1. Senopati Pamungkas II Arswendo Atmowiloto Tokoh-Tokoh
Berdasarkan Urutan Penyebutan Sanggrama Wijaya, atau Naraya
Sanggarama Wijaya, atau Raden Wijaya. Nama yang dikenal ketika
mengalahkan Raja Jayakatwang, yang secara culas menguasai Keraton
Singasari dan mendepak Baginda Raja Kertanegara. Bersama dengan
prajurit dan senopati yang setia, Wijaya berhasil menggempur balik
pasukan Tartar dari negeri Cina. Menurut catatan sejarah,
dinobatkan menjadi Raja Majapahit pada tanggal 15 bulan Kartika
atau sekitar bulan Oktober-November 1298. Nama kebesarannya adalah
Kertarajasa Jayawardhana. Nama ini menunjukkan rasa hormat terhadap
leluhurnya, raja-raja Singasari. Upasara Wulung, salah seorang
ksatria hasil godokan Ksatria Pingitan. Ksatria Pingitan adalah
semacam perguruan yang berusaha melahirkan ksatria sejati yang
dilatih ilmu surat dan ilmu silat, atau kanuragan. Para ksatria
yang terpilih, dilatih sejak lahir di Ksatria Pingitan. Menurut
cerita mi, Ksatria Pingitan didirikan atas dasar gagasan Baginda
Raja Sri Kertanegara, Raja Singasari yang terakhir, dengan tujuan
menciptakan manusia yang selain jago silat juga mempunyai watak
luhur, yang kelak diharapkan menjadi senopati utama yang
melanjutkan kebesaran Keraton dan melindungi penduduk. Selama dua
puluh tahun Upasara Wulung berada dalam Ksatria Pingitan, dilatih
oleh Ngabehi Pandu, sebelum terjun ke medan persilatan. Ilmu
dasarnya adalah Banteng Ketaton, atau Banteng Terluka. Akan tetapi
mengalami perubahan besar sejak mempelajari Bantala Parwa atau
Kitab Bumi yang berisi Dua Belas Jurus Nujum Bintang serta Delapan
Jurus Penolak Bumi. Bantala Parwa dianggap babon segala kitab
kanuragan. Merupakan puncak berbagai sumber ilmu silat yang ada di
tanah Jawa. Gayatri, atau Permaisuri Rajapatni, salah satu dari
empat putri Baginda Raja Sri Kertanegara yang dipermaisurikan oleh
Raja Majapahit. Menjelang penyerbuan ke Daha untuk menaklukan
Jayakatwang Gayatri pergi bersama Upasara Wulung untuk mengetahui
kekuatan lawan. Di sinilah bibit-bibit daya asmara tumbuh. Dan
berpuncak saat Gayatri ditawan di atas benteng dan Upasara maju
menggempur tanpa memedulikan keselamatan dirinya. Akan tetapi
menurut perhitungan dan ramalan para pendeta, Gayatri harus menikah
dengan Sanggrama Wijaya, karena inilah pasangan Dewi Uma dan Dewa
Siwa, yang kelak kemudian hari akan menurunkan raja terbesar.
Hubungan masa lalu ini ternyata banyak membebani tapi sekaligus
juga mewarnai perjalanan hidupnya. Mpu Renteng, salah seorang
senopati Majapahit yang berjuang sejak awal. Ilmu andalannya ialah
Bujangga Andrawina, atau Ular Naga Berpesta Pora, dengan
menggunakan ujung kain yang tersampir di pundaknya. Mpu Sora, salah
seorang senopati Majapahit yang berjuang sejak awal. Ilmu
andalannya ialah Bramara Bekasakan, atau Lebah Hantu. Tokoh yang
tangguh ini banyak mendapat dukungan untuk menjabat sebagai
mahapatih. Mahapatih ialah jabatan tertinggi di Keraton, orang
kedua sesudah raja. Namun ia sendiri merasa tidak berhak. Pangkat
yang disandang adalah adipati, semacam penguasa daerah, di
Dahanapura. Tempat Kala Gemet, putra mahkota, berada. Mpu Elam,
salah seorang senopati Majapahit, yang menjadi prajurit telik
sandi. Prajurit yang terpilih dalam pasukan telik sandi, atau
pasukan rahasia, adalah prajurit pilihan yang tugasnya mengumpulkan
semua laporan yang menyangkut keamanan. Dalam jajaran pemerintahan
ditangani secara langsung oleh Mahapatih. Dyah Palasir, salah
seorang senopati muda Majapahit. Anak buah langsung Senopati Nambi,
seperti juga Dyah Singlar yang bertugas menjadi prajurit pribadi
Raja. Bersama Dyah Pamasi, mereka merupakan senopati-senopati muda
yang dipersiapkan untuk menjadi pengganti. Klikamuka, tokoh yang
selalu menutupi wajahnya dengan klika atau kulit kayu. Kelihatannya
mempunyai hubungan dekat dengan Keraton. Toikromo, penduduk biasa
yang ingin mengangkat Upasara Wulung sebagai menantu. Gendhuk Tri,
calon penari Keraton Singasari yang menjadi anak murid Mpu Raganata
sebentar, lalu dilatih Jagaddhita. Ilmu andalannya menggunakan
selendang seperti penari. Karena satu dan lain hal,
http://goldyoceanta.wordpress.comHalaman 1 dari 500
2. seluruh darahnya teraliri racun sangat ganas. Dalam usianya
yang masih belasan tahun, dan hidup di tengah pergolakan jago
silat, adatnya memang aneh. Diam diam sangat mengagumi Upasara
Wulung, dan mencemburui setiap wanita yang mendekati Upasara.
Jaghana, salah seorang murid Perguruan Awan, perguruan yang
dianggap sumber segala ilmu kanuragan di tanah Jawa. Kepalanya
gundul pelontos, pakaian yang dikenakan asal menutup tubuh. Sabar
dan welas asih. Namanya bisa diartikan sebagai pantat. Ini cara
merendahkan diri sebagai bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, salah
satu ciri ajaran Perguruan Awan. Eyang Sepuh, lebih dikenal sebagai
nama seorang empu yang mahasakti yang mendiami Perguruan Awan. Dari
Eyang Sepuh-lah terdengar gema ajaran Kitab Bumi dengan jurus yang
ampuh, yaitu Tepukan Satu Tangan. Ajaran yang sejajar dengan ajaran
Buddha, baik di negeri Hindia, Cina, maupun Jepun. Atau bahkan
sampai ke negeri Turkana. Eyang Sepuh pula yang membuat para jago
seluruh penjuru jagat datang ke Trowulan, untuk membuktikan siapa
yang mewarisi ilmu sejati. Namun sejak semula, Eyang Sepuh tak
pernah menampakkan diri. Hanya beberapa orang, Gayatri dan Upasara,
yang pernah mendengar suaranya. Penguasaan ilmu Eyang Sepuh lelah
sampai ke tingkat moksa, lenyap bersama raga dan jiwanya. Adipati
Lawe, atau Ranggalawe, salah seorang senopati Majapahit yang besar
jasanya. Putra Aria Wiraraja ini nama kecilnya seperti juga
ayahnya, Aria Adikara. Ranggalawe, nama pemberian Raden Sanggrama
Wijaya yang mungkin menjadi petunjuk kepangkatannya ketika itu.
Rangga adalah jabatan yang sama dengan camat sekarang ini. Kuda
hitam dan umbul-umbul bergambar kuda, menunjukkan kegagahannya
ketika menjadi adipati, semacam patih penguasa suatu wilayah, di
daerah Tuban. Sebutan yang lain ialah patih amancanegara, yaitu
semacam kepala di daerah wilayah di luar Keraton. Patih
amancanegara menunjukkan penguasaan di luar wilayah kekuasaan
Keraton. Yang terbagi di daerah barat, timur, utara, maupun selatan
letak Keraton. Galih Kaliki, tokoh yang asal-usul ilmu silat dan
perguruannya tidak gampang dimengerti. Senjata andalannya sebuah
tongkat galih asam, bagian tengah atau hati pohon asam. Baru
kemudian diketahui bahwa gaya permainannya mirip dengan ksatria
pedang panjang dari Jepun. Orangnya keras, jujur, apa adanya. Dan
sepanjang hidupnya kesengsem atau tergila-gila pada Nyai Demang.
Senopati Anabrang, atau Mahisa Anabrang. Salah seorang senopati
zaman Kerajaan Singasari yang menjelajah sampai ke tlatah Melayu
dan baru kembali dua puluh tahun kemudian. Melanjutkan pengabdian
kepada Raja Majapahit, dengan membawa dua putri ayu yang salah
satunya dipermaisurikan Baginda Raja. Senopati Nambi, atau Mpu
Nambi, salah seorang senopati Majapahit, pimpinan prajurit telik
sandi, atau pasukan rahasia. Diangkat sebagai mahapatih, suatu
jabatan tertinggi sesudah raja. Mahapatih menjalankan roda
pemerintahan sehari-hari. Secara langsung membawahkan para
senopati, adipati, ataupun patih. Pengangkatannya sebagai mahapatih
banyak mengundang pertentangan. Terutama dari Adipati Lawe, yang
mengharapkan dirinya atau Mpu Sora yang memangku jabatan tersebut.
Wilanda, salah seorang murid Perguruan Awan yang kemudian
melepaskan diri dan menjadi prajurit andalan Keraton Singasari, dan
kemudian kembali lagi ke Perguruan awan. Budinya luhur, dan menjadi
pendamping Upasara sejak kecil. Ilmunya yang sulit ditandingi ialah
cara mengentengkan tubuh seperti capung hinggap di ujung daun. Kiai
Sumelang Gandring, atau Mpu Sumelang Gandring, turunan seorang ahli
pembuat keris yang mengembara sampai ke ujung barat tanah Jawa. Di
sana meneruskan ilmunya. Seluruh muridnya berjumlah dua belas, dan
semua memakai sebutan Gandring. Istimewanya ialah kedua belas
Gandring ini bisa menyusun barisan yang luwes dan ampuh. Di
antaranya gaya serangan Jiwandana Jiwana, atau Tembang Kehidupan.
Nyai Demang, satu-satunya tokoh wanita yang sering dinilai hanya
karena mengobral asmara, serta bentuk tubuhnya yang montok. Menurut
cerita, dulu istri seorang demang, pangkat setingkat kepala desa.
Banyak para ksatria menjadi korban senyuman dan bentuk tubuhnya.
Akan tetapi di balik segala daya tarik lahiriahnya, Nyai Demang
selama ini tak tertandingi dalam soal kemampuannya mempelajari
bahasa mancanegara. Dialah yang menjadi penyalin bahasa sewaktu
pasukan Tartar mendarat. Halayuda, salah seorang senopati Majapahit
yang tak terlalu menonjol dalam peperangan. Gerak- geriknya penuh
teka-teki, karena hubungannya yang sangat dekat dengan Raja
Majapahit, dan kemampuannya untuk merendah dalam rangka mengelabui
ambisinya yang sangat tinggi. Strategi, taktik yang dijalankan
sangat culas, bergetah, tapi berhasil. Ilmu silatnya termasuk
sangat tinggi karena ia murid langsung Paman Sepuh, ditambah
berbagai ilmu yang diperoleh sendiri. Tribhuana, putri Baginda Raja
Sri Kertanegara yang dipermaisurikan oleh Raden Wijaya. Sebagai
putri Keraton, Tribhuana dikenal memiliki pengetahuan yang luas dan
cara berbicara yang ulung http://goldyoceanta.wordpress.comHalaman
2 dari 500
3. dalam menangkap suasana, sehingga digelari Mahalalila.
Sebagai permaisuri pertama, sebenarnya Tribhuana berhak melahirkan
putra mahkota. Akan tetapi nyatanya tidak, karena Raja Majapahit
memilih permaisuri yang lain. Mahadewi, adik Tribhuana yang juga
dipermaisuri oleh Raja. Mahadewi dikenal sebagai putri landasan
daya asmara Baginda. Jayendradewi, atau Permaisuri Pradnyaparamita,
adik Mahadewi yang juga dipermasurikan Baginda. Tidak secantik
adiknya, Gayatri, namun kesetiaan dan keluhuran budinya menjadi
contoh teladan. Dara Jingga, putri boyongan dari Melayu yang
dipersembahkan Senopati Anabrang kepada Baginda. Namun kemudian
menikah dengan salah seorang bangsawan Keraton yang melanjutkan
pemerintahan di tlatah Melayu. Dara Petak, adik Dara Jingga, yang
dipermaisurikan Baginda dengan gelar Permaisuri Indreswari. Disebut
sebagai stri tinuheng pura atau permaisuri yang dituakan. Menggeser
kedudukan Tribhuana dan dengan demikian berarti anak keturunannya
yang bakal mewarisi takhta Baginda Kertarajasa. Dewa Maut, tadinya
menjadi tokoh yang ganas, setiap kali berperang hams mencabut nyawa
lawan karena daya asmara kepada gadis pujaannya bertepuk sebelah
tangan. Hidup menyendiri hanya dengan sesama kaum pria, di atas
perahu yang selalu berada di Kali Brantas. Dalam salah satu
pertarungan ilmunya lenyap, dan gayanya seperti kehilangan ingatan.
Seluruh rambutnya putih. Gendhuk Tri dianggap kekasihnya yang
hilang dan selalu dipanggil Tole, panggilan untuk anak lelaki. Dewa
Maut hanya mau mengikuti perintah Gendhuk Tri. Kama Kalacakra,
salah seorang ksatria Jepun yang mahir memainkan pedang panjang.
Kama Kalandara, saudara seperguruan Kama Kalacakra. Dua nama yang
berbeda akan tetapi artinya sama, yaitu benih matahari. Bila
bergabung, keduanya menjadi disegani, karena bisa memindah serangan
sambil berputar kencang. Kama Kangkam, guru Kama Kalacakra maupun
Kama Kalandara. Datang ke tanah Jawa untuk mengadu kekuatan dengan
Eyang Sepuh, memperebutkan gelar sebagai ksatria lelananging jagat,
atau ksatria yang paling lelaki, yang paling tak terkalahkan.
Senopati Semi, salah seorang senopati Majapahit. Salah seorang dari
tujuh dharmaputra, putra istana yang mendapat perlakuan istimewa
dari Baginda. Senopati lain yang termasuk dharmaputra ialah
Senopati Kuti, Senopati Pangsa, Senopati Wedeng, Senopati Yuyu,
Senopati Tanca, serta Senopati Banyak. Kala Gemet, putra mahkota
Keraton Majapahit, putra Permaisuri Indreswari. Sejak muda telah
diangkat menjadi calon pewaris takhta dengan mengambil tempat
latihan kekuasaan di Dahanapura. Ketakutan disaingi saudaranya, ia
melarang saudara lain ibu menikah. Mahisa Taruna, putra Mahisa
Anabrang, yang terbakar oleh dendam sejak kematian ayahnya di
tangan Senopati Sora. Merasa pengabdian ayahnya kepada Keraton
disia-siakan, Mahisa Taruna mudah dipermainkan orang lain. Aria
Wiraraja, tokoh yang dihormati dari Sumenep, Madura, inilah yang
pertama kali mengulurkan tangan kepada Sanggrama Wijaya. Taktik dan
strateginya jitu. Dengan kematian Lawe, putra kesayangannya, Aria
Wiraraja sangat kecewa. Kemudian meninggalkan Keraton dan berdiam
di Lumajang, yang membawahkan wilayah Majapahit sebelah timur. Naga
Nareswara, atau Raja Segala Naga, merupakan utusan tertinggi dari
Tartar, yang masih menyimpan dendam, karena pasukannya yang mampu
menaklukkan dunia dikalahkan oleh senopati- senopati Majapahit.
Akan tetapi kedatangannya yang terutama untuk bertarung dengan
Eyang Sepuh, dalam memperebutkan gelar ksatria lelananging jagat.
Untuk membuktikan siapa pewaris suci dari ajaran yang sama
sumbernya. Kiai Sambartaka, atau Kiai Kiamat, seorang pendeta dari
tanah Hindia. Datang ke tanah Jawa untuk mengadu ilmu sejati dengan
Kama Kangkam, Naga Nareswara, serta Eyang Sepuh. Agaknya, lima
puluh tahun lalu, para tokoh itu sudah berjanji untuk mengadakan
pertempuran habis-habisan. Paman Sepuh Dodot Bintulu, atau menyebut
dirinya Bik Suka Bintulu karena menyamakan dirinya sebagai pendeta
peminta-minta. Dodot Bintulu adalah nama untuk menunjukkan
kesederhanaan sebagai rakyat jelata. Panggilan Paman Sepuh karena
tokoh sakti ini saudara seperguruan Eyang Sepuh maupun Mpu
Raganata, dan yang sesungguhnya menuliskan Kitab Bumi atau Bantala
Parwa bagian pertama, yaitu yang berisi Dua Belas Jurus Nujum
Bintang. Wajahnya hancur karena dikhianati dua muridnya yang
durhaka, yaitu Ugrawe dan Halayudha. Kemunculannya kembali ke dalam
dunia persilatan untuk memenuhi undangan yang disebarkan Eyang
Sepuh lima puluh tahun yang lalu. Di mana akan berkumpul seluruh
jago silat, jawara dari jawara seluruh jagat. Salah satu gubahan
http://goldyoceanta.wordpress.comHalaman 3 dari 500
4. ilmunya yang terkenal, selain Banjir Bandang Segara Asat
yang disempurnakan Ugrawe, adalah jurus-jurus Timinggila Kurda,
atau jurus-jurus Ikan Gajah Murka. Ikan gajah adalah sebutan untuk
ikan paus pada masa lalu. Kiai Gajah Mahakrura, nama lain Paman
Sepuh yang dipakai oleh Halayudha, yang menggambarkan gurunya yang
dianggap sebagai gajah mahabengis. Ratu Ayu Bawah Langit,
menunjukkan sebutan bahwa di seluruh kolong langit ini, dialah yang
paling ayu tanpa tanding. Nama sesungguhnya Ratu Ayu Azeri Baijani,
datang dari negeri Turkana. Suatu negeri yang disebut sebagai
tlatah tapel mates, karena merupakan tapal batas dengan wilayah
yang tak dikenal. Ratu Ayu berkelana ke tanah Jawa karena mendengar
bakal ada pertemuan seluruh jago silat. Bersama para senopatinya,
Ratu Ayu ingin mencari jodoh, yaitu yang bisa mengalahkannya.
Karena ia percaya bahwa bersama lelaki yang mampu mengalahkannya,
ia bisa membebaskan negerinya dari jajahan Raja Tartar. Repotnya,
justru dalam pengelanaannya, tak ada yang mampu mematahkan ilmunya,
yaitu Tathagati, atau ilmu Buddha Wanita, yang dianggap sesat
karena menyamakan sang Buddha dengan wanita. Gerak langkah ilmu ini
disebut Tathagata Pratiwimba atau gerakan Area Buddha yang Kaku,
serupa dengan cara bergerak boneka. Sariq, senopati utama Ratu Ayu
Bawah Langit. Sariq berarti kuning, karena ketika memainkan ilmunya
seakan tubuhnya berwarna kuning seluruhnya. Senopati lainnya ialah
Uighur, Karaim, Wide, Chagatai, dan Kazakh. Bersama-sama mereka
mampu memainkan barisan yang disebut Lompat Turkana, atau 64
Langkah Jong. Jong bisa berarti payung, bisa berarti tertutup.
Barisan Lompat Turkana ini disusun sedemikian rupa, sehingga
langkah ke belakang tertutup. Mereka selalu bergerak maju ke depan,
ke samping kanan, atau ke samping kiri. Konon ini merupakan
permainan yang lazim di negeri Turkana. Gajah Biru, senopati yang
setia kepada Mpu Sora, baik di saat jaya maupun ketika tersisih,
seperti juga: Juru Demung Maha Singanada, gagah perkasa, wajah dan
penampilannya sangat mirip dengan Upasara Wulung. Hanya rambutnya
dibiarkan tergerai dan sikapnya jauh lebih urakan, tak mengenal
tata krama. Senopati ini termasuk dalam rombongan yang dikirim oleh
Baginda Raja Sri Kertanegara dari Keraton Singasari (itu sebabnya
masih memakai nama Singa) ke tlatah Campa, ke Keraton Caban. Untuk
mengantarkan Dyah Ayu Tapasi, putri Baginda Raja, untuk
dipermaisurikan Raja Campa. Senjata utamanya adalah kantar, atau
tombak pendek. Ilmunya bersumber pada Kitab Bumi, akan tetapi cara
mengatur pernapasannya disebut Nawawidha, atau Mengatur Tenaga
Dalam Lipat Sembilan. Jurus- jurusnya dikenal sebagai Nawagraha,
atau Siasat Sembilan Bintang, yang kesemuanya berintikan kepada
angka sembilan. Pendeta Syangka, atau Pendeta Sidateka, berasal
dari tanah Syangka atau Sri Langka. Merupakan pendeta kesayangan
Putra Mahkota Bagus Kala Gemet, sehingga kelak kemudian hari sang
putra mahkota ini memakai gelar kebesaran sebagai Sri Sundarapandya
Adiswara. Sebutan pandya berarti mengakui kebesaran dinasti Pandya
yang memerintah di Sri Langka. Sejak tata pemerintahan Keraton
Sriwijaya, pendeta-pendeta dari Syangka mencoba menanamkan
pengaruhnya, akan tetapi selalu gagal. Sekali ini, Pendeta Sidateka
yang menguasai Pukulan Dingin, berhasil. Maha Singa Marutma, salah
seorang senopati yang dikirim oleh Baginda Raja Sri Kertanegara ke
Keraton Mon, di delta Sungai Saluen, di tlatah Burma. Keraton Mon
menjadi rebutan kekuasaan antara Keraton Burma dan Keraton
Sukothai, dari bangsa Thai. Maha Singa Marutma kembali ke tanah
Jawa mencari bantuan untuk membebaskan Keraton Mon dari serbuan
Burma maupun Sukothai. Pangeran Jenang, nama yang dimudahkan untuk
menyebutkan Pangeran Che Nam, yang terdesak oleh bangsa Vietnam.
Karena Keraton Campa merupakan wilayah yang dikuasai Singasari,
Pangeran Jenang minta bantuan ke tanah Jawa. Hanya saja ketika ia
datang, yang memerintah bukan lagi Baginda Raja Sri Kertanegara.
Oleh Bagus Kala Gemet, ditarik sebagai salah seorang pendukungnya.
Kebo Berune, oleh Upasara dipanggil dengan sebutan hormat Eyang
Kebo Berune, sedangkan Nyai Demang memanggil dengan Kakek Kebo
Berune. Salah seorang tokoh sakti yang hidup sezaman dan seangkatan
dengan Paman Sepuh, Eyang Sepuh, maupun Mpu Raganata. Bahkan
sama-sama merumuskan lahirnya Kitab Bumi. Kebo Berune hanyalah nama
sebutan, karena tokoh ini mengembara sampai ke tlatah Berune atau
Brunei, dan baru kembali untuk bertanding menguji ilmu siapa yang
paling unggul. Suatu pertemuan setiap lima puluh tahun sekali.
Sayangnya, karena cara berlatih tenaga dalam yang keliru, Kebo
Berune selalu dibayangi maut, dan tak bisa bergerak. Salah satu
ajiannya yang sejajar dengan ilmu Weruh Sadurunging Winarah Mpu
Raganata, sejajar dengan http://goldyoceanta.wordpress.comHalaman 4
dari 500
5. ajian Tepukan Satu Tangan Eyang Sepuh, sejajar dengan Banjir
Bandang Segara Asat Paman Sepuh, adalah Pukulan Pu-Ni yang
diciptakannya. Pu-Ni sekadar untuk mengingatkan bahwa ilmu itu
diciptakan di tanah Pu-Ni atau Berune atau Brunei. Konon ilmu-ilmu
itu diciptakan untuk menjadi penangkal ilmu Dua Belas Jurus Nujum
Bintang. Pulangsih, atau Putri Pulangsih dalam sebutan Nyai Demang.
Menurut cerita yang dituturkan Kebo Berune, Pulangsih adalah gadis
yang diperebutkan oleh Mpu Raganata, Eyang Sepuh, Paman Sepuh,
maupun Kebo Berune. Tokoh wanita yang masih serba samar ini memilih
Eyang Sepuh yang disebut Bejujag atau si kurang ajar, namun justru
pada saat itu Eyang Sepuh mencampakkannya. Penolakan itulah yang
mengilhami lahirnya bagian terakhir Kitab Bumi, yang disebut Kitab
Penolak Bumi, atau Tumbal Bantala Parwa. Pulangsih pastilah sebutan
di antara keempat ksatria muda pada zamannya, karena arti pulangsih
sesungguhnya adalah bersatunya daya asmara secara jasmani. Cebol
Jinalaya, si cebol berkulit hitam. Mewakili pemuja yang tetap
mengagungkan Sri Kertanegara, sehingga menganggap bahwa bila mereka
mati, bisa terus menjadi abdi Baginda Raja. Jinalaya sendiri nama
yang dipakai untuk menunjukkan tempat untuk mati. Senopati Agung
Brahma, bangsawan tua yang dihormati oleh kalangan keraton, tetapi
juga jauh dari kekuasaan karena lebih suka menyepi. Kepedihan
hatinya tetap tak terhibur dengan menikahi Dyah Dara Jingga, yang
dengan demikian ia adalah kakak ipar Baginda. Termasuk salah
seorang senopati yang dikirimkan ke seberang oleh Baginda Raja Sri
Kertanegara. Hanya satu yang menyebabkan ia keluar dari
persembunyiannya, yaitu terutama karena mendengar berita datangnya
utusan dari Keraton Caban di Campa, di samping keruwetan yang
menimpa Keraton. Bagus Janaka Marmadewa atau Janaka Rajendra atau
biasa dipanggil dengan Pangeran Anom, putra Senopati Agung Brahma.
Ketekunannya mempelajari Kitab Air menyebabkan ia menemukan rahasia
permainan ganda. Sifatnya yang polos, jujur, sering dibandingkan
dengan saudara sepupunya yang menduduki takhta. Oleh sebab itu
dianggap saingan di belakang hari. Dalam kepolosannya, ia menaruh
hati kepada Gendhuk Tri. Barisan Padatala, sebutan untuk ketiga
pendeta dari Syangka yang memakai gelang kaki. Sebenarnya padatala
lebih tepat diartikan sebagai telapak kaki. Mereka ini terdiri atas
Pendeta Resres, Wacak, serta Taletekan. Puspamurti, tokoh yang
ganjil, bukan karena selalu memakai pakaian perempuan atau
bersenjata kipas gede, melainkan karena selalu memainkan ilmu
silatnya yang hanya satu jurus. Dikenal sebagai pemuja Kidungan
Paminggir, yang biasa disebut sebagai Kitab Maha manusia.
Manmathaba, pendeta yang menjadi pemimpin tertinggi dari tanah
Syangka. Agak ganjil bahwa dasar- dasar ilmu silatnya sama dengan
ajaran dalam Tirta Parwa atau Kitab Air. Yang mengerikan adalah
senjata rahasia berupa bubuk pagebluk yang bisa membunuh dan atau
membuat korbannya ketagihan terus-menerus. Di samping itu juga
memiliki senjata bandring cluring, yang talinya konon dibuat dari
otot manusia. Ilmu kebalnya juga belum ada tandingannya. Truwilun,
muncul sebagai peramal atau dukun yang membela rakyat kecil dengan
memberi pengobatan dan penyuluhan. Rambut, jenggot, dibiarkan
tumbuh secara liar, akan tetapi pandangan matanya menyorotkan kasih
dan kedamaian. Potongan kayu digunakan sebagai alas kaki. Cantrik,
pengikut setia Kiai Truwilun. Pengasihan, sebutan untuk sejumlah
senopati yang diangkat ketika Manmathaba berkuasa. Di antaranya,
Senopati Jaran Pengasihan, Senopati Kebo Pengasihan. Mereka sengaja
diberi kekuasaan pada saat terjadi perebutan kekuasaan dan pengaruh
di kalangan senopati. Tantra, senopati yang sangat dekat
hubungannya dengan tujuh senopati utama, atau pada dharmaputra,
yaitu senopati yang dianggap berjasa besar oleh Baginda Kertarajasa
ketika mendirikan Keraton Majapahit. Praba Raga Karana, sebutan
untuk kekasih Raja Jayanegara. Sebutan ini agak berlebihan, karena
praba berarti sinar yang memancar dari orang suci, sedangkan raga
karana sebutan untuk tubuh yang mengimbau berahi. Dulunya juru
pijat yang diangkat dan dipersiapkan menjadi permaisuri. Sodagar
Galgendu, saudagar yang mempunyai tambang emas Gua Kencana, di Desa
Kedung Dawa. Karena jasa dan sumbangannya kepada Keraton, ia diberi
gelar Wong Agung. Tubuhnya yang gemuk dan kelembutan sikapnya
tertutupi berita bahwa dirinya bisa membuat pohon kelapa yang
seluruhnya terdiri atas emas. Ia sangat mengagumi dan mengharapkan
bisa mempersunting Ratu Ayu. Ki Dalang Memeling, tokoh dalang dari
Desa Memeling yang mampu memainkan wayang kulit tanpa menyentuh. Ia
termasuk pemilik Gua Kencana, namun belum suka mendalang. Meskipun
digemari rakyat, Ki Dalang kurang disukai kalangan Keraton.
http://goldyoceanta.wordpress.comHalaman 5 dari 500
6. Mada, pemuda desa yang mempunyai cita-cita menjadi prajurit
Keraton sebagai pembebas derita hidup dan pengakuan pribadinya.
Mada bisa diartikan air berahi, atau air asmara. Sebuah nama yang
agaknya sengaja dipakai untuk memperlihatkan latar belakangnya yang
berasal dari rakyat kebanyakan, seperti petani dan tukang perahu,
seperti juga keempat sahabatnya berikut ini: Madana, yang bisa
berarti dewa asmara. Senggek dan Genter, yang arti harfiahnya
galah, akan tetapi juga simbol kejantanan. Kwowogen, yang berarti
rasa puas yang berlebihan dalam kenikmatan badani, seperti makan
terlalu banyak. Kelimanya menemukan persamaan tujuan, dan berguru
langsung untuk memahami Kidung Pamungkas. Ini berbeda dari generasi
sebelumnya yang mulai mempelajari Kitab Bumi, sehingga melahirkan
sikap yang juga berbeda. Pangeran Hiang, satu-satunya putra mahkota
Kaisar Tartar yang berani memakai umbul-umbul atau bendera dengan
simbol Siung Naga Bermahkota. Ini menunjukkan bahwa pangeran yang
pernah menyusup masuk dan menaklukkan Jepun serta Koreyea itu
merupakan calon pewaris takhta di Keraton yang menguasai jagat.
Putri Koreyea, istri Pangeran Hiang yang berasal dari tlatah
Koreyea, yang berdiam di perahu yang memiliki perlengkapan serba
sempurna untuk menghalau siapa pun yang mencoba mendekat. Barisan
Api, atau Pendekar Api, sebutan untuk para pengawal utama pasangan
Pangeran Sang Hiang dengan Putri Koreyea. Terdiri atas tiga belas
prajurit pilihan, yang tenaganya luar biasa besar. Lebih
menakjubkan lagi, tenaga dalam mereka ini bisa berlipat jika
telapak tangannya bersentuhan. Nama-nama mereka semua berarti sama,
yaitu berarti taji api. Seperti Jalugeni, Jalulatu, Jaluapi,
Jaluapyu, Jaluagni, Jalubahni, Jaludahana, Jalubtama, Jaluguna,
Jaluanala, Jalusiking, Jalupawaka, Jalupuja yang agaknya tidak
pernah dipergunakan karena tidak berhubungan dengan orang luar.
Eyang Agung Jengiz Khan yang Tiada Tara, kakek buyut Pangeran Hiang
yang menyatukan seluruh bangsa Mongol, Tartar yang gagah perkasa.
Gelaran sebagai Penguasa Jagat diberikan setelah berhasil
mengakhiri dinasti Keraton Tang yang menguasai tanah Cina. Senopati
Temujin nama yang dipakai ketika menyatukan suku bangsa yang hidup
liar di gurun pasir terbuka. Rama Prabu Kubilai Khan yang Perkasa,
ayah Pangeran Hiang, cucu Eyang Agung Jengiz Khan yang Tiada Tara,
berhasil mengembangkan tradisi kemenangan, setelah menggantikan
kakaknya. Keraton Tawu dibangkitkan kembali dengan mengambil nama
dinasti Yuan. Gemuka, saudara tua Pangeran Hiang, keturunan ketiga
Jamuka, senopati Tartar yang bersama Temujin berhasil menguasai
seluruh dataran Cina, hingga ke Persia dan Samudra Adriatik.
Tradisi kemenangan dan darah Tartar yang murni mengalir dalam
tubuhnya, sehingga mengikuti Pangeran Hiang ke Jepun dan Koreyea.
Sewaktu rombongan ke tanah Jawa, Gemuka sebenarnya merasa
keberatan. Dyah Palasir, salah seorang senopati muda Majapahit.
Anak buah langsung Senopati Nambi, seperti juga Dyah Singlar yang
bertugas menjadi prajurit pribadi Raja. Bersama Dyah Pamasi, mereka
merupakan senopati-senopati muda yang dipersiapkan menjadi
pengganti. Dewi Renuka, nama yang dikenakan kepada wanita yang
kurang jelas asal-usulnya, yang ditemui Halayudha ketika masih
berguru kepada Paman Sepuh. Sebutan ini mengambil nama tokoh dalam
dunia pewayangan yang melakukan penyelewengan asmara dan kemudian
hari dibunuh putranya. Dewi Renuka ini yang mengakibatkan Halayudha
buntu tenaga planangan atau tenaga kelelakiannya. Nyai Makacaru,
atau Nyai Sesajian, istri Senopati Tanca yang lebih dikenal sebagai
tabib Keraton. Keunggulannya dalam meracik jamu dan jejampian
dikabarkan membuat suaminya tidak melirik wanita lain. Nurani
kewanitaan Nyai Makacaru terobek ketika mengetahui niatan Raja
Jayanegara mengawini Tunggadewi dan Rajadewi, saudara seayah.
Senopati Gandhing, pengikut setia Mahapatih Nambi yang menguasai
Benteng Gandhing. Senjata andalannya kalawai, tombak bermata tiga.
Senopati Bango Tontong, semula adalah pengikut setia Mahapatih
Nambi yang diangkat Halayudha sebagai pemimpin Barisan Kosala,
barisan untuk menjaga ketenteraman, ketertiban, dan kesejahteraan.
Akan tetapi julukan yang beredar di masyarakat ialah Barisan Kopina
atau Barisan Cawat. Sebutan Bango Tontong, karena kakinya panjang,
kurus, hitam seperti burung bangau tontong. Tenggala Seta, diduga
putra Dewi Renuka. Sekurangnya menurut pendekatan merogoh sukma
yang dilakukan Eyang Puspamurti. Tenggala berarti luku atau bajak,
atau dalam bahasa lain juga hala,
http://goldyoceanta.wordpress.comHalaman 6 dari 500
7. yang juga mengandung arti yang berdosa, hina, celaka, dan
kalah. Arti lahiriahnya bajak atau luku putih. Jabung Krewes,
senopati yang diunggulkan dan diberi jabatan kuat dalam tata
pemerintahan Keraton. Oleh Halayudha dimaksudkan untuk mengimbangi
pengaruh Senopati Bango Tontong yang bisa meluas. Dengan mengadu
dua kekuatan, kedudukan Halayudha sebagai tempat bergantung semakin
kokoh. Baginda Koryo, raja yang memerintah Keraton Koreyea, yang
berhasil menyatukan bangsa yang selama ini terjajah oleh bangsa
Cina. Merupakan leluhur atau nenek moyang Putri Koreyea. Si Bawuk,
sebutan yang diduga keras untuk Jagaddhita, guru sekaligus pengasuh
Gendhuk Tri. Angon Kertawardhana, pangeran muda yang berasal dari
Cakradaran, yang mendiami keraton petilasan Singasari. Putra
Cakradara yang merupakan pewaris takhta dari wilayah yang dulunya
menjadi pusat kekuasaan. Pangeran Muda Wengker, pangeran muda yang
mendiami Keraton Tua, sebutan untuk Keraton Daha, cikal bakal
sebelum berdirinya Singasari. Jurang Grawah, prajurit yang diangkat
sebagai senopati oleh Senopati Kuti. Sebagaimana biasanya, setiap
pergantian pimpinan, terjadi pula pergeseran di lapisan bawahnya.
Patih Arya Tilam, patih Daha yang sakti. Jabatan utamanya adalah
penasihat rohani Pangeran Muda Wengker. Kemampuannya meramal masa
depan agaknya justru merepotkan hidup yang dijalani sekarang. Patih
Arya Wangkong, patih wilayah Singasari yang kasar dan terbuka.
Pengabdi setia Pangeran Muda Angon Kertawardhana. Ngwang, sebutan
untuk pendeta yang mempunyai hubungan erat dan ganjil dengan
Pangeran Sang Hiang. Ilmu andalannya berdasarkan kekuatan angin,
yang diciptakan khusus untuk mengalahkan Kitab Bum. Ngwang
sebenarnya sebutan untuk orang yang belum diketahui asal-usulnya.
Cubluk, gadis kecil yang ditemukan di tempat mangkatnya Jaghana.
Sangat cerdas, lembut, dan tidak menyukai ajaran silat. Klobot,
bocah kecil yang ditemukan bersama Cubluk. Kedua anak ini dinamai
demikian karena ketika pertama ditemukan hanya kata itulah yang
diucapkan. Berbeda dari Cubluk, Klobot sangat bernafsu mempelajari
ilmu silat. Nala, salah seorang prajurit pratama, atau prajurit
kelas satu, dari Daha. Seperti juga Naka Ayang-Ayang Raja MESKIPUN
dalam keadaan limbung dan menggabruk ke lantai, ternyata serangan
yang serentak menyerbu ke arahnya tak menimbulkan gangguan sedikit
pun. Halayudha tetap berdiri tegak sementara puluhan tombak menusuk
ke arahnya. Dengan menyalurkan tenaga dalam ke seluruh lubang
kulitnya, arah tombak seakan melenceng. Seperti mengenai baja yang
licin. Tusukan pedang berikutnya malah menimbulkan rasa takjub. Dua
pedang bahkan bisa dikempit di bawah ketiak Halayudha. Penusuknya
tak bisa bergerak. Ketika Halayudha melonggarkan kempitannya, tubuh
penyerang justru tergelosor di lantai. Tanpa bisa bangun lagi.
Pameran yang luar biasa dari penguasaan tenaga dalam yang sempurna.
Kalau Halayudha berniat membalas, puluhan prajurit kawal tak bakal
bisa menghirup udara lagi. Tanpa mengerti apa kekeliruan yang
dilakukan. Baginda menyadari bahwa ilmu Halayudha jauh di atas
prajurit kawal pribadinya. Akan tetapi bahwa tanpa membuat gerakan
membalas sedikit pun mampu mengenyahkan seluruh serangan, tetap
menimbulkan kekaguman. Semua itu dilakukan tanpa membalas serangan.
Kidung Ayang-Ayang Raja! Perintah Baginda bukan menyebutkan nama
jurus ilmu silat. Mengatakan ayang-ayang berarti mengatakan
bayang-bayang raja, atau bayangan tubuh raja. Kembali tubuh
Halayudha menggeletar. Bibirnya tipis dan alunan tembangnya terasa
ringan. http://goldyoceanta.wordpress.comHalaman 7 dari 500
8. Seorang raja ialah seorang yang mempunyai bayang-bayang
tubuh sepanjang tanah, sepanjang air, sepanjang udara itulah
bedanya dengan pohon paling tinggi dan burung yang bisa terbang,
dan angin yang tak berbentuk tak berwujud seorang raja perkasa
tanpa jejak tanpa tapak ia menciptakan bayangan tubuh masa depan,
di mana anak-cucu berlindung dan meneruskan hingga ke keturunan
yang kemudian bayangan tubuh seorang raja ialah sarang angin
bayangan tubuh seorang raja ialah tempat terangingatlah semua
keturunan darah Singasari, ingatlah semuanya agar Dewa menjadi iri,
sakit hati, tapi tak bisa apa-apa itulah bayangan tubuh seorang
raja, itu hanya bayangannya Lalu apa maumu? Jadilah seorang raja.
Apa yang kamu lihat? Seorang raja tanpa ayang-ayang! Kembalikan
semua kepada ingsun, sebab kamu tak berhak mengidungkan. Itu
kidungan raja, dan kamu tak berhak meminjam, Halayudha! Suara
Baginda mengguntur keras sekali. Saat itu Mahapatih Nambi dan para
senopati yang lain sudah mengurung. Mereka melakukan sembah dan
berjongkok menunggu gerakan napas yang berbeda. Sementara Halayudha
berdiri tegak. Kembali terjadi perubahan pada tubuhnya. Yang
perlahan terangkat ke atas, ke atas hingga setengah tombak. Tak ada
gunanya matahari diciptakan kalau tak mampu membuat bayangan tubuh.
Didengar dari nadanya jelas itu ucapan Halayudha. Akan tetapi
sekilas terlihat bahwa tak ada bagian tubuh Halayudha yang
bergerak. Juga ketika turun kembali dan kakinya menginjak tanah.
Mahapatih Nambi menjadi tidak sabar. Tangannya mencabut keris dari
pinggang, dan dengan menotol keras tubuhnya melesat dari samping.
Lambung Halayudha yang ditusuk langsung. Di dalam pergelangan
tangannya tersalur tenaga tusukan yang luar biasa ganasnya. Sret,
sret, pakaian Halayudha terobek. Sewaktu Nambi membalik kerisnya,
kali ini kain Halayudha yang robek. Tersayat-sayat. Dalam satu
gerakan tangannya telah bergerak naik-turun tujuh kali. Ada tujuh
sayatan. Akan tetapi tetap saja. Tubuh Halayudha berdiri tegak. Tak
terluka sedikit pun. Kali ini Mahapatih Nambi terkesiap. Sungguh
luar biasa! Tusukan kerisnya seakan menikam dan merobek kulit. Akan
tetapi ternyata hanya mengenai kain. Dua kali Mahapatih mengulangi
gerakannya, hanya sobekan kain yang makin banyak. Seakan rumput
panjang yang digantungkan. Tetapi sedikit pun tak ada kulit yang
terluka. Luar biasa! Setebal apa pun kulit, sekebal ilmu apa pun,
sulit dipercaya bahwa kain yang menempel di kulit bisa hancur
tersayat, akan tetapi tak melukai kulit ari sekalipun. Rasanya
seumur hidup Mahapatih Nambi tak pernah membayangkan ada ilmu yang
begitu hebat. Bahkan kalau tidak mengalami sendiri, tidak menusuk
sendiri, agak sulit mempercayai. Halayudha diakui mempunyai seribu
satu akal. Baik yang benar-benar licik maupun yang penuh akal-
akalan. Kabar mengenai hal ini sudah menyebar. Bukan tidak mungkin
di balik kain yang dipakai, Halayudha memakai pelapis yang tak
mempan disentuh senjata. Bisa terjadi hal semacam itu. Akan tetapi
tidak sekarang ini. Jelas terlihat kulit Halayudha melalui kain
yang tersobek. Tidak mengenakan sesuatu. Tidak memakai pelindung
apa-apa. Kembalikan, Halayudha! Perintah Baginda kembali
mengguntur. http://goldyoceanta.wordpress.comHalaman 8 dari
500
9. Kembalikan ke mana, siapa yang punya? Lihatlah ke tanah.
Adakah bayangan tubuhmu? Mahapatih Nambi kembali menggebrak. Kali
ini dengan pukulan kosong. Mencoba menangkap tubuh Halayudha yang
tak bergerak. Merenggut paksa dan membanting ke lantai. Akan tetapi
lagi-lagi hanya sobekan pakaian yang tertarik. Sementara ayunan
senjata yang lain juga tak mempunyai pengaruh apa-apa. Seakan
melesat di kiri dan di kanan, di samping, di atas tubuh Halayudha.
Kalau seratus tusukan bisa dihindari tanpa menggerakkan tubuh,
tanpa diperintahkan para penyerang melangkah surut. Halayudha maju
setapak. Mendekati Baginda. Yang mundur setindak. Keadaan menjadi
sunyi. Kidungan Para Raja bagian mana lagi yang diperlukan? Tak ada
jawaban. Halayudha maju lagi dua tindak. Kidung pambuka terdengar
suara halus merdu. Baginda melirik kaget. Permaisuri Rajapatni
duduk bersimpuh di kejauhan belakang, akan tetapi suaranya
mendenging lemah. Halayudha menghirup napas dalam-dalam. Suaranya
mengalun perlahan, seolah berbisik. Bacalah Kidungan Para Raja
sebab ini wejangan Kertanegara yang perkasa yang dikasihi Dewa yang
dipuja bacalah jika rohmu roh raja. Halayudha masih akan
melanjutkan, karena nada kidungan itu belum selesai, ketika
Permaisuri Rajapatni berseru lirih, Tutuplah, sebab kamu tak
memiliki roh raja. Tubuh Halayudha tergetar, dan mendadak lututnya
seperti terkena pukulan keras. Tertekuk. Tubuhnya ambruk. Baginda
mendongak ke atas. Matanya menyipit. Apa yang diucapkan
permaisurinya sangat tepat. Memotong kidungan yang ditembangkan
Halayudha. Seharusnya lanjutan kidungan tadi ialah: Bacalah jika
rohmu roh raja roh rajamu, Raja Singasari. Dan selanjutnya. Namun
dengan memutus hubungan dengan lirik berikutnya, Permaisuri
Rajapatni mampu menghentikan kekuatan roh kidungan. Halayudha
seperti dibanting kembali ke alam kenyataan, bahwa ia bukan raja.
Bahwa ia tak berhak membaca kidungan yang khusus ditulis untuk para
raja. Baginda mengetahui dengan pasti. Hafal segala lekuk-liku cara
menembangkan. Hanya tidak menyadari bahwa dengan mencegat di
tengah, artinya bisa lain sama sekali. Asmara Dayinta KIDUNGAN PARA
RAJA menurut cerita selalu ditulis sendiri oleh raja yang sedang
berkuasa. Ditulis sendiri dalam artian didiktekan secara langsung
lalu dicatat abdi kepercayaannya maupun ditulis sendiri dalam
artian sebenarnya. Inti kidungan itu ialah isi pemikiran yang ingin
ditularkan kepada raja penerus. Ajaran-ajaran suci ataupun mengenai
pembagian kekuasaan. http://goldyoceanta.wordpress.comHalaman 9
dari 500
10. Semacam kitab wasiat terakhir yang hanya boleh dibaca
setelah raja yang bersangkutan kembali ke alam para Dewa. Menurut
kisah yang didengar ketika Baginda masih berada di Singasari,
Kidungan Para Raja ditulis sendiri oleh Sri Baginda Raja
Kertanegara. Juga sampai saat-saat terakhir ketika prajurit
Jayakatwang menyerbu. Kalau sampai Permaisuri Rajapatni bisa
menghafal, bukan sesuatu yang luar biasa. Karena Sri Baginda Raja
memang raja yang lain dari raja-raja sebelumnya. Tata aturan itu
tidak berlaku. Masih di saat memegang tampuk pemerintahan, Sri
Baginda Raja mengizinkan putri-putrinya membaca segala apa yang ada
di ruang pustaka raja atau perpustakaan bagi keluarga raja. Jadi
bisa dimengerti kalau Rajapatni, atau kakak-kakaknya, turut membaca
dan dengan sendirinya bisa hafal. Sri Baginda Raja bertindak nerak
angger-angger, atau melabrak aturan dalam soal semacam ini.
Keinginannya yang besar untuk menghimpun satu kitab silat saja
sudah menunjukkan sesuatu yang tak sama dengan raja sebelumnya.
Hasilnya memang tidak mengecewakan. Sekian banyak senopati
dikirimkan ke tlatah seberang. Beberapa putrinya mampu menguasai
banyak ilmu. Seperti Permaisuri Tribhuana yang mahir dalam tata
pemerintahan. Dan seperti yang baru saja terbukti. Permaisuri
Rajapatni mampu mencegat kidungan yang ditembangkan Halayudha. Hal
ini menandakan bahwa Permaisuri bukan hanya hafal kidungan itu,
akan tetapi juga mampu menguasai dengan sempurna. Tahu di mana
titik, tahu di mana ketika menembangkan si penembang menarik napas.
Karena kidungan seperti itu adalah kidungan yang perlu dipahami
dengan kecerdasan pikir dan sekaligus ketulusan hati. Karena
kidungan seperti itu adalah kidungan yang penuh nasihat, penuh
perlambang, di mana kalimat-kalimat yang diucapkan mempunyai makna
serba ganda. Kidungan Para Raja pada bait yang ditembangkan
Halayudha menunjukkan bahwa hanya boleh dibaca oleh yang mempunyai
roh raja, bacalah jika rohmu roh raja. Dalam hal ini Rajapatni
masuk secara jitu dengan mengatakan bahwa Halayudha tidak mempunyai
darah raja. Padahal kalau dibaca lengkap sampai bait terakhir,
bukan tidak mungkin justru Sri Baginda Raja memberi makna yang
berbeda. Karena di ujung kalimat berbunyi roh rajamu, Raja
Singasari. Yang berarti ada perbedaan antara roh raja dan roh
rajamu, Raja Singasari. Perbedaan yang sangat besar antara
keturunan dan calon raja, dengan yang memiliki jiwa seorang raja!
Apa pun juga, Rajapatni bisa mempergunakan dengan tepat. Pada saat
yang menentukan. Baginda tak habis pikir. Permaisurinya yang selama
ini mampu duduk bersila tanpa mengubah tempat duduk sekian lama,
yang membiarkan air mata menetes tanpa diusap, pada saat tertentu
mampu tampil dengan perkasa. Nyatanya hanya dengan kidungan itu
seluruh tenaga gaib yang menguasai Halayudha bisa buyar. Padahal
sebelumnya, tenaga gaib itu yang demikian besar pengaruhnya
sehingga seorang Halayudha berani berdiri sama tinggi dengan
Baginda, berani berbicara sambil memandang mata. Suasana lengang.
Geraham Baginda beradu. Semua yang hadir menunggu. Kelu. Membisu.
Miliki roh raja meskipun kamu paminggir kembalilah ke pinggir
dengan roh rajamu kembali ke kembali kembali ke asalnya seperti
keris jadi besi http://goldyoceanta.wordpress.comHalaman 10 dari
500
11. kembali bertani di sawah atau di laut sebab di situ tempat
pengabdian kembali ke kembali kembali ke roh pengabdian. Dengan
tarikan napas lega, Rajapatni mengakhiri kidungannya dan menyembah
secara hormat sekali. Baginda menarik napas dan mengibaskan
tangannya. Bagus, Yayi. Kini kembalilah ke tempatmu. Sebab wanita
punya tempat sendiri. Permaisuri kembali menyembah hormat. Apa
benar begitu? Rasanya tak ada yang menyalahkan kalau wanita berada
di antara lelaki. Sri Baginda Raja tak pernah melarang saya berada
di mana saja untuk menembangkan Kidung Asmara Dayinta? Tanpa terasa
Halayudha maupun Mahapatih Nambi menoleh ke arah datangnya suara.
Sesuatu yang tak akan dilakukan secara sadar di depan Baginda. Di
depan dan tengah menghadap rajanya! Langit boleh runtuh dan bumi
boleh terangkat ke atas, akan tetapi tetap tak akan menggugah
pemusatan pikiran untuk hanya mendengar kalimat dari Raja. Dan
untuk sejenak Halayudha merasa dadanya bergolak. Karena mengenali
sekilas Putri Pulangsih yang berdiri tegap sambil menyilangkan
kedua tangannya, sedakep, di depan dada. Yang membuat darah
Halayudha berdesir kencang, juga Mahapatih Nambi, ialah karena
sosok tubuh lelaki yang bersila di dekat kaki Putri Pulangsih.
Sekelebatan seperti Maha Singanada. Akan tetapi Mahapatih sadar
bahwa Maha Singanada masih bertarung di halaman dengan Senopati
Agung. Tak salah lagi. Itulah Upasara Wulung. Upasara Wulung!
Kakang Terdengar suara seakan rintihan hewan yang terluka. Suara
wanita. Suara siapa? Suara Permaisuri Rajapatni? Dugaan Mahapatih
memang begitu karena sejak tadi tak ada suara wanita, sampai dengan
pemunculan Putri Pulangsih yang tak dikenalnya, selain Permaisuri.
Senopati Pamungkas II - 2 Namun Halayudha yang lebih tajam
pendengarannya mengetahui bahwa asal suara itu jauh di belakangnya.
Siapa lagi yang berani keluyuran dan menerobos masuk selain Gendhuk
Tri? Kalaupun Baginda mendengar suara itu, hatinya seperti ditoreh
sesuatu yang menyakitkan ulu hatinya. Seperti tertusuk belahan
bambu tipis yang menimbulkan luka tanpa mengalirkan darah. Pun
setelah mengetahui bahwa bukan permaisurinya yang meneriakkan
Kakang. Torehan yang memilukan itu karena suara Putri Pulangsih
yang menyebutkan Kidungan Asmara Dayinta. Yang artinya kira-kira
adalah Tembang Asmara Permaisuri, puisi cinta permaisuri. Sebutan
itu tak berarti apa-apa bila saat itu tak ada Upasara Wulung dan
Permaisuri Rajapatni alias Gayatri. Sebutan itu tak ada artinya
apabila tidak dikaitkan dengan kidungan yang diciptakan Sri Baginda
Raja. http://goldyoceanta.wordpress.comHalaman 11 dari 500
12. Bagi Baginda, kata-kata itu menusuk tajam sampai dasar.
Karena, seperti hampir semua kerabat Keraton mengetahui atau
setidaknya pernah mendengar, Sri Baginda Raja dikenal memanjakan
daya asmara secara terbuka. Pesta-pesta Keraton hampir tak pernah
sepi dari tata asmara. Sehingga kidungan yang diciptakan pun, bisa
dihubungkan dengan daya asmara. Atau hubungan asmara, yang menjadi
inti utama kehidupan. Baginda bisa mengetahui secara tepat karena
sudah membaca dari bait pertama hingga bait terakhir. Rasanya saat
itu bayang-bayang tubuh Baginda mengecil. Nenek tua, apa maksudmu
sowan tanpa tinimbalan ngarsaningsun? Sebutan ngarsaningsun
menunjukkan bahwa segala sesuatu hanya bisa terjadi atas karsa,
atau kehendak, Baginda. Putri Mulanguni BERAGAM tanda tanya muncul
seketika di banyak benak. Gendhuk Tri sendiri bertanya-tanya
bagaimana Upasara Wulung bisa mendadak muncul bersama Putri
Pulangsih. Mahapatih dan para senopati bertanya-tanya apa yang
harus dilakukan untuk melindungi Baginda. Akan tetapi yang
terdengar suara lembut dan dingin nadanya. Kalau saya mau pergi ke
mana, itu atas kemauan sendiri. Tak ada yang harus menentukan.
Dulu, sekarang, atau kapan saja. Apakah saya sudah menjadi
nenek-nenek atau tidak, apa hubungannya dengan kamu? Siapa kamu
sebenarnya, berani berdiri dan membuka kaki? Ingsun Kertarajasa
Jayawardhana yang memerintah merah atau birunya Keraton Majapahit.
O, rupanya kamu raja. Rasanya terlalu lembut seperti bayi.
Mahapatih Nambi mengentak, kedua tangannya terulur ke depan. Satu
lontaran tenaga meluncur. Akan tetapi kali ini, Mahapatih justru
tersungkur ke depan. Rata dengan lantai tak bisa bergerak lagi.
Siapa namamu dan apa kemauanmu? Nama saya sudah dilupakan, kecuali
oleh beberapa orang yang sudah mati. Apa kemauan saya, hanya ingin
mendengarkan Kidung Asmara Permaisuri ditembangkan untuk ksatria
yang nasibnya sebaik gurunya yang kurang ajar. Jelas yang
dimaksudkan adalah Upasara Wulung dan Gayatri! Putri Pulangsih
tetap berdiri tegak. Tangannya tetap bersilangan, hanya dadanya
sedikit bergerak naik-turun. Kenapa bersila dan menunduk? Katanya
mau bertemu kekasih dan menembangkan daya asmara. Apa lagi yang
kamu tunggu? Upasara Wulung diam tak bergerak. Upasara! Teriakan
Baginda terdengar mengguntur. Sembah dalem, Gusti yang dipuja
seluruh Keraton. Apa pun keinginanmu datang kemari, ingsun tidak
suka tindakanmu. Sebelum lebih marah lagi, lebih baik kamu
meninggalkan Keraton dan tak usah menginjakkan kaki lagi. Upasara
menyembah. Tunggu dulu! Kenapa kamu begitu bodoh? Kenapa kamu tak
mewarisi sedikit pun keberanian si Bejujag, yang bisa menaklukkan
putri kesayangan Sri Baginda Raja? Lihat baik-baik. Buka mata
lebar-lebar. Rasakan getaran asmara yang sama dari kekasihmu, Putri
Mulanguni yang tak bisa menahan berahi. Bahkan Gendhuk Tri pun
merasa wajahnya merah. Rasa malu dan jijik menjadi satu.
http://goldyoceanta.wordpress.comHalaman 12 dari 500
13. Selama ini wanita yang dikenalnya yang bisa mengeluarkan
kata-kata tidak senonoh adalah Nyai Demang. Tak tahunya ada yang
lain. Yang dianggap suci karena masih eyang gurunya. Yang tidak
seharusnya berbuat seperti itu. Alangkah sempurnanya bayangan
Gendhuk Tri jika saja Eyang Putri Pulangsih moksa begitu saja,
seperti Eyang Sepuh. Lebih meninggalkan kesan suci. Dan bukannya
malah muncul dengan cara seperti ini. Selama ini gambaran yang ada
di benak Gendhuk Tri sudah membentuk sempurna. Rasa hormat hingga
menyerupai pemujaan yang luar biasa dalam terhadap Mpu Raganata
serta Eyang Sepuh. Hal yang sama yang dirasakan secara tulus
terhadap Eyang Putri Pulangsih. Karena hidup sezaman dan
memperlihatkan kebijakan serta kearifan yang sama. Tak tahunya
membuatnya sangat jengah. Kikuk. Rendah. Apalagi menyebut
Permaisuri Rajapatni dengan sebutan Putri Mulanguni. Sebagai putri
yang membangkitkan berahi. Dewa segala Dewa, apakah serendah itu
omongan eyang gurunya? Yang usianya lebih pantas untuk disembah dan
dipuja? Sebenarnya yang paling rikuh, paling malu, dan tidak enak
hati, adalah Upasara Wulung. Sama sekali tak menyangka akan
menghadapi kenyataan yang dalam mimpi pun tak berani dihadapi.
Selama ini betapapun rindunya bergolak, Upasara selalu berusaha
menenggelamkan. Berusaha mengubur ke bawah sadarnya. Pun di puncak
kerinduannya yang tak tertahankan, Upasara memilih tidak menemui
Gayatri. Akan tetapi sekarang justru terjebak dalam keadaan yang
sama sekali tak terbayangkan. Tak bisa dihindari. Ini memang
perjalanan yang panjang. Sangat panjang. Upasara tidak membayangkan
bisa bangkit lagi. Saat ia tergeletak beku merayap dari kedua kaki,
Upasara tak mempunyai niatan untuk bangkit lagi. Ia membiarkan
tubuhnya terseret oleh arus pukulan yang membekukan, menyesakkan,
dan membuatnya tidak sadar. Beberapa kali Upasara tersadar, akan
tetapi untuk kesekian kalinya pula tak sadar lagi. Sampai akhirnya
ia menyadari berada di bawah lindungan pohon di tengah malam saat
bulan sangat pucat. Ada bayangan lelaki tua di sebelahnya sedang
bersemadi, dengan janggut panjang putih seperti menyentuh tanah.
Upasara hampir saja berseru kegirangan dan memeluk bayangan kakek
yang dikiranya Eyang Sepuh. Masih mau mencari mati, anak muda?
Antara sadar dan tidak, Upasara mengenali nada suara itu. Eyang Apa
aku masih pantas dipanggil eyang kalau hanya seorang kakek tua tak
berguna, yang berjalan menyelusuri bayangan pohon kala rembulan mau
bersinar. Upasara, kamu tidak pantas menjadi ksatria. Tidak pantas
menjadi senopati Singasari. Putraku lebih pantas menjadi ksatria
lelananging jagat daripada kalian semua. Upasara memaksa diri duduk
dan menyembah. Eyang Wiraraja Oho, kamu masih mengenaliku dan
mengenali putraku yang gagah? Sembah pangabekti buat Eyang
Wiraraja. Mana mungkin saya bisa melupakan Kakang Senopati Lawe
yang gagah dan digdaya? Eyang Wiraraja mengangguk-angguk. Kini
jelas jenggotnya yang putih bagai kapas menyentuh tanah
berkali-kali. Jadi kamu menganggap putraku lelaki gagah, digdaya,
perkasa, dan berjiwa ksatria? Tidak sia-sia aku mendidiknya. Tidak
sia-sia. http://goldyoceanta.wordpress.comHalaman 13 dari 500
14. Upasara bisa merasakan nada getir yang mengalir. Lebih dari
itu, Upasara Wulung mengenal tokoh tua yang menolongnya untuk
sementara. Ketika prajurit di bawah pimpinan Raden Sanggrama Wijaya
menyiapkan benteng pertahanan di desa Tarik, Eyang Wiraraja inilah
yang berjasa besar. Bukan hanya melatih para prajurit, mendirikan
benteng, dan melindungi dari ancaman masuknya prajurit telik sandi
Raja Jayakatwang, melainkan juga yang mengatur siasat sejak semula.
Jauh dalam hatinya, Upasara sangat menghormati tokoh tua yang
dianggap sakti serta bijak ini. Apalagi sejak lama Eyang Wiraraja
mengabdi kepada Sri Baginda Raja Kertanegara. Hanya saja ketika itu
Upasara tak pernah berhubungan langsung. Karena dirinya hanyalah
prajurit biasa, sementara Eyang Wiraraja adalah penasihat utama
Raden Sanggrama Wijaya. Yang ketika naik takhta pun masih memandang
hormat padanya. Jarak pangkat dan derajat yang jauh berbeda.
Meskipun demikian, Upasara cukup mengerti apa yang terjadi pada
Eyang Wiraraja. Yang akhirnya memilih menyingkir dari Keraton dan
meminta bagiannya di seberang timur. Setelah kecewa atas
terbunuhnya putra kesayangannya yang mempunyai nama sama dengannya.
Yang lebih dikenal sebagai Senopati Lawe. Sebaliknya, Upasara juga
merasa dikenal. Sekurangnya ketika menyebut ksatria lelananging
jagat, menunjukkan bahwa Eyang Wiraraja mendengar dan mengikuti
perkembangan yang terjadi dalam dunia persilatan. Di atas persoalan
itu, Upasara juga bertanya-tanya dalam hati. Kalau tokoh yang
begitu dihormati dan pernah mengasingkan diri ke tanah timur,
kemudian berniat kembali ke Keraton, pasti ada sesuatu yang luar
biasa. Selama mengasingkan diri dan mendirikan keraton pemerintahan
di tlatah Madura, boleh dikatakan mengibarkan umbul-umbul,
mengibarkan bendera sendiri. Akan malu hati untuk datang ke Keraton
Majapahit. Upasara tak melanjutkan jalan pikirannya, karena
kebekuan yang menusuk-nusuk membuat tubuhnya kejang dan ngilu. Hawa
dingin yang tadinya di ujung kaki, kini telah menjalar sampai
perut. Perlahan tetapi pasti, perutnya terasa keras dan tidak
memungkinkan bernapas dengan leluasa. Ada Ketika Tiada EYANG
WIRARAJA ternyata tidak peduli sama sekali dengan penderitaan
Upasara. Tetap duduk, tenang. Malah membuka bekalnya yang berupa
daun-daun dan mengunyah perlahan. Putraku Lawe, lanang yang
sesungguhnya. Lelaki sejati. Dan Dewa tak menciptakan lelaki
semacam itu dua orang. Cukup seorang. Ketika Tarik masih tinggi
dengan ilalang dan binatang buas, dialah yang pertama kali
membersihkan. Ketika pertarungan dengan Raja Muda Jayakatwang,
dialah yang pertama kali mengangkat pedang, membunyikan genderang
perang. Ketika pasukan Tartar digempur, dialah yang maju paling
depan tanpa gentar, tanpa menunggu orang lain ikut campur. Dia
selalu berani. Berani berbuat apa yang terbaik menurut suara
hatinya. Itulah darah lelaki. Yang kuturunkan padanya. Itu sebabnya
ia berteriak gusar tatkala Nambi diangkat menjadi mahapatih. Ia tak
menghendaki untuk dirinya sendiri. Ia menghendaki yang lebih
berhak. Yaitu Sora. Semua mengetahui bahwa yang dikatakan putraku
yang benar. Orang yang buta, tuli, lumpuh pun mengetahui dan
membenarkan. Akan tetapi, ia bicara seperti itu di depan seorang
raja. Raja yang baru. Yang dulunya bersama-sama menebas ilalang dan
mengangkat pedang. Putraku salah. Putraku disalahkan. Karena tak
mengenal tata krama, tak mengenal unggah-ungguh, tak membedakan
bicara dengan siapa. Padahal apa sebenarnya tata krama itu? Bagi
kami dari tlatah Madura, mengatakan kebenaran itulah tata krama.
Itulah budi pekerti. Itulah jiwa mulia.
http://goldyoceanta.wordpress.comHalaman 14 dari 500
15. Kalau putraku dianggap mursal, dianggap kurang ajar,
barangkali ada benarnya karena dilihat dari tata krama di tanah
Jawa. Tapi kenapa mereka yang di tanah Jawa ini tak sedikit pun mau
melihat tata krama Madura? Apakah Madura bukan tanah? Apakah Madura
tak punya tata krama? Kalau tak punya, kenapa bisa membangun Tarik?
Kenapa bisa merebut Singasari? Upasara hanya mendengar sebagian.
Hawa dingin yang menusuk makin tak tertahankan. Giginya gemeretak,
keringat dinginnya mengucur. Sedemikian hebat rasa sakit sehingga
Upasara menggelinding. Tubuhnya terbanting dan melengkung kaku.
Setua ini, aku menelusuri jalanan. Mencari jawaban. Apa sebenarnya
tata krama itu? Apa yang membedakan seorang bekas teman perjuangan
untuk mendengar nasihat yang benar? Kutelusuri jalanan. Kutelusuri
pinggir sungai. Kudengar Sora, paman putraku yang juga gagah
berani, mati karena kraman. Wahai, Dewa, apa yang sebenarnya
terjadi? Apakah perbedaan tata krama harus diartikan kraman. Kenapa
bukan Lawe putraku yang memakai takhta sehingga manusia di tanah
Jawa ini mengenal tata krama, unggah-ungguh kami? Dan kami yang
ganti menghukum mereka? Dewa tak menjawab apa-apa. Hingga kakiku
pegal. Hingga kutemukan kamu. Ksatria lelananging jagat bagai
anjing, menggeletak tak bergerak. Hanya seperti inikah ksatria
hebat tanah Jawa itu? Merasa makin sesak napas Upasara, secara
tidak sadar tenaga penolakan muncul. Melawan, dalam penyerahan.
Pasrah sebagai bentuk perlawanan. Dibiarkannya rasa sakit yang
terus menusuk-nusuk, dinikmatinya rasa sakit dengan pemusatan
pikiran sepenuhnya. Gigitan rasa sakit makin meninggi. Makin
menusuk. Sampai akhirnya Upasara merasa tak sadar. Tak merasakan
apa-apa. Tetapi dengan begitu pikirannya menjadi jernih. Tubuhnya
yang lemas bisa digerakkan seperti apa maunya. Bungkahan dingin
yang membeset seluruh sarafnya yang begitu peka mencair bagai
udara. Eyang Wiraraja melihat perubahan. Dari sekujur tubuh Upasara
seperti mengeluarkan asap, bau, yang jernih. Tidak wangi. Tidak
busuk. Bersih, jernih, segar. Kesejukan yang menyentuh. Apa yang
kamu lakukan? Upasara mengikuti arah pikirannya. Melambung, lepas,
seperti berada dalam lamunan. Jalan pikirannya bisa digerakkan ke
mana ia mengerahkan. Tangan dan tubuhnya menjadi sangat ringan.
Belum sepenanak nasi, Upasara merasa tubuhnya menjadi segar bugar.
Dadanya longgar, Kukira kamu Bejujag. Terdengar suara halus. Eyang
Wiraraja menggeleng. Karena seperti melihat seorang wanita, akan
tetapi pada saat betul-betul diperhatikan bayangan itu lenyap.
Samar. Upasara kembali duduk. Bibirnya menyunggingkan senyuman.
Tangan kanannya tergeletak di paha, sementara tangan kirinya
terangkat perlahan. Bergerak ke depan. Kiranya memang kamu. Upasara
kali ini benar-benar tersenyum. Kiranya benar-benar kamu, Bejujag.
Hamba yang rendah bernama Upasara Wulung. Sama sekali bukan
bayangan, dan bukan apa-apa dibandingkan dengan Eyang Sepuh. Memang
bagian pernapasan ini diajarkan oleh Eyang Sepuh dalam Tumbal
Bantala Parwa, akan tetapi hamba tak becus mempelajari. Mohon
petunjuk Eyang Putri. http://goldyoceanta.wordpress.comHalaman 15
dari 500
16. Karena tidak mengenal siapa tokoh yang dihadapi, Upasara
menyebut dengan panggilan Eyang Putri. Suatu tanda memberi hormat
yang dalam. Karena Upasara yakin hanya tokoh yang mengenal Eyang
Sepuh secara pribadi yang berani memanggil dengan sebutan Bejujag.
Saya yang menjadikan ilmu itu sempurna. Saya tahu kamu Upasara
Wulung atau celeng nggoteng yang lain. Tetapi kamu sesungguhnya
Bejujag. Bejujag menjadi ada ketika ia tiada. Pantas ia terus
moksa, karena telah menemukan kamu. Bejujag, sungguh beruntung
nasibmu dari kita semua. Eyang Putri yang tiada lain Putri
Pulangsih memandang tajam ke arah Upasara. Kepasrahanmu sungguh
luar biasa, anak muda. Penderitaan batin apa yang membuat kamu
begitu rumangsuk, begitu meresapi? Dua kalimat yang membuat Upasara
bergidik karenanya. Pertama, meskipun ia disebut sebagai celeng
atau babi hutan dan bukan banteng, tapi sangat jelas dikatakan
sebagai pewaris ilmu Eyang Sepuh. Memang Upasara sendiri merasakan
mukjizat. Beberapa kali berusaha melawan, berusaha pasrahmenyerah,
akan tetapi gagal mengusir hawa dingin. Akan tetapi kemudian,
tenaga itu terkuasai sepenuhnya dan bisa diatasi. Kedua, karena
dengan tepat bisa menebak apa yang dialami Upasara. Apa yang
dialami batinnya. Apa yang dirinya sendiri tak berani menatap
apalagi mengungkapkan. Akan tetapi sekali ini Upasara tak bisa
menyembunyikan. Perasaannya tergetar dan luluh. Hanya penderitaan
yang membahagiakan yang memungkinkan latihan pernapasan seperti
itu. Seperti juga Bejujag, yang secara wadak menolakku akan tetapi
secara batin menerima. Ia ada saat tak ada. Eyang Wiraraja
menggelengkan kepalanya. Kamu bicara dengan putraku Lawe? Di mana
dia? Rasanya aku pernah mendengar suara yang gagah ini. Siapa kamu,
kakek tua? Upasara menyembah hormat dan menceritakan siapa Aria
Wiraraja. Ooo, yang pernah sakit hati ketika ikut tersingkir oleh
Sri Baginda Raja? Siapa itu? Ah, kamu tak mengenal. Kamu tak
mengenal bagaimana menerima secara ikhlas, tanpa ganjalan, tanpa
sakit hati, bagaimana pasrah dan berkorban untuk kebahagiaan orang
lain. Upasara, kalau kamu sudah menjadi lelananging jagat, kenapa
tidak kamu coba untuk kalahkan aku? Lima puluh tahun tak menjajal,
rasanya masih kaku sedikit. Tapi tak apa. Majulah, Upasara!
Bagaimana mungkin hamba berani berbuat lancang? Ooo, kenapa kamu
tak seperti Bejujag yang sombong itu? Siapa Bejujag? Suara Eyang
Wiraraja tak terjawab. Karena kini Upasara tak bisa menjawab. Tak
tahu harus berbuat apa. Pernapasan Tujuh Padma EYANG WIRARAJA
menoleh kiri-kanan. Apakah kamu ditantang seseorang, Upasara?
Upasara mengangguk pelan. Dan kamu takut? Upasara terdiam.
http://goldyoceanta.wordpress.comHalaman 16 dari 500
17. Kalau putraku Lawe masih hidup, sebelum tantangan itu
diucapkan, mulut penantangnya telah terkancing tanpa bisa dibuka
selamanya. Saya tak seperti Senopati Lawe. Tapi kamu lelaki.
Putraku juga lelaki. Aku sendiri juga lelaki. Upasara menggeleng.
Memandang hormat ke arah bayangan Putri Pulangsih. Murid Bejujag
satu ini benar-benar cubluk. Tolol dan dungu. Pantas saja dipilih
sebagai pewaris ilmunya. Aku tak perlu sakit hati. Untuk apa
menyesali lelaki yang punya purus. Tajam dan panas kalimat Putri
Pulangsih. Eyang Wiraraja langsung berdiri. Mengurut jenggotnya
yang putih dengan tangan gemetar. Ini penghinaan yang menyakitkan.
Purus bisa berarti umbi, bisa berarti dasar tiang. Tapi bisa juga
berarti umbi atau dasar kelelakian. Mengatakan lelaki tak mempunyai
purus berarti lelaki tanpa kelelakian. Rasanya tak pernah ada
cacian yang begitu merendahkan seperti ini. Makanya walaupun sudah
tua, berdiri juga kedua kakinya. Bagi Upasara ucapan itu pun
membuat daun telinganya panas dan merah. Tapi secepat itu pula
kesadarannya timbul. Karena purus bukan hanya diartikan seperti
itu. Kata purus terdapat dalam Kitab Bumi dalam olah napas. Dalam
latihan pernapasan ada tujuh tempat menahan napas. Salah satunya
yang disebut adistara, yaitu memusatkan napas di antara perut dan
purus. Upasara menyetdot udara membusung, menempatkan udara ke
dalam tataran adisastra. Rupanya kamu berani menerima tantangan.
Tidak sejelek yang kuduga. Entah sampai mana cakram yang kamu
miliki. Upasara merasa menjawab dengan tepat. Ketika Eyang Putri
Pulangsih mengeluarkan tantangan, Upasara ragu. Mana mungkin
dirinya bertarung dengan tokoh tua yang bisa memanggil Eyang Sepuh
dengan sebutan seenaknya. Tak mungkin. Tak mungkin berani. Tak
mungkin berani kurang ajar. Ini yang membedakannya dengan Eyang
Wiraraja. Yang menjadi panas hatinya. Sementara Upasara justru
menangkap secara lain. Dan menjawabnya dengan tarikan napas, sesuai
dengan tantangan yang diterima. Tarikan napas berikutnya, udara
naik ke pusar, yang disebut manipura, dan beralih ke dalam hati,
anahata. Eyang Putri Pulangsih mengeluarkan suara di hidung.
Ternyata dalam jarak yang cukup jauh, bisa mengamati apa yang
dilakukan Upasara. Meskipun yang dilakukan itu adalah cara
bernapas. Yang sama sekali tak terlihat sedikit pun dari gerakan
tangan, atau bahkan gerakan otot perut. Sewaktu telinganya
mendengar cakram, Upasara sudah mengetahui bahwa ia diuji seberapa
jauh bisa memutar, bisa men-cakram, cara pernapasan. Itulah
sebabnya ia terus melanjutkan dengan wisudi, di mana udara tertahan
di tenggorokan, disusul dengan ayana, di antara kedua alis, dan
selanjutnya dengan cara sahasraya di dalam hening pikiran otak.
Upasara menahan beberapa lama, sebelum meluncurkan ke bawah,
sedikit di atas dubur dengan pernapasan yang disebut adara, yang
sebenarnya merupakan permulaan. Tujuh tempat untuk mencari kekuatan
pernapasan, juga disebut tujuh padma, yang bisa berarti darah, roh
atau juga rasa. Kekuatan yang menjadi latihan utama yang dianjurkan
dalam Bantala Parwa. Sesungguhnya, inilah keistimewaan Kitab Bumi.
Yaitu memberi peluang besar untuk menafsirkan, untuk memainkan,
dengan memutar, dengan gerakan cakram, arah-arah sumber tenaga.
Sehingga setiap saat tenaga bisa dikerahkan dari tujuh tempat yang
berbeda. http://goldyoceanta.wordpress.comHalaman 17 dari 500
18. Seperti yang dilakukan Upasara sekarang ini. Yang lebih
istimewa lagi, beberapa pengertian yang terkandung dalam setiap
kata. Seperti padma yang bisa menjadi darah, sehingga seolah-olah
darah mengalir ke tempat yang disebutkan tadi. Tapi bisa juga
berarti pengerahan tenaga. Sebaliknya juga bisa berarti pengerahan
atau pemusatan rasa. Perasaan yang dituntun ke arah tujuh tempat.
Ini yang luar biasa. Pengertian tenaga dalam, tenaga luar, juga
bisa berarti perasaan. Pengertian yang terakhir ini pula yang
digunakan Eyang Putri Pulangsih untuk mengetahui apakah yang
dilakukan Upasara betul atau salah. Pertarungan rasa. Yang tidak
tertangkap sedikit pun oleh Eyang Wiraraja. Yang merasa aneh
melihat Upasara takut menghadapi tantangan dari orang yang tak
diketahui. Malah bersila dan berdiam diri. Kelihatannya saja
sederhana. Akan tetapi sesungguhnya Upasara sedang memusatkan
pikiran sepenuhnya untuk memutar perputaran udara, melatih
pernapasan sesuai dengan rasa yang terwujud dalam udara. Karena
sedikit saja meleset, atau tak bisa dikuasai, angin yang sama bisa
terputus seketika. Kalau ini terjadi, pernapasan Upasara akan
kacau-balau. Tenaga dalamnya akan bertabrakan dengan sendirinya.
Pernapasan Tujuh Padma tak bisa berhenti atau menjadi tidak
teratur. Inti perputaran atau cakram ini yang tadi diucapkan Eyang
Putri Pulangsih sebagai dasar untuk menguji. Kang wasesa winisesa
wus. Suara lirih kembali terdengar. Upasara makin memusatkan
perhatiannya. Apa yang diucapkan Eyang Putri Pulangsih adalah
pengertian apa yang terjadi dalam tubuh tergantung pada angin di
luar. Atau menyandarkan pada hubungan dunia kecil, dunia batin,
dunia rasa di dalam tubuh dengan dunia di luar. Upasara
mengosongkan pikirannya, dan membiarkan udara di luar leluasa,
merasuk, mengaduk dalam tubuhnya. Ke mana arah udara mengalir dan
berhenti, di adistara, manipura, sahasraya diikuti dengan tenang.
Dengan cara apa kamu mempelajari Kitab Bumi? Pertanyaan itu seperti
menggema dalam hati. Karena Upasara tidak mendengar lewat telinga.
Seperti juga Eyang Wiraraja yang tidak mendengar apa-apa. Dengan
rasa. Jawaban Upasara juga diucapkan dalam hati, dengan rasa. Siapa
gurumu? Eyang Sepuh. Siapa gurumu? Siapa saja. Apa yang kamu cari?
Tidak mencari apa-apa. Dusta. Kamu dusta. Kamu mencariku. Tidak.
Bukan. Iya. Kamu mencariku, Kakang. Dada Upasara sedikit
terguncang. Karena suara yang masuk menyelinap dalam relung hatinya
bukan lagi suara Eyang Putri Pulangsih, melainkan suara Gayatri.
Baik nadanya, tekukan suaranya. Gambaran yang jelas, seakan
berbisik dalam denyut nadi. Kenapa kamu menahan diri, Bejujag? Aku
tidak menahan diri. Kenapa kamu tak datang? Aku menunggu.
http://goldyoceanta.wordpress.comHalaman 18 dari 500
19. Aku sudah datang, kamu masih menunggu. Aku sudah menunggu,
kamu belum datang. Kita datang bersama, Kakang. Jalan bersama,
Yayi. Kakang. Yayi. Upasara kadang masih merasa dirinya dipanggil
Bejujag, kadang dipanggil sebagai Kakang. Akan tetapi secara
perlahan, kemudian menyatu, tak bisa terpisahkan lagi. Juga tak
bisa membedakan apakah yang mengajak bicara tanpa suara itu Eyang
Putri Pulangsih atau Gayatri. Keduanya menyatu. Tak terpisahkan.
Kakang. Yayi. Panggilan Asmara TUBUH UPASARA terasa ringan. Dengan
satu sentakan napas, kedua tangannya tertarik ke atas. Perlahan
tangan kiri mendorong ke depan, sementara tangan kanan lunglai di
dekat lutut. Terdengar helaan napas dalam. Helaan napas Eyang Putri
Pulangsih. Seperti nada penyesalan dan kebanggaan. Seperti
melepaskan suatu perasaan tertentu. Yang tak bisa ditebak dengan
pasti oleh Upasara setelah dirinya sadar. Upasara, kenapa kamu
membuat nasib Bejujag begitu baik? Kenapa kamu tidak menjadi
muridku saja? Dewa mana yang pilih kasih? Ketahuilah, Upasara,
Bejujag ku adalah Eyang Sepuh mu. Lewat dirimu, aku bisa
menemuinya, tanpa menghancurkan dirimu. Tanpa merusak, tanpa kau
hambat. Bukankah itu pertanda Dewa pilih kasih? Raganata mempunyai
banyak kelebihan, mempunyai ratusan murid. Tapi tak mampu apa-apa.
Aku tak bisa menemui. Dodot Bintulu katanya punya murid turunan
yang tangguh, tapi serba gelap. Tak bisa ku tengok. Berune masih
tersisa. Akan tetapi dengan menyiksa orang lain. Merusak raga yang
masih bisa hidup. Bejujag, aku tahu di mana dan siapa kamu
sebenarnya. Aku mengaku kalah. Kamu sudah bisa moksa dengan
sempurna, selamanya. Aku masih gentayangan. Masih keluyuran tak
menentu. Tapi aku bahagia. Bahagia sekali. Bukankah sebaiknya
Upasara juga merasakan bahagia? Bahagia sebelum dan sesudah moksa.
Ayolah, Upasara! Kita berangkat ke Keraton. Ambil Gayatri-mu.
Jangan pedulikan apa saja. Tidak semua kata-kata Eyang Putri
Pulangsih bisa ditangkap dan dimengerti secara sempurna. Akan
tetapi Upasara menyembah dan segera berdiri. Kamu ksatria. Kamu
lelaki. Bukan merenungi kekalahan. Pasrah bukanlah membiarkan
penderitaan. Upasara mengangguk. Menoleh ke arah Eyang Wiraraja.
Maaf, Eyang, saya ingin melanjutkan perjalanan. Aku juga akan ke
Keraton. Mari kita jalan bersama, Eyang.
http://goldyoceanta.wordpress.comHalaman 19 dari 500
20. Tidak. Aku berjalan sebagai lelaki. Berani berjalan
mendongak ke atas pada sinar rembulan. Upasara menyembah hormat,
lalu berjalan cepat. Mendampingi bayangan Eyang Putri Pulangsih.
Apakah kamu akan mundur lagi setelah bertemu Gayatri? Hamba tak
berani menatap Permaisuri. Tak ada permaisuri. Asmara tak mengenal
permaisuri atau bukan dalam tarikan daya asmara. Dengarkan
panggilan hatimu. Ketuk semua pintu. Upasara, kamu bisa
mendengarkan apa yang kualami dulu. Mendengar panggilan asmara,
seperti juga Bejujag meneriakkannya. Akan tetapi kami sama-sama tak
tahu harus berbuat bagaimana. Kami sama-sama keras kepala. Kami
sama-sama memperhitungkan kebahagiaan pasangan yang ternyata
buntung. Kalau sejak awal Bejujag, dan juga aku, lebih terus
terang, rasanya tak ada pertengkaran dengan Raganata, Bintulu, dan
Berune, atau yang lainnya. Kalau kami tidak sama-sama keras kepala.
Sok tinggi hati. Seperti sekarang ini. Apakah tanpa itu Bejujag tak
bisa menyempurnakan Tumbal Bantala Parwa? Mungkin, mungkin sekali.
Tapi mungkin juga ada kitab lain. Kitab bahagia. Kitab yang tidak
menjadi tumbal. Kamu tahu itu semua, Upasara? Dengan mengerahkan
tenaganya Upasara mencoba mengimbangi kecepatan tubuh Eyang Putri
Pulangsih yang seperti melayang. Beriringan dengan kecepatan angin
berpindah. Aku bercerita banyak. Karena barangkali saja ini
kesempatan terakhirku. Mempertemukan dua hati yang tergetar
panggilan asmara. Aku ingin meninggalkan jagat ini dengan bahagia.
Aku telah menunggu lima puluh tahun. Lebih dari yang lainnya, aku
bisa bertahan. Sampai sekarang. Sehingga aku mempunyai waktu untuk
mempertimbangkan kembali. Kitab dan kitab yang selalu ditulis
dengan keyakinan, akan ditulis kembali. Barangkali itu sebabnya aku
tak bisa moksa dengan baik, dengan rela. Karena masih ada yang
ingin kulakukan. Mempertemukan asmaramu. Kamu tahu semua ini,
Upasara? Kenapa hamba yang dipilih? Rasanya begitu banyak yang
mendengar panggilan asmara. Karena kamu berbeda dari yang lainnya.
Karena kamu Bejujag yang sesungguhnya. Eyang, apa sesungguhnya daya
asmara itu? Apakah harus didengar panggilannya? Apakah tidak lebih
wigati mendengarkan panggilan daya yang lain? Gerakan tubuh Eyang
Putri Pulangsih menurun. Tidak secepat sebelumnya. Manusia harus
selalu menjadi manusia. Lelaki harus menjadi lelaki. Apakah ia
lelananging jagat atau tidak, sama saja. Hanya lebih berarti,
menjadi sempurna, setelah berdua. Karena Dewa menitahkan begitu.
Ada langit ada bumi, ada tanah ada air, ada rembulan ada matahari.
Sri Baginda Raja Kertanegara bisa menyatukan itu. Kalau benar
begitu, untuk apa kita ke Keraton? Hamba bisa menemukan air yang
lain. http://goldyoceanta.wordpress.comHalaman 20 dari 500
21. Jangan kauingkari suara hatimu. Jangan kaubutakan matamu.
Jangan kautulikan telingamu. Rasa tidak bisa mati. Tak bisa
dibunuh. Selama kamu tak berani menemukan jawaban, kamu akan selalu
terombang-ambing. Kamu tak mempunyai kekuatan. Seperti aku, seperti
Berune, seperti Raganata. Lima puluh tahun mencari-cari, dan
terus-menerus gelisah. Dan menyerah. Seperti membiarkan dirimu
terbaring diserang udara dingin. Kamu tak menemukan pegangan. Tak
menemukan akar kekuatan. Kamu mengemohi, menolak Gayatri, menolak
panggilan asmara yang sesungguhnya. Apakah hamba akan menemukan?
Bagaimana bisa kamu jawab kalau kamu tak berani mencari? Apakah
Eyang Sepuh Bejujag itu orang yang beruntung. Nasib tak bisa
ditiru. Itu sebabnya aku berkata, Dewa pun pilih kasih. Barangkali
saja itulah keadilan Dewa, Upasara. Kalau Kamu sudah memegang gelar
lelananging jagat. Akan tetapi lebih ringkih, lebih lemah dari
bayi. Apa kamu berhasil atau tidak, bukan urusanku. Juga bukan
urusanmu. Tapi coba datangi. Rebut. Menangkan. Sehingga pasrah yang
kaurasa, adalah pasrah yang sesungguhnya. Hamba kira Sebagai Eyang
Putri-mu, hari ini kamu antarkan aku. Mengantarkan ke gerbang di
mana aku bisa pergi dengan ikhlas, dengan rela. Kalau tidak, aku
masih akan terus penasaran hingga lima puluh tahun yang akan
datang. Upasara mengangguk. Mantap. Itulah jiwamu yang kerdil. Yang
kekanak-kanakan. Itulah Bejujag. Baru sekarang ini Upasara merasa
dijungkirbalikkan. Satu saat merasa pasti, menjadi ragu, dan
setelah diyakinkan, digoyahkan kembali. Kalau sekarang Upasara
menyertai Eyang Putri Pulangsih ke Keraton, karena lebih terdorong
niat agar keinginan terakhir Eyang Putri Pulangsih terkabul. Akan
tetapi justru itu yang direncanakan Eyang Putri Pulangsih. Yang
dipakai sebagai cara untuk membujuk Upasara. Dan itu yang
dikatakan. Entah kenapa begitu banyak persamaan kedunguan antara
kamu dan Bejujag. Darah apa yang bisa sama seperti ini? Upasara,
benarkah kamu bukan anak kandung Bejujag? Upasara merasa disambar
geledek. Tak pernah terduga akan ada pertanyaan semacam ini.
Pertanyaan yang membanting kakinya ke tanah kenyataan. Kidungan
Kenyung UPASARA menjadi peka jika asal-usulnya diusik. Terutama
jika yang mengusik seseorang yang dianggap terhormat. Seperti
pertanyaan Eyang Putri Pulangsih yang langsung menyodok ulu
hatinya. Apakah dirinya masih keturunan langsung Eyang Sepuh?
Pertanyaan itu mengusik, justru karena dirinya tak bisa menjawab
dengan pasti, apakah dengan anggukan atau gelengan. Dua-duanya tak
memiliki dasar. http://goldyoceanta.wordpress.comHalaman 21 dari
500
22. Upasara tak pernah mengenal dirinya. Sepanjang ia ingat, ia
sudah dididik sebagai Ksatria Pingitan. Sepanjang dua puluh tahun,
ia tak mengenal dunia luar. Selalu berada dalam ksatrian.
Satu-satunya yang dikenal sebagai ayah angkatnya adalah Ngabehi
Pandu. Tokoh yang menciptakan ilmu silat mligi, atau khusus
baginya. Yang dikenal dengan nama Banteng Ketaton, atau Banteng
Terluka. Gerakan-gerakan ini disesuaikan dengan perkembangan dan
kemampuannya ketika itu. Sepanjang yang bisa diingat, Upasara
mengucapkan terima kasih yang tulus dan hormat kepada Ngabehi
Pandu. Yang bukan hanya mendidiknya dalam kanuragan, akan tetapi
juga mengenai kehidupan. Setelah bergaul dengan dunia di luar
Keraton, Upasara lebih sadar mengenai asal-usul seseorang. Ia
sendiri yang merasa tak memiliki untuk diceritakan. Suatu ketika
Upasara pernah menanyakan hal ini. Akan tetapi Ngabehi Pandu hanya
menjawab dengan gelengan, dan kemudian mengalihkan ke pembicaraan
yang lain. Dalam hati Upasara timbul pertanyaan yang mengganjal.
Akan tetapi tak pernah menjadikan persoalan benar. Hatinya merasa
bahagia jika dirinya boleh mengaku anak kepada Ngabehi Pandu.
Rasanya semua persoalan telah selesai sampai di situ. Sampai
kemudian Upasara mengalami jalan hidup yang menentukan. Sewaktu
bersama Gayatri, saat itu tumbuh daya asmara. Apalagi Gayatri
justru memberi semangat dan mengisyaratkan kesediaan mendampingi
Upasara. Seribu rembulan bersinar bersama. Dan serentak padam
tenggelam oleh awan. Selamanya. Hanya karena ramalan para pendeta,
bahwa Gayatri harus diperistri oleh keturunan raja, karena dari
rahimnya akan lahir raja yang tiada taranya, yang akan menguasai
jagat. Saat itulah Upasara merasa dirinya tidak berarti apa-apa.
Sejak saat itu kepekaan asal-usulnya menjadi tinggi. Kalau saja ia
mempunyai darah raja! Persoalan yang sangat mengganjal ialah bahwa
bukan tidak mungkin dirinya mempunyai darah raja. Bukan tidak
mungkin! Karena Ksatria Pingitan memang hanya diperuntukkan
keluarga raja. Yaitu dialiri darah raja, walau tidak dari
permaisuri resmi. Bukan tidak mungkin dari sekian banyak yang masuk
dan dididik dalam Ksatria Pingitan adalah putra- putra peteng,
putra-putra tidak resmi Baginda Raja Sri Kertanegara. Kalau benar
begitu, dirinya masih memiliki darah raja. Keturunan langsung!
Namun sayangnya, tak ada yang memberi kepastian siapa sesungguhnya
orangtua nya. Siapa sebenarnya yang mempunyai anak lelaki untuk
dididik di ksatrian? Kebimbangan yang dikubur perlahan-lahan.
Walaupun sesekali muncul kembali. Karena makin direnungkan, makin
tidak mungkin keluarga yang agak jauh bisa dididik di Ksatria
Pingitan. Anak keturunan senopati pun tak bakal dizinkan masuk
mengikuti. Kebimbangan yang memunculkan berbagai gagasan. Upasara
merasakan sendiri keanehan sewaktu menghadapi pasukan Tartar. Saat
itu, Eyang Sepuh hanya membisikkan sesuatu kepada dirinya dan
kepada Gayatri. Tidak kepada yang lain. Juga tidak kepada Jaghana.
Padahal jelas Paman Jaghana merupakan pewaris dan murid Perguruan
Awan yang paling setia. Yang lebih tak bisa dipercaya lagi ialah
ketika Upasara menuju ke Perguruan Awan, dan akhirnya dipilih
sebagai ketua Perguruan Awan, yang menurut kepercayaan Paman
Jaghana dan Paman Wilanda karena bisikan dan penunjukan Eyang
Sepuh. Upasara mulai guncang. Justru karena asal-usulnya tidak
jelas, siapa saja yang ditunjukkan seakan mempunyai kemungkinan
besar. Seperti yang dikatakan oleh Eyang Putri Pulangsih.
http://goldyoceanta.wordpress.comHalaman 22 dari 500
23. Apa anehnya kalau kamu keturunan langsung Bejujag? Apa
bedanya dengan Sri Baginda Raja yang sama-sama lelaki dan suka
mengumbar daya asmara? Senopati Pamungkas II - 3 Bagaimana Eyang
Putri bisa menduga begitu? Suara Upasara tergetar, terpengaruh
perasaannya yang bisa ditebak dengan jitu. Persamaanmu terlalu
banyak. Terutama dalam ketakutan menghadapi panggilan asmara.
Upasara menggeleng sedih. Hamba tak berani membayangkan itu. Juga
tak perlu. Suatu waktu mungkin kamu akan mengetahui. Upasara,
kalaupun kamu anak keturunan Bejujag, bagiku tak ada persoalan.
Tiba-tiba saja terlintas dalam pikiranku. Tidak apa-apa. Tidak
apa-apa. Mungkin karena aku sedang memikirkan Bejujag, lalu
terlintas dan membersit saja. Lupakan saja, Upasara. Tapi Upasara
tak bisa melupakan. Gerakan kakinya tak bisa mengimbangi kegesitan
Eyang Putri Pulangsih. Kamu akan mengerti juga nanti. Bahwa Bejujag
tidak mau menerimaku karena keangkuhannya. Karena kekerasan
kepalanya tiada bandingannya. Bejujag selalu merasa dirinya lelaki
yang tak bisa dikalahkan hatinya. Kepongahannya hanya bisa
ditandingi oleh Sri Baginda Raja. Hmmm Dua-duanya memang lelaki
sejati. Tak pernah mau mengalah satu sama lainnya. Ketika Bejujag
bisa menyelesaikan Tumbal Bantala Parwa, Sri Baginda Raja tidak mau
menerima. Karena jurus-jurus Tumbal adalah jurus-jurus Bantala
Parwa. Maka sebagai penyelesaiannya, Tumbal Bantala Parwa termasuk
dalam Bantala Parma. Sehingga dengan demikian bukan Bejujag yang
berhasil mengungguli Sri Baginda Raja, melainkan sebaliknya. Kami
semua memang memikirkan cara-cara untuk meredam Kitab Bumi. Kami
semua menciptakan dengan susah payah. Bejujag yang diakui secara
jantan oleh Sri Baginda Raja, tapi sekaligus juga dikalahkan. Dalam
kemelut yang luar biasa, Bejujag tak mau menerima perlakuan itu. Ia
mengundurkan diri dan makin tak mau bertemu dengan siapa saja. Ia
bertapa di Perguruan Awan. Untuk kemudian menciptakan kidungan,
yang rasanya kidungan terbaik yang pernah diciptakan. Yaitu Kidung
Paminggir. Secara terang-terangan Bejujag mengatakan bahwa yang
kelak kemudian hari akan membuat Keraton bersinar jaya menaungi
seluruh tanah Jawa dan jagat seisinya adalah orang-orang paminggir.
Orang-orang pinggiran yang selama ini tak diperhitungkan.
Gampangnya bukan anak-cucu raja. Di sinilah puncak kemurkaan Sri
Baginda Raja tak bisa ditunda. Secara resmi Sri Baginda Raja
menyatakan Kidung Paminggir adalah kitab yang tidak boleh dibaca,
ditembangkan, atau dituliskan. Sebagai gantinya Sri Baginda Raja
menuliskan Kidungan Para Raja, yang menurut Raganata ditulis oleh
tangan Sri Baginda Raja sendiri. Meskipun itu kidungan khusus untuk
raja yang akan memegang mahkota, akan tetapi aku sempat membacanya.
Juga Bejujag dan Raganata. Kamu pernah mendengar? Upasara
menggeleng. Bejujag pasti menganggap tak ada nilainya. Maka tak
diajarkan. Atau menganggap tak ada gunanya. Karena intinya
kurang-lebih sama. http://goldyoceanta.wordpress.comHalaman 23 dari
500
24. Dua-duanya tak mau mengalah. Hanya karena seorang kenyung
yang tak berarti. Di akhir kalimat, nada suaranya menggantung.
Sengaja dibiarkan mengambang. Upasara mengerti bahwa kenyung adalah
sebutan untuk monyet betina. Agak ganjil juga. Seorang raja yang
sakti mandraguna berselisih dengan seorang tokoh persilatan yang
mumpuni gara- gara monyet betina. Akulah kenyung itu. Akulah yang
disebut sebagai kenyung oleh Sri Baginda Raja. Dan agaknya ini yang
membuat Bejujag tak mau mengerti bahwa hubunganku dengan Sri
Baginda Raja tak ada apa-apanya. Ini pula sebabnya mereka
menyebutku sebagai Pulangsih. Sebutan yang maksudnya untuk
merendahkan derajat ke tingkat yang paling hina. Wanita sebagai
tempat hubungan asmara badani belaka. Kenyung Sampiran SUNYI
sesaat. Tak ada helaan napas berat. Tapi justru Upasara merasa
dadanya pepat. Untuk pertama kalinya ia mendengar cerita langsung
dari yang mengalami mengenai masa-masa yang tak pernah dikenalnya.
Sekelebat terbayang betapa sesungguhnya terjadi perebutan pengaruh
yang besar di antara para ksatria sezaman. Akan tetapi yang lebih
membuat Upasara kagum luar biasa adalah kenyataan Sri Baginda Raja
mempunyai jiwa luas bagai laut. Pada saat perbedaan kawruh dengan
rakyatnya, Sri Baginda Raja bisa mengedipkan sebelah mata untuk
melenyapkan siapa pun yang dianggap mengganjal atau mengganggu
kewibawaannya. Nyatanya hal itu tidak dilakukan. Bahkan sebaliknya.
Dalam batas-batas tertentu, malah dibiarkan berkembang. Apa yang
kamu pikirkan, Upasara? Eyang Putri lebih mengetahui. Sri Baginda
Raja memang raja segala raja, raja segala Dewa. Sejak tiupan napas
kita yang pertama, yang terasakan benar ialah keharuman, kebesaran.
Sri Baginda Raja adalah raja yang anjakrawati, maharaja yang
memerintah dengan adil dan bijaksana. Terbayangkah olehmu hal itu,
Upasara? Terpikirkah olehmu bahwa saat itu aku ini hanyalah gadis
remaja yang ingin belajar ilmu silat? Pada saat aku sudah tumbuh
remaja, saat itulah Raja Maha diraja tampil dengan gagah. Rasanya
kalau bisa membasuh bekas bayangan tubuh Sri Baginda Raja, aku
merasa menjadi wanita yang paling bahagia. Rupanya inilah yang
tidak disukai Bejujag. Ia menilai diriku tak berbeda dari wanita
yang lain di jagat ini. Saat itu dan sekarang ini juga, aku
mengakui bahwa kata-katanya benar. Tak ada bedanya. Tak perlu ada.
Kami semua kaum wanita bersedia nyuwita, mengabdi, kepada Sri
Baginda Raja. Meskipun ini hanya kata-kata, agaknya ini melukai
perasaan Bejujag yang paling dalam. Sehingga ia memutuskan tak mau
lagi menemui aku, melihat bayanganku. Kami hanya berhubungan kala
Bejujag memberikan tulisan Kitab Bumi yang disampaikan oleh
Raganata. Begitu juga aku sebaliknya. Ketika aku menciptakan Kitab
Air, Bejujag masih dendam. Ia mencoret kidungan di situ, dan
mengatakan apa yang ditulis hanyalah Kidungan Kenyung Sampiran.
Bejujag terlalu angkuh. Angkuh untuk menyakiti hatinya sendiri. Itu
yang membuatku penasaran. Meskipun tak bisa mengetahui dengan
tepat, akan tetapi Upasara bisa memperkirakan. Bahwa Eyang Sepuh
saat itu paling tidak mau mengakui keberadaan Eyang Putri, dan
memakai sebutan kenyung. Tambahan kata sampiran, barangkali saja
http://goldyoceanta.wordpress.comHalaman 24 dari 500
25. Apakah Eyang mempergunakan selendang untuk memainkan lebih
sempurna? Selendang sebagai pengganti senjata? Mendadak Putri
Pulangsih tersenyum lebar. Tubuhnya berputar. Tangannya terentang
seperti anak kecil. Upasara, jangan-jangan kamu ini Bejujag yang
sesungguhnya! Tawa itu melebar. Baru kemudian mereda. Sama sekali
tidak. Aku menciptakan begitu saja. Menciptakan Kitab Air untuk
menandingi Kitab Bumi, atau kitab lain yang akan dijadikan panutan
di Keraton. Ceritanya lucu. Saat Raganata membawa kembali Kitab
Air, ia mengatakan bahwa Bejujag menganggap tidak berarti apa-apa.
Ini cuma sampir. Aku tadinya merasa panas, karena kukira Bejujag
mau mengatakan bahwa ilmu silat yang kuciptakan hanya gerakan bahu.
Artinya baru terhenti pada menggerakkan bahu. Ini namanya
penghinaan. Dan memang Bejujag bermaksud menghinaku. Namun
sesungguhnya di balik itu, aku bisa menangkap maksudnya yang baik.
Bejujag memberitahu bahwa gerakan-gerakan yang kuciptakan akan
menemukan bentuk yang sesungguhnya dengan sampiran. Seperti dalam
wayang, sampir mempunyai arti selendang yang tersandang di bahu.
Maaf, Eyang Putri, kalau begitu Kamu diam saja. Aku sudah lima
puluh tahun tidak bicara seperti sekarang ini. Upasara terdiam.
Putri Pulangsih juga terdiam. Apa yang kamu tanyakan? Apakah Eyang
Putri yang kemudian menciptakan gerakan dengan selendang? Tidak.
Aku bukan jago silat yang total. Aku tak di bawah Bejujag atau
Raganata atau Berune atau Dodot Bintulu. Kamu juga salah sangka dan
meremehkanku. Kamu sama piciknya dengan Bejujag! Upasara tak
menyangka akan diberondong dengan tuduhan yang menyakitkan.
Meskipun dalam hatinya juga merasa betapa Eyang Putri Pulangsih
lebih sakit hati. Kalau aku mengikuti saran Bejujag, berarti ia
lebih pintar dariku. Tak mungkin! Itu yang kukatakan kepada
Raganata. Tahu apa yang dikatakan Raganata? Aku masih ingat. Ia
mengatakan bahwa Bejujag benar sekali. Pendapat Raganata sejalan
dengan Bejujag. Aku bersikeras tidak. Raganata meminta izinku,
apakah boleh menjajal Kitab Air dengan mempergunakan selendang. Aku
katakan boleh saja, tapi jangan sebutkan bahwa Kitab Air sebagai
sumbernya. Upasara padamu aku berterus terang. Mungkin juga Bejujag
benar. Tapi aku tak mau mengakui itu. Karena temyata apa yang
dikatakan Raganata ada benarnya. Inti tenaga air, untuk menemukan
bentuknya lebih tepat dengan selendang sebagai senjata. Sebagai
latihan pernapasan dan mengerahkan tenaga dalam tak menjadi
masalah, akan tetapi dalam suatu pertempuran, sibakan selendang
bagai gelombang laut, bagai aliran sungai, bagai tetesan hujan,
sangat tepat dengan jiwa dasar Kitab Air. Tapi karena memegang
janji, Raganata tidak mengatakan apa-apa kepada muridnya. Tidak
mengatakan nama ilmu silat. Bahkan mengajarnya pun secara
sembunyi-sembunyi. Upasara menepuk jidatnya. Cukup keras. Sehingga
Eyang Putri Pulangsih seakan menggerakkan alis-nya.
http://goldyoceanta.wordpress.comHalaman 25 dari 500
26. Kamu menertawakan aku? Buru-buru Upasara menggeleng dan
menyembah. Kemudian berusaha menceritakan dengan ringkas. Bahwa
selama ini ia mengenal seorang tokoh wanita sakti yang biasa
mempergunakan selendang sebagai senjata dalam memainkan ilmu
silatnya. Tokoh sakti itu bernama Jagaddhita, dan ia tak mengerti
bahwa sesungguhnya guru yang mengajarinya adalah Mpu Raganata!
Upasara juga tak pernah mengetahui sebelum ini. Karena tadinya
hanya mengira bahwa Mpu Raganata sengaja melarikan gadis-gadis yang
akan nyuwita kepada Baginda Raja. Itu ada benarnya. Raganata memang
tak menginginkan semua gadis menjadi nyamikan, makanan kecil, Sri
Baginda Raja. Upasara juga menceritakan bahwa ia pernah bertemu dan
pernah terkurung bersama dengan Jagaddhita, yang kini telah tiada.
Namun masih ada salah seorang muridnya, yang biasanya dipanggil
dengan nama Gendhuk Tri. Aku sudah melihat sendiri. Ia dengan
kekasihnya. Untuk kedua kalinya, Upasara menepuk jidatnya. Ada
perasaan yang bergolak, sehingga ia memalingkan wajahnya karena
sungkan. Adalah sesuatu yang luar biasa jika Gendhuk Tri mempunyai
kekasih. Sekurangnya dalam bayangannya. Bukan semata karena ia
selalu menganggapnya sebagai gadis kecil. Akan tetapi, Gendhuk Tri
menempati sudut yang istimewa dalam hati Upasara. Dengan segala
kenakalan, kegenitan, dan kemanjaan! Selama ini Upasara lebih lama
dan lebih sering bersama dengan Gendhuk Tri. Jauh lebih mengenal
siapa Gendhuk Tri, dibandingkan dengan Gayatri sendiri. Atau bahkan
Ratu Ayu Azeri Baijani yang resminya adalah istrinya. Gendhuk Tri
telah mempunyai kekasih? Siapa gerangan lelaki yang begitu bahagia
hidupnya? Dan apa yang sesungguhnya terjadi? Ia ada di Keraton
bersama kekasihnya. Kalimat ini lebih membulatkan tekad Upasara
Wulung datang ke Keraton. Langkahnya bergegas. Langkah Ganiti
Kundha UPASARA mengerahkan tenaganya. Kedua kakinya ringan
melangkah, tubuhnya serasa melayang, mengikuti gerakan yang berada
di sebelahnya. Beberapa kali Upasara secara sengaja menambah
kecepatan dan memperkuat totolan ujung kakinya. Akan tetapi
bayangan di sebelahnya selalu berada di sampingnya. Tidak
berkelebat, tidak menimbulkan desiran angin. Seolah melaju tanpa
terhalang apa-apa. Ini yang sedikit-banyak meninggalkan pertanyaan
dalam benak Upasara. Dalam soal mengentengkan tubuh, Upasara tidak
merasa dirinya paling jago. Bahkan sejak kecil otot- otot kakinya
tidak dilatih secara khusus untuk berlari kencang atau untuk
meloncat. Ilmu silat Banteng Ketaton justru berintikan kekuatan
kaki untuk menahan diri. Seperti umumnya aliran silat yang
berkembang di daerah pedalaman, cara-cara meloncat tidak mendapat
perhatian utama. Ini bisa dibandingkan dengan mereka yang belajar
dari aliran puncak gunung. Karena keadaan alam memaksa siapa yang
mempelajari menjadi bisa berloncatan. Dengan sendirinya ilmu
meringankan tubuh boleh dikatakan cemerlang. Sejauh ini Upasara
hanya mengenal seorang yang menguasai ilmu meringankan tubuh secara
sempurna. Yaitu Wilanda. Bekas pengawal yang kemudian menyepi di
Perguruan Awan ini seolah bisa hinggap di ujung ranting tanpa
membuatnya bergoyang. Sama seperti capung. Akan tetapi dalam
melakukan perjalanan jauh, Upasara yakin ia bisa mengimbangi.
Karena, kini, kemampuan tenaga dalamnya jauh lebih kokoh. Akan
tetapi yang membuat Upasara bertanya-tanya, Eyang Pulangsih ini
mampu melesat dengan cepat dan tahan lama. Dua kali sepenanak nasi,
tubuhnya masih serba ringan. Sehingga Upasara mengentak kembali,
agar bisa mengimbangi. http://goldyoceanta.wordpress.comHalaman 26
dari 500
27. Namun masih tercecer. Terutama kalau melalui gerombolan
pohon. Mau tak mau Upasara menghindar sedikit. Hanya karena
kemampuannya yang tinggi dan tingkat kewaspadaannya tajam, Upasara
bisa melakukan dengan cepat. Yang tetap mengherankan, Eyang Putri
Pulangsih seakan tak perlu berkelit atau mengegos. Tubuhnya, atau
bayangan tubuhnya, seperti bisa menerabas, melalui penghalang yang
ada. Ini bisa terasakan karena mereka berdua berlari bersama,
berdampingan. Kenapa kamu, Upasara? Tidak apa-apa, Eyang Putri.
Kenapa kamu keluarkan tenaga begitu banyak hanya untuk melangkah?
Telinga Upasara menjadi panas sejenak. Biar bagaimanapun, Eyang
Putri yang tua ini kedengarannya sangat angkuh. Bagaimana mungkin
dikatakan melangkah kalau ia mengempos seluruh tenaganya? Bagaimana
tidak mengeluarkan tenaga kalau harus secepat ini? Kamu salah. Itu
kebodohan Bejujag. Bumi itu kaku. Diam. Tak bergerak. Sedangkan air
mengalir, bergerak. Air bergerak tanpa mengeluarkan tenaga. Tenaga
yang dipergunakan ialah tenaga tinggi dan rendah daerah sekitar.
Panas dan dingin daerah sekitar. Berangin dan tidaknya daerah
sekitar. Perbedaan tinggi-rendah, panas-dingin, berangin-tidak
berangin yang membuat air bergerak. Upasara jadi ingat Ratu A