49
Rehabilitasi Cedera Otak (Brain Injury)
Bab ini membahas rehabilitasi pada pasien brain injury, yang didefinisikan sebagai
suatu injury (cedera) pada otak yang didapatkan oleh pasien, yang bersifat
nonprogresif. Cedera otak traumatis (Traumatic Brain Injury (TBI)) adalah bentuk
cedera yang paling sering terjadi. Yang kurang begitu sering terjadi, cedera otak biasa
diakibatkan oleh anoksia dan beberapa tipe tertentu dari stroke, infeksi, dan tumor
otak. Meskipun etiolologinya berbeda-beda, banyak pasien penderita brain injury
memiliki riwayat klinis yang serupa—yang berawal dengan melemahnya fungsi
global otak, perkembangan-perkembangan setelah melalui suatu periode
penyembuhan fungsional, dan berakhir dengan level fungsi yang stabil tanpa adanya
kerusakan lebih lanjut. Kesamaan riwayat klinisnya merupakan dasar pemikiran
untuk memberikan program rehabilitasi yang sama dalam memperlakukan brain
injury dengan etilogi-etiologi yang berbeda-beda, seperti halnya program-program
rehabilitasi untuk urat saraf sumsum tulang belakang memperlakukan paraplegia dan
tetraplegia dengan etiologi yang berbeda-beda.
Bab ini mengkaji bahasan mengenai rehabilitasi brain injury dari sudut pandang
kedokteran yang bertanggungjawab terhadap manajemen individu-individu penderita
brain injury setelah berhenti dari perawatan akut. Bab ini menekankan pada
komplikasi-komplikasi medis pasien-pasien rawat inap yang mendapatkan rehabilitasi
brain injury. Topic-topik yang berkaitan dengan rehabilitasi brain injury yang
tercakup di dalam buku ini pada bab-bab yang lain antara lain spastisitas (Bab 29),
gangguan komunikasi (Bab 3), pengukuran outcome (Bab 8), ambulasi (Bab 5), dan
kemampuan hidup sehari-hari (Bab 25).
TBI diketahui sejak awal di dalam catatan sejarah kedokteran,96, 294 namun baru
setelah abad duapuluh-an program-program rehabilitasi untuk pasien-pasien penderita
brain injury ditemukan. Selama Perang Dunia I, 44 program-program tersebut mulai
diadakan untuk membantu veteran-veteran perang yang menderita brain injury. Akhir
abad duapuluh-an, perkembangan di bidang ini berkembang dengan begitu pesatnya,
yang setidaknya memacu empat faktor yang terkait satu sama lain: (1)
perkembangan-perkembangan sistem-sistem penanganan trauma dan perawatan
neurosurgical yang meningkatkan angka harapan hidup penderita TBI203,317; (2)
peningkatan prevalensi penderita-penderita yang mampu bertahan dari brain injury
dengan kecacatan jangka panjang, yang menimbulkan beban emosional dan finansial
bagi keluarga mereka351; (3) edukasi publik oleh organisasi-organisasi advokasi
nasional, khususnya Brain Injury Association (dulunya the National Head Injury
Foundation) di Amerika Serikat dan Headway di Inggris, yang meningkatkan
pengenalan publik tentang kebutuhan-kebutuhan para penderita brain injury yang
mampu bertahan dan keluarganya; (4) pertumbuhan pengetahuan mengenai biaya-
biaya—yang diperkirakan $25.9 hingga $34.4 milyar di Amerika Serikat selama
tahun 1986184—bahwa TBI mengganggu hidup kemasyarakatan. Permasalahan brain
injury saat ini merupakan fokus umum perhatian dari berbagai bidang, dari ilmu
syaraf hingga pencegahan injury. Informasi lebih detil mengenai rehabilitasi brain
injury, dan mengenai TBI pada umumnya, dapat ditemui di berbagai buku dan
monograf. 25, 52, 88, 114, 149, 154, 171, 207, 215, 232, 260, 261, 295, 345.
TERMINOLOGI BRAIN INJURY
Traumatic Brain Injury. Istilah Traumatic Brain Injury (TBI) disahkan
sebagai istilah umum untuk semua jenis injury terhadap otak yang disebabkan oleh
faktor eksternal. 207 Seperti spinal cord injury, TBI merupakan istilah umum yang
tidak mengimplikasikan suatu keadaanpatologi yang spesifik. Istilah alternatif dapat
digunakan ketika terdapat kepentingan untuk menjelaskan keadaanpatologi TBI.
Tabel 49-1 menampilkan terminologi yang umum digunakan untuk TBI. Sedangkan
beberapa istilah terdahulu, yang singkatnya disebut head injury (atau head trauma),
masih digunakan untuk menunjuk pada TBI, istilah-istilah dapat menyalahartikan.
“Head injury”, sebagai contoh, hanya mengimplikasikan adanya injury pada otak.
Lebih lanjut, istilah ini kadang kala digunakan untuk mengacu pada injury yang
terbatas hanya di bagian wajah atau kepala, namun tanpa adanya injury pada otak.
Dengan demikian istilah brain injury dipilih karena dengan jelas menunjukkan bahwa
injury pd otak merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas, dan bahwa karena
injury tersebut disebabkan oleh faktor eksternal.
Nontraumatik Brain Injuries. Terminologi nontraumatic brain injuries
mengindikasikan etiologi dan keadaanpatologi yang spesifik, dan oleh karenanya siap
untuk dipahami. Istilah anoxic brain injury mengacu pada injury yang disebabkan
oleh berkurangnya suplai oksigen ke otak. 145 Istilah ini ekuivalen dengan istilah
hypoxic brain injury (injury otak hipoksi) dan hypoxic encephalopathy. Penyebab-
penyebab utama injury otak anoksik adalah gagal jantung, gagal pernapasan, dan
keracunan karbon monoksida. Istilah-istilah untuk injury otak nontraumatis lainnya,
seperti stroke (Bab 50), infeksi, tumor, dan injury otak toksik-metaabolik,9 semuanya
sudah cukup dikenal.
PATOFISIOLOGI BRAIN INJURY
Bagian ini membahas patofisiologi kerusakan otak pada TBI dan injury otak anoksik.
Patofisiologi stroke dijelaskan pada Bab 50. Detil-detil mengenai terminologi dan
patofisiologi penyebab injury otak yang lainnya dibahas di bagian-bagian lain.9,24
Traumatic Brain Injury
Patofisiologi TBI berbeda antara cedera kepala terbuka dan cedera kepala tertutup, di
lain sisi, dan cedera otak penetrating di lain sisi. Berbagai macam mekanisme yang
menyebabkan kerusakan otak traumatik dapat dikategorikan kepada mekanisme-
mekanisme primer dan sekunder. Mekanisme primer terjadi pada saat tabrakan;
meknisme sekunder dipacu oleh mekanisme primer dan, sebaliknya menyebabkan
kerusakan otak.
TABEL 49-1 Terminologi Traumatic Brain Injury
Istilah Definisi
Cedera kepala
akibat benda
tumpul
Trauma otak
Gegar otak
(commotio cerebri)
Craniocerebral
injury
Closed Head Injury
Cedera kepala
(trauma capitis)
Trauma kepala
Cedera kepala
traumatis
Cedera kepala
terbuka
Cedera tembak
Penetrating head
injury
Traumatic brain injury yang disebabkan oleh kontak
antara kepala dan benda tumpul; sinonim dengan
nonpenetrating traumatic brain injury.
Sinonim dengan traumatic brain injury
Sinonim dengan closed head injury, khususnya, closed
head injury ringan.
Sinonim dengan traumatic brain injury
Traumatic brain injury dimana dura tetap utuh.
Traumatic brain injury dimana dura terbuka (misalnya.,
tercedera karena senjata tajam, terbentur benda
bergerak, bertabrakan)
Tipe penetratic traumatic brain injury (misalnya.,
tembakan, pecahan bom dari suatu ledakan, senapan
angin)
Traumatic brain injury yang disebabkan oleh benda
asing yang berpenetrasi ke dura memasuki otak
(misalnya., cedera tembak, cedera tusukan, laserasi oleh
Penetrating brain
injury
Cedera tikaman
suatu bend yng bergerak)
Tipe penetrating traumatic brain injury (misalnya.,
tercedera dengan pisau)
Cedera Kepala Terbuka atau Tertutup
Pada cedera kepala tertutup atau terbuka, otak dapat menjadi rusak karena
kontak antara kepala dengan benda lain, dan/atau oleh akselerasi atau deselerasi otak
dengan tengkorak kepala.146 Pada kasus yang dikarenakan pasien terjatuh, misalnya,
otak dengan cepat berdeselerasi ketika kepala membentur tanah, dan dalam
keadaancedera otak dengan cepat berakselerasi ketika senjata tersebut membentur
kepala. Kecelakaan-kecelakaan motorik biasanya melibatkan baik akselerasi dan
deselerasi.
Sebagian besar meknisme-mekanisme primer kerusakan otak pada cedera
kepala terbuka maupun tertutup disebabkan oleh akselerasi-deselerasi. Mekanisme-
mekanisme utama kerusakan otak dihasilkan oleh akselerasi-deselerasi antara lain
diffuse axonal injury (cedera aksonal yang menyebar), multiple petechial
hemorrhages, cedera memar, dan cedera saraf kranial. Diffuse axonal injury133
mengacu kepada peregangan akson-akson yang tersebar meluas yang disebabkan oleh
rotasi otak mengelilingi aksisnya. Distribusi kerusakan aksonal bersifat konsisten
dengan model sentripetal cedera kepala tertutup,268 yang mempostulasikan bahwa
tekanan yang terdesak oleh karena rotasi otak mencapai nilai terbesar di permukaan
otak dan melemah pada struktur-struktur otak yang lebih dalam. Model tersebut
dengan tepat memprediksikan bahwa neuroimaging (penginderaan saraf)
abnormalitas-abnormalitas pada TBI yang lebih ringan cenderung ditemui di dekat
korteks, namun pada TBI yang lebih parah ditemui di bagian dalam seperti halnya
daerah-daerah permukaan otak.222 Pada TBI yang parah, kerusakan aksonal cenderung
lebih besar pada saluran-saluran fiber yang lebih panjang (misalnya., corpus
callosum).146 Tanpa mempedulikan poin yang menyebutkan kontak kepala dengan
suatu objek eksternal, cedera-cedera memar paling sering terjadi di lobus-lobus
inferior frontal dan anterior temporal, dimana tempurung kepala berdekatan dengan
permukaan-permukaan bersifat irregular.146
Mekanisme-mekanisme sekunder kerusakan otak traumatis termasuk
pendarahan intrakranial (epidural, subdural, dan hematoma-hematoma intraserebral),
pembengkakan otak (edema vasogenik atau sitogenik), eksitotoksitas, cedera oksidan,
dan hipoksia yang dikarenakan menurunnya tekanan perfusion serebral. Baik
kerusakan otak primer maupun sekunder dapat menimbulkan peningkatan tekanan
intrakranial (increased intracranial pressure (ICP)), yang sebaliknya dapat memacu
mekanisme-mekanisme kerusakan otak sekunder dalam suatu simpul feedback
positif.146 Perubahan dan herniasi otak dapat dihasilkan oleh efek massa
pembengkakan otak atau pendarahan intrakranial.hidrosefalus merupakan suatu sebab
utama kerusakan otak sekunder yang dapat terjadi jauh setelah cedera tersebut
dialami. (Perhatikan gambar 49-1 sebagai contoh kasus beberapa mekanisme cedera.)
Excitotoxicity mengacu kepada kerusakan neuronal yang diakibatkan oleh
pengeluaran neurotransmitter excitatory di atas normal oleh neuron-neuron yang
mengalami cedera.146 Kerusakan otak excitotoxic dapat dikurangi dengan hipotermia
sedang. 80, 81, 234, 235 Dalam penelitian terhadap 82 orang pasien dengan cedera kepala
tertutup yang parah, Marion et al235 menunjukkan bahwa perawatan awal (rata-rata 10
jam pasca-cedera) dengan hipotermia memacu penyembuhan neurologis dan
meningkatkan outcome pada pasien dengan skor GCS antara 5 hingga 7. para pasien
ditempatkan pada suhu 32 hingga 33°C selama 24 jam, dan kemudian dihangatkan
kembali.
Kerusakan otak dalam TBI oleh karenanya merupakan suatu hasil akhir dari
berbagai efek mekanisme-mekanisme primer dan sekunder ganda yang terjadi
berkali-kali yang pada umumnya menimbulkan pola-pola kerusakan yang cenderung
bersifat menyebar daripada bersifat fokal, terutama pada para pasien penderita cedera
kepala tertutup. Pola kerusakan otak yang menyebar konsisten dengan gambar kronis
atrofi serebral dan pembesaran ventrikular yang biasanya didapati pada neuroimaging
para mantan penderita cedera kepala tertutup.18 Selain komonalitas-komonalitas
tersebut, perbedaan-perbedaan individual dalam pola-pola kerusakan otak
menghasilkan pola-pola campuran kerusakan-kerusakan neurologis dan neuro-
psikologi14 pada individu-individu mantan penderita TBI.
Menyadari pentingnya penundaan, atau penderitaan-penderitaan sekunder pada
otak yang tercedera, the American Academy of Neurological Surgery (AANS)
menerbitkan the Guidelines for the Management of Severre Head Injury16 untuk
mempromosikan perawatan yang lebih baik dengan menggunakan panduan
berdasarkan fakta-fakta yang telah dikembangkan setelah diadakan suatu kajian yang
teliti terhadap literatur. Dokumen ini terdiri dari rekomendasi-rekomendasi untuk
resusitasi tekanan darah dan oksigenasi, tekanan perfusi serebral, indikasi-indikasi
monitoring ICP dan ambang batas perawatan, dan teknologi monitoring ICP. Juga
dibahas tentang penggunaan hiperventilasi pada manajemen akut, penggunaan
mannitol dan barbiturat-barbiturat, peranan glukokortikoid-glukokortikoid, perawatan
hipertensi intrakranial terelevasi, dukungan nutrisi, dan peranan profilaksis anti-
serangan.
Cedera Tembak di Otak
Pada cedera-cedera tembak, sebagian besar kerusakan otak terletak sepanjang
jejak peluru dan fragmen-fragmen tulang yang terkena.333 implikasi rehabilitasi utama
adalah bahwa cedera tembak pada otak pada umumnya menyebabkan sindrom-
sindrom kerusakan otak fokal (misalnya., hemiplegia, hemianopsia), dengan secara
relatif menghemat pemfungsian bagian-bagian otak yang terletak jauh dari lintasan
misil. (lihat gambar 49-2 untuk suatu contoh kasus cedera tembak pada otak.)
Cedera Otak Anoksik
Mekanisme kerusakan otak pada cedera otak anoksik adalah iskhemi yang
disebabkan oleh hipoksia atau penurunan perfusi serebral.145 Meskipun cedera otak
anoksik biasanya menyebabkakan kematian dan cedera neuronal yang menyebar,
terdapat kerentanan selektif neuron-neuron pada bagian-bagian di dalam
hippocampus, cerebellum, dan basal ganglia, dan di dalam zona-zona batas arterial
(misal., area-area yang tertutup cairan) pada serebrum.145 neuron-neuron pada
bagian hippocampus adalah bagian yang paling rentan, yang berkorelasi dengan
tingginya frekuensi amnesia yang menyertai cedera otak anoksik.170 Lebih lanjut,
frekuensi gangguan-gangguan gerak pada populasi ini berkorelasi dengan kerentanan
yang bersifat selektif terhadap hipoksia neron-neuron di dalam bangsal ganglia dan
serebellum. (lihat gambar 49-3 untuk suatu contoh kasus cedera otak anoksik.)
EPIDEMIOLOGI CEDERA OTAK TRAUMATIK (TBI)
Bagian ini membahas mengenai epidemiologi TBI. Epidemiologi stroke dibahas di
Bab 50. Epidemiologi tumor-tumor otak dan cedera-cedera otak nontraumatis lainnya
dibahas pada bab lain.9, 224 Secara relatif lebih sedikit hal yang diketahui mengenai
epidemiologi cedera otak anoksik.
TBI merupakan satu dari gangguan-gangguan neurologis yang paling sering
mengakibatkan kematian dan kecacatan. Kajian-kajian mutakhir30, 196, 197-199, 315
meringkas bahwa penelitian-penelitian epidemiologis besar di Amerika Serikat
memperkirakan bahwa angka insidensi tahunan penderita TBI yang dirawat di rumah
sakit mendekati 200 orang per 100,000 orang. Hampir 80% kasus TBI yang baru
dirawat di rumah sakit digolongkan dari kasus TBI ringan hingga memiliki angka
survival hingga mendekati 100%. Angka insidensi TBI ringan yang sesungguhnya
dapat dua kali lebih besar dari yang diperkirakan berdasarkan karcis masuk rumah
sakit karena banyak pasien TBI ringan gagal untuk mendapatkan perhatian medis atau
dikirim pulang dari instalasi gawat darurat.87, 316 Sisanya sejumlah 20% kasus-kasus
TBI yang baru dirawat di rumah sakit dapat dikelompokkan secara merata sebagai
kasus TBI sedang dan parah. Akan tetapi, kasus TBI parah memiliki angka
kelangsungan hidup kira-kira 40%, sebagai perbandingan, angka kelangsungan hidup
untuk kasus TBI sedang berkisar antara 90%-95%. Perhatikan Tabel 49-2 untuk
angka-angka penderita TBI baru yang terproyeksikan di Amerika Serikat pada tahun
2000.335
Resiko TBI sangat dapat diperkirakan melalui faktor-faktor demografis. Kaum
pria pada semua kelompok usia beresiko lebih tinggi. Puncak resiko adalah sepanjang
masa dewasa muda dan khususnya antara usia 18-25 tahun.315 Angka insidensi
tahunan pria dalam kelompok usia tersebut diperkirakan antara 350-700 orang per
100,000 orang.198 Hal ini menjelaskan predominansi laki-laki dewasa muda dalam
rehabilitasi TBI.144 Terdapat juga puncak yang lebih kecil pada angka insidensi TBI di
kelompok umur pediatrik dan geriatrik.
Satu-satunya penyebab tidak langsung TBI mungkin adalah penyalahgunaan
alkohol.92, 94 Satu-satunya penyebab eksternal TBI adalah kecelakaan kendaraan
bermotorik, diikuti dengan frekuensi kecelakaan pejalan kaki-pengguna jalan, jatuh,
dan tercedera (termasuk juga cedera tembakan).197, 199 Tingkat pentingnya masing-
masing penyebab eksternal ini berbeda-beda di antara kelompok-kelompok
demografis. Kecelakaan kendaraan bermotorik menempati proporsi terbesar dalam
kasus-kasus penderita TBI dewasa muda. Kecelakaan kendaraa bermotorik dengan
pejalan kaki atau pengguna sepeda biasanya lebih sering terjadi di antara kelompok
anak-anak daripada di kelompok-kelompok umur lainnya. Jatuh secara relatif lebih
sering terjadi pada kelompok umur anak-anak dan orang-orang tua jika dibandingkan
kelompok usia muda atau paruh baya.197,199 Ciri-ciri epidemiologis bahwa TBI
mendukung pandangan bahwa TBI mewakili sebuah jalur umum final permasalahan-
permasalahan sosial seperti penyelahgunaan substansi, kejahatan, bahaya-bahaya
lingkungan dan tempat kerjacara mengemudikan yang tidak aman, penyalahgunaan
anak-anak, dan supervisi anak-anak dan kaum orang tua yang tidak memadai.
TEKNIK-TEKNIK PENILAIAN DAN PROGNOSIS
Bagian ini membahas penilaian dan perkiraan outcome TBI dan cedera otak anoksik.
Detil-detil penilaian dan prognostikasi stroke dibahas pada Bab 50. Referensi-
referensi lain membahas topik-topik ini dalam kaitannya dengan nontraumatic brain
injuries (cedera-cedera otak nontraumatis).9, 224
MENGUKUR TINGKAT KEPARAHAN BRAIN INJURY: (GLASGOW
KOMA SCALE) SKALA KOMA GLASGOW
Glasgow Koma Scale. Kurangnya cara untuk mengukur tingkat keparahan
brain injury secara langsung, sebagian besar pusat-pusat menggunakan Glasgow
Koma Scale (GCS)324 untuk mengukur keparahan brain injury, khususnya selama
tahap-tahap awal penyembuhan. Meskipun GCS pada mulanya didesain untuk TBI,
GCS juga digunakan dengan anoxic brain injury dan nontraumatic brain injuries
lainnya yang menjadi penyebab kerusakan kesadaran. Dasar pemikiran menggunakan
GCS sebagai suatu ukuran keparahan adalah hubungan antara tingkat keparahan brain
injury, yang tidak dapat diukur secara langsung, dan tingkat kesadaran, yang dapat
diamati dan diperingkat. GCS, yang nampak pada Tabel 49-3, terdiri dari
pemeringkatan repon-respon motorik dan bicara pasien yang terbaik serta stimulus
terlemah yang dipercederan untuk membuka mata. Pemeringkatan tiga respon
tersebut diringkas untuk mendapatkan suatu skor GCS yang berkisar dari nilai
minimum 3 hingga nilai maksimum 15. Skor-skor GCS yang lebih rendah
mengindikasikan tingkatan kesadaran yang lebih rendah dan oleh karenanya
mengimplikasikan tingkat keparahan brain injury yang lebih besar. Sebaliknya, skor-
skor GCS yang lebih tinggi mengindikasikan tingkatan kesadaran yang lebih
mendekati normal, yang mengimplikasikan brain injury yang tidak terlalu parah.
Telah ditunjukkan berulang kali bahwa kedalaman dan durasi ketidaksadaran, seperti
yang terukur melalui skor GCS, merupakan satu-satunya prediktor terbaik outcome
TBI.78, 337 Sebuah modifikasi GCS juga tersedia untuk anak-anak.339
Skor GCS post-resusitasi yang terendah, diperoleh kapanpun setelah melalui
resusitasi, merupakan indeks keparahan yang terpilih. Keuntungan utama
menggunakan skor GCS post-resusitasi yang terendah adalah bahwa skor tersebut
bisa merefleksikan perusakan lebih lanjut yang tidak akan direfleksikan oleh suatu
skor GCS yang diperoleh pada saat itu juga atau segera setelah tiba di rumah sakit.110
Kerugian yang paling utama menggunakan skor GCS post-resusitasi yang terendah
adalah bahwa skor tersebut bisa jadi ditekan karena adanya intracranial injuries
(cedera-cedera intrakranial)(misalnya., terguncang).
Apolipoprotein E4 dan Prognosis TBI. Perhatian terhadap adanya
apolipoprotein E4 (APOE-4), sebelumnya dikaitkan dengan penyakit Alzheimer,
begitu banyak laporan yang menyatakan bahwa hal tersebut bisa jadi merupakan
suatu penanda kerentanan outcome yang tidak diinginkan setelah mengalami TBI. 187,
325 APOE, yang merupakan satu-satunya transporter lipid yang signifikan di dalam
otak dan cairan serebrospinal,85 dipercayai memainkan peran penting pada regenerasi
neural.72 Penelitian-penelitian menyatakan bahwa kehadiran apolipoprotein ε4 allele
(yang memproduksi APOE-4) meningkatkan resiko penyakit Alzheimer116, 307 dan
tingkat keparahan defisit neurologis kronis pada populasi-populasi TBI tertentu.187, 325
Gambar 49-1. Traumatic Brain Injury parah yang terkomplikasi oleh Hidrosefalus.
Pencitraan CT Scan otak seorang wanita berusia 47 tahun yang menderita traumatic
brain injury yang parah karena jatuh dari kuda. Skor Glasgow Koma Scale 14 pada
saat itu juga namun kemudian turun menjadi 8. A. Scan hari pertama menunjukkan
cedera memar hemorrhagic pada lobus kiri frontal dan membengkak pada hemisphere
serebral kiri, dengan cedera memar yang kurang ekstensif pada bagian kanan frontal
dan lobus temporal anterior kiri. B. Scan follow-up 14 hari setelah tercedera
menunjukkan peningkatan cedera memar pada hemisphere serebral kiri yang
mengakibatkan herniasi dini dan efek massa. Lobectomy sebagian di bagian lobus
frontal kiri kemudian dilaksanakan. Ia mendapatkan kembali kemandiriannya dalam
ambulasi dan perawatan diri sendiri, namun tetap dalam keadaan amnesia
posttraumatis (PTA/Posttraumatic Amnesia). C. Scan follow-up 2 bulan setelah
mengalami cedera, diperoleh karena masa stabil awal penyembuhan fungsional,
menunjukkan pembesaran sistem ventrikular tergeneralisasi yang konsisten dengan
keterkaitannya dengan hidrosefalus. Setelah peletakkan sebuah ventrikuloperitoneal
(VP) shunt, ia jelas terbebas dari PTA. D. Scan follow-up 7 bulan setelah tercedera,
diperoleh karena munculnya permasalahan-permaslahan kognitif dan perilaku yang
semakin memburuk, menunjukkan hematoma subdural frontal-parietal kanan kronis.
Setelah pengeringan hematoma, penyembuhan fungsional mengalami kemajuan
hingga beberapa bulan ke depan. Setelah 15 bulan pasca cedera, ia lolos evaluasi uji
mengemudi dan mandiri untuk berbelanja dan memasak, namun tidak lagi bekerja.
Evaluasi neuropsikologis menunjukkan defisit memori saat ini yang bersifat selektif,
sedang dan koordinasi tangan kanan.
Gambar 49-2. Penetrating Traumatic Brain Injury yang disebabkan oleh Tembakan.
Hasil CT scan awal atas seorang anak lelaki berusia 14 tahun ditembak dalam jarak
dekat ketika tercedera melibatkan pergulatan di tanah dengan seorang remaja lainnya.
A. cedera entry di area frontal kanan superior dengan jejak peluru melintasi garis
tengah. Fragmen-fragmen tulang indriven mendasari cedera entry. B. cedera Exit di
area temporal-parietal kiri. Perusakan jaringan otak dapat terlihat sepanjang jalur
peluru. Cedera-cedera fokal ke area frontal superior bilateral dan ke area parietal-
frontal kiri berkorelasi dengan paresis kronis ekstrimitas bawah bilateral dan defisit
bahasa-tulisan. Setelah terapi fisik dan okupasional secara menyeluruh, pasien
memperoleh kemandirian dalam memprogram setup dan mobilitas dengan
menggunakan kursi roda bermotorik.
Gambar 49-3. Anoxic Brain Injury. Hasil CT menunjukkan anoxic brain injury pada
seorang pria berusia 32 tahun yang terus-menerus mengalami traumatic brain injury
dan facial injury (zygomatic arch dan fraktur) karena jatuh dari tangga, dan kemudian
mengalami gagal jantung selama 10 menit ketika mengalami operasi facial. Gambar-
gambar tersebut dalam posisi horisontal melalui lapisan ventrikel-ventrikel lateral,
yang ditunjukkan sebelum dan sesudah brain injury. A. scan pada hari tersebut,
dilakukan untuk membersihkan pria tersebut guna keperluan operasi, menunjukkan
tidak adanya abnormalitas intrakaranial. B. Scan follow-up yang dilakukan 20 hari
kemudian, menunjukkan perubahan-perubahan atrofik predominan di bagian lobus
frontal dan temporal. Selama bulan pertama pasca tercedera, ia merasa gelisah dan
bingung, namun perlahan-lahan ia pulih kemandiriannya dalam ambulasi dan
perawatan pribadi. Follow –up setelah 4 bulan pasca tercedera mengindikasikan
anesia parah dimana ia emnerima supervisi sepanjang waktu. Setelah 1 tahun pasca
tercedera, tingkat kemampuan fungsinya telah meningkat hingga hanya perlu
supervisi paruh waktu. Pasien tidak pernah lagi bekerja, mengemudi, atau pergi tanpa
pengawasan selama 24 jam.
TABEL 49-2 Angka Insidensi Tahunan Traumatic Brain Injury Yang Terestimasi Di
Amerika Serikat pada Tahun 2000
Populasi A.S.
(kira-kira 274,634,000) per 1 juta
Total insidensi 549,628 2000
Total kematian pre-rumah sakit 54,927 200
Hidup
TBI ringan 395,473 1440
TBI sedang 49,434 180
TBI parah 49,434 180
Dipulangkan (hidup)
TBI ringan 395,473 1440
TBI sedang 45,864 167
TBI parah 20,872 76
TABEL 49-3 Glasgow Koma Scale
Respon-respon Pasien Skor
Membuka mata
Mata terbuka secara spontan 4
Mata terbuka ketika diajak berbicara 3
Mata terbuka jika merasakan stimulus menyakitkan 2
Mata tidak membuka 1
Motorik
Mengikuti perintah 6
Membuat gerakan melokalisasi jika terasa sakit 5
Membuat gerakan menarik jika terasa sakit 4
Flexor (decorticate) posturing jika terasa sakit 3
Extensor (decerebrate) posturing jika terasa sakit 2
Tidak ada respon motorik terhadap rasa sakit 1
Verbal
Terorientasi tempat dan tanggal 5
Terbalik-balik namun tetap terdisorientasi 4
Mengucapkan kata-kata tidak jelas, tidak terbalik-balik 3
Mengucapkan suara nonverbal yang tidak dapat dimengerti 2
Tidak dapat bersuara 1
Instruksi: Angka merespon paling baik kategori verbal dan motorik dan stimulus
yang dipercederan untuk membuka mata. Jumlahkan ketiga angka untuk
mendapatkan nilainya.
Pengklasifikasian Tingkat Keparahan TBI
Saat ini dapat diterima bahwa tingkat keparahan TBI sebaiknya diperingkat ke dalam
tiga kategori—ringan, sedang, dan parah—berdasarkan skor GCS pasien (Tabel 49-
4).
TBI parah, didefinisikan sebagai skor GCS terendah ≤ 8, mengimplikasikan
bahwa pasien dalam keadaankoma. Koma didefinisikan sebagai suatu keadaan
dimana pasien tidak membuka mata dan tidak menunjukkan fakta-fakta kognisi,
seperti mengikuti perintah-perintah atau berkomunikasi.180, 279 Dalam beberapa
penelitian, kriteria durasi koma > 6 jam telah ditambahkan guna mengantisipasi
kemungkinan skor GCS yang ditekan karena extracranial injury atau sedasi. TBI
parah bertanggung jawab atas mayoritas pasien rawat inap pada unit-unit rehabilitasi
yang mengalami brain injury akut.144 Dalam istilah prognosis, mayoritas bekas
penderita TBI parah memiliki kerusakan-kerusakan neurologis dan neuropsikologis
yang berakibat pada kecacatan-kecacatan fungsional.218, 229, 299 Waktu yang
dipercederan untuk memperoleh penyembuhan neurologis maksimum dari TBI parah
sekitar satu tahun pada kasus-kasus besar,79 namun bisa jadi lebih lama dalam
sebagian besar cedera yang lebih parah.
TBI sedang, yang berkaitan dengan skor GCS terendah pada kisaran 9 hingga
12, mengimplikasikan bahwa tingkat kesadaran pasien bersifat kombatif atau letargis.
Pada skor GCS 9 hingga 12, bisa jadi pasien mengikuti perintah-perintah, namun tida
dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan tepat. TBI sedang bertanggung jawab
atas minoritas pasien rawat inap pada rehabilitasi TBI akut.144 Dengan
mempertimbangkan prognosis, mayoritas pasien dengan TBI sedang dan dengan
tanpa komplikasi cedera intrakranial mampu untuk memulai lagi aktifitas-aktifitasnya
seperti sebelum mengalami cedera, selain defisit kognitif permanen, ringan dengan
proporsi yang tidak dapat ditentukan pada populasi ini.106, 229, 290, 320 Waktu yang
diperlukan untuk mencapai penyembuhan neurologis maksimal pada TBI sedang
lebih pendek daripada TBI parah.
TBI ringan, didefinisikan oleh skor GCS yang rendah ≥ 13, mengindikasikan
bahwa pasien mungkin mengalami kebingungan atau disorientasi, namun tetap sadar
(atau sadar ketika diajak berbicara), mengikuti perintah-perintah, dan berbicara
dengan koheren. Istilah concussion (gegar otak) yang sering digunakan sebanding
dengan TBI ringan. Diagnosis TBI ringan dapat dibuat meskipun skor GCS-nya
adalah 15 jika terdapat bukti hasil neuroimaging trauma otak atau jika cedera tersebut
diakibatkan status mental yang berubah seperti kehilangan kesadaran, mengalami
suatu peride kebingungan atau disorientasi, atau amnesia karena cedera itu sendiri.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang menunjukkan bahwa temuan-temuan hasil
neuroimaging merupakan satu-satunya indikator prognostik yang terbaik untuk TBI
ringan, direkomendasikan bahwa pasien dengan GCS berkisar antara 13 hingga 15
dapat dikategorikan berdasarkan computed tomography (CT) scanning kepala yang
menunjukkan trauma otak apapun. Secara spesifik, direkomendasikan bahwa pasien
TBI ringan dengan bukti-bukti trauma otak pada CT scanning sebaiknya
diklasifikasikan sebagai complicated mild TBI atau high risk mild TBI (TBI ringan
beresiko tinggi).173, 350 Sebaliknya, pasien-pasien TBI tanpa bukti-bukti trauma otak
pada CT scanning sebaiknya diklasifikasikan sebagai uncomplicated mild TBI atau
low risk TBI (TBI beresiko rendah). Meskipun TBI ringan itu sendiri bukan
merupakan suatu indikasi untuk rehabilitasi pasien rawat inap, TBI ringan seringkali
terjadi kembali dengan cedera sumsum tulang belakang dan cedera muskuloskeletal
yang benar-benar membutuhkan rehabilitasi rawat inap.103 Prognosis TBI ringan
jangka panjang bersifat kontroversial, sepertiyang akan didiskusikan kemudian pada
Bab ini. Akan tetapi, telah didemonstrasikan bahwa outcome suatu uncomplicated
mild TBI yang terjadi pada seorang anak atau dewasa muda biasanya dapat kembali
ke aktifitas-aktifitas sebelum mengalami cedera, tanpa terdeteksi adanya kerusakan-
kerusakan.210, 229, 306 Lebih lanjut, waktu yang diperlukan untuk penyembuhan
neurologis dari TBI ringan pada kasus demikian paling lama 3 bulan,212 dan mungkin
kurang dari satu bulan pada sebagian besar kasus.
Sebagai suatu indeks keparahan, GCS memiliki kekurangan-kekurangan yang
signifikan yang penting dipertimbangkan. Pertama, semua atau sebagian dari GCS
bisa jadi tidak dapat diskor selama fase perawatan akut awal karena paralisis kimiawi
atau sedasi, cedera sumsum tulang belakang, cedera wajah, atau intubasi.110, 233
sensitifitas GCS terhadap sedasi dapat menjadi permasalahan utama dalam
pengelompokan tingkat keparahan cedera otak. Meskipun skor GCS pada seorang
pasien dalam keadaan koma bisa jadi tidak terpengaruh oleh intubasi endotrakeal
(yang menghalangi pasien untuk melakukan respon verbal), intubasi dapat
mengaburkan perbedaan antara TBI sedang dan TBI ringan. Skor GCS dapat
terpengaruh oleh intoksikasi. Skor GCS juga tidak dapat diketahui padapasien-pasien
yang tidak memahami bahasa penguji.180 Meskipun skor GCS kadang kala tidak
tercatat selama periode perawatan akut, biasanya memungkinkan untuk memberikan
skor GCS secara retrospektif berdasarkan catatan-catatan status mental dan
neurologis pasien.
TABEL 49-4. Pengklasifikasian Tingkat Keparahan Cedera Otak Traumatis
(TBI) Berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS)
TBI ringan—skor GCS 13-15 pada poin terendah setelah resusitasi dan tidak
ada abnormalitas-abnormalitas yang terkait dengan TBI pada pemeriksaan
neurologis
Uncomplicated mild TBI—CT scan normal otak
Complicated mild TBI—CT scan otak menunjukkan trauma otak
TBI sedang—skor GCS 9-12 pada poin terendah setelah resusitasi.
TBI parah— skor GCS 3-8 pada poin terendah setelah resusitasi.
Neuroimaging Cedera Otak
CT scanning dan magnetic resonance imaging (MRI) merupakan modalitas-moda;itas
neuroimaging yang utama yang diaplikasikan pada cedera otak dan khususnya pada
TBI.131, 134, 174 Pada TBI, CT merupakan teknik alternatif selama tahap perawatan akut
karena sensitifitasnya terhadap adanya darah, fraktur-fraktur tengkorak atau wajah,
dan sebagian besar cedera intrakranial lainnya yang membutuhkan perawatan
kegawatdaruratan. CT scan kepala bisa didapatkan dengan cepat dan tidak bersifat
kontraindikasi dengan adanya material logam di dalam tubuh atau peralatan
penunjang hidup. Keterkaitan-keterkaitan antara hasil-hasil awal CT scanning otak
dan outcome total di kemudian hari (kemampuan untuk tetap bertahan sadar vs.
kematian atau vegetatif) dapat dipahami dengan baik. Temuan-temuan CT normal
menunjukkan prognosis yang terbaik, dan temuan-temuan CT pada hematoma
subdural akut, pendarahan intraserebral, dan pembengkakan hemisphere bilateral
besar-besaran menunjukkan prognosis yang lebih buruk.110, 337 Nilai temuan CT scan
dalam memprediksi outcome mantan penderita TBI selama rehabilitasi masih perlu
didefinisikan.90
MRI otak pada umumnya lebih sensitif daripada CT lesi-lesi otak traumatis karena
resolusinya yang lebih besar. MRI secara selektif lebih sensitif daripada CT terhadap
cedera-cedera sayatan nonpendarahan dan terhadap luka-luka memar di beberapa area
tertentu, seperti area frontal inferior dan batang otak, yang terletak di dekat
permukaan-permukaan yang tulang-tulangnya menonjol yang menghasilkan artefak
pada CT scanning.131 Kekurangan-kekurangan MRI adalah waktu yang diperlukan
untuk scanning cukup lama, ketidakmampuan terakses pasien selama masa tersebut,
dan kontraindikasinya dengan material-material logam di dalam tubuh pasien atau
peralatan medis. (Lihat Gambar 49-4 untuk suatu kasus contoh scan otak MRI pada
pasien penderita TBI).
Usaha-usaha untuk memperluas peran CT dan MRI sebagai indikator
prognostik telah dilakukan, namun kemampuan mereka untuk memprediksi outcome
bervariasi. Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan outcome yang buruk pada
pasien-pasien dengan abnormalitas-abnormalitas CT seperti kompresi sisternal dan
herniasi.257, 332 Penelitian-penelitian lain327, 365 tidak menemukan CT scan memiliki
nilai prediktif dalam menentukan outcome fungsional. Nilai MRI dalam
memprediksikan outcome rehabilitasi TBI nampaknya menjanjikan jika dipandang
katerkaitan antara abnormalitas-abnormalitas MRI dan defisit-defisit neuropsikologis
pada pasien-pasien TBI ringan dan sedang.223 MRI lebih bermanfaat daripada CT
scanning dalam perencanaan rehabilitasi karena MRI lebih membantu dalam
menjelaskan defisit-defisit neurologis dan neuropsikologis pasien.
Akhirnya, hasil-hasil penelitian yang menjanjikan yang diperoleh dengan CT
scanning emisi proton tunggal (SPECT) pada otak pasien TBI143, 226 menyatakan
kemungkinan bahwa SPECT scanning dapat memiliki peran penting dalam
pengevaluasian ketidasadaran atau cedera otak ringan para pasien di masa mendatang.
Penelitian lain mendemonstrasikan kegunaan SPECT dalam pengidentifikasian
pesien-pasien dengan hasil yag tidak baik.6 Kegunaan potensial SPECT scanning
dalam cedera otak telah dikaji akhir-akhir ini.70, 166, 328, 367
GAMBAR 49-4. Scan MRI dengan bobot T-2 terhadap cedera otak traumatis yang
parah. Scan MRI dengan bobot T-2 terhadap seorang wanita berusia 32 tahun yang
terluka dalam suatu kecelakaan antara pejalan kaki dengan pengendara mobil 1 bulan
sebelumnya. CT scan awal menunjukkan hematoma subdural frontal kanan. Gambar
ini menunjukkan kumpulan-kumpulan cairan subdural bifrontal dan luka sayatan pada
splenium corpus callosum. Lesi corpus callosum, yang merupakan tanda klasik
cedera aksonal menyebar, tidak nampak pada hasil CT scan. Pada umumnya, MRI
dapat memvisualisasikan jumlah lesi-lesi traumatis yang lebih banyak daripada CT,
terutama lesi-lesi nonpendarahan atau terletak di area-area yang tulang-tulangnya
menonjol. Pasien, yang telah lebih dulu memiliki Glasgow koma scale dengan skor 7,
menjalani rawat inap dan rehabilitasi post-akut. Ia kembali bekerja sebagai seorang
sekretaris dan hidup secara mandiri.
Penelitian-penelitian Neurofisiologis
Apabila CT dan MRI menyediakan informasi struktural, electroencephalography
(EEG) dan alat-alat penilaian elektrofisiologis lainnya, seperti potensial-potensial
yang ditimbulkan, memberikan informasi mengenai fungsi-fungsi neurofisiologis.
EEG lebih umum digunakan dalam penilaian suatu penyakit yang bersifat serangan.
Akan tetapi, kegunaannya sebagai suatu prediktor serangan-serangan posttraumatis
sangat terbatas karena abnormalitas-abnormalitas EEG interiktal semata-mata dapat
merefleksikan tingkat keparahan cedera otak. 101, 176, 311 Perlambatan fokal,
abnormalitas EEG yang sering terjadi, dapat tetap bertahan dalam jangka waktu lama
tanpa adanya serangan-serangan klinis.95
Dalam setting akut, EEG merupakan prediktor yang handal akan kemampuan
seseorang sembuh dari cedera otak traumatis.322 Sebagai prediktor outcome
fungsional, bagaimanapun juga, peran EEG konvensional dan EEG kuantitatif masih
tetap digambarkan.331 Pola-pola tertentu EEG, seperti spindle (kumparan-kumparan)
tidur yang abnormal dan predominansi gelombang-gelombang alfa, menunjukkan
prognosis yang buruk.60,341 Suatu kajian mengenai topik242 ini menyatakan bahwa
pasien-pasien komatose, EEG kuantitatif mungkin memiliki suatu peran dalam
memprediksikan outcome kelangsungan hidup dan fungsional serta secara kontinyu
memonitor status neurologis. Suatu kajian penelitian-penelitian yang menggunakan
potensial-potensial yang dibangkitkan untuk memprediksi outcome TBI275
menyimpulkan bahwa absensi bilateral gelombang-gelombang N20 hingga P22 pada
potensial-potensial somatosensori yang dibangkitkan pada pasien-pasien TBI
komatose dulunya merupakan prediktor kuat kegagalan penyembuhan
kesadaran.ulasan yang sama275 menyimpulkan bahwa ketiadaan gelombang V atau
komponen-komponen lain potensial-potensial auditori batang otak yang dibangkitkan
dulunya juga prediktif akan suatu outcome yang buruk; akan tetapi, kehadiran
potensial-potensial auditori batang otak yang dibangkitkan bukan merupakan
prediktor yang valid akan outcome yang baik.
Potensial-potensial somatosensori yang dibangkitkan (SEP) juga telah
digambarkan untuk memprediksikan outcome jangka panjang cedera otak parah.99
Penilaian elektrofisiologis pada cedera otak dibahas secara lebih mendetit di bagian
lain.284, 331
Penilaian Neuropsikologis
Uji-uji neuropsikologis merupakank alat-alat utama yang digunakan untuk
mengevaluasi fungsi-fungsi kognitif pada pasien-pasien penderitacedera otak.34, 209, 329
Tabel 49-5 menyajikan defisit-defisit kognitif yang seringkali diakibatkan oleh cedera
otak, beserta dengan uji-uji neuropsikologis yang pada umumnya digunakan (yang
dideskripsikan oleh Lezak227), beberapa diantaranya digunakan pada proyek Sistem-
sistem Model TBI. Beberapa kelebihan penilaian neuropsikologis pada rehabilitasi
cedera otak anatara lain:
1. Memberikan suatu pemahaman tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahan-
kelemahan kognitif pasien yang dapat digunakan untuk menentukan tujuan-
tujuan rehabilitasi; menilai kompetensi (kesesuaian) consent prosedur-
prosedur medis dan membuat keputusan-keputusan lainnya, menilai kesiapan
untuk memulai lagi aktifitas-aktifitas (misalnya, bekerja, sekolah,
mengemudi); merekomendasikan modifikasi-modifikasi dalam rangka
meningkatkan keselamatan dan efisiensi; serta memprediksikan outcome.
2. Menyediakan ukuran-ukuran terstandarisasi yang dapat diulang dalam rangka
untuk memonitor perubahan seiring dengan penyembuhan, intervensi-
intervensi, atau komplikasi-komplikasi medis.
3. Menyediakan suatu dasar pemikiran untuk diagnosis gangguan-gangguan
kognitif dan perilaku diferensial dimana terdapat gangguan yang muncul
sebelum atau sesudahnya (misalnya, ketidakmampuan untuk belajar,
demensia).
4. Mendeteksi performa-performa tugas yang invalid (misalnya, malingering).
Kekurangan-kekurangan penilaian neuropsikologis termasuk waktu yang diperlukan
dalam menilai, kesulitan dalam menghadapi pasien-pasien nonkooperatif, serta
ketersediaan uji-uji untuk level rendah dan pasien-pasien yang tidak dapat berbahasa
Inggris yang terbatas.
Ringkasan Indikator-indikator Prognostik Akut
Tabel 49-6 menyajikan indikator-indikator prognostik utama TBI yang tersedia
berdasarkan daftar pasien rehabilitasi akut.78, 189, 274 Prediktor-prediktor outcome TBI
yang terbaik adalah skor GCS dan indikator-indikator lain dari semua tingkat
keparahan cedera otak.78, 225 Skor GCS juga merupakan prediktor kuat outcome TBI
penetrating.13 Perlu untuk dicatat bahwa validitas banyak dari indikator-indikator
tersebut sebagai perediktor outcome kasar tahap akut telah didemonstrasikan dalam
penelitian-penelitian neurosurgical multi-center.110, 337 Karena secara relatif hanya ada
lebih sedikit penelitian mengenai rehabilitasi pasien, beberapa indikator-indikator ini
bisa jadi kurang valid dalam memprediksikan outcome fungsional manatan penderita
TBI daripada indikator-indikator yang memprediksikan angka kelangsungan hidup itu
sendiri.366
Karena durasi ketidaksadaran merefleksikan tingkat keparahan cedera otak, hal
ini merupakan indikator prognostik yang dapat digunakan secara kombinasi dengan
skor-skor GCS, atau tanpa adanya skor-skor GCS, untuk memprediksikan outcome.
Sebagai contoh, seorang pasien dengan skor GCS terendahnya 7 yang mengalami
ketidaksadaran hanya selama 1 hari bisa jadi memiliki tingkat keparahan cedera otak
yang jauh lebih rendah daripada jika pasien mengalami ketidaksadaran selama
seminggu. Durasi amnesia posttraumatis merupakan indikator prognostik yang kuat,
namun tidak muncul dalam sebagian besar pasien-pasien TBI pada saat admisi
rehabilitasi.perlu adanya suatu prosedur untuk mengkombinasikan indikator-indikator
yang tersedia untuk menghasilkan kategori atau skor outcome yang terprediksi.
Meskipun Choi 78 telah menciptakan prosedur-prosedur tersebut, mereka perlu untuk
dievaluasi di dalam setting rehabilitasi.
Prognosis pada cedera otak anoksik dibahas berikut ini, pada bagian manajemen
koma. Prediksi outcome stroke dibahas pada bab 50 dan prognosis tumor-tumor otak
dibahas pada bab-bab lainnya.225 Sayangnya, jauh lebih sedikit informasi yang
tersedia mengenai prognosis rehabilitasi cedera otak nontraumatis dan hal ini tetap
menjadi target penelitian di masa mendatang.153, 264
Pengukuran-pengukuran Outcome Cedera Otak
Karena cedera otak dapat berdampak pada aspek-aspek yang berbeda-beda dalam
kehidupan seseorang, ukuran-ukuran cedera otak sebaiknya bersifat
multidimensional. Bagaimanapun juga, untuk menghindari kebutuhan akan
pengukuran-pengukuran outcome multiple, para peneliti cedera otak telah dengan
sangat hati-hati memeringkatkan skala-skala yang mengurangi berbagai outcome
yang berbeda-beda hingga hanya menjadi satu peringkat outcome global.185 Skala
Outcome Glasgow (GOS),178 seperti yang tampak pada Tabel 49-&, adalah
pengukuran outcome yang paling umum digunakan dalam penelitian cedera otak.
Meskipun GOS telah dikritik di dalam literatur rehabilitasi mengenai insensitifitas
terhadap perubahan dan kekurangan-kekurangan lainnya,185 GOS masih tetap menjadi
pengukuran outcome primer dalam percobaan-percobaan klinis perawatan-akut.
Kefamilieran dalam menggunakan skala ini penting untuk membaca literatur outcome
cedera otak. The Diasability Rating Scale (DRS)286, 287 didesain untuk memberikan
pengukuran yang lebih sensitif dan komprehensif daripada GOS. Tabel 49-8
membandingkan pengukuran-pengukuran outcome utama yang digunakan di dalam
rehabilitasi cedera otak.
KESINAMBUNGAN PELAYANAN-PELAYANAN
REHABILITASI CEDERA OTAK
Rehabilitasi pasien penderita cedera otak biasanya dibagi ke dalam rehabilitasi akut
dan rehabilitasi pot-akut. Jalur pelayanan-pelayanan rehabilitasi pasien-pasien
penderita cedera otak nampak pada Gambar 49-5. Rehabilitasi akut mengacu pada
perawatan yang diberikan kepada pasien rawat inap pada suatu unit rumah sakit,
selama tahap-tahap awal penyembuhan. Rehabilitasi post-akut mengacu kepada
perawatan setelah rumah sakit memulangkan pasien selama tahap-tahap kelanjutan
penyembuhan.230
Gambar 49-5. Jalur Rehabilitasi untuk Cedera Otak. Bagan alur menunjukkan jalur-
jalur yang biasanya diikuti oleh pasien-pasien cedera melewati rehabilitasi fase-fase
akut dan post-akut. Evaluasi oleh seorang dokter spesialis rehabilitasi merupakan
langkah awal, yang penting sebelum para pasien dipindahkan dari perawatan akut ke
program-program rehabilitasi. Para pasien bisa jadi ditransfer antara program-
program rehabilitasi akut dan subakut tergantung kepada kebutuhan-kebutuhan
individu. Pilihan program post-akut bisa jadi tergantung pada ketersediaannya di
tempat tersebut.
Rehabilitasi Cedera Otak Akut
Rehabilitasi pasien-pasien penderita cedera otak sebaiknya dimulai selama perawatan
kritis. Pada tahap ini dokter spesialis rehabilitasi dapat mengintervensi untuk
mencegah komplikasi yang dapat memperbesar ketidakmampuan yang akan datang.
Sebagai contoh, pasien yang tidak sadar tanpa berbagai kontraindikasi sebaiknya
menjalani rangkai gerak pasif dua kali sehari untuk mencegah kontraktur-kontraktur
dan abnormalitas-abnormalitas persendian lainnya, serta sebaiknya diposisikan untuk
mencegah adanya tekanan bisul-bisul, edema dan kontraktur-kontraktur. Intervensi-
intervensi tambahan dapat direkomendasikan untuk spastisitas, nutrisi dan
incontinence. Meskipun manajemen ortopedik definitif fraktur-fraktur pada pasien-
pasien penderita TBI seringkali dapat ditunda, perawatan surgical dini cedera-cedera
ortopedik dapat meminimalisasi kecacatan.161
Evaluasi dini rehabilitasi dapat menentukan apakah pasien sesuai untuk
rehabilitasi akut (entah pada unit rehabilitasi umum atau unit khusus cedera otak),
untuk program subakut, atau untuk perawatan dalam suatu program post-akut.
Transfer ke program rehabilitasi akut sebaiknya dilakukan dengan dasar
pertimbangan apabila pasien secara medis dinyatakan stabil dan apabila perawatan
medis yang sedang berlangsung secara substansial tidak mengganggu kemajuan
rehabilitasi.250 Kriteria perintah-perintah yang menyertai sebelum admisi hingga
rehabilitasi tidak dapat ditentukan karena, seperti tampak pada Tabel 49-9, mayoritas
mantan pasien-pasien TBI yang mengalami ketidaksadaran akhirnya medapatkan
kembali kesadarannya. Malah, dokter spesialis rehabilitasi dapat menggunakan
indikator-indikator prognostik untuk menyeleksi pasien-pasien yang mengalami
ketidaksadaran dengan probabilitas penyembuhan tertinggi. Pemindahan secara
langsung pasien yang mengalami ketidaksadaran dari perawatan akut ke bangsal,
tanpa adanya evaluasi terlebih dahulu oleh dokter spesialis rehabilitasi, sebaiknya
dihindari. Hal ini dikarenakan resiko mengabaikan pembentukan komplikasi-
komplikasi atau tanda-tanda perkembangan, dan dikarenakan resiko penundaan atau
bahkan pencegahan akses rehabilitasi.
Indikasi-indikasi admisi ke unit khusus rehabilitasi cedera otak, daripada ke unit
rehabilitasi umum, termasuk (1) ketidaksadaran atau bukti-bukti kesadaran yang tidak
konsisten, (2) agitasi yang memerlukan modifikasi-modifikasi lingkungan, (3) resiko
komplikasi-komplikasi (misalnya, spastisitas, yang memerlukan manajemen khusus,
dan (4) kerusakan kognitif parah yang membutuhkan modifikasi-modifikasi terapi
dan prosedur-prosedur keperawatan. Unit-unit yang dikhususkan untuk rehabilitasi
cedera otak memiliki kelebihan-kelebihan yaitu staf yang berpengalaman, jaringan
konsultan-konsultan dengan keahlian-keahlian khusus dalam hal cedera otak,
program-program untuk pendidikan keluarga dan masyarakat, dan protokol-protokol
untuk permasalahan-permasalahan rehabilitasi cedera otak pada umumnya. Tim terapi
unit rehabilitasi akut cedera otak biasanya melibatkan disiplin-disiplin rehabilitasi
tradisional, seorang dokter spesialis rehabilitasi dengan keahlian dalam bidang cedera
otak, dan seorang neuropsikolog. Tim tersebut juga membutuhkan akses ke para
spesialis di optometri dan orthotic. Deskripsi-deskripsi detil terapi-terapi rehabilitasi
untuk pasien-pasien penderita cedera otak sudah tersedia.43, 152, 206, 245, 355, 363
Penelitian lebih lanjut diperlukan utnuk mengevaluasi kemanfaatan unit-unit
rehabilitasi akut yang dikhususkan untuk cedera otak, jika diperbandingkan dengan
perawatan yang diberikan kepada pasien-pasien penderita cedera otak di unit-unit
rehabilitasi umum.289 Berbagai ulasan penelitian-penelitian kemanfaatan rehabilitasi
TBI akut74, 167 telah menemukan bahwa, ketika pasien-pasien penderita TBI dalam
penelitian-penelitian ini biasanya membuat perkembangan-perkembangan besar
selama rehabilitasi rawat inap, kemajuan-kemajuan tersebut tidak dapat secara unik
diatribusikan terhadap rehabilitasi karena penelitian-penelitian gagal untuk
mengontrol penyembuhan spontan atau perbedaan-perbedaan yang sudah ada
sebelumnya antara kelompok perawatan dan perbandingan. Lebih lanjut, pengukuran-
pengukuran outcome yang digunakan dalam penelitian-penelitian ini bisa jadi tidak
sesuai atau tidak cukup sensitif atau komprehensif untuk mendeteksi perbedaan-
perbedaan dalam perkembangan.160 Mayoritas perkembangan fungsional pada pasien-
pasien cedera otak selama rehabilitasi akut bisa jadi dikarenakan penyembuhan
neurologis secara spontan, dengan terapi memainkan peran pencegahan berbagai
komplikasi (misalnya, kontraktur-kontraktur), mengkondisikan ulang setelah
ketidakaktifan selama perawatan akut, menyediakan lingkungan yang telah diberi
pengetahuan, strategi-strategi imbangan pengajaran (termasuk modifikasi-modifikasi
lingkungan), dan kemungkinan pemfasilitasan reorganisasi neurologis.56, 263, 342
Tahap-tahap Penyembuhan Neurobehavioral dari Cedera Otak
Dibandingkan dengan gangguan-gangguan neurologis lainnya yang dirawat dalam
rehabilitasi, cedera otak memiliki jangka waktu penyembuhan yang lama. Sebagai
contoh, pasien-pasien penderita TBI pada umumnya membuat kemajuan fungsional
yang lebih besar selama rehabilitasi rawat inap daripada para pasien pada kelompok-
kelompok diagnostik lainnya.69 Jangka waktu penyembuhan dari cedera otak yang
parah meliputi tahap-tahap yang berbeda-beda, seperti tampak pada Gambar 49-6.
Tahap-tahap penyembuhan neurobehavioral dari cedera otak anoksik, putusnya arteri
anurisme komunikasi anterior, dan banyak cedera otak nontraumatis lainnya
menyerupai TBI. Level-level skala Pemfungsian Kognitif (The Levels of Cognitive
Fungtioning scale), tampak pada Tabel 49-10, tercipta di Rancho Los Amigos
Medical Center231 untuk mendeskripsikan rangkaian penyembuhan neurobehavioral
dari TBI dan untuk memberikan suatu dasar pemikiran bagi rehabilitasi kognitif pada
masing-masing tahap penyembuhan. Meskipun Level-level skala Pemfungsian
Kognitif telah dikritik karena penyembuhan dari TBI lebih bervariasi daripada yang
diimplikasikan oleh skala, skala tersebut memiliki keuntungan yaitu membedakan
tahap-tahap utama penyembuhan dan memberikan suatu dasar komunikasi antar
anggota tim. Strategi-strategi rehabilitasi selama rehabilitasi akut sebagian besar
ditentukan oleh tahap-tahap penyembuhan pasien, seperti yang dijelaskan pada
bagian-bagian berikut.
Koma dan Ketidaksadaran
Riwayat alamiah penyembuhan cedera-cedera otak traumatis dimulai dengan
koma, suatu keadaan dimana pasien menunjukkan tidak adanya bukti-bukti kognisi
dan tidak membuka matanya, meskipun diberi stimulus yang menyakitkan.180 Pada
cedera otak yang diakibatkan oleh trauma, koma dan ketidaksadaran disebabkan oleh
gangguan input terhadap struktur-struktur permukaan otak dari struktur-struktur yang
lebih dalam yang mensyarafi gerakan dan keadaan terjaga seseorang.279 Gangguan ini
dapat, sebaliknya, dihasilkan oleh diskoneksi jalur-jalur fiber yang arahnya naik yang
dikarenakan cedera aksonal yang menyebar, atau oleh kompresi batang otak atau
struktur-struktur diensefalik sebagai akibat dari efek massa lesi-lesi supratentorial.
Pada pasien-pasien mantan penderita, terdapat rangkaian penyembuhan fungsi tubuh
yang cukup konsisten dari keadaan koma yang dimulai dengan pembukaan matadan
siklus-siklus tidur-bangun, dan kemudian kemajuan-kemajuan untuk mengikuti
perintah-perintah dan, pada akhirnya, untuk berbicara.59 rangkain proses
penyembuhan ini konsisten dengan model TBI sentripetal, yang memperkirakan
bahwa fungsi-fungsi yang disyarafi oleh struktur-struktur otak yang lebih dalam,
seperti siklus-siklus bangun-tidur, seharusnya sembuh terlebih dahulu daripada
fungsi-fungsi yang disyarafi oleh struktur-struktur otak di bagian permukaan, seperti
memori.268 Kognisi biasanya didemonstrasikan pertama kalinya oleh kemampuan
pasien untuk berkomunikasi, seperti mengikuti perintah-perintah atau melakukan
gerakan bahasa isyarat. Pada pasien-pasien yang sembuh dengan cepat, uji tanda-
tanda kognisi awal ini biasanya bersifat langsung dan tidak memerlukan teknik-teknik
tertentu. Pada pasien-pasien yang sembuh dengan lambat, bagaiamanpun juga,
teknik-teknik khusus mungkin diperlukan untuk mendeteksi kemajuan-kemajuan,
atau bahkan bukti-bukti adanya kesadaran.343
Pada penelitian-penelitian terdahulu mengenai TBI parah, 10% hingga 15% dari
para pasien yang bertahan hidup masih tetap dalam keadaantidak sadar pada saat
dipulangkan dari ruang perawatan akut.221 Sebagian besar para pasien yang masih
tetap tidak sadar hingga setelah satu bulan telah mendapatkan kembali siklus-siklus
bangun-tidur, dan oleh karenanya mereka membuka mata secara spontan pada
sebagian waktu. Mereka biasanya juga menunjukkan reaktifitas pupilari dan refleks-
refleks okulosefalik, perilaku-perilaku primitif seperti mengunyah dan menggerakkan
mata berputar-putar, dan fungsi –fungsi vegetatif seperti respirasi spontan, yang
kesemuanya itu merefleksikan batang otak yang masih berfungsi dan fungsi-fungsi
hipotalamik. Ketika terdapat kesepakatan umum akan kriteria diagnostik keadaan
koma, ketidakakuratan diagnostik dan kebingungan menyertai usaha-usaha untuk
membedakan vegetatif dari kesadaran minimal atau keadaan-keadaan responsif
minimal. Istilah persistent vegetative state (PVS) telah digunakan untuk menjelaskan
suatu keadaan dimana pasien dengan keadaan koma sebelumnya telah pulih kembali
siklus-siklus tidur-bangunnya dan membuat kemajuan-kemajuan hingga mencapai
keadaan suatu keadaan terjaga tanpa adanya kesadaran. 180, 279 Pasien-pasien dengan
PVS tidak memiliki respon behavioral yang bersifat dapat bereproduksi, bermakna,
atau dengan kesadaran terhadap stimulus-stimulus, dan tidak ada bukti-bukti
komprehensi atau ekspresi bahasa. Selama bertahun-bertahun, PVS telah
dipergunakan secara tidak tepat sebagai suatu istilah prognostik, yang mengakibatkan
diagnosis yang tidak akurat, rekomendasi-rekomendasi perawatan yang tidak tepat,
keterbatasan-keterbatasan pelayanan-pelayanan medis dan rehabilitasi, dan buruknya
pemanfaatan dan penganggaran sumber-sumber daya.The Multi-society Task Force
on PVS menyatakan bahwa, karena PVS semata-mata mengacu pada “suatu
keadaankecacatan di masa lampau dan berlanjut di masa mendatang dengan tanpa
adanya suatu kepastian,” PVS lebih merupakan suatu diagnosis daripada suatu
prognosis.255, 256 Suatu keadaanyang terkait, permanent vegetative state,
mengungkapkan irreversibilitas dan oleh karenanya merupakan suatu prognosis. The
Task Force mendefinisikan secara operasional PVS sebagai suatu keadaan vegetatif
yang muncul satu bulan setelah cedera otak traumatis atau nontraumatis yang akut.
Keadaan vegetatif sebaiknya tidak dilabel permanen hingga terdapat suatu prognosis
irreversibilitas yang dapat ditetapkan dengan kepastian klinis yang berderajat tinggi,
setelah 12 bulan bertahan dalam keadaanvegetatif post-TBI dan 3 bulan mengikuti
cedera-cedera nontraumatis. Tabel 49-11 menyajikan terminologi yang digunakan
untuk pasien-pasien dalam keadaantidak sadar atau kesadarannya berada dalam level
yang rendah.139
Gambar 49-6. Proses Pemulihan Memori setelah Cedera Otak. Garis waktu
menunjukkan tahapan-tahapan pemulihan kognitif yang berlangsung pada sebagian
besar penderita cedera otak parah yang masih bertahan hidup. TBI ringan dan sedang
akan mendemonstrasikan tahapan-tahapan yang sama seperti yang digambarkan,
kecuali untuk datang. Beberapa pasien yang mampu bertahan hidup tidak sembuh
dari keadaantidak sadar atau dari amnesia posttraumatis/Post-traumatic Amnesia
(PTA). Mayoritas pasien-pasien yang puluh dari PTA dan memiliki suatu
kesenjangan memori permanen tentang pengalaman-pengalaman yang terjadi selama
keadaantidak sadar, PTA, dan suatu periode pra-cedera yang lebih pendek (amnesia
retrograde).
Rehabilitasi Pasien-pasien dengan Gangguan Kesadaran
Pasien-pasien yang tetap saja tidak sadar meskipu dipindahkan dari ruang
perawatan akut menunjukkan permasalahan-permasalahan uji dan perawatan yang
sulit, dan sebaiknya dirujuk ke program rehabilitasi cedera otak. Dengan ketiadaan
perawatan yang telah terbukti kemanjurannya untuk memfasilitasi penyembuhan
ketidaksadaran, tujuan-tujuan rehabilitasi para pasien penderita TBI adalah (1) untuk
memindahkan penghambat-penghambat penyembuhan, dengan demikian
memungkinkan para pasien yang memiliki potensial untuk mendapatkan kembali
kesadarannya untuk memindahkan penghambat-penghambat tersebut; (2) untuk
merawat komplikasi-komplikasi medis yang dapat meningkatkan kecacatan pada
pasien-pasien yang telah sembuh; dan (3) untuk memberikan edukasi, konseling, dan
dukungan bagi para anggota keluarga. Ulasan yang lebih detil mengenai manajemen
pasien-pasien tersebut tersedia.38, 51, 138, 265, 304, 346
Langkah pertama dalam menguji pasien dengan kerusakan kesadaran yang
parah adalah dengan mengendalikan kemungkinan bahwa kegagalan untuk
membangkitkan kesadaran merupakan artifak dari teknik-teknik pemeriksaan atau
dikarenakan faktor-faktor medis reversibel. Pasien-pasien yang gagal untuk
mengikuti perintah-perintah karena ketidakpahaman akan bahasa yang digunakan
penguji atau karena afasia atau apraksia217 mungkin saja berhasil jika teknik-teknik
pemeriksaan yang digunakan dimodifikasi dengan tepat. Yang paling penting,
timbulnya gerakan pasien dan munculnya responsifitas pasien dapat dirusak oleh
obat-obat pensedasi, penyakit-penyakit sistemik, malnutrisi, dan permasalahan-
permasalahan medis lain yang bisa dikoreksi.
Khususnya, permasalahan obat sedasi terindusi pada pasien-pasien yang tidak
sadar lebih serius daripada yang terapresiasi pada umumnya dan perlu untuk
diperhatikan. Perlu untuk diketahui bahwa efek-efek samping sedatif dapat
memperparah keadaanotak yang cedera, dan bahkan meski perubahan kecil sekalipun
dalam hal melakukan gerakan dapat berdampak pada kemampuan pasien dalam
merespon. Pengobatan yang diberikan kepada pasien-pasien yang tidak sadar
sebaiknya diperiksa dengan teliti guna mengurangi efek-efek yang tidak penting dan,
jika memungkinkan, untuk menggantikan obat-obat yang penting dengan obat-obatan
yang bersifat kurang sedatif. Pengobatan-pengobatan yang potensial berefek sedasi
yang seringkali diberikan kepada para pasien yang tidak sadar tercantum pada Tabel
49-12. Profilaksis antikonsulvan seperti carbamazepine (Tegretol) atau valproic acid.
Perawatan hipertensi dengan clonidine, inhibitor-inhibitor angiotensin-converting
enzyme, penghalang-penghalang channel calcium, atau diuretik bisa jadi
memungkinkan untuk digunakan daripada menggunakan antihipersensitif dengan
efek-efek samping mensedasi, seperti propranolol, metoprolol, dan methyldopa.
Penggunaan metoclopramide (Reglan) sebaiknya dihindari pada perawatan
pengosongan lambung yang tertunda karena efek-efek samping pensedasinya.
Benzodiazepine seperti diazepam (Valium), yang sering digunakan untuk kontrol
spastisitas, sebaiknya juga dihindari. Antidepressant seperti amitriptyline (Elavil),
yang kadang kala digunakan untuk meningkatkan level kesadaran, dapat secara
paradoks menurunkan timbulnya gerakan karena efek-efek anticholinergic yang
mereka miliki. Tidak ada aturan untuk neuroleptic seperti haloperidol (Haldol),
chloropromazine (Thorazine), dan thioridazine (Mellaril) dalam manajemen medik
pasien-pasien yang tidak sadar.
Prediktor-prediktor apakah pasien-pasien yang tidak sadar akan mendapatkan
kembali kesadarannya adalah etiologi, umur, dan durasi ketidaksadaran itu sendiri.255,
256 Penelitian-penelitian outcome pada pasien-pasien TBI yang tidak sadar selama
kira-kira satu bulan post-cedera (seperti yang diringkas pada Tabel 49-9)
menunjukkan bahwa 40% hingga 50% mendapatkan kembali kesadarannya dalam
waktu satu tahun post-cedera. Temuan-temuan ini juga mendukung rekomendasi
bahwa pasien-pasien TBI yang tidak sadar selama dipindahkan dari ruang perawatan
akut sebaiknya dirujuk ke program-program rehabilitasi cedera otak daripada
ditransfer ke fasilitas-fasilitas keperawatan, dimana terdapat suatu resiko tidak akan
pernah mendapatkan perawatan khusus bahkan hingga setelah pulih kesadarannya.
Ulasan tentang semua kasus-kasus keadaan vegetatif yang diperpanjang yang
terverifikasi yang mengikuti TBI menyimpulkan bahwa, pada pasien-pasien yang
tidak sadar selama 3 bulan post-cedera, probabilitas mendapatkan kembali
kesadarannya dalam waktu satu tahun post-cedera adalah 36%; akan tetapi, pada
pasien-pasien yang tetap tidak sadar selama 6 bulan post-cedera, probabilitasnya
menurun hingga 21%.255, 256 Pada pasien-pasien dengan cedera otak nontraumatis yang
tetap tidak sadar selama 3 bulan post-cedera, probabilitas mendapatkan kembali
kesadarannya dalam waktu satu tahun post-cedera hanya 7% dan, pada pasien-pasien
nontraumatis yang tetap tidak sadar selama 6 bulan post-cedera, probabilitasnya
bahkan lebih rendah.255, 256 Kajian yang sama yang melaporkan lebih sedikit dari
duapuluh kasus yang terverifikasi tentang pasien-pasien TBI yang pulih kesadarannya
setelah menetap dengan status vegetatif yang lebih lama dari satu tahun, dan
menyimpulkan bahwa pemulihan kesadaran setelah satu tahun benar-benar “sangat
jarang.”255,256
Umur merupakan prediktor kesembuhan dari ketidaksadaran traumatis, dengan
tingkat kesembuhan terbaik dapat ditemukan pada anak-anak, yang diikuti oleh usia
dewasa di bawah 40 tahun.255, 256 Akan tetapi, umur tidak memprediksikan secara kuat
kesembuhan dari ketidaksadaran nontraumatis.226 Terdapat juga bukti-bukti bahwa
kesembuhan dari ketidaksadaran traumatis lebih sedikit ditemui pada pasien-pasien
dengan bukti-bukti hasil neuroimaging atrofi serebral parah atau ketiadaan bilateral
potensial-potensial somatosensori yang terbangkitkan.255, 256, 275 Banyak prediktor-
prediktor potensial lain menyangkut kesembuhan dari ketidaksadaran traumatis yang
telah dipelajari,221 namun tidak satupun yang telah divalidasi untuk digunakan dalam
prediksi klinis.
Pada pasien-pasien yang tidak sadar atau yang tidak secara konsisten merespon
dengan selektif, terdapat tuntutan yang kuat untuk suatu teknik uji yang dapat
merunut proses penyembuhan. GCS dan Rancho Los Amigos Levels of Cognitive
Fungtioning Scale dianggap kurang sensitif untuk diaplikasikan pada pasien-pasien
yang tidak sadar yang telah mendapatkan kembali kemampuan membuka matanya
secara spontan.51 Beberapa skala peringkat telah ditetapkan untuk menguji
responsifitas pasien-pasien yang tidak sadar atau dengan level kesadaran rendah.172
Contoh-contoh skala-skala tersebut antara lain Skala Koma/Mendekati Koma,285
Skala Penyembuhan Koma,140 Western Neuro Sensory Stimulation Profile,24 dan
Sensory Stimulation Assessment Measure.282 Meski tidak satupun dari skala-skala ini
dapat memprediksikan kesembuhan pasien-pasien yang masih tetap tidak sadar,
mereka dapat berguna dalam memonitor apakah seorang pasien yang sadar
kehilangan responsifitasnya dari waktu ke waktu, yang dapat menjadi pertanda
adanya suatu sedasi atau suatu komplikasi yang dapat diobati. Sebagai pilihan
alternatif dari skala-skala ini, teknik-teknik saat ini telah diciptakan untuk mendeteksi
bukti-bukti kesadaran pada para pasien dengan respon-respon yang tidak frekuentif
atau ambigu.343
Rehabilitasi pasien-pasien yang tidak sadar masih saja menjadi suatu hal yang
kontroversial.54, 244, 354, 372 Khususnya, kemanjuran stimulasi sensori (juga disebut
stimulasi koma), dimana pasien-pasien diberi stimulasi terarah pada modalitas-
modalitas ganda,51 tidak didukung oleh percobaan-percobaan klinis. Kajian mengenai
penelitian-penelitian yang telah diterbitkan354 tidak menemukan adanya bukti-bukti
bahwa stimulasi sensori meningkatkan kesembuhan dari ketidaksadaran traumatis
kronis, meskipun terdapat beberapa bukti efek perawatan pada pasien-pasien
penderita TBI akut yang masih dalam keadaan koma.
Pengobatan farmakologis masih menjadi intervensi yang paling menjanjikan
untuk secara langsung meningkatkan timbulnya gerakan dan memfasilitasi
penyembuhan kesadaran pasien-pasien tersebut. Tabel 49-13 meringkas beberapa
pengobatan yang digunakan untuk stimulasi neuro. Terdapat banyak laporan yang
bersifat anekdot mengenai pasien-pasien penderita TBI yang tidak sadar yang
mendapatkan kembali kesadarannya ketika dirawat dengan stimulan-stimulan
(misalnya, methylphenidate, dextroamphetamine) atau agen-agen anti parkinsonian
(misalnya, bromocriptine, amantadine).50, 51, 118, 119, 201, 358, 369 Meski
percobaan-percobaan yang terkontrol terhadap obat-obatan tersebut belum pernah
dilakukan, berdasarkan pengalaman kami mereka digunakan secara meluas pada
perawatan neurotrauma dan rehabilitasi cedera otak akut.
Amnesia Posttraumatis dan Agitasi
Mengikuti pulihnya kesadaran, para pasien cedera otak biasanya melalui suatu
periode kebingungan dan disorientasi yang disebut amnesia posttraumatis (PTA).214,
300 PTA didefinisikan sebagai peride dimana kemamppuan pasien untuk belajar
informasi-informasi baru sangat minim atau bahakan tidak ada. Sebagai contoh, pada
PTA tahap awal, para pasien bisa saja tidak sadar bahwa ia berada di rumah sakit dan
justru merasa bahwa mereka di rumah atau di tempat kerja. Ingatan akan kejadian-
kejadian fiksisius yang salah ini, disebut konfabulasi, yang lebih bersifat organis
daripada suatu gejala fungsional. Menuju periode akhir PTA, para pasien menjadi
tidak terlalu konfabulatori namun masih saja gagal untuk mengingat kembali episode-
episode yang spesifik (misalnya, pengunjung yang menjenguk kemarin). Setelah
pulih dari PTA, pasien-pasien tersebut memiliki kesenjangan memori permanen
untuk kejadian-kejadian yang terjadi selama periode PTA. Mereka biasanya juga
memiliki suatu kesenjangan memori untuk kejadian-kejadian yang terjadi beberapa
waktu sebelum waktu cedera (disebut amnesia retrogade). Walaupun istilah PTA
mengimplikasikan bahwa cedera otak disertai itrauma, para pasien cedera otak
anoksik dan cedera otak nontraumatis tertentu lainnya (misalnya, putusnya arteri
anurisme komunikasi anterior) melalui tahap-tahap penyembuhan yang sama. Oleh
karenanya, suatu istilah alternatif diperlukan untuk menjelaskan amnesia tanpa
menspesifikasikan suatu etiologi traumatis.
Ukuran-ukuran yang berbeda tersedia untuk menguji apakah seorang pasien
dalam keadaan PTA atau sedang dalam masa penyembuhan dari PTA. Ukuran yang
paling banyak digunakan adalah orientasi terhadap tempat dan waktu, namun hal ini
dapat kurang tepat diaplikasikan pada unit-unit rehabilitasi dimana para pasien sering
diberi latihan-latihan “orientasi realitas”.93 Teknik standar yang digunakan untuk
menguji PTA adalah Galveston Orientation and Amnesia Test (GOAT),214 suatu
interview singkat yang mengkuantifikasikan orientasi dan ingatan akan kejadian-
kejadian tertentu. Skor GOAT dapat berkisar dari 0 hingga 100, dengan skor >75
didefinisikan sebagai normal. Akhir PTA dapat didefinisikan sebagai tanggal setelah
skor GOAT yang didapat konsisten >75. Keuntungan menggunakan GOAT adalah
bahwa hasil-hasil dapat langsung dibandingkan dengan penelitian-penelitian outcome
yang juga menggunakan skala ini.112
Durasi PTA merupakan suatu indikator tingkat keparahan cedera otak dan
sebaiknya digunakan sebagai suplemen skor GCS, durasi ketidaksadaran, dan
temuan-temuan neuroimaging. Kenyataannya, durasi PTA indikator tingkat
keparahan pertama yang diterima secara meluas.123 Perlu dicatat bahwa durasi PTA,
seperti durasi ketidaksadaran, dapat merefleksikan faktor-faktor selain tingkat
keparahan cedera otak itu sendiri. Kegagalan untuk pulih dari PTA dapat
mengindikasikan suatu gangguan amnesik permanen, seperti yang dihasilkan oleh
cedera otak anoksik, atau dapat menjadi sinyal adanya komplikasi-komplikasi yang
dapat dicegah misalnya hidrosefalus.
Selama PTA banyak pasien-pasien menampakkan sindrom neurobehavioral,
yang disebut agitasi, yang meliputi kebingungan kognitif, kelabilan emosi yang
ekstrim, aktifitas motorik yang berlebihan, dan agresi fisik atau verbal. Pasien yang
mengalami agitasi biasanya tidak mampu untuk mempertahankan atensi dan usaha
dalam jangka waktu yang cukup lama untuk melakukan tugas-tugas sederhana,
seperti berpakaian, dan dapat bereaksi berlebihan hingga perasaan frustasi dengan
menangis atau berteriak. Pasien dapat dengan mudah merasa frustasi dan tersinggung,
dan pada umumnya menunjukkan perilaku yang tidak semestinya terhadap staf atau
anggota keluarga. Terhadap tanggal, tidak ada konsensus mengenai definisi agitasi.
Sandel dan Mysiw,303 berdasarkan kajian mereka terhadap berbagai literatur,
mendefinisikan agitasi posttraumatis sebagai “suatu subtipe delirium, yang terjadi
selama periode amnesia posttraumatis, yang dicirikan oleh perilaku yang berlebihan,
termasuk beberapa kombinasi agresi, akathisia, disinhibisi, dan kelabilan emosi.”
Lebih lanjut, mereka mengingatkan bahwa gangguan mood dan pikiran harus
didiagnosa secara terpisah. Pada suatu survey para anggota Brain Injury Special
Interest Group of The American Academy of Physical Medicine and Rehabilitation,
Fugate et al126 menemukan bahwa mayoritas tidak menggunakan teknik-teknik yang
standar untuk mengukur agitasi. Hanya 6% yang menggunakan Agitated Behaviour
Scale/Skala Perilaku Teragitasi (ABS), ukuran yang paling sering digunakan. ABS
adalah skala yang meliputi 14 item yang memeringkat perilaku ke dalam tiga bidang
yang saling terkait: disinhibisi, agresi, dan labilitas.91 Mudah untuk mengkategorikan
dan telah terbukti memiliki realibilitas antar ukuran pemeringkat yang baik.
Agitasi menjadi sangat penting jika pasien membahayakan bagi diri sendiri
maupun orang lain (misalnya, merenggut botol-botol, menjatuhkan diri, atau
berusahamelarikan diri dari ruang perawatan). Sebelumnya diyakini bahwa sebagian
besar pasien-pasien TBI yang menunjukkan tanda-tanda agitasi selama PTA, seperti
yang diimplikasikan oleh skala Rancho Los Amigos.231 Akan tetapi, riset
menunjukkan bahwa agitasi disertai agresi terjadi hanya pada sebagian kecil pasien-
pasien penderita penyakit tersebut, sedangkan yang lainnya hanya menunjukkan
tanda-tanda agitasi disertai kegelisahan motorikik,63, 288 dan yang lainnya lagi tidak
menunjukkan tanda-tanda agitasi. Faktor-faktor resiko agitasi masih perlu
diidentifikasi namun para pakar menyatakan bahwa defisit-defisit kognitif parah
dankerusakan lobus frontal mungkin prediktif.
Rehabilitasi Pasien Penderita Agitasi
Meski agitasi seringkali ditemui pada cedera otak, namun sebaiknya didiagnosis
secara terpisah. Permasalahan-permasalahan neurologis atau medis konkuren dapat
menyebabkan atau memperburuk delirium (kekacauan pikiran) dan perilaku
teragitasi. Jelas, kondisi-keadaanini perlu diperlakukan secara berbeda dengan
perlakuan yang diberikan terhadap agitasi. Kekacauan metabolik, hipertiroidisme,
infeksi dan sepsis, hipoglikemia, hipoksemia, pengobatan-pengobatan (misalnya,
anticholinergics), dan obat penenang (misalnya, baclofen, sedatif-sedatif, hipnotis-
hipnotis) termasuk beberapa obat penyebab kekacauan pikiran dan agitasi. Di antara
komplikasi-komplikasi neurologis yang menunjukkan kekacauan pikiran atau agitasi
antara lain serangan-serangan, hidrosefalus, lesi-lesi massa intrakranial (misalnya,
hematoma,higroma), dan migrain. Rasa sakit, khususnya pada seorang pasien yang
mengalami kebingungan dan tidak mampu berkomunikasi, merupakakn penyebab
agitasi yang seringkali teramati. Merupakan hal yang masuk akal untuk melakukan
berbagai uji dalam evaluasi pasien yang mengalami kebingungan dan agitasi (Tabel
49-14). Hanya setelah kondisi-keadaanmedis dan neurologis dapat dikendalikan
sebaiknya diagnosis suatu agitasi segeera ditentukan.
Perawatan agitasi meliputi pengobatan-pengobatan, strategi-strategi behavioral,
dan manajemen lingkungan. Pengekangan fisik yang berlebihan tidak berhasil. Atas
dasar keprihatinan publik, the Joint Comission on the Accreditation of Health Care
Institution (JCAHO) dan the Health Care Financing Agency (HCFA) akhir-akhir ini
memperketat peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penggunaan model-model
pengekangan. Cedera-cedera yang terkait dengan penggunaan rompi pengekang telah
dicatat.62 Jika diperlukan, pengekang sebaiknya diaplikasikan pada tingkatan yang
paling rendah, contohnya sarung tangan dengan bantalan dan sabuk kecil yang lunak
demi keamanan kursi roda. Penggunaan kasur lantai (Gambar 49-7) memberikan
lingkungan yang aman dan terkontrol dan dapat mengeliminasi kebutuhan akan
pengekang. Teknik-teknik modifikasi perilaku tradisional, seperti menggunakan
penghargaan untuk perilaku yang diharapkan, dianggap tidak efektif untuk agitasi
karena pasien biasanya bingung dan amnestik. Usaha-usaha nonfarmakologis
diarahkan ke manajemen lingkungan dan restrukturisasi terapi-terapi (Tabel 49-15).
Tujuan manajemen lingkungan adalah untuk menurunkan level stimulasi dan
kompleksitas kognitif pada lingkungan terdekat pasien. Lebih lanjut untuk edukasi
staf dan perencanaan strategi, keluarga perlu untuk memahami teknik-teknik
manajemen yang digunakan dan dilibatkan dalam implementasi sebagaimana
mestinya. Perilaku teragitasi yang ditunjukkan oleh seseorang yang kita cintai
seringkali membuat keluarga sangat tertekan, dan ini dapat dimaklumi. Penting untuk
meyakinkan ulang keluarga bahwa agitasi merupakan suatu tahap penyembuhan yang
dapat diprediksi dan bahwa usaha-usaha terus dilakukan untuk mengidentifikasi
penyebab-penybab perilaku tersebutyang dapat disembuhkan. Pembahasan-
pembahasan yang lebih detil mengenai manajemen lingkungan agitasi tersedia pada
publikasi-publikasi lain.
Gambar 49-7. Craig Bed. Pasien-pasien penderita agitasi nonambulatori seringkali
diuntungkan dengan penggunaan kasur lantai (Craig Bed). Matras-matras dapat
diletakkan di lantai dan dinding dengan bantala setinggi 3-4 kaki pada keempat sisi
memungkinkan pasien untuk berguling-guling. Penggunaan kasur lantai dengan
pengawasan ketat serta penggunaan sarung tangan dan helm (jika perlu) seringkali
mengeliminasi kebutuhan untuk pengekang.
Tidak ada satupun aturan mengenai penggunaan obat-obatan bagi penderita
agitasi. Sedasi sebaiknya digunakan hanya ketika strategi-strategi lingkungan tidak
berhasil dan pada situasi-situasi darurat. Pada survey yang sama yang dilakukan oleh
Fugate at al.125, 126 ditemukan bahwa obat yang paling sering diresepkan oleh para
“ahli TBI” adalah carbamazepine, tricyclic antidepressants (TCAs), trazodone,
amantadine, dan beta-blockers. Para “ahli” ini juga sepertinya lebih jarang
menggunakan obat dengan efek sedasi daripada “non-ahli”, seperti haloperidol dan
benzidiaspines. Tabel 49-16 menyebutkan beberapa macam obat-obatan yang umum
digunakan. Hanya sedikit dari obat-obatan tersebut yang telah dievaluasi
kemanjurannya melalui uji-uji klinis.64 Dalam situasi-situasi dimana agitasi tidak
dapat dikontrol dan berkembang ke arah kekerasan, intramuscular lorazepam
(Ativan), 1 hingga 2 mg, bisa jadi diperlukan. Obat ini direkomendasikan hanya
untuk situasi-situasi darurat dimana muncul bahaya dadakan yang mengancam pasien
atau orang lain, dan bukan sebagai substitusi untuk intervensi-intervensi lingkungan
dan obat-obat yang lebih aman. Dokter sebaiknya juga harus berhati-hati terhadap
peningkatan paradoksikal dalam agitasi, yang dapat terjadi dengan penggunaan
lorazepam.
Rehabilitasi Selama dan Setelah Amnesia Posttraumatis
Program rehabilitasi selama PTA sebaiknya dimodifikasi untuk pasien-pasien
dengan kerusakan-kerusakan memori parah. Unit rehabilitasi sebaiknya memiliki
suatu sistem (misalnya, pita tangan yang berwarna-warni) untuk mengidentifikasi
seberapa ketat pengawasan yang diperlukan oleh pasien. Pasien yang beresiko tinggi
menyerang atau menyakiti dirinya sendiri atau orang lain mungkin membutuhkan
suatu area terkunci atau pengawasan langsung oleh staf perawat. Untuk mengorientasi
ulang pasien dengan lingkungannya, tempat dan tanggal dan suatu jadwal harian
sebaiknya ditempelkan pada kamar-kamar pasien, dan informasi orientasi dapat
diulang sepanjang hari.93 mungkin sangat membantu pasien-pasien untuk menerima
makanan dan terapi-terapi mereka di ruang rehabilitasi saja, guna menghindari
stimulasi yang berlebihan. Tim sebaiknya menghindari menstimulasi pasien secara
berlebihan dengan jadwal terapi yang terlalu banyak persyaratan, ekspektasi-
ekspektasi terapetik yang tidak realistis, dan interaksi-interaksi emosional yang tidak
menyenangkan dengan keluarga atau staf. Pasien-pasien yang masih mampu berjalan
dapat mungkin saja membutuhkan pengawasan ketat karena pertimbangan-
pertimbangan keamanan dan mungkin akan lebih aman dengan menggunakan kursi
roda apabila tidak sedang menjalani terapi-terapi. Seiring dengan meningkatnya
ketahanan dan kesadaran pasien akan keamanan mendekati waktu akhir PTA, tim
dapat membiarkan pasien berjalan, berkegiatan kamar mandi, dan aktifitas-aktifitas
lainnya sendiri dengan tingkat pengawasan yang dikurangi.
Setelah pasien lepas dari PTA, suatu evaluasi neuropsikologis seharusnya
dilaksanakan untuk merencanakan rehabilitasi dan merekomendasikan batasan-
batasan aktifitas. Latihan-latihan yang lebih realistis dan banyakpersyaratan dapat
dilakukan di dalam terapi, seperti membaur dengan masyarakat. Permasalahan-
permasalahan behavioral sebaiknya segera diobati apabila mereka mengganggu
kemajuan-kemajuan rehabilitasi.175 Ketidaksempurnaan-ketidaksempurnaan dalam
terpi dapat ditanggulangi dengan teknik-teknik manajemen behavioral.228, 313
Gangguan-gangguan mood, yang kadang muncul dalam bentuk kurangnya kemauan
atau motivasi untuk berpartisipasi dalam terapi, dapat ditanggulangi dengan
antidepressant.359 Keluarga membutuhkan edukasi mengenai gejala-gejala cedera otak
dan training mengenai teknik-teknik manajemen behavioral dan fisik yang perlu
untuk dilakukan di rumah. Untuk memfasilitasi training keluarga, sebaiknya ada
waktu untuk menginap satu hari satu malam (atau setidaknya satu hari) sebelum
pasien dipulangkan ke rumah guna memverifikasi bahwa keluarga telah menerima
training yang mencukupi, untuk mengecek apakah level pengawasan di rumah akan
mencukupi, dan untuk mengevaluasi peralatan dan modifikasi-modifikasi rumah.
Pertimbangan-pertimbangan untuk memulangkan pasien rawat inap dari
rehabilitasi meliputi ketersediaan terapiyang penting dan layanan-layanan
keperawatan dalam lingkungan yang kurang ketat dan probabilitas yang rendah
bahwa rehabilitasi pasien rawat inap yang berkesinambungan akan menghasilkan atau
berpengaruh terhadap kemajuan fungsional. Untuk pasien-pasien yang dapat dirawat
di rumah sepanjang malam namun masih membutuhkan terapi intensif, program
rehabilitasi akut dapat memberikakn program rumah sakit siang hari dimana para
pasien melanjutkan level intensitas terapetik yang sama dan menerima asuhan
keperawatan seperti yang dibutuhkan.
Rehabilitasi Cedera Otak Post-Akut
Rehabilitasi post-akut meliputi intervensi-intervensi yang didesain untuk membantu
pasien-pasien memasuki kembali masyarakat.230 Sebagian besar intervensi-intervensi
post-akut didasarkan pada training para pasien untuk menggunakan strategi-strategi
ibangan untuk mengatasi defisit-defisit mereka yang bersifat permanen (misalnya,
agenda-agenda memori), atau mengubah lingkungan sedemikian rupa sehingga pasien
bisa lebih fungsional meskipun dengan defisit-defisit ini (misalnya, mengikuti jadwal
rutin). Terdapat kontroversi dalam rehabilitasi post-akut yang berkaitan dengan
kemanjuran trainig ulang koginitif, grup-grup terapidiarahkan untuk meremediasi
defisit-defisit memori, atensi, dan fungsi-fungsi kognitif lainnya. 7, 37, 163, 211, 238, 281, 314, 338,
352 Dokter spesialis rehabilitasi sebaiknya familier dengan program-program post-akut
lokal dalam rangka membuat referal-referal yang sesuai dan memonitor kemajuan
(lihat Tabel 49-17). Perlu untuk diketahui bahwa anggota keluarga pasien penderita
cedera otak diposisikan pada stres emosional dan finansial jangka panjang.243, 351
Dokter spesialis rehabilitasi harus sensitif terhadap kemungkinan tekanan emosional
dan permasalahan-permasalahan hubungan,66, 280 dan siap untuk memberikan
dukungan emosional dan membantu dalam pengadvokasian pelayanan-pelayanan
yang dibutuhkan.
KOMPLIKASI-KOMPLIKASI CEDERA OTAK
Pada akhir-akhir ini terdapat tren lama tinggal yang lebih pendek di ruang perawatan
akut dan, oleh karenanya, admisi rehabilitasi yang lebih dini. Lebih lanjut, penelitian-
penelitian terhadap para pasien penderita TBI pada tahun 1980-an menunjukkan
bahwa sejumlah signifikan penderita komplikasi-komplikasi medik tidak didiagnosa
sebelum rujukan rehabilitasi.128, 138 Pemeriksaan medik para pasien penderita cedera
otak biasanya menjadi sulit karena ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan
bekerjasama dengan prosedur-prosedur. Untuk alasan-alasan ini, suatu evaluasi yang
menyeluruh oleh dokter spesialis rehabilitasi diperlukan ketika pasien telah dirujuk ke
unit rehabilitasi. Bagian-bagian berikut ini membahas komplikasi-komplikasi medik
utama yang dihadapi dalam masa rehabilitasi cedera otak dan mengulas intervensi-
intervensi terkait yang tersedia bagi dokter spesialis rehabilitasi. Beberapa komplikasi
medik cedera otak tidak umum, seperti abnormalitas-abnormalitas endokrin dan
dermatologis, dan tidak akan dibahas. Informasi yang lebih detil tersedia pada
referensi-referensi khusus.158, 293
Spastisitas
Spastisitas yang diakibatkan oleh cedera otak memiliki banyak kesamaan dengan
spastisitas yang menyertai stroke. Lebih lanjut, response of cerebral origin spasticity
(COS) terhadap intervensi-intervensi sering kali berbeda dari spastisitas SCI, dalam
hal penampakkannya. Sebagai contoh, COS secara karakteristik menunjukkan
keadaankesehatan ekstensor yang lebih besar pada ekstremitas bawah dan tendensi
“spasme” yang lebih kecil.
Meskipun spastisitas bisa jadi menguntungkan, penurunan resiko
thrombophlebitis dan pada beberapa kasus membantu dalam hal fungsi, ia juga dapat
menciptakan deformitas impresif, rasa sakit, dan komplikasi-komplikasi medik
lainnya. Spastisitas yang mengganggu tujuan-tujuan fungsional memerlukan
perawatan. Contoh-contoh tujuan-tujuan fungsional nampak pada Tabel 49-18.
Tujuan-tujuan fungsional perawatan spastisitas sebaiknya didefinisikan secara jelas,
dengan mempertimbangkan baik tujuan-tujuan pasien maupun keluarga. Lebih lanjut,
komplikasi-komplikasi spastisitas yang potensial muncul (osifikasi heterotopik, borok
akibat tekanan, infeksi-infeksi pernafasan, dll) sebaiknya dipertimbangkan.
Perawatan-perawatan dasar untuk tujuan-tujuan tertentu menjamin bahwa intervensi-
intervensi yang tepat bersifat terencana dan terinstitusi.
Evaluasi terhadap pasien penderita spastisitas harus meliputi tidak hanya
pemeriksaan neurologis biasa, namun juga pertimbangan terhadap faktor-faktor
seperti kecepatan berjalan, keseimbangan, pola-polasinergi, kecepatan gerak,
distribusi keadaankesehatan, skor Ashworth yang telah dimodifikasi (Tabel 49-19),48
evaluasi goniometris, dan uji-uji fungsional.
Di masa lampau, suatu pendekatan piramida tentang perawatan spastisitas
dianjurkan untuk diterapkan. Piramida tersebut dimulai dengan pencegahan stimuli
nosiseptif serta pendidikan dan kemajuan-kemajuan terapi (ROM, peregangan,
casting, orthoses, modalitas-modalitas), dan kemudian berlanjut ke opsi-opsi yang
lebih invasif seperti motorik point blocks. Intervensi-intervensi orthopedik dan
neurosurgical merupakan opsi terakhir yang harus dipertimbangkan. Dengan
perubahan-perubahan dalam pelayanan kesehatan dan kemjuan-kemajuan opsi-opsi
terapetik, pendekatan ini telah kehilangan popularitasnya dan menjadi kurang praktis.
Suatu “pendekatan komplementer,” diamana berbagai strategi perawatan
diaplikasikan secara konkuren berdasarkan tujuan-tujuan terapetik, saat ini lebih
disukai (lihat Gambar 49-8).
Gambar 49-8. Pendekatan komplementer terhadap manajemen spastisitas yang
bersumber pada serebral.
Pengobatan-pengobatan oral yang digunakan untuk merawat spastisitas seiring
dengan etiologi-etiologi lainnya pada umumnya tidak direkomendasikan untuk para
penderita yang bertahan hidup dari cedera otak, karena mereka mungkin mengganggu
tujuan untuk memaksimalkan fungsi kognitif. Diazepam dan baclofen oral dapat
bersifat merusak kemampuan kognitif tertentu. Dantrolene sodium telah
dipertimbangkan sebagai pilihan pengobatan oral bagi populasi penderita TBI karena
cara kerjanya yang secara perifer, pada otot. Dantrolene menurunkan depolarisasi-
efflux kalsium yang terindusi ke dalam retikulum sakroplasmik. Bagaimanapun juga
Dantrolen bersifat mensedasi, dan mengakibatkan kelemahan yang tergeneralisasi.
Enzim-enzim liver juga perlu untuk dimonitor apabila kita menggunakan dantrolene
sodium. Tizanidine, yang merupakan agonist 2 alfa seperti clonidine, telah
menampakkan efek-efeknya dalam populasi-populasi penderita multiple sklerosis dan
cedera sumsum sumsum tulang belakang.32, 33, 39, 204, 318 Hal ini rupanya meningkatkan
inhibisi presynaptic neuron-neuron motorik dan mungkin mengurangi pelepasan asam
amino eksitatori. Efek-efeknya menyerupai efek-efek baclofen oral.39
Casting yang berurutan mengacu kepada praktek pengaplikasian dan
pemindahan pembalut (cast) ke anggota badan seiring dengan meningkatnya ruang
gerak persendian. Modalitas-modalitas seperti pemanasan dan pendinginan juga dapat
sangat membantu untuk meningkatkan gerak dalam waktu singkat, dan dapat
digunakan dalam konjungsi-konjungsi dengan casting untuk memungkinkan
peregangan yang lebih besar. Para pasien mungkin diuntungkan oleh analgesik untuk
meningkatkan level kenyamanan mereka ketika pembalut-pembalut dipasang. Lebih
dari satu anggota tubuh yang dapat dibalut pada saat yang bersamaan, namun klinisi
harus mempertimbangkan tingkat agitasi yang mungkin ditimbulkan pada tiap kasus
masing-masing orang. Kulit sebaiknya juga dimonitor karena pasien mungkin tidak
dapat mengkomunikasikan kebutuhan mereka. Bantalan yang mencukupi di dalam
pembalut merupakan hal yang sangat penting. Pada contoh-contoh kasus yang sangat
jarang, keadaankesehatan pasien tidak memungkinkan untuk casting terutama karena
terlukanya kulit yang potensial terjadi dan isu-isu behavioral. Pada kasus-kasus ini,
injeksi-injeksi toksin botulinum dan/atau phenol harus dipertimbangkan untuk
menurunkan spastisitas dan oleh karenanya menurunkan resiko.
Peran teknik-teknik pengaturan posisipada manajemen spastisitas seringkali
tidak diperhatikan. Pengaturan posisi yang tepat akan memaksimalkan relaksasi otak
seperti halnya peningkatan kesejajaran/kelurusan, simetris, dan fungsi. Pengaturan
posisi juga dapat digunakan untuk menurunkan refleks-refleks primitif yang dapat
terjadi kembali pada para pasien setelah cedera otak. Sebagai contoh, meletakkan
supine dapat meningkatkan tonic labyrinthine supine reflex (TLSR), dengan demikian
meningkatkan keadaanekstensor. Salah satu tujuan dari berbagai tujuan yang dapat
diterima mengenai rehabilitasi yaitu dapat memberikan resep-resep alat yang
memungkinkan pengaturan posisi secara optimal. Pindai antispastisitas yang
berbentuk bola untuk tangan yang spastis umum digunakan. Abduksi ibu jari dari
telapak tangan dan menyebar ke digit-digit dapat mengurangi keadaan fleksor pada
tangan. Seperti halnya casting, teknik-teknik pemindaian juga dapat digunakan baik
untuk mengurangi keadaan dan meregangkan jaringan-jaringan lunak. Teknik-teknik
ini juga dapat dokimbinasikan. Sebagai contoh, piringan kaki inhibitory
difabrikasikan ke dalam pembalut ekstrimitas bawah yang meningkatkan dukungan
dan kelurusan kaki bagian depan. Konsep-konsep ini dapat juga disertakan dalam
orthoses. Peningkatan kelurusan kaki dan tungkai seringkali mengakibatkan
pengurangan pola penampakan spastisitas.
Opsi-opsi perawatan lain meliputi injeksi-injeksi seperti prosedur-prosedur
neurolitik dan kemodenervasi dengan toksin botulinum. Prosedur-prosedur neurolitik
memerlukan ketrampilan teknis tertentu untuk melakukannya. Pheno, alkohol, atau
agen-agen anestetik diinjeksikan untuk merusak konduksi impuls-impuls.130
Neurolisis kimia mengacu kepada destruksi sebagian syaraf dengan alkohol atau
phenol.130 Pada saat injeksi dilakukan pada syaraf-syaraf yang utamanya syaraf
motorikik, mereka mengacu sebagai motorik point blocks atau motorik branch
blocks. Toleransi keseluruhan dari prosedur baik, meskipun dapat menjadi hal yang
menantang untuk mencobanya pada anak-anak dan pada pasien-pasien yang lebih
teragitasi dan aktif, seiring dengan mereka membutuhkan untuk tetap beristirahat
selama injeksi-injeksi. Sedasi mungkin penting dalam kasus-kasus ini. Efek samping
neurolisis yang terlaporkan meliputi pembengkakan, rasa sakit, pendarahan,
dysesthesia, dan trombosis vena bagian dalam. Setelah prosedur, para pasien
sebaiknya beristirahat dan mengelevasi ekstremitas yang diinjeksi. Analgesik-
analgesik ringan, penting dan dapat diberikan secara profilaktik, khususnya untuk
pasien-pasien yang tidak mampu untuk mengkomunikasikan kebutuhan-kebutuhan
mereka.
Toksin botulinum A juga efektif dalam perawatan spastisitas, meskipun ia
bukan merupakan obat yang disetujui oleh FDA untuk indikasi ini.273 Ia mengikat
secara irreversibel pada percabangan neuromuskular, menghalangi kontraksi otot.
Jarang didapati efek samping, namun meliputi atrofi, rasa sakit, dan infeksi. Tidak
seperti motorik point blocks, tidak ada aturan-aturan khusus mengenai aktifitas
setelah injeksi. Untuk meminimalisasi potensi produksi antibodi terhadap
pengobatan, direkomendasikan bahwa injeksi-injeksi tidak diulang lebih dari setiap 3
bulan dan bahwa dosis total toksin harus dibatasi hingga 400 unit per sesi.318
bagaimanapun juga, stipulasi-stipulasi ini berubah-ubah seiring dengan pengalaman
yang didapatkan dengan pengobatan dan jenis-jenis lain menjadi tersedia untuk
pemakaian di masa mendatang. Prosedur injeksi siap untuk dipelajari. Banyak dokter
memilih untuk menginjeksi dengan panduan EMG atau stimulasi elektrik.318 hasil-
hasilnya bervariasi dengan tingkat spastisitas, keakuratan injeksi-injeksi, unit-unit
obat yang diinjeksikan, dan uji-uji klinis biomekanik yang memiliki kontribusi bagi
munculnya posisi yang tidak diinginkan.76
FDA menyetujui terapi baclofen intrathecal (ITB) untuk pengobatan cerebral
origin spasticity pada tahun 1996. obat tersebut secara efektif mengurangi spastisitas
pada persendian-persendian dengan jumlah yang terbesar dan seringkali
menghasilkan perubahan dramatis pada keadaankesehatan.360 administrasi baclofen
secaralangsung ke dalam ruang intrathecal menciptakan konsentrasi cairan
serebrospinal yang efektif dengan konsentrasi plasma 100 kali lebih kecil jika
dibandingkan dengan administrasi oral.12 efek-efek samping sistemik berkurang atau
bahkan tida ada sama sekali dan respon klinik lebih besar apabila digunakan secara
intrathecal. Efek-efek pengobatan inipaling besar didapati pada anggota badan
bagian bawah, karena konsentrasi baclofen empat kali lebih besar pada area lumbar
daripada pada area servikal. Perubahan-perubahan pada spastisitas ekstremitas atas
juga dapat diamati, namun ini tidak dianggap sebagai suatu indikasi primer untuk
pengobatan ini pada saat ini.135, 247 Repon terhadap interensi-intervensi yang dilakukan
sebelumnya juga harus dipertimbangkan.
Para pasien sebaiknya diuji dengan teliti dan diberikan edukasi terlebih dahulu
sebelum menjalani uji coba terapi ITB. Pasien dan keluarga yang memiliki informasi
yang lebih baik merupakan keuntungan-keuntungan pengobatan, semakin baik
outcome maka kepuasan pasien akan didapatkan. Sebelum menjalani suatu uji coba
baclofen intrathecal, pasien diuji seperti di bawah ini. Isu-isu psikososial harus
dipertimbangkan: Dapatkah pasien mengakses terapi-terapi yang tepat apabila
diindikasikan demikian? Akankah ia mampu untuk melakukan isi ulang pompa tepat
waktu? Apakah pasien dan keluarganya tinggal dalam lingkup pelayanan perawatan
kesehatan yang mampu melakukan terapi ITB?
Jika seseorang diisyaratkan sebagai seorang kandidat yang memenuhi
persyaratan, uji coba dilaksanakan. Baclofen diinjeksikan secara intrathecal dan
responnya dimonitor selama kira-kira 8 jam atau hingga efek-efeknya hilang.33 Uji
coba dilaksanakan pada hari-hari yang berurutan dengan 50, 75, dan 100 mikrogram
(atau 25, 50, dan 75 mikrogram pada anak-anak).12, 246 jika pasien merespon pada hari
pertama, tidak ada alasan untuk melaksanakan uji coba labih lanjut. Pada institusi
kami, para terapis menguji ulang pasien-pasien 4 dan 6 jam setelah injeksi. Uji-uji
dapat direkam dengan video dan dibandingkan dengan uji sebelum uji coba. Penting
untuk mengingat bahwa tujuan dari uji coba adalah untuk menguji apakah pasien
merespon terapi yang diberikan atau tidak; bukannya untuk menentukan dosis akhir
dan outcome pasien. Hal tersebut akan ditentukan selama 1 tahun atau menyesuaikan
implan. Jika didapati respon yang baik, pompa diimplankan (ditanamkan). Pada pusat
perawatan kami, seorang ahli bedah syaraf mengimplankan pompa dan kemudian
pasien dirawat oleh fisiatris. Hal ini memungkinkan kesinambungan perawatan dan
merupakan suatu pendekatan fungsional terhadap titrasi dosis dan resep-resep terapi
yang dianjurkan. Seringkali, akan muncul kebutuhan terhadap pelayanan rehabilitasi
seiring dengan kemampuan gerakan laten, kontrol motorikik, dan potensial fungsional
nampak yang sesungguhnya.
Prosedur-prosedur surgical lainnya yang menyatakan mengenai manajemen
spastisitas meliputi pemanjangan dan transfer-transfer tendon. Apabila operasi dapat
melemahkan otot yang spastik, spastisitas residual dapat berakibat pada deformitas
rekuren.136 Lebih banyak klinisi sekarang mengetahui niali inheren dalam
mengkombinasikan teknik-teknik pengurangan spastisitas. Manajemen spastisitas
yang memenuhi dengan terapi ITB dapat menurunkan kebutuhan tindakan operasi.135,
136 Dalam pengalaman klinis kami, Achilles tendon lengthening/pemanjangan tendon
achilles (TAL) secara relatif dapat dikerjakan dengan lebih mudah untuk
mengkoreksi kontraktur-kontraktur plantarfleksi. The split lateral anterior tibialis
tendon transfer (SPLATT) dapat mengkoreksi inversi kaki bagian depan selama masa
ambulasi. Rhizotomi-rhizotomi pada umumnya tidak dilakukan pada pasien-pasien
dewasa dan hasilnya pada anak-anak bervariasi secara regional. Ini merupakan
prosedur destruktif secara permanen. Rhizotomi-rhizotomi anterior memberikan
denervasi otot sedangkan rhizotomi-rhizotomi posterior menginterupsi afferent-
afferent IA dan IB dari kumparan-kumparan otot.
Epilepsi Post-traumatris
Diperkirakan bahwa sekitar 5% dari semua orang yang dirawat di rumah sakit karena
TBI akan mengembangkan serangan sisa, yang didefinisikan sebagai serangan yang
terjadi satu minggu atau lebih setelah cedera. Akan tetapi, hadirnya faktor-faktor
resiko tertentu dapat meningkatkan probabilitas pembentukan serangan sisa atau
epilepsi posttraumatis/posttraumatic epilepsy (PTE). Khususnya, cedera-cedera
penetrating biasanya secara signifikan meningkatkan resiko seseorang. Faktor-faktor
lain yang telah diidentifikasikan meliputi serangan-serangan selama minggu pertama
(seranganawal), fraktur-fraktur tengkorak yang tertekan, hematoma intrakranial akut,
dura yang menjadi basah, kehadiran benda-benda asing, tanda-tanda fokal seperti
apnasia dan hemiplegia, usia 65 tahun atau lebih, hilang kesadaran selama lebih dari
satu hari, dan amnesia posttraumatis dalam jangka waktu lebih dari 24 jam.22, 177
Meskipun dengan pengetahuan kita akan faktor-faktor resiko tersebut,
penentuan resiko serangan seorang pasien merupakan hal yang sulit. Pada tahun
1979, Feeney dan Walker,118 menemukan model matematis untuk memperkirakan
resiko berdasarkan suatu kombinasi faktor-faktor resiko. Akan tetapi, model tersebut
belum terbukti membantu dalam sebagian besar situasi-situasi klinis. Hal ini telah
menentukan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan profilaksis pengembangan
serangan sisa yang lebih sulit.
Dimasa lalu para pasien dikategorikan pada profilaksis akut serangan dalam
jangka waktu yang lama. Namun, penelitian baru-baru ini telah menunjukkan bahwa
penggunaan phenytoin selama satu minggu mengikuti cedera otak tidak mencegah
pengembangan PTE sisa.326 Lebih lanjut, efek-efek samping neurobehavioral
phenytoin dan antikonvulsan pensedasi lainnya, seperti phenobarbital, dapat bersifat
merusak bagi pasien yang sudah lamban dalam berpikir dan kehilangan memori.
Obat-obatan ini sepertinya menghambat keseluruhan program rehabilitasi pasien.20, 108,
117, 237
Oleh karenanya, profilaksis serangan pada para pasien dengan cedera-cedera
nonpenetrating yang tidak menunjukkan aktifitas serangan apapun tidak lagi
diindikasikan. Jika seorang pasien menderita cedera penetrating atau jika ia menderita
serangan selama minggu pertama (serangan awal), maka keputusan mengenai
pengobatan-pengobatan profilaktik perlu untuk didasarkan pada situasi klinis
individu. Gambar 49-9 meringkas pernyataan-pernyataan tersebut, yang sebagian
didasarkan pada parameter-parameter praktek klinis yang diterbitkan baru-baru ini.58
Jika serangan sisa muncul, maka pasien disebut menderita TPE dan
permasalahannya menjadi lebih cenderung ke perawatan daripada profilaksis. Dalam
kasus-kasus ini, carbamazepine nampaknya menjadi obat yang dipilih.147, 283 Sebagian
besar serangan sisa merupakan varietas parsial, entah parsial sederhana atau parsial
kompleks, yang secara sekunder dapat digeneralisasi. Carbamazepine telah terbukti
seefektif phenytoin dan phenobarbital yang diberikan untuk serangan-serangan tonik-
klonik tergeneralisasi, dan lebih efektif dalam mengontrol serangan-serangan
parsial.177, 239
Carbamazepine dapat ditolerir dengan baik dan memiliki efek-efek samping
yang lebih sedikit (misalnya, menderita gastrointestinal, sakit kepala, pusing-pusing,
diplopia), yang biasanya dapat diperbaiki dengan mulai memberikan dosis rendah dan
secara bertahap bertambah hingga kisaran terapetik. Efek samping carbamazepine
yang paling menjadi kelemahannya adalah suppresi sumsum tulang. Akan tetapi,
leukopenia transient, yang sesungguhnya merupakan suatu neutropenia relatif,
biasanya dapat dimonitor sepanjang jumlah sel darah putih di atas 3000 sel/mm3
(dengan 50% sel-sel darah putih menjadi neutrofil).277 Kelemahan carbamazepine
telah secara relatif menjadi separuh waktu hidupnya, yang membuat pemberian dosis
tiga kali sehari diwajibkan.1 Namun, persiapan-persiapan yang dapat bekerja lebih
lama sekarang tersedia, sehingga memungkinkan pemberian dosis dua kali sehari dan
kemungkinan level-level yang lebih konsisten.
Valproic acid (Depakote, Depakene), meskipun pada awalnya mensedasi, juga
dapat bermanfaat, karena ia dapat memiliki efek-efek samping kognitif dan
behavioral yang lebih sedikit daripada carbamazepine. Gabapentin (Neurontin),
pengobatan antiepileptik lain yang masih baru, bisa jadi membuktikan dirinya dapat
membantu untuk para pasien dengan PTE. Ia disetujui sebagai obat terapi yang
membantu, tidak memiliki efek samping yang signifikan, dan tidak memerlukan
pemonitoran level-level darah. Antiepileptik yang lebih baru, yang keuntungan-
keuntungannya bagi PTE tidak diketahui, termasuk lamotrigine (Lamictal) dan
topiramate (Topamax).
Hidrosefalus Posttraumatis
Hidrosefalus merupakan komplikasi dari cedera otak traumatis yang dikenal dengan
baik perbedaan-perbedaan dalam hal kriteria diagnosis dan populasi-populasi pasien
yang diteliti mungkin mencatat berbagai macam insidensi yang terukur (dimanapun
dari 9 hingga 72%).164, 220 Abnormalitas fundamental dalam hidrosefalus adalah suatu
keadaan yang tidak seimbang dalam produksi dan absorpsi cairan serebrospinal
(CSF). Secara keseluruhan, kerusakan absorbsi didapati pada sebagian besar kasus
hidrosefalus.
Secara tradisional, hidrosefalus dikategorikan entah sebagai communicating
atau noncommunicating. Pada bagian terdahulu, terdapat adanya aliran bebas CSF
dalam berbagai porsi sistem ventrikular, ruang-ruang cisterna dan subarachnoid.
Namun, aliran CSF dari cisterna ke vili arachnoid terhalangi atau absorpsi CSF oleh
vili rusak. Yang kemudian terjadi dengan inflamasi atau pendarahan subarachnoid.
Istilah-istilah umum lain yang digunakan untuk mengkategorikan hidrosefalus
termasuk hidrosefalus obstruktif, yang mendeskripsikan patomekanisme, normal
pressure hydrocephalus (NPH), dan hidrosefalus exvacuo. NPH didefinisikan sebagai
suatu triad klinis gangguan kecepatan jalan, kerusakan mental, dan urinary
incontinence yang disertai dengan pembesaran ventrikular dan tekanan CSF
normal.348 Selain bukti hasil radiografi pmbesaran ventrikular, hidrosefalus exvacuo
bukanlah merupakan hidrosefalus yang “sesungguhnya”. Sebaliknya, hal tersebut
merepresentasikan perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh atrofi otak. Fitur-fitur
computerized tomography (CT) tertentu yang membedakan exvacuo dari hidrosefalus
yang sesungguhnya tercantum pada Tabel 49-20.192
Diagnosis dan perawatan tepat waktu merupakan hal yang penting selama
proses rehabilitasi, karena kegagalan untuk melakukan hal tersebut mungkin akan
menghambat penyembuhan dan meminimalisasi kemungkinan-kemungkinan
mendapatkan keuntungan dari terapi-terapi yang diberikan. Diagnosis pada individu-
individu dengan cedera-cedera otak parah sulit dilakukan, karena triad klasik NPH
sudah nampak sebagai hasil langsung trauma otak. Para klinisi seringkali harus
mengandalkan gejala-gejala atipikal atau yang hampir tidak kentara (misalnya,
penurunan kemampuan fungsional, kegagalan untuk maju, serangan-serangan,
permasalahan-permasalahan emosional, postur abnormal, atau peningkatan
spastisitas) dan mengkonfirmasi kecurigaan melalui CT.
Jika kecurigaan pembentukan PTH tinggi, CT scan bulanan yang berurutan
untuk membuat perbandingan dapat membantu menentukan diagnosis.90, 192 Dalam
situasi-situasi dimana temuan-temuan radiografi bersifat equivokal, penentuan
pasien-pasien yang mana yang akan mendapatkan keuntungan dari shunting biasanya
didasarkan pada suatu kumpulan temuan-temuan. Suntikan lumbar untuk tekanan
aksis-kraniospinal dapat dipertimbangkan. Shunting biasanya berhasil jika tekanan
dinaikkan di atas 180 mm air atau jika ventrikel-ventrikel telah secara progresif
bertambah ukuran. Pasien juga sepertinya akan diuntungkan dari penempatan shunt
jika terdapat gambar klinis yang menunjukkan hidrosefalus tekanan normal.259 CT
cisternography dan radionuclide cisternography dapat sangat membantu, namun
reliabilitas uji-uji ini tidak dapat diterima secara universal.
Penggunaan suatu versi uji tap cairan cerebrospinal yang telah diadptasikan348
sangat membantu dalam beberapa kasus. Uji ini meliputi penggunaan ukuran-ukuran
psikometris dan observasi pola-pola kecepatan berjalan (gait) sebelum dan sesudah
suntikan lumbar dimana 50 cc CSF dipindahkan. Perkembangan hasil-hasil tes setelah
pemindahan cairan mengimplikasikan bahwa hasil-hasil yang sukses akan tercapai
jika pasien diberi shunt.
Diversi CSF, seperti ventriculoperitoneal shunting, merupakan perawatan
hidrosefalus definitif. Metode-metode shunting alternatif termasuk ventrikulo-atrial,
ventrikulo-jugular, dan lumboperitoneal. Komplikasi-komplikasi mungkin muncul
dari kegagalan mekanik shunt, kegagalan fungsional berasal dari ketidakcukupan
kecepatan aliran sebuah shunt yang dipergunakan, dan infeksi. Detil-detil mengenai
shunting ditemukan pada berbagai buku teks neurosurgical.
Kerusakan Syaraf Kranial
Kerusakan syaraf kranial merupakakn konsekuensi wajar cedera otak. Kerusakan
yang dihasilkan, seperti segala sesuatu yang berkaitan dengan sensasi (penglihatan,
pendengaran, penciuman, perasa) dan menelan, dapat berakibat pada kerusakan lanjut
fungsi pada pasien yang sudah dalam keadaan bingung.190
Pasien-pasien yang terluka dalam kecelakaan-kecelakaan pejalan kaki dengan
kendaraan bermotor dan mobil memiliki angka insidensi cedera syaraf kranial yang
lebih tinggi daripada mereka yang cedera karena sebab-sebab lainnya. Sembilan belas
persen pasien yang diperiksa akhir-akhir ini pada suatu penelitian multicenter
memiliki kerusakan pada satu atau lebih syaraf-syaraf kranial. Syaraf kranial VII (9%
dari pasien) mengalami cedera paling sering, diikuti oleh syaraf kranial III (6% dari
pasien), yang paling jarang mengalami cedera adalah syaraf kranial IX dan XI.49, 50, 55
Angka insidensi kerusakan syaraf kranial yang sesungguhnya terkait dengan cdera
otak traumatis tidak dapat ditentukan, akan tetapi, karena banyak penelitian dan
praktek klinis pada umumnya cenderung untuk mengabaikan pengujian syaraf-syaraf
kranial tertentu seperti syaraf I (olfaktori).
Syaraf kranial I dapat rusak secara langsung apabila syaraf tersebut memasuki
lempeng cribiform dengan suatu tiupan frontal atau via cedera contra-coupe. Olfaksi
yang rusak, atau dysosmia, dapat sepenuhnya (anosmia) atau sebagian (hiposmia).
Dysosmia seringkali berakibat pada perubahan indera perasa dan dapat menyebabkan
para pasien memiliki pilihan menu makanan yang aneh atau baru. Para pasien dengan
indera penciuman yang rusak mungkin memerlukan pemberian isyarat dalam hal
higiene, memasak, penyimpanan makanan, dan penggunaan parfum. Mereka
mungkin perlu memasang detektor asap dan detektor-detektor gas natural untuk
mengkompensasikakn ketidakmampuan mereka. Para pasien yang bekerja pada
industri petrokimia dapat memiliki permasalahan-permasalahan signifikan dalam
proses kembali bekerja secara aman, karena mereka tidak lagi mampu untuk
mendeteksi kebocoran-kebocoran bahan kimia.105
Kerusakan pada syaraf kranial II berakibat pada neuropati optik yang nampak
sebagai ketidakmampuan/kehilangan visual pada berbagai tingkatan. Cedera pada
sistem motor mata (misalnya, syaraf kranial III, IV dan VI) dapat terjadi pada
beberapa level, baik secara sentral dan perifer. Gangguan sekunder dapat terjadi
setelah dampak, seiring dengan herniasi temporal yang diakibatkan edema (herniasi
uncaldengan cedera syaraf kranial III). Hasil strabismus dapat disebabkan oleh cedera
syaraf kranial, namun beberapa deviasi pandangan pada tahap-tahap awal setelah
cedera otak bisa jadi tidak disebabkan oleh cedera syaraf kranial. Pengujian yang
objektif untuk menentukan kesejajaran okular dapat langsung dilakukan dengan
memperhatikan letak simetris refleksi korneal dengan sinar pena pada masing-masing
posisi mata kardinal (refleks Hirschberg). Jika kesan-kesan pada kedua kornea
terpusat, maka aksis visualnya biasanya sejajar. Suatu tes tertutup/terbuka pada
umumnya dapat menentukan adanya ketidaksejajaran aksis visual ketika kedua mata
digunakan untuk melihat, kedua kebutruhan akan fiksasi mungkin membatasi
kegunaannya dan mengagitasi para pasien yang tidak kooperatif. Uji konvergensi dan
akomodasi sebaiknya dilakukan secara hati-hati. Efek samping obat-obatan, yang
palingumum phenytoin dan phenobarbitol, juga dapat merusak refleks-refleks
tersebut. Diplopia yang terjadi hanya pada penglihatan jarak dekat dapat dihasilkan
oleh suatu sistem vergensi yang rusak.28
Evaluasi neuro-opthalmologic awal atau neuro-optometric dapat sangat berguna
dalam pendiagnosaan abnormalitas-abnormalitas yang tidak kentara,
merekomendasikan ukuran-ukuran korektif untuk abnormalitas-abnormalitas, dan
mencegah komplikasi-komplikasi sekunder, seperti eksposure keratitis terhadap
kornea. Pada pusat penelitian kami, “Low Vision Rounds” mingguan diselenggarakan
oleh ahli neuro-optometri untuk mencapai tujuan ini. Kurang begitu jelas apakah
latihan-latihan okulomotor yang digunakan oleh spesialis neuro-optometri memiliki
kegunaan bagi populasi ini, karena tidak adanya penelitian yang komprehensif. Akan
tetapi, pengalaman kami mengindikasikan bahwa prosedur-prosedur demikian bisa
jadi membantu dalam meningkatkan penglihatan selama fase rehabilitasi. Tentunya
penggunaan prisma-prisma korektif, apabila kesejajaran pasien tidak berfungsi pada
beberapa diopter, sangat membantu bagi pasien yang dapat menggunakannya.
Cedera pada syaraf wajah paling umum terjadi di dalam jalan lintasannya
menuju tulang temporal. Efek yang paling membahayakan adalah ketidakcukupan
kemampuan pelupuk mata untuk menutup dan pasien bisa jadi mudah terkena
exposure keratitis pada kornea. Jika syaraf kranial V juga mengalami cedera,
mengakibatkan hilangnya sensasi kornea, maka masalahnya menjadi semakin sulit.
Hal berikut bersifat imperatif adalah bahwa mata dilindingi oleh penggunaan lubrikan
dan menepuk pelupuk mata yang tertutup dengan bantalan mata. Sayangnya, teknik
ini tidak aman dan, jika tidak dilakukan dengan tepat, dapat menyebabkan kerusakan
lebih parah. Sebagai alternatif, film transparan oklusif (yang menutupi area okular
dan menciptakan suatu “kamar basah”) telah digunakan untuk menjaga kornea tetap
terkubrikasi dengan beberapa keberhasilan. Tarsorraphy mata bisa jadi penting untuk
mencegah kerusakan lebih parah, khususnya pada pasien dengan level-ringan.
Evaluasi syaraf kranial VIII (syaraf vestibulo-koklear) biasanya terjadi selama
fase neurosurgical akut. Pemeriksaan langsung dapat mengungkapkan tanda-tanda
Nattle, fraktur mastoid, otorrhea, pendarahan dari telinga, hemotympanum, dan
laserasi-laserasi membran timpanik. Pendarahan dari telinga dan laserasi-laserasi
membran timpanik mungkin mengindikasikan fraktur longitudinal tulang temporal.
Seiring dengan stabilnya kondisi pasien, uji audiometri dan garpu tala dapat
dilakukan. Auditori batang otak membangkitkan potensial-potensial yang dapat
memberikan informasi lebih lanjut mengenai integritas sistem auditory. Jika
kehilangan pendengaran cukup signifikan, alat bantu dengan tipe CROS[Contralateral
Routing of Signal], yang mentransfer suara ke telinga secara utuh, dapat membantu
kompensasi pasien.
Gangguan-gangguan vestibular dapat berakibat pada rasa pusing, kerusakan
keseimbangan, ataksia, dan nystagmus. Uji barany, suatu uji provokatif dengan
menggunakan rotasi kepala, berguna dalam mengevaluasi nystagmus. Para pasien
akan seringkali melakukan kompensasi dengan memiringkan kepalanya untuk
mengurangi nystagmus. Pada pasien-pasien dengan keluhan rasa pusing, masuk akal
untuk mengimplikasi etiologi vestibular. Akan tetapi, etiologi-etiologi lain yang
memungkinkan perlu untuk dikendalikan.120 (lihat Tabel 49-21)
Pengobatan-pengobatan yang umum digunakan untuk problem-problem
vestibular, seperti meclizine atau dimenhydrinate, merupakan antihistamin dan dapat
menyebabkan sedasi pada para pasien dengan cedera otak. Terapi vestibular,
penggunaan habituasi, dapat dipilih.312 Pasien-pasien menggunakan latihan-latihan
provokatif, yang meningkatkan gejala-gejala, untuk mengurangi sensitifitas respon
vestibular.
Syaraf kranial yang lebih rendah biasanya hanya kadang-kadang terpengaruh
oleh cedera-cedera otak. Mereka lebih sering rusak oleh trauma langsung.190
Hipertermia Posttraumatis
Hipertermia merupakan kejadian wajar selama masa penyembuhan dari trauma.
Merupakan hal yang menarik untuk mengatribusikan demam pada seorang penderita
cedera otak dengan disfungsi sentral, khususnya jika hasil uji awal tidak menyatakan
adanya proses infeksius atau proses inflamasi. Akan tetapi, hipertermia posttraumatis
pada pangkal sentral secara relatif tidak wajar, terjadi hanya pada 4% pada satu seri. 75
Suatu evaluasi yang menyeluruh biasanya diperlukan untuk menginvestigasi yang
lain, etiologi-etiologi yang lebih umum. Meskipun terdapat sejumlah kejadian-
kejadian yang potensial menghasut, masuk akal untuk mempertimbangkan infeksi
sebagai suatu penyebab yang paling mungkin, karena seorang penderita cedera otak
mudah terkena berbagai komplikasi seperti infeksi saluran kencing, pneumonia
aspirasi, dan atelectasis. Cedera-cedera yang menyertai cedera utama menjadikan
pasien sebagai subjek prosedur-prosedur dan instrumentasi-instrumentasi ganda,
seperti intrakranial, abdominal, dan operasi-operasi orthopedik, ventrikulostomi,
intubasi, kateterisasi vena sentral, dan kateterisasi kandung kemih. Immobilitas
menambah resiko infeksi. Yang lain, merupakan penyebab demam yang kurang
umum75, 148 termasuk pengobatan-pengobatan (yang disebut “demam obat”), infeksi
intrakranial, trombosis vena bagian dalam, sinusitis paranasal, osifikasi heterotopik,
endokarditis, abses okkult, spastisitas, hidrosefalus, dan peningkatan tekanan
intrakranial. Gambar 49-1075 menyajikan suatu algoritma yang disarankan untuk
menanggulangi hipertermia pada seorang penderita cedera otak.
Ketika suatu sistem penanggulangan demam gagal untuk mengidentifikasi
suatu etiologi, klinisi diminta untuk memberi label kondisi tersebut”demam karena
etiologi yang tidak diketahui” ata mengatribusikan demam ke pangkal sentral.
Demam sentral biasanaya berakibat pada elevasi temperatur sedang. Pada beberapa
kasus, bagaimanapun juga, hal tersebut dapat muncul sebagai kelabilan temperatur.
Tujuan perawatan adalah untuk mencegah komplikasi-komplikasi lebih lanjut, karena
elevasi temperatur tubuh disertai dengan meningkatnya kebutuhan-kebutuhan
metabolik, exacerbation eksitotoksisitas neuronal, gangguan halangan aliran darah ke
otak.200 Manajemen meliputi penggunaan selimut pendingin dan antipiretik, seperti
aspirin, asetaminofen, dan obat-obatan anti inflamasi nonsteroid.35 Pengobatan-
pengobatan lain yang telah digunakan termasuk dopaminergics (bromocriptine,
amantadine), dantrolene sodium, chlorpromazine, clonidine, dan propranolol.248
Gangguan-gangguan Tidur
Meskipun gangguan tidur merupakan observasi yang wajar pada penderita cedera
otak yang bertahan hidup, insidensinya yang pasti tidak diketahui. Sebuah penelitian
melaporkan suatu angka insidensi 73 % dan 52% pada setting pasien rawat inap dan
rawat jalan, secara respektif. Gangguan tidur dapat dikategorikan sebagai masalah
awal ataupun saat perawatan, atau kedua-duanya. Rasa kantuk yang berlebihan pada
siang hari mungkin hampir pasti karena kurangnya waktu tidur malam, narcolepsy,
atau sleep apnea, satu dengan lainnya. Terlalu banyak atau terlalu sedikit tidur dapat
merusak waktu bangun, kesadaran, perilaku, dan kemampuan seorang individu untuk
ikut terapi.
Gambar 49-10. Saran terhadap penanganan alghorithm demam untuk pasien dengan
cedera otak.
Peninggian temperature
Tindakan klinisCBC dengan nilai yang berbedaPemeliharaan temperature darah 101derajat FTindakan diagnosa lain, seperti yang ditunjukkan pada tindakan klinis.Mempertimbangkan pengobatan antibiotic empiris sementara menunggu hasil test.
POSITIVE NEGATIVE
Pengobatan dengan antibiotic yang sesuai
POSITIVE
Pengobatan yang tepat
Profil kimiaRata-rata pengendapanPenjagaan dahakPenjagaan Intravascular cathetherKerja Veneous thromboemlism, jika terindikasiBone scan, indium scanParanasal sinus radiographCT scan otakPenangan CSFPeninjauan pengobatan (Obat demam?)Mempertimbangkan konsultasi penyakit-penyakit yang menular
NEGATIVE
Mempertimbangkan percobaan bromocriptine, dantrolene,indomethachiri
Pemecahan demam secara cepat
YA TIDAK
Post-traumatic Konsultsasi penyakit-penyakit menularhyperthermia
Berbagai macam neurochemical/proses pengobatan telah di libatkan dalam
siklus sleep-wake. Gangguan kimiawi yang mengikuti cedera pada otak secara
teoristis menjadikan dasar postraumatik ganguan tidur. Namun demikian, penyebab
yang lainnya perlu diketahui untuk memberikan perawatan yang tepat. Situasi yang
mengganggu ini termasuk pengobatan, nyeri, hypoxia, sleep apnea, stress, sejarah
tidur sebelumnya, keadaan lingkungan jelek, pengkonsumsian kafein yang
berlebihan, dan penggunaan nikotin.
Berbagai macam skala penilaian, seperti Epworth Sleepness Scale dan
Pittsburgh Sleep Quality Index dapat digunakan. Pada situasi pasien rawat jalan ,
catatan tidurnya mungkin cukup. Namun demikian, data laporannya tidak dapat
dipercaya karena cognitive dysfunction (tidak berfungsinya kognitif). Pada keadaan
pasien rawat inap siklus observational sleep-wake dapat dipakai oleh staf perawat.
Pernah etiology yang bisa dibenarkan telah di ketahui, pengukuran yang
sesuai perlu untuk diadakan. Strategi non-pharmakology termasuk pengaturan
lingkungan ( tenang dan sedikit cahaya lampu, tempartur ruangan yang nyaman), tak
berkelanjutan atau penggantian administrasi waktu untuk persediaan obata-obatan,
dan menhindari kafein serta nikotin, Table 49-22 menggambarkan daftar beberapa
hypnotis yang sering dipakai.
Komplikasi Paru-Paru
Komplikasi paru-paru berkaitan dengan cedera otak secara langsung dapat
berasal dari trauma itu sendiri ( contoh. Intubation) atau berkaitan dengan kekurangan
neurologis. Bahkan ketika benar-benar diterapkan, masalah ini memperpanjang
kebutuhan akan acute intensive management, mencegah mobilisasi dini, dan
menghalangi keterlibatan rehabilitasi secara keseluruhan.
Komplikasi paru-paru akut akibat dari trauma termasuk pneumothorax,
hemothorax, atelectasis, bacterial dan chemical pneumonia, mekanik ventilasi yang
Ket
eran
gan
Leb
ih
sedi
kit
an
thic
holi
nerg
ic
dan
ca
rdio
toxi
k da
band
ing
deng
an tr
icyc
lic
anti
depr
esan
t
Mon
itor
tin
gkat
ser
um n
ortr
ipty
line
jik
a d
osis
nya
mel
ebih
i 100
mg/
hari
Dos
is y
ang
lebi
h ti
nggi
(15
-20m
g) b
erka
itan
den
gan
keja
dian
yan
g le
bih
mer
ugik
an .
Pen
yesu
aian
dos
is
untu
k it
u de
ngan
hep
hati
c im
pair
emen
t. E
fek
cns
Gun
akan
pe
ring
atan
un
tuk
ha
l
itu
de
ngan
pu
lmon
ary
kron
is
Eff
ek S
ampi
ng
Men
gant
ukT
anda
-tan
da a
ntic
holi
nerg
icM
uak,
mun
tah
Hip
oten
siR
asa
saki
t mus
culo
skel
etal
Sam
a se
pert
i nor
trip
tyli
ne
Gej
ala
an
tich
olin
ergi
k,
men
gant
uk,
po
stur
al
hypo
then
si,
be
rbag
ai
card
iac
yang
ta
bnor
mal
,
anor
ksia
, m
uak,
le
su,
ge
jala
ex
trap
yram
idal
, be
rdeb
ar,
saki
t
Men
gant
uk,
pu
sing
,
Dea
rhe,
ef
ek
swda
si
dan
ra
sa
saki
t w
aktu
ban
gun
Irit
asi
lam
bung
, m
uak,
mun
tah
diar
he,
efek
sed
asi
atau
sak
it
saat
ban
gun
CN
S
depr
esi,
am
nesi
a,
men
gant
uk,
bi
ngun
g,
agit
asi,
pusi
ng,
vert
igo,
ata
xia,
lel
ah,
lem
ah,
sa
kit
ke
pala
,
mua
k,
geja
la G
L la
inny
a.
Efe
k R
asa
sak
it s
aat
bang
un:
mal
as,
dam
men
gant
uk.
Tid
ak
ada
efe
k t
erha
dap
kes
adar
an,
daya
ing
at,
dan
pem
bela
jara
n ha
l bar
u. G
angg
uan
naik
mot
or.
Efe
k te
rhad
ap ti
dur
Pen
ingk
atan
RE
M t
idur
be
lum
ke
liha
tan
Pen
ingk
atan
slo
w-w
ave
tidu
r
Pen
ingk
atan
tidu
r ti
ngka
t 4P
enur
unan
pe
rsen
tasi
R
EM
ti
dur
Per
panj
anga
n
tidu
r
belu
m
tam
pak
Wak
tu
tidu
r
kese
luru
han
men
ingk
atP
enin
gkat
an k
uali
tas
tidu
rP
enur
unan
jum
lah
bang
un
Pad
a d
osis
ren
dah
m
ence
gah
ting
kat
tidu
r; p
ada
dosi
s ti
nggi
m
enin
gkat
kan
slo
w w
ave
tid
ur
dan
men
urun
kan
RE
M a
wal
Men
ingk
atka
n
jum
lah
tidu
r ke
selu
ruha
nT
idur
ya
ng
belu
m
tam
pak
berk
uran
g
Men
urun
kan
gang
guan
pha
ses
Men
ingk
atka
n w
aktu
tid
ur s
cr
kese
luru
han
Men
gura
ngi
RE
M t
idur
d
ini
dim
alam
har
i
Men
ekan
RE
M ti
dur
Mem
perp
ende
k M
engu
rang
i jum
alh
bang
un
Dos
is
25-1
50 m
g hs
25-1
00 m
g hs
25-1
50 m
g hs
5-10
mg
hs
500-
1000
mg
hs
(seh
arus
nya
tida
k
15-3
0 m
g hs
25-5
0 m
g hs
Oba
t
Tra
zodo
ne
Tri
cyli
c an
tide
pres
san
tA
myt
ript
ilin
e
Nor
trip
tyli
ne
zolp
idem
Chi
cral
hyd
rate
Ben
zodi
azep
ines
Tem
azep
am
An
tih
ista
min
esD
iphe
nhyd
ram
ine
Diperpanjang dan neurogenic pulmonary edema (NPE). selain itu untuk recovery
medis yang complikatif, keadaan ini juga meningkatkan resiko cedera hypoxic kedua
(secondary hypoxic injury). Neurogenic pulmonary edema, dikaitkan dengan cedera
otak yang diisolasi atau hemorrhage, mungkin berkaitan dengan adult respiratory
distress syndrome (ARDS) yaitu sindrom pernapafasan dewasa yang sukar. Tekanan
organ-organ dalam tengkorak yang meningkat, aktivitas-aktivitas simpatik, dan
aktivitas-aktivitas pada pembuluh kapiler paru-paru terlibat menjadi penyebabnya.
Saran temuan klinis dari NPE termasuk dyspnea, hypoxia, penurunan pemenuhan
pe,buluh darah paru-paru, dan munculnya ‘fluffy’ (seperti benang halus) masuk ke
radiograf dada. Biasanya seseorang yang membatasi komplikasi dirawat dengan
tindakan yang suportif. Agen sympatholitik dan inotropik mungkin juga berperan
dalam perawatan.
Pneumonia merupakan komplikasi yang umum dari TBI. Lebih dari 80%
pasien TBI bertambah serangan pneumonia selama 7 hari pertama setelah cedera.
Pneumonia awal biasanya nosocomial. Pasien TBI yang terintubasi beresiko khusus
karena alat-alat, mekanis fentilasi, dan kompromi terhadap system kekebalan.
Organisme-organisme umumnya termasuk Staphylococcus aureus, Haemophiius
influenza, dan Pseudomonas aeruginosa. Faktor-faktor resiko yang penting termasuk
intubasi pada saat terjadi cedera, dan system penelanan yang tidak berfungsi.
Pada situasi rehabilitasi, aspirasi merupakan perhatian yang signifikan karena
ini merupakan penyebab yang potensial akan pneumonia. Seseorang dengan TBI
beresiko terhadap aspirasi isi perut karena gangguan refleks batuk yang normal,
tingkat kesadaran yang berkurang, sensasi oropharyngeal yang berkurang, dan
kesehatan esophapharyngeal sphincter yang lebih rendah. Untuk menurunkan
komplikasi, Nowak et al merekomendasikan menjaga pipa tracheostomy pada
seseorang pada tingkat III pada Rancho Los Amigos Cognitive Scale. Tracheostomy
plus percutaneous endoscopic gastrosmy telah diperlihatkan untuk menurunkan
resiko aspirasi segifikan secara klinis. Penting bagi ahli klinik untuk mengenal bahwa
kehadiran tube trachaeostomy yang mengembung tidak benar-benar melindungi
aspirasi. Dengan melepaskan pipa rute mulut melalui gastrotomy atau jejunostomy
juga tidak memberi garansi perlindungan dari aspirasi. Pada kenyataannya,
keberadaan pipa makanan dapat mengurangi kesehatan esopahageal sphinter. Selain
itu, muncul tidak ada perbedaan yang signifikan pada kejadian aspirasi pneumonia
individu dengan pipa-pipa pemberi makanan intragastric atau transpyloric.
Pada kebanyakan unit-unit rehabilitasi cedera otak, pasien baru diakui ditaksir
dari fungsi penelanan oleh ahli pathologi. Cairan dan konsistensi died lalu di
tentukan penjadwallnya. Prosedur ini ditampilkan tanpa menganggap adanya
rekomendasi diet dari perpindahan rumah sakit, karena kemampuan pasien dalam
menelan dapat berubah dengan cepat dalam rangkaian pemulihan. Evaluasi
koordinasi dan kekuatan gerakan mulut, pembuangan, kemampuan menelan cairan
yang berbeda serta konsistensi diet, dan perkiraan kanaikan bagian pangkal
tenggorokan dapat membantu dalam mengidentifikasi hal itu semua dari resiko
aspirasi. Kami belum menemukan “gag reflex” / refleks sumbatan. yang membantu
untuk tujuan ini. Adanya kebocoran cuping pada radiograf dada sebelah tengah
bagian dalam atau bawah seharusnya meningkatkan kecurigaan pneumonia. Karena
beberapa individu adalah “silent aspirator” aspirator yang pendiam (contoh. Penetrasi
trakhom atau aspirasi makanan tanpa gejala-gejala klinis seperti batuk atau
sumbatan), terjadi akibat penelanan barium atau penyelidikan videofluoroscopic
merupakan pembantu diagnosa yang penting .
Awal rekoveri/pemulihan, jalan udara buatan umumnya penting untuk
mencegah hypoxia dan meningkatkan pembuangan paru-paru. Ketika pemulihan
mengalami peningkatan, kebutuhan jalan udara berkurang; satu langkah tercapai,
dokter/ahli klinis seharusnya mempertimbangkan dekanulasi (pelepaxan pipa
tracheostomy). Selain itu pneumonia dan infeksi paru-paru, penggunaan pipa
trcheostomy yang lama meningkatkan resiko komplikasi lainnya. Sebuah peyelidikan
yang prospektif akan endoskpi dekanulasi sebelumnya secala langsung menunjukkan
bahwa 35% pasien dengan temuan larinygeal dan tracheal yang signifikan, termasuk
paralysis pita suara, tracheal stenosis, subglottic stenosis, glottic stenosis, dan tracheal
malacia. Tidak jelas apakah komplikasi-komplikasi seperti ini diakibatkann oleh
intubasi (pemasangan pipa) atau polytrauma, atau keduanya. Formasi granuloma telah
diobservasikan kepada lebih dari 56% individu dengan TBI yang memercederan
tracheostomy lebih dari satu bulan. Lebih dari 23% dapat mengembangkan tracheal
malacia, atau menjadi kurus dan tidak kompeten terhadap trachea / ujung
tenggorokan, dan lebih dari 12% dapat menderita tracheal stenosis. Selain itu,
komplikasi, termasuk paralysis pita suara dan glottic dan subglottic stenosis
umumnya tidak terjadi. Dekanulasi yang tepat pada waktunya mungkin mencegah
komplikasi-komplikasi seperti ini , dan tipikalnya begitu ketika pasien tidak
membutuhkan bantuan oksigen. Mampu dengan baik pengeluaran, dan resiko aspirasi
kecil.
Dekanulasi umumnya diselesaikan dengan mengurangi ukuran pipa, lalu
memasang pipa tracheostomy selama 24 jam secara terus menerus, dan setelah itu
dilepas. Di tempat kami kami mengurangi ukuran pipa variasi cuffless sebelumnya
untuk dipasang untuk mencegah kekurangan napas yang secara kebetulan. Kami
memulai memasang pipa tracheotomy selama sekitar 2 jam. Jika pasien mampu
bertahan, hal itu berarti mampu menjaga oksigenasi yang baik (karena diukur dari
gejala dan denyut oxymetry) dan mampu menangani pembuangannya, pemasangan
ditingkatkan interval 2-6 jam setiap hari (tergantung terhadap ketahanan pasien) Hal
ini berlangsung terus menerus sampai pipa terpasang tanpa henti selama 24 jam. Lalu
pipa dilepas.
Beberapa penulis menganjurkan pengkajian endoscopic terhadap larynx
/pangkal tenggorokan dan trachea pada semua pasien, untuk mendeteksi jaringan
granulasi yang dapat mengganggu pernafasanketika pipa tracheostomy dilepas. Yang
lain menganjurkan larynxboscopy hanya pada pasien yang menunjukkan gejala
hambatan jalan udara atau yang tidak ada respon . Laryngoscopy dapat juga
dipertimbangkan pada pasien yang mendapat tracheostomy lebih dari satu bulan.
Dekanulasi merupakan kejadian penting terhadap pemulihan individu dari TBI. Pipa
dapat memperburuk agitasi dalam pemulihan pasien, menyebabkan keprihatinan
anggota keluarga, dan meningkatkan perlunya perhatian pernafasan dan perawatan.
Pada situasi tertentu, kehadiran traceostomy dapat mempengaruhi kecondongan
watak, karena fasilitas post acute dan perwatan dalam waktu lama tidak menerima
pasien dengan tracheostomy.
Komplikasi Gastrointestinal dan Nutritional
Nutrisi Awal
Respon metabolis terhadap cedera kepala mempunyai karakteristik
meningkatnya metabolisme dan katabolisme. Diperkirakan mengistirahatkan
pengeluaran energy pada pasien yang terkena TBI berat meningkat rata-rata 40%.
Pada pasien TBI yang diisolasi, hilangnya nitrogen khusus karena meningkatnya rata-
rata proteolysis untuk memproduksi energi. Sebaliknya, hyperglycemia dengan
jumlah penggantian glukosa yang meningkat dan melawan insulin yang didapatkan
pada TBI, bahkan tidak ada trauma fisik. Kebanyakan bagian-bagian yang menagani
trauma saat ini melibatkan kebutuhan akan nutrisi bagi pasien yang akut dan dengan
cepat berinisiatif pemberian pipa enteral. Pasien yang telah menderita trauma visceral
serius dapat meminta suppleme dengan hyperlimentasi. Meskipun total enteral
nutrition (TEN) lebih dipilih setelah total parenteal nutrition (TPN), TPN harus
benar-benar diberikan terlebih dahulu sementara meningkatkan TEN sampai pada 2
sampai 2.5 g protein/kg/hari dan 25 sampai 35 nonprotein kcal/kg/hari. Parenteal
nutrion permulaan telah diperlihatkan untuk mempengaruhi fungsi kekebalan dengan
meningkatkan respon T-lymphocite, meningkatkan sel-sel CD4 dan menjaga rasio
CD4:CD8. selain itu usaha agrsif pada support awal nutrisi, dapat diterapkan 3
minggu untuk mencapai keseimbangan nitrogeb pisitif, bahkan jika kesimbangan
kalori positif sudah tercapai. Banyak pasien TBI masih memercederan perawatan
nutrisional yang agresif pada administrasi sampai rehabilitasi. Psikiater dan ahli diet
seharusnya juga memberi perhatian pada makanan berserat, vitamin, mineral, dan
isotonic untuk enteral feeding/ pemberian enteral makanan., sebagai tambahan kalori
dan protein. Berat mingguan, juga tindakan bulanan akan serum prealbumin, adalah
cara yang tepat untuk memonitor status nutrisi selama fase rehabilitasi.
Dysphagia
Insiden dyspaghia pada pasien TBI pada saat pemindahan ke rehabilitasi
sekitar 27%. Pada suatu penelitian dimana para pasien dievaluasi melalui
videofluorocopy, 81% tidak ada respon penelanan, 50% menunjukkan control lidah
berkurang, sekitar 33% telah berkurang transit pharyngeal, dan 14% menunjukkan
penutupan, kenaikan, atau kejang laryngeal berkurang. Kebanyakan pasien
menunjukkan dua aspek disfungsi penelanan, seperti control lidah yang terganggu
dan tidak terjadinya mekanisme pergerakan. Pastinya, cairan yang encer harus
dihindari, karena mereka tipikalnya paling sulit untuk mengatasi prospektif penelanan
dan, sebgai akibatnya, dapat memicu aspirasi pneumonia.
Videofluoroscopy telah menjadi standat mas untuk evaluasi dysphagia.
Thenik ini membolehkan dokter atau ahli klinis meneliti anatomi dan psikologi
mekanisme pergerakan penelanan sebagai suatu bolus ( cairan atau cooki yang
diresapi barium) dari mulut melalui pharynx kedalam esophagus. Berbagai disfungsi
termasuk aspirasi dapat didokumentasikan pada evaluasi video. Strategi kompensatori
dapat juga dicoba dan dites selama evaluasi.
Pasien dengan kesulitan penelanan secara bersamaan mengalami gangguan
kognitif. Mereka typikalnya perlu untuk diperingatkan dan dimonitor untuk
diterapkan strategi kompensatory. Dietnya perlu diganti dengan cara sequensial
(contohnya dari pureed, menggiling, mencincang, melunakkan, teratur) karena
digunakannya mekanisme kompensatory meningkatkan perkembangan penelanan.
Usaha pengobatan khusus terfokus pada mekanisme kompensatory. Kebanyakan
pasien meningkat secara spontanitas, meskipun hal ini dapat terjadi pada beberapa
minggu. Selama waktu itu, pasien beresiko tinggi akan meningkatnya aspirasi
pneumonia.
Pasien yang gagal mengalami kemajuan secara kognitif, tidak dapat mengikuti
perintah, mengalami kesulitan penelanan, dan beresiko tinggi terhadap aspirasi , perlu
diberi makan melalui pipa internal. Jika enteral feeding dipercederan lebih dari tiga
atau empat minggu, pipa gastrostomy atau jejunostomy lebih disukai pipa
nasogastrik. Pipa dapat ditempatkan melalui prosedur operasi terbuka atau
menggunakan teknik endoscopik. Penggunaan pipa nasogastrik dalam waktu lama
mungkin memicu akselerasi nasal, , iritasi nasoparyngeal, infeksi sinus, dan
ketidaknyamanan. Pipa nasogastrik juga memperburuk agitasi dan menyebabkan
pasien harus melepas pipa tersebut. Ketika hal ini terjadi, pemasangan kembali pipa
harus dilakukan, meningkatkan resiko trauma nasopharyngeal.
Komplikasi Gastrointestinal Lainnya
TBI berikut, stress gastritis dapat benar-benar terjadi pada pasien TBI. Erosi
superfisial mucosal dapat meluas sampai pada muscularis mucosa dab berkembang
menjadi borok. Sebalioknya, digambarkan oleh Cushing (borok Cushing) lebih dalam
dan berhubungan dengan tingkat gastrin yang tinggi dan pengeluaran asam meningkat
prophylaxis dengan penghalang H2 dan seperti agen mungkin bisa membantu
menurunkan mmagnet dari komplikasi. Satu penelitian menunjukkan bahwa
meskipun cimetidine tidak menurunkan insiden pengkikisan gastric superficial, itu
mengurangi berbagai macam cedera. Hampir semua pasien masih terkena ulcer
prophylaxis pada saat admisi sampai rehabilitasi. Ahli klinis seharusnya tidak
melanjutkan pengobatan ketika masih mungkin, untuk meminimalisir efek obat yang
tidak cocok dan interaksi obat-obat, menyederhanakan aturan obat, dan menghemat
pengeluaran yang tidak perlu.
Nausea dan muntah sering dialami pada komplikasi trointestinal pada TBI.
Meskipun hal ini muncul sebagai gejala yang relative minor, mereka dapat
meningkatkan resiko aspirasi pneumonia, menghalangi therapy, dan menyebabkan
distress bagi pasien dan keluarga. Etiologi dari nuesea dan muntah dalam TBI adalah
multi factor. (lihat gambar 49-23). Diantara ketidak normalan gastrointestinal yang
spesifik yang bertanggung jawab untuk gejala-gejala seperti itu merupakan sphincter
esophageal lebih rendah yang tidak berkompeten. ( Yang dapat terganggu oleh
adanya pipa/penyalur makanan yang melintasi pertigaan gastroesopagheal) dan
menggagalkan pengosongan gastric. Pada satu penyelidikan, sekitar 50% pasien telah
telah gagal mengosongkan gastric dan mentolerir selama gastik feeding selama
minggu pertama setelah cedera. Perkembangan pengosongan gastric terlihat sampai
pada minggu ke-3. Etiologi eksak akan gagalnya pengosongan gastric pada TBI
masih tak jelas, tetapi tekanan intracranial yang meningkat , tingkat kanaikan factor-
faktor pelepas cortocotropin, dan pengobatan semuanya telah terlibat.
TABEL 49-23 beberapa Penyebab Nausea dan Muntah pada TBI
Pemberian makanan mankok kecil
melalui jejusnostomy merupakan perawantan
pilihan. Jejunostomy dipikirkan untuk
mengurangi resiko aspirasi, karena melewati
pylorus. Sebuah penelitian baru-baru ini,
namun demikian, gagal untuk
mendemonstrasikan keuntungan jejunostomy
ayng sudah diakui daripada pipa gastrostomy.
Jejunostomy dapat meningkatkan masalah
nutrisi dan administrasi pengobatan, karena
kapasitas penyerapan mangkok kesil lebih
sedikit dibanding yang ada diperut. Karena
jejunostomy juga membutuhkan pemberian makanan sera terus menerus, hal itu tidak
ideal selama rehabilitasi karena membatasi mobilitas dan therapi. Kecuali jika pasien
menderita reflux dan aspirasi serius, gastrostomy cara yang lebih disukai.
Merupakan keuntungan menerapkan keduanya jejunostomy dan gastronomy
secara bersamaan dalam situasi seperti itu dengan gangguan pengosongan gastric.
Jejunostomy dapat dipakai untuk pemberian makanan dan gastronomy untuk
IntracranialTekanan intracranial meningkatArea yang menempati lukaHydrochepalus
OphthaimologikKetidakseimbangan urat Ocular
VestibularRespiratory
Berkaitan dengan batuk dan dahak yang berlebihan
GastrointestenalGastritis dan ulcerGangguan kesehatan LES (lower esophageal Sphincter)Gangguan pengosongan gastricSembelitPancreatitisHepatitis
InfeksiIatrogenik
Pengobatan yang menyebabkan iritasi gastricPengobatan yang langsung induce nausea
administrasi pengobatan dan pengurangan tekanan udara untuk pencegahan aspirasi.
Ketika pengosongan gastric meningkat, pemberian makanan dapat digantikan pada
route gastronomy dan diberikan di bolus. Pada minggu berikutnya, aspirasi perut
untuk pembersihan sisa-sisa yang ada merupakan hal yang penting untuk memonitor
pengosongan gastric yang memuaskan. Jika reflux tetap ada, ujung tempat tidur perlu
diangkat dan pasien seharusnya dicoba dengan berbagai formula atau pemberian
makana yang lebih sedikit.
Pada praktek kami, kami menggunakan “blue dye test” untuk membantu
pengidentifikasian individu dengan tracheostomy yang beraspirasi pengeluaran lewat
mulut. Ini muncul pada pasien yang refleks penelannya bagus dan mampu bertahan
dari deflasi tracheostomi cuff . Pada test pagi hari, empat tetes blue dye melalui
mulut dan tracheostomi cuff turun/berkurang. Lebih banyak lagi dye mungkin
ditambahkan paling tidak setiap empat jam. Malam sebelum tes, blue dye yang ada di
pipa pemberi makan tidak dilanjutkan. Adanya blue dye dalam pengeluaran tracheal
diindikasikan aspirasi atau tracheo-esophageal fistula.
Agen Prokinetik dapat dipakai untuk memfasilitasi pengosongan gastric.
Penggunaan metroclopramide (Reglan) seharusnya dihindari. Obat semacam ini
seperti phenothiazines; sementara itu dapat membantu diawal pada reflux dengan
meningkatkan pengosongan gastric bagi prosentase kecil pada sejumlah pasien, hal
itu secara khusus tidak bermanfaat untuk jangka panjang. Selain itu, diketahui
menyebabkan kesulitan kognitif pasien yang signifikan, khususnya bagi mereka yang
mendapatkan kembali kesadarannya. Hal itu juga berpotensi mempunyai efek
samping pergerakan extrapyramid dan bahkan dyskinesia tardive yang permanent.
Lebih jauh lagi untuk halangan pemulihan kognitif, metroklopramid dapat juga
menyebabkan kesulitan penelanan. Jika pasien harus berada pada metoclopramide
dengan berbagai alasan, maka seharusnya dibatasi sampai dua minggu atau kurang.
Cisapride (Propulsid) merupakan alternative yang lebih atraktif karena, tidak seperti
metoclopramide, hal ini tidak menyebabkan pusat blockade dopaminergic dan
pengaruh extrapyramidal jarang. The Food and Drug Administration FDA) yaitu
administrasi makanan dan minuman telah mengeluarkan peringatan akan penggunaan
cisapride dan antibiotik, antidepressant, antifungal, protease inhibitor tertentu secara
bersama-sama, mengidikasikan bahwa kombinasi seperti ini dapat memicu
arrhythmias cardiac yang serious dan memperlama QT. Pada situasi cisapride tidak
dapat dipakai, erythromycin mungkin alternative yang berguna untuk meningkatkan
pengosongan gestrik.
Incontinence
Fecal incontinence menyertai cedera otak sangat umum, khususnya pasien
dengan gangguan kognitif yang signifikan. Cedera otak berikut ini, pasien dapat
mengalami usus besar yang tidak terisi neurogenik dan tidak sadar akan kebutuhan
pembuangan secara teratur. Sembelit atau diarhe juga menjadi masalah yang
signifikan. Perkembangan program training usus besar sehari-hari cocok dengan
mengesampingkan status kognitif pasien. Hal ini dapat dikerjakan melalui
penggunaan pemberian makanan kaya akan serat atau supplement yang diminum
yang berserat dan penggunaan glycerin rectal suppository sehari-hari atau setiap satu
hari. Penggunaan digital stimulasi seharusnya dihindari karena dapat terjadi salah
pengartian bagi siswa yang mengalami kesulitan kognitif.
Diarhe bisa sebagai akibat dari impaksi, overload osmolar, dari pipa makanan,
atau radang usus besar Clostridium difficile. Keduanya baik overload osmolar dan
impaksi dapat dicegah dengan penggunaan ismakanan otonic berkadar protein tinggi
yang menyediakan vitamin dan minral yang esensial. (contoh: Jevity atau Enrich)
Pasien dengan cedera otak resikonya meningkat akan seringnya kebutuhan perwatan
dengan antibiotic selama perawatan disaat akut. Screening untuk toxin C. difficile
terindikadi pada pasien dengan sejarah administrasi pengobatan dengan antibiotic
sebelumnya dan diarhew yang dibutuhkan rumah sskit . pengobatan biasanya sukses
dengan flagyl atau ancommycin melalui mulut.
Pendarahan Gastrointestinal
Seperti kebanyakan pasien polytrauma, pasien dengan cedera otak cenderung
beresiko mengalami pendarahan gastrointestinal yang kedua kalinya untuk menekan
akselerasi selama fase perawatan disaat akut. Umum bagi pasien ditempatkan di
prophylaxis dengan H2 antagonis seperti cimetidine atau atau ranitidine. Karena
gangguan kognitif dan perilaku telah diketahui pada pasien pada Hs antagonis,
pengobatannya seharusnya ditarik ketika resiko pendarahan gastrointestinal sudah
berlalu.
Thromboplebitis
Deep Venous thrombosis (DVT) diperkirakan terjadi pada 40% sampai
54%dalam berbagai kasus yang menyertai trauma utama pada kepala. Factor resiko
penting bagi DVT cedera otak berikut ini termasuk immobilitas/ tidak mengalami
mobilitas, lemah otot, berkaitan dengan retak tulang, trauma vascular secara
langsung, dan catheterization venous. Tipe tanda klinis, seperti betis yang sakit dan
bengkak di kaki, tidak muncul pada semua kasus. Hal ini terjadi karena karena
potensialnya embolisme pulmonary (PE), yang merupakan paparan awal secara
kilinis mencapai 80%.pendeteksian awal penting untuk menghindari morbidity dan
konsekwensi yang berpotensial fatal (insiden fatal PE diperkirakan 1%). Impedance
Plethysmograph (IPG) yaitu ganguan plethysmograph, ultrasound Doppler, D-dimer
assay/pengujian D-dimer, I-fibrinogen scanning, dan radionuclide dan perbedaan
venography merupakan methode yang umum digunakan pada pendeteksian DVT.
Sensitive dan spesifikasinya sangat besar, khususnya tidak adanya penemuan klinis.
Umunya tindakan prophylactic yang digunakan termasuk intermittent
pneumattik compression, graded compression elactic stocking dan anticoagulants
(dosis rendah yang tidak dapat dibagi, dan heparin berat dengan molekuk ringan,
warfarin dan aspirin). Perawatan proksimal PE atau DVT pada betis termasuk
anticoangulasi. Inisiatif perwatan berikut ini dengan heparin yang tak dapat dibagi,
warfarin diketahui ketika bagian thromboplastin keatipan waktunya 1.5 kali
pengendaliannya terkendali. Dosis permulaan disarankan 5mg warfarin untuk
menhindari efewk yang merugikan, seperti anticoangulasi yang berlebihan dan
perkembangan pernyataan hypercoagulable yang potensial. Tujuan perawatan dengan
warfarin adalah International Normalized Ratio (INR) : perbandingan normalisasi
internasional yaitu 2 dan 3. Dala hal itu resiko komplikasi pendaharaan tinggi,
inferior vena cava ( IVC ) penempatan filter ( Greenfield filter atau Modified Bird’s
Nest Filter ) seharusnya dipertimbangkan.Penggunaan antikoagulans yang menyertai
TBI berkaitan dengan intracranial hemorrhage controversial. Seharusnya juga
digunakan petunjuk dalam agitasi atau pasien dengan resiko jatuh yang signifikan.
Saat ini, tidak ada petunjuk untuk mengoptimalkan waktu awal dari antikoagulasi
yang menyertai trauma yang berkaitan dengan pendarahan intracranial.
Komplikasi Genitourinery
Bladder Neurogenic yang menyertai TBI cukup jarang; jika itu ada , biasanya
karena detrusor hyperreflexia yang terhambat yang menyebabkan pasien sering
muntah dengan pengosongan Baldder. Para pasien biasanya dapat diatur secukupnya
dengan alat pengumpul eksternal, seperti kondom catheter untuk laki-laki dan diaper
untuk perempuan. Tindakan ini seharusnya dilanjutkan sampai pasien tersadar akan
sekitarnya dan memori yang cukup untuk bermanfaat dari ditawarkannya sebuah
kamar kecil atau bad-pan secara umum. Pasien juga mengalami detrusor hyporeflexia
distance akibat dari over Distansi Bladder.yang terjadi dengan iatrogenic atau outlet
gangguan traumatic. Pasien ini pada umumnya perlu memperpanjang intermitten
Caterisation ( ICP ) atau chatheter Voley Indwelling sampai maslahnya teratasi, yang
mungkin memakan waktu berminggu – minggu bahkan berbulan – bulan.Jarang
khususnya pasien yang tercedera pada otak dengan detrusor sphincter dysernergi
yang membutuhkan catheterisasi intermitten atau drainase Foley yang diperpanjang
dan penelitian urologic yang lengkap.
Komplikasi Musculoskeletal
Ossification heterotopic
HO (heretoropic ossification) merupakan informasi tulang lamellar dewasa
dalam jaringan yang halus dan wilayah pariarticular . incident HO yang dilaporkan
berkisar antara 11% sampai 76%, yang mencerminkan perbedaan methode populasi
dan methode deteksi. Namun demikian, hanya 10% sampai 20% dari berbagai kasus
yang signifikan secara klinis HO.
Faktor resiko yang signifikan pada TBI termasuk koma yang lama(1 bulan),
imobilisasi, dan
Fungsi Seksual dan Reproduksi
Meskipun dikenal dengan baik, pengaruh dari TBI pada fungsi seksual sering
diabaikan pada rangakain pemulihan. Selain itu gangguan fisik yang mungkin
menghalangi fungsi deksual dan kepuasan, perubahan perilaku, menuruti kata hatinya
dan tidak sesuai, dan nafsu yang berubah menambah masalah. Pasien dengan cedera
cuping frontal tingkat fungsi seksualnya lebih tinggi dibanding degan yang tanpa
cedera. Tetapi pasien yang menderita frontal lobe lesions memperlihatkan perilaku
seksual yang nggak sesuai, yang mendapatkan kesulitan tidak hanya pasien, tetapi
juga hubungan pasien tersebut dengan keluarga, staf rumah sakit, dan dengan
khalayak ramai. Dengan kaa lain, beberapa pasien TBI muncul hilang ketertarikannya
pada sex. Ini juga bisa benar bagi partnernya, yang mungkin berpengaruh dengan
adanya perubahan peranan mereka dari partner menjadi pemberi perhatian. Jelasnya,
berpotensi mengganggu hubungan, karena banyak pasangan menggambarkan sex
sebagai ekspresi cinta dan intimnya suatu hubungan.
Penting untuk memperhatikan seksualitas selama atau setelah rehabilitasi akut
jika masalah ini muncul dengan efek negative akan reintegrasi pasien degan
kehidupan keluarga dan komunitasnya. Model plissit menawarkan pendekatan
komprehnsif untuk mengenali masalah-masalah tentang perhatian utama kepada
pasien dan pasangannya. Interfensi perawatan termasuk modifikasi dan konseling
perilaku. Perawatan medis ( contoh obat untuk tikdak berfungsinya ereksi , panile
prostheses, dll.) tersedia, tetapi kontribusi terhadaphilangnya peranan seksual, seperti
depresi dan pengobatan, seharusnya diberikan terlebih dahulu.
Tidak biasanya menstruasi berhenti setelah TBI. Dalam banyak kasus, dapat
berlangsung satu tahun menstruasi kembali normal. Pada kejadian dimana kedatangan
menstruasi tertunda, atau ada perubahan kharakteristik menstruasi (missal,
metromenorrhagia), beralasan merujuk ke seorang obstreticitian untuk gynologic, dan
memeungkinkan evaluasi endocrionologic bagi pasien yang aktif seksualnya dan
pasangannya, konseling mengenai control kelahiran mungkin juga diterapkan , harus
dicatat, bagaimanapun juga, penggunaan kontrasepsi yang diminum beresiko
terhadap preneus thrombosis.
Pada bebrapa kasus kehaliman selama TBI berpengaruh terhadap keputusan
terapetik selam dan setelah rehabilitas. Pengobatan tertentu yang dipakai untuk
mengobati komplikasi TBI terpotensi teratogenic,beberapa didokumentasikan ( misal
phenytoin ) dan yang lainnya yang diketahui ( misal toksin spasticity botulinum).
Bagi pasien yang berkeinginan memulai lagi sebagai seorang ibu setelah pemulihan,
kegiatan sebagai orang tua (misal ; penggatian popok, menyusui) dapat bekerjasama
dengan berbagai terapi fisik dan pekerjaan. Lihat bab 80 untuk informasi yang lebih
jauh tentang seksualitas.
REHABILITASI PASIEN PEDIATRIC BRAIN INJURY
Pediatric brain injury (cedera otak pada anak) berbeda dalam beberapa hal
penting dengan cedera otak pada orang dewasa. Menurut pathologi, TBI bayi dan
anak berfrekwensi lebih besar akan terjadinya penyebaran pembekangkan otak dan
berfrekwensi lebih rendah terjadinya intracranial hemorrhage (pendarahan otak)
seperti yang terlihat pada orang dewasa. Faktor komplikasi epidemiologi adalah
proporsi TBI anak disebabkan penyalahgunaan anak. Teknik penilaian khusus, seperti
pediatric coma scale dan the Children’s Orientation dan Amnesia Test (COAT),
dipercederan untuk mengevaluasi tingkat kesadaran dan durasi PTA. TBI anak-anak
yang serius muncul dengan prognosis pemulihan kesadaran dan mobilitas yang lebih
baik. Keunikan dari cedera otak anak adalah cedera tertentu yang diderita pada usia
dini dapa memicu fungsional hasil yang lebih buruk disbanding cedera yang sama
pada masa dewasa. (missal; TBI serius selama bayi terjadi hambatan mental). Sifat
mudah terserang ini ditengarai sebagai gangguan proses perkembangan secara umum,
memicu kemampuan kecakapan lebih lambat.
Keunikan komponen yang kedua dari rehabilitasi cedera otak pada anak
adalah kebutuhan tindak lanjur dalam jangka waktu yang panjang bagi perkembangan
sekolah anak, karena anak dengan cedera otak muncul dengan meningkatktnya
tantangan dengan nilai yang lebih tinggi. Dokter rehabilitasi seharusnya dipersiapkan
untuk menjadi advokasi bagi kebutuhan pendidikan anak tersebut dan untuk
menyediakan rekomendasi khusus untuk modifikasi program pendidikan. Tim
seharusnya juga seharusnya dipersiapkan untuk bekerja dekat dengan orang tua untuk
jangaka panjang. Informasi detail tentang rehabilitasi anak tersedia pada referensi
khusus.
MANAJEMEN MILD TRAUMATIC BRAIN INJURY
Manajemen TBI ringan telah mengalami perubahan yang cepat sebagai akibat
dari penelitian fungsional hasil kerja, rangkaian gejala postconcussional. Temuan ini
ada pada referensi khusus.
Criteria diagnosa untuk TBI ringan diberikan pada table 49-4 diatas. Kriteria
alternative untuk TBI ringan diajukan oleh subkomite American Congress of
Rehabilitation Medicine (ACRM). ACRM mendefinisikan TBI ringan sebagai
gangguan traumatic fungsi otak yang ditunjukkan oleh paling tidak satu dari hal
berikut: (1) hilang kesadrannya; (2) hilang daya ingat /memory untuk hal-hal yang
terjadi sebelum dan sesudah tercedera; (3) alterasi status mental disaat tercedera (4)
gejala fisik yang tampak pada cedera otak seperti tinnitus, perubahan daya lihat,
gangguan memori/daya ingat, fatigue, dan anosmia; dan (5) gangguan kognitif
posttraumatic. Karena criteria ACM tetap divalidasi oleh hasil penelitian, hasil
temuan berdasarkan criteria TBI ringan pada Tabel 49-4 diatas seharusnya tidak
digeneralisasikan kepada pasien yang mennemukan definision ACRM.
Rasio perbandingan untuk memanaj TBI ringan berdasarkan pada kronisnya,
bukti yang oobjektif dari cedera otak , dan adanya cedera-cedera extracranial. Selama
masa akut yang menyertai TBI ringan, pasien seharusnya mendapat CT scan dikepala,
karena ada atau tidaknya trauma otak pada CT scan (contoh, tidak adanya komplikasi
TBI ringan) seharusnya menyebabkan pembatasan aktivitas selam beberapa hari atau
minggu. Namun demikian, jika trauma otak ada pada CT scan (komplikasi TBI
ringan), kelanjutan kegiatan sebelum tercedera ditunda saat itu, minoritas pasien,
kegiatan sebelum tercedera tidak dapat diteruskan. Kemungkinan akan resiko
kegagalan meneruskan kegiatan pre-injury lebih besar terjadi pada orang tua
disbanding dengan mereka preexisting ketidakberesan neurologik atau psikiatrik.
(contoh, TBI sebelumnya). Hampir semua pasien TBI ringan pertanyaan pronostik
bukannya apakah, tetapi kapan pembatan kegiatan dapat dicabut.
Tehnik manajemen untuk TBI ringan yang akut adalah pendidikan dan
pembatasan kegiatan. Komplain adanya sakit kepala dan pusing umum tejadi bebrapa
bulan setelah tercedera dan seharusnya diinvestigasi. Pasien dan keluarga seharusnya
diingatkan terlebih dahulu tentang perubahan kognitif dan perilaku serta tentang
keadaan yang mungkin memperburuk mereka. (contoh, kurang tidur, salah zat,
streaa). Kemungkinan kembali ke kediatan sebelum kejadian dengan cepat
seharusnya ditekankan bagi pasien dan keluarga. Keberanian tes neoropsychologi
munkin berguna untuk mengindentifikasi kekurangan kognitif pada fase ini. Jika
cedera berkaitan dengan adanya kekurangan kogntif , pasien seharusnya diminta
untuk tidak kembali bekerja sampai pngobatan dilakukan semua. Kembali bekerja
dapat dimulai dengan part time, atau tugas yang ringan-ringan, mungkin hanya
beberapa hari sebelum meneruskan dengan tugas seluruhnya. Dalam beberapa kasus
mungkin perlu meneruskan kewajiban pekerjaanya melalui satu atau lebih langkah
selanjutnya.
Meskipun isolasi tbi ringan biasanya tidak terlihat seperti suasana rehabilitasi ,
sering terjadi orthopedic atau cedera sungsum tulang belakang yang butuh
rehabilitasi. Pada kasus TBI ringan pasien yang menjalani rehabilitasi untuk cedera
yang lainnya, strategy pembatasan kegiatan tidak mungkin terlaksana. Kecuali,
mungkin perlu memodifikasi program rehabilitasi untuk mencegah maslah keadaan
sekitar berkaitan degan TBI (contoh, antisipasi meminimalisir agar tidak ribur, atau
obat analgesic, pengarahan langsung kepada keluarga, atau memperpanjang istirahat/
opnam.
Manajemen TBI ringan pada tingkat kronis tetap kontroversi. Label post-
concussional syndrome secara umum telah diterapkan untuk mengembangkan
postinjury komplain akan pusing, sakit kepala, emosi yang tidak stabil, kesulitan
kognitif. Kemungkinan berpura-pura sakit perlu dipertimbangkan dengan tes
neoropsykologi dengan pasien kronis TBI ringan yang berpotensi secondary gain.
Tehnik yang berguna dalam penentuan kevalidan dary gejala komplain termasuk tes
spisialis neuropsychological (test pengenalan paksaan) MRI dari otak mendeteksi
cedera traumatic minoritas pada pasien TBI ringan dimana CT scannya normal, tetapi
nilai prognostiknya temuan MRI pada pasien TBI ringan yang mengalami
komplikasi tidak ditentukan. Imajinasi SPECT akan pasien TBI ringan sebagai
prosedur diagnostic yang lebih sensitif, peranan imajinasi SPECT terhadap TBI tetap
ditegaskan.
SAKIT KEPALA POSTTRAUMATIK
Sakit kepala merupakan komplain pasien yang biasa terjadi setelah trauma
pada kepala atau leher. Packard menyebutkan rata-rata timbulnya 30% sampai 80%.
Dapat sebesar 44% 6 bulan setelah cedera dan dalam hal ini yang umum tanpa
cedera-cedera yang serius. Harus ditegaskan bahwa posttraumatic headache (PTH)
bukan merupakan diagnosa. Itu benar-benar merupakan gejala yang bisa mengalami
berbagai etiologi (Tabel 49-24). International Headache Society (HIS) criteria sakit
kepala posttraumatic perlu beberapa syarat yang ditemui, seperti hilang kesadaran,
amnesia posttraumatic yang berlangsung lebih dari 10 menit, dan sakit kepala yang
dimulai kurang dari 14 hari setelah trauma atau mendapatkan lagi kesadarannya.
Mungkin juga ada kelainan yang saling terkait paling tidak pada dua hal berikut:
kajian klinis neorologik, radiograf tengkorak, neuroimaging, potensi yang timbul,
pemeriksaan cairan tulang belakang, tes fungsi vestibular, atau tes neuropsychologi.
Berikutnya penting, karena kesulitan kognitif seringnya berkaitan dengan
posttraumatic headache. Sakit kepala posttraumatic yang akut menjadi kronis jika
masih terjadi lebih dari 8 minggu. Keberadaan sakit kepala itu, khususnya terkait
dengan status mental atau kelainan neurologik, mungkin membutuhkan investigasi
yang lebih jauh lagi, seperti neuroimaging, dan penelitian CSF yang mengatur etilogi
intracranial.
Perawatan sakit kepala posttraumatic ditujukan untuk membetulkan etiologi.
Pengobatan yang umum dipakai seperti daftar di tabel 49-25. Strategi perawatan yang
lain, termasuk biofeedback dan training relaksasi, dikaji kembali.
Tabel 49-24 Beberapa sebab sakit table 49-25 beberapa pengobatan
kepala posttraumatic yang dipakai untuk mencegah
dan merawat sakit kepala
IntracranialLuka pada strktur rasa sakit yang sensitive (venous sinuses, dura pada pangkal otak, pembuluh darah, syaraf cranial)
ExtracranialNeuromaLuka pada kulit, otot, urat nadiLuka pada periosteumSenusitasTidak berfungsinya tulang sendi temporomandibularKelainan sraraf cranial (contoh, ophthalmoplegiaSaki MyofascialLain-lainPengaruh obat yang tidak cocok dan zat-zat lainnya (contoh, cafein)Pemeliharaan Pengobatan Co-morbid 9contoh, hipertensi yang tak terkontrol).SeizureKurang tidur
Obat-obat anti inflammatory nonsteroidalAntiepilptiksSerotonin seletif agonis (contoh, sumatriptan)Serotonin reuptake penghambat secara selektifAntidepressant tricyclicBeta-blockerCalcium Channel blockersAntihistaminesSteroidAntiemetics
OLAH RAGA TERKAIT DENGAN TRAUMATIK CEDERA OTAK
Meningkatkan kesadaran terhadap TBI yang diakibatkan dari olah raga dan
relasi yang berkaitan kelanjutan popularitas olah raga dan perhatian dari media.
Diperkirakan lebih dari 80% petinju mengalami bukti TBI baik secara klinis ataupun
radiologik. Gangguan kognitif pada para petinju mempunyai bentuk tersendiri:
dementia pugilistica.Namun demikan popularitas tinju tidak mereda. Kira-kira
250.000pemain sepak bola mengalami gegar otak per tahun. Setiap kontak pemain,
baik bola basket, sepak bola dan wrestling termasuk berpotensi terhadap TBI Hal
yang sama juga terjadi pada kegiatan rekreasi seperti misalnya jet ski. Meningkatkan
perhatian akan pengaruh syndrome kedua pada athlet muda meningkat menurut suatu
penelitian yang menyarankan cedera kepala yang kedua ada sebelum gejala yang
berkaitan dengan cedera kepala sebelumnya tampak nyata mungkin berakibat pada
perkembangan cereblal dan kematian. Namun demikian, investigasi terkini
membantah jika criteria diagnostic yang ketat diterapkan, syndrome mungkin tidak
separah yang terpikir sebelumnya.
The American Academy of Neurology akhir-akhir ini mempublikasikan
melaporkan Quality Standards Subcommittee milik mereka sebagai parameter
manajemen kegegran otak dalam olah raga. Gejala yang umum dari kegegaran
dikategorikan baik pada permulaan, kejadian-kejaian dalam beberapa menit sampai
jam setelah kejadian, atau paling lama (hari sampai minggu) Gejala awal seperti:
sakit kepala, pusing, vertigo, kurang sadar terhadap sekitar, nusea dan muntah. Gejala
yang terlambat termasuk sakit kepala yang menurun, sakit kepala ringan, Kurang
perhatian dan konsentrasi, tidak berfungsinya memori, mudah fatigability, iritasi,
tolenrensi frustasi yang rendah, tidak tahan terhadap cahaya lampu, atau kesulitan
memfokuskan visi, tidak tahan terhadap kegaduhan, gelisah, keadaan jiwa yang
tertekan, dan gangguan tidurberdasarkan pada revie literature, tingkat skala dan
rekomendasi pengobatan ditetapkan. Rekomendasi manajemen ini hanya suatu
pilihan, untuk menentang yang standards, karena tidak ada bukti akan keberadaan
literature itu. Hal yang sama terhadap suatu laporan yang mengalamatkan
rekomendasi untuk kembali menerapkannya setelah kegegaran (lihat Tabel 49-26).
PERMASALAHAN ETIKA
Cedera otak meningkatkan permasalahan etika yang sangat besar dan sulit.
Sementara hal seperti ini dapat dialatkan hanya pada tingkat koletifitas (contoh,
bagaimana masyarakt menempatkan sumber bagi siapapun yang mengalami cedera
otak, yang lain meningkatkan praktek sehari-hari para professional rehabilitasi.para
dokter sering menkonfrontasi keputusan teika yang mempunyai konsekwensi yang
signifikan terhadap perawantan mereka. Berklaitan dengan itu, kami berkonsentrasi
pada beberapa kesulitan masalah etika yang mempunyai relefansi bagi para dokter:
menilai kompetensi pasien, membuat keputusan untuk tetap atau menarik tindakan
yang menopang kehidupan, dan memanfaatkan pengekangan.
Salah satu masalah yang muncul pada rehabilitasi cedera otak adalah
penilaian kompetensi. Keputusan menetukan kompetensi seorang pasien merupakan
hal krusial karena, sebagai dokter, kami mempunyai kewajiban menghargai keinginan
competent pasien dewasa. Dalam waktu yang sama, kami berkomitmen untuk
mencegah bahaya yang mungkin berasal dari keputusan pasien yang tidak
berkompeten. Bukti menyarankan bahwa para dokter bekerja dengan orang-orang
yang mengalami cedera otak cenderung mengabaikan masalah kmpetensi dan konsen.
Temuan ini didokumentasikan konggres investigasi awal decade ini, dan ditegaskan
oleh penelitian terkini.
Para dokter seharusnya mengenali bahwa kompetensi merupakan wewenang
khusus. Pasien dapat ditetapkan menjadi kompeten untuk membuat keputusan.
(contoh, menyangkut perawatan medis) tetapi bukan lainnya (contoh, menyangkut
manajemen financial). Selain itu, para komentator saat ini telah menekankan pada
proses evaluasi dari mana keputusan dibuat. Maka dari itu, focus perhatian tertuju
pada bagaimana keputusan dibuat, bukan apa yang diputuskan.
Penilaian proses ini melibatkan pengamatan langsung pada kemampuan utama
akan kapacitas pembuatan keputusan, termasuk kemampuan untuk memilih,
memahami informasi yang relefan, menghargai signifikansi bagi orang yang berada
pada situasi itu, dan untuk memberi alasan secara logis dengan informasi itu.
Meskipun kegunaan model kompetenci ini, ada pembatasan dalam
penerapannya terhadap orang yang mengalami cedera otak. Khususnya, bias kognitif
dari model ini dapat membuatnya kurang sensitive terhadap keefektifan dan
volisional squel cedera otak yang juga bisa berkompromi terhadap kompeten pada
interviu dan tetapi sebenarnya gangguan yang signifikan dalam membuat keputusan
akan kehidupannnya sehari-hari.
Jika dijumpai orang yang tidak kompeten untuk membuat keputusan
pengobatan, pengganti keputusan atau surrogate harus diketahui. Dokter seharusnya
dengan dipandu hukum yang relefan dinegaranya menentukan siapa yang menjadi
surrogate dan macam pembatasan (jika ada) terhadap penguasaan pembuatan
keputusan. Bahkan, setelah mengetahui pembuat keputusan yang tepat (contoh,
anggota keluarga) dokter etikanya bertanggungjawab untuk memastikan yang dibuat
surrogate sesuai. (contoh, mewakili keinginan pasien sebelumnya, atau kepentingan
yang terbaik.
Masalah diteruskan atau dihentikan pengobatan untuk menopang hidup
mendominasi selama dua decade terakhir. Meskipun kontroversi berlanjut, sebuah
konsesnsus bioethical dan legal menjadi prinsip yang fundamental. Tugas utama dari
dokter dala situasi seperti ini memastikan apa yang diyakini dan disenangi pasien
sebelumnya (ketika masih sadar). Keputusan Pengadilan Supreme U.S. menegaskan
bahwa keputusan berkenaan dengan meneruskan atau menghentikan pengobatan
untuk menopang hidup dari pasien yang tidak kompeten dapat di rujuk dari apa yang
dinyatakan sebelumnya dan keinginan-keinginan sebelumnya.
Jelasnya tidak ada konsesnsus sosial akan bagaimana cara memproses ketika
keinginan pasien sebelumnya tidak diketahui. Dalam situasi seperti ini, dokter klinis
yang tidak nyaman dengan pencapaian keputusan dapat dipertimbangkan seharusnya
mencari petunjuk ke komite etika rumah sakit dan juga ke consulate hukum. Dokter
fisik yang tidak nyaman dengan keputusan yang dicapai dapat mempertimbangkan
mengalihkan perawatan ke dokter fisik lainnya. Akhirnya, seharusnya ditekankan
bahwa tidak dipercederan keputusan yang gegabah. Khususnya jika pasien
dinyatakan hidup yang tanpa guna, bahayanya sedikit untuk memutuskan
pertimbangan ini.
Juga penting untuk mengenali kerugian menahan fisik. Bukti yang ada
menunjukkan bahwa penehanan seperti ini tidak efektif (contoh, pencegahan jatuh).
Selain itu, penahanan itu sendiri sikap yang beresikofisik terhadap pasien (termasuk
kasus laporan kematian). Akhirnya, penelitian mendemonstrasikan bahwa
pengurangan penggunaan penahanan seperti ini tidak perlu menambah kebutuhan
staf, biaya ke institusi. Untuk alasan ini, , dank arena permasalahan etika terlibat,
banyak institusi menerapkan minimal-restraint atau restrain-free policy.
Top Related