TANGGUNG JAWAB HUKUM DEVELOPER TERHADAP PEMBELI
PERUMAHAN TERKAIT BELUM DIPENUHINYA PERIZINAN
MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011
TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN
PERMUKIMAN
(Riset Pada Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Kota Medan)
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam
Menempuh Gelar Sarjana Hukum
Program Studi Ilmu Hukum
Departemen Perdata
Diajukan oleh :
WULAN CINTA UTAMI 0 9 6 0 0 1 2 2
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
MEDAN 2013
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
FORMULIR PENULISAN SKRIPSI No : 630/Pdt/FH/IV/2013
Dengan ini menyatakan bahwa :
NAMA : WULAN CINTA UTAMI NPM : 09600122 PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM PERDATA
Telah dapat memulai penulisan skripsi dengan program Strata Satu (S-I) dan
maksud ini kami meminta agar saudara :
1. Agust P. Silaen SH.,MH : menjadi Pembimbing I
2. Jinner Sidauruk SH.,MH : menjadi Pembimbing II
Dengan ini kami memohon kesedian Bapak dan Ibu menjadi pembimbing serta memperbaiki rencana judul skripsi dan proposal bila mana diperlukan. Judul Skripsi:TANGGUNG JAWAB HUKUM DEVELOPER TERHADAP
PEMBELI PERUMAHAN TERKAIT BELUM DIPENUHINYA PERIZINAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 201I TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN
(Riset Pada Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Kota Medan)
Medan, 16 April 2013 Ketua Bagian Hukum Perdata
(Tulus Siambaton, SH, MH) Pembimbing I Pembimbing II
(Agust P. Silaen, SH.,MH) (Jinner Sidauruk, SH.,MH)
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
NAMA : WULAN CINTA UTAMI
NPM : 09600122
BAGIAN : ILMU HUKUM PERDATA
JUDUL : TANGGUNG JAWAB HUKUM DEVELOPER TERHADAP PEMBELI PERUMAHAN TER- KAIT BELUM DIPENUHINYA PERIZINAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN
(Riset Pada Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Kota Medan)
DOSEN PEMBIMBING I : Agust P. Silaen, SH., MH
DOSEN PEMBIMBING II : Jinner Sidauruk, SH., MH
Medan, Agustus 2013
Diketahui Oleh
Dekan Ketua Departemen Hukum Perdata
(Dr. Haposan Siallagan, SH.,MH) (Tulus Siambaton, SH,.MH) Disetujui Untuk Seminar Disetujui Ujian Akhir
Pembimbing I Ketua Dapartemen Hukum Perdata
(Agust P. Silaen, SH.,MH) (Tulus Siambaton, SH., MH)
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
Dengan ini menerangkan bahwa karya ilmiah penulisan skripsi Sarjana Hukum Program Strata Satu (S-1) Terakreditasi yang ditulis oleh : NAMA : WULAN CINTA UTAMI NPM : 09600122 BAGIAN : ILMU HUKUM PERDATA JUDUL : TANGGUNG JAWAB HUKUM DEVELOPER TERHADAP
PEMBELI PERUMAHAN TERKAIT BELUM DIPENUHINYA PERIZINAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN
(Riset Pada Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Kota Medan)
Telah diterima dan terdaftar pada Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan dan telah melengkapi syarat-syarat akademik untuk menempuh ujian lisan Komprehensif guna menyelesaikan studi untuk mencapai gelar Sarjana Hukum.
Medan, Agustus 2013
Dekan Ketua Bagian Perdata
(Dr. Haposan Siallagan, SH., MH) (Tulus Siambaton, SH,.MH)
Pembimbing I Pembimbing II
(Agust P. Silaen, SH.,MH) (Jinner Sidauruk, SH.,MH)
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
Dengan ini menerangkan bahwa karya ilmiah penulisan skripsi Sarjana Hukum Program Strata Satu (S-1) Terakreditasi yang ditulis oleh :
NAMA : WULAN CINTA UTAMI NPM : 09600122 Program Studi : ILMU HUKUM JUDUL : TANGGUNG JAWAB HUKUM DEVELOPER TERHADAP PEMBELI
PERUMAHAN TERKAIT BELUM DIPENUHINYA PERIZINAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN
(Riset Pada Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Kota Medan) Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada Hari /tanggal : Jumat, 30 Agustus 2013 Dan dinyatakan telah memenuhi syarat. Medan, September 2013
Tim Penguji
Penguji I Penguji II (Tulus Siambaton,SH.,MH) (Erita W. Sitohang,SH.,MKn)
Ketua Sidang Bagian Hukum Perdata
(Tulus Siambaton,SH.,MH) Pembimbing I Pembimbing II (Agust P. Silaen,SH.,MH) (Jinner Sidauruk,SH.,MH) Diketahui/disetujui
Dekan
(Dr.Haposan Siallagan,SH.,MH)
PROSEDUR PENULISAN SKRIPSI
KETERANGAN TANDA TANGAN DAN NAMA LENGKAP
TANGGAL
JUDUL : TANGGUNG JAWAB HUKUM DEVELOPER TERHADAP PEMBELI PERUMAHAN TERKAIT BELUM DIPENUHINYA PERIZINAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN (Riset Pada Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Kota Medan) ACC JUDUL SKRIPSI Dilanjutkan Membuat Proposal
Besty Habeahan SH.,MH
2/3/2013
PROPOSAL : ACC PEMBIMBING I ACC PEMBIMBING II Dilanjutkan Penulisan Skripsi Secara Lengkap
Agust P. Silaen SH.,MH
Jinner Sidauruk SH.,MH
15/5/2013
29/5/2013
SKRIPSI : ACC PEMBIMBING I ACC PEMBIMBING II Dilanjutkan pemeriksaan buku
Agust P. Silaen SH.,MH
Jinner Sidauruk SH.,MH
29/7/2013
24/7/2013
ACC PEMERIKSAAN BUKU Dilanjutkan perbanyakan konsep asli
Agust P. Silaen SH.,MH
ACC PERBANYAKAN KETIKAN
Agust P. Silaen SH.,MH
23/8/2013
ACC UNTUK DISEMINARKAN
Agust P. Silaen SH.,MH
29/7/2013
ACC PEMBANDING
Besty Habeahan SH.,MH
23/8/2013
ACC MEJA HIJAU Tulus Siambaton SH.,MH
NAMA : WULAN CINTA UTAMI NPM : 09600122 BAGIAN : ILMU HUKUM PERDATA JUDUL : TANGGUNG JAWAB HUKUM DEVELOPER TERHADAP PEMBELI
PERUMAHAN TERKAIT BELUM DIPENUHINYA PERIZINAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN (Riset Pada Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Kota Medan)
JUDUL : TANGGUNG JAWAB HUKUM DEVELOPER TERHADAP
PEMBELI PERUMAHAN TERKAIT BELUM DIPENUHINYA PERIZINAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN
CATATAN BIMBINGAN SKRIPSI
Tanggal Pembimbing I Tanggal Pembimbing II
30-04-2013
06-05-2013
15-05-2013
19-07-2013
19-07-2013
05-08-2013
Pengajuan Bab I & III Perbaikan Bab I & III ACC Bab I & Bab III Pengajuan Bab V, Abstraksi & Daftar Pustaka. Perbaikan Bab V, Abstraksi dan Daftar Pustaka. Acc Bab I,II,III,IV,V, Abstraksi, Kata Pengantar & Daftar Pustaka.
29-05-2013
13-06-2013
25-06-2013
03-07-2013
19-07-2013
24-07-2013
Pengajuan Bab II Perbaikan Bab II ACC Bab II Pengajuan Bab IV Perbaikan Bab IV Acc Bab IV
ACC Pembimbing I ACC Pembimbing II (Agust P. Silaen, SH.,MH) (Jinner Sidauruk, SH.,MH)
i
ABSTRAKSI TANGGUNG JAWAB HUKUM DEVELOPER TERHADAP PEMBELI
PERUMAHAN TERKAIT BELUM DIPENUHINYA PERIZINAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN
DAN KAWASAN PERMUKIMAN Wulan Cinta Utami * Agust P. Silaen, SH., MH **
Jinner Sidauruk, SH., MH ***
Tanah menjadi unsur pokok kehidupan manusia. Salah satu kebutuhan manusia yaitu kebutuhan akan rumah yang membutuhkan tanah. Kebutuhan ini dipenuhi dengan membangun sendiri di atas tanah sendiri dan ada pula yang disediakan oleh developer. Setiap orang tidak bisa dengan leluasa membangun meskipun bangunan yang didirikan itu berada di atas tanah haknya jika tidak sesuai dengan peraturan. Developer sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kegiatan pendirian bangunan berkewajiban untuk mengurus izin yang diperlukan dalam membangun perumahan pada pemerintah setempat. Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui akibat hukum terhadap perumahan yang dibangun diatas tanah yang belum mendapatkan izin. Dan untuk mengetahui tanggung jawab hukum developer terhadap pembeli atas tanah perumahan yang belum mendapatkan izin. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ilmiah ini adalah metode analisis deskriptif. Metode analisis deskriptif yaitu data yang telah dianalisis disajikan dengan pemaparan yang logis dengan menguraikan bagian-bagian masalah secara komprehensif serta menggambarkan obyek penelitian secara sistematis lalu diuraikan bagian-bagiannya (analisis) sesuai dengan identifikasi masalah yang berkaitan dengan tanggung jawab developer terhadap pembeli perumahan terkait belum dipenuhinya perizinan. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa akibat hukum terhadap perumahan yang dibangun diatas tanah yang belum mendapatkan izin yaitu rumah akan dibongkar setelah melalui beberapa tahap. Dan tanggung jawab developer terhadap pembeli atas tanah perumahan yang belum mendapatkan izin yaitu mengganti kerugian konsumen dengan mengembalikan uang muka yang telah diberikan kepada developer. Kata Kunci : Developer, Perumahan, Perizinan * Penulis ** Pembimbing I *** Pembimbing II
ii
ABSTRACT LEGAL RESPONSIBILITIES RELATED To HOUSING DEVELOPER To PURCHASERS ALLEGING THE PERMIT ACCORDING To LAW
NUMBER 1 Of 2011 On HOUSING And RESIDENTIAL AREAS Wulan Cinta Utami * Agust P. Silaen, SH., MH **
Jinner Sidauruk, SH., MH ***
Soil into basic elements of human life. One of human needs it the need for houses in need of land. This need is met by building itself on its own land and some are provided by the developer. Not everyone can freely build although structures built on land that is right if it is not in accordance with regulations. Developers as the party responsible for the construction of the building activity is obliged to take care of the necessary permits to build housing on the local government. purpose of this thesis is to determine the legal effect of the housing built on land that has not been getting permits. And to determine the legal responsibility of the buyer to land developers who have not received permission housing.
As for the research methods used in scientific writing is descriptive analysis method. Descriptive analysis method is data that has been analyzed is presented with a logical presentation by outlining the parts issue comprehensively and systematically describes the research object and described the parts (analysis) in accordance with the identification of issues relating to the responsibility of the buyer housing developer in question are not compliance with the permit. Data was collected by conducting field research and library research.
This research explains that the legal effect of the housing built on land that has not received permission to be demolished after the house through several stages. And the responsibility of the developer to the buyer at buyer's housing land is yet to get clearance to compensate consumers who return the advance payment has been given to the developer. Keywords: developer, housing, licensing * Writer ** Supervisor *** Co Supervisor
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala
pertolongan dan kasih karunia yang telah diberikan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul: Tanggung Jawab Hukum Developer
Terhadap Pembeli Perumahan Terkait Belum Dipenuhinya Perizinan Menurut
Undang Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan
Permukiman dengan baik untuk memenuhi persyaratan guna mencapai gelar
Sarjana Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan.
Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada
kedua orangtua penulis yaitu J. Tamba,SH dan T. Simanjuntak yang telah banyak
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini baik dari segi moril dan materil.
Terimakasih banyak buat mama yang selalu mengerti keinginanku bahkan selalu
memberi tanpa diminta sekalipun, buat papa yang selalu siaga yang selalu
meluangkan waktunya untuk selalu ada disampingku. Kalian anugerah terindah yang
pernah ku miliki. Semoga mama papa panjang umur. Youre my life.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan mengingat
kemampuan, waktu dan pengetahuan penulis yang terbatas. Oleh karena itu, penulis
dengan senang hati menerima segala kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi
kesempurnaan skripsi ini.
Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa kesemuanya ini tidak
mungkin dapat diselesaikan tanpa adanya bantuan dan dorongan dari bapak dan ibu
dosen serta pihak-pihak yang terkait. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis
menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Dr. Ir. Jongkers Tampubolon, MSc, selaku Rektor Universitas HKBP
Nommensen Medan.
2. Dr. Haposan Siallagan, SH, MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
HKBP Nommensen Medan.
3. Bapak Jinner Sidauruk, SH, MH, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum
Universitas HKBP Nommensen Medan.
iv
4. Bapak Jan Prins D. Saragih, SH, MH, selaku Pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan.
5. Bapak Marthin Simangunsong, SH,MH, selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan.
6. Bapak Tulus Siambaton, SH, MH, selaku Ketua Jurusan Departemen Perdata
Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan dan sebagai Penguji
I dalam ujian Meja Hijau.
7. Ibu Besty Habeahaan, SH, MH, selaku Sekretaris Departemen Perdata
Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan dan sebagai Dosen
Pembanding dalam Seminar.
8. Bapak Agust P. Silaen, SH, MH, selaku Dosen Pembimbing I, penulis
berterimakasih atas perhatian Bapak karena selama penulisan ini mau
bermurah hati dan meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk
membimbing dan mengarahkan penulis sehingga akhirnya penulis bisa
menyelesaikan skripsi ini.
9. Bapak Jinner Sidauruk, SH, MH, selaku Dosen Pembimbing II, penulis
berterimakasih atas perhatian Bapak karena selama penulisan ini mau
bermurah hati dan meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk
membimbing dan mengarahkan penulis sehingga akhirnya penulis bisa
menyelesaikan skripsi ini.
10. Ibu Erita W. Sitohang,SH.,MKn, selaku Penguji II dalam ujian Meja Hijau.
11. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen
Medan yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis belajar di
Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan.
12. Seluruh pegawai Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan
yang telah melayani dan memberikan kemudahan fasilitas dalam pengurusan
administrasi.
13. Ibu Indri dan Ibu Erika Ginting yang bekerja di Dinas Tata Ruang dan Tata
Bangunan Kota Medan, penulis ucapkan terima kasih atas bantuannya dalam
v
memberikan bahan-bahan penunjang sehingga penulisan skripsi ini dapat
diselesaikan.
14. Dan juga teristimewa buat keluarga-keluarga penulis, adik-adikku (Lidwina
Tamba, Bangga Tamba, dan Dayang Tamba), terima kasih telah memberikan
motivasi kepada penulis.
15. Seniorku Yani Siallagan, SH, dan lainnya terima kasih banyak sudah bersedia
meluangkan waktunya untuk membantu penulis.
16. Buat teman-teman seperjuangan penulis, Maria, Cici, Rimka, Elisa, Rica dan
Nimrod, serta teman-teman lainnya terimakasih buat kebersamaan kita selama
ini.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita
semua, kiranya Tuhan senantiasa memberikan berkatnya kepada semua pihak yang
telah memberikan bantuan kepada penulis. Sekian dan terima kasih.
Medan, Agustus 2013
Penulis
Wulan C. Utami
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI ...................................................................................................... i ABSTRACT....................................................................................................... ii KATA PENGANTAR....................................................................................... iii DAFTAR ISI...................................................................................................... vi BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................. 5
C. Tujuan Penelitian................................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian................................................................................. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Jual Beli antara Developer dan
Konsumen............................................................................................. 7
1. Pengertian Umum Tentang Developer........................................... 7
2. Pengertian Umum Tentang Konsumen.......................................... 9
3. Perjanjian Jual Beli........................................................................ 10
3.1 Pengertian Perjanjian Jual Beli................................................ 10
3.2 Asas-Asas dan Syarat Sahnya Perjanjian Jual Beli.................. 12
3.3 Subjek dan Objek Perjanjian Jual Beli.................................... 16
3.4 Hak dan Kewajiban antara Penjual dan Pembeli. 18
3.5 Bentuk-Bentuk Perjanjian Jual Beli........................................ 28
3.6 Risiko dalam Perjanjian Jual Beli .......................................... 30
B. Tinjauan Umum Tentang Perizinan....................................................... 30
1. Pengertian Perizinan....................................................................... 30
vii
2. Sifat Izin.......................................................................................... 34
3. Fungsi Pemberian Izin.................................................................... 36
4. Tujuan Pemberian Izin................................................................... 36
5. Bentuk dan Substansi Izin............................................................ 37
BAB III METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian................................................................ 41
B. Sumber Data..................................................................................... 41
C. Metode Pengumpulan Data............................................................. 42
D. Metode Analisis Data...................................................................... 43
BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Akibat hukum terhadap perumahan yang dibangun di atas tanah yang
belum mendapatkan izin...................................................................... 44
B. Tanggung jawab hukum developer terhadap pembeli atas tanah
perumahan yang belum mendapatkan izin........................................... 47
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan.................................................................................... 54
B. Saran.............................................................................................. 54
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah menjadi unsur pokok dalam kehidupan manusia. Di atas tanahlah semua
kegiatan hidup dan penghidupan dilakukan oleh manusia. Peningkatan jumlah
penduduk dari tahun ke tahun membuat kebutuhan atas tanah terus meningkat disisi
lain ketersediaan tanah terbatas. Pembangunan perumahan dan permukiman akan
terus meningkat seirama dengan pertumbuhan penduduk, dinamika kependudukan
dan tuntutan ekonomi, sosial budaya yang berkembang. Kondisi ini akan
menimbulkan konflik kepentingan antar individu maupun antar warga apabila tidak
dikelola dan diatur dengan baik.
Salah satu kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan papan atau rumah
yang membutuhkan tanah tentu juga akan menimbulkan masalah dengan tanah yang
terbatas tersebut. Kebutuhan dasar ini pemenuhannya dicukupi individu dengan
membangun sendiri di atas tanah sendiri, ada pula yang disediakan oleh pihak lain,
developer melalui perumahan yang ditawarkan.
Adapun pengertian perumahan dan rumah diatur dalam Pasal 1 angka 2 dan 7
Undang Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman, perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman,
baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan
utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. Rumah adalah
bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana
2
pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi
pemiliknya.
Pembangunan perumahan di Indonesia banyak dilakukan oleh developer.
Dengan semakin banyaknya developer di bidang perumahan sudah tentu
memudahkan masyarakat untuk menjatuhkan pilihannya dalam memilih rumah sesuai
dengan kemampuan keuangannya masing-masing. Pengembangan perumahan yang
dilakukan oleh developer perlu diatur sedemikian rupa sehingga pengembangannya
sesuai dengan fungsi arahan rencana tata ruang, guna menjaga keseimbangan
lingkungan fisik maupun sosial. Di sisi lain pengembangan perumahan juga
diharapkan mampu menyediakan perumahan yang layak secara fisik dan tertib secara
administrasi.
Setiap orang tidak bisa dengan leluasa membangun meskipun bangunan yang
didirikan itu berada di atas tanah haknya jika tidak sesuai dengan peraturan.
Developer sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kegiatan pendirian bangunan
berkewajiban untuk mengurus izin yang diperlukan dalam membangun perumahan
pada pemerintah setempat.
Dalam setiap pembangunan gedung, baik akan digunakan untuk rumah,
kantor, toko, hotel, bengkel dan lain-lain harus memenuhi kaidah dasar sebagai
berikut.1
1. Memenuhi persyaratan administrasi yang meliputi : a. status tanah dan izin dari pemanfaatan tanah dan b. izin mendirikan bangunan. 2. Memenuhi ketentuan teknis bangunan yang terdiri dari : 1 Gatut Susanta, 2009, Mudah Mengurus IMB di 55 Kota dan Kabupaten di Indonesia, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2009, hlm. 6
3
a. sempadan bangunan, b. kepadatan dan ketinggian bangunan, c. sirkulasi dan parkir, d. rencana pemetaan , e. ruang terbuka dan tata hijau, dan f. prasarana dan utilitas. 3. Memenuhi keandalan bangunan yang meliputi: a. fungsi bangunan, b. keamanan dan keselamatan, c. kesehatan dan kenyamanan, dan d. kelengkapan bangunan.
Dewasa ini izin mendirikan bangunan telah menjadi bagian utama dari
komponen bangunan. Hal ini disebabkan karena hampir semua bentuk perizinan
mensyaratkan pemilikan izin mendirikan bangunan. Misalnya, untuk mendapatkan
izin HO (Hinder Ordonantie)/izin gangguan atau pengajuan pinjaman ke bank,
seseorang harus terlebih dahulu memiliki izin mendirikan bangunan.2 Tidak sedikit
rumah atau bangunan yang didirikan (sudah jadi) tanpa dilengkapi izin mendirikan
bangunan. Jika suatu bangunan tidak memiliki izin mendirikan bangunan maka akan
dikategorikan sebagai bangunan liar.
Dalam Pasal 1 angka 19 Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 5 Tahun 2012
Tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan disebutkan Izin Mendirikan Bangunan,
yang selanjutnya disingkat IMB adalah perizinan yang diberikan oleh pemerintah
daerah kecuali untuk bangunan fungsi khusus oleh Pemerintah kepada pemilik
bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah/memperbaiki/rehabilitasi/
renovasi, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan, dan/atau memugar
2 Ibid, hlm. 72
4
dalam rangka melestarikan bangunan sesuai dengan persyaratan administratif dan
persyaratan teknis yang berlaku.
Dalam Pasal 42 Undang Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan
dan Kawasan Permukiman dijelaskan bahwa rumah yang masih dalam tahap
pembangunan dapat dipasarkan melalui sistem perjanjian pendahuluan jual beli.
Perjanjian pendahuluan jual beli adalah kesepakatan melakukan jual beli rumah yang
masih dalam proses pembangunan antara calon pembeli rumah dengan penyedia
rumah yang diketahui oleh pejabat yang berwenang. Perjanjian pendahuluan jual beli
itupun baru dapat dilakukan setelah memenuhi beberapa persyaratan yaitu status
pemilikan tanah, hal yang diperjanjikan, kepemilikan izin mendirikan bangunan
induk, ketersediaan fasilitas umum dan telah selesai dibangun minimal 20 %. Apabila
salah satu dari persyaratan tersebut tidak di penuhi oleh developer, maka developer
dilarang untuk menjual rumahnya tersebut.
Realitanya, developer sama sekali tidak memiliki izin mendirikan bangunan
namun telah melaksanakan pembangunan perumahan. Parahnya lagi developer
memasarkan perumahan tersebut kepada konsumen dan konsumen telah membayar
uang muka kepada developer, padahal developer sama sekali belum memiliki
perizinan. Tindakan developer ini tentu sangat merugikan konsumen.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti dan
menyusunnya dalam bentuk skripsi dengan judul TANGGUNG JAWAB HUKUM
DEVELOPER TERHADAP PEMBELI PERUMAHAN TERKAIT BELUM
5
DIPENUHINYA PERIZINAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 1
TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah :
a. Bagaimana akibat hukum terhadap perumahan yang dibangun di atas tanah
yang belum mendapatkan izin ?
b. Bagaimana tanggung jawab developer terhadap pembeli atas tanah perumahan
yang belum mendapatkan izin ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap perumahan yang dibangun di atas
tanah yang belum mendapatkan izin.
b. Untuk mengetahui tanggung jawab developer terhadap pembeli atas tanah
perumahan yang belum mendapatkan izin.
D. Manfaat Penelitian
6
a. Untuk memperdalam ilmu hukum bagi penulis khususnya mengenai
tanggung jawab hukum developer terhadap pembeli perumahan terkait
belum dipenuhinya perizinan.
b. Penelitian ini diharapkan akan memberikan masukan dan wawasan
mengenai tanggung jawab hukum developer terhadap pembeli perumahan
terkait belum dipenuhinya perizinan.
c. Sebagai syarat untuk menyelesaikan program Sarjana Hukum pada
Universitas HKBP Nommensen.
7
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Jual Beli Rumah Antara Developer dan Konsumen
1. Pengertian Umum Tentang Developer
Istilah developer berasal dari bahasa asing yang menurut kamus
bahasa inggris artinya adalah pembangun perumahan. Sementara itu menurut
Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 1974,
disebutkan pengertian Perusahaan Pembangunan Perumahan yang dapat pula
masuk dalam pengertian developer, yaitu :
Perusahaan Pembangunan Perumahan adalah suatu perusahaan yang
berusaha dalam bidang pembangunan perumahan dari berbagai jenis dalam
jumlah yang besar di atas suatu areal tanah yang akan merupakan suatu
kesatuan lingkungan pemukiman yang dilengkapi dengan prasarana-prasarana
lingkungan dan fasilitas-fasilitas sosial yang diperlukan oleh masyarakat
penghuninya.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen developer masuk
dalam kategori sebagai pelaku usaha. Pengertian Pelaku Usaha dalam Pasal 1
angka 3 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen yaitu:
Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara
9
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Pengembang perumahan (real estate developer) atau biasa juga
disingkat pengembang/developer adalah orang perorangan atau perusahaan
yang bekerja mengembangkan suatu kawasan permukiman menjadi
perumahan yang layak huni dan memiliki nilai ekonomis sehingga dapat
dijual kepada masyarakat.3
Secara umum, pengembang/developer dapat digolongkan dalam 3
(tiga) kategori, yaitu :4
(a) Pengembang besar : membangun perumahan dengan harga satuan rumah di
atas Rp 800 juta,
(b) Pengembang menengah : membangun perumahan dengan harga per satuan
antara Rp 300 juta hingga Rp 800 juta, dan
(c) Pengembang kecil mengkhususkan pembangunan perumahan dengan harga
satuan rumah maksimal Rp 300 juta.
Pengembang/developer dapat terdiri dari orang-perorangan maupun
perusahaan, baik perusahaan yang belum berbadan hukum (seperti CV atau
Firma) maupun perusahaan yang sudah berbadan hukum (seperti PT atau
Koperasi).5
3 R. Serfianto Dibyo Purnomo; Iswi Hariyani; Cita Yustisia, Kitab Hukum Bisnis Properti, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2011, hlm. 11 4 Ibid, hlm. 12 5 Ibid.
10
2. Pengertian Umum Tentang Konsumen
Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-
Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Secara harafiah arti kata
consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang.
Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai
pemakai atau konsumen.6
Konsumen merupakan salah satu pihak dalam hubungan dan transaksi
ekonomi yang hak-haknya sering diabaikan (oleh sebagian pelaku usaha).
Akibatnya, hak-hak konsumen perlu dilindungi.7 Menurut Undang-Undang
Perlindungan Konsumen pasal 1 angka 2, Konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.
Di Indonesia telah banyak diselenggarakan studi, baik yang bersifat akademis,
maupun untuk tujuan mempersiapkan dasar-dasar penerbitan suatu peraturan
perundang-undangan tentang perlindungan konsumen. Dalam naskah-naskah
akademik dan/atau berbagai naskah pembahasan rancangan peraturan perundang-
undangan, cukup banyak di bahas dan dibicarakan tentang berbagai peristilahan
yang termasuk dalam lingkup perlindungan konsumen. Dari naskah-naskah
akademik itu yang patut mendapat perhatian, antara lain :8
6 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 22 7 Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta, 2008, hlm. 22 8 Ibid, hlm. 23
11
a. Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman (BPHN),
menyusun batasan tentang konsumen akhir, yaitu pemakai akhir dari barang,
digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain, dan tidak untuk
diperjualbelikan.
b. Batasan konsumen dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia :
Pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat bagi kepentingan
diri sendiri, keluarga atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali.
c. Sedang dalam naskah akademis yang dipersiapkan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia (FH-UI) bekerja sama dengan Departemen Perdagangan
RI, berbunyi :
Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk
dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.
3. Perjanjian Jual Beli 3.1 Pengertian Perjanjian Jual Beli
Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-
undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara khusus
terhadap perjanjian ini. Pengaturan perjanjian bernama dapat diatur dalam KUH
Perdata. Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457-1540 KUH Perdata. Menurut
Pasal 1457 KUH Perdata, jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang
satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda, dan pihak yang lain untuk
membayar harga yang telah dijanjikan. Dari pengertian yang diberikan Pasal 1457
KUH Perdata diatas, perjanjian jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban
yaitu:
12
1. Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.
2. Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjual.
Menurut Salim H.S., S.H.,M.S., perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian
yang dibuat antara pihak penjual dan pihak pembeli. Di dalam perjanjian itu pihak
penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual beli kepada pembeli dan berhak
menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk membayar harga dan berhak
menerima objek tersebut.9 Unsur yang terkandung dalam defenisi tersebut adalah :
a. Adanya subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli
b. Adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga
c. Adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan pembeli
Unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga, dimana
antara penjual dan pembeli harus ada kata sepakat tentang harga dan barang yang
menjadi objek jual beli. Suatu perjanjian jual beli yang sah lahir apabila kedua belah
pihak telah setuju tentang harga dan barang. Sifat konsensual dari perjanjian jual beli
tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458 KUH Perdata yang berbunyi jual beli
dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai
kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang ini belum diserahkan
maupun harganya belum dibayar .10 Apabila terjadi kesepakatan mengenai harga dan
barang namun ada hal lain yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual
beli tersebut, jual beli tetap tidak terjadi karena tidak terjadi kesepakatan.
9Salim H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak , Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan kedelapan, 2011, hlm. 49 10 Ibid.
13
Walaupun telah terjadi persesuaian antara kehendak dan pernyataan, namun belum
tentu barang itu menjadi milik pembeli, karena harus diikuti proses penyerahan
(levering) benda.
3.2 Asas-Asas dan Syarat Perjanjian Jual Beli
Asas-asas yang terdapat dalam suatu perjanjian umumnya terdapat dalam
perjanjian jual beli. Dalam hukum perjanjian ada beberapa asas, namun secara umum
asas perjanjian ada lima yaitu :
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas Kebebasan Berkontrak dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata yang berbunyi: semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Asas Kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk :11
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian,
b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun,
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan
d. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
2. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat dilihat dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata.
Dalam Pasal tersebut dinyatakan bahwa salah satu syarat adanya suatu perjanjian
11 H. Salim HS; H. Abdullah; Wiwiek Wahyuningsih, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 2
14
adalah adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. Dengan demikian, apabila
tercapai kesepakatan antara para pihak, lahirlah perjanjian, walaupun perjanjian itu
belum dilaksanakan pada saat itu. Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya
kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa
juga disebut bahwa perjanjian tersebut sudah bersifat obligatoir, yakni melahirkan
kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.12
3. Asas mengikatnya suatu perjanjian Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata dimana suatu
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi pembuatnya.
Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut
karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut
mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang.13
4. Asas iktikad baik (Goede Trouw)
Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUH
Perdata). Iktikad baik para pihak dalam perjanjian sangat ditekankan pada tahap
praperjanjian, secara umum iktikad baik harus selalu ada pada setiap tahap perjanjian
sehingga kepentingan pihak yang satu selalu dapat diperhatikan oleh pihak lainnya.14
12 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 3 13 Ibid, hlm. 4 14 Ibid, hlm. 7
15
5. Asas Kepribadian
Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk
dirinya sendiri. Pengecualiannya terdapat dalam pasal 1317 KUH Perdata tentang
janji untuk pihak ketiga.
Syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH
Perdata merupakan syarat sahnya perjanjian jual beli dimana perjanjian jual beli
merupakan salah satu jenis dari perjanjian. Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan
bahwa syarat dari sahnya perjanjian adalah :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Syarat pertama untuk sahnya suatu perjanjian adalah adanya suatu
kesepakatan atau konsensus pada para pihak. Yang dimaksud dengan kesepakatan
adalah persesuaian kehendak antara para pihak dalam perjanjian. Jadi dalam hal ini
tidak boleh adanya unsur pemaksaan kehendak dari salah satu pihak pada pihak
lainnya.
Ada lima cara terjadinya persesuaian kehendak, yaitu dengan :15
a. Bahasa yang sempurna dan tertulis.
b. Bahasa yang sempurna secara lisan.
c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.
d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya.
e. Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.
15 H. Salim HS; H. Abdullah; Wiwiek Wahyuningsih, Op. Cit, hlm. 9
16
Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa terjadinya
kesepakatan dapat terjadi secara tertulis dan tidak tertulis .Seseorang yang melakukan
kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan dengan akta autentik maupun akta di
bawah tangan. Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat oleh para pihak tanpa
melibatkan pejabat yang berwenang membuat akta. Sedangkan akta autentik adalah
akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang.16
Dalam Pasal 1321 KUH Perdata disebutkan bahwa tiada ada suatu sepakat
yang sah apabila sepakat itu diberikan atau diperoleh atas:
a. Kekhilafan (dwaling)
b. Paksaan (geveld)
c. Penipuan (bedrog)
Dengan adanya kesepakatan, maka perjanjian tersebut telah ada dan mengikat
bagi kedua belah pihak serta dapat dilaksanakan.
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
Cakap artinya adalah kemampuan untuk melakukan suatu perbuatan hukum
yang dalam hal ini adalah membuat suatu perjanjian. Perbuatan hukum adalah
segala perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum. Orang yang cakap untuk
melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan
adalah berumur 21 tahun.
Orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah :17
a. Anak dibawah umur. 16 Ahmadi Miru, Op. Cit, hlm. 15 17 Salim H.S, Op. Cit, hlm. 34
17
b. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan.
c. Istri. Akan tetapi dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan
hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 jo. SEMA Nomor 3 Tahun 1963.
3. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu disebut juga dengan objek perjanjian. Di dalam berbagai
literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok
perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban pembeli dan apa yang
menjadi hak penjual.
Prestasi terdiri atas :18
a. memberikan sesuatu,
b. berbuat sesuatu, dan
c. tidak berbuat sesuatu.
4. Suatu sebab yang halal
Di dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian sebab yang
halal. Di dalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan kausa yang terlarang.
Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan, dan ketertiban umum.
Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, karena menyangkut dengan
pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat
disebut syarat objektif, karena menyangkut objek perjanjian. Apabila syarat pertama
18 Ibid, hlm. 34
18
dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya bahwa salah
satu pihak dapat mengajukan kepada Pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang
disepakatinya. Tetapi apabila para pihak tidak ada yang keberatan maka perjanjian itu
tetap dianggap sah. Syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjian itu
batal demi hukum. Artinya, bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.19
3.3 Subjek dan Objek Perjanjian Jual Beli
Perjanjian jual beli adalah merupakan perbuatan hukum. Subjek dari
perbuatan hukum adalah Subjek Hukum. Subjek Hukum terdiri dari manusia dan
badan hukum. Oleh sebab itu, pada dasarnya semua orang atau badan hukum dapat
menjadi subjek dalam perjanjian jual beli yaitu sebagai penjual dan pembeli, dengan
syarat yang bersangkutan telah dewasa dan atau sudah menikah.
Namun secara yuridis ada beberapa orang yang tidak diperkenankan untuk
melakukan perjanjian jual beli, sebagaimana dikemukakan berikut ini :20
1. Jual beli Suami istri
Pertimbangan hukum tidak diperkenankannya jual beli antara suami istri
adalah karena sejak terjadinya perkawinan, maka sejak saat itulah terjadi
pencampuran harta, yang disebut harta bersama kecuali ada perjanjian kawin.
Namun ketentuan tersebut ada pengecualiannya yaitu:
19 Ibid. 20 Ibid, hlm. 50
19
a. Jika seorang suami atau istri menyerahkan benda-benda kepada isteri atau
suaminya, dari siapa ia oleh Pengadilan telah dipisahkan untuk memenuhi apa
yang menjadi hak suami atau istri menurut hukum.
b. Jika penyerahan dilakukan oleh seorang suami kepada isterinya, juga dari
siapa ia dipisahkan berdasarkan pada suatu alasan yang sah, misalnya
mengembalikan benda-benda si istri yang telah dijual atau uang yang menjadi
kepunyaan istri, jika benda itu dikecualikan dari persatuan.
c. Jika si istri menyerahkan barang-barang kepada suaminya untuk melunasi
sejumlah uang yang ia telah janjikan kepada suaminya sebagai harta
perkawinan.
2. Jual beli oleh para Hakim, Jaksa, Advokat, Pengacara, Juru Sita dan Notaris
Para Pejabat ini tidak diperkenankan melakukan jual beli hanya terbatas pada
benda-benda atau barang dalam sengketa. Apabila hal itu tetap dilakukan,
maka jual beli itu dapat dibatalkan, serta dibebankan untuk penggantian biaya,
rugi dan bunga.
3. Pegawai yang memangku jabatan umum
Yang dimaksud disini adalah membeli untuk kepentingan diri sendiri terhadap
barang yang dilelang.
20
Yang dapat menjadi objek dalam jual beli adalah semua benda bergerak dan
benda tidak bergerak, baik menurut tumpukan, berat, ukuran, dan timbangannya.
Sedangkan yang tidak diperkenankan untuk diperjualbelikan adalah :21
a. Benda atau barang orang lain,
b. Barang yang tidak diperkenankan oleh undang-undang seperti obat terlarang,
c. Bertentangan dengan ketertiban, dan
d. Kesusilaan yang baik.
3.4 Hak dan Kewajiban antara Penjual dan Pembeli
Hak dari Penjual menerima harga barang yang telah dijualnya dari pihak
pembeli sesuai dengan kesepakatan harga antara kedua belah pihak. Sedangkan
kewajiban penjual adalah sebagai berikut :22
1. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan beserta
kelengkapannya
Hal ini meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk
mengalihkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan itu dari si penjual
kepada si pembeli. Di dalam KUH Perdata mengenal dua macam benda, yaitu:
a. Benda bergerak
1) Benda bergerak yang berwujud atau bertubuh
21 Ibid, hlm. 51 22 Handri Raharjo, 2010, Buku Pintar Transaksi Jual Beli dan Sewa Menyewa, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hlm. 17
21
Penyerahannya dengan cara menyerahkan kekuasaan atas barang itu atau
dengan kata lain penyerahan dari tangan ke tangan yang biasa disebut
penyerahan nyata.
2) Benda bergerak tak bertubuh atau tidak berwujud
a) Penyerahan piutang atas nama
Penyerahannya dengan perbuatan yang dinamakan cessie yaitu dengan
akta autentik atau akta di bawah tangan yang khusus dibuat untuk
mengalihkan hak-hak atas kebandaan itu kepada orang lain.
b) Penyerahan piutang atas pembawa
Penyerahannya dengan cara menyerahkan surat piutang yang
bersangkutan (penyerahan dari tangan ke tangan yang biasa disebut
penyerahan nyata).
c) Penyerahan piutang atas pengganti/tunjuk
Penyerahannya dengan cara menyerahkan surat piutang yang
bersangkutan disertai endosemen.
b. Benda tetap (tidak bergerak)
Penyerahannya dengan perbuatan yang dinamakan Balik Nama, misalnya
seperti tanah, gedung, pabrik, atau semua yang melekat di atas tanah harrus
dilakukan dengan balik nama yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT), kemudian ada ketentuan bahwa kewajiban menyerahkan suatu
barang meliputi segala sesuatu yang menjadi perlengkapannya serta
dimaksudkan bagi pemakaiannya yang tetap, beserta surat-surat bukti milik,
jika itu ada (Pasal 1482 KUH Perdata). Dengan demikian maka penyerahan
22
sebidang tanah meliputi penyerahan sertifikat dan penyerahan kendaraan
bermotor meliputi BPKP-nya.
2. Menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung
terhadap cacat-cacat tersembunyi.
Kewajiban untuk menanggung nikmat tentram merupakan konsekuensi
daripada jaminan yang oleh penjual diberikan kepada pembeli bahwa barang
yang dijual dan di-lever itu adalah sungguh-sungguh miliknya sendiri terbebas
dari suatu beban atau tuntutan dari pihak manapun. Kewajiban tersebut
menemukan realisasinya memberikan penggantian kerugian jika sampai
terjadi si pembeli karena sesuatu gugatan dari pihak ketiga, dengan putusan
hakim dihukum untuk menyerahkan barang yang telah dibelinya kepada pihak
ketiga tersebut atau si pembeli sewaktu digugat oleh pihak ketiga ia dapat
meminta kepada hakim agar si penjual dapat diikutsertakan dalam proses yang
sedang berjalan.
Dalam Pasal 6 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen hak pelaku usaha, meliputi :
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidak baik.
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen.
23
d. Hak untuk merehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang/jasa yang diperdagangkan.
Dalam Pasal 7 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen kewajiban pelaku usaha, meliputi :
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang/jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan
pemeliharaan.
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
d. Menjamin mutu barang/jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba
barang/jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang
dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
g. Memberi kompensasi dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak
sesuai dengan perjanjian.
Hak-hak dasar konsumen sebenarnya bersumber dari hak-hak dasar
umum yang diakui secara internasional. Hak-hak dasar umum tersebut
pertama kali dikemukakan oleh John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat
24
(AS), pata tanggal 15 Maret 1962, melalui A special Message for the
Protection of Consumer Interest atau yang lebih dikenal dengan istilah
Deklarasi Hak Konsumen (Declaration of Consumer Right). Bob
Widyahartono menyebutkan bahwa deklarasi tersebut menghasilkan empat
hak dasar konsumen (the four consumer basic rights) yang meliputi hak-hak
sebagai berikut.23
1. Hak untuk Mendapat atau Memperoleh Keamanan atau the Right to be Secure
Setiap konsumen berhak mendapatkan perlindungan atas barang/jasa yang
dikonsumsi. Misalnya, konsumen merasa aman jika produk makanan atau
minuman yang dikonsumsinya dirasa aman bagi kesehatan. Artinya, produk
makanan tersebut memenuhi standar kesehatan, gizi, dan sanitasi, serta tidak
mengandung bahan yang membahayakan bagi jiwa manusia.
2. Hak untuk Memperoleh Informasi atau the Right to be Informed
Setiap konsumen berhak mendapatkan informasi yang jelas dan
komprehensif tentang suatu produk barang/jasa yang dibeli (dikonsumsi).
Akses terhadap informasi sangat penting karena konsumen bisa mengetahui
bagaimana kondisi barang/jasa yang akan dikonsumsi. Jika suatu saat ada
risiko negatif dari produk/jasa yang telah dikonsumsinya, konsumen telah
mengetahui hal tersebut sebelumnya. Artinya, konsumen memiliki hak untuk
mengetahui ciri/atribut negatif dari suatu produk, seperti efek samping dari
mengonsumsi suatu produk atau adanya peringatan dalam label/kemasan
produk. 23 Happy Susanta, Op. Cit, hlm. 24
25
3. Hak untuk Memilih atau the Right to Choose
Setiap konsumen berhak memilih produk barang/jasa dengan harga yang
wajar. Artinya, konsumen tidak boleh dalam kondisi tertekan atau paksaan
untuk memilih suatu produk tersebut yang mungkin bisa merugikan hak-
haknya. Ia harus dalam kondisi bebas dalam menentukan pilihannya terhadap
barang/jasa yang akan dikonsumsi.
4. Hak untuk Didengarkan atau the Right to be Heard
Konsumen harus mendapatkan haknya bahwa kebutuhan dan klaimnya bisa
didengarkan, baik oleh pelaku usaha yang bersangkutan maupun oleh
lembaga-lembaga perlindungan konsumen yang memperjuangkan hak-hak
konsumen.
Masyarakat Eropa (Europose Ekonomische Gemeenschap atau EEG) juga
menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut.24
1. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan.
2. Hak perlindungan kepentingan ekonomi.
3. Hak mendapat ganti rugi.
4. Hak atas penerangan.
5. Hak untuk didengar.
Dalam Pasal 4 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen hak-hak konsumen meliputi :
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi
barang/jasa. 24 Ibid.
26
2. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai
tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang/jasa.
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang/jasa yang
digunakan.
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau, atau penggantian,
jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya.
Dalam Pasal 5 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen kewajiban konsumen meliputi :
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi pemakaian dan pemanfaatan
barang/jasa. Tujuannya adalah untuk menjaga keamanan dan keselamatan
bagi konsumen itu sendiri. Oleh karena itu, konsumen perlu membaca dan
meneliti label, etiket, kandungan barang dan jasa, serta tata cara
penggunaannya.
27
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang/jasa. Itikad baik
sangat diperlukan ketika konsumen akan bertransaksi. Dengan itikad yang
baik, kebutuhan konsumen terhadap barang dan jasa yang diinginkannya bisa
terpenuhi dengan penuh kepuasan.
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Konsumen perlu
membayar barang dan jasa yang telah dibeli, tentunya dengan nilai tukar yang
disepakati.
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut. Ketika dirasa ada keluhan terhadap barang/jasa yang telah
didapat ,konsumen perlu secepatnya menyelesaikan masalah tersebut dengan
pelaku usaha. Perlu diperhatikan agar penyelesaian masalah sebisa mungkin
dilakukan dengan cara damai. Jika tidak ditemui titik penyelesaian, cara
hukum bisa dilakukan asalkan memerhatikan norma dan prosedur yang
berlaku.
Dalam Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor
09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah, penjual (developer)
dan pembeli mempunyai kewajiban :25
a. Kewajiban Penjual
1) Penjual wajib melaksanakan pendirian bangunan sesuai waktu yang telah
diperjanjikan menurut gambar arsitektur, gambar denah dan spesifikasi
teknis bangunan, yang telah disetujui dan ditandatangani bersama oleh
25 Handri Raharjo, Buku Pintar Transaksi Jual Beli dan Sewa Menyewa, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2010, hlm. 58-60
28
kedua belah pihak dan dilampirkan, yang menjadi bagian tak terpisahkan
dalam akta pengikatan jual beli rumah tersebut.
2) Penjual wajib menyelesaikan pendirian bangunan dan menyerahkan tanah
dan bangunan rumah tepat waktu seperti yang diperjanjikan kepada
pembeli, kecuali karena hal-hal yang terjadi keadaan memaksa (force
majeure) yang merupakan hal di luar kemampuan penjual antara lain
seperti bencana alam, perang, pemogokan, huru-hara, kebakaran, banjir
dan peraturan-peraturan/kebijaksanaan pemerintah di bidang moneter.
3) Penjual sebelum melakukan penjualan dan atau melakukan pengikatan
jual beli rumah wajib memiliki :
a) Surat izin persetujuan prinsip rencana proyek dari pemerintah daerah
setempat dan surat izin lokasi dan kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya. Khusus untuk DKI Jakarta surat izin
Penunjukan dan Penggunaan Tanah (SIPPT).
b) Surat keterangan dari kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya,
bahwa yang bersangkutan (developer) telah memperoleh tanah untuk
pembangunan perumahan dan permukiman.
c) Surat izin mendirikan bangunan.
4) Penjual wajib mengurus pendaftaran perolehan hak atas tanah dan
bangunan rumah, seketika setelah terjadinya pemindahan hak atas tanah
dan bangunan rumah atau jual beli rumah (tanah dan bangunan) dihadapan
PPAT.
29
5) Apabila penjual lalai untuk menyerahkan tanah dan bangunan rumah tepat
waktu seperti yang diperjanjikan kepada pembeli, diwajibkan membayar
denda keterlambatan penyerahan tersebut sebesar dua perseribu dari
jumlah total harga tanah dan bangunan rumah untuk setiap hari
keterlambatannya.
6) Apabila penjual ternyata melalaikan kewajibannya untuk mengurus
pendaftaran perolehan hak atas tanah dan bangunan rumah tersebut, maka
pembeli mempunyai hak dan dianggap telah diberi kuasa untuk mengurus
dan menjalankan tindakan yang berkenaan dengan pengurusan
pendaftaran perolehan hak atas tanah dan bangunan rumah tersebut kepada
instansi yang berwenang.
b. Jaminan Penjual
1) Penjual menjamin bagi kepentingan pihak pembeli bahwa tanah dan
bangunan rumah yang menjadi objek pengikatan jual beli adalah hak
penjual sepenuhnya. Dan tidak dalam keadaan sengketa, tidak dikenakan
sita jaminan oleh instansi yang berwenang.
2) Penjual menjamin serta membebaskan pembeli dari segala tuntutan yang
timbul di kemudian hari baik dari segi perdata maupun pidana atas tanah
dan bangunan rumah tersebut.
3) Penjual menjamin dan bertanggungjawab terhadap cacat yang tersembunyi
yang baru diketahui di kemudian hari, sesuai dengan ketentuan Pasal 1504
dan 1506 KUH Perdata.
c. Kewajiban Pembeli
30
1) Pembeli telah menyetujui jumlah total harga tanah dan bangunan rumah
sesuai gambar arsitektur, gambar denah, dan spesifikasi teknis bangunan
yang telah ditetapkan bersama.
2) Pembeli wajib membayar jumlah total harga tanah dan bangunan rumah,
beserta segala pajak, dan biaya-biaya lain yang timbul sebagai akibat
adanya pengikatan jual beli rumah, dengan tata cara pembayaran yang
disepakati bersama.
3) Pembeli wajib membayar biaya pembuatan akta notaris, pengikatan jual
beli rumah, biaya pendaftaran perolehan hak atas tanah atas nama
pembeli, sedangkan biaya pengurusan sertifikat ditanggung oleh penjual.
4) Apabila pembeli lalai untuk membayar angsuran harga tanah dan
bangunan rumah pada waktu yang telah ditentukan, maka dikenakan
denda keterlambatan, sebesar dua perseribu dari jumlah angsuran yang
telah jatuh tempo untuk setiap hari keterlambatan.
5) Apabila pembeli lalai membayar angsuran harga tanah dan bangunan
rumah, segala pajak, serta denda-denda, dan biaya-biaya lain yang
terhutang selama 3 (tiga) kali berturut-turut, maka pengikatan jual beli
rumah dapat dibatalkan secara sepihak, dan segala angsuran dibayarkan
kembali dengan dipotong biaya administasi oleh penjual.
Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa kewajiban dari pihak pembeli adalah
merupakan hak bagi pihak penjual dan sebaliknya kewajiban dari pihak penjual
adalah merupakan hak bagi pihak pembeli.
31
3.5. Bentuk-Bentuk Perjanjian Jual Beli
Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat
dibuat secara lisan dan tulisan yang dapat bersifat sebagai alat bukti apabila terjadi
perselisihan. Untuk beberapa perjanjian tertentu undang-undang menentukan suatu
bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak
sah. Dengan demikian bentuk tertulis tidaklah hanya semata-mata merupakan alat
pembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya perjanjian tersebut.
Misalnya perjanjian mendirikan Perseroan Terbatas harus dengan akta Notaris.
Bentuk perjanjian jual beli ada dua yaitu :
1. Lisan, yaitu perjanjian yang dilakukan secara lisan dimana kedua belah pihak
bersepakat untuk mengikatkan dirinya melakukan perjanjian jual beli yang
dilakukan secara lisan.
2. Tulisan, yaitu perjanjian yang dilakukan secara tertulis biasanya dilakukan
dengan akta autentik maupun dengan akta di bawah tangan.
Seseorang yang melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan baik
dengan akta di bawah tangan maupun dengan akta autentik. Akta di bawah tangan
merupakan akta yang dibuat oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat yang
berwenang membuat akta seperti notaris, PPAT, atau pejabat lain yang diberi
wewenang untuk itu. Berbeda dari akta di bawah tangan yang tidak melibatkan pihak
berwenang dalam pembuatan akta, akta autentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat
yang berwenang, dan akta yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang.26
26 Ahmadi Miru, Op. Cit, hlm. 14
32
Perbedaan prinsip antara akta di bawah tangan dengan akta autentik adalah
karena jika pihak lawan mengingkari akta tersebut, akta di bawah tangan selalu
dianggap palsu sepanjang tidak dibuktikan keasliannya, sedangkan akta autentik
selalu dianggap asli, kecuali terbukti kepalsuannya. Maksudnya adalah bahwa jika
suatu akta di bawah tangan disangkal oleh pihak lain, pemegang akta di bawah tangan
harus dapat membuktikan keaslian dari akta di bawah tangan tersebut, Sedangkan
apabila akta autentik disangkal oleh pihak lain, pemegang akta autentik tidak perlu
membuktikan keaslian akta tersebut tetapi pihak yang menyangkali yang harus
membuktikan bahwa akta autentik tersebut adalah palsu. Oleh karena itu, pembuktian
akta di bawah tangan disebut pembuktian keaslian sedangkan pembuktian akta
autentik adalah pembuktian kepalsuan.27
3.6 Risiko dalam perjanjian jual beli
Di dalam hukum dikenal suatu ajaran yang dinamakan dengan resicoleer
(ajaran tentang risiko). Resicoleer adalah suatu ajaran ,yaitu seseorang berkewajiban
memikul kerugian, jika ada sesuatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang
menimpa benda yang menjadi objek perjanjian.28
Risiko dalam Perjanjian jual beli tergantung pada jenis barang yang diperjualbelikan,
yaitu apakah :29
a. Barang telah ditentukan
b. Barang tumpukan
27 Ibid. 28 Salim H.S, Op. Cit, hlm. 103 29 Ahmadi Miru, Op. Cit, hlm. 130
33
c. Barang yang dijual berdasarkan timbangan, ukuran atau jumlah.
B. Tinjauan Umum Tentang Perizinan
1. Pengertian Perizinan
Agak sulit memberikan defenisi izin. Hal ini dikemukakan oleh Sjachran
Basah. Pendapat yang dikatakan Sjachran agaknya sama dengan yang berlaku di
negeri Belanda, seperti dikemukakan van der Pot, Het is uiterst moelijk voor begrip
vergunning een definitie te vinden (sangat sukar membuat defenisi untuk menyatakan
pengertian izin itu). Hal ini disebabkan oleh antara para pakar tidak terdapat
persesuaian paham, masing-masing melihat dari sisi yang berlainan terhadap objek
yang didefinisikannya. Sukar memberikan defenisi bukan berarti tidak terdapat
defenisi, bahkan ditemukan sejumlah definisi, bahkan ditemukan sejumlah definisi
yang beragam.30
Ateng Syafrudin mengatakan bahwa izin bertujuan dan berarti menghilangkan
halangan, hal yang dilarang menjadi boleh, atau Als opheffing van een algemene
verbodsregel in het concrete geval, (sebagai peniadaan ketentuan larangan umum
dalam peristiwa konkret).31
Menurut Sjachran Basah, izin adalah perbuatan hukum administrasi negara
bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkret berdasarkan
30 Adrian Sutedi, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 167 31 Ibid, hlm. 170
34
persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan.32
E.Utrecht mengatakan bahwa bila pembuat peraturan umum tidak melarang
suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara
yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret, keputusan administrasi negara
yang memperkenankan perbuatan perbuatan tersebut bersifat suatu izin
(vergunning).33
Bagir Manan menyebutkan bahwa izin dalam arti luas berarti suatu
persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk
memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum di
larang.34
N.M. Spelt dan J.B.J.M ten Berge membagi pengertian izin dalam arti luas
dan sempit, yaitu izin merupakan salah satu instrumen yang paling banyak digunakan
dalam hukum administrasi. Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis
untuk mengemudikan tingkah laku para warga. Izin ialah suatu persetujuan dari
penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam
keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan peraturan
perundang-undangan. Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang
memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang.
32 Ibid. 33 Ibid. 34 Ibid.
35
Ini menyangkut perkenan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum
mengharuskan pengawasan khusus atasnya. Ini adalah paparan luas, dari pengertian
izin.35
Selanjutnya N.M. Spelt dan J.B.J.M ten Berge, mendefinisikan izin dalam arti
sempit yakni pengikatan-pengikatan pada suatu peraturan izin pada umumnya
didasarkan pada keinginan pembuat undang-undang untuk mencapai suatu tatanan
tertentu atau untuk menghalangi keadaan-keadaan yang buruk. Tujuannya ialah
mengatur tindakan-tindakan yang oleh pembuat undang-undang untuk mencapai
suatu tatanan tertentu atau untuk menghalangi keadaan-keadaan yang buruk.
Tujuannya ialah mengatur tindakan tindakan yang oleh pembuat undang-undang
tidak seluruhnya dianggap tercela, namun dimana ia menginginkan dapat melakukan
pengawasan sekadarnya. Hal yang pokok pada izin (dalam arti sempit) ialah bahwa
suatu tindakan dilarang, terkecuali diperkenankan dengan tujuan agar dalam
ketentuan-ketentuan yang disangkutkan dengan perkenan dapat dengan teliti
diberikan batas-batas tertentu bagi tiap kasus. Jadi persoalannya bukanlah untuk
hanya memberi perkenan dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus, tetapi agar
tindakan-tindakan yang diperkenankan dilakukan dengan cara tertentu (dicantumkan
dalam ketentuan-ketentuan).36
Menurut Prins, vergunning adalah keputusan Administrasi Negara berupa
aturan, tidak umumnya melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga
35 Ibid. 36 Ibid, hlm. 171
36
memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing
hal yang kongkret, maka perbuatan Administrasi Negara yang diperkenankan tersebut
bersifat suatu izin.37
Dalam perkembangannya, secara yuridis pengertian izin dan perizinan
tertuang dalam Pasal 1 angka 8 dan 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24
Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
Dalam Pasal 1 angka 8 ditegaskan bahwa izin adalah dokumen yang dikeluarkan oleh
pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah atau peraturan lainnya yang
merupakan bukti legalitas, menyatakan sah atau diperbolehkannya seseorang atau
badan untuk melakukan usaha atau kegiatan tertentu. Kemudian Pasal 1 angka 9
menegaskan bahwa perizinan adalah pemberian legalitas kepada seseorang atau
pelaku usaha/kegiatan tertentu, baik dalam bentuk izin maupun tanda daftar usaha.
Definisi izin dan perizinan juga didefinisikan sama dalam Pasal 1 angka 8 dan angka
9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman
Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah.38
Dengan demikian, perizinan merupakan upaya mengatur kegiatan-kegiatan
yang memiliki peluang menimbulkan gangguan pada kepentingan umum. Mekanisme
perizinan, yaitu melalui penerapan prosedur ketat dan ketentuan yang harus dipenuhi
untuk menyelenggarakan suatu pemanfaatan lahan. Perizinan adalah salah satu
bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki
37 Ibid. 38 Ibid, hlm. 173
37
pemerintah, merupakan mekanisme pengendalian administratif terhadap kegiatan
yang dilakukan oleh masyarakat.
2. Sifat Izin
Pada dasarnya izin merupakan keputusan pejabat/badan tata usaha negara yang
berwenang, yang isinya atau substansinya mempunyai sifat sebagai berikut.39
1. Izin bersifat bebas, adalah izin sebagai keputusan tata usaha negara yang
penerbitannya tidak terikat pada aturan dan hukum tertulis serta organ yang
berwenang dalam izin memiliki kadar kebebasan yang besar dalam
memutuskan pemberian izin.
2. Izin bersifat terikat, adalah izin sebagai keputusan tata usaha negara yang
penerbitannya terikat pada aturan dan hukum tertulis dan tidak tertulis serta
organ yang berwenang dalam izin kadar kebebasannya dan wewenangnya
tergantung pada kadar sejauh mana peraturan perundang-undangan
mengaturnya. Misalnya, izin yang bersifat terikat adalah IMB, izin HO, izin
usaha industri, dan lain-lain.
3. Izin yang bersifat menguntungkan, merupakan izin yang isinya mempunyai
sifat menguntungkan pada yang bersangkutan. Misalnya, dari izin yang
menguntungkan adalah SIM, SIUP, SITU, dan lain-lain.
39 Ibid.
38
4. Izin yang bersifat memberatkan, merupakan izin yang isinya mengandung
unsur-unsur memberatkan dalam bentuk ketentuan-ketentuan yang berkaitan
kepadanya. Misalnya, pemberian izin kepada perusahaan tertentu.
5. Izin yang segera berakhir, merupakan izin yang menyangkut tindakan-tindakan
yang akan segera berakhir atau izin yang masa berlakunya relatif pendek,
misalnya izin mendirikan bangunan (IMB), yang hanya berlaku untuk
mendirikan bangunan dan berakhir saat bangunan selesai didirikan.
6. Izin yang berlangsung lama, merupakan izin yang nenyangkut tindakan-
tindakan yang berakhirnya atau masa berlakunya relatif lama, misalnya izin
usaha indiustri dan izin yang berhubungan dengan lingkungan.
7. Izin yang bersifat pribadi, merupakan izin yang isinya tergantung pada sifat
atau kualitas pribadi dan pemohon izin. Misalnya, izin mengemudi (SIM).
8. Izin yang bersifat kebendaan, merupakan izin yang isinya tergantung pada
sifat dan objek izin misalnya izin HO, SITU, dan lain-lain.
3. Fungsi Pemberian Izin
Ketentuan tentang perizinan mempunyai fungsi yaitu sebagai fungsi penertib
dan sebagai fungsi pengatur. Sebagai fungsi penertib, dimaksudkan agar izin atau
setiap izin atau tempat-tempat usaha, bangunan dan bentuk kegiatan mayarakat
lainnya tidak bertentangan satu sama lain, sehingga ketertiban dalam setiap segi
kehidupan masyarakat dapat terwujud.40
40 Ibid, hlm. 193
39
Sebagai fungsi mengatur dimaksudkan agar perizinan yang ada dapat
dilaksanakan sesuai dengan peruntukannya, sehingga terdapat penyalahgunaan izin
yang telah diberikan, dengan kata lain, fungsi pengaturan ini dapat juga sebagai
fungsi yang dimiliki oleh pemerintah.41
4. Tujuan Pemberian Izin
Secara umum, tujuan dan fungsi dari perizinan adalah untuk pengendalian
daripada aktivitas pemerintah dalam hal-hal tertentu dimana ketentuannya berisi
pedoman-pedoman yang harus dilaksanakan oleh baik yang berkepentingan ataupun
oleh pejabat yang berwenang. Selain itu, tujuan dari perizinan itu dapat dilihat dari
dua sisi yaitu:42
1. Dari sisi pemerintah, dan
2. Dari sisi masyarakat.
1. Dari Sisi Pemerintah
Dari sisi pemerintah tujuan pemberian izin itu adalah sebagai berikut.
a. Untuk melaksanakan peraturan
Apakah ketentuan-ketentuan yang termuat dalam peraturan tersebut sesuai
dengan kenyataan dalam praktiknya atau tidak dan sekaligus untuk
mengatur ketertiban.
b. Sebagai sumber pendapatan daerah
41 Ibid. 42 Ibid, hlm. 200
40
Dengan adanya permintaan permohonan izin, maka secara langsung
pendapatan pemerintah akan bertambah karena setiap izin yang
dikeluarkan pemohon harus membayar retribusi terlebih dahulu. Semakin
banyak pula pendapatan di bidang retribusi tujuan akhirnya, yaitu untuk
membiayai pembangunan.
2. Dari Sisi Masyarakat
Dari sisi masyarakat tujuan pemberian izin itu adalah sebagai berikut.
a. Untuk adanya kepastian hukum.
b. Untuk adanya kepastian hak.
c. Untuk memudahkan mendapatkan fasilitas. Apabila bangunan yang
didirikan telah mempunyai izin akan lebih mudah mendapat fasilitas.
5. Bentuk dan Substansi Izin
Sesuai dengan sifatnya, yang merupakan bagian dari ketetapan, izin
selalu dibuat dalam bentuk tertulis. Sebagai ketetapan tertulis, secara umum
izin memuat substansi sebagai berikut.43
1. Kewenangan Lembaga
Dalam izin dinyatakan siapa yang memberikannya, biasanya dari kepala surat
dan penandatanganan izin akan nyata lembaga mana yang memberikan izin.
Pada umumnya pembuat aturan akan menunjuk lembaga berwenang dalam
43 Ibid, hlm. 201
41
sistem perizinan, lembaga yang paling berbekal mengenai mated dan tugas
bersangkutan, dan hampir selalu yang terkait adalah lembaga pemerintahan.
2. Pencantuman Alamat
Izin ditujukan pada pihak yang berkepentingan. Biasanya izin lahir setelah
yang berkepentingan mengajukan permohonan untuk itu. Oleh karena itu,
keputusan yang memuat izin akan dialamatkan pula kepada pihak yang
memohon izin.
3. Substansi dalam Diktum
Keputusan yang memuat izin, demi alasan kepastian hukum, harus memuat
uraian sejelas mungkin untuk apa izin itu diberikan. Bagian keputusan ini,
dimana akibat-akibat hukum yang ditimbulkan oleh keputusan, dinamakan
diktum, yang merupakan inti dari keputusan setidak-tidaknya diktum ini
terdiri atas keputusan pasti, yang memuat hak-hak dan kewajiban-kewajiban
yang dituju oleh keputusan itu.
4. Persyaratan
Dalam pembuatan keputusan, termasuk keputusan berisi izin, dimasukkan
pembatasan-pembatasan. Pembatasan-pembatasan dibentuk dengan menunjuk
batas-batas dealam waktu, tempat atau dengan cara lain. Sebagai contoh,
paqda izin lingkungan dapat dimuat pembatasan izin untuk periode tertentu
misalnya lima tahun. Disamping itu, dalam keputusan dimuat syarat-syarat.
Dengan menetapkan syarat-syarat, akibat-akibat hukum tertentu digantungkan
pada timbulnya suatu peristiwa dikemudian hari yang belum pasti dalam
42
keputusannya berisi izin dapat dimuat syarat penghapusan dan syarat
penangguhan.
5. Penggunaan Alasan
Pemberian alasan dapat memuat hal-hal seperti penyebutan ketentuan undang-
undang, pertimbangan-pertimbangan hukum, dan penetapan fakta. Penyebutan
ketentuan undang-undang memberikan pegangan kepada semua yang
bersangkutan, organ penguasa, dan yang berkepentingan, dalam menilai
keputusan itu. Pertimbangan hukum merupakan hal penting bagi organ
pemerintahan untuk memberikan atau menolak permohonan izin.
Pertimbangan hukum ini biasanya lahir dari interpretasi organ pemerintahan
terhadap ketentuan undang-undang. Adapun penetapan fakta, berkenaan
dengan hal-hal diatas. Artinya, interpretasi yang dilakukan oleh organ
pemerintahan terhadap aturan-aturan yang relevan, turut didasarkan pada
fakta-fakta sebagaimana ditetapkannya.
6. Penambahan Substansi Lainnya
Pemberitahuan tambahan dapat berisi bahwa kepada yang dialamatkan
ditunjukkan akibat-akibat dari pelanggaran ketentuan dalam izin, seperti
sanksi-sanksi yang mungkin diberikan pada ketidakpatuhan. Pemberitahuan-
pemberitahuan ini mungkin saja merupakan petunjuk-petunjuk sebagaimana
sebaiknya bertindak dalam mengajukan permohonan-permohonan berikutnya
atau informasi umum dari organ pemerintahan yang berhubungan dengan
kebijaksanaannya sekarang atau di kemudian hari. Pemberitahuan-
43
pemberitahuan tambahan ini sejenis pertimbangan yang berlebihan, yang pada
dasarnya terlepas dan diktum selaku inti ketetapan. Oleh sebab itu, mengenai
pemberitahuan ini, karena tidak termasuk dalam hakikat keputusan, secara
formal seseorang tidak dapat menggugat melalui hakim administrasi.
44
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian merupakan bingkai penelitian yang
menggambarkan batas penelitian, mempersempit permasalahan, dan
membatasi area penelitian. Lingkup penelitian juga menunjukkan secara pasti
faktor-faktor mana yang akan diteliti, dan mana yang tidak, atau untuk
menentukan apakah semua faktor yang berkaitan dengan penelitian akan
diteliti ataukah akan dieliminasi sebagian.44
Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
akibat hukum terhadap perumahan yang dibangun di atas tanah yang belum
mendapatkan izin dan untuk mengetahui tanggung jawab developer terhadap
pembeli atas tanah perumahan yang belum mendapatkan izin.
B. Bahan Hukum
1) Bahan Hukum Primer, ialah bahan hukum yang mengikat. Bahan hukum
primer yang digunakan dalam penelitian ini antara lain UU Nomor 1 Tahun
2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, UU Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, KUH Perdata, Perda Kota Medan
Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan, Peraturan
Walikota Medan Nomor 41 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis atas
44 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 111
45
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin
Mendirikan Bangunan serta hasil penelitian pada Dinas Tata Ruang dan Tata
Bangunan Kota Medan.
2) Bahan Hukum Sekunder, ialah bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum skunder yang digunakan dalam
penelitian ini berupa buku-buku literatur, dokumen-dokumen, karya ilmiah
dan tulisan-tulisan lainnya yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini.
3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang diperoleh dari kamus hukum,
kamus bahasa indonesia dan ensiklopedia yang mempunyai relevansi dengan
penelitian ini.
C. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Metode Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Metode penelitian kepustakaan yaitu suatu proses penelitian dengan
mengumpulkan dan mempelajari berbagai jenis bahan bacaan seperti buku-
buku literatur, dokumen-dokumen, karya ilmiah dan tulisan-tulisan lainnya
yang berhubungan dengan objek penelitian ini.
2. Metode Penelitian Lapangan (Field Research)
Metode Penelitian Lapangan yaitu suatu proses penelitian untuk memperoleh
data primer maka dilakukan penelitian langsung dengan cara wawancara
kepada staf Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Kota Medan.
46
D. Metode Analisis Data
Adapun metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode analisis deskriptif kualitatif yaitu data-data yang telah dianalisis disajikan
dengan pemaparan yang logis dengan menguraikan bagian-bagian masalah secara
komprehensif serta menggambarkan obyek penelitian secara sistematis lalu
diuraikan bagian-bagiannya (analisis) sesuai dengan identifikasi masalah.45
45 Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 106
47
BAB IV
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Akibat Hukum Terhadap Perumahan yang Dibangun Di atas Tanah
yang Belum Mendapatkan Izin
Pada proses pembangunan perumahan yang dilakukan oleh developer
ada tahapan yang harus dilalui baik itu berupa fisik atau non fisik (yuridis) ,
yang berupa non fisik (yuridis) salah satunya ialah perizinan. Perizinan yang
harus dipenuhi oleh pihak developer sangat banyak, diantaranya izin lokasi,
izin mendirikan bangunan, izin prinsip, dan izin peruntukan dan penggunaan
tanah.
Walaupun dalam teorinya terdapat banyak izin, namun pada
praktiknya terutama di Kota Medan izin yang utama dan sering menjadi
permasalahan adalah izin mendirikan bangunan. Di Kota Medan developer
dapat langsung mengurus izin mendirikan bangunan dengan mengajukan
permohonan izin mendirikan bangunan kepada Kepala Dinas Tata Ruang dan
Tata Bangunan Kota Medan dengan mengisi formulir yang telah disediakan
dengan melampirkan persyaratan administrasi dan persyaratan teknis. Hal ini
dikarenakan Kota Medan sudah memiliki rencana tata ruang kota. Rencana
tata ruang kota adalah hasil perencanaan tata ruang Kota Medan berupa
rencana umum tata ruang kota, rencana detail tata ruang kota, tata bangunan
dan lingkungan serta peraturan zonasi.46
46 Wawancara dengan Ibu Erika Ginting bagian tata ruang Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Kota Medan Tanggal 10 Juni 2013
48
Pembangunan perumahan dapat dilaksanakan setelah mendapatkan
izin mendirikan bangunan. Apabila developer belum mendapat izin
mendirikan bangunan tidak boleh terjadi pembangunan perumahan.
Perumahan yang berdiri tanpa memiliki izin mendirikan bangunan sudah tentu
melanggar peraturan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 17 Peraturan
Daerah Kota Medan Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin Mendirikan
Bangunan bahwa setiap orang pribadi atau badan dilarang:
a. mendirikan bangunan tanpa IMB;
b. memulai pekerjaan mendirikan bangunan sebelum diterbitkannya IMB;
dan/atau
c. mendirikan bangunan yang tidak sesuai dengan IMB yang telah diterbitkan.
Pembangunan perumahan yang dilakukan tanpa pengurusan izin
mendirikan bangunan terlebih dahulu akan menimbulkan akibat hukum bagi
perumahan tersebut. Dalam Pasal 52 Peraturan Walikota Medan Nomor 41
Tahun 2012 Tentang Petunjuk Teknis Atas Peraturan Daerah Kota Medan
Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan
menyebutkan bahwa terhadap kegiatan mendirikan bangunan yang tidak
memiliki izin mendirikan bangunan :
- Terlebih dahulu diberikan surat peringatan pemberhentian melakukan
pekerjaan kepada pemilik/penanggung jawab bangunan untuk menghentikan
kegiatan dan/atau membongkar sendiri bangunan yang tidak memiliki izin
mendirikan bangunan.
49
- Terhadap surat peringatan yang dikeluarkan apabila tidak dipatuhi akan
dilanjutkan dengan surat peringatan bongkar sendiri dengan tenggang waktu
selama 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam sejak diterima oleh
pemilik/penanggung jawab bangunan.
- Apabila batas waktu yang ditentuk
Top Related