FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIAPROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM TAHUN 2014
Nama : Brigita P. ManoharaNIM : 1406509901Mata Kuliah : KriminologiNo. Urut Kehadiran : 3 (tiga)Pengajar : Prof. Harkristuti Harkrisnowo,SH, MA,PhD
Dr. Eva Achjani Zulfa, SH, MH
BAB I
TERORISME
1. ETIMOLOGI
Terorisme memiliki pengertian sebagai berikut :
penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai
tujuan (terutama tujuan politik); praktik tindakan teror1.
serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror
terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak
tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba
dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil2.
dalam kamus hukum, terorisme diartikan sebagai perbuatan jahat yang
umumnya ditujukan sebagai perbuatan jahat yang umumnya ditujukan kepada
negara, yang tujuannya menakut-nakuti orang tertentu, kelompok-kelompok
tertentu ataupun masyarakat tertentu untuk tujuan politik3.
Teror : usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh
seseorang atau golongan4.
Meneror : berbuat kejam (sewenang-wenang dsb) untuk menimbulkan rasa ngeri
atau takut5 .
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa terorisme merupakan
serangan dalam bentuk kekerasan yang terkoordinasi yang bertujuan menimbulkan rasa
takut sehingga tujuan pelaku terorisme dapat tercapai. Dalam menjalankan aksinya para
pelaku teror tidak tunduk pada tata cara peperangan, dengan target korban jiwa acak.
Budi hardiman dalam karangannya menuliskan bahwa teror adalah fenomena
yang cukup tua dalam sejarah, dimana kegiatan yang dilakukan meliputi menakuti,
mengancam, memberi kejutan kekerasan atau membunuh dengan maksud menyebarkan
rasa takut6. Menurut Budi Hardiman, kata teror baru masuk dalam kosakata politis pada
Revolusi Perancis. Kata ini makin mengemuka jelang PD II di awal abad 1930-an,
1 http://artikata.com/arti-354421-terorisme.html, diakses pada sabtu, 29 November 20142 http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme, diakses pada sabtu, 29 November 20143 Andi Hamzah dalam Bachtiar Marpaung, Aspek Hukum Pemberantasan Terorisme di Indonesia dalam JURNAL EQUALITY, Vol. 12 No. 2 Agustus 2007, hal 1224 http://artikata.com/arti-354419-teror.html, diakses pada sabtu, 29 November 20145 Ibid
dimana terorisme menjadi teknik perjuangan revolusi7. Pada masa perang dingin, teror
dikaitkan dengan ancaman senjata. Dan di tahun 1970an istilah ini digunakan untuk
beragam kejadian mulai dari bom yang meledak di ruang publik, hingga upaya
memiskinkan masyarakat tertentu8. Budi menambahkan bahwa terorisme adalah
fenomena dalam masyarakatdemokratis dan liberal atau masyarakat yang menuju
transisi kesana9
2. DEFINISI TERORISME
Pada saat ini tidak ada definisi hukum secara universal mengenai istilah
terorisme, hal ini menimbulkan banyak perdebatan mengenai pelaksanaan suatu aturan
kepada suatu hal yang belum jelas definisi hukumnya10. Ada begitu banyak variabel
dalam menentukan dalam pendefinisian terorisme berdasarkan latar belakang,
penggolongan, ciri dasar, bentuk, tujuan, strategi, ciri operasional, bentuk dan ciri
oganisasi dan anggota, pandangan politik, keadaan politik, ruang dan waktu dan lain-
lain11.
Umumnya pendefinisian terorisme beranjak dari asumsi bahwa sejumlah
tindakan kekerasan khususnya menyangkut kekerasan politik (political violance) adalah
justiable dan sebagian lagi adalah unjustiable12.
Muhammad Ali mengutip T.P. Thornton dalam Terror as a Weapon of
Political Agitation (1964) menjelaskan terorisme sebagai sebagai penggunaan teror
sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijaksanaan dan
tingkah laku politik dengan cara ekstra normal, khususnya dengan penggunaan
kekerasan dan ancaman kekerasan13.
Definisi lain dari terorisme disampaikan dalam buku Kejahatan Terorisme
perspektif Agama, Hak Asasi Manusia dan Hukum, adalah sebagai berikut14 :
6 Dr. Budi Hardiman, Terorisme: Paradigma dan Definisi dalam buku Terorisme, Definisi, Aksi, dan Regulasi, Imparsial, Jakarta, 2003, hal 37 Ibid 8 Ibid9 Dr. Budi Hardiman, Op. Cit hal.410 Bachtiar Marpaung, Aspek Hukum Pemberantasan Terorisme di Indonesia dalam JURNAL EQUALITY, Vol. 12 No. 2 Agustus 2007, hal 12111 Ibid12 Muhammad Ali Syafa’at, Tindak Pidana Teror, Belenggu Baru bagi Kebebasan dalam buku Terorisme, Definisi, Aksi, dan Regulasi, Imparsial, Jakarta, 2003, hal 5913 Ibid14 Drs. Abdul Wahid SH, MA; Sunardi, SH, MH; Muhammad Imam Sidik, SH, Kejahatan Terorisme perspektif Agama, Hak Asasi Manusia dan Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, 2004, hal 24
US Central Inteligence Agency (CIA) mendefinisikan terorisme internasional
sebagai terorisme yang dilakukan denagn dukungan pemerintah atau organisasi
asing dan/atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintah asing.
US Federal Bureau of Investigation (FBI) menjelaskan terorisme sebagai
penggunaan kekerasan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk
mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk sipil elemen-elemennya untu
mencapai tujuan sosial atau politik.
US Departements of State and Defense mendeskripsikan terorisme adalah
kekerasan bermotif politik dan dilakuan oleh agen negara atau kelompok
subnasional terhadap sasaran kelompok non kombatan. Biasanya denagn maksud
mempengaruhi audien.
Terorisme sebagai aksi kekerasan untuk tujuan pemaksaan kehendak, koersi,
dan publikasu publik yang memakan korban masyarakat sipil yang tidak berdosa,
menunjukkan hubungan yang sangat erat dengan politik15. Proses teror, menurut E.V
Walter yang ditulis ulang oleh Muhammad Ali dari Terror and Resistance : A Study of
Political Violence with Case Studies of Some Primitif African Communities (1969),
memiliki tiga unsur, ketiganya adalah :
Tindakan atau ancaman kekerasan
Reaksi emosional terhadap ketakuran yang amat sangat dari pihak kroban atau
calon kroban
Dampak sosial yang mengikuti kekerasan atau ancaman kekeraan dan rasa
ketakutan yang muncul kemudian16
Terorisme masuk dalam kekerasan politis (political violence) seperti
kerusuhan, huru hara, pemberontakan, revolusi, perang saudara, gerilya, pembantaian,
dll, namun terorisme tidak selalu politis17. Terorisme politis memiliki ciri sebagai
berikut18 :
a) Merupakan intimidasi yang memaksa
b) Memakai pembunuhan dan penghancuran secara sistematis sebagai sarana untuk
tujuan tertentu
15Sukawarsini Djelantik , Ph.D, Terorisme Tinjauan Psiko-Politis, Peran Media, Kemiskinan dan Keamanan Sosial, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2010, hal 316 Muhammad Ali Syafa’at, Op Cit hal 5917 Dr. Budi Hardiman, ibid18 Ibid
c) Korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang urat saraf,
yakni “bunuh satu orang untuk menakuti seribu orang”
d) Target aksi teror dipilih, bekerja secara rahasia namun tujuannya adalah publisitas
e) Pesan aksi itu cukup jelas, meski pelaku tidak selalu menyatakan diri secara
personal
f) Para pelaku kebanyakan dimotivasi idealisme yang cukup keras, misalnya
“berjuang demi agama dan kemanusiaan”. Hardcore kelompok teroris adalah
fanatikus yang siap mati. Teoris tampaknya adalah seorang pribadi narsistis,
dingin secara emosional, asketis, kaku, fanatis. Tipe personalitas ‘prateroris”
cocok denagn gerakan totaliter/ sistem tertutup/ sekte dst.
Maka terorisme politik adalah suatu gejala yang merupakan perpanjangan dari politik
oposisi yang merupakan suatu produk dari proses deligitimasi yang panjang terhadap
tatanan masyarakat atau rezim yang ada, dan proses ini pada awalnya dilakukan hampir
selalu tanpa kekerasan. Kolektivitas teroris seringkali merupakan kelompok elite yang
dikepalai oleh para pemuda terpelajar dari kelas menengah ke atas dan umumnya
mahasiswa atau bahkan jebolan universitas19. Organisasi teroris sendiri selalu bersifat
elitis dengan perekrutan anggota yang sistematis dan pemantauan yang panjang serta
selalu bersifat tertutup dan bergerak ‘di bawah tanah” (rahasia, lebiih merupakan
operasi intelejen kecuali hasilnya). Itu sebabnya secara konseptual perlu dibedakan
antara organisasi teroris denagn pemberontakan20.
Tipologi terorisme yang dirumuskan National Advisory Committe( Komisi Kejahatan
Amerika) dalam The Report of The Task Force of the on Disorders and Terorism
(1996) disampaikan oleh Muladi dan ditulis ulang dalam buku Kejahatan Terorisme
Perspektif Agama, Ham dan Hukum, adalah sebagai berikut21 :
1. Terorisme Politik : perilaku kekerasan dirancang guna menumbuhkan rasa
ketakutan di kalangan masyarakat demi kepentingan politik;
2. Terorisme nonpolitis : mencoba menumbuhkan rasa ketakutan dengan cara
kekerasan, demi kepentingan pribadi, misalnya kejahatan terorganisasi;
3. Quasi terorisme : digambarkan dengan “dilakukan secara insidental, namun
tidak memiliki muatan ideologi tertentu, lebih untuk tujuan pembayaran, contohnya
19 Sukawarsini Djelantik , Ph.D, Op Cit hal 4-520 Ibid21 Drs. Abdul Wahid SH, MA; Sunardi, SH, MH; Muhammad Imam Sidik, SH, Op Cit hal 39-40
dalam kasus pembajakan pesawat udara atau penyanderaan dimana pelaku lebih
tertarik pada uang tebusan daripada motivasi politik;
4. Terorisme politik terbatas : diartikan sebagai teroris yang memilki motif politik
dan idiologi, namu lebih ditujukan dalam mengenadalikankeadaan (negara).
Contohnya adalah perbuatan teroris yang bersifat balas dendam (vadetta-type
executions);
5. Terorisme negara atau pemerintahan : suatu negara atau pemerintahan yang
mendasrkan kekuasaannya denagn ketakutan dan penindasan dalam mengendalikan
masyarakatnya.
Tujuan taktis teroritis menurut Budi Hardiman meliputi22 :
Mempublikasikan suatu alasan lewat aksi kekejaman karena hanya lewat aksi
semacam itu publikasi yang cepat dan masif dimungkinkan;
Aksi balas dendan terhaap rekan atau anggota kelompok;
Katalisator bagi militerisasi atau mobilisasi massa;
Menebar kebencian dan konflik komunal;
Mengumumkan musuh atau kambing hitam;
Menciptakan iklim panik massa, menghancurkan kepercayaan publik terhadap
pemerintah dan polisi.
Sementara itu terkait dengan justifikasi aksi terorisme oleh para pelaku berdasarkan hal
berikut ini23 :
Segala cara dibenarkan demi pencapaian tujuan transedental;
Kekerasan ekstrem dianggap bersifat katarsis, memberi rahmat; regeneratif
Pelaku meletakkan aksinya dalam konteks sejarah, dimana aksi itu merupakan
elemen dari hukum sejarah itu sendiri;
Dijelaskan dari perspektif moral kesetimpalan “mata ganti mata, gigi ganti
gigi”;
Aksi teror dipandang sebagai “kejahatan kecil’ dibandingkan dengan ancaman
musuh yang merupakan “kejahatan agung”.
Tipologi terorisme yang ditulis Budi Hardiman mengutip Wilkinson, berdasarkan pada
tujuan dan ciri aksi teroritis adalah sebagai berikut24 :
22 Dr. Budi Hardiman, Op Cit hal 523 Ibid 24 Dr. Budi Hardiman, Op Cit hal 6
Tipe Tujuan Ciri-ciri
Terorisme epifenomenal
(teror dari bawah)
Tanpa tujuan khusus, suatu
hasil samping kekerasan
horisontal berskala besar
Tak terencaa rapi, terjadi
dalam konteks perjuangan
yang sengit
Terorisme revolusioner
(teror dari bawah)
Revolusi atau perubahan
radikan atas sistem yang ada
Selalu merupakan fenomena
kelompokk, struktur
kepemimpinan, program,
ideologi, konspirasi, elemen
paramiliter
Terorisme
subrevolusioner (teror
dari bawah)
Motif politis, menekan
pemerintah untuk mengubah
kebijakan atau hukum,
eprang politis dengan
kelompok rival,
menyingkirkan pejabat
tertentu
Dilakukan oleh kelompok
kecil, bisa juga individu,
sulit diprediksi, kadang sulit
dibedakan apakah
psikopatologis atau kriminal
Terorisme represif (teror
dari atas/ terorisme
negara)
Menindas individu atau
kelompok (oposisi) yang
tidak dikehendaki oleh
penindas (rejim otoriter/
totaliter) dengan cara
likuidasi.
Berkembang menjadi teror
massa, ada aparat teror,
polisi rahasia, teknik
penganiayaan, penyebaran
rasa curiga di kalangan
rakyat, wahana untuk
paranoia pemimpin.
Sementara tipologi menurut skala aksi dan organisasinya yaitu :
Terorisme intra-nasional Jaringan organisasi dan aksi terbatas oleh tertorial
negara tertentu
Terorisme internasional a) Diarahkan kepada orang-orang asing dan aset
asing;
b) Diorganisasikan oleh pemerintah atau organisasi
yang lebih darioad satu negara;
c) Bertujuan untuk memperngaruhi kebijakan
pemerintah asing
Terorisme transnasional Jaringan global yang mempersiapkan revolusi global
untuk tatanan dunia baru (bagian dari terorisme
internasional yang menjadi radikal)
Jika dilihat dari sejarahnya, tipologi terorisme bisa dibedakan ke dalam beberapa
bentuk, yaitu25 :
1. Bentuk pertama : terdiri atas pembunuhan politik terhadap pejabat
pemerintah yang terjadi sebelum Perang Dunia II
2. Bentuk kedua : terorisme dimulai di Al-jazair di tahun 1950an, dilakukan
oleh FLN yang mempopulerkan “serangan bersifat acak” terhadap masyarakat sipil
yang tida berdosa. Hal ini untuk melawan apa yang mereka (Algerian Nationalist)
sebut sebagai “terorisme negara”. Menurut mereka, pembunuhan dnegna tujuan
untuk mendapatkan keadilan bukanlah soal yang harus dirisaukan, bahkan sasaran
mereka adalah mereka yang tidak berdosa.
3. Bentuk ketiga : bentuk ini muncul di tahun 1960an dan terkenal dengan
istilah “terorisme media”, berupa serangan acak atau random terhadap siapa saja
dengan tujuan publisitas. The Bush Commision (wakil presiden AS, 1986)
menyebut sebagai ‘teater politik”, contoh dari “propaganda by dead.
3. TINDAK PIDANA TEORISME
Terorisme merupakan jelmaan kejahatan sistematik, ibarat kejahatan Dom
Helder Camara seperti dikutip Kejahatan Terorisme perspektif Agama, Hak Asasi Manusia
dan Hukum bahwa yang melahirkan kekerasan baru dan selanjutnya menjelma menjadi
kekuatan iblis yang gelap, yang mendiami sanubari manusia tak bersuara dan mata
hati26. Dalam kaitannya dengan tindak pidana, tindakan teror untuk membedakannya
dengan tindak pidana lain , mesti diperhatikan unsur pentingnya, yaitu27 :
25 Drs. Abdul Wahid SH, MA; Sunardi, SH, MH; Muhammad Imam Sidik, SH, Op Cit, hal 3926 Drs. Abdul Wahid SH, MA; Sunardi, SH, MH; Muhammad Imam Sidik, SH, Op Cit hal 5927 Muhammad Ali Syafa’at, Op Cit hal 61-62
a) Unsur pelaku : bisa dilakukan negara, individu, atau kelompok individu, atau
suatu organisasi. Jika dilakukan negara maka dikategorikan pelanggaran HAM
berat.
b) Unsur perbuatan : dilakukan dengan berbagai cara, yang paling sering dilakukan
adalah ancaman kekerasan dan kekerasan kepada seseorang atau keapda banyak
orang secara massal, atau terhadap benda atau bangunan tertentu yang bernilai
strategis.
c) Unsur akibat perbuatan : munculnya ketakutan atau korbvan secara massal.
d) Unsur tujuan : munculnya ketakutan atau korban massal dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan adalah memaksa suatu pihak untuk melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu. Biasanya yang menjadi sasaran pemaksaan adalah
negara.
Guna membedakan tindak pidana teror dengan tindak pidana lain, maka mesti
ditetapkan dahulu unsur tindak pidana teror yang berbeda dengan tindak pidana biasa28.
Akibat dari dibutuhkannya unsur pembeda dari unsur pidana lain, maka banyak pihak
menyatakan kalau tindak pidana teror merupakan extra ordinary crime. Tak hanya
melakukan peledakan bom, operasi teroris lainnya terkait dengan kejahatan antara
lain29:
Misi penyanderaan (misalnya penyenderaan pesawat udara), menculik tokoh
politik, membuat barikade
Membunuh tokoh politik (assasination)
Mengancam (threat), dan menyebarkan ancaman kosong (hoaxed)
serangan militer
sabotase
serangan dengan menggunakan senjata nuklir
serangan dengan memakai senjata kimia dan biologis
merampok bank
propaganda
upaya legal untuk mendapatkan pengakuan politik
28 Ibid 29 Sukawarsini Djelantik , Ph.D, Op Cit 192
Mengenai pertanggung jawaban pidananya, dapat dikenakan kepada pelaku
perorangan tindak pidana terorisme dengan liability based on fault, sementara untuk
korporasi secara strict liability dan vicarious liability30.
Pengaturan tindak pidana teror meliputi dua aspek, yaitu31 :
pencegahan (anti) : tidak bisa meliputi pendekatan hukum saja, tetapi meliputi
segala aspek kehidupan masyarakat. Merupakan kebijakan yang mengeliminasi
akar motivasi untuk mewujudkan keadilan, pembebasan dari kemiskinan dan
keterbukaan diskursus religius.
pemberantasan (contra) : pemberantasan, pengungkapan, dan penanganan kasus
tindak pidana teror dan pelaku teror (terorist). Berupa penetapan tindakan yang
termasuk dalam tindak pidana teror, prosedur penanganan serta sanksi yang
diterapkan.
Konvensi internasional dan regional yang mengatur tindak pidana teror, adalah sebagai
berikut32 :
International Civil Aviation Organization, Convention on Offences and Certain
other Acts Commited on Board Aircraft. Berlaku mulai 4 Desember 1969.
International Civil Aviation Organization, Convention for the suppression of
Unlawful Seizure of Aircraft. Berlaku mulai 14 Oktober 1971.
International Civil Aviation Organization, conventionfor the Suppression of
Unlawful Acts against the safety of civil aviation. Berlaku pada 26 Januari 1973.
UN, Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against
Internationally protected Persons, indluding diplomatic Agents. Berlaku mulai
20 Februari 1977.
UN, International Convention against the Taking of Hostages. Berlaku mulai 3
Juni 1983.
International Atomic Energy Agency, Convention on the Physical protection of
Nuclear Material. Berlaku mulai 8 Februari 1987.
International Civil Aviation Organization, Protocol for the Suppression of
Unlawful Acts of violence at Airports Serving International Civil Aviation
(tambahan poin 3) berlaku mulai 6 Agustus 1989.
30 Drs.Abdul Wahid SH, MA; Sunardi, SH, MH; Muhammad Imam Sidik, SH, Op Cit hal 12231 Ibid hal 63-6432 Ibid hal 64-65
International Maritime Organization, Convention for the Suppression of
Unlawful Acts against the safety Maritime Navigation. Berlaku 1 Maret 1992.
International Maritime Organization, Convention for the Suppression of
Unlawful Acts against the safety of Fixed Platforms Located on The Continental
shelf. Berlaku pada 1 Maret 1992.
International Civil Aviation Organization, marking of Plastic Explosive for the
Purpose of detection. Berlaku 21 Juni 1998.
UN, Convention for the Suppression of Terrorist Bombing. Berlaku 23 Mei
2001.
UN, Convention for the Suppression of Financing of Terrorism. Berlaku mulai
10 April 2002.
League of Arab states, Arab Convention on the Suppression of Terrorism.
Diterima 1 Juli 1999 namun bellum berlaku.
Council of Europe, European Convention on the Suppression of Terrorism.
Berlaku mulai 4 Agustus 1978.
Organization of American States, Convention to prevent and Punish the acts of
Terrorism Taking the Fprm of Crime against Persons and Related Extortion that
are of International Significance. Berlaku mulai 16 Oktober 1973.
African Union (formerly Organization of Amfrican Unity), Convention of the
Prevention and Combating of Terrorism. Diterima 14 Juli 1999 namun belum
diterapkan.
South Asian Association for Regional Cooperation, regional Convention on
Suppression of terrorism. Berlaku mulai 22 Agustus 1988.
Commonwealth of Independent States, Treaty on Cooperation among the states
members of the Commonweatlh of independent States inCombating Terorism.
Diterima 4 Juni 1999.
Indonesia baru meratifikasi dua konvensi tentang penyerangan dan tindakan
melawan hukum di pesawat terbang serta menerbitkan Perpu Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, dan baru mengajukannya dalam draft RUU Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme yang isinya hampir sama dengan Perpu33. Perpu yang dimaksud disini
adalah Perpu Nomor 1 dan 2 tahun 2002 (Perpu No.1 kemudian disahkan emnjadi
Undang-undang No.15 tahun 2003, dan Perpu No.2 disahkan menjadi Undang-undang
33 Ibid hal 67
NO.16 tahun 2003), tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Perpu ini
dikeluarkan pasca terjadinya aksi peledakan bom Bali34. Selain itu ada pula Undang-
undang No.15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, serta konvensi, resolusi,
dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan denagn terorisme dan upaya
penanggulangannya35.
Rachland Nashidik menjelaskan peraturan mengenai terorisme yang ada perlu
dilakukan amandemen. Ia menyampaikan tiga kritik utama mengenai peraturan
tersebut, yakni :
a) Undang-undang ini tidak membedakan act of terrorism secara tajam dan jelas
dari political dissent. Menurutnya hampir setiap pasal didalamnya tidak disusun
sebagai delik yang ketat sehingga banyak pasal yang multitafsir.
b) Undang-undang ini menabrak general principles of Law karena diizinkan untuk
berlaku retroactive dan bersifat ex-post facto padahal di satu sisi kejahatan ini
merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip legalitas yakni prinsip kardinal
dalam buku pidana. Namun disisi lain sebab UU ini hanya berlaku surut
terhadap peristiwa bom Bali maka ia melanggar hak untuk diperlakukan sama di
muka umum.
c) Pasal 26 Undang-undang ini mengizinkan laporan intelejen digunakan sebagai
bukti permulaan bagi kegiatan pro justicia ini emmbuka peluang salah guna
wewenang badan intelejen.
Lebih lanjut Rachland juga menyatakan Inpres No.5 tahun 2002 yang
menetapkan BIN (Badan Intelejen Negara) sebagai koordinator operasi intelejen
menurutnya disusun dengan kerancuan serius yang mengherankan dalam
mendefinisikan oeran dan kewenangan badan intelejen non yudisial36.
Sementara itu dalam Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada Pasal 5 mengecualikan kegiatan
terorisme terhadap kejahatan motivasi politik. Mengenai delik formil Tindak pidana
34 Todung Mulya Lubis, Masyarakat Sipil dan Kebijakan Negara dalam Terorisme, Definisi, Aksi, dan Regulasi, Imparsial, Jakarta, 2003, hal 7935 Herry Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, MIMBAR HUKUM volume 23, Nomor 2, Juni 2011, hal 37836 Ibid
terorisme ada pada Pasal 7 sampai denagn Pasal 15 Undang-undang ini37. Lebih
gamblang dijelaskan sebagai berikut38 :
Delik materiil terdapat dalam Pasal 6
Delik formil terdapat dalam Pasal 7 hingga Pasal 12
Delik percobaan
Delik pembantuan
Delik penyertaan terdapat dalam Pasal 13 dan 15
Delik perencanaan terdapat dalam Pasal 14
Kaitannya dengan penyertaan, KUHP mengaturnya di Pasal 55 dan 56. Sementara
mengenai bantuan, Pasal 58 KUHP juga mengaturnya39.
4. TERORISME DI INDONESIA
Pasca terjadinya peristiwa 11 September 2001 di Amerika serikat, aktivitas
para teroris mengalami peningkatan yang signifikan. Muhammad Taufiqurrohman
dalam tulisan Peta Kelompok Teroris Indonesia menjelaskan empat kelompok teroris
Islam yang terkait dengan Jamaah Islamiah yang saat ini beroperasi di Indonesia,
seperti kelompok Noordin M. Top, Poso, Palembang, dan Jamaah As-Shun-Nah40.
Kelompok Noordin M. Top merupakan sempalan dari Jamaah Islamiyah yang
mulai memisahkan diri sejak peristiwa peledakan hotel Marriot tahun 2003.
Pendiriannya dilatarbelakangi perang Irak dan Afganistan yang dikobarkan Amerika
Serikat. Kelompok ini memiliki dua nama yakni Thoifah Muqotilah (pasukan tempur)
dan Tanzim Qoidatu Jihad( nama resmi Al Qaeda). Tujuannya menyerang kepentingan
Ameika serikat sebagai upaya balas dendam41.
Kelompok teroris Poso muncul akibat latar belakang konflik komunal antara
warga muslim dan warga kristen Poso yang terjadi pada tahun 2000. Tujuan awl
memerangi warga kristen Poso namun berkembang menajdi memerangi polisi yang
dipandang sebagai representasi dari penguasa thoghut (kafir), awlnya dipimpin Ustadz
Rian. Dananya berasal darisumbangan bulanan para anggotanya. Berada dibawah
kendali Jamaah Islamiyah42.
37Drs. Abdul Wahid SH, MA; Sunardi, SH, MH; Muhammad Imam Sidik, SH, Op Cit hal 78-7938 Ibid39 Ibid40 Muhammad Taufiqurrohman, Peta Kelompok Teroris Indonesia dalam Sukawarsini Djelantik , Ph.D, Op Cit hal 7341 Ibid42 Ibid
Kelompok Palembang berdiri pada tahun 2006 dengan tokohnya Abdurrahman
Taib dan Fajar Taslim serta Sulthon Qolbi alias Ustadz Asadollah. Tergolong baru dan
terkait dengan Jamaah Islamiyah. Latar belakang pendiriannya adalah kebencian para
pemimpin dan anggotanya pada kegiatan Kristenisasi di wilayah Sumatera.
Kegiatannya memberantas kegiatan kristenisasi namun selanjutnya bertujuan
memerangi kaum kafir jauh (Amerika Serikat). Sumber dana dari iuran dan sumbangan
dari pihak luar43.
Kelompok Jamaah As-Sunnah berbasis di Masjid As- Sunnah Bandung, mulai
aktif pada tahun 2000. Dipimpin Amir Jihad yang sekaligus imam Masjid. Kelompok
ini menganut oaham salafiyah. Kegiatannya memerangi orang kafir. Jihad dalam
pandangan kelompok iniadalah qital , perang fisik melawan penguasa murtad. Bekerja
sama denagn JI dalam bidang militer dan dakwah44.
Selain keempat kelompok diatas, ada organisasi besar bernama Jamaah
Islamiyah yang merupakan organisasi teroris Asia tenggara yang berbasis di Indonesia.
JI memiliki sebuah organisasi militer dan divisi yang dikenal deangn nama mantiqi dan
walakahs. JI terkait pula denagn Darul Islam (merupakan pecahannya) atau yang
dikenal dengan nama NII (negara Islam Indonesia). Kegiatannya adalah memerangi
orang kafir karena bercita-cita mendirikan negara Islam yang meliputi sebagian
wilayah Asia tenggara45.
Sejumlah kejadian yang tercatat dilakukan teroris dan dikutip pada tulisan
Bachtiar Marpaung, adalah sebagai berikut46 :
No. Deskripsi Kejadian Waktu Kejadian
1. Peledakan di Gedung Atrium Senen, Jakarta 01-12-1998
2. Peledakan di Plaza Hayam Wuruk, Jakarta 15-04-1999
3. Peledakan di Masjid Istiqlal, Jakarta 1999
4. Peledakan di Gereja (GKPI) Medan 28-05-2000
5. Peledakan di Gereja Katolik Medan 29-05-2000
6. Peledakan di Rumah Dubes Filipina, Jakarta 01-08-2000
7. Peledakan di Gedung Atrium Senen, Jakarta 01-08-2001, 23-04-2001
8. Peledakan di Beberapa Gereja di Malam 2000 dan 2001
43 Ibid44 Ibid45 Nassir Abbas, Sukawarsini Djelantik, Jamaah Islamiyah Profil Organisasi dan epnyelewengan terhadap Ajaran Islam dalam Sukawarsini Djelantik , Ph.D, hal 102-12946 Bachtiar Marpaung, Op Cit 125
Natal 9. Peledakan di Kuta Bali 12-10-2002
10. Peledakan di Manado November 2002
11. Peledakan di McDonald Makasar 05-12-2002
12. Peledakan di Hotel JW. Marriot, Jakarta, 05-08-2003
13. Peledakan di depan Kedubes Australia, Jakarta,
09 –09-2004
14. Peledakan bom Bali II 01- 10 - 2005
5. MENGAPA TERORISME LAYAK DIBAHAS
Sebagai tindak pidana khusus, terorisme sangat layak untuk dibahas karena
kejahatan ini merupakan kejahatan sistemik yang dapat mengakibatkan jatuhnya banyak
korban, apalagi korban yang berjatuhan merupakan non-combatan dan tidak berdosa.
Perkembangan terorisme pun dari bahasan-bahasan sebelumnya disampaikan
mengalami peningkatan yang signifikan. Dalam melakukan aksi terornya, kelompok ini
mayoritas bertujuan memperoleh kemerdekaan politik, sehingga ini menjadi ancaman
serius terhadap keutuhan sebuah bangsa47Terkait perlindungan HAM, kejahatan ini
merupakan wujud konkrit aksi kebiadaban yang menguji tingkat kapabilitas penegak
hukum yang telah menjadi representasi kekuatan strategis negara hukum48. Pelanggaran
HAM berat masuk kategori extra ordinary crime karena dua alasan yaitu pola tindak
pidana yang sangat sistematis dan biasanya dilakukan oleh pihak yang memegang
kekuasaan sehingga kejahatan tersebut baru bisa diadili jika kekuasaan tersebut runtuh,
dan alasan bahwa kejahatan jenis ini bertentangan dan mencederai rasa kemanusiaan
secara mendalam49. Sayangnya, sebagai tindak pidana khusus denagn ancaman
kekerasan di masyarakat yang besar, banyak ahli menilai penyusunan Undang-undang
yang dijadikan sebagai alat untuk menegakkan hukum, dianggap belum cukup serius
untuk dilakukan.
6. TEORI HUKUM TERKAIT DENGAN TERORISME
Tidak berbeda dengan tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh gang,
dimana ada keterlibatan kelompok yang bertindak bersama. Berdasar teori Merton
mengenai penyimpangan dan anomie , kekerasan dianggap merupakan perilaku
47 Dr. A.C. Mannullang, Terorisme & Perang Intelejen, Manna Zaitun, Jakarta, 2006, hal 13048 Drs.Abdul Wahid SH, MA; Sunardi, SH, MH; Muhammad Imam Sidik, SH, Op Cit hal 6749 Muhammad Ali Syafa’at, Op Cit hal 63
inovatif, mundur (retreatis) atau perilaku pemberontak50. Sementara itu jika dikaitkan
dengan hubungan differential, kekerasan gang sebagai basis partisipasi dalam bentuk
kekerasan gang yang sudah ada. Terkait hal tersebut, Thomas Santosa seperti dikutip
dalam Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, Ham dan Hukum menjelaskan bahwa
pada bagian ini, lebih dititikberatkan ke penjelasan populer dalam sosiologi masla lalu
dan masih menjadi penjelasan yang relevan51.
50 Drs.Abdul Wahid SH, MA; Sunardi, SH, MH; Muhammad Imam Sidik, SH, Op Cit hal 59-6051 Ibid
Top Related