JOURNAL READING JULI 2013
SUBDIVISI BEDAH UROLOGI
Cedera Saluran Kemih Bagian Bawah Akibat Trauma Tumpul: Sebuah Tinjauan
Manajemen Kontemporer
(Lower Urinary Tract Injuries Following Blunt Trauma: A Review of Contemporary Management)
Jennifer P.L. Kong, MB, Bch, Matthew F. Bultitude, MSc, FRCS, Peter Royce, MBBS, FRACS, FACS, Russell L.
Gruen, MBBS, PhD, FRACS, Alex Cato, AM, RFD, FRCSEd, FRACS, Niall M. Corcoran, PhD, AFRCSI
Management Review, Reviews In Urology Vol.13 No.3 2011
Oleh: Muhammad Taufeq Fauzan
Pembimbing: dr. Pipin Abdillah
Supervisor: dr Syakri Syahril, Sp.U
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
Cedera Saluran Kemih B agian B awah Akibat Trauma Tumpul : Sebuah Tinjauan Manajemen Kontemporer
Trauma saluran kemih bagian bawah, meskipun relatif jarang diakibatkan oleh trauma tumpul,
dapat menyebabkan morbiditas yang signifikan ketika terlambat didiagnosis atau tidak diobati; ahli
urologi hanya mungkin menangani beberapa cedera tipe ini sepanjang karir mereka. Artikel ini
mengulas literatur dan laporan tentang manajemen cedera tipe ini, menyoroti masalah yang
dihadapi dokter dalam subspesialisasi ini. Juga disajikan adalah review terstruktur mengenai
mekanisme, klasifikasi, diagnosis, manajemen, dan komplikasi cedera kandung kemih dan uretra
akibat trauma tumpul. Prognosis untuk ruptur kandung kemih sangat baik jika ditangani dengan
baik. Ruptur intraperitoneal yang signifikan atau keterlibatan leher kandung kemih merupakan
indikasi dilakukan penanganan secara bedah, sedangkan laserasi ekstraperitoneal kecil dapat diatasi
dengan kateterisasi saja. Dengan dorongan untuk manajemen pasien trauma di pusat-pusat yang
lebih besar, ahli urologi di rumah sakit ini melihat peningkatan jumlah cedera saluran kemih bagian
bawah. Analisis secara prospektif dapat dilihat di pusat-pusat ini untuk mengatasi kekurangan bukti
Level 1 saat ini.
Cedera pada saluran kemih bagian bawah relatif jarang disebabkan oleh trauma tumpul.
Namun, impak akibat trauma tumpul sering menghasilkan energi yang cukup untuk menyebabkan
gangguan cincin panggul. Akibatnya, setidaknya 85% dari ruptur kandung kemih berhubungan
dengan fraktur panggul. Gangguan uretra telah dilaporkan pada 3,5% sehingga 28,8% dari pasien
dengan patah tulang panggul, hampir secara eksklusif didapatkan pada pria. Di Victoria, cedera
saluran kemih bagian bawah terjadi pada 1,5% pasien trauma berat pada tahun 2009 (data dari
Victorian State Trauma Outcomes Registry). Hal ini juga diakui bahwa diagnosis yang cepat dan
manajemen yang segera dari cedera urologis dapat secara signifikan mengurangi morbiditas dan
mortalitas. Kesulitan timbul pada pasien multitrauma ketika tindakan menyelamatkan nyawa atau
operasi damage control dapat menunda diagnosis dan pengobatan cedera saluran kemih bagian
bawah. Strategi manajemen telah menjadi semakin konservatif, dan perhatian khusus diberikan
kepada pasien yang akan mendapat manfaat besar dari intervensi.
Kandung Kemih
Kandung kemih adalah organ berotot yang pada saat kosong, terletak dilindungi oleh tulang
panggul anterior. Pada orang dewasa, ia terletak di extraperitoneal dengan peritoneum yang
menutupi permukaan superiornya. Permukaan superior (dome) adalah bagian yang paling mobile
dan terlemah dari bagian kandung kemih, menyebabkannya rentan terhadap ruptur ketika kandung
kemih terisi penuh. Cedera yang berhubungan dalam trauma kandung kemih yang umum termasuk
patah tulang panggul (93% -97%), cedera tulang panjang (50% -53%), dan sistem saraf pusat (28% -
31%) dan cedera toraks (28% -31% ). Angka kematian yang terkait dengan trauma kandung kemih
adalah setinggi 34% dan sebagian besar merupakan konsekuensi dari cedera yang terkait dengan
perforasi kandung kemih itu sendiri.
Mekanisme trauma
Perforasi kandung kemih paling sering terjadi pada trauma tumpul dan jarang diakibatkan
oleh luka tusuk. Beberapa mekanisme kerusakan kandung kemih terkait dengan fraktur panggul
telah ditemukan: (1) fragmen tulang merobek permukaan ekstraperitoneal (2) avulsi karena energi
dari dislokasi yang parah ketika tulang panggul yang keras retak dan ligamen terganggu, dan (3)
energi langsung menyebabkan cedera “burst” pada kandung kemih yang penuh biasanya
menyebabkan laserasi horisontal besar di dome. Telah dikemukakan mekanisme keempat bahwa
apabila terjadi fraktur tulang panggul yang berhubungan dengan ekstraperitoneal (EP), ruptur
kandung kemih ditemukan secara kebetulan. Dalam satu kajian yang dilakukan, hanya 35% perforasi
kandung kemih ditemukan pada sisi yang sama dengan fraktur tulang pelvis. Mekanisme trauma
yang diusulkan adalah cedera abdominal bagian bawah yang parah menyebabkan trauma yang
hampir sama pada kasus-kasus dengan kandung kemih terisi penuh di mana ruptur kandung kemih
yang kosong disebabkan oleh trauma tumpul sendiri.
Laserasi kandung kemih yang rumit melibatkan leher kandung kemih dan biasanya terdapat
gangguan tulang pelvis. Hal ini dapat mengakibatkan ekstravasasi kontras pada perineum, skrotum,
penis, dan dinding anterior abdomen (Gambar 1). Keterlibatan leher kandung kemih sering
merupakan akibat dari sesuatu cedera. Pada seorang dewasa, laserasi yang terjadi selalunya bersifat
longitudinal split dan bisa disebabkan oleh progresif cedera ke arah proximal dari cedera uretra atau
ke arah distal dari EP kandung kemih. Keterlibatan leher kandung kemih atau muara ureter
mengubah perforasi kandung kemih sederhana menjadi kompleks dan membutuhkan tindakan
bedah eksplorasi dan perbaikan.
Gambar 1: cedera leher kandung kemih dengan ekstravasasi kontras ke perineum pada foto
uretrogram retrograde.
Gambar 2: Foto Computed Tomography menunjukkan kelainal mural dan pembekuan darah pada
dome kandung kemih
Klasifikasi
Trauma kandung kemih dapat secara umum dapat diklasifikasikan sebagai kontusio dari
dinding kandung kemih atau hematoma intramural yang bersifat self-limiting dan tidak memerlukan
pengobatan khusus (Gambar 2), cedera EP yang terjadi sekitar 60% dari semua trauma kandung
kemih (Gambar 3), laserasi intraperitoneal (IP) yang dapat dilihat sekitar 25% dari kasus pada pasien
tanpa fraktur panggul (Gambar 4), dan gabungan IP dan perforasi EP yang terjadi pada 2% hingga
20% dari semua cedera. Kontusio kandung kemih mungkin adalah jenis yang paling umum dan
merupakan cedera yang relatif minor dan tidak memerlukan perawatan khusus. Pada kasus ini sering
ditemukan hematuria tapi tidak ada kelainan radiologik. Dua sistem klasifikasi yang ada, yaitu yang
didasarkan pada penampilan radiografi (Tabel 1) dan yang berdasarkan pada beratnya cedera (Tabel
2). Meskipun klasifikasi ini mungkin berguna untuk tujuan penelitian, ia jarang digunakan secara
klinis dan jarang digunakan dalam praktek sehari-hari. Dalam hal relevansi klinis, klasifikasi yang
penting adalah untuk membedakan antara EP dan cedera IP dan antara cedera sederhana dengan
kompleks sebagai tujuan pengobatan dan menentukan prognosis. Klasifikasi ini didasarkan pada
kombinasi studi radiologis dan / atau temuan ketika dilakukan laparotomi.
Gambar 3: (A) Ekstravasasi kontras ekstraperitoneal (EP) pada foto Computed Tomography
Cystogram (B) cedera EP dengan kontras menunjukkan ekstravasasi EP.
Gambar 4: (A) kontras mengisi Intraperitoneal (EP) pada foto Computed Tomography abdomen.
(B) kontras IP pada foto retrograde cystogram.
Tipe Cedera Gambaran Radiologi1 Kontusio Kandung
KemihTidak ada kelainan.
2 Ruptur Intraperitoneal Ekstravasasi kontras tidak jelas di sekeliling usus, di selokan paracolic dan kantong Douglas.
3 Cedera Kandung kemih interstitial (kasus jarang)
Kontras mengisi ruang dinding kandung kemih, menyebabkan defek atau kelainan. Tidak ditemukan ekstravasasi kontras.
4 Ruptur Ekstraperitoneal4a Simple Kontras hanya mengisi ruang perivesical dengan gambaran garis-
garis lurus atau corakan ‘sunburst’.4b Complex Dasar pelvis diterobos dan kontras bisa mengisi ruang
retroperitoneal sehingga muncul gambaran seperti ruptur intraperitoneal. Ekstravasasi bisa tembus sehingga skrotum, penis dan ruang anterior dinding abdomen.
5 Kombinasi IP dan EP Kombinasi tipe 2 dan 4Tabel 1: Sistem Klasifikasi Radiologi 7
Kelas Cedera Deskripsi1 Hematoma Kontusio, hematoma intramural
Laserasi Ketebalan parsial2 Laserasi EP < 2cm3 Laserasi EP ≥ 2cm atau IP < 2cm4 Laserasi IP ≥ 2cm5 Laserasi EP atau IP meluas sehingga leher kandung kemih atau muara
ureteral (trigone)Tabel 2: Skala beratnya cedera kandung kemih 8
Diagnosis
Hematuria adalah tanda yang paling umum yang terkait dengan ruptur kandung kemih.
Telah dilaporkan dalam 100% dari semua cedera kandung kemih dan kehadirannya pada trauma
panggul adalah prediktor terjadinya cedera. Tanda dan gejala lainnya termasuk nyeri perut atau
suprapubik, shock, distensi abdomen, ketidakmampuan untuk buang air kecil, hematuria
mikroskopis (5% dari pasien), dan darah di meatus. Pedoman untuk pencitraan diagnostik telah
disempurnakan selama beberapa tahun terakhir, dan studi telah mengidentifikasi pasien yang
berisiko tertinggi cedera dalam upaya untuk mengurangi jumlah pemeriksaan yang tidak perlu,
memakan waktu, dan mahal. Indikasi mutlak untuk pencitraan cystographic adalah adanya
hematuria pada fraktur panggul. Indikasi relatif untuk cystography adalah hematuria tanpa fraktur
panggul dan hematuria mikroskopik dengan fraktur panggul (terutama jika ditemukan >165x106 sel
darah merah [RBC]/L). Beberapa studi telah menunjukkan bahwa hematuria >165x106 RBC/L
mengidentifikasi mereka yang berisiko terbesar cedera kandung kemih. Namun, hematuria
mikroskopik pada umumnya merupakan indikator yang buruk dari adanya ruptur kandung kemih
dan cystography tidak harus secara rutin dilakukan pada pasien yang memiliki mikrohematuria saja.
Avey dkk menemukan bahwa, pada 687 pasien dengan fraktur panggul dan tidak ada cedera
kandung kemih, hanya 196 (27,1%) dari mereka memiliki hasil urinalisis negatif.
Kehadiran hematuria tanpa fraktur panggul telah diselidiki oleh Fuhrman dkk,
yang pada studi prospektif menunjukkan bahwa terdapat luka kandung kemih yang ditemukan di
semua 25 pasien yang dicitrakan. Namun, jika 25% dari ruptur IP terjadi tanpa fraktur panggul,
penggunaan cystography pada pasien ini ketika kecurigaan klinis tinggi adalah tepat.
Cystography statis adalah pemeriksaan yang cepat dan relatif murah. Ini dilakukan jika tidak
ada cedera uretra. Foto rontgen abdomen sebelum kontras diberikan diambil dan 100 mL 20%
sampai 30% bahan kontras dimasukkan melalui kateter uretra atau suprapubik untuk memastikan
ekstravasasi tidak terjadi. Kemudian, 200 sampai 250ml bahan kontras diberikan dan foto abdomen
diambil. Sangat penting bahwa foto sebelum pemberian kontras, setelah pemberian kontras, dan
pasca drainase yang diambil untuk memvisualisasikan kontras yang telah extravasated ke belakang
kandung kemih yang distensi; karena 10% dari cedera kandung kemih didiagnosis pada foto pasca
drainage. Computed tomography (CT) scan abdomen dan panggul telah menjadi rutin pada kasus
trauma tumpul dengan energi tinggi. Akibatnya, CT cystograms lebih sering dilakukan dengan hasil
yang sebanding dalam beberapa studi. Kontras intravena dan CT fase ekskretoris tidak dianjurkan
untuk penilaian perforasi kandung kemih traumatis karena tidak menjamin kandung kemih terisis
penuh dan karena itu tidak bisa mendeteksi perforasi kandung kemih. Cystography memiliki tingkat
akurasi dilaporkan antara 85% dan 100%, namun teknik yang tepat dan perhatian terhadap detail
yang diperlukan untuk mencapai tingkat akurasi yang tinggi. Beberapa hasil negatif palsu telah
dilaporkan, sebagian besar pada kasus trauma tusuk. Oleh karena pemeriksaan radiologis tidak
tersedia 24 jam di seluruh Australia, semua personel yang terlibat dalam manajemen pasien trauma
harus siap dalam melaksanakan dan menafsirkan cystourethrograms pada kasus-kasus gawat
darurat.
Terapi
Cedera kandung kemih minor (Asosiasi Amerika untuk Bedah Trauma [AAST] Kelas 1) dapat
diatasi secara konservatif dan bahkan tanpa kateter dalam beberapa kasus. Indikasi untuk tindakan
bedah eksplorasi adalah pada (1) luka IP, (2) cedera EP dengan keterlibatan leher kandung kemih
atau muara ureter, (3) kompresi fragmen tulang atau ditemukan dalam kandung kemih, (4) semua
kasus luka tusuk, dan (5) manajemen konservatif gagal (misalnya, ekstravasasi yang bersifat
persisten, perdarahan yang berlebihan, atau sepsis).
1. Cedera ekstraperitoneal (EP)
Secara historis, semua ruptur kandung kemih diatasi dengan tidakan operasi. Saat
ini, banyak luka EP dapat diatasi dengan strategi konservatif. Drainase kateter (uretra atau
suprapubik) diikuti oleh cystogram setelah 10 hari mendatangkan hasil yang baik pada
sebagian besar kasus, dengan hampir semua ruptur sembuh dalam masa 3 minggu. Korban
trauma yang membutuhkan laparotomi darurat akibat cedera yang dialami dapat mengalami
perbaikan ruptur EP pada waktu yang sama. Dengan dorongan untuk stabilisasi awal
panggul, pasien mengalami prosedur terbuka dalam beberapa hari cedera dan, karena itu,
perbaikan bersamaan ruptur kandung kemih mungkin memiliki sisi positif dalam mencegah
infeksi panggul. Tindakan bedah harus dilakukan melalui cystotomy pada dome kandung
kemih dan penutupan dua atau tiga lapis dari dalam dicapai dengan jahitan jelujur yang
bersifat absorbable. Leher kandung kemih dan muara ureter harus diperiksa dengan teliti
selama eksplorasi.
2. Ruptur intraperitoneal (IP)
Ruptur IP dapat menyebabkan sepsis dan angka kematian yang lebih tinggi
dibanding cedera EP. Ia cenderung besar (> 5 cm) dan terjadi paling sering pada dome
kandung kemih. Cedera tipe ini harus ditangani dengan cepat melalui bedah eksplorasi
sayatan garis tengah laparotomi dan cedera abdominal yang lain harus dieksklusikan. Harus
dilakukan secara berhati-hati untuk memastikan gangguan yang minimal untuk hematoma
panggul. Perpanjangan laserasi mungkin diperlukan untuk memeriksa leher kandung kemih
dan muara ureter. Laserasi ditutup menggunakan jahitan jelujur absorbable dalam
penutupan dua atau tiga lapis. Setiap cedera EP harus ditutup pada saat ini. Sebuah kateter
suprapubik dapat ditempatkan di extraperitoneal melalui insisi yang terpisah. Ada sedikit
bukti mengenai waktu optimal untuk kateter drainase dengan luka IP. Praktek kami adalah
untuk melakukan cystogram pada 2 minggu ketika ruptur IP telah sembuh. Inaba dkk telah
menyarankan bahwa laserasi dome kandung kemih yang bersifat sederhana mungkin tidak
perlu tindak lanjut pencitraan radiologi sama sekali. Ruptur yang bersifat kompleks harus
dilakukan pemeriksaan cystograms untuk melihat kondisi cedera, namun, saat ini ada sedikit
bukti untuk mendukung kenyataan ini.
Ruptur IP adalah manifestasi dari trauma benda tumpul yang cukup besar dan
pasien pada kasus-kasus ini sering mengalami cedera multisistem. Mereka mungkin tidak
dapat bergerak untuk waktu yang lama, dan pelepasan kateter dan tindak lanjut cystograms
sering tertunda. Pendekatan terhadap pasien ini harus menjadi pertimbangan bersama di
antara semua tim bedah yang terlibat dengan prioritas penyembuhan cedera dan
pengobatan tepat waktu.
Komplikasi
Diagnosis yang tertunda trauma kandung kemih dapat menyebabkan konsekuensi berat,
yang sebagian besar terkait dengan kebocoran urin yang termasuk sepsis dan peritonitis, abses,
urinoma, dan potensi reabsorpsi elektrolit di peritoneum. Fistula urin (vesikovaginal,
vesicocutaneous) dapat berkembang jika kelainan tidak diperbaiki. Jika diobati dengan tepat, trauma
kandung kemih memiliki prognosis yang sangat baik.
Uretra
Trauma tumpul merupakan penyebab untuk hampir semua cedera uretra traumatis dan
mayoritas terkait dengan fraktur panggul. Insiden cedera uretra laki-laki yang terjadi dengan
penglibatan trauma panggul adalah antara 4% dan 19% dan sampai dengan 6% pada wanita. Uretra
laki-laki terdiri dari penis, uretra bulbar, membranous, dan prostat. Hal ini dibagi menjadi uretra
anterior dan posterior uretra oleh diafragma urogenital (UGD). Prostat melekat erat pada aspek
posterior pubis oleh ligamentum puboprostatic dan uretra bermembran melekat pada sfingter
urinary eksternal dan ligamen segitiga di dasar panggul.
Mekanisme Trauma
1. Cedera Uretra Anterior
Jenis cedera ini terlihat paling sering pada trauma tumpul, tetapi biasanya tidak
berhubungan dengan fraktur panggul. Ini hasil dari pukulan yang kuat ke perineum yang
menyebabkan uretra bulbar untuk dikompresi pada batas inferior simfisis pubis. Ini biasanya
terjadi pada kasus pasien jatuh mengangkang, cedera mengangkang dari kecelakaan
kendaraan, serangan, atau dari setang sepeda. Fraktur penis, biasanya diakibatkan oleh
hubungan seksual, menyebabkan pecahnya salah satu atau kedua corpora cavernosa, dan
dalam 20% kasus ditemukan juga cedera pada uretra anterior.
2. Cedera Uretra Posterior
Mekanisme cedera uretra posterior telah menjadi topik yang semakin diteliti dan
mungkin jauh lebih kompleks daripada yang diperkirakan sebelumnya. Mengetahui kekuatan
impak yang terus pada tulang panggul dan kekuatan trauma yang dapat mengganggu
struktur sangat penting dalam memahami mekanisme cedera uretra yang terjadi. Uretra
dasarnya ditambatkan di dua tempat: prostat ke tulang pubis oleh ligamentum
puboprostatic dan pada distal oleh sfingter dan lapisan fasia UGD pada tingkat uretra
membranosa. Ruptur uretra posterior diyakini disebabkan oleh impak dari geseran yang
terjadi. Membran uretra sangat elastis dan ketika kekuatan eksternal penyebab gangguan
panggul terjadi, ia dijabarkan ke dalam jaringan lunak. Membran uretra ditarik ke atas
sebagai tangguh perineum membran jangkar persimpangan bulbomembranous. Ruptur
terjadi ketika energi impak melebihi kemampuan peregangan uretra. Hematoma panggul
dapat berkontribusi untuk peregangan ini dan menghasilkan penampilan cystographic tear-
drop bladder.
Andrich dkk baru-baru ini menyarankan bahwa mekanisme fraktur panggul
memainkan peran yang lebih besar dalam mekanisme cedera uretra daripada yang
diperkirakan sebelumnya. Para peneliti mencatat bahwa banyak fraktur tulang panggul
terjadi tanpa gangguan uretra dan, pada kenyataannya, cedera uretra sangat jarang dalam
kasus trauma panggul. Mereka mengusulkan bahwa uretra ditambatkan pada empat poin:
bilateral di kedua ligamentum puboprostatic dan membran perineum. Stres pada ligamen
ketika fraktur dan pemindahan tulang terjadi, tetapi ligamen ini bisa robek sebelum
menyebabkan traksi ke uretra. Namun demikian, apabila peregangan ligamen dan traksi
diterapkan pada uretra, ruptur uretra dapat terjadi. Hal ini mengarah pada kesimpulan
bahwa ketimbang kekuatan geser, cedera adalah hasil dari avulsi, ruptur anterior (kekuatan
kiri dan kanan menarik dan menyebabkan ruptur vertikal garis tengah), kompresi, atau
laserasi langsung oleh fragmen tulang.
Korelasi antara jenis fraktur panggul dan cedera uretra telah diamati. Risiko trauma
uretra meningkat dengan luas rami tulang pubik yang retak, keterlibatan sendi sacroiliac,
dan tingkat perpindahan inferomedial rami tulang pubik. Secara khusus, fraktur
mengangkang dikombinasikan dengan gangguan sendi sacroiliac telah menunjukkan angka
kejadian tujuh kali lebih tinggi dari mengangkang atau fraktur Malgaigne saja. Aihara dkk
menunjukkan bahwa diastasis simfisis dan fraktur rami inferior tulang pubik adalah prediktor
independen dari cedera uretra. Banyak literatur adalah retrospektif dan jumlahnya kecil, tapi
hubungan antara patah tulang lengkung anterior dan cedera uretra terlihat pada semua
studi.
3. Cedera pada Uretra Perempuan
Uretra perempuan terdiri dari uretra posterior saja. Cedera akibat trauma tumpul
jarang terjadi sendirian dan biasanya berhubungan dengan fraktur panggul. Darah pada
introitus vagina terlihat pada lebih dari 80% wanita dengan trauma uretra dan seiring
dengan gangguan cincin panggul. Urethrography Retrograde tidak digunakan dalam
diagnosis trauma uretra perempuan. Urethroscopy mungkin berguna dalam mendeteksi
cedera tipe ini.
Klasifikasi
Pengobatan cedera uretra bergantung pada diagnosis yang akurat dari ruptur komplit atau
parsial (Gambar 5). Cedera parsial lebih sering terjadi pada trauma uretra anterior, tapi penelitian
terkini tentang kejadian ruptur komplit atau parsial cedera uretra posterior adalah bervariabel. Hal
ini dapat dijelaskan oleh jumlah kecil di beberapa studi dan tingkat beratnya cedera yang terlihat di
beberapa pusat trauma yang lebih besar. Webster dkk melaporkan 19 kasus pada tahun 1983 dan
mencatat bahwa ruptur komplit terlihat pada 66% pasien. Ruptur komplit terjadi berhubungan
dengan ekstravasasi kontras ke dalam perineum saat pecahnya fasia perineum distal atau UGD.
Serupa dengan cedera kandung kemih, sejumlah sistem klasifikasi telah dikembangkan
untuk menggambarkan cedera uretra berdasarkan penampilan urethrographic (Tabel 3, Tabel 4,
Tabel 5). Meskipun nilai yang sebenarnya mungkin berbeda, mereka menyampaikan informasi yang
sama, yaitu membedakan antara ruptur parsial dan komplit pada cedera uretra anterior dan / atau
posterior.
Gambar 5: (A) Cedera uretra posterior parsial dengan kontras dilihat di dalam kandung kemih.
(B) Cedera uretra komplit dengan corakan ‘sunburst’ ekstravasasi kontras pada foto retrograde
urethrogram. Kontras dalam kandung kemih dari pencitraan foto sebelumnya.
Tipe Cedera1 Uretra posterior utuh tetapi meregang2 Cedera uretra posterior murni dengan ruptur pada membran uretra di atas diafragma
urogenital, parsial atau komplit.3 Kombinasi cedera uretra anterior dan posterior dengan penglibatan diafragma urogenital,
parsial atau komplit4 Cedera leher kandung kemih dengan perluasan ke uretra4a Cedera dasar kandung kemih dengan ekstravasasi periurethral5 Cedera uretra anterior murni, parsial atau komplit
Tabel 3: Klasifikasi Mekanis Anatomi Kompak untuk Cedera Uretra 18
Kelas Cedera Deskripsi1 Kontusio Darah pada meatus uretra, urethrography normal.2 Cedera meregang Uretra memanjang tanpa ekstravasasi kontras.3 Gangguan parsial Ekstravasasi kontras pada lokasi cedera dan tampak kontras mengisi
kandung kemih.4 Gangguan komplit Ekstravasasi kontras pada lokasi cedera dan tidak tampak kontras
mengisi buli-buli, pemisahan uretra < 2cm.5 Gangguan komplit Penampang lintang komplit dengan pemisahan uretra ≥ 2cm atau
peluasan sehingga prostat atau vagina.Tabel 4: Skala Beratnya Cedera Uretra 8
Kelas Cedera Deskripsi1 Cedera meregang Uretra memanjang tanpa ekstravasasi kontras2 Kontusio Darah pada meatus uretra tanpa ekstravasasi kontras3 Gangguan parsial
pada uretra anterior atau posterior
Ekstravasasi kontras pada lokasi cedera dan tampak kontras pada uretra proksimal atau di dalam kandung kemih
4 Gangguan komplit uretra anterior
Ekstravasasi kontras pada lokasi cedera dan tidak tampak kontras pada uretra proksimal atau di dalam kandung kemih
5 Gangguan komplit uretra posterior
Ekstravasasi kontras pada lokasi cedera dan tidak tampak kontras di dalam kandung kemih
6 Gangguan parsial atau komplit uretra posterior
Dikaitkan dengan ruptur pada leher kandung kemih atau vagina
Tabel 5: Klasifikasi European Association of Urology pada trauma tumpul uretra anterior dan
posterior 1
Diagnosis
Darah pada meatus terlihat pada 37% sampai 93% dari ruptur uretra posterior dan 75%
ruptur uretra anterior. Hematuria, ketidakmampuan untuk buang air kecil, dan disuria dapat
ditemukan, namun jumlah hematuria berkorelasi buruk dengan tingkat beratnya cedera, di mana
ditemukan pendarahan minimal pada kasus ruptur komplit dan ruptur parsial kecil dapat
menyebabkan perdarahan berat. Prostat highriding merupakan tanda tidak dapat diandalkan.
Ekimosis perineum dan bengkak terlihat pada cedera uretra sebagai akibat langsung dari trauma ke
regio tersebut atau ekstravasasi urin dan pelacakan darah dalam batas fasia (skrotum, perineum,
dinding perut). Dalam cedera uretra anterior, pola memar "butterfly" terlihat ketika fascia Buck
terganggu. Dokter harus waspada pada kasus trauma pada panggul untuk kemungkinan terjadinya
cedera.
Triad klasik darah di meatus, ketidakmampuan untuk berkemih, dan kandung kemih penuh
jarang didapatkan, dan menurut pedoman Trauma Advanced dan Life Support (ATLS), evaluasi
radiografi harus dilakukan jika ditemukan salah satu tanda tersebut. Pemeriksaan rektum dan / atau
vagina harus dilakukan pada semua pasien dengan curiga cedera uretra yang berhubungan dengan
fraktur panggul atau trauma tusuk dan dapat mengidentifikasi cedera yang terjadi. Dengan adanya
darah pada meatus, upaya untuk kateterisasi secara lembut telah terbukti dapat diterima dan sukses
pada hingga 50% dari pasien. Diperkirakan sebelumnya bahwa pemasangan kateter ke uretra yang
ruptur bisa mengakibatkan konversi menjadi ruptur komplit, gangguan dan infeksi hematoma
panggul, dan diperparah perdarahan prostat, meskipun bukti yang didapatkan tidak mencukupi.
Kateterisasi harus dilakukan dalam situasi di mana pasien tidak stabil untuk dilakukan pemeriksaan
radiografi. Jika dicurigai terjadinya cedera uretra, urethrogram retrograde harus dilakukan bila
memungkinkan. Jika tersedia, pemasangan kateter visual dipandu dengan cystoscope fleksibel pada
kasus gawat darurat dapat menyebabkan penempatan kateter dengan sukses, khususnya pada
cedera parsial.
Urethrography Retrograde adalah teknik pencitraan Gold Standard dalam mendeteksi
cedera. Ini harus dilakukan sebelum cystography dan radiograf sebelum pemberian kontras terlebih
dahulu. Sebuah Foley kateter kecil dimasukkan ke dalam fossa navicular dan baik penjepit penis
digunakan atau insuflasi balon lembut dengan 1 sampai 2 mL saline, 20 sampai 30 mL (60%) bahan
kontras fullstrength disuntikkan sedangkan radiografi yang diambil dalam setidaknya 2 plana
(idealnya, pada sudut 30° miring). Jika dilakukan dengan benar, urethrogram memungkinkan
klasifikasi dari cedera dan manajemen yang tepat.
Terapi
Tujuan pengobatan pada trauma uretra adalah untuk mempertahankan kontinensia dan
potensi dan untuk mengurangi terjadinya striktur. Pasien tidak mati hanya diakibatkan oleh trauma
uretra saja, tetapi gangguan cincin panggul dan cedera multiple organ terjadi pada 27% pasien.
Pengobatan utama pasien ini adalah sesuai dengan pedoman ATLS, di mana cedera yang
mengancam nyawa dinilai dan diatasi terlebih dahulu. Diversi urin adalah langkah pertama dalam
penatalaksanaan cedera tipe ini.
1. Cedera Ruptur Parsial
Ketika diobati dengan tepat, ruptur parsial memiliki hasil yang lebih baik dengan
morbiditas yang lebih rendah daripada ruptur komplit. Ruptur parsial uretra anterior dan
posterior dapat diobati dengan diversi urin menggunakan kateter suprapubik atau uretra.
Kateter suprapubik mungkin lebih baik karena tidak mengganggu anatomi uretra dan
memungkinkan mikturasi cystourethrography selama masa tindak lanjut. Upaya
pemasangan kateter Foley per uretra atau railroading kateter endoskopi secara berhati-hati
dapat menyediakan kateterisasi uretra. Namun, manipulasi uretra harus dilakukan
seminimal mungkin. Jika menghadapi kesulitan, kateter suprapubik harus digunakan dan
ultrasonografi sangat membantu jika kandung kemih tidak mudah teraba. Kateter harus
tetap di tempat selama 2 sampai 4 minggu sehingga mikturasi cystourethrogram dapat
dilakukan. Jika pasien dapat berkemih dan tidak ada ekstravasasi kontras atau striktur
ditemukan, kateter dapat dilepaskan. Dalam pemasangan kateter uretra, urethrography
retrograde periurethral dapat digunakan untuk mencari kebocoran kontras.
Sekitar 50% dari cedera ruptur parsial yang diatasi dengan kateterisasi uretra
akhirnya akan membutuhkan manajemen bedah. Di cedera uretra anterior akibat trauma
tumpul, perbaikan segera atau awal tidak dianjurkan karena korpus spongiosum membuat
debridement menjadi sulit. Fraktur penis dengan ruptur uretra anterior biasanya didapatkan
bersifat parsial dan dapat diperbaiki terutama pada saat yang sama dengan perbaikan
kavernosus. Cedera uretra perempuan biasanya ditemukan bersifat parsial dan
berhubungan dengan terjadinya perforasi kandung kemih atau laserasi vagina. Uretra dapat
diperbaiki terutama melalui kandung kemih dalam kasus-kasus cedera kandung kemih yang
terjadi bersamaan, atau secara transvaginal jika ruptur ditemukan lebih distal.
2. Cedera Ruptur Komplit
Cedera ruptur komplit uretra anterior umumnya diobati dengan kateterisasi
suprapubik dan urethroplasty tertunda. Manajemen cedera uretra posterior komplit lebih
kompleks, dengan beberapa pilihan pengobatan dan berbagai bukti untuk mendukung.
Stabilisasi awal fraktur panggul berarti meningkatnya penggunaan prosedur primer. Pilihan
pengobatan adalah Primary Realignment, Immediate Primary Repair, Delayed Primary Repair
and Realignment, dan Delayed Urethroplasty. Literatur tentang hal ini besar dan studi
cenderung bersifat retrospektif, berdasarkan pendapat ahli, dan memiliki ukuran sampel
yang kecil. Metode bervariasi dalam berbagai pilihan, tetapi dalam dekade terakhir
beberapa kesimpulan dapat dibuat.
a. Primary Realignment
Beberapa metode primary realignment telah dijelaskan, membuat perbandingan
dengan teknik manajemen lainnya menjadi lebih sulit. Saat ini, teknik yang paling
banyak digunakan adalah realignment endoskopi. Teknik lain yang dijelaskan
meliputi Interlocking Magnetic Sounds atau kateter, open realignment dengan
evakuasi hematoma panggul, dan pemasangan traksi pada kateter atau perineum. Di
institusi kami, kami mencoba untuk realign trauma uretra pertamanya dengan
endoskopi yang fleksible. Pada pasien dengan trauma kandung kemih yang berat
“pie in the sky”, open primary realignment sering dilakukan karena sebagian besar
pasien akan menjalani operasi untuk cedera yang dialami. Endoscopic Realignment
lebih menguntungkan, di mana ia dilakukan di bawah visualisasi langsung dan tidak
menggunakan perbaikan jahitan guling atau traksi pada uretra yang dapat
menyebabkan nekrosis jaringan dan kerusakan lebih lanjut pada mekanisme
sfingter. Manfaat Primary Realignment adalah (1) mengurangi angka kejadian cacat
ujung uretra, (2) pencegahan striktur, dan kapan ia terjadi, hanya tindakan
urethrotomy atau dilatasi sahaja yang diperlukan, dan (3) alignment prostat dan
uretra apabila urethroplasty diperlukan.
Pada tahun 1996, Koraitim melakukan review literatur dan data yang
diperoleh selama 42 tahun dan melaporkan tingkat penyempitan 97% pada pasien
yang diobati dengan kateterisasi suprapubik saja, tetapi menyimpulkan bahwa
tingkat penyempitan Primer Realignment kurang dari yang diperkirakan sebelumnya
(53%). Namun, ada kekhawatiran bahwa Primer Realignment dapat meningkatkan
risiko inkontinensia, infeksi, perdarahan, dan impotensi bila dibandingkan dengan
Delayed Urethroplasty. Sebuah tinjauan literatur pada tahun 2009 oleh Djakovic dkk
melaporkan angka kejadian impotensi sebanyak 35%, inkontinensia sebanyak 5%,
dan striktur 60%. Beberapa kajian terbaru telah mendukung penggunaan Primer
Realignment dan mungkin menunjukkan tingkat impotensi lebih rendah daripada
kateterisasi suprapubik saja. Data pada penggunaan metode Primer Realignment
harus ditafsirkan dengan hati-hati karena banyak kajian berbeda dalam metode
mereka. Ada sedikit perbedaan yang dibuat antara Open Primer Realignment dan
Endoscopic Realignment yang mungkin berbeda dalam potensi untuk menyebabkan
kerusakan. Secara idealnya, kajian seterusnya harus bersifat prospektif, bertujuan
untuk membedakan antara nilai yang berbeda dari impotensi dan metode Primer
Realignment, dan mencerminkan berbagai prognosis trauma uretra posterior.
Penggunaan Primer Realignment sangat tergantung pada stabilitas pasien
dan sejauh mana cedera lainnya. Cedera kepala dapat membatasi jumlah prosedur
yang dilakukan dan membatasi tempoh pemberian anestesi dalam ruang operasi.
Seringkali pengalihan urin dengan cara paling aman, paling efektif diperlukan, dan
pasien yang cocok untuk Primer Realignment harus dipilih dengan cermat.
b. Immediate Primary Repair
Immediate Primary Repair tidak dianjurkan dalam kebanyakan kasus
gangguan uretra komplit. Perdarahan yang luas, ecchymosis, dan pembengkakan
membuat pembagian plana dan identifikasi anatomi dan jaringan sangat sulit. Ini
dikaitkan dengan angka kejadian inkontinensia yang lebih tinggi (21%), impotensi
(56%), dan striktur (49%), dan menyebabkan metode ini ditinggalkan. Namun,
Immediate Open Realignment and Repair harus digunakan dalam kasus laserasi
rektal leher kandung kemih. Evakuasi hematoma panggul dapat mengurangi stress
pada jaringan neurovaskular dan efek peregangan pada uretra, namun terdapat
risiko yang tinggi untuk terjadi perdarahan hebat dan kontaminasi pada periode
akut. Kadang-kadang dilakukan cystourethrography di meja operasi untuk menilai
kembali sepenuhnya tingkat cedera saluran kemih bagian bawah ketika pasien telah
dipindahkan ke ruang operasi.
c. Delayed Primary Repair and Realignment
Realignment yang terjadi setelah beberapa hari sampai 2 minggu dari saat
trauma disebut pengobatan tertunda. Manfaat teoritis adalah bahwa hematoma
panggul telah diatasi dan tidak mungkin untuk kambuh, dan pasien lebih stabil.
Diversi urin dilakukan pertamanya dengan kateter suprapubik dan kemudian
penilaian ulang dan pengobatan dengan teknik yang lebih disukai dokter bedah
dapat dilakukan beberapa hari kemudian. Terdapat sedikit bukti yang mendukung
protokol ini, manfaat yang teoritis tetapi hasil yang memuaskan telah dibuktikan
dalam beberapa kasus penderita perempuan. Satu kajian prospektif pada 17 pria
dengan ruptur komplit uretra menunjukkan bahwa Delayed Primary Realignment
and Repair -antara 7 hingga 14 hari- juga menunjukkan hasil yang memuaskan.
d. Delayed Urethroplasty
Delayed Urethroplasty adalah pendekatan yang diterima secara meluas dan
aman, efektif, dan memungkinkan perencanaan dan penilaian yang teliti dengan
pemilihan modalitas pengobatan yang tepat. Kateterisasi suprapubik digunakan
untuk diversi urin pada saat trauma. Urethrography tindak lanjut memungkinkan
ahli urologi untuk merencanakan pendekatan mereka dan metode pengobatan
karena cedera ini hampir pasti menyebabkan striktur. Urethroplasty formal biasanya
dilakukan 3 sampai 6 bulan pasca trauma ketika semua hematoma, kerusakan
jaringan, dan pembengkakan telah mulai menghilang. Rata-rata pasien ini tidak
bergerak untuk jangka waktu yang lama dan menggunakan kateter suprapubik
selama 6 bulan tanpa masalah. Mayoritas ruptur komplit uretra posterior
mengakibatkan gangguan jangka masa singkat. Ini biasanya bisa diatasi dengan
anastomosis end-to-end perineum satu tahap. Mobilisasi uretra bulbar distal ke
pangkal penis dapat memberikan 4 sampai 5 cm panjang uretra. Elastisitas uretra
dapat memberikan anastomosis yang bertegangan bebas, spatulated, dan overlap
untuk menutup cacat di antara 2 hingga 2,5 cm.
Pada kasus dengan kelainan yang panjangnya hingga 8cm, pendekatan
progression dapat digunakan. Metode ini melibatkan sampai tiga manuver untuk
memungkinkan anastomosis bebas dari ketegangan: (1) pembagian garis tengah
bagian proksimal korpus, (2) pubectomy inferior, (3) rerouting dari uretra bulbar
secara supracorporal. Pendekatan ini juga dapat digunakan dalam perbaikan
anastomosis yang gagal. Kondisi yang mengurangi angka keberhasilan Delayed
Urethroplasty dan Salvage Urethroplasty meliputi: (1) kelainan dengan panjang
>7cm (mungkin memerlukan interposition flap), (2) fistula, (3) striktur uretra anterior
menyebabkan berkurangnya aliran darah ke uretra bulbar, (4) inkontinensia melalui
kerusakan sfingter eksternal dan / atau kerusakan leher kandung kemih. Angka
kejadian restricture setelah Delayed Anastomotic Urethroplasty adalah kurang dari
10% dan risiko impotensi adalah 5%. Striktur sangat jarang terjadi setelah tempoh
lebih dari 6 bulan pasca operasi Delayed Urethroplasty.
Komplikasi
Komplikasi setelah trauma uretra tumpul sering ditemukan, tetapi mungkin juga diakibatkan
dari cedera traumatis yang terkait. Oleh karena itu, adalah penting untuk mencoba membatasi
terjadinya cedera traumatis sepanjang proses penatalaksanaan.
1. Striktur
Striktur dapat menyebabkan implikasi serius terhadap kualitas hidup pasien.
Kadang-kadang diperlukan beberapa siri rangkaian prosedur dan mengenali kasus-kasus
beresiko tertinggi adalah sangat penting. Cedera parsial biasanya sembuh dengan baik,
dalam beberapa kasus, berkemih normal tanpa striktur uretra dapat dilihat. Ini telah
ditunjukkan dalam model penelitian pada hewan yang ketika ujung uretra terjadi kelainan,
penyembuhan mukosa tidak terjadi dan luka diganti dengan jaringan fibrosa. Ketika cedera
yang tersisa dibiarkan untuk sembuh sendiri dan Delayed Urethroplasty dilakukan agak
terlambat, ujung uretra biasanya tidak fibrosis. Jaringan fibrosa mengisi celah antara kedua
ujung, tetapi uretra tidak dalam menyambung. Hal ini mungkin menjelaskan mengapa
anastomotic urethroplasty pada pasien ini biasanya sembuh tanpa striktur. Striktur yang
pendek dan tipis dapat diobati dengan dilatasi atau urethrotomy optik. Prosedur endoskopi
untuk mencapai kontinuitas uretra dilakukan pada pasien yang memiliki striktur pendek,
luka ringan, dan leher kandung kemih yang kompeten. Sebelumnya dijelaskan sebagai teknik
endoskopi urethrotomy-ke-suara, dengan munculnya endoskopi fleksibel prosedur “cut to
the light” yang semakin sering digunakan. Namun, pasien ini memiliki tingkat tinggi
dilakukan operasi ulang (80%). Striktur uretra anterior yang padat dan lebih panjang tidak
harus diperbaiki dengan anastomosis urethroplasty karena chordee bisa terbentuk.
Sebaiknya pasien-pasien ini harus menjalani urethroplasty substitusi (flap atau graft).
Rujukan ke ahli urologi yang berpengalaman sangat penting dalam pengelolaan cedera
kompleks ini.
2. Infeksi dan Hematoma
Ruptur uretra anterior dapat menyebabkan kebocoran urin dan darah ke jaringan
penis atau perineum tergantung pada sejauh mana gangguan plana fasia, yang dapat
menyebabkan pembentukan abses dan menghasilkan divertikulum, fistula
urethrocutaneous, dan necrotizing fascitis. Cedera leher kandung kemih yang tidak
diperbaiki segera dapat menyebabkan inkontinensia dan infeksi metalware panggul.
3. Impotensi
Impotensi pada pasien trauma uretra yang terjadi bersamaan dengan cedera
panggul adalah sekitar 20% hingga 60%. Penyebabnya mungkin vaskular atau neurogenik,
dan terdapat perbedaan pendapat. Prognosis yang relatif baik untuk suntikan intrakavernosa
menunjukkan bahwa komponen vaskular bersifat reversibel. Saraf kavernosus yang terdapat
dalam ruang retropubik rentan terhadap cedera langsung dari fraktur lengkung anterior atau
manipulasi selama prosedur ortopedi atau urologi. Cedera sakral dan keterlibatan foraminal
bisa menyebabkan cedera pada serabut saraf S2-S4, sementara pleksus parasimpatis sekitar
prostat rentan terhadap cedera dari trauma langsung atau akibat operasi. Arteri pudenda
interna mungkin rusak apabila terjadi gangguan cincin panggul (fraktur iskia) dan melalui
dasar panggul (di mana pecah uretra terjadi). Lebih lokal, aliran darah neurovaskular penis
mungkin akan terganggu pada setiap tahap manipulasi uretra atau urethroplasty.
Angka kejadian impotensi akibat trauma panggul dengan cedera uretra telah
ditunjukkan dalam satu kajian sebanyak 42% dan hanya 5% pada mereka tanpa keterlibatan
uretra. Hal ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa impotensi akibat fraktur tulang panggul
biasanya terjadi pada mereka dengan cedera yang parah dan cedera uretra terjadi pada
mereka dengan trauma panggul yang lebih parah. Ini adalah masalah jangka panjang dengan
faktor kompleks yang terlibat, termasuk dari aspek psikososial. Impotensi bervariasi pada
setiap individu dari impotensi total sehingga yang mampu mencapai ereksi tetapi tanpa
penetrasi. Waktu pemulihan untuk impotensi pasca trauma adalah lama dan sirkulasi
kolateral kadang-kadang dapat dilakukan pada 20% dari pasien sampai 18 bulan pasca
trauma.
4. Inkontinensia
Mekanisme sfingter intrinsik sering rusak selama cedera terjadi dan kontinensia
setelah trauma sering bergantung pada leher kandung kemih yang kompeten, meskipun
baru-baru ini beberapa penulis menyarankan bukti yang berlawanan. Bukti radiologik dari
leher kandung kemih terbuka tidak dapat dieksklusi secara pasti dan jika ada kecurigaan,
visualisasi endoskopi langsung ke dalam kandung kemih dari saluran suprapubik dapat
dilakukan.
Konklusi
Trauma saluran kemih bagian bawah adalah cedera khusus yang dapat memiliki gejala sisa
yang signifikan jika tidak ditangani. Diagnosis dan pengobatan cedera ini bisa sulit pada pasien-
pasien multitrauma. Secara umum, ketika indeks kecurigaan yang tinggi, pencitraan retrograde harus
dilakukan jika keadaan memungkinkan. Ahli urologis harus dikonsul dari awal dan metode paling
aman dalam rangka diversi urin dalam pengalaman klinisi harus dicoba. Tujuan dari manajemen
trauma kandung kemih dan uretra adalah bertujuan untuk menjaga kontinensia urin, potensi, dan
menghindari striktur.
Referensi
1. Djakovic N, Plas E, Martínez-Piñeiro L, et al. Guidelines on Urological Trauma. Arnem, the
Netherlands: European Association of Urology; March 2009.
http://www.uroweb.org/gls/pdf/20_Urological_Trauma%202009.pdf. Accessed August 3,
2011.
2. Avey G, Blackmore CC, Wessells H, et al. Radiographic and clinical predictors of bladder
rupture in blunt trauma patients with pelvic fracture. Acad Radiol. 2006;13:573-579.
3. Carroll PR, McAninch JW. Major bladder trauma:mechanisms of injury and a unified method
of diagnosis and repair. J Urol. 1984; 132:254-257.
4. Flancbaum L, Morgan AS, Fleisher M, Cox EF. Blunt bladder trauma: manifestation of severe
injury. Urology. 1988;31:220-222.
5. Sandler CM, Goldman SM, Kawashima A. Lower urinary tract trauma. World J Urol.
1998;16:69-75.
6. Bodner DR, Selzman AA, Spirnak JP. Evaluation and treatment of bladder rupture. Semin
Urol. 1995;13:62-65.
7. Sandler CM, Hall JT, Rodriguez MB, Corriere JN Jr. Bladder injury in blunt pelvic trauma.
Radiology. 1986;158:633-638.
8. Moore EE, Cogbill TH, Jurkovich GJ, et al. Organ injury scaling. III: chest wall, abdominal
vascular, ureter, bladder, and urethra. J Trauma. 1992;33:337-339.
9. Fuhrman GM, Simmons GT, Davidson BS, Buerk CA. The single indication for cystography in
blunt trauma. Am Surg. 1993;59:335-337.
10. Vaccaro JP, Brody JM. CT cystography in the evaluation of major bladder trauma.
Radiographics. 2000;20:1373-1381.
11. Corriere JN Jr, Sandler CM. Management of the ruptured bladder: seven years of experience
with 111 cases. J Trauma. 1986;26:830-833.
12. Inaba K, McKenney M, Munera F, et al. Cystogram follow-up in the management of
traumatic bladder disruption. J Trauma. 2006;60:23-28.
13. Andrich DE, Day AC, Mundy AR. Proposed mechanisms of lower urinary tract injury in
fractures of the pelvic ring. BJU Int. 2007;100:567-573.
14. Koraitim MM. Pelvic fracture urethral injuries: evaluation of various methods of
management. J Urol. 1996;156:1288-1291.
15. Aihara R, Blansfield JS, Millham FH, et al. Fracture locations influence the likelihood of rectal
and lower urinary tract injuries in patients sustaining pelvic fractures. J Trauma.
2002;52:205-208; discussion 208-209.
16. Perry MO, Husmann DA. Urethral injuries in female subjects following pelvic fractures. J
Urol. 1992;147:139-143.
17. Webster GD, Mathes GL, Selli C. Prostatomembranous urethral injuries: a review of the
literature and a rational approach to their management. J Urol. 1983;130:898-902.
18. Goldman SM, Sandler CM, Corriere JN Jr, McGuire EJ. Blunt urethral trauma: a unified,
anatomical mechanical classification. J Urol. 1997;157:85-89.
19. McAninch JW. Traumatic injuries to the urethra. J Trauma. 1981;21:291-297.
20. Mundy AR. Pelvic fracture injuries of the posterior urethra. World J Urol. 1999;17:90-95.
21. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support Student Course Manual, 8th
ed. Chicago: American College of Surgeons; 2008.
22. Chapple CR, Png D. Contemporary management of urethral trauma and the post-traumatic
stricture. Curr Opin Urol. 1999;9:253-260.
23. Cass AS, Godec CJ. Urethral injury due to external trauma. Urology. 1978;11:607-611.
24. Jackson DH, Williams JL. Urethral injury: a retrospective study. Br J Urol. 1974;46:665-676.
25. Koraitim MM. Pelvic fracture urethral injuries: the unresolved controversy. J Urol.
1999;161:1433-1441.
26. Elliott DS, Barrett DM. Long-term followup and evaluation of primary realignment of
posterior urethral disruptions. J Urol. 1997;157:814-816.
27. Gheiler EL, Frontera JR. Immediate primary realignment of prostatomembranous urethral
disruptions using endourologic techniques. Urology. 1997;49:596-599.
28. Mouraviev VB, Coburn M, Santucci RA. The treatment of posterior urethral disruption
associated with pelvic fractures: comparative experience of early realignment versus
delayed urethroplasty. J Urol. 2005;173: 873-876.
29. Koraitim MM, Marzouk ME, Atta MA, Orabi SS. Risk factors and mechanism of urethral injury
in pelvic fractures. Br J Urol. 1996;77:876-880.
30. Mundy AR. The role of delayed primary repair in the acute management of pelvic fracture
injuries of the urethra. Br J Urol. 1991;68:273-276.
31. Webster GD, Ramon J. Repair of pelvic fracture posterior urethral defects using an
elaborated perineal approach: experience with 74 cases. J Urol. 1991;145:744-748.
32. Turner-Warwick R. Prevention of complications resulting from pelvic fracture urethral
injuries—and from their surgical management. Urol Clin North Am. 1989;16:335-358.
33. Gibson GR. Urological management and complications of fractured pelvis and ruptured
urethra. J Urol. 1974;111:353-355.
34. Mark SD, Keane TE, Vandemark RM, Webster GD. Impotence following pelvic fracture
urethral injury: incidence, aetiology and management. Br J Urol. 1995;75:62-64.
35. King J. Impotence after fractures of the pelvis. J Bone Joint Surg Am. 1975;57:1107-1109.
36. Andrich DE, Mundy AR. The nature of urethral injury in cases of pelvic fracture urethral
trauma. J Urol. 2001;165:1492-1495.
Poin Utama
Cedera yang berhubungan dalam trauma kandung kemih adalah kasus yang sering
didapatkan dan termasuk patah tulang panggul (93% -97%), cedera tulang panjang (50%
-53%), sistem saraf pusat (28% -31%) dan cedera toraks (28% -31% ).
Beberapa mekanisme kerusakan kandung kemih terkait dengan fraktur panggul telah
dijelaskan: (1) fragmen tulang yang mengoyak permukaan ekstraperitoneal (EP), (2)
avulsi karena tenaga akibat perubahan posisi ketika terjadi fraktur panggul dan
gangguan pada ligamen, dan (3) impak langsung menyebabkan "ledakan" cedera pada
kandung kemih yang penuh, biasanya menyebabkan laserasi horisontal yang luas di
dome kandung kemih.
Trauma kandung kemih dapat diklasifikasikan secara luas sebagai kontusio dari dinding
kandung kemih atau hematoma intramural yang bersifat terbatas dan tidak memerlukan
pengobatan khusus, cedera EP yang terjadi pada 60% dari semua trauma kandung
kemih, laserasi intraperitoneal (IP) yang dapat dilihat sekitar 25% dari kasus pada pasien
tanpa fraktur panggul, dan gabungan perforasi IP dan EP yang terjadi pada 2% sampai
20% dari semua cedera. Kontusio kandung kemih mungkin adalah jenis yang paling
sering ditemukan dan merupakan cedera yang relatif ringan yang tidak memerlukan
perawatan khusus.
Hematuria adalah tanda yang paling umum yang terkait dengan ruptur kandung kemih.
Hal ini telah dilaporkan dalam 100% dari semua cedera kandung kemih dan
hubungannya dengan trauma panggul adalah prediktor yang telah didokumentasi. Tanda
dan gejala lainnya termasuk nyeri perut atau suprapubik, syok, distensi abdomen,
ketidakmampuan untuk buang air kecil, hematuria mikroskopis (5% dari pasien), dan
darah pada meatus.
Cedera kandung kemih yang ringan (Asosiasi Amerika untuk Bedah Trauma Kelas 1)
dapat dikelola secara konservatif dan bahkan tanpa kateter dalam beberapa kasus.
Indikasi untuk bedah eksplorasi adalah (1) luka IP, (2) cedera EP dengan keterlibatan
leher kandung kemih atau muara ureter, (3) penekanan fragmen tulang atau dalam
kandung kemih, (4) semua luka tembus, dan (5) manajemen konservatif yang gagal
(misalnya, ekstravasasi kontras persisten, perdarahan yang berlebihan, atau sepsis).
Trauma tumpul ditemukan pada hampir semua cedera uretra traumatis dan mayoritas
dari kasus ini terkait dengan fraktur panggul. Insiden cedera uretra pada laki-laki yang
terjadi bersamaan dengan trauma panggul antara 4% dan 19% dan pada wanita sampai
dengan 6%.
Pengobatan cedera uretra bergantung pada diagnosis yang akurat dari ruptur komplit
atau parsial. Cedera parsial lebih sering terjadi pada trauma uretra anterior, tapi
penelitian terkini tentang kejadian cedera ruptur komplit atau parsial uretra posterior
adalah variabel. Seperti cedera pada kandung kemih, sejumlah sistem klasifikasi telah
dikembangkan untuk menggambarkan cedera uretra berdasarkan penampilan
urethrographic. Meskipun nilai yang sebenarnya mungkin berbeda, mereka
menyampaikan dasar informasi yang sama, yaitut membedakan antara gangguan parsial
dan komplit pada uretra anterior dan/atau posterior.
Urethrography Retrograde adalah teknik pencitraan ‘gold standard’ dalam mendeteksi
cedera.
Tujuan pengobatan pada trauma uretra adalah untuk mempertahankan kontinensia,
potensi dan untuk mengurangi terjadinya striktur. Pasien tidak mati akibat trauma
uretra, tetapi akibat gangguan cincin panggul dan cedera multiple organ, yang terjadi
pada 27% pasien.
Komplikasi trauma tumpul pada uretra yang paling sering ditemukan termasuk striktur,
infeksi, hematoma, impotensi, dan inkontinensia.
Top Related