I. PENDAHULUAN
Garpu tala saat ini sangat disadari sebagai alat yang paling dibutuhkan oleh
para otologist. Melalui tes garpu tala banyak informasi tentang telinga yang dapat
kita ketahui dibandingkan dengan otoscope dan juga memberikan banyak
informasi tentang hal-hal yang sulit diketahui dengan tes-tes lainnya. Oleh karena
itu, sebelum melakukan tes garpu tala ada baiknya kita mengetahui tentang jenis
tes ini terlebih dahulu.1
Pertama, garpu tala harus dibuat dari besi dengan kualitas paling bagus, jadi
kedua gigi garpu tala bisa bergetar secara sikron ataupun bersamaan. Apabila
mungkin, sebaiknya garpu tala tersebut dilapisi dengan nikel sehingga tidak
mudah berkarat karena apabila berkarat bisa mengubah tinggi rendah nada
ataupun keteraturan getaran. Besinya juga harus keras sehingga tidak mudah
dipengaruhi oleh atmosfer ataupun perubahan suhu. Kemudian, garpu tala tersebut
tidak boleh terlalu berat karena dapat melelahkan pemeriksanya. Pegangan garpu
tala harus dibuat sedemikian rupa sehingga mudah digunakan sebagai contoh pada
tes Rinne, pemeriksa akan sering memindahkan garpu tala dari mastoid ke depan
telinga. Garpu tala yang bagus dibuat dengan penyekat pada pegangannya
sehingga tangan pemeriksa tidak langsung menyentuh besi yang bergetar.1
Garpu tala terutama digunakan untuk mengetahui kondisi meatus akustikus
eksternus, kepatenan dari tuba eustachius, fungsi yang tepat dari membran timpani
dan osikula, keadaan telinga tengah dan yang paling penting adalah derajat fungsi
dari telinga dalam dan kedelapan sarafnya, khususnya koklea dan cabang
auditorius dari kedelapan saraf. Bagaimanapun juga ada banyak lagi kegunaannya
yang berhubungan dengan telinga. Kebanyakan tes-tes garpu tala mempunyai
fungsi untuk mendiagnosis banding antara penyakit telinga dalam dan telinga luar
dan telinga tengah.1
Tes garpu tala dilakukan dengan frekuensi-frekuensi yang berbeda seperti
128, 256, 512, 1024, 2048 dan 4096 Hz, tetapi biasanya pada penerapannya, garpu
tala frekuensi 512 Hz yang ideal. Hal ini dikarenakan frekuensi tersebut berada
pada rata-rata frekuensi percakapan manusia. Garpu tala digetarkan dengan cara
memukulkan dengan lembut pada siku penderita, tumit tangan atau tumit karet
pada sepatu.1,2
1
II. ANATOMI TELINGA
a) Telinga Luar (Outer Ear)
Telinga bagian luar terdiri dari pinna (bagian daun telinga, auricula), meatus
akustikus eksternus (saluran telinga) dan membran timpani (gendang
telinga). Pinna, suatu lempeng tulang rawan terbungkus kulit yang berfungsi
mengumpulkan gelombang suara dan menyalurkannya ke saluran telinga
luar. Panjang saluran telinga luar ini ±2,5 cm, berbentuk huruf S dengan
rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga
bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Saluran ini memiliki sejenis
kelenjar sebaceae (sejenis minyak) yang menghasilkan kotoran telinga
(cerumen), suatu sekresi lengket yang menangkap partikel-partikel asing
yang halus. Rambut halus dan cerumen tersebut membantu mencegah
partikel-partikel dari udara masuk ke bagian dalam saluran telinga, tempat
mereka dapat menumpuk atau mencederai membrana timpani dan
mengganggu pendengaran.3,4
Gambar 1 : Telinga Luar
(Dikutip dari kepustakaan 5)
2
b) Telinga Tengah (Middle Ear)
Telinga bagian tengah ini dibatasi dan dimulai dari membran timpani
(gendang telinga) yang teregang menutupi pintu masuk ke telinga tengah,
bergetar sewaktu terkena gelombang suara. Telinga tengah memindahkan
gerakan bergetar membran timpani ke cairan telinga dalam. Pemindahan ini
dipermudah oleh adanya rantai yang terdiri dari tiga tulang yang dapat
bergerak atau osikula (maleus, inkus dan stapes) yang berjalan melintasi
telinga tengah. Tulang pertama, maleus, melekat ke membran timpani dan
tulang terakhir, stapes, melekat ke jendela oval (oval window), pintu masuk
ke koklea yang berisi cairan. Bagian dalam gendang telinga yang
berhadapan dengan rongga telinga tengah terpajan ke tekanan atmosfer
melalui tuba eustachius (auditoria), yang menghubungkan telinga tengah ke
faring (bagian belakang tenggorokan). Tuba eustachius dalam keadaan
normal tertutup, tetapi dapat dibuat terbuka dengan gerakan menguap,
mengunyah atau menelan.4,6,7
Gambar 2 : Telinga Tengah
(Dikutip dari kepusatkaan 8)
3
c) Telinga Dalam (Inner Ear)
Pada telinga bagian dalam terdapat organ pendengaran yang terdiri atas
koklea (rumah siput) dan organ keseimbangan yang terdiri atas kanalis semi
sirkularis, sakulus dan ultrikulus. Koklea ini terdiri atas dua ruangan atau
saluran, skala vestibuli bagian atas dan skala timpani pada bagian bawah.
Kedua ruangan tersebut berisikan cairan perilimfe dan dibatasi oleh duktus
koklea. Sedangkan duktus koklea berisikan cairan endolimfe. Pada bagain
dasar duktus koklea inilah terdapat reseptor pendengaran yang disebut
dengan organ corti.6,9
Gambar 3: Koklea
(Dikutip dari kepustakaan 10)
Gambar 4 : Potongan Melintang Koklea
(Dikutip dari kepustakaan 11)
4
II. FISIOLOGI PENDENGARAN
Manusia dapat mendengar pada jarak frekuensi antara 20 sampai
20.000Hz. Tapi ini hanya merupakan perkiraan rata-rata karena kemampuan
mendengar frekuensi tinggi menurun sesuai dengan umur. Kita mengetahui
bahwa penurunan ini telah mulai pada umur dekade ke dua atau ke tiga dan
dapat menurunkan batas atas sampai 10.000 Hz atau kurang pada umur dekade
ke enam. Batas intensitas pendengaran manusia dapat ditentukan dengan tepat.
Tingkat tekanan bunyi dari nada yang nyaris dapat didengar bervariasi pada
berbagai frekuensi. Pada daerah yang sangat sensitif (1000 sampai 4000Hz),
hampir mendekati 0,0002 dyne/cm2. Batas intensitas tertinggi kira-kira 140dB di
atas 0,0002 dyne/cm2. Pada tingkat ini, suara dari frekuensi mana pun akan
menimbulkan rasa nyeri. Apabila terlalu lama mendengar suara di atas 85 dB
dapat mengakibatkan kerusakan pendengaran.12
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke
koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga
tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran
melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas
membran timpani dan tingkap lonjong (oval window).9
Gambar 5: Mekanisme Pendengaran
(Dikutip dari kepustakaan 13)
5
Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfe pada skala vestibuli bergerak.
Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfa,
sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran
tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya
defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi
pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses
depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis
yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke
nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus
temporalis.9
III. PEMERIKSAAN PENDENGARAN
Pemeriksaan pendengaran dapat meningkatkan presisi dalam mendiagnosis
lokus patologis dan penyakit-penyakit spesifik. Pasien-pasien dengan penyakit
berbeda pada daerah yang sama (mis, ketulian dan sindrom Meniere keduanya
melibatkan koklearis) melaporkan pengalaman pendengaran yang berbeda dan
akan memberikan temuan audiometri yang berbeda pula. Demikian juga dengan
kualitas gangguan pendengaran akan mengakibatkan keterbatasan dalam keahlian
yang memerlukan perhatian, perkembangan bahasa, presisi bicara dan efektivitas
komunikasi umum sesuai dengan derajat dan jenis gangguan.14
Untuk memeriksa pendengaran diperlukan pemeriksaan hantaran melalui
udara dan melalui tulang dengan memakai garpu tala atau audiometer nada murni.
Kelainan hantaran melalui udara menyebabkan tuli konduktif, berarti ada kelainan
di telinga luar atau telinga tengah, seperti atresia liang telinga, eksostosis liang
telinga, serumen, sumbatan tuba eustachius serta radang telinga tengah. Kelainan
di telinga dalam menyebabkan tuli sensorineural koklea atau retrokoklea.
Pemeriksaan pendengaran dilakukan secara kualitatif dengan mempergunakan
garpu tala dan kuantitatif dengan mempergunakan audiometer.9
6
Gambar 5 :
Garpu Tala frekuensi 128 Hz, 256 Hz, 512 Hz, 1024 Hz, 2048 Hz, 4096 Hz
(Dikutip dari kepustakaan 15)
a) TES BATAS ATAS BATAS BAWAH
Tujuan melakukan pemeriksaan ini adalah untuk menentukan frekuensi
garpu tala yang dapat di dengar penderita melewati hantaran udara bila
dibunyikan pada intensitas ambang normal. Cara melakukan pemeriksaan ini
adalah menggunakan semua garpu tala (dapat dinilai dari frekuensi terendah
berurutan sampai frekuensi tertinggi/sebaliknya) dibunyikan satu persatu dengan
cara dipegang tangkainya kemudian kedua ujung kakinya dibunyikan dengan
lunak (dipetik dengan ujung jari/kuku, didengarkan terlebih dulu oleh pemeriksa
sampai bunyi hampir hilang untuk mencapai intensitas bunyi yang terendah bagi
orang normal/nilai ambang normal). Kemudian diperdengarkan pada penderita
dengan meletakkan garpu tala di dekat MAE pada jarak 1-2 cm dalam posisi tegak
dan 2 kaki pada garis yang menghubungkan MAE kanan dan kiri. Istilah normal
dipakai pada pasien yang mendengar garpu tala pada semua frekuensi.
Istilah tuli konduksi adalah batas bawah naik yaitu pada frekwensi rendah
tak terdengar) dan istilah tuli sensori neural pada batas atas turun yaitu pada
frekwnsi tinggi tak terdengar. Kesalahan pada pemeriksaan ini adalah garpu tala
dibunyikan terlalu keras sehingga tidak dapat mendeteksi pada frekwensi mana
penderita tak mendengar.9
b) TES RINNE
7
Tes Rinne adalah tes untuk membandingkan hantaran tulang dan hantaran
udara pendengaran pasien. Tangkai penala yang bergetar ditempelkan pada
mastoid pasien (hantaran tulang) hingga bunyi tidak lagi terdengar; penala
kemudian dipindahkan ke dekat telinga sisi yang sama (hantaran udara). Telinga
normal masih akan mendengar penala melalui hantaran udara, temuan ini disebut
Rinne Positif (HU>HT). Istilah Rinne Negatif dipakai bila pasien tidak dapat
mendengar melalui hantaran udara setelah penala tidak lagi terdengar melalui
hantaran tulang (HU<HT).9,15
Gambar 6 : Posisi Tes Rinne
(Dikutip dari kepustakaan 15)
c) TES WEBER
Tes Weber adalah seperti mengingat kembali pengalaman yang tidak asing,
yaitu dapat mendengarkan suara sendiri lebih keras bila satu telinga ditutup.
Gagang penala yang bergetar ditempelkan di tengah dahi atau vertex dan pasien
diminta melaporkan apakah suara terdengar di telinga kiri, kanan atau keduanya.
Umumnya pasien mendengar bunyi penala pada telinga dengan konduksi tulang
yang lebih baik atau dengan komponen konduktif yang lebih besar. Jika nada
terdengar pada telinga yang dilaporkan lebih buruk, maka tuli konduktif perlu
dicurigai pada telinga tersebut. Jika terdengar pada telinga yang lebih baik, maka
dicurigai tuli sensorineural pada telinga yang terganggu. Fakta bahwa pasien
mengalami lateralisasi pendengaran pada telinga dengan gangguan konduksi dan
8
bukannya pada telinga yang lebih baik mungkin terlihat aneh bagi pasien dan
kadang-kadang juga pemeriksa.6,9
Tes weber sangat bermanfaat pada kasus-kasus gangguan unilateral, namun
dapat meragukan bila terdapat gangguan konduktif maupun sensorineural
(campuran), atau bila hanya menggunakan penala frekuensi tunggal.9
Gambar 7 : Posisi Tes Weber
(Dikutip dari kepustakaan 15)
d) TES SCHWABACH
Tes schwabach membandingkan hantaran tulang pasien dengan pemeriksa.
Pasien diminta melaporkan saat penala bergetar yang ditempelkan pada
mastoidnya tidak lagi dapat didengar. Pada saat itu, pemeriksa memindahkan
penala ke mastoidnya sendiri dan menghitung berapa lama (dalam detik) ia masih
dapat menangkap bunyi.6,9
Tes schwabach dikatakan normal bila hantaran tulang pasien dan pemeriksa
hampir sama. Tes schwabach memanjang atau meningkat bila hantaran tulang
pasien lebih lama dibandingkan pemeriksa, misalnya pada kasus gangguan
pendengaran konduktif. Jika telinga pemeriksa masih dapat mendengar penala
setelah pasien tidak lagi mendengarnya, maka dikatakan schwabach memendek.9
9
Gambar 8: Posisi Tes Schwabach
(Dikutip dari kepustakaan 15)
e) TES BING
Tes bing adalah aplikasi dari apa yang disebut sebagai efek oklusi, dimana
penala terdengar lebih keras bila telinga normal ditutup. Bila liang telinga ditutup
dan dibuka bergantian saat penala yang bergetar ditempelkan pada mastoid, maka
telinga normal akan menangkap bunyi yang mengeras dan melemah (Bing
Positif). Hasil serupa akan didapat pada gangguan pendengaran sensorineural,
namun pada pasien dengan perubahan mekanisme konduktif seperti penderita
otitis media atau otosklerosis, tidak menyadari adanya perubahan kekerasan bunyi
tersebut (Bing Negatif).9,1
Gambar 9 : Posisi Tes Bing
(Dikutip dari kepustakaan 15)
IV. INTERPRETASI HASIL PEMERIKSAAN PENDENGARAN
10
NO. TES NORMALTULI
KONDUKTIF
TULI
SENSORINEURAL
1. RINNEAC>BC
(Rinne Positif)
BC>AC
(Rinne Negatif)AC>BC
2. WEBERTidak ada
lateralisasi
Lateralisasi ke
telinga yang sakit
Lateralisasi ke telinga
yang sehat
3. SCHWABACHSama dengan
pemeriksaMemanjang Memendek
Tabel 1
(Dikutip dari kepustakaan 6)
V. KESIMPULAN
Garpu tala terutama digunakan untuk mengetahui kondisi meatus akustikus
eksternus, kepatenan dari tuba eustachius, fungsi yang tepat dari membran timpani
dan osikula, keadaan telinga tengah dan yang paling penting adalah derajat fungsi
dari telinga dalam dan kedelapan sarafnya, khususnya koklea dan cabang
auditorius dari kedelapan saraf. Tes garpu tala dilakukan dengan frekuensi-
frekuensi yang berbeda seperti 128, 256, 512, 1024, 2048 dan 4096 Hz, tetapi
biasanya pada penerapannya, garpu tala frekuensi 512 Hz yang ideal. Hal ini
dikarenakan frekuensi tersebut berada pada rata-rata frekuensi percakapan
manusia.
Untuk memeriksa pendengaran diperlukan pemeriksaan hantaran melalui
udara dan melalui tulang dengan memakai garpu tala atau audiometer nada murni.
Kelainan hantaran melalui udara menyebabkan tuli konduktif, berarti ada kelainan
di telinga luar atau telinga tengah, seperti atresia liang telinga, eksostosis liang
telinga, serumen, sumbatan tuba eustachius serta radang telinga tengah. Kelainan
di telinga dalam menyebabkan tuli sensorineural koklea atau retrokoklea.
Pemeriksaan pendengaran dilakukan secara kualitatif dengan mempergunakan
garpu tala dan kuantitatif dengan mempergunakan audiometer. Tes-tes yang
11
menggunakan garpu tala terdiri dari tes batas atas batas bawah, tes rinne, tes
weber, tes schwabach, dan tes bing.
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Barnes WH. The Tuning Fork Tests. In: Journal of The National Medical
Association. Available from: URL:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2622561/pdf/jnma00813-
0035.pdf. Acessed: December, 26th 2011.
2. Kazemi M. Tuning Fork Test Utilization in Detection of Fractures: a Review
of The Literature. [online] 1999. Available from: URL:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2485363/pdf/jcca00018-
0058.pdf. Acessed: December, 26th 2011.
3. Alberti PW. The Anatomy and Physiology of The Ear and Hearing. Available
from: URL: http://www.who.int/occupational_health/publications/noise2.pdf
Acessed: December, 27th 2011.
4. Sherwood L. Sistem Saraf Perifer: Divisi Aferen; Indera. In: Fisiologi
Manusia dari Sel ke Sistem.2nd ed.Jakarta: EGC, 2001: p.176-188.
5. Ear: Structure of The Human Ear. In: Encyclopedia Brittanica Online.
Available from: URL:
http://www.britannica.com/EBchecked/media/530/Structure-of-the-human-
ear. Acessed: December, 29th 2011.
6. Dhingra PL. Anatomy of Ear. In: Disease of Ear, Nose and Throat. 4th ed.
India: Mosby, 2008: p. 1-13.
7. Wedro BC. Hearing and Balance Anatomy. [Cited] December, 21th 2011.
Available from: URL: http://www.medicinenet.com/script/main/art.asp?
articlekey=21685 Acessed: December, 27th 2011
8. Ear Bone: Middle Ear. In: Encyclopedia Brittanica Online. Available from:
URL: http://www.britannica.com/EBchecked/media/531/The-auditory-
ossicles-of-the-middle-ear-and-the-structures. Acessed: December, 29th 2011.
9. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran dan
Kelainan Telinga. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD,
editors. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala
dan Leher. 6th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 2007: p. 10-18.
13
10. Bony Labyrinth. In: Encyclopedia Brittanica Online. Available from: URL:
http://www.britannica.com/EBchecked/media/532/The-two-labyrinths-of-the-
inner-ear. Acessed: December, 29th 2011.
11. Cochlea: Cross Section. In: Encyclopedia Brittanica Online. Available from:
URL: http://www.britannica.com/EBchecked/media/534/A-cross-section-
through-one-of-the-turns-of-the. Acessed: December, 29th 2011.
12. Feldman AS, Grimes CT. Audiologi. Ballenger JJ. In: Peyakit Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. 13th ed. Jakarta: Binarupa Aksara,
1997: p. 273-275.
13. Ear: Hearing Mechanism. In: Encyclopedia Brittanica Online. Available
from: URL: http://www.britannica.com/EBchecked/media/536/The-
mechanism-of-hearing. Acessed: December, 29th 2011.
14. Lassman FM, Levine SC, Greenfield DG. Audiologi. Adams GL, Boies LR,
Higler PH, editors. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta: EGC,
1997: p. 46-50.
15. Chartand MS. Indiana Jones and The Lost of Art of Tuning Fork Testing.
[Cited] September, 24th 2007. Available from: URL:
http://www.audiologyonline.com/articles/article_detail.asp?article_id=1871.
Acessed: December, 28th 2011.
16. Kisenda. Tes Garpu Tala. Available from: URL: http://zona-
kedokteran.blogspot.com/2010/04/tes-garputala-session-2.html
Acessed: December, 30th 2011.
14
Top Related