SOURCE ROCK
Definisi Batuan Induk
Secara populer, pembentukan minyakbumi terjadi karena pengonggokan zat
organik terutama plankton pada dasar laut, dan tertimbun dengan sedimen halus dalam
keadaan reduksi, sehingga terawetkan. Hal ini hanya terjadi di cekungan sedimen
dimana terdapat suatu ambang dari laut terbuka, sehingga terdapat suatu keadaan
setengah euxinic, dengan sedimentasi yang cepat, dibarengi dengan penurunan. Lama –
lama kita mendapatkan suatu urut – urutan batuan serpih yang kaya akan zat organik
dan berwarna hitam yang disebut “ source rock” atau batuan induk. ( dalam
Koesoemadinata, 1980 ).
Jenis Batuan Induk
Pada umumnya batuan induk dibayangkan sebagai batuan serpih berwarna
gelap, kaya akan zat organik dan biasanya diendapkan dalm lingkungan marin.
Beberapa penyelidikan ( Patnode, 1941; Hunt dan Jameson, 1956 dalam
Koesoemadinata 1980 ) memperlihatkan bahwa semua batuan sedimen mengandung zat
organik, terutama dalam bentuk “ kerogen “ walaupun hidrokarbon dan aspal ditemukan
pula ( Smith, 1954 ). Terutama batuan serpih yang berwarna gelap paling banyak
mengandung “ kerogen “ ( Telisa Group, La Luna Fm, Venezuela ). Selain kerogen,
menurut Phillipi, 1957 ( dalam Kosoemadinata, 1980 ) batuan induk ( dalam hal ini
serpih dari Telisa Group ) mengandung 5 sampai 5000 ppm hidrokarbon pribumi
( indigenous ).
Selain serpih, gamping dapat bertindak sebagai batuan induk. Gehman, 1962
( dalam Koesoemadinata, 1980 ) berkesimpulan, bahwa secara umum gamping
mengandung lebih sedikit zat organik daripada serpih, tetapi zat organik ini
mengandung proporsi hidrokarbon yang lebih tinggi, sedangkan dalam sedimen resen,
karbon dan lempung mengandung jumlah hidrokarbon yang sama.
Batubara Sebagai Batuan Induk
Selama ini batubara dianggap sebagai bataun induk yang tidak efektif didalam
mengakumulasi minyakbumi karena sedikitnya korelasi geografis antara lapangan
minyak dengan endapan batubara. Hal tersebut dikarenakan batubara yang dipelajari
selama ini yang berumur Paleozoikum dan jenis batubaranya dari bituminus sampai
antrasit.
Terdapat perbedaan antara batubara yang berumur Paleozoikum dengan
Kenozoikum. Hal ini diakibatkan oleh biota selama Paleozoikum berbeda dengan biota
selama Kenozoikum. Beberapa tanaman yang hidup pada masa Kenozoikum
mengandung resin dan lilin yang lebih banyak daripada tanaman yang hidup pada
Paleozoikum, sehingga batubara Kenozoikum mempunyai potensi yang lebih besar
untuk membentuk hidrokarbon cair.
Rank batubara merupakan pertimbangan penting dalam membedakan
keberadaan minyak dan batubara, karena kestabilan hidrokarbon cair berakhir pada
peringkat batubara bituminus. Tetapi tidak selamanya di lapangan terjadi asosiasi antara
minyak dengan batubara bituminus ataupun antrasit. Untuk perbandingan yang lebih
baik kita harus melihat ladang minyak yang terletak di dekat batubara lignit atau
subbituminus.
Batubara tersier yang ditemukan akhir-akhir ini memiliki tipe kerogen campuran
antara Tipe II dan Tipe III dengan perbandingan sama yang berarti mengandung resinit
dan kutinit yang mampu untuk membentuk hidrokarbon cair dalam jumlah yang cukup
banyak. Batubara dianggap sebagai batuan induk minyakbumi di Cekungan Gippsland,
Australia dan Delta Mahakam, Kalimantan serta beberapa cekungan lain di Indonesia.
Material Organik Dalam Sedimen
Proses Pembentukan Material Organik
Proses pembentukan material organik di dalam sedimen tidak terlepas oleh
adanya proses daur karbon. Daur karbon ini dapat terjadi melalui beberapa cara.
Beberapa diantaranya yaitu: pernafasan hewan ( termasuk manusia ), tanaman yang
mengeluarkan CO2 langsung ke atmosfer, peluruhan bakteri dan oksidasi tanaman
secara alami serta hewan yang mati juga menghasilkan CO2. Pembakaran bahan bakar
oleh manusia dan oksidasi rembesan minyakbumi juga mendaur ulang karbon.
Dalam prosesnya daur karbon tidak memiliki efisiensi yang 100 %. Sebagian
kecil material organik selalu lepas dari daur tersebut karena terisolasi oleh lingkungan
sehingga oksidasi yang seharusnya mengubah material tersebut menjadi CO2 tidak dapat
terjadi. Material yang terisolasi ini berjumlah sekitar 1 % dari jumlah material organik
yang terdaur ulang, tetapi seiring dengan waktu geologi jumlah tersebut menghasilkan
sejumlah besar fosil material organik. Sebagian fosil material organik tersebut
tersimpan dalam bentuk batubara, minyakbumi dan gas alam.
Proses perubahan material organik menjadi batubara, minyak atau gas alam terjadi
pada kondisi dengan temperatur rendah ( sekitar temperatur kamar ). Ketika organisme
telah mati, peluruhan segera terjadi. Molekul kompleks terpecah menjadi molekul yang
lebih kecil dengan struktur yang lebih sederhana.
Gambar 1. Daur Karbon. Angka menunjukkan jumlah dalam milyar ton. Angka dalam
kurung menunjukkan jumlah yang terawetkan ; angka tanpa kurung menunjukkan
jumlah yang terubah per tahun ( Waples, 1985 ).
Sebagian besar organisme terdiri dari beberapa macam polimer ( contoh :
selulosa, protein, lignin ) sehingga peluruhan tersebut dapat dianggap sebagai suatu
transformasi dari biopolimer ke geomonomer ( gambar 2).
Gambar 2 Contoh transformasi dari bipolimer ke geomonomer ( Waples, 1985 ).
Bipolimer dan geomonomer dapat mengalami peluruhan akibat faktor
mikrobiologis dan nonbiologis. Biopolimer akan meluruh oleh akibat aktivitas bakteri
sedangkan geomonomer akan cepat terurai dengan sendirinya. Sebagai contoh gula dan
asam amino dapat segera terurai oleh mikroorganisme dan karena itu sangat sulit
mendeteksi zat tersebut di dalam sedimen. Pada saat biopolimer dan geomonomer
terurai, suatu proses lain terjadi. Banyak molekul yang terdapat di dalam
organisme yang telah mati sangat reaktif dan reaksi spontan terjadi di antara
mereka. Reaksi ini menghasilkan akumulasi molekul yang telah tersintesis dari
molekul yang lebih kecil. Proses terbentuknya terjadi di dalam geosfer dan disebut
sebagai geopolimer. Kerogen dan asam humus adalah contoh dari geopolimer.
Produktivitas dan Pengawetan
Syarat utama terbentuknya batuan yang kaya material organik adalah
terdapatnya sejumlah material organik yang terendapkan serta terlindung dari
destruksi akibat proses diagenesis. Dua faktor penting yang mempengaruhi jumlah
material organik di dalam suatu batuan sedimen adalah produktivitas dan
pengawetan. Dalam hal ini produktivitas lebih berperan daripada pengawetan.
Karena tanpa adanya produksi yang besar, akumulasi dan pengawetan material
organik tidak akan terjadi.
A. Produktivitas
Beberapa faktor yang mempengaruhi produktivitas adalah nutrisi, intensitas
cahaya, temperatur, suplai karbonat, predator, dan kondisi kimia air. Tersedianya
nutrisi merupakan suatu parameter penting penunjang produktivitas. Lingkungan
laut dangkal lebih produktif daripada lingkungan laut dalam karena adanya proses
daur-ulang nutrisi secara lokal terhadap organisma yang telah meluruh serta adanya
suplai nutrisi dari daratan.
B. Pengawetan
Faktor yang mempengaruhi pengawetan material organik adalah oksidasi,
tipe material organik yang diendapkan dan kecepatan akumulasi sedimen. Dari
ketiga faktor tersebut oksidasi merupakan faktor yang paling penting ( tabel.1 )
Zona dengan kandungan oksigen yang relatif tinggi disebut zona oksik,
sedangkan zona dengan kandungan oksigen di bawah 0,2 % disebut zona anoksik
( Waples, 1985 ). Proses yang terjadi pada zona oksik disebut proses aerobik dan
pada zona anoksik disebut anaerobik. Sedikitnya kadar oksigen akan
menghentikan proses diagenesa. Sehingga kehadiran material organik dalam
jumlah yang besar dalam batuan menunjukkan diagenesis telah berhenti yang
diperkirakan karena kekurangan oksigen ( proses anaerobik ).
Akan tetapi, banyak sedimen pada zona oksik mengandung material
organik yang melimpah, terutama yang berasal dari tumbuhan tingkat tinggi.
Sehingga kandungan materi organik tidak dapat langsung dipergunakan untuk
mengklasifikasi batuan sedimen ke dalam golongan oksik ataupun anoksik.
Kerogen
Kerogen merupakan bagian material organik yang terdapat di dalam
batuan sedimen yang tidak larut dalam pelarut organik biasa yang diakibatkan
oleh besarnya ukuran molekul kerogen. Dalam geokimia minyak bumi, kerogen
merupakan sesuatu yang penting karena kerogen merupakan sumber dari sebagian
besar migas. Sejarah diagenesis dan katagenesis kerogen, juga kondisi alami
material organik penyusunnya, sangat mempengaruhi kemampuan kerogen
memproduksi migas.
Pembentukan kerogen
Proses pembentukan kerogen dimulai ketika destruksi ( perusakan ) dan
transformasi di tubuh organisme terjadi. Diagenesis menyebabkan hilangnya air,
karbon dioksida, dan amonia dari geopolimer asalnya. Jika proses reduksi sulfat
anaerobik terjadi dalam sedimen, sejumlah besar sulfur akan tergabung ke dalam
struktur kerogen. Kerogen yang terbentuk dalam kondisi reduksi akan terdiri atas
fragmen berupa molekul biogenik. Kerogen yang terbentuk dalam kondisi oksidasi
terutama terdiri atas molekul biogenik yang tahan degradasi.
Biopolimer organik berukuran besar ( misalnya protein dan karbohidrat )
sebagian atau seluruhnya terurai dengan beberapa komponennya terusak atau
terpakai untuk membentuk geopolimer baru, yaitu molekul besar yang tidak
memiliki struktur biologi teratur. Geopolimer merupakan prazat kerogen tetapi bukan
kerogen sebenarnya. Sewaktu terjadi diagenesis di dalam kolom air, tanah dan sedimen,
geopolimer menjadi lebih besar, lebih kompleks dan lebih tidak teratur strukturnya.
Kerogen sebenarnya, yang memiliki berat molekul sangat tinggi, berkembang setelah
tertimbun puluhan atau ratusan meter.
Jumlah sulfur yang dihasilkan dari material organik asal relatif sangat kecil.
Karbon-karbon yang berikatan ganda – yang sangat reaktif – terubah menjadi senyawa
jenuh atau senyawa berstruktur siklik. .
Gambar 3 Transformasi Material Organik dalam Sedimen dan Batuan Sedimen
( diadaptasi dari Waples, 1985 ).
Pembentukan kerogen bersaing dengan perusakan material organik akibat
proses oksidasi. Kebanyakan oksida material organik di dalam sedimen melibatkan
mikroba. Mikroorganisme cenderung merusak molekul kecil yang biogenik atau
sejenisnya. Geopolimer cukup tahan terhadap degradasi bakteri karena sistem enzim
bakteri tidak dapat merusaknya. Dalam suatu lingkungan oksidasi, molekul biogenik
kecil akan dirusak oleh bakteri sebelum molekul tersebut membentuk geopolimer.
Dalam lingkungan reduksi ( oksigen rendah ) kebalikan hal di atas terjadi, lambatnya
aktivitas bakteri memberikan kesempatan molekul biogenik membentuk geopolimer dan
karena itu terjadilah pengawetan material organik. Kerogen yang terbentuk dalam
kondisi reduksi akan terdiri atas fragmen berupa molekul biogenik. Kerogen yang
terbentuk dalam kondisi oksidasi terutama terdiri atas molekul biogenik yang tahan
degradasi.
Komposisi Kerogen
Berdasarkan komposisinya maka kerogen oleh Lembaga Minyak Prancis
(IFP) dikelompokkan dalam tiga tipe utama yang dikenal dengan Tipe I, II, III
dan IV. Kerogen Tipe I sangat jarang karena berasal dari alga danau. Kehadiran kerogen
tipe ini terbatas pada danau yang anosik dan jarang didapatkan pada lingkungan laut.
Kerogen tipe ini memiliki kapasitas yang tinggi untuk menggenerasikan hidrokarbon cair.
Kerogen Tipe II berasal dari beberapa sumber yang sangat berbeda, yaitu alga
laut, polen dan spora, lapisan lilin tanaman, dan fosil resin. Lemak tanaman juga
menghasilkan kerogen Tipe II. Kebanyakan kerogen Tipe II ditemukan dalam sedimen
laut dengan kondisi reduksi.
Kerogen Tipe III terdiri dari material organik darat yang hanya sedikit mengandung
lemak atau zat lilin. Selulosa dan lignin adalah penyumbang terbesar pada kerogen Tipe
III. Kerogen Tipe III mempunyai kapasitas produksi hidrokarbon cair lebih rendah
daripada kerogen Tipe II, dan jika tanpa campuran kerogen Tipe II biasanya kerogen Tipe
III ini menghasilkan gas.
Kerogen Tipe IV terdiri dari rombakan organik dan material yang teroksidasi
yang berasal dari berbagai sumber. Kerogen ini biasanya tidak memiliki potensi
menghasilkan hidrokarbon. Klasifikasi kerogen menurut Stach ( 1975 ) tertera dalam
tabel 2.3 sebagai berikut:
Tabel 2 Jenis Kerogen Menurut prazatnya ( menurut Stach, 1975 ; diambil dari
BP Short Course, 1992 ).
Kematangan Kerogen dan Pembentukan Hidrokarbon
Perubahan pada kerogen yang diakibatkan oleh faktor temperatur dikenal
dengan proses pematangan. Terjadi ketika kerogen berada pada temperatur yang tinggi
dalam jangka waktu yang cukup lama. Merupakan reaksi penguraian termal yang disebut
katagenesis dan metagenesis, di mana terjadi pemecahan molekul-molekul kecil dan
meninggalkan sisa kerogen yang lebih resisten. Molekul yang kecil itu mobilitasnya lebih
tinggi dan dikenal dengan nama bitumen.
Gambar 4. Plot bitumen yang terbentuk sebagai fungsi kematangan ( garis putus - putus )
dibandingkan dengan bitumenyang tertinggal di dalam batuan ( garis penuh ). Perbedaan
antara kedua kurva tersebut menunjukkan jumlah bitumen yang dikeluarkan dari batuan
atau yang terengkah menjadi hidrokarbon ringan. Diambil dari Waples ( 1985 ).
Pembentukan bitumen umumnya terjadi pada proses katagenesis sedangkan
pada proses metagenesis hasil utamanya berupa gas metana. Bila tidak terjadi ekspulsi
pada batuan induk ataupun proses perekahan pada bitumen maka jumlah bitumen di
dalam batuan induk akan sangat melimpah. Tetapi kenyataan di alam sebagian bitumen
tersebut terdorong keluar dari batuan induk atau terubah menjadi gas yang
menyebabkan kandungan bitumen di dalam batuan induk rendah. Ketika katagenesis
pada kerogen terjadi, molekul kecil terpecah dari matriks kerogen. Sebagian molekul
kecil tersebut adalah hidrokarbon, sedangkan sebagian lainnya adalah senyawa yang
heterogen. Senyawa kecil tersebut lebih mobil daripada molekul kerogen dan
merupakan prazat langsung pembentuk migas. Namun umum molekul semacam ini
adalah bitumen. Akhir-akhir ini semakin dipahami bahwa tidak semua kerogen
menghasilkan hidrokarbon pada derajat katagenetik yang sama yang ditunjukkan oleh
data reflektansi vitrinit. Derajat katagenetik sangat bervariasi bagi kerogen ketika
menghasilkan minyakbumi.
Gambar 5 Model Pembentukan hidrokarbon dari berbagai tipe kerogen ,Waples ( 1985).
Resinit dan kerogen yang kaya sulfur dapat menghasilkan hidrokarbon cair lebih awal
daripada kerogen yang lain karena reaksi kimia tertentu terjadi pada kedua material
tersebut. Resinit terjadi atas terpana terpolimer yang dapat terurai dengan mudah dengan
membalikkan proses polimerisasi. Kerogen yang kaya sulfur dapat terurai juga dengan
mudah karena ikatan karbon-sulfur lebih lemah daripada ikatan lain didalam kerogen
yang miskin sulfur.
Pembentukan kerogen dikatakan efektif jika hasil pembentukan tersebut dapat
dikeluarkan dari batuan dan bermigrasi ke suatu perangkap. Waktu dan keefisienan
suatu ekspulsi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu sifat fisik batuan dan beberapa
pertimbangan geokimia lainnya. Banyak peneliti percaya bahwa perekahan mikro (
micro-fracturing ) yang terjadi pada batuan induk merupakan faktor yang sangat
penting bagi ekspulsi hidrokarbon. Perekahan tersebut berkaitan dengan penekanan
berlebih ( tekanan luap ) yang sebagian akibatnya berupa pembentukan hidrokarbon.
Identifikasi Batuan Induk
Waples (1985) menyebutkan batuan induk dapat dibedakan menjadi tiga
macam yaitu :
1. Batuan induk efektif, yaitu batuan sedimen yang telah menghasilkan
hidrokarbon.
2. Batuan induk berpeluang ( possible source rock ) yaitu batuan sedimen yang
potensinya belum dievaluasi tetapi kemungkinan telah menghasilkan
hidrokarbon dan untuk meyakinkannya diperlukan suatu studi khusus.
3. Batuan induk potensial, yaitu batuan sedimen belum matang ( immature )
yang diyakini akan dapat menghasilkan hidrokarbon jika mempunyai
temperatur pematangan yang lebih tinggi.
Konsekuensinya, suatu lapisan batuan induk yang sama dapat dikatakan
efektif pada suatu tempat, potensial pada daerah yang bertemperatur pematangan
lebih rendah dan dikatakan berpeluang di daerah yang belum diteliti. Bahkan dapat
pula dikatakan sama sekali tidak bersifat sebagai batuan induk jika terjadi perubahan
fasies sehingga kandungan organiknya sangat rendah.
Untuk keperluan identifikasi batuan induk maka parameter yang dapat dinilai
di da!am menginterpretasinya adalah :
a. Kuantitas ( quantity ) yang dapat diperoleh dengan mengetahui persentase
jumlah material organik di dalam batuan sedimen.
b. Kualitas ( quality ) / tipe kerogen. Kualitas ( tipe ) diketahui dengan Indeks
Hidrogen yang dimiliki oleh batuan induk. Dengan mengetahui besarnya
maka tipe kerogennya dapat diketahui sehingga produk yang dihasilkan pada
puncak pematangan dapat pula diketahui.
c. Kematangan ( maturity ). Dengan mengetahui tingkat kematangan suatu
batuan maka dapat diperkirakan kemampuan batuan tersebut untuk
menggenerasikan minyak atau gas bumi. Tingkat kematangan suatu batuan
dapat diketahui dengan pemantulan vitrinit ( % Ro ), indeks alterasi termal
( TAI ) dan temperatur maksimum pada pirolisis ( Tmax ).
Top Related