PERSPEKTIF
KEMAJUAN DALAM MEMAHAMI DAN MENGELOLA DRY EYE
DISEASE
MICHAEL A. LEMP
TUJUAN: Untuk menyajikan bukti dari literatur dan penemuan ilmiah yang
mendukung perubahan mendasar dalam konsep mengenai prevalensi, patogenesis,
definisi, diagnosis, manajemen penyakit mata kering (DED) dan prospek untuk
pengembangan terapi baru.
DESAIN: Analisis dan perspektif klinis literatur dan presentasi.
METODE: Review dan penafsiran literatur.
HASIL: Film air mata dan bentuk permukaan mata merupakan suatu unit yang
terintegrasi fisiologis yang menghubungkan permukaan epitel dan kelenjar
sekresi melalui jaringan saraf. Sensori ini mengatur aktivitas jaringan yang keluar
dalam jumlah dan komposisi tertentu, mendukung sistem dari homeostasis. film
air mata membentuk perlindungan metastabil antara lain dengan berkedip,
memberikan penglihatan yang jelas, dan memelihara kesehatan serta pengganti
dari sel-sel permukaan mata. Gangguan faktor intrinsik seperti bertambahnya usia;
keseimbangan hormonal, penyakit autoimun sistemik atau lokal, atau keduanya;
obat sistemik atau faktor ekstrinsik termasuk obat topikal, tekanan lingkungan,
memakai lensa kontak, atau bedah refraktif mengakibatkan suatu kejadian di film
air mata dan permukaan mata, sehingga terjadi DED. Diagnosis DED dan desain
uji klinis untuk obat baru telah terhambat oleh kurangnya korelasi antara tanda-
tanda dan gejala dan hingga akhirnya terjadi kecacatan; keberhasilan aplikasi obat
baru kemungkinan akan membutuhkan pendekatan baru, seperti penggunaan
biomarker obyektif untuk tingkat keparahan penyakit.
1
KESIMPULAN: Kemajuan terbaru dalam pengetahuan kita dapat menyebabkan
terbukanya peluang untuk meningkatkan diagnosis dan manajemen penyakit DED
dan untuk mengembangkan terapi baru yang lebih efektif untuk mengelola ini
secara lazim dan luas serta mengurangi penyakit ini di negara.
2
STRUKTUR DAN FUNGSI FILM AIR MATA
DAN PERMUKAAN OKULER
Lebih dari dua dekade terakhir, kemajuan substansial telah dibuat untuk
memahami struktur elemen dari film air mata, permukaan mata, dan terkait
jaringan yang membentuk unit tunggal terpadu disebut lacrimal functional unit.
Informasi ini telah menyebabkan konsep revisi tentang cara film air mata dibentuk
dan dipelihara dan operatif dalam pengembangan patofisiologi DED. Selain itu,
telah membuka jalan bagi terapi intervensi baru.
Secara tradisional, film air mata telah diduga terdiri dari tiga lapisan diskrit,
dengan lapisan musin terdalam meliputi epitel kornea dan konjungtiva, sebuah
lapisan intermediate berair yang diproduksi oleh kelenjar lakrimal, dan lapisan
lipid terluar, produk dari kelenjar meibom dari kelopak mata, konsep ini telah
direvisi secara substansial. Konsep kontemporer dari struktur permukaan mata
adalah bahwa dari metastabil film air mata yang terdiri dari suatu gel yang encer
terjadi penurunan lapisan lipid terluar yang konten, yaitu pada lapisan bawah
permukaan air mata. Kedua struktur berinteraksi dengan mendasari air dan
komponen musin, memperlambat hilangnya air pada mata berair melalui
penguapan dan memberikan kontribusi bagi stabilitas film air mata dengan
berkedip.
Film air mata dibentuk melalui berkedip, dengan mendistribusikan air mata
di atas permukaan mata, segera setelah berkedip, dimana film air mata mulai
menipis secara teratur, menjaga perlindungan yang encer sampai terjadi kedipan
berikutnya yang lengkap hingga membangun kembali sebuah film tebal, dan
proses ini berulang. Setidaknya tiga jenis yang berbeda dari musin telah
diidentifikasi: transmembran musin diproduksi oleh kornea dan sel konjungtiva,
pembentuk gel musin dari piala sel konjungtiva, dan musin larut terutama dari
glandula lacrimal. Musin-musin transmembran berkontribusi pada permukaan
struktur sel epitel, berinteraksi dengan pembentuk gel dan musin yang larut dari
film air mata untuk menstabilkan film, dan memberikan jalur pembersihan untuk
3
permukaan mata, mendukung suatu interaksi antara lipid-musin relatif stabil saat
berkedip.
Selain sebagai nutrisi, permukaan okular juga menyediakan pelumas antara
kelopak dan permukaan okular, film air mata berfungsi sebagai permukaan yang
memberikan pembiasan pada bagian anterior mata. Penelitian terbaru telah
menunjukkan efek yang mendalam pada penglihatan ketika film air mata menjadi
tidak stabil dalam dry eye’s disease (DED; infra vide). Semua permukaan
jaringan okular, kelenjar sekretorik, kelopak mata dan saluran keluar dari jalur
nasolacrimal dihubungkan melalui jaringan saraf (unit fungsional lacrimalis).
reseptor Sensory memantau kondisi dari air mata, mengirimkan sinyal aferen
untuk sistem saraf pusat, pada gilirannya, mengirim impuls eferen ke kelenjar
sekretorik dan sel, mempengaruhi perubahan komposisi dan volume untuk
mempertahankan homeostasis dan untuk merespon stres dan cedera. Faktor
tambahan yang mendukung kelengkapan film okular-permukaan air mata
termasuk hormon bioavailable, terutama androgen, dan sistem kekebalan tubuh.
Sistem ini berimbang dengan sangat indah mempresentasikan sebuah unit yang
sangat kompleks dalam pengadaaan akses penglihatan kita ke lingkungan
eksternal. penyakit apapun dapat menyebabkan kerusakan pada salah satu unsur
dari keseluruhan struktur dan fungsi dengan efek klinis yang signifikan.
KARAKTERISTIK DRY EYE’S DISEASE
Ada sejumlah faktor risiko yang diakui dapat bekembang menjadi mata
kering. Hal ini antara lain: penuaan; jender perempuan, perubahan hormonal,
penyakit autoimun sistemik (paling menonjol Sjögren syndrome); menurun
sensasi kornea, bedah refraktif di mana kornea saraf yang baik terputus atau
ablated, kelainan berkedip, efek obat, infeksi virus seperti human
immunodeficiency virus, cytomegalovirus, dan hepatitis C, diabetes mellitus;
kekurangan vitamin A, dan graft-versus-host disease. Tanpa memandang faktor
yang memulai atau kelompok faktor yang mengakibatkan mata kering, hal ini
umumnya merupakan akhir dari jalur yang dapat memunculkan penyakit di
4
permukaan antara film air mata-okular. Fitur yang umum meliputi: sebuah film air
mata yang tidak stabil diantara kedipan, meningkat Konsentrasi elektrolit dalam
air mata mengarah ke hyperosmolarity dan selanjutnya kerusakan pada
permukaan mata, gejala ketidaknyamanan, dan penurunan penglihatan.
Peradangan adalah fitur di mata kering baik terkait dalam Sjögren-terkait dan non-
Sjögren-terkait DED. Telah dilaporkan bahwa alergi dan inflamasi permukaan
mata dapat mengganggu kestabilan film air mata. Meskipun tempat peradangan
yang tepat dalam peristiwa yang menyebabkan gangguan permukaan mata tidak
jelas, namun peran permukaan mata ini adalah jelas.
MATA KERING SEBAGAI SEBUAH DISEASE
mata kering memiliki sejumlah nama, yaitu antara lain: sicca keratoconjunctivitis,
sindrom mata kering, dan air mata disfungsional baru-baru ini disarankan sebagai
sindrom. Mata kering berkembang sebagai respons terhadap adanya satu faktor
risiko atau lebih yang tercantum di atas, di samping itu, lingkungan, tempat kerja,
atau rekreasi misalnya, suasana yang gersang, arus angin konstan dan adanya
suatu lensa kontak, dan penggunaan layar komputer jangka panjang adalah
faktor-faktor yang dapat menginisiasi dan memperburuk proses penyakit. Fitur
dari mata kering adalah mereka yang proses penyakitnya spesifik, dan oleh karena
itu, penyakit mata kering menggunakan istilah sindrom, yang merupakan
kumpulan tanda-tanda yang biasanya diterapkan pada beberapa sistem organ,
cenderung untuk menyepelekan penyakit yang berlainan dan yang melumpuhkan.
Mata kering baru-baru ini telah dikritik, tidak sepenuhnya deskriptif dari proses
yang ada, pada beberapa pasien, dapat dicirikan terutama oleh perubahan
kualitatif dalam film air mata, dan sindrom dysfunctional tear syndrome (DTS)
telah diusulkan. Meskipun istilah ini bisa dibilang lebih deskriptif, mata kering
melekat tidak hanya di literatur medis tetapi juga dalam tulisan dan digunakan
dalam bahasa lainnya. Pada internasional dry eye Workshop, DTS ditolak sebagai
pengganti, dan istilah Penyakit mata kering diterima dan baru digunakan dalam
menerbitkan Laporan dari Internasional dry eye Workshop (DEWS) .
5
PREVALENSI DRY EYE’S DISEASE
Mata kering telah dikenal bertahun-tahun dengan DED yang merupakan masalah
klinis yang umum. Namun baru belakangan ini, memiliki data dokumen
kuantitatif yang valid tentang sejauh mana DED. Survei selama 20 tahun terakhir
telah memperkirakan prevalensi DED menjadi antara 5% sampai lebih dari 30%
pada berbagai usia. Perbedaan penggunaan definisi tentang penyakit ini di
berbagai penelitian menjadi sulit untuk dibandingkan. Dalam sebuah survei yang
dilakukan oleh American Academy of Ophthalmology, melaporkan bahwa sekitar
30% responden dari pasien yang memerlukan perawatan di kantor seorang dokter
mata memiliki gejala yang konsisten dengan DED. Dalam beberapa penelitian
besar, diperkirakan bahwa hanya kurang dari 5 juta orang Amerika usia 50 tahun
dan lebih tua telah memiliki DED derajat sedang sampai parah. perkiraan lain,
yang meliputi study tentang ini melaporkan bahwa beberapa gejala mata kering
merespon waktu atau lingkungan tempat kerja tertentu,atau kegiatan rekreasi,
rentang setinggi 20% dari populasi Amerika. Diperkirakan bahwa Populasi di
Eropa dan Asia memiliki prevalensi yang sama atau sedikit lebih tinggi. Dengan
adanya penuaan dari populasi di negara maju, ada kemungkinan bahwa jumlah
penderita DED akan meningkat secara substansial. Dalam sebuah studi yang lebih
muda, penyebaran bias operasi di mana saraf kornea yang baik terputus atau
ablated dikaitkan dengan tingginya insiden DED. Meskipun ada beberapa
perdebatan mengenai kebenaran sejauh mana ini DED atau merupakan bentuk
dari keratopati neurotropik. Gejala DED terjadi pada lebih dari 50% pada pasien
dengan laser insitu keratomileusis. Sebuah Kelompok yang signifikan memiliki
gejala yang berkelanjutan selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun setelah
operasi. Meskipun iritasi telah menjadi gejala utama terkait dengan DED, faktor
lain yang berkaitan dengan kehilangan penglihatan telah ditambahkan ke dampak
pada kualitas hidup dari pasien. Dampak ini telah diukur dalam sejumlah cara.
Mengukur efek kuesioner secara spesifik dari DED pada aktivitas kehidupan
sehari-hari seperti membaca, penggunaan komputer, mengemudi, rasa sakit dan
iritasi, dan kesehatan umum dan kesejahteraan. ini telah menunjukkan penurunan
6
yang signifikan dalam kualitas hidup pada mereka dengan DED. Utilitas skor,
ukuran lain berdampak pada kualitas hidup, telah menunjukkan bahwa pada
pasien dengan tingkat keparahan DED dapat memberikan dampak yang mirip
dengan pasien angina. Moderat hidup DED semakin diakui sebagai salah satu
penyakit yang paling umum ditemui dengan efek besar pada kehidupan
masyarakat dan kesejahteraan yang membatasi kegiatan penting sehari-hari dan
menyebabkan kualitas kehidupan berkurang secara signifikan.
DRY EYE DISEASE DAN PENYAKIT INFEKSI MIKROBA
Pada mata luar memiliki jumlah mekanisme pertahanan yang melindungi
permukaan mata terhadap infeksi mikroba. Ini termasuk faktor mekanis seperti
robek dan berkedip, yang menghilangkan agen berbahaya dari kontak dengan
permukaan okular. Selain itu, sistem kekebalan memainkan peran penting.
Operasi sistem kekebalan pada permukaan okular adalah kompleks,secara
langsung yang melibatkan sistem bawaan lokal yang terdiri dari sel-sel dan
mekanisme yang membela sendiri dari infeksi oleh organisme lain. Sel pelindung
termasuk sel Mast, neutrofil, makrofag, dendritik sel, basofil, dan eosinofil.
Mengakses sel-sel sistemik dapat difasilitasi oleh peradangan lokal neurogenik.
Selain itu, protein imunomodulasi, misalnya, laktoferin, lisozim, toll-like
receptors, pelengkap, neuropeptida, dan lainya, lebih dari 500 protein yang
terkandung dalam dry eye, membentuk kekebalan adaptif dimediasi oleh respon
sistemik (misalnya, T sel). Meskipun kedua peran relatif bentuk kekebalan dalam
perlindungan mata dari pengaruh berbahaya adalah, belum jelas, namun
efektivitasnya jelas. Hal ini biasanya kita berpikir bahwa pasien dengan DED
yang lebih rentan terhadap keratitis mikroba daripada populasi umum. Hal ini,
kurang didokumentasikan dalam literature. Sebagian besar kekhawatiran laporan
kasus pasien dengan kondisi komorbiditas, misalnya, penyakit sistemik autoimun,
khususnya rheumatoid arthritis, atau lainnya Faktor-faktor seperti pembedahan,
trauma, atau memakai lensa kontak. penyakit permukaan Okular atau keratopati
disebutkan sebagai faktor predisposisi, tetapi tidak ada karakterisasi lebih lanjut
7
dari Kondisi yang disediakan. Ini telah menimbulkan Kesan yang menyesatkan,
yaitu bahwa sebagian kecil dari gangguan permukaan mungkin mempengaruhi
pasien untuk terjadinya keratitis mikroba.
Meskipun intuitif untuk berpikir bahwa gangguan dari fungsi pembatas
yang memanifestasikan epitel kornea oleh pewarnaan fluorescein kornea akan
menyebabkan kerentanan terhadap infeksi, pengalaman klinis saya adalah Infeksi
mikroba yang cukup langka dalam adanya faktor komorbiditas yang disebutkan di
atas atau kondisi lain seperti paparan keratitis, penyakit graft-versus-host, atau
gangguan imunologi sistemik.
Risiko keratitis mikroba dalam DED tersebut tanpa faktor-faktor lain
tampaknya akan menjadi suatu tatangan yang sangat rendah dalam mengingat
prevalensi luas DED, melihat ada beberapa keterbatas jumlah kasus keratitis
mikroba, dan ini adalah biasanya berhubungan dengan kondisi komorbiditas
disebutkan di atas. Pewarnaan kornea itu sendiri, terutama di kornea perifer
rendah, biasanya terlihat pada subyek non-DED dan biasanya merupakan tanda
akhir pada pasien DED (vide infra) . sedangkan pewarnaan indikator untuk risiko
mikroba keratitis pada DED, akan ada banyak kasus lebih dari yang dihadapi
praktisi dalam praktek. Ini adalah kemungkinan bahwa mekanisme pertahanan
berlebihan dalam membela mata eksternal terhadap infeksi lebih efektif bahkan
di mata kering pasien, kecuali mereka yang terganggu oleh satu atau lebih dari
faktor-faktor risiko tambahan yang disebutkan.
DRY EYE DISEASE DAN PENGARUHNYA TERHADAP
PENGLIHATAN
Pasien dengan gejala iritasi okuler dari DED sering juga melaporkan
masalah yang lebih jelas seperti sensitif terhadap cahaya, penurunan penglihatan
dalam membaca, kesulitan mengemudi saat malam hari, atau mata kelelahan.
Hanya dalam beberapa tahun terakhir itu telah diakui bahwa gejala-gejala ini
dapat dikaitkan dengan efek penglihatan pada DED. Ini adalah Pengalaman klinis
umum bahwa standar pengujian ketajaman visual (visual acuity (VA)) dengan
8
Snellen atau grafik Studi Pengobatan Dini Retinopati Diabetik (Early Treatment
Diabetic Retinopathy Study (ETDRS)) jarang mengungkapkan penurunan
penglihatan yang signifikan pada pasien DED sampai mereka menunjukkan
moderat yang parah untuk pewarnaan pada pusat kornea. Pada awal perjalanan
pengembangan DED, film air mata menjadi stabil. Sebuah respon kompensasi
awal untuk ini adalah berkedip cepat untuk sejenak membangun kembali film air
mata secara terus menerus. Ini diperlukan untuk penglihatan yang jelas, hal ini
memungkinkan mata pasien untuk membaca grafik dengan cepat. Yang telah
diketahui adalah bahwa film air mata cepat istrahat setelah berkedip,
mengakibatkan degradasi penglihatan interblink yang substansial. Penelitian di
Jepang telah mendokumentasikan bahwa, tidak seperti mata normal, dalam waktu
3 sampai 4 detik setelah berkedip, VA pada pasien mata kering dapat turun dari
20/40 menjadi 20/60, hal ini menyebabkan masalah yang serius dalam membaca
dan mengemudi. pengalaman ini sulit bagi pasien untuk mendeskripsikannya,
namun pada saat ini efeknya terhadap kegiatan penting dalam kehidupan bisa
diapresiasi secara lebih lengkap. Upaya terus-menerus untuk mengkompensasi
fenomena ini dengan memimpin berkedip secara cepat untuk okular yang
kelelahan.
TANTANGAN TERBARU DALAM MENDIAGNOSA
DAN MENANGANI DRY EYE DISEASE
sebagian besar pasien didiagnosis berdasarkan dari gejala. Baru-baru
ini,sejumlah studi telah menyebutkan pertanyaan tentang ini. Hanya sebagian
kecil pasien yang memiliki DED telah didiagnose. Telah didokumentasikan
bahwa gejala dari penyakit DED tidak selalu mencerminkan keparahan. Dokter
telah lama mengetahui bahwa banyak pasien tanpa bukti klinis DED, seperti
pewarnaan permukaan okular dan penurunan nilai tes Schirmer, yang sangat
simptomatik. Sebaliknya, ada bagian dari pasien dengan kerusakan parah pada
permukaan mata dengan beberapa gejala subyektif. Kurangnya kesesuaian antara
tanda dan gejala DED dalam menyajikan masalah menyebabkan pasien tidak
9
hanya di diagnosis penyakit DED, tetapi juga untuk menilai tingkat keparahan
penyakit dan digunakan dalam desain uji klinis untuk mengevaluasi kemanjuran
obat.
Penelitian terbaru pada sensitivitas kornea dapat menambahkan kejelasan
namun terkadang membingungkan. Baik pada hewan maupun manusia, studi
tentang tanggapan terhadap kerusakan saraf kornea telah menunjukkan bahwa
ujung saraf terluka ditanggapi dengan microneuromas yang sedang berkembang
mungkin dapat mengubah sinyal transducing terkemuka dalam menyatakan mata
kering menjadi sebuah ketidaknyamanan. Hal ini dapat menjelaskan gejala
ketidaknyamanan pasien pada tahap awal pengembangan DED, gejala pasien ini
'tidak proporsional untuk diamati tentang kerusakan jaringan nya. Paradoksnya,
telah diamati bahwa karakteristik inflamasi yang lebih parah dapat berubah
bentuk menjadi DED yang mengakibatkan sensitivitas saraf menurun, hal ini juga
kurang memberikan gejala. Antara tanda-tanda dan gejala adalah terjadi
diskoneksi, sehingga belum atau tidak sepenuhnya dipahami, tetapi harus menjadi
faktor dalam kriteria diagnostik dan uji klinis. Standar tes objektif untuk DED
juga memiliki kekurangan. Penggunaan Tes Schirmer secara klinis telah meluas
selama lebih dari satu abad dan telah dikritik karena variabilitasnya dan
kecenderungan untuk menunjukkan intrasubject yang luas, dan variasi.
penurunan visus dalam penyakit yang lebih berat, air mata Sebagai sekresi lebih
diproduksi. Namun kegunaannya terbatas, baik dalam penyakit ringan sampai
sedang. Standar lainnya yang digunakan secara luas termasuk tes pewarna yang
sangat penting untuk menilai kerusakan kornea dan konjungtiva. Tes ini
umumnya menggunakan fluorescein kornea dan juga mawar Benggala atau
lissamine hijau untuk konjungtiva. Pewarnaan vital dari permukaan mata,
meskipun ukuran kerusakan pada permukaan mata tidak khusus untuk DED,
sebagian besar dari subyek adalah normal dan hanya sebagian kecil dari subjek
merupakan DED ringan sampai sedang. Selain itu, perubahan reproduktifitas pada
pasien dengan DED dan yang tidak dalam perawatan telah dilaporkan relatif
sedikit. Hal ini menimbulkan pertanyaan sebagai ukuran keberhasilan utama
dalam uji klinis untuk DED dan menunjukkan bahwa keadaan dan derajatnya
10
mungkin mencerminkan jangka pendek akibat pengaruh lingkungan atau dari
banyak penyakit yang mendasari atau efek terapi.
Skema klasifikasi beberapa DED telah dikembangkan. Secara mekanistik,
yang membedakan antara kekurangan air mata berair dan mata kering yang
menguapkan telah digunakan selama lebih dari satu decade. Meskipun ini adalah
alat klinis yang penting, terutama dalam mencari bukti disfungsi kelenjar meibom
dari kelopak, Bentuk yang paling umum dari mata kering adalah penguapan,
semakin itu diakui bahwa sebagian besar kasus DED melibatkan beberapa jenis
mekanisme. Dalam membuat rencana perawatan, penilaian keparahan penyakit ini
memainkan peran yang lebih penting. Dalam laporan DEWS baru-baru ini, skala
keparahan telah diperkenalkan (Tabel 1).
Berdasarkan artikel panel Delphi sebelumnya, skema ini menyediakan
klinis yang berguna untuk membantu dalam menilai keparahan penyakit, sebuah
pedoman pengobatan harus berguna untuk dokter dalam membuat praktis
keputusan dalam pengelolaan pasien (Tabel 2).
11
Meskipun pilihan pengobatan telah terbatas sebagian besar untuk
pengganti air mata, Food and Drug Administration (FDA)-menyetujui agen
siklosporin A (Restasis, Allergan Inc, Irvine, California, USA) sebagai terapeutik,
beberapa air mata baru sebagai pengganti dengan sifat terapeutik telah dipasarkan.
Properti ini meliputi stabilisasi perlindungan, lapisan air mata dari sel kornea dan
konjungtiva, penurunan kehilangan air mata akibat evaporatif oleh pengantar
lipid, penyembuhan luka yang disempurnakan, dan pelumasan yang ditingkatkan
antara kelopak dan permukaan okular. Selain itu, langkah-langkah seperti tepat
waktu, perubahan lingkungan, serum autologus untuk penyakit yang parah, dan
muncul strategi menambah alat spektrum manajemen penyakit. Telah ada minat
besar dalam penggunaan omega 3 asam lemak baik dari diet atau dalam bentuk
nutraceuticals untuk mengobati DED. Senyawa ini, yang hadir dalam ikan dan
sayuran berdaun hijau, memiliki sifat anti-inflamasi. Sebagian kecil, studi
dirancang dengan baik. Selain itu, bukti-bukti yang bersifat anekdot
12
menunjukkan kegunaannya. skala besar uji klinis prospektif sedang
dikembangkan untuk mendokumentasikan efek.
Selain penggunaan siklosporin (Restasis) untuk memodulasi aktivitas
kekebalan tubuh dan untuk menekan peradangan pada DED, ada peningkatan
bukti bahwa penggunaan kortikosteroid topikal sebagai terapi sementara atau
teratur dapat berguna dalam mengurangi efek dari inflammation. Anti-inflamasi
itu sifat doksisiklin telah dibuktikan pada hewan, manfaatnya diketahui baik
dalam pengobatan disfungsi kelenjar meibom, dan kedua anti-inflamasi yang
memberi efek sistemik dan penggunaan topikal menjadi semakin diakui. Referensi
untuk pedoman pengobatan harus membantu dalam membuat pilihan pengobatan.
Dengan persetujuan diantisipasi terapi lebih mengarah pada mekanisme penyakit
tertentu di tahun-tahun mendatang, dokter akan meminta untuk membuat
keputusan semakin kompleks untuk mengelola DED dengan efektif, besar
kemungkinan bahwa lebih dari satu terapi agent akan diminta untuk menyediakan
manajemen pasien yang optimal.
MASALAH TERBARU DAN PROSPEK MASA DEPAN
DALAM PEMBANGUNAN TERAPI BARU
Hal yang utama dalam memahami mekanisme operasi dalam membentuk dan
mempertahankan sebuah film air mata normal dan patologis yang terjadi pada
DED telah menyebabkan berbagai intervensi strategi. Ini termasuk: secretogogues
air mata berair, mucins dan lipid, senyawa antievaporative, agen imunomodulasi
yang memiliki efek anti-inflamasi, kortikosteroid, seluler pelindung formulasi,
dan stabilisator film air mata. Sebagian besar hasil dari uji klinis adalah
mempunyai kepentingan, telah diterbitkan makalah dan abstrak dipresentasikan
pada suatu pertemuan menunjukkan bahwa lebih dari 20 produk telah menjalani
pengujian klinis di Amerika Serikat. Pada tulisan ini, hanya satu formulasi obat
telah menerima persetujuan FDA untuk pemasaran sebagai produk terapi untuk
DED. Sudah sulit bagi sponsor untuk menghasilkan data yang akan memenuhi
kriteria FDA sebagi titik akhir efikasi primer. Titik akhir biasanya termasuk
13
perbaikan dalam setidaknya satu tanda dan satu gejala dan bahwa ini harus secara
statistik dan klinis yang signifikan. Mengingat informasi yang sebelumnya
dibahas mengenai kurangnya kesesuaian antara tanda dan gejala pada DED,
sehingga rintangan untuk memperoleh persetujuan sangat tinggi. Padahal, dasar
untuk persetujuan Restasis adalah bukan pada titik akhir kemanjuran utama
melainkan suatu sekunder yaitu, peningkatan hasil tes Schirmer dan perbaikan
berkorelasi dalam gejala subyektif dari pasien. Sebagai pembuktian makin banyak
muncul dalam literatur tentang kesulitan menggunakan titik akhir standar primer
seperti pewarnaan penting zat pewarna, peneliti telah mencari titik akhir lainnya.
Ini adalah berkembang pesat dalam lapangan, di mana desain uji klinis sebagian
besar adalah berpemilik dan, oleh karena itu, informasi tersebut tidak tersedia
untuk pengawasan umum. Walaupun Sejumlah kecenderungan jelas dan telah
dibahas dalam laporan DEWS yang baru diterbitkan.
Masalah utama yang dihadapi dalam semua uji klinis adalah efek plasebo
pada hasil air mata buatan. Ini mengacu pada pengamatan bahwa pasien yang
menerima plasebo atau drop tanpa bahan aktif kebanyakan memberikan perbaikan
penting dalam uji coba. Menyarankan alasan untuk ini termasuk kepatuhan yang
lebih besar pada pasien yang berpartisipasi dalam uji klinis, efek pelumasan tetes,
dan regresi dengan rata-rata dalam penelitian direkrut atas dasar temuan yang
mungkin memiliki variabel dari waktu ke waktu. Laporan DEWS itu
menunjukkan bahwa mengganti pengobatan untuk plasebo mungkin dapat
diindikasikan.
Suatu pendekatan inovatif yang mencoba untuk memanfaatkan efek
lingkungan jangka pendek pada pewarnaan permukaan dapat merugikan
lingkungan yang dikontrol. Dalam desain eksperimen, subyek terpilih untuk
respon klinis sebelumnya, misalnya, suatu noda pada DED, yang terpapar
kondisi yang merugikan seperti adanya angin dan iklim kering pada suhu ruangan
yang dirancang khusus untuk mengontrol suhu dan kelembaban saat melakukan
penglihatan yang membutuhkan mata terbuka. Mereka dengan pra-perawatan
tidak menggunakan obat uji atau plasebo dan diperiksa untuk respon. Pendekatan
ini harus mampu menentukan efek farmakologis dalam jangka pendek. Ada
14
literatur yang terbatas pada teknologi ini, dan hasil obat yang diujicobakan
umumnya adalah mempunyai kepentingan sendiri. Pada tulisan ini, mata yang
kering tidak mendapat obat persetujuan dengan pendekatan yang telah
diumumkan ini. Kemungkinan Keterbatasan penggunaan responden terpilih
adalah kurangnya generalisasi untuk DED pada seluruh populasi. Meskipun
demikian, penelitian ini mendekati kebenaran, namun masih diragukan lagi
karena akan mengalami perkembangan lebih lanjut dan penyempurnaan. Atau,
orang lain telah mencoba untuk memperbaiki akhir dari kebiasaan seperti
pewarnaan ke daerah-daerah tertentu, misalnya, sentral kornea, yang memiliki
efek pada penglihatn. Selain itu, ada upaya untuk mempelajari variabilitas umum
dalam populasi dan pasien DED ke variasi dokumen dalam presentasi dan
variabilitas dari waktu ke waktu. Pendekatan lain akan mengidentifikasi kelompok
sasaran yang paling mungkin untuk merespon terapi yang spesifik, yaitu orang
dengan berkurang penglihatan tetapi diduga masih terukur hasil tes Schirmer
dalam suatu tes secretagogue lacrimal. Penggunaan kelompok responden tersebut
harus meningkatkan kemungkinan menunjukkan khasiat.
Laporan DEWS merekomendasikan bahwa percobaan dimasa
mendatang dengan menggunakan tanda pengganti DED akan diakui. Pengganti
penanda A adalah tes yang berkorelasi dengan bukti klinis mengenai keparahan
penyakit. Osmolaritas air mata adalah salah satu kandidat dibahas dalam laporan
DEWS. Hal ini dianggap penanda yang mampu dan dianggap mempunyai
mekanisme sentral yang menyebabkan kerusakan dan peradangan permukaan
okular, gejala dan inisiasi peristiwa kompensasi di mata kering." Laporan lainnya
memberikan saran untuk titik akhir kemanjuran baru termasuk: ukuran yang
obyektif VA fungsional, air mata sitokin, lebih tepat dalam menentukan langkah-
langkah stabilitas air mata, dan memungkinkan mengubah skema pewarnaan
okular untuk perangkat minimal noda kornea seperti biasa yang terlihat banyak
dalam penelitian. Pengganti penanda harus divalidasi untuk mencerminkan tingkat
keparahan penyakit sebelum mereka cocok untuk uji klinis, tapi mereka mewakili
pendekatan yang menjanjikan dan menghindari masalah titik akhir dari
konvensional seperti pewarnaan okular
15
KESIMPULAN
Apa yang tidak diketahui adalah cara efektif agen baru yang telah mengalami uji
klinis, yang telah diketahui adalah bahwa metodologi yang digunakan untuk
mengevaluasi pasien DED adalah cacat. Sebagai informasi baru telah tersedia,
desain untuk uji coba klinis pasti akan mengalami perubahan lebih lanjut. ini
adalah penting untuk mengatasi hambatan regulasi untuk sukses dalam
pengembangan ilmu baru, pilihan pengobatan lebih mujarab untuk pasien dengan
DED. Sebagai produk baru yang telah tersedia, akan ada tantangan yang lebih
besar kepada dokter untuk mendiagnosa penyakit lebih akurat dan untuk
membangun rejimen pengobatan yang lebih efektif untuk berbagai tahap penyakit.
Ini merupakan suatu pertanda baik untuk meningkatkan prospek kepuasan pasien
dan profesionalisme yang lebih besar untuk dokter.
16
REFERENSI
1. Stern ME, Beuerman RW, Fox RI, Gao J, Mircheff AK, Pflugfelder SC. The
pathology of dry eye: the interactions between the ocular surface and the
lacrimal glands. Cornea 1998;17:584 –589.
2. Holly FJ, Lemp MA. Tear physiology and dry eyes. Surv Ophthalmol
1977;22:69–87.
3. Lemp MA. Report of the National Eye Institute/Industry Workshop on clinical
trials in dry eyes. CLAO J 1995;2:221– 232.
4. Gipson IK, Hori I, Argueso P. Character of ocular surface mucins and their
alterations in dry eye disease. Ocular Surf 2004;2:131–148.
5. Lemp MA, Baudouin C, Baum J, et al. The definition and classification of dry
eye disease: report of the Definition and Classification Subcommittee of the
International Dry Eye WorkShop (2007). Ocular Surf 2007;5:75–92.
6. Stern ME, Pflugfelder SC. Inflammation in dry eye. Ocular Surf 2004;2:124 –
130.
7. Fujishima H, Toda I, Shimazaki I, Tsubota K. Allergic conjunctivitis and dry
eye. Br J Ophthalmol 1996;80:994– 997.
8. Behrens A, Doyle JJ, Stern L, et al. Dysfunctional tear syndrome: a Delphi
approach to treatment recommendations. Cornea 2006;25:900 –907.
9. Baum J, Foulks G, Lemp MA. What’s in a name? Cornea 2006;25:871– 872.
10. American Academy of Ophthalmology. Dry Eye syndrome- Preferred practice
patterns. American Academy of Ophthalmology 2003.
11. Schaumberg DA, Sullivan DA, Buring JE, Dana MR. Prevalence of dry eye
syndrome among US women. Am J Ophthalmol 2003;136:318 –326.
12. Toda I, Asano-Kato N, Komai-Hori Y, Tsubota K. Dry eye after laser in situ
keratomileusis. Am J Ophthalmol 2001; 132:1–7.
13. Wilson SE. Laser in situ keratomileusis-induced (presumed) neurotrophic
epitheliopathy. Ophthalmology 2001;108:1082– 1087.
17
14. De Paiva CS, Chen Z, Koch DD, et al. The incidence and risk factors for
developing dry eye after myopic LASIK. Am J Ophthalmol 2006;141:438–
445.
15. Schiffman RM, Christianson MD, Jacobsen G, Hirsch JD, Reis BL. Reliability
and validity of the Ocular Surface Disease Index. Arch Ophthalmol
2000;118:615– 621.
16. Miljanovic B, Dana R, Sullivan DA, Schaumberg DA. Impact of dry eye
syndrome on vision-related quality of life. Am J Ophthalmol 2007;143:409–
415.
17. Schiffman RM, Walt JG, Jacobsen G, Doyle JJ, Lebovics G, Sumner W.
Utility assessment among patient with dry eye disease. Ophthalmology
2003;110:1412–1419.
18. Evans DJ, McNamara NA, Fleiszig SMJ. Life at the front: dissecting
bacterial-host interactions at the ocular surface. Ocular Surf 2007;5:213–227.
19. Beuerman RW, Stern ME. Neurogenic inflammation: a first line of defense for
the ocular surface. Ocular Surf 2005;3: S203–S206.
20. Bourcier T, Thomas F, Borderie V, Chaumeil C, Laroche L. Bacterial
keratitis: predisposing factors, clinical and microbiological review of 300
cases. Br J Ophthalmol 2003;87: 834–838.
21. Green M, Apel A, Stapleton F. Risk factors and causative organisms in
microbial keratitis. Cornea 2008;27:22–27.
22. Foulks GN. Challenges and pitfalls in clinical trials of treatments for dry eye.
Ocular Surf 2003;1:20 –30.
23. Tutt R, Bradley A, Begley C, Thibos LN. Optical and visual impact of tear
break-up in human eyes. Invest Ophthalmol Vis Sci 2000;41:4117– 4123.
24. Ishida R, Kojima T, Dogru M, et al. The application of a new continuous
functional visual acuity measurement system in dry eye syndromes. Am J
Ophthalmol 2005;139:253–258.
25. Yazdani C, Mclaughlin T, Smeeding JE, Walt J. Prevalence of treated dry eye
disease in a managed care population. ClinTher 2001;23:1672–1682. 26.
Schein OD, Tielsch JM, Munoz B, Bandeen-Roche K, West S. Relation
18
between signs and symptoms of dry eye in the elderly. A population-based
perspective. Ophthalmology 1997;104:1395–1401.
27. Belmonte C, Aracil A, Acosta MC, Luna C, Gallar J. Nerves and sensations
from the eye surface. Ocular Surf 2004;2:248– 253.
28. Nichols KK, Nichols JJ, Mitchell GL. The lack of association between signs
and symptoms in patients with dry eye disease. Cornea 2004;23:762–770.
29. Miljanovic B, Trivedi KA, Dana MR, Gilbard JP, Buring JE, Schaumberg
DA. Relation between dietary n-3 and n-6 fatty acids and clinically diagnosed
dry eye syndrome in women. Am J Clin Nutr 2005;82:887– 893.
30. Hyon JY, Lee YJ, Yun PY. Management of ocular surface inflammation in
Sjogren syndrome. Cornea 2007;26:S13– S15.
31. De Paiva CS, Corrales RM, Villreal AL, et al. Corticosteroid and doxycycline
suppress MMP-9 and inflammatory cytokine expression, MAPK activation in
the corneal epithelium in experimental dry eye. Exp Eye Res 2006;83:526 –
535.
32. Ousler GW, Gomes PJ, Welch D, Abelson MB. Methodologies for the study
of ocular surface disease. Ocular Surf 2005;3:143–154.
33. Adatia FA, Michaeli-Cohen A, Naor J, Caffery B, Bookman A, Slomovic A.
Correlation between corneal sensitivity, subjective dry eye symptoms and
corneal staining in Sjogren’s syndrome. Can J Ophthalmol 2004;39:767–771.
19
JOURNAL READING
PERSPECTIVE
ADVANCES IN UNDERSTANDING AND MANAGING DRY EYE DISEASE
(KEMAJUAN DALAM MEMAHAMI DAN MENGELOLA DRY EYE DISEASE)
MICHAEL A. LEMP
Oleh :
YENI NUR IKWAL MUSAINI
J500 080 093
Pembimbing
Dr. Gogot Suprapto, Sp.M
Dr. Praminto Nugroho, Sp.M
Stase Ilmu Penyakit Mata RSUD Dr. Harjono Ponorogo
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
2012
20