BAB 1.
PENDAHULUAN
A. SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA
Filsafat hukum merupakan suatu cabang filsafat yang memilih hukum sebagai objek
penyelidikannya, yang selanjutnya dipahami secara mendalam. Dalam mempelajari filsafat
hukum alangkah baiknya jika ditinjau dari sejarah serta perkembangan terlebih dahulu. Sebab
sejarah filsafat hukum dari abad Yunani sampai abad sekarang ini teorinya berbeda-beda.
Dengan mengetahui sejarah dan perkembangannya kita akan lebih banyak mengetahui
pandangan para filsuf dari satu abad hingga ke abad lainnya. Mengetahui sejarah dan
perkembangannya amatlah penting bagi kita khususnya para mahasiswa untuk menambah
pengetahuan yang lebih mendalam.
1. Zaman Yunani
Filsafat hukum yang dibentuk dalam zaman Yunani kuno menjelaskan bahwa aturan
masyarakat ada hubungan dengan aturan alam. Alam ini ditanggapi sebagai suci dan
sakral sebab berkaitan dengan kekuasaan Ilahi. Karenanya dalam hati rakyat hiduplah
kesadaran bahwa aturan alam harus ditaati. Aturan alam dicerminkan dalam aturan
masyarakat, maka aturan ini harus ditaati pula. Ketaatan kepada aturan menimbulkan
keadilan dalam hidup bersama dan menjamin keamanan dan kebahagiaan hidup.1
Jika diklasifikan para filsufnya, maka akan tampak diantaranya:
a. Masa Pra Socrates (sekitar 500 SM)
Masa Pra Socrates ditandai dengan belum adanya pengaruh filsuf Socrates, dapat
dikatakan filsafat hukum belum berkembang. Hal ini dapat dijadikan alasan bahwa
perhatian utama para filsuf pada masa ini adalah alam semesta yaitu tentang terjadinya
alam ini. Filsuf Thales yang hidup pada tahun 624-548 SM mengemukakan bahwa
alam semesta terjadi dari air. Anaximenes berpendapat sumber dari alam semesta ini
adalah udara. Pitagoras yang hidup sekitar 532 SM yang menyebutkan bilangan
sebagai dasar dari gejala-gejalanya. Filsuf lainnya yang mempunyai perhatian terhadap
alam semesta adalah Heraklitos. Ia mengungkapkan bahwa alam semesta ini terbentuk
dari api. Berdasarkan pola pikir filsuf alam tersebut, Pitagoras menyinggung salah satu 1 Dr. Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta : Kanisius, 1991), hlm 269.
isi alam semesta yaitu manusia. Ia berpendapat bahwa setiap manusia memiliki jiwa
yang selalu berada dalam proses katharsis yaitu pembersihan diri. Setiap kali jiwa
memasuki tubuh manusia, manusia harus melakukan pembersihan diri agar jiwa tadi
dapat masuk ke dalam kebahagiaan. Apabila dinilai tidak cukup melakukan katharsis,
maka jiwa itu akan memasuki lagi tubuh manusia lain.2
b. Masa Socrates, Plato dan Aristoteles
Socrates (469-399 SM) menurut para penulis sejarah filsafat hukum yang
mengungkapkan bahwa orang pertama atau peletak dasar pemikiran tentang manusia.
Ia berfilsafat tentang manusia sampai pada segala seginya sehingga filsafat hukum
dimulai pada zaman ini, kemudian sampai pada puncaknya sesudah masa Socrates.
Socrates memandang bahwa tugas utama negara adalah mendidik warganegara dalam
keutamaan yaitu taat kepada hukum negara baik tertulis maupun tidak tertulis. Lalu
dilanjutkan oleh Plato (427-347 SM) yang mengatakan bahwa orang yang melanggar
aturan harus dihukum, sebab pelanggaran itu merupakan suatu penyakit dalam bagian
intelektual manusia. Sedangkan Aristoteles (384-322 SM) berpendapat bahwa hukum
terbagi kepada hukum alam yaitu hukum yang tidak mengalami perubahan dan hukum
positif yaitu suatu hukum yang berlaku sesudah isinya ditetapkan oleh instansi yang
berwibawa.
c. Masa Stoa
Stoa berpendapat bahwa hukum alam ini tidak tergantung dari orang, selalu berlaku
dan tidak dapat diubah. Hukum alam ini merupakan dasar dari adanya hukum positif.
Selain itu ia juga berpendapat bahwa hukum positif dari suatu masyarakat adalah
standar tentang apa yang adil, bahkan bila hukum tersebut diterima secara adil akan
mewujudkan ketentraman.
2. Zaman Romawi
Perkembangan filsafat hukum di masa Romawi tidak segemilang di masa Yunani. Sebab
para filsuf di masa ini lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada masalah bagaimana
mempertahankan ketertiban di seluruh wilayah kekuasaan Kaisar Romawi yang sanga luas.
Para filsuf dituntut untuk memikirkan bagaimana cara Kaisar Romawi dalam menjalankan
pemerintahan sebagai kerajaan dunia. Namun demikian, Cicero dan ahli pikir lainya banyak
2 Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Filsafat Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hlm 12.
memberikan sumbangan pemikiran hukum yang pengaruhnya masih tampak hingga zaman
ini.
a. Masa Cicero (106-43 SM)
Hukum terwujud dalam suatu hukum alamiah yang mengatur, baik alam maupun hidup
manusia. Oleh karena itu, filsafat hukum Cicero dalam esensinya mengemukakan
konsepsi tentang persamaan semua manusia di bawah hukum alam.
b. St. Augustine
Filsafat hukum yang dikembangkan oleh St. Augustine adalah doktrin hukum dan
konsep hukum yang bersumber dari ajaran Kristen Katolik. Ia berpendapat bahwa
hukum adalah berasaskan dari kemauan-kemauan pencipta manusia yang berlaku secara
alami dan universal.3
Pada abad V sesudah masehi kekaisaran Romawi runtuh. Inilah permulaan suatu zaman
baru dalam sejarah, yang kemudian oleh ahli sejarah diberi nama Abad Pertengahan karena
pada abad itu berada di antara zaman antik dan zaman modern. Dapat dikatakan pula bahwa
kebudayaan abad pertengahan adalah penciptaan agama Kristiani dan Islam di satu pihak.
Agama-agama dan bangsa-bangsa membawa ide-ide dan tatacara baru yang akibatnya suasana
selama abad pertengahan berlainan dengan suasana pada zaman sebelumnya. Akan tetapi
warisan Yunani-Romawi tidak lenyap, karena agama kristiani berkembang dalam kebudayaan
antik dan filsafat Yunani khususnya filsafat Aristoteles dipelajari terus oleh sarjana-sarjana
Islam lalu pada abad XII diteruskan oleh para pemikir Eropa.
Agama yang pertama muncul adalah agama Kristiani. Agama ini timbul di Timur
Tengah, lalu menyebar ke seluruh kekaisaran Romawi. Dan pengaruhnya bertambah lagi
ketika agama kristiani resmi diakui dengan dekrit Milan oleh kaisar Konstantin. Ide-ide baru
yang disebar oleh agama baru ialah :
1. Alam semesta dan seluruh isinya diciptakan oleh Allah.
2. Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai kesatuan.
3. Manusia diciptakan sebagai manusia bebas, tetapi tidak boleh menyalah gunakan
kebebasannya.
3 Ibid., Hlm 14.
Sementara di Timur Tengah timbullah suatu agama baru yakni Islam. Sejak tahun
lahirnya hijriah (622 ses. Masehi) agama itu mulai disebarluaskan di bagian-bagian Asia,
Afrika dan Eropa Selatan. Bangsa yang pertama menerima agama baru itu adalah bangsa
Arab. Diantara kebenaran-kebenaran yang diwartakan agama Islam sebagai pondamen hidup
yakni :
1. Allah adalah satu, Pencipta dan Hakim, Mahakuasa.
2. Manusia harus menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan.
Pada abad pertengahan ini juga ditandai dengan suatu pandangan hidup manusia yang
merasa dirinya tidak berarti tanpa Tuhan. Selama abad pertengahan tolak ukur pada setiap
pemikiran orang adalah kepercayaan bahwa aturan semesta alam telah ditetapkan oleh Allah
SWT. Hukum pada mulanya dipandang sebagai suatu aturan yang berasal dari Allah. Oleh
karena itu, untuk membentuk hukum positif manusia sebenarnya hanya ikut mengatur hidup.
Menurut agama Kristiani hukum berhubungan dengan wahyu secara tidak langsung yaitu
hukum yang dibuat manusia disusun di bawah inspirasi agama dan wahyu. Sementara paham
dalam agama Islam hukum berhubungan dengan wahyu secara langsung, sehingga hukum
agama Islam dipandang sebagai bagian wahyu (Syari’ah).4
3. Zaman Modern
a. Zaman Renaissance : Hukum dipandang dalam hubungannya dengan kebebasan
manusia.
Pada abad pertengahan pusat perhatian pemikiran adalah Allah, lalu kemudian
dipandang ciptaan-nya terutama manusia. Namun pada zaman Renaissance perhatian
pertama diarahkan kepada manusia, sehingga manusia menjadi titik tolak pemikiran.
Hal ini tidak berarti bahwa sikap religius pada orang-orang zaman itu hilang,
melainkan sikap hidup religius terpisah dengan kehidupan lainnya. Di zaman inilah
para filsuf pada umumnya memisahkan urusan yang berkaitan dengan agama dengan
non-agama yang biasa disebut adanya dikotomi antara urusan dunia dengan urusan
akhirat.5
4 Theo Huijbers, op. cit., hlm 355 Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta : Kanisius, 1980), hlm 12
b. Zaman Rasionalisme : hukum dipandang secara rasional dalam sistem negara dan
hukum . Filasafat hukum di zaman ini berdasarkan rasionalitas pemikiran manusia dan
empirisme. Zaman rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad XVII sampai akhir
abad XVIII. Istilah rasionalisme menandakan semangat zaman akal budi manusia
diutamakan. Zaman rasionalisme menemukan puncaknya pada Kant, yang berusaha
mendamaikan aliran rasionalisme dan empirisme dalam suatu sistem filsafat yang
sungguh-sungguh teruji oleh akal budi. Kritisisme Kant ini dapat dipandang sebagai
penutup zaman rasionalisme dan pembukaan abad XIX. Hal ini membuka zaman baru
yang dapat melahirkan aspirasi revolusi Prancis pada tahun 1789.6
Selama abad XIX manusia makin sadar akan kemampuannya untuk mengubah keadaan dalam
segala bidang hidup. Manusia dipandang sebagai suatu wujud dinamis yang makin
berkembang dalam sejarah, oleh karena itu pada abad ini manusia mulai diperhatikan
sungguh-sungguh. Hal ini dialami secara konkret dalam dua revolusi politik besar pada akhir
abad XVIII. Revolusi pertama terjadi di Amerika pada tahun 1776 dan kedua di Prancis pada
tahun 1789. Revolusi-revolusi itu menghancurkan gagasan-gagasan tradisional tentang
susunan masyarakat yang berdasarkan prinsip perbedaan antara orang-orang atas (elite) dan
rakyat. Pada abad XIX sebaiknya ditandai sebagai abad perkembangan atau evolusi
berdasarkan bertambahnya kesadaran manusia tentang kekuasaan sendiri. Salah satu filsuf
yang dikenal di zaman modern yaitu : Rudolf von Jhering (1818) menolak teori Hegel. Hegel
mengungkapkan bahwa hukum adalah ekspresi dari kemauan umum dan tidak mampu melihat
bahwa faktor-faktor utilitaristis menentukan eksistensi hukum. Rudolf von Jhering bercirikan
aliran filsafat hukum yang biasa disebut positivisme, sebab ia mendefinisikan hukum sebagai
sejumlah aturan yang memaksa berlaku dalam suatu negara. Di zaman ini para filsuf
memusatkan perhatiannya pada penggarapan terhadap landasan dari kebijakan hukum (politik
hukum) yang lebih mendetail.
4. Zaman Modern
a. Abad XX ( Perubahan Pada Bidang Sosial dan Politik )
6 Ibid., h. 18
Dalam abad ini bangsa-bangsa makin terjalin kehidupannya satu sama lain. Bangsa-
bangsa yang dijajah berabad-abad lamanya mulai bangkit untuk merebut
kemerdekaannya. Akibatnya pada pertengahan abad ini era kolonialisme berhenti,
negara-negara Asia dan Afrika menjadi merdeka. Sesudah perang dunia kedua banyak
orang mengharapkan bahwa berkat komunikasi yang makin besar pemimpin-
pemimpin bangsa makin bersatu dalam pandangannya terhadap hidup bersama dan
mau bekerja sama demi kesejahteraan rakyat. Akan tetapi harapan tersebut masih
sangat jauh, karena pada era ini masing-masing blok masih mementingkan
kepentingannya sendiri. Dilihat dari sudut ini dunia sekarang terbagi pada tiga bagian
Negara yang sudah maju (negara industri kaya), Negara komunis (seperti Rusia) dan
Negara yang sedang berkembang (negara bekas jajahan).
b. Perubahan Pada Bidang Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan
Salah satu gejala yang menonjol dalam abad ini ialah bahwa kebudayaan dunia barat
makin disebarluaskan di seluruh dunia. Kebudayaan yang dimaksud ialah kebudayaan
yang menciptakan dunia modern (yang ditandai dengan ilmu-illmu pengetahuan dan
teknik). Sebelum abad XX faktor kebudayaan ini merupakan monopoli beberapa
bangsa, malahan hanya kalangan elite bangsa-bangsa itu. Maka barulah pada abad ini
ilmu pengetahuan dan teknik menjadi milik semua bangsa dan semua golongan
masyarakat di seluruh dunia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknik ini cara
berpikir manusia dipengaruhi juga yakni makin diterima bahwa cara berpikir secara
filsafat kurang bermanfaat. Hal-hal lainya yang juga dipengaruhi oleh perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknik ialah timbulnya problema-problema baru khususnya
dalam bidang etika. Contoh : penggunaan bom atom.7
Dari sejarah filsafat hukum dapat dipelajari bahwa pada zaman dulu hukum alam sering kali
dianggap sebagai hukum yang sah. Pada zaman Yunani-Romawi hukum alam disamakan
dengan prinsip-prinsip suatu aturan ilahi yang terkandung dalam alam itu. Dalam pandangan
filsuf Yunani kuno seperti Plato, Aristoteles dan Stoa hukum ditanggapi sebagai pernyataan
dari Tuhan. Pada abad pertengahan hukum diartikan sebagai pernyataan kehendak Tuhan
7 Theo Huijbers, op. cit., hlm 140-144
dengan alam dan dengan manusia. Sedangkan pada zaman sekarang ini filsuf-filsuf yang
menerima suatu hukum alam memandangnya sebagai norma bagi hukum positif. Pandangan
zaman Yunani-Romawai tentang hukum alam sangat berbeda dengan zaman sekarang yang
berhubung hak-hak manusia. Zaman dulu hak-hak itu belum diakui sama sekali, bahkan juga
dilanggar umpamanya perbudakan. Pada zaman sekarang bertambahlah kesadaran bahwa
hukum harus dikaitkan dengan keadilan supaya dapat dipandang hukum. Atau dengan kata-
kata lain bahwa orang makin yakin bahwa hukum positif harus menurut norma-norma yang
tertentu yakni prinsip-prinsip keadilan. Hukum yang berlaku dalam sebuah negara disebut
hukum positif. Asal mula hukum ini ialah penetapan oleh pimpinan yang sah dalam negara.
Keadilan dalam arti platon merupakan suatu tolak ukur normatif keabsahan suatu tatanan
sosial. Karena adil berarti bahwa hak semua pihak terjamin. Sedangkan Thomas Aquinas
memandang bahwa keadilan itu merupakan suatu kesamaan proporsional. Thomas Aquinas
membedakan keadilan dalam tiga bagian diantaranya :
a. Keadilan distributif : yang menyangkut hal umum.
b. Keadilan tukar menukar : yang menyangkut barang yang ditukar.
c. Keadilan legal : yang menyangkut keseluruhan hukum.8
Jika rakyat membicarakan tentang hukum, berarti rakyat menuntut untuk dapat hidup bersama
dalam masyarakat yang diatur secara adil. Rakyat meminta supaya tindakan-tindakan yang
diambil adalah sesuai dengan suatu norma yang lebih tinggi daripada norma hukum dalam
undang-undang. Norma yang dimaksud sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Hukum hanya
dapat dipandang sebagai hukum bila tidak menentang keadilan, konsekuensinya ialah bahwa
peraturan yang tidak adil bukanlah hukum yang sebenarnya. Atau dengan kata lain seandainya
hukum lepas dari norma-norma keadilan kemungkinan ada bahwa hukum yang ditetapkan
adalah hukum yang tidak adil.
Pada zaman modern perhatian pertama diarahkan kepada manusia, sehingga manusia menjadi
titik tolak pemikiran. Di zaman ini juga para filsuf pada umumnya memisahkan urusan yang
berkaitan dengan agama dengan non-agama yang biasa disebut adanya dikotomi antara urusan
dunia dengan urusan akhirat. Keadilan dipandang sebagai tolak ukur normatif. Oleh
karenanya setiap hukum yang diputuskan oleh orang yang berkuasa harus bisa memberikan
8 Franz Magnis Suseno, Berfilsafat Dari Konteks, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm 208.
kenyamanan bagi orang yang mendapatkannya. Jika suatu hukum tidak berdasarkan suatu
keadilan hukum tersebut akan kehilangan arti sebagai hukum.
B. PENGERTIAN
Semenjak kita duduk di bangku pendidikan lanjutan serta Perguruan Tinggi kita sering
mendengar tentang filsafat, apakah sebenarnya filsafat tersebut? Seseorang yang berfilsafat
diumpamakan seorang yang berpijak dibumi sedang tengadah ke bintang-bintang, dia ingin
mengetahui hakikat keberadaan dirinya, ia berfikir dengan sifat menyeluruh (tidak puas jika
mengenal sesuatu hanya dari segi pandang yang semata-mata terlihat oleh indrawi saja). Ia
juga berfikir dengan sifat (tidak lagi percaya begitu sajabahwa sesuatu itu benar). Ia juga
berfikir dengan sifat spekulatif (dalam analisis maupun pembuktiannya dapat memisahkan
spekulasi mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak), dan tugas utama filsafat adalah
menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan Kemudian lebih mengerucut lagi adalah
Filsafat hukum, yaitu ilmu yang mempelajari hukum secara filosofi, yang dikaji secara luas,
mendalam sampai kepada inti atau dasarnya yang disebut dengan hakikat, serta mengajar kan
orang berfikir secara Prediktif yaitu memprediksi, mengkaji apa yang akan terjadi di depan
dengan dasar dari gejala-gejala yang terjadi pada saat ini, dan tujuan mempelajari filsafat
hukum untuk memperluas cakrawala pandang sehingga dapat memahami dan mengkaji
dengan kritis atas hukum dan diharapkan akan menumbuhkan sifat kritis sehingga mampu
menilai dan menerapkan kaidah-kaidah hukum. Filsafat hukum ini berpengaruh terhadap
pembentukan kaidah hukum sebagai hukum in abstracto . Jika kita berbicara filsafat, kita
seakan berada pada ranah yang sangat abstrak, dan filsafat hukum merupakan cabang dari
filsafat, filsafat hukum mempunyai fungsi yang strategis dalam pembentukan hukum di
Indonesia.
Dapat juga dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat yang membicarakan
apa hakekat hukum itu, apa tujuannya, mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk
kepada hukum. Disamping menjawab pertanyaan masalah-masalah umum abstrak tersebut,
filsafat hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai hubungan antara hukum dan
moral (etika) dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum. Kajian tentang filsafat
hukum merupakan studi yang sifatnya mendasar dan komprehensif dalam ilmu hukum. Hal ini
karena filsafat hukum merupakan landasan bagi hukum positif yang berlaku di suatu negara,
demikian halnya dalam pengaturan HAM. Kajian tentang filsafat hukum merupakan studi
yang sifatnya mendasar dan komprehensif dalam ilmu hukum. Hal ini karena filsafat hukum
merupakan landasan bagi hukum positif yang berlaku di suatu negara, demikian halnya dalam
pengaturan HAM. Landasan filsafat negara sangat menentukan bagaimana pola pengaturan
HAM di negara yang bersangkutan, apakah negara itu berpaham liberalis, sosialis maupun
Pancasialis. Pancasila sebagai philosophische gronslag bangsa Indonesia merupakan dasar
dari filsafat hukum Pancasila yang selanjutnya menjadi dasar dari hukum dan praktek hukum
di Indonesia. perenungan dan perumusan nilai-nilai filsafat hukum juga mencakup
penyerasian nilai-nilai, misalnya penyerasian antara ketertiban dengan ketentraman, antara
kebendaan dengan keakhlakan, dan antara kelanggengan dengan konservatisme dengan
pembaharuan.9
Terdapat beberapa pengertian Filsafat Hukum menurut beberapa ahli yang diantaranya
adalah ;
1. Menurut Soetikno
Filsafat adalah mencari hakikat dari hukum, dia ingin mengetahui apa yang ada
dibelakang hukum, mencari apa yang tersembunyi di dalam hukum, dia menyelidiki
kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai, dia memberi penjelasan mengenai
nilai, postulat (dasar-dasar) sampai pada dasar-dasarnya, ia berusaha untuk mencapai
akar-akar dari hukum.
2. Menurut Satjipto Raharjo
Filsafat hukum mempelajari pertanyaan-pertanyaan dasar dari hukum. Pertanyaan tentang
hakikat hukum, tentang dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum, merupakan contoh-
contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar yang demikian itu, filsafat
hukum bisa menggarap bahan hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut
pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu
tata hukum tertentu dan mempertanyakan konsistensi logis asa, peraturan, bidang serta
system hukumnya sendiri.
3. Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto
9 purnadi purbacaraka & soerjono soekanto, “Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum” , Alumni, 1979, hlm 11.
Filsafat hukum adalah perenungan dan perumusan nilai-nilai, kecuali itu filsafat hukum
juga mencakup penyerasian nilai-nilai, misalnya penyelesaian antara ketertiban dengan
ketenteraman, antara kebendaan dan keakhlakan, dan antara kelanggengan atau
konservatisme dengan pembaruan.
4. Menurut Lili Rasjidi
Filsafat hukum berusaha membuat “dunia etis yang menjadi latar belakang yang tidak
dapat diraba oleh panca indera” sehingga filsafat hukum menjadi ilmu normative, seperti
halnya dengan ilmu politik hukum. Filsafat hukum berusaha mencari suatu cita hukum
yang dapat menjadi “dasar hukum” dan “etis” bagi berlakunya system hukum positif
suatu masyarakat (seperti grundnorm yang telah digambarkan oleh sarjana hukum bangsa
Jerman yang menganut aliran-aliran seperti Neo kantianisme).
Manusia pada hakikatnya ingin hidup dengan damai dan berada dalam keteraturan, maka
untuk mewujudkan keinginan tersebut terbentuklah suatu kesepakatan diantara suatu golongan
masyarakat untuk membentuk sebuah peraturan yang mengikat kepada seluruh elemen
masyarakat, peraturan-peraturan inilah yang kemudian kita sebut dengan hukum.
Pengertian hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Marcus Tullius Cicero (106-
43 SM), ahli hukum terbesar bangsa Romawi, pernah mengatakan, di mana ada masyarakat di
situ ada hukum (ubi societas, ibi ius). Hukum berfungsi untuk mengatur pergaulan antar
manusia.10 Biasanya ada beberapa orang yang dipercaya oleh masyarakat tersebut untuk
membuat dan menetapkan kebijakan hukum yang akan diberlakukan di daerah masyarakat
tersebut, orang-orang yang diberi kewenangan untuk menentukan kebijakan tersebut
merupakan orang yang bertanggungjawab terhadap lingkungan masyarakatnya. Selanjutnya,
pengertian hukum pun tidak dapat dipisahkan dengan negara dalam arti luas (masyarakat
bernegara).
Berbicara tentang negara, kita berbicara tentang organisasi kekuasaan, sehingga hukum
pun erat sekali hubungannya dengan kekuasaan. Seperti dinyatakan oleh Mochtar
Kusumaatmadja (1970:5), hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, dan kekuasaan tanpa
hukum adalah kelaliman. Dalam penentuan hukum itu sendiri tidak terlepas dari kekuasaan
10 Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 11
dan kewenangan dari pembuat kebijakan tersebut. Hukum memerlukan kekuasaan bagi
pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum. Di
sini kita melihat betapa erat hubungan antara hukum, negara, dan kekuasaan itu.
Walaupun terdapat hubungan yang erat, tidak berarti negara berdasarkan atas hukum
identik dengan negara berdasarkan atas kekuasaan. Seperti dinyatakan dalam penjelasan
Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945), negara kita adalah negara hukum (rechtsstaat).
Bukan negara kekuasaan (machtssaat). Dengan demikian, hukum mempunyai kedudukan
yang tinggi dalam negara.11
Hukum harus menghasilkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Apabila hukum
dan kekuasaan yang dijalankan tidak mewujudkan ketiga tujuan vital di atas, maka
pelaksanaan hukum dan kekuasaan tersebut hanyalah semu, mementingkan kepentingan
individu atau segolongan pemimpin saja. Lalu dalam kajiannya hal yang perlu dipertanyakan
adalah mengapa hukum dipengaruhi oleh kekuasaan. Mengapa hukum dapat dijadikan
sebagai alat melanggengkan kekuasaan (bagi pemegang kekuasaan yang jahat). Selanjutnya
bagaimanakah hubungan hukum dengan kekuasaan.
C. PERMASALAHAN
Mengapa hukum yang biasa digunakan sebagai alat kekuasaan negara dalam realitasnya
seringkali bertolak belakang dengan cita-cita hukum yang ada ?
11 Darji Darmodiharjo dan Sidharta. Pokok-pokok Filsafat Hukum. 1995.(Jakarta: PT. GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA) hal.188-189.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum dipengaruhi kekuasaan dan kekuasaan dipengaruhi oleh hukum
Kekuasaan tanpa suatu aturan maka akan mengkondisikan keadaan seperti hal nya hutan
rimba yang hanya berpihak kepada yang kuat dalam dimensi sosial. Disnilah hukum berperan
dalam membentuk rambu-rambu cara bermain pihak-pihak yang berada di lingkaran
kekuasan. Hal tersebut bisa ditemui di konstitusi dimana konstitusi secara garis besar berisi
tentang bagaimana mengatur, membatasi dan menyelenggarakan kekuasaan dan mengatur
tentang Hak Asasi Manusia. Peran hukum dalam mengatur kekuasaan berada dalam lingkup
formil.
Kekuasaan yang diatur hukum merupakan untuk kepentingan masyarakat luas agar
masyarakat yang merupakan objek dari kekuasaan tidak menjadi korban dari kekuasaan.
Selain sebagai kepentingan masyarakat, hukum dalam mempengaruhi kekuasaan juga berguna
sebagai aturan bermain pihak-pihak yang ingin berkuasa atau merebut kekuasaan. Aturan
tersebut berguna sebagai cara main yang fair yang bisa mngkoordinir semua pihak yang
terlibat dalam kekuasaan. Hukum dalam hal ini tidak hanya mengatur masyarakat tetapi juga
mengatur pihak-pihak yang memiliki kekuasaan.12
Eksistensi hukum tanpa ada kekuasaan yang melatarbelakanginya membuat hukum
menjadi mandul. Oleh karena itu perlunya suatu kekuasaan yang melatarbelakangi hukum.
Muncul pertanyaan bagaimana kekuasaan yang hanya dipegang oleh segelintir orang bisa
dipercaya untuk mempengaruhi hukum yang bertujuan untuk mengatur masyarakat. Untuk
menjawab pertanyaan tersebut maka bisa didekati dengan metode konseptual bukan empiris
karena secara empiris kebanyakan hukum hanya digunakan untuk melegalkan kepentingan
penguasa saja.
Secara konseptual, kekuasaan yang dimiliki oleh sebagain pihak berangkat dari rasa tidak
nyaman masyarakat terhadap keadaan-keadaan yang dianggap bisa menggoyahkan kestabilan
masyarakat. Hal ini sama saja baik dalam masyarakat yang liberal ataupun sosialis.
Masyarakat tersebut sepakat untuk memberikan mandat kepada sekelompok orang untuk
12 http://samardi.wordpress.com/2011/11/01/hubungan-hukum-dan-kekuasaan/ Rabu, 12 Desember 2012: pukul 16:48 WIB
berkuasa dan memiliki kewenangan untuk mengatur mereka agar tetap tercipta kestabilan
sosial. Kewenangan untuk mengatur masyarakat dari penguasa itulah terletak hukum.
Dalam perkembangannya tentu saja tidak dapat dihindari bahwa setiap rezim penguasa
memiliki karakteristik tertentu. Karakteristik tersebut dapat dilihat dari karakteristik hukum
yang menjadi produk politiknya. Karakteristik hukum ternyata berjalan linier dengan
karaktersitik rezim kekuasaan yang melatarbelakangi hukum. Apabila kekuasaannya
demokratis, maka produk hukumnya berkarakter responsif sedangkan apabila kekuasaanya
otoriter, maka produk hukumnya berkarakter konservatif atau ortodoks.
Namun ada asumsi bahwa antara demokrasi dan otoriter ambigu. Artinya tidak bisa
dilihat secara tegas pembedanya. Bisa saja penguasa yang otoriter di suatu negara berdalih
bahwa karakterisitik produk hukum yang bersifat konservatif digunakan untuk melingungi
masyarakat. Dalam hal ini demokratis yang dari, untuk dan oleh rakyat mengalami
pengurangan peran hanya untuk rakyat sehingga rakyat sekedar menikmati hasil atau
kemanfaatannya.
B. Hubungan Hukum dengan Kekuasaan
Yang dapat, memberi atau memaksakan sanksi terhadap pelanggaran kaedah hukum
adalah penguasa, karena penegakan hukum dalam hal ada pelanggaran adalah monopoli
penguasa. Penguasa mempunyai kekuasaan untuk memakasakan sanki terhadap pelanggaran
kaedah hukum. Hakekat kekuasaan tidak lain adalah kemampuan seseorang untuk
memaksakan kehendaknya kepada orang lain.
Hukum ada karena kekuasaan yang sah. Kekuasaan yang sahlah yang menciptakan
hukum. Ketentuan-ketentuan yang tidak berdasarkan kekuaaan yang sah pada dasarnya
bukanlah hukum. Jadi, hukum bersumber pada kekusaan yang sah.13 Di dalam sejarah tidak
jarang kita jumpai hukum yang tidak bersumber pada kekuasaan yang sah atau kekuasaan
yang menurut hukum yang berlaku sesungguhnya tidak berwenang. Revolusi misalnya
merupakan kekuasaan yang tida sah (coup de’etat) dan sering merupakan kekuasaan atau
kekuasaan fisik. Kekuatan hukum ini seringkali menghapus hukum yang lama dan
menciptakan hukum yang baru. Revolusi baru menciptakan hukum atau revolusi itu mendapat
dukungan dari rakyat dan berhasil. Kalau tidak berhasil maka revolusi tidak merupakan
13 Khoirul Anam. 2011. Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan. (Yogyakarta: Inti Media), hal 1
sumber hukum.Dalam UU no. 19 tahun 1964 revolusi disebut sebagai sumber hukum. Jadi
hukum dapat pula bersumber pada kekuatan fisik , tetapi kekuatan fisik bukan merupakan
sumber hukum.
Sebaliknya hukum itu sendiri pada hakekatnya adalah kekuasaan. Hukum itu mengatur,
mengusahakan ketertiban dan membatasi uang gerak individu.Tidak mungkin hukum
menjalankan fungsinya itu kalau tidak merupakan kekuasaan. Hukum adalah kekuasaan,
kekuasaan yang mengusahakan ketertiban.
Walaupun kekuasaan itu adalah hukum, namun kekuasaan tidak identik dengan hukum.
Mengenai hal ini Van Apeldorn mengemukakan bahwa hukum adalah kekuasaan, akan tetapi
kekuasaan tidak selamanya hukum. “Might is not right” , pencuri berkuasa atas barang yang
dicurinya, akan tetapi tidak berarti bahwa ia berhak atas barang itu.14 Karena barang yang
didapat si pencuri tersebut didapatkan dengan cara melawan hukum.
Sekalipun hukum itu kekuasaan, mempunyai kekuasaan untuk memaksakan berlakunya
dengan sanksi, namun hendaknya dihindarkan jangan sampai menjadi hukum kekuasaan,
hukum bagi yang berkuasa. Karena ada bahkan banyak penguasa yang menyalahgunakan
hukum, menciptakan hukum itu semata-mata untuk kepentingan penguasa itu sendiri atau
yang sewenang-wenang mengabaikan hukum, maka muncullah istilah “rule of law”.
Apakah yang dimaksud dengan rule of law? Dari bunyi kata-katanya rule of law berarti
pengaturan oleh hukum. Jadi yang mengatur adalah hukum, hukumlah yang memerintahkan
atau berkuasa. Ini berarti supremasi hukum. Memang rule of law biasanaya diartikan secara
singkat sebagai “governance not by man but by law”. Perlu diingat bahwa hukum adalah
perlindungan kepentingan manusia, hukum adalah untuk manusia, sehingga “governance not
by man not by law” tidak boleh diartikan bahwa manusiannya pasif sama sekali dan menjadi
budak hukum.15
Pada hubungan hukum dan kekuasaan ada dua macam. Pertama, hukum adalah
kekuasaan itu sendiri. Menurut Lessalle dalam pidatonya yang termashur Uber
Verassungswessen, “konstitusi sesuatu negara bukanlah undang-undang dasar tertulis yang
hanya merupakan “secarik kertas”, melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata
dalam suatu negara” Pendapat Lessale ini memandang konstitusi dari sudut kekuasaan.
14 Salman Luthan, Jurnal Hukum : Hubungan Hukum dan Kekuasaan, 14 April 2007, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Hlm. 174-175.15 Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. 2007. (Yogyakarta: Liberty).hlm.20-21.
Dari sudut kekuasaan, aturan-aturan hukum yang tertuang dalam konstitusi suatu negara
merupakan deskripsi struktur kekuasaan yang terdapat dalam negara dan hubungan-hubungan
kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara. Dengan demikian aturan-aturan hukum yang
termuat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan deskripsi struktur kekuasaan
ketatanegaraan Indonesia dan hubungan-hubungan antara lembaga-lembaga negara. Hakekat
hukum dalam konteks kekuasaan menurut Karl Olivercona antara lain daripada ”kekuatan
yang terorganisasi”, di mana hukum adalah “seperangkat aturan mengenai penggunaan
kekuatan”.
Kekuasaan dalam konteks hukum berkaitan dengan kekuasaan negara yaitu kekuasaan
untuk mengatur dan menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang
meliputi bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dengan demikian, kekuasaan merupakan
sarana untuk menjalankan fungsi-fungsi pokok kenegaraan guna mencapai tujuan negara.
Kekuasaan dalam konteks hukum meliputi kedaulatan, wewenang atau otoritas, dan hak.
Ketiga bentuk kekuasaan itu memiliki esensi dan ciri-ciri yang berbeda satu sama lain dan
bersifat hirarkis. Kekuasaan tertinggi adalah kedaulatan, yaitu kekuasaan negara secara
definitif untuk memastikan aturan-aturan kelakuan dalam wilayahnya, dan tidak ada pihak,
baik di dalam maupun di luar negeri, yang harus dimintai ijin untuk menetapkan atau
melakukan sesuatu. Kedaulatan adalah hak kekuasaan mutlak, tertinggi, tak terbatas, tak
tergantung, dan tak terkecuali.
Kedaulatan atau souvereignity adalah ciri atau atribut hukum dari negara-negara; dan
sebagai atribut negara dia sudah lama ada, bahkan ada yang berpendapat bahwa kedaulatan itu
mungkin lebih tua dari konsep negara itu sendiri. Dalam teori kenegaraan, ada empat bentuk
kedaulatan sebagai pencerminan kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Keempat bentuk
kedaulatan itu adalah kedaulatan Tuhan (Godsouvereiniteit), kedaulatan negara
(staatssouvereiniteit) ,kedaulatan hukum (rechtssouvereinteit), dan kedaulatan rakyat
(volksouvereinteit).16
Bentuk kedua kekuasaan dalam konteks hukum adalah wewenang. Wewenang berasal
dari bahasa Jawa yang mempunyai dua arti, yaitu pertama, kuasa (bevoegdheid) atas sesuatu.
Kedua, serangkaian hak yang melekat pada jabatan atau seorang pejabat untuk mengambil
16 http://tommirrosandy.wordpress.com/2011/03/02/hubungan-hukum-dengan-kekuasaan/ Rabu, 12 Desember 2012, pukul 18:05 WIB
tindakan yang diperlukan agar tugas pekerjaan dapat terlaksana dengan baik, kompetensi,
yurisdiksi, otoritas.
Adalah ciri khas negara bahwa kekuasaannya memiliki wewenang. Maka kekuasaan
negara dapat disebut otoritas atau wewenang. Otoritas atau wewenang adalah “kekuasaan
yang dilembagakan”, yaitu kekuasaan yang defakto menguasai, melainkan juga berhak
menguasai. Wewenang adalah kekuasaan yang berhak menuntut ketaatan, jadi berhak
memberikan perintah.
Bentuk ketiga kekuasaan dalam hukum adalah hak. Salmond merumuskan hak sebagai
kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum. Rumusan yang hampir sama
dikemukakan oleh Allend yang menyatakan bahwa hak itu sebagai suatu kekuasaan
berdasarkan hukum yang dengannya seseorang dapat melaksanakan kepentingannya (The
legally guaranteed power to realise an interest).
Sedangkan menurut Holland hak itu sebagai kemampuan seeorang untuk mempengaruhi
perbuatan atau tindakan seseorang tanpa menggunakan wewenang yang dimilikinya, tetapi
didasarkan atas suatu paksaan masyarakat yang terorganisasi.
Definisi hak menurut Holmes adalah “nothing but permission to exercise certain natural
powers and upon certain conditions to obtain protection, restitution, or compensation by the
aid of public force” . Hak dapat pula diartikan sebagai kekuasaan yang dipunyai seseorang
untuk menuntut pemenuhan kepentingannya yang dilindungi oleh hukum dari orang lain, baik
dengan sukarela maupun dengan paksaan.
Pengakuan hukum terhadap hak seseorang mengandung konsekuensi adanya kewajiban
pada pihak atau orang lain. Hal itu bisa terjadi karena hubungan hak dan kewajiban bersifat
resiprokal atau timbal balik. Hubungan hak dan kewajiban terjadi dalam konsep hubungan
hukum (konsep subjektif).
C. Politik, Uang dan Kekuasaan
Dalam beberapa minggu ini publik disuguhi sebuah drama yang panas karena fakta
hukum dan politik saling berimpit. Drama yang dimaksud adalah penangkapan Presiden
sebuah partai Islam terbesar saat ini (baca: Partai Keadilan Sejahtera atau PKS), Ust Luthfi
Hasan Ishaq (LHI). LHI ditangkap dengan tuduhan suap impor daging sapi. Namun, belum
tuduhan ini selesai disidangkan , kasus ini sudah merambah ke ranah hukum lain yaitu
tuduhan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang diikuti dengan penyitaan rumah dan
mobil yang dianggap hasil dari praktek pencucian uang korupsi tersebut. PKS tidak tinggal
diam dan melakukan pembelaan diri karena merasa kasus LHI menjadi sarat dengan agenda
penjatuhan citra PKS dan KPK dianggap telah terjebak irama dan rentak politik yang sedang
diatur para kompetitor PKS. Saling klaim kebenaran dan fakta hukum pun terjadi. PKS
merasa ada proses hukum yang tidak normal terhadap proses hukum LHI, tetapi KPK pun
bersikukuh ini adalah murni masalah hukum.
Dalam literatur klasik politik, ada adagium tentang kekuasaan yang selalu diajarkan di
kelas-kelas ilmu politik dan hukum tata negara. Lord Acton misalnya menyatakan “power
tends to corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely”. Artinya, kekuasaan itu
cenderung korup dan kekuasaan yang absolut, maka akan korup juga secara absolut. Kalimat
ini lahir dari trauma sejarah kekuasaan raja-raja di Eropa yang absolut, sehingga akhirnya
kekuasaan yang absolut itu diakhiri. Walaupun faktanya rezim-rezim yang muncul pasca
kekuasaan raja-raja pun juga terbukti korup. Tentu dengan modus dan gaya yang berbeda. Di
dalam bentuk kekuasaan raja yang absolut, korupsi cenderung tersentral di lingkar raja dan
istana. Tapi di sebuah rezim dengan konsep modern state (diktatorial dan demokrasi), korupsi
dilakukan secara lebih massif oleh penguasa dan para kroninya. Contohnya di zaman Rezim
Soeharto.
Dalam kaitan dengan KPK dan PKS, apakah kedua lembaga ini steril dari kecenderungan
penyalagunaan kekuasaan ? Jawabannya pasti tidak. PKS sebagai partai Islam sekalipun bisa
jadi berbuat kesalahan karena mereka bukan kumpulan malaikat yang tanpa nafsu. Buktinya,
beberapa kasus hukum juga melanda oknum kader PKS seperti Misbakhun (kemudian divonis
bebas oleh MA) dan yang hangat sekarang adalah kasus LHI yang masih dalam proses
persidangan. Presiden PKS, Anis Matta juga menyatakan bisa jadi ada kekeliruan di dalam
diri kader PKS, tapi PKS harus cepat berbenah dan bertobat secara nasional. Di sinilah letak
kemanusiaan dan jiwa besar elit di PKS. Sekali lagi mereka bukan malaikat.
Bagaimana kalau ada oknum kader partai politik yang terlibat korupsi dan mengalirkan
sebagian uang tersebut untuk kegiatan partai politik terkait? Apakah partainya harus
dibekukan? Jawabannya tentu tidak karena yang bersalah oknumnya. Bukan partainya. Jika
karena oknum itu partai dibekukan, maka bisa dipastikan habislah partai yang ada di negara
ini. Golkar, PDIP, PPP, Demokrat, PAN, PKS dan partai lainnya pernah terjerat dengan kasus
korupsi. Ormas-ormas bisa juga terjerat dengan TPPU jika ditelusuri pernah terima bantuan
dari oknum koruptor. Banyak ormas yang aktifisnya juga merupakan kader partai politik. Lalu
apakah ormas tersebut dibekukan? Bisa habis juga ormas yang ada di negara ini. Kenapa?
Karena para koruptor itu juga tahu diri dan cerdas dan karenanya mereka juga menyumbang
ke mana-mana, termasuk ke partai, ormas, panti asuhan bahkan narkoba maupun hal-hal yang
bertentangan dengan kesusilaan.
Bagaimana dengan KPK dengan kewenangannya yang sering disebut sebagai lembaga
superbody? Apakah lembaga ini dihuni oleh para malaikat yang tidak punya interest?
Jawabannya sama, KPK juga tidak steril dari interest (nafsu) pribadi orang-orang yang ada di
dalamnya. Beberapa kasus membuktikan, contoh seorang penyidik KPK, Suparman, telah
divonis 8 tahun penjara karena tindak pidana pemerasan dalam kasus korupsi PT. Industri
Sandang Nusantara (2006), Candra Hamzah dan Ade Raharja pernah diperiksa komite etik
karena mengadakan pertemuan dengan Nazaruddin, Mantan Sekjen KPK juga pernah
diperiksa oleh komite etik, dan terakhir kasus bocornya Sprindik dengan terperiksa Ketua
KPK dan staf pribadinya, Wiwin Suwandi.
Apakah dengan kesalahan yang dilakukan oleh oknum-oknum KPK melahirkan
kesimpulan KPK sebaiknya dibekukan? Jawabannya juga tidak karena yang salah bukan
KPK, tetapi orang yang berada di dalam KPK tersebut. KPK sebagai sebuah institusi tetaplah
lembaga yang sangat diperlukan sebagai garda terdepan dalam agenda pemberantasan korupsi.
KPK sebagai institusi harus dikawal dan terus dikritik seperti halnya kita harus mengkritik
partai politik agar terus berbenah agar netral dan tidak digunakan sebagai palu pemukul bagi
kepentingan politik orang dan kelompok tertentu. Ideologi KPK seharusnya memberantas
korupsi dengan sikap yang adil dan tidak pilih-pilih. Seharusnya Ketua KPK juga menyatakan
secara gentle seperti Presiden PKS bahwa KPK juga bisa salah (sudah ada bukti putusan
pengadilan dan komite etik), orang-orang di KPK juga tidak maksum (tanpa dosa) dan
menyeru tobat nasional juga kepada seluruh aparat di bawahnya. Singkat kata, lembaga negara
apapun di negara ini, dengan kekuasaan yang dimiliki, mempunyai potensi untuk melakukan
kesalahan atau penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang dimiliki. Semakin besar
kekuasaan, maka semakin besar pula kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan tersebut
dilakukan. Oleh karena itulah dalam konsep negara modern separation of power dilengkapi
dengan mekanisme checks and balances agar ada yang mengimbangi dan terus mengawasi
kekuasaan lembaga lain. Sebagai sebuah negara demokrasi kita mau tak mau harus memiliki
institusi partai politik yang kuat agar kepentingan rakyat terwakili. Oleh karena itu, parpol
apapun harus terus dikritik agar parpol tersebut berbenah dan berada di jalan benar. Bukan
menghancurkan parpol tersebut, tetapi ikut membenahinya dengan cara mengkritik.
Kasus lainnya adalah penggerebekan kasus Rafi Ahmad yang sampai sekarang belum
diketahui secara percis apakah memang murni pesta narkoba atau hanya sekedar politik kotor?
Selain Raffi Ahmad, terdapat juga Wanda Hamidah, anggota DPRD DKI Jakarta, pasangan
artis Irwansyah dan Zaskia Sungkar serta dan 13 orang lainnya, dari uji urine, 5 diantaranya
positif menggunakan narkoba. Diantara kelima orang tersebut, tidak ada nama nama artis
diatas. Di tempat kejadian juga ditemukan barang bukti berupa narkoba. Benarkah
penggerebekan BNN ini betul betul merupakan murni pengintaian dari BNN atau ada skenario
politik di dalamnya?
Saya melihat kasus ini dengan 2 sudut pandang. Sudut pandang yang pertama adalah,
kasus ini murni merupakan kasus penyalahgunaan narkoba di kalangan artis. Seperti yang kita
ketahui bersama, dunia artis merupakan dunia yang penuh dengan suasana glamour, hedonis,
clubbing, dunia malam, dan lain sebagainya. Keadaan yang seperti itu merupakan ladang
empuk bagi pengedar narkoba untuk memasarkan narkobanya. Dunia malam merupakan salah
satu faktor utama yang mendukung peredaran narkoba di kalangan para artis ini. Kita ketahui
bersama bahwa untuk menjadi seorang artis itu memberikan tekanan yang berat untuk selalu
tampil prima dan dapat survive dari kerasnya persaingan. Tekanan yang berat ini kemudian
menyebabkan banyak kalangan artis mengalihkannya dengan cara yang instan, pergi ke dunia
malam dan mengkonsumsi narkoba. Tentu di balik peredaran narkoba yang sepertinya terlihat
mudah ini ada bandar yang mengatur khusus mengenai peredarannya agar hanya beredar di
kalangan artis dan orang - orang borjuis saja. Menurut saya sangat sulit menangkap para
gembong pengedar narkoba ini karena sistem distribusi yang mereka lakukan sangat rapi
sehingga kalaupun tertangkap, yang tertangkap itu hanyalah kaki tangannya. Dan yang paling
penting mengapa peredaran narkoba dikalangan artis ini sangat marak terjadi karena hukum
kita yang lemah dalam menjatuhkan vonis kepada para pengguna narkoba ini sehingga tidak
menimbulkan efek jera.
Sudut pandang yang kedua adalah kasus penggerebekan ini merupakan permainan politik
dari partai rival PAN, dimana Wanda Hamidah sebagi anggota legislatif dari partai PAN.
Selain itu, Raffi Ahmad juga di isukan akan mendaftar sebagai caleg dari partai PAN. Partai
rival dari PAN ini ingin menjatuhkan kredibilitas dari partai PAN melalui pemberitaan
kadernya yang tersangkut narkoba. Isu penyalahgunaan narkoba bagi anggota legislatif
maupun calon legislatif merupakan bahan yang sangat empuk untuk di jadikan sebagai senjata
untuk menjatuhkan citra partai politik lain. Partai yang kadernya terkena atau tersandung
kasus narkoba akan menjadi bulan - bulanan serangan dari partai politik lain. Dalam kasus
Raffi Ahmad ini bisa saja informan yang memberi tahu BNN bahwa akan ada pesta di rumah
Raffi Ahmad ini merupakan orang dari partai lain yang ingin menjatuhkan kredibilitas PAN,
Hatta Rajasa, dan SBY, dimana Hatta Rajasa selaku ketua partai PAN merupakan besan dari
SBY. Suhu politik yang memanas menjelang pemilu 2014 bisa jadi membuat para aktivis
partai melakukan segala cara untuk menjatuhkan partai lain.
Dalam penerapannya, hukum memerlukan suatu kekuasaan untuk mendukungnya. Ciri
utama inilah yang membedakan antara hukum di suatu pihak dengan norma-norma sosial
lainnya dan norma agama. Kekuasaan itu diperlukan oleh karena hukum bersifat
memaksa.Tanpa adanya kekuasaan, pelaksanaan hukum di masyarakat akan mengalami
hambatan-hambatan. Semakin tertib dan teratur suatu masyarakat, makin berkurang
diperlukan dukungan kekuasaan. Hukum itu sendiri sebenarnya juga adalah
kekuasaan.Hukum merupakan salah satu sumber kekuasaan.Selain itu hukum pun merupakan
pembatas bagi kekuasaan, oleh karena kekuasaan itu mempunyai sifat yang buruk, yaitu selalu
merangsang pemegangnya untuk ingin memiliki kekuasaan yang melebihi apa yang
dimilikinya dengan mengahalalkan segala cara. Contoh yang popular misalnya sepak terjang
para raja absolute dan dictator.Atau bukan hanya raja bahkan presiden pun jika tidak dibatasi
dengan baik bisa berbuat semena-menadengan kekuasaannya.
Kekuasaan dipandang sebagai penjamin keamanan, kenyamanan, kemakmuran dan
segala kemewahan. Karenanya kekuasaan dicari dengan berbagai cara, tanpa peduli apakah
rasional, wajar, ataukah penuh tipu daya. Pendek kata, demi kekuasaan segala cara dihalalkan.
Dalam realitas kehidupan, banyak orang percaya bahwa kekuasaan dapat diperoleh dengan
merekayasa hukum. Contoh lain: Misal ketika investor ingin mengembangkan usaha
pertambangan, sementara izin usaha berbelit-belit, maka investor segera mendatangi pejabat
setempat agar mengubah aturan perizinan. Tawar-menawar berlangsung seberapa besar
ongkos mesti dibayar, secara timbal balik diperhitungkan dengan prospek keuntungan yang
akan didapat. Kendala izin pertambangan teratasi dengan perubahan aturan main.Aspek
legalitas memberikan kemudahan, kelancaran usaha sekaligus kekuasaan untuk membentengi
diri dari siapa pun yang mengganggunya. Kalau peradaban modern ditandai dengan
pembatasan kekuasaan agar tidak digunakan sewenang-wenang, dan pembatasan itu dilakukan
dengan rambu-rambu hukum, ternyata dalam perkembangannya justru berbalik, yaitu hukum
dikendalikan kekuasaan.Pada kondisi demikian, perlindungan hak-hak warga negara sulit
dijalankan efektif karena tirani kekuasaan berlangsung atas nama hukum. Relasi antara hukum
dan kekuasaan terjalin erat, walaupun tidak mudah untuk menyatakan mana yang lebih
dominan. Kini hukum dan kekuasaan sering melakukan kontrol secara timbal balik,kendati
kekuatannya berbeda. Hukum negara memiliki kualitas kekuatan sebagai 'teknologi dan
mesin', bergerak tertib, teratur dan terukur, sedangkan kekuasaan memiliki kekuatan tak
terstruktur, tergantung manusia pemegangnya(the man behind the gun).
Agar kekuasaan tidak benturan dengan hukum, maka manuver kekuasaan ditempuh
melalui berbagai cara. Sihir dan suap merupakan cara lihai, dan licik untuk memerangkap
hukum masuk ke dalam skema kekuasaan. Ketika hukum dan kekuasaan telah berimpit
melekat, kecenderungannya berubah menjadi 'tirani'. Demi hukum kekuasaan dijalankan dan
demi kekuasaan hukum ditegakkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas kita dapat menjawab pertanyaan terhadap permasalahan yang ada
mengapa kekuasaan negara dalam realitasnya seringkali bertolak belakang dengan cita-cita
hukum. Jawabannya adalah politik, uang(narkoba dan kesusilaan) dan kekuasaan, merupakan
tiga hal yang sepertinya sangat erat hubungannya satu sama lain. Tiga kata yang setali tiga
uang. Mungkin itu pula yang beranggapan bahwa politik tanpa uang ibarat orang yang lumpuh
dan lemah, hanya bisa berkoar – koar tanpa bisa melangkah dan bergerak. Begitu juga antara
politik dan kekuasaan, orang tak bisa menyampaikan tujuan politiknya tanpa memiliki otoritas
dan kekuasaan, sedangkan kekuasaan saat ini, hanya dapat dicapai dengan uang. Jadi ketiga –
tiganya begitu erat, dan bahkan sulit presentasinya untuk dapat dipisahkan satu dengan yang
lainnya.
Sebenarnya sangat wajar, wajar antara politik, uang, dan kekuasaan. Ketiga – tiganya
penting dan perlu agar untuk mencapai kehendak dan tujuan tertentu yang diinginkan, kita
memerlukan kekuasaan, sedangkan untuk mencapai kekuasaan, kita memerlukan strategi
politik dan finansial yang kokoh untuk menggapainya. Dan itu sah – sah saja. Tak ada yang
salah. Yang salah sebenarnya terletak dalam prosesnya. Proses menuju kekuasaan tersebut,
dan proses pasca kekuasaan digapai tersebut. Sehingga tak jarang, beberapa atau banyak wakil
rakyat di negeri ini, seringkali dalam proses menuju kekuasaan itu, sering menggunakan cara
– cara yang bertentangan dengan nilai keluhuran dan norma kemanusiaan, alias menghalalkan
segala cara untuk menggapai kekuasaan. Dan lebih parah lagi pasca memperoleh kekuasaan
yang diinginkan justru kekuasaan yang diperoleh itu tak membawa signifikansi fek
kebermanfaatan bagi rakyat dan masyarakatnya. Seperti apa yang telah dikatakan sebelumnya
oleh Lili Rasjidi bahwa Filsafat hukum berusaha mencari suatu cita hukum yang dapat
menjadi “dasar hukum” dan “etis” bagi berlakunya system hukum positif suatu masyarakat.
Dari kondisi dan kebiasaan yang terus menerus seperti inilah yang pada akhirnya membentuk
paradigma banyak orang yang menganggap bahwa dunia politik itu kotor, penuh dengan
orang – orang busuk didalamnya. Inilah yang terjadi di negeri ini, dan beberapa negara
lainnya sehingga beberapa atau banyak kalangan sudah mulai berpikiran pragmatis dan apatis.
Mereka mau memilih calon tertentu kalau dikasih imbalan uang, dan kalau tidak tidak akan
memilih, apapun alasannya. Rata – rata mereka menggeneralisir bahwa semua calon, dari
partai dan afiliasi politik manapun berhati kotor dan hanya mementingkan perutnya sendiri,
tanpa mempedulikan nasib masyarakat. Dan bahkan tak jarang pasca memperoleh kekuasaan,
mereka berbuat seenaknya, dan bahkans ering terjerat kasus yang hal itu semakin memperkuat
persepsi masyarakat bahwa politik dan kekuasaan itu kotor, kecuali kalau ada imbalannya.
Jadi, bila hukum dan kekuasaan dipergunakan untuk kepentingan penguasa sangat jauh
menyimpang dari tujuan dan cita hukum.
B. SARAN
Fakta inilah yang terjadi. Sekali lagi antara politik, kekuasaan dan uang apabila ketiga-
tiganya berpijak pada hati nurani dan dapat dimanajemen dengan baik, politik itu tidak
selamanya busuk. Mungkin benar banyak orang – orang yang berjiwa busuk dalam berpolitik.
Tetapi kalau kemudian kita malah bersikap apatis dengan dunia perpolitikan, sementara dunia
perpolitikan semakin banyak dikuasai oleh orang – orang busuk, tentu kita tak akan pernah
menyaksikan negeri ini kembali ke puncak kejayaannya. Analoginya begitu. Harus ada ‘orang
– orang baik’ yang terjun kedalam kotornya dunia politik kita, agar dunia politik kita tidak
semakin menghitam. Harus ada orang – orang ‘putih’ yang menghapus persepsi hitam
masyarakat terhadap dunia politik, lalu pelan – pelan membuat dunia politik abu – abu, dan
akhirnya kembali ke warna politik dan kekuasaan yang putih dan menjadi rahmat bagi semua.
Lalu bagaimana caranya, dengan melihat kapasitas intelektual, moral, dan kapasitas nurani
yang dimiliki mereka ? Sebenarnya mudah saja, tentu yang paling mudah adalah dengan
melihat track record calon pemimpin. Kalau dalam track record kepemimpinannya, baik
dalam sekala kecil, ditingkat kecil, seperti keluarga, RT, RW, dan sebagainya dia bagus, dia
layak dikategorikan menjadi calon pemimpin ideal agar antara politik, uang dan kekuasaan
terdapat keseimbangan.
Last but not least, semua lembaga negara dan pejabatnya, dalam menjalankan
kewenangannya harus tunduk pada hukum, bukan menempatkan kekuasaan di atas hukum.
Penegakan hukum juga harus dilakukan dengan cara yang dibatasi oleh hukum, tidak
semenan-mena. Hukum yang ditegakkan semena-mena akan melahirkan tirani atas nama
hukum. Tirani atas nama apapun tidak akan melahirkan masyarakat yang beradab dan taat
hukum.
DAFTAR PUSAKA
Top Related