Tantangan Pendidikan dan Kewirausahaan di Kota Semarang 1
TANTANGAN PENDIDIKAN DAN KEWIRAUSAHAAN
UNTUK KOTA SEMARANG1
Oleh: Dr. H. Musahadi, M.Ag.
(Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga UIN Walisongo)
Pendahuluan
Adalah sebuah kehormatan bagi saya bisa hadir memenuhi undangan untuk
menyampaikan keynote speech pada Konferensi Kewirausahaan dan Pendidikan yang sangat
penting ini. Konferensi ini sangat istimewa, karena diinisiasi dan diselenggarakan dalam
kerangka 10 Tahun Proyek Pendidikan Colruyt Group Belgia di Semarang, sebagai bagian
dari tanggung jawab social perusahaan untuk berkontribusi pada kemaslahatan umat
manusia, terutama melalui beasiswa pendidikan. Sesuatu yang tampaknya masih belum
sepenuhnya menjadi kesadaran substantive bagi dunia usaha dan dunia industry di
Indonesia. Memang telah ada gerakan CSR (Corporate Social Responsibility) di negeri ini, tetapi
pelaksanaannya masih belum optimal. Itulah sebabnya, kita perlu memberikan penghargaan
pada siapa saja yang mengkhidmahkan diri dalam upaya strategis ini.
Pendidikan memang menjadi pilihan paling strategis untuk pembangunan
sumberdaya manusia. Melalui pendidikan, berbagai dimensi masalah sosial bisa diurai dan
dicarikan solusinya. Banyak orang meyakini, masalah kemiskinan, pengangguran, kesehatan,
kerusakan lingkungan, intoleransi, radikalisme bahkan terorisme berkelit berkelindan
dengan masalah pendidikan. Titik paling strategis untuk mengatasi masalah-masalah
tersebut adalah melalui pendidikan.
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan
didefinisikan sebagai “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Definisi
ini secara komprehensip memuat idealitas, filosofi, visi, tujuan dan kompetensi yang hendak
dicapai dari usaha besar yang bernama pendidikan, sekaligus profil mengenai manusia
Indonesia yang dicitakan, meskipun untuk mewujudkannya masih banyak “pekerjaan
rumah” yang harus diselesaikan.
1 Disampaikan pada “Konferensi Kewirausahaan dan Pendidikan: 10 Tahun Proyek Colruyt Grup di
Semarang, Hotel Novotel Semarang, 15 Agustus 2015.
Tantangan Pendidikan dan Kewirausahaan di Kota Semarang 2
Deretan masalah pendidikan masih sangat panjang. Jika kita mengacu pada Standar
Nasional Pendidikan (SNP) yang merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan di
seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia atau 8 poin yang harus dimiliki
dan dipenuhi oleh penyelenggara dan/atau satuan pendidikan yang ada di Indonesia, maka
secara jujur harus diakui masih banyak hal yang mendesak untuk diperbaiki. Masih banyak
penyelenggara pendidikan dan satuan pendidikan yang belum memenuhi 8 standar tersebut,
yakni (1) standar kompetensi lulusan; (2) standar isi ; (3) standar proses; (4) standar
pendidik dan tenaga kependidikan; (5) standar sarana dan prasarana; (6) standar
pengelolaan; (7) standar pembiayaan; dan (8) tandar penilaian pendidikan.
Terkait standar kompetensi lulusan, kritik yang cukup lama dialamatkan kepada
dunia pendidikan di negeri ini adalah, lulusan terlalu heavy diarahkan untuk mengejar
kompetensi kognitif tetapi jauh dari sikap kemandirian dan produktivitas. Wajarlah jika,
pada kenyataannya, tingkat pendidikan tidak selalu paralel dengan tingkat kemandirian dan
produktivitas. Pendidikan formal yang selama ini diterapkan di Indonesia telah membuang
waktu hidup yang begitu lama. Untuk menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah
dibutuhkan waktu 12 tahun (6 tahun SD + 3 tahun SMP + 3 tahun SMA). Jika ditambah
kuliah di level pendidikan tinggi (sarjana) maka setidaknya harus ditambah lagi 4 tahun.
Apabila pendidikan tidak diorientasikan pada kompetensi sikap kemandirian dan
produktivitas, maka ada 16 tahun dari waktu hidup rata-rata orang Indonesia menjadi waktu
yang kurang produktif. Jika umur 7 tahun orang Indonesia memasuki pendidikan formal,
berarti produktivitas normal baru dimulai setelah mencapai usia 23 tahun (7 + 16 ). Jika rata-
rata mereka baru bisa bekerja setelah 2 tahun (waktu tunggu), maka bisa disimpulkan
bahwa usia produktif baru dimulai setelah berumur 25 tahun.
Situasi ini diperburuk dengan lemahnya sikap kemandirian. Produk sistem
pendidikan di negeri ini lebih banyak yang berorientasi menjadi abdi negara (PNS), buruh,
pekerja atau pegawai pada perusahaan-perusahaan swasta dan tidak banyak yang
mengembangkan kewirausahaan. Lebih banyak yang mencari pekerjaan dibanding yang
menciptakan lapangan pekerjaan. Seharusnya, rata-rata lama bersekolah linear dengan
pendapatan, tetapi di Indonesia tidak demikian. Persoalan ini mesti serius diatasi, salah
satunya dengan pendidikan dan pelatihan kewirausahaan, termasuk di kampus-kampus,
supaya para sarjana tidak berpikir hanya berburu pekerjaan, tetapi juga menciptakan
peluang berusaha. Hal ini penting mengingat pengalaman berbagai negara menunjukkan
fenomena hubungan korelatif secara positip antara jumlah pengusaha dengan tingkat
kemajuan dan kemakmuran sebuah negara, Itulah sebabnya, memperbincangkan tantangan
Tantangan Pendidikan dan Kewirausahaan di Kota Semarang 3
pendidikan dan mengkaitkannya dengan kewirausahaan menjadi sangat penting dan
niscaya.
Tentang Kewirausahaan
Suharto Wirakusumo sebagaimana dikutip oleh Iis Prasetyo (2009) menyebutkan
bahwa istilah kewirausahaan berasal dari terjemahan “Entrepreneurship”, yang dapat diartikan
sebagai “the backbone of economy”, atau dapat disebut sebagai tulang belakang
perekonomian atau pengendali perekonomian suatu bangsa. Dari sini maka dapat dipahami
bahwa profil perekonomian suatu bangsa sangat ditentukan oleh profil kewirausahaannya.
Oleh sementara kalangan, Entrepreneurship juga dipahami sebagai jiwa kewirausahaan yang
dibangun dengan tujuan untuk menjembatani antara ilmu dengan kemampuan pasar.
Entrepreneurship meliputi pembangunan/ pembentukan sebuah perusahaan baru, kegiatan
kewirausahaan juga merupakan kemampuan managerial yang diperlukan oleh seorang
entrepreneur.
Secara epistimologi, kewirausahaan merupakan suatu nilai yang diperlukan untuk
memulai suatu usaha atau suatu proses dalam mengerjakan sesuatu yang baru dan berbeda.
Kewirausahaan pada hakekatnya adalah sifat, ciri dan watak seseorang yang memiliki
kemauan dalam mewujudkan gagasan inovatif ke dalam dunia nyata secara kreatif. Menurut
Thomas W Zimmerer sebagaimana dikutip Iis Prasetyo (2009), kewirausahaan merupakan
penerapan kreativitas dan keinovasian untuk memecahkan permasalahan dan upaya untuk
memanfaatkan peluang yang dihadapi sehari-hari. Kewirausahaan merupakan gabungan dari
kreativitas, inovasi dan keberanian menghadapi resiko yang dilakukan dengan cara kerja
keras untuk membentuk dan memelihara usaha baru. Intinya, kewirausahaan adalah suatu
kemampuan dalam berpikir kreatif dan berperilaku inovatif yang dijadikan dasar, sumber
daya, tenaga penggerak, tujuan siasat, kiat dan proses dalam menghadapi tantangan hidup.
Pada awalnya, kewirausahaan dipahami sebagai bakat bawaan sejak lahir,
bahwa entrepreneurship are born not made, sehingga kewirausahaan dipandang bukan hal yang
penting untuk dipelajari dan diajarkan. Namun sejalan dengan perubahan waktu makin
disadari bahwa kewirausahaan ternyata bukan hanya bakat bawaan sejak lahir, atau bersifat
praktek lapangan saja. Kewirausahaan bahkan kemudian berkembang menjadi suatu disiplin
ilmu yang perlu dipelajari. Kemampuan seseorang dalam berwirausaha, dapat dimatangkan
melalui proses pendidikan. Seseorang yang menjadi wirausahawan adalah mereka yang
mengenal potensi dirinya dan belajar mengembangkan potensinya untuk menangkap
peluang serta mengorganisir usahanya dalam mewujudkan cita-citanya.
Tantangan Pendidikan dan Kewirausahaan di Kota Semarang 4
Pada perkembangan berikutnya, sejalan dengan tuntutan perubahan yang cepat pada
paradigma pertumbuhan yang wajar dan perubahan ke arah globalisasi yang menuntut
adanya keunggulan, pemerataan, dan persaingan, maka dewasa ini terjadi perubahan
paradigma pendidikan, yakni Pendidikan kewirausahaan telah diajarkan sebagai suatu
disiplin ilmu tersendiri yang independen. Terdapat beberapa faktor yang mendorong bagi
hadirnya hal tersebut:: Pertama, kewirausahaan memiliki “body of knowledge” yang utuh dan
nyata (distinctive), berisi teori, konsep, dan metode ilmiah yang lengkap. Kedua,
kewirausahaan memiliki dua konsep, yaitu posisi “venture start up” dan “venture growth”. Hal ini
jelas tidak masuk dalam “frame work general management courses” yang memisahkan antara
“management” dengan “business ownership”. Ketiga, kewirausahaan merupakan disiplin ilmu yang
memiliki objek tersendiri, yaitu kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan
berbeda, Keempat, kewirausahaan merupakan alat untuk menciptakan pemerataan berusaha
dan pemerataan pendapatan atau kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur
(Prasetyo:2009).
Persis seperti ilmu manajemen yang pada awalnya berkembang pada lapangan
industri, kemudian berkembang dan diterapkan di berbagai lapangan lainnya, maka seperti
itulah disiplin ilmu kewirausahaan dalam perkembangannya. Ia mengalami evolusi yang
pesat, yaitu berkembang bukan pada dunia usaha semata, tetapi juga pada berbagai bidang,
seperti bidang industri, perdagangan, pendidikan, kesehatan dan institusi-institusi lainnya.
Melalui spirit kewirausahaan, maka birokrasi dan institusi akan memiliki motivasi,
optimisme dan berlomba untuk menciptakan cara-cara baru yang lebih efisien, efektif,
inovatif, fleksibel, dan adaptif (Prasetyo: 2009).
Tentu masing-masing daerah memiliki spectrum keterlibatan yang berbeda-beda
mengenai isu kewirausahaan ini. Sejauhmana spirit kewirausahaan memasuki cara berpikir,
bertindak dan cara membuat prioritas akan menentukan masa depan kemandirian ekonomi
daerah tersebut. Termasuk bagaimana dunia pendidikan di suatu daerah terlibat dan
meresponi isu kewirausahaan ini berbeda satu daerah dengan daerah lainnya. Pencermatan
mengenai hal ini akan sangat membantu dalam membuat kerangka kerja mengenai
pengembangan spirit kewirausahaan di sebuah daerah, sekaligus membangun sinergi antar
elemen masyarakat untuk upaya tersebut.
Tantangan untuk Kota Semarang
Dalam kebijakan pembangunan lima tahunan, Pemerintah Kota Semarang
menempatkan prioritas pembangunan daerah pada penyelenggaraan pemerintahan yang
Tantangan Pendidikan dan Kewirausahaan di Kota Semarang 5
amanah (good governance) untuk peningkatan kualitas sumberdaya manusia sesuai dengan
potensi daerah guna mewujudkan kesetaraan dengan kota metropolitan lainnya, terutama
kota industri, perdagangan dan jasa. Dalam kerangka ini, Pemerintah Kota Semarang
berkomitmen melaksanakan amanat Pendidikan Untuk Semua (Education for All),
Mewujudkan Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals), Meningkatkan
Wajib Belajar 9 Tahun, dan mulai tahun 2013 Pemerintah Kota Semarang melaksanakan
Program Wajib Belajar 12 Tahun (Wajar 12 Tahun) atau Program Pendidikan Menengah
Universal.
Program ini terutama dijustifikasi oleh hal-hal sebagai berikut: Pertama, menjaga
kesinambungan dan konsekuensi logis keberhasilan Wajib Pendidikan Dasar 9 Tahun.
Kedua, kelopok usia lulus SLTP/sederajad masih belum layak bekerja (usia 15 tahun).
Apabila tidak melanjutkan studi akan berdampak sosial yang kurang baik di masa
mendatang. Ketiga, pendidikan menengah memiliki kontribusi positif bagi peningkatan
kehidupan sosial dan politik. Keempat, untuk menjawab tantangan persainangn global yang
menempatkan semakin pentingnya sumberdaya manusia yang berkualitas. Kelima, Wajib
Belajar 12 Tahun memiliki korelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi, daya saing,
kesehatan dan pendapatan masyarakat.
Lebih dari itu, Program tersebut juga memiliki keterkaitan dengan upaya
meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Semarang, mengingat salah satu
indikator dalam pengukuran IPM adalah pendidikan. Meskipun data statistik menunjukkan
bahwa IPM Kota Semarang berada jauh di atas rata-rata IPM Kabupaten dan Kota di Jawa
Tengah, namun jika pembangunan pendidikan tidak diberi perhatian secara khusus dan
tepat sasaran, bukan hal yang mustahil IPM Kota Semarang akan didahului oleh Kabupaten
atau Kota lain.
Tabel 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Semarang
No Kategori Semarang Jawa
Tengah
1 Usia Harapan Hidup (th) 72.24 71.71
2 Angka melek huruf (%) 96.98 90.45
3 Lama Sekolah (th) 10.30 7.39
4 Daya beli (ribu Rp) 652.80 643.53
IPM 77.98 73.6
Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka, Series 2014
Tantangan Pendidikan dan Kewirausahaan di Kota Semarang 6
Secara umum permasalahan pendidikan di Kota Semarang masih berkutat pada
beberapa hal sebagai berikut: Pertama masalah sumber daya manusia. Menurut catatan
Taufik Hidayat, Kabid Monbang Dinas Pendidikan Kota Semarang, ketersediaan guru
SMP/MTs, SMA/MA dan SMK menurut data Dinas Pendidikan Kota dinilai sudah cukup,
namun guru pada jenjang SD dan PAUD masih kurang jumlahnya. Mereka sebagian
besarnya sudah menempuh pendidikan sarjana dan separohnya telah berstatus sebagai PNS.
Namun kompetensi mereka masih rendah. Hal ini dilihat dari hasil UKG (Uji Kompetensi
Guru) yang telah dilakukan dalam kerangka sertifikasi guru. Hasilnya rata-rata masih
rendah. Ketersediaan guru bidang ekonomi, IPS, bhs Inggris, kimia dinilai cukup untuk
memenuhi kebutuhan, namun guru sejarah, guru kelas SD/MI,bahasa Jawa, seni budaya dan
guru PAI masih kurang dari kebutuhan.
Kedua, masalah Sarpras. Permasalahan utama bidang sarana adalah pada bangunan
sekolah, terutama untuk bangunan sekolahan SD, sementara untuk gedung-gedung SMP,
SMA/SMK jauh lebih baik. Sedangkan prasarana seperti laboratorium dan perpustakaan,
pada umumnya masih sangat terbatas, dan ketiga masalah Kurikulum. Pemberlakuan
Kurikulum 2013 (K 13) masih dinilai bermasalah di kota semarang. Pemberlakuan K 13 hanya
di 12 SD, 7 SMA, SMP ex RSBI dan jenjang SMK semuanya, namun perangkatnya dinilai
belum siap.
Untuk pendidikan madrasah di bawah Kementerian Agama (MI, MTs, MA), problem
mereka jauh lebih kompleks, baik menyangkut SDM (seperti keterbatasan guru, problem
miss-matching dan tidak meratanya program pembinaan karir guru), masalah sarpras (seperti
gedung, laboratorium dan perpustakaan), maupun input siswa yang pada umumnya
madrasah masih menjadi second destination, meskipun terdapat pula madrasah yang
kualitasnya melebihi sekolah.
Pada Sekolah Kejuruan (SMK) tantangannya berbeda. Tugas utama SMK adalah
mengantarkan anak didik untuk bisa bekerja setelah lulus sekolah (lulusannya terserap di
dunia kerja) atau menjadi wirausahawan. Itulah sebabnya, kurikulum diarahkan untuk
mencapai tujuan tersebut. Perimbangan materi pembelajaran untuk SMK adalah 40 % teori
dan 60 % dari pengalaman praktik. Agar terserap pada dunia kerja, SMK membutuhkan
jalinan kerjasama dengan dunia kerja dan dunia industri. Untuk memenuhi kebutuhan
Prakeri/Praktik Kerja Industri, mereka membutuhkan institusi industri.
Tantangan Pendidikan dan Kewirausahaan di Kota Semarang 7
Selama ini yang jadi persoalan adalah institusi industri yang menjadi mitra SMK
banyak yang asal-asalan, karena jumlah industri yang “membuka diri” untuk menjadi
partner SMK belum sebanding dengan kebutuhan SMK. Institusi industri yang bonafide pada
umumnya mematok standar/kualifikasi sangat tinggi untuk bisa digandeng oleh SMK. Tak
pelak, hanya SMK-SMK tertentu yang bisa memiliki akses ke mereka. Bidang-bidang sangat
diminati adalah: teknik industri, TIK, teknologi pemasaran, dan garmen. Namun bidang-
bidang seperti akutansi atau kelompok-kelompok yang dulunya SMEA kurang begitu
diminati.
Pada tahun 2008 Provinsi Jawa Tengah mendeklarasikan diri sebagai provinsi
pertama di Indonesia yang mencanangkan diri sebagai Provinsi Vokasi, Gayung bersambut.
Pada bulan September 2012, Plt. Walikota Semarang telah mencanangkan Semarang sebagai
Kota Vokasi. Hal ini merupakan komitmen Pemerintah Kota Semarang dalam rangka
mematangkan diri sebagai kota yang berfokus pada pendidikan kejuruan dan pendidikan
vokasi secara luas, dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang memasuki
pasar kerja sebagai tenaga terampil (juru teknik).
Pencanangan ini memiliki tujuan berganda (multiplier effect). Melalui pencanangan
sebagai Kota Vokasi tersebut Pemerintah Kota Semarang sekaligus berharap bisa mengatasi
masalah pengangguran, peningkatan keterampilan tenaga kerja yang measuki pasar kerja
serta penanggulangan kemiskinan pada kelompok masyarakat usia produktif. Kebijakan
pengembangan pendidikan SMK merupakan salah satu dari program prioritas
pembangunan daerah yaitu Sapta Program sebagaimana diamanatkan menurut Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Semarang Tahun 2010 - 2015.
Dalam Masterplan Pendidikan Kota Semarang disebutkan bahwa Semarang sebagai
Kota Vokasi didukung oleh beberapa fakta yang sangat potensial bisa dikembangkan.
Pertama, pada tahun 2012 Kota Semarang memiliki sebanyak 83 SMK, terdiri dari 11 SMK
Negeri dengan jumlah peserta didik sebenyak 13.937 orang dan 73 SMK swasta dengan
jumlah peserta didik sebanyak 22.067 orang. Kedua, potensi tenaga pendidikan (guru)
SMK di Kota Semarang termasuk sangat baik, yaitu sebanyak 2.970 orang. Level pendidikan
mereka adalah Doktor (S-3) : 1 orang; Magister (S-2): 140 orang dan Sarjana (S-1) : 2.613
orang. Adapun guru layak mengajar sebesar 92,73%, terdiri dari guru laki-laki (91,76%) dan
guru perempuan (93,87%) dan hanya sebesar 7,27% tenaga pendidikan belum layak
mengajar, yakni belum mencapai berpendidikan S-1 atau D-IV.
Ketiga, Pertumbuhan SMK yang semakin meningkat dibanding SMA. Pada tahun
2011 perbandingan jumlah SMA dengan SMK sebesar 51,73% : 48,27% dan pada tahun 2012
Tantangan Pendidikan dan Kewirausahaan di Kota Semarang 8
menjadi 46,58% : 53,42%. Keempat, pada tahun 2011, perbandingan jumlah siswa SMK
dengan SMA di Kota Semarang sebesar 36,3% : 63,7% dan pada tahun 2012 meningkat
menjadi sebesar 46,58% : 53,42%. Hal ini menunjukkan SMK semakin diminati. Kelima,
tingkat penyerapan lulusan SMK di dunia usaha dan dunia industri pun mengalami
kenaikan, yakni 67,76 % pada tahun 2011 menjadi sebesar 70,47% pada tahun 2011.
Lebih dari itu, terdapat program-program keahlian di SMK yang bersifat potensial
dikembangkan melalui kerjasama dengan dunia industri dan dunia usaha (DUDI), antara
lain: otomotif, permesinan, komputer, jasa, tata boga, tata busana, kerajinan tangan, robotik,
audio-vidual, broad cast, sistem informasi dan pemograman komputer, dan furnitur. Dalam
rangka mendukung terwujudnya Kota Vokasi tersebut, Pemerintah Kota Semarang
melakukan berbagai upaya, meliputi peningkatan, percepatan dan pemerataan sarana
prasarana pendidikan, meningkatkan kualitas tenaga pendidik dan tenaga kependidikan/
laboran melalui pendidikan lanjut dan pelatihan (diklat) kompetensi. Selain itu, Career
Center, Business Center, Business Technology Center dan Teaching Factory juga ditingkatkan dan
ditambah di beberapa SMK.
Secara demografis, jumlah penduduk Kota semarang rata-rata pertahun mengalami
peningkatan 1,22%, sedangkan tingkat kemiskinan mengalami penurunan rata-rata pertahun
7,98%. Jumlah pengangguran di Kota Semarang rata-rata mengalami penurunan sebesar
6,89%, sedangkan jumlah wirausahawan rata-rata setiap tahun mengalami peningkatan
sebesar 0,72% dan prosentase jumlah wirausahawan terhadap jumlah penduduk mengalami
penurunan rata-rata 1,65% per tahun.
Tabel 2 Jumlah Penduduk, Pengangguran, Kemiskinan dan Wirausahawan
di Kota Semarang Tahun 2008-2013
Tahun Jumlah
penduduk Wirausahawan Pengangguran
Jumlah Kemiskinan
% wirausaha per Jumlah penduduk
2013 1,572,105 53,160 77,726 373,978 3.38
2012 1,559,198 52,723 217,123 - 3.38
2011 1,544,358 52,672 85,769 448,398 3.41
2010 1,553,778 52,095 87,583 - 3.35
2009 1,506,924 52,706 107,333 398,009 3.50
2008 1,481,640 51,304 - 491,747 3.46
Sumber: Semarang dalam Angka diolah
Tantangan Pendidikan dan Kewirausahaan di Kota Semarang 9
Dari table dapat disimpulkan, bahwa untuk mengurangi tingkat pengangguran dan
kemiskinan, perlu ditingkatkan jumlah usahawan-usahawan baru atau meningkatkan
proporsi penduduk yang berwirausaha, karena meningkatnya jumlah wirausahan berkorelasi
dengan menurunnya jumlah pengangguran dan kemiskinan.
Untuk menjadi negara maju, sebuah negara paling tidak harus memiliki dua
persen dari jumlah penduduk, Di Amerika, misalnya, terdapat sekitar 11 persen
wirausahawan dari jumlah penduduk, Singapura sekitar 7 persen, dan di Indonesia baru
sekitar 0,18 persen. Pola menciptakan lapangan kerja di dunia sudah berubah. Dulu
pembukaan lapangan kerja menjadi tanggung jawab pemerintah. Sekarang semua pihak baik
pemerintah, pengusaha, dan lembaga pendidikan bertanggung jawab menciptakan lapangan
kerja (Kompas 23 Desember , 2009).
Peran Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi mengemban tugas tri darma yang mencakup pendidikan, penelitian
dan pengabdian pada masyarakat. Melalui tri darma tersebut, perguruan tinggi dituntut
kontribusinya dalam pembangunan demi mewujudkan masyarakat yang sejahtera, termasuk
dalam hal ekonomi. Semakin besar kontribusi sebuah perguruan tinggi pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat, semakin tinggi pula derajatnya di mata masyarakat.
Tugas tersebut semakin penting di tengah aruh kencedungan ekonomi regional dan
global menuju pasar bebas (free market) dan persaingan bebas (free competition) dimana
sumberdaya manusia (human resources) yang berkualitas merupakan sebuah keniscayaan.
Tanpa SDM yang berkualitas, sangat berat bagi suatu bangsa untuk mampu bersaing di
tengah kompetisi ekonomi global. Dengan SDM yang rendah kualitasnya, sebuah negara
hanya akan menjadi pasar bagi produk negara maju. Mereka juga hanya akan menjadi
penonton, bukan pemain, dalam hiruk pikuk lalu lintas ekonomi global.
Dalam konteks di atas, perguruan tinggi memiliki posisi strategis untuk menyiapkan
dan menghasilkan SDM berkualitas yang siap berkompetisi. Melalui pintu pendidikan dan
pengajaran yang merupakan salah satu dari tri darma, perguruan tinggi dapat merancang dan
meramu kurikulumnya sedemikian rupa sehingga mampu menghasilkan lulusan yang
memiliki kemandirian dan kewirausahaan (enterpreneurship), sebuah sikap yang penting
dalam kompetisi ekonomi. Melalui kurikulum yang tepat dengan strategi pengajaran yang
tepat dan seimbang antara teori dan praktek serta pengayaan pengalaman lapangan yang
memadai, perguruan tinggi akan mampu membentuk lulusan yang siap menciptakan
Tantangan Pendidikan dan Kewirausahaan di Kota Semarang 10
lapangan kerja baru dan bukan sebaliknya hanya menggantungkan pada lapangan kerja
(sebagai pegawai negeri misalnya).
Perguruan Tinggi sepatutnya memainkan peran penting dalam
menumbuhkembangkan semangat berwirausaha. Mengapa Pendidikan kewirausahaan mesti
berjalan secara berkesinambungan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh
proses pendidikan di perguruan tinggi? Jawabannya adalah untuk mengatasi pengangguran
terdidik yang terus meningkat dengan menyiapkan lulusan perguruan tinggi yang tidak
hanya berorientasi sebagai pencari kerja, tetapi juga sebagai pencipta lapangan kerja. Data
statistik menunjukkan, 82,2 persen lulusan perguruan tinggi bekerja sebagai pegawai.
Adapun masa tunggu lulusan perguruan tinggi untuk mendapatkan pekerjaan selama enam
bulan hingga tiga tahun. Data ini tentu sangat menghawatirkan dari sudut pandang
kemandirian. Melalui “kampanye” kewirausahaan di perguruan tinggi, pemerintah menarget
pada 2015 sebanyak 20 persen lulusan perguruan tinggi berhasil menjadi usahawan.
Penciptaan komunitas usahawan dari kalangan dosen dan lulusan perguruan tinggi tentu
akan berimplikasi mempercepat penambahan jumlah usahawan Indonesia yang saat ini baru
berjumlah 0,18 persen dari ideal 2 persen yang dibutuhkan untuk menggerakkan
pertumbuhan ekonomi bangsa.
Tentu upaya ini dapat diejawantahkan melalui tri darma perguruan tinggi pula.
Pertama adalah pendidikan dan pengajaran. Melalui tanggungjawab ini, perguruan tinggi
dapat menyiapkan atau mencetak karakter mahasiswa yang berspirit kewirausahaan.
Sebagai sebuah spirit, kewirausahaan bukan hanya monopoli jurusan yang terkait dengan
“ekonomi” dalam arti praktis, tetapi absah dilakukan oleh seluruh mahasiswa dari segala
jurusan atau program studi.
Dalam tri darma yang pertama ini, kurikulum memiliki peran yang esensial. Sebuah
perguruan tinggi yang tidak memiliki orientasi pada semangat kewirausahaan, maka dapat
dipastikan kurikulum yang dibangun akan menyulitkan mahasiswanya kelak dalam
“persaingan pasar”. Karena spirit kewirausahaan sesungguhnya berpangkal dari keinginan
untuk selalu berinovasi. Tanpa inovasi perguruan tinggi dipastikan akan sulit bersaing.
Itulah sebabnya, desain kurikulum yang inovatif—harap dicatat bahwa kurikulum
dapat diubah kapanpun sesuai kebutuhan—saya kira patut menawarkan (1) perubahan cara
pandang atau pola pikir mahasiswa agar selalu inovatif dan (2) memberikan bekal praktis
bagi mahasiswa dalam kerangka kesiapan teknis menghadapi kebutuhan pasar. Perubahan
mindset berarti mengubah kerangka pikir konvensional mahasiswa, seperti “setelah lulus
harus menjadi PNS atau karyawan”, ke arah yang lebih progresif. Bahwa kesuksesan
Tantangan Pendidikan dan Kewirausahaan di Kota Semarang 11
memiliki definisi yang lebih luas daripada sekedar status profesi (yang oleh masyarakat
dianggap “mapan”).
Bekal praktis dibangun melalui praktikum misalnya, yang memberikan pengalaman
empiris terhadap mahasiswa dalam dunia kewirausahaan. Hal ini dapat dilakukan dengan
menggandeng pihak-pihak seperti industri, lembaga keuangan, dan pemerintah. Dalam
pengalaman UNDIP, Unnes dan UIN Walisongo, sebenarnya kesempatan ini telah terbuka
lebar setidaknya sejak status sebagai BLU (Badan Layanan Umum) diperoleh. Bahkan
UNDIP telah menjadi PTN BH yang memiliki otonomi lebih luas. BLU memberikan
kesempatan Perguruan Tinggi mengembangkan diri melalui kreasi wirausaha yang
memungkinkan terciptanya inovasi-inovasi baru dalam industri sekaligus kesempatan
menyejahterakan warga kampus dan sekitarnya.
Pembentukan-pembentukan unit usaha, seperti koperasi dan business center, juga
dapat dijadikan wahana untuk mendekatkan diri bagi mahasiswa kepada spirit
kewirausahaan dan praktik usaha secara langsung. Selain itu, “memperoleh keuntungan
usaha” dari sebuah kampus bukan hal yang sama sekali baru atau katakanlah bertentangan
dengan moralitas pendidikan. Sebagai contoh, pada 1915 tim football Universitas Yale pernah
memberikan pendapatan terhadap kampus lebih dari 1 juta dolar (Nelson and Byers, 2015).
Di masa kini, beberapa universitas di dunia memperoleh pendapatan yang sangat
mencengangkan dari “aset” yang benar-benar mereka manfaatkan.
Tri darma yang kedua adalah penelitian. Dalam konteks ini riset menjadi penopang
bagi kewirausahaan. Kepentingan riset dalam dunia kewirausahaan adalah membaca
peluang dan tantangan secara detail. Hasil penelitian dapat mengukur misalnya, sebuah
wilayah yang dianggap potensial, pemetaan produk, dan pengembangan usaha yang lain.
Temuan riset ini sangat menguntungkan karena boleh jadi menekan biaya produksi dan
menghasilkan keuntungan ekonomis dan sosial yang berlipat ganda. Itulah mengapa
universitas tetap memiliki bergaining position di hadapan dunia industri karena penelitian
menyediakan data-data yang valid dan terukur.
Tri darma yang ketiga adalan pengabdian kepada masyarakat. Perguruan tinggi dapat
menjadi sentrum bagi pengembangan kewirausahaan. Selain dari sisi penyiapan sumber daya
(dalam hal ini mahasiswanya), tetapi juga memberikan kontribusi bagi pengembangan
masyarakat, juga dalam hal kewirausahaan. Sesungguhnya, bagi PT yang telah
memungkinkan, dapat mendirikan BLK (Balai Latihan Kerja) yang memberikan kesempatan
bagi siapapun, mahasiswa maupun masyarakat, memperoleh kesiapan teknis dalam dunia
Tantangan Pendidikan dan Kewirausahaan di Kota Semarang 12
kerja. Kampus, yang telah memiliki pusat bisnis, dapat menyerap tenaga kerja dari
masyarakat. Ini adalah peran yang tidak dapat diabaikan.
Sebagaimana kewirausahaan melibatkan banyak entitas, perguruan tinggi juga tidak
dapat melepaskan kerjasama dari berbagai pihak dalam upaya untuk mengembangkan spirit
kewirausahaan ini. Kerjasama quartet, yakni antara pemerintah, lembaga keuangan, dunia
usaha/industri dan universitas, perlu memainkan peran yang positif untuk bersinergi.
Kerjasama keempatnya harus saling menguntungkan dengan motivasi pembangunan
masyarakat.
Dalam hal ini saya ingin menyampaikan beberapa konsep riil yang semoga dapat kita
upayakan implementasinya di masa mendatang. Pertama, pendanaan mahasiswa melalui
kontrak kuliah. Sebagaimana kita ketahui, banyak masyarakat kita yang kurang beruntung
dari segi finansial tetapi mereka memiliki kecapakan intelektual yang bagus. Desainnya, kita
menjaring calon mahasiswa dari kalangan lemah ekonomi itu untuk kemudian dikuliahkan
melalu pendanaan tertentu, seperti dari lembaga keuangan dan dunia industri. Sebagai
timbal balik, setelah mereka lulus kuliah dan bekerja, maka mereka mengangsur dana kuliah
yang telah mereka gunakan. Konsep seperti ini merupakan konsep yang banyak ditemui di
negara-negara jiran kita.
Kedua, penyediaan permodalan, skill, dan marketing. Universitas dalam hal ini
bertindak sebagai perantara antara alumni dengan pihak lain untuk membangun kerjasama
yang saling menguntungkan. Dunia usaha/industri memperoleh kolega atau tenaga yang fresh
dan qualified, sedangkan mahasiswa menghilangkan sedikit tingkat kesusahan dalam mencari
network. Hal lain juga bisa dilakukan dengan memberikan training kewirausahaan yang
melibatkan para pengusaha sukses sehingga pembelajaran dan motivasi dapat ditangkap
sekaligus.
Ketiga, pemagangan pada alumni yang telah menjadi wirausahawan. Sebagaimana
saya singgung sejak awal bahwa kewirausahaan tidaklah monopoli alumni dari prodi
tertentu, sehingga setiap perguruan tinggi dapat dipastikan memiliki alumni yang bergelut
dalam jalur ini. Universitas dapat melakukan inventarisasi dan kemudian memagangkan para
alumni ke tempat mereka. Hal ini tentu memiliki tiga keuntungan sekaligus, yaitu
mengembangkan skill kewirausahaan melalui praktik, membangun networking, dan
memperkuat jejaring alumni bagi universitas itu sendiri.
Hal yang tentu sangat menggembirakan ketika perguruan tinggi dapat
menumbuhkan akar kewirausahaan sehingga bangsa kita dapat menjadi inovatif, kreatif dan
produktif. Semoga Tuhan selalu menyertai niat baik kita. Amin.
Tantangan Pendidikan dan Kewirausahaan di Kota Semarang 13
DAFTAR PUSTAKA
Iis Prasetyo, 2009. “Membangun Karakter Wirausaha Melalui Pendidikan Berbasis Nilai dalam Program
Pendidikan Non Formal” dalam http://blog.uny.ac.id/iisprasetyo/2009/08/30/membangun-karakter-wirausaha-melalui-pendidikan-berbasis-nilai-dalam-program-pendidikan-non-formal/ diakses tanggal 11 Agustus 2014.
Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2014.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Semarang Tahun 2010 – 2015
Semarang dalam Angka Tahun 2014
Masterplan Pendidikan Kota Semarang
PP Nomer: 32 Tahun 2013 tentang Perubahan atas PP Nomer 19 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor: 2 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Top Related