KONTRIBUSI FILSAFAT ENLIGHTENMENT
(AUFKLARUNG) PADA PERKEMBANGAN ILMU HUKUM
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sejarah Hukum
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Agus Rahardjo, SH., M.Hum.
Disusun oleh:
Azim Izzul Islami
P2EA13034
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2014
Makalah “Kontribusi Filsafat Enlightenment (Aufklarung) Pada Perkembangan
Ilmu Hukum”
A. Pendahuluan
Filsafat bermula saat Thales (624-546 SM), seorang Miletus memberikan
pertanyaan mendasar “what is the nature of the world stuff?”. Pertanyaan mendasar
yang kemudian ia jawab sendiri dengan jawaban “air”. Selanjutnya muncul banyak
tokoh-tokoh lain sperti Anaximander, Heraclitus dan sebagainya.1 Hingga
kemudian, pada perkembangannya, filsafat menyentuh dunia hukum dan
melahirkan berbagai macam aliran pemikiran hukum.
Secara umum, periodesasi perkembangan filsafat hukum dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Zaman Klasik (abad ke 6 SM – abad ke 4 M)
b. Abad Pertengahan (abad ke 5 M – abad ke 14 M)
c. Zaman Modern (abad ke 15 M – abad ke 18 M)
d. Zaman Sekarang (abad ke 19 M – sekarang)
Fokus kajian pada makalah ini adalah perkembangan filsafat hukum pada
Zaman Modern, khususnya zaman Aufklarung (Enlightenment)2. Zaman Modern
terdiri dari: Masa Renaissance, Aufklarung dan zaman awal abad ke 19. Masa
Aufklarung sendiri terjadi pada abad ke 16 dengan beberapa tokohnya yang
terkenal seperti: Descartes, john Locke, Immanuel Kant, Rousseau dan
sebagainya.3 Masa Aufklarung ini muncul dengan ditandai munculnya semangat
rasionalisme. Istilah Rasionalisme menandakan semnagat zaman itu: akal budi
manusia diutamakan.4 Tidak seperti zaman sebelumnya, dimana pengaruh agama
sangat mendominasi pemikiran manusia, maka pada zaman ini manusia
mengarahkan filsafat pada manusia sebagai pencipta kebudayaan, khususnya
melalui ilmu pengetahuan.
1 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008. Hlm. 48.
2 Zaman Aufklarung biasa disebut juga zaman enlightenment (pencerahan) dan juga disebut sebagai
zaman Rasionalisme.3 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Cet. Ke-13. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Hlm. 69. 4 Ibid, hlm. 68.
B. Permasalahan
1. Apa yang dimaksud Filsafat Hukum?
2. Bagaimana perkembangan Filsafat Hukum pada zaman Enlightenment?
3. Apa kontribusi pemikiran-pemikiran filsafat Enlightenment terhadap Ilmu
Hukum dewasa ini?
C. Pembahasan
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasaIndonesia merupakan kata serapan
dari bahasa Arab falsafatun, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία
philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari
kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan").
Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”.
Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk
terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang
mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".5 Sedangkan secara istilah, Plato
menyebutkan bahwa Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih
kebenaran yang asli dan murni.6 Apabila dihubungkan dengan ilmu Hukum, maka
akan membentuk kata Filsafat Hukum. Angkasa menyebutkan beberapa pengertian
filsafat Hukum menurut para ahli,7 antara lain:
1. Gustaf Radburch
“Filsafat Hukum adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum”
2. Purnadi dan Soejono Soekanto
“Filsafat Hukum adalah penjelasan secara filosofis tentang hukum”
3. Soejono Dirjosisworo
“Filsafat hukum adalah pendirian atau penghayatan kefilsafatan yang dianut
orang atau masyarakat atau negara tentang hakikat serta landasan
berlakunya hukum”
4. Van Apeldoorn
5 http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat, akses pada 20 Januari 2014.
6 Dikutip oleh Dr. Angkasa, SH., M. Hum dalam Makalah Mata Kuliah Filsafat Hukum pada
Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto tahun 2014.
Hlm.3.7 Ibid, hlm. 16 – 18.
“Filsafat Hukum menghendaki jawaban atas pertanyaan: apakah hukum, ia
menghendaki agar kita beerfikir masak-masak tentang tanggapan kita dan
bertanya pada diri sendiri, apa yang sebenara kita anggap tentang hukum?”
5. Satjipto Rahardjo
Filsafat Hukum mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar
tentang hukum. Pertanyaan tentang hakikat hukum, tentang dasar-dasar bagi
kekuatan mengikat dari hukum, merupakan contoh-contoh dari pertanyaan
yang bersifat mendasar itu”
Dari berbagai macam pengertian filsafat hukum, maka dapat disimpulkan
bahwa Filsafat Hukum merupakan kajian secara filosofis terhadap hukum yang
ranah kajiannya tentang hakikat, inti atau kajian sedalam-dalamnya tentang hukum.
Perkembangan Filsafat Hukum dan Munculnya Berbagai Macam Aliran
Sukris Sarmad menyampaikan bahwa sepanjang sejarah hukum mulai dari
zaman Yunani atau Romawi hingga dewasa ini kita dihadapkan dengan berbagai
teori hukum. Dari hasil kajian antropologi sendiri telah terbuktibahwa hukum
berkembang dalam masyarakat, Ibi ius ibi societas´ dimana ada masyarakatdisitu
ada hukum. Para pakar telah mengklasifikasikan aliran-aliran filsafat hukum
adalahsebagai berikut:
1. Soerjono Soekanto membagi aliran filsafat hukum, adalah sebagai berikut:
Mazhabformalitas, Mazhab sejaran dan kebudayaan, Aliran utilitarianisme,
Aliran sociologicalyurisprudence dan Aliran realism hukum.
2. Satjipto Rahardjo, mengemukakan berbagai aliran filsafat hukum adalah
sebagai berikut;Teori Yunani dan Romawi, Hukum alam, Positivisme dan
utilitarianisme, Teori hukummurni, Pendekatan sejarah dan antropologis, dan
Pendekatan sosiologis.
3. Lili Rasdji, mengemukakan aliran-aliran yang paling berpengarus saja adalah
sebagaiberikut; Aliran hukum alam, Aliran hukum positif, Mazhab sejarah,
Sociologicaljurisprudence, Pragmatic legal realism.8
Berikut akan dijelaskan secara ringkas beberapa aliran-aliran hukum
menurut AM. Laot Kian9:
1. Madzhab hukum alam (Hukum kodrat atau Naturalisme)
8 http://kuliahfilsafathukum12.blogspot.com/2012/03/aliran-aliran-filsafat-hukum.html, akses pada
20 Januari 2014.9 AM Laot Kian, Berkelana dalam Filsafat Hukum. Yogyakarta: Kepel Press, 2013. Hlm. 47 - 84.
Sebagian filsuf meyakini adanya hukum yang lebih superior disbanding
hukum buatan manusia, yakni hukum alam. Tema sentral hukum alam adalah
asas moral yang eksis dan diterapkan alam dan dapat diketahui manusia
melalui intuisi atau penalaran. Ada dua kategori hukum alam;
a. Rasional (Sekuler)
Sumber hukum yang universal dan abadi menurut paham ini ialah rasio
manusia tentang apa yang baik dan buruk. Jadi keutamaan moral tidak terdapat
dalam kitab suci melainkan berada pada hati manusia yang rasional. Paha mini
berkembang pesat pada zaman renaissance dan tokoh-tokohnya natara lain:
Pufendorf, Christian Thomasius dan Hugo de Groot (Grotius).
b. Irasional /Teologis
Menurut paham ini, hukum yang berlaku universal dan abadi bersumber
dari Tuhan secara langsung, artinya Tuhan menciprtakan alam sekaligus
meletakkan prinsip-prinsip untuk mengaturnya pada kitab suci. Oleh sebab itu
hukum yang dibuat harus sesuai dengan hukum Tuhan dalam kitab suci. Tokoh
aliran ini antara lain; Thomas Aquinas,Dante Alighieri dan John Wycliffe.
2. Positivisme hukum
Positivisme menganggap bahwa hukum diciptakan oleh orang yang
berwenang untuk membuatnya. Positivism hukum ada dua macam:
pertama,Aliran positif analitis yang didirikan John Austin yang menganggap
bahwa hukum harus dipandang dari secara empiris karena terdiri dari perintah,
kewajiban dan sanksi, Dan yang kedua, Aliran hukum murni dari Hans Kelsen
yang memisahkan hukum dari anasir-anasir non yuridis seperti politis,
sosiologis, historis dan etis.
3. Utilitarianisme
Utilitarianisme berasal dari kata utilis yang berarti bermanfaat atau berguna.
Aliran ini menekankan aspek kemanfaatan bagi sebanyak mungkin orang.
Menurutnya, undang-undang bisa menjadi hukum jika bertujuan untuk
mencapai tujuan. Aliran ini dipelopori oleh Jeremy Bentham setelah membaca
tulisan Joseph Priestley. Madzhab ini kemudian dilanjutkan oleh John Stuart
Mill.
4. Madzhab Sejarah Hukum
Pelopornya adalah von Savigny. Ia menekankan bahwa hukum adalah
cerminan volkgeist, oleh sebab itu hukum adat dalam volkgeist harus
dipandang sebagai hukum kehisupan yang sejati. Tugas penting hukum bukan
sibuk membuat aturan, melainkan perlu digiatkan menggali mutiara nilai
hukum dalam sejarah kehidupan rayat.
5. Madzhab Sosiologi hukum dan Sociological Jurisprudence
Meskipun sama-sama mengaitkan eksistensi hukum dengan masyarakat,
sosiologi hukum berbeda dengan sociological jurisprudence. Sosiologi hukum
memandang bahwa hukum tidak berada dalam undang-undang (law in books)
melainkan apa yang dipraktikkan masyarakat (law in action). Tokohnya adalah
Max Webber.
Selanjutnya sociological jurisprudence dikenalkan oleh Roscou Pound. Ia
berpendapat bahwa hukum tidak boleh dibiarkan menangwang dalam konsep
logis-analitis atau dalam ungkapan teknis yuridis yang terlampau ekslusif,
namun hukum harus didaratkan pada dunia nyata.
6. Realisme hukum
Realisme hukum adalah paham yang melihat hukum sebagaimana adanya
tanpa idealisasi dan spekulasi atas hukum yang bekerja dan berlaku, yang
meneripa fakta apa adanya mengenai hukum. Realisme hukum ada dua
macam; Realisme Hukum Amerika (tokohnya Justice Oliver Wendell Holmes,
Jerome Frank dan Karl Llewellyn) dan Realisme Hukum Skandinavia
(tokohnya Axel Hagerstorm, Ander Vilhelm Lundstedt dan Alf Ross)
7. Freirechtslehre
Bahwa dalam melaksanakan tugasnya hakim bebas untuk memberikan
putusan. Di sini peran yurisprudensi menjadi primer dan hakim benar-benar
menjadi pencipta hukum. Aliran ini muncul di Jerman dan merupakan sintesa
antara ilmu hukum analitis dan ilmu hukum sosiologis.
8. Feminist Jurisprudence
Madzhab ini menganalisis struktur-struktur hukum beserta pengaruhnya
secara material terhadap perempuan, lalu memformulasikan struktur hukum
baru yang mengoreksi ketidakadilan gender, eksploitasi dan pembatasan
terhadap kebebasan perempuan, karena pada posisi itu hukum selama ini hanya
merupakan patriarchal. Beberapa tokoh Feminist Jurisprudence yang terkenal
antara lain; Patricia Cain, Katherine T. bartlet dan Margareth Devies.
Perkembangan Filsafat Hukum pada Masa Pencerahan (Enlightenment)
Zaman Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad XVII sampai akhir
abad XVIII. Istilah rasionalisme menandakan semnagat zaman itu: akal budi
manusia diutamakan. Pada abad pertengahan pikiran manusia berpusat pada Allah,
berdasarkan iman yang bagi mereka merupakan pedoman tertinggi untuk suatu
kebenaran. Hal ini juga berlaku bagi para pemikir. Hal ini bertolak dari gam,baran
yang teosentris mengenai dunia dan hidup. Dalam dunia Renaissance sudah
terdapat perubahan, orang-orang yang berpikir makin mengarahkan perhatiannya
pada manusia sebagai pencipta kebudayaan, khususnya melalui ilmu pengetahuan.10
Berdasarkan kepercayaan yang makin kuat akan kekuasaan akal budi, lama
kelamaan orang-orang di abad itu berpandangan bahwa orang yang hidup
sebelumnya masih berada dalam kegelapan. Baru dalam abad mereka dinaikan
obor terang yang menciptakan manusia dan masyarakat modern yang telah lama
dirindukan. Karena kepercayaan itu abad XVIII itu disebut juga: Zaman
Aufklarung (Enlightenment), Zaman pencerahan dan zaman Terang Budi.11
Dasar filosofis rasionalisme diletakkan oleh R. Descartes (1596 – 1650).
Tujuannya adalah membentuk suatu sistem filsafat yang sama kuat dengan sistem
ilmu pengetahuan alam dan matematika.12 Dasar pemikiran Descartes tersebut
kemudian banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran para tokoh-tokoh filsuf
yang lain selanjutnya.13 Beberapa tokoh rasionalisme tersebut antara lain: Pufendorf
dan Thomasius, Spinoza, Leibniz dan Wolff. Sedang tokoh Empirisme antara lain:
Locke, Barkeley dan Hume. Di Perancis, Rasionalisme dianut oleh Montesquieu,
Voltaire dan Rousseau. Dan kemudian ada Immanuel Kant yang berusaha
mendamaikan antara kedua sistem filsafat ini (rasionalisme dan empirisme) dalam
satu sitem filsafat yang sungguh-sungguh teruji oleh akal budi.14 Berikut akan
dijelaskan beberapa pemikiran dari para tokoh (tidak semua, hanya beberapa):
1. Christian Wolff
10 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Cet. Ke-13. Yogyakarta: Kanisius,
2001. Hlm. 68. 11Ibid.
12 Ibid, hlm. 69.
13 Selain mempengaruhi Rasionalisme, pemikiran Descartes juga mempengaruhi Empirisme.
Empirisme sendiri merupakan semangat rasionalisme yang bisa diterima kebenarannya. 14 Ibid
Filsuf Jerman terkemuka pada abad 18, Christian Wolff (1679-1754)
mengelaborasi dan mensistematisasi karya Leibniz yang isinya menantang
pandangan kaum empirisme dalam filsafat John Locke. Empirisme
mengemukakan bahwa semua pengalaman manusia tentang dunia didasarkan
atas pengalaman inderawi. Leibniz mengemukakan tesis penantangan itu
dengan berujar “segala sesuatu yang ada dalam intelek berasal dari indera,
kecuali intelek itu sendiri.”
Christian Wolff menggunakan prinsip Leibniz di atas dan meneruskan
tradisi rasionalisme yang dibangun oleh Anselmus dan Rene Descartes untuk
selanjutnya melemparkan problem filsafatnya yakni bahwa eksistensi Tuhan
dapat dibuktikan secara a priori. Maksud Wolff, eksistensi Tuhan dapat
ditunjukkan atas dasar proposisi-proposisi yang diketahui benar terlepas dari
pengalaman inderawi. Wolff juga meneguhkan pendapat bahwa prinsip-prinsip
dasar moralitas diketahui secara a priori dan terlepas dari wahyu ilahi.
Satu-satunya prinsip moral yang rasional hanyalah, demikian Wolff,
“kerjakan apapun yang membuat anda dan kondisi anda sendiri serta semua
orang yang mengikuti anda menjadi lebih sempurna.” Wolff menerima asumsi-
asumsi dasar Soic, sebuah aliran filsafat kuno Yunani yang memandang tujuan
terakhir adalah hidup sesuai dengan alam, dan melengkapinya dengan
catatan :”kebahagiaan adalah buah dari tindakan, tetapi kebahagiaan itu sendiri
buakn tujuan dari tindakan moral.”15
2. John Locke
John Locke merupakan filsuf Inggris yang terkenal sebagai perintis
empirisme modern. Ia dikenal sebagai peletak dasar konsep Hak Asasi
Manusia. Dalam filsafatnya mengenai negara dan hukum locke menentang
pandangan terhadap negara dan hukum Zaman Renaissance. Menurut Locke,
tujuan negara tidak lain adalah menjamin hak-hak pribadi orang-orang. Dalam
kontek ini Locke juga menggunakan semboyan hukum Romawi yakni:
keselamatan bangsa harus merupakan hukum tertinggi (salus populi suprema
15 http://badakimuka.blogspot.com/2012/04/dasar-dasar-filsafat-moral.html, akses pada 22 Januari 2014.
lex esto).16 John Locke juga mempunyai konsep negara hukum dengan
membagi negara menjadi tiga kekuasaan; eksekutif, legislatif dan federatif.17
3. Aufklarung di Perancis
Pada masa sebelum muncul pemikiran rasionalisme, sistem pemerintah
Perancis masih bersifat feodal. Ketidakadilan semacam ini makin disadari
dalam abad ke XVIII. Selaras dengan kesadaran itu terdengar slogan-slogan
revolusioner seperti; liberte, egalite dan freternite. Di ntara tokoh-tokoh
aufklarung di Perancis yang menonjol adalah Montesquie dan Jean Jacques
Rousseau.Montesquie terkenal dengan ajaran Trias politicanya. Namun selain
itu, ia juga membedakan antara tiga bentuk negara, yakni monarki, republik
dan despotisme. Selain Montesquie, Rosseau yang menginginkan kebebasan
asli manusia terjamin. Gagasan orisinal Rooseau adalah anggapan bahwa
manusia berubah menurut seluruh hakekatnya, ketika melalui kontrak sosial ia
masuk ke dalam masyarakat sipil. Dalam situasi aslinya manusia sebenarnya
belum meiliki hak-hak yang sungguh-sungguh. Oleh karena itu Rosseau tidak
membicarakan hukum alam pada manusia primitif. Hukum alam baru terdapat
pada orang-orang yang sudah masuk masyarakat sipil. Melalui kontrak sosial
manusia menerima pengesahan dari hak-haknya sebagai manusia, baik secara
moral maupun secar yuridis.
Dalam situasi tersebut maka harta benda manusia menjadi bersifat kolektif
yang menjamin kesatuan yang sama antara orang-orang. Artinya, akan
menimbulkan dampak tidak adanya perbedaan antara orang yang satu dengan
orang yang lain, dan tidak ada orang yang lebih berkuasa daripada orang lain.18
4. Immanuel Kant
Menurut Kant, ruang dan waktu merupakan sesuatu yang subjektif. Tanpa
ruang dan waktu kita tidak bisa membuat pengalaman kita menjadi masuk
akal. Tetapi masih ada unsure lain yang membantu kita mengerti melalui
pemahaman kita tanpa tergantung pada pengalaman, hal itu mencakup kualitas
(quality), kuantitas (quantity), dan hubungan (relation). Ruang dan waktu,
beserta kategorinya (yang mencakup gagasan seperti pluralitas, hubungan
16 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Cet. Ke-13. Yogyakarta: Kanisius,
2001. Hlm. 82. 17 Ibid, hlm 86 – 87.18 Ibid, hlm. 88 – 89.
sebab-akibat, dan keberadaan atau eksistensi) hanya dapat diterapkan pada
fenomena pengalaman kita. Dengan cara ini Kant justru menghancurkan semua
argument yang berkaitan dengan ada atau tidaknya tuhan. Jadi masalah yang
sesungguhnya adalah bahwa kita tidak dapat menerapkan kategori semacam
eksistensi itu kedalam suatu inentitas yang tidak empiris.
Tujuh tahun setelah menerbitkan karyanya yang berjudul critique of Pure
Reason tersebut, Kant menerbitkan karyanya yang lain dengan judul Critique
of Partical Reason. Di dalam karyanya ini Kant kembali mempermasalhkan
Tuhan yang sebelumnya dianggap tak bisa dibicarakan karena tidak tergolong
dalam kategori. Disini Kant tidak lagi mencari dasar metafisis bagi persepsi,
namun mencari dasar tersebut bagi moralitas. Apa yang Kant cari adalah
hukum moral yang fundamental. Dalam hal ini, kebaikan (good), dan kejahatan
(evil) bukanlah hal yang dipermasalahkan oleh Kant. Pada kenyataanya,
akhirnya Kant menyimpulkan hanya adanya sebuah prinsip tunggal: yakni
“imperatif kategoris” (kategori yang tidak bisa dihindari). Imperative kategori
ini memberikan kerangka kerja bagi pemikiran etis / penalaran praktis kita
tanpa membrinya isi moral tertentu. Imperative kategoris Kant menyatakan:
“bertindaklah sesuai dengan sebuah prinsip yang pada saat bersamaan prinsip
tersebut anda kehendaki akan menjadi hukum universal”.
Prinsip ini membawa Kant pada suatu keyakinan bahwa kita seyogyanya
bertindak sesuai dengan kewajiban kita, bukan menurut perasaan kita, sebuah
kesimpulan yang sangat sulit diterima. Umpamanya Kant menyatakan bahwa
nilai moral dari suatu tindakan selayaknya tidak ditentukan menurut akibat-
akibat yang ditimbulkan, namun hanya didasarkan pada sejauh mana tindakan
itu selaras dengan kewajiban yang melatarbelakanginya. Ini terang-terangan
tidak masuk akal karena moralitas semata-mata dikaitkan dengan apa yang
berlaku di masyarakat dan bukan dengan niat baik yang dimiliki seorang
individu.
Pada tahun 1790, ketika Kant berumur 58 tahun, ia menerbitkan karya
spektakulernya yang ketiga dan yang terakhir dengan judul Critique of
Judgment. Kant berdalih bahwa keberadaan seni mensyaratkan adanya
seniman, dan mealalui keindahan dunialah kita dapat mengenali pencipta yang
mulia. Seperti yang telah ia suratkan sebelumnya, kita mengenali karya-
karyaTuhan pada bintang-bintang yang ada dilangit maupun suara hati kita
untuk melakukan kebaikan. Sama halnya dengan teori persepsi dan teori
etikanya, Immanuel Kant berusaha memberikan dasar metafisis bagi teorinya
tentang keputusan estetik.
Immanuel Kant melanjutkan dalilnya dengan mengutarakan bahwa hanya
melalui kesatuan dan konsistensi alamlah ilmu pengetahuan menjadi mungkin.
Berkaitan dengan gagasan ini, ia juga mengutarakan bahwa alam mempunyai
tujuan. Sifat alam yang mempunyai tujuan itu merupakan “konsep apriori yang
istimewa”.
Immanuel Kant cukup beruntung ketika menerbitkan buku ketiganya, tidak
sperti biasanya Prussia pada saat itu justru dippenuhi dengan suasana toleransi.
Buku ketiganya ini didedikasikan kepada Zedlith, menteri pendidikan dibawah
kekuasaan Frederick Agung. Immanuel kant sangat meiliki rasa hormat
kepada raja, meskipun didalam hatinya sebenarnya sang filsuf sangatlah
revolusioner. Frederick Agung wafat pada tahun 1786, kini Immanuel Kant
berhadapan dengan keadaan yang sangat runyam, seorang Pietist mengajukan
tuduhan bahwa Immanuel Kant menyalahgunakan filsafatnya untuk
menyelewengkan alkitab. Ternyta ada seorang di kementrian yang mendalami
buku Kant yang berjudul Critique of Pure Reason dan menemukan bahwa
buku tersebut menolak seluruh bukti keberadaan Tuhan. Immanuel Kant
dituntut untuk bersumpah tidak menulis atau mengajar masalah religious lagi.19
Pengaruh Filsafat Enlightenment pada Hukum di Masa Kini
Di abad ke-18 dimulai suatu zaman baru yang memang telah berakar pada
Renaissance (Masa yang juga disebut masa keraguan,dirinya dan jiwanya saja
diragukan. Yang tidak di ragukan hanya dirinya yang ragu itu ,keraguan yang
dimaksud disini adalah keraguan metafisik ) dan mewujudkan buah pahit dari
rasionalisme dan empirisme. Masa ini disebut dengan masa pencerahan atau
Aufklarung yang menurut Immanuel Kant,di zaman ini manusia terlepas dari
keadaan tidak balik yang disebabkan oleh kesalahan manusia itu sendir yang tidak
memanfaatkan akalnya. Voltaire menyebut zaman pencerahan sebagai “zaman
19 http://afidburhanuddin.wordpress.com/2013/09/21/filsafat-immanuel-kant/, akses pada 25 Januari 2014.
akal” dimana manusia merasa bebas,zaman perwalian pemikiran manusia dianggap
sudah berakhir,mereka merdeka dari segala kuasa dari luar dirinya. Para tokoh era
Aufklarung ini juga merancang program-program khusus diantaranya adalah
berjuang menentang dogma gereja dan takhayul populer. Senjatanya adalah fakta-
fakta ilmu dan metode-metode rasional.
Di Jerman hadir sosok Immanuel Kant yang dalam filsafat kritiknya ia
bermaksud memugar sifat objektivitas dunia ilmu pengetahuan. Agar maksud itu
terlaksana ,orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan sifat
sepihar empirisme. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi
pembukaan realitas pada diri subjeknya, lepas dari pengalaman. Adapun empirisme
mengira telah memperoleh pengetahuan dari pengalaman saja. Kritisisme Kant
adalah suatu usaha besar untuk mendamaikan rasionalisme dengan empirisme.
Menurut Kant baik rasionalisme maupun empirisme dua-duanya berat
sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengalaman manusia merupakan
perpaduan antara sintesa unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori.20
Dalam dunia hukum, dapat kita raba bahwa pemikiran-pemikiran filsuf
masa pencerahan sedikit banyak mempengaruhi sistem hukum yang berlaku di
dunia. Konsep trias Politica Montesqiue banyak dipakai oleh negara-negara
demokrasi seperti Indonesia. Kemudian, konsep HAM yang ditemukan oleh John
Locke, seorang pemikir politik dari Inggris yang hidup pada abad pencerahan juga
banyak digunakan oleh negara-negara di masa kini, sebagaimana Indonesia melalui
UUD 1945 paasal 28 dan Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
D. Kesimpulan
1. Filsafat Hukum merupakan kajian secara filosofis terhadap hukum yang ranah
kajiannya tentang hakikat, inti atau kajian sedalam-dalamnya tentang hukum.
2. Filsafat dan filsafat hukum mengalami perkembangan dari masa ke masa dan
menimbulkan banyak aliran atau madzhab hukum. Di era pencerahan, filsafat
hokum berusaha merasionalkan hukum sebagaimana rasionalisme ilmu
pengetahuan alam. Selain rasionalisme muncul juga aliran empirisme yang
menginginkan rasionalitas yang bisa diterima kebenarannya secara empiris
20 http://jaringskripsi.wordpress.com/2009/09/22/filsafat-abad-ke-18-era-aufklarung/, akses pada 27 Januari 2014.
tokoh-tokoh yang ada di era pencerahan antara lain: Descartes, John Locke,
Montesquie, Rosseau, Puffendorf, Thomasius, dan sebagainya.
3. Tidak dapat dipungkiri Negara kita menganut asas Trias Politica yang
dipelopori oleh Montesquie dan konsep Hak Asasi Manusia dewasa ini
menjadi “trending topic” dalam wacana ilmu hokum. Bahkan Hak Asasi
manusia telah tertuang secara yuridis dalam UUD 1945 dan dalam Undang-
undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Dr. Angkasa, SH., M. Hum dalam Makalah Mata Kuliah Filsafat Hukum pada Program
Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
tahun 2014.
Friedrich, Carl Joachim. Filsafat hukum Perspektif Historis. Bandung: Nusamedia, 2004.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Cet. Ke-13. Yogyakarta:
Kanisius, 2001.
Kian, AM Laot, Berkelana dalam Filsafat Hukum. Yogyakarta: Kepel Press, 2013.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008.
WEBSITE
http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat, akses pada 20 Januari 2014.
http://jaringskripsi.wordpress.com/2009/09/22/filsafat-abad-ke-18-era-aufklarung/, akses
pada 27 Januari 2014.
http://kuliahfilsafathukum12.blogspot.com/2012/03/aliran-aliran-filsafat-hukum.html,
akses pada 20 Januari 2014.
http://badakimuka.blogspot.com/2012/04/dasar-dasar-filsafat-moral.html, akses pada 22
Januari 2014.
http://afidburhanuddin.wordpress.com/2013/09/21/filsafat-immanuel-kant/, akses pada 25
Januari 2014.
Top Related