TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR SYI’I KLASIK
DAN KONTEMPORER (STUDI KITAB TAFSĪR MAJMA‘ AL-
BAYĀN DAN TAFSĪR AL-MĪZĀN)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh :
Ahmad Multazam
NIM : 11140340000225
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
i
ABSTRAK
Ahmad Multazam, Nim : 11140340000225, Judul Skripsi “Taqiyyah dalam
Pandangan Mufassir Syi’i Klasik dan Kontemporer (Studi Kitab Tafsīr
Majma‘ al-Bayān dan Tafsīr al-Mīzān)
Taqiyyah merupakan salah satu doktrin suci Syi‟ah yang menjadi Isu
sentral yang tidak bisa dipasahkan dari sekte Syi‟ah sendiri, menurut kaum Syi‟ah
taqiyyah itu merupakan salah satu prinsip-prinsip keimanan yang paling pokok.
Dalam hal ini penulis akan meneliti ayat-ayat taqiyyah dengan membandingkan
mufassir kalangan Syi‟ah klasik dan kontemporer yaitu karya al-Faḍl bin Ḥasan
al-Ṭabarsī dalam kitabnya Majma‘ al-Bayān fi Tafsīr al-Qur’ān dan karya
Muḥammad Ḥusayn al-Ṭabāṭabā„ī yaitu al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān. Sehingga
dapat diketahui apakah dalam penafsirannya mereka berdua ada perbedaan
penafsiran atau lebih condong ke pembelaan mazhabnya ataupun sebaliknya.
Terkait jenisnya, penelitian ini termasuk dalam kategori kepustakaan
(library research) dan sifatnya adalah deskriptif. Penulis menggunakan
pendekatan metode muqāran (membandingkan), dengan teknik pengumpulan data
dan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku dan literatur-literatur yang
berhubungan dengan masalah terkait.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka diperoleh beberapa hasil
yaitu terdapat perbedaan diantara kedua penafsir tersebut. Al-Ṭabarsī mengatakan
orang yang dipaksa untuk mengucapkan kalimat kafir dengan jalan taqiyyah itu
dibenci (makruh), karena perbuatan yang sebaiknya tidak dilakukan, akan tetapi
apabila terdesak dengan suatu keadaan dan mendapat siksaan yang tak ada
hentinya, maka dibolehkan untuk mempraktekkan taqiyyah. Dengan syarat baṭin-
nya tetap tenang dengan penuh keimanan dan berlawanan dengan sikap ẓāhīr-nya
yang mengakui kekafiran dan mengikuti keinginanya, maka tidak ada dosa
atasnya. Sedangkan al-Ṭabāṭabā‟ī mengatakan orang dipaksa untuk mengucapkan
kalimat kafir dan mempraktekkan taqiyyah maka diperbolehkan dan dimaafkan
syara’. Mempraktekkan taqiyyah boleh dilakukannya dalam keadaan setiap
keadaan yang berkemungkinan terdapat suatu bahaya dan kesulitan, karena al-
Ṭabāṭabā‟ī mengatakan bahwa taqiyyah diperbolehkan dalam setiap ihwal, agar
seseorang tidak jatuh dalam keadaan sulit atau berbahaya, dan Allah telah
menghalalkannya.
Kata Kunci : Taqīyyah, Syi’ah, Muqāran, al-Ṭabāṭabā‟ī, al-Ṭabarsī
ii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kehadirat Allah Swt penulis panjatkan atas segala karunia,
taufiq, dan hidayat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad
saw rasul pilihan yang membawa cahaya penerang dengan ilmu pengetahuan.
Semoga untaian doa tetap tersurahkan kepada keluarga, sahabat serta seluruh
pengikutnya sampai akhir zaman.
Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa terselesaikan
skripsi ini tidaklah semata atas usaha sendiri, namun berkat bantuan motivasi dan
bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
menempuh study di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA, selaku dekan Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA, dan Dra. Banun Binaningrum, M.Pd,
selaku ketua jurusan dan sekretaris jurusan Ilmu al-Qur‟ān dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Karena beliau
telah membantu dan memberikan kesempatan kepada penulis
melanjutkan studi S1. Semoga Allah selalu memberikan kemudahan
dari setiap langkah ibu.
4. Muslih, M.Ag, yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk
membimbing, memberikan arahan untuk segera terselesaikannya
skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat selalu, panjang umur,
dan murah rejeki.
5. Segenap dosen program Ilmu al-Qur‟ān dan Tafsir, penulis
mengucapkan banyak terima kasih karena telah sabar dan ikhlas
mendidik serta banyak memberikan berbagai macam ilmu kepada
iii
penulis. Semoga ilmu yang penulis dapatkan bermanfaat dunia dan
akhirat.
6. Teruntuk orangtuaku ayahanda H. M. Asmat, S.Pd.I, ibunda Hj.
Sholiha yang telah membesarkan dan selalu memberikan arahan,
dukungan tiada henti baik moril maupun materil tak lupa pula doa
yang tiada henti. Sehingga penulis dapat melanjutkan pendidikan
kejenjang perkuliahan sampai lulus. Kepada kakak penulis Nurazizah.
S.Pd.I beserta Suaminya Eko Komaruddin, Maftuhah Lc beserta
Suaminya Ustd Siddiq Fathoni, M.A, Khoirunnisa S.Pd.I beserta
suaminya Syarifuddin Nizan S.Pd.I, dan terutama abang penulis
Imadduddin yang selalu berdonasi dan membantu penulis, Adik
penulis Miftahurrahmah, dan keponakan penulis Hani, Fatih, Hilwa,
Aqil, Ali, Zahid, Hamada dan Haikal yang selalu memberikan
semangat yang membara. Semoga Allah selalu meridhoi setiap
langkahnya dan selalu melimpahkan Raḥmān dan Raḥīm-Nya kepada
mereka. Āmīn Yā Rabbal’ālamīn.
7. Pustakawan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan-perpustakaan lainnya yang
telah banyak memberikan pinjaman buku-buku yang menjadi rujukan
peneliti dalam penyusunan skripsi ini.
8. Kawan-kawan penulis Rifqi, Syafi‟i, Dayat, Turmudzi, Alwi, Bahar
dan kawan-kawan Th.F 2014, dan Grup Kosan Ayam (Chudori,
Zundit, Arif Kun, Haidir, Bos Zakir, Bos Dayu, Idris, Irfan Onta, bang
Andrean, dan Bang Sofwan), FKMA (Forum Komunikasi Mahasiswa
Attaqwa), HMI Komfuf, Kkn Merak, dan kawan-kawan jurusan Ilmu
al-Qur‟ān dan Tafsir angkatan 2014 yang tidak bisa disebutkan satu
persatu yang rela berbagi ilmu, tawa, canda serta support kepada
penulis.
Peneliti menyadari bahwa keilmuan dan wawasan peneliti masih sedikit,
bilamana tulisan ini masih terdapat kekeliruan mohon dimaafkan. Akan tetapi
peneliti sudah berusaha semaksimal mungkin dengan kemampuan yang ada untuk
menyelesaikan skripsi ini.
iv
Peneliti berharap tulisan ini bisa bermanfaat dan memberikan motivasi
kepada para pembaca, sehingga bisa memotivasi untuk mengamalkan Sunah Nabi
Muhammad Saw.
Wasalamu’alaikum Wr.Wb
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin ysng digunakan dalam skripsi ini berpedoman
pada buku “Pedoman Penullisan Kaya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” yang
diterbitkan oleh Tim CeQDA (Center For Quality Development dan Assurance)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
A. Konsonan
ARAB NAMA LATIN KETERANGAN
Alif - Tidak dilambangkan ا
Ba‟ B Be ب
Ta‟ T Te ت
Tsa‟ Ts Te dan es ث
Jim J Je ج
Ḥa‟ Ḥ Ha dengan titik di bawah ح
Kha‟ Kh Ka dan Ha خ
Dal D De د
Dzal Dz De dan zet ذ
Ra‟ R Er ر
Zai Z Zet ز
Sin S Es س
Syin Sy Es dan ye ش
Ṣad Ṣ Es dengan titik di bawah ص
Ḍad Ḍ De dengan titik di bawah ض
Ṭa Ṭ Te dengan titik di bawah ط
Ẓa Ẓ Zet dengan titik di bawah ظ
Ain „ Koma terbalik„ ع
vi
Ghain Gh Ge dan ha غ
Fa F Fa ف
Qaf Q Qi ق
Kaf K Ka ك
Lam L El ل
Mim M Em م
Nun N En ن
Wau W We و
Ha‟ H Ha ه
Hamzah ‟ Apstrof ء
Ya‟ Y Ye ي
B. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, terdiri dari vocal tunggal atau monoftong, vocal
rangkap atau diftong dan vocal panjang. Ketiganya adalah sebagai berikut:
1. Vokal Tunggal
Tanda
Vokal Nama Latin Keterangan
Fatḥaḥ A A ا
Kasraḥ I I ا
Ḍammaḥ U U ا
Contoh:
Kataba : كتب Naṣara dan : نصر
vii
2. Vokal rangkap
Tanda
Vokal Nama Latin Keterangan
Fatḥaḥ dan Ya‟sakun Ai A dan I ى ي
Fatḥaḥ dan Wau sakun Au A dan U ى و
Contoh:
ḥaula :حول Laisa : ليس
3. Vokal panjang
Tanda
Vokal Nama Latin Keterangan
Fatḥaḥ dan Ba Ā A dengan garis di atas با
Kasrih dan Ba Ī I dengan garis di atas بي
Ḍammah dan Ba Ū U dengan garis di atas بو
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ..................................................................................................... i
KATA PENGARANTAR ............................................................................. ii
PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................. v
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .......................................................................... 8
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................ 8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 9
E. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 10
F. Metodologi Penelitian ....................................................................... 12
G. Sistematika Penulisan ....................................................................... 16
BAB II MUFASSIR SYI’I DAN KARYA TAFSIRNYA
A. Biografi dan Karakteristik Tafsir Majma‘ al-Bayān
1. Riwayat Hidup Sosial dan Akademik al-Ṭabarsī ......................... 19
2. Keilmuan dan Karya-Karya al-Ṭabarsī ........................................ 21
3. Penilaian Ulama terhadap al-Ṭabarsī ........................................... 22
4. Latar Belakang dan Sistematika Penulisan Tafsir Majma‘
al-Bayān ....................................................................................... 24
5. Manhāj, Corak dan Sumber penafsiran al-Ṭabarsī ....................... 28
6. Pendapat Ulama Terhadap Tafsir Majma‘ al-Bayān .................... 31
B. Biografi dan Karakteristik Tafsir al-Mīzān
1. Riwayat Hidup Sosial dan Akademik al-Ṭabāṭabā‟ī .................... 33
2. Keilmuan dan Karya-Karya al-Ṭabāṭabā‟ī ................................... 37
3. Pemikiran al-Ṭabāṭabā‟ī Terhadap Filsafat ................................... 38
4. Penilain Ulama Terhadap al-Ṭabāṭabā‟ī ........................................ 39
5. Latar Belakang dan Sistematika Penulisan Tafsir
al-Mīzān ....................................................................................... 40
6. Manhāj, Corak dan Sumber penafsiran al-Ṭabāṭabā‟ī ................. 44
ix
7. Pendapat Ulama Terhadap Tafsir al-Mīzān ................................. 48
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG TAQIYYAH
A. Sekilas Mengenai Taqiyyah
1. Pengertian Taqiyyah ..................................................................... 50
2. Sejarah Munculnya dan Perkembangan Taqiyyah ....................... 55
3. Pembagian Taqiyyah .................................................................... 60
B. Syi‟ah
1. Pengertian Syi‟ah ......................................................................... 60
2. Sejarah Munculnya Syi‟ah .......................................................... 63
3. Konsep Dasar Ushuluddin dan Furu‟uddin Syi‟ah ...................... 65
4. Taqiyyah dalam Pandangan Syi‟ah .............................................. 67
C. Pandangan Aliran Teologis tentang Taqiyyah
1. Pandangan Sunni .......................................................................... 74
2. Pandangan Khawarij .................................................................... 79
3. Pandangan Mu‟tazilah .................................................................. 80
BAB IV TAQIYYAH MENURUT PANDANGAN TAFSIR MAJMA’
AL-BAYĀN DAN TAFSIR AL-MĪZĀN
A. Taqiyyah Dalam Penafsiran Tafsir Majma‘ al-Bayān dan
Tafsir al-Mīzān
1. Penafsiran tentang Ayat-ayat Taqiyyah Menurut al-Ṭabarsī... 82
2. Penafsiran tentang Ayat-ayat Taqiyyah Menurut al-Ṭabāṭabā‟ī.. 88
B. Kondisi Sosial Politik Pada Masa al-Ṭabarsī dan al-Ṭabāṭabā‟ī
1. Pada Masa Hidup al-Ṭabarsī ....................................................... 94
2. Pada Masa Hidup al-Ṭabāṭabā‟i .................................................. 95
C. Analisa Muqāran (Perbandingan) Taqiyyah Terhadap Tafsir Majma‘
al-Bayān dan Tafsir al-Mīzān
1. Pandangan al-Ṭabarsī ................................................................... 97
2. Pandangan al-Ṭabāṭabā‟ī .............................................................. 101
3. Persamaan dan Perbedaan Pandangan Kedua Penafsir ................ 105
x
BAB V Penutup
A. Kesimpulan ........................................................................................ 109
B. Saran-Saran ....................................................................................... 110
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama terdiri dari serangkaian perintah Tuhan tentang perbuatan dan
akhlak, yang dibawa oleh para nabi dan rasul, untuk menjadi pegangan bagi umat
manusia. Mengimani hal ini dan melaksanakan ajaran-ajaran tersebut akan
membawa ketenangan dan keberuntungan hidup manusia di dunia dan di akhirat.
Islam adalah agama wahyu yang terakhir yang diturunkan dan karena itu
merupakan yang paling lengkap dan sempurna. Dengan datangnya agama ini yang
dibawa oleh utusan Allah swt, Nabi Muḥammad saw secara otomatisnya semua
agama sebelumnya dihapuskan sebab dengan datangnya suatu aliran yang lengkap
maka tidaklah diperlukan lagi aturan yang tidak lengkap.1 Al-Qur‟an yang
diturunkan kepada Nabi Muḥammad saw berfungsi sebagai hudān (petunjuk),
furqān (pembeda), sehingga menjadi tolok ukur dan pembeda antara kebenaran
dan kebatilan, ditambah keinginan memahami apa yang terdapat di dalamnya
telah melahirkan beberapa metode untuk memahami al-Qur‟an.2
Munculnya berbagai macam corak penafsiran dalam memaknai al-Qur‟an
adalah suatu bukti bahwa al-Qur‟an kitab suci yang kaya akan makna.
Keanekaragaman penafsiran yang muncul karena dilatarbelakangi oleh siapa
panafsirnya, di mana ia tinggal dan bagaimana keilmuan yang dimiliki mufassir,
1 Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Inilah Islam Upaya Memahami Seluruh Konsep
Islam Secara Mudah, Terj. Ahsin Muhammad, (Jakarta: Pustaka „Allāmah Sayyid Hidāyah, 1989),
h.41 2 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1992), h. 150
2
sudah semestinya harus menguasai ilmu-ilmu yang harus dimiliki seorang
mufassir.3
Berbagai ragam perbedaan muncul dan semakin lama perbedaan tersebut
kian meruncing dan tajam. Isu-isu keagamaan dengan berbagai pemahaman yang
tidak disertai toleransi diperparah dengan kecendrungan masing-masing kelompok
untuk menutup diri. Isu-isu kontroversial yang muncul berkenaan dengan Tahrīf
al-Qur‟ān, yaitu munculnya “al-Qur‟an versi Syi‟ah” sebagai salah satu alasan
untuk mendiskreditkan Syi‟ah mengkafirkan,4 tanpa memahami latar belakang
permasalahan atau tanpa disertai rujukan yang cukup. Bahkan hal ini ditegaskan
pula seorang ulama besar Ahl al-Sunnah, Raḥmatullāh bin Khaliluraḥmān al-
Hindī dalam kitab Iżhār al-Ḥāqq Jilid dua, menyatakan: “Sesungguhnya al-
Qur‟an yang mulia di hadapan mayoritas Syī„ah Iṡnā „Asyariyyah terjaga dari
perubahan, penambahan dan pengurangan, dan barang siapa diantara mereka
berkata telah terjadi kekurangan di dalamnya maka pernyataan tersebut ditolak di
hadapan mereka.5
Pasca wafatnya „Alī bin Abī Ṭalib, kaum Muslim terpecah menjadi
beberapa golongan yakni pengikut „Alī, pengikut Muawiyah, golongan Khawarij.6
Pengikut „Alī berubah menjadi Syi‟ah. Di dunia Islam, Syi‟ah tidak berada dalam
satu akidah, mereka terbagi menjadi beberapa sekte karena masalah ajaran-ajaran
dasar dan masalah penentuan Imam setelah terbunuhnya Imam Ḥusein. 7 Syi‟ah
3 Abdul Mustaqim, Mażāhibut Tafsīr; Peta Metodologi Penafsiran al-Qur‟an Periode
Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka 2003), h. 81. 4 Diakui adanya isu tahrīf al-Qur‟ān menurut ulama salaf Syi‟ah, namun hal ini dikoreksi
oleh ulama mutaakhirin mereka dan sebagaimana isu ini terdapat pula dalam riwayat sunni. 5 Raḥmatullāh al-Hindī, Iẓhār al-Hāq, Jilid 2, (Kairo: Dār al-Hādīṡ, 1989), h.128
6 Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 90
7 Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur‟an, Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir,
(Jakarta: PT Gaya Media Pratama, 2007), h. 158
3
ini berbeda pendapat dengan aliran lain diantaranya dalam pendirian, bahwa
pernunjukkan imam sesudah wafat ditentukan oleh Nabi sendiri dengan nash.8
Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangannya, Syi‟ah terpecah
menjadi beberapa golongan yang disebabkan oleh perbedaan pemikiran dan
pendapat tentang imamah. Dari persoalan tersebut, maka lahirlah beberapa sekte
besar Syi‟ah diantaranya yaitu : Zaidiyah, Imāmiyah, Kaisaniyah, Ghulāt. Selain
sekte-sekte tersebut juga ada sekte kecil yang kemudian hilang dengan
berjalannya waktu. Golongan Imāmiyyah merupakan sekte terbesar dan terbanyak
pengikutnya dalam Syi‟ah. 9
Antara Syi‟ah Imāmiyah dan Mu‟tazilah terdapat kesamaan dalam
meyakini sebuah prinsip. Diantara prinsip-prinsip yang menjadi dasar mazhab
mereka, yaitu : Tauhid (al-Tauhīd), Keadilan (al-„Adl), Kenabian (al-Nubūwwah),
Kepemimpinan (al-Imāmah).10
Terdapat pemikiran yang berkaitan erat dengan
ajaran pokok keadilan, salah satunya adalah taqiyyah, ada perbedan pendapat di
antara kelompok-kelompok berkisar pada masalah prinsip dasar keyakinan ini
bagi sebuah kelompok. Taqiyyah dari segi bahasa takut, menurut istilah berarti
menjauhi atau mewaspadai segala sesuatu yang dapat merugikan atau
membahayakan dirinya, tujuannya adalah untuk menjaga diri, kehormatan dan
harta. Hal itu dilakukan dalam kondisi-kondisi terpaksa ketika seorang mukmin
tidak dapat menyatakan sikapnya yang benar secara terang-terangan karena takut
8 Abu Bakar Aceh, Perbandingan Mazhab Syi‟ah Rasionalisme dalam Islam (Semarang:
Ramadhani, 1980), h. 7. 9 Muhammad Abu Zahrah, Sejarah Aliran-Aliran Dalam Islam, terj. Shobahussurur
(Ponorogo:PSIA, 1990), cet.I, h. 6. 10
Muhammad Kamil al-Hasyimi, Hakikat Akidah Syari‟ah, terj. H.M Rasjidi (Jakarta:
Bulan Bintang, 1989), h. 135.
4
akan mendatangkan bahaya dan bencana dari kekuatan yang zalim.11
Bagi
mereka, taqiyyah adalah termasuk dari rukun agama, Dengan taqiyyah seorang
hamba akan mendapat pahala dan ihsan dari Allah.
Taqiyyah menurut kaum Syi‟ah sendiri khususnya Syi„ah Imāmiyyah Iṡnā
„Asyariyyah, itu merupakan salah satu prinsip-prinsip keimanan yang paling
pokok. Karena itu taqiyyah dalam pandangan Syi‟ah memiliki kedudukan yang
luar biasa.12
Menurut kaum Syi‟ah landasan qur‟anik bagi berlakunya gagasan
taqiyyah ini bersumber kepada firman Allah swt dalam surat Āli „Imrān [3] ayat
28 dan surat al-Naḥl [16] ayat 106. Di samping bersumber kepada teks-teks al-
Qur‟an di atas, kaum Syi‟ah berpegang kepada perkataan atau riwayat yang
datang dari imam-imam mereka yang menurut mereka semuanya ma„ṣūm sebagai
rujukan.13
Kaum Syi‟ah mempraktikkan taqiyyah jauh lebih dibandingkan dengan
kaum yang lain, salah satunya dilatarbelakangi oleh kezaliman dan penindasan
yang pernah mereka alami. Selama beberapa abad penguasa Umayyah dan
„Abbasiyyah menjadi musuh minoritas Syi‟ah yang menghadapi ancaman politik
yang permanen.14
Ketika mereka berada dari kelompok-kelompok yang
bertentangan dengannya dalam bagian penting akidah, ushuluddin, dan banyak
hukum-hukum fiqih, perbedaannya secara alami menimbulkan pengawasan dari
pihak musuh. Untuk merealisasikan tujuan-tujuannya, meraka menggunakan
11
Muhammad Kamil al-Hasyimi, Hakikat Akidah Syari‟ah, terj. H.M Rasjidi (Jakarta:
Bulan Bintang, 1989), h. 135. 12
Mahmud Farhan al-Buhairi, Gen Syi‟ah : Sebuah Tinjaun Sejarah, Penyimpangan
aqidah dan konspirasi Yahudi, Terj, Agus Hasan Bashari, (Jakarta: Dār al-Falāḥ, 2001), h. 151 13
Ikhsan Zhairi, Syi‟ah dan Sunnah, terj. Bey Arifin (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1984), h.
184 14
Huston Smith, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada , 1999), cct. Ke- 2, h.
390.
5
taqiyyah dan memelihara kesepakatan secara lahiriyah dengan kelompok-
kelompok lain.
Dalam menjalankan taqiyyah, mereka menggunakan keyakinan tentang
kebolehan taqiyyah yaitu merujuk kepada firman Allah dalam QS. Āli „Imrān [3]
ayat 28 yang berbunyi :
لك ف ليس من الل ل ي تخذ المؤمنون الكافرين أولياء من دون المؤمنني ومن ي فعل ذ
هم ف شيء ر ت قاة إل أن ت ت قوا من الل الم و وإ ف م الل ر وذ
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi
wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat
demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena
(siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah
kembali (mu).
Mereka juga berdalil dengan firman Allah dalam QS. al-Naḥl [16] ayat
106 yang berbunyi :
فر بلل من ب عد إمياو ره من ميان إل من أ ولكن من شرح بلكفر وق لبو مطمئن بل
صدر ا ف عليهم غضب من الل ولم عذاب عظيم
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat
kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap
tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang
melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah
menimpanya dan baginya azab yang besar.
Dua ayat di atas mempunyai redaksi yang mirip, yaitu membolehkan
seorang untuk melakukan praktek taqiyyah ketika mereka dalam keadaan terpaksa
atau darurat. Ayat ini diturunkan khusus bagi orang yang sudah tidak tahan lagi
oleh sang penguasa yang ẓalim serta penguasa yang memaksa mereka mengikuti
6
ajarannya. Jika terpaksa mengucapkan kekufuran, maka ia boleh mengucapkan
tanpa diyakini dan diamalkan. Ini pun dibatasi sampai seminimal mungkin. Ada
hal-hal yang tidak boleh berlaku taqiyyah sama sekali, meskipun membawa
kematiaanya, seperti membunuh, berbuat zina dan lain-lainya.15
Dalam penelitian ini penulis mencoba mengangkat permasalahan yang
menyangkut mengenai masalah akidah Syi‟ah yaitu tentang taqiyyah, yang selalu
diperdebatkan oleh mazhab-mazhab dalam Islam, terutama dua kelompok besar
yaitu Sunni dan Syi‟ah. Adapun alasan penulis mengambil judul penelitian ini
karena taqiyyah merupakan pembahasan yang perlu untuk diteliti dan dikaji dalam
rangka memberikan pemahaman terhadap penulis dan para mahasiswa, dan masih
sedikit penulisan ilmiah yang menyangkut terhadap aqidah Syi‟ah khususnya
yang berkaitan dengan masalah taqiyyah yang menjadi ajaran bagi kaum Syi‟ah.
Penelitian ini diarahkan pada penafsiran ayat-ayat yang berkaitan dengan
taqiyyah dalam akidah Syi‟ah dengan mengambil mufassir-mufassir seperti dari
kalangan Syi‟ah klasik dan kontemporer. yaitu penafsiran al-Faḍl bin Ḥasan al-
Ṭabarsī dalam kitabnya yang berjudul Majma„ al-Bayān fi Tafsīr al-Qur‟ān dan
tafsir karya Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī yang berjudul al-Mīzān fī Tafsīr al-
Qur‟ān.
Sebagian ulama tafsir membagi periodesasi penafsiran al-Qur‟an ke dalam
tiga fase yaitu : periode klasik abad 1-4 H, periode pertengahan pada abad 4-12 H,
dan periode kontemporer abad 12 H - sekarang. Namum dalam pembahasan ini
penulis hanya mengungkapkan dua periode saja. Pertama klasik, yaitu pada masa
15
Sahilun Ahmad Nasir, Firqah Syi‟ah Sejarah, Ajaran dan Perkembangan, (Surabaya:
al-Ikhlas. 1982), h. 166
7
permulaan penulisan tafsir yang terpisah dari hadis-hadis sehingga tafsir berdiri
sendiri sebagai suatu ilmu. Masa ini berawal pada akhir masa tabi‟in sampai pada
akhir dinasti „Abbasiyyah pada tahun 650 H/1258 M).16
Kedua periodesasi tafsir
kontemporer, pada masa kontemporer dimulai sejak diadakannya gerakan-gerakan
modernisasi Islam di Mesir oleh Jamāluddin al-Afgānī setelah umat Islam
terpecah belah oleh Jamāluddin setelah umat Islam terpecah belah oleh kaum
penjajah Barat sampai sekarang. Penafsiran al-Qur‟an pada masa kontemporer
dilatarbelakangi dengan tujuan pembaharuan pemikiran dan pemahaman Islam.
Hal ini dikarenakan umat Islam yang telah mengalami banyak kemunduran dan
penjajahan dari berbagai belahan dunia Islam. Dalam penafsiran al-Qur‟an pada
masa ini kebanyakan bersumber kepada riwayat-riwayat dan pendapat mufassir
pada masa-masa sebelumnya.17
Faḍl bin Ḥasan al-Ṭabarsī merupakan mufassir klasik terkemuka dari
golongan Syī‟ah Imāmiyah pada abad ke-6 H dengan karyanya Majmā„ al-Bayān
fī Tafsīr al-Qur‟ān sebanyak 10 jilid.18
Dalam al-Tafsīr wal Mufassirūn, Shāhibu
al-Majālisil Mu‟minīn menjelaskan bahwa, al-Ṭabarsī disebut dengan „Umdatu al-
Mufassirīn (tempat sandaran para mufassir).19
Sedangkan Muḥammad Ḥusain al-
Ṭabāṭābā‟ī merupakan mufassir kontemporer dari golongan Syī‟ah Imāmiyah
terkemuka pada abad ke-14 H yang cukup terkenal dengan karya monomentalnya
al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān sebanyak 20 jilid.20
Kedua mufassir yang terkenal ini
yakni kitab tafsir Majma„ al-Bayān dan tafsir al-Mīzān kelihatan sekali beliau
16
Nailul Rahmi, Ilmu Tafsir, (Padang: IAIN Imam Bonjol Padang, 2010), cet 1, h. 9 17
Nailul Rahmi, Ilmu Tafsir, cet 1, h. 9 18
Rosihon Anwar, Samudra al-Qur‟an, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001) h. 218. 19
Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (Cet, I, Kairo: Dār al-Ḥadīṡ
2010) Juz II, h. 84 20
Ahmad Baidhawi, Mengenal al-Ṭabāṭabā„ī dan Kontroversi Nāsikh Mansūkh
(Bandung: Penerbit Nuansa, 2005), h. 24
8
berdua berupaya “Mengkampanyekan” Mazhab Syi‟ahnya ketika menafsirkan
ayat-ayat yang menurut kaum Syi‟ah sendiri. Berkenaan dengan pandangan-
pandangan ideologis kesyi‟ahan mereka. Jadi sangat mungkin sekali mereka
berdua dalam menafsirkan ayat tentang taqiyyah akan berpengaruh oleh ideologi
kesyia‟hannya.
Dari berbagai pemaparan di atas, maka penulis merasa tertarik untuk
meneliti lebih dalam mengenai metode atau lebih lanjut karakteristik penafsiran
al-Ṭabarsī dari kalangan mufassir klasik, dan al-Ṭabāṭabā„ī dari kalangan
kontemporer, terhadap ayat-ayat tentang taqiyyah dalam kitab tafsirnya yaitu
Majma„ al-Bayān fī al-Tafsīr al-Qur‟ān dan al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān,
sehingga dapat diketahui apakah dalam penafsirannya mereka berdua ada
perbedaan penafsiran atau lebih condong ke pembelaan mazhabnya ataupun
sebaliknya.
B. Identifikasi Masalah
Dari pemaparan latar belakang di atas, dapat diketahui tentang masalah-
masalah yang muncul pada kajian ini, diantaranya adalah : Bagaimana penafsiran
ayat taqiyyah dalam tafsir Majma„ al-Bayān dan tafsir al-Mīzān, apa ada
persamaan dan perbedaan penafsiran dalam tafsir Majma‟ al-Bayān dan tafsir al-
Mīzān dalam ayat-ayat taqiyyah, apa pendapat para Imam-imam Syi‟ah sama
dengan kedua penafsiran tersebut, bagamana pendapat aliran-aliran teologis Islam
tentang taqiyyah.
9
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari kerangka latar belakang dan identifikasi masalah tersebut dapat
terlihat bagaimana konsep taqiyyah ini dipraktekkan dalam Islam. Untuk memberi
arahan yang jelas dan ketajaman analisa dalam pembahasan, maka perlu adanya
pembatasan suatu permasalahan yang akan dibahas oleh penelitian ini. Dalam
penelitian ini hanya akan membahas tentang perbandingan penafsiran mufassir
Syi‟i klasik dan kontemporer tentang taqiyyah, yang mana penulis akan
mengambil dua penafsir yang ideologinya syi‟ah yaitu tafsir Majma„ al-Bayān fī
Tafsīr al-Qur‟ān karya Faḍl bin Ḥasan al-Ṭabarsī dan tafsir al-Mīzān fī Tafsīr al-
Qur‟ān karya Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī.
Adapun permasalahan yang kiranya perlu diangkat pada penelitian ini
adalah “Bagaimana penafsiran ayat taqiyyah dalam tafsīr Majma„ al-Bayān dan
tafsīr al-Mīzān?”
D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian pada umumnya memiliki tujuan untuk menambah wawasan
pemikiran terhadap obyek yang dikaji juga penelitian yang akan penulis bahas
melalui skripsi ini. Adapun mengenai tujuan yang akan dicapai dalam penelitian
ini adalah pertama, untuk mengetahui makna dan ayat-ayat taqiyyah dari
penafsiran al-Ṭabarsī dan al-Ṭabāṭabā„ī dalam tafsirnya.
Kedua, untuk menuhi tugas akademik yang merupakan syarat dalam
menyelesaikan studi untuk mendapatkan gelar sarjana Strata (S) 1 UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
10
2. Manfaat Penelitian
Peneliti berharap dengan adanya penelitian ini dapat memberikan manfaat,
tidak hanya untuk kalangan mahasiwa atau akademisi lainnya, namun juga
bermanfaan untuk masyarakat luas dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan
dalam bidang tafsir serta menambah sumber referensi peneliti lainnya, adapun
maanfaan penelitian ini secara khusus yakni.
a. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan bisa memberikan kontribusi positif bagi
para pembaca, dan akademisi yang mengambil bidang Tafsir Hadis,
khususnya yang berminat di dunia penafsiran.
b. Manfaat Praktis
1) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi
para pembaca, dan akademisi yang mengambil bidang Tafsir Hadis,
khususnya yang berminat di dunia penafsiran.
2) Sebagai wahana untuk mengembangkan wacana dan pemikiran bagi
peneliti.
3) Menambah literatur atau bahan-bahan informasi ilmiah yang dapat
digunakan.
E. Tinjauan Pustaka
Tinjauan Pustaka sangatlah penting untuk dilakukan oleh seseorag peneliti
sebelum melanjutkan penelitian, agar peneliti mengetahui apakah obyek
penelitian yang akan dilakukan sudah pernah diteliti atau belum, apakah ada
karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan obyek yang akan diteliti. Sejauh mana
11
penelitian penulis, ada beberapa karya tulis yang telah dulu mengulas tentang
taqiyyah ini.
Ahmad Sahide dalam artikelnya Konflik Syi‟ah dan Sunni Pasca The Arab
Spring menjelaskan taqiyyah adalah salah satu gerakan Syi‟ah di mana dalam
konsep ini disebutkan bahwa di bawah kondisi mengancam keselamatan, seorang
pengikut Syi‟ah diperbolehkan untuk menyembunyikan indentitas ke-Syi‟ahannya
dan menampakkan sisi lain dari dirinya.21
Kholili Hasib dalam artikelnya Taqiyyah dalam Pandangan Syi‟ah dan
Ahl al-Sunnah menjelaskan taqiyyah Syi‟ah merupakan rukun agama yang
merahasiakan keyakinan dari lawan yang bisa merugikan agama dan jiwanya.
Sedangkan dalam pandangan Ahl al-Sunnah berbeda dengan Syi‟ah
memberlakukan taqiyyah terhadap orang-orang kafir dalam paradigma Islam,
menyembunyikan keyakinan terhadap orang kafir dibenarkan jika dalam kondisi
darurat. Hukumnya boleh, tidak wajib.22
Muhammad Shohibul Itmam dalam Jurnal Penelitian tentang Pemikiran
Islam dalam Perpspektif Sunni dan Syi‟ah menjelaskan tentang taqiyyah
merupakan berkata atau berbuat sesuatu yang berbeda dengan keyakinan, dalam
rangka nifak, dusta, dan menipu umat manusia. Mereka berkeyakinan bahwa
taqiyyah ini merupakan bagian dari agama.23
21
Ahmad Sahide: Artikel “Konflik Syi‟ah Sunni Pasca The Arab Spring” (Jawa Tengah :
UGM Sekolah Pascasarjana, 2013) : h. 315-316 22
Kholili Hasib : Artikel “Taqiyyah dalam Pandangan Syi‟ah dan Ahl al-Sunnah” Ed.
Cholis Akbar.Https://www.Hidayatullah.com/artikel/ghazwul-fikr/read/2013/02/21/65910/taqiyah-
dalam-pandangan-syiah-dan-ahlus-sunnah.html dilihat pada 08 September 2018 23
Muhammad Shohibul Itmam : Jurnal Penelitian “Pemikiran Islam dalam Perspektif
Sunni dan Syi‟ah” (Jawa Timur : STAIN Ponorogo, Agustus 2013) Vol, 7 no 2: h. 332
12
Moh. Hasyim Efandi dalam artikelnya Doktrin Syi‟ah Membelenggu
Ukhuwah menjelaskan tentang taqīyyah Syi‟ah adalah bagian dari agama yang
dianjurkan kepada umutnya dalam rangka adaptasi dengan lawan. Taqīyyah yang
digunakan untuk proses adaptasi dengan Sunni. 24
Adapun karya-karya yang membahas taqiyyah menurut pandangan
mufassir klasik dan kontemporer belum penulis temui. Namun terdapat karya-
karya ilmiah yang membahas terkait judul skripsi. Penulis temui yang berkaitan
dengan judul skripsi penulis adalah Skripsi Taqiyyah Perspektif Muḥammad
Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī Dalam al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān, karya Aisyah
Nihayatun Nu‟ama. Skripsi ini menjelaskan tentang taqiyyah menurut pandangan
ulama tafsir Syi‟ah, yakni al-Ṭabāṭabā„ī. Skripsi tersebut membahas mengenai
karakteristik orang-orang ber-taqiyyah menurut al-Ṭabāṭabā„ī,25
Oleh karena itu
penulis ingin melanjutkan kajian skripsi tersebut dengan menambahkan salah
tafsir dari kalangan klasik yaitu tafsir Majma‟ al-Bayān fi Tafsīr al-Qur‟ān.
Dari berbagai literatur yang penulis dapatkan, penulis menyimpulkan
bahwa belum ada karya ilmiah yang spesifik membandingkan masalah taqiyyah
menurut pandangan mufassir Syi‟i klasik dan kontemporer dalam kajian tafsir
Majma‟ al-Bayān dan Tafsir al-Mīzān.
F. Metodologi Penelitian
Untuk mempermudah mencapai sasaran yang tepat dan sesuai dengan
tujuan penelitian, penggunaaan dan pemilihan metodologi penelitian peran yang
24
Moh. Hasyim Efandi : Artikel “ Doktrin Syi‟ah Membelenggu Ukhuwah” (Nganjuk,
STAI Miftahul „Ula Kertosono, 2015) h. 148 25
Aishah Nihayatun Nu‟ama. Skripsi : “Taqiyyah Perspektif Muḥammad Ḥusain al-
Ṭabāṭabā„ī Dalam Tafsīr al-Mīzān fi Tafsīr al-Qur‟ān” (Yogyakarta: UIN Sunan Kali Jaga 2013).
13
sangat penting. Oleh karena itu penulis akan menggunakan beberapa metode
untuk mengumpulkan data dalam pembuatan skripsi ini, di antaranya adalah :
1. Metode
Dalam kajian tafsir dikenal dengan 4 metode yaitu ijmāli, taḥlīli,
muqāan, dan mauḍū„i. Dalam kajian ini digunakan metode muqāran26
(perbandingan). Menurut „Abdu al-Hayy al-Farmāwī di dalam kitab
tafsirnya, metode tafsir muqāran adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an
dengan merujuk pada-pada penjelesan para mufassir. Di dalam penelitian
ini, peneliti lebih menekankan pada perbandingan dari pendapat para
ulama tafsir yang di dalam hal ini adalah al-Ṭabarsī dan al-Ṭabāṭabā„ī
mengenai taqiyyah dalam al-Qur‟an.
Langkah yang ditempuh ketika menggunakan metode ini sebagai
berikut :
a. Menggumpulkan sejumlah ayat-ayat al-Qur‟an.
b. Mengemukakan penjelasan para mufassir, yaitu al-Ṭabarsī dan
al-Ṭabāṭabā„ī.
c. Membandingkan kecenderungan tafsir mereka masing-masing
d. Menjelaskan siapa diantara mereka yang penafsirannya
dipengaruhi secara subyektif oleh mazhab tertentu, Siapa yang
penafsirannya didominasi uraian-uraian yang sebanarnya tidak
26
Metode muqāran dengan pengertian yang lebih luas yaitu, membandingkan ayat-ayat
al-Qur‟an yang berbicara tema tertentu dengan kajian-kajian yang lainnya. Lihat „Abd al-Ḥayy al-
Farmāwī, Metode Tafsīr Mauḍū‟ī dan Cara Penerapannya, (Bandung : Pustaka Setia, 2002) h. 39
14
perlu seperti kisah-kisah yang tidak rasioanal dan tidak
didukung oleh argumentasi naqliyah.27
2. Jenis dan Sifat Penelitian
a. Jenis Penelitian
Dilihat dari jenis penelitiannya, maka penelitian ini termasuk
penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang bertujuan
untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan macam-macam
material yang terdapat di ruangan perpustakaan, misalnya berupa buku-
buku, majalah-majalah, naskah-naskah, catatan, kisah sejarah, dokumen-
dokumen dan lain- lain.28
Untuk memperoleh data ini, penulis mengkaji literatur-literatur dari
perpustakaan yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini dengan cara
melakukan langkah-langkah identifikasi melalui pembacaan,
pengumpulan, pengolahan dan pengkajian terhadap data-data yang telah
ada terkait masalah taqiyyah menurut pandangan mufassir syi‟i, yaitu
menurut al-Ṭabarsī dan al-Ṭabāṭabā„ī baik hanya berupa data primer
ataupun data sekunder, secara akurat dan faktual.29
b. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, sebuah penelitian setelah
memaparkan dan melaporkan suatu keadaan, obyek, gejala, kebiasaan, dan
27
„Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, Metode Tafsīr Mauḍū‟ī dan Cara Penerapannya, h. 39 28
Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, (Bandung:Mandar Maju, 1996),
Cet. ke-7, h. 33. 29
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1986),
Jilid I, h. 3.
15
perilaku tertentu kemudian dianalisis secara lebih tajam.30
Penelitian ini
berusaha memaparkan dengan cara mendialogkan data yang ada sehingga
membuahkan hasil penelitian yang dapat mendeskripsikan secara
komprehensif, sistematis dan obyektif tentang permasalahan seputar tema
judul skripsi ini.
3. Sumber Data
Dalam hal ini penulis menggunakan dua sumber data penelitian,
yaitu: Sumber data primer dan sekunder.31
a. Sumber data primer: Sumber data yang diperoleh secara langsung
dari sumber aslinya yaitu tafsir Majma‟ al-Bayān dan al-Mīzān.
b. Sumber data sekunder: Data yang diperoleh dari literatur-literatur
lain, berupa buku-buku tentang aliran Syi‟ah dan kitab-kitab tafsir
lainnya, hasil penelitian dan artikel-artikel yang berkaitan dengan
masalah taqiyyah untuk memperkaya dan melengkapi sumber
data primer.
4. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan kajian
lliteratur dan kepustakaan. Data utama adalah al-Qur‟an dan yang menjadi
kitab analisa utama penulis adalah dalam kitab Majma„ al-Bayān fi Tafsīr
al-Qur‟an karya al-Faḍl bin Ḥasan al-Ṭabarsī dan al-Mīzān fī Tafsīr al-
Qur‟ān karya Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā‟ī. Serta mencari sumber-
30
Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Cet. ke-7, h. 33 31
Ahmad Anwar, Prinsip-Prinsip Metodologi Research, (Yogyakarta:Sumbangsih,
1974), h. 2.
16
sumber data yang telah disebutkan yang mempunyai kaitan dengan topik
pembahasan yang sedang diangkat.
5. Analisis
Setelah data-data yang diperlukan terkumpul, maka selanjutnya
dilakukan tahapan analisis terhadap data-data tersebut. Dalam
menganalisis data penulis menggunakan metode analisa muqāran.
Penelitian ini dapat digolongkan sebagai bagian penelitian dengan
mengaplikasikan pendekatan metode tafsir muqāran terhadap tema
taqiyyah dalam pandangan mufassir Syi‟i klasik dan kontemporer dalam
kitab tafsir Majma„ al-Bayān dan tafsir al-Mīzān.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan analisa
muqāran. Analisa muqāran dilakukan untuk mengklarifikasikan makna
taqiyyah yang menjadi perdebatan dalam kalangan para teologis Islam.
Selanjutnya analisa muqāran digunakan untuk mencari kesamaan dan
perbedaan dari kedua mufassir ini khususnya pandangan mereka terhadap
makna taqiyyah dalam tafsirnya.
G. Sistematika Penulisan
Secara garis besar dalam penelitian ini terdiri tiga bagian yaitu
pendahuluan, pembahasan dan juga penutup. Di dalamnya terdiri dari beberapa
sub bagian yang menjelaskan secara rinci. Adapun sistematika dalam penulisan
ini adalah sebagai berikut :
Bab pertama merupakan pendahuluan yang disajikan sebagai acuan
pembahasan bab-bab berikut dan sekaligus mencerminkan isi global skripsi yang
17
cakupan terdiri dari latar belakang masalah, Batasan dan rumusan masalah, tujuan
penelitian dan manfaat penelitan, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab kedua merupakan tentang seputar biografi penafsir secara umum.
Dalam bab ini membahas mufassir Syi‟i dan karya tafsirnya yang di dalamnya
terdiri dari biografi dan karakteristik tafsir Majma„ al-Bayān (riwayat hidup sosial
dan akademik al-Ṭabarsī, keilmuan dan karya-karya al-Ṭabarsī, penilaian ulama
terhadap al-Ṭabarsī, latar belakang dan sistematika penulisan tafsir Majma„ al-
Bayān, manhāj, corak dan sumber penafsiran al-Ṭabarsī, dan pendapat ulama
terhadap tafsir Majma„ al-Bayān). biografi dan karakteristik tafsir al-Mīzān fī
Tafsīr al-Qur‟ān (riwayat hidup sosial dan akademik al-Ṭabāṭabā„ī, keilmuan
karya-karya al-Ṭabāṭabā„ī, Pemikiran al-Ṭabāṭabā‟ī tentang filsafat, penilaian
Ulama terhadap al-Ṭabāṭabā‟ī, latar belakang dan sistematika penulisan tafsir al-
Mīzān, manhāj, corak dan sumber penafsiran al-Ṭabāṭabā„ī, pendapat ulama
terhadap tafsir al-Mīzān).
Bab ketiga merupakan pembahasan seputar mendiskripsikan tinjauan
umum tentang taqiyyah yang terdiri dari sekilas mengenai taqiyyah, pengertian
taqiyyah, sejarah munculnya dan perkembangan taqiyyah, Syi‟ah (pengertian
Syi‟ah, sejarah munculnya Syi‟ah, konsep dasar Ushuluddin dan Furu‟uddin
Syi‟ah), pandangan Ulama teologis tentang taqiyyah Sunni, Khawarij dan
Mu‟tazilah), dan juga pembagian taqiyyah. Dalam bab kedua ini ditunjukkan
untuk mengetahui gambaran secara umum tentang taqiyyah sampai kepada
sejarah, perkembangannya dan pendapat para aliran teologis Islam lainnya.
18
Bab Keempat merupakan inti dari penelitian ini, yang akan memaparkan
tentang permasalahan yang dipaparkan dirumusan masalah. Dalam bab keempat
ini terdiri dari taqiyyah dalam penafsiran tafsir Majma„ al-Bayān dan tafsir al-
Mīzān (penafsiran tentang ayat-ayat taqiyyah menurut al-Ṭabarsī, penafsiran
tentang ayat-ayat taqiyyah menurut al-Ṭabāṭabā„ī), dan analisa muqāran
(perbandingan) taqiyyah terhadap tafsir Majma„ al-Bayān dan tafsir al-Mīzān
(pandangan al-Ṭabarsī, pandangan al-Ṭabāṭabā„ī, juga persamaan dan perbedaan
pandangan al-Ṭabarsī dan al-Ṭabāṭabā„ī tentang taqiyyah).
Bab Kelima sebagai bab terakhir Penutup yang berisikan kesimpulan dari
pokok permasalahan dalam kajian skripsi ini, dan saran-saran yang sifatnya
membangun dari penulis.
19
BAB II
MUFASSIR SYI’I DAN KITAB TAFSIRNYA
A. Biografi Dan Karakteristik Tafsir Majma‘ al-Bayān
1. Riwayat Hidup Sosial dan Akademik al-Ṭabarsī
Pengarang tafsir Majma„ al-Bayān ini adalah Abū „Alī ibn al-Faḍl ibn al-
Ḥasan ibn al-Faḍl al-Ṭabarsī al-Masyhādi. Kata al-Ṭabarsī dikaitkan dengan
daerah tempat tinggal al-Ṭabarsī yaitu Ṭabristān.1 Ṭabristān atau Ṭabrās
merupakan sebuah kota yang berhadapan dengan kota Qum di „Iran.2 Selain itu,
al-Ṭabarsī juga dikaitkan dengan nama suatu jenis senjata menyerupai kampak
yang digunakan oleh penduduk daerah pegunungan untuk berperang yang disebut
dengan Ṭabar.3 Dari segi keturunan, kata al-Ṭabarsī dikaitkan dengan Ṭabras
yaitu nama seorang keturunan dari golongan ulama Imāmiyah.4 Kata al-Masyhādi
dikaitkan dengan daerah Masyhād al-Raḍāwi yaitu daerah tempat beliau
dimakamkan.5
Al-Ṭabarsī dilahirkan tahun 468 H, lalu ia menetap di Masyhād al-Raḍāwi
hingga tahun 523 H. Kemudian ia pindah ke daerah Sabador dan menetap di sana
1 Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān
muqaddimah Juz 1, (Beirut: Dār al-Murtadā, 2006) h. 5 2 Iḥsān al-Amīn, al-Tafsīr bi al-Ma‟ṡūr wa Taṭwīruh „Inda al-Syī„ah al-Imāmiyah,
(Beirut: Dār al-Hādī, 2000), h. 421 3 Ibrahīm Muṣṭafā dkk, al-Mu„jam al-Wasīṭ, (Turki: Al-Maktabah al-Islâmiyyah, 1960),
juz II, h. 549 4 Sālim al-Ṣafār al-Baghdādī, Naqd Manhāj al-Tafsīr wa al-Mufassirīn al-Muqāran,
(Beirut: Dār al-Hādi, 2000), h.386 5 Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Juz II, (Mesir: Maktabah
Waḥbah, 2003), h. 74
20
hingga wafat tahun 552 H. Ada juga yang menyatakan bahwa ia meninggal tahun
548 H pada malam „Idul Aḍḥa.6 Al-Khālidī menyatakan bahwa al-Ṭabarsī wafat
pada malam „Idul Aḍḥa tahun 538 H.7 Kemudian kuburannya dipindahkan ke
Masyhād al-Raḍāwi, lalu dikuburkan hingga sekarang di sebuah pemakaman yang
terkenal yaitu Qatlakan.8
al-Ṭabarsī berasal dari keluarga berilmu. Beliau dan putranya yang
bernama Riḍā al-Dīn Abū Naṣr Ḥasan ibn al-Faḍl telah berhasil menyusun sebuah
karya tulis yang berjudul Makārim al-Akhlāq. Cucu al-Ṭabarsī bernama Abū al-
Faḍl „Alī ibn al-Ḥasan. Seluruh keturunan dan kerabat al-Ṭabarsī merupakan
orang-orang yang berwawasan luas. 9
Di antara guru al-Ṭabarsī adalah al-Syaikh Abī „Alī ibn Syaikh al-Ṭūsī,
Syaikh Abū al-Wafā‟ „Abd al-Jabbār ibn „Alī al-Muqrī al-Rāzī, Syaikh al-„Ajlī al-
Ḥasan ibn al-Ḥusain ibn al-Ḥasan ibn Bābūyah al-Qumī al-Rāzi, Muḥammad bin
al-Ḥusain al-Qaṣābī al-Jurjānī, Abī al-Fatḥ „Abdullāh bin „Abd al-Karīm bin
Hawāzan al-Qusyairī, Abī al-Ḥasan „Ubaidillāh bin Muḥammad ibn al-Ḥusain al-
Bayḥāqī, Sayyid Abū al-Ḥamd Mahdī bin Nazār al-Ḥusainī al-Qāyinī, al-Ḥākim
al-Haskānī.10
Di antara murid al-Ṭabarsī adalah putranya Riḍā al-Dīn Abū Naṣr
Ḥāsan ibn al-Faḍl, Rasyīd al-Dīn Abū Ja„fār Muḥammad ibn „Alī Ibn Syahra
6 Iḥsān al-Amīn , al-Tafsīr bil Ma‟ṡūr wa Taṭwīruh „Inda al-Syī„ah al-Imāmiyah, h. 421
7 Ṣalāh „Abd al-Fattāh al-Khālidī, Ta‟rīf al-Dārisīn bi Manāhij al-Mufassirīn,
(Damaskus: Dār al-Qalam, 2002), cet. Ke-3, h. 519 8 Iḥsān Amīn, al-Tafsīr bil Ma‟ṡūr wa Taṭwīruh „Inda al-Syī‟ah al-Imāmiyah, h.422
9 Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Juz II, h.74
10 Sālim al-Ṣafār al-Baghdādī, Naqd Manḥāj al-Tafsīr wa al-Mufassirīn al-Muqāran, h.
386
21
Syaūb, Syaikh Muntajāb al-Dīn, Sayyid Faḍlullāh al-Rāwindī penulis kitab al-
Kharāij al-Jarāiḥ.11
Al-Ṭabarsī adalah salah seorang mufasir Syī„ah Imāmiyah Iṡnā
„Asyariyyah atau Syī‟ah Ja„fāriyyah, pada abad ke-6 H. Dia adalah mufasir
penerus dari gurunya yaitu al-Ṭūsī. Bahkan ia juga sangat terpengaruh dengan
riwayat-riwayat dari gurunya, walaupun masih terdapat perbedaan antara
keduanya.12
Al-Ṭabarsī juga merupakan seorang Syi‟ah yang mengemban akidah
Syi‟ah dengan sebagian paham Mu‟tazilah. Sehingga tidak aneh bila ia juga
membela mazhabnya dan memahami Kitābullāh sesuai dengan akidahnya.13
Dia
juga tidak terlihat fanatik (ta„aṣub) yang berlebihan dalam membela akidahnya
pada penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an karena paham Syi‟ah moderat yang beliau
miliki.14
2. Keilmuan dan Karya-Karya al-Ṭabarsī
Al-Ṭabarsī menguasai berbagai macam ilmu pengetahuan, karema beliau
seorang ulama terpandang dimasanya, beliun menjadi rujukan ulama lain pada
saat itu, terkenal dengan budi pekerti yang luhur. Bukan cuma ahli dibidang tafsir,
tetapi ilmu-imu yang lain seperti ilmu fiqih dan hadis juga dikuasainya. Sehingga
beliau dikenal dengan al-Fādil, al-„Alim, al-Mufassir, al-Faqīh, al-Muhaddiṡ, al-
Jalīl, al-Ṡiqqah, al-Kāmil, dan al-Nabīl. Kemudian dijelaskan dalam al-Tafsir al-
Mufassirūn, Ṣāhibu Majālis al-Mu‟minīn yang menjelaskan bahwa al-Ṭabasī
11
Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Juz II, (Mesir: Maktabah
Waḥbah, 2003), h. 74 12
„Alī Aḥmad al-Sālūs, Ma‟a al-Syī‟ah al-Iṡnā „Asyariyah fi al-Ushūl wa al-Furū‟
(Dirāsah Muqāranah fi al-„Aqāid wa al-Tafsīr), terj: Ensiklopedi Sunnah-Syi‟ah, Studi
Perbandingan Aqidah dan Tafsir 1, ( Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997), h. 550 13
Yunus Hasan Abidu, Tafsir al-Qur‟an, Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir,
(Jakarta: PT Gaya Media Pratama, 2007), h. 185 14
Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Juz II h. 106
22
disebut dengan sebagai „Umdat al-Mufassirīn (tempat sandaran para mufassir)
beliau adalah golongan ulama yang condong pada ilmu tafsir. 15
Keberhasilannya dalam memahami semua ilmu pengetahuan terlihat ketika
beliau menuangkan dalam bentuk karya tulis. Karya-karya tulis al-Ṭabarsī adalah:
Majma‟ al-Bayān fî Tafsīr al-Qur‟ān sebanyak 10 jilid, al-Wāfī fī Tafsīr al-
Qur‟ān, al-Wasīṭ sebanyak 4 jilid, al-Wajīz sebanyak 2 jilid, A„lām al-Hudā
(membahas tentang keutamaan para Imam) kitab ini sebanyak 2 jilid, Misykāh al-
Anwār membahas tentang khabar-khabar, Risālah Haqāiq al-Umūr membahas
tentang Ushūl al-Dīn, ilmu Farāiḍ dengan bahasa Persi, Kitāb Syawāhid al-Tanzīl
li Qawā‟id al-Tafḍīl, Kitāb al-Jawāhir membahas tentang ilmu naḥwu, Naṣr al-
„Alī merupakan kumpulan risalah dan perkataan Amīr al-Mukminīn „Alī bin Abī
Ṭālib. 16
3. Penilaian Ulama terhadap al-Ṭabarsī
Ada beberapa penilaian ulama tentang al-Ṭabarsī. Pertama, al-Ẓahabī
menyatakan bahwa al-Ṭabarsī adalah mufasir yang tidak ekstrim (ghulah) dan
tidak pula longgar, dalam penafsirannya tidak terlihat ta‟aṣub yang berlebihan.17
Kedua, Mani‟ „Abdul Ḥālim Maḥmūd mengutip pendapat al-Qumi yang
menyatakan bahwa al-Ṭabarsī mempunyai pemikiran yang moderat dan komitmen
dengan keindahan sastra Al-Qur‟an.18
Ketiga, „Alī Aḥmad al-Sālūs, menyatakan
15
Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Juz II, h. 74 16
Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān
muqaddimah Juz I, h. 6 17
Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Juz II h. 106 18
Mani‟ „Abdul Ḥālim Maḥmūd, Manhāj Al-Mufassirin (terjemahan), Metodologi Tafsir:
Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, ( Jakarta: PT RajaGrafindo, 2006), h. 339
23
bahwa al-Ṭabarsī adalah mufasir yang mengikuti langkah al-Ṭūsī yang berhaluan
moderat dari kalangan Syi‟ah Ja‟fāriyyah Iṣna „Asyāriyyah.19
Namun bila diperhatikan ketika al-Ṭabarsī menafsirkan ayat yang
berkaitan dengan doktrin Syiah, ia tampak ekstrim, misalnya pada penafsiran QS.
Al-Maidah [5] ayat 55 :
ورسولو والمذين ءامنوا المذين يقيمون الصملة وي ؤتون الزمكاة وىم ا وليكم اللم راكعون إنم
“Sesungguhnya penolongmu hanyalah Allah dan Rasul-Nya, dan orang-
orang yang beriman yang melaksanakan shalat, membayarkan zakat,
seraya tunduk (kepada Allah)”.
Al-Ṭabarsī menafsirkan lafaz ا وليكم اللم ورسولو sesuai dengan makna إنم
zahir ayat yakni sesungguhnya Allah dan Rasul yang memberikan pertolongan
kepada semua makhluk. Maka wajib untuk mentaati dan melaksanakan semua
perintah Allah dan Rasul. Karena kemaslahatan dan semua urusanmu (manusia)
diatur oleh Allah dan Rasul.20
Kemudian makna ayat والمذين ءامنوا المذين يقيمون الصملة وي ؤتون الزمكاة yakni
orang- orang beriman yang melaksanakan shalat dengan syarat-syaratnya,
membayarkan zakat. Sedangkan makna lafaz وىم راكعون menggambarkan keadaan
orang yang rukuk. Al-Ṭabarsī menyatakan penafsiran lafaz وىم راكعون sebagai
berikut:
و ي و ج لو ا و ل ص ل ب ب النم د ع ب ى ل ع ة ام م إ ة حم ى ص ل ع ل ئ ل الدم ح ض و أ ن م ة ي ال ه ذ ى و م ك ي ل ع و ت اع ط ب ي و م ك ر و م أ ي ب د ت ب ل و أ و ى ن م د ي ف ت م ك ي ل و ة ظ ف ل نم أ ت ب ا ث ذ إ و نم أ ة ام م ل ب و ي ل ع ص النم ت ب ث ى ل ا ع و ن آم ن ي ذ لم ب اد ر م ال نم أ ت ب ث و
19
„Alī Aḥmad al-Sālūs, Ma‟a al-Syī‟ah al-Iṡnā „Asyariyah fi al-Ushūl wa al-Furū‟
(Dirāsah Muqāranah fi al-„Aqāid wa al-Tafsīr), h. 550 20
Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān juz III,
(Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, 1997) h. 275
24
“Ayat ini merupakan dalil tentang kebenaran ke„Imamahan „Ali setelah
Nabi SAW tanpa ada batas, jika ada lafaz م ك ي ل و mengindikasikan bahwa
dia („Alī) yang mengurus masalah pemerintahan dan wajib taat
kepadanya („Alī). Yang dimaksud dengan orang-orang yang beriman pada
teks ayat adalah „Alī. Maka teks ayat (naṣ) menetapkan tentang masalah
kepemimpinan „Alī (wilayah) .
Al-Ṭabarsī juga menyatakan bahwa keta‟atan terhadap kepemimpinan „Alī
(wilāyah) merupakan makna khusus ayat. 21
Dari penafsiran itu, al-Ṭabarsī
mempertahankan doktrin kepemimpinan „Alī (wilāyah) dan kewajiban untuk
mentaati doktrin itu.
Di satu sisi, penilaian ulama menyatakan bahwa al-Ṭabarsī adalah seorang
mufasir Syi‟ah yang moderat dan tidak fanatik dalam membela akidah Syi‟ah.
Sedangkan di sisi lain, al-Ṭabarsī kelihatan ekstrim dalam menafsirkan ayat-ayat
yang berkenaan dengan doktrin Syi‟ah. Hal ini merupakan paradigma terhadap
corak penafsiran al-Ṭabarsī.
4. Latar Belakang dan Sistematika Penulisan Tafsīr Majma‟ al-Bayān
a. Latar Belakang Penulisan Tafsīr Majma„ al-Bayān
Muḥammad Ḥusain al-Żahabī menyebutkan suatu kisah aneh tentang latar
belakang penulisan Tafsīr Majma„ al-Bayān. Pada suatu ketika al-Ṭabarsī pernah
„mati suri‟, sehingga orang-orang menganggap al-Ṭabarsī sudah wafat. Kemudian
mereka memandikan, memberi kain kafan dan menguburkan. Setelah itu mereka
kembali pulang. Pada saat al-Ṭabarsī sadar dan mengetahui dirinya sudah berada
di dalam kuburan, serta merasakan jalan keluar tertutup baginya dari segala arah,
21
Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān juz III,
(Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, 1997) h. 275
25
maka al-Ṭabarsī bernazar jika ia selamat dari musibah tersebut beliau akan
mengarang sebuah kitab tentang tafsir al-Qur‟an.22
Kemudian beberapa orang nabbāsy23
datang bermaksud untuk mencuri
kain kafan al-Ṭabarsī. Pada saat kuburan sudah dibongkar, maka Syeikh al-
Ṭabarsī memegang nabbāsy tersebut. Kemudian nabbāsy tersebut kaget dan
berteriak. Lalu al-Ṭabarsī berbicara, sehingga membuat nabbāsy itu semakin
ketakutan. Kemudian al-Ṭabarsī menyatakan bahwa ia hanya mati suri sehingga
orang-orang menguburkan. Karena al-Ṭabarsī tidak kuat untuk bangkit dan
berjalan maka nabbāsy mengangkat dan membawanya ke rumah. Setelah itu al-
Ṭabarsī memberi hadiah berupa sejumlah uang kepada nabbāsy. Kemudian
nabbasy itu bertaubat dan al-Ṭabarsī melaksanakan nazarnya untuk menulis kitab
Majma„ al-Bayān‟.24
Motivasi al-Ṭabarsī menulis Kitab Majma„ al-Bayān adalah karena beliau
terkesan dengan kitab al-Ṭibyān karangan Abū Ja„fār Muḥammad Ibn al-Ḥasan al-
Ṭūsī. Kitab al-Ṭibyān itu mengandung makna yang indah dan menggunakan
pendekatan bahasa yang luas. Akan tetapi tafsir tersebut masih
mencampuradukkan antara i„rāb dan naḥwu, kadang-kadang menggunakan lafadz
yang jauh dari makna yang dimaksud belum disusun secara sistematis.25
Karena
22
Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Juz II, h. 74-75 23
Yaitu para penggali kuburan yang bermaksud mencuri kain kafan dan perhiasan 24
Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Juz II, h.74-75 25
Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān
muqaddimah Juz I, h. 6. Lihat Juga Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Juz
II, h. 75
26
al-Ṭabarsī kagum kepada al-Ṭūsī maka dalam penafsirannya banyak merujuk
riwayat-riwayat dari al-Ṭūsī.26
Kuatnya keinginan beliau untuk menyusun sebuah kitab tafsir, ia
menceritakan tentang hal itu dalam muqaddimah tafsirnya. al-Ṭabarsī menyatakan
bahwa ketika ia masih muda, berfikir kritis, timbul kerinduan baginya untuk
mengarang sebuah kitab tafsir yang menghimpun rahasia naḥwu dan
menggunakan pendekatan bahasa yang luas, menerangkan qirāat dan ilmu-ilmu
lainnya. Setelah berumur 60 tahun, beliau tertantang untuk mewujudkan tekad ini
setelah mendapat perhatian besar dari Maulāna al-„Amīr al-Sayyid al-„Ajl al-
„Ālam, dan Abū Manṣūr Muḥammad ibn Yaḥyā ibn Hibahillāh al-Ḥusainī.
Kemudian al-Ṭabarsī memenuhi permintaan Maulāna al-„Amīr Abū Manṣūr dan
beristikharah. Selanjutnya al-Ṭabarsī mulai menulis tafsir.27
Al-Ṭabarsī memberi judul kitab tafsirnya dengan Majma„ al-Bayān li
„Ulūm al-Qur‟ān. Sebagian ulama menyebutkan judul kitab al-Ṭabarsī adalah
Majma‟ al-Bayān fî Tafsīr al-Qur‟ān.28
Dalam kamus Mu„jām al-Wasīṭ
disebutkan bahwa Majma„ berarti tempat berkumpul ( .( ع ا م ت ج ال ع ض و : م ع م ج م ل ا 29
Dan al-Bayān berarti dalil ( ة جم ل ا : ان ي ب ل ا ).30 Berdasarkan penjelasan itu, maka arti
Majma„ al-Bayān li „Ulūm al-Qur‟ān yaitu tempat (media) berhimpunnya hujjah,
dalil dan penjelasan ilmu-ilmu al-Qur‟an („Ulūm al-Qur‟ān).
26
Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān
muqaddimah Juz I., h. 7 27
Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Juz II, h. 76 28
Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān,
muqaddimah juz I, h. 8 29
Ibrāhīm Muṣṭafā, al-Mu‟jām al-Wasīṭ, Juz 1, h. 157 30
Ibrāhīm Muṣṭafā, al-Mu‟jām al-Wasīṭ, Juz 1, h. 80.
27
Dari pemaparan di atas, diketahui bahwa kitab tafsir Majma„ al-Bayān
menghimpun berbagai jenis ilmu (al-Qur‟an) dan cabang-cabangnya dalam
menafsirkan al-Qur‟an. Diantaranya adalah qirāat, i„rāb, lughāh, asbāb al-Nuzūl,
qaṣaṣ, aḥkām, dan lain-lain. Jadi, sangat relevan jika kitab tafsir ini dinamakan
dengan Majma„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān karena al-Ṭabarsī menampilkan dan
menghimpun penjelasan terhadap al-Qur‟an melalui pendekatan „Ulūm al-Qur‟ān.
b. Sistematika Penulisan Tafsīr Majma„ al-Bayān
Teknik sistematika penulisan al-Ṭabarsī, sebelum beliau menafsiri ayat
demi ayat, surat demi surat, terlebih dahulu di dalam muqaddimah tafsir ini, al-
Ṭabarsī memberikan pendahuluan dengan menyebutkan tujuh perkara yang
berkaitan dengan ilmu-ilmu al-Qur‟an. Tujuh perkara tersebut ialah:
1) Menjelaskan jumlah ayat al-Qur‟an dan manfaat mengetahuinya
2) Menjelaskan penyebutan nama-nama pembaca al-Qur‟an (qurrā‟) dan
perawi yang terkenal di beberapa negeri
3) Menjelaskan pengertian tafsīr, ta‟wīl dan makna, serta penjelasan
beberapa istilah yang sering digunakan di dalam tafsir ini. Juga
penjelasan tentang bagaimana memahami ayat-ayat dan hadis-hadis
yang menunjukkan larangan menafsirkan al-Qur‟an dengan ra‟yi dan
yang membolehkan.
4) Menjelaskan nama-nama al-Qur‟an dan maknanya
5) Menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan ilmu-ilmu al-
Qur‟an, dijelaskan secara panjang lebar pada tempat-tempat tertentu
dan juga disebutkan kitab-kitab yang berkaitan dengan tema tersebut,
seperti I‟jāz al-Qur‟ān.
28
6) Menjealaskan hadis-hadis yang menunjukkan tentang keutamaan al-
Qur‟an dan ahlinya (orang yang membaca, memahami dan
mengamalkannya)
7) Menjelaskan anjuran membaca al-Qur‟an dengan memperindah
bacaan (Taḥsīn al-Lafẓ) dan suara yang indah. 31
Baru kemudian dengan menafsirkan al-Qur‟an, di mulai dari Ta„awuẓ,
Basmālah, Sūrah al-Fātiḥah dan seterusnya. Dalam kitab tafsir Majma„ al-Bayān
al-Ṭabarsī menempuh langkah-langkah sebagai berikut:
Mengawali tiap-tiap surat dalam al-Qur‟an dengan menyebut surat
identitas setiap surat apakah makiyyah atau madaniyah, kemudian menjelaskan
perbedaan pendapat ulama masalah bilangan ayat-ayat al-Qur‟an dalam surat itu,
menjelaskan juga perbedaan ulama masalah qiraāt. Dan menjelsakan analisis
bahasa berkaitan dengan makna lafadz atau kalimat, menjelaskan i„rāb dan
kemusykilannya. Kemudian menjelaskan illāt dan hujjah masing-masing,
menjelaskan asbāb al-Nuzūl, i„rāb, ma„āni, hukum, kisah-kisah dan korelasi
runtun ayat. 32
5. Manhāj, Corak dan Sumber penafsiran al-Ṭabarsī
Dilihat dari segi metodologi penafsiran al-Qur‟an, Tafsīr Majma al-Bayān
dikategorikan tafsir taḥlīlī, karena al-Ṭabarsī menafsirkan al-Qur‟an ayat demi
ayat sesuai dengan tertib ayat dan surat dalam Musḥāf al-Qur‟ān mulai dari awal
surat al-Fatiḥah sampai akhir surat al-Nās.
31
Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān,
muqaddimah juz I, h. 8-17, lihat juga: Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn,
juz II, h. 77-78. 32
Yunus Hasan Abidu, tafsīr al-Qur‟ān, Sejarah Tafsir dan Metode para Mufassir, h.
70-71
29
Al-Ṭabarsī menjelaskan manhāj (metode) yang digunakan di dalam
Majma‟ al-Bayān pada muqaddimah tafsirnya:
ا , ت آي د د ع ف ف ل ت خ ل ا ر ك ذ ثم , اه ي ن د م ا و ه ي ك م ر ك ذ ة ر و س ل ك ع ل ط م ف ت م د ق و
ل ل لع ا ر ك ذ , ثم ات اء ر ق ال ف ف ل ت خ ل ا ة آي ل ك ف م د ق أ ا , ثم ت و ل ت ل ض ر ك ذ ثم
ر ك ذ , ثم ت ل ك ش م ال و اب ر ع ل ا ر ك ذ أ . ثم ات غ ل ال و ة يم ب ر لع ا ر ك ذ أ , ثم ت اجا ج ت ح ل او
, ثم ات ه ل ا و ص ص لق ا , و ت ل ي و أ التم و ام ك ح ل ا و ان ع ل ا ر ك ذ , ثم ت ل و ز الن و اب ب س ل ا
ل ك و ب ا ر ع إ ف , و ة ح ئ ل ة رم غ لم ك و ت يم ب ر ع ف ت ع ج د ق ن ى أ ل , ع ت ي الل ام ظ ت ن إ ر ك ذ
د م ب و ه , ي ب م ان ى ر ب و ت ل ك ش م ف , و ي ت م ل و ق ل ك و ي ان ع م ف . و ة ح اض و ة جم ح
, ة ر ي خ و ذ ك اس لنم ل , و ة ر ي ص ب ئ ر ق م ل ل . و ة دم ي ع و ح لنم ل . و ة د م ع ب ي د ل ل هللا
ان ي لب ا ع م م و ت ي سم و ة آل ظ اع و ل ل . و ة ل ل د و ي ق ف ل ل . و ة جم م ث د ح م ل ل . و ة جم ح م ل ك ت م ل ل و
33.آن ر لق ا ي س ف ت ف
“Setiap awal surat dimulai dengan menyebutkan kategori surat, apakah
makiyah atau madaniyah. Disebutkan perbedaan ulama tentang jumlah
ayat pada surat tersebut. Kemudian disebutkan tilāwah (bacaan)nya.
Ditampilkan juga pada setiap ayat perbedaan pada qirāat dengan
menyebutkan sebab-sebab dan argumentasi yang kuat. Kemudian
disebutkan aspek bahasa Arab dan dialek-dialek (lughāh) Arab.
Seterusnya disebutkan i‟rab dan kata-kata yang sulit (musykīl), sebab
turun (ayat/surat), penjelasan ayat, hukum-hukum yang dikandung serta
takwilnya. Disebutkan kisah-kisah dan jihāt.34
Kemudian disebutkan
tentang ketersusunan ayat”. Bahwa saya menghimpun, setiap kosa kata
sulit yang sering ditinggalkan pada saat memberikan pendekatan makna
secara bahasa. Ketika mengi‟rab diberikan hujjah (argumentasi) yang
jelas. Pada saat menjelaskan ayat, dikemukakan pendapat-pendapat yang
kuat. Dan tatkala menerangkan kalimat yang sulit (musykīl) dan
mengandung banyak makna, diberikan penjelasan yang terang. Sehingga
33
Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān,
muqaddimah juz I, h. 8 lihat juga: Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, juz
II, h. 77 34
Yaitu: tempat terjadinya suatu peristiwa atau kisah.
30
Alhamdulillāh tafsir ini dapat menjadi pegangan bagi ahli sastra,35
ahli
naḥwu,36
penerang bagi ahli qirāat,37
bekal bagi pelaku ibadah (nāsik),38
hujjah (dalīl) bagi ahli kalam, tempat berhujjah bagi ahli hadis,39
dalālah
(petunjuk) bagi ahli fiqh,40
dan sebagai sarana bagi ahli mau‟iẓah, 41
Maka dengan demikian tafsir ini diberi nama „Majma‟ al-Bayān fi Tafsīr
al-Qur‟ān”.
Dilihat dari segi nau‟nya (bentuk), tafsir Majma„ al-Bayān termasuk jenis
kategori tafsir bi al-Ra‟yi, di mana dalam menafsirkan ayat beliau menggunakan
hasil pemahaman mufassir, sedangkan ayat-ayat yang berkaitan, hadis-hadis yang
yang ada dan beberapa pendapat difungsikan sebagai hujjah atau penguat atas
pendapat yang dikeluarkan dalam menafsirkan. Sebagaimana diterangkan dalam
al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, dalam tafsir Majma„ al-Bayān terdapat banyak hadis
mauḍū‟ juga cerita israillīyāt.
Sedangkan dilihat dari laun (coraknya), tafsīr Majma„ al-Bayān ini
termasuk laun lughāwi. Bahkan taqdīm-nya, tafsir ini digolongkan kitab untuk
rujukan I„rāb al-Qur‟ān, hal ini disebabkan memuatnya semua aspek kebahasan
untuk membedah ma‟na al-Qur‟an khususnya bahasan I„rab ayat-ayat al-Qur‟an.
Sedangkan jika Merujuk pada kajian yang dilakukan Rosihon Anwar, secara
35
Karena di dalam tafsir ini sering digunakan pendekatan bahasa dan menampilkan syair
arab sebagai syaḥīd (pembanding) untuk menguatkan makna bahasa. 36
Karena di dalam tafsir ini juga banyak didapatkan i‟rab dan kaidah-kaidah bahasa
dalam menafsirkan ayat-ayat. 37
Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī juga menampilkan perbedaan pada qirāat dan
menerangkan makna masing-masing bacaan. 38
Karena al-Ṭabarsī secara panjang lebar menerangkan tentang ayat hukum, meskipun
al-Ṭabarsī dalam masalah hukum lebih condong membela mazhabnya. 39
Dalam hal ini al-Ṭabarsī menampilkan hadis-hadis dalam menafsirkan ayat,
menerangkan keutamaan surat, sebab turun ayat. Namun al-Ṭabarsī tidak memberikan penilaian
terhadap hadis tersebut, apakah ṣaḥīh atau ḍa‟īf. 40
Karena al-Ṭabarsī menggunakan pendekatan fiqh dan kaidah ushūl fiqh dalam
menafsirkan ayat-ayat hukum. 41
Yaitu dalam memberikan penerangan atau nasehat bisa merujuk kepada tafsir ini.
31
keseluruhan corak penafsiran al-Ṭabarsī sama dengan corak tafsir Syi‟ah yaitu
tafsir simbolik (menekankan pada aspek baṭīn al-Qur‟ān).42
Dilihat dari sumber Penafsiran al-Ṭabasī, Tafsir Majma„ al-Bayān
termasuk jenis kategori tafsir al-Ra‟yi, dimana dalam menafsirkan ayat, beliau
menggunakan hasil pemahamannya. Sedangkan adannya ayat-ayat yang berkaitan,
hadis-hadis yang ada dan beberapa pendapat difungsikan sebagai hujjah atau
penguat atas pendapat yang dikeluarkan dalam menafsirkan. Sebagaimana
diterangkan dalam al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, dalam tafsir Majma„ al-Bayān juga
terdapat banyak hadis mauḍū‟ juga cerita Israilliyat.
6. Pendapat Ulama Terhadap Tafsir Majma‟ al-Bayān
Setelah menelusuri tafsir karya al-Ṭabarsī, didapatkan bahwa tafsir ini
merupakan karya besar. Karena al-Ṭabarsī memiliki metode yang sistematis
dalam menulis tafsir, menghimpun ilmu-ilmu al-Qur‟an dalam menafsirkan ayat,
juga menjelaskan ayat dengan penjelasan yang tuntas. Hal ini sesuai dengan
pendapat al-Żahabī tentang kitab Majma‟ al-Bayān.
Al-Żahabī menyatakan bahwa tafsir al-Ṭabarsī terpengaruh oleh paham
Syi‟ah dan Mu‟tazilah, kitab ini merupakan karya besar dalam penulisannya. Hal
ini menunjukkan bahwa penulisnya memiliki disiplin keilmuan dan ilmu
pengetahuan yang beragam. Kitab ini memiliki metode yang mengindikasikan
siapa penulisnya, sehingga mencapai kesempurnaan dalam susunan ayat yang
indah, semua aspek yang dicari dapat ditemukan dalam kitab ini, ketika berbicara
tentang aspek makna lughāh dan mufradāt maka akan ditemukan pembahasan dari
42
Abdul Mustaqim, Mażāhibut Tafsīr; Peta Metodologi Penafsiran al-Qur‟an Periode
Klasik hingga Kontemporer, h.85
32
aspek lughāh dan mufradāt, ketika berbicara tentang aspek qirāat maka akan
ditemukan pembahasan dari aspek qirāat, ketika berbicara tentang aspek asbāb al-
Nuzūl maka akan ditemukan pembahasan dari aspek asbāb al-Nuzūl, ketika
berbicara tentang aspek hukum maka akan ditemukan pembahasan dari aspek
hukum dan menukil pendapat para Fuqaha, menukil pendapat mufasir di kalangan
sahabat. Di samping memiliki keistimewaan, kitab Majma‟ al-Bayān ini juga
memiliki kekurangan yaitu penulisnya dipengaruhi oleh paham yang dianutnya
yaitu Syi‟ah. Sehingga tafsir al-Ṭabarsī akan dianggap menyimpang dari sisi
akidah, karena membela paham Syi‟ah. Dan diantara kekurangan tafsir ini juga
masih didapatkan riwayat dan hadis mauḍū‟ di dalamnya terutama hadis-hadis
tentang keutamaan surat. 43
Al-Żahabī mengutip pendapat penulis kitab Majālis al-Mukminīn, ia
menyatakan bahwa kitab Tafsir Majma„ al-Bayān merupakan penjelasan yang
lengkap dan indikator yang utuh untuk mengetahui kemampuan al-Ṭabarsī di
sejumlah cabang keilmuan dan kesempurnaannya.44
Iḥsān Amīn mengutip pendapat Syekh Maḥmud al-Syaltūṭ yang
menyatakan bahwa kitab Majma „al-Bayān ini tidak ada tandingannya. Kitab itu
menunjukkan atas keluasan dan pembahasannya yang mendalam, memiliki
keistimewaan tersendiri dalam urutan penulisan, bab-babnya, penyesuaian dan
pengaturan.45
43
Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Juz II h. 78 44
Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Juz II, h. 74 45
Ihsān al-Amīn, Ma‟a al-Syī‟ah al-Iṡnā „Asyariyah fi al-Ushūl wa al-Furū‟ (Dirāsah
Muqāranah fi al-„Aqāid wa al-Tafsīr), terjemahan: Ensiklopedi Sunnah-Syi‟ah, Studi
Perbandingan Aqidah dan Tafsir 1, h. 424
33
Dari pemaparan para ulama dapat diketahui bahwa tafsir Majma„ al-Bayān
mempunyai kelebihan yaitu memuat penyusunan bab-bab yang teratur sehingga
mudah dipahami oleh orang-orang yang membaca kitab tafsirnya, pembahasannya
mendalam ketika membahas dari segi lughāh, qirāat dan hukum fiqh karena al-
Ṭabarsī mengutip pendapat ahli bahasa, qirāat dan fuqahā‟ yang berkompeten
dari para sahabat dan tabi‟in.
Di samping itu, tafsir Majma „al-Bayān juga mempunyai kekurangan
diantaranya pengutipan pendapat ahli bahasa seperti al-Kūfī,46
yang cenderung
menafsirkan ayat-ayat sesuai dengan ra‟yu-nya dan memaksakan penafsiran ayat
sesuai paham Syi‟ah, mengutip pendapat ulama dan Imam Syi‟ah ketika
menafsirkan ayat-ayat akidah sehingga penafsiran tersebut akan dianggap
menyimpang dari sisi akidah karena terlihat membela akidah Syi‟ah, memuat
riwayat-riwayat dan hadis-hadis mauḍū' dalam kitab tafsirnya tanpa melakukan
penilaian status hadis.
B. Biografi Dan Karakteristik Tafsir al-Mīzan fi Tafsir al-Qur’an
1. Riwayat Hidup, Sosial dan Akademiknya
Allāmah Sayyid Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī dilahirkan di Tabriz
pada tanggal 30 Zulhijjah 1321H (17 Maret 1903M). Beliau datang dari keluarga
Tabriz kenamaan, yaitu keluarga Ṭabāṭabā„ī. Selama tiga abad terakhir, keluarga
ini telah mencetak generasi demi generasi ulama terkenal di Azarbaijan. Mereka
46
Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān,
muqaddimah juz I, h. 45
34
adalah keturunan Imam kedua, al-Hāsan bin „Alī as. Keluarga besar ini dirujuk
dengan gelar al-Qāḍi.47
Al-Allāmah al-Ṭabāṭabā„ī adalah putra al-Sayyid Muḥammad bin al-
Sayyid Muḥammad Ḥusain al-Ṭabātabā‟ī. Ayahnya meninggal pada tahun
1330H/1912M. Anak yatim ini tumbuh besar di Tabriz, dan setelah
menyelesaikan pendidikan keagamaan di sana, pada sekitar tahun 1341H/1923M,
beliau pergi ke al-Najāf al-Asyrāf („Irak), pusat paling penting untuk pendidikan
keagamaan Islam.48
Di al-Najāf al-Asyrāf, beliau mengawali studi-studi lebih tingginya
bersama ulama-ulama termasyhur seperti Syaikh al-Mirza Muḥammad Ḥusain
(putra syaikhūl Islām al-Mirza „Abdurrahīm) Na‟inī al-Gharawī dan Syaikh
Muḥammad Ḥusain (putra al-Ḥajj Muḥammad Ḥāsan, Muinu al-Tujjār) Iṣfaḥānī.
Keduanya ini, bersama Syaikh Ḍiyauddīn (putra Maulāna Muḥammad) „Iraqi,
yang merupakan tokoh yang sangat dihormati di dunia Syi‟ah. Mereka termasuk di
antara ulama-ulama paling menonjol bukan saja di bidang-bidang yurispendasi
Syi‟ah dan prinsip-prinsip dasar yurispendasi, namun juga dalam semua studi
Islam. Pendapat-pendapat yang mereka paparkan dan teori-teori yang mereka
kemukakan, diikuti oleh semua ulama setelah mereka. Mereka mendirikan
mazhab berpikirnya sendiri-sendiri. Mereka mendidik ribuan ulama dan ahli
hukum Syi‟ah dan semua marja‟ taqlīd (otoritas tertinggi untuk fikih,
yurisprudensi, aturan-aturan syariat, yang putusan-purusannya diikuti oleh
47
Muḥammad Ḥusain al-Ṭābāṭaba‟ī, Tafsīr al-Mīzān, terj. Ilyas Hasan, (Jakarta: Lentera,
2010), Jilid. 1, h. 11. 48
Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr al-Mīzān . h. 11.
35
ummat) dunia Syi‟ah, yang sehingga dewasa ini melahirkan ramai anak-anak
didik.49
Al-Allāmah al-Ṭabāṭabā„ī banyak dipengaruhi oleh dua guru besar saat itu,
yaitu Mirza Muḥammad Ḥusain Na‟inī dan Muḥammad Ḥusain Iṣfaḥanī, lebih
khusus kepada Iṣfaḥanī dalam perkembangan pemikiran-pemikiran dan
pengetahuannya sehingga apabila beliau bertahan dalam bidang pengetahuan ini
sepenuhnya, beliau akan menjadi seorang mujtahid yang terkenal dan berpengaruh
dalam bidang politik dan sosial.50
Akan tetapi hal itu bukan jalan hidupnya, beliau sangat tertarik pada
pengetahuan-pengetahuan „aqliyah, dan beliau belajar dengan Sayyid Abu al-
Qāsim Khawansārī, yang dikenal sebagai “Ahli Matematika”.51
Al-Ṭabāṭabā„ī
merasa bangga dapat mempelajari ilmu matematika darinya sehingga beliau
menulis sebuah buku tentang beberapa topik matematika tinggi yang mana beliau
mengaplikasikan beberapa teori khusus dari gurunya. Beliau kemudian belajar
filosofi dan metafisika dari Sayyid Ḥusain Sayyid Riḍā al-Ḥusaini al-Baḍkūbī
(sekarang disebut Baḍkūbī, ibukota Azarbaijan Soviet), beliau merupakan tokoh
yang termasyhur di bidang filosofi dan studi-studi terkait pada masa itu. Di bidang
etika dan spiritual, beliau menerima pendidikannya dari keluarganya, al-Sayyid
Mirza „Alī Aghā (al-Mirza Ḥusain al-Qāḍī) Ṭabāṭabā‟ī, seorang ulama yang
49
Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr Al-Mīzān . h. 11. 50
Muḥammad Ḥusain al-Ṭābāṭaba‟ī, Islam Syi‟ah; Asal-Usul dan Perkembangannya,
terj.Djohan Effendi, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993), Cet. II, h. 22. 51
Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Islam Syi‟ah; Asal-Usul dan Perkembangannya,
Cet. II, h. 22.
36
mendirikan sebuah sekolah pendidikan spiritual dan etika yang tumbuh sehat dan
kuat hingga saat ini.52
Segenap pengaruhnya itu berpadu dalam diri al-Ṭabāṭabā„ī untuk
menciptakan dalam dirinya sebuah personalitas akademis dan spiritual yang
berimbang sempurna. Seorang otoritas terpandang di bidang studi-studi
keagamaan seperti fikih dan prinsip-prinsip dasarnya, seorang filosof yang
pandangan-pandangannya independen dan memiliki beragam teori baru, yakni
sebuah model kesempurnaan etika dan spiritual yang bersemangat, yang bukan
saja mengajarkan moralitas namun juga mengamalkannya.
Al-„Allāmah al-Ṭabāṭabā„ī kembali ke Tabriz pada tahun 1353H/1934M.
Di sini beliau disambut hangat sebagai seorang ulama, beliau menghabiskan
waktunya dengan mengajar filosofi tinggi kepada murid-murid yang antusias.
Namun, ini merupakan sebuah tempat kecil bagi talenta-talentanya. Pada tahun
1364H/1945M, beliau berhijrah ke Qum, pusat pendidikan keagamaan paling
penting di Iran. Di Qum, beliau berbagi pengetahuan etika, filosofi dan tafsir al-
Qur‟an kepada murid-murid yang sudah mencapai tingkat pengetahuan yang
tinggi. Di sini lah beliau menetap sehingga kewafatan beliau pada tahun
1402H/1981M. Beliau banyak menghasilkan para cendekiawan dan para
pemimpin, dan yang paling masyhur di kalangan muridnya adalah Murtadha
Muthahhari.53
52
Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr al-Mīzān, h. 12 53
Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr al-Mīzān, h. 13
37
2. Keilmuan dan Karya-Karya al-Ṭabāṭabā„ī
Al-Ṭabāṭabā„ī merupakan salah seorang ulama yang menguasai berbagai
disiplin ilmu pengetahuan umum juga keagamaan; meliputi fiqh, usul fiqh,
tasawuf sampai ilmu matematika dan filsafat. Sebagai seorang filosof,
kecenderungannya terhadap filsafat bahkan sangat mewarnai karya-karya
intelektualnya, termasuk dalam kitab tafsirnya, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān.
Selain teguh belajar pada ulama-ulama besar, al-Ṭabāṭabā„ī banyak menghasilkan
karya-karya dalam bentuk penulisan. Antaranya adalah :
a. Berbentuk Buku : 1). al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān. Karya al-Ṭabāṭabā„ī ini
tergolong paling monumental terdiri dari dua puluh jilid. 2). Uṣūl al-
Falsafah wa Rawis Rialism, terdiri dari lima jilid. Dengan pengantar
ekstensif oleh Murtadha Mutahhari. 3). Hāsyisyah bar Asfār, adalah notasi
dari karya Mulla Shadra yang berjudul Asfār. 4). Muṣāhabāt ba Ustād
Qurban, karya terdiri dari dua jilid yang berdasarkan atas tanya jawab
antara al-Ṭabāṭabā„ī dan Henry Corbin. 5). „Ali wa Falsafah al-Ilāhiyyah.
6). Syi‟ah dar Islām. 7). Qur‟an dar Islam, (Islam Syi‟ah).54
b. Berbentuk Makalah: Risalah dar Hukūmāt Islāmī, Hasyīsyāh Kifāyah,
Risālah dar Qūwwah wa Fi‟īl, Risālah dar Iṡbat Dzāt, Risālah dar Shifāt,
Risālah dar Af‟āl, Risālah dar Insān Qabl al-Dunya, Risālah dar
Nubūwwat, Risālah dar Wilayāt, Risālah dar Musytaqqāt, Risālah dar
Burhān, Risālah dar Tahlīl, Risālah dar Tarkīb dan Risālah dar Nubūwwāt
wa Manāmāt.55
54
Muḥammad Ḥusain Ṭabāṭabā‟ī, Islam Syi‟ah; Asal-Usul dan Perkembangannya, h. 287 55
Muḥammad Ḥusain Ṭabāṭabā‟ī, Islam Syi‟ah; Asal-Usul dan Perkembangannya, h. 288
38
Al-Ṭabāṭabā„ī juga seorang pengarang dan penulis berbagai artikel yang
hadir selama dua puluh tahun belakangan dalam jurnal-jurnal Maktaba Tasyayyu‟,
Maktab al-Islāmi, Ma„ārif al-Islāmi dan dalam koleksi-koleksi seperti The Mulla
Sadra Commermoration Volume dan Marja‟īyyāt wa Ruhaniyāt. 56
3. Pemikiran al-Ṭabāṭabā‟ī Terhadap Filsafat
„Allāmah Ṭabāṭabā‟ī adalah salah satu filusuf Islam tradisional yang
berpengaruh di Iran Modern dalam kajiannya tentang sifat-sifat Tuhan. Al-
Ṭabāṭabā‟ī lebih condong meng klasifikasikan sifat-sifat Tuhan menjadi dua
bagian, yakni sifat-sifat zat Tuhan dan sifat-sifat perbuatan-Nya. Dengan
klasifikasi demikian, ia kemudian berkesimpulan bahwa hubungan zat Tuhan
dengan sifat-sifat-Nya adalah tidak terpisah karena sifat-sifat zat Tuhan sama atau
identik dengan zat-Nya, sedangkan sifat-sifat perbuatan sebagai sifat-sifat
tambahan atas zat Tuhan.
Karya-karya filsafatnya yang memuat kajian tentang tuhan adalah Bidāyat
al-Hikmah, Nihāyat al-Hikmah, „Ali wa al-Falsafah al-Ilāhiyyah, dan Uṣul al-
Falsafah wa Manhaj al-Waqi‟i. Menurut Mehdi Amin razavi‟, Bidayat al-Hikmah
dan Nihāyat al-Hikmah merupakan karya Filsafat „Allāmah Ṭabāṭabā‟ī yang
terakhir. Dalam kedua karya tersebut, „Allamah Ṭabāṭabā‟ī mengkaji tentang
metafisika atau yang lazim dikenal dengan istilah al-Ilāhiyyah, uraian „Allāmah
Ṭabāṭabā‟ī tentang Tuhan dibangun didasarkan ucapan-ucapan „Ālī a.s karya ini
56
Muḥammad Ḥusain Ṭabāṭabā‟ī, Islam Syi‟ah; Asal-Usul dan Perkembangannya, h.
288-289
39
bisa disebut dengan syarah atau komentar „Allāmah Ṭabāṭabā‟ī atas hadis Imam
„Ālī.57
Dalam pemikiran filosofis al-Ṭabāṭabā‟ī tentang Tuhan, makan akan
terlihat sebagai berikut : (1) Bukti yang diajukan oleh „Allamah Ṭabāṭabā‟ī
tentang adanya Tuhan. (2) Pandangan „Allāmah Ṭabāṭabā‟ī tantang hubungan zat
Tuhan dengan sifat-sifat-Nya, (3) Pandangan „Allāmah Ṭabāṭabā‟ī tentang
beberapa sifat Tuhan, seperti pengetahuan Tuhan, kekuasaan dan kehendak
Tuhan, hubungan kehendak Tuhan dengan manusia, al-Ināyah, qadha‟ dan qadar,
al-„Ināyah al-Ilāhiyah, serta kebaikan dan kejahatan. 58
4. Penilaian Ulama terhadap al-Ṭabāṭabā‟ī
Mengenai kemampuan al-Ṭabāṭabā‟ī dalam bidang fiqh dan ushul fiqh ini,
Sayyid Ḥusain Naṣr memberikan penilaian, kalau saja ia tetap bertahan
sepenuhnya dalam bidang tersebut, ia sebenarnya telah menjadi seorang mujtahid
terkenal dan amat berpengaruh dalam bidang politik dan sosial.59
Menurut Rosihon Anwar, al-Ṭabāṭabā‟ī dalam perkembangan tafsir bathini
dikalangan syi‟ah modern, memiliki keunikan sendiri. Beliau berbeda dengan tokoh-
tokoh sebelumnya adalah keterbukaan terhadap pendapat tokoh-tokoh Sunni. Seperti
Jalaluddīn al-Ṣuyūṭi dengan kitab al-Durr al-Manṡūr dan beberapa kitab lainnya yang
dijadikan sebagai rujukannya.60
57
Achmad Muchaddam Fahham, Tuhan dalam Filsafat „Allāmah Ṭabātabā‟ī (Relavansi
Pandangan Moral dengan Eksistensi Tuhan dalam Realisme Insingtif, (Yogyakarta : Rausyanfikr
Insitute, 2004) h. 5 58
Achmad Muchaddam Fahham, Tuhan dalam Filsafat „Allāmah Ṭabātabā‟ī (Relavansi
Pandangan Moral dengan Eksistensi Tuhan dalam Realisme Insingtif) h. 5 59
Sayyid Ḥusain Naṣr, “Kata Pengantar” dalam karya al-Ṭabāṭabā‟ī, al-Qur‟an fi al-
Islam, terjemahan M. Wahyudin (Bandung, Mizan, 2009), h. 21 60 Rosihon Anwar, Al-Mīzan : Maha Karya Abad Modern (cuplikan-cuplikan dari buku
menelusuri ruang batin al-qur'an: belajar tafsir batini pada allamah thabathaba'i), (Jurnal LPII
Muthahhari, 3 Juni 2017), h.2
40
„Ali al-Usi berkomentar, bahwa al-Ṭabāṭabā‟ī telah mengumpulkan berbagai
macam persoalan penting yang dipengaruhi oleh kabanngkitan modern dalam dunia
penafsiran. Beliau melakukan perlawanan dengan musuh-musuh Islam yang secara
sengaja membelokkan pemahaman keislaman yang benar, yang dilandasi atas jiwa
kemasyarakatan yang terlahir dari al-Qur‟an itu sendiri.61
5. Latar Belakang, Sistematika Penulisan Tafsīr al-Mīzān
a. Latar Belakang Penulisan Tafsir al-Mīzān
Sebelum memberikan bahasan latar belakang dan sistematika tafsir al-
Mīzān terlebih dahulu kita akan melihat pada sejarah penulisannya. „Allāmah al-
Ṭabāṭabā„ī, yang pertama kali tiba di Ḥawzah Qum pada 1325 H, menulis dan
memberikan kuliah-kuliah secara intensif mengenai berbegai cabang keilmuan
Islam. Komentar dan penafsiran atas al-Qur‟an adalah salah satu topik diskusinya
yang melibatkan para sarjana dan para sarjana di lingkungan Ḥawzah „Ilmiyyah di
Qum.62
Mengenai maksudnya menulis tafsir al-Mīzān, „Allāmah al-Ṭabāṭabā„ī
sendiri menyatakan bahwa ketika ia datang dari Tabriz ke Qum, ia mempelajari
dan melihat adanya berbegai kebutuhan dalam diri masyarakat Islam, termasuk
berbagai situasi yang melingkupi lembaga di Qum ini.
Setalah itu ia sampai pada kesimpulan bahwa lembaga tersebut amat
membutuhkan satu tafsir atas al-Qur‟an untuk mendapatkan sebuah pemahaman
yang lebih baik dan intruksi yang lebih efektif untuk sampai pada makna tersirat
dalam teks yang paling penting dan paling tinggi kedudukannya di dalam Islam.
61
Sayyid Ḥusain Naṣr, “Kata Pengantar” dalam karya al-Ṭabāṭabā‟ī, al-Qur‟an fi al-
Islam, terjemahan M. Wahyudin (Bandung, Mizan, 2009), h. 22 62
Abū al-Qāsim al-Razzāqī, Pengantar Kepada Tafsir al-Mīzān, terj. Nurul Gustina, al-
Hikmah Jurnal Studi Islam, No. 8. (Bandung: Yayasan Muthahari 1993) h. 2-3
41
Di sisi lain, karena gagasan-gagasan materialistik telah sangat mendominasi, ada
kebutuhan besar akan wacana rasional dan filosofis yang akan memungkinkan
Ḥawzah tersebut mengelaborasikan prinsip-prinsip intelektual dan doktrial dalam
Islam dengan menggunakan argumen-argumen rasional dalam rangka
mempertahankan posisi Islam.63
Karena alasan di atas, al-Ṭabātabā‟ī kemudian berasa berkewajiban dengan
pertolongan Allah untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut. Kuliah-kuliah
mengenai tafsir kemudian dipersiapkan dalam kerangka ini. „Allāmah Ṭabātaba‟i
telah beberapa kali memberikan mengenai seluruh kandungan al-Qur‟an kepada
muridnya. Dan di antara kuliah-kuliah itulah ia menuliskan tafsirnya. Selama
diselanggarakan kuliah yang cerdas ini, kemungkinan ia telah menuliskan
materinya dalam bentuk prosa yang padat namun indah, yang belakangan
diterbitkan beberapa volume.
Edisi pertama al-Mīzān ditulis dalama bahasa Arab dan diterbitkan di Iran
dan kemudian di Beirut. Sampai saat ini telah lebih dari tiga edisi yang dicetak di
Iran dan sejulah besarnya lainnya di Beirut. Hanya sedikit sekali perpustakaan,
dapat di jumpai beberapa volume tafsir al-Qur‟an ini.64
Teks Asli al-Mīzān dalam bahasa Arab ini seluruhnya terdiri atas dua
puluh volume, dan setiap volume terdiri atas sekitar empat ratus halaman
berukuran besar. Tafsir ini dimaksudkan agar mereka yang tertarik membaca tafsir
akan mendapatkan pengetahuan memadai dari ajaran-ajaran yang dikandungnya.
Beberapa orang murid al-„Allāmah al-Ṭabāṭabā„ī telah menerjemahkan karya ini
63
Abū al-Qāsim al-Razzāqī, Pengantar Kepada Tafsir al-Mīzān, terj. Nurul Gustina, al-
Hikmah Jurnal Studi Islam, h. 3 64
Abū al-Qāsim al-Razzāqī, Pengantar Kepada Tafsir al-Mīzān, terj. Nurul Gustina, al-
Hikmah Jurnal Studi Islam, h. 12
42
ke dalam bahasa Parsi langsung dibawah arahan dan bimbingan penulisnya. Setiap
volume diterjemahkan ke dalam dua volume berbahasa parsi, sehingga jumlah
seluruhnya menjadi 40 volume. Tanggung jawab penerjemahan ini sebagian
dibebankan kepada „Aqā Sayyid Muḥammad Bāqīr Musāwi Ḥamdānī. Agar
seluruh penerjemah ini memiliki gaya pengungkapan yang seragam yang sangat
mungkin akan mempengaruhi kemampuan bacaanya.65
Tafsir al-Qur‟an yang disusun oleh al-Ṭabāṭaba‟ī yang dikenal dengan al-
Mīzān yang berarti timbangan, keseimbangan atau moderasi, al-Ṭabāṭaba‟ī tidak
menjelaskan mengapa tafsirnya ini dinamai al-Mīzān namun menurut al-„Usīy,
kemungkinan karena diungkapkannya berbagai pikiran dan pendapat di dalam al-
Mizan, kemudian berbagai pendapat dan pikiran itu diuji dan diseleksi, baik untuk
saling menguatkan atau koreksi terhadap salah satunya, setelah mengemukakan
berbagai pendapat tersebut, al-Tabāṭaba‟ī memilih atau menimbang pendapat yang
kuat untuk kemudian dipilih sebagai penafsirannya.66
Adapun motivasi yang mendorong al-Ṭabāṭabā„ī untuk menulis kitab
tafsirnya, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān, adalah karena keinginannya mengajarkan
dan menafsirkan al-Qur‟an yang mampu mengantisipasi gejolak rasionalitas pada
masanya. Hanya saja, al-Ṭabāṭabā„ī dalam penulisan kitab tafsirnya ini
memerlukan sebuah proses yang sangat panjang, yang dimulai dari ceramah-
ceramahnya yang disampaikannya kepada para mahasiswa di Universitas Qum,
Iran. Atas desakan para mahasiswanya, beliau mengkodifikasikan jilid I pada
65
Abū al-Qāsim al-Razzāqi, Pengantar Kepada Tafsir al-Mīzān, terj. Nurul Gustina, al-
Hikmah Jurnal Studi Islam, h.13 66
Wahyono Abdul Ghofur, Millāh Ibrāhim Dalam al-Mīzān Fi Tafsīr al-Qur‟ān, Thesis
Doctoral, Pascasarjana. (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2007), h.87.
43
tahun 1375H/1956M. Tujuh belas tahun kemudian, tepatnya pada tahun
1392H/1972M, al-Ṭābaṭabā‟ī berhasil menyusun keseluruhan kitab tafsirnya.67
b. Sistematika Penulisan Tafsīr al-Mīzān
Secara umumnya, sistematika yang dipakai oleh al-Ṭabātabā„ī dalam karya
tafsirnya ini, pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan sistematika yang
dipergunakan oleh para mufassir pendahulunya dalam karya-karya tafsir mereka.
„Alī al-Awsīy memetakan sistematika yang dipakai al-Ṭabātabā„ī dalam
menyusun kitab tafsirnya ini.68
Di antaranya, yang bisa disebutkan di sini adalah,
pertama, al-Ṭabātabā„ī dalam membicarakan satu topik, beliau membagi ayat-
ayat dalam satu surat yang akan ditafsirkan menjadi kelompok tersendiri. Terlepas
dari ayat tersebut masuk dalam kelompok satu surat atau tidak. Sehingga
terkadang dalam menafsirkan, al-Ṭabātabā„ī memotong satu ayat atau sebagian
ayat, bahkan sebanyak dua puluh ayat. 69
Dalam beberapa hal ketika menafsirkan, al-Ṭabātabā„ī mengikuti sistem
yang dilalui oleh mufassir terdahulu. Pada permulaan penafsiran di awal surat, al-
Ṭabātabā„ī telah menetapkan paradigma yang dipergunakan untuk memotret
makna ayat tersebut. Yakni dengan cara memadukan ayat-ayat tersebut dalam satu
surat. Karena dalam pandangannya, juga pandangan para mufassir modern, bahwa
dalam satu surat tidak hanya membicarakan tentang satu topik saja. Namun ada
bermacam masalah yang dipaparkan oleh ayat-ayat dalam surat tersebut,70
serta
berbagai solusi untuk setiap masalah yang terkandung di dalamnya. Begitu pula
67
http://sangperaihimpian.blogspot.co.id/2012/02/tafsir-al-mizan.html. Dikutip pada
tanggal 1 Semptember 2018. 68
„Alī al-Awsīy, “Muqaddimah” al-Mīzān fi Tafsīr al-Qur‟ān, (Beirut: Mu‟assasah al-
A‟lāmi li al-Matbū‟ah, 1973), h. 114-121. 69
Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr al-Mīzān, jilid I, h. 121. 70
Muḥammad Ḥusain Ṭabāṭabā‟ī, Tafsīr al-Mīzān, jilid I, h. 16.
44
dalam memaparkan riwayat, dalam satu surat, terkadang al-Ṭabātabā„ī
menjelaskannya terlalu jauh.71
Tidak jarang, al-Ṭabātabā„ī menggunakan metode diskusi ketika
menafsirkan suatu ayat, sambil membeberkan pendapat para ulama klasik pada
ayat yang sedang dikaji.72
Selain itu, ketika mengutip pendapat mereka, para
ulama, terutama dalam bahasan riwaiy, terkadang dia mengomentari riwayat
tersebut, baik menguatkannya atau sebaliknya, atau untuk memperkokoh
pendapatnya sendiri, seperti dalam pembahasan tentang asbāb al-Nuzūl.73
Al-Ṭabātabā„ī dalam tafsirnya ini, seringkali mengangkat isu yang paling
aktual dan kontemporer yang juga menjadi isu Dunia Islam, yaitu mengangkat
moral umat manusia, khususnya Islam, untuk melepaskan diri dari setiap bentuk
paganisme. Tafsir bercorak seperti ini yang sangat dibutuhkan oleh umat Islam di
era informasi ini. Suatu era di mana umat Islam sepertinya telah hilang
“pegangan”, karena terlalu bergantung pada hasil pemikiran sekularis. Akibatnya,
Dunia Islam terlanjur dicemari oleh bermacam ideologi asing yang seringkali
mengganggu pemikiran umatnya sendiri.74
6. Manhāj, Corak dan Sumber penafsiran al-Ṭabāṭabā„ī dalam Tafsīr al-
Mīzān
Semenjak kepindahannya ke kota Qum, al-Ṭabātabā„ī banyak
menyampaikan kuliah-kuliah di bidang tafsir kepada murid-muridnya. Namun
kemudian murid-muridnya tersebut meminta al-Ṭabātabā„ī untuk membuat
71
Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr al-Mīzān, jilid 10, h. 243, jilid 11, h. 206 72
Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr al-Mīzān, jilid 2, h. 378. 73
Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr al-Mīzān, jilid I, h. 193. 74
Iffāt Muḥammad al-Syarqāwiī Illijahal al-Tafsīr Miṣr wa al-„Aṣr al-Ḥādiṡ, (Kairo:
Maṭba‟ah al-Kaylāni, 1972), h. 189.
45
semacam karya tulis khusus di bidang tafsir. Atas desakan tersebut, akhirnya al-
Ṭabātabā„ī memulai penulisan khusus di bidang tafsir semenjak tahun
1375H/1956M dan selesai pada tahun 1375H/1972M, sebanyak 20 jilid. Penulisan
kitab tafsir ini membutuhkan waktu selama 17 tahun.
Mengenai metode penafsiran al-Qur‟an, al-Ṭabātabā„ī mengemukakan tiga
cara yang bisa dilakukan untuk memahami al-Qur‟an. Pertama, menafsirkan suatu
ayat dengan bantuan data ilmiah dan non-ilmiah. Kedua, menafsirkan al-Qur‟an
dengan hadis-hadis Nabi yang diriwayatkan dari imam-imam suci. Ketiga,
menafsirkan al-Qur‟an dengan jalan memanfaatkan ayat-ayat lain yang berkaitan.
Di sini hadis dijadikan sebagai tambahan. Tampak dari uraian-uraian yang telah
disampaikan bahwa tafsir ini menggunakan metode tahlilī. Semua asumsi pada
bentuk penafsiran al-Ṭabātabā„ī meliputi:75
a. Dalam kitab tafsirnya, al-Ṭabātabā„ī memasukkan rujukan-rujukan
yang beraneka ragam baik kepada kitab-kitab tafsir, hadis, sejarah,
tata bahasa dan lainnya yang tidak hanya berasal dari rujukan-rujukan
di kalangan Syi‟ah saja.
b. Al-Ṭabātabā‟ī menggunakan penafsiran suatu ayat atas ayat yang lain
selama hal tersebut sesuai dengan mengkaji susunan kalimat dalam
ayat-ayat tersebut. Beliau juga memasukkan riwayat-riwayat yang
membahas tafsiran suatu ayat selama riwayat tersebut mutawatir baik
yang berasal dari Nabi atau para imam Ahl al-Bayt.
c. Perhatian terhadap masalah asbāb al-nuzūl, masalah qirāat, kaitan
suatu ayat dengan ayat sebelum atau sesudahnya (munāsabah), juga
75
„Alī al-Awsī, “Muqaddimah” al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān”, h. 124.
46
mengkaji pendapat-pendapat dari kalangan sahabat dan tabi‟in
menjadi pertimbangan al-Ṭabātabā„ī ketika menafsirkan suatu ayat.
d. Penolakan terhadap kisah-kisah Isrāīliyyat dilakukan al-Ṭabātabā„ī,
sehingga beliau jarang mengutip kisah Isrāīliyyat ketika menafsirkan
al- Qur‟an.
e. Menurut beliau, setiap ayat al-Qur‟an dapat dipahami dari dua sisi,
yaitu yang tersurat atau makna literal dari suatu ayat yang kemudian
disebutnya sebagai aspek lahir dan pemahaman terhadap yang tersirat
atau makna yang terdapat di balik teks ayat yang disebut aspek batin.
Beliau menggunakan istilah ta‟wīl dalam kitab tafsirnya, untuk
maksud mengarahkan kembali pada permulaan pada permulaan atau
asalnya. Dengan ta‟wīl berarti berusaha memahami rahasia batin teks
sebagaimana nampaknya ke pandangan esensi spiritual atau rahasia
batinnya melalui tindakan spiritual atau intuitif. Oleh karena itu, ta‟wīl
hanya bisa dilakukan oleh orang yang mempunyai otoritas dalam
menerjemahkan agama, menurut al-Ṭābaṭabā‟ī adalah Nabi saw dan
para imam Ahl al-Bayt.76
f. Hal lain yang menjadi ciri khas kitab tafsir ini adalah adanya
pembahasan masalah-masalah kefilsafatan, seperti menggunakan
pendapat-pendapat al- Farābi dan Ibn Sinā, selama pendapat tersebut
sesuai dengan maksud ayat. Hal ini dilakukan oleh beliau hanya
sebagai penjelasan tambahan tapi terkadang beliau menolak pendapat-
76
Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Mengungkap Rahasia al-Qur‟an (Bandung: Mizan,
1994), h. 47
47
pendapat filsafat yang bertentangan dengan makna yang terkandung
dalam al-Qur‟an.
Dengan berlatar belakang teologis Syi‟ah, al-Ṭabāṭabā„ī berusaha
menyajikan penafsiran-penafsiran yang sejalan dengan paham Syi‟ah Imāmiyah
serta meninggalkan paham yang tidak sesuai dengan keyakinan teologisnya.
Corak penafsiran al-Ṭabāṭabā„ī menurut kesepakatan bersama bahwa
coraknya berhubungan dengan subtansi atau isi tafsir, yakni meliputi tafsir fiqhi
(membahas masalah fiqih), tafsir falsafi (menggunakan metode filsafat termasuk
ilmu kalam), tafsir „Ilmī (membahas ilmu pengetahuan umum), dan tafsir Adābi
Ijtima‟ī (masalah sosial kemasyarakatan).77
Mengenai corak penafsiran al-Mizān
fī Tafsīr al-Qur‟an dapat dikategorikan sebagai tafsir yang multi disipliner. Akan
tetapi ada yang berpendapat bahwa corak penafsirannya adalah tafsir I„tiqādī.
Meskipun al-Ṭabāṭabā„ī banyak yang melakukan perbandingan pendapat-pendapat
„ulama‟ pada akhirnya menomorsatukan pendapat para Imam ahl al-Bait. Hal itu
terlihar dari rujukan-rujukan dari al-Ṭabāṭabā„ī.
Sumber Penafiran al-Ṭabāṭabā‟ī dari beberapa literatur yang digunakan
dalam menyusun tafsirnya mencapai 135 judul meliputi buku, kamus, majalah dan
koran telah dikelompokkan oleh al-Ūsiy menjadi beberapa kategori.78
Pertama, tafsir. Literatur tafsir yang beliau gunakan meliputi tafsir klasik
dan modern dari berbagai aliran, seperti tanwīr al-Miqbas yang dinisbatkan
kepada „Ibn „Abbās, al-Kasyāf karyanya al-Zamakhsyāri dan kitab-kitab lainnya.
Kedua kamus, seperti al-Shihah, Lisan al-„Arab. Ketiga, kitab-kitab hadis rijal
77
Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr al-Mīzān, Jilid 4, h. 100 78
Yusno Abdullah Otta, “Dimensi-dimensi Mistik Tafsir al-Mīzān (Studi atas Pemikiran
Ṭabāṭabā‟ī dalam Tafsir al-Mīzān) Jurnal IAIN Manado, h. 25-27
48
al-Hadis dari kalangan Sunni dan Syi‟ah seperti Taḥzīb al-Taḥzib karya Ibn Ḥajar
al-„Asqālani, al-Ihtijaj karya al-Ṭibrisy dan lain-lain. Keempat, kitab-kitab Suci
seperti Injil, Avesta (kitab suci agama Zoroaster), Risalah Paulus, Taurat Sawa‟i
(salah satu kitab suci kristen Ortodok Romawi), dan Weda. Kelima, buku-buku
sejarah baik yang ditulis oleh orang Islam maupun non Islam, seperti Tarikh al-
Ṭabāri karya Ibn Jarir al-Ṭabāri, Tarikh Tamdun Islam karya Kristor Liang dalan
lain-lainya. Keenam, Pengetahuan Umum, seperti al-Umm karya al-Syāfi‟ī, Ihya
Ulumuddin karya al-Ghazali, dan kitab-kitab lainnya. Dan ketujuh adalah koran
dan majalah yang dikutip al-Ṭabāṭabā‟ī, terutama mengenai beberapa peristiwa
dan informasi ilmiah, seperti koran Itla‟iyyah al-Irāniyyah, dan lain-lain
sebagainya. 79
7. Pendapat Ulama terhadap Tafsīr al-Mīzān
Dalam tafsir al-Mīzān, al-Ṭabāṭabā„ī mengutip banyak penjelasan riwayat
tentang makna sebagian kosa kata dalam al-Qur‟an. Irsyād al-„Aql al-Sālim Ilā
Mazāya al-Muḥammad al-Karīm (Tafsir Abū al-Su„ūd) karya Abū al-Su„ūd
Muḥammad al-Imādi. Dari kitab ini al-Ṭabāṭabā„ī mengutip hanya dua riwayat.
Ruh al-Ma‟āni fī Tafsīr al-Qur‟ān karya Syihabuddīn al-Sayyid Maḥmūd al-
Alūsī. Dari kitab ini al-Ṭabāṭabā„ī mengutip banyak riwayat sebagaimana ia
lakukan dari tafsīr al-Rāzī. Namun ia juuga melakukan banyak kritikan terhadap
riwayat-riwayat tersebut.
Al-Rūmi menilai bahwa tafsir al-Mīzān merupakan karya paling penting
dikalangan Syi‟ah Iṡnā „Asyariyah pada abad ke-14 H karena berusaha menyorot
79
Yusno Abdullah Otta, “Dimensi-dimensi Mistik Tafsir al-Mīzān (Studi atas Pemikiran
Ṭabāṭabā‟ī dalam Tafsir al-Mīzān) Jurnal IAIN Manado, h. 25-27
49
al-Qur‟an dari berbagai perspektif, mulai filsafat, sastra, sejarah, riwayat, dan
kemasyarakatan. Seandainya tidak dipengaruhi oleh ajaran Syi‟ah, menurutnya
kitab tafsir ini merupakan yang terbaik diantara tafsir-tafsir yang ada,
sebagaimana al-Kasyāf seandainya tidak terpengaruhi ajaran Mu‟tazilah.80
Sementara itu para sarjana dan kaum sūfī lainnya juga mengungkapkan hal
yang sama mengenai karya ini. setiap upaya untuk membahas karya ini adalah
seperti berusaha mewadahi Samudera Atlantik dalam sebuah cawan kecil. Tafsir
al-Mīzān karya al-Ṭabāṭabā„ī tersebut juga dikenal sebagai tafsir yang sangat
istimewa karena kualitasnya. Tidak hanya diantara buku-buku yang sejenis, tapi
juga diantara berbagai jenis buku keislaman baik agama, ilmu, filsafat, dan
terlebih lagi dalam bidang tafsir yang pernah ditulis oleh sarjana Sunni dan
Syi‟i.81
Murtadha Muthahhari, pernah mengatakan bahwa tafsir al-Mīzān adalah
karya terbesar yang pernah ditulis sepanjang sejarah kejayaan Islam, dan
diperlukan waktu 60 hingga 100 tahun sampai orang menyadari kebesaran karya
„Allāmah Ṭabāṭabā‟ī. Para sarjana ahli dan kaum sūfī lainnya juga
mengungkapkan hal yang sama mengenai karya ini. 82
80
Faḥd „Abd al-Raḥmān Ibn Sulaimān al-Rūmi, Ittihājat al-Tafsir fī al-Qarn al-Rābi‟
„Asyār, (Beirut: Mu‟asasah al-Risalah, 1414 H) h. 249 81
Abū al-Qāsim al-Razzāqī, Pengantar Kepada Tafsir al-Mīzān, terj. Nurul Gustina, al-
Hikmah Jurnal Studi Islam h.5 82
Abū al-Qāsim al-Razzāqī, Pengantar Kepada Tafsir al-Mīzān, terj. Nurul Gustina, al-
Hikmah Jurnal Studi Islam h.5
50
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG TAQIYYAH
A. Sekilas Mengenai Taqiyyah
1. Pengertian Taqiyyah
Taqiyyah dalam kamus Lisan al-„Arab diambil dari kata ىقات ىوقوت bermakna,
,وترذ:حاء قتوة يقتىوق ت ويقتأو ويقت أ وتي قت وءيالش تيقت إ yang artinya saya mewaspadai
dan berhati-hati dengan sesuatu yang mengerikan.1 Dan dalam kamus Mu„jam
Maqāiṣ al-Lughah kata taqiyyah ini adalah يقو (al-Wāwu, al-Qāf, wa al-Yāi) kalimat
satu yang menunjukkan atas menolaknya sesuatu dari sesuatu yang lainnya.
Contohnya, وي ق و ويق أو تيق و مةايقوال ا. ي : الشقا وئيى ت الل قات . وق و: . Jadikan
diantaramu dan diantaranya seperti al-Wiqāyah (perlindungan atau penjagaan).2
Sedangkan dalam kamus al-Munawir, taqiyyah isim dari kata ىقت ي -ىقت إ-اء قت إ . Huruf ta‟ pada kata itu menggantikan huruf waw. Asalnya adalah dari al-
Wiqāyah yang berarti pemeliharaan atau perlindungan.3 taqiyyah juga diambil dari
isim masdar (اءقت لأ) , yakni penjagaan :
هررضنموظفاير اتسذات ذإ,ويقت ي يءالش لجىالر قت إ:القي
“Dikatakan : seseorang „Ittaqā Syayan‟ apabila dia menjadikan sesuatu
sebagai penutup yang menjaganya dari bahaya.”
1 Muḥammad bin Makrām bin Manzūr al-Afrīqī al-Misri, Lisān al-Arab, (Beirut : Dāru al-
Ṣadīr) Jilid 5, h. 402 2 Aḥmad bin Fāris al-Rāzi, Mu„jam Maqāisy al-Lughah, (Beirut : Dāru al-Fikr, 1979) Cet. 6
h. 131 3 Adib Bisri dan Munawwar A. Fatah, Kamus Indonesia-Arab: Arab-Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Profresif, 1990), h. 75
51
Taqiyyah juga didefinisikan sebagai berikut:
وفلخهر مضيانكنإ,وهرهظايبوسفن انسنلياقت ي نأةي قالت ن إ
“Sesungguhnya taqiyyah adalah penjagaan seseorang atas dirinya dengan
menampakkan sesuatu yang berlawanan dengan apa yang ada di dalam
hatinya.4
Taqiyyah secara istilah berasal dari kata “Ittaqaitu Syai‟ān”, yang berarti
menampakkan sesuatu yang tidak sesuai dengan isi hati, ataupun berarti
meninggalkan sesuatu yang wajib demi memelihara diri atau menghindar dari
ancaman atau gangguan. Orang-orang Arab biasa menggunakan kata taqiyyah dengan
kalimat “Tuqāh”.5 Taqiyyah dalam pandangan Syi‟ah merupakan mafhūm Qur‟an
yang diambil dari surat Āli „Imrān [3] ayat 28:
لكف ليسمنالل ومني فعلذ مندونالمؤمنني أولياء لي ت خذالمؤمنونالكافرين
أنشيء المصيت ت قواإل ن فسووإلالل همت قاة ويذركمالل من
“Janganlah orang-orang mukmin menjadikan orang-orang kafir sebagai wali
dengan meninggalkan orang-orang mukmin, barang siapa yang berbuat
demikian niscaya lepaslah ia dari wilayah Allah, kecuali karena (siasat)
menjaga diri (tattaqu) berasal dari akar kata yang sama dengan taqiyyah dari
sesuatu yang ditakuti dari mereka.”
Ayat ini dengan tegas membolehkan seseorang ber-taqiyyah
(menyembunyikan keimanan dan menampakkan kekufuran) demi menjaga dirinya
dari gangguan kufur. Dari definisi di atas ditegaskan bahwa taqiyyah berbeda dengan
4 Tim Penulis Ahlu Bait Indonesia (ABI). Buku Putih Mazhab Syi‟ah, Menurut Para
Ulamanya yang Muktabar (Penjelasan Ringkas-Lengkap Untuk Kerukunan Umat), (Jakarta Selatan:
Ahlu al-Bait Penerbit Indonesia, 2012), h. 80 5 Tim penulis Buku Pustaka Sidogiri. Mungkinkah Sunnah-Syia‟h Dalam Ukhuwah?,
Jawaban Atas Buku Dr.Quraish Shihab (Sunnah-Syi‟ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?), (Jawa
Timur: Sidogiri Penerbit, 2016), h. 301
52
nifaq. Nifāq juga merupakan istilah Qur‟āni yang bermakna: menyembunyikan
kekufuran dan menampakkan keimanan. Sementara taqiyyah adalah sebaliknya
menyembunyikan keimanan dan menampakkan kekufuran demi keamanan dan tujuan
baik lainnya.6 Karena Firman Allah menerangkan siksanya terhadap orang-orang
munafik dalam QS. al-Nisā„ [4] ayat 145 :
فلمنالن ارولنتدلمنصي اإن المنافقني الد ركالس
Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang
paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang
penolongpun bagi mereka.
Sebenarnya, doktrin ini memiliki preseden rujukan dalam Islam. Bahwa, pada
masa Nabi saw, taqiyyah mamang digunakan dalam keadaan terpaksa saat
menghadapi orang-orang kafir. Al-Qur‟an membenarkan seseorang mengucapkan
kata-kata-kufur, jika terancam jiwa, badan, atau harta bendanya.7 Dalam al-Qur‟an
dijelaskan:
إميانو ب عد من بلل كفر أكرهمن من بلكفرإل شرح من ولكن ميان بل مطمئن وق لبو
ولمعذابعظ يمصدر اف عليهمغضبمنالل
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat
kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap
tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang
melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya
dan baginya azab yang besar (QS. al-Naḥl [16] : 106)
6 Tim Penulis Ahlu Bait Indonesia (ABI). Buku Putih Mazhab Syi‟ah, Menurut Para
Ulamanya yang Muktabar (Penjelasan Ringkas-Lengkap Untuk Kerukunan Umat), h. 80 7 Buku Pustaka Sidogiri. Mungkinkah Sunnah-Syi‟ah Dalam Ukhuwah?, Jawaban Atas Buku
Dr.Quraish Shihab (Sunnah-Syi‟ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?), h. 302
53
Dalam berbagai kitab tafsir dijelaskan, bahwa ayat ini turun menyangkut
kasus sahabat Nabi saw. „Ammār bin Yāsir ra, yang mengucapkan kalimat kufur
karena dipaksa oleh kaum Musyrik untuk mengucapkannya, dan jika menolak maka
akan dibunuh, sebagaimana mereka telah membunuh kedua orang tuanya. Akibat
desakan tersebut, „Ammār mengucapkan kalimat kufur, dan ketika dia
menyapampaikan halnya kepada Rasulullāh saw. Maka turunlah ayat di atas
membenarkan sikapnya, dan Rasulullāh saw berpesan kepadanya: “Kalau mereka
kembali mengancamu, maka engkau boleh mengucapkan lagi kalimat kufur, selama
hatimu tetap tenang dalam keimanam”.8
Ayat ini menjadi dalil tentang kebolehannya mengucapkan kalimat kufur atau
perbuatan yang mengandung makna kekufuran, seperti sujud kepada berhala, saat
dalam keadaan terpaksa, walaupun menurut sementara ulama, menyatakan dengan
tegas keyakinan, justru lebih baik, sebagaimana yang dilakukan oleh orang kedua tua
„Ammār itu. Termasuk juga dalam izin di atas melakukan perbuatan yang bersifat
kedurhakaan, seperti meminum khamr dan semacanya, kecuali membunuh bila tidak
membunuh, belum tentu terlaksana.
Taqiyyah dalam pandangan Islam menurut sebagian Ulama, berlaku hanya
terhadap bahaya yang datang dari orang kafir saja. Misalnya saja penafsiran Ibn Jarir
al-Ṭabārī sebagaimana dikutif oleh Naṣ bin „Abdillāh bin „Alī al-Qafārī berkenan
dengan penafsiran beliau terhadap firman Allah surat Āli „Imrān [3] ayat 28 diatas,
8 Buku Pustaka Sidogiri. Mungkinkah Sunnah-Syi‟ah Dalam Ukhuwah?, Jawaban Atas Buku
Dr.Quraish Shihab (Sunnah-Syi‟ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?)., h. 302
54
beliau berpendapat bahwasanya taqiyyah yang dijelaskan Allah dalam ayat itu
sesungguhnya taqiyyah dari orang kafir, tidak selain mereka.9
Taqiyyah bukannya hanya istilah yang digunakan oleh orang Syi‟ah. Bahkan
bisa dikatakan bahwa bolehnya taqiyyah merupakan ijma‟ para ulama besar Ahl al-
Sunnah seperti pendapat dari Ibnu Katsīr yang menyakini ijma‟ ulama bahwa
taqiyyah diperbolehkan bagi “al-Mukrah” (orang yang terpaksa).
وتج هماءقب إالوي نأولزويرفكىاللعاهركلان أ ىلعاءمللعاقفت :إري ثكنبإلوقي
كمكبينأولزوي,و للبن ا
Ibnu Katsir berkata, “Para Ulama sepakat bahwa orang yang dipaksa
menyatakan kekufuran, maka diperbolehkan (menyatakan kekufuran) demi
menjaga keselamatan dirinya sebagaimana juga boleh menolaknya seperti
sikap Bilal (r.a).”10
Taqiyyah ini merupakan dispensasi (rukhṣah) dari Allah swt. Itu pun ketika
ada hal yang sifatnya darurat. Menurut „Ibn Munẓīr bahwa orang yang dipaksa untuk
kafir sehingga dirinya merasa takut akan dibunuh, kemudian ia berbuat kekafiran
sementara hatinya tenang dalam keimanan, sesungguhnya ia tidak dihakumi sebagai
orang kafir. Akan tetapi orang yang memilih tetap teguh, diam dalam
mempertahankan keimananan, sekalipun nyawanya itu lebih utama.11
9 Naṣir bin „Abdillāh bin „Alī al-Qafārī, Ushū al-Mażhāb al-Syī‟ah: al-Imāmiyah al-Iṡnā
„Asyariyah, 1994, cet-2 jilid II, h. 804 10
Tim Penulis Ahlu Bait Indonesia (ABI). Buku Putih Mazhab Syi‟ah, Menurut Para
Ulamanya yang Muktabar (Penjelasan Ringkas-Lengkap Untuk Kerukunan Umat), h. 82 11
Mahmud Farhan al-Buhairi, Gen Syi‟ah : Sebuah Tinjaun Sejarah, Penyimpangan aqidah
dan konspirasi Yahudi, Terj, Agus Hasan Bashari, h. 151
55
2. Sejarah Munculnya dan Perkembangan Taqiyyah
Dalam perjalanan sejarah hidup manusia, praktek taqiyyah ini tidak bisa
dipisahkan dengan sejarah manusia mencari kehidupan yang dipenuhi rasa aman dan
nyaman. Secara doktrial tekstual, ajaran taqiyyah ini sudah dijelaskan secara eksplisit
dalam beberapa ayat al-Qur‟an, dalam perjalanan sejarah taqiyyah sering digunakan
oleh golongan Syi‟ah, karena golongan mereka yang minoritas dan seringkali
mengalami kecaman dan penindasan di bawah rezim yang memusuhi keyakinan
mereka. Pendirian golongan Syi‟ah mengenai praktek taqiyyah didasarkan pada
pertimbangan rasional, yaitu saran untuk berhati-hati sebagai kelompok yang
tertindas. Maka, satu-satunya jalan bijaksana yang mesti mereka tempuh adalah
menghindari diri dari tindakan-tindakan yang akan menghadapkan diri mereka
daripada kerusakan karena mempertahankan keyakinan-keyakinan mereka secara
terang-terangan. Meskipun mereka tidak pernah meninggalkan misi mereka jika
peluang itu ada. Hal ini dalam rangka untuk memberi kesadaran kepada kaum
Muslimin dengan jalan memberontak terhadap penguasa-penguasa yang zalim.12
Kelompok Syi‟ah adalah kelompok yang sering dianiaya oleh penguasa, sejak
masa Umayyah dan berlanjut oleh penguasa, sejak masa Umayyah dan berlanjut
sampai dengan dinasti-dinasti sesudah mereka, maka dapat dimengerti jika Syi‟ah
secara umum mengakui dan mempraktikkannya. Motivasi dan dasar penggunaannya
berbeda-beda antara satu kelompok-kelompok yang lain. Hal ini perlu ditegaskan
karena pada prinsipnya semua umat Islam, termasuk Sunni, mengakui akan adanya
12
Nourouzzaman Shiddiqi, Syi‟ah dan Khawarij Dalam Perspektif Sejarah, (Yogyakarta:
PL2M, 1985), h. 40.
56
izin Allah untuk melakukan kegiatan memelihara diri dari ancaman atau
menghindarkan diri dari terjerumus dalam bahaya.13
Mayoritas Sunni yang sebagian besar menentang kehadiran Syi‟ah. Umumnya
pengikut Syi‟ah tidak akan menanpakkan ajaran-ajaran mereka, maupun identitas
dirinya sebagai pengikut Syi‟ah. Sikap menyembunyikan ajaran dan identitas sebagai
yang dilakukan Syi‟ah itulah yang dijadikan landasan penyebutan tentang taqiyyah.
Taqiyyah yang dilakukan Syi‟ah itu didasari motif untuk menghindari konflik terbuka
dengan mayoritas Sunni yang belum bisa menerima (perbedaan) dengan mazhab
Syi‟ah. Taqiyyah hanya dilakukan dalam situasi di mana penganut Syi‟ah merupakan
kelompok minoritas yang menghadapi tekanan-tekanan dari mayoritas Sunni. Strategi
menyembunyikan diri tidak menampakkan ajaran identitas Syi‟ah juga dimaksudkan
untuk menghindari tekanan maupun penindasan dari Sunni. Dengan strategi semacam
ini Syi‟ah berharap dapat mempertahankan eksistensi kelompok dan mazhab
pemikirannya, sembari bisa tetap hidup berdampingan secara damai khususnya
dengan mayoritas Sunni yang menurut mereka tidak menyukai kehadiran Syi‟ah dan
yang ingin menyingkirkannya.14
Syi‟ah menganggap bahwa taqiyyah merupakan hal yang diperbolehkan oleh
Islam. Seorang Muslim yang lemah dan tertindas boleh menyangkal keimanannya,
sebagaimana yang dialami oleh sahabat Rasulullāh saw yaitu „Ammār Ibn Yāsir.
„Ammār Ibn Yāsir pada waktu itu menghadapi penyiksaan dari orang-orang kafir
13
Muhammad Quraish Shihab, Sunnah Syi‟ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?; Kajian
Atas Konsep Ajaran dan Pemikiran, (Tanggerang: Lentera Hati, 2014), Edisi Revisi, h. 200. 14
Abdul Rahman Zainuddin, Syi‟ah dan Politik di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2000) cet, 1 h.
115
57
Quraisy yang memaksanya mengakui Tuhan mereka. Dalam kondisi terancam
jiwanya „Ammār Ibn Yāsir terpaksa ber-taqiyyah dengan mengakui secara lisan tuhan
dari kaum kafir Quraisy, meskipun hati nuraninya (keimanannya) memungkirinya.
Disamping „Ammār Ibn Yāsir, al-Qur‟an pun menyebut tentang salah seorang
anggota keluarga Fir‟aun yang menyembunyikan keimanannya.15
Menurut Syi‟ah kasus klasik mendefinisikan praktik taqiyyah juga apa yang
dilakukan „Alī Ibn Abī Ṭālib, sepupu Nabi Muḥammad saw, yang di mana kaum
Syi‟ah merupakan pewaris tunggal dan terpilih dari Rasulullāh saw, bukannya segera
menuntut haknya yang diberikan oleh Tuhan untuk memimpin masyarakat Muslim.
„Alī malah tidak menafikan kekuasaan sejumlah musuhnya dengan maksud
melindungi diri dan pada akhirnya untuk mendapatkan ketentraman. „Alī ra
bersumpah setia kepada para pemimpin palsu yang dikutuk Syi‟ah sebagai kaum
bid‟ah. Dan diamnya „Alī ra sepanjang masa kekhalifahan sebelumnya itu hanya
kerena mempraktikkan pringsip taqiyyah.16
Kasus selanjutnya, yaitu pada masa Imām Ja„fār al-Ṣādiq (w,765), gerakan
bahwa tanah pro Syi‟ah yang meluas telah memanfaatkan taqiyyah untuk
menyembunyikan aktifitas revolusioner. Imām Ja„fār sebaliknya, mendesak
pengikutnya untuk menerima status minoritas mereka secara damai, dan sebagai ganti
15
Disebutkan dalam Surat al-Mu‟mīn ayat 28. “Dan seorang laki-laki yang beriman di antara
pengikut-pengikut Fir'aun yang menyembunyikan imannya berkata: "Apakah kamu akan membunuh
seorang laki-laki Karena dia menyatakan: "Tuhanku ialah Allah padahal dia Telah datang kepadamu
dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. dan jika ia seorang pendusta Maka dialah
yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana)
yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu". Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-
orang yang melampaui batas lagi pendusta. 16
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-Tafsir al-Qur‟an, Cet-I, h.135
58
terhadap aksi pemberontakan, mempraktikkan bentuk taqiyyah permanen yang
kemudian menjadi doktrin quietism (kebungkaman) dalam agama.
Sesudah Imām Ja„fār, situasi penganiyaan tanpak ataupun tidak mendorong
meningkatnya kebergantungan pada konsep ini, yang ada pada akhirnya mengarah
pada hilangnya Imam terakhir dari Syi‟ah dua belas Imam sebuah tindakan yang
dianggap oleh kalangan Syi‟ah terntentu sebagai pelaksanaan puncak dari taqiyyah,
gagasan kemudian menjadi: “Hilang munculnya kembali sang Imam, seluruh masa
yang datang belakangan merupakan zaman taqiyyah”. Pengembangannya lebih jauh
terhadap pringsip ini mengizinkan mereka tidak hanya melakukan perlawanan pasif
atau diam-diam, melainkan menyembunyikan secara aktif keyakinan mereka yang
sesungguhnya demi melindungi nyawa, harta, dan agama mereka.17
Dikursus moderenitas tentang taqiyyah pun kian berputar-putar sebagai arus
utama (mainstream) mengenai syarat-syarat yang menjadikan taqiyyah sebagai
sebuah kewajiban agama atau hanya membolehkan pemakaiannya tanpa
menimpakkan kesalahan pada diri seseorang. Kecenderungan untuk mengklaim
bahwa jalan yang lebih mulia ialah menghindari kelakuannya, apabila sepenuhnya
mungkin, hampir selalu ada. Konsensus modern, yang didasarkan tradisi yang
sinambung literature hukum, ialah sebagai berikut: taqiyyah tidak boleh dilakukan
secara langsung akan mengakibatkan kematian Muslim yang lain; Taqiyyah menjadi
kewajiban hanya apabila terdapat bahaya yang jelas yang tidak terhindari dan tak ada
harapan lagi untuk melawannya, dan taqiyyah diperbolehkan (dibebaskan hukumnya)
17
John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, Cet-I, Jilid V, h. 348
59
harapan lagi untuk melawannya, dan taqiyyah diperbolehkan (dibebaskan hukumnya)
di hadapan bahaya yang mengancam jiwa sendiri, jiwa anggota, keluarga, hilangnya
kehormatan wanita anggota keluarga, atau terampasnya mata pencarian. Beberapa
kasus menginzinkan syarat-syarat kelayakan tertentu, namun perilaku umunya adalah
taqiyyah merupakan wilayah yang kendati boleh dilakukan tanpa dipersalahkan, lebih
baik dan lebih mulia untuk tidak dilakukan18
Menurut salah satu seorang penganut Syi‟ah Indonesia, sikap taqiyyah di
Indonesia ini perlu dikembangkan mengingat sebagai besar muslim di Indonesia
didominasi oleh fanatisme Sunni, maka selama itu pula mereka akan ber-taqiyyah
untuk menghindari konflik terbuka. Bagi Syi‟ah taqiyyah itu perlu demi menjaga
kerukunan, keharmonisan, keutuhan, dan persatuan umat Islam (Ukhuwah
Islāmiyyah) pada umumnya. Dengan kata lain, dari pada memicu konflik untuk
mengancam ukhuwah dan mengandung efek disintegrasi internal di kalangan umat
Islam sendiri mereka lebih baik ber-taqiyyah.19
Lebih jauh lagi taqiyyah juga menjadi strategi politik untuk konsolidasi
menggalang kekuatan di dalam kelompok Syi‟ah sendiri. Tersusunya jalinan kerja
sama di antara berbagai yayasan Syi‟ah di Indonesia dan rekrutmen kader-kader
Syi‟ah dari kalangan muda adalah salah satu keberhasilan taqiyyah.20
Dapat dilihat
pula bagaimana para pengikut aliran-aliran teologis Islam secara „am-nya berpegang
dengan pringsip taqiyyah ini, yang berbeda hanya gambarannya saja.
18
John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, Cet-I, Jilid V, h. 348 19
Abdul Rahman Zainuddin, Syi‟ah dan Politik di Indonesia, Cet-I, h.115 20
Abdul Rahman Zainuddin, Syi‟ah dan Politik di Indonesia, Cet-I, h.115
60
3. Pembagian Taqiyyah
Dilihat dari buku putih mazhab Syi‟ah dengan pengatar Muhammad Quraish
Shihab menjelaskan ulama Syi‟ah membagi taqiyyah ditinjau dari sisi tujuannya
menjadi dua bagian, yaitu taqiyyah makhātiyah dan taqiyyah mudarātiyah. Taqiyyah
makhātiyah yaitu taqiyyah karena takut bahaya sedangkan taqiyyah mudarātiyah
yaitu taqiyyah yang ditunjukkan untuk menjaga perasaan orang yang berbeda
dengannya, demi terjalinnya hubungan baik antarkeluarga atau umat yang berbeda,
untuk menghindarkan fitnah yang dapat meresahkan masyarakat atau demi
terealisasinya persatuan umat Islam.21
B. Syi’ah
1. Pengertian Syi‟ah
Syi‟ah secara etimologi berarti pengikut, pecinta, pembela, yang ditujukan
kepada ide, individu atau kelompok tertentu. Syi‟ah dalam arti kata lain dapat
disandingkan juga dengan kata tasyaiyu‟ yang berarti patuh/menaati secara agama
dan mengangkat kepada orang yang ditaati itu dengan penuh keikhlasan tanpa
keraguan.22
Syi‟ah dalam Bahasa Arab : شيعة dan Bahasa Persia: شيعه ialah salah satu
aliran atau mazhab dalam Islam. Syi‟ah menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah
Sunni pertama seperti juga Sunni menolak Imam dari Imam Syi‟ah. Bentuk tunggal
dari Syi‟ah adalah Syi'i (Bahasa Arab: شيعي ) menunjuk kepada pengikut dari Ahlul
21
Tim Penulis Ahlu Bait Indonesia (ABI). Buku Putih Mazhab Syi‟ah, Menurut Para
Ulamanya yang Muktabar (Penjelasan Ringkas-Lengkap Untuk Kerukunan Umat), h. 81-82 22
M. Quraish Shihab. Sunnah-Syi‟ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah: Kajian Atas
Konsep Ajaran Dan Pemikiran, h. 11
61
Bait dan Imam Ali.23
Dalam defenisi lain Syi‟ah adalah bentuk pendek dari kalimat
bersejarah Syi`ah `Ali شيعةعلي artinya "pengikut „Alī", yang berkenaan tentang Q.S.
al-Bayyinah ayat khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi saw bersabda: "Wahai
„Alī, kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung" (Ya „Alī anta wa
syi'atuka humul fāizun).24
Secara terminologis al-Syahrastānī secara tepat dan komprehensif
mendefinisikan: Syi„ah adalah orang-orang yang mengikuti „Alī r.a. secara khusus,
dan menyatakan masalah imamah dan kekhalifahannya dengan sistem penunjukan
dan pendelegasian, yang dibuat baik secara terbuka maupun rahasia, dan meyakini
bahwa masalah imamah itu tidak terpisah dari kerturunannya.25
Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā‟ī dalam bukunya Syi‟ah Islam memberikan
pengertian bahwa Syi‟ah adalah salah satu aliran dalam Islam yang berkeyakinan
bahwa yang paling berhak menjadi imam umat Islam sepeninggal Nabi Muḥammad
saw ialah keluarga Nabi saw sendiri yakni Ahlul bait. Dalam hal ini, „Abbās bin
„Abdu al-Muṭṭallib (paman Nabi saw) dan „Alī bin Abī Ṭālib (saudara sepupu
sekaligus menantu Nabi saw) beserta keturunannya.26
Lafal Syi‟ah dalam al-Qur‟an, lafal Syi‟ah beserta dettevatnya disebutkan di
dalam al-Qur‟an sebanyak 12 kali, dengan perincian Syī‟atin 1 kali, Syi‟atihi 3 kali,
23
Abdul Mun‟eim Al-Nemr, Sejarah Dan Dokumen-Dokumen Syi‟ah (T.Tp.: Yayasan
Alumni Timur Tengah, 1988), h. 34-35 24
Abu Muhyiddin Zakaria,, Tahdzibul Lughah, (Darul Kutub Al-‟Ilmiyah”, Beirut –
Libanon), h. 61 25
Muḥammad bin „Abdul Karīm al-Syahrastānī, al-Milal al-Nihāl, (Alira-aliran Teologi
dalam Sejarah Umat Manusia), Jilid 1, (Surabaya : Bina Ilmu), h. 146 26
Al-Ṭabāṭabā‟ī. Islam Syi‟ah: Asal-Usul Dan Perkembangannya. Diterjemahkan Dari Syi‟ite
Islam. Penerjemah: Djohan Effendi, h. 32
62
Syiya‟an 4 kali, Syiya‟in 1 kali, Asy Yākum 1 kali, dan al-Tasyī‟a 1 kali. Berikut
penjelasan Ibn Katṡir dan Jalāluddīn Maḥally, terhadap makna yang dikandung oleh
lafal-lafal tersebut di dalam al-Qur‟an.
Dalam Surat Maryam [19] ayat 69 yang berbunyi sebagai berikut :
لننزعن منكل أي همأشدعلىٱلر حنعتي اشيعةث
Kemudian pasti akan Kami tarik dari tiap-tiap golongan siapa di antara
mereka yang sangat durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah.
Imam Ibn Katṣir menyebutkan bahwa makna (lananzi‟anna min kulli syī‟atin)
adalah kami akan tarik dari tiap-tiap pengikut agama itu para pemimpin mereka.27
Dan Juga termuat dalam Surat al-Qamar [6] ayat 51
ف هلمنمد كرأشياعكمولقدأىلكنا
Dan sesungguhnya telah Kami binasakan orang yang serupa dengan kamu.
Maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?
Makna (walaqad ahlaqnā asyyā‟akum), yaitu umat-umat sebelum kami, yang
telah mengingkari kerasulannya.28
Sementara Lafal Syi‟ah dalam Sunnah, pemakaian lafal Syi‟ah juga bermakna
pengikut dan pendukung, seperti tersebut dalam sebuah hadis yang diriwatkan oleh
Aḥmad dari Maqsām Abi al-Qāsim, budak „Abdullāh al-Hāriṡ bin Naufal, tentang
seorang lelaki yang berkata kepada Nabi saw, “Hai Muḥammad, aku telah
menyaksikan apa yang telah anda perbuat hari ini”, “Lalu apa pendapatmu?” Jawab
27
Ibn Katsir, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, (Beirūt, Dār al-Jail, Beirut, Cet, II, 1990), h. 3/128 28 Ibn Katsir, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, Cet, 4 h. 4/128
63
Rasulullāh. “Aku melihat bahwa anda tidak berlaku adil” lalu siapa gerangan yang
melakukannya?”. „Umar bin Khaṭṭāb secara spontan berkata: “Wahai Rasulullāh,
tidakkah sebaiknya bunuh saja orang ini”. Rasulullāh menjawab: “Tidak, biarkan
saja, ia akan memiliki Syi‟ah (pengikut), yang akan keluar dari agama ini
sebagaimana anak panah keluar dari busurnya.29
Makna Syi‟ah dalam hadis di atas
adalah penggikut dan pendukung.
Maka berdasarkan temuan Dr. Al-Qaffāri, tidak ditemukan pemakain lafal
Syi‟ah dalam sunnah dengan makna “kelompok ata mazhab Syi‟ah yang dikenal
sebagai pengikut Imam „Alī (yang memiliki keyakinan tertentu), kecuali dalam hadis-
hadis lemah dan palsu. Seperti hadis ini, hadis yang menyatakan bahwa Rasulullāh
telah meminta pengampunan kepada Allah untuk diri beliau, Imam dan para
pengikutnya (Syi‟ah). عتو Aku meminta pengampunan untuk „Alī“ فاست غفرتلعالوشي
dan pengkitnya”. Menurut al-„Aqīli, hadis ini tidak memiliki asal, sementara al-
Kannāni mengklasifikasikannya ke dalam hadis mauḍu‟ (palsu). 30
2. Sejarah Munculnya Syi‟ah
Kalangan sejarawan dan peneliti umumnya mengklasifikasi kemunculan
Syi‟ah dalam dua periode yaitu semasa hidup Nabi Muhammad saw dan pasca
pembunuhan Ḥusain bin „Alī.
Pertama, pandangan bahwa Syi‟ah terbentuk pasca wafatnya Nabi
Muḥammad saw. Kalangan yang mendukung pandangan ini antara lain:
29
Imām Aḥmad, Musnad Imam Ahmad, Kitab : Musnād al-Mukaṣṣirin Mina al-Ṣahābah,
Bab: Musnād „Abdullāh bin „Amru bin al-Aṣ, No. 6741 30
Naṣiruddīn bin „Abdullāh bin „Ali al-Qaffari, Ushū al-Mażhab al-Imāmiyah al-Iṡnā al-
Asy‟ariyyah, h. 36
64
a. Ibnu Khaldūn, yang berkata, “Syi‟ah muncul ketika Rasulullāh saw. wafat.
Saat itu Ahlul Bait memandang dirinya lebih berhak memimpin umat Islam.
Kekhalifahan hanyalah hak mereka, bukan untuk orang Quraisy lain. Saat itu
pula sekelompok sahabat Nabi saw. mendukung „Alī bin Abī Ṭālib dan
memandangnya lebih berhak ketimbang yang lain untuk menjadi pemimpin.
Namun, ketika kepemimpinan itu beralih kepada selain „Alī, mereka pun
mengeluhkan kejadian itu.31
b. Dr. Ahmad Amin, yang berkata, “Benih pertama Syi‟ah adalah sekelompok
orang yang berpendapat bahwa selepas wafatnya Nabi Muḥammad saw, Ahlul
Bait beliaulah yang lebih utama menjadi khalifah dan penerus beliau
ketimbang yang lain.32
Kedua, pandangan bahwa Syi‟ah terbentuk semasa kepemimpinan „Uṡmān
bin „Affān. Pandangan ini diusung sekelompok sejarawan dan peneliti, salah satunya
adalah Ibnu Hazm.33
Ketiga, pandangan bahwa Syi‟ah terbentuk semasa kekhalifahan „Alī bin Abī
Ṭālib, Beberapa pengusung pandangan ini adalah Naubakhti dalam bukunya yang
berjudul Firoq al-Syî‟ah, 34
dan Ibnu Nadim dalam buku al-Fihriṡ. Dalam bukunya ia
mengklaim bahwa peristiwa di Bashrah dan sebelumnya berpengaruh langsung dalam
proses pembentukan mazhab Syi‟ah.”35
31
Ibnu Khaldūn, Tārīkh Ibn Khaldūn, (Dar-Fikr, Bairut, 1988), Jld. 3, h. 364. 32
Ahmad Amin, Fajr al-Islām, (Dār-Kitāb Al-„Arābi, Bairut, 1969), h. 266 33
Hasyīm Farghāl, „Awāmil Wa Ahdāf Nasy‟ah Ilm al-Kalām, (Dār al-Afāq al-„Arābiyyah,
2013), h. 105. 34
Naubakhti, Firoq Al-Syī‟ah, (Mansyuraat Al-Ridha, Bairut, T.T), h. 36. 35
Ibn Nadim, al-Fihriṡ Li Ibn al-Nādim, (Maṭba‟ah al-Rahmāniyah, Mesir, 1990), h. 175
65
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa orang-orang syi‟ah
pada awalnya mereka adalah orang-orang yang mencintai nabi dan keturunan nabi.
Bahkan mereka berlomba-lomba untuk memulyakan ahlulbait yang termotivasi dari
penjelasan Rasulullāh saw sendiri terkait beberapa tafsir ayat contohnya surat al-
Bayyinah. Dengan kata lain cikal bakal Syi‟ah dalam arti orang-orang yang mencintai
ahlulbait telah ada sejak Rasulullāh saw hidup. Kemudian golongan Syi‟ah ini
mengalami perluasan makna pada pemililihan khalifah di Ṡaqīfah bani Saidah.
Mereka mengusulkan nama „Alī bin Abī Ṭālib sebagai pengganti Rasulullāh saw.
Fakta ini kemudian muncul kembali pada perang Ṣiffin yang menghasilkan abritase
diantara kedua belah pihak. Dimana orang-orang Syi‟ah ini menampakan jati dirinya
sebagai pendukung „Alī dan hingga saat ini faham inilah yang muncul sebagai sebuah
madzhab teologi dalam Islam.
3. Konsep Dasar Ushuluddin dan Furu‟uddin Syi‟ah
Di dalam sekte Syī‟ah Iṣna Asy‟ariyah dikenal konsep Ushuluddin. Konsep
ini menjadi akar atau fondasi pragmatisme agama, Konsep Ushuluddin mempunyai
lima akar :
a. Al-Tauhīd tentang ketunggalan Allah, dalam Bihār al-Anwar dan Nahjul
Balagha, Imam „Alī as menyatakan bahwa Allah itu satu. Bukan satu yang
setalahnya angka dua. Tapi satu tunggal, tak ada angka dua setelahnya.
b. Al-„Adlah tentang keadilan Ilahi. Dalam Bihār al-Anwar dan I‟tiqādat al-
Imamiyyah, Imam Ja‟fār al-Ṣādiq as menyatakan bahwa Allah itu maha
adil, keadilan Allah tidak terhingga.
66
c. Al-Nubuwwah tentang kenabian, hal ini tidak ada bedanya dengan Iman
kepada Nabi-nya Sunni.
d. Al-Imāmah tentang keimanan para Imam Ma‟ṣūmīn. Seandainya Allah
memang menginginkan hamba-Nya hidup sejahtera, harusnya Allah
memberi seorang Imam agar hamba-Nya bisa hidup baik. Dan Imam
haruslah ma‟ṣum agar manusia awam tidak terjebak ke jalan yang salah.
e. Al-Ma‟ad/Al-Qiyāmah, tentang Hari Kiamat, hal ini tidak ada bedanya
dengan Iman kepada Hari Kiamat-nya Sunni.36
Dalam Mazhab Syi‟ah juga ada Furu‟uddin (Cabang-cabang agama) ada 10
yang masyhur dapat dirincikan sebagai berikut:
a. Shalat merupakan manifestasi ibadah yang sesungguhnya secara fiqh.
Menurut „Abdul Wahhāb Khallāf, hanya ada sedikit perbedangan dengan
Sunni.
b. Zakat merupakan manifestasi dari berbuat baik kepada tetangganya,
(meskipun berbeda dengannya terkait dalam fatwanya „Ayatullāh al-Użma
„Alī Sistāni menetapkan zakat hanya bisa diberikan kepada Syi‟ah Iṣna
Asy‟āriyyah.
c. Shawm (puasa) Ibadah ini adalah manifestasi dari kesabaran
d. Al-Hajj ritual tradisi turun temurun ini hanya bisa dilakukan di Mekkah,
(kalau propaganda anti Syi‟ah bilang, Haji di Karbala lebih utama dari
Haji di Mekkah, itu bohong. Haji di Karbala hanyalah sa‟i, lagipula hal ini
36
Dwi Yesi Ariyani, Skripsi : Eksistensi Aliran Syi‟ah (Studi di Yayasan Ṣahib al-Zāman,
Kelurahan Rawa Laut Bandar Lampung, (UIN Raden Intan Lampung 2017), h. 38-39
67
bukan bid‟ah tapi Imam Zaynab an Sahabat Jābir Ibn „Abdullāh
melakukannya setahun 40 hari setelah kejadian karbala.
e. Khums sejenis pajak 20% yang diberikan kepada Allah swt, Nabi
Muḥammad saw, ahlul Bayt, Yatim, Miskin, Fuqaha, serta Ibnu Sabil.
Logikanya, kalau negara hanya mengandalkan Zakat untuk melanjutkan
kehidupan negara pasi tidak cukup. Maka Khums ini merupakan
pemecahan masalah ini.
f. Amr Ma‟rūf mengajak kepada kebaikan.
g. Nahi Munkar yaitu mencegah pada kemunkaran, kedua hal ini sangat
penting karena dalam kehidupan sosial menusia. Karena itu, Islam berbeda
dengan Liberal yang terlalu individual atau komunis yang terlalu sosialis.
h. Tawalla‟ yaitu mencintai Ahlul Bayt.
i. Tabarra‟ yaitu membenci siapapun yang dibenci oleh Nabi dan Ahlul
Bayt.37
4. Taqiyyah dalam Pandangan Syi‟ah
Syi‟ah38
salah satu sekte teologis dalam keagamaan Islam yang pernah
terpinggirkan dipojokan sejarah, adalah pengguna sekaligus pemilik paling
37
Ahmad Shadr Haji Sayyid Jawadi, Kamira Fani dan Bahau al-Din Khuramashai, Dāirah
al-Ma‟ārif , (Tehran Jilid 2) h. 152 38
Kelompok Syi‟ah terbagi ke dalam beberapa kelompok diantara ada Syī„ah Zaidiyah dan
Syī‟ah Imāmiyyah (aliran Syī‟ah Iṡnā „Asyariyyah dan Syī„ah Isma‟illiyah). Penulis membatas kepada
dua kelompok ini dikarenakan kedua kelompok Syi‟ah ini memiliki pengikut dan pendukung masing-
masing sampai sekarang
Syi‟ah Zaidiyyah adalah mereka pengikut Imām Zaid bin al-Ḥusain ra, yang mendukung dan
mengikuti beliau. Kelompok ini adalah orang-orang moderat dalam pandangan dan pringsip-pringsip
mereka. Mereka adalah kelompok Syi‟ah yang paling deket dengan ahlu al-Sunnah.
Sedangkan yang disebut Syi‟ah Imāmiyyah adalah mereka yang mempromosikan keimanan
„Alī ra langsung sesudah Rasulullāh saw, dan menyatakan dalil-dalil ṣaḥīḥ dan ekplisit mengenai
68
representatif gagasan taqiyyah. Data sejarah mengungkap, represifitas pengguna
muslim saat itu terutama pada masa pemerintah Dinasti Umayyah dan „Abbasiyyah
memaksa kaum Syi‟i menyembunyikan sikap doktrial mereka sebenarnya dengan
jalan berpura-pura tunduk atau sejalan dengan mainstream pada rezim Muslim.39
Sikap seperti inilah yang dikenal dengan sebutan istilah taqiyyah.
Taqiyyah menurut kaum Syi‟ah sendiri khususnya Syi‟ah Imāmiyyah Iṡnā
„Asyariyyah,40
itu merupakan salah satu prinsip-prinsip keimanan yang paling
pokok.41
Karena itu taqiyyah dalam pandangan Syi‟ah memiliki kedudukan yang luar
biasa.42
Menurut kaum Syi‟ah landasan qur‟anik bagi berlakunya gagasan taqiyyah ini
bersumber kepada firman Allah swt dalam surat Āli „Imrān [3] ayat 28, surat al-Naḥl
[16[ ayat 106, sebagaimana tersebut diatas, juga Firman Allah Surat al-Kaḥfi ayat 97
keimanan „Alī ra. Penjelasan lebih lanjut lihat Mahmud Faudah, Tafsir-Tafsir al-Qur‟an: Perkenalan
dengan Metodologi Tafsir, h. 122 39
Abdul Rahman Zainuddin, Syi‟ah dan Politik di Indonesia. Cet-I, h. 115 40
Mereka golongan yang sepakat akan keimanan „Alī ra, yang diteruskan kepada anaknya
Ḥāsan, kemudian Ḥusain, lalu kepada anaknya, Zainal Abidin, terus kepada anaknya, Muḥammad al-
Bāqīr, dilanjutkan lagi oleh anaknya, Ja„fār al-Ṣādiq. Maka dikenal dengan pulalah Syī‟ah Imāmiyyah
Iṡnā „Asyariyyah dengan sebutan Syī‟ah Ja„fāriyyah. Kemudian mereka berpendapat bahwa setelah
Ja„fār al-Ṣādiq, imamah berpindah kepada putranya, Mūsa al-Kaẓm, lalu kepada puteranya, „Alī al-
Ridhā kemudian anaknya, Muḥammad al-Jawād, selanjutnya kepada puteranya, „Alī al-Ḥandi,
berlanjut kepada puteranya. Muḥammad al-Mahdi al-Muntaẓār (al-Mahdi yang ditunggu-tunggu).
Terakhir ini adalah Imam yang kedua belas. Penjelasan lebih lanjut lihat Mahmud Basuini Faudah,
Tafsir-Tafsir al-Qur‟an...., h. 119-135 41
Para Mujtahid Syī‟ah Iṡnā „Asyariyyah telah melakukan empat pringsip yang menjadi dasar
pembinaan mazhab mereka, yaitu : Tauhid (al-Tauhīd), keadilan (al-„Adl), kenabian (al-Nubūwwah),
kepemimpinan (al-Imāmah), dan pringsip Imamah merupakan inti mazhab Syī‟ah Iṡnā „Asyariyyah
yang di dalamnya terdapat gagasan, „Iṣmah, Raj„ah, al-Mahdi al-Muntaẓār juga taqiyyah. Penjelasan
lebih lanjut lihat Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-Tafsir al-Qur‟an....., h. 119-135 42
Mahmud Farhan al-Buhairi, Gen Syi‟ah : Sebuah Tinjaun Sejarah, Penyimpangan aqidah
dan konspirasi Yahudi, Terj, Agus Hasan Bashari, h. 151
69
dan 98.43
Di samping bersumber kepada teks-teks al-Qur‟an diatas, kaum Syi‟ah
berpegang kepada perkataan atau riwayat yang datang dari imam-imam mereka yang
menurut mereka semuanya ma„ṣūm sebagai rujukan. Diantaranya fatwa „Alī bin Abī
Ṭālib ra. Mereka katakan bahwasanya beliau pernah berkata:
“Taqiyyah adalah amal orang yang paling mulia, dengan taqiyyah itu ia
dapat menjaga diri sendiri, saudara-saudaranya dari kejahatan orang-orang
berdosa”.44
Juga berdasarkan sebuah riwayat dari Imām „Alī bin Ḥusain bin „Alī:
ةي قالت كر:ت نيب ن ذفلاخ,مةرخالاوين الد ونمرهط,يبنذلكنمؤمللللارفغي
.انوخالقوقحو
“Allah mengampuni bagi seorang yang beriman setiap dosa, dan
membersikannya dari dosa itu di dunia dan di akhirat, selain dua dosa, yaitu
meninggalkan taqiyyah dan meninggalkan hak-hak saudaranya”.45
Imām Muḥammad bin „Alī bin al-Ḥusain yang terkenal dengan sebutan al-
Bāqīr, menurut mereka pernah mengatakan bahwa yang paling menyenangkan hari
ialah taqiyyah, taqiyyah itu adalah surganya orang-orang yang beriman.46
Imām Ja„fār bin al-Bāqīr yang dijuluki dengan al-Ṣādiq, dan bergelar dan
dipanggil dengan Abū „Abdillāh, ia mengatakan:
43
Sementara mengenai surat al-Kaḥfi ayat 97-98 yang artinya: “Maka mereka tidak bisa
mendakinya dan mereka tidak bisa menolongnya. Ẓulqarnain berkata: “Ini (dinding) adalah rahmat
dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, dia akan menjadikannya hancur luluh: dan
janji Tuhanku itu adalah benar”. Kalau dari segi lahiriyyah ayat, ayat diatas nampak tidak kaitannya
dengan taqiyyah. Akan tetapi menurut Syi‟ah ayat ini merupakan landasan qur‟anik berlakunya hukum
taqiyyah. Lihat Naṣīr bin „Abdillāh bin „Alī al-Qafārī, Ushū al-Mażhāb al-Syī„ah: al-Imāmiyyah al-
Iṡnā „Asyariyyah, h. 818 44
Ikhsan Zhairi, Syi‟ah dan Sunnah, terj. Bey Arifin (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1984), h. 184 45
Naṣīr bin „Abdillāh bin „Alī al-Qafārī, Ushūl al-Mazhāb al-Syī„ah: al-Imāmiyyah al-Iṡnā
„Asyariyyah, 1994, Cet-2, h. 184 46
Ikhsan Zhairi, Syi‟ah dan Sunnah, 1984, h. 184
70
وعف رةي قتولتانكنمون إبيبح,يةي قالت نمل إب حأءيشضرالوجىولاعمللاول
47.للاوعضوةي قتولنكتلنمبيبح,يللا
“Tidak, demi Allah. Tidak ada dipermukaan bumi ini yang paling lebih aku
cintai dari pada taqiyyah. Hai Ḥabib (nama perawi), karena siapa yang
mengamalkan taqiyyah Allah akan mengangkat kedudukannya, hai Ḥabib. Dan
barang siapa yang tak memiliki taqiyyah ia akan dihinakan oleh Allah”.48
Bersumber dari riwayat Ja‟far bin Muhammad, ia menyatakan:
ينفالت قي ةولدينلمنلتقي ةلواشعأإن تسعة رالد
“Sesungguhnya 1/9 dari agama ini ada pada taqiyyah dan tidak ada pada
agama bagi mereka yang tidak memiliki taqiyyah”.49
Mereka juga mendudukan taqiyyah sejajar dengan wajibnya shalat, ini
didasarkan atas fatwa Ibnu Babawayh salah seorang ulama klasik Syi‟ah menyatakan
ةلالص كرت نمةلزنابهكرت ن,مةباجاوهن إةي قلت ا نادقتعإ
“Keyakinan kami tentang taqiyyah itu bahwa ia adalah wajib, barang siapa
meninggalkan maka sama dengan meninggalkan shalat”.
Untuk alasan itu, mereka juga menisbatkan kepada Ja„fār al-Ṣādiq, beliau
berfatwa :
اق ادصتنكلالص لةكارتكةي قالت كرتن أتلق ول
“Seandainya saya mengatakan bahwa meniggalkan taqiyyah sama
dengan meninggalkan shalat, tentu saya benar”.
Bahkan mereka menisbatkan kepada Rasulullāh saw, yang bersabda :
47
Muḥammad bin Yā‟qūb al-Kulainī, Uṣul al-Kāfī. (Bayrūt : Libanon, 2008), h.133 48
Ikhsan Zhairi, Syi‟ah dan Sunnah, 1984, h. 184 49
Naṣīr bin „Abdillāh bin „Alī al-Qafārī, Ushūl al-Mazhāb al-Syī„ah: al-Imāmiyyah al-Iṡnā
„Asyariyyah, h.807
71
ةلالص كارتكةي قالت كرت
“Meniggalkan taqiyyah itu sama halnya dengan meninggakalkan shalat”.50
Taqiyyah menurut mereka tidak mungkin lepas dari setiap Syi‟ah disetiap
negeri Islam, hingga mereka menyebutnya “Dār al-Islām” dengan sebutan “Dār al-
Taqiyyah”. Berdasarkan sebuah riwayat:
ةباجوةي قالت ارد ةي قالت و
“Taqiyyah di kampung taqiyyah adalah wajib”.
Mereka menjuluki “Dār al-Islām” dengan “Dār al-Bāṭil”. Mereka berkata
berdasarkan riwayat :
ةي قالت بل إلاطالبةلود مل كتي لفرخالموي الوللابنمؤي انكنم
“Barang siapa beriman kepada Allah dan akhir maka janganlah berbicara di
negeri kebatilan melainkan secara taqiyyah
Mereka juga menjuluki “Dār al-Islām” dengan “Daulah al-Ẓālimin”. Mereka
mengatakan:
واقفوةامملانيدفالخدقاف هكرت نم,فنيمالالظ ةلودا ني لعةباجوةضيرفةي قلت ا
“Taqiyyah adalah fardhu yang di wajibkan kepada kami dalam Negara
orang-orang yang ẓālim. Kerena itu barang siapa meninggalkan taqiyyah
maka sungguh dia telah menyalahi agama imamiyyah dan telah terpisah
dengannya”.51
Dan bersumber dari fatwa Imām Ibnu Babawayh dalam kitabnya “al-
I‟tiqādat” sebagaimana yang dikutip oleh Naṣīr al-Qafārī, beliau berkata:
50
Naṣīr bin „Abdillāh bin „Alī al-Qafārī, Ushūl al-Mazhāb al-Syī„ah: al-Imāmiyyah al-Iṡnā
„Asyariyyah, h.807 51
Naṣīr bin „Abdillāh bin „Alī al-Qafārī, Ushūl al-Mazhāb al-Syī„ah: al-Imāmiyyah al-Iṡnā
„Asyariyyah, h.807
72
العت للانيدنعجرخدقف وجورخلباق هكرت نم,فمائلقاجرينألاإهعف رزويلةباجوةي قالت و
ولوسروللافالخوةي امملانيدنعو–
“Taqiyyah itu wajib tidak boleh ditinggalkan sebagai munculnya al-Qur‟an
(imam yang masih hilang), siapa yang melanggarnya sebelum muculnya
imam itu maka berarti ia sudah keluar dari agama Allah, dan juga keluar
dari agama Imāmiyyah (Syi‟ah), berarti menantang Allah, Rasulnya dan para
Imam”.52
Di atas telah dijelaskan sebab-sebab orang Syi‟ah memilih taqiyyah dan
mempertahankannya. Tetapi diantara mereka ada yang berselisihan dan berlainan
pendapat mengenai hukumnya. Al-Ṭūsī salah seorang ulama Syi‟ah dalam tafsirnya
“al-Ṭibyān”, sebagaimana yang dikutip oleh Ikhsan Ilahi Zhahiri yang mengatakan
taqiyyah wajib di saat takut akan bahaya yang menimpah diri.53
Adapun pendapat
Imām Khomeinī, pemimpin revolusi Iran, menulis bahwa:
“Tidaklah wajar berpegang dengan taqiyyah menyangkut segala sesuatu yang
kecil dan yang besar. Taqiyyah disyari‟atkan (diajarkan agama) untuk
memelihara jiwa dan jiwa orang lain dalam kaitannya dengan rincian hukum.
Adapun jika persoalan menyangkut bahaya terhadap Islam secara menyeluruh,
maka di sana tidak ada jalan untuk melakukan taqiyyah. Bagaimana jika salah
seorang pakar hukum agama dipaksa untuk menetapkan hukum agama tanpa
dasar atau membuat-buat sesuatu tanpa dasar, apakah anda menduga bahwa
dia dapat melakukan dengan berpegang pada ucapan al-Imam al-Shadiq yang
berkata: “Taqiyyah adalah agamaku dan agama leluhurku?” Ini bukanlah
alasan melakukan taqiyyah, bukan juga tempatnya. Apabila kondisi taqiyyah
menjadikan seseorang diantaranya harus masuk dalam kelompok para
penguasa, maka di sini ia wajib menghindari hal itu (untuk masuk) walau
penghindaraan itu mengakibatkan pembunuhannya, kecuali jika masuknya
dalam bentuk formalitas merupakan kemenangan yang hakiki buat Islam dan
kaum Muslimin”.54
52
Naṣīr bin „Abdillāh bin „Alī al-Qafārī, Ushūl al-Mazhāb al-Syī„ah: al-Imāmiyyah al-Iṡnā
„Asyariyyah, h.808 53
Ikhsan Zhairi, Syi‟ah dan Sunnah, 1984, h. 213 54
M. Quraish Shihab, Sunnah – Syi‟ah bergandengan Tangan Mungkinkah? Kajian atas
Konsep Ajaran dari Pemukiran, h.210
73
Sementara Syaikh al-Ṣaddūq berpendapat taqiyyah itu wajib dan tidak boleh
diperbolehkan meninggalkan sampai berdiri (munculnya) penguasa (al-Qāim), maka
barangsiapa yang meninggalkannya sebelum munculnya maka keluarlah dia dari
agama Imāmiyyah, berarti menyalahi Allah dan Rasulnya dan para imam. Ketika
dinyatakan kepada al-Ṣaddīq as tentang firman Allah surat al-Ḥujurat ayat 13,55
dia
menyatakan (maksudnya adalah) orang yang paling banyak mengamalkan taqiyyah.56
Sebagian dari golongan Syi‟ah menisbahkan sebuah riwayat kepada „Alī bin
Abī Ṭālib r.a bahwa beliau pernah berkata tentang pandangannya terhadap taqiyyah,
bahwa taqiyyah itu merupakan sebaik-baik amal bagi orang yang beriman. Disamping
itu, taqiyyah merupakan alat untuk menjaga diri mereka dan teman-teman mereka
dari orang jahat. Begitu juga, salah seorang diantara mereka ada yang menyatakan
taqiyyah itu wajib untuk menjaga diri atau lainnya. Sebagaimana yang diriwayatkan
oleh al-Kulainī dan Zurā„arah tentang Abū Ja„fār as yang menyatakan taqiyyah itu
dapat dipergunakan dalam setiap kepentingan, orang yang bersangkutan lebih tahu
kapan harus dipergunakan.57
Lutfillāh al-Ṣāfy dalam kitabnya “Ma„a al-Khutūb” sebagaimana yang
dikutip Ikshan Zhahiri, memberi pandangan bahwa taqiyyah itu diperbolehkan dan
sudah diamalkan Syi‟ah dalam masa berabad-abad di masa berkuasanya penguasa-
55
....... مكاقت أللادنعمكمركأن إ
“Sesungguhnya yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling taqwa diantara
kamu” 56
Mahmud Farhan al-Buhairi, Gen Syi‟ah : Sebuah Tinjaun Sejarah, Penyimpangan aqidah
dan konspirasi Yahudi, Terj, Agus Hasan Bashari, h. 157 57
Ikhsan Zhahiri, Syi‟ah dan Sunnah, h. 214
74
penguasa jahat di negeri-negeri Islam, seperti Mu„awiyyah, Yāzid, al-Wālid dan al-
Manṣūr.58
Mengenai perbedaan golongan Syi‟ah mengenai hukum taqiyyah di atas, „Alī
Aḥmad al-Sālūs dalam Ensiklopedi Sunnah Syi‟ah menyatakan bahwa dalam
melaksanakan taqiyyah itu, setidaknya Syi‟ah terpijak kepada tiga hukum yang
mendasari yaitu:
Pertama, wajib. Yaitu ketika meniggalkan taqiyyah menyebabkan kematian
tanpa faidah. Kedua, dispensasi. Yaitu bila meninggalkan taqiyyah dan
menampakkan kebenaran merupakan penguatan terhadap kebenaran itu sendiri. Maka
dalam hal ini seseorang, boleh mengorbankan dirinya dan juga boleh menjaga
dirinya. Ketiga, haram. Bila dalam melakukan taqiyyah menjadi sebab akan adanya
kebatilan, menyesatkan manusia, mengihidupkan kezhaliman dan kehancuran.59
C. Pandangan Aliran Teologis Islam tentang Taqiyyah
1. Pandangan Sunni
Sunni atau Sunnah secara etimologi berarti tradisi. Ahl al-Sunnah berarti
orang-orang yang secara konsisten mengikuti tradisi Nabi dalam tuntunan lisan
maupun amalan beliau serta sahabat mulia beliau.60
Sunni,61
sebutan pendek dari Ahl-
al-Sunnah wa al-Jamā„ah, adalah nama sebuah aliran pemikiran yang mengklaim
dirinya sebagai pengikut Sunnah, yaitu sebuah jalan keagamaan yang mengikuti
58
Ikshan Zhahiri, Syi‟ah dan Sunnah, h. 215 59
„Alī Aḥmad al-Sālūs, Ensiklopedi Sunnah-Syi‟ah, h. 334 60
M. Quraish Shihab, Sunnah-Syi‟ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?; Kajian Atas
Konsep Ajaran dan Pemikiran, h. 57. 61
Term “Sunni”, mulai digunakan oleh para tokohnya untuk menyebut kelompoknya mulai
pada abad ke sepuluh dan sebelumnya term ini tidak dikenal.
75
Rasulullāh saw. dan sahabat-sahabatnya, sebagaimana dengan tafsiran Saḍr al-Ṣārih
al-Maḥbūbi, yaitu „Ammāh al-Muslimūn (umumnya umat Islam), dan al-Jamā„ah al-
Kaṡīr wa al-Sawād al-„Azm (jumlah besar dan khalayak ramai).62
Untuk mencari pandangan para ulama/mufassir dari kaum Sunni tentang
taqiyyah, penulis mengambil pandangan Musṭāfa al-Marāghī dalam tafsirnya al-
Marāghī, dalam memahami makna sebenar dari amalan taqiyyah adalah berdasarkan
dari ayat al-Quran surat Āli „Imrān [3] ayat 28 yang membawa maksud dibolehkan
untuk melakukan taqiyyah jika dalam kondisi darurat, yakni untuk menjaga diri dan
agama Islam dari kerusakan yang dilakukan oleh orang-orang kafir. Adapun untuk
ber-muwālat atau memihak kepada orang-orang kafir dalam urusan persahabatan
jahiliyyah, urusan keluarga, dan urusan kepimpinan adalah dilarang dalam agama.
Hal ini karena umat Islam dituntut agar memelihara akhlak sebagai seorang Mukmin
supaya tidak terikut-ikut dengan sifat dan tabiat orang- orang kafir dan dituntut
supaya lebih memihak atau berteman dengan orang-orang Mukmin sendiri adalah
lebih baik demi menjaga keharmonian akidah Islam. Adapun jika ternyata memihak
dan berteman kepada orang-orang kafir mengandung kebaikan kepada kaum
Mukmin, maka itu diperbolehkan, sebagaimana Nabi Muḥammad saw. pernah
bersekutu dengan Banī Khuzā„ah, padahal mereka tetap dalam kemusyrikannya.63
Bagaimanapun, jika orang-orang Mukmin merasa takut dan khawatir akan
terjadi kerusakan apabila mereka memihak kepada orang-orang kafir, maka
62
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-
Press, 1986), h. 64. 63
Aḥmad Musṭāfā al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, terj. Bahrun Abu bakar, (Semarang: CV.
Toha Putra, 1986), Jilid 3, h. 244-255.
76
diperbolehkan untuk berjaga-jaga atau siasat taqiyyah, sebab kaidah syari‟at ada
mengatakan, bahwa menolak kerusakan (mafsādah) hendaklah didahulukan daripada
menarik manfaatnya. (Dār al-Mafāsid Muqaddamūn „ala Jalb al- Mafāsid). Menurut
al-Marāghī, para ulama telah bersepakat akan bolehnya taqiyyah. Akan tetapi dengan
syarat, hendaklah seseorang mengatakan atau melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan kebenaran, dalam rangka mencegah bahaya yang datang dari
musuh, seperti yang berkait dengan jiwa, kehormatan, atau harta. Barangsiapa yang
mengatakan kalimat kufur karena ditekan dan dipaksa, sedangkan ia berusaha untuk
melindungi dirinya agar tidak terbunuh dan hatinya tetap tenang dalam keimanan, ia
tidak menjadi kafir, dan perbuatannya akan diampun.64
Sebagaimana kisah „Ammār bin Yāsir dalam surat an-Naḥl ayat 106, yang
tatkala ia dipaksa untuk mengucapkan kalimat kufur hatinya tetap tenang dalam
melakukannya, serta kisah seorang sahabat Nabi yang diampuni saat ia diinterogasi
oleh Musailāmah: “Tidakkah engkau bersaksi bahwa aku adalah Rasulullāh?” Sang
sahabat yang dipaksa tadi menjawab, “Iya.” Lalu, Musailamah membiarkan ia
hidup. Akan tetapi, seorang sahabat yang saat itu juga ditanya soalan yang sama
oleh Musailamah telah menjawab, “Aku tuli” sebanyak tiga kali. Akhirnya ia
dibunuh. Berita ini sampai kepada Rasulullāh saw. lantas beliau bersabda:
ىم أ اذا ام أ,ووال ئ ي نهف وق دصو ونيقىيلىعضمفل وت ق لا لفللاةصخرلبق رخلا
ويلع ةعب ت
64
Aḥmad Musṭāfā al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 244-255.
77
“Adapun orang yang dibunuh, ia telah berlalu dengan keyakinan dan
kejujurannya, maka berbahagialah dia. Dan yang lainnya, ia menerima
kemurahan dari Allah, sehingga tidak ada beban lagi baginya.”65
Kendati, hal itu termasuk dalam rukhṣah agama dikarenakan adanya hal-hal
yang berlaku pada waktu tertentu saja, tidak secara tetap atau rutin, yang sifatnya
dalam kondisi terpaksa dan darurat. Bukan dari pokok-pokok agama yang harus
diikuti selamanya.66
Oleh karena itu, diwajibkan bagi orang-orang Mukmin
melakukan hijrah dari tempat di mana ia takut untuk menampakkan agamanya, dan
terpaksa untuk melakukan taqiyyah. Adapun antara perkara yang termasuk dalam
kesempurnaan ialah, hendaklah orang Mukmin itu tidak takut dan gentar menghadapi
celaan orang-orang kafir yang mencela keimanan kepada Allah. Sebagaimana Allah
swt. berfirman dalam surat Āli „Imrān [3] ayat 175:
تممؤمنني كن لكمالش يطانيوفأولياءهفلتافوىموخافونإن اذ إن
“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti
(kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), Karena itu
janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaku, jika kamu
benar-benar orang yang beriman”.
Adapun pendapat kedua dari ulama Sunni tentang taqiyyah, penulis mengutip
pandangan Sayyid Quṭb dalam kitab tafsirnya yang bernama Tafsīr fī Ẓilalil Qur‟ān.
Menurut Sayyid Quṭb, taqiyyah merupakan suatu rukhṣah yang dibenarkan dalam
Islam hanya semata-mata untuk memelihara diri terhadap orang yang ditakuti dalam
suatu negeri atau pada suatu waktu tertentu. Akan tetapi, itu hanya untuk
65
Aḥmad Musṭāfā al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 246 66
Aḥmad Musṭāfā al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 246
78
pemeliharaan diri dalam bentuk ucapan lisan, bukan dalam bentuk hati dan amal.67
Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu „Abbās:
انسللبةي قاالت ن إ,ول ملعاب ةي قالت سيل
“Taqiyyah „siasat pemeliharaan diri‟ itu bukan dengan amal, tetapi taqiyyah
itu hanya dengan ucapan.”
Jadi, taqiyyah yang diperkenan itu bukan dengan menjalin kasih sayang antara
orang Mukmin dengan orang kafir. Hal ini karena, orang-orang kafir itu tidak akan
ridha kalau kitab Allah dijadikan pemutus perkara-perkara dari aspek hukum maupun
aspek kehidupan. Maka, Allah melarang umat Islam untuk menjadikan orang-orang
kafir sebagai teman dekat atau sebagai wali dikarenakan perbedaan akidah dan
amalan hidup. Oleh karena itu, taqiyyah yang diizinkan syara‟ itu bukanlah dengan
membantu orang-orang kafir dengan amalan nyata dalam bentuk tertentu atas nama
taqiyyah. Karena, umat Islam tidak diperkenankan untuk melakukan tipu daya apa
pun atas nama Allah dan agama.68
Kendati, permasalahan ini merupakan urusan dari hati nurani, urusan taqwa,
maka urusan ini mengandung peringatan kepada orang Mukmin terhadap siksaan
Allah swt. dan memberi kesadaran kepada orang-orang Mukmin bahwa Allah selalu
mengetahui apa yang ada di dalam hati hamba-Nya. Sebagaimana firman Allah swt.
dalam surat Āli „Imrān [3] ayat 29 :
67
Sayyid Quṭb, Tafsīr Fī Ẓilalil Qur‟ān; Di Bawah Naungan Al-Qur‟an, terj. As‟ad Yasin,
Cet. I, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), Jilid 2, h. 56. 68
Sayyid Quṭb, Tafsīr Fī Ẓilalil Qur‟ān; Di Bawah Naungan Al-Qur‟an, h. 56.
79
قلإنتفواما وي علمما الس ماواتوما الرض صدوركمأوت بدوهي علموالل
شيءقدير كل على والل
Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau
kamu melahirkannya, pasti Allah Mengetahui". Allah mengetahui apa-apa
yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. dan Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu.
2. Pandangan Khawarij
Kaum Khawarij lahir sebagai aksi demostratif atas kebijaksanaan „Alī dan
Mu‟awiyyah menunjuk perwakilan dalam kompromi untuk mengahiri perang Ṣiffīn.
Peristiwa tersebut dikenal dengan tahkim (arbitrase).69
Kaum khawarij pada mulanya dikenal sebagai pengikut „Alī bin Abī Ṭālib,
namun karena peristiwa tersebut sehingga mereka meninggalkan „Alī. Karena mereka
menganggap „Alī telah mendurhakai Allah dengan mengangkat hakim/wali selain
Allah. Bahkan lebih jauh mereka mengkafirkan „Alī dan seluruh yang tunduk pada
tahkim tersebut. Golongan ini dikenal dengan sangat ektrim dan radikal terhadap
pendapat yang berbeda dengannya. Bahkan secara ekstrim mereka melakukan
pemberontakan terhadap pemerintahan yang menurutnya zalim. Sehingga dalam
rentang waktu yang cukup lama kaum ini banyak membuat keonaran. Kalau
ditelusuri ke belakang, maka dapat diketahui bahwa embrio dari seluruh konflik
tersebut berawal dari peristiwa pembunuhan „Usmān.70
69
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 40 70
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h.
194
80
Taqiyyah Bagi Khawārij, mereka tidak mengharuskan sama ada di dalam
perkataan ataupun di dalam perbuatan. Sejarah telah membuktikan bahwa mereka
telah berkali-kali memberontak terhadap kerajaan dan mereka terkenal dengan
keganasan mereka menghadapi musuh. Namun begitu, kajian yang dilakukan
membuktikan pula bahwa pendapat ini bukanlah merangkumi semua Firqāh al-
Khawārij. Al-„Azzāriqah (pengikut Nāfī‟ bin al-„Azrāq) berpendapat : Taqiyyah tidak
halal, lari daripada peperangan adalah kafir yang nyata. Pendapat tersebut mengambil
dalil daripada firman Allah yang bermaksud : Mereka takut akan manusia seperti
takut kepada Allah (al-Nisā‟ : 77) dan juga firman Allah yang bermaksud : Mereka
berjuang di jalan Allah dan tidak takut kepada orang-orang yang selalu mencela (al-
Maidah [51] : 54).71
Ada pula yang melewati batas akal dan agama dengan menghalalkan taqiyyah
di dalam perkataan dan perbuatan seperti firqāh al-Najdāt (pengikut Najda bin „Amīr
al-Hanāfī). Mereka mengharuskan taqiyyah di dalam perkataan dan perbuatan
sekalipun jika sampai ke tahap membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah. Bagi al-
Sārifah (pengikut Zaid bin al-Aṣfār), mereka lebih sederhana. Mereka mengaharuskan
taqiyyah di dalam percakapan seja dan perbuatan tidak termasuk di dalam taqiyyah. 72
3. Taqiyyah menurut Mu‟tazilah
Golongan Mu‟tazilah disebut kelompok Ahl al-Adl wa al-Tauḥīd, dan juga
disebut Qadariyyah atau „Adliyyah. Mereka jadikan kata Qadariyyah mempunyai dua
71
Muḥammad bin „Abdul Karīm al-Syahrastānī, al-Milal al-Nihāl, (Alira-aliran Teologi
dalam Sejarah Umat Manusia), Jilid 1, h. 108 72
Muḥammad bin „Abdul Karīm al-Syahrastānī, al-Milal al-Nihāl, (Alira-aliran Teologi
dalam Sejarah Umat Manusia), h. 110
81
arti: kata qadar dipergunakan untuk menamakan orang yang mengakui qadar
dipergunakan untuk kebaikan dan keburukan pada hakikatnya dari Allah. Namun
sebenarnya pendapat ini hanya lahir dari orang yang buta hatinya karena Nabi saw,
bersabda :
ةم لااهذىسومةي ردلقأا “Al-Qadariyyah adalah majusinya umat [Islam] ini”.
73
Golongan al-Mu‟tazilah mewajibkan al-„Amru bi al-Ma‟rūf wa al-Munkar
(menyeru kepeda kebaikan dan mencegah kemungkaran), ada sebagian daripada
mereka mengharuskan taqiyyah bilamana timbul bahaya yang mengamcam jiwa raga.
Abū al-Hużail al-„Allāf pernah berkata: Seorang yang benci melakukan sesuatu
perkara lalu dia dipaksa melakukannya sedangkan dia tidak pandai mencari jalan
keluar yang lain, bolehlah dia berduasta dan dosa berdusta kembali kepada orang
yang memperbuat perbuatan itu. 74
73
Muḥammad bin „Abdul Karīm al-Syahrastānī, al-Milal al-Nihāl, (Alira-aliran Teologi
dalam Sejarah Umat Manusia), h. 37-38 74
Muḥammad bin „Abdul Karīm al-Syahrastānī, al-Milal al-Nihāl, (Alira-aliran Teologi
dalam Sejarah Umat Manusia), h. 44
82
BAB IV
ANALISA TAQIYYAH MENURUT PANDANGAN
TAFSIR MAJMA’ AL-BAYĀN DAN TAFSIR AL-MĪZĀN
A. Taqiyyah Dalam Penafsiran Tafsir Majma’ al-Bayān dan Tafsir al-Mīzān
1. Penafsiran tentang Ayat-ayat Taqiyyah Menurut al-Ṭabarsī
a. QS. Āli „Imrān [3] ayat 28
Dalam Tafsir Majma„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān karya al-Ṭabarsī
menjelaskan tentang bagaimana makna taqiyyah yang dalam hal ini terdapat dalam
surat Āli „Imrān [3] ayat 28 yang berbunyi.1
لك ف ليس من الل ي لي تخذ المؤمنون الكافرين أولياء من دون المؤمنني ومن ي فعل ذ
هم ت قاة شيء قوا من ن فسو وإل الل المصي إل أن ت ت ركم الل ويذ
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali
dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian,
niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat)
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah
kembali (mu).
Al-Ṭabarsī menafsirkan ayat ini, ketika Allah swt menjelaskan bahwa dialah
sang penguasa dunia dan akhirat yang berkuasa terhadap jenis kemulian dan celaan.
Dimana orang-orang mukmin dilarang mengikuti (mawālat) dari orang yang tidak
mempunyai kemulian sama sekali disisi mereka, dan tidak pula celaan terhadap
musuh-musuhnya. Supaya terdapat suatu kecenderungan terhadap apa yang ada
disisinya dan juga apa yang ada dalam diri pemimpin orang-orang Mukmin, selain
1 Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān Juz 2, h. 220
83
musuh-musunya yang kafir. Maka Allah berfirman Janganlah orang-orang mukmin
mengambil orang-orang kafir menjadi pemimpin atau sahabat.2
Al-Ṭabarsī mengungkapkan tidaklah pantas bagi orang-orang mukmin
menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin untuk jiwanya sendiri. Dan mereka
meminta tolong kepada pemimpin kafir kemudian mengadukan sesuatu kepada
mereka lalu menampakkan kecintaan mereka. Sebagaimana firman Allah swt di
dalam beberapa tempat dalam al-Qur‟an misalnya dalam surat al-Mujādilah [58] ayat
22.
ورسولو , ...ل تد ق وما ي ؤمنون بلل والي وم الخر ي وادون من حاد اللKamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat,
saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan
Rasul-Nya, ...
Selain itu terdapat pula al-Ṭabarsī mengambil ayat larangan mengambil
pemimpin kafir yang terdapat dalam surat al-Maidah [5] ayat 51. 3
رى أولي ي ها لذين ي ... ء آءامنوا ل ت تخذوا لي هود ولنص
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu).....
Al-Ṭabarsī mengungkapkan wajib mawālat (mengikuti) para pemimpin dari
kalangan orang-orang mukmin. Karena Dan hal ini dilarang muwalat (mengikuti)
para pemimpin kafir, serta simpati terhadap pertolongan mereka terhadap orang-
orang mukmin. Dan al-Ṭabarsī melarang juga untuk bersikap lemah-lembut kepada
2 Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān Juz 2, h. 221
3 Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān Juz 2, h. 221
84
orang-orang kafir. Sebagaimana diriwayat dari „Abdullāh bin „Abbās adalah auliyā‟
jama„ dari kata walī‟ yang dimaksud adalah orang yang mengatur urusan orang lain,
dimana orang lain itu meridhoi perbuatan orang tersebut, dengan adanya suatu
pertolongan. Menurut al-Ṭabarsī Pemimpin itu berfungsi pada dua jalan yang pertama
dia berfungsi sebagai penolong dengan jalan pertolongannya dan yang kedua dia juga
sebagai orang yang ditolong.
Al-Ṭabarsī mengatakan bahwa siapa yang menjadikan orang kafir sebagai
pemimpin selain orang mukmin maka orang itu bukanlah pemimpin-pemimpin yang
dikehendaki Allah. Sedangkan Allah akan berlepas diri darinya. Dan dikatakan pula
hal ini tidaklah termasuk dari wilāyah (penjagaan) Allah swt. karna dia bukanlah
termasuk golongan agama Allah.4
Kemudian ada pengecualian di dalam ayat ini yaitu kecuali karena taqiyyah
(siasat) untuk memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka dalam hal ini al-
Ṭabarsī menjelaskan yaitu kecuali menjadikan orang-orang kafir tersebut sebagai
pemenang, sedangkan orang mukmin adalah orang-orang yang terkalahkan. Lalu
orang orang-orang mukmin takut terhadap orang kafir jika dia tidak menampakkan
kesepatakan mereka terhadapnya. Dan ia tidak memperbaiki pergaulan kepada
mereka. Maka demikian itu dibolehkan bagi orang mukmin itu memperlihatkan kasih
sayang mereka dengan lisannya, dan pembicaraan mereka, karena untuk taqiyyah
serta untuk menolak dirinya untuk meyakini hal demikian itu. 5
4 Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān Juz 2, h. 221
5 Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān Juz 2, h. 221
85
Al-Ṭabarsī menjelaskan di dalam ayat ini yang menunjukkan bahwa
sesungguhnya taqiyyah itu diperbolehkan di dalam agama ketika munculnya rasa
takut terhadap dirinya. Karena taqiyyah itu boleh dalam segala situasi/keadaan ketika
itu darurat. Dan dengan melakukan hal demikian itu, untuk tujuan membuat rasa
lembut dan meminta perdamaian. Dan tidak diperbolehkan dari perbuatan tersebut
membunuh orang Mukmin, dan tidak pula dengan suatu yang tidak ketahui atau
sesuatu yang luput pada sangkaan, bahwasanya itu merupakan kerusakan terhadap
agama. 6
b. QS. al-Naḥl [16] ayat 106
Al-Ṭabarsī juga menjelaskan tentang taqiyyah ini dalam kitab Majma„ al-
Bayān yang terdapat pada surat al-Naḥl [16] ayat 106 yang berbunyi.7
ميان ولكن م إل من أكره من كفر بلل من ب عد إميانو ن شرح بلكفر وق لبو مطمئن بل
صدرا ف عليهم غضب من الل ولم عذاب عظيم
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat
kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap
tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang
melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya
dan baginya azab yang besar”.
Dalam ayat ini sebelum al-Ṭabarsī menafsirkannya terlebih dahulu beliau
menjelaskan tentang asbāb al-Nuzūl yang terdapat dalam dalam kisah sahabat Nabi
yang ketika itu mereka dipaksa, yaitu „Ammār dan kedua orang tuanya Yāsir dan
Sumayyah, Ṣuḥayib, Bilal, dan Khabbāb. Mereka telah menyiksa dan membunuh
6 Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān Juz 2, h. 221
7 Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān Juz 6, h. 153
86
Abū „Ammār dan Ibunya Sumayyah, sedangkan „Ammār pun mentaati mereka
dengan lisannya, dan dengan semua keinginannya. Kemudian ada yang melaporkan
hal demikian itu kepada Rasulullāh saw, maka telah berkata suatu kaum : „Ammār
telah kafir, lalu Rasulullāh bersabda: Sama sekali tidak, sesungguhnya „Ammār
keimananya telah mampu menghubungkan kepada kedudukannya, dan
mencampurkan keimananya dengan daging dan darahnya. Dan „Ammār telah datang
kepada Rasulullāh saw dan ketika itu „Ammār dalam keadaan bersedih, maka
Rasulullāh saw bertanya apa yang ada di belakangku? Maka „Ammār pun menjawab :
Kejahatan wahai Rasulullāh, apa yang kamu tinggalkan sampai kamu memperoleh
dan aku menyebutkan Tuhan mereka dengan kebaikan. Maka Rasulullāh saw
mengahapus air mata „Ammār, dan Rasulullāh bersabda: Sesungguhnya jika orang-
orang kafir itu kembali kepadamu maka ulangi perkataan mereka dengan apa yang
aku katakan, maka turunlah ayat ini. 8
Al-Ṭabarsī mengungkapkan bahwa orang yang kafir kepada Allah sesudah dia
beriman memiliki beberapa perbedaan pendapat di dalam ketentuannya, beliau
mengatakan bahwa ketentuannya itu ada beberapa ringkasan yang maknanya adalah
siapa orang yang kafir kepada Allah maka sesungguhnya dia akan murtad dari Islam,
dan bagi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran maka mereka akan
mendapatkan kemurkaan dari Allah dan baginya akan mendapatkan azab yang besar.9
8 Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān Juz 6, h. 154
9 Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān Juz 6, h. 155
87
Al-Ṭabarsī mengatakan orang yang dipaksa untuk mengucapkan kalimat kafir
dengan jalan taqiyyah itu hukumnya dibenci (makrūh). Dan apabila hatinya tetap
tenang dengan penuh keimanan maka tidak ada dosa atasnya dengan berbuat
demikian itu. Beliau mengatakan sesungguhnya hal itu dikaitkan dengan kisah yang
telah lalu, karna sesungguhnya itu hanyalah memalsukan kebohongan orang kafir
kepada Allah dari sesudah dia beriman. Kemudian ada pengecualian dari demikian
itu, yaitu orang yang dipaksa atas itu dan adanya ketetapan hati kepada keimanan di
dalam bāṭin (ketersembunyiannya) maka sesungguhnya itu adalah berlawanan. Al-
Ṭabarsī juga menjelaskan tentang orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran
dan menyenangkan dirinya dengan itu, maka akan mendapatkan kemurkaan Allah
menimpanya dan baginya azab yang besar di akhirat kelak.10
Syaikh al-Mufīd berkata bahwa sesungguhnya taqiyyah itu kadang-kadang ia
wajib, kadang-kadang ia suatu kaharusan. Dan terkadang dia dibolehkan tanpa ada
suatu kewajiban, dan ada waktu yang lebih utama daripada meninggalkannya. Dan
sesunguhnya meninggalkannya itu lebih utama sekalipun yang melakukannya itu
karena ada halangan („użur) serta dimaafkan olehnya, secara lebih diutamakan
atasnya dengan meninggalkan celaan atasnya. 11 Begitu pula dengan gurunya al-
Ṭabarsī yaitu al-Syaikh Abū Ja„fār al-Tūsī yang berkata, secara ẓāhir riwayat-riwayat
itu menunjukkan wajibnya taqiyyah ketika terjadi timbulnya rasa takut terhadap
10
Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān Juz 6, h.
155 11
Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān Juz 2, h.
221-222
88
dirinya. Dan sungguh telah diriwayatkan adanya rukhṣah dalam kebolehan
mengungkapkan kebenaran disisinya. 12
2. Penafsiran tentang Ayat-ayat Taqiyyah Menurut al-Ṭabāṭabā„ī
a. QS. Āli „Imrān [3] ayat 28
Dalam tafsir al-Mīzān karya Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭāba‟ī, beliau
mengungkapkan mengenai tentang taqiyyah, berbeda dengan para pakar Islam yang
telah dipaparkan dibab sebelumnya beliau memaparkan ayat yang penting dalam
menjelaskan makna sebenarnya tentang taqiyyah, sebagaimana yang ditegaskan
dalam Surat Āli „Imrān [3] ayat 28 :
لك ف ليس من الل ي ل ي تخذ المؤمنون الكافرين أولياء من دون المؤمنني ومن ي فعل ذ
هم ت قاة شيء قوا من ن فسو وإل الل المصي إل أن ت ت ركم الل ويذ
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali
dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian,
niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat)
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah
kembali (mu).
Kata “al-Auliyā” (أالولياء)‟ disini merupakan jama‟ dari kata “al-Waly” (الوىل) sahabat/pemimpin berasal dari kata (الوالية) al-Wilāyah, kata akarnya tersebut
menunjukkan otoritas untuk mengurus, mengelola, mengemdalikan sesuatu, yaitu
perwalian. Artinya adalah seorang pemimpin atau orang yang memiliki otoritas untuk
mengurus, mengelola atau mengendalikan urusan-urusan dan harta benda warga
12
Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma „al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān Juz 2, h.
222
89
yang berada di bawah pemerintahannya. Menurut al-Ṭabāṭabā„ī dalam ayat ini
mengambil orang-orang kafir sebagai teman atau pemimpin akan mencemari visi
orang Mukmin dan akan memberi pengaruh merugikan kepada orang mukmin dari
segi pikiran, ide, dan karakter kehidupan seorang Mukmin, dan akan mendorong
orang Mukmin untuk mengikuti sabahabat kafirnya dalam kehidupan dan sikapnya,
dikarenakan gaya hidup dan sikap mereka yang jauh dari ajaran Islam. Oleh sebab itu
Allah memerintahkan bahwa hanya orang mukminlah yang seharusnya untuk
memegang amanat kekuasaan.13
Banyak ayat yang melarang keras orang-orang Mukmin menjadikan orang-
orang kafir, orang-orang Yahudi serta orang-orang Nasrani, sebagai sahabat atau
pemimpin. Akan tetapi dalam setiap contoh atau kejadian, ada ketentuan-ketentuan
yang menggambarkan persahabatan atau pemimpin macam apa yang dilarang.
Adapun orang Mukmin diutamakan medukung orang Mukmin sendiri untuk menjadi
pemimpin. Karena mereka selalu bekerja sama dan saling tolong menolong untuk
merusak dan meruntuhkan agama Islam, sebagaimana firman Allah swt dalam surat
al-Maidah [5] ayat 51 yang berbunyi:
رى أوليآء ب عضهم أوليآء ب عض وم ي ها لذين ءامنوا ل ت تخذوا لي هود ولنص م ي ن ي ت ول
هم إن لل ل ي هدى لقوم لظلمني منكم فإنوۥ من
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin- pemimpin(mu); sebahagian mereka
adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu
mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu
13
Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr al-Mīzān, terj. Ilyas Hasan, Jilid 5, h. 297
90
Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang zalim.”
Selain itu terdapat pernyataan lain yang menjelaskan larangan mengambil
pemimpin dari kalangan orang kafir, yaitu dalam surat al-Mumtaḥanah [60] ayat 1 :
.....ي أي ها الذين آمنوا ل ت تخذوا عدوي وعدوكم أولياء
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan
musuhmu menjadi teman-teman setia/wali (pemimpin)...”
Sebagaimana Ayat-ayat yang disebutkan merupakan ayat-ayat yang
mempunyai kedudukan yang sama dan saling terkait antara satu dengan lainnya. Kata
sifat atau keterangan yang digunakan dalam ayat tersebut menunjukkan pelarangan.
Orang-orang Mukmin dilarang tidak boleh lebih memilih orang-orang kafir,
ketimbang orang-orang Mukmin, sebagai sahabat atau pemimpin. Karena Iman dan
kufur saling bertentangan sekali, keduaya tidak pernah dirujukkan. Saling tolak ini
juga meliputi totalitas hidup orang-orang Mukmin terhadap orang-orang kafir.14 Ayat-
ayat tersebut dijadikan sebagai dalil hukum serta illat atas larangan menjadikan
orang-orang kafir sebagai teman atau wali oleh karena perbedaan sifat dan keyakinan
antara keduanya.
Itulah sebabnya mengapa Allah memperingatkan orang-orang Mukmin dalam
kalimat berikutnya, “Dan barangsiapa melakukan ini, maka dia tidak akan
hubungannya dengan Allah.” Kemudian disusul dengan pengecualian taqiyyah,
karena taqiyyah hanyalah suatu show cinta bukan realitasnya, maksudnya adalah
14
Muḥammad Ḥusain Ṭabāṭabā‟ī, Tafsīr al-Mīzān, terj. Ilyas Hasan, Jilid 5, h. 298
91
mengakui sebuah kekuasaan musuh secara ẓāhir saja, sedangkan hakikatnya tidak
mengakui.15
Taqiyyah dalam perspektif ayat ini adalah upaya mencari perlindungan karena
sangat takut jika ia mengatakan yang sebenarnya akan mengakibatkan kebinasaan
pada dirinya serta agama agama dan kepercayaannya. Jadi perasaan takut demikian
ini menjadikannya untuk melakukan taqiyyah. Dan hal ini dibenarkan oleh agama,
karena hal yang berkaitan dengan perasaan takut atau perasaan cinta merupakan
persoalan yang ada dalam hati, tiada siapa yang mengetahui apa yang terjadi di dalam
hatinya melainkan Allah swt.16
Maka makna taqiyyah dalam ayat ini menurut al-Ṭabāṭabā„ī membawa arti
suatu kondisi dimana seseorang menyembunyikan agamanya atau amalan tertentu
agamanya dalam situasi yang akan menimbulkan bahaya sebagai akibat dari tindakan
orang-orang yang menentang atau amalan tertentu dalam agamanya.
b. QS. al-Naḥl [16] ayat 106
Selanjutnya dalil yang nyata atas diperbolehkan taqiyyah yang terdapat dalam
tafsir al-Mīzān karya Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī yang merujuk dalam al-
Qur‟an Surat al-Naḥl [16] ayat 106 yang berbunyi.
ميان ولكن من شرح بلكفر إل من أكره من كفر بلل من ب عد إميانو وق لبو مطمئن بل صدرا ف عليهم غضب من الل ولم عذاب عظيم
15
Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr al-Mīzān, terj. Ilyas Hasan, Jilid 5, h. 289-299 16
Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„i, Islam Syi‟ah; Asal-Usul dan perkembangannya, h. 259
92
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat
kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap
tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang
melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya
dan baginya azab yang besar.
Menurut al-Ṭabāṭabā„ī di dalam ayat ini merupakan ancaman atas orang-orang
kafir setelah beriman yaitu murtad, dan janji Allah itu indah bagi orang-orang yang
hijrah setelah para mujahid (orang-orang berjihad) memikat orang-orang yang sabar
dijalan Allah dan di dalamnya terdapat pertentangan bagi hukum taqiyyah.17
Dan yang dimaksud paksaan yang memaksa atas kata “kafir” yaitu berpura-
pura menjadi kafir, maka sesusungguhnya hati itu tidak menerima paksaan. Dan
maksud pengecualian orang yang memaksakan menjadi kafir setelah beriman, maka
ia kafir secara zhahir dan hatinya tetap tenang dengan keimanan. Dengan cara seperti
ini, hanya membuat-buat kebohongan yang manjadikan mereka kafir setelah mereka
beriman kecuali orang-orang yang dipaksa akan tetapi hatinya tetap beriman, dan
ketika itu dia menyempurnakan ucapannya kemudian dia memulai, maka Allah
berfirman : “Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka
kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. 18
Ayat ini menurut al-Ṭabāṭabā„ī menjadi dalil yang nyata atas diperbolehkan
taqiyyah, sebagaimana asbāb al-Nuzūl dari ayat ini yang diriwayatkan oleh Ibnu Abī
Hatim dari Ibnu „Abbās bahwa ketika Nabi saw, hendak berhijrah ke Madinah, orang-
orang Musyrik menangkap Bilal, Khabbab, Ammar, dan kedua orang tuanya yaitu
17 Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr al-Mīzān, jilid 14, h. 353 18
Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr al-Mīzān, jilid 14, h. 354
93
Yāsir dan Summayyah. „Ammār akhirnya terpaksa mengucapkan kalimat yang
menyenangkan mereka demi menjaga nyawanya. Ketika kembali kepada Rasulullāh
saw, ia menceritakan hal itu kepada beliau, Beliau bertanya, “Bagaimana hatimu
ketika kamu mengucapkan perkataan itu ? Apakah hatimu setuju dengan apa yang
kau ucapkan?” Ia menjawab, “Tidak”. Maka Allah menurunkan firman-Nya,
“.....padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak dosa),....” (al-Naḥl [16] :
106).19 Dalam hal ini menurut al-Ṭabāṭabā„ī bahwa taqiyyah itu diperbolehkan untuk
mempraktekkan taqiyyah bagi orang-orang yang dalam kondisi yang tertekan.
Ayat di atas merupakan landasan bagi pelaksanaan taqiyyah, berdasarkan
perkataan Amīr al-Mukminīn (Imām „Alī bin Abī Ṭālib as), dalam sebuah hadis:
ك ر ت ت نأ و ,ك ل ى ل ل ض ر ع ت ت ن ا ك ي ا و :ل و ق ي للا ن ا ف ك ن ي د ف ة ي ق الت ل م ع ت س ت ن ا ك ر م ا و
20 .اب ك ت أ ر م إ ت ال ة ي ق ت
“Dan Dia memerintahkan kamu untuk menjalankan taqiyyah dalam agama
kamu karena Allah berfirman: Berhati-hatilah, dan berhati-hatilah lagi, untuk
tidak membuka diri terhadap kehancuran, dan untuk tidak mengabaikan
taqiyyah yang aku sendiri perintahkan kamu (untuk mempraktikkannya)”.21
al-Ṭabāṭabā„ī mengutip Dalam tafsir al-„Ayāsī yang dinukilkan dari Imam
Ja‟far al-Ṣādiq meriwayatkan bahwasanya Rasulullāh saw pernah bersabda: tidak
disebut beragama bagi orang yang tidak ber-taqiyyah, bahkan Allah berfirman
19
Jalaluddin al-Suyuthi, Sebab Turunya Ayat al-Qur‟an, (Penertbit ,Jakarta :Gema Insani
Prees. 2008) Cet I, h. 335 20
Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟an, (Penerbit : Bairūt Libanon
1997) Juz 3, h. 188 21
Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr al-Mīzān, Jilid 5, h. 813
94
janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan ber-taqiyah. Taqiyah dalam segala hal
kehidupan itu dianjurkan bagi umat manusia bahkan Allah telah menghalalkannya.
تقي ة لو , وي ق ول : ل كان رسول للا ي قول : لدين ل من ق اد الص ن ع ي اش ي لع ا ي س ف ت ف و
22قال للا أل أن ت ت قوا من هم تقية.
“Rasulullāh saw. bersabda: tidak disebut beragama bagi orang yang tidak
bertaqiyyah, bahkan Allah berfirman janganlah kalian mati kecuali dalam
keadaan ber-taqiyyah”.23
B. Kondisi Sosial Politik Pada Masa al-Ṭabarsī dan al-Ṭabāṭabā’ī
1. Pada Masa al-Ṭabarsī
Berdasarkan kelahirannya, al-Ṭabarsī ini berada pada sejarah Syi‟ah dari
Abad ke-5 H/11 M. Sampai Abad ke-9 H/15 M, paham Syi‟ah terus melakukan
pengaruhnya seperti dilakukan abad ke-4 H/10 M. Raja-raja dan penguasa-penguasa
Syi‟ah muncul di beberapa dunia Islam dan menyebarkan paham-paham Syi‟ah.
Menjelang akhir abad ke-5 H/11 M. Kegiatan dakwah golongan Ismaillīyyah mulai
berakar di Benteng Alamut dan hampir setengah abad orang Ismaillīyyah hidup penuh
kemerdekaan di kawasan tengah Persia. Juga kaum Sadat‟i Mar‟āsyi yang merupakan
keturunan Nabi, selama bertahun-tahun memerintahan mazandaran, Tabaristan. Syah
Muḥammad Khubadandah, salah seorang penguasa Mongol yang terkenal menjadi
Syi‟ah dan keturunannya selama bertahun-tahun memerintah Persia dan menjadi
pendukung penyebaran paham Syi‟ah. Mesti pula disebutkan raja-raja dan dinasti-
22
Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr al-Mīzān, Juz 3, h. 188 23
Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr al-Mīzān, terj. Ilyas Hasan, Jilid 5, h. 318
95
dinasti Aq-Qayunlu yang memerintah Tabriz dan wilayah mereka meluas sampai ke
Fars Kerman, seperti juga pemerintahan kaum Fathimiyah yang berkuasa di Mesir.24
Sudah barang tentu kebebasan beragama dan kemungkinan menjalankan
kekuasaan keagamaan oleh rakyat berbeda-beda di bawah penguasa yang berlainan.
Sebagai contoh, dengan robohnya kekuasaan kaum Fathimiyah dan berkuasanya
orang-orang Ayyubi, keadaan berubah sama sekali dan penduduk Syi‟ah di mesir
Siria kehilangan kebebasan beragama mereka. Tidak sedikit orang Syi‟ah Siria pada
masa itu yang terbunuh hanya karena tuduhan mengikuti paham Syi‟ah. Salah
seorang dari mereka adalah Syahid Awwal (syahid pertama) Muḥammad Makki, slah
seorang ahli hukum Syi‟ah, yang terbunuh di Damaskus pada tahun 786 H/1384 M.
Juga Syekhul Isrāq Syihabuddīn Suḥrawardī dibunuh di Aleppo atas tuduhan bahwa
dia mengembangkan ajaran dan filsafat Baṭiniyah. Dari sehi jumlah, selama masa ini
paham Syi‟ah berkembang, walaupun kekuasaan dan kebebasan keagamaan mereka
tergantung pada kondisi penguasa-penguasa sesuatu saat. Akan tetapi ulama masa ini
paham Syi‟ah tidak pernah menjadi agama resmi dari sesuatu negara Islam.25
2. Pada Masa al-Ṭabāṭabā‟ī
Berdasarkan kelahirannya, al-Ṭabāṭabā‟ī hidup dalam tiga suasa yang
berbeda-beda: Pertama, akhir masa Dinasti Qajar26
(1848-1922 M); kedua, masa
Dinasti Pahlevi yang terbagi dalam dua masa, yakni masa Reza Syah (1921-1941 M)
24
Lihat tulisan-tulisan mengenai sejarah : Al-Kamil oleh Ibn Atsir, Kairo, 1348: Rauḍatu al-
Ṣāfa, dan Habibu al-Syiyar dari Khawandi Mir, Teheran, 1333. 25 Lihat tulisan-tulisan mengenai sejarah : Al-Kamil oleh Ibn Atsir, Kairo, 1348: Rauḍatu al-
Ṣāfa, dan Habibu al-Syiyar dari Khawandi Mir, Teheran, 1333. 26
Dinasti Qajar adalah merupakan sebuah Dinasti yang dibangun oleh Aqā Muḥammad Qajar
di atas reruntuhan Dinasti Syafāwiyah
96
dan masa Muhammad Reza Syah (1941-1979 M); dan ketiga, awal masa
pemerintahan Republik Islam Iran. Akhir masa pemerintahan Qajar terbagi menjadi
tiga masa: pertama, masa kepemimpinan Naṣīr al-Dīn Syah (1848-1896 M), kedua,
masa kepemimpinan Muẓaffār al-Dīn Syah (1896-1906 M); dan ketiga, masa
kepemimpinan Muḥammad „Āli Syah (1906-1909 M).
Di bawah naungan dari kepemimpinan pertama, wajah „Irān, kata „Abdu al-
Ṣaqār Aḥsan, “Secara poliktik dan ekonomi berada dalam eksploitasi Inggris dan
Rusia, di tambah lagi sikap lemah pemimpin (Syah) dan mengatasi korupsi di internal
pemerintahan. Kondisi ini tidak saja membuat kacau secara finansial, tetapi juga
mengalami krisis administratif. Akibarnya, muncullah gerakan rakyat anti pemerintah
di berbagai kota di Iran.”27
Masa ketiga akhir kepemimpinan Dinasti Qajar berlangsung sangat pendek.
Pendeknya, masa pemerintahan ini akibat tidak adanya dukungan rakyat terhadap
pemerintahan yang sedang berjalan. Penarikan dukungan rakyat terhadap
pemerintahan terjadi kerena Muḥammad „Ālī Syah, penerus pemerintahan
sebelumnya, adalah seorang ambisius yang menerapkan kebijakan pemerintah
represif. Akibatnya, muncullah gerakan perlawanan terhadap pemerintah yang
berhasil mengakhiri kekuasaan Dinasti Qajar. Muḥammad „Ālī Syah akhirnya
melarikan diri ke Odessa Rusia.28
Akhir kekuasan Muhammad „Ālī Syah dapat disebut sebagai masa transisi,
sebab kekuasaan untuk sementara berada di bawah kendali parlemen. Kondisi ini
27
Abdul Shakoor Ahsan, “Renaissance in Iran, In A History of Muslim Philosof,” h.1524 28
Abdul Shakoor Ahsan, “Renaissance in Iran, In A History of Muslim Philosof,” h. 1531
97
belum menguntungkan Iran secara politik sebab sejak awal 1907 M parlemen masih
di bawah pengaruh Rusia dan Inggris sampai akhirnya Reza Khan melakukan sebuah
coup d‟etat pada tahun 1921. 29
Kudeta ini yang kemudian menjadi cikal bakal
munculnya dinasti baru. Pahlevi, tepatnya pada tahun 1925 H, dan Reza Syah terpilih
sebagai Syah Iran yang baru. Meskpiun Reza Syah terpilih sebagai pemimpin baru
pada tahun 1925 H, tetapi para sejarawan menetapkan pemerintahan telah berjalan
sejak 1921-1941.30
Situasi yang demikian membuat al-Ṭabāṭabā‟ī pada tahun 1925 memilih untuk
belajar ke Universitas Syi‟ah terbesar di Najaf, Irak, daripada menetap di Iran, atau
bisa juga karena menang saat itu Universitas Syi‟ah di najaf dipandang sebagai
sebuah Universitas yang mempresentasikan warisan ilmu keislaman yang menjadi
dambaan al-Ṭabāṭabā‟ī ketimbang di Iran yang sedang mengalami sekularisasi.
Kuatnya pengaruh politik dan ekonomi Ingris serta Rusia menjadi bumerang bagi
kekuasaan Reza Syah. Dua kekuatan ini memaksanya untuk melepaskan jabatan
kepemimpinan Dinasti Fahlevi pada tahun 1941 H untuj kemudian menyerahkan
jabatan kepemimpinan tersebut kepada putra terkecilnya Muhammad Reza Syah.31
29
F. Kazemzadeh, “Iranian Relation With The Soviet Union. To 1921”, dalam Peter Avery,
The Cambrige, h. 314 30
Garvin R.G. Hambly, “The Pahlavi Autocracy: Reza Shah, 1921-1941” dalam Peter Avary,
The Cambrige, h. 213 31
Ahmad Muchaddam Fahham, “Tuhan dalam Filsafat „Allāmah al-Ṭabāṭabā‟ī”, (Penerbit :
Yogyakarta, Raushanfikr Insitute 2004) h. 15-17
98
C. Analisa Muqāran (Perbandingan) Taqiyyah Terhadap Tafsir Majma’ al-
Bayān dan Tafsir al-Mīzān.
1. Pandangan al-Ṭabarsī
Penjelasan penafsiran al-Ṭabarsī terhadap ayat-ayat taqiyyah disub bab atas,
maka dapat dipahami bahwa beliau memaparkan makna taqiyyah itu diperbolehkan
oleh agama ketika munculnya rasa takut terhadap dirinya dan memelihara diri dari
sesuatu yang ditakuti dari mereka. Karena taqiyyah itu boleh dalam segala situasi
ketika itu darurat. Dan dengan kejadian itu untuk melakukan hal demikian, untuk
tujuan membuat rasa lembut dan meminta perdamaian.
Menurut analisa yang penulis paparkan dalam penafsiran al-Ṭabarsī dalam
kitab tafsir Majma‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān dapat diuraikan sebagai berikut,
diantaranya adalah :
a. Taqiyyah Berkaitan Larangan Orang Mukmin Muwālat (mengikuti)
terhadap Orang-orang Kafir
Dilihat dalam penafsiran al-Ṭabarsī dalam tafsirnya Majma‟ al-Bayān tentang
Taqiyyah yang berkaitan larangan Mukmin Muwālat (mengikuti) orang-orang kafir
terdapat dalam surat Āli „Imrān ayat 28.
Sebagaimana al-Ṭabarsī menjelaskan orang-orang Mukmin dilarang
mengikuti (muwālat) dari orang yang tidak mempunyai kemulian sama sekali disisi
mereka, dan terdapat pula celaan terhadap musuh-musuhnya. karena terdapat suatu
kecenderungan terhadap apa yang ada disisinya dan juga apa yang ada dalam diri
pemimpin orang-orang Mukmin, selain musuh-musunya yang kafir. Oleh karena
99
Allah swt berfirman “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir
menjadi pemimpin atau sahabat”.
Al-Ṭabarsī mengungkapkan Tidaklah pantas bagi orang-orang mukmin
menjadikan orang-orang kafir itu sebagai sahabat/pemimpin untuk jiwanya sendiri.
Dan mereka meminta tolong kepada pemimpin kafir kemudian mengadukan sesuatu
kepada mereka lalu menampakkan kecintaan mereka.
Al-Ṭabarsī mengatakan bahwa siapa yang menjadikan orang kafir sebagai
pemimpin selain orang mukmin maka orang itu bukanlah pemimpin-pemimpin yang
dikehendaki Allah. Sedangkan Allah akan berlepas diri darinya. Dan dikatakan pula
hal ini tidaklah termasuk dari wilāyah (penjagaan) Allah swt. Dan dia bukanlah
termasuk golongan dari agama Allah. Dalam penafsirannya al-Ṭabarsī memberikan
pengecualian terhadap orang-orang mukmin yang ber-muwālat (mengikuti) terhadap
orang-orang kafir dalam rangka taqiyyah (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang
ditakuti dari mereka. Maka demikian itu dibolehkan bagi orang mukmin itu
memperlihatkan kasih sayang mereka dengan ucapannya yang manis karena untuk
taqiyyah, serta dalam batīn menolak dirinya untuk meyakini hal demikian itu.
b. Taqiyyah karena paksaan dan sebagai strategi
Pembahasan terkait Taqiyyah karena paksaan dan sebagai strategi dapat
dilihat dalam penafsiran al-Ṭabarsī dalam dalam surat al-Naḥl [16] ayat 106.
Menurut al-Ṭabarsī penjelasan tentang orang yang dipaksa ini telah terjadi
pada masa Rasulullāh kisah sahabat Nabi yaitu „Ammār yang tertera dalam asbāb al-
100
Nuzūl. Telah diceritakan tentang penderitaan „Ammār yang disiksa oleh kaum
Musyrikin Quraisy dan dipaksa untuk mengucapkan kalimat kufur, oleh karena itu
tidak tahan disiksa beliau melakukan apa yang diperintahkan kepadanya.
Mempraktekkan taqiyyah boleh dalam dilakukan dalam setiap keadaan yang
berkemungkinan terdapat suatu bahaya dan kesulitan. Maka Allah menurunkan
firman-Nya, “.....padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak dosa),....”
(al-Naḥl [16] : 106).
Al-Ṭabarsī mengatakan orang yang dipaksa untuk mengucapkan kalimat kafir
dengan jalan taqiyyah itu hukumnya dibenci (makruh). Dan apabila hatinya tetap
tenang dengan penuh keimanan maka tidak ada dosa atasnya dengan berbuat
demikian itu. Kemudian ada pengecualian dari demikian itu, yaitu orang yang dipaksa
atas itu dan adanya ketetapan hati kepada keimanan di dalam bāṭin
(ketersembunyiannya) maka sesungguhnya itu adalah berlawanan. Al-Ṭabarsī juga
menjelaskan tentang orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran dan
menyenangkan dirinya dengan itu, maka akan mendapatkan kemurkaan Allah
menimpanya dan baginya azab yang besar di akhirat kelak.
Menurut al-Ṭabarsī, taqiyyah itu merupakan program rahasia, bahkan menjadi
stategi yang harus dilaksanakan. Mereka berpura-pura taat, sehingga sampai pada saat
yang mungkin nanti untuk melaksanakan rencana-rencanya. Mereka menafsirkan
perbuatan imam-imamnya yang dianggap taqiyyah, seperti diamnnya „Alī atas
kekhalifahan Abū Bakar, „Umar, dan perjanjian damai antara Ḥasan dengan
Mu‟awiyyah.
101
Al-Ṭabarsī dalam tafsirnya mengutip imam besar Syi‟ah yaitu Syaikh al-
Mufīd yang menjelaskan bahwa sesungguhnya taqiyyah itu kadang-kadang ia wajib,
kadang-kadang ia suatu kaharusan. Terkadang dia boleh tanpa ada suatu kewajiban
dan suatu waktu dia lebih utama untuk meninggalkannya. Dan sesunguhnya
meninggalkannya itu lebih utama sekalipun yang melakukannya itu karena ada
halangan (użur) serta dimaafkan olehnya, secara lebih diutamakan atasnya dengan
meninggalkan celaan.
2. Pandangan al-Ṭabāṭabā„ī
Penjelasan penafsiran al-Ṭabāṭabā„ī terhadap ayat-ayat taqiyyah disub bab
atas, maka dapat dipahami bahwa beliau memaparkan taqiyyah itu sebagai upaya
untuk memelihara diri, harta dan keyakinan mereka dari ancaman musuh dari
perkara-perkara yang bisa membayakan dirinya. Menurut analisa yang penulis temui
dalam penafsiran al-Ṭabāṭabā„ī tentang ayat-ayat taqiyyah dapat uraikan, diantaranya
adalah :
a. Taqiyyah Berkaitan Dengan Larangan Muwalat/Tawalli Terhadap Orang-
Orang Kafir
Pembahasan konsep taqiyyah yang berkaitan dengan larangan untuk
mengikuti atau muwalat terhadap orang kafir, dapat ditemui dalam tafsir al-Mīzān
penafsiran al- Ṭabāṭabāi‟ī dalam al-Qur‟an surat Āli „Imrān [3]ayat 28.
Sebagaimana al-Ṭabāṭabā„ī menjelaskan kata muwālat berarti pendukung,
pengikut, penganjur, yang berasal dari kata al-Wilayah yang menunjukkan otoritas
untuk mengurus, mengelola, mengendalikan sesuatu, yaitu perwalian. Menurut beliau
102
sangatlah tidak pantas jika orang mukmin menjadikan orang kafir sebagai wali
mereka. Karena perwalian antara kaum mukmin dan kaum kafir dapat mengakibatkan
rusaknya aspek-aspek keimanan. Sebagaimana jelas dari ayat al-Qur‟an tersebut,
Allah swt sangat melarang wilāyat (yang dalam hal ini berarti persahabatan yang
sedikit banyak memperngaruhi hidup seseorang) dengan orang-orang kafir dan
memerintahkan agar berhati-hati dan mempunyai rasa khawatir dalam keadaan
semacam itu.
Al-Ṭabāṭabā„ī melarang umat Islam untuk ber-muwālat kepada orang-orang
kafir dengan alasan karena perbedaan keyakinan dan pemahaman, iman dan kufur
saling bertentangan dan keduanya tidak pernah dapat disamakan. Namun terdapat
rukhṣah dalam keadaan ini apabila khawatir akan kelamatan dirinya dari kejamnya
penguasa. Oleh karena itu al-Ṭabāṭabā„ī membolehkan menjadikan orang kafir
sebagai teman atau pemimpin dalam rangka taqiyyah, demi menjaga kehormatan diri,
harta, dan agama dengan alasan hanya ẓāhir semata yaitu seperti berkata manis dan
berbuai di depan musuh dan secara baṭin membenci semua tingkah laku mereka.
Dalam hal ini al-Ṭabāṭabā„ī mengatakan bahwa diperbolehkan untuk melakukan
taqiyyah dihadapan musuh/lawan dengan menjadikan mereka sebagai teman atau
pemimpin dalam rangka siasat, demi menjaga kehormatan diri dan agama dan
diharuskan untuk mengabil sikap kehati-hatian terhadap musuh/lawan.
Dilihat dari kedua penafsiran di atas penulis memahami bahwasanya
bersahabat, be-muwālat atau mengangkat orang-orang kafir sebagai pemimpin
dikalangan orang-orang Mukmin itu dilarang oleh agama. Karena hal ini dapat dilihat
103
dari firman Allah swt dalam al-Qur‟an surat Āli „Imrān [3] ayat 28 yang melarang
Mukmin mengambil orang-orang kafir tersebut. Penjelesan kedua penafsiran ini
sangat jelas sekali, karena dikhawatirkan jika menjadikan orang kafir sebagai sebagai
sahabat atau pemimpin dapat menyebabkan orang-orang Mukmin itu membuka
semua rahasia-rahasia secara mendalam tentang agama Islam. Dan ditakutkan pula
orang-orang Mukmin akan mengikuti semua peraturan dan arahan dari mereka
sehingga segala hukum dan agama diabaikan.
Adapun dalam kedua penafsir ini tentang menjadikan mereka sebagai temen
dan pemimpin dalam rangka taqiyyah itu diperbolehkan. Karena jika tidak menuruti
apa yang mereka inginkan ancaman jiwa, kehormatan dan agama akan membawa
malapetaka buat dirinya. Maka dalam hal ini kedua penafsiran memberikan syarat
hanya sebatas ẓāhir yaitu berkata manis dan berbuai di depannya, akan tetapi secara
baṭin menolak semua kemauan dan kayakinannya.
b. Taqiyyah Karena Paksaan dan Strategi
Sebagaimana dilihat dari penafsiran al-Ṭabāṭabā„ī dalam penafsirannya pada
al-Qur‟an surat al-Naḥl [16] ayat 106 dalam tafsir al-Mīzān terkait pembahasan
taqiyyah karena paksaan.
Menurut al-Ṭabāṭabā„ī, taqiyyah dipraktekkan hanya dalam keadaan terpaksa
atau darurat yang diperbolehkan oleh syara‟ dan dimaafkan. Karena mempraktekkan
taqiyyah boleh dilakukan dalam setiap keadaan yang berkemungkinan terdapat suatu
yang bisa membahayakan dirinya dan menghadapi kesulitan.
104
Al-Ṭabāṭabā„ī di dalam tafsirnya mengutip pandangan Imam yang ke-4 dari
Syi‟ah Imāmiyah yaitu Imam al-Bāqir dalam kitab hadis Syi‟ah, yang dikarang oleh
Imām al-Kulainī yaitu al-Kāfi, dalam kitab ini Imam al-Baqīr mengatakan bahwa
taqiyyah diperbolehkan dalam setiap iḥwal (keadaaan), agar seseorang tidak jatuh ke
dalam keadaaan sulit atau bahaya, dan Allah swt telah menghalalkan untuk dia. Al-
Ṭabāṭabā„ī mengatakan lagi bahwa melakukan taqiyyah dalam kondisi terpaksa atau
ikrah tidak menjadikan seorang itu penakut dan tidak mempunyai nilai keberanian,
bahkan beliau menjelaskan bahwa taqiyyah dilakukan apabila terdapat suatu ancaman
dan bahaya yang memungkinkan untuk terjadi seperti orang yang minum air yang
telah diketahui terdapat racun di dalamnya atau melemparkan diri ke muka sebuah
meriam yang ditembak.
Adapun menurut al-Ṭabāṭabā„ī menjadikan taqiyyah sebagai strategi itu
diperbolehkan demi menjaga diri dari agama, beliau mengatakan bahwa kaum syi‟ah
mempraktekkan taqiyyah ketika dalam kedaan bahaya dengan menyembunyikan
agama mereka dengan merahasiakan praktek-praktek dan upacara keagamaan yang
khas unuk musuh-musuh mereka. Beliau mengungkapkan bahwa dengan melakukan
taqiyyah tidak menjadikan orang-orang muslim itu tidak mempunyai iman yang
tinggi untuk mempertahankan kesucian Islam. Namun, dengan melakukan taqiyyah
adalah sebagai taktik dan strategi dalam mempertahankan kehormatan diri dan agama
daripada berlakunya kebinasaan musuh-musuh Islam.
Dari penjelasan kedua mufassir di atas maka penulis memahami bahwa
taqiyyah dalam kondisi paksaan (ikrah) adalah dibolehkan dalam agama. Karena hal
105
ini terkait dengan al-Qur‟an surat al-Naḥl [16] ayat 106 dan kisah salah satu sahabat
Nabi bersama kedua orang tuanya yaitu „Ammār yang dipaksa oleh kaum Musyrikin
Quraisy yang dipaksa untuk mengucapkan kalimat kufur, karena itu tidak tahan
dengan siksaan yang dialaminya, beliau melakukan apa yang diperintahkan
kepadanya. Dalam kedua mufassir ini penulis melihat ada perbedaan dalam
memberikan penjelasan tentang hukum bagaimana mempraktekkan taqiyyah dalam
keadaan terpaksa atau darurat.
Dari sini penulis memahami bahwa taqīyyah di dalam kedua penafsiran ini
tidak diwajibkan untuk melakukan taqīyyah, akan tetapi hanya diperbolehkan dengan
syarat-syarat tertentu yang telah dipaparkan di atas. Meskipun keduanya memiliki
latar belakang yang notaben ideologinya mazhab Syi‟ah. Maka dalam hal ini sangat
berbeda dengan perkataan dan ungkapan para Imam Syi‟ah yang menganggap bahwa
taqiyyah menurut kaum Syi‟ah sendiri khususnya Syī‟ah Imāmiyyah Iṡnā
„Asyariyyah, itu merupakan salah satu prinsip-prinsip keimanan yang paling pokok,
karena itu taqiyyah dalam pandangan Syi‟ah memiliki kedudukan yang luar biasa.
Mereka juga mendudukan taqiyyah sejajar dengan wajibnya shalat, ini didasarkan
atas fatwa Ibnu Babawayh salah seorang ulama klasik Syi‟ah yang menyatakan
“Keyakinan kami tentang taqiyyah itu bahwa ia adalah wajib, barang siapa
meninggalkan maka sama dengan meninggalkan shalat”.
106
3. Persamaan dan Perbedaan Pandangan al-Ṭabarsī dan-Ṭabāṭabā‟ī tentang
Taqiyyah
Melihat semua data yang penulis peroleh dan pahami, dan walaupun mereka
berdua mazhab yang sama yaitu ideologinya Syi‟ah. Maka dalam hal ini penulis
menemukan ada beberapa persamaan dan perbedaan di dalam menafsirkan taqiyyah
menurut al-Ṭabarsī dan al-Ṭabāṭabā„ī diantaranya adalah :
Persamaan pandangan tentang taqiyyah menurut al-Ṭabarsī dan al-Ṭabāṭabā„ī.
a. Dalam menjelaskan makna taqiyyah kedua mufassir ini memberikan
pengertian yang sama yakni taqiyyah itu memelihara diri dari perkara-perkara
yang bisa membahayakan pada dirinya.
b. Dalam menafsirkan ayat taqiyyah kedua penafsiran terlebih dahulu
menjelaskan tentang asbāb al-Nuzūl, i‟rāb, dan aspek balaghāh.
c. Dalam menjelaskan taqiyyah kedua penafsiran ini sama-sama mengambil
sumber yang lain yaitu dengan naṣ al-Qur‟an, qiyās, untuk memperkuat
pendapatnya.
d. Dalam menjelaskan tentang larangan muwālat kepada orang-orang kafir,
kedua mufassir sepakat bahwa dilarang orang Mukmin mengambil atau
menjadikan orang-orang kafir sebagai sahabat/pemimpin. Karena
dikhawatirkan rahasia-rahasia penting dan kesucian Islam akan terpengaruh
kepada sikap dan tingkah laku mereka.
Perbedaan pandangan tentang taqiyyah menurut al-Ṭabarsī dan al-Ṭabāṭabā„ī.
107
a. Menurut al-Ṭabarsī mengatakan orang yang dipaksa untuk mengucapkan
kalimat kafir dengan jalan taqiyyah itu dibenci (makruh). Yaitu perbuatan
yang sebaiknya tidak lakukan, akan tetapi apabila terdesak dengan suatu
keadaan dan mendapat siksaan yang tak ada hentinya, maka dibolehkan untuk
mempraktekkan taqiyyah. Dengan syarat baṭin-nya (qalb) tetap tenang dengan
penuh keimanan, dan berlawanan dengan sikap ẓāhir-nya yang mengakui
kekafiran dan mengikuti keinginanya, maka tida ada dosa atasnya. Sedangkan
al-Ṭabāṭabā„ī mengatakan orang dipaksa untuk mengucapkan kalimat kafir
dan mempraktekkan taqiyyah maka diperbolehkan dan dimaafkan syara‟.
Mempraktekkan taqiyyah boleh dilakukannya dalam keadaan setiap keadaan
yang berkemungkinan terdapat suatu bahaya dan kesulitan, karena al-
Ṭabāṭabā„ī mengatakan bahwa taqiyyah diperbolehkan dalam setiap ihwal,
agar seseorang tidak jatuh dalam keadaan sulit atau berbahaya, dan Allah telah
menghalalkan untuk dia.
b. Dalam mengambil sebuah pendapat dari para kalangan Imam Syi‟ah kedua
penafsir ini berbeda, al-Ṭabarsī mengutip pendapat dari Syaikh al-Mufid yang
mengatakan taqiyyah itu terkadang dia dibolehkan tanpa ada suatu kewajiban,
dan ada waktu yang lebih utama daripada meninggalkannya. Dan
sesunguhnya meninggalkannya itu lebih utama sekalipun yang melakukannya
itu karena ada halangan (użur) serta dimaafkan olehnya, secara lebih
diutamakan atasnya dengan meninggalkan celaan atasnya. Sedangkan al-
Ṭabarsi mengutip pendapat dari Imam Ja‟far al-Ṣādiq yang mengatakan tidak
108
disebut beragama bagi orang yang tidak ber-taqiyah, bahkan Allah berfirman
janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan ber-taqiyah. taqiyah dalam
segala hal kehidupan itu dianjurkan bagi umat manusia bahkan Allah telah
menghalalkannya.
c. Menurut al-Ṭabarsī, taqiyyah itu merupakan program rahasia, bahkan menjadi
strategi yang harus dilaksanakan. Mereka berpura-pura taat, sehingga sampai
pada saat yang mungkin nanti untuk melaksanakan rencana-rencanya.
Sedangkan al-Ṭabāṭabā„ī taqiyyah dapat dijadikan sebagai strategi dan taktik
apabila berhadapan dengan musuh yang dan ẓalim.
109
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis analisa pembahasan terhadap uraian-uraian pada bab-bab
sebelumnya, maka penulis menyimpulkan jawaban dari rumusan masalah yang
penulis sebutkan di awal penelitian.
Dari analisa penulis terdapat persamaan dan perbedaan diantara kedua
penafsir tersebut, pertama persamaannya adalah dalam menafsirkan ayat taqiyyah
kedua penafsiran terlebih dahulu sama-sama menjelaskan tentang asbāb al-Nuzūl,
i’rāb, dan aspek balaghāh. Dalam menjelaskan taqiyyah kedua penafsiran ini sama-
sama mengambil sumber yang lain yaitu dengan naṣ al-Qur’an, qiyās, untuk
memperkuat pendapatnya. Dalam menjelaskan tentang larangan muwālat kepada
orang-orang kafir, kedua mufassir sepakat bahwa dilarang orang Mukmin mengambil
atau menjadikan orang-orang kafir sebagai sahabat/pemimpin. Karena dikhawatirkan
rahasia-rahasia penting dan kesucian Islam akan terpengaruh kepada sikap dan
tingkah laku mereka.
Kedua, Perbedaanya adalah Menurut al-Ṭabarsī mengatakan orang yang
dipaksa untuk mengucapkan kalimat kafir dengan jalan taqiyyah itu dibenci
(makruh). Karena perbuatan yang sebaiknya tidak lakukan, akan tetapi apabila
terdesak dengan suatu keadaan dan mendapat siksaan yang tak ada hentinya, maka
dibolehkan untuk mempraktekkan taqiyyah. Dengan syarat baṭin-nya (qalb) tetap
110
tenang dengan penuh keimanan dan berlawanan dengan sikap zāhīr-nya yang
mengakui kekafiran dan mengikuti keinginanya, maka tidak ada dosa atasnya.
Sedangkan al-Ṭabāṭabā‘ī mengatakan orang yang dipaksa untuk mengucapkan
kalimat kafir dan mempraktekkan taqiyyah maka diperbolehkan dan dimaafkan
syara’. Mempraktekkan taqiyyah boleh dilakukannya dalam setiap keadaan yang
berkemungkinan terdapat suatu bahaya dan kesulitan, karena al-Ṭabāṭabā‘ī
mengatakan bahwa taqiyyah diperbolehkan dalam setiap ihwal, agar seseorang tidak
jatuh dalam keadaan sulit atau berbahaya, dan Allah telah menghalalkan untuk dia.
B. Saran
Penulis menyarankan ke depannya untuk melakukan penelitian lebih
mendalam tentang taqiyyah dengan melakukan praktek lapangan sebagai jalan guna
mengetahui realitas praktek taqiyyah dalam konteks sekarang oleh aliran-aliran
Syi’ah yang berada di sekitar Nusantara khususnya. Bagi peneliti selanjutnya agar
membuat karya yang lebih baik dari karya ini, melalui kajian tafsir yang lebih banyak
dan pemikiran yang lebih luas. Kritik bagi penulis merupakan bentuk evaluasi atau
post mortem ke depannya agar kekurangan-kekurangan pada penelitian ini dapat
diperbaiki dan dapat memberi manfaat bersama demi berkembangnya khazanah
pemikiran Islam.
111
DAFTAR PUSTAKA
Abidu, Yunus Hasan. 2007. Tafsir al-Qur‟an, Sejarah Tafsir dan Metode Para
Mufasir, (Jakarta: PT Gaya Media Pratama).
Aceh, Abu Bakar. 1980. Perbandingan Mazhab Syi‟ah Rasionalisme dalam Islam
(Semarang: Ramadhani).
Ahmad, Nasir Sahilun. 1982. Firqoh Syi‟ah Sejarah, Ajaran dan Perkembangan,
(Surabaya: al-Ikhlas).
Al-Amīn, Iḥsān. 2000. al-Tafsīr bi al-Ma‟ṡūr wa Taṭwīruh „Inda al-Syī„ah al-
Imāmiyah, (Beirut: Dār al-Hādī).
Anwar, Ahmad. 1974. Prinsip-Prinsip Metodologi Research, (Yogyakarta:
Sumbangsih).
Anwar, Rosihon. 2017. Al-Mīzan : Maha Karya Abad Modern (cuplikan-cuplikan
dari buku menelusuri ruang batin al-qur'an: belajar tafsir batini pada
allamah thabathaba'i), (Jurnal LPII Muthahhari, 3 Juni)
Anwar, Rosihon. 2001. Samudra al-Qur‟an, (Bandung: CV. Pustaka Setia).
Ariyani, Dwi Yesi. 2017. Skripsi : Eksistensi Aliran Syi‟ah (Studi di Yayasan
Ṣahib al-Zāman, Kelurahan Rawa Laut Bandar Lampung, (UIN Raden
Intan Lampung
Al-Awsīy, Alī. 1973. “Muqaddimah” al-Mīzān fi Tafsīr al-Qur‟ān, (Beirut:
Mu‟assasah al- A‟lāmi li al-Matbū‟ah).
Baidowi, Ahmad. 2005. Mengenal Thabathaba‟i dan Kontroversi Nṣsikh
Mansūkh (Bandung: Penerbit Nuansa).
Al-Baghdādī, Sālim al-Ṣafār. 2000. Naqd Manhāj al-Tafsīr wa al-Mufassirīn al-
Muqāran, (Beirut: Dār al-Hādi).
Bisri, Adib dan A. Fatah, Munawwar. 1990. Kamus Indonesia-Arab: Arab-
Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Profresif).
Al-Buhairi, Mahmud Farhan. 2001. Gen Syi‟ah : Sebuah Tinjaun Sejarah,
Penyimpangan aqidah dan konspirasi Yahudi, Terj, Agus Hasan Bashari,
(Jakarta: Dār al-Falāḥ)
112
Esposito, John L., Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, Cet-I, Jilid V
Fahham, Achmad Muchaddam. 2004. Tuhan dalam Filsafat „Allāmah Ṭabātabā‟ī
(Relavansi Pandangan Moral dengan Eksistensi Tuhan dalam Realisme
Insingtif, (Yogyakarta : Rausyanfikr Insitute).
Al-Farmāwy, Abd al-Hayy. 2002. Metode Tafsir al-Qur‟an suatu Pengantar
(Jakarta: Raja Grafindo Persada).
Farghal, Hasyim. 2013. „Awāmil Wa Ahdāf Nasy‟ah Ilm Al-Kalām, (Dar Al-Afaq
Al-„Arabiyyah).
Ghofur, Wahyono Abdul. 2007. Millāh Ibrāhim Dalam al-Mīzān Fi Tafsīr al-
Qur‟ān, Thesis Doctoral, Pascasarjana. (Yogyakarta: Bidang Akademik
UIN Sunan Kalijaga). Hadi Sutrisno. 1986. Metodologi Research,
(Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM), Jilid I.
Hanafi, Ahmad. 1986. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang).
Hasib, Kholili : Artikel “Taqiyyah dalam Pandangan Syi‟ah dan Ahl al-Sunnah”
Ed. Cholis Akbar. Https://www.Hidayatullah.com/artikel/ghazwul-
fikr/read/2013/02/21/65910/taqiyah-dalam-pandangan-syiah-dan-ahlus-
sunnah.html dilihat pada 08 September 2018
Al-Hasyimi, M. Kamil. 1989. Hakikat Akidah Syari‟ah, terj. H.M Rasjidi
(Jakarta:Bulan Bintang).
Al-Hindī, Raḥmatullāh. 1989. Iẓhār al-Hāq, Jilid 2, (Kairo: Dār al-Hādīṡ)
http://sangperaihimpian.blogspot.co.id/2012/02/tafsir-al-mizan.html. Dikutip pada
tanggal 1 Semptember 2018.
Itmam, Muhammad Shohibul. 2013. Jurnal Penelitian “Pemikiran Islam dalam
Perspektif Sunni dan Syi‟ah” (Jawa Timur : STAIN Ponorogo, Agustus)
Vol, 7 no 2.
Al-Kamil oleh Ibn Atsir, Kairo, 1348: Rauḍatu al-Ṣāfa, dan Habibu al-Syiyar dari
Khawandi Mir, Teheran, 1333.
113
Kartono, Kartini. 1996. Pengantar Metodologi Riset Sosial, (Bandung:Mandar
Maju), Cet. ke-7.
Al-Khālidī, Ṣalāh „Abd al-Fattāh. 2002. Ta‟rīf al-Dārisīn bi Manāhij al-
Mufassirīn, (Damaskus: Dār al-Qalam), cet. Ke-3.
Al-Kulajnī, Muḥammad bin Yā‟qūb. 2008. Uṣul al-Kāfī. (Bayrūt : Libanon).
Maḥmūd, Mani‟ „Abdul Ḥālim. 2006. Manhāj al-Mufassirīn, terj Faisal Saleh dan
Syahdinor, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli
Tafsir, (Jakarta: Raja Grafindo Persada)
Al-Marāghī, Aḥmad Musṭāfā. 1986. Tafsīr Al-Marāghī, terj. Bahrun Abu bakar,
(Semarang: CV. Toha Putra), Jilid 3.
Al-Misri, Muḥammad bin Makrām bin Manzūr al-Afrīqī, Lisān al-Arab, Beirut :
Dāru al-Ṣadīr, Jilid 5.
Mustaqim, Abdul. 2003. Madżāhibut Tafsīr; Peta Metodologi Penafsiran al-
Qur‟an Periode Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka).
Muṣṭafā, Ibrahīm dkk. 1960. al-Mu‟jam al-Wasīṭ, (Turki: Al-Maktabah al-
Islâmiyyah), juz II.
Naṣr, Sayyid Ḥusain. 2009. “Kata Pengantar” dalam karya al-Ṭabāṭabā‟ī, al-
Qur‟an fi al-Islam, terjemahan M. Wahyudin (Bandung, Mizan)
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, (Jakarta: UI-Press).
Al-Nemr Abdul Mun‟eim. 1988. Sejarah Dan Dokumen-Dokumen Syi‟ah (T.Tp.:
Yayasan Alumni Timur Tengah).
Nu‟ama, Aishah Nihayatun. 2013. Skripsi : “Taqiyyah Perspektif Muḥammad
Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī Dalam Tafsīr al-Mīzān fi Tafsīr al-Qur‟ān”
(Yogyakarta: UIN Sunan Kali Jaga).
Otta, Yusno Abdullah, “Dimensi-dimensi Mistik Tafsir al-Mīzān (Studi atas
Pemikiran Ṭabāṭabā‟ī dalam Tafsir al-Mīzān) Jurnal IAIN Manado.
Al-Qafārī, Naṣir bin „Abdillāh bin „Alī. 1994. Ushū al-Mażhāb al-Syī‟ah: al-
Imāmiyah al-Iṡnā „Asyariyah, cet-2 jilid II.
114
Quṭb, Sayyid. 2001. Tafsīr Fī Ẓilalil Qur‟ān; Di Bawah Naungan Al-Qur‟an, terj.
As‟ad Yasin, Cet. I, (Jakarta: Gema Insani Press), Jilid 2.
Rahmat, Jalaluddin. 1991. Islam al-Ternatif (Bandung: Mizan)
Rahmi, Nailul. 2010. Ilmu Tafsir, (Padang: IAIN Imam Bonjol Padang),
cet 1, h. 9
Al-Rāzī, Aḥmad bin Fāris. 1979 Mu„jam Maqāisy al-Lughah, (Beirut : Dāru al-
Fikr) Cet. 6.
Al-Razzāqī, Abū al-Qāsim. 1993. Pengantar Kepada Tafsir al-Mīzān, terj. Nurul
Gustina, al-Hikmah Jurnal Studi Islam, No. 8. (Bandung: Yayasan
Muthahari).
al-Rūmim, Faḥd „Abd al-Raḥmān Ibn Sulaimān, Ittihājat al-Tafsir fī al-Qarn al-
Rābi‟ „Asyār, (Beirut: Mu‟asasah al-Risalah, 1414 H)
Sahide, Ahmad. 2013. Artikel “Konflik Syi‟ah Sunni Pasca The Arab Spring”
(Jawa Tengah : UGM Sekolah Pascasarjana).
Al-Sālūs, „Alī Aḥmad. 1997. Ma‟a al-Syī‟ah al-Iṡnā „Asyariyah fi al-Ushūl wa
al-Furū‟ (Dirāsah Muqāranah fi al-„Aqāid wa al-Tafsīr), terj: Ensiklopedi
Sunnah-Syi‟ah, Studi Perbandingan Aqidah dan Tafsir 1, (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar).
Shihab, M. Quraish. 1992. Membumikan al-Qur‟an, (Mizan : Bandung).
---------, 2014. Sunnah-Syi‟ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah ? Kajian Atas
Konsep Ajaran dan Pemikiran. (Lentera Hati, Tanggerang).
Smith, Huston. 1999. Ensiklopedi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada), Cet. 2.
Al-Suyuthi, Jalaluddin. 2008. Sebab Turunya Ayat al-Qur‟an, (Penertbit ,Jakarta
:Gema Insani Prees) Cet I.
Al-Syahrastānī, Muḥammad bin „Abdul Karīm, al-Milal al-Nihāl, (Alira-aliran
Teologi dalam Sejarah Umat Manusia), Jilid 1, (Surabaya : Bina Ilmu).
Al-Syarqāwī, Iffāt Muḥammad. 1972. llijahal al-Tafsīr Miṣr wa al-„Aṣr al-Ḥādiṡ,
(Kairo: Maṭba‟ah al-Kaylāni).
115
Al-Ṭabarsī, Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan. 2005. Majma„ al-Bayān fī Tafsīr al-
Qur‟ān muqaddimah Juz 1, (Beirut: Dār al-Murtadā).
-------, 2006. Majma„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān Juz 2 & 6.
Al-Ṭabāṭabā„ī, Muḥammad Ḥusain. 1989. Inilah Islam Upaya Mehami Seluruh
Konsep Islam Secara Mudah, Terj. Ahsin Muhammad, (Jakarta: Pustaka
„Allāmah Sayyid Hidāyah).
-------, 1993. Islam Syi‟ah; Asal-Usul dan Perkembangannya, terj.Djohan Effendi,
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti), Cet. II.
-------, 1997. al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟an, (Penerbit : Bairūt Libanon) Juz 3
-------, 2010. Tafsīr al-Mīzān, terj. Ilyas Hasan, (Jakarta: Lentera), Jilid. 1, 5, & 14
-------, 1994. Mengungkap Rahasia al-Qur‟an (Bandung: Mizan).
Tim Penulis Ahlu Bait Indonesia (ABI). 2012. Buku Putih Mazhab Syi‟ah,
Menurut Para Ulamanya yang Muktabar (Penjelasan Ringkas-Lengkap
Untuk Kerukunan Umat), (Jakarta Selatan: Ahlu al-Bait Penerbit
Indonesia).
Yatim, Badri. 2011. Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada)
Al-Żahabī, Muḥammad Ḥusain. 2010. Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (Cet, I, Kairo:
Dār al-Ḥadīs) Juz II.
Zahrah, Muhammad. Abu. 1990. Sejarah Aliran-aliran dalam Islam, terj.
Shobahussurur (Ponorogo:PSIA, cct.I).
Zainuddin, Abdul Rahman. 2000. Syi‟ah dan Politik di Indonesia, (Bandung:
Mizan).
Zakaria, Abu Muhyiddin, Tahdzibul Lughah, (Darul Kutub Al-‟Ilmiyah”, Beirut –
Libanon),
Zhairi, Ikhsan. 1984. Syi‟ah dan Sunnah, terj. Bey Arifin (Surabaya: PT Bina
Ilmu).
Top Related