SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN INDUSTRI PENGOLAHAN MAKANAN DI INDONESIA
(ANALISIS TOTAL FACTOR PRODUCTIVITY)
OLEH
MUHAMMAD IQBAL TRIAJIE H14102118
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
MUHAMMAD IQBAL TRIAJIE. Sumber-Sumber Pertumbuhan Industri Pengolahan Makanan di Indonesia (Analisis Total Factor Productivity) (Dibimbing oleh BUNGARAN SARAGIH).
Isu ketahanan pangan telah memasuki paradigma baru, dengan adanya konsep sustainable food security (konsep ketahanan pangan berkelanjutan). Dalam hal ini selain peranan yang sangat mendasar dari industri pertanian, yang perlu diperhatikan juga adalah peranan penting dari industri pengolahan makanan sebagai industri yang dapat mengoptimalkan hasil-hasil pertanian. Selain itu industri pengolahan merupakan penyumbang terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dan industri pengolahan makanan memiliki kontribusi yang paling dominan dalam industri pengolahan. Industri pengolahan makanan juga merupakan bagian integral dari subsistem agribisnis hilir dalam sistem agribisnis.
Dalam menganalisis peranan industri pengolahan makanan digunakan metode Total Factor Productivity, untuk menghitung akumulasi faktor dan tingkat efisiensi teknis dari industri tersebut. Dengan demikian dapat dilihat bagaimana ketergantungan industri pengolahan makanan terhadap akumulasi faktor dan bagaimana pengaruh teknologi (efisiensi teknis) terhadap industri pengolahan makanan. Hasil perhitungan pertumbuhan bersama dengan faktor produksi yang lain diregresi dengan menggunakan metode Pool Least Square (PLS).
Pada saat krisis memang industri pengolahan merupakan industri yang paling mengalami kehancuran dan mendapatkan dampak yang sangat signifikan dari krisis. Akan tetapi pada masa pemulihan industri pengolahan, khususnya produk makanan pokok, merupakan sektor industri yang paling cepat pulih dan kembali tumbuh secara pesat. Dalam periode 1994-1996, industri pengolahan mengalami pertumbuhan nilai output sebesar 20.97 persen, dan mengalami penurunan nilai rata-rata pertumbuhan menjadi 11.29 persen ketika krisis melanda perekonomian. Namun dengan cepat pertumbuhan rata-rata kembali meningkat pada periode 2000-2002 sebesar 35.84 persen.
Pertumbuhan masih didominasi oleh pengaruh faktor input, terutama bahan baku (input driven). Peranan teknologi dalam industri pengolahan masih belum optimal karena hanya dapat diterapkan pada beberapa sektor industri. Hal ini dikarenakan mahalnya biaya imbangan untuk kemajuan teknologi dan masih lemahnya industri nasional dalam melakukan proses difusi teknologi, ditambah dengan kualitas sumber daya manusia yang mayoritas masih dibawah standar. Sesuai dengan arah kebijakan pemerintah, hanya sektor-sektor industri prioritas yang mampu memanfaatkan teknologi dengan baik dengan dukungan penuh dari pemerintah, sementara sektor lainnya kurang mendapatkan perhatian dalam hal adopsi teknologi. Akibatnya kemajuan teknologi pada industri pengolahan makanan tidak merata dan secara keseluruhan belum optimal.
SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN INDUSTRI PENGOLAHAN MAKANAN DI INDONESIA
(ANALISIS TOTAL FACTOR PRODUCTIVITY)
Oleh
MUHAMMAD IQBAL TRIAJIE H14102118
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh,
Nama Mahasiswa : Muhammad Iqbal Triajie
Nomor Registrasi Pokok : H14102118
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi : Sumber-Sumber Pertumbuhan Industri
Pengolahan Makanan di Indonesia
(Analisis Total Factor Productivity)
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut
Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec. NIP. 130 350 045
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS. NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2006
Muhammad Iqbal Triajie H14102118
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Muhammad Iqbal Triajie dilahirkan pada tanggal
1 Januari 1985 di Kota Bogor. Penulis anak ketiga dari empat bersaudara, dari
pasangan Iskandar Dharsono dan Yunarsih. Jenjang pendidikan pertama penulis
dimulai di TK Pertiwi 1 Bogor pada tahun 1989, Kemudian melanjutkan ke SDN
Panaragan 2 Bogor pada tahun 1990 hingga lulus pada tahun 1996. Penulis
kemudian melanjutkan jenjang pendidikan ke SLTPN 6 Bogor hingga lulus pada
tahun 1999, dan kemudian diterima di SMUN 5 Bogor dan lulus pada tahun 2002.
Pada tahun 2002 penulis mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru
(SPMB) dan diterima masuk di Departemen Ilmu Ekonomi (IE) Fakultas
Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Selama menjalankan studi
penulis aktif di beberapa organisasi di lingkungan Fakultas Ekonomi dan
Manajemen (FEM) antara lain sebagai anggota Biro Kesekretariatan HIPOTESA
(Himpunan Profesi Mahasiswa Ilmu Ekonomi) IPB pada tahun 2004, dan menjadi
Presiden klub Sepak Bola dan Futsal Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FFFF)
periode 2004-2005. Selain itu penulis juga aktif mengikuti berbagai kepanitiaan
dalam acara-acara yang diselenggarakan di lingkungan Fakultas Ekonomi dan
Manajemen IPB.
Beberapa prestasi yang pernah penulis raih ketika menjalankan studi di
IPB antara lain, pemain terbaik (MVP) babak final Turnamen Futsal PORFEM
(Pekan Olah Raga FEM) pada tahun 2003, bersama Departemen Ilmu Ekonomi
menjuarai HIMAFARIN CUP (Turnamen Futsal Antar Departemen se-IPB) pada
tahun 2003, dan bersama Fakultas Ekonomi dan Manajemen meraih medali
perunggu untuk cabang sepak bola pada Olimpiade IPB tahun 2005.
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Sumber-Sumber Pertumbuhan Industri
Pengolahan Makanan di Indonesia (Analisis Total Factor Productivity)”.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec. Ph.D yang telah memberikan bimbingan
baik secara moril maupun materil dalam penyusunan skripsi ini sehingga dapat
diselesaikan dengan baik, dan dalam waktu yang relatif singkat mampu membuka
pemikiran penulis sehingga memberikan pengetahuan dan wawasan yang lebih
luas bagi penulis.
2. Nunung Nuryantono, Ph.D sebagai dosen penguji utama, yang telah
memberikan banyak masukan dan dukungan kepada penulis sehingga penyusunan
skripsi ini dapat berjalan dengan lancar.
3. Fifi Diana Thamrin, SE. M.Si sebagai komisi pendidikan, yang telah
memberikan banyak perbaikan dalam penulisan skripsi ini, sehingga skripsi ini
menjadi lebih sempurna.
4. Noer Azam Achsani, Ph.D yang telah memberikan masukan mengenai
metode analisis dan pengolahan data dalam penelitian ini.
5. Syamsul Hidayat Pasaribu, SE. M.Si yang memberikan masukan mengenai
metode analisis dalam penelitian ini, dan memperlancar kegiatan administrasi
dalam penyusunan skripsi ini.
6. Muhammad Findi A, SE. M.Si atas diskusi dan masukan dalam
penyusunan skripsi ini.
7. Kedua orang tua penulis, yaitu Yunarsih dan Iskandar Dharsono, serta
terima kasih kepada Iriansyah, Yuanita, Robby Kurniawan, Novianthy Fitria,
Syarbi Hasanudin dan Mega Marlina yang selalu memberi semangat kepada
penulis. Terima kasih untuk keceriaan yang selalu diberikan oleh Lulu, Elsya, Abi
dan Rido.
8. Penulis juga sangat terbantu dengan kritik dan saran teman-teman di
Departemen Ilmu Ekonomi, karena itu tiada kata-kata yang mampu melukiskan
rasa terima kasih penulis kepada mereka semua, terutama Imam, Tasya, Adife,
Wirda, Fickry, Mala, Thamic, Ionk, Aira, Febri, andros, Lia, Ade Holis, Nonon,
Isma, Ryan, Rudi, Soichiro, Sotoy dan teman-teman Ilmu Ekonomi yang lain
khususnya angkatan 39 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
9. Keluarga besar Departemen Ilmu Ekonomi dan Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, kepada seluruh Dosen dan Staf yang selalu memberikan dukungan
kepada penulis semasa penulis menjalankan studi di Departemen Ilmu Ekonomi.
Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak-pihak lainnya
yang membutuhkan.
Bogor, September 2006
Muhammad Iqbal Triajie H14102118
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL .............................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................... xiii
I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2. Perumusan Masalah ...................................................................... 4
1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................... 8
1.4. Kegunaan Penelitian ..................................................................... 8
1.5. Ruang Lingkup Penelitian............................................................. 9
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN .......... 10
2.1. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 10
2.1.1 Sistem Agribisnis. ............................................................. 10
2.1.2. Konsep Ketahanan Pangan................................................ 11
2.1.3. Produktivitas, Pertumbuhan, dan Sumber Pertumbuhan... 13
2.1.4. Sumber-Sumber Pertumbuhan Produktivitas.................... 14
2.1.5. Definisi Industri Pengolahan Makanan............................. 16
2.1.6. Teori Residual Solow ........................................................ 17
2.1.7. The Law of Diminishing Return ........................................ 19
2.1.8. Fungsi Produksi Cobb Douglas ......................................... 21
2.1.9. Hasil Penelitian Sebelumnya............................................. 22
2.2. Kerangka Pemikiran Teoritis ........................................................ 25
2.2.1. Total Factor Productivity Growth: Konsep dan Pengukuran......................................................................... 25
2.2.2. Jenis-Jenis Perubahan Teknologi ....................................... 27
2.3. Kerangka Pemikiran Operasional ................................................. 28
2.4. Hipotesis........................................................................................ 32
III. METODE PENELITIAN .................................................................. 33
3.1. Lokasi Penelitian........................................................................... 33
3.2. Waktu Penelitian ........................................................................... 33
3.3. Jenis dan Sumber Data .................................................................. 33
3.4. Metode Analisis ............................................................................ 34
3.4.1. Pengolahan Data Panel (Pool).............................................. 35
3.4.1. Pendekatan Analisis Produktivitas Faktor Total ................. 37
3.4.2. Estimasi ................................................................................ 38
3.5. Pengujian Model ........................................................................... 43
3.5.1. Uji Koefisien Determinasi (R2)........................................... 44
3.5.2. Uji-F .................................................................................... 44
3.5.3. Uji-t ..................................................................................... 45
3.6. Evaluasi model .............................................................................. 45
3.6.1. Heteroskedastisitas.............................................................. 45
3.6.2. Multikolinieritas ................................................................. 46
3.6.3. Autokorelasi ........................................................................ 46
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................... 48
4.1. Kontribusi Sektor Industri Pengolahan Dalam PDB..................... 48
4.2. Arah Kebijakan Perindustrian di Indonesia .................................. 52
4.3. Karakteristik Industri Pengolahan Makanan di Indonesia ............ 53
4.4. Pertumbuhan Industri Pengolahan Makanan ................................ 56
4.5. Pengaruh Akumulasi Faktor Terhadap Pertumbuhan ................... 59
4.5.1. Pengujian Model ................................................................ 61
4.5.2. Tenaga Kerja (Labor).......................................................... 63
4.5.3. Faktor Modal (Capital)........................................................ 67
4.6. Peranan Teknologi ........................................................................ 72
V. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 77
5.1. Kesimpulan ................................................................................... 77
5.2. Saran.............................................................................................. 78
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 81
LAMPIRAN.................................................................................................... 84
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
4.1. Kontribusi PDB Menurut Sektor Tahun 1993 dan 2006 Triwulan I (persen)........................................................................................................48
4.2. Pertumbuhan PDB Sektor Industri Pengolahan Tahun 1993-2005** (persen)........................................................................................................49
4.3. Komposisi PDB Sektor Industri Pengolahan Menurut Subsektor 1993-2002 (persen) .....................................................................................50
4.4. Distribusi Persentase Nilai Tambah Bruto Industri Besar Sedang Menurut Jenis Industri 2003 (Ribu Rp) ......................................................51
4.5. Klasifikasi Golongan Industri Berdasarkan Tenaga Kerja..........................54
4.6. Pertumbuhan Nilai Output Industri Pengolahan Makanan (persen) ...........58
4.7. Hasil Regresi dengan metode PLS..............................................................60
4.8. Pertumbuhan Nilai Tenaga kerja Industri Pengolahan Makanan (persen)..66
4.9. Pertumbuhan Nilai Modal Industri Pengolahan Makanan (persen)............67
4.10. Kontribusi Barang Modal Terhadap Total Kapital (persen) .......................69
4.11. Tingkat Pengembangan Teknologi Industri Pengolahan Makanan (persen)........................................................................................................74
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
2.1. Kurva Kemungkinan Produksi......................................................................18
2.2. Kurva Produk Total dan Marjinal .................................................................20
2.3. Bagan Sistem Agribisnis dan Dimensi Kunci dalam Sistem Agribisnis.......29
2.4. Bagan Alur Kerangka Pemikiran Operasional..............................................31
4.1 Pertumbuhan Jumlah Perusahaan Dalam Industri Pengolahan Makanan .....55
4.2 Sumber Modal Industri Pengolahan Makanan..............................................55
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Kode Klasifikasi Industri Berdasarkan KBLI 2003........................................85
2. Tabel Penghitungan Pertumbuhan Output dan Tenaga Kerja ........................86
3. Tabel Penghitungan Pertumbuhan Kapital dan Teknologi .............................86
4. Distribusi Labor, Bahan Baku, Energi, Sewa dan Jasa ...................................87
5. Proporsi Masing-masing Input Terhadap Input Total.....................................87
6. Rata-Rata Pertumbuhan Kontribusi Input Tahun Ke t, t-1 .............................88
7. Distribusi Input, Output dan Hasil Perhitungan Pertumbuhan .......................88
8. Tabel kontribusi Output Kelompok Industri Terhadap Output.......................89
9. Hasil Regresi Dengan Metode PLS.................................................................90
10. Hasil Regresi Dengan Metode FELS ..............................................................91
11. Hasil Perhitungan Statistik Chow ...................................................................92
12. Grafik Residual Masing-masing Cross Section ..............................................92
I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Kebutuhan akan bahan pangan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan
yang cukup pesat seiring pertumbuhan penduduk yang berakselerasi secara cepat.
Jika diibaratkan, pertumbuhan penduduk yang meningkat berdasarkan deret
geometri semakin sulit diimbangi dengan produksi makanan dan bahan pangan
yang berkembang berdasarkan deret aritmatika. Dibutuhkan produktivitas yang
sangat tinggi dalam memproduksi bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan
penduduk setiap tahunnya. Untuk mencapai pertumbuhan produktivitas yang
tinggi tersebut diperlukan adanya peningkatan produktivitas dalam industri
pertanian sebagai pemasok bahan baku produk pangan dan peranan industri
pengolahan makanan sebagai stimulus bagi pertumbuhan produksi bahan pangan
secara keseluruhan untuk mencukupi standar ketahanan pangan nasional. Isu
ketahanan pangan merupakan salah satu permasalahan penting yang dapat
dipecahkan dengan pendekatan sistem agribisnis.
Selama beberapa tahun ini studi internasional telah banyak yang
mengangkat tema agribisnis. Tekanan yang berganda akibat adanya pertumbuhan
penduduk dan perubahan lingkungan menyebabkan studi mengenai agribisnis
lebih berkembang. Pada sisi pasar, sektor agribisnis dihadapkan pada kehadiran
pemain-pemain baru dalam saluran distribusi dan komersialisasi yang
berhubungan dengan permintaan konsumen yang semakin eksklusif, seperti
kesehatan, ramah lingkungan, dan produk-produk yang terdiversifikasi. Pada sisi
perusahaan, ada transformasi dari industri kecil dan rumah tangga ke industri-
industri besar yang berkembang berdasarkan rantai produksi dan distribusi.
Pada sektor industri yang lain, penetapan tujuan perusahaan dapat
ditentukan berdasarkan struktur kordinasi masing-masing perusahaan. Dalam
sektor agribisnis, tujuan perusahaan menuntut adanya penyeragaman strategi dari
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh sejumlah stakeholders (pemegang peranan)
yang sangat besar yang memiliki hubungan yang mengacu kepada kegagalan
pasar dan memiliki perbedaan kepentingan. Untuk itu analisis agribisnis menuntut
adanya pendekatan yang dinamis dan sistematis daripada yang statis dan lokal,
dan perhatian akan investasi untuk mencapai optimisasi jangka panjang yang
dinamis dari sistem secara keseluruhan.
Pada saat ini, mengacu pada peningkatan permintaan untuk bahan pangan,
pengetahuan tentang pertanian telah berkembang lebih luas dan menjadi
instrumen dalam perubahan industri dari pertanian milik keluarga menjadi industri
pertanian yang lebih besar. Pertanian modern telah memanfaatkan teknik kultivasi
dan budidaya ternak, kemudian mentransfer fungsi penyimpanan, pemrosesan dan
distribusi dari tanaman pangan dan ternak seperti yang terjadi pada industri-
industri lainnya selain industri pertanian. Fenomena ini menyebabkan, klasifikasi
tradisional mengenai kegiatan sektor primer, sekunder dan tersier membuka jalan
bagi analisis yang terfokus kepada sistem hubungan dari produksi, pemrosesan
dan komersialisasi dari produk pertanian yang orisinil. Isu sentral dalam studi
agribisnis ini adalah integrasi dari rantai produksi, yang mengacu kepada
pendekatan sistem komoditi (Davis dan Goldberg dalam Wilk dan Fensterseifer,
2002). Artinya sektor agribisnis merupakan bentuk modern dari pertanian primer,
dan paling sedikit mencakup empat subsistem, yaitu: subsistem agribisnis hulu
(up-stream agribusiness), subsistem usahatani (on-farm agribusiness) atau yang
biasa dianggap sebagai pertanian primer, subsistem agribisnis hilir (down-stream
agribusiness), dan jasa layanan pendukung seperti lembaga keuangan dan
pembiayaan, transportasi, penyuluhan dan layanan informasi agribisnis, penelitian
dan pengembangan, kebijakan pemerintah, dan lain sebagainya (Saragih, 1998).
Menurut Saragih (1998), struktur sektor agribisnis untuk hampir semua
komoditi dewasa ini masih tersekat-sekat. Subsistem agribisnis hulu (produksi dan
perdagangan saprotan) dan subsistem agribisnis hilir (pengolahan hasil pertanian
dan perdagangan) dikuasai oleh pengusaha menengah-besar yang bukan petani.
Sedangkan pada subsistem agribisnis usahatani merupakan porsi ekonomi petani.
Hal ini menyebabkan pendapatan petani sulit mengalami peningkatan karena
added value (nilai tambah) pada subsistem usahatani sangat kecil, jauh lebih kecil
dari nilai tambah yang didapatkan oleh pengusaha menengah-besar yang berada
pada subsistem agribisnis hulu dan hilir. Dalam isu ketahanan pangan yang
diangkat dalam penelitian ini, subsistem agribisnis hilir merupakan subsistem
yang paling berpengaruh terhadap terpenuhinya standar kecukupan pangan
masyarakat.
Standar kecukupan pangan di tingkat rumah tangga dipengaruhi oleh dua
aspek, pertama availability (ketersediaan) dan accesibility (keterjangkauan).
Aspek availability menuntut adanya sinergisitas dari seluruh subsistem dalam
sistem agribisnis, sehingga produksi bahan pangan semakin meningkat sebanding
dengan pertumbuhan permintaan konsumen. Sedangkan untuk aspek accesibility
diperlukan peranan yang sangat dominan dari subsistem agribisnis hilir, karena
subsistem ini berhubungan langsung atau merupakan subsistem yang paling dekat
dengan konsumen. Sehingga dalam isu ketahanan pangan ini subsistem agribisnis
hilir merupakan subsistem yang paling berpengaruh.
Karena itu, penelitian ini meneliti lebih dalam mengenai industri
pengolahan makanan, yang merupakan subsistem agribisnis hilir, dan
produktivitasnya guna mengetahui lebih jauh prospek pencapaian food security
(keamanan pangan) pada masa yang akan datang. Namun, seperti yang telah
dijelaskan di awal, pembahasan mengenai subsistem agribisnis hilir ini tidak
terlepas dari subsistem-subsistem agribisnis yang lainnya, karena pemahaman
tentang agribisnis sebagai satu kesatuan sistem yang berinteraksi secara
menyeluruh dan saling berkaitan satu sama lain.
1.2. Perumusan Masalah
Industri pengolahan memberikan sumbangan PDB yang cukup besar dan
sangat berpengaruh terhadap perkembangan industri nasional secara keseluruhan,
karena itu pertumbuhan pada sektor industri pengolahan dapat mencerminkan
pertumbuhan pada industri nasional. Begitu juga masalah yang terjadi pada
industri pengolahan makanan pada saat ini. Permasalahan nasional yang sedang
terjadi pada saat ini adalah tingginya angka pengangguran dan kemiskinan,
rendahnya pertumbuhan ekonomi, melambatnya perkembangan ekspor Indonesia,
lemahnya sektor infrastruktur, dan tertinggalnya kemampuan nasional di bidang
penguasaan teknologi (Deprin, 2005).
Laju pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi oleh penciptaan
lapangan pekerjaan baru menyebabkan angka pengangguran semakin tinggi dan
semakin ketatnya persaingan dalam mencari pekerjaan. Persaingan dalam mencari
kerja ini menyebabkan menurunnya upah yang diterima oleh pekerja sehingga
menurunnya pendapatan per kapita, yang pada akhirnya menyebabkan angka
kemiskinan semakin meningkat. Rendahnya pendapatan dan produktivitas pekerja
menyebabkan rendahnya pertumbuhan ekonomi nasional. Fenomena krisis
ekonomi pada periode 1997 menambah kelesuan perekonomian pada semua
sektor yang menyebabkan terjadinya resesi ekonomi dan penurunan tajam dalam
pendapatan nasional Indonesia. Sehingga kegiatan pembangunan seperti
pengembangan infrastruktur dan teknologi terhambat. Sementara perkembangan
ekspor Indonesia pun melambat dengan menurunnya produktivitas pada saat krisis
ekonomi.
Berdasarkan kebijakan pembangunan industri nasional yang
dipublikasikan oleh Deprin (2005) berbagai masalah pokok yang sedang dihadapi
oleh sektor industri yaitu: Pertama, ketergantungan yang tinggi terhadap impor
baik berupa bahan baku, bahan penolong, barang setengah jadi dan komponen.
Kedua, keterkaitan antara sektor industri dan sektor industri dengan sektor
ekonomi lainnya relatif masih lemah. Ketiga, struktur industri hanya didominasi
oleh beberapa cabang industri yang tahapan proses produksinya pendek. Keempat,
ekspor produk industri didominasi oleh hanya beberapa cabang industri. Kelima,
lebih dari 60 persen kegiatan sektor industri terletak di Pulau Jawa. Keenam,
masih lemahnya peranan kelompok Industri Kecil dan Menengah (IKM) dalam
sektor perekonomian.
Ketergantungan yang tinggi terhadap barang impor disebabkan strategi
pemerintah yang memfokuskan pada sektor-sektor industri yang mengutamakan
teknologi tinggi, padahal merupakan foot loose industry. Sedangkan keterkaitan
antara sektor industri yang masih lemah disebabkan oleh, tidak adanya hubungan
organisasi fungsional antara sektor industri dan hanya diikat oleh hubungan pasar
produk antara. Tahapan produksi dari cabang-cabang industri nasional pun
terkesan pendek, karena struktur sektor industri terutama sektor agribisnis yang
masih tersekat-sekat untuk sebagian besar komoditi. Dan permasalahan-
permasalahan lainnya pun terjadi karena tidak tuntasnya pembangunan dalam
sektor agribisnis nasional.
IKM pada industri pengolahan makanan sulit berkembang karena
kurangnya akses terhadap modal dan kurangnya nilai tambah produk mereka,
karena IKM yang mengolah bahan pangan sebagian besar berkembang dari
kegiatan usahatani primer, yang merupakan subsektor agribisnis yang
mendapatkan porsi nilai tambah yang paling kecil. Pasar bagi industri pengolahan
makanan pun masih dikuasai oleh beberapa perusahaan besar dengan modal yang
banyak sehingga semakin menyulitkan bagi perusahaan-perusahaan kecil untuk
bersaing dalam industri ini.
Peranan teknologi pada industri pengolahan makanan masih kurang
dioptimalkan, seperti pada industri-industri lainnya di Indonesia. Teknologi secara
teknik maupun di bidang informasi akan memegang peranan penting bagi
pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Banyak produsen makanan hanya
terpaku pada industri yang dikembangkan dari luar negeri. Keberanian untuk
merekayasa dan mengaplikasikan teknologi yang dikembangkan di dalam negeri
masih kurang. Lemahnya proses adopsi dan pengembangan teknologi ini terutama
disebabkan oleh kualitas tenaga kerja yang masih rendah karena tingkat
pendidikan dan kesadaran untuk belajar dari masyarakat secara umum masih
kurang. Teknologi yang sulit berkembang di nusantara ini menjadi permasalahan
utama yang menghambat pertumbuhan yang berkelanjutan pada sektor industri
terutama industri pengolahan makanan. Berbagai permasalahan dan fenomena
yang dijelaskan diatas, menyebabkan ambiguitas dalam mengidentifikasi sumber
pertumbuhan industri pengolahan makanan di Indonesia. Sehingga pertanyaan
yang tersirat adalah, sumber pertumbuhan apakah yang paling dominan dalam
pertumbuhan industri pengolahan makanan? Dan apakah pertumbuhan industri
pengolahan makanan di Indonesia akan berlangsung secara sustainable
(berkelanjutan)?
Dari uraian sebelumnya permasalahan-permasalahan yang akan dianalisis
dalam penelititan ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Bagaimana tren pertumbuhan dalam industri pengolahan makanan pokok?
2. Apa yang menjadi sumber pertumbuhan utama pada industri pengolahan
makanan dan bagaimana pertumbuhan input (factor accumulation) dan
pengembangan teknologi (technological progress) pada industri
pengolahan makanan?
3. Berapa besar signifikansi masing-masing sumber pertumbuhan terhadap
produktivitas industri pengolahan makanan?
1.3. Tujuan Penelitian
Analisis tentang sumber-sumber pertumbuhan industri pengolahan
makanan ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis pertumbuhan industri pengolahan makanan di Indonesia.
2. Menganalisis sumber-sumber pertumbuhan pada industri pengolahan
makanan di Indonesia.
3. Menganalisis signifikansi dari sumber-sumber pertumbuhan produktivitas
industri pengolahan makanan di Indonesia, diantaranya Factor
Accumulation (Akumulasi Faktor) dan Technological Progress (Kemajuan
Teknologi).
1.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian tentang analisis sumber-sumber pertumbuhan industri
pengolahan makanan ini berguna untuk mengetahui potensi-potensi yang ada pada
industri pengolahan makanan yang dapat dipergunakan sebagai modal bagi
pertumbuhan industri ini. Bagi masyarakat luas penelitian ini dapat memberikan
wawasan lebih khususnya, mengenai karakteristik pertumbuhan industri
pengolahan makanan sebagai salah satu sektor penunjang sistem agribisnis di
Indonesia. Dengan penelitian ini masyarakat akan mengetahui apa saja sumber-
sumber pertumbuhan industri pengolahan makanan dan bagaimana sumber-
sumber pertumbuhan tersebut mempengaruhi produktivitas dalam industri
tersebut, sebagaimana yang terjadi pada industri-industri yang lainnya.
Penelitian ini juga dapat menjadi saran bagi pembuat kebijakan, khususnya
dalam lingkup industri pengolahan makanan, dan juga dapat menjadi masukan
bagi para praktisi pada sektor industri ini. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi
literatur bagi penelitian-penelitian yang lain pada masa yang akan datang yang
berkaitan dengan sumber-sumber pertumbuhan suatu industri. Selain itu,
penelitian ini memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan
kemampuan akademis, dan memberikan banyak pengetahuan dan pengalaman
yang nantinya sangat berguna untuk diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilakukan dalam ruang lingkup negara Indonesia dan
dikhususkan pada industri pengolahan makanan menurut kode ISIC (International
Standard Industrial Classification of All Economics Activities, KBLI) 151-154
berdasarkan buku statistik industri besar dan sedang yang dipublikasikan oleh
BPS. Spesifikasi lebih lanjut dilakukan dengan hanya mengambil data-data
mengenai industri yang produknya bersifat kebutuhan pokok (pangan strategis)
dan merupakan barang konsumsi yang umum bagi masyarakat luas.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1. Sistem Agribisnis
Istilah agribusiness (agribisnis) pertama kali diperkenalkan oleh Davis dan
Goldberg, yaitu suatu sistem yang terdiri dari: (1) sektor industri input pertanian,
(2) sektor industri pemroduksi (usahatani), dan (3) sektor industri pengolahan-
manufaktur, dan ketiga sektor tersebut berkaitan erat dalam satu sistem dan setiap
sektor sangat dipengaruhi oleh sektor-sektor yang lain (Beierlein dan Woolverton,
1991). Menurut Drilon Jr dalam Saragih (1998) agribisnis adalah jumlah total dari
seluruh kegiatan yang melibatkan industri Saprotan (Sarana produksi pertanian)
dan pendistribusiannya, aktifitas produksi usahatani (pertanian primer),
penyimpanan, pengolahan dan distribusi dari komoditas pertanian. Menurut
Saragih (1998), sistem agribisnis mengandung pengertian sebagai rangkaian
kegiatan beberapa subsistem agribisnis yang saling mempengaruhi satu sama lain.
Dengan perkataan lain, sektor agribisnis sebagai bentuk modern dari
pertanian primer, paling sedikit mencakup empat subsistem, yaitu: subsistem
agribisnis hulu (up-stream agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi yang
menghasilkan (agroindustri hulu) dan memperdagangkan sarana produksi
pertanian primer (seperti industri pupuk, obat-obatan, bibit atau benih, alat dan
mesin pertanian dan barang lainnya); subsistem usahatani (on-farm agribusiness)
yang di masa lalu kita sebut sebagai sektor pertanian primer; subsistem agribisnis
hilir (down-stream agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah hasil
pertanian primer menjadi produk olahan, baik dalam bentuk yang siap untuk
dimasak atau siap untuk disaji (ready to cook or ready for used) atau siap untuk
dikonsumsi (ready to eat) beserta kegiatan perdagangannya di pasar domestic dan
internasional; dan subsistem jasa layanan pendukung seperti lembaga keuangan
dan pembiayaan, transportasi, penyuluhan dan layanan informasi agribisnis,
penelitian dan pengembangan, kebijakan pemerintah, asuransi agribisnis, dan lain
sebagainya (Saragih, 1998).
2.1.2. Konsep Ketahanan Pangan
Secara hakiki ketahanan pangan (food security) dapat diartikan sebagai
terjaminnya akses pangan untuk segenap rumah tangga dan individu setiap waktu,
sehingga mereka dapat bekerja dan hidup sehat (Rachman dan Ariani, 2002).
Konsepsi ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dapat dilihat dari dua aspek,
pertama ketersediaan (availability) bahan pangan bagi terpenuhinya kebutuhan
masyarakat akan bahan pangan baik akan jumlahnya, kualitas serta nutrisi atau
keseimbangan gizi yang terdapat di dalamnya. Aspek kedua yang harus
diperhatikan dalam konsepsi ketahanan pangan adalah, akses masyarakat terhadap
bahan pangan tersebut (accessibility). Ketersediaan pangan belum menjamin
kemudahan akses masyarakat terhadap bahan pangan, tapi akses sangat
bergantung pada ketersediaan pangan. Pendapatan masyarakat dan tingkat harga
produk-produk pertanian merupakan faktor utama yang mempengaruhi akses
masyarakat terhadap bahan pangan. Bilamana salah satu unsur tersebut tidak
terpenuhi, maka ketahanan pangan rumah tangga akan terganggu (Rachman dan
Ariani, 2002).
Pemahaman tentang ketahanan pangan telah mengalami evolusi seiring
dengan dinamika yang terjadi di masyarakat. Dalam tahun 1970-an ketahanan
pangan hanya ditekankan untuk memenuhi kebutuhan pangan pada tingkat
nasional dan global. Dalam kurun waktu 1980-an ketahanan pangan mulai
memperhatikan akses masyarakat terhadap sumberdaya pada tingkat rumah
tangga dan individu, pada masa ini sudah dimulai usaha-usaha untuk pemenuhan
kebutuhan pangan secara lebih merata, sehingga setiap individu bisa mendapatkan
bahan pangan dengan mudah dan dijamin ketersediaannya.
Dalam era yang lebih modern lagi dimana telah banyak dilakukan inovasi
dan pengembangan teknologi pada tahun 1990-an sampai saat ini, ketahanan
pangan lebih mengarah kepada paradigma baru, yaitu ketahanan berkelanjutan
(sustainable food security paradigm). Pertanyaannya sekarang adalah “dapatkah
dunia memproduksi pangan yang cukup dengan harga yang terjangkau oleh
kelompok miskin dan tidak merusak lingkungan?”, sehingga proses pemenuhan
kebutuhan pangan dapat dilaksanakan secara kontinu dari waktu ke waktu tanpa
harus mengkhawatirkan terjadinya kelangkaan bahan pangan karena
ketersediaannya selalu terjaga seiring terpeliharanya lingkungan dan sumberdaya
alam yang diperlukan untuk memproduksi bahan makanan tersebut. Dalam
paradigma ketahanan pangan berkelanjutan ini perlu dipertimbangkan empat
indikator utama (Maxwell, 1996 dalam Rachman dan Ariani, 2002) yaitu : (1)
ketersediaan pangan (food availability), (2) aksesibilitas secara fisik dan ekonomi
(pemberdayaan ekonomi masyarakat), (3) kerentanan terhadap resiko
(vulnerability), dan (4) Keberlanjutan (sustainability).
2.1.3. Produktivitas, Pertumbuhan, dan Sumber Pertumbuhan
Produktivitas merupakan sebuah ukuran efisiensi, yakni konsep teknis
yang mengacu pada perbandingan output terhadap input (Supriyanto, 2005).
Semakin besar nilai perbandingan tersebut menunjukkan semakin tingginya
tingkat produktivitas, misalnya produktivitas tenaga kerja (Q/L). Dengan
demikian, konsep produktivitas mengacu pada kemampuan satu unit input untuk
menghasilkan tingkat output tertentu pada periode waktu tertentu (statis).
Sedangkan konsep pertumbuhan mengacu pada perubahan rasio output-input atau
produktivitas menurut dimensi waktu (dinamis).
Dalam membicarakan pertumbuhan produksi jangka panjang, paling tidak
ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu masalah penemuan sumber
pertumbuhan baru dan kelestarian (sustainability) dari pertumbuhan tersebut.
Dalam mengidentifikasi sumber pertumbuhan baru ini tentunya bisa dilakukan
secara horizontal yaitu dengan mengembangkan komoditas industri pengolahan
makanan melalui diversifikasi. Di samping itu, pertumbuhan di sektor industri
pengolahan makanan dapat dicapai secara vertikal yaitu melalui peningkatan
produktivitas pengolahan makanan yang dikaitkan dengan agroindustri, karena
agroindustri berkaitan erat dengan sektor industri pengolahan makanan sebagai
penyedia bahan mentah. Produktivitas industri pengolahan makanan merupakan
sumber bagi pertumbuhan di sektor industri pengolahan makanan. Peningkatan
produksi industri pengolahan makanan dapat dicapai dengan peningkatan
teknologi pengolahan. Dengan peningkatan teknologi pengolahan memungkinkan
tercapainya peningkatan produksi dari faktor produksi yang tetap. Dengan
demikian pengembangan teknologi pengolahan merupakan suatu langkah yang
strategis bagi peningkatan produktivitas industri pengolahan makanan.
2.1.4. Sumber-Sumber Pertumbuhan Produktivitas
Proses produksi tidak dapat terlaksana jika faktor-faktor yang diperlukan
tidak terpenuhi, dengan demikian faktor produksi dapat didefinisikan sebagai
seluruh sumberdaya yang dipergunakan untuk memproduksi berbagai barang dan
jasa dalam perekonomian. Ekonom neoklasik membagi faktor produksi tersebut
ke dalam tiga bagian (Nicholson, 2002): (1) lahan atau sumber daya alam seperti
tanah dan mineral yang dipergunakan dalam menciptakan produk, biaya untuk
pemanfaatan sumber daya alam disebut sewa (rent), (2) tenaga kerja, yaitu upaya
manusia dalam proses produksi termasuk kemampuan teknis dan marketing yang
dibayar dengan upah (wage), (3) barang modal adalah barang buatan manusia
(atau input fisik) yang dipergunakan dalam memproduksi barang lain, termasuk
mesin, peralatan dan bangunan.
Menurut Samuelson dalam Sugiyono (2000) secara umum ada empat
faktor yang dipergunakan sebagai modal untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi baik di Negara Industri Maju (NIM) maupun Negara Berkembang
(NSB), diantaranya :
1. Sumber daya manusia (tenaga kerja, pendidikan, disiplin, dan motivasi).
2. Sumber daya alam (tanah, mineral, bahan bakar, dan cuaca).
3. Pembentukan modal (mesin, pabrik, dan jalan).
4. Teknologi (ilmu pengetahuan, teknik, manajemen, dan ketrampilan)
Menurut Supriyanto (2002), sumber-sumber pertumbuhan supply side
berasal dari produktivitas dan accumulation factor. Peningkatan produktivitas
terjadi karena peningkatan efisiensi, skala usaha, dan perubahan teknologi,
sedangkan factor accumulation bersumber dari endowment factor dan harga-harga
input. Analisis pertumbuhan dari sisi penawaran (supply-side analysis) bertitik
tolak pada kaidah produktivitas, baik secara langsung melalui pengaruh input
(direct impact, embodied) maupun perubahan eksternal faktor (indirect impact,
disembodied). Peningkatan produktivitas dapat dilakukan melalui efisiensi dan
atau pengembangan teknologi dalam pengertian luas.
Efisiensi bersumber dari tiga sumber, yakni efisiensi teknis, efisiensi
alokatif atau harga, dan efisiensi ekonomi skala usaha. Sedangkan teknologi
bersumber dari dua hal, yakni neutral-technological change dan bias-
technological change. Namun demikian, pengertian antara efisiensi dan teknologi
secara mendasar adalah sama. Pada konsep TFP konvensional-neutral
technological change, pengukuran produktivitas didasarkan pada efisiensi teknis
(efisiensi teknologi), dimana terdapat pada asumsi (kondisi) bahwa perubahan
output tanpa dipengaruhi perubahan input, yakni pada kondisi neutral-
technological change dan asumsi constant return to scale. Sedangkan konsep TFP
konvensional-bias technological change menyatakan bahwa porduktivitas terjadi
karena perubahan marginal rate of technical substitution (efisiensi harga) dan
kondisi perusahaan diasumsikan constant return to scale (Supriyanto, 2002).
2.1.5. Definisi Industri Pengolahan Makanan
Industri didefinisikan sebagai kumpulan perusahaan-perusahaan yang
sejenis, dengan demikian industri pengolahan makanan dapat didefinisikan
sebagai kumpulan perusahaan-perusahaan yang kegiatan utamanya adalah
mengolah atau memproduksi bahan pangan. Industri pengolahan adalah suatu
kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah suatu barang dasar secara
mekanis, kimia, atau dengan tangan sehingga menjadi barang jadi atau barang
setengah jadi dan atau dari barang yang kurang nilainya menjadi barang yang
lebih tinggi nilainya dan sifatnya lebih dekat dengan pemakai akhir (BPS, 2003).
Jasa industri dan pekerjaan perakitan masuk ke dalam kegiatan ini.
Jasa industri menurut BPS (2003), didefinisikan sebagai kegiatan industri
yang melayani keperluan pihak lain. Pada kegiatan ini bahan baku disediakan oleh
pihak lain sedangkan pihak pengolah hanya melakukan pengolahannya dengan
mendapatkan imbalan sejumlah uang atau barang sebagai balas jasa (upah
makloon). Misalnya, perusahaan penggilingan padi yang melakukan kegiatan
menggiling padi/gabah petani dengan balas jasa tertentu.
Perusahaan atau usaha industri adalah suatu unit (kesatuan) usaha yang
melakukan kegiatan ekonomi, bertujuan menghasilkan barang atau jasa, terletak
pada suatu bangunan atau lokasi tertentu, dan mempunyai catatan administrasi
tersendiri mengenai produksi dan struktur biaya serta ada seorang atau lebih yang
bertanggung jawab atas usaha tersebut (BPS, 2003). Penggolongan industri
pengolahan makanan merujuk pada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia
(KBLI, ISIC: International Standard Industrial Classification of all Economic
Activities). Kode golongan makanan menurut KBLI adalah 311-312 (hingga
1997), dan direvisi menjadi 151-154 (sejak tahun 1998 hingga sekarang).
2.1.6. Teori Residual Solow
Solow mengasumsikan model yang sangat mendasar dari produksi output
tahunan selama selang waktu t. Ia menyatakan bahwa jumlah output akan
ditentukan oleh jumlah modal (infrastruktur), jumlah tenaga kerja (jumlah sumber
daya manusia dalam angkatan kerja), dan produktivitas tenaga kerja. Ia menduga
produktivitas tenaga kerja adalah faktor yang mempengaruhi peningkatan GDP
dalam jangka panjang. Dalam bentuk model ekonomi maka:
Y = F(K, A(t)·L) (2.1)
dimana A(t) adalah faktor peubah yang dipengaruhi waktu, dimana A > 0 dan
dA/dt > 0. Solow residual adalah angka yang menjelaskan pertumbuhan
produktivitas empiris dalam ekonomi dari tahun ke tahun dan dekade ke dekade.
Solow mendefinisikan peningkatan produktivitas sebagai peningkatan output
dengan input modal dan tenaga kerja yang tetap.
Teori produktivitas ini disebut sebagai ”residual” karena menjelaskan
produktivitas yang bukan disebabkan oleh akumulasi faktor (input). Tujuan dari
metode ini adalah untuk menentukan berapa besar ketergantungan pertumbuhan
ekonomi terhadap akumulasi faktor dan berapa besar pengaruh dari
pengembangan teknologi. Berdasarkan grafik 2.1. yang mengilustrasikan
kombinasi input dalam fungsi produksi (kurva kemungkinan produksi dengan dua
variabel input), besarnya pertumbuhan dapat dijelaskan dengan pergerakan
sepanjang kurva produksi, yang dapat ditentukan oleh kemajuan teknologi dan
kompetensi organisasi, yang digambarkan oleh pergeseran kurva produksi ke
kanan atas dari A ke B dan B ke C.
K (unit)
C
B
A
0 L (jam)
Sumber: Nicholson, 2002.
Gambar 2.1. Kurva Kemungkinan Produksi
Perhitungan pertumbuhan standar menurut Solow, mengasumsikan
keberadaan fungsi produksi agregat neoklasik, homogenus tingkat satu, dengan
constant return to scale (skala pengembalian konstan), diminishing returns to
scale (pengembalian yang semakin menurun) untuk setiap input, dan elastisitas
substitusi yang positif. Solow menggunakan kerangka teori ini untuk
mengestimasi tingkat pertumbuhan produktivitas pada sektor manufaktur
perekonomian Amerika serikat dalam periode 1909-1949.
Peran penting dari makalah Solow yaitu, mempercepat analisis mengenai
kemajuan teknologi sebagai kategori residual pada saat Ia menemukan bahwa
pertumbuhan produktivitas terhitung sebesar 80 persen dari pertumbuhan
keseluruhan pada sektor manufaktur pada periode tersebut. Hasil penelitian Solow
memberikan jalan bagi penelitian tentang produktivitas, dan mengubah pandangan
kebijakan pertumbuhan yang menekankan pada tabungan (saving) menjadi
penekanan pada seluruh faktor yang dipercaya berada dalam residual, misalnya,
teknologi, pendidikan, R&D, manajemen dan faktor-faktor lainnya.
2.1.7. The Law of Diminishing Returns
Teori ini dilihat melalui pembentukan kurva produksi total suatu
perusahaan, yang menghubungkan input yang digunakan dalam proses produksi
dengan kuantitas output yang dihasilkan. Produk Total (Total Product, TP) adalah
jumlah total yang diproduksi selama periode waktu tertentu. Jika semua input
kecuali satu faktor saja dijaga konstan (fixed), TP akan berubah menurut banyak
sedikitnya faktor variabel yang digunakan. Produk Rata-Rata (Average Product,
AP) adalah TP dibagi jumlah unit faktor variabel yang digunakan untuk
memproduksinya (Lipsey et al, 1995).
TPAPX
= (X = L, K,.....,N) (2.2)
dimana X diasumsikan sebagai jumlah unit variabel yang digunakan dalam proses
produksi. Tingkat output dimana AP mencapai maksimum disebut titik
berkurangnya produktivitas rata-rata (point of diminishing average productivity).
Sampai dengan titik ini AP akan terus naik, diluar titik ini produktivitas rata-rata
akan turun. Produk Marjinal (Marginal Product, MP), atau produksi inkremental
(Incremental Produk), atau produk fisik marjinal (MPP), adalah perubahan dalam
TP sebagai akibat satu unit tambahan penggunaan variabel.
TPMPX
Δ=Δ
(X = L, K,.....,N) (2.3)
Sumber: Lipsey et al, 1995.
Gambar 2.2. Kurva Produk Total dan Marginal
Tingkat output dimana produk marjinal mencapai maksimum dinamakan
titik berkurangnya produktivitas marjinal (point of diminishing marginal
productivity). Ilustrasi kurva TP dan MP dapat dilihat pada gambar 2.1. Naik
turunnya output yang diakibatkan oleh penggunaan lebih banyak atau lebih sedikit
Prod
uk T
otal
Produktivitas rata-rata maksimum
Kuantitas Input
Titik produktivitas marginal yang berkurang
Titik Produktivitas rata-rata yang berkurang
Prod
uk p
er u
nit
inpu
t
TP
AP MP
Kuantitas Input
suatu faktor variabel terhadap jumlah tertentu faktor produksi yang tetap tunduk
pada hipotesis ekonomi hasil lebih yang semakin menurun (Diminishing Returns).
Jika output naik dalam jangka pendek, makin banyak faktor variabel harus
digabungkan dengan sejumlah tertentu faktor tetap. Akibatnya adalah setiap unit
faktor variabel memiliki faktor tetap yang makin lama makin berkurang.
Akhirnya, makin banyak faktor variabel digunakan, MP bisa mencapai ke titik nol
dan berubah menjadi negatif.
2.1.8. Fungsi Produksi Cobb Douglas
Dalam model persamaan yang memiliki tiga variabel, fungsi Cobb
Douglas sering digunakan, karena kesederhanaan dan efisiensi dari fungsi
tersebut. Fungsi produksi Cobb Douglas dapat ditulis dalam notasi yule dengan
cara berikut (Gujarati, 1978):
12,3 13,21,23 2 3i i iY X Xβ ββ= (2.4)
persamaan (2.4) bisa dinyatakan dalam bentuk logaritma yaitu:
0 12,3 2 13,2 3ln ln lni i iY X Xβ β β= + + (2.5)
dimana Y = hasil produksi (output), X2 adalah input tenaga kerja, X3 adalah input
modal, dan β 0 adalah ln β 12,3. Ciri-ciri fungsi produksi Cobb Douglas sudah
dikenal dengan baik, contohnya β 12,3 dan β 13,2 menyatakan elastisitas dari upah
dan modal. Penjumlahan dari kedua elastisitas tersebut menjelaskan tentang
pengaruh skala hasil terhadap perubahan proporsional dalam input. Jika
penjumlahannya adalah sama dengan satu, maka terdapat pengaruh skala hasil
yang konstan (constant return to scale), kalau lebih kecil dari satu maka maka
terdapat pengaruh skala hasil yang menurun terhadap tingkat output (decreasing
return to scale). Sedangkan jika penjumlahannya lebih dari satu maka ada
pengaruh skala pengembalian hasil yang meningkat (increasing return to scale).
2.1.9. Hasil Penelitian Sebelumnya
Mohamad Maulana (2004) dalam penelitiannya tentang peranan luas
lahan, intensitas pertanaman dan produktivitas sebagai sumber pertumbuhan
sektor pertanian selama periode 1980-2001 mengungkapkan bahwa penurunan
produksi padi sawah pada periode tersebut mengalami penurunan yang cukup
tajam. Dari tiga sumber pertumbuhan yang diteliti, hanya intensitas pertanaman
yang menjadi sumber pertumbuhan sedangkan dua sumber lainnya
memperlihatkan pertumbuhan yang cenderung negatif. Pertumbuhan luas lahan
yang semakin menurun terutama disebabkan oleh beralihnya fungsi lahan dari
pertanian ke nonpertanian. Sementara produktivitas dari 77 New High Yielding
Variety (NHYV) yang dirilis pemerintah masih belum menunjukkan peningkatan
yang berarti. Indeks TFP padi sawah menunjukkan bahwa berfluktuasinya
pertumbuhan penggunaan input tidak berpengaruh banyak terhadap pertumbuhan
produksi yang cenderung terus menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa
produktivitas mengalami leveling off yang disebabkan oleh stagnasinya
kemampuan berproduksi varietas padi sawah dan tingkat adopsi inovasi teknologi
petani yang masih rendah. Penyebabnya adalah modal yang terbatas, harga input
yang semakin tinggi dan harga output yang rendah. Di samping itu, menurunnya
kualitas lahan sawah dan mutu usahatani juga berpengaruh terhadap penurunan
produktivitas padi sawah.
Supriyanto (2002) dengan tesis berjudul dekomposisi dan dinamika
sumber-sumber pertumbuhan industri kecil dan rumah tangga di Indonesia dengan
analisis Total Factor Productivity, menganalisis sumber-sumber pertumbuhan
bagi industri kecil dan rumah tangga. Dalam penelitian ini digunakan fungsi
produksi rata-rata, deterministic frontier dan stochastic frontier dengan metode
translog dan diregresi dengan menggunakan OLS dan COLS.
Kesimpulan umum yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah pertama,
peranan teknologi (TFPG) dalam pertumbuhan IKRT sangat besar secara
berurutan: teknologi eksogenus, skala usaha, efisiensi teknis, dan teknologi
endogenus. Kedua, berdasarkan neoklasik protagonis, besarnya peranan TFPG
dibanding akumulasi faktor menunjukkan pertumbuhan IKRT akan berkelanjutan.
Berdasarkan neoclassic assimilationist, walaupun input driven berperan lebih
besar dibanding TFPG, seperti pada saat krisis, namun terdapat peranan embodied
technology yang melekat pada faktor produksi maka pertumbuhan IKRT akan
berkelanjutan. Ketiga, respon kontribusi teknologi terhadap output pada saat krisis
secara umum adalah penurunan kontribusi teknologi eksogenus, teknologi
endogenus, skala usaha dan peningkatan efisiensi teknis.
Untuk sektor makanan memiliki daya saing usaha, karena pada saat krisis
ekonomi peningkatan efisiensi teknis diikuti oleh peningkatan pertumbuhan
output dan skala usaha. Saran dari penelitian yang dilakukan supriyanto (2002),
secara umum adalah diperlukan adanya perbaikan lingkungan usaha yang lebih
kondusif (conducive business environment) melalui perbaikan layanan usaha
(Business Development Service, BDS). Khusus pada industri makanan,
diperlukan adanya peningkatan kualitas tenaga kerja karena peranan teknologi
embodied (endogenus) pada masing-masing faktor sangat tinggi melalui pogram
penelitian.
Penelitian Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans)
pada tahun 2003, melakukan pengukuran dan analisis produktivitas faktor total
(PTF) sektor industri pengolahan. Persamaan yang digunakan adalah fungsi
produksi translog dengan variabel tenaga kerja dan kapital. Penelitian
menganalisis perkembangan sektor industri pengolahan dan pertumbuhan
produktivitas sektor industri pengolahan. Ruang lingkup penelitian meliputi
seluruh industri pengolahan secara luas di Indonesia baik yang berukuran besar,
sedang, menengah, dan kecil (rumah tangga). Periode penelitian dilakukan
berdasarkan data yang tersedia mulai tahun 1993 sampai 2002.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah, pertama,
pertumbuhan PTF sektor industri pengolahan selama tahun 1993-2002 semakin
menurun. Hal Ini juga menyebabkan menurunnya kontribusi pertumbuhan PTF
dalam pertumbuhan PDB sektor industri pengolahan. Kedua, pertumbuhan PTF
sektor industri pengolahan sebelum masa krisis ekonomi (sebelum tahun 1998)
lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan setelah masa krisis (setelah tahun
1998). Ketiga, sebelum krisis ekonomi dengan pertumbuhan stok kapital cukup
tinggi dan pertumbuhan tenaga kerja relatif stabil, pertumbuhan PTF sektor
industri pengolahan cukup tinggi. Disini dorongan pertumbuhan stok kapital pada
pertumbuhan output sektor industri pengolahan masih lebih tinggi dari pada
tenaga kerja. Pada waktu krisis kontribusi pertumbuhan PTF di sektor industri
pengolahan masih dapat menyangga pertumbuhan PDB di sektor industri
pengolahan terbukti dengan kontribusi pertumbuhan PTF yang cukup tinggi.
Penelitian yang dilakukan Depnakertrans ini pun menyarankan beberapa
rekomendasi. Antara lain, perlu dilakukan penelitian pertumbuhan PTF sektor
industri pengolahan untuk setiap jenis industri (ISIC/KLUI minimal 2 digit). Di
samping itu penelitian menurut sub sektor industri pengolahan juga perlu
dilakukan seperti pada industri besar dan sedang serta industri kecil dan kerajinan
rumah tangga, karena pertumbuhan PTF yang dihasilkan pasti akan berbeda.
Dengan memperhatikan seluruh potensi yang ada di sektor industri
pengolahan seperti, besaran ICOR, produktivitas, efisiensi dan sebagainya
penelitian dapat dilanjutkan pada jenis industri yang menjanjikan masa depan
yang bagus. Disamping itu perlu pula dilakukan penelitian sektor-sektor ekonomi
lainnya untuk analisa perbandingan dan penyusunan kebijakan sektoral yang
optimal. Perlu dilakukan studi dan penelitian yang intensif untuk mendapatkan
data kapital dan tenaga kerja yang lebih baik di sektor industri pengolahan,
sehingga hasil perhitungan PTF juga akan semakin baik. Perlu dibentuk jaringan
data yang lebih komprehensif dan terkini untuk menghasilkan PTF yang lebih
baik di sektor industri pengolahan.
2.2. Kerangka Pemikiran Teoritis
2.2.1. Total Factor Productivity Growth: Konsep dan Pengukuran
Secara konseptual, pengukuran produktivitas suatu usaha ekonomi dapat
dibedakan menjadi dua jenis yaitu produktivitas faktor produksi parsial dan
produktivitas total faktor produksi. Produktivitas faktor produksi parsial adalah
produksi rata-rata dari suatu faktor produksi yang diukur sebagai hasil bagi total
produksi dan total penggunaan suatu faktor produksi.
Apabila faktor produksi lebih dari satu, maka produktivitas parsial suatu
faktor produksi akan dipengaruhi oleh tingkat penggunaan faktor produksi
lainnya. Oleh karena itu, konsep ini tidak banyak manfaatnya jika faktor produksi
lebih dari satu jenis (Simatupang, 1997). Jika faktor produksi yang digunakan
lebih dari satu jenis, maka konsep produktivitas yang lebih banyak digunakan
adalah produktivitas total faktor produksi. Produktivitas total faktor produksi
didefinisikan sebagai rasio indeks hasil produksi dengan indeks total faktor
produksi (input) (Sayaka dalam Supriyanto, 1995).
Chamber dalam Simatupang (1997) menyatakan bahwa produktivitas total
faktor produksi adalah ukuran kemampuan seluruh jenis faktor produksi sebagai
satu kesatuan faktor produksi agregat dalam menghasilkan output secara
keseluruhan (output agregat). Dalam prakteknya total faktor produksi biasanya
diukur dalam angka indeks sehingga langsung dapat mencerminkan tingkat relatif
antarwaktu (inter temporal). Berdasarkan paparan mengenai sumber-sumber
pertumbuhan produktivitas diatas, penggunaan konsep Total Factor Productivity
akan menjawab sumber-sumber pertumbuhan dari teknologi atau efisiensi secara
menyeluruh. Efisiensi teknis (teknologi netral), efisiensi harga (teknologi bias),
dan economic of scale (technical economic of scale) dapat dihitung secara
bersama-sama.
Metode untuk menghitung TFP dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu
growth accounting dan pendugaan parametrik atau ekonometrik. Penghitungan
pertumbuhan TFP dengan growth accounting sangat terbatas, karena: (1) hanya
dapat menghitung efisiensi teknis (exogeneous, disembodied, dan neutral), (2)
asumsi constant return to scale, (3) tidak dapat menghitung efisiensi harga
(endogeneous, embodied, dan bias technology), serta (4) tidak dapat
menghasilkan besaran elastisitas permintaan input dan penawaran output.
Sedangkan pendekatan ekonometrik (ekonomi produksi) dapat menangkap
seluruh komponen efisiensi atau teknologi, sehingga komponen TFP dapat
didekomposisikan. Di sisi lain, pendekatan ekonometrik dapat digunakan untuk
menghitung besaran elastisitas, baik permintaan input maupun penawaran output.
2.2.2. Jenis-Jenis Perubahan Teknologi
Ada tiga jenis perubahan yang cenderung mendominasi produksi dan biaya
dalam jangka panjang (Lipsey et al, 1995). Pertama, teknik-teknik baru, selama
abad dua puluh ini teknik-teknik yang tersedia untuk memproduksi produk yang
ada telah berubah secara dramatis. Lima puluh tahun silam jalan-jalan dan rel
kereta api dibangun dengan menggunakan tenaga kerja yang banyak dengan
menggunakan ember, sekop dan ditarik dengan kuda. Sekarang dengan bulldozer,
forklift besar, crane raksasa, dan peralatan khusus lainnya telah menggantikan
buruh kasar. Teknik produksi yang disebut produksi ramping (lean production)
atau manufactur fleksibel dengan cepat menggantikan teknik produksi massal dan
lini rakit yang sudah lama digunakan di banyak industri.
Kedua, produk baru, barang dan jasa yang tersedia secara konstan
mengalami perubahan. Televisi, vaksin, nilon, komputer pribadi, laptop, dan
banyak lagi produk-produk lainnya yang berubah sedemikian rupa sehingga
hubungan satu-satunya antara produk itu dengan komoditi yang ”sama” yang
diproduksi di masa lalu hanyalah nama.
Ketiga, perbaikan input, perbaikan barang yang tak berwujud seperti
kesehatan dan pendidikan meningkatkan mutu jasa tenaga kerja. Para pekerja dan
manajer pada saat ini lebih sehat dan pendidikannya lebih baik dibandingkan pada
jaman dahulu. Pekerja yang tidak ahli pada saat ini umumnya sudah mampu
membaca dan berhitung. Para manajer mungkin sudah terlatih dalam berbagai
metode ilmiah modern dalam manajemen bisnis maupun ilmu pengetahuan
komputer. Perbaikan bahan baku pun mengalami banyak perubahan, misalnya
jenis dan mutu logam yang telah banyak berubah.
2.3. Kerangka Pemikiran Operasional
Latar belakang penelitian ini adalah konsep ketahanan pangan yang perlu
mendapatkan perhatian lebih dengan semakin meningkatnya permintaan terhadap
bahan pangan seiring pertumbuhan penduduk yang sangat cepat. Peningkatan
produktivitas dan permintaan terhadap jenis bahan pangan yang lebih eksklusif
menuntut sinergisitas sistem agribisnis yang dapat menstimulasi pertumbuhan
sektor agribisnis untuk tumbuh secara berkelanjutan. Penelitian ini kemudian
mengkhususkan pada industri pengolahan makanan dan membahas produktivitas
pada industri tersebut, mengingat peranan industri pengolahan makanan dalam
rantai produksi bahan pangan bagi masyarakat.
Banyak pendekatan yang digunakan dalam studi agribisnis yang
membahas permasalahan-permasalahan secara sepotong-sepotong dan
terspesifikasi, jarang yang menjelaskan secara lengkap mengenai sistem agribisnis
yang sebenarnya lebih kompleks dan beragam.
Sumber: Wilk dan Fensterseifer (2002).
Gambar 2.3. Bagan Sistem Agribisnis dan Dimensi Strategi Kunci dalam Sistem Agribisnis
PEMERINTAH
Dimensi Strategi Kunci
Tujuan
Sumber daya
Institusi yang Mendukung Perdagangan
Institusi/Lembaga Penelitian
Organisai Non-Pemerintah
Kualitas dan Produktivitas
Kemampuan Berinovasi
Respons Efisien
Konsumen
Keamanan Persediaan
dan Kehandalan
Subsitem Agribisnis
Hulu
Subsistem Usahatani
Subsistem Agribisnis
Hilir
Subsistem Pendukung Agribisnis
Untuk itu perlu ditelusuri subsistem-subsistem dan dimensi-kunci dalam
sistem agribisnis. Seperti digambarkan pada gambar 2.3, sistem agribisnis tidak
hanya melibatkan petani (produsen primer) tapi juga organisasi-organisasi dan
individu-individu yang lebih luas sebagai satu kesatuan sistem secara menyeluruh.
Pemerintah memegang peranan yang sangat sentral dalam
mengembangkan penelitian, difusi pengetahuan dan teknologi dan menyediakan
pembiayaan dan pasar dengan iklim usaha yang baik menggunakan mekanisme
regulasi. Konsumen, yang mengekspresikan permintaan, akan menentukan
strategi yang diambil dalam rantai produksi. Dalam industri makanan, pada
subsistem agribisnis hulu adalah agro-kimia (pemasok pupuk dan pembasmi
hama) dan agro-mesin (pemasok mesin dan peralatan pertanian) yang
menyediakan input bagi subsistem usahatani untuk memproduksi bahan pangan
yang nantinya akan menjadi bahan baku bagi industri pengolahan pada agribisnis
hilir dan hasil produksinya selanjutnya akan didistribusikan kepada masyarakat.
Mengamati peranan yang sangat penting dari industri pengolahan makanan
dalam menghubungkan mata rantai akhir dalam sistem agribisnis dan pemenuhan
ketahanan pangan, maka alur penelitian dilanjutkan pada proses produksi dengan
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dalam industri
pengolahan makanan. Setelah menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi,
selanjutnya dilakukan identifikasi sumber-sumber pertumbuhan pada industri
pengolahan makanan dan signifikansi sumber-sumber pertumbuhan tersebut.
Signifikansi sumber-sumber pertumbuhan tersebut dianalisis melalui fungsi
produksi perusahaan dalam industri pengolahan makanan. Selanjutnya fungsi
produksi tersebut diregresi dengan metode OLS menggunakan software E Views
4 dan MS Excel 2003. Bagan alur kerangka pemikiran operasional dapat dilihat
pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Bagan Alur Kerangka Pemikiran Operasional
Pertumbuhan industri pengolahan makanan akan dijelaskan secara
deskriptif melalui data pendukung yang ada dan secara kuantitatif melalui regresi
PRODUKSI Food Industry
INFORMASI
INPUT
OUTPUT
LIMBAH/POLUSI
INFORMASI
ANALISIS KUANTITATIF
ANALISIS DESKRIPTIF
PERTUMBUHAN INDUSTRI PENGOLAHAN MAKANAN
Hal Yang Dianalisis
Keterangan:
ANALISIS REGRESI MENGGUNAKAN PLS
SOFTWARE: E VIEWS 4 & MS EXCEL
Dianalisis
Tidak Dianalisis
PEREKONOMIAN INDONESIA
FACTOR ACCUMULATION
TECHNOLOGICAL PROGRESS
TOTAL FACTOR PRODUCTIVITY
FUNGSI PRODUKSI
INDUSTRI PENGOLAHAN MAKANAN
persamaan fungsi produksi industri pengolahan makanan. Analisis pertumbuhan
dilakukan melalui sisi penawaran dengan pendekatan fungsi produksi perusahaan.
2.4. Hipotesis
Hipotesis adalah dugaan sementara berdasarkan landasan teori dan konsep.
Berdasarkan teori dan konsep yang telah dipaparkan sebelumnya maka hipotesis
dalam penelitian ini adalah:
1. Diduga pertumbuhan industri pengolahan makanan di Indonesia
mengalami pertumbuhan yang positif setiap tahunnya.
2. Diduga faktor tenaga kerja, bahan baku, energi, sewa, jasa industri sebagai
sumber pertumbuhan melalui akumulasi faktor (input driven) akan
berpengaruh positif secara signifikan terhadap pertumbuhan industri
pengolahan makanan.
3. Diduga teknologi merupakan sumber pertumbuhan industri pengolahan
makanan dan memiliki peranan yang positif dan signifikan terhadap
pertumbuhan industri pengolahan makanan (technological driven).
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian
Penelitian mengenai sumber-sumber pertumbuhan industri pengolahan
makanan ini mengambil lokasi di wilayah negara Indonesia. Dalam menentukan
lokasi penulis mempertimbangkan beberapa hal, diantaranya: (1) ketersediaan
data mengenai statistik industri pengolahan makanan dan data pendukung lainnya
yang relatif lengkap, (2) isu mengenai ketersediaan dan kecukupan pangan
Indonesia serta potensi industri pengolahan makanan di Indonesia, dan (3) dengan
menganalisis industri pengolahan makanan secara keseluruhan, penelitian ini
dapat membandingkan pertumbuhan pada masing-masing kelompok dalam
industri pengolahan makanan.
3.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini mulai dilaksanakan pada akhir Mei hingga bulan September
2006. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi pengumpulan referensi dan
data, pengolahan data, analisis data hingga penulisan laporan dalam bentuk
skripsi. Penelitian ini meneliti dinamika pertumbuhan industri pengolahan
makanan pada periode tahun 1994 sampai tahun 2005.
3.3. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berbentuk
data panel mengenai pertumbuhan produksi dan pertumbuhan faktor-faktor
produksi industri pengolahan makanan dan variabel lainnya yang berkaitan untuk
membentuk model persamaan fungsi produksi industri pengolahan makanan di
Indonesia. Sebagian besar data berbentuk data tabel time series (data runtun)
tahunan dalam selama 10 tahun dalam selang waktu antara tahun 1994-2005
mengenai struktur input industri-industri secara agregat menurut Klasifikasi Baku
Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), atau International Standard Industrial
Classification of All Economics Activities (ISIC) 5 digit, yang dirilis oleh Badan
Pusat Statistik (BPS) setiap tahun. Angka-angka pada tahun 2004 merupakan
angka sementara dan pada tahun 2005 merupakan angka sangat sementara.
Data yang diambil merupakan data industri pengolahan makanan dengan
kode KLUI 3 digit 311 dan 312 pada tahun 1990-1997, dan 151-154 pada tahun
1998 sampai sekarang. Penelitian ini juga dilengkapi oleh literatur-literatur dan
data-data pendukung lainnya yang diambil dari Lembaga Sumber Informasi (LSI)
Institut Pertanian Bogor, LSI Universitas Indonesia, Departemen pertanian
(Deptan), Departemen Perindustrian (Deprin), Departemen Perdagangan Republik
Indonesia (Depdagri), Departemen Koperasi Usaha Kecil dan Menengah (Dep.
KUKM) dan Badan Urusan Logistik (Bulog).
3.4. Metode Analisis
Pertumbuhan menurut teori neoklasik dapat berasal dari dua sumber:
akumulasi faktor dan pertumbuhan produktivitas (Total Factor Productivity:TFP).
Poin penting dari perdebatan teori ini (setidaknya antara fundamentalis dan
asimilasionis) adalah seberapa penting pengaruh kedua komponen ini yang akan
dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini. Pada awal pembahasan mengenai
pertumbuhan sektor industri pengolahan makanan di Indonesia akan dianalisis
dengan menggunakan metode deskriptif, sedangkan untuk membahas signifikansi
dari sumber-sumber pertumbuhan industri pengolahan makanan digunakan
metode kuantitatif.
Statistik deskriptif adalah metode yang berkaitan dengan pengumpulan
dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna
(Walpole, 1982). Proses deskripsi data pada dasarnya meliputi upaya penelusuran
dan pengungkapan informasi yang relevan yang terkandung dalam data dan
penyajian hasilnya dalam bentuk yang lebih ringkas dan sederhana, sehingga pada
akhirnya mengarah pada keperluan adanya penjelasan dan penafsiran. Statistik
kuantitatif digunakan dalam menentukan berapa besar pengaruh dan elastisitas
dari sumber-sumber pertumbuhan pada industri pengolahan makanan. Metode
yang digunakan adalah metode Pooled Least Square (PLS) dengan melakukan
regresi terhadap data-data industri pengolahan makanan sehingga didapat fungsi
produksi perusahaan dalam industri pengolahan makanan di Indonesia.
3.4.1. Pengolahan Data Panel (Pool)
Dalam sebuah penelitian, terkadang ditemukan suatu persoalan mengenai
ketersediaan data untuk mewakili variabel yang akan digunakan dalam penelitian.
Terkadang ditemukan bentuk data dalam series yang pendek dan juga bentuk data
dengan jumlah unit cross section yang terbatas pula. Dalam teori ekonometrika,
kedua kondisi tersebut dapat diatasi dengan menggunakan panel data (pooled
data) agar dapat diperoleh hasil estimasi yang lebih baik (efisien) dengan
terjadinya peningkatan jumlah observasi yang berimplikasi terhadap peningkatan
derajat kebebasan (degree of freedom). Penggunaan data panel telah memberikan
banyak keuntungan secara statistik maupun menurut teori ekonomi. Manfaat dari
penggunaan panel data antara lain adalah :
1. Mampu mengontrol heterogenitas individu.
2. Mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatkan degrees of freedom,
lebih bervariasi, dan lebih efisien.
3. Mampu mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak
dapat diperoleh dari data cross section murni atau data time series murni.
4. Dapat menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks.
Dalam analisa model data panel dikenal tiga macam pendekatan yang
terdiri dari pendekatan kuadrat terkecil (Pooled Least Square), pendekatan efek
tetap (fixed effect), dan pendekatan efek acak (random effect).
Pendekatan PLS merupakan pendekatan yang paling sederhana dalam
pengolahan data panel. Misalkan terdapat persamaan:
jit it j itY xα β ε= + + (i = 1, 2,….N) (t = 1, 2,....T) (3. 1)
dimana N adalah jumlah cross section dan T adalah jumlah periode waktunya.
Dengan mengasumsikan komponen error dalam pengolahan kuadrat terkecil
biasa, kita dapat melakukan proses estimasi secara terpisah untuk setiap unit cross
section. Untuk periode t = 1, akan diperoleh persamaan regresi cross section
sebagai berikut:
1 1 1j
i i j iY xα β ε= + + (i = 1, 2,….N) (3. 2)
yang akan berimplikasi diperolehnya persamaan sebanyak T persamaan yang
sama. Begitu juga sebaliknya, kita juga akan memperoleh persamaan deret waktu
(time series) sebanyak N persamaan untuk setiap T observasi. Namun, untuk
mendapatkan parameter α dan β yang konstan dan efisien, akan diperoleh dalam
bentuk regresi yang lebih besar dengan melibatkan sebanyak NT observasi.
Dalam pengolahan data panel terdapat tiga kriteria pembobotan yang
berbeda-beda yaitu No Weighting (semua observasi diberi bobot yang sama),
Cross Section Weights (GLS dengan menggunakan estimasi varians residual cross
section. Digunakan apabila ada asumsi bahwa terdapat cross section
heteroscedasticity), dan SUR (GLS dengan menggunakan covariance matrix cross
section. Metode ini mengoreksi baik heteroskedastisitas maupun autokorelasi
antar input cross section). Sebagai upaya untuk menghasilkan model yang efisien
dan konsisten, maka perlu dievaluasi apakah hasil estimasi yang diperoleh tidak
melanggar asumsi-asumsi yang terdapat dalam OLS. Dengan kata lain hasil
estimasi terhadap model regresi tidak terjadi masalah heteroskedastisitas,
multikolinieritas, dan autokorelasi.
3.4.2. Pendekatan Analisis Produktivitas Faktor Total
Pola pertumbuhan produktivitas industri pengolahan makanan yang
semakin menurun memang merupakan indikator utama mengapa pembangunan
sektor industri khususnya pengolahan makanan sulit berkembang secara
berkelanjutan (sustainable). Bagaimanapun, banyak permasalahan yang
menyulitkan dalam memilih pengukuran TFP yang dapat diterima secara umum
karena kenyataannya bahwa pertumbuhan TFP yang positif itu sendiri tidak
berpengaruh secara signifikan sebagai indikator manajemen sumberdaya yang
berkelanjutan. Secara konsep, estimasi TFP didasarkan pada asumsi
memaksimumkan keuntungan, yang dihambat oleh usaha-usaha untuk
menghitung kegagalan pasar dengan mengukur Total Social Factor Productivity
(TSFP). Sehingga estimasi TFP secara langsung hanya menggunakan seluruh
input dan output konvensional yang merupakan jumlah dari (1) kemajuan
teknologi, (2) perubahan dalam kualitas sumberdaya, dan (3) pengembangan
dalam efisiensi teknis dan alokatif berdasarkan investasi dalam human capital dan
infrastruktur (Ali dan Byerlee, 2002).
3.4.3. Estimasi
Produktivitas faktor total adalah konsep neoklasik. Selain ide umum
mengenai konsep neoklasik mengenai pertumbuhan, penggunaan istilah
”neoklasik” disini mempunyai dua tujuan spesifik. Pertama, dengan TFP kita
berusaha mengukur produktivitas melalui seluruh faktor produksi, sedemikian
hingga, didasari oleh asumsi tenaga kerja bukanlah satu-satunya input (teori nilai
tenaga kerja Ricardo dalam Felipe, 1997). Kedua, TFP adalah dugaan yang
berhubungan dengan fungsi produksi agregat, alat analisis neoklasik.
Produktivitas adalah konsep teknis yang menjelaskan rasio antara output per
satuan input, yaitu pengukuran efisiensi. Ketika menjelaskan mengenai satu input
(contohnya, produktivitas parsial), tenaga kerja khusus (Q/L), dugaan
produktivitas tidak memberikan masalah. Walaupun, pada saat lebih dari satu
input yang dimasukkan ke dalam perhitungan (misalnya, tenaga kerja dan modal),
masalah yang muncul adalah bagaimana membebani tiap faktor ke dalam hasil
bagi. Persamaan standar dari rasio produktivitas ”total” adalah (Felipe, 1997):
QA
α L+ β K= α β
QA
L K= (3.3)
Dimana persamaan yang pertama adalah indeks aritmatika dan persamaan
yang kedua adalah indeks geometri. A adalah indeks produktivitas; Q, L, dan K
masing-masing adalah output, tenaga kerja dan kapital; dan α dan β adalah
bobotnya. Indeks A mengukur efisiensi dengan seluruh faktor produksi, dalam hal
ini yang digunakan adalah tenaga kerja dan modal. Ekonomi neoklasik
memberikan solusi untuk masalah bobot ini dengan cara menghubungkan rasio
produktivitas kepada fungsi produksi agregat sehingga bobot yang menjadi
masalah tersebut dapat dihasilkan dan diinterpretasi. Dalam persamaan sederhana,
fungsi produksi agregat dapat dituliskan sebagai berikut:
[ , , ]t tQ F L K t= (3.4)
Persamaan (3.4) menyatakan output sebagai fungsi dari stok modal, tenaga
kerja, dan faktor peubah (t), waktu, dimana selanjutnya mewakili efek
produktivitas dan perkembangan teknologi. T yang lainnya juga mewakili waktu.
Jika diasumsikan variabel ”t” terpisah dari K dan L
[ , ]t t tQ A F L K= (3.5)
kemudian
[ , ]t
tt t
QAF L K
= (3.6)
Dengan demikian, At dinyatakan sebagai perkembangan teknis eksogenus,
disembodied, dan Neutral-Hicks, dan diukur berdasarkan perjalanan waktu dengan
kombinasi input yang konstan. Konsep ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian
berikutnya. Dugaan produktivitas secara keseluruhan dapat diinterpretasikan
kembali sebagai indeks dari seluruh faktor selain tenaga kerja dan modal yang
tidak secara eksplisit dihitung, namun berpengaruhi dalam menggeneralisasikan
output. Faktor-faktor tersebut dapat berupa kemampuan manajerial dan
kompetensi organisasi, penelitian dan pengembangan, transfer sumberdaya antar
sektor, difusi teknologi dan lain sebagainya. Namun akan sangat sulit
mengestimasi faktor-faktor tersebut karena beberapa faktor merupakan data
kualitatif yang belum memiliki standar pengukuran yang valid, dan sebagian
faktor lainnya sulit untuk dicari datanya di lembaga manapun, akan tetapi bukan
tidak mungkin nantinya faktor-faktor tersebut dapat diestimasi.
1. Perhitungan Pertumbuhan
Dalam metode analisis dengan tujuan empiris, persamaan (3.6)
menimbulkan masalah secara konsep. Walaupun persamaan tersebut mewakili
output per unit input gabungan, interpretasinya lebih bertahap daripada indeks
produktivitas parsial, dan pengertiannya, contohnya tingkatan teknologi, jelas
bukan merupakan perbandingan langsung diantara unit-unit ekonomi yang lain.
Untuk alasan ini, biasanya hal ini dinyatakan dalam tingkat pertumbuhan, yaitu:
[ , , ] t t t t tt t t t
t t t t t
dA L дQ K дQT K L t T q - l - kd Q дL Q дK
= = = (3.7)
Dimana qt, lt, kt masing-masing menyatakan tingkat pertumbuhan output,
tenaga kerja, dan modal, dan tφ adalah tingkat pertumbuhan produktivitas faktor
total. Notasi di depan masing-masing variabel faktor mewakili elastisitas masing-
masing faktor. Secara empiris ekonomi neoklasik mengasumsikan pasar dalam
keadaaan persaingan sempurna dan tiap-tiap perusahaan akan memaksimumkan
keuntungannya. Dalam keadaan seperti ini elastisitas harga dari permintaan
terbatas, elastisitas faktor sama dengan bagian faktor dalam output, sehingga
persamaan (3.7) menjadi:
(1 )t t t t t tT q - a l - - a k= (3.8)
dimana at dan (1- at) masing-masing adalah nilai bobot tenaga kerja dan modal
(yang dikenal juga sebagai Divisia Index Weighing System). Sejak penghitungan
nasional dan statistik lainnya menyediakan estimasi dari variabel di sisi kanan,
yang dapat menjelaskan pertumbuhan produktivitas sebagai kategori residual
persamaan (3.8) dikenal juga sebagai ”Solow Residual”, prosedur yang digunakan
dalam memperhitungkan pertumbuhan.
Dengan data acak, peneliti biasanya menggunakan indeks Tornqvist.
Indeks ini mengamati persamaan (3.7)-(3.8) yang diderivasi menggunakan
diferensial kalkulus. Dalam kasus acak dapat dilihat bahwa (Chambers 1988
dalam Felipe, 1997):
, 11 1 1
ln ln lnt t tt t - L K
t- t- t-
Q L KT -Θ -ΘQ L K
= (3.9)
dimana
1
2K K -
Kθ +θ
Θ = 1
2L L-
Lθ +θ
Θ = (3.10)
dimana θ menotasikan persentase dari tiap faktor agregat dalam neraca
pembayaran faktor total.
2. Estimasi Ekonometrik
Dasar pemikiran untuk pendekatan kalkulasi pertumbuhan bergantung
tidak hanya pada keberadaan fungsi produksi agregat total seperti persamaan
(3.4), tetapi juga pada validitas teori produktivitas marjinal (agregat) dari
penetapan harga faktor. Untuk itu, estimasi langsung fungsi produksi agregat
adalah alternatif untuk pendekatan kalkulasi pertumbuhan. Dalam kasus ini,
persamaan (3.5) mengambil bentuk yang pasti dengan asumsi tentang At.
Mengacu pada kesederhanaannya, bentuk persamaan yang paling sering
digunakan adalah Cobb-Douglas, walaupun bentuk persamaan yang lain sama
validnya (Chen 1991, Kim dan Lau 1994 dalam Felipe, 1997), dan At biasanya
mengambil bentuk sebagai tren waktu eksponensial (walaupun ada kemungkinan
lainnya). Dengan cara ini, perubahan teknis dilihat sebagai pergeseran fungsi
produksi selama waktu t dalam tingkat waktu yang normal. Koefisien dari tren
mengukur tingkat rata-rata pertumbuhan TFP. Kemudian persamaan fungsi
produksi dalam bentuk log linear dengan berbagai input yang digunakan adalah:
0 1 2 3 4 5 6ln ln ln ln ln lnit it it it it it tQ L M E R S T uβ β β β β β β= + + + + + + + (3.11)
dimana:
Qit = Nilai Output industri ke-i pada tahun t (Rp);
Lit = Nilai input tenaga kerja industri ke-i pada tahun t (Rp);
Mit = Nilai bahan baku yang digunakan dalam industri ke-i pada tahun t (Rp);
Eit = Nilai penggunaan energi dalam industri ke-i pada tahun t (Rp);
Rit = Nilai sewa barang modal dalam industri ke-i pada tahun t (Rp);
Sit = Nilai jasa yang digunakan dalam industri ke-i pada tahun t (Rp);
T = Tingkat kemajuan teknologi (efisiensi teknis) (persen);
ut = Error term (gangguan acak);
β 0 adalah konstanta dari fungsi produksi industri makanan sedangkan β 1, β 2,
β 3, β 4, β 5 dan β 6 adalah elastisitas dari masing-masing variabel di atas; T
diasumsikan sebagai tingkat kemajuan teknologi yang dihitung melalui perubahan
efisiensi teknis berdasarkan tren waktu setiap tahun, sehingga nilai koefisiennya
( β 6) merupakan pertumbuhan dengan proporsi input yang konstan; dan ut adalah
gangguan acak. Persamaan ini telah banyak diestimasi dalam banyak kasus
dengan menggunakan metode regresi OLS (Ordinary Least Square, kuadrat
terkecil sederhana). Pada persamaan di atas fungsi produksi menyatakan input
agregat yang digunakan dalam industri pengolahan makanan.
3.5. Pengujian Model
Setelah mendapatkan parameter estimasi, langkah selanjutnya adalah
melakukan berbagai macam pengujian terhadap parameter estimasi tersebut,
seperti pengujian ekonometrik, statistik, dan ekonomi. Pengujian ekonometrik
yang dimaksud adalah untuk mengestimasi parameter regresi berdasarkan asumsi-
asumsi yang harus dipenuhi dalam pengolahan data dengan metode OLS.
Sedangkan pengujian statistik meliputi uji R2, uji F, uji t, dan evaluasi model
dengan penentuan pendekatan yang akan digunakan (antara common atau fixed)
dengan uji statistik Chow, serta mendeteksi adanya gejala gangguan seperti
heteroskedastistas, multikolinearitas dan autokorelasi yang dapat menyebabkan
estimasi model bias dan tidak efisien.
3.5.1. Uji Koefisien Determinasi (R2)
Uji ini untuk mengukur sampai sejauh mana besar keragaman yang dapat
diterangkan oleh variabel bebas terhadap variabel tak bebas. R2 memiliki dua sifat
(Gujarati, 2003), pertama, R2 merupakan besaran non negatif; dan kedua,
besarnya adalah 0 ≤ R2 ≤ 1. Jika R2 sebesar 1 berarti suatu kecocokan sempurna,
sedangkan R2 yang bernilai nol berarti tidak ada hubungan antara variabel tak
bebas dengan variabel yang menjelaskan.
3.5.2. Uji-F
Uji-F digunakan untuk menguji bagaimanakah pengaruh peubah bebas
terhadap peubah tidak bebas secara keseluruhan. Hipotesis yang diuji dari
pendugaan persamaan di atas adalah variabel bebas tidak berpengaruh nyata
terhadap variabel tak bebas. Hipotesis ini disebut hipotesis nol. Mekanisme yang
digunakan untuk menguji hipotesis dari parameter dugaan secara serentak (uji F-
statistik):
Hipotesa: H0 : β1 = β2 = ... = βk = 0
H1 : minimal ada satu parameter dugaan (βi) yang tidak sama dengan
nol (paling sedikit ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata
terhadap variabel tak bebas).
pengujian uji-F ini dapat dilihat dari nilai probabilitas F-statistiknya. Dengan
melihat nilai probabilitas F-statistik akan diketahui apakah suatu persamaan akan
lulus uji-F atau tidak. Jika P-Value menunjukkan besaran yang kurang dari taraf
nyata yang digunakan (α), dapat disimpulkan tolak H0, yang artinya minimal ada
satu parameter dugaan (βi) yang tidak sama dengan nol (paling sedikit ada satu
variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas).
3.5.3. Uji-t
Dipergunakan untuk menguji secara statistik apakah koefisien regresi dari
masing-masing variabel bebas yang dipakai secara terpisah berpengaruh nyata
atau tidak terhadap variabel tak bebas.
Hipotesa: H0 : βj = 0
H1 : βj ≠ 0 ; j = 1,2, ..., k
Pengujian uji parsial ini (uji-t) dapat dilihat dari nilai probabilitas t-
statistiknya. Dimana, jika probabilitas t-statistik menunjukkan nilai yang kurang
dari derajat kepercayaan yang digunakan (α), maka dapat dikatakan tolak H0 yang
berarti peubah bebas berpengaruh nyata terhadap peubah tidak bebas dalam model
pada tingkat signifikansi tertentu.
3.6. Evaluasi model
3.6.1. Heteroskedastisitas
Dalam suatu model jika dijumpai adanya masalah heteroskedastisitas
maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Untuk
mendeteksi adanya pelanggaran asumsi heteroskedastisitas digunakan uji White
Heteroscedasticity yang diperoleh dalam program EViews. Data panel dalam
EViews 4 yang menggunakan metode General Least Square (Cross Section
Weights) maka untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas adalah dengan
membandingkan Sum Square Residual pada Weighted Statistics dengan Sum
Square Residual pada Unweighted Statistics. Jika Sum Square Residual Weighted
Statistics lebih kecil daripada Sum Square Residual Unweighted Statistics maka
terjadi heteroskedastisitas. Untuk men-treatment pelanggaran tersebut, bisa
mengestimasi GLS dengan White Heteroscedasticity (Pindyck, 1991).
3.6.2. Multikolinieritas
Dalam model regresi linear yang terdiri dari banyak variabel independen
terkadang dijumpai masalah multikolinearitas. Multikolinearitas adalah hubungan
linear yang kuat antara variabel-variabel independen dalam persamaan regresi
berganda. Jika nilai R2 yang diperoleh tinggi (antara 0,7 dan 1) tetapi tidak
terdapat atau sedikit sekali koefisien dugaan yang nyata pada taraf uji tertentu dan
tanda koefisien regresi dugaan tidak sesuai teori maka model yang digunakan
berhubungan dengan masalah multikolinearitas. Multikolinearitas dapat diatasi
dengan memberi perlakuan cross section weights, sehingga parameter dugaan
pada taraf uji tertentu (t statistik maupun F hitung) menjadi signifikan.
3.6.3. Autokorelasi
Pindyck (1991) menyatakan bahwa autokorelasi dapat mempengaruhi
efisiensi dari estimatornya. Untuk mendeteksi adanya korelasi serial dapat
dilakukan dengan melihat nilai Durbin Watson (DW) dalam Eviews 4. Untuk
mengetahui ada tidaknya autokorelasi maka dilakukan dengan membandingkan
statistik DW dengan tabel. Autokorelasi terdeteksi jika statistik DW (d) Lebih
kecil dari dU atau lebih besar dari 4-dL. Model bebas masalah autokorelasi jika d
terletak diantara dU dan 4-dU (dU<d<4-dU). Korelasi serial ditemukan jika error
dari periode waktu yang berbeda saling berkorelasi. Pada analisis seperti yang
dilakukan pada model, jika ditemukan korelasi serial maka model menjadi tidak
efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Kelemahan dari metode Durbin Watson
adalah jika nilai statistik DW jatuh di daerah ragu-ragu, sehingga tidak bisa
ditentukan ada atau tidaknya autokorelasi. Jika terjadi kasus demikian, maka
gejala autokorelasi dideteksi dengan melihat grafik sebaran nilai residual antar
waktu untuk setiap observasi, untuk melihat pengaruh error antar waktu.
IV. HASIL PEMBAHASAN
4.1. Kontribusi Sektor Industri Pengolahan Dalam PDB
Pertumbuhan sektor industri pengolahan cenderung menurun dalam
beberapa tahun terakhir, terutama sejak krisis ekonomi yang melanda Indonesia
pada tahun 1997, tetapi kontribusinya terhadap pembentukan PDB masih tetap
dominan dan paling besar dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya
(Depnakertrans). Jika pada tahun 1993 kontribusi sektor industri pengolahan
terhadap PDB baru mencapai 22.30 persen, maka pada tahun 2006, kontribusinya
telah mencapai 28.72 persen (Tabel 4.1). Rendahnya pertumbuhan sektor industri
pengolahan dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa upaya pemulihan
yang dilakukan selama ini belum berhasil mengangkat sektor industri pengolahan
seperti kondisi sebelum krisis. Padahal sebagai sektor yang mempunyai kontribusi
terbesar dalam pembentukan PDB, sektor industri pengolahan diharapkan bisa
menjadi pendorong bagi pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih tinggi.
Tabel 4.1. Kontribusi PDB Menurut Sektor Tahun 1993 dan 2006 Triwulan I (persen)
Sektor/Lapangan Usaha 1993 20061. Pertanian 17.88 13.362. Pertambangan 9.55 10.513. Industri Pengolahan 22.30 28.724. Listrik, Gas, Air Bersih 1.00 0.875. Konstruksi 6.83 6.436. Perdagangan, Hotel dan Restoran 16.77 14.977. Pengangkutan dan Komunikasi 7.05 7.048. Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan 8.51 8.329. Jasa-Jasa 10.30 9.78
PDB 100.00 100.00Sumber: BPS, Pendapatan Nasional Indonesia, 1993 dan 2006 (Triwulan I).
Dibandingkan dengan sektor lainnya, sektor industri pengolahan memang
termasuk yang paling menderita akibat krisis ekonomi yang dimulai sejak
pertengahan tahun 1997 tersebut. Dari Tabel 4.2. dapat diketahui bahwa pada
tahun 1998, yang merupakan puncak terjadinya krisis ekonomi, sektor industri
pengolahan mengalami pertumbuhan negatif (-11,44 persen) dibandingkan dengan
tahun 1997. Tetapi pada tahun 1999 pertumbuhan sektor industri berhasil
mencapai 3.92 persen, dan tahun 2000 bahkan mencapai 5.98 persen. Karena
kontribusinya cukup dominan dalam pembentukan PDB, maka pertumbuhan
sektor industri pengolahan tahun 1999 dan 2000 tersebut mempunyai peran yang
cukup besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Tabel 4.2. Pertumbuhan PDB Sektor Industri Pengolahan Tahun 1994-2005**
Nilai (Miliar Rp) Pertumbuhan (persen) 1994 82649.01995 91637.1 10.881996 102259.7 11.591997 107629.7 5.251998 95320.6 -11.441999 99058.5 3.922000 104986.9 5.982001 109290.2 4.102002 113671.7 4.012003 115900.7 1.96
2004* 120250.4 3.752005** 124600.0 3.62
Sumber: BPS, Diolah. Ket : 2004* : Angka Sementara. 2005**: Angka Sangat Sementara.
Bila dilihat dari subsektornya, sebagian besar (81.43 persen) dari nilai
tambah sektor industri pengolahan berasal dari sub sektor industri besar sedang,
sedangkan sisanya berasal dari sub sektor industri kecil dan kerajinan
rumahtangga (IKRT) sekitar 18.57 persen seperti dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Dilihat dari kecenderungannya selama periode 1993-2002, tampaknya kontribusi
nilai tambah sub sektor IKRT cenderung terus meningkat. Kalau pada tahun 1993,
kontribusi IKRT terhadap nilai tambah sektor industri pengolahan secara
keseluruhan baru sekitar 16.60 persen, maka pada tahun 2002 sudah mencapai
18.57 persen. Sebaliknya, kontribusi nilai tambah industri besar sedang turun dari
83.40 persen tahun 1993 menjadi 81.43 persen tahun 2002.
Tabel 4.3. Komposisi PDB Sektor Industri Pengolahan Menurut Subsektor 1993-2002 (persen)
Tahun Industri Besar Sedang
Industri Kecil dan Kerajinan
Rumahtangga
Sektor Industri Pengolahan
1993 83.40 16.60 100.001994 83.83 16.17 100.001995 83.77 16.23 100.001996 84.06 15.94 100.001997 85.65 14.35 100.001998 83.63 16.37 100.001999 84.15 15.85 100.002000 81.98 18.02 100.002001 81.90 18.10 100.002002 81.43 18.57 100.00
Sumber: BPS, Pendapatan Nasional Indonesia, Berbagai Edisi.
Bertambahnya kontribusi nilai tambah sub sektor IKRT tersebut tentu saja
sangat menggembirakan, karena hal tersebut mengindikasikan bahwa program
pembinaan terhadap industri kecil dan kerajinan rumah tangga yang dilakukan
oleh pemerintah dan swasta selama ini sudah mulai menunjukkan hasilnya, baik
melalui program kemitraan, sistem bapak angkat, dan lain-lain. Diantara berbagai
macam jenis industri yang termasuk dalam kategori industri besar sedang,
kontribusi paling besar (13.61 persen) nilai tambah pada industri besar sedang
disumbangkan oleh jenis industri makanan dengan kode International Standard
Industial Classification of All Economic Activities (ISIC) atau kode Klasifikasi
Baku Lapangan Usaha Indonesia 15 (ISIC/KBLI 15). Jenis industri lain yang juga
memberikan kontribusi nilai tambah yang cukup besar adalah industri kimia dan
barang-barang dari bahan kimia (ISIC/KBLI 24) serta industri tekstil (ISIC/KBLI
17), yang masing-masing memberikan kontribusi terhadap nilai tambah industri
besar sedang sebesar 12.42 persen dan 7.59 persen (Tabel 4.4.).
Tabel 4.4. Distribusi Persentase Nilai Tambah Bruto Industri Besar Sedang Menurut Jenis Industri 2003 (Ribu Rp).
Nilai Output Nilai Tambah kode ISIC Jenis Industri
Nilai Persentase Nilai Persentase 15 Makanan dan minuman 162387933875 19.36 41338414005 13.61 16 Tembakau 54244947007 6.47 22116832477 7.28 17 Tekstil 73547373480 8.77 23061505450 7.59 18 Pakaian Jadi 31616005536 3.77 12556776085 4.13 19 Kulit dan barang dari kulit 20869600188 2.49 8165330856 2.69
20 Kayu dan barang dari kayu(tidak termasuk furniture) 46735706019 5.57 18247281071 6.01
21 Kertas dan barang dari kertas 56191077950 6.70 22976003738 7.56
22 Penerbitan, percetakan dan reproduksi media rekaman 7483604874 0.89 3325761870 1.09
23 Batubara, pengilangan minyak bumi, dan bahan bakar nuklir 1715245325 0.20 663398679 0.22
24 Kimia dan barang-barang dari bahan kimia 90285619623 10.76 37744401931 12.42
25 Karet dan bahan dari karet 45157675622 5.38 13047600877 4.29 26 Barang galian bukan logam 25577572438 3.05 13354824983 4.40 27 Logam dasar 49664169378 5.92 10955936571 3.61
28 Barang-barang dari logam kecuali mesin dan peralatannya 20104694525 2.40 7549109075 2.48
29 Mesin dan perlengkapannya 12478834657 1.49 3991693931 1.31
30 Mesin dan peralatan kantor, akuntansi, dan pengolahan data 87181035 0.01 58291368 0.02
31 Mesin listrik lainnya dan perlengkapannya 17157086327 2.05 5289937571 1.74
32 Radio, televisi, dan peralatan komunikasi, serta perlengkapannya
39958553615 4.76 15686864102 5.16
33 Peralatan kedokteran, alat-alat ukur, peralatan navigasi, peralatan optik, jam, dan lonceng
1703835952 0.20 458262523 0.15
34 Kendaraan bermotor 27884704883 3.32 18484412580 6.08
35 Alat angkutan, selain kendaraan bermotor roda empat atau lebih 37667065053 4.49 17956080889 5.91
36 Furnitur dan industri pengolahan lainnya 16053172952 1.91 6713211804 2.21
37 Daur ulang 232298207 0.03 55278787 0.02 Jumlah 838803958521 100.00 303797211223 100.00
Sumber: BPS, Industri Besar dan Sedang, 2003.
4.2. Arah Kebijakan Perindustrian di Indonesia
Sejak tahun 1995, pada Repelita VI pembangunan industri difokuskan
pada produk-produk yang memiliki keunggulan komparatif agar mampu memiliki
keunggulan yang kompetitif. Sehingga ada industri-industri yang lebih
diprioritaskan oleh pemerintah selain lebih concern kepada BUMNIS (BUMN
Industri Strategis). Hingga masa sekarang kebijakan industri prioritas masih
dipertahankan terutama untuk mendapatkan keuntungan dari perdagangan
internasional. Karena adanya sektor industri prioritas ini, pengembangan
teknologi pun hanya difokuskan pada industri-industri yang diprioritaskan.
Sehingga pengembangan teknologi pada industri pengolahan makanan secara
keseluruhan masih belum seperti yang diharapkan.
Kebijakan perindustrian yang dimulai pada tahun 2002, dipengaruhi oleh
isu mengenai desentralisasi dan otonomi daerah. Selain itu lebih banyak
perubahan-perubahan yang dilakukan dalam kebijakan pembangunan industri
dengan melakukan restrukturisasi terutama pada sektor energi dan sumberdaya
mineral, tataran mikro dan birokrasi pemerintah (Program Kerja Kabinet
Indonesia Bersatu Sektor ESDM, 2002). Karena dalam periode tersebut terjadi
perubahan struktural dengan adanya otonomi daerah, maka berbagai
restrukturisasi tersebut dianggap perlu untuk dilaksanakan. Selain itu kebijakan
yang lainnya masih serupa dengan kebijakan pada tahun-tahun sebelumnya hingga
saat ini, yaitu mengenai keunggulan kompetitif, daya saing industri, kemampuan
meningkatkan kapasitas produksi dan pengembangan teknologi (Deprin, 2002).
Pada tahun 2005, kebijakan pembangunan industri lebih fokus pada
keterkaitan antar industri dan keterkaitan antara industri dengan sektor lainnya.
Untuk meningkatkan keterkaitan dan kinerja industri secara keseluruhan
pemerintah mengembangkan konsep cluster, salah satu pendekatan yang mampu
meningkatkan produktivitas industri dengan meningkatkan keterkaitan antar
sektor dalam suatu industri. Konsep cluster terutama diterapkan pada sektor-
sektor industri yang menjadi prioritas.
4.3. Karakteristik Industri Pengolahan Makanan di Indonesia
Industri pengolahan makanan merupakan salah satu komponen penting
dalam perekonomian yang berhubungan dengan konteks ketahanan pangan
nasional. Untuk mencapai standar ketahanan pangan yang tangguh maka
diperlukan adanya pertumbuhan yang tinggi pada sektor industri ini. Berdasarkan
buku statistik industri besar dan sedang yang dirilis BPS, industri makanan
meliputi seluruh pengolahan bahan pangan besar dan sedang yang berasal dari
sumber daya alam, terutama sumber daya pertanian, sehingga bahan pangan
tersebut siap dikonsumsi oleh masyarakat atau industri lainnya. Seluruh bahan
baku industri pengolahan makanan merupakan hasil-hasil dari pertanian primer
secara luas meliputi hasil-hasil pertanian ladang, perkebunan, perikanan, dan
peternakan.
Besarnya industri ditentukan berdasarkan jumlah tenaga kerja yang
dipekerjakan pada perusahaan-perusahaan dalam suatu industri. Klasifikasi
golongan industri berdasarkan jumlah tenaga kerja dapat dilihat pada tabel 4.5.
Jumlah perusahaan pengolah makanan di Indonesia Sangat banyak, terutama yang
termasuk ke dalam golongan industri kecil dan rumah tangga. Data mengenai
industri pengolahan makanan yang digunakan pada penelitian ini terbatas hanya
pada industri pengolahan besar dan sedang dengan jumlah tenaga kerja lebih dari
20 orang. Pertumbuhan jumlah perusahaan dalam industri pengolahan makanan
sendiri menunjukkan angka yang negatif setiap tahunnya. Pada tahun 1996
industri pengolahan makanan memiliki jumlah total perusahaan sebanyak 4501
perusahaan, yang semakin menurun pada tahun 2000 dengan angka 4402
perusahaan. Data terakhir pada tahun 2003 jumlah industri pengolahan makanan
semakin berkurang menjadi 4170 perusahaan (BPS,2003).
Tabel 4.5. Klasifikasi Golongan Industri Berdasarkan Tenaga Kerja
Golongan Industri Banyaknya Tenaga Kerja
Besar 100 orang atau lebih Sedang Antara 20-99 orang Kecil Antara 5-19 orang Rumah Tangga Antara 1-4 orang
Sumber: BPS, Statistik Industri Besar dan Sedang, 2003.
Penyebab dari semakin berkurangnya perusahaan dalam industri
pengolahan makanan sebagian besar disebabkan oleh ekspansi dari perusahaan
besar terhadap perusahaan-perusahaan yang lebih kecil, misalnya pengambil
alihan lahan perkebunan, karena perusahaan besar tersebut memiliki keunggulan
dalam efisiensi teknis. Namun ekspansi ini dapat memberikan keuntungan
terhadap industri secara keseluruhan, yaitu dengan meningkatnya kapasitas
produksi perusahaan sehingga dapat meningkatkan skala ekonomi perusahaan di
bawah satu manajemen. Pertumbuhan jumlah perusahaan pada industri
pengolahan makanan diilustrasikan pada Gambar 4.1.
4050
4100
4150
4200
4250
4300
4350
4400
4450
2000 2001 2002 2003
Sumber: BPS, 2003.
Gambar 4.1. Pertumbuhan Jumlah Perusahaan Pada Industri Pengolahan Makanan
Pembiayaan bagi perusahaan-perusahaan dalam industri pengolahan
makanan sebagian besar masih berasal dari dalam negeri (PMDN). 10 persen
perusahaan dalam industri pengolahan makanan mendapatkan modal yang berasal
dari PMDN, sedangkan perusahaan yang dibiayai oleh pihak asing (PMA) hanya
menyumbang sebesar 4 persen, sisanya sebesar 86 persen dari investasi lainnya
(BPS, 2003). Industri yang dibiayai oleh pihak asing biasanya merupakan industri
yang potensial, karena ketersediaan sumber daya yang banyak di Indonesia dan
dengan tingkat teknologi yang tinggi.
10%4%
86%
pmdnpmalainnya
Sumber: BPS, 2003.
Gambar 4.2. Sumber Modal Industri Pengolahan Makanan
Sumbangan nilai output terbesar diberikan oleh industri minyak kasar
(minyak makan) dari nabati dan hewan (kode: 15141) sebesar 24.17 persen dari
total output industri pengolahan makanan. Urutan selanjutnya adalah industri
minyak goreng dari kelapa sawit (15144) dengan kontribusi sebesar 21.71 persen.
Sedangkan kontribusi kelompok industri lainnya dalam industri pengolahan
makanan hanya di bawah 10 persen, yaitu pada industri pembekuan ikan dan biota
perairan lainnya (15124, sebesar 8.43 persen), industri ransum dan pakan
ternak/ikan (15331, 6.67 persen), dan industri gula pasir (15421, 6.06 persen).
Kontribusi output seluruh kelompok industri terhadap total output industri
pengolahan makanan dapat dilihat pada Lampiran 8.
Secara keseluruhan industri pengolahan makanan memiliki kontribusi
yang positif terhadap perekonomian Indonesia secara umum. Industri pengolahan
makanan yang termasuk ke dalam jenis industri pengolahan merupakan
penyumbang terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Industri
pengolahan makanan pun memiliki peranan penting sebagai industri yang mampu
menyerap tenaga kerja yang besar.
4.4. Pertumbuhan Industri Pengolahan Makanan
Industri pengolahan makanan merupakan salah satu sektor strategis yang
memiliki banyak potensi untuk berkembang di Indonesia. Selain itu industri ini
memiliki peranan penting dalam perekonomian Indonesia, yaitu sebagai salah satu
unsur penjamin ketersediaan bahan pangan dan sumber nutrisi bagi masyarakat.
Diharapkan industri pengolahan makanan dapat mengatasi masalah ketersediaan
makanan dan akses untuk mendapatkan makanan bagi setiap warga negara dengan
kualitas yang baik serta memenuhi standar kecukupan gizi internasional.
Isu ketahanan pangan nasional sedang dihadapkan dengan permasalahan
yang sangat mendasar, yaitu belum mampunya produksi nasional untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat akan bahan pangan, terutama bahan pokok.
Permasalahan ini tidak lepas dari pertumbuhan sektor pertanian dan industri
pengolahan makanan sebagai pemasok bahan pangan bagi masyarakat. Hal ini
mengindikasikan bahwa pertumbuhan sektor pertanian dan industri pengolahan
makanan belum sesuai dengan yang diharapkan. Pertumbuhan industri pengolahan
makanan hingga tahun 1996 terus mengalami peningkatan namun pada tahun
1997, seperti yang terjadi pula pada industri yang lainnya pertumbuhan industri
pengolahan makanan mengalami penurunan yang sangat tajam, hal ini
dikarenakan pada saat itu perekonomian Indonesia mengalami resesi yang cukup
parah yang disebabkan oleh krisis ekonomi yang memuncak pada saat itu.
Krisis yang menyebabkan stagflasi, yaitu pertumbuhan ekonomi yang
melambat bahkan cenderung menurun yang disertai dengan tingkat inflasi yang
sangat tinggi tersebut menyebabkan ongkos produksi semakin mahal karena
peningkatan harga-harga input. Investasi pun menurun tajam seiring kepercayaan
masyarakat dan pihak asing yang menurun akibat ketidakpastian iklim usaha dan
stabilitas perekonomian Indonesia. Pada tahun berikutnya pertumbuhan industri
pengolahan makanan mulai meningkat, bahkan meningkat sangat pesat pasca
krisis, dan hingga akhir 2003 pertumbuhan industri pengolahan makanan selalu
positif namun dengan nilai yang semakin menurun.
Tabel 4.6. Pertumbuhan Nilai Output Industri Pengolahan Makanan Periode kode
industri 1994-1996 1997-1999 2000-2002 2003-2005** Total 0.2097 0.1129 0.3584 0.132815133 0.1523 0.6344 -0.5586 0.599915144 0.3599 0.1011 0.2177 0.357715211 0.1924 0.3014 0.2107 -0.080315421 0.0217 -0.5880 1.0462 0.051215440 0.2894 -0.4804 0.5366 0.3383
Sumber: BPS, diolah. 15133: Pelumatan Buah-buahan dan Sayuran, 15144: Minyak Goreng Dari Minyak Kelapa Sawit, 15211: Susu, 15421: Gula Pasir, 15440: Makaroni, Mie, Spagheti, Bihun, So’un dan Sejenisnya. Ket: 2004* : Angka Sementara 2005** : Angka Sangat Sementara
Tabel 4.6. menunjukkan laju pertumbuhan nilai output industri pengolahan
makanan secara keseluruhan dan lima industri yang menyumbang proporsi nilai
output terbesar dan karakteristik masing-masing kelompok, sehingga lima industri
yang diambil sebagai sampel diharapkan mampu mewakili karakteristik dari
kelompok-kelompok industri secara keseluruhan. Pada periode 1994-1996 industri
pengolahan makanan mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 21 persen secara
keseluruhan maupun pada tiap-tiap industri yang mewakili. Seperti dijelaskan di
atas pertumbuhan yang menurun ini disebabkan oleh resesi ekonomi yang
disebabkan oleh krisis perekonomian. Sedangkan pada periode selanjutnya antara
tahun 1997-1999 dan periode 2000-2002 pertumbuhan industri pengolahan
makanan menunjukkan peningkatan masing-masing sebesar 11 persen dan 36
persen. Pertumbuhan paling tinggi diperlihatkan pada periode 2000-2002, karena
pada saat itu kebijakan-kebijakan yang diambil, baik secara makro maupun mikro,
lebih memihak kepada kemajuan sektor agribisnis. Untuk periode selanjutnya
pertumbuhan hanya sebesar 13 persen, mungkin disebabkan karena angka-angka
pada tahun 2004 dan 2005 adalah hasil proyeksi sementara dan bukan merupakan
data-data yang sesungguhnya.
Dilihat dari nilai pertumbuhan yang belum mampu mengalami
peningkatan seperti pada masa sebelum krisis memberikan kesimpulan bahwa,
kondisi industri pengolahan khususnya industri pengolahan belum mampu recover
dan kembali mencetak pertumbuhan seperti pada saat sebelum krisis. Hal ini
disebabkan karena kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang menaruh
kepercayaan kepada industri-industri yang bersifat foot-loose, karena terlalu
berorientasi kepada pasar dan ingin melakukan akselerasi pertumbuhan ekonomi
(lompatan pertumbuhan) dengan mengikuti jejak negara-negara industri yang
sudah maju. Akibatnya industri-industri yang berbasis pertanian seperti industri
makanan, tidak mendapatkan perhatian. Selain itu sistem agribisnis belum
diterapkan secara optimal dalam perekonomian Indonesia sehingga kemajuan
sektor-sektor industri yang berbasis agribisnis tersendat-sendat, padahal pada
sektor inilah Indonesia memiliki keunggulan komparatif dibandingkan negara
lainnya, sehingga penguatan sektor agribisnis merupakan strategi yang sangat
ampuh untuk mengatasi masalah pangan dan adanya isu perdagangan bebas.
4.5. Pengaruh Akumulasi Faktor Terhadap Pertumbuhan
Proses produksi tidak mungkin dapat dilaksanakan tanpa adanya faktor
produksi, maka dari itu faktor produksi merupakan unsur vital yang dibutuhkan
dalam proses produksi. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa
pertumbuhan faktor produksi (akumulasi faktor) merupakan salah satu sumber
pertumbuhan suatu industri. Dalam industri pengolahan makanan akumulasi
faktor sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan industri, terutama bahan baku.
Untuk menjelaskan pengaruh akumulasi faktor terhadap pertumbuhan industri
pengolahan makanan, digunakan metode Pool Least Square (PLS) dengan
meregresi fungsi produksi industri pengolahan makanan yang didapat dari data
industri pengolahan besar dan sedang dalam bentuk data panel (pool). Dengan
menggunakan software E Views 4.1. maka didapatkan hasil regresi dengan
pendekatan PLS (common) yang dapat dilihat pada Tabel 4.7. yang secara
lengkap disajikan di Lampiran 9. dan dengan pendekatan Fixed Effect Least
square (FELS) pada Lampiran 10. Dimana setiap koefisien regresi menunjukkan
elastisitas dari masing-masing variabel. Efisiensi teknis (T) rata-rata industri
pengolahan makanan diasumsikan sebagai kemajuan teknologi berdasarkan tren
waktu yang dihitung setiap tahun berdasarkan teori residual Solow dengan
menggunakan indeks Tornqvist. Indeks Tornqvist merupakan indeks yang
dihitung berdasarkan perbandingan pertumbuhan output dengan share
pertumbuhan input.
Tabel 4.7. Hasil Regresi dengan metode PLS Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 0.965195 0.023386 41.27199 0.0000L 0.029732 0.001565 18.99841 0.0000M 0.820280 0.004277 191.7720 0.0000E 0.069112 0.005081 13.60200 0.0000R 0.010349 0.001190 8.697967 0.0000S 0.074726 0.003022 24.72924 0.0000T 0.036651 0.002854 12.84214 0.0000
Evaluasi Model R-squared 0.999939 Mean dependent var 69.07875Adjusted R-squared 0.999938 S.D. dependent var 80.72306S.E. of regression 0.638105 Sum squared resid 86.72878F-statistic 584087.7 Durbin-Watson stat 1.756550Prob(F-statistic) 0.000000
Sumber: Lampiran 9.
Model persamaan ini dibentuk dengan menggunakan metode regresi linear
sederhana (least square) data pertumbuhan nilai output (Q), tenaga kerja (Labor,
L), bahan baku (Materials, M), energi (Energi, E), sewa (Rent, R), jasa industri
dan pengeluaran lainnya (Services and Other Expenses, S) dan Efisiensi Teknis
(Technological Progress, T) dalam bentuk data panel. Data yang diambil meliputi
20 cross section kelompok industri yang tergabung dalam golongan industri
pengolahan makanan pokok. Analisis dilakukan dalam selang waktu sebelas
tahun, mulai periode 1995 hingga tahun 2005. Sedangkan estimasi pertumbuhan
teknologi dihitung setiap tahun dengan menggunakan indeks Tornqvist, dan
dimasukkan ke dalam persamaan regresi. Hasil regresi di atas yang akan
digunakan untuk mengidentifikasi sumber-sumber pertumbuhan pada industri
pengolahan makanan. Regresi dilakukan dengan pendekatan PLS (common).
Dalam menentukan metode regresi dalam pool, apakah menggunakan
common pool least square (PLS) atau fixed effect least square (FELS) hasil
regresi diuji dengan uji statistik Chow. Uji Chow dilakukan secara manual dengan
hasil perhitungan sebesar 1.09363. Uji Statistik Chow menunjukkan F statistik
Chow lebih kecil dari F tabel (1.97), sehingga terima hipotesis nol (Ho), yang
artinya metode common pool least square yang digunakan dan diinterpretasikan
untuk menjelaskan hasil regresi dari fungsi produksi industri pengolahan
makanan.
4.5.1. Pengujian Model
Sebelum menginterpretasikan hasil penelitian dari model persamaan
diatas, perlu dilakukan pengujian terhadap validitas model apakah persamaan
tersebut telah memenuhi asumsi OLS klasik. Pengujian model asumsi OLS klasik
diantaranya dengan uji R2, uji-F, uji-t, identifikasi autokorelasi, multikolonearitas
dan heteroskedastisitas.
Untuk mengukur sampai sejauh mana besar keragaman yang dapat
diterangkan oleh variabel bebas terhadap variabel tak bebas digunakan uji R2. Ada
dua sifat dari R2 (Gujarati, 1995), pertama, R2 merupakan besaran non negatif; dan
kedua, besarnya adalah 0 ≤ R2 ≤ 1. Jika R2 sebesar 1 berarti suatu kecocokan
sempurna, sedangkan R2 yang bernilai nol berarti tidak ada hubungan antara
variabel tak bebas dengan variabel yang menjelaskan. Pada hasil olahan dengan
menggunakan metode fixed effect least square mengenai industri pengolahan
makanan, R2 sebesar 99 persen artinya hubungan variabel bebas dengan variabel
tak bebasnya adalah sebesar 99 persen sementara 1 persen sisanya dijelaskan di
luar variabel bebas yang diestimasi.
Uji-F digunakan untuk menguji bagaimanakah pengaruh peubah bebas
terhadap peubah tidak bebas secara keseluruhan. Hasil olahan menunjukkan
probabilitas F-statistiknya lebih kecil dari taraf nyata 1 persen. Sehingga dapat
dinyatakan bahwa secara serempak variabel bebasnya dapat menjelaskan variabel
tak bebas pada taraf nyata tersebut. Pada persamaan fungsi produksi probabilitas
t-statistik untuk variabel semua variabel nilainya lebih kecil dari taraf nyata 1
persen, sehingga semua variabel berpengaruh secara signifikan.
Untuk menguji ada tidaknya gejala heteroskedastisitas digunakan metode
General Least Square (GLS). Model persamaan dikatakan bebas masalah
heteroskedastisitas jika Sum Square Residual Weighted Statistics lebih kecil
dibandingkan dengan Sum Square Residual Unweighted Statistics, seperti yang
tampak pada model regresi hasil olahan data mengenai industri pengolahan
makanan. Dengan demikian model persamaan fungsi produksi industri
pengolahan makanan di atas bebas masalah heteroskedastisitas. Metode GLS juga
digunakan untuk menghindari adanya masalah multikolinearitas, dilihat dari
probabilitas variabel bebasnya persamaan dapat dinyatakan bebas masalah
multikolinearitas.
Untuk mengidentifikasi gejala autokorelasi dalam model persamaan fungsi
produksi industri pengolahan makanan, digunakan uji statistik Durbin Watson
(DW). Statistik DW pada model persamaan sebesar 1.7565 dengan weighted cross
section dan sebesar 1.9270 pada unweighted cross section. Kedua nilai tersebut
terletak diantara dU dan 4-dU atau dU<DW<4-dU (1.65<d<2.56) yaitu pada daerah
penolakan H0. Sehingga bisa ditentukan bahwa persamaan regresi tidak
mengandung masalah autokorelasi negatif ataupun positif. Diperkuat dengan
grafik residual dari tiap-tiap cross section pada kelompok industri pengolahan
makanan (Lampiran 12) memperlihatkan tidak adanya pengaruh serial korelasi
pada masing-masing residual. Dapat disimpulkan bahwa hasil regresi model
persamaan fungsi produksi dapat diterima dengan asumsi OLS klasik, sehingga
dapat digunakan dan dinterpretasikan.
4.5.2. Tenaga Kerja (Labor)
Faktor tenaga kerja merupakan salah satu input yang sangat penting dalam
proses produksi pada setiap industri. Dalam industri pengolahan makanan tenaga
kerja menunjukkan kontribusi yang cukup signifikan terhadap nilai output, dari
hasil regresi fungsi produksi pengolahan nilai probabilitas t faktor tenaga kerja
lebih kecil dari taraf nyata 1 persen, sehingga memberikan pengaruh yang cukup
signifikan terhadap nilai output. Koefisien faktor tenaga kerja sebesar 0.0297,
artinya setiap peningkatan faktor tenaga kerja sebesar 1 persen maka nilai output
akan meningkat sebesar 0.0297 persen. Peranan yang cukup penting dari faktor
tenaga kerja dalam industri pengolahan makanan ini karena sifat industri
pengolahan makanan yang mampu menyerap banyak sumber daya manusia
(tenaga kerja). Pada saat krisis dimana upah rata-rata menurun karena banyak
terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sehingga banyak perusahaan yang
lebih memilih untuk menggunakan sumber daya manusia daripada mesindan
peralatan berat yang mahal agar lebih efisien.
Industri pengolahan makanan secara umum memberikan peranan yang
cukup penting dalam penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 1997 di saat krisis
melanda Indonesia dan terjadi pemberhentian tenaga kerja besar-besaran, banyak
tenaga kerja yang beralih ke sektor industri pengolahan makanan. Dampak resesi
ekonomi terhadap tingkat pengangguran pada saat itu dapat dikurangi dengan
daya serap industri pengolahan makanan terhadap tenaga kerja, walaupun tidak
secara signifikan berpengaruh terhadap pengangguran secara nasional dan
kontribusi pertumbuhan tenaga kerja tersebut tidak signifikan terhadap nilai
output. Dalam hal ini, perusahaan-perusahaan dalam industri pengolahan mampu
lebih menekan biaya dengan memanfaatkan sumber daya manusia dibandingkan
jika menggunakan teknologi yang biayanya lebih mahal.
Dapat disimpulkan bahwa faktor tenaga kerja belum menjadi salah satu
sumber pertumbuhan yang memberikan dampak signifikan, sebagaimana yang
diharapkan, terhadap pertumbuhan nilai output pada industri pengolahan
makanan. Fenomena ini terutama disebabkan oleh skill (kualitas) tenaga kerja
yang masih rendah sehingga sumbangan produktivitasnya terhadap pertumbuhan
industri masih kurang. Pernyataan yang sama juga diungkapkan dalam penelitian
Supriyanto (2005), mengenai sumber pertumbuhan pada Industri Kecil dan
Rumah Tangga (IKRT). Pada IKRT jelas kualitas sumber daya manusianya masih
kurang berpendidikan sehingga kontribusinya terhadap pertumbuhan masih sangat
rendah. Sedangkan walaupun pada industri pengolahan makanan dengan ukuran
industri besar dan sedang pun kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan
masih belum signifikan.
Dari Tabel 4.8. dapat dilihat laju pertumbuhan nilai penggunaan input
tenaga kerja, pada periode 1994-1996 pertumbuhan tenaga kerja keseluruhan
industri pengolahan makanan meningkat sebesar 0.04 persen. Namun pada
beberapa kelompok industri, pertumbuhan tenaga kerja mengalami penurunan.
Pada saat krisis dimana harga input naik karena inflasi justru input tenaga kerja
pada industri pengolahan makanan meningkat nilainya. Salah satu penyebabnya
adalah pada saat krisis banyak tenaga kerja dari sektor lain yang mengalami
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sehingga mereka beralih menjadi buruh di
sektor industri pengolahan makanan.
Sedangkan pada saat industri pengolahan makanan mengalami
peningkatan pertumbuhan yang pesat, pertumbuhan nilai penggunaan tenaga kerja
malah menurun. Khususnya pada periode 2000-2002 yaitu pada masa pemulihan
setelah krisis, dimana pertumbuhan tenaga kerja industri pengolahan makanan
sebesar 2.74 persen dan mengalami peningkatan, walaupun tidak besar, dengan
nilai 10.34 persen pada periode 2003-2005. Hal ini terutama disebabkan faktor
tenaga kerja sudah mulai tergantikan peranannya oleh barang-barang modal
seperti peralatan dan mesin-mesin yang lebih canggih dan modern serta
memberikan produktifitas yang lebih tinggi.
Tabel 4.8. Pertumbuhan Nilai Tenaga kerja Industri Pengolahan Makanan Periode kode
industri 1994-1996 1997-1999 2000-2002 2003-2005** Total 0.0004 0.4418 0.0274 0.103415133 0.1418 0.6605 -0.4748 0.530415144 0.1330 0.3794 0.2708 -0.079815211 -0.1385 1.1307 -0.4981 0.156615421 -0.2183 0.3574 0.0994 0.055015440 0.3189 0.0924 0.1811 -0.0054
Sumber: BPS, diolah. 15133: Pelumatan Buah-buahan dan Sayuran, 15144: Minyak Goreng Dari Minyak Kelapa Sawit, 15211: Susu, 15421: Gula Pasir, 15440: Makaroni, Mie, Spagheti, Bihun, So’un dan Sejenisnya. Ket: 2004* : Angka Sementara 2005** : Angka Sangat Sementara
Dilihat dari signifikansi faktor tenaga kerja terhadap pertumbuhan industri
pengolahan memang masih kurang dibandingkan dengan pertumbuhan yang
disebabkan input lain, misalnya bahan baku atau alat-alat produksi yang lebih
efektif. Dengan potensi jumlah penduduk di Indonesia yang sangat banyak, maka
perlu adanya peningkatan signifikansi faktor tenaga kerja bagi pertumbuhan
industri pengolahan, yaitu dengan lebih fokus dengan metode labor intensif dan
memanfaatkan teknologi yang menghemat modal, sehingga jumlah penduduk
yang sangat besar tersebut dapat dimanfaatkan dengan optimal.
4.5.3. Faktor Modal (Capital)
Pembentukan modal atau akumulasi kapital merupakan faktor penting
lainnya yang dibutuhkan dalam proses produksi. Faktor modal merupakan input
yang paling mempengaruhi pertumbuhan pada industri pengolahan makanan.
Karena modal dalam penelitian ini diasumsikan sebagai input lain selain tenaga
kerja. Laju pertumbuhan nilai modal industri pengolahan makanan secara
keseluruhan dan lima industri yang menyumbangkan kontribusi output terbesar
dapat dilihat pada Tabel 4.9.
Melalui Tabel 4.9. dapat dilihat bahwa pada periode 1994-1996 sebelum
krisis pertumbuhan rata-rata nilai modal adalah sebesar 24.45 persen, proporsional
dengan pertumbuhan nilai output. Pada tahun-tahun berikutnya nilai modal
mengalami pertumbuhan yang positif namun dengan tingkatan yang semakin
menurun, yaitu pada periode 1997-1999 dengan pertumbuhan sebesar 30.14
persen dan menurun sebesar 14.74 persen pada periode 2000-2002.
Tabel 4.9. Pertumbuhan Nilai Modal Industri Pengolahan Makanan Periode Kode
industri 1994-1996 1997-1999 2000-2002 2003-2005** Total 0.2445 0.3014 0.1474 0.185315133 0.1576 0.6798 -0.6347 0.552715144 0.5537 0.0882 0.1852 0.466015211 0.1713 0.1933 0.1926 0.079515421 0.0115 0.1245 0.2730 0.068815440 0.2559 0.3104 -0.2280 0.3848
Sumber: BPS, diolah. 15133: Pelumatan Buah-buahan dan Sayuran, 15144: Minyak Goreng Dari Minyak Kelapa Sawit, 15211: Susu, 15421: Gula Pasir, 15440: Makaroni, Mie, Spagheti, Bihun, So’un dan Sejenisnya. Ket: 2004* : Angka Sementara
2005** : Angka Sangat Sementara
Peningkatan yang cukup tinggi pada periode 1997-1999 disebabkan oleh
mulai pulihnya perekonomian setelah diterjang krisis, sehingga para investor
mulai menanamkan modalnya kembali pada periode tersebut. Sedangkan
penurunan yang terjadi pada tahun-tahun selanjutnya Pembentukan modal pada
industri pengolahan makanan merupakan input yang paling penting, sehingga
ketergantungan pertumbuhan industri pengolahan makanan sangat besar terhadap
pertumbuhan nilai modal. Modal juga berperan penting dalam penyediaan barang
modal dan juga diperlukan dalam meningkatkan kemajuan teknologi. Dalam
penelitian ini barang modal dideskripsikan sebagai bahan baku (raw material, M),
energi (E), sewa (rent, R) dan jasa untuk proses produksi (production service, S)
yang akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikutnya.
1. Bahan Baku
Karena variabel capital (modal) diasumsikan sebagai barang modal
lainnya selain tenaga kerja, maka bahan baku termasuk ke dalam kriteria input
modal. Bahan baku adalah seluruh bahan mentah yang digunakan dalam proses
produksi. Sebagian besar bahan baku industri pengolahan makanan berasal dari
sektor pertanian, maka dari itu industri pengolahan merupakan industri perantara
bagi produk pertanian sehingga mampu meningkatkan nilai tambah bagi produk
pertanian. Hasil regresi menunjukkan elastisitas bahan baku sebesar 0.8202, yang
artinya jika faktor bahan baku ditambah sebesar 1 persen maka akan
meningkatkan output sebesar 0.8202 persen. Nilai probabilitas faktor bahan baku
menunjukkan lebih kecil dari taraf nyata 1 persen, dapat disimpulkan bahan baku
berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan output. Nilai elastisitas
faktor bahan baku yang paling dominan dan berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan output berbanding lurus dengan kontribusi nilai penggunaan bahan
baku dalam proses produksi yang dapat dilihat pada Tabel 4.10.
Tabel 4.10. Kontribusi Barang Modal Terhadap Total Kapital (%) INPUT
Periode M E R S TOTAL K
1994 91.40 4.15 0.13 4.32 100 1995 92.64 3.06 0.09 4.21 100 1996 92.00 3.22 0.11 4.66 100 1997 92.07 3.50 0.16 4.28 100 1998 93.16 2.69 0.15 4.01 100 1999 94.21 2.22 0.09 3.49 100 2000 91.70 2.69 1.50 4.11 100 2001 93.84 3.52 1.32 1.32 100 2002 87.62 5.34 0.41 6.64 100 2003 90.13 4.77 0.54 4.57 100
Sumber: BPS, diolah. M= materials (bahan baku), E= Energi, R= Rent (sewa gedung dan mesin), S= service and other expense (Jasa dan pengeluaran lainnya).
Dapat dilihat bahwa kontribusi bahan baku (materials) terhadap total
kapital sangat dominan dengan rata-rata sebesar lebih dari 90 persen per tahun
jauh lebih besar dari kontribusi input-input yang lainnya. Karena itu bahan baku
merupakan input yang paling penting dalam pembentukan modal, dan sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan dari industri pengolahan makanan.
2. Energi
Energi didefinisikan sebagai barang modal yang menjadi bahan bakar
untuk memberdayakan peralatan dan mesin-mesin dalam proses produksi,
pengeluaran untuk energi merupakan pembelian untuk barang-barang seperti
listrik, bahan bakar minyak (BBM), minyak pelumas (oli) dan gas. Koefisien
regresi dari input energi menunjukkan berpengaruh signifikan pada taraf nyata 1
persen, sebesar 0.0691 yang selanjutnya dianggap sebagai elastisitas dari input
energi. Koefisien tersebut mengindikasikan bahwa jika input energi ditambah
sebesar 1 persen maka output akan mengalami kenaikan sebesar 0.0691 persen.
Jika dilihat pada tabel 4.10. memang kontribusi pengeluaran untuk energi jauh di
bawah pengeluaran untuk bahan baku, namun kontribusinya lebih besar dari
barang modal yang lain. Rata-rata kontribusi nilai penggunaan untuk energi
sebesar 4 persen per tahun terhadap total kapital. Selain itu bahan baku energi
merupakan barang modal yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan industri
pengolahan makanan selain bahan baku. Pengaruh yang cukup signifikan dari
energi adalah perubahan harganya (BBM dan Gas bumi) yang dapat mengubah
struktur biaya suatu perusahaan secara signifikan, karena penggunaannya yang
tinggi dan secara kontinu.
3. Rent (sewa)
Gedung dan peralatan seperti mesin-mesin besar yang digunakan dalam
proses produksi dalam industri pengolahan makanan biasanya bukan merupakan
aset perusahaan, terkadang perusahaan-perusahaan industri makanan menyewa
gedung dan mesin-mesin tersebut untuk menghindari sunk cost. Pengeluaran
untuk gedung dan mesin ini adalah yang dikategorikan sebagai rent (sewa).
Nilai pengeluaran untuk sewa dalam persamaan regresi juga dinyatakan
signifikan pada taraf nyata 1 persen karena nilai probabilitasnya yang kurang dari
dari 0.01, sedangkan nilai elastisitasnya sebesar 0.0103, yang artinya setiap
peningkatan nilai sewa sebesar 1 persen maka akan menyebabkan peningkatan
nilai output sebesar 0.0103 persen. Nilai sewa memiliki nilai koefisien regresi
yang paling kecil sehingga walaupun pengaruhnya signifikan terhadap
pertumbuhan output, namun kontribusi tambahan nilai sewa terhadap kenaikan
nilai output lebih kecil daripada input yang lain. Pada industri pengolahan
makanan pangsa pengeluaran untuk sewa terhadap total kapital tidak terlalu
signifikan, rata-rata hanya di bawah 1 persen setiap tahunnya. Pada kenyataannya
memang nilai sewa ini tidak terlalu mempengaruhi peningkatan pertumbuhan
industri pengolahan makanan. Karena gedung dan peralatan produksi merupakan
barang yang termasuk ke dalam fixed cost, dan biasanya hanya berpengaruh pada
awal pendirian perusahaan dalam suatu industri.
Perubahan nilai sewa gedung dan peralatan akan berpengaruh secara
signifikan terhadap pertumbuhan industri ketika industri mengalami peningkatan
kapasitas produksi secara besar-besaran, misalnya pendirian pabrik atau kantor
baru dan peralatan-peralatan yang lebih banyak. Perubahan dalam nilai sewa
seperti ini hanya mungkin terjadi dalam jangka waktu yang sangat panjang,
sedangkan dalam penelitian ini hanya menggunakan deret waktu selama sepuluh
tahun sehingga pengaruh perubahan nilai sewa belum terlihat secara signifikan.
Namun secara sepintas dalam periode 10 tahun ini peningkatan nilai sewa
menunjukkan pertumbuhan yang terus meningkat karena mulai maraknya
penggunaan mesin sehingga meningkatkan pengeluaran untuk sewa.
4. Pengeluaran Untuk Jasa
Komponen terakhir dari input modal adalah pengeluaran untuk jasa baik
jasa yang berhubungan secara langsung terhadap industri maupun jasa lain di luar
industri. Faktor jasa memiliki koefisien regresi sebesar 0.0747, artinya setiap
penambahan 1 persen faktor jasa maka nilai output akan meningkat sebesar
0.0747 persen. faktor jasa seperti barang modal lainnya, juga berpengaruh secara
signifikan terhadap pertumbuhan output dengan nilai probabilitas yang lebih kecil
dari taraf nyata 1 persen. Kontribusi pengeluaran untuk jasa relatif cukup besar
dan berpengaruh dalam total kapital secara keseluruhan dengan rata-rata sebesar 4
persen per tahun. Sama halnya dengan input energi, pengeluaran untuk jasa
industri dan non industri merupakan salah satu komponen yang diperlukan untuk
berlangsungnya proses produksi. Jasa dalam proses produksi dapat dianggap
sebagai industri berdasarkan pengertian industri menurut BPS (2003), contohnya
adalah jasa penggilingan padi yang mengubah padi menjadi beras sehingga siap
untuk dikonsumsi. Dengan demikian jasa memegang peranan penting baik dalam
membentuk industri pengolahan maupun sebagai pendukung sistem agribisnis
secara lebih luas.
4.6. Peranan Teknologi
Pertumbuhan industri pengolahan makanan sangat dipengaruhi oleh
akumulasi faktor terutama sumber daya modal yang memberikan pengaruh yang
sangat signifikan terhadap pertumbuhan industri pengolahan makanan. Namun
jika pertumbuhan hanya bertumpu pada akumulasi input (input driven) maka
pertumbuhan industri tersebut tidak akan berlangsung secara sustainable
(berkelanjutan). Hal ini dijelaskan dalam teori the law of diminishing returns,
yang menyatakan bahwa skala pengembalian dari produksi akan semakin
menurun jika perusahaan meningkatkan kapasitas produksinya melebihi tingkat
produksi marjinalnya dengan menambah input.
Ada tahapan produksi pada suatu industri, dimana pada saat awal
pengembangan industri dimana skala pengembaliannya increasing returns
(semakin meningkat), pada tahap ini perusahaan akan semakin meningkatkan
produksinya dengan menambah input. Pada tahap selanjutnya industri akan
mengalami produktivitas yang semakin menurun dengan berubahnya skala
pengembalian menjadi constant returns (pengembalian konstan), sehingga pada
tingkatan inilah keuntungan perusahaan optimum dicapai, karena jika perusahaan
menambah satu unit input lagi maka pengembaliannya akan negatif. Dengan teori
tersebut maka pertumbuhan industri hanya akan berlangsung sampai kondisi
optimum dimana perusahaan sudah mencapai skala pengembalian konstan. Untuk
pertumbuhan industri yang berkelanjutan diperlukan adanya teknologi yang
mampu meningkatkan efisiensi dan efektifitas dari sumber daya yang digunakan.
Sehingga untuk pertumbuhan industri yang berkelanjutan peranan teknologi
sangatlah penting.
Pada penelitian ini teknologi dihitung sebagai pertumbuhan yang bukan
disebabkan oleh produktivitas input tenaga kerja dan modal (efisiensi teknis),
yaitu teknologi yang bersifat eksogen. Hasil pengolahan data mengenai industri
pengolahan makanan menunjukkan bahwa industri pengolahan makanan sangat
dipengaruhi oleh teknologi namun belum mampu memanfaatkan peranan
teknologi secara optimum, dilihat dari nilai probabilitasnya yang lebih kecil dari
taraf nyata 1 persen. Koefisien variabel teknologi tidak terlalu tinggi sebesar
0.036651 namun sangat berpengaruh jika dilihat berdasarkan nilai probabilitasnya.
Peranan teknologi dalam industri pengolahan sangatlah besar, baik dalam bentuk
peralatan atau teknik produksi yang dapat meningkatkan nilai tambah dari output
industri. Seharusnya teknologi memiliki kontribusi yang dominan terhadap nilai
output dan pertumbuhannya mengingat banyaknya jenis-jenis teknologi yang
dapat diaplikasikan dalam industri ini, misalnya teknik pengawetan, pengemasan
dan sebagainya. Namun dalam penelitian ini teknologi hanya diasumsikan sebagai
efisiensi teknis sehingga kontribusinya tidak terlalu besar.
Dilihat dari koefisien hasil regresi persamaan fungsi produksi industri
pengolahan makanan, kontribusi teknologi masih kurang. Artinya industri
pengolahan makanan secara keseluruhan belum mampu memanfaatkan teknologi
eksogen secara optimal, namun beberapa kelompok industri dalam industri
pengolahan makanan sudah ada yang mampu menerapkan teknologi eksogen
secara optimal.
Tabel 4.11. Pertumbuhan Tingkat Pengembangan Teknologi Industri Pengolahan Makanan
Periode kode industri 1994-1996 1997-1999 2000-2002 2003-2005** Total -0.0208 -0.2343 0.2150 -0.048915133 -0.0054 -0.0443 0.0771 0.045915144 -0.1887 -0.0947 0.0182 -0.101215211 0.0297 -0.0896 0.0826 -0.172415421 0.0428 -0.7478 0.8019 -0.015815440 0.0275 -0.6589 0.7111 -0.0022
Sumber: BPS, diolah. 15133: Pelumatan Buah-buahan dan Sayuran, 15144: Minyak Goreng Dari Minyak Kelapa Sawit, 15211: Susu, 15421: Gula Pasir, 15440: Makaroni, Mie, Spagheti, Bihun, So’un dan Sejenisnya. Ket: 2004* : Angka Sementara 2005** : Angka Sangat Sementara Dapat dilihat pada Tabel 4.11. yang menunjukkan laju pengembangan
teknologi pada industri pengolahan makanan, pada masa sebelum krisis
pengembangan teknologi rata-rata menurun sebesar 2.08 persen hingga tahun
1996. Pada saat krisis melanda perekonomian Indonesia tingkat kemajuan
teknologi turun drastis dengan penurunan rata-rata sebesar 23.43 persen, karena
teknologi merupakan faktor yang banyak membutuhkan modal, sehingga pada
saat modal mengalami penurunan pada saat krisis pengembangan teknologi pun
ikut tersendat. Selain itu terjadi pergantian peranan dari tenaga kerja, karena pada
saat krisis upah tenaga kerja menurun, sehingga perusahaan-perusahaan banyak
yang lebih memanfaatkan tenaga kerja menggantikan mesin karena biayanya lebih
murah pada saat itu.
Pada periode selanjutnya, yaitu pada periode 2000-2002, tingkat kemajuan
teknologi mengalami peningkatan sebesar 21.50 persen, yaitu pada masa
pemulihan ketika aliran modal ke dalam industri pengolahan kembali meningkat
dengan signifikan. Pada masa ini merupakan awal mula dilakukannya
restrukturisasi yang dirancang oleh kabinet Indonesia bersatu. Retrukturisasi
terutama dilaksanakan pada sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),
tatanan mikro, dan perbaikan birokrasi pemerintah. Kebijakan tersebut membawa
dampak positif yang signifikan, sehingga sektor industri mampu memulihkan diri
secara cepat. Dengan restrukturisasi tatanan mikro dan perbaikan birokrasi
pemerintah, aliran modal dan kegiatan administrasi perusahaan lebih lancar
sehingga sektor riil berkembang lebih cepat dan begitu pula dengan sektor industri
pengolahan, terutama industri pengolahan makanan.
Namun indeks teknologi kembali mengalami penurunan pada periode
2003-2005 sebesar 4.89 persen. Penurunan tingkat teknologi yang mencerminkan
efisiensi yang berkurang ini, disebabkan pemanfaatan teknologi pada industri
pengolahan makanan masih kurang, karena keterkaitan antar subsistem dalam
sistem agribisnis belum optimal, karena tidak adanya hubungan organisasi yang
fungsional di dalamnya. Akibatnya masing-masing subsistem tidak saling
mendukung satu sama lain yang menyebabkan pertumbuhan subsistem-subsistem
tersebut terhambat, begitu pula yang terjadi dengan pengembangan teknologinya.
Dari tahun ke tahun kebijakan pembangunan industri selalu
mengutamakan sektor industri prioritas demi mendapatkan keuntungan dari
perdagangan internasional. Namun sebagian besar industri yang dipilih bukan
merupakan industri yang berbasis pertanian yang faktor produksinya banyak
terdapat di dalam negeri, melainkan industri-industri yang bersifat high
technology dan foot-loose. Hal ini menyebabkan kemajuan teknologi hanya
berkembang pesat pada sektor-sektor industri yang menjadi prioritas, sehingga
kemajuan teknologi industri pengolahan secara keseluruhan, dan terutama pada
industri pengolahan makanan, belum mampu berkembang secara merata dan
belum bisa memberikan pengaruh yang dominan terhadap pertumbuhan industri
tersebut secara keseluruhan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1) Industri pengolahan makanan selalu mengalami pertumbuhan yang positif
setiap tahunnya, kecuali pada saat krisis pada periode 1997 dimana
pertumbuhannya negatif. Pertumbuhan industri pengolahan makanan pun
mulai meningkat terutama pada periode 2000-2003, namun belum mampu
mencetak angka pertumbuhan seperti pada masa sebelum krisis. Dapat
dinyatakan bahwa kondisi sektor industri pengolahan makanan di
Indonesia belum recover setelah dihantam krisis ekonomi pada tahun
1997. Potensi industri pengolahan makanan masih sangat besar untuk
berkembang secara berkelanjutan terutama dengan dukungan teknologi,
efisiensi teknis dan pemanfaatan input yang banyak tersedia di Indonesia
seperti sumber daya alam dan sumber daya manusia (local resources), serta
aplikasi sistem agribisnis untuk industri pertanian.
2) Sumber pertumbuhan industri pengolahan makanan masih didominasi oleh
input bahan baku sebagai penyumbang terbesar pada pertumbuhan
produktivitas industri pengolahan makanan. Dengan demikian
pertumbuhan pada industri pengolahan makanan masih memiliki
ketergantungan yang cukup tinggi terhadap akumulasi faktor terutama
faktor bahan baku. Koefisien regresi menunjukkan besarnya pengaruh
input bahan baku terhadap output, sedangkan input lainnya memang
berpengaruh secara signifikan terhadap nilai output, namun pengaruhnya
jauh di bawah signifikansi dari bahan baku.
3) Seperti pada kesimpulan kedua, sektor industri pengolahan makanan masih
bertumpu pada akumulasi faktor yaitu input bahan baku yang berpengaruh
sangat signifikan terhadap pertumbuhan nilai output. Pemanfaatan
teknologi pada industri pengolahan makanan belum optimal, hanya pada
beberapa golongan industri dengan modal yang kuat dan yang
diprioritaskan oleh pemerintah. Sehingga secara keseluruhan peranan
teknologi pada industri pengolahan makanan belum memberikan hasil
yang signifikan.
5.2. Saran
1) Dengan perubahan paradigma secara global mengenai pertumbuhan yang
bersifat sustainable (berkelanjutan), maka sumber pertumbuhan industri
pengolahan makanan seharusnya tidak hanya bertumpu kepada akumulasi
faktor (input driven), namun diperlukan juga adanya pengembangan
teknologi (technological driven) dan kreatifitas serta inovasi (innovation
driven) baik dalam industri pengolahan makanan maupun dalam sistem
agribisnis secara keseluruhan sehingga pertumbuhan industri ini dapat
berlangsung secara berkelanjutan.
2) Untuk pertumbuhan secara keseluruhan pada industri pengolahan
makanan, penerapan teknologi tidak hanya difokuskan pada industri-
industri yang dijadikan prioritas oleh pemerintah, tapi juga memperhatikan
pengembangan kelompok industri yang lain pada industri pengolahan
makanan agar adanya pemerataan pertumbuhan. Teknologi yang dipilih
pun hendaknya yang bersifat menghemat modal dan padat karya dan
melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat khususnya yang
berkecimpung dalam subsistem usahatani, karena ketersediaan faktor
tenaga kerja yang banyak di Indonesia. Namun, strategi ini perlu didukung
dengan perbaikan pada kualitas faktor tenaga kerja, seperti peningkatan
standar pendidikan atau pemberian pelatihan keahlian dan manajemen
dalam teknologi yang berbasis agribisnis (Human Capital).
3) Agar sumber pertumbuhan semakin meluas maka diharapkan pemerintah
memperhatikan dan menstimulasi pengembangan sektor industri kecil dan
rumah tangga pada industri pengolahan makanan yang sebagian besar
berkembang dari usahatani primer, sehingga dengan semakin banyaknya
produk hasil diversifikasi pada industri pengolahan makanan maka akan
semakin tinggi nilai tambah yang diberikan oleh industri ini, karena
produk yang dihasilkan telah melalui proses modifikasi/pengolahan yang
lebih panjang.
4) Perlu adanya penguatan dalam sistem agribisnis nasional, dengan
menguatkan masing-masing subsistem dalam rantai produksi industri
makanan. Perbaikan dilakukan secara menyeluruh baik dari subsistem
agribisnis hulu hingga ke hilir, dan meningkatkan keterkaitan antar
subsistem dengan menciptakan hubungan organisasi yang fungsional antar
subsistem dalam sistem agribisnis dan meningkatkan keterkaitan antar
subsistem tersebut.
Analisis mengenai pertumbuhan pada industri makanan ini masih memiliki
banyak kelemahan, diantaranya industri yang dianalisis disini hanya industri
makanan yang besar dan sedang. Fungsi produksi yang digunakan belum mampu
menjelaskan adanya sumber pertumbuhan yang berasal dari skala usaha, dan tidak
mampu menjelaskan hubungan elastisitas antara masing-masing input seperti jika
menggunakan fungsi translog. Data yang diambil merupakan data dalam satuan
nilai Rupiah, yang perkembangannya dipengaruhi oleh banyak faktor yang tidak
dibahas dalam penelitian ini. Maka dari itu semoga pada penelitian selanjutnya
dapat menghilangkan asumsi dan keterbatasan yang ada pada penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. dan D. Byerlee. 2002. Productivity Growth and Resource Degradation in Pakistan’s Punjab: A Decomposition Analysis. The University of Chicago, Chicago.
Ariani, M dan Rahman. 2003. Penawaran dan Permintaan Komoditas Kacang-kacangan dan Umbi-umbian di Indonesia. Icaserd Working Paper, No.17: 1-17.
Badan Pusat Statistik. 1994-2003. Statistik Industri Besar dan Sedang Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Beierlein, J.G. dan M.W. Woolverton. 1991. Agribusiness Marketing, The Management Perspective. Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.
Departemen Perindustrian. 2005. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional. Departemen Perindustrian, Jakarta.
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2003. Pengukuran dan Analisis Produktivitas Faktor Total (PTF) Sektor Industri Pengolahan, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jakarta.
Felipe, J. 1997. Total Factor Productivity Growth in East Asia: A Critical Survey, Economics and Development Resource Center, Asian Development Bank, Manila.
Gujarati, D.N. 2003. Basic Econometrics. McGraw-Hill, Inc, New York.
Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Irawan, B, B. Winarso, I. Sadikin, dan G. S. Hardono. 2003. Analisis Faktor Penyebab Pelambatan Produksi Komoditas Tanaman Utama. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Jhingan, M.L. 1999. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Laboratorium Komputasi Departemen Ilmu Ekonomi FEUI. 2005, Pengolahan Data Panel. Departemen Ilmu Ekonomi FEUI, Depok.
Lipsey, R.G, P.N. Courant, D.D. Purvis, P.O. Steiner. 1995. Pengantar Mikroekonomi, Jilid Satu, Binarupa Aksara, Jakarta.
Maulana, M. 2004. Peranan Luas Lahan, Intensitas Pertanaman dan Produktivitas Sebagai Sumber Pertumbuhan Padi Sawah di Indonesia 1980-2001, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Nicholson, W. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Erlangga, Jakarta.
Parikh, A dan D. Bailey. 1990. Technique of Economic Analysis With Application. The University Press, Cambridge.
Pindyck, R.S. dan D.L. Rubinfeld. 1991. Econometric Models and Economic Forecasts, McGraw-Hill, Inc, New York.
Saragih, B. 1998. Agribisnis, Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. [Kumpulan Pemikiran]. Yayasan Mulia Persada Indonesia, PT. SURVEYOR INDONESIA, Pusat Studi Pembangunan LP-IPB, Jakarta.
__________. 2004. Perkembangan Mutakhir Pertanian Indonesia dan Agenda
Pembangunan ke Depan. [Bahan Kuliah Tamu]. Universitas Brawijaya, Malang.
Simatupang, P. 1997. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Produktivitas Total Faktor Produksi Usahatani Padi Sawah di Indonesia, Working Paper, Pusat Studi Agro Ekonomi, Bogor
Sugiyono, A. 2000. Kemajuan Teknologi dan Pembangunan Ekonomi [Tesis], Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Supriyanto, H. 2002. Dekomposisi dan Dinamika Sumber-Sumber Pertumbuhan Industri Kecil dan Rumah Tangga di Indonesia: Analisis “Total Factor Productivity” [Tesis], IPB, Bogor.
Todaro, M.P. 2000. Economic Development, Addison-Wesley, Massachusetts.
Wilk, E.O. dan J.e. Fensterseifer. 2002. Towards a National Agribusiness System: A Conceptual Framework. [Research Paper]. CEPAN/UFRGS, Porto Alegre.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kode Klasifikasi Industri Berdasarkan KBLI 2003.
Kode Industri Uraian/ Deskripsi
15112 31112 Pengolahan dan pengawetan daging - Processing and preserving of meat
15121 31141 Pengalengan ikan dan biota perairan lainnya - Canned fish and other products
15122 31142 Penggaraman/pengeringan ikan dan biota perairan lainnya – Salted/dried fish and other similar products
15124 31144 Pembekuan ikan dan biota perairan lainnya - Frozen fish and other products
15131 31131 Pengalengan buah-buahan & sayuran - Canned fruits and vegetables
15132 31133 Pengasinan/pemanisan buah-buahan & sayuran – Salted/ sweetened fruits and vegetables
15133 31134 Pelumatan buah-buahan dan sayuran - Pulverized fruits and vegetables
15134 31135 Pengeringan buah-buah dan sayuran - Dried fruits and vegetables
15139 31139 Pengolahan dan pengawetan lainnya untuk buah-buahan dan sayuran Other processing and preserving offruits and vegetables
15141 31151 Minyak kasar (minyak makan) dari nabati dan hewani – Crude cooking oil
15144 31154 Minyak goreng dari minyak kelapa sawit - Cooking oil made of palm oil
15211 31121 Susu - Powdered, condensed and preserved milk
15311 31161 Penggilingan padi dan penyosohan beras - Rice milling and husking
15312 31162 Penggilingan dan pembersihan padi-padian lainnya - Other grain mill products
15316 31165 Pengupasan & pembersihan kacangkacangan - Peeling and cleaning of nuts
15321 31168 Tepung terigu - Wheat flour
15322 31169 Tepung dari bahan nabati lainnya - All flour made of other grains and roots
15323 31211 Pati ubi kayu – Tapioca
15410 31179 Roti dan sejenisnya - Bakery products
15421 31181 Gula pasir - Granulated sugar
15440 31171 Makaroni, mie, spagheti, bihun, so'un dan sejenisnya - Macaroni, spaghetti, noodle and the like
15495 31249 Makanan dari kedele dan kacangkacangan lainnya selain kecap dan tempe - Other food made of soya bean/ other nuts
15499 31279 Makanan yang belum termasuk kelompok manapun - Other food products
Sumber: BPS, 2003
Lampiran 2. Tabel Penghitungan Pertumbuhan Output dan Tenaga Kerja.
Output Labor Tahun Nilai Output Growth Rataan Nilai Growth Rataan
1994 14818872686 779471125 1995 18489665048 0.22131 1057894925 0.3054206 1996 22542210440 0.19817 0.20974 780212369 -0.3044701 0.000471997 26456663 -6.74763 1300875495 0.5112266 1998 45248691246 7.44442 2153499476 0.5040566 1999 31631966338 -0.35800 0.11292 2936407719 0.3100927 0.441792000 62850354063 0.68658 5435126773 0.6156958 2001 77532723572 0.20994 5723954739 0.0517771 2002 92712879104 0.17880 0.35844 3188262233 -0.5851839 0.027432003 1.23093E+11 0.28343 3970161101 0.2193306 2004* 1.34492E+11 0.08856 4263497251 0.0712831 2005** 1.38126E+11 0.02666 0.13288 4348788532 0.0198075 0.10347
Sumber: BPS, diolah. Ket : 2004* : Angka Sementara 2005** : Angka Sangat Sementara Lampiran 3. Tabel Penghitungan Pertumbuhan Kapital dan Teknologi.
kapital Indeks Teknologi Tahun Nilai Output Pertumbuhan Rata-rata Pertumbuhan Rata-rata
1994 10314500617 -0.19807753 1995 13925773348 0.30019058 -1.32935519 1996 16822986196 0.18900485 0.244597723 2.058644105 0.3646444541997 17824532 -6.84992574 -76.3777058 1998 30909501009 7.45824318 76.37369805 1999 41556121649 0.29598123 0.301432888 -21.5473656 -7.18379117 2000 45305333422 0.08637991 18.82973989 2001 51151400009 0.12136510 3.398094316 2002 64683128492 0.23471054 0.147485187 -1.10451811 7.0411053642003 92912003873 0.36215244 -1.18744775 2004* 1.06569E+11 0.13713539 -0.63161035 2005** 1.12782E+11 0.05667071 0.185319518 -0.66102621 -0.82669477
Sumber: BPS, diolah. Ket : 2004* : Angka Sementara 2005** : Angka Sangat Sementara Cara yang sama dipergunakan untuk menghitung pertumbuhan pada masing-masing kelompok industri.
Lampiran 4. Distribusi Labor, Bahan Baku, Energi, Sewa dan Jasa.
Kode Tahun L M E R S 1995 5875803 41671832 1439826 102480 22264471996 4963794 59125921 2743534 179103 37548081997 9381243 73976 2777 399 55321998 9979479 114532298 2818703 81203 48436141999 17694140 124353618 3144333 93241 92007852000 28510220 141457827 2601010 66088 81290592001 37104907 209564434 7582946 232516 163062412002 47899234 382189579 18113549 1621595 185852692003 80550640 482013658 22139349 33998196 306491292004* 93221344 511012628 23439509 125371993 35130958
15112
2005** 97659002 518983133 23842295 422980162 36632682Sumber: BPS Ket : 2004* : Angka Sementara 2005** : Angka Sangat Sementara Lampiran 5. Proporsi Masing-masing Input Terhadap Input Total.
kode Tahun sL sM sE sR sS 1995 0.1145014 0.8120569 0.0280578 0.00199702 0.043386661996 0.0701426 0.8354994 0.0387684 0.00253087 0.053058621997 0.9912632 0.0078166 0.0002934 4.21601E-05 0.000584531998 0.0754561 0.8659940 0.0213125 0.00061398 0.036623211999 0.1145355 0.8049501 0.0203534 0.00060355 0.059557352000 0.1577205 0.7825544 0.0143889 0.00036560 0.044970512001 0.1370241 0.7738972 0.0280029 0.00085865 0.060217062002 0.1022593 0.8159309 0.0386703 0.00346191 0.039677412003 0.1240479 0.7423006 0.0340945 0.05235719 0.047199632004* 0.1182747 0.6483480 0.0297389 0.1590659 0.04457245
112
2005** 0.0887731 0.4717611 0.0216728 0.38449341 0.03329949Sumber: BPS, diolah Ket : 2004* : Angka Sementara 2005** : Angka Sangat Sementara
xXTx
θ = (X = L, M, E, R, S); Tx = Total Input
Lampiran 6. Rata-Rata Pertumbuhan Kontribusi Input Tahun Ke t, t-1. kode Tahun OL OM OE OR OS
1995 0.10459217 0.82457724 0.02826785 0.00110596 0.0414567661996 0.09232205 0.82377820 0.03341314 0.00226395 0.0482226441997 0.53070293 0.42165802 0.01953094 0.00128651 0.0268215791998 0.53335971 0.43690533 0.01080301 0.00032807 0.0186038751999 0.09499582 0.83547207 0.02083304 0.00060877 0.0480902862000 0.13612798 0.79375226 0.01737123 0.00048458 0.0522639362001 0.14737231 0.77822581 0.02119595 0.00061212 0.0525937872002 0.11964175 0.79491407 0.03333664 0.00216028 0.049947242003 0.11315364 0.77911580 0.03638246 0.02790955 0.0434385272004* 0.12116132 0.69532434 0.03191674 0.10571154 0.045886045
112
2005** 0.10352388 0.56005457 0.02570590 0.27177965 0.038935974Sumber: BPS, Diolah. Ket : 2004* : Angka Sementara 2005** : Angka Sangat Sementara
1
2x x
xθ θ −+
Θ = (X = L, M, E, R, S)
Lampiran 7. Distribusi Input, Output dan Hasil Perhitungan Pertumbuhan.
Kode Tahun Input Output At 1995 51316388 68601817 0.112025641996 70767160 100742914 0.063622321997 9463927 117043 -3.959953571998 132255297 156133821 3.7513740131999 154486117 199672278 0.089605512000 180764204 206629216 -0.123046492001 270791044 442059710 0.3557621412002 468409226 639833887 -0.1781973352003 649350972 826826608 -0.0971847882004* 788176432.9 886126098 -0.135093477
112
2005** 1100097275 903903714 -0.326181526Sumber: BPS, Diolah Ket : 2004* : Angka Sementara 2005** : Angka Sangat Sementara
1 1 1 1 1 1
ln ln ln ln ln lnt t t t t tt L M E R S
t- t- t - t t t
Q L M E R SAQ L M E R S− − −
−Θ −Θ −Θ −Θ −Θ=
(Chambers dalam Felipe, 1997) Cara yang sama dilakukan untuk mencari indeks teknologi (efisiensi teknis) pada kelompok industri yang lain.
Lampiran 8. Tabel kontribusi Output Kelompok Industri Terhadap Output.
Nilai Output (Ribu Rp) Kontribusi Output (%) Kode 2003 2004* 2005** 2003 2004 2005
15112 826826608 886126098 903903714 0.67 0.66 0.6515121 2330844924 2397968300 2416592684 1.89 1.78 1.7515122 308230872 303424921 302812064 0.25 0.23 0.2215124 13356110733 14194801154 14388253504 10.85 10.55 10.4215131 777660789 753038123 749695586 0.63 0.56 0.5415132 10285458 10454216 10487197 0.01 0.01 0.0115133 131063216 173085050 185327047 0.11 0.13 0.1315141 38302787578 40498316590 41167644671 31.12 30.11 29.8015144 34399184852 42108651744 44717016043 27.95 31.31 32.3715211 6950594439 6689889783 6641773444 5.65 4.97 4.8115311 1170128400 1184553759 1186588706 0.95 0.88 0.8615316 27265706 27331116 27336366 0.02 0.02 0.0215321 4108722422 4265088073 4296349319 3.34 3.17 3.1115322 349820794 350007332 350051220 0.28 0.26 0.2515323 970788328 942625942 937904933 0.79 0.70 0.6815410 3747385874 3503141248 3462878487 3.04 2.60 2.5115421 9596192024 9807508863 9844616918 7.80 7.29 7.1315440 4771844456 5489797437 5636262608 3.88 4.08 4.0815495 389365517 385973310 385248347 0.32 0.29 0.2815499 568017553 520376896 515462205 0.46 0.39 0.37Total 123093120543 134492159955 138126205065 100.00 100.00 100.00
Sumber : BPS, diolah. Ket : 2004* : Angka Sementara 2005** : Angka Sangat Sementara
Lampiran 9. Hasil Regresi Dengan Metode PLS. Dependent Variable: Q? Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 08/29/06 Time: 13:36 Sample: 1995 2005 Included observations: 11 Number of cross-sections used: 20 Total panel (balanced) observations: 220 Convergence achieved after 12 iterations White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 0.965195 0.023386 41.27199 0.0000L? 0.029732 0.001565 18.99841 0.0000M? 0.820280 0.004277 191.7720 0.0000E? 0.069112 0.005081 13.60200 0.0000R? 0.010349 0.001190 8.697967 0.0000S? 0.074726 0.003022 24.72924 0.0000T? 0.036651 0.002854 12.84214 0.0000
Weighted Statistics R-squared 0.999939 Mean dependent var 69.07875Adjusted R-squared 0.999938 S.D. dependent var 80.72306S.E. of regression 0.638105 Sum squared resid 86.72878F-statistic 584087.7 Durbin-Watson stat 1.756550Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.956226 Mean dependent var 19.76515Adjusted R-squared 0.954993 S.D. dependent var 3.007818S.E. of regression 0.638105 Sum squared resid 86.72879Durbin-Watson stat 1.927015
Lampiran 10. Hasil Regresi Dengan Metode FELS. Dependent Variable: Q? Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 08/29/06 Time: 13:41 Sample: 1995 2005 Included observations: 11 Number of cross-sections used: 20 Total panel (balanced) observations: 220 Convergence achieved after 29 iterations White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. L? 0.030542 0.001207 25.30020 0.0000M? 0.855832 0.006605 129.5828 0.0000E? 0.063447 0.003866 16.41237 0.0000R? 0.002593 0.001205 2.151633 0.0327S? 0.061220 0.003474 17.62132 0.0000T? 0.028097 0.002663 10.55094 0.0000
Fixed Effects 112_--C 0.691954 121_--C 0.800077 122_--C 0.571591 124_--C 0.186895 131_--C 0.654709 132_--C 1.290181 133_--C 0.813399 141_--C 0.642527 144_--C 0.584981 211_--C 0.751963 311_--C 0.608693 316_--C 0.705224 321_--C 0.400858 322_--C 0.657827 323_--C 0.364875 410_--C 0.251363 421_--C 0.714726 440_--C 0.491981 495_--C 0.442082 499_--C 0.550154
Weighted Statistics R-squared 0.999962 Mean dependent var 78.40112Adjusted R-squared 0.999957 S.D. dependent var 96.50561S.E. of regression 0.635456 Sum squared resid 78.33813F-statistic 202032.4 Durbin-Watson stat 2.029123Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.960461 Mean dependent var 19.76515Adjusted R-squared 0.955365 S.D. dependent var 3.007818S.E. of regression 0.635459 Sum squared resid 78.33873Durbin-Watson stat 2.239610
Lampiran 11. Hasil Perhitungan Uji Statistik Chow.
1, 19,194 20,200
( ) /( 1)/( )
(86.72878-78.33813)/(20-1) = 78.33813/(200-20-6)
= 1.0936303
1.971.0936303 1.97
Chow
N NT N K
Chow Tabel
RRSS URSS NFURSS NT N K
F F F
F F
− − −
− −=
− −
= ≡
=< → <
Lampiran 12. Grafik Residual Masing-masing Cross Section.
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05
RESID112_RESID121_RESID122_RESID124_RESID131_RESID132_RESID133_
RESID141_RESID144_RESID211_RESID311_RESID316_RESID321_RESID322_
RESID323_RESID410_RESID421_RESID440_RESID495_RESID499_
Top Related