Post on 01-Apr-2021
2
1. Latar Belakang
Informasi cuaca merupakan kebutuhan utama untuk mendukung kegiatan di berbagai sektor.
Informasi tersebut dapat berupa prakiraan curah hujan. Curah hujan di Indonesia sangat dipengaruhi
oleh anomali iklim El-Nino dan La Nina. Anomali tersebut sangat sering terjadi dengan ditandainya
kondisi iklim dan cuaca yang sangat ekstrim dan dengan durasi kejadian yang semakin panjang sehingga
menimbulkan dampak yang cukup signifikan terhadap berbagai sektor[1].
Daerah tropis seperti di Indonesia, memiliki musim penghujan pada bulan November – Februari
dan musim kemarau pada bulan Maret–Oktober, Anomali El-Nino dan La-Lina sangat mempengaruhi
terhadap pergeseran pola curah hujan, perubahan besaran curah hujan, intensitas curah hujan dan
pengaruhnya terhadap perubahan suhu udara. Akibat lebih lanjut berdampak pada musim kemarau yang
berkepanjangan, kekeringan yang dapat menimbulkan kebakaran hutan, banjir, pengaturan drainase dan
pengaruhnya terhadap tanaman seperti hama dan penyakit tanaman[2]. Kedua anomali tersebut juga
berdampak pada peningkatan curah hujan pada saat musim kemarau serta menyebabkan majunya awal
musim hujan [3].
Dampak yang sangat berpengaruh terhadap berbagai sektor tersebut diperlukan antisipasi yang
mungkin dapat mengurangi atau miminimalkan dampak yang mungkin terjadi. Salah satu antisipasinya
dapat berupa peramalan atau prediksi pola curah hujan yang akan datang, sehingga hasil yang
didapatkan dapat digunakan sebagai acuan untuk meminimalkan dampak yang mungkin terjadi di masa
mendatang.
Menanggapi dampak tersebut maka dibutuhkan penyusunan metode dalam bentuk simulasi
komputer untuk identifikasi pola spasial prediksi curah hujan, dalam hal ini prediksi atau peramalan
curah hujan menggunakan pendekatan metode Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) dan
pola spasial menggunakan data spasial dalam bentuk Choropleth untuk visualisasi pembagian klasifikasi
zona iklim menurut Oldeman.
ARIMA sering juga disebut metode runtun waktu Box-Jenkins. ARIMA sangat baik ketepatannya
untuk peramalan jangka pendek karena menggunakan nilai standard error estimate yang paling kecil,
sedangkan untuk peramalan jangka panjang ketepatan peramalannya kurang baik. Biasanya akan
cenderung flat (mendatar/konstan) untuk periode yang cukup panjang. Model Autoregresif Integrated
Moving Average (ARIMA) adalah model yang secara penuh mengabaikan independen variabel dalam
membuat peramalan. ARIMA menggunakan nilai masa lalu dan sekarang dari variabel dependen untuk
menghasilkan peramalan jangka pendek yang akurat. ARIMA cocok jika observasi dari deret waktu (time
series) secara statistik berhubungan satu sama lain [4].
Data spasial dapat didefinisikan sebagai data yang memiliki referensi keruangan (geografi). Setiap
bagian dari data tersebut selain memberikan gambaran tentang suatu fenomena, juga selalu dapat
memberikan informasi mengenai lokasi dan juga persebaran dari fenomena tersebut dalam suatu ruang
(wilayah). Apabila dikaitkan dengan cara penyajian data, maka peta merupakan bentuk atau cara
penyajian data spasial yang paling tepat[5].
Pada penelitian ini akan dilakukan pemodelan spasial prediksi curah hujan di 118 kecamatan di
wilayah Laboratorium Penelitian Hama dan Penyakit Tanaman (LPHP) Surakarta menggunakan metode
ARIMA (Autoregresif Integrated Moving Average) dan ditampilkan dalam bentuk spasial. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan bulanan tingkat kecamatan di wilayah LPHP
Surakarta periode 2001-2010.
Hasil prediksi curah hujan digunakan sebagai acuan dalam pemodelan spasial klasifikasi zona
iklim di wilayah LPHP Surakarta berdasarkan klasifikasi iklim menurut Oldeman.
3
2. Kajian Pustaka
Konsep Arima (Autoregresif Integrated Moving Average) pertama kali dikembangkan oleh George
Box dan Gwilym Jenkins untuk pemodelan analisis deret waktu. ARIMA mewakili tiga pemodelan yaitu
dari autoregressive model (AR), moving average(MA), dan autoregressive dan moving average model
(ARMA)[6]. Prinsip dasar model ARIMA adalah mengubah data runtun waktu non stasioner menjadi data
stasioner dengan melakukan diferensiasi [7].
Secara umum model ARIMA dirumuskan dengan notasi sebagai berikut. ARIMA (p,d,q)(P,D,Q)S
dengan, p menunjukkan orde atau derajat autoregressive (AR) d menunjukkan orde atau derajat
differencing (pembedaan) dan q menunjukkan orde atau derajat moving average (MA). Notasi (p,d,q)
menunjukkan bagian yang tidak musiman dari model, notasi (P,D,Q) menunjukkan bagian yang
musiman dari model, dan S menunjukkan jumlah periode per musim.
Runtun waktu adalah serangkaian pengamatan terhadap suatu peristiwa, kejadian, gejala atau
variabel yang diambil dari waktu ke waktu, dicatat secara teliti menurut urut-urutan waktu terjadinya
dan kemudian disusun sebagai data statistik [8].
Langkah–langkah penerapan metode ARIMA secara berturut–turut adalah : (1) Identifikasi Model,
(2) Estimasi Model, (3) Diagnostic checking (4) Peramalan [9], berikut akan disajikan tahapan dalam
bentuk flowchart seperti pada Gambar 1.
Gambar 1 Tahapan Metode ARIMA
Metode ARIMA hanya dapat diterapkan, menjelaskan, atau mewakili series yang stasioner atau
telah dijadikan stasioner melalui proses differencing. Stasioneritas berarti bahwa tidak terdapat
pertumbuhan atau penurunan pada data. Data secara kasarnya harus horisontal sepanjang sumbu waktu.
[10]. Pada tahap identifikasi, penentuan apakah suatu data runtun waktu dimodelkan dengan AR, MA
atau ARIMA tergantung pada pola autocorrelation function (ACF) dan Partial autocorrelation function
(PACF). ACF merupakan suatu hubungan linear pada data time series yang dipisahkan oleh waktu k,
dalam ACF ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi model time series dan melihat kestasioneran
data dalam mean. PACF mengukur korelasi antar pengamatan dengan jeda k (waktu) dan dengan
mengontrol korelasi antar dua pengamatan dengan jeda kurang dari k (waktu). k disebut juga koefisien
regresi parsial. Model AR digunakan jika plot ACFnya dies down sementara PACF-nya cut off. Model
MA digunakan jika plot ACF-nya cut off dan plot ACF-nya dies down. Model ARIMA digunakan jika
kedua plot ACF dan PACF sama-sama dies down [11]. Model sementara untuk suatu runtun waktu
sudah diidentifikasikan, langkah selanjutnya adalah mencari estimasi terbaik untuk parameter-parameter
dalam model sementara tersebut dengan cara membandingkan nilai AIC, dan nilai likelihood [12]. Model
dengan nilai likelihood yang tinggi dan nilai AIC yang rendah digunakan sebagai model peramalan.
Uji stasioneritas
data
Identifikasi
Model Dugaan
Estimasi Parameter
Model
Diagnostic checking
Apakah model sesuai ?
Penggunaan
Model untuk
Peramalan
4
Model ARIMA yang telah ditafsirkan nilai-nilai parameter perlu dilakukan pemeriksaan untuk
membuktikan bahwa model tersebut baik untuk melakukan peramalan. Diagnosis model dilakukan
untuk mendeteksi adanya korelasi dan kenormalan antar residual. Dalam runtun waktu ada asumsi
bahwa residual mengikuti proses white noise yang berarti residual harus independen (tidak berkorelasi)
dan berdistribusi normal dengan rata-rata mendekati 0 (μ = 0) dan standar deviasi (σ) tertentu [13]. Jika
metode peramalan sudah ditetapkan, maka model ARIMA dapat diterapkan pada data, dan dapat
dilakukan perkiraan pada data tersebut untuk beberapa periode ke depan.
Choropleth adalah peta tematik dimana area-area dalam peta diberi warna sesuai dengan besaran data
statistik yang ditampilkan dalam peta tersebut [14]. data spasial yang biasa digunakan adalah data
spasial dalam format ArcView Shapefile (*.shp). Peta choropleth umumnya digunakan untuk
menampilkan 1) Identifikasi pola dalam pengamatan spasial dari kewilayahan seperti kecamatan dan
kabupaten. 2) Menghasilkan luaran dalam bentuk spasial statistik [15]. Data spasial merupakan data
yang menunjukkan posisi geografi dimana setiap karakteristik memiliki satu lokasi yang harus
ditentukan dengan cara yang unik. Untuk menentukan posisi secara absolut berdasar sistem koordinat
pada area kecil, sistem koordinat yang paling sederhana berupa grid segiempat teratur. Area yang lebih
besar, berdasarkan pada proyeksi kartografi yang umum digunakan [16].
Klasifikasi Zona Iklim Oldeman didasarkan kepada jumlah kebutuhan air oleh tanaman, terutama pada
tanaman padi dan palawija. Penyusunan tipe iklimnya berdasarkan jumlah bulan basah yang berlangsung
secara berturut-turut. Oldeman, L.R (1980) mengungkapkan bahwa kebutuhan air untuk tanaman padi
adalah 150 mm per bulan sedangkan untuk tanaman palawija adalah 70 mm/bulan, dengan asumsi
bahwa peluang terjadinya hujan yang sama adalah 75% maka untuk mencukupi kebutuhan air tanaman
padi 150 mm/bulan diperlukan curah hujan sebesar 220 mm/bulan, sedangkan untuk mencukupi
kebutuhan air untuk tanaman palawija diperlukan curah hujan sebesar 120 mm/bulan, sehingga menurut
Oldeman suatu bulan dikatakan bulan basah apabila mempunyai curah hujan bulanan lebih besar dari
200 mm dan dikatakan bulan kering apabila curah hujan bulanan lebih kecil dari 100 mm. Lamanya
periode pertumbuhan padi terutama ditentukan oleh jenis/varietas yang digunakan, sehingga periode 5
bulan basah berurutan dalan satu tahun dipandang optimal untuk satu kali tanam, jika lebih dari 9 bulan
basah maka petani dapat melakukan 2 kali masa tanam. Jika kurang dari 3 bulan basah secara berurutan,
tidak dapat membudidayakan padi tanpa irigasi tambahan [17]. Oldeman membagi lima zona iklim dan
lima sub zona iklim. Zona iklim merupakan pembagian dari banyaknya jumlah bulan basah berturut-
turut yang terjadi dalam setahun. Sedangkan sub zona iklim merupakan banyaknya jumlah bulan kering
berturut-turut dalam setahun. Pemberian nama Zona iklim berdasarkan huruf yaitu zona A, zona B, zona
C, zona D dan zona E sedangkan pemberian nama sub zona berdasarkan angka yaitu sub 1, sub 2, sub 3
sub 4 dan sub 5. Kriteria klasifikasi subzona iklim menurut Oldeman sebagaimana disajikan pada Tabel
1.
5
Tabel 1 Kriteria Klasifikasi Zona Iklim Oldeman
Zona Klasifikasi Bulan
Basah
Bulan
Kering
A A1 10-12 0-1
A2 10-12 2
B B1 7-9 0-1
B2 7-9 2-3
B3 7-8 4-5
C C1 5-6 0-1
C2 5-6 2-3
C3 5-6 4-6
C4 5 7
D D1 3-4 0-1
D2 3-4 2-3
D3 3-4 4-6
D4 3-4 7-9
E E1 0-2 0-1
E2 0-2 2-3
E3 0-2 4-6
E4 0-2 7-9
E5 0-2 10-12
Zona A dapat ditanami padi terus menerus sepanjang tahun. Zona B hanya dapat ditanami padi 2
periode dalam setahun. Zona C, dapat ditanami padi 2 kali panen dalam setahun, dimana penanaman
padi yang jatuh saat curah hujan di bawah 200 mm per bulan dilakukan dengan sistem gogo rancah.
Zona D, hanya dapat ditanami padi satu kali masa tanam. Zona E, penanaman padi tidak dianjurkan
tanpa adanya irigasi yang baik [18].
3. Metode Penelitian
Tahapan penelitian ini dibagi dalam tiga tahap, yaitu :
1. Tahap penyusunan data awal,
2. Desain dan arsitektural simulasi,
3. Pemodelan dan visualisasi.
Tahap penyusunan data bertujuan untuk menentukan data, lokasi dan studi pustaka yang
digunakan dalam proses penelitian. Tahap penyusunan data awal terdiri dari:
1. Pengumpulan data dengan melakukan survei di Laboratorium Penelitian Hama dan Penyakit (LPHP)
Surakarta,
2. Pengumpulan data dengan survei di Dinas Pertanian Kabupaten Boyolali.
Tahap desain dan arsitektural simulasi terdiri dari proses input data, peramalan curah hujan
menggunakan metode Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA). Adapun data dan variabel
yang digunakan dalam penelitian meliputi : 1) Data Curah Hujan tingkat kecamatan di wilayah
Laboratorium PHP Surakarta Provinsi Jawa Tengah periode 2001-2010 yang terdiri dari Kabupaten
Karanganyar, Sukoharjo, Sragen, Wonogiri, Boyolali, dan Kabupaten Klaten. 2) Data spasial wilayah
Laboratorium PHP Surakarta Provinsi Jawa Tengah.
6
Gambar 2 Wilayah LPHP Surakarta Jawa Tengah
(Laboratorium PHP Surakarta Jawa Tengah)
Sumber data model secara umum dikelompokkan dalam 2 kategori, yaitu (1) informasi data curah
hujan bulanan kecamatan dan (2) data spasial dalam bentuk peta vektor dengan format shapes files.
Pemrosesan data menggunakan tool R dari http://cran-r.project menggunakan package akima, coda,
deldir, DBI, e1071, forecast, maptools, RColorBrewer, Rcpp, TSA, tseries.
Gambar 3 Desain Arsitektural Model
Gambar 3 menunjukkan desain arsitektural model yang dijelaskan sebagai berikut. Pada bagian
Data Layer, terdiri dari data curah hujan tingkat kecamatan di wilayah Laboratorium PHP Surakarta
Provinsi Jawa Tengah periode 2001-2010 yang terdiri dari Kabupaten Karanganyar, Sukoharjo, Sragen,
Wonogiri, Boyolali, dan Kabupaten Klaten dan data spasial wilayah Laboratorium PHP Surakarta
Provinsi Jawa Tengah. Kedua data tersebut sebagai data inputan pada proses Application Layer. Pada
bagian Application Layer, dilakukan proses peramalan curah hujan menggunakan metode ARIMA,
dengan pemrosesan data menggunakan tool R untuk mendapatkan hasil peramalan curah hujan periode
7
tahun ke 3. Data hasil peramalan curah hujan dianalisa untuk mendapatkan klasifikasi zona iklim per
kecamatan di Surakarta. Hasil analisa berupa data klasifikasi zona iklim di Surakarta merupakan data
spasial sebagai acuan untuk melakukan visualisasi. Pada bagian Vizualization Layer data spasial berupa
klasifikasi zona iklim di Surakarta divisualisasikan dalam bentuk peta berupa peta choropleth. Tahap terakhir pada penelitian adalah tahap pemodelan dan visualisasi. Tahap ini terdiri dari
proses visualisasi dalam bentuk choropleth, yaitu hasil pembagian zona iklim divisualisasikan ke dalam
bentuk peta berupa choropleth.
4. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Perubahan iklim dan cuaca di Indonesia yang sangat ekstrim, dipengaruhi oleh anomali iklim El-
Nino dan La-Nina. Metode antisipasi perubahan cuaca yang masih menggunakan data non-spasial perlu
dijadikan suatu acuan dalam penelitian ini. Informasi keruangan atau wilayah sangat diperlukan dalam
penyampaian informasi atau fenomena yang akan disampaikan, dalam hal ini informasi mengenai curah
hujan. Salah satu teknik visualisasi yang digunakan adalah pemetaan menggunakan metode choropleth.
Peta choropleth dihasilkan dari data hasil observasi spasial yang dikelompokkan dalam kelas dan
masing-masing kelas kemudian diberi simbol tertentu yang mempresentasikan kondisi suatu wilayah.
Klasifikasi dapat dilakukan dengan berbagai cara dan kriteria tertentu seperti interval data. Interval data
disusun berdasarkan pada nilai jumlah kejadian setiap wilayah, model interval ini umumnya disebut
sebagai “equal”[19].
Pada penelitian ini data awal yang akan diolah adalah data curah hujan tingkat kecamatan yang
terdiri dari Kabupaten Karanganyar, Sukoharjo, Sragen, Wonogiri, Boyolali, dan Klaten yang secara
keseluruhan terdiri dari 118 kecamatan tahun 2001 sampai 2010. Data awal tersebut diolah untuk
mencari rata-rata bulanan curah hujan Surakarta tahun 2001-2010. Data tersebut kemudian dikalikan
dengan prosentase stasiun pengamatan (kecamatan) terhadap seluruh wilayah pengamatan (LPHP
Surakarta), untuk mengetahui hubungan curah hujan dengan wilayah sebarannya atau dengan pengaruh
luas wilayah terhadap sebaran curah hujannya. Data inilah yang akan diproses untuk mengetahui
prediksi curah hujan di wilayah LPHP Surakarta, sebagaimana visualisasi dalam bentuk grafik atau plot
disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Plot Data Curah Hujan Bulanan LPHP Surakarta 2001-2010
8
Gambar 4 merupakan grafik dari data runtun waktu rata-rata curah hujan bulanan wilayah LPHP
Surakarta tahun 2001-2010. Plot tersebut menunjukkan besaran curah hujan dari bulan Januari 2001
sampai bulan Desember 2010. Besaran curah hujan dalam bentuk grafik tersebut menunjukkan bahwa
data membentuk pola garis secara acak yang disebut bersifat stasioner atau tidak membentuk pola naik
atau turun secara teratur (bersifat trend).
Metode ARIMA terdiri dari beberapa tahapan yaitu : tahap Identifikasi, tahap Estimasi, tahap
Diagnostic Check, dan tahap Forecasting. Sebelum memasuki tahap identifikasi terlebih dahulu
menentukan postulasi kelas umum model yang akan digunakan yaitu dengan menentukan orde p, orde d
dan orde q. Penentuan orde tersebut diperlukan untuk identifikasi plot Autocorrelation Function (ACF)
dan plot Partial Autocorrelation Function (PACF) dari data curah hujan yang sudah stasioner. Bentuk
plot ACF dan PACF yang sudah didifferencing (pembedaan deret data) disajikan pada Gambar 5 dan
Gambar 6.
Gambar 5 Plot ACF dari Data Curah Hujan LPHP Surakarta
Gambar 6 Plot PACF dari Data Curah Hujan LPHP Surakarta
Gambar 5 dan Gambar 6 menunjukkan bahwa pada pola ACF (lag 1 dan 2) berada di luar batas
signifikansi (standart error) dan cenderung dies down (lag 1 ke 2 mengalami penurunan mengikuti
bentuk eksponensial atau gelombang sinus. Orde p yang mungkin adalah 1 dan 2. Pola PACF pada
gambar pada lag 0, 1, dan 2, garis berada di luar batas signifikansi (standart error). Orde q yang
mungkin adalah 0,1 dan 2. Orde d adalah 1 karena pola ACF dan PACF mengalami proses pembedaan
data (differencing) selama 1 kali.
Berdasarkan penentuan orde pada pola ACF dan PACF didefinisikan bahwa data runtun waktu
dimodelkan dengan ARIMA. Penentuan parameter pada model ARIMA dilakukan dengan cara trial and
error (mencoba-coba). Diidentifikasi bahwa model yang sesuai untuk data curah hujan bulanan LPHP
Surakarta diduga ada 3 model yaitu : 1) ARIMA (1,1,1)(1,1,0)12
. 2) ARIMA (2,1,1)(1,1,1)12
. 3) ARIMA
(2,1,0)(0,1,1)12
.
9
Pada tahap estimasi, ketiga model dugaan tersebut kemudian dibandingkan berdasarkan
perbandingan kriteria nilai (Akaike Information Criteria) AIC dan nilai likelihoodnya. Model ramalan
yang baik adalah jika nilai likelihood yang lebih besar dan nilai AIC yang lebih kecil. AIC dan Log
Likelihood adalah indikator untuk memutuskan lag yang digunakan.
Pada tahap estimasi ini model dugaan yang baik adalah model ARIMA (2,1,1)(1,1,1)12
, karena
memiliki nilai AIC yang lebih kecil dan nilai likelihood yang lebih besar, adapun hasil perbandingan
estimasi disampaikan pada Gambar 7.
Gambar 7 Tahap Estimasi Model Dugaan
Gambar 7 menunjukkan bahwa nilai estimasi terbaik adalah model ARIMA (2,1,1)(1,1,1)12
jika
dibandingan dengan nilai estimasi dari model ARIMA(1,1,1)(1,1,0)12
dan ARIMA (2,1,0)(0,1,1)12
,
dengan nilai AIC terkecil yaitu 1163,17 dan nilai Likelihood terbesar yaitu -575,59.
Tahap selanjutnya, untuk mengetahui apakah model ARIMA (2,1,1)(1,1,1)12
merupakan model
yang baik untuk melakukan peramalan harus dilakukan pemeriksaan diagnosa (diagnostics check), yakni
dengan menguji distribusi estimasi residualnya yaitu menggunakan uji statistik Ljung-Box. Jika estimasi
residual terdistribusi secara random, maka model ARIMA yang dihasilkan baik digunakan untuk
melakukan peramalan (white noise). Tahap diagnostics check disampaikan pada Gambar 8.
10
Gambar 8 Plot ACF Residual dan p-value dari Uji Statistik Ljung-Box
Hasil diagnostics check yang digambarkan pada Gambar 8 dapat disimpulkan bahwa residual
model ARIMA (2,1,1)(1,1,1)12
telah terdistribusi secara random (white noise), hal ini ditunjukkan oleh p-
value dari uji Ljung-Box yang semuanya lebih besar dari 5% atau 0,05 (alpha atau tingkat signifikansi
pengujian). Karena model ARIMA (2,1,1)(1,1,1)12
memiliki estimasi residual yang terdistribusi secara
random, maka model tersebut sudah baik digunakan untuk meramalkan nilai data.
Pada tahap peramalan dalam hal ini menggunakan model ARIMA (2,1,1)(1,1,1)12
dilakukan
peramalan data selama 3 tahun ke depan. Visualisasi hasil peramalan curah hujan di Wilayah LPHP
Surakarta disampaikan dalam bentuk plot (grafik) seperti pada Gambar 9.
Gambar 9 Plot Peramalan Curah Hujan Data Curah Hujan LPHP Surakarta
11
Gambar 9 adalah grafik hasil prediksi curah hujan selama 3 tahun. Garis hitam menunjukkan pola
curah hujan tahun 2001-2010. Garis merah adalah hasil peramalan selama 3 tahun. Garis hijau
menunjukkan batas atas atau nilai maksimum peramalan, sedangkan garis orange menunjukkan batas
minimun peramalan. Hasil prediksi untuk tahun ke 3 disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Hasil Prediksi Curah Hujan Tahun ke 3
Bulan Curah Hujan
Minimum Prediksi
Curah Hujan
Maximum
Jan 128.22 225.38 322.54
Feb -6.39 93.38 193.15
Mar -5.03 97.06 199.14
Apr 99.79 204.13 308.47
May 123.34 232.28 341.23
Jun -9.59 102.08 213.75
Jul -12.58 101.73 216.03
Aug 93.64 210.49 327.34
Sep 118.61 239.64 360.67
Oct -14.35 109.51 233.37
Nov -17.61 109.00 235.61
Dec 88.57 217.83 347.09
Data prediksi curah hujan yang didapat diperlukan pengembalian fungsi sesuai dengan pengolahan
data awal, yaitu masing-masing data prediksi curah hujan bulanan dikalikan dengan jumlah seluruh
kecamatan yaitu 118 kecamatan, kemudian dikalikan dengan prosentase kewilayahan masing-masing
kecamatan terhadap wilayah total LPHP Surakarta. Proses ini dilakukan untuk mendapatkan data
prediksi curah hujan bulanan masing-masing kecamatan di wilayah LPHP Surakarta.
12
Gambar 10 Choropleth Prediksi Curah Hujan Tahun Ke 3 Bulan Januari-Juni Wilayah LPHP Surakarta
Tahapan akhir dari penelitian ini adalah pemodelan spasial atau visualisasi data curah hujan
menggunakan metode grafis choropleth, yaitu pemodelan spasial hubungan kewilayahan yaitu wilayah
LPHP Surakarta terhadap hasil fenomena yang diperoleh yaitu data prediksi curah hujan bulanan selama
3 tahun wilayah LPHP Surakarta. Visualisasi ini tersedia pada package maptools dan RColorBrewer.
Adapun peta choropleth sebagaimana disajikan pada Gambar 10 dan Gambar 11.
13
Gambar 11 Choropleth Prediksi Curah Hujan Tahun Ke 3 Bulan Juli-Desember Wilayah LPHP Surakarta
Pembagian warna dalam peta choropleth seperti yang disajikan pada Gambar 10 dan Gambar 11
berdasarkan pada interval pembagian kelas yang disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12 Legend Map (equel interval)
14
Besaran curah hujan di wilayah LPHP Surakarta pada prediksi curah hujan tahun ke tiga
perubahannya dapat terlihat dari bulan ke bulan. Besaran curah hujan selama satu tahun yaitu pada
prediksi tahun ketiga dapat dikelompokkan dalam zona iklim menurut besaran curah hujannya.
Pembagian zona iklim di wilayah LPHP Surakarta pada prediksi curah hujan tahun ketiga,
pembagiannya berdasarkan pada klasifikasi zona iklim menurut Oldeman. Hasil klasifikasi zona iklim
wilayah LPHP Surakarta disajikan pada Gambar 13.
Gambar 13 Klasifikasi Zona Iklim Wilayah LPHP Surakarta Prediksi Tahun Ke 3
Berdasarkan pada Gambar 13 yaitu klasifikasi zona iklim wilayah LPHP Surakarta prediksi tahun
ketiga secara rinci wilayah pembagian disajikan sebagaimana pada Tabel 3.
Tabel 3 Klasifikasi Zona Iklim Wilayah LPHP Surakarta Prediksi Tahun Ke 3
Zona Iklim Kecamatan
No Data (84)jatiyoso, (120)Laweyan, (121)Serengan, (122)Pasar-Kliwon,
(123)Jebres, (124)Banjarsari
Zona A (2)Ampel, (17)Kemusu, (18)Wonosegoro, (62)Giriwoyo, (65)Tirtomoyo,
(67)Baturetno, (68)Eromoko, (73)Ngadirojo.
Zona B (4)Musuk, (19)Juwangi, (58)Wonogiri, (60)Paranggupito, (64)Karang
Tengah, (66)Nguntoronadi, (69)Wuryantoro, (70)Manyaran,
(76)Kismantoro, (79)Slogohimo, (95)Gondangrejo, (114)Sb.Lawang,
15
(119)Jenar
Zona C (1)Selo, (3)Cepogo, (12)Nogosari, (15)Klego, (16)Andong, (42)Kemalang,
(50)Nguter, (52)Polokarto, (61)Giritontro, (63)Batuwarno, (71)Selogiri,
(74)Sidoharjo, (75)Jatiroto, (77)Purwantoro, (81)Jatipurno, (82)Girimarto,
(85)Jumapolo, (86)Jumantono, (88)Tawangmangu, (89)Ngargoyoso,
(97)Mojogedang, (99)Jenawi, (103)Kedawung, (111)Tanon, (113)Miri,
(118)Tangen.
Zona D (5)Boyolali, (6)Mojosongo, (10)Sambi, (13)Simo, (14)Karanggede,
(23)Bayat, (46)Weru, (47)Bulu, (48)Tawangsari, (49)Sukoharjo,
(51)Bendosari, (78)Bulukerto, (80)Jatisrono, (83)Jatipuro, (91)Karanganyar,
(98)Kerjo, (100)Kalijambe, (101)Plupuh, (102)Masaran, (104)Sambirejo,
(105)Gondang, (108)Karangmalang, (110)Sidoharjo, (112)Gemolong,
(115)Mondokan, (116)Sukodono, (117)Gesi.
Zona E (7)Teras, (8)Sawit, (9)Banyudono, (11)Ngemplak, (20)Prambanan,
(21)Gantiwarno, (22)Wedi, (24)Cawas, (25)Trucuk, (26)Kalikotes,
(27)Kebonarum, (28)Jogonalan, (29)Manisrenggo, (30)Karangnongko,
(31)Ngawen, (32)Ceper, (33)Pedan, (34)Karangdowo, (35)Juwiring,
(36)Wonosari, (37)Delanggu, (38)Polanharjo, (39)Karanganom, (40)Tulung,
(41)Jatinom, (43)Klaten Selatan, (44)Klaten Tengah, (45)Klaten Utara,
(53)Mojolaban, (54)Grogol, (55)Baki, (56)Gatak, (57)Kartasura,
(59)Pracimantoro, (72)Puh Pelem, (87)Matesih, (90)Karangpandan,
(92)Tasikmadu, (93)Jaten, (94)Colomadu, (96)Kebakramat, (106)Sb.Macan,
(107)Ngrampal, (109)Sragen.
Berdasarkan pada Tabel 3, dapat diketahui bahwa wilayah yang termasuk dalam Zona A dapat
ditanami padi terus-menerus sepanjang tahun. Wilayah yang termasuk dalam Zona B hanya dapat
ditanami padi 2 periode dalam setahun. Wilayah yang termasuk dalam Zona C dapat ditanami padi 2 kali
panen dalam setahun, dimana penanaman padi yang jatuh saat curah hujan di bawah 200 mm per bulan
dilakukan dengan sistem gogo rancah. Wilayah yang termasuk dalam Zona D dapat ditanami padi 1 kali
masa tanam. Wilayah yang termasuk dalam Zona E penanaman padi tidak dianjurkan tanpa adanya
irigasi yang baik.
Pembagian zona iklim terbagi lagi menjadi subzona iklim yang didasarkan dari jumlah bulan
basah secara berturut-turut dalam setahun dan jumlah bulan kering secara berturut-turut dalam setahun.
Visualisasi spasial klasifikasi sub zona iklim disajikan sebagaimana pada Gambar 14.
16
Gambar 14 Klasifikasi Subzona Iklim Wilayah LPHP Surakarta
Klasifikasi Subzona iklim menurut Oldeman seperti yang disajikan pada Tabel 1 berdasarkan pada
jumlah bulan hujan secara berturut-turut dan jumlah bulan kering secara berturut-turut dalam satu tahun.
Klasifikasi Subzona iklim di wilayah LPHP Surakarta secara rinci dengan wilayah pembagian
sebagaimana disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Klasifikasi Subzona Iklim Wilayah LPHP Surakarta Prediksi Tahun Ke 3
Zona Sub
Zona Kecamatan
A A1 (17)Kemusu, (18)Wonosegoro, (62)Giriwoyo, (65)Tirtomoyo, (67)Baturetno,
(68)Eromoko, (73)Ngadirojo
A2 (2)Ampel
B B1 (19)Juwangi, (58)Wonogiri, (60)Paranggupito, (64)Karang Tengah,
(66)Nguntoronadi, (69)Wuryantoro, (70)Manyaran, (76)Kismantoro,
(79)Slogohimo, (95)Gondangrejo, (114)Sb. Lawang, (119)Jenar.
B2 -
B3 (4)Musuk
C C1 (12)Nogosari, (15)Klego, (16)Andong, (42)Kemalang, (50)Nguter, (52)Polokarto,
(61)Giritontro, (63)Batuwarno, (71)Selogiri, (74)Sidoharjo, , (75)Jatiroto,
(77)Purwantoro, (81)Jatipurno, (82)Girimarto, (85)Jumapolo, (86)Jumantono,
(88)Tawangmangu, (89)Ngargoyoso, (97)Mojogedang, (99)Jenawi,
(103)Kedawung, (111)Tanon, (113)Miri, (118)Tangen.
C2 -
17
C3 (1)Selo
C4 (3)Cepogo
D D1 (13)Simo, (47)Bulu, (51)Bendosari, (98)Kerjo, (100)Kalijambe, (101)Plupuh,
(104)Sambirejo, (115)Mondokan.
D2 (6)Mojosongo, (10)Sambi, (46)Weru, (49)Sukoharjo, (91)Karanganyar,
(102)Masaran, (108)Karangmalang, (110)Sidoharjo, (116)Sukodono.
D3 (14)Karanggede, (23)Bayat, (48)Tawangsari, (78)Bulukerto, (80)Jatisrono,
(83)Jatipuro, (105)Gondang, (112)Gemolong, (117)Gesi.
D4 (5)Boyolali
E E1 (8)Sawit
E2 -
E3 (7)Teras, (11)Ngemplak, (24)Cawas, (25)Trucuk, (34)Karangdowo, (35)Juwiring,
(36)Wonosari, (40)Tulung, (41)Jatinom, (53)Mojolaban, (54)Grogol, (72)Puh
Pelem, (90)Karangpandan, (96)Kebakramat, (106)Sb.Macan, (107)Ngrampal.
E4 (9)Banyudono, (20)Prambanan, (21)Gantiwarno, (22)Wedi, (28)Jogonalan,
(29)Manisrenggo, (30)Karangnongko, (32)Ceper, (38)Polanharjo,
(39)Karanganom, (55)Baki, (56)Gatak, (57)Kartasura, (87)Matesih,
(92)Tasikmadu, (93)Jaten, (109)Sragen.
E5 (26)Kalikotes, (27)Kebonarum, (31)Ngawen, (33)Pedan, (37)Delanggu, (43)Klaten
Selatan, (44)Klaten Tengah, (45)Klaten Utara, (59)Pracimantoro, (94)Colomadu.
5. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan
menggunakan peta choropleth dapat diketahui kesamaan besaran curah hujan antar wilayah kecamatan.
Peta choropleth yang berisi informasi prediksi curah hujan wilayah LPHP Surakarta dapat
diklasifikasikan menjadi zona-zona iklim menurut kebutuhan air oleh tanaman terutama padi dan
palawija. Wilayah LPHP Surakarta terbagi menjadi 5 zona iklim yaitu Zona A dapat ditanami padi terus-
menerus sepanjang tahun. Wilayah yang termasuk dalam Zona B hanya dapat ditanami padi 2 periode
dalam setahun. Wilayah yang termasuk dalam Zona C dapat ditanami padi 2 kali panen dalam setahun,
dimana penanaman padi yang jatuh saat curah hujan di bawah 200 mm per bulan dilakukan dengan
sistem gogo rancah. Wilayah yang termasuk dalam Zona D dapat ditanami padi 1 kali masa tanam.
Wilayah yang termasuk dalam Zona E penanaman padi tidak dianjurkan tanpa adanya irigasi yang baik.
Pembagian klasifikasi zona iklim tersebut dapat divisualisasikan dengan menggunakan visualisasi
spasial dalam bentuk peta choropleth.
6. Daftar Pustaka
[1] As-syakur, A.R., 2007. Identifikasi Hubungan Fluktuasi Nilai SOI Terhadap Curah Hujan
Bulanan Di Kawasan Batukaru-Bedugul, Bali. Jurnal Bumi Lestari, 7(2), pp. 123-129.
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/identifikasi.pdf. Diakses tanggal 10 Februari 2012.
[2] Irawan, Bambang, 2006, Fenomena Anomali Iklim El NINO dan LA NINA: Kecenderungan
Jangka Panjang dan Pengaruhnya terhadap Produksi Pangan, Bogor, Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/FAE24-1c.pdf. Diakses tanggal 12 Februari 2012.
18
[3] Hilmanto, Rudi. Indikator Ekologi Pada Waktu Tanam Sebagai Inovasi Masyarakat Lokal Dalam
Menghadapi Dampak Negatif Perubahan Iklim. Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas
Lampung. Bandar Lampung.
http://ejurnal.bppt.go.id/ejurnal/index.php/JSI/article/download/11/3. Diakses tanggal 8 Februari
2012.
[4] ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average).
http://daps.bps.go.id/file_artikel/77/arima.pdf. Diakses tanggal 19 Februari 2012.
[5] Penyajian Data Spasial. Kementrian Kehutanan Republik Indonesia.
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/RRL/RLPS/sk_dirjenRLPS/l6_167_04.pdf. Diakses tanggal
22 Februari 2012.
[6] Wijaya, Arif. 2008. Memprediksi Temperature Udara Per bulan di Jakarta Dengan Menggunakan
Metode ARIMA. Jurusan Ganda Teknik Informatika Statistika Universitas Bina Nusantara.
[7] Soesetijo, Sis., Febrianto Budimulyono, Lukas Hadi Purnama, Welly Wellandow Santoso, Hendrik
Setiawan,2011. Perbandingan Model Arima pada Data Spasial Trafik Internet Agregat. Jurusan
Teknik Elektro Universitas Surabaya, Surabaya.
http://repository.upnyk.ac.id/638/1/C-8.pdf. Diakses tanggal 14 Februari 2012.
[8] Istiqomah , 2006. Aplikasi Model Arima untuk Forecasting Produksi Gula Pada PT. Perkebunan
Nusantara IX (Persero) . Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri
Semarang. Semarang.
http://jihadi.staff.umm.ac.id/files/2010/04/ARIMA.PDF. Diakses tanggal 27 Februari 2012.
[9] Sadeq, Ahmad. 2008. Analisis Prediksi Indeks Harga Saham Gabungan dengan Metode ARIMA.
Program Studi Magister Manajemen Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Semarang.
http://eprints.undip.ac.id/16307/1/AHMAD_SADEQ.pdf. Diakses tanggal 26 Februari 2012.
[10] Mulyono, Sri, 2000, “Peramalan Harga Saham dan Nilai Tukar : Teknik Box- Jenkins”, Ekonomi
dan Keuangan Indonesia, Vol. XLVIII No.2
[11] Arista, Linda. 2010. Aplikasi Metode Arima Untuk Perkiraan Jumlah Wisatawan Asing Di Pulau
Samosir Sumatera Utara Tahun 2011-2013 Berdasarkan Data Tahun 2005-2009. Departemen
Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara
Medan.
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/23541. Diakses tanggal 18 Februari 2012.
[12] Arsyad, L. 1995. Peramalan Bisnis. Jakarta: Ghalia Indonesia
[13] Iriawan, N. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14. Yogyakarta:
Andi Offset .
[14] Nugroho, Budi Haryo. 2011. Urban Risk Analysis Based On Earthquake Hazard Vulnerability
Area In Bantul Regency. Bogor
19
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46517/2011bhn.pdf?sequence=1. Diakses
tanggal 21 Februari 2012.
[15] Yulianto, J.P, Sri , Sri Hartati. Pemodelan Spasial Luas Tambah Serangan Wereng Batang Coklat
pada Komoditas Padi Tahun 2010 di Wilayah PHP Surakarta Menggunakan Kombinasi Teknik
Moran’s I dan Geary’s C. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta: Yogyakarta.
[16] Tuman, 2001,” Overview of GIS”,
http://www.gisdevelopment.net/tutorials/tuman006.htm. Diakses tanggal 17 Februari 2012.
[17] As-syakur , A.R. , I W. Nuarsa , I N. Sunarta.2002. Pemutakhiran peta agroklimat klasifikasi
Oldeman di Pulau Lombok dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografi. Pusat Penelitian
Lingkungan Hidup (PPLH), Jurusan Agroekoteknologi Fakultas Pertanian, Universitas Udayana,
Bali
http://pplh.unud.ac.id/wpcontent/uploads/2012/02/10_abdrahman1_pmli_b1_2010.pdf. Diakses
tanggal 15 Februari 2012.
[18] Oldeman, L.R. 1980. The Agroclimatie Classification of Rice Growing Enviroiment in Indonesia.
IRRI Phillipine
[19] Trisetyo, Ade. 2009. Deteksi Spatial Outlier pada Data Hasil Pilkada Kota Bogor berdasarkan
Tempat Pemungutan Suara. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian
Bogor. Bogor
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/12121/Metode%20Penelitian%20%20G09
atr.pdf?sequence=12. Diakses tanggal 25 Februari 2012.