SKRIPSI
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEAMANAN DAN KESELAMATAN KONSUMEN PAKAIAN BEKAS
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Oleh
MAWAR HIDAYATI
B 111 07 634
BAGIAN HUKUM KEPERDATAAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011
i
HALAMAN JUDUL
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEAMANAN DAN KESELAMATAN KONSUMEN PAKAIAN BEKAS DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Oleh
MAWAR HIDAYATI
B 111 07 634
SKRIPSI
Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana dalam Bagian Hukum Keperdataan
Program Studi Ilmu Hukum
Pada
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
MAWAR HIDAYATI, B 111 07 634, Dengan judul skripsi “Tinjauan Yuridis Terhadap Keamanan dan Keselamatan Konsumen Pakaian Bekas Beradasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”. Di bawah bimbingan Ahmadi Miru sebagai pembimbing I dan Nurfaidah Said sebagai pembimbing II.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dalam upaya melindungi konsumen dari dampak penggunaan pakaian bekas, untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat akan dampak penggunaan pakaian bekas bagi kesehatan dan perekonomian dan untuk mengetahui peran pemerintah dalam menyikapi maraknya kegiatan jual beli pakaian bekas.
Penelitian ini dilakukan di Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Makassar, BPSK cabang Makassar, YLK Sul-Sel, Puskesmas Jumpandang, pelaku usaha pakaian bekas, dan konsumen pakaian bekas. Untuk mencapai tujuan tersebut, penulis menggunakan teknik pengumpulan data berupa penelitian studi kepustakaan dan studi lapangan dengan melakukan wawancara langsung dengan pihak-pihak yang terkait sehubungan dengan penulisan skripsi ini, pada kantor Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Makassar, kantor BPSK Kota Makassar, YLK Sul-Sel, Puskesmas Jumpandang, pelaku usaha pakaian bekas, dan mengedarkan kuisioner untuk konsumen pakaian bekas, data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis secara deskriptif.
Dari hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa: pertama, pelaksanaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam upaya melindungi konsumen dari dampak penggunaan pakaian bekas yaitu dengan adanya Pasal 29 dan 30 UUPK mengenai pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah dilakukan secara bertahap.Ketentuan Pasal 7 UUPK yang menentukan kewajiban pelaku usaha memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan pakaian bekas.Tingkat pengetahuan masyarakat akan dampak penggunaan pakaian bekas bagi kesehatan dikategorikan kurang tahu dan memiliki tingkat pengetahuan kurang tahu akan dampak penggunaan pakaian bekas bagi perekonomian. Peran pemerintah dalam menyikapi maraknya jual beli pakaian bekas yaitu pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan yang berkaitan dengan pakaian bekas walaupun belum ada atauran khusus mengenai pakaian bekas.Perlindungan yang diberikan oleh BPSK mengakomodir pengaduan masyarakat, menyelesaikan sengketa konsumen serta memberikan sosialisasi kepada pelaku usaha dan konsumen mengenai dampak pakaian bekas.Perlindungan yang diberikan YLKI hanya sebatas mengawasi dan memberikan solusi terhadap pelaku usaha dan konsumen agar tidak ada kerugian akibat pemakaian pakaian bekas.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT beserta junjunganNya Rasulullah
Nabi Muhammad SAW, karena atas berkah dan rahmatNya, penulis
diberikan kesehatan dan umur yang panjang sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
Banyak kendala yang penulis hadapi dalam menyelesaikan skripsi
ini. Bahkan judul skrisi inipun merupakan judul yang keempat kalinya
penulis ajukan setelah judul skripsi yang sebelumnya tidak diterima.
Namun, hal tersebut tidak menyulutkan semangat penulis untuk terus
berusaha dan berdoa. Penulis senantiasa berfikir bahwa semua itu adalah
pembelajaran diri yang telah mengajarkan tentang jiwa besar, keikhlasan,
dan kesabaran.
Sesungguhnya skripsi ini terselesaikan bukanlah semata-mata hasil
kerja keras penulis namun semua itu tidak terlepas dari doa dan dukungan
orang-orang tercinta serta bantuan dari banyak pihak, maka dengan
setulus hati penulis mempersembahkan rasa terima kasih yang tak terkira
kepada:
1. Ayahanda Swarno dan Ibunda Marsiyem, S. Pd, beserta kakanda
A. Awaluddin Jamin, S. H, adik-adikku tersayang, Wirabuana Seger
Warsito dan Nur Ilmi Ariesta Lestari, terima kasih atas limpahan
kasih saying, doa, perhatian, dan dukungan yang tak pernah surut
kepada penulis selama ini.
2. Bapak Prof. Dr. Ahmadi Miru, S. H, M. H. selaku pembimbing I dan
Dr. Nurfaidah Said, S. H., M. H.,M. Si. selaku pembimbing II.
vii
Terima kasih atas segala perhatian juga nasehatnya dan saran
demi kesempurnaan penyelesaian skripsi ini.
3. Bapak selaku penguji, Prof. Anwar Borahima, S. H, M. H. dan Prof.
Dr. Nurhayati Abbas, S. H, M. H serta Ibu Sakka Pati, S. H, M. H.
Terima kasih atas semua saran dan kritikan yang membangun demi
kesempurnaan skripsi ini.
4. Bapak Prof. Musakkir, S. H, M. H. selaku penasehat akademik
(PA). Terima kasih atas segala perhatian, bimbingan dan
nasehatnya kepada penulis dalam menjalani proses perkuliahan
selama ini.
5. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
yang telah memberikan pelajaran berharga, tidak hanya hukum dan
disiplin ilmu lainnya tetapi juga nilai-nilai moral, etika, dan
pengalaman hidup serta kasih sayang yang tulus sebagai sosok
pengganti orang tua dikampus.
6. Sahabat seperjuangan penulis di hukum perdata A. Maya Sarah
Amnur, Hermansyah, Muh. Ziat Umar dan Syahril Lawa. Serta
teman-teman terbaik penulis yakni A. Kharmadani, Tiara Batti, Ana
Afriana Amir, Astuti Nur Fadillah, Alya Sriwahyuni, Jeny Arlin, Ani
Halim, Evy Kusumawati, Fatmawati, Insan Anshari, Samang dan
teman-teman di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin angkatan
2007 yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu. Terima kasih
atas bantuan, dukungan, doa dan perhatian kepada penulis selama
ini serta ketulusan hati teman-teman untuk menerima segala
kelebihan dan kekurangan dalam diri penulis.
7. Rekan-rekan seperjuangan Posko Kuliah Kerja Nyata (KKN)
Angkatan Polsekta Biringkanaya (Sarah, Hernan, Arin, Retna, Yuli,
Piwi, Aslan, Dijah, Farid, Risvan, Dito, dan Yulianus) serta Mitra
Pembimbing Lapangan (Ipda. Risnan Aldino). Terima kasih untuk
semua kebersamaan, persahabatan dan rasa kekeluargaan yang
terjalin penuh makna dan akan selalu terkenang.
viii
8. Semua pihak yang membantu penulis mulai dari tahap awal
penyusunan, seminar proposal, penelitian sampai tahap akhir
penyelesaian skripsi ini, sehingga semuanya dapat berjalan dengan
baik dan lancar.
Selayaknya seorang manusia biasa yang takkan pernah luput dari
segala kekurangan dan kelemahan, begitupun halnya dengan penulis
yang menyadari bahwa skripsi ini belumlah pantas dikatakan sempurna.
Oleh karena itu, penulis dengan ikhlas menerima segala saran dan kritikan
yang membangun. Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat
dan bernilai ibadah. Semoga Allah SWT senantiasa menganugrakan
rahmat dan hidayahNya dalam setiap aktivitas keseharian kita, tak
terkecuali kepada semua pihak, keluarga, sahabat, teman, saudara, guru
dan dosen serta rekan-rekan seperjuangan yang telah memberi arti dalam
hidup penulis dan takkan pernah terlupakan.
Wassalam
Makassar, Mei 2011
Penulis
Mawar Hidayati B111 07 634
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................. i
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ................................. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... iii
ABSTRAK.................. ......................................................................... iv
KATA PENGANTAR…….. .................................................................. v
DAFTAR ISI......................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................ 7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................. 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian ...................................................................... 9
1. Konsumen ............................................................... 9
2. Perlindungan Konsumen ........................................ 10
B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen..................... 12
1. Asas Perlindungan Konsumen ................................ 12
2. Tujuan Perlindungan Konsumen ............................ 14
C. Hak dan Kewajiban Konsumen ...................................... 16
1. Hak Konsumen ....................................................... 16
2. Kewajiban Konsumen ............................................. 18
D. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ................................. 20
1. Hak Pelaku Usaha .................................................. 20
2. Kewajiban Pelaku Usaha ........................................ 21
E. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Konsumen... 22
F. Jual Beli Pakaian Bekas ................................................. 28
1. Jual beli.................................................................... 28
2. Pakaian Bekas......................................................... 31
x
3. Jual Beli Pakaian Bekas .......................................... 32
G. Peranan pemerintah dalam melakukan pembinaan dan
pengawasan perlindungan konsumen ............................ 34
1. Peran pemerintah dalam melakukan pembinaan
perlindungan konsumen............................................ 35
2. Peran pemerintah dalam malakukan pengawasan
perlindungan konsumen............................................ 40
3. Manfaat dan fungsi pembinaan dan pengawasan
perlindungan konsumen............................................ 44
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian ........................................................... 46
B. Objek dan Subjek Penelitian ......................................... 46
C. Jenis dan Sumber Data ................................................. 47
D. Teknik Pengumpulan Data ............................................ 48
E. Analisis Data ................................................................. 49
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Undang-undang Perlindungan Konsumen
dalam Upaya Melindungi Konsumen Dari Dampak
Penggunaan Pakaian
Bekas………………………………………….......................... 51
B. Tingkat Pengetahuan Konsumen Akan Dampak
Penggunaan Pakaian Bekas Bagi Kesehatan dan
Perekonomian… .................................................................. 64
1. Faktor-faktor yang mendorong maraknya jual beli
pakaian bekas………...................................................... 64
2. Dampak jual beli pakaian bekas… ................................. 68
3. Tingkat pengetahuan masyarakat akan dampak
penggunaan pakaian bekas bagi kesehatan dan
kegiatan ekonomi…………………………… .................... 77
xi
C. Peran Pemerintah dalam Menyikapi Maraknya Kegiatan
Jual Beli Pakaian Bekas ...................................................... 82
1. Peran Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota
Makassar........................................................................ 84
2. Peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) .......................................................................... 90
3. Peran Yayasan Lembaga Konsumen Sulawesi-Selatan 93
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .............................................................................. 97
B. Saran ........................................................................................ 99
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peningkatan kesejahteraan bangsa adalah cita-cita
pembangunan nasional bangsa Indonesia yang bertujuan untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materil dan
spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Tujuan lain pembangunan nasional
adalah dapat membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial
sehingga mendukung tumbuhnya dunia usaha dan mampu
menghasilkan beraneka ragam barang dan jasa yang memiliki kualitas
dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak sekaligus
mendapatkan kepastian atas barang dan jasa yang diperoleh dari
perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen. Tentu saja
yang dimaksudkan dalam cita-cita tersebut adalah minimal mengacu
pada tersedianya kebutuhan pokok warga negara.
Pada Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
ditegaskan bahwa setiap warga negara berhak untuk memperolah
2
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam rangka
memperolah penghidupan yang layak sebagai perwujudan
kesejahteraan dan kecerdasan, diperlukan penyediaan barang dan
jasa dalam jumlah yang cukup, berkualitas baik, dan tentu dengan
harga yang terjangkau oleh setiap warga negara. Berdasar dari
asumsi inilah diperlukan sistem perekonomian negara yang baik,
dalam arti mempertimbangkan kepentingan masyarakat.
Dalam konteks pembangunan di Indonesia, sejak orde baru
telah memusatkan perhatian pada pembangunan nasional pada aspek
pertumbuhan ekonomi, telah tumbuh dan berkembang dengan pesat
berbagai macam industri, baik indutri barang maupun jasa, baik dalam
skala besar maupun dalam skala kecil. Namun demikian,
pertumbuhan dan perkembangan tersebut, di satu sisi memang diakui
telah membawa dampak positif, misalnya tersedianya kebutuhan
warga negara dalam hal sandang, pangan, dan papan, sedangkan di
satu sisi kebijakan tersebut mendorong tumbuh dan berkembangnya
konglomerasi berbasis capital. Akibatnya, usaha-usaha kecil dan
menengah yang berbasis kerakyatan mengalami kemerosotan,
bahkan gulung tikar.
Kondisi tersebut semakin diperparah oleh diberlakukannya
perdagangan bebas. Perdagangan bebas adalah era ketika lalulintas
perdagangan antar negara dan kawasan (regional dan internasional)
begitu terbuka dan terkadang tanpa proteksi. Konsekuensi logis dari
3
kondisi tersebut adalah terjadinya persaingan ketat antar produsen
untuk meningkatkan mutu produk. Setiap produsen berusaha
semaksimal mungkin untuk memenuhi selera dan tren pasar dalam
negeri maupun luar negeri. Seiring dengan hal itu, ditemukannya
berbagai alat komunuikasi dan informatika semakin menambah daya
jangkau pihak produsen suatu produk dalam mempromosikan dan
memasarkan hasil produksinya, dan juga sekaligus memudahkan arus
gerak barang dan jasa tanpa dihalangi oleh batas-batas teritorial dan
geografis antar negara dan kawasan.
Kemudahan dan keanekaragaman produk yang ditawarkan
membuat kebutuhan konsumen terhadap barang dan jasa dapat
terpenuhi. Namun demikian, kondisi tersebut tanpa di sadari oleh
konsumen bahwa mereka menjadi sasaran atau objek para pelaku
bisnis untuk mendapatkan laba yang sebesar-besarnya. Hal itu
disebabkan karena posisi konsumen yang lemah. Maka dari itu untuk
meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan
kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian
konsumen untuk melindungi dirinya terhadap eksploitasi para pemilik
modal. Dalam konteks inilah konsumen sudah sepantasnya
mendapatkan perlindungan hukum yang memadai. Selain berpotensi
untuk menjadi objek eksploitasi para pemilik modal, juga semestinya
terhindar dari segala dampak negatif dari berbagai produk yang
mereka pakai.
4
Keresahan akan hal ini, membuat organisasi dunia
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengeluarkan resolusi Nomor
39/248 Tahun 1985 yang menegaskan tentang kepentingan
konsumen, sebagai berikut: 1
1. Perlindungan konsumen dari bahaya terhadap kesehatan dan
keamanan.
2. Promosi dan perlindungan pada kepentingan ekonomi konsumen.
3. Tersedianya informasi yang mencukupi sehingga memungkinkan
dilakukannya pilihan sesuai dengan kehendak.
4. Pendidikan konsumen.
5. Tersedianya cara-cara ganti rugi yang efektif.
6. Kebebasan membentuk organinasasi konsumen dan diberinya
kesempatan kepada mereka untuk menyatakan pendapat sejak
saat proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan
konsumen.
Pada tahun 1999 pemerintah Indonesia memiliki instrumen
hukum tentang perlindungan terhadap konsumen. Rancangan
Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan Konsumen mendapat
pesetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yakni Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Dengan disahkannnya Undang-Undang tersebut, perlindungan atau
proteksi kepada konsumen dari segala kemungkinan dampak negatif
1 Adrian Sutedi, “Tanggung Jawab Produk dalam Perlindungan Konsumen”. Bogor: Ghalia
Indonesia, 2008, hlm. 3.
5
dari produk yang mereka pakai menjadi kewajiban bagi setiap
penyedia barang dan jasa.
Salah satu bentuk produk barang yang beredar di kalangan
masyarakat saat ini adalah pakaian bekas atau lebih dikenal dalam
istilah umum masyarakat adalah “cakar”. “Cakar” adalah akronim dari
“cap karung”. Istilah ini digunakan masyarakat untuk menyebut
pakaian bekas atau pakaian yang dipasarkan dengan harga murah,
jauh lebih rendah dari harga standar toko dengan kualitas yang relatif
bagus. Pada umumnya jenis pakaian tersebut diimpor dari berbagai
negara secara illegal dalam satuan kemasan karung dalam jumlah
sangat banyak. Mungkin dari sinilah istilah “cakar” atau “cap karung”
muncul. Pengiriman pakaian bekas juga banyak berasal dari bantuan
Negara asing yang disalahgunakan oleh importir, alasannya karena
ingin mendapat keuntungan yang besar dari hasil penjualan pakaian
bekas tersebut. 2 Dalam Surat Keterangan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor. 229/MPP/Kep/7/1997, Pasal 3 Ketentuan Umum
dibidang impor memang disebutkan bahwa “barang yang diimpor
harus baru”. Pakaian bekas tersebut bebas dari biaya bea dan cukai
sehingga dikatakan impor illegal. Hal ini tentu menimbulkan
perekonomian yang tidak sehat dan mengakibatkan kerugian negara.
Maraknya konsumen yang memutuskan untuk membeli
pakaian bekas karena berbagai alasan, termasuk harga pakaian
2 Pakaian Bekas, www.google.com diakses tanggal 18 Oktober 2010, pukul 13.45 WITA.
6
bekas yg sangat murah dan kualitas yg tidak kalah dengan pakaian
impor baru. Pakaian bekas bahkan terkadang lebih disukai daripada
barang impor baru karena kualitas yang lebih tinggi meskipun bekas.
Konsumen harus dapat memutuskan sendiri bagaimana mereka
memenuhi kebutuhan untuk pakaian yang baik dan harga terjangkau
tanpa mengetahui dari mana pakaian bekas itu berasal.
Walaupun merupakan praktek illegal ternyata impor pakaian
bekas tidak serumit yang dibayangkan, dengan memanfaatkan
pelabuhan-pelabuhan kecil, para importir bekerja sama dengan agen
penadah mendatangkan produk pakaian bekas ke tanah air.3
Meskipun menjanjikan keuntungan yang menggiurkan,
terutama bagi para importir, impor pakaian bekas telah melemahkan
industri pakaian dalam negeri, terutama yang berskala kecil dan
menengah. Bahkan dampaknya pun terasa hingga industri hulu yang
menghasilkan kain, benang dan serat tekstil. Apalagi keberadaan
pemasaran pakaian bekas tidak hanya terbatas berada di kota-kota
besar saja, namun juga merambah daerah terpencil seperti desa
pedalaman.4
Selain berdampak pada perekonomian negara, pakaian bekas
bukan tidak mungkin membawa dampak negatif bagi keamanan dan
keselamatan masyarakat. Salah satu hal yang dapat ditelusuri adalah
bahwa pakaian tersebut aman dalam arti keamanan dalam
3 Ibid, www.google.com.
4 Ibid, www.google.com.
7
memperjual belikan pakaian bekas yang sudah jelas illegal dan
keselamatan bagi konsumen pakaian bekas, apakah pakaian tersebut
steril dari berbagai bibit penyakit yang besumber dari pemilik
sebelumnya. Apalagi sudah ada konsumen yang menjadi korban
akibat memakai pakaian bekas, karena tidak memperhatikan akan
dampak pakaian bekas bagi kesehatan.
Berkenaan dengan hal di atas, dalam penelitian ini akan
dibahas tentang tinjauan yuridis terhadap asas keamanan dan
keselamatan konsumen pakaian bekas berdasarkan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
B. Rumusan Masalah
Masalah pokok yang dibahas dalam penelitian ini adalah
bagaimana tinjauan yuridis terhadap asas keamanan dan
keselamatan konsumen pakaian bekas berdasarkan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen? Dari masalah
pokok tersebut dipecah ke dalah tiga sub masalah, yakni:
1. Bagaimana pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen dalam upaya melindungi
konsumen dari dampak penggunaan pakaian bekas?
2. Bagaimana tingkat pengetahuan masyarakat akan dampak
penggunaan pakaian bekas bagi kesehatan dan perekonomian?
3. Bagaimana peran pemerintah dalam menyikapi maraknya kegiatan
jual beli pakaian bekas?
8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
a) Untuk menjelaskan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam upaya
melindungi konsumen dari dampak penggunaan pakaian
bekas.
b) Untuk menjelaskan tingkat pengetahuan masyarakat akan
dampak penggunaan pakaian bekas bagi kesehatan dan
perekonomian.
c) Untuk menjelaskan peran pemerintah dalam menyikapi
maraknya kegiatan jual beli pakaian bekas.
2. Kegunaan dari penulisan skripsi ini adalah:
a) Diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi konsumen
yang menggunakan pakaian jadi agar lebih berhati-hati dalam
menggunakannya.
b) Diharapkan sebagai bahan masukan bagi distributor atau
penjual pakaian bekas untuk lebih mengutamakan kepentingan
konsumen dan perekonomian nasional.
c) Diharapkan sebagai bahan referensi bagi kalangan akademisi,
praktisi hukum, dan pemerhati hukum keperdataan berkenaan
dengan kasus hukum pakaian bekas.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
1. Konsumen
Konsumen berasal dari bahasa Inggris consumer (Inggris
dan Amerika) dan consument/konsument (Belanda). Pengertian
dari consumer atau consument itu tergantung posisi mana ia
berada. Secara harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari
produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan
penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk
konsumen kelompok mana pengguna tersebut, begitu pula Kamus
Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti consumer sebagai pemakai
atau konsumen. 5
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah
konsumen sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
yang selanjutnya disebut UUPK, menyebutkan bahwa konsumen
adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
5 Celina Tri Siwi Kristiyanti, “Hukum Perlindungan Konsumen”. Jakarta: Sinar Grafika, 2008,
hlm. 22.
10
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan, sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Pengertian konsumen dalam UUPK lebih luas dari pada
pengertian konsumen pada kedua Rancangan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen. Luasnya pengertian perlindungan
konsumen tersebut dalam UUPK dilukiskan oleh Ahmadi Miru &
Sutarman Yodo yang mengatakan bahwa pengertian konsumen
dalam UUPK juga meliputi pemakaian barang untuk kepentingan
makhluk hidup lain. Hal ini berarti bahwa UUPK dapat memberikan
perlindungan kepada konsumen yang bukan manusia (hewan,
maupun tumbuh-tumbuhan). Pengertian konsumen yang luas
seperti itu, sangat tepat dalam rangka memberikan perlindungan
seluas-luasnya kepada konsumen. 6
2. Perlindungan Konsumen
Dalam UUPK Pasal 1 Angka (1) ditentukan bahwa
perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen.
Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum” diharapkan sebagai benteng untuk
meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku
usaha hanya untuk kepentingan perlindungan konsumen, karena itu
6 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, “Hukum Perlindungan Konsumen”. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004. Hlm. 6.
11
meskipun Undang-undang ini disebut sebagai Undang-undang
Perlindungan Konsumen namun bukan berarti kepentingan pelaku
usaha tidak ikut menjadi perhatian.7
Menurut Adrian Sutedi bahwa “Konsumen yang dijamin oleh
Undang-undang ini adalah adanya kepastian hukum terhadap
segala perolehan kebutuhan konsumen”. Kepastian hukum itu
meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan
konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang
dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela
hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia
kebutuhan konsumen tersebut. Pemberdayaan konsumen itu
adalah dengan meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan
kemandiriannya dalam melindungi diri sendiri sehingga mampu
mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan menghindari
berbagai akses negatif pemakaian, penggunaan, dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa kebutuhannya.8
Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan
hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai
keterkaitan dan saling ketergantungan antara konsumen, pelaku
usaha dan pemerintah baik dalam kedudukannya sebagai
7 Ibid, hlm.1.
8 Adrian Sutedi, “Tanggung Jawab dalam Hukum Perlindungan Konsumen”. Bogor: Ghalia
Indonesia, 2008. hlm. 9.
12
penyusun kebijakan, pelaksana peraturan perundang-undangan
maupun sebagai penegak hukum.9
B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
1. Asas Perlindungan Konsumen
Pasal 2 UUPK menentukan bahwa perlindungan konsumen
berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, dan keselamatan
konsumen, serta kepastian hukum.
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha
bersama berdasarkan lima asas yang relevan dalam pembangunan
nasional, yaitu:10
a. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa
segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan
konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan;
b. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat
dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan
kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara
adil;
9 Perlindungan Konsumen, www.google.com diakses tanggal 18 Oktober, pukul 13.45 WITA.
10 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, “Hukum Perlindungan Konsumen”. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2008, hlm. 25.
13
c. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha,
dan pemerintah secara spiritual;
d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan
untuk memberikan jaminan atas keselamatan dan keamanan
kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
digunakan;
e. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha
maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan
dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen serta negara
menjamin kepastian hukum.
Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila
diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas
yaitu:11
1. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan
dan keselamatan konsumen;
2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan,
dan
3. Asas kepastian hukum.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo berpendapat bahwa, asas
keseimbangan yang dikelompokkan ke dalam asas keadilan,
11 Ibid, hlm. 26.
14
mengingat hakikat keseimbangan yang dimaksud juga adalah
keadilan bagi kepentingan masing-masing pihak, yaitu konsumen,
pelaku usaha, dan pemerintah. Kepentingan pemerintahan dalam
hubungan ini tidak dapat dilihat dalam hubungan transaksi dagang
secara langsung menyertai pelaku usaha dan konsumen.
Kepentingan pemerintah dalam rangka mewakili kepentingan publik
yang kehadirannya tidak secara langsung di antara para pihak
tetapi melalui berbagai pembatasan dalam bentuk kebijakan yang
dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.12
Menyangkut asas keamanan dan keselamatan konsumen
yang dikelompokkan ke dalam asas manfaat oleh karena keamanan
dan keselamatan konsumen itu sendiri merupakan bagian dari
manfaat penyelenggaraan perlindungan yang diberikan kepada
konsumen di samping kepentingan pelaku usaha secara
keseluruhan.13
2. Tujuan Perlindungan Konsumen
Asas-asas tersebut diatas dipadankan dengan tujuan
perlindungan konsumen yang dijelaskan pada Pasal 3 UUPK yang
menentukan bahwa perlindungan konsumen bertujuan :
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian
konsumen untuk melindungi diri;
12 Ibid, hlm. 28.
13 Ibid, hlm. 30.
15
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang
dan/atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan kualitas dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang
disebutkan di atas bila dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum
secara umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan
terlihat dalam rumusan huruf c, dan huruf e. sementara tujuan
untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan huruf
a, dan b, termasuk huruf c, dan d, serta huruf f, terakhir tujuan
khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat
dalam rumusan huruf d. Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak,
oleh karena seperti yang dapat kita lihat dalam rumusan pada huruf
16
a sampai huruf f terdapat tujuan yang dapat dikualifikasikan
sebagai tujuan ganda.14
C. Hak dan Kewajiban Konsumen
Perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan
perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen.15
1. Hak Konsumen
Secara umum dikenal ada empat hak dasar konsumen, yaitu:
1. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safet);
2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed);
3. Hak untuk memilih (the right choose);
4. Hak untuk didengar (the right to be heard).
Pada pasal 4 UUPK ada delapan hak konsumen yang
dirumuskan sebagai berikut:
1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan
barang dan/atau jasa serta tersebut sesuai dengan nilai tukar
dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa;
14 Ibid, hlm. 34
15 Celina Trisiwi Kristiyanti, “Hukum Perlindungan konsumen”. Jakarta: Sinar Grafika, 2008,
hlm. 30.
17
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan;
5. Hak untuk mendapat advokasi perlindungan dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. Hak untuk diperlakukan secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani mengatakan bahwa dari
Sembilan butir hak konsumen yang diberikan di atas, terlihat bahwa
masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen
merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan
barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan
kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan
keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam
masyarakat. Selanjutnya, untuk menjamin bahwa suatu barang
dan/atau jasa dalam penggunaannya akan nyaman, aman maupun
tidak membahayakan konsumen penggunanya, maka konsumen
diberikan hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang
18
dikehendaki berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar,
jelas, dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan,
konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi,
pembinaan, perlakuan yang adil, dan kompensasi sampai ganti
rugi.16
Hak-hak tersebut juga merupakan jaminan yang diberikan
oleh Undang-undang bagi konsumen untuk terciptanya
keseimbangan antara konsumen dengan pelaku usaha yang pada
akhirnya mendongkrak posisi konsumen menjadi subjek bagi
pelaku usaha, bukan lagi sebagai objek seperti yang terjadi selama
ini.
2. Kewajiban Konsumen
Undang-undang perlindungan konsumen selain
memberikan hak kepada konsumen juga membebankan kewajiban
kepada konsumen. Adapun kewajiban konsumen dalam UUPK
diatur dalam Pasal 5, sebagai berikut:
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan;
2. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa;
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
16 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, “Hukum Tentang Perlindungan Konsumen”. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka, 2003, hlm. 29-30.
19
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo adanya
kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk informasi
dan prosedur pemakaian atau manfaat barang dan/atau jasa demi
keamanan dan keselamtan, merupakan hal penting mendapat
pengaturan. Adapun pentingnya kewajiban ini karena pelaku
usaha telah menyampaikan peringatan secara jelas pada label
suatu produk, namun konsumen tidak membaca peringatan yang
telah disampaikan kepadanya. Dengan pengaturan kewajiban ini,
pelaku usaha tidak bertanggung jawab, jika konsumen yang
bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan kewajiban
tersebut.17
Adanya kewajiban seperti ini diatur dalam UUPK dianggap
tepat sebab kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak
konsumen untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut. Hanya saja kewajiban
konsumen ini tidak cukup untuk maksud tersebut jika tidak diikuti
oleh kewajiban yang sama dari pihak pelaku usaha. Oleh karena
itu, dalam UUPK telah diatur dengan jelas hak dan kewajiban
pelaku usaha.18
17 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, “Hukum Perlindungan Konsumen”. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2008, hlm. 48.
18 Ibid, hlm. 49-50.
20
Antara hak dan kewajiban mempunyai hubungan yang erat
dan bersifat timbal balik. Adanya hak pada konsumen
menimbulkan kewajiban bagi pelaku usaha begitupun sebaliknya,
dengan adanya kewajiban dari konsumen menjadi hak dari pelaku
usaha.
D. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
1. Hak Pelaku Usaha
Sebagai penyelenggara kegiatan usaha, pelaku usaha
adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas akibat negatif
berupa kerugian yang ditimbulkan oleh usahanya terhadap
konsumen. Walaupun UUPK merupakan undang-undang yang
dibuat untuk melindungi konsumen, bukan berarti hak-hak pelaku
usaha diabaikan.
Hal ini dapat dilihat pada Pasal 6 UUPK yang menentukan
bahwa hak pelaku usaha adalah:
1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan;
2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang tidak beriktikad baik;
3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen;
21
4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang
dan/atau jasa yang tidak diperdagangkan;
5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.
Penetapan tentang hak dan kewajiban pelaku usaha
dimaksudkan untuk menciptakan hubungan yang sehat antara
pelaku usaha dan konsumen. Penetapan hak-hak tersebut
melindungi pelaku usaha dari tindakan konsumen yang tidak
beriktikad baik.
2. Kewajiban Pelaku Usaha
Selain menetapkan tentang hak pelaku usaha, UUPK juga
menetapkan kewajiban pelaku usaha yang dapat dilihat dalam
Pasal 7 UUPK, yang menentukan bahwa kewajiban pelaku usaha
adalah:
1. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan
penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif;
22
4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku;
5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji
dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta
memberikan jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau diperdagangkan;
6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan
konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.
E. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Konsumen
Pakaian bekas merupakan barang impor illegal karena bebas
dari biaya bea dan cukai yang dapat merugikan negara. Dengan
diberlakukannya UUPK maka diatur pula mengenai tanggung jawab
pelaku usaha terhadap barang impor, yang dapat dilihat dalam Pasal
21, yaitu:
1. Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang
diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen
atau perwakilan produsen luar negeri;
2. Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing
apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen
atau perwakilan penyedia jasa asing.
23
Dalam pasal tersebut, dinyatakan bahwa importir bertanggung
jawab sebagai pengimpor barang, sedangkan pakaian bekas
merupakan barang illegal karena bebas dari biaya bea dan cukai.
Ketentuan tersebut sesuai dengan Surat Keterangan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan No. 229/MMP/Kep/7/1997 Pasal 3
Ketentuan Umum di bidang impor ditentukan bahwa “Barang yang
diimpor harus dalam keadaan baru”.
Tanggung jawab pelaku usaha telah diatur dalam Pasal 19
UUPK yang menentukan bahwa :
1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau
pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh)
hari setelah tanggal transaksi.
4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) tidak menghapus kemungkinan adanya tuntutan pidana
24
berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur
kesalahan.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan
tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, konsumen dapat
meminta pertanggungjawaban kepada pelaku usaha pakaian bekas
meliputi:
1. Pelaku usaha pakaian bekas bertanggung jawab memberikan ganti
rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen
akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan dalam hal ini adalah pakaian bekas.
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau
pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh)
hari setelah tanggal transaksi.
4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) tidak menghapus kemungkinan adanya tuntutan pidana
25
berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur
kesalahan.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
berlaku apabila pelaku usaha pakaian bekas dapat membuktikan
bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Berbeda halnya dengan ketentuan diatas, Pasal 8 Ayat (2)
UUPK yang menentukan bahwa :
“Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak,
cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara
lengkap dan benar atas barang dimaksud”.
Apabila diuraikan unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
a. Pelaku usaha; dan
b. Memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas,
dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap
dan benar atas barang dimaksud.
Dihubungkan dengan masalah perdagangan pakaian bekas,
Ketentuan Pasal 8 Ayat (2) UUPK dalam upaya memberikan proteksi
kepada konsumen sangat lemah dibandingkan Pasal 19 UUPK, oleh
karena adanya unsur pasal:
“memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas
barang dimaksud”.
26
Mengapa demikian, oleh karena mayoritas masyarakat
mengetahui bahwa pakaian tersebut memang bekas digunakan oleh
seseorang yang diimpor ke Indonesia maka dari itu pelaku usaha tidak
sepenuhnya bertanggung jawab memberikan ganti rugi, dan diakui atau
tidak, keberadaan pakaian bekas seakan menjawab kebutuhan
masyarakat akan tersedianya produk sandang murah dengan kualitas
(relatif) baik tanpa melihat dari sisi lain, misalnya dari sisi kesehatan.
Di Indonesia, tanggung jawab pelaku usaha terhadap produk
barang dan/atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan tidak hanya
diatur dalam UUPK, tetapi juga dalam Pasal 1367 Ayat (1) Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, yang mengatur tentang penyebab
sakit, cidera, atau matinya konsumen pemakai produk tersebut, dapat
diterapkan ketentuan dalam Pasal 1367 Ayat (1), bahwa :
“Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian
yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya, atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di
bawah pengawasannya”.
Pertanggungjawaban yang ditentukan dalam Pasal 1367 ayat (1)
Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini mewajibkan produsen
sebagai pihak yang menghasilkan produk untuk menanggung segala
kerugian yang mungkin disebabkan oleh keadaan barang yang
dihasilkannya. Tetapi tidak berlaku tepat bagi pengimpor pakaian
27
bekas, kecuali merugikan pihak ke 3 (tiga). Menurut hukum, pelaku
usaha bertanggung jawab dan berkewajiban melakukan pengawasan
terhadap produk yang dihasilkannya. Pengawasan ini harus selalu
dilakukan secara teliti dan menurut keahlian. Jika tidak, pelaku usaha
selaku pihak yang menghasilkan produk dapat dianggap lalai dan
kelalaian ini kalau kemudian menyebabkan sakit, cidera, atau mati atau
meninggalnya konsumen pemakai produk yang dihasilkannya, maka
pelaku usaha harus mempertanggungjawabkannya.19 Sedangkan para
pelaku usaha pakaian bekas walaupun bukan sebagai pihak yang
menghasilkan produk tetapi hanya sebagai pengimpor pakaian bekas
untuk diperdagangkan di Indonesia, menurut ketentuan Pasal 1367
Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Pasal 19 UUPK dapat
dimintakan pertanggungjawaban baik perdata maupun pidana atas
kerugian yang mungkin disebabkan oleh pemakaian pakaian bekas dan
berkewajiban memberikan ganti rugi terhadap dampak penggunaan
pakaian bekas yang diperjualbelikan, tetapi pelaku usaha tidak
sepenuhnya bertanggung jawab jika konsumen sudah tidak
memperhatikan lagi dampak memakai pakaian bekas bagi kesehatan.
19 Janus Sidabalok, “Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia”. Bandung: PT citra Aditya
Bakti, 2010, hlm. 125.
28
F. Jual Beli Pakaian Bekas
1. Jual Beli
Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dalam
Pasal 1457 menjelaskan jual beli adalah suatu persetujuan dengan
mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan
suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang
dijanjikan.
Dalam bahasa ekonomi, jual beli dipahami sebagai tindakan
untuk memperoleh sebuah produk yang diinginkan dari seseorang
dengan menawarkan sesuatu sebagai imbalannya.20
Kotler merumuskan lima persyaratan supaya terjadi jual beli,
yaitu :
1. Sekurang-kurangnya terdapat dua pihak;
2. Masing-masing pihak mempunyai sesuatu yang bernilai bagi
pihak lain;
3. Setiap pihak mampu berkomunikasi dan mengirimkan suatu
produk kepada pihak lain;
4. Setiap pihak bebas untuk menerima atau menolak tawaran;
5. Setiap pihak percaya bahwa memang tepat atau perlu untuk
berhubungan dengan pihak lain.
20 Philip Kotler, “Manajemen Pemasaran, jilid II”. Jakarta: Erlangga. 1994. hlm. 53.
29
Dengan memenuhi kelima syarat di atas maka jual beli
menurut kacamata ekonomi dipandang sebagai proses, bukan
semata-mata sebagai sebuah kejadian (peristiwa).21
Sedangkan dari sisi hukum, jual beli merupakan bagian dari
hukum perikatan yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-undang
Hukum Perdata. Menurut ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata telah dirumuskan syarat supaya terjadi
jual beli, adalah sebagai berikut:
1. Ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang
membuat perjanjian (konsensus). Persetujuan
kehendak adalah kesepakatan, seia sekata pihak-
pihak mengenai pokok perjanjian. Apa yang
dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki
oleh pihak yang lainnya.
2. Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat
perjanjian/kapasitas (jual beli). Pada umumnya orang
dikatakan sudah cakap melakukan perbuatan hukum
apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai
umur 21 tahun atau sudah kawin walaupun belum 21
tahun.
3. Suatu hal tertentu (objek). Suatu hal tertentu
merupakan pokok perjanjian, objek perjanjian,
21 Ibid, hlm. 54.
30
prestasi yang wajib dipenuhi dan prestasi itu harus
tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan.
4. Ada suatu sebab yang halal (causa). Perjanjian
tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban
undang-undang dan ketertiban umum serta
kesusilaan.
Pakaian bekas atau lebih dikenal dalam istilah umum
masyarakat adalah “cakar/cap karung”, dikatakan demikian karena
pakaian tersebut diimpor dari berbagai negara secara illegal dalam
satuan kemasan karung atau bal dalam jumlah yang sangat
banyak.22 Dapat disimpulkan bahwa jual beli pakaian bekas
merupakan jual beli menurut tumpukan antara importir dengan
pelaku usaha besar, menengah, dan kecil pakaian bekas,
sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
dalam Pasal 1462 menentukan bahwa jika barang itu dijual
menurut tumpukan, maka barang itu menjadi tanggungan pembeli,
meskipun belum ditimbang, dihitung, atau diukur. Konsekuensinya
adalah pembeli (pelaku usaha) pakaian bekas tidak dapat
memastikan kriteria/jenis/keadaan barang-barang yang berada
dalam tumpukan tersebut.
22 Pakaian Bekas, www.google.com diakses tanggal 18 Oktober, 2010, pukul 13.45 WITA.
31
2. Pakaian bekas
Dalam menjalani kehidupan, manusia membutuhkan
berbagai jenis dan macam barang-barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhannya. Manusia sejak lahir hingga meninggal
dunia tidak terlepas dari kebutuhan akan segala sesuatunya, mulai
dari kebutuhan primer, sekunder, dan tertier.
Kebutuhan primer adalah kebutuhan yang sangat
dibutuhkan orang dan sifatnya wajib untuk dipenuhi. Contohnya
adalah seperti sandang/pakaian, pangan/sembilan bahan
makanan pokok, dan papan/rumah tempat tinggal. Kebutuhan
sekunder adalah merupakan jenis kebutuhan yang diperlukan
setelah semua kebutuhan primer telah terpenuhi dengan baik.
Kebutuhan sekunder sifatnya menunjang kebutuhan primer.
Misalnya seperti makanan yang bergizi, pendidikan yang baik,
pakaian yang baik, perumahan yang baik, dan sebagainya yang
belum masuk dalam kategori mewah. Kebutuhan tertier adalah
kebutuhan manusia yang sifatnya mewah, tidak sederhana dan
berlebihan yang timbul setelah terpenuhinya kebutuhan primer dan
kebutuhan sekunder. Contohnya adalah mobil, antena parabola,
dan komputer. 23
Pakaian termasuk dalam kebutuhan primer yang wajib
dipenuhi, tetapi seiring dengan majunya modernisasi, pakaian
23 M.Imam.Aziz, “Memahami sejarah Indonesia dari Pakaian”. Jakarta: Visi Media, hlm. 2.
32
dapat digolongkan sebagai kebutuhan tertier karena banyak
masyarakat sekarang yang tidak hanya menggunakan pakaian
sebagai alat penutup tubuh tetapi juga digunakan sebagai gaya
hidup yang menegaskan identitas kita kepada lingkungan sosial.
Pakaian juga menjadi media yang efektif untuk menunjukkan
status, kedudukan, kekuasaan, gender, dan bahkan jenis kelamin
dari masa ke masa.
Salah satu produk pakaian yang beredar di masyarakat saat
ini adalah pakaian bekas. Pakaian bekas adalah pakaian yang
telah dipakai oleh orang sebelumnya yang tidak jelas bagaimana
kondisinya, apakah mereka bersih, atau terbebas dari segala
macam penyakit. Apalagi barang-barang tersebut didatangkan
dari luar negeri yang sudah diketahui bahwa pergaulan di sana
sangat bebas. Jika tidak hati-hati bisa saja para pengguna baju
bekas akan terkena berbagai macam penyakit kulit atau bahkan
HIV/AIDS. Meskipun dipasarkan dengan harga murah dan jauh
lebih rendah dari harga standar toko tetap perlu adanya ketelitian
dari para konsumen baju bekas untuk meminimalisir akan risiko
tersebut.24
3. Jual Beli Pakaian Bekas
Sejak masa reformasi atau sekitar tahun 1997 saat krisis
moneter, pakaian-pakaian bekas masuk ke Indonesia, dan di saat
24 Pakaian Bekas, www.google.com diakses tanggal 18 Oktober, 2010, pukul 13.45 WITA.
33
itulah masyarakat Indonesia lebih memilih membeli pakaian bekas
yang banyak dijual bebas.25 Walaupun ada pelarangan pakaian
bekas impor masuk ke Indonesia, namun penyelundupan pakaian
bekas masih tetap marak akibat kurangnya pengawasan dari
pemerintah. Selain hal itu, banyaknya minat masyarakat untuk
membeli pakaian bekas dengan harga terjangkau dan kualitas
yang tidak kalah dengan pakaian impor baru menjadi pemicu
maraknya jual beli pakaian bekas.
Pasar dalam negeri sangat potensial. Namun, persaingan
untuk masuk ke pasar menjadi lebih sulit karena harus bersaing
dengan pakaian bekas impor. Salah satu pemicu keberadaan
pakaian bekas impor itu adalah produk lokal relatif mahal karena
tingginya ongkos produksi yang melibatkan pungutan liar. Selain
itu, kondisi ekonomi yang sulit, daya beli masyarakat menurun
sehingga mereka lebih memilih pakaian bekas dengan harga
murah dibandingkan pakaian baru. Padahal, jaminan kesehatan
pakaian bekas itu masih dipertanyakan.26
25 Ibid, www.google.com.
26 Ibid, www.google.com
34
G. Peranan Pemerintah dalam Melakukan Pembinaan dan
Pengawasan Perlindungan Konsumen
Dalam konteks pembangunan di Indonesia, sejak orde baru
telah memusatkan perhatian pada pembangunan nasional pada aspek
pertumbuhan ekonomi, telah tumbuh dan berkembang dengan pesat
berbagai macam industri dan diberlakukannya perdagangan bebas
antar negara didukung dengan tegnologi yang semakin maju maka
pemerintah perlu aktif dalam membuat, menyesuaikan, dan
mengawasi pelaksanaan peraturan yang berlaku.
Sesuai dengan prinsip pembangunan yang antara lain
menyatakan bahwa pembangunan dilaksanakan bersama oleh
masyarakat dengan pemerintah dan karena itu menjadi tanggung
jawab bersama pula, maka melalui pengaturan dan pengendalian oleh
pemerintah, tujuan pembangunan nasional dapat dicapai dengan
baik.27
Upaya pemerintah untuk melindungi konsumen dari produk
yang merugikan dapat dilaksanakan dengan cara mengatur,
mengawasi, mengendalikan produksi, distribusi, dan peredaran produk
sehingga konsumen tidak dirugikan baik bagi kesehatan maupun
keuangannya. Peranan pemerintah sebagaimana dimaksud dapat
27 Janus Sidabalok, “Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia”. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2010, hlm. 23.
35
dikategorikan sebagai peranan yang berdampak jangka panjang
sehingga perlu dilakukan secara bertahap dengan cara memberikan
penerangan, penyuluhan, dan pendidikan bagi semua pihak. Dengan
demikian, tercipta lingkungan berusaha yang sehat dan
berkembangnya pengusaha yang bertanggung jawab. Dalam jangka
pendek, pemerintah dapat menyelesaikan secara langsung dan cepat
masalah-masalah yang timbul.28
Semua pihak yaitu produsen, konsumen, dan pemerintah,
saling berhubungan sehingga perlu diatur dengan baik untuk mencapai
keserasian dan keharmonisan dalam kegiatan ekonomi. Pemerintah
yang ditugaskan untuk mengatur hal tersebut berdasarkan Pasal 33
Undang-undang Dasar 1945, dapat melaksanakannya melalui
pembuatan peraturan dan pengawasan pelaksanaan peraturan-
peraturan itu. Peraturan yang dimaksud adalah peraturan yang juga
mengikat pemerintah sehingga tidak muncul kolusi antara pengusaha
dan pemerintah yang dapat merugikan konsumen.29
1. Peranan Pemerintah dalam Melakukan Pembinaan
Perlindungan Konsumen
Tanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen secara keseluruhan berada di tangan
pemerintah sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (1) UUPK
yang menyatakan pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan
28 Ibid, hlm. 23-24.
29 Ibid, hlm. 24.
36
penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin
diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta
dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha, yang
dalam hal ini dilaksanakan oleh menteri-menteri teknis terkait.
Sehubungan dengan penyelenggaraan perlindungan
konsumen, maka menteri yang terkait dan bertugas untuk
menyelenggarakan pembinaan adalah : 30
a. Menteri Perindustrian dan Perdagangan,
b. Menteri kesehatan,
c. Menteri lingkungan hidup, dan
d. Menteri-menteri lain yang bertugas mengurusi kesejahteraan
rakyat.
Para menteri itu kemudian berkoordinasi dalam
melaksanakan tugas sehubungan dengan bidangnya masing-
masing.
Dalam rangka melakukan pembinaan, maka menteri terkait
dapat mengeluarkan sejumlah peraturan yang sifatnya teknis
sehingga tujuan dari pembinaan tersebut dapat tercapai dengan
baik.
Beberapa tugas pemerintah dalam melakukan pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen telah dijabarkan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan
30 Ibid, hlm. 178-179.
37
dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
sebagai berikut :31
1. Menciptakan iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang
sehat antara pelaku usaha dan konsumen.
Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen Pasal 4, untuk
menciptakan iklim usaha dan menumbuhkan hubungan yang
sehat antara pelaku usaha dan konsumen, menteri melakukan
koordinasi penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan
menteri teknis terkait. Tugas-tugas koordinasi yang dimaksud
sebagai berikut:32
- Menyusun kebijakan di bidang perlindungan konsumen.
- Memasyarakatkan peraturan perundang-undangan dan
informasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen.
- Meningkatkan peran BPKN dan BPSK melalui peningkatan
kualitas sumber daya manusia dan lembaga.
- Meningkatkan pemahaman dan kesadaran pelaku usaha
dan konsumen terhadap hak dan kewajiban masing-masing.
- Meningkatkan pemberdayaan konsumen melalui
pendidikan, pelatihan, dan keterampilan.
31 Happy Susanto, “ Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan”. Jakarta: Transmedia Pustaka, 2008,
hlm. 64.
32 Ibid, hlm. 65.
38
- Meneliti terhadap barang dan/atau jasa beredar yang
menyangkut perlindungan konsumen.
- Meningkatkan kualitas barang/atau jasa.
- Meningkatkan kesadaran sikap jujur dan tanggung jawab
pelaku usaha dalam memproduksi, menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan dan menjual barang/jasa.
- Meningkatkan pemberdayaan usaha kecil dan menengah
dalam memenuhi standar mutu barang dan/atau jasa serta
pencantuman label dan klausula baku.
2. Berkembangnya Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat.
Sebagaimana di sebutkan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen Pasal 5, untuk
mengembangkan LPKSM, menteri juga perlu melakukan
koordinasi penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan
menteri teknis. Tugas-tugas koordinasi yang dimaksud
sebagai berikut.33
- Memasyarakatkan peraturan perundang-undangan dan
informasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen.
33 Ibid, hlm. 66.
39
- Meningkatkan pembinaan dan peningkatan sumber daya
manusia pengelola LPKSM melalui pendidikan, pelatihan
dan keterampilan.
- Meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan di
bidang perlindungan konsumen yang dimaksudkan untuk
meningkatkan sumber daya manusia.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001
tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Perlindungan Konsumen Pasal 6, disebutkan bahwa dalam
upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia
serta meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan di
bidang perlindungan konsumen, menteri melakukan
koordinasi penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan
menteri teknis sebagai berikut :34
- Meningkatkan kualitas aparat penyidik pegawai negeri
sipil di bidang perlindungan konsumen.
- Meningkatkan kualitas tenaga peneliti dan penguji
barang/jasa.
- Melakukan pengembangan dan pemberdayaan lembaga
penguji mutu barang.
34 Ibid, hlm. 67.
40
- Melakukan penelitian dan pengembangan teknologi
pengujian dan standar mutu barang dan/atau jasa serta
penerapannya.
2. Peran Pemerintah dalam Melakukan Pengawasan Perlidungan
Konsumen
Berdasarkan Pasal 30 Ayat (1) UUPK, pengawasan
terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta
penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan
dilaksanakan oleh:
a. Pemerintah
b. Masyarakat, dan
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.35
Pengawasan yang diselenggarakan oleh pemerintah
dilaksanakan oleh menteri-menteri terkait. Dengan demikian, tugas
pembinaan dan pengawasan dari pemerintah dapat dilaksanakan
oleh menteri terkait sekaligus.
Berbeda dengan pembinaan, maka dalam pelaksaan tugas
pengawasan, selain dibebankan kepada pemerintah, juga
dilimpahkan kepada masyarakat, baik berupa kelompok,
perorangan, maupun lembaga swadaya masyarakat. Masyarakat
dapat melakukan penelitian, pengujian, dan/atau penyurveian
terhadap barang yang beredar di pasar.
35 Janus Sidabalok, “Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia”. Bandung: PT Aditya Bakti, 2010, hlm. 183.
41
Informasi tersebut dapat dikumpulkan dan kemudian
diteruskan ke pihak pemerintah yang berwenang mengenai hal
tersebut. Namun demikian tugas pengawasan oleh masyarakat
atau Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
hanya dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di
pasar, sedangkan terhadap sarana dan prasarana produksi dan
distribusi hanya dapat dilakukan oleh pemerintah. Dengan kata
lain, wilayah pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah lebih
luas daripada wilayah pengawasan yang dilakukan oleh
masyarakat dan/atau Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat.36
1. Pengawasan oleh Pemerintah
Tugas pengawasan pemerintah terhadap
penyelenggaraan perlindungan konsumen dilakukan oleh
menteri teknis terkait. Bentuk pengawasan oleh pemerintah
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001
tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Perlindungan Konsumen dalam Pasal 8, sebagai berikut :37
- Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku
usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang
dan/atau jasa, pencantuman label dan klausula baku,
36 Ibid, hlm. 184.37 Happy Susanto, “Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan”. Jakarta: Transmedia Pustaka,
2008, hlm. 67.
42
promosi, pengiklanan, serta pelayanan purnajual barang
dan/atau jasa.
- Pengawasan sebagaimana dimaksud dilakukan dalam
proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan, dan
penjualan barang dan/atau jasa.
- Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dapat
disebarluaskan kepada masyarakat.
- Ketentuan mengenai tata cara pengawasan ditetapkan oleh
menteri dan/atau menteri teknis terkait bersama-sama atau
sendiri-sendiri sesuai dengan bidang dan tugas masing-
masing.
2. Pengawasan oleh Masyarakat
Bentuk pengawasan oleh masyarakat diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan
Konsumen dalam Pasal 9, sebagai berikut :38
- Pengawasan oleh masyarakat dilakukan terhadap barang
dan/atau jasa yang beredar di pasar.
- Pengawasan sebagaimana dimaksud dilakukan dengan cara
penelitian, pengujian dan/atau survei.
- Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang
risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan
38 Ibid, hlm. 68.
43
label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dapat
disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan
kepada menteri teknis terkait.
3. Pengawasan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat (LPKSM)
Bentuk pengawasan LPKSM diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen dalam
Pasal 10, sebagai berikut :39
- Pengawasan LPKSM dilakukan terhadap barang dan/atau
jasa yang beredar di pasar.
- Pengawasan sebagaimana dimaksud dilakukan dengan
cara penelitian, pengujian, dan atau survei.
- Aspek pengawasan meliputi informasi tentang risiko
penggunaan barang jika dihapuskan, pemasangan label,
pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Penelitian pengujian dan/atau survei sebagaimana
dimaksud dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang
39 Ibid, hlm. 68.
44
diduga tidak memenuhi unsur keamanan, kesehatan,
kenyamanan, dan keselamatan konsumen.
- Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud disebarluaskan
kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada menteri
atau menteri teknis terkait.
3. Manfaat dan Fungsi Pembinaan dan Pengawasan
Perlindungan Konsumen
Untuk memenuhi tujuan dari Undang-undang Perlindungan
Konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UUPK, perlu
dilakukan pembinaan dan pengawasan terhadap terselanggaranya
perlindungan terhadap konsumen secara memadai. Dengan
pembinaan dan pengawasan ini diharapkan pemenuhan hak-hak
konsumen dapat terjamin dan sebaliknya pemenuhan kewajiban
pelaku usaha dapat dipastikan.
Pembinaan terhadap pelaku usaha berguna untuk
mendorong pelaku usaha supaya bertindak sesuai dengan aturan
yang berlaku. Dengan demikian pelaku usaha bertingkah laku
sepantasnya dalam memproduksi dan mengedarkan produknya.
Sedangkan pembinaan kepada konsumen diarahkan untuk
meningakatkan sumber daya konsumen sehingga mempunyai
kesadaran yang kuat atas hak-haknya.40
40 Ibid, hlm. 178.
45
Pengawasan terhadap pelaku usaha mengandung makna
kepastian atas terpenuhinya atau terselenggaranya hak dan
kewajiban para pihak. Oleh karena itu, pengawasan merupakan
unsur yang penting dalam hal terlaksananya perlindungan
konsumen. Dalam artian ini, pelaku usaha senantiasa harus
diawasi supaya mereka bertindak sesuai dengan aturan yang
berlaku sehingga benar-benar memenuhi kewajibannya.
Pengawasan ini perlu mengingat bahwa kecenderungan melalaikan
kewajiban dipandang ada pada setiap orang. Oleh karena itu,
pengawasan ini merupakan tindakan untuk mempersempit atau
menghilangkan kemungkinan adanya pelanggaran terhadap
ketentuan yang berlaku.41
41 Ibid, hlm. 179.
46
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan dalam
penyusunan skripsi ini, maka penulis melakukan penelitian dengan
memilih lokasi penelitian di Kota Makassar, yaitu pada kantor Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Yayasan Lembaga
Konsumen (YLK) dan Dinas Perdagangan dan Perindustrian, penulis
memilih lembaga tersebut sebagai tempat penelitian karena
merupakan lembaga yang erat kaitannya dengan judul dalam skripsi
ini. Penulis juga akan melakukan penelitian di Puskesmas
Jumpandang, pelaku usaha dan konsumen bekas.
B. Objek dan Subjek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah pakaian bekas, sedangkan
subjek penelitian adalah pelaku usaha dan konsumen pakaian bekas.
Selanjutnya untuk melengkapi dan menguji data yang
dikumpulkan maka pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan
juga dengan mengumpulkan keterangan atau informasi, pendapat dari
subjek penelitian lainnya yaitu pemerintah Kota Makassar.
47
C. Jenis dan Sumber Data
1. Jenis Data
i. Data kuantitatif, yaitu data yang dapat dihitung berupa
angka-angka.
ii. Data kualitatif, yaitu data yang tidak dapat dihitung
atau data yang berbentuk informasi dan bukan berupa
angka-angka yang diperoleh dari hasil wawancara
serta informasi-informasi yang diperoleh dari pihak
lain yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data
sebagai berikut:
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh dari hasil
penelitian secara langsung di lapangan, yang
dilakukan melalui wawancara dengan beberapa
sumber yang memiliki kompetensi atas objek
penelitian yang dibahas.
2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui
penelitian kepustakaan dengan mempelajari artikel,
surat kabar, dan dan lain-lain yang berhubungan
dengan objek penelitian.
48
D. Teknik Pengumpulan Data
Dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan teknik
pengumpulan data sebagai berikut:
a. Teknik dokumentasi, yaitu pengumpulan data melalui
dokumen-dokumen atau tulisan para ahli, buku-buku
literatur, jurnal, internet serta berbagai macam peraturan
perundang-undangan yang terkait.
b. Teknik wawancara, yaitu pengumpulan data secara
langsung melalui tanya jawab berdasarkan daftar pertanyaan
yang telah disiapkan (wawancara berstruktur) dan
melakukan wawancara tidak berstruktur untuk memperoleh
data yang diperlukan.
Teknik yang digunakan adalah:
a. Wawancara, yaitu mengadakan tanya jawab secara langsung
dengan pihak-pihak yang berhubungan dengan masalah yang
diteliti. Wawancara dilakukan terhadap :
1. Ketua YLK Sulawesi Selatan
2. Ketua BPSK Kota Makassar
3. Pegawai Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota
Makassar
4. Pegawai dan dokter Puskesmas Jumpandang
5. Pelaku Usaha pakaian bekas
49
b. Kuesioner, yaitu membagikan daftar pertanyaan kepada
responden yang berhubungan dengan masalah penelitian. Jenis
pertanyaan yang diberikan dalam kuesioner tersebut adalah
pertanyaan yang bersifat tertutup, dimana jawabannya sudah
ditentukan terlebih dahulu dan responden akan diberikan
kesempatan untuk memberikan jawaban lain.
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini
maka digunakan metode angket. Metode ini digunakan sebagai
sumber data primer untuk mendapatkan informasi tentang tingkat
pengetahuan masyarakat akan dampak penggunaan pakaian
bekas bagi kesehatan dan perekonomian.
E. Analisis Data
Seluruh data yang diperoleh baik data primer maupun data
sekunder yang menjadi bahan dalam penulisan skripsi ini, dianalisis
dengan menggunakan teknik analisis kualitatif kemudian
dideskripsikan, yaitu dengan menganalisa data berdasarkan informasi
yang diperoleh dari hasil wawancara, dokumen-dokumen, serta hasil
kuesioner yang telah dibagikan kepada responden.
Data yang diperoleh selanjutnya dianalisa dengan
menggunakan statistik deskriptif berdasarkan persentase dengan
menggunakan rumus sebagai berikut (Arikunto, 1997):P = F/N x 100%
50
Keterangan :
P = Persentase
F = Frekuensi
N= Jumlah Sampel
Kriteria yang digunakan untuk menentukan predikat tingkat
pengetahuan masyarakat adalah empat kategori, yaitu : kategori
tahu=15-20, cukup tahu=10-14, kurang tahu=5-9, dan tidak tahu=0-4.
51
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Undang-undang Perlindungan Konsumen dalam
Upaya Melindungi Konsumen dari Dampak Penggunaan Pakaian
Bekas
Di Indonesia telah tumbuh dan berkembang banyak industri
barang dan jasa, baik yang berskala besar maupun kecil, terutama
sejak dilaksanakannya pembangunan nasional secara bertahap dan
terencana. Pertumbuhan dan perkembangan industri barang dan jasa
di satu pihak membawa dampak positif, yaitu tersedianya kebutuhan
dalam jumlah yang mencukupi, mutunya lebih baik, serta adanya
alternatif pilihan bagi konsumen dalam pemenuhan kebutuhannya.
Akan tetapi, di lain pihak terdapat dampak negatif, yaitu dampak
penggunaan dari teknologi, serta perilaku bisnis yang timbul karena
makin ketatnya persaingan. 42
Para produsen atau pelaku usaha akan mencari keuntungan
setinggi-tingginya sesuai dengan prinsip ekonomi. Dalam rangka
mencapai keuntungan yang setinggi-tingginya, para produsen atau
pelaku usaha harus bersaing antar sesama mereka dengan perilaku
bisnisnya masing-masing yang dapat merugikan konsumen. Ketatnya
persaingan dapat mengubah perilaku para pelaku usaha ke arah
42 Janus Sidabalok, “Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia”. Bandung: PT Aditya Bakti,
2010, hlm. 1.
52
persaingan yang tidak sehat karena para pelaku usaha memiliki
kepentingannya masing-masing. Persaingan yang tidak sehat ini dapat
merugikan kepentingan konsumen. Sekurang-kurangnya ada empat
bentuk perbuatan yang lahir sebagai akibat dari tidak sehatnya praktik
bisnis, yaitu menaikkan harga, menurunkan mutu, dumping, dan
memalsukan produk.43 Berkaitan dengan hal di atas, maka konsumen
perlu dilindungi secara hukum dari kemungkinan kerugian yang dialami
karena praktik bisnis curang para pelaku usaha. Oleh karena itu,
diperlukan peraturan perundang-undangan untuk melindungi
konsumen agar terhindar dari dampak negatif barang dan/atau jasa,
mengingat bahwa dalam kenyataan pada umumnya konsumen selalu
berada di pihak yang dirugikan dan berada pada posisi lemah.44 Pada
tahun 1999 pemerintah Indonesia memiliki instrumen hukum tentang
perlindungan konsumen. Rancangan Undang-undang (RUU) tentang
Perlindungan Konsumen mendapat persetujuan dari Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), yakni Undang-undang Nomor 8 Tahun1999
tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Dengan disahkannya
Undang-undang tersebut, perlindungan atau proteksi kepada
konsumen dari segala kemungkinan dampak negatif produk yang
mereka pakai menjadi kewajiban setiap penyedia barang dan jasa.
Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) memuat
aturan-aturan hukum tentang perlindungan terhadap konsumen yang
43 Adrianus Meliala, “Praktik Bisnis Curang”. Jakarta: Sinar Harapan, 2001, hlm. 140.
44 Janus Sidabalok, op.cit, hlm. 4.
53
sekaligus memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan
konsumen. Tidak dapat disangkal lagi bahwa produk (baik barang
maupun jasa), pemasaran dan penggunaannya oleh konsumen
senantiasa mengandung dampak negatif , baik karena perilaku pelaku
usaha ataupun akibat dari perilaku konsumen itu sendiri.45 Untuk itu,
konsumen dan pelaku usaha harus mengetahui hak dan menjalankan
kewajibannya masing-masing agar Undang-undang Perlindungan
Konsumen berlaku efektif tidak hanya bagi konsumen tetapi juga efektif
bagi pelaku usaha.
Efektivikasi hukum merupakan proses yang bertujuan agar
supaya hukum berlaku efektif dalam hal ini adalah Undang-undang
Perlindungan Konsumen. Keadaan tersebut dapat ditinjau atas dasar
beberapa tolok ukur efektivitas, diantaranya : hukumnya, penegak
hukum, fasilitas, kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat dan
budaya hukum masyarakat. Hukumnya adalah harus memenuhi syarat
yuridis, sosiologis, dan filosofis.46 Penegak hukumnya harus betul-betul
telah melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana digariskan
oleh hukum yang berlaku, sedangkan beberapa oknum penegak
hukum di Indonesia mengabaikan tugasnya dengan terlibat dalam
impor pakaian bekas/penyelundupan pakaian bekas dengan bekerja
sama dengan para penyelundup. Terlebih lagi bila adanya keterlibatan
aparat yang bersangkutan seperti petugas Bea dan Cukai, Polisi, dan
45 Ibid,hlm. 5.
46 Achmad Ali, “Menguak Tabir Sosiologi Hukum”. 2009, hlm. 49.
54
Angkatan Laut yang memperlancar proses penyelundupan pakaian
bekas tersebut. Para penegak hukum seharusnya menjadi contoh
bukan malah sebaliknya, untuk itu para penegak hukum harus
melaksanakan tugas dan kewajibannya serta mementingkan
kepentingan umum.
Fasilitasnya terdiri dari sarana dan prasarana yang mendukung
dalam proses penegakan hukumnya.47 Sedangkan dari observasi
penulis, sarana dan prasarana khususnya lembaga konsumen kurang
memadai, untuk itu diperlukan adanya dukungan dari pemerintah pusat
agar lembaga konsumen dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya
dengan baik.
Kesadaran hukum yaitu masyarakatnya adalah warga
masyarakat yang sadar akan hukum dan nilai-nilai yang terdapat
dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang
diharapkan ada. Kepatuhan hukum yaitu kepatuhan hukum akan
adanya rasa takut akan sanksi. Budaya hukumnya yaitu perlu ada
syarat yang tersirat tentang adanya budaya malu, dan budaya rasa
bersalah bilamana seseorang melakukan pelanggaran terhadap hukum
hukum yang berlaku.48 Sedangkan maraknya konsumen yang
memutuskan untuk membeli pakaian bekas karena berbagai alasan,
termasuk harga pakaian bekas yang sangat murah dan kualitas yang
tidak kalah dengan pakaian impor baru, hal ini dikarenakan masyarakat
47 Ibid, hlm. 49.
48 Ibid, hlm. 49.
55
belum mempunyai kesadaran dan kepatuhan hukum, mayoritas
masyarakat juga tidak mengetahui bahwa pakaian tersebut dilarang
untuk diperjualbelikan, kalaupun ada yang mengetahui, mereka tidak
menjalankan kepatuhan hukum sebagaimana mestinya karena budaya
hukum di masyarakat belum tercipta.
Berikut ini beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum:49
1. Compliance :
Yaitu kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu
imbalan dan usaha untuk menghidarkan diri dari hukuman yang
mungkin dikenakan apabila seseorang melanggar ketentuan
hukum. Adanya pengawasan yang ketat terhadap kaidah hukum
tersebut.
2. Identification :
Yaitu terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan
karena nilai intrinsiknya, akan tetapi agar ke anggotaan kelompok
tetap terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka yang diberi
wewenang untuk menerapkan kaidah kaidah hukum tersebut.
3. Internalization :
49 Ibid, hlm. 1.
56
Yaitu seseroang mematuhi kaidah kaidah hukum dikarenakan
secara intrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isinya sesuai
dengan nilai nilainya dari pribadi yang bersangkutan.
Untuk mencapai tujuan dibentuknya Undang-undang
Perlindungan Konsumen, pemerintah perlu aktif dalam mengawasi
pelaksanaan peraturan yang berlaku agar Undang-undang
Perlindungan Konsumen dapat diterapkan dengan baik dan menjadi
efektif. Usaha perlindungan konsumen antara pemerintah, pelaku
usaha dan konsumen tersebut perlu diatur melalui perangkat hukum
yang menciptakan norma hukum perlindungan kepada konsumen, dan
disisi lain memberikan tanggung jawab kepada dunia usaha. Suatu
peraturan dibentuk dengan tujuan untuk melindungi kepentingan
masing-masing pihak dan untuk memperhatikan atau menjaga
keseimbangan dan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.50
Pelaksanaan Undang-undang Perlindungan Konsumen dalam
upaya melindungi konsumen dari dampak pakaian bekas dan dapat
terpenuhinya tujuan Undang-undang perlindungan Konsumen, perlu
dilakukan adanya pembinaan dan pengawasan dari pemerintah
dengan cara mengatur, mengawasi, mengendalikan, distribusi, dan
peredaran pakaian bekas sehingga konsumen tidak dirugikan baik
50 Janus Sidabalok, “Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia”. Bandung: PT Aditya Bakti,
2010, hlm. 42.
57
bagi kesehatan maupun keuangannya.51 Peranan pemerintah
sebagaimana dimaksud dapat dikategorikan sebagai peranan yang
berdampak jangka panjang sehingga perlu dilakukan secara bertahap
dengan cara memberikan penerangan, penyuluhan, dan pendidikan
akan dampak pakaian bekas bagi semua pihak, baik itu produsen
maupun konsumen, dan mengawasi peredaran pakaian bekas dengan
bekerja sama oleh menteri-menteri teknis terkait yang sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 29 dan 30 Undang-undang Perlindungan
Konsumen mengenai pembinaan dan pengawasan. Dalam jangka
pendek pemerintah dapat menyelesaikan secara langsung dan cepat
masalah-masalah yang timbul. Selain itu, pemerintah juga sebaiknya
memberikan solusi atas masalah pakaian bekas, karena sebagian
besar konsumen pakaian bekas adalah ekonomi lemah, dimana
pemerintah tidak hanya melarang peredaran pakaian bekas tetapi juga
harus menyediakan kebutuhan sandang dengan harga yang
terjangkau oleh masyarakat ekonomi lemah. Dengan pembinaan dan
pengawasan tersebut diharapkan pemenuhan hak-hak konsumen
dapat terjamin dan sebaliknya pemenuhan kewajiban pelaku usaha
dapat dipastikan.
Selain pemerintah, pelaku usaha juga berperan dalam
mengefektifkan Undang-undang Perlindungan Konsumen, di mana
pelaku usaha pakaian bekas adalah pihak yang paling bertanggung
51 Ibid, hlm. 24.
58
jawab atas akibat negatif berupa kerugian yang ditimbulkan akibat
pemakaian pakaian bekas. Pelaku usaha sering diartikan sebagai
pengusaha yang menghasilkan barang dan jasa. Dalam pengertian ini
termasuk di dalamnya pembuat, grosir, dan pengecer professional.
Yaitu setiap orang atau badan hukum yang ikut serta dalam
penyediaan barang atau jasa hingga sampai ke tangan konsumen.52
Jadi, walaupun pelaku usaha pakaian bekas bukan sebagai pihak
yang menghasilkan produk tetapi berperan dalam penyediaan pakaian
bekas hingga sampai ke tangan konsumen.
Dalam Pasal 7 UUPK yang menentukan kewajiban pelaku
usaha memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan
penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan. Sebagai
pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab, pelaku usaha
pakaian bekas seharusnya memberikan informasi kepada konsumen
mengenai kondisi pakaian bekas yang diperdagangkan, walaupun
mayoritas masyarakat mengetahui bahwa pakaian tersebut bekas
digunakan seseorang, serta memberikan informasi mengenai
penggunaan dan perbaikan pakaian bekas, apakah itu pakaian bekas
harus dicuci dengan bersih sebelum digunakan atau direndam ke
dalam air panas agar kuman-kuman dalam pakaian bekas hilang.
52
Ibid, hlm. 27.
59
Di dalam ketentuan Pasal 8 Ayat (2) UUPK juga menentukan
bahwa pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak,
cacat, atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara
lengkap dan benar atas barang yang dimaksud. Dalam pasal tersebut
memang sangat lemah dalam upaya melindungi konsumen pakaian
bekas karena mayoritas masyarakat mengetahui bahwa pakaian
tersebut memang bekas digunakan, tetapi walaupun mayoritas
masyarakat mengetahui pakaian bekas tersebut bekas digunakan
seseorang, pelaku usaha tetap berkewajiban memberikan informasi
secara lengkap dan benar atas barang yang dimaksud, apakah
pakaian tersebut adalah bekas digunakan oleh seseorang, kotor,
rusak atau cacat.
Selain pemerintah dan pelaku usaha, konsumen juga berperan
dalam mengefektifkan Undang-undang Perlindungan Konsumen agar
berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan merupakan tujuan dari
Undang-undang Perlindungan Konsumen, yang tercantum dalam
Pasal 3 UUPK, sebagai berikut:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian
konsumen untuk melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau
jasa;
60
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan, dan menuntuk hak-haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Untuk itu, konsumen pakaian bekas juga harus memperhatikan
hak dan melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 dan Pasal 5 UUPK tentang hak dan kewajiban konsumen.
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan mengandung
pengertian bahwa konsumen berhak mendapatkan produk yang
nyaman, aman, dan memberikan keselamatan. Oleh karena itu,
konsumen pakaian bekas juga harus dilindungi dari bahaya yang
mengancam kesehatan akibat memakai pakaian bekas. Dengan
demikian, setiap pakaian bekas yang diperdagangkan harus diarahkan
untuk mempertinggi rasa kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
konsumennya.
61
Tidak dikehendaki adanya barang dan/atau jasa yang dapat
membahayakan keamanan dan keselamatan konsumen, maka dari itu
kewajiban pelaku usaha untuk memberikan informasi mengenai
pakaian bekas sehingga konsumen dapat memutuskan apakah
produk tersebut cocok baginya. Termasuk dalam hal ini pelaku usaha
juga harus memeriksa kondisi pakaian bekas yang diperdagangkan
sebelum diedarkan, apakah masih layak pakai atau tidak. Selain itu,
konsumen juga harus teliti dalam memilih pakaian bekas yang akan
dibeli. Dengan demikian, terpenuhilah hak konsumen atas informasi
dan hak untuk memilih sesuai dengan ketentuan Pasal 4 UUPK
mengenai hak-hak konsumen.
Apabila pelaku usaha sudah memberikan informasi yang benar
dan jelas mengenai kondisi pakaian bekas, dan konsumen tetap
memilih pakaian bekas untuk digunakan, bukan lagi merupakan
tanggung jawab pelaku usaha jika ada kerugian yang diakibatkan
penggunaan pakaian bekas tersebut. Dalam bahasa hukumnya
dikatakan asumsi risiko yaitu konsumen sudah tahu ada akibat yang
mungkin terjadi akibat pemakaian pakaian bekas, tetapi masih tetap
membeli pakaian bekas, maka jika ada kerugian akibat pemakaian
pakaian bekas, merupakan tanggung jawab konsumen itu sendiri.
Merupakan kewajiban konsumen mengikuti petunjuk informasi atau
prosedur pemakaian pakaian bekas demi keamanan dan
keselamatan, yang sesuai dengan ketentuan Pasal 5 UUPK mengenai
62
kewajiban konsumen, tetapi jika pelaku usaha tidak memberikan
informasi yang benar dan jelas, maka apabila ada kerugian konsumen
akibat menggunakan pakaian bekas, pelaku usaha harus bertanggung
jawab memberikan ganti rugi sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 19 UUPK mengenai tanggung jawab pelaku usaha. Tetapi pada
kenyataannya, pelaku usaha pakaian bekas tidak bertanggung jawab
memberikan ganti rugi akibat pemakaian pakaian bekas, karena
mayoritas konsumen pakaian bekas tidak melakukan pengaduan
terhadap kerugian yang diderita akibat pemakaian pakaian bekas.
Berikut adalah hasil wawancara dengan Lulus Cahya selaku
konsumen pakaian bekas (24 Maret 2011):
“Saya pernah terjangkit penyakit herpes yaitu bentolan kecil yang gatal dan melingkar diseluruh lingkaran pinggang akibat memakai celana jeans bekas, padahal saya sudah mencucinya terlebih dahulu, mungkin kuman-kumannya belum hilang yang dapat mengakibatkan alergi. Tidak ada pengaduan kepada pelaku usaha atau lembaga konsumen, karena prosesnya yang memakan waktu serta saya memang merasa malas dan acuh walaupun pakaian bekas yang saya pakai menimbulkan kerugian”.
Mengingat bahwa pelaku usaha berada dalam kedudukan yang
lebih kuat dibandingkan konsumen, maka konsumen perlu
mendapatkan advokasi, perlindungan, serta upaya penyelesaian
sengketa konsumen secara patut atas hak-haknya sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 4 UUPK mengenai hak-hak konsumen.
Apabila konsumen pakaian bekas mendapat kerugian akibat
pemakaian pakaian bekas dapat menuntut ganti rugi kepada pelaku
usaha akan kerugian yang diderita, konsumen pakaian bekas juga
63
mendapatkan advokasi, perlindungan, serta serta upaya penyelesaian
sengketa konsumen secara patut.
Konsumen juga berhak mendapatkan pembinaan dan
pendidikan mengenai bagaimana mengonsumsi atau menggunakan
barang dan/atau jasa dengan baik agar tidak menimbulkan dampak
yang membahayakan bagi kesehatan sesuai dengan ketentuan Pasal
4 UUPK mengenai hak-hak konsumen. Pemerintah yang harus
berperan aktif dalam melakukan pembinaan dan pendidikan akan
dampak perdagangan pakaian bekas bagi kesehatan dan
perekonomian, apalagi mayoritas konsumen pakaian bekas adalah
masyarakat yang kondisi ekonominya lemah yang kurang memahami
akan dampak pakaian bekas bagi kesehatan dan perekonomian,
konsumen hanya mengetahui kalau pakaian bekas tersebut murah
dan masih layak pakai, walaupun ada sebagian konsumen pakaian
bekas yang merupakan masyarakat elit.
Dengan terciptanya hubungan harmonis antara pemerintah,
pelaku usaha, dan konsumen maka dapat tercapai keserasian,
keharmonisan dalam kegiatan ekonomi dan dapat tercapainya tujuan
dari Undang-undang Perlindungan Konsumen sehingga pelaksanaan
Undang-undang Perlindungan Konsumen dalam upaya melindungi
konsumen dari dampak pakaian bekas dapat terwujud dengan baik.
64
B. Tingkat Pengetahuan Masyarakat Akan Dampak Penggunaan
Pakaian Bekas Bagi Kesehatan dan Perekonomian
1. Faktor-Faktor yang Mendorong Maraknya Jual Beli Pakaian
Bekas
Meningkatnya perdagangan pakaian bekas merupakan satu
kendala yang dapat menghambat pembangunan nasional.
Maraknya impor pakaian bekas yang dilakukan secara illegal dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: luas wilayah
kepulauan nusantara dan begitu banyaknya pintu masuk dan keluar
yang harus diamankan oleh petugas yang berwenang, kondisi
industri dalam negeri yang belum mampu bersaing dengan produk
impor, kemampuan dan kemauan aparatur penegak hukum, serta
rendahnya kondisi ekonomi masyarakat dan kurangnya partisipasi
warga masyarakat dalam bekerja sama dengan aparatur
pemerintah dan faktor-faktor lain yang saling mempunyai hubungan
kausal. Berikut ini akan dijelaskan beberapa faktor yang
menyebabkan maraknya impor pakaian bekas:53
a. Faktor Geografis
Luasnya kepulauan nusantara yang terdiri dari ribuan
pulau besar dan kecil, yang diapit oleh dua benua besar, yaitu
Asia dan Australia, dan sangat berdekatan dengan negara-
negara tetangga yang sudah lebih dahulu mengalami kemajuan.
53 Soufnir Chibro, “Pengaruh Tindak Pidana Penyelundupan Terhadap Pembangunan”. Jakarta:
Sinar Grafika, 1992. hlm. 1.
65
Kawasan perairan di Indonesia memang rawan penyelundupan.
Arus penyelundupan itu dapat berasal dari kawasan Sumatera
menuju Malaysia atau Singapura. Pakaian bekas sering
diselundupkan dari arah Malaysia dan Singapura menuju
Indonesia melalui kepulauan Riau dan daratan Sumatera.
Apalagi banyak tesebar pelabuhan kecil dipelosok pulau yang
dapat dimanfaatkan oleh para penyelundup untuk memasukkan
barang-barang illegal, salah satunya adalah pakaian bekas.54
Selain Kepulauan Riau dan daratan Sumatera, terdapat pula
jalur-jalur penyelundupan pakaian bekas yang sering terjadi
diwilayah pantai yang termasuk dalam wilayah perairan Aceh,
Sumatera Utara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan lain-lain.
Oleh karena itu masih sangat diperlukan fasilitas dan
peningkatan kemampuan baik armada maupun personel, baik
dari jajaran Bea dan Cukai, Satuan Polisi Air dan Udara, serta
TNI Angkatan Laut untuk menjaga dan mengamankan kawasan
tersebut.55
b. Kondisi Industri Dalam Negeri
Tidak dapat disangkal, bahwa kondisi industri dalam
negeri turut pula mempengaruhi maraknya impor pakaian bekas
di Indonesia, karena sebagaimana diketahui produksi industri
tekstil dan produk tekstil dalam negeri pada umumnya masih
54 Ibid, hlm. 35.
55Ibid
66
dalam tahap perkembangan. Tingginya biaya produksi yaitu
bahan baku yang relatif mahal, upah buruh yang cukup tinggi
dan membengkaknya biaya operasi, seperti tarif dasar listrik dan
bahan bakar minyak, menjadikan hasil produksi kurang mampu
bersaing dengan barang-barang produksi luar negeri. Ditambah
lagi banyaknya pungutan liar, tingginya biaya transportasi dan
minimnya sarana angkutan, sehingga menyebabkan hambatan
dalam distribusi dan pemasaran. 56
c. Transportasi
Maraknya impor pakaian bekas juga dipengaruhi oleh faktor
transportasi, dimana daerah-daerah tertentu di Indonesia sering
mengalami keterlambatan disebabkan belum lancarnya hubungan
satu pulau dengan pulau lainnya. Akibatnya masyarakat didaerah-
daerah terpencil sulit mendapatkan kebutuhan pokoknya sehingga
memasukkan barang secara tidak sah (terkadang dibawa oleh
kapal besar asing). Ditambah lagi daerah-daerah (pulau-pulau)
tertentu di Indonesia berdekatan dengan negara-negara tetangga
seperti Malaysia, Singapura dan sebagainya.57
d. Mentalitas
Sebagaimana yang sudah kita ketahui Indonesia cukup kaya
akan sumber daya alamnya, dan juga keterampilan masyarakatnya.
Akan tetapi yang perlu dipertanyakan sejauh mana mental para
56 Ibid, hlm. 36.
57 Ibid, hlm. 38.
67
petugas dalam menghadapi godaan dan cobaan dari oknum-oknum
yang ingin melakukan penyelundupan. Beberapa oknum petugas
mengabaikan tugasnya dengan terlibat dalam impor pakaian
bekas/penyelundupan pakaian bekas dengan bekerja sama dengan
para penyelundup. Terlebih lagi bila adanya keterlibatan aparat
yang bersangkutan seperti petugas Bea dan Cukai, Polisi, dan
Angkatan Laut yang memperlancar proses penyelundupan pakaian
bekas tersebut. Para pelaku penyelundupan pada umumnya
bukanlah orang atau pengusaha bermodal kecil, melainkan
bermodal besar.58
Berikut adalah hasil wawancara dengan H.M. Amir Batasa
selaku pengusaha pakaian bekas (20 Februari 2011) :
“Jika pemerintah tidak melirik usaha pakaian bekas sebenarnya salah karena dari pakaian bekas, pemerintah sebenarnya bisa mendapat banyak pemasukan. Kami juga membayar SITU (Surat Ijin Tempat Usaha) dan SIUP (Surat Ijin Usaha Perdagangan). Jika pemerintah memberikan izin untuk masuknya pakaian bekas, kami sangat senang dan bersedia membayar bea dan cukai, bahkan hal itu lebih bagus lagi agar usaha pakaian bekas tidak lagi mendapat banyak masalah, apakah itu dari pengirimannya ke Indonesia ataupun perdagangannya di Indonesia”.
Apabila mental para petugas tidak dapat mengatasi
masalah-masalah tersebut, bagaimana mungkin negara kita bisa
berkembang, kalau aparatnya saja tidak peduli, bahkan ikut
bekerjasama. Semoga kedepannya aparat penegak hokum
58 Ibid, hlm. 40.
68
menggunakan hati nurani dengan mengedepankan kepentingan
umum dibanding kepentingan pribadi dalam menjalankan tugasnya.
e. Masyarakat
Maraknya kegiatan jual beli pakaian bekas tidak terlepas dari
minat masyarakat yang lebih memilih pakaian bekas yang banyak
dijual bebas dibanding dengan pakaian baru. Maraknya konsumen
yang memutuskan untuk membeli pakaian bekas karena berbagai
alasan, termasuk harga pakaian bekas yang sangat murah dan
kualitas yang tidak kalah dengan pakaian impor baru. Pakaian
bekas bahkan lebih disukai daripada pakaian impor baru. Keadaan
ini dapat dilihat dan disaksikan di pasar-pasar tradisional.59
Hal ini disebabkan warga masyarakat yang ingin
mendapatkan barang-barang bermutu, tetapi daya beli masyarakat
sendiri masih rendah. Konsumen harus memutuskan sendiri
bagaimana mereka memenuhi kebutuhan untuk pakaian yang baik
dan harga terjangkau tanpa mengetahui dari mana pakaian bekas
tersebut berasal.
2. Dampak Jual Beli Pakaian Bekas
Sebagaimana telah diketahui bahwa pakaian bekas diimpor
secara illegal yang diselundupkan melalui pelabuhan-pelabuhan kecil
dan bebas dari biaya bea dan cukai yang tentu menimbulkan dampak
59 Ibid, hlm. 42.
69
bagi perekonomian negara, yang pada akhirnya akan menghambat
pembangunan dan memepersulit pencapaian kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat, disamping itu merusak citra dan wibawa aparat
penegak hukum jika penanganannya tidak dilaksanakan sebagaimana
mestinya. Meningkatnya jual beli pakaian bekas dimungkinkan karena
luasnya wilayah, kemampuan dan kemauan aparatur pemerintah
dalam memberantasnya, serta rendahnya partisipasi dari masyarakat
untuk bekerjasama dengan aparat pemerintah. Jual beli pakaian
bekas dilakukan oleh sekelompok orang yang tidak
bertanggungjawab, tujuannya semata-mata untuk mencari
keuntungan, dan tidak memikirkan dampaknya bagi perekonomian
bangsa dan kesehatan konsumen.
Untuk memberikan gambaran mengenai dampak yang
diakibatkan dari pakaian bekas tersebut, maka penulis akan
menguraikannya sebagai berikut:
a. Dampak Negatif
1. Dampak Ekonomi
Aktivitas impor dan perdagangan pakaian bekas sangat
berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia dan pada
akhirnya akan menghambat pembangunan negara yang
mengakibatkan kerugian dalam penerimaan negara dari bea
dan cukai. Di dalam melaksanakan pembangunan, diperlukan
biaya yang sangat besar, meningkatnya penyelundupan pakaian
70
bekas merupakan salah satu kendala yang dapat menghambat
pembangunan. Sebagaimana diketahui bahwa tolak ukur untuk
menilai makmur tidaknya suatu bangsa tergantung dari
kemajuan ekonominya, oleh karena itu sektor ekonomi menjadi
sektor yang mendapat perhatian secara serius. Pemerintah
berupaya semaksimal mungkin untuk menjaga stabilitas
ekonomi dalam negeri. Walaupun menghadapi berbagai macam
rintangan.60
Dari hasil pengamatan dan observasi penulis dalam
penelitian, menunjukkan bahwa golongan ekonomi menengah
ke bawah adalah yang terbanyak membeli pakaian bekas
tersebut, disamping sebagian kecil dari golongan ekonomi atas
yang menjadi konsumen pakaian bekas. Maraknya konsumen
yang memutuskan untuk membeli pakaian bekas karena
berbagai alasan, termasuk harga pakaian bekas yang sangat
murah dan kualitas yang tidak kalah dengan pakaian impor
baru. Walaupun pada golongan ekonomi lemah lebih memilih
pakaian bekas hanya karena faktor harga pakaian bekas yang
sangat murah, konsumen tidak memikirkan dampaknya bagi
perekonomian nasional. Hal ini disebabkan karena kurangnya
pengetahuan masyarakat akan dampak perdagangan pakaian
bekas yang dilakukan secara illegal yang dapat merugikan
60 Moch. Anwar, “Segi-segi Masalah Penyelundupan”. Bandung, 1982.
71
negara dan karena memang kondisi ekonomi konsumen yang
lemah.
Dengan adanya peredaran pakaian bekas, juga
menyebabkan toko-toko pakaian khususnya di Kota Pare-Pare
menjadi sepi pengunjung. Berikut ini adalah hasil wawancara
penulis dengan Nurbaya salah seorang pramuniaga di toko
pakaian Sinar Harapan yang berlokasi di jalan Bau Massepe,
Kota Pare-Pare (27 Februari 2011), mengatakan bahwa:
“Sejak adanya pakaian bekas atau cakar dijual di mana-mana seperti pasar Lakessi, pasar senggol dan beberapa tempat, juga dapat mengacaukan perekonomian, hal ini nampak dengan jelas dengan membanjirnya pakaian bekas di pasar senggol mengakibatkan pakaian produksi dalam negeri tidak mampu bersaing dari segi mutu maupun harga, jika membeli di toko harganya sangat mahal, sedangkan membeli pakaian bekas sudah dapat dengan harga yang murah, toko-toko pakaian jadi sepi pengunjung”.
Menurut penulis, konsumen tidak bisa disalahkan
sepenuhnya, apalagi yang kondisi ekonominya lemah.
Pemerintah yang melarang peredaran pakaian bekas
seharusnya memberi solusi dan jalan keluar. Apakah dengan
menyediakan kebutuhan sandang yang berkualitas dengan
harga yang murah karena disatu sisi perdagangan pakaian
bekas merugikan negara, disisi lain kondisi ekonomi masyarakat
Indonesia sebagian besar masih memprihatinkan dan
kebutuhan akan sandang harus terpenuhi.
72
2. Dampak Sosial
Perdagangan pakaian bekas dapat melemahkan
perekonomian negara yang pada akhirnya akan menghambat
pembangunan, mematikan industri dalam negeri, mengacaukan
perekonomian dan stabilitas nasional, serta memepersulit
pencapaian kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Hal ini
nampak jelas dengan membanjirnya pakaian bekas yang
mengakibatkan industri pakaian dalam negeri, terutama yang
berskala kecil dan menengah mengalami kemerosotan bahkan
gulung tikar. Bahkan dampaknya pun terasa hingga industri hulu
yang menghasilkan kain, benang, dan serat tekstil. Apalagi
pemasaran pakaian bekas tidak hanya terbatas berada di kota-
kota besar saja, namun juga merambah daerah terpencil seperti
desa pedalaman.61
Semakin maraknya peredaran pakaian bekas yang
harganya jauh lebih rendah akan menutup pasaran bagi produk
pakaian industri dalam negeri. Maraknya perdagangan pakaian
bekas dapat mengakibatkan hambatan dalam perkembangan
industri dalam negeri khususnya pabrik tekstil. Hal ini akan
berakibat kurangnya rangsangan atas usaha peningkatan
produksi dalam negeri yang pada akhirnya akan berakibat
terjadinya pemutusan hubungan kerja pada karyawan sehingga
61 Perdagangan Pakaian Bekas, www.gogle.com diakses tanggal 21 Februari 2011, pukul
10.00 WITA.
73
menghambat perluasan kesempatan kerja sehingga
pembangunan di bidang sosial dan kesejahteraan akan
mengalami hambatan.
3. Dampak Kesehatan
Dampak lain yang mungkin dapat terjadi adalah dampak
kesehatan, dampak yang langsung dirasakan oleh konsumen
akhir atau pemakai pakaian bekas. Hal ini disebabkan karena
wabah yang ditularkan oleh pakaian bekas. Jika jelih memilih,
konsumen akan mendapatkan pakaian yang bermerek dengan
harga yang sangat murah, tetapi jika tidak hati-hati, konsumen
akan mendapat dampaknya bagi kesehatan,sebab pakaian
bekas tersebut bisa saja membawa bibit penyakit dari pemakai
sebelumnya.
Berikut adalah hasil wawancara dengan dr. Retno
Indrastiti, Sp. KK mengatakan bahwa:
“Kemungkinan besar jamur-jamur tumbuh besar di pakaian bekas, apalagi jika pemilik terdahulu terjangkit penyakit kulit. Orang di luar negeri saja tidak mau menggunakan barang itu, kok di negara kita malah diterima, padahal pakaian baru dengan kualitas bagus dan harga terjangkau masih banyak. Memang konsumen bisa mencuci dan menyetrika pakaian terlebih dahulu, namun sayangnya, tidak semua orang mau mencuci dan menyetrika secara benar. Akibatnya konsumen terinfeksi aneka penyakit kulit, sehingga sistem pernafasannyapun bisa terganggu. Kulit merupakan organ terluar penyusun tubuh manusia dan menutupi seluruh permukaan tubuh, karena letaknya paling luar, maka kulit yang pertama kali menerima rangsangan, antara lain: sentuhan, rasa sakit, maupun pengaruh buruk dari luar. Gangguan pada kulit sering terjadi
74
karena beberapa faktor penyebab, misalnya : iklim, lingkungan tempat tinggal, kebiasaan hidup yang kurang sehat, alergi, dan lain-lain. Konsumen pakaian bekas bisa terinfeksi penyakit dengan cara penularan melalui pakaian, beberapa jenis gangguan kulit yang dapat diakibatkan pakaian bekas, antara lain:
a. Kudis Merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh
parasit yang gatal yaitu Sarcoptes Scabie Var Hominis. Gejala yang timbul antara lain: timbul gatal yang hebat pada malam hari, gatal sering terjadi di bagian sela-sela jari tangan, di bawah ketiak, pinggang, alat kelamin, dan sekeliling siku. Penyakit ini mudah sekali menular ke orang lain secara langsung melalui bersentuhan dengan penderita, atau secara tidak langsung melalui handuk atau pakaian penderita.
b. Kurap Merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
jamur dan bakteri. Gejalanya mulai dapat dikenali ketika terdapat bagian kecil yang kasar pada kulit dan dikelilingi oleh lingkaran merah muda. Dapat dicegah dengan cara mencuci tangan dengan sempurna, menjaga kebersihan tubuh, dan menghindari kontak dengan penderita, apalagi memakai pakaian bekas penderita.
c. Panu Penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur. Ditandai
dengan bercak yang terdapat pada kulit disertai rasa gatal pada saat berkeringat. Bercak biasa berwarna putih, coklat, atau merah, tergantung warna kulit penderita. Penyakit ini menular melalui sentuhan dengan penderita atau menggunakan pakaian bekas penderita.
“Pakaian bekas bisa saja menimbulkan penyakit berbahaya seperti HIV/AIDS jika pemakai sebelumnya mengidap penyakit tersebut, apalagi jika ada noda atau bercak darah yang masih tertinggal di pakaian, tetapi sampai sekarang belum ada penelitian mengenai dampak pakaian bekas bagi kesehatan dan belum ada pasien yang mengeluh akibat pemakaian pakaian bekas, konsumen tetap harus waspada akan dampak yang bisa ditimbulkan pakaian bekas”.
75
Berikut adalah hasil wawancara dengan Bpk. Suaib
(sebagai Ketua Unit Gawat Darurat dan P2 Kusta
Puskesmas Jumpandang):
“Penyakit kulit adalah penyakit menular, melalui kontak langsung, pernafasan, dan secara tidak langsung dengan menggunakan pakaian bekas penderita penyakit kulit. Apalagi jika kebersihan pakaian tersebut tidak terjamin, apalagi pakaian tersebut sudah digunakan oleh seseorang, sehingga apabila pemakai sebelumnya mengidap penyakit kulit otomatis dapat menularkan penyakit ke pemakai berikutnya, apalagi jika tidak di cuci dengan bersih. Contohnya panu, kudis, kurap, dan alergi. Walaupun sudah dicuci kemungkinan besar kuman dalam pakaian bekas masih ada kecuali direndam dengan air panas agar kuman-kumannya mati. Selain bisa menimbulkan penyakit kulit, pakaian bekas juga dapat menimbulkan penyakit spilis dankencing nanah, karena penularan melalui sentuhan dengan pakaian bekas penderita. Tempat duduk penderita kencing nanah saja tidak bisa diduduki apalagi jika yang dipakai pakaian dalam bekas. Tetapi sampai sekarang belum ada keluhan akibat pemakaian pakaian bekas”.
b. Dampak Positif Pakaian Bekas
Dari beberapa dampak negatif pakaian bekas, tidak di
pungkiri bahwa di sisi lain terdapat juga dampak positif dari
pakaian bekas terutama bagi masyarakat kelas menengah ke
bawah. Adanya impor pakaian bekas sangat membantu
masyarakat menengah ke bawah baik sebagai pedagang
maupun para konsumen atau pembeli. Karena masyarakat yang
kurang mampu dapat memiliki pakaian dengan harga sangat
murah, serta kualitas pakaian yang cukup bagus, dan masih
layak untuk dipakai. Oleh karena itu sangat banyak peminat dari
76
masyarakat Indonesia untuk berdagang dan menggunakan
pakaian bekas tersebut. Bahkan dampak adanya pakaian bekas
sangat dirasakan oleh golongan ekonomi lemah, seperti apa
yang diungkapkan oleh Dg. Taddi seorang tukang becak di
sekitar pasar terong, (13 Februari 2011), mengatakan bahwa:
“Sebelum adanya pakaian bekas atau cakar, baju yang saya miliki hanya beberapa lembar saja dan bahkan itu-itu saja terus yang saya pakai karena tidak sanggup membeli baju di toko yang harganya sangat mahal, tapi setelah adanya pakaian bekas atau cakar saya bisa mengganti pakaian saya tiap hari karena bisa membeli pakaian bekas atau cakar dengan harga murah bahkan ada yang hanya Rp. 2000,00 (dua ribu rupiah). Saya tidak mengetahui kalau pakaian bekas merupakan barang illegal yang dapat merugikan negara, dan walaupun sekarang saya sudah mengetahui, bodoh amat dengan perekonomian negara, kondisi ekonomi saya saja sangat sulit, buat makan saja susah apalagi mau pikir beli baju bagus”.
Bisnis pakaian bekas merupakan bisnis yang cukup
menjanjikan. Harga yang relatif murah dengan kualitas bagus,
membuat baju-baju bekas laku di pasaran karena banyak
peminatnya. Keuntungan yang didapatkan dari hasil penjualan
pakaian bekas terbilang lumayan banyak dan menguntungkan.
Apalagi jika dilihat pengusaha-pengusaha pakaian bekas yang
kondisi ekonominya sangat baik, pedagang eceranpun
mendapatkan keuntungan yang tidak sedikit. Berikut adalah
hasil wawancara dengan H.M. Amir Batasa selaku pengusaha
pakaian bekas (20 Februari 2011) :
“Apa yang saya dapatkan sekarang ini, semuanya karena usaha pakaian bekas yang sudah saya tekuni selama kurang lebih 12
77
tahun. Hingga menyekolahkan anak juga menggunakan uang hasil dari usaha pakaian bekas yang keuntungannya tidak sedikit”.
Keberadaan pakaian bekas juga telah memberikan
dampak positif kepada perekonomian masyarakat kecil serta
terciptanya lapangan kerja baru. Mulai dari buruh, pedagang,
pelaku usaha besar (pemasok) pakaian bekas. Selain itu,
mampu menggerakkan sektor usaha lain, seperti transportasi.
Jika impor pakaian bekas dihentikan maka pencarian para
pedagang akan hilang, apalagi bagi pedagang yang tidak
mempunyai pekerjaan lain selain berdagang pakaian bekas.
3. Tingkat Pengetahuan Masyarakat Akan Dampak Penggunaan
Pakaian Bekas Bagi Kesehatan dan Perekonomian
Skor hasil pengisian angket yang menunjukkan tingkat
pengetahuan masyarakat akan dampak penggunaan pakaian
bekas bagi kesehatan dan dampak penggunaan pakaian bekas
bagi perekonomian. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai
berikut:
A. Tingkat pengetahuan masyarakat akan dampak penggunaan
pakaian bekas bagi kesehatan
Skor hasil penelitian angket yang menunjukkan tingkat
pengetahuan masyarakat akan dampak penggunan pakaian
bekas bagi kesehatan. Dari keseluruhan skor yang diperoleh,
78
jika dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu kategori tahu,
cukup tahu, kurang tahu, dan tidak tahu. Maka tingkat
pengetahuan masyarakat akan dampak pakaian bekas bagi
kesehatan ditunjukkan pada tabel 1 dibawah ini:
Tabel 1. Tingkat pengetahuan masyarakat akan dampak penggunaan pakaian bekas bagi kesehatan
No Interval Skor Kategori Frekuensi Persentase
1 15 – 20 Tahu 9 30%
2 10 – 14 Cukup Tahu 4 13,3%
3 5 – 9 Kurang Tahu 17 56,7%
4 0 – 4 Tidak Tahu 0 0%
Jumlah 30 100%
Sumber : Data Primer (2011)
Data pada tabel 1 menunjukkan bahwa, dari 30
masyarakat yang menjadi sampel penelitian, terdapat 17
(56,7%) masyarakat dikategorikan kurang tahu dalam hal
pengetahuannya akan dampak pakaian bekas bagi kesehatan;
9 (30%) masyarakat dikategorikan cukup tahu dalam hal
pengetahuannya akan dampak penggunaan pakaian bekas
bagi kesehatan; 4 (13,3%) masyarakat dikategorikan cukup
79
tahu dalam hal pengetahuannya akan dampak penggunaan
pakaian bekas bagi kesehatan dan 0 (0%) masyarakat
dikategorikan tidak tahu dalam hal pengetahuannya akan
dampak penggunaan pakaian bekas bagi kesehatan.
B. Tingkat pengetahuan masyarakat akan dampak penggunaan
pakaian bekas bagi perekonomian
Skor hasil penelitian angket yang menunjukkan tingkat
pengetahuan masyarakat akan dampak penggunaan pakaian
bekas bagi perekonomian. Dari keseluruhan skor yang
diperoleh, jika dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu
kategori tahu, cukup tahu, kurang tahu, dan tidak tahu. Maka
tingkat pengetahuan masyarakat akan dampak penggunaan
pakaian bekas bagi perekonomian ditunjukkan pada tabel 2
dibawah ini.
Tabel 2. Tingkat pengetahuan masyarakat akan dampak penggunaan pakaian bekas bagi perekonomian
NoInterval
SkorKategori Frekuensi Persentase
1 15 – 20 Tahu 3 10%
2 10 – 14 Cukup Tahu 12 40%
3 5 – 9 Kurang Tahu
15 50%
4 0 – 4 Tidak Tahu 0 0
Jumlah 30 100%
Sumber : Data Primer (2011)
80
Data pada tabel 2 menunjukkan bahwa, dari 30
masyarakat yang menjadi sampel penelitian, terdapat 15 (50%)
masyarakat dikategorikan kurang tahu dalam hal
pengetahuannya akan dampak pakaian bekas bagi
perekonomian; 12 (40%) masyarakat dikategorikan cukup tahu
dalam hal pengetahuannya akan dampak penggunaan pakaian
bekas bagi perekonomian; 3 (10%) masyarakat dikategorikan
tahu dalam hal pengetahuannya akan dampak pakaian bekas
bagi perekonomian dan 0 (0%) masyarakat dikategorikan tidak
tahu dalam hal pengetahuannya akan dampak pakaian bekas
bagi perekonomian.
C. Pembahasan Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil analisis data yang telah diuraikan di
atas, maka terungkap bahwa tingkat pengetahuan masyarakat
akan dampak penggunaan pakaian bekas bagi kesehatan
dikategorikan kurang tahu. Kenyataan tersebut didukung oleh
tingginya persentase masyarakat yang memiliki tingkat
pengetahuan kurang tahu terhadap dampak pakaian bekas
bagi kesehatan dan memiliki tingkat pengetahuan kurang tahu
akan dampak penggunaan pakaian bekas bagi perekonomian.
Untuk lebih jelasnya, pengelompokan tingkat pengetahuan
konsumen akan dampak penggunaan pakaian bekas bagi
81
kesehatan dan perekonomian, berdasarkan kategori
ditunjukkan dalam bentuk histogram pada gambar di bawah ini:
Gambar : Tingkat pengetahuan konsumen akan dampak pakaian bekas bagi kesehatan dan perekonomian
Rendahnya tingkat pengetahuan konsumen akan
dampak pakaian bekas bagi kesehatan menjadi tanggung
jawab pemerintah khususnya Lembaga Konsumen dan Dinas
Kesehatan untuk memberi pembinaan dan pendidikan terhadap
konsumen akan dampak penggunaan pakaian bekas bagi
kesehatan dan rendahnya tingkat pengetahuan konsumen akan
dampak penggunaan pakaian bekas bagi perekonomian juga
tidak lepas dari tanggung jawab pemerintah khususnya
lembaga konsumen dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan
untuk memberi pembinaan dan pendidikan terhadap konsumen
akan dampak pakaian bekas bagi perekonomian, serta
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Tahu CukupTahu
KurangTahu
TidakTahu
Tingkat PengetahuanKonsumen AkanDampak Pakaian BekasBagi Kesehatan
Tingkat PengetahuanKonsumen AkanDampak Pakaian BekasBagi Kegiatan Ekonomi
82
melakukan pengawasan mengenai peredaran pakaian bekas
sebagaimana ketentuan dalam Pasal 29 dan Pasal 30
mengenai pembinaan dan pengawasan.
C. Peran Pemerintah dalam Menyikapi Maraknya Kegiatan
Jual Beli Pakaian Bekas
Dalam konteks pembangunan di Indonesia, sejak orde
baru telah memusatkan perhatian pada pembangunan nasional
pada aspek pertumbuhan ekonomi, telah tumbuh dan
berkembang dengan pesat berbagai macam industri dan
diberlakukannya perdagangan bebas antar negara didukung
dengan tegnologi yang semakin maju maka pemerintah perlu
aktif dalam membuat, menyesuaikan, dan mengawasi
pelaksanaan peraturan yang berlaku.
Sesuai dengan prinsip pembangunan yang antara lain
menyatakan bahwa pembangunan dilaksanakan bersama oleh
masyarakat dengan pemerintah dan karena itu menjadi
tanggung jawab bersama pula, maka melalui pengaturan dan
pengendalian oleh pemerintah, tujuan pembangunan nasional
dapat dicapai dengan baik.62
Upaya pemerintah untuk melindungi konsumen dari
produk yang merugikan dapat dilaksanakan dengan cara
62 Janus Sidabalok, “Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia”. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2010, hlm.23.
83
mengatur, mengawasi, mengendalikan produksi, distribusi, dan
peredaran produk sehingga konsumen tidak dirugikan baik bagi
kesehatan maupun keuangannya. Peranan pemerintah
sebagaimana dimaksud dapat dikategorikan sebagai peranan
yang berdampak jangka panjang sehingga perlu dilakukan
secara bertahap dengan cara memberikan penerangan,
penyuluhan, dan pendidikan bagi semua pihak. Dengan
demikian, tercipta lingkungan berusaha yang sehat dan
berkembangnya pengusaha yang bertanggung jawab. Dalam
jangka pendek, pemerintah dapat menyelesaikan secara
langsung dan cepat masalah-masalah yang timbul.63 Salah
satunya adalah kegiatan jual beli pakaian bekas yang pada
umumnya jenis pakaian tersebut diimpor dari berbagai negara
secara illegal, sesuai dengan Surat Keterangan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Nomor. 229/MPP/Kep/7/1997,
Pasal 3 Ketentuan Umum di bidang impor memang ditentukan
bahwa “Barang yang diimpor harus dalam keadaan baru”.
Berikut ini peranan pemerintah dalam menyikapi
maraknya kegiatan jual beli pakaian bekas :
63 Ibid, hlm. 23-24.
84
1. Peran Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Makassar
Berikut beberapa aturan yang dibuat oleh Menteri
Perindustrian dan Perdagangan terkait dengan masalah pakaian
bekas:
a. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor.
229/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan Umum di bidang
Impor
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Nomor. 229/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan Umum di
bidang Impor disahkan pada tanggal 4 Juli 1997. Dalam
Keputusan Menteri tersebut yang diperbolehkan melakukan
kegiatan impor tekstil adalah perusahaan yang telah memiliki
Angka Pengenal Importir (API) dan pengecualian
perusahaan yang mengimpor barang. Selain itu, dalam
Pasal 3 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Nomor. 229/MPP/Kep/7/1997 ditentukan bahwa barang yang
diimpor harus dalam keadaan baru dan tidak berlaku untuk
impor kapal niaga dan kapal ikan.
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa impor
pakaian bekas dilarang, meskipun dalam ketentuan tersebut
tidak dituliskan secara jelas jenis barang yang diimpor, akan
tetapi apapun jenis barang tersebut apabila barang tersebut
85
merupakan barang bekas, tidak boleh diimpor karena barang
yang diimpor haruslah dalam keadaan baru.
b. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor.
642/MPP/Kep/9/2002 tentang Perubahan Lampiran I
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor.
230/MPP/Kep/7/1997 tentang Barang yang diatur Tata Niaga
Impornya.
Nomor 642/MPP/Kep/9/2002 tentang larangan impor
pakaian Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
bekas bukan hanya menyangkut aspek ekonomi. Kebijakan
yang diambil juga memperhatikan masalah kesehatan.
Dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor. 642/MPP/Kep/9/2002 :
1. Mengubah lampiran I nomor urut 108 Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Nomor
230/MPP/Kep/7/1997, yang semula:
No. Nomor HSUraian Barang
Tata Niaga Impor
108 ex. 6310.90.000Gombal baru
dan bekasIU LIMBAH
No. Nomor HSUraian Barang
Tata Niaga Impor
108 ex.6310.90.000Gombal baru
dan bekasDILARANG
86
2. Dengan ditetapkannya keputusan ini, maka :
- Semua ketentuan lainnya yang tercantum dalam
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Nomor 230/MPP/Kep/7/1997 dinyatakan tetap
berlaku;
- Lampiran I nomor urut 16 Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Nomor
230/MPP/Kep/7/1997 tentang prosedur impor limbah
dinyatakan tidak berlaku lagi.
3. Impor gombal yang telah dibuka sebelum tanggal
ditetapkannya keputusan ini, masih dapat dilaksanakan
dengan ketentuan, gombal yang diimpor sudah tiba
dipelabuhan tujuan paling lambat 15 (lima belas) hari
terhitung sejak tanggal ditetapkannya keputusan ini.
Didalam Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor 230/MPP/Kep/7/1997 dinyatakan
bahwa yang termasuk kedalam kategori uraian barang
bekas yang dapat diimpor adalah berupa ‘gombal baru
dan bekas’. Jika dikaitkan dengan impor pakaian bekas
maka masuknya pakaian bekas ke Indonesia menurut
Keputusan Menteri ini adalah legal dan diijinkan oleh
peraturan perundang-undangan.
87
Namun, dengan adanya perubahan yang
dituangkan dalam Keputusan Menteri Nomor
642/MPP/Kep/9/2002 menyatakan bahwa impor barang
berupa ‘gombal baru dan bekas’ ini adalah dilarang.
Dengan kata lain jelas bahwa masuknya pakaian bekas
dari luar negeri dilarang oleh undang-undang dan
merupakan perbuatan illegal.
c. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil
Dalam rangka mencegah beredarnya tekstil impor
illegal di pasaran Indonesia yang menimbulkan
perdagangan tidak sehat dan mengakibatkan kerugian
terhadap tekstil produksi dalam negeri serta
mempertahankan iklim usaha tetap kondusif, maka
pemerintah memberlakukan peraturan tata niaga impor
tekstil yang baru. Dalam Pasal 2 Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Nomor
732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil,
menentukan bahwa:
(1) Tekstil sebagaimana dimaksud hanya dapat diimpor
oleh perusahaan yang telah mendapat pengakuan
sebagai Importir Produsen Tekstil, selanjutnya disebut
IP Tekstil.
88
(2) Pengakuan sebagai IP Tekstil sebagaimana dimaksud
menyangkut antara lain tentang jumlah dan jenis tekstil
yang dapat diimpor dan waktu pengapalannya.
(3) Tekstil yang diimpor oleh IP Tekstil hanya dipergunakan
sebagai bahan baku atau bahan penolong untuk proses
produksi dari industri yang dimiliki oleh IP Tekstil dan
dilarang diperjualbelikan maupun dipindah tangankan.
Keputusan menteri tersebut menentukan tekstil yang
dapat diimpor oleh perusahaan yang telah mendapat
pengakuan sebagai Importir Produsen Tekstil, selanjutnya
disebut IP Tekstil. Sedangkan pakaian bekas diimpor secara
illegal yang tidak mendapat pengakuan sebagai Importir
Produsen Tekstil (IP Tekstil). Berikut adalah hasil
wawancara dengan Bapak Qamaluddin Achmad, S. H selaku
sekretaris Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota
Makassar, (18 April 2011):
“Pakaian bekas memang tidak mendapat pengakuan sebagai Importir Produsen Tekstil (IP Tekstil) karena merupakan barang illegal”.
Dalam Keputusan menteri tersebut, juga menentukan
IP Tekstil hanya dipergunakan sebagai bahan baku atau
bahan penolong untuk proses produksi, sedangkan pakaian
bekas merupakan produk yang sudah jadi bukan sebagai
89
bahan baku, yang dilarang diperjualbelikan maupun
dipindah-tangankan.
Selain membuat berbagai aturan, Dinas Perindustrian
dan Perdagangan juga melakukan pengawasan. Berikut
hasil wawancara dengan Bapak Qamaluddin Achmad, S. H,
selaku sekretaris Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota
Makassar, (8 Februari 2011):
“Adanya dilema antara peraturan perundang-undangan, perekonomian nasional, dan kondisi ekonomi masyarakat, dimana peraturan perundang-undangan melarang pakaian bekas/cakar masuk ke Indonesia karena adanya ketentuan umum dibidang impor dalam Surat Keterangan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 229/MPP/Kep/7/1997 dalam Pasal 3 memang disebutkan bahwa barang yang diimpor harus baru, Impor illegal tersebut juga menimbulkan kerugian bagi negara dan menyebabkan perekonomian yang tidak sehat karena tidak membayar biaya bea dan cukai, disisi lain kondisi ekonomi masyarakat yang masih memprihatinkan dan kebutuhan akan sandang harus terpenuhi sehingga pakaian bekas/cakar banyak diminati, tidak hanya dari kalangan ekonomi menengah kebawah, kalangan elitpun banyak yang suka membeli pakaian bekas/cakar. Karena hal itu, sampai sekarang belum ada jalan keluar yang di dapatkan untuk memecahkan masalah tersebut. Walaupun belum ada aturan khusus mengenai pakaian bekas/cakar tetapi Dinas Perindustrian dan Perdagangan sudah banyak membuat aturan mengenai pakaian impor yang telah disebutkan diatas, pakaian bekas atau biasa disebut “cakar” memang merupakan barang illegal karena tidak membayar biaya bea dan cukai. Walaupun masuknya pakaian bekas tidak membayar biaya bea dan cukai, namun masuk melalui pelabuhan dengan membayar pajak tidak resmi oleh petugas bea dan cukai, selain itu memberikan pemasukan ke kas daerah melalui retribusi yang dipungut dari pedagang pakaian bekas tersebut, retribusi pasar melalui Disperindag, retribusi parkir melalui perhubungan, dan sumbangan Bina Usaha Perdagangan melalui Disperindag. Tetapi Disperindag tetap melakukan pengawasan terhadap
90
peredaran pakaian bekas agar tidak melemahkan industri tekstil dalam negeri dan tidak memberikan dampak negatif pada perekonomian negara dan bagi konsumen. Salah satu bentuk pengawasan Disperindag yaitu dengan mengeluarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 634/MPP/Kep/9/2002 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa yang Beredar di Pasaruntuk mengawasi peredaran pakaian bekas, dan adanya asas kepentingan umum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang Pelayanan Publik dan tetap memegang pada Undang-undang Nomor 8 Tahun1999 tentang Perlindungan Konsumen”.
Dengan adanya aturan-aturan seperti yang sudah
dicantumkan dalam Keputusan Menteri di atas, hal tersebut
sudah membuktikan kepedulian pemerintah khususnya
Dinas Perindustrian dan Perdagangan terhadap
perekonomian nasional dan perlindungan terhadap
konsumen agar tidak dirugikan oleh maraknya kegiatan jual
beli pakaian bekas.
2. Peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen memungkinkan penyelesaian sengketa konsumen di
luar pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
dilaksanakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan
besarnya ganti kerugian dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk
menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang
kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Dengan cara ini
91
dimaksudkan supaya persoalan antara konsumen dan pelau usaha
dapat segera ditemukan jalan penyelesaiannya. Namun demikian,
tidak tertutup kemungkinan persoalan diselesaikan melalui
pengadilan. 64
Untuk membantu penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan, undang-undang ini memperkenalkan sebuah lembaga
yang bernama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Badan ini merupakan badan hasil bentukan pemerintah yang
berkedudukan di ibu kota Daerah Tingkat II Kabupaten/Kota. BPSK
tidak hanya bertugas menyelesaikan sengketa konsumen, BPSK
juga bertugas memberikan konsultasi perlindungan konsumen, dan
sebagai tempat pengaduan konsumen tentang adanya pelanggaran
ketentuan perlindungan konsumen, serta bebagai tugas lainnya
yang terkait dengan pemeriksaan pelaku usaha yang diduga
melanggar UUPK. 65
Berikut hasil wawancara dengan Bapak Qamaluddin
Achmad, S.H. selaku Ketua Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) Kota Makassar ( 8 Februari 2011) :
“BPSK bertugas mengakomodir pengaduan masyarakat, BPSK mengupayakan perlindungan terhadap konsumen berdasarkan Pasal 52 Undang-undang Perlindungan Konsumen. Jadi walaupun sebagian besar masyarakat mengetahui kalau pakaian bekas atau cakar adalah barang bekas digunakan, pelaku usaha tetap
64 Janus Sidabalok, “Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia”. Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2010, hlm. 195.
65 Sri Wulandari, “Perlindungan Konsumen pada Produk Multi Level Marketing”. 2010, hlm. 31.
92
berkewajiban memberikan informasi secara lengkap dan benar. Karena dalam fikiran masyarakat kebanyakan khususnya ekonomi menengah ke bawah pakaian bekas/cakar adalah barang murah, masyarakat tidak memikirkan apakah itu bekas, cacat, atau kotor.Apabila pelaku usaha tidak memberikan informasi secara lengkap dan benar dan ada kerugian akibat pemakaian cakar/pakaian bekas maka dapat dimintakan pertanggungjawaban berupa sanksi administratif berdasarkan Pasal 60 UUPK yaitu ganti rugi paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan jika dibuktikan oleh forensik menyebabkan meninggal atau cacat dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 62 UUPK dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Maka dari itu merupakan kewajiban memberikan informasi secara lengkap dan benar. Jika pelaku usaha sudah menyampaikan informasi secara lengkap dan benar mengenai kondisi barang, tetapi konsumen tidak mempedulikan berarti konsumen sudah mengetahui risikonya dan apabila ada kerugian maka bukan menjadi tanggung jawab pelaku usaha melainkan tanggung jawab konsumen. Akan tetapi sampai sekarang di BPSK sendiri belum pernah menerima pengaduan dari konsumen mengenai pakaian bekas, mungkin karena kurangnya pengetahuan masyarakat akan BPSK atau memang belum ada yang dirugikan. Untuk kedepannya pihak BPSK akan tetap melakukan sosialisasi dan pembinaan mengenai Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan bahaya atau dampak yang bisa ditimbulkan dari pakaian bekas terhadap konsumen, dan pelaku usaha”.
Berikut adalah hasil wawancara oleh Dg. Sija selaku
pedagang pakaian bekas (20 Februari 2011) :
“Kami tidak memberikan informasi tentang pakaian bekas tersebut, apakah bekas, robek,kotor atau bernoda, karena kami menganggap konsumen sudah mengetahui kalau pakaian tersebut adalah bekas. Tergantung ketelitian konsumen dalam memilih. Kami sebagai pedagang hanya berdagang dan tidak memusingkanhal tersebut. Belum pernah ada sosialisasi yang diberikan pemerintah menyangkut masalah pakaian bekas. Sampai sekarang belum pernah ada keluhan kepada kami akibat memakai pakaian bekas”.
93
Dari hasil wawancara dengan pihak BPSK dan pelaku usaha
pakaian bekas diatas menurut penulis sendiri, hal yang dilakukan
BPSK sudah tepat dalam melaksanakan tugasnya dan memberikan
perlindungan kepada konsumen, tetapi akan lebih baik jika BPSK
lebih tegas dalam memberikan sosialisasi kepada pelaku usaha
dan konsumen mengenai bahaya atau dampak yang bisa
ditimbulkan pakaian bekas bagi kesehatan.
3. Peran Yayasan Lembaga Konsumen (YLK) Sulawesi Selatan
Pada tahun 1973 oleh sekelompok pemerhati masalah
konsumen didirikanlah YLK yang didorong oleh rasa keprihatinan
atas meningkatnya pembangunan industri dan perdagangan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat, tetapi sedikit mempersoalkan
kepentingan konsumen. Maka dari itu, didorong oleh keprihatinan
akan kemungkinan timbulnya dampak negatif dari pemakaian
barang dan/atau jasa, didirikanlah YLK dengan tujuan membantu
konsumen agar tidak dirugikan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa. Hingga kini tumbuh lembaga sejenis di daerah-
daerah. 66
Untuk mencapai tujuannya YLK melaksanakan berbagai
kegiatan yang diorganisasikan dalam berbagai bidang berikut:
66
Janus Sidabalok, “Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia”. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2010, hlm. 265.
94
a. Bidang Penelitian
Bidang penelitian bertujuan untuk memberikan informasi yang
objektif mengenai mutu barang.67
b. Bidang Pendidikan
Bidang pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
dan pengetahuan konsumen, misalnya tentang hak dan
kewajibannya sebagai konsumen, bagaimana menjadi
konsumen yang baik dan bijak, dan sebagainya.68
c. Bidang Penerbitan
Bidang penerbitan bertujuan untuk menyebarluaskan
pandangan dan hasil penelitian YLK tentang produk dan soal-
soal lain sekitar perlindungan konsumen. Berbagai buku
panduan telah diterbitkan dan disebarluaskan, contohnya
berupa majalah Warta Konsumen.69
d. Bidang Pengaduan
Bidang pengaduan yaitu menerima pengaduan dari masyarakat
dan kemudian mencoba mencari jalan penyelesaiannya, antara
lain dengan bekerja sama dengan produsen maupun
pemerintah.70
67 Untuk menerbitkan ini, YLKI menerbitkan secara regular Warta Konsumen dan dapat pula
dipublikasikan melalui media lain.
68 Janus Sidabalok, “Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia”. Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2010, hlm. 266.
69 Ibid
70 Ibid
95
e. Bidang Umum dan Keuangan
Bidang umum dan keuangan berupa bidang yang berkaitan
dengan organisasi YLK sehingga dapat berjalan sebagaimana
direncanakan.71
Berikut hasil wawancara dengan Bapak Ambo, selaku
Koordinator Bidang Umum YLK Sul-Sel:
“Masalah pakaian bekas/cakar tidak sesederhana yang kita pikirkan karena merupakan pilihan masyarakat sebagai konsumen, sesuai dengan Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen yaitu hak untuk memilih barang dan/atau jasa, memilih dalam artian konsumen sadar untuk memilih bahwa memang kondisi barang yang dipilih kualitasnya kurang bagus, apakah ada cacat atau rusak. Walaupun mayoritas masyarakat mengetahui bahwa pakaian bekas/cakar adalah barang bekas digunakan oleh orang lain, pelaku usaha tetap berkewajiban memberikan informasi yang benar dan lengkap kalau pakaian tersebut bekas digunakan karena tidak semua masyarakat mengetahui pakaian bekas/cakar adalah bekas digunakan, didalam fikiran masyarakat apalagi masyarakat yang kondisi ekonominya kurang mampu, mereka hanya berfikir kalau pakaian bekas/cakar dapat dibeli dengan harga murah, apalagi namanya di daerah kita (Makassar) bukan pakaian bekas melainkan “cakar”. Pelaku usaha juga berkewajiban memberitahukan petunjuk penggunaan pakaian bekas/cakar, apakah harus dicuci dengan bersih, direndam air panas, dan lain-lain, agar bakteri dalam pakaian bekas mati. Karena penyakit dalam pakaian bekas sangat rawan apalagi bersentuhan dengan kulit yang sangat sensitif. YLK Sul-Sel belum melakukan pembinaan secara khusus mengenai pakaian bekas tetapi tetap disampaikan kepada konsumen bahwa harus kritis dalam memilih barang dan/atau jasa jangan hanya tergiur dengan harga yang murah tetapi harus memikirkan dari segi kesehatan. Sampai sekarang di YLK Sul-Sel belum pernah menerima pengaduan dari konsumen mengenai pakaian bekas”.
71 Ibid
96
Menurut penulis, hal yang dilakukan YLK Sul-Sel sudah
tepat, tetapi akan lebih baik jika YLK Sul-Sel lebih tegas dalam
memberikan sosialisasi mengenai pakaian bekas dan lebih aktif
dalam memberikan perlindungan kepada konsumen. Hal tersebut
harus didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai serta
sumber daya manusia yang berpotensi. Semoga untuk kedepannya
YLK Sul-Sel bisa lebih berkembang dengan dukungan oleh
pemerintah pusat agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
97
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan sebelumnya, maka
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaksanaan Undang-undang Perlindungan Konsumen dalam
upaya melindungi konsumen dari dampak penggunaan pakaian
bekas yaitu dengan adanya Pasal 4 mengenai hak konsumen
mendapat kenyamanan, keamanan, dan keselamatan, Pasal 7
mengenai kewajiban pelaku usaha memberikan informasi yang
benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa, serta Pasal 29 dan 30 mengenai pembinaan dan
pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah. Dengan terciptanya
hubungan harmonis antara pemerintah, pelaku usaha, dan
konsumen maka dapat tercapai keserasian, keharmonisan dalam
kegiatan usaha yang tidak hanya mementingkan keuntungan
pelaku usaha tetapi juga mengutamakan keselamatan konsumen
dan dapat tercapainya tujuan dari Undang-undang Perlindungan
Konsumen.
2. Berdasarkan hasil analisis data, maka terungkap bahwa tingkat
pengetahuan masyarakat akan dampak penggunaan pakaian
bekas bagi kesehatan dan perekonomian dikategorikan kurang
tahu. Kenyataan tersebut didukung oleh tingginya persentase
98
masyarakat yang memiliki tingkat pengetahuan kurang tahu
terhadap dampak pakaian bekas bagi kesehatan dan
perekonomian.
3. a. Dengan adanya beberapa keputusan menteri yang sudah
dicantumkan pada pembahasan sebelumnya, hal tersebut sudah
membuktikan kepedulian pemerintah khususnya Kementerian
Perindustrian dan Perdagangan terhadap perekonomian nasional
dan perlindungan terhadap konsumen agar tidak dirugikan oleh
maraknya kegiatan jual beli pakaian bekas.
b. Perlindungan yang diberikan oleh BPSK mengakomodir
pengaduan masyarakat, menyelesaikan sengketa konsumen serta
memberikan sosialisasi kepada pelaku usaha dan konsumen
mengenai dampak pakaian bekas.
B. Saran
Dengan maraknya perdagangan pakaian bekas yang dijual
dengan harga murah, kualitas yang tidak kalah dengan pakaian baru
dan banyak menguntungkan bagi kalangan ekonomi lemah, tetapi
harus juga diperhatikan dampaknya bagi kesehatan dan kegiatan
ekonomi agar tidak ada yang dirugikan dalam perdagangan pakaian
bekas, baik pemerintah, pelaku usaha, dan konsumen. Berikut
beberapa saran untuk pemerintah, pelaku usaha, dan konsumen :
99
1. Pemerintah harus lebih tegas menyikapi maraknya jual beli pakaian
bekas. Dapat dilakukan dengan adanya pembinaan mental bagi
para aparat petugas seperti peningkatan disiplin dalam
melaksanakan tugasnya.
2. Pemerintah juga sebaiknya memberikan solusi atas masalah
pakaian bekas, karena sebagian besar konsumen pakaian bekas
adalah ekonomi lemah, dimana pemerintah tidak hanya melarang
peredaran pakaian bekas tetapi juga harus menyediakan
kebutuhan sandang dengan harga yang terjangkau oleh
masyarakat ekonomi lemah.
3. Diperlukan adanya perangkat hukum yang lebih khusus mengatur
tentang peredaran pakaian bekas.
4. Penegak hukum terkait hendaknya memiliki suatu pandangan
tentang larangan peredaran pakaian bekas.
5. Pemerintah hendaknya memberikan penyuluhan kepada
masyarakat agar timbul kesadaran hukum masyarakat akan
dampak pakaian bekas bagi kesehatan dan perekonomian negara.
6. Pelaku usaha pakaian bekas seharusnya memberikan informasi
mengenai kondisi dan cara penggunaan atau perbaikan pakaian
bekas, apakah informasi mengenai kondisi pakaian bekas yang
bekas digunakan, atau mengenai cara penggunaan pakaian bekas
harus dicuci atau direndam air panas terlebih dahulu sebelum
digunakan.
100
7. Konsumen seharusnya lebih pro aktif dalam memperjuangkan
haknya. Sebelum membeli pakaian bekas, hendaknya konsumen
meneliti pakaian bekas yang akan dibeli, apakah ada yang robek,
kotor atau cacat yang lainnya, dan memperhatikan cara
penggunaan pakaian bekas agar kuman-kumannya hilang. Jangan
hanya tergiur dengan harga yang murah.
101
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Achmad Ali, 2009, Menguak Tabir Sosiologi Hukum.Agnes M. Toar, 1988, Tanggung Jawab Produk, Ujung Padang: DKIH.
Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Bogor: Ghalia Indonesia.
Adrianus Meliala, 2001, Praktik Bisnis Curang, Jakarta: Sinar Harapan.Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen,
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika.
C. Tantri D. dan Sulastri, Gerakan Organisasi Konsumen, Jakarta: YLKI dan The Asia Foundation
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, 2003, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT Gramedia Pustaka.
Happy Susanto, 2008, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, Jakarta: Transmedia Pustaka.
Janus Sidabalok, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
M. Imam. Aziz, 2007, Memahami Sejarah Indonesia dari Pakaian, Jakarta: Visi Media.
Philip Kotler, 1994, Manajemen Pemasaran, Jakarta: Erlangga.
Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: PT Grasindo.
Sunaryati Hartono, 1988, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bandung: Bina Cipta.
Soufnir Chibro, 1992, Pengaruh Tindak Pidana Penyelundupan Terhadap Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika.
Sri Wulandari, 2010, Perlindungan Konsumen pada Produk Multi Level Marketing.
102
B. Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor. 229/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan Umum dibidang Impor.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor. 642/MPP/Kep/9/2002 tentang Perubahan Lampiran I Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor. 230/MPP/Kep/7/1997 tentang Barang yang diatur Tata Niaga Impornya.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 634/MPP/Kep/9/2002 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa yang Beredar di Pasar.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
C. Sumber Lain
Pakaian Bekas, www.google.com diakses tanggal 12 Oktober pukul 13.45 WITA.
Perlindungan Konsumen, www.google.com diakses tanggal 3 Januari pukul 13.45 WITA.
Top Related