TERJEMAHAN AL-QURAN DEPARTEMEN AGAMA
EDISI REVISI 1989 PADA AYAT-AYAT
EKSKLUSIVITAS DAN INKLUSIVITAS ISLAM :
ANALISIS WACANA
Oleh :
Alhafiz Kurniawan
NIM: 104024000828
JURUSAN TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2009 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 19 Juni 2009
Alhafiz Kurniawan
TERJEMAHAN AL-QURAN DEPARTEMEN AGAMA EDISI
REVISI 1989 PADA AYAT-AYAT EKSKLUSIVITAS DAN
INKLUSIVITAS ISLAM : ANALISIS WACANA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Sastra
Oleh
Alhafiz Kurniawan
NIM. 104024000828
Di bawah bimbingan,
DR. Sukron Kamil MA
NIP. 1502828400
JURUSAN TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2009 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA
EDISI REVISI 1989 PADA AYAT-AYAT EKSKLUSIVITAS DAN
INKLUSIVITAS ISLAM: ANALISIS WACANA telah diujikan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada
22 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Sastra (S.s) pada Program Studi Tarjamah.
Jakarta, 22 Juni 2009
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap anggota, Sekretaris Merangkap
Anggota,
Drs. Ikhwan Azizi, M.A. Ahmad Syaekhuddin, M.Ag.
NIP: 150 262 446 NIP: 150 303 001
Anggota,
Ahmad Syaekhuddin, M.Ag
NIP: 150 303 001
TERJEMAHAN AL-QURAN DEPARTEMEN AGAMA EDISI
REVISI 1989 PADA AYAT-AYAT EKSKLUSIVITAS DAN
INKLUSIVITAS ISLAM : ANALISIS WACANA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Sastra
Oleh
Alhafiz Kurniawan
NIM. 104024000828
Di bawah bimbingan,
DR. Sukron Kamil MA
NIP. 1502828400
JURUSAN TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2009 M
ABSTRAK Eksklusifitas Islam merupakan fenomena pemahaman keagamaan yang
mengajarkan bahwa hanya Islam (sekte dari Islam versi resmi) saja yang diridhai Allah. Hal ini dengan sendirinya mengeksklusi agama, aliran kepercayaan lain,
atau sekte lain dalam agamanya. Keberadaan mereka ditandai oleh perasaan adanya privilese (superioritas) di ranah publik sementara Inklusifitas Islam
menawarkan satu keyakinan bahwa agama, aliran kepercayaan, atau sekte lain dalam agamanya menjadi bagian dari dirinya. Pada ranah publik, mereka tidak
memandang Yang Lain sebagai pihak subordinat atau inferior. Kedua pandangan dunia ini ternyata menginfiltrasi ke dalam aspek
kehidupan, bahasa tak terkecuali. Hal ini bisa dilihat dari organ terkecil bahasa,
seperti pemilihan diksi, hingga menjadi satuan makna utuh dalam kalimat
tersebut. Kecuali interaksi sosial, bahasa merupakan fenomena yang tak bisa
diabaikan begitu saja dalam manifestasi suatu ideologi tertentu. Sekalipun subtil sifatnya, bahasa merupakan ruang / medium yang tidak netral sekaligus menjadi
sasaran suatu ideologi. Tidak sampai di situ, bahasa juga menjadi ‘aparat
ideologis’ dalam melanggengkan otoritas atau sebagai pasukan ideologis yang
membendung satu ideologi yang dianggap sebagai lawan. Sampai di sini,
terjadilah apa yang disebut antagonisme sosial dimana satu wacana saling
bertabrakan, melakukan perjumpaan, bersinggungan, bertumbukkan satu sama
lain.
Untuk itulah analisis wacana menelusuri atau melacak ideologi sebelum
terwacanakan dan juga melacak efek dari wacana. Manifestasi ideologi dalam suatu wacana menghasilkan panopticon. Panopticon merupakan sebuah
mekanisme yang di dalamnya terdapat relasi orang yang mengawasi / yang diawasi, yang menimbulkan kesadaran dikontrol secara terus menerus untuk
memperlihatkan berfungsinya sebuah otoritas. Penelusuran (genealogi) ideologi yang terwacanakan ini menjadi penting
yaitu dengan mempelajari dan kesinambungan serta ketaksinambungan historis sebuah wacana pada saat ia dimainkan dalam kondisi-kondisi historis yang
spesifik dan tak tereduksi. Artinya ada rintisan-rintisan sejarah yang panjang dan
terus menerus terbangun (dikonstruksi dan terus direkonstruksi dan direproduksi)
dalam sebuah ideologi. Menimba inspirasi dari Foucault di mana pengetahuan
sangat erat kaitannya dengan kekuasaan (otoritas keagamaan). Baginya,
pengetahuan menjadi intrumen sebuah otoritas (keagamaan dalam konteks ini)
atau dalam kosakata Louis Althusser disebut sebagai aparat ideologis).
Sebaliknya, sebuah kekuasaan cenderung memproduksi pengetahuan.
Pengetahuan versi resmi inilah yang terus dimapankan. Sehingga kebenaran
dengan sendirinya ter(di)bentuk dan direproduksi secara kontinu. Kebenaran versi
resmi inilah yang disebut kebenaran superior yang dengan sendirinya
mengeksklusi kemungkinan-kemungkinan kebenaran di luar versi lain melalui
mekanisme kategorisasi dan upaya normalisasi secara otomatis dalam alam bawah
sadar / benak masyarakat. Oleh karenanya, analisis wacana merupakan sebuah kritik bahasa
sekaligus penelanjangan kepentingan sepihak yang mengintervensi dalam bahasa. Selain itu analisis wacana membekali kita untuk meng-counter pengaruh interest atau sistem nalar suatu kebudayaan yang terwujud dalam bahasa (terjemahan). Apalagi bahasa Arab yang kita tahu adalah hanya bahasa sekunder dari kalam
Ilahi sehingga sistem nalar yang terbawa dalam bahasa sekunder menjadi sesuatu
yang terelakkan.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah Swt. yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya kepada Penulis, sehingga skripsi yang merupakan syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra Jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan
Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini dapat Penulis
selesaikan.
Salawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad
Saw., keluarganya, dan para sahabatnya. Semoga kita semua mendapatkan
syafa‘atnya di Hari Akhir. Amin!
Dalam kata pengantar ini, Penulis akan mengucapkan terima kasih kepada
Dr. H. Abd. Chair, MA., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora; Drs. Ikhwan
Azizi, MA., Ketua Jurusan Tarjamah dan Ahmad Saehuddin, M.Ag., Sekretaris
Jurusan Tarjamah.
Terima kasih banyak juga Penulis ucapkan kepada pembimbing Dr.
Sukron Kamil MA., yang telah meluangkan waktu di tengah kesibukannya serta
kesabarannya dalam bimbingan; terima kasih kedua kalinya juga kepada beliau
selaku pembimbing akademik yang telah mengarahkan, mengajarkan, dan
mendidik Penulis selama menjadi santri di Fakultas Adab dan Humaniora.
Ucapan terima kasih kepada seluruh dosen Jurusan Tarjamah yang telah
mendidik dan mengajarkan Penulis berbagai ilmu pengetahuan bahasa, budaya,
dan terjemahan yang telah mengajarkan seluk beluk dunia terjemah. Tak juga
Penulis lewatkan terima kasih kepada Zubair M.Ag., Moch Syarif Hidayatullah
M.Hum, Irfan Abu Bakar MA, Karlina Helmanita MA, Prof. DR. Ahmad Satori,
Prof. DR. Thojib IM, Prof. DR. Rofi‘i, Drs. H.D Sirojuddin AR, M.Ag.
Mahyuddin Syah M.Ag. DR. Ismakun Ilyas MA., Darsita M.Hum, Ahmad Syatibi
M.Ag, Dra. Faozah sebagai dosen Penulis. Semoga amal mereka diterima Allah
Swt. Amin!
Ucapan terima kasih setulus-tulusnya kepada kedua orang tua,
Djamalluddin dan Triyani yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan
moral dan finansial Penulis, sehingga penyusunan skripsi ini terasa lebih ringan.
Bapak juga yang pertama kali menanamkan sebuah minat baca, bukan sekedar
membaca tetapi juga membaca kehidupan manusia secara filosofis. Begitu juga,
kepada kakek dan nenek Penulis, KH. Hasbullah yang telah memperkenalkan
Penulis dengan khazanah Arab klasik dan khazanah Arab-Melayu kuno, dan Hj.
Munaroh. Kepada Mbah Sukarto juga penulis mengucapkan terima kasih. Kedua
kakek penulis inilah yang mengajarkan penulis bagaimana budaya lokal
meresistensi dari intervensi budaya luar, tidak terkecuali Arab. Kepada paman-
paman khususnya bpk. Mufreni yang berapi-api menganjurkan Penulis untuk
masuk ke jenjang perguruan tinggi, adik-adik, Alfaiz Irsyad dan Zainal Irfan,
sepupu-sepupu juga yang telah menghibur Penulis di kala kejenuhan menyergap.
Penulis juga berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada Umi Ruchaniyah
beserta keluarga yang menjadi oase ketika mesin di kepala Penulis kepanasan
melakukan mekanismenya.
Kepada teman-teman Jurusan Tarjamah Semester VIII, Abdur Rahman,
Amir, Anis, Anna, Erwan, Fina, Luki, Muna, Munay, Nurikhwan, Nunung, Silvi,
dan Puput juga teman-teman terjemah yang lain, Penulis berterima kasih atas
segala dukungan dan bantuan mereka. Heri juga teman dialog hermeneutika yang
baik. Tatam juga teman diskusi linguistik yang cukup mumpuni. Zaki sebagai
mitra Penulis membincangkan seni dan budaya. Penulis juga berterima kasih
kepada teman-teman di Jurusan Tafsir Hadis, Iskandar dan juga Syafa‘at yang
telah meminjamkan bahan skripsi kepada Penulis, khususnya kepada Mahsun
sebagai teman diskusi yang cukup bersemangat.
Kepada keluarga besar forum kajian sosial dan keagamaan Piramida Circle
Jakarta, Noorrahman (Maman), Abdullah Alawi (Abah), Almawardi (Saprol),
Ujang Makmun, Rauf, Mukhlisin (Lisin), Ulum, Nafi, Faiq (ICAS), Ali (Romo),
dan Dedik, Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada mereka semua
sebagai mitra diskusi yang cukup dinamis. Pada forum inilah Penulis bersentuhan
dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies, NU
Studies, sosial dan kebudayaan (cultural studies) terutama yang tidak kami
dapatkan di bangku kuliah. Di sinilah penulis membentuk diri sekaligus dibentuk
dalam atmosfer yang menjadi ciri khasnya tersendiri.
Penulis juga berterima kasih kepada semua pihak yang kenal Penulis
dalam perjumpaan di dunia ini, termasuk teman-teman KKN dari Fakultas
Ekonomi, namun tidak disebutkan satu persatu karena memang Penulis menyadari
bahwa setiap representasi pasti ada misrepresentasi. Semoga skripsi yang
sederhana ini bermanfaat bagi peminat penerjemahan khususnya penerjemahan
Alquran. Semoga masukan dan saran-saran dari semua pihak dapat melengkapi
skripsi ini. Amin!
Jakarta, 19 Juni 2009
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ........................................................................................ i
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN........................................................................... iv ABSTRAK ................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................. vi DAFTAR ISI ................................................................................................ ix
DAFTAR ISTILAH...................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................ 11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...................................................... 11
D. Tinjauan Pustaka .......................................................................... 12
E. Metodologi Penelitian ................................................................... 13
F. Sistematika Penulisan ................................................................... 13
BAB II PIJAKAN TEORI .......................................................................... 16
A. Kritik Definisi Penerjemahan........................................................ 16
B. Metode-Metode Penerjemahan...................................................... 26 C. Sekilas Wacana dan Ideologi ........................................................ 29
BAB III EKSKLUSIVITAS DAN INKLUSIVITAS ISLAM.................... 38
A.Turbulensi Perebutan Makna, Eksklusivitas dan Inklusivitas ......... 38 B. ‘Menulis Keimanan’ di Tengah Social Disorder ........................... 44
BAB IV ANALISIS TERJEMAHAN AYAT-AYAT EKSKLUSIVITAS
DAN INKLUSIVITAS ISLAM.................................................... 54 A. Tektualisasi (Terjemahan) Ayat-Ayat Eksklusivitas dan Inklusivitas
Islam ........................................................................................... 54
B. Kontestasi Pemahaman ’Wahyu Progresif’ dan ’Wahyu Regresif’ 69
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 83
A. Kesimpulan .................................................................................. 83
B. Saran ............................................................................................ 86
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 89
DAFTAR ISTILAH
Anakronik : Ketidakcocokan dengan zaman tertentu.
Absolutisme : Sesuatu yang mutlak, tak terbatas, dan tidak dapat
diragukan lagi.
Agama paripurna : Agama yang menyajikan segala macam kebutuhan
manusia, mulai dari aspek akidah, syari‘at, etika, politik,
ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan lain-lain.
Ahistoris : Berlawanan dengan sejarah.
Aku : Manusia sebagai individu dibentuk yang dibentuk secara
sosial lewat bahasa, pengetahuan, dan ideologi yang telah
ada.
Alienasi : Terasing dan terisoalasi.
Ambigu : Bermakna lebih dari satu sehingga kadang-kadang
menimbulkan keraguan, kekaburan, ketidakjelasan.
Ambivalensi : Bercabang dua yang masing-masing bergerak menuju ke
arah yang berlawanan di waktu yang bersamaan.
Anomali : Ketidaknormalan, penyimpangan dari normal dan
kelainan.
Anomi : Gejala ketidakseimbangan psikologis yang dapat
melahirkan perilaku menyimpang dalam berbagai
manifestasi.
Antagonisme sosial : Pertentangan antara dua atau lebih paham masyarakat
yang berlawanan.
Antroposentris : Berpusat kepada manusia.
Aposisi : Ungkapan yang berfungsi menambah atau menjelaskan
ungkapan sebelumnya dalam kalimat yang bersangkutan.
Apriori : berpraanggapan sebelum mengetahui (melihat,
menyelidiki dsb.) keadaan yang sebenarnya.
Artikulasi : kesatuan sementara beberapa elemen diskursif yang tidak
harus selalu terikat bersama. Sebuah artikulasi adalah
bentuk koneksi yang bisa menyatukan dua elemen yang
berbeda dalam kondisi tertentu. Artikulasi mengandung arti
ekspresi/representasi dan penyatuan. Misalnya persoalan
gender bisa terkait dengan persoalan ras secara konteks
spesifik dan kontingen.
Ber-Tuhan Menurut Standar Resmi : Memegang teguh keyakinan yang
distandarkan oleh mainstream (termasuk negara).
Biner : Terjadi dari atau ditandai oleh dua benda atau dua bagian;
serba dua.
Budaya Populer : Teks-teks publik yang umum dan tersebar luas. Makna
dan praktik-praktik yang dihasilkan oleh khalayak populer.
Sebagai kategori sebuah kategori politik, budaya populer
adalah situs kekuasaan dan perebutan makna. Budaya
populer melintasi batas-batas kekuasaan kultural dan
menelanjangi karakter arbitrer klasifikasi kultural dengan
cara menantang konsep tinggi / rendah.
Cultural Studies : Bidang penyelidikan interdisipliner atau pascadisipliner
yang mempelajari produksi dan penanaman peta-peta
makna.
Deifikasi : Pendewaan.
Dekonstruksi : Membongkar dengan tujuan mencari dan mengungkap
asumsi-asumsi, strategi-strategi retorika, dan titik-titik buta
teks. Peluruhan hierarki oposisi biner seperti realitas /
penampakan, alam / budaya, akal / kegilaan, untuk
menunjukan: (a) bahwa salah satu bagian dari sebuah biner
dinilai rendah sebagai inferior; (b) bahwa biner-iner
tersebut berfungsi untuk menjamin kebenaran; (c) bahwa
masing-masing bagian dari sebuah biner saling terimplikasi
dalam yang satunya.
Determinasi : Hal yang bersifat menentukan.
Diakronis : Suatu pendekatan berkaitan dengan perubahan historis di
sepanjang waktu.
Disfemisme : Pengasaran bahasa.
Disruptif : Pencabutan hingga ke akar-akarnya.
Distorsi : Perubahan bentuk yang menjadi bias.
Dominasi : Penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak
yang lebih lemah dalam segala macam aspeknya.
Ego : Mekanisme psikis yang berfungsi mengatur pembentukan
realitas
Eklektis : Sebuah kecenderungan dalam sastra, seni, desain, dan
arsitektur, berupa penggabungan sebuah gaya atau kode
dengan gaya atau kode-kode lain yang berlainan sama
sekali karakternya.
Eksklusi : Mengeluarkan pihak lain.
Elaborasi : Penggarapan secara tekun dan cermat.
Eliminasi : Penyingkiran, pengasingan, dan pengeluaran.
Eufemisme : Penghalusan bahasa.
Fast Food : Sesuatu yang mengacu pada segala bentuknya yang siap
saji (siap pakai).
Feminisme : Gerakan wanita yang menuntut persamaan hak
sepenuhnya antara kaum wanita dan pria.
Feodalisme Teks : Sistem pembacaan yang memberikan kekuasaan yang
besar pada teks.
Fundamentalisme : Penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan
reaksioner yang selalu merasa perlu kembali ke ajaran asli
seperti tersurat dalam kitab suci.
Genealogi : Berkaitan keturunan dan garis asal usul. Penggunaan
Foucauldian konsep ini dalam kajian budaya berarti
mempelajari dan kesinambungan serta ketaksinambungan
historis sebuah wacana pada saat ia dimainkan dalam
kondisi-kondisi historis yang spesifik dan tak tereduksi.
Gerakan Tarbiyah : Gerakan keagamaan yang menimba spirit dari gerakan
Ikhwanul Muslimin di Mesir.
Globalisasi : Meningkatnya hubungan-hubungan global multiarah di
bidang ekonomi, sosial, kultural, dan politik di seluruh
dunia serta kesadaran kita tentang hal ini. Produksi global
hal-hal lokal dan pelokalan hal-hal global. Terkait dengan
institusi-institusi modernitas dan pemampatan ruang-waktu
(time-space compression) atau dunia yang menciut.
Glokalisasi : Sebuah istilah yang digunakan untuk mengekspresikan
produksi global dari hal-hal lokal dan pelokalan hal-hal
global. Tentang bagaimana yang global sudah ada dalam
yang lokal. Produksi hal-hal lokal, yaitu apa yang bisa
dianggap sebagai lokal dalam wacana global.
Hedonisme : Aliran filsafat yang beranggapan bahwa yang baik dalam
hidup adalah kesenangan dan kenikmatan material.
Hegemoni : Suatu penetapan makna yang bersifat sementara yang
menyokong kelompok penguasa. Proses penciptaan,
pemeliharaan, dan reproduksi perangkat makna pengatur
dalam suatu kebudayaan. Bagi Gramsci, hegemoni berarti
suatu situasi dimana sebuah “blok histories” faksi-faksi
kelas penguasa menggunakan otoritas sosial dan
kepemimpinan pada kelas-kelas subordinat melalui
kombinasi paksaan dan, ini yang lebih penting, persetujuan
sadar (konsens).
Heretic : Bidah yang menentang ajaran resmi gereja (termasuk
agama lainnya).
Identifikasi Kultural : Potret makna-makna yang mengungkapkan sesuatu,
terkait dengan nominasi diri atau dengan penilaian /
persepsi orang lain. Identitas kultural terkait dengan titik-
titik simpul makna kultural, terutama kelas, gender, ras,
etnisitas, bangsa, dan usia.
Identitas : Stabilisasi makna yang temporer, lebih merupakan suatu
proses menjadi ketimbang entitas yang tetap. Terajutnya
menjadi satu “sisi luar” diskursif dengan proses-proses
“internal” subjektifitas. Titik-titik kelekatan temporer pada
posisi subjek yang dikonstruksi bagi kita oleh praktik-
praktik diskursif.
Ideologi : Upaya untuk menetapkan makna dan pandangan dunia
yang mendukung penguasa. Peta-peta makna yang, mesti
tampak seperti kebenaran universal, sebenarnya merupakan
pemahaman-pemahaman yang secara historis bersifat
spesifik, yang menyelubungi dan melanggengkan
kekuasaan kelompok-kelompok sosial (dalam hal kelas,
gender, ras, dan lain-lain).
Immanent : Sesuatu yang menjiwai alam dan gerak sejarah.
Inferior : Bermutu rendah.
Inherent : Berkaitan erat dan tak dapat diceraiberaikan.
Inivisible : Tak terlihat.
Inklusifitas Agama : Ajaran yang memasukkan kelompok lain sebagai bagian
dari kelompoknya.
Interpelasi : Suatu pemanggilan oleh satu pihak kepada pihak lain.
Intertekstual : Akumulasi dan penciptaan makna lintas teks, dimana
semua makna saling tergantung pada makna yang lain.
Pengutipan sadar suatu teks pada teks lain sebagai ekspresi
dari kesadaran diri kultural yang makin besar.
Islamic Studies : Ilmu yang mempelajari kajian-kajian keislaman.
Islamisasi : Pengislaman ke segala aspek kehidupan, seperti politik,
sosial, ekonomi, kebudayaan, dan seterusnya.
Kajian Tematik : Suatu pendekatan yang mengkaji satu tema utama yang
dikelilingi tema-tema yang terkait dengan tema utama.
Kategorisasi : Penggolongan berdasarkan kategori tertentu.
Kebenaran-kebenaran : Narasi-narasi kecil yang menyusun makna-makna
tersendiri di luar kebenaran universal dan absolut (grand
narrative).
Kebenaran Tunggal / absolut : Secara awam, dan menurut epistemologi realis,
kebenaran adalah apa yang berkorespondensi atau dapat
menangkap gambaran realitas secara objektif.
Konstruksionisme, yang salah satu manifestasinya adalah
kajian budaya, melihat kebenaran sebagai ciptaan sosial.
Kajian budaya bicara tentang “rezim-rezim kebenaran”,
suatu istilah Foucauldian yang berarti bahwa sesuatu
dianggap sebagai kebenaran lewat bekerjanya kekuasaan.
Menurut pragmatisme Rortian, kebenaran adalah suatu
kesepakatan sosial, kesepakatan yang tidak bisa lepas dari
nilai.
Kelas : Klaisifikasi orang menjadi kelompok-kelompok
berdasarkan kondisi-kondisi sosial ekonomi yang sama.
Kelas adalah sekumpulan ketimpangan-ketimpangan
relasional dalam dimensi ekonomi, sosial, potilik, dan
ideologi. Marxisme mendefinisikan kelas sebagai hubungan
sarana-sarana produksi. Para pemikir Pasca Marxis melihat
kelas sebagai posisi subjek kolektif yang terbentuk secara
diskursif.
Kodifikasi / Tadwîn : Istilah yang bagi al-Jabiri, mengacu pada masa
pembukuan besar-besaran tradisi Arab secara masif yang
terhitung puncaknya di zaman Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Komunalisme : Ajaran yang mementingkan kelompok atau kebersamaan
di dalam kelompok.
Konservatif : Kolot; bersikap mempertahankan keadan, kebiasaan, dan
tradisi yang berlaku.
Konsumerisme : Manipulasi tingkah laku para konsumen melalui berbagai
aspek komunikasi pemasaran.
Kontestasi Pemahaman : Persaingan pemahaman dalam merekrut makna
dan legitimasi.
Kuasa Bahasa : Jaringan-jaringan kuasa yang terjalin rumit yang
termanifestasi dalam bahasa, dalam rangka memproduksi
atau mereproduksi suatu kekuasaan.
Labeling : Proses penandaan dan pemaknaan pada benda-benda
material.
Legal Formalistik : Pemberlakuan syari‘at ke dalam undang-undang positif.
Linguistics Oriented : Bahasa itu sendiri yang menjadi tujuan berbahasa.
Mainstream : Arus utama pandangan dunia.
Marxisme : Suatu pemikiran yang berasal dari karya-karya Karl Marx
yang menekankan pada peran determinative kondisi-
kondisi eksistensi material dan kekhususan sejarah
manusia. Marxisme, yang terfokus pada perkembangan dan
dinamika kapitalisme, mengaku sebagai sebuah filsafat
kesetaraan yang emansipatoris.
Mazhab Frankfurt : Institusi social yang berdiri 1923 berhaluan Neo-
Marxisme. Lembaga ini independen dari kepentingan
partai-partai komunis internasional. Lembaga inilah yang
menelurkan Teori Kritis dalam rangka menelanjangi
kebobrokan kapitalisme dan konsumerisme.
Menulis Keimanan : Membakukan sebuah akidah guna menetapkan identitas.
Misrepresentasi : Sesuatu yang tak terwakilkan.
Mitis : Suatu yang mengandung daya tarik tersendiri karena
dianggap suci.
Mitos : Kisah atau fabel yang berperan sebagai panduan atau peta
makna simbolis. Setalah terbitnya karya-karya Barthes,
mitos berarti pengalamiahan level konotatif makna.
Modernisme : (a) pengalaman cultural modernitas yang dicirikan oleh
adanya perubahan, ambiguitas, keraguan, risiko,
ketidakpastian, dan keterpecahan; (b) gaya artistik yang
ditandai oleh suatu kesadaran diri estetis, montase, dan
penolakan atas realisme; (c) posisi filosofis yang berusaha
mengejar beberapa bentuk pengetahuan yang juga direvisi
secara kronis dan terus-menerus.
Muhâsabah al-Nafs : Upaya kaum sufi dalam rangka mendisiplinkan diri dari
konsumsi, tingkah laku, hasrat, dan pikiran yang dapat
menurunkan maqâmat-nya.
Nalar : Aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir logis;
jangkauan pikir; kekuatan pikir.
Narsisisme : Keadaan mencintai diri sendiri secara berlebihan.
Normalisasi : Proses pengaktifan kuasa bahasa dalam rangka
menormalkan nilai-nilai yang dimaui pemegang otoritas.
NU Studies : Kajian yang mempelajari organisasi Nahdatul Ulama baik
dari segi pendidikan, peran politik, sosial dan
kebudayaannya.
Occidentalisme : Ilmu yang menjadikan Barat sebagai objeknya.
Official Closed Corpus : Korpus resmi tertutup versi penguasa (Khalifah
Usman).
Orientalisme : Ilmu yang menjadikan Timur sebagai objeknya.
Ortodoksi : Ketaatan kepada peraturan dan ajaran resmi.
Otentisitas : Suatu kategori merupakan kategori yang asli, natural,
benar, dan murni. Misalnya, bahwa budaya suatu tempat
otentik karena tidak terkontaminasi oleh turisme atau
bahwa budaya orang muda adalah murni dan tidak
terkorupsi oleh kapitalisme.
Other : Identifikasi material yang ada di luar Aku; (objek).
Pakem : Regulasi resmi yang kuat serta menggurita.
Pandangan Hitam-putih : Proses pembacaan secara biner.
Panopticon : Sebuah mekanisme yang di dalamnya terdapat relasi orang
yang mengawasi / yang diawasi, yang menimbulkan
kesadaran dikontrol secara terus menerus untuk
memperlihatkan berfungsinya sebuah otoritas.
Paranoid : Penyakit jiwa yang membuat penderita berfantasi yang
aneh-aneh, seperti merasa diri besar atau terkenal dan
sebagainya.
Pembacaan Tunggal : Proses pemahaman bahwa teks memiliki satu makna.
Pemikiran Keagamaan : Produk kreatifitas dari pembacaan atas teks-teks
keagamaan
Pendisiplinan : Proses taktis dalam menundukkan Yang Lain lewat
normalisasi sehingga Yang Lain menunduk secara sadar.
Pengadministrasian (pendidikan) Agama : Pelembagaan agama ke dalam
institus pemerintah sehingga perkembangan agama berada
dalam kontrol negara.
Pengetahuan Absolut : Mengacu pada Hegel, pengetahuan yang telah melewati
proses dialektika sejarah yang panjang sehingga
pengetahuan mencapai pada titik kesempurnaannya yang
tidak terbantahkan lagi.
Pengetahuan Mapan : Pengetahuan yang ‘benar’ versi pemegang otoritas.
Peradaban Teks : Bagi Abu Zaid, masyarakat Arab selalu mencari dasar
epistemologisnya dari dan untuk teks.
Posisionalitas : Menunjuk pada pengertian bahwa pengetahuan dan
“suara” selalu mengambil tempat dalam ruang, waktu, dan
kekuasaan sosial. Posisionalitas adalah tentang di mana,
kapan, mengapa, dan siapa yang berbicara, melakukan
penilaian, dan pemahaman.
Positivisme : Suatu filsafat pengetahuan yang menganggap bahwa satu-
satunya bentuk pengetahuan positif adalah deskripsi
fenomena yang berhubungan dengan panca indera (sensori)
Post Colonial Studies : Disiplin yang menjadikan tanah bekas koloni berikut
jalinan rumit dan kepanjangan kuasa dan resistensi anak
jajahan sebagai objek kajian.
Posmodernisme : Gerakan kebudayaan pada umumnya, yang dicirikan oleh
penentangan terhadap totalitarianisme dan universalisme,
serta kecenderungannya ke arah keanekaragaman, kea rah
melimpah ruah dan tumpang tindihnya berbagai citraan dan
gaya, sehingga menimbulkan fragmentasi, kontradiksi, dan
pendangkalan makna kebudayaan.
Posstrukturalisme : Gerakan filsafat yang merupakan reaksi terhadap
strukturalisme, yang membongkar setiap klaim akan oposisi
pasangan, hierarki, dan validitas kebenaran universal,
sebaliknya menjunjung tinggi permainan bebas tanda serta
ketidakstabilan makna dan kategorisasi intelektual.
Postradisonalisme : Ideologi yang menawarkan alternatif atas kebuntuan-
kebuntuan tradisionalisme tanpa adanya keterputusan
epistemologis dengan tradisionalisme.
Pribumisasi : Upaya melokalisir yang global.
Produksi Pengetahuan : Upaya pemaknaan benda-benda material dan praktik
sosial.
Protagonis : Tokoh utama dalam cerita rekaan; penganjur suatu paham.
Psikoanalisis : Pemikiran dan praktik pentyembuhan yang dikembangkan
dari karya-karya Freud yang menyatakan subjek manusia
terbagi menjadi, Ego, Super Ego, dan ketidaksadaran.
Psikoanalisis dalam kajian budaya digunakan untuk
mengeksplorasi konstruksi dan pembentukan subjektifitas
yang terkelaminkan (sexed subjectivity).
Puritan : Kelompok yang menuntut pemurnian agama dan
mengidealisasikan sejarah masa lalu.
Reduksionis-Kanonis : Penyederhanaan hingga titik terkecil.
Reifikasi : Hubungan manusia seperti hubungan antar benda-benda.
Representasi : Praktik-praktik pemaknaan tampaknya bisa mewakili atau
menggambarkan suatu objek atau praktik lain di dunia
“nyata”. Hal ini lebih baik diistilahkan sebagai “efek
representasional”, karena tanda tidaklah mewakili atau
merefleksikan objek secara langsung seperti kaca.
Representasi membentuk kebudayaan, makna, dan
pengetahuan.
Revivalis : Kelompok yang menginginkan masa kini kembali ke masa
kejayaan di masa lalu.
Ruang Publik : Sebuah ruang perdebatan dan adu argumen demokratis
yang memediasi masyarakat sipil dan Negara. Ruang
dimana publik mengorganisasi diri dan ruang dimana
“opini publik” terbentuk.
Sensasional : Bersifat keinderaan; menarik dan seksi.
Sinkroni : Pendekatan dalam mengkaji satu fenomena pada suatu
penggalan waktu yang ditentukan, ketimbang
perkembangan historisnya.
Skripturalis : Berdasarkan pada teks.
Stereotipe : Representasi gamblang namun sederhana yang mereduksi
orang menjadi seperangkat ciri sifat yang dilebih-lebihkan
dan biasanya negatif. Sebentuk representasi yang
mengesensikan orang lain lewat operasi kekuasaan.
Strukturalisme : Gerakan intelektual yang berkaitan dengan penyingkapan
struktur berbagai pemikiran dan tingkah laku manusia, yang
prinsipnya adalah satu totalitas yang kompleks hanya dapat
dipahami sebagai satu perangkat unsure-unsur yang
berkaitan.
Subaltern : Kelompok subordinat yang tidak terkooptasi oleh budaya
populer.
Subjektifitas : Kondisi dan proses menjadi seseorang atau diri. Bagi
kajian budaya, subjektifitas sering dipahami, mengikuti
Foucault, sebagai “efek” dari wacana karena subjektifitas
tersusun oleh posisi-posisi subjek yang ditawarkan pada
kita oleh wacana. Karakteristik agensi dan identitas yang
dimungkinkan bagi seorang subjek pembicara (the speaking
subject) oleh posisi-posisi subjek diskursif.
Subordinat : Kelompok inferior.
Subtil : Halus.
Subversif : Perlawanan.
Superior : Kelompok yang berada di atas angin.
Teks Sekunder : Wahyu atau kalam Ilahi yang tertekstualisasi.
Teks-teks Keagamaan : Alquran dan Hadits.
Tekstualisasi : Proses penuangan makna dalam wadah teks.
Teori Kritis : Teori kritik masyarakat modern yang dikembangkan oleh
Mazhab Frankfurt.
Teosentris : Tuhan sebagai pusat kehidupan.
Turbulensi : Gerakan yang menyebabkan keresahan dan gangguan
yang ditandai dengan keributan dan huru-hara.
Wacana : Bahasa dan praktik, cara-cara berbicara yang teregulasi,
yang mendefinisikan, mengonstruksi, dan menghasilkan
objek-objek pengetahuan.
Yang Lain : Objek yang merupakan hasil dari pemberian makna
sebagai langkah taktis dari Aku.
BAB l
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sederhana saja sebenarnya. Penulis dalam hal ini masih melanjutkan perdebatan
klasik antara teori dan praksis, yaitu antara Plato dan Aristoteles. Perdebatan itu
berisi apakah teori untuk teori atau teori berkaitan dengan kepentingan manusia
dan bersifat emansipatoris. Perdebatan seru ini berlanjut di era modern hingga
Teori Kritis, Mazhab Frankfurt dan Neo-Positivisme di tahun 60-an dan hingga
saat ini.1 Sehubungan dengan itu penulis mencermati derasnya arus gelombang
‘skripsi teori murni’ (entitasnya sebagai kewajiban akhir akademik semata) yang
marak belakangan ini, khususnya terkait dengan Jurusan Tarjamah. Hal ini bisa
kita temukan pada skripsi-skripsi di perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora
tentunya. Skripsi yang mengaitkan bahasa dengan praksis, kehidupan nyata
memang agak sedikit sekali. Pada umumnya skripsi yang telah ada hanya
membahas atau menganalisis karya terjemahan dengan menitikberatkan pada
struktur gramatikal (linguistics oriented) belaka, berbeda dengan Syahrur
misalnya, yang menggunakan studi linguistik dalam membangun argumennya
melalui pendekatan ilmiah-historis. Hal ini seolah mengatakan bahwa bahasa –
termasuk terjemahan– ada di luar jangkauan kehidupan manusia sehari-hari.
Penulis dalam skripsi ini mencoba menginternalisir dan mengilhami teman-teman
lain (wa bi al-khusus yang belum menulis skripsi) bahwa bahasa (terjemahan) itu
sedemikian dekatnya dengan kehidupan manusia bahkan bersifat immanent dan
inherent. Bahkan, bukan hanya dekat, tetapi produksi pemaknaan oleh bahasa juga
1 Untuk lebih jelas dan uraian yang lebih komprehensif bisa lihat buku F. Budi Hardiman,
Kritik Ideologi, Menyingkap Kepentingan dan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas. (Yogyakarta: Kanisius, 1990; reprint: Buku Baik, 2003)
mempengaruhi (sekaligus mengintervensi) pola pikir dan praktik-praktik sosial
masyarakat sebagai konsumennya. Apa yang Penulis lakukan sebenarnya tidak
terlalu jauh (apalagi keluar dari pakem akademik), tetapi Penulis hanya ingin
merangkul (membangkitkan) aspek-aspek nalar humaniora yang selama ini
mengendap dan diendapkan dalam benak mahasiswa (juga pihak terkait, dosen
misalnya) di tengah kegalauan dan kegamangan menjadi ‘sarjana fast food’ (-
meminjam istilah disiplin Budaya Populer) guna merespon laju cepat globalisasi
(meskipun juga mengalami krisis).
Penulis meyakini bahwa skripsi yang terlalu menitikberatkan pada susunan
gramatikal cenderung menegasikan, mengeringkan, dan memarjinalkan aspek-
aspek makna yang terkandung dalam teks. Mengapa demikian? Jawabnya bahwa
bahasa bukan sebuah medium netral tempat dibentuknya makna dan pengetahuan
tentang suatu dunia objektif independen di luar bahasa. Dalam istilah Michel
Foucault, “Kritik mempertanyakan bahasa seolah-olah bahasa adalah sebuah
fungsi yang murni, totalitas mekanisme, dan permainan tanda-tanda yang luar
biasa otonom.”2 Bahasa justru terlibat dalam pembentukan makna dan
pengetahuan tersebut. Bahasa memberi makna pada objek-objek material dan
praktik-praktik sosial yang dibuat menjadi tampak oleh bahasa dan menjadi bisa
kita pahami lewat istilah-istilah yang digariskan oleh bahasa.3
2 Michel Foucault. Order of Thing, Arkeologi Ilmu-ilmu Kemanusiaan. Penerjemah B.
Priambodo dan Pradana Boy (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) h. 91 3 Chris Barker, Cultural Studies, Teori dan Praktik. Penerjemah Tim KUNCI Cultural
Studies Center (Yogyakarta: Bentang, 2005) h. 10. Buku tersebut hampir memasukkan seluruh
tema-tema yang majemuk, berisi berbagai perspektif yang saling bersaing –melalui produksi teori– yang berusaha mengintervensi politik kebudayaan. Kajian budaya dan bahasa sengaja mempelajari
kebudayaan sebagai praktik-praktik pemakanaan dalam konteks kekuasaan sosial. Kajian tersebut
banyak mengambil dari banyak teori, termasuk marxisme, strukturalisme, post strukturalisme, dan
feminisme. Dengan metode yang eklektis, kajian budaya dan bahasa menegaskan posisionalitas
semua bentuk pengetahuan, termasuk dirinya sendiri, yang berputar di sekitar ide-ide kunci seperti
budaya, praktik pemaknaan, representasi, wacana, kekuasaan, artikulasi, teks, pembaca, dan
Selain itu, skripsi-skripsi tersebut –disadari atau tidak– mengadiluhungkan
dan menunjukkan kemegahan pengetahuan linguistik ilmiah ala modernisme,
yakni dengan bermain (menghakimi) di seputar ‘bahasa formal (ilmiah) dan non-
formal’. Padahal pengetahuan ilmiah –menurut Lyotard (orang yang
memproklamirkan Posmodernisme sebagai ‘takbir’ atas matinya arogansi
Modernisme)– selalu melegitimasi dirinya sendiri dan dengan cara semacam itu,
ia menjadi sarana utama untuk melegitimasi ‘Occident’(tidak modern) dan ‘hak-
haknya untuk memutuskan apa yang benar’.4 Pengetahuan ilmiah inilah yang
mengategorikan ‘khâriq al-‘âdah (linguistics)’ sebagai mentalitas yang berbeda,
mentalitas ‘liar, primitif, anomali, non-ilmiah, dan seterusnya’. Mekanisme
pengetahuan ilmiah –kekerasan epistemologis dalam istilah Richard Rorty–
semacam itu yang disebut sebagai ‘Othering’ yakni ‘Lain yang memiliki
ke’Lain’an’.
Dengan tesis tersebut, Penulis mencoba menelusuri serta melacak
bagaimana arogansi otoritas teks-teks keagaamaan –dalam bahasa Abu Zaid yang
mengacu pada Alquran dan hadits– yang maknanya sudah direduksi dan
dikeringkan oleh sejumlah pihak dan metodologi yang mengklaim telah
menemukan makna tersebut. Mereka mengedit teks-teks keagamaan ini dalam
rangka mencari pembenaran (legitimasi) bagi proyek-proyek mereka.
Terkait konteks keindonesiaan, kita akan melihat banyak kasus bagaimana
othering yang diakibatkan oleh salah satunya ulah arogansi pemikiran keagamaan
konsumsi. Kajian budaya dan bahasa adalah bidang penyelidikan interdisipliner yang mempelajari
produksi dan penanaman peta-peta makna. Ringkasnya kajian budaya dan bahasa menjadi
mikroskop yang membantu kita melihat derasnya arus lalu lintas pemaknaan bersilang-siur yang
hampir tak terlihat. 4 Bill Ashcroft, dkk., Menelanjangi Kuasa Bahasa, Teori dan Praktek Sastra Poskolonial.
Penerjemah Fati Soewandi dan Agus Mokamat (Yogyakarta: Qalam, 2003) h. 255
yang cenderung reduksionis-kanonis atas teks-teks keagamaan. Sangat ironis
memang, pada saat jumlah mereka (aktivis pengusung eksklusivisme) minoritas di
satu ruang publik terkecil hingga yang terbesar (negara misalnya), mereka
melakukan perlawanan mulai dari perlawanan pasif hingga ekspansif militeristik
seperti gerilya, pembajakan, pengeboman, penyanderaan dan seterusnya (terutama
pihak-pihak yang dianggap sebagai inferior dan others atau lokasi-lokasi yang
men(di)jadi(kan) kantong strategis untuk ditundukkan. Namun, mereka –di saat
menjadi mayoritas– merasa superior sehingga membentuk pola interaksi publik
secara legal formalistik dengan menghegemoni segala macam kebijakan-
kebijakan yang bersifat publik seperti hukum, poltik, sosial, budaya, bahkan yang
bersifat privat sekalipun. Hal ini sekarang dapat kita lihat seperti berlakunya
Perda-Perda syariah yang jelas-jelas diskriminatif, marjinalitatif, juga
penyempitan ruang privat yang sangat meresahkan. Mengapa demikian, karena
hal ini jelas berbenturan dengan nilai-nilai kebersamaan yang menjadi nafas
kebangsaan dan sangat mengganggu laju rekonsiliasi antaragama, keyakinan,
kelas, ras, adat, dan suku di Indonesia.
Hal ini –dalam konteks keindonesiaan– semakin jelas terhitung mulai
tahun 1980-an (sebenarnya terbilang sejak 100 tahun pra kemerdekaan), Orde
Baru hingga saat ini, Pasca Orde Baru (Reformasi) perkembangan Islam di
Indonesia ditandai dengan ke(di)hadir(k)an munculnya fenomena menguatnya
religiusitas umat Islam. Upaya melakukan Islamisasi ke seluruh aspek denyut
kehidupan sosial digalakkan seperti menjamurnya majelis-majelis taklim dan
majelis-majelis zikir. Di sisi lain Islamisasi memasuki dunia ‘kampus’ dengan
ramainya penelitian dan kajian-kajian ala akademisi terhadap Islam dengan
menguniversalisasikannya. Bisa kita perhatikan misalnya Islamisasi memasuki
ruang ekonomi yang dimanifestasikan dengan adanya lembaga perekonomian
Islam (bank Syariah), dalam bidang hukum seperti formalisasi Syariat Islam
dalam UU seperti PERDA Syariah yang sudah berjalan di beberapa wilayah di
Indonesia, dalam pendidikan misalnya diharuskan mengenakan pakaian muslim
pada hari Jum’at, dalam bidang seni musik dimanifestasikan dengan maraknya
produk-produk album religi, dalam hal politik misalnya ditandai dengan
bermunculannya partai-partai yang mengenakan platform Islam. Selain itu semua,
muncul ormas-ormas yang berbasis Islam, seperti gerakan Tarbiyah (yang
kemudian membidani lahirnya, sekaligus mesin rekruitmen massa Partai Keadilan
Sejahtera), Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela
Islam, Laskar Jihad, dan seterusnya, yang merepresentasikan Islam dengan wajah
lama di era baru. Mengapa saya katakan wajah lama karena mereka mengklaim
bahwa hanya mereka inilah yang orisinil merepresentasikan Islam masa
Rasulullah Saw. dan para sahabat (era salaf). Gerakan mereka berada di luar
kerangka mainstream pandangan politik maupun wacana keagamaan gerakan
Islam dominan seperti NU, Muhamadiyah, Persis, dan seterusnya (Pernyataan
tersebut bukan berarti mengatakan bahwa NU, Muhamadiyah, Persis dan
seterusnya tidak berhaluan eksklusif).
Gerakan ormas-ormas baru ini mempunyai basis ideologi, pemikiran dan
strategi gerakan yang berbeda dengan ormas-ormas Islam yang ada sebelumnya.
Mereka diindikasikan berhaluan puritan, militan, radikal, skripturalis (literal),
konservatif, dan eksklusif. Di sinilah letak permasalahannya, Penulis mengambil
karakteristik khas mereka yaitu sikap eksklusif sebagai objek analisis (dan juga
inklusivisme yang menjadi wacana tandingan eksklusivitas yang selanjutnya akan
diterangkan di bawah) dengan kajian wacana sebagai pisau analisis. Mengapa
tema ini yang diangkat? Tentunya, respon terhadap fenomena sosial di dunia
(Indonesia khususnya) menuntut (memaksa) Penulis untuk melacak salah satu
akar jalinan rumit yang berangkat dari pemahaman teks-teks keagamaan
(penerjemahan salah satunya).
Coba kita perhatikan misalnya, konflik sosial yang berisu keyakinan
agama kerap kali terjadi. Belakangan ini, terlebih lagi pasca Orde Baru, kekerasan
bernuansa agama dan suku semakin meningkat, terutama angka kekerasan atas
nama agama. Kekerasan bernuansa suku dan agama ter(di)jadi(kan) di berbagai
wilayah di Tanah Air seperti kerusuhan Ambon, Poso, Sampit, Aceh, Irian Jaya,
peledakan bom di Bali, pengejaran serta perusakan rumah ibadah Jamaat
Ahmadiyah di Parung, Indramayu, Bogor dan lain-lain. Kekerasan semacam ini
tidak hanya menumpahkan darah di daerah yang tersebar di Indonesia tetapi juga
di Ibu Kota Jakarta seperti perusakan kantor sebuah majalah yang dianggap
mengumbar syahwat, peledakan bom di Kuningan, penyerangan AKKBB (Aliansi
Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) di Monas dan tragedi
berdarah lainnya. Peristiwa-peristiwa kekerasan dan teror semacam ditengarai
oleh ormas-ormas yang berhaluan puritan militan, radikal, skripturalis (literal),
konservatif, dan eksklusif. Penulis tidak melakukan tuduhan-tuduhan tanpa bukti
karena beberapa aktor-aktor kekerasan ini sudah ditangkap dan masuk
persidangan, bahkan ada yang sudah divonis mati oleh hakim (kasus Amrozi
misalnya).
Kedua term inilah (eksklusif dan inklusif) yang mempengaruhi sikap dan
pola pikir terhadap ruang-ruang praktis kehidupan. Orang eksklusif (the ego) –
seperti pernyataan Ali Harb– memandang orang lainnya (the other) melalui
identitas keagamaannya, melalui bahasa nasionalnya, melalui peradaban
kulturalnya, atau melalui yang lainnya. Dia (the ego) menghakiminya (the other)
atas dasar ini. Sekiranya orang itu cocok dengan keyakinan, mazhab, ras, kultur,
atau pola peradabannya maka ia (the other) akan diterima dan diidentikkan
dengan dirinya (the ego), namun jika tidak maka ia (the other) akan dicampakkan
sembari dipersamakan antara bid’ah dan pemikiran, karya dan pengkhianatan,
keterlambatan dan keterbelakangan, keasingan dan keprimitifan, atau nama lain
apa pun yang menunjukkan perbedaan penuh atau perbedaan primitif. Oleh karena
itu, orang yang eksklusif terhadap diri dan keyakinannya akan menafikan orang
lain (the other) dan tidak mengakui haknya untuk berbeda dengannya.
Menurutnya, perbedaan bertentangan dengan identitas dan sekaligus menjadi
lawan yang mengancamnya, sehingga harus ditundukkan atau disingkirkan,
dibungkam dan kalau perlu ‘dikempiskan’.
Dengan demikian, “yang lain” (the other) tidak lagi memiliki hak sebagai
manusia, karena ia dipandang dan dilihat melalui kategori-kategori sempit,
penanaman-penanaman instan dan keyakinan-keyakinan absolut. Pemilik nalar
eksklusif menyembunyikan semua perbedaan atau kelainan di dalam identitas
puritannya, padahal perbedaan eksternal merupakan sisi lain dari identitas puritan
yang buta, bahkan merupakan penjustifikasi wujudnya dan alasan
keterlekatannya.5
5 Ali Harb, Benar Kritik Kebenaran. Penerjemah Sunarwoto Dema (Yogyakarta: LKiS,
2004) h.113-114. Buku tersebut mencoba memaparkan atau singkatnya menelanjangi ideologi-
Bukan hanya sikap dan pola pikir, dalam penggunaan bahasa pun orang
yang eksklusif cenderung terpengaruh oleh kerangka pikiran yang eksklusif.
Aposisi-aposisi berikut keabsenannya pun menjadi indikasi yang semestinya tidak
boleh diluputkan dari perhatian. Hal ini dapat termanifestasikan dalam empat
poin: Pertama, penghalusan makna (eufemisme). Penghalusan makna (eufemisme)
wajar-wajar saja bila digunakan untuk merepresentasikan sebuah hal yang masih
dianggap tabu di sebuah komunitas. Yang menjadi masalah adalah ketika
penghalusan makna (eufemisme) ini digunakan untuk menandai dan menamai
sebuah realitas. Masalah terjadi ketika realitas itu adalah realitas yang buruk, yang
memalukan, seperti kemiskinan, pembunuhan, korupsi, dan kelaparan
(penyerangan, perusakan, pengejaran, teror, dan seterusnya [dari Penulis]).
Dengan pemakaian kata-kata itu, realitas yang secara kasar buruk tadi bisa
berubah menjadi halus, dan akibatnya khalayak melihat kenyataan yang
sebenarnya. Eufemisme banyak dipakai untuk menyebut kelompok dominan
(superior, mayoritas, kelompok yang ‘benderanya sedang tertiup angin’) kepada
masyarakat bawah (subordinat, subaltern, minoritas, marjinal), sehingga dalam
banyak hal bisa menipu, terutama rakyat bawah. Kedua, pemakaian bahasa
pengasaran (disfemisme). Kalau eufemisme dapat mengakibatkan realitas menjadi
halus, disfemisme sebaliknya dapat mengakibatkan realitas menjadi kasar (buruk).
Kalau eufemisme banyak dipakai untuk menyebut tindakan yang dilakukan
ideologi yang selama ini dianggap “benar”. Ali Harb ingin mengatakan bahwa kebenaran itu tidak
tunggal dan absolute. Selubung dan permainan-permainan kebenaran yang dipraktikkan oleh
wacana kebenaran dalam teks coba diungkap. Bagi Ali Harb, teks tidak pernah merepresentasikan makna yang dikehendakinya secara utuh, teks hanya bagian dari praktik mekanisme-mekanisme
yang berbeda dalam menutupi, menipu, mengubah, menyembunyikan, menyingkirkan,
memarjinalkan, dan seterusnya. Oleh karena itu, menurutnya, tidak ada sebuah kebenaran yang
bersifat tunggal dan melampaui yang lainnya. Kebenaran tetap merupakan sebuah realitas yang
plural, terbatas, dan dapat saling bertukar. Singkatnya, tidak ada kebenaran tetapi yang ada itu
adalah kebenaran-kebenaran.
kelompok dominan (mayoritas, superior), disfemisme umumnya banyak dipakai
untuk menyebut tindakan yang dilakukan oleh masyarakat bawah (minoritas,
subordinat, inferior, subaltern) seperti, (pemberontakan, perlawanan,
penyimpangan, pengkhianatan, bid‘ah, heretic, murtad, kafir, subversif,
perusakan, melawan pakem-pakem). Ketiga, labelisasi. Labeling merupakan
perangkat bahasa yang digunakan oleh mereka yang berada di kelas atas untuk
menundukkan lawan-lawan. Pemakaian labeling ini bukan hanya membuat posisi
kelompok atau kegiatan menjadi buruk, tetapi juga mempunyai kesempatan
(melegitimasi) bagi mereka yang memproduksinya untuk melakukan tindakan
tertentu. Seperti, (karena ‘mereka’ itu “aliran sesat” maka wajar dan seharusnya
jika ‘mereka’ dimusuhi). Keempat, stereotipe. Stereotipe adalah penyamaan
sebuah kata yang menunjukkan sifat-sifat negatif atau positif (tetapi umumnya
negatif) dengan orang, kelas, atau perangkat tindakan. Di sini, stereotipe adalah
praktik representasi yang menggambarkan sesuatu dengan penuh prasangka,
konotasi negatif dan bersifat subjektif. Banyak sekali praktik stereotipe ini.
(‘mereka’ yang khâriq al-ijmâ’ [di luar konsensus ulama] misalnya
distereotipekan sebagai orang atau kelompok yang sesat, ingkar sunah, murtad,
bahkan kafir).6
Adapun orang yang inklusif memandang identitas-identitas lainnya (the
other) secara lain. Ia menerima dan memandangnya sebagai pelengkap dan
teladan, terkadang ia mengidentikkan diri dengannya atau bahkan bersatu
dengannya. Hal itu dilakukan tanpa memandang perbedaan-perbedaan bahasa, ras,
agama, budaya, atau afiliasi-afiliasi apa pun. Menurut pandangan inklusif ini,
6 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, Cet. V
2006) h.125-127.
“yang lain” (the other) tidaklah terhalangi oleh identitas tertentu, eksistensinya
tidak terhabiskan oleh sifat tertentu, dan hakikatnya tidak menggunakan satu nama
atau satu simbol. Dia memiliki identitas yang luas dan tersusun, dengan sisi-sisi
yang berbeda-beda dan dimensi-dimensi yang plural. Ia adalah esensi wujud
tunggal, namun memiliki relativitas-relativitas dan atribut-atribut yang tak
terhitung.7 Hal ini tentunya tidak lepas dari penerjemahan Alquran Depag di
bawah ini yang memiliki semangat eksklusivisme,
��� ���� ��� دم�� ا�� ��� �� �و� �� ����� ال$� �ة�" ا! ��ه و
Artinya, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-sekali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi.” (Q.S. Ali Imran,[3]; 85).
9�� أوت�ا ال6�ب إ4& �� ب2( �� �1ء ه/ إن& ال(+�� *�( ا) ا���م و�� ا �' ال&
� ب A�/ و�� 6�@� ب?��ت ا) �=ن& ا) ���> ال;:�بBال2�/ ب
Artinya: Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada
berselisih orang-orang yang telah diberi Alkitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.
Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah
sangat cepat hisabnya. (Q.S. Ali Imran,[3]; 19).
Lalu timbul pertanyaan yang cukup menyesakkan hati, manakah yang
benar antara eksklusivisme atau inklusivisme? Penulis tidak ingin memilih salah
satunya. Karena dengan memilih salah satunya kita akan terjebak dalam jerat
7 Harb, Benar Kritik Kebenaran, h. 114.
eksklusivisme. Kedua-duanya benar. Eksklusivisme akan menjaga keutuhan dan
keberlangsungan identitas, tapi menjadi sebuah kekeliruan apabila identitas itu
dipahami secara dangkal sehingga dengan arogan mencoba menegasikan entitas-
entitas identitas “yang lain” (the other). Selain itu, eksklusivisme akan
mengancam integritas sebuah bangsa. Inklusivisme diperlukan guna menjaga
keharmonisan dan kerukunan entitas-entitas yang plural, namun kalau terlalu
mendeifikasi pluralitas cenderung akan memecahkan dan meleburkan bukan saja
identitasnya, bahkan juga identitas-identitas yang lain (the other).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Penulis membatasi pembahasan masalah ini hanya kepada masalah penerjemahan
wacana serta aspek-aspek dan pengaruhnya. Penulis merumuskan masalah ini
dengan bentuk pertanyaan. Bentuk pertanyaannya sebagai berikut :
1. Apakah ayat-ayat yang cenderung eksklusif dalam Terjemahan Alquran
Depag Edisi Revisi 1989 diterjemahkan dalam kerangka eksklusif atau
tidak?
2. Wacana apa yang terwujud dalam terjemahan tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian sebagai berikut :
1. Mengetahui cara pembentukan sebuah gagasan pada ayat-ayat eksklusif
dan inklusif dengan memperhatikan unsur-unsur wacana
2. Mengetahui wacana yang terwujud lewat penerjemahan ayat-ayat eksklusif
dan inklusif serta implikasinya
Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain: Pertama, penelitian ini
tentunya dapat dijadikan sebagai rujukan; kedua, penelitian dapat menjadi standar
dalam analisis wacana yang direpresentasikan lewat penerjemahan Arab-
Indonesia.
D. Tinjauan Pustaka
Setiap penulisan apapun semestinya tidak lepas dari tinjauan pustaka guna tidak
terjadinya repetisi pengetahuan dan sebagai penanda bahwa tulisan baru itu bukan
merupakan hasil plagiasi dari tulisan-tulisan lama. Sebelum memulai penulisan
skripsi ini, Penulis telah melakukan tinjauan pustaka. Untuk sementara ini,
Penulis merujuk pada skripsi-skripsi yang terkait dengan penerjemahan dan
bahasa. Penulis membatasi diri pada skripsi-skripsi yang terdapat di perpustakaan
Fakultas tempat Penulis menimba ilmu. Selama ini Penulis hanya mendapati satu
skripsi menggunakan metodologi yang hampir sama dengan metode Penulis, yaitu
skripsi yang ditulis oleh Makyun Subuki. Skripsinya berbicara tentang korelasi
penerjemahan Al-Quran Depag dengan penerapan Perda Syariah yang marak
belakangan pasca Orde Baru. Penuntutan Perda Syariah bahkan transformasi
Pancasila sistem negara yang katanya sekuler menjadi khilafah oleh sejumlah
ormas Islam urban seperti Hizbut Tahrir, dan Islam garis keras yang lain.
Skripsi yang ditulis oleh Makyun Subuki menganalisa ayat-ayat
terjemahan dengan menggunakan pendekatan semantik, sementara Penulis
mengangkat analisis wacana sebagai pendekatan dalam pengamatannya. Di sinilah
letak perbedaannya, Penulis berkesimpulan bahwa pendekatan skripsi ini sama
sekali belum pernah ada yang melakukannya apalagi menyamainya. Jadi apa yang
dieksplor oleh Penulis sama sekali baru, sehingga ada dinamisasi pengetahuan,
dan tentunya bisa dilanjutkan oleh mereka yang datang selanjutnya.
E. Metodologi Penelitian
Penulis menggunakan metode deskriptif, yaitu dengan cara mengumpulkan data
yang terkait dengan masalah yang akan diteliti. Setelah itu, penulis
mendeskripsikan masalah tersebut dengan data yang ada dalam kerangka teori
wacana sehingga maksud dan tujuan penelitian tercapai. Kerangka teori wacana
yang membingkai penelitian penulis ini didasarkan pada literatur-literatur yang
terpercaya.
Sedangkan dalam pencarian data, Penulis melakukan penelitian terhadap
literatur-literatur yang berkaitan dengan objek penelitian seperti terjemahan Al-
Quran Departemen Agama.
Secara teknis, penulisan ini didasarkan pada buku Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang berlaku di lingkungan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Center of Quality and
Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Agar penelitian dapat terarah dan sistematis, langkah yang Penulis lakukan
sebagai berikut :
Bab I adalah pendahuluan. Dalam bab ini Penulis membahas latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, dan metode yang digunakan, serta sistematika penulisan. Penulis dalam
bab pendahuluan ini memaparkan latar belakang masalah yaitu pengalaman-
pengalaman mengerikan yang dilalui bangsa Indonesia dengan segala macam
pluralitasnya mulai dari yang ekstrim kanan hingga ekstrim kirinya. Penulis
sengaja menempatkan uraian ini pada Bab I dengan alasan bahwa uraian ini
dijadikan sebagai introduction bagi pembaca. Latar belakang masalah ini tentunya
dibahas secara singkat dan kemudian akan diuraikan lebih luas lagi pada bab III
dan IV.
Bab II merupakan pembahasan sekitar teori wacana dan ragam model
penerjemahan. Penulis pada bab ini mencoba menguraikan teori dan ragam model
penerjemahan yang telah dipelajari di dalam kelas. Penulis juga menggambarkan
teori wacana melalui pendekatan budaya dan filsafat bahasa yang telah dipelajari
di kelas maupun diskusi-diskusi lepas di luar kampus. Selain memaparkan teori
terjemahan dan teori wacana, Penulis juga melacak akar kata terjemah itu sendiri
yang dipahami pengguna bahasa dalam hal ini adalah bahasa Arab. penelusuran
kata terjemah melalui proses yang cukup panjang, melelahkan, sekaligus
memuaskan dan menghasilkan temuan-temuan yang menurut Penulis anggap
merupakan suatu kebaruan.
Bab III merupakan pembahasan mengenai wacana aktual di Indonesia
terkait dengan eksklusivisme dan inklusivisme Islam. Tidak lupa pula, Penulis
mengutip pandangan beberapa tokoh terkait dengan wacana tersebut terutama
tokoh-tokoh Timur Tengah. Pada bab III ini, Penulis sedikit reduksionis
mengatakan bahwa ketegangan kedua wacana tersebut didasarkan pada perebutan
makna teks-teks keagamaan dengan ego masing-masing. Satu pihak mendapatkan
makna teks pada teks itu sendiri sementara pihak lain menemukan makna teks
berada di balik teks.
Bab IV berbicara tentang studi kasus penerjemahan wacana ke dalam
bahasa Indonesia. Dalam hal ini, Penulis mengambil Terjemahan Al-Quran
Departemen Agama sebagai objek kajian. Di sini Penulis mencoba menganalisis
terjemahan tersebut dengan teori wacana sebagai pisau analisisnya dibantu dengan
disiplin hermeneutik sebagai pendamping pemahaman sebuah teks. Kerja
memamahi ternyata tidak sesederhana yang dikira. Pembacaan sekilas tanpa
memahami konteks (apalagi tidak mendiplomasikan konteks sejarah dengan
konteks masa kini sekaligus tidak membuat ancang-ancang bagi pemahaman masa
depan) berujung pada distorsi, melunturkan makna, keterjajahan (pada saat yang
bersamaan) dan penyembahan terhadap teks. Hal ini bisa juga dibilang bahwa
suatu pembacaan sekilas sama saja dengan hegemoni teks atas makna, sejarah,
realitas, dan subjek itu sendiri. Penerjemahan teks keagamaan ini (karena
memiliki nilai mitis) ternyata mempunyai implikasi sosiologis yang signifikan.
Karenanya, penerjemahan harus bersifat konstruktif bagi perkembangan
masyarakat.
Bab V adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan dan
saran ini merupakan ruang dialog terbuka Penulis dengan pembaca. Dengan ruang
tersebut, kita harapkan karya tulis ini menjadi dinamis dengan segala pernak-
pernik kelebihan dan kekurangannya.
BAB II
PIJAKAN TEORI
A. Kritik Definisi Penerjemahan
Sudah menjadi kelaziman sebuah penulisan (apalagi penulisan akademis yang
sarat dengan belenggu dan pelbagai macam “pedoman”) Penulis terlebih dahulu
mengemukakan definisi dari sebuah term yang akan diulas lebih jauh dalam
penulisan tersebut. Definisi seperti yang sama-sama kita ketahui adalah
mendeskripsikan sebuah realitas tetapi lagi-lagi yang namanya definisi tetaplah
“definisi”. Hal ini disinyalir oleh Imam Ghazali dengan mengatakan,
*� آ� و4 �6�ن ال;( 1�اب� . أن ال;( إن�D �9آ� 1�اب� *� �Fال �" الD;�ورات
�, �FالK2ب �* � 8.ب
Artinya, ‘Sebuah definisi hanya mampu menjawab satu pertanyaan dalam dialog.
Sebuah definisi tidak dapat menjawab berbagai pertanyaan, bahkan beberapa
pertanyaan.’ Definisi bisa dikatakan mereduksi (juga mendeterminasi) sebuah
realitas yang dideskripsikannya. Fatalnya sebuah definisi mendistorsi realitas
dengan mengambil karakteristik secara parsial (karena produksi definisi tentu saja
melibatkan subejktifitas subjek).
Inisiatif ini –menjelaskan term yang akan dibahas sebelum melakukan
diskusi lebih lanjut– sejalan dengan yang dilakukan oleh Al-Asymâwi,
“Sesungguhnya, sebuah ‘kata’ –kata apa pun– tidak selamanya mudah dimaknai,
dipahami, dijalankan, dan atau mudah dijangkau oleh akal. Sebuah ‘kata’
bukanlah dunia yang dapat berbicara dengan sendirinya, yang menunjukkan
8 Imâm Ghazâli, al-Mustasfâ Min ‘Ilm al-Usûl Vol 1 (Beirut: al-Muassasah al-Risâlah,
1997) h 48.
makna dan maksudnya. Ia adalah susunan objek yang maknanya diambil dari
definisi sosial.”9 Sementara sosial dalam mendefinisikan sesuatu tentu saja
berketergantungan dengan sebuah paradigma dan capaian-capaian peradaban yang
dimilikinya.
Selanjutnya Al-Asymawi menegaskan, “Definisi suatu istilah (kata) dan
penentuan maknanya merupakan perkara yang harus dilakukan terlebih dahulu
sebelum kita melakukan suatu pembahasan, karena makna terkadang menjadi
tidak jelas, rancu dengan yang lain dan atau tidak jelas dalam pemahaman orang
lain. Atau bisa juga ia jelas dan tidak rancu tetapi berubah menjadi makna lain.
Kadang suatu kata itu dikira telah jelas, tidak rancu, dan ambigu, tetapi suatu kata
itu selalu –sebagaimana yang tampak dalam kajian-kajian bahasa– tetap
membutuhkan pada batasan yang disepakati sebelum dikaji dan didiskusikan
secara produktif. Jika tidak, maka konsep-konsep akan tenggelam dalam
kerancuan, dan kehilangan arti jatuh ke dalam kekacauan.”10
Pada kesempatan ini, Penulis akan memaparkan sebuah terobosan baru
sebagai sebuah pembacaan kritis yang berakar dalam khazanah klasik dengan
sentuhan-sentuhan metode pembacaan kontemporer (al-qirâ’ah al-mu’âshirah)
terhadap penerjemahan. Pemaparan-pemaparan dalam skripsi ini –khususnya bab
ini– dilakukan sebagai animo Penulis untuk mengupayakan saluran alternatif atas
sumbatan-sumbatan, kemacetan, atau kebuntuan-kebuntuan yang selama ini
“baik-baik saja” didefinisikan baik oleh kamus, buku-buku, maupun skripsi-
skripsi yang berbicara tentang penerjemahan. Coba kita simak penerjemahan yang
dikatakan oleh A.Widyamartaya dalam Seni Menerjemahkan 1989
9 Muhammad Said al-Asymawi, Nalar Kritis Syari’ah. Penerjemah Luthfi Thomafi
(Yogyakarta: LKiS, 2004) h. 3 10 Al-Asymawi, Nalar Kritis Syari‘ah h. 4-5.
“Menerjemahkan dapat didefinisikan sebagai memindahkan suatu amanat dari
bahasa sumber ke dalam bahasa penerima (sasaran) dengan pertama-tama
mengungkapkan maknanya dan kedua mengungkapkan gaya bahasanya”.11
Juga kita perhatikan misalnya apa yang dipaparkan J.C.Catford dalam A
Linguistic Theory of Translation, “Translation is an operation performed on
languages: a process of substituting a text in one language for a text in
another.”12 Lebih jauh Salihen Moentaha, MA, Ph.D mengatakan, “Terjemahan
adalah proses penggantian teks dalam BP (bahasa pemberi) dengan teks dalam BS
(bahasa sasaran) tanpa mengubah tingkat isi teks BP (bahasa pemberi).”13
Rochayah Machali dalam bukunya yang populer mengatakan, “Melalui kegiatan
penerjemahan, seorang penerjemah menyampaikan kembali isi sebuah teks dalam
bahasa lain. Penyampaian ini bukan sekedar kegiatan penggantian, karena
penerjemah dalam hal ini melakukan kegiatan komunikasi baru melalui hasil
kegiatan komunikasi yang sudah ada (yakni dalam bentuk teks), tetapi dengan
memperhatikan aspek-aspek sosial ketika teks baru itu akan dibaca atau
dikomunikasikan. Dalam kegiatan komunikasi baru tersebut, penerjemah
melakukan upaya membangun ‘jembatan makna’ antara produsen teks sumber
(TSu) dan pembaca teks sasaran (TSa).”14
Dapat pula kita saksikan sebuah definisi penerjemahan yang menurut
hemat Penulis sangat reduksionis seperti yang dipaparkan oleh Drs. Fahrurrozi,
“Translation atau penerjemahan, pada hakikatnya, adalah mengalihbahasakan
11
A.Widyamartaya Seni Menerjemahkan (Yogyakarta: Kanisius, 1989) h. 11. 12
J.C.Catford A Linguistic Theory of Translation (London: Oxford Of University Press,
1974) h.1. 13
Salihen Moentaha, Bahasa dan Terjemahan (Bekasi Timur: Kesaint Blanc, 2006) h. 11.
Catatan: keterangan dalam kurung pada kutipan merupakan tambahan dari Penulis. 14 Rochayah Machali. Pedoman Bagi Penerjemah (Jakarta: Gramedia, 2000) h.5-6.
makna atau pesan dari bahasa sumber (source language) ke bahasa sasaran (target
language).15
Ibnu Burdah mengemukakan, “Banyak sekali definisi tentang terjemah
yang dikemukakan oleh para ahli. Dalam pandangan saya, apapun definisi yang
digunakan, sebaiknya dipertimbangkan prinsip akomodatif-operasional.
Akomodatif dalam arti, mempertimbangkan definisi-definisi tentang terjemah
yang pernah dikemukakan oleh para pengkaji pendahulu. Ini dimaksudkan sebagai
sikap apresiatif (ta’zîm, menghargai) terhadap hal-hal yang dihasilkan oleh
pengkaji-pengkaji sebelumnya. Sedangkan prinsip operasional memiliki maksud,
bahwa definisi yang digunakan –sekalipun akomodatif terhadap hasil-hasil
sebelumnya– harus tetap berpijak pada pertimbangan: apakah definisi tersebut
dapat dioperasionalkan pada tahapan yang lebih praktis atau tidak. Berlandaskan
pada dua prinsip tersebut, dalam tulisan ini Penulis mengambil definisi tentang
terjemah sebagai, ‘Usaha memindahkan pesan dari teks berbahasa Arab (teks
sumber) dengan padanannya ke dalam bahasa Indonesia (bahasa sasaran).’”16 Tapi
yang pasti adalah “suatu terjemahan tidak dapat mengganti teks asli.”17
Sejalan dengan definisi-definisi tersebut, Muhammad ibn Yakub al-
Fairuzabadi dalam karya yang cukup populer di kalangan peminat sastra klasik,
Al-Qâmûs Al-Muhît memaparkan,
و , الD@:� ل�:�ن: آ�2@�ان وز*@�ان ور���Aن , ال��D1ن ] ت ر ج م [
�D1ت� )Q , و ~� .وال@2� �(ل *�" أ�TلS ال�ء, *�
15
Fahrurrozi. Teknik Praktis Terjemah (Yogyakarta: Teknomedia, 2003) h. 1. 16
Ibnu Burdah. Menjadi Penerjemah, Wawasan dan Metode Menerjemah Teks Arab (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004) h. 9-10.
17 Kees Bertens. Filsafat Barat Kontemporer, Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 2002)
Cet. Keempat h. 161
Ta ra jim mim, turjumân seperti lafal ‘unfuwân, za’farân, dan raihuqân.
Turjumân bermakna menjelaskan dengan bahasa lain, contoh kalimat wa qad
tarjamahu atau tarjama ‘anhu yang bermakna seseorang itu menjelaskan dengan
bahasa lain. Verba tarjama menunjukkan verba dasar (tidak berderivasi dari ra ja
ma).18
Louis Ma’louf – termasuk dalam barisan pertama – dengan karya yang
juga populis di kalangan santri modern maupun mahasiswa, yaitu kamus Al-
Munjid fi al-lughah wa Al-A’lâm, menyatakan,
�:�V ب�:�ن A� � U� ت��D1ن و ت��D1ن ج ت�اSD1 و : ت�1/ ال�6م
� ب�ل�آ S"و���ل . ت�ا1/D1آ"" ت��ال" ال�:�ن ال �� ~ و.اي ن���* : Yأوض
Vج ت�ا1/. ا�� SD1�ال :� ال@:
‘Orang itu menerjemahkan ucapan’ bermakna ‘Orang itu menjelaskan
dengan bahasa lain.’ Dia menjadi juru bicara. Bentuk plural tarjumân dan
turjumân ialah tarâjimah dan tarâjimu. ‘Dia menerjemah ke bahasa Turki,’ berarti
‘Dia mengganti bahasanya menjadi bahasa Turki.’ ‘Tarjama ‘anhu’ bermakna
‘dia menjelaskan hal itu.’ Tarâjimu merupakan bentuk plural tarjamah yang
bermakna menjelaskan.
ال�]: ت�1/ ال�6م
‘Dia menerjemah ucapannya,’ bermakna ‘Dia mencampuradukkan
(mengaburkan/menidakjelaskan) ucapannya.’
18
Muhammad Ibn Ya‘qûb al-Fairuzâbâdi, al-Qâmûs al-Muhît (Libanon: Dâr al-Fikr,
1426 H/2005) h. 976.
�^$[ ذآ� � �ة : ال�SD1 ج ت�ا1/ . ذآ� � �ت�: ت�1/ ال�1
�� ون:�Q� ب . وأ�ال6 SD1ت� :� .��ت;
‘Dia menerjemahkan orang lain,’ bermakna ‘Dia mengartikulasikan
biografi orang lain.’ Tarâjimu merupakan bentuk plural tarjamah. ‘Dia
mengartikulasikan biografi, etika, dan asal-usul genetika orang lain.’ Tarjamah
Al-kitâb bermakna pendahuluan sebuah buku.19
DR.Ibrahim Anis Dkk. pun melakukan hal yang sama,
� ووض;�: ال�6م ) ت�1/(� ن��� �� لSB إل" : و*�� , آ�م � �V~ و. ب
�: ل@�ن ~ و. ا �يD1ذآ� ت�.
‘Orang itu menerjemahkan ucapan’ bermakna ‘Orang itu menjelaskan dan
menerangkannya.’ ‘Dia menerjemahkan ucapan orang lain,’ bermakna ‘Dia
menjelaskan dengan bahasa lain.’
.الD�1/ ج ت�ا1/ وت�اSD1) : ال��D1ن(
Turjumân juga bermakna penerjemah. Tarâjimu dan tarâjimah merupakan
bentuk plural turjumân.
)SD1�ن ) : ال�� SD1ج ت�ا1/: ت� � �ت� وح �ت� .
(Tarjamah) ‘Tarjamah Fulân’ bermakna perjalanan hidup dan biografi
seseorang. Tarâjimu merupakan bentuk plural tarjamah.20
Senada dengan komentar-komentar di atas, Hans Wehr mengemukakan
uraian yang sama,
19
Louis Ma’louf, al-Munjid Fi al-Lughah Wa al-A’lâm (Beirut : Dar Al-Masyriq, 1986)
h.60. 20 Ibrahim Anis dkk. al-Mu’jam Al-Wasît (Kairo: 1972) h. 83
to another) ; to interpret; to إل" to translate �* from one language ت�1/
treat /1ت� by way explanation, expound; to write a biography.
SD1ت� Pl. /1ت�ا Translation; interpretation; biography (also ة� ت�SD1 ال;
) introduction, preface foreword (of a book) S .autobiography ت�SD1 ذات
.Translator, interpreter ت�ا1 / , ت�اPl. SD1 ت��D1ن
/1�� Translator, interpreter, biographer.
/1�� Translated.21
Dari sekian definisi yang telah dikemukakan di atas, Penulis mencoba
mengomparasikannya dengan menelusuri ke akar kata penerjemahan berikut
derivasinya pada kamus-kamus yang lain. Kemungkinan besar apa yang akan
Penulis paparkan selanjutnya ini akan sangat kontras (bahkan akan mewujudkan
biner-biner yang selama ini invisible atau sengaja ‘tak mau dilihat’) dengan
definisi-definisi yang telah ada. Untuk memulainya, mari kita perhatikan apa yang
ditulis Muhammad ibn Abu Bakar ibn Abdulkadir Ar-Razi dalam Mukhtâr Al-
sîhâh,
� ر1/ ال�
Rajmun bermakna membunuh
� ال��" ب�ل;�bرة�Tأ
Asal makna rajam ialah melempari sesuatu dengan batu
�cب�ل � ل�B ب�Q1D�ل أ) ت�2ل" ر, ال�1/ ان ��6/ ال�1d.
21
Hans Wehr. A Dictionary Of Modern Written Arabic (Arabic-English) (Weisbaden,
Otto Harrascowit) h. 112
Rajam bermakna seseorang yang berbicara dengan menduga-duga,
perkiraan, dan keraguan. Allah Swt. berfirman, “Sebagai terkaan terhadap yang
ghaib,” (al-Kahfi ayat 22).
� U ب�:�ن V�:� اذا � ت�1/ آ��
Bila menjelaskan dengan bahasa lain, seseorang dapat dikatakan telah
menerjemahkan ucapannya.22
Tidak pula kami tinggalkan Lisân al-‘Arâb kamus klasik yang sering
dijadikan referensi dalam penulisan-penulisan baik ilmiah maupun non-ilmiah,
� ال��2 ال�gد ال:d الf/ ال�c ال�bAان ال;(س ال�1/ ال�
Rajam bermakna membunuh (bukan hanya secara fisik tetapi juga
membunuh karakter dan identitas–dari Penulis), melaknat, mengusir
(mengucilkan–dari Penulis), menghina, mencaci-maki, terkaan, perpindahan,
intuisi (dugaan– dari Penulis).
�� ت/ لh�ل�Qل ت�2ل" i1ر لD&�jأي ل i�&�&�j
Allah Swt. menceritakan ayah Nabi Ibrahim AS. dalam surah Maryam
ayat 46, ayahnya mengancam, “Jika kamu tidak berhenti (berdakwah mengajak
aku), aku akan merajam kamu”, maksudnya rajam adalah mencaci maki dan
mengucilkan.
ال�1/ ال��ل ب�ل�c وال;(س
Rajam juga bermakna ucapan yang diartikulasikan dengan menduga-duga
dan berdasarkan intuisi.
Abu Bakar Ra. berwasiat kepada anak-anaknya,
22 Al-Râzi. Mukhtâr al-Sihâh (Libanon: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1994) cet. 1 h.14-15.
�h 4ت�D1�ا ��Qي �V��2 4ت��ح�ا *�( ��Qي أي 4ت��ل�ا *�(V آ��� �
“Janganlah kalian merajam di kuburku”, artinya “Janganlah kalian meratap
di kuburku”, Maksudnya adalah “Janganlah kalian melontarkan ucapan-ucapan
buruk di kuburku.”
�: آ�م ��1/ �� � � �*
Ucapan yang diterjemahkan adalah ungkapan yang diartikulasikan tidak
berdasarkan keyakinan.
� ز*@�ان و ز*���k� /1ت�ا �2D1 SD1ت�
Tarâjimu merupakan bentuk plural dari tarjamah, hal ini serupa dengan
za’farân dengan za’âfiru.23
Dari beberapa uraian di atas, Penulis menemukan sederetan kata dan
variasi makna yang berasal dari kata rajama dan tarjamah dimana penemuan
makna-makna tersebut tidak ‘sebaik’ apa yang pernah ditekstualisasikan oleh
sejumlah penulis. Sisi gelap (dark side) yang bisa Penulis katakan bahwa
penerjemahan merupakan suatu bentuk artikulasi konsep yang dapat membunuh
atau mematikan karakter domain lokal (other) sehingga identitas dari kearifan
lokal (local wisdom) ditelan oleh konsep yang digulirkan penerjemahan. Dari sini
terjadi komunikasi yang tidak sehat dan seimbang antara ide yang diterjemahkan
dan ide lokal. Selain itu dalam kata ‘penerjemahan’ sendiri bermasalah (terjadi
konflik dalam dirinya). Jadi memang secara substansial penerjemahan itu
membawa awan-awan gelap yang selama ini ‘tak (mau) dilihat’. Berbeda sekali
misalnya dengan pengantar buku A.Widyamartaya yang mengatakan bahwa
23
Jamâluddin Muhammad Ibn Mahrâm Ibn Manzûr, Lisân al-Arab (Beirut: Dâr al-Fikr)
Vol. 12, h. 229.
penerjemahan akan membantu mencerdaskan bangsa. Pembacaan tunggal
terhadap penerjemahan semacam ini, membutakan mata akan bayang-bayang
hitam penerjemahan seperti yang sudah disinggung Penulis. Apalagi definisi yang
disebutkan Ibnu Burdah dan paparannya –yang agak sedikit apolgetik– setelah
itu, definisi tersebut menurut Penulis secara jelas sangat menutup rapat celah yang
dapat dimasuki untuk melakukan kritik penerjemahan. Selain itu, uraian Ibnu
Burdah yang diiringi dengan catatan hariannya dalam Menjadi Penerjemah pada
hal. 23-24 tentang kekeliruan penerjemahan secara linguistik dan semantik,
seakan melegitimasi kekeliruan-kekeliruan penerjemahan.
Dari uraian di atas, secara sederhana penerjemahan merupakan sebuah
mekanisme dan praktik yang beroperasi secara ambivalen. Penerjemahan harus
digarisbawahi dan dicoret pada saat yang bersamaan (dalam kosakata Derrida,
‘penerjemahan merupakan sebuah kata yang diawetkan dan dihapus sekaligus).
Mengapa Penulis katakan ambivalen? Di satu sisi, penerjemahan memperkenalkan
sebuah konsep atau gagasan dari luar tetapi di sisi lain wacana-wacana yang
dibawanya mencoba menggeser atau bahkan mengeksklusi serta mengeliminasi
wacana-wacana lokal.24
24
Belum lagi misalnya sikap kritis seorang penerjemah amat dibutuhkan dalam rangka
mewaspadai dan mencurigai ideologi atau kultur dalam teks yang sedang dihadapinya. Dalam hal
ini, bahasa Arab tentunya yang sarat dengan diskriminatif terhadap perempuan, misalnya.
Mengapa demikian? Seperti sudah pernah disinggung bahwa bahasa merupakan refleksi dari
struktur berpikir masyarakat tersebut. Hal ini bisa diambil contoh pada Syarh al-Kafrâwi – buku
nahwu yang pernah menjadi materi pelajaran bahasa oleh Muhammad Abduh dan hingga saat ini
masih dipelajari – h. 64-65, “Mereka (ahli Nahwu) memberi dammah untuk mutakallim lض�ب .
Dammah lebih kuat daripada yang sesudahnya (fathah dan kasrah). Dammah diperuntukkan
mutakallim (subjek) guna penyesuaian (karena posisi mutakallim sebagai superrior yang sesuai dengan dammah yang dianggap kuat). Mereka memberi fathah untuk mukhâtab mudzakkar
(audiens maskulin). Fathah lebih lemah daripada dammah. Karenanya, fathah diberikan kepada
mukhâtab mudzakkar (audiens maskulin) yang posisinya jelas lebih lemah daripada mutakallim.
Mereka memberikan kasrah untuk mukhâtab mu’annats (audiens feminin) dengan ter(di)paksa
karena (di)hilang(kan)nya kekuatan perempuan. Kecurigaan yang disertai dengan kawaspadaan
penerjemah adalah upaya meminimalisir sekecil-kecilnya agar produk terjemahan tidak bercampur
B. Metode-metode Penerjemahan.
Pada sub bab kedua ini Penulis akan memaparkan metode-metode yang kita kenal
dan pratikkan selama ini. Memang banyak sekali metode-metode penerjemahan
yang ada namun Penulis di sini akan sepenuhnya mengutip pembagian metode
penerjemahan oleh Newmark yang dilansir Rochayah Machali dalam bukunya,
Pedoman Bagi Penerjemah. Newmark membagi metode penerjemahan menjadi
dua.
Untuk lebih jelasnya Penulis mengutip apa yang dituliskan Rochayah
Machali sebagai berikut, “Nerwmark (1988) mengajukan dua kelompok metode
penerjemahan, yaitu (1) metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa
sumber (Bsu); (2) metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa sasaran.
Dalam metode jenis yang pertama, penerjemah berupaya mewujudkan kembali
dengan setepat-tepatnya makna kontekstual Tsu, meskipun dijumpai hambatan
sintaksis dan semantis pada Tsa (yakni hambatan dalam bentuk dan makna).
Dalam metode kedua, penerjemah berupaya menghasilkan dampak yang relatif
sama dengan yang diharapkan penulis asli terhadap pembaca versi Bsu.25
Berikut ini merupakan metode penerjemahan yang berorientasi sekaligus
menekankan bahasa sumber, namun Penulis sengaja tidak mencantumkan contoh-
contohnya. Untuk mengetahui lebih lanjut, Penulis merujuk langsung pada buku
Rochayah Machali,
1. Penerjemahan kata-demi-kata
Dalam metode penerjemahan jenis ini biasanya kata-kata Tsa langsung
diletakkan di bawah versi Tsu. Kata-kata dalam Tsu diterjemahkan di luar
dengan paradigma berpikir teks sumber. Sementara teks sumber sendiri (Al-Quran dalam hal ini)
juga teks sekunder dari kalâm Ilahi. 25 Machali. Pedoman Bagi Penerjemah h.49
konteks, dan kata-kata yang bersifat kultural (misalnya kata ‘tempe’) dipindahkan
apa adanya.
2. Penerjemahan harfiah
Konstruksi gramatikal BSu dicarikan padanannya yang terdekat dalam
Tsa, tetapi penerjemahan leksikal atau kata-katanya dilakukan terpisah dari
konteks. Penerjemahan yang lepas konteks semacam ini selain menghasilkan versi
Tsa yang tak bermakna, juga menghasilkan versi Tsa yang tidak lazim.
3. Penerjemahan setia
Penerjemahan setia mencoba mereproduksi makna kontekstual Tsu dengan
masih dibatasi oleh struktur gramatikalnya. Di sini kata-kata yang bermuatan
budaya dialihbahasakan, tetapi penyimpangan dari segi tata bahasa dan pilihan
kata masih tetap dibiarkan. Penerjemahan ini berpegang teguh pada maksud dan
tujuan Tsu, sehingga hasil terjemahan kadang-kadang terasa kaku dan seringkali
asing.
4. Penerjemahan semantis
Apabila dibandingkan dengan metode penerjemahan setia, penerjemahan
semantis lebih luwes, sedangkan penerjemahan setia lebih kaku dan tidak
berkompromi dengan kaidah Tsa. Berbeda dengan penerjemahan setia,
penerjemahan semantis harus pula mempertimbangkan unsur estetika teks BSu
dengan mengkompromikan makna selama masih dalam batas kewajaran. Selain
itu, kata yang hanya sedikit bermuatan budaya dapat diterjemahkan dengan kata
yang netral atau istilah yang fungsional. Bila dibandingkan dengan penerjemahan
setia, penerjemahan semantis lebih fleksibel, sedangkan penerjemahan setia lebih
terikat oleh BSu.26
Sedangkan berikut ini adalah metode penerjemahan yang lebih
menitikberatkan pada bahasa sasaran. Dalam metode penerjemahan ini,
penerjemah tidak hanya dituntut mengalihbahasakan sebuah teks semata, tetapi
juga dituntut untuk melihat konteks kewacanaan,
1. Adaptasi (termasuk saduran)
Adaptasi merupakan metode penerjemahan yang paling bebas dan paling
dekat dengan BSa. Istilah ‘saduran’ dapat dimasukkan di sini asalkan
penyadurannya tidak mengorbankan hal-hal penting dalam TSu, misalnya tema,
karakter, atau alur. Biasanya metode ini dipakai dalam penerjemahan drama atau
puisi, yaitu yang mempertahankan tema, karakter, dan alur. Tetapi dalam
penerjemahan, terjadi peralihan budaya BSu ke budaya BSa, dan teks asli ditulis
kembali serta diadaptasikan ke dalam TSa.
2. Penerjemhan bebas
Metode ini merupakan penerjemahan yang mengutamakan isi dan
mengorbankan bentuk teks BSu. Biasanya, meode ini berbentuk sebuah parafrase
yang dapat lebih panjang atau lebih pendek dari aslinya. Metode ini lebih sering
dipakai di kalangan media massa (namun tidak menutup kemungkinan digunakan
oleh yang lain).
3. Penerjemahan idiomatik
26 Machali. Pedoman Bagi Penerjemah h. 50-52.
Metode ini bertujuan mereproduksi pesan dalam teks BSu, tetapi sering
dengan menggunakan kesan keakraban dan ungkapan idiomatik yang tidak
didapati pada versi aslinya. Dengan demikian, banyak terjadi distorsi makna.
4. Penerjemahan komunikatif
Metode ini mengupayakan reproduksi makna kontekstual yang demikian
rupa, sehingga baik aspek kebahasaan maupun aspek isi langsung dapat
dimengerti oleh pembaca. Oleh karena itu, versi TSa-nya pun langsung berterima.
Sesuai dengan namanya, metode ini memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi,
yaitu khalayak pembaca dan tujuan penerjemahan. Melalui metode ini, sebuah
versi TSu dapat diterjemahkan menjadi beberapa versi TSa sesuai dengan prinsip-
prinsip di atas.27
Meskipun semuanya bermanfaat, namun dari delapan metode di atas –
menurut Rochayah Machali– hanya metode semantis dan komunikatif yang
memenuhi harapan-harapan utama penerjemahan, yaitu demi ketepatan dan
efisiensi sebuah teks.
C. Sekilas Wacana dan Ideologi
Kita sudah sering mendengar kata wacana dan pelbagai macam penggunaannya di
segala bidang. Namun, banyak di antara kita mengabaikan apa itu wacana dan
bagaimana ‘makhluk’ ini beroperasi dalam kaitannya sebagai unsur bahasa serta
implikasinya dalam kesadaran dan sikap kita sehari-hari. Seperti biasanya, Penulis
terlebih dahulu akan menerangkan asal kata wacana dan hal-hal yang terkait
dengannya.
27 Machali. Pedoman Bagi Penerjemah h. 53-55.
Istilah ‘wacana’ berasal dari bahasa Sanskerta wac/wak/vak, artinya
‘berkata’, ‘berucap’ (Douglas, 1976:266). Bila dilihat dari jenisnya, kata wac
dalam lingkup morfologi bahasa Sanskerta, termasuk kata kerja golongan III
parasmaepada(m) yang bersifat aktif, yaitu ‘melakukan tindakan ujar’. Kata
tersebut kemudian mengalami perubahan menjadi wacana. Bentuk ana yang
muncul di belakang adalah sufiks (akhiran), yang bermakna membendakan
(nominalisasi). Jadi, kata wacana dapat diartikan sebagai ‘perkataan’ atau
‘tuturan’.28
Merujuk ke akar kata wacana, secara perlahan kita telah menemukan titik
terang apa arti wacana. Menelusuri akar katanya, wacana sudah dikenal oleh
nenek moyang kita. Namun, analisis wacana baru mulai mendapat perhatian dan
elaborasi lebih lanjut sekitar pada tahun 1970-an. Sebagai sebuah pengantar
mengenai asal-usul kata ‘wacana’, keterangan di atas sudah cukup memadai guna
melangkah ke anak tangga berikutnya. Meskipun belum sejelas dan bukan
sepenuhnya apa yang ingin dimaksud dalam penulisan ini, setidaknya uraian
tersebut sebagai pengantar ke pembahasan lebih lanjut.
Wacana adalah kesatuan makna (semantis) antarbagian di dalam suatu
bangun bahasa. Sebagai kesatuan makna, wacana dilihat sebagai bangun bahasa
yang utuh karena setiap bagian di dalam wacana itu berhubungan secara padu. Di
samping itu, wacana juga terikat pada konteks.29
Definisi pada uraian di atas
merupakan perspektif para linguis.
28
Mulyana. Kajian Wacana, Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-prinsip Analisis Wacana (Yogyakarta: Tiara Wacana 2005) h. 3.
29 Kushartanti dkk. Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik. (Jakarta:
Gramedia 2005) h. 92.
Berbeda lagi misalnya wacana dalam perspektif kebudayaan.30
Wacana di
sini tidaklah lagi difahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks,
tetapi mengikuti Michel Foucault adalah sesuatu yang memproduksi yang lain
(sebuah gagasan, konsep, atau efek). Wacana dapat dideteksi karena secara
sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu
konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu.31
Wacana menurut Foucault adalah sebuah artikulasi dalam menciptakan
‘kebenaran’ yang mempunyai otoritas untuk melanggengkan kekuasaan. Foucault
melihat bahwa ada benang merah antara kekuasaan dan pengetahuan.32
Kekuasaan
tidak lagi dimaknai sebagai sebuah paksaan yang bersifat represif tetapi
kekuasaan beroperasi dengan cara memproduksi kebenaran-kebenaran yang
disosialisasikan lewat sekolah, rumah sakit, rumah ibadah, penjara, dan institusi-
institusi lain.33 Jadi kekuasaan itu adalah sebuah proses pendisiplinan,
menundukkan, atau mengendalikan the others (yang lain) dengan jalan ideologi
(kebenaran-kebenaran) sebagai kontrol mental yang (di)masuk(kan) ke dalam
kesadaran konsumen teks.
30
Kebudayaan yang dimaksud di sini bukanlah sesuatu keunikan ‘yang berada di luar
sana’ serta menunggu digambarkan oleh para ahli yang selalu gagal. Kebudayaan di sini adalah praktik pengalaman kehidupan masyarakat sehari-hari. Untuk lebih jelasnya lihat Cultural Studies
h. 48. 31
Eriyanto. Analisis Wacana h. 65. 32
Artikulasi dalam istilah Lacau dan Mouffe sebagai praktik apapun yang berusaha
menetapkan hubungan antara unsure-unsur sedemikian rupa sehingga unsung-unsur tersebut
dimodifikasi. Marianne W. Jorgensen dan Louise J. Phillips, Analisis Wacana, Teori dan Metode (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) h. 53.
33 Ideologi di sini tidak bisa dilihat semata-mata sebagai alat dominasi, tapi harus
dipahami sebagai wacana-wacana dengan konsekuensi-konsekuensi tertentu terhadap relasi-relasi
otoritas di setiap level hubungan sosial, juga termasuk praktik legitimasi dan penguatan kelompok
dominan. Lebih jauh Franz Magnis Suseno dalam Filsafat Sebagai Ilmu Kritis h. 230, menguraikan salah satu makna ideologi. Ideologi menurut salah satu maknanya adalah sebuah
kesadaran palsu. Ideologi memiliki konotasi negatif, sebagai claim yang tidak wajar, atau sebagai
teori yang tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada kepentingan pihak yang
mempropagandakannya. Ideologi minimal dianggap sebagai sistem berpikir yang sudah terkena
distorsi, entah dengan disadari, entah tidak.
Di dalam strategi baru ini, bukan lagi tubuh fisik yang disentuh kuasa,
melainkan jiwa, pikiran kesadaran, dan kehendak individu yang mampu
menangkap tanda-tanda yang tersebar di dalam tubuh masyarakat.34
Michel Foucault menggambarkan disiplin ini sebagai perpanjangan dari
disiplin militer dan dari disiplin kalangan agamawan dalam monastri (ingat
disiplin atau muhâsabah an-nafs-nya kaum sufi). Pada disiplin militer, yang
ditekankan adalah ketundukan fisik, sementara pada disiplin agamawan adalah
pengekangan fisik untuk membebaskan kemurnian jiwa dari penjara kotoran
tubuh. Maka pada disiplin sebagai mekanisme power yang diperhitungkan adalah
relasi ketundukan dan kebermanfaatan (relation of docility-utility) relasi seperti ini
amatlah menentukan dalam soal bagaimana seseorang bisa menguasai tubuh orang
lain bukan hanya untuk menuruti apa yang diinginkannya, melainkan juga supaya
mereka berperilaku sebagaimana yang dikehendaki sesuai dengan teknik-teknik,
ukuran-ukuran kecepatan dan efisiensi yang sudah ditentukan sebelumnya. Yang
muncul kemudian adalah tubuh-tubuh yang –di satu sisi– kekuatannya
ditingkatkan, dalam arti dimanfaatkan dan didayagunakan secara ekonomis,
namun juga –pada sisi yang lain– dikurangi atau diperlemah, dalam arti
ditundukkan secara politis. 35
Singkatnya, seperti halnya dalam disiplin militer, disiplin dalam
lingkungan civil society melahirkan manusia-manusia mirip robot yang
berperilaku dan bertindak secara mekanis sesuai dengan pakem yang sudah
ditentukan. Dan pakem ini mencakup bukan hanya mekanisme-mekanisme
berperilaku dan kontrol diri tapi juga metode-metode dan strategi-strategi (the
34
Eriyanto, Analisis Wacana h.69. 35
Ahmad Baso, NU Studies, Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal (Jakarta: Erlangga, 2006) h. 103-104.
blueprint of general method) yang merasuk ke dalam dunia pikiran, yang
berproses mulai dari sekolah, rumah sakit, hingga ke penjara.36
Tapi lantas mengapa wacana mampu mendisiplinkan komunikan? “Louis
Althusser, seorang marxis strukturalis, secara erat mengaitkan subjek
(komunikan) dengan ideologi: individu menjadi subjek ideologis melalui proses
interpelasi. Ideologi menurutnya sebagai sistem representasi yang menyamarkan
hubungan-hubungan kita yang sesungguhnya satu sama lain dalam masyarakat
dengan cara mengonstruk hubungan-hubungan imajiner antara orang-orang dan
antara mereka sendiri dan formasi sosial.”37
Tapi ada juga baiknya kalau langsung
merujuk pengertian ideologi dari Althusser, “ideologi adalah sistem gagasan dan
pelbagai representasi yang mendominasi benak manusia atau kelompok sosial.”38
Adapun Interpelasi menggambarkan proses bahasa yang dialami dalam
mengonstruk suatu posisi sosial individu atau seseorang dan dengan demikian
membuatnya menjadi subjek ideologis:
(I)deologi ‘bertindak’ atau ‘berfungsi’ sedemikian rupa sehingga dia
‘merekrut’ subjek di antara individu-individu (ideologi merekrut mereka semua)
atau ‘mentransformasikan’ individu-individu itu ke dalam subjek-subjek
(mentranformasikan mereka semua) menggunakan operasi yang sangat tepat, yang
saya sebut dengan interpelasi atau pemanggilan (hailing) dan yang bisa
dibayangkan berada di sepanjang garis pemanggilan polisi (atau lainnya) sehari-
hari yang lazim dilakukan, ‘Hai, kau yang di sana!’ Dengan mengasumsikan
bahwa kancah teoritis yang telah saya bayangkan itu terjadi di jalan raya, individu
36
Baso, NU Studies. H. 104. 37
Marianne W. Jorgensen dan Louise J. Phillips, Analisis Wacana, Teori dan Metode.
Penerjemah Imam Suyitno dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) h. 28. 38
Louis Althusser, Tentang Ideologi, Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Penerjemah Olsy Vinoli Arnof (Yogyakarta: Jalasutra, 2008) h. 35
yang dipanggil akan berbalik – (...) dia menjadi subjek.” (Althusser 1971: 175).39
Tegasnya, yang kita sebut ideologi sebenarnya adalah pengaburan antara realitas
linguistik dengan realitas natural, antara referensi dengan fenomenalisme.40
Bagi Althusser, kekuatan ideologi lahir dari kesanggupannya untuk
melibatkan kelas subordinat dalam praktik, hingga dapat menuntun mereka pada
identitas konstruk sosial, ataupun subjektivitas tertentu yang melibatkan diri
mereka pada ideologi tersebut, yang jelas-jelas berlawanan dengan kepentingan
sosial politis mereka sendiri.41
Dengan kata lain, artikulasi yang bersifat ideologis
dihadapkan pada sebuah ‘PR’ fundamental guna merekrut simpati konsumen teks
yang mereka tawarkan. ‘PR’ ini tentunya harus diselesaikan dengan ber’darah-
darah’ (berjuang keras).42
Artikulasi dapat pula berisi kategorisasi. Kategorisasi merupakan
pemakaian perspektif tertentu dengan pemakaian kata-kata yang tertentu pula
yang menandakan bagaimana fakta atau realitas dipahami. Kategori merupakan
alat bagaimana realitas dipahami dan hadir dalam benak khalayak. Kategorisasi
itu merupakan kekuatan yang besar dalam mempengaruhi pikiran dan kesadaran
publik. Dalam mempengaruhi kesadaran publik, kategorisasi lebih halus
dibandingkan dengan propaganda. Meskipun terlihat halus dan tidak langsung,
pemakaian kategori tertentu atas suatu peristiwa bisa jadi mempunyai imbas yang
lebih tinggi dibandingkan dengan propaganda. Karena, kategorisasi lebih
menyentuh, lebih subtil, dan lebih mengena alam bawah sadar. Khalayak tidak
39
Jorgensen Analisis Wacana h. 29. 40
Stephen Morton, Gayatri Spivak, Etika, Subaltern, dan Kritik Penalaran Poskolonial. Penerjemah Wiwin Indiarti (Yogyakarta: Pararaton, 2008) h. 114
41 Althusser. Tentang Ideologi h. xi
42 Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media (Yogyakarta:
LKiS, 2005) h.119
sadar bahwa alam pikirannya dan kesadarannya telah didikte dalam sudut pandang
atau perspektif tertentu, pola pikir tertentu sehingga tidak berpikir pada dimensi
lain.43
John Fiske pun menguraikan mekanisme ideologisasi sejak dari penandaan
hingga sampai praktik sosial, “Pengguna tanda menjaga tanda agar tetap bernilai
dengan menggunakannya, dan menjaga mitos dan nilai-nilai konotasi budaya
hanya dengan memberi respons terhadap penggunaan tanda-tanda itu dalam
komunikasi. Relasi antara tanda dan mitos serta konotasinya, pada satu sisi, dan
penggunanya, pada sisi yang lain, bersifat ideologis. Tanda-tanda memberi mitos
dan nilai bentuk yang kongkret dan dengan cara demikian keduanya
mengabsahkan tanda dan membuat tanda menjadi bersifat publik. Tatkala tanda
membuat mitos dan nilai menjadi publik, maka tanda memungkinkan mitos dan
nilai menjalankan fungsi identifikasi kulturalnya: yakni, memungkinkan para
anggota dari suatu kebudayaan untuk mengidentifikasi keanggotaannya atas
kebudayaan tersebut melalui penerimaan mereka pada mitos dan nilai-nilai
bersama.”44
Dari penjelasan Fiske di atas, Penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa
sebuah wacana mengandung sisi-sisi mitos dan nilai. Roland Barthes
mendefinisikan, “Mitos sebagai sistem komunikasi, yakni sebuah pesan. Mitos
adalah cara pemaknaan.”45
Barthes membuat suatu perumpamaan, “Pohon adalah
pohon. Ya, tentu saja. Namun pohon yang diungkapkan oleh Minou Drouet bukan
lagi pohon sungguhan, pohon tersebut adalah pohon yang dihias, yang disesuaikan
43
Eriyanto, Analisis Framing h.156-157 44
John Fiske, Cultural and Communication Studies. Penerjemah Yosal Iriantara dan Idi
Subandy Ibrahim (Yogyakarta: Jalasutra, 2004) h. 236 45
Roland Barthes, Mitologi. Penerjemah Nurhadi dan A. Sihabul Millah (Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2004) h. 151-152
pada tipe konsumsi tertentu, yang penuh dengan pesta pora sastra, pemberontakan,
imajinasi, pendek kata, penuh dengan tipe pemakaian sosial yang ditambahkan
kepada aslinya.”46
Sebagai penutup bab ini, Penulis ingin mengatakan dengan kutipan yang
cukup panjang, “Wacana ‘menyatukan’ bahasa dengan praktik. Istilah wacana
mengacu pada produksi pengetahuan melalui bahasa yang memberi makna pada
benda-benda material dan praktik sosial. Meski berada di luar bahasa, dunia
material dan praktik-praktik sosial diberi makna atau ‘ditampakkan pada kita’
oleh bahasa. Dengan begitu, dunia benda material dan praktik-praktik sosial itu
dibentuk secara diskursif. Wacana mengonstruksi, mendefinisikan, dan
memproduksi objek-objek pengetahuan dengan cara yang dapat diterima nalar
sekaligus menyingkirkan bentuk-bentuk bernalar yang lain.47 Lebih gamblang
lagi, Foucault menambahkan bahwa wacana meregulasi, pada suatu kondisi sosial
dan kultural determinatif tertentu, bukan hanya apa yang bisa diucapkan, tapi juga
siapa yang boleh mengucapkan, kapan dan di mana. Konsekuensinya jelas
menimbulkan normalisasi. Istilah ‘normalisasi’ berarti suatu sistem kategori dan
interval yang terukur dan bertingkat di mana subjek-subjek individual bisa
ditempatkan pada sebuah distribusi norma.”48
Namun masalahnya apakah dalam sebuah realitas hanya ada satu wacana?
Tentu jawabannya banyaknya wacana yang selalu bersaing dan berkontestasi
dalam satu ring sosial. Titik awal teori wacana adalah bahwa tidak ada wacana
yang sepenuhnya mapan, wacana selalu bertentangan dengan wacana-wacana lain
yang mendefinisikan realitas secara berbeda dan menetapkan pedoman-pedoman
46
Barthes, Mitologi h. 152 47
Barker, Cultural Studies h. 105-106 48 Barker, Cultural Studies h. 107
lain bagi tindakan sosial. Pada momen-momen kesejarahan tertentu, wacana-
wacana tertentu tampak alami dan relatif tak tertandingi. Fenomena inilah yang
diacu oleh konsep objektifitas. Namun wacana-wacana yang telah
dinaturalisasikan itu tidak pernah mapan dan momen-momennya sekali lagi bisa
menjadi unsur-unsur dan juga objek-objek bagi artikulasi-artikulasi baru.49
Persaingan wacana inilah yang disebut antagonisme sosial. Antagonisme
sosial terjadi bila identitas-identitas yang berbeda saling meniadakan satu sama
lain. Meski suatu subjek mempunyai identitas-identitas yang berbeda, identitas-
identitas tersebut tidak harus berhubungan secara antagonistik satu sama lain.
Sehingga antagonisme dapat ditemukan di tempat bertumbukannya wacana-
wacana.50
49
Jorgensen Analisis Wacana h. 90 50 Jorgensen Analisis Wacana h. 90-91.
BAB III
EKSKLUSIVITAS DAN INKLUSIVITAS ISLAM
A. Turbulensi Perebutan Makna, Eksklusivitas dan Inklusivitas Islam
Kedua kata ini (eksklusivitas dan inklusivitas) semakin sering terdengar terutama
seketika Islamic Studies ‘laku di pasar’. Eksklusivitas Islam merupakan sebuah
pemahaman keagamaan yang memandang Islam sebagai agama paripurna, kâffah,
finis, penunggalan makna, dan seterusnya. Mereka yang berpandangan seperti ini
diidentikkan dengan otentisitas (al-asâlah), tekstualis, ideologis, revivalis (dalam
arti cenderung mengidealisasi sejarah), syari’ah (dengan ‘s’ kecil, guna merujuk
pada ajaran yang diklaim telah murni dan Benar), diskriminatif, fundamentalis,
dan seterusnya. Mereka memiliki struktur nalar serta tindakan yang berorientasi
pengisian masa kini (al-wâqi’) dengan Islam periode Madinah yang sarat dengan
ketatnya pengamalan Islam dan cendrung bersifat parsial. Dalam bayangan
kelompok ini, Islam pada periode Madinah (maksudnya pemerintahan yang
berpusat Madinah) –meminjam istilah Mahmud Muhammad Thaha atau Khalil
Abdul Karim– merupakan representasi dari cara dan pola hidup beragama yang
sangat-sangat ideal dan sempurna tanpa ‘aib’ sedikitpun. Singkatnya, (kejayaan)
Islam periode Madinah merupakan alternatif satu-satunya dari keterpurukan dan
kebuntuan yang saat ini dihadapi umat Islam (katanya).
Abû al-Fadl menggambarkan beberapa kriteria umum kelompok Islam
eksklusif, “Mereka yang saya sebut puritan sudah dideskripsikan oleh beragam
penulis dengan istilah fundamentalis, militan, ekstrimis, radikal, fanatik, jahidis,
dan bahkan cukup dengan istilah Islamis. Saya lebih suka menggunakan istilah
puritan karena ciri menonjol kelompok ini dalam hal keyakinannya menganut
paham absolutisme dan tak kenal kompromi. Dalam banyak hal, orientasi
kelompok ini cenderung menjadi puris, dalam arti ia tidak toleran terhadap
berbagai sudut pandang yang berkompetisi dan memandang realitas pluralis
sebagai bentuk kontaminasi atas kebenaran sejati.”51
Fenomena yang (di)tampak(kan) ini tentu mengundang pertanyaan, apakah
akar dari semua ini? Mun’im A. Sirry mencoba menjawab pertanyaan ini dengan
memberikan judul pada bab 1 bukunya, Fundamentalisme Sebagai Produk
Modernitas. Dia –dengan mengutip komentar beberapa pakar dalam disiplinnya
masing-masing– memaparkan, “Gellner melihat kebangkitan agama di negara-
negara berkembang sebagai proses modernisasi yang sedang berlangsung (on
going process). Sementara Talcott Parsons mengatakan, bahwa masyarakat
modern tidak otomatis menjadi sekular, tetapi malah semakin menyerap nilai-nilai
agama. Kendati bentuk-bentuk keagamaannya mungkin tidak tampak, tapi
moralitas keagamaan secara mendasar membentuk masyarakat. Samuel
Huntington telah meradikalkan pendekatan ini, dengan teorinya mengenai
‘benturan peradaban’ (The Clash of Civilizations and The Remaking of World
Order, 1996). Bagi Huntington, tatanan dunia mendatang akan muncul
berdasarkan peradaban yang lahir dari ekspresi-ekspresi nilai-nilai tertinggi tradisi
agama. Retorika fundamentalisme, bagi Huntington, merupakan letupan tak
terhindarkan dari peradaban berbasis agama.”52
“Namun demikian, berbagai respon terhadap fenomena kebangkitan global
fundamentalisme agama, tampak tidak menjawab pertanyaan mengapa gerakan-
51
Khalîd Abû al-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (Jakarta: Serambi, 2005) h.
29 52
Mun‘im A. Sirry, Membendung Militansi Agama, Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern (Jakarta: Erlangga, 2003) h. 2-3
gerakan itu muncul saat ini (dan bukan dahulu), dan apa signifikansinya.
Barangkali benar kesimpulan Oliver Roy, bahwa fundamentalisme agama bukan
sekedar reaksi terhadap modernisasi, melainkan produk dari modernisme (The
Failure of Political Islam, 1996).53
(Ke)cenderung(an) (kaum eksklusivisme) tidak mau berkompromi
terhadap persoalan-persoalan minoritas nonmuslim. Maududi, misalnya, secara
terang-terangan menetang prinsip ‘kesetaraan di depan hukum’, yang dianggapnya
sebagai suatu kepura-puraan dan mempertahankan ketentuan pemberian status
dzimmi buat mereka.54
Kecendrungan umum kelompok-kelompok fundamental ini yang
mengarah ke ortodoksi, dogmatisme, pandangan yang serba hitam-putih, sikap
yang eksklusif, merasa paling benar, kiranya akan berlawanan secara diametral
dengan sifat-sifat dan kultur umat Islam pada periode kebangkitan yang
sebenarnya atau periode keemasannya yang bersifat budaya metropolis, Islam
yang pluralitas, inovatif, penuh toleransi, terbuka terhadap sumber-sumber
pengetahuan asing: termasuk pemikiran ‘non-Islam’, baik yang berasal dari
Yunani dan Romawi maupun yang lainnya, dan menghargai sikap yang rasional.55
Gejala semacam dislokasi kejiwaan, porak-porandanya nilai-nilai lama
yang mengakibatkan orang kehilangan pegangan atau sandaran, anomi, dan
perasaan teralienasi dari berbagai bidang kehidupan yang mulai berubah, yang
merupakan efek negatif modernitas, tak pelak lagi telah turut serta mendorong
khalayak untuk melakukan pelarian (escapisme) kepada alternatif yang dapat
53
Sirry, Membendung Militansi Agama h. 3 54
M. Zaki Mubarak. Genealogi Islam Radikal di Indonesia, Gerakan, Pemikiran, dan Prospek Demokrasi (Jakarta: LP3ES, 2008) h. 18
55 Mubarak. Genealogi Islam Radikal di Indonesia h. 21
dianggap dapat melindungi dari perasaaan kehampaan, kebingungan, dan serba
ketidakpastian. Ketika perasaan penuh ketertekanan dan ketidakpastian, maka
eskapisme ini umumnya menemukan muaranya dalam bentuk sebuah doktrin yang
menawarkan totalitas kebenaran dan kepastian. Dalam kungkungan doktrin yang
menawarkan kebenaran mutlak tanpa cacat, para pengikut bersedia melakukan
pengorbanan diri dan melakukan tindakan apa pun atas nama keabadian dan
kebenaran.56
Dengan memeluk sesuatu yang (di)benar(kan) ini, otoritas kebenaran
ini kemudian melahirkan anak haram, ‘syariah’ sebagai harga mati dan satu-
satunya oase di tengah kehausan kekecewaan umat Islam, ditambah dengan
dehumanisasi, dan demoralisasi zaman saat ini. Mereka yang tinggal di negara
mayoritas Islam, mengajukan tuntutan penerapan ‘syari’ah’ dalam hukum positif
(kegagapan dan kegugupannya dalam menghadapi realitas akan diuraikan di
bawah ini). Sedangkan mereka yang tinggal di negara sekuler, senantiasa
melakukan perlawanan mulai pada titik terendah (pasif) hingga secara frontal
(aktif, ekspansif, dan produktif) sekalipun.
Terkait dengan penerapan syari’ah, Pusat Kajian Keagamaan dan
Kebudayaan UIN Jakarta, angkat bicara bahwa ‘pintu masuk formalisasi
(penerapan) syariah ini pada umumnya bermula dari pandangan bahwa Islam
adalah agama yang sempurna (kâffah) dan mencakup segala hidup yang total.
Pandangan yang khas kaum Islamis ini diajukan untuk menjadikan Islam sebagai
solusi (Islam is the solution). Visi Islam sebagai solusi mengandaikan Islam
56 Mubarak. Genealogi Islam Radikal di Indonesia h. 27-28
sebagai totalitas yang mengatur tidak hanya persoalan ibadah tetapi juga sistem
ekonomi, sosial, dan tata pemerintahan.’57
Faktor lain yang banyak mendorong gagasan penerapan syariah Islam
adalah adanya perlawanan masyarakat terhadap dampak negatif dari arus
globalisasi dan modernisasi. Di satu sisi, globalisasi dan modernisasi membawa
dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin memudahkan
akses informasi, komunikasi, dan pengetahuan. Namun, di sisi lain, terjadi
perubahan sosial yang lebih mengagungkan gaya hidup konsumerisme,
hedonisme, dan permisifisme terhadap beragam budaya dan pola hidup yang tidak
asli Islam. Di samping itu, persaingan yang semakin ketat dalam pasar lapangan
kerja semakin memarjinalkan mereka yang tidak memiliki kapasitas dan akses
ekonomi dan politik. Faktor ini diperburuk oleh gagalnya negara dalam
melindungi rakyatnya dari kemiskinan dan ketidakadilan sosial yang terus-
menerus menghantui masyarakat.58
Tekanan berbagai faktor dan kondisi ketidakberdayaan masyarakat ini
kemudian menjelma menjadi ketidakpuasan dan frustasi yang diartikulasikan
dalam keinginan menonjolkan kembali identitas keislaman mereka melalui upaya
penegakan syariah Islam.59
Kenapa harus penegakan syari’ah? Inilah yang
menjadi pertanyaan besar. Mereka melihat bagaimana kemunculan syari’ah pasca
masa jahiliyah. Syari’ah datang sebagai hero dengan wajah protagonis yang
melawan era jahiliyah sebagai era antagonis. Hal ini pun juga membuat gerah
pakar sejarah, Khalil Abdul Karim misalnya.
57
Syukron Kamil dkk. Syariah dan HAM, Dampak Perda Syariah terhadap Kebabasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim (Jakarta: CSRC, 2007) h. xxiii
58 Kamil dkk. Syariah dan HAM h. xxiv
59 Kamil dkk. Syariah dan HAM h xxiv
Dia mengatakan, “Kami menyebut model kajian pertama (mereka yang
mengidealisasi sejarah) sebagai kajian yang kurang ajar karena ia secara lancang
menyemati fase sebelum Islam sebagai fase Jahiliah, bahkan berusaha
menjustifikasi hal tersebut dengan hanya memfokuskan kajian mereka pada tema-
tema minor yang sensasional, seperti blow up besar-besaran atas tradisi nikah
maqt (seorang anak menikahi janda mendiang ayahnya), penguburan anak
perempuan hidup-hidup, fenomena perempuan-perempuan pengibar bendera di
Mekkah (pelacur-pelacur), thawaf keliling Ka’bah sambil telanjang (tanpa busana
sehelai pun), meminum arak, transaksi riba di kalangan konglomerat Quraisy
(sebagai perbuatan keji yang dipraktikkan oleh kaum elit dalam segala dimensi
waktu dan tempat), nikah istibdâ‘ (menikahi budak), tradisi menggantungkan
posisi istri (meninggalkan istri tanpa proses cerai), dan tradisi-tradisi minor
lainnya.”60
“Model kajian seperti ini sesungguhnya kering dari metodologi ilmiah,
sehingga sulit dikatakan sebagai sebuah kajian. Akan tetapi, ia malah lebih dekat
dengan orasi naratif yang dituangkan di atas kertas dengan maksud mengaduk-
aduk emosi dan perasaan pembaca dengan propaganda bahwa Islam muncul di
tengah-tengah masyarakat yang penuh dengan kekelaman, kebodohan, dan
kesesatan, tanpa dijumpai setitik penerang pun. Pembentukan propaganda ini jelas
mengacu pada sebuah pepatah yang mengatakan: ‘Dengan tampil sebaliknya,
sesuatu menjadi istimewa.’”61
Dalam beberapa karyanya, Khalîl ingin
meyakinkan pada kita bahwa mereka yang ngotot dan memaksakan tegaknya
syariah selalu menampilkan sisi kelam dan kebiadaban era jahiliyah, padahal itu
60
Khalîl Abdul Karîm, Syari’ah, Sejarah Perkelahan Pemaknaan. Penerjemah Kamran
As‘ad (Yogyakarta: LKiS, 2003) h. 148 61 Karîm, Syari’ah h. 149
hanya bagian kecil dari belantara khazanah era jahiliyah. Menurut Khalil, mereka
tidak pernah menampilkan luasnya padang khazanah positif era jahiliyah yang
lain, ketinggian sastra mereka, misalnya. Khalîl mengindikasikan bahwa adanya
ketidakadilan dan ketidakseimbangan pada presentasi mereka tentang era jahiliyah
antara sisi hitam dan putihnya. Padahal menurut Khalîl banyak sekali pranata
yang diwarisi dan diadopsi oleh Islam, seperti aspek sosial, ekonomi,
kemasyarakatan, hukum (perundang-undangan), politik, dan bahasa. Semuanya
merupakan indikasi ketinggian peradaban masyarakat Arab pra-Islam. Bahkan,
Islam juga ternyata juga mengadopsi sebagian dan memodifikasi masalah religi
atau ritual peribadatan dari masyarakat Arab Jahiliah.
B. ‘Menulis Keimanan’ di Tengah Social Disorder
Memang dalam mencari suatu jalan lengang sebagai respon atas perbedaan baik
secara ekonomi, politik, budaya, maupun nilai-nilai lainnya, umat Islam dan
negara-negara bekas jajahan mengambil dua pendekatan yang berbeda, Pertama,
penegakan syari’ah seperti disinggung di atas dan kedua, pendekatan HAM.
Kedua pendekatan ini bukan hanya berbeda tetapi dua kutub biner yang saling
bertolak belakang sekaligus berhadapan dan kemudian berbenturan juga
bertabrakan.
Dewasa ini pendekatan HAM dibangun atas pondasi nilai-nilai universal
yang memungkinkan kerja sama antara berbagai komunitas dunia yang plural.
Sementara ciri dominan agama (syariah) adalah eksklusif, di mana para
penganutnya cenderung menegasikan tradisi agama (syariah) lain, dengan
menganggap tradisi agamanya lebih superior. Pengalaman sejarah menunjukkan
bahwa eksklusivitas iman cenderung melemahkan kemungkinan kerja sama damai
antara berbagai komunitas iman.62
Problem eksklusivisme ini harus diatasi, meskipun bisa saja tidak seliberal
yang dianut oleh kaum pluralis Barat. Di antaranya dengan mengembangkan
prinsip timbal balik (reciprocity). Caranya, menurut Abdullâh Ahmad al-Na‘îm,
dengan memperlakukan non-muslim berdasarkan ideal-ideal civil right yang
sama. Atau dalam bahasa M. Dawam Rahardjo, agama seharusnya dilihat sebagai
kebenaran yang tidak terbantahkan, tetapi hal itu bagi mereka yang meyakininya
saja.63
Belum lagi kontekstualisasi pemahaman keagamaan yang rancu. Hal ini
bisa kita temukan misalnya, term-term semacam riddah, dzimmi, kufur, dan lain-
lain. Riddah (atau sering kita istilahkan dengan murtad– penerj.), bukanlah keluar
dari agama atau pindah dari satu kepercayaan ke kepercayaan lain –sebagaimana
sering dipahami– tetapi lebih merupakan sebuah pemberontakan atau aksi
seperatisme, baik atas negara Islam maupun negara non-Islam. Jadi, riddah
merupakan wacana politik daripada sebuah persoalan agama, yang harus ditumpas
dengan segala cara dan sarana.64
Sementara, Islam adalah agama yang memayungi beraneka ragam aliran
dan kecenderungan, selama aliran-aliran tersebut ber-platform komunalisme
(jamâ’iyyah), yaitu mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi
dan kelompok kelas (oleh karenanya, segala tindakan ‘riddah’, pemberontakan
yang mengganggu stabilitas umum demi memaksakan kehendak golongan harus
62
Kamil dkk. Syariah dan HAM h. 30-31 63
Kamil dkk. Syariah dan HAM h. 149 64
Muhammad Salmân Ghânim, Kritik Ortodoksi, Tafsir Ayat Ibadah, Politik, dan Feminisme. Penerjemah Kamran As‘ad Irsyadi (Yogyakarta: LKiS, 2004) h. xvii
ditumpas–Penulis). Islam bukanlah agama Muhammad saja, tetapi ia meliputi
seluruh risalah nabi, dari Nabi Adam, Nuh hingga Muhammad. Allah berfirman,
(Ikutilah) agama orang tuamu, Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu
sekalian orang-orang muslim dari dahulu(QS. Al-Hajj [22]: 78). Dan
sesungguhnya orang-orang yang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani, dan orang-orang Shabi’in, siapa saja di antara mereka yang benar-
benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, mereka
menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan tidak pula mereka bersedih hati (QS. Al-Baqarah [2]: 62). Jadi, Islam
menurut konsep Al-Quran tidak hanya meliputi risalah-risalah langit saja, tetapi
juga memayungi ajaran (kredo) orang-orang saleh dan ahli hikmah, seperti Budha,
Zarathustra, Konfusious, dan lain-lain (kepercayaan-kepercayaan adat–Penulis).65
Ada sementara kelompok-kelompok Islam Ortodoks yang melemparkan
konsep kufur dan Islam sebagai alat dikotomi sosial dalam masyarakat. Bagi
penulis (Salmân Ghânim) kata kufr tidak berarti najis, kotor, zindik, atau ibâhy
serta cap-cap etics-minded lainnya yang banyak digunakan kaum agamawan.
Orang kafir adalah manusia biasa dan statusnya sama dengan kita, hanya saja ia
berbeda dalam masalah hubungan dengan Tuhan. Ini adalah urusan orang tersebut
dengan Tuhan di akhirat. Kita tidak mempunyai hak untuk mengadilinya selama
ia tetap menjadi warga yang baik dalam komunitas sosialnya. Allah berfirman,
Barang siapa yang kafir, maka dia sendirilah yang menanggung (akibat)
kekafirannya; dan barang siapa yang beramal saleh, maka untuk dirinya
sendirilah mereka menyiapkan (tempat yang menyenangkan) (QS. ar-Rum [30]:
65 Ghânim, Kritik Ortodoksi h. xviii
44) Dan barang siapa ynag bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia
bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka
sesungguhnya Allah Mahakaya Lagi Maha Terpuji (QS. Lukman [31]: 12).
Pengadilan atas orang kafir ditangguhkan hingga hari kiamat, di hadapan
Tuhannya langsung dan bukan di dunia di depan pengadilan manusia. Kita bisa
melihat kasus Ibrahim ketika ia berdoa kepada Allah untuk memberi nafkah
kesejahteraan bagi orang-orang mukmin saja, tetapi Allah menjawab bahwa Dia
akan memberi rezeki kepada orang-orang kafir juga. Tidak ada perbedaan kuota
rezeki antara kafir dan mukmin. Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa: Ya
Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman dan sentosa, dan berikanlah
rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka
kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: Dan kepada orang yang kafir
pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa
neraka dan itulah seburuk-buruknya tempat kembali (QS. Al-Baqaraah [2]: 126).
Di samping itu, orang-orang mukmin juga tidak terlepas begitu saja dari
kekufuran dan syirik. Allah berfirman, Dan sebagian dari mereka tidak beriman
kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan
sesembahan-sesembahan lain) (QS, Yusuf [12]: 106).66
Kufur adalah menutup-nutupi kebenaran dan mengingkari anugerah Allah
atas manusia, yaitu anugerah sosial (jama’ah). Atau dengan bahasa lain kufur
millah, yaitu mengingkari nikmat dan anugerah yang diberikan kepadanya dalam
kehidupan sosial. Maka kufur dengan Allah sebanding dengan kufur dan
mengingkari jama’ah, dengan tidak menjaga kepentingan sosial dalam kerja,
66 Ghânim, Kritik Ortodoksi h. xviii-xix
produksi, dan upah (donasi). Dan inilah yang menjadi standar akhlak terpuji.
Keimanan kepada Allah pun selalu paralel dengan keimanan dan dedikasi
personal pada komunitas sosial di mana ia tinggal. Bekerja untuk kepentingan
umum dan menjaga (mendahulukan) kepentingan umum adalah standar iman.
Adapun jika ia kafir atau musyrik, maka itu adalah urusan Tuhannya.67
Adapun uraian berikut ini merupakan kritik al-Na‘im terhadap syariah
terkait dengan hak-hak sipil (dalam qabûl al-âkhar –meminjam istilah Dr.Millad
Hanna, intelektual Kristen Koptik dan pejuang toleransi dan HAM di Mesir,
sebagai judul bukunya yang dalam versi Indonesia berjudul ‘menyongsong yang
lain, membela pluralisme’ diterbitkan Jaringan Islam Liberal–, “Tentang status
nonmuslim, kaum absolutis berpendapat bahwa dalam negara syari’ah, muslim
adalah warga inti, sedangkan nonmuslim tidak memiliki hak politik.68 (Selain itu)
syari’ah tidak memberi tempat tinggal yang tetap bagi nonmuslim di dalam negara
Islam, kecuali jika ada izin tinggal sementara (aman) yang terbatas masa dan
syarat kehadiran mereka; atau jika mereka dijamin dalam status dzimmah. Orang-
orang nonmuslim tak memliki hak sipil dan politik apa pun, meskipun mereka
lahir dan dibesarkan di wilayah negara Islam. Akibatnya warga nonmuslim,
meskipun dijaga keamanan jiwa dan harta bendanya dengan aman, namun tak
berhak berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat secara luas. Mereka tidak
memiliki otonomi komunal dalam urusan pribadi mereka kecuali jika mereka
berstatus dzimmah.)69
67
Ghânim, Kritik Ortodoksi h. xix 68
Abdullâhi Ahmed al-Na‘îm, Dekonstruksi Syariah. Penerjemah Ahmad Suaedy dan
Amirudin al-Rany (Yogyakarta: LKiS, 2004) h. 83 69 Al-Na‘îm, Dekonstruksi Syariah h. 148
Pada mulanya, status dzimmah ditawarkan untuk warga negara (Islam)
yang diidentifikasi sebagai orang yang beriman dan taat pada salah satu kitab
wahyu (ahli kitâb). Karena kritereia identifikasi ahli kitâb secara gradual
diperlunak oleh para ahli hukum Islam, maka status dzimmah diterapkan kepada
orang non-Islam yang diizinkan tinggal di dalam wilayah negara Islam selama
setahun atau lebih. Siapa saja yang diberi status dzimmah oleh syari’ah berhak
memperoleh perlindungan jiwa dan harta bendanya, serta melaksanakan
agamanya secara pribadi, dengan kompensasi membayar pajak (jizyah).70
Suatu
masyarakat dzimmi yang menikmati kebersamaan dzimmah dengan umat Islam,
diberi hak oleh syari’ah untuk mengatur dirinya dalam masalah pribadi, namun
tetap harus tunduk pada perundang-undangan negara Islam dalam uruasan-urusan
publik. Syari’ah menentukan bahwa yurisdiksi semua urusan publik harus tetap
menjadi wilayah eksklusif umat Islam. Karena itu, kaum dzimmi memiliki
kebebasan berpendapat atau berkepercayaan, berekspresi, dan berserikat di dalam
komunitas mereka sendiri. Artinya, ‘kebebasan’ itu hanya berkaitan dengan
praktik keagamaan dan pelaksanaan urusan-urusan pribadi mereka di dalam
kerangka komunitas eksklusif kelompok dzimmi.71 Hal ini tentunya sangat
bertolak belakang dan melanggar hak-hak sipil setiap individu yang menjadi
maqâsid syarîa‘h itu sendiri. Untuk lebih jelasnya bisa lihat al-Syatibi, Al-
Muwâfaqat fî Al-Usûl Al-Syarîa‘h pembahasan mengenai tujuan syariah, pada
bab, kitâb al-maqâsid.
(Berbeda dengan yang diuraikan sebelumnya), toleransi dan berpegang
pada yang terbaik dan termudah serta menghindari sikap ekstrim, berlebihan dan
70
Al-Na‘îm, Dekonstruksi Syariah h. 149 71 Al-Na‘îm, Dekonstruksi Syariah h. 150
fanatik, semua ini memberikan kandungan yang positif dan konstruktif bagi hak
untuk berbeda sehingga ia dapat memelihara masyarakat dari fitnah dan
pertempuran serta menumbuhkan keragaman yang damai sebagai sumber bagi
produktifitas dan kreasi.72
(Terkait hal ini), Al-Quran (sendiri) mengakui kebebasan beragama dan
menganggapnya sebagai hak asasi manusia. Hal ini karena Allah menciptakan
manusia dan membekalinya dengan akal dan kemampuan membedakan, serta
membentangkan kepadanya berbagai jalan untuk kemudian membiarkannya
memilih salah satu jalan itu dengan bebas.73
Alquran menetapkan perbedan sebagai hakikat eksistensi, dan sebagai
salah satu unsur tabiat manusia. Perbedaan warna kulit, bahasa, seks, dan
kecenderungan hingga perbedaan suku dan bangsa, semua itu merupakan sesuatu
yang dikehendaki Allah, persis seperti Dia menghendaki akan adanya perbedaan
di antara unsur-unsur alam semesta untuk dijadikan sebagai tanda-tanda bagi
eksistensi-Nya.74
(Oleh karenanya) dalam pembahasan ini, perbedaan antara agama dan
pemikiran agama menjadi (penting) jelas (serta harus dibedakan dan diseleksi
benar agar tidak terjebak pada sakralisasi pemikiran keagamaan yang bermuara
pada distorsi dan mengatasi kesakralan agama itu sendiri). Asal makna ‘agama’
(ad-dîn) adalah apa yang datang dari Nabi Muhammad Saw., baik berupa
Alquran, ucapan, atau tindakan yang berhubungan dengan agama atau
penerapannya. Bahwa Alquran dan hadist merupakan teks (nass) keagamaan.
72
Muhammad Ầbid Al-Jâbiri, Syûrâ, Tradisi Partikularitas Universalitas. Penerjemah
Mujiburrahman (Yogyakarta: LKiS, 2003) h. 157 73
Al-Jâbiri, Syûrâ h. 157 74 Al-Jâbiri, Syûrâ h. 160
Teks –yang memuat selain kehidupan Nabi Muhammad Saw.– tidak dapat
berbicara sendiri, tidak bisa menjelaskan maknanya dan tidak dapat menetapkan
apa-apa yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, Alquran telah ditafsirkan dengan
hadits, dan keduanya ditafsirkan dari segenap sisi yang perlu dan siap ditafsirkan.
Dari beberapa hadits –yang sebagian diutamakan– dan interpretasi para ahli tafsir,
termasuk di dalamnya perbedaan mazhab, pendapat dan budaya serta perbedaan
pandangan ahli fiqh dalam masalah-masalah yang dipikirkan; dari semua itu
lahirlah pemikiran keagamaan. Pemikiran keagamaan ini bukan merupakan
agama. Pemikiran ini –secara jelas– tidak mungkin melulu agama (agama an sich)
selama dasar yang melingkupinya adalah perbedaan lingkungan, pertikaian
mazhab, ijtihad-ijtihad tafsir, kepercayaan-kepercayaan umum, dan dongeng-
dongeng rakyat. Dari sisi lain, adalah mustahil pemikiran ini menjadi benar dan
suci selamanya. Ia mungkin membawa kebenaran dan kesalahan sebagaimana ia
tercampuri oleh tujuan-tujuan, sebagaimana pendapat seorang manusia.75
Dalam suatu ungkapan, mungkin bisa dibedakan antara agama (ad-dîn)
dan pemikiran keagamaan (al-fikr ad-dînî), bahwa agama adalah kumpulan dasar-
dasar yang dibawa oleh nabi atau rasul, sedangkan pemikiran keagamaan adalah
metode-metode historis untuk memahami dasar-dasar ini dan penerapannya.
Setiap pemahaman atas teks-teks keagamaan dan setiap interpretasi atasnya –
setelah Nabi wafat– merupakan pemikiran keagamaan. Oleh karena itu,
pemahaman atau interpretasi ini terkadang cocok dengan inti keagamaan dan
terkadang tidak.76
75
Al-Asymâwi, Nalar Kritis Syari‘ah h. 43 76 Al-Asymâwi, Nalar Kritis Syari‘ah h. 43-44.
Batasan perbedaan antara agama dan pemikiran keagamaan ini tidaklah
jelas bagi publik, oleh karena itu antara keduanya telah dan senantiasa terjadi
campur aduk. Termasuk dalam bentuk campur aduk ini adalah bahwa seruan
penerapan syari’at tidak dimaksudkan dengan makna syari’at dalam Alquran,
tetapi dikembalikan pada makna kata dalam ranah pemikiran-pemikiran
keagamaaan, dengan empat unsurnya: Alquran, hadîts, ijmâ’, dan qiyâs, dan
mungkin juga makna kesejarahan. Bahkan pengertian meluas hingga yang
dimaksudkan dengan ‘syari’at’ adalah hukum-hukum syari’at (al-ahkâm asy-
syar’iyyah), yakni pernyataan Allah SWT. yang berhubungan dengan perbuatan-
perbuatan manusia yang mukallaf, baik itu bersifat pilihan maupun wajib. Apa
(iya) yang disebut dengan hukum Allah SWT. adalah empat unsur tadi: Al-Quran,
hadits, ijma’, dan qiyas(?).77 Singkatnya, “Pertentangan dalam wacana agama
yang terjadi sekarang ini bukanlah sekedar pertentangan di seputar teks-teks
agama atau pun interpretasi terhadapnya, melainkan pertentangan menyeluruh
yang meliputi semua aspek kesejarahan; sosial, politik, ekonomi; pertentangan
yang melibatkan kekuatan-kekuatan takhayul dan mitos atas nama agama dan juga
pemahaman secara letterlijk terhadap teks-teks agama,” kutipan berasal dari
sinopsis Kritik Wacana Agama-nya Abu Zaid.
Sebagai akhir bab ini, saya ingin mengutip makalah M. Jadul Maula yang
pernah dimuat dalam Majalah Desantara, “Jadi, apa yang kemudian dirumuskan
sebagai syariat Islam dan persaingan-persaingan di dalam perumusannya penting
dipahami sebagai persaingan kompleks untuk perebutan legitimasi sebagai
‘pimpinan’ masyarakat melalui konstruksi simbolik (ideologi keimanan) tertentu.
77 Al-Asymâwi, Nalar Kritis Syari‘ah h. 44
Oleh karena itu, kita mesti mulai membuka kemungkinan mengkaji kembali
pengertian-pengertian bid‘ah, zindîq, ilhâd, kâfir, dan musyrik, tidak dalam
kerangka teologi ‘yang mematikan’ melainkan dalam kerangka kultural sebagai
upaya-upaya individu atau kelompok untuk mempertahankan dan kehidupannya
sendiri secara wajar dan bermartabat. Sehingga kita bisa merasakan kembali ‘dosa
kemanusiaan’ di dalam sejarah kita sendiri, di abad XX, ketika ribuan orang
(kebanyakan kaum miskin dan marjinal) harus mati ‘hanya’ karena sebutan ‘tidak
bertuhan’ menurut standar resmi, tanpa proses pengadilan.”78
Mengutip sinopsis
buku Nalar Kritis Syarî‘ah-nya al-Asymâwi, dikatakan bahwa syariat bukanlah
kaidah-kaidah, aturan-aturan dan hukuman-hukuman, melainkan spirit yang
menembus inti segala sesuatu. Sebuah spirit yang berkelanjutan dalam
menciptakan aturan-aturan baru, melakukan pembaruan-pembaruan dan
interpretasi-interpretasi modern. Ia adalah sebuah gerak langkah dinamis yang
selalu membawa manusia pada tujuan-tujuan yang benar dan orientasi-orientasi
yang mulia supaya mereka tidak terjebak ke dalam teks, terkoyak dalam lafal, dan
tenggelam dalam ungkapan.
78
M. Jadul Maula, “Syariat (Kebudayaan) Islam: Lokalitas dan Universalitas” dalam
Majalah Kebudayaan Desantara, Dialog Agama dan Kebudayaan, (Depok: Desantara, 2002) Edisi 03/Tahun II/2002. h. 47. Penulis, alumni IAIN Yogyakarta, ketua Yayasan LKiS, Yogyakarta.
Makalah ini ditulis ulang dengan beberapa revisi dan penyempurnaan untuk keperluan Seminar
Nasional bertema “Syariat Islam, Pluralisme dan Demokrasi di Indonesia”, Desantara, Jakarta, 24
Oktober 2001, dari makalah yang pernah dipresentasikan dalam diskusi buku “Wacana Islam
Liberal”-nya Charles Kurzman, 2001, Jakarta: Paramadina, yang diselenggarakan oleh Teater Utan
Kayu Jakarta tanggal 27 September 2001.
BAB IV
ANALISIS TERJEMAHAN AYAT-AYAT EKSKLUSIVITAS DAN
INKLUSIVITAS ISLAM
A. Tekstualisasi (Terjemahan) Ayat-Ayat Eksklusivitas dan Inklusivitas
Islam
Sebelum masuk ke pembahasan lebih lanjut, penulis telah menyinggung di awal-
awal skripsi bahwa pembahasan pada bab IV akan menguraikan terjemahan ayat-
ayat yang terkait dengan isu-isu eksklusif dan inklusif Islam dengan kerangka
teori wacana sebagai teropong analisis. Tidakkah kita tercengang misalnya
menyaksikan dua wajah –eklsklusif dan inklusif Islam– saling menatap tajam
yang penuh dengan kecurigaan satu sama lain? Pada saat itu, kita seakan berada di
tepi muara melihat arus besar dua sungai yang deras saling menghantam pada satu
titik guna menuju laut lepas sebagai tempat perhentian terakhir. Kalau dilacak
secara genealogis dalam arti konvensional, mereka berasal dari satu sumber mata
air yang sama. Keduanya sama-sama beranjak dari teks. Apakah yang
menyebabkan fenomena ini terjadi? Bagaimana proses produksi kedua wacana
tersebut bisa terbentuk? Di sini –melalui wacana– penulis akan melacak
penyebab-penyebab serta implikasinya.
Untuk itu, kita lihat terlebih dahulu ayat di bawah ini yang diterjemahkan
Departemen Agama RI edisi revisi 1989 sekaligus menjadi sumber konflik,
إن& ال(+�� *�( ا) ا���م و�� ا �' ال&9�� أوت�ا ال6�ب إ4& �� ب2( �� �1ء ه/
� ب A�/ و�� 6�@� ب?��ت ا)Bن& ا) ���> ال;:�بال2�/ ب=�
Artinya: Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada
berselisih orang-orang yang telah diberi Alkitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.
Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah
sangat cepat hisabnya. (Q.S. Ali Imran,[3]; 19).
Dalam terjemahan di atas kita telah menemukan tema utama bahwa agama
‘diridai’ di sisi Allah hanyalah Islam. Persoalannya kemudian apakah kita telah
‘mengetahui secara absolut’ (dalam kosakata Hegel) makna ayat tersebut –yang
sudah tak perlu lagi dipertanyakan– melalui kalimat terjemahan di atas. Kalimat
terjemahan itu sama sekali tidak memberikan keterangan apa pun sehingga
kalimat tersebut seakan sudah jelas atau bahkan masih menyisakan banyak
pertanyaan (jika melihat realitas bahwa Islam saat ini ditengarai menjadi biang
kerok di tengah pergaulan global). Di sinilah pangkal persoalannya? Pertanyaan
demi pertanyaan datang menghujani kepala ini yaitu apa yang dimaksud dengan
‘Islam’. Kalimat terjemahan di atas seakan ingin mengatakan bahwa Islam jangan
lagi dipersoalkan karena maksudnya sudah jelas. Ke(tidak)jelasan inilah yang
membentuk para pembacanya menjadi eksklusif. Kata Islâm dalam ayat ini
kemudian lebih sering dipahami oleh kebanyakan orang sebagai segala teori dan
praktik yang diajarkan Nabi Muhammad Saw. kepada para sahabatnya kala itu.
Pemahaman ini jelas menjadi ahistoris dan anakronik ketika proses pemahaman
ini lepas dari konteks. Untuk menghindari ahistoris, Depag semestinya
menambahkan imbuhan-imbuhan singkat yang dapat memberi keterangan secara
jelas demi tuntutan-tuntutan keadaan yang berasas kemaslahatan umum
sebagaimana yang dilakukannya pada terjemahan ayat yang lain.
Penerjemahan itu sepintas kita lihat memang netral. Namun jika dilihat
lebih jauh kenetralan itu menjadi hilang karena makna sebuah teks tidak berdiri
secara otonom tetapi ada elemen lain pembentuk makna, salah satunya ialah
konsumen teks itu sendiri. Dengan memperhatikan konsumen teks terjemahan
tersebut yang tidak lain ialah orang Indonesia yang memiliki pengalaman historis
dan aspek psikologis tersendiri. Selain itu dengan latar belakang mazhab yang
dianut sang konsumen, Depag seakan ingin mengatakan bahwa yang ‘benar’
hanya ajaran Nabi Muhammad Saw. dan dari aliran ideologi yang ada hanya Islam
mayoritas dan versi resmi saja yang ‘benar’. Karena selain apa yang terungkap
dalam teks (said), ada yang tidak terkatakan (not-said) dan apa saja yang
dikatakan namun tidak pernah terungkap (never said)–meminjam istilah
Mohammed Arkoun. Depag terlihat setengah hati menerjemahkan
(mempribumisasikan) teks keagamaan ini. ‘��+)ال’diterjemahkan menjadi agama.
dibiarkan (diadopsi) begitu saja tanpa mencarikan padanan yang tepat ’ا���م‘
dalam bahasa sasaran, konsumen teks yang tidak lain adalah masyarakat
Indonesia. Orientasi penerjemahan ini kontan menuntun konsumen teks merujuk
pada kognitifnya yang dihegemoni aliran ultra-teosentris. Depag belum ‘ada’
kesungguhan untuk mempribumisasikan teks sumber.
Dalam kasus ini jelas sekali terlihat hegemoni kelompok eksklusif dalam
tubuh Depag dimana kelompok mayoritas memproduksi pengetahuan guna
melanggengkan kekuasaannya seperti telah disinggung pada bab-bab sebelumnya.
Yakni, pelembagaan agama oleh Negara merupakan alat kontrol Negara terhadap
keyakinan masyarakat yang dikuatirkan pada akhirnya disinyalir potensial
mendelegitimasi otoritas Negara. Hal ini pernah terjadi pada tahun 1888 di mana
pemberontakan kelompok tarekat terhadap pemerintah kolonial. Oleh karenanya,
pemerintah kolonial membentuk semacam divisi yang khusus menangani agama
dan kepercayaan untuk mengadministrasikan ajaran yang dapat mengancam
keberadaan kolonial. Adapun lembaga-lembaga keagamaan yang sekarang ini,
seperti Depag dan MUI, merupakan kepanjangan tangan atau sebuah pelestarian
control Negara atas masyarakat. Terang saja pengetahuan yang diproduksi terlibat
secara aktif dalam membangun sekaligus melanggengkan otoritas. Karena dengan
mengusik pengetahuan yang (di)mapan(kan), proyek tersebut akan mengancam
bahkan mendeligitimasi yang kemudian meruntuhkan kekuasaan yang selama ini
berhasil merebut makna. Hal ini tentu saja menjadi sangat ironis ketika negara
mengadakan satu departemen yang konsentrasi dalam keagamaan (juga
diharapkan netral dan mengakomodir segala macam bentuk keyakinan,
kepercayaan, dan seterusnya) justru sangat terlihat jelas keberpihakannya
(engagement) terhadap mayoritas. Mayoritas yang dimaksud dalam terjemahan ini
adalah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.,. Dalam hal ini kembali
lagi bahwa dengan tidak memberikan imbuhan pada ayat ini sementara pada ayat
yang lain diberikan imbuhan, Depag jelas sudah mem(di)bentuk makna ayat di
atas (cara berpikir [juga bersikap] masyarakat). Dalam arti Depag telah menyapa
konsumen terjemahan dengan pertanyaan yang jawabannya sudah ditentukan
sebelumnya. Pada saat yang bersamaan makna tersebut telah membentuk Depag
dengan pengaruh epistem dan mindset abad pertengahan yang sangat kental
dengan teosentris (cenderung ahistoris dan literalis). Hal ini tentu saja bermuara
pada apa yang diistilahkan dengan ‘feodalisme teks’.
Dalam kalimat tersebut pun terlihat jelas arogansi ego (ke’aku’an)
mayoritas terhadap minoritas sehingga timbul pembacaan Jaquest Lacan,
psikoanalisis Perancis bahwa fenomena ini merupakan tindakan paranoid sang ego
saat bercermin melihat kebesaran dirinya. Narsisime semacam ini disebabkan
“karena adanya jarak antara diri sang ego dengan dirinya ‘yang lain’ dalam
cermin itu. Sang ego membayangkan dirinya utuh, solid, merangkum dan
menyatu. Padahal justru sebaliknya pantulan dalam kaca, dalam tataran imajiner,
penuh citra, dan permainan imajinasi, serta penuh tipuan dan godaan.”79
Untuk dapat menerjemahkan seperti ini, Depag tidak lepas dari sistem
nalar berbahasa yang sangat eksklusif.80
Dalam bahasa Arab, إن ال(�� *�( ا)
merupakan pola jumlah ismiyyah. Jumlah ismiyyah merupakan polaا���م
kalimat yang sama sekali tak terikat oleh waktu. Dengan asumsi tidak terikat
waktu, Depag mengonstruk ‘kebenaran’ merujuk Islâm kepada teori dan praktik
yang diajarkan Nabi Muhammad Saw. saat itu dan tidak akan berubah sampai
kapan pun, ‘periode madinah menjadi standar model ideal yang wajib diteladani
dan sudah final’. Namun, apa daya Depag terkubur dalam liang yang digalinya
sendiri, karena dengan tidak terikat oleh waktu, justru ‘Islam menjadi fleksibel di
segala masa’. Di sinilah saya pikir perlunya melacak sekaligus mengritik sejarah
‘kebenaran’, “kapankah sebuah kebenaran menjadi ‘kebenaran’, bukan
79
Baso, NU Studies, h. 51 80 Bahasa Arab sangat eksklusif, Al-Jabiri menelusuri gejala ini dengan melihat bahwa
“sebuah sistem bahasa (bukan hanya kosa kata, tapi juga sistem gramatika dan semantiknya)
punya pengaruh yang cukup signifikan dalam cara pandang penuturnya terhadap dunia, termasuk
cara menafsirkan dan menguraikannya, yang pada gilirannya juga mempengaruhi cara dan metode
berpikir mereka.” Pembakuan sistem bahasa ini terjadi pada masa tadwîn dengan upaya kodifikasi
setelah menyebarnya beberapa penyimpangan dialek yang kemudian dikuatirkan mengancam
entitas bahasa Arab itu sendiri sebagai upaya konservasi dalam rangka membendung pengaruh dari
luar. Penyebaran semacam ini menuntut upaya khusus pemerintah untuk mencari ‘bahasa Arab
yang murni’ dari orang Arab yang semakin menipis jumlahnya di kota-kota besar wilayah Islam
yang metropolis, “maka wajar bila kemudian berkembang fenomena penggalian bahasa ‘asli dan
murni’ di lingkungan perkampungan Arab Badui, yang terpencil. Dari sinilah kita mencermati karakter unik bahasa Arab yang bersifat a-historis dan inderawi (sensual), karena ‘dunia’ tempat
dia tumbuh dan berkembang adalah dunia inderawi yang tak punya sejarah, dunia nomaden kaum
Badui. Kehidupan yang menghayati waktu membentang bagaikan gurun pasir. Sebuah waktu yang
bersifat siklis dan tertutup.” lihat artikel Karakteristik Hubungan Bahasa dan Pemikiran dalam Tradisi Islam dalam Muhammad Ầbid al-Jâbiri , Post Tradisionalisme Islam. Penerjemah Ahmad
Baso (Yogyakarta: LKiS, 2000) h.61-62
kebohongan, mitos, ilusi, atau kegilaan, yang kemudian memperoleh nilai seperti
yang kita kenal saat ini, yang lalu menjerat kita ke tali genggamannya, seakan-
akan kita tak bisa hidup, tak bisa berpikir, dan tak bisa bertindak, tanpa kebenaran.
Dari sini sejumlah pertanyaan bersusulan. Umpamanya, sejak kapan ‘kegilaan’
menjadi bukan hanya keblingeran, kekeliruan, anomali, tetapi juga kejahiliyahan
dan bahkan kejahatan yang perlu dinetralisir dan malah kalau perlu dibungkam
dan diberangus? Sejak kapan kebenaran memperoleh status nilainya seperti
sekarang ini yang dengan mudahnya bisa membungkam hal-hal yang berada di
luar dari kerangkeng otoritasnya alias ‘tidak benar’?”81
Bandingkan dengan sajian berikut ini. Ayat di atas memiliki suara yang
berbeda seketika sampai di tangan Prof. Dr. Nurcholish Madjid yang disapa akrab
dengan sebutan ‘Cak Nur’. Cak Nur mengartikannya, “Sesungguhnya ikatan (al-
din) di sisi Allah adalah sikap pasrah (al-islam),” demikian firman Tuhan.82
Dalam melakukan pembacaan terhadap ayat di atas, Cak Nur yang seringkali
dalam tulisannya mencantumkan Ibnu Taymiyah sebagai tokoh yang dikaguminya
bahwa konsep esensial dalam agama ialah al-islâm yaitu sebentuk kepasrahan
sebulat hati kepada Tuhan Yang Maha Esa, meskipun setiap agama menempuh
syari’at yang beragam. Kepasrahan inilah yang kemudian membuahkan
“Kesadaran Ketuhanan”, God Consciousness –meminjam istilah Muhammad
Asad. Kesadaran Ketuhanan ini tidak lain adalah kesadaran bahwa Tuhan Maha
Hadir (omnipresent) dalam setiap detik putaran waktu. Bentuk kesadaran ini juga
yang pada akhirnya melahirkan ketakwaan sepenuhnya kepada Yang Esa, yaitu
sikap pasrah kehadirat Tuhan. Hal ini didasarkan pada kata al-islâm yang
81
Baso, NU Studies, h. 105-106 82 Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur (Jakarta: Kompas, 2001) h. 17
bermakna al-dîn (tunduk-patuh). Oleh karenanya, bukan hanya muslim pengikut
Agama Muhammad saja yang pasrah kehadirat-Nya, tetapi juga universal yang
mencakup kesatuan agama samawi, yang mewarisi Abrahamistic Religion, yakni
Yahudi, Nasrani, dan Islam.
Sebagai perluasan, kita dapat mencermati terjemahan surat Ali Imran ayat
85 di bawah ini,
��� ���� ��� دم�� ا�� ��� �� �و� �� ����� ال$� �ة�" ا! ��ه وDepag menerjemahkannya, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam,
maka sekali-sekali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di
akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” Sementara Prof. DR. Quraish Shihab
mengartikannya, “Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-sekali
tidaklah akan diterima darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang
rugi.”83 Lain lagi Cak Nur yang mengartikannya dengan, “Barang siapa menuntut
agama selain al-islam (sikap pasrah), maka darinya tidak akan diterima, dan di
akhirat kelak akan termasuk mereka yang merugi.”84 Kita akan cermati perbedaan
pada kedua terjemahan ini.
Mencermati terjemahan Depag terhadap ayat tersebut, kita dapat
merasakan jelas sekali eksklusivitas yang dibangun dalam terjemahannya. Depag
mengatakan, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-
sekali tidak akan diterima (agama itu) daripadanya.” Letak eksklusivitasnya
pada, “selain agama Islam.” Dengan memanifestasikan ayat tersebut dalam
bentuk penerjemahan seperti ini, Depag menutup celah bagi wacana lain untuk
masuk ke dalam kata “al-islâm” karena Depag telah membakukannya menjadi
83
Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, Pesan, Kesan, dan Keserasian Alquran (Tangerang:
Lentera Hati, 2006) Cet. 5 Vol. 2 h. 142 84 Sukidi. Teologi Inklusif Cak Nur h. 17-18
“agama Islâm”. Hal ini tentunya tidak lepas daripada posisi Depag sebagai corong
pemerintah. Karenanya “agama Islâm” yang dimaksud tidak lain adalah agama
islam yang diakui pemerintah. Agama Islam yang diakui pemerintah pun
mengerucut dan tereduksi pada Mazhab Sunni. Ini pun bukan sekedar a-priori
penulis, tapi bisa dilihat bagaimana agama Islam ini mengukuhkan dirinya pada
sebuah lembaga pemerintah yang lain, MUI (Majelis Ulama Indonesia). Terhitung
dari sejak berdirinya lembaga ini hingga sekarang, kita melihat sendiri MUI
sebagai lembaga pemerintah yang dalam kebijakan-kebijakannya cenderung
eksklusif dan diskrimintif. Kita bisa perhatikan misalnya, “Sikap ormas-ormas
islâm yang tergabung dalam Majlis Ulama Indonesia (MUI), sebagaimana
difatwakan dalam fatwa Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 tentang Larangan
Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama. Fatwa ini antara lain
menyatakan bahwa pluralisme merupakan paham yang tidak kompatibel dengan
ajaran Islam.”85
“Yang dimaksud pluralisme adalah paham yang memandang
kemajemukan sebagai suatu kenyataan, bernilai positif dan sebagai keharusan
bagi keselamatan umat manusia yang diakui QS. al-Baqarah: 251. Paham
pluralisme ini bukan saja bersifat ke dalam tetapi juga ke luar, dengan pandangan
yang lebih positif pada agama lain sebagai agama yang juga mengandung
keselamatan dan juga diakui QS. Ali ‘Imran : 113. Bagian terakhir inilah yang
ditolak oleh para ulama yang tergabung dalam MUI dan masyarakat di daerah
perda Syariah. Bagi mereka, meskipun Islam mengajarkan penghormatan terhadap
pemeluk agama lain dan memberikan kebebasan agamanya, QS.Ali ‘Imran: 19
85 Kamil dkk. Syari‘ah dan HAM h. 147-148
dan 85, mengajarkan bahwa keselamatan hanya pada Islam. Di Indonesia
termasuk di daerah-daerah yang menerapkan syariah Islam—hubungan dan
interaksi antar umat beragama secara umum cukup baik. Namun sejauh
menyangkut urusan akidah, masih terdapat klaim kebenaran secara eksklusif dari
sementara kalangan umat beragama. Ini dapat menyebabkan kebebasan beragama
yang sesungguhya sulit terwujud, karena pembenaran terhadap prilaku yang
bertentangan dengan hak-hak sipil mudah terjadi.”86
“Sebagaimana larangan terhadap pemikiran pluralis di atas, larangan
mengajarkan paham keagamaan yang dianggap menyeleweng seperti Ahmadiyah,
tampaknya juga tidak saja terjadi di daerah perda syariah Islam tetapi juga di
daerah non perda Islam. Meskipun catatannya adalah bahwa di daerah non syariah
masih berbentuk hukum sosial saja. Alasannya, karena larangan sosial yang
dipantik oleh perda syariah itu hanyalah kepanjangan dari fatwa MUI Nomor:
11/MUNAS VII/MUI/15/2005 yang menyebut Ahmadiyah sebagai aliran sesat
dan menyesatkan, berada di luar Islam, dan penganutnya adalah murtad.”87
Dalam konteks ini kita merasakan sekali dimana “komunikator (dalam hal
ini Depag dan MUI) justru sangat sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-
hubungan sosialnya. Dalam hal ini, komunikator memiliki kemampuan
melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana,
termasuk maksud yang tidak transparan dan memerlukan interpretasi. Bahasa dan
wacana diatur dan dihidupkan oleh pengucapan-pengucapan yang bertujuan,
setiap pernyataan adalah tindakan penciptaan makna.”88
86
Kamil dkk. Syari‘ah dan HAM h. 148 87
Kamil dkk. Syari‘ah dan HAM h. 148 88
Kasiyanto, Analisis Wacana dan Teoritis Penafsiran Teks, dalam Burhan Bungin (Ed.),
Analisis Data Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005) h. 176
Sementara Prof. DR. Quraish Shihab mengartikan ayat di atas, “Barang
siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-sekali tidaklah akan diterima
darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” Pada terjemahan
ini kita bisa menyimpulkan sementara bahwa Prof. DR. Quraish Shihab telah
membuka ruang interpretasi bagi pembacanya karena dia membiarkan “al-Islâm”
tanpa dibuhuhi aposisi-aposisi –dalam bahasa Mohammed Arkoun. Hal ini
tentunya memungkinkan adanya sebentuk suara lain dalam pemahaman bagi
pembaca. Tetapi jika merujuk kepada tafsirnya, Prof. DR. Quraish Shihab tidak
seinklusif kita harapkan. Dia mengatakan, “Ketaatan kepada Allah mencakup
ketaatan kepada syariat yang ditetapkan-Nya yang intinya adalah keimanan akan
keesaan-Nya, mempercayai para rasul, mengikuti dan mendukung mereka.”89
Melihat penafsirannya, kita dapat mengatakan bahwa ayat tersebut bagi Prof. DR.
Quraish Shihab menjadi eksklusif. Hal ini diisyaratkannya pada uraian berikutnya
mengenai kedudukan orang yang murtad, “Seorang yang murtad kemudian mati
dalam kemurtadannya, maka semua amalnya terhapus, sedang mereka yang
murtad kemudian menginsyafi kesalahannya dan kembali memeluk Islam, maka
amalnya yang lalu tidak terhapus.”90
Berbeda halnya dengan Cak Nur yang menerjemahkan dengan, “Barang
siapa menuntut agama selain al-islam (sikap pasrah), maka darinya tidak akan
diterima, dan di akhirat kelak akan termasuk mereka yang merugi.” Pada
terjemahan ini, Cak Nur telah menambahkan aposisi-aposisi (al-islâm [sikap
pasrah]) yang secara otomatis telah meruntuhkan bangunan eksklusivitas
terjemahan Depag. Cak Nur membuat sebuah lompatan guna melakukan
89
Sihâb Tafsîr al-Misbâh Vol. 2 h. 142 90 Sihâb Tafsîr al-Misbâh Vol. 2 h. 143
pembebasan dari pemahaman primordial keagamaan. Artinya Cak Nur memahami
ayat-ayat secara rasional dan sangat antroposentris di mana kemaslahatan manusia
didahulukan daripada pemahaman taken for granted terhadap ayat-ayat meskipun
muhkamât. Hal ini sejalan dengan “Najmuddin al-Tufi (657-716 H) dan Ibnu
Rusyd (1127-1198 [fuqaha yang juga filosof]) yang berpendapat bahwa ayat-ayat
yang sulit dipahami secara rasional atau ayat-ayat yang bertentangan dengan
kemaslahatan, meskipun muhkamat, maka ayat-ayat itu harus di-ta’wil dengan
mendahulukan kemaslahatan manusia atau temuan akal. Yang dimaksud
kemaslahatan, sebagaimana pendapat Tyan yang dikutip Muhamad Khalid
Mas’ud, adalah kepentingan umum atau kemanfaatan manusia secara umum
(sosial). Demikian juga yang dimaksud dengan temuan akal, bukan temuan akal
yang relative, tetapi temuan akal yang perennial seperti keadilan dan lain-lain.”91
Cak Nur juga tidak mempermasalahkan perbedaan nama Tuhan. Baginya
substansi Tuhan itulah yang lebih mendasar. Artinya, “Hal ini menunjukan
persoalan nama Tuhan bukan hal yang prinsip atau asasi, namun yang lebih asasi
adalah makna esensi dari nama tersebut. Titik persamaan tersebut diperintahkan
Allah kepada Nabi saw, agar menyeru untuk menyampaikan tentang titik
persamaan pada Tuhan yang maha Esa. (Terjemahan) Firman Allah demikian,
Q�� بكf� ن4 و ا)4 إ(2� ن4 أ/6� ب� و�� باء� DS��" آلا إ��ل2 ت�ب ال6�ه?أ �
h�4� و2 ب9$K��2 بKتن= � ا)نو د�� ��ببر� أ �ل��ا ��ل � نiا بو(A�ا ا
�:�D�ن
91
Sukron Kamil. Teori Kritik Sastra Arab, Klasik dan Modern (Jakarta: Rajawali Pers,
2009) h. 237
Artinya, ‘Katakanlah, ‘Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat
(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita
sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan
tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain
Allah.’ Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, ‘Saksikanlah,
bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).’ (QS, Ali
Imran/3:64).”92
“Demikianlah seperti penjelasan awal titik persamaan dari jalan kebenaran
adalah ‘Ketauhidan’ yaitu kepasrahan kepada Yang Maha Segala-galanya. Firman
Allah:
� أن� 4 إل� إ4 أن� ��*�(ون و�� أر����ك �� j��Q �� ر��ل إ4 ن�ح" إل
‘Dan kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, melainkan kamu
wahyukan kepadanya, ‘Bahwanya tidak ada Tuhan yang Haq melainkan aku,
maka sembahlah olehmu sekalian akan aku.’’ (QS, Al Anbiya:25) Ayat ini
tentunya menitikberatkan pada ‘Ketauhidan’ atau sikap pasrah pada Tuhan YME.
Islam adalah agama kepasrahan, ini artinya apapun agama Formalnya, jika
mengajarkan Ketauhidan atau kepasrahan pada Tuhan YME maka Ia adalah
Islam. Karena agama-agama dibawa oleh Rasul, sedangkan Rasul utusan Allah
SWT yang mengajarkan kepasrahan. Dengan demikian konsep kesatuan ajaran
membawa kepada konsep kesatuan kenabian dan kerasulan. Kemudian dalam
urutannya membawa kepada konsep kesatuan umat yang beriman.”93
Hal ini berbeda dengan proses terbentuknya eksklusivitas merupakan
proses yang bergerak simultan antara produsen teks (makna) dengan
92
Nurcholish Madjid. Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000) h. 18 93 Madjid. Islam Doktrin dan Peradaban h. 18
konsumennya. Sang produsen membangun jalan legitimasi seperti sakralisasi teks
duplikat (terjemahan),94 peraturan pemerintah menuntut kepatuhan masyarakat
yang bersifat mengikat; sementara konsumen pun mencari sandaran tempat teduh
dari tekanan-tekanan hidup yang menghimpit. Jadi terjemahan Alquran yang
transendental menjadi eskapisme dari realita yang dihadapi. Pengonsumsian
masyarakat tanpa mendialogkan ulang terhadap produk terjemahan Alquran versi
Depag ditangkap dengan bebebrapa alasan pendukung; pertama, terjemahan
Alquran Depag merupakan versi resmi yang (katanya) ‘bisa
dipertanggungjawabkan’. Kedua, ‘peraturan’ negara menuntut kepatuhan, dan
kontrol terhadap apa yang ada di luar yang ‘resmi’. Ketiga, produk terjemahan
ikut menjadi sakral karena teks yang diterjemahkannya merupakan sebuah
‘kebenaran mutlak’. Inilah yang kemudian mengakibatkan terjemahan Alquran
menjadi bernilai mitis dan sakral. “Gagasan mitis mengenai eksistensi azali dan
qadîm dari teks Alquran berbahasa Arab di lauh mahfûz, senantiasa hidup dalam
budaya kita. Hal itu karena wacana keagamaan mereproduksi terus-menerus
melalui media informasi, baik di masjid atau koran-koran keagamaan, siaran radio
dan televisi, simposium-simposium dan seminar-seminar, program-program dan
paket-paket pendidikan di sekolah-sekolah, di samping institusi keagamaan dan
universitas–(Al-Azhar). Di samping pula melimpahnya buku-buku dan karya-
94
Oleh karenanya, ada semacam ungkapan yang cukup provokatif ditulis Saifuddin Zuhri
Qudsy dan Badrus Syamsul Fata, penerjemah Tirani Islam, Genealogi Masyarakat dan Negara-
nya M. Syahrur, ‘Jika ada seorang melukis wajah melalui cermin – dengan demikian ia
menggambar secara terbalik– lalu menyuguhkan hasil lukisan tersebut kepada orang lain, maka tak
ada yang menduga bahwa lukisan itu terbalik.’
karya terbitan dan peran propaganda umum dan khusus, dalam setiap momen-
momen keagamaan ataupun lainnya.”95
“Gagasan mitis yang pada esensinya mengabaikan dialektika ketuhanan
dan kemanusiaan, sakral dan profan di dalam struktur teks, ini membuka lebar
kemungkinan penyelewengan penakwilan teks dengan melompati sebagian
konteks atau keseluruhannya. Dengan begitu teks semata-mata menjadi suaka
(payung pelindung) untuk memproduksi ideologi apa pun namanya. Karena dalam
setiap situasi, teks keagamaan menjadi ‘objek’ (maf‘ûl bih) dan ideologi menjadi
‘subjek’ (fâ‘il). Artinya, pembentukan ideologi terjadi melalui bahasa teks
sehingga menyandang watak agama. Semua itu berarti bahwa metode penakwilan
ini tidak saja mengabaikan watak teks dan melalaikan berbagai konteksnya, tetapi
juga cenderung memoles wajah ideologis-politisnya dengan kedok agama itu
sendiri.”96
“Lebih dari itu wacana agama juga menyamakan secara mekanik antara
teks-teks (agama) tersebut dengan pembacaan dan pemahamannya terhadap teks.
Dengan penyamaan ini wacana agama tidak saja mengabaikan jarak epistemologis
antara ‘subjek’ dan ‘objek’, lebih dari secara implisit mengklaim mampu
melampaui segala kondisi dan hambatan eksistensial dan epistemologis serta
mampu mencapai intensi Ilahiah yang terkandung di dalam tek-teks tersebut. Di
dalam klaim yang membahayakan ini wacana agama kontemporer tidak
menyadari bahwa ia sedang memasuki kawasan berduri, yaitu kawasan ‘berbicara
atas nama Allah’. Anehnya, wacana kontemporer mencela sikap ini dan menjelek-
95
Nasr Hamid Abu Zaid, Teks, Otoritas, Kebenaran. Penerjemah Sunarwoto Dema
(Yogyakarta: LKiS, 2003) h. 139 96 Abu Zaid, Teks, Otoritas, Kebenaran h. 139-140
jelekkannya ketika membicarakan sikap gereja terhadap ilmu pengetahuan dan
para ilmuwan pada abad pertengahan.”97
“‘Mekanisme mengabaikan dimensi sejarah’, merupakan bagian dari
struktur mekanisme ‘menyatukan pemikiran dengan agama’. Hal itu lantaran
menyatukan ‘pemahaman’ dengan ‘teks’, teks dipahami pada waktu kini,
sementara teks terkait dengan masa lalu (paling tidak dalam bahasanya), pasti
didasarkan pada dimensi sejarah. Wacana agama kontemporer di dalam semua ini
tampak seolah-olah muncul dari premis-premis yang tidak dapat didiskusikan atau
diperdebatkan. Semuanya berbicara tentang ‘Islam’ (dengan huruf besar) tanpa
sedikit pun merasa ragu dan tanpa menyadari bahwa sebenarnya ia melontarkan
pemahaman dirinya terhadap Islam dan teks-teksnya.”98
Hal ini kemudian melahirkan asumsi kebenaran tunggal dan mutlak pada
pemikiran keagamaan. “Pembicaraan tentang satu Islam dengan makna tunggal,
yang hanya dapat digapai oleh ulama, merupakan bagian dari struktur mekanisme
yang lebih luas dalam wacana agama. Mekanisme ini tidak sesederhana seperti
yang tampak pada emosi dan perasaan keagamaan yang alami. Dalam wacana
agama, mekanisme ini memiliki dimensi-dimensi berbahaya yang dapat
mengancam masyarakat, dan nyaris dapat melumpuhkan efektivitas ‘akal’ dalam
urusan kehidupan nyata. Dalam memfungsikan mekanisme ini, wacana
keagamaan mengandalkan emosi keagamaan awam. Wacana keagamaan ini
memfungsikan mekanisme ini atas dasar bahwa mekanisme ini merupakan salah
satu prinsip akidah yang tidak dapat didiskusikan. Sebenarnya, penafsiran seperti
itu berarti menempatkan ‘Allah’ dalam realitas konkret secara langsung dan
97
Nashr Hamid Abu Zaid, Kritik Wacana Agama. Penerjemah Khoiron Nahdiyyin
(Yogyakarta: LKiS, 2003) h. 25-26 98 Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, h. 26
mengembalikan segala sesuatu yang terjadi dalam realitas kepada-Nya. Tindakan
menempatkan tersebut, secara otomatis menafikan manusia, di samping itu juga
menggugurkan ‘hukum-hukum’ alam dan sosial, serta merampas pengetahuan apa
pun yang tidak didasarkan pada wacana agama atau pada otoritas ulama (resmi).99
“Dalam wacana ini, akibat dari mekanisme ini, bagian-bagian dunia
tampak berserakan, dan alam tampak cerai-berai, semua bagian dunia atau alam
hanya terkait dengan sang pencipta dan pencipta pertama. Konsep semacam ini
tidak akan mungkin memproduksi pengetahuan apa pun yang ‘ilmiah’ mengenai
dunia atau alam, apalagi dunia sosial atau manusia.”100
B. Kontestasi Pemahaman ‘Wahyu Progresif’ dan ‘Wahyu Regresif’
Lalu bagaimana dengan teori penerjemahan yang telah dijajakan selama ini mulai
dari model penerjemahan harfiah hingga yang bebas sekalipun? Selama ini
banyak sekali ditemukan model-model penerjemahan dipantau dari berbagai
macam segi. Namun begitu, ternyata terjemahan Alquran Depag tetap mengalami
krisis hingga mempengaruhi cara berpikir dan bersikap konsumen yang kemudian
menjadi eklsklusif, diskriminatif bahkan ekstrimnya intimidatif dan ekspansif.
Model-model penerjemahan mulai dari huruf ke huruf hingga penerjemahan
semantik pun (menurut teori di atas) mengalami kebuntuan. Akar masalahnya
ialah sebebas apapun model penerjemahan yang ditawarkan para teoritisi, produk
terjemahan tetap tidak beranjak dari teks. Teks menjadi otoritas tunggal tanpa
perlu ada keterangan kontekstual. Penekanan pada teks kemudian mengabaikan
dimensi-dimensi historis yang tidak hanya sekedar asbâb al-nuzûl. Di sini lah
99
Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, h. 29 100 Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, h. 29-30
letak watak eksklusifnya. Untuk lebih jelasnya lihat “Analisa Nasr Hamid Abû
Zaid yang menyebut teori al-Syafi’i (penulis yang mewakili cara berpikir abad
pertengahan) ini (tentang qiyâs yang tak beranjak dari teks, karena meskipun
qiyâs menggunakan pikiran tetapi tetap saja ada rukun-rukun qiyâs yang harus
dipatuhi) sebagai dukungan terhadap kaum ‘literalis’ (ahl al-hadîts) untuk
mempersempit ruang gerak kaum ‘rasionalis’ (ahl al-ra’y), yang kemudian dari
sana memperpanjang gurita sakralisasi agama terhadap urusan-urusan
duniawi.”101
Pada akhirnya kita menghambakan (sekaligus memberhalakan) diri
pada teks. Teks memiliki daya supremasi yang sangat tinggi. Teks menjadi
Official Closed Corpus (Korpus Resmi Tertutup ‘Finis’). Pada titik ini, teks yang
diharapkan sebagai ‘wahyu progresif’ beralih menjadi ‘wahyu regresif’, sebuah
konsep yang berasumsi bahwa wahyu telah berakhir dengan turunnya Alquran.
Sementara, “dalam pemahaman ‘wahyu progresif’, maka konsep tentang wahyu
tidak pernah berakhir pada periode sejarah tertentu. Tuhan terus berkarya dalam
setiap ruang dan waktu.”102
Di sinilah perlunya mengilmiahkan teks keagamaan yang bersifat
ideologis dan propagandis. Coba bandingkan misalnya, “di dalam teks-teks ilmiah
murni sistem bahasa dikorbankan sama sekali dengan cara menggantikannya
dengan sistem simbol yang lain. sementara teks-teks propaganda (keagamaan)
mengandalkan bagaimana eksploitasi semua atau sebagian besar aspek
pengetahuan positif dari sistem bahasa. Sebabnya adalah, dalam (teks) ilmu
penekanannya pada kejernihan pesan dan kejernihan makna, sementara penekanan
101
Baso, NU Studies, h. 140-141 102
Sumanto Al-Qurtuby, “Anak Muda NU dan Tradisi Pemikiran Ultra-Liberal” dalam
Zuhairi Misrawi, ed. Menggugat Tradisi, Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU (Jakarta: Kompas,
2003) h. 259
pada teks-teks propagandis adalah membungkam pihak penerima dari segala
bentuk kritisisme. Dan, di antara kedua tipe teks yang berlawanan ini terdapat
teks-teks kebahasaan dan komunikatif yang sebenarnya, di mana sistem
kebahasaan berfungsi sebagai saluran komunikasi yang mencerminkan aspek
epistemologi, sementara aspek ideologinya muncul melalui sistem teks.”103
“Perbedaan antara ‘sistem bahasa’ dengan ‘sistem teks’ inilah yang
menentukan pesan. Perbedaan ini pada dasarnya muncul dari ideologi pengirim.
Dari pihak penerima sistem bahasa ini mencerminkan apa yang dapat disebut
sebagai kerangka penafsiran dari pesan, sementara sistem teks –maksudnya
makna dari sistem ini– mencerminkan apa yang disebut ‘fokus penilaian’ karena
di sini ideologi penerima turut terlibat untuk menilai dan memutuskan.”104
Sebuah
pesan teks merupakan perpaduan dan hasil negosiasi kedua pihak, pengirim dan
penerima. Sementara hasil pesannya ditentukan oleh kualitas hubungan
komunikasi keduanya, yakni tergantung apakah komunikasi berlangsung dengan
sehat atau tidak, dialog yang seimbang atau tidak.
“Pertanyaannya sekarang: mungkinkah memahami teks agama, dan
Alquran pada khususnya, di luar kerangka konteks budaya dan pengetahuan dari
kesadaran bangsa Arab pada abad VII M. Bahasa yang merupakan medium pesan
dalam teks keagamaan adalah jawaban dari pertanyaan. Ini, asalkan disadari
bahwa ia wadah kosong semata-mata alat komunikasi yang netral. Akan tetapi,
setiap teks memiliki bahasanya sendiri, atau medium sekundernya, di dalam
sistem bahasa yang umum. Melalui bahasa sekunder inilah teks-teks agama
melontarkan akidah (ideologi) baru, akidah yang dipakai teks agama untuk
103
Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, h. 121 104 Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, h. 121
merekonstruksi kesadaran pembacanya. Namun, meskipun akidah tersebut baru,
namun tidak baru sama sekali, sebab bagaimanapun juga teks pada akhirnya
cenderung pada ideologi yang memiliki akarnya atau cenderung memberikan
harapan-harapan awalnya bagi perkembangan kebudayaan.”105
“Singkatnya, konstruksi tentang teks, adalah konstruksi tentang hibriditas,
sesuatu yang ambivalen, tidak pernah jadi koheren dan esensial. Di satu sisi, ia
menegaskan orisinalitas, otoritas, dan kejelasan kepengarangan. Tapi ia juga
proses dislokasi, repetisi, distorsi, displacement (permainan tempat dan posisi),
dan missreading. Teks selalu merupakan keterpecahan antara keberadaannya
sebagai sesuatu yang menunjukkan dirinya orisinil dan otoritatif, dan artikulasinya
yang memungkinkan lahirnya pengulangan-pengulangan, repetisi, dan pembeda-
pembeda. Ia merupakan arena permainan pembeda atau difference yang
menghasilkan bentuk-bentuk otoritas yang antagonistik. Maka, resistensi terhadap
tafsir dan teks resmi bukanlah upaya sadar yang bertindak oposisional; ia adalah
efek ambivalensi yang dihasilkan dalam aturan-aturan formal dan lembaga resmi
yang mengukuhkan keberbedaan dan keistimewaan para penafsir melalui hierarki,
normalisasi, marjinalisasi, dan sebagainya.”106
Lalu bagaimanakah nasib teks terjemahan sebagai duplikasi dari teks
sumber. “Pada esensinya, terjemahan merupakan suatu pembacaan dan
penakwilan teks yang tidak bebas, ghair al-barî’ah (dari pengaruh berbagai
faktor). Karena itu kita tidak perlu berlebihan dengan menganggap bahwa
penerjemahan merupakan pengkhianatan besar terhadap teks. Dalam wilayah teks-
teks keagamaan khususnya, level-level pembacaan yang beragam dan kompleks
105
Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, h. 121-122 106
Ahmad Baso, Plesetan Lokalitas, Politik Pribumisasi Islam, (Depok: Desantara, 2002)
h. 92-93
ini menjadi wilayah subur dan mendorong untuk mengkaji sejumlah ilmu yang
melahirkan prosedur-prosedur pembacaannya.”107
Karenanya penting sekali untuk melihat teks secara kritis dan
komprehensif mulai dari asal-usul, definisi, proses jalinan rumit pembentuk teks,
cara pembacaan, menyikapinya, dan seterusnya. Inilah yang kemudian
memunculkan pandangan bahwa, “sesungguhnya teks (apapun bentuknya) adalah
cermin manakala pengalaman manusia dan pengetahuannya bertambah,
wawasannya luas dan tajam pengamatannya, maka dia menemukan makna-makna
baru dalam teks dan memberinya pemahaman baru. Karena itulah suatu
pembacaan teks tidak sepadan dengan lainnya, bahkan oleh seorang pembaca
sekalipun, karena setiap pembacaan membawa pengaruh subjektif, dan yang benar
adalah subjek. Sesungguhnya yang dimaksud dengan penakwil sejati harus
memahami jarak teks yang merupakan objek perenungan atau penakwilan yang
memungkinkan menelitinya dan berdialog dengannya.108
Dalam konteks pembacaan Alquran, “Nalar Arab menggunakan metode
takwil (hermeneutika) pada tataran utama, dan ketika takwil sebagai
pengangkatan dan pengeluaran makna dan sebagai penggalian serta penyelaman
aspek batin, maka sejajar dengan potensi nalar yang tidak pernah habis. Metode-
metode takwil dan tafsir merupakan capaian-capaian pemikiran yang luar biasa.
Jika tidak bagaimana kita bisa menafsirkan petualangan nalar yang besar yang
dihimpun oleh perdaban Arab dan ilmu pengetahuan yang dialami oleh bahasa
Arab? Teks, karya, dan berita tidak lain adalah langkah-langkah awal bagi nalar
dan inspirasi-inspirasi bagi pemikiran dan amat penting bagi pemahaman.
107
Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, h. 137 108
Ali Harb, Hermeneutika Kebenaran. Penerjemah Sunarwoto Dema (Yogyakarta:
LKiS, 2003) h. 8
Seandainya tidak ada inspirasi tersebut, niscaya sebagian ilmu tidak dapat lahir
dan sebagian lainnya saja yang berkembang.”109
Jika nalar Arab terbelenggu dengan teks, maka nalar kembali pada teks,
menelitinya, merenungkan ucapan-ucapannya, mengangan-angan maknanya, dan
membolak-balik signifikansinya, kemudian berijtihad sesuai dengan
kemampuannya dan menakwilkan apa yang dikehendakinya. Pertentangan ijtihad
dan perbedaan penakwilan merupakan bukti keragaman signifikansi dan kekayaan
makna, tanda dinamika kultur dan perkembangannya. Takwil mengharuskan
pluralitas makna dan munucul dari pertentangan serta perbedaan.110
Perintah ilahi, meski mengungguli nalar, terjelma dalam bentuk kalâm dan
teks. Meskipun tetap, teks menghimpun sejumlah turunan-turunan (dalîl). Tidak
mungkin dalîl-dalîl agama dikutip tanpa pemikiran atau penakwilan, karena tidak
ada ‘naql murni’. Setiap pengutipan dan penyimakan mengandung suatu bentuk
penggambaran dan pemahaman. Menerima manqûl tidak cukup mengambil sisi
manqûl-nya saja. Karena itu, seseorang tidak dapat menghindari untuk memahami
teks sekecil apa pun. Orang yang bernalar tidak dapat berlindung pada penakwilan
agama sebagai suatu takwil.111
Jika ditlik lebih jauh, kita akan melihat bagaimana konstruk berpikir Arab
tidak berangkat dari nalar murni, tetapi berangkat dari nalar ideologis. “Tidak
diragukan lagi bahwa ‘nalar ideologis’ sebagai metode dan sistem, sebagai
kecenderungan untuk menjustifikasi dan mempertahankan, dan sebagai
kecenderungan membatasi makna dan menyatukan signifikansi, merupakan sarana
untuk mengumpulkan kalimat, menyatukan kelompok, menetapkan identitas
109
Harb, Hermeneutika Kebenaran h. 10 110
Harb, Hermeneutika Kebenaran h. 11 111 Harb, Hermeneutika Kebenaran h. 141
sebagaimana pula sebagai wahana bagi kesatuan otoritas dan berdirinya negara
(dan segala macam bentuk otoritas institusi).”112
Lalu bagaimana mengatasi kecenderungan nalar ideolgis Arab sebagai
langkah kreatif menanggulangi kelesuan dalam pembacaan yang sama sekali
sudah terdistorsi dalam jerat sturktur-struktur yang rumit dan tersistematisasi yang
kelihatannya saja rasional. Hal ini persis dengan apa yang diyakini oleh Foucault
dan Gadamer bahwa “asumsi-asumsi kita yang terdasar (misalnya tentang hakikat
pengetahuan, hubungan antara bahasa dan dunia, tentang akal sehat dan kegilaan)
selalu merupakan lapisan yang secara struktural tak terlihat dan pada masa itu
sendiri tak bisa dieksplisitkan. Gadamer menyebutnya ‘praduga’, Foucault
menyebutnya episteme, atau struktur kognitif fundamental.”113
Di sinilah pentingnya kita menyadari bahwa “Suatu penafsiran tidak
bersifat reproduktif belaka (menghadirkan nalar Arab wa bil khusûs abad VII M.),
melainkan juga produktif. Maksudnya, makna teks bukanlah makna bagi
pengarangnya, melainkan makna bagi kita yang hidup di zaman ini, maka
menafsirkan adalah proses kreatif.”114
“Pemahaman yang kita capai di masa kini,
di masa depan pada gilirannya akan menjadi pra-paham baru pada tahap yang
lebih tinggi karena ada proses pengayaan kognitif dalam spiral pemahaman itu.
spiral pemahaman itu tampak jelas dalam proses tanya jawab.”115
“Karena
pengetahuan kita terjadi melalui oposisi subjek-objek, pemahaman kita tidak bisa
tidak diperantarai. Pengantara pemahaman kita adalah lingkungan sosio-kultural
112
Harb, Hermeneutika Kebenaran h. 173 113
I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 1996) h. 92 114
F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2003) h. 44
115 Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas h. 47
dan sejarah. Oleh karena itu, tidak ada pemahaman yang netral dan ahistoris.
Pemahaman senantiasa diperantarai oleh konteks sejarah dan sosial tertentu
sebagai cakrawalanya.”116
Ia (Gadamer) melihat (bahwa) menafsirkan teks sebagai tugas produktif
atau tugas kreatif; kita justru membiarkan diri mengalami perbenturan antara
cakrawala kita dan cakrawala pengarang, dan dengan cara ini pemahaman kita
diperkaya dengan unsur-unsur yang tak terduga (unthinkable dalam kosakata
Arkoun). Dengan kata lain, perbenturan antara cakrawala kita dan cakrawala
pengarang bila kita hadapi secara produktif, kreatif dan terbuka, justru akan
memberi kita pengetahuan yang mengejutkan. Dengan demikian, jarak waktu
tidak menghambat atau mempermiskin pemahaman kita, justru memperkaya
pengetahuan kita, asalkan tugas menafsirkan teks bukan dihadapi sebagai tugas
reproduktif, melainkan tugas produktif. Suatu teks perlu dipahami dalam
cakrawala masa lampau, dan masa depan, demi manfaatnya untuk masa kini.117
Singkatnya, cara yang tepat adalah menafsirkan teks atau objek sosio-kultural itu
dalam keterbukaannya terhadap masa kini dan masa depan, maka tugas penafsiran
tak kunjung selesai dan bersifat kreatif.118
Untuk dapat memahami teks, kita harus membuang jauh-jauh segala
bentuk prakonsepsi dengan maksud supaya kita menjadi terbuka terhadap apa
yang dikatakan oleh sebuah teks. Sebaliknya, kita mengantisipasi dan
menginterpretasi menurut apa yang kita miliki (vorhabe), apa yang kita lihat
(vorsicht), serta apa yang akan kita peroleh kemudian (vorgriff). Jadi, bukan
dengan pertimbangan yang sudah kita miliki sebelumnya, yang oleh Gadamer
116
Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas h. 48 117
Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas h. 48-49 118 Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas h. 64
dinilai negatif atau rendah. Ia sendiri mengakui bahwa pertimbangn semacam itu
tidak salah, sebab ada beberapa pertimbangan yang dianggap berlaku, yaitu yang
menentukan realitas historis keberadaan seseorang.119
Adanya antisipasi terhadap makna, yaitu yang berasal dari pertimbangan
sebelumnya atas keseluruhan pemahaman melalui bagian-bagiannya, memang
diharapkan. Gadamer menyebut hal itu sebagai makna atau arti yang akan datang
(fore-meaning) dan pemahaman yang akan datang (fore-understanding), yang
juga merupakan persyaratan hermeneutik sehingga membuat pemahaman itu
menjadi suatu ‘hubungan yang historis dan efektif’. Pemahaman hanya akan
terjadi dalam konteks atau cakrawala sejarah yang terus-menerus berubah. Inilah
yang menjadi salah satu sebab mengapa interpretasi tidak pernah bersifat
monolitik atau mempunyai aspek tunggal, kaku, dan statis. Jika cakrawala sejarah
terus-menerus berubah, pemahaman akan mengikuti konturnya (garis bentuk) dan
juga bentuknya. Akhirnya, pemahaman itu sendiri adalah fusi dari berbagai
macam cakrawala, hubungan timbal balik antara beberapa konteks sejarah.
Gadamer menegaskan bahwa sebuah teks, baik itu peraturan perundang-undangan
atau Injil (begitu pula Alquran dan segala macam bentuk teks lainnya), harus
dipahami setia saat, dalam setiap situasi khusus, dalam cara yang baru dan
berbeda dengan yang lama, jika kedua hal tersebut ingin kita pahami sebagaimana
mestinya.120
Untuk melengkapi sebuah pembacaan terhadap teks tertentu ada baiknya
juga kita simak pandangan-pandangan (kritik) masyarakat teks itu sendiri dimana
“Abu Zaid mengatakan bahwa peradaban Islam adalah peradaban teks. Secara
119
E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999) h.
83 120 Sumaryono, Hermeneutik h. 83
ringkas dikatakan bahwa supremasi teks atau lafaz adalah kaidah dasar dalam
ajaran Islam. Kenapa teks menempati supremasi yang begitu tinggi dalam agama
kita? Jelas ini berkaitan dengan suatu wawasan teologis yang tidak remeh dan
untuk membongkarnya diperlukan keberanian yang besar; suatu wawasan teologis
yang menganggap bahwa Tuhan berbicara langsung kepada manusia via Nabi;
bahwa sabda Tuhan adalah superior terhadap sabda manusia; bahwa Sabda Tuhan,
sejauh tidak ada alasan-alasan yang kuat dan kokoh, harus dimengerti dalam
pengertiannya yang harfiah. Wawasan teologis yang melandasi skripturalisme ini
juga tegak atas suatu asumsi yang agak lucu: semakin harfiah kita memahami
Sabda Tuhan, semakin dekat kita dengan kehendak-Nya; semakin kita asyik dan
sembrono dalam takwil atau penafsiran non-literal, maka semakin jauh kita dari
kehendak-Nya yang benar. Teks adalah semacam aksis atau ‘poros’ tempat
seluruh tindakan orang beriman berkisar. Semakin dekat kepada titik pusat poros
itu, maka makin besar kemungkinannya kita untuk mendekati esensi agama;
makin jauh kita dari poros itu, makin jauhlah kita dari esensi agama. Kedekatan
dan kejauhan, dalam hal ini, semata-mata diukur melalui ‘lafaz’ atau teks.
Wawasan teologis yang bersifat ‘ultra-teosentris’ semacam inilah yang
menerangkan kenapa teks begitu ditempatkan dalam kedudukan yang sentral,
sementara pengalaman manusia yang riil dan kontekstual diletakkan dalam
kedudukan yang inferior, rendah, sekunder, atau bahkan tidak berarti sama
sekali.”121
Dari uraian tersebut, kita akan lebih lihat upaya konkret apa yang
dilakukan secara produktif dan kreatif terhadap penerjemahan ayat di atas yang
121
Ulil Abshar-Abdalla, “Menghindari ‘Bibliolatri’ Tentang Pentingnya Menyegarkan
Kembali Pemahaman Islam” dalam Zuhairi Misrawi, ed. Menggugat Tradisi, Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU (Jakarta: Kompas, 2003) h. 65-66
diikuti dengan kebutuhan masa kini sekaligus tidak tercerabut dari kondisi-kondisi
masa lalu. Hal ini jelas terlihat misalnya dalam terjemahan Abdullah Yusuf Ali,
��م و�� ا �' ال&9�� أوت�ا ال6�ب إ4& �� ب2( �� �1ء ه/ إن& ال(+�� *�( ا) ا�
� ب A�/ و�� 6�@� ب?��ت ا) �=ن& ا) ���> ال;:�بBال2�/ ب
Artinya, The Religion before God is Islam (submission to His Will): nor did the
People of the Book dissent therefrom except through envy of each other, after
knowledge had come to them. But if any deny the Signs God, God is swift in
calling to account.122
Dalam terjemahan di atas, Abdullah Yusuf Ali memberikan keterangan
tentang Islam. Abdullah mengatakan bahwa Islam adalah Submission to His Will,
kepasrahan terhadap kehendak-Nya. Di sini Abdullah mencoba untuk
meng’historis’kan apa yang diistilahkan, ‘Islam’. Dengan keterangan demikian,
makna Islam menjadi inklusif dan membuka segala macam penafsiran bahkan
cenderung mendekonstruksi makna ‘Islam’ eksklusif yang tidak ditambahkan
keterangan apa pun seperti terjemahan Depag. Submission to His Will yang
menjadi makna ‘Islam’ merupakan praktek penafsiran yang mempertimbangkan
kebutuhan masa kini. Submission to His Will, kepasrahan terhadap kehendak-Nya
bisa dikatakan merujuk kepada wacana-wacana humanisme sebagai alternatif
krisis-krisis sosial, seperti pertikaian agama, pertentangan kelas, diskriminasi ras,
bias gender, kekuasaan tirani dan seterusnya. Setidaknya kehenda-Nya
menginginkan kemaslahatan bagi umat-Nya. Kehendak-Nya merupakan
122
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran, Original Arabic Text with English Translation and Selection Commentaries, (Kuala Lumpur: Saba Islamic Media, 2004) h.75
representasi dari kebutuhan masa kini yang berorientasi pada kemaslahatan masa
depan.
Oleh karena itu, historisasi teks menjadi kerja yang rumit dan penting.
“Karena sejarah sebagai sebuah peristiwa tidak mungkin terulang lagi, dan teks
sejarah adalah dokumentasi yang berisi penafsiran dan rekonstruksi atas sebuah
peristiwa yang ditulis oleh pengarangnya, maka antara masa lalu dan masa kini
mesti mendapat tabir (seperti sudah disinggung di atas). Yang menghubungkan
sejarah dan kehidupan kita sekarang adalah makna yang dikandungnya. Sejarah,
tulis Gadamer, memiliki makna hanya ketika dipertemukan dengan keprihatinan
masa kini untuk membangun harapan di masa depan.”123
Hal inilah yang menurut
penulis telah dilakukan oleh Abdullah Yusuf Ali dalam konteks Inna Ad-dîna
‘inda Allah Al-Islâm.
Pada ayat ini Abdullah telah melakukan kegiatan interpretasi. “Kegiatan
interpretasi adalah proses ‘triadik’ (mempunyai tiga segi yang saling
berhubungan). Dalam proses ini terdapat pertentangan antara pikiran yang
diarahkan pada objek dan pikiran penafsir itu sendiri. Orang yang melakukan
interpretasi harus mengenal pesan atau kecondongan sebuah teks, lalu ia harus
meresapi isi teks sehingga yang pada mulanya ‘yang lain’ kini menjadi ‘Aku’
penafsir itu sendiri. Oleh karena itulah, dapat kita pahami bahwa mengerti
sungguh-sungguh hanya akan dapat berkembang bila didasarkan atas pengetahuan
yang benar (correct). Sesuatu tidak akan kita kenal jika tidak kita rekonstruksi.”124
“Pengakuan Alquran atas pluralisme agama tampak jelas tidak hanya dari
sisi penerimaan kaum lain sebagai komunitas sosio-religius yang sah, tetapi juga
123
Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik,
(Jakarta: Paramadina, 1996) h. 155 124 Sumaryono, Hermeneutik h. 31
dari penerimaan dari kehidupan spiritualitas mereka dan keselamatan melalui
jalan yang berbeda itu. Pemeliharaan kesucian tempat-tempat ibadah, karena itu
tidak semata-mata dimaksudkan demi menjaga integritas masyarakat multi agama,
sebagaimana halnya negara-negara kontemporer barangkali ingin melindungi
tempat-tempat ibadah disebabkan oleh peran yang dimainkannya dalam
kebudayaan sekelompok masyarakat. Alih-alih karena Tuhan –yang merupakan
Zat Yang Tertinggi bagi agama-agama ini, dan dipandang berada di atas
perbedaan ungkapan lahiriahnya– disembah di dalam tempat-tempat tersebut.
Adanya orang-orang dalam keyakinan yang lain dengan tulus mengakui dan
melayani Allah, ditampilkan secara lebih eksplisit dalam QS Ali ‘Imran (3):113-
114 :
� وه/ �:b(ونل :�ا ��اء �� أه � ال6�ب أ�Q S�ئSD ���ن U��ت ا) ءان�ء ال .
�Dن *� ال�A��2�وف وD��ون ب�لi�و � sم ا� ن�*�ر:� وF�6����ن ب�) و ال
;�ل الhj� �tولأ وات� $ ال"��
Artinya,‘Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab ada golongan yang berlaku
lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah ada beberapa waktu di malam hari,
sedang mereka juga bersujud. Mereka beriman kepada Allah dan hari
penghabisan; mereka menyuruh kepada yang ma‘ruf dan mencegah dari yang
munkar, dan bersegera (mengerjakan) pelbagai; mereka itu termasuk orang-
orang yang saleh.’ Jika Alquran adalah kata-kata dari Tuhan yang adil,
sebagaimana yang diyakini kaum muslimin dengan tulus, maka tidak ada
alternatif terhadap pengakuan akan ketulusan dan amal kebajikan kaum lain, dan
balasan bagi mereka pada hari pembalasan. Selanjutnya, Alquran mengatakan,
ل إلuن? أ� و/6 ل إلuن? أ� و�) بD�� F�� ل�ب6 ال�ه أ� �نإوA/ �2 �� ل�4
�f�ث ا)�ت?� بنو D�Q �� �ب:; ال>�� � ا)ن إ/Aب ر(� */ه1� أ/A لhjول أ�
Artinya,‘Dan sesungguhnya di antara ahli kitâb ada orang-orang beriman
kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan
kepada mereka, mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak
menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh
balasan di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah sangat cepat perhitungannya,’
(QS Ali Imran [3]: 198).”125
Untuk melengkapi tema di atas, perlu kiranya kita memperhatikan surah
al-Baqarah ayat 62 di bawah ini,
� �� U�� ب�) وال �م اs � ي�رtال�ا وو�د ه9��الا و�U�� 9�� النإhب�tوال
� �Tل;� A��/ أ1�ه/ *�( ربA/ و4 �ف *� A/ و4ه/ �;uن�نD*و
Artinya, ‘Sungguh, orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Nasrani,
dan Sabiin- siapa saja yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dan beramal
saleh maka akan mendapat ganjaran di sisi Tuhan mereka, tiada takut bagi
mereka, dan mereka tidak bersedih hati.’
125
Farid Essack. Membebaskan Yang Tertindas, Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme.
Penerjemah Watung A. Budiman(Bandung: Mizan, 2000) h.207
BAB V
A. Kesimpulan
Menurut perspektif para linguis, wacana adalah kesatuan makna antarbagian di
dalam suatu bangun bahasa. Sebagai kesatuan makna, wacana dilihat sebagai
bangun bahasa yang utuh karena setiap bagian di dalam wacana itu berhubungan
secara padu. Di samping itu, wacana juga terkait pada konteks.
Sementara dalam kacamata politik kebudayaan, wacana bukan lagi sebagai
rangkaian kalimat yang koheren, tetapi wacana adalah sesuatu yang memproduksi
yang lain (sebuah gagasan, konsep atau efek). Wacana dapat dideteksi karena
secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam
konteks tertentu sehingga mempengaruhi dan bertindak tertentu.
Oleh karena itu, kritik atas suatu wacana menjadi penting. Penelitian atas
wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks
hanya hasil dari suatu proses produksi yang harus juga diamati. Di sini juga harus
dilihat bagaimana suatu teks diproduksi, sehingga kita memperoleh suatu
pengetahuan kenapa teks bisa semacam itu. Kritik atas wacana tidak bisa
mengeksklusi seakan-akan teks adalah bidang yang kosong, sebaliknya ia adalah
bagian kecil dari struktur besar masyarakat.126
Dalam menganalisis masyarakat (societal analysis), wacana adalah bagian
dari wacana yang berkembang dalam masyarakat, sehingga untuk meneliti teks
perlu dilakukan analisis intertekstual dengan meneliti bagaimana wacana tentang
suatu hal diproduksi dan dikonstruksi. Titik penting dari analisis ini adalah untuk
menunjukan bagaimana makna yang dihayati bersama, kekuasaan sosial
126 Eriyanto, Analisis Wacana. h. 222
diproduksi lewat praktik diskursus dan legitimasi. Dalam hal ini ada dua poin
penting yang menjadi pilar tegaknya sebuah wacana, kekuasaan (power) dan akses
(acces).
Kekuasaan tersebut sebagai kepemilikan yang dimiliki oleh suatu
kelompok (atau anggotanya), satu kelompok untuk mengontrol kelompok (atau
kelompok) dari anggota kelompok lain. Kekuasaan ini umumnya didasarkan pada
kepemilikan atas sumber-sumber yang bernilai, seperti uang, status, dan
pengetahuan. Analisis semacam ini pun memberikan peluang besar pada apa yang
disebut sebagai dominasi. Dominasi direproduksi oleh pemberian akses yang
khusus pada satu kelompok dibandingkan kelompok lain (diskriminasi). Analisis
ini pun membantu kita untuk mencermati bagaimana proses produksi lewat
legitimasi melalui bentuk kontrol pikiran. Sederhananya, analisis (kritis) wacana
ini mempersenjatai kita guna melihat proses produksi itu secara umum dipakai
untuk membentuk kesadaran dan konsensus.
Terkait dengan akses, kelompok elit yang berkuasa memiliki akses yang
lebih besar dibandingkan kelompok yang tidak berkuasa. Mereka yang lebih
berkuasa mempunyai kesempatan lebih besar untuk memiliki akses pada media
dan kesempatan lebih besar untuk mempengaruhi kesadaran khalayak. Kecuali
memberi kesempatan untuk mengontrol kesadaran khalayak lebih besar, akses
yang lebih besar ini juga menentukan topik apa dan isi wacana apa yang dapat
disebarkan dan didiskusikan kepada khalayak.
Sehubungan dengan ini, ada berbagai upaya positif dalam penyuguhan
terjemahan Alquran agar dipahami secara komprehensif;
1. Pengklasifikasian ayat-ayat berdasarkan satuan tema tertentu (kajian tematik).
2. Pemberian keterangan tambahan bagi ayat-ayat yang pemahamannya
membutuhkan konteks tertentu, seperti penambahan footnote, aposisi-aposisi atau
dalam kurung.
3. Terkait dengan keterangan surah, penjelasan bisa penyajian-penyajian arti
surah, nama lain surah berikut keterkaitan dengan surah sebelum dan sesudahnya.
Inilah yang disebut munâsabah al-âyât. Safwah al-Tafâsir-nya M. Ali al-Sabuni
juga memberikan contoh yang cukup baik dalam hal ini.
4. Penyajian terjemahan yang akomodatif. Artinya, terjemahan semestinya
mengandaikan bahwa konsumen teksnya bukan hanya yang mengerti bahasa Arab
tetapi juga ada yang tidak mengerti bahasa Arab.
Secara umum, kekurangan yang ada pada terjemahan Alquran Depag edisi
revisi 1989 ialah;
1. Kelemahan yang bersumber dari kelalaian berbahasa mengakibatkan
kejanggalan-kejanggalan atau percernaan makna terjemahan yang membutuhkan
waktu. Singkatnya, terjemahan Alquran Depag belum lepas dari struktur bahasa
Arab.
2. Kemiskinan metode penerjemahan yang dimiliki sehingga mempengaruhi
makna yang dipresentasikan dalam terjemahan. Pemilihan diksi pun terkesan
eksklusif sehingga mengarahkan pembaca pada penyempitan makna.
3. Penerjemahan Alquran secara berurutan menurut urutan mushaf. Hal ini
tentunya tidak sederhana akibatnya, yaitu pemahaman yang terpisah-pisah karena
urutan ayat tidak melulu adanya kesatuan tema. Artinya, pemahaman konsumen
terjemahan berdasarkan urutan surah menjadi belum sempurna.
Terkait dengan inklusivisme dan eksklusivisme Islam yakni surah Ali
Imran ayat 19 dan 85, kita mempunyai beberapa catatan untuk penerjemahan
Alquran Depag RI edisi 1989;
1. Secara tekstual penerjemahan tersebut menampilkan penunggalan makna
sehingga membungkam kemungkinan pembacaan lain.
2. Dari segi kontekstual, penerjemahan pada kedua ayat ini potensial
mempersenjatai terhadap suatu sekte Islam yang berkuasa untuk
mendiskriminasikan agama dan aliran kepercayaan atau ajaran sempalan Islam itu
sendiri.
3. Terjemahan Alquran Depag cenderung eklsklusif. Hal ini seperti terlihat dalam
analisis pada Bab IV. Wacana yang timbul adalah juga wacana eksklusivitas.
B. Saran
Mencermati kekurangan-kekurangan tersebut, penulis ingin memberikan beberapa
catatan sebagai saran untuk mengarahkan kita pada cita-cita diterbitkannya
Alquran dan terjemahannya;
1. Menerjemahkan ulang Alquran dengan metode yang lebih mengedepankan
aspek makna, dengan metode semantik misalnya. Metode penerjemahan setia
(literal) lebih mempertahankan struktur-struktur bahasa sumber sehingga aspek
makna menjadi terabaikan.
2. Merevisi penggunaan bahasa Indonesia yang berlaku baik dari segi struktur
maupun pilihan diksi. Kecuali struktur penerjemahan yang benar, diksi harus
diperhatikan karena diksi merupakan bagian terkecil semantis yang menentukan
makna keseluruhan.
3. Menerjemahkan dengan model kajian tematis juga perlu dilakukan Depag demi
tercapainya target pemahaman yang utuh terhadap kandungan Alquran bagi
masyarakat. Delang alasan bahwa kajian tematis mengumpulkan semua ayat yang
berkaitan dengan tema tertentu, termasuk ayat-ayat yang saling mendukung
maupun saling kontradiktif.
4. Perlu diadakannya penjelasan-penjelasan atau catatan-catatan yang dapat
memastikan keterangan agar tidak terjadi kerancuan-kerancuan, misalnya kata-
kata yang dimaksud dalam Alquran dengan kata-kata yang memang sudah
dipahami secara berbeda oleh konsumen teks.
5. Penerjemah tidak cukup sekedar mengerti bahasa sumber dan bahasa sasaran.
Penerjemah harus memainkan peran sebagai subjek sosiologis, antropologis, etis,
yuridis, politis (politic of culture) dan seterusnya. Artinya penerjemah harus kritis,
‘melek budaya’, ‘melek hukum’, ‘melek lingkungan’ dan seterusnya. Singkatnya
penerjemah harus menjadi manusia Indonesia seutuhnya.
6. Islam sejauh bisa dipahami dari pengalaman Nabi, adalah sebuah gerakan yang
membuka dan memberi harapan (antropologi wahyu) kepada semua kelompok
sosial baik agama, kelas, etnik, dan gender, yang hidup di dalam wilayah sosio-
kultural tertentu, untuk meneguhkan identifikasi diri mereka kepada lokalitasnya
secara kritis, mengelola perbedaan-perbedaan yang muncul sebagai
konsekuensinya (the politics of recognition), dan mengarahkan berbagai
kelompok yang berbeda tersebut untuk selalu melihat cita-cita yang lebih jauh
untuk pemenuhan ketinggian harkat kemanusiaan mereka sendiri. Terkait dengan
penerjemahan, saran penulis adalah bagaimana penerjemahan Alquran
berkontribusi dalam membekali masyarakat untuk mewujudkan keluhuran
insaniyah yang plural, di Indonesia terutama yang penuh dengan keragaman etnis,
kepercayaan, dan agama.
Akhir kata, penulis membuka ruang dialog dan mohon maaf atas kesalahan
agar diperbaiki di masa-masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Karîm, Khalîl Syari‘ah, Sejarah Perkelahan Pemaknaan (Yogyakarta:
LKiS, 2003)
Abû al-Fadl, Khâlid Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (Jakarta: Serambi,
2005)
Abû Zaid, Nashr Hâmid, Teks, Otoritas, Kebenaran, (Yogyakarta: LKiS, 2003)
Abû Zaid, Nashr Hâmid, Kritik Wacana Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2003)
Ahmed An-Na‘îm, Abdullahi, Dekonstruksi Syariah (Yogyakarta: LKiS, 2004)
Anîs, Ibrahîm dkk. Al-Mu’jam al-Wasît (Kairo : 1972)
Ashcroft, Bill, dkk. Menelanjangi Kuasa Bahasa, Teori dan Praktek Sastra
Poskolonial (Yogyakarta: Qalam, 2003)
A. Sirry, Mun‘im Membendung Militansi Agama, Iman dan Politik dalam
Masyarakat Modern (Jakarta: Erlangga, 2003)
al-Asymawi, Muhammad Said, Nalar Kritis Syari’ah (Yogyakarta : LKiS, 2004)
Barker, Chris, Cultural Studies Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Bentang, 2005)
Barthes, Roland, Mitologi (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004)
Baso, Ahmad, NU Studies, Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam
dan Fundamentalisme Neo-Liberal (Jakarta: Erlangga, 2006)
Baso, Ahmad Plesetan Lokalitas, Politik Pribumisasi Islam, (Depok: Desantara,
2002)
Bertens, Kees. Filsafat Barat Kontemporer, Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia,
2002)
Burdah, Ibnu. Menjadi Penerjemah, Wawasan dan Metode Menerjemah Teks
Arab (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004)
Catford, J.C. A Linguistic Theory of Translation (London: Oxford Of University
Press, 1974)
Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media (Yogyakarta:
LKiS, 2005)
Eriyanto, Analisis Wacana pengantar analisis teks media, (Yogyakarta : LKiS,
Cet. V 2006)
Fahrurrozi. Teknik Praktis Terjemah (Yogyakarta: Teknomedia, 2003)
al-Fairûzâbâdi, Muhammad ibn Ya‘qûb, al-Qâmûs al-Muhît (Libanon: Dâr al-
Fikr, 1426 H/2005)
Fiske, John, Cultural and Communication Studies (Yogyakarta: Jalasutra, 2004)
Foucault, Michel. Order of Thing, Arkeologi Ilmu-ilmu Kemanusiaan
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)
al-Ghazali, Imam, Al-Mustasfâ Min Ilm al-Usûl (Beirut : Muassasah Al-Risâlah,
1997) Vol 1
Harb, Ali, Benar Kritik Kebenaran, (Yogyakarta : LKiS, 2004)
Harb, Ali, Hermeneutika Kebenaran, (Yogyakarta: LKiS, 2003)
Hardiman, F. Budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Diskursus Filosofis
tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Kanisius,
2003)
Hidayat, Komarudin, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik,
(Jakarta: Paramadina, 1996)
al-Jâbirî, Muhammad Abid, Post Tradisionalisme Islam, (Yogyakarta: LKiS,
2000)
al-Jâbirî, Muhammad Abid, Syûrâ, Tradisi Partikularitas Universalitas
(Yogyakarta: LKiS, 2003)
Jorgensen, Marianne W. dan Louise J. Phillips, Analisis Wacana, Teori dan
Metode (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)
Kamil, Syukron Dkk. Syariah dan HAM, Dampak Perda Syariah terhadap
Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim (Jakarta: CSRC,
2007)
Kushartanti dkk. Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik. (Jakarta:
Gramedia 2005)
Louis, Althusser, Tentang Ideologi, Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis,
Cultural Studies (Yogyakarta: Jalasutra, 2008)
Machali, Rochayah. Pedoman Bagi Penerjemah (Jakarta: Gramedia, 2000)
Majalah Kebudayaan Desantara, Dialog Agama dan Kebudayaan, (Depok:
Desantara, 2002) Edisi 03/Tahun II/2002.
Ma’loûf, Louis, Al-Munjid Fi al-Lughah Wa al-A‘lâm (Beirut : Dâr al-Masyriq,
1986)
Misrawi, Zuhairi dkk. Ed., Menggugat Tradisi, Pergulatan Pemikiran Anak Muda
NU (Jakarta: Kompas, 2003)
Moentaha, Salihen, Bahasa dan Terjemahan (Bekasi Timur: Kesaint Blanc, 2006)
Morton, Stephen, Gayatri Spivak, Etika, Subaltern, dan Kritik Penalaran
Poskolonial (Yogyakarta: Pararaton, 2008)
Mubarak, M. Zaki. Genealogi Islam Radikal di Indonesia, Gerakan, Pemikiran,
dan Prospek Demokrasi (Jakarta: LP3ES, 2008)
Muhammad Ibn Mahram Ibn Manzhur, Jamaluddin, Lisân al-Arab (Beirut: Dâr
al-Fikr)
Mulyana. Kajian Wacana, Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-prinsip Analisis
Wacana. (Yogyakarta: Tiara Wacana 2005)
al-Râzi. Mukhtâr al-Sihâh (Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994)
Salman Ghanim, Muhammad, Kritik Ortodoksi, Tafsîr Âyât Ibadah, Politik, dan
Feminisme (Yogyakarta: LKiS, 2004)
Shihab, Quraish, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran
(Tangerang: Lentera Hati, 2006)
Sugiharto, I. Bambang, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 1996)
Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur (Jakarta: Kompas, 2001)
Sumaryono, E., Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius,
1999)
Syahrûr, M., Tirani Islam, Genealogi Masyarakat dan Negara, (Yogyakarta:
LKiS, 2003)
Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic (Arabic-English)
(Wiesbaden, Otto Harrascowit)
Widyamartaya, A. Seni Menerjemahkan (Yogyakarta: Kanisius, 1989)
Yusuf Ali, Abdullah The Holy Quran, Original Arabic Text with English
Translation and Selection Commentaries, (Kuala Lumpur: Saba Islamic
Media, 2004)
Top Related