Draf 31 Agustus 2013
1
RANCANGAN
PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR ...TAHUN...
TENTANG
PELESTARIAN CAGAR BUDAYA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16, Pasal
17, Pasal 22, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 49, Pasal 52, Pasal 60, Pasal 67, Pasal 70, Pasal 71, Pasal
74, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 81, Pasal 84, Pasal 93,
Pasal 97, dan Pasal 99 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Pelestarian Cagar Budaya.
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2010 tentang Cagar Budaya (Lembaran Negara Tahun 2010 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Nomor
5168).
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELESTARIAN CAGAR BUDAYA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda
Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs
Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi
sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan
melalui proses penetapan.
Draf 31 Agustus 2013
2
2. Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan
manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki
hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.
3. Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang
berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap.
4. Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda
alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk
menampung kebutuhan manusia.
5. Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,
dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau
bukti kejadian pada masa lalu.
6. Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua
Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau
memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.
7. Objek yang Diduga Cagar Budaya adalah objek yang diduga memenuhi
kriteria sebagai Cagar Budaya.
8. Kepemilikan adalah hak terkuat dan terpenuh terhadap Cagar Budaya
dengan tetap memperhatikan fungsi sosial dan kewajiban untuk melestarikannya.
9. Dikuasai oleh Negara adalah kewenangan tertinggi yang dimiliki oleh
negara dalam menyelenggarakan pengaturan perbuatan hukum berkenaan dengan pelestarian Cagar Budaya.
10. Pengalihan adalah proses pemindahan hak Kepemilikan dan/atau
penguasaan Cagar Budaya dari setiap orang kepada setiap orang lain atau kepada negara.
11. Kompensasi adalah imbalan berupa uang dan/atau bukan uang dari
Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
12. Insentif adalah dukungan berupa advokasi, perbantuan, atau bentuk lain
bersifat nondana untuk mendorong pelestarian Cagar Budaya dari
Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
13. Tenaga Ahli Pelestarian adalah orang yang karena kompetensi keahlian khususnya dan/atau memiliki sertifikat di bidang Pelindungan,
Pengembangan, atau Pemanfaatan Cagar Budaya.
14. Pendaftaran adalah upaya pencatatan Objek Pendaftaran untuk diusulkan sebagai Cagar Budaya kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah atau
Draf 31 Agustus 2013
3
perwakilan Indonesia di luar negeri dan selanjutnya dimasukkan dalam
Register Nasional Cagar Budaya.
15. Objek Pendaftaran adalah Benda Cagar Budaya dan/atau Situs Cagar
Budaya yang pernah ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, dan/atau Objek yang diduga Cagar Budaya.
16. Tim Pendaftaran adalah tim yang dibentuk Pemerintah atau Pemerintah
Daerah yang terdiri atas petugas penerima pendaftaran, petugas pengolah
data, dan petugas penyusun berkas.
17. Tim Ahli Cagar Budaya yang selanjutnya disebut Tim Ahli adalah
kelompok ahli pelestarian dari berbagai bidang ilmu yang memiliki
sertifikat kompetensi untuk memberikan rekomendasi penetapan, pemeringkatan, dan penghapusan Cagar Budaya.
18. Dokumen Pendukung adalah rekaman berupa suara, gambar, foto, film,
teks, atau dalam bentuk lain sebagai bukti yang tidak bisa dipisahkan dari Objek Pendaftaran.
19. Berkas adalah himpunan informasi yang berkaitan dengan Objek
Pendaftaran yang disusun sebagai bahan kajian penyusunan rekomendasi penetapan sebagai Cagar Budaya.
20. Pengkajian adalah proses pengujian materi oleh Tim Ahli terhadap Berkas
pengusulan Objek Pendaftaran.
21. Penetapan adalah pemberian status Cagar Budaya terhadap Objek Pendaftaran yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota, provinsi,
dan pemerintah pusat berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya.
22. Pemeringkatan adalah proses penyusunan urutan Cagar Budaya berdasarkan kepentingannya.
23. Pencatatan adalah tindakan mencatat data Cagar Budaya ke dalam
Register Nasional.
24. Register Nasional Cagar Budaya, selanjutnya disebut Register Nasional,
adalah daftar resmi kekayaan budaya bangsa berupa Cagar Budaya yang
berada di dalam dan di luar negeri.
25. Pencabutan adalah penarikan kembali keputusan penetapan status Cagar
Budaya atau surat keterangan kepemilikan Cagar Budaya oleh pejabat
yang berwenang.
26. Penghapusan adalah tindakan menghapus status Cagar Budaya dari Register Nasional.
27. Pengelolaan adalah upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan,
dan memanfaatkan Cagar Budaya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan rakyat.
Draf 31 Agustus 2013
4
28. Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan
Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya.
29. Pelindungan adalah upaya mencegah dan menanggulangi dari kerusakan,
kehancuran, atau kemusnahan dengan cara Penyelamatan, Pengamanan, Zonasi, Pemeliharaan, dan Pemugaran Cagar Budaya.
30. Penyelamatan adalah upaya menghindarkan dan/atau menanggulangi
Cagar Budaya dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan.
31. Pengamanan adalah upaya menjaga dan mencegah Cagar Budaya dari ancaman dan/atau gangguan.
32. Pemeliharaan adalah upaya menjaga dan merawat agar kondisi fisik Cagar
Budaya tetap lestari.
33. Pemugaran adalah upaya pengembalian kondisi fisik Benda Cagar Budaya,
Bangunan Cagar Budaya, dan Struktur Cagar Budaya yang rusak sesuai
dengan keaslian bahan, bentuk, tata letak, dan/atau teknik pengerjaan untuk memperpanjang usianya.
34. Pengembangan adalah peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi
Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui Penelitian, Revitalisasi, dan Adaptasi secara berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan
Pelestarian.
35. Penelitian adalah kegiatan ilmiah yang dilakukan menurut kaidah dan
metode yang sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan bagi kepentingan Pelestarian Cagar Budaya, ilmu
pengetahuan, dan pengembangan kebudayaan.
36. Revitalisasi adalah kegiatan pengembangan yang ditujukan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting Cagar Budaya dengan
penyesuaian fungsi ruang baru yang tidak bertentangan dengan prinsip
pelestarian dan nilai budaya masyarakat.
37. Adaptasi adalah upaya pengembangan Cagar Budaya untuk kegiatan yang
lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini dengan melakukan perubahan
terbatas yang tidak akan mengakibatkan kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting.
38. Pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan
sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan
kelestariannya.
39. Perbanyakan adalah kegiatan duplikasi langsung terhadap Benda Cagar
Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya, baik
seluruh maupun bagian-bagiannya.
40. Di Air adalah berada di laut, sungai, danau, waduk, sumur, kolam, rawa,
dan genangan air.
Draf 31 Agustus 2013
5
41. Di Darat adalah tidak berada Di Air, termasuk di bukit, gunung, lembah,
dan di daratan yang terletak di dalam tanah di bawah air.
42. Zonasi adalah penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya dan
Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan.
43. Zona Inti adalah area pelindungan utama untuk menjaga bagian terpenting Cagar Budaya.
44. Zona Penyangga adalah area yang melindungi zona inti.
45. Zona Pengembangan adalah area yang diperuntukan bagi pengembangan
potensi Cagar Budaya bagi kepentingan rekreasi, daerah konservasi lingkungan alam, lanskap budaya, kehidupan budaya tradisional,
keagamaan, dan kepariwisataan.
46. Zona Penunjang adalah area yang diperuntukan bagi sarana dan prasarana penunjang serta untuk kegiatan komersial dan rekreasi umum.
47. Instansi yang Berwenang di Bidang Pelestarian Cagar Budaya adalah
Instansi Pemerintah dan Instansi Pemerintah Daerah yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya.
48. Instansi Pemerintah yang Berwenang di Bidang Pelestarian Cagar Budaya
adalah Direktorat yang bertanggungjawab di bidang Pelestarian Cagar Budaya.
49. Unit Pelaksana Teknis adalah instansi Pemerintah yang berada di daerah,
yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya.
50. Museum adalah lembaga permanen yang bersifat nirlaba, untuk melestarikan koleksi museum yang bersifat bendawi, dan
mengomunikasikannya kepada masyarakat.
51. Polisi Khusus adalah polisi yang melaksanakan tugas fungsi kepolisian terbatas di bidang Pelestarian Cagar Budaya.
52. Setiap Orang adalah perseorangan, kelompok orang, masyarakat, badan
usaha berbadan hukum, dan/atau badan usaha bukan berbadan hukum.
53. Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang bermukim di
wilayah geografis tertentu yang memiliki perasaan kelompok, pranata
pemerintahan adat, harta kekayaan/benda adat, dan perangkat norma hukum adat.
54. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
55. Pemerintah Daerah adalah gubernur, atau bupati/wali kota, dan
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Draf 31 Agustus 2013
6
56. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kebudayaan.
BAB II
PENGALIHAN KEPEMILIKAN CAGAR BUDAYA
Pasal 2
(1) Pengambilalihan Kepemilikan Cagar Budaya oleh Negara dilakukan apabila
pemilik Cagar Budaya: a. meninggal dunia:
1) tidak mempunyai ahli waris; atau
2) tidak menyerahkannya kepada orang lain berdasarkan wasiat, hibah, atau hadiah.
b. Warga Negara Asing yang meninggalkan Indonesia selama 5 (lima)
tahun berturut-turut tanpa mengalihkan Kepemilikan dan penguasaan kepada Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat;
c. badan hukum asing yang tidak beroperasi lagi di Indonesia tanpa
mengalihkan kepemilikan dan penguasaan kepada Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat;
d. tidak dapat membuktikan sahnya Kepemilikan Cagar Budaya;
e. memperoleh Cagar Budaya secara tidak sah;
f. tidak diketahui; dan/atau g. memiliki Cagar Budaya yang sangat langka jenisnya, unik
rancangannya, dan sedikit jumlahnya di Indonesia dengan diberikan
kompensasi oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. (2) Pengalihan Kepemilikan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
peringkatnya. (3) Pengalihan Kepemilikan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dilakukan dengan memberitahukan kepada pemilik dan/atau
yang menguasai Cagar Budaya.
Pasal 3
(1) Pengalihan Kepemilikan Cagar Budaya dapat dilakukan oleh Setiap Orang
dan/atau Masyarakat Hukum Adat. dengan cara diwariskan, dihibahkan, ditukarkan, dihadiahkan, dijual, dan/atau berdasarkan penetapan atau
putusan pengadilan.
(2) Pengalihan Kepemilikan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan kepada:
a. Setiap Orang;
b. Masyarakat Hukum Adat; c. Pemerintah;
d. Pemerintah Daerah; dan/atau
Draf 31 Agustus 2013
7
e. Museum.
(3) Pengalihan Kepemilikan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan izin yang diajukan kepada Menteri,
gubernur, atau bupati/wali kota, sesuai dengan peringkat Cagar Budaya,
dilengkapi dengan surat keterangan status dan Kepemilikan Cagar Budaya, dilampiri dengan:
a. surat keterangan ahli waris untuk yang diwariskan;
b. surat pernyataan hibah untuk yang dihibahkan;
c. surat perjanjian tukar menukar untuk yang ditukarkan; d. surat pernyataan dari pemberi hadiah untuk yang dihadiahkan;
e. surat perjanjian jual-beli untuk yang dijual; atau
f. penetapan atau keputusan pengadilan untuk yang ditetapkan atau diputuskan oleh pengadilan.
(4) Gubernur, atau bupati/wali kota dalam memberikan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), harus memperoleh rekomendasi terlebih dahulu dari Unit Pelaksana Teknis.
(5) Pengalihan Kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditindaklanjuti dengan surat perubahan status Kepemilikan Cagar Budaya dan perubahan nama pemilik dalam register nasional.
(6) Dalam hal pemilik Cagar Budaya yang baru tidak mengajukan permohonan
perubahan Kepemilikan, maka tidak berhak mendapatkan Insentif dari
Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai peraturan yang berlaku.
Pasal 4
Ketentuan mengenai tata cara Pengalihan Kepemilikan Cagar Budaya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
BAB III
PENEMUAN DAN PENCARIAN
Bagian Kesatu
Penemuan
Pasal 5
(1) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang menemukan Objek
yang Diduga Cagar Budaya wajib melaporkan secara langsung atau melalui
media elektronik seluruh temuannya kepada Unit Pelaksana Teknis, Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau instansi terkait yang wilayah
hukumnya meliputi tempat ditemukannya objek tersebut.
(2) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang menemukan Objek yang Diduga Cagar Budaya yang tidak melaporkan temuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pengurusannya diambil alih oleh Unit Pelaksana
Draf 31 Agustus 2013
8
Teknis untuk dilakukan Pendaftaran, dengan membuat surat
pemberitahuan kepada penemu.
(3) Temuan Objek yang Diduga Cagar Budaya yang tidak dilaporkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah melalui proses Pendaftaran
dan apabila statusnya dinyatakan sebagai Cagar Budaya, maka penemu tidak berhak memperoleh Kompensasi.
Pasal 6
(1) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang menemukan Objek yang Diduga Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
dapat memberikan kuasa kepada pihak lain untuk melaporkan.
(2) Laporan secara langsung dilakukan dengan mengisi formulir laporan yang harus disediakan oleh Unit Pelaksana Teknis, Kepolisian Negara Republik
Indonesia, atau instansi terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1), yang memuat: a. identitas pelapor;
b. tanggal penemuan;
c. identitas objek: 1) nama/jenis objek;
2) lokasi, desa, kecamatan, kabupaten, dan provinsi;
3) dugaan pemilik atau yang menguasainya;
4) bentuk; 5) jumlah;
6) bahan;
7) warna; 8) ukuran: panjang, lebar, tinggi, tebal, diameter;
9) perkiraan beratnya; dan
10) hal lain yang berhubungan dengan deskripsi Objek yang Diduga Cagar Budaya.
d. dokumen pendukung berupa foto, film, video, teks, gambar, sket, peta,
dan/atau keterangan lain yang berhubungan dengan dokumen pendukung;
e. tanggal pelaporan; dan
f. tanda tangan pelapor dan yang menerima laporan.
(3) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang melaporkan langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) harus:
a. menunjukkan Objek yang Diduga Cagar Budaya kepada Kepolisian
Negara Republik Indonesia atau instansi terkait; atau b. menyerahkan Objek yang Diduga Cagar Budaya kepada Unit Pelaksana
Teknis selama proses Pendaftaran dan Penetapan.
(4) Laporan melalui media elektronik ditujukan kepada Unit Pelaksana Teknis, Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau instansi terkait, dalam
keadaan darurat atau memaksa, dengan mengemukakan:
a. identitas pelapor;
Draf 31 Agustus 2013
9
b. tanggal penemuan; dan
c. identitas Objek yang Diduga Cagar Budaya. (5) Unit Pelaksana Teknis, Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau
instansi terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) harus
mencatat serta menandatangani laporan dalam daftar laporan lisan. (6) Kepolisian Negara Republik Indonesia dan instansi terkait yang menerima
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) meneruskan
laporan kepada Unit Pelaksana Teknis.
(7) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (5), dan ayat (7) ditindaklanjuti oleh Unit Pelaksana Teknis.
Pasal 7 (1) Unit Pelaksana Teknis yang menerima laporan menyerahkan bukti
laporan kepada Tim Pendaftaran.
(2) Tim Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan Pendaftaran sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 8
Temuan Objek yang Diduga Cagar Budaya yang sudah ditetapkan sebagai
Cagar Budaya, status kepemilikannya ada pada:
a. Pemilik, apabila tidak langka jenisnya, tidak unik rancangannya, dan jumlahnya telah memenuhi kebutuhan negara; atau
b. Negara, apabila tidak diketahui pemiliknya dan /atau sedikit jumlahnya,
unik rancangannya, langka jenisnya, atau bernilai tinggi.
Bagian Kedua
Pencarian
Paragraf 1
Pencarian melalui Penelitian
Pasal 9
(1) Pemerintah berkewajiban melakukan pencarian Objek yang Diduga Cagar
Budaya hanya melalui Penelitian dengan penggalian, penyelaman, dan/atau pengangkatan, baik Di Darat dan/atau Di Air.
(2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
menggunakan metode dan prosedur penelitian arkeologi serta disiplin ilmu bantu lainnya sesuai dengan karakteristik objek kajian.
Pasal 10 (1) Kegiatan pencarian yang dilakukan Pemerintah dilaksanakan oleh:
a. instansi Pemerintah yang berwenang di bidang Penelitian arkeologi
dengan Penelitian dasar; dan/atau b. instansi Pemerintah yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya
dengan Penelitian terapan.
Draf 31 Agustus 2013
10
(2) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat dapat melakukan pencarian Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya
hanya melalui Penelitian dengan penggalian, penyelaman, dan/atau
pengangkatan, baik Di Darat dan/atau Di Air. (3) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang melakukan
pencarian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan Penelitian, harus
bekerjasama dengan instansi Pemerintah yang berwenang di bidang
penelitian arkeologi dan/atau instansi Pemerintah yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya.
Pasal 11
(1) Kegiatan pencarian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan
ayat (2) dilaksanakan setelah memperoleh izin dari bupati/wali kota, dengan tembusan kepada:
a. Menteri;
b. gubernur; c. instansi terkait; dan
d. pemilik dan/atau yang menguasai lokasi penelitian.
(2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 ayat (1) huruf b yang
dilakukan terhadap Objek yang Diduga Cagar Budaya dan/atau Cagar Budaya yang dimiliki/dikuasai sendiri tidak memerlukan izin.
(3) Pengajuan permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap
Penelitian yang dilakukan di laut diajukan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
(4) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), harus dilampiri dengan proposal yang memuat:
a. identitas pemohon;
b. maksud dan tujuan pencarian; c. metode dan teknik pencarian;
d. lokasi pencarian; dan
a. tenggang waktu pencarian.
(5) Setiap Orang yang berasal dari lembaga yang akan melakukan pencarian, untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
harus dilengkapi dengan surat tugas dari pimpinan lembaga.
(6) Bupati/wali kota dalam memberikan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), harus memperoleh rekomendasi terlebih dahulu dari
Unit Pelaksana Teknis.
Pasal 12
(1) Hasil pencarian dengan cara Penelitian terhadap Objek yang Diduga Cagar
Budaya dianalisis sesuai dengan metode penelitian arkeologi serta disiplin ilmu bantu lainnya sesuai dengan karakteristik objek kajian.
Draf 31 Agustus 2013
11
(2) Hasil analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan kepada Tim
Pendaftaran untuk diproses sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 13
(1) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang memiliki dan/atau
yang menguasai lahan tempat dilakukannya pencarian dengan Penelitian,
berhak mendapatkan ganti rugi atas hal-hal atau kerugian yang ditimbulkan akibat kegiatan pencarian.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh yang
melakukan pencarian, sesuai ketentuan yang berlaku.
Paragraf 2
Pencarian terhadap Cagar Budaya yang Hilang
Pasal 14
(1) Setiap orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang memiliki dan/atau
menguasai Cagar Budaya yang hilang karena bencana alam, perang, kecelakaan, kelalaian pengelolaan, tindak pidana, dan sebab-sebab lain,
wajib melaporkannya kepada Unit Pelaksana Teknis.
(2) Unit Pelaksana Teknis yang menerima laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang disebabkan tindak pidana, melakukan pencarian dan berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Pelaksanaan dan hasil pencarian terhadap Cagar Budaya yang hilang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dituangkan ke dalam berita acara.
(4) Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit memuat:
a. tanggal dimulai dan berakhirnya pencarian; b. objek dan deskripsi Cagar Budaya yang dicari;
c. tempat pencarian;
d. hasil pencarian; dan e. penandatanganan berita acara di atas materai oleh pihak yang mencari
dan yang memiliki atau menguasai.
Pasal 15
(1) Cagar Budaya yang hilang dan ditemukan kembali, dikembalikan kepada
pihak yang memiliki dan/atau menguasai dan dibuatkan berita acara
penyerahan.
(2) Cagar Budaya yang hilang karena tindak pidana dan ditemukan kembali,
penyerahan kepada pemilik dan/atau yang menguasai dilakukan setelah
ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.
Draf 31 Agustus 2013
12
(3) Cagar Budaya yang hilang dan ditemukan kembali sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diambil alih kepemilikannya dan/atau penguasaannya oleh negara dalam hal tidak diketahui lagi pemiliknya atau pihak yang
menguasainya.
(4) Berita acara penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sekurang-kurangnya memuat:
a. tanggal pembuatan berita acara;
b. identitas yang menemukan;
c. deskripsi hasil penemuan yang meliputi: 1) jumlah;
2) jenis; dan
3) kondisi. d. tempat penemuan;
e. tanggal penemuan; dan
f. penandatangan berita acara di atas materai oleh pihak yang menemukan dan yang memiliki dan/atau yang menguasai.
Pasal 16
Ketentuan mengenai tata cara Penemuan dan Pencarian Cagar Budaya
dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri.
BAB IV
REGISTER NASIONAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 17
(1) Register Nasional dibentuk untuk menghimpun data dan Kepemilikan
Cagar Budaya, baik di dalam maupun di luar negeri, yang disusun secara sistematis dengan tetap menghormati Kepemilikan, kerahasiaan, dan
kesuciannya.
(2) Kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sifatnya tidak dapat
diakses, kecuali untuk kepentingan penyidikan dengan diketahui oleh Tim Pendaftaran dan Tim Ahli.
Pasal 18
(1) Register Nasional mencakup Pendaftaran, Pengkajian, Penetapan,
Pencatatan, Pemeringkatan, dan Penghapusan, yang diselenggarakan
tanpa dipungut biaya. (2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara
digital maupun nondigital, atau secara manual maupun daring.
Draf 31 Agustus 2013
13
Bagian Kedua
Pendaftaran
Paragraf 1
Umum
Pasal 19
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Setiap Orang, dan/atau Masyarakat
Hukum Adat yang memiliki dan/atau menguasai Objek Pendaftaran wajib mendaftarkan kepada Menteri, bupati/wali kota, gubernur, sesuai
kewenangannya melalui Tim Pendaftaran terhadap:
a. Benda Cagar Budaya dan/atau Situs Cagar Budaya yang telah ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang
Benda Cagar Budaya, untuk memperoleh Pengkajian ulang dan
Pemeringkatan; atau b. Objek yang Diduga Cagar Budaya, untuk memperoleh Pengkajian dan
Pemeringkatan.
(2) Dalam hal kewajiban melakukan Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak dipenuhi, Unit Pelaksana Teknis mengambil alih Pendaftaran. (3) Dalam hal bupati/wali kota atau gubernur tidak menjalankan tugas
Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Pendaftaran
diambil alih oleh Menteri melalui Unit Pelaksana Teknis.
Pasal 20
(1) Objek Pendaftaran berasal dari: a. koleksi Museum;
b. milik dan/atau yang dikuasai oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah,
Setiap Orang, dan/atau Masyarakat Hukum Adat; c. hasil Penemuan; dan/atau
d. hasil Pencarian.
(2) Objek Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat:
a. berada di dalam negeri atau di luar negeri; dan/atau b. berlokasi Di Darat dan/atau Di Air.
Pasal 21
Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus melindungi Objek Pendaftaran dari:
a. kerusakan;
b. kehancuran; c. kemusnahan; dan/atau
d. kehilangan
Draf 31 Agustus 2013
14
Paragraf 2
Tim Pendaftaran
Pasal 22
(1) Pemerintah atau Pemerintah Daerah membentuk Tim Pendaftaran yang merupakan bagian dari instansi yang berwenang di bidang Pelestarian
Cagar Budaya.
(2) Tim Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Tim Pendaftaran Pemerintah; b. Tim Pendaftaran provinsi; dan
c. Tim Pendaftaran kabupaten/kota.
Pasal 23
(1) Tim Pendaftaran terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang
sekretaris merangkap anggota, dan paling sedikit 3 (tiga) orang anggota.
(2) Anggota Tim Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. paling sedikit 1 (satu) orang petugas penerima Pendaftaran yang
memeriksa kelengkapan persyaratan Pendaftaran; b. paling sedikit 3 (tiga) orang petugas pengolah data yang melakukan
deskripsi, dokumentasi, dan verifikasi; dan
c. paling sedikit 1 (satu) orang petugas penyusun Berkas yang melakukan
pemberkasan hasil pengolahan data.
(3) Tim Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai masa
kerja 5 (lima) tahun, dan dapat diperpanjang.
(4) Apabila anggota Tim Pendaftaran tidak dapat melaksanakan tugas secara tetap sebelum masa kerja berakhir, dapat diganti oleh anggota baru
sampai selesainya masa kerja.
Pasal 24
Tim Pendaftaran bertugas:
a. menerima, memeriksa kelengkapan persyaratan Pendaftaran; b. melakukan deskripsi, klasifikasi, verifikasi, dan dokumentasi; dan
c. melakukan pemberkasan hasil pengolahan data.
Paragraf 3 Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah
Pasal 25
Pemerintah berwenang mendaftar Objek Pendaftaran yang:
a. lokasinya berada di 2 (dua) provinsi atau lebih;
b. merupakan objek vital nasional dan/atau warisan budaya dunia; c. berada di kawasan strategis nasional;
Draf 31 Agustus 2013
15
d. memiliki nilai kerahasiaan dan keamanan negara; dan/atau
e. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Pasal 26
Pemerintah Provinsi berwenang mendaftar Objek Pendaftaran yang lokasinya berada di 2 (dua) kabupaten/kota atau lebih.
Pasal 27
Pemerintah kabupaten/kota berwenang mendaftar Objek Pendaftaran yang berada di wilayah administrasinya.
Paragraf 4 Pendaftaran di luar negeri
Pasal 28
(1) Pendaftaran terhadap Objek Pendaftaran milik warga negara Indonesia atau Pemerintah Indonesia yang berada di luar negeri dilakukan oleh
pemilik, atau pihak lain yang diberi kuasa melakukan Pendaftaran.
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada Menteri melalui perwakilan Republik Indonesia di luar negeri tempat Objek
Pendaftaran berada.
(3) Data Objek Pendaftaran yang berada di luar negeri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diserahkan kepada Kementerian Luar Negeri, untuk kemudian diteruskan kepada Menteri melalui Tim Pendaftaran Pemerintah.
(4) Apabila di negara tempat Objek Pendaftaran belum terdapat perwakilan
Indonesia, maka Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh perwakilan Indonesia terdekat dengan Negara tempat Objek
Pendaftaran.
Paragraf 5 Partisipasi Pendaftaran
Pasal 29
(1) Setiap orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat dapat berpartisipasi
dalam Pendaftaran Objek Pendaftaran.
(2) Partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :
a. memberikan motivasi atau dorongan kepada pemilik dan/atau yang menguasai Objek Pendaftaran untuk melakukan Pendaftaran;
b. melaporkan Objek Pendaftaran yang belum didaftarkan kepada Tim
Pendaftaran sesuai dengan kewenangannya; c. memberikan informasi dan/atau membantu mencatat Objek
Pendaftaran;
Draf 31 Agustus 2013
16
d. membantu proses pengumpulan data; dan/atau
e. melakukan pengawasan terhadap proses Pendaftaran.
Pasal 30
Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang berpartisipasi dalam Pendaftaran harus menjaga kerahasiaan data.
Pasal 31
Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang berpartisipasi dalam Pendaftaran dapat diberikan penghargaan.
Paragraf 6 Fasilitasi Pembentukan Sistem dan Jejaring Pendaftaran
Pasal 32
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pembentukan sistem dan jejaring Pendaftaran baik secara digital maupun non digital.
(2) Pembentukan sistem dan jejaring Pendaftaran secara digital sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi penyediaan perangkat keras, perangkat lunak, dan sumber daya manusia.
(3) Perangkat keras sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan:
a. komputer;
b. alat dokumentasi; c. tempat/ruang penyimpanan Objek Pendaftaran yang didaftar; dan
d. sarana transportasi.
(4) Perangkat lunak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan:
a. aplikasi pendaftaran;
b. program pengunggahan data untuk proses pendaftaran; dan c. program akses informasi hasil pendaftaran.
(5) Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa
penyediaan tenaga yang kompeten.
Paragraf 7
Syarat dan Prosedur Pendaftaran
Pasal 33
(1) Pendaftaran dapat dilakukan secara manual dan/atau melalui laman (web site).
(2) Pendaftaran secara manual sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara mendaftar langsung ke Tim Pendaftaran sesuai
dengan kewenangannya, dengan mengisi data baik secara digital maupun non digital.
Draf 31 Agustus 2013
17
(3) Pendaftaran melalui laman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan cara mengunggah data Objek Pendaftaran melalui alamat laman Tim Pendaftaran sesuai dengan kewenangannya.
(4) Laman Pendaftaran setiap kabupaten/kota harus tersambung dengan
laman Pendaftaran provinsi dan laman Pendaftaran pada instansi Pemerintah yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya.
(5) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
menyediakan aplikasi dan isian Pendaftaran melalui alamat laman untuk
Pendaftaran.
Pasal 34
(1) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat mendaftarkan Objek Pendaftaran kepada Tim Pendaftaran sesuai dengan kewenangannya,
disertai syarat Pendaftaran.
(2) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat dapat memberikan surat kuasa kepada pihak lain untuk melakukan Pendaftaran.
(3) Syarat Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. foto kopi identitas diri pemilik dan/atau yang menguasai, dan/atau yang diberi kuasa mendaftarkan;
b. data Objek Pendaftaran;
c. Dokumen Pendukung; dan
d. Objek Pendaftaran apabila memungkinkan untuk dibawa. (4) Identitas diri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berupa Kartu
Tanda Penduduk (KTP) atau Pasport bagi Warga Negara Asing, yang masih
berlaku. (5) Data Objek Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b
berupa:
a. nama/jenis; b. bentuk;
c. ukuran;
d. bahan; e. warna;
f. tempat atau lokasi;
g. pemilik atau yang menguasainya;
h. pemanfaatan dan penggunaan; dan/atau i. informasi lain yang diperlukan.
(6) Dokumen Pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c berupa
rekaman suara, gambar, foto, film, teks, atau bentuk lain yang terkait dengan Objek Pendaftaran.
(7) Petugas penerima Pendaftaran memberikan:
a. bukti Pendaftaran kepada pendaftar; dan b. bukti penerimaan penitipan Objek Pendaftaran apabila ada penitipan.
(8) Petugas penerima Pendaftaran menyerahkan data Pendaftaran kepada
petugas pengolah data.
Pasal 35
Draf 31 Agustus 2013
18
(1) Data Pendaftaran yang dinyatakan lengkap oleh petugas penerima
Pendaftaran diserahkan kepada petugas pengolah data untuk dilakukan deskripsi, dokumentasi, dan verifikasi.
(2) Deskripsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi uraian tentang:
a. jenis/nama; b. bentuk;
c. ukuran;
d. bahan;
e. warna; f. kondisi;
g. lokasi;
h. pemilik atau yang menguasainya; i. pemanfaatan dan penggunaan; dan/atau
j. hal lain yang berhubungan dengan deskripsi Objek Pendaftaran.
(3) Hasil deskripsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam bentuk tertulis sebagai data verbal yang selanjutnya dilakukan
dokumentasi untuk memperoleh data piktorial.
(4) Dokumentasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:
a. setidak-tidaknya dalam bentuk foto; dan
b. dilakukan dari semua sisi.
(5) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memperoleh:
a. kebenaran informasi, yaitu pada aspek keakuratan; dan
b. kelengkapan data pada aspek pemenuhan jumlah informasi.
Pasal 36
(1) Petugas pengolah data melakukan deskripsi, dokumentasi, verifikasi, dan pemeriksaan kelengkapan data dari petugas penerima Pendaftaran.
(2) Petugas pengolah data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibantu
oleh Unit Pelaksana Teknis dan/atau narasumber. (3) Petugas pengolah data dapat mengembalikan data Pendaftaran apabila:
a. diragukan keaslian Objek Pendaftarannya;
b. diragukan asal usul Kepemilikan dan perolehannya; dan/atau
c. diragukan datanya. (4) Apabila dari hasil deskripsi, dokumentasi, verifikasi, dan pemeriksaan
kelengkapan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan
lengkap dan memenuhi syarat, maka diserahkan kepada petugas penyusun Berkas.
Pasal 37
(1) Petugas penyusun Berkas melakukan pemberkasan yang memuat:
a. data Pendaftaran yang telah dinyatakan lengkap;
Draf 31 Agustus 2013
19
b. deskripsi;
c. dokumentasi; dan d. Dokumen Pendukung.
(2) Berkas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selanjutnya diserahkan
kepada Tim Ahli untuk dilakukan Pengkajian.
Pasal 38
(1) Instansi yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya dapat
memberi fasilitas Pendaftaran apabila Objek Pendaftaran: a. lokasinya sukar dijangkau;
b. berjumlah banyak dan beragam jenisnya; dan/atau
c. berada di luar negeri dan tidak ada perwakilan Indonesia di negara yang bersangkutan.
(2) Fasilitas Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. petugas penerima Pendaftaran mendatangi lokasi; dan/atau b. bantuan sarana transportasi.
Bagian Ketiga Pengkajian
Paragraf 1
Tim Ahli
Pasal 39
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya mengangkat dan memberhentikan Tim Ahli.
(2) Syarat untuk dapat diangkat menjadi anggota Tim Ahli meliputi:
a. warga negara Indonesia; b. sehat jasmani dan rohani;
c. berkelakuan baik;
d. berusia paling rendah 28 (dua puluh delapan) tahun; e. memiliki keahlian arkeologi dengan pengalaman kerja paling sedikit 5
(lima) tahun di bidangnya atau memiliki keahlian sejarah, filologi,
antropologi, kesenian, arsitektur struktur dan mekanik, biologi, geologi,
geografi, dan/atau keahlian lain yang memiliki wawasan kepurbakalaan dengan pengalaman kerja paling sedikit 5 (lima) tahun di bidangnya;
f. berasal dari lembaga formal, non formal dan perseorangan;
g. memiliki komitmen di bidang Pelestarian Cagar Budaya; dan h. memiliki sertifikat kompetensi.
(3) Memiliki sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
h melalui uji kompetensi, sesuai peraturan perundang-undangan.
Pasal 40
Draf 31 Agustus 2013
20
(1) Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2)
huruf h berlaku selama 5 (lima) tahun yang dapat diperpanjang setelah mengikuti uji kompetensi dan dinyatakan lulus.
(2) Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibekukan
apabila pemegang: a. dinyatakan sebagai tersangka karena melakukan tindak pidana yang
diancam pidana 5 tahun atau lebih dan/atau melakukan tindak pidana
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Cagar Budaya;
dan/atau b. sakit jasmani atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya
yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, psikiater, dan/atau
psikolog. (3) Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicabut apabila
pemegang:
a. melanggar kode etik profesi atau etika pelestarian; b. tidak bekerja sebagai anggota Tim Ahli selama 3 (tiga) tahun;
c. dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana yang diancam pidana 5
tahun atau lebih dan/atau melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Cagar Budaya, berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
atau
d. sakit jasmani atau rohani yang tidak bisa disembuhkan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan
dokter, psikiater, dan/atau psikolog.
(4) Pemegang sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mengikuti uji kompetensi kembali, kecuali yang bersangkutan
terbukti melakukan tindak pidana korupsi, kolusi, nepotisme, hak asasi
manusia, dan pelanggaran terhadap Undang-Undang tentang Cagar Budaya tetap.
Pasal 41
(1) Tim Ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) memiliki susunan
keanggotaan yang terdiri atas ketua merangkap anggota, sekretaris
merangkap anggota, dan anggota.
(2) Anggota Tim Ahli berjumlah gasal dan terdapat ahli arkeologi yang memiliki pengalaman kerja sebagaimana dimaksud Pasal 39 ayat (2) huruf
e, serta terdiri dari unsur lembaga formal, nonformal, dan perseorangan.
(3) Anggota Tim Ahli nasional berjumlah: a. paling banyak 15 (lima belas) orang, terdiri atas 5 (lima) orang dari
unsur lembaga formal, 10 (sepuluh) orang dari unsur lembaga
nonformal, dan perseorangan; atau b. paling sedikit 9 (sembilan) orang, terdiri atas 3 (tiga) orang dari unsur
lembaga formal, 6 (enam) orang dari unsur lembaga nonformal, dan
perseorangan.
Draf 31 Agustus 2013
21
(4) Anggota Tim Ahli provinsi berjumlah:
a. paling banyak 9 (sembilan) orang, terdiri atas 3 (tiga) orang dari unsur lembaga formal, 6 (enam) orang dari unsur lembaga nonformal, dan
perseorangan; atau
b. paling sedikit 7 (tujuh) orang terdiri atas 2 (dua) orang dari unsur lembaga formal, 5 (lima) orang dari unsur lembaga nonformal, dan
perseorangan.
(5) Anggota Tim Ahli kabupaten/kota berjumlah:
a. paling banyak 7 (tujuh) orang, terdiri atas 2 (dua) orang dari unsur lembaga formal, 5 (lima) orang dari unsur lembaga nonformal, dan
perseorangan; atau
b. paling sedikit 5 (lima) orang terdiri atas 2 (dua) orang dari unsur lembaga formal, 3 (tiga) orang dari unsur lembaga nonformal, dan
perseorangan.
(6) Tim Ahli yang anggotanya kurang dari jumlah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ayat (4) dan ayat (5) tidak dapat memberikan rekomendasi
Objek Pendaftaran sebagai Cagar Budaya.
(7) Tim Ahli yang jumlah anggotanya kurang dari jumlah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dibantu oleh:
a. anggota Tim Ahli provinsi untuk Tim Ahli kabupaten/kota; dan
b. anggota Tim Ahli nasional untuk Tim Ahli provinsi.
(8) Tim Ahli yang anggotanya berkurang karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan belum ditetapkan penggantinya, tetap dapat
menjalankan tugasnya selama masih memenuhi jumlah minimal.
Pasal 42
(1) Tim Ahli bertugas untuk: a. melakukan kajian atas Berkas yang diusulkan sebagai Cagar Budaya
nasional oleh Tim Pendaftaran Cagar Budaya;
b. menyusun dan menetapkan mekanisme kerja; dan c. melakukan klasifikasi atas jenis Cagar Budaya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan tentang Cagar Budaya.
(2) Tim Ahli berwenang untuk:
a. meminta keterangan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, Setiap Orang, atau Masyarakat Hukum Adat, dan narasumber yang
mendaftarkan Objek Pendaftaran;
b. mengusulkan perbaikan berkas kepada Tim Pendaftaran Cagar Budaya;
c. merekomendasikan Objek Pendaftaran, untuk ditetapkan sebagai
Cagar Budaya berdasarkan peraturan perundang-undangan tentang Cagar Budaya kepada Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai
dengan kewenangannya;
d. merekomendasikan peringkat kepentingan Cagar Budaya;
Draf 31 Agustus 2013
22
e. merekomendasikan pencatatan kembali Cagar Budaya yang hilang
dan telah dihapus dari Register Nasional kemudian ditemukan; f. merekomendasikan penghapusan Cagar Budaya;
g. memberikan pertimbangan dan/atau pandangan kepada Tim Ahli
Cagar Budaya Provinsi dan Kabupaten/Kota; dan h. merekomendasikan tindakan pencegahan dan penanggulangan
segera terhadap kemungkinan terjadinya kerusakan kepada Menteri,
Gubernur, Bupati/Walikota.
Pasal 43
(1) Masa kerja anggota Tim Ahli adalah 5 (lima) tahun.
(2) Tim Ahli dapat diangkat kembali setelah masa kerja berakhir setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan.
(3) Anggota Tim Ahli dapat diganti sebelum masa kerja berakhir apabila:
a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri;
c. tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota Tim Ahli; atau
d. tidak melaksanakan tugas selama 4 (empat) kali berturut-turut atau 6 (enam) kali secara keseluruhan tanpa keterangan yang sah.
(4) Dalam hal keanggotaan Tim Ahli berakhir sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) maka diangkat anggota Tim Ahli pengganti.
Pasal 44
Pembinaan terhadap Tim Ahli provinsi dan Tim Ahli kabupaten/kota
dilakukan oleh Tim Ahli nasional.
Paragraf 2
Pengkajian kelayakan
Pasal 45
(1) Tim Ahli melakukan kajian Objek Pendaftaran berdasarkan Berkas yang
diserahkan oleh petugas penyusun Berkas.
(2) Kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan metode dan tata cara yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 46 (1) Kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 meliputi:
a. identifikasi dan klasifikasi Objek Pendaftaran; dan
b. penilaian kriteria Objek Pendaftaran.
Draf 31 Agustus 2013
23
(2) Penilaian kriteria Objek Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b sesuai dengan kriteria Cagar Budaya.
Pasal 47
Hasil kajian yang dilakukan Tim Ahli berupa kesimpulan bahwa: a. Objek Pendaftaran yang merupakan Benda Cagar Budaya dan/atau Situs
Cagar Budaya berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang
Benda Cagar Budaya, tetap sebagai Cagar Budaya atau bukan Cagar
Budaya; dan/atau b. Objek Pendaftaran yang merupakan Objek yang Diduga Cagar Budaya,
sebagai Cagar Budaya atau bukan Cagar Budaya.
Pasal 48
(1) Dalam hal kesimpulan Tim Ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
menyatakan bahwa Objek Pendaftaran sebagai Cagar Budaya, maka Tim Ahli menyampaikan surat rekomendasi Penetapan sebagai Cagar Budaya
kepada Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya. (2) Tim Ahli selain memberikan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) juga memberikan rekomendasi Pemeringkatan Cagar Budaya atau
Penghapusan Cagar Budaya.
(3) Tim Ahli sebelum memberikan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus memperhatikan hasil telaah administrasi
terhadap:
a. status kepemilikan; b. status kependudukan dan/atau kewarganegaraan pemilik;
c. sengketa atas kepemilikan; dan
d. kerawanan sosial yang dapat terjadi sebagai akibat dari Penetapan. (4) Dalam hal kesimpulan Tim Ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
menyatakan bahwa Objek Pendaftaran bukan sebagai Cagar Budaya, maka
Tim Ahli menyampaikan surat pemberitahuan kepada Pendaftar. (5) Data dan Dokumen Pendukung Objek Pendaftaran yang dinyatakan bukan
Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilarang dihapus dari
pangkalan data.
Pasal 49
(1) Tim Ahli dapat menghentikan atau membatalkan kajian sebelum atau
sesudah rekomendasi disampaikan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Penghentian kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
hal Objek Pendaftaran hilang, hancur, atau musnah sebelum direkomendasikan untuk Penetapan sebagai Cagar Budaya.
(3) Pembatalan kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah
direkomendasikan untuk Penetapan sebagai Cagar Budaya, dalam hal: a. Objek Pendaftaran hilang, hancur, atau musnah; dan/atau
b. terjadi pelanggaran terhadap kode etik profesi dan/atau etika pelestarian
Draf 31 Agustus 2013
24
Pasal 50
Objek Pendaftaran diperlakukan sebagai Cagar Budaya selama proses Pendaftaran, Pengkajian sampai dengan Penetapan.
Pasal 51
Tim Ahli pada saat memberikan rekomendasi Penetapan Cagar Budaya kepada
Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya
sekaligus memberikan rekomendasi mengenai peringkat Cagar Budaya.
Bagian Keempat
Penetapan
Pasal 52
Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya mengeluarkan Surat Keputusan Penetapan Cagar Budaya dan Surat
Keterangan Kepemilikan Cagar Budaya, dalam hal Tim Ahli setelah
merekomendasikan Objek Pendaftaran sebagai Cagar Budaya.
Pasal 53
(1) Surat Keputusan Penetapan Cagar Budaya dikeluarkan oleh:
a. Menteri, untuk Cagar Budaya: 1) milik warga negara Indonesia atau pemerintah Indonesia yang berada
di luar negeri;
2) yang berada di objek vital nasional; 3) yang berada di kawasan strategis nasional;
4) yang berada dan berhubungan dengan kawasan warisan dunia; dan
5) yang berupa lokasi atau satuan ruang geografis yang berada di 2 (dua) provinsi atau lebih.
b. gubernur, untuk Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya yang
berada di 2 (dua) kabupaten/kota atau lebih, atau kawasan strategis provinsi; atau
c. bupati/wali kota, untuk Cagar Budaya yang berada di wilayah
kabupaten/kota selain yang disebut dalam huruf a dan huruf b.
(2) Surat Keputusan Penetapan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi:
a. nama dan/atau jenis;
b. bentuk; c. ukuran;
d. bahan;
e. lokasi atau tempat penyimpanan; f. koordinat astronomis;
g. usia;
h. latar belakang sejarah; dan
Draf 31 Agustus 2013
25
i. informasi lain.
Pasal 54
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya
mengeluarkan Surat Keterangan Kepemilikan Cagar Budaya kepada pemilik yang sah.
(2) Surat Keterangan Kepemilikan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), diberikan oleh:
a. Menteri, untuk Cagar Budaya: 1) milik warga negara Indonesia atau Pemerintah Indonesia yang
berada di luar negeri;
2) berupa Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya yang berada di 2 (dua) provinsi atau lebih;
3) yang berada di objek vital nasional;
4) yang berada di kawasan strategis nasional; dan 5) yang berada dan berhubungan dengan kawasan warisan dunia.
b. gubernur, untuk Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya yang
berada di 2 (dua) kabupaten/kota atau lebih, atau kawasan strategis provinsi; atau
c. bupati/wali kota, untuk Cagar Budaya yang berada di wilayah
kabupaten/kota.
(3) Surat Keterangan Kepemilikan Cagar Budaya berisi: a. identitas pemilik;
b. kode register;
c. nama dan/atau jenis; dan d. lokasi.
(4) Surat Keterangan Kepemilikan Cagar Budaya dapat diubah sesuai dengan
Pengalihan kepemilikannya, dan diterbitkan Surat Keterangan Kepemilikan Cagar Budaya yang baru oleh Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota
sesuai kewenangannya.
Pasal 55
Pemilik Cagar Budaya berhak memperoleh Surat Keterangan Status Cagar
Budaya dan Surat Keterangan Kepemilikan setelah Cagar Budaya tercatat
dalam Register Nasional.
Pasal 56
(1) Warga negara asing atau lembaga asing yang berdomisili atau berkedudukan di Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut
atau 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut dapat:
a. ditetapkan sebagai pemilik Cagar Budaya; b. menerima atau menyimpan Surat Keterangan Kepemilikan Cagar
Budaya; dan/atau
c. menerima atau menyimpan Surat Penetapan Cagar Budaya.
Draf 31 Agustus 2013
26
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya
mencabut Surat Keterangan Kepemilikan Cagar Budaya yang dimiliki warga negara asing atau lembaga asing sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) apabila diketahui tidak berdomisili atau berkedudukan di Indonesia.
Pasal 57
(1) Menteri, gubernur, bupati dan/wali kota sesuai dengan kewenangannya
dapat mengubah Surat Keputusan Penetapan Cagar Budaya dan/atau
Surat Keterangan Kepemilikan Cagar Budaya apabila: a. terjadi pemekaran atau penggabungan wilayah;
b. terjadi perubahan nama provinsi, kabupaten, kota, kecamatan,
kelurahan, desa, dan/atau nama wilayah sesuai nama wilayah hukum adat; dan/atau
c. terdapat kekeliruan dalam pencantuman identitas pemilik, kode
register, nama dan/atau jenis, lokasi, dan/atau informasi lain yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya.
(2) Perubahan terhadap Surat Keputusan Cagar Budaya dan/atau Surat
Keterangan Kepemilikan Cagar Budaya dikeluarkan setelah memperoleh rekomendasi dari Tim Ahli.
(3) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus diikuti
dengan perubahan pangkalan data yang dikelola oleh pemerintah
kabupaten/kota, untuk disampaikan kepada pemerintah provinsi dan selanjutnya disampaikan kepada Pemerintah guna memperbaiki data
Register Nasional.
Pasal 58
Cagar Budaya yang telah ditetapkan, disusun dalam daftar Cagar Budaya oleh
Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya.
Bagian Kelima
Pemeringkatan
Pasal 59
(1) Cagar Budaya peringkat kabupaten/kota ditetapkan oleh bupati/wali kota,
berdasarkan: a. Cagar Budaya yang telah didaftar di kabupaten/kota;
b. rekomendasi Tim Ahli kabupaten/kota sesuai dengan syarat-syarat
Pemeringkatan. (2) bupati/wali kota dapat mengusulkan Cagar Budaya yang telah dipilih dari
daftar Cagar Budaya peringkat kabupaten/kota, menjadi Cagar Budaya
peringkat provinsi kepada gubernur, setelah mendapat rekomendasi dari Tim Ahli kabupaten/kota.
Pasal 60
(1) Cagar Budaya peringkat provinsi ditetapkan oleh gubernur, berdasarkan:
Draf 31 Agustus 2013
27
a. Cagar Budaya yang telah didaftar di provinsi;
b. rekomendasi Tim Ahli provinsi sesuai dengan syarat-syarat Pemeringkatan;
c. usulan dari bupati/wali kota.
(2) Gubernur dapat mengusulkan Cagar Budaya yang telah dipilih dari daftar Cagar Budaya peringkat provinsi, menjadi Cagar Budaya peringkat
nasional kepada Menteri, setelah mendapat rekomendasi dari Tim Ahli
provinsi.
Pasal 61
(1) Cagar Budaya peringkat nasional ditetapkan oleh Menteri, berdasarkan:
a. Cagar Budaya yang telah didaftar di Direktorat yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya;
b. rekomendasi Tim Ahli nasional sesuai dengan syarat-syarat
Pemeringkatan; dan c. usulan dari gubernur.
(2) Menteri dapat mengusulkan Cagar Budaya yang telah dipilih dari daftar
Cagar Budaya peringkat nasional, menjadi warisan budaya dunia kepada badan dunia yang membidangi kebudayaan sesuai konvensi internasional
dan kelaziman tata cara di dunia internasional.
Pasal 62 Tim Ahli dalam memberikan rekomendasi dapat memperoleh dukungan dari
lembaga penelitian formal dan/atau lembaga penelitian non formal yang
memiliki akreditasi sebagai lembaga penelitian di tingkat Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
Pasal 63 (1) Tim Ahli provinsi atau Tim Ahli nasional dapat merekomendasikan
penurunan peringkat Cagar Budaya peringkat provinsi atau peringkat
nasional kepada gubernur atau Menteri sesuai dengan kewenangannya. (2) Gubernur atau Menteri sesuai dengan kewenangannya dapat menurunkan
peringkat Cagar Budaya peringkat provinsi atau peringkat nasional
dengan memperhatikan syarat pemeringkatan.
Pasal 64
(1) Tim Ahli dapat merekomendasikan Pencabutan Penetapan peringkat Cagar
Budaya kepada Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya, berdasarkan syarat Pencabutan peringkat Cagar Budaya.
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencabut penetapan peringkat Cagar Budaya berdasarkan syarat-syarat Pencabutan peringkat Cagar
Budaya.
Bagian Keenam
Pencatatan
Draf 31 Agustus 2013
28
Pasal 65 (1) Pemerintah membentuk sistem Register Nasional untuk mencatat data
Cagar Budaya.
(2) Data Cagar Budaya dalam Register Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari:
a. daftar Cagar Budaya kabupaten/kota;
b. daftar Cagar Budaya provinsi;
c. daftar Cagar Budaya nasional; dan d. daftar Cagar Budaya yang berada di luar negeri.
(3) Daftar Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berisi:
a. nomor urut; b. nomor register
c. nama dan/atau jenis;
d. peringkat; e. lokasi; dan
f. keterangan tentang Pencabutan, perubahan, Penghapusan, hilang dan
ditemukan kembali.
Pasal 66
(1) Instansi kabupaten/kota yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar
Budaya, menyampaikan daftar Cagar Budaya kabupaten/kota kepada instansi provinsi yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya.
(2) Instansi provinsi yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya,
menyampaikan daftar Cagar Budaya provinsi kepada instansi Pemerintah yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya.
(3) Instansi Pemerintah yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya
mencatat daftar Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ke dalam Register Nasional.
(4) Data Cagar Budaya yang dicatat dalam sistem Register Nasional meliputi:
a. nomor urut; b. nomor registrasi;
c. jenis/nama Cagar Budaya;
d. tanggal penetapan Cagar Budaya;
e. lokasi asal Cagar Budaya; f. peringkat;
g. pemilik/penguasa;
h. deskripsi; i. dokumentasi; dan
j. keterangan lain yang diperlukan.
(5) Sistem Register Nasional meliputi: a. penyediaan perangkat lunak dan keras;
b. sistem Pencatatan, akses, dan pengamanan data;
c. penyediaan sumberdaya manusia; dan
Draf 31 Agustus 2013
29
d. pelaksanaan, pengawasan, dan pembinaan.
(6) Sistem Register Nasional dikelola oleh Pemerintah.
Pasal 67
Data Cagar Budaya tingkat nasional, tingkat provinsi, tingkat kabupaten/kota dapat dilakukan perbaikan, penggabungan, atau Penghapusan.
Pasal 68
(1) Usul perbaikan data Cagar Budaya dapat diajukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Setiap Orang, dan/atau Masyarakat Hukum Adat
kepada Menteri, gubernur, bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Tim
Pendaftaran, dalam hal terdapat kekeliruan, perubahan data, dan/atau
kesalahan dalam Pencatatan.
(3) Perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
rekomendasi dari Tim Ahli.
Pasal 69
(1) Penggabungan data dari 2 (dua) atau lebih Cagar Budaya yang merupakan
kesatuan dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya setelah melalui kajian Tim Ahli. (2) Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal
terdapat Cagar Budaya yang merupakan satu kesatuan dan/atau memiliki
hubungan satu sama lain akan tetapi didaftar secara terpisah; (3) Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
cara memberikan keterangan hubungan antara beberapa Cagar Budaya
yang didaftarkan secara terpisah, tanpa mengubah daftar Cagar Budaya sebelumnya.
(4) Penggabungan dilakukan tanpa menghapus data Cagar Budaya yang
disatukan dalam Register Nasional, dengan menggunakan salah satu nomor Pendaftaran Cagar Budaya.
(5) Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditindaklanjuti
dengan perbaikan Surat Keputusan Penetapan Cagar Budaya dan
peringkatnya.
Pasal 70
(1) Pemerintah Daerah mengusulkan Penghapusan Cagar Budaya kepada Menteri.
Draf 31 Agustus 2013
30
(2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan
Keputusan Menteri atas rekomendasi Tim Ahli nasional. (3) Penghapusan dilakukan apabila Cagar Budaya:
a. musnah;
b. hilang dan dalam jangka waktu 6 (enam) tahun tidak ditemukan; c. mengalami perubahan wujud dan gaya, sehingga kehilangan
keasliannya; atau
d. di kemudian hari diketahui statusnya bukan Cagar Budaya.
(4) Pemerintah Daerah melakukan Penghapusan dari daftar Cagar Budaya daerah sebagai tindak lanjut Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
(5) Setelah Pemerintah Daerah melakukan Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ditindaklanjuti dengan:
a. pencabutan Surat Keputusan Penetapan Cagar Budaya; dan
b. pencabutan surat keterangan Kepemilikan Cagar Budaya. (6) Penghapusan dilakukan tanpa menghilangkan data dalam Register
Nasional.
(7) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memberi tanda pada data Cagar Budaya yang tercatat dalam Register
Nasional.
Pasal 71
(1) Cagar Budaya yang statusnya telah dihapus dari Register Nasional dapat
didaftarkan kembali apabila:
a. Cagar Budaya yang hilang ditemukan kembali setelah lebih dari 6 (enam) tahun; atau
b. terdapat kesalahan pada hasil kajian atau penelitian terdahulu.
(2) Pendaftaran kembali dapat diajukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Setiap Orang, atau Masyarakat Hukum Adat yang memiliki dan/atau
menguasai Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Tim Ahli melakukan evaluasi terhadap kajian sebelumnya sesuai dengan kondisi terakhir Cagar Budaya untuk direkomendasikan kepada Menteri,
gubernur, bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya.
(4) Pendaftaran kembali dilakukan dengan mengubah keterangan pada data
Cagar Budaya yang tersimpan di dalam Register Nasional. (5) Perubahan data pada Register Nasional atas Cagar Budaya yang
didaftarkan kembali dilakukan tanpa mengubah nomor pendaftaran.
Pasal 72
Ketentuan mengenai tata cara Register Nasional diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri.
BAB V
PELINDUNGAN
Draf 31 Agustus 2013
31
Bagian kesatu Umum
Pasal 73 (1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Setiap Orang, dan/atau Masyarakat
Hukum Adat berperan aktif melindungi Cagar Budaya dan/atau Objek
yang Diduga Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau dikuasainya.
(2) Pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi.
(3) Pelindungan terhadap Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar
Budaya bertujuan untuk mempertahankan keberadaannya dari ancaman kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan yang disebabkan oleh faktor
alam dan/atau gangguan manusia.
(4) Pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa Penyelamatan, Pengamanan, Zonasi, Pemeliharaan, dan Pemugaran Cagar Budaya.
(5) Perwakilan Negara Republik Indonesia di luar negeri melakukan
pelindungan terhadap Benda Cagar Budaya milik Pemerintah Indonesia atau Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri.
Bagian Kedua
Penyelamatan
Pasal 74
(1) Penyelamatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya dilakukan sesuai kaidah keilmuan dan etika pelestarian, dengan
meminimalisir dampak kerusakannya.
(2) Kegiatan Penyelamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diketahui adanya indikasi dan/atau ancaman kerusakan,
kehancuran, dan kemusnahan pada Cagar Budaya dan/atau Objek yang
Diduga Cagar Budaya baik yang berasal dari faktor internal maupun faktor eksternal.
(3) Faktor internal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi faktor usia,
kualitas bahan, dan teknologi pengerjaan.
(4) Faktor eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi faktor alam, binatang, tumbuhan dan/atau manusia.
(5) Penyelamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
keadaan biasa dan keadaan darurat.
Pasal 75
(1) Penyelamatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya dalam keadaan biasa dilakukan dengan cara:
a. perawatan;
b. perkuatan; dan/atau c. konsolidasi;
Draf 31 Agustus 2013
32
(2) Penyelamatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya
yang disebabkan oleh faktor eksternal selain dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dilakukan dengan:
a. memberi talud;
b. memberi atap; c. memberi pagar;
d. menempatkan petugas Pengamanan; dan/atau
e. pemindahan ke tempat yang aman.
(3) Penyelamatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya dalam keadaan biasa karena dampak kegiatan pembangunan harus
dilakukan melalui kegiatan terencana dengan:
a. didahului kajian; b. dilakukan oleh Tenaga Ahli Pelestarian; dan
c. mempertahankan nilai penting Cagar Budaya dan/atau Objek yang
Diduga Cagar Budaya. (4) Penyelamatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilakukan oleh Unit
Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah Daerah yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya.
(5) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang memiliki,
menguasai, atau mengelolanya dapat melakukan Penyelamatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dengan Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah Daerah yang berwenang di bidang
Pelestarian Cagar Budaya.
Pasal 76
(1) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat melaporkan kepada Unit
Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah Daerah yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya, apabila mengetahui Cagar Budaya
dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau yang
dikuasainya berada dalam keadaan darurat atau memaksa, baik yang disebabkan oleh alam maupun manusia.
(2) Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah Daerah yang
berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya setelah menerima laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) segera melakukan Penyelamatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya dalam keadaan
darurat atau memaksa baik yang disebabkan oleh alam maupun manusia.
(3) Penyelamatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan manajemen
Penyelamatan sebagai berikut:
a. mitigasi bencana; b. tindakan siaga bencana;
c. tanggap darurat;
d. tindakan pemulihan; e. koordinasi; dan
Draf 31 Agustus 2013
33
f. pemantauan serta pembinaan.
(4) Manajemen Penyelamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah Daerah yang
berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya bekerja sama dengan
instansi terkait.
Pasal 77
Mitigasi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3) huruf a
berupa tindakan terhadap Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya, meliputi:
a. melakukan pendataan lengkap di daerah rawan bencana;
b. melakukan pemetaan dan permasalahan di daerah rawan bencana serta analisis resikonya;
c. menentukan prioritas Penyelamatan;
d. sosialisasi dan penyebarluasan informasi tentang tata cara Penyelamatan dalam menghadapi bencana; dan
e. meningkatkan kerja sama dengan kelompok sosial masyarakat di sekitar
lokasi.
Pasal 78
Tindakan siaga bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3) huruf
b, meliputi: a. penyusunan kebijakan dan strategi;
b. penyiapan sumber daya manusia;
c. penyiapan sarana dan prasarana; d. penyusunan prosedur operasi standar;
e. pelatihan dan simulasi secara berkala;
f. membuat dan menempatkan tanda-tanda peringatan, bahaya, larangan memasuki daerah rawan bencana;
g. membuat rencana dan memberi informasi jalur-jalur evakuasi jika terjadi
bencana; h. penyimpanan sementara Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga
Cagar Budaya; dan
i. tindakan lain yang dipandang perlu sesuai peraturan perundang-
undangan.
Pasal 79
Tanggap darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3) huruf c terhadap Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya dilakukan
melalui tindakan:
a. penjagaan; b. pemasangan sarana pelindung;
c. pemasangan garis Pengamanan;
d. pengumpulan bagian-bagian yang hancur;
Draf 31 Agustus 2013
34
e. pengangkatan, pemindahan, dan penyimpanan sebagian atau seluruhnya ke
tempat aman; dan/atau f. pencatatan dan perekaman.
Pasal 80
Tindakan pemulihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3) huruf d
meliputi pembersihan, perbaikan, pemulihan keterawatan objek, pemulihan
lingkungan, dan Pemeliharaan, dengan melibatkan Setiap Orang dan/atau
Masyarakat Hukum Adat.
Pasal 81
(1) Koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3) huruf e, meliputi:
a. identifikasi pihak-pihak yang terlibat;
b. penentuan tugas, peran dan tanggung jawab masing-masing pihak; dan c. penyediaan dana yang diperlukan.
(2) Pihak-pihak yang terlibat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
terdiri atas: a. instansi yang yang bertanggung jawab di bidang Pekerjaan Umum,
Perhubungan, Energi dan Sumber Daya Mineral, Kehutanan,
Lingkungan Hidup, Kelautan, dan/atau Badan Penanggulangan
Bencana Nasional/Daerah; b. Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
c. lembaga penelitian dan/atau perguruan tinggi; d. lembaga swadaya masyarakat; dan/atau
e. Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat.
(3) Penentuan tugas, peran dan tanggung jawab masing-masing pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan ketentuan yang
berlaku.
(4) Koordinasi dalam pencegahan dan penanggulangan resiko bencana terhadap Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya
dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah
Daerah yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya.
(5) Penyediaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c menjadi tanggung jawab Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi yang berwenang
di bidang Pelestarian Cagar Budaya, dengan bantuan dana dari instansi
terkait serta pihak-pihak yang terlibat.
Pasal 82
Pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3) huruf f meliputi langkah-langkah untuk:
a. mengetahui pelaksanaan penanggulangan bencana;
b. melakukan penilaian;
Draf 31 Agustus 2013
35
c. melakukan pembenahan terhadap pelaksanaan penanggulangan bencana;
dan d. memantau secara terus-menerus terhadap proses penanggulangan bencana.
Pasal 83 (1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3) huruf f
dilakukan dengan cara pendidikan dan pelatihan atau bimbingan teknis.
(2) Pendidikan dan pelatihan atau bimbingan teknis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, kesadaran, kepedulian, kesiapsiagaan dalam mencegah dan menghadapi
bencana terhadap Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar
Budaya. (3) Bentuk pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. memasukkan pengetahuan tentang resiko bencana terhadap Cagar
Budaya dalam kurikulum pendidikan formal; dan b. menyelenggarakan penyuluhan dan sosialisasi.
(4) Bentuk pelatihan atau bimbingan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi: a. pelatihan dasar;
b. pelatihan lanjutan;
c. pelatihan teknis; dan/atau
d. simulasi.
Paragraf 1
Pengangkatan
Pasal 84
(1) Pengangkatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya Di Air dalam rangka penyelamatan hanya dapat dilakukan dalam keadaan
darurat, oleh Unit Pelaksana Teknis, instansi Pemerintah Daerah yang
berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya, Setiap Orang, dan/atau Masyarakat Hukum Adat.
(2) instansi Pemerintah Daerah yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar
Budaya, Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat, yang
melakukan pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berkoodinasi dengan Unit Pelaksana Teknis.
(3) Unit Pelaksana Teknis dan instansi Pemerintah Daerah yang berwenang di
bidang Pelestarian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan pihak lain yang memiliki kualifikasi di bidang
pengangkatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya
Di Air.
Pasal 85
Draf 31 Agustus 2013
36
(1) Pengangkatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan keutuhan, keselamatan, dan keamanan, sesuai standar
pengangkatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya
Di Air.
(2) Pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan
kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan menjadi tanggung jawab
pelaksana.
(3) Pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditindaklanjuti dengan perawatan, sesuai standar perawatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang
Diduga Cagar Budaya Di Air, dan dilakukan pemindahan ke tempat lain
yang aman.
(4) Lokasi asal Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya Di
Air yang diangkat harus dicatat kedalaman serta titik koordinatnya.
Paragraf 2
Pemindahan
Pasal 86
(1) Pemindahan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya
dalam rangka Penyelamatan dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis dan
instansi Pemerintah Daerah yang berwenang di bidang pelestarian Cagar
Budaya, dapat bekerja sama dengan pihak lain yang memiliki kualifikasi di bidang pemindahan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar
Budaya.
(2) Pemindahan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya dapat dilakukan oleh Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat
dengan melaporkan kepada Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi yang
berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya.
(3) Pemindahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dapat
didahului dengan tindakan ekskavasi penyelamatan.
Pasal 87
(1) Pemindahan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya
dilakukan dengan memperhatikan keutuhan bentuk, keselamatan, dan
keamanan, serta dilakukan sesuai standar pemindahan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya.
(2) Pemindahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan
kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan menjadi tanggung jawab pelaksana.
Draf 31 Agustus 2013
37
(3) Keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi faktor:
a. lingkungan, berupa tingkat kelembaban udara, suhu udara, pencahayaan, curah hujan, air, angin, dan/atau api; dan
b. tindakan, berupa benturan, gerakan, tekanan, dan/atau gesekan.
(4) Keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kemungkinan terjadinya:
a. pencurian;
b. perusakan;
c. penyanderaan; d. pemusnahan; dan/atau
e. penghancuran.
(5) Pemindahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan ke tempat lain yang aman serta lokasi asal Cagar Budaya dan/atau Objek
yang Diduga Cagar Budaya yang dipindah harus diberi tanda dan dicatat
titik koordinatnya.
Paragraf 3
Penyimpanan
Pasal 88
(1) Penyimpanan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya
dalam rangka Penyelamatan dilakukan dengan memperhatikan keutuhan, keselamatan, dan keamanannya.
(2) Penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di
dalam ruangan, di bawah pelindung, maupun di alam terbuka.
(3) Penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan
memperhatikan faktor:
a. lokasi; b. kondisi;
c. jenis bahan;
d. kerapuhannya; e. kelompok; dan
f. kesatuannya.
(4) Penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan
dengan menggunakan metode, teknik, dan peralatan yang sesuai.
(5) Penyimpanan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya
yang sedikit jumlahnya, unik rancangannya, langka jenisnya, atau bernilai
tinggi harus dilakukan pada tempat khusus untuk menjaga keamanan dan keselamatannya.
Pasal 89
Draf 31 Agustus 2013
38
(1) Penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, dilakukan oleh Unit
Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah Daerah yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya.
(2) Penyimpanan dalam rangka Penyelamatan dapat dilakukan oleh Setiap
Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat dengan melaporkan kepada Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah Daerah yang berwenang di
bidang Pelestarian Cagar Budaya.
(3) Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah Daerah yang
berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya melakukan pemeriksaan terhadap lokasi penyimpanan.
(4) Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah Daerah yang
berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya memerintahkan pemindahan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya ke
tempat yang lebih aman apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) terbukti lokasi penyimpanan tidak memenuhi syarat.
Bagian Ketiga Pengamanan
Pasal 90
(1) Pengamanan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya dilakukan untuk mencegah atau menanggulangi terjadinya kerusakan,
kehancuran, atau kemusnahan, baik disebabkan oleh faktor alam atau
tindakan manusia dengan tetap memperhatikan pemanfaatannya bagi kepentingan sosial, pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, agama, kebudayaan, dan/atau pariwisata.
(2) Pengamanan terhadap Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya dilakukan dengan tindakan:
a. memberi pelindung;
b. menyimpan; c. menempatkannya pada tempat yang terhindar dari gangguan alam dan
manusia; dan/atau
d. menempatkan juru pelihara, Polisi Khusus dan/atau memberi sarana
Pengamanan. (3) Memberi pelindung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dilakukan dengan memagar, menutup, atau memberi atap pada Cagar
Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya. (4) Memberi sarana Pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
d dilakukan dengan menempatkan peralatan untuk melakukan
pemantauan, pemindaian, dan pelacakan.
Pasal 91
Draf 31 Agustus 2013
39
(1) Pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, dilakukan oleh pemilik dan/atau yang menguasai Cagar Budaya dan/atau Objek yang
Diduga Cagar Budaya dengan pendanaan ditanggung oleh pemilik
dan/atau yang menguasainya. (2) Unit Pelaksana Teknis dan/atau Instansi yang berwenang di bidang
Pelestarian Cagar Budaya dapat memberikan bantuan juru pelihara
dan/atau Polisi Khusus apabila pemilik Cagar Budaya dan/atau Objek
yang Diduga Cagar Budaya tidak mampu menyediakannya.
Pasal 92
(1) Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah Daerah yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya melakukan pembinaan
dan/atau pemantauan terhadap upaya Pengamanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 90. (2) Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah Daerah yang
berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya dapat mengambil alih
Pengamanan apabila pemilik dan/atau yang menguasai Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya tidak melakukan Pengamanan
sesuai ketentuan yang berlaku dengan biaya ditanggung oleh pemilik
dan/atau yang menguasainya.
(3) Pemilik dan/atau yang menguasai Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya dapat mengajukan permohonan agar Pengamanan
dikembalikan kepadanya, dengan membuat pernyataan bahwa pemilik
dan/atau yang menguasai Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya akan melakukan Pengamanan sesuai ketentuan yang
berlaku.
Pasal 93
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat mengangkat juru pelihara
dan/atau Polisi Khusus untuk melakukan Pengamanan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya.
(2) Juru pelihara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berstatus
Pegawai Negeri Sipil maupun tenaga honorer.
(3) Polisi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berstatus Pegawai Negeri Sipil.
(4) Polisi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan
tugasnya, berkoordinasi dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelestarian Cagar Budaya,
Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Unit Pelaksana Teknis
dan/atau instansi Pemerintah Daerah yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya.
Pasal 94
Draf 31 Agustus 2013
40
(1) Pemilik dan/atau yang menguasai Cagar Budaya dan/atau Objek yang
Diduga Cagar Budaya dapat mengalihkan Kepemilikan, memindahkan, memisahkan, membawa ke luar wilayah Indonesia, ke luar wilayah
provinsi, ke luar wilayah kabupaten/kota, mengubah fungsi, dan/atau
melakukan Perbanyakan dalam rangka Pengamanan Cagar Budaya, setelah memperoleh izin.
(2) Membawa ke luar wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. hanya dapat dilakukan untuk kepentingan penelitian, promosi
kebudayaan, dan/atau pameran; b. sedapat mungkin diasuransikan; dan
c. melampirkan sistem Pengamanan untuk memindahkan dan/atau
memisahkan. (3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan syarat-syarat:
a. diajukan oleh pemilik dan/atau yang menguasai dengan surat
permohonan yang memuat: 1) identitas pemohon;
2) identitas Cagar Budaya; dan
3) maksud dan tujuan. dan
b. melampirkan proposal apabila bertujuan untuk kegiatan.
(4) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diajukan kepada
Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya. (5) Gubernur, atau bupati/wali kota dalam memberikan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), harus memperoleh rekomendasi terlebih dahulu
dari Unit Pelaksana Teknis.
Pasal 95 (1) Petugas imigrasi dan bea cukai memeriksa benda yang dicurigai Cagar
Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya yang dibawa ke luar
wilayah Indonesia dengan memeriksa surat izin untuk kepentingan
penelitian atau promosi. (2) Dalam hal surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
ditunjukkan, petugas imigrasi dan/atau bea cukai melakukan penegahan
terhadap benda yang dicurigai Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya.
(3) Benda yang ditegah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diserahkan
kepada Instansi yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya untuk dilakukan pengkajian sebagai Cagar Budaya atau bukan Cagar
Budaya.
Bagian Keempat
Zonasi
Pasal 96
Draf 31 Agustus 2013
41
(1) Zonasi dibuat berdasarkan prinsip:
a. pelindungan; b. keseimbangan;
c. kelestarian;
d. koordinasi; dan e. pemberdayaan masyarakat.
(2) Zonasi dibuat berdasarkan kriteria lokasi atau satuan ruang geografis yang
sudah ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar
Budaya yang: a. rawan ancaman yang disebabkan faktor alam maupun manusia;
b. mempunyai potensi Pengembangan dan Pemanfaatan; dan/atau
c. memerlukan pengelolaan khusus.
Pasal 97
(1) Zonasi dibuat berdasarkan hasil kajian terhadap ruang Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya untuk kepentingan Pelindungan
Cagar Budaya.
(2) Kajian Zonasi dilakukan oleh Direktorat yang bertanggungjawab di bidang Pelestarian Cagar Budaya, Unit Pelaksana Teknis, atau instansi
Pemerintah Daerah yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya
bekerja sama dengan:
a. kementerian teknis di bidang tata ruang dan/atau instansi yang berwenang di bidang tata ruang; dan
b. akademisi.
(3) Kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan untuk menentukan luas zona, batas zona, sistem zona, dan tata letak dengan
memperhatikan:
a. kepentingan negara, kepentingan daerah, dan kepentingan masyarakat; b. kepadatan serta persebaran Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga
Cagar Budaya dalam satuan ruang geografis;
c. pelestarian kebudayaan pendukung Cagar Budaya yang masih hidup di masyarakat; dan
d. lingkungan alam.
(4) Penentuan luas zona, batas zona, dan sistem zona sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dapat dilakukan secara horizontal maupun vertikal terhadap Cagar Budaya maupun lingkungannya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(5) Lingkungannya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa: a. daratan;
b. perairan;
c. perbatasan antara daratan dengan perairan; atau d. udara dan angkasa.
Pasal 98
Draf 31 Agustus 2013
42
(1) Zonasi dilakukan dengan membagi ruang menjadi beberapa zona
berdasarkan tingkat kepentingan dan rencana pemanfaatannya, yaitu: a. Zona Inti;
b. Zona Penyangga;
c. Zona Pengembangan; dan/atau d. Zona Penunjang.
(2) Zona Inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan area
pelindungan utama untuk menjaga bagian dari Situs Cagar Budaya
dan/atau Kawasan Cagar Budaya yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya yang paling penting.
(3) Zona Penyangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan
area yang melindungi Zona Inti. (4) Zona Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
merupakan area yang diperuntukan bagi Pengembangan potensi Cagar
Budaya untuk kepentingan rekreasi, konservasi lingkungan alam, lanskap budaya, kehidupan budaya tradisional, keagamaan, dan kepariwisataan.
(5) Zona Penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan
area yang diperuntukkan bagi penempatan sarana dan prasarana penunjang untuk mendukung kegiatan usaha dan/atau rekreasi umum.
(6) Zonasi pada satu Kawasan Cagar Budaya dapat terdiri atas lebih dari satu
Zona Inti.
(7) Komposisi jumlah zona, penempatan, dan keluasannya dibuat berdasarkan keadaan dengan mengutamakan Pelindungan Benda Cagar Budaya,
Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan/atau lanskap
budaya yang berada di dalam Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya.
Pasal 99
(1) Zona Inti, Zona Penyangga, Zona Pengembangan, dan Zona Penunjang,
dapat dimanfaatkan untuk rekreasi, edukasi, apresiasi, dan religi.
(2) Pemanfaatan Zona Inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada kriteria:
a. mutlak untuk mempertahankan keaslian Cagar Budaya;
b. tidak boleh merusak atau mencemari Cagar Budaya maupun nilainya;
c. tidak boleh mengubah fungsi, kecuali tetap mempertahankan prinsip Pelestarian Cagar Budaya;
d. tidak boleh untuk kepentingan komersial, kecuali memenuhi kepatutan;
e. tidak boleh didirikan bangunan baru atau fasilitas lain kecuali taman, fasilitas pelindung, dan fasilitas Pengamanan; dan
f. tidak menjadi ruang kegiatan yang bertentangan dengan sifat
kesakralan.
(3) Pemanfaatan Zona Penyangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi ketentuan:
a. untuk melindungi Zona Inti;
Draf 31 Agustus 2013
43
b. tidak boleh untuk kepentingan komersial, kecuali memenuhi kepatutan;
c. tidak boleh didirikan bangunan baru atau fasilitas lain kecuali taman, fasilitas pendukung, dan fasilitas Pengamanan; dan
d. dapat digunakan untuk ruang kegiatan yang tidak bertentangan dengan
kelestarian.
(4) Pemanfaatan Zona Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada kriteria:
a. mengembangkan nilai manfaat dari Cagar Budaya;
b. dapat dipergunakan untuk tempat fasilitas umum; c. dapat dipergunakan untuk kawasan permukiman dan fasilitas
pendukung; dan/atau
d. dapat untuk kepentingan komersial dengan mempertahankan nilai lingkungan budaya.
(5) Pemanfaatan Zona Penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada kriteria: a. diperuntukkan bagi penempatan sarana dan prasarana penunjang;
b. untuk kegiatan komersial dan rekreasi umum; dan
c. luas Zona Penunjang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan setempat.
Pasal 100
(1) Pemanfaatan ruang secara vertikal dapat dilakukan pada zona horizontal, yaitu ruang yang berada di atas dan di bawah Zona Inti, Zona Penyangga,
Zona Pengembangan, dan Zona Penunjang.
(2) Pemanfaatan ruang secara vertikal di atas Zona Inti dan Zona Penyangga harus memenuhi kriteria:
a. tidak boleh mengganggu kelayakan pandang Bangunan Cagar Budaya;
b. tidak boleh melakukan penerbangan di atasnya yang dapat menimbulkan kerusakan Cagar Budaya;
c. tidak boleh dilewati kabel jaringan saluran ultra tegangan tinggi; dan
d. ketinggian fasilitas pendukung, dan fasilitas Pengamanan tidak boleh menyamai dan melebihi Bangunan Cagar Budaya.
(3) Pemanfaatan ruang secara vertikal di bawah Zona Inti dan Zona Penyangga
tidak boleh mengancam keberadaan Cagar Budaya yang ada di atasnya.
(4) Pemanfaatan ruang secara vertikal dalam Zona Pengembangan dan Zona Penunjang untuk berbagai kepentingan dilakukan dengan tetap
mengutamakan kelestarian Cagar Budaya.
Pasal 101
Zonasi Cagar Budaya harus diikuti sebagai acuan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah sesuai peringkat Cagar Budaya.
Pasal 102
Draf 31 Agustus 2013
44
(1) Cara penentuan Zonasi dilakukan dengan: a. teknik blok;
b. teknik sel; dan
c. teknik gabungan. (2) Teknik blok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diterapkan
jika Zonasi mencakup keseluruhan Situs Cagar Budaya atau Kawasan
Cagar Budaya menjadi satu kesatuan.
(3) Teknik sel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diterapkan pada wilayah yang mengandung sebaran Situs Cagar Budaya yang jaraknya
relatif dekat dan tidak teratur.
(4) Teknik gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diterapkan pada satu Kawasan Cagar Budaya jika persebaran Situs Cagar Budaya
tidak merata.
Pasal 103
(1) Penentuan batas zona dapat dibedakan atas:
a. batas asli; b. batas budaya;
c. batas arbitrer;
d. hubungan kontekstual;
e. cakupan pandangan; dan/atau f. batas alam.
(2) Batas asli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan batas
Cagar Budaya yang masih dapat dikenali berdasarkan sebaran dan kepadatan temuan arkeologi.
(3) Batas budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan
batas kewilayahan menurut kesepakatan pendukung yang berbeda atau persebaran kelompok etnik tertentu.
(4) Batas arbitrer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan
batas yang ditentukan berdasarkan kebutuhan Pengamanan, batas wilayah pemerintahan, atau batas Kepemilikan tanah.
(5) Batas hubungan kontekstual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
merupakan batas antara Cagar Budaya dengan lingkungan alam dan sosial
budaya. (6) Batas cakupan pandangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
merupakan batas pandangan mata terhadap Bangunan Cagar Budaya atau
Struktur Cagar Budaya. (7) Batas alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f merupakan batas
yang terbentuk secara alamiah.
Pasal 104
Penetapan Zonasi terhadap Bangunan Cagar Budaya peninggalan kolonial
dan/atau Situs Cagar Budaya yang berada di perkotaan dilakukan dengan radius 100 (seratus) meter dari batas terluar Zona Inti.
Draf 31 Agustus 2013
45
Pasal 105
(1) Zonasi untuk Cagar Budaya Di Air dibagi menjadi Zona Inti, Zona Penyangga Zona Pengembangan, dan Zona Pemanfaatan.
(2) Zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan
posisi dan persebaran Cagar Budaya. (3) Penetapan Zonasi Cagar Budaya Di Air dilakukan oleh:
a. Menteri, apabila Cagar Budaya Di Air berada di laut dengan jarak lebih
dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;
b. gubernur, apabila Cagar Budaya Di Air berada di laut dengan jarak antara 4 (empat) sampai dengan 12 (dua belas) mil dari garis pantai; dan
c. bupati atau wali kota, apabila Cagar Budaya Di Air berada di laut
dengan jarak kurang dari 4 (empat) mil dari garis pantai.
Pasal 106
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya mengeluarkan Surat Keputusan tentang luas dan batas-batas zona
berdasarkan hasil kajian teknis Unit Pelaksana Teknis.
(2) Pengaturan Zonasi Cagar Budaya yang berada di dalam atau bersinggungan dengan sistem Zonasi lain:
a. ditetapkan tanpa dilakukan perubahan batas selama zonasi lain
mempunyai fungsi Pelestarian;
b. ditetapkan batas baru yang disepakati oleh pihak yang berkepentingan apabila fungsi zonasi lain bukan untuk Pelestarian akan tetapi dapat
mendukung upaya Pelestarian; atau
c. apabila fungsi zonasi lain bertentangan dengan upaya Pelestarian, sistem Zonasi lain dapat:
1) dibatalkan sebagian atau seluruhnya untuk kepentingan
Pelestarian Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya; atau 2) dilakukan perubahan atas luas dan batasnya untuk disesuaikan
dengan kebutuhan Pelestarian Situs Cagar Budaya atau Kawasan
Cagar Budaya. (3) Pengaturan Zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan atas
hasil Penelitian yang melibatkan pemangku kepentingan.
Pasal 107
(1) Zonasi dibuat setelah suatu lokasi ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya
atau satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau
lebih ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya.
(2) Zonasi dilakukan tanpa mengubah luas dan batas Situs Cagar Budaya
atau Kawasan Cagar Budaya yang telah ditetapkan.
Bagian Kelima
Pemeliharaan
Draf 31 Agustus 2013
46
Pasal 108
(1) Pemeliharaan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya dilakukan dengan perawatan secara preventif maupun kuratif.
(2) Perawatan secara preventif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan cara perawatan rutin, sehari-hari, maupun berkala dengan tujuan untuk menjaga kebersihan atau keterawatan Cagar Budaya dan/atau
Objek yang Diduga Cagar Budaya.
(3) Perawatan secara kuratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan cara perawatan tradisional maupun modern untuk menanggulangi Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya yang telah
rusak dan/atau lapuk.
Pasal 109
(1) Biaya perawatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar
Budaya dibebankan kepada pemilik dan/atau yang menguasai.
(2) Pemilik dan/atau yang menguasai Cagar Budaya dan/atau Objek yang
Diduga Cagar Budaya yang tidak mampu membiayai perawatan dapat
mengajukan permohonan bantuan biaya perawatan kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah, disertai dengan surat keterangan tidak mampu
dari pejabat yang berwenang.
Pasal 110
(1) Perawatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya
dilakukan melalui tahap studi teknis perawatan, pelaksanaan perawatan,
dan pengawasan perawatan. (2) Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah Daerah yang
berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya melaksanakan perawatan
Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya, dengan mengangkat juru pelihara yang bertugas merawat dan memelihara Cagar
Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya sesuai dengan
keterampilannya.
Bagian Keenam
Pemugaran
Pasal 111
(1) Unit Pelaksana Teknis atau instansi Pemerintah Daerah yang berwenang di
bidang Pelestarian Cagar Budaya melakukan Pemugaran Bangunan Cagar Budaya dan/atau Struktur Cagar Budaya sesuai dengan peringkat Cagar
Budaya.
(2) Pemilik dan/atau yang menguasai Bangunan Cagar Budaya dan/atau Struktur Cagar Budaya dapat melakukan Pemugaran didasarkan izin
dengan syarat:
Draf 31 Agustus 2013
47
a. mengajukan surat permohonan izin Pemugaran yang memuat:
1) identitas pemohon; 2) identitas Bangunan Cagar Budaya dan/atau Struktur Cagar
Budaya yang akan dipugar; dan
3) waktu dan lokasi Pemugaran. b. melampirkan foto kopi surat Penetapan Cagar Budaya yang dilegalisir;
c. melampirkan foto kopi Surat Keterangan Kepemilikan Cagar Budaya
yang dilegalisir;
d. dokumen studi kelayakan untuk dapat dipugar; e. rencana studi teknis dan rencana Pemugaran;
f. menginformasikan Tenaga Ahli Pelestarian yang akan menjadi
konsultan; g. dokumen analisis mengenai dampak lingkungan apabila Pemugaran
berpotensi menimbulkan dampak pada kerusakan lingkungan; dan
h. surat keterangan pendanaan. (3) Permohonan izin Pemugaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diajukan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya. (4) Gubernur, atau bupati/wali kota dalam memberikan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), harus memperoleh kajian teknis terlebih dahulu
dari Unit Pelaksana Teknis.
(5) Pemilik dan/atau yang menguasai Bangunan Cagar Budaya dan/atau Struktur Cagar Budaya dalam melakukan Pemugaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) didampingi oleh Unit Pelaksana Teknis dan/atau
instansi Pemerintah Daerah yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya dalam bentuk konsultasi.
Pasal 112
(1) Pemugaran terhadap Bangunan Cagar Budaya dan/atau Struktur Cagar
Budaya dapat dilakukan, baik sebagai satu kesatuan maupun kompleks,
untuk mengembalikan kondisi fisik yang rusak. (2) Kondisi fisik yang rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
keadaan melesak, miring, roboh, retak, pecah, runtuh, patah, lapuk,
dan/atau melendut pada struktur maupun komponen Bangunan Cagar
Budaya dan/atau Struktur Cagar Budaya. (3) Pemugaran Bangunan Cagar Budaya dan/atau Struktur Cagar Budaya
harus memperhatikan:
a. prinsip-prinsip keaslian bahan, bentuk, tata letak, gaya, dan/atau teknologi pengerjaan;
b. kondisi semula, dengan kemungkinan tingkat perubahan sekecil
mungkin; c. penggunaan teknik, metode, dan bahan yang tidak bersifat merusak;
dan
d. kompetensi pelaksana di bidang Pemugaran.
Draf 31 Agustus 2013
48
Pasal 113
(1) Prinsip keaslian bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (3) huruf a merupakan prinsip bahan bangunan yang dipakai pada saat
dibangun atau ketika pertama kali ditemukan sesuai dengan data yang ada
yang mencakup jenis, kualitas, dan asal bahan. (2) Prinsip keaslian bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (3)
huruf a merupakan prinsip bentuk bangunan pada saat awal dibangun
atau ketika pertama kali ditemukan sesuai dengan data yang ada yang
mencakup komponen, unsur, dan warna. (3) Prinsip keaslian tata letak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (3)
huruf a merupakan prinsip tata letak bangunan pada saat dibangun atau
ketika pertama kali ditemukan sesuai dengan data yang ada yang mencakup kedudukan, arah hadap, orientasi bangunan terhadap
lingkungannya.
(4) Prinsip keaslian gaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (3) huruf a merupakan prinsip gaya bangunan yang dipakai pada saat
dibangun atau ketika pertama kali ditemukan sesuai dengan data yang ada
yang mencakup komponen langgam, gaya, dan ragam hias. (5) Prinsip keaslian teknologi pengerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
112 ayat (3) huruf a merupakan prinsip pengerjaan teknologi bangunan
yang dipakai pada saat dibangun atau ketika pertama kali ditemukan
sesuai dengan data yang ada yang mencakup teknologi dan cara pembangunannya.
(6) Penggunaan teknik, metode, dan bahan yang tidak bersifat merusak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (3) huruf c merupakan penggunaan teknik, metode dan bahan yang tidak menyebabkan
berkurangnya nilai arsitektur, seni, dan/atau kelestarian fisik Bangunan
Cagar Budaya dan/atau Struktur Cagar Budaya. (7) Kompetensi pelaksana di bidang Pemugaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 112 ayat (3) huruf d, dinilai oleh Unit Pelaksana Teknis dengan
memperhatikan keahlian dan pengalaman pelaksana dalam Pemugaran Bangunan Cagar Budaya dan/atau Struktur Cagar Budaya.
Pasal 114
Pemugaran terhadap Bangunan Cagar Budaya dan/atau Struktur Cagar Budaya dilakukan dengan tahapan pra Pemugaran, Pemugaran, dan pasca
Pemugaran.
Pasal 115
(1) Tahapan pra Pemugaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 meliputi
kegiatan studi kelayakan, studi teknis, dan perencanaan Pemugaran. (2) Studi kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk
menetapkan kelayakan Pemugaran berdasarkan penilaian atas nilai
sejarah dan kepurbakalaan yang terkandung dalam Bangunan Cagar Budaya dan/atau Struktur Cagar Budaya.
Draf 31 Agustus 2013
49
(3) Studi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan
untuk mengumpulkan data teknis sebagai bahan perencanaan Pemugaran. (4) Perencanaan Pemugaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
tatacara dan teknik Pemugaran berdasarkan data studi teknis.
Pasal 116
(1) Pemugaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dilakukan dengan
memperbaiki, memperkuat, dan/atau mengawetkan Bangunan Cagar
Budaya dan/atau Struktur Cagar Budaya dengan tujuan memperbaiki struktur dan pemulihan arsitekturalnya.
(2) Pemugaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara
rekonstruksi, konsolidasi, rehabilitasi, dan restorasi.
Pasal 117
(1) Perbaikan struktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) dilaksanakan untuk menanggulangi atau mencegah kerusakan lebih lanjut
terhadap Bangunan Cagar Budaya dan/atau Struktur Cagar Budaya.
(2) Perbaikan struktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memperkuat struktur dari Bangunan Cagar Budaya dan/atau
Struktur Cagar Budaya.
(3) Pemulihan arsitektural sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1)
dilaksanakan untuk mengembalikan bentuk arsitektural sesuai bentuk aslinya berdasarkan hasil studi teknis.
(4) Pengembalian arsitektural sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
dengan cara memperbaiki Bangunan Cagar Budaya dan/atau Struktur Cagar Budaya.
Pasal 118 Pasca Pemugaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dilaksanakan
dalam bentuk penataan lahan dan lingkungan Situs Cagar Budaya dan/atau
Kawasan Cagar Budaya, yang bertujuan untuk kelestarian Bangunan Cagar Budaya dan/atau Struktur Cagar Budaya.
Pasal 119
(1) Setiap tahapan Pemugaran dilakukan Penelitian, pendokumentasian, dan pengawasan.
(2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
pengamatan dan pengkajian terhadap temuan-temuan yang diperoleh dalam seluruh proses Pemugaran.
(3) Pendokumentasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk
perekaman data dan nilai-nilai yang terkandung dalam Cagar Budaya dalam bentuk tulisan, gambar, dan foto atau film sebagai sumber informasi
bagi Pengembangan dan Pemanfaatan Cagar Budaya.
(4) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk menjamin dan mengarahkan agar pelaksanaan teknis Pemugaran tidak
Draf 31 Agustus 2013
50
menyimpang dari rencana dan tujuan yang telah ditetapkan sesuai
peraturan yang berlaku.
Pasal 120
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan dana kepada pemilik dan/atau yang menguasai Bangunan Cagar Budaya
dan/atau Struktur Cagar Budaya yang akan melakukan Pemugaran.
(2) Besarnya bantuan dana ditentukan berdasarkan kebutuhan Pemugaran
dan kemampuan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, dengan tetap memperhatikan peringkat Cagar Budaya, kondisi ekonomi pemilik
dan/atau yang menguasai Cagar Budaya, serta kelestarian Cagar Budaya
yang akan dipugar. (3) Pemilik dan/atau yang menguasai Bangunan Cagar Budaya dan/atau
Struktur Cagar Budaya dapat memperoleh bantuan dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dengan syarat: a. mengajukan surat permohonan yang memuat:
1) identitas pemohon;
2) identitas Bangunan Cagar Budaya dan/atau Struktur Cagar Budaya; 3) kebutuhan dana Pemugaran;
4) alasan pengajuan bantuan dana; dan
5) waktu dan lokasi Pemugaran.
dan b. melampirkan surat keterangan tidak mampu dari lurah/kepala desa
yang dikuatkan oleh camat.
(4) Selain bantuan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) instansi yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya dapat memberikan
bantuan lain dalam bentuk tenaga teknis, bahan, peralatan, advokasi,
dan/atau fasilitas lainnya.
Pasal 121
Pemerintah, Pemerintah Daerah, Setiap Orang, dan/atau Masyarakat Hukum Adat dilarang melakukan Pemugaran dengan membuat bangunan baru
dan/atau struktur baru yang menggunakan keseluruhan dan/atau bagian-
bagian Bangunan Cagar Budaya dan/atau Struktur Cagar Budaya yang ada.
Pasal 122
Ketentuan mengenai Pelindungan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Menteri.
BAB VI PENGEMBANGAN
Bagian Kesatu Umum
Draf 31 Agustus 2013
51
Pasal 123
(1) Pengembangan Cagar Budaya bertujuan untuk meningkatkan potensi nilai, informasi, promosi, dan Pemanfaatan Cagar Budaya.
(2) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
kegiatan Penelitian, Revitalisasi, dan Adaptasi. (3) Peningkatan potensi nilai dalam rangka Pengembangan Cagar Budaya
meliputi peningkatan potensi nilai akademis, nilai ideologis serta nilai
ekonomis.
(4) Peningkatan informasi dan promosi untuk Pengembangan Cagar Budaya dilakukan dengan cara:
a. penerbitan buku, leaflet, brosur, poster;
b. pameran, sosialisasi, workshop.
Pasal 124
Perwakilan Negara Republik Indonesia di luar negeri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pengembangan Benda Cagar Budaya milik
Pemerintah Indonesia atau Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri.
Bagian Kedua
Penelitian
Pasal 125 (1) Penelitian dalam rangka Pengembangan Cagar Budaya bertujuan untuk
menghimpun informasi serta mengungkap, memperdalam, dan
menjelaskan nilai-nilai budaya. (2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh:
a. instansi Pemerintah yang berwenang di bidang Penelitian arkeologi;
b. Instansi Pemerintah yang Berwenang di Bidang Pelestarian Cagar Budaya;
c. Instansi Pemerintah Daerah yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar
Budaya; d. instansi Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lainnya; dan/atau
e. Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat.
(3) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan terhadap
Cagar Budaya milik dan/atau yang dikuasai oleh: a. Setiap Orang dan/atau Masyarakat hukum Adat;
b. Pemerintah; dan/atau
c. Pemerintah Daerah. (4) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan izin dari
Menteri, gubernur, bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya.
(5) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai syarat: a. mengajukan surat permohonan yang memuat:
1) identitas peneliti;
2) Cagar Budaya yang akan diteliti; 3) jenis Penelitian;
Draf 31 Agustus 2013
52
4) tujuan Penelitian;
5) jangka waktu Penelitian; dan 6) lokasi Penelitian.
b. melampirkan proposal Penelitian;
c. pernyataan kesanggupan menyerahkan laporan Penelitian dan mempublikasikan hasil Penelitian; dan
d. menyerahkan laporan Penelitian dan bukti publikasi hasil Penelitian
apabila sebelumnya pernah melakukan Penelitian.
(6) Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya memeriksa dan mempertimbangkan:
a. kelengkapan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
b. prinsip keamanan, kemanfaatan, keterawatan, keaslian, serta nilai-nilai yang melekat pada Cagar Budaya;
c. kemanfaatan hasil Penelitian bagi Pengembangan Cagar Budaya; dan
d. dipenuhinya kewajiban publikasi laporan Penelitian yang sudah dilakukan pada masa sebelumnya.
Pasal 126 (1) Penelitian untuk Pengembangan Cagar Budaya meliputi Penelitian dasar
dan/atau Penelitian terapan.
(2) Penelitian dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
tujuan untuk Pengembangan ilmu pengetahuan, rekonstruksi sejarah kebudayaan, cara hidup manusia masa lampau, dan proses budaya.
(3) Penelitian terapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
tujuan untuk mengembangkan metode dan teknik Pelestarian, promosi dan Pemanfaatan Cagar Budaya.
(4) Penelitian dasar dan Penelitian terapan untuk Pengembangan Cagar
Budaya dilakukan dengan menggunakan metodologi Penelitian ilmiah yang berlaku.
Pasal 127 (1) Penelitian yang dilakukan orang asing atau lembaga asing berlaku
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 125 ayat (1), ayat (3), dan ayat
(5), dan Pasal 126.
(2) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penelitian bagi orang asing atau lembaga asing harus izin Menteri, disertai:
a. rekomendasi dari kementerian atau lembaga yang membidangi
Penelitian dan Pengembangan; dan b. bermitra kerja dengan Instansi Pemerintah yang Berwenang di
Bidang Pelestarian Cagar Budaya yang dituangkan dalam bentuk
nota kesepahaman atau bentuk lain dari perjanjian. (3) Menteri memeriksa dan mempertimbangkan:
a. kelengkapan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
b. prinsip keamanan, kemanfaatan, keterawatan, keaslian, serta nilai-nilai yang melekat pada Cagar Budaya;
c. kemanfaatan hasil Penelitian bagi Pengembangan Cagar Budaya; dan
Draf 31 Agustus 2013
53
d. dipenuhinya kewajiban publikasi laporan Penelitian yang sudah
dilakukan pada masa sebelumnya.
Bagian Ketiga
Revitalisasi
Pasal 128
(1) Revitalisasi dilakukan terhadap Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar
Budaya, dengan melakukan kegiatan yang berupa: a. menata kembali fungsi ruang;
b. menumbuhkan kembali nilai budaya; dan
c. menguatkan informasi tentang Cagar Budaya.
(2) Revitalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh
Instansi yang Berwenang di Bidang Pelestarian Cagar Budaya.
(3) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat dapat melakukan Revitalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 129 (1) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang akan melakukan
Revitalisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (3) didasarkan
izin.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya.
(3) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan syarat:
a. mengajukan surat permohonan yang berisi identitas pemohon, identitas Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya, jenis kegiatan,
tujuan, jangka waktu, dan lokasi;
b. melampirkan izin pemilik dan/atau yang menguasai Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya bagi pemohon yang bukan pemilik
dan/atau yang menguasai;
c. melampirkan rencana induk (master plan) kegiatan Revitalisasi; d. melampirkan hasil kajian teknis dari Unit Pelaksana Teknis;
e. melampirkan izin mengubah fungsi ruang situs Cagar Budaya dan/atau
kawasan Cagar Budaya;
f. melampirkan perjanjian kerja sama tentang pemanfaatan hasil Revitalisasi antara pemilik dan/atau yang menguasai Situs Cagar
Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya, dengan pengelola; dan
g. melampirkan dokumen Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan. (4) Gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melimpahkan kewenangan
kepada instansi Pemerintah Daerah yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya.
(5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dapat dicabut
apabila pelaksanaan kegiatan Revitalisasi tidak sesuai dengan prinsip Pelestarian Cagar Budaya.
Draf 31 Agustus 2013
54
Bagian Keempat Adaptasi
Pasal 130 (1) Adaptasi dapat dilakukan terhadap Bangunan Cagar Budaya dan/atau
Struktur Cagar Budaya, dengan melakukan kegiatan yang berupa:
a. mempertahankan nilai-nilai yang melekat;
b. menambah fasilitas sesuai kebutuhan; c. mengubah susunan ruang secara terbatas; dan/atau
d. mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan
estetika lingkungan di sekitarnya. (2) Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh
Instansi yang Berwenang di Bidang Pelestarian Cagar Budaya, Setiap
Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat.
Pasal 131
(1) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang akan melakukan Adaptasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (2) didasarkan izin.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada
Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya.
(3) Permohonan izin untuk melakukan Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan syarat:
a. mengajukan surat permohonan berisi identitas pemohon, identitas
Bangunan Cagar Budaya dan/atau Struktur Cagar Budaya, jenis kegiatan, tujuan kegiatan, jangka waktu kegiatan, dan lokasi;
b. melampirkan izin dari pemilik dan/atau yang mengusai Bangunan
Cagar Budaya dan/atau Struktur Cagar Budaya; c. melampirkan rencana induk (master plan) kegiatan Adaptasi; dan
d. melampirkan hasil kajian teknis dari Unit Pelaksana Teknis.
(4) Gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melimpahkan kewenangan
kepada instansi Pemerintah Daerah yang berwenang di bidang Pelestarian
Cagar Budaya.
(5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dapat dicabut apabila pelaksanaan kegiatan Adaptasi tidak sesuai dengan prinsip
Pelestarian Cagar Budaya.
Pasal 132
Setiap orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang melakukan kegiatan
Pengembangan wajib mendokumentasikan proses dan hasil kegiatan Pengembangan dalam bentuk laporan, serta menyerahkannya kepada pemberi
izin.
Pasal 133
Draf 31 Agustus 2013
55
Ketentuan mengenai Pengembangan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Menteri.
BAB VII PEMANFAATAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 134
(1) Pemanfaatan Cagar Budaya dilakukan dengan memperhatikan upaya Pelestarian Cagar Budaya dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
(2) Pemanfaatan Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya harus
sesuai dengan Zonasi berdasarkan pembagian zona yang telah ditetapkan. (3) Pemanfaatan Cagar Budaya dapat dilakukan untuk kepentingan agama,
sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, kebudayaan, dan
pariwisata. (4) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pemantauan terhadap
Pemanfaatan yang dilakukan oleh Setiap Orang dan/atau Masyarakat
Hukum Adat.
Pasal 135
Perwakilan Negara Republik Indonesia di luar negeri melakukan pembinaan
dan pengawasan terhadap pemanfaatan Benda Cagar Budaya milik Pemerintah Indonesia atau Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri.
Bagian Kedua Pemanfaatan untuk Kepentingan Agama
Pasal 136 (1) Pemanfaatan Cagar Budaya untuk kepentingan agama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 134 ayat (3) dapat dilakukan untuk kegiatan
penyelenggaraan perayaan hari besar dan upacara/ritual keagamaan.
(2) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan pada semua zona.
(3) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka perayaan
hari besar keagamaan tidak dipungut biaya.
Pasal 137
(1) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 didasarkan izin, kecuali untuk living monument.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan syarat:
a. mengajukan surat permohonan yang berisi identitas penanggung jawab kegiatan, bentuk perayaan dan upacara, waktu pelaksanaan, dan
jumlah peserta; dan
Draf 31 Agustus 2013
56
b. melampirkan proposal kegiatan.
(3) Jumlah peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus
disesuaikan dengan luas Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar
Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya.
Bagian Ketiga
Pemanfaatan untuk Kepentingan Sosial
Pasal 138
(1) Pemanfaatan Cagar Budaya untuk kepentingan sosial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 134 ayat (3) dapat dilakukan untuk kegiatan sosial kemasyarakatan.
(2) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tetap
memperhatikan dan menghormati nilai yang terkandung dalam Cagar Budaya dan dapat meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap Cagar
Budaya.
(3) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan pada Zona Penyangga, Zona Pengembangan, Zona Pendukung, dan Zona
Penunjang.
(4) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk living monument dapat dilaksanakan pada semua Zona.
Pasal 139
(1) Pemanfaatan Cagar Budaya untuk kegiatan sosial kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 didasarkan izin.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan syarat:
a. mengajukan surat permohonan yang berisi identitas penanggung jawab kegiatan, bentuk kegiatan sosial, waktu pelaksanaan, jumlah peserta;
b. melampirkan proposal kegiatan.
(3) Jumlah peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus disesuaikan dengan luas Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar
Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya.
Bagian Keempat Pemanfaatan untuk Kepentingan Pendidikan
Pasal 140
(1) Pemanfaatan Cagar Budaya untuk kepentingan pendidikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 134 ayat (3) dapat dilakukan melalui kegiatan: a. kemah budaya;
b. lokakarya; dan
c. kegiatan lainnya yang bertujuan meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran masyarakat tentang Pelestarian Cagar
Budaya.
Draf 31 Agustus 2013
57
(2) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tetap
memperhatikan dan menghormati nilai yang terkandung dalam Cagar Budaya dan dapat meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap Cagar
Budaya.
(3) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan pada semua Zona.
Pasal 141
(1) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 didasarkan izin. (2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan syarat:
a. mengajukan surat permohonan yang berisi identitas penanggung jawab
kegiatan, bentuk kegiatan pendidikan, waktu pelaksanaan, jumlah peserta; dan
b. melampirkan proposal kegiatan.
(3) Jumlah peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus disesuaikan dengan luas Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar
Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya.
Bagian Kelima
Pemanfaatan untuk Kepentingan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pasal 142
(1) Pemanfaatan Cagar Budaya untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan
teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (3) dapat dilakukan melalui kegiatan Penelitian dengan memanfaatkan Cagar Budaya sebagai
objek Penelitian, serta kegiatan lain yang bertujuan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dan/atau teknologi. (2) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tetap
memperhatikan dan menghormati nilai yang terkandung dalam Cagar
Budaya, meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap Cagar Budaya, dan/atau meningkatkan ilmu pengetahuan dan/atau teknologi yang
berbasis pada nilai-nilai kearifan budaya lokal.
(3) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan
pada semua Zona.
Pasal 143
(1) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 didasarkan izin. (2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan syarat:
a. mengajukan surat permohonan yang berisi identitas koordinator
kegiatan, bentuk kegiatan kebudayaan, waktu pelaksanaan, dan jumlah peserta; dan
b. melampirkan proposal kegiatan.
(3) Jumlah peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus disesuaikan dengan luas Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar
Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya.
Draf 31 Agustus 2013
58
Bagian Keenam Pemanfaatan untuk Kepentingan Kebudayaan
Pasal 144 (1) Pemanfaatan Cagar Budaya untuk kepentingan kebudayaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 134 ayat (3) dapat dilakukan melalui kegiatan
pagelaran, festival, pameran seni dan budaya, dan kegiatan lain yang
bertujuan meningkatkan upaya Pelestarian, memperkuat identitas nilai budaya, serta meningkatkan promosi budaya.
(2) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tetap
memperhatikan dan menghormati nilai yang terkandung dalam Cagar Budaya, meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap Cagar Budaya dan
kearifan lokal.
(3) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan pada Zona Penyangga, Zona Pengembangan, Zona Pendukung, dan Zona
Penunjang.
(4) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk living monument dapat dilakukan pada semua Zona.
Pasal 145
(1) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 didasarkan izin.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan syarat: a. mengajukan surat permohonan yang berisi identitas penanggung jawab
kegiatan, bentuk kegiatan budaya, waktu pelaksanaan, dan jumlah
peserta; dan b. melampirkan proposal kegiatan.
(3) Jumlah peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus
disesuaikan dengan luas Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar
Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya.
Bagian Ketujuh
Pemanfaatan untuk Kepentingan Pariwisata
Pasal 146
(1) Pemanfaatan Cagar Budaya untuk kepentingan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (3) dapat dilakukan melalui kegiatan
kunjungan wisata dan kegiatan lain yang bertujuan untuk wisata religi,
wisata minat khusus, wisata arkeologi, atau wisata alam yang berkaitan dengan Cagar Budaya.
(2) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tetap
memperhatikan dan menghormati nilai yang terkandung dalam Cagar
Budaya, meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap Cagar Budaya, dan kesejahteraan masyarakat.
Draf 31 Agustus 2013
59
(3) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan
pada semua Zona.
Pasal 147
(1) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 untuk wisata arkeologi didasarkan izin.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan syarat:
a. mengajukan surat permohonan yang berisi identitas penanggung jawab
kegiatan, bentuk kegiatan pariwisata, waktu pelaksanaan, dan jumlah peserta; dan
b. melampirkan proposal kegiatan dan mengisi surat pernyataan tentang
kesanggupan untuk menjaga kelestarian Cagar Budaya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Jumlah peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus
disesuaikan dengan luas Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya.
Bagian Kedelapan Izin dan Pelaksanaan Pemanfaatan
Pasal 148
(1) Izin Pemanfaatan Cagar Budaya diajukan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Gubernur atau bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat melimpahkan kewenangannya kepada Instansi Pemerintah Daerah yang Berwenang di Bidang Pelestarian Cagar Budaya.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dicabut
apabila pelaksanaan kegiatan Pemanfaatan Cagar Budaya tidak sesuai dengan tujuannya.
Pasal 149 Pelaksanaan Pemanfaatan Cagar Budaya harus dikonsultasikan kepada dan
didampingi oleh Unit Pelaksana Teknis dan/atau Instansi Pemerintah Daerah
yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya sesuai dengan
kewenangannya.
Bagian Kesembilan
Pemberian Fasilitasi Pemanfaatan dan Promosi
Pasal 150
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi Pemanfaatan dan promosi Cagar Budaya yang dilakukan oleh Setiap Orang dan/atau
Masyarakat Hukum Adat.
(2) Fasilitasi Pemanfaatan dan promosi Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. pemberian izin Pemanfaatan;
Draf 31 Agustus 2013
60
b. dukungan Tenaga Ahli Pelestarian;
c. dukungan dana; dan/atau d. pelatihan.
(3) Fasilitasi Pemanfaatan dan promosi Cagar Budaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diberikan terhadap Pemanfaatan yang: a. mengutamakan kelestarian;
b. menambah potensi nilai Cagar Budaya; dan
c. memberdayakan masyarakat;
(4) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat dapat memperoleh fasilitasi Pemanfaatan dan promosi Cagar Budaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) dengan mengajukan permohonan kepada
Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya.
Bagian Kesepuluh
Pemanfaatan yang dapat Menyebabkan Terjadinya Kerusakan
Pasal 151
(1) Pemanfaatan Cagar Budaya oleh Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan wajib
didahului kajian, Penelitian, dan/atau analisis mengenai dampak
lingkungan.
(2) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang memanfaatkan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyerahkan
proposal dan mempresentasikan kegiatan Pemanfaatan pada saat
pengajuan permohonan izin kepada: a. Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya, apabila dapat menimbulkan kerusakan terhadap Cagar
Budaya, beserta nilainya; dan b. Instansi lingkungan hidup apabila dapat menimbulkan kerusakan
terhadap lingkungan sekitar Cagar Budaya.
(3) Pemberi izin memverifikasi proposal beserta kajian, Penelitian, dan/atau analisis mengenai dampak lingkungan.
Bagian Kesebelas
Pemanfaatan dengan Cara Perbanyakan
Pasal 152
(1) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat dapat melakukan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya dengan cara Perbanyakan hanya
dengan izin Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya. (2) Perbanyakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan syarat:
a. mengajukan surat permohonan yang berisi identitas pihak yang akan
melakukan Perbanyakan;
Draf 31 Agustus 2013
61
b. melampirkan rencana Perbanyakan yang memuat ukuran, bahan,
bentuk, warna, corak, dan gaya Perbanyakan yang sama dengan bentuk asli;
c. melampirkan teknik, alat, dan proses Perbanyakan, yang tidak merusak
dan/atau mengurangi bentuk asli Benda Cagar Budaya serta nilai yang terkandung di dalamnya; dan
d. untuk kepentingan koleksi Museum, Penelitian dan pendidikan.
(3) Perbanyakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap Benda Cagar
Budaya yang dimililiki dan/atau dikuasai Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat, dilakukan dengan seizin pemilik dan/atau yang
menguasainya.
(4) Gubernur atau bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melimpahkan kewenangannya kepada instansi Pemerintah Daerah
yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya.
(5) Hasil Perbanyakan Benda Cagar Budaya harus diberi tanda. (6) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
dapat dicabut apabila pelaksanaan Perbanyakan tidak sesuai dengan
tujuannya.
Bagian Keduabelas
Pendokumentasian Cagar Budaya
Pasal 153
(1) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat dapat melakukan
pendokumentasian Cagar Budaya untuk kepentingan komersial hanya dengan izin Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Pendokumentasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan syarat:
a. mengajukan surat permohonan yang memuat identitas pemohon, tujuan
pendokumentasian, bentuk pendokumentasian, dan waktu pelaksanaan;
b. tidak menyebabkan kerusakan, mengurangi keaslian serta nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya; dan
c. menyerahkan hasil dokumentasi kepada pemberi izin dan kepada pemilik dan/atau yang menguasai Cagar Budaya.
(3) Pendokumentasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
terhadap Benda Cagar Budaya yang dimililiki dan/atau dikuasai Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat, dilakukan dengan seizin pemilik
dan/atau yang menguasainya.
(4) Gubernur, atau bupati/wali kota dalam memberikan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memperoleh rekomendasi terlebih dahulu
dari Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah Daerah yang
berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya.
Draf 31 Agustus 2013
62
(5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
dapat dicabut apabila pelaksanaan pendokumentasian tidak sesuai dengan tujuannya.
Pasal 154 Ketentuan mengenai Pemanfaatan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Menteri.
BAB VIII PENGELOLAAN KAWASAN CAGAR BUDAYA
Pasal 155 (1) Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya dilakukan oleh Badan Pengelola.
(2) Badan Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Masyarakat Hukum Adat. (3) Badan Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri atas
unsur Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan
masyarakat.
Pasal 156
Badan Pengelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 diatur lebih lanjut
dengan: a. Peraturan Presiden, untuk Kawasan Cagar Budaya peringkat nasional
dan/atau Kawasan Cagar Budaya yang sudah ditetapkan sebagai Warisan
Dunia atau Cagar Budaya bersifat internasional; b. Peraturan gubernur, untuk Kawasan Cagar Budaya peringkat provinsi; dan
c. Peraturan bupati/wali kota, untuk Kawasan Cagar Budaya peringkat
kabupaten/kota.
BAB IX
PENGAWASAN
Pasal 157
(1) Pengawasan terhadap Pelestarian Cagar Budaya dilakukan Pemerintah dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. (2) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat ikut berperan serta dalam
pengawasan Pelestarian Cagar Budaya.
Pasal 158
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
157 ayat (1) dalam melakukan Pengawasan dilaksanakan secara fungsional maupun struktural.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan Pengawasan Pelestarian
Cagar Budaya yang dilakukan Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat melalui Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah Daerah
yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya.
Draf 31 Agustus 2013
63
Pasal 159
(1) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat berperan serta dalam pengawasan Pelestarian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 157 ayat (2) dengan cara:
a. memantau upaya Pelestarian Cagar Budaya; b. mencegah terjadinya pelanggaran;
c. meminta informasi kepada instansi atau pihak terkait;
d. memberi masukan terhadap upaya Pelestarian Cagar Budaya ;
e. melaporkan terjadinya pelanggaran; dan/atau f. mengajukan gugatan perwakilan kelompok atau gugatan oleh Lembaga
Swadaya Masyarakat terhadap perbuatan melawan hukum yang
berkaitan dengan Cagar Budaya. (2) Laporan oleh Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e disampaikan kepada:
a. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelestarian Cagar Budaya; atau
b. Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Laporan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disampaikan dalam hal belum ada
Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang diangkat.
(4) Dalam hal Penyidik Pegawai Negeri Sipil belum dapat melaksanakan tugas
dan fungsinya, tindakan penyelidikan dan penyidikan diambil alih oleh penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
BAB X PENDANAAN
Pasal 160 (1) Pendanaan Pelestarian Cagar Budaya menjadi tanggung jawab bersama
antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
(2) Pendanaan Pelestarian Cagar Budaya dilakukan dengan prinsip proporsional yang berasal dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk Cagar Budaya
peringkat nasional;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi untuk Cagar Budaya peringkat provinsi;
c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota untuk
Cagar Budaya peringkat kabupaten/kota; (3) Pendanaan Pelestarian Cagar Budaya selain disebutkan pada ayat (2)
dapat berasal dari:
a. hasil pemanfaatan Cagar Budaya; dan/atau b. sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(4) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan dana untuk Penyelamatan Cagar Budaya dalam keadaan darurat dan penemuan yang
telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya.
Draf 31 Agustus 2013
64
(5) Pendanaan untuk Insentif dan Kompensasi disediakan oleh:
a. Pemerintah, dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; dan b. Pemerintah Daerah, dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
BAB XI
INSENTIF DAN KOMPENSASI
Bagian Kesatu Umum
Pasal 161 (1) Insentif dapat diberikan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
kepada Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang memiliki
dan/atau menguasai Cagar Budaya yang telah melakukan Pelindungan Cagar Budaya.
(2) Kompensasi dapat diberikan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
kepada: a. Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang menemukan
Objek yang Diduga Cagar Budaya yang temuannya ditetapkan sebagai
Cagar Budaya;
b. pemilik dan/atau yang menguasai Cagar Budaya yang telah melakukan Pelindungan Cagar Budaya.
Bagian Kedua Insentif
Pasal 162 (1) Insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (1) berupa
pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan dan/atau Pajak Penghasilan.
(2) Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang perpajakan
nasional atau bupati/wali kota sesuai kewenangannya.
(3) Pengurangan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang perpajakan nasional.
(4) Pengajuan Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus
disertai rekomendasi dari Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah Daerah yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya.
Pasal 163 (1) Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 162 ayat (1) terhadap bangunan dan tanah tempat Cagar Budaya
berada, diberikan paling banyak 100% (seratus persen).
Draf 31 Agustus 2013
65
(2) Pengurangan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162
ayat (1) diberikan dengan memperlakukan biaya Pelestarian Cagar Budaya sebagai pengurangan terhadap penghasilan bruto.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Insentif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 162 diatur dalam Peraturan Menteri yang bertanggungjawab di bidang keuangan negara.
Pasal 164
(1) Insentif selain pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan dan/atau Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (1) dapat
berupa:
a. bantuan advokasi; b. bantuan tenaga teknis;
c. bantuan Tenaga Ahli Pelestarian;
d. bantuan sarana dan prasarana; dan/atau e. pemberian tanda penghargaan.
(2) Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh pemilik
dan/atau yang menguasai Cagar Budaya yang telah melakukan Pelindungan, kepada Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai
kewenangannya dengan syarat:
a. dalam keadaan darurat;
b. belum mempunyai tenaga teknis; c. belum mempunyai Tenaga Ahli Pelestarian; dan/atau
d. belum mempunyai sarana dan prasarana.
Bagian Ketiga
Kompensasi
Pasal 165
(1) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat dapat memperoleh
Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (2) apabila: a. memiliki Cagar Budaya yang sangat langka jenisnya, unik
rancangannya, dan sedikit jumlahnya di Indonesia yang diambil alih
oleh Negara;
b. menemukan Objek yang Diduga Cagar Budaya yang statusnya dinyatakan sebagai Cagar Budaya; dan/atau
c. Pemilik dan/atau yang menguasai Cagar Budaya telah melakukan
pelindungan Cagar Budaya. (2) Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa uang
dan/atau bukan uang.
(3) Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang berupa uang besarnya ditentukan berdasarkan nilai Cagar Budaya dan/atau harga
umum.
(4) Penentuan nilai Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh tim penilai Kompensasi.
Draf 31 Agustus 2013
66
(5) Tim penilai Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas
unsur: a. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai peringkat Cagar
Budaya;
b. Tenaga Ahli Pelestarian; c. akademisi; dan
d. juru taksir harga.
(6) Tim penilai Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
dibentuk dan ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya.
(7) Kompensasi yang bukan uang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
berupa tanda penghargaan. (8) Pengajuan Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) harus disertai
rekomendasi dari Instansi yang Berwenang di Bidang Pelestarian Cagar
Budaya.
Pasal 166
Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan pemberian Insentif dan Kompensasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
BAB XII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 167 Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua ketentuan yang
mengatur Pelestarian Cagar Budaya dan Objek yang Diduga Cagar Budaya
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.
BAB XIII PENUTUP
Pasal 168
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal…
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Draf 31 Agustus 2013
67
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal… MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR ...
Draf 31 Agustus 2013
68
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR ...TAHUN...
TENTANG
PELESTARIAN CAGAR BUDAYA
I. UMUM
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya menegaskan
bahwa Cagar Budaya adalah Benda, Bangunan, Struktur, Situs, dan Kawasan yang memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan,
agama, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Oleh karena itu harus didata, dilestarikan, dikelola secara tepat supaya dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada bangsa Indonesia.
Berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya diperlukan pengaturan lebih lanjut tentang Pengalihan Kepemilikan
Cagar Budaya, Penemuan dan Pencarian, Register Nasional, Pelestarian,
pengelolaan, serta peran serta masyarakat. Pengaturan lebih lanjut tersebut
bertujuan agar upaya Pelestarian dan pengelolaan Cagar Budaya dapat dilaksanakan dengan benar, serta operasional sesuai tujuan Pelestarian.
Pengaturan lebih lanjut kepemilikan Cagar Budaya bertujuan untuk mengatur agar ada kepastian dan pelindungan hukum dalam kepemilikan
dan penguasaan Cagar Budaya. Cagar Budaya sering dihadapkan pada
perlakuan-perlakuan yang tidak benar dengan memperjualbelikannya secara ilegal, hilang, diterlantarkan, dirusak, dipisah-pisahkan, atau
dipindahkan dari wilayah satu ke wilayah lain, sehingga di tempat asalnya
secara perlahan jumlahnya terus menurun. Untuk mensikapi hal itu diperlukan sebuah upaya Pendaftaran secara nasional.
Pendaftaran mempunyai arti penting untuk mengetahui jumlah, jenis, dan
persebaran Cagar Budaya di wilayahnya. Oleh karena sebagian besar Cagar Budaya berada di tangan masyarakat, perlu pula diupayakan agar
masyarakat dapat berpartisipasi aktif melakukan Pendaftaran, sehingga
tidak seluruhnya dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Dengan demikian Cagar Budaya berupa koleksi, hasil penemuan, atau hasil
pencarian dapa dicatat dan diberi pelindungan hukum terhadapnya. Berkas
Pendaftaran dan dokumentasi yang dibuat terhadap Cagar Budaya disimpan, karenanya sebagai arsip untuk kepentingan masa depan sebagai
sumber informasi Pengembangan kebudayaan nasional. Peraturan
Pemerintah ini turut melindungi pula Objek yang Diduga Cagar Budaya layaknya sebagai Cagar Budaya. Selain itu dalam rangka Pelestarian Cagar
Budaya diperlukan Pelindungan, Pengembangan dan Pemanfaatan.
Draf 31 Agustus 2013
69
Pelindungan yang berupa penyelamatan dan Pengamanan diperlukan terhadap Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya.
Pelindungan yang berupa Zonasi, Pemeliharaan, dan Pemugaran,
diperlukan terhadap Cagar Budaya.
Cagar Budaya tidak berorientasi pada pelindungannya saja, melainkan juga
dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan kesejahteraan
masyarakat, sehingga peran masyarakat mendapat tempat dalam pelestarian Cagar Budaya. Pengembangan terhadap Cagar Budaya dapat
dilakukan oleh Setiap Orang maupun Masyarakat Hukum Adat dengan cara
Penelitian, Revitalisasi, dan Adaptasi.
Pelestarian Cagar Budaya merupakan upaya untuk mempertahankan
warisan budaya bangsa yang tersebar di wilayah negara Indonesia maupun yang berada di luar negeri. Pelestarian ini merupakan realisasi amanat
Undang-Udang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 untuk menjaga
kekayaan yang tersimpan di darat, air, dan udara. Pelestarian yang semula dipahami secara sempit hanya sebagai upaya pelindungan, kini diperluas
tidak saja untuk maksud tersebut tetapi terkait juga dengan upaya
Pengembangan dan Pemanfaatan. Perluasan pemahaman ini
dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa tidak satu pun unsur dari pengertian Pelestarian itu yang berdiri sendiri, melainkan merupakan
sebuah kesatuan yang saling mempengaruhi tanpa dapat dipisahkan.
Upaya pelestarian menjadi tanggung jawab baik Pemerintah dan Pemerintah
Daerah dengan dukungan Setiap Orang dan Masyarakat Hukum Adat.
Terhadap hal tersebut diperlukan pengawasan. Pelestarian Cagar Budaya oleh Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat merupakan sesuatu
yang penting dan mendapatkan penghargaan, oleh karena itu dalam
Peraturan Pemerintah ini diatur mengenai Insentif dan Kompensasi.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup Jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Draf 31 Agustus 2013
70
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “instansi terkait” seperti instansi yang yang bertanggung jawab di bidang Kehutanan, Energi dan
Sumberdaya Mineral.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 6 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 1)
Cukup jelas.
Angka 2)
Cukup jelas.
Angka 3)
Cukup jelas.
Angka 4)
Cukup jelas.
Angka 5)
Cukup jelas.
Angka 6)
Cukup jelas.
Angka 7)
Cukup jelas.
Angka 8)
Cukup jelas.
Draf 31 Agustus 2013
71
Angka 9) Cukup jelas.
Angka 10) Yang dimaksud dengan “hal lain yang berhubungan
dengan deskripsi Objek yang Diduga Cagar Budaya”
misalnya dalam hal temuan bawah air perlu
mencantumkan koordinat atau kedalaman Objek yang Diduga Cagar Budaya, penggunaan atau pemanfaatan
Objek yang Diduga Cagar Budaya.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (3)
Objek yang Diduga Cagar Budaya yang ditunjukkan atau diserahkan adalah Objek yang Diduga Cagar Budaya bergerak
yang memungkinkan untuk dibawa.
huruf a
Yang dimaksud dengan “menunjukkan Objek yang Diduga
Cagar Budaya” adalah membawa sebagian atau keseluruhan Objek yang Diduga Cagar Budaya untuk diperlihatkan
kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia atau instansi
terkait.
huruf b
Yang dimaksud dengan “menyerahkan Objek yang
Diduga Cagar Budaya” adalah membawa sebagian atau keseluruhan Objek yang Diduga Cagar Budaya untuk
diserahkan kepada Unit Pelaksana Teknis.
Ayat (4) Yang dimaksud dengan “keadaan darurat” adalah kondisi yang
mengancam kelestarian Cagar Budaya, karena kebakaran, banjir,
gempa bumi, bencana alam, dan perang.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Draf 31 Agustus 2013
72
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8 Cukup jelas.
Pasal 9 Cukup jelas.
Pasal 10 Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penelitian arkeologi” adalah penelitian yang dilakukan terhadap Cagar Budaya ataupun
Objek yang Diduga Cagar Budaya berdasarkan kaidah-
kaidah keilmuan arkeologi.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12 Cukup jelas.
Pasal 13 Cukup jelas.
Pasal 14 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sebab-sebab lain” seperti huru-hara atau
kerusuhan.
Ayat (2)
Draf 31 Agustus 2013
73
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 15 Cukup jelas.
Pasal 16 Cukup jelas.
Pasal 17 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kerahasiaan” mencakup data dan/atau
Dokumen Pendukung, identitas pemilik, lokasi atau tempat Cagar Budaya berada.
Yang dimaksud dengan “kesucian” adalah status benda,
bangunan, struktur, ruang, fungsi, atau simbol-simbol yang berhubungan erat dengan penghormatan terhadap agama,
kepercayaan, atau tokoh yang disucikan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “sifatnya tidak dapat diakses” adalah
informasi yang apabila diketahui oleh pihak yang tidak berhak, dapat mengancam keamanan dan keselamatan Objek yang
Diduga Cagar Budaya dan/atau Cagar Budaya.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
“Daring” merupakan istilah baku dari online.
Pasal 19
Ayat (1)
Pengkajian ulang dimaksudkan untuk menentukan kelayakan Benda Cagar Budaya dan/atau Situs Cagar Budaya berdasarkan
kriteria Cagar Budaya berdasarkan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, untuk ditetapkan sebagai Cagar Budaya atau bukan Cagar Budaya.
Draf 31 Agustus 2013
74
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup Jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Yang dimaksud dengan “objek vital nasional” adalah kawasan/lokasi,
bangunan/ instalasi, dan atau usaha yang menyangkut hajad hidup orang banyak, kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara
yang bersifat strategis.
Yang dimaksud dengan “kawasan strategis nasional” adalah Wilayah
yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh
sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau
lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan
budaya dunia.
Yang dimaksud dengan “warisan budaya dunia” adalah hasil karya
manusia yang memiliki nilai universal luar biasa dan ditetapkan oleh
UNESCO.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Draf 31 Agustus 2013
75
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31 Cukup jelas.
Pasal 32 Cukup jelas.
Pasal 33 Cukup jelas.
Pasal 34 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Huruf a
Yang dimaksud dengan “nama” adalah identitas Objek
Pendaftaran yang diberikan dan dimengerti oleh masyarakat
umum.
Yang dimaksud dimaksud dengan “jenis” adalah
pengelompokan Objek Pendaftaran berdasarkan klasifikasinya.
Huruf b Yang dimaksud dengan “bentuk” adalah wujud Objek
Pendaftaran sesuai ciri fisiknya.
Huruf c
Draf 31 Agustus 2013
76
Yang dimaksud dengan “ukuran” Objek Pendaftaran meliputi
informasi: tinggi, panjang, lebar, tebal, diameter, luas, dan/atau berat dalam ukuran metrik.
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “pemanfaatan” adalah pendayagunaan Objek Pendaftaran saat didaftarkan.
Misalnya memanfaatkan bangunan purbakala sebagai
Museum atau objek wisata.
Yang dimaksud dengan “penggunaan” adalah kegiatan
memakai Objek Pendaftaran untuk memenuhi kebutuhan
tertentu. Misalnya arca kuno sebagai hiasan hotel.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “informasi lain” adalah informasi yang berhubungan dengan deskripsi Objek Pendaftaran
meliputi informasi latar belakang sejarah, langgam seni,
dan/atau analisis kepurbakalaan yang menjadi ciri Cagar Budaya.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “deskripsi” adalah tindakan menguraikan kondisi Objek Pendaftaran secara verbal dan lengkap.
Draf 31 Agustus 2013
77
Apabila Objek Pendaftaran yang dideskripsikan berjumlah banyak,
atau tingkat kesulitannya tinggi maka dapat disesuaikan dengan kepatutan.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3)
Dokumentasi terhadap situs selain dalam bentuk foto juga dapat dilakukan antara lain dalam bentuk peta, video, dan gambar.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 36 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan “narasumber” adalah mereka yang
memiliki keahlian khusus di bidang tertentu yang mendukung
pengolahan data. Misalnya : Arkeologi, Arsitektur, Geologi, Sejarah, Antropologi.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) huruf a
Cukup jelas.
Draf 31 Agustus 2013
78
huruf b Cukup jelas.
huruf c Cukup jelas.
huruf d
Cukup jelas.
huruf e
Yang dimaksud dengan “keahlian lain” adalah keahlian bidang ilmu tertentu atau keahlian unsur budaya tertentu,
misalnya ahli keris, ahli topeng, dan ahli gamelan.
Yang dimaksud dengan “memiliki wawasan” adalah
kemampuan dalam membedakan antara objek berusia tua
atau muda, atau objek yang memiliki arti penting atau tidak. Wawasan kepurbakalaan dapat diperoleh antara lain melalui
pelatihan dan pengalaman kerja yang berhubungan dengan
kepurbakalaan.
huruf f
Yang dimaksud dengan “lembaga formal” adalah perguruan
tinggi dan Instansi yang Berwenang di Bidang Pelestarian Cagar Budaya.
Yang dimaksud dengan “lembaga nonformal” adalah organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan/atau
masyarakat hukum adat.
huruf g
Cukup jelas.
huruf h Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 40 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Draf 31 Agustus 2013
79
Selama sertifikat kelayakan dibekukan, yang bersangkutan tidak
dapat bekerja sebagai anggota Tim Ahli. Apabila yang bersangkutan terbukti tidak melakukan tindak pidana atau telah
sembuh dari sakit jasmani atau rohani maka yang bersangkutan
dapat melakukan pekerjaan sebagai Tim Ahli.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
huruf a
Cukup jelas.
huruf b
Cukup jelas.
huruf c
Cukup jelas.
huruf d
Yang dimaksud dengan “tidak melaksanakan tugas” adalah
sengaja tidak memberikan analisis dan/atau tidak menyampaikan hasil kelayakan usulan penetapan Cagar
Budaya kepada Tim Ahli.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas.
Draf 31 Agustus 2013
80
Pasal 45 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksudkan dengan “yang dapat dipertanggungjawabkan”
adalah pengkajian dilakukan berdasarkan asas kejujuran,
kebenaran, keterbukaan, keadilan, akurasi, efisiensi, dan profesionalitas.
Pasal 46 Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “identifikasi” adalah penentuan identitas Objek Pendaftaran.
Yang dimaksud dengan “klasifikasi” adalah melakukan
pengelompokan berdasarkan karakter atau ciri-ciri Objek Pendaftaran.
Huruf b
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “pangkalan data” adalah sistem
pencatatan informasi dasar yang seragam terhadap setiap jenis Cagar Budaya.
Draf 31 Agustus 2013
81
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “informasi lain” antara lain motif
hias, warna, desain, dan cara perolehan.
Pasal 54
Draf 31 Agustus 2013
82
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemilik yang sah” adalah setiap orang yang memiliki bukti legal atau diakui kepemilikannya oleh
Masyarakat Hukum Adat setempat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) Yang dimaksud dengan “kode Cagar Budaya” adalah penomeran
secara khusus yang dibuat dengan menggunakan tata cara
tertentu terhadap Cagar Budaya tertentu.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61 Cukup jelas.
Pasal 62 Cukup jelas.
Pasal 63 Cukup jelas.
Pasal 64 Cukup jelas.
Draf 31 Agustus 2013
83
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72 Cukup jelas.
Pasal 73 Cukup jelas.
Pasal 74 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kerusakan” adalah fenomena penurunan
karakteristik dan kualitas Cagar Budaya dan/atau Objek yang
Diduga Cagar Budaya, baik akibat faktor fisik (misalnya air, api, dan cahaya), mekanis (misalnya retak, dan patah), kimiawi
(misalnya asam keras, dan basa keras), maupun biologis (misalnya
jamur, bakteri, dan serangga).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Draf 31 Agustus 2013
84
Cukup jelas.
Pasal 75
Ayat (1)
huruf a Cukup jelas
huruf b
Cukup jelas
huruf c
Yang dimaksud dengan “konsolidasi” adalah perbaikan terhadap Bangunan Cagar Budaya dan Struktur Cagar
Budaya yang bertujuan memperkuat konstruksi untuk
menghambat proses kerusakan lebih lanjut. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 76 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan darurat atau memaksa” adalah
kondisi, situasi, atau kejadian yang mengancam kelestarian Cagar Budaya yang tidak normal atau terjadi tiba-tiba diluar kekuatan
yang perlu segera ditanggulangi.
Keadaan darurat atau memaksa disebabkan karena faktor alam maupun manusia. Faktor alam seperti terjadi gempa bumi, tanah
longsor, kebakaran, gunung meletus, angin topan, petir, atau
banjir. Faktor manusia dapat berupa perang, terorisme, separatisme, huru-hara, demonstrasi, atau vandalisme.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Draf 31 Agustus 2013
85
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83 Cukup jelas.
Pasal 84 Cukup jelas.
Pasal 85 Cukup jelas.
Pasal 86 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Yang dimaksud dengan “ekskavasi penyelamatan” adalah
penggalian arkeologis yang dilakukan dalam keadaan terdesak
oleh waktu karena ancaman bencana untuk mendapatkan sebagian atau seluruh Cagar Budaya beserta data yang
menyertainya.
Pasal 87
Ayat (1)
Draf 31 Agustus 2013
86
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) huruf a
Cukup jelas.
huruf b
Yang dimaksud dengan “perusakan” adalah perbuatan
secara sengaja yang mengakibatkan kerusakan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya.
huruf c Yang dimaksud dengan “penyanderaan” adalah penempatan
Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya
dalam suatu tempat di bawah kekuasaan seseorang secara
melawan hukum.
huruf d
"Yang dimaksud dengan “pemusnahan” adalah tindakan yang menyebabkan Cagar Budaya dan/atau Objek yang
Diduga Cagar Budaya tidak dapat ditemukan lagi.
huruf e
Yang dimaksud dengan “penghancuran” adalah tindakan
yang mengakibatkan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya tidak tampak lagi wujudnya.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “tempat lain yang aman” adalah tempat
yang tidak rawan terhadap bencana susulan atau bencana lainnya, pencurian, perusakan, pelapukan, dan/atau kerusakan.
Pasal 88 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Draf 31 Agustus 2013
87
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e Cukup jelas.
Huruf f Yang dimaksud dengan “kesatuannya” adalah bagian-bagian
atau unsur-unsur Cagar Budaya dan/atau Objek yang
Diduga Cagar Budaya sesuai kelengkapan aslinya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “tempat khusus” misalnya penempatan
dalam Museum yang mempunyai Pengamanan memadai dengan memasukannya ke dalam brankas.
Pasal 89 Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tidak mampu menyediakannya“ adalah tidak mampu memberi gaji juru pelihara atau polisi khusus.
Pasal 92 Cukup jelas.
Pasal 93 Cukup jelas.
Draf 31 Agustus 2013
88
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Ayat (1)
huruf a Yang dimaksud dengan “pelindungan” adalah melindungi
Cagar Budaya dari ancaman luar maupun dalam dengan
menentukan batas zona sesuai dengan kebutuhan.
huruf b
Yang dimaksud dengan “keseimbangan” adalah mengutamakan keseimbangan dalam mengatur dan
mengendalikan pemanfaatan ruang serta rencana
pengembangan.
huruf c
Yang dimaksud dengan “kelestarian” adalah mengupayakan
kelestarian lingkungan yang mendukung upaya pelindungan Cagar Budaya.
huruf d Yang dimaksud dengan “koordinasi” adalah melakukan
koordinasi lintas sektoral, antara lain Pemerintah,
Pemerintah Daerah, akademisi, Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat.
huruf e Yang dimaksud dengan “pemberdayaan masyarakat” adalah
meningkatkan peran serta masyarakat dalam memanfaatkan
Cagar Budaya.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 97 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
huruf a
Draf 31 Agustus 2013
89
Cukup jelas.
huruf b
Cukup jelas.
huruf c
Cukup jelas.
huruf d Yang dimaksud dengan “ingkungan alam” adalah lingkungan
di sekitar Cagar Budaya seperti perbukitan, sungai, danau,
persawahan. Sebagai contoh di kawasan Borobudur terdapat danau purba, di Sangiran terdapat tebing yang menunjukan
perlapisan tanah dengan unsur Cagar Budaya, dan di Candi
Prambanan terdapat sungai Opak yang dialihkan, seperti yang diceritakan dalam prasasti Çiva Grha.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) huruf a
Cukup jelas.
huruf b Cukup jelas.
huruf c Cukup jelas.
huruf d Yang dimaksud dengan “memenuhi kepatutan” adalah
menjaga kesopanan, jangka waktu terbatas, jumlah orang,
sarana prasarana terbatas, dan tidak mengancam kelestarian Cagar Budaya, misalnya pengambilan gambar di
Borobudur antara pengambil foto dan orang yang difoto
Draf 31 Agustus 2013
90
harus berpakaian sopan dan menggunakan peralatan yang
tidak mengganggu kelestarian Cagar Budaya.
huruf e
Cukup jelas.
huruf f
Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 100 Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Contoh Zonasi dengan teknik blok seperti Kawasan Cagar Budaya
Borobudur.
Ayat (3)
Contoh penetapan Zonasi dengan teknik sel adalah Kawasan
Cagar Budaya Candi Prambanan yang terdiri atas, Situs Cagar
Budaya Candi Lumbung, Situs Cagar Budaya Candi Bubrah, Situs Cagar Budaya Candi Sojiwan, dan Situs Cagar Budaya Candi
Plaosan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “tidak merata” adalah terdapat beberapa
Situs Cagar Budaya yang letaknya relatif berjauhan dan masing-masing menggunakan sistem sel namun karena memiliki
hubungan kontekstual secara keseluruhan, sehingga dapat
disatukan dalam sistem blok.
Draf 31 Agustus 2013
91
Contoh penetapan Zonasi dengan teknik gabungan adalah
Kawasan Strategis Nasional Candi Prambanan dan Kawasan Strategis Nasional Candi Borobudur.
Pasal 103 Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Batas alam dapat berupa sungai, bukit, lembah, laut, danau.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Ayat (1)
Cagar Budaya Di Air merupakan Cagar Budaya yang sebagian besar masanya berada di bawah permukaan air, baik di laut, di
danau, di rawa atau di sungai, termasuk Cagar Budaya yang
terendap di dalam lumpur maupun tanah atau pasir yang berada
di bawah air. Sebagai contoh: kapal yang tenggelam beserta muatannya, bangunan di pinggir pantai yang tenggelam Di Air
karena pergerakan lempeng tektonik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Draf 31 Agustus 2013
92
Pasal 107 Cukup jelas.
Pasal 108 Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “rekonstruksi” adalah upaya
mengembalikan Bangunan Cagar Budaya dan Struktur Cagar Budaya sebatas kondisi yang diketahui dengan tetap
mengutamakan prinsip keaslian bahan, teknik pengerjaan, dan
tata letak, termasuk dalam menggunakan bahan baru sebagai pengganti bahan asli.
Yang dimaksud dengan “konsolidasi” adalah perbaikan terhadap Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya yang
bertujuan memperkuat konstruksi dan menghambat proses
kerusakan lebih lanjut.
Draf 31 Agustus 2013
93
Yang dimaksud dengan “rehabilitasi” adalah upaya perbaikan dan
pemulihan Bangunan Cagar Budaya dan Struktur Cagar Budaya yang kegiatannya dititikberatkan pada penanganan yang sifatnya
parsial.
Yang dimaksud dengan “restorasi” adalah serangkaian kegiatan
yang bertujuan mengembalikan keaslian bentuk, Bangunan Cagar
Budaya, dan Struktur Cagar Budaya yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Yang dimaksud dengan “bangunan baru dan/atau struktur baru” adalah
bangunan yang berbeda dengan Bangunan Cagar Budaya dan/atau Struktur Cagar Budaya yang dipugar, dengan menggunakan bahan yang
berasal dari bagian Bangunan Cagar Budaya dan/atau Struktur Cagar
Budaya yang ada.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Draf 31 Agustus 2013
94
Pasal 128 Cukup jelas.
Pasal 129 Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Ayat (1)
Yang dimaksud “living monument” (monumen hidup) merupakan Cagar Budaya yang masih difungsikan seperti semula, misalnya:
mesjid Demak, Pura Besakih, Taman Ayun yang ada di Bali, dan
sebagainya, yang masih difungsikan untuk kegiatan keagamaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 138
Ayat (1)
Kegiatan sosial kemasyarakatan dapat berupa pameran, lomba, festival, dan lain-lain.
Draf 31 Agustus 2013
95
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143 Cukup jelas.
Pasal 144 Cukup jelas.
Pasal 145 Cukup jelas.
Pasal 146 Cukup jelas.
Pasal 147
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “wisata arkeologi” adalah wisata yang
melibatkan wisatawan dalam kegiatan Pelestarian, Penelitian
arkeologi, atau permuseuman, misalnya wisatawan dilibatkan dalam penggalian.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Draf 31 Agustus 2013
96
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Cukup jelas.
Pasal 150
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “promosi” adalah mempropagandakan atau memperkenalkan Cagar Budaya seperti pameran, kesenian
(tari, musik, lukis, drama, patung, karya sastra, dan lain-lain),
melalui pameran, pembuatan film, pertunjukan, dan publikasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 151
Cukup jelas.
Pasal 152
Cukup jelas.
Pasal 153
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pendokumentasian” adalah kegiatan untuk menggambarkan atau menguraikan Cagar Budaya dalam
bentuk uraian teks, grafis, gambar, audio, video, foto, film.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Draf 31 Agustus 2013
97
Pasal 154
Cukup jelas.
Pasal 155
Cukup jelas.
Pasal 156
Cukup jelas.
Pasal 157
Cukup jelas.
Pasal 158
Ayat (1)
Pengawasan secara fungsional oleh Pemerintah adalah pengawasan yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian yang bertanggung
jawab di bidang kebudayaan. Untuk Pemerintah Daerah dilakukan oleh
Badan Pengawas Daerah.
Pengawasan “secara struktural” adalah pengawasan yang dilakukan
secara berjenjang dari atasan kepada bawahan, misalnya Menteri
mengawasi Direktorat Jenderal, Direktur Jenderal mengawasi Direktur.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 159
Cukup jelas.
Pasal 160
Cukup jelas.
Pasal 161
Cukup jelas.
Pasal 162
Cukup jelas.
Pasal 163
Cukup jelas.
Pasal 164
Ayat (1)
Huruf a
Draf 31 Agustus 2013
98
Yang dimaksud dengan “advokasi” adalah berupa
pendampingan dalam penyelesaian permasalahan yang berkaitan dengan Cagar Budaya.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 165
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “harga umum” adalah harga yang berlaku dalam pasaran secara wajar. Cagar Budaya yang berupa
Bangunan, Struktur, Situs, dan Kawasan dapat ditentukan
berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak dalam Pajak Bumi dan Bangunan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Draf 31 Agustus 2013
99
Cukup jelas.
Pasal 166
Cukup jelas.
Pasal 167
Cukup jelas.
Pasal 168 Cukup jelas.
Top Related