MAKNA MANTRA TRI SANDHYA PADA UPACARA PERSEMBAHYANGAN
UMAT HINDU BALI: KAJIAN SEMIOTIK RIFFATERRE
YANTI SARIASIH
Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Pendidikan Nurul Huda
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan mengungkapkan makna mantra Tri Sandhya pada upacara persembayangan umat Hindu Bali di Kampung Bali Batumarta VII Kabupaten OKU Timur melalui pembacaan heuristik dan hermeneutik. Secara teoretis penelitian ini bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran dan pengetahuan mengenai mantra persembahyangan umat Hindu Bali. Manfaat secara praktis dalam penelitian bagi dunia pendidikan, penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan materi pembelajaran mengenai sastra daerah atau sastra klasik. Bagi pembaca peneltian ini bermanfaat untuk mengetahui bahwa sastra lisan adalah kekayaan yang tidak ternilai yang perlu dilestarikan dan bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. Bagi peneliti lain penelitian ini bermanfaat memberikan informasi kepada peneliti lain yang berminat dan menggeluti sastra untuk meneliti lebih lanjut. Objek penelitian ini adalah mantra Tri Sandhya pada upacara persembahyangan umat Hindu Bali. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan pembacaan secara heuristik dan hermeneutik yang dilakukan terhadap mantra Tri Sandhya dapat membantu menemukan pemahaman makna mantra sembahyang umat Hindu dengan utuh. Pada pembacaan heuristik diperoleh arti dari setiap kata yang ada pada mantra tersebut. Pembacaan heuristik yang dilakukan dengan menerjemahkan setiap kata yang terdapat di dalam mantra Tri Sandhya. Bahasa yang digunakan dalam mantra ini adalah bahasa Sansekerta, jadi diperlukan ketelitian penuh dalam menerjemahkannya. Pembacaan hermeneutik diperoleh makna isi mantra Tri Sandhya adalah permohonan ampunan bagi pemeluk agama, perlindungan, dan bentuk pengakuan diri pemeluk sebagai mahluk yang lemah. Tujuan dari mantra ini sendiri adalah permohonan ampun diucapkan dan diminta secara lahir batin agar Tuhan mengampuni semua dosa yang telah dilakukan dan kembali suci lahir dan batin.
Kata kunci: Mantra Tri Sandhya, Semiotik, Pembacaan Heuristik, Pembacaan Hermeneutik.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia memiliki keanekaragaman budaya. Setiap kebudayaan di suatu daerah
berbeda dengan daerah lainnya. Salah satu kekayaan budaya daerah adalah sastra lisan. Sastra
lisan merupakan kekayaan dan warisan yang perlu diselamatkan. Sastra lisan penyebarannya
sangat terbatas karena biasanya sastra lisan dituturkan dalam bahasa daerah tertentu dan oleh
orang tertentu pula. Sastra lisan dikenal sebagai salah satu warisan budaya daerah yang turun
temurun berkembang dalam masyarakat pendukungnya secara lisan (Muthalib, 1994:1).
Sastra lisan salah satunya adalah mantra memiliki keunikan tersendiri yaitu dituturkan dalam
bahasa tertentu, oleh orang tertentu (dukun, pawang) yang maknanya hanya dipahami oleh
penutur bahasa yang bersangkutan, dan mantra diyakini berisi hal-hal gaib atau memiliki
kekuatan gaib.
Daerah Transmigrasi Batumarta VII terletak di perbatasan antara Kabupaten Ogan
Komering Ulu (OKU) dengan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur (OKU Timur). Waktu
tempuh desa Batumarta VII bisa ditempuh selama 3 jam dari Baturaja (OKU) dan 4 jam dari
Martapura (OKU Timur). Desa Batumarta VII dihuni oleh para tansmigran asal provinsi Bali.
Daerah Transmigrasi Batumarta VII biasa dikenal dengan sebutan Kampung Bali karena
100% warganya adalah suku Bali dan beragama Hindu. Secara tidak langsung penduduk
kampung Bali membawa kebiasaan dan adat istiadat dari daerah asal mereka salah satunya
adalah mantra.
Mantra biasanya digunakan untuk berbagai tujuan, misalnya untuk mengobati berbagai
penyakit, melindungi diri dari pengaruh jahat hantu, srta untuk menambah daya pikat
2
seseorang (Esten, 1988:23). Alisjahbana dalam Djamaris (1990:20) menggolongkan mantra
ke dalam golongan bahasa berirama. Sedang bahasa berirama ini termasuk jenis puisi lama.
Dalam bahasa berirama itu, irama bahasa sangat dipentingkan, terutama dalam mantra yang
mementingkan irama yang kuat dan teraturuntuk membangkitkan tenaga gaib.selain itu
mantra juga memiliki keistimewaan tertentu dibandingkan dengan sastra lisan lainnya.
Mantra memiliki kalimat yang mengandung kekuatan gaib terkadang pula kata-kata mantra
tidak diketahui artinya.
Mantra yang digunakan oleh penduduk desa Batumarta VII banyak digunakan untuk
upacara adat seperti upacara kematian (ngaben), galungan, nyepi, penyambutan Saka, dan
lain sebagainya. Mantra tersebut hanya boleh dituturkan oleh dukun dalam hal ini adalah
ketua adat kampung Bali. Hal yang unik dalam tradisi warga kampung Bali adalah generasi
penerus yang pantas menjadi ketua adat berikutnya adalah keturunan ketua adat itu sendiri
dalam hal ini adalah anak laki-laki. Ketua adat kampung Bali adalah orang dengan kasta
Brahmana, kasta tertinggi dalam masyarakat Hindu Bali. Kasta lainnya bisa menjadi seorang
penutur mantra apabila ia telah disucikan.
Keunikan lain mantra yang digunakan warga kampung Bali adalah tidak tercampurnya
tradisi agama lain dan bahasa masyarakat asli di dalamnya. Banyak mantra di nusantara yang
sudah berbaur dengan tradisi/agama lain khususnya Islam. Mantra yang digunakan warga
Bali di kampung Bali masih menggunakan bahasa Bali yang syarat dengan pujian bagi dewa.
Masyarakat Bali di desa Batumarta VII ini merupakan penduduk pendatang yang
bertransmigrasi dari pulau Bali. Walaupun demikian bahasa yang digunakan dalam mantra
mereka tetap menggunakan bahasa Bali tanpa adanya percampuran bahasa penduduk asli.
Hal inilah yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian. Penelitian sebelumnya
pernah diteliti oleh Rismawati dengan judul Analisis Struktur dan Isi Mantra di Kanagarian
Manggopo. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rismawati teknik yang digunakan dalam
3
mantra di Kanagarian Manggopo adalah teknik persuasi jenis perintah, identifikasi, sugesti,
konformitas, proyeksi dan permintaan. Gaya bahasa yang paling banyak digunakan yaitu
repetisi, sementara gaya bahasa yang paling sedikit digunakan adalah jenis gaya bahasa
personifikasi.
Mengingat banyaknya jenis mantra yang digunakan warga kampung Bali, keterbatasan
waktu dan biaya maka peneliti merasa perlu membatasi permasalahan penelitian. Penelitian
ini menitikberatkan pada mantra sembahyang yaitu mantra merah dan mantra putih yang
digunakan warga kampung Bali. Mantra sembayang ini selanjutnya dinamakan Tri Sandhya.
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah makna mantra Tri
Sandhya pada upacara persembahyangan umat Hindu Bali di Kampung Bali Batumarta VII
Kabupaten OKU Timur ?
C. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengungkapkan makna mantra
Tri Sandhya pada upacara persembayangan umat Hindu Bali di Kampung Bali Batumarta VII
Kabupaten OKU Timur melalui pembacaan heuristik dan hermeneutik.
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoretis dan secara praktis. Secara
teoretis penelitian ini bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran dan pengetahuan mengenai
mantra persembahyangan umat Hindu Bali. Manfaat secara praktis dalam penelitian sebagai
berikut.
4
a. Bagi dunia pendidikan, penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan materi
pembelajaran mengenai sastra daerah atau sastra klasik.
b. Bagi pembaca peneltian ini bermanfaat untuk mengetahui bahwa sastra lisan adalah
kekayaan yang tidak ternilai yang perlu dilestarikan dan bermanfaat bagi kehidupan
sehari-hari.
c. Bagi peneliti lain penelitian ini bermanfaat memberikan informasi kepada peneliti lain
yang berminat dan menggeluti sastra untuk meneliti lebih lanjut.
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Mantra
Mantra memiliki unsur gaib atau magic. Menurut Koentjaraningrat (1981:77) mantra
merupakan unsur penting di dalam ilmu gaib atau magic. Mantra berupa kata-kata dan suara-
suara yang sering tidak ada berarti, tetapi dianggap berisi kesaktian atau kekuatan mengutuk.
Harahap yang dikutip oleh Pancarini (1997:6) mengemukakan pengertian mantra yaitu
serapah, lafal, guna-guna. Dililihat dari cara membacakan mantra oleh dukun atau pawang
jelas bahwa mantra semacam bentuk bahasa yang khusus dipakai sebagai alat komunikasi
dengan yang abstrak dan dalam hal ini ada hubungan dialog yang tidak konkrit.
Aliana (1992:15) mengemukakan bahwa mantra merupakan perkataan atau kalimat
yang memiliki daya gaib yang dituturkan dalam bahasa yang berirama. Kekuatan gaib itu
dimunculkan oleh tenaga bunyi yang terkandung dalam setiap pilihan katanya. Dzuljikriddin
(2001:107) menemukakan mantra atau jampi adalah kata-kata susastra yang mengandung
ilmu, mistik, rahasia dan suci.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan mantra adalah perkataan, ucapan atau lafal yang dituturkan dalam bahasa yang
berirama dan memiliki kekuatan gaib
6
B. Struktur dan Isi Mantra
Bentuk puisi yang paling tua adalah mantra. Mantra sendiri memiliki terminan hakikat
sesungguhnya dari puisi yaitu pada pengkontrasian kekuatan bahasa itu dimaksudkan oleh
penciptanya untuk menimbulkan daya magic atau kekuatan gaib (Waluyo, 1991:6).
Mantra memiliki struktur dan isi sepeti yang dimiliki oleh puisi. Menurut Soedjiono
(dikutip oleh Rismawati, 1996:67) pengkajian terhadap sturktur dan isi mantra dapat dilihat
dari aspek kebudayaan dan aspek kesusastraan. Aspek kebudayaan mnntra yang diungkapkan
berkaitan dengan makna, kegunaan serta latar belakang filosofis, kepercayaan dan sistem
religi yang mendasarinya. Aspek kesusastraan mantra yang dapat diungkapkan berupa ciri-
ciri estetika mantra yang meliputi bentuk komposisi verbal, gaya bahasa, pilihan kata serta
pemanfaatan bunyi bahasa untuk mencapai efek tertentu.
Soedjiono (dikutip oleh Zainona, 1991:16) menjelaskan lebih lanjut bahwa aspek
kebudayaan mantra berhubungan dengan isi mantra secara keseluruhan dan aspek
kesusastraan mantra berhubungan dengan struktur mantra.
Secara garis besar struktur mantra memiliki tiga unsur yaitu awal, tengah dan akhir.
Struktur mantra sendiri biasanya terdiri dari beberapa komponen berikut
(http://putisari.blog.com diakses 24 Oktober 2011).
1) Komponen Salam Pembuka
2) Komponen Niat
3) Komponen Nama Mantra
4) Komponen Sugesti
5) Komponen Visualisasi dan Simbol
6) Komponen Nama Sasaran
7) Komponen Tujuan
8) Komponen Harapan
7
9) Komponen Penutup
Penganalisisan mantra sembayang (mantra merah dan mantra putih) suku Bali di
kampung Bali Batumarta VII terdiri dari analisis struktur dan isi mantra. Analisis terhadap
struktur mantra terdiri dari analisis terhadap teknik persuasi, gaya bahasa dan rima atau bunyi
bahasa mantra. Analisis isi mantra terdiri dari analisis latar belakang pengucapan mantra serta
hal-hal yang berhubungan dengan pengucapan mantra seperti tempat, waktu dan alat yang
digunakan.
C. Bahasa Mantra
Bahasa mantra tidaklah mudah untuk dimengerti, bahkan mungkin tidak memiliki arti
sama sekali. Mantra diterima secara pasif dari orang lain tanpa diiringi keinginan atau
keharusan untuk memahami artinya, yang penting adalah khususk dalam pengucapan dan
kemanjurannya (Semi, 1988:145). Aliana (2000:35) menambahkan:
Mantra merupakan puisi yang berisi perkataan atau kalimat yang
memiliki kekuatan gaib. Kekuatan gaib yang ditimbulkan oleh
mantra ini berasal dari permainan bunyi yang terdapat kata-kata
yang digunkan waulaupun kata-katanya tidak diketahui artinya.
Djamaris (1990:20) menambahkan pula bahwa gubahan bahasa dalam mantra itu
mempunyai seni kata yang khas pula. Kata-katanya dipilih secermat-cermatnya, kalimatnya
disusun rapi, begiru pula dengan iramanya, isinya dipertimbangkan sedalam-dalamnya.
Ketelitian dan kecermatan dalam memilih kata-kata, menyusun larik dan menetapkan
iramanya sangat diperlukan terutama untuk menimbulkan kekuatan gaib.
Analisis mantra pengobatan suku Bali di kampung Bali Batumarta VII peneliti batasi
pada gaya bahasa, bunyi bahasa mantra dan latar belakang pengucapan mantra itu sendiri.
8
Gaya bahasa adalah bahasa yang indah yang dipergunakan untuk menigkatkan efek
dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu benda dengan benda lain yang
lebih umum (Tarigan, 1985:5). Rismawati (1996:35) mengemukakan gaya bahasa dalam
mantra berupa gaya bahasa repetisi, oksimoron, personifikasi, eponym, simile dan
paralelisme. Bunyi bahasa mantra yang digunakan dalam mantra meliputi asonansi, aliterasi,
euphony, dan anomatope.
D. Penutur Mantra
Mantra tidak apat dibawakan oleh sembarang orang, hanya orang tertentu yang bisa
menggunkan mantra. Berbeda dengan puisi-puisi lain yang dapat dibacakan oleh setiap
orang. Menurut Soedjiono (dikutip oleh Pancarini, 1997:13) mantra dapat dimiliki secara
professional, artinya hanya dimiliki oleh orang-orang yang profesinya sebagai dukun atau
pemilik mantra tetapi dapat pula dimiliki secara tidak professional. Batasan antara pemilik
professional dengan tidak professional ditentukan oleh profesi utama pemilik mantra.
Soedjiono (dikutip oleh Rismawati. 1996:75) menambahkan lebih lanjut bahwa pada
dasarnya mantra dapat diucapkan oleh siapa saja. tetapi untuk kegiatan atau hal-hal yang
bersifat khusus atau luar biasa, urursan pengucapan mantra diserhakan kepada pemilik mantra
yang professional.
Penggunaan mantra pada hakikatnya akan bersinggungan dengan sistem religi yang
dianut. Religi atau agama mengacu pada penyerahan diri secara total kepada Tuhan dalam
segala aspeknya yang resmi, peraturan-peraturan dan hukum-hukmnya melingkupi segi
kemasyarakatan (Mangunwijaya dikutip oleh Rismawati, 1996:18-19).
Latar belakang religi yang diteliti berhubungan dengan penelitian mantra yang ada di
kampung Bali adalah kepada siapakah permohonan mantra itu ditujukan. Pembacaan mantra
sebagai salah satu kegitan yang bersifat religius menghendaki persyaratan-persyaratan
9
tertentu dan cara-cara tertentu agar efek spiritual dan magic yang dikehendaki dapat tercapai.
Aspek-aspek yang perlu diketahui dalam hal ini meliputi waktu, tempat, perlengkapan,
peristiwa atau kesempatan dan cara pengucapannya.
E. Tata Cara Sembayang Agama Hindu
Umat Hindu memiliki tata cara sebelum memulai sembayang. Tata cara yang mereka
lakukan biasanya diawali dengan persiapan dan mantra sebagai doa pengantar sebelum
memasuki inti upacara sembayang. Berikut ini persiapan yang dilakukan umat Hindu
sebelum memulai sembanyang yang penulis kutip dari buku Tata Cara Sembayang Sehari-
Hari Umat Hindu Indonesia.
1. Pakaian
a. Mandi terlebih dahulu.
b. Selendang untuk diikatkan dipinggang, selendang dapat terbuat dari apa saja, tetapi
penggunannya dikhususkan untuk sembahyang saja.
c. Pakaian bebas, rapi dan bersih.
d. Sebenarnya menggunakan pakaian sembahyang bisa, tapi tidak diharuskan.
2. Jika Anda tidak punya sanggah di rumah, Anda dapat memasang pelangkiran di rumah,
baik di kamar, atau di ruang tamu, di dapur atau di ruang khusus yang biasa disebut
sebagai kamar suci.
3. Jika pelangkiran sulit dicari, Anda dapat membuat altar kecil-kecilan dengan meja khusus.
Hal ini biasanya sering dilihat pada film-film India.
10
Di atas adalah contoh altar kecil-kecilan.
Di atas adalah contoh pelangkiran.
4. Anda bisa meletakkan arca dewa-dewi atau arca penjelmaan Tuhan, fotonya juga bisa.
Tapi tidak mesti. Anda dapat menggunakan gambar Visnu, karena pada umumnya di
setiap Pura di Indonesia ada Padmasana yang merupakan tempat berstana Narayana atau
Visnu.
Di atas adalah gambar Padmasana, kitab-kitab suci Hindu menyebutkan itu adalah tempat berstana Visnu/Narayana ketika pengocokan lautan untuk mendapatkan
Amertha.
11
Di atas adalah gambar Sri Visnu, Tuhan Yang Maha Esa, sumber segala sumber, sebab segala sebab.
5. Sarana
a. Bunga, dupa dan air. Ada pula canang, canang adalah rangkaian bunga-bungaan yang
ada di atas wadah yang terbuat dari janur.
b. Buah-buahan atau makanan juga bisa dipersiapkan untuk dipersembahkan.
6. Prasarana, ketulusan dengan disertai cinta bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Berikut langkah-langkah atau cara sembahyang umat Hindu.
1. Bakar beberapa dupa, paling tidak 3 batang.
2. Pegang dupa dan arahkan pada pelangkiran atau altar, dan ucapkan mantra “Om ang dupa
dipastra ya namah swaha”.
3. Sediakan segelas air dengan wadah khusus, hanya untuk sembahyang, bisa juga
menggunakan air mineral seperti Aqua gelas.
12
4. Taruhlah air, dan bunga, serta buah-buahan atau makanan jika ada, di pelangkiran atau di
altar. Seraya mengucapkan dalam hati, Oh Tuhan terimalah persembahan yang sederhana
ini. Air tadi disebut dengan Amertha.
5. Sisakan 3 biji canang dan sebatang dupa.
6. Setelah menaruh persembahan, saatnya mebhakti atau melakukan Tri Sandhya dan Panca
Sembah.
7. Anda bisa duduk maupun berdiri di depan altar atau pelangkiran.
8. Letakkan dupa di depan Anda, usahakan dupa jangan di taruh di sela kaki, sediakan
tempat untuk menaruh atau menancapkan dupa.
9. Tiga biji bunga tadi dapat Anda letakkan di pangkuan jika sedang duduk, atau di kantung
baju jika berdiri, bisa juga di taruh dalam wadah khusus, nare kecil atau bokor dalam
bahasa Bali, mirip seperti piring, tapi bukan.
10. Asapi tangan lalu raup wajah tiga kali.
11. Ambil sikap tangan Asana, ibu jari disatukan dengan jari telunjuk, seperti gambar berikut.
Ucapkan mantram Asana: “Om Prasada Stiti Sarira Siwa Suci Nirmala Ya Nama
Swaha”.
12. Kemudian melakukan Pranayama, dengan sikap tangan yang sama, lakukan langkah
berikut.
a. Tarik nafas sambil mengucapkan mantra “Om Ang Namah”.
13
b. Tahan nafas sambil mengucapkan mantra “Om Ung Namah”.
c. Hembuskan nafas sambil mengucapkan mantra “Om mang Namah”.
Yang pasti, khusus pengucapan mantra Pranayama di lakukan dalam hati, karena tidak
mungkin mengeluarkan suara dengan keadaan nafas yang diatur seperti demikian.
13. Kemudian melakukan Karasudhana, dengan sikap tangan seperti berikut.
Kedua ibu jari disatukan, tangan kanan di atas tangan kiri dengan mengucapkan mantra
“Om Sudha Mam Swaha”. Lalu pindahkan tangan kanan ke bawah tangan kiri dengan
mengucapkan mantra “Om Ati Sudha Mam Swaha”.
14. Kemudian pindahkan kembali tangan kanan ke atas dalam keadaan kedua ibu jari tetap
menyatu. Pada saat inilah mantram Tri Sandhya diucapkan:
a. Om bhur bhuvah svah tat savitur varenyambhargo devasya dhimahidhiyo yo nah
pracodayat.
b. Om Narayana evedwam sarvamyad bhutam yac ca bhavyamniskalanko
niranjanonirvikalpo nirakhyatahsuddho deva ekonarayana na dvitiyoasti kascit.
c. Om tvam siwah tvam mahadevahIswarah paramesvarahbrahma visnusca
rudrascapurusah parikirtitah.
d. Om papo’ham papakarmaham papatma papasambhavahtrahi mam pundari kaksa
sabahya bhyantarah sucih.
14
e. Om ksamasva mam mahadeva sarvaprani hitankaramam moca sarva
papebhyahpalayasva sada siva.
f. Om ksantavyah kayiko dosahksantavyo. vaciko mamaksantavyo manaso dosahtat
pramadat ksamasva mam.
g. Om Santih, Santih, Santih Om.
15. Setelah itu melakukan Panca Sembah.
Posisi tangan:
Khusus untuk urutan pertama dan ke-5, tidak menggunakan bunga. Disebut dengan muyung atau puyung.
Gambar di kiri adalah benar, di kana salah. Jadi, tangan harus rapat tanpa ada yang merenggang antar jari maupun antar telapak tangan.
a. Mantra pertama, dengan mengasapi tangan, lalu satukan telapak tangan di atas dahi,
dengan mantra: OM ATMA TATWATMA SUDHA MAM SWAHA.
b. Ambil bunga putih, asapi dan lakukan seperti sikap pada gambar, dengan mantra:
OM ADITYASYA PARAM JYOTI
15
RAKTE TEJO NAMO' STUTE
SWETA PANKAJA MANDYASTHA
BHASKARAYA NAMO'STUTE”.
Letakkan bunga tadi di bawah saja.
c. Menggunakan bunga merah, mantramnya:
OM NAMA DEWA ADISTHANAYA
SARWA WYAPI WAI SIWAYA
PADMASANA EKA PRATISTHAYA
ARDHANARESWARYAI NAMO NAMAH
d. Menggunakan bunga putih lagi, mantramnya:
OM ANUGRAHA MANOHARAM
DEWA DATTA NUGRAHAKA
ARCANAM SARWA PUJANAM
NAMAH SARWA NUGRAHAKA
DEWA-DEWI MAHASIDDHI
YADNYANCA NIRMALATMAKA
LAKSMI SIDDHISCA DIRGHAYUH
NIRWIGHNA SUKHA WRDDISCA
e. Tanpa bunga, mantranya:
OM DEWA SUKSMA PARAMA CINTYAYA NAMA SWAHA
OM SANTIH SANTIH SANTIH OM
16. Rangkaian persembahyangan sudah hampir selesai, jika ingin berdoa kepada Tuhan, baik
bersyukur atau memohon sesuatu, bisa dilakukan setelah Panca Sembah ini.
17. Setelah itu, lungsur atau memohonlah kembali atas apa yang telah dipersembahkan tadi.
Lungsurlah Amertha percikkan tiga kali ke arah altar atau pelangkiran, kemudian
16
percikkan ke kepala sendiri sebanyak tiga kali, dan minum sebanyak tiga kali, cara
meminumnya adalah tuangkan sedikit Amertha ke telapak tangan, baru diminum, tidak
boleh diminum langsung dari gelas. Setelah itu raup wajah sebanyak tiga kali. Jangan
lupa, saat meminum Amertha mohonlah kepada Tuhan hal-hal yang positif. Niscaya akan
terkabulkan.
F. Sarana Sembayang
Sarana sembahyang umat Hindu talh disinggung pada sub bab sebelumnya. Sarana
sembayang yang digunakan oleh umat Hindu antara lain air, bunga, dan dupa. Ada juga yang
disebut dengan canang yaitu rangkaian bunga dari janur. Berikut penjelasan sarana
sembayang dan fungsinya.
1. Bunga
Ketika sembah dihaturkan di sebuah persembahyangan, diiringi oleh asap dupa dan
puja mantra suci, orang Hindu Bali dengan kepala tertunduk mengkusyukkan dirinya kepada
Tuhan dengan caranya yang sangat khas. Kedua telapak tangan mereka saling menempel
dengan jari-jemari mengarah ke atas kemudian menyejajarkannya di depan kening mereka
sambil menjepitkan bunga. Jiwa Sejati yang disebut Sang Atman yang menjadi sumber hidup
dalam berbagai upacara Agama dilukiskan dengan bunga.
Ungkapan-ungkapan perasaaan dan pikiran yang mengadung makna keindahan dan
ketulusan dilambangkan dengan bunga. Bunga adalah lambang jiwa dan pikiran yang murni
dan simbul dari sebuah restu Hyang Widhi. Bunga dipilih sebagai sarana utama didalam
persembahyangan umat Hindu Bali karena kecantikannya, keharumannya, dan kesuciannya
yang mampu melambangkan kemurnian hati dan jiwa.
Para umat menyiapkan diri mereka dengan sesajen, kewangen dan bunga untuk
bersembahyangan. Walaupun banyak lontar-lontar yang menuliskan jenis-jenis bunga yang
17
bagus untuk dipakai namun sebenarnya tidak ada penentuan pasti yang mengatur tentang
jenis bunga yang boleh dan tidak boleh dipakai bersembahyang. Berbeda dengan manusia,
bunga adalah ciptaan Tuhan yang hanya memiliki Roh kesucian tanpa memiliki kesadaran
pikir untuk mengolah perbuatan. Bunga hanya mampu malaksanakan korban suci kepada
dirinya sendiri. Tidak ada bunga yang jelek karena bunga tidak pernah menyakiti mahluk
lainnya. Bunga adalah suci adanya, semua jenisnya indah, cantik dan murni.
Bunga yang dipergunakan untuk persembayangan adalah bunga yang segar dan harum.
Menurut lontar Dasanama bunga yang terbaik adalah bunga teratai atau padma. Bunga Padma
disebutkan sebagai Raja Kusuma, rajanya bunga dari segala bunga. Namun demikian kalau
bunga ini tidak ada bukan berarti sebuah persembayangan itu tidak suci atau tidak berlaku
dimata Tuhan, bunga ini dapat digantikan dengan bunga-bunga lainnya sepanjang bunga ini
memiliki warna yang sesuai, segar, mekar dan bersih serta tidak layu atau kering sehingga
mampu menarik daya pesona kekuatan Semesta.
2. Air
Air adalah elemen pembersihan diri bagi umat Hindu Bali. Air digunakan untuk
menyucikan diri setelah sembahyang dilakukan. Air sembahyang dapat diminum setelah
sembahyang.
3. Dupa/Asap
Asap mengepul dari api dupa, wujudnya tampak berarak di udara, bergerak ke atas
perlahan-lahan lalu luluh lenyap menyatu dengan udara, seperti Sang Jiwatman yang
meninggalkan tubuh-Nya yang mati perlahan-lahan, Ia pergi hendak menuju Sang
Paramatman, menghilang dari pandangan indrawi namun meninggalkan keharuman.
Sebuah keharuman Jiwa nan suci (Weda).
18
Api adalah sarana yang tidak bisa ditinggalkan dalam ritual persembahyangan Hindu
Bali. Dalam persembahyangan, api diwujudkan dengan dupa dan dipa. Dupa berbentuk
batang kayu tipis yang dibungkus dengan serbuk harum-haruman yang berasal dari bunga-
bunga dan akar wangi yang kalau dibakar akan berasap dan berbau harum.
Apinya dupa adalah perwujudan Hyang Agni – Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai
api. Api dengan sinarnya adalah penerangan di dalam alam ini. Api dengan panasnya adalah
energi bagi kehidupan ini. Api dengan kekuatannya adalah penolak bala bagi segala mahluk.
Tuhan telah menciptakan Matahari sebagai sumber api yang bisa memberikan kehidupan. Ia
adalah pengatur waktu, pembentuk terang dan gelap, siang dan malam. Maka dari itu api
adalah faktor penting bagi umat Hindu Bali di dalam melaksanakan ritual-ritual
persembayangannya.
Dupa dengan nyala apinya adalah simbul penyaksi ketulusan Jiwa yang sedang
bersembahyang. Selain itu juga ia dilambangkan sebagai perantara yang menghubungkan
antara pemuja dan yang dipuja. Api dupa juga berfungsi untuk mengalirkan kekuatan-
kekuatan negatif yang terhambat di udara untuk mengharmonisasikannya menjadi kekuatan
yang positif sehingga udara menjadi bersih dan astral.
4. Canang
Canang adalah sebuah hasil karya budaya dalam keagamaan sebagai suatu sarana
persembahyangan yang harus ada dalam kegiatan keagamaan di Bali. Kata “Canang” berasal
dari bahasa Jawa Kuno atau bahasa Kawi yang berarti sirih, yang disuguhkan pada tamu yang
dihormati. Oleh karena itu canang di jadikan suatu sarana yang harus ada karena di
persembahkan kepada Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi dalam ajaran agama Hindu di Bali .
Dalam ajaran agama Hindu di Bali canang menagndung beberapa makna, yaitu :
19
a. sebagai lambang perjuangan hidup manusia dengan selalu memohon perlindungannya
untuk dapat menciptakan, memelihara dan meniadakan yang berhubungan dengan hidup
manusia,
b. sebagai lambang menumbuhkan keteguhan, kelanggengan dan kesucian pikiran, dan
c. sebagai lambang suatu usaha uamat manusia untuk menerapakan ajaran agama Hindu
dalam bentuk banten yang memberikan keterangan tentang arti dan makna hidup.
Canang pada umumnya berbentuk persegi, namun di setiap daerah di Bali memiliki
bentuk canang yang bebeda, ada yang bulat ada yang berbentuk segitiga, namun perbedaan
bentuk tersebut tidak menghilangkan makna dari canang tersebut. Canang terbuat dari janur
(daun kelapa yang masih muda) dan daun pohon jaka sebagai alasnya, kemudian dibentuk
sedemikian rupa dan dijarit dengan menggunkan batang bambu yang telah dipotong dan
kemudian dihiasi dengan bunga-bungaan yang berwarna-warni . Dalam pembentukannya
harus memperhatikan arah-arah yang dianggap baik atau suci oleh umat Hindu.
Ada beberapa bagian yang membentuk sebuah canang, Berikut unsur pembentukan
canang.
a. Porosan, Porosan melambangkan Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi dalam manifetasinya
sebagai Tri Murti
b. Plawa/ daun-daunan, Melambangkan tumbuhnya pikiran suci dan hening
c. Tetuesan / Jejaitan, Lambang keteguhan atau kelanggengan umat manusia
d. Bunga, Melambangkan keikhlasan
e. Uras Sari, Dibuat dari garis silang yang menyerupai tanda tambah yang merupakan
bentuk sederhana dari Swastika
Fungsi utama canang adalah sarana persembahyangan di Bali dan alat konsentrasi
dalam melaksanakan persembahyangan. Selain fungsi tadi, canang juga dapat menciptakan
suatu keindahan karena wujudnya yang indah yang dihiasi bunga yang berwarna-warni dan
20
canang juga menjadi sebuah mata pencaharian masyarakat di Bali. Contoh beberapa bentuk
canang yang ada di bali
(http://paket2wisata.wordpress.com/category/balinese-culture/canang/ diakses tanggal 15
Nevermber 2011).
G. Panca Sembah (Kramaning Sembah)
Pada umumnya dalam persembahyangan bersama umat Hindu di Bali selalu
dicanangkan Pangubaktian/Sembah. Pangubaktian/Sembah yang dilaksanakan pada
umumnya juga dilakukan sebanyak lima kali yang disebut dengan Panca Sembah yang
kurang lebih artinya lima kali melakukan sembah terhadap Ida Sanghyang Widhi Wasa
maupun terhadap dewa, dewi, bhatara dan bethari yang berstana di suatu tempat suci
dilakukannya persembahyangan.
Rangkaian lima sembah itu merupakan satu kesatuan yang utuh yang dilakukan
berurutan dan wajib dilakukan, baru persembahyangan itu dinyatakan selesai yang diakhiri
dengan Nunas Wasuhpada (air suci) dan Bija sebagai simbul berkah Hyang Widhi yang
dibagikan oleh para pemangku kepada seluruh peserta persembahyangan
http://tandavanrtya.blogspot.com/2009/11/mengapa-orang-hindu-bali-sembahyang.html
diakses tanggal 15 November 2011).
Berikut ini mantra yang diucapkan dalam Panca Sembah.
1. OM ATMA TATWATMA SUDHA MAM SWAHA.
2. OM ADITYASYA PARAM JYOTI
21
RAKTE TEJO NAMO' STUTE
SWETA PANKAJA MANDYASTHA
BHASKARAYA NAMO'STUTE”.
3. OM NAMA DEWA ADISTHANAYA
SARWA WYAPI WAI SIWAYA
PADMASANA EKA PRATISTHAYA
ARDHANARESWARYAI NAMO NAMAH
4. OM ANUGRAHA MANOHARAM
DEWA DATTA NUGRAHAKA
ARCANAM SARWA PUJANAM
NAMAH SARWA NUGRAHAKA
DEWA-DEWI MAHASIDDHI
YADNYANCA NIRMALATMAKA
LAKSMI SIDDHISCA DIRGHAYUH
NIRWIGHNA SUKHA WRDDISCA
5. OM DEWA SUKSMA PARAMA CINTYAYA NAMA SWAHA
OM SANTIH SANTIH SANTIH OM
H. Teori dan Metode Semiotik Michael Riffaterre
Dalam Semiotics of Poetry (1978), Michael Riffaterre mengemukakan empat prinsip
dasar dalam pemaknaan puisi secara semiotik. Keempat prinsip dasar itu adalah sebagai
berikut.
1. Ketidaklangsungan Ekspresi
Dikemukakan oleh Riffaterre (1978:1) bahwa puisi itu dari dahulu hingga sekarang
selalu berubah karena evolusi selera dan konsep setetik yang selalu berubah dari periode ke
22
periode. Ia menganggap bahwa puisi adalah sebagai salah satu wujud aktivitas bahasa. Puisi
berbicara mengenai sesuatu hal dengan maksud yang lain. Artinya, puisi berbicara secara
tidak langsung sehingga bahasa yang digunakan pun berbeda dari bahasa sehari-hari. Jadi,
ketidaklangsungan ekspresi itu merupakan konvensi sastra pada umumnya. Karya sastra itu
merupakan ekspresi yang tidak langsung, yaitu menyatakan pikiran atau gagasan secara tidak
langsung, tetapi dengan cara lain (Pradopo, 2005:124).
Ketidaklangsungan ekspresi itu menurut Riffaterre (1978:2) disebabkan oleh tiga hal,
yaitu penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning),
dan penciptaan arti (creating of meaning). Ketiga jenis kejelas-jelas akan mengancam
representasi kenyataan atau apa yang disebut dengan mimesis. Landasan mimesis adalah
hubungan langsung antara kata dengan objek. Pada tataran ini, masih terdapat kekosongan
makna tanda yang perlu diisi dengan melihat bentuk ketidaklangsungan ekspresi untuk
menghasilkan sebuah pemaknaan baru (significance).
2. Penggantian arti (displacing of meaning)
Penggantian arti ini menurut Riffaterre disebabkan oleh penggunaan metafora dan
metonimi dalam karya sastra. Metafora dan metonimi ini dalam arti luasnya untuk menyebut
bahasa kiasan pada umumnya. Jadi, tidak terbatas pada bahasa kiasan metafora dan metonimi
saja. Hal ini disebabkan oleh metafora dan metonimi itu merupakan bahasa kiasan yang
sangat penting hingga dapat mengganti bahasa kiasan lainnya. Di samping itu, ada jenis
bahasa kiasan yang lain, yaitu simile (perbandingan), personifikasi, sinekdoke, epos, dan
alegori. Metafora itu bahasa kiasan yang mengumpamakan atau mengganti sesuatu hal
dengan tidak mempergunakan kata pembanding bagai, seperti, bak, dan sebagainya.
Metonimi merupakan bahasa kiasan yang digunakan dengan memakai nama atau ciri orang
atau sesuatu barang untuk menyebutkan hal yang bertautan dengannya.
23
3. Penyimpangan arti (distorting of meaning)
Penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif dari bahasa biasa
ditujukanuntuk membentuk kejelasan, penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek yang lain.
Riffaterre (1978:2) mengemukakan bahwa penyimpangan arti disebabkan oleh tiga hal, yaitu
pertama oleh ambiguitas, kedua oleh kontradiksi, dan ketiga oleh nonsense.
Pertama, ambiguitas disebabkan oleh bahasa sastra itu berarti ganda (polyinterpretable),
lebih-lebih bahasa puisi. Kegandaan arti itu dapat berupa kegandaan arti sebuah kata, frase
ataupun kalimat.
Kedua, kontradiksi berarti mengandung pertentangan disebabkan oleh paradoks dan
atau ironi. Paradoks merupakan suatu pernyataan yang berlawanan dengan dirinya sendiri,
atau bertentangan dengan pendapat umum, tetapi kalau diperhatikan lebih dalam
sesungguhnya mengandung suatu kebenaran, sedangkan ironi menyatakan sesuatu secara
berkebalikan, biasanya untuk mengejek atau menyindir suatu keadaan.
Ketiga, nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab
hanya berupa rangkaian bunyi, tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi, puisi nonsense itu
memiliki makna. Makna itu timbul karena adanya konvensi sastra, misalnya konvensi mantra.
Nonsense berfungsi untuk menimbulkan kekuatan gaib atau magis, untuk mempengaruhi
dunia gaib.
4. Penciptaan arti (creating of meaning)
Penciptaan arti ditimbulkan melalui enjambement, homologue, dan tipografi
(Riffaterre, 1978: 2). Penciptaan arti ini merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk
24
visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna di dalam
puisi. Jadi, penciptaan arti ini merupakan organisasi teks di luar linguistik.
I. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
Untuk dapat memberi makna secara semiotik, pertama kali dapat dilakukan dengan
pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif (Riffaterre, 1978:5–6). Konsep ini akan
diterapkan sebagai langkah awal dalam usaha untuk mengungkap makna yang terkandung
dalam mantra Tri Sandhya.
Pembacaan heuristik menurut Riffaterre (1978:5) merupakan pembacaan tingkat
pertama untuk memahami makna secara linguistik, sedangkan pembacaan hermeneutic
merupakan pembacaan tingkat kedua untuk menginterpretasi makna secara utuh. Dalam
pembacaan ini, pembaca lebih memahami apa yang sudah dia baca untuk kemudian
memodifikasi pemahamannya tentang hal itu.
Menurut Santosa (2004:231) bahwa pembacaan heuristik adalah pembacaan yang
didasarkan pada konvensi bahasa yang bersifat mimetik (tiruan alam) dan membangun
serangkaian arti yang heterogen, berserak-serakan atau tak gramatikal. Hal ini dapat terjadi
karena kajian didasarkan pada pemahaman arti kebahasaan yang bersifat lugas atau
berdasarkan arti denotatif dari suatu bahasa. Sedangkan Pradopo (2005:135) member definisi
pambacaan heuristik yaitu pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik
adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama.
Pembacaan hermeneutik menurut Santosa (2004:234) adalah pembacaan yang
bermuara pada ditemukannya satuan makna puisi secara utuh dan terpadu. Sementara itu,
Pradopo (2005:137) mengartikan pembacaan hermeneutik sebagai pembacaan berdasarkan
konvensi sistem semiotik tingkat kedua (makna konotasi). Pada tahap ini, pembaca harus
meninjau kembali dan membandingkan hal-hal yang telah dibacanya pada tahap pembacaan
25
heuristik. Dengan cara demikian, pembaca dapat memodifikasi pemahamannya dengan
pemahaman yang terjadi dalam pembacaan hermeneutik.
Puisi harus dipahami sebagai sebuah satuan yang bersifat struktural atau bangunan yang
tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Oleh karena itu, pembacaan hermeneutik pun
dilakukan secara struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan.
Artinya, pembacaan itu bergerak secara bolak-balik dari suatu bagian ke keseluruhan dan
kembali ke bagian yang lain dan seterusnya. Pembacaan ini dilakukan pada interpretasi
hipogram potensial, hipogram aktual, model, dan matriks (Lihat Riffaterre, 1978:5). Proses
pembacaan yang dimaksudkan oleh Riffaterre (dalam Selden, 1993:126) dapat diringkas
sebagai berikut.
1. Membaca untuk arti biasa.
2. Menyoroti unsur-unsur yang tampak tidak gramatikal dan yang merintangi penafsiran
mimetik yang biasa.
3. Menemukan hipogram, yaitu mendapat ekspresi yang tidak biasa dalam teks.
4. Menurunkan matriks dari hipogram, yaitu menemukan sebuah pernyataan tunggal atau
sebuah kata yang dapat menghasilkan hipogram dalam teks.
J. Matriks dan Model
Riffaterre menjelaskan bahwa memahami sebuah puisi sama dengan melihat sebuah
donat. Terdapat ruang kosong di tengah-tengah yang berfungsi untuk menunjang dan
menopang terciptanya daging donat di sekeliling ruang kosong itu. Dalam puisi, ruang
kosong ini merupakan pusat pemaknaan yang disebut dengan matriks (1978:13). Matriks
tidak hadir dalam sebuah teks, namun aktualisasi dari matriks itu dapat hadir dalam sebuah
teks yang disebut model. Matriks itulah yang akhirnya memberikan kesatuan sebuah sajak
(Selden, 1993:126).
26
Hal ini senada dengan konsep yang dikemukakan oleh Indrastuti (2007:4) bahwa
matriks merupakan konsep abstrak yang tidak pernah teraktualisasi. Konsep ini dapat
dirangkum dalam satu kata atau frase. Aktualisasi pertama dari matriks adalah model.
Aktualisasi pertama itu berupa kata atau kalimat tertentu yang khas dan puitis. Kekhasan dan
kepuitisan model itu mampu membedakan kata atau kalimat-kalimat lain dalam puisi.
Eksistensi kata itu dikatakan bila tanda bersifat hipogramatik dan karenanya monumental.
K. Hubungan Intertekstual
Karya sastra tidak lahir dalam situasi kosong dan tidak lepas dari sejarah sastra.
Artinya, sebelum karya sastra dicipta, sudah ada karya sastra yang mendahuluinya.
Pengarang tidak begitu saja mencipta, melainkan ia menerapkan konvensi-konvensi yang
sudah ada. Di samping itu, ia juga berusaha menentang atau menyimpangi konvensi yang
sudah ada. Karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan revolusi, antara
yang lama dengan yang baru (Teeuw, 1980: 12). Oleh karena itu, untuk memberi makna
karya sastra, maka prinsif kesejarahan itu harus diperhatikan. Mantra melaut suku Bajo
misalnya, mantra ini tidak terlepas dari hubungan kesejarahannya dengan teks lain yang turut
menunjang keberadaannya.
Riffaterre (1978:11) mengemukakan bahwa sebuah karya sastra baru mempunyai
makna penuh dalam hubungannya atau pertentangannya dengan karya sastra lain. Ini
merupakan prinsip intertukstualitas yang ditekankan oleh Riffaterre. Prinsip intertekstual
adalah prinsip hubungan antarteks. Sebuah teks tidak dapat dilepaskan sama sekali dari teks
yang lain. Teks dalam pengertian umum adalah dunia semesta ini, bukan hanya teks tertulis
atau teks lisan. Adat-istiadat, kebudayaan, film, drama, dan lain sebagainya secara pengertian
umum adalah teks. Oleh karena itu, karya sastra tidak dapat lepas dari hal-hal yang menjadi
latar penciptannya, baik secara umum maupun khusus.
27
Sebuah karya sastra seringkali berdasar atau berlatar pada karya sastra yang lain, baik
karena menentang atau meneruskan karya sastra yang menjadi latar itu. Karya sastra yang
menjadi dasar atau latar penciptaan karya sastra yang kemudian oleh Riffaterre (1978:11)
disebut dengan hipogram. Sebuah karya sastra akan dapat diberi makna secara hakiki dalam
kontrasnya dengan hipogramnya (Teeuw, 1983:65).
Julia Kristeva dalam Pradopo (2005:132) mengemukakan bahwa tiap teks itu, termasuk
teks sastra, merupakan mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan serta transformasi
teks-teks lain. Secara khusus, teks yang menyerap dan mentransformasikan hipogram dapat
disebut sebagai teks transformasi. Untuk mendapatkan makna hakiki dari sebuah karya sastra
digunakan metode intertekstual, yaitu membandingkan, menjajarkan, dan mengkontraskan
sebuah teks transformasi dengan hipogramnya. Dengan demikian, sebuah karya sastra hanya
dapat dibaca dalam kaitannya dengan teks lain.
Berdasarkan keempat prinsip dasar pemaknaan puisi menurut Riffatere seperti yang
diuraikan di atas, penulis hanya menggunakan satu prinsip yaitu pembacaan heuristik dan
pembacaan hermeneutik.
28
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu hal yang sangat diperlukan agar hasil peneltian
tidak melenceng. Metode yang digunakan dalam peneltian ini adalah metode deskriptif dan
teori pendekatan struktural. Metode deskriptif merupakan prosedur pemecahan masalah yang
diselidki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian
(novel, drama, cerpen, dan puisi) pada saat sekarang sekarang berdasarkan fakta-fakta yang
tampak atau sebagaimana yang ada (Siswantoro, 2010:56). Teori struktural adalah teori yang
bertolak dari asumsi bahwa karya sastra tersusun dari berbagai unsur yang jalin-menjalin,
terstruktur, sehingga tidak ada satu unsurpun yang tidak fungsional.
B. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer bersumber dari
penutur mantra di kampung Bali desa Batumarta VII, dalam hal ini penutur mantra adalah
seorang pemuka agama Bali (Pedande) dari kasta Sudra.
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut.
1. Observasi
29
Observasi dilakukan dengan cara mengamati langsung kampung Bali desa Batumarta
VII dan menemui ketua adat (pedande) setempat. Observasi dilakukan untuk memperoleh
keterangan mengani informan, situasi sosial budaya masyarakat setempat.
2. Wawancara
Peneliti melakukan wawancara untuk memperoleh data yang lengkap tentang struktur
dan isi mantra sesuai dengan tujuan penelitian. Arikunto (1989:126) mengatakan bahwa
wawancara adalah sebuah dialog yang dilakukan pewawancara untuk meperoleh informasi
dari nara sumber.wawancara dilakukan dengan mengajukan sejumlah pertanyaan kepada
Pedande desa Batumarta VII.
3. Perekaman
Teknik perekaman peneliti gunakan untuk merekam mantra pengobatan yang
diucapkan atau yang dilafalkan oleh pedande.
D. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan beberapa teknik yaitu teknik
transliterasi (penerjemahan bahasa mantra ke bahasa Indonesia), teknik penggolongan
(klasifikasi) yaitu teknik memilah-milah sesuatu dengan kelompoknya, teknik analisis data
dan kesimpulan.
Tahap-tahap dalam menganalisis data akan diuraikan berikut ini.
1. Menuliskan kembali mantra yang telah direkam sebelumnya.
2. Menerjemahkan bahasa mantra Hindu Bali yaitu bahasa Sansekerta ke dalam bahasa
Indonesia.
3. Membaca kembali mantra yang telah dituliskan.
30
4. Menulis data mantra.
5. Menguraikan makna per kata pada mantra.
6. Membuat kesimpulan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
Mengkaji mantra merupakan usaha untuk menangkap makna dan memberi makna
kepada isimantra itu. Kajian semiotik yang dilakukan terhadap mantra sembahyang umat
Hindu merupakan salah satu bentuk usaha demikian. Dalam hal ini, mantra sembahyang umat
Hindu dikaji dengan menggunakan metode semiotik Riffaterre. Bertolak pada metode
semiotik Riffaterre inilah, maka penulis hanya melakukan satu langkah untuk menangkap dan
memberi makna terhadap mantra Tri Sandhya yaitu melakukan pembacaan heuristik dan
hermeneutic terhadap mantra Tri Sandhya yang merupakan mantra sembahyang umat Hindu
Bali.
Langkah tersebut di atas akan diterapkan dalam rangka mengungkap dan
mendeskripsikan makna mantra Tri Sandhya secara tuntas sehingga menghasilkan kesatuan
makna yang utuh. Analisis akan dilakukan terhadap mantra sembahyang umat Hindu yakni
Tri Sandhya yang menjadi data dalam penelitian ini. Berikut adalah kajian terhadap mantra
Tri Sandhya dengan menggunakan metode semiotika yang dikembangkan oleh Riffaterre.
1. Mantra Tri Sandhya
Mantra Tri Sadhya Arti Mantra Tri Sadhya Om bhur bhuvah svah
tat savitur varenyambhargo devasya dhimahidhiyo yo nah pracodayat
Om (Tuhan) adalah bhur bhuvah svah. Sumber segala cahaya. Kita memusatkan pikiran pada kecemerlangan dan kemuliaan Sanghyang Widhi, Semoga Ia berikan semangat pikiran kita
31
Om Narayana evedwam sarvamyad bhutam yac ca bhavyamniskalanko niranjanonirvikalpo nirakhyatahsuddho deva ekonarayana na dvitiyo asti kascit.
Om Narayana adalah semua ini . apa yang telah ada dan apa yang akan ada di alam semesta ini. bebas dari noda, bebas dari kotoran, bebas dari perubahan tak dapat digambarkan, sucilah dewa Narayana. Ia (Narayan) hanya satu tidak ada yang kedua.
Om tvam siwah tvam mahadevahIswarah paramesvarahbrahma visnusca rudrascapurusah parikirtitah
Om (Ya Tuhan) Engkau dipanggil Siwa yang maha pengasih dan penyayang, Mahadewa.. “(Engkau, Tuhan) yang kuasa dan penguasa yang tertinggi. Brahma yang mencipta, Wisnu yang bekerja, dan Rudra. dipanggil juga sebagai purusa, jiwa alam semesta
Om papo'ham papakarmahampapatma papasambhavahtrahi mam pundarikaksasabahyabhyantarah sucih
Oh Hyang Widhi Wasa, hamba ini papa, lemah. Jiwa hamba papa dan kelahiran hambapun papa. Hendaklah Engkau melindungi hamba yang papa ini, Sang Hyang Widi . Sucikanlah jiwa dan raga hamba lahir dan batin
Om ksamasva mam mahadevasarvaprani hitankaramam moca sarva papebhyahpalayasva sada siva
oh Tuhan ampunilah hamba, Sanghyang Widhi. yang memberikan kebahagian kepada semua mahluk. bebaskanlah hamba dari segala dosa. lindungilah oh Sang Hyang Widhi (Siwa)
Om ksantavyah kayiko dosahksantavyo. vaciko mamaksantavyo manaso dosahtat pramadat ksamasva mamOm Santih, Santih, Santih Om.
Ya Tuhan, ampunilah dosa anggota badan hamba. Ampunilah dosa perkataan hamba. Ampunilah dosa pikiran hamba. Ampunilah hamba dari kelalaian hamba. Semoga damai, damai, damai ya Tuhan
2. Pembacaan Heuristik dan Hermenuetik
a. Pembacaan Heuristik
Mantra Tri Sandhya merupakan mantra dari segala mantra sembahyang umat Hindu.
Mantra ini biasa disebut sebagai ibu dari semua mantra. umat Hindu Bali biasa mengenal
mantra ini dengan sebutan Puja Tri Sandhya (http://ghantasari.com/kupasan-mantra-mantra-
tri-sandya/. Diakses tanggal 16 November 2011). Mantra Tri Sandhya ini terdiri dari 6
mantram. Mantram pertama, disebut dengan Gayatri Mantram yang bisa dikenali dari tiap
irama-iramanya yaitu anustup, tristup, canustup, pragathah, jagati, dan sebagainya. Berikut
ini larik pertama mantra Tri Sandhya.
32
1) Om bhur bhuvah svah
tat savitur varenyam
bhargo devasya dhimahi
dhiyo yo nah pracodayat
Larik pertama mantra ini terdiri dari kata Om bhur bhuvah svah. Kata Om yang artinya
Ya Tuhan. Kata Om sendiri huruf atau suku kata suci dalam agama Hindu dan salah satu
suku kata yang tertinggi untuk melambangkan Sang Hyang Widi atau Tuhan umat Hndu Bali.
Kata bhur berarti bumi. Kata bhur dapat pula bermakna alam, dunia yang merupakan ciptaan
Sang Hyang Widi. Tetapi, dalam kitab Weda sendiri kata bhur tidak memiliki arti. Kata
bhuvah berarti langit, angkasa yang melambangkan kekuasaan Sang Hyang Widi tetapi,
dalam kitab Weda kata bhuvah tidak memiliki arti. Kata svah memiliki arti surga.
Tat savitur varenyam artinya “sumber segala cahaya”. Larik ini terdiri dari tiga kata
yaitu tat, savitur, dan varenyam yang masing-masing berarti Tuhan Savita, dan sumber
cahaya. Pada mantram ini pemuja memuja Tuhan seru sekalian alam, yang suci tak ternoda.
Larik ketiga bhargo devasya dhimahi. Pada larik ini terdiri dari tiga kata. Pertama, bhargo
yang berarti cemerlang atau pencerahan dari Sang Hyang Widi. Kedua, devasya berarti
Dewa, Tuhan, Dewi, Bathara, atau Bethari. Ketiga, dhimahi berarti memusatkan pikiran atau
mari memusatkan pikiran. Secara keseluruhan arti pada larik ketiga yaitu mari memusatkan
pikiran pada kecemerlangan dan kemuliaan Sang Hyang Widi.
Dhiyo yo nah pracodayat memiliki arti secara keseluruhan yaitu “semoga ia berikan
semangat pada pikiran kita”. Masing-masing kata pada larik keempat sendiri memiliki arti
yaitu Dhiyo “pikiran”, yo “ia (Tuhan)”, nah “Kita”, dan pracodayat “semangat”. Jadi, secara
keseluruhan mantra pertama dapat diartikan berikut ini.
Mantra Tri Sandhya ArtinyaOm bhur bhuvah svahtat savitur varenyam bhargo devasya dhimahi
Om (Tuhan) adalah bhur bhuvah svahSumber segala cahaya Kita memusatkan pikiran pada kecemerlangan dan
33
dhiyo yo nah pracodayatkemuliaan Sanghyang Widhi, Semoga Ia berikan semangat pikiran kita
2) Om Narayana evedwam sarvam
Yad bhutam yasca bhavyam
Niskalankah niranjanah nirvikalpo
Nirakhyatah suddho deva eko
Narayana nadvitiyo asti kascit.
Larik pertama terdiri dari beberapa bagian kata yaitu Om, Narayana, evedwam, dan
sarvam. Kata Om yang artinya Ya Tuhan. Kata Om sendiri adalah kata suci dalam agama
Hindu dan salah satu kata yang tertinggi untuk melambangkan Sang Hyang Widi atau Tuhan
umat Hndu Bali. Kata Narayana berarti Tuhan. Dalam agama Hindu, penyebutan nama
Tuhan memang bervariasi dan berbeda-beda tetapi hanya satu inti Tuhan yang mereka tuju
yaitu Sang Hyang Widi. Kata evedwam berarti hanya ini dan kata sarvam berarti semua. Arti
secara keseluruhan adalah “Ya Hyang Widhi (Om Narayan), adalah semua ini”.
Larik kedua terdiri dari kata yad, bhutam, yasca, dan bhavyam. Yad berarti yang.
Bhutam berarti yang telah ada, yasca berarti yang, dan kata bhavyam berarti yang aka ada.
Yad bisa juga berarti yang memiliki alam semesta. Pemilik alam semesta menurut
kepercayaan masyarakat Hindu Bali yaitu Sang Hyang Widi. Kata Yasca juga memiliki arti
alam dan kembali nantinya. Jadi, arti dari larik kedua ini adalah “apa yang telah ada dan apa
yang akan ada di alam semesta ini”.
Niskalankah niranjanah nirvikalpo terdiri dari dua bagian kata yaitu niskalankah,
niranjanah dan nirvikalpo yang masing-masing memiliki arti bebas dari noda, bebas dari
kotoran dan perubahan. Maksud dari ketiga kata tersebut adalah manusia bebas dari noda dan
34
kotoran yang berupa dosa kecil dan dosa besar yang sering dilakukan manusia dan terjadi
sebuah perubahan dari semula tidak baik (kotor) menjadi baik (bersih). Arti dari Niskalankah
niranjanah nirvikalpo adalah “bebas dari noda, bebas dari kotoran, bebas dari perubahan tak
dapat digambarkan”.
Nirakhyatah suddho deva eko adalah larik selanjutnya. Kata pada larik ini terdapat
beberapa kata yaitu Nirakhyatah yang berarti digambarkan. Suddho yang berarti suci, deva
berarti Dewa, Dewi, Bathara, atau Betari, dan eko yang berarti satu.jadi, larik keempat ini
berbunyi “sucilah dewa Narayana”.
Narayana na advitiyah asti kascit terdiri dari empat bagian kata. Pertama, narayana
berarti Tuhan, Dewa, atau Sang Hyang Widi. Kata Narayana merupakan sebutan lain bagi
Tuhan umat Hindu selain kata Om, Bhur, Siwa, Gayatri, dan lain sebagainya Kedua, na
dvitiyah artinya na “tidak” dan dvitiyah “kedua”. Ketiga, asti yang artinya ada. Keempat,
kascit yang bermakna yang lain. Narayana na advitiyah asti kascit berarti “Ia (Narayan)
hanya satu tidak ada yang kedua”. Berdasarkan uraian setiap dapat di atas dapat diartikan.
Mantra Tri Sandhya ArtinyaOm Narayana evedwam sarvam
Yad bhutam yasca bhavyam
Niskalankah niranjanah nirvikalpo
Nirakhyatah suddho deva eko
Narayana nadvitiyo asti kascit.
Om Narayana adalah semua ini
Apa yang telah ada dan apa yang akan ada di alam semesta ini
Bebas dari noda, bebas dari kotoran, bebas dari perubahan tak dapat digambarkan,
Sucilah dewa Narayana,
Ia (Narayan) hanya satu tidak ada yang kedua
3) Om tvam siwah tvam mahadevah
Iswarah paramesvarah
Brahma visnusca rudrasca
Purusah parikirtitah
35
Om tvam siwah tvam mahadevah masing-masing memiliki arti sebagai berikut. Om
yang artinya Ya Tuhan. Kata Om sendiri huruf atau suku kata suci dalam agama Hindu dan
salah satu suku kata yang tertinggi untuk melambangkan Sang Hyang Widi atau Tuhan umat
Hndu Bali. Tvam berarti engkau (Tuhan). Siwah berarti Siwa (Dewa Siwa yang maha
pengasih dan penyayang). Tvam mahadevah berarti maha dewa, Dewa yang agung. Arti
secara keseluruhan pada larik pertama ini adalah Om (Ya Tuhan) Engkau dipanggil Siwa
yang maha pengasih dan penyayang, Mahadewa.
Iswarah paramesvarah masing-masing berarti Iswara “yang kuasa” dan paramesvarah
“penguasa yang tertinggi”. Penggunaan kata Iswarah paramesvarah sendiri masih mengacu
pada pemujaan dan kemuliaan Dewa Siwa pada larik pertama. Secara keseluruhan larik ini
berarti “(Engkau, Tuhan) yang kuasa dan penguasa yang tertinggi”.
Brahma visnus ca rudrasca, larik ini terdiri dari empat bagian kata. Kata Brahma berarti
brahma, yang mencipta. Kata visnus bermakna visnu/wisnu, yang bekerja. Kata ca berarti
dan. Kata rudrasca berarti rudra,(nama lain penjelmaan dewa). Jadi, larik ini berarti Brahma
yang mencipta, Wisnu yang bekerja, dan Rudra.
Purusah parikirtitah , purusah berarti jiwa alam semesta dan parikirtitah berarti
dipanggil. Jadi arti keseluruhan adalah “dipanggil juga sebagai purusa, jiwa alam semesta”.
Arti keseluruhan bagian ketiga mantra Tri Sandhya sebagai berikut.
Mantra Tri Sandhya ArtinyaOm tvam siwah tvam mahadevah
Iswarah paramesvarah
Brahma visnusca rudrasca
Purusah parikirtitah
Om (Ya Tuhan) Engkau dipanggil Siwa yang maha pengasih dan penyayang, Mahadewa.
“(Engkau, Tuhan) yang kuasa dan penguasa yang tertinggi
Brahma yang mencipta, Wisnu yang bekerja, dan Rudra.
dipanggil juga sebagai purusa, jiwa alam semesta
36
4) Om papo aham papakarmaham
Papatma papasambhavah
Trahi mam pundarikaksah
Sabahyabhyantarah sucih
Om papo'ham papakarmaham teridri dari kata Om yang berarti Ya Tuhan. Kata Om
sendiri huruf atau suku kata suci dalam agama Hindu dan salah satu suku kata yang tertinggi
untuk melambangkan Sang Hyang Widi atau Tuhan umat Hndu Bali. Kata papo berarti papa,
tak berdaya, lemah, miskin. Kata aham berarti hamba. Kata papakarmaham berarti perbuatan
papa, perbuatan nista. Makna dari larik pertama ini adalah Oh Hyang Widhi Wasa, hamba ini
papa, lemah.
Papatma papasambhavah terdiri dari kata papatma yang berarti jiwa yang papa, jiwa
yang lemah. Kata papasambhavah berarti kelahiran yang papa. Kedua kata tersebut dapat
diartikan sebagai jiwa hamba papa dan kelahiran hambapun papa.
Trahi mam pundarikaksah terdiri dari tiga bagian kata. Kata pertama, trahi yang berarti
hendaknya Engkau. Engkau disini mengacu pada Tuhan Sang Hyang Widi, Tuhan segala
Tuhan. Kata kedua, mam berarti lindungi hamba. Kata ketiga, pundarikaksah berarti yang
bermata. Secara keseluruhan larik ini bermakna “hendaklah Engkau melindungi hamba yang
papa ini, Sang Hyang Widi”.
Sabahyabhyantarah sucih berarti luar dan dalam, lahir dan batin lagi suci. Jadi,
kelengkapan makna pada larik yang terakhir ini adalah “sucikanlah jiwa dan raga hamba lahir
dan batin”. Berikut ini makna secara keseluruhan pada bagian keempat dari mantra Tri
Sandhya.
Mantra Tri Sandhya ArtinyaOm papo aham papakarmaham
Papatma papasambhavah
Oh Hyang Widhi Wasa, hamba ini papa, lemah.
Jiwa hamba papa dan kelahiran hambapun papa
37
Trahi mam pundarikaksah
Sabahyabhyantarah sucih
Hendaklah Engkau melindungi hamba yang papa ini, Sang Hyang Widi
Sucikanlah jiwa dan raga hamba lahir dan batin
5) Om ksamasva mam mahadeva
Sarvaprani hitankara
Mam moca sarvapapebhyah
Palayasva sada siva
Om ksamasva mam mahadeva, terdiri dari kata Om, ksamasva, mam, dan mahadeva.
Kata Om berarti sendiri huruf atau suku kata suci dalam agama Hindu dan salah satu suku
kata yang tertinggi untuk melambangkan Sang Hyang Widi atau Tuhan umat Hndu Bali. Kata
ksamasya berarti hendaknya Engkau ampuni. Kata mam berarti lindungi hamba. Makna kata
lindungilah hamba bermaksud hamba Tuhan (dalam hal ini umat Hindu) berharap selalu
dilindungi dari semua perbuatan tercela, dosa dan papa kepada Sang Hyang Widi. Berharap
mendapat perlindungan dan keselamatan. Kata mahadeva berarti mahadewa, Tuhan. Kata-
kata ini akan dirangkai menjadi satu kesatuan yang bermakna yaitu Om ksamasva mam
mahadeva, yang berarti “oh Tuhan ampunilah hamba, Sanghyang Widhi”.
Sarvaprani hitankara terdiri dari kata sarvaprani yang berarti yang memberikan
kebahagiaan. Kata hitankara berarti semua mahluk. Jadi Sarvaprani hitankara berarti yang
memberikan kebahagian kepada semua mahluk.
Mam moca sarva papebhyah. Kata mam berarti lindungilah hamba. Makna kata
lindungilah hamba bermaksud hamba Tuhan (dalam hal ini umat Hindu) berharap selalu
dilindungi dari semua perbuatan tercela, dosa dan papa kepada Sang Hyang Widi. Berharap
memdapat perlindungan dan keselamatan. Kata moca berarti hendaknya Engkau bebaskan.
Kata sarvapapebhyah berarti semua dosa. Mam moca sarva papebhyah berarti bebaskanlah
hamba dari segala dosa.
38
Palayasva sada siva terdiri dari kata palayasva berarti hendaknya Engkau lindungi. Kata
sada siva berarti Siwa, Tuhan yang kekal. Palayasva sada siva bermakna lindungilah oh Sang
Hyang Widhi (Siwa). Secara keseluruhan mantra kelima Tri Sandhya ini bermakna:
Mantra Tri Sandhya ArtinyaOm ksamasva mam mahadeva
Sarvaprani hitankara
Mam moca sarvapapebhyah
Palayasva sada siva
oh Tuhan ampunilah hamba, Sanghyang Widhi.
Yang memberikan kebahagian kepada semua mahluk.
Bebaskanlah hamba dari segala dosa
Lindungilah oh Sang Hyang Widhi (Siwa)
6) Om ksantavyah kayiko dosah
Ksantavyah. vaciko mama
Ksantavah manasah dosah
Tat pramadat ksamasva mam
Om santih, santih, santih om.
Om ksantavyah kayiko dosah terdiri dari kata om berarti ya Tuhan. Kata ksantavyah
berarti hendaknya supaya diampuni. Kata kayiko berarti anggota badan, tubuh. Kata dosah
berarti dosa. Jadi, Om ksantavyah kayiko dosah berarti Ya Tuhan, ampunilah dosa anggota
badan hamba. Ksantavyo. vaciko mama, kata ksantavyah berarti hendaknya supaya diampuni.
Kata vaciko berarti perkataan, dan kata mama berarti hamba. Ksantavyo. vaciko mama
berarti ampunilah dosa perkataan hamba. Ksantavah manaso dosah, kata ksantavyah berarti
hendaknya supaya diampuni. Kata manasah yang artinya pikiran, dan kata dosah yang
bermakna dosa. Arti dari ksantavah manaso dosah berarti ampunilah dosa pikiran hamba.
Tat pramadat ksamasva mam, terdiri dari kata tat yang berarti itu. Kata pramada berarti
kelalaian. Kata ksamasva berarti hendaknya diampuni, dan kata mam berarti hamba. Kalimat
39
mantra tat pramadat ksamasva mam mempunyai arti ampunilah hamba dari kelalaian hamba.
Om santih, santih, santih om berarti semoga damai, damai, damai ya Tuhan.
Berikut ini arti secara keseluruhan mantra keenam Tri Sandhya ini dapat dilihat pada
tabel dibawah ini.
Mantra Tri Sandhya ArtinyaOm ksantavyah kayiko dosah
Ksantavyah. vaciko mama
Ksantavah manasah dosah
Tat pramadat ksamasva mam
Om santih, santih, santih om
Ya Tuhan, ampunilah dosa anggota badan hamba.Ampunilah dosa perkataan hamba
Ampunilah dosa pikiran hamba
Ampunilah hamba dari kelalaian hamba
Semoga damai, damai, damai ya Tuhan
b. Pembacaan Hermeneutik
Sesuai dengan fungsinya, mantra Tri Sandhya sesungguhnya mengimplikasikan
keinginan seorang hamba untuk memperoleh pengampunan atas semua dose-dosa yang telah
diperbuat. Keiginan itu diwujudkan dalam bentuk sebuah permohonan kepada Tuhan Sang
Hyang Widi melalui perantara dewa dan dewi. Perantara Tuhan dalam Mantra ini
disebutkannya nama dewa Siwa, Brahma, Rudra, Mahadewa, Wisnu, Narayana, bhur bhuvah
svah dan Purusa. Kita akan melihat lebih dekat makna mantra Tri Sandhya melalui
pembacaan hermeneutik.
1. Om bhur bhuvah svah
tat savitur varenyam
bhargo devasya dhimahi
dhiyo yo nah pracodayat
Arti dari bagian pertama mantra Tri Sandhya ini yaitu “Om (Tuhan) adalah bhur
bhuvah svah. Kita memusatkan pikiran pada kecemerlangan dan kemuliaan Sanghyang
Widhi, Semoga Ia berikan semangat pikiran kita”. Mantra pada bagian ini mengimplikasikan
40
bahwa sesungguhnya seorang hamba senantiasa mengingat Tuhan Sang Hyang Widi. Tuhan
semesta alam, seorang hamba hendaknya selalu mengingat Tuhanya dengan jalan
memusatkan pikiran dan berdoa kepada Tuhan semoga ia diberikan semangat oleh Tuhan
Sang Hyang Widi. Diberikannya semangat pikiran oleh Tuhan kepada hambanya diharapkan
seorang hamba akan memperoleh kecermerlangan dan kemulian dihadapan Tuhan. Sasaran
dalam bagian mantra ini adalah kejernihan dan semangat yang diberikan oleh Tuhan Sang
Hyang Widi kepada hamba-Nya. Tujuan mantra pada bagian ini meminta agar Tuhan Sang
Hyang Widi memberikan semangat pada pikiran manusia atau hamba-Nya dengan cara
memusatkan pikiran pada kecemerlangan dan kemulaian Tuhan.
2. Om Narayana evedwam sarvam
Yad bhutam yasca bhavyam
Niskalankah niranjanah nirvikalpo
Nirakhyatah suddho deva eko
Narayana nadvitiyo asti kascit.
Arti dari mantra kedua yang merupakan bagian dari Tri Sandhya ini adalah Om
Narayana adalah semua ini, apa yang telah ada dan apa yang akan ada di alam semesta ini,
bebas dari noda, bebas dari kotoran, bebas dari perubahan tak dapat digambarkan, sucilah
dewa Narayana, Ia (Narayan) hanya satu tidak ada yang kedua. Bagian mantra ini
menggambarkan bahwa Tuhan (Narayan) adalah Esa, tidak ada yang kedua. Disebutkan pula
bahwa Narayan adalah Tuhan yang maha suci, maha cemerlang, tiada berwujud dan gaib.
Umat Hindu percaya bahwa Tuhan (Narayan) adalah sosok yang maha suci yang
keberadaannya setara dengan Dewa-dewa yang lain.
3. Om tvam siwah tvam mahadevah
Iswarah paramesvarah
41
Brahma visnu ca rudrasca
Purusah parikirtitah
Arti bagaian ketiga mantra Tri Sandhya adalah Om (Ya Tuhan) Engkau dipanggil Siwa
yang maha pengasih dan penyayang, Mahadewa., (Engkau, Tuhan) yang kuasa dan penguasa
yang tertinggi, Brahma yang mencipta, Wisnu yang bekerja, dan Rudra. Dipanggil juga
sebagai purusa, jiwa alam semesta. Umat Hindu Bali menyebut nama Tuhan mereka dalam
berbagai nama sesuai dengan perwujudan Tuhan mereka. Ada yang disebut dengan Siwa,
Wisnu, Brahma, Narayan, dan masih banyak lagi.dalam kitab Weda, Tuhan dalam agama
Hindu adalah Sang Hyang Widi, ia tunggal. Tetapi banyak nama Tuhan yang digunakan
untuk menunjukk pada satu Tuhan yaitu Sang Hyang Widi. Penamaan Tuhan yang cukup
banyak ini dikarenakan Tuhan dalam perwujudan yang lain. Sang Hyang Widi dalam wujud
Siwa maka ia adalah Tuhan Siwa (Dewa Siwa).
4. Om papo aham papakarmaham
Papatma papasambhavah
Trahi mam pundarikaksah
Sabahyabhyantarah sucih
Arti dari mantra di atas adalah Oh Hyang Widhi Wasa, hamba ini papa, lemah, jiwa
hamba papa dan kelahiran hambapun papa, hendaklah Engkau melindungi hamba yang papa
ini, Sang Hyang Widi, sucikanlah jiwa dan raga hamba lahir dan batin. Pada bagian ini
terlihat adanya pengakuan diri sang hamba Tuhan terhadap dirinya. Begitu lemahnya ia di
hadapan Tuhan. Pemuja mengatakan dirinya serba hina, serba kurang, dan serba lemah. Hina
kerjanya, hina diri pribadinya, hina lahirnya. Karena itu ia mohon kepada Tuhan untuk
dilindungi dan dibersihkan dari segala noda. Tuhanlah pelindung tertinggi dan Tuhanlah
melimpahkan kesucian untuknya yang setia mengamalkan ajaran-Nya.
42
5. Om ksamasva mam mahadeva
Sarvaprani hitankara
Mam moca sarvapapebhyah
Palayasva sada siva
Makna dari mantra ini adalah oh Tuhan ampunilah hamba, Sanghyang Widhi. yang
memberikan kebahagian kepada semua mahluk. bebaskanlah hamba dari segala dosa
lindungilah oh Sang Hyang Widhi (Siwa)Pemuja mohon ampun kepada Tuhan, penyelamat
semua makhluk. Ia mohon dibebaskan dari semua papa, semua kehinaan dan dosa. Ia mohon
untuk dijaga, karena beliaulah penjaga semua makhluk di manapun dan kapanpun juga.
Tuhan adalah kuasa tertinggi atas segala yang ada ini.
6. Om ksantavyah kayiko dosah
Ksantavyah. vaciko mama
Ksantavah manasah dosah
Tat pramadat ksamasva mam
Om santih, santih, santih om.
Makna mantra ini adalah Ya Tuhan, ampunilah dosa anggota badan hamba. ampunilah
dosa perkataan hamba, ampunilah dosa pikiran hamba, ampunilah hamba dari kelalaian
hamba, semoga damai, damai, damai ya Tuhan. Apa saja dosa anggota badan, apa saja dosa
kata-kata dan apa saja dosa pikiran, pemuja memohon kepada Tuhan untuk diampuni.
Manusia tidak dapat bebas dari dosa karena ia diselubungi oleh khilaf dan lalai. Bila
seseorang dapat membersihkan diri dengan amal kebajikan maka kabut kekhilafan yang
43
menyelubungi sang Pribadi akan menipis dan akan memancarkan cahaya kesucian dari Sang
Pribadi yang mengantar seseorang ke alam kesadaran.
B. PEMBAHASAAN
Pada hakikatnya umat Hindu Bali memiliki cara tersendiri dalam melakukan
persembahyangan. Persembahyangan yang dilakukan umat Hindu Bali semata-mata hanyalah
untuk menyerahkan diri pada kekuatan Sang Hyang Widi (Tuhan). Oleh karena itu, dalam
upacara persembahyangan umat Hindu Bali terdapat sarana dan prasarana yang harus di
persiapkan terlebih dahulu. Sarana dan prasarana inilah yang nantinya menjadi alat untuk
“berjumpa dan berdialog” dengan Sang Hyang Widi.
Secara tidak langsung, sarana yang digunakan dalam upacara persembahyangan umat
Hindu Bali cukup banyak dan mengandung filosofi masing-masing. Sarana-sarana yang
digunakan memiliki fungsi dan pengimajinasian kepada Sang Hyang Widi. Sarana bunga
pada upacara persembahyangan memiliki arti kebersihan hati dan jiwa karena pada
hakikatnya bunga itu suci, cantik, harum, dan indah. Bunga juga sebagai pencitraan jiwa
sejati yang disebut Sang Atman yang menjadi sumber hidup dalam berbagai upacara Agama
dilukiskan dengan bunga. Ungkapan-ungkapan perasaaan dan pikiran yang mengadung
makna keindahan dan ketulusan dilambangkan dengan bunga. Bunga adalah lambang jiwa
dan pikiran yang murni dan simbul dari sebuah restu Sang Hyang Widhi.
Air adalah sarana kedua dalam sebuah upacara persembahyangan umat Hindu Bali. Air
adalah elemen pembersihan diri bagi umat Hindu Bali. Air digunakan untuk menyucikan diri
setelah sembahyang dilakukan. Air sembahyang dapat diminum setelah sembahyang. Sarana
berikutnya adalah dupa (api). Apinya dupa adalah perwujudan Hyang Agni – Tuhan dalam
manifestasi-Nya sebagai api. Api dengan sinarnya adalah penerangan di dalam alam ini. Api
dengan panasnya adalah energi bagi kehidupan ini. Api dengan kekuatannya adalah penolak
44
bala bagi segala mahluk. Oleh karena itu, api adalah faktor penting bagi umat Hindu Bali di
dalam melaksanakan ritual-ritual persembayangannya. Dupa dengan nyala apinya adalah
simbul penyaksi ketulusan Jiwa yang sedang bersembahyang. Selain itu juga ia
dilambangkan sebagai perantara yang menghubungkan antara pemuja dan yang dipuja. Api
dupa juga berfungsi untuk mengalirkan kekuatan-kekuatan negatif yang terhambat di udara
untuk mengharmonisasikannya menjadi kekuatan yang positif sehingga udara menjadi bersih
dan astral.
Canang merupakan sarana upacara persembahyangan yang terakhir. Dalam ajaran
agama Hindu di Bali canang menagndung beberapa makna (1) sebagai lambang perjuangan
hidup manusia dengan selalu memohon perlindungannya untuk dapat menciptakan,
memelihara dan meniadakan yang berhubungan dengan hidup manusia, (2) sebagai lambang
menumbuhkan keteguhan, kelanggengan dan kesucian pikiran, dan (3) sebagai lambang suatu
usaha uamat manusia untuk menerapakan ajaran agama Hindu dalam bentuk banten yang
memberikan keterangan tentang arti dan makna hidup.
Keempat elemen sarana dalam upacara persembahyangan ini digunakan setiap kali
umat Hindu Bali akan melakukan persembahyangan. Mereka percaya bahwa sarana tersebut
dapat mengantarkan doa dan keinginan mereka kepada Sang Hyang Wiidi. Hal yang tidak
boleh dikesampingkan bahwa dalam setiap sarana persembahyangan yang digunakan
memiliki filosofi tersendiri sebagai manifestasi (penjelmaan) Tuhan. Tidak hanya itu saja,
filosofi yang terdapat dalam sarana persembahyangan juga melambangkan hati dan jiwa sang
pemeluk agama.
Pembacaan secara heuristik dan hermeneutik yang dilakukan terhadap mantra Tri
Sandhya dapat membantu menemukan pemahaman makna mantra sembahyang umat Hindu
ini dengan utuh. Pada pembacaan heuristik diperoleh arti dari setiap kata yang ada pada
mantra tersebut. Pembacaan heuristik yang dilakukan dengan menerjemahkan setiap kata
45
yang terdapat di dalam mantra Tri Sandhya. Bahasa yang digunakan dalam mantra ini adalah
bahasa Sansekerta, jadi diperlukan ketelitian penuh dalam menerjemahkannya.
Pada pembacaan hermeneutik diperoleh makna yang terdapat dalam setiap bagian
mantra yang diucapkan. Isi mantra Tri Sandhya adalah permohonan ampunan bagi pemeluk
agama, perlindungan, dan bentuk pengakuan diri pemeluk sebagai mahluk yang lemah.
Tujuan dari mantra ini sendiri adalah permohonan ampun diucapkan dan diminta secara lahir
batin agar Tuhan mengampuni semua dosa yang telah dilakukan dan kembali suci lahir dan
batin.
Pada akhirnya, mantra Tri Sandhya merupakan doa yang ditujukan kepada Tuhan
dengan harapan bahwa manusia memerlukan Tuhan. Hanya Tuhanlah yang bisa mengampuni
semua dosa yang telah diperbuat. Mantra ini juga mengandung makna kepasrahan seorang
hamba kepada setiap hal yang telah menjadi takdir hidup setiap hamba agama.
46
BAB V
PENUTUP
A. SIMPULAN
Sebenarnya banyak mantra sembahyang yang digunakan oleh umat Hindu Bali dalam
memuja Sang Hyang Widi, tetapi mantra Tri Sandhya adalah mantra yang senantiasa
digunakan dalam peribadatan umat Hindu. Mantra Tri Sandhya ini digunakan dalam
persembahyangan sebanyak tiga kali dalam sehari dan ia merupakan induk dari segala mantra
yang ada.
Mantra Tri Sandhya ini adalah mantra yang digunakan umat Hindu Bali untuk meminta
pengampunan, perlindungan kepada Tuhan sebagai bentuk pengakuan bahwa mereka adalah
mahluh Tuhan yang lemah. Tujuan pembacaan mantra ini adalah agar permohonan ampunan
yang dikehendaki dapat dikabulkan oleh Tuhan dan dapat kembali suci lahir dan batin.
47
DAFTAR PUSTAKA
Aliana, Z.A. 1992. Sastra Lisan Bahasa Melayu Belitung. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Aliana, Z.A. 2000. Struktur Sastra Lisan Semende. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Arikunto, Suharsimi. 1989. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Bina Aksara
Djamaris, Edwar. 1990. Menggali Khazanah Sastra Melayu Klasik. Jakarta: Balai Pustaka.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Esten, Mursal. 1988. Sastra Jalur Kedua. Padang: Angkasa Raya.
Indrastuti, Kussuji, Novi Siti. 2007. “Semiotika: Michael Riffaterre dan Roland Barthes”. Makalah. Yogyakarta: Belum diterbitkan.
Koentjaraningrat. 1981. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Putrisari. 2009. “Pengertian Mantra”.http://putrisari.blog.com/2009/04/06/pengetian-mantra/. Diakses 24 Oktober 2011.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press.
Rismawati. 1996. “Analisis Struktur dan Isi Mantra Kanagarian Manggopo”. Skripsi. Palembang: FKIP Universitas Sriwijaya.
Santosa, Puji. 2004. “Tuhan, Kita Begitu Dekat: Semiotika Riffaterre”. T. Christomy dan Untung Yuwono (Penyunting). Semiotika Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Indonesia.
Siswantyoro. 2010. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Selden, Raman. 1993. Panduan Pembaca Teori Sastra. Terjemahan Rachmat Djoko Pradopo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
48
Teeuw, A. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
49
Top Related