Yesus Membungkam Diri:
Kajian Kristologi Penderitaan terhadap figur Yesus dalam Novel Silence
karya Shusaku Endo
Oleh:
Thelma Gracelin Katy Riupassa
712014039
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi
Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar
Sarjana Sains Teologi
(S. Si. Teol)
Program Studi Teologi
Fakultas Teologi
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2020
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Dalam kekristenan, narasi-narasi tentang Yesus merupakan hal yang terus
dipergumulkan dan diceritakan dengan berbagai macam perspektif. Hal ini dapat
ditemukan dalam Alkitab. Narasi-narasi tentang Yesus dalam setiap teks Perjanjian
Baru menekankan segi-segi tertentu, katakan saja bahwa gambaran tentang Yesus
dalam Matius berbeda dengan gambaran tentangNya dalam Injil Yohanes. Demikian
juga gambaran tentangNya dalam tulisan-tulisan Paulus berbeda dengan apa yang
bisa ditemukan dalam surat-surat yang tidak ditulis oleh Paulus.1 Ini menegaskan
bahwa narasi-narasi tentang Yesus itu pada dasarnya saling melengkapi satu sama
lain.
Citra Yesus menjadi sangat beragam dalam teologi-teologi yang
dikembangkan hingga kini. Citra Yesus dari teologi liberal adalah bahwa Yesus
merupakan nabi-guru heroik, pembela orang-orang miskin yang tertindas,
terpinggirkan dan teraniaya. Teologi-teologi Roma Katolik menekankan Dia sebagai
yang tersalib dan menderita.2 Para pengikut Yesus mula-mula mengakui Yesus
sebagai “Kristus, putera Allah yang hidup” (Mat 6:16). Mereka mengikuti Yesus
bukan hanya sebagai guru atau rabbi, tetapi sebagai Kristus, putera Allah yang hidup.
Bagi mereka Yesus lebih dari seorang nabi. Yesus adalah pewahyuan keselamatan
Allah sendiri.3 Dalam Injil Markus, Kristus adalah Penebus yang menderita, wafat
dan bangkit. Yesus juga adalah Anak Manusia. Artinya: Dia yang datang pada akhir
zaman sebagai hakim.4 Nico Syukur Dister mencoba menggambarkan Yesus dengan
menggunakan metode pendekatan, salah satunya dengan mendekati Yesus sebagai
yang sungguh-sungguh manusia; yaitu kristologi dari bawah, persis seperti yang
dilakukan oleh para Rasul mula-mula. Pada awalnya, mereka menjumpai Yesus
sebagai seorang manusia biasa, sama seperti mereka sendiri, baru lambat laun
melalui tindakan-tindakan serta cara hidup-Nya mereka menyadari bahwa Yesus
1 Yusak B. Setyawan, Kristologi – Perkenalan, Pendalaman, dan Pergumulan (Salatiga: Fakultas Teologi,
UKSW, 2015), 11. 2 Setyawan, Kristologi, 12.
3 Tom Jacobs, Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Kanisius, 1982), 12.
4 Jacobs, Siapa Yesus Kristus, 93.
bukanlah manusia biasa, hingga mereka sampai pada satu titik dimana mereka mulai
bertanya: Orang apakah Dia ini?5
Usaha-usaha yang dilakukan untuk menafsirkan dan memahami Yesus
dipahami sebagai kristologi. mereka yang telah terlebih dahulu menjadi pengikut
Yesus mulai memikirkan, mengkonseptualkan dan membahasakan perjumpaan
tersebut sesuai dengan pengalaman mereka bersama dengan Yesus. Lama kelamaan
mereka semakin mampu memahami dan menangkap apa yang menjadi titik
keterhubungan Yesus dan manusia, karya Yesus bagi manusia, dan bagaimana
peranan-Nya dalam konteks karya penyelamatan Allah.6
Pada masa kini, kristologi kemudian tidak melulu dibicarakan hanya dalam
lingkup teologi. seiring dengan perkembangan yang telah diusahakan dan
disampaikan dengan cara-cara yang kreatif dalam dunia akademik, maka kristologi
pun juga demikian. Tidak saja para teolog dan pemikir-pemikir Kristen, penulis-
penulis dalam bidang sastra pun turut serta menarasikan Yesus. Narasi tentang Yesus
ini kemudian dituliskan secara gamblang sekaligus tersirat melalui berbagai macam
karya sastra, seperti cerita-cerita pendek, sajak, puisi, dan terkait judul tugas akhir
dan yang akan dibahas lebih lanjut, yaitu; novel.
Ditinjau dari sudut pandang asal kata, novel berasal dari bahasa Latin novella
yang berarti sebuah karangan prosa panjang yang mengandung rangkaian cerita
kehidupan dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap
pelaku.7 Bagaimanapun, novel adalah satu dari sekian banyak karya sastra yang
paling diminati oleh para penikmat karya sastra. Maksud yang ingin disampaikan
oleh penulis kemudian bisa ditangkap oleh para pembaca dengan lebih mudah,
karena di dalamnya terdapat unsur penokohan dan alur cerita yang disampaikan
dengan tidak menggunakan struktur kalimat yang sulit dipahami dan dalam tulisan
tersebut pembaca pun dapat menangkap apa yang menjadi pergumulan dan
perenungan si penulis terkait dengan sekelumit hal yang tidak bisa dikatakan
sederhana. 8
5 Nico Syukur Dister, Kristologi – sebuah seketsa (Yogyakarta; Kanisius, 1987), 29.
6 C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan tentang Yesus Kristus Pada Umat Kristen,
(Yogyakarta, Kanisius 1988), 29. 7 KBBI, “Novel”, KBBI Online, https://kbbi.web.id/novel, (diakses pada 4 Desember 2017).
8 Seperti novel karangan Paulo Coelho, Brida, yang menceritakan perjalanan seorang gadis berusia 20 tahun
dalam perncarian makna hidup dengan mengambil resiko gagal, kecewa dan dan kehilangan arah terlebih dahulu
sebelum ia benar-benar menemukan apa yang benar-benar dapat mengisi jiwanya.
Shusaku Endo merupakan penulis sastra Kristen yang seringkali menggunakan
retorika untuk mengindikasikan hubungan yang dekat antara tokoh dan Tuhan.9
Beberapa karya Endo yang pernah diterbitkan antara lain: The White Man,10
A Life
Of Jesus, Deep River, The Sea and Poison, The Girl I Left Behind, Wonderful Fool,
Scandal.11
Pada tahun 1969, Endo menuangkan gagasan dan perenungannya secara
tidak langsung mengenai sebuah penggambaran tentang Yesus dalam sebuah novel
berjudul Silence.
Novel ini memiliki judul asli Chinmoku, pertama kali diterbitkan di Tokyo
oleh Monumenta Nipponica. Pada tahun 1980 diterbitkan dan diterjemahkan dalam
bahasa Inggris, hingga akhirnya diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa
Indonesia di Jakarta oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2008 dengan judul
Hening. Novel ini kemudian menjadi karya Endo yang paling terkenal dan dianggap
sebagai adikaryanya. Pada tahun 2016, Silence diangkat ke layar lebar perfilman
untuk ketiga kalinya dengan judul yang sama.
Novel ini pada dasarnya mengisahkan perjalanan nasib Sebastian Rodrigues,
seorang Yesuit Portugis yang dikirim ke Jepang untuk mencari mantan gurunya yang
dikabarkan telah murtad karena tidak tahan menanggung siksaan. Dalam alur cerita
yang penuh dengan pergolakan batin dan pergolakan iman, Rodrigues, tokoh penting
dalam novel ini, sampai pada satu pertanyaan yang mengguncang kehidupannya
“apakah memang Tuhan hanya diam berpangku tangan dan tidak melakukan apa-
apa ketika melihat penderitaan?”
Saat ini memang sudah ada beberapa jurnal maupun artikel ilmiah yang
meneliti tentang novel ini12
, tetapi penulis akan secara khusus mengkaji tulisan ini
dalam kajian Kristologi Penderitaan. Oleh sebab itu tugas akhir ini ditulis dengan
maksud untuk memahami bagaimana Shusaku Endo menggambarkan Yesus dalam
novel Silence, yang coba penulis uraikan dalam judul:
“Yesus Membungkam Diri: Kajian Kristologi Penderitaan terhadap Figur
Yesus dalam Novel Silence karya Shusaku Endo”
9 Tulisan-tulisan Endo juga banyak mencerminkan pengalaman masa kanak-kanaknya, pengalaman sebagai
seorang asing, kehidupan sebagai seorang pasien rumah sakit, dan pergumulannya dengan tuberkolosis yang
dialaminya. 10
The White Man, diterbitkan pada tahun 1955, mendapat penghargaan bergengsi Akutagawa Prize. 11
A Life of Jesus, diterbitkan oleh Paulist Press, Amerika Serikat, 1973. Deep River, 1993. The Sea and Poison,
1958. The Girl I Left Behind, 1963. Wonderful Fool, 1959. Scandal, 1986. 12
Contohnya dalam lingkup ilmu Misiologi.
1.2.Batasan, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian
Berdasarkan judul dan latar belakang yang telah disebutkan pada bagian
sebelumnya, maka penelitian akan dibatasi pada figur Yesus dalam novel Silence yang
akan dikaji menggunakan kajian kristologis khususnya Kristologi Penderitaan. Fokus
permasalahan yang penulis rumuskan adalah sebagai berikut; pertama, Bagaimana figur
Yesus yang tergambar dalam novel Silence karangan Shusaku Endo? Kedua, apa tinjauan
kritis dari sisi Kristologi Penderitaan terhadap pandangan tersebut?
Dengan pembatasan dan rumusan masalah yang telah dikemukakan tersebut, maka
yang menjadi tujuan penelitian adalah; pertama, melakukan deskripsi analitis terhadap
figur Yesus dalam dalam novel Silence karangan Shusaku Endo. Kedua, melakukan kajian
Kristologi Penderitaan terhadap hasil analisa tersebut.
1.3. Metode Penelitian
Untuk mencapai metode penelitian yang telah dipaparkan pada bagian
sebelumnya, maka metode penelitian yang akan digunakan adalah metode penelitian
kepustakaan, dimana penelitian kepustakaan ini memanfaatkan literatur-literatur seperti
dokumen, jurnal-jurnal dan juga buku yang terkait dengan penelitian, yang bertujuan
untuk membantu memperoleh, menganalisis serta mengolah informasi dan
menyelesaikan rumusan masalah yang diteliti. Penelitian kepustakaan atau studi pustaka
merupakan sebuah kegiatan pembelajaran yang berkenaan dengan metode pengumpulan
data pustaka, membaca, mencatat serta mengolah bahan penelitian tanpa memerlukan
riset lapangan.13
1.4.Signifikansi Penulisan
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan „angin segar‟ berupa kontribusi
kepada pengembangan ilmu pengetahuan serta wawasan baru terkhususnya dalam
lingkup keilmuan teologi terkait seperti apa penggambaran figur Yesus yang
direkonstruksi. Di sisi lain, penelitian ini dapat memberi pemahaman baru bahwa nilai-
nilai Kristiani dapat juga ditemukan dan disampaikan melalui cara-cara yang kreatif
seperti karya sastra, dalam hal ini adalah Novel. Namun bukan saja hanya terbatas pada
lingkup keilmuan, signifikansi dari penulisan Tugas Akhir ini diharapkan dapat menjadi
13
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), 5.
sumbangan pemikiran dan informasi kepada masyarakat mengenal figur Yesus yang
dihadirkan dalam novel Silence, karya Shusaku Endo. Untuk selanjutnya dalam
penulisan tugas ini, saya akan menggunakan kata „penulis‟ untuk menyatakan diri dan
„pengarang‟ untuk menyatakan novelis Shusaku Endo selaku penulis novel.
1.5.Sistematika Penulisan
Dalam menyelesaikan Tugas Akhir dalam suatu bentuk karya tulis, maka berikut
adalah sistematika penulisan yang digunakan sebagai pedoman dalam menyusun sebuah
karya tulis, yakni: Bagian pertama, berisi pendahuluan, batasan masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika
penulisan. Bagian kedua, berisi landasan teori mengenai figur Yesus dari kajian ilmu
Kristologi dengan fokus Kristologi Penderitaan. Bagian ketiga, berisi paparan analisa
penelitian mengenai figur Yesus dalam novel Silence karangan Shusaku Endo. Bagian
keempat, berisi tinjauan kritis terhadap hasil penelitian. Bagian kelima, penutup yang
berisikan kesimpulan dan saran.
2. Figur Yesus dalam Kristologi Penderitaan
2.1. Kristologi Secara Umum
Berkaitan dengan judul tulisan yang disajikan, maka penting terlebih dahulu untuk
memahami apa itu Kristologi. Sebagaimana pada umumnya, terdapat akhiran “logi”
dalam kristologi yang berarti “ilmu (pengetahuan)”. Lebih jauh lagi kristologi berasal dari
bahasa Yunani, yakni Kristos dan Logos, yang berarti ilmu pengetahuan tentang Kristus.
Kristologi sebagai ilmu tidak pernah berdiri sendiri. Kristologi merupakan bagian dari
sebuah ilmu pengetahuan yang lebih luas, yakni teologi. Kristologi hadir karena adanya
hasrat dan juga pergumulan untuk terus mengenal dan memahami siapa Yesus Kristus.
Gutherie berpendapat, kristologi adalah penelitian tentang siapa Yesus Kristus yang
dilakukan dengan cara mendalami akan ajaran-ajaran Yesus yang telah tercatat dalam
Perjanjian Baru dengan tersistematis. Sementara Hunter berpendapat bahwa kristologi
memanglah sebuah penelitian tentang Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru, tetapi
berbeda titik tumpu penekanannya. Bagi Hunter, ide pokok ketika berbicara tentang
Yesus Kristus terletak pada konsep utama Perjanjian Baru, yaitu Kerajaan Allah.14
Ini
berarti bahwa kristologi selalu berkenaan dengan kehidupan Yesus serta seluruh ajaran-
14
Yusak B. Setyawan, Kristologi – Perkenalan, Pendalaman, dan Pergumulan (Salatiga: Fakultas Teologi,
UKSW, 2015), 5.
Nya. Kita bisa melihat bahwa ada pembahasan mengenai Yesus dalam hubungan dengan
siapakah Ia dan peran yang Ia jalankan dalam rencana Allah.15
Sementara Eckardt
berpendapat bahwa kristologi harus kembali dan didasarkan pada Yesus sejarah. Tentu
saja Yesus sejarah yang dimaksudkan oleh Eckardt ini adalah bukan Yesus yang ditulis
oleh para penulis Injil, tetapi lebih kepada tafsiran-tafsiran yang berkembang setelah itu.16
Dari definisi-definisi yang telah dipaparkan, maka disimpulkan bahwa kristologi
merupakan sebuah proses untuk meneliti, menafsirkan, menyelidiki dan membangun
perenungan yang mendekati kehidupan Yesus sesuai dengan pengalaman indrawi, iman
serta akal budi yang dilakukan oleh para penafsir untuk memperoleh gambaran tentang
Yesus yang kurang lebih bersifat utuh.
Dengan pemahaman seperti ini, maka muncullah beberapa pandangan dan
penggambaran terhadap Yesus menurut beberapa ahli yang akan dipaparkan dalam bagian
selanjutnya.
2.1.1. Pandangan tentang Yesus menurut beberapa Ahli
Yesus acapkali dikonsepkan sebagai “Tuhan dan manusia dalam dua pribadi yang
berbeda dan satu.”17
Artinya, di samping sisi keilahian Yesus, sisi kemanusiaan Yesus
tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Kehadiran Yesus sebagai entitas di dunia ini
mempunyai pengaruh dan arti yang cukup penting dalam pergumulan teologi Kristen.
Oleh sebab itu beberapa ahli mencoba untuk memahami Yesus baik berdasarkan
pengalaman umat pada waktu lampau maupun berdasarkan penelitian yang dilakukan
mereka terhadap literatur-literur yang mencatat sejarah kehidupan Yesus.
Marcus J. Borg melihat Yesus sebagai entitas roh, dimana Ia sebagai manusia
memiliki kesadaran yang penuh terhadap realitas Allah; Ia adalah seorang yang
menggunakan pengajaran klasik seperti perumpamaan dan aforisme18
sebagai bentuk
pengajaran yang Ia lakukan; Ia juga merupakan seorang rasul yang dengan lantang
berani mengkritik para elit sosial pada jaman-Nya, bahkan bukan saja para elit sosial
15
Raymond E. Brown, An Introduction to New Testament Christology, (Philadhelphia: Westminister, 1998), 3. 16
A. Roy Eckardt, Menggali Ulang Yesus Sejarah Kristologi Masa Kini, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996),
240. 17
J. Gresham Machen, Christianity and Liberalism (Michigan: W.M.B Eerdmans Publishing Company, 2001)
115. 18
KBBI, “Aforisme”; pernyataan padat dan ringkas tentang sikap hidup atau kebenaran umum (seperti
peribahasa: alah bisa karena biasa), https://kbbi.web.id/aforism (diakses pada 31 Oktober 2018).
tetapi juga para imam; Ia dipandang sebagai perintis gerakan pembaharuan yang
mendobrak batasan-batasan sosial yang ada pada saat itu.19
Anthon Wessels mencoba melihat Yesus dengan berbagai macam penggambaran:
Yesus sebagai orang Yahudi, Yesus sebagai Isa Al- Masîh, dan Yesus sebagai Yin dan
Yang. Pertama, Yesus sebagai orang Yahudi. Dalam bukunya, Wessels mencatat bahwa
Yesus adalah seorang Yahudi sejati, sebab Yesus mengajarkan dan menanamkan ide
tentang kedatangan Mesias dalam benak bangsa Israel sehingga itu memberi harapan
bagi kaum yang terpinggirkan pada saat itu, yaitu cita-cita berakhirnya dunia lama dan
tibanya hari Mesias. Bagi kaum Yahudi, Yesus juga adalah seorang guru moral
terkemuka yang mengajarkan tentang kode etik.20
Kedua, Yesus sebagai Isa Al- Masîh.
Dalam Qur‟an Yesus disebut sebagai Mesias dan Ia disebut sebagai yang “terkemuka di
dunia dan akhirat dan salah seorang di antara orang-orang yang didekatkan kepada
Allah”21
gelar Mesias dalam Qur‟an ini nampaknya tidak sama maknanya dengan gelar
yang dimaksudkan dalam konteks alkitabiah. Gelar Mesias dalam Qur‟an sejajar dengan
gelar yang diberikan kepada Nuh, Abraham juga Musa.22
Dilihat lebih lanjut, gambaran
tentang Yesus dalam Qur‟an dititikberatkan pada kemampuan-Nya untuk melakukan
mujizat. Namun tidak saja sebatas mujizat, lebih jauh dikatakan Yesus sendiri adalah
suatu mujizat, suatu tanda (aya) dari Allah.23
Ketiga, Yesus sebagai Yin dan Yang.
Gambaran Yesus sebagai Yin dan Yang dicetuskan oleh teolog Korea yakni Lee Jung
Young. Ia menggambarkan Yesus sebagai Yin (gelap) dan Yang (terang), Lee
merancang bentuk kristologi seperti ini karena ia ingin menghubungkan Yesus dengan
alam pikiran dan hidup yang merupakan ciri khas dunia Cina. Yesus adalah Yang
(terang) masuk ke dalam Yin (gelap) untuk menunjukkan apa yang dimaksudkan dengan
terang itu. Yesus sebagai Yang tidak dapat memisahkan diri dari Yin, sebab tanpa
kegelapan terang tidak ada, sebaliknya tanpa terang tidak ada kegelapan. Ini
menggambarkan suatu proses pembebasan atau perkembangan kesadaran akan Yesus
dalam diri manusia yang terwujud dalam karya penyelamatan Kristus.24
Sementara Robert R. Boehlke mencoba melihat Yesus dalam dua kualitas.
Pertama, Yesus sebagai manusia. Sebutan manusia merujuk pada sisi kemanusiaan
19
Markus J. Borg, Kali Pertama Jumpa Yesus Kembali: Yesus sejarah dan hakikat iman Kristen masa kini,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia: 2003), 21-37. 20
Anton Wessels, Memandang Yesus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 24-25. 21
Al-Qur‟an dalam Surah Ali „Imran 3:45; 4:157, 171, 172. 22
Wessels, Memandang Yesus, 38. 23
Wessels, Memandang Yesus, 37. 24
Wessels, Memandang Yesus, 143.
Yesus. Misalnya, Yesus bertumbuh dan berkembang sama seperti manusia lainnya; Ia
mengalami pertumbuhan fisik, pertumbuhan intelektual, maupun spiritual. Yesus juga
mengalami keletihan-keletihan fisik dan Ia pun memiliki sifat-sifat manusiawi; Yesus
merasakan lapar, haus, marah, duka atau kesedihan, bahkan Ia mengalami penderitaan
hingga kematian. Kedua, Yesus sebagai Tuhan. Yesus memiliki sifat-sifat keilahian,
seperti; Ia bersifat kekal, maha kuasa, maha hadir. Yesus memiliki kuasa untuk
mengampuni dosa, membangkitkan orang mati, Ia sendiri dapat bangkit dari kematian,
bahkan dapat hadir kembali untuk menyatakan diri pada kepada mereka yang masih
hidup.25
2.2. Yesus yang Menderita dalam pandangan beberapa Teolog
Dalam bagian ini penulis memaparkan bagaimana Yesus dan Penderitaan dipahami
dalam pandangan beberapa teolog.
2.2.1. Kazoh Kitamori: Allah yang dapat Menderita
Kazoh Kitamori lahir pada tahun 1916 dalam keluarga yang bukan-Kristen,
pada saat berusia remaja, Kitamori baru menjadi seorang Kristen yang dibaptis di
gereja Lutheran.26
Setelah menempuh pendidikan Ia kemudian mengajar di Tokyo
Union Theological Seminary.27
Gagasan utama Kitamori bahwa penderitaan adalah hakikat Allah.28
Menurutnya penderitaan merupakan hakikat Allah seperti yang diuraikan dalam kitab
Yeremia dan kitab Yesaya.29
Pemahaman ini bertolak belakang dengan pandangan
tradisional yang memahami bahwa Allah tidak dapat menderita. Kitamori
membalikkan pemikiran bahwa Allah ikut menderita sebagaimana manusia.
Penekanan Kitamori, penderitaan Allah dalam keberadaannya sebagai manusia yang
membentuk karakter ilahi Allah.30
Hakikat yang dimaksudkan adalah sesuatu yang harus dipahami dengan nyata.
Jelas bahwa Allah itu kasih, wujud dari kasih Allah ini terpusat dalam cara yang
25
Robert. R Boehlke, Siapakah Yesus Sebenarnya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 81-99. 26
J. Gordon Melton, Encyclopedia of Protestanism, (New York, 2005), 326. 27
Anne Ruck, Sejarah Gereja Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 303. 28
Kazoh Kitamori, Theology of the pain of God, (Richmond, VA: John Knox Press, 1965), 44-49. 29
Lht. Yer 31:20, Yes 63:15. 30
Andreas A. Yewangoe, Theologia Crucis di Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 209.
khusus, unik dan eksklusif yakni salib Kristus. Pada salib inilah kasih Allah terungkap
dengan makna terdalam. Penderitaan salib berarti juga penderitaan Allah.31
Lebih lanjut Kitamori menjabarkan penderitaan Allah terungkap dalam empat
unsur pokok, yakni; penderitaan karena kasih-Nya dan pengampunan kepada orang
yang berdosa, penderitaan Yesus di kayu salib, penderitaan Bapa yang membiarkan
anakNya menderita, serta imanensi Allah dalam penderitaan yang dialami oleh
manusia.32
Pemahaman ini menghasilkan kesinambungan pada konsep tsurasa atau
pengorbanan diri, dimana penderitaan menjadi lambing persatuan dengan Tuhan dan
pelayanan bagi dunia.33
Penderitaan Allah berbeda dengan konsep doa yang umum di gereja, yang
mana diekankan bahwa manusia telah menyebabkan Allah menderita bagi dosa-dosa
mereka, padahal penderitaan yang dimaksud tidak hanya sebatas jawaban atas doa
tesebut, menurut Kitamori, Allah yang murka terhadap dosa manusia, tidak merasa
terluka. Allah hanya merasakan kepedihan bila Ia mencoba mengasihi objek murka-
Nya.34
Dengan demikian, murka dan kasih Allah adalah premis yang menjadi dasar
kepedihan-Nya. Sampai pada titik ini, Kitamori menegaskan bahwa sesungguhnya
Allah menyerahkan diriNya pada rasa sakit yang sebenarnya.35
2.2.2. Kosuke Koyama: Yesus tanpa Gagang Salib
Kosuke Koyama merupakan seorang misionaris terkemuka yang menjadi
perwakilan dari United Church of Christ ke luar negeri. Ia mengajar teologi di
Seminaris Teologis Thailand di Chiang Mai dari tahun 1968-1974. Setelah tinggal dan
bekerja di New Zealand selama beberapa waktu, ia mulai mengajar di Union
Theological Seminary sebagai professor di bidang Oikumenika dan Kekristenan.36
Berangkat dari keseriusannya dalam usaha untuk menemukan signifikansi
Yesus dalam pengalaman-pengalaman konkrit manusia, Ia menemukan Yesus di
pinggiran kehidupan. “Yesus berambut pirang” yang diciptakan oleh teologi Barat
yang bertahun-tahun lamanya menempati posisi penting di panggung teologi, telah
memberikan penderitaan bagi orang Asia karena ketidakcocokan-Nya.
31
Yewangoe, Theologia Crucis di Asia, 210. 32
Anne, Sejarah Gereja Asia, 304. 33
Yewangoe, Theologia Crucis di Asia, 208. 34
Kitamori, Theology of Pain, 115. 35
Yewangoe, Theologia Crucis di Asia, 212. 36
Yewangoe, Theologia Crucis di Asia, 230.
Koyama berpendirian bahwa Yesus adalah pusatnya, senantiasa bergerak
menuju pinggiran; dengan itu Ia menyingkapkan pikiran Allah, dimana Allah pun
turut menderita bersama-sama dengan rakyat di pinggiran. Yesus telah mendatangi
kawasan paling pinggir tentu memiliki kekuasaan untuk berbicara kepada mereka
yang menderita.
Ia ada dalam semua situasi konkrit kehidupan manusia. Di dalam Yesus,
tergenapi semua rencana Allah. Koyama menyebut ini dengan jalan salib yang tidak
memiliki gagang. Ketiadaan gagang adalah lambang yang menunjukkan kesungguhan
Yesus untuk menanggung semua beban dunia, tanpa terkecuali.37
2.2.3. Choan-Seng Song: Mesias yang Menderita
Choan-Seng Song merupakan seorang teolog Asia yang berteologi dengan
tidak mengacu pada teologi barat. Song berpendapat bahwa teologi Kristen harus bisa
dimengerti oleh orang-orang Asia sesuai dengan konteks Asia.38
Song melihat bahwa Kristus yang disalibkan dan bangkit menjadi tema utama
dari konsep penderitaan.39
Kita bisa mendapatkan teologi paling ringkas dari jabatan
Mesias yang menderita, yakni penderitaan tersebut berarti Allah tersedia bagi umat
manusia dan juga memampukan mereka untuk menjadi bagian dari misteri
keselamatan Ilahi. Kedalaman penderitaan Allah harus menjadi tempat dimana semua
orang dapat saling mengakui yang lain sebagai sesama peziarah yang membutuhkan
keselamatan Allah.40
Bagi Song, salib merupakan simbol tertinggi dari penderitaan
yang dialami oleh Yesus. Salib berarti lemah, salib juga berarti tubuh yang hancur dan
terkoyak-koyak. Dalam salib inilah terkandung nilai-nilai praktik penderitaan hidup
Yesus baik sebagai Allah sepenuhnya maupun sebagai manusia sepenuhnya.41
Menurut Song, Yesus adalah jawaban dari krisis di dunia yang melanda segala
aspek kehidupan. Kehidupan di dunia penuh dengan berbagai macam penderitaan,
tetapi Yesus membuat keberadaan manusia menjadi hidup. Maksudnya ialah
kehidupan sebagai eksistensi fisik (bios) dan kehidupan sebagai spiritual (zoe) adalah
37
Kosuke Koyama, “Kristus Yang Disalibkan Menentang Kekuasaan Manusia”, dalam buku Wajah Yesus di
Asia, ed. R.S. Sugirtharajah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 236-250. 38
Choan-Seng Song, The Compassionate God, (New York: Orbis Books, 1982), 12. 39
Joachim Jeremias, New Testament Theology I: Proclamation of Jesus (London: SCM Press, 1971) 276. 40
Choan-Seng Song, Allah yang Turut Menderita, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993) 164. 41
Choan-Seng Song, Jesus in the power of the Spirit, (Minneapolis: Fortress Press, 1994) 70-71.
sebuah kesatuan hidup (nephes).42
Sampai di sini, Song menegaskan bahwa
penderitaan yang dialami oleh manusia menyentuh hati Allah, sehingga untuk
mengatasi penderitaan itu Allah menawarkan Yesus menderita agar Ia bisa masuk
dalam eksistensi manusia untuk melepaskan dunia dari krisis.
2.2.4. Eka Darmaputera: Yesus Menerjunkan Diri ke Dasar Penderitaan
Eka Darmaputera adalah seorang pendeta dari Gereja Kristen Indonesia Jawa
Barat, dan mempunyai latar belakang Calvinis. Ia memperoleh gelar doktor pada
tahun 1982 di Boston College and Andover Newton Theological School (AS) dengan
menulis disertasi, Pancasila and the Search for Identity and Modernity in Indonesian
Society.43
Eka memiliki pandangan bahwa sebenarnya manusia memiliki kemampuan
untuk menyadari bahwa bukan saja penderitaan dilihat sebagai bagian integral dari
keberadaan dirinya tetapi juga mereka mampu untuk tidak pernah menganggap
penderitaan sebagai suatu pengalaman yang asing dari kehidupan. Ada usaha-usaha
untuk melawan penderitaan, tetapi untuk melakukan itu terlebih dahulu manusia harus
memiliki penerimaan. Eka menggunakan pemahaman Jawa, yakni narimo (nrima),
sabar, dan ikhlas (rila). Ketiga sikap suku Jawa ini tidak boleh dipandang fatalistis,
karena bagi suku Jawa kehidupan sama sekali tidak statis, kehidupan bergerak, dan
dalam setiap gerakannya, keselarasannya ditantang dan diganggu. Ketidakselarasan
inilah yang menyebabkan timbulnya penderitaan.44
Oleh sebab itu, tugas manusia
adalah memulihkan keselarasan. Itu berarti manusia harus siap menerima konfrontasi
langsung dengan penderitaan. Bila keselarasan ini telah dipulihkan akan muncul lagi
ketidakselarasan yang baru. Jadi, usaha mengatasi penderitaan berarti memulihkan
status manusia sebagai manusia yang selaras.45
Eka melihat wujud manusia yang sempurna selaras dalam Yesus Kristus.
Dialah yang sulung dari manusia yang menyeluruh dan sejati. Jadi, ketika Yesus,
manusia yang selaras, berjuang melawan penderitaan, Ia melakukannya dengan
42
Choan-Seng Song, “The Life of the World - an Asian meditation”, (East Asia Journal of Theology.Vol 1. No
1,1983) 117. 43
A.A Yewangoe, Theologia Crucis di Asia, 295. 44
A.A Yewangoe, Theologia Crucis di Asia, 295. 45
A.A Yewangoe, Theologia Crucis di Asia, 296.
menunjukkan keseluruhan diri-Nya ke dasar penderitaan itu sendiri. Ia membuktikan
apa arti solidaritas total dengan orang-orang yang menderita dan Ia berhasil
mengatasinya. Ia tidak berakhir menjadi korban, Eka menyebut hal ini sebagai
pengharapan sebenarnya yang diberikan kepada manusia.46
2.3. Kesimpulan
Kristologi merupakan sebuah proses pemikiran, pergumulan, penelitian, bahkan
perenungan akan siapa Yesus Kristus sesuai dengan pengalaman indrawi, iman serta
akal budi yang dilakukan oleh para penafsir untuk memperoleh gambaran tentang
Yesus yang kurang lebih bersifat utuh. Melalui kristologi penggambaran-
penggambaran akan Yesus mulai muncul, seperti entitas Roh, Isa Al-Masih, Yin dan
Yang, Orang Yahudi, dan lain sebagainya. Kemudian muncul Kristologi Penderitaan
yang merupakan sebuah pemikiran dan tafsiran mengenai Yesus yang turut menderita
dan mengambil bagian dalam sejarah manusia. Kehadiran Yesus dalam sejarah
manusia melalui peristiwa salib membuktikan cinta yang paling dalam dari Allah
kepada manusia.
3. Figur Yesus dalam Novel Silence
3.1. Tentang Pengarang
Shusaku Endo dilahirkan pada tahun 1923. Ketika Endo berumur tiga tahun,
keluarganya pindah ke Manchuria. Sewaktu masih duduk di sekolah dasar, Endo
menerbitkan surat kabar bersama beberapa temannya. Ketika kedua orang tua Endo
bercerai, dia lalu kembali ke Jepang mengikuti ibunya, pada tahun 1934 Endo
kemudian dibaptis menjadi Katolik. Setelah lulus dari fakultas sastra Prancis di
Universitas Keio, dia kemudian mendapat beasiswa lagi. Pengalaman ini kemudian ia
tuangkan ke dalam beberapa novelnya. Salah satunya, Shiroi Hito, mendapat
penghargaan bergengsi Akutagawa Prize, penghargaan pertama Endo dalam bidang
sastra, penghargaan yang kemudian membawa Ia menerima penghargaan-
penghargaan lainnya.47
Endo meninggal pada usia 73 tahun di Rumah Sakit
46
Eka Darmaputera, “An Indonesian Comment”, Asian Theological Reflections on Suffering and Hope, ed. Yap
Kim Hao (Singapore, 1977), 65-67. 47
Shusaku Endo, Silence (Edisi terjemahan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017), introduction.
Universitas Keio, karena menderita penyakit hepatitis.48
Karya-karya Endo telah
banyak diterjemahkan di seluruh dunia.
Endo dijuluki Graham Greene-nya Jepang, dalam konteks novelis Katolik, hal
ini berarti buku-buku Endo bersifat problematik dan juga kontroversial.49
Ia telah
maju ke barisan paling depan sastra Jepang untuk menulis tentang berbagai masalah
yang dulu terasa begitu jauh dari Jepang: perihal Tuhan dan Keimanan. Masalah
utama yang menarik perhatian Endo adalah konflik antar kawasan-kawasan tertentu
di Jepang apalagi keterkaitannya dengan kristianitas. Shusaku Endo merupakan
penganut Katolik pertama yang mengemukakan hal ini dengan begitu gamblang
menarik kesimpulan bahwa kekristenan harus bisa beradaptasi secara radikal kalau
ingin menumbuhkan Iman akan Yesus terhadap orang-orang di Jepang.50
3.2. Sekilas Realitas Jepang
Dilihat secara ekonomis, Jepang tergolong apa yang disebut dengan negara
„dunia pertama‟, negara dengan penghasilan per kapita yang tinggi. Dilihat dari sudut
pandang historis pun jelas Jepang menunujukkan betapa berambisinya mereka untuk
menguasai Asia. Pada tahun 1905, setelah mengalahkan Rusia yang merupakan salah
satu kekuatan dunia, Jepang semakin mantap untuk menjadi “Pemimpin Asia,
Pelindung Asia, Cahaya Asia” (Gerakan Tiga A).51
Dalam situasi ketika ketika Jepang secara ekonomi bertumbuh semakin kuat,
Jepang justru dianggap sebagai penyebab banyak penderitaan di Asia. Misalnya
ketika masih banyak orang Kristen di Asia menderita kelaparan, ikan-ikan yang
bermutu baik semua dikapalkan ke Jepang.52
Hal ini tidak dimaksudkan untuk
mengatakan bahwa Jepang tidak lagi ada dalam penderitaan, namun masih ada orang-
orang yang menderita karena diskriminasi yang disebabkan oleh kebijakan-kebijakan
yang menelantarkan mereka. Lebih jauh, dari realitas-realitas yang ada ini, ada suatu
48
“Shusaku Endo is dead at 73; Japanese Catholic Novelist”, New York Times,
https://www.nytimes.com/shusaku-endo-is-dead-at-73-japanese-catholic-novelists.html diakses pada 17 Juni
2019. 49 Shusaku Endo, Silence (Edisi terjemahan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017), 7. 50
Shusaku Endo, Silence (Edisi terjemahan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017), 8. 51
Asal mula gerakanoini terletak pada pemahaman Shinto kuno, Shinkoku (Jepang sebagai negeri Ilahi) dan
Hakko ichise (delapan sudut penjuru dunia yang dipersatukan dibawah atap Jepang). 52
Shoji Tsutomu, “Sin and Suffering: Japan and the Peoples of Asia”, The Japan Christian Quarterly, 47
(Winter, 1981), 13.
realitas tersembunyi, ada suatu bentuk penderitaan yang berakar dalam tiap hati
orang Jepang. Jauh di dalam lubuk hati mereka, mereka masih mampu merasakan apa
arti dari penderitaan itu sebenarnya.53
Sejarahnya dapat ditelusuri kembali pada periode Tokugawa (1600-1868).
Pada periode dimana pemerintahan diktator Shogunat memperkuat kendali politik-
militernya terjadi model pemerintahan yang kaku terhadap kehidupan rakyat, banyak
karya sastra yang muncul untuk mengungkapkan situasi yang dialami oleh rakyat,
salah satunya adalah “Tragedi Terakoya”, dalam tulisan ini dengan jelas pikiran
Jepang tersiratkan.54
Penderitaaan yang dirasakan oleh Jepang ini kemudian berlanjut saat Jepang
ditimpa bencana. Pada sekitar tahun 1930 Jepang mengalami krisis ekonomi yang
mengakibatkan banyak orang hidup dalam keadaan miskin dan pengangguran di
perkotaan. Hal ini membawa mereka semakin sadar akan makna penderitaan. Situasi
yang sama terjadi saat Perang Dunia, Kitamori mencirikan zaman ini sebagai “masa
kematian dan kepedihan”.55
Pada saat itu tentu dunia tahu bahwa Jepang dalam cara
yang teramat kongkret mengalami penderitaan mereka.
3.2.1. Pengaruh Agama Terhadap Penderitaan di Jepang
Ketika Jepang sedang bergelut dengan penderitaan mereka, pengaruh agama
tentu tidak terelakkan dan untuk hal ini. Buddhisme memerankan peranan yang
cukup penting dalam kehidupan Jepang pada saat itu. Selain pengaruh Buddhis,
Jepang juga memiliki konsep unik tersendiri tentang penderitaan yakni tsurasa.
Kazoh Kitamori menyebutkan bahwa tsurasa merupakan prinsip dasar dan ikut
membentuk sifat dasariah tragedi Jepang.56
Tsurasa dapat terwujud saat seseorang
menderita dan meninggal, atau karena kasihnya, membuat orang yang dikasihinya
atau anaknya menderita dan mati agar yang lainnya boleh hidup. Lebih lanjut,
Kitamori mengatakan bahwa seorang dapat dikatakan bangsa Jepang sejati ketika dia
menguasai tsurasa, sebab orang yang tidak memahami konsep ini dianggap sebagai
seseorang yang tidak bijak. 57
53
A.A. Yewangoe, Theologia Crucis di Asia, 172. 54
A.A. Yewangoe, Theologia Crucis di Asia, 173. 55
Kitamori, Theology of Pain, 137. 56
Kitamori, Theology of Pain, 136. 57
Kitamori, Theology of Pain, 135.
Sementara kekristenan sendiri bisa dikatakan mendapatkan tempat yang tidak
sebaik Buddhisme. Masalah yang dihadapi agama Kristen saat itu adalah bagaimana
mengaitkan iman Kristen dengan budaya Jepang, dimana dalam kebudayaan itu
masih didominasi oleh etika tradisional yang bersumber pada ajaran Kong Hu Cu
dan Sintoisme.58
Posisi Kristen berada pada posisi minoritas, ditinjau dari sudut
sejarah jelas bahwa Kekristenan sulit diterima oleh bangsa Jepang sebagai milik
mereka. Kalaupun ada simpati yang diberikan oleh para penguasa Jepang, itu tidak
terlepas dari unsur politik dan ekonomi.
Situasi semacam ini membawa orang Kristen di Jepang dalam posisi sulit,
namun kendati ada dalam posisi seperti ini Kekristenan tetap dianggap sebagai unsur
penting dalam memberikan sumbangan besar bagi kemajuan sosial dan
perkembangan kerohanian bangsa. Setidaknya hal ini diakui oleh mantan Perdana
Menteri Nobosuke Kishi.59
3.3. Kilas Kisah Silence
Silence bermula saat Kristianitas menjadi hal yang begitu ditentang dengan
keras di Jepang. Ketika ngera-negara Eropa sedang gencar-gencarnya melakukan
penyebaran agama Kristen ke negara-negara lain termasuk Jepang. Diawali dengan
laporan bahwa salah satu pastor kenamaan asal Portugis, Bapa Ferrreira menjadi
murtad karena siksaan bertubi-tubi yang dialaminya selama di Jepang. Karena tidak
kuat dengan penyiksaan tersebut, sang pastor akhirnya memilih murtad dan melepas
kekristenannya.60
Mengetahui hal tersebut, tentu saja gereja Roma sulit percaya
apalagi menerima bahwa Ferreira, lelaki yang mereka panggil Bapa, seseorang yang
dikenal sangat memegang teguh apa yang menjadi keyakinannya, bisa dipaksa untuk
meninggalkan hal tersebut.
Sebastian Rodrigues, salah satu murid Ferreira bersama kedua temannya
Fransisco Garrpe dan Juan de Santa Marta kemudian merasa terpanggil untuk
meneruskan usaha para missionaris sebelum mereka untuk menyebarkan agama
Kristen, sekaligus penasaran dan ingin membuktikan tentang kabar yang telah
58
A.A. Yewangoe, Theologia Crucis di Asia, 198. 59
A.A Yewangoe, Theologia Crucis di Asia, 199. 60
Berdasarkan prolog di awal cerita, “…Sejak tahun 1587, Hideyoshi, penguasa wali, telah mengubah
kebijaksanaan pendahulunya, dan telah memulai penganiayaan mengerikan terhadap orang-orang Kristen…” 26.
mereka terima tentang guru mereka tersebut.61
Rodrigues dan teman-temannya pun
memutuskan untuk ke Macao, yang merupakan daerah basis perdagangan Cina dan
Jepang dengan menumpang kapal Portugis. Sebelumnya, mereka sudah dilarang oleh
seorang pastor yang bernama Valignano untuk berlayar ke Jepang mengingat situasi
sedang tidak aman.62
Akhirnya mereka tetap juga diizinkan, namun Valignano tetap
memperingatkan ketiga pastor itu agar berhati-hati pada Inoue, orang yang paling
menentang ajaran kekristenan di Jepang pada saat itu. di Macao, Rodrigues dan
teman-temannya bertemu secara tidak sengaja dengan orang Jepang yang terkatung-
katung dan tidak bisa pulang ke Jepang; Kichijiro. Karena akses ke Jepang sulit
untuk dimasuki oleh orang asing, maka mereka melihat kesempatan dengan
menggunakan Kichijiro sebagai tameng agar mereka bisa masuk ke Jepang.
Singkat cerita, Kichijiro kemudian membawa Rodrigues dan teman-temannya
ke daerah yang disebut dengan Tomogi. 63
orang-orang di Tomogi sudah 6 tahun
lamanya tidak memiliki pastor juga bruder. Tidak saja di Tomogi, tetapi juga di
daerah-daerah yang lain. Di sini, Rodrigues kemudian melihat sendiri dan juga
merasakan bagaimana penderitaan yang dialami oleh segelintir orang-orang Kristen
yang ada di Jepang. Kabar tentang kedatangan para pastor sampai juga ke telinga
pemerintah Jepang waktu itu. Mereka pun disiksa agar mereka mau menyangkali
keyakinan mereka. Namun di saat-saat seperti itu mereka masih berusaha melindungi
sang pastor.64
Hingga akhirnya Sang Pastor, Rodrigues ditantang juga untuk
menyangkal imannya, ia disiksa secara halus terlebih dahulu dengan diintimidasi.
Menghadapi situasi seperti ini, posisinya sebagai seorang pastor
dipertanyakan, apakah ia tega melihat umatnya terus-terusan disiksa karena hanya
keegoisannya tidak mau menyangkal imannya. Taruhannya, jika Rodrigues mau
menyangkal imannya kepada Yesus, maka pemerintah Jepang berjanji takkan ada
lagi penyiksaan terhadap orang-orang Kristen di Jepang.65
Rodrigues, dalam
perjalanan mencari Ferreira diperhadapkan pada keadaan dan pemikiran yang
61
“… mereka juga tidak percaya Ferreira telah meninggalkan Tuhan...., Rodrigues dan rekan-rekannya sangat
ingin berangkat ke Jepang untung mengetahui secara langsung nasib Ferreira.” 34. 62
Bdk dialog Juan de Santa Marta, “Tapi, dengan bantuan Tuhan, misi rahasia kami masih punya kemungkinan
untuk berhasil.” … “Di negeri miskin-papa itu mereka bagaikan kawanan domba tanpa penggembala” 39. 63
Daerah yang sebagian besar penduduknya beragama Kristen. Mereka sangat senang ketika mendapati ada
beberapa orang pastor yang mengunjungi tempat mereka. 60. 64
Bdk dialog para penduduk terhadap para pastor, “Bapa, larilah! Cepat, cepatlah pergi!” … “Para pengawal
mendatangi desa”, 86. 65
Cara mereka disiksa bermacam-macam; diikat di tepi lautan sampai mati, diikat terbalik dalam sebuah lubang
penyiksaan dengan diikat terbalik dan kepala mereka digantung sampai mati, kecuali jika mereka menyangkal
iman.
dilematis karena melihat betapa banyaknya korban yang semakin terus mencoba
unuk menyebarkan benih-benih kekristenan di Jepang. Situasi dilematis itu sampai
pada puncaknya ketika Tuhan yang Rodrigues yakini selama ini diam saja dan tidak
berbuat apa-apa untuk menyelamatkan umat-Nya dari kesengsaraan yang ada.
Keadaan berubah semakin rumit ketika Rodrigues kemudian akhirnya
dipertemukan dengan Ferreira. Dengan jelas Ferreira menentang dan kemudian
menganggap para Yesuit seperti dirinya terlampau egois dan hanya memikirkan
kepentingan dan kehormatan mereka sendiri. Ketika penduduk setempat berani
disiksa dan bahkan berani mati karena keyakinan yang para pastor ini sebarkan,
tetapi sang pastor justru sembunyi di balik ketakutannya sendiri. Ferreira, yang
kemudian memutuskan untuk murtad, satu-satunya alasan yang ia pegang agar
penduduk Jepang dapat terbebas dari siksaan tersebut, tidak ada pilihan lain selain
mengkhianati keyakinan sendiri demi kepentingan banyak orang. Bagi Ferreira,
setidaknya ia bukan seseorang yang pengecut dalam menghadapi tekanan. Disinilah
Shusaku Endo kemudian menarasikan kejadian demi kejadian ini dengan
menyiratkan bahwa Tuhan yang sejauh dapat ditangkap pembaca adalah Tuhan yang
tenang dan diam saja dalam melihat penderitaan demi penderitaan terjadi tanpa
sedikitpun melakukan sesuatu.
3.4. Yesus dalam Novel Silence
Untuk melihat citra Yesus dalam novel ini, maka penulis akan mencoba
menarasikannya melalui alur pergumulan tiga tokoh dalam novel ini yakni;
Rodrigues, Ferreira, dan Kichijiro. Tiga tokoh kunci ini dengan pergumulan mereka
masing-masing dengan jelas akan memperlihatkan bagaimana figur Yesus dalam
Silence.
3.4.1. Pergumulan Rodrigues: Yesus Membungkam Diri
Penggambaran akan Yesus dalam novel ini pertama-tama ditemui
dalam surat pertama yang ditulis oleh Rodrigues ketika ia dan teman-
temannya baru saja tiba di Macao, pada malam hari ketika mereka akan
beristirahat. Muncul di benaknya satu pertanyaan “Seperti apakah wajah
Kristus?”.66
Dalam perenungannya akan sosok Kristus, Rodrigues masih
percaya bahwa ketika Tuhan membawanya sampai ke Macao ada maksud
tertentu yang telah Tuhan siapkan. Walau belum sepenuhnya dipahami oleh
Rodrigues, keyakinan Rodrigues bahwa Tuhan merancangkan sesuatu yang
baik dalam diam-Nya berlaku bagi dirinya juga bagi rekannya yang belum
dapat mengambil bagian dalam misi Jepang.67
Pergumulan Rodrigues dimulai pada saat para pejabat menggeledah
desa Tomogi dan mulai menawan orang-orang Kristen pada saat itu.
Perasaan Rodrigues mulai berkecamuk, seolah-olah doa-doa yang ia
panjatkan bersama dengan seluruh penduduk desa tidak didengar Tuhan,
namun justru penganiyaan demi penganiyaan mulai mereka rasakan.
Rodrigues belum menyerah, ia masih memiliki keyakinan bahwa
kebungkaman Tuhan tentu ada maksud baik di dalamnya. Meskipun di
tengah-tengah keyakinan juga muncul pertanyaan dalam benaknya
“Mengapa Tuhan menimpakan siksaan dan penganiayaan ini kepada petani-
petani miskin itu?”68
Namun demikian, menjadi masalah bagi Rodrigues
bukan kepada apa dan siapa yang menerima penderitaan ini, namun
kebungkaman-Nya yang membuat perjalanannya ini semakin menyesakkan.
Pergumulan Rodrigues semakin berat tatkala ia harus melihat dan
menyaksikan sendiri eksekusi mati dari seorang Kristen yang dipenggal
kepalanya ketika mereka semua sedang ditahan. Setelah semuanya itu, tidak
ada kejadian lain yang menyusul, tidak ada perubahan apapun yang terjadi di
luar sana. Seseorang baru saja mati, hidup terus berlanjut dan terus berputar
seperti biasa.
Rodrigues marah atas situasi yang diperhadapkan padanya. Setelah
satu persatu orang Kristen mati demi mempertahankan iman mereka, Tuhan
masih tidak beranjak dari keheningan-Nya. Ini kemudian membuat
66 “… Tentang hal ini, Alkitab hanya bungkam seribu bahasa. Kalian tahu betul orang-orang Kristen yang mula-
mula itu membayangkan Kristus sebagai gembala. Mengenakan jubah pendek, tunik sederhana; satu tangan
memegang kaki seekor domba, dan tangan satunya memegang tongkat gembala … tetapi mala mini bagiku
wajah Kristus adalah wajah yang tesimpan di Borgo San Sepulchro, satu kaki Kristus bertumpu di atas makam,
dan tangan kanannya menggenggam salib…” Silence, 52. 67 “… Akhirnya keberangkatan kami tinggal lima hari lagi. Kami hanya disibukkan dengan persiapan spiritual.
Dan aku sama sekali tidak ingin menulis tentang Santa Marta. Rupanya Tuhan tidak mengizinkan rekan kami
yang malang itu dipulihkan kesehatannya. Tapi keputusan Tuhan selalu yang terbaik. Tak diragukan lagi, Tuhan
diam-diam sedang mempersiapkan misi yang suatu hari nanti akan menjadi miliknya… “ Silence, 52. 68 Silence, 100.
Rodrigues sempat memandang Yesus sebagai sosok kejam yang
melimpahkan semua peristiwa menyakitkan ini pada manusia lalu dengan
sengaja memalingkan wajah-Nya seolah-olah tidak bertanggungjawab atas
kejadian yang Ia sendiri ijinkan untuk terjadi. Dalam situasi yang
membingungkan ini, Rodrigues sekali lagi memohon pertolongan, walaupun
jauh dalam nuraninya, ia berat untuk memanjatkan permohonan yang ia rasa
tidak lebih dari sebuah hujatan.69
Dalam kegamangan Rodrigues dalam
situasi seperti ini, ia memanggil Tuhan dengan menyebut Kyrie Eleison!70
Istilah ini digunakan ketika seseorang memohon belas kasihan Tuhan. Istilah
ini juga muncul dalam Perjanjian Baru ketika dua orang buta dalam Injil
Matius memohon pengasihan Tuhan71
, seruan perempuan Kanaan untuk
menyembuhkan anak perempuannya yang kerasukan setan72
, dan seruan
Bartimeus untuk memohon kesembuhan.73
Ini berarti dengan sisa-sisa
kekuatan yang ia miliki, Rodrigues meminta pengasihan Tuhan agar tidak
menelantarkannya dengan cara-Nya yang tidak dipahami Rodrigues.
Belum berhenti sampai disitu, Endo kembali membawa pembacanya
pada malam dimana Rodrigues membuka diri untuk mempertanyakan dan
membayangkan bagaimana perasaan Yesus ketika Ia bergumul di taman
Getsemani.74
Rodrigues membayangkan apakah ketika Yesus bergumul, Ia
pun merasakan kebungkaman Tuhan? Apakah Dia pun bisa merasakan
ketakutan-Nya hingga membuat fisiknya gemetar?75
Seolah tidak sanggup
menenangkan suara-suara yang ada dalam kepalanya pada malam itu dan di
satu sisi ia menyadari bahwa kebungkaman Tuhan masih terus berlangsung,
perkataan Yesus di kayu salib tiba-tiba masuk dalam kesadarannya. “Eloi,
Eloi, lama sabachtani!”76
, Rodrigues berpikir bahwa pada saat itu Yesus
sendiripun merasakan ketakutan atas kebungkaman Tuhan, namun
69
“Tuhan, jangan menelantarkan aku lagi! Jangan menelantarkan aku dengan cara yang misterius ini. Layakkah
ini disebut doa? saat aku berbicara kepadaMu seperti aku hanya menghujat” Silence, 194. 70
Tuhan, Kasihani aku! 71
Lht. Matius 20:30. 72 Lht. Matius 15:22. 73 Lht. Markus 10:47. 74 Lht. Markus 14:32-42. 75 “.. Apakah Dia juga gemetar oleh rasa takut? pikiran itu muncul begitu saja di dalam dadanya.” Silence, 219. 76
“Allahku, Allahku, Mengapa Engkau meninggalkan aku?”
Rodrigues menyadari bahwa ungkapan itu lebih bermakna sebagai sebuah
doa.77
Selanjutnya, Endo membawa pembaca ke detik-detik dimana saat
Rodrigues akan melakukan tindakan yang paling menyakitkan baginya.
Dimulai dengan narasi bagaimana sang pastor yang memiliki kebiasaan
membayangkan wajah Yesus saat ia sedang sendirian, kemudian kebiasaan itu
terulang ketika ia ditangkap, Rodrigues kembali membayangkan wajah Yesus.
Namun kali ini yang muncul dengan jelas dalam benaknya bukan Yesus yang
penuh dengan kuasa tetapi wajah yang penuh dengan tatapan kesedihan.
Wajah itu mengisyaratkan bahwa Ia selalu ada di dekat sang pastor dan ikut
menderita bersamaa-sama dengannya.78
Pada klimaks pergumulannya, Rodrigues diperhadapkan dengan
pilihan menginjak fumie79
dan membebaskan lima orang Kristen dari lubang
penyiksaan atau tidak menginjak dan membiarkan mereka mati dengan
perlahan. Sampai pada akhirnya ia mengambil keputusan untuk menginjak
walau sungguh perih baginya, pada saat itulah Tuhan berbicara kepadanya.
Dalam bagian ini, kebungkaman Yesus pecah tepat ketika Rodrigues berusaha
melepaskan pandangannya terhadap figur Yesus yang penuh kuasa dan
menyadari bahwa Yesus turut menderita bersamanya.80
Penulis melihat pada
bagian ini konsep Endo akan kebungkaman Tuhan semakin jelas, yakni
manusia hanyaa bisa mendengar Yesus ketika manusia bisa menyingkirkan
prasangka dan ekspektasi tentang bagaimana Ia harus terdengar dan apa yang
harus Ia katakan kepada kita. Ia sudah selalu ikut menderita bersama-sama
dengan manusia, salib adalah buktinya. Dia mengambil alih salib yang
seharusnya menjadi tanggungan manusia, namun karena Dia tahu segala
kelemahan manusia dan Ia tidak tinggal diam. Belas kasihan atas kelemahan
manusia itu ditegaskan Endo ketika suara-Nya diperdengarkan pada Rodrigues
77
Silence, 220. 78
“..Kemudian wajah itu seperti berbicara kepadanya… saat kau menderita, aku ikut menderita bersamamu.
Aku akan selalu dekat denganmu, sampai pada akhirnya” Silence, 254. 79 Merupakan gambar Yesus yang oleh para petinggi keagamaan pada masa pemerintahan Shogun Tokugawa di
Jepang, diharuskan untuk diinjak oleh orang-orang yang dicurigai sebagai orang Kristen, sebagai bukti bahwa
mereka bukanlah anggota dari agama yang dianggap terlarang pada waktu itu. 80
Douglass Hall, “Rethinking Christ: Theoloigical Reflections on Shusaku Endo‟s Silence”, Interpretation a
Journal of Bible and Theology (1979): 266, diakses November 6, 2019, BookSC.
“Injaklah! Injak! Aku lahir ke dunia memang untuk diinjak-injak manusia.
Untuk menanggung penderitaan manusialah aku memanggul salib-Ku”81
3.4.2. Kebungkaman Yesus dalam Pergumulan Ferreira
Ferreira merupakan sang tokoh yang menjadi alasan utama Rodrigues
untuk pergi ke Jepang. Mereka memutuskan mencari tahu kebenaran kabar
akan guru mereka yang mengingkari kepercayaannya pada Yesus. Kabar itu
benar, Ferreira merupakan misionaris pertama yang akhirnya mengingkari
imannya.82
Ketika pada akhirnya Rodrigues dipertemukan dengan Ferreira,
ia melihat Ferreira telah sepenuhnya menjadi orang yang tidak lagi ia kenali,
Ferreira berpenampilan bak orang Jepang yang tinggal di kuil. Sedikitpun
tidak ada rasa benci di hati Rodrigues saat bertemu Ferreira, melainkan rasa
iba yang memenuhi hatinya. Ferreira menangkap arti dari pandangan
Rodrigues dan mengatakan bahwa ia jauh lebih mengenal Jepang dengan
baik dibanding Rodrigues, sehingga tidak seharusnya Rodrigues menatapnya
dengan pandangan seperti itu.83
Setelah Rodrigues bertemu Ferreira dan mendengar semua
penjelasannya, Rodrigues menjadi bimbang. Setelah mendengar semuanya,
ada pemakluman yang ingin sekali ia akui, namun dikalahkan oleh egonya
yang masih ingin untuk tetap menghidupkan agama Kristen di Jepang.
Namun Rodrigues juga membayangkan bahwa di satu sisi Ferreira telah
lebih dulu melewati penderitaan dan kesendirannya ketika menghadapi
siksaan pemerintah Jepang.84
Sisi lain Ferreira dimunculkan oleh Endo ketika ia diijinkan untuk
menemani Rodrigues ketika menghadapi pergumulan untuk menyangkal
imannya demi menyelamatkan nyawa orang lain. Kata Ferreira kepada
Rodrigues “Tetapi aku juga sama seperti kau, aku juga merasakan apa yang
kau rasakan selama ini. Tapi apakah tindakanmu itu bisa dianggap tindakan
81 Silence, 269. 82
“Pukulan hebat itu pun terjadilah. Ferreira, memberi tanda menyerah setelah enam jam mengalami penyiksaan
dalam lubang” Silence, 15. 83
Bdk dialog Ferreira dengan Rodrigues “Selama dua puluh tahun aku bekerja keras di negeri ini. Aku
mengenalnya jauh lebih baik daripada kau” Silence, 233. 84
“Kesepian itu jauh lebih dingin, jauh lebih mengerikan daripada yang telah dialami sang pastor dalam
penjarannya.” Silence, 242.
kasih? Andai Kristus ada di sini, Kristus tanpa ragu akan menyangkal
imannya bagi mereka”85
Penulis melihat bahwa Ferreira sesungguhnya telah jauh lebih dulu
mengalami hal yang memedihkan sama seperti yang dialami Rodrigues. Ia
juga merasakan bahwa Tuhan tetap bungkam ketika ia berhadapan dengan
pergumulannya. Bagi Ferreira, Jepang merupakan rawa-rawa yang tak
berdasar, tunas muda yang ditanam tidak akan menghasilkan apa-apa selain
hanya akan layu dan mati. Kristianitas di Jepang bisa diibaratkan sebagai
tunas muda itu.86
Sampai detik ini, bahkan setelah Ferreira menyangkal
imannya Tuhan tetap bungkam dan seperti tidak melakukan sesuatu baginya
juga bagi orang-orang Kristen yang telah mati demi mempertahankan
imannya.
3.4.3. Pergumulan Kichijiro: Yesus Tidak Peduli
Kichijiro; tokoh yang dimunculkan Endo sebagai seseorang yang
sangat licik juga pengecut. Kichijiro hadir seperti anomali di tengah-tengah
anggapan para misionaris bahwa Jepang adalah negeri yang orang-orangnya
sama sekali tidak takut mati.87
Sejak awal Rodrigues bertemu dengan
Kichijiro, Rodrigues menyadari bahwa memang Tuhan sengaja
mempertemukan ia dengan pengecut lemah seperti Kichijiro.88
Kichijiro digambarkan sebagai seorang pengecut karena sepanjang
cerita dalam novel ini entah berapa kali ia telah menyangkal Yesus karena
takut akan bayangan penyiksaan. Namun berapa kali pun Kichijiro
menyangkal Yesus, ia tetap kembali memohon pengampunan kepada
Rodrigues. Sampai ketika ia kembali untuk kesekian kalinya kepada
Rodrigues untuk meminta pengampunan, ia berteriak dengan keras ke arah
Rodrigues “Saya berhak memohon pengampunan! Bapa pikir saya
menginjak gambar itu dengan rela? Kaki saya pedih waktu menginjak-
85
Silence, 266-267. 86
Silence, 241. 87
Silence, 49. 88
Bdk monolog “aku telah memercayakan masa depanku pada orang seperti Kichijiro, mau tak mau aku jadi
tertawa..” Silence, 50.
injaknya. Tuhan ingin saya berlaku seperti orang yang tegar, padahal Dia
menciptakan saya sebagai orang lemah. Bukankah itu tidak masuk akal?”89
Kichijiro tahu bahwa dirinya lemah dan juga menyadari bahwa ia juga
seorang pengecut, ada perasaan bersalah yang muncul setiap kali ia
menyangkal imannya dan pergi entah kemana meninggalkan Rodrigues.
Setiap kali ia ingin mengambil tindakan keberanian untuk melawan
penguasa dan menolak untuk menginjak fumie, ia tidak sanggup untuk
melawan ketakutannya sendiri. “Bapa ampuni saya! Saya bukan orang kuat
seperti Mokichi dan Ichizo”90
Demikian Kichijiro menyebut kedua nama
temannya yang telah mati disiksa karena mempertahankan imannya.
Rodrigues lalu menyadari tidak semua orang diciptakan sebagai orang yang
kuat dan kalau saja bukan karena kesadaran dan harga dirinya sebagai
seorang pastor, barangkali ia juga akan melakukan hal yang sama seperti
yang Kichijiro lakukan.91
Penulis melihat ada kekecewaan Kichijiro terhadap dirinya sendiri
ketika ia membandingkan dirinya dengan orang Kristen lainnya yang lebih
berani untuk mengambil resiko sekalipun itu kematian. Terdapat perasaan
seolah Tuhan tidak peduli kepada manusia lemah seperti dirinya yang rentan
terhadap rasa takut saat membayangkan siksaan yang akan ia terima jika
mengakui dirinya orang Kristen. Di sini, Endo memperlihatkan bentuk
kebungkaman Tuhan yang lain, yang membiarkan Kichijiro disiksa perasaan
bersalahnya. Padahal, kalau saja Kichijiro bisa meminta, ia tidak ingin
dilahirkan dan menjalani hidup sebagai seseorang dengan mental pengecut.
Kichijiro terlihat seperti gambaran kemanusiaan, dengan segala
kelemahannya, tetapi Tuhan tidak berdiam diri. Buktinya berapa kalipun ia
datang meminta pengampunan, pengampunan itu selalu diberikan kepada
Kichijiro.
3.5. Kesimpulan
Novel Silence menggambarkan bagaimana figur Yesus yang bungkam dalam
melihat penderitaan manusia, khususnya penderitaan yang dialami oleh orang-orang
89 Silence, 185. 90
Silence, 134. 91
Silence, 133-134.
Kristen di Jepang karena berusaha mempertahankan iman mereka. Melalui
pergumulan yang dialami oleh ketiga tokoh utama yakni Rodrigues, Ferreira, dan
Kichijiro, Endo menampilkan kebungkaman Yesus yang tidak berarti Ia berdiam diri.
Namun dalam kebungkaman-Nya, Ia telah dan selalu ikut menderita bersama-sama
dengan mereka. Figur Yesus yang ditampilkan bukan sebagai Allah yang penuh
kuasa sehingga dengan kekuasaan-Nya dapat membuat penderitaan sirna seketika,
namun Ia ditampilkan melalui sisi kemanusiaan-Nya yang turut merasakan dan
menanggung penderitaan yang mereka alami.
4. Tinjauan Kristologi Penderitaan terhadap Figur Yesus dalam Silence
Setelah mendeskripsikan bagamana figur Yesus dalam novel Silence pada bagian tiga,
maka pada bagian empat penulis akan melakukan tinjauan kristologi terhadap figur
tersebut. Tinjauan ini dimaksudkan untuk mempertemukan figur Yesus dalam Kristologi
Penderitaan dan figur Yesus dalam novel Silence.
4.1. Kristologi Umum dan Kristologi Penderitaan
Kristologi merupakan ilmu pengetahuan tentang Kristus. Kristologi hadir
karena adanya pergumulan untuk terus mengenal dan memahami siapa Yesus
Kristus. Oleh sebab itu, Kristologi bisa dilihat sebagai sebuah proses untuk meneliti,
menafsirkan, menyelidiki dan membangun perenungan yang mendekati kehidupan
Yesus sesuai dengan pengalaman indrawi, iman serta akal budi yang dilakukan oleh
para penafsir untuk memperoleh gambaran tentang Yesus yang kurang lebih bersifat
utuh. Sementara, Kristologi Penderitaan merupakan proses menikirkan, memahami,
dan menafsirkan Allah dalam Yesus Kristus dari pengalaman salib Yesus dan
penderitaan yang dirasakan oleh manusia. Dari pengertian tersebut lahirlah
pemahaman dari kacamata penderitaan mengenai figur Yesus.
Kazoh Kitamori menyatakan pada salib kasih Allah terungkap dengan makna
penderitaan salib juga merupakan penderitaan Allah. Hal ini berarti Allah turut
merasakan penderitaan manusia sehingga Ia menyerahkan diri-Nya pada rasa sakit
yang harus Ia tanggung melalui salib. Eka Darmaputera menyatakan ketika Yesus
berjuang melawan penderitaan, Ia menerjukan dirinya ke dasar penderitaan itu
sendiri dalam peristiwa salib. Ini dikarenakan wujud manusia yang selaras ada dalam
Yesus Kristus. Koyama melihat Yesus sebagai figur yang mendatangi kawasan
pinggiran dan memiliki akses langsung degan mereka yang menderita. Koyama
menyebutnya sebagai jalan salib yang tidak memiliki gagang. Ketiadaan gagang
melambangkan kesungguhan Yesus untuk menanggung semua penderitaan dunia.
4.2. Kajian Kristologi Penderitaan: Yesus dalam Novel Silence Karya Shusaku
Endo
4.2.1. Yesus Turut Merasakan Penderitaan Rodrigues
Pergumulan demi pergumulan yang diperhadapkan pada Rodrigues
membuat ia berulangkali mempertanyakan mengapa penderitaan ini harus
dirasakan oleh orang-orang yang menaruh harapnya pada Yesus. Sementara
satu persatu orang Kristen dibunuh di depan matanya sendiri, Tuhan tetap
diam dan tidak melakukan apapun. Sampai pada puncak pergumulannya,
saat Rodrigues akan menginjak fumie, saat itu juga suara Yesus barulah bisa
ia dengarkan.
Allah yang turut menderita bersama manusia dikatakan Kitamori
sebagai hakikat-Nya. Dalam konsepnya, Kitamori menegaskan bahwa Allah
turut menderita sebab kasih-Nya yang besar kepada manusia yang berdosa.92
Dengan demikian ketika Rodrigues masuk dalam pergumulannya, Yesus
juga turut merasakan penderitaan yang dialami oleh Rodrigues dan tidak
hanya sebatas muncul di puncak pergumulan Rodrigues. Hanya saja
ekspektasinya terhadap wujud kehadiran Yesus justru membuat Rodrigues
tidak dapat merasakan kehadiran Yesus dalam masa-masa beratnya. Ketika
Rodrigues telah melewati situasi sulit itu, Rodrigues bisa mengasihi Tuhan-
nya dengan cara yang berbeda. Ia menyadari bahwa Tuhan tidak bungkam,
namun andai pun Yesus memang bungkam selama ini, kehidupan Rodrigues
selama itu sudah cukup berbicara tentang Yesus.93
4.2.2. Yesus Memahami Keputusan Ferreira
Ferreira, tokoh misionaris pertama yang akhirnya harus menyerah pada
pemerintah Jepang dan memilih untuk menyangkal Yesus demi
menyelamatkan nyawa orang lain. Di sisi lain Ferreira juga menyadari
bahwa memang tidak bisa ia memaksakan keyakinannya akan Yesus kepada
92
Kitamori, Theology of Pain, 115. 93
Silence, 295.
orang-orang Jepang yang juga telah memiliki kepercayaannya sendiri.
Dengan pertimbangan-pertimbangan itulah, Ferreira akhirnya melepas
keyakinannya dan melanjutkan kehidupannya di Jepang. Tidak terlalu
banyak pergumulan Ferreira yang ditampilkan Endo dalam Silence, tetapi
sudah cukup terwakilkan dengan pergumulan Rodrigues.
Pada bagian dua, Eka Darmaputera melihat bahwa manusia memiliki
kemampuan untuk menyadari penderitaan bukan sebuah pengalaman asing
dari kehidupan. Tentu ada usaha untuk melawan pennderitaan tersebut,
namun terlebih dahulu manusia perlu belajar menerima.94
Kemampuan yang
sama terdapat juga pada Yesus sebagai wujud manusia sempurna. Ketika
Yesus berjuang melawan penderitaan, ia tidak saja sebatas menerima
penderitaan itu namun juga membuktikan jikalau Ia bersolidaritas penuh
dengan mereka yang menderita dan hal itu bisa dilihat melalui peristiwa
salib.
Penulis menarik konklusi jika Yesus datang dalam wujud manusia
sempurna, maka bukan hal yang aneh ketika Yesus bisa memahami
penderitaan yang dialami Ferreira dan juga memahami keputusannya untuk
mengingkari imannya akan Yesus. Sebab bukan atas keinginannya sendiri,
tetapi karena tuntutan keadaan. Ferreira sendiri meyakini bahwa Yesus
mampu memahami keputusannya itu saat ia mengatakan “Andai Kristus ada
di sini, Kristus tanpa ragu akan menyangkal keyakinanNya bagi mereka”95
4.2.3. Yesus Memaklumi Kichijiro
Kichijiro yang malang, penakut, dan pengecut. Ia selalu lari ketika
berhadapan dengan bayangan ketakutannya sendiri jika ketahuan kalau ia
adalah seorang Kristen. Kichijiro yang lemah, yang selalu menangisi dirinya
sendiri karena terlahir sebagai seseorang yang tidak diciptakan sekuat
pengikut-pengikut Kristus yang lain. Kichijiro yang menyedihkan,
berulangkali melakukan pengkhianatan, namun berulangkali pula mendapat
pengampunan. Bukankah Kichijiro gambaran sempurna atas kerapuhan dan
kelemahan manusia?
94
Yewangoe, Theologia Crucis di Asia, 296. 95 Silence, 267.
Kosuke Koyama melihat Yesus sebagai figur yang mendatangi orang-
orang pinggiran dan memiliki akses untuk terhubung langsung dengan
mereka yang lemah dan menderita. Koyama menyebutnya sebagai jalan
salib yang tidak memiliki gagang. Salib merupakan simbol yang tidak
nyaman untuk dibawa, apalagi jika salib itu tidak memiliki gagang.
Ketiadaan gagang pada salib menjadi simbol kesungguhan Yesus untuk
menanggung penderitaan bagi orang-orang lemah juga sebagai makna
keselamatan, pengampunan serta rekonsiliasi.96
Yesus bisa memaklumi Kichijiro karena Ia mengenal Kichijiro dan
mengetahui persis letak kelemahan Kichijiro. Kelemahan Kichijiro membuat
ia menderita karena penderitaan itu tak terelakkan. Sesuai refleks naluriah,
manusia selalu menghindari penderitaan.97
Kichijiro memiliki refleks
naluriah yang seperti itu. Pemakluman yang dimaksud penulis kepada sikap
Yesus kepada Kichijiro adalah: Yesus memahami Kichijiro sangat rapuh,
seberapa seringpun Kichijiro meninggalkan Yesus, namun saat ia datang
kembali pengampunan itu tetap ada. Persis seperti yang telah dilakukan
Rodrigues atas Kichijiro. Pemakluman tentu saja tidak bersifat
menyingkirkan tetapi merangkul yang terbuang.
4.3. Kesimpulan
Figur Yesus yang bungkam dalam novel Silence karya Shusaku Endo dengan
jelas digambarkan melalui pergumulan yang dialami oleh Rodrigues, Ferreira, dan
Kichijiro. Masing-masing menghadapi konteks masalah yang berbeda-beda tetapi
semua merasakan satu hal yang sama, yakni kebungkaman Tuhan. Kebungkaman ini
bukanlah suatu bentuk ketidakpedulian Allah akan penderitaan manusia, namun
justru sebagai bentuk cinta yang paling dalam sehingga Ia mau menanggung
penderitaan itu lewat karya penyaliban. Sejak Yesus memutuskan untuk datang
dalam wujud manusia, sejak itu pula Dia diidentikkan dengan kesunyian. Kelahiran-
Nya luput dari hingar bingar, Ia tidak lahir dalam perhatian publik. Dimulai dengan
keheningan inilah terdapat bukti akan inisiatif dan kasih Yesus untuk turut menderita
bersama-sama dengan manusia.
96
David Thang Moe, “The Crucified Mind: Kosuke Koyama‟s Misiology of „Theology of the Cross‟”,
Exchange Journal, Vol. 46 (Januari, 2017): 26. 97
Philip Yancey, The Question That Never Goes Away, (Brentwood: Creative Trust Literary, 2013), 80.
5. Kesimpulan dan Saran
5.1. Kesimpulan
Setelah seluruh pembahasan selesai maka penulis sampai pada kesimpulan
yakni berdasarkan novel Silence karya Shusaku Endo, figur Yesus yang bungkam
terlihat melalui pergumulan Rodrigues, Ferreira, dan Kichijiro, Dia tidak bungkam
apalagi berdiam diri melihat penderitaan yang terjadi di Jepang. Dia merupakan
Allah yang adil, yang tetap memberikan manusia kehendak bebas untuk memilih dan
memutuskan jalan mana yang akan diambil. Namun dalam pergumulan manusia
ketika harus memutuskan antara mana sesuatu yang benar atau salah, Ia tidak
meninggalkan. Yang membuat mereka merasa Yesus bungkam adalah pikiran
mereka sendiri tentang bagaimana seharusnya Yesus merespon pergumulan mereka.
Melalui kebungkaman Tuhan dalam novel Silence, penulis memahami bahwa
Allah memasuki sejarah manusia sebagai salah satu tokoh pemeran dengan tidak
datang dengan segala kemahakuasaannya, tetapi Ia datang dengan cara yang paling
bersahabat sekaligus rentan. Dia menjangkau orang-orang yang menderita dengan
belas kasihan serta pengampunan. Poin ini seharusnya menjadi kekuatan tersendiri
bagi orang-orang Kristen, sebab Yesus Kristus tidak hadir sebagai pribadi yang jauh
dan tidak tersentuh oleh apa yang kita alami di bumi namun ketika setiap orang
mengalami penderitaannya, mereka tidak mengalaminya seorang diri, sebab dalam
keheningan-Nya Allah bersama-sama turut menderita. Dia terlampau memahami dan
memaklumi kerapuhan manusia.
5.2. Saran
Gereja dan orang Kristen lebih lagi meneladan Yesus dalam hal menanggapi
mereka yang menderita, dipinggirkan dan ditelantarkan dalam kehidupan sosial.
Gereja sebagai lembaga dan perpanjangan tangan Allah ditutut untuk tidak berdiam
diri. Sebagaimana Yesus tidak berdiam diri ketika melihat penderitaan, gereja pun
perlu untuk melakukan tugas ini, agar kaum yang terpinggirkan, diasingkan juga
terbuang tidak perlu menyiksa diri dengan bertanya dimanakah Allah ketika
penderitaan terjadi. Mereka telah menemukan jawabannya, melalui orang-orang yang
mewujudkan misi Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Boehlke, Robert R. Siapakah Yesus Sebenarnya. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2000.
Borg, Markus J. Kali Pertama Jumpa Yesus Kembali. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2003.
Brown, Raymond. An Introduction to New Testament Christology. Philadhelphia:
Westminister. 1998.
Coelho, Paulo. Brida. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2013.
Darmaputera, Eka. "An Indonesian Comment" . Asian Theological Reflections on Suffering
and Hope. 1977.
Dister, Nico S. Kristologi - sebuah sketsa. Yogyakarta: Kanisius. 1987.
Eckardt, Roy. Menggali Ulang Yesus Sejarah - Kristologi Masa Kini. Jakarta: BPK Gunung
Mulia. 1996.
Endo, Shusaku. Silence. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2017.
Groenen, C. Sejarah Dogma Kristologi. Yogyakarta: Kanisius. 1988.
Hall, Douglass. Rethinking Christ: Theological Reflections on Shusaku Endo's Silence.
Journal of Bible and Theology. 1979.
Jacobs, Tom. Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius. 1982.
Jeremias, Joachim. New Testament Theology I. London: SCM Press. 1971.
Kitamori, Kazoh. Theology of the pain of God. Richmond, VA: John Knox Press. 1965.
Machen, J. Gresham. Christianity and Liberalism. Michigan: W.M.B Eerdmans Publishing
Company. 2001.
Melton, J. Gordon. Encyclopedia of Protestanism. New York: Facts On File. 2005.
Moe, David Thang. The Crucified Mind: Kosuke Koyama's Misiology of Theology of the
Cross. Exchange Journal. 2017.
Ruck, Anne. Sejarah Gereja Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1997.
Setyawan, Yusak B. Kristologi - Perkenalan, Pendalaman dan Pergumulan. Salatiga:
Fakultas Teologi, UKSW. 2015
Song, Choan-Seng. The Compassionate God. New York: Orbis Books. 1982.
_______. The life of the World. East Asia Journal of Theology. 1983.
_______. Allah yang Turut Menderita. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1993.
Sugirtharajah, R.S. Wajah Yesus di Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2011.
Tsutomu, Shoji. Sin and Suffering: Japan and the people of Asia. The Japan Christian
Quarterly. 1981.
Wessels, Anton. Memandang Yesus. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2010.
Yancey, Philip. The Question That Never Goes Away. Brentwood: Creative Trust Literary
Group. 2013.
Yewangoe, Andreas. Theologia Crucis di Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2014.
Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2004.
Lainnya:
Alkitab.
Al-Qur‟An.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (versi daring).
Top Related