Capacity
BuildingBirokrasi Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota Di Indonesia
Tim Peneliti STIA LAN Makassar 2012
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan
Rahmat, Taufiq dan Hidayah-Nya sehingga laporan hasil penelitian STIA-LAN
Makassar untuk tahun 2012 dengan Judul: Capacity Building Birokrasi
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia dapat kami selesaikan.
Penelitian ini dilaksanakan pada 6 daerah sampel yaitu Pekanbaru(Riau),
Manado (Sulawesi Utara), Jayapura (Papua), Luwu Utara (Sulawesi Selatan),
Palangkaraya, Kalimantan Tengah), dan Surakarta (Jawa Tengah).
Kepada Narasumber, Responden dan Pembantu Lapangan yang telah
memberi data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini kami ucapkan
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.
Terima kasih dan penghargaan yang sama juga disampaikan kepada
Narasumber penilai atas masukan, saran dan koreksinya terhadap laporan ini.
Terkhusus kepada anggota tim peneliti, terima kasih atas kerjasama dan dedikasinya
yang tinggi serta upaya yang ditunjukkan untuk menghasilkan penelitian yang baik.
Semoga apa yang telah dilakukan memberi manfaat. Amin.
Makassar, Desember 2012
Koordinator,
Dr. Najmi Kamariah, SE., M.Si
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Pokok Permasalahan
3. Tujuan Penelitian
4. Manfaat Penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan Teori
1.1 Konsep Capacity Building
1.2 Perspektif dan Teori Capacity Building Organisasi
2. Definisi Operasional Variabel
3. Kerangka Pikir
BAB III METODE PENELITIAN
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
2. Populasi dan Sampel
3. Teknik Pengumpulan Data
4. Teknik Analisis Data
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Penyajian Data dan Analisis Hasil Penelitian
1. Pengembangan Kapasitas Sumber Daya Fisik
a. Kapasitas Struktur Organisasi
Hal
i
ii
iv
v
1
1
5
5
5
7
7
7
21
31
33
36
36
36
37
38
39
39
40
40
iii
b. Kapasitas Keuangan
c. Kapasitas Perangkat Hukum
d. Kapasitas Sarana dan Prasarana
2. Pengembangan Kapasitas Proses Operasional
(Ketatalaksanaan)
a. Penguatan Kapasitas Prosedur Kerja
b. Penguatan Kapasitas Budaya Kerja
c. Pengembangan Kapasitas Kepemimpinan Organisasi
3. Kapasitas Sumber Daya Manusia
a. Kapasitas Pengetahuan Pegawai
b. Penguatan Kapasitas Keterampilan
c. Kapasitas Perilaku dan Etika Kerja Pegawai
B. Diskusi dan Pembahasan
1. Kapasitas Sumber Daya Fisik
2. Kapasitas Proses Operasional
3. Kapasitas Sumber Daya Manusia
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kapasitas Sumber Daya Fisik
2. Kapasitas Proses Operasional
3. Kapasitas Sumber Daya Manusia
B. Saran-Saran
Daftar Pustaka
45
50
53
56
56
60
63
67
67
70
74
77
79
82
85
91
91
91
92
92
93
94
iv
DAFTAR TABEL
2.1 Dimensions, Focus and types of activities of Capacity Building Initiatives 11
4.1 Rekapitulasi Rata-rata tanggapan responden tentang pengembangan
kapasitas struktur organisasi
41
4.2 tanggapan responden tentang pengembangan kapasitas keuangan 45
4.3 Tanggapan Responden tentang Pengembangan kapasitas Perangkat
Hukum ..
50
4.4 Tanggapan Responden tentang Kapasitas Sarana dan Prasarana .. 53
4.5 Rekapitulasi rata-rata tanggapan Responden tentang Pengembangan
Kapasitas Prosedur Kerja .
57
4.6 Rekapitulasi Rata-rata Tanggapan Responden Tentang Pengembangan
kapasitas Budaya Kerja yang Efektif ...
60
4.7 Tanggapan Responden tentang Kapasitas Kepemimpinan 64
4.8 tanggapan responden tentang kapasitas pengetahuan ... 68
4.9 Rekapitulasi Rata-rata Tanggapan Responden Tentang Pengembangan
Kapasitas Keterampilan .
71
4.10 Tanggapan Responden Tentang Perilaku dan Etika Kerja . 75
4.12 Rekapitulasi Tanggapan Responden untuk Setiap Indikator 78
4.13 rekapitulasi Perbandingan Daerah dengan Nilai Tertinggi dan Terendah 89
v
Daftar Gambar
1. A Five Dimensional Framework Of Institutional Capacity . 14
2. Level Pengembangan Kapasitas .. 15
3. Tingkatan Pengembangan Kapasitas .. 17
4. Framework for Organizational Assessment . 22
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dalam rangka meningkatkan kinerja birokrasi pemerintah daerah,
pemerintah telah menetapkan prioritas pembangunan pada penciptaan tata
pemerintahan yang bersih dan berwibawa sebagaimana ditetapkan dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20102014.
Salah satu instrumen penting untuk mewujudkan tata pemerintahan yang
bersih dan berwibawa adalah melalui reformasi birokrasi seperti tertuang
dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2010 dan 2011. Tujuan
akhir dari reformasi birokrasi adalah terwujudnya pelayanan publik yang
prima (cepat, tepat, murah, transparan, dan akuntabel) dan peningkatan
kinerja birokrasi yang semakin baik.
Namun demikian, pembangunan aparatur negara yang dilaksanakan
melalui program reformasi birokrasi ternyata masih bersifat parsial dan
tidak menyentuh isu pokok pembangunan kapasitas kelembagaan aparatur
negara. Pendekatan parsial tersebut berdampak negatif pada kinerja
aparatur negara seperti ditunjukkan oleh berbagai indikator yang
diterbitkan oleh beberapa lembaga multilateral dan bilateral internasional.
Misalnya, Indeks Efektivitas Pemerintahan yang dikeluarkan oleh World
Bank sejak tahun 2002 yang menunjukkan trend naik selama 3 (tiga) tahun
terakhir, namun belum menampakkan peningkatan yang cukup signifikan.
Indeks ini menunjukkan peningkatan kemampuan pemerintah untuk
2
menyelenggarakan pelayanan publik dan membuat kebijakan yang
paramater pengukurannya meliputi kualitas pelayanan publik, kualitas
birokrasi, kompetensi aparat pemerintah, dan independensi PNS terhadap
tekanan politik. Keseluruhan indeks tersebut mencerminkan kapasitas
kelembagaan birokrasi pemerintah. Data world bank menunjukkan Indeks
Efektivitas Pemerintahan Indonesia menunjukkan peningkatan dari 37,0
pada Tahun 2005, menjadi 38,9 pada Tahun 2006, dan 41,7 pada Tahun
2007.
Reformasi birokrasi yang sedang dilaksanakan pemerintah belum
berjalan sesuai dengan harapan masyarakat, merupakan masalah pokok
yang dihadapi dalam mewujudkan good governance dan peningkatkan
kinerja pemerintahan. Dari beberapa kasus yang terjadi, termasuk
besarnya jumlah kerugian keuangan negara yang ditimbulkan,
menunjukkan belum optimalnya kinerja birokrasi yang pada akhirnya
mengakibatkan rendahnya kinerja pelayanan publik yang diberikan kepada
masyarakat. Berbagai masalah lainnya dalam birokrasi yang belum
terselesaikan sebagaimana uraian berikut berpengaruh besar terhadap
rendahnya kapasitas birokrasi secara keseluruhan.
Pertama, upaya penataan kelembagaan pemerintah belum mencapai
hasil yang maksimal. Hal itu terutama disebabkan oleh kecenderungan
lembaga pemerintah yang lebih mementingkan pendekatan struktural
daripada pendekatan fungsional yang tercermin, antara lain, dari (1)
struktur organisasi masih cenderung gemuk dan belum efisien; (2) masih
3
terdapatnya tumpang tindih tugas pokok, fungsi, dan kewenangan
organisasi pemerintah di daerah; (3) masih lemahnya sinkronisasi tata
hubungan kerja antara instansi pemerintah daerah termasuk dalam
pelaksanaan kebijakan otonomi daerah; serta (4) organisasi satuan kerja
perangkat daerah juga belum sepenuhnya didesain secara proporsional
sesuai kebutuhan dan karakteristik nyata daerah.
Kedua, upaya penataan ketatalaksanaan pemerintah belum
menunjukkan hasil yang berarti. Hal itu ditunjukkan, antara lain, dengan (1)
masih lemahnya sistem dan prosedur dalam pelaksanakan manajemen
instansi pemerintah di daerah; (2) belum optimalnya penerapan standar
kompetensi dalam menduduki jabatan struktural dan fungsional; serta (3)
masih lemahnya penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik
(good governance) birokrasi pemerintah daerah. Masalah lain yang juga
perlu mendapat perhatian adalah belum diterapkannya secara konsisten
dan berkelanjutan sistem manajemen yang berorientasi pada peningkatan
kinerja (manajemen berbasis kinerja) yang terintegrasi dengan sistem
perencanaan, sistem penganggaran, sistem perbendaharaan, dan sistem
akuntabilitas pemerintahan yang saling menunjang dengan sistem
pengendalian, baik di lingkungan instansi pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, sebagai bagian dari upaya reformasi birokrasi serta
untuk mendukung penerapan kebijakan anggaran berbasis kinerja.
Ketiga, pembinaan terhadap sumber daya manusia aparatur belum
dikelola dengan baik. Hal itu ditunjukkan, antara lain, dengan (1) masih
4
sulitnya mengubah cara pikir (mind set) dan cara kerja aparatur; (2) masih
rendahnya disiplin dan etika pegawai; (3) sistem karier yang belum
sepenuhnya berdasarkan prestasi kerja; (4) sistem remunerasi yang belum
memadai untuk hidup layak; (5) penerimaan calon pegawai negeri sipil
(CPNS) belum sepenuhnya dilakukan berdasarkan kualifikasi pendidikan
yang dibutuhkan; (6) masih rendahnya kualitas sumber daya manusia
aparatur secara umum; (7) penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
(diklat) yang hingga kini belum sepenuhnya dapat meningkatkan kinerja
aparatur negara; (8) masih lemahnya pengawasan dan audit terhadap
kinerja aparatur negara; dan (9) sistem informasi manajemen kepegawaian
yang sampai saat ini belum dapat berfungsi secara optimal.
Menghadapi beberapa permasalahan tersebut, diperlukan penguatan
kapasitas (capacity building) pemerintah daerah yang meliputi sistem
(system), pegawai/birokrasi (individual) dan organisasi/instansi (entity)
untuk dapat mempercepat pelaksanaan reformasi birokrasi sebagai bagian
integral dari kebijakan pembangunan nasional yang tertuang dalam
Propenas. Pengembangan kapasitas mengacu kepada proses dimana
individu, kelompok, organisasi, kelembagaan, dan masyarakat
mengembangkan kemampuannya baik secara individual maupun kolektif
untuk untuk melaksanakan fungsi mereka, menyelesaikan masalah
mereka, mencapai tujuan-tujuan mereka secara mandiri.
Berdasarkan fenomena permasalahan yang telah diuraikan
sebelumnya, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pendekatan-
5
pendekatan yang dilakukan pemerintah Kabupaten/Kota dalam
pengembangan kapasitas organisasi untuk menjalankan fungsi,
menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan-tujuan organisasinya atau
dalam kata lain kemampuan pemerintah daerah dalam menjalankan
pemerintahan.
2. Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan
sebelumnya, maka pokok permasalahan dalam penelitian ini, adalah,
Bagaimana pengembangan kapasitas birokrasi pemerintah
kabupaten/kota di Indonesia ?
3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok permasalahan, maka tujuan penelitian ini, adalah :
a. Untuk mengetahui kapasitas birokrasi pemerintah kabupaten/kota di
Indonesia.
b. Untuk mengetahui langkah-lagkah yang ditempuh pemerintah
Kab/Kota dalam upaya-upaya mengembangkan kapasitas birokrasi
pemerintah di daerah, yang difokuskan pada tiga aspek, yaitu kapasitas
sumber daya fisik, kapasitas proses operasional, dan kapasitas sumber
daya manusia.
4. Manfaat Penelitian
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan
yang berkaitan tentang pengembangan organisasi, khususnya pada
upaya pengembangan kapasitas birokrasi pemerintah kabupaten dan
6
kota di Indonesia, melalui dimensi pengembangan kapasitas sumber
daya fisik organisasi, kapasitas proses ketatalaksanaan, dan kapasitas
SDM pegawai.
b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi rekomendasi bagi
pemerintah kabupaten dan kota untuk melakukan upaya-upaya dalam
mengembangkan kapasitas birokrasi pemerintah, khususnya di daerah
lokus penelitian.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan Teori
1.1. Konsep Capacity Building
Milen (2006: 12) mendefenisikan kapasitas sebagai kemampuan
individu, organisasi atau sistem untuk menjalankan fungsi sebagaimana
mestinya secara efektif, efisien dan terus-menerus (Yuswijaya, 2008: 87).
Sedangkan Morgan (Milen, 2006: 14) merumuskan pengertian kapasitas
sebagai kemampuan, keterampilan, pemahaman, sikap, nilai-nilai, hubungan,
perilaku, motivasi, sumber daya, dan kondisi-kondisi yang memungkinkan
setiap individu, organisasi, jaringan kerja/sektor, dan sistem yang lebih luas
untuk melaksanakan fungsi-fungsi mereka dan mencapai tujuan
pembangunan yang telah ditetapkan dari waktu ke waktu. Lebih lanjut, Milen
(2001: 142) melihat capacity building sebagai tugas khusus, karena tugas
khusus tersebut berhubungan dengan faktor-faktor dalam suatu organisasi
atau sistem tertentu pada suatu waktu tertentu.
Selanjutnya, UNDP dan Canadian International Development Agency
(CIDA) dalam Milen (2006: 15) memberikan pengertian peningkatan
kapasitas sebagai: proses dimana individu, kelompok, organisasi, institusi,
dan masyarakat meningkatkan kemampuan mereka untuk (a) menghasilkan
kinerja pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (core functions), memecahkan
8
permasalahan, merumuskan dan mewujudkan pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan, dan (b) memahami dan memenuhi kebutuhan pembangunan
dalam konteks yang lebih luas dalam cara yang berkelanjutan.
Hal ini sejalan dengan konsep pengembangan kapasitas menurut
Grindle (1997) yang menyatakan bahwa pengembangan kapasitas sebagai
ability to perform appropriate task effectvely, efficiently and sustainable.
Bahkan Grindle menyebutkan bahwa pengembangan kapasitas mengacu
kepada improvement in the ability of public sector organizations.
Keseluruhan definisi di atas, pada dasarnya mengandung kesamaan
dalam tiga aspek sebagai berikut: (a) bahwa pengembangan kapasitas
merupakan suatu proses, (b) bahwa proses tersebut harus dilaksanakan
pada tiga level/tingkatan, yaitu individu, kelompok dan institusi/organisasi,
dan (c) bahwa proses tersebut dimaksudkan untuk menjamin kesinambungan
organisasi melalui pencapaian tujuan dan sasaran organisasi yang
bersangkutan.
Sesungguhnya pada beberapa literatur pembangunan, konsep
capacity building sampai saat ini masih menyisakan perdebatan-perdebatan
dalam pendefinisian. Sebagian pakar memaknai capacity building sebagai
capacity development atau capacity strengthening, mengisyaratkan suatu
prakarsa pada pengembangan kemampuan yang sudah ada (existing
capacity). Sementara pakar yang lain lebih merujuk kepada constructing
capacity sebagai proses kreatif membangun kapasitas yang belum nampak
9
(not yet exist). Namun Soeprato (2007: 9) tidak condong pada salah satu sisi
karena menurutnya keduanya memiliki karakteristik diskusi yang sama yakni
analisa kapasitas sebagai inisiatif lain untuk meningkatkan kinerja
pemerintahan (government performance). Dalam hal ini searah dengan
pendapat Grindle (1997: 6 -22) Capacity building is intended to encompass a
variety of strategies that have to do with increasing the efficiency,
effectiveness, and responsiveness of government performance. Jadi,
pengembangan kapasitas (capacity building) merupakan upaya yang
dimaksudkan untuk mengembangkan suatu ragam strategi meningkatkan
efisiensi, efektivitas dan responsivitas kinerja pemerintah. Yakni efisiensi,
dalam hal waktu (time) dan sumber daya (resources) yang dibutuhkan guna
mencapai suatu outcomes; efekfivitas berupa kepantasan usaha yang
dilakukan demi hasil yang diinginkan; dan responsivitas merujuk kepada
bagaimana mensikronkan antara kebutuhan dan kemampuan untuk maksud
tersebut.
Dalam pengembangan kapasitas memiliki dimensi, fokus dan tipe
kegiatan. Dimensi, fokus dan tipe kegiatan tersebut menurut Grindle (1997: 1-
28), dan Bappenas (2007) adalah: (1) dimensi pengembangan SDM, dengan
fokus: personil yang profesional dan kemampuan teknis serta tipe kegiatan
seperti: training, praktek langsung, kondisi iklim kerja, dan rekruitmen,
(2) dimensi penguatan organisasi, dengan fokus: tata manajemen untuk
meningkatkan keberhasilan peran dan fungsi, serta tipe kegiatan seperti:
10
sistem insentif, perlengkapan personil, kepemimpinan, budaya organisasi,
komunikasi, struktur manajerial, dan (3) reformasi kelembagaan, dengan
fokus: kelembagaan dan sistem serta makro struktur, dengan tipe kegiatan:
aturan main ekonomi dan politik, perubahan kebijakan dan regulasi, dan
reformasi konstitusi. Sejalan dengan itu, Grindle (1997: 1-28) menyatakan
bahwa apabila capacity building menjadi serangkaian strategi yang ditujukan
untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas dan responsivitas, maka capacity
building tersebut harus memusatkan perhatian kepada dimensi: (1)
pengembangan sumber daya manusia, (2) penguatan organisasi, dan (3)
reformasi kelembagaan.
Dalam konteks pengembangan sumber daya manusia, perhatian
diberikan kepada pengadaan atau penyediaan personel yang profesional dan
teknis. Kegiatan yang dilakukan antara lain pendidikan dan latihan (training),
pemberian gaji/upah, pengaturan kondisi dan lingkungan kerja dan sistim
rekruitmen yang tepat. Dalam kaitannya dengan penguatan organisasi, pusat
perhatian ditujukan kepada sistim manajemen untuk memperbaiki kinerja dari
fungsi-fungsi dan tugas-tugas yang ada dan pengaturan struktur mikro.
Aktivitas yang harus dilakukan adalah menata sistim insentif, pemanfaatan
personel yang ada, kepemimpinan, komunikasi dan struktur manajerial. Dan
berkenaan dengan reformasi kelembagaan, perlu diberi perhatian terhadap
perubahan sistim dan institusi-institusi yang ada, serta pengaruh struktur
makro. Dalam konteks ini aktivitas yang perlu dilakukan adalah melakukan
11
perubahan aturan main dari sistim ekonomi dan politik yang ada, perubahan
kebijakan dan aturan hukum, serta reformasi sistim kelembagaan yang dapat
mendorong pasar dan berkembangnya masyarakat madani (Grindle, 1997;
Depdagri-Bappenas, 2000; Imbaruddin, 2005; Soeprapto, 2007).
Tabel 2.1.
Dimensions, Focus and Types of Activities of Capacity Building Initiatives
Dimension
Focus Types of Activities
Human Resources Development
Supply of professional
Technical personnel
Training
Salaries
Conditions of work
Recruitment
Organizational Strengthening
Management systems to improve performance of specific task and functions
Microstructures
Managerial structures
Organizational culture
Incentive systems
Leadership
Communications
Institution Reform Institutions and system
Macrostructures
Rules of the game for economic and political regimes
Policy and legal change
Constituonal reform
Sumber: Grindle, M.S. (1997: 9)
Lebih lanjut pada studi Grindle dan Hilderbrand (Grindle, 1997: 35-36)
tentang pengembangan kapasitas pada kelembagaan organisasi publik di
negara-negara berkembang seperti Negara Afrika, Maroko, Ghana, Bolivia,
Thailand dan Sri Lanka mengidentifikasi lima dimensi faktor-faktor yang
mempengaruhi kemampuan organisasi untuk mencapai sasaran-sasaran
tertentu, yaitu:
12
1. The action environment (lingkungan tindakan); yaitu menetapkan
lingkungan pergaulan ekonomi, politik, dan sosial dimana pemerintah
melaksanakan kegiatannya. Kinerja tugas-tugas pembangunan dapat
secara signifikan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lingkungan tindakan
seperti tingkat dan struktur pertumbuhan ekonomi, derajat stabilitas politik
dan legitimasi pemerintah, serta profil sumber daya manusia dari sebuah
negara. Gambar 1 mengindikasikan beberapa faktor yang tampaknya
paling banyak memberikan dampak bagi kapasitas sektor publik.
Intervensi-intervensi untuk meningkatkan kondisi dalam lingkungan
tindakan membutuhkan waktu yang lama untuk memberikan hasil karena
intervensi-intervensi ini berupaya untuk mengubah struktur dasar
ekonomi, politik, dan sosial.
2. Public sector institutional context (Konteks institusional dari sektor
publik); yaitu meliputi faktor-faktor seperti aturan-aturan dan prosedur
yang ditetapkan bagi operasional pemerintah dan pegawai-pegawai
publik, pemerintah bidang sumber daya keuangan harus melaksanakan
aktivitas-aktivitasnya, tanggung jawab yang diasumsikan pemerintah
untuk prakarsa-prakarsa pembangunan, kebijakan-kebijakan yang
berbarengan, dan struktur-struktur pengaruh formal dan informal yang
mempengaruhi bagaimana sektor-sektor publik tersebut berfungsi.
Konteks ini dapat mendesak atau memfasilitasi penyelesaian tugas-tugas
tertentu.
13
3. Task network dimension (dimensi jaringan tugas); yaitu merujuk pada
sekumpulan organisasi yang terlibat dalam penyelesaian tugas apapun
yang diberikan. Kinerja dipengaruhi oleh sejauh mana jaringan tersebut
mampu mendorong komunikasi dan koordinasi dan sejauh mana individu-
individu dalam organisasi di jaringan tersebut dapat melaksanakan
tanggung jawab mereka secara efektif. Jaringan dapat disusun dari
organisasi-organisasi yang berada di dalam dan di luar sektor publik;
termasuk LSM dan organisasi sektor swasta. Organisasi-organisasi
primer memiliki peranan sentral dalam pelaksanaan sebuah tugas;
organisasi-organisasi sekunder penting bagi kerja-kerja organisasi primer;
dan organisasi-organisasi pendukung yang memberikan layanan dan
bantuan yang memungkinkan tugas tersebut untuk dilaksanakan.
4. Organizational dimension (Dimensi Organisasi); yaitu merujuk kepada
tempat yang menguntungkan dimana riset diagnostik biasanya
dilaksanakan. Meliputi penentuan tujuan, struktur, proses, sumber daya,
dan gaya manajemen organisasi yang akan mempengaruhi bagaimana
organisasi-organisasi tersebut mencapai sasaran, menyusun struktur
kerja, menentukan hubungan kekuasaan, dan memberikan struktur
insentif. Faktor-faktor ini menjalankan dan mendesak kinerja karena
faktor-faktor tersebut mempengaruhi output organisasi dan membentuk
perilaku orang-orang yang bekerja di dalamnya.
14
Sumber: Hilderbrand, M.E. and Grindle, M.S. 1997., Amir Imbaruddin, 2008: 23
Gambar 1 A Five-Dimensional Framework of Institutional Capacity.
5. Human resources dimension (dimensi sumber daya manusia). Dimensi
kelima dari kapasitas berfokus pada bagaimana sumber daya manusia
dididik dan ditarik untuk berkarir di sektor publik dan pemanfaatan serta
penyimpanan individu ketika mereka mengejar karir seperti ini. Dimensi-
Action Environment
Economic Factors Growth Labor market International economic Relationship & conditions Private sector Development
Political Factors Leadership Support Mobilization of conditions Society Legitimacy Political Institutions
Social Factors Overall human resource Development Social conflict Class structure Organization or civil society
Public Sector Institutional Context Concernment politicizes Ruder of the state Public service rules and register one Management Practices Budgetary support Formal & Informal power relationship
ORG3
Performance Output Effectiveness Efficiency Sustainability Quality
ORG1
ORG2
ORG4
ORG5
Task Network Communication and infarctions among
Primary Organizations Secondary Organizations
Support Organizations
Organization
Goals
Structure of work Incentive system
Management leadership Formal & informal Communication Behavior norms
Human Resources
Training
Recruitment Utilization Relations
15
dimensi ini berfokus terutama pada kemampuan manajerial, profesional,
dan teknis serta sejauh mana pelatihan dan jenjang karir mempengaruhi
kinerja keseluruhan pada setiap tugas yang diberikan.
Kelima dimensi tersebut disajikan secara skematis pada Gambar 1.
Sebagaimana diindikasikan, bahwa dimensi-dimensi kapasitas ini bersifat
interaktif dan dinamis.
GTZ (Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit) dalam
Milen (2006: 22) yang menggambarkan bahwa dalam proses pengembangan
kapasitas terdapat tiga tingkata (level) yang harus menjadi fokus analisis dan
proses perubahan dalam suatu organisasi. Ketiga tingkatan itu adalah: (a)
tingkatan sistem/kebijakan, (b) tingkatan organisasi/lembaga, dan (c)
tingkatan individu/sumber daya manusia. Ketiga tingkatan ini dapat dilihat
pada Gambar 2 berikut ini.
Gambar 2 Level Pengembangan Kapasitas (GTZ dalam Milen, 2006: 22)
Individual Level
System Level
Organizational
Level
Knowledge Skills Competencies Work Ethics
Decision Making Resources Procedures Structures MIS Culture
Legal Framework Supporting Policies
Local Governance Capacities
16
Ketiga tingkatan ini saling terkait dan mendukung, sehingga prosesnya
harus dilakukan secara bersama-sama. Pembagian tingkatan ini dilakukan
untuk memastikan bahwa fokus peningkatan kapasitas dalam mencapai
sasaran secara efektif dan menentukan langkah-langkah proses perubahan
secara operasional, sehingga benar-benar mencapai sasaran yang ingin
dicapai.
Pada tingkatan sistem, suatu organisasi harus melakukan upaya
proses perbaikan pada sistem, kebijakan dan berbagai aturan yang menjadi
dasar berbagai program, aktivitas dan kegiatan pada organisasi. Dalam
mengembangkan kualitas sistem ini, yang menjadi fokus utama adalah
perubahan pada kebijakan dan peraturan yang dianggap menghambat
keinerja optimal organisasi. Pada tingkatan organisasi, upaya peningatan
kapasitas berhubungan dengan menciptakan perangkat struktur, kultur dan
pengelolaan organisasi yang mendukung para pegawai/individu untuk
menunjukkan kinerja terbaiknya. Sebagaimana diketahui bahwa organisasi
terdiri dari dua unsur utama, yaitu unsur perangkat keras (hardware) dan
unsur perangkat lunak (software). Unsur perangkat keras organisasi bisa
meliputi infrastruktur (gedung), struktur organisasi, serta dukungan anggaran.
Sedangkan perangkat lunak organisasi adalah kultur organisasi, prosedur
kerja, dan sumber daya informasi yang dimiliki organisasi. Sedangkan pada
tingkatan individu adalah individu sebagai sumber daya manusia organisasi
17
yang harus ditingkat kemampuan dan profesionalismenya baik itu
pengetahuan, kompetensi, keterampilan maupun etika kerja.
Serupa dengan konsep GTZ, Leavit juga menjelaskan tingkatan
pengembangan kapasitas sebagai berikut: (a) tingkat individu, meliputi:
pengetahuan, keterampuilan, kompetensi, dan etika, (b) tingkat kelembagaan,
meliputi: sumber daya, ketatalaksanaan, struktur organisasi, dan system
pengambilan keputusan, dan (c) tingkat sistem meliputi: peraturan
perundang-undangan dan kebijakan pendukung. Untuk lebih jelasnya, ketiga
tingkatan pengembangan kapasitas menurut Leavit dalam Djatmiko (2004),
dapat dilihat pada gambar 3 berikut ini.
Gambar 3
Tingkatan Pengembangan Kapasitas (Leavit dalam Djatmiko, 2004: 106)
Lebih lanjut, dalam rangka pengembangan kapasitas pemerintah
daerah Bappenas (2007) menyatakan bahwa pengembangan kapasitas
18
mencakup: (1) tingkat sistem, menetapkan kondisi-kondisi kerangka yang
memungkinkan dan membatasi (pengatur) bagi pemerintah daerah, dan
dimana berbagai komponen sistem berinteraksi satu sama lain, (2) tingkat
kelembagan (entitas), tingkat badan atau lembaga teknis, atau lembaga
pengantar pelayanan (service delivery) dengan struktur organisasi tertentu,
proses-proses kerja dan budaya kerja, dan (3) tingkat individu, keterampilan
dan kualifikasi individu berupa uraian pekerjaan, motivasi dan sikap kerja.
Untuk lebih jelasnya, aspek pengembangan kapasitas dapat dilihat pada tiga
hal, yaitu: (1) tingkat individu, mencakup pengetahuan, keterampilan,
kompetensi, etika dan etos kerja, (2) tingkat kelembagaan, mencakup
sumberdaya, ketatalaksanaan, struktur organisasi, dan sistem pengambilan
keputusan, dan (3) tingkat sistem, mencakup peraturan perundang-undangan
dan kebijakan yang mendukung.
Dalam melakukan pengembangan kapasitas individu, tingkatan
kompetensi atau kapasitas individu bisa diukur melalui konsep dari Gross
(Sudrajat, 2005: 54), yang menyatakan bahwa kompetensi yang harus dimiliki
aparatur dalam menjalankan tugas dan fungsi pemerintahan dan
pembangunan adalah sebagai berikut:
1) Knowledge yang meliputi: general knowledge, technical knowledge, jobs and organisation, administrative concept and methods, dan self-knowledge.
2) Ability yang meliputi: management, decision making, comunication, planing, actuating / organizing, evaluating / controling, working with others, handling conflicts, intuitive thought, comunication, dan learning.
19
3) Interest yang meliputi: action orientation, self-confidence, responsibility, dan normes and ethics.
Sedangkan untuk melihat kemampuan pada level organisasi, dapat
digunakan konsep Polidano (2000: 21) yang diaanggap sangat cocok untuk
diterapkan pada sektor publik (pemerintahan). Terdapat tiga elemen penting
untuk mengukur kapasitas sektor publik, sebagai berikut:
a. Policy capacity, yaitu kemampuan untuk membangun proses pengambilan keputusan, mengkoordinasikan antar lembaga pemerintah, dan memberikan analisis terhadap keputusan tadi.
b. Implementation authority, yaitu kemampuan untuk menjalankan dan menegakkan kebijakan baik terhadap dirinya sendiri maupun masyarakat secara luas, dan kemampuan untuk menjamin bahwa pelayanan umum benar-benar diterima secara baik oleh masyarakat.
c. Operational efficiency, yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan umum secara efektif/efisien, serta dengan tingkat kualitas yang memadai.
Pemahaman tentang kapasitas di atas dapat dikatakan masih terbatas
pada aspek manusianya saja (human capacity). Pengembangan kemampuan
SDM ini harus menjadi prioritas pertama oleh pemerintah daerah, karena
SDM yang berkualitas prima akan mampu mendorong terbentuknya
kemampuan faktor non-manusia secara optimal. Dengan kata lain,
kemampuan suatu daerah secara komprehensif tidak hanya tercermin
dari kapasitas SDM-nya saja, namun juga kapasitas yang bukan berupa
faktor manusia (non-human capacity), misalnya kemampuan keuangan dan
sarana/prasarana atau infrastruktur.
20
Baik kapasitas SDM maupun kapasitas non-SDM ini secara bersama-
sama akan membentuk kapasitas internal suatu organisasi (pemerintah
daerah). Namun, walaupun kapasitas internal suatu pemerintah daerah
berada pada level yang tinggi, tidak secara otomatis dikatakan bahwa kinerja
pemerintah daerah itu secara agregat juga tinggi. Disini diperlukan adanya
indikator-indikator eksternal yang dapat menjadi faktor pembanding/
penilai/pengukur dari kapasitas internal tersebut. Hal ini didasari oleh
pemikiran bahwa kapasitas internal yang tinggi merupakan prasyarat untuk
menciptakan indikator kinerja eksternal yang tinggi. Adalah tidak masuk akal
bahwa kinerja eksternal dapat dipacu dengan kemampuan internal yang
terbatas.
Dalam hubungan ini, jika kinerja eksternal pada suatu daerah
menunjukkan indikasi yang positif, secara asumtif dapat dijustifikasi bahwa
kemampuan internal daerah itu berada pada level yang baik. Pada gilirannya,
kemampuan internal daerah yang baik ditambah dan/atau dibuktikan dengan
positifnya indikator-indikator eksternal, akan membentuk kemampuan/
kapasitas daerah secara menyeluruh atau komprehensif. Adapun yang
dimaksud dengan kinerja eksternal disini adalah segala hasil capaian diluar
struktur kelembagaan pemerintah daerah namun diperoleh karena adanya
aktivitas yang dilakukan pemerintah daerah tersebut. Kinerja ini dapat berupa
peningkatan kesejahteraan masyarakat secara progresif (ditopang oleh
indikator ekonomi makro), kualitas lingkungan sebagai dampak dari
21
kebijakan, hubungan yang harmonis antara pemerintah dengan warganya
(ditunjukkan oleh tingginya tingkat partisipasi dan legitimasi, serta rendahnya
keluhan masyarakat), dan sebagainya.
1.2. Perspektif dan Teori Capacity Building Organisasi
Konsep capacity building organisasi yang secara khusus mengacu
kepada pengelolaan sektor publik baru muncul pada awal tahun 1980-an,
sejalan dengan pertumbuhan negara-negara berkembang. Namun jika
konsep ini mengacu kepada penguatan kelembagaan atau pengembangan
kelembagaan, konsep ini bisa menggunakan juga konsep yang berkaitan
dengan teori yang berkaitan dengan organisasi. Pengertian capacity building
atau kapasitas organisasi menurut McPhee dan Bare (2001: 34) adalah
kemampuan individu, organisasi, dan sistem untuk menyelenggarakan fungsi
dalam rangka pencapaian misi dan tujuannya secara efektif dan efisien.
Brown (2001: 25) mendefinisikan pengembangan kapasitas organisasi
sebagai suatu proses yang dapat meningkatkan kemampuan seseorang,
suatu organisasi atau suatu sistem untuk mencapai tujuan-tujuan yang dicita-
citakan. Sedangkan Morison (2001: 42) melihat pengembangan kapasitas
organisasi sebagai suatu proses untuk melakukan sesuatu, atau serangkaian
gerakan, perubahan multi level di dalam individu, kelompok-kelompok,
organisasi-organisasi dan sistem-sistem dalam rangka untuk memperkuat
22
kemampuan penyesuaian individu dan organisasi sehingga dapat tanggap
terhadap perubahan lingkungan yang ada.
Dalam buku Hand Book of Organizations, Arthur L. Stinchombe dalam
March (1965: 150) menyebutkan terdapat 5 (lima) variabel dasar yang dinilai
mempengaruhi kapasitas organisasi. Artinya bagaimana organisasi tersebut
mampu mencapai tujuannya dengan baik, sangat ditentukan oleh
kemampuan dari organisasi tersebut dalam mengelola lingkungan sosial dan
internal dimana organisasi itu hidup. Douglas et.al menyimpulkan bahwa
kinerja organisasi dalam prosesnya dipengaruhi oleh kapasitas organisasi,
lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Bahkan untuk itu, Douglas
menggambarkan keterkaitan pengembangan kapasitas organisasi ini, seperti
yang terlihat pada Gambar 4.
Organizations
Gambar 4
Framework for Organizational Assesment (Douglas Norton, et al, 2003: 20)
External Operating Environment
Organizational Performance
Organizational Capacity
Internal Environment
23
Konsep pengembangan kapasitas juga bisa sejalan dengan konsep
pengembangan kelembagaan (organizational development). Karena pada
dasarnya memiliki kesamaan dalam kata peningkatan kemampuan
organisasi.
Eade (1997: 34) dalam Yuswijaya (2008: 87-88) menyebutkan
pengertian pengembangan kapasitas organisasi sebagai berikut:
capacity building is often used simply to mean enabling institutions be more effective in implementing development project. Institution are thus the instrument by which certain goals can be reached, and may begovernmental or non-governmental. If capacity-building is an end in itself (eg strengthening the quality of representation and decision-making within civil society organizations, and their involvement in socio-political processes), such political choises demand a clear purpose and contextual analysis on the part of the intervening agency. The focus is likely to be on the counterparts organizational mission, and the mesh between this, its analysis of the external world, and its structure and activitie.
Berdasarkan pengertian di atas, bahwa pengembangan kapasitas
dalam suatu organisasi dapat dapat dianggap sebagai suatu tujuan dan dapat
juga dianggap sebagai suatu proses. Sebagai tujuan misalnya: memperkuat
kualitas hasil sesuatu keputusan dalam suatu organisasi dan keterlibatan
mereka dalam proses, seperti misalnya kejelasan tujuan suatu organisasi.
Fokusnya ada pada misi organisasi, analisis faktor-faktor eksternal, struktur
dan aktivitas. Oleh karena itu, kriteria efektifitas berhubungan dengan misi
yang sudah ditetapkan dengan tepat yang telah dipenuhi. Jadi, inti
pengembangan kapasitas organisasi adalah sebagai tujuan adalah
tercapainya misi organisasi. Sedangkan pengembangan kapasitas organisasi
24
sebagai proses adalah proses penyesuaian (adaptasi) organisasi terhadap
perubahan dan perbaikan sistem internal organisasi yang memungkinkan
organisasi mampu menghadapi tantangan dengan berdasarkan dukungan
sumber-sumber organisasi sehingga organisasi tersebut dapat hidup secara
berkelanjutan.
Berkaitan dengan pengembangan kapasitas organisasi, Leavit dalam
Djatmiko (2004: 106) mengemukakan bahwa: perubahan atau
pengembangan kapasitas organisasi dapat dilakukan melalui empat
pendekatan, yaitu: (1) pendekatan struktural yang penekanannya
dititiberatkan pada struktur organisasi, terutama perubahan struktur
kelembagaan organisasi, (2) pendekatan teknologi, yang terfokus pada tata
letak sarana fisik yang baru. Penekanannya pada penggunaan dan
pemanfaatan sarana dan prasarana/teknologi dalam melaksanakan
pekerjaan (tugas dan fungsi), (3) pendekatan tugas (task approach), berfokus
pada kinerja (job performance) individual dengan menekankan pada
perubahan dan peningkatan kinerja melalui prosedur kerja yang efektif, dan
(4) pendekatan orang (people approach), berfokus pada modifikasi terhadap
sikap, motivasi, perilaku, keahlian yang dicapai melalui program training,
prosedur seleksi, atau perlengkapan yang baru.
Selanjutnya, Eade (1997: 110) menyebutkan bahwa: pendekatan yang
dapat digunakan dalam pengembangan internal organisasi antara lain melalui
pendekatan: (1) structure (struktur organisasi), yaitu perubahan struktur
25
kelembagaan organisasi, (2) physical resources (sumber daya fisik: sarana
dan prasarana), melalui pemanfaatan dan penggunaan teknologi sebagai
sarana dan prasarana dalam melaksanakan pekerjaan, (3) system (sistem
kerja/mekanisme kerja/prosedur kerja), melalui perubahan rancangan
prosedur kerja, (4) human resources (sumber daya manusia), melalui
peningkatan ketersediaan sumber daya aparatur baik secara kualitas maupun
kuantitas, termasuk penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan, (5)
financial resources (sumber daya finansial/anggaran), melalui alokasi sumber
daya keuangan yang memadai sesuai kebutuhan, termasuk pemberian
imbalan/insentif, (6) culture (budaya kerja), penciptaan iklim dan suasana
kerja yang nyaman bagi pegawai agar dapat melaksanakan pekerjaan
dengan baik, dan (7) leadership (kepemimpinan) melalui optimalisasi peran
pimpinan organisasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya,
mengkordinasikan dan mengarahkan setiap pekerjaan agar sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan.
Lebih lanjut, UNDP (1999) menjelaskan bahwa untuk mendukung
pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan di daerah, maka
pengembangan kapasitas harus mampu diturunkan sejumlah strategi lanjutan
(sasaran) sehingga lebih memudahkan untuk mengukur tingkat keberhasilan
dari pengembangan kapasitas tersebut. Terdapat 9 (sembilan) strategi utama
dalam pengembangan kapasitas yaitu: (1) strategi yang berhubungan
dengan aspek misi dan strategi organisasi (posisi organisasi dalam seting
26
lingkungan organisasi dan melihat keunggulan komparatif yang dimiliki
sebagai competitive advantage daerah dengan yang lainnya, konsep layanan
yang terbaik yang harus diberikan pemerintah daerah kepada masyarakat
sebagai klien, penetapan standar keberhasilan dan kinerja organisasi), (2)
strategi yang berhubungan dengan aspek kultur (budaya) organisasi (standar
perilaku atau kinerja, nilai-nilai organisasi dan manajemen, gaya manajemen
dan kepemimpinan, cara pandang dan persepsi organisasi), (3) strategi yang
berhubungan dengan aspek struktur organisasi (hirarki wewenang,
mekanisme kontrol dan pengendalian, mekanisme kordinasi dan mekanisme
kerja lainnya yang berhubungan dengan struktur kelembagaan pemerintahan
daerah), (4) strategi yang berhubungan dengan aspek kompetensi organisasi
(pelimpahan kewenangan dari pemerintah daerah kabupaten/kota ke
kecamatan dan kelurahan), (5) strategi yang berhubungan dengan aspek
proses-proses organisasi (komunikasi serta hubungan kerja dengan pihak
internal dan eksternal, mekanisme perencanaan, monitoring dan evaluasi),
(6) strategi yang berhubungan dengan aspek sumber daya manusia
organisasi (sistem rekruitmen pegawai, penempatan sampai dengan pola
jenjang karir dan sistem imbalan), (7) strategi yang berhubungan dengan
aspek sumber daya keuangan organisasi (manajemen transfer alokasi dana
dari pusat, intensifikasi pajak melalui penurunan tarif, perbaikan sistem
pemungutan dan sosialisasi kepada wajib pajak), (8) strategi yang
berhubungan dengan aspek sumber daya informasi (strategi e-government
27
dalam pelayanan publik), dan (9) aspek yang berhubungan dengan infra
struktur organisasi (penataan dan inventarisasi aset dan manajemen aset
yang akuntabel (Nugraha, 2004: 189-193).
Lebih lanjut Djatmiko (2004: 106) mengatakan bahwa program
pengembangan kapasitas yang disusun harus menggunakan metode yang
dirancang untuk mengubah pengetahuan, keahlian, sikap dan perilaku. Hal ini
mengindikasikan bahwa penekanan utama yang dilakukan dalam rangka
pengembangan kapasitas organisasi ditujukan kepada upaya untuk merubah
individu-individu yang ada didalam organisasi, sehingga akan merubah
organisasi dengan didukung oleh sumber daya lain yang ada di dalam
organisasi.
Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui pengembangan kapasitas
organisasi menurut Indrawijaya (1983: 279) adalah: (1) untuk menciptakan
landasan bagi terciptanya efektifitas organisasional yang lebih sesuai dengan
harkat dan martabat manusia yang lebih manusiawi, (2) untuk menciptakan
suasana yang saling mempercayai antar orang maupun bagi organisasi
secara keseluruhan, (3) untuk menciptakan iklim organisasi yang terbuka
dalam memecahkan persoalan bersama, dalam arti setiap persoalan dihadapi
secara bersama dan perbedaan-perbedaan pendapat merupakan suatu hal
yang wajar, (4) untuk menempatkan tanggung jawab pengambilan keputusan
dan pemecahan persoalan sedekat mungkin dengan sumber yang
menimbulkan persoalan dan selalu diusahakan berdasarkan data yang ada,
28
(5) untuk mendapatkan cara dan metode yang dapat mengembangkan rasa
kebersamaan dan rasa turut memiliki, sehingga setiap orang mempunyai
keinginan dan kesempatan untuk berkarya dalam organisasi mereka, (6)
untuk mengembangkan gaya kepemimpinan yang lebih berisfat partisipatif
dan demokratis sehingga lebih dapat dikembangkan cara kerja yang lebih
kooperatif dan tidak terlalu bersifat kompetitif dan komfrontatif, dan (7) untuk
mengembangkan suatu sistem nilai yang juga memperhatikan aspek proses
yang terjadi dalam organisasi itu dan tidak terlalu berorientasi pada hasil,
karena yang terakhir ini dapat menyebabkan berkembangnya suatu sistem
nilai menghalalkan semua cara demi tercapainya tujuan.
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam pengembangan
kapasitas organisasi menurut Varney (Indrawijaya (1983: 270) diantaranya:
(1) harus ada dukungan aktif dan keterlibatan dari pucuk pimpinan,
(2) anggota-anggota organisasi harus dapat merubah pikiran dan perasaan
mereka sebagai hasil dari usaha pengembangan organisasi, (3) ia bukan
merupakan suatu strategi latihan dan karena itu harus dianggap sebagai
suatu pendekatan yang ditujukan untuk mengadakan perubahan tentang
bagaimana orang-orang bekerjasama, (4) berusaha untuk merubah iklim
organisasi sebagaimana juga merubah proses sosial (proses interaksi
manusia) yang terdapat dalam suatu organisasi, (5) investasi yang dilakukan
pada permulaan dari usaha pengembangan organisasi baru memberikan
hasil pada masa yang akan datang, (6) tidak ada pendekatan perubahan
29
organisasi yang terbaik, dan (7) pengembangan organisasi tidak boleh
dianggap sebagai suatu paket program baru yang dibawa ke dalam suatu
organisasi dalam rangka memecahkan persoalan-persoalan organisasi
tersebut.
Sementara itu, Keban (2000: 8-9) bahwa semua dimensi dalam
konsepsi peningkatan kemampuan merupakan strategi untuk mewujudkan
nilai-nilai good governance. Pengembangan sumberdaya manusia misalnya,
dapat dilihat sebagai suatu strategi untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas dan memelihara nilai-nilai moral dan etos kerja. Pengembangan
organisasi merupakan strategi penting agar suatu lembaga pemerintahan
mampu: (1) menyusun rencana strategis ditujukan agar organisasi memiliki
visi yang jelas; (2) memformulasikan kebijakan dengan memperhatikan nilai
efisiensi, efektivitas, transparansi, responsivitas, keadilan, partisipasi, dan
keberlanjutan; (3) mendesain organisasi untuk menjamin efisiensi dan
efektivitas tingkat desentralisasi dan otonomi yang tepat, dan (4)
melaksanakan tugas-tugas manajerial agar lebih efisien, efektif, fleksibel,
adaptif dan lebih berkembang. Dan pengembangan jaringan kerja (network),
misalnya merupakan strategi untuk meningkatkan kemampuan bekerjasama
atau kolaborasi dengan pihak-pihak luar dengan prinsip saling
menguntungkan (simbiosis mutualisme). Jadi, Indikator utama yang
digunakan untuk menilai kinerja pemerintahan pada saat ini adalah good
governance dan capacity building. Kalau bisa dikatakan bahwa good
30
governance memuat nilai-nilai yang dijanjikan kepada masyarakat,
sedangkan capacity building memuat nilai-nilai tentang kelayakan dari strategi
yang ditempuh pemerintah dalam memenuhi janji tersebut.
Selanjutnya, Keban menjelaskan dasar pemikiran program
pengembangan kemampuan pemerintah kabupaten/kota (daerah tingkat II) di
Indonesia selama ini dapat diidentifikasi melalui dimensi-dimensi utama
capacity building, yakni:
Pertama, dimensi kebijakan, meliputi perencanaan strategik dan
analisis kebijakan publik . Batasan pengembangan dimensi kebijakan meliputi
dua aspek yaitu bagaimana menentukan rencana strategis yang berfungsi
memberi arah bagi pembangunan dan pelayanan publik pada tingkat lokal,
dan bagaimana merumuskan kebijakan pembangunan dan pelayanan publik
yang mengacu pada arah tersebut. Perencanaan strategis adalah suatu
proses penyusunan serangkaian strategi yang didasarkan pada isu-isu
strategis, yang dapat dijadikan arah dan acuan kebijakan pembangunan dan
pelayanan publik. Selanjutnya, analisis kebijakan publik adalah suatu proses
penentuan alternatif kebijakan terbaik yang dituangkan dalam program-
program dan proyek-proyek pembangunan dan pelayanan publik dengan
berpedoman pada rencana strategis dan kondisi terakhir masyarakat.
Kedua, dimensi desain organisasi, yaitu suatu upaya penyusunan
struktur dan proses kelembagaan yang didasarkan pada rencana strategis
dan kebijakan pembangunan serta kebutuhan pelayanan publik dengan
31
mengutamakan prinsip-prinsip differensiasi, formalisasi, dan disperse otoritas
yang tepat.
Ketiga, dimensi manajemen, yaitu suatu upaya pencapaian tujuan
kebijakan pembangunan dan pelayanan publik dengan mengimplementasikan
keterampilan manajerial dan penerapan pola kepemimpinan yang efektif.
Keempat, dimensi akuntabilitas, yaitu suatu upaya memprioritaskan
tanggung jawab terhadap masyarakat lokal atau customer didalam proses
penentuan rencana strategies, perumusan kebijakan, desain organisasi, dan
manajemen berdasarkan legal dan political accountability.
Kelima, dimensi moral dan etos kerja, yaitu suatu upaya menggunakan
nilai-nilai dasar kemanusiaan seperti: keadilan, kesamaan dan kebebasan
dalam penentuan rencana strategis, pemilihan alternative kebijakan, desain
organisasi dan manajemen, dan menginstitusionalisasikan etos kerja.
2. Definisi Operasional Variabel
Operasionalisasi variabel dilakukan dengan tujuan untuk menjelaskan
variabel dan sub variabel-sub variabel yang akan diteliti. Adapun subvariabel
yang akan digunakan untuk mengetahui kapasitas birokrasi pemerintah
daerah, baik pemerintah Kabupten atau Kota di Indonesia adalah : kapasitas
sumber daya fisik organisasi, kapasitas proses operasional, dan kapasitas
sumber daya manusia.
32
a. Kapasitas sumber daya fisik adalah kemampuan perangkat sumber daya
fisik pemerintah kabupaten/kota yang dibutuhkan untuk mencapai tugas
dan fungsinya, dan langkah-langkah yang ditempuh organisasi untuk
menyediakan perangkat tersebut. Kapasitas sumber daya fisik dalam
penelitian ini dilihat dari empat indikator utama; (1) kapasitas struktur
organisasi dan upaya-upaya utuk mewujudkannya, (2) kapasitas
perangkat hukum dan upaya-upaya untuk mewujudkannya, (3) kapasitas
keuangan dan upaya-upaya untuk mencapainya, dan (4) kapasitas sarana
dan prasarana dan langkah-langkah yang ditempuh untuk mencapainya.
b. Kapasitas Proses Operasional, yaitu kapasitas tata kerja yang dimiliki
pemerintah kabupaten/kota dalam pelaksanaan tugas dan fungsi
organisasi. Kapasitas proses operasional dalam penelitian ini, diukur dari
tiga indikator, yaitu (1) kapasitas prosedur kerja, dan cara untuk
mencapainya, (2) kapasitas budaya kerja, dan upaya untuk
mewujudkannya, dan (3) kapasitas kepemimpinan.
c. Kapasitas sumber daya manusia yaitu kemampuan yang dimiliki SDM
aparatur atau pegawai pemerintah Kab/Kota di Indonesia dalam
pelaksanaan tugas dan fungsi mereka, serta upaya-upaya yang ditempuh
organisasi untuk meningkatkan kemampuan mereka. Indikator-indikator
yang digunakan untuk mengukur subvariabel ini adalah: (1) kapasitas
pengetahuan pegawai dalam pelaksanaan tugas dan fungsi, dan upaya-
upaya yang ditempuh organisasi untuk mencapainya, (2) kapasitas
33
keterampilan pegawai dalam melaksanakan tugas mereka, dan upaya
organisasi untuk meningkatkan keterampilan mereka, (3) perilaku dan
etika kerja pegawai, dan langkah-langkah yang ditempuh organisasi untuk
memperbaiki perilaku dan etika kerja pegawai.
3. Kerangka Pikir
Secara singkat, berdasarkan hasil tinjauan literatur yang telah
dikemukakan sebelumnya. bahwa peningkatan kinerja pemerintah daerah
dapat dilakukan melalui capacity building (pengembangan kapasitas)
organisasi. Capacity building organisasi merupakan dimensi organisasional
yang saling berhubungan satu sama lain. Dimensi tersebut, baik secara
terpisah maupun terintegrasi diasumsikan berpengaruh (berhubungan)
terhadap kinerja pemerintah daerah. Capacity building organisasi pada level
individu, level organisasi, dan tingkat (level) sistem. Berdasarkan hal tersebut,
maka dapat dibuat kerangka pikir penelitian sebagai berikut.
34
Gambar 2.
KERANGKA PIKIR PENELITIAN
Berdasarkan pokok permasalahan dan kerangka konseptual yang telah
diuraikan sebelumnya, maka tim peneliti merumuskan pertanyaan penelitian
sebagai berikut :
1. Bagaimana pengembangan kapasitas birokrasi pemerintah daerah
kabupaten/kota di Indonesia, dilihat dari dimensi pengembangan
kapasitas sumber daya fisik organisasi, kapasitas proses ketatalaksanaan,
PENGUATAN
KAPASITAS
BIROKRASI PEMDA
PENGUATAN PROSES
OPERASIONAL
(KETATALAKSANAAN)
- Kapasitas Prosedur Kerja - Budaya kerja yang efektif - Kapasitas Kepemimpinan
PENGUATAN SUMBER DAYA FISIK - Kapasitas Struktur organisasi - Kapasitas Keuangan - Kapasitas Perangkat Aturan - Kapasitas Sarana & Prasarana
PENGUATAN SDM
- Pengetahuan - Keterampilan - Prilaku & Etika
35
dan kapasitas individu birokrasi pemerintah kabupaten / kota di
Indonesia ?
2. Hambatan- hambatan apa saja yang ada dalam upaya pengembangan
kapasitas birokrasi pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia ?
3. Upaya atau pendekatan apa saja yang dapat dilakukan guna mengatasi
berbagai hambatan tersebut?
36
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif yang
berupaya menggambarkan secara rinci suatu fenomena tertentu dari objek
yang diteliti, yaitu pengembangan kapasitas birokrasi pemerintah daerah
kabupaten/kota yang menjadi tempat penelitian.
Jenis penelitian ini adalah penelitian survey, yaitu penelitian yang
mengambil sample dari populasi dan menggunakan kuesioner sebagai
instrument pengumpulan data utama.
2. Populasi & Sample
Populasi dalam penelitian ini adalah organisasi pemerintah
kabupaten/kota pada wilayah Indonesia. Lokus dari penelitian ini adalah
wilayah Indonesia yang terdiri dari beberapa pulau seperti: Sumatera,
Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua karena
begitu luasnya, maka untuk masing-masing pulau diwakili satu
Kabupaten/Kota yang terdiri dari: Pekanbaru, Palangkaraya, Jayapura,
Manado, Luwuk Utara, dan Surakarta. Dari masing-masing
Kabupaten/Kota dipilih sampel adalah unit organisasi yang secara
representatif dapat memberikan informasi atas pengembangan kapasitas
organisasi, baik pada dimensi individu (SDM), dimensi proses (SOP, tata
kerja), dan dimensi physical resources (aturan, struktur, financial, sarana &
prasarana).
37
Teknik pengambilan sample dilakukan secara purposive, yaitu
hanya memilih responden yang berada pada satuan kerja (entity) yang
dapat memberikan informasi (jawaban) atas pertanyaan penelitian yang
dijabarkan dari variable dan indikator penelitian. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, maka responden penelitian ini, adalah setiap
pegawai yang bekerja pada bagian sekretariat kab/kota, Bappeda,
Dispenda, dan BKD pada masing-masing pemerintah daerah
sebagaimana dijelaskan pada paragraph diatas.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah penyebaran
angket kepada para pegawai pada satuan kerja yang terpilih (Sekretariat,
Bappeda, Dispenda, BKD) dari enam lokus penelitian yang telah
disebutkan diatas. Selain itu dilakukan pula wawancara mendalam
dengan informan terpilih, yaitu para pimpinan satuan kerja yang menjadi
tempat penelitian, dan studi dokumentasi terhadap data-data sekunder
yang berkaitan dengan indikator penelitian.
Data kuesioner yang telah terkumpul dari responden terpilih pada
wilayah penelitian, kemudian diolah dengan membuat tabulasi data
sebagai dasar untuk melakukan analisis data, yang selanjutnya dianalisis
secara statistik deskriptif. Untuk memperkuat analisis, peneliti juga
memaparkan hasil data sekunder dan hasil wawancara dengan informan
terpilih.
38
4. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisis statistik deskriptif untuk
menjawab pokok permasalahan dan pertanyaan penelitian. Namun
demikian untuk menganalisis dan melakukan pembahasan atas temuan
data hasil statistik deskriptif, tim peneliti juga melengkapi argumentasi
dengan hasil wawancara mendalam dan telaahan data sekunder yang
terkait dengan indikator penelitian.
39
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Penyajian Data dan Analisis Hasil Penelitian
Deskripsi variabel yang dioperasionalkan dalam penelitian ini
menunjukkan gambaran penilaian responden terhadap indikator masing-
masing variabel kapasitas birokrasi pemerintah kabupaten/kota di lokus
penelitian, yaitu Pemerintah Kota Palangkaraya, Pakanbaru, Surakarta,
Manado, Kabupaten Masamba (Luwu Utara), dan Kota Jayapura. Penilaian
dimulai dari skor 1, jika rata-rata responden menjawab sangat tidak
setuju/sangat tidak baik; skor 2, jika rata-rata responden menjawab tidak
setuju/tidak baik; skor 3. kurang setuju/kurang baik; skor 4 setuju/baik; dan
skor 5 sangat setuju/sangat baik.
Berdasarkan kajian literatur, tim peneliti menetapkan tiga sub variable
untuk mengetahui pengembangan kapasitas birokrasi pemerintah kabupaten
dan kota yang menjadi lokus penelitian. Pertama, adalah pengembangan
kapasitas sumber daya fisik organisasi, yang diukur dengan indikator
kapasitas struktur organisasi, kapasitas keuangan, kapasitas perangkat
aturan, dan kapasitas sarana dan prasarana. Kedua, berkaitan dengan
pengembangan kapasitas proses operasional (ketataalaksanaan), yang
dilihat dengan tiga indikator, yaitu kapasitas prosedur kerja, budaya kerja
yang efektif, dan kapasitas kepemimpinan. Ketiga, adalah kapasitas SDM
40
pegawai, yang dilukur dengan tiga indikator, yaitu pengetahuan,
keterampilan, serta perilaku dan etika.
Penjelasan deskriptif untuk masing-masing variable tersebut, adalah
sebagai berikut :
1. Pengembangan Kapasitas Sumber Daya Fisik
Ketersediaan sumber daya fisik organisasi sangat menentukan
kapasitas birokrasi pemerintah daerah. Organisasi harus menyediakan
berbagai perangkat aturan dan kebijakan untuk mengatur agar birokrasi
dapat bekerja dengan efektif dan efisien. Disamping itu, organisasi juga harus
menyusun struktur organisasi yang sesuai dengan beban tugas dan tanggung
jawab organisasi. Yang tidak kalah penting dari itu, organisasi harus
mempunyai kemampuan keuangan serta sarana dan prasarana yang
memadai untuk mendukung organisasi dalam pelaksanaan tugas dan
fungsinya.
Berikut ini diuraikan hasil statistik deskriptif untuk masing-masing
indikator yang berkaitan dengan kapasitas sumber daya fisik organisasi.
a. Kapasitas Struktur Organisasi
Kapasitas struktur organisasi sangat menentukan keberhasilan
pencapaian tujuan organisasi. Struktur yang didesain sesuai dengan
fungsi, beban tugas, dan kewenangan yang dimiliki sangat berperan
terhadap efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi. Struktur
organisasi yang sesuai dengan tugas dan kewenangan, juga ikut
41
menentukan keharmonisan komunikasi dan pembagian kerja dalam
organisasi. Struktur organisasi yang tepat dapat menjawab tantangan
munculnya disharmonisasi (konflik internal) dalam pelaksanaan tugas dan
fungsi.
Tabel 4.1.
Rekapitulasi Rata-Rata Tanggapan Responden Tentang
Pengembangan Kapasitas Struktur Organisasi
No Daerah Lokus Rata-Rata Skor Kategori
1 Palangkaraya 3.89 Baik
2 Pekanbaru 3.92 Baik
3 Jayapura 3.89 Baik
4 Manado 3.80 Baik
5 Luwu Utara 4.07 Baik
6 Surakarta 3.83 Baik
Rata-Rata Skor 3.90 Baik
Sumber : data primer, 2012
Dari Tabel 4.1 yang berisi tanggapan responden tentang
pengembangan kapasitas struktur organisasi, dapat dilihat bahwa secara
umum responden dari daerah lokus yang diteliti menyatakan bahwa upaya
pengembangan kapasitas sumber daya fisik telah dilakukan dengan
baik. Hal ini dapat dilihat dengan rata-rata jawaban responden yang
setuju dengan pernyataan yang tertuang dalam kuessioner yang berisi
pernyataan tentang indikator-indikator yang mengukur pengembangan
kapasitas struktur organisasi. Dari Tabel 4.1 juga dapat diketahui bahwa
Kabupaten Masamba (Luwu Utara) menduduki skor tertinggi dalam
42
pelaksanaan kapasitas struktur organisasi yaitu 4,07 sedangkan skor
terendah dimiliki oleh Kota Manado yaitu 3,80.
Berdasarkan hasil olahan data primer, baik dari hasil kuessioner
maupun dari hasil wawancara dapat diketahui bahwa sebagian besar
responden di daerah lokus menilai bahwa pemerintah daerah telah
melakukan upaya-upaya yang cukup sistematis untuk mengembangkan
kapasitas institusional birokrasi.
Hasil wawancara dengan Sekretaris BKDD dan Kepala
Bidang Mutasi BKDD Kabupaten Luwu Utara menjelaskan bahwa:
Disamping disesuaikan dengan PP/41/2007 juga didasarkan pada UU/32/2004 mengenai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Kedua aturan ini telah memberikan arah yang jelas kepada daerah dalam menata organisasi yang efisien, efektif sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing daerah. Contohnya, pada BKDD terdapat 1 bidang yakni Bidang Diklat yang memiliki beban koordinasi dan komunikasi yang berat dengan SKPD lainnya. Setiap SKPD mendesain sendiri diklat-diklat yang dilakukannya, padahal harus dikomunikasikan dan dikordinasikan dengan Bidang Diklat BKDD. Masalahnya adalah banyaknya diklat teknis/fungsional yang berasal dari instansi atas-nya (vertikal) padahal hal ini akan sangat efektif kalau disatukan dalam sebuah program diklat pada Bidang Diklat BKDD. Inti masalahnya adalah masih terdapatnya egoime sektoral dalam penyelenggaraan diklat pada setiap SKPD.
Sejalan dengan hasil wawancara dengan narasumber di Kabupaten
Masamba (Luwu Utara), sebagian besar narasumber di daerah lokus telah
menyatakan bahwa struktur organisasi telah didesain sesuai dengan PP
43
41 Tahun 2007. Seperti yang diungkapkan oleh Kepala Bappeda Kota
Surakarta, yang menjelaskan bahwa :
Secara makro pengembangan kapasitas organisasi
dilakukan dengan melakukan restrukturisasi organisasi. Pemerintah
Kota Surakarta telah melakukan restrukturisasi sebagaimana yang
tertuang dalam Perda Nomor 14 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Perangkat Daerah.
Sama dengan pendapat (tanggapan) informan di Kabupaten Luwu
Utara dan Kota Surakarta, informan Kota Jayapura menjelaskan bahwa:
Upaya pengembangan kapasitas organisasi saat ini sedang dipersiapkan dievaluasi dan diadakan perampingan organisasi yang disesuaikan dengan kebutuhan. Sehingga terjadi penggabungan atau pengintegrasian bahkan sampai pada penghapusan bagian yang dianggap tidak efektif dalam pelaksanaan tugas dan fungsi. Pertimbangan pemerintah dalam menentukan desain organisasi, ada yang sesuai dengan PP 41/2007, dan ada yang tidak, karena masing-masing daerah mempunyai karakteristik yang berbeda.
Sementara itu, hasil wawancara dengan Asisten III Kota Manado
tentang dasar pertimbangan desain struktur organisasi Kota Manado
menjelaskan:
Pernah dilakukan desain stuktur organisasi yang dilakukan sendiri dengan mengacu pada PP/41/2007 dan Permendagri/57/2008. Hasilnya, SKPD (OPD) yang ditetapkan adalah 18 Dinas, 14 Lembaga Teknis (Badan dan Kantor), 3 Asisten, dan 13 bagian di Sekretariat Kota. Dalam hal kajian organisasi, Bagian Organisasi merekomendasikan untuk pengadaan beberapa bagian di Sekretariat dan rencana peningkatan Bagian Keuangan dan Bagian Aset menjadi Badan Pengelola Keuangan dan Barang Milik Daerah.
44
Berdasarkan jawaban dari beberapa informan yang terdapat pada
daerah lokus penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya
setiap pemerintah Kab/Kota telah mendesain struktur organisasi sesuai
dengan PP 41/2007. Demikian pula yang terungkap dari hasil wawancara
dengan Asisten II Bidang Administrasi Pemerintah Kota Manado, yang
mengungkapkan, bahwa penyusunan struktur organisasi telah
mempertimbangkan beban kerja, kemampuan dan kebutuhan daerah,
serta telah didesain sesuai dengan PP 41/2007 dan
Permendagri/57/2008.
Meskipun dalam pelaksanan program/kegiatan lintas fungsi yang
melibatkan banyak SKPD terkesan adanya masalah koordinasi karena
adanya egoisme sektoral, namun di beberapa daerah disikapi dengan
membuat peraturan internal, seperti di Kabupaten Luwu Utara dan Kota
Surakarta yang menetapkan dengan tegas akan tugas, rincian tugas, dan
tata kerja jabatan struktural pada setiap instansi berdasarkan PP/41/2007.
Selain itu pula, di Kota Surakarta dan Pekanbaru telah dilakukan analisis
jabatan (anjab) yang memetakan dengan tegas rincian tugas dan fungsi
masing-masing unit kerja dan jabatan, sehingga tidak terjadi konflik yang
tajam karena masing-masing anggota organisasi dapat memahami job
deskription masing-masing. Pandangan yang sempit akan fungsi dan
kewenangan unit kerja, dapat diatasi dengan peningkatan kapasitas
pejabat yang ada dalam struktur.
45
b. Kapasitas Keuangan
Ketersediaan sumber daya keuangan merupakan faktor yang sangat
menentukan keberhasilan organisasi dalam mencapai pelaksanaan tugas
dan fungsinya. Pengelola keuangan pemerintah daerah yang dapat
mengelola sumber daya keuangannya dengan baik, mulai dari tahap
penyusunan anggaran, pengalokasian anggaran, hingga
pertanggungjawaban dan penyusunan laporan keuangan sangat
membantu setiap satuan kerja di lingkup pemerintah kabupaten/kota
dalam mencapai program dan kegiatan sesuai dengan apa yang tertuang
dalam rencana kerja masing-masing satker yang mengacu pada rencana
kerja pemerintah daerah.
Tabel 4.2
Tanggapan Responden Tentang Pengembangan Kapasitas Keuangan
No Daerah Lokus Rata-Rata Skor Kategori
1 Palangkaraya 4.02 Baik
2 Pekanbaru 3.88 Baik
3 Jayapura 3.82 Baik
4 Manado 3.53 Baik 5 Luwu Utara 4.23 Baik
6 Surakarta 4.04 Baik
Rata-Rata Skor 3.92 Baik
Sumber : data primer, 2012
Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 4.2 dapat diketahui
bahwa rata-rata responden menilai pengembangan kapasitas keuangan
birokrasi pemerintah baik. Ini berarti upaya peningkatan kapasitas
46
keuangan telah dilakukan disemua lokus dengan intensitas yang cukup
sering. Fakta menarik disuguhkan oleh data yang diperoleh pada lokus
Kabupaten Luwu Utara, dimana pemerintah kabupaten, dalam hal ini
DKPD selalu melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki pengelolaan
keuangan daerah, mulai dari tahap penyusunan anggaran, pengalokasian
anggaran, hingga pertanggungjawaban keuangan. Tidak mengherankan
jika dari seluruh lokus penelitian, Pemerintah Kabupaten Luwu Utara
yang menduduki skor yang paling tinggi, dengan skor 4,23. Dilain pihak,
meskipun masih dalam kategori baik, pelaksanaan pengembangan
kapasitas keuangan di Kota Manado memiliki skor paling rendah yaitu
3,53.
Hasil wawancara dengan Sekretaris DKPD dan Kabid Akuntansi
DKPD Kabupaten Luwu Utara tentang kemampuan anggaran untuk
melaksanakan seluruh tugas dan fungsi organisasi menjelaskan bahwa:
Kemampuan anggaran untuk melaksanakan seluruh tugas dan fungsi organisasi adalah 60 berbanding 40 antara belanja rutin (termasuk belanja pegawai) dan belanja modal (belanja pembangunan dan pelayanan publik).. Untuk meningkatkan kemampuan SDM pengelolaan anggaran dilakukan upaya-upaya pengembangan SDM melalui pelatihan teknis baik kerjasama dengan BPK dan BPKP maupun dengan perguruan tinggi seperti UNHAS.
Sejalan dengan hal itu, hasil wawancara dengan Kepala Bappeda
Kota Surakarta menjelaskan bahwa:
47
Kemampuan anggaran untuk melaksanakan tugas dan fungsi organisasi dapat dilihat pada saat APBD yang telah ditetapkan di awal waktu maupun pada saat APBD-P, mampu diimplementasikan Pemkot dengan baik, memperhatikan prioritas kegiatan dan sharing anggaran masing-masing kegiatan. Tugas dan fungsi organisasi menyesuaikan kemampuan anggaran yang tersedia.
Hasil wawancara dengan informan pemerintah Kabupaten Jayapura
menjelaskan bahwa:
Kemampuan anggaran dalam melaksanakan seluruh tugas dan fungsi organisasi cukup memadai karena penyusunan anggaran disesuaikan dengan RENSTRA dan RENJA SKPD. Pengelolaan anggaran disesuaikan dengan Permendagri/13/2006 tentang Anggaran Berbasis Kinerja. Proses perubahan anggaran dilakukan jika ada perubahan anggaran melalui pembahasan oleh tim anggaran eksekutif dan tim anggaran legislatif.
Adapun hasil wawancara dengan Kepala Badan Keuangan dan Aset
Daerah Kota Jayapura menjelaskan bahwa:
Kemampuan anggaran untuk pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi masih kurang mampu atau sangat terbatas. Oleh karena itu, dalam penyusunan rencana penggunaan anggaran dilakukan secara prioritas sesuai kebutuhan mendesak. Adapun pengelolaan keuangan mengikuti tata cara pengelolaan keuangan sesuai dengan peraturan per-UU-an yang berlaku.
Berdasarkan hasil olahan data primer, baik dari data kuessioner
maupun dari hasil wawancara dapat diketahui bahwa sebagian besar
responden di daerah lokus menilai bahwa pemerintah daerah telah
melakukan upaya-upaya yang cukup sistematis untuk mengelola
keuangan sesuai dengan PP 58/2005 dan Permendagri No.13/2006
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Mulai dari tahap penyusunan
48
anggaran yang melibatkan seluruh satker dan unit kerja, pengalokasian
anggaran yang telah sesuai dengan beban tugas dan fungsi organisasi,
serta pertanggungjawaban anggaran yang dilakukan secara transparan
dan akuntabel.
Sebagian besar daerah lokus telah melakukan proses penyusunan
anggaran secara bottom up, artinya usulan dari level SKPD dan
masyarakat dimusyawarahkan dalam forum SKPD, maupun Musrenbang.
Penyusunan anggaran di awali dengan rapat kerja sebagai dasar KUA
PPAS yang di bahas dengan DPRD. Setelah mendapat persetujuan
DPRD di lakukan pengajuan APBD. Pengalokasian anggaran disesuaikan
dengan prioritas rencana program/kegiatan dan kesesuaian antara
RPJPD maupun RPJMD. Pengelolaan anggaran disesuaikan dengan
rencana yang telah ditetapkan dalam APBD melalui DPA masing-masing
SKPD dengan menyesuaikan time schedule masing-masing kegiatan.
Alokasi anggaran diutamakan memenuhi urusan wajib terlebih dahulu
baru urusan pilihan.
Pada Pemerintah Kota Surakarta, pengelolaan anggaran selain
berdasarkan Perda 7/2010, juga dengan mengacu PerWalikota tentang
Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan, dan Perwalikota/17/2012
tentang Kebijakan Akutansi Pemerintah Kota. Sedangkan proses
perubahan anggaran dikomunikasikan kepada seluruh unit kerja (SKPD).
SKPD mengusulkan perubahan anggaran dengan membuat Renja
49
Perubahan dan RKA-P, kemudian ditindaklanjuti dengan penyusunan
KUA/PPAS hingga penetapan DPA. Perubahan anggaran selalu
dikomunikasikan kepada seluruh SKPD. Kendala dalam pengelolaan
anggaran terjadi apabila ada rasionalisasi terhadap anggaran, yang
mengakibatkan penurunan kuantitas program/kegiatan. Solusinya adalah
penentuan prioritas program/kegiatan yang akan memberi dampak pada
indikator prioritas target capaian dan rasionalisasi anggaran terhadap
program/kegiatan yang diajukan dalam Renja SKPD. Jika terdapat
program dan kegiatan dalam rencana kerja yang tidak didukung dengan
anggaran, maka program/kegiatan tersebut ditunda dan menjadi prioritas
di tahun anggaran berikutnya.
Khusus dalam penyusunan laporan keuangan, sebagian besar
daerah lokus telah menyusun laporan keuangan dengan mengacu pada
PP 24/2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Hasilnya,
beberapa daerah, seperti Kota Surakarta, Kota Pakanbaru, dan Kab Luwu
Utara telah memperoleh predikat WTP (Wajar Tanpa Pengecualian)
dalam penyajian laporan keuangan. Begitu juga halnya dengan
pengelolaan barang milik daerah (BMD), telah mengacu pada ketentuan
PP 6/2006 dan Permendagri 17/2007 tentang Pengelolaan Barang Milik
Daerah. Hanya saja beberapa daerah masih merasakan perlunya
peningkatan kemampuan SDM pengelolaan anggaran melalui pelatihan
50
teknis, baik kerjasama dengan Diklat Keuangan, BPK dan BPKP,
maupun dengan perguruan tinggi.
c. Kapasitas Perangkat Hukum
Kepastian hukum dan kejelasan regulasi merupakan faktor yang
sangat menentukan keberhasilan organisasi dalam mencapai
pelaksanaan visi dan misinya. Daerah yang memiliki regulasi yang jelas
dan diterapkan secara konsisten dan adil membuat birokrasi dapat
bekerja dengan baik untuk mencapai pelaksanaan tugas dan fungsi
organisasi secara efektif dan efisien.
Tabel 4.3
Tanggapan Responden tentang Pengembangan Kapasitas Perangkat Hukum
No Daerah Lokus Rata-Rata Skor Kategori
1 Palangkaraya 3.74 Baik
2 Pekanbaru 3.32 Kurang baik
3 Jayapura 3.42 Baik
4 Manado 3.24 Kurang baik
5 Luwu Utara 3.48 Baik
6 Surakarta 3.41 Kurang baik
Rata-Rata Skor 3.43 Kurang baik
Sumber : data primer 2012
Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 4.3, dapat diketahui
bahwa sebagian besar responden menilai bahwa upaya pengembangan
kapasitas perangkat hukum pada enam daerah lokus berada pada level
Kurang baik dengan skor 3,43. Tiga daerah lokus yang berada pada
51
skor level kurang baik, yaitu Kota Pekanbaru dengan skor 3.32, Kota
Manado dengan skor 3.24, dan Kota Surakarta dengan skor 3.41.
Sementara itu skor tertinggi dimiliki oleh Kota Palangkaraya yaitu 3.74
dengan level baik. Keadaan data yang menyatakan di beberapa daerah
hanya berada pada level kurang baik memberikan indikasi bahwa
pengembangan kapasitas dibidang perangkat hukum menghadapi suatu
kondisi permasalahan tertentu.
Penilaian responden di kota Pakanbaru, Surakarta, dan Manado
yang sebagian besar menilai kapasitas perangkat hukum kurang baik
disebabkan karena adanya aturan dalam pelaksanaan tugas yang
kadang tumpang tindih, dan kurangnya konsistensi dalam pelaksanaan
aturan. Hal ini biasanya disebabkan kurangnya sosialisasi terhadap
kebijakan, dan rendahnya komitmen pimpinan untuk menegakkan aturan
secara adil dan konsisten.
Hasil wawancara dengan Sekretaris BKDD dan Kepala Bidang
Mutasi BKDD Kabupaten Luwu Utara menjelaskan bahwa:
Sangat penting membangun komitmen dan konsistensi dalam penegakan aturan di lingkungan kerja (SKPD). disamping itu, diperlukan upaya terdapatnya konsistensi pada setiap tingkatan peraturan perundang-undangan. Hal ini karena masih terdapat tumpang tindih aturan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi. Seperti Kebijakan Pengangkatan CPNS melalui Kategori Satu (K1), kadangkala terjadi tumpang tindih peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaannya seperti Surat keputusan (SK) Bupati, Sekretaris Daerah, Kepala Dinas, Camat, dengan PP/48/2007, Surat Edaran Men PAN dan RB (dalam pelaksanaan sosialisasi), dan PerKa BKN dan lain-lain.
52
Berdasarkan jawaban dari narasumber di Kabupaten Luwu Utara
dapat diketahui bahwa penegakan regulasi secara adil dan konsisten
sangat diperlukan dalam menjamin kelancaran pelaksanan tugas dan
fungsi organisasi. Lebih lanjut juga disampaikan agar daerah perlu
melakukan sosialisasi dan jika perlu meminta pendampingan dan
konsultasi jika ditemukan adanya kebijakan yang tumpang tindih antara
kebijakan yang satu dengan kebijakan yang lainnya. Seperti yang
diungkapkan dari hasil wawancara dengan beberapa narasumber dari
daerah lokus lainnya, salah satunya adalah seperti yang diuraikan dari
hasil wawancara dengan Kepala Bappeda Kota Surakarta berikut ini.
Dalam menghindari tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas
dan fungsi harus dilakukan perbaikan dan lebih menekan pada ANJAB. Membangun komitmen dan konsisten dalam penegakan aturan dilingkungan kerja yaitu dengan pemberian penghargaan kepada PNS yang bekerja baik. Kendala-kendala yang berkaitan dengan aturan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi yaitu sering adanya semacam aturan (surat/surat edaran) dari kedisiplinan yang tidak sesuai dengan aturan secara nasional, sehingga diharapkan aturan yang dikeluarkan Pemda dapat sejalan dan tidak bertentangan dengan Undang-undang/Peraturan Pemerintah
Berdasarkan jawaban dari beberapa informan di daerah lokus,
dapat diketahui bahwa pada dasarnya setiap informan/narasumber
menyadari pentingnya membangun komitmen dan konsistensi pada
setiap peraturan perundang-undangan dan dalam penegakan aturan di
lingkungan kerja. Oleh karena itu, hendaknya setiap perubahan aturan
53
dan kebijakan dikomunikasikan oleh pimpinan kepada seluruh staf,
termasuk konsekuensi dari setiap peraturan dalam melaksanakan tugas
dan fungsi.
d. Kapasitas Sarana dan Prasarana
Ketersediaan sarana dan prasarana juga merupakan faktor yang
tidak kalah penting dalam mencapai pelaksanaan tugas dan fungsi
organisasi secara efektif dan efisien. Fasilitas kerja yang memadai baik
dari segi kuantitas maupun kualitas, turut menentukan kemampuan
organisasi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya secara efektif dan
efisien. Demikian pula halnya dengan aspek pendistribusian fasilitas kerja
yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing unit kerja, serta
pemeliharaan dan pendayagunaan inventaris sangat menunjang pegawai
dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab yang dibebankan
kepadanya.
Tabel 4.4.
Tanggapan Responden tentang Kapasitas Sarana dan Prasarana
No Daerah Lokus Rata-Rata Skor Kategori
1 Palangkaraya 3.61 Baik
2 Pekanbaru 3.69 Baik
3 Jayapura 3.55 Baik
4 Manado 3.47 Baik
5 Luwu Utara 4.07 Baik
6 Surakarta 3.75 Baik
Rata-Rata Skor 3.69 Baik
Sumber : Data Primer, 2012
54
Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 4.4 dapat diketahui
bahwa sebagian besar responden di daerah lokus menilai baik akan
pengembangan kapasitas sarana dan prasarana. Selain itu, dari Tabel
4.4 dapat diketahui pula bahwa lokus yang paling tinggi skornya dalam
pengembangan kapasitas sarana dan prasarana adalah Kabupaten
Luwu Utara yaitu 4.07 sedangkan yang paling rendah skornya adalah
Kota Manado dengan skor hanya 3.47.
Hasil wawancara dengan Sekretaris dan Kepala Bidang Mutasi
BKDD Kabupaten Luwu Utara menjelaskan bahwa:
Sarana dan prasarana perkantoran belum memadai. Kalau kita mau mencontoh BKDD Kabupaten Badung. Adapun sarana dan prasarana Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian (SIMPEG) BKDD Kabupaten Luwu Utara sementara diproses. Kita juga masih memiliki kendala-kendala pengelolaan sarana dan prasarana.
Sementara itu, hasil wawancara dengan Kepala Bappeda Kota
Surakarta dalam hal pengembangan kapasitas sarana dan prasarana
menjelaskan bahwa:
Dukungan sarana dan prasarana dalam melaksanakan seluruh tugas dan fungsi organisasi adalah memadai. Agar sarana dan prasarana sesuai dengan perkembangan kebutuhan organisasi maka dilakukan penyusunan rencana kebutuhan barang setiap awal tahun. Sedangkan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan sarana dan prasarana dilakukan dengan mengoptimalkan penggunaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana.
Penjelasan Asisten II Bidang Administrasi Umum Sekretariat
Kota Manado ini dibenarkan oleh Asisten III Sekretariat Kota Manado dan
Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kota Manado bahwa:
55
Sekarang ini dukungan sarana dan prasarana umumnya sudah relatif baik walaupun belum dapat memenuhi keseluruhan sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Agar sarana dan prasarana sesuai dengan perkembangan kebutuhan organisasi, maka seharusnya mengakomodir usulan kebutuhan SKPD dari SKPD yang bersangkutan.
Jawaban dari beberapa informan di daerah lokus cukup bervariasi.
Sebagian masih mengeluhkan minimnya sarana dan prasarana dalam
melaksanakan tugas dan fungsi organisasi, seperti di Kabupaten Luwu
Utara, sementara informan pemerintah Kota Surakarta dan Manado
menganggap bahwa fasilitas kerja cukup memadai untuk mendukung
pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi. Pemerintah Kabupaten
Pakanbaru dalam mengoptimalkan penggunaaan sarana dan prasarana
dilakukan dengan model jaringan dan sharing (berbagi). Mereka juga
memanfaatkan teknologi informasi dan fungsi kontrol terhadap
perbandingan antara pemakaian sarana dan prasarana dengan outcome
yang dihasilkan. Kendala dalam pengelolaan sarana dan prasarana yang
tidak dapat optimal sehingga membutuhkan biaya pemeliharan yang
tinggi, mereka atasi dengan melakukan penghapusan barang milik
daerah.
Yang juga perlu menjadi perhatian pemerintah daerah adalah
memperbaiki proses pengelolaan barang dan jasa sesuai dengan PP 38
tahun 2008 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, dimana
pengelolaan barang dan jasa sekarang ini tidak lagi semudah dulu.
56
Diperlukan kecermatan dan pencatatan yang akurat, mulai dari tahap
pengadaan barang milik daerah (BMD), hingga tahap pengawasan dan
pelaporan barang milik daerah. Penggunaan BMD diarahkan sesuai
batasan-batasan standar kebutuhan yang diperlukan untuk menunjang
penyelenggaraan tupoksi pemerintahan secara optimal. Selain itu, setiap
kegiatan pengelolaan BMD harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
publik.
2. Pengembangan Kapasitas Proses Operasional (Ketatalaksanaan)
Pengembangan kapasitas proses operasional (ketatalaksanaan) dalam
penelitian ini terdiri atas pengembangan kapasitas prosedur kerja,
pengembangan kapasitas budaya kerja yang efektif dan pengembangan
kapasitas kepemimpinan yang efektif.
a. Pengembangan Kapasitas Prosedur Kerja
Keberhasilan pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi sangat
ditentukan dengan tersedianya dokumen proses operasional untuk setiap
jenis pelayanan dan tahapan kegiatan yang dapat menjadi pedoman bagi
setiap pegawai untuk melaksanakan tugasnya sehari-hari. Agar pencapaian
tugas dan fungsi organisasi dapat berjalan efektif dan efisien, maka prosedur
pelayanan harus disosialisasikan kepada masyarakat, sehingga juga
memberikan pemahaman dan edukasi kepada masyarakat untuk mengetahui
jika ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi.
57
Untuk mengetahui rekapitulasi rata-rata tanggapan responden tentang
pengembangan kapasitas prosedur kerja organisasi pemerintah
Kabupaten/Kota daerah lokus penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 4.5.
Rekapitulasi Rata-rata Tanggapan Responden Tentang Pengembangan Kapasitas Prosedur Kerja
No Daerah Lokus Rata-Rata Skor Kategori
1 Palangkaraya 3.82 Baik
2 Pekanbaru 3.66 Baik
3 Jayapura 3.68 Baik
4 Manado 3.49 Baik
5 Luwu Utara 3.86 Baik
6 Surakarta 3.70 Baik
Rata-Rata Skor 3.70 Baik
Sumber: Data Primer, 2012
Penilaian responden tentang pelaksanaan pengembangan kapasitas
prosedur kerja dapat dilihat pada Tabel 4.5 di atas. Hasilnya, pelaksanaan
pengembangan kapasitas prosedur kerja pada pemerintah daerah berada
pada kategori baik. Selain itu semua daerah lokus pun berada dalam
kategori yang sama. Ini berarti dalam pelaksanaan tugas para pegawai telah
memiliki sebuah prosedur standar yang digunakan sebagai pedoman dalam
pelaksanaan tugas. Dalam hal ini yang paling tinggi skornya sebesar 3,86
adalah Kabupaten Luwu Utara dan yang paling rendah skornya adalah Kota
Manado sebesar 3,49.
Hasil wawancara dengan Sekretaris dan Kepala Bidang Mutasi BKDD
Setda Kabupaten Luwu Utara menjelaskan bahwa masih terdapat beberapa
58
hambatan dalam pelaksanaannya tetapi tidak menjadi masalah karena dapat
diselesaikan dengan baik. Terutama dalam hal koordinasi dengan setiap unit
di BKDD.
Sementara itu, hasil wawancara dengan Kepala Bappeda Kota
Surakarta mengenai pengembangan proses operasional (ketatalaksanaan)
menjelaskan bahwa:
Agar proses operasional (ketatalaksanaan) dapat menjawab
tantangan evektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi adalah
melakukan evaluasi SOP di setiap SKPD. Adapun yang menjadi dasar
pertimbangan dalam menetapkan prosedur kerja tertulis adalah
melalui dasar hukum, kewenangan, perencanaan, dan evaluasi yang
menjadi dasar pertimbangan dalam menetapkan prosedur kerja
tertu