17
BAB II
LANDASAN PEMIKIRAN
me urban-mal, fenomena lajang kota dan
fenomena globalisasi dan glokalisasi.
2.1
merupakan tema sentral dalam konsep produksi budaya/budaya
produksi.
Bab ini berisi tentang landasan pemikiran yang diacu dalam penelitian ini.
Landasan pemikiran tersebut tediri atas beberapa konsep, teori dan konteks
produksi chick lit Indonesia. Beberapa konsep yang digunakan untuk menjelaskan
produksi chick lit Indonesia antara lain konsep produksi budaya (production of
culture) dan budaya produksi (cultures of production), konsep industri budaya
(culture industy) dan ekonomi budaya (cultural economy). Teori yang akan
dipakai untuk menganalisis adalah teori artikulasi Stuart Hall. Selanjutnya bab ini
akan menjelaskan konteks produksi chikc lit Indonesia. Beberapa konteks
produksi tersebut antara lain: booming chick lit luar di Indonesia, ’selebritisasi’
perempuan muda penulis, konsumeris
Production of Culture dan Cultures of Production
Sebelum terlalu jauh berbicara tentang produksi chick lit Indonesia maka ada
baiknya untuk mempertegas perbedaan antara konsep production of culture
(produksi budaya) dan cultures of production (budaya produksi). Menurut Du Gay
(1997:4), yang dimaksud dengan produksi budaya (production of culture) adalah
”...how analysing the production of a cultural artefact in the present day involves
not only understanding how that object is produced technically, but how it is
produced culturally; how it is made meaningful – what we term ’encoded’ with
particular meanings – during the production process.” Produksi budaya, dengan
demikian, dapat dimaknai sebagai segala hal yang berkaitan dengan proses
produksi sebuah benda budaya (cultural artefact) —tidak hanya bagaimana
sebagai sebuah benda budaya (cultural artefact) ia diproduksi secara teknis
(technically), tetapi juga bagaimana sebagai sebuah produk industri ia diproduksi
secara kultural (culturally)—dan bagaimana ia menjadi bermakna (menyandang
makna-makna tertentu) dalam proses produksinya. Makna (meaning), dengan
demikian,
Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010
18
Sedangkan budaya produksi (cultures of production), menurut Du Gay
(1997:4), adalah: ”...the ways in which practices of production are inscribed with
particular meanings. This concern with the culture of production takes us back
once again to questions of representation and identity, but also forward to
questions of consumption.” Budaya produksi, dengan demikian, merupakan
segala budaya tertentu yang mengandung makna-makna7, nilai-nilai tertentu,
praktik-praktik sehari-hari (a particular set of values, meanings and working
practices) yang melatarbelakangi sebuah produksi budaya. Pembicaraan mengenai
produksi budaya, dengan demikian, tidak terlepaskan dari pembicaraan mengenai
representasi dan identitas, dan sekaligus membawa kita nantinya pada
pembahasan tentang konsumsi.
2.2 Circuit of Culture
Pembahasan tentang produksi tidak dapat dilepaskan dari konsep circuit of
culture. Produksi merupakan salah satu elemen dari beberapa elemen yang
terdapat dalam circuit of culture, antara lain: produksi (production), konsumsi
(consumption), regulasi (regulation), representasi (representasion), dan identitas
(identity). Hubungan antara satu elemen dengan elemen yang lain dalam circuit
of culture merupakan hubungan yang dialogis dan tidak mempunyai pola yang
pasti, absolut dan esensial. Produksi hanyalah salah satu elemen dalam circuit of
culture yang tidak dapat dipisahkan dari isu representasi, identitas, konsumsi, dan
regulasi. Penjelasan ini, dengan demikian, merupakan bantahan terhadap
perspektif ‘produksionis’ (‘productionist’) yang menyatakan produksi sebagai
satu-satunya faktor terpenting dalam produksi makna (Negus, dalam Du Gay,
1997:83).
7 Stuart Hall mendefinisikan makna (meaning) sebagai berikut: “Meaning is not a transparent reflection of the world in language but arises through the differences between the terms and categories, the systems of reference, which classify out the world and allow it to be in this way appropriated into social thought, common sense.” (lihat Hall dalam “Signification, Representation, Ideology: Althusser and the Post-Structuralist Debates”, 1985:108)
Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010
19
Keterangan Garis Artikulasi
Gambar 2. Circuit of Culture
Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010
20
Dalam konteks penelitian ini, produksi chick lit Indonesia di dalam penerbit
GagasMedia tidak hanya ditentukan dalam momen produksi semata melainkan
juga berkaitan dengan momen-momen diluar produksi yang terjadi di dalamnya.
Produksi chick lit Indonesia, sebagai sebuah artefak budaya, dengan demikian
tidak dapat dilepaskan dari momen konsumsi, regulasi, representasi dan identitas
dalam konsep lingkaran budaya (circuit of culture). Namun, perlu disampaikan
bahwa penelitian ini hanya akan menganalisi artikulasi yang terjadi antara
momen-momen produksi, baik dengan budaya produksi di dalamnya maupun
dengan momen-momen yang lain di luarnya. Artinya, penelitian ini membatasi
dirinya untuk tidak akan memasuki wilayah artikulasi antara ‘momen lain di luar
produksi’ dengan momen yang lainnya, misalnya momen regulasi dengan momen
konsumsi atau momen representasi dengan momen konsumsi dan sebagainya.
2.3 Industri Budaya (Culture Industry) dan Ekonomi Budaya (Cultural
Economy)
Produksi budaya tidak dapat dilepaskan dari konsep industri budaya (culture
industry) dan ekonomi budaya (cultural economy). Konsep industri budaya
pertama-tama diusung oleh Frankfurt School, khususnya Theodor W. Adorno dan
Max Horkheimer. Konsep industri budaya menyatakan tentang intervensi industri
dalam produksi benda budaya (cultural artefact). Pada zaman pra-industri, sebuah
benda budaya diproduksi secara otonom/murni (autonomous realm). Dalam
artian, tidak ada campur tangan industri dengan segala sistem pasar dalam proses
produksi sebuah benda budaya. Pemenuhan terhadap kebutuhan massa (mass
consumption) dalam sebuah industri tidak menjadi faktor penentu dalam proses
produksi tersebut. Benda budaya, oleh karenanya, selalu diandaikan dipenuhi
dengan nilai-nilai tinggi seperti seni tinggi (high art), otentik (authenticity), dan
kebenaran (truth). Di sisi yang lain, produk industri selalu diandaikan sebagai
banal, penuh perhitungan laba (profit), dan bersifat massal (consumer goods).
Adorno dan Horkheimer melihat perubahan telah terjadi manakala industri telah
mulai menjamah produksi benda budaya (cultural artefact). Industri budaya
(cultural industri), dengan demikian, dapat dikatakan sebagai bertemunya antara
“yang indutrial (industry)” dan “yang kultural (culture)” dalam sebuah konteks
Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010
21
waktu dan ruang tertentu, dalam hal ini konteks kapitalisme modern. (Negus,
dalam Du Gay, 1997: 70).
Negus dalam Du Gay (1997: 74) menyatakan tentang dua konsep terpenting
dalam industri budaya (culture industry) yang dinyatakan Adorno dan
Horkheimer, yaitu standardisasi (standardization) dan pseudo-individualitas
(pseudo-individuality). Standardisasi merupakan bentuk penyeragaman
(uniformity) yang terjadi dalam mekanisme industri budaya. Semua produk
budaya yang dihasilkan telah diseragamkan dengan standard-standard tertentu.
Hal tersebut dikarenakan semua prosedur organisasi produksi diarahkan hanya
pada satu tujuan, yaitu keuntungan/laba (profit oriented). Argumen yang
melatarbelakangi standardisasi adalah tidak adanya spontanitas (nothing
spontaneous) dalam proses produksi. Semua mekanisme sudah diatur sedemikian
rupa secara rutin dengan mengaplikasikan formula-formula tertentu (specific
formulae). Industri budaya telah menyingkirkan produk-produk budaya yang
mempunyai kualitas-kualitas yang unik/khas (any unique qualities) tapi tidak
memiliki daya jual (marketable). Industri budaya, dengan demikian, sangat lekat
dengan istilah budaya massa (mass culture) yang berarti bahwa semua mekanisme
yang ada didalamnya hanya untuk satu tujuan yaitu memenuhi kebutuhan
konsumen (consumer goods).
Sedangkan pseudo-individualitas (pseudo-individuality) diartikan sebagai cara
industri budaya merancang produk-produk budaya yang seringkali diklaim
sebagai orisinal (‘originality’) meskipun sebenarnya hanya menciptakan
perbedaan-perbedaan yang sifatnya superfisial belaka (superficial differences).
Salah satu contoh pseudo-individualitas yang diberikan Adorno terjadi dalam
industri musik jazz. Kritik Adorno dalam industri musik jazz adalah klaim ”free
improvization” oleh para pemain jazz (permormers). Menurut Adorno,
sesungguhnya yang terjadi adalah spontanitas yang sudah dirancang sedemikan
rupa dengan berbagai macam presisi mesin. Jazz telah diatur sedimikian rupa oleh
’ahlinya’ (the ’experts’) dalam industri budaya yang mempunyai instrumen-
instrumen dalam mengubah jazz dari sekadar elemen-elemen formal pada dirinya
sendiri menjadi sebuah komoditas (commodities). Secara umum, industri musik
hanya menghasilkan apa yang oleh Adorno disebut sebagai kategori ’easy
Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010
22
listening’. Oleh karena itu, bagi Adorno semua benda budaya yang dihasilkan
industri budaya tidak mengandung nilai-nilai estetik dan membuat pola konsumsi
menjadi pasif. Dalam artian, konsumer dibuat menjadi pasif dan tidak mempunyai
daya kritis sehingga dengan mudah dapat dimanipulasi untuk kepentingan-
kepentingan pengiklanan maupun propaganda (Negus, dalam Du Gay, 1997: 75-
77).
Sedangkan konsep ekonomi budaya (cultural economy) disampaikan oleh Du
Gay untuk membedakan secara tajam dengan konsep ekonomi politik (political
economy). Pendekatan ekonomi politik merepresentasikan proses dan praktik
ekonomi sebagai “sesuatu yang ada dalam dirinya sendiri” (“things in
themselves”) atau dengan kata lain hal-hal yang mengandung makna “objektif”
tertentu (certain ‘objective’ meanings). Faktor manusia—dengan segala budaya,
makna dan nilai-nilai yang cair dan tidak stabil—tidak diperhitungkan dan proses
ekonomi hanya dihitung menggunakan angka-angka yang beku dan kaku, seperti
distribusi pemasukan (distribution of income), akumulasi modal (capital
accumulation), mekanisme kontrol dan kepemilikan perusahaan (corporate
ownership and control), dan sebagainya. Sebaliknya, pendekatan ekonomi budaya
merupakan antitesis dari pendekatan ekonomi politik. Ekonomi budaya melihat
praktik-praktik ekonomi sebagai sebuah fenomena budaya karena ia bekerja
melalui bahasa dan representasi yang membutuhkan makna (meaning) dari praktik
sehari-hari pelaku-pelaku ekonomi di dalamnya. Misalnya, bagaimana budaya
sehari-hari yang melingkupi manajer, pegawai dan pola budaya komunikasi di
antara manajer dan pegawai. Dengan demikian, wacana tentang ekonomi
merupakan wacana yang mengandung makna (carry meaning)—sebagaimana
wacana seksualitas, ras dan nasionalisme (Du Gay, 1997: 3-4).
2.4 Teori Artikulasi
Teori Artikulasi merupakan tanggapan Stuart Hall atas perdebatan antara
kaum neo-Marxian (dalam hal ini diwakili oleh Louis Althusser) dan kaum post-
strukturalist (dalam hal ini diwakili oleh Michel Foucault dan Jacques Derrida)
tentang ”perbedaan” (difference) dan ”persatuan” (unity). Althusser berpendapat
tentang kemungkinan adanya ”persatuan yang kompleks atas perbedaan” atau
Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010
23
”perbedaan dalam persatuan yang komplek” (difference in complex unity).
Sedangkan kaum post-strukturalis berpendapat tentang pesimisme terhadap
kemungkinan adanya persatuan (unity). Althusser, dalam pandangan Hall,
memiliki cara pandang yang membedakannya baik dari kaum Marxian ortodoks
dan juga dari kaum Post-strukturalis (Hall, 1985:93). Terhadap kaum Marxian
ortodoks, Althusser berbeda pendapat tentang pengakuannya terhadap adanya
”perbedaan” (difference). Dalam hal ini, Althusser berpendapat bahwa sebuah
fenomena (sosial/budaya/politik) tidak hanya dapat dipandang dari hanya satu
sudut pandang struktur (ekonomi) melainkan juga dipengaruhi oleh berbagai
macam hal di luar ekonomi (suprastruktur/ide/nilai-nilai). Dengan demikian,
terdapat berbagai macam faktor yang berbeda-beda yang menggerakkan sebuah
fenomena tersebut. Sedangkan terhadap kaum post-strukturalis, Althusser
menolak pesimisme atas mungkinnya ”persatuan” atas ”perbedaan-perbedaan”
yang begitu dirayakan oleh para pendukung post-strukturalis. Althusser percaya
bahwa persatuan yang kompleks (complex unity) atas perbedaan-perbedaan
tersebut masih mungkin terjadi pada kondisi-kondisi tertentu (under certain
conditions) dan tidak sama dalam setiap fenomena8. Hubungan antar berbagai
macam ”perbedaan-perbedaan” tersebut yang membentuk satu ”persatuan” dalam
kondisi-kondisi tertentu dan tidak mempunyai rumus yang baku itulah yang
dinamakan oleh Hall sebagai ”artikulasi”. Dalam sebuah footnote, Hall
mendefinisikan “artikulasi” sebagai berikut: ”By the term, ”articulation,” I mean
a connection or link which is not necessarily given in all cases, as a law or a fact
of life, but which requires particular conditions of existence to appear at all,
which has to be positively sustained by specific processes, which is not “eternal”
but has constantly to be renewed, which can under some circumstances disappear
or be overthrown, leading to the old linkages being dissolved and new
connections—re-articulations—being forged. It is also important that an
articulation between different practices does not mean that they become identical 8 Contoh kongkret “artikulasi” adalah peristiwa Revolusi Rusia 1917. Revolusi Rusia bukanlah
semata-mata hasil perjuangan kaum proletariat Rusia, juga bukan merupakan hasil kerja satu ideologi revolusioner tertentu dan juga bukan semata-mata karena aliansi tertentu dari kaum pekerja, petani, tentara dan kaum intelektual. Revolusi Rusia, Hall mengutip kata-kata Lenin, terjadi: “as a result of an extremely unique historical situation, absolutely dissimilar currents, absolutely heterogeneous class interests, absolutely contrary political and social strivings … merged … in a strikingly ‘harmonious’ manner.” (Hall, 1985:95)
Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010
24
or that the one is dissolved into the other. Each retains its distinct determinations
and conditions of existence. However, once an articulation is made, the two
practices can function together, not as an “immediate identity” (in the language
of Marx’s “1857 Introduction”) but as “distinctions within a unity.” (Hall, 1985:
113-114).
Dalam konteks circuit of culture, teori artikulasi dengan demikian menyatakan
tentang koneksitas antara dua atau lebih elemen circuit of culture yang berbeda
dalam pembentukan makna (meaning) sebuah produk budaya selalu terjadi pada
sebuah kondisi tertentu (under certain conditions). Teori ini menjelaskan bahwa
produksi makna (production of meaning) tidak terjadi hanya pada salah satu
elemen (produksi, misalnya) melainkan dari kombinasi proses antar elemen-
elemen dalam circuit of culture: produksi (production), konsumsi (consumption),
regulasi (regulation), representasi (representasion), dan identitas (identity).
Semua proses yang sangat kompleks tersebut terjadi pada kondisi dan bentuk
masing-masing yang berbeda satu dengan yang lainnya. Artinya, proses tersebut
tidak mempunyai pola yang pasti/tetap. ”This would be to think of the process as
a ’complex structure in dominance’, sustained through the articulation of
connected practices, each of which, however, retains its distinctiveness and has its
own specific modality, its own forms and conditions of existence.” (Hall,
1980:115).
Teori ini merupakan anti-tesis dari pespektif sosiologis ‘produksionis’ yang
menyatakan bahwa produksi merupakan elemen pertama dan terakhir yang
memproduksi makna. Teori artikulasi, dengan demikian, menyatakan tentang
hubungan (linkage) yang tidak bersifat tetap, esensialis dan absolut antar berbagai
macam elemen yang berbeda tersebut. Hubungan di antara elemen-elemen
tersebut merupakan hubungan dialogis yang terjadi pada kondisi-kondisi
kebetulan yang sangat spesifik. Oleh karena itu, pembentukan makna merupakan
hubungan yang dialogis antar berbagai bagian dalam lingkaran tersebut dan
bersifat selalu dalam proses. ”By the term ’articulation’ we are referring to the
process of connecting disparate elements together to form a temporary unity. An
’articulation’ is thus the form of the connection that can make a unity of two or
more different or distinct elements, under certain conditions.” (Du Gay, 1997: 3).
Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010
25
Contoh paling kongkret dari artikulasi adalah hubungan antara produksi
(production) dan konsumsi (consumption). Hubungan antara produksi dan
konsumsi merupakan hubungan yang saling terkait dan saling tumpang tindih
(overlap). Khusus mengenai hubungan kedua elemen tersebut Karl Marx, seperti
dikutip dalam Du Gay, Hall, Janes, Mackay, Negus (1997:52), menyatakan:
“Production is... at the same time consumption, and consumption is at the same
time production.” Bertolak dari anggapan dasar Marx tersebut, Stuart Hall
menamakan hubungan (linkage) tersebut sebagai ‘artikulasi’, yaitu proses
koneksitas antar berbagai macam momen-momen dari elemen yang berbeda
secara bersama-sama dalam sebuah lingkaran elemen. Misalnya, sebuah lingkaran
produksi mengandung di dalamnya artikulasi antara momen-momen produksi itu
sendiri dengan momen-momen konsumsi, momen-momen realisasi dan memen-
momen reproduksi pada saat yang sama. “’articulation’ – a process of connecting
together – in which the dynamic of the ‘circuits of production’ can be understood
as involving an ‘articulation of the moments of production’ with the moments of
consumption, with the moments of realization, with the moments of reproduction.”
(Hall with Cruz and Lewis, 1994, p. 255). (Du Gay, Hall, Janes, Mackay, Negus,
1997:52)
Dalam konteks penelitian ini, teori artikulasi berguna membantu menjelaskan
hubungan antara berbagai momen produksi dalam penerbit GagasMedia, baik
dengan penulis maupun dengan konsumen (pembaca). Dalam hal ini, bagaimana
sebuah momen produksi chick lit Indonesia tidak dapat terlepaskan dari momen
konsumsi dan juga dari momen-momen lainnya dalam circuit of culture. Teori
artikulasi menunjukkan hubungan yang tidak absolut/esensial antara momen-
momen dalam lingkaran produksi budaya chick lit Indonesia tersebut. Khususnya,
secara lebih jelas teori artikulasi berguna dalam menganalisis tahap cultural
intermediary dalam produksi chick lit Indonesia, seperti halnya desain dan lay-
out. Cultural intermediary merupakan tahap yang menghubungkan antara
produksi dan konsumsi. Atau secara lebih sederhana, dapat dikatakan sebagai
tahap “pengemasan” sebuah produk budaya dengan memanfaatkan teknologi yang
ada. Pada tahap “pengemasan” inilah, terlihat secara lebih jelas bagaimana
sebagai artefak budaya chick lit Indonesia diproduksi secara teknis dan bagaimana
Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010
26
sebagai produk industri chick lit Indonesia diproduksi secara kultural. Teori
artikulasi, dengan demikian, dalam penelitian ini menunjukkan pola hubungan
yang tidak stabil, sangat bersifat “kebetulan” dan tidak absolut/esensial dalam
produksi chick lit Indonesia.
2.5 Konteks Produksi Chik Lit Indonesia
Konteks produksi chick lit Indonesia penting sekali untuk diketahui karena
akan memberikan suatu gambaran bahwa chick lit Indonesia lahir dan ada karena
sebuah keadaan tertentu dan berada dalam sebuah ruang dan waktu tertentu yang
bersifat unik/khas. Beberapa konteks produksi tersebut antara lain: booming chick
lit luar di Indonesia, ’selebritisasi’ perempuan muda penulis, konsumerisme
urban-mal, fenomena lajang kota dan fenomena globalisasi dan glokalisasi.
2.5.1 Booming Terjemahan Chick Lit Luar di Indonesia
Seperti yang sudah dijelaskan di latar belakang penelitian, masuknya chick lit
Inggris ke Indonesia dimulai dengan terjemahan karya-karya tersebut ke dalam
bahasa Indonesia. Beberapa karya terjemahan awal adalah empat judul pertama
yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2003. Empat karya
tersebut adalah Buku Harian Bridget Jones, Buku Harian Sang Calon Pengantin,
Pengakuan si Gila Belanja, dan Jemima J. (”Chick-Lit, Kompas, 17 April 2004,
dikutip oleh Mochtar, 2008:13). Karya-karya tersebut mendapatkan sambutan
yang sangat baik di pasar pembaca Indonesia. Hingga saat ini puluhan judul chik
lit terjemahan mengisi rak-rak toko buku. Perkembangan tersebut disinyalir
menjadi pemicu bagi perkembangan penulisan, penerbitan dan penjualan chick lit
Indonesia.
Larisnya karya-karya chick lit terjemahan tersebut dipicu oleh beberapa hal.
Pertama, cerita yang ditawarkan oleh chick lit terjemahan tersebut sangat dekat
dengan realitas dan pengalaman sehari-hari masyarakat metropolitan, khususnya
perempuan lajang kota. Kedua, kosongnya bahan bacaan hiburan bagi masyarakat
kontemporer pada saat itu. Pada awal tahun 2000an, sebagaimana di dalam dunia
perfilman Indonesia yang sedang mulai bangkit, dunia kesusastraan Indonesia
juga mengalami kebangkitan. Lahirnya beberapa penulis baru dengan karya-karya
Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010
27
baru di luar konvensi, seperti polemik sastra wangi, merupakan salah satu bukti
kebangkitan itu.
Keadaan Indonesia pasca reformasi merupakan bagian penting dalam proses
perkembangan tersebut. Namun demikian, dapatlah dikatakan bahwa
perkembangan sastra tersebut hanya terjadi pada wilayah ”sastra serius”. Pada
akhir 1990an menjelang 2000an, produksi karya yang digolongkan ke dalam
”sastra serius” semakin meningkat, tetapi tidak dengan ”sastra hiburan” yang
masih terbatas. ”Sastra hiburan” di sini lebih diartikan sebagai karya sastra yang
lebih banyak muatan hiburan (entertainment) untuk mengisi waktu luang dan
bukan karya yang menuntut perenungan dan pemikiran yang mendalam
pembacanya. Dalam konteks seperti itulah, barangkali karya-karya chick lit
terjemahan mendapatkan momentumnya. Juga tentu saja tidak dapat dilepaskan
dari konteks Indonesia pasca reformasi yang telah membuka kran informasi yang
semakin lebar bagi masyarakat. Komunikasi dan arus informasi yang semakin
mudah dan cepat dengan perkembangan teknologi (internet, telpon seluler) telah
membuka berbagai macam alternatif (pilihan) dalam segala hal dari belahan dunia
manapun. Salah satunya tak terkecuali adalah bahan bacaan. Masuknya chick lit
Inggris ke Indonesia dan kemudian diterjemahkannya karya-karya tersebut ke
dalam bahasa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konteks tersebut.
Fenomena booming chick lit terjemahan tersebut merupakan salah satu faktor
penting atas kelahiran chick lit Indonesia. Konsumsi yang sangat tinggi atas chick
lit terjemahan akhirnya telah menimbulkan kegairahan bagi sebagian perempuan
muda untuk melahirkan chick lit Indonesia. Hal tersebut biasanya bermula dari
kesadaran bahwa ternyata persoalan perempuan di belahan dunia manapun
tidaklah jauh berbeda. Ketika para perempuan kota di Indonesia membaca karya
chick lit terjemahan mereka mendapati bahwa persoalan mereka sebagai
perempuan Indonesia ternyata tidak jauh berbeda dengan perempuan Inggris atau
Amerika. Seolah-olah mereka membaca cerita tentang diri mereka sendiri. Icha
Rahmanti—seorang pembaca yang kemudian beralih menjadi penulis chick lit—
menyatakan pengalamannya tersebut sebagai berikut:
”...Dari kesukaan saya membaca macam-macam buku, saya akhirnya berkenalan dengan buku bergenre chicklit ini dan saya suka karena merasa ceritanya “gue banget”. Dari suka, saya jadi gemas karena pada
Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010
28
waktu itu chicklit didominasi oleh buku terjemahan atau buku luar. Padahal penggemarnya mulai banyak.”9
Kesadaran lain juga timbul dari sebagian perempuan Indonesia yang
menganggap bahwa persoalan perempuan Indonesia dengan segala macam
budaya, adat, norma sosial, agama dan sebagainya sebenarnya jauh lebih komplek
dari pada perempuan barat (Inggris dan Amerika). Semakin lama akhirnya timbul
kesadaran bahwa perempuan Indonesia harus menulis ceritanya sendiri yang
lokal, khas dan unik meskipun tetap di bawah payung nama chick lit yang berasal
dari luar. Kesadaran ini telah menimbulkan gairah menulis yang semakin besar
bagi penulisnya dan juga gairah membaca yang semakin tinggi bagi pembacanya.
Pengalaman Icha Rahmanti—sebagai penulis chick lit Indonesia yang bermula
sebagai pembaca setia chick lit luar—barangkali dapat menggambarkan kondisi
tersebut.
”Gemas karena akhirnya saya berkesimpulan bahwa mungkin di belahan dunia manapun perempuan itu sama, ada sisi yang perempuan banget yang mengikat kita. Nah, gemasnya karena saya merasa cerita perempuan perkotaan Indonesia juga nggak kalah banyak, malah mungkin lebih kaya karena begitu pindah setting lokasi kita akan menemukan local content yang berbeda-beda karena budaya atau agama. Perempuan-perempuan perkotaan di sini malah mungkin lebih mendapat banyak tekanan karena secara rentang umur untuk mengakhiri masa lajang di sini kan relatif lebih singkat ketimbang di luar. Jadi perempuan perkotaan di sini malah lebih rentan dengan quarter life crisis, karena banyak benturan sosial, budaya, dan agama. Makanya saya bilang lebih kaya. Jadi dengan memilih genre itu, saya kepengen sharing juga tag line: Waktunya perempuan Indonesia punya ceritanya sendiri!”10
2.5.2 ”Selebritisasi” Perempuan Muda Penulis
Pada kurun waktu yang bersamaan dengan fenomena booming chick lit
terjemahan luar dan menyusul chick lit Indonesia (2000an), di Indonesia terjadi
fenomena perempuan muda penulis yang sukses seperti Ayu Utami, Dewi Lestari,
Djenar Maesa Ayu, dan Fira Basuki. Fenomena tersebut saya sebut sebagai
”selebritisasi” perempuan muda penulis. Karya-karya mereka digolongkan
9 http://rahmanti.com10 http://rahmanti.com
Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010
29
sebagai ”sastrawangi” (fragrant literature)11. Polemik pro-kontra mengenai karya
mereka berjalan cukup lama memenuhi ruang perdebatan di kolom-kolom rubrik
sastra surat kabar nasional. Karya-karya yang diterbitkan oleh mereka sekitar
tahun 1998 hingga 2000 mendapatkan respon yang sangat positif oleh pasar di
Indonesia. Usia mereka rata-rata 20 hingga 30-an tahun dengan penampilan yang
sangat metropolis, berparas cantik, intelektualitas yang cukup tinggi dan
kemampuan menulis yang mumpuni (Mochtar, 2008:64).
Fenomena perempuan muda penulis berujung pada lahirnya tokoh idola baru
bagi perempuan muda di Indonesia. Perempuan muda penulis –tentu tidak
semuanya— kemudian menjadi selebriti baru bagi kaum perempuan di Indonesia,
khususnya bagi perempuan muda. Perempuan muda penulis –seperti Ayu Utami,
Djenar Maesa Ayu, Dewi Lestari dan Fira Basuki—kerap sekali masuk ke dalam
berita-berita gosip-infotainment (gossip) di stasiun televisi dan majalah-majalah.
Generasi perempuan muda penulis ini mesejajarkan diri mereka dengan bintang
film, artis sinetron, bintang iklan dalam dunia hiburan (entertainment) Indonesia.
Penulis, yang dahulu dianggap konvensional dan tradisonal, kini menjadi profesi
yang penuh prestise dan sangat diperhitungkan. Hal ini juga dapat dilihat dalam
fenomena penulis laki-laki sebagai tokoh selebritis baru. Setidak-tidaknya kita
dapat mencatat dua nama penulis laki-laki selebritis, yaitu Habiburrahman al-
Shirazy dan Andrea Hirata. Habiburrahman al-Shirazy dengan novelnya berjudul
Ayat-ayat Cinta dan Andrea Hirata dengan novelnya Laskar Pelangi telah
menjelma sebagai tokoh selebritis baru yang dipuja-puji penggemarnya di seluruh
Indonesia. Terlebih lagi setelah kedua novel tersebut dengan judul yang sama
telah berhasil diangkat ke dalam layar lebar dan sangat sukses di pasar bioskop
tanah air.
Yang juga membedakan generasi perempuan muda penulis angkatan 2000-an
ini dengan generasi perempuan penulis sebelumnya adalah topik-topik aktual
perempuan masa kini yang mereka angkat sering dianggap tabu (taboo) untuk
dibicarakan oleh perempuan pada generasi sebelumnya. Jika perempuan
11 Sastrawangi (fragrant literature) merupakan sebuah nama atau julukan yang dilekatkan kepada
jenis sastra yang ditulis beberapa perempuan penulis angkatan 2000-an yang banyak berbicara tentang perempuan dan hal-hal yang masih dianggap tabu untuk dibicarakan perempuan, misalnya tentang kelamin, peresetubuhan, lesbianisme, selingkuh, dan lain-lain.
Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010
30
pengarang fiksi sebelumnya lebih banyak menulis tentang hal-hal yang berbau
”roman picisan” semacam cinta, takdir, harapan, kesedihan dan tema-tema
romantis lainnya, maka perempuan penulis fiksi generasi 2000-an lebih banyak
menulis tentang hal-hal yang dianggap tabu bagi perempuan (apalagi dibicarakan
oleh perempuan) misalnya tentang seks, kelamin, persenggamaan, lesbianisme,
feminisme dan tak jarang juga bicara tentang politik—tema yang sering dianggap
jauh dari jangkauan perempuan penulis fiksi maupun perempuan pembaca
sebelum kurun 2000an. Kita dapat membandingkannya melalui judul-judul karya
perempuan penulis fiksi beda generasi tersebut. Di era 70-an hingga 90-an, kita
dapat mencatat novel Karmila (Marga T.), Kabut Sutera Ungu (Ike Supomo),
Takdir (La Rose), Ketika Cinta Harus Memilih (Mira W.), Masih Ada Kereta
yang Akan Lewat (Mira W.), dan Di Balik Dinding Kelabu (Maria A. Sardjono)12.
Bandingkan dengan karya-karya perempuan penulis angkatan 2000-an: Saman,
Larung (Ayu Utami), Supernova, Akar, Filsafat Kopi (Dewi Lestari), Mereka
Bilang Saya Monyet!, Jangan Main-main dengan Kelaminku (Djenar Maesa
Ayu), Trilogi Jendela-jendela, Pintu, Atap (Fira Basuki), dan lain-lain. Perubahan
orientasi tema atau topik yang dibicarakan oleh perempuan penulis pada era 2000-
an juga dapat dibaca sebagai sebuah faktor penting dalam perkambangan
penulisan dan penerbitan di Indonesia.
Di sisi yang lain, terdapat sebuah fenomena yang cukup menarik yaitu
fenomena kalangan selebritis (artis sinetron, penyanyi, bintang iklan, bintang film,
dan sebagainya) yang berbondong-bondong menulis buku, khususnya selebritis
perempuan. Sebut saja beberapa buku: Kamu sadar, saya punya alasan untuk
selingkuh kan sayang? (Tamara Geraldine), 10 Arrrrrgh (Melly Goeslaw), Ups!,
Renungan Kloset (Rieke Dyah Pitaloka), Mae (Intan Nuraini) dan Pulang (Happy
Salma). Produksi chick lit tentu saja tidak dapat dilepaskan dari konteks
perkembangan sastra saat itu (2000-an) dan fenomena selebritisasi perempuan
muda penulis dengan segala macam ”tabu” tentang mereka dan yang dituliskan
juga oleh mereka. Perempuan dalam generasi ini, dengan demikian, telah menjadi
subyek sekaligus obyek dalam karya-karya yang mereka tulis dan terbitkan.
12 Sapardi Djoko Damono, Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan, Jakarta:
Gramedia, 1983, h. 3-17.
Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010
31
”Selebritisasi” perempuan muda penulis barangkali memberikan dampak yang
cukup signifikan bagi merangsangnya perkembangan produksi perempuan penulis
di Indonesia. Salah satu fenomena yang muncul hampir secara bersamaan dengan
fenomena ”selebritisasi” tersebut–seperti yang dituliskan oleh Jenny Mochtar—
adalah booming novel chick lit Indonesia di pasar pembaca, seperti Cintapuccino
(Icha Rahmanti), Jodoh Monica (Alberthiene Endah), serial ”Indiana Chronicle”
(Clara Ng), serial ”Quarter Life” (Primadona Endah) dan serial ”Ms. B” (Fira
Basuki). Perempuan-perempuan muda penulis chick lit ini dapat dikatakan sebagai
generasi kedua ”penulis perempuan selebritis” setelah generasi Ayu Utami dan
kawan-kawan. Meskipun tidak sepenuhnya penggenerasian ini tepat sasaran. Hal
ini dikarenakan beberapa penulis chick lit Indonesia sebelumnya sudah menulis
novel-novel ’serius’ seperti Alberthiene Endah dan Fira Basuki. Demikian juga,
pengaruh atau dampak ”selebritisasi” tersebut dapat dibaca melalui banyaknya
karya-karya (baik chick lit Indonesia maupun novel romantis) yang semakin hari
semakin bertambah banyak ditulis oleh perempuan muda. Sebagai gambaran dari
perkembangan ini, GagasMedia misalnya, pada tahun 2008 telah menolak sekitar
900 naskah13. Meskipun akhirnya semua penulis harus berhadapan dengan hukum
alam—ada yang terkenal (populer), survive dan karyanya laku di pasaran tetapi
ada juga yang tidak terkenal, sekali muncul dan karyanya tidak diterima pasar.
Perempuan muda penulis, kemudian, tidak hanya menjadi sebuah pekerjaan
sampingan yang disepelekan tetapi mendapatkan ’image’ baru sebagai pekerjaan
profesional-karir dan bahkan penuh prestise dan popularitas. Fenomena
”selebritisasi” penulis tersebut –baik perempuan maupun laki-laki— pantas
dicatat sebagai salah satu faktor penting dalam perkembangan dunia penulisan dan
penerbitan di Indonesia tahun 2000-an, termasuk penerbitan chick lit Indonesia di
dalamnya. Perkembangan kebudayaan macam tersebut –fenomena selebritisasi—
telah menjadi salah satu lanskap budaya produksi chick lit Indonesia di penerbit
GagasMedia.
13 Wawancara dengan Christian Simamora, anggota Dewan Redaksi—editor desk chick lit, teen lit
dan fiksi remaja lainnya.
Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010
32
2.5.3 Konsumerisme Urban: ”Anak Mal” Menulis Chick lit Indonesia
Christian Simamora14 menyatakan bahwa 55% dari penjualan (pasar) chick lit
adalah Jakarta, selebihnya (45%) tersebar di luar Jakarta. Berdasarkan informasi
tersebut kita dapat membaca bahwa pasar pembaca terbesar adalah Jakarta dengan
segala budaya urban metropolitan di dalamnya. Di dalam budaya urban
metropolitan tersebut, dapat kita jumpai fenomena mal dan konsumerisme yang
mewabah di dalamnya. Didirikannya mal-mal hampir di semua sudut Jakarta (dan
kota-kota besar lainnya) telah melahirkan budaya konsumerisme yang sangat
masif. Bahkan oleh sebagian pihak dapat dikatakan sebagai hiperkonsumerisme,
seperti halnya nama-nama mal tersebut semisal ’hypermart’.
Fenomena mal dengan budaya konsumerisme di dalamnya merupakan faktor
penting dalam perkembangan kebudayaan masyarakat urban kota Jakarta.
Beberapa sumber menyatakan bahwa perkembangan jumlah mal di Jakarta sudah
sedemikian pesatnya dan beberapa pengamat menyatakan sebagai ”melebihi batas
kewajaran”. Salah satu sumber datang dari Andreas Kartawinata, Ketua Asosiasi
Pengelola Pusat Perbelanjaan Indonesia DKI Jakarta. Saat konferensi pers di
Plaza Semanggi, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Kamis (7/6/2007), Andi
menyatakan bahwa saat ini (tahun 2007) jumlah mal di Jakarta sebanyak 40 dan
disekitar Jakarta mencapai 25. Khusus untuk Jakarta, diperkirakan akan ada 12
mal baru. Pemain ritel asing pun mulai gencar masuk seperti dari AS, Eropa,
Thailand dan Australia (detikfinance.com, 07/06/2007, 19:08 WIB)15. Sumber
lain datang datang dari A Stefanus Ridwan S, Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi
Pengelolaan Pusat Belanja Indonesia (APPBI), dalam seminar bertajuk
'Perkembangan Mal dan Pusat Perbelanjaan di DKI' di Hotel Borobudur, Jl
Lapangan Banteng, Jakarta, Selasa (29/11/2006). Stefanus menyatakan bahwa
saat ini (tahun 2006) Jakarta sudah mempunyai 60 mal dan akan berkembang lagi
jumlahnya mencapai 90 pada tahun 2008 (detikNews.com, 29/11/2006, 13:04
WIB)16.
14 Wawancara dengan Christian Simamora 15http://www.detikfinance.com/read/2007/06/07/190832/790952/4/jumlah-mal-akan-bertambah-
22(Rabu, 28/10/2009. 15.39) 16http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/11/tgl/29/time/130448/idnews
/714103/idkanal/10 (Rabu, 28/10/2009, jam 11.40)
Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010
33
Sumber terakhir datang dari Yayat Supriatna, seorang planolog Universitas
Trisakti Jakarta. Yayat menilai saat ini (tahun 2009) Jakarta sebagai kota
megapolitan yang mempunyai jumlah mal terbanyak di dunia (Waspada Online,
25 August 2009, 00:40)17. Yayat, yang juga sekretaris jenderal (sekjend) Ikatan
Ahli Perencanaan (IAP), menyatakan jumlah mal di Jakarta mencapai angka 130,
melebihi jumlah pusat belanja di sejumlah kota besar lain di dunia yang tidak
mencapai 100 mal. Perbedaan data jumlah mal dari berbagai sumber tersebut
tidaklah berpengaruh dalam penelitian ini. Data-data tersebut hanya membantu
menegaskan tentang perkembangan mal yang sedemikian pesatnya di Jakarta
dengan budaya konsumerisme yang dibawanya. Fenomena tersebut merupakan
salah satu perkembangan yang sangat penting bagi perkembangan budaya urban
masyarakat kota, khususnya Jakarta.
Di antara komponen utama penyangga budaya urban mal dengan segala
konsumerismenya tersebut, perempuan lajang kota merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari kehidupan mal. Kehidupan karir perempuan lajang kota menuntut
pertemuan-pertemuan yang membutuhkan tempat yang enak, nyaman dan
bergengsi. Mal dengan segala macam isinya menawarkan tempat-tempat yang
sangat nyaman bagi perempuan karir untuk sekadar kongkow-kongkow,
nongkrong, meeting dan sebagainya. Biasanya pada malam hari sembari
menunggu macetnya Jakarta atau pada siang hari saat jam istirahat kantor atau
pada pertemuan-pertemuan khusus dengan kolega atau rekan bisnis.
Pembaca chick lit terbesar dilahirkan dari komunitas mal yang lahir di kota
metropolitan macam Jakarta ini. Hal tersebut tentulah karena faktor kedekatan
realitas yang ditawarkan dalam tema-tema dan isi chick lit tersebut dengan realitas
yang membumi dengan budaya masyarakat urban metropolitan, khususnya
perempuan lajang kota atau wanita karir yang belum bersuami. Hal ini juga
dinyatakan dalam dalam dua fakta yang dinyatakan oleh Christian Simamora
mengenai budaya urban dalam chick lit: pertama, suasana urban di dalam chick lit
hanya sesuai dengan masyarakat urban. Kedua, penulis-penulis chick lit berasal
dari masyarakat Urban. Kedekatan realitas tersebut, diperkuat lagi oleh Windy
17http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=47294:jumlah-
mal-di-jakarta-terbanyak-di-dunia&catid=17&Itemid=30 (Rabu, 28/10/2009. 15.35)
Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010
34
Ariestanty dan Moammar Emka18, disebabkan rata-rata penulis chick lit berasal
dari komunitas mal-urban-metropolitan tersebut. Emka menambahkan bahwa
hampir semua penulis chick lit, baik yang dilahirkan GagasMedia maupun
penerbit lain, merupakan anak mal –khususnya sebagai pengunjung setia kafe.
Penulis chick lit dengan demikian merupakan orang yang sudah sangat akrab dan
mengenal dunia mal, kafe, dan budaya urban metropolitan yang melingkupinya.
2.5.4 Chick lit Indonesia dan Perempuan Lajang Kota: Cermin Sosial
Perempuan lajang kota merupakan istilah bagi perempuan muda yang bekerja
dan tinggal di tengah hiruk pikuk kota mertopolitan semacam Jakarta dan
Bandung. Secara khusus, Mochtar (2008: 90-93) membahas definisi lajang
sekaligus fenomena perempuan lajang kota dalam disertasinya. Perempuan lajang
memiliki konotasi positif. Biasanya perempuan lajang digambarkan sebagai
cantik, langsing, pintar, berwawasan dan sukses dengan pekerjaannya.
Selanjutnya Mochtar mengikuti Brown (1962), Whitehead ( 2003), Israel (2003)
dan Blanco (2005) menyatakan bahwa ”perempuan lajang memiliki lebih banyak
waktu luang dan uang untuk dipakai bagi diri sendiri, dan gejala itu ditangkap
oleh pasar, sehingga pasar menawarkan produk-produk tertentu, seperti
apartemen, jenis makanan, hingga media dan beragam produk budaya populer,
dipasarkan khusus untuk perempuan lajang”. Salah satu produk budaya populer
tersebut yaitu chick lit Indonesia.
Di sisi yang lain, kebanyakan penulis chick lit Indonesia merupakan
perempuan lajang kota. Mereka sangat mengerti budaya yang berkaitan dengan
dunia perempuan lajang yang tinggal di kota. Hal ini disebabkan status mereka
yang juga masih lajang (single) saat menulis chick lit Indonesia atau setidak-
tidaknya pernah merasakan hidup melajang di tengah budaya urban metropolitan
semacam itu. Beberapa penulis chick lit Indonesia saat menulis chick lit Indonesia
ada yang masih berstatus lajang ada pula yang sudah berumah tangga. Namun,
rata-rata dari semuanya pernah mengalami sendiri hidup melajang di tengah
kepungan budaya urban kota metropolitan dengan mal dan konsumerisme sebagai
tiang penyangga utamanya. Hampir semua penulis chick lit Indonesia merupakan
18 Wawancara dengan Windy Ariestanty dan Moammar Emka
Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010
35
perempuan yang tinggal di kota-kota metropolitan, yaitu Jakarta dan Bandung.
Sebutlah beberapa nama: Icha Rahmanti (seorang produser dan penyiar OZ FM di
Bandung, dan arsitek freelance), Alberthiene Endah (delapan tahun bekerja di
majalah Femina dan kini Redaktur Pelaksana majalah Prodo), dan Fira Basuki
(pimpinan tabloid wanita muda Spice!).
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa realitas mal dengan segala
konsumerisme di dalamnya telah menjadi realitas acuan bagi para perempuan
muda penulis chick lit Indonesia dalam menciptakan realitas isi (content) di dalam
karya-karya mereka. Realitas isi tersebut, dengan demikian pula, di depan
pembaca chick lit Indonesia kembali menjadi diterima secara mudah sebagai suatu
acuan yang sangat dekat dengan realitas mereka yang memang sudah sangat dekat
dengan dunia mal-urban-metropolitan. Sehingga dapat dikatakan pula bahwa
sesungguhnya semua realitas –baik realitas isi chick lit, realitas penulis, realitas
pembaca dan barangkali juga realitas penerbit (dalam hal ini Dewan Redaksi)—
mengacu kepada realitas mal dengan segala budaya urban kontemporer di
dalamnya. Lanskap kebudayaan urban kontemporer macam inilah yang menjadi
salah satu pijakan budaya produksi chick lit Indonesia, khususnya yang diproduksi
oleh GagasMedia. Seperti dikatakan di bagian terdahulu bahwa hampir semua
penulis chick lit Indonesia adalah perempuan lajang kota atau setidak-tidaknya
perempuan yang pernah melajang dan tinggal di kota metropolitan.
Dapatlah dikatakan bahwa chick lit Indonesia merupakan curahan hati para
perempuan lajang kota. Fenomena curahan hati perempuan lajang kota tersebut
berkorelasi dengan fakta tentang naiknya jumlah perempuan lajang di kota-kota
besar, khususnya Jakarta. Mochtar (2008:75) menunjukkan beberapa penelitian
tentang fenomena perempuan lajang kota, diantaranya yang dilakukan oleh Jones
(2002), Adioetomo (2006) dan Utomo (2006), yang menyatakan tentang naiknya
jumlah perempuan lajang di Indonesia dan Asia Tenggara. Meskipun penelitian-
penelitian tersebut tetap menunjukkan bahwa pernikahan tetap menjadi pilihan
utama perempuan Indonesia tetapi telah terjadi perubahan gaya hidup perempuan
masa kini dalam hal pencapaian pendidikan, penundaan pernikahan dan karir.
Mochtar menuturkannya sebagai berikut:
“Walaupun ada kecenderungan perempuan lebih lambat memasuki jenjang pernikahan, dan menghabiskan waktu lebih lama untuk belajar
Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010
36
dan bekerja, penelitian Jones dan Adioetomo dan Utomo menunjukkan bahwa di Indonesia pernikahan tetap merupakan pilihan utomo dengan menunjukkan bahwa pada usia 40, hampir semua perempuan Indonesia telah menikah. Jones melihat bahwa pendidikan pernikahan dan karier sangat berkaitan dalam menentukan gaya hidup perempuan masa kini.”
Dengan melihat hasil penelitian di atas dan membandingkannya dengan
karakter kisah curhat chick lit Indonesia, dapatlah dikatakan bahwa fenomena
perempuan lajang kota merupakan sebuah fenomena yang sudah umum (dan
menjadi budaya baru) di dalam masyarakat urban kota. Dengan demikian, dapat
pula dikatakan bahwa fenomena tersebutlah yang menjadi salah satu penggerak
utama industri chick lit Indonesia. Sehingga dapat digambarkan, perempuan
lajang kota menulis curhat dalam novel chick lit-nya yang bercerita tentang
seorang perempuan lajang kota dan kemudian akhirnya dibaca juga oleh
komunitas perempuan lajang kota. Demikianlah, siklus atau alur industri chick lit
Indonesia yang tak terlepaskan dari salah satu fenomena global kelajangan
perempuan urban kota tersebut.
2.5.5 Globalisasi dan Glokalisasi
Globalisasi bukanlah wacana baru dalam perbendaharan baik akademik
maupun praktik sehari-hari kita. Globalisasi dengan segala perkembangan
kebudayaan yang menyertainya telah melanda seluruh negara di dunia ini. Arus
masuk dari dunia global kepada setiap negara tidak dapat dielakkan. Khususnya,
perkembangan teknologi transportasi, informasi dan komunikasi yang semakin
memudahkan manusia untuk menjangkau belahan dunia yang lain—juga untuk
mengetahui apa yang terjadi di belahan dunia yang lain. Namun, globalisasi juga
bukan hadir tanpa cacat. Yaitu, adanya relasi kuasa yang tidak seimbang antara
negara maju, negara berkembang dan negara terbelakang. Globalisasi, sebagai
anak kandung modernisme, yang semula dipuja sebagai yang akan membawa
kabar gembira bagi peradaban, perdamaian dan kesetaraan umat manusia ternyata
mengandung sebuah cacat, yaitu ketidakseimbangan kekuatan (power) di antara
pihak yang saling berinteraksi.
Posmodernisme, sebagai counter atas modernisme yang melahirkan
globalisasi tersebut, datang dengan cita-cita atas penegakan kembali martabat dan
Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010
37
harga diri “yang lokal”. “Yang lokal” selama ini dilemahkan (untuk tidak
mengatakan sebagai dihilangkan) oleh “yang global”. Posmodernisme datang
mengabarkan bahwa posisi yang tidak setara antara “yang lokal” dan “yang
global” harus dihilangkan. Keduanya harus mendapatkan posisi yang setara.
Sementara menghilangkan atau memutus jalur globalisasi merupakan pekerjaan
yang hampir musatahil. Perkembangan teknologi komunikasi (internet,
handphone dan sebagainya) tak bisa membuat manusia terputus dari dunia di
seberang yang paling jauh sekalipun. Oleh karena itu, glokalisme lahir sebagai
jalan tengah yang ditempuh. Di satu sisi, “yang lokal” tetap harus ada dan
berkembang. Di sisi yang lain, “yang global” berhak masuk dan berkembang.
“Yang lokal” dan “yang global” melahirkan sebuah hibrida, yaitu ”yang glokal”.
Glokalisasi kemudian menjadi jalan tengah bagi kedua arus yang sama-sama tak
terbendung itu.
Dalam konteks chick lit Indonesia, kita tahu bahwa chick lit berakar dari
Inggris—sebuah representasi dari “yang global”. Chick lit Inggris telah masuk ke
Indonesia melalui baik karya-karya aslinya maupun karya terjemahan. Dalam era
globalisasi seperti sekarang ini, membeli buku-buku luar negeri (semacam chick
lit) tersebut bukanlah hal yang sulit. Terlebih lagi, fasilitas internet yang semakin
memudahkan manusia untuk melakukan transaksi secara online. Masuknya chick
lit Inggris tersebut, baik yang asli maupun yang terjemahan, memberikan inspirasi
bagi beberapa perempuan Indonesia untuk menulis chick lit Indonesia. Pada
umumnya, mereka juga merupakan pembaca setia chick lit luar negeri, baik dari
Inggris maupun Amerika. Dunia industri penerbitan menangkap peluang tersebut.
Terlebih lagi melihat antusiasme masyarakat terhadap chick lit dari luar negeri
tersebut. Chick lit yang semula hanya ada di Inggris dan kemudian Amerika tiba-
tiba menjadi ada di Indonesia dengan ciri khas dan keunikannya sendiri. Chick lit
Indonesia, dengan demikian, merupakan contoh kongkret atas fenomena
glokalisasi. “Chick lit” itu sendiri merupakan produk dari “yang global”.
Sedangkan “Indonesia” menunjukkan tentang “yang lokal”, “yang khas”, “yang
unik”. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa chick lit Indonesia merupakan
situs kebudayaan popular penting yang dapat dipakai untuk melihat fenomena
glokalisasi secara kongkret yang kian tak terbendung akhir-akhir ini.
Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010
Top Related