TEORI NASIKH MANSUKH IMAM AS-SYAFI’I DAN RELEVANSINYA DALAM PEMBAHARUAN FIQIH DI INDONESIA
(Sebuah Kajian Ushul Fiqih)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)
Oleh :
AHMAD HASANUDDIN BERUTU
NIM : 04210001/S-1
FAKULTAS SYARI’AH PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MALANG
2008
MOTTO
Ulang Terpeddem
Fiat Justitia Pereat Mundus
(Jangan Tertidur, Tegakkanlah Keadilan Sekalipun Langit akan Runtuh)
(Mutiara Bahasa Pakpak & Yunani Kuno)
PERSEMBAHAN
Lagi-lagi buat Ayah Bundaku yang tak terukur kasih sayangnya dan tak
terbalas jasa baiknya. Semoga Allah membalas kebaikanmu. Juga terima kasihku pada Nenekku, Saudara-saudaraku, Johan br Berutu, Azizah br Berutu, Amran Nikmatullah Berutu, Nur Pinta Syahniaty br Berutu, Bintang Ismail Berutu, Firman Berutu dan berre-berreku karinana.
Ya Allah ampunilah dosa-dosaku dan dosa-dosa kedua orangtuaku dan sayangilah mereka seperti dahulu mereka menyayangi aku sewaktu kecil. Amin
Amri Berutu dan Tinur br Padang
Njuah-Njuah Banta Karina
SURAT PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Ahmad Hasanuddin Berutu NIM : 04210001 Alamat : Jalan Runding, Sidiangkat No. 168, Dairi, Sumatera Utara 22251 menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat untuk memenuhi persyaratan kelulusan pada Program Studi Al-Ahwal Al-Syakhshiyah Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, dengan judul:
TEORI NASIKH MANSUKH IMAM AS-SYAFI’I DAN RELEVANSINYA DALAM PEMBAHARUAN FIQIH DI INDONESIA
(Sebuah Kajian Ushul Fiqih)
adalah hasil karya saya sendiri, bukan duplikasi dari karya orang lain. Selanjutnya, apabila dikemudian hari ada claim dari pihak lain, bukan menjadi tanggung jawab Dosen Pembimbing dan atau Pengelola Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, tetapi menjadi tanggung jawab saya sendiri. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan tanpa paksaan dari siapapun. Malang, 24 Juli 2008
Penulis
Ahmad Hasanuddin Berutu NIM. 04210001
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Pembimbing penulisan skripsi saudara Ahmad Hasanuddin Berutu, NIM 04210001,
mahasiswa Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, setelah
membaca, mengamati kembali berbagai data yang ada di dalamnya dan mengoreksi,
maka skripsi yang bersangkutan dengan judul:
TEORI NASIKH MANSUKH IMAM AS-SYAFI’I DAN RELEVANSINYA DALAM PEMBAHARUAN FIQIH DI INDONESIA
(Sebuah Kajian Ushul Fiqih)
telah dianggap memenuhi syarat-syarat ilmiah untuk disetujui dan
diajukan pada majelis dewan penguji.
Malang, 24 Juli 2008
Pembimbing
Dra. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag NIP. 150 224 886
TEORI NASIKH MANSUKH IMAM AS-SYAFI’I DAN RELEVANSINYA DALAM PEMBAHARUAN FIQIH DI INDONESIA
(Sebuah Kajian Ushul Fiqih)
SKRIPSI
Nama : Ahmad Hasanuddin Berutu
NIM : 04210001
Jurusan : Al-Ahwal As-Syakhshiyyah
Fakultas : Syari’ah
Tanggal, 24 Juli 2008
Yang mengajukan
Ahmad Hasanuddin Berutu
04210001/S-1
Telah disetujui oleh:
Pembimbing
Dra. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag NIP. 150 224 886
Mengetahui
Dekan
Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag
NIP. 150 216 425
PENGESAHAN SKRIPSI
Dewan penguji skripsi saudara Ahmad Hasanuddin Berutu, NIM. 04210001,
mahasiswa Fakultas Syari’ah angkatan 2004, dengan judul:
TEORI NASIKH MANSUKH IMAM AS-SYAFI’I DAN RELEVANSINYA DALAM PEMBAHARUAN FIQIH DI INDONESIA
(Sebuah Kajian Ushul Fiqih)
telah dinyatakan LULUS dengan nilai A (sangat memuaskan)
Dewan Penguji:
1. Fakhrudin, M.HI ( ) NIP. 150 302 236 (Ketua)
2. Dra. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag ( )
NIP. 150 224 886 (Sekretaris)
3. Dra. Mufidah CH, M.Ag ( ) NIP. 150 240 393 (Penguji Utama)
Malang, 8 September 2008
Dekan
Drs. H. Dahlan Tamrin M.Ag. NIP. 150 216 425
KATA PENGANTAR
Dengan pertolongan Allah Swt dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir dalam menyelesaikan study tingkat pertama
dalam jenjang akademis dengan judul “TEORI NASIKH MANSUKH IMAM AS-
SYAFI’I DAN RELEVANSINYA DALAM PEMBAHARUAN FIQIH DI
INDONESIA (Sebuah Kajian Ushul Fiqih).” Shalawat dan salam senantiasa kepada
Nabi Muhammad Saw, keluarga dan sahabat-sahabatnya yang terpilih serta pengikut-
pengikutnya yang setia sampai hari kiamat.
Penelitian ini tidak mungkin akan terwujud tanpa bantuan banyak pihak. Oleh
karena itu, maka dengan segala kerendahan hati penulis menghaturkan ucapan terima
kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Imam Suprayogo, selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN)
Malang.
2. Bapak Drs. H. Dahlan Tamrin M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah Universitas
Islam Negeri (UIN) Malang.
3. Ibu Dra. Hj. Tutik Hamidah M.Ag, selaku dosen pembimbing yang dengan sabar
dan tulus ikhlas telah mengorbankan waktu, pikiran serta tenaga dalam
membimbing penulisan dan penyusunan skripsi ini.
4. Segenap dosen Fakultas Syuri’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, yang
telah banyak berperan aktif dalam menyumbangkan ilmu, wawasan dan
pengetahuannya kepada penulis.
5. Seluruh keluarga besar Pondok Pesantren Sabilurrosyad, Gasek Sukun Malang,
Kang Qawim (Jombang), Kang Afif (Mojokerto), Ubeb (Lumpur Sidoarjo), Irul
(Jombang), Zainuddin (Kediri), Kamsay (Arema Asli), Zen, Basyar (Jombang),
Amin (Tegal), Pak Lurah, Mbah Lurah, Muttaqin (Jambi, Muara Tebo).
6. Teman-teman satu angkatan Fakultas Syari’ah tahun 2004, Sulaeman (Cirebon),
Rahmat (Labuhan batu, Menanti), Rhamadha, Fathoni (Blitar), Pak Haji (Arema
Asli), Ali (Makassar), Adi Saputro (Surabaya).
7. Teman-teman di kontrakan, Slamet (Lumpur Sidoarjo), Shodiq (Sampang,
Camplong), Tabi’in (Magelang), Fikri (Probolinggo), Agung (Arema) dll
Penulis menyadari sepenuh hati bahwa penyelesaian tugas akhir ini masih
jauh dari sempurna karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan, wawasan dan
pengalaman penulis. Untuk itu penulis sangat berharap semoga dapat bermanfaat
bagi penulis dan bagi orang yang membacanya. Amin ya rabbal ‘alamin.
Malang, Juli 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Halaman Motto ........................................................................................... i
Halaman Persembahan...............................................................................ii
Halaman Pernyataan................................................................................. iii
Halaman Persetujuan Pembimbing.......................................................... iv
Halaman Pengajuan Skripsi.......................................................................v
Halaman Pengesahan................................................................................. vi
Kata Pengantar..........................................................................................vii
Daftar Isi .................................................................................................... ix
Abstrak ....................................................................................................... xi
BAB I. PENDAHULUAN ...........................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................1
B. Rumusan Masalah ............................................................................16
C. Tujuan Penelitian .............................................................................17
D. Manfaat Penelitian ...........................................................................17
E. Penelitian Terdahulu ........................................................................18
F. Metode Penelitian.............................................................................19
1. Jenis Penelitian.....................................................................19
2. Pendekatan...........................................................................20
3. Sumber Data ........................................................................20
4. Metode Pengumpulan Data...................................................22
5. Pengolahan dan Analisis data ...............................................23
6. Sistematika Pembahasan ......................................................23
BAB II. KAJIAN TEORI ..........................................................................26
A. Pandangan Ulama Ushul Tentang Nasikh Mansukh..........................26
B. Kategori Naskh Dalam Al-Kitab Dari Segi Rasm Dan Hukum .........35
1. Penghapusan Redaksi (Rasm) Dan Tetapnya Hukum............35
2. Penghapusan Hukum Dan Tetapnya Rasm ...........................36
3. Penghapusan Hukum Dan Tilawah Sekaligus .......................36
C. Biografi Imam As-Syafi’i .................................................................37
1. Tempat Dan Tahun Kelahiran Imam As-Syafi’i ....................37
2. Rihlah Ilmiyah Imam As-Syafi’i ...........................................37
D. Pandangan Imam As-Syafi’i tentang Nasikh Mansukh .....................40
1. Sebab-Sebab Disyariatkannya Naskh Menurut Imam
As-Syafi’i .............................................................................40
2. Pengertian Naskh Menurut Imam As-Syafi’i.........................41
3. Naskh Kitab Bi Al-Kitab.......................................................42
4. Naskh Kitab Bi As-Sunnah ...................................................42
5. Naskh Sunnah Bi As-Sunnah ................................................46
6. Naskh Sunnah Bi Al-Kitab....................................................47
E. Pembaharuan Hukum Islam..............................................................48
Bab III. ANALISIS DATA ........................................................................55
A. Penggolongan Ulama Yang Memaknai Naskh Sebagai Izalah
Dan Ulama Yang Memaknai Naskh Sebagai Tahwil Atau Naql ......57
B. Naskh Sebagai Izalah, Raf’un Atau Ibthalul Ahkam.........................59
C. Naskh Sebagai Tahwil, Tabdil Atau Naql .........................................76
D. Analisis Relevansi Naskh Imam As-Syafi'i.......................................85
Bab IV. PENUTUP ...................................................................................103
A. Kesimpulan .....................................................................................103
B. Saran-Saran.....................................................................................106
Daftar Pustaka
Lampiran
ملخص البحث
النسخ عند إمام الشافع وأثره ىف جتديد .) ٤٢١...١(أمحد حسن الدين بريوتو
كلية الشريعة شعبة األحوال ) البحث ىف أصول الفقه(األحكام ىف إندونيسيا
الشخصية اجلامعة احلكومية اإلسالمية ماالنج املشرفة توتيك محيدة املاجستري
يد األحكام و إمام الشافع نسخ و مصلحة و جتد: كلمة األساسى
النسخ نظر ىف علم أصول الفقه وحقيقته إذا وجد اتهد دليلني
املتعارضني الذي هو الميكن أن جيمع بينهما ويعرف ترتيب ترتيله فالدليل املتقدم
) أى بعد دليل املتقدم(ينسخ بالدليل الثاىن الذى أنزله اهللا على رسول اهللا بعده
علم الذى حيتاج إليه كل جمتهد ومفسر وى العلماء شخصا أن وعلم النسخ هوال
يفسر كتاب اهللا ويستنبط األحكام من أدلتها إال بعد فهمه على علم الناسخ
واملنسوخ
وىف البحث على علم أصول الفقه هذا العلم أبلغ احتياجا ملن يريد أن
ما ال يصح يستنبط األحكام ألنه يتعلق بدليل ما يصح استنباط منه ودليل
استنباط منه ألن صحة مثرة اإلجتهاد يتعلق بصحة األدلة الىت يستعملها اتهد
ند علماء األصول نشأ النسخ بعد وفاة الرسول صلى اهللا عليه وسلم وع
ختالف املصلحة الىت إقتضتها األمة من جيل واحد إىل جيل وقع النسخ بسبب ا
ر واحد إىل عصر أخرأخر أو من حال واحد إىل حال أخر أو من عص
سخ امنذ زمان املاضى قد تفرق العلماء إىل فرقتني ىف رأي على الن
فرقة منهم يقبله وفرقة منهم يدفعه لكن مجهور العلماء يقبلون النسخ واملنسوخ
علم أصول الفقه وفرقتني املذكورتني يستمر حىت اآلن جزأ من
ام املذهب ىف الفقه و وإمام الشافع هو اإلمام الذى يقبل النسخ وهو اإلم
أصوله له كتاب كتبه بعد هجرته إىل مصر مسه الرسالة هذا الكتاب قد مشل على
كل جزإ من أجزاء البحث ىف علم أصول الفقه هذا الكتاب قد مشل أيضا على
موضوع علم الناسخ واملنسوخ
النسخ هو العلم الذى أبلغ نفعا ىف تفكري جتديد األحكام وجتديد األحكام هى
فكرة قد انتشر ىف زماننا هذا وإمام الشافع هو إمام عظيم إمام املذهب ىف الفقه
واملبتدأ ىف علم أصول الفقه علمه واسع دقيق وعميق علمه كماء الربيد فيه
أسرار العلم ىف علم أصول الفقه وتبحر ىف علمه إغتنام ملن أراد أن جيلب العلم
ويتفقه ىف علم أصول الفقه
ABSTRAK
Ahmad Hasanuddin Berutu (04210001). Teori Nasikh Mansukh Imam As-Syafi'i Dan Relevansinya Dalam Pembaharuan Fiqih Di Indonesia (Sebuah Kajian Ushul Fiqih). Fakultas Syari'ah Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Dosen Pembimbing: Dra. Hj. Tutik Hamidah M.Ag.
Kata kunci: Naskh, Mashlahah, Pembaharuan Hukum Islam, Imam As-Syafi'i
Naskh adalah sebuah teori dalam ushul fiqih. Hakikatnya ialah jika seorang
mujtahid mendapati dua dalil yang bertentangan yang dia tidak mungkin lagi mampu untuk mengkompromikan antara keduanya dan dia mengetahui tertib turunnya dalil tersebut maka dalil yang pertama turun dinasakh dengan dalil yang lebih terkemudian masa pewahyuannya yang Allah wahyukan pada Rasul-Nya Saw. Setiap mujtahid dan mufassir butuh kepada ilmu ini. Dan para ulama melarang seseorang menafsirkan kitab Allah dan mengistinbath hukum darinya kecuali setelah ia paham akan ilmu nasikh dan mansukh. Dan di dalam pembahasan ilmu ushul fiqih orang yang hendak mengistinbath hukum lebih membutuhkannya lagi. Karena, ia terkait dengan dalil apa yang sah digunakan dan dalil mana yang tidak sah ditarik hukum darinya. Sebab keabsahan sebuah hasil ijtihad sangat tergantung pada keabsahan dalil-dalil yang digunakan oleh mujtahid. Naskh baru muncul setelah wafatnya Rasulullah Saw. Menurut ulama ushul, naskh terjadi karena perbedaan kemashlahatan yang dituntut oleh umat dari satu generasi ke generasi berikutnya, dari satu kondisi ke kondisi berikutnya atau dari satu masa ke masa berikutnya.
Sejak zaman dahulu, para ulama-dalam melihat teori naskh ini-telah terbagi ke dalam dua golongan. Segolongan dari mereka menerima kehadiran teori naskh dan segolongan yang lain menolaknya. Tetapi jumhur ulama menerima kehadian teori naskh sebagai bagian dari ilmu ushul fiqih. Dua golongan ini berlanjut sampai saat ini.
Dan Imam As-Syafi'i adalah salah satu imam yang menerima adanya teori naskh tersebut. Imam As-Syafi'i adalah imam madzhab dalam fiqih dan ushulnya. Dia memiliki sebuah kitab yang ia beri judul "Ar-Risalah". Kitab ini mencakup keseluruhan pembahasan tentang ilmu ushul fiqih.
Sedang pembaharuan hukum Islam ialah sebuah pemikiran yang berkembang di zaman kita sekarang. Inti pemikiran ini ialah melakukan usaha-usaha agar hukum Islam itu berlaku efektif di masyarakat. Imam As-Syafi'i adalah seorang imam yang besar di bidangnya, imam madzhab di dalam fiqih dan orang yang pertama kali mengusahakan sistematisasi tentang ilmu ushul fiqih. Ilmunya luas dan dalam. Keluasan ilmunya bagaikan air yang sejuk. Didalamnya terkandung rahasia-rahasia ilmu tentang ushul fiqih. Dan berkecimpung (tabahhur) dalam lautan ilmunya dalah kesempatan yang berharga bagi orang yang hendak memetik ilmu dan bertafaqquh dalam ilmu ushul fiqih.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum dan perubahan masyarakat adalah suatu hal yang sangat menarik dan
layak ditekuni apalagi bagi seorang, badan, atau lembaga yang selalu berkecimpung
di bidang hukum. Apabila diperhatikan citra hukum yang selalu ingin mencari dan
memberikan kepastian hukum maka banyak sekali aspek keterlibatan hukum itu
mempengaruhi masyarakat. Sebaliknya bila terjadi perubahan dalam masyarakat
maka perubahan turut membentuk perkembangan hukum, karena hukum itu
berkembang dan berubah maka masyarakat turut berubah dan berkembang.
Rangkaian perubahan itu dapat ditinjau dari beberapa segi, misalnya ada
perubahan-perubahan pada hukum dari luar. Akan tetapi, bisa juga perubahan itu dari
dalam sendiri. Keduanya bisa diamati terpisah yang datang dari luar mengandung
sifat-sifat sosiopolitis, sedangkan perubahan yang datang dari dalam banyak
kaitannya dengan masalah-masalah teknis hukum.1
Tuntutan adanya perubahan hukum dalam bangunan hukum Islam adalah
salah satu fenomena sosial kontemporer yang harus direspon oleh para pemikir
hukum Islam kontemporer. Misalnya saja tuntutan akan perubahan hukum kewarisan
Islam ke arah yang lebih “adil” yang selama ini dianggap menempatkan wanita
dalam posisi marginal. Selama ini, sudah menjadi hal yang paten di kalangan para
ulama hukum Islam bahwa bagian seorang wanita dalam hal hukum kewarisan Islam
adalah 2:1. Lelaki memperoleh bagian harta warisan dua kali lebih besar dari
bagiannya wanita. Bagian dua wanita sebanding dengan bagian satu lelaki.
Di zaman kontemporer, metode ini dianggap oleh sebagian pemikir hukum
Islam tidak sesuai lagi dengan semangat kehidupan kontemporer yang menghendaki
adanya prinsip emansipasi wanita dalam semua bidang kehidupan. Tidak terkecuali
dalam agama. Adanya dalil-dalil hukum atau penafsiran terhadap satu ayat hukum
yang dianggap bias gender sering menjadi sorotan. Masalah poligami, waris, iddah,
muamalah adalah contoh-contoh cabang hukum Islam yang sangat mungkin berubah
akibat tuntutan zaman. Paham-paham pemikiran yang berkembang di masyarakat
tidak bisa dipungkiri merupakan satu faktor yang cukup besar peranannya dalam
mempercepat proses perubahan hukum. Paham pemikiran emansipasi wanita
misalnya, yang berkembang pesat di dunia modern, harus diakui sebagai paham
pemikiran yang cukup gigih memperjuangkan persamaan derajat antara laki-laki dan
1Mohd Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam: Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 84
wanita yang pastinya bisa mempengaruhi bangunan hukum apapun yang eksis di
dunia ini.
Penafsiran-penafsiran yang selama ini sudah dianggap final pun tak luput dari
sorotan. Sampai ke ranah agama sekalipun pengaruh paham pemikiran ini tidak bisa
diabaikan peranannya dalam membentuk pola pikir satu masyarakat. Masalah iddah
misalnya, jika wanita ditetapkan beriddah jika ditinggal cerai oleh suaminya (baik
cerai mati atau cerai hidup) maka kenapa pihak lelaki juga tidak diberi beban
kewajiban untuk menjalankan ketentuan ini. Ini terdengar sebagai sebuah pernyataan
aneh karena sebelumnya tidak pernah ada “model” berfikir yang seperti ini.
Para pemikir hukum Islam modern sebenarnya bukan tidak merespon dan
mengapresiasi tuntutan perubahan ini. Munawir Sjadzali adalah salah seorang
pemikir hukum Islam di Indonesia yang menyuarakan pentingnya melakukan
pembaharuan hukum Islam di bidang kewarisan. Ia memandang-seperti dalam
pendapatnya yang terkenal-kalau sudah seharusnya bagian waris dalam hukum Islam
disamakan saja antara laki-laki dan wanita. Ia berdalil tuntutan kemashlahatan di
dunia modern menghendaki metode pembagian yang seperti itu.
Pendapat ini tentu saja sangat bertentangan dengan pemikiran para ulama
sebelumnya yang memandang bahwa penunjukan hukum (dilalah) ayat-ayat hukum
mawarits adalah qhat’i. Pemikiran yang juga mencoba untuk melakukan kajian ulang
terhadap posisi wanita dalam bangunan hukum Islam juga tidak jarang menghasilkan
pemikiran yang kontroversial dan aneh jika ditinjau dari bangunan hukum Islam
klasik yang telah mapan dan bertahan selama beratus tahun sejak pertama kali
dirumuskan serta diwariskan dari satu generasi ke generasi muslim berikutnya.
Semisal pemikiran batasan waktu minimal yang harus dilalui oleh suami jika ia
ingin menikah lagi setelah ditinggal oleh isterinya (baik cerai hidup atau cerai mati).
Ini adalah contoh-contoh terkini tentang perkembangan pemikiran dalam
hukum Islam yang berkembang oleh hanya satu dari sekian paham pemikiran yang
berkembang di bumi ini. Paham pemikiran yang mengedepankan HAM misalnya,
menganggap hukum-hukum pidana Islam sangat tidak relevan dengan semangat
hidup modern.
Perubahan-perubahan yang dialami oleh umat Islam juga berpengaruh dalam
pembentukan hukum Islam. Perubahan-perubahan seperti ini bukan hanya dialami
oleh umat Islam kontemporer saja, bahkan juga telah dialami oleh Nabi Saw dan
sahabatnya sejak Islam pertama kali muncul 14 abad yang lampau. Teori nasikh
mansukh adalah satu bukti nyata akan hal ini. Perubahan di masyarakat
mempengaruhi proses pembentukan, penetapan dan bahkan pembatalan satu hukum
dalam sejarah pembentukan hukum Islam.
Mayoritas ulama ushul menyepakati kemungkinan terjadinya naskh dalam
syariat. Baik naskh dalam pengertian penghapusan satu syariat Nabi terdahulu oleh
syariat Nabi yang diutus terkemudian. Namun, mereka memberi satu batasan tegas
dalam hal ini bahwa walaupun mungkin terjadi naskh (penghapusan) satu syariat
Nabi terdahulu oleh syariat Nabi yang diutus terkemudian namun dalil-dalil yang
dihapus tersebut murni masalah-masalah yang mengatur sosial kemasyarakatan
(muamalah) antar sesama manusia bukan masalah-masalah aqidah. Karena mereka
berpandangan, konsep aqidah dari satu Nabi ke Nabi berikutnya adalah satu dan
tidak mungkin berubah-ubah dari masa ke masa.
Demikian pula, naskh mungkin terjadi dalam satu syariat tertentu. Dalam
pandangan ulama ushul adalah mungkin pula naskh itu terjadi dalam satu syariat
tertentu tanpa melibatkan syariat-syariat sebelumnya. Misalnya, naskh mungkin
terjadi antar dalil dalam syariat Islam.
Ulama ushul memberikan hujjah (argumen) untuk membuktikan kebolehan
terjadinya naskh dalam syariat. Menurut mereka naskh itu terjadi karena adanya
tuntutan kemashlahatan yang berbeda-beda dan berubah-ubah dari satu umat ke umat
yang lain, dari satu kondisi ke kondisi yang lain atau dari satu periode ke periode
yang lain. Mereka memberikan sebuah gambaran bahwa kemashlahatan yang
dibutuhkan oleh umat Nabi Musa As sangat mungkin berbeda dengan kemashlahatan
yang dibutuhkan oleh umat Nabi Muhammad Saw yang hidup berabad abad
kemudian. Oleh karena itu sangatlah logis dan wajar dalam wacana pemikiran
mereka jika syariat Nabi Muhammad Saw menasakh sebagian syariat nabi-nabi
terdahulu karena adanya perbedaan tuntutan kemashlahatan tersebut. Dan dalam
syariat Islam sendiri naskh itu mungkin terjadi karena adanya perbedaan situasi dan
kondisi antara masa awal pewahyuan dengan masa akhir pewahyuan yang dialami
oleh Nabi dan sahabatnya.
Para ulama menguatkan pendapat ini dengan mengajukan satu ayat yang
memang secara jelas mengatakan bahwa Allah Swt menciptakan beragam syariat
untuk masing-masing umat. Allah berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 48;
!$uΖ ø9t“Ρr& uρ y7ø‹s9 Î) |=≈tGÅ3 ø9 $# Èd, ys ø9 $$Î/ $ ]%Ïd‰ |ÁãΒ $yϑ Ïj9 š÷t/ ϵ÷ƒ y‰ tƒ zÏΒ É=≈tGÅ6ø9 $# $ �Ψ Ïϑ ø‹yγ ãΒuρ ϵ ø‹n= tã ( Νà6 ÷n$$sù Οßγ oΨ ÷� t/ !$ yϑ Î/ tΑt“Ρ r& ª! $# ( Ÿω uρ ôì Î6®Ks? öΝèδu!# uθ÷δ r& $£ϑ tã x8u !%y zÏΒ Èd,ys ø9$# 4 9e≅ä3 Ï9 $ oΨ ù=yè y_
öΝä3ΖÏΒ Zπtã ÷�Å° % [`$yγ÷Ψ ÏΒuρ 4 öθ s9 uρ u !$ x© ª!$# öΝà6 n= yèyf s9 ZπΒ é& Zοy‰ Ïn≡uρ Å3≈ s9uρ öΝä. uθ è=ö7uŠ Ïj9 ’ Îû !$ tΒ
öΝä38 s?#u ( (#θ à) Î7tF ó™$$ sù ÏN≡ u�ö�y‚ø9 $# 4 ’ n< Î) «! $# öΝà6ãè Å_ö�tΒ $ Yè‹Ïϑ y_ Νä3 ã∞Îm6 t⊥ ㊠sù $yϑ Î/ óΟçGΨ ä. ϵŠ Ïù tβθ à#Î= tFøƒrB
Artinya: “Dan kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.
Sebabnya ialah syariat itu sendiri disyariatkan oleh Allah sebagai Syari’
(pembuat hukum) untuk mewujudkan kemashlahatan bagi manusia. Maka jika
kemashlahatan yang dibutuhkan masyarakat telah berubah maka syariat atau hukum
yang dibutuhkan untuk mewujudkan kemashlahatan itu menjadi berubah pula.
Disinilah letak penalaran logis ulama untuk membuktikan kemungkinan terjadinya
naskh dalam syariat.
Oleh karena syariat itu di syariatkan oleh Allah Swt adalah untuk
mewujudkan kemashlahatan bagi umat manusia, maka naskh itu pun menjadi
wewenang mutlaq Allah karena hanya Dia-lah Dzat yang benar-benar mampu
mengetahui dengan tepat mashlahat apa yang dibutuhkan hamba-Nya. Maka
berkembanglah satu kaidah dalam ushul fiqih bahwa tidak ada naskh setelah
sempurnanya agama Islam atau setelah berakhirnya masa pewahyuan dan kenabian.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Yunus ayat 15;
#sŒÎ) uρ 4’n? ÷G è? óΟÎγ øŠ n=tæ $ uΖè?$ tƒ#u ;M≈oΨ Éi� t/ � tΑ$ s% šÏ%©!$# Ÿω tβθã_ö�tƒ $ tΡ u !$ s)Ï9 ÏMø.$# Aβ#u ö�à) Î/ Î�ö�xî !#x‹≈yδ ÷ρr& ã&ø!Ïd‰ t/ 4 ö≅è% $ tΒ Üχθä3tƒ þ’Í< ÷βr& … ã&s!Ïd‰ t/ é& ÏΒ Ç›!$ s) ù=Ï? ûŤø# tΡ ( ÷βÎ) ßì Î7 ¨?r& āω Î) $ tΒ #yrθ ãƒ
�†n< Î) ( þ’ ÎoΤ Î) ß∃%s{r& ÷βÎ) àM øŠ|Á tã ’În1u‘ z>#x‹ tã BΘ öθ tƒ 5Ο‹Ïàtã
Artinya: “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan kami berkata: "Datangkanlah Al-Qur’an yang lain dari ini atau gantilah dia". Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya Aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)”.
Secara aqliyah, jika Nabi Muhammad Saw saja tidak mempunyai hak dan
wewenang untuk mengganti-ganti Al-Qur’an dari dirinya sendiri maka lebih tidak
boleh lagi umat setelahnya. Demikianlah kesimpulan penalaran mereka.
Dari sisi kesejarahan, adanya nasikh mansukh itu sebenarnya juga
menunjukkan dialektika antara wahyu dan realitas sosial dan si penerima pesan
wahyu (manusia). Dari ilmu nasikh mansukh kita dapat mengetahui tahapan-tahapan
panjang penetapan hukum Islam sebelum hukum itu benar-benar mencapai
bentuknya yang final pada akhir masa pewahyuan dan kenabian. Karena itu, teori
nasikh mansukh tidak dikenal pada masa pewahyuan (masa ketika Nabi Muhammad
Saw masih aktif menerima wahyu). Pada saat itu wahyu diturunkan secara bertahap
sehingga memungkinkan para sahabat untuk mengamalkan tuntunan-tuntunan hukum
secara bertahap pula. Salah satu hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara bertahap
adalah untuk mewujudkan kemashlahatan bagi para sahabat agar mereka tidak
merasa berat dan terbebani untuk menjalankan perintah agama dan agar perintah-
perintah agama itu tertanam kuat dalam hati mereka. Allah berfirman dalam Al-
Qur’an surat Al-Furqan ayat 32;
tΑ$ s% uρ tÏ% ©!$# (#ρã�x# x. Ÿω öθ s9 tΑÌh“ çΡ Ïµø‹n=tã ãβ#uö�à) ø9 $# \' s#÷Ηäd Zοy‰ Ïn≡ uρ 4 y7 Ï9≡x‹ Ÿ2 |MÎm7s[ãΖ Ï9 ϵ Î/ x8yŠ# xσèù ( çµ≈oΨ ù=? u‘uρ Wξ‹Ï? ö�s?
Artinya: “Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?". Demikianlah supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).”
Teori naskh memang menarik karena ia menyangkut masalah yang sangat
penting dalam istinbath hukum karena terkait dengan “apa yang berlaku dan apa
yang tidak”. Namun di lain sisi ia justru baru muncul setelah wafatnya Nabi
Muhammad Saw. Teori naskh baru muncul setelah berakhirnya masa kenabian.
Pengakuan ada-tidaknya nasikh-mansukh dalam Al-Qur'an memiliki
implikasi yang sangat serius bagi kehidupan manusia sehari-hari. Tidak bisa
dipungkiri, bagaimana umat Islam bersikap kepada orang-orang non-muslim,
misalnya, sangat mungkin dipengaruhi oleh konsep nasikh-mansukh ini. Mereka
yang mengatakan bahwa umat Islam boleh memerangi orang-orang non-muslim
dengan tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan boleh jadi dipicu adanya ayat
"Dan perangilah orang-orang kafir dimana pun mereka kamu temui" (Qs Al-
Tawbah [9]: 5) yang dianggap oleh banyak kalangan mufassir tradisional menjadi
nasikh (penghapus) atas ayat-ayat lain yang menyerukan toleransi, memberi maaf,
bersikap sabar dan lain-lain. Pandangan seperti ini sangat banyak kita temukan dalam
kitab-kitab tafsir klasik. Permasalahannya sederhana saja, yaitu karena adanya
pengakuaan akan eksistensi naskh dalam Al-Qur'an.
Demikian pula sebaliknya, orang yang tidak mengakui adanya nasikh-
mansukh boleh jadi akan beranggapan bahwa memerangi orang kafir tidak bisa
dilakukan tanpa alasan yang bisa dibenarkan. Sebab Islam, menurut mereka, hanya
diperbolehkan untuk memerangi mereka sebagai cara untuk mempertahankan diri,
sebagai cara defensif bukan ofensif. Oleh karena itulah, bukan tidak mungkin konsep
nasikh mansukh bisa sangat mempengaruhi cara berfikir umat Islam bukan saja
mengenai hubungan antar-agama, melainkan juga dalam berbagai bidang kehidupan
yang lain.2
Ini benar, karena memang dengan ilmu nasikh mansukh-lah diketahui mana
ayat yang masih berlaku ketetapan hukumnya dan mana yang sudah dibatalkan masa
pemberlakuannya. Teori nasikh mansukh adalah teori kontroversial dalam literatur
hukum Islam. Ada yang menerima ada juga yang menolak. Dan ini terjadi sejak
dahulu di kalangan para pemikir hukum Islam. Bagi para penerima teori naskh,
nasikh mansukh dianggap sebagi sebuah bentuk kebijaksanaan Allah kepada
makhluk-Nya yang mengandung hikmah yang tidak selamanya dapat ditangkap oleh
pikiran manusia. Sedangkan bagi para penolak teori naskh, teori nasikh mansukh
dianggap menjadi bumerang bagi hukum Islam karena justru menghalangi hukum
Islam untuk berdialektika dengan dunia kontemporer yang senantiasa berubah-ubah.
Menurut mereka yang menolak teori nasikh mansukh, teori naskh adalah satu
teori yang turut membuat hukum Islam menjadi statis dan beku. Mereka yang
menolak teori nasikh mansukh sering berargumen dengan mengajukan argumen
sebagai berikut; Statisnya fikih antara lain disebabkan problem penafsiran yang
2Ahmad Baidowi, Mengenal Thabathaba'i: Dan Kontroversi Nasikh Mansukh (Bandung: Nuansa, 2005), 10
kurang hirau menyoroti dialektika-dinamis antara teks-teks keagamaan dengan
realitas. Teks-teks keagamaan yang dulu membumi secara gradual, kontekstual dan
dialektik, kini tidak mampu lagi berdialog secara lentur dengan kenyataan hidup
yang terus bergerak karena dipenjara oleh konsep nasikh-mansukh. Konsep nasikh-
mansukh pun mengakibatkan meluncurnya hukum-hukum penebar anarkisme ajaran
Islam, yang sejatinya mentitahkan nilai humanisme dan toleransi, spontan berubah
menjajakan terorisme dan intoleransi, lantaran ayat pedang dianggap
mengamandemen ayat-ayat lain yang mengajarkan toleransi. Dampaknya kronis,
jihad yang mula-mula hanya instrumen mempertahankan kebebasan beragama,
kemudian berubah menjadi alat bagi ekspantor untuk memaksakan Islam kepada
pihak lain. Jihad tidak lagi dipahami defensif, melainkan direduksi menjadi perang
ofensif oleh sebagian kalangan. Teori nasikh-mansukh sejatinya muncul pasca era
kenabian. Kemapanan teori ini didorong faktor sosial-politik yang menghegemoni
pengembangan fikih menuju zona ijtihad yang cenderung ahistoris. Latar belakang
kehadiran teori tersebut ialah ‘kebingungan’ ulama klasik ketika berhadapan dengan
kontradiksi antar teks-teks keagamaan; teks-teks universal makkiyyah dengan teks-
teks partikular madaniyyah. Nasikh-mansukh menunjukkan nihilnya kesadaran
ulama bahwa masing-masing teks-teks keagamaan yang diasumsikan kontradiktif
sebenarnya memiliki konteks spesifik. Dengan dioperasikannya nasikh-mansukh,
teks-teks universal makkiyyah menjadi tidak berfungsi, lantaran dianulir oleh teks-
teks partikular madaniyyah. Hukum fiqih pun akhirnya terbangun di atas teks-teks
partikular. Konsekuensinya, hukum Fikih tidak mampu lagi mencerminkan
elastisitas. Ironisnya, konsep ini masih menjadi acuan ijtihad mayoritas fuqaha,
meskipun secara teoretis sangatlah rapuh.3
Bagi mereka yang menerima teori naskh, mereka juga mengajukan argumen
yang berusaha menyanggah argumen para penolak teori nasikh mansukh diatas.
Mereka mengajukan argumen sebagai berikut; Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an
surat Al-Baqarah ayat 106;
$ tΒ ô‡ |¡Ψ tΡ ôÏΒ >πtƒ#u ÷ρr& $ yγÅ¡Ψ çΡ ÏNù'tΡ 9� ö�sƒ ¿2 !$ pκ÷] ÏiΒ ÷ρr& !$ yγÎ=÷WÏΒ 3 öΝs9 r& öΝn= ÷è s? ¨βr& ©! $# 4’ n? tã Èe≅ä. & ó x«
� ω s%
Artinya: “Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”.
Asbabun nuzul ayat ini adalah sebagai berikut: “Dalam suatu riwayat
dikemukakan bahwa turunnya wahyu pada Nabi Saw kadang-kadang pada malam
hari tapi beliau lupa siang harinya. Maka Allah turunkan ayat ini sebagai jaminan
bahwa wahyu Allah tidak akan mungkin terlupakan.4
Ayat ini-dalam pandangan ulama yang menerima adanya naskh dalam Al-
Qur’an–menunjukkan kebolehan terjadinya naskh dalam Al-Qur’an hingga tidak ada
keraguan bahwa naskh memang benar dan telah terjadi dalam syariat.
Di dalam syariat telah dinyatakan kemungkinan dilakukannya naskh,
menghapus suatu hukum yang tidak efektif dan menggantikan dengan hukum baru.
Naskh terjadi sebagai bentuk kasih sayang Tuhan kepada hamba-hamba-Nya, sebagai
3Irwan Masduqi, "http://bp8.blogger.com/_ErBYsDi-, (Diakses pada 13 April 2008), 1 4Jalaluddin As-Suyuti, Lubabun Nuqul Fi Asbabin Nuzul (tt: tp, t.thn) diterjemahkan oleh Qamaruddin Shaleh, HAA. Dahlan dan M.D. Dahlan dengan judul Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur'an (Bandung: CV. Diponegoro, 1992), 36
dispensasi dari Allah kepada perhatian atas kepentingan yang dibebankan bagi
mereka. Firman Allah taala: “Tiadalah kami menghapus (sebagian) dari suatu ayat
atau kami menghapusnya (kecuali) kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau
yang sepertinya”.
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh secara umum berlaku, baik bagi
Al-Qur’an maupun bagi hadits. Namun yang terdapat dalam Al-Qur’an masuk ke
dalam tafsir-tafsirnya, sedangkan yang khusus bagi hadits tetap kembali ke ilmu-
ilmunya. Apabila terdapat dua keterangan (khabar) saling bertentangan-yang satu
meniadakan berlakunya suatu hukum dan yang lain menetapkan-dan tidak
dimungkinkan terjadinya persesuaian antara keduanya melalui suatu takwil, tapi
diketahui mana yang datang lebih dahulu, maka ditetapkanlah bahwa keterangan
(khabar) yang datang terakhir merupakan penghapus (nasikh) atas berlakunya hukum
yang sebelumnya.5
Fiqh (hukum Islam) bisa dipahami dan diartikan sebagai kelanjutan logis atau
produk jadi dari ushul al-fiqh (metodologi hukum Islam). Ketika kita ingin
mengetahui seluk beluk hukum Islam maka menoleh kembali pada kajian metodologi
ini menjadi satu keniscayaan.
Pada dataran empiris, sebuah teori yang diidealkan rumusannya seringkali
gagal pada tingkat aplikasi, sehingga apa “yang seharusnya” menjadi lumpuh dan tak
berdaya di depan apa “yang senyatanya”. Begitu juga implikasi yang ditimbulkan
oleh metode dan pola pikir umat Islam selama ini. Dalam hal ini, historiografi Islam
telah menunjukkan bahwa kemunduran dan skeptisisme intelektual telah melanda
umat ini sejak abad pertengahan. Lebih dari itu, sejarah hukum Islam bahkan telah
5Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003) 553-554
mencatat satu istilah popular, yakni tertutupnya pintu ijtihad (insidad bab al-ijtihad-
closing the gate of ijtihad) sebagai fenomena yang hampir disepakati keberadaannya.
Ini merupakan suatu bukti malaise intelektual di dalam struktur keilmuwan (hukum)
Islam secara keseluruhan.
Implikasi yang ditimbulkan oleh fenomena tertutupnya pintu ijtihad adalah
kemunduran umat Islam di hampir seluruh bidang kehidupan.
Memasuki ranah atau domain hukum Islam, cara berpikir yang demikian itu
pada akhirnya membentuk karakteristik pola fiqh klasik, yang kajiannya lebih
mengarah pada law in book daripada law in action. Hal inilah, dalam pandangan
Coulson, yang telah melahirkan semacam “konflik dan ketegangan” antara teori dan
praktik dalam sejarah hukum Islam. Semua bisa dikatakan berakar dari krisis
metodologi hukum Islam (ushul al-fiqh) yang memberikan penekanan dan perlakuan
berlebihan pada teks-teks wahyu, dan sebaliknya, kurang memperhatikan realitas
yang ada disekitarnya. Akhirnya, studi hukum Islam seolah menjadi semata-mata
studi teks. Implikasi kontra produktif dari hal ini adalah ketika fiqh (hukum Islam),
dan juga ilmu-ilmu keislaman yang lain dituntut untuk merespons perubahan dan
persoalan sosial riil.
Jika diamati lebih cermat, kekurangan metodologi inilah, diantaranya, yang
telah menggelisahkan para penggagas tema-tema pemikiran hukum Islam di
Indonesia. Dari kegelisahan ini, mereka kemudian mencoba mendesain ulang dan
membangun pola atau metode-metode penemuan hukum Islam. Upaya
kontekstualisasi fiqh madzhab (klasik) dan rekonstruksi penafsiran dengan ragam
derivasinya adalah wujud dan artikulasi nyata dari kegelisahan mereka semua.6
Akan tetapi, kekurangan tersebut tidak mungkin bisa ditutup/diganti hanya
dengan pola menerapkan ilmu-ilmu sosial modern Barat. Hal ini karena metode dan
pendekatan ilmu-ilmu sosial modern Barat juga tengah mengalami krisis
epistemologis yang tidak kalah akutnya. Jika metode dan pendekatan keilmuwan
Islam terjebak pada analisis tekstual dan kurang mengapresiasi dimensi sosial-
empiris, maka sebaliknya, keilmuwan Barat terjebak pada positivisme yang tidak
pernah memperhitungkan dimensi normatif (wahyu) dalam metode dan
pendekatannya.
Dengan melihat kenyataan seperti itu, maka yang diperlukan dalam studi
hukum Islam saat ini adalah sebuah upaya mendekatkan aspek epistemologis dari
dua karakteristik keilmuwan tersebut sehingga bisa melahirkan sintesa positif yang
diharapkan bermanfaat bagi keduanya, dalam arti bahwa dimensi normatif akan bisa
masuk dalam analisis sosial keilmuwan Barat, sementara bagi ilmu-ilmu keislaman,
hal itu dapat membantu memasukkan fakta-fakta sosial empiris di dalam analisis
tekstualnya.7
Melihat kontroversi teori nasikh mansukh ini-ada yang menerima dan ada
pula yang menolak-maka penelitian ini berupaya menelusuri pemikiran Imam As-
Syafi’i mengenai teori nasikh mansukh dalam metodologi hukum Islam (ushul al-
fiqh).
6Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris (Yogyakarta: LKiS, 2005), 254-255 7Ibid., 261
Satu diantara para Imam Mujtahid mazhab itu ialah Imam As-Syafi’i. Imam
As-Syafi'i menduduki posisi yang penting dalam khazanah keilmuwan Islam
khususnya dalam bidang hukum, karena disamping ia sebagai Imam mazhab fiqih
syafi’iyah, ia juga menjadi perumus ilmu ushul fiqih yang pertama. Walaupun bukan
orang pertama yang mengembangkan fiqih namun ia diakui oleh para ulama secara
luas sebagai orang yang pertama kali merumuskan ilmu ushul fiqih sehingga menjadi
bidang ilmu tersendiri yang sebelumnya belum terspesialisai menjadi satu cabang
ilmu tertentu.
Perkembangan fiqih juga diikuti dengan perkembangan ushulnya. Bukan
berarti sebelum Imam As-Syafi’i ushul fiqih itu tidak ada. Ushul fiqih itu sudah ada
sebelum Imam As-Syafi’i lahir namun belum terspesialisasi dalam fan ilmu tertentu.
Ini tak lain karena ushul fiqih itu sebenarnya adalah metode (manhaj) berpikir yang
dipakai untuk menarik sebuah hukum. Tingkat kepentingan terhadap ushul fiqih dan
qaidah-qaidah fiqhiyyah semakin bertambah seiring semakin rumitnya persoalan
hukum yang dihadapi masyarakat Islam.
Imam As-Syafi’i, sebagai perumus ushul fiqih yang pertama, tak ketinggalan
pula membahas topik nasikh mansukh ini. Disamping ia mengkaji masalah-masalah
fiqih ia juga mendalami persoalannya ushulnya. Dalam ushul fiqihnya, ia
menjelaskan posisi qur’an, hadits serta ijma’, qiyas dalam penarikan hukum. Teori
maslahah, nasikh mansukh pun tak luput dari kajian ushulnya. Tercatat dalam
sejarah, Imam As-Syafi'i lah yang pertama kali menulis sebuah buku yang khusus
membahas tentang ushul fiqih yang ia beri judul Ar-Risalah.
Alasan utama Peneliti melakukan penelitian ini ialah karena naskh
menyangkut hal yang paling fundamental dalam penggunaan dalil yaitu apa yang
berlaku dan apa yang tidak berlaku sehingga keabsahan sebuah hasil ijtihad sangat
bergantung pada keabsahan dalil yang digunakan. Karena ia merupakan hal yang
sangat fundamental maka mengetahui akibat-akibat hukum yang ditimbulkan oleh
teori ini tentulah merupakan hal yang sangat menarik.
Sebagai pendiri ilmu ushul fiqih yang juga membahas topik nasikh mansukh
dalam ushulnya, maka penelitian ini hendak mengkaji pendapat-pendapat Imam As-
Syafi’i sendiri tentang teori nasikh mansukh. Penelitian ini menjadi menarik karena
dengan mengetahui pandangan-pandangan beliau tentang teori nasikh mansukh akan
menjadi pengetahuan yang berharga bagi ilmu ushul fiqih. Disisi lain juga, seperti
yang telah dipersyaratkan oleh para ulama ushul, mengetahui nasikh mansukh adalah
syarat untuk menafsirkan qur’an dan sebagai syarat pula untuk menarik
(mengistinbat) hukum. Dengan penelitian ini tentu persyaratan itu dapat dipenuhi.
Sebagai founding father ushul fiqih, mengetahui pandangan-pandangan beliau
tentang nasikh mansukh yang dipersyaratkan oleh para ulama ushul tersebut tentu
memiliki nilai kajian yang tinggi karena mengetahui nasikh mansukh itu sendiri
sudah merupakan satu hal yang cukup penting. Imam As-Syafi’i dipilih dalam
penelitian ini karena mayoritas pemeluk agama Islam di Indonesia ini bermazdhab
syafi’iyah. Oleh karena itulah penelitian ini kami beri judul: TEORI NASIKH
MANSUKH IMAM AS-SYAFI’I DAN RELEVANSINYA DALAM
PEMBAHARUAN FIQIH DI INDONESIA (Sebuah Kajian Ushul Fiqih).
B. Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut;
1. Bagaimana teori nasikh mansukh Imam As-Syafi’i?
2. Apa relevansi teori nasikh mansukh Imam As-Syafi’i dalam pembaharuan
fiqih di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui gambaran pemikiran Imam As-Syafi’i tentang topik
nasikh mansukh
2. Untuk mengetahui relevansi teori nasikh mansukh Imam As-Syafi’i
dalam pembaharuan fiqih di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini ada dua jenis yaitu manfaat
teoritis dan manfaat praktis.
Manfaat teoritis yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah dengan
mengetahui pemikiran Imam As-Syafi’i tentang teori nasikh mansukh akan
memperkaya dan memperluas pengetahuan kita tentang teori nasikh mansukh serta
relevansinya dalam pembaharuan fiqih (hukum Islam) di Indonesia. Manfaat lainnya
adalah penelitian ini akan berguna dalam menyajikan pengetahuan mendasar yang
harus diketahui seseorang sebelum ia menarik atau menyimpulkan satu hukum.
Manfaat praktis yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah: penelitian ini
akan bermanfaat praktis bagi mereka yang berkecimpung dalam proses penarikan
(istinbath) hukum Islam karena penelitian ini akan menyajikan salah satu syarat yang
harus dipenuhi dan diketahui oleh seseorang jika ia ingin melakukan istinbath
hukum.
E. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang mengangkat dan meneliti tema ushul fiqih telah
dilakukan oleh Nasrullah dengan topik ‘amm serta hubungannya dalam
memunculkan perbedaan pendapat ulama dalam penarikan (istinbath) satu hukum.
Judul lengkap penelitian Nasrullah itu ialah Pengaruh Perbedaan Pendapat Tentang
Lafadz ‘Amm (Umum) Terhadap Pembentukan Fiqih (Sebuah Kajian Ushul Fiqih)
Beda antara penelitian yang telah dilakukan oleh Nasrullah itu dengan penelitian
yang kami ajukan ini ialah, Nasrullah mengangkat topik ‘amm, maka penelitian ini
akan memfokuskan diri pada topik nasikh mansukh.
Penelitian tentang relevansi sebuah konsep pengembangan hukum Islam yang
ditawarkan oleh seorang ahli juga telah dilakukan oleh Nasrun Rusli dengan judul
penelitian: Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum
Islam Di Indonesia.
Pada mulanya judul diatas diangkat oleh Narun Rusli untuk memenuhi tugas
akhir dalam tingkat doktoral (disertasi). Namun sekarang hasil penelitian yang beliau
lakukan telah dapat dibaca oleh khalayak umum dengan diterbitkannya disertasi
tersebut.
Inti pembahasan dalam karya ini ialah Nasrun Rusli ingin melihat sejauh
mana relevansi konsep pengembangan hukum yang digagas oleh Al-Syaukani dalam
menyelesaikan problem hukum Islam di dunia modern.
Perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Nasrun Rusli dengan
penelitian yang akan peneliti lakukan ialah pada tokoh yang diangkat. Nasrun Rusli
mengangkat Al-Syaukani sebagai objek kajian sedangkan peneliti mengangkat Imam
As-Syafi’i sebagai inti pembahasan.
Penelitian lain tentang Imam As-Syafi’i juga telah dilakukan oleh Jaih
Mubarok untuk menyelesaikan jenjang pendidikan dalam tingkat doktoral dengan
judul: Modifikasi Hukum Islam: Studi Tentang Qawl Qadim Dan Qawl Jadid . Inti
kajian dalam penelitian ini ialah Jaih Mubarok ingin melakukan penelitian tentang
perbedaan pendapat Imam As-Syafi’i antara qaul qadim dan qaul jadid, faktor-faktor
yang menyebabkan perbedaan tersebut dan pelajaran apa yang dapat dipetik dari
kenyataan bahwa Imam Syafi’i banyak memperbarui pendapatnya.
Sekalipun sama-sama mengangkat Imam As-Syafi’i sebagai inti kajian
penelitian, namun antara penelitian yang dilakukan oleh Jaih Mubarok tersebut
dengan penelitian yang akan peneliti lakukan terdapat perbedaan, yaitu dalam fokus
kajiannya. Jika Jaih Mubarok mengangkat objek qaul qadim dan qaul jadid yang
lebih cenderung bernuansa fikih maka penelitian yang akan peneliti angkat ini akan
mengangkat objek nasikh mansukh Imam As-Syafi’i yang lebih bernuansa ushul
fikih.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang yang salah
satunya ialah penelitian deskriptif, jika ditinjau dari sifatnya.8 Ini karena penelitian
ini adalah penelitian normatif. Biasanya, pada penelitian hukum normatif yang
diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder.9 Kajian pustaka atau yang juga lazim
disebut Bibliographical Research ialah penelitian yang pembahasannya berkisar di
8Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI. Press, 1986), 50 9Ibid., 52
pembahasan-pembahasan tertentu dalam satu buku, jurnal atau karya ilmiah lain
yang mengandung unsur penelitian.
2. Pendekatan
Terhadap pemikiran fuqaha digunakan pendekatan normatif, yakni dari sudut
pandang ilmu ushul fiqh dengan mengaplikasikan teori istinbath al-ahkam. Oleh
karena istinbath al-ahkam lebih bernuansa deduktif dan tekstual, mencakup: dalil
istinbath, dan produk pemikiran; maka, ia, dihubungkan dengan konteks posisi diri
ulama. Unsur terakhir meliputi sistem sosial, entitas kehidupan, tradisi intelektual,
dan matarantai intelektual. Unsur teks, bersifat normatif-logis; sedangkan unsur
konteks bersifat empiris. Kemunculan unsur konteks-yang tidak lazim digunakan
dalam kajian ushul fiqh, kecuali periodisasi perkembangan ushul fiqh-didasarkan
pada postulat bahwa setiap produk pemikiran, memiliki konteks sosial dan budaya.
Dengan demikian, untuk memahami dan menjelaskan pemikiran fuqaha dapat
digunakan pendekatan antropologis dan pendekatan sosiologis sebagai pendukung.
Pendekatan antropologis digunakan untuk memahami tradisi dan matarantai
intelektual yang tumbuh dan berkembang dalam lingkaran kebudayaan, atau
peradaban (civilization), ketika ulama itu terlibat dalam tradisi tersebut. Sedangkan
pendekatan sosiologis digunakan untuk memahami sistem sosial dan entitas
kehidupan ketika ulama itu memproduk pemikirannya.10
3. Sumber Data
Sumber dari bahan bacaan disebut sumber sekunder.11 Sumber-sumber
sekunder dapat dibagi menurut berbagai penggolongan.12 Dan salah satu bentuk
10Cik Hasan Bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam Dan Pranata Sosial (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), 305 11S. Nasution, Metode Research: Penelitian Ilmiah (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), 143
penggolongan yang lazim digunakan adalah membagi sumber sekunder menjadi tiga
klasifikasi yaitu sumber sekunder primer, sumber sekunder sekunder, sumber
sekunder tersier.
Dalam penelitian ini, sesuai dengan penggolongan sumber data sekunder
diatas, kitab yang ditulis oleh Imam Syafi'i akan menjadi sumber data sekunder
primer. Buku atau kitab yang kaya muatan tentang topik ini diantaranya adalah buku
yang ditulis oleh Imam As-Syafi’i yang berjudul Ar-Risalah yang memuat pokok-
pokok pikiran Imam Syafi'i tentang ushul fiqih. Buku ini membicarakan persoalan
yang sangat luas yang hampir meliputi seluruh pesoalan ushul fiqih baik yang
disetujui oleh Imam As-Syafi’i maupun tidak. Buku ini juga mebicarakan secara
merinci kedudukan Al-Qur’an, Hadits, Qiyas dan Ijma’ dalam istinbath sebuah
hukum. Imam As-Syafi’i, juga dalam kitab ini banyak membicarakan persoalan-
persoalan hukum yang terjadi dimasanya, semisal perdebatan-perdebatan tentang
mana ayat nasikh mansukh dan penjelasan merinci tentang seluk beluk gaya bahasa
Al-Qur’an yang harus dipahami seseorang untuk menarik satu hukum. Disini, ia juga
menerangkan syarat-syarat hadits yang dapat diterima sebagai dalil hukum. Seluruh
inti kajian ushul fiqih dapat ditemui di kitab ini.
Sekarang kitab ini telah dicetak dengan cetakan modern. Kitab Ar-Risalah
cetakan Darul Fikr dengan tahqiq dan syarah oleh Ahmad Muhammad Syakir adalah
kitab yang akan menjadi pegangan peneliti dalam penelitian ini
Walaupun hal ini tidak boleh diartikan sebagai langkah untuk menafikan
buku-buku yang mengulas atau mengembangkan pemikiran Imam Syafi'i tentang
12Ibid., 144
ushul fiqih terutama yang dilakukan oleh para pengikutnya yang bermazhab fiqih
syafi'iyah. Namun, buku dengan klasifikasi seperti terakhir ini akan menjadi sumber
data sekunder sekunder.
Kitab Ilmu Ushul Fiqh karya Abdul Wahab Khalaf, Kitab Ushul Fiqh karya
Muhammad Abu Zahrah dan kitab-kitab ushul fiqih yang lain akan menjadi sumber
data sekunder sekunder dalam penelitian ini. Kitab Fi Ma’rifah An-Nasikh Wa
Mansukh karya Abu Abdullah Muhammad Bin Hazm juga termasuk dalam kategori
ini. Buku-buku yang tidak terkait secara langsung dengan ushul fiqih namun
menyediakan data pendukung tentang nasikh mansukh akan tetap peneliti
pergunakan. Diantaranya adalah buku-buku yang memiliki hubungan erat dengan
kajian ushul fiqih seperti Ulumul Qur'an, akan menjadi sumber data sekunder tersier
dalam penelitian ini.
4. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara penelaahan terhadap isi kitab,
terutama tentang sumber hukum dan dalil yang digunakan, metode ijtihad yang
diunggulkan, dan substansi produk pemikiran ulama yang bersangkutan. Sedangkan
aspek-aspek eksternal dari pemikiran tersebut berkenaan dengan tradisi intelektual,
matarantai intelektual, dan entitas kehidupan yang menjadi pusat perhatian dan
pengkajian ulama yang bersangkutan. Data yang dikumpulkan itu dicatat secara
cermat dalam suatu lembaran kerja yang senagaja dibuat untuk keperluan penelitian.
Catatan itu berupa kutipan langsung dari sumber data yang dipilih dan ditelaah.
Kemudian catatan tersebut disusun dan dikelompokkan sesuai dengan
pengelompokan data yang mengacu kepada pertanyaan penelitian.13
5. Pengolahan Dan Analisis Data
Penelitian ini bersifat kepustakaan murni (Library Research) deskriptif
analitis dengan metode pendekatan content analysis, yaitu menggambarkan secara
umum tentang objek yang akan diteliti. Analisis isi (content analysis) juga berkaitan
erat dengan penafsiran data. Penafsiran atau interpretasi tidak lain dari pencarian
pengertian yang lebih luas tentang penemuan-penemuan. Penafsiran data tidak dapat
dipisahkan dari analisis, sehingga sebenarnya penafsiran merupakan aspek tertentu
dari analisis, dan bukan merupakan bagian yang terpisah dari analisis. Secara umum,
penafsiran adalah penjelasan yang terperinci tentang arti yang sebenarnya dari materi
yang dipaparkan.14
6. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan penelitian ini menggunakan tata urutan yang telah
lazim digunakan. Hal ini dilakukan untuk menjaga satu prinsip penting yang harus
dipegang dalam penelitian ilmiah yaitu prinsip koherensi dalam penyajian penelitian.
Koherensi ialah tersusunnya uraian atau pandangan sehingga bagian-bagiannya
berkaitan satu dengan yang lain.15 Dalam pengertian yang lain koherensi juga dapat
bermakna hubungan logis antara bagian karangan atau antara kalimat dalam satu
paragraf.16 Untuk memenuhi prinsip koherensi diatas maka penelitian ini akan
dimulai dengan latar belakang penelitian dan metode penelitian yang digunakan.
Dalam latar belakang akan diutarakan alasan-alasan mengapa penelitian ini
13Cik Hasan Bisri, Op.Cit., 310 14Moh. Nazir, Metode Penelitian (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), 374 15Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), 579 16Ibid
dilakukan sedang dalam penjelasan tentang metode penelitian akan diuraikan tentang
jalan (metode) apa yang akan dipergunakan dalam melakukan penelitian. Pada Bab II
akan diuraikan pokok masalah penelitian yaitu tentang nasikh mansukh. Penyajian
data akan disajikan pada Bab ini dengan mengikuti petunjuk penelitian yang telah
diuraikan pada Bab I. Setelah data terkumpul barulah analisis dilakukan pada Bab
III, dengan alasan, analisis baru dapat dilakukan jika data telah terkumpul dan
dipaparkan secara sistematis. Bab IV adalah bagian yang berisi kesimpulan dan
saran-saran. Ini merupakan bagian akhir pembahasan yang berisi kesimpulan dan
saran-saran yang dikemukakan dan dianjurkan. Analisis menempati posisi terakhir
karena suatu penelitian tidak mungkin disimpulkan tanpa adanya proses analisis.
Yang bila digambarkan akan berwujud seperti dibawah ini:
Bab I : Pendahuluan
Bab II : Kajian Teori
A. Pengertian nasikh mansukh menurut ulama ushul
B. Pandangan para ulama ushul tentang nasikh mansukh
C. Biografi singkat Imam As-Syafi’i
D. Pengertian nasukh mansukh menurut Imam As-Syafi’i
E. Pandangan Imam As-Syafi’i tentang nasikh mansukh
Bab III : Analisis Data
Bab IV : Kesimpulan dan Saran-saran
Pada Bab I akan berisi latar belakang masalah penelitian, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, penelitian terdahulu, metode penelitian. Pada
Bab II akan berisi pandangan para ulama ushul secara umum tentang teori nasikh
mansukh, pengertian nasikh mansukh menurut ulama ushul, biografi singkat Imam
As-Syafi'i. Lalu akan diikuti dengan penyajian pemikiran Imam As-Syafi'i tentang
teori nasikh mansukh beserta makna nasikh mansukh menurut Imam As-Syafi'i. Pada
Bab III akan berisi analisis relevansi teori naskh Imam As-Syafi'i dalam
pembaharuan fiqih. Pada Bab IV akan berisi kesimpulan dan saran seluruh isi
penelitian.
BAB II
KAJIAN TEORI
PANDANGAN ULAMA USHUL DAN IMAM AS-SYAFI’I TENTANG T EORI NASIKH MANSUKH
A. Pandangan Ulama Ushul Tentang Nasikh Mansukh
Teori nasikh mansukh termasuk dalam lingkup kajian ilmu ushul fiqh dan
ulumul qur’an. Dua bidang ilmu ini sama-sama membicarakan teori nasikh mansukh.
Dalam bidang ushul fiqh, kajian tentang teori nasikh mansukh menduduki posisi
bahasan yang cukup penting karena dalam bidang ilmu inilah dijelaskan hukum apa
yang masih berlaku dan hukum mana yang telah dicabut pemberlakuan hukumnya
atau dibatalkan ketetapan hukumnya. Ulumul qur’an menjelaskan semua seluk beluk
Al-Qur’an sedangkan ushul fiqh menjelaskan seluk beluk metode penarikan
(istinbath) hukum dari satu dalil hukum. Hubungan kedua ilmu ini memang tidak
dapat dipisahkan.
Dengan ilmu inilah-yakni ilmu ulumul qur’an- diketahui mana ayat makkiyah
yang lebih dahulu diturunkan dan mana ayat madaniyah yang lebih akhir
diwahyukan. Pembagian ayat Al-Qur’an kedalam dua bagian terbesar ini, yakni ayat
makkiyah dan ayat madaniyah, oleh para ulama ushul kemudian dipergunakan pula
dalam kajian ushul fiqh untuk menopang teori nasikh mansukh yang mutlak
memerlukan pengetahuan mendalam tentang mana ayat yang makkiyah dan mana
ayat yang madaniyah.
Ini mutlak karena, teori nasikh mansukh membahas masalah penetapan dan
pembatalan hukum, dan untuk mengetahui mana ayat yang ditetapkan dan mana ayat
yang dibatalkan pemberlakuannya harus pula mengetahui mana ayat yang lebih dulu
turun dan mana yang lebih akhir masa pewahyuannya. Sebab, ayat yang dinasakh
pastilah lebih awal masa pewahyuannya dari ayat yang menasakh. Yang dapat terjadi
hanyalah ayat madaniyah menghapus ayat makkiyah bukan sebaliknya. Karena ayat
madaniyah lebih akhir masa pewahyuannya dari ayat makkiyah. Mana ayat yang
lebih awal diwahyukan dan mana ayat yang lebih akhir diwahyukan inilah yang
menjadi objek kajian ilmu ulumul qur’an khususnya bab yang menjelaskan ayat
makkiyah dan ayat madaniyah.
Bila menemukan dua ayat atau dua dalil hukum yang terkesan saling
bertentangan maka dicarilah jalan untuk mengkompromikannya. Dalam konteks
seperti ini para ulama ushul kemudian mengajukan pendapat bahwa jika ada dua ayat
atau dua dalil hukum yang terkesan saling bertentangan maka ayat yang terakhir
turun, ayat madaniyah yang bersifat terperinci (tafshily), mentakhshis keglobalan
(kemujmalan) ayat yang pertama turun (ayat makkiyah). Dan bila metode takhshisul
am bil-khas ini tidak bisa digunakan untuk menyelesaikan kesan adanya
pertentangan antara dua dalil tersebut karena kuatnya derajat pertentangan maka
digunakanlah metode nasikh mansukh untuk menyelesaikannya sebagai alternatif
terakhir.
Para ulama ushul kemudian mengajukan teori bahwa bila ada dua dalil
hukum yang tidak bisa dikompromikan sama sekali maka dalil yang terakhir turun
menasakh (menghapus) dalil yang lebih akhir masa pewahyuannya. Hal seperti ini,
tentunya hanya dapat diketahui dengan bantuan ulumul qur’an yang membahas mana
ayat makkiyah dan mana ayat madaniyah.
Teori nasikh mansukh dalam ushul fiqh merupakan salah satu metode
penafsiran terhadap dalil hukum yang sepintas lalu tampak bertentangan. Walaupun
semua ulama berpendapat tidak ada kontradiksi (ta’arudh) dalam Al-Qur’an. Para
ulama ushul berpendapat seperti ini dengan bersandar pada firman Allah dalam Surat
An-Nisa ayat 82 berikut;
Ÿξsù r& tβρã�−/ y‰ tF tƒ tβ#u ö�à) ø9 $# 4 öθ s9uρ tβ%x. ôÏΒ Ï‰ΖÏã Î�ö�xî «!$# (#ρ߉ y uθs9 ϵŠ Ïù $Z#≈n=ÏF ÷z $# # Z��ÏWŸ2
Artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran?. Kalau sekiranya Al-Qur'an itu berasal dari selain Allah, tentulah mereka akan mendapati banyak pertentangan di dalamnya”.
Oleh karena itu, jika terkesan ada pertentangan (ta'arudh) dalam Al-Qur’an
maka dicarilah metode untuk menyelesaikannya; dan dalam hal ini, teori nasikh
mansukh adalah salah satu teori yang dipakai oleh para ulama ushul untuk
menyelesaikan pertentangan tersebut. Tapi semuanya berpendapat bahwa antara satu
ayat dengan ayat lainnya dalam al-Qur’an tidak ada kontradiksi (ta’arudh) dengan
menyandarkan pendapat pada ayat di atas. Dari asas inilah lahir metode-metode
penafsiran untuk meluruskan pengertian terhadap bagian-bagian yang sepintas lalu
tampak saling bertentangan.17
Adanya gejala pertentangan ini kemudian diselesaikan dengan metode
penafsiran nasikh mansukh. Kedudukan nasikh mansukh ini begitu pentingnya dalam
kajian ulumul qur’an sampai-sampai para ulama tidak memperbolehkan bagi
seseorang menafsirkan kitab Allah kecuali setelah mengetahui nasikh dan
mansukh.18 Dalam penarikan hukum pun (istinbath hukum) para ulama ushul
mensyaratkan seseorang yang ingin menarik (mengistinbath) satu hukum harus
terlebih dahulu mengetahui nasikh mansukh yang bila tidak, akan sesat lagi
menyesatkan (halakta wa ahlakta).19
Nasikh mansukh berasal dari akar kata yang sama yaitu " نسخ ". Imam
Jalaluddin As-Suyuti meyebutkan setidaknya ada empat makna untuk kata ini, yaitu;
Pertama, naskh bermakna izalah (penghapusan, peniadaan dan pelenyapan) seperti
pada firman Allah dalam surat Al-Haj ayat 52 berikut;
حيكم اهللا آياتهفينسخ اهللا ما يلقى الشيطان مث Dan juga seperti perkataan orang Arab berikut;
نسخت الشمس الظل أى أزالته
17Ali Yafie, “Nasikh Mansukh Dalam Al-Qur’an,” dalam Budhy Munawar Rachman (ed.) et.Al., Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), 43 18Jalaluddin As-Suyuti, Al-Itqan Fi Ulum Al-Qur’an (Beirut: Darul Fikr, t.thn), 55 19Abu Abdullah Muhammad Bin Hazm, Kitab Fi Ma’rifah An-Nasikh Wa Mansukh dalam catatan pinggir kitab Tanwirul Miqbas Min Tafsir Ibnu Abbas karya Abu Thahir Muhammad Bin Ya’qub Al-Fairuzzabadi As-Syairazy As-Syafi'i (Surabaya: Al-Hidayah, t.thn), 309
Kedua, naskh bermakna tabdil (mengganti) seperti pada firman Allah dalam surat
An-Nahl ayat 101 berikut;
وإذا بدلنآ آية مكان آية Ketiga, naskh bermakna tahwil (beralih, pengalihan atau pelimpahan dari satu hal ke
hal lain) seperti jika dikatakan;
تناسخ املواريث مبعىن حتويل املرياث من واحد اىل واحد Keempat, naskh bermakna naql (memindah, berpindah atau menukil) seperti jika
dikatakan:20
ه نسخت الكتاب إذا نقلت ما فيه حاكيا للفظه النقل من موضع اىل موضع ومن
وخطه Dari keempat pengertian yang diberikan oleh Imam Jalaluddin As-Suyuti ini,
pengertian yang pertama adalah pengertian yang paling dekat dengan pengertian
naskh seperti yang diberikan oleh ulama ushul. Ulama ushul memberikan pengertian
naskh dengan beragam redaksi namun tetap dekat dengan makna izalah bukan ke
makna naskh sebagai tabdil, tahwil atau naql diantaranya ialah;
Pertama, seperti yang diutarakan oleh Imam Jalaluddin Al-Mahally berikut;
رفع احلكم الثابت باخلطاب املتقدم على وجه لواله لكان اخلطاب الدال على
ثابتا مع تراخيه عنه “Naskh ialah khitab (perintah) yang menunjukkan atas dicabutnya satu hukum yang
telah tetap (berlaku) dengan khitab yang terkemudian dengan catatan seandainya
20Jalaluddin As-Suyuti, Op.Cit., 55
tidak karena khitab (perintah) yang terkemudian tersebut niscaya khitab yang
terdahulu itu akan tetap berlaku disertai dengan adanya selang waktu dari khitab
(perintah) yang pertama .”21
Kedua, seperti yang diutarakan oleh Abdul Wahab Khalaf berikut;
إبطال العمل باحلكم الشرعى بدليل متراخ عنه النسخ ىف اصطالح األصوليني هو
يدل على إبطاله صراحة او ضمنا إبطاال كليا او إبطاال جزئيا ملصلحة اقتضته او
هو إظهار دليل الحق نسخ ضمنا العمل بدليل سابق
“Naskh dalam istilah ulama ushul ialah pembatalan pengamalan satu hukum syar'iy
dengan dalil lain yang disertai dengan adanya tenggang waktu antara keduanya yang
menunjukkan atas pembatalannya baik dengan cara jelas maupun samar, baik
pembatalan itu keseluruhan maupun pembatalannya hanya pada sebagiannya saja
yang dituntut oleh adanya suatu kemaslahatan.22
Ketiga, seperti yang diutarakan oleh Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin
berikut;
رفع حكم شرعى سابق بنص الحق مع التراخى بينهما
“Menghapuskan sesuatu hukum yang telah lalu dengan sesuatu nash yang datang
kemudian dengan ada waktu perselangan antara keduanya.”23
Semua pengertian naskh yang diberikan oleh para ulama ushul diatas lebih
dekat ke makna naskh sebagai izalah (penghapusan). Untuk lebih memahami
21Jalaluddin Al-Mahally, Al-Waraqat Fi Ushul Al-Fiqh dalam matan Hasyiah Ad-Dimyati Ala Syarhil Waraqat karya Ahmad Bin Muhammad Ad-Dimyati (Indonesia: Al-Haramain, t.thn), 14 22Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh (Indonesia: Al-Haramain, 2004), 222 23Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih (t.t: Amzah, 2005), 248
pengertian izalah ini ada baiknya kita melihat pejelasan yang diberikan oleh Al-
‘Amidy berikut:
واإلزالة هى اإلعدام وهلذا يقال زال عنه املرض واألمل وزالت النعمة عن فالن
هذه األشياء كلها وقد يطلق مبعىن نقل الشيء وحتويله من ويراد به االنعدام ىف
حالة اىل حالة مع بقائه ىف نفسه
“ Izalah ialah peniadaan (pelenyapan). Oleh karena inilah maka dikatakan: Sakit dan
peri telah hilang dari dirinya. Nikmat telah lenyap dari si Fulan. Yang dimaksud
dengan hal tersebut disini ialah lenyapnya keseluruhan hal tersebut. Dan lafadz
izalah itu terkadang bermakna naql (memindah) sesuatu dan memindahkannya dari
satu hal ke hal lain yang disertai dengan kekalnya hal tersebut.24
Sekalipun ada sebagian ulama ushul yang menggunakan lafadz "raf'un"
sebenarnya ini bermakna sama dengan lafadz izalah seperti telah disebutkan diatas
karena lafadz izalah dan raf’un memiliki makna yang sama.25
Contoh ayat nasikh dan mansukh yang paling sering diutarakan oleh para
ulama ushul adalah masa iddah seorang janda yang pada mulanya adalah satu tahun
berdasar pada surat Al-Baqarah ayat 240 berikut;
tÏ% ©!$#uρ šχöθ ©ùuθ tG ムöΝà6Ψ ÏΒ tβρâ‘ x‹ tƒ uρ %[`≡ uρø— r& Zπ§‹Ï¹ uρ ΟÎγ Å_≡ uρø— X{ $�è≈tGΒ ’ n<Î) ÉΑ öθ y⇔ø9 $# u�ö�xî 8l#t�÷z Î) 4 ÷βÎ* sù zô_ t�yz Ÿξsù yy$oΨã_ öΝà6ø‹n=tæ ’ Îû $tΒ š∅ù=yè sù þ’Îû �∅ÎγÅ¡ à#Ρ r& ÏΒ 7∃ρã�÷è ¨Β 3 ª! $#uρ ͕tã ×Λ Å6ym
24Saifuddin Abi Hasan Ali bin Abi Ali bin Muhammad Al-Amidy, Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam Jilid II, Juz III (Beirut: Darul Fikr, 1996), 71 25Abdul Hamid bin Muhammad Ali Qudsi, Lathaiful Isyarat (Surabaya: Al-Hidayah, t.thn), 40
Artinya: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Kemudian ketetapan ini dinasakh dengan ketetapan baru bahwa lama iddah
seorang janda adalah empat bulan sepuluh hari,26 berdasar pada surat Al-Baqarah
ayat 234 berikut;
tÏ% ©!$#uρ tβ öθ ©ùuθ tF ムöΝä3ΖÏΒ tβρ â‘x‹ tƒ uρ %[`≡uρø— r& zóÁ−/ u�tI tƒ £ÎγÅ¡ à#Ρr' Î/ sπ yè t/ö‘ r& 9�åκ ô−r& #Z�ô³tã uρ ( #sŒ Î* sù
zøó n=t/ £ßγ n=y_r& Ÿξsù yy$oΨ ã_ ö/ ä3øŠ n=tæ $yϑŠ Ïù zù=yè sù þ’ Îû £Îγ Å¡ à#Ρr& Å∃ρâ÷÷êyϑ ø9$$ Î/ 3 ª! $#uρ $ yϑ Î/ tβθ è=yϑ ÷è s?
×��Î6yz Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”
Demikian pula tentang kiblat. Pada mulanya kiblat umat Islam adalah Baitul
Maqdis ketika Rasulullah Saw dan sahabatnya pertama kali hijrah ke Madinah.
Kiblat ke Baitul Maqdis ini kemudian dinasakh oleh Allah melalui firmannya dalam
surat Al-Baqarah ayat 144 berikut;
ô‰s% 3“t�tΡ |=A=s) s? y7 Îγ ô_uρ ’ Îû Ï !$ yϑ ¡¡9$# ( y7Ψ uŠ Ïj9 uθ ãΨ n=sù \' s# ö7Ï% $yγ9|Ê ö�s? 4 ÉeΑuθ sù y7 yγ ô_uρ t�ôÜx© ω Éfó¡ yϑ ø9 $# ÏΘ#t�ys ø9 $# 4 ß] øŠ ymuρ $ tΒ óΟçFΖä. (#θ —9uθ sù öΝä3yδθã_ãρ … çνt�ôÜx© 3 ¨β Î)uρ t Ï% ©!$# (#θ è?ρé&
|=≈tG Å3 ø9 $# tβθ ßϑn=÷è u‹s9 çµ‾Ρ r& ‘, ysø9 $# ÏΒ öΝÎγÎn/ §‘ 3 $tΒuρ ª!$# @≅Ï#≈tó Î/ $ £ϑ tã tβθè=yϑ ÷è tƒ
26Ali Yafie, Op. Cit., 45
Artinya: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit. Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”.
Setelah Islam berkembang semakin luas baik dalam konteks perluasan
wilayah maupun jumlah pemeluk maka persoalan yang dihadapi umat Islam semakin
bertambah pula. Hal ini berpengaruh pula pada hukum Islam. Pada zaman Nabi Saw,
semua persoalan hukum yang timbul di masyarakat diserahkan pada beliau untuk
diselesaikan dan semua umat Islam wajib menerima keputusan apapun yang beliau
ambil. Allah memang memerintahkan umat Islam untuk mematuhi semua keputusan
hukum yang beliau ambil tersebut. Allah berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 36
berikut;
$ tΒ uρ tβ%x. 9ÏΒ ÷σßϑ Ï9 Ÿω uρ >π uΖÏΒ ÷σ ãΒ #sŒ Î) |Ós% ª!$# ÿ…ã& è!θ ß™u‘uρ #��øΒ r& β r& tβθä3tƒ ãΝßγ s9 äοu� z�σ ø: $# ôÏΒ öΝÏδÌ�øΒ r& 3 tΒuρ ÄÈ÷è tƒ ©!$# … ã& s!θ ß™u‘uρ ô‰ s) sù ¨≅ |Ê Wξ≈n=|Ê $ YΖ�Î7 •Β
Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat dalam kesesatan yang nyata.”
Namun setelah Nabi Saw wafat, kewenangan pengambilan dan penetapan
hukum berpindah ke sahabat-sahabat beliau, kemudian muncullah para ulama
mujtahid yang kelak melahirkan aliran (mazhab) fiqih dan metode penarikan hukum
yang beraneka ragam.
B. Kategori naskh dalam Al-Kitab dari segi rasm dan hukm.
Ulama ushul membagi naskh kedalam tiga kategori jika ditinjau dari segi
rasm dan hukum yaitu;
1. Penghapusan redaksi (rasm) dan tetapnya hukum.27
Para ulama ushul berpendapat kebolehan terjadinya penghapusan bacaan atau
tilawah dalam Al-Qur'an namun hukum yang terkandung di dalam ayat yang
dinasakh itu tetap berlaku sekalipun redaksi atau tilawahnya sudah dihapus. Dengan
teori ini para ulama ushul ingin mengatakan bahwa ada ayat-ayat tertentu yang
dulunya merupakan bagian Al-Qur'an namun sekarang tidak diketemukan lagi
tilawahnya dalam mushaf yang sampai kepada kita. Sebagaimana “ayat” berikut
yang Allah Swt wahyukan pada Rasulnya namun tilawahnya sekarang tidak terdapat
dalam mushaf Al-Qur’an yang sampai pada kita. Untuk mendukung pendapat ini
para ulama ushul mengajukan dalil berikut;
الشيخ و الشيخة إذا زنيا فارمجومها البتة نكاال من اهللا
Dalam pandangan ulama ushul pada mulanya kalimat diatas adalah bagian
dari Al-Qur'an kemudian tilawahnya dihapus sehingga tidak terdapat lagi dalam Al-
Qur'an yang menjadi pegangan umat muslim sekarang namun ketentuan hukumnya
tetap berlaku bagi umat Islam. Untuk pembahasan tentang penghapusan tilawah dan
tetapnya hukum yang akan dibahas pada bab analisis. Juga pandangan lain yang coba
ditawarkan untuk menyelesaikan keganjilan penghapusan tilawah Al-Qur’an ini yang
menimbulkan kesan seolah-olah Al-Qur’an itu tidak lengkap sebab ada ayat-ayat
yang dihapus yang pada mulanya menjadi bagiannya.
27Husain Bin Ahmad Bin Muhammad Al-Kaylani As-Syafi'i Al-Makky, At-Tahqiqat (tt: Darun Nafais, 1999), 364
2. Penghapusan hukum dan tetapnya rasm.28
Ulama ushul membolehkan terjadinya naskh hukum namun redaksinya tetap
terdapat dalam Al-Qur'an. Untuk mendukung pendapat ini ulama ushul memberikan
surat Al-Baqarah ayat 184 berikut sebagai contoh;
$ YΒ$−ƒ r& ;N≡yŠρ߉ ÷è ¨Β 4 yϑ sù šχ%x. Νä3Ζ ÏΒ $³ÒƒÍ÷£∆ ÷ρr& 4’ n?tã 9�x# y™ × Ïè sù ôÏiΒ BΘ$−ƒ r& t�yzé& 4 ’ n?tãuρ
šÏ% ©!$# …çµ tΡθ à)‹ÏÜム×π tƒô‰ Ïù ãΠ$ yè sÛ &Å3ó¡ ÏΒ ( yϑ sù tí§θ sÜ s? #Z�ö�yz uθßγ sù ×�ö�yz … ã&©! 4 β r&uρ
(#θ ãΒθÝÁ s? ×�ö�yz öΝà6 ©9 ( β Î) óΟçFΖä. tβθ ßϑ n=÷è s?
Artinya: “Dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan. Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui”.
Dalam pandangan ulama ushul ketentuan hukum yang terkandung dalam ayat
ini telah dihapus yakni kebolehan tidak berpuasa pada bulan Ramadhan dengan cara
membayar atau memberi fidyah.
3. Penghapusan hukum dan tilawah sekaligus.29
Para ulama ushul memberikan contoh untuk kategori ini dengan sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Siti Aisyah bahwa pada awalnya,
sepuluh kali asupan susuan itu menjadikan adanya hubungan mahram kemudian
ketentuan ini dihapus dengan lima kali asupan susuan saja. Contoh ini termasuk
contoh yang paling sering diangkat oleh ulama-ulama ushul maupun ulama dalam
bidang ulumul qur’an untuk menunjukkan kategori naskh seperti ini.
28Ibid., 365 29Ibid
C. Biografi Imam As-Syafi'i
1. Tempat dan tahun kelahiran Imam As-Syafi'i
Pendapat yang masyhur menyebutkan Imam As-Syafi'i lahir di Ghazzah,
namun ada juga yang berpendapat Imam As-Syafi'i dilahirkan di 'Asqalan. Ghazzah
dalam ejaan latin disebut dengan Gaza atau lebih terkenal dengan istilah "Jalur Gaja"
sekarang. Daerah ini termasuk ke dalam lingkungan wilayah Baitul Maqdis. Wilayah
Gaza sekarang ini sering menjadi arena pertempuran antara Negara Palestina dan
Negara Israel. Imam As-Syafi'i lahir di tanah Gazza ini pada tahun 150 H/767M.30
Nama lengkap sekaligus nasab Imam As-Syafi’i adalah sebagai berikut: Abu
Abdullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi'i bin Saib bin
Abdullah bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Muthalib bin Abdi Manaf bin Qushay Al-
Quraysi Al-Muthaliby As-Syafi'i Al-Hijazy Al-Makky. Nasabnya bertemu dengan
garis keturunan Rasulullah Saw di Abdul Manaf.31
2. Rihlah Ilmiyah Imam As-Syafi'i
Setelah ayahnya meninggal di perantauan, Imam As-Syafi'i dibawa ibunya
kembali ke Makkah ketika beliau berumur dua tahun. Di Makkah Imam As-Syafi'i
belajar membaca Al-Qur'an pada Syaikh Ismail bin Kustantin, seorang ahli baca Al-
Qur'an yang terkenal di Makkah pada waktu itu. Pada usia sembilan tahun, Imam As-
Syafi'i telah hafal Al-Qur'an serta menguasai sejumlah hadits.32 Imam As-Syafi'i
juga menaruh perhatian yang besar bagi bahasa Arab. Ia pergi ke perkampungan
Bani Hudzail khusus untuk mempelajari bahasa Arab. Inilah sebabnya, disamping ia
30Zainuddin Bin Abdil Aziz Al-Malibary, Fathul Mu'in bi Syarhi Qurratil 'Ain (Surabaya: Nurul Huda, t.thn), 3 31Muhammad bin Abdul Qadir, Manaqib Al-Imam As-Syafi’i (Kediri: Muhammad Utman, t.thn), 2 32Zulina Amini, Studi Perbandingan Antara Konsep Kalalah Dalam Perspektif Imam Al-Syafi'i Dan Hazairin (UIN Malang: Skrpsi, 2005), 16
terkenal sebagai ulama fiqih di kemudian hari ia juga terkenal akan kemahirannya
dalam berbahasa Arab. Bahkan para penulis sejarah sastra Arab tidak segan untuk
memasukkan Imam As-Syafi'i dalam golongan para ahli sastra Arab.
Kemudian beliau mempelajari bahasa Arab fashahah di perkampungan Banu
Hudzail, karena diperkirakan masyarakat kabilah inilah yang masih memakai bahasa
Arab sebagaimana yang berkembang pada masa Nabi dan sahabat. Langkah ini
dimaksudkan oleh keluarganya agar As-Syafi'i kelak dapat mempelajari ilmu-ilmu
keagamaan dengan baik, melalui pemahaman yang mendalam terhadap Al-Qur'an
dan Al-Sunnah.
Dia tinggal tidak kurang dari tiga tahun di perkampungan Banu Hudzail
sambil menghapal syair-syair Arab, memahami ilmu bayan dan berbagai segi
kebahasaan lainnya. Kemudian ia belajar ilmu fiqh beserta kaidah-kaidah hukumnya
di Mesjid Al-Haram dari dua orang mufti besar, Muslim bin Khalid dan Sufyan bin
'Uyainah, sampai As-Syafi'i matang dalam ilmu fiqh.33 Namun, begitupun, hasratnya
untuk menuntut ilmu terus menggebu. Untuk itulah dia berangkat ke Madinah untuk
belajar dengan Imam Malik, setelah sebelumnya ia menghafal Al-Muwatha’ karya
gurunya yang baru itu. Dengan diantar walikota Madinah atas rekomendasi Walikota
Mekah, As-Syafi'i menemui Malik, dan diterima secara hormat di kediamannya.
Kemudian dia belajar dengan Malik sambil membantunya mengajar karena
penguasaannya terhadap Al-Muwatha’ sudah cukup baik. Namun pada tahun 179 H
Malik meninggal dunia, dan dia pulang ke Yaman kampung halaman ibunya dengan
maksud untuk bekerja. Di kampung halaman ibunya ini, As-Syafi'i bekerja sebagai
pegawai pemerintah dari dinasti Bani Abbas. Akan tetapi, tidak lama kemudian, ia
33Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), 148
dituduh lekat dengan kelompok Alawy partai oposisi Bani Abbas, sehingga As-
Syafi'i dikirim ke Bagdad untuk diinterogasi Harun Al-Rasyid Khalifah Bani Abbas
saat itu.34 Ia dituduh condong kepada sekte Syiah.35
Namun berkat kepintarannya, As-Syafi'i bebas dari tuduhan, bahkan oleh
Harun Al-Rasyid, dia diserahkan kepada Muhammad bin Hasan al-Syaibani, salah
seorang qadhi yang beraliran Hanafiah. Dengan Al-Syaibani inilah, As-Syafi'i
mempelajari pokok-pokok pikiran madzhab Hanafi, sehingga lengkaplah
pengetahuan fiqh beliau, dari aliran tradisional, tradisionalisme Madinah dan
rasionalisme Iraq.
Setelah itu, As-Syafi'i mulai melakukan kajian hukum dan mengeluarkan
fatwa-fatwa fiqh, bahkan menyusun metodologi kajian hukum yang cenderung
memperkuat posisi tradisionalisme, serta mengkritik kajian rasional, baik aliran
Madinah maupun Kufah. Dalam kontek kajian fiqihnya, As-Syafi'i mengemukakan
pemikiran, bahwa hukum Islam itu harus bersumber pada Al-Qur'an dan Al-Sunnah,
serta Ijma'. Dan kalau ketiganya belum memaparkan ketentuan hukum yang jelas dan
pasti mengenai persoalan-persoalan furu' yang dihadapinya, As-Syafi’i mempelajari
perkataan-perkataan sahabat, dan baru terakhir melakukan qiyas dan istishab.36
Imam As-Syafi'i kemudian menikah dengan cicit Utsman bin Affan yang
bernama Humaidah binti Anbasah bin Umar bin Utsman bin Affan. Dan Imam As-
Syafi'i dikarunia dari isterinya itu dengan tiga anak yaitu Fatimah, Zainab dan
Muhammad. Imam As-Syafi'i juga memiliki seorang sariyah (budak wanita) dan dia
34Ibid., 149 35Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-usul dan Perkembangan Fiqh: Analisis Historis Atas Madzhab, Doktrin Dan Kontribusi (Bandung: Nusamedia, 2005), 109 36Dede Rosyada,Op. Cit., 149
memperoleh seorang anak dari sariyahnya tersebut.37 Berikutnya Imam Syafi'i
berangkat ke Mesir dengan tujuan hendak belajar kepada Imam Al-Laits, tetapi
sebelum ia sampai di Mesir, Imam Al-Laits wafat. Meski demikian ia tetap bisa
mendalamai Mazdhab Laitsi lewat para muridnya. Imam Syafi'i tinggal di Mesir
hingga wafatnya tahun 820 M pada masa pemerintahan Khalifah Ma'mun berkuasa
pada tahun 813-832 M.38
D. Pandangan Imam As-Syafi'i Tentang Nasikh Mansukh
1. Sebab-sebab disyariatkannya naskh menurut Imam As-Syafi’i
Imam As-Syafi'i berpendapat bahwa rahasia dibalik disyariatkannya naskh
ialah sebagai rahmat bagi manusia, baik untuk meringankan maupun untuk
meluaskan syariat tersebut bagi manusia. Imam As-Syafi'i berpandangan bahwa
sesungguhnya Allah menciptakan makhluknya namun ilmu Allah sendiri telah
mendahului penciptaan makhluk tersebut dari apa-apa yang Dia maksudkan pada
penciptaan mereka dan pada diri mereka sendiri. Tidak seorang pun yang berhak
mengganti hukum-hukum-Nya. Dan Dia-lah dzat yang maha cepat perhitungannya.
Dan Allah-setelah penciptaan makhluk tersebut-menurunkan bagi mereka Al-
Kitab sebagai penjelasan, petunjuk dan rahmat bagi segala sesuatu. Dan Dia
memfardhukan di dalam Al-Kitab tersebut beberapa kefardhuan lalu ia tetapkan dan
sebagiannya lagi Ia hapuskan sebagai rahmat bagi makhluknya, dengan cara
meringankan dan memperluas kefardhuan tersebut bagi makhluk-Nya sebagai
tambahan nikmat di dalam hal-hal yang Dia-lah yang menciptakan mereka. Dan Ia
memberi pahala bagi mereka karena telah menyudahi menjalankan satu kewajiban
(karena adanya naskh) kepada apa yang Allah tetapkan bagi mereka yaitu berupa
37 Muhammad bin Abdul Qadir, Op.Cit., 4 38Abu Ameenah Bilal Philips, Op.Cit., 110
surga dan keselamatan dari siksa-Nya. Maka rahmat Allah menaungi mereka pada
apa yang Dia tetapkan dan Ia hapuskan.39
2. Pengertian Naskh Menurut Imam As-Syafi'i .
Pengertian (ta’rif ) naskh yang diberikan oleh Imam As-Syafi'i berbeda
dengan pengertian naskh yang diberikan oleh ulama ushul pada umumnya bila
ditinjau dari segi susunan redaksional kalimatnya. Bukan menggunakan lafadz
izalah, raf’un atau ibthal yang lazim digunakan oleh ulama ushul, ta’rif naskh yang
diberikan oleh Imam As-Syafi'i justru menggunakan lafadz taraka yang lebih dekat
ke makna naskh sebagai memindah (naql) atau (tahwil) pengalihan. Ini berbeda dan
merupakan kebalikan dari pendapat para ulama ushul secara umum yang lebih
cenderung memaknai naskh sebagai izalah. Pengertian naskh yang diberikan oleh
Imam As-Syafi’i adalah sebagi berikut;
ن حقا ىف وقته وتركه حقا إذا نسخه اهللا فيكون من ومعىن نسخ ترك فرضه كا
ومن مل يدرك فرضه مطيعا باتباع الفرض الناسخ له أدرك فرضه مطيعا به وبتركه
“Dan adapun makna dari lafadz nasakha ialah meninggalkan satu kefardhuan yang
pada mulanya merupakan satu kefardhuan di masanya dan meninggalkan kefardhuan
tersebut merupakan satu kefardhuan pula jika Allah telah menasakhnya. Maka
seseorang yang mendapati kewajiban tersebut dibebani kewajiban untuk mentaatinya
(jika belum dinasakh) dan juga mempunyai kewajiban untuk meninggalkan
kefardhuan tersebut (jika memang telah dinasakh) dan barang siapa yang tidak
mendapati kewajiban tersebut dibebani kewajiban untuk bersikap taat mengikuti
39Abi Abdullah Muhammad Bin Idris As-Syafi'i, Ar-Risalah (t.t:t.p, t.thn), 106
(ketentuan) kefardhuan dalil nasikh baginya.40 Naskh dalam pemikiran Imam As-
Syafi'i dapat dibagi ke dalam empat kategori berikut.41
3. Naskh Kitab bi Al-Kitab
Imam As-Syafi'i berpendapat kebolehan terjadinya Naskh Kitab bi Al-Kitab.
Imam As-Syafi'i menguraikan hal ini dengan kalimat singkat berikut yang terdapat
di dalam kitab Ar-Risalah;
ا نسخ ما نسخ من الكتاب بالكتابوأبان اهللا هلم أنه إمن
“Dan Allah menjelaskan bagi mereka bahwasanya Dia (Allah) terkadang menasakh
kitab dengan kitab”.42
Tampaknya Imam As-Syafi'i menganggap kategori naskh yang pertama ini
telah cukup jelas sehingga ia tidak memberikan penjelasan yang panjang lebar.
Dengan ibarat (ungkapan) yang singkat ini Imam As-Syafi'i menjelaskan kebolehan
terjadinya Naskh Kitab bi Al-Kitab. Jumhur Ulama ushul juga berpendapat seperti
pendapatnya Imam As-Syafi'i ini. Kebolehan terjadinya Naskh Kitab bi Al-Kitab
merupakan salah satu ijma’ ulama. Contoh ayat nasikh mansukh untuk kategori
naskh yang pertama ini cukup banyak seperti ayat yang mengatur pengharaman
khamar. Ayat yang dianggap berlaku ketetapan hukumnya adalah ayat yang terakhir
turun. Juga ayat-ayat yang mengatur masa iddah seorang janda.
4. Naskh Kitab bi As-Sunnah
Imam As-Syafi’i berpendapat bahwa sunnah tidak mungkin menjadi nasikh
bagi Al-Qur’an. Dengan kata lain sunnah tidak mungkin menjadi penghapus bagi Al-
Qur’an. Imam As-Syafi’i berpandangan demikian karena lebih melihat pada peran 40Ibid., 122-123 41Ahmad Nahrawi Abdussalam, Al-Imam As-Syafi'i: Fi Madzhabihi Al-Qadim Wa Al-Jadid (tt: tp, 1994), 297 42Abi Abdullah Muhammad Bin Idris As-Syafi'i, Op.Cit., 106
sunnah sebagai penjelas (mufassir) keglobalan (kemujmalan) ayat-ayat Al-Qur’an.
Karena sunnah itu dalam pandangan Imam As-Syafi’i berfungsi sebagai penjelas
bagi Al-Qur’an maka sudah seharusnya sunnah itu mengikuti ketentuan-ketentuan
yang ada dalam Al-Qur’an bukan malah menasakhnya.43 Status sunnah yang menjadi
pengikut bagi Al-Qur’an memang memustahilkan hal seperti ini terjadi. Dalam
pandangan Imam As-Syafi'i yang mengikuti tidak mungkin menyalahi apa yang
diikuti.44 Imam As-Syafi’i mengajukan dalil berikut untuk menguatkan pendapatnya.
Imam As-Syafi’i berhujjah dengan surat Yunus ayat 15 berikut;
#sŒÎ) uρ 4’n? ÷G è? óΟÎγ øŠ n=tæ $ uΖè?$ tƒ#u ;M≈oΨ Éi� t/ � tΑ$ s% šÏ%©!$# Ÿω tβθã_ö�tƒ $ tΡ u !$ s)Ï9 ÏMø.$# Aβ#u ö�à) Î/ Î�ö�xî !#x‹≈yδ ÷ρr& ã& ø!Ïd‰t/ 4 ö≅ è% $ tΒ Üχθä3tƒ þ’ Í< ÷β r& … ã& s!Ïd‰t/ é& ÏΒ Ç› !$ s)ù=Ï? ûŤø#tΡ ( ÷β Î) ßì Î7? r& āω Î) $ tΒ #yrθ ãƒ
�†n< Î) ( þ’ÎoΤ Î) ß∃%s{r& ÷βÎ) àM øŠ |Átã ’ În1u‘ z># x‹ tã BΘ öθ tƒ 5Ο‹Ïà tã
Artinya: “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan kami berkata: "Datangkanlah Al- Qur’an yang lain dari ini atau gantilah ia. Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)".
Dengan ayat ini-dalam pandangan Imam As-Syafi’i-Allah memberitahukan
bahwasanya Dia mewajibkan pada umatnya untuk mengikuti ketentuan yang telah
diwahyukan padanya dan Allah tidak menjadikan kewenangan bagi Nabinya untuk
mengganti-ganti Al-Qur’an dari keinginan dirinya sendiri.
Lengkapnya, Imam As-Syafi’i menulis sebagai berikut;
43Ibid 44Ibid., 109
وأن السنة الناسخة للكتاب وإمنا هى تبع للكتاب مبثل ما نزل نصا ومفسرة
معىن ما أنزل اهللا منه مجال قال اهللا وإذا تتلى عليهم آياتنا بينات قال الذين
اليرجون لقاءنا ائت بقرآن غري هذا أو بدله قل ما يكون ىل أن ابدله من تلقاء
عصيت رىب عذاب يوم عظيم نفسى إن أتبع إال ما يوحى إىل إىن أخاف إن
فأخرب اهللا أنه فرض على نبيه اتباع ما يوحى إليه ومل جيعل له تبديله من تلقاء
٤٥نفسهSekalipun Imam As-Syafi’i berpendapat bahwa sunnah tidak mungkin menjadi
nasikh bagi Al-Qur’an, namun Imam As-Syafi’i sendiri tetap berpendapat bahwa
sunnah itu diperoleh Rasulullah Saw dari Allah Swt. Beliau menjelaskan bahwa
sebagian dari kewajiban yang Allah tetapkan atas manusia adalah mengikuti perintah
Rasulullah Saw dan ini dapat dijadikan sebagai dalil bahwa sunnah Rasulullah Saw
itupun diperoleh dari Allah maka barang siapa yang mengikuti sunnah maka dengan
ketentuan Al-Qur’an-lah ia mengikutinya.46 Imam As-Syafi’i berpendapat demikian
tentu saja karena banyak bunyi ayat yang menyuruh umatnya untuk taat pada
Rasululllah. Ulama ushul menguatkan pendapat Imam As-Syafi'i ini dengan
mengajukan surat An-Nisa' ayat 80 berikut;
Β Æì ÏÜムtΑθ ß™§�9$# ô‰s) sù tí$sÛr& ©!$# ( tΒuρ 4’ ‾<uθ s? !$ yϑ sù y7≈oΨ ù=y™ö‘r& öΝÎγøŠ n=tæ $ ZàŠÏ# ym
Artinya: "Barangsiapa yang menaati Rasul maka sesungguhnya ia telah menaati Allah. dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka".
Dan juga Firman Allah Swt dalam surat An-Nisa' ayat 59 berikut;
45Ibid., 106-107 46Ibid., 109
$ pκš‰r' ‾≈tƒ tÏ%©!$# (#þθ ãΨ tΒ#u (#θãè‹ÏÛ r& ©!$# (#θ ãè‹ÏÛ r& uρ tΑθ ß™§�9 $# ’Í<'ρé& uρ Í÷ö∆F{$# óΟä3ΖÏΒ ( β Î* sù ÷Λ äôã t“≈uΖ s? ’ Îû & óx« çνρ–Š ã�sù ’n< Î) «! $# ÉΑθ ß™ §�9 $#uρ β Î) ÷ΛäΨ ä. tβθãΖ ÏΒ÷σ è? «!$$ Î/ ÏΘ öθ u‹ø9 $#uρ Ì�Åz Fψ $# 4 y7Ï9≡ sŒ ×�ö�yz ß|¡ ôm r& uρ
¸ξƒ Íρù' s?
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya".
Dengan kata lain Imam As-Syafi’i mengakui bahwa sunnah Rasulullah Saw
bersumber dari Allah. Imam As-Syafi’i menulis sebagai berikut;
فيما وصفت من فرض اهللا على الناس اتباع أمر رسول اهللا دليل على أن سنة
إمنا قبلت عن اهللا فمن اتبعها فبكتاب اهللا تبعها وال جند خربا ألزمه اهللا رسول اهللا
خلقه نصا بينا إال كتابه مث سنة نبيه فإذا كانت السنة كما وصفت الشبه هلا من
قول خلق من خلق اهللا مل جيز أن ينسخها إال مثلها وال مثل هلا غري سنة رسول
عل له بل فرض على خلقه اتباعهاهللا ألن اهللا مل جيعل آلدمى بعده ما ج
Di kemudian hari, dikalangan para ahli ushul madzhab Syafi’iy, pendapat
Imam As-Syafi’i yang tidak membolehkan terjadinya naskh kitab bi sunnah namun
tetap mengakui sunnah itu berasal dari Allah, menimbulkan perbedaan pendapat di
kalangan ahli ushul. Karena sunnah itupun berasal dari Allah-seperti yang telah
dikatakan Imam As-Syafi’i di atas-sebagian dari mereka berpendapat kebolehan
terjadinya sunnah menasakh kitab sebab keduanya berasal dari Allah. Dan lagi pula,
menurut mereka, Rasululllah Saw itu adalah seorang pribadi yang ma’shum hingga
terjaga dari segala macam kesalahan. Mereka berdalil dengan surat An-Najm ayat 4
berikut;
÷β Î) uθ èδ āω Î) Ö óruρ 4yrθ ãƒ
Artinya: "Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)".
Mereka memaknai ayat ini sebagai petunjuk yang jelas bahwa segala sesuatu
yang Rasulullah Saw ucapkan itu semuanya berasal dari Allah oleh karenanya
sunnah itu boleh menasakh Al-Qur’an. Tetapi mereka memberi catatan bahwa
sunnah yang dapat berperan menasakh kitab hanyalah sunnah yang status
periwayatannya mutawatir. Namun, ada juga yang tetap menolak kebolehan
terjadinya naskh kitab bi al-sunnah ini bahkan ada ulama yang mendiamkannya
saja.47
Peneliti sendiri berpendapat bahwa pokok masalahnya bukanlah terletak pada
apakah sunnah itu diperoleh Rasulullah Saw dari Allah Swt atau berasal dari diri
Rasulullah Saw sendiri namun pada bagaimana status periwayatan sunnah tersebut,
apakah mutawatir, masyhur atau ahad.
5. Naskh Sunnah bi As-Sunnah
Imam As-Syafi’i berpendapat kebolehan terjadinya naskh sunnah dengan
sunnah. Imam As-Syafi'i menulis sebagai berikut;
وهكذا سنة رسول اهللا الينسخها إال سنة لرسول اهللا ولو أحدث اهللا لرسوله ىف
أمر سن فيه غري ما سن رسول اهللا لسن فيما أحدث اهللا إليه حىت يبني للناس أن
له سنة ناسخة للىت قبلها مما خيالفها
47Jalaluddin Al-Mahally, Op.Cit., 15
“Dan demikian pula dengan sunnah Rasulullah Saw tidak ada yang boleh
menasakhnya kecuali dengan sunnah Rasulullah Saw pula. Seandainya Allah
menyampaikan pada Rasul-Nya satu ketentuan (hukum) dalam satu perkara yang Ia
tetapkan hukumnya lain dari apa yang telah Rasululllah Saw sunnahkan sebelumnya
di dalam perkara tersebut niscaya Rasulullah Saw mensunnahkan apa yang telah
Allah sampaikan padanya sampai Rasulullah Saw sendiri menjelaskan bahwa
baginya ada satu sunnah yang berfungsi sebagai nasikh bagi sunnah sebelumnya
yang berbeda.”48
6. Naskh Sunnah bi Al-Kitab
Pada dasarnya Imam As-Syafi’i menganut metode berfikir yang mengatakan
bahwa yang menasakh harus setara dengan dalil yang dinaskh.49 Dalam
membicarakan kategori naskh sunnah bil kitab Imam As-Syafi’i membuat
pengecualian akan kaidah ini. Karena secara akal Al-Qur’an seharusnya dapat
menasakh sunnah karena kedudukannya yang lebih tinggi dari sunnah. Namun
karena pertimbangan kalau saja naskh yang seperti ini diperbolehkan maka akan
banyak ketentuan-ketentuan khusus dan terperinci yang berasal dari Rasulullah Saw
akan mudah dikata-katakan orang “barangkali sunnah ini telah dinasakh” dengan
ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam Al-Qur’an sehingga semua larangan
Rasulullah Saw yang terperinci tentang satu perkara khusus akan dengan mudah
dianggap telah dinasakh oleh keumuman lafadz Al-Qur’an. Maka dapat diapahami
kalau saja naskh yang seperti ini diperbolehkan maka akan hilanglah semua sunnah
dari tangan manusia karena sifat sunnah itu yang terperinci sedang lafazd Al-Qur’an
yang bersifat mujmal dapat dengan mudah dianggap kemujmalan lafadz Al-Qur’an
48Abi Abdullah Muhammad Bin Idris As-Syafi'i, Op.Cit., 108 49Ibid., 109
ini menasakh keterperincian sunnah. Seperti misalnya, Rasulullah Saw melarang
sebagian praktik jual beli yang biasa dilakukan Arab Jahiliyah akan dengan mudah
dianggap telah dinasakh oleh keumuman lafadz Al-Qur’an yang memperbolehkan
keseluruhan jual beli tanpa ada batasan dan keterangan ada jual beli yang
diperbolehkan dan ada jual beli yang dilarang. Imam As-Syafi’i menuliskan hal ini di
dalam kitab Ar-Risalah dengan memulainya dengan format tanya jawab;
هل تنسخ السنة بالقرآن قيل لو نسخت السنة بالقرآن كانت للنىب فيه سنة تبني
أن سنته األوىل منسوخة بسنته اآلخرة حىت تقوم احلجة على الناس بأن الشئ
فما وصفت من موضعه من اإلبانة فإن قال ما الدليل على ما تقول ينسخ مبثله
صفت ىف كتاىب هذا وأنه ال عن اهللا معىن ما أراد بفرائضه خاصا وعاما مما و
يقول أبدا لشئ إال حبكم اهللا ولو نسخ اهللا مما قال حكما لسن رسول اهللا فيما
ولو جاز أن يقال قد سن رسول اهللا مث نسخ سنته بالقرآن وال يؤثر نسخه سنة
عن رسول اهللا من البيوع كلها قد حيتمل أن يكون حرمها قبل أن يرتل عليه
الربا وفيمن رجم من الزناة قد حيتمل أن يكون الرجم أحل اهللا البيع وحرم
منسوخا لقول اهللا الزانية والزاىن فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة وىف املسح
على اخلفني نسخت آية الوضوء املسح
E. Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia
Hukum Islam telah masuk ke Indonesia bersamaan waktunya dengan
masuknya agama Islam ke Indonesia yang dibawa oleh para muballigh dari luar
negeri yang telah lebih dahulu mendapat petunjuk Islam.
Kendati hukum positif Islam yang diatur dalam lembaga peradilan terlihat
mengalami pasang surut, tetapi dalam bidang pemikiran hukum, hukum Islam
mengalami perkembangan yang cukup berarti, terutama dengan semakin banyaknya
pelajar Islam yang kembali dari Mesir dan Arab Saudi pada sekitar awal abad ke-20,
yang mulai membangun madrasah-madrasah yang bercorak modern, seperti
Thawalib, sekolah-sekolah Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, dan lain-lain, yang
tidak hanya mengajarkan fikih Syafi’i, tetapi juga mazhab yang empat. Ketika itu,
kepada para siswa mulai diperkenalkan pelajaran Perbandingan Mazhab, dengan
menggunakan kitab-kitab: Bidayah al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd, Nail al-Authar
karya al-Syaukani, Subul al-Salam karya al-Shan’ani, dan lain-lain. Kajian-kajian
demikian, kemudian kelihatan mempengaruhi sebagian siswa, sehingga
menghasilkan karya-karya fikih, yang tidak lagi mengikat diri kepada satu mazhab
tertentu, seperti terlihat pada karya ‘Abd al-Hamid Hakim, al-Mu’in al-Mubin, karya
Zainuddin Labay el-Yunusi, al-Durus al-Fiqhiyyah, dan lain-lain. Kajian-kajian fikih
yang demikian, kemudian banyak mempengaruhi hukum Islam di Indonesia, kendati
secara formal lembaga-lembaga Peradilan masih memberlakukan hukum Islam
mazhab Syafi’i. Pengaruh tersebut terlihat terutama dalam aspek-aspek ibadah dan
muamalah, dimana perbedaan mazhab turut mewarnai khzanah hukum Islam di
Indonesia.
Setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, teori receptie
yang dikemukakan Snouck Hurgronye kehilangan dasar hukumnya. Berkenaan
dengan hal itu, Hazairin, pakar hukum adat dan hukum Islam, secara tegas
menyatakan bahwa setelah Indonesia merdeka dan setelah UUD 1945 dijadikan
undang-undang dasar negara, kendati aturan peralihan menyatakan bahwa hukum
yang lama masih berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD 1945,
seluruh peraturan perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda yang berdasarkan
teori receptie tidak berlaku lagi, karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945.50
Upaya-upaya pembaruan hukum Islam seperti demikian diharap akan tumbuh
dan berkembang hukum Islam yang kuat dan mampu menjawab kebutuhan
masyarakat. Hukum Islam yang demikian niscaya akan dapat memberikan
sumbangan yang besar bagi hukum nasional.
Lalu pada tahun 1980-an, ketika akan membentuk Kompilasi Hukum Islam
tentang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan, Munawwir Sjadzali, Menteri
Agama ketika itu, memunculkan gagasan reaktualisasi ajaran Islam. Gagasan
tersebut sengaja dilontarkan dalam berbagai forum, guna menggugah para ulama
fikih di Indonesia (bahkan juga di luar Indonesia) untuk mengkaji dan berpikir lagi
tentang fikih. Salah satu contoh yang ditampilkan Munawir adalah berkenaan dengan
reaktualisasi dalam hukum kewarisan, yakni kemungkinan dijadikannya hak anak
laki-laki sama dengan hak anak perempuan dalam menerima warisan ayahnya yang
meninggal. Kendati contoh yang dikemukakan Munawir tersebut tidak diterima
secara eksplisist dalam kompilasi, ternyata telah merangsang sementara cendekiawan
dan ulama berpikir lebih mendalam dalam melihat tujuan asasi syari’at Islam sebagai
syari’at yang kekal untuk kemaslahatan manusia pada setiap tempat dan masa. Akan
tetapi, di pihak lain, upaya tersebut justru menimbulkan kecurigaan, seolah-olah ada
upaya untuk mengganti fikih dengan sesuatu paham yang berbau orientalisme.
Puncak reaktualisasi terlihat pada lokakarya Kompilasi Hukum Islam di
Jakarta, awal Februari 1988, yang dihadiri oleh para tokoh fikih dari organisasi-
50Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya Bagi Pembaruan Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 165-166
organisasi Islam, perguruan tinggi, dan masyrakat. Kesimpulannya, menerima
reinterpretasi dalam rangka reaktualisasi, selama masih dalam wilayah bahasan fikih,
yakni di luar yang diatur secara qath’i dalam al-Qur’an maupun hadis.
Upaya reaktualisasi ajaran Islam di bidang hukum sebagai disebutkan di atas
juga merupakan bagian dari upaya pembaruan hukum Islam, terutama dalam konteks
zaman modern dewasa ini. Dari upaya demikian diharapkan terwujudnya suatu solusi
hukum yang dapat mengayomi masyarakat, sehingga apa yang mereka terapkan
dalam kehidupan sehari-hari akan senantiasa berjalan di atas dasar hukum yang
luwes dan adil.
Kalau hukum Islam telah memberikan kontribusi kepada hukum nasional
dalam hal Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan,
diharapkan pula hukum Islam dapat memberikan sumbangan dalam bidang-bidang
lain, seperti pidana, perdata, ekonomi, perdagangan, perburuhan, ketenagakerjaan,
agraria, perpajakan, dan sebagainya.51
Pembaharuan hukum Islam adalah satu wacana yang berkembang di dunia
pemikiran hukum Islam modern yang menghendaki adanya usaha terus menerus
untuk mengkaji, mengembangkan dan merumuskan hukum Islam di segala seginya,
muamalah, nikah, ibadah, tata negara hatta ushul fiqih yang selama ini telah
dianggap sebagai suatu rumusan yang lengkap, sempurna dan pembahasan
tentangnya dianggap sudah berakhir. Dalam istilah yang lain, pembaharuan hukum
Islam juga identik dengan istilah reaktualisasi hukum Islam.
Pembaruan hukum Islam dimaksudkan agar ajaran Islam tetap ada dan
diterima oleh masyarakat modern. Untuk mengembalikan aktualisasi hukum Islam
51Ibid, 173-174
atau untuk menjembatani ajaran teoritis dalam kitab-kitab hasil pemikiran mujtahid
dengan kebutuhan masa kini.52
Kata "reaktualisasi" berarti penyegaran atau tindakan untuk menjadikan
aktual (baru, hangat) kembali". Kata "ajaran Islam" berarti "pedoman atau petunjuk
yang digariskan oleh agama Islam yang digali dari Al-Qur'an dan sunnah yang dapat
dibedakan antara akidah (kepercayaan kepada Tuhan Swt dengan segala sifat-Nya)
dan syariat (hukum yang berkaitan dengan aktivitas manusia sehari-hari)". Dengan
demikian reaktualisasi ajaran Islam berarti "penyegaran atau pembaruan kembali
pemahaman dan pengamalan umat Islam atas pedoman atau petunjuk yang
digariskan oleh agamanya". Reaktualisasi ajaran Islam bertujuan agar umat Islam
giat menjalankan ajaran agama yang dianutnya, baik dibidang akidah maupun di
bidang syariat (hukum), dengan tidak menutup mata terhadap realitas sosial yang
berkembang ditengah-tengah masyarakat 53
Jika memang tujuan reaktualisasi hukum Islam itu adalah agar umat Islam
kembali giat mengamalkan ajaran agamanya maka bukan hanya materi hukumnya
saja yang perlu dipersegar tapi juga meliputi ushul at-tatbiq hukum Islam itu juga
perlu dipersegar yang merupakan bagian dari ushul fiqih.
Wacana ini berkembang di dunia pemikiran hukum Islam modern disebabkan
oleh dua faktor berikut yaitu; Pertama: Adanya interaksi antara dunia Timur (Islam)
dengan Barat. Interaksi ini seakan menyadarkan umat Islam betapa tertinggalnya
umat Islam dari Barat. Ketika interaksi Timur dan Barat terjadi, umat Islam seakan-
akan melihat dengan mata kepala mereka sendiri sangat tertinggalnya diri mereka
52Abdul Azis Dahlan (ed.) et.al., Pembaruan Hukum Islam dalam Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. 4 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), 1378 53Abdul Azis Dahlan (ed.) et.al., Reaktualisasi Hukum Islam dalam Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. 5 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), 1488-1489
jika dibanding dengan kemajuan yang telah dicapai Barat, maka timbullah suatu
kesadaran baru di kalangan para pemikir muslim terpelajar untuk melakukan suatu
pembaharuan terhadap segala aspek kebudayaan Islam yang meliputi sistem
pendidikan, sistem hukum dan juga sistem dalam berpikir. Dan salah satu aspek dari
ajaran Islam yang juga hendak diperbaharui itu adalah materi dan sistem hukumnya
yang telah dianggap mapan dan paten selama beratus tahun oleh seluruh umat Islam.
Sebab kedua adalah, timbulnya kesadaran dikalangan umat Islam bahwa
pintu ijtihad tidaklah tertutup seperti yang pernah dipahami sehingga mungkin bagi
mereka untuk terus mengkaji dan mengembangkan hukum Islam. Kesempatan ini
telah membuka ruang kesadaran pemikir muslim yang lain pula yaitu antara hukum
Islam yang tertulis dalam teks (kitab-kitab fiqih) hanyalah tinggal menjadi law in
book dengan sedikit praktek dari umat Islam. Di negara-negara yang mayoritas
penduduknya muslim pun mereka banyak mengadopsi hukum dari Barat. Jadinya,
hukum Islam itu tinggal menjadi law in book bukan law in action.
Pada pertengahan dekade 1980-an H. Munawir Sjadzali, MA, ahli fikih
siyasi, mengemukakan gagasan yang disebutnya "reaktualisasi ajaran Islam".
Gagasan ini dilatarbelakangi oleh semakin membudayanya "sikap mendua" di
kalangan umat Islam dalam beragama yang, menurutnya, perlu diluruskan, seperti
mengenai bunga Bank (riba) dan pembagian harta waris. Sebagian besar umat Islam
Indonesia berpendirian bahwa bunga Bank adalah riba yang diharamkan oleh Islam.
Akan tetapi, dalam kenyataan sehari-hari, mereka banyak memanfaatkan jasa
perbankan dan mengambil bunga deposito. Dalam kasus lain, Munawir Sjadzali
mengemukakan bahwa dalam pembagian harta warisan, sebagian besar keluarga
muslim merasa enggan melaksanakannya menurut ketentuan faraid. Mereka lebih
menyukai pemberlakuan sistem pembagian yang lain.54
Realitas yang telah berubah drastis dari masa ketika fiqih itu dirumuskan
turut mempercepat tumbuhnya kesadaran ini. Jika di dalam kitab-kitab fiqih itu umat
Islam dan juga sistem hukumnya digambarkan sebagai sebuah bangunan yang
sangat ideal, maka tidak demikian keadaannya dengan realitas umat Islam yang
sesungguhnya. Bahkan tidak sedikit diantara umat Islam itu yang tidak menjalankan
perintah-perintah agamanya. Seperti shalat dan zakat misalnya-yang merupakan tiang
agama Islam-mudah sekali kita melihat di masyakat bahwa banyak diantara mereka
yang tidak menjalankannya. Padahal ini adalah dua tiang agama maka dapat kita
bayangkan berapa banyak perintah hukum Islam yang bersifat sosial (muamalah)
yang ditinggalkan. Dari sini muncullah kesadaran akan pentingnya melakukan
reaktualisasi hukum Islam itu.
54Ibid., 1491
BAB III
ANALISIS DATA
Analisis dalam bab ini akan mengangkat kembali contoh-contoh dalil yang
dianggap mansukh dan yang dianggap nasikh oleh ulama ushul. Menganalisis
pengertian-pengertian naskh yang mereka ajukan serta melihat akibat hukum yang
ditimbulkan oleh pengertian tersebut. Perbedaan antara naskh sebagai izalah dan
naskh sebagai tahwil, tabdil atau naql.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, munculnya teori naskh dilatarbelakangi
oleh adanya pertentangan antar dalil hukum yang tidak mungkin lagi dapat
dikompromikan. Teori naskh hanyalah salah satu alternatif penyelesaian adanya
pertentangan dalil hukum tersebut. Bahkan, teori naskh ini menempati posisi
alternatif terakhir jika memang dua dalil yang saling bertentangan tersebut tidak
dapat dikompromikan lagi dengan metode-metode penyelesaian pertentangan antar
dalil yang tersedia. Oleh karena itu, para ulama ushul kemudian mengembangkan
beragam teori untuk menyelesaikan pertentangan antar dalil tersebut. Misalnya, para
ulama ushul mengembangkan teori takhshisul 'am, taqyidul muthlaq atau tabyinul
mujmal55 untuk menyelesaikan pertentangan antar dalil itu. Barulah, jika teori-teori
ini tidak mampu lagi menyelesaikan pertentangan antar dalil tersebut, digunakanlah
teori naskh sebagai alternatif terakhir. Posisi teori naskh dalam hierarki penyelesaian
pertentangan antar dalil hukum menempati hierarki penggunaan terakhir dimana dalil
yang terakhir turun dianggap menggugurkan ketentuan dalil hukum yang terdahulu.
Selama dua dalil yang bertentangan tersebut masih dapat dikompromikan maka tidak
boleh menggugurkan salah satunya. Selama teori-teori ini masih mampu
menyelesaikan pertentangan yang terjadi antar dalil hukum maka teori naskh
dihindari penggunaannya sesuai dengan kaidah fiqih berikut;56
العمل بالدليلني املتعارضني اوىل من الغاء احدمها
Itulah sebabnya para ulama ushul menciptakan beragam teori diatas untuk
menghindari penggunaan teori naskh secara membabi buta. Hal ini jelas karena-
seperti yang disebutkan diatas-mengamalkan satu dalil lebih disukai daripada
menggugurkan salah satunya. Oleh karena itu, eksistensi teori naskh dalam
metodologi hukum Islam (ushul fiqh) sebenarnya sangat bergantung pada sejauh
mana kemampuan ketiga metode penyelesaian ta'arudh al-adillah diatas dalam
menyelesaikan pertentangan antar dalil hukum. Jika ternyata ketiga metode
penyelesaian ini tidak mampu menyelesaikan pertentangan tersebut maka eksistensi
teori naskh dalam metodologi hukum Islam akan tetap bertahan. Namun, jika ketiga
55Ahmad Baidowi, Op.Cit., 71 56Firdaus, Ushul Fiqih: Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), 194
teori ini mampu menyelesaikan seluruh pertentangan antar dalil hukum maka
eksistensi teori naskh dalam ushul fiqih perlu dipertanyakan. Namun dalam
kenyataannya, diantara dua kemungkinan ini, yang pertamalah yang benar-benar
terjadi. Yaitu, dalam pandangan ulama ushul, tidak semua pertentangan yang terjadi
dalam dalil-dalil hukum dapat dikompromikan sehingga teori naskh menjadi urgen
dalam kajian ushul fiqih.
Satu dalil dikatakan nasikh dan yang lain dikatakan mansukh jika ketiga
metode diatas tidak mampu lagi untuk menyelesaikan pertentangan yang terjadi.
Bahkan bukan tidak mungkin akan muncul beragam teori baru untuk
menyelesaikan pertentangan tersebut. Dalam melihat mana ayat nasikh dan mana
ayat yang mansukh pun sebenarnya tidak ada kesepakatan diantara sesama ulama
ushul karena adanya naskh ditentukan oleh faktor lain lagi yaitu kemampuan
intelektual seorang ulama dalam mengkompromikan dalil hukum yang bertentangan
tersebut. Itulah sebabnya terkadang ada dalil yang dianggap mansukh oleh seorang
ulama sedang menurut ulama lain tidak karena ia masih melihat adanya peluang
untuk mengkompromikannya. Oleh karena itu sering terjadi, ayat-ayat yang oleh
sebagian ulama dianggap bertentangan, tidak dianggap bertentangan oleh ulama yang
lain karena mereka telah mampu mengkompromikannya.57
A. Penggolongan ulama yang memaknai naskh sebagai izalah dan ulama
yang memaknai naskh sebagai tahwil atau naql.
Bersebab kata naskh itu digunakan untuk menunjuk setidaknya pada empat
makna, maka para ulama ushul berbeda pendapat tentang dimana diantara empat
makna itu yang bermakna hakiki dan mana yang bermakna majazi. Qadhi Abu Bakar
57Ahmad Baidowi, Op.Cit., 77
dan pengikutnya seperti Al-Ghazali dan lainnya berpendapat bahwa kata nasakh itu
“musytarak” (mengandung arti ganda) antara memindahkan dan menghilangkan.58
Abu Husein Al-Bashri dan ulama lainnya berpendapat bahwa kata nasakh
secara hakiki berarti menghilangkan, sedangkan pemakaiannya untuk maksud lain
adalah secara majazi (arti kiasan).59
Al-Qaffal (bermazhab Syafi’iyyah) berpendapat bahwa nasakh digunakan
secara hakiki untuk “memindahkan” atau “mengalihkan”.60
Al-Sarakhsi dari ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kata nasakh dalam arti
“menyalin” atau “memindahkan”, “meniadakan” atau “membatalkan” bukan dalam
arti hakiki, tetapi hanya majazi. Dalam kalimat “menasakhkan buku” tidak mungkin
dalam arti “memindahkan”, karena sesudah dinasakhkan ternyata buku itu masih
tetap di tempat semula; yang terjadi hanyalah membuat hal yang sama di tempat lain.
Menasakhkan hukum juga tidak berarti “meniadakan”, karena hukum semula masih
tetap ada; yang berlaku hanyalah mensyari’atkan hukum yang semisal dengan hukum
itu untuk masa mendatang.61 Sekarang mari kita lihat apa saja yang menjadi
implikasi hukum dari pandangan-pandangan ini. Antara ulama yang memilih makna
naskh sebagai izalah yang diwakili oleh Abu Husein Al-Bashri sebagai makna hakiki
dan ulama yang memilih makna naskh sebagai memindahkan atau mengalihkan yang
diwakili oleh Al-Qaffal (bermazhab Syafi’iyyah) sebagai makna hakiki sedang
penggunaan lainnya selain makna ini adalah makna majazi. Sekarang mari kita uji
apa saja yang menjadi implikasi hukum dalam pemilihan kata ini. Melihat akibat-
58Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997), 211 59Ibid 60Ibid 61Ibid
akibat hukum yang ditimbulkannya dan menggambarkannya secara jelas.
B. Naskh sebagai izalah, raf'un atau ibthalul ahkam
Jika naskh diartikan sebagai sebuah pencabutan dan penghapusan sebuah
dalil hukum (naskh sebagai izalah) yang tidak mungkin dapat lagi dioperasionalkan
seperi yang dikembangkan oleh para ulama ushul maka teori naskh yang berciri
seperti ini tidak relevan dalam upaya pembaharuan dan reaktualisasi hukum Islam.
Alasannya ialah pendapat ulama ushul dengan kategori pertama ini (naskh sebagai
izalah) sebenarnya bertentangan dengan teori ushul fiqih yang lain yaitu teori tadrij
dalam penetapan hukum. Teori tadrij-seperti yang kita pahami-menghendaki hukum
itu dilaksanakan secara bertahap dan sesuai dengan kemampuan si penerima pesan
hukum atau orang yang diberi beban hukum (mukallaf).
Adanya prinsip tadrij ini meniscayakan diturunkannya wahyu sesuai dengan
kondisi si mukallaf sebagai penerima pesan-pesan firman Tuhan. Kondisi mukallaf
yang terus berkembang dan berubah meniscayakan pula adanya perubahan dalil-dalil
hukum. Perubahan-perubahan pada kondisi si mukallaf inilah yang menyebabkan
perubahan pada dalil-dalil hukum. Ada kalanya kondisi pertama yang dihadapi si
mukallaf bertolak belakang dengan kondisi kedua yang dihadapi si mukallaf sehingga
dalil pertama yang diwahyukan untuk mengatur kondisi pertama yang dihadapi si
mukallaf pun menjadi bertentangan dengan dalil kedua yang diwahyukan untuk
mengatur kondisi kedua yang dihadapi si mukallaf. Para ulama ushul-yang hidup
rata-rata jauh setelah masa kenabian dan pewahyuan-kemudian memahami hal ini
sebagai sebuah pertentangan antar dalil hukum bukan sebagai sebuah proses
penetapan hukum. Hal ini setidaknya disebabkan oleh dua hal berikut. Pertama, cara
penerimaan Al-Qur'an dan Sunnah. Para ulama ushul dan juga semua umat muslim
yang hidup setelah masa sahabat-menerima kehadiran Al-Qur’an dan Sunnah bukan
sebagai sebuah proses pewahyuan tapi sebagai sebuah teks suci yang terkodifikasi
dalam sebuah mushaf. Ini tentu saja berbeda dengan para sahabat yang menerima
kehadiran Al-Qur’an dan Sunnah pada masa kenabian bukan sebagai teks yang
diturunkan dari langit yang terkodifikasi dalam sebuah mushaf namun sebagai
sebuah proses panjang pewahyuan yang memakan waktu sampai 22 tahun. Inilah
sebabnya teori naskh itu baru muncul setelah masa sahabat. Dalam arti mereka dapat
mengikuti tahapan-tahapan pewahyuan. Bedanya dengan umat Islam yang hidup
setelah mereka, kita hari ini menerima Al-Qur’an dan Sunnah bukan sebagai sebuah
proses dan pentahapan namun sebagai sebuah teks yang telah lengkap dan
terkodifikasi dalam sebuah mushaf. Allah Swt berfirman dalam surat Al-Furqan ayat
32 berikut;
tΑ$ s% uρ tÏ% ©!$# (#ρã�x# x. Ÿω öθ s9 tΑÌh“ çΡ Ïµø‹n=tã ãβ#uö�à) ø9 $# \' s#÷Ηäd Zοy‰ Ïn≡ uρ 4 y7 Ï9≡x‹ Ÿ2 |MÎm7s[ãΖ Ï9 ϵ Î/ x8yŠ# xσèù ( çµ≈oΨ ù=? u‘uρ Wξ‹Ï?ö�s?
Artinya: Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al-Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?". Demikianlah supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).
Ayat ini menjelaskan tentang alasan mengapa Al-Qur’an itu diturunkan
secara bertahap dan sekaligus sebagai sebuah penolakan atas keinginan orang-orang
Yahudi agar kitab suci ini diturunkan secara keseluruhan sekaligus. Ayat ini hanya
dapat dipahami dengan benar oleh umat Islam yang hidup di zaman sekarang jika ia
menyeting pikirannya untuk kembali ke masa pewahyuan bukan memahaminiya
dengan konteks di zaman dimana ia hidup. Jika tidak, pernyataan Al-Qur'an ini tidak
bisa dianggap benar sebab bagaimanapun alasannya setiap bayi muslim yang lahir
ke dunia ini atau seorang muallaf yang baru memeluk Islam menerima kehadiran Al-
Qur’an bukan sebagai proses pewahyuan yang diturunkan secara tartil tetapi dalam
bentuk mushaf yang terkodifikasi dalam satu kitab yang diterima secara jumlatan
wahidatan (satu kesatuan utuh yang diterima sekaligus). Umat Islam yang hidup di
luar masa pewahyuan menerima kehadiran Al-Qur’an bukan sebagai sebuah proses
tapi sebagai sebuah kitab yang telah lengkap dan tekodifikasi dalam satu kesatuan
mushaf.
Karena para ulama ushul sebagian besarnya juga hidup diluar masa
pewahyuan maka mereka juga memahami Al-Qur’an dan juga sunnah Nabi Saw
dengan kerangka berpikir seperti ini. Al-Qur’an mereka pahami sebagai sebuah teks
bukan sebagi sebuah proses. Bertolak dari kerangka berpikir seperti inilah maka dua
dalil hukum yang berbeda yang pada mulanya disebabkan oleh perbedaan kondisi si
mukallaf yang mengakibatkan adanya dua dalil hukum yang berbeda pula, karena
memang dimaksudkan untuk mengatur kondisi umat yang berbeda, oleh para ulama
ushul kemudian dipahami sebagai sebuah pertentangan antar dalil yang dicoba
diselesaikan dengan mengikuti metode-metode penyelesaian yang tidak dapat lepas
dari metode berpikir yang lekat dengan kajian teks. Karena teks itu adalah bahasa
maka metode penggalian hukum (istinbath hukum), metode pemahaman terhadap Al-
Qur’an, metode penyelesaian pertentangan antar dalil hukum yang dikembangkan
oleh para ulama ushul juga akhirnya lekat dengan kajian kebahasaan yang berkisar
pada permasalahan bahasa dalam teks. Hiduplah kajian-kajian tekstualis di sepanjang
sejarah pengembangan hukum Islam. Dan khusus untuk bab ta'arudh al-adillah
berkembanglah teori taqyidul mutlaq, takhshisul 'am bil khas, tabyinul mujmal yang
berdiri diatas kajian kebahasaan untuk menyelesaikan pertentangan antar dalil
hukum.
Sunnah juga mengalami hal yang sama. Setelah sunnah terkodifikasi dalam
bentuk kitab-kitab maka permasalahan kajian hukum Islam kemudian berkisar di
tema-tema tekstual yang lekat dengan kajian kebahasaan. Untuk nasikh mansuk,
sebuah teori yang dikembangkan khusus untuk menyelesaikan pertentangan antar
dalil hukum, juga merupakan metode penyelesaian yang tekstualis yang lekat dengan
kajian teks.
Para ulama ushul mengatakan ayat ini menasakh ayat yang lain. Maksudnya
ayat ini telah menghapus ayat yang lain. Sekalipun para ulama ushul juga
berpendapat tidak selamanya naskh itu berarti penghapusan teks sama sekali namun
adakalanya naskh itu hanya berarti penghapusan ketentuan hukumnya saja sedang
teksnya sendiri masih bisa dibaca sampai sekarang namun bukan berarti ini bisa
lepas dari kajian teks. Pendapat ulama ushul yang mengatakan adakalanya naskh itu
berarti penghapusan tilawah Al-Qur'an sebenarnya dapat menimbulkan permasalahan
yang serius bagi Al-Qur’an. Seperti misalnya contoh berikut;
حدثين مالك عن حيىي بن سعيد عن سعيد بن املسيب أنه مسعه يقول ملا صدر
عمر بن اخلطاب من مىن أناخ باألبطح مث كوم كومة بصحاء مث طرح عليها
رداءه واستلقى مث مد يديه اىل السماء فقال اللهم كربت سين وضعفت قويت
دم املدينة فخطب الناس وانتشرت رعييت فاقبضين إليك غري مضيع وال مفرط مث ق
فقال أيها الناس قد سنت لكم السنن وفرضت لكم الفرائض وتركتم على
الواضحة إال أن تضلوا بالناس ميينا ومشاال وضرب بإحدى يديه على األخرى مث
قال إياكم أن لكوا عن آية الرجم أن يقول قائل ال جند حدين ىف كتاب اهللا
ه وسلم ورمجنا والذي نفسي بيده لوال أن فقد رجم رسول اهللا صلى اهللا علي
يقول الناس زاد عمر بن اخلطاب ىف كتاب اهللا تعاىل لكتبتها الشيخ والشيخة
٦٢فارمجومها ألبتة فإنا قد قرأناها
Dengan bersandar pada hadits, ulama ushul mengatakan adakalanya teks
(tilawah) Al-Qur’an itu sendiri telah dihapus sehingga tidak lagi menjadi bagian dari
Al-Qur’an. Permasalahannya adalah bila memang dahulu kalimat "asy-syaikhu was-
syaikhatu idza zanaya farjumuhuma al-battata nakalam minallahi" ini adalah bagian
dari Al-Qur’an mengapa dalam mushaf yang kita terima sekarang ini tidak
diketemukan lagi. Para ulama ushul mengatakan telah terjadi naskh antar dalil
hukum dan juga naskh antar teks Al-Qur’an. Namun jawaban yang seperti ini
sebenarnya kurang memuaskan akal. Sebab jika memang dahulunya kalimat diatas
adalah bagian dari Al-Qur’an dan sekarang tidak lagi maka ini berarti Al-Qur’an
yang kita baca hari ini tidaklah lengkap, dan sama persis seperti Al-Qur’an yang
diwahyukan pada Nabi Saw. Jika pendapat ulama ushul ini diikuti, maka
kesimpulannya ialah ternyata tidak semua ayat Al-Qur’an yang diwahyukan kepada
Nabi Saw tertulis dalam mushaf dan sampai kepada umat Islam hari ini. Ada ayat Al-
Qur’an yang tidak kita ketahui. Al-Qur’an di zaman Nabi Muhammad Saw berbeda
dengan Al-Qur’an kita sekarang karena bahkan bukan tidak mungkin banyak ayat-
ayat Al-Qur'an yang dianggap mansukh kemudian tidak dicantumkan di dalam
mushaf. Ini tentu saja tidak bisa dibenarkan oleh akal karena mustahil menurut
standar keimanan yang paling rendah sekalipun Al-Qur’an yang kita baca hari ini
62Malik bin Anas, Al-Muwattha' Imam Malik (Pustaka Azzam: Jakarta, 2007), 368
tidak lengkap. Perhatikanlah definisi Al-Qur'an seperti yang diberikan oleh Abdul
Wahab Khalaf berikut;63
القرآن هو كالم اهللا الذي نزل به الروح األمني على قلب رسول اهللا حممد ابن
عبد اهللا بألفاظه العربية ومعانيه احلقة ليكون حجة للرسول على أنه رسول اهللا
ودستورا للناس يهتدون داه وقربة يتعبدون بتالوته وهو املدون بني دفيت
ة الناس املنقول الينا بالتواتر كتابة املصحف املبدوء بسورة الفاحتة املختوم بسور
مشافحة جيال عن جيل حمفوظا من أي تغيري أو تبديل
Jika teori naskh diatas diterima, yang mengatakan bahwa telah terjadi naskh
telah terjadi dalam tilawah Al-Qur'an, maka Al-Qur'an seperti yang didefinisikan
Abdul Wahab Khalaf ini tidak akan terpenuhi karena telah terjadi perubahan
(taghyir) atau penggantian (tabdil) dalam Al-Qur'an.
Peneliti berpendapat bahwa kalimat "asy-syaikhu was-syaikhatu idza zanaya
farjumuhuma al-battata nakalam minallahi" diatas sejak mulanya bukan bagian dari
Al-Qur'an yang diwahyukan pada Nabi Muhammad Saw, namun merupakan wahyu
Allah Swt yang tertulis di dalam kitab Taurat dan ketetapan hukumnya masih berlaku
sampai pada masa Nabi Saw, sahabat dan tabi'in. Hanya saja, sekalipun kalimat
diatas hanya tertulis di dalam kitab Taurat, para sahabat dan juga Nabi Saw masih
mengakuinya sebagai firman Allah Swt. Peneliti bersandar pada keterangan berikut
yang juga diriwayatkan Imam Malik dalam kitab Muwattha' dalam bab yang sama.
اهللا بن عمر أنه قال جاءت اليهود إىل رسول اهللا حدثنا مالك عن نافع عن عبد
صلى اهللا عليه وسلم فذكروا له أن رجال منهم وامرأة زنيا فقال هلم رسول اهللا
63Abdul Wahab Khalaf, Op.Cit., 23
صلى اهللا عليه وسلم ما جتدون ىف التوراة ىف شأن الرجم فقالوا نفضحهم
ها وجيلدون فقال عبد اهللا بن سالم كذبتم إن فيها الرجم فأتوا بالتوراة فنشرو
فوضع أحدهم يده على آية الرجم مث قرأ ما قبلها وما بعدها فقال له عبد اهللا بن
سالم ارفع بدك فرفع يده فإذا فيها آية الرجم فقالوا صدق يا حممد فيها آية
الرجم فأمر ما رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم فرمجا فقال عبد اهللا بن عمر
حلجارة قال مالك يعين حيين يكب عليها فرأيت الرجل حيين على املرأة يقيها ا
٦٤حىت تقع احلجارة عليه
Dalam hadits ini disebutkan perbuatan orang-orang Yahudi yang mencoba
menutup-nutupi adanya ayat rajam dalam Taurat. Mereka berusaha menyembunyikan
ayat rajam tersebut dengan mengubah ketentuan hukum yang mengatur hukuman
bagi pezina. Sebelum adanya kitab Al-Qur'an ayat rajam telah tertulis dalam kitab
Taurat. Nabi Saw kemudian memerintahkan umatnya untuk melaksanakan ketentuan
ayat rajam dalam kitab Taurat tersebut. Besar kemungkinan ayat yang mereka tutupi
itu-seperti yang tergambar dalam catatan historis diatas- adalah ayat yang berbunyi
"asy-syaikhu was-syaikhatu idza zanaya farjumuhuma al-battata nakalam minallahi"
yang disebut sebagai ayat rajam bukan tertulis dalam Al-Qur'an tapi tertulis dalam
kitab Taurat. Namun Nabi Saw dan para sahabat masih menganggapnya sebagai ayat
yang bersumber dari Allah Swt yang masih berlaku ketentuan hukumnya oleh karena
itulah mereka masih mempraktekkannya.
Karena memahami Al-Qur'an bukan sebagai sebuah proses tetapi sebagai
sebuah teks yang utuh dalam satu kodifikasi maka jika terjadi dua dalil yang
bertentangan digunakanlah metode penyelesaian yang juga dekat dengan kajian- 64Malik bin Anas, Op.Cit., 359
kajian teks seperti takhsis, mujmal, muthlaq, muqayyad, yang jika metode-metode ini
tidak sanggup lagi menyelesaikan pertentangan antar dalil hukum maka
digunakanlah teori naskh sebagai alternatif terakhir dimana ayat yang pertama turun
dianggap telah dihapus oleh ayat yang terkemudian.
Dsinilah letak pertentangan antara teori naskh dan teori tadrij. Jika naskh
diartikan sebagai sebuah pengguguran, pencabutan atau peniadaan hukum maka
hikmah dibalik diturunkannya ayat-ayat hukum secara bertahap yang sering
diutarakan oleh para ulama hanya dapat dirasakan oleh para sahabat terdahulu yang
menerima Al-Qur’an secara bertahap sehingga mereka mengikuti proses pentahapan
tersebut. Dan ini lagi-lagi berbeda dengan umat Islam sekarang yang menerima Al-
Qur’an bukan melalui sebuah proses tapi sebagai sebuah teks yang telah terkodifikasi
dalam satu mushaf. Alasannya ialah karena dengan adanya teori naskh ini ayat
hukum yang dianggap berlaku ketetapan hukumnya, jika terjadi pertentangan antar
dalil hukum, adalah ayat yang terakhir masa pewahyuannya sedang teori tadrij
menghendaki adanya tahapan-tahapan dalam penetapan hukum dari hal yang paling
sederhana ke hal yang paling kompleks. Teori naskh telah memotong rangkaian
tahapan penetapan hukum ini karena yang dianggap berlaku hanyalah ayat-ayat
terakhir atau ayat-ayat final keislaman.
Sebabnya, dengan teori nasakh ini, dalil hukum yang dipakai adalah dalil
hukum yang paling akhir masa pewahyuannya dengan mengabaikan realitas orang
yang diberi beban hukum mukallaf. Dengan teori naskh manusia dibuat sama rata
tanpa memperhatikan tingkat keragaman keberagamaan masyarakat.
Sejak munculnya teori naskh yang bermakna izalah ini, tadrij dalam
penetapan hukum Islam seakan tinggal sejarah dalam tarikh hukum Islam sebab
proses panjang penetapan satu hukum telah dipotong oleh teori naskh dengan
menganggap ayat yang berlaku hanyalah ayat-ayat hukum yang terakhir di turunkan.
Hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara bertahap tidak dapat dirasakan oleh umat
Islam yang hidup sekarang karena dengan diperkenalkannya teori naskh dengan
makna izalah menyebabkan umat hanya disuguhi ayat-ayat yang terakhir diturunkan.
Mengabaikan proses panjang penetapan hukum ini telah menyebabkan
hukum Islam sulit berinteraksi atau berdialektika dengan tingkat keberagamaan umat
yang cukup beragam. Padahal adanya nasikh mansukh itu sendiri menjadi bukti
bahwa hukum Islam itu pada masa pewahyuan selalu berdialektika dengan
masyarakat penerima pesan-pesan wahyu.
Sekarang, mari kita analisis kembali contoh-contoh ayat nasikh mansukh
yang paling sering diutarakan oleh para ulama ushul dengan paradigma diatas yaitu
tentang proses panjang penetapan hukum keharaman khamr. Ada tiga ayat yang
menggambarkan proses pentahapan penetapan hukum haramnya khamr yang dengan
teori naskh yang diartikan ulama sebagai izalah, ibthal atau raf’un maka ayat yang
terakhir turun sajalah yang dianggap masih berlaku ketetapan hukumnya. Yang
tersaji berikut ini merupakan kutipan ayat nasikh mansukh yang termasuk paling
sering diajukan oleh ulama ushul karena mereka beranggapan pertentangan dalil
dalam ketiga ayat ini tidak mungkin dapat dikompromikan. Ayat-ayat itu ialah
sebagai berikut;
y7 tΡθ è=t↔ ó¡ o„ Ç∅ tã Ì�ôϑ y‚ø9 $# Î�Å£÷� yϑ ø9 $#uρ ( ö≅ è% !$ yϑ ÎγŠ Ïù ÖΝøO Î) ×��Î7Ÿ2 ßì Ï#≈oΨ tΒ uρ Ĩ$ ¨Ζ=Ï9 !$ yϑ ßγßϑ øO Î)uρ
ç�t9ò2 r& ÏΒ $yϑ Îγ Ïèø# ‾Ρ 3 š� tΡθ è=t↔ ó¡ o„uρ #sŒ$tΒ tβθà) Ï#ΖムÈ≅è% uθ ø#yèø9 $# 3 š�Ï9≡ x‹ x. ß Îit7ムª! $# ãΝä3s9
ÏM≈tƒ Fψ $# öΝà6‾=yè s9 tβρã�©3x# tF s?
Artinya: "Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir."
$ pκš‰r' ‾≈tƒ tÏ%©!$# (#θãΨ tΒ#u Ÿω (#θç/ t�ø) s? nο4θ n=¢Á9$# óΟçFΡ r& uρ 3“t�≈s3 ß™ 4®L ym (#θ ßϑn= ÷ès? $tΒ tβθ ä9θ à)s? Ÿω uρ $ �7 ãΨã_
āω Î) “ Ì�Î/$ tã @≅‹Î6 y™ 4®L ym (#θ è=Å¡ tFøó s? 4 β Î)uρ Λ äΨ ä. #yÌ ó÷£∆ ÷ρr& 4’ n? tã @�x# y™ ÷ρr& u !$ y_ Ó‰tn r& Νä3Ψ ÏiΒ zÏiΒ ÅÝÍ←!$ tó ø9 $# ÷ρr& ãΛ ä ó¡ yϑ≈ s9 u !$ |¡ÏiΨ9 $# öΝn=sù (#ρ߉ Åg rB [ !$ tΒ (#θ ßϑ £ϑ u‹tF sù #Y‰‹Ïè |¹ $Y7 ÍhŠ sÛ (#θßs |¡øΒ $$sù öΝä3 Ïδθ ã_âθ Î/
öΝä3ƒÏ‰ ÷ƒ r& uρ 3 ¨β Î) ©!$# tβ% x. #‚θ à# tã # �‘θà# xî
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun."
$ pκš‰r' ‾≈tƒ tÏ% ©!$# (#þθãΨ tΒ#u $yϑ ‾Ρ Î) ã�ôϑ sƒ ø: $# ç� Å£øŠyϑ ø9 $#uρ Ü>$ |ÁΡ F{$#uρ ãΝ≈ s9 ø—F{$#uρ Ó§ô_Í‘ ôÏiΒ È≅ yϑ tã
Ç≈sÜø‹¤±9 $# çνθç7 Ï⊥tG ô_$$ sù öΝä3 ª= yès9 tβθ ßsÎ=ø#è?
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan".
Teori naskh yang dimaknai ulama ushul sebagai izalah, ibthal atau raf’un
menyebutkan ayat terakhir diatas sajalah yang dianggap masih berlaku ketetapan
hukumnya sedang dua ayat sebelumnya dianggap mansukh oleh ayat yang terakhir.
Sebabnya ialah karena para ulama ushul melihat bahwa antara satu ayat dengan ayat
yang lain diatas tidak mungkin lagi dapat dikompromikan dengan cara apapun.
Mereka berpendapat demikian karena mereka memahami keseluruhan ayat diatas
bukan sebagai sebuah proses penetapan atau tadrij hukum yang berinteraksi dengan
tingkat keberagamaan umat yang beragam yang membutuhkan dalil-dalil hukum
yang berbeda pula tapi sebagai sebuah pertentangan antar dalil hukum dalam teks-
teks suci keagamaan yang terpisah dari sejarah penurunan teks yang panjang.
Pendapat para ulama ushul ini dapat dipahami karena memang antara satu ayat
dengan ayat yang lain dalam ayat diatas tidak mungkin lagi dapat dikompromikan
jika hanya dipahami dengan metode tekstualis. Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 219
diatas dapat dipahami sebagai dalil yang justru membolehkan meminum khamr
karena memang di dalam ayat tersebut tidak ada larangan untuk meminumnya,
bahkan yang ada adalah penjelasan bahwa dalam khamr itu terdapat sebagian
manfaat bagi manusia dan sebagian zatnya yang lain dapat menjadi mudharat.
Sedang kandungan Al-Qur'an surat Al-Maidah ayat 90 diatas justru menjadi
kebalikan dari surat Al-Baqarah ayat 219 yaitu melarang meminum khamr dengan
larangan yang jelas dan tegas bahwa umat muslim diharamkan meminum khamar.
Padahal dalil-dalil diatas sama-sama berbicara tentang status minuman khamr.
Karena saling bertentangan dan tidak mungkin lagi dapat dikompromikan karena Al-
Qur'an surat Al-Baqarah ayat 219 terkesan tidak melarang umat Islam untuk
meminum khamr sedang surat Al-Maidah ayat 90 terakhir melarang dengan tegas
meminum khamr maka para ulama ushul menetapkan telah terjadi fenomena naskh
dalam ayat-ayat ini. Para ulama ushul kemudian menetapkan bahwa surat Al-
Baqarah ayat 219 dan surat An-Nisa' ayat 43 diatas telah dinasakh oleh surat Al-
Maidah ayat 90 walaupun redaksi ayatnya masih dapat dibaca sampai hari ini. Dalam
pandangan ulama ushul, surat Al-Baqarah ayat 219 dan surat An-Nisa' ayat 43 diatas
dianggap sebagai ayat mansukh oleh surat Al-Maidah ayat 90.
Bukankah ini sama saja dengan memotong proses panjang penetapan hukum
keharaman khamr?. Sesungguhnya, ayat-ayat diatas bila ditinjau dari sisi teori tadrij
dalam ushul fiqh tidak memiliki pertentangan. Keseluruhan ayat diatas sangat tepat
dioperasionalkan pada zaman sekarang karena beragamnya tingkat keberagamaan
umat muslim. Bagi seseorang yang baru mengenal Islam yang sebelumnya
mempunyai kebisaaan "mabuk-mabukan" tentu lebih baik bagi seorang mujtahid
untuk mempergunakan ayat pertama diatas. Setelah melalui proses pembinaan
keimanan dan keimanannya semakin bertambah barulah beranjak ke ayat kedua,
begitulah seterusnya sampai pada ayat terakhir yang melarang meminum khamr
dengan tegas. Dalam ayat diatas yang menjadi pegangan ialah ayat yang
mengharamkan khamr secara tegas namun untuk mencapai ayat ini harus melalui
proses dan tahapan panjang penetapan hukum haram tersebut bukan malah
menganggap surat Al-Baqarah ayat 219 dan surat An-Nisa' ayat 43 diatas dinasakh
oleh surat Al-Maidah ayat 90.
Bila kerangka berpikir yang seperti ini diterapkan dalam memahami ayat
diatas maka tidak ada nasikh mansukh dalam ketiga ayat diatas karena semuanya
berfungsi menurut kondisinya masing-masing. Seorang mujtahid harus memiliki
kemampuan untuk meletakkan satu dalil di konteks yang benar. Mujtahid yang
mengerti benar dalam penempatan dalil hukum tidak mungkin akan memberikan
jawaban yang sama pada "Pemabuk berat" yang buta akan hukum-hukum syari'at
yang bertanya tentang hukum khamr dan seorang "Kiyai" di pesantren yang juga
bertanya tentang hukum khamr. Jika dia memberikan jawaban yang sama maka dapat
dipastikan dia tidak mengerti proses tadrij penetapan hukum. Dan ia salah dalam
memahami dalil-dalil hukum. Kerangka berpikir yang seperti ini dalam memahami
dalil-dalil hukum sesuai dengan apa yang telah dilakukan Rasulullah Saw pada
sahabat dahulu yang tergambar cukup jelas dalam kutipan berikut;
"Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika Rasulullah Saw datang ke
Madinah didapatinya kaumnya suka minum arak dan makan hasil judi. Mereka
bertanya kepada Rasulullah Saw tentang hal itu. Maka turunlah ayat "yas alunaka
anil khamri wal maisiri qul fi hima itsmun kabirun wa manafi'u linnasi" sampai akhir
ayat. Mereka berkata: "Tidak diharamkan kepada kita minum arak hanyalah dosa
besar. Dan mereka terus minum arak. Pada suatu hari ada seorang dari kaum
muhajirin menjadi imam bagi para sahabat pada waktu shalat Maghrib. Bacaannya
salah (karena mabuk). Maka Allah menurunkan ayat yang lebih keras daripada ayat
yang tadi, yaitu ayat "ya ayyuhalladzina amanu la taqrabus shalata wa antum sukara
hatta ta'lamu ma taqulun".
Kemudian turun ayat yang lebih keras lagi yaitu yang memberikan kepastian
akan haramnya. Sehingga mereka berkata: "Cukuplah, kami akan berhenti".65
65Jalaluddin As-Suyuti, Lubabun Nuqul Fi Asbabin Nuzul (tt: tp, t.thn) diterjemahkan oleh Qamaruddin Shaleh, HAA. Dahlan dan M.D. Dahlan dengan judul Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur'an (Bandung: CV. Diponegoro, 1992), 196
Ketiga dalil yang mengatur pengharaman khamar diatas seharusnya juga
dipahami dalam konteks turunnya ayat seperti yang tergambar dalam catatan historis
pewahyuan ayat diatas.
Kesalahan kerangka berpikir dalam memahami dalil-dalil hukum juga terjadi
dalam memahami fenomena pertentangan dalil hukum tentang hubungan muslim
dengan non muslim yang satu menyuruh untuk saling memaafkan dan berdamai
dengan non muslim dan ayat lain yang menyuruh umat Islam untuk memerangi
orang-orang non muslim. Ulama ushul yang mengartikan naskh sebagai izalah,
raf'un atau ibthal berpendapat bahwa ayat-ayat yang menganjurkan umat Islam untuk
berdamai dan bertoleransi dengan umat non muslim semuanya telah dinasakh oleh
ayat-ayat yang meyuruh umat Islam untuk memerangi non muslim di setiap waktu
dan tempat (ayat pedang). Bahkan ayat-ayat yang menjunjung tinggi prinsip
kebebasan beragama dianggap telah dinasakh oleh ayat-ayat pedang. Misalnya ialah
ayat-ayat berikut;
ö/ä3s9 ö/ ä3ãΨƒ ÏŠ u’ Í<uρ ÈÏŠ Artinya: "Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku."
Iω oν#t�ø.Î) ’ Îû ÈÏe$!$# ( ‰ s% t ¨t6 ¨? ߉ô© ”�9 $# zÏΒ Äc xö ø9$# 4 yϑsù ö�à# õ3tƒ ÏNθ äó≈ ©Ü9$$ Î/ -∅ÏΒ ÷σ ãƒuρ «! $$Î/ ω s)sù
y7|¡ ôϑtG ó™$# Íοuρó� ãè ø9 $$Î/ 4’ s+ øOâθ ø9 $# Ÿω tΠ$ |ÁÏ#Ρ$# $ oλ m; 3 ª!$#uρ ìì‹Ïÿ xœ îΛ Î=tæ
Artinya: "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui".
#sŒ Î*sù y‡ n=|¡Σ $# ã�åκ ô−F{$# ãΠ ã�çt ø:$# (#θ è=çG ø%$$ sù tÏ. Î�ô³ßϑø9 $# ß] ø‹ym óΟèδθ ßϑ ›?‰ y uρ óΟèδρä‹ äz uρ
öΝèδρç�ÝÇ ôm$#uρ (#ρ߉ ãèø% $#uρ öΝßγs9 ¨≅ à2 7‰ |¹ó÷ s∆ 4 β Î* sù (#θç/$ s? (#θ ãΒ$ s%r&uρ nο 4θn= ¢Á9$# (#âθ s?#u uρ nο 4θŸ2“9$#
(#θA= y⇐sù öΝßγn=‹Î;y™ 4 ¨βÎ) ©! $# Ö‘θ à# xî ÒΟ‹Ïm §‘
Artinya: "Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Ayat yang berbunyi "la ikraha fiddin" diatas yang mengajarkan
ketidakbolehan adanya paksaan dalam beragama dalam pandangan ulama ushul
adalah mansukh oleh Al-Qur'an surat At-Tawbah ayat 566 yang menyuruh untuk
berperang jika orang-orang non-muslim menolak ajaran Islam. Demikian pula ayat
yang berbunyi "lakum dinukum waliyadin" dalam pandangan ulama ushul adalah
mansukh oleh "ayat pedang".67
Ulama ushul yang berpendapat bahwa ayat-ayat toleransi terhadap non
muslim telah dihapus oleh ayat-ayat pedang jelas sekali memperlihatkan bahwa
mereka yang berpendapat seperti ini hidup di masa kejayaan Islam. Pandangan ini
mendapat tempat dalam sejarah hukum Islam karena diutarakan ketika umat Islam
masih dalam posisi sebagai umat yang superior sehingga mereka dapat dengan gagah
mengatakan bahwa umat Islam harus senantiasa memerangi non muslim dimana saja
mereka ditemui.
Teori naskh inipun kemudian berimplikasi sangat luas pada pembentukan
fiqih yang terumus dalam kitab-kitab fiqih dengan selalu menempatkan posisi non
66Abu Abdullah Muhammad Bin Hazm, Op.Cit., 325 67Ibid., 396
muslim di bawah muslim. Dalam kitab-kitab fiqih klasik, yang sebagian besarnya
ditulis di masa kejayaan Islam, para pengarangnya selalu mendudukkan umat non
muslim sebagai bangsa yang harus mendapat perlindungan dari umat muslim. Bila
mereka berlindung di Negara Muslim mereka diharuskan membayar jizyah. Dan
inilah yang tergambar dalam kitab-kitab fiqih klasik yang kita warisi sampai hari ini.
Pertanyaan lanjutan untuk teori naskh dalam ayat-ayat ini adalah "fiqih
apakah yang harus dipergunakan jika ternyata zaman berubah". Fiqih apa yang harus
digunakan jika kemudian muncul suatu zaman dimana umat non muslim menjadi
bangsa yang superior dan umat Islam sendiri berbalik menjadi umat yang imperoir.
Inilah yang terjadi sekarang. Kita mewarisi kitab-kitab fiqih yang mewajibkan umat
non-muslim untuk selalu patuh dan tunduk pada umat Islam, membayar jizyah pada
Negara Muslim, memerangi mereka jika memberontak, sedang zaman dimana kita
hidup menunjukkan realitas lain dimana umat Islamlah yang justru dituntut untuk
“patuh” pada umat non-muslim, membayar utang ke institusi-institusi ekonomi Barat
yang mayoritas non-muslim dan ini menjadi kebalikan dari isi kitab-kitab fiqih itu.
Dalam bahasa Noul J Coulson, dari sinilah kemudian timbul ketegangan antar teori
dan praktek dalam hukum Islam. Karena apa yang menjadi teori dalam kitab-kitab
hukum Islam itu berbanding terbalik dengan realitas umat Islam.
Dengan kondisi yang seperti ini maka metode pemahaman terhadap dalil-dalil
hukum hendaknya dipahami dalam konteks sosial yang tepat. Ayat-ayat yang
memberi toleransi terhadap non-muslim dan ayat-ayat yang menyuruh umat Islam
untuk memerangi mereka tidak perlu dipahami sebagi sebuah pertentangan antar
dalil hukum jika masing-masing dalil hukum itu diletakkan pada konteks yang tepat
dalam kondisi yang bagaimana seharusnya dalil tersebut dipergunakan.
Dalam pandangan ulama ushul-seperti yang sering dikutip oleh para penulis
kitab ushul fiqih-Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 240 berikut telah dihapus oleh Al-
Qur'an surat Al-Baqarah ayat 234.
tÏ% ©!$#uρ šχöθ ©ùuθ tG ムöΝà6Ψ ÏΒ tβρâ‘ x‹ tƒ uρ %[`≡ uρø— r& Zπ§‹Ï¹ uρ ΟÎγ Å_≡ uρø— X{ $�è≈tGΒ ’ n<Î) ÉΑ öθ y⇔ø9 $# u�ö�xî 8l#t�÷zÎ) 4 ÷βÎ* sù zô_t� yz Ÿξsù yy$oΨã_ öΝà6 ø‹n=tæ ’ Îû $ tΒ š∅ ù=yè sù þ’ Îû �∅ÎγÅ¡ à#Ρr& ÏΒ 7∃ρã�÷èΒ 3 ª!$#uρ ͕ tã ×ΛÅ6ym
Artinya: "Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".
Ayat ini dalam pandangan ulama ushul telah dinasakh oleh Al-Qur'an surat
Al-Baqarah ayat 234 berikut;
tÏ% ©!$#uρ tβ öθ ©ùuθ tF ムöΝä3ΖÏΒ tβρ â‘x‹ tƒ uρ %[`≡uρø— r& zóÁ−/ u�tIƒ £ÎγÅ¡ à#Ρr' Î/ sπ yè t/ö‘r& 9�åκ ô−r& #Z�ô³tã uρ ( #sŒ Î* sù
zøó n=t/ £ßγ n=y_r& Ÿξsù yy$oΨ ã_ ö/ ä3øŠ n=tæ $yϑŠ Ïù zù=yè sù þ’ Îû £Îγ Å¡ à#Ρr& Å∃ρâ÷÷êyϑ ø9$$ Î/ 3 ª! $#uρ $ yϑ Î/ tβθ è=yϑ ÷è s?
×��Î6yz Artinya: "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat".
Menurut pendapat kami, sebenarnya dalam ayat tersebut tidak terjadi naskh,
karena kedua ayat tersebut masih dapat dikompromikan. Yaitu; bahwa Al-Qur'an
surat Al-Baqarah ayat 234 menunjukkan atas kewajiban para isteri yang ditinggal
mati suaminya, untuk menjalankan 'iddah selama empat bulan sepuluh hari. Sedang
Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 240, menunjukkan atas hak para isteri tersebut
untuk menempati rumah suaminya yang telah meninggal, selama setahun. Sehingga
para ahli waris dari suami tersebut tidak boleh mengusir sang isteri dari rumah suami
selama satu tahun. Akan tetapi jika sang isteri sendiri yang ingin berpindah dari
rumah suami, maka para ahli waris yang tidak tertimpa dosa.68
Jika demikian, apakah teori naskh akan kehilangan relevansi dalam wacana
pembaharuan hukum Islam?. Relefan atau tidaknya teori naskh ini diukur dari sejauh
mana teori ini mampu memberikan landasan yang tepat bagi kemaslahatan umat,
ruang gerak yang luas bagi pengembangan hukum, transformasi hukum dan
pembinaan masyarakat ke arah sistem sosial yang lebih baik dan Islami.
C. Naskh sebagi tahwil, tabdil atau naql.
Berbeda dengan pengertian naskh yang diberikan oleh ulama ushul yang
mengidentikkan naskh sebagai izalah, ibthal atau raf'un hukum, Imam As-syaf'i
memberikan definisi naskh yang lebih dekat ke makna naskh sebagai pengalihan
(tahwil) atau perpindahan (naql) dari satu hal ke hal lain. Imam As-Syafi'i lebih
memilih lafadz taraka dari pada izalatul ahkam Perpindahan dari satu dalil hukum ke
dalil hukum yang lain akibat adanya perbedaan tuntutan kemashlahatan dan
perbedaaan kondisi yang melingkupi si mukallaf sebagai orang yang diberi beban
hukum memiliki dasar yang cukup di dalam nash. Seperti dalam firman Allah dalam
surat Al-Maidah ayat 6 berikut;
68Muhamad Abu Zahrah, Ushul Fiqih (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), 297-298
$ pκš‰r' ‾≈tƒ šÏ%©!$# (#þθ ãΨtΒ#u #sŒ Î) óΟçF ôϑè% ’ n<Î) Íο 4θn= ¢Á9$# (#θ è=Å¡ øî $$sù öΝä3yδθã_ãρ öΝä3tƒ ω ÷ƒr& uρ ’ n<Î) È, Ïù#t�yϑ ø9 $#
(#θ ßs|¡øΒ $#uρ öΝä3 Å™ρâ ã�Î/ öΝà6 n=ã_ö‘r& uρ ’ n<Î) È÷t6÷è s3 ø9 $# 4 βÎ)uρ öΝçGΖä. $Y6 ãΖã_ (#ρã�£γ©Û $$ sù 4 β Î)uρ ΝçGΨ ä.
# yÌó÷ £∆ ÷ρr& 4’n? tã @�x# y™ ÷ρr& u !%y Ó‰ tnr& Νä3Ψ ÏiΒ zÏiΒ ÅÝÍ←!$ tó ø9 $# ÷ρr& ãΜ çGó¡ yϑ≈s9 u !$|¡ ÏiΨ9 $# öΝn=sù (#ρ߉ Åg rB [ !$ tΒ
(#θßϑ £ϑ u‹tF sù #Y‰‹Ïè |¹ $ Y6 ÍhŠsÛ (#θ ßs |¡øΒ$$ sù öΝà6 Ïδθã_âθ Î/ Νä3ƒ ω÷ƒ r& uρ çµ÷Ψ ÏiΒ 4 $tΒ ß‰ƒÌ�ムª!$# Ÿ≅ yè ôf uŠ Ï9
Νà6 ø‹n=tæ ôÏiΒ 8l t�ym Å3≈ s9uρ ߉ƒÌ�ムöΝä. t�ÎdγsÜ ãŠ Ï9 §ΝÏG㊠Ï9 uρ … çµ tGyϑ ÷è ÏΡ öΝä3 ø‹n= tæ öΝà6 ‾=yè s9 šχρã�ä3ô± n@
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur".
Ayat diatas menunjukkan kebolehan bagi seseorang untuk berpindah atau
beralih dari satu dalil hukum ke dalil hukum yang lain akibat adanya perbedaan
kondisi yang melingkupi si mukallaf tanpa harus menerapkan pengertian naskh
sebagai izalah, raf'un atau ibthalul ahkam. Naskh jika dimaknai sebagi sebuah naql
atau tahwil dapat diterapkan untuk memahami dalil nash diatas. Dengan definisi ini,
yaitu naskh sebagai naql atau tahwil, memungkinkan bagi si mujtahid untuk
berpindah atau beralih dari satu dalil hukum ke dalil hukum yang lain jika ada
perbedaan kondisi yang menuntut hal itu dilakukan.
Umpamakan si A berada dalam kondisi normal maka dalil hukum yang
sesuai untuk diterapkan padanya adalah ketentuan-ketentuan kewajiban wudhu',
namun jika kondisi menjadi tidak normal karena sakit dan sebagainya maka dalil
hukum yang diterapkan padanya beralih/atau berpindah ke dalil hukum tayammum.
Teori naskh jika dimaknai sebagai izalatul ahkam tentu tidak dapat berlaku dalam
contoh kasus ini. Karena izalah itu sama dengan i'dam dan i'dam itu sendiri adalah
peniadaan hukum. Namun jika teori naskh dimaknai sebagai tahwil atau naql maka
teori naskh sangat tepat jika di terapkan pada contoh kasus diatas. Perpindahan dari
satu tempat ke tempat lain yang dalam konteks tulisan ini berarti perpindahan dari
satu dalil hukum ke dalil hukum yang lain karena adanya tuntutan yang
mengharuskan hal itu dilakukan.
Memang, yang berlaku umum dikalangan ahli ushul adalah naskh sebagai
izalah bukan sebagai tahwil, tabdil atau naql. Padahal, jika dibuat satu inferensi
penggunaan istilah, akan mempunyai pengaruh yang luas dalam memahami dalil.
Naskh setidaknya mempunyai empat alternatif arti yaitu izalah, tahwil, tabdil atau
naql. Disinilah letak kekeliruan para penolak teori naskh.
Mereka yang menolak teori naskh berargumen bahwa teori naskh itulah yang
membuat hukum Islam itu kaku dan anarkis terhadap agama lain karena mengajarkan
peperangan terhadap non-muslim dengan menganggap ayat-ayat yang mengajarkan
toleransi telah dihapus oleh ayat-ayat pedang. Sebabnya ialah karena mereka tidak
membedakan naskh sebagai izalah dan naskh sebagai tahwil dan naql. Mereka
misalnya menuding, teori naskh telah membuat hukum Islam itu menjadi hukum
yang anarkis karena mengajarkan bahwa ayat-ayat yang berlaku ketetapan hukumnya
hanyalah ayat-ayat yang mengajarkan peperangan terhadap non-muslim. Ini benar
jika naskh itu diartikan sebagai izalatul ahkam yang berarti peniadaan ayat-ayat yang
menyuruh umat Islam untuk bertoleransi dengan umat non-muslim. Naskh yang
dimaknai sebagai izalah memang menutup peluang untuk memberlakukan kembali
ayat-ayat yang telah dianggap naskh. Ayat yang dianggap mansukh untuk selamanya
dianggap mansukh dan untuk selamanya pula tidak berlaku lagi ketetapan hukumnya.
Namun jika pendapat para penolak teori naskh ini diikuti berarti kita harus
bersikap toleran selamanya pula pada non-muslim karena-dalam anggapan mereka-
ayat pedang tidak sesuai lagi dengan semangat pluralisme dan demokrasi modern
yang menjunjung tinggi kebebasan beragama. Masalahnya adalah bagaimana jika
umat non-muslim tersebut menyerang umat Islam, bukankah seharusnya pula umat
Islam berpindah dari dalil hukum yang mengajarkan toleransi ke dalil hukum yang
menyuruh berperang?. Adalah sangat tidak tepat misalnya bila ada seorang mujtahid
berpendapat umat Islam harus memerangi umat Kristiani padahal situasi Islam dan
Kristen pada saat itu sedang hidup rukun dan damai dalam satu daerah hanya karena
alasan "ayat-ayat toleransi telah dihapus oleh ayat-ayat pedang". Namun adalah
sangat tidak tepat pula jika ada seorang mujtahid berpendapat bahwa umat Islam
harus tetap bersikap toleran, sabar dan "tenggang rasa" padahal umat non-muslim
telah membantai umat Islam hanya karena alasan- seperti yang diungkapkan para
penolak teori naskh-yang harus kita amalkan adalah perintah dalil-dalil hukum yang
mengajarkan toleransi karena itulah yang sesuai dengan semangat kehidupan modern
karena menjunjung tinggi pluralisme".
Kedua mujtahid yang seperti dalam gambaran ini tidak piawai dalam
menggunakan dalil-dalil hukum pada konteks yang tepat. Yang harus diingat oleh
para penolak teori naskh ialah teori naskh muncul karena adanya pertentangan antar
dalil hukum. Ini tidak boleh diingkari. Dan pertentangan itu nyata terlihat dalam
dalil-dalil hukum. Oleh karena itu para ulama ushul kemudian menciptakan beragam
teori untuk menyelesaikan pertentangan tersebut. Ayat pedang secara mutlaq
bertentangan dengan ayat-ayat yang mengajarkan toleransi jika dipahami menurut
teksnya dalam Al-Qur'an. Dan pertentangan itu tidak akan hilang hanya dengan cara
menolak teori naskh lalu menganggap masalahnya telah selesai. Karena bertentangan
dan tidak mungkin lagi dikompromikan maka para ulama ushul mengatakan bahwa
ayat-ayat pedang adalah nasikh terhadap ayat-ayat yang memberi toleransi bagi
mereka yang non-muslim.
Para penolak teori naskh, karena melihat ayat pedang ini telah berubah
menjadi dalil hukum yang mengajarkan anarkisme maka mereka menolak teori naskh
mentah-mentah. Mereka ini, walaupun mengklaim dirinya sebagai penolak teori
naskh namun pada hakikatnya menjadi orang yang paling keras menerapkan teori ini
karena dengan menolak teori naskh dan menganggap hanya ayat-ayat yang
menyuruh bertoleransi sajalah yang berlaku sedang ayat-ayat pedang tidak relefan
maka mereka telah melakukan penganuliran terhadap ayat-ayat pedang. Dan
bukankah penganuliran dalil hukum perang yang mereka lakukan dengan
menerapkan dalil hukum yang menyuruh umat Islam untuk bertoleransi merupakan
salah satu bentuk dari naskh dimana satu dalil menganulir atau membatalkan dalil
hukum yang lain?. Mengganti ayat-ayat pedang dengan ayat-ayat yang menyuruh
bertoleransi merupakan satu bentuk dari makna naskh yaitu naskh sebagai tabdil.
Pertentangan antar dalil hukum tidak akan selesai hanya dengan cara menolak
teori naskh. Malah, jika teori naskh itu ditolak kita tidak memiliki metode apapun
untuk menyelesaikan pertentangan tersebut dan semua dalil hukum yang
bertentangan satu sama lain akan mengambang begitu saja tanpa ada metode untuk
menyelesaikannya. Yang dibutuhkan oleh naskh ialah redefinisi terhadap teori naskh.
Setiap usaha yang dilakukan untuk menyingkirkan teori naskh dari khazanah ushul
fiqih adalah sama artinya dengan membiarkan ayat-ayat yang bertentangan secara
nyata dalam teks-teks hukum tanpa metode penyelesaian. Naskh hanyalah satu teori
yang diciptakan para ulama untuk mencoba menyelesaikan pertentangan tersebut.
Yang benar adalah menerapkan dalil hukum sesuai dengan kondisi tuntutan
kemashlahatan umat. Seorang mujtahid harus mengerti kapan waktu yang tepat
menerapkan ayat pedang dan kapan saatnya menerapkan ayat yang menyuruh untuk
bertoleransi. Ini berarti menerapkan teori naskh sebagai naql (perpindahan) atau
tahwil (pengalihan) yakni berpindah atau beralih dari satu dalil hukum ke dalil
hukum yang lain jika kedua dalil hukum tersebut saling bertentangan karena adanya
perbedaan tuntutan kemashlahatan umat.
Para ulama ushul merumuskan persyaratan-persyaratan agar naskh dapat
terjadi yakni sebagai berikut;69
a) Bahwa yang dibatalkan itu merupakan sesuatu yang menerima pembatalan.
Ada sejumlah hukum yang tidak boleh dibatalkan, seperti hukum-hukum
yang terkait dengan pokok-pokok agama dan keyakinan.
b) Bahwa yang dibatalkan tersebut adalah hukum syara'.
c) Pembatalan itu datang dari khitab (tuntutan) syara'.
d) Bahwa yang membatalkan terpisah dan datang kemudian dari yang
dibatalkan. Apabila antara yang membatalkan dan dibatalkan itu berkaitan,
seperti syarat, sifat dan istisna, maka tidak dapat disebut sebagai naskh.
e) Bahwa yang membatalkan sama kuatnya atau lebih kuat dari yang dibatalkan.
f) Bahwa yang dibatalkan tidak terkait dengan waktu tertentu.
69Firdaus, Op.Cit., 208
Persyaratan ini dibuat oleh ulama ushul tentu untuk mendukung naskh
sebagai izalah bukan naskh sebagai tahwil atau naql.
Disamping persyaratan-persyaratan diatas ada satu persyaratan lagi yang
tidak disebutkan oleh para ulama yaitu terpenuhinya syarat kondisi yang
memungkinkan diterapkannya satu dalil hukum yang jika syarat kondisi tersebut
tidak terpenuhi maka berpindah ke dalil lain yang mengatur hal yang sama namun
dengan petunjuk hukum yang berbeda yang sekiranya dalil yang dituju tersebut
syarat-syarat kondisi yang memungkinkan diterapkannya dalil tersebut telah
terpenuhi. Yang kami jelaskan ini juga dapat menjadi teori lain untuk menyelesaikan
pertentangan antar dalil hukum selain teori-teori lain yang telah dirumuskan oleh
para ulama ushul.
Contoh dalil lain yang sering diutarakan oleh para ulama ushul untuk
menunjukkan contoh dalil nasikh dan mansukh adalah bunyi hadits berikut yang jika
dipahami dengan kerangka berpikir seperti yang telah kami gambarkan diatas tidak
memiliki pertentangan. Hadits itu ialah hadits yang melarang dan membolehkan
ziarah kubur berikut;70
عن ابن مسعود أن رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم قال كنت يتكم عن زيارة
القبور فزوروها فإا تزهد يف الدنيا وتذكر األخرة
Hadits ini sering dikutip untuk menunjukkan adanya pertentangan antar dalil
hukum yang tidak mungkin lagi dapat dikompromikan kecuali dengan menerapkan
teori naskh yakni dengan menggugurkan salah satunya. Instrumen-instrumen lain
yang berfungsi sama sebagai alat untuk menyelesaikan pertentangan antar dalil
70Evra Willya, "Nasikh Dan Mansukh," El Qisth, 1 (September, 2005), 74.
hukum seperti takhshisul am bil khas dan mutlak dan muqayyad memang tidak
mungkin lagi mampu menyelesaikan pertentangan dalam dalil hukum diatas. Dan
teori naskh yang dimaksud oleh para ulama ushul dalam memahami hadits ini
tentunya adalah naskh yang bermakna izalah bukan naskh sebagi tahwil, tabdil
apalagi naql. Jika naskh dipahami sebagai tahwil, tabdil atau naql dalam memahami
hadits diatas akan timbul pemahaman lain. Pemahaman yang timbul itu akan
tergambar seperti penjelasan berikut ini: Para ulama ushul menyebutkan bahwa
dahulu penduduk jazirah Arab mempunyai kebiasaan menuhankan arwah nenek
moyang mereka sendiri dengan menziarahi kubur-kubur mereka dan menyembahnya
sebagai Tuhan. Mereka juga memiliki kebiasaan menyediakan persembahan-
persembahan (sesajen) untuk arwah itu dengan keyakinan bahwa arwah nenek
moyang mereka itu akan menerimanya. Kepercayaan ini telah berlangsung lama dan
berlaku turun temurun dari satu generasi ke generasi Arab berikutnya. Kepercayaan
dan praktik yang demikian ini membuat mereka jatuh kedalam kemusyrikan yang
sangat dalam. Ketika Nabi Muhammad Saw mendakwahkan Islam dan penduduk
jazirah Arab satu persatu mulai masuk Islam sedang iman mereka masih lemah maka
Rasululllah Saw mengambil keputusan dengan melarang mereka untuk berziarah
kubur karena Beliau khawatir penduduk Arab itu akan kembali lagi ke kemusyrikan.
Namun setelah iman para sahabat bertambah kuat, Rasulullah Saw mencabut
larangannya dan sebagi ketetapan hukum yang baru Rasulullah Saw membolehkan
para sahabat untuk berziarah kubur dengan tujuan agar selalu menjadi pengingat
akan kematian yang dapat menguatkan keimanan.
Kelak dikemudian hari, setelah sunnah nabi terkodifikasi menjadi teks-teks
dalam kitab-kitab hadits, larangan dan pembolehan ziarah kubur ini memang seakan
bertentangan satu sama lain. Jika hadits ini dipahami dalam teks-teks hadits memang
saling bertentanganlah adanya. Sehingga dalam teks-teks hadits itu terlihat Nabi Saw
seakan-akan pertama melarang ziarah kubur kemudian mencabut larangan itu
kemudian membolehkannya. Padahal hadits ini menjelaskan dua keadaan yang
berbeda hingga membutuhkan penyelesaian hukum yang berbeda pula. Sabda Nabi
Saw "kuntu nahaitukum an ziaratil kuburi ala fazuruha" tidak muncul dalam satu
waktu-sekalipun dalam teks terlihat demikian-tapi hadits ini menggambarkan dua
masa yang berbeda sehingga membutuhkan dua penyelesaian hukum yang berbeda
pula. Ucapan Nabi Saw "kuntu nahaitukum an ziaratil kuburi" adalah untuk
menggambarkan masa lalu para sahabat yang masih lemah imannya hingga Nabi
Saw mengambil kebijakan melarang ziarah kubur karena Beliau khawatir mereka
akan kembali jatuh ke kemusyrikan. Sedang sabda Nabi Saw "ala fazuruha" adalah
untuk menggambarkan masa dimana iman para sahabat sudah semakin kuat hingga
Nabi membolehkan mereka ziarah kubur. Dalam teks-teks hadits dan juga Al-Qur’an
proses panjang penetapan hukum seperti inilah yang terlepas darinya.
Jika asbabul wurud hadits ini adalah seperti dalam gambaran diatas maka
adanya larangan dan pembolehan ziarah kubur yang terkandung dalam dalil hukum
diatas seharusnya tidak perlu dipahami sebagai sebuah pertentangan antar dalil
hukum.
Seorang mujtahid harus memiliki kepiawaian untuk meletakkan
pemberlakuan satu dalil hukum dalam konteks yang tepat. Di zaman ini, bahkan
mungkin juga di masa-masa mendatang, dengan tingkat keberagamaan masyarakat
yang beragam, jika iman masyarakat kembali melemah maka tentunya dalil hukum
yang melarang ziarah kubur kembali berlaku dan dioperasionalkan dan jika iman
masyarakat kembali menguat dalil hukum yang berlaku adalah dalil hukum yang
membolehkan ziarah kubur seperti yang tergambar dalam asbabul wurud hadits
diatas. Dalam hal ini, teori naskh yang berarti naql (berpindah) atau tahwil (beralih)
dapat berlaku. Artinya seorang mujtahid yang menyaksikan perubahan masyarakat
tersebut berpindah dari satu dalil hukum ke dalil hukum yang lain karena adanya
tuntutan kemashlahatan.
Maka, yang juga harus diperhatikan dalam menyelesaikan adanya
pertentangan dalam dalil-dalil hukum adalah bagaimana dan faktor-faktor apa saja
yang melatarbelakangi turunnya satu ayat atau hadits. Selama sebab-sebab
munculnya dalil-dalil hukum itu masih diketahui maka dalam penerapannya,
pemberlakuan dalil hukum tersebut harus disesuaikan dengan faktor-faktor yang
mengiringi kemunculan dalil-dalil hukum tersebut dalam konteksnya masing-masing.
Jika faktor atau sebab tersebut hilang maka dalil tersebut divakumkan. Namun jika
sebab atau faktor tersebut kembali muncul dan berulang maka ketetapan hukum
yang dipakai adalah apa yang ditunjukkan oleh dalil hukum itu secara langsung.
D. Analisis relevansi naskh Imam As-Syafi’i
Secara khusus sub bab dalam analisis ini akan mengkaji relevansi teori naskh
Imam As-Syafi’i dalam wacana pembaharuan hukum Islam. Untuk mempertajam
analisis ini, maka Peneliti akan mengutarakan sekali lagi bahwa naskh yang
dimaksud oleh Imam As-Syafi’i adalah naskh sebagai taraka bukan naskh sebagai
izalah. Akibat-akibat hukumnya dan kemungkinan-kemungkinan pengembangan
hukum Islam darinya. Dan juga untuk menguji teori naskh Imam As-Syafi’i ini
diutarakan sekali lagi bahwa pembaharuan hukum Islam bertujuan untuk
menjembatani hukum Islam yang tertulis dalam kitab-kitab (law in book) agar dapat
menjadi hukum yang hidup dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari (law in
action). Nah, apakah teori naskh yang dikembangkan oleh para ulama ushul
tersebut dan juga teori naskh seperti yang dikemukakan oleh Imam As-Syafi’i masih
memiliki relevansi dalam upaya pembaharuan hukum Islam di dunia modern ini
khususnya di Indonesia?. Di bab II sebelumnya telah disajikan bahwa ide-ide
pembaharuan hukum Islam di Indonesia didominasi oleh keinginan kuat untuk
melakukan reaktualisasi hukum Islam. Dan reaktualisasi hukum Islam itu sendiri
dapat diartikan sebagai sebuah upaya agar hukum Islam itu kembali hidup, aplikatif
dan diamalkan secara kontinu oleh masyarakat muslim kontemporer.
Demikian pula, seperti telah disebutkan sebelumnya, naskh memiliki
beragam makna dan arti alternatif. Setidaknya, lafadz naskh itu memiliki empat arti
yaitu izalah, tahwil, tabdil dan naql yang semuanya akan berimplikasi hukum
berbeda sesuai dengan pemilihan makna terhadap naskh diantara keempat alternatif
arti ini. Pemilihan satu lafadz diantara keempat makna alternatif naskh ini akan
menyebabkan pengaruh hukum yang berbeda pula. Hanya saja, makna naskh yang
dipakai secara luas oleh ulama ushul ialah naskh sebagai izalah, bukan sebagai
tahwil, tabdil apalagi naskh sebagai naql.
Mari kita analisis kembali pengertian (ta'rif) naskh yang diberikan oleh para
ulama sebelumnya. Abdul Wahab Khalaf memberikan pengertian naskh sebagai
berikut;71
71Abdul Wahab Khalaf, Op.Cit., 222
الشرعى بدليل متراخ عنه النسخ ىف اصطالح األصوليني هو إبطال العمل باحلكم
يدل على إبطاله صراحة او ضمنا إبطاال كليا او إبطاال جزئيا ملصلحة اقتضته او
هو إظهار دليل الحق نسخ ضمنا العمل بدليل سابق Imam Jalaluddin Al-Mahally memberikan pengertian naskh sebagai berikut;72
طاب الدال على رفع احلكم الثابت باخلطاب املتقدم على وجه لواله لكان اخل
ثابتا مع تراخيه عنه Keseluruhan pendapat ulama diatas yang telah kita kutip pendapatnya
mendefinisikan naskh sebagai izalah yang dalam bahasa Arab dekat maknanya
dengan kata i'dam yang dalam bahasa Indonesia dapat berarti peniadaan sama sekali
(nihil). Antonym lafadz 'adam dalam bahasa Arab adalah dari lafadz wujud yang
berarti "ada".73 Ini sesuai pula dengan pendapat Imam Al-Amidy berikut;74
واإلزالة هى اإلعدام وهلذا يقال زال عنه املرض واألمل وزالت النعمة عن فالن
ويراد به االنعدام ىف هذه األشياء كلها
Penghapusan hukum disini dimaksudkan sebagai hilangnya kekuatan hukum
satu dalil yang dihapus oleh dalil hukum lain yang lebih terkemudian masa
pewahyuannya yang dalam hal ini ayat yang terakhir turun itulah yang dianggap
berlaku ketetapan hukumnya sampai dalil hukum yang pertama itu tidak memiliki
implikasi dan kekuatan hukum sama sekali karena dianggap telah gugur penunjukan
72Jalaluddin Al-Mahally, Op.Cit., 14 73A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir: Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 906 74Saifuddin Abi Hasan Ali bin Abi Ali bin Muhammad Al-Amidy, Op.Cit., 71
hukumnya. Orang Arab misalnya berkata: "Nasakhatis Syamsu adz-Dzillu"
maksudnya, matahari menghapus bayangan itu sampai sirna. Makna naskh yang
seperti inilah yang dipergunakan oleh para ulama ushul untuk mendefinisikan naskh
yang identik dengan izalah. Meskipun para ulama ushul mengatakan ada kalanya
naskh itu hanya terjadi pada penghapusan hukumnya saja bukan penghapusan
ayatnya sekaligus karena adakalanya ayat yang mansukh masih tetap bisa dibaca
dalam mushaf sampai sekarang, namun pada intinya mereka beranggapan bahwa ayat
yang dianggap mansukh itu tidak memiliki kekuatan hukum sama sekali karena telah
digugurkan oleh ayat lainnya. Dengan kata lain ayat mansukh tersebut telah
kehilangan kekuatan penunjukan hukumnya sekalipun tilawahnya masih utuh dalam
mushaf.
Berbeda dengan definisi yang diberikan oleh ulama ushul diatas, yang
mengidentikkan naskh sebagai izalah, Imam As-Syafi'i memberikan pengertian
naskh yang berbeda. Ia memberikan definisi naskh sebagai berikut;75
ومعىن نسخ ترك فرضه كان حقا ىف وقته وتركه حقا إذا نسخه اهللا فيكون من
ومن مل يدرك فرضه مطيعا باتباع الفرض الناسخ له وبتركهأدرك فرضه مطيعا به
Dari definisi ini terlihat perbedaan pemikiran Imam As-Syafi'i tentang nasikh
mansukh dengan para ulama ushul lainnya. Imam As-Syafi'i lebih memilih memakai
kata taraka (bukan izalah, raf'un atau ibthal yang dekat ke makna i'dam (peniadaan)
seperti yang lazim digunakan oleh para ulama ushul). Dari segi bahasa pemilihan
kata taraka ini memiliki pengaruh yang luas dalam memberikan pengertian apa
sebenarnya naskh itu. Lafadz izalah, rafun atau ibthal sepeti yang dipergunakan oleh
75Abi Abdullah Muhammad Bin Idris As-Syafi'i, Op.Cit., 122-123
para ulama ushul bermakna penghapusan hukum secara mutlak karena lafadz izalah,
rafun dan ibthal memiliki kedekatan makna dengan lafadz i'dam. Dan lafadz i'dam
itu sendiri bermakna peniadaan yang jika kata ini dipergunakan untuk
mendefinisikan naskh maka artinya ialah peniadaan hukum. Sedang lafadz taraka–
seperti yang dipergunakan oleh Imam As-Syafi'i untuk mendefinisikan naskh-lebih
bermakna "meninggalkan" namun tidak tertutup sama sekali untuk diambil,
digunakan dan dioperasionalkan kembali. Karena sesuatu yang ditinggalkan itu bisa
jadi tetap berwujud dan tidak sirna secara mutlak.
Dengan memilih lafadz taraka, Imam As-Syafi'i sebenarnya lebih
mendekatkan makna naskh ke lafadz naql (pindah), tahwil (pengalihan) atau tabdil
(penggantian). Diantara tiga lafadz ini yang paling dekat ke makna taraka adalah
naql. Karena kata taraka (meninggalkan) secara langsung akan merujuk ke kata naql
(pindah) sebab meninggalkan sesuatu berarti berpindah dari sesuatu tersebut ke
sesuatu yang lain. Pandangan Imam As-Syafi'i ini tentu berbeda dengan pandangan
mayoritas ulama ushul yang mendekatkan makna naskh ke izalah sedang izalah itu
sendiri berarti i'dam yang berarti peniadaan secara murni. Sedang lafadz taraka yang
dekat ke makna naql (pindah) yang dapat berarti sekalipun sesuatu tersebut telah
ditinggalkan namun bukan berarti sesuatu tersebut menjadi hilang namun pokok
sesuatu tersebut ('ainus syai-nya) masih tetap berwujud. Orang Arab misalnya
berkata sebagai berikut;
نسخت الكتاب إذا نقلت ما فيه حاكيا للفظه وخطه Dan juga seperti firman Allah Swt dalam Surat Al-Baqarah ayat 180 berikut;
|= ÏGä. öΝä3ø‹n=tæ #sŒ Î) u�|Ø ym ãΝä. y‰tn r& ßNöθ yϑ ø9 $# β Î) x8t�s? #��ö�yz èπ §‹Ï¹ uθø9 $# Ç÷ƒ y‰Ï9≡ uθ ù=Ï9 tÎ/ t�ø% F{$#uρ
Å∃ρã�÷èyϑ ø9 $$ Î/ ( $ ˆ)ym ’ n?tã tÉ) −Fßϑ ø9 $#
Artinya: "Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa".
Makna taraka dalam ayat ini lebih bermakna meninggalkan sesuatu dan
sesuatu itu akan terus berkembang karena pokok ('ain) sesuatu itu sendiri masih tetap
berwujud yang dalam konteks ayat ini yang ditinggalkan itu adalah harta warisan
orang yang akan meninggal. Dan kalaupun sesuatu itu tidak berkembang namun
wujud sesuatu yang ditinggalkan itu tidak hilang sama sekali. Ini berbeda dengan
lafadz izalah yang dekat ke makna i'dam yang berarti peniadaan. Untuk memperjelas
perbedaan penggunaan lafadz taraka dan izalah ini dalam kalimat, Imam Al-Amidy
menulis sebagi berikut;76
واإلزالة هى اإلعدام وهلذا يقال زال عنه املرض واألمل وزالت النعمة عن فالن
ويراد به االنعدام ىف هذه األشياء كلهاContoh relevansi praktis penggunaan teori naskh Imam As-Syafi’i ini dalam
mengistinbath sebuah hukum adalah sebagai berikut; Pertama, masalah pembagian
harta.
Salah satu bab hukum Islam yang paling banyak mendapat sorotan adalah
masalah pembagian waris. Berkembangnya paham “kesetaraan” dalam masyarakat
modern mengakibatkan bab-bab hukum yang mengunggulkan laki-laki atas
perempuan dianggap tidak lagi sesuai dengan semangat hidup kemoderenan yang
76Saifuddin Abi Hasan Ali bin Abi Ali bin Muhammad Al-Amidy, Op.Cit., 71
menghendaki persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan. Hukum waris
Islam-pun menjadi salah satu sasarannya.
Hukum waris Islam yang telah dipraktekkan selama berabad-abad yang
lampau dianggap tidak lagi adil karena memberikan porsi bagian 2:1 antara anak
laki-laki dan perempuan.
Sebenarnya, pendapat yang mengatakan pola pembagian 2:1 ini tidak adil
tidak perlu muncul jika semua umat Islam bisa memahami dua hal berikut: Pertama,
konteks penerapan hukum. Sesungguhnya munculnya pandangan-pandangan yang
menyatakan pola pembagian 2:1 ini tidak adil dilatarbelakangi oleh adanya
perubahan-perubahan sistem sosial di masyarakat yang berbanding terbalik dengan
sistem sosial ketika pola pembagian 2:1 itu pertama kali disyariatkan. Antara sistem
sosial yang berlaku di masyarakat ketika pola pembagian 2:1 itu disyariatkan kira-
kira 1400 yang lampau berbanding terbalik dengan sistem sosial yang berlaku di
zaman kita sekarang.
Dulu, ketika Islam pertama kali muncul, perempuan tidak mendapat bagian
waris sedikitpun. Perempuan pada masa itu menduduki posisi yang sedemikian
rendahnya hingga ia tidak berhak mendapatkan apapun. Sistem sosial yang berlaku
pada masa itu memang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah demikian
itu. Ketika Islam muncul dengan membawa pola pembagian 2:1 ini maka hal ini
telah dianggap sebagai sebuah gebrakan besar terhadap sistem sosial yang berlaku
pada masa itu dimana perempuan pada waktu itu tidak berhak mendapat warisan
tiba-tiba-dengan cahaya Islam-memperoleh hak untuk mendapat harta warisan.
Sekalipun porsi pembagiannya masih 2:1, hal ini-pada masa itu, pada masa 1400
tahun yang lewat-dapat kita anggap benar-benar telah mewakili rasa keadilan dan
meninggikan derajat kaum wanita yang pada mulanya tidak mendapat apapun. Itulah
sebabnya kita tidak mendapati adanya suara menolak atas pola pembagian ini dari
para pemikir hukum pada zaman dahulu. Apalagi pada masa itu yang bekerja pada
umumnya adalah laki-laki. Laki-lakilah yang bertanggungjawab secara penuh
terhadap “dapur” rumah tangganya.
Nah, ketika sistem sosial berubah, yang bekerja bukan hanya laki-laki namun
juga para wanita, yang berhak mendapat pendidikan bukan hanya putra tapi juga
putri, yang berhak aktif di ruang publik bukan hanya kaum Adam namun juga kaum
Hawa, telah menimbulkan perubahan-perubahan yang fundamental pada sistem
sosial dan pandangan-pandangan terhadap rasa keadilan. Maka menurut logika yang
sehat adalah memang sangat tidak adil jika pola pembagian 2:1 ini tetap diterapkan
pada sistem sosial yang telah jauh berbeda dengan sistem sosial ketika hukum itu
pertama kali disyariatkan. Peneliti berpendapat pola pembagian ini tetap memiliki
relevansi jika syarat kondisi yang mengiringi penerapan hukum tersebut terpenuhi.
Syarat kondisi yang kami maksud ialah sistem sosial yang hidup ketika hukum itu
pertama kali disyariatkan kembali hidup di zaman kita sekarang.
Kedua, jika memang masyarakat muslim sudah tidak menghendaki pola
pembagian 2:1 ini dan menghendaki pola pembagian yang lain maka metode wakaf
terhadap harta sebenarnya bisa dilakukan untuk menghindari silang sengketa.
Dengan metode ini orangtua dapat melihat siapa diantara anaknya yang paling pantas
menerima bagian yang lebih banyak tanpa membedakan laki-laki dan perempuan
atau bahkan orangtua dapat menyamaratakan pembagian harta antara semua anak-
anaknya. Keterangan ini terdapat dalam kitab Fathul Qarib berikut yang kami kutip
seutuhnya;
لبعض املوقوف عليهم ) من تقدمي(فيه ) الوقف على ما شرط الواقف(أى ) وهو(
كوقفت على أوالدى فإذا ) أو تأخري(كوقفت على أوالدى األورع منهم
كوقفت على أوالدى بالسوية بني ذكورهم ) أوتسوية(انفرضوا فعلى أوالدهم
لبعض االوالد على بعض كوقفت على أوالدى للذكر ) أو تفضيل (واناثهم
٧٧منهم مثل حظ االنثينيKalimat-kalimat diatas menunjukkan kewenangan orangtua untuk membagi
hartanya menurut cara yang ia senangi dan menurut kebijaksanaannya. Terutama
kalimat terakhir diatas jelas menunjukkan bahwa pola pembagian harta 2:1 (mitslu
hadzdzil untsayaini) hanyalah salah satu metode pembagian harta, tanpa menutup
pola pembagian yang lain. Padahal, seperti kita ketahui, pola pembagian 2:1 adalah
pola pembagian yang didasarkan pada nash yang qath’iyud dalalah.
Disinilah letak relevansi teori naskh Imam As-Syafi’i. Dalam contoh diatas
sebenarnya kita telah “meninggalkan” hukum waris dengan “beralih” pada hukum
wakaf karena memang terdapat alasan untuk melakukan perpindahan tersebut. Inilah
yang kita sebut naskh sebagai taraka, tabdil, tahwil atau naql.
Untuk mengalihkan tuntutan ketentuan hukum waris yang bersifat qath’iy
dengan alasan pola pembagian ini dianggap kurang memberi rasa kepuasan keadilan
terhadap para wanita, kita membutuhkan sebuah teori pengalihan hukum yang juga
harus syar’iy yaitu suatu teori hukum yang berakar dari ajaran Islam sendiri,
sehingga umat Islam tidak perlu berpindah ke sistem hukum lain-misal ke sistem
hukum Barat-yang sudah pasti bukan dirumuskan atas turats ajaran Islam. Maka,
dalam contoh kasus waris ini teori naskh Imam As-Syafi’i yang Beliau maknai
77Muhammad Bin Qasim Al-Ghazy, Fathul Qarib Mujib (Indonesia: Haramain, 2005), 39
sebagai tarku fardhihi, bukan izalatu fardhihi, terlihat relevansinya. Jika memang
umat Islam sekarang tidak menghendaki lagi pola pembagian harta 2:1 itu yang telah
digariskan syariat maka umat Islam boleh berpindah ke dalil syar’iy yang lain yang
sama-sama mengatur pembagian harta seperti metode wakaf diatas. Sehingga
walaupun umat Islam melakukan pembaruan atau reaktualisasi hukum Islam namun
tetap berada dalam lingkup hukum Islam tanpa perlu berpindah ke sistem hukum
lainnya yang belum tentu di bangun diatas landasan dan kajian syar’iy.
Contoh kedua adalah dalam hal penetapan khamar. Secara khusus ada tiga
ayat yang membicarakan tentang hukum khamar dalam Al-Qur’an. Satu sama lain
saling bertentangan. Itulah sebabnya para ulama ushul menyatakan telah terjadi
naskh (yang mereka maknai dengan izalah) dalam contoh-contoh ayat ini. Ayat-ayat
itu ialah sebagai berikut;
y7 tΡθ è=t↔ ó¡ o„ Ç∅ tã Ì�ôϑ y‚ø9 $# Î�Å£÷� yϑ ø9 $#uρ ( ö≅ è% !$ yϑ ÎγŠ Ïù ÖΝøO Î) ×��Î7Ÿ2 ßì Ï#≈oΨ tΒ uρ Ĩ$ ¨Ζ=Ï9 !$ yϑ ßγßϑ øO Î)uρ
ç�t9ò2 r& ÏΒ $yϑ Îγ Ïèø# ‾Ρ 3 š� tΡθ è=t↔ ó¡ o„uρ #sŒ$tΒ tβθà) Ï#ΖムÈ≅è% uθ ø#yèø9 $# 3 š�Ï9≡ x‹ x. ß Îit7ムª! $# ãΝä3s9
ÏM≈tƒ Fψ $# öΝà6‾=yè s9 tβρã�©3x# tF s?
Artinya: "Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir."
$ pκš‰r' ‾≈tƒ tÏ%©!$# (#θãΨ tΒ#u Ÿω (#θç/ t�ø) s? nο4θ n=¢Á9$# óΟçFΡ r& uρ 3“t�≈s3 ß™ 4®L ym (#θ ßϑn= ÷ès? $tΒ tβθ ä9θ à)s? Ÿω uρ $ �7 ãΨã_
āω Î) “ Ì�Î/$ tã @≅‹Î6 y™ 4®L ym (#θ è=Å¡ tFøó s? 4 β Î)uρ Λ äΨ ä. #yÌ ó÷£∆ ÷ρr& 4’ n? tã @�x# y™ ÷ρr& u !$ y_ Ó‰tn r& Νä3Ψ ÏiΒ zÏiΒ
ÅÝÍ←!$ tó ø9 $# ÷ρr& ãΛ ä ó¡ yϑ≈ s9 u !$ |¡ÏiΨ9 $# öΝn=sù (#ρ߉ Åg rB [ !$ tΒ (#θ ßϑ £ϑ u‹tF sù #Y‰‹Ïè |¹ $Y7 ÍhŠ sÛ (#θßs |¡øΒ $$sù öΝä3 Ïδθ ã_âθ Î/
öΝä3ƒÏ‰ ÷ƒ r& uρ 3 ¨β Î) ©!$# tβ% x. #‚θ à# tã # �‘θà# xî
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun."
$ pκš‰r' ‾≈tƒ tÏ% ©!$# (#þθãΨ tΒ#u $yϑ ‾Ρ Î) ã�ôϑ sƒ ø: $# ç� Å£øŠyϑ ø9 $#uρ Ü>$ |ÁΡ F{$#uρ ãΝ≈ s9 ø—F{$#uρ Ó§ô_Í‘ ôÏiΒ È≅ yϑ tã
Ç≈sÜø‹¤±9 $# çνθç7 Ï⊥tG ô_$$ sù öΝä3 ª= yès9 tβθ ßsÎ=ø#è?
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan".
Namun, jika kita mengikuti teori naskh Imam As-Syafi’i, naskh sebagai
izalah tidak perlu diterapkan dalam contoh ayat-ayat diatas. Namun, naskh sebagai
tahwil, tabdil atau naql sesuai jika diterapkan dalam contoh ayat-ayat ini. Maka, hal
pertama yang harus kita lakukan untuk menerapkan ayat ini adalah sebagai berikut;
Pertama, identifikasi mukallaf. Yang dimaksud dengan identifikasi mukallaf dalam
hal ini ialah memperhatikan kondisi si mukallaf. Apakah ia baru mengenal Islam,
Apakah ia sudah cukup paham akan ajaran Islam atau Apakah ia masih memerlukan
pembinaan-pembinaan agar ia semakin dekat dengan ajaran Islam. Karena
sesungguhnya, sebuah jawaban hanya dapat dianggap tepat jika disesuaikan dengan
kondisi si penanya.
Seorang mujtahid yang bijak dalam menggunakan dalil tidak mungkin
menyamakan jawaban pada semua lapisan umat dengan tingkat keberagamaan yang
beragam. Lagi-lagi, disinilah letak relevansi teori naskh Imam As-Syafi’i. Di negara
kita Indonesia ini, dengan tingkat keberagamaan yang beragam, maka seorang
mujtahid harus jeli dalam menggunakan dalil, sangat tergantung dengan bagaimana
kondisi umat yang ia hadapi. Ia boleh berpindah dari satu dalil ke dalil lain jika ada
hal yang mengharuskan hal itu dilakukan. Di negara kita ini ada banyak umat Islam
yang suka mabuk-mabukan, berjudi atau berzina, maka dalam menggunakan dalil
harus benar-benar memperhatikan realitas umat ini. Bukan berarti mereka itu lantas
dibiarkan terus menerus dalam kemaksiatannya tersebut, namun disinilah letak
hubungan antara fiqhul ahkam dengan fiqhud dakwah. Hukum itu diterapkan sesuai
kondisi mukallaf namun dakwah harus tetap digerakkan agar umat bergerak ke arah
yang semakin baik yang dengan sistem sosial dan perilaku yang telah terbina itu
dengan perlahan-lahan pesan-pesan hukum dapat ditingkatkan ke tingkat yang lebih
tinggi, tegas dan keras agar mereka tidak kembali ke kemaksiatan tersebut.
Meskipun Imam As-Syafi’i membolehkan terjadinya naskh kitab bil kitab
tidak ada kepastian lebih lanjut apakah yang ia maksudkan itu adalah naskh kitab
yang diberikan pada satu Nabi oleh kitab yang diberikan pada Nabi yang diutus
sesudahnya atau yang ia maksudkan adalah naskh ayat bil ayat dalam satu syariat
seperti yang dipahami oleh jumhur ulama yang memberikan contoh naskh antar ayat
dalam satu kitab.
Dalam pandangan ulama ushul yang dimaksud dengan naskh kitab bil kitab
adalah naskh ayat bil ayat dalam satu kitab. Itulah sebabnya para ulama ushul
memberikan contoh-contoh naskh antar ayat dalam Al-Qur’an seperti yang telah
kami paparkan sebelumnya.
Kami berpendapat yang dimaksudkan oleh Imam As-Syafi’i dengan naskh
kitab bil kitab adalah naskh satu kitab yang diberikan pada satu Nabi terdahulu oleh
kitab yang diberikan pada Nabi yang diutus setelahnya. Misal, naskh kitab Zabur
yang diberikan pada Nabi Dawud oleh kitab Taurat yang diberikan pada Nabi Musa
kemudian naskh kitab Taurat oleh kitab Injil yang diberikan pada Nabi Isa dan yang
terakhir naskh kitab Injil oleh kitab Al-Qur’an sebagai kitab terakhir yang diberikan
Allah kepada hambanya di dunia. Ini lebih dapat diterima akal daripada naskh
tilawah dalam Al-Qur’an seperti yang telah disebutkan oleh sebagian ulama ushul.
Sebab jika naskh tilawah telah terjadi dalam Al-Qur’an maka ini berarti menyalahi
kesepakatan seluruh umat Islam sepanjang masa, dari masa Rasulullah Saw sampai
pada masa kita hari ini, bahwa Al-Qur’an diriwayatkan secara mutawatir dan
sempurna tanpa ada satu ayat pun yang dirubah, diganti atau dibuat-buat oleh tangan
manusia. Imam As-Syafi’i sendiri menggunakan lafadz naskh kitab bil kitab bukan
naskh ayat bil ayat.
Ini lebih sesuai dengan firman Allah berikut yang mengatakan bahwa Ia
memberikan bagi masing-masing umat jalannya masing-masing. Allah berfirman
dalam surat Al-Maidah ayat 48;
!$uΖ ø9t“Ρr& uρ y7 ø‹s9 Î) |=≈tG Å3 ø9 $# Èd, ysø9 $$Î/ $]%Ïd‰ |ÁãΒ $yϑ Ïj9 š ÷t/ ϵ ÷ƒ y‰ tƒ zÏΒ É=≈tG Å6ø9 $# $ �Ψ Ïϑø‹yγãΒ uρ ϵ ø‹n=tã
( Νà6 ÷n$$ sù Οßγ oΨ÷� t/ !$ yϑ Î/ tΑt“Ρr& ª! $# ( Ÿω uρ ôì Î6 ®Ks? öΝèδ u !#uθ ÷δr& $£ϑ tã x8u !% y zÏΒ Èd, ysø9 $# 4 9e≅ä3 Ï9
$oΨ ù= yèy_ öΝä3Ζ ÏΒ Zπ tã ÷�Å° %[`$yγ÷Ψ ÏΒ uρ 4 öθs9 uρ u !$ x© ª! $# öΝà6 n=yè yf s9 ZπΒ é& Zο y‰Ïn≡ uρ Å3≈s9 uρ öΝä. uθ è=ö7uŠ Ïj9 ’ Îû !$ tΒ öΝä38 s?# u ( (#θ à)Î7tFó™$$ sù ÏN≡ u�ö�y‚ ø9 $# 4 ’ n<Î) «! $# öΝà6ãè Å_ö�tΒ $ Yè‹Ïϑ y_ Νä3 ã∞Îm6 t⊥ ㊠sù $yϑÎ/ óΟçGΨ ä. ϵŠ Ïù
tβθ à#Î= tFøƒrB
Artinya: “Dan kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.
Menurut Peneliti, Imam As-Syafi’i lebih memilih lafadz taraka daripada
lafadz izalah karena ia memiliki kemampuan berbahasa Arab yang mumpuni yang
memungkinkan ia memilih kata terbaik yang dapat mencakup semua kemungkinan
hukum. Termasuk kemungkinan perubahan-perubahan sistem sosial yang
mengharuskan adanya usaha reaktualisasi hukum Islam.
Berikut ini adalah tabel perbandingan teori naskh Imam As-Syafi’i dan Imam
lain serta implikasi hukum yang ditimbulkan oleh perbedaan tersebut.
Perbandingan Teori Naskh Imam As-Syafi'i dan Imam-Imam Lain Dan Implikasi-Implikasi Hukum Yang Ditimbulkan Oleh Teori Tersebut
Imam As-Syafi'i Imam-Imam Lain Implikasi Hukum Naskh sebagai taraka Naskh sebagai izalah Jika naskh diartikan
sebagai sebuah pencabutan dan penghapusan sebuah dalil hukum (naskh sebagai izalah) yang tidak mungkin dapat lagi dioperasionalkan seperi yang dikembangkan oleh para ulama ushul maka teori naskh yang berciri seperti ini tidak relevan dalam upaya pembaharuan dan reaktualisasi hukum Islam. Alasannya ialah pendapat ulama ushul dengan kategori pertama ini (naskh sebagai izalah)
sebenarnya bertentangan dengan teori ushul fiqih yang lain yaitu teori tadrij dalam penetapan hukum. Teori tadrij-seperti yang kita pahami-menghendaki hukum itu dilaksanakan secara bertahap dan sesuai dengan kemampuan si penerima pesan hukum atau orang yang diberi beban hukum (mukallaf).
Naskh transformatif Naskh sebagai raf'un Berbeda dengan
pengertian naskh yang diberikan oleh ulama ushul yang mengidentikkan naskh sebagai izalah, ibthal atau raf'un hukum, Imam As-syaf'i memberikan definisi naskh yang lebih dekat ke makna naskh sebagai pengalihan (tahwil) atau perpindahan (naql) dari satu hal ke hal lain. Imam As-Syafi'i lebih memilih lafadz taraka dari pada izalatul ahkam Perpindahan dari satu dalil hukum ke dalil hukum yang lain akibat adanya perbedaan tuntutan kemashlahatan dan perbedaaan kondisi yang melingkupi si mukallaf sebagai orang yang diberi beban hukum memiliki dasar yang cukup di dalam nash. Dari definisi ini terlihat perbedaan pemikiran Imam As-Syafi'i tentang nasikh mansukh dengan para ulama ushul lainnya. Imam As-Syafi'i lebih memilih memakai kata taraka (bukan izalah, raf'un atau ibthal yang dekat ke makna i'dam (peniadaan) seperti yang lazim digunakan oleh para ulama ushul). Dari segi bahasa pemilihan kata taraka ini memiliki pengaruh yang luas dalam memberikan pengertian
apa sebenarnya naskh itu. Lafadz izalah, rafun atau ibthal sepeti yang dipergunakan oleh para ulama ushul bermakna penghapusan hukum secara mutlak karena lafadz izalah, rafun dan ibthal memiliki kedekatan makna dengan lafadz i'dam. Dan lafadz i'dam itu sendiri bermakna peniadaan yang jika kata ini dipergunakan untuk mendefinisikan naskh maka artinya ialah peniadaan hukum. Sedang lafadz taraka–seperti yang dipergunakan oleh Imam As-Syafi'i untuk mendefinisikan naskh-lebih bermakna "meninggalkan" namun tidak tertutup sama sekali untuk diambil, digunakan dan dioperasionalkan kembali. Karena sesuatu yang ditinggalkan itu bisa jadi tetap berwujud dan tidak sirna secara mutlak.
Naskh substitutif Naskh eliminatif Teori naskh inipun
kemudian berimplikasi sangat luas pada pembentukan fiqih yang terumus dalam kitab-kitab fiqih dengan selalu menempatkan posisi non muslim di bawah muslim. Dalam kitab-kitab fiqih klasik, yang sebagian besarnya ditulis di masa kejayaan Islam, para pengarangnya selalu mendudukkan umat non muslim sebagai bangsa yang harus mendapat perlindungan dari umat muslim. Bila mereka berlindung di Negara Muslim mereka diharuskan membayar jizyah. Dan inilah yang tergambar dalam kitab-kitab fiqih klasik yang kita warisi sampai hari ini. Dengan
memilih lafadz taraka, Imam As-Syafi'i sebenarnya lebih mendekatkan makna naskh ke lafadz naql (pindah), tahwil (pengalihan) atau tabdil (penggantian). Diantara tiga lafadz ini yang paling dekat ke makna taraka adalah naql. Karena kata taraka (meninggalkan) secara langsung akan merujuk ke kata naql (pindah) sebab meninggalkan sesuatu berarti berpindah dari sesuatu tersebut ke sesuatu yang lain. Pandangan Imam As-Syafi'i ini tentu berbeda dengan pandangan mayoritas ulama ushul yang mendekatkan makna naskh ke izalah sedang izalah itu sendiri berarti i'dam yang berarti peniadaan secara murni. Sedang lafadz taraka yang dekat ke makna naql (pindah) yang dapat berarti sekalipun sesuatu tersebut telah ditinggalkan namun bukan berarti sesuatu tersebut menjadi hilang namun pokok sesuatu tersebut ('ainus syai-nya) masih tetap berwujud.
Naskh sebagai tahwil
Naskh sebagai ibthal Nasikh mansukh dalam
ayat mawarits daapat kita angkat sebagai contoh. Disinilah letak relevansi teori naskh Imam As-Syafi’i. Dalam contoh diatas sebenarnya kita telah “meninggalkan” hukum waris dengan “beralih” pada hukum wakaf karena memang terdapat alasan untuk melakukan perpindahan tersebut. Inilah yang kita sebut naskh sebagai taraka, tabdil, tahwil atau naql.
Catatan: Istilah-istilah naskh substitutif, naskh eliminatif dan naskh transformatif
Peneliti kutip dari skripsi M. Firdaus (2003) yang berjudul: Membongkar Formalisasi Islam (Sebuah Upaya Rekonstruksi Fiqh Islam Tradisional)
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Setelah melakukan pendalaman, peneliti menyimpulkan bahwa teori naskh
Imam As-Syafi’i masih berlaku untuk konteks ke-Indonesia-an dengan pertimbangan
beragamnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap agamanya sendiri, tingkat
pengamalan ajaran agama yang berbeda-beda dan perbedaan budaya yang dari satu
daerah ke daerah lain dalam lingkup teritorial negara Indonesia yang harus di
apresiasi pula, juga termasuk di dalamnya masalah hubungan muslim dengan non
muslim yang kerap menjadi isu hangat di Indonesia ini.
Naskh adalah satu teori dalam ushul fiqih yang khusus digunakan untuk
menyelesaikan pertentangan antar dalil. Naskh memiliki empat arti yaitu naskh
sebagai izalah, naskh sebagai tabdil, naskh sebagai tahwil dan naskh sebagai naql.
Naskh dalam istilah ulama ushul ialah pembatalan pengamalan satu dalil hukum
syar'iy dengan dalil lain yang disertai dengan adanya tenggang waktu antara
keduanya yang menunjukkan atas pembatalannya baik dengan cara jelas maupun
samar, baik pembatalan itu keseluruhan maupun pembatalannya hanya pada
sebagiannya saja yang dituntut oleh adanya suatu kemashlahatan.
Walaupun naskh itu memiliki empat alternatif arti namun pengertian naskh
sebagai izalah adalah makna naskh yang dianggap tepat oleh ulama ushul untuk
mendefinisikan naskh dalam istilah kajian ushul fiqih. Izalah itu sendiri bermakna
i'dam yang dapat berarti peniadaan. Peniadaan yang dimaksud oleh ulama ushul
dalam dalil-dalil syar'iy bisa bermakna peniadaan teks (izalatut tilawah) atau
peniadaan kandungan hukum (izalatul ahkam) dalil itu saja. Dalam melihat teori
naskh ini, ulama ushul terbagi ke dalam dua golongan. Sebagian ulama ushul ada
yang menolak teori naskh dan sebagian ulama yang lain menerima eksistensi teori
naskh dalam ushul fiqih sebagai alternatif terakhir untuk menyelesaikan pertentangan
antar dalil hukum.
Peneliti sendiri tidak terjebak dalam perdebatan antara menerima dan
menolak teori naskh ini. Peneliti mengajukan pendapat yang perlu dilakukan adalah
melakukan redefinisi terhadap teori naskh. Yang semula naskh itu identik dengan
izalah (baik itu izalatut tilawah maupun izalatul ahkam) ke makna naskh sebagai
tahwil atau naql. Sehingga pengertian teori naskh itu digeser dari naskh sebagai
izalah ke naskh sebagai tahwil atau naql. Naskh dalam pengertian yang terakhir ini
dapat didefinisikan sebagai peralihan hukum (tahwilul ahkam) atau perpindahan
hukum (naqlul ahkam) dari satu dalil ke dalil ke dalil yang lain karena ada mashlahat
bagi umat yang menuntut mujtahid untuk melakukan perpindahan atau peralihan
hukum tersebut.
Imam As-Syafi'i sendiri mendefinisikan naskh bukan sebagai izalatut tilawah
atau izalatul ahkam tapi naskh sebagai meninggalkan satu kefardhuan (tarku
fardhin). Definisi naskh seperti yang diberikan oleh Imam As-Syafi’i lebih
mendekati kebenaran dan dapat diterapkan pada kondisi umat sekarang yang
menuntut seorang praktisi hukum Islam untuk melakukan perpindahan hukum itu.
Pertentangan antar dalil itu terjadi karena adanya perbedaan kondisi ketika
wahyu itu diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw yang membuat kesan-ketika
wahyu tersebut telah terkodifikasi dalam satu kesatuan teks-saling bertentangan. Hal
ini terjadi karena memahami wahyu itu bukan sebagai sebuah proses tapi sebagai
sebuah satu kesatuan teks (jumlatan wahidatan). Naskh itu sendiri jika dimaknai
sebagai sebuah izalatut tilawah bertentangan dengan kesepakatan seluruh umat Islam
baik yang hidup di masa lampau maupun sekarang bahwa Al-Qur'an yang sampai
kepada kita hari ini adalah sama persis seperti apa yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad Saw kemudian dijaga para sahabat kemudian disampaikan kepada kita
dengan jalan mutawatir tanpa ada pengurangan, penambahan atau penggantian
sedikitpun. Dan jika naskh diartikan sebagai izalatul ahkam bertentangan dengan
teori tadrij dalam ushul fiqih yang menghendaki hukum itu diterapkan bertahap.
Sedang naskh sebagai izalatul ahkam telah memotong proses panjang penetapan
hukum ini dengan hanya mengamalkan dalil-dalil yang turun di masa-masa akhir
pewahyuan. Disinilah letak pentingnya melakukan redefinisi terhadap naskh dengan
cara berpindah ke makna lain naskh dari naskh sebagai izalah ke naskh sebagai
tahwil atau naql.
B. SARAN-SARAN
Hendaknya, seorang mujtahid atau praktisi hukum Islam dalam memahami
dalil-dalil syari'iy ditopang oleh pengetahuan tentang sejarah kenabian, sejarah
penetapan hukum dan sejarah pembinaan hukum Islam yang lengkap. Terutama
sejarah penetapan dan pembinaan hukum ketika masa kenabian masih berlangsung.
Ini untuk menyokong pengetahuan lainnya yaitu pengetahuan tentang kebahasaan.
Sebab jika tidak menguasai pengetahuan sejarah ini dengan baik, maka pemahaman
yang tertanam didalam benak adalah pemahaman dalil yang terlepas dari proses.
Melihat Al-Qur'an bukan sebagai sebuah proses tetapi sebagai sebuah kitab satu
kesatuan yang seakan-akan diturunkan dalam bentuk jumlatan wahidatan.
Pengetahuan sosiologi dan antropologi juga penting dikuasai oleh seorang
mujtahid atau praktisi hukum Islam. Terutama kondisi sosial Arab pada masa
kenabian. Seperti yang digambarkan pada Bab Analisis adakalanya Nabi Muhammad
Saw memberi putusan hukum bukan semata-mata dari wahyu Allah yang
diwahyukan padanya namun juga melalui wahyu Allah Swt yang telah tertulis di
dalam kitab Taurat. Ini terjadi dalam masalah hukum rajam pada pezina. Ayatnya
telah terdapat dalam kitab Taurat dan Nabi Saw menyuruh orang-orang untuk
mengamalkan ketentuan rajam yang masih tertulis di kitab Taurat tersebut.
Hendaknya seorang mujtahid atau praktisi hukum Islam mengamalkan satu
dalil hukum dalam konteksnya masing-masing dengan memperhatikan tiga segi yaitu
bagaimana kondisi yang mengiringi dalil tersebut diturunkan, bagaimana kondisi si
penerima pesan hukum dan bagaimana situasi dan kondisi hidup si penerima pesan
hukum tersebut.
Di akhir penelitian ini peneliti menyarankan agar dilakukan penelitian
lanjutan dari penelitian ini yaitu penelitian yang berkisar di sekitar pertanyaan
mengapa mayoritas ulama ushul lebih memilih mengartikan naskh sebagi izalah
bukan naskh sebagai naql, tahwil atau tabdil.
DAFTAR PUSTAKA Kitab atau Buku-buku Al-Qur'an Al-Karim. Abdussalam, Ahmad Nahrawi (1994) Al-Imam As-Syafi'i: Fi Madzhabihi Al-Qadimi
Wa-Al-Jadidi. t.t: t.p Abdul Qadir, Muhammad bin (t.thn) Manaqib Al-Imam As-Syafi'i. Kediri:
Muhammad Utsman Abu Zahrah, Muhamad (1999) Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus Al-Amidy, Saifuddin Abi Hasan Ali bin Abi Ali bin Muhammad (1996) Al-Ihkam Fi
Ushul Al-Ahkam Jilid II, Juz III. Beirut: Darul Fikr Al-Ghazy, Muhammad Bin Qasim (2005) Fathul Qarib Mujib. Indonesia: Haramain Al-Kaylani As-Syafi'i Al-Makky, Husain Bin Ahmad Bin Muhammad (1999) At-
Tahqiqat. t.t: Darun Nafais Al-Mahally, Jalaluddin (t.thn) Al-Waraqat Fi Ushul Al-Fiqh dalam matan Hasyiah
Ad-Dimyati Ala Syarhil Waraqat karya Ahmad Bin Muhammad Ad-Dimyati. Indonesia: Al-Haramain
Al-Malibary, Zainuddin Bin Abdil Aziz (t.thn) Fathul Mu'in bi Syarhi Qurratil 'Ain.
Surabaya: Nurul Huda Ali Qudsi, Abdul Hamid bin Muhammad (t.thn) Lathaiful Isyarat. Surabaya: Al-
Hidayah Anas, Malik bin (2007) Al-Muwattha' Imam Malik. Pustaka Azzam: Jakarta Amini, Zulina (2005) Studi Perbandingan Antara Konsep Kalalah Dalam Perspektif
Imam Al-Syafi'i Dan Hazairin. UIN Malang: Skrpsi As-Syafi'i, Abi Abdullah Muhammad Bin Idris (t.thn) Ar-Risalah. t.t: t.p As-Suyuti, Jalaluddin (t.thn) Al-Itqan Fi Ulum Al-Qur’an. Beirut: Darul Fikr ----- (1992) Lubabun Nuqul Fi Asbabin Nuzul diterjemahkan oleh Qamaruddin
Shaleh, HAA. Dahlan dan M.D. Dahlan dengan judul Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur'an. Bandung: CV. Diponegoro
Baidowi, Ahmad (2005) Mengenal Thabathaba'i: Dan Kontroversi Nasikh Mansukh.
Bandung: Nuansa
Bilal Philips, Abu Ameenah (2005) Asal-usul dan Perkembangan Fiqh: Analisis
Historis atas Madzhab, Doktrin dan Kontribusi. Bandung: Nusamedia Bisri, Cik Hasan (2004) Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam Dan Pranata Sosial.
Jakarta: Rajawali Pers Firdaus, (2004) Ushul Fiqih: Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam Secara
Komprehensif. Jakarta: Zikrul Hakim Fuad, Mahsun (2005) Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga
Emansipatoris. Yogyakarta: LKiS Ibn Hazm, Abu Abdullah Muhammad (t.thn) Kitab Fi Ma’rifah An-Nasikh Wa
Mansukh dalam catatan pinggir kitab Tanwirul Miqbas Min Tafsir Ibnu Abbas karya Abu Thahir Muhammad Bin Ya’qub Al-Fairuzzabadi As-Syairazy As-Syafi'i. Surabaya: Al-Hidayah
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin (2005) Kamus Ilmu Ushul Fikih. t.t:
Amzah Khalaf, Abdul Wahab (2004) Ilmu Ushul Fiqh. Indonesia: Al-Haramain, 2004 Masduqi, Irwan (t.thn) "http://bp3.blogger.com/_ErBYsDi-, (Diakses pada 13 April
2008) Munawwir, A.W (1997) Kamus Al-Munawwir: Arab-Indonesia Terlengkap.
Surabaya: Pustaka Progressif Nasution, S (2006) Metode Research: Penelitian Ilmiah. Jakarta: Bumi Aksara Nazir, Moh (2005) Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia Ramulyo, Mohd Idris (2004) Asas-asas Hukum Islam: Sejarah Timbul dan
Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika
Rosyada, Dede (1999) Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: Raja Grafindo
Persada Syarifuddin, Amir (1997) Ushul Fiqh. Ciputat: Logos Wacana Ilmu Soekanto, Soerjono (1986) Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI. Press Rusli, Nasrun (1999) Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya Bagi Pembaruan
Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Yafie, Ali (1995) “Nasikh Mansukh Dalam Al-Qur’an,” dalam Budhy Munawar Rachman (ed.) et.Al., Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina
Jurnal dan Ensiklopedia Willya, Evra (2005) "Nasikh Dan Mansukh," El Qisth. t.t: t.p Abdul Azis Dahlan (ed.) et.al., Pembaruan Hukum Islam dalam Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. 4: Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996 Abdul Azis Dahlan (ed.) et.al., Reaktualisasi Hukum Islam dalam Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. 5: Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996
DEPARTEMEN AGAMA RI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MALANG
JURUSAN SYARI’AH Jl. Gajayana 50 Telp. 0341-553477 Fax. 0341-572553
BUKTI KONSULTASI
Nama Mahasiswa : Ahmad Hasanuddin Berutu NIM : 04210001 Pembimbing : Dra. Hj. Tutik Hamidah M.Ag Judul Skripsi :
TEORI NASIKH MANSUKH IMAM AS-SYAFI’I DAN RELEVANSINYA DALAM PEMBAHARUAN FIQIH DI INDONESIA
(Sebuah Kajian Ushul Fiqih)
No TANGGAL MATERI KONSULTASI TANDA TANGAN PEMBIMBING
1 10 Maret 2008 Konsultasi Proposal
2 15 Maret 2008 Seminar Proposal
3 7 April 2008 Konsultasi Bab I
4 23 April 2008 Revisi Bab I
5 15 Mei 2008 Konsultasi Bab I, II
6 29 Mei 2008 Revisi Bab I, II
7 18 Juni 2008 Konsultasi Bab I, II, III, IV
8 25 Juni 2008 Revisi Bab I, II, III, IV
9 8 Juli 2008 Revisi Bab I, II, III, IV
10 24 Juli 2008 ACC Bab I, II, III, IV
Mengetahui
Dekan Fakultas Syari'ah
Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag
NIP. 150 216 425
Top Related