Jurnal Transformative 7(1), 2021 | 29
*Korespondensi: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya Kota Malang, Jawa Timur Email: [email protected]
Tambang dan Masyarakat: Dampak Ekonomi dan Kesehatan Dumping Tailing bagi Masyarakat Pesisir Lingkar Tambang
Abdul Aziz SR*1, Petir Pudjantoro2, Rusdianto3, dan Muhamad Yani4
1 FISIP Universitas Brawijaya 2
FIS Universitas Negeri Malang 3
FKIP Universitas Samawa 4
CBES Mataram
JURNAL TRANSFORMATIVE
Vol. 7 No. 1 Tahun 2021 DOI: 10.21776/ub.transformative.2021.007.01.2
Abstract. The gold mining company PTAMNT, which operates in West Sumbawa, discharges its mine waste into the middle of the sea using the deep sea tailing placement (DSTP) method. For local people, the presence of foreign goods is seen as dangerous for their economic life and health. The toxins in it can contaminate sea water and fish. Even though their life depends a lot on the sea. Therefore, society rejects its existence. This study questions the level of acceptance of the local community as well as the economic and health impacts of tailings dumping. This study uses a qualitative method, by putting forward case studies. Data collection used the method of observation, in-depth interviews, focused group discussion, and document searches. Initially, the economic life and health of the community were considered to be affected by tailings dumping. However, local people's understanding turned out to be dynamic. When the knowledge and experience of the community increases and is in different contexts, the perspective on tailings (DSTP) changes and can accept it. Their knowledge and experience shows that tailings dumping using the DSTP method does not have any (bad) impacts on both economic life and health. It was understood later that the real big problem for the local community was not tailings dumping and its impacts, but rather the existence of the mining company itself as a whole which was seen as not always giving significant meaning to daily economic and social life. Keywords: Tailings; Mining Companies; Economic and Health Impacts; Poverty. Abstrak. Perusahaan tambang emas PTAMNT yang beroperasi di Sumbawa Barat membuang limbah tambangnya ke tengah laut menggunakan metode deep sea tailing placement (DSTP). Bagi masyarakat setempat, keberadaan barang asing itu dipandang berbahaya bagi kehidupan ekonomi dan kesehatan mereka. Racun yang ada di dalamnya dapat mencemari air laut dan ikan-ikan. Padahal kehidupan mereka banyak bergantung pada laut. Karena itu, masyarakat menolak keberadaannya. Studi ini mempersoalkan tingkat keberterimaan masyarakat setempat serta dampak ekonomi dan kesehatan dumping tailing. Studi ini menggunakan metode kualitatif, dengan mengedepankan studi kasus. Pengumpulan data menggunakan metode observasi, wawancara mendalam, focus group discussion, dan penelusuran dokumen-dokumen. Kehidupan ekonomi dan kesehatan masyarakat semula dipandang terdampak oleh dumping tailing. Namun, pemahaman masyarakat setempat ternyata bersifat dinamis. Ketika pengetahuan dan pengalaman masyarakat bertambah serta berada dalam konteks yang berbeda, maka perspektif tentang tailing (DSTP) pun mengalami perubahan dan dapat menerimanya. Pengetahuan dan pengalaman mereka menunjukkan bahwa dumping tailing dengan metode DSTP tidak memberikan dampak (buruk) apa pun baik terhadap kehidupan ekonomi maupun kesehatan. Dipahami kemudian, sesungguhnya yang menjadi problem besar bagi masyarakat setempat bukanlah dumping tailing dan dampaknya, melainkan lebih pada keberadaan perusahaan tambang itu sendiri secara keseluruhan yang dipandang tidak selalu memberikan arti yang signifikan bagi kehidupan ekonomi dan sosial sehari-hari. Kata kunci: Tailing; Perusahaan Tambang; Dampak Ekonomi Dan Kesehatan; Kemiskinan.
Received: 04/03/2021 Revised: 12/03/2021 Accepted: 27/03/2021
Tambang dan Masyarakat: Dampak Ekonomi dan Kesehatan Dumping Tailing bagi Masyarakat Pesisir Lingkar Tambang
Jurnal Transformative 7(1), 2021 | 30
PENDAHULUAN
erusahaan tambang emas PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT)
beroperasi di Kabupaten Sumbawa Barat sejak pertengahan 1990-an.
Kemudian beralih kepemilikan dan menjadi PT Amman Mineral Nusa
Tenggara (PTAMNT). Kegiatan eksploitasi oleh perusahaan ini berlangsung sejak
awal tahun 2000-an. Kegiatan pertambangan di manapun –termasuk yang dilakukan
PTAMNT– selain menghasilkan emas yang diangkat dari perut bumi, juga turut
memunculkan limbah (tailing) yang jumlah dan volumenya jauh melampaui
kandungan emasnya sendiri. Pertanyaannya, kemana limbah itu dibuang dan
menggunakan metode apa dalam pembuangannya? Amankah ia bagi lingkungan
(manusia dan alam)?
Dalam kasus PTAMNT, tailing yang dihasilkan dibuang ke tengah laut-dalam.
Metode pembuangan (dumping) ini disebut Deep Sea Tailing Placement (DSTP) dan
dilakukan sejak 2004. Lokasi pembuangannya di Ngarai Senunu (Senunu Canyon)
yang berada di perairan desa-desa pesisir lingkar tambang dan terhubung langsung
ke Samudera Indonesia (Hindia). PTAMNT sendiri menjamin bahwa dumping tailing
dengan metode DSTP tersebut aman adanya. Berbagai uji laboratorium (fisika, kimia,
biologi) diakui selalu dilakukan secara berkala dengan melibatkan lembaga-lembaga
independen, dan tidak ditemukan indikator-indikator yang membahayakan
lingkungan.
Masalahnya kemudian, bagaimana masyarakat setempat atau masyarakat
pesisir lingkar tambang memandang dan menyikapi dumping tailing yang
menggunakan metode DSTP tersebut? Di daerah pesisir lingkar tambang terdapat
setidaknya 14 (empat belas) desa yang tidak sedikit di antara penduduknya
menggantungkan hidup mereka dari hasil melaut. Memang sebagian besar penduduk
setempat adalah petani dan sebagian kecil saja yang menjadi nelayan. Tetapi, hampir
semua warga setempat –termasuk yang petani– selalu memungut biota laut melalui
kegiatan ekonomi tradisional yang disebut mada’. Mereka memungut berbagai jenis
kerang dan sejumlah biota laut lainnya yang terdampar ketika air surut. Kegiatan ini
dilakukan beberapa hari dalam sepekan terutama di awal, tengah, dan akhir bulan
(dalam hitungan hijriyah, bukan masehi).
P
Abdul Aziz SR, Petir Pudjantoro, Rusdianto, Muhamad Yani
Jurnal Transformative 7(1), 2021 | 31
Mereka yang bekerja sebagai nelayan, hampir sepenuhnya menggantungkan
hidupnya dari kegiatan melaut. Sedang mereka yang non-nelayan sebagian dari
kebutuhan hidup mereka sehari-hari, terutama lauk-pauk, dipenuhi dari hasil mada’.
Dengan demikian, tingkat ketergantungan warga desa-desa lingkar tambang di
Sumbawa Barat terhadap laut cukup tinggi. Studi ini lebih mempersoalkan sikap
(tingkat keberterimaan) masyarakat di desa-desa lingkar tambang terhadap DSTP.
Juga, melihat dampak DSTP terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat
pesisir lingkar tambang menurut perspektif masyarakat itu sendiri.
Sejauh ini studi-studi soal dampak sosial dan ekonomi dari kegiatan
pertambangan selain menunjukkan aspek positif dan negatifnya, juga memunculkan
berbagai problem lainnya. Studi Karyadi, dkk. (2014) melihat bahwa secara ekonomi
masyarakat pesisir lingkar tambang di Sumbawa Barat tidaklah tergolong masyarakat
miskin, kendati juga belum sepenuhnya sejahtera seperti ditunjukkan studi Ibrahim,
dkk. (2015) di mana masih banyak kantong-kantong kemiskinan di desa-desa sekitar
tambang. Kontribusi terbesar pendapatan masyarakat datang dari kalangan warga
yang menjadi karyawan perusahaan tambang. Sementara yang berasal dari kegiatan
yang berbasis pertanian dan kegiatan melaut justru kecil. Hal itu menunjukkan bahwa
sampai dan dalam konteks tertentu perusahaan tambang memberikan makna positif
bagi masyarakat setempat. Kenyataaan itu sejalan dengan studi Fachlevi, dkk. (2015)
di mana kegiatan pertambangan batubara di Meurebo, Aceh, misalnya, mampu
memberikan dampak ekonomi secara lokal sekaligus mendapat respons positif dari
masyarakat. Hanya saja, kegiatan itu membawa degradasi lingkungan, dan
meningkatkan potensi konflik antarkelompok dalam masyarakat. Potensi konflik sosil
dan dampak buruk lingkungan dari kegiatan pertambangan juga ditunjukkan dalam
studi Safa’at dan Qurban (Safa’at dan Qurbani, 2017). Dalam konteks masyarakat
yang menjadi pelaku kegiatan penambangan terjadi perubahan-perubahan dalam
pola interaksi dan perubahan budaya. Namun, tidak signifikan dalam perubahan
kondisi ekonomi. Pengaplikasian teknologi telah berhasil mendorong perubahan-
perubahan tersebut. Hal ini sepetti terlihat pada penambang pasir besi di Jawa Barat
sebagaimana ditunjukkan dalam studi Yunita, dkk. (2017). Keberadaan perusahaan
tambang di suatu daerah selalu membawa secara baik langsung maupun terhadap
Tambang dan Masyarakat: Dampak Ekonomi dan Kesehatan Dumping Tailing bagi Masyarakat Pesisir Lingkar Tambang
Jurnal Transformative 7(1), 2021 | 32
masyarakat setempat. Itulah, misalnya, yang terliaht dalam studi Ibrahim, dkk. (2018)
di Belitung Timur, di mana pada saat perusahaan timah masih beroperasi, kalangan
pedagang memetik banyak keuntungan. Hal sebaliknya terjadi ketika perusahaan
timah berakhir masa operasinya. Usaha atau investasi pertambangan tidak murni
bersifat ekonomi semata, melainkan juga sarat dengan faktor politik di dalamnya.
Studi Anshori (2016) memperlihatkan bahwa selain faktor prosedural dalam
mekanisme perizinan usaha pertambangan, juga bertali-temali dengan pemilihan
kepala daerah dan setoran rutin. Lebih dari itu, turut pula bekerja di dalamnya aspek
balas budi politik, problem loyalitas, problem kroni, koalisi, dan problem wani piro.
Studi ini agak berbeda dengan studi-studin yang dekemukakan di atas. Studi ini
bertujuan memahami tingkat keberterimaan masyarakat pesisir lingkar tambang
terhadap pembuangan tailing dari kegiatan pertambangan. Juga memahami dampak
dumping tailing terhadap kehidupan ekonomi dan kesehatan. Studi ini lebih
mengedepankan perspektif masyarakat setempat berikut pengetahuan dan
pengalaman mereka dalam membaca dampak sosial dan ekonomi dumping tailing.
Di dalam memaknai temuan-temuan lapangan, studi ini menggunakan “teori
konstruksi sosial” (social construction theory) dari Berger dan Luckmann, dan “teori
hubungan budaya dengan praktik sosial” (cultural and social pratice relation theory)
dari Jerzy Kmita sebagai perspektif. Teori Berger dan Luckmann (1966) pada dasarnya
menekankan keberadaan apa yang disebut realitas subjektif dan realitas objektif
dalam kehidupan sosial sebagai refleksi dari pengetahuan dan pengalaman hidup
manusia dalam masyarakat. Berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki, masyarakat meng-konstruk pandangan dunianya, lingkungan kehidupan,
agama, dan segala sesuatu dalam kehidupannya. Dengan itu manusia menciptakan
realitas; realitas objektif dan realitas subjektif. Mereka memberi nama dan makna
terhadap sesuatu untuk kemudian berdasarkan nama dan makna itulah tercipta
lembaga-lembaga dalam kehidupan masyarakat.
Sementara itu, teori dari ilmuwan sosial strukuralis Kmita (dalam Moraczewski,
2014) pada intinya menjelaskan bahwa praktik sosial dan budaya membentuk struktur
fungsional sehubungan dengan properti global tertentu; reproduksi kondisi objektif
produksi. Reproduksi kondisi objektif produksi merupakan gabungan kekuatan-
Abdul Aziz SR, Petir Pudjantoro, Rusdianto, Muhamad Yani
Jurnal Transformative 7(1), 2021 | 33
kekuatan produktif dan hubungan-hubungan produksi. Reproduksi dari kondisi-
kondisi ini merupakan conditio sine qua non (syarat utama) untuk ketahanan
masyarakat manapun. Dalam konteks ini, terdapat sebuah realitas yang disebut
reproduksi material. Ada dua jenis reproduksi material yakni reproduksi sederhana
(simple reproduction) dan reproduksi yang diperluas (extended reproduction).
Reproduksi sederhana bergantung pada reproduksi non-regresif dari kondisi awal,
sementara reproduksi yang diperluas ditandai dengan perluasan dan pengembangan
kekuatan produktif yang konstan dalam hubungan produksi. Perlunya reproduksi
ekonomi menentukan secara langsung praktik produksi, pertukaran ekonomi, dan
konsumsi.
METODE PENELITIAN
Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif (qualitative approach) yang
berusaha menemukan dan memahami apa yang tersembunyi di balik fenomena
(symptom) atau gejala (Strauss dan Corbin, 1997). Juga, berorientasi pada kerangka
kerja yang interpretatif dengan mengandalkan prinsip-prinsip ilmu sosial interpretif
dan kritis (Denzin dan Lincoln, 1994). Berbicara dengan bahasa “kasus dan konteks”
serta makna budaya. Penekanannya adalah melakukan pemeriksaan terinci dari
berbagai kasus tertentu yang muncul secara alamiah dalam kehidupan sosial
(Neuman, 2013). Dalam konteks itu, penelitian ini mengedepankan pola studi kasus
(case study) yang berupaya menggambarkan unit (sosial) secara mendalam, detail
dalam konteks, dan bersifat holistik (Patton, 1990). Studi kasus menghendaki
pengujian mendalam dan rinci dari satu konteks, subjek, kumpulan dokumen, atau
dari satu kejadian khusus (Muhadjir, 1996). Data yang dihasilkan merupakan data
deskriptif yakni berupa ucapan dan catatan/tulisan dari subjek penelitian (Bogdan
dan Taylor, 1992; juga Harisson, 2002).
Mengacu pada Patton (1990), pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan tiga metode utama yakni observasi langsung (direct observation),
wawancara mendalam (in-depth interview), dan pemanfaatan dokumen-dokumen
tertulis (written documents). Selain itu, juga menggunakan metode focused group
discussion (FGD). Penelitian dilakukan di 14 desa pada tiga kecamatan dalam tiga
Tambang dan Masyarakat: Dampak Ekonomi dan Kesehatan Dumping Tailing bagi Masyarakat Pesisir Lingkar Tambang
Jurnal Transformative 7(1), 2021 | 34
periode studi yakni pada 2011, 2015, dan 2020. Pada setiap periode penelitian
melibatkan rata-rata 43 informan untuk indepth interview, dan sekitar 80 peserta
untuk FGD (tiga putaran setiap periode riset). Informan untuk indepth interview dan
peserta untuk FGD terdiri atas semua kalangan yang ada di desa-desa lingkar
tambang.
Gambar 1.
Model Analisis “Pengembangan Teori Interpretatif“
Selanjutnya, analisis data dalam penelitian ini menggunakan model analisis
“pengembangan teori interpretatif“ dari Wuisman (2013). Titik tolak analisis ini
bukanlah semata pada observasi empiris, melainkan pemahaman akan kenyataan
maknawi yang diekspresikan oleh para anggota kelompok manusia tertentu, seperti
tampak pada gambar di atas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat Keberterimaan Masyarakat terhadap DSTP
Pada studi tahun 2011, tingkat keberterimaan masyarakat terhadap DSTP
beragam, baik antar desa maupun antar kelompok dalam masyarakat. Secara umum,
keragaman itu terbelah dalam kategori pro (menerima), kontra (menolak), dan netral
terhadap DSTP. Dalam kategori pro terdapat dua varian yakni “menerima” dan
“sangat menerima”. Sedangkan dalam kategori kontra juga terdapat dua varian yakni
“menolak tegas”, dan “menolak tetapi diam”. Sementara yang netral terdapat dua
varian yakni “netral cenderung menolak” dan “netral cenderung menerima”.
Sumber: Wuisman, 2013.
Abdul Aziz SR, Petir Pudjantoro, Rusdianto, Muhamad Yani
Jurnal Transformative 7(1), 2021 | 35
Kalangan yang menolak dengan tegas terutama datang dari kelompok tokoh
informal desa. Menurut mereka, tailing itu adalah barang berbahaya bagi manusia
dan lingkungan. Selama ini, di mana-mana tailing telah menunjukkan dampak yang
negatif bagi masyarakat sekitar tambang. Memang, saat ini mungkin belum terlihat
dampak buruknya di desa-desa sekitar tambang, tetapi suatu saat setelah
timbunannya sangat banyak pasti akan menimbulkan dampak tertentu. Tailing-nya
memang dibuang di dasar laut, tetapi racunya bisa menyebar ke mana-mana dibawa
oleh gelombang dan arus air laut. Lagi pula, dasar laut-dalam itu seperti apa dan
bagaimana kita juga tidak pernah tahu.
Tokoh-tokoh informal di sejumlah desa menunjukkan kekesalannya terhadap
perusahaan tambang dan pemerintah yang dianggap tidak pernah benar-benar
terbuka soal DSTP dan dampaknya. Mereka sangat mempertanyakan ketiadaan
sosialisasi yang komprehensif dan transparan tentang DSTP itu. Saat itu, mereka
menganggap perusahaan tambang bersikap tertutup soal DSTP dan dampak
lingkungannya.
Sementara kalangan masyarakat yang “menolak tetapi diam”, sesungguhnya
sikap diamnya lebih karena mereka selain hampir tidak pernah menyatakan sikap
secara terbuka terutama kepada pemerintah dan PTAMNT, juga tidak pernah
berusaha mengerahkan massa untuk beramai-ramai menyatakan protes terhadap
DSTP. Sehari-hari mereka pun tidak pernah berteriak dan mengumbar
ketidaksetujuan dan kemarahan terhadap keberadaan DSTP. Sikap “menolak tapi
diam” pada dasarnya karena ada semacam rasa takut. Takut, jangan-jangan salah.
Takut, jangan-jangan akan menerima risiko tertentu di belakang hari.
Dalam bahasa politik, mereka merupakan mayoritas diam (silent majority) yang
menyimpan perlawanan. Mereka beranggapan bahwa percuma saja menyatakan
protes terhadap DSTP karena tidak ada yang mau mendengar, apalagi pemerintah.
Bagi mereka, pemerintah sudah “kekenyangan” dengan fasilitas dan uang yang
didapat dari pihak perusahaan. PTAMNT sendiri tentu akan bertahan dengan
berbagai cara dan alasan untuk terus membuang tailing-nya ke laut. Masyarakat
setempat merasa tidak punya saluran (politik) untuk menyatakan sikap protes
Tambang dan Masyarakat: Dampak Ekonomi dan Kesehatan Dumping Tailing bagi Masyarakat Pesisir Lingkar Tambang
Jurnal Transformative 7(1), 2021 | 36
terhadap keberadaan DSTP. Karena itu, meskipun tidak senang, tidak setuju, dan
bahkan jengkel, tetapi hanya diam saja.
Bagaimana dengan mereka yang bersikap menerima dan sangat menerima?
Pengalaman mereka selama beberapa tahun keberadaan DSTP ternyata aman-aman
saja dan tidak pernah ada insiden-insiden terentu yang ditimbulkan oleh DSTP.
Kondisi laut tetap seperti biasa dan tidak ada sesuatu yang berubah dengan laut.
Mereka mengakui, tahun-tahun belakangan ini hasil tangkapan nelayan berkurang,
dan mereka pun mendengar keluhan dari para nelayan kalau area penangkapan ikan
semakin menjauh dari area semula. Tetapi mereka tidak yakin apakah hal itu
disebabkan oleh tailing. Jika karena tailing, menurut mereka, tentu akan banyak ikan
yang mati dan terdampar di pinggir pantai, tetapi itu tidak terjadi selama ini. Kalaupun
di pinggir pantai pernah secara besar-besaran ada ikan terdampar, tetapi hal itu
terjadi pada dekade 1980-an akibat gempa dahsyat dan gelombang tsunami di
belahan selatan Pulau Sumbawa.
Bagi mereka yang tergolong sangat menerima (tanpa keraguan sedikit pun
akan jaminan keamanan DSTP) memandang dirinya sebagai orang yang tidak memiliki
kapasitas mempersoalkan dampak DSTP. Di satu sisi, mereka melihat DSTP sebagai
barang asing, di sisi lain mereka percaya dengan perusahaan tambang dan
pemerintah yang menjamin keamanan DSTP. Mereka meyakini, pemerintah tidak
mungkin memberikan izin pembuangan tailing ke laut di sekitar desa mereka jika
dianggap tidak aman bagi lingkungan.
Sementara itu, terdapat kelompok masyarakat yang bersikap netral terhadap
keberadaan DSTP. Netral tidak berarti mereka tidak memiliki pilihan. Mereka punya
pilihan, dan pilihan itu adalah memilih untuk berada di tengah-tengah. Itu memberi
isyarat bahwa mereka bersikap tidak menerima, tetapi sekaligus tidak menolak
keberadaan DSTP. Tampaknya, mereka masih berusaha menunggu dan melihat (wait
and see) terlebih dahulu untuk pada gilirannya betul-betul menunjukkan sikap lebih
tegas. Dalam tradisi masyarakat Sumbawa atau tau Samawa, sikap demikian disebut
batangange’ (menyimak dengan cermat lebih dulu untuk kemudian menarik
kesimpulan dan menyatakan sikap). Jadi, ini pertanda mereka tidak gegabah dalam
menentukan sikap.
Abdul Aziz SR, Petir Pudjantoro, Rusdianto, Muhamad Yani
Jurnal Transformative 7(1), 2021 | 37
Temuan studi ini menunjukkan, mayoritas warga desa-desa pesisir lingkar
tambang berada dalam kategori bersikap netral terhadap DSTP. Sikap ini merupakan
arus utama (main stream) dalam soal keberterimaan masyarakat di desa-desa lingkar
tambang terhadap keberadaan DSTP. Tingkat keberterimaan yang netral merata di
hampir semua desa dan semua kelompok. Dari 14 desa yang distudi, hanya ada satu
desa yang tidak ada satu pun kelompok masyarakat yang bersikap netral yakni Desa
Sekongkang Bawa’, Kecamatan Sekongkang. Hanya saja, perlu ditegaskan bahwa
sikap netral tersebut pada dasarnya lebih berada pada varian “netral tapi cenderung
menolak” (dalam kategori “menolak tetapi diam”).
Menarik, bahwa di balik keragaman sikap atau tingkat keberterimaan
masyarakat desa-desa lingkar tambang terhadap DSTP ternyata warga setempat
tidak memiliki informasi yang memadai tentang tailing dan DSTP. Kecuali segilitir dari
pemimpin formal desa, seluruh kalangan lainnya mengakui memiliki informasi yang
sangat minim tentang tailing dan DSTP. Mereka juga tidak pernah mendapatkan
sosialisasi baik dari manajemen perusahaan tambang maupun dari kalangan
pemerintah. Pengetahuan dan pemahaman mereka soal DSTP paling jauh hanya dari
hasil mendengar secara sepintas saja, dari informasi yang sekadar lewat dan bersifat
kebetulan sehingga cenderung simpang siur dan serba tidak ada kejelasan.
Di antara sesama warga desa, sehari-hari hanya bisa saling bercerita tentang
kondisi kehidupan mereka yang semakin sulit. Pembicaraan tentang tailing dan
dampaknya terkadang juga muncul, tetapi tidak pernah mengerti apa dan bagaimana
barang itu sesungguhnya. Dengan kata lain, pembicaraan sekadar lewat soal tailing
di kalangan masyarakat setempat hanya sebatas pembicaraan “buta huruf” yang
tanpa kejelasan dan cenderung berkembang ke arah kejengkelan-kejengkelan dalam
ketidakmengertian.
Berbeda dengan hasil studi tahun 2011 di atas, studi tahun 2015 memperlihatkan
kenyataan di mana masyarakat tidak mempersoalkan sama sekali keberadaan DSTP.
Kenyataan ini memberi makna bahwa terjadi pergeseran respons dan tingkat
keberterimaan masyarakat terhadap DSTP. Begitu pula pada PSP 2020 hampir tidak
ada yang mempersoalkan keberadaan DSPT. Sikap pro-kontra dalam konteks tingkat
keberterimaan terhadap DSTP tidak lagi dijumpai. Tetapi, masyarakat lingkar
Tambang dan Masyarakat: Dampak Ekonomi dan Kesehatan Dumping Tailing bagi Masyarakat Pesisir Lingkar Tambang
Jurnal Transformative 7(1), 2021 | 38
tambang lebih mengeluhkan soal kondisi sosial-ekonomi sehari-hari yang terasa
semakin sulit, dan kesulitan itu tidak terlalu dikaitkan dengan laut melainkan lebih
terhadap kondisi kehidupan secara keseluruhan.
Dengan kata lain, masyarakat lingkar tambang yang sebelumnya (2011) menolak
(tegas dan diam) serta bersikap netral (dengan cenderung menolak), pada studi
tahun 2015 dan 2020 berada pada posisi menerima dan tidak mempersoalkan sekali
keberadaan DSTP. Kendati terjadi pergeseran dalam arti tingginya tingkat
keberterimaan. Namun, tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat, terutama
terlihat pada studi 2015, ternyata masyarakat setempat relatif tidak banyak
mengalami kemajuan yang signifikan. Mereka masih miskin informasi soal tailing dan
DSTP. Dengan demikian, masih terdapat kesenjangan antara tingkat keberterimaan
masyarakat dengan intensitas informasi dan pemahaman mereka mengenai tailing
dan DSTP. Namun, pada studi 2020, masyarakat lingkar pesisir lingklar tambang
terlihat lebih lancar berbicara DSTP dan tailing. Mereka relatif memiliki informasi
tentang itu yang diakses melalui media, terutama media-media sosial. Selain itu, juga
ada kegiatan sosialisasi meskipun tidak intens antara 2015-2017 dari kalangan
manajemen PTAMNT.
Meskipun masyarakat setempat menerima dengan baik keberadaan DSTP (hasil
studi 2015 dan 2020) bukan berarti tidak ada persoalan apa-apa. Banyak hal yang
dikeluhkan masyarakat dalam hubungannya dengan perusahaan tambang. Perhatian
masyarakat tidak lagi terfokus pada keberadaan DSTP, melainkan lebih pada kondisi
riil kehidupan sosial ekonomi mereka yang dihubungkan dengan keberadaan
perusahaan tambang secara keseluruhan.
Tingkat keberterimaan masyarakat lingkar tambang terhadap DSTP berkaitan
dengan 6 (enam) faktor. Pertama, kondisi dan tingkat kesejahteraan masyarakat
yang umumnya tergolong rendah (miskin). Kedua, pandangan dan persepsi
masyarakat setempat terhadap keberadaan perusahaan tambang secara
keseluruhan. Ketiga, tingkat penguasaan informasi yang dimiliki soal tailing dan DSTP.
Keempat, sejumlah bantuan dan fasilitas yang diberikan perusahaan tambang
kepada desa (pembangunan jalan raya, gedung pertemuan, dan poliklinik) dan warga
desa (bantuan modal usaha untuk warga tertentu, namun tidak rutin sifatnya).
Abdul Aziz SR, Petir Pudjantoro, Rusdianto, Muhamad Yani
Jurnal Transformative 7(1), 2021 | 39
Kelima, sejumlah warga desa ada yang menjadi karyawan di perusahaan tambang.
Keenam, kondisi lingkungan alam mereka yang dinilai mengalami perubahan-
perubahan dibanding dengan masa lalu seperti sumber dan debit air yang berkurang,
beberapa sungai yang mengalami kekeringan di musim kemarau, dan dugaan warga
desa-desa soal rekrutmen tenaga kerja oleh PTAMNT dari warga setempat bersifat
nepotis (spoil system) dan kurang transparan. Seluruh faktor tersebut memang tidak
ada kaitannya sama sekali dengan tailing (DSTP), namun turut memengaruhi sikap
dan tingkat keberterimaan masyarakat terhadap DSTP itu sendiri.
Dampak Dumping Tailing terhadap Kehidupan Ekonomi Masyarakat
Menjelaskan dampak DSTP terhadap kehidupan ekonomi masyarakat pesisir
lingkar tambang mestinya mengawali dan mengaitkannya dengan keluhan-keluhan
yang menjadi realitas mereka. Keluhan-keluhan ekonomi masyarakat terbelah antara
“terpola” (paterning) dan “tidak terpola” (not patterning). Disebut keluhan terpola
berarti keluhan-keluhan itu terdapat dan muncul di semua desa dan di hampir semua
kalangan masyarakat. Sedang tidak terpola berarti keluhan-keluhan atau kerisauan-
kerisauan tersebut hanya muncul di desa-desa tertentu dan diungkapkan secara
terbatas oleh kelompok-kelompok tertentu. Singkatnya, ia tidak merata di semua
desa dan tidak banyak kelompok dalam masyarakat yang mempersoalkannya.
Keluhan-keluhan yang terpola semuanya berkaitan langsung dengan laut dan
hasil laut. Nelayan merupakan kelompok masyarakat yang terutama merasakan
dampak tersebut. Petani dan peternak yang turut nyambi melakukan mada’ juga
sedikit banyak merasakan hal yang sama. Mereka yang biasanya mencari telur penyu
di pinggir pantai pun menunjukkan hal serupa. Karena itu, keluhan yang relevan dan
related dengan DSTP dan dampaknya terhadap ekonomi masyarakat pada dasarnya
hanyalah dari kegiatan ekonomi yang berbasis laut dengan pelaku utama di dalamnya
adalah nelayan, orang-orang mada’, dan orang-orang nyale.
Terdapat 5 (lima) bentuk keluhan terpola yang dipersepsikan oleh masyarakat
setempat sebagai akibat DSTP, dan itu pada ujungnya berdampak terhadap ekonomi
mereka. Kelima keluhan dimaksud adalah: [i] penurunan hasil tangkapan ikan dan
hasil laut lainnya; [ii] beberapa jenis tangkapan berkurang/langka; [iii] ikan ditengarai
Tambang dan Masyarakat: Dampak Ekonomi dan Kesehatan Dumping Tailing bagi Masyarakat Pesisir Lingkar Tambang
Jurnal Transformative 7(1), 2021 | 40
semakin jauh dari wilayah tangkapan semula; [iv] rumput laut rusak dan menurun
populasinya; dan [v] populasi penyu mulai dirasakan langka.
Hasil tangkapan ikan dan hasil laut yang bisa dipungut dikeluhkan mengalami
penurunan dari waktu ke waktu. Dalam perbandingan before dan after, kalangan
nelayan merasakan bahwa sebelum 2004 hasil tangkapan setiap kali melaut rata-rata
40 kilogram. Namun, setelah 2004 hasil tangkapan mereka merosot tajam. Nelayan
rata-rata hanya memperoleh 4-5 (empat sampai lima) ikat dan setiap ikat berisi antara
5 (lima) sampai 10 (sepuluh) ekor ikan saja.
Sekalipun volume tangkapan terus menurun, namun beberapa jenis (ikan)
tangkapan secara dominan relatif tidak mengalami perubahan, yakni jenis ikan
kerapu dan kakap. Keluhan penurunan hasil tangkapan ini merata pada hampir
seluruh wilayah pesisir lingkar tambang. Bahkan juga terjadi pada ikan yang
dibudidayakan semacam bandeng (yang dirasakan oleh petambak bahwa
pembesarannya semakin sulit dilakukan). Panen ikan bandeng hasil tambak saat ini
rata-rata berukuran semakin kecil dibandingkan dengan hasil panen dahulu dengan
jangka waktu pemeliharaan yang sama.
Keluhan penurunan hasil juga terjadi di kalangan orang-orang mada’. Mereka
umumnya rata-rata memperoleh kurang dari setengah ember dengan jenis pungutan
yang tidak terlalu beragam. Namun, sejak 2009/2010 terjadi peningkatan jumlah
orang-orang mada’. Banyak rumah tangga di wilayah pesisir lingkar tambang yang
melakukan kegiatan mada’. Kesulitan ekonomi menjadi pemicu rumah tangga di
pesisir lingkar tambang untuk turut memungut biota laut (mada’) guna memenuhi
kebutuhan konsumsi keluarga sehari-hari.
Tingginya harga ikan yang dijual di desa-desa pesisir lingkar tambang,
menyebabkan masyarakat setempat kesulitan bahkan merasa kurang mampu lagi
membeli ikan. Untuk itu, salah satu solusinya adalah melakukan mada’ guna
mengurangi beban pengeluaran pembelian ikan untuk konsumsi keluarga. Dulu, hasil
mada’, sebagian untuk dijual, belakangan praktis keseluruhan hasil mada’ hanya
untuk dikonsumsi sendiri karena jumlahnya sangat terbatas.
Nelayan pancing, nelayan jaring, dan nelayan jala juga mengaku mengalami
penurunan hasil tangkapan. Nelayan jaring yang dahulunya rata-rata memperoleh 1
Abdul Aziz SR, Petir Pudjantoro, Rusdianto, Muhamad Yani
Jurnal Transformative 7(1), 2021 | 41
(satu) karung atau sekitar 50 (lima puluh puluh) kilogram ikan, belakangan rata-rata
hanya memperoleh 10 (sepuluh) ekor ikan saja setiap kali melaut. Nelayan pancing
yang dulu rata-rata memperoleh 25 (dua puluh lima) kilogram sekali melaut, saat ini
rata-rata hanya mendapatkan kurang lebih 1 (satu) kilogram ikan. Demikian pula
nelayan jala yang dahulunya memperoleh sekitar 2 (dua) kilogram, sekarang ini hasil
yang diperoleh kurang-lebih 1 (satu) kilogram saja.
Di samping itu, kalangan nelayan merasakan antara biaya operasional melaut
dengan hasil tangkapan semakin hari semakin tidak sebanding. Nelayan mengaku
banyak mengalami kerugian. Dengan demikian, jika dikalkulasi secara ekonomi,
nelayan sebetulnya cenderung merugi. Jika durasi waktu berada di laut lebih lama
berarti ongkos dan perbekalan membengkak, namun hasil tangkapan sedikit. Pada
sebagian besar desa-desa pesisir lingkar tambang, warga yang melakukan kegiatan
mada’ semakin banyak. Biota laut yang dipungut jumlahnya relatif sama dari waktu
ke waktu. Kenyataan ini memaksa mereka untuk hanya mendapatkan jatah yang
sedikit karena harus berbagai dengan orang banyak.
Sementara itu, beberapa keluhan tidak terpola dalam konteks ekonomi, hasil
studi tahun 2011, seperti: [i] ikan tercemar tailing. Diduga ikan-ikan di perairan lingkar
tambang tercemar tailing; [ii] tingkat kesulitan menangkap ikan bertambah. Ikan
semakin menjauh sementara alat tangkap masih sederhana; [iii] peran ekonomi ibu
rumah tangga menurun. Setelah ada DSTP ibu-ibu rumah tangga semakin sedikit yang
melakukan kegatan mada’ karena biota laut yang di pungut di pinggir pantai semakin
langka; [iii] koperasi nelayan tidak berfungsi dengan baik. Hasil melaut yang terus
menurun diikuti pendapatan yang semakin kecil menyulitkan warga menabung dan
menggerakkan koperasi; dan [iv] melaut atau menjadi nelayan dirasakan kurang
menjanjikan sehingga beralih pekerjaan menjadi petani atau peternak.
Pada studi tahun 2015 terlihat bahwa kendati terdapat perbedaan-perbedaan
dengan kondisi pada 2011, namun dalam banyak hal masih relatif sama. Salah satu titik
kesamaannya dan bersifat ajeg antara hasil studi 2011 dan 2015 adalah keluhan
nelayan soal sedikitnya hasil tangkapan (ikan) dalam tahun-tahun belakangan ini.
Namun, titik perbedaan, dalam konteks ini, adalah jika pada studi 2011 kenyataan
tersebut (sedikitnya hasil tangkapan) dikaitkan dengan dampak DSTP, maka pada
Tambang dan Masyarakat: Dampak Ekonomi dan Kesehatan Dumping Tailing bagi Masyarakat Pesisir Lingkar Tambang
Jurnal Transformative 7(1), 2021 | 42
PSP 2015 tidak satu satu pun kalangan masyarakat di desa-desa pesisir lingkar
tambang yang mengaitkannya dengan dampak DSTP.
Dalam pandangan dan pengalaman nelayan setempat, soal sedikit dan kecilnya
jumlah hasil tangkapan disebabkan beberapa faktor, seperti: [i] menjauhnya
kawanan ikan dari sekitar perairan Maluk akibat sibuk dan padatnya kegiatan
pelabuhan, baik pelabuhan umum maupun pelabuhan barang. Apalagi adanya sea
plane yang suaranya sangat keras membuat kawanan ikan semakin menjauh; [ii]
banyaknya rumpon yang dibuat dan dipasang di tengah laut di perairan bagian
selatan oleh nelayan dari luar lingkar tambang (diduga nelayan Bugis yang memiliki
perahu lebih besar atau semacam kapal kecil). Kawanan ikan yang seharusnya masuk
dan mengalir ke belahan utara tertahan dan lebih suka berteduh di dalam rumpon-
rumpon tersebut. Selain seringkali muncul nelayan dari Kaung (jauh di belahan utara
dan tidak termasuk wilayah lingkar tambang) yang melaut ke perairan lingkar
tambang dengan cara mengebom ikan dan melepaskan potassium; [iii] sederhananya
alat tangkap, terutama perahu, sehingga tidak memungkinkan mereka melaut jauh
ke tengah, sementara kawanan ikan yang diburu justru berada di tengah dan jauh ke
wilayah selatan yang berombak besar.
Bagaimana dengan kemungkinan ikan tercemar tailing? Pada studi tahun 2015,
kalangan nelayan setempat tidak lagi memandang DSTP atau tailing yang dibuang ke
laut-dalam (deep sea) mencemari ikan-ikan. Mereka juga tidak yakin kalo kawanan
ikan-ikan menjauh dari perairan lingkar tambang setelah adanya DSTP. Justru
sebaliknya, mereka menyaksikan bahwa ikan-ikan yang besar berada tidak jauh dari
lokasi DSTP. Buktinya, nelayan-nelayan dari luar yang memiliki peralatan yang lebih
baik mencari ikan di sekitar lokasi DSTP itu.
Titik persamaan lainnya antara hasil studi 2011 dan 2015 adalah keluhan
terjadinya penurunan tingkat pendapatan masyarakat. Masyarakat setempat tetap
merasakan rendahnya tingkat pendapatan dan kecenderungan kehidupan yang
masih terasa relatif sulit. Namun, dalam konteks ini, sekaligus ada hal yang berbeda.
Jika dari studi 2011 masih terdapat kelompok dalam masyarakat yang mengaitkan
penurunan pendapatan serta kesulitan ekonomi dengan dampak DSTP, maka pada
2015 menunjukkan tidak satu pun kalangan di masyarakat pesisir lingkar tambang
Abdul Aziz SR, Petir Pudjantoro, Rusdianto, Muhamad Yani
Jurnal Transformative 7(1), 2021 | 43
yang mengaitkan hal itu dengan keberadaan dan dampak DSTP. Bagi mereka, tidak
ada hubungannya antara kehidupan ekonomi (dan tingkat pendapatan) dengan
DSTP. Yang ada hubungannya adalah dengan keberadaan PTAMNT secara
keseluruhan, buka dengan DSTP.
Di kalangan nelayan, keluhan ketidakpastian pendapatan antara lain
disebabkan oleh bertambahnya durasi waktu dan jarak tempuh melaut yang
berdampak pada peningkatan biaya yang harus dikeluarkan untuk perbekalan. Biaya
yang dikeluarkan untuk melaut adalah bensin, bekal makanan, oli, rokok, kopi, dan es
balok, dalam jumlah yang harus dilebihkan karena jangkauan melaut dalam jarak
tempuh yang jauh. Padahal meningkatnya biaya perbekalan itu terkadang tidak
sebanding dengan hasil tangkapan.
Namun demikian, kalangan nelayan juga mengakui bahwa terkadang hasil
tangkapan cukup banyak sehingga dapat memperoleh keuntungan. Jadi, fluktuatif
saja, terkadang banyak terkadang sedikit. Sebab, jika terus-menerus merugi, tentu
kegiatan melaut sulit dilanjutkan karena kehabisan biaya. Mereka juga mengakui
bahwa pada bulan-bulan tertentu hasil tangkapan cukup banyak, sementara pada
bulan-bulan tertentu lainnya sedikit.
Itulah sebabnya, secara umum, kondisi ekonomi kalangan nelayan serta
kalangan lainnya di masyarakat pesisir lingkar tambang relatif baik – dalam arti cukup
untuk sebatas memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari). Lalu, faktor adanya beragam
pekerjaan yang dapat dilakukan oleh warga turut memberikan sumbangan bagi
ketahanan kehidupan ekonomi. Kalangan nelayan, misalnya, selain melaut, juga
berusaha memanfaatkan waktu untuk ikut bertani atau menjadi buruh tani. Isteri
mereka banyak juga yang berdagang kecil-kecilan baik di kampung maupun di pasar.
Sementara itu, bagi kalangan petani, kehidupan ekonomi relatif baik karena
lahan pertanian yang dimiliki dapat berproduksi dua kali dalam setahun (sekali untuk
padi dan sekali untuk palawija). Selain mengandalkan hasil dari kegiatan bertani,
banyak juga di antara mereka yang nyambi berdagang, ngojek, serta melakukan
pekerjaan-pekerjaan sambilan lainnya untuk sekadar menambah income keluarga.
Dengan demikian, pada studi tahun 2015, terlihat sejumlah indikasi yang bisa
dipahami sebagai wujud kehidupan ekonomi yang cenderung meningkat, antara lain:
Tambang dan Masyarakat: Dampak Ekonomi dan Kesehatan Dumping Tailing bagi Masyarakat Pesisir Lingkar Tambang
Jurnal Transformative 7(1), 2021 | 44
[1] mampu membangun dan memperbaiki rumah; [2] mampu membeli kendaraan
bermotor; [3] mampu menyekolahkan anak hingga ke perguruan tinggi; [4] mampu
menunaikan ibadah haji; dan [5] mampu menggelar sekaligus ikut-serta kegiatan-
kegiatan sosial secara gotong-royong secara meriah dengan cost yang cenderung
tinggi dari waktu ke waktu.
Kehidupan ekonomi yang cenderung membaik dan pendapatan yang relatif
meningkat juga karena ditopang oleh lancarnya hubungan dengan daerah-daerah lain
di luar lingkar tambang terutama ke pusat-pusat kegiatan ekonomi (Taliwang, Alas,
bahkan juga Lombok).
Bagaimana dengan hasil studi 2020? Antara 2018-2019 desa-desa pesisir lingkar
tambang mengalami gagal panen. Produksi pertanian sangat menurun. Sawah,
kebun, dan gempang (tegalan) tidak memberikan hasil seperti biasanya. Ongkos
produksi pun nyaris tidak bisa kembali. Perubahan iklim, kekeringan, dan serangan
hama menjadi penyebabnya. Gagal panen kali ini memang bukan yang pertama yang
dialami masyarakat desa-desa lingkar tambang, tahun-tahun jauh ke belakang hal
serupa pernah terjadi. Namun, gagal panen kali ini dirasa cukup menyengsarakan
karena bersamaan dengan kesulitan-kesulitan hidup lainnya, juga beban yang harus
ditanggung lebih banyak sehingga menjadi lebih berat.
Pada tahun 2020, kondisi kembali normal. Iklim normal dan air pun melimpah.
Sawah, kebun, dan gempang kembali memberikan hasil yang baik. Itu pula sebabnya,
pada 2020 masyarakat setempat memiliki gairah tersendiri untuk menggarap sawah,
kebun, dan gempang.
Tetapi, belum lama rasanya lepas dari derita gagal panen (2018-20190, tiba-tiba
muncul wabah/pandemi yang menakutkan bernama virus Corona atau Covid-19.
Meskipun tidak ada warga desa-desa lingkar tambang yang terkena covid, namun
dampak ekonominya sungguh sangat mengganggu. Desa Maluk, misalnya, yang
sehari-hari selalu ramai dengan aktivitas dan lalu-lintas ekonomi-bisnis mendadak
sepi. Warung-warung dan toko-toko banyak sekali yang tutup. Salon-salon tak ada
lagi pengunjung. Pusat-pusat hiburan praktis tak lagi berdenyut. Penginapan-
penginapan tak lagi berpenghuni karena tak ada tamu yang datang. Kegiatan
transportasi (kendaraan ujum, mobil sewaan, dokar/cidomo, ojek, dan becak motor)
Abdul Aziz SR, Petir Pudjantoro, Rusdianto, Muhamad Yani
Jurnal Transformative 7(1), 2021 | 45
yang biasanya sibuk dan bising nyaris lumpuh. Para pedagang kaki lima yang biasanya
menghiasi pinggiran jalan dengan aneka dagangan tak lagi terlihat.
Kontribusi terbesar suasana sepi diberikan oleh para karyawan PTAMNT dan
para pegiat usaha (yang berasal dari berbagai daerah) di desa-desa lingkar tambang.
Sejak pandemi, PTAMNT menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Karantina
karyawan dengan pola dua pekan di rumah dan dua pekan masuk kerja (2-2) secara
bergantian. Rumah-rumah kost yang ditempati para karyawan dan kalangan pekerja
berbagai bidang usaha di desa-desa lingkar tambang menjadi kosong ditinggal
penyewa. Kondisi demikian seolah menghentikan denyut nadi ekonomi-bisnis di
wilayah itu. Kendati tidak mengalami kelumpuhan total, tetapi kehidupan ekonomi-
bisnis di desa-desa lingkar tambang mengalami penurunan sangat tajam.
Bersamaan dengan itu, dalam emapat tahun terakhir desa-desa lingkar
tambang menyaksikan terjadinya perubahan kebijakan manajemen PTAMNT Yakni,
berubahnya kebijakan dalam hubungan sosial-ekonomi PTAMNT dengan desa-desa
lingkar tambang. Beberapa kebijakan yang berubah itu, seperti: pertama, bantuan-
bantuan sosial dan program pemberdayaan masyarakat untuk desa-desa pesisir
lingkar tambang mengalami pengurangan yang signifikan. Masyarakat setempat
mendefinisikan kebijakan tersebut sebagai wujud sikap pelit PTAMNT terhadap desa-
desa lingkar tambang. Kedua, peniadaan lembaga Comdev (Community
Development) dan Comrel (Community Relations). Padahal, dua lembaga tersebut
selama ini cukup memainkan peran signifikan dalam menghubungkan keluhan dan
kepentingan masyarakat dengan manajemen perusahaan tambang. Ketiga,
pengurangan jumlah karyawan PTAMNT. Kebijakan ini tidak saja cukup banyak
karyawan yang berasal dari desa-desa lingkar tambang turut diberhentikan, sekaligus
pula menutup peluang bagi direkrutmya tenaga kerja baru dari desa-desa setempat.
Hal ini berdampak pada meningkatnya jumlah pengangguran di desa-desa lingkar
tambang.
Setelah kebijakan itu masyarakat setempat merasa memiliki jarak sosial dan
ekonomi dengan PTAMNT. Hubungan dekat yang berlangsung bertahun-tahun
sebelumnya, kini tak lagi ada. Apa yang terjadi di perusahaan tambang tak banyak
diketahui oleh warga desa-desa. Sementara apa yang terjadi di masyarakat, mungkin
Tambang dan Masyarakat: Dampak Ekonomi dan Kesehatan Dumping Tailing bagi Masyarakat Pesisir Lingkar Tambang
Jurnal Transformative 7(1), 2021 | 46
juga tak lagi terdengar di telinga para petinggi perusahaan tambang. Dalam
ungkapan simbolik setempat, kondisi itu digambarkan sebagai “nonda sengo-sengo”
(tiada kabar berita). “Aji leng nonda ujan, ba gunter-gunter moo” (seandainya tak ada
hujan, paling tidak gemuruhlah).
Lalu, bagaimana dengan dampak DSTP terhadap ekonomi masyarakat? Kondisi
yang terlihat pada studi 2015 masih pula terlihat pada studi tahun 2020. Selain itu,
pada studi 2020 menunjukkan bahwa tidak satu pun desa dan kalangan masyarakat
di pesisir lingkar tambang yang mengaitkan kondisi ekonomi mereka dengan
keberadaan dan dampak DSTP. Pembuangan tailing ke laut-dalam (deep sea) di
perairan lingkar tambang tidak lagi menjadi objek tertuduh. Masyarakat setempat
memandang tidak ada hubungannya antara kondisi ekonomi mereka yang kurang
baik atau tingkat kesejahteraan yang rendah dengan keberadaan DSTP. Pengalaman
mereka selama hampir dua puluh tahun keberadaan DSTP tidak pernah terjadi
sesuatu yang luar biasa di desa-desa setempat akibat DSTP. Pengalaman memberikan
mereka kenyataan dan pemahaman bahwa DSTP itu tidak bermasalah. Dengan
demikian, kondisi ekonomi yang kurang baik dan kurang menguntungkan terjadi
karena faktor-faktor lain di luar DSTP.
Dampak Dumping Tailing terhadap Kesehatan Masyarakat
Baik pada studi tahun 2011 maupun studi tahun 2015 dan 2020, jenis penyakit
yang diderita warga desa-desa pesisir lingkar tambang cukup banyak dan beragam.
Bahkan jenis penyakit yang ada cenderung bertambah dari 2011 ke 2015 dan 2020.
Kenyataan tersebut seiring pula dengan banyaknya keluhan masyarakat soal
beragam penyakit yang diderita.
Seperti halnya dengan isu ekonomi, keluhan-keluhan dalam isu kesehatan
masyarakat juga terbelah dalam dua kategori yakni “terpola” dan “tidak terpola”.
Terpola berarti keluhan-keluhan itu merata di seluruh desa, sedangkan tidak terpola
jika keluhan-keluhan yang muncul hanya terdapat di desa-desa tertentu dan/atau dari
kelompok tertentu, ia tidak merata di seluruh desa pesisir lingkar tambang. Jenis-jenis
penyakit yang terpola sifatnya tampak pada matriks di bawah ini.
Abdul Aziz SR, Petir Pudjantoro, Rusdianto, Muhamad Yani
Jurnal Transformative 7(1), 2021 | 47
Pada studi tahun 2011 terdapat satu jenis penyakit –kategori terpola– yakni
gatal-gatal (di kulit) dipandang oleh masyarakat setempat sebagai akibat dari
bersentuhan (cukup lama) dengan air laut seperti mandi dan melaut. Air laut tersebut
dianggap sudah tercemar tailing. Ikan-ikan hasil tangkapan nelayan juga dipandang
sudah tercemar dan tidak steril lagi sehingga berbahaya jika dikonsumsi. Laut
dipandang tak lagi ramah dengan mereka. Laut telah berubah dari sahabat menjadi
ancaman kehidupan.
Di samping keluhan-keluhan terpola itu, terdapat sebuah keluhan kesehatan
tidak terpola yang dikaitkan dengan dampak DSTP. Keluhan tersebut muncul di desa
tertentu namun tidak ada di desa-desa lainnya. Ada kasus seperti sakit “tulang
dalam” yang diderita seseorang di sebuah desa. Menurut warga setempat, penyakit
tersebut diderita warga setelah mengonsumsi ikan hasil tangkapan nelayan. Di luar
itu, tidak ada keluhan kesehatan lainnya yang dialami, ditemukan, dan dirasakan
masyarakat setempat yang dikaitkan dengan laut dan pencemaran tailing.
Tabel 1. Matriks Jenis-jenis yang Diderita Warga Pesisir Lingkar Tambang (Terpola)
No.
Jenis-Jenis Penyakit yang Diderita
2011
2015
2020
1 Batuk, Pilek,
Infuensa/ISPA
Batuk, Pilek,
Infuensa/ISPA
Batuk, Pilek,
Infuensa/ISPA
2 Diare Diare Diare
3 Typus/Tipoid Gigitan Hewan yang
mengandung rabies
baik gigitan anjing
maupun binatang
laut
Gigitan hewan yang
mengandung rabies baik
gigitan anjing maupun
binatang laut
4 Desentri Typus/Tipoid Typus/Tipoid
5 Malaria Desentri Desentri
Tambang dan Masyarakat: Dampak Ekonomi dan Kesehatan Dumping Tailing bagi Masyarakat Pesisir Lingkar Tambang
Jurnal Transformative 7(1), 2021 | 48
6 Pnemonia Malaria Malaria
7 Campak Pnemonia Pnemonia/TBC
8 Demam berdarah Campak Campak
9 Penyakit Kuning Demam berdarah Demam berdarah/DBD
10 Gatal-gatal Penyakit Kuning Penyakit Kuning
11 Hipertensi dan Diabetes
Melitus
12 Stroke dan Gagal Ginjal.
13 Gatal-gatal (Scabies)
14 Stunting/Gizi Kurang
(Balita)
Sumber: Catatan di Puskesmas Desa-desa pesisir lingkar tambang dan hasil FGD (diolah).
Pada studi tahun 2015 dan 2020, ditemukan jumlah atau jenis penyakit yang
diderita warga tetap banyak bahkan bertambah, namun tidak satu pun di antaranya
dikaitkan dengan laut dan tailing (DSTP). Mereka memandang bahwa tidak ada
hubungannya antara berbagai macam penyakit (fisik) di masyarakat dengan air laut
apalagi dengan DSTP. Rekam jejak dari beragam penyakit yang diderita warga antara
lain dapat dilihat dalam catatan di puskesmas-puskesmas setempat. Pada catatan-
catatan itu tidak dijumpai dan tidak ada jenis penyakit tertentu yang disebabkan oleh
faktor laut atau karena keracunan setelah mengonsumsi ikan laut hasil tangkapan
nelayan setempat. Semuanya karena faktor di luar variabel laut.
Mayoritas masyarakat pesisir lingkar tambang mengonsumsi ikan laut hampir
setiap hari. Ikan yang dikonsumsi adalah ikan-ikan yang dibeli di pasar atau yang
dijajakan oleh pedagang keliling di desa setempat. Ikan-ikan itu ada yang didatangkan
dari wilayah di luar lingkar tambang, dan ada pula dari hasil tangkapan nelayan lingkar
tambang sendiri. Selain itu, mereka juga mengonsumsi hasil hasil mada’ mereka
sendiri.
Pengalaman mereka selama ini dalam mengonsumsi ikan atau biota laut lainnya
tidak menemukan dan merasakan hal-hal yang aneh. Tidak ada sesuatu yang
mengganggu dan menimbulkan penyakit tertentu. Dengan perkataan lain, tidak ada
Abdul Aziz SR, Petir Pudjantoro, Rusdianto, Muhamad Yani
Jurnal Transformative 7(1), 2021 | 49
masalah apa-apa dengan kebiasaan mereka mengonsumsi ikan laut selama ini.
Membandingkan antara sebelum dan sesudah beroperasinya DSTP, masyarakat
pesisir di desa-desa lingkar tambang tidak menemukan dan merasakan ada hal-hal
yang berbeda akibat mengonsumsi ikan laut hasil tangkapan nelayan setempat.
Tetapi, yang sangat dirasakan berbeda justru harga ikan yang mahal, bukan
mengonsumsikan ikannya itu sendiri.
Kendati demikian, di dalam alam pikiran masyarakat setempat sesungguhnya
sekali waktu atau terkadang muncul juga kekhawatiran akan ketidakamanan
mengonsumsi ikan hasil tangkapan nelayan lingkar tambang. Mereka mengaku,
terkadang mendengar orang-orang bicara soal (kemungkinan) ikan di perairan
lingkar tambang tercemar tailing. Ada semacam ketakutan tertentu memang, hanya
saja mereka tidak pernah berhenti mengonsumsi ikan hasil tangkapan nelayan
setempat, yang juga tetangganya sendiri. Mereka pada umumnya juga mada’ untuk
kemudian mengonsumsi hasil mada’-nya sendiri.
Jadi, kekhawatiran bahwa ikan-ikan hasil tangkapan nelayan lingkar tambang
tercermar zat-zat berbahaya akibat tailing sampai saat ini pada dasarnya tetap ada di
benak masyarakat setempat. Masih ada kecurigaan-kecurigaan terhadap
kemungkinan tercemarnya air laut, dan ikan-ikan yang ditangkap nelayan
mengandung unsur kimia yang berbahaya. Walau kenyataannya, masyarakat
mengakui, belum pernah terjadi apa-apa dengan ikan tangkapan nelayan di perairan
lingkar tambang.
Berangkat dari rasa khawatir itu, masyarakat setempat sangat menginginkan
agar ada uji laboratorium terhadap ikan-ikan hasil tangkapan nelayan lingkar tambang
oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas untuk itu. Menurut mereka, uji laboratorium
sangat perlu untuk memberikan kepastian bahwa ikan-ikan tersebut benar-benar
aman dikonsumsi manusia. Perlu ada ketegasan dan pernyataan resmi dari
pemerintah, misalnya, yang didukung hasil uji laboratorium, bahwa ikan hasil
tangkapan nelayan lingkar tambang tidak mengandung zat-zat berbahaya (dari
tailing) dan dijamin keamanannya.
Tambang dan Masyarakat: Dampak Ekonomi dan Kesehatan Dumping Tailing bagi Masyarakat Pesisir Lingkar Tambang
Jurnal Transformative 7(1), 2021 | 50
Bukan hanya terhadap ikan, masyarakat setempat juga menginginkan ada uji
laboratorium terhadap kualitas air bersih yang mereka konsumsi sehari-hari,
terutama air yang diambil dari sumur-sumur yang ada di desa-desa mereka.
Sebuah insiden kecil terjadi di Desa Tongo. Pada sekitar September 2010
ditemukan satu kasus di mana 2 (dua) pekerja PT Ozama –sebuah perusahaan
konstruksi milik Jepang yang sedang mengerjakan sembilan jembatan bantuan
Jepang– mengalami keracunan setelah mengonsumsi kerang di kantin mess pekerja
PT Ozama. Di Puskesmas Tongo, keduanya mengaku pusing-pusing, mual, dan
muntah-muntah. Menurut hasil pemeriksaan petugas, keracunan tersebut tidaklah
tergolong keracunan berat, dan setelah diberi obat keduanya segera pulih.
Pertanyaannya, apakah kerang yang dikonsumsi kedua pekerja PT Ozama itu
tercemar zat berbahaya dari tailing? Petugas di Puskesmas Tongo tidak bisa
memberikan kepastian, kecuali sebatas menduga bahwa kerang yang dikonsumsi
kedua pekerja (di kantin PT Ozama itu) sudah basi atau tidak layak makan. Menurut
petugas kesehatan di Puskesmas setempat, selama ini tidak ada kasus keracunan
akibat mengonsumsi kerang atau berbagai jenis ikan laut lainnya di desa-desa di
wilayah Tongo. Kasus dua pekerja PT Ozama itu merupakan satu-satunya insiden
keracunan yang pernah terjadi.
Pada titik ini bisa dikatakan, baik sebelum maupun sesudah DSTP, tidak ada
keluhan berarti dari warga masyarakat lingkar tambang dalam mengonsumsi ikan
laut hasil tangkapan nelayan setempat. Dengan kata lain, tidak ada keluhan akibat
mengonsumsi ikan hasil tangkapan nelayan. Masyarakat setempat merasa tidak ada
apa-apa dengan ikan hasil tangkapan nelayan. Tak ada yang berbeda pada ikan-ikan
hasil tangkapan nelayan sejak dulu hingga saat ini.
KESIMPULAN
Dumping tailing PTAMNT dengan metode DSTP di Ngarai Senunu sejatinya lebih
mewujud sebagai barang hal yang bersifat (lingkungan) fisika dan kimiawi ketimbang
hal yang bersifat sosial. Namun demikian, barang asing itu dapat memiliki makna
sosial tertentu. Masyarakat tradisional (tepatnya transisional) di desa-desa pesisir
Abdul Aziz SR, Petir Pudjantoro, Rusdianto, Muhamad Yani
Jurnal Transformative 7(1), 2021 | 51
lingkar tambang memiliki pandangan dan pemahaman tersendiri terhadap
keberadaan DSTP berikut dampaknya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Pada studi tahun 2011, tingkat keberterimaan masyarakat cukup beragam dan
terbelah antara yang “pro”, “kontra”, dan “netral”. Mereka yang pro berlapis antara
yang “menerima” dan “sangat menerima”. Mereka yang kontra juga berlapis antara
yang “menolak tegas” dan “menolak tetapi diam”. Sementara mereka yang bersikap
netral juga berlapis antara yang “netral cenderung menolak” dan “netral cenderung
menerima”. Sikap-sikap itu muncul di tengah-tengah minimnya informasi dan
sosialisasi yang diterima masyarakat lingkar tambang mengenai tailing dan DSTP.
Pada studi tahun 2015 pemahaman masyarakat tentang tailing dan DSTP relatif
mengalami peningkatan karena sedikit banyak sudah memiliki tambahan informasi
yang cukup dibandingkan periode sebelumnya. Terlihat ada pergeseran yang cukup
mendasar menyangkut pandangan soal tailing dan DSTP dibandingkan pemahaman
pada periode sebelumnya. Mereka hampir tidak lagi mempermasalahkan keberadaan
DSTP, termasuk kemungkinan dampaknya terhadap kehidupan ekonomi dan
kesehatan masyarakat. Sikap pro dan kontra tidak muncul sama sekali. Masyarakat
setempat justru lebih menunjukkan keluhan soal kondisi sosial-ekonomi sehari-hari
yang dirasakan semakin sulit. Keluhan-keluhan soal sedikitnya hasil tangkapan ikan,
sedikitnya hasil dari kegiatan mada’, dan nyale. Juga soal mahalnya bahan-bahan
kebutuhan pokok sehari-hari di tengah tingginya inflasi. Kesulitan-kesulitan itu sama
sekali tidak dihubungkan dengan keberadaan serta dampak DSTP.
Ada konsistensi dengan hasil studi tahun 2015, pada studi tahun 2020
masyarakat setempat sama sekali juga tidak mempersoalkan keberadaan DSTP. Sikap
pro-kontra dengan sendirinya juga tidak muncul. Suatu pertanda tingkat
keberterimaan masyarakat semakin tinggi terhadap DSTP. Isu yang lebih ditonjolkan
justru adalah keberadaan perusahaan tambang secara keseluruhan yang membawa
berbagai macam dampak terhadap kehidupan masyarakat sehari-hari.
Dalam konteks ekonomi, studi tahun 2011 menunjukkan bahwa kondisi
pendapatan masyarakat terutama yang berbasis laut selalu dihubungkan dengan
keberadaan dan dampak DSTP. Keluhan nelayan serta orang mada’ dan nyale bahwa
hasil tangkapan mereka sedikit. Hal itu disebabkan kawanan ikan semakin menjauh
Tambang dan Masyarakat: Dampak Ekonomi dan Kesehatan Dumping Tailing bagi Masyarakat Pesisir Lingkar Tambang
Jurnal Transformative 7(1), 2021 | 52
dari perairan lingkar tambang yang sudah tercemar tailing. Sedikitnya hasil tangkapan
maka kecil pula pendapatan.
Sementara pada studi tahun 2015, tidak ada sama sekali yang mengaitkan
kesulitan ekonomi dengan tailing (DSTP). Kesulitan ekonomi yang mereka alami serta
pendapatan yang stagnan dari hasil melaut (nelayan serta orang-orang mada’ dan
nyale) tidak sama sekali dikatakan sebagai dampak dari tailing (DSTP). Kondisi
ekonomi yang tidak lebih baik dari sebelumnya lebih dipahami sebagai dampak dari
kehadiran perusahaan tambang secara keseluruhan.
Pada studi tahun 2020 juga menunjukkan tidak ada sama sekali yang
memandang dan menempatkan DSTP sebagai faktor yang menyebabkan ekonomi
sulit dan pendapatan menurun. Masyarakat pesisir lingkar tambang tidak melihat
korelasi antara kondisi ekonomi (pendapatan) dengan keberadaan DSTP. Selain
pengalaman menunjukkan di mana hampir dua puluh tahun keberadaan DSTP tidak
menimbulkan masalah apa-apa, juga ada perjelasan “baru” bahwa tingkat
kemampuan dan keterampilan nelayan dalam menangkap ikan kurang tinggi.
Dalam konteks kesehatan masyarakat, studi tahun 2011 menunjukkan banyak
keluhan masyarakat pesisir lingkar tambang mengenai berbagai macam penyaikit
yang diderita. Sebagian kecil dari penyakit yang diderita itu diyakini karena faktor laut
seperti mandi di laut, makan ikan hasil tangkapan nelayan setempat, dan
mengonsumsi biota laut hasil mada’ dan nyale. Air laut diyakini telah tercemar tailing
(dari DSTP) dan membahayakan kesehatan.
Pada studi tahun 2015 dan 2020, keluhan-keluhan soal penyakit yang diderita
masih tetap banyak. Namun, tidak satu pun dari sekian jenis penyakit yang dikeluhkan
itu karena faktor laut. Catatan di puskesmas-puskesmas setempat juga
mengonfirmasi bahwa tidak ada kasus penyakit yang disebabkan oleh faktor yang
berhubungan dengan laut (makan ikan laut dan mandi di laut). Semua jenis penyakit
yang diderita adalah karena faktor di luar variabel laut.
Keluhan-keluhan masyarakat di desa-desa pesisir lingkar tambang terutama
dalam konteks ekonomi (pendapatan) lebih dikaitkan dengan dampak keberadaan
perusahaan tambang itu sendiri secara keseluruhan, tidak secara spesifik pada
keberadaan DSTP. Tergambarkan dengan jelas betapa sejumlah kalangan di
Abdul Aziz SR, Petir Pudjantoro, Rusdianto, Muhamad Yani
Jurnal Transformative 7(1), 2021 | 53
masyarakat setempat menunjukkan kecemburuan, kekecewaan, dan sikap protes
terhadap keberadaan perusahaan tambang dalam tahun-tahun belakangan ini. Pada
tingkatan yang lebih dalam, kenyataan tersebut sesungguhnya merupakan reaksi dan
ekspresi dari derita kemiskinan dan sempitnya lapangan kerja di tengah-tengah
semakin kompleksnya kebutuhan hidup sehari-hari.
Jika diletakkan dalam diskusi dengan studi-studi serupa yang dilakukan
sebelumnya oleh para ahli, studi ini menemukan bahwa masyarakat setempat dapat
bersikap menolak atau menerima sebuah kegiatan investasi, termasuk di bidang
pertambangan, sangat bergantung pada kondisi pengetahuan dan pengalaman riil
mereka. Terutama pengetahuan dan pengalaman soal kondisi kesejahteraan (sosial
dan ekonomi) sehari-hari. Ketika pengetahuan dan pengalaman mereka
menunjukkan atau memberi isyarat akan manfaat sosial dan ekonomi dari kegiatan
(investasi) pertambangan, mereka bersikap terbuka dan menerimanya dengan baik.
Jika sebaliknya –tidak ada atau kecil sekali manfaat sosial dan ekonomi yang
dirasakan– maka masyarakat setempat akan menunjukkan sikap penolakan. Dalam
konteks demikian, peran agen-agen serta keberadaan program-program yang
memiliki makna secara langsung bagi kesejahteraan sosial dan ekonomi –walaupun
kecil– dapat memberikan kontribusi dalam membentuk pengetahuan dan
pengalaman masyarakat. Juga berkontribusi dalam membentuk sikap positif
masyarakat terhadap kegiatan investasi, dalam hal ini pertambangan. []
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Mohammad Hasan. (2016). Ekonomi Politik Penerbitan Izin Usaha
Pertambangan (IUP) di Indonesia: Metode dan Problem. Jurnal Masyarakat &
Budaya, Volume 18, No. 3.
Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann. (1966). Social Construction of Reality: A
Treatise in The Sociology of Knowledge. New York: Penguin Books.
Bogdan, Robert dan Steven J. Tailor. (1992). Pengantar Metode Penelitian Kualitatif:
Suatu Pendekatan Fenomenologis terhadap Ilmu-ilmu Sosial (terjemahan).
Surabaya: Bina Ilmu, hlm. 21-22. Lisa Harisson. 2002. Political Research: An
Introduction. London: Routledge.
Tambang dan Masyarakat: Dampak Ekonomi dan Kesehatan Dumping Tailing bagi Masyarakat Pesisir Lingkar Tambang
Jurnal Transformative 7(1), 2021 | 54
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (ed.). (1994). Handbook of Qualitative
Research. London: Sage Publications.
Fachlevi, Teuku Ade. (2015). Dampak dan Evaluasi Kebijakan Pertambangan Batubara
Di Kecamatan Mereubo. Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan, Vol. 2, No.
2, Agustus.
Ibrahim (dkk). (2015). Persebaran Tingkat Kemiskinan Pada Kawasan Pertambangan
Emas di Kabupaten Sumbawa Barat. (Proceeding, Seminar Nasional Kebumian
ke-8, Academia-Industry Linkage 15-16 Oktober).
Ibrahim, Dwi Haryadi, dan Nanang Wahyudin. (2018). Ekonomi Politik Sumber Daya
Timah: Kronik Bangka Belitung. Yogyakarta: Istana Media.
Karyadi, Wiresapta (dkk). (2014). Studi Perubahan Ekonomi, Sosial Budaya, dan
Kesehatan Masyarakat, Daerah Lingkar Tambang PTNNT. Mataram: Lembaga
Penelitian Universitas Mataram.
Moraczewski, Krzysztof. (2014). Cultural Theory and History: Theoretical Issues.
Poznan. Zakład Graficzny.
Muhadjir, Noeng. (1996). Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Neuman, Lawrence. (2013). Metodologi Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif (terjemahan). Jakarta: Indeks.
Patton, Michael Quinn. (1990). Qualitative Evaluation and Research Methods. London:
Sage Publications, hlm. 54; dan Robert K. Yin. 1993. Applications of Study Case
Research. Newbury Park, California: Sage Publications.
Safa’at, Rachmad dan Indah Dwi Qurbani. (2017). Alternatif Penyelesaian Sengketa
Pertambangan (Studi di Kabupaten Lumajang Provinsi Jawa Timur). Jurnal
Konstitusi, Volume 14, Nomor 1, Maret.
Strauss, Anselim dan Juliet Corbin. (1997). Dasar-dasar Penelitian Kualitatif: Prosedur,
Teknik, dan Teori Grounded. (terjemahan). Surabaya: Bina Ilmu.
Wuisman, Jan J.J.M.. (2013). Teori & Praktik: Memperoleh Kembali Kenyataan supaya
Memperoleh Masa Depan. Jakarta: YOI.
Yunita, Desi (dkk.) (2017). Rekayasa Sosial melalui Aplikasi Teknologi pada Masyarakat
Penambang Pasir Besi di Pesisir Selatan Jawa Barat. CR Journal, Vol. 03 No. 02
Desember.
Top Related