BAB II PEMBAHASAN
Sindrom Koroner Akut
Definisi
Sindrom koroner akut adalah sekumpulan manifestasi (keluhan dan tanda klinis)
yang sesuai dengna iskemia dan miokardium akut. Sindrom koroner akut merupakan suatu
spektrum dalam perjalanan penderita penyakit jantung koroner (aterosklerosis koroner).
Sindrom koroner akut dapat berupa:1
Angina pektoris tidak stabil
Infark miokard dengan non-ST elevasi
Infark miokard dengan ST elevasi
Kematian jantung mendadak
Epidemiologi
Sindrom koroner akut adalah kegawatan kardiovaskular yang merupakan penyebab
utama kematian. Kematian terbanyak terjadi di luar rumah sakit. Kematian terjadi sebelum
pasien sampai di rumah sakit berhubungan dengan aritmia maligna (VF/VT). Banyak
kejadian terjadi dalam 4 jam pertama setelah awal serangan. Kematian di rumah sakit lebih
banyak berhubungan dengan menurunnya curah jantung termasuk gagal jantung kongestif
dan syok kardiogenik. Kematian berhubungan pula dengan luasnya infark miokard. Oleh
karena itu, upaya membatasi luas infark akan enurunkan mortalitas.2
Prevalensi nasional penyakit jantung adalah 7,2 % berdasarkan hasil Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) Indonesia tahun 2007 oleh Departemen Kesehatan RI. Penyakit jantung
iskemik menduduki urutan ke tiga (8,7 %) sebagai penyebab kematian di daerah perkotaan.
Data di Amerika Serikat mnunjukkan bahwa 7-8 juta penderita datang ke Unit Gawat
Darutat dengan keluhan dada tidak enak. Lebih dari 2 juta (25%) nya didiagnosis sebagai SKA
(angina tidak stabil dan infark miokard akut-IMA). Dari jumlah tersebut sekitar 500 ribu
penderita menjalani rawat inap dengan diagnois angina tidak stabil dan 1,5 juta penderita
1
mengalami infark miokard akut. Dari 1,5 juta penderita IMA kira-kira 500 ribu meninggal
dunia. Diantara jumlah tersebut 250 ribu mati mendadak dalam satu jam pertama sejak
mulai serangan jantung.3
Pengobatan terkini dalam dua dekade terakhir pada penderita SKA mengalami
kemajuan dramatis dibanding era sebelumnya sehingga banyak menyelamatkan dan
memperbaiki kwalitas hidup penderita. Hal ini berkat terapi reperfusi cepat (fibrinolitik dan
intervensi koroner akut-PCI) untuk membuka sumbatan atau oklusi arteri koroner. Kunci
penting untuk mencapai hal tersebut adalah kecepatan dan ketepatan diagnosis serta terapi
dini (SKA) dan hal ini sangat tergantung pada masyarakat dan profesionalisme tenaga
kesehatan. 3
Faktor Resiko
Secara garis besar terdapat dua jenis factor resiko bagi setiap orang untuk terkena
AMI, yaitu factor resiko yang bisa dimodifikasi dan factor resiko yang tidk bisa dimodifikasi.1
a. Faktor Resiko Yang Dapat Dimodifikasi
Merupakan faktor resiko yang bisa dikendalikan sehingga dengan intervensi tertentu
maka bisa dihilangkan. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya:
Merokok
Peran rokok dalam penyakit jantung koroner ini antara lain: menimbulkan
aterosklerosis; peningkatan trombogenesis dan vasokontriksi; peningkatan
tekanan darah; pemicu aritmia jantung, meningkatkan kebutuhan oksigen
jantung, dan penurunan kapasitas pengangkutan oksigen
Merokok 20 batang rokok atau lebih dalam sehari bisa meningkatkan resiko
2-3 kali disbanding yang tidak merokok.
Konsumsi alcohol
Meskipun ada dasar teori mengenai efek protektif alcohol dosis rendah
hingga moderat, dimana ia bisa meningkatkan trombolisis endogen,
mengurangi adhesi platelet, dan meningkatkan kadar HDL dalam sirkulasi,
akan tetapi semuanya masih controversial
2
Tidak semua literature mendukung konsep ini, bahkan peningkatan dosis
alcohol dikaitkan dengan peningkatan mortalitas cardiovascular karena
aritmia, hipertensi sistemik dan kardiomiopati dilatasi.
Infeksi
Infeksi Chlamydia pneumoniae, organisme gram negative intraseluler dan
penyebab umum penyakit saluran perafasan, tampaknya berhubungan
dengan penyakit koroner aterosklerotik
Hipertensi sistemik.
Hipertens sistemik menyebabkan meningkatnya after load yang secara tidak
langsung akan meningkan beban kerja jantung. Kondisi seperti ini akan
memicu hipertropi ventrikel kiri sebagai kompensasi dari meningkatnya after
load yang pada akhirnya meningkatan kebutuhan oksigen jantung.
Obesitas
Terdapat hubungan yang erat antara berat badan, peningkatan tekanan
darah, peningkatan kolesterol darah, DM tidak tergantung insulin, dan tingkat
aktivitas yang rendah.
Kurang olahraga
Aktivitas aerobic yang teratur akan menurunkan resiko terkena penyakit
jantung koroner, yaitu sebesar 20-40 %.
Penyakit Diabetes
Resiko terjadinya penyakit jantung koroner pada pasien dengan DM sebesar
2- 4 lebih tinggi dibandingkan orang biasa.
Hal ini berkaitan dengan adanya abnormalitas metabolisme lipid, obesitas,
hipertensi sistemik, peningkatan trombogenesis (peningkatan tingkat adhesi
platelet dan peningkatan trombogenesis).
b. Faktor Resiko Yang Tidak Dapat Dimodifikasi1
Merupakan factor resiko yang tidak bisa dirubah atau dikendalikan, yaitu
diantaranya:
3
Usia
Resiko meningkat pada pria datas 45 tahun dan wanita diatas 55 tahun
(umumnnya setelah menopause)
Jenis Kelamin
Morbiditas akibat penyakit jantung koroner (PJK) pada laki-laki dua kali lebih
besar dibandingkan pada perempuan, hal ini berkaitan dengan estrogen
endogen yang bersifat protective pada perempuan.
Hal ini terbukti insidensi PJK meningkat dengan cepat dan akhirnya setara
dengan laki pada wanita setelah masa menopause
Riwayat Keluarga
Riwayat anggota keluarga sedarah yang mengalami PJK sebelm usia 70 tahun
merupakan factor resiko independent untuk terjadinya PJK.
Agregasi PJK keluarga menandakan adanya predisposisi genetic pada keadaan
ini.
Terdapat bukti bahwa riwayat positif pada keluarga mempengaruhi onset
penderita PJK pada keluarga dekat
RAS
Insidensi kematian akiat PJK pada orang Asia yang tinggal di Inggris lebih
tinggi dibandingkan dengan peduduk local, sedangkan angka yang rendah
terdapat pada RAS apro-karibia
Geografi
Tingkat kematian akibat PJK lebih tinggi di Irlandia Utara, Skotlandia, dan
bagian Inggris Utara dan dapat merefleksikan perbedaan diet, kemurnian air,
merokok, struktur sosio-ekonomi, dan kehidupan urban.
Tipe kepribadian
Tipe kepribadian A yang memiliki sifat agresif, kompetitif, kasar, sinis, gila
hormat, ambisius, dan gampang marah sangat rentan untuk terkena PJK.
Terdapat hubungan antara stress dengan abnnormalitas metabolisme lipid.
4
Kelas social
Tingkat kematian akibat PJK tiga kali lebih tinggi pada pekerja kasar laki-laki
terlatih dibandingkan dengan kelompok pekerja profesi (missal dokter,
pengacara dll).
Selain itu frekuensi istri pekerja kasar ternyata 2 kali lebih besar untuk
mengalami kematian dini akibat PJK dibandingkan istri pekerja
professional/non-manual.
ETIOLOGI1
Intinya AMI terjadi jika suplai oksigen yang tidak sesuai dengan kebutuhan tidak tertangani
dengan baik sehingga menyebabkab kematian sel-sel jantung tersebut. Beberapa hal yang
menimbulkan gangguan oksigenasi tersebut diantaranya:
1. Berkurangnya suplai oksigen ke miokard.
Menurunya suplai oksigen disebabkan oleh tiga factor, antara lain:
a. Faktor pembuluh darah
Hal ini berkaitan dengan kepatenan pembuluh darah sebagai jalan darah
mencapai sel-sel jantung. Beberapa hal yang bisa mengganggu kepatenan
pembuluh darah diantaranya: atherosclerosis, spasme, dan arteritis.
Spasme pembuluh darah bisa juga terjadi pada orang yang tidak memiliki riwayat
penyakit jantung sebelumnya, dan biasanya dihubungkan dengan beberapa hal
antara lain: (a) mengkonsumsi obat-obatan tertentu; (b) stress emosional atau
nyeri; (c) terpapar suhu dingin yang ekstrim, (d) merokok.
b. Faktor Sirkulasi
Sirkulasi berkaitan dengan kelancaran peredaran darah dari jantung keseluruh
tubuh sampai kembali lagi ke jantung. Sehingga hal ini tidak akan lepas dari
factor pemompaan dan volume darah yang dipompakan. Kondisi yang
menyebabkan gangguan pada sirkulasi diantaranya kondisi hipotensi. Stenosis
maupun isufisiensi yang terjadi pada katup-katup jantung (aorta, mitrlalis,
maupun trikuspidalis) menyebabkan menurunnya cardac out put (COP).
5
Penurunan COP yang diikuti oleh penurunan sirkulasi menyebabkan bebarapa
bagian tubuh tidak tersuplai darah dengan adekuat, termasuk dalam hal ini otot
jantung.
c. Faktor darah
Darah merupakan pengangkut oksigen menuju seluruh bagian tubuh. Jika daya
angkut darah berkurang, maka sebagus apapun jalan (pembuluh darah) dan
pemompaan jantung maka hal tersebut tidak cukup membantu. Hal-hal yang
menyebabkan terganggunya daya angkut darah antara lain: anemia, hipoksemia,
dan polisitemia.
2. Meningkatnya kebutuhan oksigen tubuh
Pada orang normal meningkatnya kebutuhan oksigen mampu dikompensasi
diantaranya dengan meningkatkan denyut jantung untuk meningkatkan COP. Akan tetapi
jika orang tersebut telah mengidap penyakit jantung, mekanisme kompensasi justru pada
akhirnya makin memperberat kondisinya karena kebutuhan oksigen semakin meningkat,
sedangkan suplai oksigen tidak bertambah.
Oleh karena itu segala aktivitas yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan
oksigen akan memicu terjadinya infark. Misalnya: aktivtas berlebih, emosi, makan terlalu
banyak dan lain-lain. Hipertropi miokard bisa memicu terjadinya infark karea semakin
banyak sel yang harus disuplai oksigen, sedangkan asupan oksien menurun akibat dari
pemompaan yang tidak efektive.
Patofisiologi2
Ruptur plak
Ruptur plak aterosklerosis dianggap penyebab terpenting angina pektoris tak stabil,
sehinggga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang
sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Dua pertiga dari pembuluh yang
mengalami ruptur sebelumnya mempunyai penyempitan 50% atau kurang, dan pada 97%
pasien dengan angina tak stabil mempunyai penyempitan kurang dari 70%. Plak
aterosklerotik terdiri dari inti yang mngandung banyak lemak dan pelindung jaringan
6
fibrotik. Plak yang tidak stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung lemak dan adanya
infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima
yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada
dinding plak yang paling lemah karena adanya enzim protease yang dihasilkan makrofag dan
secara enzimatik melemahkan dinding plak (fibrous cap).
Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan
menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100%
akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST sedangkan bila trombus tidak menyumbat
100% dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil.
Trombosis dan agregasi trombosit
Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar terjadinya
angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu disebabkan karena interkasi
yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag dan kolagen. Inti lemak merupakan
bahan terpenting dalam pembentukan trombus yang kaya trombosit sedangkan sel otot
polos dan sel busa (foam sel) yang ada dalam plak berhubungan dengan ekspresi faktor
jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan
berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan
pembentukan trombin dan fibrin.
Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet dan platelet
melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokontriksi dan
pembentukan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam perubahan
terjadinya hemostase dan koagulasi yang berperan dalam memulai trombosis yang
intermitten, pada angina tak stabil.
Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak stabil. Spasme
yang terjadi bisa dipicu oleh beberapa hal antara lain: mengkonsumsi obat-obatan tertentu;
stress emosional; merokok; dan paparan suhu dingin yang ekstrim
7
Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet
berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasme.
Spasme yang terlokalisir seperti pada angina Printzmetal juga dapat menyebabkan angina
tak stabil. Adanya spasme sering terjadi pada plak yang tak stabil sehingga bisa
menimbulkan oklusi kritis, dan mempunyai peran dalam pembentukan thrombus.
Erosi pada plak tanpa ruptur
Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya proliferasi dan
migrasi dari otot polos sehingga reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan
bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan
pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemia.
8
Manifestasi Klinis1
Angina pektoris (Nyeri Dada)
Angina pektoris adalah rasa nyeri yang timbul karena iskemia miokardium. Biasanya
mempunyai karakteristik tertentu:
Lokasi nyeri
o Lokasi: substernal, retrosternal, dan prekordial
o Penjalaran: biasanya ke leher, rahang bawah, gigi, bahu kiri sampai dengan
lengan kiri dan jari-jari bagian ulnar, punggung/pundak kiri interskapula, dan
perut.
Kualitas nyeri
o Sifat Nyeri: Biasanya merupakan nyeri yang tumpul seperti rasa tertindih
benda berat di dada, rasa desakan yang kuat dari dalam atau dari bawah
diafragma atau dada mau pecah, seperti diremas-remas/ rasa diperas,
ataupun seperti ditekan, rasa terbakar, atau dipelintir.
o Biasanya pada keadaan yang berat dapat disertai keringat dingin dan sesak
nafas serta rasa takut mati.
9
o Tidak jarang pasien mengatakan bahwa ia hanya merasa tidak enak di
dadanya.
o Nyeri juga dapat dipresipitasi oleh stres fisik ataupun emosional.
o Biasanya bukan nyeri yang tajam, seperti rasa ditusuk-tusuk atau diiris
sembilu, dan bukan pula rasa mules.
o Nyeri tidak berhubungan dengan gerakan pernafasan atau gerakan dada ke
kiri dan kekanan.
Kuantitas nyeri
o Nyeri berlangsung selama >20 menit.
o Nyeri berbersifat hilang timbul dengan intensitas yang makin bertambah atau
berkurang sampai terkontrol.
o Nyeri yang berlangsung terus menerus sepajang hari, bahkan berhari-hari
biasanya bukanlah nyeri angina pektoris.
o Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat.
Gradasi beratnya nyeri dada telah dibuat oleh Canadian Cardiovascular Society sebagai
berikut:
Class I
Aktivitas sehari-hari seperti jalan kaki, berkebun, naik tangga 1-2 lantai dan lain-lain
tak menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada baru timbul pada latihan yang berat, berjalan cepat
serta terburu-buru waktu kerja atau berpergian.
Class II
Akivitas sehari-hari agak terbatas, misalnya Angina pectoris timbul bila melakukan
aktivitas lebih berat dari biasanya. Seperti jalan kaki 2 blok, naik tangga lebih dari 1 lantai
atau terburu-buru, berjalan menanjak atau melawan angin dll.
Class III
Aktivitas sehari-hari nyata terbatas. Angina pectoris timbul bila berjalan 1-2 blok, naik
tangga 1 lantai dengan kecepatan biasa.
10
Class IV
Angina pectoris timbul saat istirahat sekalipun. Hampir semua aktifitas dapat
menimbulkan angina, termasuk mandi, menyapu, dll.
Pemeriksaan fisik
Pada pasien dengan angina pectoris tak stabil pada pemeriksaan jasmani seringakali
tidak ada gambaran yang khas.
Pada sebagian besar pasien dengan STEMI penderita terlihat cemas dan tidak bisa
istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas pucat disertai kerngat dingin. Kombinasi nyeri dada
substernal > 30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat
pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia
dan/atau hipertensi) dan hampir setengah pasien infark anterior infark inferior
menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi).
Tanda fisik lain pada disfungsi ventrikular adlah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas
bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan
murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena disfungsi
aparatus katup mitral dan perikardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 380 C dapat
dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI.
Pemeriksaan Penunjang1
ELEKTROKARDIOGRAM
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semu pasien dengan nyeri dada
atau keluhan yang dicurigai sindrom koroner akut. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera
dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan
dalam menentukan keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi
segmen ST atau depresi segmen ST dapat menentukan perlu tidaknya dilakukan terapi
reperfusi.
11
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi
menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q.
Sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi trombus
tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak
ditemukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pektoris tak
stabil atau non STEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa
menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q.
PETANDA (BIOMARKER) KERUSAKAN JANTUNG
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinie kinase (CK) MB dan cardiac spescific
troponin (cTn)T atau cTn1 dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda
optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini
juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi
reperfusi diberikan sesegera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker.
Peningkatan nilai enzim diatas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada
nekrosis jantung (infark miokard).
• CKMB : meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Contoh: Op. Jantung, miokarditis dan
kardioversi elektrik.
• cTn : ada 2 jenis cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada infark
miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat di deteksi
setelah 5-14 hari, sedang cTn I setelah 5-10 hari.
• Mioglobin : dapat di deteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8
jam.
• Creatinin kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
• Lactic dehydrogenase (LDH) : meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard
mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
12
Diagnosis
• Anamnesa
• EKG (adanya ST Elevasi ≥2 mm, minimal pada 2 sadapan prekordial yang
berdampingan atau ≥1 mm pada 2 sadapan ekstremitas.
• Pemeriksaan enzim jantung:
– Cardiac Spesific Troponin (CnT)T ↑
– Creatinin Kinase CK-MB ↑
Penatalaksanaan
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada,
penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian anti
trombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang tatalaksana komplikasi IMA.4
13
TATALAKSANA SKA DIBAGI DUA:2
Tatalaksana Pre Rumah Sakit
Tatalaksana Rumah Sakit
Pre Hospital:
Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi.
14
Monitoring dan amankan ABC. Persiapkan RJP dan defibrilasi.
Berikan Aspirin, dan pertimbangkan oksigen, nitrogliserin dan morfin jika diperlukan
Pemeriksaan EKG 12 sadapan dan interpretasi hasil
Lakukan pemberitahuan ke Rumah Sakit untuk melakukan persiapan penerimaan
pasien dengan STEMI
Bila akan diberikan Fibrinolitik Pre Hosspital, lakukan check list terapi Fibrinolitik.
Hospital:
Ruang Gawat Darurat
Penilaian awal di IGD (<10 menit)
15
Cek tanda vital, evaluasi saturasi oksigen
Pasang intravena
Lakukan anamnesa singkat, terarah, dan pemeriksaan fisik
Lengkapi check list Fibrinolitik, cek kotraindikasi
Lakukan pemeriksaan enzim jantung, elektrolit, dan pembekuan darah
Pemeriksaan sinar X (<30 menit setelah pasien sampai di IGD)
Terapi awal di IGD
Segera berikan oksigen 4L/menit kanul nasal, pertahankan saturasi oksigen >90%
Berikan Aspirin 160-325mg
Nitrogliserin sublingual atau semprot
Morfin intravena jika nyeri dada tidak berkurang dengan nitrogliserin
Terapi Reperfusi pada STEMI2
Reperfusi pada pasien SKA akan mengembalikan aliran koroner pada arteri yang
berhubungan dengan area infark, mngurangi ukuran infark, dan menurunkan mortalitas
jangka panjang. Fibrinolitik berhasil mengembalikan aliran normal koroner pada 50-60%
kasus. Sedangkan Percutaneous Coronary Intervension (PCI) dapat mengembalikan aliran
normal sampai 90% kasus, dan manfaat ini lebih besar didapatkan pada paien dengan syok
kardiogenik. PCI juga menurunkan resiko perdarahan intrakranial dan stroke. Pada SKA
STEMI dan LBBB baru atau dugaan baru, sebelum melakukan terapi reperfusi harus
dilakukan evaluasi sebagai berikut:
• Langkah 1:
– Nilai waktu onset serangan
– Resiko STEMI
– Resiko fibrinolisis
– Waktu yang diperlukan dari transportasi kepada ahli kepada ahli intervensi
• Langkah 2:
16
– Strategi terapi reperfusi (fibrinolisis atau invasif)
Terapi Fibrinolitik
Pengobatan fibrinolisis lebih awal (door-drug <30menit) dapat membatasi luasnya
infark, fungsi ventrikel normal, dan mengurangi angka kematian. Beberapa jenis obat
fibrinolitik misalnya Alteplase Recombinant (Activase), Reteplase, Tenecplase, dan
Streptokinase (Streptase). Di Indonesia umumnya tersedia Streptokinase, dengan dosis
pemberian sebesar 1,5 juta U, dilarutkan dalam 100cc NaCl 0,9% atau Dextrose 5%,
diberikan secara infus selama 30-60 menit.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada Fibrinolitik adalah:
• Fibrinolitik bermanfaat diberikan pada pasien:
– ST elevasi atau perkiraan LBBB baru
– Infark miokard luas
– Pada usia muda dg resiko perdarahan intraserebral rendah
• Fibrinolitik kurang bermanfaat diberikan pada pasien:
– Onset serangan > 12-24 jam atau infark kecil
– Pasien usian >75 tahun
• Fibrinolitik mungkin berbahaya pada pasien:
– Depresi segmen ST
– Onset >24 jam
– Pada TD tinggi sistol > 175mmHg
Kotraindikasi Relatif Terapi Fibrinolitik
• Tekanan darah yang tidak terkontrol
• TD sistolik > 180mmHg, TD diastolik >110mmHg
17
• Trauma atau RJP lama (>10menit) atau operasi besar <3bln
• Perdarahan internal dalam 2-4minggu
• Penusukan pembuluh darah yang sulit dilakukan penekanan
• Pernah mendapat streptokinase/anistreplase ≥ 5 hari atau riwayat alergi obat tsb (+)
• Hamil
• Ulkus peptikumcaktif
• Sedang menggunakan antikoagulan dengan hasil INR tinggi (drajat pengenceran
darah)
Kontraindikasi Absolut Terapi Fibrinolitik
• Perdarahan intrakranial kapanpun
• Stroke iskemik < 3 bulan dan > 3jam
• Kecurigaan diseksi aorta
• Tumor intrakranial
• Adanya kelainan struktur vaskular serebral (AVM)
• Perdarahan interna aktif atau gangguan sistem pembekuan darah
• Cedera kepala tertutup atau cedera wajah dalam 3 bulan terakhir
Komplikasi
Sindrom koroner akut dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Komplikasi yang paling sering adalah gangguan irama dan gangguan pompa jantung. Gangguan irama dapat bersifat fatal bila menyebabkan henti jantung. Misalnya pada VF atau VT tanpa nadi. Komplikasi gangguan pompa jantung dapat menyebabkan gagal jantung akut.2
Prognosa
18
Berikut klasifikasi Killip dan kaitan dengan mortalitas di RS3
Klas Killip Mortalitas RS (%)I Tidak ada komplikasi 6II HF ringan, ronkhi, S3 17III Edema paru 38IV Syok kardiogenik 81
Risk Skor untuk Infark Miokard dengan Elevasi ST (STEMI)1
Faktor Resiko (bobot) Skor Resiko/Mortalitas 30 hari (%)
Usia 65-74 tahun (2poin) 0 (0,8)
Usia >75 tahun (3 poin) 1 (1,6)
Diabetes mellitus/hipertensi/angina (1 poin) 2 (2,2)
Sistolik <100 mmHg (3 poin) 3 (4,4)
Frekuensi jangtung >100 x/menit (2 poin) 4 (7,3)
Klasifikasi Killip II-IV (2 poin) 5 (12,4)
Berat <67kg (1 poin) 6 (16,1)
Elevasi ST Anterior/LBBB (1 poin) 7 (23,4)
Waktu ke Reperfusi >4jam (1 poin) 8 (26,8)
Skor resiko= total point (0-14) >8 (35,9)
Skor Resiko TIMI untuk angina unsteble angina/STEMI1
Usia ≥ 65 tahun
≥ 3 faktor resiko PJK
Stenosis sebelumnya ≥ 50%
Deviasi ST
≥ 2 kejadian angina ≤ 24jam
Aspirin dalam 7 hariterakhir
Peningkatan petanda jantung
BAB III
19
DAFTAR PUSTAKA
1. PDPDI. 2010. BUKU AJAR ILMU PENYAKIT DALAM. EDISI V. PUSAT PENERBITAN IPD
FKUI: JAKARTA
2. PERKI. 2011. BUKU PANDUAN BANTUAN HIDUP JANTUNG LANJUTAN. EDISI 2011.
PERKI: JAKARTA
3. PERKI. 2010. BUKU PANDUAN BANTUAN HIDUP JANTUNG DASAR. EDISI 2010.
PERKI: JAKARTA
4. AHA. 2010. ACUTE CORONARY SINDROME. AHA: DALLAS
20