i
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA
TANAH WAKAF YANG TIDAK DIPERUNTUKAN BAGI
PEMBANGUNAN SARANA UMUM
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo
OLEH:
INDRA LESMANA PUTRA
STB. H1A2 12 096
BAGIAN HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016
ii
iii
iv
ABSTRAK
Indra Lesmana Putra (STB. H1A2 12 096). Judul Skripsi: ”Tinjauan
Yuridis Terhadap Penyelesaian Sengketa Wakaf atas Tanah yang Tidak
Diperuntukan bagi Pembangunan Sarana Umum’’ di bawah bimbingan
Guswan Hakim sebagai Pembimbing I dan Haris Yusuf sebagai Pembimbing II.
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimanakah tanah wakaf yang sebelumnya diperuntukan untuk
pembangunan sarana umum namun kemudian dialihkan untuk sarana lain yang
bersifat komersil? 2. Bagaimanakah kedudukan tanah wakaf yang ditarik
kembali oleh pemberi wakaf? Tujuan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1.
Untuk mengetahui tanah wakaf yang sebelumnya diperuntukan untuk
pembangunan sarana umum namun kemudian dialihkan untuk sarana lain yang
bersifat komersil. 2. Untuk mengetahui kedudukan tanah wakaf yang ditarik
kembali oleh pemberi wakaf.
Tipe Penelitian terhadap masalah-masalah yang di rumuskan dalam
penulisan ini, dilakukan dengan menggunakan penelitian hukum (legal research)
atau metode penelitian normatif di mana dalam penelitian hukum tersebut
digunakan sebuah pendekatan, yaitu pendekatan Undang-Undang (statute
approach) dan pendekatan konsep (concep appoarc).
Kesimpulan penelitian ini sebagai berikut: 1. Dengan berlakunya Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf telah
memberikan jaminan kepastian hukum dalam pewakafan di Indonesia.
Pewakafan tidak lagi terjadi hanya berdasarkan keyakinan atas amal ibadah tetapi
secara kongrit telah menjadi perbuatan hukum yang harus diberikan perlindungan
hukum. 2. Kedudukan tanah wakaf yang ditarik kembali oleh pemberi
wakaf adalah pada dasarnya tidak bisa karena tanah yang telah diwakafkan telah
menjadi hakumum yang penggunaannya tanpa batas waktu yang ditentukan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun
2004 Tentang Wakaf.
Kata Kunci: Sengketa Wakaf dan Tidak Diperuntukan bagi Pembangunan Sasana
Umum
v
KATA PENGANTAR
Pujisyukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan taufik-Nya dan
karunia-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini yang berjudul ”Tinjauan Yuridis
Terhadap Penyelesaian Sengketa Wakaf atas Tanah yang Tidak Diperuntukan
bagi Pembangunan Sarana Umum berhasil disusun tepat pada waktunya walaupun
dalam bentuk yang sederhana.
Dalam proses penyusunan skripsi ini yang dimulai dari persiapan sampai
selesai, penulis menemukan berbagai hambatan dan kesulitan. Namun berkat
bimbingan, arahan, motivasi dan bantuan dari semua pihak terutama kedua
pembimbingku sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Untuk itu dengan segala
kerendahan hati, penulis mengucapkan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya
kepada Bapak Dr. Guswan Hakim, S.H., M.H.,sebagai Pembimbing I dan Bapak
Haris Yusuf, S.H., M.H., sebagai Pembimbing II.
Teristimewa ucapan terimakasih kepada kedua orang tua penulis, ayahanda
Indi Masindi dan Ibunda Tati Purnawati yang telah melahirkan dan membesarkan
penulis dengan penuh rasa kasih sayang sertado’a harapannya selama ini,
sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas
Halu Oleo Kendari.
Terkhusus saudara-saudara kandung penulis, Andi Rhamat Wayudhi, Imas
Fatimah, Irdhon Maulana, Irfan Komaruzaman, Ilham Akbar Masindi.
.
vi
Keluarga Penulis Tb. Suhanda. Hethy, Titin, Rati, Nadhi, Anton, Deshy,
Tatang, Anda, dan keluarga penulis yang lainnya yang tidak dapat disebutkan satu
persatu.
Semoga Allah SWT membalaskan kebaikan kepada kalian semua di dunia
dan di akhirat kelak….. Amiin
Ucapanteri makasih yang sama juga kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S selaku Rektor Universitas Halu
Oleo;
2. Bapak Prof. Dr. H. Muh. Jufri Dewa, S.H., M.H selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Halu Oleo;
3. Bapak Rizal Muchtasar, SH., LLM., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Halu Oleo;
4. Bapak Herman, S.H., M.H selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum
Universitas Halu Oleo;
5. Bapak Jabal nur, S.H.,M.H., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Halu Oleo;
6. Bapak Haris Yusuf, S.H, M.H selaku Koordinator Program Studi Fakultas
Hukum Universitas Halu Oleo;
7. Bapak/Ibu Dosen dan Pegawai Staf Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo
yang telah banyak memberi bekal Ilmu Hukum;
8. Kepada para sahabat penulis, Asrin, Inho Rengala, Arbawan Pornawan, Zan,
Icang Aziz, Put Ento, Budiman Tara, Rizlan, dan teman yang lainnya yang
tidak dapat disebutkan namanya.
vii
9. Teman-teman seangkatan tahun 2012. Uchy, Amel, Herlin, Asmianti, Anha,
Ayhu, Rezha Remboata, Hendrick, Arjun, Alib, Antoni dan lainnya yang tidak
dapat disebutkan satu persatu.
10. Keluarga KKN penulis, Ibunda Lurah Napabalano, ka Ari, Iqra, Rajab, Zam,
Febhi, Anto, Moris, Farma dan yang lainnya yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu.
Demikian ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
semoga Allah SWT., memberikan imbalan pahala yang setimpal terhadap amal
baik dan pengabdian yang dilakukan dalam upaya mencerdaskan umat manusia.
Namun penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, harapan kepada para pembaca untuk memberikan saran yang sifatnya
memperbaiki
Demi kesempurnaan skripsi ini. Amiiin…
Kendari, April 2016
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………….… i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………..………….. ii
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI……………...…………….. iii
ABSTRAK……………………………………………...…………….. iv
KATA PENGANTAR…………….…………………...…………….. v
DAFTAR ISI…………………..……………………………….……... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………..…… 1
B. Rumusan Masalah……………………………………………… 4
C. Tujuan Penelitian………………………………………………. 4
D. Manfaat Penelitian………………………………………...…… 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Perjanjian pada Umumnya..………………………… 6
B. Pengertian Wakaf………………...….…………………………. 10
C. Unsur dan Syarat Sahnya Wakaf..……………………………… 16
D. Dasar Hukum Pengaturan Wakaf……………..………………… 20
E. Tata Cara Pelaksanaan Wakaf…………….…….………………. 25
F. Penyelesaian Sengketa Wakaf di Pengadilan Agama…………... 36
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian……………………………………………….…. 39
B. Pendekatan Penelitian……..…………………………………… 39
C. Sumber Bahan Hukum……....………………….………… ...… 40
D. Pengumpulan Bahan Hukum…………………………………… 41
E. Analisis Bahan Hukum…………………………………………. 42
F. Langkah-langkah Penelitian Hukum………………………. ...…. 42
ix
BAB IV ANALISIS PEMBAHASAN
A. Tanah Wakaf yang Sebelumnya Diperuntukan untuk Pembangunan
Sarana Umum Namun Kemudian Dialihkan untuk Sarana Lain
Yang Bersifat Komersil……………………………………….… 44
B. Kedudukan Tanah Wakaf yang Ditarik Kembali oleh Pemberi
Wakaf…........................................................................................ 48
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…….………………………………………..….….. 52
B. Saran……….…………………………………………………… 52
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ditengah permasalahan sosial masyarakat Indonesia dan tuntutan akan
kesejahteraan ekonomi dewasa ini, eksistensi lembaga wakaf menjadi sangat
urgen dan strategis. Disamping sebagai salah satu aspek ajaran Islam yang
berdimensi spiritual. Wakaf juga merupakan ajaran yang menekankan
pentingnya kesejahteraan ekonomi. Oleh karena itu sangat penting dilakukan
pendefinisian ulang terhadap wakaf agar memiliki makna yang lebih relevan
dengan kondisi riil persoalan kesejahteraan.
Perbincangan tentang wakaf sering kali diarahkan kepada wakaf benda
tidak bergerak seperti tanah, bangunan, dan lain-lain. Sampai dewasa ini
kebanyakan masyarakat Indonesia masih pada pemahaman bahwa pengamalan
wakaf harus berwujud benda tidak bergerak khususnya tanah yang di atasnya
didirikan masjid atau madrasah dan penggunaannya didasarkan pada wasiat
dari pemberi wakaf dengan ketentuan bahwa untuk menjaga kekekalannya
tanah wakaf itu tidak boleh diperjual belikan dengan alasan apapun. Bertahan
pada pemahaman seperti itu bukanlah sebuah kesalahan.Namun yang pasti
Indonesia telah memiliki aturan tersendiri mengenai wakaf. Oleh karena
demikian, aturan itulah yang menjadi standar pengamalan wakaf di Indonesia.
2
Wakaf sebagai salah satu lembaga Islam yang erat kaitannya dengan
kesejahteraan umat sudah lama melembaga di Indonesia.Sebagai negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia memiliki tanah wakaf yang
luas. Namun karena sejak semula tidak diiringi dengan peraturan perundang-
undangan yang memadai, tanah wakaf itu tidak berkembang dengan baik,
bahkan sering menimbulkan masalah.
Di Indonesia, campur tangan pemerintah dalam hal perwakafan
mempunyai dasar hukum yang kuat. Dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (1) di
bawah negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Norma dasar yang
tersebut dalam Pasal 29 ayat (1) itu tafsirannya antara lain bermakna bahwa
"Negara Republik Indonesia" wajib menjalankan syariat Islam bagi orang
Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani dan syariat Hindu-Bali bagi orang
Hindu-Bali, apabila dalam pelaksanaan syariat itu memerlukan perantaraan
kekuasaan negara. Alasannya, syariat yang berasal dari agama yang dianut
warga negara Republik Indonesia itu adalah kebutuhan hidup para pemeluknya.
Ayat (2) pasal itu dengan jelas juga menyebutkan bahwa negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadah menurut agamanya itu.
Perhatian pemerintah terhadap perwakafan ditanah air tampak lebih jelas
lagi dengan ditetapkannya Undang-Undang tentang Peradilan Agama yang
menyebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-
orang yang beragama Islam di bidang: (a). perkawinan; (b). kewarisan, wasiat,
3
dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; (c). wakaf dan shadaqah.
Dengan adanya berbagai peraturan itu, diharapkan pelaksanaan perwakafan di
Indonesia dapat berjalan tertib. Namun kenyataannya, peraturan-peraturan yang
berkenaan dengan wakaf tersebut sampai dengan tahun 1990 belum
sepenuhnya mampu mengatasi masalah perwakafan.
Permasalahan wakaf khususnya di Kota Kendari juga tampak meningkat.
Telah tampak beberapa tanah wakaf yang sebelumnya diperuntukan untuk
pembangunan sarana umum namun kemudian dialihkan untuk sarana lain yang
bersifat komersil. Hal ini kemudian menimbulkan masalah diantara ahli waris
pemberi wakaf karena peruntukan tanah wakaf bukan lagi yang seharusnya.
Akibatnya, para ahli waris pemberi wakaf menuntut untuk dikembalikan tanah
tersebut pemilik semula.
Berdasarkan hasil pengamatan sementara penulis bahwa sarana umum
yang berada ditanah wakaf seperti bekas lokasi Rumah Sakit Umum Propinsi
Sulawesi Tenggara. Dari hasil informan bahwa bekas lokasi bangunan Rumah
Sakit Umum Daerah Propinsi Sulawesi Tenggara diperoleh dari wakaf
seseorang untuk pembangunan sarana umum tersebut. Namun kemudian
bangunan rumah sakit tersebut tidak lagi digunakan karena telah dibangun
Rumah Sakit Daerah Propinsi yang baru. Melihat lokasi tersebut tidak lagi
digunakan sebagai lokasi bangunan tersebut, maka ahli waris pemberi hibah
akan menariknya untuk dikuasai kembali dan dimiliki. Namun hal tersebut,
Pemerintah Daerah Propinsi tetap menganggap lokasi tersebut sebagai tanah
milik Pemerintah Daerah Propinsi Sulawesi Tenggara.
4
Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul: Tinjauan Yuridis Terhadap Penyelesaian Sengketa
Tanah Wakaf yang Tidak Diperuntukan bagi Pembangunan Sarana
Umum.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana tanah wakaf yang sebelumnya diperuntukan untuk
pembangunan sarana umum namun kemudian dialihkan untuk sarana lain
yang bersifat komersil?
2. Bagaimana kedudukan tanah wakaf yang ditarik kembali oleh pemberi
wakaf?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui tanah wakaf yang sebelumnya diperuntukan untuk
pembangunan sarana umum namun kemudian dialihkan untuk sarana lain
yang bersifat komersil.
2. Untuk mengetahui kedudukan tanah wakaf yang ditarik kembali oleh
pemberi wakaf.
D. Manfaat Penelitian.
Manfaat dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
5
Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber pengembangan ilmu hukum
perdata khususnya mengenai penyelesaian sengketa wakaf atas tanah yang
tidak diperuntukan bagi pembangunan sarana umum.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi berkaitan
dengan penyelesaian sengketa wakaf atas tanah yang tidak diperuntukan
bagi pembangunan sarana umum.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Perjanjian pada Umumnya
Perjanjian merupakan hubungan hukum yang melibatkan lebih dari satu
pihak guna memenuhi kebutuhan hidup. Melalui perjanjian hubungan hukum
antara pihak dapat lebih kuat berkaitan dengan pemenuhan hak dan kewajiban
di antara ke dua belah pihak.
Para Sarjana Hukum di Indonesia memakai istilah yang berbeda-beda
untuk perjanjian. Achmad Ichsan ( Triwulan Tutik) memakai istilah
verbintenis untuk perjanjian,1 sedangkan Utrecht dalam bukunya Pengantar
dalam Hukum Indonesia memakai istilah overeenkomst untuk perjanjian.2
Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, yang selanjutnya disebut KUH Perdata menyebutkan: “Suatu
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orangatau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
Ada beberapa kelemahan dari pengertian perjanjian yang diatur dalam
ketentuan di atas, seperti yang dinyatakan oleh Mariam Darus Badrulzaman
bahwa:
Definisi perjanjianyang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 KUH
Perdata adalah tidak lengkap dan terlalu luas, tidak lengkap karena yang
dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu
dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan-perbuatan di
dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin yang merupakan
1Titik Triwulan Tutik, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2007.hlm. 491 2Utrecht, KUH Perdata Buku III Hukum Perikiitan dengan Penjelasan, PT. Alumi
Bandung.2005, hal. 89.
7
perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur
dalam KUH Perdata Buku III, perjanjian yang diatur dalam KUH
Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata
lain dinilai dengan uang.3
Abdul Kadir Muhammad menyatakan kelemahan pasal tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal tersebut dapat diketahui dari
perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya pada satu
orang atau lebih”. Kata “mengikatkan diri“ sifatnya hanya datang dari
satu pihak saja,tidak dari kedua belah pihak seharusnya dirumuskan
saling mengikatkan diri, jadi ada consensusantara pihak-pihak.
2. Kata “perbuatan” mencakup juga tanpa consensus. Pengertian
perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa,
tindakan melawan hukum yang tidak mengandung consensus,
seharusnya digunakan kata persetujuan
3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian dalam pasal
tersebut terlalu luas karena mencakup juga pelangsungan
perkawinan,yaitu janji kawin yang yang diatur dalam lapangan
hukum keluarga. Padahal yang dimaksudkan adalah hubungan antara
kreditur dengan debitur dalam lapangan harta kekayaan
saja.Perjanjian yang dikehendaki oleh buku III KUH Perdata
sebenarnya adalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan
perjanjian yang bersifat personal.
4. Tanpa menyebut tujuan mangadakan perjanjian.Tanpa menyebut
tujuan mangadakan perjanjiansehingga pihak-pihak yang
mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa. Berdasarkan alasan yang
dikemukan di atas, maka perlu dirumuskan kembali apa yang
dimaksud dengan perjanjian itu.4
Subekti bahwa menurut Kamus Hukum, perjanjian adalah persetujuan,
permufakatan antara dua orang/pihak untuk melaksanakan sesuatu.Kalau
diadakan tertulis juga dinamakan kontrak.5
3Mariam Darus Badrulzaman, dkk.,Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2001, hal. 78. 4Abdul Kadir Muhammad, Hukum Kontrak, Teori & Tekriik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar
Grafika, 2008. hal. 27 5Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2001, hal. 36
8
Menurut doktrin (teori lama), yang disebut perjanjian adalah hukum
berdasarkan katasepakat untuk menimbulkan akibat hukum.Dari definisi di
atas, telah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum
(tumbuh/lenyapnya hak dan kewajiban).
Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne (Salim) bahwa:
Yang diartikan dengan perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara
dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat
hukum.Teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata,
tetapi juga harus dilihat perbuatan-perbuatan sebelumnya atau yang
mendahuluinya.6
Menurut Subekti yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana duaorang
itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini timbul
suatu hubungan perikatan.7
Menurut Syahmin AK, dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu
rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang
diucapkan atau ditulis.8
Dari beberapa pengertian di atas, menunjukkan adanya beberapa unsur
perjanjian, antara lain:
1. Adanya pihak-pihak yang sekurang-kurangnya dua orang.
Pihak-pihak yang dimaksudkan di sini adalah subyek perjanjian yang
dapat berupa badan hukum dan manusia yang cakap untuk melakukan
perbuatan hukum menurut undang-undang.
6Salim H.S dkk, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU),
(Jakarta: Sinar grafika, 2007), Hal. 124 7 Subekti, Hukum Perjanjian, Grafindo Persada, Jakarta, hal.249
8Syahmin AK, Pengantar Hukum Indonesia.Grafindo Persada, Jakarta, 2006, Hal.140.
9
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja bahwa:
Dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak
adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya
adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur). Masing-
masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu orang atau lebih orang,
bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut juga
dapat terdiri dari satu atau lebih badan hukum.9
2. Adanya persetujuan atau kata sepakat.
Persetujuan atau kata sepakat yang dimaksudkan adalah konsensus
antara para pihak terhadap syarat-syarat dan obyek yang
diperjanjikan.Adanya tujuan yang ingin dicapai. Tujuan yang ingin dicapai
dimaksudkan di sini sebagai kepentingan para pihak yang akan diwujudkan
melalui perjanjian.
3. Adanya prestasi atau kewajiban yang akan dilaksanakan.
Dengan membuat perjanjian, pihak yang mengadakan perjanjian,
secara “sukarela” mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat
sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu guna kepentingan dan keuntungan
dari pihak terhadap siapa ia telah berjanji atau mengikatkan diri, dengan
jaminan atau tanggungan berupa harta kekayaan yang dimiliki dan akan
dimiliki oleh pihak yang membuat perjanjian atau yang telah mengikatkan
diri tersebut. Dengan sifat sukarela, perjanjian harus lahir dari kehendak
dan harus dilaksanakan sesuai dengan maksud dari pihak yang membuat
perjanjian. Prestasi yang dimaksud adalah sebagai kewajiban bagi pihak-
9Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2007, Seri Hukum Bisnis Memahami
Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal.249
10
pihak untuk melaksanakannya sesuai dengan apa yang disepakati.
Perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang
lain, ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari
satu orang atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak)
lainnya yang berhak atas prestasi tersebut.
4. Adanya bentuk tertentu.
Bentuk tertentu yang dimaksudkan adalah perjanjian yangdibuat
oleh parapihak harus jelas bentuknya agar dapat menjadi alat pembuktian
yang sah bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.Untuk beberapa
perjanjian tertentu, undang-undang menentukan suatu bentuk tertentu,
yaitu bentuk tertulis sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka
perjanjian itu tidak sah.Dengan demikian, bentuk tertulis tidaklah hanya
semata-mata hanya merupakan pembuktian saja, tetapi juga syarat untuk
adanya perjanjian itu.
5. Adanya syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat tertentu yang dimaksud adalah substansi perjanjian
sebagaimana yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian.
Berdasarkan uraian di atas bahwa perjanjian merupakan dasar
hubungan hukum antara dua pihak yang mana kedua belah pihak saling
mengikatkan diri untuk saling memenuhi kewajiban dan hak masing-
masing.Tanpa adanya dasar perjanjian maka hubungan hukum tidak ada
sehingga dapat beresiko pada hubungan timbal balik.
B. Pengertian Wakaf
11
Wakaf merupakan salah satu perbuatan hukum di Indonesia, tidak
beda dengan perbuatan hukum lainnya. Meskipun wakaf tidak ada
hubungan imbalan tetapi wakaf harus dilaksanakan sesuai tujuan dan
fungsinya.Oleh sebab itu wakaf diatur juga sebagai perbuatan yang diatur
oleh hukum yang berlaku.
Farida Prihartin dkk bahwa:
Ditinjau dari segi bahasa wakaf berasal dari bahasa Arab waqf yang
berasal dari kata woqofa-yaqifu-waqfa yang berarti ragu-ragu, berhenti,
memperlihatkan, memperhatikan, meletakan, mengatakan, mengabdi,
memahami, mencegah, menahan, dan tetap berdiri.10
Departeman Agama RI bahwa:
Kata al-waqf adalah bentuk kata kerja dari ungkapan waqfu al-syai
yang berarti menahan sesuatu.Dalam pengertian secara umum wakaf
adalah pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan
menahan (pemilikan) asal (tahbisul ashli), lalu menjadikan manfaatnya
berlaku umum. Sedangkan yang dimaksud dengan tahbisul ashli ialah
menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, disewakan
dan digadaikan kepada orang lain. Cara pemanfaatanya,
menggunakannya adalah sesuai dengan kehendak pemberi wakaf
(wakif) tanpa imbalan.11
Wakaf menurut istilah berarti menahan harta yang dapat diambil
manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk penggunaan yang mubah, serta
dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah S.W.T.
Abdul Manan bahwa pengertian wakaf jika ditinjau dari segi
terminologis ada beberapa konsep, dimana para pakar hukum Islam memiliki
10
Farida Prihartin dkk, 2005, Hukum Islam, Zakat dan waqaf, Teori dan Prakteknya di
Indonesia, Papas Sinar Sinanti dan Fak. HukumUI, Jakarta h. 108-109. 11
Departeman Agama RI,2005, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Direktorat
Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag, Jakarta, h. 1-2
12
pendapat yang berbeda-beda sesuaidengan faham dari mazhab yang
dianutnya.12
Al Minawi dari mazhab Syafi’i menyatakan wakaf adalah menahan
harta benda yang dimiliki dan menyalurkan manfaatnya dengan tetap menjaga
pokok barang dan keabadiannya yang berasal dari para dermawan atau pihak
umum selain dari harta maksiat, semata-mata karena ingin mendekatkan diri
kepada Allah SWT.13
Al Kabisi dari mazhab Hanafi menyatakan bahwa wakaf adalah
menahan benda dalam kepemilikan wakif dan menyedekahkan manfaatnya
kepada orang-orang miskin dengan tetap menjaga keutuhan bendanya.Dalam
pembatasan inimenekankan bahwa wakaf itu menahan benda milik si wakif
dan yang disedekahkan adalah manfaatnya atau hasilnya saja. Sedangkan dari
penganut Imam Malik menyatakan bahwa wakaf itu adalah menjadikan
manfaat benda yang dimiliki, baik yang berupa sewa atau hasilnya untuk
diserahkan kepada orang yang berhak, dengan bentuk penyerahan berjangka
waktu sesuai dengan apa yang diperjanjikan atau yang dikehendaki oleh orang
yang mewakafkan.14
Wakaf menurut pendapat ini tidak disyaratkan berlaku untuk
selamanya, tetapi sah apabila berlaku untuk dalam waktu tertentu saja,
sesudah itu kembali kepada pemiliknya.
Mundzir Qahaf menyatakan bahwa:
12
AbdulManan, 2007, Hukum Wakaf Dalam Paradigma baru di Indonesia, Varia
Peradilan, No 255 Februari 2007, Jakarta, h. 32 13
Al Minawi dari mazhab Syafi’i 14
Iman Malik
13
Wakaf adalah menahan harta baik secara abadi maupun sementara, dari
segala bentuk tindakan pribadi,seperti menjual dan memberikan wakaf
atau yang lainnya, untuk tujuan pemanfaatannya atau hasilnya secara
berulang-ulang bagi kepentingan umum atau khusus, sesuai dengan
tujuan yang disyaratkan oleh Wakif dan dalam batasan hukum
syari’at.15
Departemen Agama RIbahwa:
Perkembangan pelaksanaan wakaf di Indonesia sebagian besar
mengikuti mazhap Syafi’i yang antara lain pokok-pokok pandangannya
meliputi ;
a. Ikrar wakaf.
b. Harta yang boleh diwakafkan.
c. Kedudukan harta setelah diwakafkan.
d. Harta wakaf ditujukan kepada siapa.
e. Boleh tidaknya tukar menukar harta wakaf.16
a. Ikrar wakaf.
Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, pelaksanaan
perwakafanhanya dilakukan dengan secara lisan saja yang didasarkan pada
adat kebiasaan keberagamaan yang bersifat lokal. Pernyataan lisan secara
jelas menurut pandangan As-Syafii termasuk bentuk dari pernyataan wakaf
yang sah.Perwakafan secara lisan dipandang sah tidak berarti bahwa
pelaksanaan perwakafan yang dilakukan secara tertulis itu tidak
sah.Pernyataan secara tertulis dalam perwakafan justru dapat dipergunakan
sebagai bukti yang kuat bahwa orang yang berwakaf itu benar-benar telah
melakukan wakaf.
15
Mundzir Qahaf, 2005, Manajemen Wakaf Produktif , Khalifa, Jakarta, h. 157 16
Departemen Agama RI, 2005, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di
Indonesia,Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Jakarta, h. 34
14
b. Harta yang boleh diwakafkan.
Harta benda yang diwakfkan itu dipandang sah apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut;
1. Benda harus memiliki nilai guna.
Maksudnya tidak sah hukumnya mewakafkan sesuatu yang bukan
berwujud benda, misalnya yang berupa hak-hak, seperti hak pakai, hak
lewat, hak irigasi.Tidak sah mewakafkan sesuatu benda yang tidak
berharga menurut syara, yaitu benda yang tidak boleh diambil
manfaatnya seperti benda yang memabukan maupun benda-benda yang
haram lainnya.Tujuan wakaf adalah untuk mengambil manfaat dari
benda wakaf tersebut serta untuk mendapatkan pahala atau keridhaan
Allah SWT atas perbuatan tersebut.
2. Benda tetap atau benda bergerak yang dibenarkan untuk diwakafkan.
Yang dijadikan sandaran dalamm melakukan wakaf terhadap harta
adalah dilihat dari segi kekelan fungsi atau manfaat dari harta tersebut,
baik harta tersebut berupa benda bergerak atau tidak bergerak.Pada
umumnya perwakafan di Indonesia masih didominasi wakaf terhadap
harta yang tidak bergerak, misalnya tanah, bangunan untuk
masjid/mushola, tempat pendidikan/ sekolah, rumah sakit, tempat
pemakaman dan sebagainya.
3. Benda yang diwakafkan harus tertentu (nyata dapat diketahui) ketika
terjadi akad wakaf.
15
Penentuan harta wakaf tersebut dapat ditetapkan dengan jumlah,
misalnya disebutkan jumlahnya seratus juta, atau dapat juga dengan
menyebutkan isbahnya terhadap benda tertentu misalnya sepertiga dari
tanah yang dimiliki, dan sebagainya. Wakaf yang tidak menyebutkan
secara jelas harta yang akan diwakafkan maka hukumnya tidak sah,
misalnya hanya menyebutkan sebagian tanah miliknya atau sejumlah
bukunya dan sebagainya.
4. Benda yang diwakafkan harus benar-benar menjadi milik tetap si wakif
atau orang berwakaf, ketika terjadi akad wakaf.
Benda yang belum menjadi miliknya tidak sah hukumnya untuk
diwakafkan, meskipun harta itu nantinya akan menjadi miliknya, harta
yang masih dijaminkan, uang arisan yang belum diundi dan sebagainya.
c. Kedudukan harta setelah diwakafkan.
Harta yang telah diwakafkan kedudukanya menjadi milik Allah SWT
atau menjadi milik umum. Harta yang telah diwakafkan oleh wakif sudah
lepas hak kepemilikannya dari wakif sejak wakaf diikrarkan, jadi Wakif
sudah tidak mempunyai hak terhadap benda wakaf itu, maka si Wakif tidak
dapat menarik kembali, membatalkan dan membelanjakannya yang dapat
mengakibatkan perpindahan hak milik, tidak dapat menjual, menggadaikan,
menghibahkan, mewariskan.
d. Harta wakaf ditujukan kepada siapa.
Pertama harta wakaf dapat ditujukan kepada keluarga atau orang
tertentu (wakaf ahli), bahwa hasil harta wakaf itu hanya diperuntukan
16
kepada keluarga yang ditunjuk oleh wakif. Kedua wakaf ditujukan kepada
kepentingan umum atau masyarakat (wakaf Khairi), hasil dari harta wakaf
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat
e. Boleh tidaknya tukar menukar terhadap harta wakaf.
Menurut paham As-Syafii di Indonesia harta benda wakaf tidak
boleh ditukar dengan alasan apapun.
Dampak dari keteguhan pendirian berdasarkan ajaran Mazhaf Syafi’I
ini terhadap harta wakaf yang berupa bangunan masjid atau bentuk bangunan
yang lain yang sudah rusakatau kurang layak untuk digunakan maka
masyarakat tidak lagi mau memanfaatkannya yangakibatnya bangunan
tersebutakan semakin tidak terurus dan terbengkelai. Pada hal jika harta wakaf
itu dapat ditukarkan dengan harta yang lebih produktif maka hasilnya dapat
dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.
C. Unsur dan Syarat Sahnya Wakaf
Kesempurnaan suatu pelaksanaan perbuatan wakaf sangat sangat
dipengaruhi oleh terpenuhinya unsur-unsur perbuatan wakaf. Menurut
sebagian besar pandangan para ulama rukun wakaf itu meliputi:
1.Orang yang berwakaf (wakif).
2.Harta yang diwakafkan (maukuf).
3.Tujuan wakaf (maukuf a’laih)
4.Pernyataan wakaf (shighat)
Unsur-unsur wakaf berdasarkan pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2004 Tentang Wakaf adalah:
17
1. Wakif
2. Nazhir
3. Harta benda wakaf
4. Ikrar wakaf
5. Peruntukan harta benda wakaf
6. Jangka waktu wakaf.
Masing-masing unsur dari wakaf tersebut harus memenuhi syarat-
syarat sebagai beriku:
1. Wakif (orang yang melakukan wakaf).
Wakif harus memenuhi syarat mempunyai kecakapan melakukan
tabaru yaitu melepaskan hak milik tanpa imbangan materiil.seseorang
dikatakan mempunyai kecakapan bertabaru apabila ia telah dewasa
(baligh), berakal sehat , tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, dan
pemilik sahdari harta benda wakaf.
Yang menjadi titik berat dalam menentukan apakah seseorang
dipandang cakap bertabaru atau tidak adalah adanya pertimbangan
akalyang sempurna pada orang yang telah mencapai umur baligh.Dalam
Fikih Islam dikenal ada dua pengertian untuk menentukan kedewasaan
seseorang yaitu pengertian baligh danrasyidpengertian balighdititik
beratkan pada umur dan Rasyid dititikberatkan pada kematangan
pertimbangan akal.Akan lebih tepat kiranya apabila dalam penentuan
kacakapan tabaru itu ditentukan juga adanya syaratrasyid.Tentang
beragama Islam atau tidakberagama Islam, tidak menjadi syarat bagi
18
wakif, sehingga bagi seorang penganut agama selain Islampun dibolehkan
untuk berwakaf.
2. Nazhir.
Nazhir adalah perseorangan, organisasi atau badan hukum yang
memegang amanah untuk mengelola, mengembangkan harta benda wakaf
sesuai dengan fungsi dan tujuan wakaf.
Adapun syarat-syarat bagi seorang Nazhir adalah:
a. Warga Negara Indonesia
b. Beragama Islam
c. Dewasa
d. Amanah
e. Mampu secara jasmani dan rokhani
f. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
3. Harta benda wakaf (mauquf).
Harta bendayang diwakafkan dipandang sah apabila merupakan
harta yang bernilai tahan lamauntuk dipergunakan dan harta yang dikuasai
dan dimiliki sah oleh wakif.
Harta wakaf dapat berupa benda tidak bergerak, dan benda
bergerak, seperti uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas
kekayaan intelektual, hak sewa dan benda bergerak lain sesuai dengan
ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Ikrar wakaf.
19
Ikrar wakaf atau pernyataan wakafdapat dikemukakan secara
tertulis, lisan atau dengan suatu isyarat yang dapat dipahami
maksudnya.Pernyataan dengan tulisan atau lisan dapat dipergunakan
menyatakan wakaf oleh siapa saja, sedangkan cara isyarat hanya
dipergunakan bagi orang yang tidak dapat menggunakan secara tulisan
atau lisan. Untuk menjaga adanya kejelasan dalam pernyataan secara
isyarat maka isyarat tersebut harus benar-benar telah dimengerti oleh
pihak yang menerima wakaf.
5. Peruntukan harta benda wakaf.
Peruntukan harta benda wakaf tidak boleh bertentangan dengan
nilai-nilai ibadah, hal ini sesuai dengan sifat amalan wakaf sebagai salah
satu bagian dari ibadah.
Peruntukan harta benda wakaf harus merupakan hal-hal yang
termasuk dalam kategori ibadah pada umumnya, sekurang-kurangnya
termasuk hal yang dibolehkan menurut hukum Islam. Harta benda wakaf
seperti diperuntukan sebagai;
a. Sarana dan kegiatan ibadah.
b. Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan.
c. Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa.
d. Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat.
e. Memajukan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan
dengan syariat dan peraturan perundang-undangan.
6. Jangka waktu wakaf.
20
Para fuqahaberbeda-beda pendapat tentang syarat permanen atau
untuk selamanya dalam jangka waktu wakaf dan wakaf dalam jangka
waktu tertentu.Diantara para fuqaha ada yang mencantumkan jangka
waktu sebagai syarat, ada juga yang tidak mencantumkan sebagai
syarat.Oleh karena itu ada fuqaha yang membolehkan wakaf untuk jangka
waktu tertentu.
D. Dasar Hukum Pengaturan Wakaf
1. Hukum Islam.
Landasan AL-Qur’an dan Hadist. Landasan amalan wakaf dapat
dirujuk beberapa ketentuan dalam kitap suci Al-Qur’an dan Hadist yang
antara lain adalah;
a. Landasan Al Qur’an.
Al-Quran Surah Al-Baqarah Ayat 267.
Terjemahannya:“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di
jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah
kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri
tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah,
bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji..17
Al-Quran Surah Ali-Imran Ayat 92.
17
Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat (267)
21
Terjemahannya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan
(yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan
sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja
yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya..18
Al-Quran Surah An Nahl Ayat 97.
Terjemahannya:Barangsiapa yang berbuat kebaikan laki-laki atau
perempuan dan ia beriman, niscayakan Aku beri
pahala yang lebih bagus dari apa yang mereka
amalkan dan sesungguhnya akan kami beri
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih
baik dri apa yang telah mereka kerjakan.
Al-Quran Surah Al-Hajj Ayat 77.
Terjemahannya: Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu,
sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu, dan
berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat
kemenangan.19
b. Landasan Hadist.
Sunnah Rasulullah dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW
bersabda apabilamanusia meninggal dunia terputuslah (pahala) amal
perbuatanya kecuali dari tiga hal, yaitu sedekah jariah yang mengalir
terus menerus (wakaf), ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang
mendoakan orang tuanya,(HR Muslim).
18
Al-Quran Surah Ali-Imran ayat (92 19
Al-Quran Surah Al-Hajj (77
22
Sunnah Rasulullah dari Ibnu Umar ra, bahwa Umar bin al-
Khathab ra.memperoleh tanah (kebun) di Kaibar, lalu ia datang
menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk. Umar berkata
“Hai Rasulullah SAW, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya
belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau
perintahkan kepadaku?”
Rasulullah SAW bersabda, bila engkau suka,kau tahan
(pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya). Kemudian
Umar mensedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak
diwariskan dan tidak untuk dihibahkan.
Umar mensedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-
orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu
dan tidak dilarang bagi yang mengelola (Nazhir) wakaf makan dari
hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan
orang lain dengan tidak bermaksud memupuk harta. (HR Muslim).
Setelah Umar bin al Khathab mewakafkan tanahnya kemudian
disusul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, dan
sahabat Nabi SAW lainnya seperti Abu Bakar yang mewakafkan
sebidang tanahnya di Mekah, Utsman menyedekahkan harta di Khaibar,
Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur, Muadz bin Jabal
mewakafkan rumahnya, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin
Awwam, dan Aisyah istri Rasulullah SAW. Dalam perkembangannya
wakaf tidak hanya ditujukan kepada orang-orang fakir dan miskin saja,
23
tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan,
membangun perpustakaan dan untuk beasiswa bagi para pelajar
mahasiswa dan sebagainya.Sikap antusias dari masyarakat terhadap
pelaksanaan wakaf, menarik perhatian Pemerintah Negara untuk
mengaturnya, bahwa pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk
membangun solidaritassosial dan ekonomi masyakat.
2. Peraturan Perundang-Undangan
Selanjutnya untuk memberikan pengetahuan yang menyeluruh
mengenai dasar hukum wakaf, maka perlu kiranya mengemukakan pula
dasar hukum menurut perundang-undangan Pemerintah Republik
Indonesia. Sebagimana tercantum dalam buku Panduan Pemberdayaan
Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia menurut Achmad
Djunaidiyaitu:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf.
2. Peraturan Pemerinta Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Wakaf
( Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4667 )
3. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)20
Masalah wakaf dapat diketahui pada Pasal 5, Pasal 14 ayat (91), dan
Pasal 49 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
4. Undang-Undang tentang Yayasan
20
Achmad Djunaidi, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian,
National Legal Reform Program, Jakarta, 2003, hal. 21
24
Mengenai wakaf disinggung secara singkat dalam Pasal 15 termuat
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001
Tanggal 16 Agustus 2001 Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 112.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977.
Dalam Peraturan Pemerintah ini terdiri atas tujuh bab dan delapan belas
pasal, mencakup pengertian wakaf, syarat-syarat sah wakaf, fungsi
wakaf, perubahan, penyelesaian perselisihan dan pengawasan wakaf,
ketentuan pidana dan ketentuan peralihan
6. Peraturan Menteri
- Peraturan Mendagri Nomor 6 Tahun 1977 mengatur tentang tata
pendaftaran perwakafan tanah milik. Cakupannya meliputi
persyaratan tanah yang diwakafkan, pejabat pembuat akta ikrar
wakaf, proses pendaftaran, biaya pendaftaran dan ketentuan peralihan.
- Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 [merinci lebih lanjut
tata cara perwakafan tanah milik]. Pembahasannya tentang ikrar
wakaf dan aktanya, pejabat akta ikrar wakaf, hak dan kewajiban
nadzir, perubahan perwakafan tanah milik, pengawasan dan
bimbingan, penyelesaian perselisihan wakaf serta biaya perwakafan
tanah milik.
7. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Inpres ini berisi perintah kepada Menteri Agama RI dalam rangka
penyebarluasan KHI. Hukum perwakafan sebagaimana diatur dalam
KHI, pada dasarnya sama dengan hukum perwakafan yang telah diatur
25
oleh perundangan yang telah ada sebelumnya. Dalam beberapa hal,
KHI merupakan pengembangan dan penyempurnaan pengaturan
perwakafan sesuai dengan hukum Islam. Pembahasan dalam Kompilasi
Hukum Islam meliputi obyek wakaf, sumpah nadzir, jumlah nadzir,
perubahan benda wakaf, pengawasan nadzir, pengawasan terhadap
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Nadzir, dan peranan Majelis
Ulama dan Camat.
8. SK Dir. BI No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan
Prinsip Syari’ah dan SK Dir. BI No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank
Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syari’ah.
E. Tata Cara Pelaksanaan Wakaf
Fiqih Islam tidak banyak membicarakan prosedur dan tata cara
pelaksanaan wakaf secara rinci. Tetapi Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
1977 dan PeraturanMenteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 mengatur petunjuk
yang lebih lengkap.Menurut Pasal 9 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 1977, pihak yang hendak mewakafkan tanahnya diharuskan datang di
hadapan Pejabat Pembuat AktaIkrar Wakaf (PPAIW) untuk melaksanakan
ikrar wakaf. Dalam ketentuan undang-undang wakaf yang baru yaitu Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 17 juga menyatakan bahwa :
(1) “Ikrar wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada Nadzir di hadapan PPAIW
dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.
(2) Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara lisan
dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh
26
PPAIW.”Yang dimaksud PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf)
dalam hal ini adalah Kepala KUA Kecamatan. Keberadaan PPAIW tersebut
dalampraktek perwakafan di Indonesia telah sesuai dengan kehendak
politik hukum Agraria Nasional, yang ketentuannya diatur dalam Pasal 9
Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik.
Menurut Taufiq Hamami, Keberadaan PPAIW ini dalam praktek
perwakafan tanah merupakan lembaga baru, karena dalam praktek perfiqihan
mengenai perwakafan dalam masyarakat Islam di Indonesia sebelumnya, sama
sekali tidak dikenal. Dalam praktek pelaksanaan wakaf sering dilakukan di
hadapan orang yang dipercayai oleh masyarakat seperti kyai, ustadz, pemuka
masyarakat atau imam masjid. Pada dasarnya keberadaan PPAIW dalam
praktek perwakafan tanah adalah sebagai tindak lanjut dan memenuhi
ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah yang menentukan bahwa:
“Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas
tanah,memberikan suatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah
ataumeminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan,
harusdibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan
pejabatyang ditunjuk oleh Menteri Agraria.”
Dalam hal ini, wakaf merupakan suatu peralihan hak atas tanah dimana
wakif sebagai pemilik asal menyerahkan tanahnya kepada masyarakat yang
diwakili oleh nadzir.Oleh karena wakaf merupakan peralihan hak atas tanah
makadalam pelaksanaannya harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat
oleh pejabat yang berwenang yaitu Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf
27
(PPAIW) yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama.Hal ini
merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah
Nomor 10 tahun 1961 tersebut di atas. Hanya saja,mengingat wakaf termasuk
dalam lembaga keagamaan maka pengangkatan/penunjukan pejabatnya
dilakukan oleh menteri yang berwenang di bidang masalah-masalah
keagamaan, yaitu Menteri Agama.
Oleh karena PPAIW merupakan pejabat resmi yang diangkat
olehpemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
danmerupakan pejabat yang berwenang untuk membuat Akta Ikrar Wakaf,
maka produk yang dikeluarkannya itu merupakan akta otentik. Dalam hal suatu
kecamatan tidak ada kantor KUAnya, maka Kepala Kanwil Depag menunjuk
Kepala KUA terdekat sebagai PPAIW di kecamatan tersebut. Hal ini
ditentukan dalam Pasal 5 ayat 1 dan Ayat 3 Peraturan Menteri Agama Nomor 1
Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Pada pasal sebelumnya yaitu
Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 memberi petunjuk bahwa ikrar wakaf dilakukan
secara tertulis. Dalam hal wakif tidakdapat menghadap PPAIW, maka wakif
dapat membuat ikrar secara tertulisdengan persetujuan dari Kandepag yang
mewilayahi tanah wakaf. Ketentuanini dilengkapi oleh ketentuan Pasal 18
Undang-undang Nomor 41 Tahun2004 tentang wakaf yang menyatakan bahwa:
“Dalam hal Wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau
tidak dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alasan yang
dibenarkan oleh hukum, maka Wakif dapat menunjuk kuasanya dengan
surat kuasa yang diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi.”
28
Kemudian Pasal 9 ayat 5 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977
menentukan bahwa dalam melaksanakan ikrar.Hanya saja,mengingat wakaf
termasuk dalam lembaga keagamaan maka pengangkatan/penunjukan
pejabatnya dilakukan oleh menteri yangberwenang di bidang masalah-masalah
keagamaan, yaitu Menteri Agama.Oleh karena PPAIW merupakan pejabat
resmi yang diangkat oleh pemerintah berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku danmerupakan pejabat yang berwenang untuk
membuat Akta Ikrar Wakaf, maka produk yang dikeluarkannya itu merupakan
akta otentik.
Dalam hal suatu kecamatan tidak ada kantor KUAnya, maka Kepala
Kanwil Depag menunjuk Kepala KUA terdekat sebagai PPAIW di kecamatan
tersebut. Hal ini ditentukan dalam Pasal 5 ayat 1 dan Ayat 3 Peraturan Menteri
Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Pada
pasal sebelumnya yaitu Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 memberi petunjuk bahwa
ikrar wakaf dilakukan secara tertulis. Dalam hal wakif tidak dapat menghadap
PPAIW, maka wakif dapat membuat ikrar secara tertulis dengan persetujuan
dari Kandepag yang mewilayahi tanah wakaf.
Ketentuanini dilengkapi oleh ketentuan Pasal 18 Undang-undang Nomor
41 Tahun 2004 tentang wakaf yang menyatakan bahwa :
“Dalam hal Wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau
tidak dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alasanyang
dibenarkan oleh hukum, maka Wakif dapat menunjuk kuasanya dengan
surat kuasa yang diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi.”
29
Kemudian Pasal 9 Ayat 5 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977
menentukan bahwa dalam melaksanakan ikrar, pihak yang mewakafkan tanah
(wakif) diharuskan membawa serta dan menyerahkan surat-surat sebagai
berikut :
1) Sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya.
2) Surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan
setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut
sesuatu sengketa.
3) Surat keterangan Pendaftaran tanah.
4) Izin dari Bupati/Walikotamadya Kepala daerah cq. Kepala Sub Direktorat
Agraria setempat.
Setelah wakif menyerahkan berbagai persyaratan administratif tersebut di
atas, Maka PPAIW yang bersangkutan berkewajiban untuk memeriksa terlebih
dahulu hal-hal yang menyangkut :
a. Latar belakang, maksud dan kehendak calon wakif apakah kehendak
danmaksud calon wakif tersebut benar-benar ikhlas lilllahi ta’ala
(ataskemauan sendiri) atau tidak (atas paksaan atau tekanan dari orang
lain).
b. Keadaan tanah yang hendak diwakafkan, apakah tanah atau benda yang
akan diwakafkan merupakan milik dari yang bersangkutan dan terlepas
(bebas) dari halangan hukum atau tidak. Halangan hukum di sini
maksudnya bila berwujud tanah, maka tanah tersebut tidak dibebani Hak
Tanggungan atau tersangkut suatu sengketa.Pemeriksaan yang harus
30
dikerjakan oleh PPAIW tersebut, dilakukan melalui penelitian atas surat-
surat sebagai persyaratan administratif yang telah diserahkan oleh calon
wakif kepadanya.
Kewajiban PPAIW yang lainnya adalah memeriksa para saksi yang telah
diajukan oleh calon wakif, apakah mereka telah memenuhi persyaratan
kesaksian atau belum. Saksi dalam ikrar wakaf harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a) Dewasa.
b) Beragama Islam.
c) Berakal sehat.
d)Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
Selain itu, PPAIW juga harus memeriksa nadzir (pengelola benda wakaf)
yang ditunjuk atau dibawa oleh calon wakif.Apabila nadzir tersebut belum
disahkan, maka setelah nadzir dianggap telah memenuhi persyaratan
kenadzirannya, PPAIW tersebut harus mengesahkannya setelah
mempertimbangkan saran-saran dari Majelis Ulama Kecamatan atau Camat
setempat.
Adapun syarat-syarat menjadi nadzir adalah :
a. Warga Negara Indonesia.
b. Beragama Islam.
c. Sudah Dewasa.
d. Sehat jasmani dan rohani.
e. Tidak berada dalam pengampuan, dan.
31
f. Bertempat tinggal di Kecamatan tempat di mana tanah atau benda itu
diwakafkan.
Hal tersebut di atas merupakan persyaratan bagi nadzir perorangan.
Sedangkan bagi nadzir yang berbentuk badan hukum, memiliki persyaratan
sebagai berikut :
1. Berbadan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
2. Mempunyai perwakilan di kecamatan tempat dimana tanah atau benda itu
diwakafkan.
3. Badan hukum yang tujuan, amal dan kegiatan atau usahanya untuk
kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya, yang sesuai
dengan ajaran Islam.
4. Para pengurusnya harus memenuhi syarat sebagaimana syarat nadzir
perorangan.
Baik nadzir perorangan maupun nadzir yang berbentuk badan hukum
harus terdaftar dan mendapat pengesahan dari Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan setempat. Kemudian setelah semua persyaratan administrasi calon
wakif terpenuhi, sehingga tidak ada halangan hukum sama sekali untuk
dilakukannya suatu perwakafan, maka PPAIW mempersilahkan calon wakif
untuk mengucapkan ikrar wakafnya di hadapan PPAIW, nadzir dan para saksi.
Akan tetapi jika tidak mampu menyatakan kehendaknya secara lisan (bisu)
maka dapat dinyatakan dengan isyarat. Pengucapan ikrar tersebut harus
menyangkut :
a. Identitas Wakif
32
b. Pernyataan kehendak
c. Identitas tanah atau benda yang akan diwakafkan
d. Tujuan yang diinginkan
e. Nadzir beserta identitasnya, dan
f. Saksi-saksi.
Kemudian ikrar wakaf yang diucapkan oleh wakif tersebut dituangkan
dalam Akta Ikrar Wakaf. Demi keseragaman, maka bentuk dan model Akta
Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama. Akta Ikrar Wakaf dibuat rangkap
3 (tiga) dimana lembar pertama disimpan oleh PPAIW, lembar kedua
dilampirkan pada surat permohonan pendaftaran kepada Bupati/Walikota cq.
Kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten dan lembar ketiga dikirim ke
Pengadilan Agama yang mewilayahi tanah wakaf tersebut. Selain itu, PPAIW
yang bersangkutan juga harus membuat salinan Akta Ikrar Wakaf dalam
rangkap 4 (empat), yang masing-masing untuk :
1. Wakif
2. Nadzir (pengelola wakaf)
3. Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kotamadya yang mewilayahi
tanah wakaf tersebut.
4. Kepala Desa atau Lurah setempat.
Setelah pengikraran wakaf dan penuangannya ke dalam Akta Ikrar Wakaf
selesai dilaksanakan, maka perbuatan mewakafkan tersebut telah dianggap
terwujud dalam keadaan sah dan mempunyai kekuatan bukti yang kuat
(otentik).
33
Sehingga dengan demikian, tanah wakafnya itu sendiri telah terjamin dan
terlindungi eksistensi dan keberadaanya dari satu generasi kegenerasi
berikutnya. Tindakan selanjutnya untuk lebih memperkuat bukti otentik yang
telah ada, maka yang harus dilakukan oleh PPAIW adalah mendaftarkan
perwakafan tersebut kepada Kantor Pertanahan Nasional Kabupaten setempat.
Pendaftaran tersebut dilakukan oleh PPAIW atas nama nadzir guna
mendapatkan sertifikat tanah wakaf.
Dalam ketentuan Pasal 49 Ayat 3 UUPA ditegaskan bahwa “Perwakafan
tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.”Peraturan
Pemerintah (PP) tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977.
Pendaftaran wakaf tanah milik juga diatur dalam Pasal 10 Peraturan
Pemerintah Nomor 28Tahun 1977, yang lebih lanjut diatur dalam peraturan
pelaksana lainnya, diantaranya yaitu dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 6 Tahun 1977 tentang Tata Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan
Tanah Milik.
Dalam hal perwakafan tanah yang dilakukan tidak di hadapan PPAIW,
maka perwakafan tanah tersebut dapat dilaporkan dan didaftarkan ke Kantor
Urusan Agama (KUA) Kecamatan setempat dengan mengajukan permohonan
secara tertulis.
Adapun pihak yang berwenang untuk mengajukan pendaftaran wakaf
tersebut ke KUA setempat adalah :
a. Wakif, jika masih hidup atau ahli warisnya dalam hal wakif telah meninggal
dunia
34
b. Nadzir, jika masih hidup atau anak keturunan Nadzir dalam hal nadzir telah
meninggal dunia
c. Masyarakat yang mengetahui akan adanya perwakafan tanah tersebut.
Hal-hal yang disertakan pada saat mendaftarkan perwakafan tanah
tersebut adalah:
a. Surat keterangan tentang tanah atau surat keterangan dari Kepala Desa atau
Lurah yang mewilayahi tanah wakaf yang bersangkutan tentang terjadinya
perwakafan tanah tersebut.
b. Dua orang saksi yang ada pada saat wakif malakukan ikrar wakaf.
Apabila saksi-saksi tersebut sudah tidak ada atau meninggal dunia,
makacukup dengan dua orang saksi istifadhah, yakni orang yang mengetahui
dan mendengar tentang perwakafan tanah tersebut.
Setelah Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan sebagai
PPAIW menerima laporan dan pendaftaran perwakafan tanah tersebut,
makahal-hal yang harus dilakukan oleh PPAIW tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Meneliti keadaan tanah wakaf dengan cara memeriksa surat-surat yang
dilampirkan/disertakan dalam surat permohonan pendaftaran perwakafan
tanah tersebut.
b. Meneliti dan mengesahkan Nadzir setelah mendengar saran-saran dari
Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
c. Meneliti saksi-saksi, apakah para saksi tersebut telah memenuhi syarat untuk
menjadi saksi.
35
d. Menerima kesaksian tanah wakaf tersebut dengan cara mendengar
keterangan saksi-saksi tentang pengetahuannya atas tanah wakaf yang
didaftarkan.Keterangan-keterangan tadi harus diucapkan di bawah sumpah
untuk menjamin kebenaran dari keterangan tersebut.
e. Setelah PPAIW selesai melakukan tindakan-tindakan seperti tersebut di atas,
maka untuk membuktikan adanya pendaftaran perwakafan tanah tersebut,
PPAIW harus membuatkan Akta Pengganti Akta Ikrar Wakafdalam rangkap
3 (tiga) dan salinannya dalam rangkap 4 (empat).Untuk Akta Pengganti Akta
Ikrar Wakaf, lembar pertama disimpan oleh PPAIW yang bersangkutan.
Sedangkan untuk lembar kedua dan ketiganya adalah untuk dilampirkan
pada surat permohonan pendaftaran tanah wakaf kepada Kantor Pertanahan
Nasional Kabupaten/Kotamadya dan untuk dikirimkan kepada Pengadilan
Agama yang mewilayahi tanah wakaf tersebut.
Sedangkan untuk salinan Akta Pengganti Akta Ikrar Wakafnya itu
sendiri, lembar pertama diberikan kepada Wakif atau ahli warisnya. Untuk
lembar kedua, ketiga dan keempat masing-masing diberikan/dikirimkan
kepada:
1. Nadzir (pengelola wakaf) yang telah disahkan oleh PPAIW
yangbersangkutan.
2. Kantor Departemen Agama Kabupaten/ Kotamadya.
3. Kepala Desa/Lurah yang mewilayahi tanah wakaf tersebut.
Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf bentuk dan susunannya harus memuat
hal-hal sebagai berikut :
36
a. Hari dan tanggal kejadian pelaporan dan pendaftaran tanah;
b. Identitas pelapor/pendaftar.
c. Keadaan tanah yang diwakafkan;
d. Tujuan wakaf sesuai dengan ikrar wakif;
e. Identitas saksi-saksi;
f. Identitas Nadzir;
g. Indentitas wakif dari tanah wakaf tersebut;
h. Kejadian perwakafan tanah.
Tindakan selanjutnya, yang harus dilakukan oleh PPAIW adalah
mencatatkan Akta pengganti Akta Ikrar Wakaf dalam buku daftar Akta
Pengganti Akta Ikrar Wakaf. Setelah hal-hal tersebut di atas telah selesai
dilakukan, maka PPAIW dalam tenggang waktu selambat-lambatnya 3 (tiga)
bulan setelah dibuatkannya Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf, harus
mendaftarkan tanah wakaf tersebut atas nama nadzir yang bersangkutan kepada
Kantor Pertanahan Nasioanal Kabupaten atau Kotamadya setempat untuk
dicatatkan pada buku tanah dan penerbitan sertifikatnya.
F. Penyelesaian Sengketa Wakaf di Pengadilan Agama
Pengertian Peradilan Agama Peradilan Agama adalah peradilan bagi
orang-orang yang beragama Islam. Di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disebutkan bahwa Peradilan Agama
merupakan salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu.
Abdul Ghofur Anshari bahwa:
37
Pengadilan Agama merupakan peradilan tingkat pertama, dalam
menyelesaikan sengketa bagi orang pencari keadilan yang beragama
Islam.yang berkedudukan di Kotamadya atau Ibukota Kabupaten, dan
daerah hukumnya meliputi wilayah Kotamadya atau Kabupaten.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang digantikan
dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman, Peradilan Agama telah mendapatkan pengakuan
sebagai salah satu dari empat lembaga Peradilan. Dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tersebut,
Peradilan Agama akan lebih mantap dalam menjalankan fungsinya. Para
pencari keadilan pun demikian, akan lebih mudah dan konkrit dalam
berurusan dengan peradilan agama.21
Adapun mengenai kompetensi absolut Peradilan Agama dapat kita baca
dalam ketentuan Pasal 49, yang secara lengkap sebagai berikut: ”Peradilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam, di bidang:
1. Perkawinan,
2. Kewarisan,
3. Wasiat,
4. Hibah,
5. Wakaf
6. Shadaqah, dan
7. Ekonomi syari’ah.
Abdul Ghofur Anshari bahwa:
Secara histories, keberadaan lembaga Peradilan yangmelaksanakan
fungsi Peradilan Agama sudah ada sejakzaman kerajaan-kerajaan Islam
berdiri.Namun pada waktu itu kekuasaan sebagai Hakim (qadhi)
umumnya dilakukan raja atau sultan yang sedang berkuasa, khusus
21
Abdul Ansori Ghafur,Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, cet. ke-
1,Yogyakarta: Pilar Media, 2005, hal 42
38
untuk perkara-perkara yang menyangkut soal Agama, sultan biasanya
menunjuk ulama’/ pemuka agama untuk melakukan fungsi tersebut.22
Berdasarkan uraian di atas bahwa pengadilan agama memiliki
kewenangan menyelesaikan sengketa wakaf, selain perkara perceraian, hibah,
wasiat, sedekah, warisan dan ekonomi syariah. Dengan demikian,, masalah
wakaf dapat diputuskan melalui putusan pengadilan.
22
Ibid, 47)
39
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif, yang merupakan suatu proses untuk menemukan aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna
menjawab isu hukum yang dihadapi yang menghasilkan argumentasi, teori
dan konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi.23
Objek kajian dalam penelitian ini yakni Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf. Dan, Peraturan Perundang-Undangan lainnya, dan buku-buku hukum
serta jurnal-jurnal hukum dari berbagai media yang terkait dengan Tinjauan
Yuridis Penyelesaian Sengketa Tanah Wakaf Yang Tidak Diperuntukan Bagi
Pembangunan Sarana Umum.
B. Pendekatan Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hukum
terdapat beberapa pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan undang-undang (statute approach), yaitu memahami hierarki,
serta asas-asas dalam perundang-undangan, jadi pendekatan dengan
menggunakan legislasi dan regulasi. Adapun pendekatan perundang-
undangan meliputi; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
23
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, 2011, hlm. 35
40
Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Dan Inpres Nomor 1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
2. Pendekatan Konseptual (conceptual approach), pendekatan konseptual
beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang
di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan
pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum
relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan
dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam
membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang
dihadapi.
C. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini adalah bahan
hukum yang terkait dengan isu hukum yang akan ditelaah sebagai berikut :24
1. Bahan Hukum
a) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat autoriatif, artinya
mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-
undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.
Bahan hukum penelitian yang digunakan antara lain :
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
24
Ibid, hlm. 181
41
2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria.
3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf
4) Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)
b) Bagian sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi. Sebagai bahan hukum sekunder
yang terutama adalah buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis, disertasi
hukum dan jurnal-jurnal hukum. Publikasi tentang hukum meliputi buku-
buku teks, kamus-kamus hukum, dan komentar-komentar atas putusan
pengadilan. Bahan hukum sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan
guna mendapatkan landasan teoritis terhadap Tinjauan Yuridis Terhadap
Penyelesaian Sengketa Tanah Wakaf Yang Tidak Diperuntukan Bagi
Pembangunan Sarana Umum.
2. Bahan Non Hukum
Bahan non hukum adalah wawancara, dialog, kesaksian ahli hukum di
pengadilan, seminar, ceramah, dan kuliah.25
D. Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini
menggunakan :
1. Pengumpulan bahan hukum yang menggunakan pendekatan perundang-
undangan (statue approach) dilakukan dengan mencari peraturan
25
Ibid, hlm. 206
42
perundang-undangan mengenai atau yang berkaitan dengan masalah yang
diteliti.26
2. Mengumpulkan bahan hukum yang menggunakan pendekatan konseptual
yaitu penelusuran buku-buku hukum (Treatises), yang dimana buku-buku
yang mengandung konsep-konsep hukum.27
3. Melakukan penelusuran bahan pustaka dengan mengumpulkan buku-buku,
laporan penelitian baik itu skripsi, tesis maupun disertasi serta bahan acuan
lainnya yang digunakan untuk penyusunan laporan penelitian yang
dibahas.28
E. Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang berhasil dikumpulkan diolah secara teratur dan
sistematis, selanjutnya dilakukan analisis secara kualitatif yaitu meneliti,
menelaah bahan hukum yang ada dalam bentuk uraian secara perskriptif
kualitatif untuk dapat menjawab rumusan masalah.
Metode perskriptif kualitatif yaitu analisis yang tidak didasarkan atas
angka-angka tetapi melalui uraian-uraian terhadap peraturan-peraturan yang
berlaku dengan menghubungkan bahan hukum sekunder guna memperoleh
penjelasan yang lengkap mengenai masalah yang akan dikaji.
F. Langkah-langkah Penelitian Hukum
Dalam melakukan penelitian hukum, dilakukan langkah-langkah sebagai
berikut :
26
Ibid, hlm. 237 27
Ibid, hlm. 239 28
Soerjono Soekamto. 2013. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta, Rajagrafindo Persada,
hlm. 28
43
1. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak
relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan.
2. Pengumpulan bahan-bahan hukum dan sekiranya dipandang mempunyai
relevansi juga bahan-bahan hukum non-hukum.
3. Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan-bahan
yang telah dikumpulkan.
4. Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang mejawab isu hukum.
5. Memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun di
dalam kesimpulan.
Langkah-langkah ini sesuai dengan karakter ilmu hukum sebagai ilmu
yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif,
ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan
hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum.29
29
Op.Cit, hlm. 172
44
BAB IV
ANALISIS PEMBAHASAN
A. Tanah Wakaf yang Sebelumnya Diperuntukan untuk Pembangunan
Sarana Umum namun Kemudian Dialihkan untuk Sarana lain yang
Bersifat Komersil
Wakaf adalah pemberian secara cuma-cuma berbeda dengan
hibah.Wakaf memiliki arti tersendiri yaitu objek yang diwakafkan
dipergunakan untuk fungsi tertentu sebagai sarana umum.Dalam hal tersebut,
fungsi objek wakaf hanya disesuaikan dengan kehendak pemberi wakaf.Kalau
objek wakaf dipergunakan tidak sesuai dengan kehendak pemberi wakaf maka
pemberian karena wakaf tersebut dapat dibatalkan.
Wakaf merupakan perbuatan hukum yang melibatkan dua pihak yaitu
pemberi wakaf dan penerima wakaf.Pihak pemberi wakaf adalah orang yang
memiliki kehendak agar objek wakaf dipergunakan hanya untuk kepentingan
tertentu. Sedangkan penerima wakaf adalah badan hukumpublik atau instansi
pemerintah daerah yang memiliki kehendak yang sama untuk membangun
sarana umum.
Tanah merupakan salah satu objek yang diwakafkan pada masyarakat
Kota Kendari.Tanah memiliki fungsi yang sangat penting Karena tanah dapat
digunakan untuk tempat/lokasi bangunan mesjid, sekolah, rumah sakit umum,
pekuburan umum, dan atau bangunan umum lainnya. Pengunaan tanah wakaf
45
dapat dilakukan selama sarana umum yang berada di atasnya dipergunakan
untuk kepentingan umum.
Penyerahan tanah wakaf yang dilakukan oleh pemberi wakaf kepada
penerima wakaf dengan cara lisan menyebabkan tidak adanya pengakuan
hukum terhadapstatus wakaf tersebut. Ketika pemberi wakaf belummengerti
tentang sistem tata caraperwakafan yang telah diatur oleh hukum yang
berlakudan belum tahu tentangmanfaatnya.Pemberi wakaf hanya tahu tentang
hukum yang terdapat dalamsyariat Islam.
Peruntukan tanah wakaf telah ditentukan oleh para pihak sebelum serah
terima tanah wakaf.Tanah wakaf yang diperuntukan sebagai lokasi
pembangunan mesjid maka harus dibangunkan mesjid.Demikian pula tanah
wakaf yang diperuntukan sebagai lokasi pembangunan sarana umum lainnya,
seperti Rumah Sakit Umum maka harus dibanngunkan Rumah Sakit
Umum.Sepanjang tanah wakaf sesuai dengan tujuannya maka selama itu pula
tanah wakaf tetap sebagai lokasi bangunan tersebut.
Penggunaan tanah wakaf tidak ditentukan batas waktunya.Sepanjang
peruntukannya sesuai dengan kehendak semula pemberi wakaf maka selama
itu pula penggunaan tanah wakaf.Penggunaan tanah wakaf berakhir jika tanah
wakaf tidak digunakan lagi atau peruntukannya tidak sesuai lagi dengan
penggunaannya.
Tanah yang telah diwakafkan untuk kepentingan pembangunan sarana
umum pada prinsipnya tidak dapat ditarik. Karena pemberi tanah wakaf telah
melakukannya dengan niat memperoleh nilai ibadah dari tujuan pembangunan
46
sarana umum tersebut.Sarana umum yang dibangun di atas tanah wakaf bagi
pemberi wakaf untuk memperoleh amal ibadah jariah baik di dunia maupun di
akhirat.
Tanah wakaf yang sebelumnya diperuntukan untuk pembangunan
sarana umum namun kemudian dialihkan untuk sarana lain yang bersifat
komersil pada dasarnya telah menyimpang dari peruntukkan tanah
wakaf.Pengalihan tanah wakaf sebagai bentuk pelanggaran atas perjanjian
wakaf yang telah disepakati antara pemberi wakaf dengan penerima wakaf.Hal
tersebut perjanjian wakaf yang telah disepakati dapat dibatalkan.
Dari fakta tersebut kemudian menimbulkan klaim atau gugatan dari
pemberi wakaf atau ahli warisnya yang menghendaki agar tanah yang telah
diwakafkan dikembalikan oleh penerima wakaf.Alasan pemberi wakaf atau
ahli warisnya karena pemberian tanah wakaf hanya untuk digunakan
bangunan sarana umum yang telah ditentukan.
Dari uraian di atas bahwa tanah wakaf yang telah ditentukan
penggunaannya tidak boleh dilanggar.Sebab pemberi wakaf telah
menghendaki pada tanah yang diwakafkan dibangunkan sarana umum yang
bermanfaat bagi masyarakat banyak.Misalnya, pemberi wakaf mewakafkan
tanahnya kepada pemerintah daerah agar membangunkan Rumah Sakit
Umum. Pemberian wakaf tersebut dilakukan karena di wilayah tersebut belum
ada rumah sakit. Meskipun pemberian wakaf tersebut bertujuan untuk
memperoleh amal ibadah dari Allah SWT, namun disisi lain manfaatnya bagi
masyarakat umum yang membutuhkan tempat/atau sarana kesehatan.
47
Penggunaan tanah wakaf yang kemudian dialihkan untuk sarana lain
yang bersifat komersil tidak dapat dipandang benar. Misalnya, tanah wakaf
dialihkan menjadi tempat perbelanjaan modern atau sarana komersil
lainnya.Meskipun jugasarana tersebut dikatakan sebagai sarana umum tidak
dapat dipertahankan karena kembali kepada penggunaannya semula.
Hal di atas sesuai dengan Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf, bahwa harta benda wakaf
tidak hanya cukup dengan lisan saja,tapi harus didaftarkan kepada Pejabat
Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). Setelah pemberi wakaf (wakif)
mewakafkan harta bendanya, maka status harta benda wakaf tersebut
berpindah kepemilikannya kepada pihak yang diberi wakaf. Harta benda
wakaf tersebut tidak boleh diwariskan, dihibahkan, dijualbelikan serta
dipindah tangankan kepada orang lain.
Hal tersebut menunjukkan bahwa perjanjian wakaf memiliki sifat
kekhususan tersendiri.Penggunaan objek wakaf telah ditentukan
peruntukannya, tergantung kehendak pemberi wakaf itu sendiri.Bilamana
pemberi wakaf menghendaki tanah wakaf didirikan Rumah Sakit Umum maka
harus dilaksanakan.Atau jika pemberi wakaf menghendaki tanah wakaf
didirikan untuk lokasi mesjid maka harus dibangun mesjid tidak boleh
membangun gereja, wihara atau tempat ibadah lainnya.
Bagi siapa saja yang melanggar Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf di atas, maka akan dikenai sanksi pidana. Disebutkan dalam
Pasal 67 Ayat (1) bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan,
48
menghibahkan, menjual,mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan
hak lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf yang telah
diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam 41,dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”. Dari ketentuan tersebut bahwa
penerima wakaf harus mempertanggungjawabkan peruntukan objek wakaf.
Penerima wakaf tidak diperbolehkan mengalihkan wakaf demi kepentingan
pribadi atau kelompok.
Berdasarkan uraian di atas bahwa tanah wakaf yang sebelumnya
diperuntukan untuk pembangunan sarana umum namun kemudian dialihkan
untuk sarana lain yang bersifat komersil bertentangan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 41 tahun 2004 Tentang Wakaf, yang mana
melarang menjaminkan, menghibahkan, menjual,mewariskan, mengalihkan
dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Selain itu, penerima wakaf dapat
dituntut secara hukum guna mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut.
B. Kedudukan Tanah Wakaf Yang Ditarik Kembali oleh Pemberi Wakaf
Pada prinsipnya tanah wakaf tidak dapat ditarik kembali selama tanah
yang telah diwakafkan digunakan sesuai peruntukannya.Karena pemberi
wakaf telah menyerahkannya secara ikhlas semata-mata karena Allah SWT
kepada penerima wakaf dengan tujuan untuk memperoleh amal ibadah jariah
selamanya.
49
Ketika terjadi wakaf, pemberi wakaf tidak berpikir atau bermaksud di
kemudian hari akan menarik tanah yang telah diwakafkan. Karena pemberi
wakaf telah ikhlas dan senang hati tanah yang diwakafkan kemudian dijadikan
sebagai lokasi sarana umum yang dapat digunakan oleh orang banyak hingga
selamanya.Hal ini dapat membayangkan amal ibadah yang diperoleh baik
semasa hidup maupun setelah meninggal dunia.
Tanah wakaf yang ditarik kembali ketika tidak diperuntukan lagi sebagai
sarana umum.Fakta yang terjadi, yang menarik tanah wakaf adalah ahli waris
dari pemberi wakaf.Penarikan tanah wakaf yang dilakukan oleh ahli waris dari
pemberi wakaf pada dasarnya tidak dapat dilakukan sebab tanah yang telah
diwakafkan tidak dapat ditarik kembali termasuk oleh ahli waris dari pemberi
wakaf.
Penarikan tanah wakaf yang dilakukan oleh ahli waris dari pemberi
wakaf seharusnya tidak bisa terjadi. Sebab orang tua telah menyerahkan tanah
tersebut sebagai tanah wakaf untuk lokasi sarana umum. Namun kemudian
ahli waris menarik tanah wakaf yang telash dilakukan oleh orang tua sebagai
tindakan yang tidak dibenarkan.Fakta tersebut selanjutnya menimbulkan
masalah baru, antara ahli waris dari pemberi wakaf dengan pihak
penerima/pengelolah tanah wakaf.
Masalah tanah wakaf, seperti yang terjadi di Kota Kendari ketika tanah
wakaf tidak diperuntukan lagi sebagai lokasi sarana umum. Ketika tanah
wakaf dialihkan untuk kepentingan lokasi sarana lainnya yang bersifat
komersil, maka ahli waris hendak menarik kembali tanah wakaf. Alasannya
50
karena peruntukannya tidak sesuai lagi dengan kehendak pemberi wakaf
semasa hidup.
Masalah penarikan tanah wakaf oleh ahli waris dari pemberi wakaf yang
terjadi di Kota Kendari sebagai bentuk pengawasan atas penggunaan tanah
wakaf agar penggunaannya untuk sarana umum dilakukan sepanjang masa.
Hal ini kaitannya dengan amal ibadah jariah bagi pemberi wakaf setellahh
meninggal dunia.Bagi ahli waris dari pemberi wakaf tidak menarik tanah
wakaf selama tanag wakaf sesuai dengan peruntukannnya.
Dari uraian dii atas bahwa tanah yang telah diwakafkan tidak dapat
ditarik kembali oleh pemberi wakaf atau ahli warisnya.Sebab tanah yang telah
diwakafkan telah beralih menjadi hak umum. Namun demikian, tanah yang
telah diwakafkan tidak berarti tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi wakaf
atau ahli warisnya jika sebelum terjadi wakaf telah dibuat kesekapatan untuk
itu. Jadi, pemberian tanah wakaf dimungkinkan terjadi kesepakatan-
kesepakatan tertentu berkaitan dengan penggunaannya.
Dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41
tahun 2004 Tentang Wakaf telah memberikan jaminan kepastian hukum
dalam pewakafan di Indonesia. Pewakafan tidak lagi terjadi hanya
berdasarkan keyakinan atas amal ibadah tetapi secara kongkit telah menjadi
perbuatan hukum yang harus diberikan perlindungan hukum. Hal tersebut
dapat mengikat para pihak yang terkait dengan wakaf sehingga wakaf
memiliki arah yang jelas sebagai perbuatan hukum yang bernilai amal ibadah.
51
Setidaknya dengan adanya payung hukum wakaf dapat memberikan
perlindungan hukum kepada para pihak yang terkait dan mengarahkan
penggunaan wakaf sesuai dengan peruntukannya.Dengan dasar tersebut,
segala permasalahan wakaf di masyarakat dapat diantisipasi.Tidak terjadi lagi
penggunaan wakaf tidak pada peruntukkannya sehingga melemahkan
pewakafan itu sendiri.
Berdasarkan uraian di atas dapat menunjukkan bahwa kedudukan tanah
wakaf memiliki peran yang kuat bagi kepentingan umum.Tanah yang telah
diwakafkan tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi wakaf atau ahli warisnya
meskipun penarikan wakaf dimungkinkan terjadi. Jika terjadi penarikan
kembali tanah wakaf maka sama halnya mencabut hak umum atas tanah
menjadi hak milik pribadi. Padahal tanah yang telah diwakafkan benar-benar
telah memberikan manfaat yang besar bagi orang banyak.
52
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dalam penelitian ini sebagai berikut:
a. Dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41
tahun 2004 Tentang Wakaf telah memberikan jaminan kepastian hukum
dalam pewakafan di Indonesia. Pewakafan tidak lagi terjadi hanya
berdasarkan keyakinan atas amal ibadah tetapi secara kongkir telah
menjadi perbuatan hukum yang harus diberikan perlindungan hukum
b. Kedudukan tanah wakaf yang ditarik kembali oleh pemberi wakaf
adalahpada dasarnya tidak bisa karena tanah yang telah diwakafkan
telah menjadi hak umum yang penggunaannya tanpa batas waktu yang
ditentukan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 41 tahun 2004 Tentang Wakaf.
B. Saran
Saran dalam penelitian ini sebagai berikut:
a. Kepada penerima wakaf khususnya pemerintah daerah agar
menggunakan tanah wakaf sesuai dengan peruntukkannya yang
dikehendaki oleh pemberi wakaf berkaitan dengan pembangunan sarana
umum sehingga tidak jadi masaah dikemudian harinya.
b. Kepada pemberi wakaf dalam memberikan tanah wakafnya harus
memperjelas perjanjian sehingga tidak disalah gunakan oleh penerima
53
wakaf maupun pemerinta karna telah di atur dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf.
54
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Mariam Darus Badrulzaman, dkk., 2001. Kompilasi Hukum Perikatan, Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Departeman Agama RI,2005, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Direktorat
Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag, Jakarta.
Prihartin, Farida, dkk, 2005, Hukum Islam, Zakat danwaqaf, Teoridan Prakteknya
di Indonesia, Papas Sinar Sinanti dan Fak. Hukum UI, Jakarta.
Manan, Abdul, 2007, Hukum Wakaf Dalam Paradigma baru di Indonesia, Varia
Peradilan, No 255 Februari 2007, Jakarta.
Muhammad, Abdul Kadir, 2008. Hukum Kontrak, Teori & Tekriik Penyusunan
Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta.
Subekti, R, 2001. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta.
Salim H.S dkk, 2007.Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding
(MoU), Sinar Grafika, Jakarta.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, 2011
Syahmin AK, 2006. Pengantar Hukum Indonesia. Grafindo Persada, Jakarta.
Triwulan Tutik, 2007. Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Utrecht, 2005.KUH Perdata Buku III Hukum Perikaitan dengan Penjelasan,
Akuntansilum, Bandung
PeraturanPerundang-undangan:
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok –
pokok Agraria. (LN. 2043).
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
(LN. 104)
Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA) Masalah Wakaf.
Undang – Undang Tentang Yayasan Mengenai wakaf (LN 2001 Nomor 112)
55
Peraturan Pemerinta Nomor 28 Tahun 1977 Mencakup Pengertian Wakaf.
Peraturan Pemerinta Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Wakaf
(LN 4667)
Peraturan Mendegri Nomor 6 Tahun 1977 Mengatur Tentang Tata Pendaftaran
Tanah
Top Related