Serba Serbi Pengurangan Subsidi BBM
Oleh Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FEUI
1. Meningkatnya Subsidi BBM di Indonesia
Dalam perkembangannya, subsidi BBM semakin meningkat dan memakan porsi cukup besar
dalam anggaran. Terlebih lagi semenjak tahun 2004, produksi minyak Indonesia terus
mengalami penurunan dan menjadikan Indonesia sebagai Net Importir minyak. Hal ini juga
diperparah oleh konsumsi maysrakat semakin tinggi terhadap BBM. Dengan meningkatnya
konsumsi, meningkatnya harga minyak dunia, dan melemahnya rupiah beberapa tahun terakhir,
menjadikan subsidi BBM yang ditanggung semakin besar.
Tingginya subsidi BBM di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa factor, antara lain:
Pertumbuhan Ekonomi yang meningkat
Salah satu faktor penting yang mempengaruhi besaran subsidi BBM adalah konsumsi BBM.
Selama 10 tahun terakhir, konsumsi BBM meningkat dengan pertumbuhan rata-rata 7%
pertahun. Berikut grafik yang menunjukan volume konsumsi BBM dalam beberapa tahun
terakhir:
Semakin tinggi tingkat konsumsi akan semakin tinggi pula besaran anggaran yang harus
disiapkan oleh APBN. Terlebih lagi, subsidi diberikan berdasarkan realisasi, bukan pagu yang
ditetapkan. Oleh karena itu, hampir tiap tahun pagu yang ditetapkan oleh APBN lebih kecil
dibandingkan realisasi. Melesetnya realisasi subsidi disebabkan nilai tukar rupiah yang fluktuatif
dan patokan harga BBM dalam negeri yang lebih tinggi dari harga yang direncanakan. Pada 31
Desember 20131, subsidi energi sudah mencapai Rp 310 triliun atau 103,4 persen dari pagu
APBN-P Rp 299,8 triliun.
Karena subsidi yang sifat pembayarannya adalah berdasar realisasi, maka pemerintah harus
membayar berapapun jumlah subsidi sesuai konsumsi BBM meskipun telah melewati pagu
(acuan batas maksimal) yang ditetapkan APBN.
Salah satu faktor utama meningkatnya konsumsi masyarakat adalah pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang selalu positif dalam 10 tahun terakhir. Dengan pertumbuhan ekonomi yang
semakin meningkat, kebutuhan akan energy semakin meningkat pula. Pertumbuhan dalam sektor
industry memerlukan energy yang lebih banyak pula untuk menopang industry tersebut.
Ekonomi yang lebih maju juga memerlukan mobilitas yang lebih intensif. . Konsumen juga
memerlukan lebih banyak konsumsi BBM karena memiliki kemampuan ekonomi yang lebih
tinggi.
Hasil estimasi yang dilakukan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS)2
dengan model regresi antara tahun 1972-2012 memberikan angka elastisitas sebesar 1.8 untuk
PDB Riil. Hal ini menunjukan ketika pertumbuhan naik sebesar 1%, maka konsumsi BBM akan
naik pula sebesar 1.8%
Kebijakan Harga
Harga BBM cenderung tetap setiap tahunnya. Namun jika dilihat secara Riil harga tersebut justru
mengalami penurunan. Dengan inflasi yang terus meningkat, harga BBM yang tidak berubah
cenderung terus turun secara Riil. Yang dimaksud oleh harga Riil disini adalah harga yang sudah
1 http://katadata.co.id/berita/2014/01/06/realisasi-subsidi-energi-melebihi-pagu-apbn-p-20132 Damuri, Yose Rizal et al. (2014). Untuk Indonesia 2014-2019: Agenda Ekonomi. Jakarta: Centre For Strategic and
International Studies (CSIS).
disesuaikan oleh faktor inflasi. Harga nominal BBM pada tahun 2009 berada pada angka Rp.
4.500,-sampai dengan tahun 2012. Namun, jika dilihat secara Riil harga ini turun sampai dengan
dibawah Rp. 3000. 3 Dengan meningkatnya daya beli masyarakat karena pertumbuhan ekonomi,
konsumsi BBM terus meningkat karena secara Riil masyarakat dapat membeli lebih banyak
BBM.
Faktor Ekonomi Global
Saat ini Indonesia merupakan net Importir minyak, walaupun masih melakukan ekspor beberapa
produk minyak bumi. Akibatnya harga perolehan BBM sangat tergantung dari harga
internasional. Pada periode 2004-2012, harga rata-rata minyak dunia untuk 11 tipe minyak
mentah di Indonesia terus meningkat4. Pada tahun 2004 harga rata-rata minyak dunia berada
pada angka 36.39 US$/Barel, namun pada tahun 2012 sudah berada pada angka 112.73
US$/Barel. Dalam kurun waktu 6 tahun sudah meningkat sebesar lebih dari 3 kali dibandingkan
dengan tahun 2004.
Walaupun pada tahun 2013 dan 2014 harga minyak dunia cenderung stabil5, namun justru pada
tahun-tahun tersebut kurs rupiah terhadap dolar meningkat secara signifikan. Nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS adalah salah satu faktor yang sangat berpengaruh sehingga besaran subsidi
BBM terus membengkak. Depresiasi terhadap rupiah akan meningkatkan harga perolehan dalam
rupiah, sementara penerimaan dari penjualan APBN cenderung tetap
2. Pemberian Subsidi Tidak Tepat Sasaran (Penikmat Subsidi BBM
Didominasi oleh Orang Kaya)
Meski Indonesia bukan negara sejahtera, jenis dan kuantitas subsidi yang dialokasikan
pemerintah bagi masyarakat tidak bisa dikatakan kecil. Nilai subsidi 2012 mencapai Rp 346,4
triliun atau 34,33% dari belanja pemerintah pusat. Tidak kurang dari 61,17% dari total subsidi
dialokasikan untuk BBM (Rp 211,9 triliun).
3 Statistik Energi, Kementerian ESDM, diperoleh dalam berbagai tahun4 Pusat Data dan Informasi, Kementerian ESDM5 Rata-rata minyak dunia pada tahun 2013 103,84 US$/Barel dan pada tahun 2014 (sampai dengan bulan Juli) 106,3 US$/Barel. Data Statistik Energi Kementerian ESDM.
Subsidi idealnya disalurkan kepada kelompok tepat sasaran, yaitu masyarakat yang
berpenghasilan rendah atau miskin. Tingkat kemiskinan mencapai 11,66% atau 28,6 juta orang
dengan tingkat garis kemiskinan Rp280.000,-/bulan untuk setiap orangnya (Badan Pusat
Stastistika, September 2014). Dengan total subsidi yang mencapai Rp346,4 triliun dan disalurkan
tepat sasaran, idealnya tidak ada lagi masyarakat Indonesia yang berada di bawah garis
kemiskinan.
Dengan perhitungan sederhana, jika dilakukan penyaluran subsidi langsung kepada 28,6 juta
rakyat miskin sebesar Rp100.000,-/orang setiap bulannya, total biaya subsidi per tahun hanya
Rp34,32 triliun. Jika angka ini dilipatduakan, total subsidi yang diperlukan Rp 68,64 triliun per
tahun. Jika kita ingin menghilangkan angka kemiskinan caranya mudah, salurkan Rp281.000,-
/bulan untuk setiap orangnya kepada 28,6 juta rakyat miskin sehingga tidak akan ada lagi orang
di Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Strategi terakhir ini hanya perlu Rp 96,44 triliun
per tahun atau 45,51% dari subsidi BBM atau 27,84% dari total subsidi 2012.
Selain itu, alasan dari jumlah orang miskin masih 28,6 juta sementara total subsidi 2012
mencapai Rp 346,4 triliun dan meningkat jadi Rp 358,2 triliun di APBN Perubahan 2013 karena
sebagian besar subsidi yang disalurkan salah sasaran.
Proporsi subsidi BBM sebesar Rp 211,9 triliun (61,17%) namun sebagian besar dinikmati oleh
para pemilik kendaraan bermotor yang tidak dapat dikategorikan sebagai orang miskin. Ketika
subsidi dikenakan pada harga barang, dan barang bisa diakses bebas, maka semakin tinggi
seseorang mengonsumsi barang itu, semakin tinggi subsidi yang dinikmatinya.
Penikmat di balik subsidi BBM
Proporsi BBM bersubsidi dinikmati oleh: 1) pemilik mobil (53%) dibandingkan pemilik motor
(47%); 2) masyarakat di Jawa dan Bali (59%); dan 3) angkutan darat (89%). Tercatat 25%
rumah tangga berpenghasilan tertinggi menikmati 77% subsidi BBM dibandingkan 25% rumah
tangga berpenghasilan terendah yang hanya menikmati 15% subsidi BBM (Kementerian
Keuangan, 2012).
Penggunaan BBM bersubsidi bersifat konsumsi yang terkompensasi (berapa pun konsumsi BBM
bersubsidi, tidak peduli oleh siapa dan untuk keperluan apa, pemerintah pasti menyubsidinya).
Semakin banyak mengonsumsi BBM bersubsidi, semakin besar subsidi yang dinikmati.
Alih-alih subsidi disalurkan kepada rakyat miskin, fakta menunjukkan subsidi BBM justru
dinikmati masyarakat berpendapatan menengah ke atas, para pelaku pasar gelap dan
penyelundup BBM bersubsidi. Bahkan, koruptor pun, yang notabene berpendapatan menengah
ke atas, ”disubsidi” para pembayar pajak yang budiman.
Ironi dari kemiskinan yang menurun sementara ketimpangan semakin membesar
Salah satu indikator orang-orang dikategorikan sebagai kelompok miskin adalah yang
berpenghasilan Rp7000,- per harinya. Faktanya, jumlah penduduk di bawah Garis Kemiskinan
semakin berkurang. Pada September 2012, jumlah penduduk miskin berjumlah 28,6 juta orang,
28,55 juta orang pada September 2013, dan semakin menurun sampai pada angka 28,28 juta di
bulan Maret 2014. Namun hal ini tidak menutup kemukinan orang-orang yang berada di atas
garis kemiskinan masih rentan untuk jatuh ke dalam garis kemiskinan.
Di samping tren kemiskinan yang semakin menurun, ternyata Rasio Gini (alat mengukur
ketidakmerataan distribusi penduduk) Indonesia pada tahun 2011 mencapai angka 0,41. Rasio
ini merupakan yang tertinggi selama sepuluh tahun terakhir. Hal ini berarti kesenjangan antara si
miskin dan si kaya semakin meningkat karena pertumbuhan yang condong kepada kelompok
menengah atas dan kaya.
Tabel peningkatan Indeks Gini dan penurunan Angka Kemiskinan
(Sumber: Badan Pusat Statistik)
Menurut studi yang pernah dilakukan, 70% penikmat subsidi BBM adalah orang kaya dan hanya
6% orang miskin yang menikmatinya. Jadi, masih tepatkah pengurangan subsidi BBM ini
ditolak? Jangan sampai kita yang berniat membela rakyat terjebak dengan alih-alih pengurangan
subsidi BBM sama dengan mencabut hak rakyat. Pengurangan subsidi BBM tidak sama dengan
mencabut hak rakyat, lebih tepatnya mencabut hak si kaya. Kalau bukan mahasiswa yang
menyadarkan subsidi BBM ini dinikmati oleh siapa selama ini, siapa lagi?
3. Defisit Anggaran
APBN Jebol ?
Dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2015, dari tahun 2010 APBN Indonesia selalu mengalami
deficit. Deficit anggaran yang terjadi selama 5 tahun terakhir tidak bersifat constant atau pun
fluktuatif, tetapi terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dalam jumlah yang sangat
besar.
18.40 18.20 17.40 16.70 16.0017.80 16.60 15.40 14.20 13.30 12.50 11.96 11.37
33 32 32 33 3336 35
37 3841 41 41
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Indeks Gini
Angka Kemiskinan
Tahun Defisit (dalam triliun rupiah) % pada PDB
2010 46.845,7 0,73
2011 84.399,5 1,14
2012 153.300,6 1,86
2013 211.627,7 2,33
2014 (APBN-P) 241.494,3 2,40
Sumber : Kementrian Keuangan
Dari data diatas dapat dilihat bahwa deficit anggaran di Indoensia selalu mengalami peningkatan
setiap tahunnya bahkan ketika pemerintah telah mengurangi subsidi BBM dalam beberapa tahun
terakhir.Ada beberapa cara untuk menghindari deficit
1. Meningkatkan penerimaan pendapatan Negara
Untuk menutup deficit sangat benar bahwa kita harus meningkatkan penerimaan dengan
berbagai cara yang pemerintah harus lakukan. Namun, dalam menganalisa penerimaan
pendapatan, kita harus melihat pendapatan yang pasti, bukan berpotensi. Artinya, pemerintah
harus menganggarkan pendapatan yang sifatnya pasti akan diterima, bukan hanya pendapatan
yang mungkin bisa didapatkan.
Pendapatan yang potensial dan tidak pasti tentu tidak akan menjamin memberikan
jaminan terhadap keselamatan anggaran. Tetapi, pendapatan potensial tersebut tetap harus dicoba
untuk dilakukan.
2. Penghematan terhadap anggaran itu sendiri.
Agar tidak difecit maka hemat pengeluaran. Lalu anggaran manakah yang harus
dilakukan penghematan ?
Sumber : Kementrian Keuangan
Data diatas menunjukkan belanja pemerintah pusat dari tahun ke tahun semakin mengalami
peningkatan. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa anggaran belanja terbesar adalah subsidi,
dimana subsidi ini mencakup subsidi energy dan subsidi non energy.
Anggaran manakah yang akan dihemat? mungkinkah kita menghemat belanja pegawai? belanja
barang? belanja moda? pembayaran utang? belanja hibah? bantuan sosial? belanja lain – lain?
Melakukan penghematan perlu melihat indicator produktivitas. Dari data di atas, salah satu
anggaran yang sifatnya lebih konsumtif dan minim akan produktivitas adalah anggaran subsidi.
Dalam anggaran subsidi terdapat 2 pembagian, yaitu energy dan non energy. Untuk yang non –
energy, anggaran subsidi ini berupa pangan, pupuk,benih dan lain – lain yang bersifat produktif.
Sementara, subsidi energy terdapat pada BBM dan listrik. Antara BBM dan listrik, yang lebih
tidak produktif adalah subsidi BBM.
Melihat kurva permintaan di atas, harga barang yang disubsidi lebih murah dibandingkan dengan
tanpa subsidi. Sehingga, hal ini memicu konsumen untuk bersifat konsumtif dengan membeli
barang lebih banyak pada saat diberi subsidi. Dibandingkan dengan pada saat tanpa disubsidi,
penghematan terhadap barang dapat dilakukan. Karena harga barang yang meningkat,
permintaan terhadap barang tersebut jadi berkurang. Apabila harga BBM tidak dinaikkan dari
sekarang, maka permintaan akan BBM ini akan semakin meningkat.
Oleh karena itu, dalam melakukan penghematan anggaran, belanja subsidi yang bisa dihemat
adalah subsidi BBM dengan cara menaikkan harga BBM.
Subsidi BBM tidak tepat sasaran ?
Permintaan akan subsidi BBM terbesar adalah terdapat pada kalangan yang memiliki pendapatan
lebih di atas rata – rata. Data kementrian keuangan ( 2012 ) menunjukkan 77% subsidi dinikmati
oleh kalangan rumah tangga berpenghasilan tinggi. Sehingga, subsidi menjadi tidak tepat
sasaran karena didominasi oleh kalangan berpenghasilan tinggi.
Lalu kenapa tidak cabut subsidi bagi mereka yang berpenghasilan tinggi ?
Membuat 2 harga dalam 1 pasar yang sama akan berdampak sangat buruk. Pada saat ada barang
yang memiliki nilai fungsi yang sama dan harga berbeda, maka kecenderungan konsumen pasti
akan memilih barang dengan harga lebih murah.
Misalkan harga BBM bagi kendaraan umum dan kendaraan bermotor lebih murah daripada BBM
kendaraan pribadi. Maka, perilaku konsumen kendaraan pribadi pasti akan cenderung mencari
cara untuk mendapatkan BBM yang bersubsidi. Sehingga, hal ini akan berdampak penimbunan
BBM bersubsidi dengan berbagai cara. Dan pedagang eceran akan menimbun BBM bersubsidi
dan dijual kepada pengguna kendaraan pribadi. Dampak yang seperti ini akan menyebabkan
tindak kejahatan yang sulit dihindari disebabkan oleh 2 harga yang berbeda dengan barang yang
sama.
4. Isu Tapering Off
Quantitative Easing dilakukan untuk merangsang ekonomi AS, dengan cara memberikan uang
langsung ke dalam sistem keuangan. Caranya adalah, the Fed (Federal Reserve) mengeluarkan
uang untuk membeli obligasi jangka panjang, baik itu obligasi berupa surat utang AS dan
obligasi kredit perumahan. Harapannya adalah, uang itu kemudian bisa digunakan oleh
perusahaan untuk keperluan lainnya dan akan membuka lapangan kerja karena pengangguran
meningkat pada resesi 2008. Sedangkan Tapering Off merupakan proses pemberhentian
stimulus tersebut yang dilakukan secara berkala karena membaiknya ekonomi AS.
Bank Sentral Amerika Serikat atau Federal Reserve (the Fed) membuat keputusan terkait
pengurangan stimulus pada akhir 2013. The Fed memutuskan mengurangi stimulus (tapering
off) dari semula US$ 85 miliar per bulan menjadi US$ 75 miliar per bulan berlaku Januari
2014 lalu. Keputusan itu diambil setelah the Fed menyimpulkan adanya perbaikan ekonomi
AS usai mengalami resesi sejak 2008. Quantitative easing dibagi menjadi dua, yakni: US$ 40
miliar untuk membeli surat utang AS dan US$ 35 miliar untuk membeli obligasi kredit
perumahan yang dilakukan pada Januari 2014 lalu. Sejak itu, The Fed mengurangi pembelian
secara bertahap dan akhirnya pada akhir Oktober 2014 6mengakhiri pembelian obligasi yang
sudah menjadi US$ 15 miliar per bulan itu dari awalnya sebesar US$ 85 miliar per bulan.
Apa dampaknya bagi Indonesia? Pada Juli 2013, indeks harga saham gabungan (IHSG) jatuh
sangat dalam. Bahkan saat itu, IHSG jatuh lebih dari 20%. Salah satu penyebab dari
tumbangnya IHSG saat itu berasal dari rencana the Fed mengurangi stimulus. Padahal, saat itu
The Fed baru saja mengeluarkan rencananya Tapering Off, belum benar-benar akan
melakukannua. Keinginan the Fed mengurangi stimulus atau tapering off telah membuat dana
asing yang berada di Indonesia keluar dari Indonesia secara bersamaan. Berdasarkan data
6 http://fokus.kontan.co.id/news/hantu-bunga-the-fed-setelah-qe-tamat/2014/10/30
Bursa Efek Indonesia (BEI), sepanjang tahun 2014, investor asing yang mencatatkan net sell
asing di pasar saham sebesar Rp 15.29 triliun. Nilai dana asing yang keluar itu hampir sama
dengan nilai dana asing yang masuk tahun 2012 (dimulainya Quantitative Easing), sebesar Rp
15.2 triliun.
Dengan meningkatnya uang asing yang keluar (Capital Outflow), hal ini memiliki efek besar,
yaitu Defisit Neraca Modal sehingga akan mengakibatkan depresiasi rupiah. Dengan rupiah
yang terus melemah, uang yang harus disiapkan untuk membayar minyak menjadi lebih besar,
sehingga akan memunculkan defisit APBN. Keadaan ini disebut sebagai Defisit Ganda, yakni
defisit transaksi berjalan (yang didalamnya memuat Defisit Neraca Modal) dan Defisit Fiskal
(APBN).
Indonesia, di tahun 2012, mengalami fenomena defisit ganda, di mana neraca perdangangan dan
neraca fiskal sama-sama mengalami defisit. Indonesia mengalami defisit neraca fiskal sebesar
1.77%, dari sebelumnya ditargetkan defisit sebesar 2.23%. Pengeluaran pemerintah yang terjadi
di 2012 sebesar Rp1,487.7 Triliun, lebih kecil dari yang ditargetkan oleh pemerintah yaitu
sebesar Rp1,548.3 Triliun. Namun, kebanyakan defisit neraca fiskal disebabkan oleh subsidi
bahan bakar minyak yang makin membesar tiap tahunnya. Ditambah dengan rupiah yang
selama 2 tahun belakangan ini melemah. Berikut ilustrasinya secara sederhana:
5. Antara Subsidi BBM dan Kemiskinan
Kenaikan harga BBM hampir selalu diprotes oleh masyarakat awam. Pandangan awam mereka
menyatakan bahwa peningkatan harga BBM akibat adanya pengurangan subsidi akan
meningkatkan kemiskinan karena harga-harga yang semakin mahal dan mendorong daya beli
masyarakat yang menurun. Tetapi. Kenaikan harga barang dan inflasi lebih banyak disebabkan
oleh faktor psikologis akibat pemberitaan media yang berlebihan. Pengalaman terdahulu
mengatakan bahwa peningkatan harga BBM hanya berdampak sementara bagi inflasi. Hasil
perhitungan CSIS7 menunjukan bahwa kenaikan BBM sebesar 50% hanya akan berdampak pada
inflasi sebesar 2-3% dan hanya 20-40% dari harga itu yang akan diteruskan oleh inflasi
keseluruhan.
Jika dilihat dari sumbangan komoditas, peningkatan harga BBM terhadap meningkatnya garis
kemiskinan juga hanya terbilang kecil dibandingkan dengan komoditas lainnya. Berikut data dari
Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) oleh BPS:
7 Damuri, Yose Rizal et al. (2014). Untuk Indonesia 2014-2019: Agenda Ekonomi. Jakarta: Centre For Strategic and International Studies (CSIS).
Jika melihat data diatas, inflasi yang disebabkan oleh meningkatnya harga beras jauh lebih
berperan dalam memberikan sumbangan terhadap garis kemiskinan. Bahkan, kenaikan harga
rokok justru jauh lebih berperan dibandingkan kenaikan harga BBM. Hal ini mematahkan
mitos bahwa kenaikan harga BBM akan memiskinkan rakyat. Pemerintah dalam hal ini
lebih baik mensubtitusi subsidi bbm dan memberbesar alokasi subsidi pangan.
Hal ini berbanding terbalik dengan akibat yang ditimbulkan oleh adanya subsidi yang semakin
membesar di APBN, yang dalam jangka panjang justru akan meningkatkan pengangguran dan
kemiskinan yang ditujukan oleh ilustrasi berikut:
Sumber: Nota Keuangan RAPBNP 2013
Lalu bagaimana dengan angka kemiskinan ?
Dari data di atas dapat dilihat bahwa tingkat kemiskinan semenjak tahun 2006 selalu mengalami
penurunan. Bahkan, dari masa tersebut telah terjadi pengurangan subsidi BBM. Apakah benar
yang kaya semakin kaya dan miskin semakin miskin ?
Barangkali, yang paling benar adalah “yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin kaya”.
Subsidi BBM yang dialihkan ke pembangunan infrastruktur telah memicu berbagai hal. Agenor
dan Moreno-Dodson (2006) menyatakan bahwa infrastruktur berdampak dalam pertumbuhan
ekonomi dalam beberapa cara:
1. Infrastruktur menurunkan biaya faktor input dalam proses produksi. Efek ini disebut
direct productivity effect.
2. Infrastruktur meningkatkan produktivitas pekerja, dan efek ini dikenal sebagai indirect
effect.
3. Dampak infrastruktur terhadap pertumbuhan diperoleh melalui proses pembangunan dan
konstruksi: tempat kerja yang dibuat dalam konstruksi dan terkait industri. Sebagai
investasi infrastruktur membutuhkan perawatan, lebih lanjut meningkatkan penciptaan
jangka panjang pekerjaan.
4. Infrastruktur juga berpengaruh positif terhadap hasil pendidikan dan kesehatan: kesehatan
yang baik dan pendidikan tinggi pada angkatan kerja meningkatkan pertumbuhan
ekonomi.
6. Meredam Efek Kejut Akibat Kenaikan Harga BBM
Setiap kebijakan pasti memiliki konsekuensi, termasuk pengurangan subsidi BBM. Salah satu
efek penyesuaian harga BBM subsidi adalah inflasi yang tidak terencana. Kajian Kementerian
Keuangan yang disampaikan Chatib Basri selaku Menteri Keuangan pada kabinet sebelumnya
menunjukkan, dinaikkannya harga BBM bersubsidi sebesar Rp 3.000/liter pada awal 2015 akan
menyumbang inflasi sebesar 8,9 persen. Ketika hal ini terjadi, perlu alat untuk meredam efek
kejut sampai inflasi dapat dikendalikan dan berada di level normal.
Apabila harga BBM bersubsidi dinaikkan, memang dampaknya bukan pada harga membeli BBM
nya tetapi pada kenaikan harga barang lain dikarenkan inflasi yang ditimbulkan. Harga barang
lain ini merupakan harga bahan pokok seperti makanan. Kenaikan BBM hampir selalu berujung
kepada kenaikan komoditas lainnya, terutama bahan makanan pokok yang memakai BBM dari
proses produksi hingga distribusi. Faktanya, 60-70 persen pengeluaran untuk penduduk miskin
dan hampir miskin dialokasikan untuk kebutuhan makanan, di mana 20-25 persennya
dialokasikan untuk beras. Sementara di sisi lain, sebesar 25 persen kelompok rumah tangga
dengan penghasilan per bulan terendah hanya menerima alokasi subsidi sebesar 15 persen,
sedangkan 25 persen kelompok rumah tangga dengan penghasilan per bulan tertinggi menerima
alokasi subsidi sebesar 77 persen (ESDM, 2010). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
“efek samping” pengurangan subsidi BBM berasal dari penurunan daya beli masyarakat miskin
akibat kenaikan harga bahan makanan pokok, bukan dari semakin membengkaknya pengeluaran
mereka untuk mengonsumsi BBM.
Oleh karena itu, untuk menghindari agar orang miskin terkena dampak dari pengurangan subsidi
BBM, maka pemerintah memberikan raskin serta BLSM sebagai bentuk konversi subsidi BBM
kepada orang miskin.
Cash Transfer
Pada Maret 2013, jumlah penduduk miskin di Indonesia tercatat sebanyak 28,07 juta orang.
Jumlah tersebutlah yang kemudian paling merasakan dampak langsung dari inflasi yang
disebabkan kenaikan harga BBM subsidi. Meski sebagian besar dari mereka tidak menggunakan
BBM bersubsidi, namun daya beli yang menurun menyebabkan mereka tidak bisa memenuhi
kebutuhan yang paling mendasar, yaitu makanan.
Untuk mengurangi dampak buruk inflasi, sudah tentu pemerintah akan menerapkan berbagai
kebijakan. Namun, tentunya perlu waktu agar kebijakan yang dilakukan pemerintah dapat
mengembalikan daya beli masyarakat. Dalam waktu tunggu inilah diperlukan kebijakan cash
transfer yang mampu meredam efek kejut, yaitu pemberian sejumlah uang selama selang waktu
tertentu yang bersifat sementara dengan maksud mengembalikan daya beli rumah tangga akibat
inflasioner kenaikan harga BBM.
Cash transfer ini pernah diterapkan di Indonesia dengan nama BLSM (bantuan langsung tunai
sementara) yang diberikan kepada 15,5 juta rumah tangga dengan besaran Rp. 150.000,- per
bulan selama empat bulan. Penerima program ini merupakan 25% rumah tangga dengan status
termiskin di Indonesia. Perhitungan besarannya didapat dari inflasi barang-barang konsumsi
rumah tangga miskin dikalikan rata-rata pengeluaran bulanan mereka.
BLSM memang hanya bersifat meringankan sementara, karena memang tujuan program ini
hanya mengembalikan daya beli rumah tangga miskin sampai kebijakan jangka panjang berhasil
diterapkan. Sedangkan bantuan untuk mengurangi kemiskinan terstruktur diberikan pemerintah
melalui bantuan dalam bidang ketahanan pangan, kesehatan, pendidikan, dan pelatihan. Untuk
hal-hal tersebut, tentu ada program lain seperti raskin, PKH, beasiswa pendidikan, BPJS dan
lain-lain.
7. Subsidi BBM dari Tinjauan Internasional dan Alam
Subsidi BBM yang dilakukan pemerintah di pasar yang sedang berkembang mencapai 500 miliar
US dollar per tahun dan merupakan kontributor utama dalam perubahan iklim menurut
International Energy Agency (IEA) dan International Monetary Fund (IMF). Jumlah tersebut
setara dengan 0,3 persen dari GDP global atau 0,9 persen dari pendapatan pemerintah di seluruh
dunia, secara harfiah dihabiskan menjadi asap.
Negara yang melakukan subsidi terkonsentrasi di negara-negara Timur-Tengah, Afrika Utara,
Asia, dan sebagian negara Amerika Latin menurut database IEA tentang subsidi bahan bakar
fosil. Negara yang paling banyak mengeluarkan anggaran untuk melakukan subsidi adalah Iran,
Arab Saudi, dan Rusia, yang mana semuanya merupakan produsen utama minyak bumi. Total
subsidi dari ketiga negara tersebut mencapai 180 miliar US dollar per tahun di 2012.
(http:/www.iea.org/subsidy/index.html).
Menurut IEA, menyesuaikan subsidi minyak bumi, gas alam, dan listrik setahap demi setahap
serta menyejajarkan harga dengan standar yang berlaku di internasional akan mengurangi
pertumbuhan permintaan energi sebesar 5 persen dan emisi karbon dioksida sebanyak 2 miliar
ton di tahun 2020. Setara dengan gabungan emisi yang dihasilkan Jerman, Perancis, dan Inggris
saat ini. Subsidi bahan bakar fosil juga mempercepat penurunan jumlah bahan bakar itu sendiri
karena merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbarui. Menurut perhitungan IMF, jika
semua negara mulai menghilangkan subsidi setahap demi setahap, maka harganya akan lebih
rendah 8 persen dibandingkan jika tetap melakukan subsidi di tahun 2050.
Meningkatkan tarif bensin, solar, dan minyak tanah ke level pasar akan menghemat 4,7 juta barel
minyak bumi per hari di akhir dekade ini (World Energy Outlook 2011).
Memotong subsidi juga akan meningkatkan anggaran pemerintah. Dari 58 negara yang
mensubsidi bensin, solar, dan minyak tanah di 2010, 46 negara diantaranya mengalami defisit
anggaran dan 27 kasus defisit lebih dari 3 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Hal
tersebut tentu sangat membebani para pembayar pajak.
Subsidi membuat pengeluaran untuk pengembangan infrastruktur dan kesejahteraan sosial
menjadi berkurang. Menurut APBN-P 2014, anggaran yang dikeluarkan pemerintah Indonesia
untuk subsidi (energi dan non energi) jauh lebih besar daripada anggaran untuk pendidikan dan
kesehatan. Subsidi juga mendorong konsumsi yang berlebihan. Harga minyak dan listrik yang
“murah” yang berlaku di Arab Saudi membuat negara tersebut menjadi salah satu negara dengan
penggunaan energi per kapita tertinggi di dunia dan membuat jumlah minyak yang tersedia untuk
ekspor menjadi semakin terbatas. Kausalitas klasik bahan bakar fosil adalah selama harganya
masih rendah maka orang-orang tidak akan pernah tertarik menggunakan transportasi publik dan
lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi. Serupa tapi tak sama, insentif untuk
mengadakan energi terbarukan pun tidak akan terwujud. Masyarakat tidak akan menjadi inovatif
dan green-thinking. Selama bahan bakar masih murah maka akan terus mendorong masyarakat
cenderung menjadi boros atau overconsumption. Jika anggaran subsidi dialihkan ke kesehatan,
pendidikan, atau infrastruktur, apakah kondisi over kesehatan, over pendidikan, atau over
infrastruktur itu buruk?
Masalah lain dari subsidi adalah mendorong adanya penyelundupan. Solar di Iran dijual seharga
12 US sen per liter sedangkan di negara yang berbatasan langsung yaitu Pakistan, solar dijual
seharga 1,2 US dollar. Akibatnya menurut perkiraan IEA, 60.000 barel solar diselundupkan dari
Iran ke Pakistan dan Afganistan setiap harinya.
Menurut data Oil Change International, diperkirakan total subsidi secara global mencapai 1
triliun US dollar. Laporan terbaru dari International Monetary Fund (IMF) subsidi secara global
dapat mencapai 1,9 triliun US dollar jika ditambahkan eksternalitas negatif (biaya tambahan
yang harus ditanggung sebagai akibat dari adanya kegiatan konsumsi atau produksi barang
tersebut).
Maka ketika emisi gas rumah kaca sudah makin tinggi, pemerintah di negara-negara seluruh
dunia malah menggelontorkan ratusan miliar US dollar dalam bentuk subsidi bahan bakar fosil,
mengembangkan “insentif buruk” untuk melanjutkan kehidupan kearah iklim yang lebih buruk.
Menghapus subsidi bahan bakar fosil dapat menjadi induk dari semua win-win scenarios.
Kemenangan bagi pembayar pajak, kemenangan bagi pemerintah, dan kemenangan bagi planet
ini tentunya.
Sumber Referensi:
Badan Pusat Statistik 2001-2013
K. Donelacio dan Laisves, “Sosio-Ecnomic Impact of Infrastructure Investment, Inzinerine
Ekonomika-Engineering Economics (3).2009
Kementerian Keuangan, Nota Keuangan dan RAPBN 2014, 2013, Jakarta
Kementerian Keuangan, Nota Keuangan dan RAPBN 2015, 2014, Jakarta
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/06/18/0746006/Hitunghitungan.Subsidi.BBM.
http://www.republika.co.id/berita/koran/teraju/14/09/08/nbkgk81-efek-kejut-sesaat
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/07/01/1339226/BPS.Jumlah.Penduduk.Miskin.Tur
un
http://commondreams.org/news/2013/11/07/global-fail-govts-pour-500-billion-fossil-fuel-
subsidies
http://jakartagreater.com/haruskah-bbm-subsidi-dihapus/
http:/priceofoil.org/fossil-fuel-subsidies/
http://reuters.com/article/idUSL6N0O231C20140516?irpc=932
http://finance.detik.com/read/2014/05/31/101625/2596038/1034/jokowi-mau-hapus-subsidi-
bbm-prabowo-kurangi-subsidi-orang-kaya
Top Related