai terbesar
(0,50),menyusul sub sektor hortikultura (0,19), perkebunan (0,18),
peternakan (0,16), dan perikanan (0,13). Sementara itu, dari unsur
pengeluaran penyusun HB, nilai elastisitas harga produk konsumsi
rumahtangga sebesar -0,08 lebih besar dari elastisitas harga penambahan
barang modal sebesar -0,46.
6) Indeks pengeluaran konsumsi rumahtangga juga merupakan indeks inflasi
pedesaan. Faktor terbesar penyumpang inflasi pedesaan adalah bahan
makanan (elastisitas -0,50), disusul makanan jadi (-0,25), selanjutnya
perumahan, transportasi dan komunikasi, sandang, kesehatan dan
pendidikan.
7) Terdapat hubungan erat antara harga komoditas tanaman pangan yang
diterima petani dengan harga bahan makanan yang dikonsumi dan harga
konsumsi rumahtangga secara keseluruhan. Kebijakan peningkatan harga
yang diterima petani terutama harga sub sektor tanaman pangan akan
berdampak peningkatan harga bahan makanan dan harga konsumsi
pedesaan (inflasi pedesaan). Ini berarti kebijakan kebijakan peningkatan
harga pangan yang diterima petani (seperti harga dasar gabah) dalam
125
125
rangka meningkatkan NTP juga berakibat meningkatkan harga konsumsi
rumahtangga pedesaan (inflasi di pedesaan) dan terutama harga bahan
makanan.
8) Secara umum dampak penyesuaian harga BBM akan menurunkan NTP
seperti pada kejadian kebijakan peningkatan BBM bulan Juni 2013. Kasus
dampak berbeda ditunjukkan pada kebijakan kenaikan BBM Mei 2008
dimana NTP tetap meningkat. Hal ini karena kebijakan harga BBM tahun
2008 terjadi bersamaan dengan kenaikan harga harga produk pertanian di
pasar domestik dan internasional yang meningkat cukup besar.
9) Konsep NTP yang dibangun oleh BPS secara sederhana menggambarkan
daya beli petani. Indikator NTP yang dibangun BPS mempunyai unit
analisa nasional yang merupakan agregasi regional provinsi dan agregasi
sub sektor (komoditas), sehingga disamping sebagai indikator daya beli
petani nasional juga dapat diturunkan daya beli petani masing masimg
provinsi dan daya beli petani sub sektor dan komoditas. Indikator tersebut
merupakan parameter penting dalam kebijakan pembangunan pertanian.
10) Namun NTP sebagai indikator daya beli petani yang didasarkan kepada rasio
harga harga dinilai belum menunjukkan kesejahteraan petani, karena daya
beli yang lebih mendekati kesejahteraan petani sesungguhnya adalah daya
beli penerimaan petani terhadap pengeluaran petani. Dengan struktur
tataniaga pertanian yang terjadi saat ini, kenaikan harga produk yang
diterima petani tidak identik dengan peningkatan pendapatan petani.
Kenaikan harga yang diterima petani justru mengindikasikan kelangkaan
suplai/produksi pertanian. Peningkatan NTP berarti kenaikan harga yang
diterima petani (harga produsen) dengan proporsi yang lebih tinggi dari
harga yang dibayar petani (harga konsumen). Pada kondisi demikian maka
NTP yang konstan dinilai lebih baik, karena pada NTP yang konstan berarti
perubahan harga yang diterima petani meningkat (atau menurun) secara
proporsional dengan perubahan harga yang dibayar petani.
126
126
11) Dalam kaitan itu perlu dilakukan penyempurnaan pengukuran NTP agar
lebih relevan dijadikan sebagai indikator kesejehteraan petani, dengan cara
diakomodasikannnya komponen kuantitas dalam penghitungan NTP. Salah
satu caranya adalah dengan disusun dan dimasukkannya Indeks Produksi
Pertanian dan Indeks Konsumsi Rumahtangga Pertanian dalam rumus
perhitungan NTP. Dengan konsep nilai tersebut maka indeks NTP baru
merupakan rasio antara nilai penerimaan terhadap nilai pengeluaran.
12) Kekurangan lain penyusunan NTP yang dilakukan BPS saat ini berkaitan
dengan belum sepenuhnya sub sektor pertanian (seperti petani kawasan
hutan) dan komoditas pertanian masuk dalam penghitungan NTP, seperti
belum dihitungnya kelompok komoditas tanaman hias dan tanaman obat
dalam sub sektor hortikultura, dan lainnya.
13) Sejalan dengan konsep kesejahteraan petani yang didasarkan kepada
kemampuan daya beli petani penerimaan petani terhadap pengeluarannya.
Maka kebijakan dan upaya perbaikan kesejahteraan petani sangat berkaitan
dengan langkah langkah untuk peningkatan pendapatan rumahtangga
petani, dan langkah untuk pengendalian biaya/pengeluaran rumahtangga
petani.
14) Dari hasil kajian mikro menunjukkan, kegiatan pembangunan yang berjalan
telah meningkatkan pendapatan rumahtangga petani. Pendapatan dari
usahatani (on-farm) masih menunjukkan peran terbesar namun dengan
proporsi yang semakin menurun. Pendapatan dari usahatani dinilai
semakin tidak dapat mencukupi tuntutan kebutuhan rumahtangga sehingga
rumahtangga melakukan diversifikasi lapangan usaha dan sumber
pendapatannya. Ketidak mampuan usahatani dalam mencukupi kebutuhan
rumahtangga berkaitan dengan struktur pemilikan/ penguasaan lahan petani
yang terbatas (sempit). Peningkatan lapangan kerja di luar bidang pertanian
telah berdampak positif dalam diversifikasi lapangan kerja dan pendapatan
rumahtangga petani. Terbukanya kesempatan kerja di non pertanian berarti
127
127
juga berdampak positif dalam pengurangan beban tenaga kerja di sektor
pertanian (usahatani) sehingga produktivitas tenaga kerja pertanian dapat
meningkat.
15) Hasill kajian mikro juga menunjukkan, terjadi peningkatan nilai produksi
usahatani, namun peningkatan nilai produksi tersebut terutama disebabkan
oleh faktor peningkatan harga jual hasil produksi yang meningkat lebih
tinggi dibandingkan peningkatan produktivitas.
16) Namun demikian nilai tukar penerimaan usahatani komoditi pertanian
terhadap input produksi semakin menurun sebagai akibat dari laju kenaikan
harga input produksi (sewa lahan, upah buruh dan harga sarana produksi)
yang lebih tinggi dibandingkan laju kenaikan harga output.
9.2. Implikasi Kebijakan
1) Konsep NTP yang dihitung dari rasio antara harga yang diterima petani
terhadap harga yang dibayar petani menggambarkan daya beli petani.
Indikator NTP yang dibangun BPS mampu menjelaskan perilaku nilai tukar
petani secara nasional, provinsi, sub sektor dan komoditi. Namun demikian
diperlukan penyempurnaan penyusunannya dengan memperluas cakupan
sub sektor kehutanan dan cakupan komoditi dari beberapa sub sektor
seperti sub sektor hortikultura, sub sektor perkebunan dan sub sektor
kehutanan.
2) Peran harga komoditi pangan mempunyai kontribusi yang lebih besar
dalam pembentukan NTP, baik dari sisi HT maupun HB. Terdapat hubungan
erat antara harga komoditi tanaman pangan ditingkat petani (harga
produsen) dengan harga konsumsi bahan makanan dan harga konsumsi
rumahtangga (harga konsumen). Peningkatan harga komoditas tanaman
pangan yang diterima petani (harga produsen) akan berdampak
peningkatan harga konsumsi bahan makanan dan harga konsumsi
128
128
rumahtangga pedesaan. Pengendalian harga bahan konsumsi pangan
berkontribusi besar dalam pengendalian pengeluaran rumahtangga petani.
Dalam kaitan tersebut, kebijakan peningkatan harga pangan yang diterima
petani (seperti harga dasar gabah) dalam rangka meningkatkan NTP juga
berakibat meningkatkan harga harga bahan makanan dan harga konsumsi
rumahtangga pedesaan (inflasi di pedesaan).
3) Indeks pengeluaran konsumsi rumahtangga juga merupakan indeks inflasi
pedesaan. Faktor terbesar penyumpang inflasi pedesaan adalah bahan
makanan (elastisitas -0,50), disusul makanan jadi (-0,25), selanjutnya
perumahan, transportasi dan komunikasi, sandang, kesehatan dan
pendidikan. Dalam kaitan itu, dalam rangka kepentingan mengendalikan
inflasi pedesaan, langkah strategis yang dapat dilakukan adalah
pengendalian harga bahan makanan.
4) Peningkatan NTP berarti kenaikan harga yang diterima petani dengan
proporsi yang lebih tinggi dari harga yang dibayar petani. Pada kondisi
demikian maka NTP yang konstan dinilai lebih memadai , karena pada NTP
yang konstan berarti perubahan harga yang diterima petani meningkat
(atau menurun) secara proporsional dengan perubahan harga yang dibayar
petani.
5) NTP sebagai indikator daya beli petani yang didasarkan kepada rasio harga
harga dinilai belum menunjukkan kesejahteraan petani, karena daya beli
yang lebih mendekati kesejahteraan petani sesungguhnya adalah daya beli
penerimaan petani terhadap pengeluaran petani. Perlu dilakukan
penyempurnaan pengukuran NTP agar lebih relevan dijadikan sebagai
indikator kesejahteraan petani, dengan cara memasukkan komponen
kuantitas dalam penghitungan NTP. Salah satu yang dapat dilakukan adalam
melalui penyusunan dan diakomodasikannya Indeks Produksi Pertanian dan
Indeks Konsumsi Rumahtangga Pertanian dalam penghitungan NTP,
sehingga pengukuran NTP menggunakan konsep nilai. Dengan konsep nilai
129
129
tersebut maka indeks NTP baru merupakan rasio antara nilai penerimaan
terhadap nilai pengeluaran.
6) Sejalan dengan konsep kesejahteraan petani yang didasarkan kepada
konsep nilai yaitu daya beli petani penerimaan petani terhadap pengeluaran
tersebut , maka untuk perbaikan kesejahteraan petani berkaitan dengan
upaya peningkatan pendapatan rumahtangga petani dan/atau upaya
pengendalian biaya/pengeluaran rumahtangga petani.
7) Pendapatan dari kegiatan usahatani semakin tidak dapat mencukupi tuntutan
kebutuhan rumahtangga akibat dari luas lahan penggarapan petani yang
semakin sempit dan semakin meningkatnya tuntutan kebutuhan konsumsi.
Peningkatan lapangan kerja di luar bidang pertanian telah berdampak positif
dalam diversifikasi lapangan kerja dan pendapatan rumahtangga petani.
Terbukanya kesempatan kerja di non pertanian berarti juga adanya
pengurangan beban tenaga kerja di sektor pertanian (usahatani) sehingga
produktivitas pertanian akan meningkat.
8) Dengan kondisi dasar skala usahatani (skala pemilikan) rumahtangga petani
skala kecil, maka pola usahatani petani perlu dilakukan melalui pendekatan
pengembangan usahatani terpadu dengan memaksimalkan pemanfaatan lahan
yang terbatas. Dengan pola usahatani terpadu akan mengurangi resiko akibat
kegagalan produksi dari suatu tanaman tertentu. Pengembangan pola
usahatani terpadu juga dinilai strategis sebagai langkah antisipasi kondisi
anomali iklim yang semakin sulit diprediksi.
9) Petani juga didorong untuk meningkatkan produktivitas dan nilai jualnya
melalui peningkatan akses kepada teknologi (melalui bimbingan dan
penyuluhan), peningkatan akses terhadap institusi layanan usahatani dan
infrastruktur untuk memperoleh kemudahan sarana produksi dan peningkatan
akses pasar. melalui penyediaan infrat
10) Kebijakan pemerintah untuk peningkatan pendapatan petani melalui bantuan
130
130
subidi, penyediaan infrastruktur; serta kebijakan untuk pengendalian
pengeluaran konsumsi rumahtangga (seperti pemberian raskin, subsidi
pendidikan, subsidi kesehatan, dan lainnya) dinilai sangat relevan dalam
perbaikan kesejahteraan petani.
131
131
DAFTAR PUSTAKA
Bank Dunia, 2011, Perkembangan, Pemicu dan Dampak Harga Komoditas: Implikasinya terhadap perekonomian Indonesia. Laporan Pengembangan Sektor Perdagangan.
BPS. 1980-2012. Statistik Indonesia. Jakarta.
BPS. 1983. Sensus Pertanian. Jakarta.
BPS. 1993. Sensus Pertanian. Jakarta.
BPS. 2003. Sensus Pertanian. Jakarta.
BPS. 2010. Statistik Nilai Tukar Petani di Indonesia.
Diakosavas, D. and P.L. Scandizzo. 1991. Trends In The Terms Of Trade And Cost Structure As An Analytical Tool For Estimating The Food Crops Farmers Welfare. Jakarta.
Dillon HS, M Husein Sawit, Pantjar S, Tabor S.T. 1999. Rice Policy: A Framework for The Next Millenium, Report for Internal Review Only Prepared Under Contract to BULOG.
Irawan, B. 2007. Fluktuasi Harga, Transmisi Harga dan Marjin Pemasaran Sayuran dan Buah. Analisa Kebijakan Pertanian. Vol. 5, No. 4. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Kasryno, Faisal. 2012. Pelaksanaan MP3EI Koridor Jawa Akan Menyebabkan Ketahanan Pangan Nasional Semakin Parah. Makalah Dalam Buku Kemandirian Pangan Indonesia Dalam Perspektif MP3EI. Badan Penelitiian Dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. 2012.
Khan, Abdul Aleem and Q. M. Ahmed. 2004. Agricultural Terms of Trade in Pakistan: Issues of Profitability and Standar of Living of the Farmers. The Pakistan Development review. Vol. 43 (4): 515-537.
Masyhuri. 2007. Revitalisasi Pertanian Untuk Mensejahterakan Petani. Makalah pada Konpernas XV dan Kongres XIV PERHEPI, Surakarta, 3-5 Agustus 2007.
Muhammad, Z. 1998. Efisiensi Pemasaran Kentang di Kecamatan Uluere, Kabupaten Bantaeng, Sulsel (Thesis). Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada.
Nurlaila, S. 2007. Analisa Marjin Pemasaran Ubikayu (Studi Kasus di Kecamatan Slogohimo, Kabupaten Wonogiri). Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. www.//digilib.uns.ac.id/pengguna.php?d.id=12798.
132
132
Prabowo, I.A. 2007. Analisa Pola dan Marjin Pemasaran Kambing di Desa Sambongrejo, Kecamatan Sambong, Kabupaten Blora (Thesis). Fakultas Peternakan, UNDIP.
Pramonodidhi, D. 1984. Tingkah Laku Nilai Tukar Komoditas Pertanian Pada Tingkat Petani. Laporan Penelitian, Kerjasama Pusat Penelitian Agro Ekonomi Dengan Unviersitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Rachmat, M., Supriyati, Deri Hidayat dan Jefferson Situmorang. 2000. Perumusan Kebijaksanaan Nilai Tukar Petani dan Komoditas Pertanian. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.
Rachmat, Muchjidin. 2000. Analisa Nilai Tukar Petani Indonesia. Disertasi. Institut Pertanian Bogor.
Rasuli, N. 2007. Analisa Marjin Pemasaran Telur Itik di Kelurahan Borongloe, Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa. Jurnal Agrisistem, Vol. 3 No. 1. STPP Gowa.
Ratniati, N.K. 2007. Analisa Sistim Pemasaran Ternak Sapi Potong PT. Great Giant Livestock Company, Lampung Tengah (Skripsi). FakultasPeternakan, Institut Pertanian Bogor.
Rum, M. 2011. Analisa Marjin Pemasaran dan Sensitivitas Cabai Besar di Kabupaten Malang. Embryo, Vol. 8, No. 2. Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo, Madura.
Sarikit, E. 1984. Kajian Terhadap Sistim Pemasaran Bahan Olah Karet Rakyat; Studi Kasus di Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. www.//repository.ipb.ac.id/handle/ 29291.
Silitonga C. 1995. Diagnosa Metoda dan Penafsiran Angka Nilai Tukar Petani dalam Pangan 6 (23), BULOG, Jakarta: 23-39.
Simatupang, P. 1992. Pertumbuhan Ekonomi dan Nilai Tukar Barter Sektor Pertanian. Jurnal Agroekonomi: 11(1): 33-48.
Simatupang, P. dan B. Isdijoso. 1992. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Nilai Tukar Sektor Pertanian. Landasan Teoritis dan Bukti Empiris. Ekonomi dan Keuangan Indonesia 40(1): 33-48.
Simatupang, P. dan M. Maulana. 2008. Kaji Ulang Konsep dan Perkembangan Nilai Tukar Petani Tahun 2003-2006. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan. LIPI.
133
133
Sobirin, T. 2008. Efisiensi Pemasaran Pepaya (Carica papaya. L) di Kecamatan Sumbang, Kabupaten Banyumas (Skripsi). Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Sudirman, Purwekerto, Jateng.
Sugiharto, A. 2006. Analsisi Pemasaran Gabah di kabupaten Bojonegoro (Thesis) Universitas Muhammadiyah, Malang.
Sumaryanto. 2009. Eksistensi Pertanian Skala Kecil Dalam Era Persaingan Pasar Global. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani. PSE-KP.
Sumodiningrat. 2001. Kepemimpinan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada.
Supriyati, Muchjidin Rachmat, Kurnia Suci I., Tjetjep Nurasa, R. E. Manurung dan Rosmiyati S. 2000. Studi Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Komoditas Pertanian. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.
Taariwuan, SA. Dkk, 2007. Analsis Marjin Pemasaran Kakao dan Implikasinya Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Poso. www.//Pascasarjanaunsrat.com/home.
Tambunan. 2003. Perkembangan Sektor Pertanian Di Indonesia (Beberapa Isu Penting), Penerbit Ghalia, Jakarta.
Timmer, C. P. 2008. Cause of High Food Prices. ADB Economics Working Paper Series No 128.
Tomek, W.G. and K.L. Robinson. 1981. Agricultural Product Prices. 2nd Edition. Cornell University Press. Ithaca.
Widiarti, E. 2007. Analisa Marjin Pemasaran Jahe di Kabupaten Wonogiri. Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret.
Widiastuti, N. 2013. Saluran dan Marjin Pemesaran Jagung di kabupaten Grobogan. SEPA, Vol. 9 No. 2. Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret.
134
134
135
135
LAMPIRAN-LAMPIRAN
136
136
LAM
PIR
AN
Tabe
l Lam
pira
n 1.
N
ilai T
ukar
Pet
ani N
asio
nal
Rin
cian
Jan-
08Fe
b-08
Mar
-08
Apr
-08
May
-08
Jun-
08Ju
l-08
Aug
-08
Sep-
08O
ct-0
8N
ov-0
8D
ec-0
8
Inde
ks D
iter
ima
Pet
ani N
AS
106.
1010
7.04
106.
1710
7.12
109.
6111
3.52
116.
5111
7.49
118.
0211
5.74
114.
8611
6.06
Inde
ks D
ibay
ar P
etan
i NA
S10
5.39
106.
4410
7.50
108.
1810
9.45
112.
8011
4.56
115.
1811
6.05
116.
6811
6.77
117.
25
Kon
sum
si R
umah
tang
ga10
5.93
107.
0210
8.18
108.
7911
0.11
113.
2611
5.18
115.
8211
6.79
117.
4711
7.43
117.
93
Baha
n M
akan
an10
7.67
109.
3211
0.84
111.
4411
3.28
115.
7311
8.33
119.
1812
0.14
120.
7112
0.13
120.
96
Mak
anan
Jad
i10
4.33
104.
9910
5.96
106.
5510
7.10
108.
9010
9.97
110.
3111
0.89
111.
6711
2.05
112.
50
Peru
mah
an10
6.09
107.
0610
7.80
108.
6311
0.56
114.
2411
5.78
116.
5211
8.35
119.
4412
0.05
121.
11
Sand
ang
103.
6010
3.87
104.
3710
4.58
104.
8710
9.24
110.
3411
0.70
111.
9711
2.49
112.
9111
3.42
Kese
hata
n10
4.44
105.
8010
6.42
107.
1210
7.68
109.
2611
0.17
110.
5111
1.02
111.
4711
2.05
112.
55
Pend
idik
an, R
ekre
asi &
Ola
h ra
ga10
7.95
108.
3010
8.20
106.
7310
7.12
106.
7310
8.52
109.
2610
9.76
110.
3411
0.95
111.
17
Tran
spor
tasi
dan
Kom
unik
asi
101.
7710
2.10
102.
6410
3.09
104.
4811
5.48
117.
2711
7.67
118.
1311
8.94
118.
9211
6.36
BP
PB
M10
3.81
104.
7310
5.45
106.
3810
7.54
111.
3411
2.52
113.
0711
3.62
114.
0711
4.65
115.
18
Bibi
t10
5.38
106.
4010
7.09
108.
6410
9.56
111.
1411
2.36
112.
8111
3.19
114.
3311
4.95
115.
50
Oba
t-ob
atan
& P
upuk
102.
2010
3.04
103.
5110
4.67
106.
3510
9.88
111.
0611
1.77
112.
6511
3.34
114.
2311
6.03
Tran
spor
tasi
101.
4610
1.90
102.
0610
2.76
105.
0111
9.24
120.
7712
1.30
121.
7512
1.90
121.
9911
9.75
Sew
a La
han,
Paj
ak &
Lai
nnya
103.
8010
4.40
105.
3210
6.04
106.
9710
8.38
108.
9010
9.14
109.
5710
9.64
109.
9411
0.21
Pena
mba
han
Bara
ng M
odal
101.
8210
3.87
104.
5910
5.36
106.
0511
0.06
111.
5711
2.29
112.
8711
3.28
113.
8811
4.40
Upa
h Bu
ruh
Tani
103.
9810
4.76
105.
6010
6.51
107.
3611
0.71
111.
7211
2.11
112.
4511
2.73
113.
2411
3.68
NTP
NA
S10
0.69
100.
5998
.79
99.0
510
0.17
100.
6410
1.71
102.
0010
1.69
99.2
098
.36
98.9
9
137
137
Rincian
Jan-09Feb-09
Mar-09
Apr-09
May-09
Jun-09Jul-09
Aug-09
Sep-09O
ct-09N
ov-09D
ec-09
Indeks Diterim
a Petani N
AS
115.69117.10
117.46117.80
118.07118.66
119.33120.51
122.53122.81
123.05123.59
Indeks Dibayar P
etani NA
S117.69
118.56118.91
118.68118.78
119.18119.54
120.22121.43
121.85121.67
122.12
Konsum
si Rum
ahtangga118.46
119.56119.96
119.58119.61
120.04120.43
121.23122.72
123.21122.87
123.39
Bahan Makanan
121.67123.50
123.70122.50
122.02122.39
122.90123.85
125.66126.29
125.56126.02
Makanan Jadi
113.85115.31
116.24116.58
117.38118.05
118.32119.14
121.16121.66
121.42122.35
Perumahan
121.36121.30
121.66122.05
122.38123.04
123.24124.28
125.16125.80
125.68126.21
Sandang114.51
115.95116.72
117.00117.30
117.67117.97
118.41120.31
120.63120.81
121.47
Kesehatan113.52
113.89114.36
115.09115.63
115.87116.05
116.37116.78
116.99117.22
117.55
Pendidikan, Rekreasi & O
lah raga112.51
112.91113.22
113.81114.28
114.59115.71
116.42116.57
116.97116.79
116.96
Transportasi dan Komunikasi
112.79110.56
110.30110.31
110.43110.44
110.50110.38
110.83110.47
110.95111.04
BP
PB
M115.64
115.77115.98
116.23116.55
116.85117.13
117.41117.67
117.81118.17
118.40
Bibit116.25
116.78117.13
117.34117.56
118.02118.36
118.67118.78
119.12119.52
119.78
Obat-obatan &
Pupuk116.07
115.71115.41
115.45115.64
115.81116.01
116.19116.32
116.40116.68
116.88
Transportasi117.16
115.80115.84
115.85115.83
115.93116.02
116.30116.60
116.67117.21
117.29
Sewa Lahan, Pajak &
Lainnya111.81
112.44112.96
113.50113.98
114.16114.52
114.55114.94
115.05115.34
115.64
Penambahan Barang M
odal115.41
116.16116.69
117.15117.64
118.17118.70
119.06119.56
119.89120.23
120.55
Upah Buruh Tani
114.78115.43
115.85116.18
116.54116.81
117.06117.36
117.56117.69
118.07118.31
NTP
NA
S98.30
98.7798.78
99.2699.41
99.5699.82
100.24100.90
100.79101.13
101.20
138
138
Rin
cian
Jan-
10Fe
b-10
Mar
-10
Apr
-10
May
-10
Jun-
10Ju
l-10
Aug
-10
Sep-
10O
ct-1
0N
ov-1
0D
ec-1
0
Inde
ks D
iter
ima
Pet
ani N
AS
124.
7312
5.27
125.
3312
5.56
125.
7312
6.76
129.
2413
0.25
131.
2113
1.91
133.
1613
4.27
Inde
ks D
ibay
ar P
etan
i NA
S12
3.26
123.
9212
3.84
124.
1312
4.28
125.
0212
6.99
127.
9312
8.41
128.
5512
9.42
130.
67
Kon
sum
si R
umah
tang
ga12
4.77
125.
5112
5.35
125.
5712
5.68
126.
5712
9.02
130.
1213
0.65
130.
7613
1.79
133.
33
Baha
n M
akan
an12
7.77
128.
8812
8.23
128.
4612
8.61
130.
3813
4.83
136.
2513
6.64
136.
3713
8.07
140.
77
Mak
anan
Jad
i12
4.31
125.
0612
5.42
125.
6112
5.46
125.
3912
6.41
127.
3912
8.15
128.
8812
9.52
130.
23
Peru
mah
an12
7.06
127.
5412
7.85
128.
1612
8.35
128.
6312
9.29
130.
1113
0.70
131.
2713
1.57
132.
06
Sand
ang
121.
9212
2.00
122.
2212
2.45
122.
7812
3.14
123.
6712
4.81
126.
1512
6.45
127.
0812
7.64
Kese
hata
n11
8.30
118.
5011
8.87
119.
2911
9.53
119.
6911
9.97
120.
5112
0.73
120.
9812
1.30
121.
61
Pend
idik
an, R
ekre
asi &
Ola
h ra
ga11
7.04
117.
2311
7.35
117.
4411
7.56
117.
7311
8.38
119.
0111
9.33
119.
4611
9.64
120.
07
Tran
spor
tasi
dan
Kom
unik
asi
111.
1411
1.24
111.
2911
1.33
111.
4211
1.44
111.
5711
1.70
112.
1111
2.07
112.
1911
2.37
BP
PB
M11
8.76
119.
1711
9.40
119.
9812
0.29
120.
5812
0.99
121.
4212
1.74
122.
0212
2.38
122.
68
Bibi
t12
0.10
120.
4512
0.80
121.
0512
1.19
121.
3712
1.69
122.
1012
2.39
122.
7212
3.14
123.
59
Oba
t-ob
atan
& P
upuk
117.
0611
7.25
117.
3411
8.69
119.
4912
0.07
120.
6612
1.09
121.
3912
1.69
122.
1312
2.54
Tran
spor
tasi
117.
7611
7.78
117.
9211
7.99
118.
0111
8.13
118.
3411
8.71
118.
8611
9.04
119.
3411
9.54
Sew
a La
han,
Paj
ak &
Lai
nnya
116.
0811
6.63
116.
9811
7.52
117.
7111
7.90
118.
1711
8.40
118.
6411
8.93
119.
1811
9.41
Pena
mba
han
Bara
ng M
odal
121.
2212
1.75
121.
9012
2.18
122.
4812
2.79
123.
1712
3.75
124.
0712
4.37
124.
6412
4.92
Upa
h Bu
ruh
Tani
118.
6911
9.36
119.
6312
0.02
120.
1812
0.34
120.
7312
1.14
121.
4712
1.72
122.
0812
2.34
NTP
NA
S10
1.19
101.
0910
1.20
101.
1510
1.16
101.
3910
1.77
101.
8210
2.19
102.
6110
2.89
102.
75
139
139
Rincian
Jan-11Feb-11
Mar-11
Apr-11
May-11
Jun-11Jul-11
Aug-11
Sep-11O
ct-11N
ov-11D
ec-11
Indeks Diterim
a Petani N
AS
135.72136.36
136.34136.53
137.38138.25
139.09140.27
140.71141.37
142.05142.67
Indeks Dibayar P
etani NA
S131.76
131.96131.95
131.40131.46
131.92132.63
133.45133.80
133.99134.47
134.91
Konsum
si Rum
ahtangga134.64
134.83134.75
133.95133.96
134.50135.34
136.34136.74
136.91137.47
137.97
Bahan Makanan
142.69142.56
141.81139.73
139.21139.99
141.26142.70
143.10143.20
143.93144.55
Makanan Jadi
131.41131.89
132.38132.45
132.83133.07
133.57134.10
134.66134.95
135.35135.84
Perumahan
132.46133.07
133.91134.67
135.55136.06
136.65137.22
137.71138.04
138.77139.30
Sandang128.67
129.23129.91
130.43131.00
131.44131.95
133.23133.75
133.97134.29
134.60
Kesehatan122.06
122.36122.90
123.33123.77
124.12124.43
124.69124.93
125.26125.53
125.88
Pendidikan, Rekreasi & O
lah raga120.45
120.62120.81
121.00121.18
121.42121.88
122.49122.64
122.71122.83
122.99
Transportasi dan Komunikasi
112.75112.86
112.96113.00
113.13113.31
113.48113.78
113.78113.82
113.88114.01
BP
PB
M123.07
123.36123.59
123.87124.17
124.35124.61
124.86125.06
125.29125.56
125.82
Bibit124.02
124.39124.67
124.84125.08
125.25125.59
125.97126.23
126.53127.12
127.53
Obat-obatan &
Pupuk123.09
123.22123.42
123.56123.88
124.01124.28
124.50124.72
124.92125.07
125.34
Transportasi119.83
120.19120.29
120.38120.60
120.75121.09
121.36121.49
121.61121.80
121.94
Sewa Lahan, Pajak &
Lainnya119.82
120.18120.39
120.67120.97
121.12121.28
121.39121.48
121.68121.95
122.10
Penambahan Barang M
odal125.65
126.03126.28
126.54126.78
126.97127.24
127.52127.77
128.04128.29
128.51
Upah Buruh Tani
122.57122.95
123.21123.61
123.94124.14
124.36124.59
124.78124.99
125.28125.58
NTP
NA
S103.01
103.33103.32
103.91104.50
104.79104.87
105.11105.17
105.51105.64
105.75
140
140
Rin
cian
Jan-
12Fe
b-12
Mar
-12
Apr
-12
May
-12
Jun-
12Ju
l-12
Aug
-12
Sep-
12O
ct-1
2N
ov-1
2D
ec-1
2
Inde
ks D
iter
ima
Pet
ani N
AS
143.
5714
3.31
143.
0014
3.45
143.
9314
4.82
145.
8614
7.26
147.
5814
8.29
148.
5714
9.34
Inde
ks D
ibay
ar P
etan
i NA
S13
5.78
136.
3613
6.61
137.
0013
7.38
138.
0813
8.97
139.
9014
0.00
140.
2214
0.52
141.
06
Kon
sum
si R
umah
tang
ga13
8.99
139.
6313
9.83
140.
2514
0.69
141.
5414
2.63
143.
7714
3.85
144.
0514
4.37
144.
98
Baha
n M
akan
an14
5.95
146.
6614
6.47
146.
7514
7.17
148.
3414
9.94
151.
5615
1.28
151.
3515
1.62
152.
52
Mak
anan
Jad
i13
6.70
137.
4313
8.15
139.
0513
9.84
140.
7714
1.68
142.
5614
2.96
143.
2614
3.79
144.
12
Peru
mah
an14
0.08
140.
7814
1.40
141.
9314
2.27
142.
8114
3.35
143.
9014
4.28
144.
7314
5.01
145.
54
Sand
ang
135.
1813
5.72
136.
2313
6.52
136.
7513
7.09
137.
8413
9.22
139.
7914
0.23
140.
5114
0.88
Kese
hata
n12
6.52
127.
0512
7.49
127.
7612
8.06
128.
4612
8.91
129.
2212
9.64
129.
9413
0.26
130.
55
Pend
idik
an, R
ekre
asi &
Ola
h ra
ga12
3.32
123.
6812
3.85
124.
0412
4.19
124.
4712
5.14
125.
5612
5.95
126.
2112
6.33
126.
70
Tran
spor
tasi
dan
Kom
unik
asi
114.
2711
4.36
114.
6211
4.78
114.
9111
5.05
115.
2111
5.51
115.
6311
5.76
115.
9411
6.12
BP
PB
M12
6.27
126.
6912
7.14
127.
4612
7.69
127.
9112
8.15
128.
4412
8.64
128.
8812
9.22
129.
52
Bibi
t12
7.91
128.
2112
8.77
129.
2312
9.47
129.
8213
0.22
130.
4813
0.67
130.
9513
1.38
131.
66
Oba
t-ob
atan
& P
upuk
125.
8512
6.36
126.
8012
7.16
127.
3212
7.40
127.
6312
7.82
127.
9612
8.05
128.
1912
8.42
Tran
spor
tasi
122.
1512
2.39
122.
6812
3.04
123.
2712
3.40
123.
6712
4.11
124.
2412
4.43
124.
5912
4.75
Sew
a La
han,
Paj
ak &
Lai
nnya
122.
5412
2.97
123.
2012
3.42
123.
5912
3.87
124.
1012
4.22
124.
4012
4.62
124.
9612
5.23
Pena
mba
han
Bara
ng M
odal
129.
0412
9.45
129.
8213
0.23
130.
5113
0.77
131.
0313
1.32
131.
5513
1.95
132.
3313
2.66
Upa
h Bu
ruh
Tani
125.
9912
6.39
126.
8612
7.11
127.
3712
7.66
127.
8912
8.22
128.
4912
8.79
129.
2612
9.62
NTP
NA
S10
5.73
105.
1010
4.68
104.
7110
4.77
104.
8810
4.96
105.
2610
5.41
105.
7610
5.72
105.
87
141
141
Rincian Jan-13 Feb-13 Mar-13 Apr-13 May-13
Indeks Diterima Petani NAS 150.60 150.78 150.81 150.86 151.44
Indeks Dibayar Petani NAS 142.52 143.34 144.27 144.30 144.29
Konsumsi Rumahtangga 146.73 147.70 148.82 148.79 148.75
Bahan Makanan 155.55 157.15 159.17 158.81 158.42
Makanan Jadi 144.95 145.43 145.91 146.30 146.72
Perumahan 146.22 146.78 147.20 147.52 147.73
Sandang 141.36 141.60 141.70 141.75 141.78
Kesehatan 131.23 131.72 132.08 132.26 132.46
Pendidikan, Rekreasi & Olah raga 126.88 127.14 127.26 127.42 127.63
Transportasi dan Komunikasi 116.35 116.41 116.56 116.65 116.83
BPPBM 130.04 130.38 130.69 130.95 131.08
Bibit 132.25 132.50 132.79 133.02 133.17
Obat-obatan & Pupuk 128.84 129.02 129.16 129.21 129.30
Transportasi 125.12 125.33 125.46 125.62 125.70
Sewa Lahan, Pajak & Lainnya 125.65 125.94 126.35 126.68 126.75
Penambahan Barang Modal 133.20 133.54 133.88 134.19 134.32
Upah Buruh Tani 130.22 130.71 131.16 131.51 131.66
NTP NAS 105.67 105.19 104.53 104.55 104.95Sumber: BPS (2013).
142
142
Tabel Lampiran 2. Bobot Komponen Penyusun NTP
Harga Diterima Petani Harga Dibayar PetaniSub Sektor Bobot Komoditas Bobot Pengeluaran Bobot Harga Bobot
Tanaman Pangan 0.4765
Padi 0.3078 Konsumsi Rumahtangga
0.7661 Bahan Makanan 0.3585
Palawija 0.1687 Makanan Jadi 0.1879
Hortikultura 0.1627Sayur-sayuran 0.0666 Perumahan 0.0985
Buah-buahan 0.0962 Sandang 0.0390
Perkebunan 0.1420Tanaman Perkebunan Rakyat
0.1420Kesehatan 0.0306
Peternakan 0.1226
Ternak Besar 0.0559Pendidikan, Olahraga, Rekreasi
0.0331
Ternak Kecil 0.0201Transportasi dan Telekomunikasi
0.0515
Unggas 0.0219 Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal
0.2339 Bibit, Benih 0.0190
Hasil Ternak 0.0247 Obat dan Pupuk 0.0565
Perikanan 0.0962Penangkapan 0.0692 Sewa Lahan
dan Pajak 0.0271
Budidaya 0.0269 Transportasi 0.0276Penambahan Barang Modal 0.0363
Upah Buruh 0.0674Sumber: Analisa Data Sekunder, 2013.
143143
Tabel Lampiran 3.
Analisa U
sahatani Komoditas
Padi, Jagung, Kedelaidan Ubikayu Tahun 2008 dan 2011 (R
p 000)
No.
Uraian
PadiJagung
KedelaiU
bikayu
20082011
20082011
20082011
20082011
A.
Biaya Usahatani
2.946,404.498,80
2.559,803.431,25
815,4820975,10
1.741,333.468,76
ISarana Produksi
806,631.450,90
1.518,912.361,52
380,7510703,47
654,121.078,63
1.1Benih
184,90399,48
971,771645,2
213,48269
212,91410,98
1.2Pupuk
484,23752,07
547,14716,32
167,2710151,07
441,21667,65
1.3Pesti &
Herbisida
137,50299,35
00
0283,40
00
II.Tenaga Kerja
2.139,803.047,90
1.040,891.209,67
434,7310271,63
1.087,212.390,13
III.Investasi
2.511,903.573,50
740,711.037,81
740,7110037,18
740,411.037,18
3.1Sew
a lahan2.511,90
3.573,50740,71
1.037,81740,71
10037,18740,41
1.037,18B
Penerimaan
8.522,3211.193,00
6.922,009.657,22
2.442,5040817,98
7.541,5411.076,21
IProduksi (kg/ha)
37563.955,20
4.390,204.031,76
671,18786,81
2.6446,428.270,80
II.N
ilai Produksi8.522,32
11.193,006.922,00
9.657,222.442,50
40817,987.541,54
11.076,21C
Keuntungan5.575,90
6.694,204.361,70
6.225,971.627,02
10842,885.800,21
7.607,45Sum
ber: Diolah dari data prim
er Patanas, tahun 2008 dan 2011.
144
144
Tabel Lampiran 4. Analisa Usahatani Komoditas Kubis, Kentang, Tomat dan Cabe Merah Tahun 2005 dan 2012 (Rp 000)
Kubis Kentang Tomat Cabe Merah
No. Uraian 2005 2012 2005 2012 2005 2012 2005 2012
A.Biaya Usahatani 9.321 20.007 32.780 80.040 18.146 47.387 19.592 73.862
ISarana Produksi 4.339 8.357 22.400 80.040 5.374 23.390 6.670 47.020
1.1 Benih 250 2.100 11.250 30.000 930 2.250 1.500 3.000
1.2 Pupuk 2.714 6.107 4.900 17.000 2.944 10.820 4.420 26.980
1.3Pesti & Herbisida 1.375 150 6.250 17.040 1.500 10.320 750 17.040
II. Tenaga Kerja 3.832 8.000 9.050 15.000 5.900 10.325 5.900 8.850
2.1Pengolahan dan Tanam 1.312 - 2.540 2.100 2.100 3.150
2.2 Pemeliharaan 820 - 2.010 2.300 2.300 3.450
2.3Panen & Pasca Panen 200 - 1.240 1.500 1.500 2.250
2.4 Lain-lain 1.500 3.260
III. Investasi 1.150 3.650 1.330 1.000 6.872 13.672 7.022 17.992
3.1 Sewa lahan 500 2.000 500 1.000 500 3.000 350 3.000
3.2Base camp & alat 650 1.650 830 6.372 10.672 6.672 14.992
B Pendapatan 19.687 45.000 5.920 14.460 15.854 22.613 15.408 26.138
IProduksi (kg/ha) 33,75 30,00 23,00 21,00 17,00 22,00 10,00 10,00
II. Nilai Produksi 19.687 45.000 38.700 94.500 34.000 70.000 35.000100.00
0
C Keuntungan 10.366 24.993 5.920 14.460 15.854 22.613 15.408 26.138Sumber: Vademekum Tanaman Sayuran, Ditjen Hortikultura, Kementrian Pertanian, 2006 & 2012.
145
145
Tabel Lampiran 5. Analisa Usahatani Komoditas Tebu dan Tembakau Tahun 2008, 2009, 2011 dan 2012 (Rp 000)
No. UraianTebu Tembakau
2009 2012 2008 2011
A. Biaya Usahatani 9.112,00 12.830,45 4.310,27 7.422,65
I Sarana Produksi 2.892,23 3.269,67 2.000,00 3.896,11
1.1 Benih 431,17 858,88 535,71 961,44
1.2 Pupuk 2.339,28 2.250,81 1.361,61 2.728,12
1.3 Pesti & Herbisida 121,78 159,98 102,68 206,55
II. Tenaga Kerja 3.219,77 4.798,88 2.310,27 3.526,54
III. Investasi 3.000 4.761,90 2.000 3.000
3.1 Sewa lahan 3.000 4.761,90 2.000 3.000
B Penerimaan 16.128,09 32.178,27 18.616,07 44.375,14
I Produksi (kg/ha) 431,75 - 558,04 1.166,26
II. Nilai Produksi 16.128,09 32.178,27 18.616,07 44.375,14
C Keuntungan 7.016,09 19.109,72 14.305,80 36.952,49Sumber : diolah dari data primer penelitian Patanas 2008, 2009, 2011 dan 2012.