RITUAL POSUO ADAT KESULTANAN BUTON DITINJAU DARI
HUKUM ISLAM
(Studi Ritual di Kecamatan Murhum, Kota Baubau Sulawesi Tenggara)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
IFFA AFIA AMIN KITABI
NIM. 1112044100032
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1437 H / 2016 M
ii
ABSTRAK
Iffa Afia Amin Kitabi. NIM 1112044100032. RITUAL POSUO ADAT
KESULTANAN BUTON DITINJAU DARI HUKUM ISLAM (Studi Ritual di
Kecamatan Murhum, Kota Baubau Sulawesi Tenggara). Program Studi Hukum
Keluarga Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2016 M. Xi + 75 halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui makna filosofis dari ritual posuo
yang merupakan adat Kesultanan Buton, proses dan pengaruh pembentukan
karakter dalam ritual posuo menuju kehidupan berumah tangga, alasan penyebab
gadis-gadis remaja dipilih dalam ritual posuo, dan tinjauan hukum Islam
mengenai ritual posuo.
Penelitian ini merupakan penelitian Empiris yang bertitik tolak pada data
primer yaitu masyarakat eks Kesultanan Buton, kota Baubau dengan data awal
yang diperoleh melalui metode penelitian pustaka (library research) dan
penelitian di lapangan (field research). Penelitian ini berlokasi di Keraton
Kesultanan Buton (Kraton Wolio) tepatnya di Kecamatan Murhum, Kota Baubau
Buton Sulawesi Tenggara. Alasan pemilihan lokasi ini adalah dikarenakan masih
kentalnya ritual posuo yang dilangsungkan di lokasi penelitian.
Hasil analisis dari penelitian ini menunjukkan bahwa ritual posuo
merupakan ritual untuk menandai peralihan seorang gadis dari remaja menuju
dewasa menurut adat. ritual posuo juga merupakan suatu sistem penanaman nilai
moral dan budi pekerti yang baik bagi seorang remaja yang menjadi pembiasaan
hingga menuju kehidupan berumah tangga. Alasan pemilihan gadis-gadis remaja
sebagai peserta posuo dikarenakan kebiasaan perempuan untuk menunggu dilamar
sehingga posuo menandakan kebolehan seorang gadis dilamar karena telah
menginjak usia dewasa. Ritual posuo merupakan ritual pra Islam yang kemudian
diintrepretasi dalam nilai-nilai keislaman yang terus dilestarikan dan telah menjadi
kebiasaan masyarakat Buton yang kemudian terus berlangsung dan relevan
dengan Hukum Islam.
Kata Kunci : Posuo, Pembentukan karakter, Kehidupan berumah tangga,
Hukum Islam.
Pembimbing : Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, SH., MH.
Daftar Pustaka : 1982 – 2015
iii
بسم هللا الرحمن الرحيم
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum. Wr. Wb
Puji syukur hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam dengan segala
Kemahaan-Nya dan segala ridho, rahmat, taufiq serta hidayah dan inayah-Nya
yang tak terhingga yang telah memberi anungrah ilmu pengetahuan dan nikmat
yang tak berujung, kesempatan untuk selalu mengharap belas kasih-Mu,
mempelajari dan membaca serta mengambil pelajaran dan hikmah dari setiap suka
duka kehidupan yang dilalui yang membuat diriku bangga sekaligus tuduk dan
bahagia hadir sebagai mahluk-Mu di dunia ini.
Ya Allah, limpahkanlah salawat serta salam kepada pemimpin serta suri
tauladan kami Muhammad saw, penutup para nabi dan rasul, dan kepada keluarga
dan sahabatnya, dan yang mengakui mereka dengan penuh ihsan hingga hari
kiamat.
Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini,
banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi hingga
terselesaikannya skripsi ini, yang berjudul : RITUAL POSUO ADAT
KESULTANAN BUTON DITINJAU DARI HUKUM ISLAM (Studi Ritual di
Kecamatan Murhum, Kota Baubau Sulawesi Tenggara) yang disusun dalam
rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga Islam Universitas
Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari dalam hal apapun tidak ada kata sempurna begitu juga
dengan skripsi ini karena kesempurnaan hanyalah milik Allah swt. Namun, yang
terpenting adalah penulis telah berusaha semaksimal mungkin memberikan yang
terbaik dalam wacana keilmuan dengan skripsi ini. Dengan selesainya skripsi ini
iv
penulis merasa berkawajiban mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya
kepada :
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku rektor UIN syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H Abdul Halim, M. Ag dan Arip Purkon, MA, Ketua dan Sekretaris
Program Studi Hukum Keluarga.
4. Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, SH., MH, selaku pembimbing
skripsi ini yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya serta
dengan kebaikan dan kebijaksanaan dalam memberi arahan yang berharga
dalam penudunan skripsi ini.
5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, tidak lupa juga kepada staff dan karyawan Perpustakaan Utama
UIN syarif Hidayatullah Jakartadan perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas
dalam studi perpustakaan.
6. Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Baubau, Dinas Pariwisata dan
Masyarakat Buton khususnya di kecamatan Murhum yang banyak sekali
membantu penulis dalam mendapatkan sumber dan pengelolaan data
skripsi ini.
7. Terimakasih tak terhingga secara khusus dan yang selalu saya banggakan
dan saya cintai, Ayahanda Aminudin S.Ag dan Ibunda Zunaya S.Ag yang
dengan jerih payahnya, tetes darah, keringat dan air mata membesarkan,
mendidik dan memotivasi serta memberikan kasih sayang tak terhingga
serta dengan penuh cinta kasih dan pengorbanan baik moril maupun
finansial serta do’a restunya sejak kecil hingga penulis dapat
menyelesaikan pendidikan strata I ini, do’a Ayah dan Ibu sunggu Luar
Biasa.
v
8. Teimakasih kepada kedua adikku Fatahhuddin Amin Kitabi dan Wardatun
Kamilah Amin Kitabi yang selalu memberikan motivasi dan dukungan
serta do’a kepada kakanya untuk terus menjadi contoh yang baik untuk
kalian. Kepada Bibi dan Paman di Bekasi dan Bogor serta anak-anaknya,
kalian yang terdekat di rantau ini. Kepada bunda Aira dan suami yang
telah meberikan fasilitas tempat tinggal dan membantu penulis dalam
penelitian, serta Keluarga di Buton Nepa Mekar dan Siompu terimaksih
terlah memberi cerita indah selama penelitian di Buton dan membuat
penulis bangga menjadi orang Buton, juga kepada seluruh keluarga di
Ambon terkhusus neneku tersayang dan kerabat yang penulis cintai dan
sayangi yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu atas
perhatian dan do’a kalian yang luar biasa hingga penulis dapat melewati
masa perkuliahan ini.
9. Kepada seluruh keluarga HIPPMIB (Himpunan Pemuda Pelajar
Mahasiswa Indonesia Buton) Jakarta, terkhusus para senior Ust. Rosid,
Ust. Falah, Pak Guru Mi’raj, kakak Sepupu terbaik (ka Sem), Ust.
Kasman, Ust. Sairul, ka syarif, ka Huluk, ka Harsin, ka Awal dan ka Lisna
yang telah banyak membantu penulis mulai dari awal sampai di Ciputat
hingga sekarang, teman-teman seperjuangan saat masuk UIN ka Yudi, ka
Jamal, ka Iwan, ka Eko, dan ka Didin serta kawan-kawan dan adik-adik
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu terimakasih untuk
mewarnai cerita perjuangan penulis di Ciputat.
10. Kepada Keluarga Besar LTTQ (Lembaga Tahfidz dan Ta’lim Qur’an),
teman teman haiah tahsin terkhusus ust. Muamar dan Ustz. Lina yang
telah mengajarkan dan memotivasi saya untuk selalu dekat dengan al-
Qur’an, ka Saulia dan ka Ani, jug aka Nia serta senior yang tidak dapat di
sebutkan namanya satu persatu, teman seperjuangan (kawan sejawat) dan
semua keluarga LTTQ ku terimakasih untuk selalu memotivasi saya
menjadi lebih baik lagi.
vi
11. Kawan-kawan di LAZIS FATHULLAH yang telah memberikan
kesempatan kepada saya untuk belajar banyak hal tentang kehidupan
bermasyarak, menumbuhkan jiwa sosial saya untuk berbagi dan memberi,
serta membuat saya merasa bermanfaat di masyarakat.
12. Teman-teman seperjuangan Hukum Keluarga 2012 terkhusus kelasa PA.A
mba Aish, mba Nafis, Uni Deza, Fida, April, Nanik, Ipeh, Nisa dan Putri,
serta Dhiba, Rahma, ka Ais dan fifah dan lainya yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu, terimakasih telah menjadi bagian dari proses studi
penulis selama di strata I ini.
13. kawan-kawan di KKN Expresso, Rahmi, Rani, Putri, Lala, Ita dan yang
lainnya yang tidak dapat di sebutkan satu persatu, terimakasih kawan
untuk cerita indah selama di KKN.
14. Untuk sahabat rantau Fitratussalamah, Muadi Mawaddah dan Putri Zahra
dan adik-adik kece dari Tual, bahagiaku karena diberi kesempatan
mengenal dan berproses bersama kalian.
Terakhir, kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantun dan
perhatiannya sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan
skripsi ini. Semoga jasa baik yang telah kalian berikan menjadi ladang amal dan
mendapat balasan yang setimpal dari Allah swt.
Penulis sadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena di
dalamnya masih terdapat kekurangan dan kekeliruan, oleh karena itu kritik dan
saran dari para bembaca yang budiman sangat penulis harapkan demi kebaikan
dan perbaikan karya ilmiah ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna
bagi kita semua, terutama bagi penulis sendiri. Amiin.
Ciputat, 2 Oktober 2016
Penulis
Iffa Afia Amin Kitabi
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
PERSETUJUAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
LEMBAR PERNYATAAN...…………………………………………………... i
ABSTRAK ……………………………………..……………………………… ii
KATA PENGANTAR …………...………………………………......................iii
DAFTAR ISI ……………………...………………………………………….... vii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………................. 1
A. Latar Belakang ……………………………………………................... 1
B. Identifikasi Masalah ………………………………………….............. 5
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………………...……. 6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………...……... 7
E. Review Studi Terdahulu ………………………………………...……. 8
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual ……………………............ 9
G. Metode Penelitian ……………………………………..…………….. 13
H. Sistematika Penulisan ……………………………………..……….... 17
BAB II KONSEP RUMAH TANGGA DAN KELUARGA BAHAGIA
SERTA PERAN PEREMPUAN DALAM MEMBENTUK RUMAH
TANGGA BAHAGIA …….................................................................. 20
A. Pengertian Rumah Tangga dan Keluarga Bahagia…...……………… 20
B. Fungsi Rumah Tangga dan Keluarga Bahagia…………...………….. 23
C. Pembinaan Rumah Tangga dalam Mencapai Tujuan Perkawinan ….. 27
D. Peran Perempuan dalam Membentuk Rumah Tangga Bahagia ..…… 29
viii
BAB III POTRET KESULTANAN BUTON SULAWESI TENGGARA
DAN KOTA BAUBAU …………………………….………………. 34
A. Sejarah Kesultanan Buton ………………………..…………………. 34
B. Letak Geografis …………………..…………………………………. 36
C. Kondisi Demografis ...…………………………………...................... 38
D. Keadaan Ekonomi ……...……………………………………………. 39
E. Pendidikan …………………………………..………………………. 40
F. Keagamaan ………………………………………..………………… 41
G. Keadaan Sosial Budaya …………………………………………..…. 41
H. Sistem Ritual ………………………………………...………………. 43
BAB IV RITUAL POSUO ADAT BUTON DAN TINJAUANNYA DALAM
HUKUM ISLAM ………………………………………………..…. 46
A. Makna dan Prosesi Rirual Posuo Adat Buton ……………................. 46
B. Analisis Tentang Pembentukan Karakter Bagi Remaja dalam Ritual
Posuo Menuju Kehidupan Berumah Tangga………............................ 53
C. Analisis Tentang Kekhususan Perempuan Sebagai Peserta dalam Ritual
Posuo Adat Buton ………………………...………………...……….. 62
D. Tinjauan Hukum Islam Mengenai Ritual Posuo ……………..….….. 68
BAB V PENUTUP …………………………………..…………………….... 73
A. Kesimpulan ……………………………………...…………………... 73
B. Saran …………………………………………………………...……. 74
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum di Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu sistem,
yang terdiri dari unsur-unsur atau bagian-bagian yang satu sama lain saling
berkaitan dan berhubungan untuk mencapai tujuan yang didasarkan pada
UUD 1945 dan dijiwai oleh falsafah pancasila.1 Hukum menentukan
bentuk masyarakat. Masyarakat yang belum dikenal dapat di coba
mengenalnya pada pokok-pokoknya dengan mempelajari hukum yang
berlaku dalam masyarakat itu, hukum mencerminkan masyarakat.2
Hukum yang berlaku di masyarakat itu sendiri dapat dilihat dari
berbagai aspek salah satunya adalah perkawinan, karena dari perkawinan
itulah dapat terbentuk idividu-indivdu yang kemudian hidup
bersama.Pengertian perkawinan sendiri sangat banyak walaupun tidak ada
pertentangan antara pendapat-pendapat itu, adapun perkawinan menurut
Sayuti Thalib adalah perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan. Unsur perjanjian disini untuk
memperlihatkan segi kesengajaan dari suatu perkawinan serta penampakan
1 Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, (Jakarta : Literata Jendela Dunia,
2010), h.1 2 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur‟an dan Hadit, (Jakarta :
Tintamas, 1982 ), h.1
2
kepada masyaraka ramai. Sedangkan sebutan suci untuk untuk pernyataan
segi keagamaan dari suatu perkawinan.3
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Perkawinan merupakan sebuah ikatan lahir bantin antara laki-laki
dan perempuan yang didasari pada keyakinan dan kesamaan prinsip untuk
mencapai sebuah tujuan hidup. Tujuan pernikahan tersebut senada dengan
pasal 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah.
Setiap pasangan yang mengarungi bahtera rumah tangga tentu
menginginkan terciptanya keluarga atau rumah tangga yang sejahtera lahir
batin dan bahagia di dunia dan di akhirat kelak. Dari keluarga sejahtera
dan bahagia inilah kelak akan terwujud masyarakat yang tentram dan
makmur. Kehidupan keluarga inilah yang menjadi cita-cita dan tujuan
pembangunan nasional di Indonesia.
Untuk mencapai tujuan dari pernikahan tersebut maka di Indonesia
sendiri melalui KMA No. 477 tahun 2004 tentang pencatatan nikah,
mengamanatkan agar sebelum pernikahan berlangsung, para calon
3 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : UI-Press, 1986 ) h. 47
3
pengantin (catin) mengadakan bimbingan pranikah atau di kenal dengan
suscatin (kursus calon pengantin) dan bimbingan bimbingan sejenisnya
yang berhubungan dengan kehidupan berumah tangga nantinya.
Bimbingan pranikah sangat berperan penting dalam pembinaan keluarga
atau kehidupan berumah tangga dan pembangunan bangsa di era
globalisasi ini. Keunggulan dan daya saing bangsa hanya akan terwujud
jika pembinaan keluarga sejahtera mendapat perhatian yang semestinya.
Peraturan Dirjen Bimas Islam Kementrian Agama No. DJ. II/491
tahun 2009 menginstruksikan bahwa penyelenggara bimbingan pranikah
adalah BP4 (Badan Penasihat, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan),
adapun peserta dari bimbingan pranikah atau suscatin adalah calon
pengantin yang siap untuk menikah dan telah mendaftarkan diri di KAU.
Selain Lembaga pemerintah dalam hal ini BP4, di masyarkat
sendiri juga terdapat bimbingan-bimbingan untuk menuju kehidupan
berumah tangga, bahkan bagi masyarakat adat bimbingan pranikah ini
sudah ada dan berkembang menjadi sebuah tradisi dalam ritual atau
upacara seperti dalam ritual adat kesultanan Buton. Ritual tersebut dikenal
dengan ritual posuo yang merupakan tradisi yang sudah lama ada dan
sudah berlangsung di masyarakat Buton asli (Wolio) yang kemudian
mengalami penambahan unsur keagamaan yaitu agama Islam yang
kemudian menjadi agama mayoritas masyarakat Buton terutama di
wilayah kesultanan.
4
Ritual ini kemudian dilaksanakan dengan cara dipadukan kedua
unsur yaitu unsur adat dan unsur agama Islam. Dalam hal ini, mereka
masih tetap mempertahankan adat istiadat yang telah ada sejak lama
kemudian menggabungkannya dengan ajaran Islam yang telah mereka
anut dengan tetap mempertimbangkan segala ketentuan-ketentuan yang
berlaku tanpa harus meninggalkan kebiasaan lama mereka. Kedua unsur
ini, kemudian dibiarkan tetap hidup dalam kehidupan mereka sehingga
menjadi suatu bentuk acuan untuk bertindak dalam kehiduapan
kesehariannya.
Posuo dilaksanakan khusus bagi gadis remaja yang sudah
menginjak usia dewasa yaitu 14 sampai 19 tahun.4 Adapun pihak yang
terlibat di dalam ritual adalah para tokoh adat yang disebut bhisa. Dalam
ritual ini para gadis diberikan pembinaan baik fisik maupun mental berupa
wejangan-wejangan tentang etika pergaulan dalam kehidupan sehari-hari
yang harus diperhatikan oleh seorang gadis.
Fungsi utama ritual ini adalah penggemblengan secara fisik dan
mental kepada para gadis yang nantinya akan memasuki kehidupan
berumah tangga.5 Penggemblengan atau pembentukan karakter dalam
ritual pasuo merupan sebuah bimbingan pranikah bagi para gadis remaja
dalam mematangkan jiwa untuk mencapai tujuan pernikahan atau
kehidupan berumah tangga.
4M. Mu‟min Fahimuddin, ed., Menafsir Ulang Sejarah dan Budaya Buton, (Bau-bau :
Penerbit Respect, 2011) h. 250. 5 M. Mu‟min Fahimuddin, ed., Menafsir Ulang Sejarah dan Budaya Buton, h.250
5
Kematangan jiwa bagi calon pasangan pengantin sangan
diperlukan untuk menuju kehidupan yang harmonis, tangguh menghadapi
tantangan taufan dan badai kehidupan perkawinan. Disamping kematangan
jiwa pasangan yang melakukan perkawin, pada gilirannya akan dapat
melahirkan keturunan yang baik, kuat, sehat dan cerdas.6 Berbeda dengan
suscatin (kursus calon pengantin) dan bimbingan pranikah lainnya, dalam
ritual posuo penggemblengan tersebut hanya dilakukan pada gadis remaja
untuk menuju kehidupan berumah tangga.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk membahas
lebih lanjut mengenai ritual posuo untuk memperoleh kepastian tentang
pembentukan karakter dalam sebuah ritual khususnya paga gadis remaja
menuju kehidupan berumah tangga dan tinjauannya dalam hukum Islam
yang diuraikan dalam skripsi yang berjudul : RITUAL POSUO ADAT
KESULTANAN BUTON DITINJAU DARI HUKUM ISLAM (Studi
Ritual di Kecamatan Murhum, Kota Baubau Sulawesi Tenggara).
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan, penulis mengidentifikasi
masalah yang akan diteliti sebagai berikut :
1. Pengaruh hukum Islam di Kesultanan Buton.
2. Pengaruh hukum adat di Kesultanan Buton.
6 Sayyid Muhammad Husain Fadhullah, Dunia Remaja : Tanya Jawab Seputar Pergaulan
dan problematika remaja, ( Jakarta :Pustaka Hidayah, 2005), h.69
6
3. Pandangan Masyarakat wilayah Kesultanan Buton tentang ritual
posuo.
4. Pengaruh adat terhadap ritual posuo di Kesultanan Buton.
5. Ketentuan dalam ritual posuo adat Kesultanan Buton.
6. Makna Filosofis ritual posuo adat Kesultan Buton.
7. Penjelasan tentang kehidupan berumah tangga dalam ritual posuo adat
Kesultanan Buton.
8. Gadis-gadis remaja yang dipilih menjadi peserta dari ritual posuo adat
Kesultanan Buton.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Melihat banyaknya masalah di atas, untuk mempermudah
melakukan penelitan, maka penulis membatasi masalah mengenai
pembentukan karakter dalam ritual posuo pada gadis-gadis remaja
menuju kehidupan berumah tangga, dalam adat kesultanan Buton dan
tinjauannya dalam hukum Islam.
2. Perumusan Masalah
Rumusan tersebut penulis rincikan dalam pertanyaan sebagai
berikut :
1. Apa makna Filosofis yang terkandung dalam ritual posuo adat
Kesultanan Buton?
2. Bagaimana proses pembentukan karakter yang terkandung
dalam ritual posuo adat Kesultanan Buton?
7
3. Mengapa gadis-gadis remaja dipilih menjadi peserta dalam
ritual posuo adat Kesultanan Buton?
4. Bagaimana ritual posuo adat Kesultanan Buton ditinjau dari
hukum Islam ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui makna Filosofis yang terkandung dalam
ritual posuo adat Kesultanan Buton.
2. Untuk mengetahui proses pembentukan karakter yang
terkandung dalam ritual posuo adat Kesultanan Buton.
3. Untuk mengetahui penyebab gadis-gadis remaja dipilih
menjadi peserta dalam ritual posuo adat Kesultanan Buton.
4. Untuk mengetahui ritual posuo adat Kesultanan Buton ditinjau
dari hukum Islam.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
a. Secara Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini adalah dalam rangka
mengembangkan wawasan ilmu pengetahuan hukum keluarga
Islam khususnya mengenai pembentukan karakter yang memiliki
8
pengaruh dalam ritual posuo adat Kesultanan Buton menuju
kehidupan berumah tangga dan tinjauannya dalam hukum Islam.
b. Secara Praktis
Secara praktis dari hasil penelitian ini adalah untuk
memperluas pengetahuan diri penulis dan sebagai bahan bacaan
dan informasi bagi masyarakat yang ingin mengetahui tentang
pembentukan karakter dalam ritul posuo khususnya menuju
kehidupan berumah tangga, serta untuk memenuhi syarat akademis
dalam rangka memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Syariah dan
Hukum.
E. Review Studi Terdahulu yang Relevan
Berdasarkan telaah yang telah dilakukan terhadap beberapa sumber
kepustakaan, penulis melihat terdapat tulisan yang memiliki hubungan
dengan penelitian ini, yaitu :
1. Iskandar Engku, dalam penelitian yang berjudul “Masalah
Posuo Bagi Gadis-Gadis Remaja Sebagai Alat Pendidikan di
Kabupaten Dati II Buton”
Tulisan tersebut menjelaskan tentang Pengaruh ritual posuo
bagi gadis-gadis remaja dalam hal kepatuhan dalam
melaksanakan ritual dan perubahan moral dan perilaku baik
fisik maupun mental gadis remaja setelah ritual posuo.
9
2. Muhammad Alifudin, dalam jurnal dengan judul tulisan
“Signifikansi Upacara Siklus Posuo dalam Membangun
Semesta Kepribadian Remaja Wanita Pada Masyarakat
Buton”
Tulisan ini menjelaskan tentang pentingnya dan signifikansi
upacara atau ritual posuo dalam membentuk perilaku yang baik
bagi anak- anak perempuan yang didasarkan pada nilai etnik
dan agama serta untuk menumbuhkan rasa solidaritas
masyarakat Buton.
3. Budi Wahidin, dalam tulisan yang berjudul “Tradisi Pingitan
(Posuo) dalam Masyarakat Buton”
Tulisan ini menjelaskan penafsiran kebudayaan masyarkat
Buton dalam tradisi Pingitan (Posuo) dan intrepretanya.
Berbeda degan beberapa tulisan di atas, skripsi yang penulis angkat
ini lebih membahas mengenai pentingnya ritual posuo dalam upaya
membentuk karakter para gadis remaja di Buton menuju kehidupan
berumah tangga nantinya dan tinjauannyadalam hukum Islam.
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepstual
1. Kerangka Teori
Proses pembentukan karakter dan penanaman nilai-nilai moral
dalam kehidupan berumah tangga dalam ritual posuo yang
dilaksanakan semenjak usia remaja merupakan sebuah usaha
masyarakat dalam mewujudkan karakter bangsa yang positif serta
10
merupakan budaya yang harus tetap dilestarikan dan dijaga nilai-nilai
ritualnya. Teori yang digunakan dalam penelitian tentang pembentukan
karakter pada ritual posuo ini adalah teori dari Dr. K. Kupper bahwa
kebudayaan merupakan sistem gagasan yang menjadi pedoman dan
pengarah bagi masyarkat yang baik guna mewujudkan karakter bangsa
yang baik pula. Selanjutnya, teori Koentjaraningrat yang menyatakan
bahwa kebudayaan merupakan sistem gagasan, tindakan, dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat yang dijadikan
milik diri manusia.
Menurut Koenjaraningrat, adat merupakan wujud ideal dari
kebudayaan yang berfungsi sebagai tata kelakuan dan menyatakan
kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang
harus dibiasakannya dengan belajar serta keseluruhan hasil dari budi
dan karyanya. Kata kebudayaan berasal dari kata Sanskerta
buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti „budi‟ atau
akal, dengan demikian kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang
bersangkutan dengan budi dan akal.7 Selain itu, dalam kajian ushul
fiqh juga di kenal istilah „urf‟ yang merupakan sumber hukum Islam.
Ini merupakan satu sumber hukum yang di ambil oleh mazhab Hanafy
dan Maliky, yang berada di luar lingkup nash. „Urf (tradisi) adalah
bentuk-bentuk mu‟amalah (hubungan kepentingan) yang telah menjadi
adat kebiasaan dan telah berlangsung ajeg (konstan) ditengah
7 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000),h. 19.
11
masyarakat,8 dimana posuo merupakan ritual yang sudah berlangsung
menjadi kebiasaan sosial budaya masyarakat Buton, sehingga „urf
menjadi satu teori yang akan digunakan dalam analisis ritual posuo.
Teori-teori di atas, dimaksud untuk menganalisi dampak
sebuah ritual terhadap pola pembentukan karakter masyarakat Buton
khususnya dalam kehidupan berumah tangga dan tinjauannya hukum
Islam.
2. Kerangka Konseptual
Konteks budaya dalam menformulasikan tentang konsep
keluarga sangat penting diperhatikan, dalam konsep perkawinan
tradisional berlaku pembagian dan peran suami istri. Konsep ini lebih
mudah dilakukan karena segala urusan rumah tangga dan pengasuhan
anak menjadi tanggunjawab istri, sedangkan suami bertugas mencari
nafkah. Namun tuntutan perkembangan kini semankin mengaburkan
pembagian tugas tradisional tersebut. Kenyataan terus meningkatnya
kecenderungan pasangan yang sama-sama bekerja membutuhkan
keluwesan pasangan untuk melakukan pertukaran atau berbagi tugas
dan peran baik untuk urusan mencari nafkah maupun urusan
domestik.9
8 Muhammad Abu Zahrah, Ushul fiqih, (Jakarta :PT.Pustaka Firdaus, 2011) h.416
9 Sri Lestari, Pisikologi Keluarga (Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam
Keluarga), (Jakarta : Prenada Media grup, 2013) h.10
12
Karakter ialah tabiat, tingkah laku atau kebiasaan yang melekat
pada diri seseorang, sedangkan pembentukan karakter ialah
penanaman pola pikir, prinsip-prinsip dan sistem keyakinan serta
kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu.10
Bimbingan yang merupakan proses pembentukan karakter
terkait kehidupan rumah tangga di masyarakat Buton menjadi sebuah
ritual yang di laksanakan sejak para gadis berusia remaja untuk
menanamkan nilai-nilai moral dalam bertingkah laku di kehidupan
sehari-hari khususnya menjalani kehidupan kehidupan berumah tangga
yang di kenal dengan ritual posuo.
Ritual posuo menurut istilah bahasa Indonesia disebut pingitan
yang di laksanakan 4 sampai 8 hari dimana peserta pasuo diasingkan
dan dijauhkan dari keluarga dan masyarakat sekitar serta dunia luar
dan diajarkan tentang hal-hal yang berhubungan dengan kepribadian
wanita dan keterampilan rumah tangga dibawah panduan beberapa
tokoh adat perempuan yang disebut bhisa.
Kehidupan rumah tangga merupakan kehidupan di mana
terdapat sepasang suami istri dan kemudian anak-anak yang akan
dibesarkan suami istri tersebut sebagai orang tua yang menjalankan
fungsi serta tujuan berkeluarga dan membentuk pribadi dan tabiat juga
tingkah laku anak secara individu sehingga dapat hidup di masyarkat.
10
N. K. Singh dan Mr. A. R. Agwan, Encyclopeadia of the Holy Qur‟an, (New Delhi :
Balaji Offset, 2000), h. 175
13
Sebagaimana ritual adat lainnya, ritual posuo berdasarkan pada
atuaran-aturan adat di kesultanan Buton dan aturan agama mayoritas
masyarakat Buton yaitu agama Islam. Dua unsur, agama dan adat
inilah yang menjadi dasar dalam pembentukan dan penanaman nilai
moral para gadis remaja yang dipasuo. Hukum Islam sendiri tidak
melarang atau menolak adanya adat dan tradisi yang sudah
berlangsung di masyarkat selama tidak bertentangan dengan al-Qur‟an
dan sunnah serta tidak menimbulkan kemudharatan atau kerugian.
G. Metode penelitian
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, maka penulis
menggunakan beberapa langkah yaitu :
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian Empiris yang bertitik tolak
pada data primer yaitu masyarakat eks Kesultanan Buton, kota Baubau
dengan data awal yang diperoleh melalui metode penelitian pustaka
(library research) dan penelitian di lapangan (field research).
a. Metode penelitian pustaka (library research)
Cara untuk mendapatkan bahan-bahan melalui metode library
research ini, penulis melakukannya dengan cara mengkaji buku-
buku, literature-literatur, yang berkaitan dengan pokok masalah
terutama buku-buku dan kitab-kitab serta berbagai sumber lainnya
14
yang menjadi dasar metode penelitian dan juga sumber hukum
Islam yang ada relevansinya dengan penelitian ini.
b. Penelitian lapangan (field research)
Penelitian lapangan (field research) yaitu penelitian yang
dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data lapangan yang
berkaitan dengan penelitian ini.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlokasi di Keraton Kesultanan Buton (Kraton
Wolio) tepatnya di kecamatan Murhum, kota Baubau Buton Sulawesi
Tenggara. Alasan pemilihan lokasi ini adalah dikarenakan lokasi ini
masih merupakan wilayah eks Kesultanan Buton dan masih kentalnya
ritual posuo yang dilangsungkan di lokasi penelitian.
3. Sumber Data
a. Data Primer : Data yang didapati dari hasil wawancara dengan
masyarakat dan tokoh adat di Kesultanan Buton yang
melakukan tradisi Posuo menurut adat Kesultanan Buton ini
penulis menggunakan teknik wawancara secara mendalam (in-
depth interview) dengan menggunakan pokok-pokok masalah
sebagai pedoman wawancara, adapun penetuan masyarakat
yang diwawancarai berdasarkan pada masyarakat yang ditunjuk
oleh tokoh adat setempat yang dianggap mampu untuk
menjelaskan permasalahan yang diteliti.
15
b. Data Sekunder : Data yang diperoleh dengan tujuan
mengadakan studi review atas dokumen-dokumen yang
berhubungan dengan masalah yang diajukan, dokumen-
dokumen yang dimaksud adalah al-Qur‟an, al-Hadist, buku-
buku ilmiah dan literatur yang mempunyai relevansi dalam
penelitian ini serta data lapangan tempat penelitian, ataupun
data lain yang berkumpul dan yang mempunyai hubungan
dengan penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data-data akurat saat penelitian, penulis
menggunakan beberapa teknik, yaitu:
a. Interview (wawancara), adalah dialog yang dilakukan
pewawancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari
terwawancara, pihak yang diwawancarai dalam penelitian ini
adalah tokoh adat dan tokoh masyarakat di Kesultanan Buton
yang pernah melaksanakan tradisi posuo dengan data
pertanyaan yang bersifat terbuka.
b. Observasi, adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis
terhadap gejala-gejala yang diteliti, penulis melakukan
observasi secara langsung ke tempat yang menjadi objek
penelitian yaitu Kesultanan Buton, kota Baubau Sulawesi
Tenggara.
16
c. Kepustakaan, yaitu pengumpulan data dari beberapa literatur
yang ada kaitannya dengan penelitian ini, literature ini berupa
buku, internet, surat kabar, buletin, jurnal dan sebagainya.
5. Jenis Data
Adapun jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif, analitis, yaitu metode yang
menggambarkan dan memberikan analisis terhadap kenyataan di
lapangan berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang-orang yang
diamati.
6. Teknik Analisis Data
penelitian ini penulis menggunakan teknik analisa dengan cara
menganalisis dari reduksi data serta penyajian data dan mengambil
kesimpulan dari data-data yang ada.
a. Reduksi Data
Reduksi data merupakan salah satu dari teknik analisis data
kualitatif. Reduksi data adalah bentuk analisis yang menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan
mengorganisasi data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat
diambil. Reduksi tidak perlu diartikan sebagai kuantifikasi data.
17
b. Penyajian Data
Penyajian data merupakan salah satu dari teknik analisis data
kualitatif. Penyajian data adalah kegiatan ketika sekumpulan informasi
yang disusun, sehingga memberi kemungkinan akan adanya penarikan
kesimpulan. Bentuk penyajian data kualitatif berupa teks naratif
(berbentuk catatan lapangan).
c. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan merupakan salah satu dari teknik analisis
data kualitatif. Penarikan kesimpulan adalah hasil analisis yang dapat
digunakan untuk mengambil tindakan.
7. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan dalam penelitian skripsi ini ialah
dengan menggunakan “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”.
H. Sistematiaka Penulisan
Untuk lebih mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi
ini, maka penulis mengklarifikasikan penelitian ini kedalam beberapa bab,
sebagai berikut:
18
Bab pertama, merupakan bab pendahuluan, sebagai gambaran
umum penelitian, pada bab ini penulis mengemukakan latar belakang
masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, review studi terdahulu yang relevan, kerangka
teori dan kerangka konseptual, metode penelitian, serta sistematika
penulisan.
Bab kedua, menjelaskan tentang konsep kehidupan berumah tangga
dan berkeluarga yang meliputi pengertian rumah tangga dan keluarga
bahagia, fungsi rumah tangga dan keluarga bahagia, pembinaan rumah
tangga dalam mencapai tujuan perkawinan, serta peran perempuan dalam
rumah tangga bahagia.
Bab ketiga, bab ini berisikan tentang potret Kesultanan Buton
secara umum, meliputi letak geografis dan letak demografis, kondisi sosial
budaya, keadaan ekonomi, pendidikan, agama, dan sistem ritual di
Kesultanan Buton Sulawesi Tenggara.
Bab keempat, pada bab ini akan diuraikan pembahan mengenai
gambaran umum ritual posuo dan pelaksanaannya, analisis pembentukan
karakter bagi remaja dalam ritual pasuo menuju kehidupan berumah
tangga, analisis kekhususan perempuan yang diposuo, dan tinjauan hukum
Islam tentang ritual posuo.
19
Bab kelima, merupakan penutup yang memuat kesimpulan dari
hasil penelitian yang telah dilakukan dan memberikan saran yang
berkaitan dengan permasalahan yang dibahas untuk memproleh solusi atas
permasalahan tersebut serta dilengkapi dengan daftar pustaka dan
lampiran-lampiran yang dianggap penting.
20
BAB II
KONSEP RUMAH TANGGA DAN KELUARGA BAHAGIA SERTA
PERAN PEREMPUAN DALAM PEMBETUKAN RUMAH TANGGA
BAHAGIA
A. Pengertian Rumah Tangga dan Keluarga Bahagia
Rumah tangga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
diartikan dengan : suatu yang berkenaan dengan urusan kehidupan dalam
rumah, berkenaan dengan keluarga.1
Rumah tangga adalah suatu kumpulan dari masyarakat terkecil,
yang terdiri dari pasangan suami istri, anak-anak, mertua dan sebagainya.
Terwujudnya suatu rumah tangga yang sah setelah didahului oleh akad
nikah atau perkawinan sesui dengan ajaran agama dan Undang-Undang
No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.2
Demikian pula pengertian keluarga dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) diartikan dengan : ibu, bapak dengan anak-anaknya,
orang seisi rumah yang menjadi tanggungan, sanak saudara dan kaum
kerabat, satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat.3
Keluarga adalah kelompok orang yang ada hubungan darah atau
perkawinan. Orang-orang yang termsuk keluarga adalah ibu, bapak, dan
1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta :
Balai Pustaka: 2000), h .758 2 Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Keluarga yang Sakinah), (Jakarta :
Pedoman Ilmu jaya), h.26 3 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h . 413
21
anak-anaknya. Ini disebut keluarga batih (nuclear family) dan keluarga
yang diperluas (extended Family).4
Adapun menurut Koerner dan Fitzpatrick (2004), defenisi tentang
keluarga setidaknya dapat ditinjau berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu
defenisi strktural, defenisi fungsional, dan defenisi intersaksional.
1 Defenisi struktural, keluarga didefenisikan berdasarkan kehadiran dan
ketidak hadiran anggota keluarga, seperti orang tua, anak, dan kerabat
lainya. Defenisi ini memfokuskan pada siapa yang menjadi bagian dari
keluarga. Dari prespektif ini dapat muncul pengertian tentang keluarga
sebagai asal usul (families of orogining), keluarga sebagai wahana
melahirkan keturunan (families of procreation), dan keluarga batih
(extended family) mencakup semua orang dari satu keturunan dari kakek
dan nenek yang sama, termasuk keturunan suami dan istri.
2 Defenisi Fungsional, keluarga didefenisikan dengan penekanan pada
terpenuhinya tugas-tugas dan fungsi-fungsi psikososial. Fungsi-fungsi
tersebut mencakup perawatan sosialisasi pada anak, dukungan emosi dan
materi, dan pemenuhan peran-peran tertentu. Defenisi ini memfokuskan
pada tugas-tugas yang dilakukan oleh keluarga.
3 Defenisi Transaksional, keluarga didefenisikan sebagai kelompok yang
mengembangkan keintiman melalui perilaku-perilaku yang memunculkan
rasa identitas sebagai keluarga (family identity), berupa ikatan emosi,
4 Kusdwiratri Setiono, Pisikologi Keluarga, ( Bandung : PT. Alumni, 2011) h. 24
22
pengalaman historis, maupun cita-cita masa depan. Defenisi ini
memfokuskan pada bagaimana keluarga melaksanakan fungsinya.5
Dalam literatur al-Qur’an, keluarga di istilahkan dengan al-ahlu
.yang berarti family, keluarga dan kerabat (االاهل)6 Sebagaimana firman
Allah dalam surah al-Tahrim sebagai berikut :
فسكن وأهليكن اسا (6(:66)التحشي )......يا أيها الزيي آهىا قىا أ
Artinya : “Hai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka...” (QS.At-Tahrim (66): 6)
Sedangkan hidup berkeluarga adalah kehidupan bersama dua orang
lawan jenis yang bukan mahramnya yang telah mengikatkan diri dengan
tali perkawinan beserta anak keturunannya yang dihasilkan dari akibat
perkawinan tersebut.7
Keluarga Islam terbentuk dalam keterpaduan antara ketentraman,
penuh rasa cinta dan kasih sayang. Ia terdiri dari istri yang patuh dan setia,
suami yang jujur dan tulus, ayah yang penuh kasih sayang dan ramah, ibu
yang lemah lembut dan berperasaan halus, putra putri yang patuh dan taat
serta kerabat yang saling membina silaturrahmi dan tolong menolong.8
Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat Ar-Ruum :
كن وهي آياته أى خلق فسكن أصواجا لتسكىا إليها وجعل بي هىدة وسحوة إى لكن هي أ
(12(:03)الشوم ) في رلك آليات لقىم يتفكشوى
5 Sri Lestari, Pisikologi Keluarga (Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam
Keluarga), (Jakarta : Prenada Media grup : 2013) h.5 6 Huzaemah T Yanggo, Hukum Keluarga dalam Islam, (Jakarta : yayasan Indonesia
Baru,2013) h.128 7 Huzaemah T. Yanggo, Hukum Keluarga dalam Islam, h.129
8 Huzaemah T. Yanggo, Hukum Keluarga dalam Islam, h.127
23
Artinya : “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia
menciptakan untukmu pasang-pasangan dari jenismu sendiri supaya kamu
cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan di
antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir” (QS.
Ar-Ruum (30) : 21)
William J. Goode menjelaskan, kedudukan utama setiap keluarga
ialah fungsi pengantar pada masyarakat besar. Sebagai penghubung
pribadi dengan struktur sosial yang lebih besar.9
B. Fungsi Rumah Tangga dan Keluarga Bahagia
PP No.21 tahun 1994 tentang penyelenggaraan Pembangunan
Keluarga Sejahtera Bab II pasal 4 ayat (2) menjelaskan fungsi keluarga
adalah sebagai berikut:
1. Fungsi keagamaan, yaitu dengan memperkenalkan dan mengajak anak dan
anggota keluarga yang lain dalam kehidupan beragama, dan tugas kepala
keluarga untuk menanamkan bahwa ada kekuatan lain yang mengatur
kehidupan ini dan ada kehidupan lain setelah di dunia ini.
2. Fungsi sosial budaya, dilakukan dengan membina sosialisasi pada anak,
membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat
perkembangan anak, meneruskan nilai-nilai budaya keluarga.
3. Fungsi cinta kasih, diberikan dalam bentuk memberikan kasih sayang dan
rasa aman, serta memberikan perhatian di antara anggota keluarga.
9William J. Goode, Sosiologi Keluarga, (Jakarta : PT. Bumi Aksara) h.3
24
4. Fungsi melindungi, bertujuan untuk melindungi anak dari tindakan-
tindakan yang tidak baik, sehingga anggota keluarga merasa terlindung
dan merasa aman.
5. Fungsi reproduksi, merupakan fungsi yang bertujuan untuk meneruskan
keturunan, memelihara dan membesarkan anak, memelihara dan merawat
anggota keluarga.
6. Fungsi sosialisasi dan pendidikan, merupakan fungsi dalam keluarga yang
dilakukan dengan cara mendidik anak sesuai dengan tingkat
perkembangannya, menyekolahkan anak. Sosialisasi dalam keluarga juga
dilakukan untuk mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang
baik.
7. Fungsi ekonomi, adalah serangkaian dari fungsi lain yang tidak dapat
dipisahkan dari sebuah keluarga. Fungsi ini dilakukan dengan cara
mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga,
pengaturan penggunaan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan
keluarga, dan menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga dimasa
datang.
8. Fungsi pembinaan lingkungan.
Untuk dapat mewujudkan 8 fungsi keluarga di atas dibutuhkan
kerja sama serta kesadaran akan tanggung jawab baik dari pihak suami
maupun istri untuk terus melaksanakan fungsi-fungsi keluarga tersebut.
Selanjutnya Mufida Ch juga menjelaskan fungsi dibenuknya
keluarga adalah sebagai berikut:
25
1. Fungi Biologis
Perkawinan dilakukan antaran lain bertujuan agar memperoleh keturunan,
dapat memelihara kehormatan serta martabat manusia sebagai mahluk
yang berakal dan beradab. Fungsi biologis inilah yang dapat membedakan
perkawinan manusia dan binatang, sebab fungsi ini diatur dalam suatu
norma perkwinan yang diakui bersama.
2. Fungsi Edukatif
Keluarga merupakan tempat pendidikan paling dasar bagi semua anggota
keluarganya, dimana orang tua memiliki peran yang sangat penting untuk
menentukan kualitas pendidikan anaknya dengan tujuan untuk
mengembangkan aspek metnal spiritual, normal, intelektual, dan
profesional.
3. Fungsi Religius
Keluarga merupakan tempat penanaman nilai moral agama melalui
pemahaman, penyadaran dan praktek dalam kehidupan sehari-hari
sehingga pembiasaan ibadah dengan disiplin dan pembentukan
kepribadian sebagai seorang yang beriman sangan penting dalam
mewarnai terwujudnya masyarakat religius.
4. Fungsi Protektif
Keluarga merupakan tempat paling aman untuk dijadikan perlindungan
dari gangguan yang bersifat internal maupun ekstrnal. Yang dimaksud
dengan gangguan internal di sini berkaitan dengan keragaman kepribadian
anggota keluarga seperti adanya perbedaan pendapat dan kepentingan.
26
Adapun gangguan eksternal kelurga biasanya lebih mudah dikenali oleh
masyarakat yang berada pada wilayah publik. Selain itu, keluarga juga
dapat dijadikan sebagai tempat untuk menangkal pengaruh negativ dari
luar.
5. Fungsi Sosialisasi
Fungsi sosialisasi ini sendiri berkaitan dengan mempersiapkan anak
menjadi anggota masyarakat yang baik,maupun memegang norma-norma
kehidupan secara universal baik di dalam keluarga maupun dalam
pergaulan masyarakat yang pluralistik lintas suku, bangsa, ras, golongan,
agama, budaya, bahasa maupun jenis kelaminnya. Fungsi ini diharapkan
anggota keluarga dapat memposisikan diri sesuai dengan status dan
struktur keluarga itu sendiri.
6. Fungsi Rekreaif
Keluarga merupakan tempat yang dapat memberikan kesejukkan dan
melepas lelah dari seluruh aktifitas masing-masing anggota keluarga.
Fungsi rekreatif ini dapat mewujudkan suasana keluarga yang
menyenangkan, saling menghargai, menghormati, dan menghibur masing-
masing anggota keluarga sehingga tercipta hubungan harmonis, damai,
kasih sayang, dan setiap anggota merasa “rumahku surgaku”.10
Dari fungsi-fungsi yang telah disebutkan dapat disimpulkan bahwa
keluarga memiliki peran penting dalam pembentukan karakter individu
10
Mufida Ch, Pisikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang : UIN Malang
Press, 2008), h. 42-44
27
setiap orang terutama bagi para remaja, sehingga fungsi-fungsi tersebut
harus terus dipelihara, karena jika salah satu fungsi keluarga tidak berjalan
sebagai mana mestinya akan mengakibatkan ketidakharmonisan dalam
keluarga.
C. Pembinaan Rumah Tangga dalam Mencapai Tujuan Perkawinan
Perkawinan merupakan awal dari kehidupan berumah tangga dan
berkeluarga dimana suami istri harus memahami hak dan kewajiban
masing-masing untuk mewujudkan tujuan perkawinan.
Tujuan perkawinan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 Undang-
Undang No. 1 tahun 1974 yaitu :
“ perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sidi Nazar Bakri menjelaskan bahwa membina pendidikan dan
memberikan pengarahan yang baik dalam rumah tangga berarti telah ikut
memperbaiki sebagian dari masyarakat yang luas secara tidak langsung.11
Rumah tangga adalah kelompok terkecil dari masyarakat, sedangkan
negara adalah kumpulan atau susunan dari masyarkat yang luas. Dari
rumah tanggalah masyarakat itu berkembang dan seterusnya, karena itu
pembinaan dan pengarahan untuk masyarakat yang baik harus dimulai dari
masing-masing rumah tangga.
11
Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Keluarga yang Sakinah), (Jakarta :
Pedoman Ilmu jaya) h.36
28
Dalam mewujudkan rumah tangga bahagia sejahtera banyak hal
yang harus diselenggarakan semenjak dari urusan pribadi suami istri,
urusan anak sampai masalah kebersihan dan pengaturan perabotan
termasuk keuangan dan sebagainya.12
Keberhasilan sebuah keluarga dan
rumah tangga tersebut dihubungkan pula dengan menejemen dan
pengelolaan yang baik.
Keluarga dan rumah tangga adalah pusat segala-galanya bagi setiap
orang baik untuk pendidikan, pembinaan watak dan kepribadian, moral
dan akhlak serta rasa sosial, cinta dan kasih sayang.13
Tujuan dari
mengatur rumah tangga dengan menejemen yang baik adalah demi
tercapainya apa yang disebut “rumah tangga sejahtera bahagia” atau
kesejahteraan keluarga.14
Jika kita meminjam istilah menejemen modern di
antara prinsipnya adalah menetapkan tujuan dan sasaran yang hendak
dicapai, maka dalam perkawinan Islam tujuan dan sasaranya jelas dan
terang, yaitu :
a. Membina kehidupan keluarga yang rukun, tenang dan bahagia.
b. Hidup cinta-mencintai dan kasih mengasihi.
c. Melanjutkan dan memelihara kehidupan manusia.
d. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan membentengi diri dari
perbuatan maksiat atau dengan kata lain menyalurkan naluri seksual secara
halal.
12
Modul pembinaan keluarga sakinah, (Jakarta : departemen Agama RI ,2000) h. 158 13
Modul pembinaan keluarga sakinah, h.162 14
Modul pembinaan keluarga sakinah, h.167
29
e. Membina hubungan kekeluargaan yang akrab dan mempererat silaturahmi
antar keluarga.
D. Peran Perempuan dalam Membentuk Rumah Tangga Bahagia
Peran individu mempunyai arti penting dalam sebuah sistem sosial,
sebagaimana peran perempuan sebagai individu tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan berumah tangga, karena secara individu keberadaannya
merupakan bagian dari kebutuhan dalam sebuah rumah tangga.
Posisi perempuan dalam Islam, pada dasarnya sejajar dengan kaum
laki-laki dalam berbagai masalah kehidupan, sesuai dengan kodratnya
masing-masing. Tugas dan tanggungjawab perempuan dalam rumah
tangga misalnya, terutama peran seorang istri yang harus ikut mendukung
keberhasilan tugas-tugas suami sebagai pemimpin keluarga.
Sesuai dengan kodratnya perempuan memiliki keterbatasan
dibandingkan laki-laki, namun dari keterbatasan tersebutlah terdapat
keistimewaan perempuan yang tidak dimiliki laki-laki, misalnya menurut
Yusuf Qaradhawi, perempuan telah disiapkan Allah memiliki perasaan
yang sensitif untuk mendukung tugas-tugas keibuannya, ada jabatan-
jabatan penting yang tidak diberikan Allah kepada wanita seperti jabatan
kenabian dan kerasulan. Akan tetapi, bukankah yang melahirkan para nabi
dan rasul adalah kaum wanita ? begitu terhomatnya Maryam, ibunda Nabi
Isa as, sehingga disebutkan dalam al-Qur’an sebagai wanita shalehah dan
bertakwa. Demikian pula Asiah dan Mashita, wanita pejuang di zaman
30
Fir’aun, serta Khadijah dan Aisyah di zaman Nabi Muhammad SAW,
adalah figure wanita-wanita mulia.15
Agama Islam memberikan petunjuk mengenai keluarga bahagia
(sakinah mawaddah warahmah) diantarnya ialah tercurahnya rahmat
Allah, terealisasinya motif dasar kehidupan, kemampuan menyelaesaikan
konflik, berikhtiar dan bersyukur serta adanya kedudukan yang jelas dalam
keluarga.16
Rumah tangga sebagai kerajaan kecil dari suatu keluarga, memang
sudah selayaknya dipimpin oleh seorang pria, namun derajat
kepemimpinan pria atas wanita bukanlah derajat kemuliaan, melainkan
lebih kepada derajat tanggungjawab dan tugas secara fungsional sebagai
kepala keluarga.17
Adapun fungsi dan tugas atau peran perempuaan sesuai dengan
kodratnya adalah :18
1. Sebagai Kepala Rumah tangga
Perempuan (Istri) adalah pemimpin dalam urusan rumah tangga,
sedangkan suami adalah pemimpin dalam urusan keluarga, hal ini sesuai
dengan hadits Rasulullah saw19
:
15
Hasan M. Noer (ed), Portet Wanita Shalihah, (Jakarta : Penamadani, 2004), h.4-5 16
Huzaemah T yanggo, Hukum Keluarga dalam Islam, (Jakarta : yayasan Indonesia
Baru,2013), h. 96 17
Hasan M. Noer (ed), Portet Wanita Shalihah, (Jakarta : Penamadani, 2004) h.5 18
Hasan M. Noer (ed), Portet Wanita Shalihah, h.6 19
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, juz II, (Beirut : Darulkitan al Arabi :1422) h.5
31
قل سهى عه صهى انه عج رسل انه قل س ر ع ب عبذ انه : أ
انإيبو را خ رع كهكى يسئل ع انرجم كهكى راع رعخ يسئل ع ع
يسئنت ب ج ج ز ت ف ب رأة راع ان خ رع يسئل ع ه راع ف أ
خ رع يسئل ع انخبدو راع ف يبل سذ ب خ رع )را انبخبري(ع
Artinya : Bhwa sesungguhnya Abdullah Ibn Umar berkata. Aku
mendengar Rasulullah saw, beliau bersabda : “ Kalian adalah
pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinan kalian. Seorang penguasa adalah pemimpin dan dia
akan dimintai pertanggung jawaban atas rakyatnya, seorang suami
adalah seorang pemimpin seluruh keluarganya dan dia akan dimintai
pertanggungjawaban atas keluarganya, demikian pula seorang isteri
adalah pemimpin atas rumah suami dan anaknya dan akan dimintai
pertanggung jawaban atasnya. Dan seorang khadim (pembantu)
adalah pemimpin atas harta tuannya dan dia akan dimintai
pertanggungjwaban atas kepemimpinananya. ” (HR. Bukhari )
Perempuan dengan kelemah lembutannya sebagai ibu rumah tangga
dapat berperan sebagai faktor penyeimbang kaum pria dalam kehidupan
keluarga. Wanita dapat mengerjakan apa yang tidak dapat (sempat)
dikerjakan oleh pria, seperti mengatur urusan rumah tangga memasak
mengasuh, mendidik anak-anak dan menyiapkan keperluan suami maupun
anak-anaknya, dan sebagainya.
Fungsi dan tugas dalam urusan rumah tangga ini bisa saja
didelegasikan kepada orang lain (asisten rumah tangga atau pembantu),
namun tetap berada dalam koordinasi dari sang istri. Alangkah bahagianya
sebuah rumah tangga saat suami istri dapat menyerasikan dan
menyeimbangkan tugas kerumah tanggaannya dengan penuh kepedulian
dan kasih sayang.
32
2. Sebagai Ibu dari Anak-anaknya
Bagi seorang perempuan yang menikah, rasanya belum sempurna
statusnya sebagai seorang istri bila belum memiliki anak. Hamil dan
melahirkan adalah anjuran agama. Sebagaimana hadits Rasulullah saw20
:
بى سبر قبل جبء رجم إنى ان يعقم ب قرة ع ت ب يعب صهى اهلل عه -ع
ب -سهى إ بل ج ى أصبج ايرأة راث حسب ب قبلال حهذ فقبل إ ج ,ال :أفأحس
ثى ب ت ف انثب انثبنثت فقبل ثى أحب ند فإ :أحب دد ان جا ان ى يكبثر بكى حس
)را ابداد( األيى
Artinya : Dari Muawwiyah bin Qurrata dari Ma’kul bin Yasari
berkata: telah datang seorang laki-laki menemui Nabi saw kemudian
berkata : aku menyukai seorang perempuan terpandang, cantik, dan
dia tidak mempunyai keturunan, bolehkan menikahinya, Nabi berkata :
tidak, kemudian datang lagi pada kali yang kedua dan Nabi melarang,
kemudian datang lagi pada yang ketiga kalinya, kemudian Nabi
Bersabda : “menikalah dengan wanita yang penuh cinta kasih dan
banyak melahirkan keturunan, karena sesungguhnya aku merasa
bangga dengan banyaknya jumlah kalian” (HR. Abu Daud)
Saat umat Islam sudah banyak, maka hadits ini tidak harus
dimaknai secara kuantitatif tapi lemah secara kualitatif, yaitu tidak sekedar
banyak secara kuantitatif tapi lemah secara kualitatif. Lebih baik sedikit
berkualitas dari pada banyak tak berkualitas dan lebih baik lagi jika
banyak dan berkualitas.
Sesuai kodratnya perempuan tidak cukup dengan hanya hamil dan
melahirkan saja, perempuan juga ikut bertanggung jawab untuk mendidik
anak-anaknya dengan baik agar ia cerdas dan berahlak baik, sehingga
20
Abu Daud, Sunan Abi Daud, juz II, (Beirut : Darulkitan al Arabi, t.th) h.175
33
menjadi manusia yang berkualitas. Anak cerdas dan berbudi pekerti baik
tidak mungkin akan hidup terlantar dan menjadi beban bagi orang lain di
kemudian hari. Sebagaimana Firman Allah :
فىا عليهن فليتقىا اهلل وليقىلىا قىال وليخش الزيي لىتشكىا هي خلفهن رسية ضعافا خا
(9(:4)الساء)سذيذا.
Artinya : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah yang
mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh karena itu
hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar. (Qs. An-Nisaa (4): 9).
Dalam sebuah rumah tangga diperlukan seorang penanggungjawab
utama terhadap perkembangan jiwa dan mental anak, khususnya pada usia
balita. Di sinilah mengapa agama (Islam) menoleh perempuan sebagai ibu,
memiliki keistimewaan. Perempuan sebagai ibu mempunyai sifat-sifat
kasih sayang, ulet dan telaten dalam mendidik putra-putrinya pada
umumnya.21
Meskipun demikian, peran ibu dalam pendidikan ini dapat
digantikan orang lain (misalnya ayahnya), sebab mendidik anak
merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap orang tua
(ayah dan ibu).22
21
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, Jakarta : el-Kahfi,
2008, h. 302. 22
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, h. 303.
34
BAB III
POTRET KESULTANAN BUTON SULAWESI TENGGARA DAN KOTA
BAUBAU
A. Sejarah Kesultanan Buton
Kerajaan/Kesultana Buton yang menurut cerita rakyat setempat
didirakan oleh imigran dari Johor dan Sumatra yang telah lama menjalin
kontak kekuasaan dengan daerah atau kerajaan-kerajaan lain sekitarnya.
Para imigran itu terdiri dari Sipajonga, Simalui, Sitamananjo, dan
Sijawangkti. Dalam masyarakat Buton mereka dikenal dengan sebutan
“mia patamiana”, yang berarti “yang empat orang”.
Kesultanan Buton merupakan sebuah kerajaan di Nusantara yang
hidup dari abad ke-14. Sebelum Islam diterima sebagai agama resmi,
ajaran agama Hindu mempunyai pengaruh yang cukup kuat. Raja pertama
sampai raja keenam masih menganut agama Hindu, hingga kemudian raja
keenam bernama Lakaliponto memeluk agama Islam. Ia menerima Islam
pada tahun 848 H atau 1540 M dari seorang muballig yang datang dari
Malaka, bernama Syekh Abdul Wahid. Setelah memeluk Islam,
Lakaliponto diberi gelar “sultan”, dan namanya popular dengan sebutan
Sultan Murhum. Setelah memeluk Islam dan mendapat gelar sultan,
kemudian secara perlahan ditetapkanlah agama Islam menjadi agama
resmi di Kesultanan Buton, yang kemudian secara perlahan mempengaruhi
nilai-nilai kehidupan social kebudayaan masyarakat Buton.
35
Dari sultan pertama, Murhum, sampai dihapusnya kesultanan pada
tahun 1960, telah memerintah 37 orang raja yang bergelar sultan. Sebelum
Islam masuk ke Buton, masyarakat Buton sudah teratur dengan kelompok-
kelompoknya sesuai dengan aturan-aturan adat tersendiri. Dimana adat
tersebut merupakan kebiasaan kebiasaan masyarakat setempat yang
mengatur interaksi sesama anggota masyarakat, sistem struktur, sistem
nilai, dan hukum yang kemudian mewujudkan pola perilaku ideal. Kendati
demikian, masyarakat Buton tetap membuka ruang bagi kebudayaan luar
untuk masuk dalam kehidupan mereka.
Keterbukaan masyarakat Buton tersebut memberikan ruang yang
memperlancar usaha para dai’ atau ulama untuk menyiarkan agama Islam,
dan lambat laun menjadi bagian dari adat sehingga berbagai kebiasaan
tumbuh dan berkembang di masyarakat Buton. Banyak hal yang telah
terpadu antara adat kebiasaan leluhur dengan tradisi Islam. Keduanya
berdampingan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini terlihat dalam
pelaksanaan upacara-upacara adat tertentu yang terdapat perpaduan seni
budaya leluhur dan syariat Islam. Adat dan syariat Islam ini yang menjadi
dasar bagi masyarakat Buton.
Masyarakat Buton pada masa kerajaan digolongkan atas tiga
golongan, yaitu : golongan kaumu, walaka, dan papara. Golongan kaumu
dan walaka adalah golongan yang mengendalikan pemerintahan, dan
mereka tinggal di kraton, sedangkan golongan papara adalah rakyat biasa
yang menghuni kadie.
36
Kerajaan/Kesultanan Buton pernah eksis selama 664 tahun
lamanya. Dalam masa itu dipimpin oleh enam orang raja selama 245 tahun
lalu seiring masuknya Islam, berganti menjadi kesultanan selama 419
tahun dengan 38 kali pergantian sultan.
B. Letak Geografis
Wilayah Kesultanan Buton terletak di antara kepulauan Maluku
dan pulau Sulawesi, dimana pusat pemerintahannya terletak di bagian
selatan pulau Buton. Luas wilayah kekuasaan Kesultanan Buton,
berdasarkan informasi dari Ligtoveot, Sekretaris Urusan dalam Negri
Hindia Belanda di Makassar. Ketika berkunjung di Buton pada tahun
1873, ia mencatat wilayah kekuasaan Buton meliputi gugusan kepulauan
di kawasan bagian tenggara jazirah Sulawesi Tenggara, yaitu :
1. Pulau Buton, yaitu sebuah pulau yang terletak di sebelah tenggara
jazirah Suawesi Tenggara yang dibatasi oleh selat Buton.
2. Pulau Muna atau Woena, yang disebut dalam dokumen Belanda
dengan Pancano, yaitu sebuah pulau yang terletak di antara pulau
Buton dan jazirah Sulawesi Tenggara.
3. Pulau Kabaena, sebuah pulau yang terletak di sebelah barat pulau
Muna atau di sebelah selatan jazirah Sulawesi Tenggara.
4. Sejumlah pulau-pulau kecil di dekat pulau Buton dan Muna. Pulau-
pulau ini adalah pulau Tiworo, Tobeya Besar dan Tobeya Kecil yang
terletak di selat Tiworo, pulau Makassar atau Liwotu yang terletak di
37
selatan Buton, pulau Kadatua, Masiring dan Siompu yang terletak di
sebelah barat daya pulau Buton, pulau Talaga Besar dan Talaga Kecil
yang terletak di sebelah selatan pulau Buton.
5. Sejumlah Pulau yang berjejer di sebelah tenggara pulau Buton yang di
kenal dengan kepulauan Tukang Besi yang terdiri dari pulau wengi-
wengi, Kaledupa, Tomia dan Binongko.
6. Poleang dan Rumbia yang terletak di daratan jazirah Sulawesi bagian
tenggara, berhadapan dengan pulau Kabaena.
7. Pulau Wawoni yang terletak di sebelah utara pulau Buton.
8. Selain itu masih terdapat sejumlah gugusan pulau-pulau kecil yang
terletak di sela-sela pulau-pulau tersebut di atas yang kurang populer
namanya dan tidak tampak di peta yang merupakan wilyah kekuasaan
Kesultanan Buton.1
Berdasarkan wilayah kekuasaan seperti yang tersebut di atas, maka
dapat ditentukan bahwa batas-batas Kesultanan Buton adalah :
a. Sebelah utara berbatasan dengan Kerajaan Luwu, Laiwui, dan Pulau
Wawoni yang merupakan pengaruh kerajaan Ternate.
b. Sebelah timur berbatasan dengan Laut Banda/Selat Maluku.
c. Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Flores.
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Bone.
1A. lightvoet, Beschrijving en Geschi edenis van Boeton, dalam BKI, Vol. 26, s-
Gravenhage, Martinus Nijhoff, h.1-5.
38
Dengan demikian, wilayah Kesultanan Buton tersebut terletak pada
121,40o Bujur Timur dan 124,50
o Bujur Timur serta 4,2
o Lintang selatan
dan 6,20o Lintang Selatan.
2
Adapun letak geografis Kota Baubau secara astronomis terletak di
bagian selatan garis khatulistiwa di antara 5.21o –5.33
o Lintang Selatan
dan di antara 22.30°-122.47° Bujur Timur. Berdasarkan letak
geografisnya, Kota Baubau memiliki batas-batas sebagai berikut : Utara
berbatasan dengan Kabupaten Buton, Selatan berbatasan dengan
Kabupaten Buton Selatan, Timur berbatasan dengan Kab. Buton dan
sebelah barat berbatasan dengan Selat Buton.3
C. Kondisi Demografis
Bila dilihat dari segi etnis maka kota Baubau memiliki penduduk
yang homogen yakni mayoritas penduduknya adalah suku Buton. Hal ini
dikarenakakan kota Baubau merupakan pusat pemerintahan kesultanan
Buton pada masa itu. Adapun penduduk beretnis selain suku Buton yang
sudah menetap di kota Baubau disebabkan faktor perkawinan atau tugas
Negara.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik kota
Baubau tahun 2015, jumlah penduduk yang berdiam di daerah ini pada
2 Susanto Zuhdi dkk, Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara : Kesultanan Buton,
(Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1996),h.6 3 Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Baubau, Kota Baubau Dalam Angka :Baubau
Municipality in figures 2016, (Baubau : CV. Kainawa Molagina 2016), h.2
39
tahun 2010 berjumlah 136.981 jiwa. Pada tahun 2015 jumlah penduduk
kota Baubau meningkat menjadi 154.877 jiwa, yang terdiri dari laki-laki
76.395 jiwa dan perempuan 78.482 jiwa, dengan demikian dalam lima
tahun penduduk di kota Baubau bertambah sebanyak 17.906 jiwa atau
sama dengan 13,06%.4
D. Keadaan Ekonomi
Pada dasarnya setiap manusia selalu berusaha untuk meningkatkan
taraf hidupnya. Demikian halnya dengan masyarakat kota Baubau, dalam
meningkatkan sumber pendapatan, masyarakat menggeluti berbagai
bidang penghidupannya yang bersumber dari berbagai kegiatan sebagai
mata pencaharian masyarakat sehari-hari, namun demikian angka
pengangguran di kota ini masih sangat tinggi.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, jumlah
angka kerja kota Baubau 2015 sebesar 70.332 orang, dengan jumlah yang
bekerja sebesar 65.292 orang dan menganggur sebanyak 5.040 orang.
Tingkat Pengangguran di Kota Baubau sebesar 7,17 persen, sedangkan
tingkat partisipasi angkatan kerja sebesar 66,40 persen.5
4 Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Baubau, Kota Baubau Dalam Angka :Baubau
Municipality in figures 2016, h. 52-53 5 Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Baubau, Kota Baubau Dalam Angka :Baubau
Municipality in figures 2016, h.65
40
E. Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
perkembangan sumber daya manusia. Searah dengan kebijakan yang
digariskan bahwa pendidikan mengupayakan adanya perluasan dan
pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Kota Baubau
merupakan Daerah yang memiliki jumlah sarana pendidikan yang
memadai baik dari jumlah serta kualitasnya,mulai dari taman kanak-kanan,
sekolah dasar sampai sekolah lanjutan.
Dari survei angkatan kerja tahun 2015 diketahui bahwa penduduk
berusia 7 - 24 tahun yang tidak/belum pernah sekolah sebanyak 634 orang,
yang masih bersekolah sebesar 47.054 orang dan yang tidak bersekolah
lagi sebanyak 11.926 orang .6
Jumlah fasilitas pendidikan di tahun 2015 sebanyak 77 sekolah SD
dan MI, 32 sekolah SMP dan MTs, 25 sekolah SMA, SMK dan MA.
Berdasarkan data tahun 2015 dapat diketahui bahwa Jumlah murid SD dan
MI sebanyak 20.486 siswa, SMP dan MTs sebanyak 9.738 siswa dan
SMA, SMK dan MA sebanyak 10.268 siswa.7
6 Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Baubau, Kota Baubau Dalam Angka :Baubau
Municipality in figures 2016, h.88 7 Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Baubau, Kota Baubau Dalam Angka :Baubau
Municipality in figures 2016, h.90
41
F. Keagamaan
Kesultanan Buton merupakan salah satu kerajaan Islam Nusantara
yang terus berkembang dan mempengaruhi kehidupan masyarakat
kesultanan Buton hingga berakhirnya masa kesultanan 1960.
Masyarakat Buton yang mendiami wilayah kota Baubau khususnya
masyarakat kelurahan Murhum pada umumnya menganut agama Islam
sebagai pengaruh pemerintah ekskesultanan yang juga masyarakatnya
dominan menganut agama Islam.
Pada Tahun 2015 terlihat jumlah sarana peribadatan di Kota
Baubau sebanyak 164 buah yang terdiri dari masjid 114 buah, mushala 36
buah, gereja katholik 1 buah, gereja protestan 5 buah dan pura/vihara 8
buah.8
G. Keadaan Sosial Budaya
Secara historis, Buton masa lalu merupakan sebuah kesultanan
dengan kota Baubau sebagai pusat pemerintahannya sehingga sistem
kekerabatan, stratifikasi sosial dan bahasa daerah masih berlaku.
Sistem kekerabatan biasanya bersifat parental (kebapak-ibuan),
meskipun ada kecenderungan patrineal. Hak dan kewajiban suami istri dalam
rumah tangga pada prinsipnya adalah sama, meskipun peran suami kadang
lebih dominan untuk menafkahi dan istri mengurus rumah tangga. Anak laki-
8 Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Baubau, Kota Baubau Dalam Angka :Baubau
Municipality in figures 2016, h.110
42
laki dan perempuan memiliki nilai yang sama, begitu pula hak dan mewajiban
mereka dalam rumah tangga, adapun sikap anak terhadap orang tua dan
keluarga lainnya bersifat bebas, tetapi dalam pertemuan adat atau di tempat
umum berlaku tata tertib adat, dimana anak harus menghormati orang tua.
Dalam pergaulan kekerabatan karena perkawinan, sesorang memiliki
hubungan bebas terhadap kerbat dari suami maupun sebaliknya serta suami
dan istri harus memiliki rasa hormat terhadap mertua.9
Stratifikasi sosial pada masyarakat Buton khususnya kota Baubau
bersifat vertikal yang tediri dari kaomu (golongan bangsawan) sebagai
stratifikasi pertama dan walaka yang juga masih termasuk rumpun elit yang
merupakan stratifikasi kedua, serta papara yang terakhir. Setiap lapisan sosial
yang dimaksud mempunyai hak dan kewajiban yang bebeda terutama pada
masa kesultanan. Golongan kaomu mempunya kedudukan yang lebih tinggi
seperti sultan, sapati, kanepu maupun lakina. Golongan walaka sebagai
golongan kedua juga memegang jabatan dalam pemerintahan seperti bonto
ongena (perdana mentri besar) dan bonto lainya dan sekaligus sebagai badan
legislatif. Baik golongan kaumu dan walaka berkedudukan di keraton,
sedangkan golongan papara adalah masyarakat biasa.
Sebagian wilayah kepulauan, Buton memiliki rumpun bahasa yang
sangat banyak. Hasil identifikasi sementar menyebutkan tidak kurang dari 40
jenis bahasa yang digunakan di Buton. Meski demikian terdapat bahasa induk
9 Yusniar Razak, “Kedudukan Perempuan (Bhisa) Dalam Tradisi Perkawinan Adat
Buton”(Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Dayanu Ikhsanuddin
Baubau, 2014), h.40
43
yang dahulunya merupakan bahasa ibu bagi masyarakat Buton yaitu bahas
Wolio.10
Pada masyarakat kota Baubau khususnya kecamatan Murhum dalam
pergaulan sehari-harinya menggunakan bahasa Wolio sebagai bahasa daerah,
namun secara umum masyarakat menggunkan bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan.
H. Sistem Ritual
Manusia dalam kehidupannya sangat lekat dengan masa peralihan.
yakni dilahirkannya ke muka bumi, menjadi remaja atau proses menjadi
dewasa, kemudian dewasa dan menikah selanjutnya kematian yang dikenal
dengan lingkaran hidup (life circle). Masing-masing mempunyai upacara
tersendirinya, dimulai dari upacara yang dilakukan untuk seorang ibu yang
sedang mengandung, upacara kelahiran seorang bayi, upacara akil baligh,
kemudian upacara pernikahan dan upacara kematian. Semuanya dilakukan
secara bertahap sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam suatu etnis.
Masyarakat Buton sendiri memiliki sistem ritual sebagai
uangkapan religi mereka, Muhammad Alifudin dalam bukunya Islam Buton
membagi sistem ritus yang berkembang dalam kehidupan social budaya
masyarakat Buton secara general menjadi dua hal pokok yaitu :
1. Sistem kepercayaan yang secara utuh berasal dari ajaran Islam yang
meliputi ajaran yang tertuang dan tergambar dalam rukun Iman.
Kepercayaan ini meliputi keyakinan tentang Tuhan yaitu Allah SWT dan
10
Muhammad Alifudin, Islam Buton (Interaksi Islam dengan Budaya Lokal), (Jakarta :
Badan Litbang dan Diklat Depertemen Agama RI, 2007), h. 47
44
mahluk-Nya yang memegang fungsi tertentu seperti malaikat dan para
nabi. Selain itu kepercayaan akan adanya kehidupan sesudah mati dan
mahluk-mahluk ghaib lainnya.
2. Kepercayaan alamiah atau kepercayaan warisan dimana kepercayaan ini
terbentuk dari sistem kepercayaan yang lahir dan tumbuh di tengah
masyarakat dan merupakan kepercayaan pra Islam yang kemudian
dikelompokkan menjadi dua bagian besar yaitu :
a. Sistem kepercayaan yang bersumber dari nilai-nilai pra Islam tetapi
telah diintrepretasi ke dalam Islam.
b. Sistem kepercayaan yang secara utuh masih merupakan nilai-nilai pra
Islam.11
Selanjutnya dari dua sistem ritus diatas dalam prakteknya di
masyarakat dibagi lagi menjadi tiga kelompok sebagai berikut :
1. Kelompok ritual sehari-hari yang berasal dari ajaran Islam atau rukun
Islam yaitu sahadat, ritual bersuci, sembahyang yang menurut La Ode
Muchiru dalam sara Patanguna menulis bahwa tradisi Buton masa lalu
mengenal empat bagian salat yaitu : salat al-nafs atau salat al-jasad, salat
jama’ah, salat al-wusta, dan salat azmi. Kemudian puasa, zakat, dan haji.
2. Kelompok ritual peralihan yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat
Buton, baik yang bersumber dari ajaran Islam atau yang diduga bersumber
dari ajaran Islam yaitu, Haro’a, ritual perkawinan yang terdiri dari
tunangan dan perjodohan (pobaisa), upacara perkawinan, akad nikah,
11
Muhammad Alifudin, Islam Buton (Interaksi Islam dengan Budaya Lokal), h. 374-375
45
Akomata atau bersanding, mandi kembang, adat menetap di rumah mertua,
perceraian serta warisan. Selanjutnya Hamil dan melahirkan yang di
dalamnya terdiri dari ritual kehamilan, Aqidah dan upacara lainnya pasca
kelahiran. Kemudian ritual tandaki atau posusu, upacara pingitan atau
posuo, serta ritual kematian yang terdiri dari penyelenggaraan jenazah,
pemakaman, tahlilan, dan alo atau doa. Ritual bersih desa atau do’a tolak
bala.
3. Kelompok ritual berulang tetap yang merupakan yang secara periodik
telah terjadwal yaitu ritual Muharram, ritual Safar atau sampuana uwena
safara, ritual Rabiul Awal atau Maulid Nabi, ritual Sya’ban, haro’a
Rajab, ritual Ramadhan yang terdiri dari haro’a dan ziarah kubur, puasa,
dan tarwih di Keraton, serta ritual Syawal.12
Pembagian sistem ritual secara umum dan prakteknya ini
merupakan sistem yang sama dalam hal kepercayaan maupun upacara
Keagamaan yang masih menjadi tradisi yang terus berlangsung di masyarakat
Buton hingga sekarang.
12
Muhammad Alifudin, Islam Buton (Interaksi Islam dengan Budaya Lokal), h.209-309.
46
BAB IV
RITUAL POSUO ADAT BUTON DAN TINJAUANNYA DALAM HUKUM
ISLAM
A. Makna dan Prosesi Rirual Posuo Adat Buton
Posuo menurut bahasa berasal dari kata po dan suo, po merupakan
sebuah awalan yang mengandung makna sebagai pembentuk kata kerja
yang menyatakan berada dalam suatu keadaan atau singkatnya disebut
“ber”, sedangkan suo artinya ruang belakang.1 Menurut adat, posuo
adalah istilah untuk menunjukan suatu prosesi upacara peralihan status
individu (wanita); dari status gadis remaja (kabuabua) ke status gadis
dewasa (kalambe),2 atau disebut juga aposuoakoe. Dalam penelitiannya
Engku menyatakan bahwa pengertian posuo adalah suatu upacara adat
istiadat tradisional yang dilaksanakan oleh orang tua kepada anak gadisnya
yang sudah memesuki alam dewasa untuk mendapatkan gemblengan fisik
dan mentalnya, sehingga matang dalam kehidupan berumah tangga.3
Selain itu, Alifudin menjelaskan bahwa posuo adalah salah satu
ritual peralihan yang masih sering dilakukan oleh masyarakat Buton
hingga sekarang. Dalam pengertian yang lebih lazim pada masyarakat
Indonesia, Posuo bermakna “pingitan” yaitu suatu tradisi yang diwarisi
turun temurun dimana seorang anak gadis yang telah melalui proses ritual
1 Wawancara Pribadi dengan H. ML. Raziluddin, Baubau, 04 Agustus 2016.
2 M. Mu‟min Fahimuddin, ed., Menafsir Ulang Sejarah dan Budaya Buton, (Bau-bau
:Penerbit Respect, 2011) h. 250. 3 Iskandar Engku, Masalah PosuoBagi Gadis-Gadis Remaja Sebagai Alat Pendidikan di
Kabupaten Dati II Buton, (Baubau : Institut Agama Islam Negri Alaudin Ujung Pandang, 1982),
h.9.
47
ini hampir seluruh kebebasannya telah dibatasi yang dikenal dengan istilah
kalambe.4
Tinjauan historis ritual posuo merupakan sebuah tradisi turun
temurun yang telah dan masih berlangsung hingga sekarang, dimana
dalam tradisi masyarakat Buton sendiri dikenal dengan tiga jenis posuo
yaitu posuo Wolio yaitu ritual pingitan berdasarkan adat asli Wolio yang
sudah belangsung sejak zaman nenek moyang orang Wolio, posuo Johoro
yaitu pingitan berdasarkan tradisi Johor-Melayu mengingat secara historis
kerajaan Buton (sebelum menjadi Kesultanan) didirikan oleh imigran dari
Johor-Melayu yang dikenal dengan mia patamiana, dan posuo Arabu yang
pertama kali diperkenalkan oleh Kinepulu Bula (Syekh Haji La Ode Abdul
Ganiyu) yang merupakan seorang ulama besar dimasa Sultan La Ode
Muhammad Idrus Qaimuddin Al-Butuny, Sultan Buton kedua puluh dua.5
Syekh Haji La Ode Abdul Ghaniyu juga dikenal di Mesir dan Magribi
(Tunisia) sebagai Mufti Zawawi.6 Beliau melakukan modifikasi tatacara
posuo dengan menghilankan unsur-unsur yang tidak sesuai dengan nilai-
nilai Islam dari posuo Wolio. Posuo modifikasi inilah yang kemudian
disebut posuo Arabu (posuo Arab) yang dipandang sebagai
4 M. Alifudin, Signifikansi Upacara Siklus Posuo Dalam Membangun Semesta
Kepribadian Remaja Wanita Pada Masyarakat Buton, Al-Izzah X, no. 1 (Juli 2015): h.4 5 Wawancara Pribadi dengan La Ode Aslan Azis, Baubau, 21 juli 2016.
6 M. Mu‟min Fahimuddin, ed., Menafsir Ulang Sejarah dan Budaya Buton, (Bau-bau :
Penerbit Respect, 2011) h. 251.
48
pengejawantahan dari rukun Nabi Ibrahim seperti halnya bersunat/khitan
(tandaki).7
Masyarakat Buton memilki kecenderungan yang masih kental
dengan ritual adat yang dipadukan dengan ajaran Islam. Hal ini terlihat
pada proses ritual posuo yang dimulai dengan pembacaan salawat
(maludu) yang berisikan tentang puji-pujian kepada Nabi Muhammad saw
yang bertujuan sebagai suatu pembuka jalan bagi para gadis sebelum
menuju kehidupan baru sebagai gadis dewasa. Adapun unsur adat berupa
alat dan bahan-bahan yang digunakan serta setiap bacaan yang dilafalkan
oleh para bhisa ketika memandikan para peserta, yang berupa permohonan
izin kepada roh-roh halus (Sumanga) agar tidak mengganggu jalannya
ritual tersebut, Sehingga prosesi ritual posuo dapat dilaksanakan dengan
lancar.
Ritual posuo yang diadakan khusus bagi para gadis remaja ini
diawali dengan persiapan oleh para keluarga yang akan mengadakan posuo
dengan musyawarah dalam keluarga, selaku penyelenggara acara keluarga
ini bisa berupa keluarga tunggal (satu keluarga) untuk satu peserta saja
ataupun kolektif yang terdiri dari beberapa keluarga. Adapun hal yang
dimusyawarahkan berkaitan dengan kebutuhan dan personalia dalam ritual
nanti. Musyawarah ini pun dilakukan jauh sebelum pelaksanaan ritual
tersebut untuk menentukan tanggal dan bulan pelaksanaan serta berapa
7 M. Mu‟min Fahimuddin, ed., Menafsir Ulang Sejarah dan Budaya Buton, h. 250.
49
hari ritual ini akan diselenggarakan juga siapa saja dari keluarga yang
akan diundang.
Setelah musyawarah, dilanjutkan dengan persiapan perlengkapan
untuk posuo seperti ruangan belakang yang akan digunakan (suo), pakaian
untuk peserta posuo, para penabuh gendang (poganda),8 rempah-rempah
untuk luluran peserta yaitu kunyit dan beras yang sudah dihaluskan, juga
air untuk mandi peserta yang berasal dari 8 sumber mata air yaitu uwe
kanakea (kelurahan Nganganaumala), uwe topa ogena (kelurahan Bone-
bone), uwe kasilea, uwe mardadi (kelurahan Baruta), uwe bhatu poara
(Kelurahan Wameo), uwe piri mahammah (kelurahan Wajo), uwe dhete
(kelurahan Melai), uwe moko atau uwe waramusio (kelurahan
Kadolomoko), jika air yang bersumber dari 8 mata air itu sulit didatangkan
maka sebagai gantinya digunakan air yang bersumber dari sungai yang
mengalir, serta mempersiapkan jamuan untuk para tetamu yang datang
selama berlangsungnya prosesi ritual posuo.
Selain persiapan di atas, pihak keluarga atau penyelenggara juga
menghubungi bhisa (tokoh adat) dalam hal posuo ini yaitu menghubungi
bhisa bawine (tokoh adat perempuan) yang akan memandu para peserta di
dalam suo nanti selama berlangsungnya posuo. Peserta tidak
diperbolehkan berinteraksi dengan dunia luar, baik kelurga maupun
lingkungan sekitar. Mereka akan diasingkan selama hari pelaksanaan
posuo yang telah di tentukan dalam musyawarah. Kumpulan bhisa bawine
8 Penabuhan gendang dalam ritual Posuo hanya dilakukan bagi golongan koumu
sedangkan bagi golongan walak tidak ada penabuhan gendang.
50
yang dipanggil diyakini berasal dari kumpulan orang yang pandai dan
memiliki citra dan kredibilitas yang baik di tengah masyarakat, yaitu
mereka paham dan mengerti pelaksanaan upacara, ibu-ibu yang
mempunyai keturunan yang baik, yang dibuktikan dengan anak-anak yang
sukses dan ibu-ibu yang berasal dari keturunan pejabat pemangku adat.9
Pelaksanaan posuo terdiri dari tiga sesi yaitu molano tangia
(malam isak tangis), bhaliana yimpo dan matana karia. Ritual posuo
diawali dengan pauncura atau pengukuhan peserta oleh bhisa senior yang
disebut dengan parika dengan membakar dupa atau kemenyan yang
kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa dan menyapukan asap dupa
ke badan para peserta posuo (phanimpa) setelah itu diumumkanlah perihal
pelaksanaan posuo dan nama-nama peserta yang akan diposuo serta
aturan-aturan dalam suo nanti. Setelah nama-nama peserta disebutkan,
para peserta mulai terdiam dan kemudian mulai menangis bagi yang tidak
menangis akan dicubit atau di pukul di bagian tertentu hingga menangis
karena menurut mitos jika ada peserta yang tidak menangis, maka ada
pertanda buruk untuk masa depannya10
. Ada juga beberapa peserta yang
mengatakan menangis karena bahagia akan terlaksananya ritual ini sebagai
tanda telah lepas satu tanggung jawab orang tua dan telah berusaha
melaksanakan ritual ini.11
Inilah sesi pertama yang disebut molano tangia
atau malam isak tangis. Sejalan dengan tangis peserta para penabuh
gendang juga menabuh gendang disertai nyanyian salawat (maludu) untuk
9 Wawancara Pribadi dengan La Ode Aslan Azis, Baubau, 21 juli 2016.
10 Wawancara Pribadi dengan Wa Ode Mulima, Baubau, 29 juli 2016.
11 Wawancara Pribadi dengan Kiki Masria, Baubau, 20 juli 2016.
51
mengiringi isak tangis peserta. Kemudian ditutup dengan haroa dan
makan bersama. Untuk hari pertama gendang ditabuh semalaman penuh
tanpa henti sedangkan hari berikutnya gendang ditabuh sesuai dengan
aktifitas para gadis yang diposuo seperti saat mereka makan, mandi serta
meluluri badan dengan bedak dari kunyit dan beras.
Ritual posuo dilaksanakaan selama 4 sampai 8 hari, dimulai
dengan malona tangia (malam isak tangis) kemudian dilanjutkan pebhaho
(mandi) untuk membuang sial. Adapun di hari-hari berikutnya peserta
diphanimpa dengan memberi sapuan asap dupa kepada peserta dua kali
sehari pagi dan sore, kemudian diajarkan mengenai merawat diri (luluran)
dan diberi nasihat-nasihat mengenai etika, moral dan tingkah laku.
Sesi kedua yaitu bhaliana yimpo yang merupakan perubahan gerak
atau posisi yang berlangsung pada hari ke 4 malam ke 5 (bagi yang
melaksanakan 8 hari) atau pada hari ke dua malam ke 3 (bagi yang
melaksanakan 4 hari) dimana peserta yang semula posisi tidur kepala
menghadap ke selatan dan kaki ke utara menjadi kepala kearah barat dan
kaki kearah timur begitu pula dengan lulur yang digunakan dimana
sebelumnya menggunakan kunyit diganti dengan beras yang sudah
dihaluskan.
Sesi terakhir dari ritual posuo adalah matana karia yang
merupakan puncak acara sebagai upacan selamat dari para keluarga,
kerabat dan sahabat serta para tetamu undangan sebagai tanda berakhirnya
posuo dan memandakan gadis yang telah diposuo sudah menjadi gadis
52
dewasa. Sesi ini dilaksanakan pada malam terakhir yang diawali dengan
prosesi memandikan peserta (phaebo) dengan menggunakan wadah
buyung yang terbuat dari tanah liat (bhosuo) dan para peserta mandi
dengan kain sarung (timbasa) yang kemudian kain itu tidak bisa digunakan
lagi seumur hidup (biasanya dibuang kelaut) dengan harapan segala dosa
dan noda gadis di masa remaja terbawa sehingga menjadi lebih baik saat
dewasa.12
Khusus bagi peserta yang atau akan siap menikah keesokan
harinya air mandinya dicampur dengan bunga kempaka dan kamboja (uwe
kadu khusus bagi yang akan menikah). Setelah itu para peserta didandani
dengan baju adat buton khusus gadis dewasa (aja kalambe) dan diarahkan
menuju tempat peresmian untuk meresmikan peserta posuo menjadi gadis
dewasa, peresmian ini dilakukan oleh istri pejabat pada masjid Agung
Keraton (moji) dengan megusap debu (tanah) pada telapak kaki peserta,
setelah itu resmilah para peserta posuo menjadi gadis dewasa menurut
adat.13
Pada umumnya setelah selesai peresmian ada juga penyampaian
hikmah posuo kepada tamu undangan dan ditutup dengan perjamuan dan
ucapan selamat serta pemberian hadiah kepada para peserta posuo yang
telah resmi menjadi gadis dewasa.
Gambaran prosesi ritual posuo yang telah diuraikan merupakan
data yang berasal dari hasil wawancara dengan sejumlah tokoh adat baik
moji maupun bhisa bawine dan sejumlah kepustakaan tentang posuo juga
merupakan hasil pengamatan langsung pada acara posuo yang
12
Wawancara Pribadi dengan H. LM. RAzinuddin, Baubau, 04 Agustus 2016. 13
M. Mu‟min Fahimuddin, ed., Menafsir Ulang Sejarah dan Budaya Buton, (Bau-bau :
Penerbit Respect, 2011) h. 263.
53
diselenggarakan oleh Keluarga La Oda, S. Pd dan Keluarga Amran S. Pd
yang berlangsung selama 4 hari.
B. Analisis Tentang Pembentukan Karakter bagi Remaja dalam Ritual
Posuo Menuju Kehidupan Berumah Tangga
Usia Remaja adalah usia yang paling indah bagi setiap orang. Pada
usia remaja umumnya orang sedang mancapai masa penuh idialisme,
penuh harapan, dan angan-angan yang tinggi. Usia penuh emosi dan
perasaan yang peka. Idealisme begitu tinggi sampai kadang-kadang sulit
dikendalikan. Dengan demikian pada usia remaja perlu mendapat
perhatian yang lebih seksama.
Pertumbuhan dan perkembangan fisik yang cepat terjadi pada
remaja, sering kali menimbulkan tanggapan yang berbeda-beda. Ada yang
berpendapat bahwa masa remaja adalah masa penuh persoalan dan
kesukaran, di pihak lain ada yang memandang umur remaja adalah umur
yang paling indah, menyenangkan, dan penuh dengan aneka mukjizat.14
Pada Masa ini ada beberapa perilaku yang menonjol pada sebagian
besar remaja, sehingga orang kemudian sering mengatakan masa remaja
itu sebagai berikut :
14
Zakiah Drajat, Remaja : Harapan dan Tantangan, (T.tp, CV. Ruhama, 2001) h.13
54
1. Masa Penting
Perkembangan fisik yang cepat disertai perkembangan mental yang cepat
pula, terutama pada awal masa remaja. Keadaan ini menuntut adanya
penyesuaian mental dan perlunya sikap, nilai dan minat baru.
2. Masa Peralihan
Peralihan berarti melanjutkan perkembangan dari suatu tahap ke tahap
berikutnya. Segala sesuatu yang terjadi sebelumnya akan terus membekas
pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Pada saat seorang anak
beralih dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, anak-anak harus
“meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kanak-kanak” dan ia harus
mempelajari pola perilaku dan sikap baru sesuai dengan tuntutan pada
masa tersebut.
3. Masa bermasalah
Setiap tahap perkembangan memiliki masalah sendiri, namun masalah
pada masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak
laki-laki atau anak perempuan terdapat dua alasan bagi kesulitan itu,
pertama, sepanjang masa kanak-kanak, masalahmu sebagian diselesaikan
oleh orang tua dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak
berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, kamu ingin menjadi
lebih mandiri atau ingin dianggap sudah mandiri, sehingga kamu mencoba
mengatasi masalah-masalahmu sendiri dan menolak bantuan orang tua
serta guru-guru.
55
4. Masa Perubahan
Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar
dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja, ketika
perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga
berlangsung pesat. Kalau perubahan fisik menurun maka perubahan
perilaku menurun juga.15
Berkenaan dengan pertumbuhan remaja, dalam Islam ditegaskan
mengenai pentingnya melindungi anak, sebagaimana diungkapkan dalam
hadis yaitu16
:
-صلى اهلل عليو سلم- بن شعيب عن أبيو عن جده قال قال رسل اللو عن عمر
ىم أبناء عشر » اضربىم علييا ىم أبناء سبع سنين الدكم بالصالة مرا أ
)راه اب داد( « فرقا بينيم فى المضاجعسنين
Artinya : Dari Umar bin Syuaib dari Ayahnya, dari Kakeknya Bekata,
Rasulullah saw bersabda : perintahkanlah kepada anakmu solat pada
tujuh tahun pertama, dan pukulah (didiklah) ia pada usia sepuluh tahun,
dan pisahkanlah tempat tidur mereka”(HR.Abu Daud (
Hadits tersebut lebih tepatnya ditujukan kepada keluarga yang
dalam hal ini adalah orang tua, keluarga memiliki peran penting dalam
pembentukan karakter remaja di masyrakat, karena keluarga adalah
lembaga terkecil dalam masyarakat yang pada gilirannya dapat berperan
membentuk masyarakat sebgaimana yang diharapkan.
15
Direktorat Urusan Agama Islam dan pembinaan Syri‟ah, Tuntunan Keluarga Sakinah
Bagi Remaja Usia Nikah Seri Pisikologi, (Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan
Syari‟ah, 2006) h. 36 16
Abu Daud, Sunan Abi Daud, juz I, (Beirut : Darulkitan al Arabi, tth) h.185
56
Salah satu cara membentuk karakter remaja yang baik adalah
dengan menciptakan suasana yang hangat dalam rumah tangga. Keluarga
merupakan benteng pertama dalam filterisasi arus buruk yang menimpa
remaja, namun juga tidak membatasi kretivitas remaja yang bernilai
positif. Selain itu mananamkan dan mensosialisasikan nilai moral yang
baik bagi remaja juga merupakan faktor penting dalam pembentukan
karakter remaja.
Posuo merupakan ritual yang menjadi sistem penanaman nilai-nilai
moral dan pembentukan karakter bagi gadis remaja yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut, dimana sebelum mereka mengikuti
ritual posuo ada rasa penasaran pada gadis remaja tersebut sehingga
berusaha menjadi lebih baik dan layak untuk diposuo agar bisa menjadi
gadis dewasa yang siap berumah tangga. Adapun unsur pendidikan yang
diajarkan dalam ritual posuo yaitu pendidikan kedisiplinan, pendidikan
kerumah tanggaan, dan pendidikan kemasyaratan17
yang kesemuanya
sangat berpengaruh pada seorang gadis remaja menuju kehidupan berumah
tangga nantinya.
Unsur pendidikan kerumah tanggaan dalam posuo dapat dilihat
dalam praktik pemberian bimbingan oleh para bhisa kepada gadis remaja
17
Iskandar Engku, Masalah PosuoBagi Gadis-Gadis Remaja Sebagai Alat Pendidikan di
Kabupaten Dati II Buton, (Baubau : Institut Agama Islam Negri Alaudin Ujung Pandang, 1982),
h.27
57
yang sementara menjalani posuo dengan materi pengajaran, antara lain
sebagai berikut :
a. Ketaatan/kepatuhan kepada orang tua (ayah dan ibu)
b. Kesetiaan kepada suami
c. Tatacara melayani suami dengan sebaik-baiknya
d. Pendidikan seksualitas
e. Kehidupan dalam rumah tanagga.18
Dalam ritual posuo diajarkan mengenai pembawaan diri yaitu
palego (pengaturan mengenai gerak saat berdiri) pakole (pengaturan gerak
saat duduk dan berbaring), mengenai nilai-nilai moral dan akhlak, juga
nilai sosial dari makanan yang diawali dengan posipo (disuapi oleh bhisa)
kemudian diajarkan menjaga bentuk tubuh dengan diet yang ketat (makna
secara jelas) dimana peserta hanya boleh makan sedikit yang terdiri dari
nasi dan telur rebus dibagi dua dengan yang memasak yang maknanya
agar bisa berbagi dan makanannya juga ditakar hanya sedikit agar peserta
posuo bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain diluaran sana yang
kadang makan kadang juga tidak (makna tersirat dari makanan yang
sedikit), juga diajari tentang bagaimana merawat diri dengan luluran dan
sejenisnya menggunakan bahan-bahan alami seperti kunyit dan beras yang
sudah dihaluskan.19
18
Iskandar Engku, Masalah PosuoBagi Gadis-Gadis Remaja Sebagai Alat Pendidikan di
Kabupaten Dati II Buton,h.29 19
Wawancara Pribadi dengan Naasifa, Baubau, 20 juli 2016.
58
Dari hasil penelitian dan mengenai pembentukan karakter pada
gadis remaja, pada umumnya yang paling berperan adalah orang tua,
namun bagi masyarakat Buton, posuo merupakan ritual yang sejak awal
telah membentuk karakter para remaja sebelum menjadi gadis dewasa dan
siap berumah tangga, dimana saat usia remaja para gadis merasa penasaran
tentang posuo sebagaimana diungkapkan oleh beberapa narasumber
mengenai perasaan saat akan diposuo mereka mengaku merasa senang
karena sebelumnya sangat penasaran dengan apa yang akan diajarkan
dalam posuo nanti, sehingga menjaga sikap sebelum diposuo karena
terdapat mitos bahwa ritual posuo merupakan ritual untuk menguji
kesucian (keperawanan) gadis Buton.
Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber yang lain juga
yang mengaku sangat senang ketika mengetahui akan diposuo karena dulu
saat remaja mereka sangat penasaran mengenai posuo dan mereka
disugestikan oleh orang tua untuk berperilaku baik agar bisa diposuo.
Selanjutnya saat di dalam ruang suo juga mereka diajarkan
mengenai bagaimana merewat diri, menjaga moral dan tingkah laku
sebagai seorang gadis dewasa, namun saat ditanya apakah mereka
diajarkan kehidupan rumah tangga ada yang mengaku tidak diajarkan, ada
yang mengaku diajarkan secara sersirat melalui ramalan-ramalan masa
depan dan jodoh yang kemudian bagi para narasumber yang berstatus ibu
rumah tangga merasa bahwa apa yang diajarkan dalam posuo itu, termasuk
kehidupan rumah tangga yang hanya secara tersiratpun bagi mereka sangat
59
berdampak kepada keutuhan rumah tangga mereka yang harmonis hingga
kini karena bagi mereka suami mereka adalah takdir yang sudah
diramalkan saat posuo yang awalnya mereka tidak percaya tapi setelah
mengalaminya mereka meyakini adanya kebenaran dari ramalan tersebut
tapi bagi mereka itu sudah takdir dari Allah.
Pengakuan narasumber di atas sejalan dengan penuturan tokoh
agama juga yang menerangkan mengenai adanya pengajaran kehidupan
rumah tangga yang pada umumnya hanya tersirat dan tidak secara
gamblang atau jelas akan tetapi posuo juga menandakan bahwa setelah ini
anaknya sudah dewasa dan bisa diajarkan tentang kehidupan berumah
tangga, jadi ritual posuo hanya sebagai simbol peralihan masa ke dewasa,
karena yang akan mengajarkan kehidupan rumah tangga secara jelas
adalah langsung dari orang tua dan juga menjadi doa bahwa setelah
diposuo anak gadisnya yang sudah dewasa segera menikah.20
Selain itu juga ada penuturan seorang narasumber yang mengaku
diajarkan secara jelas tentang kehidupan rumah tangga saat diposuo yang
kemudian sangat berdampak baik pada kehidupan rumah tangga mereka
seperti pengakuannya sebagai berikut :
“Pada saat posuo saya diajarkan kehidupan berumah tangga karena
kebetulan pada saat itu saya sudah berusia 23 tahun sebagai doa juga agar
saya segera menikah jadi orang tua saya yang meminta langsung kepada
bhisa agar saya diajarkan bagaimana nanti kalau sudah bersuami harus
bersikap dewasa, sabar, harus baik kepada mertua, juga batasan-
batasannya. Jadi ajaran saat diposuo sangat membekas kepada saya. Inti
20
Wawancara Pribadi dengan La Ode Aslan Azis, Baubau, 21 juli 2016.
60
dari posuo itu kita diajarkan untuk berbakti kepada orang tua saat gadis
dan kepada mertua jika sudah menikah nanti. Karena perempuan itu saat
gadis dia adalah tanggung jawab orang tuanya dan saat menikah dia adalah
tanggung jawab suami sehingga perempuan harus berbakti pada suami dan
orang tua suami (mertua).”21
Informasi lain yang didapat dari bhisa yang dalam hal ini dua
orang yang dijadikan narasumber, mengaku bahwa Kehidupan rumah
tangga diajarkan dalam posuo tapi hanya secara tersirat melalui pengejaran
moral dan tingkah laku karena itu akan menjadi kebiasaannya hingga
kehidupan berumah tangga tapi tidak diajarkan secara jelas dan rinci
kecuali bagi peserta posuo yang sudah pasti akan menikah setelah ritual
posuo usai atau sudah jelas calonnya melamar hingga setelah posuo
langsung menikah maka diajarkan secara rinci tentang bagaimana bersikap
sebagai seorang istri atau jika orang tua peserta posuo meminta diajarkan
kehidupan berumah tangga dalam posuo kepada bhisa maka akan
diajarkan secara jelas juga.22
Adapun manfaat yang didapat dari ritual posuo secara umum
adalah sebagai pembersih diri bagi seorang gadis untuk menuju kehidupan
dewasa, karena jika tidak posuo rasanya tidak akan lengkap sehingga
posuo merupakan pelengkap gadis untuk sampai ke masa dewasa untuk
kehidupan berumah tangga,23
menurut salah seorang peserta yamg baru
resmi menjadi gadis dewasa (secara adat) menuturkan manfaat posuo
adalah ritual posuo sangat bermanfaat untuk menjadi diri yang lebih baik
21
Wawancara Pribadi dengan Nurjaya, Baubau, 21 juli 2016. 22
Wawancara pribadi dengan Naasifa, Baubau, 20 juli 2016. 23
Wawancara Pribadi dengan Wa Ode Mulima, Baubau, 29 juli 2016.
61
lagi ketika menjadi dewasa,24
dan bagi mereka yang sudah menikah
berpendapat bahwa manfaat posuo adalah untuk menjadikan rasa lebih
percaya diri untuk berumah tangga dan apa yang dulunya kita tidak tahu
menjadi tahu, memahami karakter suami, cara berbicara, sopan santun
kepada suami.25
Selanjutnya diperjelas menurut tokoh agama bahwa
manfaat posuo adalah sebagai pembiasaan bagi para gadis sebelum menuju
kehidupan berumah tangga hingga nanti berkeluarga dan berumah tangga
dan makna posuo adalah untuk mendoakan kebaikan hidup gadis remaja
setelah dewasa nanti semoga menjadi lebih baik. 26
Dari uraian para narasumber di atas sangat jelas disebutkan bahwa
posuo sangat berperan penting dalam pembentukan karakter gadis remaja
yang ada di Buton hingga mereka menjadi gadis dewasa menurut ukuran
adat, yang kemudian secara alami terus terbentuk dan diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari dan selanjutnya menciptakan kematangan fisik
maupun mentar untuk memasuki kehidupan berumah tangga, dan saat
kehidupan berumah tangga nanti rumah tangga tersebut menjadi harmonis
dan menjadi perwujudan dari sebuah tujuan pernikahan yaitu membentuk
keluarga yang sakinah mawaddah warahmah.
24
Wawancara Pribadi dengan Wa Ode Deviarni, Baubau, 23 Juli 2016. 25
Wawancar Pribadi dengan Nurjaya, Baubau, 21 juli 2016. 26
Wawancara Pribadi dengan La Ode Aslan Azis, Baubau, 21 juli 2016.
62
C. Analisis Tentang Kekhususan Perempuan Sebagai Peserta dalam
Ritual Posuo Adat Buton.
Kehidupan rumah tangga menuntut peran penting bagi pihak laki-
laki maupun perempuan untuk berbagi peran dan tugas serta menjadi
tanggung jawab bersama dalam mewujudkan keluarga bahagia, namun
dalam konsep perkawinan tradisional berlaku pembagian dan peran suami
istri dimana segala urusan rumah tangga dan pengasuhan anak menjadi
tanggunjawab istri, sedangkan suami bertugas mencari nafkah. Hal ini
ternyata sesuai dengan konsep Islam dalam rumah tangga dimana
perempuan memiliki peran penting dalam rumah tangga dalam hal
mengurus rumah tangga dan mendidik putra serta putri (anak-anak) yang
membanggakan.
Masyarakat Buton sendiri memiliki konsep perkawinan yang masih
tradisional dimana perempuan lebih banyak mengurus urusan rumah
tangga dan pengasuhan anak, walaupun seiring perkembangan zaman
sudah banyak perempuan yang aktif di luaran rumah seperti mengajar serta
bekerja di lingkungan pemerintah dan mendelegasikan urusan rumah
tangga kepada asisten rumah tangga tetapi tidak melupakan kodratnya dan
fungsinya dalam rumah tangga sehingga menjadikan rumah tangganya
menjadi harmonis dan bahagia.
63
Potret keluarga harmonis dan bahagia yang terlihat dilingkungan
masyarakat Buton tentu tidak serta merta berlangsung begitu saja
melainkan melalui proses pembentukan individu-individunya terkhusus
bagi perempuan karena memiliki peran penting dalam rumah tangga
nantinya. Pembentukan individu tersebut sudah ada sejak zaman kerajaan
yang kemudian berubah menjadi kesultanan dan masih terus berlangsung
hingga sekarang yaitu dengan adanya ritual posuo yang hanya terkhusus
bagi para perempuan, baik pesertanya maupun pendamping yang akan
mengajari mereka selama hari yang telah ditentukan dalam ritual.
Seiring perubahan zaman yang terus berkembang dan menjadi
lebih maju, tidak merubah ritual posuo turun temurun masyarakat yang
dulunya kesultanan Buton hingga menjadi masyarakat eks Kesultanan,
sebagaimana diungkapkan oleh narasumber bahwa tidak ada perbedaan
dalam ritual posuo pada zaman kesultanan dan sekarang karena
masyarakat dan tokoh adat masih terus mempertahankan nilai-nilai luhur
yang ada dalam posuo,27
selain itu narasumber lainnya berpendapat bahwa
Tidak ada perbedaan dalam ritual posuo zaman kesultanan dengan
sekarang, jika ada mungkin dalam segi hari untuk posuo biasanya 4
sampai 8 hari, dulu biasanya masyarakat lebih memilih 8 hari untuk lebih
menambah kesakralan dari ritual posuo tapi sekarang lebih di percepat
menjadi 4 hari karena sekarang banyak yang sekolah dan punya
kepentingan, jadi untuk tetap melestarikan ritual ini kebanyakan
27
Wawancara Pribadi dengan La Ode Aslan Azis, Baubau, 21 juli 2016.
64
masyarakat lebih memilih yang 4 hari.28
Selain itu bagi masyarakat Buton
semua gadis Buton harus diposuo sebagaimana diungkapkan semua
narasumber yang sepakat mengatakan keharusan semua gadis Buton
diposuo karena dari sinilah sebuah kehidupan seorang gadis dewasa
(kalambe) dimulai sehingga sebelum memulainya harus terlebih dahulu
diberikan pengajaran-pengajaran dasar yang terus membentuk perilakunya.
Bagi masyarkat Buton sendiri tidak ada kesulitan dalam
pelaksanaan ritual Posuo, baik dari segi persiapan maupun dalam prosesi
ritualnya, sebagaimana penuturan narasumber yang merupakat tokoh adat
bahwa :
“Bagi masyarkat Buton, tidak ada kesulitan dalam pelaksanaan ritual
Posuo karena semua masyarkat berusaha melestarikan budaya Posuo ini
dengan menyelenggarakannya, jika ada kendala dalam hal ekonomi maka
dilaksanakan Posuo satu malam menjelang pernikahan sebagai syarat
terpenuhinya satu siklus (Posuo) sebelum siklus selanjutnya
(perkawinan).”29
Selanjutnya ditambahkan oleh bhisa yang merupakan tokoh adat
perempuan yang langsung mendampingi peserta posuo bahwa “Tidak ada
kesulitan dalam ritual posuo karena sudah merupakan tradisi dan semua
masyarkat paham akan ritual tersebut, paling dalam prosesinya pada saat
malona tangia, kami para bhisa berusaha membuat peserta posuo untuk
menangis karena ada mitos yang mengatakan jika peserta tidak menangis
ada pertanda buruk untuk masa depannya.”30
28
Wawancara Pribadi dengan Wa Ode Mulima, Baubau, 29 juli 2016. 29
Wawancara Pribadi dengan H. ML. Raziluddin, Baubau, 04 Agustus 2016. 30
Wawancara Pribadi dengan Wa Ode Mulima, Baubau, 29 juli 2016.
65
Adapun alasan kekhususan dalam ritual ini yaitu hanya bagi para
gadis atau perempuan saja, menurut peneturunan narasumber adalah
dikarenakan perbedaan keseharian laki-laki dan perempuan dan pola
hidupnya, laki-laki bisa mendapatkannya pelajaran di masyarakat laur
yang luas sedangkan perempuan zaman dulu hanya di rumah dan kalau
keluar harus ada yang menemani.31
Alasan lain juga dikarena Perempuan
mempunyai peran besar dalam rumah tangga nantinya sehingga harus
diajarkan sejak dini segala hal melalui ritual posuo, juga sebagai tanda
bahwa gadis remaja sudah menjadi dewasa sehingga setelah posuo sudah
bisa dilamar.32
Selain itu, Engku dalam penelitian menjelaskan bahwa pada
umumnya gadis-gadis remaja sudah menjadi kebiasaannya untuk
membantu orang tuanya, seperti memasak, menjahit dan sebagainya dalam
pekerjaan rumah tangga, bahkan kadang-kadang mengasuh adik-adinya,
namun suatu kenyataan yang tidak dapat dielahkan bahwa pada umumnya
pula gadis tersebut sering menghabiskan waktunya hanya mengobrol
dengan teman-temannya, bahkan kadang-kadang saling mencelah dan
mengejek satu sama lain. Sikap seperti inilah yang perlu mendapatkan
perobahan setelah mereka melalui upacara posuo yang menjadikan
31
Wawancara Pribadi dengan Naasifa, Baubau, 20 juli 2016. 32
Wawancara Pribadi dengan H. ML. Raziluddin, Baubau 04 Agustus 2016.
66
semakin baiknya pribadi seorang gadis, yang tentu semakin baik pula
kelakuan dan tingkah lakunya dalam praktek kehidupannya sehari-hari.33
Seperti halnya alasan peran yang lebih besar bagi perempuan
dalam rumah tangga maka posuo ibaratnya seperti mengumumkan masa
peralihan seorang gadis dari remaja ke dewasa yang menandakan bahwa
perempuan tersebut sudah bisa menikah, karena pada umumnya
perempuan itu menunggu jadi biasanya kalau seorang gadis sudah diposuo
maka tidak lama lagi akan menikah.34
Dari penelitian yang dilakukan, ternyata ritual posuo sangat
berdampak positif bagi para perempuan di Buton dalam menjalani
kesehariannya yang terus tercermin dalam sopan santun dan budi pekerti
seorang gadis hingga dewasa dan menikah, kemudian membimbing anak-
anaknya seperti bagaimana perilakunya dibentuk sebagai individu yang
berbudi pekerti dalam masyarakat.
Penyelenggaraan ritual posuo bagi gadis remaja memberi pengaruh
besar terhadap perubahan sikap mereka baik fisik maupun mental, serta
dapat meningkatkan kedisiplinan pribadi seorang gadis, sehingga mereka
33
Iskandar Engku, Masalah PosuoBagi Gadis-Gadis Remaja Sebagai Alat Pendidikan di
Kabupaten Dati II Buton, (Baubau : Institut Agama Islam Negri Alaudin Ujung Pandang, 1982),
h.20 34
Wawancara Pribadi dengan Wa Ode Mulima, Baubau, 29 juli 2016.
67
dapat mengerti status dan kedudukannya dalam rumah tangga dan dalam
masyarakat.35
Akan tetapi hasil penelitian ini berbeda dengan data kongrit yang
di dapat dari Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama (BADILAG)
Mahkama Agung tengtang laporan perkara yang diterima dan diputus oleh
Pengadilan Agama Baubau yang menrengkan bahwa selama lima tahun
terakhir ini angka perceraian gugat lebih tinggi dibandingkan dengan
perceraian talak, pada tahun 2012 misalanya, jumlah perkara cerai talak
yang dikabulkan oleh Pengadilan Agama Baubau sebanyak 79 perkara,
angka ini lebih kecil dibandingkan dengan jumlah perkara cerai gugat
yang kabulkan yaitu sebanyak 225 perkara dan angka perkara cerai gugat
ini terus meningkat pada tahun 2016 yaitu sebanya 244 perkara yang
dikabulkan dibandingkan angka perkara cerai talak yang mengalami
sedikit penurunan yaitu sebanyak 93 perkara yang dikabulkan.36
Hal tersebut menerangkan bahwa kekhususan perempuan sebagai
peserta dari ritual posuo berdampak positif bagi pembentukan karakter
individu para perempuan di Buton, namun belum bisa menekan angka
perkara cerai gugat di Pengadilan Agama Baubau.
35
Iskandar Engku, Masalah PosuoBagi Gadis-Gadis Remaja Sebagai Alat Pendidikan di
Kabupaten Dati II Buton, (Baubau : Institut Agama Islam Negri Alaudin Ujung Pandang, 1982),
h.31. 36
Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama MA RI, “Laporan Tentang Perkara yang
Diterima dan Diputus-L1PA.8Pengadilan Agama Baubau, Laporan diakses pada 14 Oktober 2016
dari http://badilag.net/rekap-perkara-diterima-dan-diputus.
68
D. Tinjauan Hukum Islam Mengenai Ritual Posuo
Posuo merupakan tradisi masyarakat Buton yaitu pingitang untuk
menandai masa peralihan dari seorang gadis remaja (kabuabua) menjadi gadis
dewasa (kalambe). Dalam syariat Islam tidak ada pembahasan rinci dan jelas
mengenai pengadaan pingitan untuk menandai masa peralihan seorang
individu dari remaja menuju dewasa. Namun pada prakteknya posuo
merupakan tradisi yang sudah berlangsung bahkan sejak pra Islam dan budaya
ini terus dilestarikan oleh masyarkat dan menjadi adat atau kebiasaan,
sebagaimana dalam kaidah fiqih menyebutkan bahwa:
العادة محكمة
“Adat itu dapat menjadi dasar hukum”
Adat atau dalam istilah ushul fiqh disebut ‘urf yaitu (tradisi) adalah
bentuk-bentuk mu’amalah (hubungan kepentingan) yang telah menjadi
adat kebiasaan dan telah berlangsung ajeg (konstan) di tengah
masyarakat.37
Adat yang dimaksud yaitu kebiasaan yang dalam perbuatan
itu terdapat unsur manfaat dan tidak ada unsur mudharat atau unsur
manfaatnya lebih besar dari unsur mudharatnya serta adat yang pada
prinsipnya secara substansial mengandung unsur maslahat. „Urf sendiri
terbagi menjadi beberapa aspek :
37
Prof Muhammad Abu Zahrah, Ushul fiqih, (Jakarta :PT.Pustaka Firdaus, 2011) h.416
69
a. Dari segi objeknya ‘urf terbagi menjadi 2 yaitu „urf qauly yaitu kebiasaan
berupa ucapan dan „urf amaly yaitu kebiasaan berupa perbuatan.
b. Dari segi cakupannya, urf dibagi menjadi 2 yaitu „urf Aam (umum) dan
„urf Khas (khusus). Urf Aam (umum) yaitu kebiasaan yang telah di
sepakati semua manusia di seluruh Negara misalanya mandi, berpakaian
dan menjaga kebersihan. Sedangkan ‘urf khas (khusus) yaitu kebiasaan
yang di sepakati manusia pada sebagian wilayah, golongan atau penduduk
Negara tertentu, seperti tradisi adat tertentu.
c. Dari aspek keabsahan penilaian baik dan buruknya, ‘urf terbagi menjadi 2
macam, yaitu „urf sahih dan „urf fasid. „Urf sahih ialah sesuatu yang
telah saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil
syara‟, juga tidak menghalalkan yang haram dan juga tidak membatalkan
yang wajib. Sedangkan ‘urf fasid yaitu apa yang saling dikenal orang, tapi
berlainan dari syariat, atau menghalalkan yang haram, atau membatalkan
yang wajib.
Ulama yang mengamalkan adat sebagai dalil hukum menetapkan 4
syarat dalam pengamalannya:
a. Adat itu bernilai maslahat.
b. Adat itu berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang yang berada
dalam lingkungan tertentu.
c. Adat itu telah berlaku sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
70
d. Adat itu tidak bertentangan dengan nash.38
Kaidah ‘adah muhakkamah’ ini dalam praktisnya mengakui
budaya lokal dan memberikan sinar serta sentuhan keagamaan pada tradisi
tersebut jika bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam suatu ritual budaya,
terdapat nilai lokalitas budaya dan universalitas ajaran Islam yang sudah
bersinergi dan terinternalisir dalam budaya sebagai bukti kepedulian Islam
dalam budaya leluhur dengan strategi Islamisasi budaya, sebagaimana
posuo yang sudah ada sejak zaman pra Islam dan kemudian mengadopsi
ajaran-ajaran Islam dalam pelaksanaan ritualnya, hal ini sesuai dengan
penuturan salah satu narasumber bahwa :
“Setelah adanya kesultanan Buton maka semua ritual dan kebiasaan
masyarakat Buton baik di lingkungan keraton maupun di masyarakat
semuanya berdasarkan Agama Islam. Sehingga ritual posuo sangat
berhubungan dengan Islam”39
Budaya lokal sangat berperan penting dalam proses formulasi
hukum Islam, posuo merupakan bentuk implementasi budaya lokal yang
sebelumnya bernuansa Hindu Budha yang kemudian diintrepretasikan ke
dalam hukum Islam yang dalam hal ini merupakan adat kebiasaan
masyarakat Buton. Ritual posuo, dari segi objeknya termasuk kedalam al
‘urf al-‘amali, yakni kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan
perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. Sedangkan dari segi
cakupannya, ritual posuo termasuk ke dalam al ‘urf al-khash yakni
kebiasaan yang berlaku di masyarakat dan di daerah tertentu, dalam hal ini
38
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1996), h. 144 39
Wawancara Pribadi dengan H. ML. Raziluddin, Baubau, 04 Agustus 2016.
71
ritual merupakan tradisi khusus di Kesultanan Buton dan kemudian terus
dilestarikan oleh masyarakat Buton hingga sekarang. Adapun dalam segi
keabsahannya dari pandangan syara‟, ritual posuo termasuk kedalam Al-
‘urf al-shahih yakni kebiasaan yang berlaku di masyarakat yang tidak
bertentangan dengan nash (ayat atau hadis), tidak menghilangkan
kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka.
Akan tetapi, nilai-nilai budaya pra Islam yang masih dipertahankan
menjadikan adanya percampuran antara ‘urf shahih dan ‘urf fasid yang
berlainan dengan syariat yang akan membawa kepada kesyirikan
sebagaimana terlihat pada ramalan-ramalan masa depan mengenai jodoh
dan sapuan asap dupa (phanimpa) pada peserta posuo.
Menurut masyarakat Buton sendiri ritual posuo merupakan do‟a
orang tua kepada anaknya agar kelak menjadi peribadi yang baik dan
perempuan yang anggun dengan budi pekerti dan tingkah laku yang
berbudi, sebagaimana penuturan nara sumber sebagai berikut :
“Agama Islam berdasarkan kebaikan, sebagaimana Rasul diutus sebagai
penyempurna akhlak, dalam posuo juga di ajarkan tentang kebaikan dan
pembentukan ahlak yang baik sehingga posuo sangan berkaitan erat
dengan Agama Islam karena posuo adalah ritual yang dibungkus dengan
Agama. Jadi makna posuo adalah untuk mendoakan kebaikan hidup gadis
remaja setelah dewasa nanti semoga menjadi lebih baik.”40
Dari penuturan di atas dapat dipahami bahwa masyarakat Buton
menjadikan posuo sebagai pembentuk perilaku berbudaya di masyarakat
yang dapat tercermin dari segala hal sehingga meningkatkan kualitas
40
Wawancara Pribadi dengan La Ode Aslan Azis, Baubau, 21 juli 2016.
72
individu dan masyarakatnya, sebagaimana al-Qur‟an telah meletakkan
dasar yang kuat mengenai tatakrma, firman Allah :
في رسول اله أسوة حسنة لمه كان يرجو اله واليوم الآخر وذكر اله لقد كان لكم
(12(:33)األخزاب) كثيرا
Artinya : “Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suritauladan yang
baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharapa rahmat Allah dan
kedatangan hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah (Qs. Al-Ahzab
(33) : 21)
Ayat di atas menjelaskan bahwa dalam diri pembawa risalah Al-
qur‟an sendiri yaitu Muhammad saw telah ada suri tauladan atau budi
pekerti yang baik dan Dia diutus sebagai penyempurna akhlak (perilaku)
ummat sebagaimana ritual posuo sebagai salah satu pembentuk karakter
bagi para remaja dalam mempersiapkan diri dan memotivasi diri menuju
kehidupan berumah tangga dan mengerti statusnya dalam masyarakat.
73
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan seluruh uraian dan pembahasan yang telah dikemukakan
dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan akhir sebagai berikut :
1. Makna filosofis yang terkadung dalam ritual posuo adalah sebagai tanda
bagi masa peralihan seorang perempuan dari remaja menjadi dewasa
dengan mengasingkan diri orang-orang dan lingkungan sekitar untuk
merenung kehidupan serta masa depannya dan belajar memperbaiki diri
agar lebih baik untuk menuju kehidupan gadis dewasa yang akan berumah
tangga.
2. Posuo merupakan ritual yang menjadi sistem penanaman nilai-nilai moral
dan pembentukan karakter bagi gadis remaja yang meliputi komponen
pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai tersebut, di mana sebelum mereka mengikuti ritual posuo ada
rasa penasaran pada gadis remaja bagaimana berada dalam suo (ruangan
untuk ritual posuo) nanti sehingga berusaha menjadi lebih baik dan layak
untuk diposuo agar bisa menjadi gadis dewasa yang siap berumah tangga,
dan hal ini sudah ditanamkan sejak kecil oleh orang tua khususnya ibu si
gadis agar gadis tersebut menjaga sikap dan tingkah laku sehingga ketika
remaja menuju dewasa, gadis tersebut akan siap memasuki masanya.
74
3. Kekhususan perempuan sebagai peserta dalam ritual posuo ini adalah
untuk mengumumkan telah dewasanya perempuan yang dulunya gadis
remaja dan bisa dilamar karena pada kebiasaannya perempuan menunggu
untuk dilamar dan untuk menandakan kebolehan dilamar ini dengan
mengadakan posuo dan setelah selesainya pasuo maka perempuan biasa
dilamar serta untuk pembimbingan lebih intensif bagi perempuan dimana
perempuan memiliki peran besar dalam rumah tangga nantinya serta
membentuk perilaku dan budi pekerti bagi anak-anaknya. Akan tetapi
kekhususan perempuan sebagai peserta dalam ritual posuo ini belum bisa
menekan angka perceraian dalam perkara cerai gugat di Pengadilan
Agama Baubau.
4. Ritual Posuo merupakan ritual yang sudah ada sejak sebelum masuknya
Islam di Buton dan kemudian ritual tersebut diintrepretasikan ke dalam
Hukum Islam dan merupakan tradisi yang relevan dengan hukum Islam
karena merupakan kebiasaan yang telah berlangsung di masyarakat yang
membawa maslahat dan tidak menimbulkan kemudharatan dimana dalam
posuo ini diajarkan membentuk akhlak dan budi pekerti yang baik bagi
perempuan secara individu yang akan diwariskan kepada anak cucu kelak,
namun masih ada nilai-nilai ritual yang berlainan dengan syariat Islam
yang bisa membawa kepada kesyirikan
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis mengemukakan beberapa saran
sebagai berikut :
75
1. Diharapkan kepada seluruh masyarakat untuk terus mempertahankan
budaya dan kearifan lokal yang dapat membentuk perilaku dan mengontrol
kehidupan sosial kemasyarakatan khususnya dalam hal ritual budaya-
budaya lokal sehingga dapat menghindari kepunahan budaya tersebut.
2. Diharapkan kepada para akademisi agar melakukan kajian yang lebih
mendalam lagi untuk menambah literature dan bahan referensi dalam
ranah keilmuan mengenai ritual posuo, baik dari segi sikologi, sosial,
budaya, serta lebih memperhatikan lagi aspek yang berkaitan dengan adat
dan Hukum Islam.
3. Diharapkan kepada masyarakat Buton agar tetap menjaga dan terus
melestarikan ritual posuo dengan menghilangkan unsur-unsur yang dirasa
bertentangan dengan syariat yang bisa membawa kepada syirik sehingga
arus moderenisasi dan kemajuan teknologi tidak dapat menggeser
kedudukan budaya leluhur dan mempertahankan nilai-nilai moral terutama
nilai-nilai keislaman sampai generasi penerus nantinya, serta untuk
menekan angka perceraian khususnya perkara cerai gugat.
ix
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, 2013.
Abu, Zahrah, Muhammad, ushul Fiqih, Jakarta : PT. Pustaka Firdaus, 2011.
Abu Daud, Sunan Abi Daud, juz I, (Beirut : Darulkitan al Arabi : t.th.
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2012.
Al- Bukhari, Shahih Bukhari, juz II, (Beirut : Darulkitan al Arabi :1422
Alifuddin, Muhammad, Islam Buton : Interaksi Islam Dengan Budaya Lokal,
Jakarta : Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2007.
Ali, Mohammd dan Asrori, Muhammad, Pisikologi Remaja (Perkembangan
Peserta Didik), Jakarta : PT. bumi Aksara, 2011.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Baubau, Kota Baubau dalam Angka :Baubau
Municipality in Figures, 2016, Baubau : Cv. Kainawa Molagina, 2016.
Ch, Mufida, pisikologi Kelurga Berwawasan Gender, Malang : UIN Malang
Press, 2008.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat Istiadat Daerah Sulawesi
tenggara, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Sulawesi
Tenggara, 1978.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta : Balai Pustaka, 2000.
Direktorat Badan Pembinaan Peradilan Agama, Kompilas Hukum Islam, Jakarta :
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2001.
Direktorat Urusan Agama Islam dan pembinaan Syri’ah, Tuntunan Keluarga
Sakinah Bagi Remaja Usia Nikah Seri Pisikologi, Jakarta: Direktorat
Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syari’ah, 2006.
Direktorat Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Dep.Agama RI, Pedoman
Konselor Keluarga Sakinah, Jakarta : Direktorat Masyarakat Islam dan
Penyelenggara Haji Dep. Agama RI 2002.
Drajat, Zakiah, Prof, Dr, Hj, , Remaja : Harapan dan Tantangan, CV. Ruhama,
2001.
Elizabeth, Hurlock, Pisikologi Perkembangan (Terjemahan), Jakarta : Penerbit
Erangga, 1992.
x
Engku, Iskandar, Masalah Posuo Bagi Gadis-Gadis Remaja Sebagai Alat
Pendidikan di Kabupaten Dati II Buton, Baubau : Institut Agama Islam
Negri Alaudin Ujung Pandang, 1982.
Fadlullah, Sayyid, Muhammad, Husain, Dunia Remaja : Tanya Jawab Seputar
Pergaulan dan Problematika Remaja, Jakarta : Pustaka Hidayah, 2005.
Fahimuddin, Mu’Min, Ed, Menafsir Ulang Sejarah dan Budaya Buton, Baubau :
Penerbit respect, 2011.
Haroen Nasrun, Ushul Fiqh 1, Jakarta : Logos, 1996.
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an dan Hadits, Jakarta :
Tintamas, 1982.
J.Goode, William, Sosiologi Keluarga, Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2007.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta : Balai Pustaka, 2000.
Lestari, Sri, Pisikologi Keluarga (Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik
dalam Keluarga),Jakarta : Prenada Media Grup, 2013.
Lightvoet, A, Beschrijving en Geschi edenis van Boeton, dalam BKI, Vol. 26, s-
Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1987.
M. Thaib, Analisa Wanita dalam Bimbingan Islam,Surabaya : Al-Iklas,1987.
Modul pembinaan keluarga sakinah, Jakarta : departemen Agama RI ,2000.
Nazar Bakri, Sidi, Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Keluarga yang Sakinah),
Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1993.
R.Gultom, Elfrida, Hukum Waris Adat di Indonesia, Jakarta : Literata, 2010.
Setiono, Kusdwiratri, Pisikologi Keluarga, Banung : PT.Alimni, 2011.
Singh, N.K dan Agwan, A.R, Encyclopeadia of the Holy Qur’an, New Delhi :
Balaji Offset, 2000.
Soekanto, Soejono, Hukum Adat di Indonesia, Jakarta : Rajawali Pres, 2015.
Subhan, Zaitunah, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, Jakarta : el-
Kahfi, 2008.
Sutopo, Aristo Hadi, dan Adrianus Arief, Terampil Mengolah Data Kualitatif
Dengan NVIVO, Jakarta : Prenada Media Group, 2010.
Syarifudddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta : Perda Media
Group, 2006.
xi
Tahido Yanggo, Huzaemah, Hukum Keluarga dalam Islam, Jakarta : Yayasan
Masyarakat Indonesia Baru, 2013.
Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta : UI-Press, 1986.
Yunus, Abdul Rahim, Posisi Tasawuf Dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan
Buton Abad ke-19, Jakarta : INIS, 1995.
Zuhdi, Susanto dkk, Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara : Kesultnan Buton,
Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1996.
Jurnal, Skripsi, Undang-Undang dan Website.
Alifuddin, Muhammad, Signifikansi Upacara Siklus Posuo dalam Membangun
Semesta Kepribadian Remaja Wanita Pada Masyarakat Buton, Al-
Izzah X. NO. 1, Juli 2015.
Razak, Yusniar, “Kedudukan Perempuan (Bhisa) dalam Tradisi Perkawinan Adat
Buton”, Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Dayanu Ikhsanuddin, Baubau, 2014.
Undang-Undang Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
http://badilag.net/rekap-perkara-diterima-dan-diputus (Diakses hari Jum’at 14
Oktober 2016).
DAFTAR NARASUMBER
No Nama Jabatan Jumlah
1 La Ode Aslan Azis Tokoh Adat 1 orang
2 H. LM. Razinuddin, SE, M.Si Tokoh Agama 1 orang
3 Naasifa
Wa Ode Mulima
Bhisa (Tokoh Adat
Perempuan)
2 orang
4 Nur Jaya
Wa Ode Nuriati
Wa Emi
Ibu Rumah Tangga 3 orang
5 Kiki Masria
Wa Ode Deviarni
Dewi Asrifa
Kalambe (gadis yang
telah diposuo)
3 orang
Total 10 orang
PEDOMAN WAWANCARA
1. Apakah makna filosofis dari ritual posuo ?
2. Bagaimana pandangan masyarakat tentang ritual posuo ?
3. Apakah ada kesulitan dalam pelaksanaan ritual posuo ?
4. Apakah perbedaan ritual posuo pada masa Kesultanan dengan ritual
posuo sekarang ?
5. Materi-materi apa yang di ajarkan dalam ritual posuo ?
6. Apakah dalam ritual posuo juga diajarkan tentang kehidupan berumah
tangga ?
7. Mengapa gadis remaja dipilih menjadi peserta dalam ritual posuo ?
8. Apakah semua gadis Buton diposuo ?
9. Apa manfaat dari pelaksanaan ritual posuo ?
10. Bagaimana relevansi ritual posuo dengan Hukum Islam ?
HASIL WAWANCARA
Nama : La Ode Aslan Aziz
Status : Tokoh Agama
Hari/tanggal : kamis 21 juli 2016
Tempat : kediamannya
1. Apa Sapaan Masyarakat kepada Anda ?
Jawab :
Abha.
2. Apakah Abah Asli Buton ? Buton Manakah ?
Jawab :
Saya Asli Buton, Buton Wolio.
3. Apakah Abah ketahui tentang Posuo ? Apa itu Posuo ?
Jawab :
Posuo dalam bahasa Indonesianya pingitan, dimana pingitan itu menandakan
peralihan dari gadis remaja menjadi gadis dewasa yang dilakukan selama 4-8
hari didamping oleh bhisa (tokoh adat perempuan) yang di dalamnya
diajarkan tentang tatakrma untuk diri sendiri dan untuk masyarakat.
4. Apakah dalam ritual Posuo diajarkan tentang kehidupan berumah tangga ?
Jawab :
Pada umumnya orang Buton, bagi anak gadisnya yang sudah Posuo berarti
setelah Posuo sudah menjadi gadis dewasa dan siap menerima lamaran,
sehingga di dalam Posuo juga diajarkan kehidupan berumah tangga tapi hanya
tersirat saja tidak secara jelas dan gamblang, akan tetapi posuo juga
menandakan bahwa setelah ini anaknya sudah bisa di ajarkan tentang
kehidupan berumah tangga, jadi ritual posuo hanya sebagai simbol, karena
yang akan mengajarkan adalah orang tuanya langsung dan juga menjadi doa
bahwa setelah diposuo anak gadisnya yang sudah dewasa segera menikah.
5. Apa semua gadis Buton Harus diposuo ? Mengapa ?
Jawab :
Harus diposuo, karena itu merupakan tradisi turum temurun yang harus di
lestarikan. Jika ada kendala dalam melaksanakan posuo maka biasanya di
laksanakan saat malam sebelum perkawinan hanya sebagai syarat telah
terpenuhunya salah satu ritual (posuo) sebelum ritual lainnya (perkawinan).
Biasanya yang diadakan satu malam menjelang pernikahan maka itu diajarkan
juga mengenai kehidupan berumah tangga secara gambling dan jelas oleh
bhisa (tokoh adat perempuan).
6. Adakah perbedaan posuo dulu dimasa kesultanan dan sekarang ?
Jawab :
Tidak ada perbedaannya, karena masyarakat dan tokoh adat masih terus
mempertahankan nilai-nilai luhur yang ada dalam posuo. Masyarkat mengenal
tiga jenis posuo yaitu posuo Wolio yaitu ritual pingitan berdasarkan adat asli
Wolio yang sudah belangsung sejak zaman nenek moyang orang Wolio, posuo
Johoro yaitu pingitan berdasarkan tradisi Johor-Melayu mengingat secara
historis kerajaan Buton (sebelum menjadi Kesultanan) didirikan oleh imigran
dari Johor-Melayu yang dikenal dengan mia patamiana, dan posuo Arabu
yang pertama kali diperkenalkan oleh Kinepulu Bula (Syekh Haji La Ode
Abdul Ganiyu) yang merupakan seorang ulama besar dimasa Sultan La Ode
Muhammad Idrus Qaimuddin Al-Butuny, Sultan Buton kedua puluh dua.
7. Apa manfaat dari ritual posuo ?
Jawab :
Manfaat posuo adalah sebagai pembiasaan bagi para gadis sebelum menuju
kehidupan berumah tangga hingga nanti berkeluarga dan berumah tangga.
Dalam posuo peserta tidak diperbolehkan berinteraksi dengan dunia luar, baik
kelurga maupun lingkungan sekitar. Mereka akan diasingkan selama hari
pelaksanaan posuo yang telah di tentukan dalam musyawarah. Kumpulan
bhisa bawine yang dipanggil diyakini berasal dari kumpulan orang yang
pandai dan memiliki citra dan kredibilitas yang baik di tengah masyarakat,
yaitu mereka paham dan mengerti pelaksanaan upacara, ibu-ibu yang
mempunyai keturunan yang baik, yang dibuktikan dengan anak-anak yang
sukses dan ibu-ibu yang berasal dari keturunan pejabat pemangku adat.
8. Apa hubungan posuo dengan Agama (Islam) ?
Jawab :
Agama Islam berdasarkan kebaikan, sebagai mana Rasul diutus sebagai
penyempurna akhlak, dalam posuo juga diajarkan tentang kebaikan dan
pembentukan akhlak yang baik sehingga posuo sangan berkaitan erat dengan
Agama Islam karena posuo adalah ritual yang dibungkus dengan Agama. Jadi
makna posuo adalah untuk mendoakan kebaikan hidup gadis remaja setelah
dewasa nanti semoga menjadi lebih baik.
HASIL WAWANCARA
Nama : H. La Ode Muhammad Razinuddin, SE, M.Si
Status : tokoh Adat
Hari/Tanggal : Kamis, 04 Agustus 2016
Tempat :Kantor Dinas Pariwisata
1. Apa pengertian atau makna dari posuo ?
Jawab :
Posuo bermakna melakukan pingitan atau disuo, posuo menurut bahasa
berasal dari kata po dan suo, po merupakan sebuah awalan yang mengandung
makna sebagai pembentuk kata kerja yang menyatakan berada dalam suatu
keadaan atau singkatnya disebut “ber”, sedangkan suo artinya ruang
belakang, karena peserta posuo membutuhkan ketenangan dalam pelaksanaan
ritual sehingga di laksanakan di ruang belakang.
2. Apa Hubungan Ritual posuo dengan Agama Islam ?
Jawab :
Setelah adanya Kesultanan Buton maka semua ritual dan kebiasaan
masyarakat Buton baik di lingkungan Keraton maupun di masyarakat
semuanya berdasarkan Agama Islam. Sehingga ritual posuo sangat
berhubungan dengan Islam.
3. Apakah Ada Kesulitan dalam pelaksanaan Ritual posuo ?
Jawab :
Bagi masyarkat Buton, tidak ada kesulitan dalam pelaksanaan ritual posuo
karena semua masyarkat berusaha melestarikan budaya posuo ini dengan
menyelenggarakannya, jika ada kendala dalam hal ekonomi maka
dilaksanakan posuo satu malam menjelang pernikahan sebagai syarat
terpenuhinya satu siklus (posuo) sebelum siklus selanjutnya (perkawinan).
4. Adakah Perbedaan antara ritual posuo Pada masa Kesultanan dengan posuo
sekarang ?
Jawab :
Tidak ada perbedaan antara posuo dulu zaman kesultanan dengan sekarang
karena budaya ini diwarisi turun temurun dengan tetap dijaga prosesinya.
5. Apakah semua gadis Buton harus diposuo ?
Jawab :
Harus, jika tidak biasanya rata-rata dilaksanakan pada malam sebelum
pernikahan, sehingga menjadi rangkaian dari pernikahan.
6. Mengapa hanya perempuan yang diposuo ?
Jawab :
Karena Perempuan mempunyai peran besar dalam rumah tangga nantinya
sehingga harus diajarkan sejak dini sega hal melalui ritual posuo, juga
sebagai tanda bahwa gadis remaja sudah menjadi dewasa sehingga setelah
posuo sudah bisa dilamar.
7. Bagaimana pandangan bapak mengenai Ritual posuo ?
Jawab :
Posuo merupakan ritual yang menjadi do’a untuk kebaikan gadis yang
dulunya remaja menjadi dewasa, dimana pada sesi matana karia dalam posuo
terdapat prosesi memandikan peserta (phaebo) dengan menggunakan wadah
buyung yang terbuat dari tanah liat (bhosuo) dan para peserta mandi dengan
kain sarung (timbasa) yang kemudian kain itu tidak bisa digunakan lagi
seumur hidup (biasanya dibuang kelaut) dengan harapan segala dosa dan noda
gadis di masa remaja terbawa sehingga menjadi lebih baik saat dewasa.
HASIL WAWANCARA
Nama : Naasifa
Satatus : Bhisa (tokoh adat perempuan)
Hari/ tanggal : 20 juli 2016
Tempat : keidiamaannya
1. Apa panggilan gadis yang diposuo untuk anda ?
Jawab :
Ina artinya ibu dalam bahasa Buton.
2. Sudah berapa lama menjadi Bhisa ?
Jawab :
Sekitar 20 tahun, sejak tahun 1995.
3. Bagaimana prosesi ritual posuo ?
Jawab :
Ritual posuo dilaksanakaan selama 4-8 hari, yang diawali dengan malona
tangia (malam isak tangis) kemudian dilanjutkan pebhaho (mandi) untuk
membuang sial kemudian di hari- hari berikutnya peserta dipanimpa dengan
memberi sapuan asap dupa kepada peserta dua kali sehari pagi dan sore,
kemuan diajarkan mengenai merawat diri (luluran) dan diberi nasihat-nasihat
mengenai kehidupan hingga berakhir dengan matana karia (malam puncak)
sebagai tanda berakhirnya posuo dan memandakan gadis yang telah diposuo
sudah menjadi gadis dewasa.
4. Apa yang di ajarkan dalam posuo ?
Jawab :
Dalam ritual posuo diajarkan mengenai pembawaan diri yaitu palego
(pengaturan mengenai gerak saat berdiri) pakole (pengaturan gerak saat duduk
dan berbaring), mengenai nilai-nilai moral dan ahlak, juga nilai sosial dari
makanan yang diawali dengan posipo (disuapi oleh bhisa) kemudian hanya
boleh makan sedikit yang terdiri dari nasi dan telur rebus dibagi dua dengan
yang memasak yang maknanya agar bisa berbagi dan makanannya juga di
takar hanya sedikit agar peserta posuo bisa merasakan apa yang di rasakan
orang lain diluaran sana yang kadan makan kadang juga tidak, juga diajari
tentang bagaimana merawat diri dengan luluran dan sejenisnya menggunakan
bahan-bahan alami seperti kunyit dan beras yang sudah dihaluskan.
5. Apakah kehidupan rumah tangga di ajarkan dalam ritual posuo ?
Jawab :
Kehidupan rumah tangga diajarkan dalam posuo tapi hanya secara tersirat
melalui pengejaran moral dan tingkahlaku karena itu akan menjadi
kebiasaannya hingga kehidupan berumah tangga tapi tidak di ajarkan secara
jelas dan rinci kecuali bagi peserta posuo yang sudah pasti akan menikah
setelah ritual posuo usai atau sudah jelas calonnya melamar hinga setelah
posuo langsung menikah maka di ajarkan secara rinci tentang bagaimana
bersikap sebagai seorang istri atau jika orang tua peserta posuo meminta
diajarkan kehidupan berumah tangga dalam posuo kepada bhisa maka akan di
ajarkan secara jelas juga.
6. Apakah kesulitan dalam Pelaksanaan ritual posuo ?
Jawab :
Tidak ada kesulitan dalam pelaksaanaan ritual posuo baik dari segi persiapan
dan pelaksanaan maupun para peserta posuo sendiri karena mereka sudah tahu
dan paham mengenai ritual posuo.
7. Apa saja yang anda persiapkan dalam posuo ?
Jawab :
Yang di persiapkan bhisa pada umumnya hanya berwudhu sebelum memulai
semua ritual dan pisau untuk di shuba kepada peserta posuo apa bila ingin ke
toilet atau aktifitas lainnya diluar ritual.
8. Apa manfaat Ritual posuo ?
Jawab :
Manfaat ritual posuo ini adalah untuk pembentukan moral dan tingkahlaku
para gadis ketika menjadi dewasa.
9. Mengapa hanya perempuan yang diposuo ?
Jawab :
Karena perbedaan keseharian laki-laki dan perempuan dan pola hidupnya,
laki-laki bisa mendapatkannya pelajaran di masyarakat laur yang luas
sedangkan perempuan zaman dulu hanya di rumah dan kalau keluar harus ada
yang menemani dan perbedaan keseharian lainnya.
10. Bagaimana Pandangan anda mengenai ritual posuo ?
Jawab :
Posuo merupakan tradisi turun temurun dari zaman kesultanan hingga
sekarang sehingga harus dilestarikan dan dipertahankan hingga ke anak cucu.
HASIL WAWANCARA
Nama : Wa Ode Mulima
Satatus : Bhisa (tokoh adat perempuan)
Hari/ tanggal : Jum’at, 29 juli 2016
Tempat : keidiamaannya
1. Apa panggilan gadis yang diposuo untuk anda ?
Jawab :
Ina artinya ibu dalam bahasa Buton.
2. Sudah berapa lama menjadi Bhisa ?
Jawab :
Sudah 26 tahun jadi bhisa, tapi bukan untuk ritual tapi lebih kepada
peelengkapan posuo seperti dalam pakaian untuk peserta suo dan rempah-
rempah alami untuk luluran.
3. Apa yang diajarkan dalam ritual posuo ?
Jawab :
Dalam ritual posuo diajarkan bagaimana berperilaku atau tatakrama sebagai
gadis dewasa karena berbeda dengan gadis remaja.
4. Apakah kehidupan berumah tangga juga diajarkan dalam ritual posuo ?
Jawab :
Umumnya dalam posuo tidak diajarkan tentang kehidupan berumah tangga
secara jelas hanya melalui ramalan-ramalan masa depan dan jodohnya tapi
jika peserta posuo itu diposuo menjelang pernikahan biasanya di ajarkan
secara jelas karena sudah pasti akan menuju kehidupan berumah tangga kalau
posuo yang pada umumnya, posuo sebagai tangga bahwa gadis itu sudah
dewasa dan setelah diposuo sudah bisa diajarkan tentang kehidupan berumah
tangga.
5. Adakah kesulitan dalam pelaksanaan ritual posuo ?
Jawab :
Tidak ada kesulitan dalam ritual posuo karena sudah merupakan tradisi dan
semua masyarkat paham akan ritual tersebut, paling dalam prosesinya pada
saat malona tangia, kami para bhisa berusaha membuat peserta posuo untuk
menangis karena ada mitos yang mengatakan jika peserta tidak menangis ada
pertanda buruk untuk masa depannya. Pelaksanaan posuo terdiri dari tiga sesi
yaitu molano tangia (malam isak tangis), bhaliana yimpo dan matana karia.
Ritual posuo diawali dengan pauncura atau pengukuhan peserta oleh bhisa
senior yang disebut dengan parika dengan membakar dupa atau kemenyan
yang kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa dan menyapukan asap
dupa ke badan para peserta posuo (phanimpa) setelah itu diumumkanlah
perihal pelaksanaan posuo dan nama-nama peserta yang akan diposuo serta
aturan-aturan dalam suo nanti. Setelah nama-nama peserta disebutkan, para
peserta mulai terdiam dan kemudian mulai menangis bagi yang tidak
menangis akan dicubit atau di pukul di bagian tertentu hingga menangis
karena menurut mitos jika ada peserta yang tidak menangis, maka ada
pertanda buruk untuk masa depannya.
6. Apa manfaat dari ritual posuo ?
Jawab :
Manfaat posuo adalah sebagai pembersih diri bagi seorang gadis untuk
menuju kehidupan dewasa, karena jika tidak posuo rasanya tidak akan
lengkap sehingga posuo merupakan pelengkap gadis untuk sampai ke masa
dewasa.
7. Adakah perbedaan antara ritual posuo di zaman kesultanan dan sekarang ?
Jawab :
Tidak ada perbedaan dalam ritual posuo zaman kesultanan dengan sekarang,
jika ada mungkin dalam segi hari untuk posuo biasanya 4 sampai 8 hari, dulu
biasanya lebih memilih 8 hari untuk lebih menambah kesakralan tapi sekarang
lebih di percepat menjadi 4 hari karena sekarang banyak yang sekolah dan
punya kepentingan, jadi untuk tetap melestarikan ritual ini kebanyakan
masyarakat lebih memilih yang 4 hari.
8. Apa saja yang dipersiapkan bhisa untuk ritual posuo ini ?
Jawab :
Persiapan untuk bhisa biasanya kain putih 2 meter (untuk duduk peserta
posuo) dan Impo (rempak-rempah untuk luluran peserta posuo).
9. Mengapa hanya perempuan yang diposuo ?
Jawab :
Karena posuo ibaratnya seperti mengumumkan masa peralihan seorang gadis
dari remaja ke dewasa yang menandakan bahwa perempuan tersebut sudah
bias menikah, karena perempuan pada umumnya perempuan itu menunggu
jadi biasanya kalau seorang gadis sudah diposuo maka tidak lama lagi akan
menikah.
10. Bagaimana pandangan anda mengenai ritual posuo ?
Jawab :
Bagi saya ritual bukan hanya sebuar ritual keagamaan melainkan sebuah
warisan orang tua kepada anak perempuannya dan untuk mendoakan mereka
menjadi lebih baik sehingga harus terus dilestarikan.
HASIL WAWANCARA
Nama : Nur Jaya
Status : Ibu Rumah Tangga
Hari/tanggal : Kamis, 21 Juli 2016
Tempat : kediamannya
1. Berapa usia pernikahan anda ?
Jawab :
Saya menikahn tahun 2009 jadi sekitaar 7 tahun usia pernikahan saya.
2. Pada usia berapa anda diposuo ?
Pada saat diposuo saya berusia 23 tahun dan dua tahun kemudia pada usia 25
tahun saya menikah.
3. Berapa hari anda diposuo ?
Jawab :
Saya diposuo selama 8 hari d posuo.
4. Apa yang anda ketahui tentang posuo ?
Jawab :
Posuo merupakan masa peralihan dari remaja ke dewasa bagi seorang gadis
yang merupakan proses pembiasaan selama dipingit (diposuo), sehingga
dengan pembiasaan itu menjadi lebih baik lagi.
5. Apa perasaan anda saat diposuo ?
Jawab :
Senang karena ramai-ramai, karena akan dibimbing dan dinasehati karena
sebelum posuo biasanya penasaran apa yang di ajarkan diposuo jadi ketika
sampai masanya gadis diposuo maka dia akan merasa senang.
6. Apa dalam posuo diajarkan kehidupan berumah tangga ?
Jawab :
Pada saat posuo saya diajarkan kehidupan berumah tangga karena kebetulan
pada saat itu saya sudah berusia 23 tahun sebagai doa juga agar saya segera
menikah jadi orang tua saya yang meminta langsung kepada bhisa agar saya
diajarkan bagaimana nanti kalau sudah bersua harus bersikap dewasa, sabar,
harus baik kepada mertua, juga batasan-batasannya. Jadi ajaran diposuo
sangat membekas kepada saya. Inti dari posuo itu kita diajarkan untuk
berbakti kepada orang tua saat gadis dan kepada mertua jika sudah menikah
nanti. Karena perempuan itu saat gadis dia adalah tanggung jawab orang
tuanya dan saat menikah dia adalah tanggung jawab suami sehingga
perempuan harus berbakti pada suami dan orang tua suami (mertua).
7. Adakah manfaat posuo setelah menikah ?
Jawab :
Manfaat setelah menikah itu lebih percaya diri untuk berumah tangga dan apa
yang dulunya kita tidak tahu menjadi tahu, memahami karakter suami, cara
berbicara, sopan santun kepada suami.
8. Bagaimana pandangan anda tentang ritual posuo ?
Jawab :
Posuo merupakan sebuah ritual yang baik karena intinya adalah membentuk
moral dan ahlak seorang wanita terhadap orang tua, yang lebih muda serta
lawan jenis, juga kepada lingkungan.
9. Mengapa hanya perempuan yang di posuo ?
Jawab :
Karena hanya perempuan yang ada akan merawat bagian di rumah, sedangkan
laki-laki akan lebih banyak mencari nafkah di luar.
HASIL WAWANCARA
Nama : Wa Ode Nuriati
Status : Ibu Rumah Tangga
Hari/tanggal : Sabtu 23 juli 2016
Tempat : kediamannya
1. Berapa usia pernikahan anda ?
Jawab :
Usia pernikahan saya 6 tahun.
2. Pada umur berapa anda diposuo ?
Jawab :
Umur 25 tahun.
3. Berapa hari anda diposuo ?
Jawab :
Diposuo selama 4 Hari.
4. Apa yang anda ketahui tentang posuo ?
Jawab :
Posuo semacam tangga siklus kehidupan selanjutnya dari remaja ke dewasa.
5. Apa yang diajarkan dalam ritual posuo ?
Jawaban :
Dalam ritual posuo diajarkan untuk tenang, jangan gelisah dan sabar dalam
segala situasi.
6. Adakah manfaat posuo setelah menikah ?
Jawab :
Manfaatnya setelah saya menikah, mengerti tentang tahapan-tahapan
kehidupan yang harus di lalui dengan sabar hingga sekarang.
7. Apakah ada perbedaan posuo dulu saat zaman kesultanan dengan sekarang ?
Jawab :
Untuk posuo dari segi prosesi ritual tidak ada yang berubah masih sama hanya
saja bedanya sekarang kalau ada yang ujian sekolah saat diposuo mau tidak
mau harus tetap pergi untuk mengikuti ujian.
8. Bagaimana pandangan anda tentang ritual posuo ?
Jawab :
Ritual posuo harus terus dilestarikan walaupun zaman semakin modern tapi
nilai luhur posuo harus terus dipertahankan dan dilestarikan.
9. Apakah semua gadis Buton diposuo ?
Jawab :
Semua gadis Buton harus diposuo bahkan jika tidak sempat melakukan ritual
posuo dan akan melaksanakan pernikahan maka biasanya dimandikan dulu
sebagai syarat untuk memenuhi satu ritual (posuo) sebelum ritual selanjutnya
(perkawinan).
HASIL WAWANCARA
Nama : Wa Emi
Status : Ibu Rumah Tangga
Hari/tanggal : Sabtu, 23 Juli 2016
Tempat : kediamannya
1. Berapa usia pernikahan anda ?
Jawab :
Usia pernikahan saya sekitar 13 tahun.
2. Pada usia berapa anda diposuo ?
Jawab :
Saya diposuo pada usia 16 tahun dan satu tahun kemudian, pada usia 17 tahun
saya menikah.
3. Berapa hari anda diposuo ?
Jawab :
Saat itu saya diposuo selama 4 hari.
4. Apa yang anda ketahui tentang posuo ?
Jawab :
Posuo merupakan ritual peralihan dari remaja ke dewasa.
5. Apa yang diajarkan dalam ritual posuo ?
Jawab :
Dalam posuo diajarkan tentang tingkah laku dan nilai moral serta sedikit
ramalan-tentang jodoh dan masa depan yang awalnya tidak percaya tapi
setelah dilalui ternyata ada benarnya.
6. Apakah kehidupan berumah tangga diajarkan dalam ritual posuo ?
Jawab :
Tidak di ajarkan secara jelas tentang rumah tangga, hanya melalui sedikit
ramalan masa depan, juga bagi masyarkat Buton meyakini bahwa gadis yang
sudah posuo berarti sudah dekat jodohnya sehingga harus mempersiapkan diri
dan berperilaku sebagai gedis dewasa bukan lagi remaja.
7. Adakah manfaat posuo setelah menikah ?
Jawab :
Manfaat posuo sekarang terasa, tenyata apa yang dikatakana orang tua saat
posuo dan setelah posuo itu terasa saat setelah menikah dan menjalani
kehidupan berumah tangga.
8. Bagaimana pandangan anda tentang ritual posuo ?
Jawab :
Posuo harus terus dilestsrikan karena merupakan ritual turun temurun dan
biasanya ada dampak bagi yang tidak melaksanakan ritual posuo tersebut
(menurut kepercayaan masyarakat) kalau tidak posuo biasanya ada semacam
karma (tidak punya keturunan atau sakit-sakitan) jadi harus di posampe
(menyampaikan kalau harus melaksanakan posuo dengan dimandikan).
HASIL WAWANCARA
Nama : Kiki Masria
Status : Gadis yang telah diposuo (kalambe)
Hari/tanggal : Rabu, 20 Juli 2016
Tempat : kediamannya
1. Bagaimana Perasaan saat diposuo ?
Jawab :
Senang, apalagi saat dikenang karena saat saya posuo itu diadakan masal dan
diadakan oleh keluarga bangsawan (ode) dengan peserta sebanyak 35 orang,
tapi tidak semua saling mengenal karena banyaknya peserta.
2. Berapa hari d Posuo ?
Jawab :
Saya diposuo selama 8 hari
3. Berapa bhisa saat di Posuo ?
Jawab :
Bhisa yang mendampingi peserta saat posuo sebanyak 8 orang.
4. Apa yang anda ketahui tentang posuo ?
Jawab :
Posuo merupakan masa peralihan dari remaja menuju kehidupan dewasa.
5. Apa yang di ajarkan dalam ritual Posuo ?
Jawab :
Diberikan nasihat-nasihat moral serta batasan-batasan bagi seorang wanita
dengan sistem ceramah bersama-sama, serta perawatan fisik.
6. Apakah kehidupan rumah tangga diajarkan saat posuo ?
Jawab :
Tidak di ajarkan secara rinci, kecuali yang mau menikah atau ketiaka orang
tuanya meminta kepada bhisa untuk mengajarkan kehidupan rumah tangga.
Tapi sebenarnya tanpa diminta juga para bhisa sudah mengajarkan kehidupan
rumah tangga melalui potret diri bhisa tersebut.
7. Apa yang dirasakaan atau manfaat dari ritual posuo ?
Jawab :
Secara otomatis kita merasa harus menjadi lebih baik dari sikap, tingkah laku,
ahlak serta kecantikan diri dan hati karena sudah menjadi gadis dewasa, posuo
juga diibaratkan dengan bersemedi atau mengasingkan diri untuk merenung
kesalahan-kesalahan saat remaja sehingga nantinya menjadi gadis dewasa
yang baik. Juga secara otomatis langsung berpikir untuk masa depan atau
bagaimana kedepannya. Apa lagi saat pertama diposuo saat molano tangia
trus menangis karena bahagia telah terlaksananya salah satu tangggung jawab
orang tua dan telah berusaha mengikut sertakan anaknya dalam ritual ini.
8. Apa semua gadis Buton harus diposuo ?
Jawab :
Iyah, posuo itu semacam suatu keharus untuk membentuk pribadi para gadis-
gadis Buton hingga menjadi Ibu kelak dan mewariskan kebaikan kepada anak-
anaknya.
HASIL WAWANCARA
Nama : Wa Ode Deviarni
Satatus : Remaja yang telah di Posuo (kalambe)
Hari/ tanggal : Sabtu, 23 Juli 2016
Tempat : Rumah Posuo
1. Bagaiman perasaan anda saat akan diposuo ?
Jawab :
Perasaannya senang karena menurut cerita yang pernah diposuo nanti saat
diposuo akan diajarkan hal spesifik dari biasanya yang artinya akan menjadi
dewasa.
2. Berapa hari anda diposuo ?
Jawab :
Saya diposuo selama 4 hari.
3. Bagaimana perasaan anda saat di dalam Suo ?
Jawab :
Perasaan di dalam suo agak gelisah karena ingin keluar, dan merasa pengap di
dalam ruangan terus.
4. Apa yang di ajarkan selama diposuo ?
Jawab :
Dalam Posuo diajarkan tentang bagaimana merawat diri, penanaman nilai-
nilai moral dan mulai memikirkan masa depan juga dengan ramalan-ramalan
jodoh dan kehidupan kedepan.
5. Apakah saat diposuo diajarkan tentang kehidupan berumah tangga ?
Jawab :
Kehidupan rumah tangga diajarkan tapi tidak terlalu mendalam hanya
dinasehati bagaimana bersikap setelah posuo hingga nanti bersuami dan
berkeluarga.
6. Bagaimana perasaan anda setelah diposuo ?
Jawab :
Senang karena sudah melewati satu siklus kehidupan.
7. Apa manfaat yang anda dapatkan dari ritual posuo ?
Jawab :
Ritual posuo sangat bermanfaat untuk menjadi diri yang lebih baik lagi ketika
menjadi dewasa.
8. Bagaimana Pendapat anda tentang ritual posuo ?
Jawab :
Posuo harus terus dilestarikan karena merupakan budaya turun temurun.
HASIL WAWANCARA
Nama : Dewi Asrifa
Status : Remaja
Hari/tanggal : Sabtu, 23 Juli 2016
Tempat : Rumah Suo
1. Bagaiman perasaan anda saat akan diposuo ?
Jawab :
Perasaan saya saat akan diposuo, senang karena bagi saya posuo adalah
tanggung jawab orang tua yang harus dilaksanakan kepada anak gadisnya dan
ketika akan diposuo berarti akan lepas satu lagi tanggung jawab orang tua.
2. Bagaimana Perasaan anda saat dalam Suo ?
Jawab :
Perasaan saat di dalam Suo, ada Bosan dan senang juga, bosan karena terus
dalam ruangan tapi senang karena diajarkan hal baru tentang merawat diri dan
lain-lain.
3. Berapa hari anda diposuo ?
Jawab :
Saya di Posuo selama 4 hari.
4. Apa saja yang diajarkan dalam ritual posuo ?
Jawab :
Dalam posuo diajarkan tentang bagaiman bertingkahlaku dan bersikap sebagai
gadis dewasa, menjaga suaranya agar pelan-pelan saat berbicara dan sikapnya
tapi saat diposuo saya sambil ujian akhir di kampuas jadi saya izin keluar dan
harus mendapatkan persetujuan bhisa untuk keluar, tapi keluarnya serba
tertutup dan tetap memakai kunyit, mitosnya kalau kulit peserta posuo yang
dipakaikan kunyit selama posuo terkena matahari maka kulitnya akan
kebiruan.
5. Apakah diajarkan tentang kehidupan Berumah Tangga dalam posuo ?
Jawab :
Tidak diajarkan tentang kehidupan rumah tangga secara jelas hanya melalui
ramalan-ramalan masa depan tentang jodoh.
6. Bagaimana perasaan anda setelah diposuo ?
Jawab :
Perasaan setelah diposuo senang karena sudah menjadi gadis dewasa dan
harus berpikir menjadi lebih baik di masa depan.
7. Apa yang anda Pahami tentang posuo ?
Jawab :
Posuo adalah pingitan sebagai tanda peralihan dari gadis remaja menjadi
gadis dewasa.
8. Apa manfaat dari ritual posuo ?
Jawab :
Manfaat dari posuo adalah perubahan pada diri baik fisik maupun mental
untuk menjadi lebih baik dan menghilangkan sifat dan sikap buruk saat
remaja untuk bisa lebih baik lagi.
9. Bagaimana Pandangan anda terhadap ritual posuo ?
Jawab :
Menurut saya posuo adalah ritual turun temurun yang harus di lestarikan.
Top Related