UNSUR INTRINSIK
Unsur Inrinsik adalah unsur yang terkandung dalam karya sastra yang
membangun keutuhan cerita, sepereti alur, penokohan, setting, dan tema.
1.Tema
Tema adalah gagasan atau ide dasar yang melandasai suatu karya sastra. Dalam
sebuah novel terdapat dua tema, yaitu tema mayor dan tema minor. Tema mayor adalah
tema yang merupakan pusat pikiran sebuah cerita/karya sastra. Jadi tema yang terdapat
dalam novel bukan pasar malam yaitu “perjalanan seorang anak revolusi” dimana hidup
bukanlah sebuah pasar malam. Perjalanan seorang anak yang sempat dipenjara oleh
Belanda dan perjalanan ayahnya yang lebih memilih membaktikan dirinya kepada
republik dan menjadi seorang guru selama hamper 30 tahun. Melalui buku ini tokoh
“aku” mengkritik kekerdilan diri sendiri, tapi juga menunjuk muka para jenderal atau
pembesar-pembesar negeri pascakemerdekaan yang hanya asyik mengurus dan
memperkaya diri.
Tema minor adalah tema yang dilihat dari sudut pandang yang lain, sehingga
sebuah tema mayor terdapat beberapa tema minor. Tema minor dalam roman ini adalah
nasionalisme. Hal ini dapat dilihat dari tokoh ayah disini, ia adalah seorang yang kerap
kali keluar-masuk penjara saat pendudukan “merah” pada masa PKI. Dia memiliki
seorang anak yang juga menjadi seorang pejuang revolusi yang kerap kali ditawan oleh
Belanda hingga harus berpisah dengan ayah dan anggota keluarga yang lain selama lima
tahun lamanya. Saat ia berpulang, ia harus mendapati kenyataan pahit akan keadaan
ayahnya yang sakit keras karena terjangkit TBC. Juga rumah yang sudah lima tahun
lamanya ia tinggalkan, keadaannya sudah jauh dari kelayakan.
Tema minor berikutnya adalah kesenjangan social dimana dalam roman ini
banyak menyinggung masalah timbulnya kelas-kelas sosial dalam masyarakat pasca
kemerdekaan. Dengan banyaknya para pejabat-pejabat dan para jendral yang berlomba-
lamba memperkaya diri mereka sendiri. Hal itu pulalah konon yang membuat sang ayah
kecewa. Kecewa pada orang-orang yang pernah ia tolong pada masa perjuangan, namun
satelah kemerdekaan telah didapatkan, mereka bukannya berpikir untuk kepentingan
bangsa selanjutnya, malah berlomba-lomba memperkaya diri sendiri. Namun
kekecewaannya itu hanya dipendamnya saja, hingga penyakit TBC itu menggerogotinya
dan merenggut nyawanya.
2. Alur
Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa,
sehingga membentuk cerita yang dihadirkan oleh para pelakunya. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa alur merupakan tumpuan ide dan motif yang disalurkan dari
peristiwa dan perwatakan dalam prosa fiksi.
Adapun alur yang terdapat dalam novel bukan pasar malam adalah alur maju dan
kilas balik dimana diceritakan seorang tokoh “aku” setelah keluar dari penjara akibat
terlibat gerakan revolusi Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) dan merasa terpukul
setelah mendapatkan surat dari pamannya bahwa ayahnya sakit TBC kemudian ia
bersama istrinya menuju Blora dimana ia mulai mengingat segala kenangan masa
kecilnya, jalan-jalan yang dilalui, serta rumahnya yang kini telah rusak. Keadaan ayah
yang semakin memburuk menimbulkan penyesalan yang mendalam bagi tokoh “aku”
karena surat pedas yang dahulu dikirimnya serta rasa takut akan kehilangan ayahnya.
Alur dalam roman ini di mulai dari tahap eksposisi atau pengantar cerita ketika
tokoh “aku” menyesali atas surat pedas yang ia kirimkan kepada ayahnya ketika ia berada
di penjara serta surat balasan dari ayahnya yang membuatnya begitu menyesal serta
merasa bersalah.
Tahap komplikasi/pemunculan konflik yakni saat tokoh “aku” mendapatkan surat
dari pamannya yang memintanya pulang untuk menjenguk ayahnya yang sedang sakit
tbc. Tokoh “aku” terkejut dan merasa bersalah karena surat yang sempat ia kirimkan. Ia
pun tidak mempunyai cukup uang untuk pulang sehingga terpaksa harus menagih hutang
ke teman-temannya.
Ketika tokoh “aku” telah sampai di Blora dan melihat keadaan ayahnya yang
semakin kurus dan tampak seperti sebilah papan yang sangat berbeda dengan keadaanya
ketika berjuang membela republik, bahkan ayahnya juga mengalami batuk darah selama
empat kali. Serta keadaan ayah yang semakin memburuk karena ia tidak dapat dirawat di
sanatorium karena tidak memiliki cukup uang sehingga terpaksa harus dirawat di rumah
sakit biasa, keadaan uang tokoh “aku” yang semakin memburuk.
Tahap klimaks/puncak dapat dilihat ketika tokoh ayah meninggal dan tokoh aku
serta adik-adiknya menangis disertai datangnya tetangga yang banyak untuk melawat.
Tahap resolusi adalah ketika banyak tetangga yang datang menghibur serta
membicarakan segala kebaikan serta kehebatan tokoh ayah. Dimana tokoh “Aku”
bersama adik-adiknya akan melanjutkan kehidupan mereka sepeninggal ayah mereka.
Seperti dilihat kutipan ini :
“Nah, Tuan, hari sudah malam. Hanya pesanku jangan dilupakan, kerap-
keraplah menyekar ke kuburan ayah Tuan.” (Pram,1951:103)
3.Latar/Setting
Setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu,
maupun peristiwa. Menurut batasan tersebut, setting dibedakan menjadi setting tempat,
setting waktu, dan setting suasana Di mana, kapan, dan bagaimana tokoh berada dalam
cerita, maka disitulah peran setting teridentifikasi. Selain memberi informasi tentang
situasi ruang dan waktu, setting juga berfungsi sebagai proyeksi keadaan batin para tokoh
dalam cerita.
a. Latar Tempat
Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam
sebuah karya fiksi.
Blora : “Kita sampai di Blora sekarnag” (Pram,1951:22)
Semarang: “Kereta jalan terus. Jalan terus. Jalan terus—Semarang. Kami
menginap di hotel. Dan hotel itu bukan main kotornya.” (Pram,1951:19)
Rumah Sakit : “Sore itu aku menengok ke rumah sakit dengan istriku dan kedua
adikku”. (Pram,1951:30)
Rumah (blora) : “Kala aku masuk ke dalam rumah, kepalaku tersenggol pada
palang atap.” (Pram,1951:23)
Stasiun Kereta Api : “Subuh-subuh kami telah pergi ke stasiun. Antre beli karcis.”
(Pram,1951:20)
b. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah ”kapan” terjadinya peristiwa- peristiwa
yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
Pagi/Subuh : “Subuh-subuh kami telah pergi ke stasiun”. (Pram,1951:20)
Siang : “Waktu itu baru jam setengah satu siang”. (Pram,1951:16)
Sore : ” Sore itu aku menengok ke rumah sakit dengan istriku dan kedua adikku”.
(Pram,1951:56)
Malam : “Malam itu adikku yang ketujuh masih juga menangis”.(Pram,1951:37)
c. Latar Suasana
Latar suasana pada novel tersebut mengharukan. Dalam kalimatnya:
“Kemarin dan kemarin dulu bapak tersenyum saja banyak senyumnya. Tapi
tadi… tadi… dan tadi pagi ayah tak tersenyum lagi. Suaranya sudah menajdi
rendah dan hamper tak kedengaran”. (Pram,1951:25).
Kutipan ini menggambarkan perubahan keadaan bapak menjadi tidak bertenaga
lagi sehingga membuat adik-adiknya merasakan perubahan dan membuatnya sedih.
Suasana tegang dan bingung yang dirasakan tokoh “aku” setelah mendapat surat dari
pamannya bahwa ayahnya jath sakit dan kenyataan bahwa ia tidak mempunyai uang
untuk pulang ke Blora.
Dapat dilihat dari kutipan berikut ini:
“Mula-mula aku terkejut mendengar berita itu. Sesak di dada. Kegugupan datang
menyusul. Dalam kepalaku terbayang: ayah. Kemudian: uang. Dari mana aku
dapat uang untuk ongkos pergi? Dan ini membuat aku mengeliling kota Jakarta—
mencari kawan-kawan—dan hutang.” (Pram,1951:8)
Suasana sedih yang dirasakan tokoh “aku” serta adik-adiknya setelah kepergian
ayahnya. Ketika tokoh “aku” dan adik-adiknya menangis.
“Aku menitikkan airmata lagi. Dan adik-adikku menitikkan airmata lagi.
Kemudian, perlahan-lahan kami menginggalkan kuburan di mana tonggak
mencongak-congak.” (Pram,1951:99)
4. Sudut Pandang
Sudut pandang pada novel tersebut yaitu orang pertama/akuan, dimana pengarang
sering menggunakan kata-kata aku dan menceritakan pengalaman hidupnya dari ketika
tokoh “aku” dipenjara hingga mendengar kabar bahwa ayahnya jatuh sakit dan
penyesalan atas surat yang ia terima serta ketika ia menemani ayahnya ketika sakit
bersama adik-adiknya dan mengenang masa lalunya ketika di Blora. Dalam kalimatnya:
“Sesungguhnya surat itu takkan begitu menyayat hatiku, kalau saja aku tak mengirim
surat yang berisi sesuatu yang tak enak untuk dibaca”. (Pram,1951:7)
5. Penokohan
Aku
Aku (tokoh utama) adalah tokoh protagonis yang memegang peranan penting dalam
cerita dimana digambarkan pengarang sebagai pembawa cerita mulai dari ketika ia
dipenjara dan mengetahui bahwa ayahnya adalah seorang pejuang yang membaktikan
dirinya pada jaman penjajahan Belanda sebagai seorang guru hingga saat ia mendampingi
ayahnya ketika sakit.
Tokoh “aku” juga digambarkan sebagai tokoh yang tidak memiliki banyak harta
dan tidak mempunyai cukup uang untuk kembali ke Blora dan menjenguk ayahnya yang
sedang sakit.
Tokoh “aku” merasa kecewa terhadap kehidupan, kekecewaan terhadap sistem
pemerintahan yang lebih mengutamakan kepentingan para pemimpin daripada
kepentingan rakyatnya. Dia harus menghadapi kondisi dimana dia harus melawan gejolak
hati karena rasa ketidakadilan yang didapatnya. Reak kering, tahi kuda, hancuran ban
mobil, hancuran ban sepeda membuat dia memaki kepada dirinya sendiri.
Tokoh Aku sebagai protagonis sangat mendukung penafsiran, bahwa Bukan
Pasar Malam menggambarkan kesedihan dan penyesalan seorang anak yang telah jauh
lari dari orang tuanya (tokoh Bapak). Jauh lari di sini mempunyai banyak makna,
meliputi lari secara fisik dan lari secara moral. Secara fisik, tokoh Aku tinggal berjauhan
dari orang tuanya. Tokoh Aku sudah lama tinggal di Jakarta, hampir 25 tahun dan selama
itu tidak pernah pulang kampung. Sementara, ayahnya (tokoh Bapak) bersama dengan
kakak dan adiknya tinggal di Blora, kampung halaman mereka. Secara moral, tokoh Aku
berseberangan dengan ayahnya (tokoh Bapak). Mereka berbeda paham, terutama dalam
hal agama dan ideologi. Tokoh Bapak (ayah) adalah seorang Islam dan anak seorang
ulama, tetapi mengabdikan diri sebagai seorang pendidik (nasionalis). Sementara, tokoh
Aku tidak mengaku sebagai seorang Islam dan cenderung melawan ‘pasukan merah’(pki)
Tokoh “aku” sebagai seorang kakak tertua memiliki kedekatan dengan adik-
adiknya. Dia menjadi tempat berkeluh-kesah bagi semua adikknya. Rasa hormat sang
adik pun tetap ada untuk sang kakak.
Tokoh “aku” mempunyai watak perasa yang digambarkan oleh penulis secara
analitik(langsung) dimana pengarang langsung menjelaskan watak dirinya.
“Aku mengeluh. Hatiku tersayat. Aku memang perasa. Dan keluargaku pun
terdiri dari mahluk-mahluk perasa”.(Pram,1951:15)
Tokoh “aku” juga mempunyai watak menghormati bapaknya. Hal ini dilihat
ketika adiknya pergi mendahului keluar kamar dan ia menyuruhnya untuk minta permisi
dulu pada ayahnya.
Watak lainnya adalah tokoh “aku” mempunyai tekad yang kuat yang digambarkan
secara dramatik melalui dialog anat tokoh. Terlihat ketika tetangganya menyinggung
mengenai rumah dan sumur milik keluarga tokoh “aku” yang rusak dan sudah tidak layak
dan tokoh “aku” bertekad untuk memperbaikinya. Hal ini dapat kita lihat dari kutipan
berikut ini
“ Pak—rumah itu akan kuperbaiki” Ia berseri-seri seakan-akan rumah itu
termasuk dalam kepentingan hidupnya. (Pram,1951:45)
Tokoh “aku” juga mempunyai watak menghibur dan menasehati ketika ia
mengibur adiknya yang bercerita kepadanya mengenai kerasnya kehidupannya selama
sang kakak tidak ada di rumah serta ketika ayahnya meninggal. Tokoh “aku” selalu bisa
menguatkan hati adik-adiknya yang sedih maupun yang dibakar rasa emosi atas sesuatu,
meskipun dia sendiri merasakan perasaan yang sama dengan adikknya (hal 69).
“Bukankah semua itu sudah terjadi, Adikku? Dan semua yang sudah terjadi tidak
bisa diulangi lagi.”
“Tapi aku tak rela, Mas. Aku tak rela.”
“Engkau harus merelakan semua hal yang sudah terjadi, Adikku,” kataku.
(Pram,1951:69)
Istri
Istri dari “aku” mempunyai watak agak cerewet dan seringkali meminta pulang
dari Blora karena kondisi keuangan yang tidak memungkinkan sehingga menambah
beban pikiran tokoh “aku” serta kurang mengerti situasi saat itu. Watak tokoh istri ini
digambarkan secara dramatik melalui dialog antar tokoh.
Dalam kalimatnya:
“Jangan terlalu lama di Blora,” kata istriku. Kupandangi istriku itu. Aku
rasai keningku jadi tebal oleh kerut-mirut. Dan aku menjawab pendek: “Kita
melihat keadaan dulu.”
Sebentar bayangan kenangan pada ayah hilang. “Barang kali kalau terlalu lama,
aku terpaksa pulang dahulu.”(Pram,1951:14)
”Lebih baik kita pulang dulu. Engkau harus ingat pada keuangan kita”
(Pram,1951:82)
Sang istri kurang mengerti situasi ayah tokoh “aku” yang sedang sakit serta tidak
membuat tokoh “aku” semakin pusing.
Ayah
Ayah adalah tokoh yang memiliki peranan penting dalam roman ini. Tokoh ayah
bersama dengan kakak dan adiknya tinggal di Blora, kampung halaman mereka.. Tokoh
Bapak (ayah) adalah seorang Islam dan anak seorang ulama, tetapi mengabdikan diri
sebagai seorang pendidik (nasionalis). Keadaan ayah setelah sakit membawa sebagian
alur dalam roman ini, dimana ayah digambarkan sebagai seorang tokoh yang mempunyai
nasionalis yang tinggi. Tokoh ayah yang disini digambarkan seorang guru yang digaji
oleh Belanda sebagai pengawas sekolah. Meski digaji Belanda, bukan berarti ia harus
mengabdi sepenuhnya pada Belanda. Karena dibalik itu semua, dengan jiwa
Nasionalismenya ia memendam cita- cita yang mulia untuk bangsa Indonesia. Biarlah itu
Belanda yang menggaji, asalkan anak-anak negeriku dapat mengenyam pendidikan, dapat
menjadi generasi yang berguna bagi bangsanya. Itulah cita-cita mulia sang ayah untuk
negerinya.
Tokoh ayah juga digambarkan mempunyai watak keras dan teguh pada pendirian, hal ini
dapat dilihat bahwa walaupun ia seorang anak ulama tapi ia tak mau menajadi ketib tetapi
ia mau menjadi seorang nasionalis. Watak tokoh ini digambarkan secara dramatik melalui
percakapan dengan tokoh lain. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut :
Watak bapak juga digambarkan sebagai seorang yang begitu kuat karena telah
membaktikan dirinya selama 30 tahun untuk menjadi seorang guru.
Gembira paman menjawabkan:
“Tigapuluh tahun”
“Alangkah kuatnya. Aku yang baru dinas delapan belas tahun rasa-rasanya
sudah tak kuat lagi…”. (Pram,1951:52)
“Kawan kita telah meninggal. Aku pikir, kita sekarang kehilangan orang kuat
dalam perjuangan daerah kita.”(Pram,1951:96)
Tokoh ayah (tokoh Bapak) sangat menginginkan anaknya kembali, baik secara
fisik maupun secara moral. Keadaan itu dapat dilihat pada bagian awal cerita, yaitu dari
isi surat tokoh Bapak yang diterima oleh tokoh Aku. Tokoh Bapak sangat mengharapkan
anaknya ‘kembali’, seperti kutipan ini: “…Di dunia ini tak ada suatu kegirangan yang
lebih besar daripada kegirangan seorang bapak yang mendapatkan anaknya kembali,
anaknya yang tertua, pembawa kebesaran dan kemegahan bapak….”.(Pram,1951:7) Isi
surat itu dan surat yang dikirimkan pamannya kemudian yang memberitahukan keadaan
ayahnya yang sedang sakit parah, membuat tokoh Aku merasa sedih dan menyesal sekali.
Watak Bapak juga kuat serta pasrah kepada Allahnya dalam menghadapi penyakit
TBC yang dideritanya. Ketika ia merasa maut hendak menjemputnya, ia merelakan
dirinya dan berpasrah kepada Tuhan. Watak tokoh ini digambarkan secara dramatic oleh
pengarang melalui percakapan monolog tokoh.
Ayah meneruskan: “Aku bilang, ambillah aku dari rumahsakit ini cepat-
cepat”(Pram,1951:76)
Pada pihak lain, tokoh Bapak sebagai tokoh protagonis kedua yang diceritakan
oleh tokoh Aku, menggambarkan ironi seorang pejuang, ironi seorang nasionalis. Ironi
yang dimaksudkan di sini adalah suatu keadaan atau situasi yang dialami oleh seseorang
yang bertentangan atau berlawanan dengan keadaan yang semestinya dialaminya.
Semestinya, seorang pejuang, seorang pendidik, seorang nasionalis, akan memperoleh
perlakuan terhormat dan kedudukan yang lebih baik, baik secara materi maupun
kepangkatan, dalam masyarakat dan pemerintahan.
Hal itulah yang seharusnya dialami oleh tokoh Bapak, setelah kemerdekaan
dicapai. Namun, kenyataannya, tokoh Aku sebagai seorang pejuang (nasioanalis) telah
membuat dia dan keluarganya menderita. Keluarganya tetap miskin, tinggal di rumah
yang hampir runtuh. Dia menderita sakit tbc, tetapi tidak mendapat perawatan yang
layak, karena tidak mempunyai cukup uang untuk berobat di sanatorium. Ia telah
mengorbankan keluarganya demi memperjuangkan bangsanya. Akan tetapi, apa yang dia
peroleh ketika bangsa itu telah merdeka. Tidak ada, kecuali hanya kekecewaan, yang
kemudian menyebabkan dia akhirnya menderita penyakit tbc. Adakah pemerintah atau
teman-teman seperjuangannya dulu memperhatikannya. Tidak ada, tidak seorang pun,
sampai akhirnya dia meninggal. Di situlah, ironisnya hidup yang dialami oleh tokoh
bapak, seorang pejuang (nasionalis).
6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah adalah pemanfaatan kekayaan bahasa, pemakaian ragam
tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, keseluruhan ciri bahasa sekelompok
penulis sastra dan cara khas dalam menyampaikan pikiran dan perasaan, baik secara lisan
maupun tertulis.
Gaya bahasa dalam roman ini juga masih sering menggunakan ejaan-ejaan lama
dan beberapa kata-kata asing yang dicetak miring seperti tilpun, perlop, sep-sep,
menabiri, doklonyo, kedekut, antre.
Gaya bahasa yang terdapat pada novel bukan pasar malam adalah:
Majas personifikasi
Angin menderu-deru di luar. Dan bila angin itu mati terdengar percakapan orang-
orang jaga malam di gardu. (Pram,1951:60)
Juga setelah ayah lenyap ke dalam pelukan bumi—belum juga aku bangun dari
tindasan haruan.(Pram,1951:98)
Kalimat ini menunjukan bahwa angin seolah-olah dapat bergerak menderu-deru
padahal angina adalah benda mati sedangkan kalimat kedua menunjukan bahwa bumi
seolah-olah dapat menelan dan melenyapkan manusia dimana di kalimat ini bumi seolah-
olah hidup. Kedua kalimat ini menunjukan majas personifikasi.
Majas metonimia
“Bangka-bangkai pantserwagen, brencarrier, truk, bergelimpangan di ladang-
ladang dan di pinggir jalan raya.” (Pram,1951:13)
Majas metonimia adalah pengungkapan berupa penggunaan nama untuk benda
lain yang menjadi merek, ciri khas, atau atribut. Pantserwagen dan brencarrier adalah
merk mobil/truk yang digunakan sewaktu perang, kalimat ini menunjukan penggunaan
majas metonimia.
7. Amanat
Amanat adalah adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca.
Amanat dalam cerita bisa berupa nasihat, anjuran, atau larangan untuk melakukan/tidak
melakukan sesuatu. Yang jelas, amanat dalam sebuah cerita pasti bersifat positif.
Amanat dari novel bukan pasar malam yaitu:
Seorang takkan bisa kuat bila ingin melawan kematian. Hidup orang ditentukan
oleh takdir. Walaupun dulu ia begitu kuat sebagaimana digambarkan oleh sosok ayah
yang dahulu terus menerus berjuang melawan Belanda kemudian jatuh sakit dan akhirnya
meninggal. Situasi ini digambarkan bagaimana kesehatan ayah yang semakin buruk
karena tidak dapat dirawat di sanatorium.
Perjuangan bukanlah sebuah formalitas karena ada beberapa penyesalan tokoh
“aku” dalam novel ini dimana ia menyesali ayahnya yang tidak mau menjadi perwakilan
rakyat. Bagaimana tokoh ayah ketika mau menghadapi maut kurang mendapat perhatian
dan jasanya selama membaktikan diri selama menjadi guru seakan tidak ada yang
mengingat dan bahkan ia tidak dapat dirawat di sanatorium karena tidak memiliki uang.
Segala jasanya baru dikenang keitka ia telah tiada.
Sistem demokrasi memang indah karena semua hak rakyat terjamin selama tidak
keluar dari jalur hukum. Semua orang dapat menikmati apapun, dengan syarat memiliki
alat yang dapat mencapai kenikmatan tersebut, yaitu uang. Tanpa uang, semua lumpuh.
Hal inilah yang dikritik oleh tokoh Aku sehingga membuatnya masuk ke barisan Pesindo
untuk melakukan gerakan revolusi sebagai amanat 17 Agustus 1945 bahwa kemerdekaan
Indonesia belum berarti kemakmuran. Karena kesenjangan sosial dan kelas-kelas inilah
tokoh “aku” menceritakan dampak yang ia dapatkan karena kurang mendapat tempat
dalam masyarakat.
Kita juga dapat mengerti bahwa hidup bukanlah sebuah pasar malam dimana
seorang demi seorang datang (lahir) dan seorang demi seorang pergi (mati) dan kita tidak
bersama-sama lahir dan bersama-sama mati. Seperti dialog orang Tionghoa dan para
tetangga yang datang melayat saat Ayah meninggal.
“Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-
duyun pula kembali pulang… seperti dunia dalam pasar malam. Seorang-seorang
mereka datang… dan pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas
menunggu saat nyawanya terbang entah kemana”.(Pram,1951:103,104)
C. UNSUR EKSTRINSIK
Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada diluar karya sastra dan turut mewarnai
cerita, seperti biografi pengarang, keadaan zaman pada saat karya sastra diciptakan,
sosial, budaya, dan politik.
1. Nilai agama
“Allahu Akbar. Allahu Akbar. Allahu Akbar.”. Kata yang diucapkan oleh tokoh
“aku” ketika bapaknya meninggal. Hal ini dilakukan tokoh “aku” karena ia mengingat
bahwa ayahnya adalah ayah orang Islam. Sehingga ia mengucapkan doa dan memanggil
Tuhan.
2. Nilai ekonomi
“Air dikota kami yang kecil itu tebal oleh lumpur. Pembagian air ledeng di sini
tak boleh diharapkan. Barang kali air mandi yang tebal inilah yang membuat penduduk
kota kecil ini berbeda dengan penduduk kota besar yang mempunyai pembagian air
ledeng dengan teratur, bening, dan baik”. (Pram,1951:42)
Keadaan rumah tokoh “aku” yang rusak serta pembagian air yang berbeda dengan
kota besar berpengaruh terhadap jalannya cerita ini dimana nilai ekonomi berpengaruh
terhadap keadaan tokoh “aku” dan keluarganya sehingga sang ayah tidak dapat dirawat di
sanatorium.
3. Nilai Budaya
Perbedaan tempat asal antara tokoh “aku”dan istrinya dimana tokoh “Aku”
berasal dari Jawa Barat dan istrinya berasal dari daerah Pasundan, Jawa Tengah.
Sehingga tokoh ayah sempat mengingatkan anaknya untuk berhati-hati terhadap
ucapannya agar tidak menyinggung persaannya.
“Karena itu, Anakku, perhatikanlah ucapan dan gerak-gerikmu sendiri, jangan
sampai—jangan sampai—ya, jangan sampai menyinggung--menyinggung—
menyinggung perasaannya.” (Pram,1951:47)
Sebagaimana biasanya jika di tempat tersebut terdengar orang sakit keras maka
para tetangga akan beramai-ramai datang menjenguknya. Ketika ayahnya dirawat di
rumah sakit terdapat kebiasaan bahwa yang boleh mengunjunginya hanya pihak keluarga
dan pihak lain tidak diperbolehkan berkunjung.
Selain itu ada juga yang memberlakukan adat bahwa anak-anak tidak boleh ikut
berbicara ketika hal yang dibicarakan menyangkut masalah orang dewasa.
4. Nilai adat
Nilai adat yang masih berlaku di daerah-daerah kecil seperti Blora dimana dapat
dilihat ketika paman dan bibi datang ke rumah dan tokoh “aku” sedang berbicara dengan
adik-adiknya membicarakan mengenai Jakarta dan Semarang. Dimana sudah menjadi
adat, adik-adiknya segera pergi ke belakang dan belajar.
“Di waktu itu jugalah paman datang dan bibi. Dan karena sudah
diadatkan di kampung kami bahwa anak-anak tak boleh turut bercakap-caka
dengan orang-orang dewasa, mereka pergi ke ruang belakang dan belajar.”
(Pram,1951:38)
5.Nilai sosial
Nilai sosial yaitu nilai-nilai yang berkenaan dengan tata pergaulan antara individu dalam
masyarakat.
“Tapi tangis kami disaput oleh kedatangan para tetangga yang lebih
banyak lagi dan sebentar kemudian—sebentar kemudian, rumah kami telah penuh
oleh pelawat. Dan kami merupakan pulau dikelilingi para pelawat itu.
(Pram,1951:91)
Nilai sosial yang terdapat dalam penggalan cerita di atas adalah masyarakat yang
dengan suka rela menjenguk orang yang kemalangan dan menghibur serta membantu
mempersiapkan pemakaman.
4. Biografi Pengarang
Pramoedya dilahirkan di Blora, di jantung Pulau Jawa, pada 1925 sebagai anak
sulung dalam keluarganya. Ayahnya ialah guru dan ibunya ialah pedagang nasi. Ia
meneruskan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya dan bekerja sebagai juru ketik
untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan
seringkali ditempatkan di Jakarta di akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen dan
buku sepanjang karir militernya dan dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949.
Pada 1950-an ia sanggup tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran budaya,
dan saat kembalinya ia menjadi anggota Lekra, organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya
penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya
Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Ini
menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.
Hoakiau di Indonesia
Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia,
dan pada saat yang sama mulai berhubungan erat dengan para penulis di China.
Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat menyurat dengan penulis Tionghoa yang
membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia
merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan
dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa
mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena
pandangan pro-Komunis Chinanya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan
tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau-pulau di
sebeluah timur Indonesia.
Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa
tanpa proses pengadilan: 13 Oktober 1965 - Juli 1969, Juli 1969 - 16 Agustus 1969 di
Pulau Nusakambangan, Agustus 1969 - 12 November 1979 di Pulau Buru, November -
21 Desember 1979 di Magelang .
Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap
mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4
kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanaya Minke, bangsawan kecil
Jawa, dicerminkan pada pengalamannya sendiri. Jilid pertamanya dibawakan secara oral
pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi
pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.
Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat
pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S, tapi masih dikenakan
tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga
1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang
lebih 2 tahun.
Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan
pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995),
otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk
dikirimkan, dan Arus Balik (1995).
2. Nilai ekonomi
“Air dikota kami yang kecil itu tebal oleh lumpur. Pembagian air ledeng di sini
tak boleh diharapkan. Barang kali air mandi yang tebal inilah yang membuat penduduk
kota kecil ini berbeda dengan penduduk kota besar yang mempunyai pembagian air
ledeng dengan teratur, bening, dan baik”. (Pram,1951:42)
Keadaan rumah tokoh “aku” yang rusak serta pembagian air yang berbeda dengan
kota besar berpengaruh terhadap jalannya cerita ini dimana nilai ekonomi berpengaruh
terhadap keadaan tokoh “aku” dan keluarganya sehingga sang ayah tidak dapat dirawat di
sanatorium.