www.futurumcorfinan.com
Page 1
Transfer Pricing: Suatu Pemahaman Awal
Pendahuluan
Permasalahan transfer pricing dalam konteks prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, tidak
dapat selalu dikaitkan dengan kejahatan perpajakan (tax fraud) atau penghindaran pajak
(tax avoidance), walaupun bisa ‘dimanfaatkan’ untuk tujuan demikian. Permasalahan
transfer pricing sejatinya berupaya mencermati transaksi yang terjadi antar pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa dan berupaya mencari cara untuk mencegah munculnya
distorsi atas pendapatan pajak dari transaksi yang dilakukan pihak-pihak tersebut.
Permasalahan penetapan atau penentuan harga transfer (transfer pricing) awalnya diangkat
di Pasal 9 OECD Model Tax Convention on Income and on Capital tahun 20101. Dalam
klausul ini, isu transfer pricing dikaitkan langsung dengan transaksi-transaksi yang terjadi
antara pihak-pihak terasosiasi2.
1 OECD Model Tax Convention on Income and on Capital (Condensed Version), 22 Juli 2010,
halaman 27 dan 28. Dapat diunduh dari http://www.oecd.org/document/37/0,3746,en_2649_33747_1913957_1_1_1_1,00.html. 2 Transfer Pricing Guidelines menggunakan istilah associated enterprises dan bukan related parties.
Sukarnen
DILARANG MENG-COPY, MENYALIN,
ATAU MENDISTRIBUSIKAN
SEBAGIAN ATAU SELURUH TULISAN
INI TANPA PERSETUJUAN TERTULIS
DARI PENULIS
Untuk pertanyaan atau komentar bisa
diposting melalui website
www.futurumcorfinan.com
www.futurumcorfinan.com
Page 2
Sementara, peraturan perpajakan di Indonesia mengaitkan transfer pricing dengan
transaksi-transaksi yang terjadi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dan
transaksi-transaksi tersebut menimbulkan hubungan komersial atau keuangan antara pihak-
pihak terkait. Pasal 1 ayat (8) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ./2010
yang diubah terakhir dengan PER-32/PJ./2011, mendefinisikan penentuan harga transfer
(transfer pricing) sebagai “penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa”.
Penjelasan mengenai hubungan istimewa dalam Undang-Undang perpajakan Indonesia,
diatur di dua pasal pada dua Undang-Undang pajak terkait. Pertama, di Pasal 18 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh). Berikut ini petikannya:
“Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (3d), Pasal
9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah
25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak
dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak
atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di
bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
c. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan
lurus dan/atau ke samping satu derajat.”
Kedua, Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Berikut ini petikannya:
“Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap ada apabila:
a. Dua atau lebih Pengusaha, langsung atau tidak langsung berada di bawah pemilikan
atau penguasaan Pengusaha yang sama, atau
b. Pengusaha yang satu menyertakan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau
lebih dari jumlah modal pada Pengusaha yang lain, atau hubungan antara Pengusaha
yang menyertakan modalnya sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada dua
pihak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua pihak atau lebih yang disebut
terakhir.”
Bandingkan definisi pihak-pihak berelasi atau pihak mempunyai hubungan istimewa yang
diatur dalam regulasi perpajakan dengan definisi yang diatur dalam PSAK No. 7 (revisi
www.futurumcorfinan.com
Page 3
2010) tentang Pengungkapan Pihak-Pihak Berelasi3. Pada paragraf 9 dari PSAK No. 7
(revisi 2010) ini pihak-pihak berelasi didefinisikan sebagai:
“Orang atau entitas yang terkait dengan entitas tertentu dalam menyiapkan laporan
keuangannya (dalam pernyataan ini dirujuk sebagai “entitas pelapor”), yaitu:
(a) Orang atau anggota keluarga terdekat terkait entitas pelapor jika orang tersebut:
(i) Memiliki pengendalian atau pengendalian bersama atas entitas pelapor;
(ii) Memiliki pengaruh signifikan terhadap entitas pelapor; atau
(iii) Personal manajemen kunci entitas pelapor atau entitas induk entitas pelapor.
(b) Suatu entitas terkait dengan entitas pelapor jika memenuhi salah satu hal berikut;
(i) Entitas dan entitas pelapor adalah anggota dari kelompok usaha yang sama
(artinya entitas induk, entitas anak dan entitas anak berikutnya terkait dengan
entitas lain).
(ii) Satu entitas adalah entitas asosiasi atau ventura bersama bagi entitas lain (atau
entitas asosiasi atau ventura bersama yang merupakan anggota suatu kelompok
usaha, di mana entitas lain tersebut adalah anggotanya).
(iii) Kedua entitas tersebut adalah ventura bersama dari pihak ketiga yang sama.
(iv) Satu entitas adalah ventura bersama dari entitas ketiga dan entitas yang lain
adalah entitas asosiasi dari entitas ketiga.
(v) Entitas tersebut adalah suatu program imbalan kerja untuk imbalan kerja dari
salah satu entitas pelapor atau entitas yang terkait dengan entitas pelapor. Jika
entitas pelapor adalah entitas yang menyelenggarakan program tersebut, entitas
sponsor juga terkait dengan entitas pelapor.
(vi) Entitas yang dikendalikan atau dikendalikan bersama oleh orang yang
diidentifikasi dalam butir (a).
(vii) Orang yang diidentifikasi dalam butir (a) (i) memiliki pengaruh signifikan terhadap
entitas atau anggota manajemen kunci entitas (atau entitas induk dari entitas).”
Sementara, paragraf 11 PSAK 7 (revisi 2010) menyebutkan bahwa pihak-pihak berikut
bukan sebagai pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa:
a. Dua entitas hanya karena mereka memiliki direktur atau anggota manajemen
kunci yang sama, atau karena anggota dari manajemen kunci dari satu entitas
mempunyai pengaruh signifikan terhadap entitas lain.
b. Dua venturer hanya karena mereka mengendalikan bersama atas ventura bersama.
c. (i) penyandang dana,
(ii) serikat dagang,
3 Isi PSAK No. 7 (revisi 2010) sudah mengadopsi International Accounting Standard 24 (2009):
Related Party Disclosures.
www.futurumcorfinan.com
Page 4
(iii) entitas pelayanan publik, dan
(iv) departemen dan instansi pemerintah yang tidak mengendalikan, mengendalikan
bersama atau memiliki pengaruh signifikan terhadap entitas pelapor, semata-
mata dalam pelaksanaan urusan normal dengan entitas pelapor (meskipun
pihak-pihak tersebut dapat membatasi kebebasan suatu entitas atau ikut serta
dalam proses pengambilan keputusan).
d. Pelanggan, pemasok, pemegang hak waralaba (franchise), distributor, atau
perwakilan/agen umum dengan siapa entitas mengadakan transaksi usaha
dengan volume signifikan, semata-mata karena ketergantungan ekonomis
yang diakibatkan oleh keadaan.
Yang menarik tentunya, apakah pihak-pihak di atas yang dikecualikan dari pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa dalam konteks PSAK, dapat pula tidak diakui dalam konteks
pajak?
Hubungan Istimewa dalam Bingkai OECD Tax Convention
Seperti telah disebutkan di atas, transfer pricing adalah transaksi antara pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa. Siapakah yang dimaksud dengan pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa dalam konteks transfer pricing menurut OECD?
Dalam Pasal 9.1 OECD Tax Convention selengkapnya disebutkan bahwa suatu pihak
disebut mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lainnya dalam konteks transfer pricing
apabila:
“Where
a) an enterprise of a Contracting State participates directly or indirectly in the
management, control or capital of an enterprise of the other Contracting State, or
b) the same persons participate directly or indirectly in the management, control or
capital of an enterprise of a Contracting State and an enterprise of the other Contracting
State,”
Pasal 3 ayat (1d) OECD Tax Convention menjelaskan bahwa:
The terms “enterprise of a Contracting State” and “enterprise of the other Contracting State”
mean respectively an enterprise carried on by a resident of a Contracting State and an
enterprise carried on by a resident of the other Contracting State;
Dari bacaan di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan istimewa tersebut dikaitkan
dengan adanya keterlibatan baik langsung atau tidak langsung, suatu perusahaan atau
www.futurumcorfinan.com
Page 5
individual (atau kelompok individual) dalam manajemen, pengendalian atau permodalan
pada pihak lainnya4, dan pihak-pihak tersebut merupakan penduduk dari negara yang
berbeda. Namun tentunya, yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah seberapa jauh atau
seberapa besar derajat keterlibatan suatu pihak dalam manajemen, pengendalian atau
permodalan pada pihak lainnya?
Ayat (1) Bagian Komentari Artikel 9 OECD Tax Convention (hal. 181) menyebutkan bahwa
yang dimaksud dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut adalah:
antara perusahaan induk dengan perusahaan anak (parent and subsidiary companies),
dan
antar pihak-pihak yang berada dalam pengendalian bersama (companies under common
control)5.
Tentunya, Pasal 9 ayat (1) di atas dari OECD Tax Convention tidak berhenti hanya pada
definisi pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (associated enterprises), tapi lebih
jauh menyebutkan bahwa:
… and in either case conditions are made or imposed between the two
enterprises in their commercial or financial relations which differ from those
which would be made between independent enterprises, then any profits
which would, but for those conditions, have accrued to one of the enterprises,
4 Kekhususan dari adanya hubungan istimewa tersebut juga diakui dalam PSAK 7 (revisi 2010) terkait
tujuan pengungkapan pihak-pihak berelasi, walaupun hubungan dengan pihak-pihak berelasi merupakan suatu karakteristik (feature) normal dari perdagangan dan bisnis (paragraf 05). Namun karena kegiatan bisnis mereka dilaksanakan melalui entitas anak, ventura bersama dan entitas asosiasi, disimpulkan oleh para akuntan bahwa entitas memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan keuangan dan operasi investee melalui pengendalian, pengendalian bersama atau pengaruh signifikan (paragraf 05), di mana suatu hubungan dengan pihak-pihak berelasi tersebut dapat berpengaruh terhadap laba atau rugi dan posisi keuangan entitas. Pihak-pihak berelasi dapat menyepakati transaksi di mana pihak-pihak yang tidak berelasi tidak dapat melakukannya. Misalnya, entitas yang menjual barang kepada entitas induknya pada harga perolehan, mungkin tidak menjual dengan persyaratan tersebut kepada pelanggan lain. Selain itu, transaksi antara pihak-pihak berelasi mungkin tidak dilakukan dalam jumlah yang sama, seperti dengan pihak-pihak yang tidak berelasi (paragraf 06).
5OECD Tax Convention tidak memberikan definisi atau menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan
pihak-pihak dalam pengendalian bersama. Apabila mengacu ke PSAK No. 38 (revisi 2004) tentang Akuntansi Restrukturisasi Entitas Sepengendali paragraf 06 disebutkan bahwa entitas sepengendali (under common control) adalah pihak (perorangan, perusahaan, atau bentuk entitas lainnya) yang secara langsung atau tidak langsung (melalui satu atau lebih perantara), mengendalikan atau dikendalikan oleh atau berada di bawah pengendalian yang sama. Namun, belum jelas apakah definisi PSAK No. 38 (revisi 2004) dapat diterima dalam konteks transfer pricing, walaupun bisa jadi diterapkan terkait dengan Penjelasan Pasal 28 ayat (7) paragraf terakhir UU KUP dimana disebutkan bahwa:
Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain.
www.futurumcorfinan.com
Page 6
but, by reason of those conditions, have not so accrued, may be included in
the profits of that enterprise and taxed accordingly.
Jadi, dapat ditengarai bahwa karena transaksi-transaksi yang menimbulkan hubungan
komersial atau keuangan terjadi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa,
maka besar kemungkinan ada kondisi-kondisi yang tidak didapatkan pada transaksi lainnya
kalau transaksi tersebut terjadi antar pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa.
Jadi, adanya hubungan istimewa tersebut patut diduga akan memengaruhi kondisi-kondisi
yang terkandung dalam transaksi tersebut. Tidak dijelaskan lebih lanjut, apa yang dimaksud
dengan kondisi-kondisi tersebut, namun kalimat dalam paragraf di atas menyiratkan bahwa
kondisi tersebut bagaimanapun ujung-ujungnya akan mempengaruhi laba (profits) yang
dibukukan oleh kedua belah pihak yang bertransaksi, terlepas apakah laba tersebut
dibukukan pada tahun terjadinya transaksi atau pada tahun-tahun berikutnya sesudah
terjadinya transaksi. Yang ditekankan bahwa kondisi tersebut memengaruhi jumlah laba
pada akhirnya (catatan: menurut penulis, tentunya yang dimaksudkan adalah penghasilan
kena pajak), di mana bisa saja pada awalnya ia memengaruhi laba melalui penentuan harga
jual atau nilai penggantian, tingkat bunga yang dibebankan, tarif royalti, dan sebagainya6.
Bagian komentar atas Artikel 9 menyebutkan bahwa kehadiran Artikel 9 OECD Tax
Convention (hal. 181) adalah terkait dapat dilakukannya, untuk tujuan perpajakan,
penyesuaian atas laba yang telah diakui oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa tersebut di mana laba tersebut timbul dari transaksi-transaksi yang terjadi antara
pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, suatu tingkat laba yang tidak terjadi atau
yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length
terms)7.
Namanya laba tentunya timbul dari suatu transaksi, dan transaksi apa-apa saja yang
dicakup dalam paragraf di atas, tentunya tidak bisa terlepas dari isi Bab III “Taxation of
Income” dan Bab IV “Taxation of Capital” dari OECD Tax Convention, yang mencakup
antara lain laba dari properti tidak bergerak (artikel 6), laba usaha (artikel 7), bunga (artikel
11), royalti (artikel 12), laba dari penjualan aset (artikel 13), dan laba dari hubungan kerja
(artikel 15).
6 Lihat ilustrasi dalam “Tricky Tax: Transfer Pricing”, dapat diunduh dari
http://www.taxjustice.net/cms/upload/pdf/Tricky_Tax.pdf. 7PER-43/PJ/2010 dan perubahannya PER-32/PJ/2011 menggunakan istilah Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha sebagai terjemahan prinsip Arm’s Length.
www.futurumcorfinan.com
Page 7
Ruang Lingkup Pengaturan Transfer Pricing
Pasal 2 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/20108, memerinci
transaksi yang dilakukan Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa, di mana transaksi-transaksi ini dapat mengakibatkan pelaporan jumlah
penghasilan dan pengurangan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi
Wajib Pajak tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Sejumlah
transaksi tersebut antara lain:
a. Penjualan, pengalihan, pembelian atau perolehan barang berwujud maupun barang
tidak berwujud;
b. Sewa, royalti, atau imbalan lain yang timbul akibat penyediaan atau pemanfaatan harta
berwujud maupun harta tidak berwujud;
c. Penghasilan atau pengeluaran sehubungan dengan penyerahan atau pemanfaatan jasa;
d. Alokasi biaya; dan
e. Penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrumen keuangan, dan penghasilan
atau pengeluaran yang timbul akibat penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk
instrumen keuangan dimaksud.
Dalam perkembangan selanjutnya, PER-43/PJ/2010 diubah dengan PER-32/PJ/2011. Di
Pasal 2 ayat (2) PER-32/PJ/2011 justru sudah tidak lagi memberikan rincian transaksi-
transaksi apa saja yang dimaksudkan dalam konteks transfer pricing. Bunyi Pasal 2 ayat (2)
di atas diubah menjadi:
“Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa yang merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap
di Indonesia, Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini hanya berlaku untuk transaksi yang
dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk
memanfaatkan perbedaan tarif pajak yang disebabkan antara lain:
a. perlakuan pengenaan Pajak Penghasilan final atau tidak final pada sektor usaha
tertentu;
b. perlakuan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; atau
c. transaksi yang dilakukan dengan Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas.”
Dirjen Pajak tampaknya hanya melihat pada transaksi-transaksi di mana terdapat motivasi
untuk memanfaatkan perbedaan tarif pajak, sesuatu yang justru tidak disebutkan dalam
8 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran
dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, tertanggal 6 September 2010
www.futurumcorfinan.com
Page 8
Artikel 9 dari 2010 OECD Tax Convention. Artikel 9 dari OECD Tax Convention justru lebih
menekankan adanya kondisi-kondisi dalam hubungan komersial atau keuangan yang timbul
dari transaksi di mana adanya hubungan istimewa mempengaruhi kondisi-kondisi tersebut,
kondisi-kondisi mana tidak akan ada kalau tidak ada hubungan istimewa tersebut, ini pun
dengan catatan bahwa kondisi-kondisi tersebut mempengaruhi laba dari salah satu atau
kedua belah pihak, yang menjadi objek pemajakan oleh otoritas perpajakan masing-masing
negara. Jadi titik beratnya, apakah transaksi tersebut dilakukan berdasarkan prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha, terlepas apakah ada perbedaan tarif pajak atau tidak antar
negara.
OECD justru berpendapat bahwa penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha tidak
hanya digunakan pada transaksi antar pihak yang mempunyai hubungan istimewa, terjadi di
negara dengan tarif pajak yang lebih tinggi atau lebih rendah. Adanya perbedaan tarif pajak
dengan tarif pajak pihak yang mempunyai hubungan istimewa dapat dianggap sebagai
bagian dari penilaian resiko yang akan dilakukan oleh pihak otoritas perpajakan pada saat
memutuskan kasus pajak mana yang akan diperiksa, dan bukan sebagai suatu unsur yang
akan mengakibatkan penerapan berbeda dari prinsip kewajaran dan kelaziman usaha9. Di
samping itu, konsep transfer pricing sendiri bersifat netral, sehingga dalam penerapannya
juga tentunya bersifat netral10.
Lebih lanjut, Artikel 9 ayat (2) OECD Tax Convention (hal. 28) menyebutkan bahwa:
Where a Contracting State includes in the profits of an enterprise of that
State—and taxes accordingly—profits on which an enterprise of the other
Contracting State has been charged to tax in that other State and the profits
so included are profits which would have accrued to the enterprise of the first-
mentioned State if the conditions made between the two enterprises had
been those which would have been between independent enterprises,
then that other State shall make an appropriate adjustment to the amount of
the tax charged therein on those profits. In determining such adjustment, due
regard shall be had to the other provisions of this Convention and the
9 OECD. Transfer Pricing and Intangibles: Scope of the OECD Project. 25 Januari 2011.Halaman 5
paragraf 22. 10
Lihat INTM460140 - Transfer Pricing: a Practical Guide to Enquiries - Introduction: What is Transfer Pricing? Dari http://www.hmrc.gov.uk/manuals/intmanual/intm460140.htm. Konsep yang sama digunakan untuk mengelaborasi lebih lanjut revisi atas Bab VI TGP “Special Considerations for Intangible Property” sebagaimana tertuang dalam “Discussion Draft: Revision of the Special Considerations for Intangibles in Chapter VI of the OECD Transfer Pricing Guidelines and Related Provisions” terbitan OECD pada pertengahan tahun 2012. Dapat diunduh dari www.oecd.org/dataoecd/39/61/50526258.pdf.
www.futurumcorfinan.com
Page 9
competent authorities of the Contracting States shall if necessary consult
each other.
Dalam konteks Artikel 9 ayat (2) di atas inilah diperlukan metodologi bagaimana melakukan
identifikasi dan menyimpulkan bahwa transaksi-transaksi antara pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa (yang umum dikenal sebagai “controlled transactions”) tidak
dilakukan berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, dan kalau memang telah
terjadi transaksi demikian, maka bagaimana melakukan penyesuaian atas laba yang timbul
dari transaksi tersebut.
Dari paragraf di atas, dapat diketahui bahwa untuk menentukan suatu transaksi dilakukan
berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atau tidak, maka prinsip Arm’s Length
menjadi krusial. Dengan kata lain, prinsip Arm’s Length menjadi jangkar (anchor) dari
keseluruhan isu transfer pricing. Bab 1 TPG khusus didedikasikan untuk pembahasan
prinsip Arm’s Length, suatu standar transfer pricing internasional yang memperoleh
persetujuan dari negara-negara anggota OECD untuk dipergunakan untuk tujuan
perpajakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional dan aparatur perpajakan (paragraf
1.1 TPG)11.
Transfer Pricing = Tax Fraud?
Apabila dibaca kembali Artikel 9 dari OECD Tax Convention, maka dapat dikatakan bahwa
permasalahan transfer pricing dalam konteks prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, tidak
dapat selalu dikaitkan dengan kejahatan perpajakan (tax fraud) atau penghindaran pajak
(tax avoidance)12, walaupun memang bisa saja kebijakan transfer pricing ‘dimanfaatkan’
untuk tujuan demikian. Menurut penulis, juga tidak tepat, apabila kebijakan transfer pricing
hanya dikaitkan dengan pemanfaatan perbedaan tarif, sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 2 ayat (2) PER-32/PJ/2011.
Isu transfer pricing hanya terkait kalau kondisi-kondisi tersebut dalam transaksi antara pihak-
pihak yang mempunyai hubungan istimewa tidak mencerminkan kekuatan pasar (dan
dengan demikian tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha). TITIK.
11
Pembaca yang tertarik mengenai prinsip arm’s length dan penerapannya dapat membaca lebih lanjut “Transfer Pricing and Other Provisions to Check Avoidance of Tax” terbitan The Institute of Chartered Accountants of India. Dapat diunduh dari http://220.227.161.86/18892sm_dtl_finalnew_cp16.pdf. 12
Pembaca yang berminat dapat membaca tulisan Eric J. Bartelsman dan Roel M. W.J. Beetsma.Why Pay More? Corporate Tax Avoidance through Transfer Pricing in OECD Countries. Desember 2001. Dapat diunduh dari http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=258937. Di samping itu, di website Bloomberg dan The Guardian dapat ditemukan cerita-cerita bagaimana perusahaan-perusahaan multinasional berhasil dalam meminimumkan pajak dalam negara-negara di mana mereka melakukan kegiatan usaha.
www.futurumcorfinan.com
Page 10
Terlepas apapun motivasinya, dan apakah objek yang dibicarakan sesuai atau sejalan
dengan pemahaman akuntan, penilai, dan lain-lain.
TPG mengambil pemahaman bahwa apabila transfer pricing tidak mencerminkan kekuatan
pasar (dan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha), maka utang pajak dari perusahaan-
perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa tersebut dan pendapatan pajak dari
negara-negara tuan rumah perusahaan-perusahaan tersebut akan dapat terdistorsi. Oleh
karena itulah, untuk tujuan perpajakan, laba dari perusahaan-perusahaan yang mempunyai
hubungan istimewa tersebut dapat disesuaikan guna mengoreksi distorsi apapun dan
memastikan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dapat dipenuhi (paragraf 1.3 TPG). Di
sini, pihak otoritas perpajakan dimungkinkan untuk melakukan koreksi, atau dalam
Komentari Artikel 9 dari OECD Tax Convention (hal. 181 dan 182), menggunakan kata “re-
writing of the accounts of associated enterprises” (terjemahan lepas: menulis kembali akun-
akun dari perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa). Dengan kata lain,
penyesuaian atau “re-writing” tersebut tidak diperbolehkan kalau transaksi-transaksi antara
perusahaan-perusahaan tersebut telah terjadi berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman
usaha13.
Distorsi yang dimaksud di atas tentunya datang dari berbagai faktor, mengingat level
operasional suatu perusahaan multinasional adalah sedemikian kompleks, sehingga
pertimbangan pajak hanya akan menjadi salah satu faktor di dalamnya14.
TPG paragraf 1.4 mengakui adanya faktor-faktor di luar pertimbangan pajak yang mungkin
saja memberikan kontribusi [signifikan] terhadap timbulnya distorsi tersebut, faktor regulasi
pemerintah terkait penentuan nilai ekspor-impor (customs valuations), bea anti-dumping,
dan bahkan kontrol atas mata uang dan harga, maupun yang bersifat non-pemerintah, yaitu
yang datang dari kebutuhan arus kas setiap perusahaan yang tergabung dalam suatu
kelompok usaha multinasional, yang tentunya beroperasi di berbagai negara, termasuk juga
kalau perusahaan tersebut merupakan perusahaan publik yang tentunya dituntut
menunjukkan kinerja laba yang tinggi. Namun tampaknya, TPG tidak membedakan dari
mana datangnya distorsi tersebut dan dampaknya terhadap kondisi dalam hubungan
komersial atau keuangan untuk transaksi yang terjadi antar pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa. Yang penting, sudah terjadi distorsi yang mempengaruhi transfer
13
Komentari Artikel 9 paragraf 1 OECD Tax Convention (hal. 181) menggunakan kalimat “normal open market commercial terms (on an arm’s length basis)” –walaupun dalam catatan penulis, tanpa penjelasan lebih lanjut dengan apa yang dimaksudkan dengan kalimat tersebut, memberikan interpretasi yang terlalu luas. 14
Anthony, Robert N. dan Vijay Govindaran. Management Control Systems. New York: McGraw-Hill, 2003. Edisi ke-11. Hal. 757. Faktor lainnya adalah peraturan pemerintah, tarif impor atau ekspor, kontrol mata uang, akumulasi dana dalam suatu negara tertentu, pembentukan ventura bersama (joint ventures).
www.futurumcorfinan.com
Page 11
pricing dan ujung-ujungnya memengaruhi (baca: mendistorsi) laba dari perusahaan-
perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa tersebut.
Berarti di sini ada 2 (dua) isu yang dapat dibicarakan:
1. Bagaimana mengetahui atau mengidentifikasi kondisi dari suatu transaksi antara
perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa yang tidak dilakukan
berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, yang mengakibatkan atau dapat
disimpulkan telah terjadi distorsi atas laba yang diakui dan dilaporkan oleh masing-
masing perusahaan?
2. Bagaimana penyesuaian [atas laba yang terdistorsi tersebut] selayaknya dilakukan?
Paragraf 1.6 dari TPG berusaha menjawab pertanyaan pertama di atas.
By seeking to adjust profits by reference to the conditions which would have
obtained between independent enterprises in comparable transactions and
comparable circumstances (i.e. in “comparable uncontrolled transactions”),
the arm’s length principle follows the approach of treating the members of an
MNE group as operating as separate entities rather than as inseparable parts
of a single unified business. Because the separate entity approach treats the
members of an MNE group as if they were independent entities, attention is
focused on the nature of the transactions between those members and on
whether the conditions thereof differ from the conditions that would be
obtained in comparable uncontrolled transactions. Such an analysis of the
controlled and uncontrolled transactions, which is referred to as a
“comparability analysis”, is at the heart of the application of the arm’s
length principle.
Jadi, untuk mengetahui atau mengidentifikasi kondisi dari suatu transaksi antara
perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa yang tidak dilakukan
berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, yang mengakibatkan atau dapat
disimpulkan telah terjadi distorsi atas laba yang diakui dan dilaporkan oleh masing-masing
perusahaan, OECD menjadikan analisis kesebandingan sebagai jangkar dari penerapan
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha tersebut.
Hal di atas sejalan dengan Pasal 1 nomor 7 dari PER-32/PJ/2011 yang mendefinisikan
analisis kesebandingan sebagai:
Analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktorat Jenderal Pajak atas kondisi dalam
transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara
pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dan melakukan identifikasi atas
www.futurumcorfinan.com
Page 12
perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud.
Dalam konteks identifikasi atas perbedaan kondisi tersebut kemudian dikembangkan
berbagai pendekatan dan metode yang dikenal saat ini, mencakup antara lain:
Derajat kesebandingan ditentukan berdasarkan atribut transaksi atau pihak-pihak yang
dapat mempengaruhi harga atau laba dan penyesuaian yang diperlukan untuk perbedaan
yang ada. Atribut ini dikenal sebagai lima faktor kesebandingan (lihat PER-43/PJ/2010
Pasal 5 ayat (1) atau TPG hal. 43-51):
a. Karekteristik barang/harga berwujud dan barang/harta tidak berwujud yang
diperjualbelikan, termasuk jasa;
b. Fungsi masing-masing pihak yang melakukan transaksi;
c. Ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian;
d. Keadaan ekonomi; dan
e. Strategi usaha.
Secara singkat, dapat dikatakan ini merupakan analisa untuk mengidentifikasi perbedaan
atau kesamaan dalam Fungsi, Aset dan Resiko.
Analisa data pembanding internal dan eksternal.
Sebagai contoh, dalam konteks penerapan metode perbandingan harga antara pihak
yang tidak mempunyai hubungan istimewa (comparable uncontrolled price/CUP),
perbedaan data pembanding internal dan eksternal diilustrasikan di box 115
.
15
Working Draft. Chapter 5: Transfer Pricing Methods. Hal. 8. Suatu tulisan yang dibuat oleh Anggota the UN Tax Committee’s Subcommittee on Practical Transfer Pricing Issues. Diunduh dari http://www.un.org/esa/ffd/tax/2011_TP/TP_Chapter5_Methods.pdf.
www.futurumcorfinan.com
Page 13
Ilustrasi di box 1 terkait dengan penjualan kendaraan mobil antara Perusahaan 1,
produsen kendaraan mobil di negara 1, dan Perusahaan 2, importir kendaraan mobil di
negara 2, yang kemudian menjualnya ke para distributor kendaraan di negara 2.
Perusahaan 1 adalah entitas induk dari Perusahaan 2.
Dalam penerapan metode CUP untuk menguji apakah harga yang dikenakan untuk
penjualan kendaraan antara Perusahaan 1 dan Perusahaan 2 (yang disebut sebagai
transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa) sudah berdasarkan
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atau belum, maka harga penjualan tersebut
dapat mengacu pada:
Harga penjualan dalam transaksi tanpa hubungan istimewa yang dapat
dibandingkan, antara Perusahaan 1 dengan Pihak yang Tidak Mempunyai Hubungan
Istimewa (yaitu Transaksi #1);
Harga penjualan dalam transaksi tanpa hubungan istimewa yang dapat
dibandingkan, antara Perusahaan 2 dengan Pihak yang Tidak Mempunyai Hubungan
Istimewa (yaitu Transaksi #2);
Harga penjualan dalam transaksi tanpa hubungan istimewa yang dapat
dibandingkan, antara Pihak yang Tidak Mempunyai Hubungan Istimewa A dan B
(yaitu transaksi #3).
Transaksi #1 dan #2 dikenal sebagai Data Pembanding Internal, dan Transaksi #3
sebagai Data Pembanding Eksternal.
Metode penentuan harga transfer yang wajar (TPG bab II: Transfer Pricing Methods, atau
Pasal 11 ayat (2) PER-32/PJ/2011)
Metode Transaksi Tradisional (traditional transactional methods) yang terdiri dari:
Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang Tidak Mempunyai Hubungan
Istimewa (Comparable Uncontrolled Price Method/CUP Method);
Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method);
Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method).
Metode Laba Transaksional (Transactional Profit Methods), yang terdiri dari:
Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin Method);
Metode Pembagian Laba Transaksional (Transactional Profit Split Method).
www.futurumcorfinan.com
Page 14
Perbedaan kondisi tersebut tentunya tidak selalu terkait dengan penentuan harga, tetapi
apabila dikaitkan dengan dapatnya pihak otoritas pajak “re-write” (menulis kembali) akun-
akun dari perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa tersebut, maka
tentunya perbedaan kondisi yang dibicarakan di atas adalah sejauh hal tersebut memiliki
implikasi terhadap penentuan laba dan utang pajak yang terkait.
Hal ini terkait secara langsung dengan isu nomor 2, di mana pada akhirnya, dari analisis
kesebandingan tersebut tentunya diharapkan atau memungkinkan pihak otoritas perpajakan
(dan Wajib Pajak) menentukan jumlah laba yang sudah sewajarnya terjadi berdasarkan
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, karena penyesuaian tersebut akan selalu mengenai
“kuantifikasi” dari “re-writing” akun-akun tersebut. Dalam bahasa TPG, besarnya
penyesuaian atas laba dan utang pajak adalah (paragraf 1.3) sangat tergantung pada dapat
dikenali perbedaan yang ada dan sebesar apa perbedaan kondisi tersebut dalam kejadian
yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
OECD member countries consider that an appropriate adjustment is achieved by
establishing the conditions of the commercial and financial relations that they would
expect to find between independent enterprises in comparable transactions under
comparable circumstances.
Penggunaan kata “re-writing” akun-akun perusahaan-perusahaan yang mempunyai
hubungan istimewa dalam TPG mengindikasikan bahwa penyesuaian tidak selalu langsung
terkait dengan laba-rugi, tapi bisa secara tidak langsung. Misalnya, terkait pinjaman dari
entitas induk yang diperlakukan sebagai semacam uang muka setoran modal untuk tujuan
perpajakan, sehingga dengan demikian, pembayaran bunga yang dilakukan oleh entitas
anak ke entitas induk diperlakukan sebagai dividen dan bukan sebagai beban bunga
sebagai pengurang penghasilan bruto dalam penentuan penghasilan kena pajak entitas
anak.
Namun, dapat dipertanyakan apakah hal ini termasuk dalam isu transfer pricing? Hal ini
secara khusus disinggung oleh Komentari Artikel 9 OECD Tax Convention paragraf 3 (hal.
181), di mana sebagaimana didiskusikan oleh Committee on Fiscal Affairs’s Report on Thin
Capitalization16, terdapat kaitan antara Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
16
“Thin Capitalization” diadopsi oleh the Council of the OECD pada tanggal 26 November 1986 dan direproduksi dalam Volume II dari versi penuh OECD Tax Convention pada halaman R(4)-1. “Thin Capitalization ”secara umum dapat dipahami merujuk ke struktur permodalan suatu perusahaan yang dicirikan oleh perbandingan antara komponen utang dengan ekuitas yang tinggi. OECD juga menggunakan istilah “hidden equity capitalization” atau “shareholder debt financing” terkait dengan “thin capitalization” ini (OECD (1987) “Thin Capitalization” (hal. 7) sebagaimana dimuat dalam OECD (ed.) Issues in International Taxation No. 2. OECD Publications: Paris. Hal. 7-36. Diunduh dari http://www.oecd.org/dataoecd/42/20/42649592.pdf.
www.futurumcorfinan.com
Page 15
dengan aturan perpajakan nasional/domestik17 atas “thin capitalization” yang tentunya terkait
juga dengan Artikel 9 OECD Tax Convention dan transfer pricing. Lebih lanjut disebutkan
dalam OECD Tax Convention (hal. 181):
a) Artikel 9 tidak dimaksudkan untuk menghalangi penerapan aturan perpajakan nasional
atas “thin capitalization” sepanjang dampaknya adalah mengakibatkan laba dari pihak
debitur adalah sejumlah laba yang diakui sesuai dengan laba yang akan terjadi dalam
situasi berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
b) Artikel 9 relevan tidak hanya dalam hal menentukan apakah tingkat suku bunga dalam
suatu perjanjian pinjaman adalah berdasarkan tingkat bunga pasar, namun juga apakah
pokok pinjaman tersebut dapat dianggap sebagai suatu pinjaman (loan) atau
seharusnya diperlakukan sebagai semacam pembayaran/kontribusi modal saham
(contribution to equity capital).
D.H. Pai Panandiker (President of RPG Foundation) menyebutkan bahwa terdapatnya ketentuan pajak domestik terkait “thin capitalization” adalah untuk mencegah perusahaan-perusahaan dari penggunaan pinjaman secara berlebih-lebihan guna memperoleh pengurangan atas hutang pajak mereka [melalui pembebanan bunga]. Dikutip dari http://in.reuters.com/article/2010/06/07/idINIndia-49097020100607 berjudul Thin Capitalization for Tax Avoidance. Menarik juga untuk dibaca report Ernst & Young LLP berjudul “Thin Capitalization Regimes in Selected Countries “yang merupakan suatu report yang dipersiapkan untuk the Advisory Panel on Canada’s System of International Taxation. Mei 2008. Diunduh dari http://www.apcsit-gcrcfi.ca/06/rr-re/RR6%20-%20Ernst%20&%20Young%20-%20en%20-%20final%20-%20090617.pdf. 17
Pasal 18 ayat (1) UU PPh menyebutkan bahwa Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-Undang ini. Dalam penjelasan disebutkan bahwa, “…Dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal (debt to equity ratio). Apabila perbandingan antara utang dan modal sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, pada umumnya perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian, untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak, Undang-Undang ini menentukan adanya modal terselubung. Istilah modal di sini menunjuk kepada istilah atau pengertian ekuitas menurut standar akuntansi, sedangkan yang dimaksud dengan “kewajaran atau kelaziman usaha” adalah adat kebiasaan atau praktik menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha yang sehat dalam dunia usaha.”
Di sini, pihak otoritas perpajakan Indonesia meyakini adanya batas-batas kewajaran dalam rasio utang terhadap modal, dan apabila suatu rasio di atas batas-batas kewajaran, maka kelebihan tersebut dianggap sebagai modal terselubung.
Dalam PER-43/PJ/2010 dan PER-32/PJ/2011 tidak ditemukan bagaimana analisis kesebandingan dilakukan dalam kaitannya untuk menentukan batas-batas kewajaran antara rasio utang terhadap modal.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 1002/KMK.04/1984 tanggal 8 Oktober 1984, angka banding antara utang dan modal adalah sebesar perbandingan 3:1, namun pada tanggal 8 Maret 1985, aturan tersebut dibekukan dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 254/KMK.04/1985, dan sampai sekarang belum ada aturan yang diterbitkan lagi terkait perbandingan utang dan modal tersebut.
www.futurumcorfinan.com
Page 16
c) Penerapan aturan perpajakan atas “thin capitalization” tidak semata-mata bermaksud
untuk menaikkan penghasilan kena pajak Wajib Pajak dalam negeri melebihi laba yang
tercipta berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, dan prinsip inilah yang
seharusnya digunakan untuk menerapkan ketentuan P3B.
Diskusi atas koreksi/penyesuaian atas laba Wajib Pajak dan mempertimbangkan bahwa
transaksi yang ada menyangkut transaksi lintas negara, maka ada kemungkinan terjadi
pemajakan ganda (Artikel 9 paragraf 2 OECD Tax Convention (hal. 28)). Sebagai contoh,
PT ABC di Indonesia (dengan posisi penghasilan kena pajak positif) berdasarkan perjanjian
royalti diwajibkan membayar royalti sebesar 5% (dihitung dari jumlah penjualan) ke CDE
Pte. Ltd di Singapura. Dalam pemeriksaan pajak, tarif royalti yang diakui oleh pihak fiskus,
adalah sebesar 1%, sehingga utang PPh badan PT ABC meningkat.
Dari contoh ini, pihak CDE Pte. Ltd. di Singapura telah melaporkan pendapatannya
menggunakan tarif royalti yang diterimanya sebesar 5%, padahal tarif royalti yang diakui
oleh pihak fiskus di Indonesia hanya 1%. Di sini, tampak terjadi pemajakan ganda, karena
secara logika, pihak CDE Pte. Ltd. dimungkinkan untuk melaporkan revisi atas pendapatan
royaltinya dengan menggunakan tarif 1% dan bukan 5%.
Namun yang menarik dalam paragraf 6 dari Komentari Artikel 9 OECD Tax Convention (hal.
182), disebutkan bahwa:It should be noted, however, that an adjustment is not automatically
to be made in State B simply because the profits in State A have been increased; the
adjustment is due only if State B considers that the figure of adjusted profits correctly
reflects what the profits would have been if the transactionshad been at arm’s
length………State B is therefore committed to make an adjustment of the profits of the
affiliated company only if it considers that the adjustment made in State A is justified both in
principle and as regards the amount.
Jadi, CDE Pte. Ltd. di Singapura tidak serta merta melakukan koreksi atas pelaporan
pendapatan royaltinya, namun masih perlu melakukan telaah untuk memastikan apakah tarif
royalti 1% yang diakui oleh fiskus PT ABC di Indonesia sudah mencerminkan prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha. Kalau hasil telaah menunjukkan bahwa tarif royalti 1%
tidak berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, belum tentu CDE Pte. Ltd. perlu
melakukan koreksi atas pelaporan pendapatan royaltinya.
Paragraf 7 Komentari Artikel 9 OECD Tax Convention (hal. 182) mengakui bahwa tidak
terdapat metode yang disebutkan mengenai bagaimana penyesuaian laba perlu dilakukan
oleh CDE Pte. Ltd di Singapura dalam hal tarif royalti 1% (yang diakui oleh pihak fiskus di
Indonesia) akhirnya memang disimpulkan sebagai tarif royalti berdasarkan prinsip kewajaran
dan kelaziman usaha. Para negara anggota OECD menggunakan metode-metode yang
www.futurumcorfinan.com
Page 17
berbeda-beda dan negara-negara yang memiliki P3B diberikan keleluasaan untuk
menyetujuinya secara bilateral terkait aturan khusus yang dapat ditambahkan ke dalam P3B
mereka.
~~~~~~ ####### ~~~~~~
www.futurumcorfinan.com
Page 18
Disclaimer
This material was produced by and the opinions expressed are those of FUTURUM as of the date of
writing and are subject to change. The information and analysis contained in this publication have
been compiled or arrived at from sources believed to be reliable but FUTURUM does not make any
representation as to their accuracy or completeness and does not accept liability for any loss arising
from the use hereof. This material has been prepared for general informational purposes only and is
not intended to be relied upon as accounting, tax, or other professional advice. Please refer to your
advisors for specific advice.
This document may not be reproduced either in whole, or in part, without the written permission of the
authors and FUTURUM. For any questions or comments, please post it at www.futurumcorfinan.com
© FUTURUM. All Rights Reserved
Top Related