TRANSFORMASI TEORI GERAK SUBSTANSI (MULLA SHADRA) DALAM MENGKONSTRUKSI
PROSES PERENCANAAN DI INDONESIA
TUGAS AKHIR
RADITYA PAMUNGKAS AS 10070301016
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG 1426 H / 2005 M
TRANSFORMASI TEORI GERAK SUBSTANSI (MULLA SHADRA) DALAM MENGKONSTRUKSI
PROSES PERENCANAAN DI INDONESIA
TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota
Fakultas Teknik Universitas Islam Bandung Tahun Akademik 2004/2005
oleh
RADITYA PAMUNGKAS AS 100703.01.016
Dinyatakan Lulus dalam Sidang Terbuka yang Dilaksanakan
pada Tanggal 23 Agustus 2005
Mengesahkan,
IMAM INDRATNO, Ir., MT. Pembimbing
IVAN CHOFYAN, Ir., MSP Ketua PUS PWK
Hj. SRI HIDAYATI DJOEFFAN, Ir., MTKetua Program Studi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI Nama : RADITYA PAMUNGKAS A.S. NPM : 100703.01.016 Tempat & tanggal lahir : Cirebon, 18 Januari 1984 Suku Bangsa : Jawa dan Sunda Warga Negara : Indonesia Agama : Islam Alamat : JL. Ciremai Giri Blok M I
No. 5 - Cirebon Telepon/Hp : 08157-304-1044
DATA KELUARGA Nama Bapak : ARIE SOEBIJAKTO HARSONO NOTOHADINEGORO Nama Ibu : CICIH WARNIASIH Alamat : JL. Ciremai Giri Blok M I No. 5 - Cirebon Anak Ke : 4 dari 4 bersaudara PENDIDIKAN TK : TK Pertiwi II Kota Cirebon (1987-1989) SD : SDN Pamitran II Kota Cirebon (1989-1995) SMP : SLTP Negeri 1 Kota Cirebon (1995-1998) SMU : SMUN 1 Kota Cirebon (1998-2001) S1 : Fakultas Teknik (2001-2005) Program Studi Perencanaan Wilayah dan
Kota Universitas Islam Ban dung
“Ketika kita mati, jangan cari pusara kita di bumi, tetapi carilah di hati manusia” (Jalaluddin Ar-Rumi)
Kini dan disini...
Haruslah diam....dan biarlah semua seperti ini adanya
Tangan tetap jadi tangan jangan jadi kaki
Kaki tetap jadi kaki jangan jadi tangan
Mata tak boleh lagi buta...hidung jangan tersumbat...
Apalagi telinga...tak boleh tuk tuli...
Jaga agar tak lengah...lupa dan tak tahu...
Sadarlah sesadarnya sadar...
Raih, genggam...hisap...dan simpan...
Lalu keluarkan perlahan sisa asap hitam yang menghalangi...
Jernihkan hati, bersihkan akal...
Hancurkan ragu...bunuh tanya...
Abaikan materi yang menggangu...
Tanggalkan semua agar telanjang
Karena jiwa harus menang...
Lebur bersama ketiadaan diri tuk gapai keberadaan abadi
Terus dalam kemanunggalan...
Tuk gerak menuju sempurna dengan
Bingkai waktu dan ruang
(dit)
Teruntuk Ayah dan Bunda Tercinta Demi Sebuah Kata dan Nama, Semoga Selalu menjadi Kekasih-Nya
Abstraction
Planning is about yield of thinking can’t separate from human side life. In
Islam human study to can plan and manage life however good for achieve
happiness and perfection in the world and the here after (although the Prefection
is Allah SWT property). Since planning practies in region and city is applying at
beak in two dekade 1970 (first government in new forced labor) set of problem is
in habitant development, efforts emergence economic is warn out, problem in
land benefit and transportation and many more. We can see in planning practies
in Indonesia. Is an fact more direct to one concept socialism an capitalism,
actualy have it’s main office to Positivistm Ideology.
Refer from urgency about various Planning is while bloom in Indonesia
and explanation about planning already reveal by Friedman (Planning is “from
knowledge to ation”) in Islam theory to Rahmatan lil alamin, writter try to look for
the alternative way as a solution or correction in a planning is enable an applying
in future, certain in the contents from shape thinking philosophy Islam Mulla
Shadra about ‘Subtantion Movement’ theory with “Kearifan Puncak” concept, that
is as follow:
• Learning social process in a community social etnics
• Political and advocacy process in government system in justness
• Mobilitation and coordination process of planning in Amanah
• Animism and total comprehension a process system Islam Planning
From thinking Mulla Shadra talked about oventualy to conversion to a planning
process have the quality of Holistik and comprehension with orient one selt to
Islam theory in that theory will explain about some Value System in each stages
end eavor to return Planning essence to Teocentris Planninmg Process.
vi
PRAKATA
Alhamdulillahirabbil’aalamiin, saya panjatkan puji dan syukur kepada
Allah SWT yang telah memberikan Kebahagiaan-Nya, sehinggga saya sebagai
penyusun Tugas Akhir ini dapat menyelesaikannya sesuai dengan waktu yang
telah ditentukan oleh Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Unisba.
Shalawat serta salam semoga terlimpah pada suri teladan kita Rasulullah SAW.
beserta keluarga dan para sahabat-sahabatnya yang di Ridhai Allah SWT.
Kepada para Filosof yang telah membuka jalan untuk berfikir.
Laporan ini merupakan salah satu syarat untuk pelaksanaan Penyusunan
Tugas Akhir Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Islam Bandung
tahun Akademik 2004/2005. Tugas Akhir ini mengambil judul tentang “Transformasi ‘Teori Gerak Substansi’ (Mulla Shadra) Dalam Mengkonstruksi Proses Perencanaan di Indonesia”.
Untuk itu penyusun ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Ibunda dan Ayahanda tercinta atas Cintanya yang sepanjang masa.
2. Eyang Putri yang selalu memberi nasihatnya pada penulis
3. Jalalluddin Maulana Rumi, penuntun Jiwaku dalam Keheningan
4. Ibu Sri Hidayati Djoeffan, Ir., MT. Selaku Ketua Jurusan Program Studi
Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam Bandung.
5. Bapak Ivan Chofyan, Ir., MSP Selaku Koordinator Tugas Akhir
6. Bapak Imam Indratno, Ir., MT., selaku Dosen pembimbing yang telah
membuka jalan untuk berfikir bagi penulis ”Semoga Tak Hanya sampai
disini Saja”
7. Bapak Ernady Syaodih Ir., MT, selaku Dosen Wali penulis.
8. Bapak Bambang Pranggono, Ir., MBA, Kharisma Bapak akan selalu
terkenang dihati.
9. Seluruh Dosen Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota
Universitas Islam Bandung.
10. Seluruh Staf Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas
Islam Bandung. Kang Ade, Kang Didin, Teh Yuli, Pak Nana, Kang Dayat
11. Teh Nia sebagai Dosen, Orang tua, Kakak, sekaligus Teman bagi penulis
selama kuliah.
12. “Sang Jiwa” yang berada dalam dimensi Kerinduan dan Kebahagiaan
vii
13. Sohib-sohibku, Oke, Asep, Amed, Onte , Faridl, Upay & Dede Sri, Yudi &
Finna dan Usep Epul
14. Kakak-kakakku Mas Eko & Mba Euis dengan Kemal, Mas Wieb & Teh
Indri dengan Salman dan Mba Dinie & Separuh Hatinya, semoga Ridho
Allah SWT selalu menyertai kita semua.
15. Barudak Balatax eks-Melur 17, A’ Ibro, A’ Iwan, A’Izal, A’Youpi & T’Rima,
A’ UQ, A’ Abad, A’ Gobul, A’ Adun, A’ Gaga, A’ Koseng, A’ Chitoz, A’
Agus, A’ Yuyus, A’ Zaki dan semua yang pernah singgah di Melur 17.
16. Temen-temen Taman Sari, Egi, Ayi, Dewan, Benny, Edy, Budi, Ferry,
Ade, A’ Rully, Abo
17. Serta rekan-rekan mahasiswa Program Studi Perencanaan Wilayah dan
Kota, Universitas Islam Bandung, khususnya angkatan 2001
Akhirnya penyusun berharap semoga Allah SWT me-Ridhai apa yang
telah kita lakukan dan selalu melindungi kita agar selalu berusaha mencari
KEBAHAGIAAN yang HAQ dan selalu dalam Dimensi Kemanunggalan yang
Majemuk milik-Nya. Amien.
Bandung, September 2005 M
Penyusun
viii
DAFTAR ISI
Hal. PRAKATA ...................................................................................................... vi DAFTAR ISI .................................................................................................. vii DAFTAR TABEL ........................................................................................... x DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xi BAB I PROLOG
1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1 1.2 Perumusan Masalah ................................................................ 8 1.3 Tujuan dan Manfaat ................................................................ 8 1.4 Ruang Lingkup Studi................................................................ 8 1.5 Metodologi Studi ...................................................................... 10
1.5.1 Kerangka Pemikiran...................................................... 10 1.5.2 Pendekatan Studi.......................................................... 15
1.6 Definisi Operasional ................................................................ 17 1.7 Sistematika Penyajian.............................................................. 20
BAB II KAJIAN TEORITIS: ‘TELAAH HISTORIS DAN TEORI’
2.1 Praktek Perencanaan di Indonesia .......................................... 21 2.2 Kajian Teori Perencanaan........................................................ 24
2.2.1 Peta Paradigma Perencanaan...................................... 24 2.2.2 Teori Perencanaan ....................................................... 31
2.3 Kajian Filsafat Umum............................................................... 46 2.3.1 Filsafat Modern ............................................................. 47 2.3.2 Filsafat Perencanaan.................................................... 54
2.4 Kajian Teoritis sains Islam ....................................................... 57 2.4.1 Kajian Filsafat Islam...................................................... 57 2.4.2 Konsep “Kearifan Puncak” ............................................ 59 2.4.3 Gerak Substansif (Al-Harakah Al-jauhariyyah) ............. 62
2.5 Sebuah Pijakan untuk Proses Transformasi ............................ 63 2.5.1 Pandangan Islam ......................................................... 63 2.5.2 Pandangan Filsafat Kotemporer .................................. 67
BAB III KONTRUKSI PARADIGMA: ‘REAKSI ATAS KRISIS PROSES
PERENCANAAN INDONESIA’ 3.1 Substansi Perencanaan di Indonesia....................................... 71
3.1.1 Sebuah Peta Substansi Perencanaan Indonesia ......... 71 3.1.2 Kelemahan yang terjadi pada Sistem Perencanaan
Indonesia ...................................................................... 78 3.1.3 Positivistme .................................................................. 87 3.1.4 Perencanaan Indonesia dengan Positivistme .............. 86 3.1.5 Kritik terhadap Filsafat Perencanaan Positivistme........ 89
3.2 Membangun Konsep Perencanaan Islam................................ 92 3.2.1 Dari Antroposentris kepada Teosentris......................... 92 3.2.2 Usulan Perencanaan Teosentris................................... 94 3.2.3 Konsep Wujud............................................................... 95 3.2.4 Teori Gerak Substansi .................................................. 96
3.3 Sebuah Pijakan Untuk Melangkah pada Transformasi ............ 97 3.3.1 Asumsi Dasar................................................................ 97 3.3.2 Pijakan untuk Proses Transformasi .............................. 100 3.3.3 Penentuan Sistem Nilai ................................................ 102
ix
3.4 Aktualisasi Sistem Nilai Proses Perencanaan Teosentris........ 115 3.4.1 Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat
Yang beretika................................................................ 115 3.4.2 Proses Politis dan Advokasi dalam Sistem
Pemerintah yang berkeadilan ....................................... 126 3.4.3 Proses Mobilisasi dan Koordinasi Pemerintah yang
Amanah......................................................................... 135 3.4.4 Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem
Perencanaan Islam....................................................... 144 BAB IV EPILOG: “CATATAN PENYIMPUL DAN PENUTUP”
4.1 Dampak Positivistme: “Sebuah Krisis Perencanaan”............... 156 4.2 Urgensi dalam Proses Perencanaan di Indonesia: “Jalan
Menuju Perubahan .................................................................. 157 4.3 Teori Gerak Substansi: “Terlahirnya Paradigma Alternatif” ..... 159 4.4 Kelemahan dalam Paradigma Proses Perencanaan berbasis
Teori Gerak Substansi ............................................................ 162 4.5 Pra Syarat: “Masukan menuju Perubahan” ............................. 163 4.6 Rekomendasi ........................................................................... 163 4.7 Studi Lanjutan: “Kedinamisan Proses Berfikir”......................... 164
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 165
x
DAFTAR TABEL
Tabel Hal. 2.1 Periode Perkembangan Teori Perencanaan dan Sifatnya ............ 28 2.2 Penjelasan Tentang Substansi dan Proses yang Terkandung dalam sebuah Teori Perencanaan ............................ 36 2. 3 Empat Aliran Teori Perencanaan dan Isu-isu Moral yang Melandasinya........................................................................ 44 2.4 Perbedaan Antara Proses Pengambilan Keputusan Teknokratis Dengan Pengambilan Keputusan Demokratis .......... 47 2.5 Sumber Pokok Pengetahuan dari Berbagai Paradigma ............... 54 2.6 Perbandingan Positivist, Rasionalis, Fenomenologi dan Konsep Pemikiran Islam ........................................................ 55 2.7 Perkembangan Teori Perencanaan dan Filsafat yang Memayunginya...................................................................... 57 2.8 Peta Pokok-Pokok Pikiran Tradisional Islam................................. 58 2.9 Transformasi Pendekatan Teori Gerak Substansi Ke dalam Proses Perencanaan .................................................... 71 3.1 Peta Pokok-Pokok Pikiran Tradisional Islam................................. 92 3.2 Substansi Sistem Nilai yang terdapat dalam Setiap Tahapan
Proses Perencanaan Teosentris ................................................... 152 4.1 Perbandingan antara Perencanaan Positivistme & Perencanaan
Teosentris ...................................................................................... 161
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Hal. 1.1 Kerangka Berfikir .......................................................................... 13 1.2 Langkah Kerja .............................................................................. 15 1.3 Fase aktualisasi Nilai Normatif ..................................................... 16 1.4 Kerangka Alur Proses Kontruksi Paradigma ................................ 19 2.1 Kerangka Lahirnya Ilmu Perencanaan ......................................... 29 2.2 Pengaruh Intelektual terhadap Teori Perencanaan di Amerika .... 32
2.3 Advocacy Pluralism dan Transactive Planning based on The Live of Dialogue ..................................................................... 45 3.1 Bagan Alur Aktualisasi Proses Perencanaan berbasis Teori
Gerak Substansi ........................................................................... 113 3.2 Proses Perencanaan Sosial dalam Sistem Masyarakat
yang Beretika ................................................................................ 125 3.3 Proses Politis dan Advokasi dalam Sistem Pemerintah yang
Berkeadilan ................................................................................... 135 3.4 Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan yang Amanah ... 144 3.5 Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem Perencanaan Islam. 151 4.1 Model Perencanaan Teosentris .................................................... 162
BAB I P R O L O G
1.1 Latar Belakang
Perencanaan merupakan sebuah hasil pemikiran yang tidak dapat
terpisahkan dari sisi-sisi kehidupan manusia. Dalam Islam manusia diajarkan
untuk dapat merencanakan dan mengelola hidup dengan sebaik-baiknya untuk
mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan dunia akhirat (walau kesempurnaan
yang akan dicapai manusia di dunia tidak akan pernah Sempurna, karena
Kesempurnaan yang Hakiki ialah milik Allah SWT). Manusia dan perencanaan
tidak dapat terpisahkan, karena manusia bersifat dinamis yaitu selalu berevolusi
dalam hidupnya (bergerak menuju ke arah yang lebih baik), begitupun dengan
rencananya selalu berdasarkan hasil pemikirannya yang dari waktu ke waktu
mengalami perubahan mengikuti pola fikir manusia tersebut. Seperti yang
tertuang dalam Al Quran surat Al Hasyr ayat 18 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap
diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan” (Q.S. Al Hasyr :18)
Hal tersebut diatas sebenarnya terdapat sinkronisasinya dengan dasar
teori perencanaan, sebagaimana yang telah disebutkan dalam teori perencanaan
bahwa sebuah perencanaan bertujuan untuk pencapaian menuju kearah yang
lebih baik dan sempurna. Apa pun definisi perencanaan, ia bermuara pada
hakekatnya penciptaan “kondisi” yang lebih baik dimasa yang akan datang.
Suatu perencanaan berpijak pada pendekatan filosofis. Maksudnya ialah
perencanaan sebagai suatu ilmu pengetahuan pastilah memiliki landasan teoritis
yang didalamnya terdapat suatu faham tertentu, karena faham itulah yang
membuat sebuah teori mengandung pendekatan filosofisnya.
Kekuatan perencanaan terdapat pada orientasinya untuk mewujudkan
pengetahuan dan pemahaman menjadi tindakan. Perencanaan tidak saja
berhenti pada pengetahuan, ide atau gagasan, tetapi juga pada bagaimana ide
tersebut diwujudkan. Perencanaan, dengan demikian, merupakan satu disiplin
2
yang sarat dengan “prescription” yakni upaya untuk mencari solusi terhadap satu
persoalan. Perencanaan memanglah terkait erat dengan ‘dunia nyata’
perencanaan berorientasi pada masa depan dan praktek.
Sejak praktek perencanaan wilayah dan kota diterapkan pada tahun
1970’an (awal pemerintahan orde baru) permasalahan yang dihadapi ialah
perkembangan penduduk, upaya penumbuhan ekonomi yang sudah memburuk,
masalah pemanfaatan lahan dan transportasi dan masih banyak lagi masalah
lainnya. Walaupun masalah kecil namun hal tersebut bisa menjadi masalah yang
cukup rumit untuk diselesaikan dalam era selanjutnya. Dalam menghadapi
semua aspek tersebut, para perencana mencermatinya dalam pendekatan yang
sangat ideal. Filosofi pada saat itu ialah bahwa permasalahan pembangunan
hanya dapat ditangani dengan membangun secara besar-besaran, memerlukan
investasi yang besar, perencanaan di seluruh aspek namun sebenarnya
perencanaan itu sendiri belum bersifat terintegrasi (holistik), secara menyeluruh
di semua sisi kehidupan dan juga berkesinambungan. Dapat dilihat pada praktek
perencanaan di Indonesia yang sebenarnya lebih mengarah pada suatu faham
sosialisme dan kapitalisme.
Sosialisme yang mengandung makna penghapusan penindasan
keterasingan individu di dalam masyarakat industri modern, namun dalam
kenyataan praktek sosialisme mengalami krisis indentitas karena dua hal penting
didalamnya yakni:
1. Keterbatasan ideologi, strategi, analisis, leadership.
2. Penyelesaian masalah dari luar, seperti identifikasi dengan gerilya
bersenjata di dunia ketiga (Che Guevara, Castro, Mao)
Kemudian sikap kapitalisme yang sebenarnya muncul terlebih dahulu
daripada sosialisme. Kapitalisme sendiri berarti sebuah faham yang mengajarkan
proses industrialisasi besar-besaran, teknologisasi, saintifikasi dan lainnya. Hal
tersebut menjadikan identitas sebuah negara yang menjalankan sistem
kapitalisme mengalami degradasi moral dan sisi kemanusiaan, karena
orientasinya lebih materialistis.
Sedangkan Islam adalah sebuah sistem agama, kebudayaan dan
peradaban secara menyeluruh. Ia merupakan sistem holistik yang menyentuh
setiap aspek kehidupan manusia. Etika dan nilai-nilainya menyerap setiap
3
aktivitas manusia, termasuk di dalamnya sains. Islam mengajarkan kita untuk
memperhatikan sisi-sisi religius-spiritual (diniyah ruhiyah). Dengan mengadopsi
pemikiran Islam, bahwa hidup ini ialah rahmat untuk semua alam semesta
(rahmatan lil alamin) maka seluruh dimensi yang terkandung di alam semesta ini
haruslah sejalan dengan perintah Allah SWT. Membatasi suatu keilmuan yang
sesuai dengan ajaran agama Islam dan tidak bertentangan, bukan berarti ruang
lingkupnya menjadi terbatas, namun sebenarnya apa yang termuat dalam Islam
sendiri telah merangkum seluruh hal yang terdapat dimuka bumi ini. Seperti yang
terkadung dalam Al Quran surat Al Maa’idah ayat 48 yang artinya:
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah
perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang
kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan
yang terang.....” (Q.S. 5 : 48)
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa baik itu sosialisme atau
kapitalisme sekalipun, sebenarnya terdapat beberapa kelemahan. Hal ini yang
membuat Islam tampil sebagai solusi terbaik untuk menciptakan sebuah
penghidupan yang lebih baik, dengan memandang sesuatu hal dari berbagai sisi
dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Ajaran agama Islam sendiri pada
hakekatnya bertujuan pada suatu kondisi rahmatan lil alamin. Seperti yang
tertuang Al Quran surat Al Anbiyaa ayat 107 yang artinya:
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam.” (Q.S. 21 :ayat 107)
Dapat terlihat secara nyata bahwa perencanaan masa lalu dan masa
sekarang lebih menaruh perhatian pada proses pembuatan rencana, yang
merupakan proses yang berkelajutan dan berkesinambungan, namun hasil dari
perencanaan tersebut tetap disajikan secara konvensional yaitu berupa dokumen
fisik, suatu rencana dengan peta-peta dan kebijakan-kebijakan untuk di
4
implementasikan. Sebenarnya hal tersebut baik, karena mengantisipasi semua
kebutuhan penggunaan lahan dan menempatkannya pada berbagai lokasi dalam
suatu wilayah perencanaan, namun suatu konsep perencanaan yang
mendominasi dan dijadikan sebagai praktek perencanaan di Indonesia (terutama
yang dipayungi oleh sikap Positivistme) masih terdapat beberapa kelemahan.
Terlepas dari upaya terbaik dari seorang perencana, rancangan
penggusuran daerah kumuh, pinggiran kota yang steril, atau keputusan
perencanaan yang menyingkirkan masyarakat kecil dibantaran sungai juga
hilangnya bangunan bersejarah telah mengungkapkan ada masalah yang terjadi
pada Praktek perencanaan di Indonesia. Hubungan antara perencana dengan
komunitas talah berubah secara dramatis. Perencanaan sendiri telah berubah
menjadi sebuah proses politis. Menilai perencanaan sebagai sebuah proses,
yang menekankan lebih sebagai proses atas pilihan-pilihan. Sehingga dalam
sebuah proses perencanaan, akan sangat terkait sekali dengan proses
penentuan pilihan-pilihan yang merupakan sebuah pengejewantahan dari proses
politik yang terjadi dalam proses perumusan kebijakan publik.
Parktek perencanaan yang tidak memandang sebuah pluralitas dan
hanya bersifat materiilisme semata membuat praktek Perencanaan yang
berlangsung di Indonesia selama ini dianggap banyak memiliki kekurangan.
Indonesia sendiri yang lebih mengusung budaya timur dengan keberagamannya,
juga yang manyoritas penduduknya memeluk agama Islam telah secara jelas
menapik praktek Perencanaan yang lebih kearah Westernisasi. Westerniasasi
ialah sebuah sikap yang mengusung nilai-nilai dunia barat (terutama Kapitalisme
dan Sosialisme),
Sebuah Peta Perkembangan Praktek Perencanaan di Indonesia
Sebelum melihat permasalahan apa yang sebenarnya muncul pada
perencanaan di Indonesia, dapat dilihat sejarah perkembangan perencanaan
yang berkembang di Indonesia dari tahun 1970 sampai saat ini, yaitu sebagai
berikut:
Pada era tahun 1970’an, perencanaan di Indonesia bertumpu pada
pendekatan sektoral, dan ditambah dengan pendekatan wilayah juga terjadi
sinkronisasi program walau masih melibatkan intervensi politik. Pada era
1980’an, perencanaan di Indonesia masih berbasis pengembangan wilayah dan
5
program, ditambah dengan pendekatan lingkungan dan desentralisasi
perencanaan. Pada era ini juga mulai dikembangkan perencanaan partisipatif.
Datangnya arus globalisasi dari dunia Barat sangat memiliki peran penting dalam
menentukan apa yang terjadai dalam praktek perencanaan di era 1990’an.
Sangat jelas sekali proses industrialisasi mempengaruhi proses perencanaan di
Indonesia. Lahirnya undang-undang tata ruang cukup berarti bagi perencanaan
di Indonesia, karena dengan itu perencanaan di Indonesia akan memiliki koridor
tersendiri.
Perencanaan saat ini dimaksud dengan perencanaan era 2000’an.
Sebuah paradigma baru tentang otonomi daerah terlahir pada era ini. Menjawab
beberapa pertanyaan pada era-era sebelumnya, perencanaan era 2000’an
mengalami beberapa penyesuaian dan penyempurnaan di beberapa sisi
perencanaan. Dengan pengoptimalan peran stakeholder diharapkan mampu
mendongkrak perencanaan Indonesia kedalam suatu perencanaan yang ideal.
Dengan perencanaan partisipatif yang semakin gencar dan terintegrasi dengan
baik. Pengembangan potensi lokal makin diefektifkan.
Setelah melihat beberapa fenomena yang terjadi di setiap era dalam
perencanaan di Indonesia yang dirintis dari tahun 1960’an sampai dengan masa
sekarang maka terdapat dua hal konsep perencanaan yang telah dipraktekkan
yaitu Top down planning dan Bottom Up Planning, namun pendikotomian antara
Bottom up Planning dan Top down Planning membuat hasil sebuah perencanaan
tidak optimal.
1. Top Down Planning
Pada tahap-tahap pendekatan awal program pembangunan kota-kota di
Indonesia dilakukan secara sektoral. Selain sektoral pendekatan
perencanaan dilakukan secara top down. Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah/Kota merencanakan pembangunan kota-kota dengan
program/proyek untuk ukuran area yang sangat luas dan sifatnya lebih
kepada instruksi dari instansi-instansi atas ke instansi-instansi di bawahnya.
Pendekatan ini berhasil apabila disetujui secara luas oleh masyarakat luas,
terkait dengan perumusan tujuan pengembangan dan kewenangan
pengaturan dan prosedur administrasi bagi seluruh kelompok masyarakat.
Pendekatan tersebut ternyata banyak yang gagal, sehingga belum bisa
mengangkat tingkat kemiskinan masyarakat di kota-kota tersebut akibat
6
kurangnya sumber daya manajemen lokal, sulitnya penegakan hukum dan
aspek-aspek politis lainnya.
Masyarakat di daerah perkotaan negara-negara berkembang termasuk di
Indonesia, pada kenyataannya tetap miskin, sulit mencari pekerjaan, masa
depan belum jelas dan yang bekerja selalu khawatir kehilangan
pekerjaannya. Di samping itu terjadi kompetisi yang tinggi antar berbagai
kelompok masyarakat dan terjadinya penurunan kualitas lingkungan di
perkotaan.
Masalah-masalah dan kelemahan tersebut di atas menyebabkan
diperlukannya inisiatif baru di dalam pendekatan proses penyusunan
perencanaan pembangunan kota, untuk tujuan mensejahterakan masyarakat
secara luas. Inisiatif baru ditujukan kepada kegiatan penyusunan perencanaan
pembangunan kota, dengan melibatkan masyarakat setempat (komunitas lokal)
secara luas. Pemberdayaan dan peningkatan peran-serta masyarakat secara
luas yang dimulai sejak awal, yaitu sejak penyusunan perencanaan
pembangunan merupakan paradigma baru.
2. Bottom Up Planning
Penjabaran dari deklarasi dunia ini oleh masing-masing negara diadopsi
dengan konsensus bahwa "masyarakat" lah yang menjadi target program-
program publik. Siapa yang akan terpengaruh langsung oleh perencanaan
pembangunan kota dan perencanaan pembangunan berhak memberikan
share dalam keputusan-keputusan yang diterbitkan. Hal ini dilatar-belakangi
kekurang-berhasilan system perencanaan nasional dan komprehensif yang
penyusunannya didominasi pemerintah.
Dalam perjalanan sejarah perencanaan pembangunan kota, wilayah dan
kawasan, munculnya berbagai pendekatan dengan terminologi baru seperti
bottom-up planning, participatory planning, democratic planning, grass root
planning, public involvement, collaborative planning, advocacy planning, dan
sebagainya menunjukkan adanya kesamaan dalam hal filosofi dasar yaitu
dalam suatu demokrasi anggota masyarakat harus memiliki kesempatan
berperan serta di dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan
masa depan mereka.
7
Perencanaan sebagai upaya menjembatani pengetahuan ilmiah dan
teknik (scientific and technical knowledge) kepada tindakan-tindakan dalam
domain publik, menyangkut proses pengarahan sosial dan proses transformasi
sosial. Perencanaan pembangunan kota sebagai ilmu pengetahuan sosial, pada
hakekatnya bukan hanya merencanakan pembangunan fisik semata, tetapi
adalah merencanakan ruang (spatial-plan), di mana "manusia" terdapat di
dalamnya yang memiliki cita-cita sama mendapatkan kehidupan dan
penghidupan yang aman, adil dan sejahtera.
Maka dari itu mengacu dari berbagai kekurangan tentang berbagai
perencanaan yang selama ini berkembang di Indonesia dan pengertian sebuah
perencanaan yang telah diungkapkan Friedmann (planning is “from knowledge to
action”) juga ajaran agama Islam (rahmatan lil alamin), penulis mencoba mencari
jalan alternatif sebagai solusi atau koreksi sebuah perencanaan yang
memungkinkan diterapkan dimasa yang akan datang dengan berlandaskan teori
pemikiran Islam, yakni isinya mengadopsi dari pemikiran tokoh Filosof Islam
Mulla Shadra mengenai Teori Gerak Substansif dengan konsep “Kearifan
Puncak” yaitu sebagai berikut:
• Perjalanan dari Makhluk menuju Tuhan
• Perjalanan dengan Tuhan dalam Tuhan
• Perjalanan dari Tuhan menuju makhluk dengan Tuhan
• Perjalanan dalam Makhluk bersama Tuhan
Dari pemikiran Mulla Shadra tersebut nantinya dikonversikan kedalam
sebuah proses perencanaan yang bersifat holistik dan komprehensif dengan
berpedoman ajaran agama Islam yang didalamnya akan disebutkan beberapa
sistem Nilai pencapaian pola berfikir tersebut dalam setiap tahapannya.
“Pada hakekatnya suatu konsep normatif yang terdapat didalam ajaran agama
islam perlu melalui proses reaktualisasi di bidang intelektual. Sebuah paradigma
teoretis atas dasar kerangka epistemik dan etisnya sendiri. Untuk beroperasi
sebagai acuan aksiologis, sebenarnya konsep-konsep normatif islam yang
berakar pada sistem nilai wahyu (lebih bersifat transendental) dapat diturunkan
melalui dua medium, yakni ideologi dan ilmu”. (Dr. Kuntowijoyo, Paradigma Islam
“interpretasi untuk aksi”1991, hal 37)
8
1.2 Perumusan Masalah Dari sejarah perkembangan sebuah perencanaan yang telah dan masih
berlangsung di Indonesia dapat ditarik sebuah permasalahan yang banyak terjadi
di sebuah perencanaan Indonesia, keterlibatan dari sebuah pemikiran yang
kapitalisme dan sosialisme menjadikan praktek Indonesia hanya mementingkan
pada tampilan muka saja dengan melupakan sisi-sisi yang menurut Islam
diperlukan dalam sebuah penghidupan (sosio-religius).
Setelah mencermati permasalahan yang telah terjadi selama ini pada
sebuah praktek perencanaan di Indonesia, penulis dapat merumuskan beberapa
permasalahan pokok yaitu: “Bagaimana mengkontruksi proses perencanaan
berbasis Teori Gerak Substansi (Mulla Shadra)?”
1.3 Tujuan dan Manfaat Dengan melihat latar belakang dan permasalahan yang telah disebutkan
diatas, disatu sisi terdapat banyak kekurangan yang terjadi dalam praktek
perencanaan yang terdapat di Indonesia dengan konsep perencanaan yang
dianut selama ini yaitu lebih kearah positivistme, serta belum adanya suatu
tinjauan teoritis yang membahas dengan jelas konsep berfikir Islam yang
dikonversikan atau dituangkan dalam sebuah Perencanaan Islam maka studi ini
dilakukan dengan tujuan “Mengkontruksi proses perencanaan Teosentris dengan
Sistem Nilai Islam”.
Manfaat yang diharapkan nantinya diperoleh dari hasil penelitian ini ialah
“Mengungkapkan sitem nilai proses perencanaan Teosentris berbasis Teori
Gerak Substansi tersebut dalam tataran aksiologinya agar dapat
terimplementasikan di sistem proses perencanaan di Indonesia pada masa yang
akan datang”.
1.4 Ruang Lingkup Studi Dalam studi perencanaan banyak sekali terkait ilmu-ilmu lain dan
masalah-masalah yang melingkupinya, baik dilihat dari sisi substansi, ruang
maupun waktu perencanaan, namun terdapat satu sisi perencanaan yang
merupakan pokok dari lahirnya sebuah perencanaan sebagai sebuah konsep
maupun pedoman dalam praktek perencanaan, yaitu metodologi perencanaan.
Dalam studi ini penulis mencoba untuk menyajikan suatu tinjauan teoritis
9
terhadap suatu paradigma proses perencanaan yang telah dan masih
berlangsung di Indonesia.
Pada substansi, ruang maupun waktu dalam perencanaan semuanya
menggunakan metodologi perencanaan yang meliputi sistem perencanaan,
penentuan masalah, penentuan kriteria penilaian, mencari alternatif,
mengevaluasi alternatif evaluasi dalam penunjukan dan pemantauan hasil
penerapan (praktek) perencanaan. Metodologi inilah yang banyak mempengaruhi
bentuk dari kebijakan dalam produk perencanaan. Semua itu terangkum dalam
lima pertanyaan pokok yang sangat mendasar yaitu : apa, dimana, kapan, siapa,
dan bagaimana (what, where, when, who, and how).
Kesesuaian sebuah produk perencanaan dengan ajaran agama Islam
bukan hanya dilihat dengan bentuk nyata (fisik) dari sebuah reflleksi agama Islam
itu sendiri yaitu yang biasa dibandingkan dengan ada atau tidaknya bangunan
tempat beraktivitas orang Islam (pondok pesantren, masjid, mushala, dll) dalam
sebuah perencanaan, namun lebih kepada sebuah spirit yang dianutnya dalam
sebuah perencanaan yang sesuai dengan ajaran agama Islam (tidak
bertentangan dengan Al Quran dan Al Hadist). Selagi metodologi yang dipakai
dalam sebuah perencanaan itu berdasarkan pemikiran salah satu Tokoh Filosof
Islam, diharapkan kebijakan yang merupakan suatu hal terpenting dalam sebuah
praktek perencanaan akan mengikuti juga penerapan konsep berfikir Islam.
Ketika kebijakan yang ditentukan telah berdasarkan konsep berfikir dari Tokoh
Filosof Islam maka secara tidak langsung produk perencanaan yang akan
terimplementasikan juga akan berdasarkan ajaran Islam (tidak bertentangan
dengan Al Quran dan Al Hadist).
Hal pertama yang harus dilakukan dalam penelitian ini ialah mengkaji dan
melihat praktek perencanaan yang selama ini berlangsung di Indonesia dari awal
orde baru sampai sekarang (awal 70’an sampai sekarang). Kemudian dari
penjelasan tersebut, baru didapatkan informasi tentang teori perencanaan apa
saja yang telah diadopsi oleh praktek perencanaan di Indonesia. Setelah
mengetahui teori yang selama ini digunakan dalam praktek perencanaan di
Indonesia dapat diketahui pula pola atau dasar filsafat yang memayunginya dan
mengevaluasi kelemahan apa saja yang terdapat didalamnya.
Islam yang tampil sebagai suatu solusi terbaik ketika praktek
perencanaan di Indonesia masih terdapat beberapa titik kelemahan. Dilihat dari
10
teori dan filsafat yang terkandung didalamnya, penulis berusaha mengeluarkan
atau mentransformasikan salah satu pokok pikiran dari Mulla Shadra tentang
Teori Gerak Substansi (Kearifan Puncak) ke dalam sebuah aturan normatif
dalam proses perencanaan di Indonesia.
Melihat dari berbagai fenomena yang terjadi pada praktek perencanaan di
Indonesia sampai saat ini, dari yang pola dasarnya dipayungi oleh filsafat barat
dan ke sebuah praktek yang tidak sesuai dengan teori yang digunakannya.
Bukan berarti filasafat barat (Positivistme) tidak baik, namun ketika dimasukan ke
dalam pokok pikiran Islam terdapat beberapa kekurangan. Misalnya masalah
pengetahuan tentang Allah tidak dijabarkan secara jelas. Hal ini yang dianggap
menjadi salah satu kelemahan yang mendasar ketika filsafat barat dibandingakan
dengan filsafat Islam sendiri. Lalu mengenai sumber pengetahuan yang
menjadikan pengetahuan inderawi menjadi satu-satunya sumber pengetahuan
yang absolut.
Penelitian ini dilakukan dalam upaya mencari sebuah paradigma baru
yang diharapkan mampu meminimalisasi atau menutup kekurangan yang ada
dalam praktek perencanaan di Indonesia. Sebuah kontruksi paradigma proses
perencanaan yang berlandaskan pokok pikiran Islam berusaha dijabarkan untuk
mendapatkan sebuah kriteria ideal sebuah proses perencanaan di Indonesia.
Hasilnya diharapkan mampu diimplementasikan pada proses perencanaan di
Indonesia, walaupun awalnya hanya terlihat seperti aturan yang normatif. Dalam
ruang lingkup administratifnya penelitian ini hanya membahas proses
perencanaan di tingkat lokal.
1.5 Metodologi Studi 1.5.1 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran dari studi ini adalah seperti terlihat pada gambar
dibawah ini, dimana sebagai kerangka berfikir awal adalah dengan melihat apa
sebenarnya latar belakang sebuah perencanaan (ontologi), kemudian dilanjutkan
dengan kajian epistemologi dari perencanaan itu sendiri, lalu diterapkan dalam
sebuah penentuan kriteria (metodologi) yang telah berdasarkan ajaran atau pola
berfikir Islam untuk nantinya diterapkan dalam, tataran aksiologinya. Dengan
melewati tahapan yang mengacu pada aspek filasat yaitu ontologi, epistemologi,
metodologi dan aksiologi diharapkan mampu mengupas, mengkaji dan
11
menemukan solusi atau sebuah metodologi pendekatan yang Islami untuk
sebuah praktek perencanaan Islami di Indonesia kelak. seperti yang diungkapkan
Harris, (1999) “Disiplin filosofi dapat menjadi sebuah pembaharuan, inspirasi dan
pengembangan teori perencanaan”. Selanjutnya akan ditelusuri implikasi
epistemologi ini dengan peran perencana dimasa yang akan datang khususnya
di Indonesia dan sesuai dengan pola berfikir Islam.
Melihat dari beberapa fenomena yang terjadi selama ini dalam bidang
perencanaan baik itu perkembangan teori perencanaan ataupun suatu praktek
perecanaan yang terjadi di Indonesia dari era setelah kemerdekaan (1970
sampai sekarang), maka dapat disimpulkan terjadi urgensi sebuah perencanaan
di Indonesia ketika disinkronkan terhadap suatu pokok pikiran Islam yang
sebenarnya menjadi landasan utama dari suatu kehidupan yang rahmatan lil
alamin, derasnya faham kapitalis dan sosialis yang masuk ke Indonesia sangat
tidak sinkron dengan ajaran agama Islam, maka perlu suatu perencanaan yang
Islami. Setelah ditinjau dari berbagai sudut konsep (filsafat, praktek perecanaan,
dan pokok ajaran Islam) maka teridentifikasi suatu kekurangan pada praktek
perencanaan di Indonesia.
Dengan mencoba mentransformasikan sebuah pokok pikiran dalam Islam
yang diutarakan oleh Mulla Shadra (Filosof Islam) yang mencoba merasionalkan
suatu pemikiran yang bersifat mistisme (Irfan Wujud) ke dalam konsep “Kearifan
Puncak” yang berbcara tentang Keyakinan yang Hakiki pada Tuhan. Filsafat
ketuhanan adalah merupakan tujuan utama filsafat Islam, karena tujuan utama
para filosof dan para teolog Muslim adalah bagaimana menjelaskan dan
membuktikan wujud Allah yang Esa, sebagai pencipta segala yang ada.
Pembahasan mengenai filsafat ketuhanan ini berhubungan dengan berbagai
persoalan metafisika lainnya yang di antaranya adalah mengenai bukti adanya
ketuhanan, hakikat ketuhanan, perbedaan Tuhan dengan semua makhluknya,
perbuatan dan sifat-Nya. Dalam tataran teoritis, para filosof Muslim mengangkat
persoalan-persoalan metafisika ini dalam nama yang beragam
Shadruddin Mulla Shadra yang dikenal dengan Mulla Shadra dengan
julukan Shadr al-Muta'allihin. Filsafat yang dikembangkannya adalah bagaimana
mensintesiskan antara filsafat, tasawuf (irfan) dan syariah. Dalam konsep
filsafatnya ini, ia berusaha hidup dalam dunia isyraq/irfan lalu diungkapkan
melalui pembuktian rasional dan baginya, syariah adalah merupakan media
12
untuk mencapai pengalaman itu. Mulla Shadra mengambil ajarannya dari
tasawuf, terutama al-Hallaj dan Ibn Arabi serta al-Ghazali. Dari sisi syari'ah ia
mengambilnya secara langsung dari sumber otentik Islam, yaitu Sunnah dan Al-
Quran. Prestasi inilah yang selama ini terlupakan oleh sebagian besar orientalis.
Mereka juga lupa bahwa sampai abad ke 19, Persia masih melahirkan beberapa
filosof yang pemikirannya sangat besar.
Dengan melakukan beberapa evaluasi dari kasus dan konsep dalam
berbagai paradigma. Kemudian, juga melihat studi yang pernah dilakukan
sebelumnya oleh yang lain (Azharfauzi, 1995), dari situlah penulis mencoba
menentukan suatu proses perencanaan yang dianggap sebagai proses
perencanaan yang ideal untuk Indonesia pada masa yang akan datang guna
menutupi atau setidaknya meminimalisasi kekurangan yang selama ini terjadi.
Sebuah perencanaan berbasis Teori Gerak Subtansif (Mulla Shadra) tentang
konsep gerak substansi “Kearifan Puncak”, yang hasilnya berupa penentuan
sistem nilai untuk sebuah proses perencanaan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada gambar kerangka pemikiran dibawah ini dan kerangka tahapan pengerjaan
pada gambar selanjutnya.
13
Gambar 1.1 Kerangka Berfikir
Hakekat Perencanaan
perencanaan Indonesia (th 70’an
samapi saat ini)
Urgensi dari praktek yang
terjadi di Indonesia
ISLAM sebagai SOLUSI
Filsafat Islam
Filososf Islam Mulla Shadra, Teori Gerak Substansif Konsep “Kearifan Puncak”
Paradigma Antroprosentris
Faham Kapitalisme dan Sosialisme
POSITIVISTME
TEOSENTRIS
Konsep Sistem Perencanaan yang
Ideal untuk masa yang akan datang
14
Gambar 1.2 Langkah Kerja
Latar Belakang - Urgensi Perencanaan di Indonesia - Faham Sosialisme dan kapitalisme yang
merebak di konsep Perencanaan di Indonesia
- Perlunya Perencanaan Islam
TINJAUAN KONSEPSI
Perencanaan di Indonesia - Sejarah perkembangan praktek
perencanaan di Indonesia - Permasalahan yang terjadi pada setiap
era perencanaan di Indonesia
Konsep Berfikir Islam - Manusia ingin mencapai kesempurnaan - Eksistensi manusia (khalifah) di dunia - Tatanan kehidupan Islami (rahmatan lil
alamin), dan kaitan dengan konsep gerak
Identifikasi filsafat yang memayungi praktek perencanaan Indonesia selama ini
Mulla Shadra sebagai filsafat yang dipilih untuk mencari solusi menurut Islam
Konsep perencanaan yang ideal untuk di terapkan pada masa mendatang
Evaluasi dari kasus dan konsep dari berbagai paradigma
Pokok pikiran Islam :Konsep Kearifan Puncak: ● Perjalanan dari Makhluk menuju Tuhan ● Perjalanan dengan Tuhan dalam Tuhan ● Perjalanan dari Tuhan menuju makhluk
dengan Tuhan ● Perjalanan dalam Makhluk bersama
Tuhan
Proses Perencanaan Islam• Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem
Masyarakat yang Beretika • Proses Politis & Advokasi dalam Sistem
Pemerintah yang Berkeadilan • Proses Mobilisasi dan Koordinasi
Perencanaan yang Amanah • Proses Penjiwaan dan Penghayatan
Sistem Perencanaan Islam
Penetuan Sistem Nilai Setiap Tahapan dan Proses Perencanaan Teosentris
TRANSFORMASI
Teori Gerak Substansif
15
1.5.2 Pendekatan Studi Untuk mencapai tujuan studi dengan batasan ruang lingkup dann
kerangka berfikir diatas, dilakukan beberapa pendekatan studi sebagai berikut:
1. Mengevaluasi metodologi perencanaan yang telah dan masih berlangsung di
Indonesia. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk dapat melihat secara jelas
hal-hal yang dianggap belum atau masih bertentangan dengan perencanaan
yang Islami duna menjadi landasan dalam proses Islamisasi dan penentuan
konseptualisasi metodologi perencanaan Islam yang dapat
terimplementasikan di perencanaan pada masa yang akan datang.
2. Tinjauan terhadap konsep berfikir Islam yang nantinya akan dikonversikan
dengan teori perencanaan yang telah ada.
Untuk mencapai hal tersebut diatas dilakukan beberapa metode
pendekatan yaitu metode pendekatan konvensional dan metode pendekatan
sains Islam, dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Metode Pendekatan Konvensional Metode pendekatan konvensional yang dipakai dalam studi ini ialah
Deskripsi Kualitatif. Adapun pengertian dari metode deskripsi kualitatif ialah
sebagai berikut:
Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia,
suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas
peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk
membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki
(Nazir, M., 1985: 63).
Menurut Whitney (1960), metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan
interpretasi yang tepat. Gay (1976) mendefinisikan metode penelitian deskriptif
sebagai kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam rangka menguji
hipotesis atau menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu
yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian (Sevilla, 1993: 7).
16
Metode deskriptif ingin mempelajari norma-norma atau standar-standar,
sehingga peneliti deskriptif ini disebut juga survai normal. Dalam metode
deskriptif dapat diteliti masalah normatif bersama-sama dengan masalah status
dan sekaligus membuat perbandingan-perbandingan antar fenomena. Studi
demikian secara umum disebut sebagai studi atau penelitian deskriptif. Perspektif
waktu yang dijangkau dalam penelitian deskriptif adalah waktu sekarang atau
sekurang-kurangnya jangka waktu yang masih terjangkau dalam ingatan
responden.
Secara harfiah, metode deskriptif adalah metode penelitian untuk
membuat gambar mengenai situasi atau kejadian, sehingga metode ini
berkehendak mengadakan akumulasi data dasar belaka. Tetapi dalam
pengertian metode penelitian yang lebih luas, penelitian deskriptif mencakup
metode penelitian yang lebih luas di luar metode sejarah dan eksperimental, dan
secara lebih umum sering diberi nama, metode survai. Kerja peneliti, bukan saja
memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena, tetapi juga menerangkan
hubungan, menguji hipotesa-hipotesa, membuat prediksi serta mendapatkan
makna dan implikasi dari suatu masalah yang ingin dipecahkan. Dalam
mengumpulkan data digunakan teknik wawancara, dengan menggunakan
schedule questioner ataupun interview guide.
2. Metode Pendekatan Sains Islam Metode pendekatan yang digunakan pada sains Islam yaitu metode
transformasi. Adalah mentransformasikan nilai-nilai normatif menjadi teori
sebelum diaktualisasikan ke dalam tataran aksiologi (perilaku). Pendekatan yang
dilakukan secara menyeluruh tidak hanya bersifat pendekatan legal saja.
Aktualisasi suatu nilai normatif kedalam bentuk teori ilmu dengan melalui
beberapa fase, yaitu :
Gambar 1.3 Fase aktualisasi Nilai Normatif
Teologi Filsafat Sosial Teori Sosial Perubahan Sosial
17
Sedangkan langkah-langkah diatas perlu dilengkapi oleh beberapa syarat, yaitu :
a. Perlu adanya penafsiran sosial struktural lebih daripada penafsiran individual
ketika memahami ketentuan-ketentuan pada Islam
b. Mengubah cara berfikir subjektif kedalam cara berfikir objektif. Tujuannya
agar menyuguhkan cara berfikir pada sains Islam pada cita-cita yang objektif.
c. Mengubah Islam yang normatif kedalam suatu yang teoretis. Dengan
pendekatan teoretis memungkinkan kita akan memahami ketentuan ajaran
agama Islam pada konteks yang lebih real, lebih faktual, sesuai dengan
kondisi-kondisi sosial, ekonomi dan kulutural.
d. Mengubah pemahaman yang ahistoris menjadi historis. Membuat cara
berfikir kita terhadap kisah-kisah didalam al Quran sebenarnya selalu terjadi
sepanjang masa, namun terkadang konteksnya saja yang berbeda.
e. Merumuskan formulasi-formulasi Islam yang bersifat general (umum)
menjadai formulasi-formulasi yang bersifat spesifik.
Dari penjelasan diatas dapat kita analogikan dalam sebuah sudut
pandang perencanaan ialah sebagai berikut:
a. Landasan yang perlu kita pegang sebagai pedoman dalam melakukan segala
hal pada hidup ini ialah berpegang teguh pada suatu Keyakinan yang Hakiki
yaitu Allah SWT
b. Melihat seberapa jauh filsafat perencanaan yang berkembang, yang
memayungi setiap paradigma teori perencanaan
c. Praktek perencanaan yang telah terjadi (khususnya di Indonesia)
d. Melihat dan mengidentifikasi kekurangan proses dan hasil praktek
perencanaan
e. Merumuskan suatu cara pandang baru yang ideal untuk menutup atau
meminimalisasi kekurangan yang terjadi dan juga menyesuaikannya dengan
pokok ajaran agama Islam. Salah satu caranya ialah menentukan sistem nilai
dalam setiap proses perencanaan yang berbasis salah satu pokok pikiran
Islam.
1.6 Definisi Operasional
Pengertian yang diungkapkan dibawah ini untuk memperoleh kesamaan
pemahaman agar tidak menimbulkan kerancuan pengertian dalam pembahasan
selanjutnya.
18
● Transformasi
Perubahan rupa (Bentuk, sifat, dan sebagainya). Merubah struktur inti atau
beberapa inti menjadi struktur yang lain.
● Pola Pemikiran Tradisional Islam
Cara, proses berfikir, kajian tentang filsafat dari tokoh-tokoh pemikir Islam
(Mulla Shadra) yang berbasikan ajaran agama Islam.
● Konstruksi
Susunan (model, tata letak) suatu inti hal.
● Lokal:
Batasan administratif dengan ruang lingkup yang meliputi Desa, Kecamatan
dan Kabupaten atau Kota.
● Proses Perencanaan
Suatu rangkaian tindakan, perbuatan atau pengolahan untuk menghasilkan
mengenai persoalan-persoalan sosial, ekonomi, dan fisik yang berorientasi
pada masa mendatang. Hubungan antara tujuan dan keputusan-keputusan
kolektif dan mengusahakan kebijaksanaan program yang menyeluruh.
Sedangkan tahapan yang pertama dalam mengkontruksi paradigma yaitu
menelaah sejarah substansi perencanaan di Indonesia (awal 70’an) dan
menganalisanya untuk mengetahui kekurangan yang terjadi. Kemudian proses
perbandingan (falsifikasi) antara Filsafat Positivisme dan Teori Gerak Substansi
Mulla Shadra. Setelah itu dapat ditemukan desinkronisasi antar keduanya yang
nantinya diajukan sebuah solusi menurut filsafat Teori Gerak Substansi dengan
Konsep Kearifan Puncak. Berusaha mengembalikan perencanaan kepada
sebuah perencanaan yang lebih baik dan kembali pada khitohnya.
19
Gambar 1.4 Kerangka Alur Proses Kontruksi Paradigma
Identifikasi substansi
perencanaan di Indonesia
terhadap paham positivisme
Peta paradigma sistem perencanaan
Indonesia (th. 70an – saat ini)
Evaluasi Kelemahan yang terdapat dalam sistem perencanaan
Indonesia
Paham Positivisme
Kritik terhadap perencanaan Positivisme
Mengembalikan hakekat
perencanaan berkesesuaian dengan Nilai
Islam Teosentris Planning
Proses perencanaan berbasis teori gerak
substansi
Konsep “Kearifan Puncak”
Proses transformasi
Penentuan sistem nilai
proses perencanaan berbasis teori
gerak substansi “Kearifan Puncak”
20
1.7 Sistematika Penyajian Secara garis besar, sistematika pembahasan studi yang akan dilakukan
natinya disusun dengan urutan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini menjelaskan tentang latar belakang, perumusan
permasalahan, tujuan, ruang lingkup dan metodologi juga kerangka
berfikir yang akan digunakan dalam studi ini.
BAB II KAJIAN TEORITIS Pada bab ini akan menampilkan landasan teoritis yang nantinya akan
digunakan untuk merekontruksi paradigma perencanaan dari sudut
pandang perencanaan yang konvensional dan perencanaan berbasis
Teori Gerak Substansi
BAB III KONTRUKSI PARADIGMA Pada bab ini berisikan tentang tahapan kontruksi paradigma proses
perencanaan dan penentuan sistem nilai dalam setiap tahapan
paradigma perencanaan berbasis Teori Gerak Substansi yang telah
melewati proses transformasi.
BAB IV KESIMPULAN Pada bab ini akan mencoba menyajikan beberapa rekomendasi hasil
konstruksi paradigma proses perencanaan berbasis Teori Gerak
Substansi pada bab sebelumnya.
BAB II TELAAH HISTORIS DAN TEORI
Dalam bab ini akan menyajikan beberapa landasan teoritis yang nantinya
akan digunakan dalam mengkontruksi paradigma proses perencanaan.
2.1 Praktek Perencanaan di Indonesia
Sebelum melihat permasalahan apa yang sebenarnya muncul pada
perencanaan di Indonesia, dapat dilihat sejarah perkembangan perencanaan
yang berkembang di indonesia dari tahun 1970 sampai saat ini, yaitu sebagai
berikut:
Pada era tahun 1970’an, perencanaan di Indonesia melakukan beberapa
usaha, terdapat beberapa pendekatan yang terjadi pada era ini yaitu :
1. Pendekatan Sektoral
Perencanaan wilayah sudah mulai berkembang meskipun konsepnya
sebatas untuk kepentingan sektoral dan diantara sektor-sektor masih
berjalan masing-masing. Kurang memperhatikan visi misi wilayah secara
menyeluruh dan saling berkaitan (tidak terintregrasi), yang bersifat normatif
dan sentralisasi sehingga terjadi dissinkronisasi program per aspeknya.
2. Pendekatan Pengembangan Wilayah
Berkembangannya paham regional analisis. Muncullah sebuah pemikiran
hubungan sebab akibat/causal effects oleh Walter Isard dengan faktor-faktor
utama pembentuk wilatah seperti fisik, sosial, budaya dan ekonomi.
Berkembangnya model-model analisis seperti backward-foward linkage,
urban-rural linkage, shift share, input-output, gini coefficient, economic
threshold dan sebagainya.
3. Pengembangan Pembangunan Infrastruktur
Sutami (1973) mengembangkan teori Walter Isard yang mendasarkan
kepada interaksi antara manusia dan segala kegiatan sosial ekonominya
dengan alam dan lingkungan juga lebih mengutamakan kepada sebuah
pembangunan infrastruktur yang intensif.
4. Pengembangan Wilayah Berbasis Pada Sistem Kegiatan Ekonomi
Poernomosidi Hadjisarosa melalui pendekatan satuan-satuan wilayah
ekonomi yang bertumpu pada teori Losch, yang juga mengadopsi teori
22
interdependency bahwa antara wilayah yang satu dengan wilayah yang
lainnya akan terjadi saling ketergantungan melalui mekanisme pasar
(hubungan supply demand). Penggabungan pembangunan sektoral dengan
pengembangan wilayah secara partial membuat paradigma yang menonjol
ialah rasionalisme.
5. Koordinasi Antar Daerah Administrasi
Mengintroduksikan pengelompokan wilayah perencanaan menjadi sebuah
wilayah perencanaan yang lebih luas dengan penggabungan antara wilayah
perencanaan yang satu dalam lingkup kecil dengan wilayah lainnya agar
tercipta wilayah perencanaan yang lebih luas.
6. Sinkronisasi Program Pembangunan
Konsep Top down dan bottom up planning yang mulai berkembang. Namun
dilema dengan sentralisasi yang masih terjadi, dan intervensi politis pusat
yang dititipkan pada pengembangan didaerah
Pada era 1980’an, perencanaan di Indonesia semakin menuju kepada
suatu konsep yang lebih baik, namun hal tersebut tidak di imbangi oleh praktek
yang optimal dari para stakeholder. Ketidak optimalan peran stakeholder dalam
perencanaan tidak seimbang dengan pengeluaran beberapa aturan baru yang
mendukung praktek perencanaan di indonesia, hal ini menjadikan perencanaan
di Indonesia hanya bersifat wacana saja. Berikut ini disenutkan beberapa usaha
perbaikan praktek perencanaan di Indonesia:
1. Pengembangan Wilayah Dengan Melalui Program Pembangunan Perkotaan
Pengklasifikasian kota menurut besaran penduduknya (metropolitan, kota
besar, kota sedang dan kota kecil). Pengelompokan kota berdasarkan fungsi
pelayanannya (nasional, interregional, regional, dan lokal. Praktek
perencanaan didasarkan oleh pengelompokan seperti diatas.
2. Pendekatan Lingkungan
Mengoperasionalkan kebijakan pembangunan yang berwawasan lingkungan
(UU no. 4/1982 tentang Ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup).
Adalah Suyono Sosrodarsono dengan pendekatan Ecological system, yaitu
pengembangan wilayah dilakukan secara terpadu dengan mengakitkan
program pembangunan jaringan pengairan, jaringan transportasi, dengan
parasarana lainnya dilakukan secara terpadu secara satu kesatuan
fungsional wilayah.
23
3. Desentralisasi Perencanaan
Keluarnya kebijakan desentralisasi yang mulai diberlakukan, salah satunya
dengan dikeluarkannya PP No. 14 tahun 1987 tentang penyerahan sebagian
urusan kepemerintahan di bidang ke-PU-an kepada daerah. Implikasinya dari
kebijakan tersebut yaitu diperlukan upaya pemberdayaan daerah.
4. Pengembangan Sistem Informasi Penataan Ruang dan juga Sistem
Informasi Geografis
Pendekatan perencanaan secara partisipatif mulai dikembangkan.
Sinkronisasi program pembangunan secara sektoral, yang memberikan
kemudahan untuk investasi dan terjadi hubungan peran serta stakeholder
dengan pemerintah.
Datangnya arus globalisasi dari dunia barat sangat memiliki peran penting
dalam menentukan apa yang terjadai dalam praktek perencanaan di era
1990’an. Sangat jelas sekali proses industrialisasi mempengaruhi proses
perencanaan di Indonesia. Lahirnya undang-undang tata ruang cukup berarti
bagi perencanaan di Indonesia, karena dengan itu perencanaan di Indonesia
akan memiliki koridor tersendiri.
1. Globalisasi di Indonesia
Peningkatan desentralisasi yang diikuti oleh pengembangan kawasan
strategis dengan pemerataan ekonomi berbasis proses industrialisasi di
berbagai kawasan di Indonesia. Berubahnya fungsi pemerintah dari yang
semula hanya sebagai penyedia kebutuhan perencanaan menjadi
pemberdaya bagi keberlangsungan perencanaan. Penyederhanaan proses
birokrasi yang dirasakan cukup rumit pada era sebelumnya membawa
suasana kondusif bagi para stakeholder.
2. Pendekataan Wilayah
Lahirnya UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang membuat koridor
tertentu bagi sebuh perencanaan yang terstruktur dan tersistematis. Spatial
planning yang terintegrasi oleh konsep action plan. Faham fenomenologi
mulai merambah sedikit demi sedikit di era ini pada perencanaan di
Indonesia.
Perencanaan saat ini dimaksud dengan perencanaan era 2000’an.
Sebuah paradigma baru tentang otonomi daerah terlahir pada era ini. Menjawab
24
beberapa pertanyaan pada era-era sebelumnya, perencanaan era 2000’an
mengalami beberapa penyesuaian dan penyempurnaan di beberapa sisi
perencanaan. Dengan pengoptimalan peran stakeholder diharapkan mampu
mendongkrak perencanaan indonesia kedalam suatu perencanaan yang ideal.
Fenomena yang terjadi pada era ini lebih terfokus pada pembangunan yang
menitik beratkan kesejahteraan, keterpaduan, mikro, dan local based. Model
abstrak yang ideal (memperhatikan pluralitas), pandangan yang bersifat subjektif
tidak lagi diacuhkan.
Akibat itu semua perkembangan Bottom up approach dan partisipatory
mulai diminati bagi perencanaan di Indonesia. Keterlibatkan semua stakeholder
pada setiap tahapan perencanaan, sehingga secara otomatis memajukan
kemampuan bertindak lokal dengan kerangka berfikir global. Konsep yang
dikeluarkan Friedmann (1987) tentang social learning dan social mobilization
mulai diterapkan walau tidak menyeluruh di semua kawasan di Indonesia. Hal
tersebut membuat kemajuan yang cukup berarti dengan mulainya suatu
perencanaan yang holistik walaupun belum optimal. 2.2 Kajian Teori Perencanaan 2.2.1 Peta Paradigma Perencanaan (Classic - Modern)
Evolusi pemikiran pendekatan Perencanaan Wilayah mulai dilihat sejak
tahun 1920’an, pada saat pemikiran pendekatan Perencanaan Wilayah
dinyatakan secara formal (Friedmann, 1979). Konsep Pendekatan
pengembangan Wilayah terus berkembang mengikuti perkembangan
permasalahan Wilayah, yang dimaksudkan untuk memberikan konsep yang lebih
bermanfaat bagi pengembangan wilayah.
Konsep pemikiran perencanaan Utopia (Utopia Planning) muncul pada
tahun 1925, yang dipelopori oleh 3 pemikir, yaitu: Lewis Munford, Howard Odum,
Thomas Adam. Inti dari konsep ini adalah ingin menciptakan keadaan yang akan
membentuk suatu hubungan yang harmonis antara makhluk hidup dan alam,
dalam rangka menyesuaikan diri dan menghadapi perkembangan yang luar
biasa dari suatu peradaban industri. Pemikiran ini dilatarbelakangi oleh
keadaaan-keadaan yang semakin mengkhawatirkan pada saat itu, yaitu :
● Pertumbuhan kota yang semakin tidak terkendali
● Pengabaian dan penganiayaan budaya setempat
25
● Degradasi sosial
● Eksplorasi sumber daya alam yang merusak lingkungan
Meskipun konsep ini baik untuk menangani dan mengatisipasi
permasalahan wilayah namun konsep ini dinilai sangat Utopia dan tidak mudah
dilanjutkan ke penerapannya di dalam praktek perencanaan. Didasari oleh
kegagalan yang dialami perencanaan Utopia yang menganut dasar pemikiran
dari aliran filsafat utopianiame idealisme, maka seiring dengan itu muncul suatu
teori-teori perencanaan beru seperti Positive Planning, Normative Planning, dan
Blue Print Planning, yang kesemuanya mengandung dasar pemikiran filsafat
aliran positivisme. Karakter perencanaan pada era ini dengan melihat filsafat
yang memayunginya dapt dikatakan bahwa perencanaan pada era ini
dilandaskan pada “realitas” sebagaimana yang ditangkap oleh iderawi.
Pertimbangan nilai (value judgement) bukan merupakan patokan
pengetahuan pada saat itu. Lebih bersifat empiris materialisme, yaitu sesuatu
yang menutup kemungkinan pandangan subjektif yang bersifat metafisik. Namun
pada dasarnya teori perencanaan yang berkembang pada era ini masih
menganut dasar Theory “for” Planning, Theories for planning, di sisi lain,
menekankan pada hakekat dan fungsi perencanaan itu sendiri. Berkembang
dalam semangat ‘critical approach’, aliran ini bersemangat mempertanyakan dan
mengkritisi “apa arti perencanaan?” dan lebih jauh lagi “apakah perencanaan
membawa manfaat bagi kehidupan? Dengan kata lain, aliran ini secara kritis
mempertanyakan praktek-praktek perencanaan selama ini yang dipandang tidak
atau belum membawa kebaikan bagi masyarakat kebanyakan dan justru
memperparah ketidak-adilan. Aliran ini memandang bahwa perencanaan
bukanlah bebas nilai dan bebas politik.
Sistem politik dan kekuasaan yang timpang, aliran ini menekankan pada
pentingnya emansipasi politik dan sosial dalam perencanaan. Aliran ini
merupakan pelopor radical planning yang mencoba merumuskan kembali
hakekat dan praktek perencanaan, namun dibalik sisi baiknya dari aliran ini
bahwa telah menyelamatkan teori dari biasa pribadi atau ideologis dan konflik
nilai, di sisi lain positivist telah memudar ketika melihat bahwa para teoritisi itu
sendiri bekerja dari landasan nilai (dan bias) paradigma mereka. Dan tidak
mengatakan sesuatu tentang nilai-nilai tersembunyi. Perhatian kita jadi terfokus
26
pada suatu pendekatan yang bersifat teknis (cara), bukan pada tujuannya
sendiri.
Pada era selanjutnya mulai berkembang teori-teori perencanaan lainnya
yang dipayungi oleh aliran filsafat rasionalisme yaitu seperti, Procedural
Planning, Rational Comprehensive Planning. Teori tentang perencanaan
mendominasi debat tentang perencanaan. Sebagaimana dikatakan oleh Faludi
(1973a), debat ini menekankan pada pertanyaan besar “bagaimana melakukan
proses perencanaan yang baik dan benar?” Dengan kata lain, debat ini
menekankan pada perencanaan sebagai satu proses dan berupaya untuk
mencari proses yang terbaik dan teroptimal (procedural debate). Perencanaan
sebagai proses, menekankan pada model- model analitis untuk pengambilan
keputusan.
Seperti yang telah dijleaskan terlebih dahulu bahwa praktek perencanaan
yang tidak memandang sebuah pluralitas dan hanya bersifat materiilisme semata
membuat praktek perencanaan Komprehensif Rasional kurang bisa diterima oleh
Islam sendiri.suatu pendekatan teori perencanaan yang masih berpatokan pada
dokumen fisik saja yaitu berupa peta-peta dan kebijakan untuk di
implementasikan, membuat perencanaan ini bersifat kaku. Perencanaan
Komprehensif Rasional tidak begitu memperhatikan kenyataan yang
menyebutkan bahwa praktek perencanaan itu berbeda sekali dengan teori
perencanaan, dimana praktek perencanaan membutuhkan suatu pengetahuan
diluar yang rasional (irrasional) juga. Suatu pengetahuan yang tidak akan
didaptkan oleh cara berfikir rasional.
Dengan melihat beberapa kelemahan pada era sebelum, muncullah teori
perencanaan lain seperti Plural Planning, Politics of Planning, Social Planning,
Implementation and Policy Pragmatisme Planning, The New Humanism, Political
Economy Empowerment. Dari itu semua dapat dilihat bahwa filsafat yang
memayunginya ialah pokok pikiran Fenomenologi. Sebuah filsafat yang
mengusung suatu hal yang realistis dan mengemukakan bahwa masyarakat ialah
suatu sistem yang bebas nilai, namun realitas sosial ialah hasil dari interpretasi
oleh para aktor masyarakat kedalam suatu realitas objektif. Dapat dikatakan
bahwa praktek perencanaan ini hanya bersifat pemaknaan subjektif dari para
aktor perencana. Walau begitu, sebenarnya pada era ini cukup memberikan
27
banyak hal positif dan juga masukan yang cukup banyak terhadap praktek
perencanaan sebelumnya.
Sebuah pergeseran atau transfomasi tradisi klasik dalam sebuah
paradigma perencanaan yang berkembang dari masa ke masa, perencanaan
klasik yang lebih bersifat fisik, statis dan sebagian besar berkenaan dengan
pengaturan fisik kegiatan dalam ruang. Namun pada akhirnya sebvuah
paradigma baru dalam bidang perencanaan melahirkan suatu perencanaan
“modern” seperti yang diutarakan Friedmann (1987) bahwa “perencanaan
modern diterapkan seruluh peermasalahan yang timbul dalam domain publik.
Dimana masukan yang luas dalam perencanaan modern bukan hanya dari aktor
perencana saja namun dari berbagai pihak yang mempunyai kepentingan
berbeda (kalangan ilmuwan lingkungan, ekonom, organisasi kemasyarakatan)”.
Hal tersebut membuktikan bahwa terdapat pergeseran dari perencanaan klasik
sampai dengan perencanaan modern, dari perencanaan yang lebih bersifat fisik
sampai perencanaan yang partisipatif dan terintregrasi.
Sebagai akibatnya di dalam ilmu perencanaan selalu terjadi pergeseran
paradigma. Menurut Ruthman dan Hugentobler, 1986, selama perkembangan
telah terjadi pergeseran pada 5 periode., untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
tabel II.1 tentang periode perkembangan teori perencanaan dan sifatnya.
Sedangkan sejarah Ilmu Perencanaan (kota) bermula dengan terjadinya
revolusi industri serta kemajuan teknologi yang terjadi di Eropa Barat pada abad
XIX yang melahirkan suatu permasalan baru yang menyangkut eksistensi
manusia didalam lingkungan alam tempat kehidupannya. Kemudian Inggris
sebagai tempat pertama terjadinya revolusi industtri yang menerapkan Ilmu
Perencanaan sehingga disebut sebagai “The mother planning”.
28
Tabel II.1 Periode Perkembangan Teori Perencanaan dan Sifatnya
No. Periode Tahun Sifatnya 1. Pra Paradigma Akhir abad ke-
18 s.d. 1920’an
● Belum ada konsesus mengenai paradigma dasar
● Terjadi persaingan antar scholl of thought ● Berkembang berbagai pendekatan
perencanaan (City Beautiful, Master Planning, Park Movement, Reformasi Sosial dalam perumahan dan pemukiman, dan reformasi pemerintah kota
● Pra paradigma lebih bersifat beragam dan penuh gejolak
2. Periode Pengembangan Paradigma
1920-1960’an ● Munculnya formulasi masyarakat yang menganut beberapa bentuk konsesus yang berkiblat pada faham tertentu
● Dalam perencanaan kota muncul pendekatan land use secara comprehensive
● Terbentuknya kewenangan perencanaan dan zoning, dan perencanaan land use disahkan sebagai salah satu kewenangan pemerintah daerah/kota
● Lebih condong kepada perencanaan fisik 3. Periode
Paradigma Artikulasi
1940-1960’an ● Penelitian Problem Solving, dan pengembangan toeri terpadu oleh paradigma tertentu (Rasionalis)
● Teori Rasionalis teraktualisasi lebih baik oleh Simon Linblom dkk.
● Kontribusi ilmu sosial terus bertambah 4. Periode
Paradigma Anomali
1960-1970’an ● Periode ini merupakan gejala paradoxial. Kebimbangan terhadap beberapa anomali muncul
● Adanya ketidak mampuan dalam memprediksi atau menguraikan permasalah krisis sosial, dan etnis
● Kritik terhadap teknik perencanaan ● Munculnya formulasi aksi sosial dan advocacy
yang menerapkan taktik konflik 5. Periode
Paradigma Kritis
1970-1990’an dan berlanjut sampai sekarang
● Munculnya upaya memecahkan anomali dengan paradigma yang ada, maupun dengan merumuskan alternatif pemecahan
● Muncul kembali persaingan beberapa school of thought
● Fragmentasi antar school of thought makin luas ● Berbagai pilhan teori muncul diantara
profesional ● Batas antar berbagai profesional semakin tidak
jelas ● Perhatian terhadap perumusan teori semakin
berkembang ● Konsep perencanaan sosial mengemuka lewat
policy analysis school Sumber : Ruthmann dan Hugentobler, 1986, dalam Mochtaram. K dan Sony H, 1999, Paradigma Keberpihakan dan Peran Profesi / Pendidikan Perencanaan
29
Gambar 2.1 Kerangka Lahirnya Ilmu Perencanaan
PRA REVOLUSI INDUSTRI
REVOLUSI INDUSTRI
INDUSTRIALISASI & URBANISASI
DEGRADASI SOSBUD, SOSEK, FISIK BIOLOGIS
KONSEPSI KEHIDUPAN MANUSIA YANG MANUSIAWI
FENOMENA IKUTAN DAN DAMPAK
PERKEMBANGAN DAN PERKEMBANGAN TEORI PERENCANAAN
TEORI ORGANISASI TATA RUANG
PERENCANAAN TATA RUANG
REFORMASI POLITIK
REFORMASI SOSIAL
REFORMASI LINGKUNGAN
DESKRIPTIF PRESKRIPTIF
REFORMIS
REVOLUSIONER
UTOPIS
RADIKAL
INKREMENTAL
PEREMAJAAN KOTA
HOLISTIK
KOTA IDEAL
EVOLUSI KOTA DAN
PEMUKIMAN
KONSEP TATA RUANG
KLASIK
FENOMENA DAN PERKEMBANG-
AN KOTA
- TEORI - STRUKTUR
30
Di Indonesia sudah sejak jaman Kolonial Belanda telah dikenal
perencanaan kota. Sejak itu pula cara pendekatan metode dan teknik
perencanaan kota yang dianut dan dikembangkan dalam rangka mengatasi
permasalahan perkotaan didasari oleh Ilmu Perencanaan Kota yang pernah
dikembangkan di negara-negara industri maju dimana segala sistemnya relatif
telah mapan.
Ilmu Perencanaan ruang mulanya diembrioi oleh Ilmu Perencanaan Kota
yang munculnya dilatar belakangi dengan kondisi yang dialami oleh masyarakat
yang tinggal di perkotaan. Di awali oleh aliran penduduk dari daerah pedesaan
ke daerah-daerah pemusatan industri yang kemudia dinamakan kota, mulai
muncul secara menonjol sejak abad industri teknologi ini. Kebutuhan fasilitas
perumahan dikota, kebutuhan tanah untuk perluasan kota, kebutuhan fasilitas-
fasilitas kota baik jasmaniah maupun rohaniah dan lain-lainnya telah meningkat.
Disamping itu didalam kota telah muncul daerah-daerah dengan kepadatan tinggi
atau penggunaan tanah diperkotaan yang tidak teratur. Keadaan tersebut
didalam banyak hal telah memerosotkan nilai-nilai kemanusiaan yang
menyangkut aspek fisik, susunan sosial maupun moralitas.
Selanjutnya kegiatan permesinan dengan teknologi baru makin
menimbulkan pengotoran udara, air maupun suara ditambah lagi dengan
permasalahan laulu lintas (pergerakan). Sekarang kita harus menghadapi bukan
hanya memecahkan masalah kota sebagai lingkungan yang terpisah dari daerah
sekitarnya seperti halnya pada jaman dahulu. Usaha pemecahan masalah kota
akan memerlukan pemikiran yang luas dari sejumlah masalah yang kompleks
yang menyangkut aspek-aspek kehidupan sosial, ekonomi, kultural, fisik serta
aspek-aspek politik dan administrasi. Suatu kota dapat saja berkembang atau
tumbuh dengan sendirinya dengan tenaga-tenaga potensial yang ada tanpa
pengarahan. Tetapi kemudian para pemikir menganggap ada cara-cara untuk
memberikan pengarahan serta tujuan perkembangan dan pertumbuhan tadi. Hal
inilah yang menyebabkan munculnya ilmu dan perkembangan Ilmu Perencanaan
Ruang (Kota, dan lainnya) dalam jajaran ilmu-ilmu untuk kesejahteraan umat
manusia.
Selajutnya untuk lebih jelas lagi pada bagian ini akan dejelaskan tentang
pengaruh intelektual dalam teori perencanaan di Amerika. Dari bagan dibawah ini
dapat dilihat bahwa terjadi tiga bagian besar, yaitu : bagian paling kiri berbicara
31
tentang ideologi konservatif, bagian kanan berbicara tentang utopis, sosial
anarkis dan radikal, bagian tengah berbicara tentang pertemuan antara yang
ideologi konservatif dan utopis sosial anarkis.
Ideologi konservatif lebih didominasi oleh konsekuensi akan kedudukan
teknis suatu substansi. Model yang diutamakan dalam hal ini ialah tentang model
kualitatif yang lebih bersifat komputerisasi dan robotnik. Yang masuk kedalam
bagian ini ialah System Analysis, System Engineering, Neo Classical Economic,
Public Administration.
Utopis, Sosial anarkis, dan radikalisme, lebih berbicara tentang
transformasi atau trasenden dari adanya hubungan yang terjadi atara penguasa
dan masyarakat sipil. Dominasi penguasa ditekan untuk menaikan dominasi
masyarakat sipil. Orientasi pemikiran ini lebih mengacu pada pemikiran
Marxisme.
Bagian tengah yang berbicara tentang pertemuan dua bagian
sebelumnya, lebih berorientasi pada penekanan perencanaan sebagai ilmu
sosial yang mengusung pemikiran Scientific Management. Dengan pemikiran
yang rasional untuk mencapai demokrasi yang sehat. Pada bagian ini diutarakan
tentang ilmu pengetahuan sosial yang berbicara mengenai rasa kepedulian
terhadap masyarakat sosial.
2.2.2 Teori Perencanaan Sebelum masuk kepada sebuah teori perencanaan yang selama ini
berkembang baik itu di Indonesia ataupun di negara lain, kita lihat segi
kekhususan fungsional yang dijadikan pembeda dalam sebuah perencanaan.
Karena dalam memahami lebih jauh tentang perencanaan yang ada dan
digunakan dalam konsep perencanaan pembangunan sekarang perlu diuraikan
lebih lanjut segi-segi yang ada dalam perencanaan. Dalam segi kekhususan
fungsional, perencanaan dapat dibedakan kepada empat bagian yaitu: a. Perencanaan Ekonomi
Bertujuan meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan melalui
kebijaksanaan penurunan inflasi, penetapan upah, alokasi public investment,
dan sebagainya. Kemudian secara khusus muncul pula tujuan lain yaitu
mengurangi ketidak seimbangan kesejahteraan antar region dan alokasi
sumber daya terhadap sektor dan region.
32
33
b. Perencanaan Fisik
Jenis perencanaan ini sering disebut dengan istilah lain yaitu town dan
country planning, spatial planning, urban dan regional planning, land use
planning. Perencanaan ini bertujuan untuk menciptakan struktur ruang dan
tata guna lahan yang lebih baik.
c. Perencanaan Sosial budaya
Menyangkut kebutuhan-kebutuhan individu dan kelompok dalam kerangka
sosial, berkaitan dengan perubahan-perubahan struktur sosial penduduk,
rumah tangga dan keluarga, serta efeknya terhadap pola pemukiman/
perumahan dan keseluruhan jalan hidupnya.
d. Perencanaan Lingkungan
Penekanan diletakkan pada perencanaan untuk manusia dan lingkungan
alamnya, yang menyangkut apa dan bagaimana interaksi antara manusia
dengan lingkungan, nilai hakekat lingkungan potensi yang ada, kendala yang
ada dalam lingkungannya, dan lain-lain.
Dalam penjelasan diatas mengenai bentuk-bentuk perencanaan dari
beberapa segi, pada hakekatnya tidak dapat terpisahkan satu sama lain. Hal
tersebut dikarenakan, semua komponen yang telah dijelaskan diatas adalah
sebuah kesempurnaan bagi perencanaan. Namun pada prakteknya masih saja
ada atau terdapat komponen yang hilang atau terlewat. Hal ini dapat
mengakibatkan tidak optimalnya sebuah perencanaan.
Berangkat dari pembedaan perencanaan dari beberapa segi kehidupan
atau komponen aktifitas masyarakat, maka berdasarkan tipe-tipenya
perencanaan dapat dibedakan menjadi beberapa tipe perencanaan, yaitu:
a. Blueprint Planning : merupakan tipe perencanaan yang dipengaruhi oleh
cara-cara kerekayasaan (engineering) dengan memiliki karakteristik :
● Kecilnya uncertainty (ketidaktentuan) dan hanya sedikit exogenous
variable yang terkait
● Tujuannya jelas sekali dan tahapannya tersistematis secara nyata
● Terdiri atas segenap informasi yang dibutuhkan untuk implementasi
b. Process Planning : merupakan sebuah tipe perencanaan yang banyak
ketidaktentuan dalam the operative environment (yaitu dampak dari tujuan
serta dampaknya terhadap variabel luar yang tidak perlu. Penetuan pilihan
yang didasarkan dengan melihat subjek-subjek lain yang akan
34
mempengaruhi masalah yang dihadapi. Dalam menentukan kebujakan lebih
mengutamakan sesuatu yang dianggap sebagai prioritas yang tinggi.
c. Rational Comprehensive Planning: merupakan sebuah perencanaan
dengan hasil berdasarkan memilih alternatif terbaik dengan melihat kondisi
yang ada. Namun sebelum memilih alternatif terbaik, dasar pertimbangan
lainnya yaitu harus dihubungkan dengan tujuan yang hendak dicapai.
d. Partisipatif Planning : menciptakan kesempatan yang memungkinkan
seluruh anggota masyarakat secara aktif mempengaruhi dan memberi
kontribusi pada proses pembangunan dan berbagi hasil-hasil pembangunan
secara adil. Dalam perencnaan partisipasi mencoba menciptakan
kebersamaan dalam pembuatan keputusan yang berhubungan dengan
penentuan tujuan, penyusunan kebijakan-kebijakan dan perencanaan serta
penerapan program pembangunan ekonomi dan sosial. Bentuk masyarakat yang kemudian diharapkan muncul dari pendekatan ini
adalah masyarakat yang mandiri, mampu mengenali masalah dan potensi
yang dimiliki, mampu mengelola dan mengembangkan sumberdaya yang
dikuasai untuk memecahkan persoalan yang dihadapi; serta masyarakat
yang mampu berpikir jangka panjang, produktif dan mampu merencanakan
masa depan. Ada beberapa azas yang diterapkan dalam konsep ini yaitu:
● Solidaritas, yaitu sikap dan semangat untuk membantu dan menyokong
antara pelaku pembangunan
● Partisipasi, yaitu perwujudan dari kesepakatan dan komitmen terhadap
program dimana setiap pelaku secara aktif melibatkan diri
● Kemitraan, merupakan sinergi dan pelaksanaan program dimana pelaku
dengan tugas dan perannya masing-masing bekerjasama dengan
mendudukkan diri dalam semangat kesejajaran dan saling niembantu
● Memampukan, yaitu kegiatan pembangunan harus dapat rnengarahkan
pelaku pembangunan sehingga dapat secara mandiri mengembangkan
diri. ● Pemerataan, ditujukan pada distnibusi yang proporsional dalam
kesempatan memanfaatkan peluang pembangunan bagi semua warga
masyarakat. e. Disjointed Incrementalism Planning : sebuah perencanaan yang sasaran
dan tujuan yang digariskan dalam perencanaan bersifat langsung pada
35
kebutuhan pengembangan suatu unsur atau sub sistem tertentu saja. Selain
itu model ini juga dapat menghemat dana, waktu dalam penelaahan, analisis
maupun proses teknis perencanaannya.
Ciri dari model Disjointed Incrementalism (perencanaan terpilih)
● Tidak terlalu ditunjang oleh penelaahan serta evaluasi alternative rencana
secara menyeluruh
● Hanya mempertimbangkan bagian-bagian tertentu dari kebijaksanaan
umum yang terkait langsung dengan unsur atau sub sistem yang
diprioritaskan
● Berdasarkan batasan lingkup perencanaan, maka perencanaan dan
pelaksanaan model ini lebih mudah.
f. Normative Planning : merupakan perencanaan dimana perencana memiliki
otonomi dan dimungkinkan penekanan aspek tanpa campur tangan politisi.
Hal baik dalam meminimalisasi kemungkinan intervensi politis yang
berlebihan. Namun terkadang hal ini mampu diterapkan pada suatu sistem
pemerintahan yang didalamnya sendiri sudah bak. Lain halnya jika masih
terdapat sebuah kepentingan yang dominan dari para “penguasa”.
g. Functional Planning : perencana hanya melakukan studi tentang
bagaimana suatu tujuan yang telah ditetapkan (oleh politisi) dapat dicapai
berdasarkan kombinasi perangkat yang sebaik-baiknya. Perencana
diposisikan selayaknya seorang birokrat yang mengharuskan merencana
sesuai dengan arahan yang telah ditetapkan sebelumnya. Hal ini sangat
memungkinkan banyaknya intervensi politis yang masuk dalam sebuah
produk perencanaan nantinya.
h. Mixed Scanning Planning : mencoba menggabungkan antara Rational
Comprehensive Planning dengan Incrementalism., yang menggambarkan
komponen keduanya kedalam satu konsep. (Marios Camhis, 1979).
Pendekatan perencanaan dengan metode Mixed Scanning memberikan
keuntungan sendiri dalam prosedurnya yang bersifat tidak eksak, tidak
utopian, dan masih mungkin dilakukan yang kesemuanya mewakili pemikiran
dari rasionalisme, juga tidak kuno (konservatif), memiliki inovasi, tidak
dipaksakan dan untuk kepentingan umum yang kesemuanya tadi mewakili
pemikiran Disjointed incrementalism.
36
Strategi yang dilakukan didalam menjalankan mixed scanning planning ialah
sebagai berikut:
● Mencoba mendaftar semua alternatif yang relevan
● Memilah nya kedlam suatu pilihan yang memungkinkan untuk dilakukan
● Mengulangi kembali proses seleksi sampai dengan menyisakan satu
alternatif yang terbaik ● Setelah teriplementasi. Evaluasi tahapan yang telah dilalui.
Tabel II.2
Penjelasan Tentang Substansi dan Proses yang Terkandung dalam sebuah Teori Perencanaan
Teori Perencanaan Substansi Proses 1. BluePrint Planning
● Cara-cara engineering ● Menitikberatkan pada objek
fisik rencananya ● Jenis variabel yang terkait
tidak banyak
● Tahapan pembangunan dijabarkan saling berurutan
● Terdiri atas kumpulan informasi yang sudah dirumuskan sesuai kebutuhan untuk implementasi
2. Procces Planning
● Menitik beratkan pada utilitas kebijakan yang digunakan terhadap objek fisiknya
● Penentuan pilhan didasarkan dengan melihat subjek yang lainnya, yang akan mempengaruhi masalah yang dihadapi
● Dalam menentukan kebijakan mengutamakan prioritas tertinggi
3. Rational Comprehensive Planning
● Mengutamakan lingkungan manusia dalam kehidupan sehari-hari
● Pengetahuan akan fakta, nilai tanggung jawab, perseptif waktu, dan pengetahuan tentang ketidak pastian menjadi sangat penting
● Menetapkan sasaran perencanaan ● Identifikasi alternatif kebijakan ● Evaluasi terhadap komponen untuk
capaian tujuan dengan melihatb konsekuensi yang didapat dengan hasil alternatif terbaik
● Implementasi keputusan hasil pertimbangan akan konsekuensi yang timbul
4. Disjointed Incrementalism Planning
● Tidak terlalu ditunjang oleh penelaahan serta evaluasi alternative rencana secara menyeluruh
● Hanya memper-timbangkan bagian-bagian tertentu dari kebijaksanaan umum yang terkait langsung dengan unsur atau subsistem yang diprioritaskan
● Pengambilan keputusan melalui model ini bersifat remedial yang ditujukan untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi pada saat itu.
● Menolak kemungkinan terjadinya konsensus dalam isu perencanaan yang luas
● Konsensus hanya dapat dicapai pada hal-hal yang menghendaki perubahan secara bertahap
● Diperlukan mekanisme perencanaan yang bersifat desentralisasi
● Pengambilan keputusan menekankan perhatian pada kebijaksanaan yang telah berlaku
● Hanya mempertimbangkan sejumlah kecil alternative kebijaksanaan, hanya sejumlah kecil konsekuensi penting saja yang dievaluasi.
● memperhitungkan penyesuaian tujuan dan cara yang ditempuh, sehingga masalah dapat dihadapi dengan mudah.
37
5. Mixed Scanning Planning
● Penggabungan antara Rational Comprehensive dan Disjointed Incrementalism
● Tidak Eksak, tidak utopian, dan masih mungkin dilakukan
● Tidak konservatif (kolot), untuk kepentingan publik, memiliki inovasi dalam penyelesaiannya dan tidak dipaksakan
● Mencoba mendaftar semua alternatif yang relevan
● Memilah nya kedlam suatu pilihan yang memungkinkan untuk dilakukan
● Mengulangi kembali proses seleksi sampai dengan menyisakan satu alternatif yang terbaik
● Setelah teriplementasi. Evaluasi tahapan yang telah dilalui.
6. Normative Planning
● Otoritas perencana tinggi, melakukan rencana sesuai idealisme perencana
● Penekanan campur tangan politisi yang berlebihan
● Perencana melakukan tinjauan terhadap konsep perencanaan yang ideal untuk sebuah perencanaan
● Kepentingan atau intervensi politis dihilangkan
● Ketentuan normatif diterapkan dalam sebuah perencanaan
7. Funcional Planning
● Perencana hanya melakukan studi tentang tujuan yang telah ditetapkan (oleh Politisi) untuk dapat dicapai
● Intervensi politis sangat berpengaruh
● Posisi perencana hanya sebagai birokrat yang mengharuskan merencana sesuai dengan arahan yang telah ditetapkan sebelumnya
● Kepentingan politis harus diterapkan dalam sebuah perencanaan
● Kebijakan yang dihasilkan buah dari posisi perencana tersebut dan beberapa kepentingan “penguasa”
8. Partisipatif Planning ● Peran aktif masyarakat turut diperhitungkan dalam proses perencanaan
● Masyarakat diajak untuk mengenali masalah, mengetahui potensi danagar lebih mandiri dalam pelaksanaan pembangunan
● Pembuatan keputusan yang berhubungan dengan penentuan tujuan, penyusunan kebijakan-kebijakan dan perencanaan serta penerapan program pembangunan ekonomi dan sosial melibatkan masyarakat
● Peran pemerintah sebagi mitra dalam pelaksanaan perencanaan
● Menciptakan kesempatan kepada masyarakat secara aktif mempengaruhi dan memberi kontribusi pada proses pembangunan dan berbagi hasil-hasil pembangunan secara adil
Sumber: Hasil rangkuman Beberapa Literatur Perencanaan merupakan satu pengertian yang kompleks untuk
didefinisikan. Apabila dituruti, dapat disusun daftar panjang definisi tentang
perencanaan. Definisi paling sederhana tetapi mempunyai kekuatan eksplanasi
yang dalam sesungguhnya mengatakan planning sebagai “from knwoledge to
action.’ Kekuatan perencanaan terdapat pada orientasinya untuk mewujudkan
pengetahuan dan pemahaman menjadi tindakan. Perencanaan tidak saja
berhenti pada pengetahuan, ide atau gagasan, tetapi juga pada bagaimana ide
tersebut diwujudkan. Perencanaan, dengan demikian, merupakan satu disiplin
yang sarat dengan “prescription” yakni upaya untuk mencari solusi terhadap satu
38
persoalan. Perencanaan memanglah terkait erat dengan ‘dunia nyata’
perencanaan berorientasi pada masa depan dan praktek.
Dalam terminologi perencanaan, ide atau gagasan ini disebut sebagai
tujuan/goals. Menentukan tujuan/goals setting, dengan demikian, merupakan
satu tahap perencanaan yang sangat penting. Tujuan, tentunya dirumuskan
berdasar satu kondisi tertentu, dan biasanya sesuatu yang kurang kurang/tidak
memuaskan (unsatisfied condition). Kondisi yang kurang atau tidak memuaskan
ini bisa disebut sebagai persoalan/problems. Oleh karena itu sebelum
dirumuskan tujuan atau gagasan, biasanya dimulai dengan perumusan tentang
apa persoalan yang dihadapi (problems identification/formulation)
Gap antara tujuan dengan persoalan ini dijembatani dengan serangkaian
tindakan yang dalam terminologi perencanaan disebut sebagai means.
Perencanaan berarti harus mengandung serangkaian tindakan, tentunya yang
efektip dan efisien, untuk membawa satu perubahan dari kondisi atau persoalan
tertentu ke kondisi yang diinginkan (tujuan/goals). Oleh karena perencanaan
mencoba menghubungkan antara pengetahuan dan tindakan, dimensi penting
perencanaan adalah waktu, yang menghubungkan kondisi saat ini dengan satu
masa dimana ide atau gagasan tersebut dapat diujudkan. Kerangka waktu dalam
perencanaan dapat bersifat jangka pendek, menengah, maupun panjang, sesuai
tujuan atau gagasan yang dinginkan.
Persoalannya adalah, apabila secara generik perencanaan merupakan
perwujudan dari “knowledge to action” dan dapat diterjemahkan secara
sederhana dalam skema proses di atas, pada tataran yang lebih konseptual
masih tersisa banyak pertanyaan antara lain: bagaimana keseluruhan proses
perencanaan tersebut dilakukan dengan baik dan benar? Lebih jauh,
sebagaimana diingatkan Alexander (1996) perlu selalu dipertanyakan adakah
prinsip-prinsip dan norma-norma yang dapat dipakai untuk merumuskan bahwa
tujuan atau gagasan yang hendak dicapai tersebut benar dan baik? Dan tidak
kalah penting, untuk siapa tujuan tersebut dikatakan benar dan baik?
Upaya-upaya untuk menjawab tiga pertanyaan di atas berkembang
menjadi tiga kategori debat yakni:
(1) theory of planning;
(2) theory for planning; dan
(3) theory in planning.
39
Masing masing dapat dijelaskan sebagai berikut.
Theory of planning atau teori tentang perencanaan mendominasi debat
tentang perencanaan. Sebagaimana dikatakan oleh Faludi (1973a), debat ini
menekankan pada pertanyaan besar “bagaimana melakukan proses
perencanaan yang baik dan benar?” Dengan kata lain, debat ini menekankan
pada perencanaan sebagai satu proses dan berupaya untuk mencari proses
yang terbaik dan teroptimal (procedural debate). Perencanaan sebagai proses,
menekankan pada model- model analitis untuk pengambilan keputusan. Dalam
konteks ini, perencana lebih dilihat sebagai ‘problem solver’ yang memberikan
alternatip-alternatip solusi terhadap persoalan yang telah dirumuskan
sebelumnya. Praktek perencanaan yang berada di bawah kerangka ini antara
lain model perencanaan rasional komprehensip yang dipromosikan oleh Faludi
(1973a), atau juga mixed scanning oleh Etzioni (1973).
Theory in planning merupakan aliran yang menekankan pada aspek
substansif perencanaan. Debat dalam aliran ini ditekankan pada upaya-upaya
untuk mencari satu output atau bentuk ideal perencanaan, salah satunya kota.
Dalam kategori ini, perencana meminjam banyak ilmu dan teori dari berbagai
disiplin untuk memperkaya upaya-upaya dalam menghasilkan perencanaan yang
berkualitas dan ideal, bahkan cenderung utopian. Salah satu pertanyaan besar
yang dicoba jawab dalam aliran ini menyangkut “bagaimana bentuk kota yang
ideal.” Dalam konteks ini banyak perencana, kemudian, mencoba memanfaatkan
berbagai ilmu lain (misalnya: ilmu sistem, ilmu estetika, dan ilmu ekologi) untuk
merumuskan jawaban atas kota yang ideal. Perencana dalam hal ini berperan
sebagai normative agent yang mempunyai posisi kuat dalam mengarahkan
bentuk dan wujud satu kehidupan termasuk kota. Ide tentang Garden City oleh
Ebenezer Howard merupakan contoh klasik kelompok ini. Begitu pula ide- ide
tentang sustainable city atau green city juga dapat dikategorikan masuk dalam
kerangka ini.
Theories for planning, di sisi lain, menekankan pada hakekat dan fungsi
perencanaan itu sendiri. Berkembang dalam semangat ‘critical approach’, aliran
ini bersemangat mempertanyakan dan mengkritisi “apa arti perencanaan?” dan
lebih jauh lagi “apakah perencanaan membawa manfaat bagi kehidupan?
Dengan kata lain, aliran ini secara kritis mempertanyakan praktek-praktek
perencanaan selama ini yang dipandang tidak atau belum membawa kebaikan
40
bagi masyarakat kebanyakan dan justru memperparah ketidak-adilan. Aliran ini
memandang bahwa perencanaan bukanlah bebas nilai dan bebas politik. Dan
karena sistem politik dan kekuasaan yang timpang, aliran ini menekankan pada
pentingnya emansipasi politik dan sosial dalam perencanaan. Aliran ini
merupakan pelopor radical planning yang mencoba merumuskan kembali
hakekat dan praktek perencanaan.
Sebagaimana kita dapat pelajari dari literatur, perkembangan tiga aliran
perencanaan di atas telah membuahkan berbagai model dan praktek
perencanaan. Beragam model dan praktek ini membawa kita pada pemahaman
yang semakin meluas dan berkembang tentang apa itu perencanaan. Meskipun
demikian, pengalaman menunjukkan bahwa keragaman model dan praktek
perencanaan tidak selalu menjamin hasil perencanaan yang benar, baik, dan
bermanfaat, khususnya bagi rakyat kebanyakan. Dalam konteks ini menjadi
penting bagi perencana untuk selalu meninjau kembali aliran-aliran dalam
perencanaan, karena setiap aliran akan berimplikasi pada proses dan hasil
perencanaan itu sendiri. Setiap aliran juga dikembangkan berdasar landasan
filsosofis tertentu, oleh karenanya mempunyai dasar-dasar yang khusus pula
tentang keadilan, persamaan, dan juga peran perencana itu sendiri.
Sebagaimana telah diuraikan oleh Friedmann (1987) terdapat empat aliran
dalam teori perencanaan yakni:
1) Social Reform
Social reform merupakan arus utama teori dan praktek perencanaan.
Aliran ini melihat bahwa perencanaan adalah satu bentuk atau upaya rasional-
ilmiah untuk mewujudkan satu ide atau tujuan tertentu – biasanya tujuan
negara/pemerintah. Tiga hal penting dalam aliran social reform yakni: adanya
satu tujuan tunggal – biasanya merupakan tujuan negara/penguasa, penggunaan
metode ilmiah rasional, dan usaha yang efisien. Social reform percaya bahwa
terdapat tujuan tunggal masyarakat yang dapat dirumuskan dan diwujudkan
melalui mekanisme ilmiah-rasional.
Aliran ini meyakini peran metode ilmiah-rasional dalam proses
pengambilan keputusan. Karena begitu percaya pada metoda rasional, aliran ini
cenderung terlalu melihat perencanaan sebagai proses teknis yang bebas nilai.
Proses perencanaan juga diyakini bebas politik sehingga dikritik sebagai tidak
41
peka terhadap struktur politk dan sosial yang biasanya timpang. Keadilan dan
persamaan bukan merupakan agenda utama aliran ini. Meskipun banyak kritik
dan koreksi terhadapnya, aliran social reform terus mendapat pengikutnya dan
dipraktekan di banyak belahan dunia.
2) Policy Analysis
Merupakan respon dan pengembangan konsep social reform, policy
analysis menekankan pentingnya proses-proses pengambilan keputusan yang
rasional dan sistematik. Dengan asumsi tidak adanya tujuan yang bertentangan,
policy analysis berasumsi bahwa jika barang-barang publik dimaksimalkan
ketersediannya, akan menjamin kesejahteraan sosial. Dalam kerangka pemikiran
ini tidak ada penjelasan eksplisit tentang keadilan dan karena berasumsi bahwa
perencanaan rasional akan menjamin keberadaan barang-barang publik. Dalam
pemikiran ini, proses perencanaan menjadi privilage perencana.
Peran perencana adalah sebagai teknokrat yang menyediakan data dan
informasi, membentuk model- model penjelasan dan memberikan alternatif-
alternatif cara untuk mencapai tujuan. Dalam kerangka ini perencana cenderung
bekerja untuk kepentingan pemegang kekuasaan, baik itu kapital ataupun
pemerintah. Keadilan dan persamaan bukan isu utama dalam pola pikir ini
karena keduanya dipandang sekedar sebagai efek dari keseimbangan pasar.
Dengan kata lain, keadilan dan kesamaan bukan tujuan utama perencanaan,
karena tujuan utama perencanaan adalah efisiensi pasar dan maksimalisasi
hasil.
3) Social Learning
Sebagai reaksi atas kegagalan pola pikir social reform dan policy
analysis, terutama dalam merespon kebutuhan masyarakat kebanyakan,
dikembangkan pemikiran social learning. Ide dasar social learning bertumpu
pada pentingnya menjembatani jurang antara model- model pemikiran rasional
dengan ide-ide popular dan aspirasi masyarakat, melalui proses proses
transaktip antar perencana dengan masyarakat – oleh karena itu social learning
disebut juga sebagai transactive planning. Dengan demikian, peran perencana
disini lebih merupakan mediator atau fasilitator yang secara ulang-alik bergerak
42
antara pengetahuan dan realita, antara rasionalitas-ilmiah formal dengan
khasanah pengetahuan dan ketrampilan hidup masyarakat awam.
Perspektif ini menekankan pada realitas kekuatan dan aspirasi
masyarakat awam dalam menyusun rencana. Dengan demikian aliran social
learning menempatkan keadilan dan kesamaan sebagai prioritas utama
perencanaan. Oleh karena penekanannya pada hak masyarakat awam, aliran ini
mementingkan proses-proses perencanaan yang demokratis dan meyakini
bahwa pluralitas masyarakat harus diakomodasi dalam perencanaan. Social
learning meyakini tidak adanya tujuan tunggal, terutama oleh karena pluralitas
masyarakat yang ada. Oleh karena itu social learning mementingkan proses
negosiasi yang demokratis dalam proses perencanaan. Peran perencana,
demikian lebih sebagai moderator, fasilitator, dan aktifis sosial.
4) Social mobilization
Social mobilization muncul sebagai upaya untuk secara radikal untuk
merubah struktur kekuasanaan yang timpang dan tidak adil. Social mobilization,
dengan demikian menekankan pada proses-proses politik untuk mencapai
keadilan dan kesamaan politik, ekonomi, dan sosial. Aliran ini cenderung
menegasi peran pemerintah serta tidak percaya pada model-model scientifik -
rational karena model ini cenderung dimanipulasi untuk memepertahankan
kekuasaan dan status quo. Dengan kata lain social mobilization menekan akan
pada upaya-upaya penggalangan kekuatan sosial, ekonomi, dan politik rakyat
untuk merubah hegemoni power yang selama ini dikuasai pemerintah dan
kapital.
Peran perencana dalam konteks ini adalah sebagai aktifis social-politik
yang membantu dan mendampingi masyarakat untuk mendapatkan hak-haknya.
Aliran ini mengakomodasi pemikiran-pemikiran baru yang radikal dalam
perencanaan dan membawa perubahan yang signifikan terhadap pemikrian
perencanaan yang sebelumnya sangat rasional-positivistik. Contoh praktek aliran
ini adalah advocacy planning (Davidof, 1973). Pengembangan lebih lanjut dari
advocacy planning dikemukakan oleh Forester dan disebut sebagai ’progressive
planning’ (Forester, 1989). Sementara Friedmann sendiri mengusulkan model
perencanan empowerment (1992) yang menekankan pada otonomy
komunitas/lokal, demokrasi, dan proses pembelajaran sosial yang menerus.
43
Berdasarkan definisi luas planning yang dikemukakan oleh John
Friedman dapat disimpulkan bahwa filosofi peran serta masyarakat dalam
perencanaan mengalami suatu pergeseran, dari for people sebagai sifat
perencanaan social reform menjadi by people sebagai sifat perencanaan dalam
social learning.
Ada dua rational kunci bagi peran serta masyarakat, yaitu :
1. Etika, yaitu bahwa di dalam masyarakat demokratik, mereka yang
kehidupan, lingkungan dan penghidupannya dipertaruhkan sudah
seharusnya dikonsultasikan dan dilibatkan dalam keputusan-keputusan
yang akan mempengaruhi mereka secara langsung.
2. Pragmatis, yaitu atas program dan kebijakan seringkali tergantung kepada
kesediaan orang membantu kesuksesan program atau kebijakan tersebut
Tabel II.3
Empat Aliran Teori Perencanaan dan Isu-isu Moral yang Melandasinya
Isu-isu Moral-etika Aliran
Perencanaan
Contoh Praktek
Landasan moral-etika
Keadilan
Kesejahteraan
Kekuasaan
Peran Perencana
1.Social Reforms
Masterplan, Land use, City Beautiful/ Garden City
Universalism, Absolutism, Rationality, Penekanan pada hasil/output
Kurang peka
Kesejahteraan bersama yang dirumuskan oleh negara
Hirarkis, Memusat di pemerintah, Pemerintah sebagai penyedia /penjamin
Birokrat, Teknokrat, Designer
2.Policy Anaysis
System Approach, Incrementalism, Mixed scanning
Universalism, Utilitarianism, Rationality, Penekanan pada proses
Kurang peka
Kurang peka
Pemerintah sebagai regulator
Prakmatis, Teknokrat, Analis,
3.Social Learning
Transactive planning, Communitarian
Relativism, Culturalism, Penekanan pada perbedaan/ Keragaman
Utama Utama
Egalitarian, Reciprocal, Konsensus/ negosiasi
Translator, Komunikator, Mediator, Aktivis sosial
4.Social Mobilization
Radikal Planning, Advocacy, Feminism, Environmental Planning
Radicalist Dekonstruksi Postmodernism Subjectivism
Utama
Utama
Konfrontasi thdp pemerintah Emansipasi, Penegasian thdp pemerintah
Advocacy Mobilisator
Sumber: Setiawan, 1996 disarikan dari berbagai sumber, khususnya Hendler (1995); Friedmann (1987) dan Harper dan Stein (1992, 1995)
44
Teori Advocacy Planning Teori ini dilandasi oleh sejarah kehidupan bangsa Amerika, dengan
berbagi konflik seperti:
a. Diskriminasi Rasial (kulit berwarna)
b. Ketidakadilan Sosial ( Gap Tingkat Sosial dari Ras)
c. Kemiskinan (ESP. Kulit hitam)
DAVIDOFF:
Keadilan dalam alokasi kesejahteraan social, pengetahuan, dan
keterampilan. Pergesaran pendekatannya adalah: Non Teknis dan Sosial.
Davidoff beranggapan bahwa perlu kondisi “URBAN DEMOCRACY” yang
mapan yang setiap warganegara berperan aktif dalam pengambilan proses
tranformasi: “PUBLIC POLICY”.
FRIEDMAN:
Friedman memandang bahwa tidak efektifnya komunikasi karena
menganggap dirinya superior dibandingkan kliennya. Sedangkan masyarakat
beranggapan bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Karena pendapat
ini Friedman mengusulkan transsactive sebagai penghubung.
Dalam perencanaan transactive didasarkan pada efektifitas antara
perencana dan klien, pertama adalah tingkat komunikasi person centered yang
berhubungan dengan segala macam tingkah laku manusia. Yang kedua subject-
matter-related communication yang didukung oleh hubungan primer dari dialog
serta tidak untuk dipahami secara sendiri-sendiri.
PERENCANA(EXPERTTIES)
PERENCANA(EXPERTTIES) MASYARAKAT
(PENGALAMAN)
MASYARAKAT(PENGALAMAN)
Jembatan Komunikasi YangBersifat Aktif dan Timbal Balik
Jembatan Komunikasi YangBersifat Aktif dan Timbal Balik
Gambar 2.3
Advocacy Pluralism dan Transactive Planning based on The Live of Dialogue
45
Karakteristik The Live of Dialogue:
1. Originalitas Interactive dialog yang berdasarkan hubungan antara kedua
belah pihak yang dilakukan atas dasar ‘keaslian’ dari setiap pendapat orang
yang terlibat.
2. Objective dalam tindakan yang berdasrkan pada pemikiran, pertimbangan
moral, perasaan yang bersatu sebagai satu kesatuan.
3. Komplemanter konflik bukan kendala
4. Ekspresi – Subtansi Perencanaan, berdasarkan pada komunikasi yang
ditunjang dengan gestures yang lain sama pentingnya dengan subtansi
komunikasi.
5. Interest dan Komitmen harus dalam kesepahaman yang seimbang
6. Interactive Hubungan timbale balik
7. Time Frame Equal didasarkan pada satuan waktu yang setara, adanya suatu
hubungan ‘sekarang’ serta kondisi ‘pada saat ini’, jangka pendek, jangka
panjang dll.
Contoh konsep Advocacy Pluralism dan Transactive Planning yang biasa
diterapkan dalam sebuah perencanaan sosial ialah sebagai berikut:
● Interactive Decission Making
● Partisipatory Planning
● Human Action Modek (Jans Erich)
● Bottom Up Planning Approach (UU4/81)
● Partisipatory Rural Appraisal (PRA)
● Community Based Development Perencanaan sebagai sebuah proses, yang menekankan lebih sebagai
proses atas-atas pilihan. Sehingga dalam sebuah proses perencanaan, akan
sangat terkait sekali dengan proses penentuan pilihan-pilihan yang merupakan
sebuah pengejewantahan dari proses politik yang terjadi dalam proses
perumusan kebijakan publik. Proses pengambilan keputusan publik secara
demokratis merupakan suatu proses yang sangat kondusif terhadap konsep
perencanaan sebagai sebuah proses pembelajaran sosial, dimana peran
masyarakat sebagai sebuah stakeholder menjadi sangat diperhatikan
dibandingkan proses pengambilan keputusan yang dilakukan berdasarkan pada
pola rasional semata
46
Tabel II.4
Perbedaan Antara Proses Pengambilan Keputusan Teknokratis Dengan Pengambilan Keputusan Demokratis
Apek Perbandingan Pengambilan keputusan secara Teknokratis
Pengambilan keputusan secara Demokratis
Pihak yang paling berperan dalam proses pengambilan keputusan
Tenaga ahli dari pemerintah Masyarakat dan lembaga atau organisasi masyarakat
Asumsi yang digunakan
• Tenaga ahli memeiliki keahlian untuk mempertimbangkan keputusan yang paling menguntungkan dan dapat meminimasi kerugian yang mungkin ditimbulkan
• Masyarakat mungkin terlibat secara emosional dengan isu terkait sehingga tidak bisa bertindak secara rasional
• Masyarakat yang langsung terkena dampak mengetahui penilaian yang pantas untuk diberikan untuk sebuah persoalan
• Suara masyarakat menetkan hal yang menjadi persoalan publik
Kriteria dalam evaluasi kebujakan Efesiensi dan rasionalitas
Keterjangkauan proses dan tanggapan atas kebijakan bagi mereka yang terkena damapak keputusan
Sumber : Kweit dalam Astuti dan Mirnasari, 2002
2.3 Kajian Filsafat Umum Selanjutnya bagaimana peranan pengetahuan berbasis Islam terhadap
sains? Sebagian pendapat mengatakan “sains Islam” atau “islamisasi sains”
sebagai sesuatu yang membinggungkan karena beragamnya pemahaman
mamupun adanya implikasi pada relativis sains yang selama ini dipandang
universal. Pada sisi lain Steve Fuller berpendapat bahwa pada sisi pesan tetap
bersifat universal sedangkan medianya memerlukan daya tarik (appeal) yang
lebih personal (Mulyadi Kartanegara, 2003).
Untuk menafsirkan proses islamisasi sains memerlukan beberapa catatan
(Mulyadi Kartanegara, 2003), yaitu : Pertama, unsur Islam dalam kata islamisasi
tidak mesti dipahami secara ketat sebagai ajaran yang harus ditemukan rujukan
secara harfiah dalam Al-Quran dan hadits, sebaliknya dilihat dari spiritnya yang
tidak bertentangan dengan dengan ajaran fundamental Islam seperti tauhid,
kenabian, hari akhir, dan sebagainya. Kedua, islamisasi sains harus beroperasi
pada level epistemologi dengan cara mendekontruksi epistemologi barat yang
47
berkembang sekarang dan kemudian merekontruksi dengan epistemologi yang
bersumber pada tradisi intelektual Islam. Proses kontruksi ini meliputi
pembahsan status ontologis obyek ilmu, klasifikasi, dan metodologi ilmu. Ketiga,
proses islamisasi sains merupakan sesuatu yang tidak pernah terbebas dari nilai.
2.3.1 Filsafat Modern
Periode sejarah yang lazim disebut “modern” mempunyai banyak
perbedaan pandangan tentang jiwa dengan periode pertengahan. Ada dua hal
penting yang menandai sejarah modern, yakni runtuhnya otoritas gereja dan
menguatnya otoritas sains. Otoritas sains, yang kebanyakan filosof dipandang
sebagai epos modern, sangat berbeda dengan otoritas gereja, karena otoritas
sains bersifat intelektual, bukan politisotoritas sains hanya mengungkapkan
segala sesuatu yang ada pada saat itu telah dipastikan kebenarannya secara
ilmiah. Displin, intelektual, moral, dan politik oleh pikiran-pikiran manusia
Renaisans. (Bertrand Russell, 2002: p.646).
Kata “Renaisans” berarti kelahiran kembali di mana manusia merasa lahir
kembali dalam keadaban. Manusia merasa lahir kembali kepada sumber-sumber
yang murni bagi pengetahuan dan keindahan. Langkah-langkah yang dilakukan
oleh Galileo (1564-1642) dalam bidang astronomi menanamkan pengeruh yang
kuat bagi perkembangan ilmu pengetahuan ilmu pengetahuan modern, karena
menunjukan beberapa hal seperti : pengamatan (observation), penyingkiran
segala hal yang tidak termasuk dalam peristiwa yang diamati, idealisasi,
penyusunan teori secara spekulatif atas peristiwa tersebut, peramalan
(prediction), pengukuran (meassurement), dan percobaan (experiment) untuk
menguji teori yang didasarkan pada ramalan matematik.pada era ini muncul dua
aliran besar pemikiran yang dikenal dengan “empirisisme” dan “rasionalisme”.
EMPIRISISME (Francis Bacon,1561-1626)
Para penganut aliran empirisisme dalam berfilsafat bertolak belakang
dengan para penganut aliran rasionalisme. Menurut aliran empirisisme metode
ilmu pengetahuan itu bukanlah bersifat a priori, tetapi a posteriori yaitu metode
yang berdasarkan atas peristiwa yang datangnya kemudian.
Bagi penganut empirsisme sumber pengetahuan yang memadai itu adalah pengalaman. Aliran ini berkeyakinan bahwa manusia tidak
48
mempunyai ide-ide bawaan. Pelopor empirisisme adalah Francis Bacon (1561-1626), ia bermaksud meninggalkan ilmu pengetahuan yang lama karena
dipandang tidak memberi kemajuan, tidak memberi hasil yang bermanfaat dan
tidak memberikan hal-hal yang baru berfaedah bagi hidup. Usaha
mensistematisir secara logis prosedur ilmiah menjadikan asas filsafat ini bersifat
praktis, yaituuntuk menjadikan manusia menguasai kekuatan-kekuatan alam atau
dengan perentaraan penemuan-penemuan ilmiah. Francis Bacon
mengungkapkan bahwa tujuan ilmu ialah memperbaiki nasib umat manusia di
atas muka bumi ini, dan baginya tujuan itu akan dicapai dengan mengumpulkan
fakta-fakta melalui observasi yang teratur dan kemudian menarik teori-teori dari
observasi itu (Radliyah Khuza’i., 2003)
Berikut disampaikan beberapa tokoh-tokoh besar yang terlahir atas
pemikiran Francis Bacon dengan pemikiran-pemikirannya.
1. Thomas Hobbes (1588-1679), “pengenalan atau pengetahuan itu diperoleh
dari pengalaman”
2. John Locke (1632-1704), mengemukakan tentng asal mula gagasan manusi,
menemukan fakta-fakta, menguji kepastian pengetahuan dan
memeriksabatas-batas pengetahuan manusia.
3. david Hume (1711-1776), sumber satu-satunya pengetahuan adalah
pengelaman. Ia mengajarkan bahwa manusia tidak mebawa pengetahuan ke
dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan, dengan
pengamatan ini manusia memperoleh dua hal yaitu : kesan-kesan
(impression) dan pengertian-pengertian atau ide-ide (ideas).
Kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari
pengalaman, baik lahiriah maupun batiniah. Kesan-kesan ini menampakkan diri
dengan jelas hidup dan kuat terhadap pengamat. Sementara pengertian dari ide-
ide ialah gambaran tentang pengamatan yang redup, kabur atau samar-samar
yang diperoleh dengan merenungkan kembali atau merefleksikan dalam
kesadaran kesan-kesan yang telah diterima melalui pengamatan langsung.
(Radliyah Khuza’i, 2003).
49
RASIONALISME (Rene Descartes, 1596-1650)
Metode filsafat telah berubah secara radikal sebagai hasil argumen Rene
Descartes (1596-1650). Descartes ini merintis tahap dimana kekaguman filosofis
sendirilah yang dijadikan objek penyelidikannya; daripada sekedar mengagumi
kenyataan perubahan atau waktu atau diri, filsafat mengagumi pengetahuan
sendiri. Masalah umum dari pengetahuan muncul sebagi objek kesibukannya
sendiri : pengetahuan menjadi problematik bagi dirinya sendiri. Suatu pikiran
yang telah mencapai tingkat refleksi tidak dapat dipuaskan dengan kembali
kepada jaminan-jaminan anggapan umum, tetapi justru menuju tingkat yang
baru, menjadikan kepastian yang sekarang dicari didasari oleh keraguan.
Salah saru usaha yang paling radical dan cerdik yang dikemukan oleh
descartes manjawab masalah pencarian kepastian dengan keraguan, ialah
prosedur “Keraguan Universal”. Adalah suatu prosedur yang menjelaskan
tentang penggunaan keraguan untuk mengatasi keraguan sebelumnya.
Descartes menguatkan teori bahwa akal adalah subtansi (inti hal). Menempatkan peran akal sebagai sesuatu yang paling tinggi pada manusia. Sedangkan berfikir ialah salah satu atributnya akal itu sendiri. Metode yang
digunakan oleh Descartes bersifat skeptis. Pengetahuan yang dapat dipercaya
kebenarannya, bukanlah sesuatu yang dijabarkan dari pengalaman, malainkan
alam fikiran seseorang, pengetahuan itu sudah ada dalam dirinya, berupa ide-ide
bawaan.kebenaran atau kesalah bukan terletak diluar manusia tetapi terletak
pada ide dalam dirinya.
KRITISISME (IMMANUEL KANT, 1724-1804)
Adalah Immanuel Kant seorang filosof dari Jerman, yang menjadi
seorang penengah dari perdebatan antara Empirisisme dan Rasionalisme,
dengan “dogmatisme“ (percaya mentah-mentah pada kemampuan rasio dan
kemampuan indera, tanpa penyelidikan lebih dahulu) sebagai suatu hal yang
dilawannya. “Kritisisme” (kritik atas rasio murni) adalah sebutan bagi filsafat Kant.
Dahulu para filsuf mencoba mengerti pengenalan dengan mengandaikan
bahwa subjek mengarahkan diri kepada objek. Kant memperlihatkan bahwa
pengenalan berpusat pada subjek dan bukan pada objek, tiga taraf yang
disampaikan oleh Kant dalam proses pengenalan:
50
1. Pengenalan pada taraf indera
daya-daya inderawi membentuk kesan-kesan dari objek yang tampak
(pengamatan) menjadi suatu gambaran (salinan) atas penampakan (bukan
bendanya sendiri), kemudian dibuat putusan-putusan.
2. Pengenalan pada taraf akal
Kant memberdakan akal dengan rasio. Tugas akal mengatur data-data
inderawi, yaitu mengemukakan putusan-putusan. Berfikir menurutnya adalah
menyusun putusan. Suatu putusan terdiri dari subjek dan predikat, yang
terdiri dari bentuk dan materi. Materi adalah data-data inderawi dan bentuk
adalah pengertian-pengertian atas ide bawaan pada taraf akal.
3. Pengenalan pada taraf rasio.
Tugas rasio adalah menarik kesimpulan dari putusan-putusan akal. Ada tiga
ide yang menjadi argumen dasar, yaitu: jiwa, dunia dan Allah. Ketiganya
disebut sebagai a priori. Ide jiwa menyatakan dan mendasari segala gejala
batiniah (psikis). Ide dunia menyatakan gejala jasmani. Sedangkan ide Allah
mendasari semua gejala baik yang jasmani maupun rohani.
POSITIVISME (AUGUST COMTE)
Pada zaman Kant, ilmu-ilmu alam dan penerapannya dalam teknologi
mulai memasuki zaman keemasannya, memperkokoh posisi ilmu-ilmu alam
secara filosofis sebagai salah satu bentuk pengetahuan yang mungkin menjadi
kenyataan. Namun Kant masih mengakui keberadaan bentuk-bentuk pengethuan
lain, seperti etika dan estetika. Trend untuk meletakan ilmu-ilmu alam sebagai
norma dan penelitian empiris sebagai kegiatan pengetahuan yang sahih menjadi
semakin radikal dalam sejarah teori pengetahuan. Memuncaknya pada
positivisme Comte, pengetahuan inderawi khususnya yang terwujud dalam ilmu-ilmu alam bukan hanya norma, melainkan justru menjadi satu-satunya norma bagi kegiatan pengetahuan (F. Budi Hadirman, 2003).
Dalam kata ‘positif’ bukan hanya termuat prinsip keras “pengetahuan kita
hendaknya tidak melampaui fakta objektif”, melainkan juga tamapak usaha
penghancuran subjek yang berfikir dengan prinsip keras “pengetahuan kita
peroleh dengan menyalin fakta objektif”. Dalam positivisme, pendulum
epistemologis bergerak ke pihak objek lagi, namun objek yang sekarang muncul
dari kegiatan pengetahuan ini adalah objek inderawi.
51
Antinomi-antinomi yang dibuat oleh Comte dapat diterjemahkan kedalam
norma-norma sebagai berikut (F. Budi Hadirman, 2003):
1. Semua pengetahuan harus terbukti lewat rasa kepastian pengamatan
sistematis yang terjamin secara intersubjektif.
2. Kepastian metodis sama pentingnya dengan rasa kepastian. Kesahihan
pengetahuan ilmiah dijamin oleh kesatuan metode.
3. Ketepatan pengetahuan kita dijamin hanys oleh bangunan teori-teori yang
secara formal kokoh yang mengikuti deduksi hipotesis-hipotesis yang
menyerupai hukum
4. Pengetahuan ilmiah harus dapat dipergunakan secara teknis.
5. Pengetahuan kita pada prinsipnya tak pernah selesai dan relatif, sesuai
dengan sifat relatif dan semangat positif
Pandangan positivisme yang menerapkan metodologi ilmu-ilmu alam
pada ilmu-ilmu sosial, panangan seperti ini melihat ilmu-ilmu modern
mengandung tiga prinsip: bersifat empiris-objektif, deduktif-nomologis,
intrumental-bebas nilai. Ketiga asmusi itu dalam ilmu-ilmu sosial ini oleh Anthony
Giddens dijelaskan sebagai berikut:
1. Prosedur-prosedur metodologis ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan
pada ilmu-ilmu sosial. Gejala-gejala subjektivitas manusia, tidak menganggu
observasi, yaitu tindakan sosial. Dengan cara ini, objek observasi ilmu-ilmu
sosial disejajarkan dengan dunia almiah.
2. Hasil-hasil penelitian dapat dirumuskan dalam bentuk ‘hukum’hukum seperti
dalam ilmu-ilmu alam
3. ilmu-ilmu sosial harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang
bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental
murni. Pengetahuan dapat dipakai secara bebas nilai, tidak bersifat etis.
FENOMENOLOGI (Edmund Husserl)
Edmund Husserl, pendiri pendekatan ini, dalam bukunya yang termasyur,
The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology,
menyatakan bahwa konsep dunia kehidupan merupakan konsep yang dapat
menjadi dasar bagi ilmu pengetahuan yang mengalami krisis akibat cara berfikir
positivistis dan sainstistis itu.
52
Fenomenologi memandang bahwa dunia kehidupan ini adalah unsur-
unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan kita, unsur-unsur dunia sehari-hari
yang kita libati dan hidupi sebelum kita menteorikannya atau menrefleksikannya
secara filosofis. Dunia kehidupan sosial itu bersifat pra teoritis dan pra ilmiah,
bukan sekedar penjumlahan makna para pelaku individual serta berlapis-lapis
menurut struktur yang ditetapkan oleh masyarakat.
Adalah hermeneutik sebagi pendekatan kedua yang akan memperkukuh
pendekatan pertama (fenomenologi), yang memiliki pandangan dunia kehidupan
sosial bukan hanya dunia yang hanya dihayati individu-individu dalam
masyarakat, namun juga merupakan objek penafsiran yang muncul karena
penghayatan tersebut. Apa yang dalam fenomenologi disebut sebagai
“kesadaran yang mengkonstitui (membentuk) kenyataan” dan yang kemudian
dalam hermeneutik ditunjukan dalam pengertian kata hermeneutik itu sendiri
yaitu penafsiran, menunjukan peranan subjek dalam kegiatan pengetahuan.
Pendekatan ketiga yang sekaligus mnjadi pendukung bagi dua
pendekatan yang diatas untuk mengatasi positivist. Prespektif baru yang
dikembangkannya ialah paradigma komunikasi bagi ilmu-ilmu sosial. Sejauh
praksis komunikasi dimaksudkan untuk mencapai pemahaman timbal balik, oleh
karena itu hermeneutik juga memiliki peranan penting.
Terdapat hubungan yang tidak terpisahkan antara Fenomenologi,
hermeneutik dan teori kritis (paradigma komunikasi) yang berkaitan dalam usaha
pada taraf epistemologis dan metodologis untuk membuka konteks yang lebih
luas dari nilmu-ilmu, khususnya ilmu-ilmun sosial. Konsep dunia kehidupan,
pemahaman, dan tindakan komunikatif menjadi suatu usaha menangani
positivist.
53
Tabel II.5 Sumber Pokok Pengetahuan dari Berbagai Paradigma
Teori Konsepsi Pengetahuan
I. Plato Plato (abad ke – 5 SM)
Pengetahuan adalah fungsi mengingat kembali informasi yang telah lebih dulu diperoleh. Dua proposisi utama : Jiwa telah ada sebelum adanya badan di alam yang lebih
tinggi daripada alam materi; Pengetahuan rasional tidak lain pengetahuan tentang
realitas-realitas yang tetap di alam yang lebih tinggi atau arketip (archetypes)
II. Rasionalisme Rene Descartes (1596 – 1650), Immanuel Kant (1724 – 1804)
Sumber konsepsi atau pengetahuan adalah : Penginderaan (sensasi), konsepsi panas, cahaya, rasa ada
karena penginderaan. Fitrah (ide “Tuhan”), artinya akal manusia memiliki
pengertian-pengertian dan konsepsi-konsepsi yang tidak muncul dari indera.
III. Empirisisme John Locke (1632 – 1704), Berkeley (1684 – 1753), David Hume (1711 – 1776)
Penginderaan atau eksperimen ilmiah merupakan sumber persepsi yang menghasilkan konsepsi. Sumber segala pengetahuan tersembunyi dalam penginderaan oleh organ penginderaan dalam jasmani manusia terhadap alam objektif. Langkah mendapatkan pengetahuan (Mao Tse Tung) : Hubungan primer atau kontak langsung dengan lingkungan
luar – tahap penginderaan Akumulasi – pengurutan dan pengorganisasian –
pengetahuan yang diperoleh dari persepsi-persepsi inderawi Positivisme
August Comte Pendapat aliran positis terhadap proposisi filosofis : Tidak mungkinmengukuhkan proposisi filsafat, sebab subjek
yang dikaji diluar batas eksperimen dan pengalaman manusia
Tidak mungkinmenggambarkan kondisi, yang jika dimiliki, maka proposisi itu benar, dan jika tidak, proposisi itu salah sebab tidak terdapat perbedaan dalam konsep aktualitas apakah proposisi itu benar atau salah
Karena itu, proposisi filisofis tidak bermakna, karena ia tidak memberikan informasi tentang alam
Tidak dibenarkan untuk melukiskan proposisi filosofis sebagai benar atau salah
Marxisme Kalx Marx, Mao Tse Tung (1893 – 1976)
Doktrin empirakal dalam perspektif Marxist : Semua pengetahuan telah sempurna pada tahap awal, yaitu
pada tahap penginderaan dan pengalaman sederhana; Adanya dua langkah pengetahuan : langkah empirakal dan
mental, yaitu aplikasi dan teori, atau tahap pengalaman dan tahap pengertian dan penyimpulan.jadi titik tolak pengetahuan adalah indera dan pengalaman.
Fenomenologi memandang bahwa dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan kita, unsur-unsur dunia sehari-hari yang kita libati dan hidupi sebelum kita menteorikannya atau menrefleksikannya secara filosofis
pembentukan dunia Objektif dalam kesadaran subjek sosial
54
IV. Disposesi Filosof Muslim
Membagi konsepsi mental menjadi dua bagian : Konsepsi primer yaitu dasar konseptual akal manusia yang
lahir dari persepsi inderawi terhadap suatu kandungan Konsepsi sekunder (turunan) yaitu ide baru yang muncul
karena aktivitas akal melalui daur penciptaan – inovasi dan kontruksi (intiza’ atau disposesi) yang jangkauannya diluar indera
Sumber : Resume beberapa sumber (Imam Indratno, dalam makalah Paradigma Perencanaan dalam
Persepektif Positivisme dan Islam) Tabel II.6
Perbandingan Positivist, Rasionalis, Fenomenologi
Positivist Rasionalis Fenomenologi ● Pengetahuan
dibangun dengan merujuk pada yang termanifestasikan, yakni hanya yang mapu ditangkap secara indera
● Model yang digunakan pada ilmu-ilmu alamiah memberikan standart logis untuk menilai penjelasan ilmu sosial.
● Pengetahuan hanya bersifat objektif
● Bersifat empiris, didasarkan hubungan kausalitas, yang memungkinkan hanya bersifat praktis dan pragmatis.
● Bebas nilai
● Pengetahuan muncul sebagai objek kesibukannya sendiri (pengetahuan menjadi problematik bagi dirinya sendiri
● Mengethui pengetahuan yang “apa adanya pengethuan itu”
● Akal adalah substansi (logika sebagai cara berfikir ilmiah)
● Pengetahuan berdasarkan pengalaman-pengalaman subjektif
● Sebuah penjelasan yang reasonable (masuk akal) secara struktur dan terorganisir.
● Genarailsasi secara luas, yang mengusung ide subjektifitas yang tinggi
● Mengabaikan hal yang bersifat historis, struktural dan sistemikkecenderungan untuk menolak penjelasan alternatif ketika subjektifitas diangkat ketempat yang paling tinggi.
● konseptualisasi teoritik
Sumber : Resume beberapa sumber
2.3.2 Filsafat Perencanaan Awal mula pemikiran teori perencanaan yang mulai di kembangkan pada
sebuah perencanaan ialah suatu perencanaan Utopia (Utopia Planning), yang
dipelopori oleh 3 pemikir, yaitu: Lewis Munford, Howard Odum, Thomas Adam.
Inti dari konsep ini adalah ingin menciptakan keadaan yang akan membentuk
suatu hubungan yang harmonis antara makhluk hidup dan alam, dalam rangka
menyesuaikan diri dan menghadapi perkembangan yang luar biasa dari suatu
peradaban industri. Pemikiran ini dilatarbelakangi oleh keadaaan-keadaan yang
semakin mengkhawatirkan pada saat itu, yaitu :
● Pertumbuhan kota yang semakin tidak terkendali
● Pengebaian dan penganiayaan budaya setempat
55
● Degradasi sosial
● Eksplorasi sumber daya alam yang merusak lingkungan
Didasari oleh kegagalan yang dialami perencanaan Utopia yang
menganut dasar pemikiran dari aliran filsafat Utopianiame Idealisme, maka
seiring dengan itu muncul suatu teori-teori perencanaan beru seperti Positive
Planning, Normative Planning, dan Blue Print Planning, yang kesemuanya
mengandung dasar pemikiran filsafat aliran Positivisme. Karakter perencanaan
pada era ini dengan melihat filsafat yang memayunginya dapt dikatakan bahwa
perencanaan pada era ini dilandaskan pada “realitas” sebagaimana yang
ditangkap oleh inderawi.
Pertimbangan nilai (value judgement) bukan merupakan patokan
pengetahuan pada saat itu. Lebih bersifat empiris materialisme, yaitu sesuatu
yang menutup kemungkinan pandangan subjektif yang bersifat metafisik.
Berkembang dalam semangat ‘critical approach’, aliran ini bersemangat
mempertanyakan dan mengkritisi “apa arti perencanaan?” dan lebih jauh lagi
“apakah perencanaan membawa manfaat bagi kehidupan?. Aliran ini
memandang bahwa perencanaan bukanlah bebas nilai dan bebas politik, yang
memiliki tujuan melakukan percobaan merumuskan kembali hakekat dan praktek
perencanaan.
Peran Positivist dalam Perencanaan telah memudar ketika melihat bahwa
para teoritisi itu sendiri bekerja dari landasan nilai (dan bias) paradigma mereka.
Dan tidak mengatakan sesuatu tentang nilai-nilai tersembunyi. Perhatian kita jadi
terfokus pada suatu pendekatan yang bersifat teknis (cara), bukan pada
tujuannya sendiri.
Procedural Planning, Rational Comprehensive Planning ialah sebuah
teori yang berbicara tentang perencanaan mendominasi debat tentang
perencanaan pada paradigma selanjutnya, yang juga lebih kearah filsafat
Rasionalisme. Debat kali ini menekankan pada perencanaan sebagai satu
proses dan berupaya untuk mencari proses yang terbaik dan teroptimal
(procedural debate). Perencanaan sebagai proses, menekankan pada model-
model analitis untuk pengambilan keputusan.
56
Rasionalisme dengan pandangannya tentang praktek perencanaan yang
tidak memandang sebuah pluralitas,. Suatu pendekatan teori perencanaan yang
masih berpatokan pada dokumen fisik saja yaitu berupa peta-peta dan kebijakan
untuk di implementasikan, membuat perencanaan ini bersifat kaku. Perencanaan
Komprehensif Rasional tidak begitu memperhatikan kenyataan yang
menyebutkan bahwa praktek perencanaan itu berbeda sekali dengan teori
perencanaan, dimana praktek perencanaan membutuhkan suatu pengetahuan
diluar yang rasional (irrasional) juga. Suatu pengetahuan yang tidak akan
didaptkan oleh cara berfikir rasional.
Setelah rasionalisme dengan beberapa teori perencanaannya yang
dirasakan masih diperlukan beberapa masukan untuk menyempurnakan sebuah
konsep perencanaan, muncullah teori perencanaan lain seperti Plural Planning,
Politics of Planning, Social Planning, Implementation and Policy Pragmatisme
Planning, The New Humanism, Political Economy Empowerment. Dari itu semua
dapat dilihat bahwa filsafat yang memayunginya ialah pokok pikiran
Fenomenologi. Sebuah filsafat yang mengusung suatu hal yang realistis dan
mengemukakan bahwa masyarakat ialah suatu sistem yang bebas nilai, namun
realitas sosial ialah hasil dari interpretasi oleh para aktor masyarakat kedalam
suatu realitas objektif. Dapat dikatakan bahwa praktek perencanaan ini hanya
bersifat pemaknaan subjektif dari para aktor perencana. Walau begitu,
sebenarnya pada faham ini cukup memberikan banyak hal positif dan juga
masukan yang cukup banyak terhadap praktek perencanaan sebelumnya. Untuk
lebih jelas dapat dilihat pad tabel dibawah ini, tentang filsafat modern yang
banyak memayungi filsafat perencanaan.
Tabel II.7 Perkembangan Teori Perencanaan dan Filsafat yang Memayunginya
Filsafat Teori Perencanaan Karakteristik Perencanaan Kategori Teori
Utopianisme Idealisme
Utopian Planning Romantic Planning Authoritarian Planning
Urban Design Rural Design
Theory “for” Planning
Positivisme Positive Planning Normative Planning Blue Print Planning
Urban Design Urban Engineering Urban Planning Land Use Planning Development Planning
Theory “for” Planning
57
Rasionalisme Procedural Planning Rational Comprehensive Planning
Policy Analysis Scientific Analysis
Theory “of” Planning
Fenomenologi
Plural Planning Politics of Planning Social Planning Implementation and Policy Pragmatisme Planning The New Humanism Political Economy Empowerment
Social Learning Social Mobilization
Theory “in” Planning Theory “for” Planning
Sumber : Dr. Ir. Uton Rustan Harun Msc. “Proyek Akhir Sebagai Alternatif Tugas Akhir bagi Program S1 Pendidikan Planologi”, Makalah Seminar Intern, 1997
2.4 Kajian Teoritis Sains Islam 2.4.1 Kajian Filsafat Islam
Sebuah kajian teoretis yang sangat diperlukan untuk mengungkap suatu
pokok pikiran dari para filisof Islam terdahulu, dan dianggap mampu untuk
menjadi suatu yang dapat ditransformasikan kedalam suatu ilmu pengetahuan.
Sebelum masuk pada pembahasan apa, siapa dan bagaimana pokok ajaran
Islam yang berkembang dari sudut filosofisnya, pokok pikiran Islam tersebut akan
terbagi kedalam beberapa faham (aliran) yang dapat dilihat dibawah ini.
Tabel II.8
Peta Pokok-Pokok Pikiran Tradisional Islam Kalam
Mu’tazilah Hikmat
Masya’iyah Hikmat
Isyraqiyah Irfan
Wujudiyah Hikmat
Muta’aliyah Eksistensi (wujud) Riil Riil mental riil riil
Esensi (mahiyyah) Riil Riil riil mental mental
Hubungan Eksistensi dan Esensi
Eksistensi mendahului
esensi
Esensieksi mendahului
esensi
Stensi mendahului eksistensi
Eksistensi mendahului
esensi
Eksistensi mendahului
esensi
Struktur Realitas
Polaritas mutlak
Jenjang eksistensi
Gradasi esensi
Jenjang esensi
Gradasi eksistensi
Metode Keilmuan
Rasio, Wahyu
Rasio, Wahyu
Rasio, Intuisi, Wahyu
Intuisi, Wahyu
Rasio, Intuisi, Wahyu
Sumber : Fazlur Rahman, “Filsafat Shadra”, 2000
58
Kaum Mu’tazilah memiliki kecenderungan berfikir simplitis dalam
menuntut pahala bagi yang baik dan siksa bagi yang tidak, lebih berwawasan
hampa-utopia. Aliran ini juga yang memandang suatu keilmuan dengan
menggunakan rasio dan wahyu. Kaum Hikmah Masya’iyah (peripatetik) dengan
tokoh utamanya Ibnu Sina yang cenderung memilki pola pikir berdasarkan rasio
dan wahyu juga menempatkan para pengikutnya pada sumber realitas dengan
sentuhan pengalaman (experiental touch). Menjadikan aliran ini dipandang
kearifan yang lebih luas. Kemudian Hikmah Isyraqiyah (iIuminasi), membicarakan
tentang intrumen intuisi, rasio, dan wahyu sebagai metode keilmuannya.
Perpaduan antara mistisme dan filsafat peripatetik yang secara harfiahnya berarti
menyempurnakan diri sendiri. Aliran ini dipelopori oleh Al-Suhrawardi, mengganti
pandangan realitas yang terdiri dari rangkaian objek dengan realitas sebagai
derajat cahaya yang bertingkat. Maksudnya ialah menggabungkan metode intuitif
mistikus dengan metode rasional sebagai pelengkapnya. Selanjutnya ialah Irfan
Wujudiyah (mistisme) yang dipelopori oleh Ibnu Arabi, menjelaskan bahwa
benda-benda fisik tak lain hanyalah bayangan dari realitas-realitas tetap itu.
Mencurigai penggunaan rasio dan akal, sebagai gantinya aliran ini menggunakan
intuisi atau pengalaman batin mengenai realitas sebagai sumber utama
pengetahuan disamping wahyu tentunya.
Untuk pemikiran dari Mulla Shadra sendiri yang nantinya akan digunakan
dalam studi ini, Hikmah Muta’aliyah mengusung pemikiran bahwa kebenarana
mistisme hasil pengetahuan intuisi secara esensi adalah identik dengan
kebenaran intelektual, dan pengalaman mistis pada dasarnya adalah
pengalaman kognitif, tetapi kebenaran pengetahuan intelektual dan muatan
kognitif (kesadaran yang utama) ini harus “dihayati” jika ingin diketahui secara
seutuhnya. Jika kebenaran-kebenaran itu diketahui secara intelektual sebagai
proporsproporsi rasional, maka mereka akan kehilangan karakter esensialnya,
halm ini membuat bahwa penggabungan antara objektifitas proporsional nalar
(rasional) dan sebjektifitas emosional hati (intusi) dengan wahyu tentunya, akan
membuat sebuah pengetahuan akan sesuatu lebih baik dan mendalam. Super
realis Mulla Shadra dengan baik menjelaskan fungsi alam imajinal. Pemikiran
oleh Aristoteles tentang kesalingbergantungan (interpendence) antara ontologi
dan metafisik telah terjelaskan secara jernih oleh Mulla Shadra. Suatu
59
pandangan yang mencoba merasionalkan suatu realitas mistime (memandang
lebih suatu pengalaman subk\jektif kedalam suatu konsep yang objektif).
2.4.2 Konsep Kearifan Puncak
Pemikiran Mulla Shadra tentang konsep “Kearifan Puncak” menyebutkan
beberapa tahapan menuju sebuah keyakinan keimanan kepada Allah SWT.
Dalam hal ini penulis memandang sebagai suatu proses yang bersifat
transendental. Pemahaman transendental diartikan sebagai gambaran kita
mengenai sebuah bangunan ide yang sempurna mengenai kehidupan, suatu ide
murni yang bersifat metahistoris dan pengetahuan supra inderawi. Al quran
sesungguhnya menyediakan kemungkinan yang sangat besar untuk dijadikan
sebagain cara berfikir. Pola pikir dasar Mulla Shadra (Kuliah-kuliah Tasawuf,
2000, “Mengenal Mulla Shadra” oleh Agus Efendi, hal 194) :
1. Diawali dengan mempelajari filsafat-filsafat yang mendahuluinya, kemudian
menggabungkan pemikiran-pemikiran ‘irfan dan pandangan-pandangan
keagamaan
2. Mengeliminasi ekstremitas-ekstremitas tertentu dalam pemikiran filsafat dan
‘irfan
3. Mempelajari mazhab-mazhab kalam, menghindari prinsip-prinsip dialektika
yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip logika, mengambil yang sebaliknya
4. Mempelajari mazhab-mazhab tafsir dan penafsiran di sekitar Al Quran
5. Menjadikan wujud sebagai titik tolak dan titik orientasi dalam segala
pemikiran
6. Melahirkan metode baru pemikiran yang didasarkan pada prinsip-prinsip dan
akurasi pemikiran yang komprehnsif dan unik
7. Dengan metode-metode di atas, mazhab hikmah melahirkan prinsip-prinsip
baru dalam filasafat dan ilmu
Cara berfikir inilah yang dinamakan sebagai suatu paradigma Islam.
Pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan yang berdasarkan
paradigma Al Quran jelas akan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan umat
manusia. Struktur transendental Al Quran adalah sebuah ide normatif dan
filosofis yang dirumuskan menjadi paradigma teoretis. Dengan melakukan hal
tersebut kita telah melakukan aktualisasi misi manusia dimuka bumi sebagai
60
khalifah di muka bumi dengan tujuan kemaslahatan bagi umat manusia. Mulla
Shadra menyusun topik-topik filosofis mengenai jalan rasional dan intelektual
dengan cara menyerupai kaum ‘urafa berkeyakinan bahwa seseorang
pengembara akan menempuh empat perjalanan “Kearifan Puncak”, yaitu:
• Perjalanan dari Makhluk menuju Tuhan
Safar yang pertama ialah safar min al-khalq ila’ al-Haq, dari alam makhluk
menuju Allah (dari “yang plural” menuju ke “Yang Singular”, dari “yang
majemuk” menuju “Yang Tunggal”). Kita semua akan menuju Al-Haq, yakni
Allah SWT. Ada berbagai cara untuk mengenal Allah, salah satunya engan
membuktikan adanya ayat-ayat Allah. Dengan melihat ayat-ayat Allah, yakni
ciptaan-ciptaan Allah, kita akan mengenal bahwa dibalik semua itu ada Sang
Khlaik (Q.S. 51 : 20-21)
Pada safar ini dipahami bahwa kita ingin menuju Allah. Sebagi makhluk kita
terpisahkan dengan Al-Haq (transenden) oleh berbagai martabat. Seseorang
yang ingin melewati safar ini harus melewati tiga Maqam yaitu: alam nafs,
alam qalb dan alam ruh.
Di alam nafs, bukan menghilangkan atau melenyapkannya, namun
membatasi dan melepas nafs yang dapat mengotori kita (contoh: nafs
ammarah) (Q.S. 91 : 7-8). Selanjutnya dalam alam qalb, yang merupakan
tingkatan alam ruhani. Kalbu memeberikan kita cahaya, tetapi kadang-
kadang kita terpaku dalam alam kalbu. Misalnya, manusia suah dapat
memebersihkan dan memelihara jiwanya dari hal-hal yang dilarang oleh Allah
SWT. Bisa saja dia sudah terhiasi oleh akhlak-akhlak yang baik, namun
setiap harinya hanya dalam tahapan itu saja, tidak menjadi stimulan yang
mendorongnya ketingkatan yang lebih tinggi.
Sedangkan hijab yang terakhir dalam safar yang pertama ialah alam ruh, ruh
yang dimaksudkan disini hanyalah istilah. Mengapa kita harus melewati ruh
ini? Karena kita adalah materi.dibandingkan dengan sesuatu yang spiritual,
materi adalah gelap. Namun sebelum melewati alam ruh harus berhenti di
terminal yang disebut sebagai maqam aql. Akal disini berarti luas ketimbang
akal yang kita pahami, akal yang identik dengan sebuah pemikiran yang
rasional materialisme akan membawa kita terjebak dengan alam materi, yang
sebenarnya harus kita tinggalkan sebleum masuk kelam ruh. Namun bukan
berati meninggalkan fungsi akal, hanya menempatkan akal untuk memahami
61
suatu yang supra inderawi atau supra logis dengan menyatu padukannya
dengan hati dan intuisi.
• Perjalanan dengan Tuhan dalam Tuhan
Selanjutnya dalam tahapan berikutnya yakni safar fil Al-Haq ma’a Al-Haq
(dalam Allah bersama Allah). Safar ini dilakukan dengan syarat harus
melewati safar pertama. Pada safar ini juga harus melewati beberapa
maqam, yakni maqam sirr (fana’fi Dzat) yang iasanya para arif sering berada
dalam kemabukan (ekstase). Kedua, maqam khafiy (fana’) yaitu seoarang
arif akan menghadapi kefanaan dalam sifat Allah. Ketiga yakni maqam akhfa,
yaitu maqam Dzat dan Sifat sekaligus.
• Perjalanan dari Tuhan menuju makhluk dengan Tuhan
Selanjutnya safar yang ketiga setelah melewati dua safar sebelumnya
dengan tujuh maqam yakni safar min al-Haq ila khalq ma’a al-Haq (dari Allah
menuju makhluk bersama Allah). Seakan-akan safar ini bagian dari
antiklimaks (menurun), hal ini memang sulit dijelaskan. Seoarang salik tidak
lagi melihat Allah dari sesuatu, namun dibalik menjadi melihat sesuatu
karena Allah sebelumnya. Adanya Sang Pencipta membuktikan adanya alam
semesta ini. Dalam tahapan ini manusia berada dalam sebuah “peniadaan
diri” yang menganggap bahwa seluruh yang terdapat dialam ini tidak ada
kecuali Allah, dan melakukan segala sesuatunya dalam kehidupan ini hanya
untuk kemashlahatan semesta.
• Perjalanan dalam Makhluk bersama Tuhan
Tahapan selanjutnya yang merupakan tahapan tertinggi dari seluruh
perjalanann yang dilakukan seorang salik yakni, safar fil al-khalq ma’a al-Haq
(dengan Allah tetapi dalam Allah). Dalam safar ini seseorang yang telah
mengarungi alam-alam yang harus dilalui dan sampai pada puncaknya, dia
harus turun kembali dan membenahi masyarakatnya. Menyatukan diri
dengan Allah membuat dia bukan hanya sempurna namun menyempurnakan
masyarakatnya. Seoarang salik yang telah berada dalam tahapan ini harus
kembali lagi menyampaikan pesan-pesan Allah SWT kepada para makhluk-
Nya berdasarkan kemampuan mereka (bahasan dengan bahasa yang
mudah dimengerti oleh yang lain).
62
2.4.3 Gerak Substansif (Al-Harakah Al-jauhariyyah) Dalam pengertian klasik, gerakan (kinesis) meliputi seluruh perubahan
bentuk kulaitas, kuantitas, posisi, maupun potensi. Secara meterial, gerakan
terkait dengan perubahan lokasib spasial dari benda-benda relatif satu sama lain
atau gerak yang diberikan dari luar pada suatu benda. Tetapi ada juga jenis
gerakan yang bersumber dari dalam yaitu gerakan oleh jiwa secara internal. Jadi
gerak tidak saja berhubungan dengan perubahan materi secara umum, namun
meliputi dimensi imateri dan spuiritual.( Musa Asy’arie, 2002: p. 207)
Salah satu pikiran yang cukup penting ialah tentang Gerak Substansif (Al-
Harakah Al-jauhariyyah) yang memuat tentang, menempatkan seluruh bidang
wujud dalam gerak yang terus menerus dengan mengetakan bahwa gerak tidak
hanya terjadi pada kualitas-kualitas sesuatu, tetapi juga pada substansinya.
Ajaran tentang Gerak Substansif (Al-Harakah Al-jauhariyyah) yang merupakan
sumbangan pemikiran dari Mulla Shadra bagi filsafat Islam ini mengubah
“tingkatan-tingkatan” Al-Suhrawardi yang tepat kedalam suatu gagasan tentang
kerancuan sistematis (tasykik) wujud. Hasilnya ialah sebagai berikut:
1. “Tingkatan-tingkatan” wujud tidak lagi tetap dan statis, tetapi tidak pernah
berhenti bergerak dan mencapai bentuk-bentuk wujud yang lebih tinggi
dalam waktu.
2. “Wujud” dapat diterapkan pada seluruh tangga evolusi bi al-tasykik, yakni
dengan kerancuan sistematis dan tidak ada konsep lain yang mempunyai
karakter ini, hanya wujudlah prinsip yang berdasarkan kesederhanaan dan
kesatuan (basith) menciptakan perbedaan-perbedaan
3. Gerak alam semesta (yang tidak dapat dibalik dan satu arah) ini berakhir
pada Manusia Sempurna yang menjadi anggota Alam Ketuhanan dan
Bersatu dengan Sifat-sifat Tuhan.
4. Masing-masing tangga wujud yang lebih tinggi meliputi semua tangga yang
lebih rendah dan melampaui mereka, ini diungkapkan dengan formula
“realitas sederhana adalah segala sesuatu”. Semakin tinggi realitas, semakin
sederhana dan semakin meliputi
5. Semakin banyak sesuatu mempunyai atau mencapai wujud, semakin sedikit
ia memiliki esensi. Karena jika wujud riil, konkrit, menentukan, individual, dan
bercahaya, esensi benar-benar kebalikannya dan muncul hanya dalam pikirn
karena pengaruh realitas terhadapnya.
63
Ibn Sina berkaitan dengan gerak, mengatakan bahwa, ada dua gagasan
yang dapat dibedakan. Pertama, adalah konsep gerak sebagai suatu
kontinunitas, yakni bagian gerak dari titik yang satu ke titik yang lain atau dari
awal ke yang terakhir sebagai sebuah keseluruhan. Ini hanya ada dalam pikiran,
karena gambaran mental dapat menyimpan berbagai titik di mana badan yang
bergerak yang telah melintasi terlibat meninggikan dan menurunkan saat bagian
dan membangunkan ke dalam saat ini yang disatukan seluruhnya. Kedua, yang
secara aktual dapat diperhatikan dalam dunia eksternal adalah kondisi tidak
berubah dan permanen dari badan yang bergerak, yakni kondisi wujud yang
berada antara permulaan dan akhir. (Fazlur Rahman, 2000: p. 125-126)
Menurut Shadra, karena gerak yang berpindah sebagai kata kerja, yakni
“kebaruan dan ketergelinciran yang kontinu”, dari bagian-bagian gerak adalah
tidak mungkin bahwa sebabnya yang langsung harus sesuatu yang tetap atau
wujud yang abadi. Karena, suatu entitas yang tetap atau abadi mengandung
dalam dirinya fase-fase gerak yang dilalui sebagai kenyataan saat ini, dan
kebersamaan melewati fase-fase gerak yang dilalui sebagi kenyataan saat ini,
dan kebersamaan melewati fase-fase sama dengan diam, bukan gerak. Dengan
demikian, ada perubahan lain disamping perubahan aksiden-aksiden, perubahan
yang lebih fundamental, yaitu perubahan-perubahan dalam substansi. (Fazlur
Rahman, 2002: p. 127)
Gerak Substansif berlangsung sepanjang masa sehingga tidak ada
sesuatu yang sama pada dua saat yang berbeda. Gerakan ini senantiasa
mengarah ke bentuk-bentuk yang lebih tinggi. Diluar gerakan itulah kita
menganggit konsep waktu yang sebenarnya tidaklah nyata sebab ia tidak lebih
dari ukuran perubahan atau ciri khas yang kita sangkutkan pada hal yang
menggejala di luar kita.
2.5 Sebuah Pijakan Untuk Proses Transformasi 2.5.1 Pandangan Islam
Iman kepada Sang Pencipta membuat Muslim lebih sadar akan segala
aktivitasnya. Mereka bertanggung jawab atas perilakunya dengan menempatkan
akal di bawah otoritas Allah SWT. Karena itu, dalam Islam, tidak ada pemisahan
antara alat berpengetahuan dan tujuan dari ilmu pengetahuan. Keduanya tunduk
pada tolak ukur etika dan nilai keimanan. Ia harus mengikuti prinsip bahwa
64
sebagai ilmuwan yang harus mempertanggung jawabkan seluruh aktivitasnya
pada Dzat Maha Sempurna, maka ia menunaikan fungsi sosial pengetahuan
untuk melayani masyarakat dan dalam waktu yang bersamaan melindungi dan
meningkatkan institusi etika dan moralnya. Dengan demikian, pendekatan Islam
pada ilmu pengetahuan dibangun di atas landasan moral dan etika yang absolut
dengan sebuah bangunan yang dinamis berdiri di atasnya.
Akal dan objektivitas dianjurkan dalam rangka menggali ilmu
pengetahuan ilmiah, di samping menempatkan upaya intelektual dalam batas-
batas etika dan nilai-nilai Islam. Para Filsuf Islam menyebutkan ada beberapa
cara untuk dijadikan sebagai alat atau sumber pengetahuan, yaitu:
1. Alam fisik (indera)
Manusia sebagai wujud yang materi, maka selama di alam materi ini ia tidak
akan lepas dari hubungannya dengan materi secara interaktif, dan
hubungannya dengan materi menuntutnya untuk menggunakan alat
yang sifatnya materi pula, yakni indra (al hiss), karena sesuatu yang materi
tidak bisa dirubah menjadi yang tidak materi (inmateri).
Contoh yang paling konkrit dari hubungan dengan materi dengan cara yang
sifatnya materi pula adalah aktivitas keseharian manusia di dunia ini, seperti
makan, minum, hubungan suami istri dan lain sebagainya. Tanpa indra
manusia tidak dapat mengetahui alam tabi'at. Disebutkan bahwa, barang
siapa tidak mempunyai satu indra maka ia tidak akan mengetahui sejumlah
pengetahuan. Dalam filsafat Aristoteles klasik pengetahuan lewat indra
termasuk dari enam pengetahuan yang aksioamatis (badihiyyat).
Meski indra berperan sangat signifikan dalam berpengetahuan, namun indra
hanya sebagai syarat yang lazim bukan syarat yang cukup. Peranan indra
hanya memotret realita materi yang sifatnya parsial saja, dan untuk meng-
generalisasi-kannya dibutuhkan akal. Malah dalam kajian filsafat Islam yang
paling akhir, pengetahuan yang diperoleh melalui indra sebenarnya bukanlah
lewat indra. Mereka mengatakan bahwa obyek pengetahuan (al ma'lum) ada
dua macam, yaitu, (1) obyek pengetahuan yang substansial dan (2)
obyek pengetahuan yang aksidental. Yang diketahui secara substansial
oleh manusia adalah obyek yang ada dalam benak, sedang realita di
luar diketahui olehnya hanya bersifat aksidental. Menurut pandangan
ini, indra hanya merespon saja dari realita luar ke relita dalam.
65
2. Alam akal
Kaum Rasionalis, selain alam tabi'at atau alam fisika, meyakini bahwa akal
merupakan sumber pengetahuan yang kedua dan sekaligus juga sebagai
alat pengetahuan. Mereka menganggap akal-lah yang sebenarnya menjadi
alat pengetahuan sedangkan indra hanya pembantu saja. Indra hanya
merekam atau memotret realita yanng berkaitan dengannya, namun yang
menyimpan dan mengolah adalah akal. Karena kata mereka, indra saja
tanpa akal tidak ada artinya. Tetapi tanpa indra pangetahuan akal hanya
tidak sempurna, bukan tidak ada.
3. Analogi
Termasuk alat pengetahuan manusia adalah analogi yang dalam terminologi
fiqih disebut qiyas. Analogi ialah menetapkan hukum (baca; predikat) atas
sesuatu dengan hukum yang telah ada pada sesuatu yang lain karena
adanya kesamaan antara dua sesuatu itu.
Analogi tersusun dari beberapa unsur; (1) asal, yaitu kasus parsial yang telah
diketahui hukumnya. (2) cabang, yaitu kasus parsial yang hendak diketahui
hukumnya, (3) titik kesamaan antara asal dan cabang dan (4) hukum yang
sudah ditetapkan atas asal.
Analogi sendiri dibagi menjadi dua, yaitu: Analogi interpretatif : Ketika sebuah
kasus yang sudah jelas hukumnya, namun tidak diketahui illatnya atau sebab
penetapannya. Analogi Yang Dijelaskan illatnya : Kasus yang sudah jelas
hukum dan illatnya.
4. Hati atau Ilham
Kaum empiris yang memandang bahwa ada sama dengan materi
sehingga sesuatu yang inmateri adalah tidak ada, maka pengetahuan
tentang in materi tidak mungkin ada. Sebaliknya kaum ILLAHI (theosopi)
yang meyakini bahwa ada lebih luas dari sekedar materi, mereka
mayakini keberadaan hal-hal yang inmateri. Pengetahuan tentangnya
tidak mungkin lewat indra tetapi lewat akal atau hati. Tentu yang dimaksud
dengan pengetahuan lewat hati disini adalah pengetahuan tentang realita
inmateri eksternal, kalau yang internal seperti rasa sakit, sedih, senang,
66
lapar, haus dan hal-hal yang iintuitif lainnya diyakini keberadaannya oleh
semua orang tanpa kecuali.
Karena ilmu pengetahuan menggambarkan dan menjabarkan aspek
realitas yang sangat terbatas, ia dipergunakan untuk mengingatkan akan
keterbatasan dan kelemahan kapasitas manusia. Al-Qur’an juga mengingatkan
agar sadar pada keterbatasan sebagai manusia sebelum terpesona oleh
keberhasilan penemuan-penemuan sains dan hasil-hasil penelitian ilmiah,
sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Yasin : 77-83:
“ Tidakkah manusia mengetahui, bahwa Kami menjadikan dia dari sperma,
kemudian ia menjadi musuh yang nyata. Dia memberikan perumpamaan bagi
kami dan ia lupa akan kejadiannya. Ia berkata: “ Siapakah yang bisa
menghidupkan tulang belulang yang telah rusak binasa?’ Katakanlah: “Yang
akan menghidupkannya ialah (Tuhan) yang menjadikan dia pada pertama kali.
Dia Maha Mengetahui semua makhluk-Nya. Yang mendatangkan untukmu api
dari pohon kayu yang hijau (basah), tiba-tiba kamu menyalakan api dengannya.
Bukankah (Tuhan) yang menjadikan langit dan bumi, berkuasa menjadikan
seumpama mereka? Ya, (memang berkuasa). Dia Maha Pencipta lagi Maha
Mengetahui. Hanya urusan-Nya (Allah), bila ia menghendaki sesuatu , Ia berkata
kepadanya: Jadilah Engkau! Maka jadilah ia. Maha Suci Allah yang memiliki
segala sesuatu di tangan-Nya dan kepada-Nya tempat kamu kembali (QS.
Yasin:77-83)
Terdapat beberapa masukan untuk berpengetahuan menurut Islam yang
terangkum dalam syarat-syarat berpengetahuan seperti yang dijelaskan dibawah
ini:
a. Percaya pada wahyu;
b. Ilmu pengetahuan adalah alat untuk mendapat keridhaan Allah: ia merupakan
bentuk ibadah yang memiliki fungsi spritual dan sosial;
c. Banyak metode berlandaskan akal dan wahyu: objektif dan subjektif,
semuanya sama-sama valid;
d. Komitmen emosional sangat penting untuk mengangkat usaha-usaha ilmu
pengetahuan spritual maupun sosial;
67
e. Pemihakan pada kebenaran: yakni, apabila ilmu pengetahuan merupakan
salah satu bentuk ibadah, maka seorang peneliti harus peduli pada akibat-
akibat penemuannya sebagaimana juga terhadap hasil-hasilnya; ibadah
adalah satu tindakan moral dan konsekuensinya harus baik secara moral;
mencegah peneliti agar jangan menjadi agen tak bermoral;
f. Adanya subjektivitas: arah ilmu pengetahuan dibentuk oleh kriteria subjektif:
validitas sebuah pernyataan ilmu pengetahuan bergantung baik pada bukti-
bukti pelaksanaannya maupun pada tujuan dan pandangan orang yang
menjalankannya; pengakuan pilihan-pilihan subjektif pada penekanan dan
arah sains mengharuskan ilmuwan menghargai batas-batasnya;
g. Sintetis: cara yang dominan untuk meningkatkan kemajuan ilmu pengetahuan
h. Holistik: ilmu pengetahuan adalah sebuah aktivitas yang terlalu rumit yang
dibagi kedalam lapisan yang lebih kecil; ia adalah pemahaman interdisipliner
dan holistik;
i. Universalisme: buah ilmu pengetahuan adalah bagi seluruh umat manusia,
j. Orientasi nilai: ilmu pengetahuan seperti halnya semua aktivitas manusia
adalah syarat nilai (ajaran Islam)
k. Loyalitas pada Allah SWT dan makhluk-Nya: hasil pengetahuan baru
merupakan cara memahami ayat-ayat Tuhan dan harus diarahkan untuk
meningkatkan kualitas ciptaan-Nya:
2.5.2 Pandangan Filsafat Kontemporer Salah satu cara yang dapat diadopsi dari pemikiran filsafat kontemporer
untuk berpengetahuan atas pengetahuan yang didasarkan kecenderungan-
kecenderungan bawah sadar, “ditafsirkan” melalui figur atau gambaran-
gambaran yang secara sematik disebut sebagai “metafor” (Bambang Sugiharto
1996). Sifat dari metafor sendiri ialah didasarkan oleh pengalaman dan “ruang
logis”. Ruang logis sendiri diartikan sebagai penafsiran logis atas sesuatu
dengan proses rasionalisasi yang menuntut konseptualisasi.
Persoalan mendasar sehubungan dengan derajat kebenaran yang
diungkap oleh metafor. Metafor ialah sesuatu yang mebawa kita kepada bahasa
suatu dunia pra-objektif. Dunia dimana kita sudah selalu berakar dan sekaligus
tempat kita senatiasa memproyeksikan kemungkinan-kemungkinan terdalam kita
sendiri. Dengan kata lain metafor membawa kita kepada bahasa keterikatan
68
primodial kita dengan dunia, yang disatu sis mendahului kita dan di sisi lain kita
bentuk sendiri juga. Jadi derajat kebenaran dari metafor sendiri hanya dikenali
secara penuh bila ia dirumuskan dalam bentuk konvensi (kesepakatan publik),
konvensi yang baru tentunya. (Bambang Sugiharto, 1996).
Selain “Metafor”, ada beberapa cara lagi yang dapat digunakan untuk
berpengetahuan, yaitu:
1. Relativist : realitas tampil sebagai konstruksi mental, dipahami secara
beragam berdasarkan pengalaman serta konteks lokal dan spesifik para
individu yang bersangkutan
2. Subjektivist : peneliti dan realitas/fenomena yang diteliti menyatu sebagai
suatu entitas. Temuan penelitian merupakan hasil interaksi antara peneliti
dengan yang diteliti.
3. Dialectic/Hermeneutic : kontruksi mental individu digali dan dibentuk dalm
setting ilmiah, secara hermeneutik, serta diperbandingkan secara dialektik
yang menekankan empati, interaksi dialektis antara peneliti-responden untuk
merekontruksi realitas yang diteliti, melalui metode-metode kualitatif seperti
participant observation.
Dengan dasar pokok pikiran Islam yang diantarkan oleh Mulla Shadra
yang isinya mengenai “Kearifan Puncak” dengan tahapan sebagai berikut:
● Perjalanan dari Makhluk menuju Tuhan
● Perjalanan dengan Tuhan dalam Tuhan
● Perjalanan dari Tuhan menuju makhluk dengan Tuhan
● Perjalanan dalam Makhluk bersama Tuhan
Melalui metode pendekatan Transformasi yang digunakan untuk mengubah
teori-teori yang bersifat normatif dalam sains Islam kedalam suatu nilai-nilai yang
lebih objektif dan real. Untuk itu setelah melihat bahwa sumber pengetahuan
dapat diperoleh seperti cara-cara diatas maka penulis mencoba
mentransformasikan pokok pikiran Islam yang disampaikan Filosof Islam Mulla
Shadra mengenai “Kearifan Puncak” kedalam suatu Konsep Paradigma Proses
Perencanaan dengan tahapan yang tidak terpisahkan satu sama lainnya yaitu
sebagai berikut
Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika
Proses Politis & Advokasi dalam Sistem Pemerintah yang Berkeadilan
69
Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan yang Amanah
Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem Perencanaan Islam
Tuhan dengan suatu Kekuatan Yang Tunggal dan Manusia sebagai suatu
yang diatur oleh Tuhan dalam sebuah sistem penghidupan yang ada di semesta
alam ini, dianalogikan sebagai sebuah hubungan Pemerintah dan Masyarakat.
Pemerintah yang di Indonesia saat ini dijadikan sebagai sebuah otoritas
pengembilan keputusan tertinggi dan Masyarakat sebagai suatu yang dijamin
penghidupannya oleh pemerintah. Ayat dibawah ini menunjukan Kekuatan
Tunggal Tuhan terhadap makhluknya, yang artinya:
Al Quran Surat Al Fushshilat ayat 15
“Adapun kaum 'Aad maka mereka menyombongkan diri di muka bumi tanpa
alasan yang benar dan berkata: "Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari
kami?" Dan apakah mereka itu tidak memperhatikan bahwa Allah Yang
menciptakan mereka adalah lebih besar kekuatan-Nya daripada mereka? Dan
adalah mereka mengingkari tanda-tanda (kekuatan) Kami.”
Al Quran Surat As Sajdah ayat 5
“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya
dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganm
(Maksud urusan itu naik kepadaNya ialah beritanya yang dibawa oleh malaikat.
Ayat ini suatu tamsil bagi kebesaran Allah dan keagunganNya)”
Al Quran Surat Al Mu’minuun ayat 80
“Dan Dialah yang menghidupkan dan mematikan, dan Dialah yang (mengatur)
pertukaran malam dan siang. Maka apakah kamu tidak memahaminya?”
Al Quran Surat Ar Ra’d ayat 2
“Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat,
kemudian Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan
bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur
urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu
meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.”
70
Dalam setiap tahapan proses perencanaan yang disebutkan diatas hasil
transformasi dari sains Islam Mulla Shadra, akan terbagi lagi masing-masing
tahapan menjadi beberapa langkah yang memiliki kecondongan atau kesamaan
dengan suatu teori perencanaan yang telah ada. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel II.9
Transformasi Pendekatan Pokok Pikiran Islam kedalam Proses Perencanaan
Pendekatan Sains Islam Proses Transformasi
Perjalanan dari Makhluk menuju
Tuhan
Proses Pembelajaran Sosial
dalam Sistem Masyarakat yang
Beretika
Perjalanan dengan Tuhan dalam
Tuhan
Proses Politis & Advokasi dalam
Sistem Pemerintah yang
Berkeadilan
Perjalanan dari Tuhan menuju
makhluk dengan Tuhan
Proses Mobilisasi dan Koordinasi
Perencanaan yang Amanah
Perjalanan dalam Makhluk
bersama Tuhan
Proses Penjiwaan dan
Penghayatan Sistem
Perencanaan Islam
Sumber : Hasil Analisis, 2005
BAB III KONTRUKSI PARADIGMA SEBAGAI REAKSI
ATAS KRISIS PROSES PERENCANAAN INDONESIA Proses kontruksi paradigma dalam bab ini membicarakan tentang
membangun sebuah paradigma pada suatu rangkaian proses perencanaan yang
sesuai dengan teori gerak substansif dari Mulla Shadra. Atas dasar kekurangan
yang terjadi pada proses perencanaan yang telah berlangsung di Indonesia pada
awal pemerintahan orde baru (awal 70’an). Proses perencanaan yang selama ini
berlangsung di Indonesia terlalu banyak mengusung nilai-nilai filosofi barat,
dalam hal ini didominasi oleh paham positivisme, yang banyak bertentangan
dengan ajaran agama Islam. Tahapan yang pertama dalam mengkontruksi
paradigma yaitu menelaah sejarah substansi perencanaan di Indonesia (awal
70’an) dan menganalisanya untuk mengetahui kekurangan yang terjadi.
Kemudian proses perbandingan (falsifikasi) antara Filsafat Positivisme dan Teori
Gerak Substansi Mulla Shadra. Setelah itu dapat ditemukan desinkronisasi antar
keduanya yang nantinya diajukan sebuah solusi menurut filsafat Teori Gerak
Substansi dengan Konsep Kearifan Puncak. Berusaha mengembalikan
perencanaan kepada sebuah perencanaan yang lebih baik dan kembali pada
khitohnya.
3.1 Substansi Perencanaan di Indonesia 3.1.1 Sebuah Peta Substansi Perencanaan Indonesia (1970-saat ini)
Tahun 1970’an merupakan awal bagi pembangunan yang terencana
setelah mengalami keterpurukan akibat perang selama beratus-ratus tahun.
Sejalan dengan itu kebijakan nasional menitik beratkan pada peningkatan
pertumbuhan ekonomi. Perencanaan pendekatan sektoral dan parsial (adanya
garis pemisah antara kota dan daerah/desa dan lebih terfokus pada
perencanaan di perkotaan). Pertumbuhan dan kosentrasi kegiatan sosial
ekonomi terdapat di perkotaan, sementara di pedesaan sering ditemui
kemunduruan, stagnasi dan kemiskinan. Adanya dikotomi antara perencanaan
kota dan desa/daerah (tidak adanya interdepency) Terdapat beberapa
pendekatan yang terjadi pada era ini yaitu:
72
1. Pendekatan Sektoral
Perencanaan wilayah sudah mulai berkembang meskipun konsepnya
sebatas untuk kepentingan sektoral dan diantara sektor-sektor masih
berjalan masing-masing. Perencanaan sektoral yang dimaksud diatas ialah
suatu perencanaan dengan tujuan peningkatan optimasi penggunaan ruang
dan sumber daya wilayah dalam hubungannya dengan pemanfaatannya,
namun masih menitikberatkan kepada kepentingan setiap sektornya.
Kurangnya pertimbangan tentang visi misi daerah yang harus dijalankan
dengan cara terintegrasi antar setiap sektornya. Benturan konflik kepentingan
sektoral masalah mana yang diprioritaskan terlebih dahulu dan pendanaan
untuk menjalankan program tersebut. Konflik antar sektor pun semakin
merebak.
2. Pendekatan Pengembangan Wilayah
Suatu pendekatan perencanaan yang mengutamakan aspek-aspek
perencanaan di bidang pembangunan ekonomi, demografi, dan
kependudukan. Berkembangannya paham regional analisis dan muncullah
sebuah pemikiran hubungan sebab akibat ’Causal effects’ oleh Walter Isard
dengan faktor-faktor utama pembentuk wilayah seperti fisik, sosial, budaya
dan ekonomi. Berkembangnya model-model analisis seperti backward-
foward linkage, urban-rural linkage, shift share, input-output, gini coefficient,
economic threshold dan sebagainya. Dibalik kemajuan yang terjadi,
pemerintah sendiri belum secara baik menerapakan model ini. Terbukti
masih terjadi sentralisasi pembangunan. Sentralisasi pembangunan ialah
suatu pembangunan yang terpusat pada satu daerah yang memiliki potensi
besar saja. Terjadi kesenjangan dan ketidakmerataan pertumbuhan pada
wilayah-wilayah yang terbilang kecil.
3. Pengembangan Pembangunan Infrastruktur
Sutami (1973) mengembangkan teori Walter Isard yang mendasarkan
kepada interaksi antara manusia dan segala kegiatan sosial ekonominya
dengan alam dan lingkungan juga lebih mengutamakan kepada sebuah
pembangunan infrastruktur yang intensif. Pembangunan yang
mengutamakan pembangunan fisik sebagai prioritas utama. Manusia hanya
diletakkan sebagai elemen pendukung, padahal seharusnya manusia sebagi
peran utama dalam perencanaan. Spatial planning yang dilakukan pada
73
pendekatan ini berakibat pusat-pusat pertumbuhan menyerap sumberdaya
daya daerah yang kecil. Hal ini mengakibatkan tertutupnya peluang
berkembangnya daerah-daerah kecil.
4. Pengembangan Wilayah Berbasis Pada Sistem Kegiatan Ekonomi
Poernomosidi Hadjisarosa melalui pendekatan satuan-satuan wilayah
ekonomi yang bertumpu pada teori Losch, yang juga mengadopsi teori
interdependency bahwa antara wilayah yang satu dengan wilayah yang
lainnya akan terjadi saling ketergantungan melalui mekanisme pasar
(hubungan supply demand). Konsep hirarkie telah terlahir pada masa ini.
Penggabungan pembangunan sektoral dengan pengembangan wilayah
secara partial membuat paradigma yang menonjol ialah rasionalisme. Dibalik
penggabungan dua paradigma perencanaan tersebut telah terjadi kegagalan.
Salah satu kegagalan yang terjadi ialah ketika suatu wilayah yang dijadikan
sebagai induk kebergantungan mengalami kemunduran, hal tersebut
mengakibatkan wilayah lain yang tadinya bergantung pada wilayah induk
akan mengalami kemunduran juga.
5. Koordinasi Antar Daerah Administrasi
Mengintroduksikan pengelompokan wilayah perencanaan menjadi sebuah
wilayah perencanaan yang lebih luas dengan penggabungan antara wilayah
perencanaan yang satu dalam lingkup kecil dengan wilayah lainnya agar
tercipta wilayah perencanaan yang lebih luas. Namun pada prakteknya
sentralisasi masih terjadi. Kegagalan menghasilkan pemerataan hasil
pembangunan dalam segala aspek disebabkan oleh kegagalan untuk
menciptakan pusat-pusat pertumbuhan. Tumbuhnya kota-kota besar sebagai
pusat-pusat perekonomian nasional tidak mampu beriteraksi secara global.
6. Sinkronisasi Program Pembangunan
Konsep Top down dan bottom up planning yang mulai berkembang. Namun
dilema dengan sentralisasi yang masih terjadi, dan intervensi politis pusat
yang dititipkan pada pengembangan didaerah. Sehingga dari kejadian
tersebut telah melahirkan sebuah wacana tentang ”kekuatan politik yang
berkuasa mendapat peran dominan dalam hal pemabngunan”. Intervensi
politik semakin kental dalam pengambilan kebijakan yang pada hakekatnya
berhubungan dengan kepentingan publik secara luas. Aspirasi yang
74
tersampaikan kepada pemerintah hanya merupakan manifestasi kepentingan
golongan saja.
Pada era 1980’an, perencanaan di Indonesia semakin menuju kepada
suatu konsep yang lebih baik, namun hal tersebut tidak di imbangi oleh praktek
yang optimal dari para stakeholder. Ketidak optimalan peran stakeholder dalam
perencanaan tidak seimbang dengan pengeluaran beberapa aturan baru yang
mendukung praktek perencanaan di indonesia, hal ini menjadikan perencanaan
di Indonesia hanya bersifat wacana saja. Berikut ini disebutkan beberapa usaha
perbaikan praktek perencanaan di Indonesia:
1. Pengembangan Wilayah Dengan Melalui Program Pembangunan Perkotaan
Pengklasifikasian kota menurut besaran penduduknya (metropolitan, kota
besar, kota sedang dan kota kecil). Pengelompokan kota berdasarkan fungsi
pelayanannya (nasional, interregional, regional, dan lokal. Praktek
perencanaan didasarkan oleh pengelompokan seperti diatas. Sentralisasi
perencanaan pada kota berakibat tidak ratanya pembangunan di pedesaan
bila dibandingkan di kota. Hal ini berakibat kesenjangan antara kota dan
desa.
2. Pendekatan Lingkungan
Mengoperasionalkan kebijakan pembangunan yang berwawasan lingkungan
(UU no. 4/1982 tentang Ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup),
adalah Suyono Sosrodarsono dengan pendekatan Ecological system, yaitu
pengembangan wilayah dilakukan secara terpadu dengan mebangkitkan
program pembangunan jaringan pengairan, jaringan transportasi, dengan
parasarana lainnya dilakukan secara terpadu secara satu kesatuan
fungsional wilayah. Dibalik semua konsep tersebut pada implementasinya
terjadi kejanggalan. Degradasi kualitas lingkungan yang serius terjadi pada
era ini. Pertama, penurunan luas mangrove di Indonesia dari 5.209.543 ha
(1982) menjadi 3.235.700 ha pada tahun 1987 hingga pada awal 1993
menyisakan sebesar 2.496.185 ha. Kedua, interusi air laut pun terjadi karena
terjadi penghisapan air tanah secara berlebihan.
3. Desentralisasi Perencanaan
Keluarnya kebijakan desentralisasi yang mulai diberlakukan, salah satunya
dengan dikeluarkannya PP No. 14 tahun 1987 tentang penyerahan sebagian
75
urusan kepemerintahan di bidang ke-PU-an kepada daerah. Implikasinya dari
kebijakan tersebut yaitu diperlukan upaya pemberdayaan daerah. Padahal
seperti yang kita ketahui bersama bahwa setiap wilayah perencanaan belum
tentu memiliki potensi untuk mandiri melakukan pemberdayaan daerah.
Perlunya bimbingan dari pemerintah pusat untuk proses perencanaan
pembangunan agar terjadi sinkronisasi dengan sasaran yang akan
ditargetkan oleh pemerintah. Terjadinya kebocoran dan duplikasi dana
pembangunan karena penyusunan program sektoral yang tumpang tindih
antara program daerah dan program regional. Keterlambatan waktu pun
sering dialami yang merupakan implikasi dari pembebanan pembangunan
kepada daerah secara mandiri.
4. Pengembangan Sistem Informasi Penataan Ruang dan juga Sistem
Informasi Geografis
Pendekatan perencanaan secara partisipatif mulai dikembangkan.
Sinkronisasi program pembangunan secara sektoral, yang memberikan
kemudahan untuk investasi dan terjadi hubungan peran serta stakeholder
dengan pemerintah. Kemajuan teknologi dalam hal penyampaian informasi
ini merupakan hal yang baik. Tetapi ketika keterbukaan informasi ini dijadikan
oknum sebagai suatu peluang untuk melakukan eksploitasi besar-besaran
pada sumberdaya di daerah tersebut. Pemanfaatan untuk mencari untung
sebesar-besarnya oleh pihak swasta yang menjual informasi tentang
penataan ruang juga kelemahan dari implementasi pengembangan Sistem
Informasi perencanaan. Dengan globalisasi dan meningkatkan aliran kapital
melalui perdagangan bebas, dimulai pula peningkatan komersialisasi dan
privatisasi dalam banyak bidang termasuk ruang/space.
Datangnya arus globalisasi dari dunia barat sangat memiliki peran penting
dalam menentukan apa yang terjadai dalam praktek perencanaan di era
1990’an. Sangat jelas sekali proses industrialisasi mempengaruhi proses
perencanaan di Indonesia. Lahirnya undang-undang tata ruang cukup berarti
bagi perencanaan di Indonesia, karena dengan itu perencanaan di Indonesia
akan memiliki koridor tersendiri.
76
1. Globalisasi di Indonesia
Peningkatan desentralisasi yang diikuti oleh pengembangan kawasan
strategis dengan pemerataan ekonomi berbasis proses industrialisasi di
berbagai kawasan di Indonesia. Berubahnya fungsi pemerintah dari yang
semula hanya sebagai penyedia kebutuhan perencanaan menjadi
pemberdaya bagi keberlangsungan perencanaan. Penyederhanaan proses
birokrasi yang dirasakan cukup rumit pada era sebelumnya membawa
suasana kondusif bagi para stakeholder. Dibalik semua itu terdapat beberapa
kekurangan di era ini. Salah satunya ialah tentang ketidak mampuan suatu
daerah melakukan proses industrialisasi, yang berakibat ketidakmerataan
kesejahteraan antar daerah.
2. Pendekataan Wilayah
Lahirnya UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang membuat koridor
tertentu bagi sebuah perencanaan yang terstruktur dan tersistematis. Spatial
planning yang terintegrasi oleh konsep action plan. Akan tetapi spatial
planning yang dilakukan dalam era ini masih terlalu berlebihan, akibatnya
ekploitasi sumberdaya alam secara berlebihan untuk kepentingan
pembangunan. Penyelewengan lahan konservasi yang mengalami alih
fungsi. Salah satu bukti terjadinya degradasi lingkungan ialah penurunan luas
kawasan resapan air pada pulau-pulau besar akibat dari kebakaran dan
penjarahan / penggundulan. Antara tahun 1997-1998 tidak kurang dari 1,7
juta ha hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan. Dengan kerusakan hutan
yangberfungsi lindung tersebut maka akan menimbulkan run off yang besar,
mengganggu siklus hidrologis, memperluas kelangkaan air bersih pada
jangka panjang, serat meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada
kawasan pesisir.
Perencanaan saat ini dimaksud dengan perencanaan era 2000’an.
Sebuah paradigma baru tentang otonomi daerah terlahir pada era ini. Menjawab
beberapa pertanyaan pada era-era sebelumnya, perencanaan era 2000’an
mengalami beberapa penyesuaian dan penyempurnaan di beberapa sisi
perencanaan. Dengan pengoptimalan peran stakeholder diharapkan mampu
mendongkrak perencanaan indonesia kedalam suatu perencanaan yang ideal.
Fenomena yang terjadi pada era ini ialah:
77
1. Lebih terfokus pada pembangunan yang menitik beratkan kesejahteraan,
keterpaduan, mikro, dan local based. Model abstrak yang ideal
(memperhatikan pluralitas), pandangan yang bersifat subjektif tidak lagi
diacuhkan. Kesulitan yang dihadapi pada masa ini ini ialah menyatukan
pendapat dari banyak pihak, sehingga proses demokrasi disalah artikan
sebagai kebebasan berpendapat tanpa aturan. Perilaku yang mengarah
pada sikap anarki membuat proses demokrasi keluar dari jalur yang
sebenarnya.
2. Akibat itu semua perkembangan Bottom up approach dan partisipatory
mulai diminati bagi perencanaan di Indonesia di tingkat lokasi atau
komunitas. Keterlibatkan semua stakeholder pada setiap tahapan
perencanaan, sehingga secara otomatis memajukan kemampuan
bertindak lokal dengan kerangka berfikir global, namun kepentingan
kekuatan politis yang bekuasa masih memiliki pengaruh yang sangat
besar dalam hal kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Pada saat
implementasinya terjadi penyimpangan ketika arti dari partisipasi disalah
artikan sebagai sebuah wewenang penuh dan sama dengan wewenang
pemerintah.
3. Pelaksanaan aturan dan hukum perencanaan yang masih bersifat
wacana, salah satu implikasinya Kelestarian lingkungan yang mengalami
kemunduran akibat penjarahan hutan yang banyak terjadi. Menurut data
statistik penjarahan yang terjadi pada era ini ialah sebesar 350.000 ha
sehingga luas hutan tersisa sebesar 23% saja dari luas daratan Pulau
Jawa. Alih fungsi lahan pun terjadi dari lahan konservasi pertanian untuk
penggunaan non-pertanian seperti Industri, permukiman dan jasa di
pulau jawa, penurunannya antara tahun 1979-1999 mencapai 1.002.005
ha atau 50.100 ha/tahun. Hal tersebut meledak pada awal 2000an. Dapat
dilihat juga fenomena bencana terjadi dalam rentang tahun 2002-2004,
seperti banjir, longsor dan kekeringan di berbagai wilayah Indonesia.
Semua itu indikasi yang kuat terjadi ketidakselarasan dalam
pemanfaatan ruang, antara manusia dengan alam maupun antara
kepentingan ekonomi dengan pelestarian lingkungan. Hasil akumulasi
dari alih fungsi lahan yang tidak semstinya, penggulan hutan, perilaku
78
masyarakat yang tidak patuh hukum perencanaan tentang kegiatan
membangun rumah didaerah yang dilarang.
3.1.2 Kelemahan yang terjadi pada Sistem Perencanaan Indonesia
Sistem perencanaan pembangunan yang diimplementasikan pada era
2000’an masih menunjukkan belum mampu memberikan hasil pembangunan
yang berkeadilan bagi seluruh masyarakat. Indikator kegagalan pembangunan
dapat dilihat dari masih tingginya angka kemiskinan, eksploitasi sumber daya
alam yang berlebihan, dan sebagainya. Sistem perencanaan pembangunan
berdasarkan UU No 25 Tahun 2005 mencakup lima pendekatan, terdiri dari:
pendekatan politis, teknokratis, patisipatoris, atas-bawah (top down), dan bawah-
atas (bottom up), belum mampu dilakukan dan dilaksanakan secara penuh
tanggung jawab oleh para pelaku perencanaan pembangunan. Bila diruntun
perencanaan yang terjadi di era 70’an sampai dengan saat ini (2000’an) dapat
dilihat beberapa kekurangan yang terjadi di setiap eranya, antara lain:
Melihat dari kekurangan yang terjadi pada era tahun 70’an, bahwa
perencanaan yang telah terlaksana di Indonesia ialah sebagai berikut:
1. Masih bersifat sektoral, sehingga benturan kepentingan antar sektor
terjadi baik masalah pendanaan maupun masalah prioritas yang
didahulukan juga perencanaan yang tidak terintegrasi dengan baik.
2. Kesenjangan antara desa dan kota sehingga terjadi sentralisasi
pembangunan ke pusat kota. Ketimpangan sosial merupakan implikasi
nyatanya.
3. Pendikotomian antar aspek perencanaan (tidak terintegrasi), akibatnya
program pembangunan berjalan masing-masing.
4. Pembangunan perencanaan fisik mendapat porsi yang berlebihan.
Ekploitasi besar-besaran terhadap ruang terbuka hijau untuk diajdikan
wilayah komersil.
5. Ego masing-masing wilayah perencanaan masih berjalan sendiri-sendiri,
karena kurangnya suatu ikatan wilayah perencanaan secara lingkup
regional
6. Konsep Bottom up hanya sebagai wacana yang tidak terimplementasikan
dengan baik karena intervensi politis yang berlebihan dari pusat masih
79
banyak. Akibatnya aspirasi masyarakat yang sesungguhnya tidak
tersampaikan.
Melihat dari kekurangan yang terjadi pada era tahun 80’an, bahwa
perencanaan yang telah terlaksana di Indonesia ialah sebagai berikut:
1. Hanya beberapa titik dari kota tersebut yang dibangun karena dianggap
sebagai prioritas utama, sehingga terjadi belum adanya pemerataan
pembangunan.
2. Kegiatan analisis mengenai dampak lingkungan masih bersifat sektoral
dan partial belum menyeluruh. Belum terintegrasinya antara perencanaan
berdasarkan wilayah administrasi dengan perencanaan berdasarkan
fungsional sehingga tidak terjadi sinkronisasi antar program yang
dijalankan, akibatnya tumpang tindih mengenai program yang akan
dijalankan memberi peluang untuk penggelapan dana pembangunan.
3. Peraturan dan undang-undang mengenai perencanaan pembangunan
hanya bersifat normatif belum teroperasional dengan baik.
Penyelewengan hukum perencanaan menjadi hal yang biasa didalam
sebuah pembangunan.
4. Pembangunan perencanaan fisik mendapat porsi yang berlebihan
sehingga perencanaan non fisik terlupakan, padahal itu merupakan point
penting dalam melakukan perencanaan yang holistik. Degradasi
lingkungan pun tidak terelakan akibat alih fungsi lahan yang dipaksakan
terjadi karena tuntutan pembangunan fisik.
Sedangkan yang terjadi pada era tahun 90’an, bahwa beberapa
kelemahan di bidang perencanaan yang telah terlaksana di Indonesia ialah
sebagai berikut:
1. Proses indutrialisasi yang tidak merata karena tidak semua wilayah
memiliki potensi yang mampu melakukan proses industrialisasi.
2. Pengembangan kawasan strategis terkadang dicampuri oleh intervensi
politis. Pembangunan yang terlaksana bukan lagi berdasarkan aspirasi
masyarakat yang sesungguhnya.
3. Terkadang upaya penyederhanaan sistem birokrasi banyak disalah
gunakan oleh oknum perencanaan. Dengan birokasi yang mudah
80
berakibat oknum dengan seenaknya melakukan pembangunan yang tidak
berkesesuaian dengan wilayah perecanaan
4. Sistem pasar bebas semakin memberi peluang kepada pihak asing untuk
melakukan perubahan dengan pola pikirnya yang terkadang belum tentu
berkesesuaian dengan karakteristik wilayah di Indonesia
5. Perecanaan non spatial kurang begitu diperhatikan yang menyebabkan
pembangunan tidak berjalan maksimal. Aspek-aspek yang justru penting
malah terabaikan dengan konsentrasi pembangunan fisik. Lagi-lagi
degradasi lingkungan pun terjadi.
Melihat dari kekurangan yang terjadi pada era tahun 2000’an, bahwa
perencanaan yang telah terlaksana di Indonesia ialah sebagai berikut:
1. Spatial planning masih mendapat porsi yang cukup besar. Degradasi
lingkungan pun tidak terelakan akibat alih fungsi lahan yang dipaksakan
terjadi karena tuntutan pembangunan fisik. Perecanaan non spatial
kurang begitu diperhatikan yang menyebabkan pembangunan tidak
berjalan maksimal
2. Pendekatan bottom up planning hanya dilakukan dan diterapkan pada
tingkat lokal saja, namun ditingkat regional dan nasional belum optimal.
Perencanaan partisipasi tidak berada pada hakekat yang benar. Dampak
nyata yang terjadi pembangunan yang terimplementasi tidak sinkron
dengan sasaran yang sesungguhnya.
3. Kekuatan politik yang berkuasa memiliki pengaruh yang besar terhadap
perencanaan pembangunan untuk masa mendatang. Urgent problem
yang mestinya didahulukan untuk program pembangunan malah
terabaikan akibat beberapa kepentingan suatu golongan yang berkuasa
dijadikan acuan dalam pengambilan kebijakan.
Dalam sistem P5D yang berlaku pada awal tahun 80’an dan sampai
pelaksanaannya yang memakan waktu lebih dari satu dasawarsa ternyata masih
banyak kekurangan yang perlu dievaluasi lebih lanjut. Untuk itu akan dijelaskan
beberapa kekurangan pada sistem P5D, yaitu:
81
1. Kurangnya sosialisasi dan Koordinasi dengan masyarakat daerah tentang
tahapan-tahapan yang akan dilakukan dalam Rencana Pembangunan
Tahunan Daerah atau biasa disebut REPETADA.
2. Belum adanya pedoman khusus dalam P5D yang membicarakan tentang
prosedur/teknik yang lebih detail dan rinci dalam pelaksanaan
perencanaan dan pembangunan didaerah
3. Belum adanya penjelasan dalam P5D yang menjelaskan tentang
keterkaitan antara satru program pembangunan dengan program
pembangunan lainnya, dengan kata lain masih bersifat sektoral dan
partial saja (tidak terpadu)
4. Pelatihan yang tersedia saat ini hanya bersifat proses secara umum saja,
namun belum bersifat fokus pada produk perencanaan pembangunan di
daerah
5. Dokumen perencanaan yang menjadi kunci (Rencana Umum
Pembangunan Daerah / RUPTD) belum disusun dengan tepat waktu
yang berakibat perencanaan tersebut hanya bersifat proyek, tanpa
memperhatikan kerangka kebijaksanaan program yang telah menjadi
pedoman dalam merencana, konsekuensinya program tersebut tidak
mencerminkan kebijaksanaan yang berlaku.
Setelah melihat materi yang terdapat dalam UU no. 25 tahun 1992
tentang Penataan Ruang, ternyata masih terdapat beberapa kekurangan yang
sangat menonjol terutama pembehasan mengenai partisipaasi masyarakat dan
hak yang diperolehnya dari Penyelengaraan Penataan Ruang. Untuk itu dibawah
ini akan menjelaskan perihal tambahan mengenai tata aturan apa saja yang
dapat menjadi masukan sebagai evsaluasi, antara lain:
a. Mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan upaya mempertahankan
nilai-nilai kearifan tradisional dalam penyelenggaraan penataan ruang
b. Membahas tentang tata cara masyarakat untuk mengetahui rencana tata
ruang melalui Lembaran Negara/Daerah, pengumuman dan atau
penyebarluasan oleh pemerintah. Pengumuman atau penyebarluasan
tersebut dapat diketahui masyarakat antara lain dari pemasangan peta
rencana tata ruang dari wilayah yang bersangkutan pada tempat-tempat
82
umum, kantor kelurahan dan atau kantor-kantor yang secara fungsional
menangani rencana tata ruang tersebut.
c. Mengatur tentang hak dan kewajiban yang sama pada setiap warga negara,
karena itu hak penduduk asli atas ruang hidupnya perlu dilindungi. Penduduk
asli di sini bukan semata-mata diartikan atas faktor suku, ras, agama, tetapi
juga faktor lamanya penduduk tinggal dalam suatu wilayah sesuai dengan
perikehidupan sosial budaya setempat.
d. Tata aturan mengenai pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam menjaga,
memelihara dan meningkatkan kualitas ruang lebih ditekankan pada
keikutsertaan masyarakat untuk lebih mematuhi dan mentaati segala
ketentuan normatif yang ditetapkan dalam rencana tata ruang, dan
mendorong terwujudnya kualitas ruang yang lebih baik.
e. Aturan yang berbicara tentang pengelolaan kawasan tertentu oleh
Pemerintah yang tidak berarti menghilangkan kewenangan daerah dalam
menyelenggarakan pembangunan di wilayahnya yang termasuk ke dalam
kawasan tertentu. Keterlibatan Pemerintah dimaksudkan untuk menjamin
terselenggaranya fungsi-fungsi pemerintahan yang berkaitan dengan nilai
strategis kawasan secara nasional.
f. Aturan yang membahas tentang Hak masyarakat agar dapat melaksanakan
penyusunan rencana detail tata ruang dan rencana teknik ruang kawasan
antara lain dalam pengembangan kawasan skala besar yang pembiayaannya
sepenuhnya bersumber dari masyarakat dengan tetap mendapat fasilitasi
dan rekomendasi teknis dari Pemerintah Kabupaten/Kota terkait. Dalam
penyusunan rencana detail tata ruang dan rencana teknik ruang kawasan
yang dilakukan oleh masyarakat, Pemerintah Kabupaten/Kota terkait
memberikan rekomendasi untuk hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan
umum.
Masukan untuk bahan evaluasi pada UU No 22 tahun 1999 tentang
Otonomi Daerah (Hasil Rakernas APKASI III, 2003)
a. Pengawasan legislatif terhadap eksekutif dan pengawasan legislatif oleh
masyarakat perlu diatur lebih jelas mekanismenya sehingga masing-masing
dapat berjalan sesuai fungsi dan peranannya. Penyempurnaan aturan
83
tentang pengawasan ini perlu juga diikuti dengan program dan kegiatan nyata
dalam memberdayakan masyarakat dan lembaga legislatif di daerah.
b. Menetapkan pembagian kewenangan dan atau urusan pemerintahan yang
jelas antara Pemerintah Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota dan Desa melalui
pendekatan Kompetensi, Pendekatan Dampak Eksternalistis serta
Pendekatan Kemampuan, serta menggeser kembali pembagian kewenangan
antar Kepala Daerah dan DPRD pada titik keseimbangan, agar dapat tercipta
pemerintahan yang demokratis dengan ciri Check and Balance.
c. Menetapkan kembali Sistem Kepegawaian Pemerintah secara nasional
melalui system campuran (Mixed system), perpaduan antara sistem
terintegrasi dengan Rapat Kerja system terpisah.
d. Menetapkan kembali pengaturan pemanfaatan dan pembagian sumber daya
nasional yang ada di daerah agar lebih adil dan proporsional. Pembagian
sumber-sumber pendapatan pajak, bea dan cukai antara Pusat dengan
Daerah tidak hanya menggunakan asas domisili melainkan juga asas
sumber-sumber, sehingga daerah yang memiliki sumber berbagai pungutan
memperoleh bagian yang adil dan proporsional.
e. Menegaskan kembali kedudukan Pemerintah Desa yang selama ini bersifat
Ambivalen.
f. Memperkuat posisi masyarakat sebagai pemilik kedaulatan melalui proses
pemberdayaan yang sistematis dan berkelanjutan dalam rangka membentuk
masyarakat sipil. Upaya pemberdayaan tersebut perlu secara Eksplisit
dicantumkan dalam batang tubuh undang-undang.
Kekurangan dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Penataan Ruang,
ialah sebagai berikut:
a. Perencanaan jangka panjang juga memiliki landasan hukum yang lemah.
Baik RPJP nasional maupun daerah yang ditetapkan dengan undang-undang
atau Perda, dapat saja berubah atau diganti, seiring dengan pergantian
pemerintahan nasional maupun daerah. Akibatnya, RPJP daerah bisa saja
terus dirubah pada saat pergantian pemerintahan sehingga tidak berbeda
dengan RPJM daerah yang selalu dirumuskan 5 tahunan.
b. Ketidak-sinkronan bahkan pertentangan antara RPJM Daerah dengan RPJM
Nasional
84
c. Dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), tidak
disebutkan perlunya keterlibatan masyarakat dalam penyusunannya.
Padahal, RKPD sebagai rencana tahunan merupakan perencanaan
berdasarkan kebutuhan masyarakat yang paling up-to-date dan langsung
dirasakan masyarakat. Sedangakn, mendorong partisipasi masyarakat dalam
penyusunan RKPD hanya dalam hal pendanaan pembangunan.
d. RKPD sebagai penjabaran RPJM daerah memiliki derajat hukum lemah,
karena hanya ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah
e. Dari segi institusi yang berperan sangat memungkinkan terjadinya
overlapping peran antara Bappeda yang mengusung RKPD dengan Pejabat
Pengelola Keuangan Daerah yang mengusung arah kebijakan APBD yang
juga tercantum dalam RKPD. Kemungkinan, yang terjadi apabila kedua
institusi ini tidak melakukan koordinasi maka DPRD akan menerima dua
RKPD dari institusi yang berbeda.
Dari segi perundang-undangan dan peraturan yang selama ini
memayungi sistem perencanaan di Indonesia terdapat beberapa hal penting
yang dianggap sebagai kelemahan yang terjadi dalam setiap isi atau program
dan pedoman dari perundang-undangan dan praktek dilapangan yang selama ini
agak terabaikan, yaitu:
1. Perihal pedoman teknis yang mengatur sistem proses perencanaan
belum sampai pada lapisan masyarakat yang paling bawah
2. Pembelajaran mengenai perencanaan yang akan dilakukan masyarakat
bersama pemerintah belum terakomodir dengan baik
3. Antara pemerintah daerah dan Pemerintah pusat harus terkoordinasi
dengan baik masalah visi dan misi yang akan dijalankan oleh daerah dan
pusat dalam perencanaan pembangunan
4. Proporsi kewenangan pemerintah pusat dan daerah mengenai keputusan
kebijakan dan sumber daya (alam, dana, tenaga kerja) harus diatur
melalui peraturan yang jelas
Dapat dilihat diatas bahwa terdapat beberapa kelemahan yang terjadi dari
awal 70’an sampai dengan saat ini yaitu: Pertama, pembangunan sektoral masih tetap ada, yang membuktikan bahwa sistem perencanaan di Indonesia
85
belum terintegrasi dengan baik. Masih terjadinya benturan antara sektor yang
akan didahulukan. Terjadinya kebocoran dan duplikasi dana pembangunan
karena penyusunan program sektoral yang tumpang tindih antara program
daerah dan program regional. Keterlambatan waktu pun sering dialami yang
merupakan implikasi dari pembebanan pembangunan kepada daerah secara
mandiri.
Kedua, perencanaan pembangunan spatial (perencanaan fisik) masih
mendapat proporsi yang berlebihan dan tingkatan yang terlalu tinggi bila
dibandingkan dengan perencanaan non-spatial. perecanaan non spatial kurang
begitu diperhatikan yang menyebabkan pembangunan tidak berjalan maksimal.
Aspek-aspek yang justeru penting malah terabaikan dengan konsentrasi
pembangunan fisik. Alih fungsi lahan yang tidak semestinya sering terjadi.
Ketiga, Intervensi kekuatan politik yang berkuasa masih berlebihan
dan terlalu campur tangan dalam urusan publik. Demokratisasi dan
desentralisasi, jelas merupakan tantangan berikutnya yang harus dipahami
perencana. Demokratisasi yang salah satu dimensinya adalah menguatnya
peran masyarakat sipil, mempunyai implikasi pentiung bagi bidang perencanaan
yang salah satu tantangannya adalah memediasi antara public dan private
spheres (Friedmann, 1997). Proses demokratisasi yang terjadi di Indonesia
mempunyai implikasi langsung bagi bidang perencanaan oleh karena ia akan
mempengaruhi bagaimana kepentingan publik dan private (termasuk misalnya
dalam pemanfaatan ruang) dinegosiasikan dan dimediasikan. Proses
demokratisasi akan memungkinkan proses negosiasi dan mediasi ini dapat
dilakukan lebih fair, terbuka, dan adil. Demokratisasi tentaunya memungkinkan
kita untuk mengkoreksi apakah proses-proses perencanaan selama ini
membawa kemaslahatan bagi banyak pihak, khususnya mereka yang selama ini
dirugikan atau dimarginalkan.
Keempat, tentunya globalisasi dengan segala muatan dan implikasinya.
Telah banyak hal ini dibahas dan didiskusikan, tapi yang seringkali alpa
didiskusikan adalah menyangkut realita bahwa globalisasi bukan sekedar
mewujud dalam bentuk material seperti aliran kapital dan informasi. Globalisasi
adalah sebuah ideologi, ideologi tentang gaya hidup, kebebasan, kebudayaan,
dan sistem politik. Globalisasi, apabila tidak dipahami dan direspon secara benar
dan pas, akan dapat memicu proses-proses materialisasi dan pada akhirnya
86
mengarah pada dehumanisasi. Globalisasi yang ‚inevitable’ dengan demikian
tidak harus dilawan dengan kebencian atau juga perasaan kekalahan, akan
tetapi harus secara tegar dan cerdik di respon untuk kepentingan kita semua.
Terkait erat dengan globalisasi, komersialisasi dan privatisasi merupakan
konteks penting yang harus dipahami perencana. Dengan globalisasi dan
meningkatkan aliran kapital melalui perdagangan bebas, dimulai pula
peningkatan komersialisasi dan privatisasi dalam banyak bidang termasuk
ruang/space. Sebagaimana dikatakan oleh Nisbit, masyarakat dunia akan
menjadi consumer society yang hedonis dan memuja privatisasi, dimana
cenderung untuk mengkomodifikasikan segala hal. Bagi perencana, yang salah
satu bidang garapannya adalah space atau ruang, proses komersialisasi dan
privatisasi ruang ini jelas telah terjadi dan bahkan menunjukkan gejala yang
cenderung tidak/kurang terkontrol. Seluruh proses pembangunan kota bahkan
cenderung disetir oleh pasar dan ini mengakibatkan semakin terdesaknya public
dan civic space (Setiawan, 2004) Hal ini tentunya harus menjadi perhatian
perencana, oleh karena proses komersialisasi dan privatisasi ruang ini telah
mengarah pada isu ketidakadilan pemanfaatan ruang, dimana sekelompok kecil
masyarakat mengakumulasi dan memanfaatkan ruang yang besar, sementara
sebagian besar masyarakat lain justru kekurangan ruang atau bahkan sama
sekali tidak mempunyai akses terhadap ruang.
Kelima, Krisis lingkungan adalah konteks sekaligus tantangan bidang
perencanan yang tidak boleh diabaikan. Sebagaimana telah banyak ditulis, krisis
lingkungan di berbagai belahan dunia dan di Indonesia telah terjadi dan
menunjukkan kecenderungan yang semakin parah. Di Indonesia, krisis
lingkungan tidak hanya meliputi perusakan dan menipisnya sumber daya alam
seperti hutan, biodiversity, tanah, dan air, melainkan juga menyangkut proses
pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan terbangun, baik perkotaan
maupun perdesaan (KLH, 1998). Pencemaran udara, tanah, dan air terus terjadi
dimana - mana, sementara persoalan limbah sampah padat dan sanitasi juga
terus belum dapat ditangani secara baik di hampir seluruh kota di Indonesia.
Persoalan lingkungan harus direspon secara bijaksana oleh bidang perencanaan
oleh karena salah satu misi perencanaan adalah menciptakan satu lingkungan
kehidupan yang lebih baik bagi seluruh kehidupan ini.
87
Keenam atau terakhir, tapi tidak kalah penting, adalah isu kemiskinan dan kerentanan. Sebagaimana diketahui, sampai sebelum krisis ekonomi pada
tahun 1998, Indonesia telah berhasil menekan angka kemiskinan menjadi sekitar
14 persen dari total pendduk Indonesia. Selama krisis, akan tetapi, angka
kemiskinan di Indonesia kembali meningkat, mulai dari sekitar 24 persen pada
tahun 1999 – 2000, dan sekitar 18 persen sekitar tahun 2002 – 2003. Berapapun
prosentase yang paling tepat, ini tetap menyangkut nasib puluhan juta manusia,
baik di perkotaan dan di perdesaan yang masih mempertanyakan “apa yang
akan dimakan esok hari.” Bidang perencanaan langsung maupun tidak langsung
bertanggung jawab terhadap kondisi ini, oleh karena hal ini mengindikasikan
kegagalan bidang perencanaan untuk melakukan alokasi dan distribusi sumber
daya, termasuk ruang, yang adil, khususnya bagi masyarakat miskin
Dari keenam permasalahan utama diatas munculah sebuah pemikiran
baru akan proses perencanaan hasil penggabungan antara bottom up
planning dan top down plannning secara terpadu. Didasari atas
pendikotomian yang terjadi selama ini antara bottom up planning dan top down
plannning, menjadikan perencanaan hanya berjalan satu pihak tertentu saja.
Hasil dari perencanaan yang menempatakan salah satu pihak menjadi tokoh
sentral dalam pembangunan dapat dilhat dari keenam permasalahan utama
diatas tersebut. Urgensi ini yang menimbulkan perlunya perubahan.
3.1.3 Positivisme Pada zaman Kant, ilmu-ilmu alam dan penerapannya dalam teknologi
mulai memasuki zaman keemasannya, memperkokoh posisi ilmu-ilmu alam
secara filosofis sebagai salah satu bentuk pengetahuan yang mungkin menjadi
kenyataan. Namun Kant masih mengakui keberadaan bentuk-bentuk
pengetahuan lain, seperti etika dan estetika. Trend untuk meletakan ilmu-ilmu
alam sebagai norma dan penelitian empiris sebagai kegiatan pengetahuan yang
sahih menjadi semakin radikal dalam sejarah teori pengetahuan. Memuncaknya
pada positivisme Comte, pengetahuan inderawi khususnya yang terwujud
dalam ilmu-ilmu alam bukan hanya norma, melainkan justru menjadi satu-
satunya norma bagi kegiatan pengetahuan. (F. Budi Hadirman, , 2003).
Pernyataan Bebas Nilai yang ada pada positivisme ialah suatu pengingkaran
88
terhadap Eksistensi Tuhan, dapat dibilang bahwa positivistme lebih kepada
Humanisme Atheis.
3.1.4 Hubungan perencanaan di Indonesia dengan paham positivisme
Paham positivisme yang bergerak dalam wiilayah pengetahuan secara
padangan inderawi dan materialisme yang berlebihan ini, jelas-jelas secara nyata
berhubungan dengan perencanaan pembangunan di Indonesia, antar lain:
1. Perencanaan pembangunan yang berorientasi pada fisik.
Dibelakangkannya urusan sosial, budaya dan kelestarian lingkungan,
juga salah satu keterkaitan antara perencanaan di Indonesia dan
positivisme. Terjadinya kesenjangan sosial dan kemiskinan disinyalir
akibat dari konsentrasi pada perencanaan fisik yang berlebihan.
2. Era globalisasi yang membawa paham kapitalisme merebak pada proses
industrisialisasi besar-besaran di Indonesia. Kekuatan politik terbesar
dijadikan sebagai acuan perencanaan pembangunan, dengan
menyingkirkan yang kecil. Permainan bebas pasar diberlakukan di
indonesia. Nyatanya kegiatan ekonomi yang berkembang pun tetap
kurang mampu menyerap tenaga kerja secara merata, kegiatan ekonomi
tradisional mulai ditinggalkan sehingga mengurangi kesempatan kerja
yang ada dan ketimpangan wilayah semakin lebar. Isu kemiskinan pun
mejadi sesuatu yang menggejala. Bidang perencanaan langsung maupun
tidak langsung bertanggung jawab terhadap kondisi ini, oleh karena hal ini
mengindikasikan kegagalan bidang perencanaan untuk melakukan
alokasi dan distribusi sumber daya, termasuk ruang, yang adil, khususnya
bagi masyarakat miskin Kemudian dengan terjadinya ekploitasi besar-
besaran terhadap sumberdaya alam yang berlebihan untuk mendukung
kegiatan ekonomi dengan pengalihan fungsi lahan konservasi menjadi
lahan komersial. Bukti tersebut mengungkapkan bahwa terjadi ketidak
pedulian akan lingkungan.
3. Pandangan bebas nilai tentang ilmu sosial oleh kaum positivist
merupakan kontribusi yang paling besar bagi perencanaan di Indonesia.
Ilmu perencanaan di Indonesia tidak lagi berorientasi bagi kemashlahatan
semesta. Pulralitas di abaikan begitu saja. Hal tersebut terbukti dengan
89
terjadinya intervensi politis yang berlebihan dan proses demokrasi yang
tidak berjalan sepenuhnya di Indonesia.
3.1.5 Kritik Terhadap Filsafat Perencanaan Positivistme Positivistme adalah aliran filsafat yang berakar pada tradisi ilmu sosial
yang dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam menguasai benda, yakni
dengan kepercayaan adanya universalisme dan generalisasi, melalui metode
determinasi, atau kumpulan hukum teori. Asumsi bahwa penjelasan tunggal
bersifat universal, artinya cocok untuk semua, kapan saja, dimana saja suatu
fenomena sosial. Mereka percaya bahwa riset sosial harus didekati dengan
metode ilmiah, yakni objektivitas, netral, dan bebas nilai. Prosedurnya harus
dikuantifikasikan dan diverifikasi dengan metode scientific atau ilmiah. (Fakih,
Mansour,2002: 24)
Faham-faham yang dianut oleh positivistme dalam sebuah ilmu
perencanaan telah melahirkan sebuah aliran aliran yang yang memiliki prinsip
sama dengan positivistme yaitu kapitalisme. Kapitalisme sebagai sebuah paham
dimana dalam arti secara etimologis berasal dari kata caput yang berarti kepala,
kehidupan dan kesejahteraan, yang kemudian diartikan sebagai akumulasi
keuntungan yang ada dalam setiap transaksi ekonomi. Masalahnya dalam
perkembangan selanjutnya, terutama dalam era revolusi industri, kapitalisme
didefinisikan sebagai paham yang mau melihat serta memahami proses
pengambilan dan pengumpulan modal balik (tentu saja yang sudah dikumpulkan
secara akumulatif) yang diperoleh dari setiap transaksi komoditas ekonomi. Pada
saat itu pula, kapitalisme tidak hanya dilihat sebagai ideologi teoritis tapi
berkembang menjadi paham yang mempengaruhi perilaku ekonomi manusia.
Dalam sejarah manusia perkembangan kapitalisme dimulai sejak jaman
Babilonia, Mesir dan Romawi yaitu sejak masyarakat mengenal sistem
pemerintahan kerajaan atau kekaisaran yang feodal. Para ahli ilmu sosial
menamai tahapan kapitalisme purba ini dengan sebutan commercial capitalism.
Kapitalisme komersial berkembang ketika pada jaman itu perdagangan lintas
suku dan kekaisaran sudah berkembang dan membutuhkan sistem hukum
ekonomi untuk menjamin fairness perdagangan ekonomi yang dilakukan oleh
para pedagang, tuan tanah, kaum rohaniwan.
90
Tiga tokoh atau ikon ilmuwan filsafat sosial yang cukup memberikan
pengaruh yang dramatis terhadap perkembangan kapitalisme industri modern.
Mereka adalah Thomas Hobbes dengan pandangan egoisme etisnya, yang pada
intinya meletakkan sisi ajaran bahwa setiap orang secara alamiah pasti akan
mencari pemenuhan kebutuhan dirinya. John Locke menekankan pada sisi
liberalisme etis, di mana salah satu adagiumnya berbunyi bahwa manusia harus
dihargai hak kepemilikan personalnya. Tokoh lainnya adalah Adam Smith dan
David Ricardo yang mencoba menukikkan pandangan dua tokoh sebelumnya
dengan filsafat Laissez Faire dalam prinsip pasar dan ekonomi. Pandangan
klasik Adam Smith menganjurkan permainan bebas pasar yang memiliki
aturannya sendiri. Persaingan, pekerjaan dari invisible hands akan menaikkan
harga kepada tingkat alamiah dan mendorong tenaga kerja dan modal beralih
dari perusahaan yang kurang menguntungkan kepada yang lebih
menguntungkan. Laissez faire adalah ungkapan penyifat. Pandangan ini
menekankan bahwa sistem pasar bebas diberlakukan sistem kebebasan
kepentingan ekonomi tanpa campur tangan pemerintah.
Kapitalisme di tiga tokoh itu (Hobbes, Locke dan Adam Smith)
mendapatkan legitimasi rasionalnya. Akselarasi perkembangan kapitalisme
rasional ini memicu analisa dan praktek ekonomi selanjutnya. Akselarasi
kapitalisme semakin terpicu dengan timbulnya “revolusi industri”. Kapitalisme
mendapatkan piranti kerasnya dalam pencapaian tujuan utamanya, yaitu
akumulasi kapital (modal). Industrialisasi di Inggris dan Perancis mendorong
adalah industri-industri raksasa. Perkembangan raksasa industri mekanis
modern ini memicu kolonialisme dan imperialisme ekonomi. Tidak mengherankan
apabila dalam konteks ini terjadi exploitation l’homme par l’homme. Situasi
penindasan yang ada menimbulkan reaksi alamiah dari orang-orang yang
kebetulan mempunyai kepedulian sosial–kolektif yang mengalami trade-off dalam
era industri.
Dengan demikian dalam sistem kapitalisme telah menciptakan manusia
yang serakah. Hubungan manusia satu dengan manusia yang lain telah
mengalami degradasi sampai akhirnya terputus begitu saja. Hubungan
manusiawi berganti dengan hubungan yang lebih bersifat bisnis. Tuntutan yang
mengharuskan ilmu sosial atau realitas sosial sebagai suatu yang objektif, jelas
banyak dikritik oleh beberapa kalangan. Sesuangguhnya realitas sosial adalah
91
nisbi dan bersifat subjektif, hanya dapat dipahami dari pandangan orang per
orang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial tertentu. Seseorang hanya
bisa mengerti dengan ‘memasuki’ kerangka pikiran orang yang terlibat langsung
atau diri mereka sendiri sebagi pelaku dalam tindakan tersebut.
Salah satu yang paling jelas tentang kritikan terhadap positivistme datang
dari “idealisme Jerman”. Aliran ini menyatakan bahwa realitas tertinggi bukan
kenyataan lahir yang dapat dilihat oleh indera, tetapi justru pada “ruh” atau
gagasan. Peristiwa kemanusiaan yang bersifat subjektivitas lebih penting dan
menolak cara atau bentuk penelitian dengan metode ilmu alam. (Fakih, Mansour,
2002: 26)
Sama halnya dengan aliran hermeuneutic knowledge atau juga dikenal
dengan nama paradigma interpretatif, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa
pengetahuan dan khususnya ilmu-ilmu sosial dan penelitian sosial dalam
paradigma ini ‘hanya’ dimaksud untuk memahami secara sungguh-sungguh.
Semboyan yang dipegang oleh paradigma ini ialah “biarkan fakta bicara atas
nama dirinya sendiri”.
Pandangan bebas nilai tentang ilmu sosial oleh kaum positivist mendapat
masukan dari aliran atau kaum paradigma kritik. Paradigma kritik ini
menganjurkan bahwa ilmu pengetahuan terutama ilmu sosial tidak boleh dan
tidak mungkin bersifat netral atau bebas nilai. Pemihakan dan upaya emansipasi
rakyat dalam pengalaman hidup meraka sehari-hari diperjuangkan dalam
paradigma kritik. Padangan aliran ini justru menempatkan rakyat sebagai subjek
utama perubahan sosial. Rakyat harus diletakkan sebagai pusat proses
perubahan dan penciptaan maupun dalam mengontrol pengetahuan mereka. Hal
inilah yang menjadi dasar sumbangan teoretik terhadap perkembangan
participatory research. (Fakih, Mansour, 2002)
Pada perkembangan ilmu perencanaan selanjutnya yang terjadi di
Indonesia faham sosialisme mulai merebak yang ‘hanya’ menempatkan manusia
sebagai tokoh sentral dalam pembangunan. Pemerataan hak-hak sosial menjadi
sesuatu yang banyak melibatkan aktivisme politik, namun tidak memperhatikan
realitas keseimbangan yang ada dalam kehidupan masyarakat sesungguhnya.
Secara tidak langsung ‘hanya’ mengutamakan masalah yang bersifat duniawi
saja.
92
Dari sekian banyak penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa
perkembangan ilmu perencanaan di Indonesia mengalami suatu kekurangan.
Apalagi jika dilihat dari sudut pandang agama Islam sendiri. Mengembalikan
perencanaan pada hakekat aslinya yaitu untuk mencapai titik rahmatan lil alamin.
Tidak lagi berbicara tentang kepentingan duniawi dan manusia saja, namun
kembali kepada sebuah konsep ke-Tuhanan yang jelas meliputi semua isi alam
semesta ini dengan melihat realitas yang sesungguhnya.
3.2 Membangun Konsep Perencanaan Islami 3.2.1 Dari Perencanaan berbasis Antroposentris kepada Perencanaan Teosentris
Sejak kritik terhadap filsafat barat yang dilancarkan oleh para sarjana,
baik di Barat sendiri, dan lebih-lebih lagi di Timur, mulai bermunculan.pada
umumnya, kritik tersebut menyoroti pandangan hidup Barat yang tidak mampu
memahami manusia dan posisinya di alam semesta ini. (Muhammad, Afif, 2004:
84). Bangunan teori perencanaan khususnya sistem perencanaan pembangunan
yang diajarkan pada dunia akademis maupun pada praktek perencanaan di
Indmnesia masih berorientasi pada pengetahuan dari barat. Sebagaimana
diketahui bahwa teori tersebut bersumber pada paradigma antroporosentris
(manusia sebagai pusat) yang lebih berorientasi pada akar filsafat positivisme
maupun empirisisme. Sistem perencanaan pembangunan yang
diimplementasikan menunjukkan belum mampu memberikan hasil pembangunan
yang berkeadilan bagi seluruh masyarakat. Indikator kegagalan pembangunan
dapat dilihat dari masih tingginya angka kemiskinan, eksploitasi sumber daya
alam yang berlebihan, dan sebagainya. Sistem perencanaan pembangunan
berdasarkan UU No 25 Tahun 2005 mencakup lima pendekatan, terdiri dari :
pendekatan politis, teknokratis, patisipatoris, atas-bawah (top down), dan bawah-
atas (bottom up). Sedangkan Friedman (1987) mengenalkan empat pendekatan
dalam sistem perencanaan, yaitu: pendekatan reformasi sosial, analisis
kebijakan, pembelajaran sosial, dan mobilisasi sosial.
Membangun sistem perencanaan pembangunan alternatif yang
berorientasi pada pengetahuan dari timur (filsafat Islam) menjadi tantangan bagi
peneliti. Pada tahap awal akan dilakukan kajian teoritik yang memfokuskan pada
kajian Teosentris. Manusia harus memiliki interpretasi komprehensif tentang
93
wujud, yang menjadi dasar bagi interaksinya dengan wujud lainnya. Interpretasi
yang memberikan pemahaman tentang sifat dan hakikat besar, yang dengannya
manusia berinteraksi. Interaksi ini mencakup hubungan antara hakikat
Ketuhanan dengan hakikat kehambaan, yang meliputi hakikat alam, hakiakat
kehidupan dan hakikat manusia. (Muhammad, Afif, 2004: 85).
Konsep Islam berupaya menciptakan masyarakat tauhidi, yaitu suatu
tatanan kemasyarakatan yang berdasarkan kepada nilai-nilai _TauhiduLLah_
serta bermuara kepada terciptanya masyarakat madani yang egaliter, terlepas
dari berbagai perbudakan termasuk perbudakann terhadap hawa nafsu sendiri,
lingkungan masysrakat, orang lain dan yang terpenting, perbudakan dalam
keyakinan dan peribadatan selain kepada Allah SWT. Dengan demikian sekali
lagi, konsep masyarakat tauhidi (ummatan wahidah) berbeda dengan konsep
sosialis yang humane dan bersifat relatif. Konsep ini adalah baku, karena berasal
dari Allah yang Maha Benar (AL-HAQ).
Usaha perubahan atau tagyiir dalam rangka mencapai atau mewujudkan
masyarakat tauhidi tersebut, sebagaiman disinyalir Q.S. Ar Ra’d ayat 11 : “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di
muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.
Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat
menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”
Perbedaan itu semakin nampak ketika Karl Marx mengumandangkan
upaya perubahan kaum tertindas dengan ajakan untuk menjauhkan manusia
dari ajaran Tuhan dan bertumpu pada kemampuan dirinya sendiri. Sementara
Islam, mengajak kaum tertindas untuk melakukan perubahan dengan dimulai
dari pembangunan akidah dan keimanan yang kokoh kepada Allah SWT, lalu
keyakinan tersebut diaplikasikan dalam kehidupannya yang nyata.
94
3.2.2 Usulan perencanaan Teosentris yang berbasis Gerak Substansi Pada tahap awal akan dilakukan kajian teoritik yang memfokuskan pada
teori gerak substansi (Al Harakah Al Jauhariyyah) dengan konsep “Kearifan
Puncak” dari Mulla Shadra. Konsep kearifan puncak menjelaskan tentang
hakekat perjalanan manusia. Gerak manusia dalam menuju kesempurnaannya
mau tidak mau mestilah melalui pembebasan dirinya dari kondisi-kondisi alam
dan masyarakat yang melingkupinya. Secara bertahap, bertolak belakang
dengan anggapan sosialisme, “makin sempurna manusia makin bebas dia dari
hal-hal material dan makin bertumpu pada kekuatan pemikiran dan ideologi.
Dengan kata lain, kesempurnaan manusia ditentukan oleh dasar ideologinya,
lantaran kesempurnaan yang hakiki bukanlah kemajuannya dibidang-bidang
teknis, melainkan kesempurnaan perikemanusiaan. Oleh karena itu, langkah
semestinya manusia menuju kesempurnaan berbading lurus dengan langkah
pembebasannya dari materi dan pendekatannya pada keimanan dan ideologi.
Maksud dari ungkapan “bebas dari materi” bukanlah “hidup dalam
kevakuman yang jauh dari alam materi”, melainkan penguasaan pengendalian
manusia atas materi dan bukan sebaliknya. Jika di masa lampau manusia
sedemikian bergantung dan bertakuk lutut di hadapan kondisi material dan
komunal yang mengurungnya, dimasa-masa yang akan datang dia akan makin
mandiri dari lingkungan material dan komunal di sekitarnya dan makin sanggup
mengendalikan serta memanfaatkannya. (Muthahhari, Murtadha 2002: 101). Hal
tersebut diatas ssesuai dengan misi utama perencanaan berdasarkan Islam yaitu
menuju “rahmat bagi seluruh alam semesta”. Penolakan Islam terhadap
kapitalisme jelas terlihat dalam konsep dasar muamalah Islam, di mana Islam
mengingatkan akan celaka orang yang mengumpulkan harta untuk kesia-siaan.
Jadi dalam sistem muamalah Islam, praktek yang mengarah pada penimbunan
atau penumpukan modal dan barang adalah dilarang. Demikian juga Islam
melarang praktek riba.
Nilai sosialisme dalam Islam, terlihat dari misi yang disandang Nabi
Muhammad bahwa ia datang untuk rahmat bagi seluruh alam. Jadi sejatinya
orang Islam dimanapun berada selalu menebarkan cinta kasih dalam niat dan
perbuatan, menyebarkan rasa kemanusiaan yang tinggi, menjunjung nilai-nilai
luhur, bukan hanya pada ideologi atau agamanya saja tapi pada
kemanusiaannya juga, bukan hanya pada manusia saja tapi pada makhluk
95
lainnya juga. Dengan demikian tidak ada lagi perusakan baik di daratan maupun
lautan, tidak ada lagi eksploitasi terhadap binatang, tumbuhan dan alam lainnya.
Sikap inilah sebetulnya yang harus dijadikan acuan. Umat Islam harus
mengambil pelajaran dari tindakan Nabi yang sangat menjunjung nilai
kemanusiaan dan menentang perbudakan. Nabi mengatakan, "Tentang budak-
budakmu berilah makan padanya saperti yang kamu makan sendiri, dan berilah
pakaian padanya seperti pakaian yang kamu pakai sendiri. Apabila kamu tidak
dapat memelihara mereka, atau mereka melakukan kesalahan, lepaskan
mereka. Mereka itu hamba Allah seperti kamu juga, dan kamu harus berlaku
baik-baik kepada mereka."
Dengan memperhatikan suatu sistem sosial budaya dan spirit religi suatu
masyarakat yang terkumpul dalam suatu ruang, diharapkan kita dapat melihat
apa saja yang sebenarnya perlu dimasukan dalam proses perencanaan pada
masa yang akan datang sesuai kebutuhan dari masyarakat itu sendiri dan
diterima dari sisi sosial budaya dan religi kemasyarakatannya. Hal ini dapat
terimplementasikan dalam sebuah pembangunan yang berdaya guna tinggi, dan
merekontruksi suatu ruang yang memiliki “jiwa” atau energi yang kuat dan sesuai
dengan spirit religi yang kita yakini. Karena apabila hal tersebut dapat
teksktualisasikan akan membuat suatu tameng tersendiri bagi sistem
modernisasi Barat yang terbilang cukup mematikan nilai-nilai kemanusiaan dan
religi suatu tatanan masyarakat pada umumnya dan lebih bersifat individualisme
yang materiilisme.
3.2.3 Konsep Wujud Sebelum berbicara mengenai konsep kearifan puncak dari Mulla Shadra,
terlebih dahulu membahas mengenai Konsep Wujud dan pengertian akan Wujud
itu sendiri. Wujud adalah satu-satunya realitas yang bersifat unik dan serba
meliputi yang tak sesuatupun lepas darinya. Bagi Mulla Shadra, benda-benda
disekitar kita bukanlah ilusi atau tanpa eksistensi, namun pasti memiliki
eksistensi dan ada. Tuhan sendiri bereksistensi atau Ada tanpa memliki esensi
pendampingnya, jika Tuhan memiliki esensi Tuhan tidak lagi menjadi Wujud yang
absolut, namun akan menjadi wujud yang mungkin. Maka dari itu Tuhan
dianggap sebagai Wujud Murni dan Absolut.
96
Menurut Ibnu Sina (Leaman, Oliver, 2001: 116), Tuhan dan alam raya
tidak dibahas sebagai dua hal yang terpisah. Tanpa Tuhan tidak akan ada alam
sebagimana alam adalah hasil kotemplasi Tuhan terhadap Diri-Nya sendiri.
Eksistensi Tuhan dibuktikan dengan adanya alam raya itus sendiri. Segala
sesuatu adalah satu dalam arti, berasal dari satu Tuhan an memainkan perannya
masing-masing dalam struktur realitas yang rasional dan tidak mungkin terjadi
hal yang sebaliknya. Tuhan dan peran-Nya sebagi Sumber Eksistensi segala
yang ada, semua pengetian inilah yang dinamakan sebagai Wahdah al-Wujud.
Pembahasan selanjutnya mengenai struktur Realitas yang terdapat dalam
Hikmah Muta’aliyah dari Mulla Shadra tentang gradasi Eksistensi, bahwa
sesungguhnya semua yang terdapat disekitas kita itu memiliki eksistensi.
Eksistensi dijadikan sebagai bangunan riil dan esensi hanya sebagai bangunan
mental saja.Tuhan sebagai Sebab pertama akan menurunkan akibat pertama,
dan dari akibat pertama akan berubah menjadi sebab kedua untuk membentuk
akibat kedua yang nantinya juga akan menjadi sebab ketika, dan seterusnya. Hal
tersebut membuktikan bahwa Wujud Tuhan memiliki bentuk yang absolut dan
wujud yang dibawahnya menjadi wujud mungkin dalam sebuah hirarkis. Semua
Wujud itu menjadi sebuah unitas bukan lagi entitas yang terpisah, bahkan
masing-masing wujud itu unik dan berbeda, dan Wujud Tuhan adalah wujud yang
Sempurna tanpa esensi yang malahan akan menjadikannya sebagai sesuatu
yang bersifat dualitas.
Pernyataan diatas secara tidak langsung menyatakan bahwa (jika
dihubungkan dengan kehidupan nyata), realitas alam semesta merentang dari
kutub Tiada Mutlak ke kutub ADA mutlak. Dari Ada Mutlak hingga Tiada Mutlak
terdapat gradasi ”ada-ada nisbi” yang tak terhingga banyaknya.
3.2.4 Teori Gerak Substansi
Sebuah kajian teoretis yang sangat diperlukan untuk mengungkap suatu
pokok pikiran dari para filisof Islam terdahulu, dan dianggap mampu untuk
menjadi suatu yang dapat ditransformasikan kedalam suatu ilmu pengetahuan.
Mulla Shadra dengan Hikmah Muta’aliyah mengusung pemikiran bahwa
kebenaran mistisme hasil pengetahuan intuisi secara esensi adalah identik
dengan kebenaran intelektual, dan pengalaman mistis pada dasarnya adalah
pengalaman kognitif, tetapi kebenaran pengetahuan intelektual dan muatan
97
kognitif (kesadaran yang utama) ini harus “dihayati” jika ingin diketahui secara
seutuhnya. Jika kebenaran-kebenaran itu diketahui secara intelektual sebagai
proporsproporsi rasional, maka mereka akan kehilangan karakter esensialnya,
hal ini membuat bahwa penggabungan antara objektifitas proporsional nalar
(rasional) dan sebjektifitas emosional hati (intusi) dengan wahyu tentunya, akan
membuat sebuah pengetahuan akan sesuatu lebih baik dan mendalam
(memandang lebih suatu pengalaman subjektif kedalam suatu konsep yang
objektif).
Salah satu pikiran yang cukup penting ialah tentang Gerak Substansif (Al-
Harakah Al-jauhariyyah) yang memuat tentang, menempatkan seluruh bidang
wujud dalam gerak yang terus menerus dengan mengatakan bahwa gerak tidak
hanya terjadi pada kualitas-kualitas sesuatu, tetapi juga pada substansinya.
Gerak tidak saja berhubungan dengan perubahan materi secara umum, namun
meliputi dimensi imateri dan spiritual (Asy’arie, Musa, 2002: 207)
Mulla Shadra menyusun topik-topik filosofis mengenai jalan rasional dan
intelektual dengan cara menyerupai kaum ‘urafa berkeyakinan bahwa seseorang
pengembara akan menempuh empat perjalanan “Kearifan Puncak”, yaitu:
• Perjalanan dari Makhluk menuju Tuhan
• Perjalanan dengan Tuhan dalam Tuhan
• Perjalanan dari Tuhan menuju makhluk dengan Tuhan
• Perjalanan dalam Makhluk bersama Tuhan
3.3 Sebuah Pijakan Untuk Melangkah Pada Proses Transformasi 3.3.1 Asumsi dasar
Dimulai dengan asumsi dasar tentang alam, yang nantinya dapat
dianalogikan dalam sebuah bahasa perencanaan, yaitu: Pertama, alam yang
“terbatas” dalam proses pembentukannya, dari kata “terbatas” itu dapat
diartikan sebagai sesuatu yang dimulai oleh peristiwa “awal” yaitu perihal
penciptaan alam sendiri yang memang memiliki awal pembentukannya oleh Allah
SWT dan juga peristiwa yang berhenti dikata “akhir”, yaitu terdapat batasan
suatu yang diciptakan pasti akan ada akhirnya atau tempat pemberhentian bukan
persinggahan. Bumi atau tempat hidup manusia dan makhluk lainnya diartikan
sebagai sesuatu yang memilki awal dan pada masanya nanti akan mengalami
akhir. Seperti seseorang yang akan dan sedang melakukan sebuah perjalanan
98
yang ada tempat awalnya sebelum kita bergerak menuju suatu tempat yang
merupakan akhir atau tujuan dari perjalanan, sedangkan proses perjalanan itu
sendiri merupakan sesuatu yang harus dilewati. Didalam atau diantara awal dan
akhir perjalanan itu sendiri terdapat pemandangan yang indah, siang dan malam,
ataupun hambatan berupa tanjakan dan hujan sekalipun, mungkin juga melewati
dan singgah di tempat peristirahatan sejenak, untuk sekedar beristirahat diri.
Sama halnya dengan alam yang memiliki tempet persinggahan yang salah
satunya ialah bumi sebagai persinggahan untuk kita untuk menuju alam
berikutnya.
Kedua, alam yang diluar “alam materi”, yaitu alam bukan hanya yang
dilihat, didengar dirasakan oleh inderawi kita saja, namun alam juga merupakan
sesuatu yang lebih luas dari itu karena alam yang dapat dirasakan oleh inderawi
hanya alam bumi, sedangkan alam lainnya tidak dapat dirasakan oleh inderawi
kita, misalnya alam ghaib, yang tidak dapat kita bayangkan. Seperti melihat
tubuh kita pada sebuah cermin, kita hanya dapat melihat beberapa bagian dari
tubuh ini saja namun beberapa bagian lainnya tidak dapat kita lihat di cermin itu
sendiri. Dengan menggunakan atribut berpengetahuan yang diajarkan oleh Islam
sendiri yaitu dengan menyelaraskan objektivitas proposional nalar dan
subjektivitas emosional hati kita baru bisa “merasakan” apa saja yang tak dapat
dirasakan oleh inderawi kita. Selanjutnya tentang perubahan yang terjadi atau
yang dilakukan oleh alam itu sendiri tidaklah terbatas oleh ruang dan waktu
namun lebih dari itu, sebenarnya alam bergerak dan selalu melakukan “gerak”
dari sisi substansinya. Kesempurnaan yang menjadi tujuan “gerak” alam tersebut
diraih dan didapatkan oleh pergeseran “nilai” atau “inti hal” dari alam itu sendiri.
Subtansi itu sendiri tidak dapat diukur oleh sesuatu yang terinderai saja, namun
lebih dari itu terdapat banyak hal yang tidak terinderai oleh kita (khalayak
kebayakan). Melakukan suatu perubahan yang lebih baik dari waktu sebelumnya
ialah sesuatu yang diajarkan oleh Islam sendiri. Seperti yang tertuang dalam Al
Quran surat Al Hasyr ayat 18 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap
diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan” (Q.S. Al Hasyr :18)
99
Dengan dua asmumsi dasar tadi dapat disimpulkan, bahwa dalam
memahami atau menjalankan sebuah perencanaan yang “apa adanya” dari objek
yang direncanakan (yang sebenarnya diperlukan oleh objeknya itu sendiri).
Dengan itu kita dapat menaruh prioritas pembangunan fisik sebagai prioritas
yang paling akhir setelah prioritas sistem nilai (norma) dari stakeholder
perencanaan dan pembangunan, yang merupakan satu kesatuan terdepan
dalam merencanakan sesuatu atau objek tertentu. Stakeholder yang
dimaksudkan di atas meliputi berbagai pihak yang terlibat dalam perencanaan
pembangunan yaitu, masyarakat, pemerintah, swasta dan lingkungan. Dengan
memperhatikan itu semua kita dapat “melihat” dan “merasakan” apa yang
sebenarnya dibutuhkan oleh objek itu sendiri, yang mudah-mudahan tujuan
akhirnya dapat menjadi rahmat bagi seluruh semesta, baik itu hubungannya
langsung dengan makhluk dan Sang Pencipta, ataupun makhluk dan makhluk
lainnya (termasuk lingkungan juga).
Dari penjelasan diatas terdapat dua persamaan dari Teori Gerak
Substansi dan hakekat perencanaan, jika dikaitkan dengan realitas dari
keduanya. Pertama, antara Teori Gerak Subastansi dan Perencanaan Islami
sama-sama bertujuan menuju kesebuah yang lebih Tinggi atau lebih baik (ke-
Kesempurnaan Eksistensi). Pembangunan harus lebih intensif lagi dalam usaha-
usahanya ke sebuah perbaikan dari kekurangan yang ada, dan tidak berhenti
dalam usahanya tersebut. Kedua, baik itu Gerak Substansi dan Perencanaan
Islami telah memaparkan tentang peninggalan alam materi. Perencanaan yang
berorientasi pada bangunan fisik tidak lagi ditempatkan ditingkatan paling atas,
namun yang lebih utama dari itu ialah sistem nilai manusianya sendiri yang
terlibat dalam proses perencanaan sampai dengan implementasinya sebuah
perencanaan.
Dengan mencoba untuk mentransformasikan spirit religi yang normatif
menjadi suatu sistem yang teoritis dan dengan mentransformasikan spirit religius
tadi yang bersifat subjektif kedalam suatu kategori objektif (dalam hal ini-pola
keruangan) maka kita akan siap menghadapi pelbagai bentuk tantangan
struktural dari perkembangan masyarakat yang mulai meruntuhkan nilai-nilai
budaya dan spirit religius. Demi mewujudkan itu semua diperlukan suatu sistem
pemikiran dalam sebuah proses perencanaan yang memiliki objektivitas
100
proposional nalar dan subjektivitas emosional hati yang mengandung nilai-nilai
religi yang lebih.
Proses perencanaan Islam seperti yang disebutkan diatas yang lebih
kearah Teosentris diharapkan dapat memperbaiki sistem perencanaan yang
telah ada. Suatu proses yang secara kritis berusaha mengungkap “the real
structures” dibalik ilusi, false needs yang dinampakan dunia materi, dengan
tujuan membantu membentuk suatu kesadaran sosial yang mudah-mudahan
atas seizin Dzat Maha Sempurna dapat memperbaiki dan mengubah kondisi
kehidupan masyarakat Indonesia pada masa yang akan datang.
3.3.2 Pijakan untuk proses transformasi Dengan dasar pokok pikiran Islam yang diantarkan oleh Mulla Shadra
yang isinya mengenai “Kearifan Puncak” dengan tahapan sebagai berikut:
● Perjalanan dari Makhluk menuju Tuhan
● Perjalanan dengan Tuhan dalam Tuhan
● Perjalanan dari Tuhan menuju makhluk dengan Tuhan
● Perjalanan dalam Makhluk bersama Tuhan
Melalui metode pendekatan Transformasi yang digunakan untuk mengubah
teori-teori yang bersifat normatif dalam sains Islam kedalam suatu nilai-nilai yang
lebih objektif dan real. Untuk itu setelah melihat bahwa sumber pengetahuan
dapat diperoleh seperti cara-cara diatas maka penulis mencoba
mentransformasikan pokok pikiran Islam yang disampaikan Filosof Islam Mulla
Shadra mengenai “Kearifan Puncak” kedalam suatu Konsep Paradigma Proses
Perencanaan dengan tahapan yang tidak terpisahkan satu sama lainnya yaitu
sebagai berikut
• Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika
• Proses Politis & Advokasi dalam Sistem Pemerintah yang Berkeadilan
• Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan yang Amanah
• Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem Perencanaan Islam
Tuhan dengan suatu Kekuatan Yang Tunggal dan Manusia sebagai suatu
yang diatur oleh Tuhan dalam sebuah sistem penghidupan yang ada di semesta
alam ini, dianalogikan sebagai sebuah hubungan Pemerintah dan Masyarakat.
Pemerintah yang di Indonesia saat ini dijadikan sebagai sebuah otoritas
101
pengembilan keputusan tertinggi dan Masyarakat sebagai suatu yang dijamin
penghidupannya oleh pemerintah.
Tabel III.2
Proses Transformasi Analogi
Kearifan Puncak Substansi Teori Perencanaan Perjalanan dari Makhluk menuju Tuhan
Pencarian dan pembersihan diri untuk menuju perjalanan kepada Allah Seseorang yang ingin melewati safar ini harus melewati tiga Maqam yaitu: alam nafs, alam qalb dan alam ruh. Di alam nafs, bukan menghilangkan atau melenyapkannya, namun membatasi dan melepas nafs yang dapat mengotori kita Alam qalb, yang merupakan tingkatan alam ruhani. Kalbu memeberikan kita cahaya, tetapi kadang-kadang kita terpaku dalam alam kalbu. Bisa saja dia sudah terhiasi oleh akhlak-akhlak yang baik, namun setiap harinya hanya dalam tahapan itu saja, tidak menjadi stimulan yang mendorongnya ketingkatan yang lebih tinggi. Alam ruh, ruh yang dimaksudkan disini hanyalah istilah. Mengapa kita harus melewati ruh ini? Karena kita adalah materi.dibandingkan dengan sesuatu yang spiritual, materi adalah gelap. Namun sebelum melewati alam ruh harus berhenti di terminal yang disebut sebagai maqam aql. akal yang identik dengan sebuah pemikiran yang rasional materialisme akan membawa kita terjebak dengan alam materi
Pembelajaran sosial oleh stakeholder dalam perencanaan pembangunan Mengidentifikasi potensi dan masalah
kunci dengan konsep Ta’aruf (mengetahui), Tafahum (memahami), dan Ta’awun (Kebersamaan).
Perumusan usulan rencana kegiatan pembangunan partisipatif.
Prioritasi usulan kegiatan yang Tawazun (Keseimbangan) dan Musawah (persamaan dan kesetaraan).
Informasi dari pemerintah Kabupaten/Kota tentang isu-isu strategis daerah;
Informasi tentang jumlah usulan yang dihasilkan pada forum sejenis di tahun sebelumnya yang telah terealisasikan;
Proses Muhasabbah (evaluasi) dalam pelaksanaan pembangunan Desa/Kelurahan pada tahun sebelumnya
Menetapkan Kahalifah (wakil) yang Amanah terhadap aspirasi masyarakat
Perjalanan dengan Tuhan dalam Tuhan
Berpengetahuan tentang sifat dan dzat Allah • maqam sirr (fana’fi Dzat) yang iasanya para
arif sering berada dalam kemabukan (ekstase).
• Kedua, maqam khafiy (fana’) yaitu seoarang arif akan menghadapi kefanaan dalam sifat Allah.
• Ketiga yakni maqam akhfa, yaitu maqam Dzat dan Sifat sekaligus.
Proses politis dalam stakeholder untuk merumuskan perencanaan Islam Melaksanakan monitoring dan
evaluasi terhadap peran legislatif oleh masyarakat
Muhasabbah yang transparan dan objektif dalam lembaga eksekutif oleh legislatif
Penetapan proporsi fungsi dan peran untuk urusan pemerintahan agar dapat sesuai dengan prinsip Ummah Muqtashidah
Penetapan kewenangan yang sesuai dengan prinsip Ummah Qaaimah
Pengembangan diri dalam memlihara prinsip Ummah Qaanitah
Mengembalikan Kewenangan yang sesuai dengan prinsip Ummah Wasatha
Pembentukan forum koordinasi dengan sikap Tasamuh
102
Sumber: Hasil Kontruksi Paradigma, 2005
3.3.3 Penentuan Sistem Nilai dalam Proses Transformasi
Nilai-nilai yang nantinya terkadung dalam sebuah perencanaan Islami
harus mencakup 3 prinsip utama, yaitu : Keseimbangan, Keteraturan, dan Etika.
Bila dilihat dari sebuah Kehidupan 3 prinsip diatas merupakan hal yang paling
penting dalam melakukan sebuah aktivitas yang Islami. Untuk pengertian yang
lebih jelasnya dapat dilihat sebagai berikut:
1. Keseimbangan, tidak ada makhluk hidup, selain manusia, yang
mengganggu keseimbangan alam. Bahkan, mereka tercipta dengan sifat-
Perjalanan dari Tuhan menuju makhluk dengan Tuhan
Keberleburan diri dengan sifat dan dzat Allah Selanjutnya safar yang ketiga setelah melewati dua safar sebelumnya dengan tujuh maqam yakni safar min al-Haq ila khalq ma’a al-Haq (dari Allah menuju makhluk bersama Allah). Seakan-akan safar ini bagian dari antiklimaks (menurun), hal ini memang sulit dijelaskan. Seoarang salik tidak lagi melihat Allah dari sesuatu, namun dibalik menjadi melihat sesuatu karena Allah sebelumnya. Adanya Sang Pencipta membuktikan adanya alam semesta ini. Dalam tahapan ini manusia berada dalam sebuah “peniadaan diri” yang menganggap bahwa seluruh yang terdapat dialam ini tidak ada kecuali Allah, dan melakukan segala sesuatunya dalam kehidupan ini hanya untuk kemashlahatan semesta.
Mobilisasi dan koordinasi perencanaan Islam yang amanah Melaksanakan monitoring dan
evaluasi terhadap peran legislatif oleh masyarakat
Muhasabbah yang transparan dan objektif dalam lembaga eksekutif oleh legislatif
Penetapan proporsi fungsi dan peran untuk urusan pemerintahan agar dapat sesuai dengan prinsip Ummah Muqtashidah
Penetapan kewenangan yang sesuai dengan prinsip Ummah Qaaimah
Pengembangan diri dalam memlihara prinsip Ummah Qaanitah
Mengembalikan Kewenangan yang sesuai dengan prinsip Ummah Wasatha
Pembentukan forum koordinasi dengan sikap Tasamuh
Perjalanan dalam Makhluk bersama Tuhan
Menyampaikan pesan-pesan Allah SWT kepada para makhluk-Nya berdasarkan kemampuan mereka Tahapan selanjutnya yang merupakan tahapan tertinggi dari seluruh perjalanann yang dilakukan seorang salik yakni, safar fil al-khalq ma’a al-Haq (dengan Allah tetapi dalam Allah). Dalam safar ini seseorang yang telah mengarungi alam-alam yang harus dilalui dan sampai pada puncaknya, dia harus turun kembali dan membenahi masyarakatnya. Menyatukan diri dengan Allah membuat dia bukan hanya sempurna namun menyempurnakan masyarakatnya. Seoarang salik yang telah berada dalam tahapan ini harus kembali lagi menyampaikan pesan-pesan Allah SWT kepada para makhluk-Nya berdasarkan kemampuan mereka (bahasan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh yang lain).
Proses penjiwaan perencanaan Islam untuk di aktualisasikan dalam Action Plan Meningkatkan intensitas dan kualitas
partisipasi masyarakat Meningkatkan kualitas perencanaan Mewujudkan keseimbangan antara
pencapaian sasaran strategis dengan pencapaian sasaran tahunan
Mewujudkan prinsip Ummah Haadiyah
Sosialisasi hasil Forum Koordinasi Sosialisasi RAPBD Sosialisasi berbagai Informasi Menerima masukan dari berbagai
ususlan yang telah disosialisasikan sebagai bahan pertimbangan untuk evaluasi
103
sifat yang mempertahankan keseimbangan itu. Namun, keseimbangan
bumi selalu terancam oleh tindakan bodoh manusia. Misalnya, jika
manusia menyakiti seekor hewan tanpa kenal ampun, hewan itu akan
punah. Punahnya hewan itu menyebabkan jumlah mangsanya meningkat
terlalu banyak, yang kelak akan membahayakan hidup manusia dan alam
itu sendiri. Jadi, ada suatu keseimbangan alami dalam penciptaan
makhluk hidup. Mereka sepenuhnya cocok dengan keseimbangan alam,
tetapi kecuali untuk manusia, mereka bisa menyebabkan kehancuran
keseimbangan yang sudah tepat itu. (Harun Yahya, Let’s Learn Our
Islam: Indahnya Islam Kita), seperti yang terkandung dalam Al Quran
surat Al Mulk ayat 1-3, yang artinya sebagai berikut:
“Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha
Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia
menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia
Maha Perkasa lagi Maha Pengampun, Yang telah menciptakan tujuh
langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan
Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah
berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?” (Q.S.
67 : 1-3)
2. Keteraturan, Allah telah menciptakan dunia yang indah dalam alam
semesta yang sempurna untuk kita, dan Dia menciptakan hewan-hewan
dan tumbuhan di dalamnya. Dia menciptakan matahari untuk memberikan
energi dan menghangatkan kita. Jarak matahari dari bumi telah diatur
dengan tepat sehingga jika lebih dekat akan sangat panas, tetapi jika
lebih jauh kita semua akan membeku.
Ketika para ilmuwan menemukan lebih banyak bukti-bukti ini, kita pun
mengetahui kekuasaan Allah lebih baik. Hal ini karena benda-benda tidak
bisa mengambil keputusan atau pun melaksanakan keputusan itu. Ini
berarti bahwa ada Pencipta yang telah merancang dan menciptakan alam
semesta ini. Materi, yaitu zat dasar bintang-bintang, manusia, hewan,
tanaman, dan segalanya, hidup atau tak hidup, berada di bawah kendali
Allah. Itulah sebabnya segala hal di bumi ini teratur. Karena segalanya
104
diciptakan oleh Allah, Yang Maha Pencipta dan Pemberi Bentuk. (Harun
Yahya, Let’s Learn Our Islam: Indahnya Islam Kita), seperti yang
terkandung dalam Al Quran, yang artinya:
Surat Al Fathir ayat 1:
“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan
malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam
urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan
empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-
Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. 35: 1)
Surat Ash-Shaaf ayat 4:
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam
barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang
tersusun kokoh.” (Q.S. 61:4)
3 Etika, adalah cabang filsafat yang mencari hakikat nilai-nilai baik dan
jahat yang berkaitan dengan perbuatan dan tindakan seseorang, yang
dilakukan dengan penuh kesadaran berdasarkan pertimbangan
pemikirannya. Persoalan etika adalah persoalan yang berhubungan
dengan eksistensi manusia, dalam segala aspek kehidupan, baik individu
maupun masyarakat, yang hubungannnya dengan Tuhan dan selain
Tuhan diberbagai bidang. Setidaknya dalam prinsip Etika ini menyangkut
hal-hal penting lainnya, yaitu: 1) Moralitas terhadap kitab suci 2) Etika
Teologis 3) Etika Kefilsafatan dan 4) moralitas Agama. (Asy’arie, Musa
2002: 89), seperti yang terkandung dalam Al Quran surat An-Nisaa’ ayat
36, yang artinya adalah:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri” (Q.S. 4:36)
105
Dari ketiga prinsip utama yang telah disebutkan diatas, kemudian
terdapat sistem nilai yang mengacu pada tiga prinsip utama yang telah
dijelaskan diatas. Sistem nilai Islam ini yang nantinya dijadikan sebagai acuan
dalam proses perencanaan yang Teosentris didalam setiap tahapan
perencanaan yang telah di transformasi-analogikan dari Teori Gerak Mulla
Shadra tentang “Konsep Kearifan Puncak”. Bila dilihat dari karakteristik sistem
nilainya ketiga prinsip utama tadi akan terkandung didalamnya. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada uraian sebagai berikut:
1. KEADILAN Adil menurut kamus besar Bahasa Indonesia berarti tidak berat sebelah,
tidak memihak, berpihak pada yang benar, sepatutnya dan tidak
sewenang-wenang. Adil dalam arti seimbang diidentikan dengan
kesesuaian atau proposional. Keseimbangan tidak mengharuskan
persamaan kadar dan sarat bagi semua bagian unit agar seimbang, bisa
saja satu bagian dengan bagian berrukuran kecil atau besar sedangkan
yang lainnya kebalikan dari itu, namun yang terpenting sesuai dengan
ketentuan fungsi yang diharapkan sebelumnya (Tamyiez Dery’, 2002).
Dalam kehidupan sosial keadilan diartikan sebagai keberhakkan individu
dalam komunitas masyarakat dapat meraih kebahagiaan yang baik mesti
diwujudkan dan dipelihara agar sejahtera. Keadilan sosial sendiri harus
mengandung 3 kriteria bawaannya, yaitu: Kebebasan, Kesadaran dan
tanggung jawab, seperti yang terkandung dalam Al Quran , yang artinya:
Surat al- Rahman ayat 7
“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca
(keadilan).“(Q.S. 55:7)
Surat Al Maa-idah ayat 8
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu
lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S. 5 : 8)
106
2. PERSAMAAN Sama disini dikaitkan dengan memberi kesan pada adanya dua pihak
atau lebih, karena kalau hanya satu pihak, tidak akan terjadi adanya
persamaan. Maksud dari persamaan disini ialah persamaan Hak, yang
dikaitkan dengan nilai sebelumnya (keadilan). Persamaan disini tetap
memegang teguh pluralitas, tanpa harus menghilangkan stratifikasi sosial
yang telah menjadi realitas sosial. Mengusung kesamaan Hak dan
kewajiban dari masing-masing kelompok sosial yang selaras dengan
fungsinya di masyarakat.
Surat Al Maidah ayat 48:
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa
kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang
diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu;
maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara
kamu], Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali
kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu.”(Q.S. 5:48)
Allah SWT dalam melihat, memandang dan manilai Makhluk ciptaan-Nya tidak lagi membedakan karena Allah menganjurkan masuk dalam seberagaman atau pluralitas dan saling mengenal, Taqwalah yang menjadi ukuran kemuliaan bagi Allah. Surat Al Hujuraat ayat 13
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang
paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.” (Q.S. 49 : 13)
107
3. KETERBUKAAN Menurut Karl Popper, konsep masyarakat terbuka yang bebas ini
memungkinkan segala bentuk pengetahuan dan seluruh kebijakan sosial
akan dapat dikritik karena bersifat transparan. (Asy’arie, Musa, 2002:100).
Bagi Popper, masyarakat yang terbuka itu akan menjadi bentuk sosial
yang mampu melakukan proses falsifikasi yaitu kritik rasional terhadap
bangunan epistemologi pengetahuan sosial, politik, dan lain-lain di dalam
tubuh masyarakat itu sendiri. Tanpa keterbukaan memungkinkan
terjadinya kesalahpahaman, kecurigaan dalam berprasangka dan pada
akhirnya terjadi konflik, seperti yang terkadung dalam Al Quran, yang
artinya:
Surat Al Hujaraat ayat 12:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka
(kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah
mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama
lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. 49:12)
4. MUSYAWARAH
Adalah sebuah partisipasi warga ummat untuk turut andil dalam
menentukan keputusan dan menganali persoalan apa yang mengikat
mereka, dan bagaimana persoalan itu ditangani atau diselesaikan.
Bermusyawarah ialah etika sosial yang fundamental, karena kodrat
kehidupan masyarakat adalah perbedaan dan pertentangan pendapat.
(Asy’arie, Musa, 2002: 101). Dengan musyawarah yang terbuka, untuk
dapat mengikuti pendapat yang lebih baik, artinya juga tidak membiarkan
masyarakat dalam berprasangka, karena kecurigaan tersebut bukanlah
suatu kebenaran.
108
Surat Az Zumar ayat 18 yang artinya:
“mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling
baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah
petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (Q.S.
39:18)
5. KEPEMIMPINAN
Kaum muslimin adalah ummat yang senatiasa menjaga dan memelihara
sikap mental kepemimpinan. Nilai kepemimpinan selalu beriringan
dengan nilai lainnya, seperti keadilan dan kebenaran. Allah akan
mewariskan kepemimpinan kepada kaum yang tertindas, bahwa
penyampaian ini ditujukan kepada kaum yang beriman Dengan demikian,
tanpa keimanan dan akidah yang benar, mereka yang tertindas sekalipun
tak jaminan untuk diberikan kepemimpinan di atas bumi ini. Melihat hirarki
kepemimpinan Allah dan Rasul, serta manifestasi ketaatan kepada
keduanya, sudah jelas mencontohkan pada ummat tentang nilai
kepemimpinan.
Surat Al Qashash ayat 5-6:
“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas
di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan
menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi), dan akan Kami
teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan
kepada Fir'aun dan Haman beserta tentaranya apa yang selalu mereka
khawatirkan dari mereka itu “ (Q.S. 28 : 5-6)
6. KEBENARAN DAN KEBAIKAN
Manusia secara fitrahnya pasti mempunyai nurani untuk menghargai dan
menyukai kebenaran dan kebaikan tanpa membedakan suku, agama dan
ras. Kebenaran dan kebaikan menurut Islam tidak bersifat relatif
(pandangan kebanyakan orang), namun memang sesuatu yang hakiki
untuk kemashlahatan semesta ini. Secara etis makna ‘baik’ mengarah
pada persetujuan, anjuran, keunggulan, kekaguman dan keselarasan.
(Asy’arie, Musa, 2002: 90). Dilihat dari etika, niali kebenaran dan
kebaikan bersifat universal dan absolute. Ketika nilai kebenaran dan
109
kebaikan jatuh pada tataran aplikasi dalam realitas kehidupan, terkadang
bisa saja terjadi perbedaan-perbedaan, seperti bentuk penghormatan
antara satu daerah dengan daerah lain memiliki cara yang berbeda.
Untuk itu validitas ‘relatif’ kebenaran dan kebaikan tersebut dapat
dipertanggung jawabkan dengan cara ‘berijtihad’, yang memungkinkan
agar Islam senantiasa sesuai dan berlaku sepanjang masa tanpa
melupakan ketetapan yang utama yaitu Al Quran dan Hadist.
Surat Al Imran ayat 104, artinya:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari
yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. 3:104)
7. TANGGUNG JAWAB
Suatu konsekuensi logis yang diterima oleh setiap ummat, ketika
menghadapi dan menyikapi suatu pilihan dalam hidup untuk nantinya
dijalankan dalam realitas kehidupan, pasti akan mempunyai akibat yang
harus dipertanggung jawabkan. Kepekaan kepada setiap orang akan
timbul ketika orang tersebut akan mengambil suatu pilihan. Sikap hati-hati
dan berupaya agar tidak berbenturan dengan aturan Islam, karena Islam
sendiri mengharuskan Keteraturan dalam Hidup, menjadikan manusia
melakukan suatu pemikiran yang matang sebelum bertindak agar
hasilnya dapat dipertanggung jawabkan secara etika dan agama, yang
pada akhirnya nanti manusia dituntut untuk bertanggung jawab di dunia
dan di akhirat.
Surat Al A’raaf ayat 164:
“Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: "Mengapa
kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau
mengazab mereka dengan azab yang amat keras?" Mereka menjawab:
"Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada
Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa” (Q.S. 7:164)
110
8. MORALITAS Prinsip kemanusiaan dan kemashlahatan pada realitas kehidupan akan
menjadi tolak ukur dalam melakukan suatu perbuatan atau aktivitas di
dunia. Nilai moral atau moralitas merupakan suatu konsekuensi
beragama dan bermasyarakat. Legitimasi Allah dalam hukum Islam (Al
Quran dan Al Hadist) akan mendapat proporsi yang paling tinggi. Tidak
hanya memandang mana yang pantas ditataran masyarakat kebanyakan,
namun lebih dari itu menjadikan moral memiliki beban langsung secara
vertikal pada ketentuan Allah SWT. Relatrivisme masyarakat dalam aspek
kehidupan bukan menjadi tolak ukur satu-satunya terhadap nilai
moralitas, Allah SWT dengan Al Quran akan menjadi tolak ukur yang
utama. Suatu nilai yang menyangkut individu dalam bersikap pada
seluruh aspek kehidupan untuk kemashlahatan semesta.
Surat Al Baqarah ayat 177:
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada
Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-
orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya,
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang
menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-
orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang
bertakwa.” (Q.S. 2 : 177)
9. EFEKTIFITAS DAN EFESIENSI
Nilai efektifitas dan efesiensi lebih dikaitkan pada perihal persoalan
alokasi sumber daya, perilaku manusia dan sistem kemasyarakatan
dalam tindakan atau tatanan aspek kehidupan bermasyarakat. Kondisi
dimana manusia dihadapkan dengan persoalan keadilan bermasyarakat,
yang menuntut kita bersikap sesuai dengan aturan ke-Tuhanan, hukum
alam, dan sifat-sifat sosial manusia. Efektif dan efesian dapat juga
111
diartikan sebagai tindakan taktis dan strategis untuk mencapai tujuan
dengan tidak melakukan hal-hal yang tidak penting atau tidak
berhubungan dengan tujuan yang akan dicapai. Fokus, optimal dan tidak
berlebihan dalam mengambil setiap langkah untuk diaplikasikan dalam
sebuah tindakan nyata yang tersusun secara teratur untuk mencapai
tujuan tertentu.
Surat Al Furqaan ayat 67:
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di
tengah-tengah antara yang demikian.” (Q.S. 25:67)
Surat Al ‘Ashr ayat 1-3
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Q.S.103:1-3)
10. PEMBAHARUAN
Suatu nilai dengan pandangan membuat suatu perubahan yang berarti
untuk meningkatkan dengan penciptaan atau karya baru yang
berkesesuaian dengan tuntutan kedinamisan zaman. Searah dengan
proses perubahan dan pergeseran struktur sosial yang terjadi dalam
realitas kehidupan, dimana manusia dituntut untuk melakukan suatu
pembaharuan. Melakukan inovasi dan kreasi untuk kemashlahatn
semesta ini merupakan sesuatu yang diajarkan dalam Islam.
Kedinamisan sendiri merupakan salah satu alasan kenapa harus
melakukan suatu pembaharuan, karena sesuatu yang baru secara
esensinya terdapat perubahan substansinya. Pembaharuan sendiri
dilakukan dengan dasar ketentuan yang tidak bertentangan Al Quran dan
Al Hadist.
Surat Adh Dhuhaa ayat 4:
“Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang
sekarang (permulaan)” (Q.S. 93 : 4)
112
11. BERKELANJUTAN Tidak berhenti pada suatu titik tertentu, namun terus melakukan proses
kedinamisan yang terus menerus merupakan inti dari nilai berkelajutan.
Perubahan yang ingin dicapai haruslah dijalankan dalam periode waktu
yang tidak terbatas, karena hidup bukan untuk saat sekarang saja.
Perlunya nilai berkelanjutan demi memandang esensi hidup pada masa
yang akan datang juga. Manusia secara kodrati diberi keinginan dan
pemikiran untuk merencanakan tindakan yang akan dilakukan pada masa
yang akan datang. Allah SWT sendiri mencontohkan kita dengan emanasi
sifatnya yang melakukan pengurusan semesta itu tiada henti atau terus
menerus, seperti salah satu contohnya ialah bahwa Allah menciptakan
proses siang dan malam yang selalu kita jalani.
Surat Ali Imran ayat 2:
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang
hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya” (Q.S. 3:2)
12. KOREKSI Perwujudan dari sikap saling mengingati dari ummat yang satu pada
ummat yang alin untuk tetap dalam koridor ketentuan Islam sendiri.
Terlepas dari siapa dan kepada siapa kita melakukan suatu koreksi.
Aktualisasi nilai koreksi pada tataran realitas kehidupan sosial harus
dengan cara-cara yang baik pula (tidak anarkis), karena bila caranya saja
tidak baik bagaimana dengan hasil dari koreksi itu sendiri yang berbentuk
suatu perubahan apakah akan sesuai dengan diharapkan. Tata cara
koreksi sendiri sebenarnya memang sudah diatur dalam setiap peraturan
dan undang-undang di Indonesia.
Surat An Nuur ayat 1:
“(Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan
(menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam)nya, dan Kami turunkan
di dalamnya ayat ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya” (Q.S.
24:1)
113
13. LOYALITAS Bentuk nyata dari sikap kesetiaan terhadap sesuatu hal yang bangkit dari
sikap cinta akan sesuatu hal tersebut. Kepedulian dan pengorbanan
karena rasa memiliki yang tinggi dengan komitmen terhadap sesuatu
yang telah menjadi ketetapan bersama, yang juga tertanam dalam setiap
individu, menjadikan suatu nilai loyalitas yang tinggi. Ingin melakukan
yang terbaik bagi sesuatu yang dicintai merupakan fitrah sebagai
manusia. Tentunya ketika loyalitas itu ada pastilah terdapat suatu alasan
tertentu yang menjadikan loyalitas itu ada. Selagi alasan itu memang
tapat dan sesuai dengan Islam maka bentuk kesetiaan tersebut
diperbolehkan, namun jika sebaliknya, sebuah loyalitas dilakukan dengan
alasan yang tidak baik maka itu tidak dibenarkan. Salah satu aktulaisasi
loyalitas dalam Islam ialah berjihad.
Surat Al Hajj ayat 78:
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-
benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang
tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang
muslim dari dahulu [994], dan (begitu pula) dalam (Al Qur'an) ini, supaya
Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi
saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah
zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu,
maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (Q.S.
22:78)
14. PERSAUDARAAN DAN KEBERSATUAN Persaudaraan adalah salah satu nilai sosial kemanusiaan yang sangat
ditekankan di dalam ajaran Islam. Kehidupan didalam persaudaraan
dijiwai saling mencintai, saling memperkuat, saling menyayangi, dan
saling menolong. Sistem kemasyarakatan yang menetapkan persudaraan
sebagi nilai yang mesti dijunjung tinggi akan berdampak keselarasan dan
keharmonisan dalam menjalankan segala sesuatunya. Ikatan di dalam
bangunan ummat bukan lagi ikatan formalitas melainkan ikatan kejiwaan
114
dan ruhaniyah. Inilah yang sebenarnya menjadi bagian esensial yang
emngubah potensi-potensi konflik menjadi kerukunan dan menggantikan
permusuhan menjadi persaudaraan.
Surat Al Anfaal ayat 73
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung
bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak
melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu (persaudaraan yang
teguh antara kaum muslimin), niscaya akan terjadi kekacauan di muka
bumi dan kerusakan yang besar.”
(Q.S. 8 :73)
15. MELAMPAUI FENOMENA
Nilai ini merupakan sesuatu yang menjadi keharusan ummat dalam
proses berfikir untuk melakukan sesuatu hal. Anugerah Allah SWT pada
kita berupa Indera, akal dan hati (intuisi) dijadikan sebagai atribut dalam
mengenali, mengetahui, memahami apa yang sebanarnya terjadi dalam
suatu problematika sosial. Tidak lagi hanya sekedar mengatahui saja,
namun ikut berempati dan merasakan apa yang sebenarnya terjadi pada
yang lain. Memahami jiwa-jiwa yang menjalankan sesuatu hal dapat
menjadikan kita mengerti sejauh mana kita berdiri dan tahu akan langkah
apa yang mesti diambil ke depannya. Jiwa disini diartikan sebagai suatu
refleksi diri dari sebuah subjek yang terpancarkan dan terserap oleh alam
inderawi dan akal, dan dijadikan sebagi alat penghubung antara alam
inderawi dan alam rasa. Emanasi jiwa yang terefleksikan dalam bentuk
kehendak dan keinginan yang apda akhirnya diaktualisasikan dalam
bentuk “bangunan objek” oleh akal dan inderawi kita.
“tidak termuat Aku oleh Bumi-Ku dan petala langit-Ku, tetapi yang mampu
memuat-Ku adalah Qalb hamba-Ku yang mu’min” (hadist Qudsi)
115
3.4 Aktualisasi Sistem Nilai dalam Proses Perencanaan berbasis Teori Gerak Substansi
3.4.1 Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika Tahapan perencanaan yang paling awal dalam hasil transformasi Teori
Gerak Mulla Shadra tentang konsep ”Kearifan Puncak” ialah Proses
Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika. Dalam tahapan
ini, sesuai dengan safar yang pertama ialah safar min al-khalq ila’ al-Haq, dari
alam makhluk menuju Allah (dari “yang plural” menuju ke “Yang Singular”, adari
“yang majemuk” menuju “Yang Tunggal”), kita semua akan menuju Al-Haq, yakni
Allah SWT. Ada berbagai cara untuk mengenal Allah, salah satunya dengan
membuktikan adanya ayat-ayat Allah. Dengan melihat ayat-ayat Allah, yakni
ciptaan-ciptaan Allah, kita akan mengenal bahwa dibalik semua itu ada Sang
Khalik. Dalam proses perencanaan ini, masyarakat diajak untuk meninggalkan
perannya sebagai individu atau pribadi. Setiap individu lebih berperan dengan
fungsinya sebagai anggota masyarakat yang membawa kepentingan masyarakat
secara luas. Peninggalan kepentingan pribadi bukan berarti tertinggal begitu
saja, namun secara tidak langsung dari kepentingan tiap pribadi akan tergabung
dalam bentuk kesepakatan bersama yang nantinya akan disampaikan atau
diusulkan ke pemerintah selaku pengayom masyarakat. Untuk merealisasikan
sebuah Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika
yang sesuai dengan ajaran Islam haruslah mengandung nilai-nilai Islam juga.
Adapun sistem nilai yang terkandung dalam proses ini ialah sebagai berikut:
● KEADILAN Nilai keadilan yang terkandung dalam proses perencanaan yang pertama,
diartikan sebagai sebuah ketaatan akan hukum dan aturan yang diberlakukan
oleh pemerintah. Sikap adil dari masyarakat terhadap fungsinya sebagai
individu atau kelompok kepada pemerintah dengan melakukan apa yang
menjadi tanggung jawabnya terhadap pemerintah, dengan timbal balik
menerima hak dari pemerintah. Peran masyarakat sebagai individu atau
kelompok juga harus mengusung niali keadilan, yaitu sikap individu atau
kelompok yang tidak memihak kepada salah satu kepentingan individu atau
kelompok itu sendiri, namun juga adil dalam mengakomodir kepentingan
individu atau kelompok lain yang nantinya disampaikan pada pemerintah
sebagai sebuah masukan.
116
Gam
bar 3
.1Pr
oses
Pem
bela
jara
n So
sial
dal
am S
iste
m M
asya
raka
t yan
g B
eret
ika
Mas
yara
kat
RT,
RW
ata
u D
usun
Kep
.Des
a,
Pera
ngka
t D
esa
BP
D/B
adan
P
erw
akila
n D
esa
LP
M
Kelo
mpo
k-ke
lom
pok
mas
yara
kat
Org
anis
asi
Mas
yara
kat
Pen
gusa
ha
Pros
es P
embe
laja
ran
Sosi
al d
alam
Sis
tem
M
asya
raka
t yan
g B
eret
ika
tingk
at D
esa
atau
Kel
urah
an
Perih
al y
ang
dibi
cara
kan:
Men
gide
ntifi
kasi
pot
ensi
dan
mas
alah
kun
ci
deng
an k
onse
p Ta
’aru
f (m
enge
tahu
i),
Tafa
hum
(mem
aham
i), d
an T
a’aw
un
(Keb
ersa
maa
n).
Per
umus
an u
sula
n re
ncan
a ke
giat
an
pem
bang
unan
par
tisip
atif.
P
riorit
asi u
sula
n ke
giat
an y
ang
Taw
azun
(K
esei
mba
ngan
) dan
Mus
awah
(per
sam
aan
dan
kese
tara
an).
In
form
asi d
ari p
emer
inta
h Ka
bupa
ten/
Kot
a te
ntan
g is
u-is
u st
rate
gis
daer
ah;
Info
rmas
i ten
tang
jum
lah
usul
an y
ang
diha
silk
an p
ada
foru
m s
ejen
is d
i tah
un
sebe
lum
nya
yang
tela
h te
real
isas
ikan
; P
rose
s M
uhas
abba
h (e
valu
asi)
dala
m
pela
ksan
aan
pem
bang
unan
Des
a/Ke
lura
han
pada
tahu
n se
belu
mny
a M
enet
apka
n Ka
halif
ah (w
akil)
yan
g A
man
ah
terh
adap
asp
irasi
mas
yara
kat
Pros
es P
embe
laja
ran
Sosi
al d
alam
Sis
tem
M
asya
raka
t yan
g B
eret
ika
tingk
at
Kec
amat
an
Pros
es P
embe
laja
ran
Sosi
al d
alam
Sis
tem
M
asya
raka
t yan
g B
eret
ika
tingk
at
Kab
upat
en a
tau
Kot
a
Pras
yara
t:Be
rnia
t dal
am d
iri b
ahw
a ap
a ya
ng
dila
kuka
n da
lam
pro
ses
ini,
itu s
emua
han
ya
kare
na A
llah
SWT
sem
ata
bagi
ke
mas
hlah
atan
sem
esta
. M
ener
apka
n 15
site
m n
ilai (
Kea
dila
n,
Per
sam
aan,
Ket
erbu
kaan
, Mus
yaw
arah
, K
epem
impi
nan,
Keb
enar
an d
an K
ebai
kan,
Ta
nggu
ngja
wab
, Mor
alita
s, E
fesi
ensi
dan
E
fekt
ifita
s, P
emba
haru
an, B
erke
lanj
utan
, K
orek
si, L
oyal
itas,
Per
saud
araa
n da
n K
eber
satu
an, M
elam
paui
feno
men
a)
Tida
k ad
a sa
tu p
un la
pisa
n m
asya
raka
t dan
el
emen
loka
l lai
nnya
yan
g di
biar
kan
tidak
te
rjam
ah d
alam
pro
ses
ini,
sem
ua s
ekto
r pe
ndud
uk h
arus
dia
ktifk
an u
ntuk
mel
akuk
an
pros
es in
i
Sist
em M
asya
raka
t yan
g B
eret
ika
Isla
m d
an
para
Kha
lifah
(wak
il)
117
● PERSAMAAN Nilai persamaan dalam tahapan Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem
Masyarakat yang Beretika diartikan sebagai penempatan peran masyarakat
yang bersanding dengan pemerintah dalam pengambilan kebijakan.
Kebijakan tersebut berhubungan dengan kepentingan masyarakat itu sendiri,
namun kedudukan masyarakat dalam hal ini harus sesuai dengan proporsi
yang semestinya, bukan berarti wewenangnya harus sama dengan
pemerintah. Berikut ini berbagai peran masyarakat sesuai dengan tingkatan
strategi pembangunan pemerintah.
1. Pembangunan daerah tingkat proyek lokal atau komunitas, masyarakat
berperan sepenuhnya dan terlibat langsung (berperan dominan).
Berperan serta dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan dan
pengendalian perencanaan pembangunan secara langsung dengan
menjadi sumber data dan informasi pada pemerintah, serta pengambilan
dan pelaksana dalam perencanaan pembangunan.
2. Pembangunan daerah tingkat kota, hanya perwakilan masyarakat saja
yang terlibat dalam pembangunan. Berperan serta dalam penyusunan
rencana tata ruang, pemanfaatan dan pengendalian perencanaan
pembangunan yang diaspirasikan pada wakil-wakil masyarakat di
pemerintahan
3. Pembangunan daerah tingkat regional, masyarakat berperan sebagai
sumber data dan informasi pada pemerintah. Masukan informasi yang
tentang arah pengembangan, potensi dan masalah bukan pengambilan
keputusan.
4. Pembangunan daerah tingkat nasional, peran masyarakat tidak dominan
secara langsung, namun bertindak sebagai kontrol sosial terhadap prose
perencanaan yang dilakukan oleh pemerintah pusat.
● KETERBUKAAN
Nilai keterbukaan dalam Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem
Masyarakat yang Beretika, berarti sikap transparan dan koordinasi
masyarakat sebagai individu atau kelompok pada pihak lain (individu atau
kelompok yang lain dan pemerintah). Kebijakan-kebijakan publik baik yang
berkenaan dengan pelayanan publik maupun pembangunan di daerah harus
118
diketahui publik. Isi keputusan dan alasan pengambilan kebijakan publik
harus dapat diakses oleh publik dan harus diumumkan agar mendapat
tanggapan publik. Demikian pula informasi tentang kegiatan pelaksanaan
kebijakan tersebut dan hasil-hasilnya harus terbuka dan dapat diakses publik.
Upaya pembentukan masyarakat transparansi, forum komunikasi langsung
dengan eksekutif dan dengan legislatif, wadah komunikasi dan informasi
lintas pelaku baik melalui media cetak maupun elektronik, merupakan contoh
wujud nyata dari nilai keterbukaan.
● MUSYAWARAH
Nilai musyawarah pada Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem
Masyarakat yang Beretika lebih kepada kegiatan pengambilan keputusan
dalam masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang terdiri dari individu dan
kelompok untuk menyepakati perihal apa yang akan diusulkan ke pemerintah
untuk dijadikan masukan pada perencanaan pembangunan masa
mendatang. Masukan disini lebih diutamakan perihal informasi atau data,
kritikan dan juga solusi yang tepat, sesuai dengan aspirasi didalam
masyarakat itu sendiri. Demokrasi merupakan kata yang tepat untuk nilai
musyawarah yang diterapkan pada proses pengambilan keputusan.
● KEPEMIMPINAN
Nilai kepemimpinan pada Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem
Masyarakat yang Beretika, dimaksudkan pada perihal penunjukan tokoh
masyarakat dan para cendikiawan sebagai penengah dan pengatur seluruh
elemen masyarakat. Pemimpin yang dipilih dalam sistem masyarakat harus
mampu melakukan sebuah koordinasi dan konsolidasi dari masyarakat
menuju pemerintah dan didalam masayarakat itu sendiri. Perihal aspirasi apa
yang nantinya ditetapkan oleh pemimpin didalam masyarakat harus sesuai
dengan apa yang disuarakan oleh masyarakat umum
● KEBENARAN DAN KEBAIKAN
Nilai Kebenaran dan kebaikan pada tahapan Proses Pembelajaran Sosial
dalam Sistem Masyarakat yang Beretika lebih menekankan pada proses
penetapan dan pengajuan usulan, gagasan, kritikan atau ide tentang
119
perencanaan pembangunan kepada pemerintah. Masukan tersebut lebih
mengutamakan kemashlahatan semesta, dalam hal ini ialah masyarakat
secara umum bukan individu atau komunitas kelompok saja. Serta tentang
kelestarian lingkungan yang dalam islam dendiri dikategorikan sebagai
anggota dari semesta ini. Tata cara penyampaian masukan tadi juga diatur
oleh prosedur yang memang selayaknya dilakukan oleh masyarakat kepada
pemerintah.
● TANGGUNG JAWAB
Nilai tanggung jawab dalam tahapan Proses Pembelajaran Sosial dalam
Sistem Masyarakat yang Beretika, ditekankan dalam hal proses menjalankan
fungsi oleh masyarakat. Kedudukan masyarakat dalam sebuah negara ialah
sebagai salah satu elemen yang membentuk sebuah negara iru sendiri, turut
andil dalam kepatuhannya terhadap aturan dan hukum yang berlaku. Beban
tanggung jawab harus dilaksanakan dan disikapi dengan kesadaran diri yang
tinggi oleh setiap individunya. Keinginan untuk memajukan negara dengan
tidak melanggar hukum juga meruapakn salah satu itikad baik dalam proses
bernegara.
● MORALITAS
Nilai moral atau moralitas merupakan suatu konsekuensi beragama dan
bermasyarakat. Legitimasi Allah dalam hukum Islam (Al Quran dan Al Hadist)
akan mendapat proporsi yang paling tinggi. Tidak hanya memandang mana
yang pantas ditataran masyarakat kebanyakan, namun lebih dari itu
menjadikan moral memiliki beban langsung secara vertikal pada ketentuan
Allah SWT. Setiap peran serta masyarakat harus dilandaskan dengan
kesadaran diri yang tinggi tentang mana yang semetinya dialkukan dengan
konsekuensi “apa pun yang diperbuat di dunia ini akan dipertanggung
jawabkan di akherat nanti”.
● EFEKTIFITAS DAN EFESIENSI Nilai efektivitas lebih berhubungan kepada pemanfaatan sumber daya (alam,
manusia dan modal). Masyarakat harus memanfaatkan sumber daya secara
optimal, tidak menghambur-hamburkan apa yang telah disediakan oleh
120
pemerintah. Nilai efisiensi berorientasi pada kegunaan waktu yang harus
seoptimal mungkin dan sesuai dengan sasaran perencanaan pembangunan
Melakukan perubahan yang optimal dengan waktu yang telah ditentukan
sebelumnya agar sasaran pembagunan masa mendatang bisa terealisasi
dalam waktu berikutnya.
● PEMBAHARUAN
Nilai pembaharuan dalam tahapan Proses Pembelajaran Sosial dalam
Sistem Masyarakat yang Beretika, dikaitkan dengan proses inovasi dan
kreasi tentang mengembangkan suatu hal baru. Hasilnya nanti dapat
dijadikan masukan bagi perencanaan pembangunan yang dilakukan
pemerintah. Usulan yang bersifat pembaharuan bagi sistem perencanaan
yang akan diberlakukan dan sedang dilaksanakan. Pemabaharuan yang
dilakukan sebagai wujud menjawab tantangan dari era globalisasi. Dari nilai
pembaharuan ini akan berkaitan erat dengan nilai berkelanjutan.
● BERKELANJUTAN
Nilai berkelanjutan dalam tahapan Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem
Masyarakat yang Beretika, berkorelasi dengan sikap Kedimamisan. Terdapat
beberapa hal yang memerlukan nilai berkenajutan ini anatara lain: dalam
proses kemitraan yang terus menerus dari masyarakat pada pemerintah.
Jangan sampai terputus koordinasi yang dialkukan masyarakat pada
pemerintah. Kemudian perihal inovasi dan kreasi untuk menemukan solusi
bagi permasalahan yang terjadi harus juga berkenajutan. Pengadaan
program-program pemerintah disusun agar menjadi rantai yang tak terputus
lagi, tidak bersifat sektoral dan partial saja.
● KOREKSI
Nilai Koreksi dalam tahapan Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem
Masyarakat yang Beretika, mengenai perihal koordinasi dan aspirasi dari
masyarakat pada pemerintah. Proses koreksi yang dilakukan oleh
masyarakat harus dalam koridor hukum yang berlaku. Saling mengingatkan
tentang perihal perencanaan pembangunan yang sesuai dengan sasaran
atau tujuan semula. Ketika terdapat suatu kejanggalan yang mengakibatkan
121
proses implementasi perencanaan keluar jalur sasaran, maka disitulah peran
masyarakat dengan nilai koreksi harus diterapkan. Saat ini badan atau
lembaga yang bertugas dalam hal koreksi ialah LSM, namun untuk ke
depannya perihal koreksi bukan hanya menjadi tanggung jawab LSM saja
namun seluruh elemn masyarakat baik individu atau kelompok. Perlu diingat
juga tentng bagainmana memberikan masukan dengan aturan beraspirasi
yang sesuai dengan hukum yang berlaku.
● LOYALITAS
Nilai Loyalitas dalam tahapan Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem
Masyarakat yang Beretika, lebih diutamakan tentang rasa cinta terhadap
negara kita dan semua makhluk yang diciptakan oleh Allah. Dengan rasa
cinta tadi hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan Sesama,
manusia dengan Alam dan manusia dengan karya yang tercipta akan
berjalan selaras dan harmonis. Dukungan masyarakat terhadap pembanguan
yang dilakukan pemerintah selagi pembangunan itu bertujuan untuk
kesejahteraan bersama (semesta: lingkungan, masyarakat dan pemerintah)
sangat diperlukan.
● PERSAUDARAAN DAN KEBERSATUAN Nilai persaudaraan dan kebersatuan dalam tahapan Proses Pembelajaran
Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika, mengutamakan sikap
koordinasi yang baik didalam masyarakat itu sendiri dan kepada pemerintah.
Proses kemitraan dijadikan sebagai salah satu aplikasi nyata tentang nilai
persaudaraan dan kebersatuan, yang menjadikan peran masyarakat sebagai
partnership dalam perencanaan pembangunan. Berjalan berdampingan
dengan pemerintah dalam perencanaan pembangunan merupakan aksi
nyata dari masyarakat. Bukan hanya di tahapan perencanaan awal namun
sampai dengan evaluasi perencanaan juga.
● MELAMPAUI FENOMENA Nilai melampaui fenomena dalam tahapan proses perencanaan dari
masyarakat menuju pemerintah, bahwa masyarakat juga harus mengetahui
usulan apa yang sesuai dengan kondisi sebenarnya yang terjadi dalam
122
masyarakat luas dan apa tujuan pemerintah melakukan suatu perencanaan
pembangunan. jangan mengambil kesimpulan secara sepihak saja. Ketika
suatu usulan atau masukan diajukan kepada pemerintah maka itu
seharusnya telah merangkum semua kepntingan dan kebutuhan dari semua
alpisan masyarakat tersebut. Mengungkap ”the real structures” dibalik ”false
needs” yang dinampakan dunia materi, dengan tujuan membantui
membentuk suatu keasaran sosial agar terjadi perbaikan kondisi kehidupan
masyarakat kearak yang lebih baik lagi. Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika Tingkat Desa/Kelurahan 1. Tujuan
Koordinasi perencanaan pembangunan yang partisipatif dimulai sejak
dilakukan kegiatan identifikasi kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang
kemudian dibahas dan disepakati dalam Musyawarah Pembangunan Tingkat
Desa/Kelurahan. Sebelum masuk pada tingkat Desa/kelurahan, diadakan
kordinasi terlebih dahulu di tingkat RT/RW atau dusun oleh lembaga
setempat. Hasil dari situ disampaikan dalam bentuk draft aspirasi yang
diketahui dan disetujui oleh masyarakat tingkat RT/RW atau dusun, dan
diserahkan pada perwakilan untuk dibicarakan ditingkat Desa atau
Kelurahan. Hasil dari sini nantinya dibicarakan kembali ditingkat kecamatan
sebagi sebuah masukan terhadap perencanaan pembangunan.
2. Agenda
Agenda yang dibicarakan pada tingkat ini adalah:
Mengidentifikasi potensi dan masalah kunci desa/kelurahan berikut peta
potensi dan permasalahan Desa/Kelurahan (peta kerawanan kemiskinan,
pengangguran, dll), dengan konsep Ta’aruf (mengetahui), Tafahum
(memahami), dan Ta’awun (Kebersamaan).
Perumusan usulan rencana kegiatan pembangunan secara partisipatif.
Prioritasi usulan kegiatan yang Tawazun (Keseimbangan) dan Musawah
(persamaan dan kesetaraan). Sebuah proses pemilahan atau
kategorisasi kegiatan berdasarkan pada sumber pendanaan yang
123
diperlukan (swadaya, dunia usaha, Pemda dsb). dan informasi dari
pemerintah Kabupaten/Kota tentang perkiraan jumlah Dana Alokasi
Informasi dari pemerintah Kabupaten/Kota tentang isu-isu strategis
daerah;
Informasi tentang jumlah usulan yang dihasilkan pada forum sejenis di
tahun sebelumnya yang telah terealisasikan;
Proses Muhasabbah (evaluasi) dalam pelaksanaan pembangunan
Desa/Kelurahan pada tahun sebelumnya.
Menetapkan Kahalifah (wakil) Desa/Kelurahan yang Amanah terhadap
aspirasi masyarakat untuk menghadiri musyawarah tingkat Kecamatan;
3. Keluaran
Adapun keluaran utama yang diharapkan adalah:
Daftar usulan kegiatan/program pembangunan yang memerlukan
pembiayaan APBD Kabupaten/Kota, APBD Propinsi dan APBN.
Daftar Usulan kegiatan yang memerlukan pembiayaan swadaya
masyarakat.
Daftar Usulan kegiatan pembangunan yang memerlukan pembiayaan
dunia usaha berasaskan kemitraan, baik itu dengan Komunitas
masyarakat setempat atau swasta dan pemda.
Daftar/ nama-nama wakil desa untuk mengikuti Musrenbang tingkat
Kecamatan.
4. Pihak yang terlibat
Adapun peserta musyawarah adalah: Tokoh masyarakat; Ketua RT/RW;
Kepala Dusun; Kepala dan Perangkat Desa, Badan Perwakilan Desa (BPD),
Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM); Kelompok Perempuan,
Kelompok Pemuda, Organisasi Masyarakat, Pengusaha, dan kelompok-
kelompok masyarakat marginal, dan lain-lain.
Tingkat Kecamatan 1. Tujuan
Ditujukan untuk mensinergikan dan mensinkronisasikan hasil-hasil
musyarwarah Desa/Kelurahan dalam satu wilayah kecamatan sehingga
menjadi suatu usulan yang sistematis, mantap dan terpadu untuk dibawa ke
Forum Koordinasi selanjutnya, yaitu tingkat kabupaten/kotamadya.
124
2. Agenda
Agenda yang dibicarakan pada tingkat ini adalah:
Mengidentifikasi potensi dan masalah kunci kecamatan berikut peta
potensi dan permasalahan Kecamatan (peta kerawanan kemiskinan,
pengangguran, dll) dengan konsep Ta’aruf (mengetahui), Tafahum
(memahami), dan Ta’awun (Kebersamaan).
Perumusan usulan rencana kegiatan pembangunan secara partisipatif.
usulan kegiatan yang Tawazun (Keseimbangan) dan Musawah
(persamaan dan kesetaraan) terhadap prioritasi usulan kegiatan di tingkat
kecamatan, seleksi prioritas progeam pembangunan berdasarkan pada
sumber pendanaan yang diperlukan (swadaya, dunia usaha, Pemda dsb).
dan informasi dari pemerintah Kabupaten/Kota tentang perkiraan jumlah
Dana Alokasi
Informasi dari pemerintah Kabupaten/Kota tentang isu-isu strategis
kecamatan
Informasi tentang jumlah usulan yang dihasilkan pada forum sejenis di
tahun sebelumnya yang telah terealisasikan;
Proses Muhasabbah (evaluasi) dalam pelaksanaan pembangunan
kecamatan pada tahun sebelumnya.
Menetapkan Kahalifah (wakil) kecamatan yang Amanah terhadap aspirasi
masyarakat untuk mengahadiri musyawarah tingkat kabupaten atau
kotamadya
3. Keluaran
Adapun keluaran utama yang diharapkan adalah:
Daftar usulan kegiatan pembangunan di wilayah Kecamatan untuk
dibahas pada musyawarah Daerah Kabupaten/Kota, yang akan didanai
melalui APBD dan sumber pendanaan lainnya. Usulan kegiatan ini
merupakan hasil kesepakatan serta pemanduserasian antara usulan dari
Satuan Kerja Perangkat Daerah kabupaten/Kota dengan usulan dari
masing-masing Desa/Kelurahan. Selanjutnya, daftar tersebut juga
disosialisasikan kepada masing-masing Desa/Kelurahan oleh para
wakilnya yang mengikuti musyawarah Kecamatan;
125
Terpilihnya wakil Kecamatan untuk mengikuti musyawarah ditingkat
Kabupaten/Kota.
4. Pihak yang terlibat
Adapun peserta musyawarah adalah: perwakilan sejumlah Satuan Kerja
Perangkat Daerah Kabupaten/Kota, Anggaran DPRD yang mewakili
Kecamatan bersangkutan, unsur Aparat Kecamatan, Perwakilan dari masing-
masing Desa/Kelurahan, Kelompok Perempuan, Lembaga Swadaya
Masyarakat yang memiliki aktifitas di kecamatan tersebut, pengusaha, para
pelaku pembangunan (stakeholder) lainnya yang mewakili individu maupun
kelompok yang peduli terhadap pembangunan atau disesuaikan dengan
kemampuan dan kondisi masing-masing daerah.
Tingkat Kabupaten/ Kota 1. Tujuan
Ditujukan untuk mensinergikan dan mensinkronisasikan hasil-hasil
musyawarah Kecamatan dalam satu wilayah Kabupaten/Kota adalah menjadi
media utama konsultasi publik bagi segenap pelaku pembangunan
(stakeholder) daerah untuk menetapkan program dan kegiatan daerah serta
rekomendasi kebijakan guna mendukung implementasi program/kegiatan
tahun anggaran berikutnya, sehingga menjadi suatu usulan yang sistematis,
mantap dan terpadu.
2. Agenda
Agenda yang dibicarakan pada tingkat ini adalah:
Mengidentifikasi potensi dan masalah kunci kabupaten atau kota berikut
peta potensi dan permasalahan kabupaten atau kota (peta kerawanan
kemiskinan, pengangguran, dll), dengan konsep Ta’aruf (mengetahui),
Tafahum (memahami), dan Ta’awun (Kebersamaan).
Perumusan usulan rencana kegiatan pembangunan secara partisipatif
yang Tawazun (Keseimbangan) dan Musawah (persamaan dan
kesetaraan) terhdap prioritasi usulan kegiatan di tingkat propinsi, seleksi
prioritas progeam pembangunan berdasarkan pada sumber pendanaan
126
yang diperlukan (swadaya, dunia usaha, Pemda dsb). dan informasi dari
pemerintah propinsi tentang perkiraan jumlah Dana Alokasi
Informasi dari pemerintah propinsi tentang isu-isu strategis kabupaten
Informasi tentang jumlah usulan yang dihasilkan pada forum sejenis di
tahun sebelumnya yang telah terealisasikan;
Proses Muhasabbah (evaluasi) dalam pelaksanaan pembangunan
kabupaten/kota pada tahun sebelumnya.
Menetapkan Kahalifah (wakil) kabupaten/kota untuk menghadiri
musyawarah tingkat propinsi (DPRD)
3. Keluaran
Adapun keluaran utama yang diharapkan adalah:
Daftar usulan kegiatan pembangunan di wilayah kabupaten atau kota
hasil koordinasi ditingkat-tingkat sebelumnya
Terpilihnya wakil Kabupaten atau kota untuk mengikuti musyawarah
ditingkat propinsi
4. Pihak yang terlibat
Adapun peserta musyawarah adalah: Camat, Wakli Kecamatan, Perwakilan
masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten/Kota, LSM,
Perguruan Tinggi, Perwakilan Dunia Usaha, Perwakilan Asosiasi Profesi dan
Media Masa.
Prasyarat: Berniat dalam diri bahwa apa yang dilakukan dalam proses ini, itu semua
hanya karena Allah SWT semata bagi kemashlahatan semesta.
Menerapkan 15 sitem nilai (Keadilan, Persamaan, Keterbukaan,
Musyawarah, Kepemimpinan, Kebenaran dan Kebaikan, Tanggungjawab,
Moralitas, Efesiensi dan Efektifitas, Pembaharuan, Berkelanjutan, Koreksi,
Loyalitas, Persaudaraan dan Kebersatuan, Melampaui fenomena) Tidak ada satu pun lapisan masyarakat dan elemen lokal lainnya yang
dibiarkan tidak terjamah dalam proses ini, semua sektor penduduk harus
diaktifkan untuk melakukan proses ini
127
Gam
bar 3
.2Pr
oses
Pol
itis
& A
dvok
asi d
alam
Sis
tem
Pem
erin
tah
yang
Ber
kead
ilan
Wak
il M
asya
raka
t ha
sil p
enun
juka
n pa
da p
rose
s pe
rtam
a
Din
as-d
inas
dan
In
stan
si L
okal
LE
GIS
LATI
F EK
SE
KUTI
F W
akil
Perg
urua
n Ti
nggi
dan
LSM
D
unia
Usa
ha
Pros
es P
oliti
s &
Adv
okas
i dal
am S
iste
m
Pem
erin
tah
yang
Ber
kead
ilan
Mus
yaw
arah
unt
uk M
enen
tuka
n Su
suna
n St
rate
gis
untu
k Pe
renc
anaa
n Pe
mba
ngun
an
Perih
al y
ang
dibi
cara
kan:
M
elak
sana
kan
mon
itorin
g da
n ev
alua
si
terh
adap
per
an le
gisl
atif
oleh
m
asya
raka
t M
uhas
abba
h ya
ng tr
ansp
aran
dan
ob
jekt
if da
lam
lem
baga
eks
ekut
if ol
eh
legi
slat
if
Pen
etap
an p
ropo
rsi f
ungs
i dan
per
an
untu
k ur
usan
pem
erin
taha
n ag
ar d
apat
se
suai
den
gan
prin
sip
Um
mah
M
uqta
shid
ah
Pen
etap
an k
ewen
anga
n ya
ng s
esua
i de
ngan
prin
sip
Um
mah
Qaa
imah
P
enge
mba
ngan
diri
dal
am m
emlih
ara
prin
sip
Um
mah
Qaa
nita
h M
blik
K
Pras
yara
t:B
erni
at d
alam
diri
bah
wa
apa
yang
di
laku
kan
dala
m p
rose
s in
i, itu
sem
ua
hany
a ka
rena
Alla
h SW
T se
mat
a ba
gi
kem
ashl
ahat
an s
emes
ta.
Men
erap
kan
15 s
item
nila
i (K
eadi
lan,
Pe
rsam
aan,
Ket
erbu
kaan
, Mus
yaw
arah
, Ke
pem
impi
nan,
Keb
enar
an d
an K
ebai
kan,
Ta
nggu
ngja
wab
, Mor
alita
s, E
fesi
ensi
dan
Ef
ektif
itas,
Pem
baha
ruan
, Ber
kela
njut
an,
Kore
ksi,
Loya
litas
, Per
saud
araa
n da
n Ke
bers
atua
n, M
elam
paui
feno
men
a)
Tida
k ad
a sa
tu p
un E
lem
en te
rkai
t yan
g di
biar
kan
tidak
terja
mah
dal
am p
rose
s in
i, se
mua
sek
tor p
emer
inta
h ha
rus
diak
tifka
n un
tuk
mel
akuk
an p
rose
s in
i
128
3.4.2 Proses Politis & Advokasi dalam Sistem Pemerintah Berkeadilan Tahapan perencanaan yang kedua dalam hasil transformasi Teori Gerak
Mulla Shadra tentang konsep ”Kearifan Puncak” ialah Proses Politis & Advokasi
dalam Sistem Pemerintah yang Berkeadilan. Dalam tahapan ini, sesuai dengan
safar fil Al-Haq ma’a Al-Haq (dalam Allah bersama Allah). Safar ini dilakukan
dengan syarat harus melewati safar pertama. Pada safar ini juga harus melewati
beberapa maqam, yakni maqam sirr (fana’fi Dzat) yang iasanya para arif sering
berada dalam kemabukan (ekstase). Kedua, maqam khafiy (fana’) yaitu
seoarang arif akan menghadapi kefanaan dalam sifat Allah. Ketiga yakni maqam
akhfa, yaitu maqam Dzat dan Sifat sekaligus. Dalam konteks perencanaan, pada
tahapan ini diartikan sebagai sebuah proses perencanaan yang menciptakan
sistem pemerintahan yang baik. Selain itu peran pemerintah, dalam tahapan
proses perencanaan kedua ini, ditekankan pada sikap pemerintah dalam
kepemrintahan itu sendiri. Revitalisasi peran lembaga pemerintahan (eksekutif
dan legislatif daerah/pusat, dinas-dinas yang terkait) perlu dialkukan untuk
menciptakan kepemerintahan yang baik. Peningkatan kualitas sumber daya
aparat pemda dan elemen pemerintah lainnya, dilakukan dengan cara
peningkatan pemahaman pemerintah tentang perencanaan pembangunan yang
ideal dan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Adapun nilai-nilai yang terkandung
didalamnya ialah, sebagai berikut:
◘ KEADILAN
Nilai keadilan yang terkandung dalam tahapan Proses Politis & Advokasi
dalam Sistem Pemerintah yang Berkeadilan, lebih menekankan pada sikap
dan tindakan dari elemen pemerintah (aparat pemerintah lokal sampai
kepada pemerintahan pusat) sesuai dengan etika jabatan yang dipegangnya.
Setiap instansi pemerintah mempunyai kewajiban untuk
mempertanggungjawabkan pencapaian organisasinya dalam pengelolaan
sumberdaya yang dipercayakan oleh masyarakat. Kinerja suatu instansi
pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan terhadap atasan, anggota
DPRD, organisasi nonpemerintah, lembaga donor, dan komponen
masyarakat lainnya. Dengan nilai keadilan yang telah diterapkan didalam
keperintahan itu sendiri, diharapkan akan berdampak pada sikap pemerintah
yang adil untuk masyarakat umum. Kepastian hukum juga merupakan
129
indikator penting dalam menimbang tingkat kewibawaan suatu pemerintahan,
legitimasinya di hadapan rakyatnya, dan dunia internasional.
◘ PERSAMAAN
Nilai persamaan yang terkandung dalam tahapan Proses Politis & Advokasi
dalam Sistem Pemerintah yang Berkeadilan, lebih menekankan pada
tindakan pemerintah lokal sampai pusat untuk konsolidasi, koordinasi, dan
pembagian wewenang sesuai dengan tugas yang dianut masing-masing.
adanya kepastian hukum yang merupakan resultan dari hukum dan
perundangan-undangan yang jelas, tegas, diketahui publik di satu pihak,
serta upaya penegakan hukum yang efektif, konsisten, dan tanpa pandang
bulu di pihak lain. Ketika dalam pemerintahan itu sendiri terjadi pelanggaran
yang dilakukan oleh oknum didalamnya, harus ditindak sesuai dengan hukum
yang berlaku.
◘ KETERBUKAAN
Nilai Keterbukaan dalam pelaksanaan program-program pemerintah selama
ini, praktis pertanggungjawaban keuangan di akhir tahun anggaran
merupakan satu-satunya mekanisme yang berjalan. Untuk dapat memberikan
masukan (feed-back) di tengah perjalanan suatu program, diperlukan adanya
mekanisme pelaporan reguler (misalnya: bulanan). Selain itu, dibutuhkan
adanya mekanisme verifikasi oleh pihak yang independen atas laporan
tersebut. Hanya dengan adanya mekanisme pelaporan, pertanggungjawaban
publik, dan verifikasi inilah tingkat keandalan laporan pengelola program
dapat ditingkatkan dan tingkat pencapaian suatu program dapat terukur
dengan mudah.
◘ MUSYAWARAH
Nilai musyawarah yang dilakukan pemerintah didalam kepemerintahan itu
sendiri ialah mengenai perumusan kebijakan tentang pelayanan publik dan
pembangunan di pusat dan daerah dilakukan melalui mekanisme demokrasi,
dan tidak ditentukan sendiri oleh eksekutif. Dalam konteks ini wakil-wakil
rakyat di DPR/D diberi akses untuk secara aktif menyuarakan kepentingan
masyarakat, dan menindaklanjuti aspirasi mereka sampai terwujud secara
nyata. Keputusan-keputusan yang diambil, baik oleh lembaga eksekutif
130
maupun legislatif, dan keputusan antara kedua lembaga tersebut harus
didasarkan pada konsensus agar setiap kebijakan publik yang diambil benar-
benar merupakan keputusan bersama.
◘ KEPEMIMPINAN
Nilai kepemimpinan dalam tahapan kedua ini diartikan sebagai upaya
mendelegasikan kewenangan pusat kepada daerah untuk dapat mengurusi
rumah tangganya telah dilakukan di seluruh daerah, namun demikian,
pendelegasian kewenangan tersebut harus juga dilakukan di daerah seperti
pendelegasian wewenang oleh bupati kepada dinas-dinas atau
badan/lembaga teknis yang ada di bawahnya, agar mereka memiliki
keleluasaan yang cukup untuk memberikan pelayanan publik dan
menyukseskan pembangunan di daerah. Wujud nyata dari prinsip tata
pemerintahan yang terdesentralisasi adalah pemberian kewenangan yang
luas disertai sumberdaya pendukung kepada lembaga dan aparat yang ada
di bawahnya untuk mengambil keputusan dan memecahkan masalah yang
dihadapi.
◘ KEBENARAN DAN KEBAIKAN Nilai kebenaran dan kebaikan dalam penyelenggaraan kepemerintahan baru
tercapai bila dalam penerapan otoritas politik, ekonomi dan administrasi
ketiga unsur tersebut memiliki jaringan dan interaksi yang sinerjik dan setara.
Interaksi dan kemitraan seperti itu biasanya baru dapat berkembang subur
bila ada standar moral dan etika penyelenggaraan pemerintahan yang tinggi,
kepercayaan (trust), transparansi, partisipasi, serta supremasi hukum, Good
governance yang sehat juga akan berkembang sehat dibawah kepemimpinan
yang berwibawa dan memiliki visi yang jelas.
◘ TANGGUNG JAWAB
Nilai tanggung jawab yang terkandung dalam tahapan Proses Politis &
Advokasi dalam Sistem Pemerintah yang Berkeadilan, lebih menekankan
pada sikap atau rasa patuh terhadap amanat dari jabatan yang dibebankan
pada aparat pemerintahan. Malakukan apa yang menjadi wewenang dari
jabatan yang diterimanya. Di dalam pemberian pelayanan publik dan
131
pembangunan dibutuhkan aparat pemerintahan yang memiliki kualifikasi
kemampuan tertentu, dengan profesionalisme yang sesuai. Oleh karenanya,
dibutuhkan upaya untuk menempatkan aparat secara tepat, dengan
memperhatikan kecocokan antara tuntutan pekerjaan dengan kualifikasi
kemampuan dan profesionalisme. Tingkat kemampuan dan profesionalisme
aparat pemerintahan yang ada perlu selalu dinilai kembali, dan berdasarkan
penilaian tersebut dilakukan peningkatan kualitas sumber daya manusia
sesuai tuntutan pekerjaan dan tanggung jawab melalui pendidikan, pelatihan,
lokakarya, dan sebagainya. Wujud nyata dari prinsip kompetensi dan
profesionalisme dapat dilihat dari upaya penilaian kebutuhan dan evaluasi
yang dilakukan terhadap tingkat kemampuan dan profesionalisme sumber
daya manusia yang ada, dan dari upaya perbaikan atau peningkatan kualitas
sumber daya manusia.
◘ MORALITAS
Nilai Moralitas yang terkandung dalam tahapan Proses Politis & Advokasi
dalam Sistem Pemerintah yang Berkeadilan, lebih menekankan pada
kesadaran akan setiap tindakan kita bakal diketahui oleh Sang Khalik. Sikap
sadar yang seperti ini akan menuju kepada suatu kepemerintahan yang baik,
karena tanggung jawab moral pada Allah dalam menjalankan fungsi
profesionalisme jabatan menjadi acuan utama dalam nilai moralitas
◘ EFEKTIFITAS DAN EFESIENSI
Nilai efektifitas dan efesiensi lebih dikaitkan pada perihal persoalan alokasi
sumber daya. perlunya penetapan target kuantitatif atas pencapaian suatu
program. Selama ini, disadari maupun tidak, kita seringkali berorientasi pada
indikator input seperti alokasi anggaran dan penyerapannya, dan melupakan
pencapaian (output) program tersebut. Untuk menjaga efektivitas suatu
pengeluaran, diperlukan pemantauan yang berdasarkan pada pencapaian
target berbagai indikator kinerja (performance indicators) yang ditetapkan
sebelumnya dan menunjukkan tingkat keberhasilan suatu program secara
menyeluruh. Agar dapat meningkatkan kinerja tata pemerintahan dibutuhkan
dukungan struktur yang tepat. Oleh karena itu, pemerintahan baik pusat
maupun daerah dari waktu ke waktu harus selalu menilai dukungan struktur
132
yang ada, melakukan perubahan struktural sesuai dengan tuntutan
perubahan seperti menyusun kembali struktur kelembagaan secara
keseluruhan dan menyusun jabatan dan fungsi yang lebih tepat. Di samping
itu, pemerintahan yang ada juga harus selalu berupaya mencapai hasil yang
optimal dengan memanfaatkan dana dan sumber daya lainnya yang tersedia
secara efisien. Dalam konteks ini, harus ada upaya untuk selalu menilai
tingkat efektivitas dan efisiensi pemanfaatan sumberdaya yang tersedia.
◘ PEMBAHARUAN
Nilai pembaharuan dalam tahapan kedua ini diartikan pada perbaikan sistem
keja kepemerintahan untuk menuju yang lebih baik. Penciptaan hal baru yang
dapat mengoptimalkan kinerja kepemerintahan. Salah satunya dengan
pelatihan dan pemahaman ilmu perencanaan yang sedang berkembang
diluar dan dapat berkesesuaian dengan karakteristik wilayah perencanaan
didalam negeri, tanapa meninggalkan prinsip-prinsip yang Islami.
Kedinamisan suatu kepemerintahan perlu dialakukan di setiap lapisan
kepemerintahan. Nilai pembaharuan juga dimasukan dalam penyusunan
program pemerintah yang bertujuan untuk memperbaiki kekurangan dari
perencanaan pembangunan yang sebelumnya telah terimplementasikan
◘ BERKELANJUTAN
Nilai berkelanjutan dalam proses kedua ini, menekankan bahwa semua
kegiatan pemerintahan berupa pelayanan publik dan pembangunan di
berbagai bidang seharusnya didasarkan pada visi dan misi tertentu disertai
strategi implementasi yang jelas. Lembaga-lembaga pemerintahan pusat dan
daerah perlu memiliki rencana strategis (Renstra) sesuai dengan bidang
tugas masing-masing sebagai pegangan dan arah pemerintahan di masa
mendatang. Dengan demikian Program Pembangunan Nasional (Propenas),
Program Pembangunan Daerah, Rencana Strategis Departemen/ Lembaga/
Dinas merupakan wujud dari prinsip tata pemerintahan yang berdasarkan visi
strategis.
133
◘ KOREKSI Nilai Koreksi didalam sistem kepemerintahan sendiri adalah diterapkannya
mekanisme penanganan pengaduan dan keluhan oleh lembaga Pemeriksa
kinerja aparat pemerintahan. Walaupun berbagai upaya tersebut di atas telah
dklaksanakan, tentunya masih ada kemungkinan terjadinya suatu masalah
dan penyelewengan yang timbul dalam pelaksanaan program ataupun
pelayanan publik. Untuk menanganinya, diperlukan suatu bagian khusus
dalam pengelola program atau instansi pelayanan masyarakat (misalnya air
minum, listrik, puskesmas, dan sebagainya) yang bertugas untuk menangani
pengaduan masyarakat yang masuk, baik secara langsung ataupun melalui
pemberitaan di media massa. Tentunya, juga dibutuhkan kerjasama dengan
berbagai lembaga pemeriksa dan penyidik yang sudah ada (inspektorat,
kepolisian, kejaksaan, dan sebagainya), sehingga setiap pengaduan yang
berindikasi penyelewengan dan tindak pidana dapat segera ditindaklanjuti.
Karakteristik yang terpenting dalam mekanisme ini adalah perlunya kepastian
bagi masyarakat bahwa pengaduan mereka akan ditangani dalam jangka
waktu tertentu dan si pengadu berhak menerima laporan atas tindak lanjut
pengaduannya itu.
◘ LOYALITAS
Nilai loyalitas di dalam etika profesionalisme aparat pemerintahan memiliki
kualifikasi kemampuan tertentu, tentunya sesuai dengan profesionalisme
jabatan yang dipegang. Oleh karenanya, dibutuhkan upaya untuk
menempatkan aparat secara tepat, dengan memperhatikan kecocokan
antara tuntutan pekerjaan dengan kualifikasi kemampuan dan
profesionalisme. Tingkat kemampuan dan profesionalisme aparat
pemerintahan yang ada perlu selalu dinilai kembali. Kepedulian terhadap
tanggung jawab dan tugas yang dibebankan perlu dikedepankan.
◘ PERSAUDARAAN DAN KEBERSATUAN
Nilai persaudaraan dan kebersatuan dalam Proses Politis & Advokasi dalam
Sistem Pemerintah yang Berkeadilan, lebih menekankan kepada sistem
koordinasi dan proses konsolidasi antar elemen kepemerintahan ditingkat
lokal sampai dengan tingkat pusat. Sesungguhnya antar elemen
134
keperintahan tersebut terdapat saling bergantung dan terikat satu sama
lainnya. dinas yang satu dengan dinas yang lainnya juga harus
mengkoorsinasikan program pemabngunan apa yang akan dilakukan, hal ini
perlu dilakukan dalam rangka mencegah terjadinya tumpang tindih antar
sektor pembangunan
◘ MELAMPAUI FENOMENA
Nilai melampaui fenomena dalam tahapan Proses Politis & Advokasi dalam
Sistem Pemerintah yang Berkeadilan, mengutamakan pada tindakan
pemerintah dalam tahapan pengambilan keputusan mengenai kebijakan yang
berkaitan dengan publik. Pemahaman akan kewajiban dan tanggung jawab
yang harus dilaksanakan untuk menjalankan tugas kepemerintahan secara
baik. Perihal kebijakan yang akan diputuskan haruslah berguna bagi
kemashlahatan semesta, baik itu manusia, lingkungan dan hasil cipataan
manusia itu sendiri (infrastruktur).
Proses Politis & Advokasi dalam Sistem Pemerintah yang Berkeadilan
1. Melaksanakan monitoring dan evaluasi terhadap peran legislatif oleh
masyarakat sebagai sarana pengembangan demokrasi
Pengawasan legislatif oleh masyarakat perlu diatur lebih jelas mekanismenya
sehingga masing-masing dapat berjalan sesuai fungsi dan peranannya.
Penyempurnaan aturan tentang pengawasan ini perlu juga diikuti dengan
program dan kegiatan nyata dalam memberdayakan masyarakat dan
lembaga legislatif di daerah.
2. Evaluasi yang transparan dan objektif dalam lembaga eksekutif oleh
legislatif sebagai sarana pengembangan demokrasi.
Meningkatnya peranan dan fungsi legislatif dalam mengawasi eksekutif tidak
diikuti dengan peningkatan peranan masyarakat dalam melakukan
pengawasan terhadap legislatif. Hal ini cenderung mendorong timbulnya
arogansi kekuasaan legislatif di Daerah. Fungsi legislatif dalam menyuarakan
dan memperjuangkan aspirasi masyarakat bergeser menjadi kepentingan
pribadi atau golongan tertentu.
135
3. Penetapan proporsi fungsi dan peran untuk urusan pemerintahan agar
dapat tercipta pemerintahan yang demokratis dengan ciri ‘Check and
Balance’, yang sesuai dengan prinsip Ummah Muqtashidah
Menetapkan pembagian kewenangan dan atau urusan pemerintahan yang
jelas antara Pemerintah Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota dan Desa melalui
pendekatan Kompetensi, Pendekatan Dampak Eksternalistis serta
Pendekatan Kemampuan, serta menggeser kembali pembagian kewenangan
antar Kepala Daerah dan DPRD pada titik keseimbangan,
4. Penetapan kewenangan perihal optimalisasi pemakaian sumber daya
sesuai dengan proporsinya dengan prinsip efesiensi dan efektivitas,
yang sesuai dengan prinsip Ummah Qaaimah
Menetapkan kembali pengaturan pemanfaatan dan pembagian sumber daya
nasional yang ada di daerah agar lebih adil dan proporsional. Pembagian
sumbersumber pendapatan pajak, bea dan cukai antara Pusat dengan
Daerah tidak hanya menggunakan asas domisili melainkan juga asas
sumber-sumber, sehingga daerah yang memiliki sumber berbagai pungutan
memperoleh bagian yang adil dan proporsional.
5. Pengembangan diri dalam sistem pemerintah agar mengalami
pembaharuan yang berkelanjut dalam memlihara prinsip Ummah
Qaanitah
Lembaga Teknis yang telagh ditunjuk menjalankan fungsinya yang
meliputi bidang penelitian dan pengembangan, perencanaan, pengawasan,
pendidikan dan pelatihan, perpustakaan, kearsipan dan dokumentasi,
kependudukan dan pelayanan
6. Mengembalikan Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-
usulnya (kembali pada hakekatnya) yang sesuai dengan prinsip Ummah
Wasatha
Kewenangan yang timbul dari hak asasi komunal, yakni hak atas
pengembangan kebudayaan dan hak kekayaan intelektual, berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kewenangan yang belum diatur oleh peraturan perundang-undangan dan
atau yang belum dilaksanakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah
136
Kewenangan untuk melakukan kerja sama dengan pihak luar dalam
mengelola dan atau memperoleh manfaat dari sumber daya yang ada di
desa
Penyelenggaraan urusan pemerintahan lainnya yang belum dilaksanakan
oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
7. Pembentukan forum koordinasi sebagai sarana kesepakatan bersama
dengan sikap Tasamuh
Forum Koordinasi ditujukan untuk menghasilkan kesepakatan dan komitmen
diantara para pelaku pembangunan (pemerintah daerah, masyarakat,
perguruan tinggi, dunia usaha, dll) atas program, kegiatan dan anggaran
tahunan daerah, di mana pengambilan keputusannya dilakukan secara
partisipatif dengan berpedoman pada dokumen dokumen perencanaan
pembnagunan daerah. Pemaduserasian setelah usulan kegiatan dari
kecamatan, dinas, badan, lembaga dan kantor, perguruan tinggi dan swasta
di daerah.
Prasyarat:
Berniat dalam diri bahwa apa yang dilakukan dalam proses ini, itu semua
hanya karena Allah SWT semata bagi kemashlahatan semesta.
Menerapkan 15 sitem nilai (Keadilan, Persamaan, Keterbukaan, Musyawarah,
Kepemimpinan, Kebenaran dan Kebaikan, Tanggungjawab, Moralitas,
Efesiensi dan Efektifitas, Pembaharuan, Berkelanjutan, Koreksi, Loyalitas,
Persaudaraan dan Kebersatuan, Melampaui fenomena)
Tidak ada satu pun Elemen terkait yang dibiarkan tidak terjamah dalam proses
ini, semua sektor pemerintah harus diaktifkan untuk melakukan proses ini
137
Gam
bar 3
.3Pr
oses
Mob
ilisa
si d
an K
oord
inas
i Per
enca
naan
yan
g A
man
ah
Has
il K
eput
usan
Str
ateg
is u
ntuk
Per
enca
naan
Pem
bang
unan
se
tela
h m
elew
ati P
rose
s Ta
hap
Ked
ua
Terw
ujud
nya
Pem
aham
an d
an
Peng
haya
tan
Aka
n Pe
renc
anaa
n Pe
mba
ngun
an y
ang
Isla
m
Ele
men
mas
yara
kat y
ang
tela
h m
elak
ukan
Pro
ses
Pem
baha
ruan
Sos
ial
dala
m S
iste
m M
asya
raka
t yan
g B
eret
ika
Elem
en p
emer
inta
h ya
ng te
lah
mel
akuk
an P
rose
s Po
litis
& A
dvok
asi
dala
m S
iste
m P
emer
inta
h ya
ng
Ber
kead
ilan
Pih
ak L
ainn
ya y
ang
Terk
ait d
alam
Asp
ek
Per
enca
naan
Pe
mba
ngun
an
Perih
al y
ang
dibi
cara
kan
Men
ingk
atka
n in
tens
itas
dan
kual
itas
parti
sipa
si
mas
yara
kat
Men
ingk
atka
n ku
alita
s pe
renc
anaa
n
Mew
ujud
kan
kese
imba
ngan
ant
ara
penc
apai
an
sasa
ran
stra
tegi
s de
ngan
pen
capa
ian
sasa
ran
tahu
nan
M
ewuj
udka
n pr
insi
p U
mm
ah H
aadi
yah
Sos
ialis
asi h
asil
Foru
m K
oord
inas
i S
osia
lisas
i RAP
BD
S
osia
lisas
i ber
baga
i Inf
orm
asi
Men
erim
a m
asuk
an d
ari b
erba
gai u
susl
an y
ang
Pras
yara
t:B
erni
at d
alam
diri
bah
wa
apa
yang
di
laku
kan
dala
m p
rose
s in
i, itu
sem
ua h
anya
ka
rena
Alla
h SW
T se
mat
a ba
gi
kem
ashl
ahat
an s
emes
ta.
Men
erap
kan
15 s
item
nila
i (K
eadi
lan,
P
ersa
maa
n, K
eter
buka
an, M
usya
war
ah,
Kep
emim
pina
n, K
eben
aran
dan
Keb
aika
n,
Tang
gung
jaw
ab, M
oral
itas,
Efe
sien
si d
an
Efe
ktifi
tas,
Pem
baha
ruan
, Ber
kela
njut
an,
Kor
eksi
, Loy
alita
s, P
ersa
udar
aan
dan
Keb
ersa
tuan
, Mel
ampa
ui fe
nom
ena)
Ti
dak
ada
satu
pun
Ele
men
terk
ait y
ang
dibi
arka
n tid
ak te
rjam
ah d
alam
pro
ses
ini,
Pen
gada
an p
elat
ihan
dan
pem
bina
an d
ari
Pros
es M
obili
sasi
dan
K
oord
inas
i Per
enca
naan
yan
g A
man
ah
138
3.4.3 Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan yang Amanah Tahapan perencanaan yang ketiga dalam hasil transformasi Teori Gerak
Mulla Shadra tentang konsep ”Kearifan Puncak” ialah Proses Mobilisasi dan
Koordinasi Perencanaan yang Amanah. Dalam tahapan ini, sesuai dengan safar
yang ketiga setelah melewati dua safar sebelumnya dengan tujuh maqam yakni
safar min al-Haq ila khalq ma’a al-Haq (dari Allah menuju makhluk bersama
Allah). Seakan-akan safar ini bagian dari antiklimaks (menurun), hal ini memang
sulit dijelaskan. Seoarang salik tidak lagi melihat Allah dari sesuatu, namun
dibalik menjadi melihat sesuatu karena Allah sebelumnya. Adanya Sang Pencipta
membuktikan adanya alam semesta ini. Dalam tahapan ini manusia berada
dalam sebuah “peniadaan diri” yang menganggap bahwa seluruh yang terdapat
dialam ini tidak ada kecuali Allah, dan melakukan segala sesuatunya dalam
kehidupan ini hanya untuk kemashlahatan semesta. semsntara jika kita meninjau
safar ketiga ini dari sisi perencanaan, bianlogikan sebagai sebuah proses
perencanaan yang diikuti dengan tindakan mobilisasi dan koordinasi hasil
berpengetahuan dua proses perencanaan sebelumnya. dua proses perencanaan
pada tahap ini, melibatkan masyarakat yang telah melakukan proses reformasi
sosial dan pemerintah yang telah melakukan proses politis dan advokasi
perencanaan dalam sistem pemerintah secara global dan menyeluruh. Koridor
atau benang merah yang memisahkan tahapan ini dengan dua tahapan
sebelumnya ialah mengenai tugas pemerintah dan masyarakat dalam hal
menggerakan semua elemennya dalam sistem yang ada untuk melakukan
tahapan koordinasi mengenai pengetahuan proses perencanaan pada dua
tahapan sebelumnya, yang sesuai dengan sistem nilai dalam Islam. Adapun nilai-
nilai yang terkandung didalamnya ialah, sebagai berikut:
● KEADILAN
Nilai keadilan yang terkandung dalam Proses Mobilisasi dan Koordinasi
Perencanaan yang Amanah, diartikan sebagai sebuah ketaatan akan hukum
dan aturan yang berlaku baik oleh pemerintah ataupun masyarakat itu
sendiri. Legitimasi hukum dan aturan tentang perencanaan antara elemen
masyarakat dan pemerintah harus ditegakkan. Sikap adil dari Pemerintah
untuk memberi apa yang layak dan sesuai dengan hak masyarakat dalam
perencanaan pembangunan masyarakat. Suatu tindakan nyata dalam
139
masyarakat dalam proses mobilisasi dan koordinasi tentang pengetahuan
perencanaan yang berkesesuaian dengann nilai Islam kepada masyarakat
oleh pemerintah.
● PERSAMAAN
Nilai persamaan dalam tahapan Proses Mobilisasi dan Koordinasi
Perencanaan yang Amanah, diartikan sebagai penempatan peran
masyarakat yang bersanding dengan pemerintah dalam mobilisasi proses
perencanaan. Pengetahuan tentang proses perencanaan setelah melakukan
reformasi sosial dalam masyarakat dan proses politis yang berkeadilan
menurut nilai Islam, di koordinasikan pada masyarakat luas oleh pemerintah
sebagai koordinatornya dan masyarakat lainnya membentu sebagai tenaga
bantuan dalam proses sosialisasinya. Memberi informasi kepada pihak-pihak
yang berkepentingan dalam perencanaan pembangunan mengenai proses
perencanaan yang baik.
● KETERBUKAAN
Nilai keterbukaan dalam Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan yang
Amanah, berarti sikap transparan dan koordinasi kejelasan mengenai visi dan
misi pembangunan dari pemerintah kepada masyarakat. Kebijakan-kebijakan
publik baik yang berkenaan dengan pelayanan publik maupun pembangunan
di daerah harus diketahui publik. Isi keputusan dan alasan pengambilan
kebijakan publik harus dapat diakses oleh publik dan harus diumumkan agar
mendapat tanggapan publik. Demikian pula penyampaian informasi tentang
sasaran yang ingin dicapai pembangunan kepada masyarakat. Administrasi
perencanaan yang diketahui juga oleh masyarakat, mengenai pengeluaran
dan pemasukan pembiayaan pembangunan.
● MUSYAWARAH
Nilai musyawarah pada Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan yang
Amanah, lebih kepada kegiatan Pembentukan wadah dialogis di masyarakat
yang langsung berhubungan dengan pemerintah. Demokrasi merupakan kata
yang tepat untuk nilai musyawarah yang diterapkan pada proses
pengambilan keputusan. Proses teknokrasi yang demokrasi dengan
mendengar pendapat dari masyarakat sebagai masukan pembangunan.
140
Pemerintah sebagai pemegang keputusan harus mampu mengalokasikan
aspirasi masyarakat pasda proporsi yang tepat sesuai dngan kapasitasnya.
● KEPEMIMPINAN
Nilai kepemimpinan pada Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan
yang Amanah, dimaksudkan pada perihal penunjukan Wakil pemerintah
duduk sebagai pengatur dan pengawas yang konsisten terhadap tanggung
jawabnya sebagai pelayan publik dalam proses pembangunan. Perwakilan
dari masyarakat pun juga dipilih untuk mengakomodir kepentingan dan
memberi masukan kepada pemerintah mengenai aspirasi mayarakat yang
sesungguhnya. Perihal aspirasi apa yang nantinya ditetapkan oleh pemimpin
didalam proses pengembilan keputusan oleh pemerintah harus sesuai
dengan apa yang disuarakan oleh masyarakat umum.
● KEBENARAN DAN KEBAIKAN
Nilai Kebenaran dan kebaikan pada tahapan Proses Mobilisasi dan
Koordinasi Perencanaan yang Amanah lebih menekankan pada proses
pembelajaran tentang orientasi pembangunan yang bertujuan untuk
kelestarian lingkungan, kesejahteraan masyarakat dan pelaksanaan
pembangunan yang sesuai dengan visi dan misi pembangunan. Masukan
tersebut lebih mengutamakan kemashlahatan semesta. Mengenai tata cara
peembelajaran tentang visi dan misi pembangunan ditetapkan oleh
pemerintah atas dasar pemerataan penyampaian informasinya. Perihal yang
semestinya dilakukan oleh masyarakat untuk mendukung perencanaan
pembangunan yang dialkukan oleh pemerintah dan masyarakat itu sendiri.
● TANGGUNG JAWAB
Nilai tanggung jawab dalam tahapan Proses Mobilisasi dan Koordinasi
Perencanaan yang Amanah, ditekankan dalam hal proses menjalankan
fungsi pemrintah kepada masyarakat. Kedudukan pemerintah dalam sebuah
negara ialah sebagai salah satu elemen yang memberi pelayanan publik,
turut andil dalam kepatuhannya terhadap aturan dan hukum yang berlaku.
Beban tanggung jawab harus disikapi dengan kesadaran diri yang tinggi oleh
pemerintah. Sementara masyarakat juga berperan melakukan tugas yang
dibebankannya sebagai pendukung pemerintah dalam pelaksanaan
141
pembangunan yang siap menerima pembelajaran tentang perencanaan
pembangunan yang berkesuaian dengan visi dan misi pemerintah.
● MORALITAS
Nilai moral atau moralitas Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan
yang Amanah merupakan suatu konsekuensi beragama dan bermasyarakat.
Legitimasi Allah dalam hukum Islam (Al Quran dan Al Hadist) akan mendapat
proporsi yang paling tinggi. Tidak hanya memandang mana yang pantas
ditataran masyarakat kebanyakan, namun lebih dari itu menjadikan moral
memiliki beban langsung secara vertikal pada ketentuan Allah SWT. Setiap
pelaksanaan tanggung jawab baik itu pemerintah maupun masyarakat harus
dilandaskan dengan kesadaran diri yang tinggi tentang mana yang semetinya
dilakukan dengan konsekuensi bagi kemashlahatan semesta.
● EFEKTIFITAS DAN EFESIENSI
Nilai efektivitas Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan yang
Amanah, Penentuan limit waktu dalam pembangunan untuk acuan pada
tahap implementasi perecanaan pembangunan yang dilakukan oleh
pemerintah dan masyarakat. Pembatasan mengenai pemanfaatan sumber
daya yang dikelola pemerintah agar optimal digunakan oleh masyarakat
Masyarakat harus memanfaatkan sumber daya secara optimal, tidak
menghambur-hamburkan apa yang telah disediakan oleh pemerintah.
Melakukan yang semestinya dilakukan tanpa melebihkan prosesnya,
mengingat bahwa dalam setiap perencanaan pembangunan pasti memiliki
target waktu untuk penyelesaian dari pembangunan itu sendiri.
● PEMBAHARUAN
Nilai pembaharuan dalam tahapan Proses Mobilisasi dan Koordinasi
Perencanaan yang Amanah, dikaitkan dengan pengadaan dan pelaksanaan
Loka Karya dan seminar yang diselenggarakan pemerintah untuk masyarakat
umum dan aparat pemerintah loka dengan materi tentang perencanaan
pembanguan yang akan diterapkan masa mendatang. Kedinamisan suatu
ilmu pengetahuan perencanaan yang berkembang diluar harus diketahui oleh
masyarakat Indonesia untuk dapat diterapkan didalam negeri, dengan syarat
tidak bertentangan dengan Islam. Dengan melihat karakteristik dari wilayah di
142
Indonesia, perencanaan yang natinya akan dibelakukan harus
berkesesuaian.
● BERKELANJUTAN
Nilai berkelanjutan dalam tahapan Proses Mobilisasi dan Koordinasi
Perencanaan yang Amanah, berkorelasi dengan sikap Kedimamisan. Usaha
Pelaksanaan pemberitahuan mengenai program pembangunan yang
dilakukan rutin dengan frekuensi waktu tertentu proses perencanaan dan
pemabngunan yang tidak begitu saja berhenti dalam tahapan tertentu.
Pembangunan yang baik dilakukan terus menerus. Hal tersebut membuktikan
keseriusan pelaku perencana dalam mendukung berkembangnya suatu
negara.
● KOREKSI
Nilai Koreksi dalam tahapan proses perencanaan dari pemerintah menuju
masyarakat dengan pemerintah, mengenai perihal koordinasi dan aspirasi
dari masyarakat pada pemerintah. Melakukan kegiatan interaksi antara
masyarakat dan pemerintah untuk proses koordinasi dan konsolidasi
mengenai kekurangan yang terjadi dalam pembangunan sebagai evaluasi
kedepan. Proses koreksi yang dilakukan harus dalam koridor hukum yang
berlaku. Saling mengingatkan tentang perihal perencanaan pembangunan
yang sesuai dengan sasaran atau tujuan semula.
● LOYALITAS
Nilai Loyalitas dalam tahapan Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan
yang Amanah, lebih diutamakan tentang rasa cinta terhadap negara kita dan
semua makhluk yang diciptakan oleh Allah. Dengan rasa cinta tadi hubungan
manusia dengan Tuhan, manusia dengan Sesama, manusia dengan Alam
dan manusia dengan karya yang tercipta akan berjalan selaras dan
harmonis. Melakukan kegiatan interaksi antara masyarakat dan pemerintah
untuk proses koordinasi dan konsolidasi mengenai kekurangan yang terjadi
dalam pembangunan sebagai evaluasi kedepan. Sikap peduli dan ingin
membantu dari pemerintah kepada masyarakat dalam hal memberi
pengetahuan tentang pembangunan yang berlangsung dan sesuai dengan
aspirasi masyarakat.
143
● PERSAUDARAAN DAN KEBERSATUAN
Nilai persaudaraan dan kebersatuan dalam tahapan proses perencanaan dari
pemerintah menuju masyarakat dengan pemerintah, mengutamakan sikap
Kemitraan dan pendekatan partisipasi untuk kegiatan sosialisasi
perencanaan pembangunan. Proses kemitraan dijadikan sebagai salah satu
aplikasi nyata tentang nilai persaudaraan dan kebersatuan, yang menjadikan
peran masyarakat sebagai partnership dalam sosialisasi mengnai visi dan
misi perencanaan yang dialkuakn oleh pemerintah yang berkesesuaian
dengan Islam. Bukan hanya di tahapan perencanaan awal namun sampai
dengan evaluasi perencanaan juga masyarakat harus mengetahuinya dan
ikut serta didalamnya, tentunya sesuai dengan perannya.
● MELAMPAUI FENOMENA Nilai melampaui fenomena dalam tahapan proses perencanaan dari
pemerintah menuju masyarakat dengan pemerintah, bahwa Mengetahui apa
yang menjadi pertanyaan masyarakat selama pembangunan berlangsung
dan perihal proses perencanaan. Jangan mengambil kesimpulan secara
sepihak saja, namun Memfasiltasi pertanyaan tersebut dengan jawaban yang
tepat. Mengungkap ”the real structures” dibalik ”false needs” yang
dinampakan dunia materi, dengan tujuan membantu membentuk suatu
kesadaran sosial agar terjadi perbaikan kondisi pembangunan.
Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan yang Amanah
1. Tujuan
Meningkatkan intensitas dan kualitas partisipasi masyarakat
Meningkatkan kualitas perencanaan
Mewujudkan keseimbangan antara pencapaian sasaran strategis dengan
pencapaian sasaran tahunan
Mewujudkan prinsip Ummah Haadiyah
144
2. Agenda
Sosialisasi hasil Forum Koordinasi
Setelah hasil Forum Koordinasi tersepakati oleh peserta, maka Forum
Koordinasi mempublikasikan hasil-hasil tersebut secara luas. Mekanisme
penyebarluasan hasil Forum Koordinasi ini diserahkan kepada masing-
masing daerah, sesuai dengan kondisi serta instrumen yang efektif.
Sosialisasi RAPBD
Setelah RAPBD disusun, maka Tim Fasilitasi Forum Koordinasi juga
mempublikasikan hasil-hasil tersebut secara luas. Adapun mekanisme serta
pihak-pihak yang perlu memperoleh informasi tentang RAPBD adalah sama
dengan yang berlaku pada sosialisasi hasil Forum Koordinasi.
Sosialisasi berbagai Informasi
Memberikan informasi dan memahami isu strategis, inventarisasi dan impilasi
usulan program/ kegiatan, evaluasi kinerja APBD tahun lalu dan tahun
berjalan, dan pemaduserasian berbagai usulan yang masuk;
Menerima masukan dari berbagai ususlan yang telah disosialisasikan
sebagai bahan pertimbangan untuk evaluasi
Sebelum kebijakan disahkan dan dijalankan menjadi keputusan mutlak,
berbagai usulan ataupun keluhan dari pemerintah, DPRD maupun
masyarakat tentang kebijakan dapat disampaikan ke Forum Koordinasi untuk
selanjutnya disampaikan kepada DPRD. Untuk itu, hendaknya Forum
Koordinasi juga dapat mengumumkan secara luas mekanisme penyaluran
usulan dan keluhan tentang semua kebijakan kepada DPRD.
3. Pihak yang terlibat
Adapun pihak-pihak yang perlu memperoleh informasi ini adalah:
Komisi- Komisi DPRD Kabupaten/Kota.
Masing-masing Dinas/Badan/Lembaga/Kantor.
Seluruh Camat
Seluruh Lurah atau kepala desa
Berbagai Forum dan asosiasi yang terlibat dalam Forum Koordinasi (LSM,
organisasi kemasyarakatan lokal lainnya)
145
Prasyarat: Berniat dalam diri bahwa apa yang dilakukan dalam proses ini, itu semua
hanya karena Allah SWT semata bagi kemashlahatan semesta.
Menerapkan 15 sitem nilai (Keadilan, Persamaan, Keterbukaan,
Musyawarah, Kepemimpinan, Kebenaran dan Kebaikan, Tanggungjawab,
Moralitas, Efesiensi dan Efektifitas, Pembaharuan, Berkelanjutan, Koreksi,
Loyalitas, Persaudaraan dan Kebersatuan, Melampaui fenomena)
Tidak ada satu pun Elemen terkait yang dibiarkan tidak terjamah dalam
proses ini,
Pengadaan pelatihan dan pembinaan dari pemerintah pada masyarakat
tentang proses perencanaan pembangunan Islam
3.4.4 Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem Perencanaan Islam
Tahapan perencanaan yang terakhir dalam hasil transformasi Teori Gerak
Mulla Shadra tentang konsep ”Kearifan Puncak” ialah Proses Penjiwaan dan
Penghayatan Sistem Perencanaan Islam. Dalam tahapan ini, sesuai tahapan
tertinggi dari seluruh perjalanann yang dilakukan seorang salik yakni, safar fil al-
khalq ma’a al-Haq (dengan Allah tetapi dalam Allah). Dalam safar ini seseorang
yang telah mengarungi alam-alam yang harus dilalui dan sampai pada
puncaknya, dia harus turun kembali dan membenahi masyarakatnya.
Menyatukan diri dengan Allah membuat dia bukan hanya sempurna namun
menyempurnakan masyarakatnya. Seoarang salik yang telah berada dalam
tahapan ini harus kembali lagi menyampaikan pesan-pesan Allah SWT kepada
para makhluk-Nya berdasarkan kemampuan mereka (bahasan dengan bahasa
yang mudah dimengerti oleh yang lain). Dalam konteks perencanaan diartikan
sebagai sebuah proses internalisasi atau penjiwaan mengenai perencanaan
pembangunan.yang berkesesuaian dengan perencanaan Islam. Ketika proses
penjiwaan iti telah dilakukan hasil ketiga tahapan sebelumnya, maka dengan
sendirinya apa yang menjadi misi perencanaan Islam yaitu rahmat bagi semesta
akan terwujud. Dengan pola pikir dan pola hidup dari semua pelaku
perencanaan, melibatkan seluruh elemen yang terkait dalam proses
perencanaan, setelah melewati ketiga tahapan proses perencanaan sebelumnya,
yang berorientasi pada nilai-nilai Islam akan mewujudkan suatu perencanaan
yang ideal. Tahapan ini juga aktualisasi dari hasil dari rangkaian proses
146
sebelumnya. Untuk melakukan tahapan ini diperlukan nilai-nilai Islam yang
menjadi atribut penting dalam implementasi proses ini. Adapun nilai-nilai yang
terkandung didalamnya ialah, sebagai berikut:
◘ KEADILAN Nilai keadilan yang terkandung dalam tahapan Proses Penjiwaan dan
Penghayatan Sistem Perencanaan Islam, lebih menekankan pada sikap dan
tindakan dari elemen pemerintah (aparat pemerintah lokal sampai kepada
pemerintahan pusat) dan eleman masyarakat (individu, kelompok, swasta
dan LSM) untuk melaksanakan hukum perencanaan yang telah dilegitimasi
dalam tahapan sebelumnya. Setiap instansi pemerintah mempunyai
kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pencapaian organisasinya dalam
pengelolaan sumberdaya yang dipercayakan oleh masyarakat. Masyarakat
juga telah menjalankan perannya dalam perencanaan sesuai dengan hukum
perencanaan yang berlaku. Dengan demikian akan terwujud suatu keadilan
dalam proses perencanaan dalam tahapan ini, yang nantinya terwujudlah
proses perencanaan Islam.
◘ PERSAMAAN
Nilai persamaan yang terkandung dalam tahapan Proses Penjiwaan dan
Penghayatan Sistem Perencanaan Islam, lebih menekankan pada kesamaan
akan kewajiban dalam mantaati hukum yang telah ditetapkan oleh semua
komponen, baik itu pemerintah maupun masyarakat untuk semua elemen
didalamnya. Adanya kepastian hukum yang merupakan resultan dari hukum
dan perundangan-undangan yang jelas, tegas, serta upaya penegakan
hukum yang efektif, konsisten, dan tanpa pandang bulu. Ketika dalam
pemerintahan itu sendiri terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh oknum
didalamnya, harus ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Masyarakat
berhak melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh oknum tersebut dan
pemerintah harus bertindak sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Selain
itu persmaan mengenai menjalankan proses perencanaan pembangunan
secara bersamaan. Salah satu pihak, masyarakat atau pemerintah, tidak
boleh melepas tanggung jawabnya.
147
◘ KETERBUKAAN Nilai keterbukaan tahapan Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem
Perencanaan Islam, diartikan sebagi tindakan aplikasi nyata dalam hal
pembangunan, menempatkan pemerintah dan masyarakat sebagai pelaku
utama pembangunan dengan sistem akuntabilitas yang transparan didalam
dan diluar (evaluasi) sitem yang ada dalam masing-masing komponen. Nilai
keterbukaan ini erat kaitannya dengan sikap saling memberi dan menerima
masukan demi keberlangsungan pemabngunan yang ssuai dengan visi misi
pembangunan kedepan.
◘ MUSYAWARAH
Nilai musyawarah dalam Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem
Perencanaan Islam, ialah tindakan bersama dari masyarakat dan pemerintah
mengenai sistem demokrasi dalam penentuan kesepatakan bersama
rencana tindak kolektif yang akan dilakukan pada setiap proses
pembangunan sampai tahapan implementasi dan evaluasi. Perumusan
kebijakan tentang pelayanan publik dan pembangunan di pusat dan daerah
dilakukan melalui mekanisme demokrasi, dan tidak ditentukan sendiri oleh
eksekutif. Dengan pengetahuan mengenai perencanaan yang Islam dan ideal
akan menjadikan hasil dari proses demokrasi tadi berguna untuk
pembangunan. Tata cara yang berlaku dalam prosesnya pun harus
berkesesuaian dengan Islam.
◘ KEPEMIMPINAN
Nilai kepemimpinan dalam tahapan Proses Penjiwaan dan Penghayatan
Sistem Perencanaan Islam, diartikan sebagai upaya mendelegasikan
kewenangan Pemerintah yang demokrasi sebagai penentu dalam proses
advokasi dan pelaksanaan pembangunan, masyarakat dengan kepatuhan
melaksanakannya. Hal ini berlaku dalam proses aktulaisasi perencanaan
pemabngu8nan dalam masyarakat. Masyarakat dengan posisinya sebagai
penerima dan pemdukung dalam perencanaan harus mentaati keputusan
yang diambil pemerintah, dan melaksanakannya dalam pemabngunan.
148
◘ KEBENARAN DAN KEBAIKAN Nilai kebenaran dan kebaikan dalam penyelenggaraan Proses Penjiwaan
dan Penghayatan Sistem Perencanaan Islam, menekankan pada aksi dari
pemerintah dan masyarakat hasil interpretasi atas kebijakan yang
diberlakukan demi kesejahteraan dan kemashlahatan bersama (semesta).
Hal tersebut dapat tercapai ketika siakp saling memepercayai antar pihak
yang terlibat dapat terwujud dengan baik. Dengan artian, bahwa masyarakat
percaya pada pemerintah dalam memutuskan suatu kebijakan yang akan
diberlakukan tersebut bertujuan untuk kemashlahatan bersama.
◘ TANGGUNG JAWAB Nilai tanggung jawab yang terkandung dalam tahapan Proses Penjiwaan dan
Penghayatan Sistem Perencanaan Islam, lebih menekankan pada
pergerakan secara berdampingan baik langsung ataupun tidak langsung dari
pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan yang terkendali oleh
hukum hasil demokrasi. Sikap atau rasa patuh terhadap amanat dari tigas
yang dibebankan pada aparat pemerintahan dan masyarakat itu sendiri.
Malakukan apa yang menjadi wewenang dari beban tugas yang diterimanya.
Di dalam pemberian pelayanan publik dan pembangunan dibutuhkan aparat
pemerintahan yang memiliki kualifikasi kemampuan tertentu, dengan
profesionalisme yang sesuai. masyarakat yang telah melakukan reformasi
sosial juga harus melaksanakan tanggung jawabnya sebagaimana mestinya
(sesuai dengan peran masyarakat dalam pelaksanaan strategi
pembangunan).
◘ MORALITAS Nilai Moralitas yang terkandung dalam tahapan Proses Penjiwaan dan
Penghayatan Sistem Perencanaan Islam, lebih menekankan pada kesadaran
akan setiap tindakan kita bakal diketahui oleh Sang Khalik. Tanggung jawab
secara moral pada Allah dalam menjalankan fungsi dan peran suatu elemen
dalam pembangunan yang terencana dalam koridor Islam. bukan hanya
hubungan vertikal antara manusia dan Allah SWT, namun juga hubungan
horisontal kepada sesama makhluk ciptaan-Nya.
149
◘ EFEKTIFITAS DAN EFESIENSI Nilai efektifitas dan efesiensi pada tahapan Proses Penjiwaan dan
Penghayatan Sistem Perencanaan Islam, lebih dikaitkan pada perihal
persoalan optimaslisasi sumber daya dan waktu yang tersedia untuk proses
pembangunan yang berkesesuaian dengan visi, misi dan sasaran
pembangunan dalam batasan jangka waktu tertentu. Alokasi sumber daya.
perlunya penetapan target kuantitatif atas pencapaian suatu program. Untuk
menjaga efektivitas suatu pengeluaran, diperlukan pemantauan yang
berdasarkan pada pencapaian target berbagai indikator kinerja (performance
indicators) yang ditetapkan sebelumnya dan menunjukkan tingkat
keberhasilan suatu program secara menyeluruh.
◘ PEMBAHARUAN
Nilai pembaharuan dalam tahapan Proses Penjiwaan dan Penghayatan
Sistem Perencanaan Islam, diartikan pada Aktualisasi dan pergerakan yang
menuju kepada perencanaan yang lebih baik, tidak stagnan dalam tingkatan
tertentu saja. Menyaring ilmu perencanaan yang baru dan berkesesuaian
dengan karakteristik wilayah di Indonesia dan Islam. Reformasi sosial dan
pemerintah harus dialkuakn demi tercapainya suatu pemerintahan yang
Islam.
◘ BERKELANJUTAN
Nilai berkelanjutan dalam Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem
Perencanaan Islam, menekankan Keberlangsungan suatu pembangunan
yang tiada henti untuk memperbaiki, mengadakan dan menciptakan
pembangunan sekarang dan yang akan datang. Manusia sebagai tokoh
sentral dari perencanaan, dengan negara yang memiliki hubungan keluar
untuk proses mengetahu apa yang berkembang diluar dan akan menjadi
pengetahuan baru yang bila memungkinakan dan sesuai dengan Islam akan
diterpakan dalam pemabngunan berikutnya. Usaha yang tidak ada henti-
hentinya untuk melakukan perbaikan dan peningkatan mutu pembangunan
secara holistik.
150
◘ KOREKSI Nilai Koreksi didalam tahapan Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem
Perencanaan Islam, direal;isasikan dalam tindakan tegas dalam menjujung
tingggi supremasi hukum negara tentang pelaksanaan pembangunan yang
melibatkan semua elemen perencanaan pembangunan. Hal tersebut
melibatkan semua pihak yang terkait dalam perencanaan. Demokrasi
merupakan niali yang patut dijunjung tinggi. Perihal kebebasan berpendapat,
namun dalam atauran hukum yang benar. Mekanisme penanganan
pengaduan dan keluhan oleh lembaga Pemeriksa kinerja aparat
pemerintahan. Perlunya suatu bagian khusus dalam pengelola program atau
instansi pelayanan masyarakat (misalnya air minum, listrik, puskesmas, dan
sebagainya) yang bertugas untuk menangani pengaduan masyarakat yang
masuk, baik secara langsung ataupun melalui pemberitaan di media massa.
Tentunya, juga dibutuhkan kerjasama dengan berbagai lembaga pemeriksa
dan penyidik yang sudah ada dan masyarakat itu sendiri (inspektorat,
kepolisian, kejaksaan, dan sebagainya), sehingga setiap pengaduan yang
berindikasi penyelewengan dan tindak pidana dapat segera ditindaklanjuti.
◘ LOYALITAS
Nilai loyalitas di dalam etika profesionalisme aparat pemerintahan dan
masyarakat menjadi keharusan untuk dilaksanakan, tentunya sesuai dengan
tanggung jawabnya masing-masing yang dipegang. Rasa cinta dan rela
berkorban demi kemajuan negara dan mendirikan tiang agama dalam
pelaksanaan perencanaan pembangunan di lapangan. Kepedulian terhadap
tanggung jawab dan tugas yang dibebankan perlu dikedepankan.
◘ PERSAUDARAAN DAN KEBERSATUAN
Nilai persaudaraan dan kebersatuan dalam Proses Penjiwaan dan
Penghayatan Sistem Perencanaan Islam, lebih menekankan kepada sistem
koordinasi dan proses konsolidasi antar elemen kepemerintahan ditingkat
lokal sampai dengan tingkat pusat dengan semua elemen masyarakat.
Partisipatoy plannning sebagai acuan utama dalam pembangunan untuk
melakukan aksi dalam perencanaan. penyelenggaraan pembangunan yang
151
dilakukan bersama akan menumbuhkan sinerjitas yang tinggi dalam
pembagunan.
◘ MELAMPAUI FENOMENA
Nilai melampaui fenomena dalam tahapan Proses Penjiwaan dan
Penghayatan Sistem Perencanaan Islam, mengutamakan pada tindakan baik
pemerintah dan masyarakat harus sudah mengetahui apa yang semestinya
dilakukan dalam pembangunan serta berusaha di implementasikannya
dengan baik. Pemahaman akan kewajiban dan tanggung jawab yang harus
dilaksanakan untuk menjalankan pembangunan secara baik. perihal
keputusan yang diambil harus sesuai dengan Islam.
Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem Perencanaan Islam
1. Tujuan
Sebagai sebuah pemahaman dan penjiwaan atas dasar-dasar perencanaan
pembangunan dan juga kebijakan yang telah ditetapkan sebagai sebuah
aturan yang harus dilaksanakan. Hasil dari semua itu ialah berupa Aktualisasi
dan tindak nyata pada saat implementasi dari program-program
pembangunan yang telah ditetapkan bersama.
2. Agenda
Mewujudkan peningkatan kualitas dan pengetahuan masyarakat tentang
perencanaan
Mewujudkan peningkatan kinerja kelembagaan legislatif dan eksekutuf
ditingkat lokal
Mewujudkan manajemen sumber daya aparatur dalam dinas-dinas dan
instansi yang baik
Mewujudkan pelaksanaan pembangunan secara terpadu dan holistik
Mewujudkan pembangunan berkelanjutan secara Daaiyah (paripurna)
Mewujudkan Ukhuwwah sebagai wujud ikatan keUmmatan
3. Sasaran
Semua pihak memahami struktur dan isi dokumen perencanaan
pembangunan daerah
Semua pihak memahami mekanisme penyusunan dan struktur APBD
152
Semua pihak memahami proses penyusunan Arah dan Kebijakan Umum
(AKU)
Semua pihak memahami struktur kelembagaan pemerintahan daerah
Semua pihak memiliki kemampuan komunikasi dalam forum publik
4. Pihak yang terkait
Melibatkan seluruh elemen yang terkait dalam proses perencanaan, setelah
melewati ketiga tahapan proses perencanaan sebelumnya.
Prasyarat: Berniat dalam diri bahwa apa yang dilakukan dalam proses ini, itu semua
hanya karena Allah SWT semata bagi kemashlahatan semesta.
Menerapkan 15 sitem nilai (Keadilan, Persamaan, Keterbukaan,
Musyawarah, Kepemimpinan, Kebenaran dan Kebaikan, Tanggungjawab,
Moralitas, Efesiensi dan Efektifitas, Pembaharuan, Berkelanjutan, Koreksi,
Loyalitas, Persaudaraan dan Kebersatuan, Melampaui fenomena)
Semua stakeholder harus ikut serta
Seluruh elemen yang terkait telah memahami dan menghayati proses
perencanaan pembangunan Islam
153
Gam
bar 3
.4Pr
oses
Pen
jiwaa
n da
n Pe
ngha
yata
n Si
stem
Per
enca
naan
Isla
m
Has
il Pe
mah
aman
aka
n Pe
renc
anaa
n Pe
mba
ngun
an
yang
Isla
m
Selu
ruh
Stak
ehol
der d
alam
Pe
renc
anaa
n Pe
mba
ngun
an
AKTU
ALI
SASI
PER
ENC
AN
AAN
ISLA
M
Perih
al y
ang
dibi
cara
kan
Mew
ujud
kan
peni
ngka
tan
kual
itas
dan
peng
etah
uan
mas
yara
kat t
enta
ng p
eren
cana
an
Mew
ujud
kan
peni
ngka
tan
kine
rja k
elem
baga
an
legi
slat
if da
n ek
seku
tuf d
iting
kat l
okal
M
ewuj
udka
n m
anaj
emen
sum
ber d
aya
apar
atur
da
lam
din
as-d
inas
dan
inst
ansi
yan
g ba
ik
Mew
ujud
kan
pela
ksan
aan
pem
bang
unan
sec
ara
terp
adu
dan
holis
tik
Mew
ujud
kan
pem
bang
unan
ber
kela
njut
an
seca
ra D
aaiy
ah (p
arip
urna
) M
ewuj
udka
n U
khuw
wah
seb
agai
wuj
ud ik
atan
ke
Um
mat
an
Pras
yara
t:Be
rnia
t dal
am d
iri b
ahw
a ap
a ya
ng
dila
kuka
n da
lam
pro
ses
ini,
itu s
emua
han
ya
kare
na A
llah
SWT
sem
ata
bagi
ke
mas
hlah
atan
sem
esta
. M
ener
apka
n 15
site
m n
ilai (
Kea
dila
n,
Per
sam
aan,
Ket
erbu
kaan
, Mus
yaw
arah
, K
epem
impi
nan,
Keb
enar
an d
an K
ebai
kan,
Ta
nggu
ngja
wab
, Mor
alita
s, E
fesi
ensi
dan
E
fekt
ifita
s, P
emba
haru
an, B
erke
lanj
utan
, K
orek
si, L
oyal
itas,
Per
saud
araa
n da
n K
eber
satu
an, M
elam
paui
feno
men
a)
Sem
ua s
take
hold
er h
arus
ikut
ser
ta
Selu
ruh
elem
en y
ang
terk
ait t
elah
m
emah
ami d
an m
engh
ayat
i pro
ses
pere
ncan
aan
pem
bang
unan
Isla
m
Gra
dasi
Asp
irasi
dan
K
ewen
anga
n
Pros
es P
enjiw
aan
dan
Peng
haya
tan
Sist
em P
eren
cana
an Is
lam
Act
ion
Plan
(prio
ritas
pe
renc
anaa
n ke
wen
agan
dan
si
stem
ang
gara
n)
154
Gam
bar 3
.5
Bag
an A
lur A
ktua
lisas
i Pro
ses
Pere
ncan
aan
Teos
entr
is B
erba
sis
Teor
i Ger
ak S
ubst
ansi
ELEM
EN
MAS
AYA
RA
KA
T D
ALA
M S
ISTE
M
MAS
YA
RA
KA
T
-Indi
vidu
-K
elom
pok
-Sw
asta
-L
SM EL
EMEN
PE
MER
INTA
H
TIN
GK
AT L
OK
AL
-Lem
bega
Leg
isla
tif
-Lem
baga
Eks
ekut
if -In
stan
si &
din
as
SIST
EM
PEM
ERIN
TAH
SE
CA
RA
M
ENYE
LUR
UH
-Tk.
Lok
al
-Tk.
Kot
a -T
k. R
egio
nal
SIST
EM
MAS
YA
RA
KA
T
DA
N
PEM
ERIN
TAH
-Ele
men
Mas
yara
kat
yang
tela
h m
elak
ukan
R
efor
mas
i Sos
ial
-Ele
men
Pem
erin
tah
yang
tela
h m
elak
ukan
Pro
ses
polit
is d
an a
dvok
asi
SELU
RU
H E
LEM
EN
YAN
G T
ERK
AIT
D
ALA
M S
ISTE
M
PER
ENC
AN
AA
N
-Pem
erin
tah
-Mas
yara
kat
-Sw
asta
-L
SM
[ 1 ]
Pros
es P
emba
haru
an S
osia
l dal
am S
iste
m
Mas
yara
kat y
ang
Ber
etik
a
[ 2 ]
Pros
es P
oliti
s &
Adv
okas
i dal
am S
iste
m
Pem
erin
tah
yang
Ber
kead
ilan
[ 3 ]
Pros
es M
obili
sasi
dan
Koo
rdin
asi
Pere
ncan
aan
yang
Am
anah
[ 4 ]
Pros
es P
enjiw
aan
dan
Peng
haya
tan
Sist
em P
eren
cana
an Is
lam
BAB IV E P I L O G:
“CATATAN PENYIMPUL DAN PENUTUP” Paradigma perencanaan telah menjadi perbincangan banyak pihak
Masyarakat luas di Indonesia termasuk para ahli perencanaan dewasa ini tengah
berusaha mencari dan menunggu lahirnya paradigma baru dalam dunia
perencanaan. Hasilnya nanti diharapkan dapat dijadikan sebagai alternatif dalam
proses perencanaan masa mendatang. Berharap dengan paradigma proses
perencanaan yang terlahir nanti dapat mengembalikan hakekat perencanaan.
Melihat berbagai fenomena dan problematika yang terjadi di Indonesia
mengenai perencanaan yang terealisasi dengan pembangunan, ternyata dari
hasil telaah dan studi mengenai hal tersebut dapat dikatakan perlu suatu
perubahan yang mendasar dalam proses perencanaan di Indonesia.
Terdistorsinya sebuah perencanaan dengan praktek pembangunan oleh paham
barat, khususnya paham positivisme yang mengusung filsafat materialisme,
menyadarkan penulis untuk mencari solusi yang tepat untuk dijadikan sebagai
alternatif pilihan sebuah paradigma proses perencanaan.
Islam yang dijadikan sebagai pondasi dalam proses kontruksi paradigma,
karena Islam secara nyata dapat dikatakan sebagai agama yang bertujuan untuk
kemashlahatan seluruh semesta (rahmatan lil alamin) dan berpusat pada Tuhan
(Teosentris) yakni Allah SWT, dirasakan tepat untuk dijadikan pedoman
paradigma perencanaan. Alasan tersebut yang menjadikan Teori Gerak
Substansi dari filosof Islam Mulla Shadra dengan Konsep Kearifan Puncak
sebagai dasar penentuan sistem nilai dalam paradigma perencanaan Teosentris.
Melalui proses transformasi analogi, mentransformasikan ajaran normatif agama
untuk dijadikan sebagai aktualisasi dalam ilmu sosial, merupakan sebuah
tahapan yang mesti dilalui. Kemudian hasil dari transformasi tadi di
aktualisasikan dalam sebuah konteks perencanaan. Keluaran yang didapatkan
nantinya merupakan sebuah paradigma perencanaan Islam yang berbasis Teori
Gerak Substansi oleh Mulla Shadra. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam
epilog dibawah ini yang merupakan runtutan terlahirnya sebuah paradigma
alternatif dalam proses perencanaan di Indonesia kelak.
156
4.1 Dampak Positivisme: “Sebuah Krisis Perencanaan” Positivistme adalah aliran filsafat yang berakar pada tradisi ilmu sosial
yang dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam menguasai benda, yakni
dengan kepercayaan adanya universalisme dan generalisasi, melalui metode
determinasi, atau kumpulan hukum teori. Positivistme yang mengusung konsep
berpengetahuan hanya melalui inderawi sebagai sumber pengetahuan satu-
satunya dan tidak mengakui adanya Tuhan (Bebas Nilai / Humanisme Atheis),
merupakan faham yang merebak pada ilmu pengetahuan yang ada.
Dibalik semua penjelasan secara sekilas diatas tentang paham
positivisme tersebut, ketika membandingkannya dengan permasalahan yang
umumnya terjadi dalam perencanaan pembangunan di Indonesia dari awal 1970
sampai dengan saat ini, terdapat beberapa kesamaan didalamnya.
Permasalahan yang kerap terjadi, seperti: degradasi lingkungan, kesenjangan
sosial, kerentanan kemiskinan, industrialisasi, demokrasi yang tidak berjalan dan
pemisahan antara bottom up planning dan top down plannning, sangat
berhubungan dengan penerapan paham positivistme dalam perencanaan di
Indonesia. Terdapat beberapa inti hal keterkaitan antara proses perencanaan
Indonesia dan positivisme:
1. Perhatian perencanaan pembangunan yang berorientasi pada fisik.
Terjadinya kesenjangan sosial dan kemiskinan disinyalir akibat dari
konsentrasi pada perencanaan fisik yang berlebihan. Ketidakmerataan
aspek pembangunan menjadi bukti nyata adanya sentralisasi sektoral
yang partial dalam pembangunan akibat dari pembangunan fisik.
2. Ekploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya alam yang berlebihan
untuk mendukung kegiatan ekonomi yang merupakan hasil dari
merebaknya paham kapitalisme. Era globalisasi membawa Indonesia
pada proses industrisialisasi besar-besaran. Akibatnya degaradasi
lingkungan tak terelakan lagi.
3. Proses demokrasi yang tidak berjalan sepenuhnya di Indonesia, karena
anggapan bebas nilai dan menhilangkan pluralitas dari positivisme.
Kekuatan pilitik yang berkuasa menjadi penentu kebijakan yang palin
dominan.
157
4.2 Urgensi dalam Proses Perencanaan di Indonesia: “Jalan menuju
Perubahan” Bangunan teori perencanaan khususnya sistem perencanaan
pembangunan yang diajarkan pada dunia akademis maupun pada praktek
perencanaan di Indmnesia masih berorientasi pada pengetahuan dari barat.
Sebagaimana diketahui bahwa teori tersebut bersumber pada paradigma
antroporosentris (manusia sebagai pusat) yang lebih berorientasi pada akar
filsafat positivisme maupun empirisisme. Sistem perencanaan pembangunan
yang diimplementasikan menunjukkan belum mampu memberikan hasil
pembangunan yang berkeadilan bagi seluruh masyarakat. Indikator kegagalan
pembangunan dapat dilihat dari masih tingginya angka kemiskinan, eksploitasi
sumber daya alam yang berlebihan, dan sebagainya.
Konsep Islam berupaya menciptakan masyarakat tauhidi, yaitu suatu
tatanan kemasyarakatan yang berdasarkan kepada nilai-nilai TauhiduLLah serta
bermuara kepada terciptanya masyarakat madani, terlepas dari berbagai
perbudakan termasuk perbudakann terhadap hawa nafsu sendiri, lingkungan
masyarakat, orang lain dan yang terpenting, perbudakan dalam keyakinan dan
peribadatan selain kepada (Allah SWT).
Membangun sistem proses perencanaan pembangunan alternatif yang
berorientasi pada pengetahuan dari timur (filsafat Islam) menjadi tantangan bagi
peneliti. Pada tahap awal akan dilakukan kajian teoritik yang memfokuskan pada
kajian Teosentris. Mulla Shadra sebagai filosof dengan pemikirannya tentang
kebenaran mistisme hasil pengetahuan intuisi secara esensi adalah identik
dengan kebenaran intelektual, dan pengalaman mistis pada dasarnya adalah
pengalaman kognitif, tetapi kebenaran pengetahuan intelektual dan muatan
kognitif (kesadaran yang utama) ini harus “dihayati” jika ingin diketahui secara
seutuhnya.
Salah satu pikiran yang cukup penting yang akan dijadikan pedoman
ialah tentang Gerak Substansif (Al-Harakah Al-jauhariyyah) yang memuat
tentang, menempatkan seluruh bidang wujud dalam gerak yang terus menerus
dengan mengetakan bahwa gerak tidak hanya terjadi pada kualitas-kualitas
sesuatu, tetapi juga pada substansinya.
158
4.3 Teori Gerak Substansi: “Terlahirnya Paradigma Alternatif” Pemikiran Mulla Shadra tentang Teori Gerak Substansi melahirkan
konsep “Kearifan Puncak” menyebutkan beberapa tahapan menuju sebuah
keyakinan keimanan kepada Allah SWT. Dalam hal ini penulis memandang
sebagai suatu proses yang bersifat transendental. Diawali dengan mempelajari
filsafat-filsafat yang mendahuluinya, kemudian menggabungkan pemikiran-
pemikiran ‘irfan dan pandangan-pandangan keagamaan. Cara berfikir inilah yang
dinamakan sebagai suatu paradigma Islam.
Pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan yang
berdasarkan paradigma Al Quran jelas akan memperkaya khazanah ilmu
pengetahuan umat manusia. Struktur transendental Al Quran adalah sebuah ide
normatif dan filosofis yang dirumuskan menjadi paradigma teoretis. Dengan
melakukan hal tersebut kita telah melakukan aktualisasi misi manusia dimuka
bumi sebagai khalifah di muka bumi dengan tujuan kemaslahatan bagi umat
manusia. Mulla Shadra menyusun topik-topik filosofis mengenai jalan rasional
dan intelektual dengan cara menyerupai kaum ‘urafa berkeyakinan bahwa
seseorang pengembara akan menempuh empat perjalanan “Kearifan Puncak”.
Melalui metode pendekatan Transformasi yang digunakan untuk
mengubah teori-teori yang bersifat normatif dalam sains Islam kedalam suatu
nilai-nilai yang lebih objektif dan real. Munculah gagasan tentang penentuan
sistem nilai untuk proses perencanaan yang berbasis Teori Gerak Sustansi
dengan konsep Kearifan Puncak dari Mulla Shadra.
proses perencanaan Islam yang berbasis Teori gerak substansi.
Penentuan sistem nilai tersebut dilanjutkan dengan memasukannya dan proses
aktualisasi dalam konteks perencanaan. Sebelum masuk kedalam aktualisasi
sitem nilai, terlebih dahulu ditentukan hasil transformasi proses perencanaan
Islam yang berbasis Teori gerak substansi, yaitu:
• Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika
• Proses Politis & Advokasi dalam Sistem Pemerintah yang Berkeadilan
• Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan yang Amanah
• Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem Perencanaan Islam
159
Nilai-nilai yang nantinya terkadung dalam sebuah perencanaan Islami
harus mencakup 3 prinsip utama, yaitu : Keseimbangan, Keteraturan, dan Etika.
Adapun penjabaran dari ketiga prinsip utama diatas dituangkan dalam sistem
nilai, seperti:
1. Keadilan
2. Persamaan
3. Keterbukaan
4. Musyawarah
5. Kepemimpinan
6. Kebenaran dan Kebaikan
7. Tanggungjawab
8. Moralitas
9. Efesiensi dan Efektifitas
10. Pembaharuan
11. Berkelanjutan
12. Koreksi
13. Loyalitas
14. Persaudaraan dan Kebersatuan
15. Melampaui fenomena
Untuk melihat tindakan yang diperlukan dalam melakukan proses
perencanaan Islam, dapat dilihat pada Tabel III.2. Sedangkan untuk bagan alur
aktualisasi proses perencanaan Islam berrbasis Teori Gerak Substansi, dapat
dilihat pada gambar 3.1
160
Tabel 4.1 Perbandingan antara Perencanaan Positivistme
dan Perencanaan Teosentris
Pembanding Perencanaan Positivistme Perencanaan Teosentris
Alat berpengetahuan
Inderawi dan akal
Inderawi, akal, dan hati (wahyu/intuisi)
Sistem nilai Bebas Nilai Islam
Motivasi dan spirit Pertanggungjawaban prosedural
Kemashlahatan bagi semesta
Prioritas utama pembangunan
Perencanaan Fisik (spatial), partial
Perencanaan sosial, marjinal
Prinsip utama Kapitalime dan sosialisme Keseimbangan, keteraturan dan etika
Dasar pemikiran Kuantitatif dan ilmu pasti (eksakta)
Kualitaif dan melampaui fenomena
Konsenrtrasi pembangunan
Sentralisasi (terpusat) pemabngunan
Pemertaaan pembangunan (desentralisasi)
Keberlangsungan program pembangunan Sektoral Holistik (terintegrasi)
Sumber: Hasil Transformasi dalam Konstruksi Paradigma, 2005 Setelah terbentuk suatu sistem proses perencanaan Teosentris seperti
yang telah dikemukan diatas, dapat dilihat persamaan antara ajaran Mulla
Shadra tentang Himah Muta’aliyah tentang struktur realitas yang menyatakan
adanya gradasi eksistensi dengan hasil akhir dari proses perencanaan yang
terakhir yaitu terjadi Garadasi kekuatan (aspirasi dan kewenangan). Maksud dari
gradasi aspirasi ialah aspirasi yang nantinya terimplementasi dalam perencanaan
Teosentris ini hasil dari aspirasi yang sesungguhnya dari realitas yang ada di
masyarakat. “Apa adanya” kondisi dan keinginan masyarakat dapat
tersampaikan pada perencanaan dan dilakukan dalam pembangunan.
Sedangkan gradasi kewenangan diartikan sebagai sebuah “peniadaan’
kepentingan individu atau perorang, namun telah bersatu dengan realitas yang
ada di masyarakat. Semua elemen dalam perencanaan ikut bertanggung jawab
atas keberhasilan perencanaan itu sendiri, tidak ada lagi pelimpahan tanggung
jawab kepada salah satu pihak saja.
Sedangkan sistem model dari perencanaan teosentris yang diusulkan
setelah proses transformasi konsep kearifan puncak tentang teori Gerak
Substansi ialah seperti yang tertuang dalam bagan alur dibawah ini.
161
Gambar 4.1
Model Perencanaan Teosentris
Sumber: Hasil Diskusi, 2005 (Imam Indratno, Ir., MT, Raditya Pamungkas AS)
Dalam model perencanaan teosentris, terdiri dari input, proses, dan
output yang didukung oleh pelaku perencanaan, fokus perencanaan dan
Kebijakan untuk menghasilkan outcome bagi perencanaan.untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada penjelasan sebagai berikut:
Input ialah nilai universal, dalam artian bahwa yang dijadikan pedoman dalam
merencana ialah semangat atau spirit Islam itu sendiri. Nilai universal yang
diajdikan sebagai input ialah nilai yang tidak bertentang dengan Al Quran dan
Al Hadist. Nilai-nilai yang digunakan dan dipakai dalam kehidupan sehari-hari
yang bersifat umum.
Sedangkan proses yang dilakukan ialah gradasi kekuatan (power), kekuatn
sebagi simbol dari sifat Allah SWT. Dalam perencanaan sendiri kekuatan
dijadikan sebagi simbol atas kewenangan dari elemen yang terkait dala
perencanaan, baik itu masyarakat, pemerintah atau stakeholder lainnya. Hal
ini berbeda dengan desentralisasi, karena desentralisasi bersifat pelimpahan
wewenang, namun gradasi kekuatan disini bukan seperti itu. Gradasi
kekuatan lebih kepada dari proses pertama sampai terkahir dalam proses
perencanaan teosentris terjadi sebuah “peniadaan” atau kebersatuan
wewenang seluruh stakeholder dalam perencanaan yang sesuai dengan
fungsi dan tanggungjawabnya.
SIKAP MERENCANA
INPUT Nilai Universal (spirit Islam)
PROSES Gradasi Kekuatan
(power)
OUTPUT Pemenuhan atas
yang “Haq”
PELAKU Seluruh
Stakeholder
FOKUS Sinergitas
perencanaan
KEBIJAKAN
162
Sedang output dari proses tersebut ialah pemenuhan atas yang Haq,
maksudnya ialah menempatkan sesuatu sesuai dengan proporsi yang tepat
yang sejalan dengan prinsip keseimbangan dan keteraturan yang beretika.
Menempatkan peran para pelaku perencanaan sesuai dengan fungsi dan
tanggung jawabnya masing-masing. Jangan sampai dijadikan sebagai
kewenangan sepihak saja.
Pelaku untuk perencanaan teosentris ini ialah seluruh stakeholder yang
berkaitan dengan perencanaan pembangunan, masyarakat, pemerintah,
swasta, LSM.
Adapun fokus dari perencanaan teosentris ini adalah sebuah kebersatuan
yang utuh dari sebuah sinergitas perencanaan. Perencanaan pada proses
sendiri bukan merupakan entitas, namun lebih kepada unitas. Ketika salah
satu proses tidak terjalankan maka proses tersebut tidak lagi dikatakan
sebagai proses perencanaan teosentris lagi.
Kebijakan juga menduduki posisi yang cukup vital dalam mendukung
keberhasilan perencanaan Teosentris. Dukunagn kebijakan pemerintah atas
apa yang dilakukan dalam perencanaan merupakan hal perlu dibicarakan
ditataran pemerintah tanpa menghilangkan peran stakeholder lainnya.
Hasil atau outcome dari semuanya berupa sikap merencana yang terdapat
setiap individu dalam masyarakat dan pemerintah juga stakeholder lainnya.
Sikap merencana disini diartikan sebagai sebuah kesadaran yang penuh dari
keinginan, kemauan, kebutuhan dan keikutsertaan semua komponen
perencanaan dalam melakukan suatu pembangunan.
4.4 Kelemahan dalam Paradigma Proses Perencanaan berbasis Teori
Gerak Substansi Permasalahan yang diperkirakan dapat menjadi duatu kendala dalam
implementasi proses perencanaan Islam berbasis Teori Gerak Substansi ialah
belum ada parameter atau suatu ukuran tertentu untuk membuktikan bahwa
konsep atau model proses perencanaan diatas terimplementasi dengan baik dan
sesuai dengan koridor yang telah ditentukan sebelumnya. Untuk itu perlu studi
lebih lanjut dari konsep atau model proses perencanaan Islam berbasis Teori
Gerak Substansi.
163
4.5 Pra Syarat: ”Masukan menuju Perubahan” Dalam melakukan sebuah konsep perencanaan Islam menjadi
implementasi secara nyata, tentunya harus ada prasyaratnya terlebih dahulu.
Untuk itu beberapa prasyarat penting yang mesti dilakukan ialah: 1. Berniat dalam diri bahwa apa yang dilakukan dalam proses ini, itu semua
hanya karena Allah SWT semata bagi kemashlahatan semesta.
2. Keterkaitan antar satu tahapan dengan tahapan lainnya menjadikan proses
perencanaan Islam berbasis Teori Gerak Substansi tidak dapat dijalankan
terpisah-pisah (harus terintegrasi sebagai sebuah sistem)
3. Tersedianya tenaga ahli di dunia perencanaan yang telah memahami dan
berpengetahuan tentang proses perencanaan Islam berbasis Teori Gerak
Substansi
4. Tidak ada satu pun lapisan penduduk yang dibiarkan tidak terjamah dalam
proses ini, semua sektor penduduk harus diaktifkan untuk melakukan proses
perencanaan ini
5. Sama halnya pemerintah, Tidak ada satu pun elemen pemerintah yang
dibiarkan tidak mengikuti dalam proses ini, semua komponen dan aparat
pemerintah dari tingkat lokal sampai tingkat pusast harus diaktifkan untuk
melakukan proses ini
4.6 Rekomendasi
Studi ini diharapkan mampu menjadi sebuah pilihan atau alternatif
masukan bagi proses perencanaan yang berlangsung di Indonesia pada masa
yang akan datang, untuk itu dibawah ini disebutkan beberapa elemen yang dapat
(insyaAllah) menggunakan hasil studi ini, yaitu:
1. BAPPEDA
2. BAPPENAS
3. Pemerintah Daerah tingkat II, terutama yang telah menetapkan visi dan
misi daerahnya yang berkesesuaian dengan Islam
4. Program studi perencanaan Wilayah dan Kota yang diharapkan mampu
meneruskan studi ini dan sebagai sebuah pendekatan alternatif
disamping pengetahuan tentang proses perencanaa yang telah ada
sebelumnya
164
4.7 Studi Lanjutan: “Kedinamisan Proses Berfikir” Dikarenakan penulisan ini hanya sebuah konsep awal, maka perlu
adanya studi yang lebih dalam mengenai kriteria apa saja yang akan diterapkan
dalam konsep ini dan penetuan sistem penilaian dalam prakteknya. Studi dan
penelitian yang mendalam dalam hal ini sangat dibutuhkan demi terciptanya
perencanaan Islam di Indonesia, dan merupakan suatu bukti dari kedinamisan
berfikir ummat Islam. Untuk itu butuh studi lanjutan megenai:
Pendalaman tentang kriteria yang berkaitan dengan Perencanaan Teosentris
Alat ukur yang digunakan untuk menghitung keberhasilan kinerja dari
perencanaan Teosentris
Verifikasi untuk mengetahui sejauh mana proses perencanaan teosentris ini
dapat dilakukan di sistem perencanaan Indonesia.
.
165
DAFTAR PUSTAKA
1. Afif Muhammad, MA, Dr., (2004), Dari Teologi ke Ideologi, Pena Merah,
Bandung
2. Aiken, Henry D. (2002), Abad Ideologi, Bentang, Yogyakarta.
3. Azharfauzi (1995), Kajian Mengenai Prinsip-Prinsip Metodologi Perencanaan
yang Sesuai dengan Ajaran Islam (Tugas Akhir), Planologi Unisba, Bandung.
4. Bagus, Lorenz (1996), Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
5. Camhis, Marios (1979), Planning Theory and Philosophy, Travistok
Publications, London & New York.
6. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1991), Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka.
7. F. Budi Hadirman, (2003), Melampaui Positivisme dan Modernitas, Pustaka
Filsafat, Yogyakarta.
8. F. Budi Hardiman, (2003), Kritik Ideologi ‘Menyingkap Kepentingan
Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas’, Buku Baik, Yogyakarta.
9. Friedmann, John (1987), Planning in The Public Domain, Princeton University
Press, Princeton New Jersey.
10. Husein Shahab, (2000), Kuliah-Kuliah Tasawuf “Mazhab Tasawuf Persepektif
Ahlul Bait”, Pustaka Hidayah, Bandung.
11. I. Bambang Sugiharto, (1996), Postmodenisme “Tantangan Bagi Filsafat”,
Pustaka Filsafat, Yogyakarta.
12. Kuntowijoyo, Dr. (1991), Paradigma Islam “Interpretasi Untuk Aksi”, Mizan,
Bandung.
13. Leaman, Oliver (2001), Pengantar Filsafat Islam “Sebuah Pendekatan
Tematis”, Mizan, Bandung.
14. M. Ag Radliyah Khuza’i, Dra. (2003), Disertasi “Epistemologi Mohammad
Iqbal dan Charles S. Peirce”. Yogyakarta.
15. Mansour Fakih, (2002), Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
16. Muhammad Baqir Ash Shadr, (1993), Falsafatuna, Mizan, Bandung
17. Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, (2003), Buku Daras Filsafat Islam, Mizan,
Bandung.
18. Musa Asy’arie, (2002), Filsafat Islam ‘Sunnah Nabi dalam Berfikir’, LESFI,
Yogyakarta.
166
19. Muthahhari, Murtadha (2002), Pengantar pemikiran Shadra ‘Filsafat Hikmah’,
Mizan, Bandung.
20. Rahman, Fazlur (2000), Filsafat Shadra, Penerbit Pustaka, Bandung.
21. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 5 tahun 1974 Tentang Pokok-pokok
Pemerintah di Daerah
22. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 22 tahun 1999 Tentang Otonomi
Daerah
23. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 24 tahun 1992 Tentang Penataan
Ruang
24. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 25 tahun 2004 Tentang Penataan
Ruang
25. Ruchyat Deni (2002), Pergerseran Pendekatan dalam Perencanaan
Pengembangan Wilayah/ Kawasan di Indonesia, Dep. Teknik Planologi ITB,
Bandung.
26. Russell, Bertrand (2002), Sejarah Filsafat Barat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
27. UNISBA, LPPM (2000/ No. 4), Mimbar (Jurnal Sosial dan Pembangunan),
P2U, Bandung
28. UNISBA, LPPM (2002/ No. 3), Mimbar (Jurnal Sosial dan Pembangunan),
P2U, Bandung
29. UNISBA, LPPM (2003/ No. 3), Mimbar (Jurnal Sosial dan Pembangunan),
P2U, Bandung
30. UNISBA, LPPM (2003/ No. 4), Mimbar (Jurnal Sosial dan Pembangunan),
P2U, Bandung
31. Zainuddin Maliki, (2003), Narasi Agung ‘Teori-teori Sosial Hegemoni’,
Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LPAM), Surabaya.
Top Related