Post on 30-Jun-2015
Penggunaan Metode Penemuan untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Mahasiswa Keguruan
Sutji Rochaminah
Abstrak
Penelitian eksperimen ini berfokus pada upaya untuk mengungkap
perbandingan peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa calon guru matematika sekolah menengah sebagai akibat dari penggunaan metode penemuan. Penelitian ini dilakukan pada dua Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), yaitu LPTK dengan klasifikasi baik dan LPTK dengan klasifikasi cukup. Sampel penelitian berjumlah 183 mahasiswa calon guru yang mengikuti perkuliahan matematika diskrit dalam tahun akademik 2006/2007; 72 mahasiswa dari LPTK dengan klasifikasi baik dan 111 mahasiswa dari LPTK dengan klasifikasi cukup. Sampel terbagi dalam empat kelas yaitu dua kelas adalah kelas eksperimen dan dua kelas adalah kelas kontrol. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling yang mewakili klasifikasi LPTK dan tahun akademik mahasiswa. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua perangkat tes kemampuan berpikir kritis yang berbeda topiknya. Tes digunakan untuk mengukur aspek-aspek kemampuan berpikir kritis matematis. Berdasarkan hasil analisis data dalam penelitian ini, diperoleh kesimpulan bahwa pembelajaran penemuan berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis matematis, ditinjau berdasarkan klasifikasi LPTK dan kemampuan akademik mahasiswa calon guru. Kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa calon guru dari LPTK dengan klasifikasi baik dalam kategori cukup sedangkan mahasiswa calon guru dari LPTK dengan klasifikasi cukup dalam kategori rendah. Kata kunci : Metode penemuan, kemampuan berpikir kritis matematis Glossary: Kemampuan berpikir kritis matematis; kelas eksperimen; kelas kontrol;
purposive sampling;
A. Pendahuluan
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut seseorang untuk
dapat menguasai informasi dan pengetahuan. Dengan demikian diperlukan suatu
kemampuan memperoleh, memilih dan mengolah informasi. Kemampuan-
kemampuan tersebut membutuhkan pemikiran yang kritis, sistematis, logis, dan
kreatif. Oleh karena itu diperlukan suatu program pendidikan yang dapat
mengembangkan kemampuan berpikir kritis, sistematis, logis, dan kreatif. Salah
1
satu program pendidikan yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis,
sistematis, logis, dan kreatif adalah matematika. Seperti dikatakan Wittgenstein
(Suriasumantri, 2003) bahwa matematika adalah metode berpikir logis.
Melihat pentingnya matematika dan peranannya dalam menghadapi
kemajuan IPTEK dan persaingan global maka peningkatan mutu pendidikan
matematika di semua jenis dan jenjang pendidikan harus selalu diupayakan.
Upaya peningkatan mutu pendidikan matematika telah banyak dilakukan
pemerintah. Salah satunya dengan memperbaiki Kurikulum 1994 dengan
mengembangkan Kurikulum 2004 dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP).
Pada KTSP dijelaskan bahwa pembelajaran matematika bertujuan agar
peserta didik memiliki kemampuan (1) memahami konsep matematika,
menjelaskan keterkaitan antar konsep, dan mengaplikasikan konsep atau algoritma
secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah; (2)
menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika
dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan
pernyataan matematika; (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan
memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan
menafsirkan solusi yang diperoleh; (4) mengkomunikasikan gagasan dengan
simbol, tabel diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah;
(5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika,
serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (Depdiknas, 2006).
Kemampuan matematika yang harus dimiliki oleh siswa pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah harus dimiliki pula oleh mahasiswa matematika.
Committee on the Undergraduate Program in Mathematics (CUPM) 2004
memberikan 6 rekomendasi dasar untuk jurusan, program dan semua mata kuliah
dalam matematika. Salah satu rekomendasinya menerangkan bahwa setiap mata
kuliah dalam matematika hendaknya merupakan aktivitas yang akan membantu
mahasiswa dalam pengembangan analitis, penalaran kritis, pemecahan masalah
dan keterampilan komunikasi.
2
Dari uraian tentang kemampuan yang harus dimiliki mahasiswa
matematika serta rekomendasi CUPM 2004 sudah seharusnya lembaga
pendidikan yang bertugas mendidik calon guru matematika mempersiapkan
mahasiswanya untuk memiliki kemampuan berpikir kritis matematis. LPTK yang
bertugas melahirkan calon guru matematika bertanggung jawab mempersiapkan
mahasiswanya untuk memperkuat kemampuan berpikir kritis. Kemampuan
berpikir kritis bukanlah pembawaan sejak lahir namun kemampuan seseorang
yang harus ditumbuhkembangkan. Dosen memegang peranan dalam usaha
pengembangan kemampuan berpikir kritis.
Dalam proses pembelajaran, nampaknya belum banyak dosen yang
menciptakan kondisi dan situasi yang memungkinkan mahasiswa untuk
melakukan proses berpikir kritis. Hal ini terlihat dari kegiatan dosen dan
mahasiswa pada saat kegiatan belajar-mengajar. Dosen menjelaskan apa-apa
yang telah disiapkan dan memberikan soal latihan yang bersifat rutin dan
prosedural. Mahasiswa hanya mencatat atau menyalin dan cenderung menghafal
rumus-rumus atau aturan-aturan matematika dengan tanpa makna dan pengertian.
Strategi yang paling sering dilakukan dosen untuk mengaktifkan
mahasiswa adalah melibatkan mahasiswa dalam diskusi dengan seluruh kelas,
yaitu dari dosen ke mahasiswa dan dari mahasiswa ke dosen. Berdasarkan kondisi
kegiatan pembelajaran tersebut, mahasiswa tidak terlatih berpikir kritis. Padahal
salah satu tujuan jangka panjang pembelajaran matematika adalah
mengembangkan pemikiran yang kritis.
Hasil studi pendahuluan terhadap sejumlah mahasiswa yang sedang
mengikuti perkuliahan matematika diskrit di salah satu universitas dan hasil
penilaian tes nasional olimpiade matematika tingkat mahasiswa menunjukkan
bahwa kemampuan berpikir kritis matematis dapat dikatakan masih rendah.
Menyikapi permasalahan yang berkaitan dengan kondisi kegiatan
pembelajaran di kelas, rendahnya kemampuan berpikir kritis matematis
mahasiswa dan pentingnya berpikir kritis maka perlu upaya perbaikan dan inovasi
dalam proses pembelajaran. Untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis
matematis, lembaga pendidikan yang mendidik calon guru matematika perlu
3
melakukan pembenahan dalam proses pembelajarannya. Seperti dikatakan Fruner
dan Robinson (2004) bahwa untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis
matematis pembelajaran harus difokuskan pada pemahaman konsep dengan
berbagai pendekatan daripada keterampilan prosedural.
Pott (1994) menyatakan ada tiga strategi spesifik untuk pembelajaran
kemampuan berpikir kritis, yakni membangun kategori, menentukan masalah, dan
menciptakan lingkungan yang mendukung (fisik dan intelektual). Metode
pembelajaran yang mempunyai karakteristik tersebut diantaranya pembelajaran
penemuan. Hal ini didasarkan pada proses pembelajaran penemuan yang
digambarkan Veermans (Lakkala, Ilomakki, dan Veermans, 2003) yaitu orientasi,
menyusun hipotesis, menguji hipotesis, membuat kesimpulan dan mengevaluasi
(mengontrol). Rangkaian kegiatan dalam proses pembelajaran penemuan
merupakan aktivitas dalam berpikir kritis. Dengan demikian proses belajar
matematika dengan penemuan dapat merangsang mahasiswa untuk berpikir kritis.
Upaya pembenahan dalam rangka meningkatkan kemampuan berpikir
kritis dengan pembelajaran penemuan difokuskan pada pemberian kesempatan
mahasiswa untuk membangun pengetahuan secara aktif artinya pengetahuan
ditemukan, dibentuk, dan dikembangkan oleh mahasiswa baik secara individu
maupun kelompok dengan menggunakan belajar kooperatif. Hal ini dikarenakan
pendidikan merupakan proses sosial yang tidak dapat terjadi tanpa adanya
interaksi antar mahasiswa (Lie, 2004). Aktivitas belajar dan bekerja secara
kooperatif dalam kelompok kecil dapat mengakomodasi perkembangan
kemampuan berpikir kritis matematis.
Berdasar uraian di atas, masalah yang diteliti dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimana gambaran kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa calon guru
yang belajar melalui metode penemuan dan pembelajaran konvensional?
Sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, tujuan
penelitian ini adalah menelaah tentang kemampuan berpikir kritis matematis
mahasiswa yang belajar melalui metode penemuan dan mahasiswa yang belajar
melalui pembelajaran konvensional.
4
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan disain kelompok
kontrol hanya postes yaitu:
X O
O
Keterangan:
X : Pembelajaran penemuan dalam setting belajar kooperatif.
O : Tes kemampuan berpikir kritis matematis
B. Kajian Teori
Berpikir Kritis
Berikut ini diuraikan beragam definisi berpikir kritis, akan tetapi masing-
masing komponen berpikir kritis dari ahli-ahli berbeda mengandung banyak
kesamaan. Definisi-definisi inilah yang dijadikan landasan dalam penelitian ini.
Krulik dan Rudnik (1993) mendefinisikan berpikir kritis adalah berpikir
yang menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek dari situasi
masalah. Termasuk di dalam berpikir kritis adalah mengelompokkan,
mengorganisasikan, mengingat dan menganalisis informasi. Berpikir kritis
memuat kemampuan membaca dengan pemahaman dan mengidentifikasi materi
yang diperlukan dengan yang tidak ada hubungan. Hal ini juga berarti dapat
menggambarkan kesimpulan dengan sempurna dari data yang diberikan, dapat
menentukan ketidakkonsistenan dan kontradiksi di dalam sekelompok data.
Berpikir kritis adalah analitis dan refleksif.
Berdasarkan pengertian berpikir kritis menurut Krulik dan Rudnik yaitu
berpikir kritis adalah berpikir analitis mengandung pengertian bahwa berpikir kitis
berlangsung selangkah demi selangkah. Termasuk dalam berpikir analitis adalah
proses berpikir untuk mengklarifikasi, membandingkan, menarik kesimpulan dan
mengevaluasi.
Berpikir refleksif mempunyai karakteristik menangguhkan keyakinan dan
melihat kembali ketercukupan dari premis-premis yang logis. Seseorang yang
berpikir refleksif mempertimbangkan segala alternatif sebelum mengambil
keputusan. Oleh karena itu orang yang berpikir refleksif tidak menerima
5
sembarang pendapat, namun tidak berarti selalu menganggap salah terhadap
semua pernyataan orang lain. Berpikir refleksif bertujuan pada apakah meyakini
atau melakukan sesuatu.
Penelitian pendidikan telah mengidentifikasi beberapa keterampilan yang
berhubungan dengan kemampuan berpikir kritis yaitu menemukan analogi dan
hubungan lainnya antar informasi, menentukan relevansi dan validitas informasi
yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah, dan menentukan dan
mengevaluasi solusi atau cara-cara alternatif penyelesaian (Pott, 1994).
Menurut Ennis (1996) berpikir kritis adalah suatu proses berpikir yang
bertujuan untuk membuat keputusan yang rasional yang diarahkan untuk
memutuskan apakah meyakini atau melakukan sesuatu. Dari definisi Ennis dapat
diungkapkan beberapa hal penting. Berpikir kritis difokuskan kedalam pengertian
sesuatu yang penuh kesadaran dan mengarah pada sebuah tujuan. Tujuan dari
berpikir kritis adalah untuk mempertimbangkan dan mengevaluasi informasi yang
pada akhirnya memungkinkan kita untuk membuat keputusan.
Berpikir kritis berfokus pada apakah meyakini atau melakukan sesuatu
mengandung pengertian bahwa mahasiswa yang berpikir kritis tidak hanya
percaya begitu saja apa yang dijelaskan oleh dosen. Mahasiswa berusaha
mempertimbangkan penalarannya dan mencari informasi lain untuk memperoleh
kebenaran.
Chanche (Huitt, 1998) seorang ahli psikologi kognitif mendefinisikan
berpikir kritis sebagai kemampuan untuk menganalisis fakta, membangkitkan dan
mengatur ide, mempertahankan pendapat, membuat perbandingan, menarik
kesimpulan, mengevaluasi argumen dan memecahkan masalah. Menurut
Sukmadinata (2004) berpikir kritis adalah suatu kecakapan nalar secara teratur,
kecakapan sistematis dalam menilai, memecahkan masalah, menarik keputusan,
memberikan keyakinan, menganalisis asumsi, dan pencarian ilmiah.
Berpikir kritis dari Chenche dan Sukmadinata mempunyai kesamaan yaitu
proses mental untuk menganalisis, mengevaluasi, dan memecahan masalah.
Melalui proses berpikir dengan kritis seseorang dapat memperoleh informasi
6
dengan benar, mengevalusinya dan memproses informasi tersebut sehingga
diperoleh suatu kesimpulan yang terpercaya.
Swart dan Perkin (Hassoubah, 2004) menyatakan bahwa berpikir kritis
berarti mencari dan menghimpun informasi yang dapat dipercaya untuk dipakai
sebagai bukti yang dapat mendukung suatu penilaian. Dengan demikian berpikir
kritis sebagian besar terdiri dari mengevaluasi argumen atau informasi dan
membuat keputusan yang dapat membantu mengembangkan kepercayaan dan
mengambil tindakan serta membuktikan.
Berpikir kritis matematis adalah berpikir kritis pada bidang ilmu
matematika. Dengan demikian berpikir matematis adalah proses berpikir kritis
yang melibatkan pengetahuan matematika, penalaran matematika dan pembuktian
matematika. Berpikir kritis dalam matematika merupakan kemampuan berpikir
kritis dalam menyelesaikan masalah matematika. Berdasar pada definisi-definisi
berpikir kritis yang dikemukakan para ahli, dalam penelitian ini dikembangkan
indikator berpikir kritis matematis yang diklasifikasikan atas lima komponen
berpikir kritis, yaitu analisis, evaluasi, pembuktian, pemecahan masalah, dan
menemukan analogi.
Pembelajaran dengan Penemuan (Discovery Learning)
Dalam kegiatan belajar-mengajar dosen memegang peranan kunci dalam
usaha pengembangan kemampuan berpikir kritis. Untuk itu dosen perlu
memahami strategi pembelajaran atau pendekatan-pendekatan pembelajaran yang
tepat agar mahasiswa mampu berpikir kritis dan mendorong mahasiswa agar
berpikir kritis. Pott (1994) menyatakan ada tiga strategi spesifik untuk
pembelajaran kemampuan berpikir kritis, yakni membangun kategori, menentukan
masalah, dan menciptakan lingkungan yang mendukung.
Kategori dibangun berdasarkan konsep yang ingin disampaikan dosen
dalam pembelajaran. Strategi membangun kategori merupakan penalaran induktif
yang membantu mahasiswa mengkategorikan informasi dengan penemuan aturan
dibandingkan hanya dengan mengingat. Melalui pengamatan sifat-sifat bersama
yang dimiliki dan sifat-sifat yang tidak dimiliki mahasiswa membangun
7
pemahaman suatu konsep. Pembelajaran aktif seperti itu menghasilkan
pemahaman konsep yang baik dan bertahan lama dan lebih memungkinkan untuk
mengaitkan materi dibandingkan dengan metode pengajaran langsung.
Untuk mencapai suatu pemahaman konsep, identifikasi masalah dapat
membantu menciptakan suasana berpikir bagi peserta didik. Keberhasilan dalam
pembelajaran ini ditentukan pula oleh terciptanya keadaan pada saat proses
pembelajaran yang menyenangkan.
Strategi yang ketiga menurut Pott (1994) adalah menciptakan lingkungan
yang mendukung. Berpikir kritis dalam kelas difasilitasi oleh lingkungan fisik
dan intelektual yang mendorong semangat untuk menemukan. Salah satu
lingkungan fisik yang mendukung berpikir kritis dalam kelas adalah susunan
tempat duduk mahasiswa. Bila tempat duduk mahasiswa disusun sedemikian
sehingga mahasiswa dapat saling berinteraksi dengan mahasiswa yang lain dan
dengan dosen ini membantu mahasiswa untuk berpikir kritis.
Lingkungan intelektual yang mendorong mahasiswa untuk menemukan
dapat diciptakan melalui pembelajaran penemuan. Metode penemuan merupakan
teknik pengajaran yang dalam pelaksanaannya mahasiswa diarahkan untuk
menemukan informasi dari bahan ajar yang dipelajarinya. Pembelajaran dengan
penemuan merupakan pembelajaran yang memberikan kesempatan mahasiswa
untuk aktif.
Menurut Ruseffendi (1988) metode penemuan adalah metode mengajar
yang mengatur pengajaran sedemikian rupa sehingga anak memperoleh
pengetahuan yang sebelumnya belum diketahuinya itu tidak melalui
pemberitahuan: sebagian atau seluruhnya ditemukan sendiri. Dengan demikian
dalam pembelajaran dengan penemuan, mahasiswa dapat memperoleh
pengetahuan dari pengalamannya menyelesaikan masalah bukan melalui transmisi
dari dosen.
Salah satu tujuan pembelajaran penemuan adalah agar mahasiswa
memiliki kemampuan berpikir kritis. Hal ini disebabkan mahasiswa melakukan
aktivitas mental sebelum materi yang dipelajari dapat dipahami. Aktivitas mental
tersebut misalnya menganalisis, mengklasifikasi, membuat dugaan, menarik
8
kesimpulan, menggeneralisasi dan memanipulasi informasi. Bruner (Dahar, 1988)
menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan
secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling
baik.
Ruseffendi (1988) menyatakan belajar penemuan itu penting, sebab
matematika adalah bahasa yang abstrak : konsep dan lain-lainnya itu akan lebih
melekat bila melalui penemuan dan dapat meningkatkan kemampuan
memecahkan masalah. Menurut Ernest (1991) bahwa belajar matematika adalah
pertama dan paling utama adalah aktif, dengan siswa belajar melalui permainan,
kegiatan, penyelidikan, proyek, diskusi, eksplorasi, dan penemuan.
Dreyfus (1991) menegaskan bahwa penemuan, intuisi, dan memeriksa
kembali (mengecek) adalah hanya permulaan dari serangkaian proses matematika,
tujuaannya tetap memahami hubungan yang abstrak. Oleh karena itu aktivitas
mahasiswa harus dari penemuan, intuisi dan memeriksa kembali (mengecek)
menuju proses-proses yang lebih formal seperti mendefinisikan dan
membuktikan.
Dari pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam
mengajar matematika, dosen tidak perlu menjejalkan seluruh informasi kepada
mahasiswa. Dosen perlu membimbing suasana belajar mahasiswa sehingga
mencerminkan proses penemuan bagi mahasiswa. Materi yang disajikan kepada
mahasiswa bentuk akhirnya atau cara mencarinya tidak diberitahukan.
Mahasiswa diberi kesempatan untuk mencari dan menemukan informasi dari
bahan ajar yang dipelajari, dosen hanya sebagai fasilitator saja.
Belajar melalui penemuan berpusatkan pada mahasiswa. Belajar
menemukan, menyebabkan mahasiswa berkembang potensi intelektualnya.
Dengan menemukan hubungan dan keteraturan dari materi yang sedang dipelajari,
mahasiswa menjadi lebih mudah mengerti struktur materi yang dipelajari.
Mahasiswa lebih mudah mengingat konsep, struktur atau rumus yang telah
ditemukan.
Dahar (1988) menyatakan beberapa keuntungan belajar menemukan yaitu
1) pengetahuan bertahan lama atau lebih mudah ingat.
9
2) hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik dengan
kata lain konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang dijadikan milik kognitif
seseorang lebih mudah diterapkan pada situasi-situasi baru.
3) secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan
kemampuan untuk berpikir bebas.
Selain beberapa keuntungan dari belajar menemukan seperti yang
dijelaskan di atas, belajar menemukan juga mempunyai kelemahan yaitu belajar
menemukan membutuhkan waktu persiapan dan belajar yang lebih lama
dibandingkan dengan belajar menerima, kelas tidak terlalu besar agar mahasiswa
mendapat perhatian dosen, dan belajar menemukan tidak menjangkau seluruh
materi yang dianjurkan oleh kurikulum. Hal ini sejalan dengan pendapat Dreyfus
(1991) yang menyatakan bahwa belajar dengan penemuan menghabiskan waktu
dan ini salah satu alasan mengapa dosen cenderung tidak menggunakan
penemuan.
Melihat kelemahan belajar penemuan, maka diperlukan kombinasi dalam
pembelajarannya, yaitu dosen tidak sepenuhnya melepas mahasiswa untuk
menemukan konsep, prosedur dan prinsip sendiri melainkan dapat berkolaborasi
dengan teman. Untuk memperkecil (mengurangi) kelemahan-kelemahan tersebut
maka diperlukan bantuan dosen. Quirk (1989) menyatakan bahwa guru
matematika yang baik membantu siswanya menemukan matematika.
Biknell-Holmes dan Hoffman (Castronova, 2002: 2) menjelaskan tiga ciri
utama belajar menemukan
1). Mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk menciptakan,
menggabungkan dan menggeneralisasi pengetahuan.
2). Berpusat pada mahasiswa.
3). Kegiatannya untuk menggabungkan pengetahuan baru dan pengatahuan yang
sudah ada.
Pada metode penemuan konsep dan prosedur yang dipelajari mahasiswa
merupakan hal yang baru, belum diketahui sebelumnya. Oleh karena itu beberapa
instruksi atau petunjuk perlu diberikan kepada mahasiswa apabila mereka belum
mampu menunjukkan ide atau gagasan. Dalam menemukan konsep dan prosedur
10
yang dipelajari, sebaiknya mahasiswa tidak dilepas begitu saja bekerja untuk
menemukan, tetapi diberikan bimbingan agar mahasiswa tidak tersesat.
Bimbingan tersebut dapat dimulai dengan mengajukan beberapa pertanyaan dan
dengan memberikan informasi secara singkat.
Untuk sampai kepada konsep yang harus ditemukan, sangat tergantung
kepada pengetahuan siap mahasiswa dan pengetahuan baru mahasiswa yang baru
saja diperolehnya. Oleh karena itu metode penemuan yang diterapkan dalam
proses pembelajaran adalah metode penemuan terbimbing dan dibawakan melalui
bekerja dalam kelompok. Dengan kata lain metode penemuan terbimbing dengan
setting belajar kooperatif.
Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah dan kajian teoritik yang telah dikemukakan
di atas, hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut;
1. Kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa yang belajar melalui
metode penemuan lebih baik daripada mahasiswa yang belajar melalui
pembelajaran konvensional ditinjau dari (a) keseluruhan ( b) klasifikasi
LPTK baik, (c) klasifikasi LPTK cukup.
2. Kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa yang belajar melalui
metode penemuan lebih baik daripada mahasiswa yang belajar melalui
pembelajaran konvensional ditinjau dari kemampuan akademik mahasiswa
pada (a) keseluruhan, ( b) klasifikasi LPTK baik, (c) klasifikasi LPTK cukup
C. Hasil dan Pembahasan
Hasil Penelitian
Sebelum melakukan analisis data hasil tes kemampuan berpikir kritis
matematis akan dilakukan uji perbedaan kemampuan awal kelas eksperimen dan
kelas kontrol pada masing-masing LPTK serta secara keseluruhan. Untuk
menguji perbedaan kemampuan awal dari kedua kelas digunakan Indek Prestasi
11
(IP) mahasiswa. Nilai rata-rata dan varians IP mahasiswa untuk masing-masing
LPTK serta secara keseluruhan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1.
Data Indeks Prestasi Mahasiswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Kelas Kontrol Kelas Eksperimen Klasifikasi Rata-rata Varians Rata-rata Varians
LPTK Baik 2.81 0.11 2.94 0.14 LPTK Cukup 2.80 0.10 2.81 0.07 Keseluruhan 2.80 0.10 2.86 0.10
Rentang Skor : 0 - 4
Hasil uji perbedaan rata-rata IP mahasiswa dengan uji-t seperti tercantum
dalam Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Uji Perbedaan Kemampuan Awal Kelas Eksperimen dan
Kelas Kontrol
t Sig (2-tailed) H0LPTK Baik 1.617 0.110 Terima LPTK Cukup 0.202 0.840 Terima Keseluruhan 1.290 0.198 Terima
H0: tidak ada perbedaan rata-rata IP mahasiswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol
Berdasarkan rangkuman hasil uji-t dalam Tabel 2 dapat disimpulkan
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata IP mahasiswa kelas
eksperimen dan kelas kontrol baik di LPTK dengan klasifikasi baik, LPTK
dengan klasifikasi cukup maupun gabungan keduanya. Hal ini dapat diartikan
bahwa kemampuan awal dari masing-masing kelas tidak mempunyai perbedaan
yang berarti.
Berikut ini disajikan hasil penelitian yang meliputi perbandingan
kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa calon guru berdasarkan
(1) klasifikasi LPTK dan pembelajaran, (2) klasifikasi LPTK dan kemampuan
akademik mahasiswa, (3) pembelajaran dan kemampuan akademik mahasiswa.
Analisis yang dilakukan didasarkan pada hasil tes kemampuan berpikir kritis
matematis yang berkaitan dengan materi bahan ajar.
12
Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Berdasarkan Klasifikasi LPTK dan Pembelajaran
Berdasarkan variasi klasifikasi LPTK dan pembelajaran, rata-rata dan
simpangan baku skor kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa disajikan
dalam Tabel 3.
Tabel 3. Skor Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Berdasarkan Klasifikasi LPTK dan Pembelajaran
Skor Kemampuan Berpikir Kritis Matematis LPTK Pembelajaran
Rata-rata SD
Penemuan 57.28 16.03 Baik
Konvensional 43.57 14.95
Penemuan 37.22 12.50 Cukup
Konvensional 32.61 11.65
Penemuan 45.25 17.08 Keseluruhan
Konvensional 36.86 14.02
Keterangan : Skor Ideal 100
Berdasarkan uji statistik dengan Anova dua jalur, dapat dirangkum hasil
analisis data kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa calon guru ditinjau
dari klasifikasi LPTK dan metode pembelajaran seperti pada Tabel 4.
Tabel 4 Hasil Anova Dua Jalur dengan Variabel Klasifikasi LPTK dan
Pembelajaran
Variabel F p H0
Klasifikasi LPTK 57.428 0.000 Tolak Pembelajaran 20.036 0.000 Tolak Interaksi 4.941 0.027 Tolak
H0 : tidak ada perbedaan kemampuan berpikir kritis matematis antara mahasiswa LPTK dengan klasifikasi baik dan LPTK dengan klasifikasi cukup.
H0 : tidak ada perbedaan kemampuan berpikir kritis matematis antara mahasiswa yang belajar melalui pembelajaran penemuan dan yang melalui pembelajaran konvensional.
H0 : tidak ada interaksi antara pembelajaran dan klasifikasi LPTK.
Berdasarkan Tabel 4 tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
kemampuan berpikir kritis matematis yang signifikan antara mahasiswa calon
13
guru yang dikelompokkan berdasarkan pendekatan pembelajaran. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis
matematis antara mahasiswa calon guru yang memperoleh pembelajaran
penemuan dengan yang memperoleh pembelajaran konvensional. Selain itu
terdapat interaksi yang signifikan antara klasifikasi LPTK dan pembelajaran.
KONVENSIONAL PENEMUAN
PEMBELAJARAN
30.00
35.00
40.00
45.00
50.00
55.00
60.00
Estim
ated
Mar
gina
l Mea
ns
LPTKBAIKCUKUP
Estimated Marginal Means of RATAAN_TES1danTES2
Gambar 1. Interaksi antara Klasifikasi LPTK dan Pembelajaran
Untuk mengetahui pembelajaran mana yang lebih baik dalam kemampuan
berpikir kritis matematis mahasiswa calon guru, dilakukan uji statistik melalui uji-
t Hasil perhitungan terangkum pada Tabel 5.
14
Tabel 5. Hasil Uji-t Perbandingan KBKM antara Mahasiswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Perbandingan
Pembelajaran
t p (1-tailed) H0
PP >< PK 3.625 0.000 Tolak
Keterangan: PP = Pembelajaran Penemuan, PK = Pembelajaran Konvensional, >< = versus
H0 : tidak terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis matematis antara mahasiswa yang memperoleh PP dan yang memperoleh PK.
H1 : kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa yang memperoleh PP lebih baik daripada mahasiswa yang memperoleh PK.
Dari Tabel 5 terlihat bahwa kemampuan berpikir kritis matematis
mahasiswa calon guru yang belajar melalui pembelajaran penemuan lebih baik
daripada mahasiswa yang belajar melalui pembelajaran konvensional.
Selanjutnya untuk masing-masing klasifikasi LPTK, kemampuan berpikir
kritis matematis mahasiswa calon guru ditinjau dari pembelajarannya, hasil
analisis dirangkum pada Tabel 6 untuk LPTK dengan klasifikasi baik dan Tabel 7
untuk LPTK dengan klasifikasi cukup.
Tabel 6 Hasil Uji-t Perbandingan KBKM antara Mahasiswa Kelas
Eksperimen dan Kelas Kontrol pada LPTK dengan Klasifikasi Baik
Perbandingan
Pembelajaran
t p (1-tailed) H0
PP >< PK 3.751 0.000 Tolak
H0 : tidak ada perbedaan yang signifikan KBKM yang mendapat PP dan PK H1 : kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa yang memperoleh PP lebih
baik daripada mahasiswa yang memperoleh PK.
Dari Tabel 6. dapat disimpulkan bahwa pada LPTK dengan klasifikasi
baik kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa calon guru dengan
pembelajaran penemuan lebih baik daripada mahasiswa calon guru dengan
pembelajaran konvensional.
15
Tabel 7. Hasil Uji-t Perbandingan KBKM antara Mahasiswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol pada Klasifikasi LPTK Cukup
Perbandingan
Pembelajaran
t p (1-tailed) H0
PP >< PK 2.010 0.023 Tolak
H0: tidak ada perbedaan yang signifikan KBKM mahasiswa yang mendapat PP dan PK
H1: kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa yang memperoleh PP
lebih baik daripada mahasiswa yang memperoleh PK.
Berdasarkan Tabel 7 nampak bahwa pada LPTK dengan klasifikasi cukup
kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa calon guru yang belajar melalui
pembelajaran penemuan lebih baik secara signifikan dari pada mahasiswa calon
guru dengan pembelajaran konvensional.
Berdasarkan Tabel 5, Tabel 6, dan Tabel 7 nampak bahwa mahasiswa
calon guru yang belajar melalui metode penemuan kemampuan berpikir kritis
matematisnya lebih baik secara signifikan daripada mahasiswa yang belajar
melalui pembelajaran konvensional ditinjau dari keseluruhan, LPTK dengan
klasifikasi baik dan LPTK dengan klasifikasi cukup.
Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Berdasarkan Klasifikasi LPTK dan Kemampuan Akademik Mahasiswa
Analisis hasil penelitian yang berkaitan dengan kemampuan berpikir kritis
matematis ditinjau dari klasifikasi LPTK dan kemampuan akademik mahasiswa
hasil uji statistiknya dirangkum pada Tabel 8 berikut
Tabel 8 Hasil Anova Dua Jalur dengan Variabel Klasifikasi LPTK dan Kemampuan Akademik Mahasiswa
Skor Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Variabel
H0 F p H0
Klasifikasi LPTK Tolak 72.455 0.000 Tolak Kemampuan Akademik Mahasiswa
Tolak 36.974 0.000 Tolak
Interaksi Tolak 2.301 0.103 Terima H0 : tidak ada perbedaan kemampuan berpikir kritis matematis antara
kemampuan akademik mahasiswa kelompok atas, tengah dan bawah.
16
Berdasarkan Tabel 8 dapat disimpulkan bahwa kemampuan akademik
mahasiswa memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan berpikir
kritis matematis mahasiswa. Artinya, terdapat perbedaan yang signifikan antara
kelompok mahasiswa yang dikelompokkan berdasarkan kemampuan akademik
mahasiswa.
Untuk mengetahui perbedaan rata-rata kemampuan berpikir kritis
matematis mahasiswa calon guru antar kelompok mahasiswa yang dikelompokkan
berdasarkan kemampuan akademik mahasiswa, selanjutnya dilakukan uji statistik
lanjutan (uji-tukey HSD). Berdasarkan perhitungan statistik tersebut, hasilnya
terangkum pada Tabel 9.
Tabel 9. Perbedaan Rata-rata Kemampuan Berpikir Kritis matematis antar
Kemampuan Akademik Mahasiswa
(I) Kemampuan Akademik Mahasiswa
(J) Kemampuan Akademik Mahasiswa
Perbedaan Rata-rata
Sig.
Tengah Bawah 7.9689 .007* Atas Bawah 18.2033 .000*
Tengah 10.2344 .000* Dari Tabel 9 terlihat bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
kemampuan berpikir kritis matematis antara kelompok atas dan tengah serta
kelompok atas dan bawah pada taraf nyata 0.05. Demikian pula terdapat
perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis matematis antara kelompok
tengah dan bawah pada taraf signifikansi 0.05.
Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Berdasarkan Pembelajaran dan Kemampuan Akademik Mahasiswa
Berdasarkan variasi kemampuan akademik mahasiswa dan pembelajaran,
rata-rata skor kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa dan simpangan
bakunya disajikan dalam Tabel 10 berikut
17
Tabel 10. Skor KBKM Berdasar Pembelajaran dan Kemampuan Akademik Mahasiswa
Skor Kemampuan Berpikir Kritis
Matematis Kemampuan Akademik Mahasiswa
Pembelajaran
Rata-rata SD
Atas Penemuan 55.16 18.85
Konvensional 45.91 14.88
Tengah Penemuan 44.92 14.52
Konvensional 35.69 10.13
Bawah Penemuan 35.66 11.94
Konvensional 28.97 11.32
Analisis hasil penelitian yang berkaitan dengan kemampuan berpikir kritis
matematis ditinjau dari pembelajaran dan kemampuan akademik mahasiswa hasil
uji statistiknya dirangkum pada Tabel 11.
Tabel 11. Hasil Anova Dua Jalur dengan variabel Pembelajaran dan Kemampuan Akademik Mahasiswa
Variabel F p H0
Pembelajaran 16.848 0.000 Tolak Kemampuan Akademik Mahasiswa 26.634 0.000 Tolak Interaksi 0.172 0.842 Terima
H0 : tidak ada perbedaan kemampuan berpikir kritis matematis antara kemampuan akademik mahasiswa atas, tengah dan bawah.
H0 : tidak ada perbedaan kemampuan berpikir kritis matematis antara mahasiswa yang belajar melalui pembelajaran penemuan dan yang melalui pembelajaran konvensional.
H0 : tidak ada interaksi antara pembelajaran dan kemampuan akademik mahasiswa.
Dari Tabel 11 dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dan kemampuan
akademik mahasiswa memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan
berpikir kritis matematis mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan antar mahasiswa yang memperoleh pembelajaran
berbeda maupun antar kemampuan akademik mahasiswa. Sementara itu tidak
18
ditemukan adanya interaksi antara variabel pembelajaran dan kemampuan
akademik mahasiswa. Interaksi antar keduanya Gambar 2.
ATAS TENGAH v BAWAH
KELOMPOK_MAHASISWA
30.00
40.00
50.00
60.00
Estim
ated
Mar
gina
l Mea
ns
PEMBELAJARANKONVENSIONALPENEMUAN
Estimated Marginal Means of RATAAN_TES1danTES2
Gambar 2. Interaksi antara Pembelajaran dan Kemampuan Akademik Mahasiswa
Gambar 2 memperlihatkan adanya interaksi antara kemampuan akademik
mahasiswa dan pembelajaran. Namun, menurut hasil uji yang tercantum dalam
Tabel 11 interaksi tersebut tidak cukup signifikan
Dari Gambar 2 juga terlihat bahwa tidak ada perbedaan rata-rata
kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa kelompok bawah di kelas
eksperimen dan rata-rata kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa
kelompok tengah di kelas kontrol. Gambar tersebut juga menginformasikan
19
bahwa tidak terdapat perbedaan yang mencolok antara rata-rata kemampuan
berpikir kritis matematis mahasiswa kelompok tengah yang belajar melalui
pembelajaran penemuan dan rata-rata kemampuan berpikir kritis matematis
mahasiswa kelompok atas yang belajar dengan pembelajaran konvensional. Hal
tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran cukup berperan terhadap kemampuan
berpikir kritis matematis mahasiswa calon guru.
Selanjutnya untuk mengetahui pembelajaran mana yang lebih baik
terhadap kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa calon guru untuk
kemampuan akademik yang sama, maka dilakukan uji-t. Hasil uji statistik
tersebut dirangkum pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil Uji-t Perbandingan KBKM antara Kelas Ekperimen dan Kelas Kontrol pada Kelompok Sama
Kemampuan Akademik Mahasiswa
t Sig (1-tailed) H0
Atas 2.148 0.018 Tolak Tengah 2.873 0.003 Tolak Bawah 2.247 0.014 Tolak
H0 : tidak terdapat perbedaan yang signifikan KBKM mahasiswa pada kelompok sama antara mahasiswa yang mendapat pembelajaran penemuan dan konvensional
Dari hasil uji-t pada Tabel 12, terlihat pada kelompok yang sama mahasiswa
calon guru yang mendapat pembelajaran penemuan kemampuan berpikir kritis
matematis secara signifikan lebih baik daripada mahasiswa yang mendapat
pembelajaran konvensional.
Untuk masing-masing klasifikasi LPTK, kemampuan berpikir kritis
matematis antara mahasiswa yang belajar melalui pembelajaran penemuan dan
pembelajaran konvensional pada kelompok sama dirangkum pada Tabel 13 dan
Tabel 14.
Tabel 13 Hasil Uji-t Perbandingan KBKM antara Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
pada Kelompok Sama di Klasifikasi LPTK Baik Kemampuan Akademik
Mahasiswa t Sig (1-tailed) H0
Atas 2.525 0.009 Tolak Tengah 3.331 0.001 Tolak Bawah 2.515 0.009 Tolak
20
H0 : tidak terdapat perbedaan yang signifikan KBKM mahasiswa pada kelompok sama antara mahasiswa yang mendapat pembelajaran penemuan dan konvensional
Tabel 14. Hasil Uji-t Perbandingan KBKM antara Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
pada Kelompok Sama di Klasifikasi LPTK Cukup
Kemampuan Akademik Mahasiswa
t Sig (1-tailed) H0
Atas 1.225 0.114 Terima Tengah 1.870 0.035 Tolak Bawah 1.046 0.151 Terima
H0 : tidak terdapat perbedaan yang signifikan KBKM mahasiswa pada kelompok sama antara mahasiswa yang mendapat pembelajaran penemuan dan konvensional
Dari Tabel 13 terlihat bahwa pada kelompok yang sama mahasiswa calon
guru yang mendapat pembelajaran penemuan kemampuan berpikir kritis
matematisnya secara signifikan lebih baik daripada mahasiswa yang mendapat
pembelajaran konvensional .
Sedangkan dari Tabel 14 baik mahasiswa dari kelompok atas dan bawah
pada klasifikasi LPTK cukup yang mendapat pembelajaran berbeda tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan. Mahasiswa calon guru dari kelompok
tengah yang mendapat pembelajaran penemuan kemampuan berpikir kritis
matematisnya secara signifikan lebih baik daripada mahasiswa yang mendapat
pembelajaran konvensional.
Aktifitas Mahasiswa dalam Pembelajaran
Proses pembelajaran yang terjadi untuk kelas eksperimen secara umum
sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Hal ini tercermin dari proses aktif
mahasiswa dalam mengerjakan lembar aktivitas mahasiswa (LAM). Mula-mula
mahasiswa mengerjakan lembar aktivitas mahasiswa secara individu selanjutnya
secara kooperatif dalam kelompoknya.
Melalui pertanyaan-pertanyaan yang dituangkan dalam LAM, secara
umum mahasiswa sudah dapat mengidentifikasi teknik menghitung penjumlahan
dan teknik menghitung perkalian. Namun beberapa mahasiswa kesulitan dalam
21
menggeneralisasi, membuat definisi dan menuliskan keserupaan antara permutasi
dan faktorial.
Pada umumnya mahasiswa sudah dapat menuliskan definisi Graf Nol,
Graf Teratur dengan derajat r, banyak sisi graf teratur berderajat r yang
mempunyai n titik dan definisi Graf Lengkap. Mahasiswa menemukan definisi
dengan terlebih dahulu mengamati berbagai gambar graf, mengidentifikasi
gambar-gambar Graf yang diberikan, membuat karakteristik, mengklasifikasi,
mengevalusi, menyimpulkan, dan membuat keputusan tentang definisi graf serta
banyak sisi dari sebuah Graf.
Pada saat mengerjakan LAM, mahasiswa nampak berani mengeluarkan
pendapatnya dalam diskusi kecil. Mereka saling beradu pendapat. Mereka
berantusias dalam bertanya, menjelaskan dan menampilkan hasil kerjanya dalam
diskusi kelas.
Pada akhir pertemuan setiap kelompok mengumpulkan hasil kerjanya.
Pertemuan diakhiri dengan diskusi kelas untuk meyimpulkan konsep-konsep
matematika yang ditanyakan dalam lembar aktivitas mahasiswa. Berdasarkan
hasil kerja kelompok, dosen dapat mengevaluasi proses mahasiswa dalam
menemukan konsep, prosedur dan aturan matematika.
Kegiatan pembelajaran dalam kelas eksperimen dari pertemuan pertama
sampai menjelang akhir semester selalui diawali dengan dosen membagi lembar
aktivitas mahasiswa, mahasiswa bekerja dalam kelompok kecil untuk
mengerjakan lembar aktivitas mahasiswa, dan diakhiri dengan mengumpulkan
lembar aktivitas mahasiswa secara kelompok dan diskusi kelas.
Berdasarkan observasi dan wawancara kepada mahasiswa, nampak
beberapa mahasiswa dari kelompok LPTK cukup mengalami kebosanan dengan
model pembelajaran penemuan sepanjang semester. Mereka menginginkan ada
variasi dalam pembelajaran matematika diskrit.
Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis data yang telah disajikan sebelumnya, berikut
ini akan diuraikan deskripsi dan interpretasi data hasil penelitian. Deskripsi dan
22
interpretasi data dianalisis berdasarkan pada pembelajaran penemuan, klasifikasi
LPTK, tingkat kemampuan akademik mahasiswa calon guru, dan kemampuan
berpikir kritis matematis.
1. Pembelajaran Penemuan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis
matematis mahasiswa yang belajar melalui pembelajaran penemuan lebih baik
daripada mahasiswa yang belajar melalui pembelajaran konvensional. Hasil
Temuan ini mengindikasikan pembelajaran penemuan berpengaruh terhadap
kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa calon guru.
Kemampuan berpikir kritis matematis mahasiwa calon guru yang belajar
melalui pembelajaran penemuan lebih baik daripada yang belajar melalui
pembelajaran konvensioanal disebabkan karena pembelajaran penemuan
mendorong perkembangan aktual dan perkembangan potensial mahasiswa.
Melalui pertanyaan-pertanyaan yang dimuat dalam lembar aktivitas mahasiswa
mendorong perkembangan aktual mahasiswa. Sedangkan melalui interaksi antar
mahasiswa mendorong perkembangan potensial mahasiswa.
Mahasiswa yang belajar melalui pembelajaran penemuan melakukan
pengamatan, mengklasifikasi, membuat analogi, menganalisis, dan membuat
kesimpulan (generalisasi) untuk menemukan konsep, prosedur dan prinsip
matematika. Melalui aktivitas mental seperti itu, kemampuan berpikir non-
prosedural mahasiswa mendapat kesempatan diberdayakan. Oleh karena itu
pembelajaran penemuan mengkondisikan mahasiswa melakukan proses berpikir
kritis. Dengan melakukan proses berpikir untuk menemukan konsep, pemahaman
pada konsep yang diperoleh mahasiswa lebih bermakna.
Terjadinya proses berpikir kritis dalam menemukan konsep, prosedur dan
prinsip matematika sangat bergantung pada pertanyaan-pertanyaan yang disajikan
dalam lembar aktivitas mahasiswa. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan harus
mendorong mahasiswa melakukan proses menganalisis, menemukan analogi, dan
mengevaluasi.
23
Hambatan dalam pembelajaran penemuan adalah kemampuan mahasiswa
yang bervariasi. Dengan demikian tingkat kesulitan yang dihadapi mahasiswa
beragam pula dalam menemukan konsep. Karena kesulitan yang dihadapi
mahasiswa beragam, maka untuk mengefektifkan proses pembelajaran perlu
adanya kerja sama antar mahasiswa dalam kelompok kecil. Dalam kelompok
kecil ini mahasiswa berinteraksi secara kooperatif untuk menemukan konsep,
prosedur dan prinsip matematika. Selanjutnya mereka berinteraksi dalam
kelompok besar, yaitu diskusi antar kelompok.
Dalam mengkonstruksi konsep, mahasiswa mendapat bantuan dari dosen.
Bantuan yang diberikan dosen (intervensi dosen) berbentuk pertanyaan-
pertanyaan yang lebih sederhana dan yang lebih mengarahkan mahasiswa untuk
mengkonstruksi konsep. Bentuk bantuan tersebut sebagai lanjutan dari pengajuan
pertanyaan-pertanyaan yang dituangkan melalui lembar aktivitas mahasiswa.
Bantuan yang diberikan dosen bukan untuk individu melainkan untuk kelompok.
Bila ada mahasiswa menemui kesulitan, maka didiskusikan dulu dalam
kelompoknya.
Pembelajaran dengan penemuan efektif bila pertanyaan-pertanyaan dalam
lembar aktivitas mahasiswa disajikan dengan tepat sehingga dapat merangsang
berfikir mahasiswa secara optimal. Ini artinya, pertanyaan-pertanyaan dalam
lembar aktivitas mahasiswa harus mendorong mahasiswa untuk melakukan proses
penemuan. Efektifitas pembelajaran penemuan ditentukan pula oleh bentuk
bantuan dosen. Dalam pembelajaran penemuan pemberikan bantuan pada
mahasiswa dengan teknik scaffolding. Scaffolding didasarkan atas konsep
Vigotsky tentang pembelajaran dengan bantuan.
Berhasil atau tidaknya mahasiswa menemukan konsep, prosedur, dan
prinsip matematika bergantung pula pada bentuk pertanyaan- pertanyaan yang
disajikan dalam lembar aktivitas mahasiswa maupun yang secara lisan pada saat
mahasiswa bekerja sama dalam kelompoknya. Pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan harus terjangkau oleh pikiran mahasiswa. Hal tersebut agar tidak
membuat mahasiswa gagal dalam menemukan konsep. Hal ini dimaksudkan agar
24
mahasiswa tidak merasa frustasi yang dapat mengakibatkan mereka kehilangan
semangat dan percaya diri dalam menemukan konsep.
2. Klasifikasi LPTK
Variabel klasifikasi LPTK dibedakan dalam dua kelompok, yaitu LPTK
dengan klasifikasi LPTK baik dan LPTK dengan klasifikasi cukup.
Pengklasifikasian ini bedasarkan pertimbangan kualitas mahasiswa yang masuk
LPTK dan akreditasi BAN PT. Selanjutnya, kedua klasifikasi LPTK tersebut
dikaitkan dengan variabel pembelajaran dalam kemampuan berpikir kritis
matematis mahasiswa.
Jika dikaitkan dengan variabel pembelajaran, hasil tes menunjukkan
bahwa selisih antara kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa calon guru
pada LPTK dengan klasifikasi baik yang belajar melalui pembelajaran penemuan
dengan yang belajar melalui pembelajaran konvensional secara signifikan lebih
besar dari pada selisih antara kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa
calon guru pada LPTK dengan klasifikasi cukup yang belajar melalui
pembelajaran penemuan dengan yang belajar melalui pembelajaran konvensional.
Hal ini menunjukkan pengaruh pembelajaran terhadap kemampuan berpikir kritis
matematis lebih besar pada LPTK dengan klasifikasi baik daripada LPTK dengan
klasifikasi cukup. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran penemuan
lebih berhasil di LPTK dengan klasifikasi baik daripada di LPTK dengan
klasifikasi cukup. Dengan kata lain pembelajaran penemuan lebih efektif bila
digunakan pada LPTK dengan klasifikasi baik.
Walaupun pembelajaran penemuan lebih berhasil pada LPTK dengan
klasifikasi baik dibandingkan di LPTK dengan klasifikasi cukup namun berdasar
hasil penelitian, pada LPTK dengan klasifikasi cukup kemampuan berpikir kritis
matematis mahasiswa yang belajar melalui pembelajaran penemuan secara
signifikan lebih baik dari pada mahasiswa yang belajar melalui pembelajaran
konvensioanal. Dengan demikian pada LPTK dengan klasifikasi cukup
pembelajaran penemuan berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis
matematis mahasiswa calon guru.
25
Seperti pada LPTK dengan klasifikasi cukup, pada LPTK dengan
klasifikasi baik kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa yang belajar
melalui pembelajaran penemuan secara signifikan lebih baik daripada mahasiswa
yang belajar melalui pembelajaran konvensioanal. Dengan demikian pada LPTK
dengan klasifikasi baik pembelajaran penemuan berpengaruh terhadap
kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa calon guru.
Berdasarkan hasil penelitian, variabel klasifikasi LPTK berpengaruh
secara signifikan terhadap kemampuan berpikir kritis matematis. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa mahasiswa calon guru dari LPTK dengan klasifikasi baik
kemampuan berpikir kritis matematisnya lebih baik dibandingkan dengan
mahasiswa calon guru dari LPTK dengan klasifikasi cukup. Hal ini wajar saja
terjadi, mengingat mahasiswa dari LPTK dengan klasifikasi baik memiliki
kecerdasan yang lebih tinggi dari mahasiswa yang berasal dari LPTK dengan
klasifikasi cukup. Kenyataan ini menunjukkan kecerdasan mahasiswa sangat
berperan terhadap kemampuan berpikir kritis matematis.
3. Kemampuan Akademik Mahasiswa Calon Guru
Dalam penelitian ini, yang dimaksudkan dengan kemampuan akademik
mahasiswa calon guru adalah prestasi belajar mahasiswa yang dicapai secara
kumulatif sebelum pembelajaran. Kemampuan akademik mahasiswa dibedakan
dalam tiga kelompok, yaitu kelompok mahasiswa atas, tengah dan bawah.
Pengelompokkan ini diperoleh berdasarkan nilai indeks prestasi yang diperoleh
mahasiswa.
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada interaksi antara kemampuan
akademik mahasiswa dan metode pembelajaran. Dengan demikian selisih antara
kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa calon guru untuk kelompok atas
yang belajar melalui pembelajaran penemuan dan yang belajar melalui
pembelajaran konvensional sama besar dengan selisih antara kemampuan berpikir
kritis matematis mahasiswa calon guru untuk kelompok tengah yang belajar
melalui pembelajaran penemuan dan yang belajar melalui pembelajaran
konvensional dan sama besar juga dengan selisih antara kemampuan berpikir
26
kritis matematis mahasiswa calon guru untuk kelompok bawah yang belajar
melalui pembelajaran penemuan dan yang belajar melalui pembelajaran
konvensional. Hal ini menunjukkan pengaruh pembelajaran terhadap kemampuan
berpikir kritis matematis sama besar pada kelompok atas, tengah, dan bawah.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran penemuan sama berhasilnya
untuk kelompok atas, tengah, dan bawah. Dengan demikian pembelajaran
penemuan dapat diterapkan kepada kelas dengan kemampuan yang beragam.
Jika kemampuan akademik mahasiswa dikaitkan dengan variabel
pembelajaran, diperoleh bahwa mahasiswa calon guru yang berasal dari
kelompok atas, tengah, dan bawah yang mendapat pembelajaran penemuan
kemampuan berpikir kritis matematisnya lebih baik daripada mahasiswa yang
mendapat pembelajaran konvensional. Temuan ini menjelaskan bahwa
pembelajaran penemuan berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis
matematis pada semua kelompok mahasiswa.
Berdasarkan hasil penelitian, kemampuan akademik mahasiswa
berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan berpikir kritis matematis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa calon guru kelompok atas lebih
baik kemampuan berpikir kritis matematisnya dibandingkan dengan mahasiswa
calon guru kelompok tengah dan bawah. Begitu pula kemampuan berpikir kritis
matematis mahasiswa calan guru kelompok tengah lebih baik daripada mahasiswa
kelompok bawah. Hal tersebut diperkuat oleh hasil analisis korelasi yang
menyimpulkan bahwa kemampuan akademik mahasiswa berkaitan dengan
kemampuan berpikir kritis matematis. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa
pengetahuan yang dimiliki mahasiswa dalam setiap kelas berbanding lurus dengan
kemampuan berpikir kritis matematis.
4. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis
Kemampuan berpikir kritis matematis dalam penelitian ini diartikan
sebagai serangkaian kemampuan berpikir non prosedural yakni berupa
kemampuan menemukan analogi, analisis, evaluasi, memecahan masalah tidak
rutin dan membuktian. Berdasarkan hasil tes yang berkaitan dengan bahan ajar,
27
pembelajaran penemuan berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis
matematis mahasiswa calon guru. Hal ini dapat dipahami karena dalam
pembelajaran penemuan mahasiswa melakukan serangkaian proses berpikir
seperti mengklasifikasi, mengamati, mengevaluasi, menemukan analogi,
membuat kesimpulan/menggeneralisasi, membuktikan dan memecahkan masalah
tidak rutin. Proses-proses untuk menemukan konsep dilakukan melaui interaksi
antar mahasiswa, baik dengan diskusi kelompok kecil, tanya jawab maupun
diskusi kelas/kelompok besar. Hal ini sebagai sarana untuk melatih mahasiswa
dalam mengevaluasi pendapat orang lain dan memberikan alasan terhadap
jawaban yang telah diberikan.
Penerapan pembelajaran penemuan bukanlah pekerjaan yang mudah untuk
dilaksanakan oleh dosen maupun mahasiswa. Mahasiswa harus berpikir keras
untuk dapat menemukan konsep, prosedur dan prinsip matematika. Dosen harus
menyiapkan bahan ajar yang dapat membantu dan mengarahkan mahasiswa,
mengatur intensitas intervensi, terampil mengatur waktu agar kegiatan
pembelajaran menjadi efektif dan efisien, dan mengatur jalannya diskusi agar
setiap mahasiswa aktif berpartisipasi tidak dimonopoli oleh mahasiswa yang
pandai.
Untuk melihat hasil dari proses berpikir mahasiswa dalam mengkonstruksi
konsep, dengan cara mahasiswa melaporkan secara tertulis hasil kinerja
kelompoknya. Dengan demikian dosen dapat mengidentifikasi kerangka
metakognitif mahasiswa. Hasil kerja kelompok juga dapat menginformasikan
bagaimana kualitas pemahaman mahasiswa terhadap materi.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap pekerjaan mahasiswa calon guru,
ternyata belum sepenuhnya mahasiswa mencapai kemampuan berpikir kritis
matematis seperti yang diharapkan. Nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis
matematis mahasiswa klasifikasi LPTK cukup masih rendah. Pada klasifikasi
LPTK baik, nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis matematis termasuk kategori
cukup. Hal tersebut kemungkinan disebabkan mahasiswa belum terbiasa dengan
jenis soal yang memerlukan berpikir kritis.
28
D. Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian seperti yang telah dikemukakan sebelumnya
maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran penemuan lebih baik daripada
pembelajaran konvensional dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis
matematis mahasiswa calon guru pada LPTK dengan klasifikasi baik dan LPTK
dengan klasifikasi cukup. Hal tersebut dikarenakan metode penemuan
memberikan peluang kepada mahasiswa melakukan pengamatan, mengklasifikasi,
membuat analogi, menganalisis, dan membuat kesimpulan (generalisasi) untuk
menemukan konsep, prosedur dan prinsip matematika. Melalui aktivitas mental
seperti itu, kemampuan berpikir non-prosedural mahasiswa mendapat kesempatan
diberdayakan. Oleh karena itu pembelajaran penemuan mengkondisikan
mahasiswa melakukan proses berpikir kritis. Dengan melakukan proses berpikir
untuk menemukan konsep, pemahaman pada konsep yang diperoleh mahasiswa
lebih bermakna.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat dikemukakan saran-saran sebagai
berikut
1. Bagi pembelajar, pembelajaran penemuan dapat digunakan sebagai salah
satu alternatif model pembelajaran yang dapat dipilih untuk diterapkan dan
terus dikembangkan. Hal tersebut dikarenakan pembelajaran penemuan
secara signifikan lebih baik dari pembelajaran konvensional baik ditinjau
berdasarkan klasifikasi LPTK maupun kemampuan akademik mahasiswa.
2. Tidak semua mahasiswa dapat menemukan konsep matematika terutama di
LPTK dengan klasifikasi cukup. Oleh karena itu dalam
mengimplemantasikan pembelajaran penemuan di jenjang pendidikan tinggi
sebaiknya diperhatikan aspek-aspek (1) pertanyaan-pertanyaan yang
disajikan dalam lembar aktivitas mahasiswa dapat mengarahkan mahasiswa
untuk menemukan konsep, prosedur dan aturan matematika, (2) dosen tidak
29
terlalu sering memberikan intervensi, sehingga perkembangan aktual
mahasiswa lebih optimal, (3) intervensi yang diberikan lebih ditekankan
pada proses berpikir daripada hasilnya.
3. Bagi pengambil kebijakan, pembelajaran penemuan perlu diterapkan pada
jenjang perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi yang menghasilkan
tenaga kependidikan. Hal ini dikarenakan pembelajaran penemuan dapat
dijadikan alternatif dalam praktek mengajar matematika bagi mahasiswa
calon guru matematika kelak. Sebagai mahasiswa calon guru hendaknya
dibekali dengan pembelajaran yang menciptakan lingkungan yang membuat
siswa melakukan proses berpikir kritis.
4. Bagi dosen di LPTK, dalam mengimplentasikan pembelajaran penemuan,
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan melalui lembar aktivitas mahasiswa
perlu dirancang dengan tepat dan seksama. Hal ini dimaksudkan agar
mahasiswa tidak merasa frustasi yang dapat mengakibatkan mereka
kehilangan semangat dan percaya diri dalam menemukan konsep. Selain
bahasanya harus jelas dan mudah dimengerti juga pertanyaan-pertanyaan
tersebut hendaknya terjangkau oleh pikiran mahasiswa. Hal tersebut agar
tidak membuat mahasiswa gagal dalam menemukan konsep.
5. Kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa calon guru dari klasifikasi
LPTK baik dan cukup belum mencapai hasil yang baik. Dengan demikian
pengajar hendaknya kreatif dalam mengimplementasikan metode penemuan.
Misalnya mengkombinasikan metode penemuan dengan metode
pembelajaran lain yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan
mahasiswa calon guru.
6. Bagi dosen yang akan menggunakan pembelajaran penemuan, maka
disarankan agar dapat mempertahankan kegairahan belajar mahasiswa
dengan pembelajaran penemuan sepanjang semester.
7. Bagi LPTK, untuk mengadakan perubahan-perubahan terhadap paradigma
pembelajaran yang selama ini kurang akomodatif dalam mengembangkan
potensi kritis mahasiswa calon guru.
30
8. Bagi tim evaluator, dibutuhkan format baru dalam teknis penilaian prestasi
mahasiswa calon guru yang disesuaikan dengan proses pembelajarannya.
31
Daftar Pustaka
Castronova, J. A. (2002). Discovery Learning for the 21st Century: What is it and how does it compare to traditional learning in the 21st Century. Tersedia: http://chiron.valdosta.edu/are/Litreviews/vol1no1/castronova_litr . pdf.
CUPM (2004). Undergraduate Program and Course in the Mathematical Science: CUPM Curriculum Guide 2004. The Mathematical Association of America.
Dahar, R.W. (1988). Teori-teori Belajar. Jakarta: Departemen P dan K Direktorat Jendral Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
Depdiknas (2006). Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA). Jakarta: Depdiknas.
Dreyfus, T. (1991). Advanced Mathematical Thinking Processes. Dalam David Tall (editor). Advanced Mathematical Thinking. London : Kluwer Academic Publiser.
Ennis, R. H (1996). Critical Thinking. USA : Prentice Hall, Inc.
Ernest, P (1991). The Philosophy of Mathematics Education. London: The Falmer Press.
Furner, J.P dan Robinson, S. (2004). Using TIMSS to Improve the Undergraduate Preparation of Mathematics Teachers. IUMPST : The Journal Curriculum, Vol. 4.
Hassoubah, Z. I. (2004). Developing Creative & Critical Thinking : Cara Berpikir Kreatif & Kritis. Bandung : Nuansa.
Huitt, W (1998). Critical Thinking: An Overview. Educational Psychology Interactive. Valdosta, GA: Valdosta State University.
Lakkala, M., Ilomaki, L., dan Veermans, M. (2003). Using LOs in Advanced Pedagocical Practice. Tersedia: http://www.eun.org/ eun.org2/eun. Downloads /Advanced _ped models.doc.
Lie, A. (2004). Cooperative Learning. Jakarta: Gramedia.
Pott, B. (1994). Strategies for Teaching Critical Thinking. Practical Asessment, Research & Evaluation, 4 (3).
Quirk, B. The NCTM Calls it “Learning Math” Chapter 4 of Understanding the Original NCTM Standards. Tersedia: http:// www.wgquirk.com/chap4. html.
Ruseffendi, E.T. (1988). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pendidikan Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung : Tarsito.
32
Sukmadinata, N. S. (2004). Kurikulum dan Pembelajaran Kompetensi. Bandung: Kesuma Karya Bandung.
Suriasumantri, J. (2003). Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
33