TUGAS
SISTEM INFORMASI MANAJEMEN
RACHMAT PRAMUKTY 123.09.1052
RUTH IMERALDA 123.09.1058
HARRY RUSLI 123.09.10…
MAGISTER AKUNTANSI
ANGKATAN XVII REGULER
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2010
PENDAHULUAN
Mikro Banking Bisnis Mikro (Swamitra) Bank Bukopin.
Latar Belakang Sebuah konsep terobosan dari Bank Bukopin, yang memungkinkan Koperasi dan
Lembaga Keuangan Mikro mengatasi masalah kelangkaan modal, kepercayaan dan manajemen
melalui kerjasama Kemitraan dengan Bank Bukopin menggunakan teknologi mutakhir untuk
menjamin pelayanan yang professional serta jaringan pelayanan yang terpadu. Definisi Swamitra
adalah nama dari suatu bentuk kerjasama/kemitraan antara Bank Bukopin dengan Koperasi
untuk mengembangkan serta memodernisasi usaha simpan pinjam melalui pemanfaatan jaringan
teknologi (network) dan dukungan sistem manajemen sehingga memiliki kemampuan pelayanan
transaksi keuangan yang lebih luas, dengan tetap memperhatikan peraturan Perundang-Undangan
yang berlaku. Kerjasama/kemitraan yang dibangun didasarkan pada pertimbangan kepentingan
yang sama untuk menciptakan nilai tambah bagi kedua belah pihak, baik bagi Koperasi ataupun
Bank Bukopin. Swamitra berasal dari bahasa Kawi yang artinya kerja sama atas keinginan
sendiri (tanpa paksaan) dengan prinsip kebersamaan dan saling menguntungkan. Swamitra
sebagai suatu usaha yang dibentuk melalui kerjasama dengan Koperasi, tunduk pada Undang-
undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1995
tentang Usaha Simpan Pinjam, yang dalam pelaksanaan kegiatan usahanya melakukan
penghimpunan dan penyaluran dana melalui kegiatan simpan pinjam dari dan untuk anggota
koperasi yang bersangkutan, calon anggota koperasi yang bersangkutan, serta koperasi lain dan
atau anggotannya (untuk selanjutnya cukup/dapat disebut Anggota Swamitra).
Tujuan
Menumbuh kembangkan simpan-pinjam di kalangan anggota Koperasi guna memacu
pertumbuhan
usaha dalam rangka peningkatan kesejahteraan anggota tersebut.
Membuka peluang akses permodalan bagi Koperasi yang selama ini menghadapi banyak
kendala
dalam kerjasama dengan bank atau lembaga keuangan lainnya.
Mendukung terciptanya jaringan kerja antar kantor Swamitra diseluruh Indonesia,
dengan
harapan dapat menghasilkan :
Sinergi kerja antar Swamitra yang lebih luas
Volume transaksi keuangan yang lebih besar
Kecepatan dan keamanan transaksi yang lebih baik
Efisiensi dan optimalisasi usaha yang lebih tinggi
Kontrol yang lebih baik dalam pengelolaan dana
Manfaat
Sistem teknologi dan manajemen yang dipergunakan Swamitra diharapkan dapat
meningkatkan kepercayaan pada Anggota Swamitra tersebut, sehingga dapat meningkatkan
penghimpunan dana untuk disalurkan kembali kepada Anggota Swamitra lainnya.
Anggota Swamitra dapat melakukan transaksi keuangan yang pada masa mendatang
dapat dilakukan langsung di setiap kantor Swamitra melalui sistim jaringan (on line)
berdasarkan kesepakatan kerjasama diantara koperasi pemilik Swamitra bersangkutan.
Memberi dukungan pada penyediaan informasi dan komunikasi bisnis sehingga perencanaan
produksi dan pemasaran dapat dilakukan dengan lebih baik, yang dapat dimanfaatkan
Anggota Swamitra dalam rangka peningkatan usaha produktif-nya.
Penyajian laporan keuangan beserta perubahannya dapat dilakukan secara cepat dan akurat
pada setiap saat dibutuhkan sehingga kepentingan untuk pengendalian dan pengawasan
dalam pengelolaan Swamitra dapat dilakukan dengan baik.
Sistem manajemen dan teknologi Swamitra memiliki daya tarik bagi pihak-pihak lain, seperti ;
Pemerintah, BUMN, dan Swasta lainnya dalam rangka penyaluran dana-dana baik dalam
bentuk bantuan maupun dana bergulir dalam rangka meningkatkan usaha skala mikro dan
kecil,
hal ini disebabkan kemampuannya dalam menyediakan laporan perkembangan penyaluran
dana-dana tersebut secara akurat
Tabel I.I
Pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan Koperasi merupakan langkah
yang strategis dalam meningkatkan dan memperkuat dasar kehidupan perekonomian dari
sebagian terbesar rakyat Indonesia, khususnya melalui penyediaan lapangan kerja dan
mengurangi kesenjangan dan tingkat kemiskinan. Dengan demikian upaya untuk
memberdayakan UMKM harus terencana, sistematis dan menyeluruh baik pada tataran makro,
meso dan mikro yang meliputi (1) penciptaan iklim usaha dalam rangka membuka kesempatan
berusaha seluas-luasnya, serta menjamin kepastian usaha disertai adanya efisiensi ekonomi; (2)
pengembangan sistem pendukung usaha bagi UMKM untuk meningkatkan akses kepada sumber
daya produktif sehingga dapat memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi sumber
daya, terutama sumber daya lokal yang tersedia; (3) pengembangan kewirausahaan dan
keunggulan kompetitif usaha kecil dan menengah (UKM); dan (4) pemberdayaan usaha skala
mikro untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang bergerak dalam kegiatan usaha ekonomi
di sektor informal yang berskala usaha mikro, terutama yang masih berstatus keluarga miskin.
Selain itu, peningkatan kualitas koperasi untuk berkembang secara sehat sesuai dengan jati
dirinya dan membangun efisiensi kolektif terutama bagi pengusaha mikro dan kecil.
Perkembangan peran usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang besar ditunjukkan
oleh jumlah unit usaha dan pengusaha, serta kontribusinya terhadap pendapatan nasional, dan
penyediaan lapangan kerja. Pada tahun 2009, persentase jumlah UMKM sebesar 99,9 persen dari
seluruh unit usaha, yang terdiri dari usaha menengah sebanyak 62,0 ribu unit usaha dan jumlah
usaha kecil sebanyak 42,3 juta unit usaha yang sebagian terbesarnya berupa usaha skala mikro.
UMKM telah menyerap lebih dari 79,0 juta tenaga kerja atau 99,5 persen dari jumlah tenaga
kerja pada tahun 2009 jumlah UMKM diperkirakan telah melampaui 44 juta unit. Jumlah tenaga
kerja ini meningkat rata-rata sebesar 3,10 persen per tahunnya dari posisi tahun 2010. Kontribusi
UMKM dalam PDB pada tahun 2009 adalah sebesar 56,7 persen dari total PDB nasional, naik
dari 54,5 persen pada tahun 2010. Sementara itu pada tahun 2009, jumlah koperasi sebanyak 123
ribu unit dengan jumlah anggota sebanyak 27.283 ribu orang, atau meningkat masing-masing
11,8 persen dan 15,4 persen dari akhir tahun 2009.
Berbagai hasil pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan koperasi dan
UMKM, antara lain ditunjukkan oleh tersusunnya berbagai rancangan peraturan perundangan,
antara lain RUU tentang penjaminan kredit UMKM dan RUU tentang subkontrak, RUU tentang
perkreditan perbankan bagi UMKM, RPP tentang KSP, tersusunnya konsep pembentukan biro
informasi kredit Indonesia, berkembangnya pelaksanaan unit pelayanan satu atap di berbagai
kabupaten/kota dan terbentuknya forum lintas pelaku pemberdayaan UKM di daerah,
terselenggaranya bantuan sertifikasi hak atas tanah kepada lebih dari 40 ribu pengusaha mikro
dan kecil di 24 propinsi, berkembangnya jaringan layanan pengembangan usaha oleh BDS
providers di daerah disertai terbentuknya asosiasi BDS providers Indonesia, meningkatnya
kemampuan permodalan sekitar 1.500 unit KSP/USP di 416 kabupaten/kota termasuk KSP di
sektor agribisnis, terbentuknya pusat promosi produk koperasi dan UMKM, serta
dikembangkannya sistem insentif pengembangan UMKM berorientasi ekspor dan berbasis
teknologi di bidang agroindustri. Hasil-hasil tersebut, telah mendorong peningkatan peran
koperasi dan UMKM terhadap perluasan penyediaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan
pemerataan peningkatan pendapatan.
Perkembangan UMKM yang meningkat dari segi kuantitas tersebut belum diimbangi oleh
meratanya peningkatan kualitas UMKM. Permasalahan klasik yang dihadapi yaitu rendahnya
produktivitas. Keadaan ini disebabkan oleh masalah internal yang dihadapi UMKM yaitu:
rendahnya kualitas SDM UMKM dalam manajemen, organisasi, penguasaan teknologi, dan
pemasaran, lemahnya kewirausahaan dari para pelaku UMKM, dan terbatasnya akses UMKM
terhadap permodalan, informasi, teknologi dan pasar, serta faktor produksi lainnya. Sedangkan
masalah eksternal yang dihadapi oleh UMKM diantaranya adalah besarnya biaya transaksi akibat
iklim usaha yang kurang mendukung dan kelangkaan bahan baku. Juga yang menyangkut
perolehan legalitas formal yang hingga saat ini masih merupakan persoalan mendasar bagi
UMKM di Indonesia, menyusul tingginya biaya yang harus dikeluarkan dalam pengurusan
perizinan. Sementara itu, kurangnya pemahaman tentang koperasi sebagai badan usaha yang
memiliki struktur kelembagaan (struktur organisasi, struktur kekuasaan, dan struktur insentif)
yang unik/khas dibandingkan badan usaha lainnya, serta kurang memasyarakatnya informasi
tentang praktek-praktek berkoperasi yang benar (best practices) telah menyebabkan rendahnya
kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi. Bersamaan dengan masalah tersebut, koperasi dan
UMKM juga menghadapi tantangan terutama yang ditimbulkan oleh pesatnya perkembangan
globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan bersamaan dengan cepatnya tingkat kemajuan
teknologi.Secara umum, perkembangan koperasi dan UMKM dalam tahun 2010 diperkirakan
masih akan menghadapi masalah mendasar dan tantangan sebagaimana dengan tahun
sebelumnya, yaitu rendahnya produktivitas, terbatasnya akses kepada sumber daya produktif,
rendahnya kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi, dan tertinggalnya kinerja koperasi
Permasalahan
Tiga (3) proses bisnis yang paling potensial untuk direkayasa ulang adalah dalam bentuk
system pinjaman tradisional menjadi system pinjaman secara On-Line pada koperasi.
Dimana system pinjaman secara tradisional tidak mengikuti trend masyarakat yang cepat
beradaptasi mengikuti kebutuhan masyarakat saat ini. Pada table I.I arus kredit pada skema
tersebut tidak sesuai dengan arus kredit pada masyarakat koperasi untuk pencairan kredit,
karena terlalu banyak birokrasi yang harus dilalui dan perputaran uang dikoperasi sangatlah
cepat. Sehingga masyarakat pun sulit untuk memahaminya. Jadi proses pencairan kredit yang
harus diterapkan pada masyarakat koperasi harus mengikuti trend saat ini.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan koperasi dimasyarakat :
Rendahnya produktivitas.
Perkembangan yang meningkat dari segi kuantitas tersebut belum diimbangi dengan peningkatan
kualitas UMKM yang memadai khususnya skala usaha mikro. Masalah yang masih dihadapi
adalah rendahnya produktivitas, sehingga menimbulkan kesenjangan yang sangat lebar antar
pelaku usaha kecil, menengah, dan besar. Atas dasar harga konstan. perkembangan yang berarti,
yaitu produktivitas usaha mikro dan kecil.
(a) rendahnya kualitas sumber daya manusia UMKM khususnya dalam bidang manajemen,
organisasi, penguasaan teknologi, dan pemasaran; dan (b) rendahnya kompetensi kewirausahaan
UMKM. Peningkatan produktivitas UMKM sangat diperlukan untuk mengatasi ketimpangan
antarpelaku, antargolongan pendapatan dan antardaerah, termasuk penanggulangan kemiskinan,
selain sekaligus mendorong peningkatan daya saing nasional.
Terbatasnya akses UMKM kepada sumberdaya produktif.
Akses kepada sumber daya produktif terutama terhadap permodalan, teknologi, informasi dan
pasar. Dalam hal pendanaan, produk jasa lembaga keuangan sebagian besar masih berupa kredit
modal kerja, sedangkan untuk kredit investasi sangat terbatas. Bagi UMKM keadaan ini sulit
untuk meningkatkan kapasitas usaha ataupun mengembangkan produk-produk yang bersaing.
Disamping persyaratan pinjamannya juga tidak mudah dipenuhi, seperti jumlah jaminan
meskipun usahanya layak, maka dunia perbankan yang merupakan sumber pendanaan terbesar
masih memandang UMKM sebagai kegiatan yang beresiko tinggi. untuk skala jumlah pinjaman
dari perbankan sampai dengan Rp 50 juta, terserap hanya sekitar 24 persen ke sektor produktif,
selebihnya terserap ke sektor konsumtif.
Masih rendahnya kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi.
Jumlah koperasi mencapai 123 ribu unit, dengan jumlah anggota sebanyak 27,3 juta orang.
Meskipun jumlahnya cukup besar dan terus meningkat, kinerja koperasi masih jauh dari yang
diharapkan. Sebagai contoh, jumlah koperasi yang aktif adalah sebanyak 93,8 ribu unit atau
hanya sekitar 76% dari koperasi yang ada. Diantara koperasi yang aktif tersebut, hanya 44,7 ribu
koperasi atau kurang dari 48% yang menyelenggarakan rapat anggota tahunan (RAT), salah satu
perangkat organisasi yang merupakan lembaga (forum) pengambilan keputusan tertinggi dalam
organisasi koperasi. Selain itu, secara rata-rata baru 27% koperasi aktif yang memiliki manajer
koperasi.
Tertinggalnya kinerja koperasi dan kurang baiknya citra koperasi. Kurangnya pemahaman
tentang koperasi sebagai badan usaha yang memiliki struktur kelembagaan (struktur organisasi,
struktur kekuasaan, dan struktur insentif) yang unik/khas dibandingkan badan usaha lainnya,
serta kurang memasyarakatnya informasi tentang praktek-praktek berkoperasi yang benar (best
practices) telah menimbulkan berbagai permasalahan mendasar yang menjadi kendala bagi
kemajuan perkoperasian di Indonesia. Pertama, banyak koperasi yang terbentuk tanpa didasari
oleh adanya kebutuhan/ kepentingan ekonomi bersama dan prinsip kesukarelaan dari para
anggotanya, sehingga kehilangan jati dirinya sebagai koperasi sejati yang otonom dan
swadaya/mandiri. Kedua, banyak koperasi yang tidak dikelola secara profesional dengan
menggunakan teknologi dan kaidah ekonomi moderen sebagaimana layaknya sebuah badan
usaha. Ketiga, masih terdapat kebijakan dan regulasi yang kurang mendukung kemajuan
koperasi. Keempat, koperasi masih sering dijadikan alat oleh segelintir orang/kelompok, baik di
luar maupun di dalam gerakan koperasi itu sendiri, untuk mewujudkan kepentingan pribadi atau
golongannya yang tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan kepentingan anggota koperasi
yang bersangkutan dan nilai-nilai luhur serta prinsip-prinsip koperasi. Sebagai akibatnya: (i)
kinerja dan kontribusi koperasi dalam perekonomian relatif tertinggal dibandingkan badan usaha
lainnya, dan (ii) citra koperasi di mata masyarakat kurang baik. Lebih lanjut, kondisi tersebut
mengakibatkan terkikisnya kepercayaan, kepedulian dan dukungan masyarakat kepada koperasi.
Kurang kondusifnya iklim usaha.
Koperasi dan UMKM pada umumnya juga masih menghadapi berbagai masalah yang terkait
dengan iklim usaha yang kurang kondusif, di antaranya adalah: (a) ketidakpastian dan
ketidakjelasan prosedur perizinan yang mengakibatkan besarnya biaya transaksi, panjangnya
proses perijinan dan timbulnya berbagai pungutan tidak resmi; (b) praktik bisnis dan persaingan
usaha yang tidak sehat; dan (c) lemahnya koordinasi lintas instansi dalam pemberdayaan
koperasi dan UMKM. Di samping itu, otonomi daerah yang diharapkan mampu mempercepat
tumbuhnya iklim usaha yang kondusif bagi koperasi dan UMKM, ternyata belum menunjukkan
kemajuan yang merata. Sejumlah daerah telah mengidentifikasi peraturan-peraturan yang
menghambat sekaligus berusaha mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan dan bahkan telah
meningkatkan pelayanan kepada koperasi dan UMKM dengan mengembangkan pola pelayanan
satu atap. Namun masih terdapat daerah lain yang memandang koperasi dan UMKM sebagai
sumber pendapatan asli daerah dengan mengenakan pungutan-pungutan baru yang tidak perlu
sehingga biaya usaha koperasi dan UMKM meningkat. Disamping itu kesadaran tentang hak atas
kekayaan intelektual (HaKI) dan pengelolaan lingkungan masih belum berkembang.
REKOMENDASI
Usaha mikro, kecil dan koperasi merupakan soko guru perekonomian Indonesia dan menempati
piramida terbesar dalam struktur perekonomian nasional. Namun seringkali dinilai sebagai usaha
‘kelas pinggiran’dalam perguliran ekonomi di negeri kita.Seperti kita lihat berbagai upaya
pemerintah untuk memberdayakan mereka belum berhasil menempatkan mereka pada tempat
yang sejajar dengan para pelaku bisnis lainnya. Hal ini disebabkan berbagai kendala. Bila
diperhatikan tingkat pertumbuhan dimasyarakat saat ini sangat berkembang, dimana hal tersebut
membuat perekonomian harus menyeimbangkan peranannya terhadap masyarakat. Sebagaimana
permasalahan diatas dapat kita amati, bahwa koperasi saat ini menjadi modal perekonomian yang
handal untuk pertumbuhan ekonomi, karena masyarakat Indonesia sebagaian besar merupakan
kelompok masyarakat menengah bawah.jadi hal-hal yang dapat menyelesaikan problema
tersebut dengan cara :
1. Melakukan proses kredit menggunakan internet atau secara On line, dengan memberikan
penyuluhan kepada masyarakat tentang kemudahan pelayanan kredit serta keakuratan
data yang diperoleh.
2. Berfungsinya sistem untuk menumbuhkan wirausaha baru berbasis ilmu pengetahuan dan
teknologi serta penambahan produk-produk yang handal;
3. Meningkatkan kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi sesuai dengan jatidiri
koperasi
4. Meningkatkan nilai ekspor produk usaha kecil dan menengah dengan laju pertumbuhan
lebih tinggi dari laju pertumbuhan nilai tambahnya
Mekanisme penyelesaian masalah dan pembaharuan sistematis koperasi
Produk Swamitra yang harus ditambahkan adalah sebagai berikut :
Produk Dana
Pada dasarnya produk dana atau simpanan yang dimiliki oleh Swamitra terdiri dari :
Simpanan Swamitra
merupakan produk simpanan yang dapat ditarik dan disetor sesuai dengan keinginan
anggota melalui kantor Swamitra
Simpanan Berjangka Swamitra
merupakan produk simpanan yang penarikannya dapat dilakukan secara berkala,
baik 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan maupun 12 bulan dengan tingkat suku bunga yang bersaing.
Serupa dengan Deposito di Bank
Produk Pinjaman
Pada dasarnya produk pinjaman yang dapat dilayani oleh Swamitra terdiri dari :
Pinjaman untuk Modal Kerja
Pinjaman untuk Investasi
Pinjaman untuk Konsumtif
Sistem On-Line Swamitra
Jaringan Swamitra yang menggunakan system real time online memungkinkan suatu transaksi
dilakukan di gerai Swamitra dimana saja. Gerai Swamitra dikelola oleh tenaga-tenaga
professional
yang dilatih secara khusus oleh Bank Bukopin.
Mekanisme
Transaksi anggota Swamitra dilakukan dengan memanfaatkan jaringan real time online Bank
Bukopin.
Seluruh gerai Swamitra terhubung dengan host Bank Bukopin, sehingga memungkinkan
transaksi
dilakukan di gerai Swamitra dimanapun diseluruh Indonesia.
Real time online system Swamitra dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan Swamitra
kepada anggotanya.
ARAH KEBIJAKAN
Dalam rangka mewujudkan sasaran tersebut, pemberdayaan koperasi dan UMKM akan
dilaksanakan dengan arah kebijakan sebagai berikut:
1. Mengembangkan usaha kecil dan menengah (UKM) yang diarahkan untuk memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja,
dan peningkatan daya saing; sedangkan pengembangan usaha skala mikro lebih
diarahkan untuk memberikan kontribusi dalam peningkatan pendapatan pada kelompok
masyarakat berpendapatan rendah.
2. Memperkuat kelembagaan dengan menerapkan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang
baik (good governance) dan berwawasan gender terutama untuk:
• memperluas akses kepada sumber permodalan khususnya perbankan;
• memperbaiki lingkungan usaha dan menyederhanakan prosedur perijinan;
• memperluas dan meningkatkan kualitas institusi pendukung yang menjalankan fungsi
intermediasi sebagai penyedia jasa pengembangan usaha, teknologi, manajemen,
pemasaran dan informasi.
3. Memperluas basis dan kesempatan berusaha serta menumbuhkan wirausaha baru
berkeunggulan untuk mendorong pertumbuhan, peningkatan ekspor dan penciptaan
lapangan kerja terutama dengan :
• meningkatkan perpaduan antara tenaga kerja terdidik dan terampil dengan adopsi
penerapan tekonologi;
mengembangkan UMKM melalui pendekatan klaster di sektor agribisnis dan
agroindustri disertai pemberian kemudahan dalam pengelolaan usaha, termasuk
dengan cara meningkatkan kualitas kelembagaan koperasi sebagai wadah organisasi
kepentingan usaha bersama untuk memperoleh efisiensi kolektif;
• mengembangkan UMKM untuk makin berperan dalam proses industrialisasi,
perkuatan keterkaitan industri, percepatan pengalihan teknologi, dan peningkatan
kualitas SDM;
• mengintegrasikan pengembangan usaha dalam konteks pengembangan regional, sesuai
dengan karakteristik pengusaha dan potensi usaha unggulan di setiap daerah.
4. Mengembangkan UMKM untuk makin berperan sebagai penyedia barang dan jasa pada
pasar domestik yang semakin berdaya saing dengan produk impor, khususnya untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat banyak.
5. Membangun koperasi yang diarahkan dan difokuskan pada upaya-upaya untuk: (i)
membenahi dan memperkuat tatanan kelembagaan dan organisasi koperasi di tingkat
makro, meso, maupun mikro, guna menciptakan iklim dan lingkungan usaha yang
kondusif bagi kemajuan koperasi serta kepastian hukum yang menjamin terlindunginya
koperasi dan/atau anggotanya dari praktek-praktek persaingan usaha yang tidak sehat;
(ii) meningkatkan pemahaman, kepedulian dan dukungan pemangku kepentingan
(stakeholders) kepada koperasi; dan (iii) meningkatkan kemandirian gerakan koperasi.
A. SPESIFIKASI HW/SW KOPERASI
Dalam penyelenggaraan koperasi diwajibkan menyediakan perangkat sistem dengan spesifikasi
sebagai berikut :
1. Spesifikasi Hw/Sw
Spesifikasi Hw/Sw yang harus disediakan oleh peserta disesuaikan dengan jenis
konfigurasi yang akan digunakan, yaitu :
a. TPK Single User
Merupakan jenis konfigurasi untuk TPK yang hanya menggunakan 1 (satu)
workstation. Jenis konfigurasi ini ideal untuk TPK dengan volume warkat di bawah
200 lembar/hari. Adapun spesifikasi teknis minimum untuk TPK single user, adalah
sebagai berikut :
dari persyaratan diatas, kami rasa tidaklah berat jikalau fasilitas tersebut bisa dioperasikan di
seluruh koperasi. Tidak hanya efisiensi tetapi dapat meningkatkan mutu. Karena proses
pengiriman bias terkordinir secara akurat dan Up date,tidak bergantung lagi pada kantor cabang
utama.
COST AND BENEFIT
Cost and Benefit sitem online pada koperasi
Penjelasan tabel Cost and Benefit
Bisa kita perhatikan data diatas bahwasanya yang memiliki benefit lebih adalah produk koperasi
yang terbaru. Kenapa demikian, produk ini adalah jenis produk yang di support penuh oleh
koperasi diseluruh Indonesia dan menjadi suatu produk-produk andalan untuk menambah
pendapatn koperasi.
Demikian pembuatan tugas kelompok Sim dalam rangka penyelesaian masalah dikoperasi
diindonesia.kami ucapkan terima kasih..