1
SKRIPSI
PERSEPSI DAN ASPIRASI TERHADAP PENDIDIKAN PANCASILA
DI PERGURUAN TINGGI
(Studi pada Dosen dan Mahasiswa di Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta)
Disusun oleh :
ERNA SEPTOMOWATI
K 6405018
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa dari masyarakat dunia
memiliki sejarah serta prinsip atau ideologi dalam kehidupannya yang berbeda
dengan bangsa-bangsa lainnya. Pancasila dipilih sebagai ideologi bangsa
Indonesia yang nilai-nilainya digali atau berasal dari kepribadian asli bangsa
Indonesia sendiri. Proses terjadinya pancasila melalui suatu proses kausalitas
(kausa materialis pancasila) yaitu sebelum disahkan sebagai pandangan hidup
negara, nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari telah dijadikan sebagai
pandangan hidup bangsa dan sekaligus sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia.
Pancasila memiliki fungsi dan kedudukan yang penting dalam negara Indonesia
yakni sebagai jati diri bangsa Indonesia, sebagai ideologi bangsa dan negara
Indonesia, sebagai dasar filsafat negara, serta sebagai asas persatuan bangsa
Indonesia.
Fungsi dan kedudukan pancasila tersebut mulai terancam di era reformasi
yang ditandai dengan runtuhnya rezim Orde Baru dan adanya krisis ekonomi yang
mengakibatkan keterpurukan hampir di semua bidang kehidupan. Kepercayaan
terhadap pancasila mulai pudar dengan anggapan bahwa pancasila merupakan
produk Orde Baru yang disakralkan pada jamannya. Sehingga banyak kalangan
yang menuntut adanya perubahan dengan menganggap pancasila tidak lagi
sebagai ideologi yang cocok bagi Indonesia. Era reformasi telah banyak
melahirkan perubahan-perubahan signifikan yang terjadi dalam kehidupan sosial,
ekonomi, politik bahkan termasuk dalam dunia pendidikan. Ketika reformasi
bergerak, paradigma menjustifikasi nilai-nilai baru berkembang ditengah
masyarakat sebagai pengganti nilai-nilai lama. Implikasinya adalah banyak
produk ilmiah dan produk intelektual zaman orde baru yang sejatinya masih tetap
relevan dan obyektif dianggap keliru dan dihapuskan. Pancasila mulai tergeser
saat terjadi krisis yang mengakibatkan keterpurukan di hampir semua bidang
kehidupan.
3
Mengingat bahwa begitu strategisnya kedudukan pancasila sebagai dasar
pemersatu bangsa Indonesia, maka pancasila harus tetap dipertahankan dan
dilestarikan dengan melalui revitalisasi dan aktualisasi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Agar pancasila tetap vital dan aktual
sebagai pemersatu bangsa maka nilai-nilai pancasila perlu diestafetkan dari
generasi ke generasi melalui proses pendidikan. Pendidikan memegang peranan
penting dalam perkembangan sebuah negara. Sehingga hal tersebut dapat
dipahami bahwa pemerintahan yang mandiri memerlukan suatu warga negara
yang terdidik dan terpelajar dan akses terhadap pendidikan merupakan dukungan
yang penting. Hal tersebut seperti yang dikemukakan dalam jurnal internasional
yakni “is commonly understood that democratic self-governance requires an
informed and educated citizenry and that access to education is an important
support for the development of such citizens”. (Kahne, Joseph & Middaugh,
Ellen, 2008: 34)
Nilai-nilai pancasila yang perlu diestafetkan dari generasi ke generasi
tersebut dapat melalui pendidikan tentang pancasila di perguruan tinggi.
Pendidikan tentang pancasila dalam kurikulum sekarang merupakan bagian dalam
matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di perguruan tinggi. Namun
demikian, pendidikan tentang pancasila dapat pula disisipkan dalam matakuliah-
matakuliah lain seperti dalam matakuliah kewirausahaan. Dalam upaya
menanamkan pengetahuan tentang pancasila, tidak hanya dilakukan melalui
proses pendidikan saja, namun dapat dilakukan dengan kegiatan-kegiatan seperti
seminar, bedah buku seputar pancasila, sosialisasi kembali tentang nilai-nilai
pancasila melalui media dan sarana tatap muka, dan lain sebagainya.
Urgensi pendidikan tentang pancasila di perguruan tinggi sejalan dengan
asas pendidikan nasional yang tercantum dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang
menyatakan bahwa “asas pendidikan Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945”. Dalam Pasal 2 UU Sisdiknas tersebut yang
menyatakan bahwa asas pendidikan Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD
1945, maka menjadi hal yang wajar apabila dalam kurikulum pendidikan nasional
4
terdapat pendidikan tentang pancasila. Namun demikian, pendidikan tentang
Undang-Undang Dasar 1945 juga perlu di pertimbangkan untuk masuk dalam
kurikulum pendidikan nasional agar peserta didik dapat lebih memahami tentang
konstitusi negara. Dunia pendidikan tinggi memiliki peranan besar mengingat
mahasiswa yang kelak akan memegang suksesi kepemimpinan sehingga sikap
mental kepemimpinan akademik yang berkarakter perlu dibekali sejak dini.
Perguruan tinggi harus memberikan perhatian disamping pada pengembangan
kecerdasan intelektual dengan memperkaya ilmu pengetahuan (hard skill), juga
pada pengembangan sikap mental positif (soft skill). Oleh karenanya pancasila
dapat dijadikan sebagai dasar dan pedoman pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta wahana pengembangan soft skill mahasiswa.
Pancasila merupakan dasar pendidikan, azas rohani dan tidak berubah.
Pancasila dipakai sebagai dasar pendidikan nasional karena pancasila merupakan
dasar filsafat negara Indonesia, sehingga mempunyai konsekuensi untuk
menerapkan dalam segala bidang kehidupan yang relevan dengan tujuan
pendidikan nasional yakni meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat
kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan
manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta
bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Menurut Sunaryo
(2009: http://www.pikiran-rakyat.com/)
Esensi pendidikan tentang pancasila adalah proses memfasilitasi dan
membawa bangsa (melalui proses individual maupun kelompok) untuk
mengetahui, memahami, menginternalisasi, dan mewujudkan nilai
pancasila dalam kehidupan nyata bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Semua tahapan yang disebutkan menghendaki proses interaksi,
melalui proses pendidikan yang berlangsung dalam berbagai setting dan
tataran.
Pendidikan tentang pancasila merupakan salah satu cara untuk
menanamkan pribadi yang bermoral dan berwawasan luas dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, pendidikan tentang pancasila perlu
diberikan disetiap jenjang pendidikan mulai dari tingkat dasar, menengah hingga
perguruan tinggi. Maman Rachman (1999: 324) menyatakan bahwa :
5
Pendidikan tentang pancasila memegang peranan penting dalam
membentuk kepribadian mahasiswa di perguruan tinggi. Setelah lulus dari
perguruan tinggi, diharapkan mereka tidak sekedar berkembang daya
intelektualnya saja namun juga sikap dan perilakunya. Sikap dan
perilakunya itu diharapkan menjadi dasar keilmuan yang dimilikinya agar
bermanfaat pada diri, keluarga, dan masyarakat.
Untuk merealisasikan tujuan tersebut, maka pendidik dalam hal ini dosen
tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan saja, tetapi juga memberikan
pemahaman akan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila sehingga
diharapkan mahasiswa memiliki kepercayaan terhadap nilai-nilai yang terkandung
dalam pancasila sehingga dapat digunakannya dalam prektek kehidupannya
sehari-hari. Hal tersebut seperti yang dikemukakan the journal of education:
“a teacher not only shows and cultivates Pancasila as a cognitive concept
and knowledge as well as a normative norm, but also builds and shows the
moral message and value as well as soul and spirit of Pancasila. As a
result, Pancasila can be personalized as the student’s value and belief
system and speed the motivation to bring the system into the student’s
behavior in life”. (Sunarti Rudi, 1999: 376)
Pendidikan tentang pancasila sebagai pendidikan kebangsaan berangkat
dari keyakinan bahwa pancasila sebagai dasar negara, falsafah negara Indonesia
tetap mengandung nilai dasar yang relevan dengan proses kehidupan dan
perkembangan dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila memiliki landasan
eksistensial yang kokoh, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis.
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada
pasal 3 berbunyi: “…berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggungjawab” dijadikan dasar dalam menetapkan kurikulum
pendidikan di perguruan tinggi. Berdasar pada Undang-undang tersebut maka
kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat Pendidikan Agama, Pendidikan
Kewarganegaraan dan Bahasa yang kemudian diejawantahkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang
menetapkan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Tinggi yang wajib memuat
6
mata kuliah Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan dan Bahasa
Indonesia serta Bahasa Inggris.
Berdasarkan pertimbangan diatas maka Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi memutuskan dengan SK No. 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-Rambu
Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) di
Perguruan Tinggi (SK Ditjen Dikti No.43/2006). Adanya SK Ditjen Dikti No.
43/2006 telah mengakibatkan tidak berlakunya lagi SK No. 38/DIKTI/Kep/2002
tentang Rambu-Rambu Pelaksananaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian (MPK) di Perguruan Tinggi yang meliputi Pendidikan Pancasila,
Pendidikan Kewarganegaraan, dan Pendidikan Agama serta menimbulkan
konsekuensi bahwa mata kuliah Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi sudah
ditiadakan menurut SK tersebut. Namun demikian, pendidikan tentang pancasila
masih diberikan dalam sub pokok bahasan pada mata kuliah PKn yang saat ini
menjadi salah satu mata kuliah wajib sebagai bagian dari mata kuliah
pengembangan kepribadian di perguruan tinggi.
Beberapa perguruan tinggi di Indonesia banyak yang sudah tidak
mewajibkan Pendidikan Pancasila sebagai matakuliah. Universitas Gajah Mada
(UGM) masih mewajibkan Pendidikan Pancasila. Sedangkan dibeberapa
perguruan tinggi seperti di Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS Surakarta)
beberapa fakultasnya sudah tidak lagi memberikan mata kuliah Pendidikan
Pancasila. (Wawancara tanggal 24 Mei 2010 kepada Ketua MKU UNS)
Melemahnya kekuatan pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup
bangsa juga terjadi kepada kelompok mahasiswa. Beberapa tahun terakhir
menunjukkan makin minimnya minat mahasiswa terhadap pancasila. Kaum muda
yang diharapkan menjadi penerus kepemimpinan bangsa ternyata abai dengan
pancasila.
Survei yang dilakukan Aktivis Gerakan Nasionalis pada 2006 sebanyak 80
persen mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan hidup berbangsa
dan bernegara. Sebanyak 15,5 persen responden memilih aliran sosialisme
dengan berbagai varian sebagai acuan hidup. Dan hanya 4,5 persen
responden yang masih memandang Pancasila tetap layak sebagai
pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Penelitian itu dilakukan di UI,
ITB, UGM, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya yang
7
selama ini dikenal sebagai basis gerakan politik di Indonesia. Hal tersebut
menunjukkan kondisi riil di perguruan tinggi negeri di seluruh Indonesia.
Kondisi tersebut menunjukkan semakin rendahnya semangat nasionalisme
di kalangan generasi penerus bangsa. (Ermaya, 2009,
http://www.dutamasyarakat.com/artikel)
Menurut As’ad Said Ali (2009: 12) “pengetahuan masyarakat mengenai
pancasila seolah sedang memasuki masa surut”. Hal tersebut sebagai penanda
bahwa sudah mulai terjadi kemerosotan pengetahuan mengenai pancasila
meskipun tingkat penerimaan masyarakat masih cukup tinggi. Hal demikian
segera mengingatkan bahwa diterimanya pancasila sebagai ideologi bangsa
sebenarnya bukan sesuatu yang taken for granted. Dalam suatu masa tertentu, ada
saat pancasila melekat kuat di benak masyarakat, namun pada saat yang lain
pemahaman mengenai pancasila mulai menurun. Bila gejala itu dibiarkan, apalagi
ditambah gejolak sosial politik yang tidak tertuntaskan, maka penerimaan dan
kepercayaan masyarakat terhadap pancasila akan semakin merosot.
Fenomena menurunnya pengetahuan dan pemahaman terhadap pancasila
di kalangan mahasiswa tersebut tidak hanya menjadi sebuah wacana yang biasa,
namun perlu untuk ditelusuri dan ditindaklanjuti penyebabnya. Beragam persepsi
di kalangan para pendidik (dosen) dan peserta didik (mahasiswa) perlu digali
untuk mengetahui bagaimana kalangan tersebut mempersepsikan pendidikan
tentang pancasila di perguruan tinggi selama ini. Persepsi sangat diperlukan untuk
mengetahui permasalahan terutama dalam pembelajaran pendidikan pancasila di
perguruan tinggi yang selama ini dianggap negatif oleh sebagian besar mahasiswa
FKIP UNS. Aspirasi pun harus digali untuk menemukan point-point yang dapat
digunakan untuk merubah persepsi negatif tersebut. Untuk itu, peneliti mengambil
judul yakni “persepsi dan aspirasi terhadap pendidikan pancasila di perguruan
tinggi” (studi pada dosen dan mahasiswa di Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka dapat
dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
8
1. Bagaimana persepsi dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan tentang
pancasila di FKIP UNS?
2. Bagaimana aspirasi dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan tentang
pancasila di FKIP UNS?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki suatu tujuan yang ingin dicapai, antara lain:
1. Untuk mengetahui persepsi dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan tentang
pancasila di FKIP UNS.
2. Untuk mengetahui aspirasi dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan tentang
pancasila di FKIP UNS.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan
pembaca pada umumnya baik secara teoritis maupun secara praktis, antara lain:
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini merupakan bentuk hak warga negara (dosen dan mahasiswa)
dalam memberikan persepsi dan aspirasi terhadap pendidikan tentang pancasila di
perguruan tinggi. Dengan adanya persepsi dan aspirasi ini, dapat digunakan
sebagai refleksi dalam usaha meningkatkan pembelajaran pancasila di perguruan
tinggi sehingga apa yang harus diketahui oleh warga negara (civic knowledge)
dapat dicapai dengan optimal sehingga dengan pembelajaran dan pengembangan
civic knowledge ini diharapkan akan terbentuk civic virtue dan civic participation
yang merupakan tujuan akhir dari pendidikan kewarganegaraan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan kepada pemerintah selaku aktor
perumus kebijakan untuk melakukan uji materi (judicial review) terhadap
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada
Pasal 37 ayat 1 dan 2 yang menghapuskan mata pelajaran/matakuliah Pancasila.
9
b. Bagi Program Studi
Agar PPKn sebagai Program Studi yang masih mempertahankan eksistensi
pendidikan pancasila dapat lebih meningkatkan kualitas pendidikannya dengan
mengacu pada berbagai pandangan dan aspirasi dosen dan mahasiswa terhadap
pendidikan tentang pancasila sehingga diharapkan tujuan pendidikan pancasila
dapat optimal meskipun sekarang hanya menjadi sub bab dalam matakuliah PKn.
c. Bagi Dosen
Agar dosen mengetahui dan memahami apa yang diinginkan dari peserta didiknya
yakni mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila khususnya dalam
pembelajarannya, sehingga mampu mengubah persepsi negatif mahasiswa
terhadap pembelajaran pancasila selama ini.
d. Bagi Mahasiswa
Membuka cakrawala terhadap pentingnya pendidikan tentang pancasila dalam
kehidupan mahasiswa baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara.
Dan tidak lagi memandang pendidikan tentang pancasila sebagai wahana
indoktrinasi.
10
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Tentang Persepsi
a. Pengertian Persepsi
Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak akan terlepas dengan sebuah
persepsi. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan persepsi sebagai tanggapan
(penerimaan langsung dari sesuatu atau serapan) dan merupakan proses seorang
mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya. Menurut Jalaluddin Rakhmat
(1994: 51) persepsi adalah “pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-
hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan
pesan.”
Menurut Huffman yang dikutip oleh Vincent Nugroho (2008: 51)
“Persepsi adalah proses memilih, menyusun, dan memaknai informasi yang
diterima oleh panca indera, sehingga di dalam benaknya manusia memiliki
pemahaman akan dunia sekitarnya.”
Persepsi seseorang dengan orang lain bisa berbeda-beda. Hal tersebut
menurut Ari Satriyo Wibowo, Ventura Elisawati, dan Hermawan Kartajaya,
(1996: ii) “merupakan hal yang wajar karena apa yang diketahui seseorang
mencerminkan apa yang dipelajarinya dimasa lalu, keadaan pikirannya saat ini,
serta apa yang sebenarnya ada pada kenyataan di luar dirinya”.
Sementara itu, menurut ahli lain "Persepsi pada hakekatnya adalah proses
kognitif”. (Miftah Thoha, 1994: 138)
Proses kognitif dialami oleh setiap orang dalam memahami informasi tentang
lingkungannya baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan
penciuman. Kunci untuk memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan
bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi, dan
bukan suatu pencatatan yang benar terhadap situasi. Seperti yang dikatakan oleh
David Krech yang dikuti oleh Miftah Thoha (1994: 138) sebagai berikut.
11
“The cognitive map of the individual is not, then a photographic
representation of the physical world; it is, rather, a partial, personal
construction in which certain objects, selected out by the individual for
a major role, are perceived in an individual manner. Every perceiver
is, as it were, to some degres a non representational artist, painting a
picture of the world that expresses his individual view of reality”.
Secara ringkas, pendapat Krech tersebut dapat disimpulkan bahwa
persepsi adalah suatu proses kognitif yang kompleks dan yang menghasilkan
suatu gambar unik tentang kenyataan yang barangkali sangat berbeda dari
kenyataannya.
Dewi Salma Prawiladilaga dan Eveline Siregar (2004: 132) berpendapat
bahwa “persepsi adalah awal dari segala macam kegiatan belajar yang bisa terjadi
pada setiap kesempatan, disengaja atau tidak”. Menurut Kemp dan Dayton yang
dikutip oleh Dewi Salma Prawiwadilaga dan Eveline Siregar (2004 132)
menganggap persepsi “sebagai suatu proses dimana seseorang menyadari
keberadaan lingkungannya serta dunia yang mengelilinginya”.
Secara khusus, menurut Rieber yang dikutip oleh Dewi Salma
Prawiladilaga dan Eveline Siregar (2004: 132-133) menyatakan “pentingnya
persepsi visual”. Sebab persepsi visual sangat berperan karena menunjukkan
kemampuan seseorang untuk mengikuti, menyadari, menyerap arti atau makna
dari tampilan visual di sekitarnya secara selektif.
Berdasarkan pengertian para ahli di atas, maka yang dimaksud dengan
persepsi adalah proses kognitif seseorang dalam memandang atau mengartikan
sesuatu melalui pengamatan secara global dalam panca inderanya dengan cara
menyeleksi, mengorganisasi dan menginterpretasikannya sehingga dapat
menyimpulkan informasi yang diterima dan menafsirkan pesan serta
mempengaruhi sikap dan perilakunya. Dalam penelitian ini persepsi yang
dimaksud dibatasi pada hal-hal yang menyangkut pendidikan pancasila dan
pembelajaran pancasila di perguruan tinggi.
12
b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Menurut Jalaluddin Rakhmat (1994: 51) “Persepsi seperti juga sensasi,
ditentukan oleh faktor personal dan faktor situasional”. Menurut David Krech dan
Richard S. Crutchfield yang dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat (1994: 51-52)
menyebutnya dengan “faktor fungsional dan faktor struktural, selain itu ada
beberapa faktor yang sangat mempengaruhi persepsi, yaitu: faktor perhatian,
faktor fungsional, dan faktor struktural”. Penjelasan faktor-faktor tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Faktor Perhatian
Perhatian adalah proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli
menjadi perhatian menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lain
melemah. Perhatian terjadi bila ada konsentrasi pada salah satu alat indera
dan mengesampingkan masukan-masukan melalui alat indera yang lain.
Faktor perhatian dibagi menjadi:
a) Faktor Eksternal Penarik Perhatian
Faktor eksternal penarik perhatian diartikan bahwa apa yang
diperhatikan seseorang ditentukan oleh faktor-faktor situasional dan
personal. Faktor situasional disebut sebagai determinan perhatian yang
bersifat eksternal atau penarik perhatian. Stimuli diperhatikan karena
mempunyai sifat-sifat yang menonjol, antara lain gerakan intensitas
stimuli, kebaruan dan perulangan.
(1) Gerakan, seperti organisme yang lain, manusia secara visual tertarik pada
objek-objek yang bergerak. Contoh: manusia senang melihat huruf-huruf
display yang bergerak menampilkan nama barang yang diiklankan.
(2) Intensitas stimuli, yakni memperhatikan stimuli yang lebih menonjol dari
stimuli yang lain. Contoh: suara keras di malam hari yang sepi.
(3) Kebaruan (novelty), yakni hal-hal yang baru, yang luar biasa, yang
berbeda akan menarik perhatian. Beberapa eksperimen juga
membuktikan stimuli yang luar biasa lebih mudah dipelajari atau diingat.
Tanpa hal-hal yang baru, stimuli menjadi monoton, membosankan dan
lepas dari perhatian.
13
(4) Perulangan, maksudnya adalah jika hal-hal yang disajikan berkali-kali
disertai dengan sedikit variasi akan menarik perhatian.
b) Faktor Internal Penaruh Perhatian
Alat indera pada umumnya lemah tetapi juga menunjukkan
perhatian yang selektif (selective attention). Apa yang menjadi
perhatian seseorang belum tentu menyamai perhatian dari orang lain
atau sebaliknya. Ada kecenderungan seseorang melihat apa yang ingin
dilihat, mendengar apa yang ingin didengar. Perbedaan perhatian ini
timbul dari faktor-faktor internal dalam diri seseorang, yaitu faktor
biologis sebagai contoh (bagi orang yang lapar, yang paling menjadi
perhatiannya adalah makanan) dan faktor sosiopsikologis (motif
sosiogenis, sikap, kebiasaan dan kemauan mempengaruhi apa yang
akan diperhatikan oleh seseorang).
2) Faktor Fungsional
Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan
hal-hal lain yang termasuk faktor personal. Yang menentukan persepsi
bukanlah jenis atau stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan
respon pada stimuli itu. Menurut Krech dan Crutchfield yang dikutip oleh
Jalaluddin Rakhmat (1994: 56) merumuskan “dalil persepsi yang pertama
yakni Persepsi bersifat selektif secara fungsional”. Dalil ini berarti bahwa
objek-objek yang mendapat tekanan dalam persepsi biasanya objek-objek
yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi. Kebutuhan
biologis menyebabkan persepsi yang berbeda.
3) Faktor Struktural
Faktor ini berasal dari semata-mata dari sifat stimuli fisik dan efek-
efek saraf yang ditimbulkan pada sistem saraf individu.
Selain dipengaruhi oleh ketiga faktor tersebut diatas, persepsi juga
dipengaruhi oleh faktor pengetahuan dan pemahaman yang tinggi,
cara mempersepsikan suatu hal juga akan berbeda dengan orang yang
mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang rendah. Kemudian
Sondang P. Siagian, (1989: 100) berpendapat:
14
“Persepsi seseorang tidak timbul begitu saja. Tentu ada faktor-
faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor inilah yang
menyebabkan mengapa dua orang yang melihat sesuatu mungkin
memberi interpretasi yang berbeda tentang yang dilihatnya itu.
Secara umum dapat dikatakan bahwa terdapat tiga faktor yang
mempengaruhi persepsi seseorang, yaitu: diri orang yang
bersangkutan, sasaran persepsi, dan faktor situasi”.
Selain itu, Miftah Thoha (1994: 143) mengemukakan “beberapa
faktor yang mempengaruhi pengembangan persepsi seseorang antara lain:
psikologi, family, dan kebudayaan”. Berikut adalah penjelasan faktor-
faktor tersebut.
1) Psikologi
Persepsi seseorang mengenai segala sesuatu di dalam dunia ini sangat
dipengaruhi oleh keadaan psikologi. Sebagai contoh, terbenamnya matahari
di waktu senja yang indah temaram, akan dirasakan sebagai bayang-bayang
yang kelabu bagi seseorang yang buta warna.
2) Family
Orang tua yang telah mengembangkan suatu cara yang khusus di dalam
memahami dan melihat kenyataan di dunia ini, banyak sikap dan persepsi-
persepsi mereka yang diturunkan kepada anak-anaknya. Sebagai contoh,
tidak jarang jika orang tuanya Muhammadiyah akan mempunyai anak-
anaknya yang Muhammadiyah pula.
3) Kebudayaan
Kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu juga merupakan
salah satu faktor yang kuat di dalam mempengaruhi sikap, nilai, dan
cara seseorang memandang dan memahami keadaan di dunia ini.
c. Prinsip Dasar Persepsi
Menurut Fleming dan Levie yang dikutip oleh Dewi Salma
Prawiladilaga dan Eveline Siregar (2004: 134) mengemukakan beberapa
prinsip dasar yang penting untuk diketahui tentang persepsi yaitu “persepsi
bersifat relatif, persepsi bersifat sangat seletif, persepsi dapat diatur, persepsi
bersifat subjektif, persepsi seseorang atau kelompok bervariasi”. Adapun
penjelasan lebih lanjut adalah sebagai berikut:
15
1) Persepsi bersifat relatif
Prinsip relatif menyatakan bahwa setiap orang akan memberikan persepsi
yang berbeda, sehingga pandangan terhadap sesuatu hal sangat tergantung
dari siapa yang melakukan persepsi.
2) Persepsi bersifat sangat selektif
Persepsi tergantung pada pilihan, minat, kegunaan, kesesuaian bagi
seseorang.
3) Persepsi dapat diatur
Persepsi perlu diatur atau ditata agar orang lebih mudah mencerna
lingkungan atau stimulus.
4) Persepsi bersifat subjektif
Persepsi seseorang dipengaruhi oleh harapan atau keinginan sehingga
dalam pengertian ini menunjukkan bahwa persepsi sebenarnya bersifat
subjektif.
5) Persepsi seseorang atau kelompok bervariasi
Prinsip ini berkaitan erat dengan perbedaan karakteristik individu,
sehingga setiap individu bisa mencerna stimuli dari lingkungan tidak sama
dengan individu lain.
d. Peranan Persepsi
Persepsi menjadi landasan berpikir bagi seseorang (kaitannya dalam
belajar). Dewi Salma Prawiladilaga dan Eveline Siregar (2004: 134)
mengemukakan bahwa “persepsi dalam belajar berpengaruh terhadap daya ingat,
pembentukan konsep dan pembinaan sikap”. Jika dikaitkan dengan penelitian ini
yakni persepsi terhadap pendidikan tentang pancasila, maka persepsi memiliki
peranan penting. Sebab sebagai contoh dalam proses belajar tanpa memperhatikan
siapa yang belajar, materi, lokasi, jenjang pendidikan atau usia pembelajar selalu
dipengaruhi oleh persepsi peserta didik. Masih menurut Dewi Salma
Prawiladilaga dan Eveline Siregar (2004: 132) “Persepsi memang jarang
disinggung dalam tulisan terkait dalam proses belajar. Padahal, cara berfikir,
minat, atau potensi dapat berkembang dengan baik jika seseorang memiliki
persepsi yang memadai”. Diharapkan melalui penggalian persepsi dalam
16
penelitian ini dapat mengubah persepsi menjadi positif terutama dalam persepsi
dalam belajar pancasila sehingga berpengaruh terhadap daya ingat, pembentukan
konsep dan pembinaan sikap mahasiswa. Jadi persepsi terhadap pendidikan
tentang pancasila dalam penelitian ini merupakan penggalian persepsi untuk
mengetahui cara berfikir, minat, dan harapan baik dari dosen maupun mahasiswa
terutama dalam pembelajaran pancasila di perguruan tinggi baik dalam metode
pembelajaran, materi, maupun evaluasi.
2. Tinjauan Tentang Aspirasi
a. Pengertian Aspirasi
Menurut Ellizabeth B. Hurlock (1993: 23) “Aspirasi berarti keinginan akan
sesuatu yang lebih tinggi, dengan kemajuan sebagai tujuannya”. Aspirasi yang
dimaksud tersebut menekankan pada keinginan untuk lebih maju atau melebihi status
pada saat sekarang. Pendapat ahli lain, mengatakan bahwa aspirasi adalah “tujuan
yang ditetapkan dalam suatu kegiatan yang mengandung makna bagi seseorang”.
(Winkel WS, 1991: 20)
Depdiknas (2003: 53) “Aspirasi adalah harapan dan tujuan untuk
keberhasilan pada masa yang akan datang”. Dari beberapa pendapat tersebut diatas
dapat diambil kesimpulan bahwa aspirasi adalah keinginan atau harapan akan sesuatu
yang lebih baik pada masa yang akan datang dengan merujuk pada keberhasilan dan
kemajuan sebagai tujuannya.
b. Variasi Aspirasi
Berdasarkan pengertian aspirasi diatas dapat dilihat bahwa orang yang
beraspirasi pasti memiliki motivasi yang kuat untuk mencapai tujuan. Aspirasi bukan
hanya berbeda-beda kekuatannya tetapi juga berbeda-beda jenisnya. Aspirasi dapat
bersifat positif dan negatif. Aspirasi positif menekankan pada keberhasilan atau
berprestasi lebih baik dari sebelumnya. Sedangkan aspirasi negatif menekankan pada
upaya menghindari kegagalan. Menurut waktunya aspirasi dibedakan atas aspirasi
langsung dan aspirasi jauh. Aspirasi langsung merupakan tujuan yang ingin dicapai
seseorang pada waktu dekat atau tidak terlalu lama, misal; sekarang, besok, minggu
depan atau bulan depan. Sedangkan aspirasi jauh merupakan tujuan yang ingin
dicapai untuk masa mendatang.
3. Tinjauan Tentang Pendidik
a. Pengertian Pendidik
17
Dalam dunia pendidikan terdapat unsur-unsur pendidikan salah satu
diantaranya adalah pendidik dan peerta didik. Menurut Wiji Suwarno (2006: 37)
“Pendidik adalah orang yang dengan sengaja memengaruhi orang lain untuk
mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi”. Dengan kata lain, pengertian
tersebut merujuk pada pengertian pendidik sebagai orang yang lebih dewasa yang
mampu membawa peserta didik kearah kedewasaan.
Sedangkan secara akademik, pendidik adalah tenaga kependidikan,
yakni anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk
menunjang penyelenggaraan pendidikan yang berkualifikasi sebagai
pendidik, dosen, konselor, pamong belajar, widyaswara, tutor,
instrutur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan
kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan
pendidikan. (Wiji Suwarno, 2006: 38)
Dari pengertian tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pendidik
merupakan tenaga kependidikan yang merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran, menilai hasil belajar melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta
melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat terutama bagi pendidik
pada pendidikan tinggi. Pendidik yang dimaksud dalam penelitian ini merujuk
pada dosen yang berada pada jenjang pendidikan tinggi atau perguruan tinggi.
b. Dosen
“Dosen adalah pengajar di perguruan tinggi” (Depdiknas, 2003: 242).
Sementara itu ada yang berpendapat bahwa dosen adalah “pendidik profesional
dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan dan
menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni melalui pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat”. (Depdiknas, 2005: 3)
M. Enoch Markum (2007: 140) berpendapat bahwa dosen adalah
“seseorang yang berdasarkan pendidikan dan keahliannya diangkat oleh
penyelenggara perguruan tinggi dengan tugas utama mengajar pada perguruan
tinggi yang bersangkutan”. Sedangkan menurut Daulat Purnama Tampubolon
(2001: 173) “Dosen adalah guru pada lembaga pendidikan tinggi”.
Dari pendapat tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dosen
adalah seseorang yang berdasarkan pendidikan dan keahliannya diangkat oleh
18
penyelenggara perguruan tinggi dengan tugas utama sebagai pendidik dan
ilmuwan, dan menjalankan pengabdian kepada masyarakat.
1) Kompetensi Dosen
Dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2004 tentang Undang-undang
Guru dan Dosen menyatakan bahwa dosen wajib memiliki kualifikasi:
a) Akademik
Kualifikasi akademik dosen “diperoleh melalui pendidikan tinggi
program pascasarjana yang terakreditasi sesuai dengan bidang
keahlian” (Depdiknas, 2005: 34).
Selain itu, dosen memiliki kualifikasi akademik minimum:
(1) lulusan program magister untuk program diploma atau program
sarjana
(2) dan lulusan program doktor untuk program pascasarjana.
b) Sertifikasi pendidik
c) Sehat jasmani dan rohani, dan
d) Memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi
tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional.
2) Hak dan Kewajiban Dosen
a) Hak-Hak Dosen
“Setiap orang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa
dapat diangkat menjadi dosen”. (Depdiknas, 2005: 34)
Menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Guru dan Dosen, dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berhak:
(1) memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan
jaminan kesejahteraan sosial;
(2) mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan
prestasi kerja;
(3) memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas
kekayaan intelektual;
19
(4) memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, akses
sumber belajar, informasi, sarana dan prasarana pembelajaran,
serta penelitian dan pengabdian kepada masyarakat;
(5) memiliki kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi
keilmuan;
(6) memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan menentukan
kelulusan peserta didik; dan
(7) memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi/
organisasi keilmuan. (Depdiknas, 2005: 34)
b) Kewajiban-Kewajiban Dosen
Menurut Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 60, dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan dosen berkewajiban:
(1) melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat;
(2) merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta menilai
dan mengevaluasi hasil pembelajaran;
(3) meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan
kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi dan seni;
(4) bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar perkembangan
jenis kelamin, agama, suku, ras, kondisi fisik tertentu, atau latar
belakang sosio ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;
(5) menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan
kode etik, serta nilai-nilai agama dan etika; dan
(6) memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
(Depdiknas, 2005: 38)
4. Tinjauan Tentang Peserta Didik
a. Pengertian Peserta Didik
20
Unsur lain dalam pendidikan selain pendidik (orang yang mendidik)
adalah peserta didik. Menurut Wiji Suwarno (2006: 36) peserta didik adalah
“anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses
pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidik tertentu”.
Pendapat lain yakni menurut Umar Tirtarahardja (2005: 52) mengatakan
bahwa “ peserta didik berstatus sebagai subjek didik”. Pandangan modern
cenderung menyebut demikian oleh karena peserta didik (tanpa pandang usia)
adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya. Selaku
pribadi yang memiliki ciri khas dan otonomi, ia ingin mengembangkan diri
(mendidik diri) secara terus-menerus guna memecahkan masalah-masalah hidup
yang dijumpai sepanjang hidupnya.
Pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa peserta didik
adalah individu yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses
pembelajaran baik yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu
baik untuk memecahkan masalah kehidupan yang dijumpainya maupun sebagai
bekal dalam kehidupannya kelak. Peserta didik yang dimaksud dalam penelitian
ini merujuk kepada mahasiswa dalam tataran perguruan tinggi.
b. Mahasiswa
Mahasiswa diartikan sebagai “orang yang belajar di perguruan tinggi”
(Depdiknas, 2003: 613).
Sedangkan M. Enoch Markum (2007: 144) mendefinisikan mahasiswa sebagai
“pelajar yang mengikuti pendidikan di perguruan tinggi dengan syarat memiliki
ijazah SMA atau yang sederajat, memenuhi syarat yang disyaratkan oleh
perguruan tinggi yang bersangkutan”.
Dari pendapat tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa mahasiswa
adalah seseorang yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang telah memenuhi
kualifikasi yang dipersyaratkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan.
1) Hak dan Kewajiban Mahasiswa
a) Mahasiswa mempunyai hak:
21
(1) Menggunakan kebebasan akademik secara bertanggungjawab untuk
mengkaji ilmu dan seni sesuai dengan norma dan susila yang berlaku
dalam lingkungan masyarakat akademik;
(2) Memperoleh pengajaran sebaik-baiknya dan layanan bidang akademik
sesuai dengan minat/bakat, kegemaran dan kemampuan;
(3) Memanfaatkan fasilitas Universitas dalam rangka kelancaran proses
belajar;
(4) Mendapat bimbingan dari dosen yang bertanggungjawab atas program
studi yang diikuti dalam penyelesaian studinya;
(5) Memperoleh layanan informasi yang berkaitan dengan program studi
yang diikuti serta hasil belajarnya;
(6) Memanfaatkan sumberdaya Universitas melalui perwakilan/organisasi
kemahasiswaan untuk mengurus dan mengatur kesejahteraan, minat,
bakat, penalaran, dan tata kehidupan bermsayarakat;
(7) Ikut serta dalam kegiatan organisasi mahasiswa universitas, dan lain
sebagainya. (UNS, 2009: 31)
b) Setiap Mahasiswa berkewajiban untuk:
Mahasiswa selain memiliki hak, juga memiliki kewajiban-
kewajiban yang harus dijalankan, diantaranya mahasiswa harus
“bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menanggung biaya
penyelenggaraan pendidikan kecuali bagi mahasiswa yang dibebaskan
dari kewajiban tersebut, mempergunakan masa studi dengan optimal,
mematuhi semua peraturan universitas, menjaga nama baik universitas,
menghormati dan menghargai semua civitas akademika, disiplin, jujur,
berpakaian sopan dan tertib, menghargai dan menjunjung tinggi
kebudayaan nasional, ilmu pengetahuan, teknologi, dan atau seni”.
(UNS, 2009: 32)
5. Tinjauan Tentang Pendidikan
a. Konsep dan Pengertian Pendidikan
22
Istilah pendidikan berasal dari bahasa Yunani, Paedagogy yang
mengandung makna seorang anak yang pergi dan pulang sekolah diantar seorang
pelayan. Sedangkan pelayan yang mengantar dan menjemput dinamakan
paedagogos. Dalam bahasa Romawi, pendidikan diistilahkan dengan educate
yang berarti mengeluarkan sesuatu yang berada didalam. Sedangkan dalam bahasa
inggris, pendidikan diistilahkan ”to educate yang berarti memperbaiki moral dan
melatih intelektual”. (Noeng Muhadjir dalam Wiji Suwarno, 2006: 19)
Banyak pendapat yang berlainan tentang pengertian pendidikan. Walaupun
demikian, pendidikan berjalan terus tanpa menunggu keseragaman arti. Salah satu
di antaranya yakni George F. Kneller yang dikutip oleh Wiji Suwarno (2006: 19)
yang membagi pengertian pendidikan menjadi dua pengertian yaitu pendidikan
dalam arti luas dan sempit.
Dalam arti luas, pendidikan diartikan sebagai tindakan atau
pengalaman yang memengaruhi perkembangan jiwa, watak, ataupun
kemauan fisik individu. Dalam arti sempit, pendidikan adalah suatu
proses mentransformasikan pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan
dari generasi ke generasi, yang dilakukan oleh masyarakat melalui
lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, pendidikan tinggi, atau
lembaga-lembaga lain.
Sedangkan menurut John S. Brubacher yang dikutip oleh Wiji Suwarno
(2006: 20) berpendapat:
Pendidikan adalah proses pengembangan potensi, kemampuan, dan
kapasitas manusia yang mudah dipengaruhi oleh kebiasaan, kemudian
disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik, didukung
dengan alat (media) yang disusun sedemikian rupa, sehingga
pendidikan dapat digunakan untuk menolong orang lain atau dirinya
sendiri dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
Ki Hajar Dewantara dalam Wiji Suwarno (2006: 21) menyatakan bahwa
”pendidikan merupakan tuntutan bagi pertumbuhan anak-anak”. Artinya,
pendidikan menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada diri anak-anak, agar
mereka sebagai manusia sekaligus sebagai anggota masyarakat dapat mencapai
keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Dalam perspektif luas,
23
pendidikan merupakan ”upaya memanusiakan manusia agar menjadi manusia
yang sebenar-benarnya manusia”. (Wiji Suwarno, 2006: 25)
Di dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
tercantum pengertian pendidikan sebagai berikut:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan pontensi dirinya sehingga memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. (Depdiknas, 2003: 20).
Dari beberapa pendapat tersebut di atas, yang dimaksud dengan
pendidikan adalah proses pengembangan potensi, kemampuan, dan kepribadian
peserta didik yang dilakukan dengan usaha sadar dan terencana dengan tujuan
agar dapat bermanfaat bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dari definisi di atas dapat dikemukakan adanya beberapa elemen yang
penting yang mencirikan pengertian tentang pendidikan, yaitu:
1) Pendidikan mengandung pembinaan kepribadian, pengembangan
kemampuan, atau potensi yang perlu dikembangkan; peningkatan
pengetahuan dari tidak tahu menjadi tahu, serta tujuan kearah mana
peserta didik dapat mengaktualisasikan dirinya seoptimal mungkin.
2) Dalam pendidikan, terdapat hubungan antara pendidik dan peserta didik.
Didalam hubungan itu, mereka memiliki kedudukan dan peranan berbeda.
Tetapi, keduanya memiliki daya yang sama, yaitu saling mempengaruhi
guna terlaksananya proses pendidikan (transformasi pengetahuan, nilai-
nilai, dan keterampilan-keterampilan yang tertuju kepada tujuan yang
diinginkan).
3) Pendidikan adalah proses sepanjang hayat sebagai perwujudan
pembentukan diri secara utuh.
4) Akivitas pendidikan berlangsung didalam keluarga, sekolah dan didalam
masyarakat.
24
5) Pendidikan merupakan suatu proses pengalaman yang sedang dialami
yang memberikan pengertian, pandangan (insight), dan penyesuaian bagi
seseorang yang menyebabkannya berkembang.
b. Tujuan Pendidikan
Dalam UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional tercantum bahwa Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila
dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Sedangkan
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Tujuan pendidikan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh kegiatan
pendidikan. Menurut Wiji Suwarno (2006: 33) ”tujuan pendidikan terbagi dalam
beberapa jenis, yaitu tujuan nasional, institusional, kurikuler, dan instruksional”.
Tujuan nasional adalah tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh suatu bangsa;
tujuan institusional adalah tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh suatu
lembaga pendidikan; tujuan kurikuler adalah tujuan pendidikan yang ingin dicapai
oleh suatu mata pelajaran tertentu; dan tujuan instruksional adalah tujuan
pendidikan yang ingin dicapai oleh suatu pokok bahasan tertentu.
Menurut Bloom dalam Wiji Suwarno (2006: 35) tujuan pendidikan
dibedakan menjadi tiga yaitu:
1) Cognitive domain
Meliputi kemampuan-kemampuan yang diharapkan dapat tercapai
setelah dilakukannya proses belajar-mengajar. Kemampuan tersebut
meliputi pengetahuan, pengertian, penerapan, analisis, sintesis, dan
evaluasi. Artinya, untuk mencapai semuanya harus sudah memiliki
kemampuan sebelumnya.
2) Affective domain
Berupa kemampuan untuk menerima, menjawab, menilai,
membentuk, dan mengarakterisasi.
3) Psychomotor domain
Terdiri dari kemampuan persepsi, kesiapan, dan respon terpimpin.
25
6. Tinjauan Tentang Pancasila
a. Istilah dan Pengertian Pancasila
B. Sukarno (2005: 1) menyatakan sebagai berikut:
Pancasila adalah suatu istilah yang pada mulanya dikemukakan pada
pertengahan abad XIV S.M dalam buku Negara Kertagama yang
ditulis oleh Empu Prapanca. Istilah tersebut dipakai oleh Empu
Tantular dalam bukunya Sutasoma (1365) dan istilah Pancasila itu
mempunyai dua arti.
Pancasila dengan sila yang berhuruf i biasa artinya berbatu sendi yang
lima pancasila dengan huruf Dewanagari dengan huruf i yang panjang berarti lima
peraturan tingkah laku yang penting, yaitu:
1) tidak boleh melakukan kekerasan
2) tidak boleh mencuri
3) tidak boleh berjiwa dengki
4) tidak boleh berbohong
5) tidak boleh mabuk minuman keras
(B. Sukarno, 2005: 1)
Kemudian istilah pancasila muncul kembali pada tanggal 1 Juni 1945
sebagai sebutan atau nama calon dasar falsafah negara Indonesia sebagai gagasan
Ir. Soekarno. Tetapi jauh sebelum pancasila muncul sebagai sebutan calon usulan
dasar negara melalui pendekatan historis sesungguhnya pancasila dengan unsur-
unsurnya diamalkan sebagai asas-asas di dalam adat-istiadat, kebudayaan dan
kepercayaan atau agama bangsa Indonesia.
Sesudah pancasila sebagai isi dari calon dasar negara diterima secara
aklamasi oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) dan selanjutnya dengan melalui proses sejarah yang panjang akhirnya
pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, dihasilkan beberapa keputusan salah
satu diantaranya yaitu meletakkan pancasila sebagai dasar negara Republik
Indonesia.
26
b. Tinjauan Historis terhadap Pancasila
Tinjauan historis terhadap pancasila sebagai isi dasar negara Indonesia
bermula dari usaha bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaan dengan
membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) oleh pemerintah Militer Jepang di Indonesia. B. Sukarno (2005: 36)
menyatakan bahwa ”sidang BPUPKI yang diselenggarakan dalam mewujudkan
perjuangan terbentuknya dasar negara dalam negara Indonesia merdeka
berlangsung dalam dua sidang yaitu sidang pertama dan sidang kedua”. Dalam
sidang pertama tersebut muncul tiga pembicara yaitu M. Yamin, Soepomo dan Ir.
Soekarno yang mengusulkan dasar negara Indonesia. Pidato usulan dasar negara
tersebut adalah sebagai berikut :
1) Muhammad Yamin
Pada sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, M. Yamin berpidato
mengusulkan lima asas dasar negara sebagai berikut :
a) Ketuhanan Yang Maha Esa
b) Kebangsaan persatuan Indonesia
c) Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab
d) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan
e) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2) Soepomo
Pada sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945 Soepomo mengusulkan
lima dasar negara sebagai berikut :
a) Persatuan
b) Kekeluargaan
c) Keseimbangan lahir dan bathin
d) Musyawarah
e) Keadilan rakyat
3) Ir. Soekarno
Pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno
mengusulkan dasar negara sebagai berikut :
a) Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia
27
b) Internasionalisme atau Perikemanusiaan
c) Mufakat atau Demokrasi
d) Kesejahteraan Sosial
e) Ketuhanan yang berkebudayaan
Kaelan (2004: 40) menyatakan bahwa ”Lima prinsip sebagai dasar negara
tersebut kemudian oleh Soekarno diusulkan agar diberi nama ”Pancasila” atas
saran salah satu seorang teman beliau ahli bahasa”. Kemudian menurut Soekarno
kelima sila dapat diperas menjadi Tri Sila yaitu Sosio nasionalisme (Nasionalisme
dan Internasionalisme), Sosio Demokrasi (Demokrasi dengan Kesejahteraan
Rakyat), dan Ketuhanan yang Maha Esa. Adapun Tri Sila masih diperas lagi
menjadi Eka Sila yang intinya adalah gotong royong. Pada tanggal 22 Juni 1945
diadakan sidang oleh BPUPKI (Panitia Sembilan) yang menghasilkan “Piagam
Jakarta” dan didalamnya termuat pancasila dengan rumusan sebagai berikut :
1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan sya’riat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya
2) Kemanusiaan yang adil dan beradab
3) Persatuan Indonesia
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam Pembukaan UUD 1945 yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945
oleh PPKI tercantum rumusan dasar negara sebagai berikut :
1) Ketuhanan Yang Maha Esa
2) Kemanusiaan yang adil dan beradab
3) Persatuan Indonesia
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan dasar negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD
1945 diatas yang secara konstitusional sah dan benar sebagai dasar negara
Republik Indonesia. Namun dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia dalam upaya
28
bangsa Indonesia mempertahankan proklamasi dan eksistensinya, terdapat pula
rumusan-rumusan dasar negara sebagai berikut :
1) Dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (29 Desember – 17 Agustus 1950)
a) Ketuhanan Yang Maha Esa
b) Peri Kemanusiaan
c) Kebangsaan
d) Kerakyatan
e) Keadilan Sosial
2) Dalam UUD Sementara 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959)
a) Ketuhanan Yang Maha Esa
b) Peri Kemanusiaan
c) Kebangsaan
d) Kerakyatan
e) Keadilan Sosial
Dari berbagai macam rumusan pancasila, yang sah dan benar adalah
rumusan pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945.
c. Tinjauan Ideologis terhadap Pancasila
Pancasila adalah suatu rumusan ideologi bangsa dan negara Indonesia.
Menurut B. Sukarno (2005: 162) ”pancasila sebagai ideologi seperti halnya
ideologi suatu bangsa dan negara adalah wawasan, pandangan hidup
(weltanschauung) atau falsafah kebangsaan dan kenegaraannya”. Rumusan
ideologi pancasila berintikan serangkaian nilai (norma) atau sistem nilai dasar
yang bersifat mendalam dan menyeluruh yang dimiliki dan dipegang oleh bangsa,
negara dan masyarakat Indonesia. Ideologi pancasila seperti halnya kekuatan
suatu ideologi tergantung pada kualitas tiga dimensi yang terkandung didalam
dirinya. Tiga dimensi tersebut menurut B. Sukarno (2005: 163) meliputi: ”dimensi
realitas, dimensi idealisme, dan dimensi fleksibilitas atau dimensi
pengembangan”. Ketiga dimensi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Dimensi realitas yaitu bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung dalam ideologi itu
secara riil berakar dan hidup dalam masyarakat atau bangsanya terutama karena
nilai-nilai dasar tersebut bersumber dari budaya dan pengalaman sejarahnya.
29
2) Dimensi idealisme yaitu bahwa nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung
cita-cita yang memberi harapan tentang masa depan yang lebih baik melalui
perwujudan atau pengalamannya dalam praktek kehidupan bersama mereka
sehari-hari dengan berbagai dimensinya.
3) Dimensi fleksibilitas atau dimensi pengembangan yaitu bahwa ideologi tersebut
memiliki keluwesan yang memungkinkan dan bahkan merangsang
pengembangan pemikiran-pemikiran baru yang relevan tentang dirinya tanpa
menghilangkan atau mengingkari hakekat atau jati diri yang terkandung dalam
nilai-nilai dasarnya.
Dari ketiga dimensi kekuatan dalam ideologi pancasila menunjukkan
bahwa pancasila adalah ideologi yang membawa sebab bangsa Indonesia
menyakininya sebagai ideologi yang terbaik bagi dirinya dan menjadi prospek
kelanjutan kehidupan bangsa Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara yang bersumber pada
pandangan filsafat hidup bangsa Indonesia akan termanifestasi keseluruh
perlengkapan negara, keseluruhan kehidupan sosial (masyarakat) serta
keseluruhan rakyat dan warga-warganya. Pancasila merupakan idelogi yang
bersifat terbuka. Hal tersebut menurut B. Sukarno (2005: 166) mengandung
maksud ”bahwa ideologi pancaila adalah bersifat aktual, dinamis, antisipatif dan
senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman”. Keterbukaan
ideologi pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar pancasila namun
mengekplisitkan kemampuan yang lebih tajam untuk memecahkan masalah-
masalah baru dan aktual.
d. Tinjauan Filosofis terhadap Pancasila
Menurut Kaelan (2004: 67) "Sila-sila pancasila yang merupakan sistem
filsafat pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan organik". Antara sila-sila
pancasila itu saling berkaitan, saling berhubungan bahkan saling
mengkualifikasikan. Sila yang satu senantiasa dikualifikasikan oleh sila-sila
lainnya. Dengan demikian pancasila pada hakikatnya merupakan sistem yang
bagian-bagiannya atau sila-silanya saling berhubungan secara erat sehingga
membentuk suatu struktur yang menyeluruh.
30
Menurut Notonagoro dalam Kaelan (2004: 71) "Kesatuan nilai-nilai
pancasila pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan kesatuan yang bersifat
formal logis saja namun juga meliputi kesatuan dasar ontologis, epistimologis,
dan aksiologis dari sila pancasila". Penjelasan mengenai kesatuan dasar tersebut
adalah sebagai berikut:
1) Dasar Ontologis
Dasar ontologis pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang
memiliki hakikat mutlak monopluralis, oleh karena itu hakikat ini juga
disebut sebagai dasar antropologis. Dalam filsafat pancasila hakikat dasar
antropologis sila-sila pancasila adalah manusia.
2) Dasar Epistimologis
Pranaka dalam Kaelan (2004: 97) menyatakan bahwa jika manusia
“merupakan basis ontologis dari pancasila, maka dengan demikian
mempunyai implikasi terhadap bangunan epistimologis, yaitu bangunan
epistimologis yang ditempatkan dalam bangunan filsafat manusia”.
Terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistimologi yaitu sumber
pengetahuan manusia, teori tentang kebenaran manusia, watak
pengetahuan manusia. Sebagai suatu paham epistimologis maka pancasila
mendasarkan pada pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada
hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka
moralitas kodrat marusia serta moralitas religius dalam upaya untuk
mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam hidup
manusia.
3) Dasar Aksiologis
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan dan penyelenggaraan negara
isi dan arti pancasila dipergunakan sebagai pedoman praktis. Soeprapto
(1998: 88) menyatakan bahwa "Permasalahan landasan aksiologis
pancasila adalah permasalahan tentang pancasila sebagai sumber nilai bagi
keluhuran hidup manusia warga bangsa Indonesia". Bangsa Indonesia
dalam kerangka kebudayaan nasional yang berdasar pancasila merupakan
31
proses yang timbal balik antara yang ideal dan yang aktual atau antara
nilai-nilai dengan perilaku warga individual.
C. Kerangka Berpikir
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional adalah dasar yuridis dalam menetapkan kurikulum pendidikan di
perguruan tinggi. Berdasar pada Undang-Undang tersebut maka kurikulum
pendidikan tinggi wajib memuat Pendidikan Agama, Pendidikan
Kewarganegaraan dan Bahasa yang kemudian diejawantahkan dalam SK
No.43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-rambu pelaksanaan Kelompok Mata
Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) di perguruan tinggi. Adanya SK
tersebut telah mengakibatkan tidak berlakunya lagi SK yang sebelumnya yakni
SK No.38/DIKTI/Kep/2002 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Kelompok Mata
Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi yang meliputi
Pendidikan Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama.
Dalam matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) terdapat
pendidikan tentang pancasila (filsafat pancasila) di Bab I. Pendidikan tentang
pancasila sebagai substansi nilai yang kini menjadi bagian dalam matakuliah PKn
memiliki perhatian penting disamping memperluas pengetahuan mengenai
pancasila juga terhadap pembentukan atau perubahan sikap dan perilaku positif
mahasiswa. Namun demikian, berdasar data-data hasil survey terhadap pancasila
yang dilakukan oleh berbagai pihak menunjukkan bahwa saat ini terdapat gejala
menurunnya pengetahuan dan pemahaman pancasila dikalangan masyarakat dan
mahasiswa pada khususnya. Mahasiswa cenderung memiliki persepsi negatif
terhadap pancasila dan pembelajaran pancasila yang dianggap membosankan
karena merupakan pengulangan materi dari jenjang pendidikan sebelumnya.
Mengingat kondisi tersebut, persepsi dan aspirasi dibutuhkan baik dari dosen dan
terutama dari mahasiswa guna menjaring berbagai informasi, pandangan,
pemikiran, masukan terhadap pendidikan tentang pancasila baik dari sisi
pendidikannya secara umum maupun dalam pembelajarannya. Persepsi dan
32
aspirasi tersebut dapat digunakan sebagai bahan renungan yang bermanfaat dalam
mengoptimalkan pembelajaran pancasila di perguruan tinggi meskipun sekarang
hanya menjadi sub pokok bahasan dalam PKn dan dapat mengubah persepsi
negatif mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di perguruan tinggi
selama ini. Diharapkan melalui penggalian persepsi dalam penelitian ini dapat
mengubah persepsi menjadi positif terutama dalam persepsi dalam belajar
pancasila sehingga berpengaruh terhadap daya ingat, pembentukan konsep dan
pembinaan sikap mahasiswa.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 1. Skema Kerangka Berpikir
Kurikulum Pendidikan di Perguruan Tinggi
Kelompok MKK
Kelompok MKB
Kelompok MPB
Kelompok MBB
Kelompok MPK
SK Ditjen Dikti No. 43 Tahun 2006
Persepsi dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di FKIP UNS
Aspirasi dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di FKIP UNS
Pendidikan Agama Pendidikan Kewarganegaraan Bahasa Indonesia
terdapat pendidikan tentang pancasila
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
33
Keterangan :
- MKK : Mata Kuliah Keahlian dan Keterampilan
- MKB : Mata Kuliah Keahlian Berkarya
- MPK : Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian
- MPB : Mata Kuliah Perilaku Berkarya
- MBB : Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat
34
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti mengambil lokasi di Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret (FKIP UNS) Surakarta, dengan
pertimbangan sebagai berikut:
a. Belum adanya penelitian sebelumnya khususnya mengenai permasalahan yang
sedang diteliti oleh peneliti.
b. Permasalahan persepsi dan aspirasi terhadap pendidikan pancasila pasca SK
Ditjen Dikti No.43/2006 merupakan hal yang menarik untuk diteliti mengingat
semakin merosotnya pengetahuan dan pemahaman terhadap pancasila
dikalangan mahasiswa dan mengingat kehadiran pendidikan pancasila
khususnya di perguruan tinggi perlu disikapi secara akademis sebagai suatu
kebutuhan dunia keilmuan dan dalam hidup bermasyarakat, dan bernegara.
Dengan pertimbangan diatas, peneliti berharap mendapatkan suatu laporan
yang valid dan bermanfaat bagi Program Studi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn) dan FKIP UNS serta bagi kalangan civitas akademika
secara umum.
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian telah dilaksanakan selama sebelas bulan yang dimulai
pada bulan Juni 2009 sampai dengan bulan April 2010. Kegiatan tersebut dapat
digambarkan dalam tabel sebagai berikut :
35
Tabel 1. Jadual Kegiatan Penelitian
No Kegiatan 2009 2010
Jun Ju
l
Ag
t
Se
p
Ok
t Nov
De
s Jan
Fe
b Mar
Ap
r
1. Pengajuan Judul
2.
Penyusunan
Proposal
3. Ijin Penelitian
4.
Pengumpulan
Data
5. Analisis Data
6.
Penyusunan
Laporan
B. Bentuk dan Strategi Penelitian
Sebelum membicarakan tentang bentuk dan strategi penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini, akan dibahas mengenai metode penelitian secara
umum.
1. Pengertian Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian merupakan elemen penting untuk menjaga
reliabilitas (dependabilitas) dan validitas (kredibilitas) hasil penelitian.
Dalam arti luas, menurut Robert, Bogdan dan Steven J. Taylor (1993: 25)
metodologi berarti “proses, prinsip-prinsip dan prosedur yang kita pakai dalam
mendekati persoalan-persoalan dan usaha mencari jawabannya”.
Sedangkan menurut Abdurrahmat Fathoni (2006: 98) Metodologi
penelitian adalah “ilmu tentang metode-metode yang akan digunakan dalam
melakukan suatu penelitian. Metode penelitian adalah cara kerja yang digunakan
dalam melakukan suatu penelitian”.
Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa metodologi penelitian
kualitatif menunjuk kepada prosedur-prosedur penelitian yang menghasilkan data
36
kualitatif yaitu ungkapan atau catatan orang itu sendiri atau tingkah laku mereka
yang terobservasi.
2. Jenis - Jenis Metode Penelitian
Menurut Consuelo (1993: 40) mengatakan bahwa terdapat lima metode
penelitian, yaitu:
1) metode penelitian sejarah (historis),
2) metode penelitian deskriptif,
3) metode penelitian eksperimen,
4) metode penelitian ex post facto (juga biasa disebut kausal komparatif),
5) metode penelitian partisipatori.
Sedangkan menurut Iqbal Hasan (2002: 22) jenis-jenis metode penelitian
terkait dengan jenis penelitiannya dihagi menjadi 5 (lima) yaitu: “metode historis,
metode deskriptif, metode korelasional, metode eksperimental, metode kuasi
eksperimental”. Jenis-jenis metode tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Metode Historis
Historis artinya berhubungan dengan sejarah. Penelitian dengan metode
historis merupakan penelitian yang kritis terhadap keadaan-keadaan,
perkembangan serta pengalaman di masa lampau dan menimbang secara teliti
dan hati-hati terhadap validitas dari sumber-sumber sejarah serta interpretasi
dari sumber-sumber keterangan tersebut.
b. Metode Deskriptif
Deskriptif artinya melukiskan variabel demi variabel, satu demi satu.
Metode deskriptif bertujuan untuk:
1) mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada,
2) rnengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang
berlaku,
3) membuat perbandingan atau evaluasi,
4) menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama
dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan
pada waktu yang akan datang.
37
Penyelidikan deskriptif tertuju pada pemecahan masalah yang ada pada
masa sekarang. Pada umumnya metode deskriptif ialah menuturkan dan
menafsirkan data yang ada, misalnya tentang situasi yang dialami, satu
hubungan, kegiatan, pandangan, sikap yang menampak atau tentang suatu
proses yang sedang berlangsung dan sebagainya. Pelaksanaan metode
deskriptif tidak hanya sampai pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi
meliputi analisa dan arti data itu. Alat untuk mengukur suatu dimensi tersebut
adalah dengan menggunakan angket, tes dan interview.
c. Metode Korelasional
Metode korelasional sebenarnya adalah kelanjutan metode deskriptif.
Pada metode korelasional, hubungan antara variabel diteliti dan dijelaskan. Jadi
metode korelasional mencari hubungan di antara variabel-variabel yang diteliti.
Metode korelasi ini bertujuan untuk meneliti sejauh mana variabel pada satu
faktor berkaitan dengan variasi pada faktor lainnya.
d. Metode Eksperimental
Metode eksperimental merupakan metode penelitian yang
memungkinkan peneliti memanipulasi variabel dan meneliti akibat-akibatnya.
Pada metode ini, variabel-variabel dikontrol sedemikian rupa, sehingga
variabel luar yang mungkin mempengaruhi dapat dihilangkan. Metode
eksperimental ditujukan untuk mencari hubungan sebab akibat dengan
memanipulasikan satu alau lebih variabel pada satu (atau lebih) kelompok
eksperimental, dan membandingkan hasilnya dengan kelompok kontrol yang
tidak mengalami manipulasi.
e. Metode Kuasi Eksperimental
Metode kuasi eksperimental hampir menyerupai metode eksperimental,
hanya pada metode ini, peneliti tidak dapat mengatur sekehendak hati variabel
bebasnya.
3. Metode Penelitian yang Digunakan
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif kualitatif. Alasan penulis menggunakan metode ini adalah
38
karena berdasarkan masalah dalam penelitian yang menekankan pada proses dan
makna (perspektif dan partisipasi) maka bentuk penelitian dengan strategi terbaik
adalah penelitian kualitatif deskriptif yang penuh nuansa lebih berharga daripada
sekedar pernyataan jumlah ataupun frekuensi dalam bentuk angka.
4. Bentuk Penelitian
Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dan jenis data yang diperlukan
maka penelitian ini menggunakan bentuk penelitian kualitatif yang bersifat
deskriptif, karena memaparkan objek yang diteliti (orang, lembaga atau lainnya)
berdasarkan fakta aktual pada masa sekarang.
Penelitian yang menekankan pada segi proses dan makna (perspektif dan
partisipasi) maka bentuk penelitian dengan strategi terbaik adalah
penelitian kualitatif deskriptif yang penuh nuansa lebih berharga daripada
sekedar pernyataan jumlah ataupun frekuensi dalam bentuk angka (H.B.
Sutopo, 2002: 3).
Berdasarkan pendapat diatas maka dalam penelitian ini memusatkan
perhatian atau mendeskripsikan permasalahan tentang persepsi dan aspirasi dosen
dan mahasiswa terhadap pendidikan pancasila di Perguruan Tinggi Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
5. Strategi Penelitian
Dalam setiap penelitian diperlukan sebuah strategi agar tujuan yang telah
direncanakan dapat tercapai. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
model tunggal terpancang. H.B. Sutopo (2002: 42) menjelaskan sebagai berikut:
“Bentuk penelitian terpancang (embedded research) yaitu penelitian kualitatif
yang sudah menentukan fokus penelitian berupa variabel utamanya yang akan
dikaji berdasarkan pada tujuan dan minat penelitinya sebelum peneliti ke lapangan
studinya”.
Dalam penelitian ini peneliti sudah menentukan terlebih dahulu fokus pada
variabel tertentu. Akan tetapi dalam hal ini peneliti tetap tidak melepaskan
variabel fokusnya (pilihannya) dari sifatnya yang holistik sehingga bagian-bagian
39
yang diteliti tetap diusahakan pada posisi saling berkaitan dengan bagian-bagian
dari konteks secara keseluruhan guna menemukan makna yang lengkap.
Jadi penelitian ini menggunakan strategi tunggal terpancang karena objek
penelitian adalah tunggal yaitu di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP)
UNS. Sedangkan terpancang artinya untuk mengetahui persepsi dan aspirasi
dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila.
C. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan sumber data yang berupa informan, tempat
dan peristiwa serta dokumen dan arsip.
1. Informan
Informan adalah orang yang dianggap mengetahui permasalahan yang
akan dikaji serta mengetahui secara mendalam tentang data-data yang diperlukan
atau informasi tentang permasalahan yang akan dikaji. Adapun informan sebagai
data primer yang berasal dari subyek dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Dosen-dosen pengampu mata kuliah PKn di Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yaitu:
Tabel 2. Daftar Informan Dosen
No Kode Nama Program Studi/ Bidang Studi
1. ID 1 Drs. H. Utomo, MPd Dosen program studi PPKn, Ketua
MKU UNS
2. ID 2 Drs. Suyatno, M.Pd Dosen program studi PPKn
3. ID 3 Drs.Hasan Machfud,
M.Pd
Dosen program studi PGSD,
Sekretaris program studi PGSD,
Ketua TIM Kelompok Matakuliah
IPS PGS
4. ID 4 Drs. A. Dakir, M.Pd Dosen program studi PGSD
5. ID 5 Dewi Gunawati, SH.,
M.Hum
Dosen program studi PPKn
40
6. ID 6 Drs. Suparno, M.Si Dosen program studi Pendidikan
Sosiologi Antropologi
7. ID 7 Drs. Leo Agung Sutimin,
M.Pd
Dosen program studi Pendidikan
Sejarah
(Sumber: Data Primer Informan Hasil Wawancara kepada Dosen Pengampu
Matakuliah PKn di FKIP UNS)
Keterangan, ID = Informan Dosen
b. Mahasiswa yang telah maupun yang sedang menempuh mata kuliah
pendidikan pancasila dan atau pendidikan kewarganegaraan di FKIP UNS.
Adapun daftar informan mahasiswa dapat dilihat pada lampian 02.
Tabel 3. Daftar Informan Mahasiswa yang Diwawancarai
No Kode Nama Program Studi
1. IM 1 Amanatul Mutoharoh Pendidikan Biologi
2. IM 2 Sri Sutami Pendidikan Bimbingan dan Konseling
3. IM 3 Ika Sari Pendidikan Sejarah
4. IM 4 Prapti Nur Siwi PPKn
5. IM 5 Valentino Yudho P Penjaskesrek
6. IM 6 Endah Suhadati PPKn
7. IM 7 Arief Joko W PTM
8. IM 8 Siswoko PPKn
9. IM 9 Sanna Mei Hasanti Pendidikan Sosiologi Antropologi
10. IM 10 Endah Retno P Pendidikan Kimia
11. IM 11 Arum Dwi L PPKn
12. IM 12 Niken Budiningtyas PPKn
13. IM 13 Ulis Dwi Wardani Pendidikan Sejarah
14. IM 14 Meivita Pendidikan Geografi
15. IM 15 Milati Mahmudah Pendidikan Bahasa Inggris
16. IM 16 Ela Pendidikan Kimia
17. IM 17 Anisah Rahmawati PGSD
41
18. IM 18 Priskila DM PGSD
19. IM 19 Mujahid Wahyu Pendidikan Teknik Mesin
20. IM 20 Candra PGSD
21. IM 21 Dirahasiakan Pendidikan Kimia
(Sumber: Data Primer Informan Hasil Wawancara pada Mahasiswa FKIP UNS)
Keterangan, IM = Informan Mahasiswa
2. Tempat dan Peristiwa
Sumber dan tempat peristiwa dimaksudkan untuk lebih memperkuat
keterangan. Adapun tempat yang diamati oleh peneliti yakni di Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, sedangkan peristiwa
yang diamati adalah proses belajar mengajar pada mata kuliah Filsafat Pancasila
di Program Studi PPKn dan pada matakuliah PKn (Pendidikan Kewarganegaraan)
di Program Studi Pendidikan Kimia dan di Program Studi Pendidikan Guru
Sekolah Dasar (PGSD) yakni pada materi awal atau Bab I tentang Filsafat
Pancasila. Dalam pengamatan terhadap proses belajar mengajar tersebut, peneliti
mengamati cara mengajar dosen pengampu matakuliah dan juga mengamati
tingkah laku mahasiswa saat proses belajar mengajar berlangsung.
3. Dokumen dan Arsip
Sumber data yang kedua atau data sekunder (data yang berasal dari selain
subjek) dalam penelitian ini adalah dokumen. Dokumen yang digunakan adalah
sebagai berikut:
Tabel 4. Sumber Dokumen
No Jenis Dokumen Sumber Dokumen
1. Peraturan perundang-
undangan
- UU No.20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
- PP No.19/2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan.
- SK Ditjen Dikti No.43/2006 tentang
Rambu-Rambu MPK di Perguruan
42
Tinggi.
2. Silabus PKn Edisi 2006 - UPT MKU Universitas Sebelas Maret
3. Daftar Data Dosen
Matakuliah Pendidikan
Kewarganegaraan
- UPT MKU Universitas Sebelas Maret
4. Daftar Statistik mahasiswa
yang terdaftar di FKIP UNS
- Kantor Kasubag Pendidikan FKIP UNS
D. Teknik Sampling
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
teknik sampel bertujuan atau purposive sampling karena teknik ini mendapatkan
sampel dengan memilih individu-individu yang dianggap mengetahui informasi
dan masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber
data.
Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yaitu sampel
dengan memilih beberapa dosen pengampu matakuliah Pendidikan
Kewarganegaraan dan dosen pengampu matakuliah Filsafat Pancasila. Populasi
dalam penelitian ini adalah dosen pengampu mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) dan mahasiswa FKIP UNS. Sampel yang dipilih berasal
dari kalangan dosen pengampu matakuliah PKn dan mahasiswa baik yang sudah
maupun yang sedang menempuh matakuliah PKn dan/atau Filsafat Pancasila yang
dianggap mengetahui informasi dan masalah yang berkaitan dengan penelitian.
Adapun sampel yang berasal dari kalangan dosen adalah sebagai berikut:
Tabel 5. Sampel dari Kalangan Dosen
No Nama Program Studi/ Bidang Studi
1. Drs. H. Utomo, MPd Dosen Program Studi PPKn
2. Drs. Suyatno, M.Pd Dosen Program Studi PPKn
3. Dewi Gunawati, SH., M.Hum Dosen Program Studi PPKn
4. Drs.Hasan Machfud, M.Pd Dosen Program Studi PGSD
5. Drs. A. Dakir, M.Pd Dosen Program Studi PGSD
43
6. Drs. Suparno, M.Si Dosen Program Studi Pendidikan
Sosiologi Antropologi
7. Drs. Leo Agung Sutimin, M.Pd Dosen Program Studi Pendidikan
Sejarah
Sedangkan sampel yang berasal dari kalangan mahasiswa adalah sebagai
berikut:
Tabel 6. Sampel dari Kalangan Mahasiswa
No Nama Program Studi
1. Meivita Pendidikan Geografi
2. Sanna Mei Hasanti Pendidikan Sosiologi Antropologi
3. Ulis Dwi Wardani Pendidikan Sejarah
4. Ika Sari Pendidikan Sejarah
5. Prapti Nur Siwi PPKn
6. Siswoko PPKn
7. Arum Dwi L PPKn
8. Niken Budiningtyas PPKn
9. Endah Suhadati PPKn
10. Amanatul Mutoharoh Pendidikan Biologi
11. Ela Pendidikan Kimia
12. Endah Retno P Pendidikan Kimia
13. Anis Pendidikan Kimia
14. Sri Sutami Pendidikan Bimbingan dan Konseling
15. Valentino Yudho P Penjaskesrek
16. Milati Mahmudah Pendidikan Bahasa Inggris
17. Arief Joko W Pendidikan Teknik Mesin
18. Wahyu Mujahid Pendidikan Teknik Mesin
19. Lisa PGSD
20. Annisah PGSD
21. Dirahasiakan -
44
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan cara sebagai berikut:
1. Kuesioner / Angket
Menurut Cholid Narbuko dan Abu Achmadi (2005: 76) menyatakan
bahwa “kuesioner adalah suatu daftar yang berisikan rangkaian pertanyaan
mengenai sesuatu masalah atau bidang yang akan diteliti”. Masih menurut Cholid
Narbuko dan Abu Achmadi (2005: 77) tujuan dilakukan angket atau kuesioner
ialah “untuk memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan penelitian dan
untuk memperoleh informasi mengenai suatu masalah”. Penelitian ini
menggunakan kuesioner dengan tujuan untuk memperoleh informasi atau data
awal tentang persepsi atau tanggapan mahasiswa terhadap Pendidikan Pancasila
dan pembelajarannya selama ini di perguruan tinggi. Kuesioner atau angket yang
digunakan dalam penelitian ini tergolong dalam angket tertutup karena pilihan
jawaban sudah disediakan oleh peneliti dan responden (dalam hal ini mahasiswa)
tinggal memilih pilihan jawaban yang telah disediakan. Kuesioner yang berhasil
dihimpun dalam penelitian ini adalah sebanyak 225 responden (mahasiswa).
Untuk memperoleh kedalaman informasi yang berkaitan dengan penelitian ini,
maka dari 225 responden tersebut diambil 21 sampel mahasiswa untuk
ditindaklanjuti dengan wawancara secara mendalam yang dirasa dapat mewakili
informasi yang diperlukan.
2. Wawancara
Penelitian ini menggunakan teknik wawancara mendalam (indepth
interviewing) baik secara terstruktur (structured interview) dengan menggunakan
pedoman wawancara maupun tidak terstruktur (unstructured interview) tanpa
pedoman wawancara (informal). Wawancara secara mendalam dilakukan peneliti
untuk memperoleh data dari para informan, terutama informan kunci (key
informan) sehingga akan terungkap permasalahan yang diteliti melalui pertanyaan
atau sikap, baik itu melalui nada bicara, mimik maupun sorot matanya.
Wawancara mendalam juga dilakukan peneliti kepada informan (mahasiswa) yang
45
sebelumnya telah mengisi kuesioner atau angket. Wawancara tersebut dilakukan
untuk memperoleh informasi yang sebenarnya dari jawaban dalam kuesioner dan
jawaban saat wawancara. Sedangkan wawancara secara informal yaitu dilakukan
secara tidak resmi dilakukan dimanapun oleh siapapun dan dalam keadaan
bagaimanapun. Wawancara dalam penelitian ini juga dilakukan secara terbuka,
artinya informan mengetahui maksud dan tujuan diwawancarai. (Adapun
pedoman wawancara dapat dilihat pada lampiran 03).
Dalam melakukan wawancara terstruktur, peneliti terlebih dahulu menulis
daftar pertanyaan (pedoman wawancara) yang akan ditanyakan kepada informan.
Pedoman wawancara yang ditujukan kepada dosen agak sedikit berbeda dengan
yang ditujukan kepada mahasiswa. Namun demikian ada beberapa pertanyaan
yang sama baik yang ditujukan kepada dosen maupun mahasiswa seperti tentang
pembelajaran pendidikan pancasila di perguruan tinggi selama ini. Perbedaan
tersebut disebabkan antara dosen dan mahasiswa memiliki kapasitas yang berbeda
seperti dalam intelektual, kewenangan, dan lain sebagainya. Pedoman wawanvara
ini disusun agar informasi yang diperoleh akurat dan untuk menghindari
kesalahan-kesalahan dimana informasi yang diperoleh kurang setelah menemui
informan. Wawancara dilakukan langsung oleh peneliti dengan mendatangi
informan yang terkait dengan masalah yang sedang diteliti oleh penulis.
Wawancara ini dilakukan dengan tatap muka secara langsung dan secara lisan,
dimana peneliti memberikan pertanyaan secara lisan dan informan memberikan
jawaban secara lisan. Wawancara menggunakan cara tersebut karena dengan
memberikan pertanyaan secara lisan, informan mudah menangkap dan memahami
maksud dari peneliti, wawancara ini dilakukan di lokasi yang berbeda-beda
dengan pertimbangan menyesuaikan dengan jadwal dari informan. Selanjutnya
peneliti menulis dan mengumpulkan informasi yang telah didapatkan. Data yang
sudah terkumpul kemudian dianalisis dan selanjutnya disajikan dalam bentuk
karya ilmiah.
3. Observasi
Observasi digunakan untuk menggali data dari sumber data yang berupa
peristiwa, tempat dan lokasi, dan benda serta rekaman gambar. Penelitian ini
46
menggunakan teknik observasi langsung yaitu cara pengumpulan data yang
dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan gejala-gejala yang tampak pada
objek penelitian yang dilakukan secara langsung pada tempat terjadinya peristiwa.
Observasi yang dilakukan peneliti adalah dengan melihat secara langsung proses
belajar mengajar pada matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di
beberapa program studi di FKIP UNS dan matakuliah Filsafat Pancasila di
program studi PPKn. Untuk selengkapnya, hasil observasi kelas dapat dilihat pada
lampiran 04 dan foto-foto observasi kelas pada lampiran 05.
4. Analisis Dokumentasi
Selanjutnya untuk memperoleh data secara lengkap dan utuh selain dengan
jalan observasi dan wawancara, peneliti juga menggunakan metode analisis
dokumentasi. Motode ini diawali dengan cara mengumpulkan arsip-arsip dan
dokumen-dokumen yang relevan dengan permasalahan peneliti. Dokumen yang
telah terkumpul tersebut, kemudian dipilah-pilah menjadi beberapa bagian.
Pemilahan ini dilakukan untuk menentukan data mana yang dapat dipakai dan
data mana yang tidak. Jadi, metode dokumentasi merupakan metode yang
digunakan untuk memperoleh data yang berupa bahan tulis. Peneliti memilah
dokumen dalam beberapa bagian yang meliputi:
a. Untuk data yang berupa arsip yang hanya diambil yang berkaitan dengan
peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
1) UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2) PP No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
3) SK Ditjen Dikti No.43/2006 tentang Rambu-Rambu MPK di Perguruan Tinggi.
(Dapat dilihat pada lampiran 06)
b. Untuk data yang berasal dari responden (mahasiswa) diambil dengan
menggunakan kuesioner atau angket. Data dari angket tersebut digunakan
untuk mengetahui informasi yang berhubungan dengan permasalahan
penelitian yang kemudian diperdalam dengan wawancara secara mendalam.
c. Untuk data yang berupa dokumen yang berisi keterangan dari informan.
Adapun data tersebut adalah hasil wawancara yang dapat dilihat pada
lampiran 07 dan 08.
47
F. Validitas Data
Dalam penelitian kualitatif terdapat beberapa cara yang bisa dipilih untuk
pengambilan validitas (kesahihan) data penelitian. Cara-cara tersebut antara lain
berupa teknik trianggulasi dan informan review.
1. Trianggulasi
Menurut Lexy J. Moleong (1993 : 330) bahwa “Trianggulasi data adalah
teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang diluar data
itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu”.
Menurut Patton yang dikutip oleh H.B. Sutopo (2002 : 78) trianggulasi
data ada empat macam :
a. Trianggulasi Data, artinya data yang sama atau sejenis akan lebih mantap
kebenarannya bila digali dari beberapa sumber yang berbeda.
b. Triangulasi Metode, jenis triangulasi ini bisa dilakukan oleh seorang peneliti dengan
mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik dan metode yang
berbeda.
c. Trianggulasi Peneliti, yaitu hasil penelitian baik data atau simpulan mengenai bagian
tertentu atau keseluruhannya bisa diuji validitasnya dari beberapa peneliti.
d. Trianggulasi Teori, triangulasi ini dilakukan peneliti dengan menggunakan perspektif
lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji.
Penelitian ini menggunakan Trianggulasi Data dan Trianggulasi Metode.
Dengan trianggulasi data mengarahkan peneliti agar dalam pengumpulan data
harus menggunakan beragam sumber data yang tersedia. Artinya data yang sama
atau sejenis lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber yang
berbeda. Jika peneliti memperoleh data dari salah satu informan misalnya dari
mahasiswa mengenai proses belajar mengajar dalam perkuliahan pendidikan
pancasila maka peneliti mencocokkannya dengan data yang diperoleh dari
informan yang lain seperti pada dosen pengampu mata kuliah tersebut dan dengan
melalui catatan-catatan dalam observasi. Sedangkan trianggulasi metode dalam
penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data sejenis dengan menggunakan
metode wawancara dan penyebaran kuesioner.
48
2. Informan Review
Untuk mengukur keberhasilan data dalam penelitian ini, juga diperlukan
cara informan review, yaitu melaporkan hasil penelitian kepada informan utama
yang menjadi kunci dalam memperoleh informasi. Laporan penelitian selanjutnya
ditinjau dan diteliti untuk mengetahui apakah hasil penelitian tersebut merupakan
suatu yang dapat disetujui atau tidak.
G. Analisis Data
Untuk mendapat data yang objektif dalam pengumpulan data, maka
seorang peneliti harus melakukan proses analisis data. Menurut Lexy J. Moleong
(1993: 103) “Analisis data adalah proses mengorganisasikan data kedalam pola,
kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja seperti disarankan oleh data”.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif.
Menurut Miles dan Huberman (1992: 19) menyatakan bahwa:
Reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi sebagai sesuatu
yang jalin menjalin pada saat sebelumnya, selama, dan sesudah pengumpulan
data dalam bentuk yang sejajar, untuk membangun wawasan umum yang disebut
analisis.
Menurut pendapat Miles dan Huberman tersebut analisis data terdiri dari tiga alur
kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu: reduksi data, penyajian data, penarikan
kesimpulan atau verifikasi.
Untuk lebih jelas mengenai analisis data akan peneliti uraikan sebagai berikut:
1. Pengumpulan Data
Dalam proses ini peneliti melakukan kegiatan pengumpulan informasi yang
berupa kalimat-kalimat atau tulisan-tulisan yang dikumpulkan:
a. Dari dosen
Pengumpulan informasi berupa kalimat-kalimat atau tulisan-tulisan yang dikumpulkan
melalui kegiatan wawancara dan analisis dokumen.
b. Dari mahasiswa
49
Pengumpulan informasi didapatkan melalui kuesioner yang kemudian ditelusuri
secara lebih mendalam melalui kegiatan wawancara secara mendalam (indepth-
interview).
2. Reduksi Data
Reduksi data menurut Miles dan Huberman, (1992: 16) diartikan “sebagai
proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan
transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.”
Jadi reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi
data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat
ditarik dan diverifikasi.
3. Penyajian Data
Alur penting yang kedua dari kegiatan analisis adalah penyajian data.
Menurut Miles dan Huberman (1992: 17) menganggap penyajian data sebagai
“sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan”. Penyajian-penyajian yang lebih baik
merupakan suatu cara yang utama bagi analisis kualitatif yang valid. Penyajian-
penyajian tersebut meliputi berbagai jenis matriks, grafik, jaringan dan bagan.
Semuanya dirancang guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu
bentuk yang padu.
4. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi
Kegiatan analisis ketiga yang penting adalah menarik kesimpulan dan
verifikasi. Penarikan kesimpulan menurut Miles dan Huberman (1992: 19)
“hanyalah sebagian dari satu kegiatan dari konfigurasi yang utuh “. Menurutnya
kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung. Makna-
makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya, kekokohannya, dan
kecocokannya, yakni yang merupakan validitasnya.
Untuk lebih jelasnya dapat digambarkan seperti dibawah ini:
50
Gambar 2. Model Interaktif Menurut Miles dan Huberman
Berdasarkan gambar tersebut tiga jenis kegiatan analisis dan kegiatan
pengumpulan data itu sendiri merupakan proses siklus dan interaktif. Peneliti bergerak di
antara empat sumbu kumparan itu selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak bolak-
balik di antara kegiatan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau
verifikasi selama sisa waktu penelitian.
Dalam pengertian ini, analisis data kualitatif merupakan upaya yang berlanjut,
berulang dan terus-menerus. Masalah reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan atau verifikasi menjadi gambaran keberhasilan secara berurutan sebagai
rangkaian kegiatan analisis yang saling susul menyusul. Namun dua hal lainnya itu
senantiasa merupakan bagian dari lapangan. Jadi, tampak jelas bahwa dalam penelitian
kualitatif ini menggunakan proses siklus yang merupakan suatu yang saling menjalin atau
interaktif pada saat, sebelum, selama, dan sesudah penelitian untuk membangun wawasan
yang umum yang disebut analisis.
H. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian merupakan langkah-langkah yang dijelaskan secara rinci
yang akan dilaksanakan dalam penelitian ini dari awal sampai akhir penelitian. Suatu
penelitian agar diperoleh secara efisien, akurat, dan sesuai prosedural maka peneliti
menyusun tahap-tahap penulisan sebagai berikut:
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Penyajian Data
Kesimpulan-kesimpulan : Penarikan / Verifikasi
51
1. Tahap Pra Lapangan
Tahap ini dilakukan dengan melakukan kegiatan dari penentuan lokasi penelitian,
meninjau lokasi penelitian, membuat dan mengurus proposal serta mengurus perijinan
guna pelaksanaan penelitian di lapangan.
2. Tahap Pelaksanaan Lapangan
Tahap ini dimulai dengan kegiatan mengumpulkan data-data di lokasi penelitian
dengan wawancara mendalam kepada informan dosen, menyebar kuesioner atau angket
kepada mahasiswa yang kemudian diperdalam datanya dengan wawancara mendalam,
melakukan observasi serta mencatat dokumen-dokumen dan arsip-arsip yang berkaitan
dengan penelitian.
3. Tahap Analisis Data
Analisis data menurut Patton yang dikutip oleh Lexy J. Moleong (1993: 103)
adalah “Analisis data adalah proses mengatur data, mengorganisasikan kedalam suatu
pola kategori dan urutan dasar”. Dalam penelitian ini penulis melakukan kegiatan yang
berupa mengatur, mengelompokkan, memberi kode, dan mengorganisasikan data.
Kemudian data yang terkumpul cukup, maka data tersebut dianalisis untuk mengetahui
permasalahan yang diteliti sehingga dapat ditemukan tema dan dirumuskan dugaan
sementara ataupun adanya temuan studi.
4. Tahap Penulisan Laporan
Setelah tahap penganalisaan data, maka langkah selanjutnya yang akan
diambil yaitu menarik suatu kesimpulan dari permasalahan yang diteliti,
kemudian hasil dari penelitian ini akan ditulis laporan dalam bentuk skripsi.
52
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian
1. Gambaran Umum Universitas Sebelas Maret Surakarta
a. Sejarah dan Perkembangan Universitas Sebelas Maret Surakarta
Sejak tahun 1951 pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan,
Pengajaran, dan Kebudayaan telah memikirkan perlunya diselenggarakan lembaga
pendidikan yang menghasilkan guru untuk Sekolah Menengah Atas (SMA) dan
Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ini dibuktikan dengan didirikannya kursus-
kursus B.I di beberapa tempat wilayah tanah air.
Pada tahun 1951 di Surakarta juga didirikan kursus B.I, membina atau
jurusan dengan nama jurusan Tata Negara. Di samping itu pada tahun 1951 atas
prakarsa para guru pendidikan jasmani dan bekerjasama dengan inspkesi
Pendidikan Jasmani Surakarta dibentuklah kursus B.I Pendidikan Jasmani.
Dua lembaga tersebut semakin lama semakin berkembang dan dengan
melalui berbagai macam pengelolaan akhirnya berdirilah IKIP Negeri Surakarta
berdasarkan SK Menteri PTIP No. 5 tahun 1966 tertanggal 22 Januari 1966 dan
Sekolah Tinggi Olahraga Surakarta dengan berdasarkan SK Menteri Olahraga No.
40 tahun 1967 tanggal 1 April 1967.
Berdasarkan SK Presiden RI No. 10 tahun 1976 tanggal 8 Maret 1976
didirikan sebuah Universitas Negeri Surakarta dengan nama Universitas Negeri
Surakarta Sebelas Maret dan disingkat UNS. UNS merupakan penyatuan dari 5
(lima) perguruan tinggi yang ada di Surakarta pada waktu itu yaitu:
1) Istitut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Surakarta,
2) Sekolah Tinggi Olahgara (STO) Negeri Surakarta,
3) Akademi Admnistrasi Niaga (AAN) Negeri Surakarta,
4) Universitas Gabungan Sirakarta (UGS), dan
5) Fakultas Kedokteran Perguruan Tinggi Pembangunan Nasional Veteran (PTPN
Veteran) cabang Surakarta.
53
Pada awal kelahirannya Universitas Negeri Surakarta Sebelas Maret terdiri
atas 9 (Sembilan) Fakultas :
1) Fakultas Ilmu Pendidikan
2) Fakultas Keguruan
3) Fakultas Sastra Budaya
4) Fakultas Sosial Politik
5) Fakultas Hukum
6) Fakultas Ekonomi
7) Fakultas Kedokteran
8) Fakultas Pertanian
9) Fakultas Teknik
b. Lambang Universitas Sebelas Maret Surakarta
Lambang Universitas Sebelas Maret Surakarta mempunyai arti sebagai
berikut: 1) Lambang berbentuk bunga dengan empat daun, melambangkan bangsa,
maksudnnya Universitas Sebelas Maret mendidik putra putri bangsa yang kelak
akan membawa keharuman tanah air.
2) Tiga daun bunga: atas, samping kanan dan samping kiri, merupakan
pengejewantahan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
3) Satu daun bunga di bawah terdiri atas lima satuan melambangkan sila-sila
Pancasila.
4) Garis berbentuk empat daun bunga secara berantai sedemikian rupa
menggambarkan kesatuan seluruh Civitas Akademika dan warga kampus
Universitas Sebelas Maret.
5) Bentuk putik bunga digambarkan sebagai wiku.
6) Tulisan melingkar yang mirip aksara jawa adalah candrasangkala (hitungan tahun
jawa): “Mangethi Luhur Ambangun Negara” melambangkan angka tahun saka
1908 atau tahun Masehi 1976.
2. Gambaran Umum Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta
a. Sejarah dan Perkembangan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP)
Universitas Sebelas Maret Surakarta
54
Dengan lahirnya Universitas Negeri Surakarta Maret tersebut IKIP Negeri
Surakarta dan STO Negeri Surakarta ditutup dan selanjutnya menjadi fakultas di
lingkungan Universitas Negeri Surakarta Sebelas Maret (UNS) yang tergabung dalam
Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) dan Fakultas Keguruan.
Berdasarkan SK Presiden No. 55 tahun 1982 Fakultas Ilmu Pendidikan dan
Fakultas Keguruan digabung menjadi satu fakultas dengan nama Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan (FKIP).
Dalam perjalanan Program Studi yang terdapat di FKIP UNS mengalami
beberapa perubahan. Pada tahun Akademik 1997/1998 Program Studi yang ada di
FKIP UNS mengacu pada SK Dirjen Dikti No. 222/Dikti/Kep/1966 tanggal 11 Juli
1996. Berdasarkan SK tersebut Program Studi di lingkungan FKIP UNS sebanyak 16
Program Studi. Pada bulan Desember 2000, berdasarkan SK DIKTI Depdiknas No.
442/DIKTI/KEP/2000 tanggal 20 Desember tentang pembentukan Program Studi S1
Pendidikan Sosiologi Antropologi di UNS, maka mulai Tahun Akademik 2001/2002
secara resmi program Studi Pendidikan Sosiologi-Antropolgi di buka dibawah
jurusan P.IPS FKIP UNS. Sesuai dengan Surat Keputusan Dirjen Dikti nomor
400a/Dikti/Kep/1992 dan nomor 400b/Dikti/Kep/1992 FKIP UNS merupakan salah
satu lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) di Indonesia yang mendapat
tugas menyelenggarakan Program D-2 PGSD baik guru kelas maupun guru
Pendidikan Jasmani. Berdasarkan surat Dirjen Dikti Nomor 4856/D/T/2004 FKIP
UNS diizinkan menyelenggarakan Program Pendidikan Taman Kanak-Kanak baik
jenjang D-2 maupun S-1. Dengan demikian di FKIP sekarang ada 20 program studi,
yaitu:
1) Pendidikan Luar Biasa
2) Pendidikan Bimbingan dan Konseling
3) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah
4) Pendidikan Bahasa Inggris
5) Pendidikan Seni Rupa
6) Pendidikan Matematika
7) Pendidikan Fisika
8) Pendidikan Kimia
9) Pendidikan Biologi
10) Pendidikan Sejarah
11) Pendidikan Geografi
55
12) Pendidikan Kewarganegaraan
13) Pendidikan Ekonomi
14) Pendidikan Sosilogi Antropologi
15) Pendidikan Teknik Bangunan
16) Pendidikan Teknik Mesin
17) Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi
18) Pendidikan Kepelatihan Olahraga
19) Pendidikan Guru Sekolah Dasar
20) Pendidikan Guru Taman Kanak-Kanak.
b. Visi dan Misi
1) Visi
Sebagai Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret mempunyai visi yang
searah dengan visi Universitas Sebelas Maret yaitu: menjadi LPTK penghasil dan
pengembang tenaga kependidikan berkarakter kuat dan cerdas.
2) Misi
Untuk merealisasikan visi tersebut di atas maka misi Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan adalah:
a) Menyelenggarakan pendidikan, pengajaran dan bimbingan secara efektif
untuk menghasilkan tenaga kependidikan yang unggul, berdaya saing tinggi,
mandiri, dan berkepribadian;
b) Melaksanakan penelitian yang mendukung pelaksanaan pendidikan dan
pengajaran serta mampu menjadi penghasil bagi berbagai kegiatan inovatif
dalam bidang kependidikan;
c) Menyelenggarakan kegiatan kengabdian kepada masyarakat dalam bidang
kependidikan yang bermanfaat bagi masyarakat;
d) Mengembangkan ilmu, teknologi, dan seni yang menunjang pengembangan
bidang kependidikan.
c. Susunan Organisasi FKIP UNS
1) Unsur Pimpinan Fakultas
Fakultas adalah unsur pelaksana akademik yang melaksanakan sebagian
tugas pokok dan fungsi UNS yang berada dibawah rektor. Fakultas mempunyai
tugas mengkoordinasikan dan atau melaksanakan pendidikan akademik dan atau
56
profesional dalam suatu atau seperangkat cabang ilmu pengetahuan, teknologi
dan atau kesenian tertentu.
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan merupakan salah satu dari
Sembilan fakultas yang ada, mempunyai fungsi:
a) Melaksanakan dan mengembangkan pendidikan.
b) Melaksanakan penelitian untuk pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan atau kesenian.
c) Melaksanakan pengabdian masyarakat.
d) Melaksanaan pembinaan civitas akademika.
e) Melaksanakan urusan dan tata usaha fakultas.
Fakultas dipimpin oleh dekan yang bertanggung jawab langsung kepada
rektor. Dekan mempunyai tugas memimpin penyelenggaraan pendidikan,
penelitian pengabdian kepada masyarakat, membina tenaga kependidikan,
mahasiswa, tenaga administrasi dan administrasi fakultas. Dalam melaksanakan
tugas sehari-hari, dekan dibantu oleh tiga orang pembantu dekan yang
bertanggung jawab langsung kepada dekan. Pembantu dekan sebagai pelaksana
tugas sehari-hari dekan, terdiri atas:
a) Pembantu Dekan Bidang Akademik yang selanjutnya disebut Pembantu
Dekan I, mempunyai tugas membantu dekan dalam memimpin pelaksanaan
pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
b) Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum dan Keuangan yang
selanjutnya disebut Pembantu Dekan II. Pembantu Dekan II mempunyai
tugas membantu Dekan dalam memimpin pelaksanaan kegiatan di bidang
Administrasi Umum dan Keuangan.
c) Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan yang selanjutnya disebut Pembantu
Dekan III. Pembantu Dekan III mempunyai tugas membantu dekan dalam
memimpin pelaksanaan kegatan dibidang pembinaan serta layanan
kesejahteraan mahasiswa.
2) Senat Fakultas
Senat Fakultas adalah badan normatif dan perwakilan tertinggi di
lingkungan fakultas yang memiliki wewenang untuk menjabarkan kebijakan dan
peraturan universitas. Senat Fakultas IKIP terdiri atas guru besar, pemimpin
fakultas, para Ketua Jurusan dan wakil dosen. Senat fakultas diketuai oleh Dekan
57
didampingi oleh seorang Sekretaris Senat dipilih diantara para anggotanya.
Jabatan Sekretaris Senat setara dengan Pembantu Dekan.
3) Unsur Pelaksana Akademik
a) Jurusan
Jurusan adalah unsur pelaksana akademik pada fakultas di bidang studi
tertentu yang berada dibawah dekan. Jurusan dipmpin oleh seorang ketua
jurusan yang dipilih dari antara tenaga pengajar dan bertanggung jawab
langsung kepada dekan. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari, ketua
jurusan dibantu sekretaris jurusan. Jurusan mempunyai tugas melaksanakan
pendidikan akademik, dan atau profesional sebagian atau cabang ilmu
pengetahuan, teknologi atau kesenian tertentu.
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta
memiliki enam jurusan, yaitu:
(1) Jurusan Ilmu Pendidikan (IP)
(2) Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS)
(3) Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (PMIPA)
(4) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni (PBS)
(5) Jurusan Pendidikan Teknik dan Kejuruan (PTK)
(6) Jurusan Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (POK)
b) Program Studi
Program studi adalah unsur pelaksana akademik pada jurusan dibidang studi
tertentu yang berada dibawah ketua jurusan. Program studi dipimpin oleh
seorang ketua yang dipilih diantara tenaga dan bertanggung jawab langsung
kepada ketua jurusan. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari ketua pogram
studi dibantu oleh seorang sekretaris program. Program studi yang ada pada
masing-masing jurusan di FKIP adalah sebagai berikut:
(1) Jurusan Ilmu Pendidikan (IP), dengan program studi sebagai berikut:
(a) Pendidikan Luar Biasa (PLB)
(b) Bimbingan dan Konseling
(c) Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD)
(d) Pendidikan Guru Taman Kanak-Kanak (PGTK)
(2) Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS), dengan program
studi sebagai berikut:
(a) Pendidikan Ekonomi yang terdiri atas:
58
(1)) Bidang Keahlian Khusus Pendidikan Tata Niaga
(2)) Bidang Keahlian Khusus Pendidikan Akuntansi
(3)) Bidang Keahlian Khusus Pendidikan Administrasi Perkantoran.
(b) Pendidikan Kewarganegaraan
(c) Pendidikan Geografi
(d) Pendidikan Sejarah
(e) Pendidikan Sosiologi Antropologi
(3) Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (PMIPA),
dengan program studi sebagai berikut:
(a) Pendidikan Matematika
(b) Pendidikan Fisika
(c) Pendidikan Kimia
(d) Pendidikan Biologi
(4) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni (PBS), dengan program studi
sebagai berikut:
(a) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah
(b) Pendidikan Bahasa Inggris
(c) Pendidikan Seni Rupa
(5) Jurusan Pendidikan Teknik dan Kejuruan (PTK), dengan program studi
sebagai berikut:
(a) Pendidikan Teknik Mesin
(b) Pendidikan Teknik Bangunan
(6) Jurusan Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (POK), dengan program
studi sebagai berikut:
(a) Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi
(b) Pendidikan Kepelatihan Olahraga
c) Laboratorium
Laboratorium atau studio merupakan perangka penunjang pelaksanaan
pendidikan pada jurusan pendidikan akademik dan atau profesional.
Laboratorium FKIP UNS tidak mengacu pada jurusan, tetapi pada program
studi. Oleh karena itu, pada setiap program studi mempunyai laboratorium
atau studio yang dipimpin oleh kepala yang bertanggung jawab kepada Ketua
Program Studi.
59
d) Dosen
Dosen adalah tenaga pengajar di lingkungan fakultas yang berada dibawah
dan bertanggung jawab langsung kepada dekan. Dekan terdiri atas dosen
biasa, dosen luar biasa dan dosen tamu. Jenis dan jenjang kepangkatan tenaga
pengajar diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dosen mempunyai tugas utama mengajar, membimbing dan atau melatih
mahasiswa serta melakukan penelitian pengabdian kepada masyarakat.
4) Unsur Penunjang
a) Program Pengalaman Lapangan (PPL)
PPL merupakan salah satu kegiatan intrakulikuler yang dilaksanakan
oleh mahasiswa FKIP, yang mencakup kegiatan mengajar dan latihan
melaksanakan tugas-tugas kependidikan lainnya. PPL dilaksanakan secara
terbimbing dan terpadu untuk memenuhi persyaratan profesi kependidikan.
b) Perpustakaan
Perpustakaan mempunyai fungsi pelayanan bahan pustaka dan
kegiatan-kegiatan lain untuk keperluan pendidikan dan pengajaran, penelitian
serta pengabdian kepada masyarakat, kepada mahasiswa, dosen dan
karyawan di lingkungan FKIP pada khususnya dan UNS pada umumnya.
d. Daftar Nama Pimpinan dan Pejabat Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta Periode 2007-2011
Tabel 7. Daftar Nama Pimpinan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta Periode 2007-2011
No Nama Jabatan
1. Dekan Prof. Dr. HM. Furqon Hidayatullah, M.Pd
2. Pembantu Dekan I Dr. rer. nat. Sajidan, M.Si
3. Pembantu Dekan II Drs. Sugiyanto, M.Si., M.Si
4. Pembantu Dekan III Drs. Amir Fuady, M.Hum
(Sumber : Data Sekunder dari Buku Pedoman Akademik Tahun 2008/2009)
60
Tabel 8. Daftar Nama Pejabat Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta Periode 2007-2011
No Nama Jabatan
1. Drs. Syaiful Bachri, M.Pd Ketua Jurusan Pendidikan IPS
Drs. Sunarto, M.M Sekretaris Jurusan Pendidikan IPS
2. Dr. Sri Haryati, M.Pd Ketua Program Studi Pend.
Kewarganegaraan
Drs. Machmud A.R., S.H, M.Si Sekretaris Program Studi Pend.
Kewarganegaraan
3. Drs. Djono, M.Pd Ketua Prog. Studi Pendidikan
Sejarah
Dra. Sri Wahyuni, M.Pd Sekretaris Prog. Studi Pendidikan
Sejarah
4. Drs. Partoso Hadi, M.Si Ketua Prog. Studi Pendidikan
Geografi
Setyo Nugraha, S.Si, M.Si Sekretaris Prog. Studi Pendidikan
Geografi
5. Drs. M.H. Sukarno, M.Pd Ketua Prog. Studi Pend. Sosio-
Antropologi
Drs. N. Muhsin Iskandar, M.Pd Sekretaris Prog. Studi Pend. Sosio-
Antropologi
6. Drs. Sutaryadi, M.Pd Ketua Prog. Studi Pend. Ekonomi
Aniek Hindrayani, S.E, M.Si Sekretaris Prog. Studi Pend.
Ekonomi
7. Dra. CDS Indrawati, M.Pd Kabid. Keahlian Khusus Pend.
Adm. Perkantoran
Dra. Tri Murwaningsih, M.Si Sekbid. Keahlian Khusus Pend.
Adm. Perkantoran
8. Sudarno, S.Pd, M.Pd Kabid. Keahlian Khusus Pend. Tata
Niaga
Dra. D. Kusumawardani, M.Si Sekbid. Keahlian Khusus Pend. Tata
Niaga
9. Drs. Wahyu Adi, M.Pd Kabid. Keahlian Khusus Pend.
Akuntansi
Drs. Ngadiman, M.Si Sekbid. Keahlian Khusus Pend.
Akuntansi
10. Drs. Suparno, M.Pd Ketua Jurusan Pend. Bahasa dan
Seni
Drs. Mulyanto, M.Pd Sekretaris Jurusan Pend. Bahasa dan
Seni
11. Drs. Martono, M.A Ketua Prog. Studi Pend. Bhs.
Inggris
Teguh Sarosa, S.S, M.Hum Sekretaris Prog. Studi Pend. Bhs.
Inggris
12. Drs. Slamet M., M.Pd Ketua Prog. Studi Pend. Bhs. dan
61
Sastra Indonesia dan Daerah
Dra. Ani Rahmawati, M.A Sekretaris Prog. Studi Pend. Bhs.
dan Sastra Indonesia dan Daerah
13. Drs. Tjahjo Prabowo, M.Sn Ketua Prog. Studi Pend. Seni Rupa
Drs. Margana, M.Sn Sekretaris Prog. Studi Pend. Seni
Rupa
14. Drs. H. Agus Margono, M.Kes Ketua Jurusan Pend. OR dan
Kesehatan
Drs. H. Mulyono, MM Sekretaris Jurusan Pend. OR dan
Kesehatan
15. Drs. Bambang Wijanarko,
M.Kes
Ketua Prog. Studi Pend.
Kepelatihan OR
Drs. H. Agustiyanta, M.Pd Sekretaris Prog. Studi Pend.
Kepelatihan OR
16. Drs. H. Sunardi, M.Kes Ketua Prog. Studi Penjaskesrek
Drs. Agus Mukholid, M.Pd Sekretaris Prog. Studi Penjaskesrek
17. Drs. Sapto Kunto P. M.Pd Ketua D2 Prog. Studi PGSD Penjas
Drs. Waluyo, M.Or Sekretaris D2 Prog. Studi PGSD
Penjas
18. Drs. Suwachid, M.Pd, M.T Ketua Jurusan Pendidikan Teknik
dan Kejuruan
Ir. Chundakus Habsya, M.SA Sekretaris Jurusan Pendidikan
Teknik dan Kejuruan
19. Drs. C. Sudibyo, M.T Ketua Prog. Studi Pend. Teknik
Mesin
Drs. Ranto H.S., M.T Sekretaris Prog. Studi Pend. Teknik
Mesin
20. Drs. A.G. Tamrin, M.M, M.Si Ketua Prog. Studi Pend. Teknik
Bangunan
Drs. Agus Efendi, M.Pd Sekretaris Prog. Studi Pend. Teknik
Bangunan
21. Dra. Kus Sri Martini, M.Si Ketua Jurusan Pendidikan MIPA
Drs. Gatut Iswahyudi, M.Si Sekretaris Jurusan Pendidikan
MIPA
22. Dra. Sri Widoretno, M.Si Ketua Prog. Studi Pendidikan
Biologi
Dra. Muzzayinah, M. Si Sekretaris Prog. Studi Pendidikan
Biologi
23. Dra. Rini Budhiharti, M.Pd Ketua Prog. Studi Pendidikan Fisika
Drs. Supurwoko, M.Si Sekretaris Prog. Studi Pendidikan
Fisika
24. Triyanto, S.Si, M.Si Ketua Prog. Studi Pendidikan
Matematika
Sutopo, S.Pd, M.Pd Sekretaris Prog. Studi Pendidikan
Matematika
62
25. Dra. Hj. Tri Rejeki, M.S Ketua Prog. Studi Pendidikan Kimia
Dra. Bakti Mulyani, M.Si Sekretaris Prog. Studi Pendidikan
Kimia
26. Drs. R. Indianto, M.Pd Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan
Drs. Sukarno, M.Pd Sekretaris Jurusan Ilmu Pendidikan
27. Drs. Abdul Salim Choiri, M.Kes Ketua Prog. Studi Pendidikan
Khusus
Drs. Maryadi, M.Ag Sekretaris Prog. Studi Pendidikan
Khusus
28. Dra. H. Chasiyah Ketua Prog. Studi Bimbingan
Konseling
Dra. Hj. Chodijah HA, M.Pd Sekretaris Prog. Studi Bimbingan
Konseling
29. Drs. Kartono, M.Pd Ketua D2 Prog. Studi PGSD
Drs. Hasan Mahfud, M.Pd Sekretaris D2 Prog. Studi PGSD
(Kmps. Ska)
Drs. Sarcowi Sekretaris D2 Prog. Studi PGSD
(Kmps.Kebumen)
30. Dra. Siti Wahyuningsih, M.Pd Ketua D2 Prog. Studi PGTK
Dra. Siti Mardiyati, M.Si Sekretaris D2 Prog. Studi PGTK
(Kmps. Ska)
Drs. Suhartono, M.Pd Sekretaris D2 Prog. Studi PGTK
(Kmps. Kebumen)
Drs. Wahyudi, M.Pd Sekretaris Prog. Studi S1 PGSD
(Kmps. Kebumen)
(Sumber : Data Sekunder dari Buku Pedoman Akademik Tahun 2008/2009)
B. Deskripsi Permasalahan Penelitian
1. Persepsi Dosen dan Mahasiswa terhadap pendidikan pancasila
Pasca SK Ditjen Dikti No.43/2006
a. Persepsi Dosen
Persepsi merupakan proses kognitif seseorang dalam memandang atau
mengartikan sesuatu melalui pengamatan secara global dalam panca inderanya
dengan cara menyeleksi, mengorganisasi dan menginterpretasikannya sehingga dapat
menyimpulkan informasi yang diterima dan menafsirkan pesan serta mempengaruhi
sikap dan perilakunya. Persepsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah persepsi
dosen yang pernah mengampu matakuliah ilmu pancasila maupun dosen pengampu
matakuliah PKn terhadap pendidikan tentang pancasila di Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang dapat diuraikan sebagai
berikut:
1) Pendidikan tentang pancasila di perguruan tinggi
63
a) Eksistensi pendidikan tentang pancasila di perguruan tinggi saat ini
Pendidikan pancasila yang tidak lagi tercantum sebagai matakuliah wajib
dalam kurikulum UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas maupun dalam SK
Ditjen Dikti No 43 tahun 2006 berkaitan dengan eksistensi pendidikan
tentang pancasila di perguruan tinggi. Mengenai eksistensi tersebut, dosen
yang pernah mengampu matakuliah ilmu pancasila maupun dosen pengampu
matakuliah PKn memberikan persepsinya.
Pendidikan tentang pancasila saat ini masih ada, namun tidak
seperti dahulu yang menjadi matakuliah wajib melainkan sekarang
menjadi bagian dalam matakuliah PKn. Hal tersebut dituturkan oleh ID
1 dalam wawancara tanggal 05 Agustus 2009 pada pukul 11.00 WIB di
kantor MKU UNS:
Masih tetap eksis namun saat ini pendidikan pancasila sudah
tidak menjadi matakuliah wajib seperti dulu dan hanya
merupakan bagian dari matakuliah PKn. Secara politis
kaitannya dengan pancasila mulai terpinggirkan, sehingga
pendidikannya juga menjadi kurang diperhatikan.
Wawancara kepada ID 5 tanggal 29 Juni 2010 pada pukul
10.15 WIB di kantor Prodi PPKn menyatakan bahwa “pasca orde baru,
pancasila masih eksis sebagai norma dasar, tetapi dalam
pelaksanaannya sudah mulai ditinggalkan. Apalagi dalam dunia
pendidikan, pendidikan pancasila sudah tidak diberikan secara
mendalam”. Wawancara kepada ID 2 tanggal 07 Oktober 2009 pada
pukul 09.30 WIB di kantor Prodi PPKn bahwa “eksistensi pendidikan
tentang pancasila masih ada, tetapi sekarang sudah tidak lagi menjadi
matakuliah”.
Pendidikan Pancasila sebagai matakuliah yang tidak lagi
tercantum dalam kurikulum UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas
berlaku untuk semua jenjang pendidikan mulai dari tingkat dasar
hingga perguruan tinggi. Hal tersebut menjadikan ID 4 memberikan
persepsinya dalam wawancaranya tanggal 17 September 2009 pukul
08.30 WIB di kantor Program Studi PGSD FKIP UNS bahwa
64
“pendidikan nilai atau pendidikan tentang pancasila kurang begitu
eksis mulai dari tingkat SD sampai perguruan tinggi karena dalam
kurikulumnya sudah tidak ada”. Wawancara kepada ID 3 tanggal 15
September 2009 pada pukul 09.00 WIB di kantor Program Studi
PGSD FKIP UNS “masih ada, namun hanya menjadi bagian dari
PKn”.
Hal senada juga disampaikan ID 6 dalam wawancara tanggal
21 Juli 2010 pada pukul 13.00 WIB di kantor Program Studi
Pendidikan Sejarah FKIP UNS “pendidikan pancasila masih tetap
eksis, namun hanya sebatas terdapat dalam bagian matakuliah PKn”.
Sedangkan dalam wawancara kepada ID 7 Tanggal 21 Juli 2010 pada
pukul 11.15 WIB di kantor Program Studi Pendidikan Sosiologi
Antropologi FKIP UNS bahwa “eksistensi pendidikan pancasila tidak
jelas, mengambang, tidak dinyatakan secara formal dalam kurikulum
dan hanya terdapat dalam PKn”.
Dari persepsi tersebut diatas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa eksistensi pendidikan tentang pancasila saat ini masih ada,
tetapi tidak seperti dahulu yang berdiri sebagai matakuliah wajib dan
sekarang hanya menjadi sub pokok bahasan dalam matakuliah PKn.
Hal tersebut karena pendidikan pancasila tidak tercantum secara
formal dalam kurikulum di perguruan tinggi.
b) Pendidikan tentang pancasila diperlukan dalam tataran pendidikan tinggi
Mengingat persepsi terhadap eksistensi pendidikan tentang pancasila
tersebut maka menjadi pertanyaan adalah apakah pendidikan tentang
pancasila diperlukan atau tidak dalam tataran pendidikan tinggi. Berikut
uraian persepsi dosen terhadap hal tersebut.
Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia dan sumber dari
segala sumber hukum dijadikan pertimbangan tersendiri oleh ID 1 dalam
wawancara tanggal 05 Agustus 2009 pada pukul 11.00 WIB di kantor MKU
UNS dengan memberikan persepsi perlunya pendidikan pancasila di
perguruan tinggi.
65
Perlu sebab secara yuridis pancasila adalah sebagai dasar negara dan
merupakan sumber dari segala sumber hukum. Sehingga segala
bentuk peraturan harus sesuai dengan pancasila. Secara filosofis,
pancasila digunakan sebagai pedoman dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Wawancara kepada ID 6 tanggal 21 Juli 2010 pada pukul 13.00
WIB di kantor Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UNS “Perlu, karena
pancasila adalah dasar, pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara”.
Pendidikan tinggi sebagai salah satu pencetak generasi penerus
bangsa memiliki peran yang berpengaruh didalam pembentukan kepribadian
mahasiswa adalah merupakan persepsi ID 2 dalam wawancara tanggal 07
Oktober 2009 pada pukul 09.30 WIB di kantor Program Studi PPKn FKIP
UNS :
Ya perlu sebab pendidikan tinggi adalah salah satu pencetak
generasi penerus bangsa sehingga perlu diberikan pendidikan
pancasila agar dalam kehidupannya kelak memiliki kepribadian
yang baik, bertanggungjawab dan mampu memecahkan
permasalahan yang ada dengan bijaksana.
Persepsi senada juga disampaikan ID 3 dalam wawancara tanggal 15
September 2009 pada pukul 09.00 WIB di kantor Program Studi PGSD FKIP
UNS yang menyatakan bahwa “pendidikan pancasila diperlukan dalam
pendidikan tinggi, karena biar bagaimanapun generasi muda harus memiliki
pengetahuan dan pemahaman terhadap dasar negaranya”. Selain itu,
wawancara lain yang ditujukan kepada ID 4 tanggal 17 September 2009 pada
pukul 08.30 WIB di kantor Program Studi PGSD FKIP UNS “Ya karena itu
penting kaitannya dengan pembentukan kepribadian bagi mahasiswa”.
Wawancara kepada ID 5 tanggal 29 Juni 2010 pada pukul 10.15 WIB
di Prodi PPKn yang menyatakan bahwa “Perlu, ini berkaitan dengan masa
depan bangsa. Jika pendidikan pancasila sudah tidak diberikan maka apa
jadinya mungkin banyak mahasiswa yang lupa, tidak kenal dengan
pancasila”. Pentingnya mengetahui, memahami dan mengamalkan arti
penting pancasila atau nilai-nilai pancasila dalam kehidupan mahasiswa
66
merupakan point penting yang disampaikan oleh ID 7 tanggal 21 Juli 2010
pada pukul 11.15 WIB di kantor Program Studi Pendidikan Sosiologi
Antropologi FKIP UNS :
Perlu sebab mahasiswa perlu mengetahui pancasila dari segi hakikat,
filosofis yang tidak hanya sekedar kognitif saja melainkan harus
diketahui dan disadari arti penting dari sila-sila pancasila tersebut
sehingga setelah dihayati, maka diharapkan dapat mengamalkan
dalam kehidupannya sehari-hari. Pendidikan tinggi harus mengenal
hakikat pancasila sehingga diharapkan mahasiswa dapat
merenungkan apakah pancasila itu baik atau tidak.
Dari berbagai persepsi tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa
pendidikan tentang pancasila diperlukan dalam pendidikan tinggi. Hal
tersebut mengingat bahwa pendidikan tinggi memegang peranan penting
dalam mencetak generasi penerus bangsa yang kelak akan memegang
kepemimpinan. Sehingga pendidikan pancasila diperlukan dalam upaya
mengenalkan kepada mahasiswa hakikat pancasila sebagai dasar negara yang
merupakan sumber dari segala sumber hukum yang diharapkan mampu
memecahkan persoalan-persoalan dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
2) Permasalahan dalam pembelajaran pancasila
Pasca SK Dikti No.43/2006 dalam pembelajaran pendidikan pancasila
mengalami perubahan. Dari segi proses dianggap oleh mahasiswa seperti mata
kuliah PKn (Pendidikan Kewarganegaraan), padahal sebetulnya pancasila
berbeda substansinya dengan kewarganegaraan. Materi yang diberikan (tentang
pancasila) menjadi sedikit. Materi-materi tentang historis, yuridis dan filosofis
tidak disampaikan, meskipun disampaikan namun sifatnya hanya gambaran
umum (dasar-dasarnya) dan tidak terperinci.
Dalam segi hasil dapat dikatakan pemahaman tentang pancasila semakin sedikit
karena materinya hanya diberikan maksimal 2 kali pertemuan dalam perkuliahan
PKn sehingga sulit memberikan pemahaman yang optimal. Dalam proses
pembelajaran terdapat komponen dari pemahaman menimbulkan motivasi,
motivasi menimbulkan sikap, dan sikap menimbulkan perilaku. Jika pemahaman
sudah berkurang, motivasinya pun juga berkurang sehingga sikapnya juga jauh
dari pengamalan atau penerapan di dalam praktek keseharian.
67
Di dalam setiap pembelajaran tidak akan terlepas dari adanya permasalahan
dalam pembelajarannya dan tidak terkecuali dalam pembelajaran pancasila di
perguruan tinggi. Dalam mengungkap permasalahan yang ada dalam
pembelajaran pancasila informan memberikan persepsi yang beragam. Berikut
persepsi dosen terhadap permasalahan pembelajaran pancasila di perguruan
tinggi:
Penanaman nilai adalah point yang utama yang ada dalam
permasalahan pembelajaran pendidikan pancasila menurut ID 1 selaku
ketua MKU UNS dalam wawancara tanggal 07 Oktober 2009 pada pukul
11.30 WIB bahwa:
Permasalahan yang utama dalam pembelajaran pancasila adalah
bagaimana cara agar dapat memberikan penanaman terhadap nilai-nilai
pancasila bagi mahasiswa. Sehingga dalam perkuliahan perlu adanya
pembahasan secara filosofis. Sehingga yang menjadi inti
permasalahannya adalah bagaimana mentransfer pengetahuan pancasila
pada mahasiswa agar tidak dianggap abstrak.
Masalah lain dalam pembelajaran juga dikaitkan dengan motivasi dan
antusiasme mahasiswa dalam perkuliahan. Dalam beberapa kali peneliti
melakukan observasi kelas pada perkuliahan PKn di beberapa program studi di
FKIP UNS memperlihatkan bahwa antusiasme atau kesadaran diri mahasiswa
untuk aktif dalam kelas masih kurang. Hal tersebut diperlihatkan dengan masih
jarangnnya mahasiswa yang mengemukakan pendapat maupun bertanya. Jika pun
ada yang bertanya maupun mengemukakan pendapat tidak didasari dalam diri
mahasiswa tersebut tetapi dipengaruhi oleh faktor nilai. Pemberian nilai plus
kepada mahasiswa diberikan oleh dosen pengampu agar mahasiswa menjadi aktif
saat perkuliahan. Pemberian nilai plus tersebut disatu sisi memiliki kelebihan
yakni mahasiswa menjadi aktif dalam perkuliahan, namun disisi yang lain juga
menimbulkan kelemahan dimana tidak adanya kesadaran dalam diri yang
memang benar-benar termotivasi dalam diri. Hal tersebut seperti penuturan ID 5
dalam wawancara tanggal 29 Juni 2010 pada pukul 11.00 WIB bahwa:
Mahasiswa cenderung males mengikuti kuliah dan meremehkan kuliah
pancasila. Alasannya, menganggap meteri pancasila tidak mengasyikkan,
selain itu maindset dan persepsi terhadap pancasila di kalangan
mahasiswa sudah negatif dan kurang mendukung. Pancasila dinilai
kurang menyentuh aspek-aspek kehidupan mahasiswa (segi
kebermanfaatan kurang dirasakan mahasiswa).
68
Kesulitan dalam buku referensi atau sumber bacaan masih terbatas di
beberapa program studi seperti di program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
(PGSD) di Kleco Surakarta. Selain itu, ada faktor sosial ekonomi dalam
pengadaan buku atau sumber referensi untuk mahasiswa. Hal tersebut seperti
yang disampaikan oleh ID 3 dalam wawancara tanggal 15 September 2009 pada
pukul 09.00 WIB di kantor Program Studi PGSD FKIP UNS “Buku referensi
terbatas karena buku dari MKU yang tidak dikonsumsikan untuk publik. Selain
itu jika mahasiswa diwajibkan untuk membeli buku ya... mahasiswa kasihan juga.
Sayangnya pancasila hanya menjadi sub bagian dalam PKn”.
Wawancara kepada ID 4 tanggal 17 September 2009 pada pukul 08.30
WIB di kantor Program Studi PGSD FKIP UNS:
Khususnya mahasiswa kami PGSD, yaitu terutama masalah buku.
Mahasiswa belum terlengkapi dengan buku-buku tentang pancasila,
terlebih lagi buku wajib sehingga dalam proses pembelajaran, mahasiswa
hanya mengkopi buku-buku dari dosen. Permasalahan sumber buku atau
sumber bacaan juga terkait dengan masalah sosial ekonomi mahasiswa.
Sehingga mahasiswa memperhatikan dan mencatat apa yang disampaikan
di kelas, selain itu jika mahasiswa hanya belajar dari materi power point,
maka menurut saya itu tidak efektif untuk memberikan pemahaman dan
menjadikan pengetahuan mahasiswa hanya sedikit.
Terbatasnya materi dan waktu dalam perkuliahan menimbulkan
permasalahan tersendiri bagi dosen pengampu sehingga konsekuensinya
mahasiswa memiliki pengetahuan dan pemahaman yang tidak optimal terhadap
pancasila. Hal tersebut seperti penuturan ID 6 dalam wawancara tanggal 21 Juli
2010 pada pukul 13.00 WIB di kantor Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP
UNS permasalahan dalam pembelajaran pancasila adalah “materi yang lebih
sedikit disebabkan waktu yang dialokasikan terbatas”.
Kemudian wawancara kepada ID 2 tanggal 07 Oktober 2009 pada pukul
09.30 WIB di kantor Program Studi PPKn FKIP UNS bahwa ”mahasiswa kurang
memahami materi secara keseluruhan (dari segi kurikulum) karena tidak ada
materi yang diajarkan secara terperinci seperti pancasila yang ditinjau dari aspek
historis dan yuridis”. Wawancara kepada ID 7 tanggal 21 Juli 2010 pada pukul
11.15 WIB di kantor Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi FKIP
UNS “Permasalahannya menurut saya ya mestinya pancasila diajarkan secara
sendiri, tetapi kenyataannya tidak bisa diajarkan secara mendalam sebab hal
tersebut sudah diatur dalam kurikulum yang ada”.
69
Dari berbagai persepsi dosen yang telah diuraikan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa permasalahan pembelajaran pancasila di FKIP UNS adalah
sebagai berikut:
a) motivasi dan antusiasme mahasiswa dalam perkuliahan masih rendah;
b) maindset dan persepsi mahasiswa terhadap pancasila negatif dan kurang
mendukung karena pancasila dinilai kurang menyentuh aspek-aspek
kehidupan mahasiswa, segi kebermanfaatan kurang dirasakan mahasiswa;
c) terbatasnya buku/sumber referensi;
d) materi yang diajarkan tidak diajarkan secara terperinci/mendalam seperti
pancasila yang ditinjau dari aspek historis dan yuridis dikarenakan
terbatasnya alokasi waktu;
e) pancasila diajarkan secara sendiri, tetapi kenyataannya tidak bisa diajarkan
secara mendalam sebab hal tersebut sudah diatur dalam kurikulum yang ada.
b. Persepsi Mahasiswa
Untuk mengetahui persepsi mahasiswa terhadap pendidikan tentang
pancasila di FKIP UNS langkah awal yang dilakukan peneliti adalah
menggunakan kuesioner atau angket yang digunakan sebagai data awal mengenai
gambaran umum terhadap pendidikan pancasila dan pembelajaran pendidikan
pancasila di perguruan tinggi. Dari gambaran umum yang diperoleh kemudian
ditindaklanjuti dengan wawancara secara mendalam untuk mengetahui dan
mengkroscekkan kebenarannya dengan responden. Adapun kuesioner/angket
dapat dilihat pada lampiran 09.
Dalam penelitian ini, daftar pertanyaan baik yang ada dalam angket
maupun dalam pedoman wawancara yang ditujukan kepada mahasiswa sedikit
berbeda dengan pedoman wawancara yang ditujukan kepada dosen. Hal tersebut
mengingat antara dosen dan mahasiswa memiliki kapasitas yang berbeda dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti tentang tema yang
diangkat dalam penelitian ini. Selain itu, antara dosen dan mahasiswa memiliki
perbedaan baik dalam segi intelektual, kewenangan, dan lain sebagainya.
Sehingga dalam hal ini, persepsi dosen dan mahasiswa tetap satu rumpun yakni
tentang pendidikan pancasila di perguruan tinggi namun pembahasannya sedikit
berbeda. Namun demikian, terdapat beberapa kesamaan hasil penelitian baik yang
70
bersumber dari mahasiswa maupun dari dosen seperti dalam hal pembelajaran
pendidikan pancasila di perguruan tinggi selama ini yang memiliki beberapa
permasalahan.
1) Persepsi terhadap pendidikan tentang pancasila di perguruan tinggi
Persepsi mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di perguruan
tinggi yang dimaksud dalam hal adalah persepsi tentang apakah pendidikan
tentang pancasila diperlukan di perguruan tinggi. Tanggapan dari mahasiswapun
beraneka ragam. Berikut persepsi mahasiswa baik yang telah maupun yang
sedang menempuh pendidikan pancasila dalam matakuliah PKn yang
menganggap pendidikan tentang pancasila diperlukan di perguruan tinggi:
a) Wawancara kepada IM 1 tanggal 13 Oktober 2009 di Loby gedung D FKIP
UNS pada pukul 11.00 WIB menyatakan bahwa “pendidikan pancasila
diperlukan dengan alasan agar warga negara tahu tentang pancasila, sehingga
diharapkan dapat tumbuh sikap nasionalisme atau cinta tanah air”.
b) Wawancara kepada IM 2 tanggal 13 Oktober 2009 pada pukul 16.40 di
rumah “Ya, sebab selain adanya pendidikan tentang agama, pedidikan
tentang pancasila juga dibutuhkan untuk menanamkan nilai-nilai moral pada
mahasiswa”.
c) Wawancara kepada IM 3 tanggal 13 Oktober 2009 pukul 10.00 WIB di Loby
Gedung F FKIP UNS “menurut saya perlu untuk menanamkan moral kepada
mahasiswa”.
d) Wawancara kepada IM 4 tanggal 08 September 2009 pukul 16.00 WIB di kos
“Ya karena dalam pancasila terdapat nilai-nilai yang dapat menjadi
pandangan dan pedoman warga negara”.
e) Wawancara kepada IM 6 tanggal 09 September 2009 pukul 15.10 WIB di kos
“Perlu, jika pedoman diberikan dari awal akan baik untuk memberi arah
sehingga bisa menerapkan dan bahkan mengkroscekkan. Misalnya: budaya
dari barat apakah cocok dengan budaya Indonesia (budaya timur)”.
f) Wawancara kepada IM 7 tanggal 09 September 2009 pukul 13.10 WIB di
Sekretariat BEM FKIP UNS
Perlu, agar mahasiswa tumbuh nasionalismenya. Selain agama, pancasila dapat
digunakan untuk memberikan pengajaran yang baik pada mahasiswa.
Kemudian masyarakat tahu ideologi negaranya sehingga dapat
71
mempersatukan rakyat dan tidak menimbulkan perpecahan. Selain itu paling
tidak dapat menjadi pengingat pelajaran pancasila di SD sampai SMA.
g) Wawancara kepada IM 8 tanggal 18 September 2009 pukul 14.00 di ruang
kuliah PPKn “Perlu untuk mendewasakan manusia. Selain itu pancasila
sebagai pembimbing dan pendidik bangsa”.
h) Wawancara kepada IM 9 mahasiswa Pendidikan Sosiologi Antropologi
tanggal 08 September 2009 pukul 13.30 WIB di depan ruang kepala jurusan
P.IPS FKIP UNS “Perlu, karena masyarakat saat ini sudah lupa tentang
pancasila sehingga pancasila perlu dikenalkan kepada mahasiswa”.
i) Wawancara kepada IM 10 mahasiswi Pendidikan Kimia tanggal 15
September 2009 pukul 10.30 WIB di halaman masjid Nurul Huda UNS
“Perlu untuk mengenali ideologi negara, supaya dapat membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk serta mana yang dilarang dan mana yang
diperbolehkan”.
j) Wawancara kepada IM 11 mahasiswi PPKn tanggal 10 September 2009
pukul 13.30 WIB di belakang program studi PPKn “Perlu agar masyarakat
mengetahui akan ideologi negaranya selain itu diharapkan dapat
mengamalkannya”.
k) Wawancara kepada IM 12 mahasiswi PPKn tanggal 10 September 2009
pukul 11.00 WIB di belakang pogram studi PPKn “Perlu karena itu
merupakan salah satu jalan untuk menanamkan pancasila. Selain itu, jalur
pendidikan memiliki nilai yang strategis untuk menanamkan nilai-nilai
pancasila.
l) Wawancara kepada IM 13 mahasiswi Pendidikan Sejarah tanggal 11
September 2009 pukul 10.30 WIB di gedung F FKIP UNS “Perlu, untuk
meningkatkan skill mahasiswa”.
m) Wawancara kepada IM 14 mahasiswi Pendidikan Geografi tanggal 14
Agustus 2009 pukul 11.00 WIB di ruang kuliah prodi geografi “Perlu, tetapi
yang harus dibenahi adalah bagaimana cara agar kuliah pancasila menarik
mahasiswa”.
n) Wawancara kepada IM 15 mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris tanggal 5
September 2009 pukul 16.10 WIB di kos “masih diperlukan, sebab warga
negara Indonesia harus mengenal ideologi negaranya”.
72
o) Wawancara kepada IM 16 mahasiswi Pendidikan Kimia tanggal 5 September
2009 pukul 16.10 WIB di kos “masih perlu, sebab rakyat Indonesia harus
tahu ideologi negaranya”.
p) Wawancara kepada IM 17 mahasiswi PGSD tanggal 10 September 2009
pukul 13.00 WIB di kampus PGSD “Perlu, biar rakyat tahu ideologi
negaranya”.
q) Wawancara kepada IM 18 mahasiswa PGSD tanggal 08 September 2009
pukul 13.30 WIB di kampus PGSD “Perlu, biar tahu dasar-dasar negara,
berbuat sesuai dengan pancasila”.
r) Wawancara kepada IM 21 mahasiswa Pendidikan Kimia tanggal 15 Oktober
2009 pukul 13.30 WIB di Loby gedung D FKIP UNS “Sebenarnya pancasila
diperlukan tetapi tidak harus diberikan secara formal tetapi diberikan disela-
sela mata kuliah lain, dan bisa belajar sendiri”.
Dari persepsi-persepsi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
pendidikan tentang pancasila diperlukan di perguruan tinggi dengan alasan
sebagai berikut:
(a) karena masyarakat saat ini sudah lupa tentang pancasila sehingga
pancasila perlu dikenalkan kepada mahasiswa;
(b) agar warga negara tahu tentang pancasila, sehingga diharapkan dapat
tumbuh sikap nasionalisme atau cinta tanah air;
(c) untuk menanamkan nilai-nilai moral pada mahasiswa.
Persepsi mahasiswa bahwa pendidikan tentang pancasila diperlukan
di perguruan tinggi sesuai dengan hasil perolehan kuesioner/angket yang
sebelumnya telah disebarkan kepada mahasiswa di FKIP UNS dengan
prosentase sebanyak 92,9 % dari 225 responden mahasiswa. Adapun nama-
nama responden tersebut dapat dilihat pada lampiran 10. Selain itu, ada juga
mahasiswa yang tidak sepakat jika pendidikan pancasila diberikan di
perguruan tinggi. Berikut petikan hasil wawancara:
(a) Wawancara kepada IM 5 mahasiswa Pendidikan Olahraga tanggal 14
Oktober 2009 pukul 09.30 WIB di ruang OSIS SMPN 16 Surakarta
“kurang tahu mbak diperlukan atau tidak karena saya hanya manut dari
prodi, maksudnya saya manut dengan kuliah-kuliah yang saya harus
tempuh, dan tidak begitu tahu maksud dan tujuan adanya kuliah
pancasila”.
73
(b) Wawancara kepada IM 19 mahasiswa Pendidikan Teknik Mesin tanggal
10 September 2009 pukul 15,30 WIB di Loby gedung C FKIP UNS
“Tidak perlu, karena sama saja dengan membongkar kebobrokan
pancasila”.
(c) Wawancara kepada IM 20 mahasiswi PGSD tanggal 8 September 2009
pukul 14.00 WIB di kampus PGSD “Tidak, karena manfaatnya apa?”
Persepsi mahasiswa lain yang menyatakan bahwa pendidikan tentang
pancasila tidak diperlukan dalam tataran pendidikan tinggi dikarenakan sikap
kontra mahasiswa terhadap pancasila dan kurangnya kebermanfaatan
mempelajari pancasila bagi mahasiswa.
2) Permasalahan-permasalahan dalam pembelajaran pancasila di FKIP UNS
Sebelum membahas tentang permasalahan dalam pembelajaran pancasila
di FKIP UNS telah dilakukan penyebaran angket kepada mahasiswa untuk
mengetahui gambaran umum tentang pembelajaran pendidikan pancasila di
FKIP. Adapun hasil perolehan angket tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 9. Persepsi terhadap Pembelajaran Pancasila
Prosentase Kualifikasi
4, 9 Sangat Kurang
16, 0 Kurang
37, 8 Cukup / Sedang
30, 7 Baik
9, 3 Sangat Baik
1,3 Alpha
(Sumber : Data Sekunder dari Kuesioner/Angket)
Berikut adalah penjelasan atau analisis dari data yang telah berhasil
diperoleh tersebut diatas:
a) Sebanyak 225 angket telah tersebar di seluruh program studi di FKIP UNS.
Hasil angket menunjukkan sebanyak 37,8 % sikap terhadap pembelajaran
pancasila dapat dikatakan cukup atau sedang. Dalam hal ini jumlah
prosentase masih kurang dari setengah jumlah prosentase. Hal ini
menunjukkan bahwa sikap atau tanggapan mahasiswa terhadap pembelajaran
pancasila masih terdapat titik kelemahan yang menurut mereka masih perlu
untuk diperbaiki.
74
b) Sedangkan sejumlah 30,7 % menyatakan bahwa pembelajaran pancasila
adalah baik. Hal ini merupakan pengalaman yang dialami oleh mahasiswa
sendiri setelah menempuh mata kuliah Pendidikan Pancasila (kurikulum
dulu) ataupun Pendidikan Kewarganegaraan (pada kurikulum sekarang).
c) Sebanyak 9,3 % mahasiswa menyatakan bahwa pembelajaran pancasila
masih kurang. Pengertian ini adalah bahwa pembelajaran pancasila dianggap
masih biasa dan kurangnya variasi-variasi metode pembelajaran. Kurangnya
penggunaan variasi metode dalam pembelajaran pancasila diperkuat setelah
dilakukan observasi di beberapa program studi. Dosen cenderung masih
menggunakan metode konvensional meskipun juga telah menggunakan
sarana dan prasarana yang ada seperti LCD. Ceramah masih mendominasi
dalam perkuliahan.
d) Sebanyak 4,9 % menyatakan pembelajaran pancasila adalah sangat kurang.
Menurut pengalaman mereka hal tersebut didasarkan oleh pengalaman
mereka yang kurang baik terhadap pendidikan pancasila.
e) Dan sebanyak 1,3 % responden mahasiswa tidak memberikan pernyataannya.
Setelah diperoleh prosentasi gambaran umum tentang pembelajaran
pancasila, kemudian ditelusuri melalui wawancara secara mendalam kepada
beberapa informan mahasiswa dan diperoleh hasil bahwa permasalahan dalam
pembelajaran pancasila menurut mahasiswa adalah sebagai berikut:
(a) materi tentang pancasila banyak, kurang menarik, tidak jelas, dan realitas di
lapangan tidak nyata, kurangnya pemberian contoh-contoh sikap ataupun
contoh riil yang berkaitan dengan materi;
(b) metode kurang bervariasi, ceramah masih mendominasi;
(c) buku referensi terbatas;
(d) kecakapan dosen dalam mengajar masih kurang;
(e) bentuk evaluasi terkadang dinilai tidak adil;
(f) pembelajaran pancasila cenderung membosankan karena hanya mengulang
materi pada jenjang pendidikan sebelumnya tanpa perubahan atau inovasi-
inovasi yang lebih menarik.
Sesuatu pelajaran yang diulang-ulang dan dari segi kemanfaatannya
dipertanyakan akan mengubah atau mempengaruhi maindset mahasiswa. Jadi
menurut mahasiswa, pelajaran akan mudah ditangkap atau bermakna apabila
“belajar untuk diamalkan”
75
2. Aspirasi Dosen dan Mahasiswa terhadap Pendidikan tentang Pancasila
a. Aspirasi Dosen
Aspirasi merupakan keinginan atau harapan akan sesuatu yang lebih baik pada
masa yang akan datang. Aspirasi terhadap pendidikan tentang pancasila merupakan
keinginan atau harapan terhadap eksistensi pendidikan pancasila maupun juga
terhadap pembelajarannya di perguruan tinggi agar kedepan lebih baik dari
sebelumnya. Aspirasi dosen yang pernah mengampu matakuliah ilmu pancasila
maupun dosen pengampu matakuliah PKn di FKIP UNS adalah sebagai berikut:
1) Pendidikan tentang pancasila perlu dijadikan mata kuliah yang berdiri sendiri
Terkait dengan persepsi sebelumnya bahwa pendidikan tentang
pancasila diperlukan dalam tataran pendidikan tinggi, maka informan
memberikan aspirasi bahwa pendidikan tentang pancasila perlu dijadikan
matakuliah yang berdiri sendiri. Pendidikan tentang pancasila perlu
dijadikan matakuliah yang berdiri sendiri dengan alasan sebagai berikut:
a) pancasila memiliki kajian yang luas baik secara filosofis, yuridis, maupun
sosiologis, sehingga perlu kajian mendalam;
b) perlu berdiri sendiri agar sejarah perjuangan bangsa terkait dengan dasar
negara tidak hilang dan karena pancasila merupakan dasar falsafah negara
yang perlu disosialisasikan;
c) lebih efektif untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman terhadap nilai-
nilai pancasila kepada mahasiswa;
Adapun aspirasi tersebut dapat dilihat pada petikan hasil
wawancara pada lampiran 7.
2) Pembelajaran pancasila
Aspirasi dosen terkait dengan upaya mengatasi permasalahan-
permasalahan dalam pembelajaran pancasila di perguruan tinggi yakni lebih
menitikberatkan pada usaha menanamkan nilai-nilai pancasila kepada
mahasiswa. Adapun aspirasi terhadap pembelajaran pancasila di perguruan tinggi
adalah sebagai berikut:
a) Perlunya inovasi dalam metode pembelajaran untuk meningkatkan motivasi
dan antusiasme serta kesadaran mahasiswa terhadap nilai-nilai pancasila,
seperti memberikan tugas-tugas baik individu maupun kelompok. Selain
76
ceramah bervariasi juga diberikan diskusi interaktif yang problem solving
yang sesuai dengan kompetensi. Sosio drama, contoh-contoh konkrit juga
diperlukan untuk memberikan gambaran yang nyata terhadap materi atau
kompetensi yang disampaikan sehingga bukan hanya teks book tapi juga
mengerti akan contoh-contohnya sehingga tidak dianggap lagi sebagai kuliah
yang materinya abstrak atau sulit dipahami mahasiswa.
b) membangun pemahaman dan sinergi baik dari mahasiswa dan dosen untuk
membangun maindset terhadap pendidikan pancasila;
c) penambahan buku referensi dan pengoptimalan sarana dan prasarana yang
ada seperti LCD.
d) Upaya-upaya tersebut harus diiringi dengan adanya rekomendasi terhadap
sistem pendidikan nasional, khususnya dalam kurikulum agar dapat
menumbuhkan jiwa pancasila kepada peserta didik (mahasiswa) yakni
pendidikan pancasila kembali lagi menjadi mata kuliah yang berdiri sendiri.
b. Aspirasi Mahasiswa
Aspirasi mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di perguruan
tinggi sangat beragam. Berikut beberapa aspirasi yang berhasil dihimpun.
1) Pendidikan tentang pancasila perlu dijadikan sebagai matakuliah yang berdiri
sendiri, dengan alasan sebagai berikut:
a) pancasila merupakan dasar negara Indonesia, maka warganegara harus
mengetahui dasar negaranya, salah satu caranya yakni dengan melalui
pendidikan;
b) dilihat dari segi materi lebih mendalam, dan dari segi waktu juga lebih
banyak sehingga kesempatan untuk memahami akan lebih baik sehingga
diharapkan dapat diimplemetasikan;
c) perlu diperhatikan adalah bagaimana cara untuk membangkitkan minat
belajar mahasiswa, dan bagaimana membuat pancasila menarik untuk dilirik
mahasiswa.
2) Aspirasi dalam mengatasi permasalahan dalam pembelajaran pancasila di
perguruan tinggi, diantaranya:
a) adanya variasi metode
Variasi metode mendapat perhatian utama dari mahasiswa
dalam aspirasinya. Hal tersebut seperti penuturan mahasiswi Program
77
Studi Pendidikan Biologi dalam wawancara tanggal 13 Oktober 2009
pada pukul 11.40 WIB.
Metode yang digunakan hendaknya lebih bervariasi. Misalkan
melihat film atau cuplikan berita-berita di televisi atau mass
media yang lain agar mahasiswa lebih mudah menangkap
materi dan lebih dapat menghubungkan antara materi dan
kenyataan karena sekarang bukan jamannya lagi penjelasan
materi tetapi harus memiliki sikap kritis dan aktif sebagai
mahasiswa.
Kemudian penuturan lain berdasarkan wawancara kepada
mahasiswi program studi Bimbingan dan Konseling (BK) tanggal 13
Oktober 2009 pada pukul 17.30 WIB yakni: “Harus ada variasi
metode, seperti ada sosio drama, terjun ke lapangan seperti melihat
kehidupan sehari-hari dalam hal kebijakan dari pemerintah apakah
sudah mewujudkan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia atau belum”.
Metode dengan variasinya yakni terjun ke lapangan atau
masyarakat juga diutarakan, seperti penuturan dalam wawancara
kepada mahasiswa program studi Pendidikan Teknik Mesin (PTM)
tanggal 09 September 2009 pukul 14.00 WIB di Sekretariat BEM
FKIP UNS bahwa:
Harusnya perkuliahan yang berbau IPS seperti juga dengan
kuliah pancasila harus berbeda dengan pembelajaran sewaktu
duduk dibangku sekolah dasar hingga sekolah menengah atas.
Setidaknya harus ada aplikasi yang jelas. Misalkan kita
diberikan contoh-contoh yang berhubungan dengan materi atau
bahkan kita disuruh untuk terjun langsung ke lapangan untuk
menganalisis masalah yang ada dan memecahkan masalah
tersebut. Misal; ada banyak pengemis di lingkungan UNS, kita
disuruh untuk mengamati mereka, mencari tahu sebab–sebab
mereka seperti itu dan bagaimana pemecahan masalah agar
tidak banyak pengemis di UNS. Sehingga dalam pembelajaran
pancasila teori tidak mendominasi. Menurut saya 30% untuk
teori, 60% untuk aplikasi, dan 10% untuk evaluasi.
Mengangkat isu-isu terkini dan sesekali diselingi dengan
lelucon atau guyonan patut untuk diperhatikan, seperti penuturan
78
dalam wawancara kepada mahasiswi program studi Pendidikan Kimia
tanggal 15 September 2009 pukul 11. 30 WIB bahwa: “Metodenya
harus lebih bervariasi, misalkan melalui diskusi dengan
mempresentasikannya di depan kelas dengan menggangkat isu-isu
terkini yang tentu saja dihubungkan dengan materi yang ada. Selain
itu, agar tidak bosan sesekali diselingi lelucon atau humor.
Pada dasarnya aspirasi yang menyangkut penggunaan variasi
metode yang diharapkan oleh mahasiswa FKIP UNS dapat diringkas
sebagai berikut:
a) variasi metode dibuat semenarik mungkin seperti: sosio drama, terjun
langsung ke lapangan, pemberian tugas makalah dengan mengangkat isu-
isu terkini, dan lain sebagainya;
b) metode ceramah tidak mendominasi.
b) Meningkatkan kemenarikan tentang materi
Materi pancasila yang dinilai abstrak menjadi tantangan dalam
pembelajaran pendidikan pancasila di perguruan tinggi selama ini.
Untuk itu, materi yang abstrak tersebut perlu diaktualisasikan dengan
membuat semenarik mungkin agar dapat diminati oleh mahasiswa.
Seperti pemberian handout sebelum perkuliahan berlangsung. Hal
tersebut seperti penuturan mahasiswi program studi PGSD dalam
wawancara tanggal 08 September 2009 pukul 14.00 WIB bahwa:
“Harus ada handout yang diberikan sebelum perkuliahan”.
Kemudian harus ada variasi dalam penyusunan handout seperti
yang diutarakan oleh mahasiswi program studi PPKn dalam
wawancara tanggal 08 September 2009 pukul 17.00 WIB yakni:
“Materi dibuat seperti handout yang diberi ruang khusus untuk
mencatat hal-hal yang belum ada di handout seperti mata kuliah
hukum acara pidana yang disampaikan oleh dosen tamu Ibu Sarmaida
Aritonang dari Brawijaya”.
Materi pancasila yang dipandang oleh mahasiswa hanya
hafalan perlu diperbaharui oleh dosen dalam hal penyampaiannya. Hal
79
tersebut seperti gagasan oleh mahasiswi program studi Pendidikan
Geografi dalam wawancara tanggal 14 Agustus 2009 di ruang kuliah
Prodi Pendidikan Geografi.
Hal yang harus direvisi atau diperbaharui tentang pendidikan
pancasila adalah pemahaman yang harus diutamakan dan bukan
hafalan, dalam artian apa sih esensi dari pancasila yang perlu
dikembangkan. Karena kita bukan butuh lagi hafalan dan lebih baik
ketika kita bisa mengerti, memahami maknanya sebab hafalan
merupakan tingkat kognitif yang paling rendah.
Selain itu, perlunya pengoptimalan sarana dan prasarana yang
ada, misalnya memanfaatkan LCD dengan media audio visual seperti
melihat film atau cuplikan berita-berita di televisi atau mass media
yang terkait dengan perkuliahan pancasila agar mahasiswa lebih
mudah menangkap materi dan tidak lagi merasa abstrak terhadap
materi yang disampaikan.
c) Peningkatan kecakapan dosen dan hubungan antara dosen dengan mahasiswa
Kecakapan dosen dalam mengajar merupakan hal yang penting
sebab mahasiswa cenderung memiliki semangat atau antusiasme saat
mengikuti kuliah jika dosen pengampu memiliki kecakapan menarik
dalam gaya mengajarnya. Hal tersebut sebagaimana yang disampaikan
oleh mahasiswi program studi Pendidikan Geografi dalam wawancara
tanggal 14 Agustus 2009 di ruang kuliah Prodi Pendidikan Geografi.
Kecakapan dosen dalam mengajar juga perlu ditingkatkan. Sebab
sesuatu yang tidak penting atau menarik menjadi menarik karena
yang menyampaikan sangat menyenangkan, sedangkan sesuatu yag
penting, menarik dan harus disampaikan tetapi hanya karena
ketidakcakapan si penyampai atau pengajar itu menjadi tidak
tersampaikan.
Sedangkan peningkatan hubungan diantara dosen dan
mahasiswa dirasakan akan membawa dampak yang positif terhadap
motivasi mahasiswa dalam perkuliahan. Hal tersebut seperti penuturan
oleh mahasiswi program studi Pendidikan Kimia tanggal 15 September
2009 pukul 11. 30 WIB: “Hendaknya dosen lebih mengenal terhadap
mahasiswanya (anak didiknya) karena pada dasarnya mahasiswa suka
dikenal namanya oleh dosen (ada faktor perhatian)”.
80
Kemudian dalam hal penguasaan kelas tidak lagi terpusat
kepada teacher centered learning tetapi student centered learning.
Kemudian agar dosen lebih menciptakan suasana kelas yang semangat,
seperti harapan mahasiswi program studi Pendidikan Biologi dalam
wawancara tanggal tanggal 13 Oktober 2009 pada pukul 11.40 WIB
bahwa: “Dosen harus lebih menciptakan suasana yang semangat
karena banyak orang yang sudah mengangap kuliah pancasila adalah
membosankan karena merupakan pengulangan dari sebelum-
sebelumnya”.
Pemberian maindset dalam awal perkuliahan juga dirasa
penting, seperti yang disampaikan oleh mahasiswi program studi PPKn
dalam wawancara tanggal 10 September 2009 pukul 12.00 WIB yakni:
“Dosen harus memberikan maindset motivasi kepada mahasiswa
kenapa mempelajari mata kuliah itu, manfaatnya apa, sehingga
orientasinya bukan nilai yang utama tetapi ilmu”.
d) Perlu adanya evaluasi baik dari keaktifan kelas, keaktifan dalam tugas, dan
keaktifan presensi;
Kita yang terkadang aktif dikelas, tetapi nilainya sama dengan orang
atau mahasiswa yang tidak aktif, sehingga perlu evaluasi baik dari
keaktifan belajar di kelas, keaktifan dalam tugas, keterlibatan dalam
presensi, dll sehingga ada penghargaan terhadap apa yang mahasiswa
lakukan sehingga ada hubungan timbal balik. (Wawancara kepada
IM 14 mahasiswa Pendidikan Geografi tanggal 14 Agustus 2009
11.50 WIB di ruang kuliah prodi geografi)
e) Untuk mengatasi pembelajaran yang membosankan selain dengan upaya-
upaya diatas juga yang utama adalah membangun kebermaknaan “belajar
untuk diamalkan”. Hal tersebut seperti penuturan kepada IM 14 mahasiswa
Pendidikan Geografi tanggal 14 Agustus 2009 12.00 WIB di ruang kuliah
Prodi Pendidikan Geografi:
Pelajaran akan lebih bisa masuk ketika belajar untuk diamalkan. Itu
sudah ditemukan dalam pelajaran bahasa Indonesia (apalagi saat
akan menyusun skripsi dan agama. Filosofis dari bahasa Indonesia
dan agama sudah bisa kita amalkan. Tetapi kalau PKn ataupun
pancasila terkadang terlalu di awan, terlalu melangit sehingga sulit
untuk diamalkan. Jadi dapat dikatakan bahwa pelajaran akan mudah
ditangkap atau bermakna apabila “belajar untuk diamalkan”. Saat ini
81
banyak mahasiswa yang tidak peduli lagi dengan pancasila dan
agama.
C. Temuan Studi
Dari hasil data penelitian yang dilakukan, dapat dikemukakan temuan studi yang
berhubungan dengan kajian teori untuk menjawab dua perumusan masalah dalam
penelitian, yaitu:
1. Persepsi dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di FKIP UNS
dapat digambarkan dalam tabel dibawah ini:
Tabel 10. Perbandingan Persepsi antara Dosen dan Mahasiswa
N
o
Tentang Persepsi Dosen Persepsi Mahasiswa
1. Pendidikan
pancasila di
perguruan
tinggi
Pendidikan pancasila diperlukan dalam
pendidikan tinggi dengan pertimbangan
sebagai berikut: pendidikan tinggi
memegang peranan penting dalam mencetak
generasi penerus bangsa yang kelak akan
memegang kepemimpinan. Sehingga
pendidikan pancasila diperlukan dalam
upaya mengenalkan kepada mahasiswa
hakikat pancasila sebagai dasar negara yang
merupakan sumber dari segala sumber
hukum yang diharapkan mampu
memecahkan persoalan-persoalan dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Pendidika pancasila diperlukan di
perguruan tinggi dengan alasan
sebagai berikut:
a. mahasiswa saat ini sudah lupa
tentang pancasila, sehingga
pancasila perlu dikenalkan
kepada mahasiswa dan
diharapkan dapat tumbuh sikap
nasionalisme atau cinta tanah
air;
b. untuk menanamkan nilai-nilai
moral kepada mahasiswa.
2. Pembelajara
n
pendidikan
pancasila
Terdapat permasalahan dalam pembelajaran
pendidikan pancasila pasca SK Ditjen Dikti
yakni:
a. motivasi dan antusiasme mahasiswa
dalam perkuliahan masih rendah;
b. maindset dan persepsi mahasiswa
terhadap pancasila negatif dan kurang
mendukung karena pancasila dinilai
kurang menyentuh aspek-aspek
kehidupan mahasiswa (segi
kebermanfaatan kurang dirasakan
mahasiswa);
c. terbatasnya buku/sumber referensi;
Terdapat permasalahan dalam
pembelajaran pendidikan
pancasila pasca SK Ditjen Dikti
yakni:
a. materi banyak, kurang menarik,
sehingga antusiasme rendah;
b. metode kurang bervariasi;
c. buku referensi terbatas;
d. kecakapan dosen dalam
mengajar kurang;
e. bentuk evaluasi terkadang
dinilai tidak adil;
f. dan pembelajaran yang
82
materi yang diajarkan tidak diajarkan secara
terperinci seperti pancasila yang ditinjau
dari aspek historis dan yuridis dikarenakan
waktu yang dialokasikan terbatas.
membosankan.
Persepsi tersebut sesuai dengan pendapat dari Jalaluddin Rakhmat (1994:
51) bahwa “persepsi merupakan pengalaman tentang objek, peristiwa, atau
hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan
menafsirkan pesan”. Dosen dalam memberikan persepsi tidak terlepas dari
pengalaman-pengalaman yang dimiliki dimasa lampau baik tentang objek maupun
peristiwa.
Persepsi dosen yang satu dengan dosen yang lain berbeda-beda. Hal
tersebut menurut Ari Satriyo Wibowo, Ventura Elisawati, dan Hermawan
Kartajaya, (1996: ii) “merupakan hal yang wajar karena apa yang diketahui
seseorang mencerminkan apa yang dipelajarinya dimasa lalu, keadaan pikirannya
saat ini, serta apa yang sebenarnya ada pada kenyataan di luar dirinya”. Kedua
teori tersebut telah dipaparkan dalam Bab II tentang landasan teori pada halaman
9.
Persepsi seseorang tentang kemenarikan dan kemanfaatan matakuliah
pancasila berkaitan dengan pendapat dari Fleming dan Levie yang dikutip oleh
Dewi Salma dan Eveline Siregar (2004: 134) bahwa “…Persepsi tergantung pada
pilihan, minat, kegunaan, kesesuaian bagi seseorang”. Teori tersebut telah
disebutkan dalam Landasan Teori di Bab II (tentang prinsip dasar persepsi) di
halaman 13.
2. Aspirasi Dosen dan Mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di FKIP UNS
dapat digambarkan dalam tabel dibawah ini:
Tabel 11. Perbandingan Aspirasi antara Dosen dan Mahasiswa
No Tentang Aspirasi Dosen Aspirasi Mahasiswa
83
1. Pendidikan
pancasila di
perguruan
tinggi
Pendidikan pancasila perlu dijadikan
matakuliah yang berdiri sendiri dengan
pertimbangan sebagai berikut:
a. pancasila memiliki kajian yang luas
baik secara filosofis, yuridis, maupun
sosiologis, sehingga perlu kajian yang
mendalam;
b. pancasila merupakan dasar falsafah
negara.
c. lebih efektif untuk memberikan
pengetahuan dan pemahaman terhadap
nilai-nilai pancasila kepada
mahasiswa;
Pendidikan pancasila perlu dijadikan
sebagai matakuliah yang berdiri
sendiri, dengan alasan sebagai berikut:
a. pancasila merupakan dasar negara
Indonesia, maka warganegara harus
mengetahui dasar negaranya, salah
satu caranya yakni dengan melalui
pendidikan;
b. dilihat dari sudut materi akan lebih
mendalam dan luas, dan dilihat dari
segi waktu juga lebih banyak.
2. Pembelajaran
pendidikan
pancasila
Upaya dalam mengatasi permasalahan
dalam pembelajaran pendidikan
pancasila di perguruan tinggi,
diantaranya:
a. meningkatkan inovasi metode
pembelajaran untuk meningkatkan
motivasi belajar dan kesadaran
mahasiswa terhadap nilai-nilai
pancasila;
b. membangun pemahaman dan sinergi
baik dari mahasiswa dan dosen untuk
membangun maindset terhadap
pendidikan pancasila;
c. perlu adanya penambahan buku
referensi;
d. pendidikan pancasila perlu dijadikan
matakuliah tersendiri agar materi yang
diajarkan lebih mendalam.
Upaya dalam mengatasi permasalahan
dalam pembelajaran pendidikan
pancasila di perguruan tinggi,
diantaranya:
a. untuk meningkatkan motivasi dan
antusiasme mahasiswa, maka perlu
adanya variasi metode pembelajaran;
b. meningkatkan kemenarikan materi
dan keterbatasan referensi dengan
pemberian panduan belajar yang
lebih menarik yang efektif dan
efisien;
c. meningkatkan kecakapan dosen dan
hubungan antara dosen dengan
mahasiswa;
d. perlu adanya evaluasi baik dari
keaktifan kelas, keaktifan dalam
tugas, dan keaktifan presensi;
e. untuk mengatasi pembelajaran yang
membosankan selain dengan upaya-
upaya diatas juga yang utama adalah
membangun kebermaknaan “belajar
untuk diamalkan”.
Penjelasan mengenai aspirasi yang berkaitan dengan harapan yang
berbuhungan dengan persepsi tersebut seperti pendapat dari Fleming dan Levie
yang dikutip oleh Dewi Salma dan Eveline Siregar (2004: 134) bahwa “Persepsi
84
seseorang dipengaruhi oleh harapan atau keinginan sehingga dalam pengertian ini
menunjukkan bahwa persepsi sebenarnya bersifat subjektif”. Teori tersebut telah
disebutkan dalam Landasan Teori di Bab II halaman 13.
85
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilaksanakan dengan melalui
berbagai tahap analisis data, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Persepsi dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di FKIP UNS
a. Persepsi Dosen
1) Eksistensi pendidikan tentang pancasila di FKIP UNS
Eksistensi pendidikan tentang pancasila sebagai substansi nilai masih
ada, sedangkan eksistensi Pendidikan Pancasila sebagai Matakuliah di
perguruan tinggi saat ini sudah hilang. Hal tersebut mengingat berdasar pada
SK Ditjen Dikti No 43 tahun 2006 dalam kurikulumnya sudah tidak lagi
mencantumkan Pendidikan Pancasila sebagai Matakuliah wajib. Di FKIP
UNS sendiri telah mengikuti aturan tersebut dengan tidak memberikan
Matakuliah Pendidikan Pancasila dalam bentuk Matakuliah wajib yang
berdiri sendiri, namun hanya memberikannya sebatas pada sub pokok
bahasan dalam matakuliah PKn (Pendidikan Kewarganegaraan). Selain itu,
dosen memberikan persepsi bahwa pendidikan tentang pancasila diperlukan
dalam perguruan tinggi.
2) Permasalahan dalam pembelajaran pancasila di perguruan tinggi, yakni;
a) motivasi dan antusiasme mahasiswa dalam perkuliahan masih rendah;
b) maindset dan persepsi mahasiswa terhadap pancasila negatif dan kurang
mendukung karena pancasila dinilai kurang menyentuh aspek-aspek
kehidupan mahasiswa (segi kebermanfaatan kurang dirasakan
mahasiswa);
c) terbatasnya buku/sumber referensi;
d) materi yang diajarkan tidak diajarkan secara terperinci seperti pancasila
yang ditinjau dari aspek historis dan yuridis dikarenakan waktu yang
dialokasikan terbatas.
b. Persepsi Mahasiswa
1) Mahasiswa memberikan persepsi bahwa pendidikan tentang pancasila
diperlukan dengan alasan sebagai berikut:
86
a) mahasiswa saat ini sudah lupa tentang pancasila, sehingga pancasila
perlu dikenalkan kepada mahasiswa dan diharapkan dapat tumbuh sikap
nasionalisme atau cinta tanah air;
b) untuk menanamkan nilai-nilai moral kepada mahasiswa.
2) Pembelajaran pancasila
Persepsi mahasiswa terhadap pembelajaran tentang pancasila dapat
dikatakan cukup atau sedang dengan prosentase sebanyak 37,8 %. Hal ini
menunjukkan bahwa sikap atau pandangan mahasiswa terhadap pembelajaran
pendidikan tentang pancasila masih dinilai memiliki kelemahan yang perlu
untuk diperbaiki. Terdapat permasalahan dalam pembelajaran pendidikan
pancasila pasca SK Ditjen Dikti yakni:
a) materi banyak, kurang menarik, sehingga antusiasme rendah;
b) metode kurang bervariasi;
c) buku referensi terbatas;
d) kecakapan dosen dalam mengajar kurang;
e) bentuk evaluasi terkadang dinilai tidak adil;
f) dan pembelajaran yang membosankan.
2. Aspirasi dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di perguruan
tinggi
a. Aspirasi Dosen
1) Mengingat perlunya pendidikan tentang pancasila dalam tataran pendidikan
tinggi, maka dalam kurikulum di perguruan tinggi pendidikan pancasila
dijadikan sebagai matakuliah wajib yang berdiri sendiri seperti dalam
kurikulum lama namun dengan inovasi-inovasi yang relevan.
2) Upaya-upaya yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan dalam
pembelajaran pancasila di perguruan tinggi diantaranya:
a) meningkatkan inovasi metode pembelajaran untuk meningkatkan
motivasi belajar dan kesadaran mahasiswa terhadap nilai-nilai pancasila;
b) membangun pemahaman dan sinergi baik dari mahasiswa dan dosen
untuk membangun maindset terhadap pendidikan pancasila;
c) perlu adanya penambahan buku referensi;
d) pendidikan pancasila perlu dijadikan matakuliah tersendiri agar materi
yang diajarkan lebih mendalam.
87
b. Aspirasi Mahasiswa
1) Pendidikan tentang pancasila yang saat ini sebagai substansi nilai perlu
dijadikan sebagai matakuliah yang berdiri sendiri.
2) Upaya dalam mengatasi permasalahan dalam pembelajaran pancasila di
perguruan tinggi, diantaranya:
a) untuk meningkatkan motivasi dan antusiasme mahasiswa, maka perlu
adanya variasi metode pembelajaran;
b) meningkatkan kemenarikan materi dan keterbatasan referensi dengan
pemberian panduan belajar yang lebih menarik yang efektif dan efisien;
c) meningkatkan kecakapan dosen dan hubungan antara dosen dengan
mahasiswa;
d) perlu adanya evaluasi baik dari keaktifan kelas, keaktifan dalam tugas,
dan keaktifan presensi;
e) untuk mengatasi pembelajaran yang membosankan selain dengan upaya-
upaya diatas juga yang utama adalah membangun kebermaknaan “belajar
untuk diamalkan”.
B. IMPLIKASI
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dalam penelitian mengenai “Persepsi
dan Aspirasi terhadap Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi” (Studi pada Dosen dan
Mahasiswa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta) ini, maka implikasi dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Karena adanya kebijakan SK Ditjen Dikti No.43/2006 yang tidak lagi mewajibkan
pendidikan pancasila sebagai mata kuliah wajib yang berdiri sendiri, maka
menimbulkan persepsi yang beragam dari dosen sebagai pelaksana teknis dan juga
dari mahasiswa yang merupakan subjek dari kebijakan tersebut. Karena baik dosen
dan mahasiswa telah memberikan persepsi yang beragam terhadap pendidikan
pancasila, maka persepsi tersebut dapat digunakan sebagai sebuah refleksi sehingga
dapat memotivasi untuk melakukan perubahan agar pendidikan pancasila di
perguruan tinggi dikemudian hari menjadi lebih baik.
2. Karena terdapat beberapa aspirasi yang disampaikan baik oleh dosen dan juga
mahasiswa, maka aspirasi tersebut dapat dijadikan sebagai bahan masukan agar
pendidikan pancasila ke depan lebih baik dan maju terlebih dalam hal
pembelajarannya di perguruan tinggi.
88
C. SARAN
Berdasarkan kesimpulan serta implikasi yang telah dikemukakan dari hasil
penelitian ini dapat disampaikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Untuk menanggapi berbagai persepsi baik dari dosen maupun dari mahasiswa,
hendaknya instansi yang dalam hal ini seperti MKU UNS menanggapi persepsi
tersebut dengan melakukan upaya melalui suatu forum diskusi bersama yang
melibatkan baik dosen dan mahasiswa agar dapat ditemukan sebuah konsep
pembelajaran pendidikan pancasila yang menyenangkan dan bermanfaat terutama
bagi mahasiswa.
2. Aspirasi merupakan sebuah harapan terhadap sesuatu yang dianggap kurang atau
memiliki kelemahan atau permasalahan. Untuk menyikapi aspirasi yang telah
dijelaskan sebelumnya, maka perlu ada tindaklanjut terutama dari dosen pendidikan
pancasila untuk lebih meningkatkan kecakapan dalam mengajar, serta meningkatkan
inovasi dalam metode mengajar.
89
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahmat Fathoni. 2006. Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Ari Satriyo Wibowo, Ventura Elisawati, dan Hermawan Kartajaya. 1996. Bermain dengan
Persepsi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
As’Said Ali. 2009. Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta: Pustaka LP3ES
Indonesia.
B. Sukarno. 2005. Pancasila dalam Tinjauan Historis, Yuridis, dan Filosofis (Kumpulan
Rangkuman Berbagai Karya Tulis tentang Pendidikan Pancasila sebagai Bahan Ajar di
Perguruan Tinggi). Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Bogdan, Robert & Taylor, J. Steven. 1993. Kualitatif (Dasar-Dasar Penelitian). Terjemahan A.
Khozin Afandi. Surabaya: Usana Offset Printing.
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi. 2005. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.
Consuelo, G Sevilla; Ochave; Jesus A; Punsalan, Twila G; Regala Bella P; Uriarte
Gabriel G. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Terjemahan oleh Alimuddin Tuwu).
Jakarta: Universitas Indonesia.
Daulat Purnama Tampubolon. 2001. Perguruan Tinggi Bermutu Paradigma Baru Manajemen
Pendidikan Tinggi Menghadapi Tantangan Abad ke-21. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Depdiknas. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
_________. 2003. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Jakarta: Depdiknas.
_________. 2005. Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Dewi Salma Prawiladilaga dan Eveline Siregar. 2004. Mozaik Teknologi Pendidikan. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Ellizabeth B, Hurlock. 1993. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Yogyakarta: Media Abadi.
Ermaya. 2009. Mahasiswa Dibekali Pemahaman tentang Pancasila.
http://www.dutamasyarakat.com/artikel-22633-mahasiswa-dibekali-pemahaman-
pancasila.html. Diakses tanggal 11 Nopember 2009, pukul 11.44 WIB.
H.B. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press.
90
Iqbal Hasan. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Jalaluddin Rakhmat. 1994. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.
Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Kahne, Joseph & Middaugh, Ellen. 2008. “High Quality Civic Education: What Is It and Who
Gets It?”. Journal of Social Education. 72 (1), pg 34–39.
Lexy, J. Moleong. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
M. Enoch Markum. 2007. Pendidikan Tinggi dalam Perspektif Sejarah dan Perkembangannya di
Indonesia. Jakarta: UI Pres.
Maman Rachman. 1999. “Penilaian Mahasiswa terhadap Tipe Mengajar Dosen dan Pilihan
Tipe Mengajar yang Disukai”. Jurnal Ilmu Pendidikan. Jilid 7, Nomor 4. 3.
Matthew B. Miles dan Huberman A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber
tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UI Press.
Miftah Thoha. 1994. Perilaku Organisasi; Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Soegito. 2000. Pendidikan Pancasila. Semarang: IKIP Semarang.
Soeprapto. 1998. Jurnal Pancasila “Landasan Aksiologi Pancasila”. Yogyakarta: Pusat Studi
Pancasila Universitas Gadjah Mada.
Sondang P. Siagian. 1989. Teori Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta: Bina Aksara.
Sunarti Rudi. 1999. The Teaching Learning Process of Pancasila and Civics Education (PPKn)
at Elementary School in The Reformation Era. The Journal of Education. Volume 6.
Sunaryo. 2009. Kembali Didikkan Pancasila Kepada Masyarakat. http://www.pikiran-
rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=64369. Diakses tanggal 16 Desember 2009,
pukul 12.04 WIB.
Umar Tirtarahardja. 2005. Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
UNS. 2009. “Pedoman Pendidikan dan Kurikulum Universitas Sebelas Maret Tahun Akademik
2009/2010”. Surakarta: UNS Press.
Vincent Nugroho. 2008. Humor Dasyat untuk Pembicara. Yogyakarta: CV. Andi Offset.
Wiji Suwarno. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Winkel, WS. 1991. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media Abadi.
Top Related