PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARISAN ATAS HARTA PENCARIAN
DALAM LINGKUNGAN ADAT MINANGKABAU
DI KECAMATAN LUBUK KILANGAN KOTA PADANG
TESIS
Disusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan
Program Magister Kenotariatan
Oleh
RIA AGUSTAR,S.H.
NIM. B4B 006 207
Pembimbing
SUKIRNO,S.H,MS.i
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2008
HALAMAN PENGESAHAN
PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARISAN ATAS HARTA PENCARIAN
DALAM LINGKUNGAN ADAT MINANGKABAU
DI KECAMATAN LUBUK KILANGAN KOTA PADANG
TESIS
Disusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan
Program Magister Kenotariatan
Oleh
RIA AGUSTAR,S.H NIM. B4B 006 207
Telah dipertahankan di depan Tim Penguji
pada tanggal 19 April 2008
dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima
Menyetujui
Pembimbing
SUKIRNO,S.H,MS.i NIP : 131 875 449
Ketua Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro
H.MULYADI,S.H.,M.S NIP : 130 529 429
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini adalah hasil
pekerjaan saya sendiri dan didalamnya tidak terdapat
karya yang telah diajukan untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan lembaga
pendidikan lainnya.
Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penerbitan maupun
yang belum atau tidak diterbitkan, sumbernya dijelaskan
di dalam tulisan dan daftar pustaka.
Semarang, April 2008
Penulis
( RIA AGUSTAR,S.H )
KATA PENGANTAR
BISMILLAHHIRRAHMANIRRAHIM.
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang selalu
memberi rahmat dan karunia kepada penulis sehingga yang
telah mampu menyelesaikan tesis yang berjudul
“PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARISAN ATAS HARTA PENCARIAN
DALAM LINGKUNGAN ADAT MINANGKABAU DI KECAMATAN LUBUK
KILANGAN KOTA PADANG”
Hasil kerja penulis tidak akan terwujud tanpa
bantuan dari semua pihak yang dengan penuh keikhlasan
memberikan bimbingan, arahan dan petunjuk yang
diperlukan untuk penulisan ini. Untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Bapak H. Mulyadi, S.H., M.S. selaku Ketua Program
Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro.
2. Bapak Yunanto, S.H., M.Hum. selaku Sekretaris I
Program Magister Kenotariatan Universitas
Diponegoro.
3. Bapak H. Budi Ispriyarso, S.H., M.Hum. selaku
Sekretaris II Program Magister Kenotariatan
Universitas Diponegoro
4. Bapak Sukirno, S.H,MS.i selaku Dosen Pembimbing
yang sudah banyak membantu dalam penulisan Tesis
ini.
5. Bapak H.R. Suharto,S.H,M.Hum selaku Dosen Wali
6. Bapak dan Ibu Dosen Program Magister Kenotariatan
Universitas Diponegoro.
7. Seluruh staff pengajaran Program Magister
Kenotariatan Universitas Diponegoro.
8. Keluarga besar Kerapatan Adat Nagari Kecamatan
Lubuk Kilangan Kota Padang.
9. Ayahanda Dr.Ir. Asdi Agustar, MSc. dan Ibunda Rita
Faura,S.H,M.H Beserta kakak dan adik-adikku yang
tercinta Ari Agustar, S.T, Ira Agustar,dan Rifa
Agustar.
10. Keluarga Besar Nenenda Rafid Rahim,S.H (Alm) dan
Sulaiman (Alm).
11. Shaelendra Prabu Yuda, S.H., M.Kn. yang sudah setia
dan selalu sabar menghadapi Penulis dalam keadaan
apapun.
12. Sartika Sari,S.H,M.Kn “Yu Sari”
13. Semua teman-teman Angkatan 2006 Magister
Kenotariatan yang tidak dapat penulis sebutkan
satu-persatu terima kasih atas segala bantuannya
dalam penulisan ini.
14. Semua pihak yang terlibat bersama penulis pada
waktu mengikuti pendidikan sampai selesainya studi
ini.
Penulis menyadari sepenuhnya penulisan tesis ini masih
jauh dari kesempurnaan, besar harapan semoga penulisan
tesis ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang
berkepentingan.
Semarang, April 2008
( RIA AGUSTAR,S.H )
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………………………………… i
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………………………………… ii
HALAMAN PERNYATAAN ………………………………………………………………………… iii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………………………… iv
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………………… vii
ABSTRAK ……………………………………………………………………………………………………… x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………………………………………………………………………… 1
B. Perumusan Masalah ……………………………………………………………………… 6
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………………………………… 7
D. Manfaat Penelitian …………………………………………………………………… 7
E. Sistematika Penulisan …………………………………………………………… 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Adat…………………………………………………………………………………………… 14
1. Pengertian dan Istilah Hukum Adat ……………………… 14
2. Corak Hukum Adat …………………………………………………………………… 17
3. Bentuk-Bentuk Masyarakat Hukum Adat ………………… 21
B. Tinjauan Umum tentang Minangkabau …………………………… 25
C. Hukum Kewarisan Adat ……………………………………………………………… 37
1. Asas-Asas Hukum Kewarisan …………………………………………… 39
2. Ahli Waris ………………………………………………………………………………… 42
3. Cara-Cara Pewarisan ………………………………………………………… 44
D. Harta Pencarian ………………………………………………………………………… 54
1. Pemisahan Harta Pencarian dari
Harta Pusaka …………………………………………………………………………… 54
2. Pewarisan Harta Pencarian Menurut Hukum
Islam ………………………………………………………………………………………………… 60
BAB III METODE PENELITIAN
A. Pendekatan ………………………………………………………………………………………… 66
B. Spesifikasi Penelitian ……………………………………………………… 67
C. Lokasi Penelitian ……………………………………………………………………… 67
D. Jenis dan Sumber Data …………………………………………………………… 68
E. Populasi dan Sampel ………………………………………………………………… 69
F. Pengumpulan Data ………………………………………………………………………… 69
G. Metode Pengolahan dan Analisis Data ……………………… 71
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Gambaran Umum Tempat Penelitian ………………………… 73
2. Pelaksanaan Pembagian Warisan atas Harta
Pencarian dalam Lingkungan Adat Minangkabau
di Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang
………………………………………………………………………………………………………………… 75
2.1. Perbandingan antara Hukum Kewarisan
Islam dengan Pewarisan Harta Pencarian
di Minangkabau …………………………………………………………… 82
3. Kendala-kendala yang timbul dalam
Pelaksanaan Pembagian Warisan atas Harta
Pencarian dalam Lingkungan Adat Minangkabau
dan Upaya Untuk Mengatasinya ……………………………………… 92
3.1. Kendala yang Timbul dalam Pelaksanaan
Pembagian Warisan atas Harta Pencarian
dalam Lingkungan Adat Minangkabau
…………………………………………………………………………………………………… 92
3.2. Upaya yang Dilakukan Untuk Mengatasi
Kendala yang Timbul ………………………………………………… 99
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………………………………………………… 101
B. Saran ……………………………………………………………………………………………………… 103
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Tesis ini berjudul “PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARISAN ATAS HARTA PENCARIAN DALAM LINGKUNGAN ADAT MINANGKABAU DI KECAMATAN LUBUK KILANGAN KOTA PADANG” berlatar belakangkan masalah pembagian warisan atas harta pencarian Minangkabau yang pada saat ini sudah dipengaruhi oleh Hukum Islam yang pengaturan tentang pembagiannya dikenal dengan hukum Faraid. Cara pembagian warisan atas harta pencarian ini yang dibagi secara patrilineal bertolak belakang dengan sistem kekerabatan masyarakat Minangkabau yang menarik garis keturunannya secara Matrilineal atau berdasarkan garis keibuan. Tujuan penulisan tesis ini adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pembagian warisan atas harta pencarian dalam lingkungan adat Minangkabau di Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang, kendala yang timbul dalam pelaksanaan pembagian warisan atas harta pencarian beserta upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini terutama adalah yuridis empiris. Yuridis empiris artinya adalah mengidentifikasikan dan mengkonsepsikan hukum sebagai institusi sosial yang riil dan fungsional dalam sistem kehidupan yang mempola. Data yang didapat dari penelitian kepustakaan diadakan proses analisis data secara deskriptif-analitif-kuantitatif sehingga diperoleh suatu kesimpulan. Adat Minangkabau menjalankan asas kekerabatan Matrilineal. Kehidupan mereka ditunjang oleh harta yang dimiliki secara turun temurun. Harta tersebut dimiliki oleh seluruh anggota keluarga. Dalam mekanisme peralihan harta berlaku asas kolektif. Dengan masuknya agama Islam di Minangkabau telah memberikan pemahaman yang baru terhadap harta yang ada di dalam sebuah rumah. Agama Islam dan adat telah menyatu dalam tingkah laku suku bangsa Minangkabau. Ajaran Islam memberikan istilah baru terhadap harta yang diperoleh suami-istri selama melangsungkan perkawainan sebagai harta pencarian. Kata Kunci : Pembagian, warisan, Harta, Pencarian
ABSTRACT
This thesis gets title “INTHERITANCE DIVISION PERFORMING ON SEEKING ASSET IN MINANGKABAU’S CUSTOM ENVIRONMENT AT LUBUK KILANGAN’S DISTRICT PADANG CITY” drops back inheritance division problem on Minangkabau’s seeking asset that for the moment has been regarded by Islamic Law that arrangement about it’s division is known with Faraid’s law. Inheritance division trick on harth this sough after one was divided by ala patrilineal leaves behind by society kinship system interesting Minangkabau’s it’s lineage Matrilineal’s ala or based mathernity linening.
To the effect this thesis writing is subject to be know how inheritance division performing on harts sought after in Minangkabau’s custom environment at Lubuk Kilangan district Padang’s city, evoked constraint in inheritance division performing on therewith seeking asset effort that is done to seatle that constraint.
Approximate methods that is untilized in this research especially is empirical judicial formality. Maens empirical judicial formality it be identification and conception sectence as institution of substantive and functional social deep life system that have a kind. Data that is gottem from bibliography research is arranged processes analisis descriptive ala data quantitative analitif so acquired a conclusion.
Minangkabau’s custom carry on Matrilineal’s kinship ground. Their life propped by asset which had by ala from generation to generation. That asset proprietary by all family member. In asset transition mechanism applies collective ground. With it’s input Islam at Minangkabau’s has given grasp that barn to aught asset in one house. Islam and custom have in behavioral Minangkabau’s tribe. Teaching Islamic to give terminology new to asset which gotten by wife husband up tu pass off marriage as asset search. Harts is search heirsed by child and Faraid’s according to the law wife.
Key Word : Division, inheritance, Seeking, asset,
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Minangkabau adalah suatu tempat di Indonesia
dimana orang dapat menjumpai masyarakat yang diatur
menurut tertib hukum ibu, mulai dari lingkungan hidup
yang kecil, dari keluarga, sampai kepada lingkungan
hidup yang paling atas yaitu sebuah “nagari” sehingga
dapat dilihat bahwa “faktor turunan darah menurut garis
ibu” merupakan faktor yang mengatur organisasi
masyarakatnya, walaupun dalam lingkungan yang terakhir
disebutkan yaitu dalam nagari kita masih menjumpai
adanya faktor pengikat lain. Kehidupan yang diatur
menurut tertib hukum ibu itulah yang disebut dalam
istilah sehari-hari sebagai kehidupan menurut adat.1
Karena di atas menyinggung istilah “adat”, istilah
ini biasanya digabungkan dengan istilah lain yaitu
istilah “hukum”, sehingga terjemahan istilah barunya
“hukum adat”.2 Hukum adat adalah aturan-aturan hidup
yang berupa aturan aturan tidak tertulis yang hidup di
dalam kesadaran hukum dari rakyat yang memakainya.
1 Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau, Rieneka Cipta, Jakarta, 1997, halaman 1 2 Ibid, halaman 2
Hukum adat yang sifatnya tidak tertulis ini
menjadikan hukum adat itu sifatnya dinamis sehingga
mudah menyesuaikan diri dengan perkembangan yang
dibutuhkan zaman. Hukum waris Minangkabau yang
merupakan bahagian dari hukum adat yang banyak seluk
beluknya karena pada satu pihak hukum waris Minangkabau
merupakan kelanjutan yang sesuai dengan tertib susunan
menurut hukum ibu, akan tetapi pada pihak lain, ia
mempunyai sangkut paut dan dipengaruhi oleh hukum
syarak (agama).3 Sesuai dengan tertib susunan menurut
hukum ibu, maka ahli waris menurut hukum adat
Minangkabau dihitung dari garis ibu. Pengertian. Ahli
waris ini akan muncul apabila telah ada harta
peninggalan yang ditinggalkan seseorang yang telah
meninggal dunia.
Pada masyarakat Minangkabau, harta peninggalan
dapat berupa harta pusaka tinggi dan atau harta pusaka
rendah (harta pencarian).4 Kalau yang dibicarakan harta
pusaka tinggi, maka ahli warisnya ialah anggota-anggota
keluarga dilihat dari garis ibu. Namun, kalau yang
dibicarakan itu harta pusaka rendah (harta pencarian),
3 Ibid, halaman 88 4 http://www.cimbuak.net tanggal 21 Maret 2008
maka kepada siapa harta itu diwariskan tergantung dari
kemauan si meninggal pada masa hidupnya
Harta pencarian itu adalah harta pencarian suami-
isteri sewaktu suami-isteri masih hidup di dalam tali
perkawinan. Kebanyakan semasa mereka hidup harta
pencarian itu telah dihibahkan kepada anak-anaknya yang
apabila si orang tua meninggal, anak-anaknya
tersebutlah yang menjadi ahli warisnya. Terhadap hibah
ini, kerap terlihat, bila jumlah harta ini banyak dan
nilainya besar, maka saudara ponakan dari si meninggal
tadi tidak akan tinggal diam dan ingin memperoleh
bagian dari harta tersebut, sehingga tidak jarang hal
ini akan menimbulkan perselisihan.
Harta pencarian tersebut dapat terdiri dari harta
yang sifatnya dapat dipindah-pindahkan seperti
perhiasan, mobil, rumah dan lain-lain. Dan yang
merupakan barang-barang tetap seperti sawah dan ladang.
Pengaruh Hukum Islam sangat kental didalam bidang
pewarisan masyarakat Minangkabau yang tampak nyata.
Meskipun cara pewarisan antara hukum adat Minangkabau
yang berdasarkan garis keturunan Ibu sangat bertolak
belakang dengan kewarisan Islam yang pembagiannya
berdasarkan garis kebapakan atau patrilineal. Hukum
yang berlaku dalam pewarisan harta pencarian pada
masyarakat Minangkabau, dapat dilihat dalam lingkungan
pengadilan, baik pengadilan negeri maupun pengadilan
agama.5 Pewarisan harta pencarian dapat dilihat dari
dua segi yaitu segi siapa yang menerima harta warisan
dan dari segi bagaimana cara kepemilikannya.
Berdasarkan hasil pra penelitian yang telah
Penulis lakukan, banyak ditemui hal yang sangat menarik
untuk dibahas dalam tulisan ini. Dikatakan demikian,
karena dari apa yang tertulis didalam literatur-
literatur yang pernah Penulis baca tentang Adat
Minangkabau, khususnya mengenai pewarisan harta
pencarian ini, pada kenyataannya terdapat berbagai
kenyataan yang beragam. Keanekaragaman yang dimaksud
yaitu ada hal-hal yang sesuai dengan yang tertulis
didalam literatur, namun tidak sedikit pula hal-hal
yang tidak sesuai dengan apa yang tertulis didalam
literatur tersebut.
Misalnya saja, di Minangkabau anak laki-laki
berperan hanya sebagai pengawas terhadap harta warisan
yang ada, sesuai dengan sistim kekerabatan masyarakat
Minangkabau yang Matrilineal, sehingga yang berhak
mewaris adalah anak perempuan. Namun pada kenyataannya
5 Amir Syarifuddin, ”Pelaksanaan hukum Kewarisan Islam Dalam lingkungan Adat Minangkabau” Gunung Agung, Jakarta, 1990, halaman 291
saat ini di Minangkabau, khususnya Kecamatan Lubuk
Kilangan tempat Penulis melakukan pra panelitian, anak
laki-laki sudah banyak yang menjadi ahli waris dari
harta warisan yang ada.6 Hal ini dapat dikatakan bahwa
masyarakat Minangkabau dalam hal pewarisan hartanya
sudah terjadi pergeseran kebudayaan khususnya mengenai
pewarisan harta pencaharian.
Berdasarkan uraian diatas, Penulis tertarik untuk
menelaah lebih jauh mengenai pewarisan harta pencarian
pada masyarakat Minangkabau beserta kendala yang
mungkin muncul dalam pelaksanaan pembagian warisan atas
harta pencarian kedalam bentuk penulisan tesis dengan
judul “PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARISAN ATAS HARTA
PENCARIAN DALAM LINGKUNGAN ADAT MINANGKABAU DI
KECAMATAN LUBUK KILANGAN KOTA PADANG”
B. Perumusan Masalah
Dalam tulisan ini penulis akan membatasi
permasalahan, yakni masalah-masalah yang berkaitan
dengan Pelaksanaan Pembagian Warisan atas Harta
Pencarian dalam Lingkungan Adat Minangkabau di
Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang dimana di
Lingkungan adat Minangkabau dikenal adanya dualisme
6 Wawancara dengan Syafri Sadin Rajo Basa, SH, Sekretaris Kerapatan Adat Nagari Kecamatan lubuk Kilangan Kota Padang.
hukum dalam pewarisan harta. Harta pusaka tinggi
diwariskan menurut hkum adat Miangakabau secara
matrilineal dan harta pusaka rendah (harta pencarian)
diwariskan menurut hukum Islam secara patrilineal.
Namun pada teknis pelaksanaannya tidaklah demikian.
Karena Masyarakakat Minangkabau sudah membaurkan hukum
adat dan hukum Islam di dalam kehidupan sehari-hari
sehingga kedua hukum itu dapat selaras dalam
pelaksanaannya. Sehubungan dengan itu maka
permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana pelaksanaan pembagian warisan atas harta
pencarian dalam lingkungan adat Minangkabau di
Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang ?.
2. Hambatan-hambatan apa yang timbul dalam
pelaksanaan pembagian warisan atas harta pencarian
dalam lingkungan adat Minangkabau di Kecamatan
lubuk Kilangan Kota Padang dan upaya untuk
mengatasi hambatan yang timbul?.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini dimaksudkan untuk
mengetahui bagaimana hukum kewarisan adat terhadap
harta pencaharian berjalan secara nyata dalam kehidupan
masyarakat Minangkabau. Secara rinci sesuai dengan
permasalahan tersebut, maka tujuan khusus adalah :
1. Untuk mengetahui tentang pelaksanaan pembagian
warisan atas harta pencarian dalam lingkungan
adat Minangkabau di Kecamatan Lubuk Kilangan Kota
Padang.
2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang timbul
dalam pelaksanaan pembagian warisan atas harta
pencarian dalam lingkungan adat Minangkabau
Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang, dan upaya
untuk mengatasinya.
D. Manfaat Penelitian
Dengan penelitian mengenai pelaksanaan hukum
kewarisan adat terhadap harta pencaharian di lingkungan
adat Minangkabau sebagaimana disebutkan diatas, maka
diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat
sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Memberikan masukan untuk memecahkan masalah
kewarisan adat yang membahas tentang kewarisan
harta pencaharian pada masyarakat Minangkabau.
2. Manfaat Praktis
Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan agar dapat
menciptakan unifikasi di dalam hukum waris untuk
menuju kodifikasi hukum dalam rangka mewujudkan
Hukum Kewarisan Nasional.
E. Sistimatika Penulisan
Dalam penulisan tesis ini terdiri dari lima (5)
bab, masing-masing bab tidak dapat dipisah-pisahkan
karena memiliki keterkaitan antara bab satu dengan bab
lainnya. Sistematika penulisan ini dimaksudkan agar
dalam penulisan tesis ini dapat terarah dan sistematis.
Gambaran yang lebih jelas dalam penulisan tesis
ini dapat dilihat dalam setiap bab, yang antara lain:
Bab I berisi pendahuluan yang terdiri dari lima
(5) sub bab, yaitu latar belakang, perumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika
penulisan.
Latar belakang permasalahan menguraikan tentang
hal-hal yang menjadi alasan penulis dalam mengambil
judul Pelaksanaan Pembagian Warisan atas Harta
Pencarian dalam Lingkungan Adat Minangkabau di
Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang.
Perumusan masalah berisi tentang permasalahan yang
akan diketengahkan dalam penulisan tesis ini yakni
Bagaimana Pelaksanaan Pembagian Warisan atas Harta
Pencarian dalam Lingkungan Adat Minangkabau di
Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang, Kendala apa yang
timbul dalam Pelaksanaan Pembagian Warisan atas Harta
Pencarian dalam Lingkungan Adat Minangkabau di
Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang, dan apa ypaya
untuk mengatasi kendala tersebut.
Tujuan penelitian berisi tentang tujuan yang
diharapkan penulis dari dilakukannya penulisan tesis
ini.
Manfaat penelitian berisi tentang manfaat yang
diharapkan oleh penulis dari penulisan tesis ini.
Bab II berisi tinjauan pustaka yang terdiri dari 4
(empat) sub bab, yaitu tinjauan tentang hukum adat,
tinjauan umum tentang Mianangkabau, hukum kewarisan
adat Minangkabau, dan uraian tentang harta pencarian.
Dalam tinjauan tentang hukum adat menguraikan
tentang pengertian dan istilah hukum adat, corak hukum
adat dan bentuk-bentuk masyarakat hukum adat.
Pemerintahan di Minangkabau menyesuaikan diri
dengan ajaran Islam. Hal ini terjadi karena agama Islam
di Minangkabau sangat kuat. Masyarakat di Minangkabau
mengenal filsafat adat yang berdasarkan kenyataan hidup
dan berlaku dalam alam.
Mengenai hukum kewarisan adat berisi tentang
syarat beralihnya harta seseorang yang telah meninggal
kepada yang masih hidup dengan adanya hubungan
silaturrahmi atau kekerabatan antara keduanya. Bagian
ini juga berisi tentang asas-asas kewarisan, ahli waris
dan cara-cara pewarisan di Minangkabau.
Harta pencarian merupakan harta pusaka rendah yang
diwariskan menurut hukum Islam secara patrilineal.
Bab III berisi metode penelitian yang terdiri dari
tujuh (7) sub bab, yaitu pendekatan, spesifikasi
penelitian, lokasi penelitian, jenis dan sumber data,
populasi dan sampel, pengumpulan data, serta metode
pengolahan dan analisis data.
Metode pendekatan menguraikan tentang metode yang
dipergunakan dalam penelitian, yaitu metode pendekatan
yuridis empiris.
Spesifikasi penelitian berisi tentang spesifikasi
penelitian yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini
yakni deskriptif analitis.
Lokasi penelitian dilakukan di Kantor Kerapatan
Adat Nagari Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang yang
diperkirakan menyimpan berbagai bahan hukum yang
berkaitan dengan perumusan masalah.
Jenis data dalam penelitian ini merupakan data
empiris dan data dari bahan pustaka. Jenis data dilihat
dari sudut sumbernya meliputi data primer dan data
sekunder.
Populasi menguraikan apa saja yang menjadi
populasi dalam penulisan tesis ini yakni semua bahan,
data, peraturan-peraturan dan sumber lain yang
berhubungan dengan penelitian. Sampel yang dipergunakan
adalah purposive sample.
Pengumpulan data menguraikan tentang tentang
teknik dalam memperoleh atau mengumpulkan data yang
berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan
penelitian ini yakni melalui data primer yang didukung
oleh data sekunder.
Metode pengolahan dan analisis data menguraikan
tentang metode dalam menarik kesimpulan dari hasil
penelitian yang telah terkumpul yakni metode deskriptif
analitis kualitatif.
Bab IV berisi hasil penelitian dan pembahasan yang
disertai dengan uraian mengenai hasil penelitian yang
merupakan paparan uraian atas permasalahan yang ada
yang terdiri 2 (dua)) sub bab, yaitu mengenai
pelaksaan pembagian warisan atas harta pencarian dalam
lingkungan adat Minangkabau di Kecamatan Lubuk Kilangan
Kota Padang dan kendala dalam pelaksanaan pembagian
warisan atas harta pencarian dalam lingkungan adat
Minangkabau di Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang
berserta upaya untuk mengatasi kendala tersebut.
Bab V berisi penutup yang terdiri dari dua (2) sub
bab, yaitu kesimpulan atas permasalahan yang ada dan
disertai dengan saran penulis. Kesimpulan yang akan
dikemukakan penulis diambil dari hasil penelitian dan
pembahasan. Saran-saran yang akan penulis kemukakan
diperoleh dari hasil penelitian dan pembahasan yang
berisi tentang masukan yang dapat penulis berikan untuk
menjadi bahan pemikiran bagi semua pihak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Adat
1. Pengertian dan Istilah Hukum Adat
Adat diartikan sebagai kebiasaan yang menurut
asumsi masyarakat telah terbentuk baik sebelum
maupun sesudah adanya masyarakat.7 Istilah adat
berasal dari tata bahasa Arab Adah yang merujuk pada
ragam perbuatan yang dilakukan secara berulang-
ulang. Sebagaimana halnya adat, hukum juga berasal
dari istilah Arab hukm (bentuk jamak ahkam) yang
berarti perintah. Istilah hukum ini mempengaruhi
anggota masyarakat terutama yang beragama Islam.
Istilah hukum adat dikalangan masyarakat umum
(awam) sangat jarang dijumpai. Masyarakat cenderung
mempergunakan istilah “adat” saja. Penyebutan ini
mengarah kepada suatu kebiasaan yaitu serangkaian
7 I Gede A.B.Wiranata, Hukum Adat Indonesia, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, halaman 3
perbuatan yang pada umumnya harus berlaku pada
struktur masyarakat bersangkutan. Adat merupakan
pencerminan dari kepribadian suatu bangsa, merupakan
salah satu penjelmaan jiwa bangsa bersangkutan dari
abad kea bad. Oleh karena itu, setiap bangsa di
dunia memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang
satu dengan lainnya tidak sama.
Istilah hukum adat yang merujuk pada istilah
aturan kebiasaan dikenal sudah sangat lama di
Indonesia.8 Misalnya pada zaman pemerintahan Sultan
Iskandar Muda di Aceh Darussalam memerintahkan
disusunnya kitab hukum Makuta Alam yang secara
tersirat melukiskan pemahaman tentang ketentuan
hukum adat sebagai kaidah kebiasaan yang berulang.
Struktur masyarakat diberbagai wilayah Indonesia
tidak memberikan pembatasan jelas tentang apakah
adat dan hukum adat itu. Secara umum hanya
dinyatakan bahwa apabila berbicara mengenai adat dan
hukum adat, seluruhnya mengacu kepada pengertian
konsep tatanan kebiasaan yang berlaku dan baku pada
masyarakat.Kebiasaan dalam arti adat adalah
kebiasaan normatif dan telah berujud aturan tingkah
laku, berlaku serta dipertahankan pada masyarakat.
8 http://www.my.opera.com Tanggal 21 Maret 2008
Pengertian hukum adat menurut para sarjana, yaitu
:
1. Cristian Snouck Hurgronye
Hukum adat pada dasarnya dilaksanakan karena
masyarakat memiliki semangat kekeluargaan dan
masing-masing individu tunduk dan mengabdi pada
dominasi aturan yang disusun oleh kelompok
masyarakat secara keseluruhan.
2. Cornellis Van Vollenhoven
Hukum adat adalah aturan perilaku yang berlaku
bagi orang-orang pribumi dan orang-orang timur
asing, yang di satu pihak mempunyai sanksi dan di
lain pihak tidak di kodifikasi.
3. B. Ter Haar
Hukum adat adalah keseluruhan aturan yang menjelma
dari keputusan-keputusan para fungsionaris hukum
yang mempunyai kewibawaan serta mempunyai pengaruh
dan yang dalam pelaksanaannya berlaku secara serta
merta (spontan) dan ditaati sepenuh hati.
4. R. Soepomo
Hukum adat adalah hukum nonstatutair yang sebagian
besar adalah hukum kebiasaan dan yang sebagian kecil
adalah hukum Islam.
5. Soerjono Soekanto
Hukum adat pada hakikatnya merupakan hukum
kebiasaan artinya kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai
akibat hukum. Berbeda dengan kebiasaan belaka, hukum
adat adalah perbuatan-perbuatan yang diulang dalam
bentuk yang sama.
2. Corak Hukum Adat
Suatu sistem adalah keseluruhan yang tersusun dari
berbagai bagian dimana antara bagian satu dengan
bagian yang lain saling bertautan atau berhubungan.
Tiap hukum merupakan sistem. Sebagai suatu sistem,
kompleks norma-normanya itu merupakan suatu
kebulatan sebagai wujud dari kesatuan alam pikiran
yang hidup dalam masyarakat itu sendiri.
Sistem hukum adat bersendi atas dasar alam pikiran
bangsa Indonesia yang sudah barang tentu berlainan
dengan alam berpikir suku bangsa lain. Pada
masyarakat terdapat beberapa corak kehidupan
bersama, meliputi :9
1. Keagamaan
9 I Gede A.B.Wiranata, Ibid, halaman 58
Corak keagamaan (religius) bersifat kesatuan
batin orang segolongan merasa satu golongan dengan
golongan seluruhnya dan tugas persekutuan adalah
memlihara keseimbangan lahir dan batin antara
golongan dan lingkungan alam hidupnya.
2. Kemasyarakatan
Hidup bersama di dalam masyarakat tradisional
Indonesia bercorak kemasyarakatan dan komunal.
Manusia di dalam hukum adat adalah orang yang
terikat kepada masyarakat. Ia bukan individu yang
asasnya bebas dalam segala tingkah laku dan
perbuatannya. Seorang manusia menurut paham
tradisional hukum adat adalah terutama warna
golongan, teman semasyarakat dan tiap-tiap warga
itu mempunyai hak dan kewajiban-kewajiban menurut
kedudukannya di dalam golongan atau persekutuan
yang bersangkutan.
3. Pengangkatan Kepala Rakyat
Apabila ada lowongan jabatan kepala di
seluruh daerah Indonesia dapat dikatakan bahwa
menurut hukum adat tradisional, pengganti kepala
diangkat atas dasar hukum waris dengan pilihan di
dalam permusyawaratan di rapat desa.
Permusyawaratan dilakukan atas dasar sekato (suara
bulat) antara para warga desa yang berhak ikut
serta dalam rapat ( kumpulan) desa atau antara
seluruh kepala rakyat dari persekutuan.
4. Konkret dan Visual
Konkret artinya jelas, nyata berwujud,
sedangkan visual artinya kasat mata, dapat dilihat
langsung, terbuka, tidak tersembunyi. Tiap-tiap
perbuatan atau keinginan atau berhubungan hukum
tertentu dalam masyarakat hukum adat senantiasa
dinyatakan dengan perwiujudan benda, nyata,
diketahui dan dilihat serta di dengar orang lain.
Makna antara kata dan perbuatan berjalan secara
bersama-sama. Setiap kata yang disepakati selalu
diikuti oleh perbuatan nyata secara bersamaan.
5. Dapat Berubah dan Mampu Menyesuaikan Diri
Pada struktur perubahan sosial dan
masyarakat, hukum adat senantiasa dapat menerima
masuknya unsur-unsur yang datang dari luar, sejauh
tidak bertentangan dengan jiwa hukum adat itu
sendiri. Sederhana, karena hukum adat bersahaja,
tidak rumit administrasinya. Hukum adat mudah
menerima pengaruh hukum ain karena hukum adat
bentuknya tidak tertulis dan tidak dikodifikasi.
Perubahan hukum adat tidak selalu dilakukan
dengan menghilangkan ketentuan adat yang lama dan
menggantinya dengan ketentuan adat yang baru,
namun dengan cara membiarkan kegiatan adat yang
lama membentuk lagi sesuatu yang baru dengan tetap
mempertahankan prinsip pokoknya.10
6. Terbuka dan Sederhana
Hukum adat sangat terbuka dalam menerima
perubahan yang timbul dalam struktur tatanan
perilaku dalam masyarakat. Sebagai akibat sikap
terbuka dan dapat menerima masuknya unsur dari
luar, hukum adat senantiasa dapat berubah menurut
keadaan waktu dan tempat.
3. Bentuk-Bentuk Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan
bersama untuk jangka waktu cukup lama, sehingga
menghasilkan kebudayaan. Masyarakat merupakan
suatu sistem sosial yang menjadi wadah dari pola-
10 I Gede A.B Wiranata, ibid, hal 20
pola interaksi sosial atau hubungan interpersonal
maupun hubungan antar kelompok sosial.
Menurut Soepomo, melihat pola dasar susunan
terbentuknya masyarakat hukum, secara umum dapat
digolongkan dalam bentuk pertalian suatu keturunan
yang sama (genealogis) yang berdasar atas
lingkungan daerah (teritorial) dan yang merupakan
campuran dari keduanya (genealogis territorial)
1. Masyarakat Hukum Genealogis
Masyarakat atau persetukuan hukum yang
bersifat genealogis adalah suatu kesatuan
masyarakat yang teratur, yang keagotaannya
berasal dari dan terikat akan kesatuan kesamaan
keturunan dari 1 (satu) leluhur, baik yang
berasal dari hukungan darah ataupun karena
pertalian perkawinan. Masyarakat hukum
Genealogis dibedakan atas :
a. Masyarakat hukum patrilineal
Masyarakat yang susunan pertalian
darahnya mengikuti garis bapak (laki-laki).
Contoh : masyarakat Batak. Lampung, Nias
Sumba dan Bali
b. Masyarakat hukum matrilineal
Masyarakat yang susunan pertalian
darahnya ditarik menurut garis keturunan ibu
(wanita). Contoh : masyarakat Minangkabau,
Semendo Sumatera Selatan dan Timor.
c. Masyarakat hukum parental
Masyarakat yang susunan pertalian
darahnya ditarik menurut garis keturunan
orang tua secara bersama-sama (ayah dan ibu).
Jadi, hubungan kekerabatannya berjalan secara
sejajar, seimbang, dan sama tingginya. Untuk
menentukan hak-hak dan kewajiban seseorang,
maka kerabat dari pihak bapak sama artinya
dengan kerabat pihak ibu. Contoh : Jawa,
Aceh, Kalimantan dan Sulawesi.
2. Masyarakat Hukum Teritorial
Kelompok masyarakat hukum yang hidup secara
teratur, tertib dan aman berdasarkan asas kesamaan
tempat tinggal. Kelompok orang-orang yang tinggal
dalam lingkungan desa yang sama, di Jawa dan Bali
atau suatu marga di Palembang merupakan suatu
golongan, mempunyai tata susunan kedalam dan
bertindak sebagai kesatuan terhadap dunia luar.
Persekutuan daerah ini dikelompokan dalam 3 (tiga)
jenis, yaitu :
a. Persekutuan desa
Suatu tempat kediaman bersama yang di dalam
daerahnya sendiri termasuk beberapa pedukuhan
yang terletak di sekitarnya tunduk pada
perangkat desa dan bermukim di pusat desa.
Contoh : desa di Jawa dan Bali.
b. Persekutuan daerah
Suatu daerah kediaman bersama terdiri dari
beberapa desa dan menguasai tanah hak ulayat
bersama yang terdiri dari beberapa dusun atau
kampong dengan 1 (satu) pusat pemerintahan
adat, masing-masing anggota persekutuannya
memiliki struktur pemerintahan secara mandiri,
tetapi merupakan bawahan dari daerah. Contoh :
“marga” di Lampung dan “nagari” di Minangkabau.
c. Perserikatan desa
Beberapa desa, kampong atau marga yang
terletak berdampingan dan masing-masing berdiri
sendiri mengadakan perjanjian kerja sama untuk
mengatur kepentingan bersama, misalnya dalam
pengairan, pengaturan, pemerintahan adat,
pertahanan, dan lain-lain.
3. Masyarakat Hukum Genealogis Teritorial
Masyarakat hukum genealogis territorial
adalah bentu penggabungan antara struktur
masyarakat hukum genealogis dan masyarakat hukum
territorial. Hal seperti ini tidaklah mengherankan
karena pada kenyataannya tidak ada 1 (satu) pun
bentuk masyarakat hukum (genealogis maupun
territorial) yang terpisah secara tegas. Tidak ada
kehidupan manuasia yang terpisah dengan tempat
tinggalnya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa
sekarang ini eksistensi dan bentuk-bentuk
persekutuan hukum itu telah mengalami
perkembangan. Bahkan hampir tidak dapat lagi
ditemukan bentuk masyarakat yang benar-benar
genealogis maupun territorial, sebagian besar
telah mengarah pada genealogis territorial.
B. Tinjauan Umum Tentang Minangkabau
Minangkabau adalah suatu lingkungan adat yang
kira-kira terletak di Propinsi Sumatera Barat.
Dikatakan kira-kira karena pengertian Minangkabau
tidaklah persis sama dengan pengertian Sumatera
Barat, karena kata Minangkabau lebih banyak
mengandung makna sosial kultural, sedangkan kata
Sumatera Barat lebih banyak mengandung makna
geografis administratif.11
Terlalu langka sumber pra sejarah yang
bersifat otentik yang akan dapat menuntun kita
untuk dapat mengetahui asal-usul suku bangsa
Minangkabau, Sungguhpun demikian, sekedarnya dapat
juga diketahui melalui literatur tradisional yang
disebut tambo dan dari petatah petitih yang
senantiasa terpelihara secara turun temurun dari
generasi ke generasi secara lisan. Kebenaran isi
tambo itu tidaklah seluruhnya terjamin, mengingat
bahwa penyampaiannya yang berlangsung secara
lisan. Cerita dalam tambo ini setidaknya akan
dapat menuntun kita untuk mengenal perkembangan
selanjutnya dari nenek moyang suku bangsa
Minangkabau.
Nenek moyang suku bangsa Minangkabau berasal
dari pencampuran antara bangsa Melayu tua yang
telah datang pada zaman Neoliticum dengan bangsa
Melayu Muda yang menyusul kemudian pada zaman
11 Amir Syarifuddin, op cit, halaman 122
perunggu, kedua bangsa ini adalah serumpun dengan
bangsa Astronesia.12
Minangkabau dengan kebudayaannya telah ada
sebelum datangnya Islam, bahkan sebelum Hindu dan
Budha memasuki wilayah Nusantara.13 Sebelum datang
pengaruh dari luar, kebudayaan Minangkabau telah
mencapai puncaknya yang terintegrasi dan
kepribadian yang kokoh. Oleh karena itu,
kebudayaan luar yang datang tidak mudah memasukkan
pengaruhnya. Penerimaan kebudayaan dari luar
berjalan secara selektif, sehingga budaya yang
bertentangan dengan falsafah adatnya tidak dapat
bertahan di Minangkabau. Letak Minangkabau yang
diapit dua lautan, yaiu Samudera Hindia dengan
Laut Cina Selatan menyebabkannya menjadi sasaran
kunjungan dari luar. Disamping itu sifatnya yang
terbuka dan mudah menyesuaikan diri dengan
lingkungan menempatkannya pada posisi yang dapat
menerima pengaruh kebudayaan dari luar sejauh
tidak bertentangan secara prinsip dengan
kebudayaannya yang telah ada.
12 Rasyid Manggis, Minangkabau, Sejarah Ringkas dan Adatnya, Sri Darma, Padang, 1971, halaman 11 13 Nasrun, Dasar Filsafat Adat Minangkabau, Bulan Bintang, Jakarta, 1971, halaman 13
Lembaga pemerintahan yang ada di Minangkabau
menyesuaikan diri dengan ajaran Islam. Hal ini
terjadi karena agama Islam di Minangkabau sangat
kuat. Islam masuk di Minangkabau menggantikan
pengaruh Budha yang lebih dahulu datang, dengan
arti bahwa pengaruh Budha dapat hilang di
Minangkabau dan digantikan oleh pengaruh Islam.
Masyarakat Minangkabau mengenal filsafat adat
yang berdasarkan kenyataanyang hidup dan berlaku
dalam alam.14 Bila diteliti bunyi pepatah adat,
baik dari segi sampiran maupun isinya, terlihat
jelas bahwa kata yang lazim dipergunakan adalah
kata benda atau sifat yang terdapat dalam alam
sekitar. Yang demikian diibaratkan untuk kehidupan
manusia dan untuk menjadi pedoman bagi tingkah
laku manusia itu.
Masyarakat Minangkabau memiliki empat tingkatan
adat, yaitu :
a. Adat yang sebenarnya adat (adat nan sabana
adat)
Yang dimaksud dengan adat yang sebenarnya
adat itu adalah kenyataan yang berlaku dalam
alam yang merupakan kodarat lahi atau sesuatu
14 Nasrun, op cit, halaman 13
yang telah dan terus berjalan sepanjang masa,
seperti adat api membakar, adat ayam berkokok,
adat laut berombak. Kalau diperhatikan hubungan
antara sifat dengan yang diberi sifat dalam
setiap contoh yang disebutkan diatas, terlihat
adanya bentuk kelaziman hubungan. Walaupun
demikian masih dipergunakan kata adat yang
umumnya berarti kebiasaan dalam setiap hubungan
tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa apa yang terjadi di
alam ini tidak ada yang pasti secara mutlak.
Walaupun dalam pertimbangan akal terdapat
kepastian, namun tidaklah mustahil bahwa
kebiasaan yang pasti itu suatu waktu tidak
berlaku menurut kehendak Allah. Dengan masuknya
agama Islam di Minangkabau dan berlakunya Islam
sebagai peraturan bagi kehidupan umat, maka
ajaran Islam yang berdasarkan kepada wahyu
Allah itu diakui sebagai suatu yang pasti
sebagaimana pastinya kenyataan yang berlaku
dalam alam.
Dengan demikian ajaran Islam dimasukkan ke
dalam kelompok adat yang sebenarnya adat.15
Kebiasaan yang berlaku atas dasar kodrat Ilahi
yang dinamakan adat yang sebenarnya adat itu
dijadikan pedoman dalam penyusunan tata cara
dan peraturan yang dipakai sebagai pengatur
kehidupan manusia di dunia.
b. Adat yang diadatkan
Adat yang diadatkan yaitu sesuatu yang
dirancang dijalankan, serta diteruskan oleh nenek
moyang yang pertama menempati Minangkabau untuk
menjadi peraturan bagi kehidupan masyarakat dalam
segala bidang. Orang Minangkabau mengetahui secra
turun temurun bahwa perumus dari adat yang
diadatkan itu adalah dua orang tokoh adat yaitu
Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih nan
Sabatang, sebagaimana terdapat dalam tambo dan
buku-buku adat.
Kedua tokoh tersebut merumuskan adat atas
dasar pengalaman kehidupan dan kemampuannya dalam
belajar dari kenyataan. Yang dijadikan pedoman
dasar dari perumusan adat itu adalah kenyataan
15 Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, Bharata, Jakarta, 1977, halam 214
yang hidup dalam alam yang disebut adat yang
sebenarnya adat. Adat yang diadatkan melingkupi
seluruh segi kehidupan, terutama segi kehidupan
sosial, budaya dan hukum.16
c. Adat yang teradat
Adat yang teradat yaitu kebiasaan setempat
yang dapat bertambah pada suatu tempat dan dapat
pula hilang menurut kepentingan.17 Kebiasaan yang
menjadi peraturan ini mulanya dirumuskan oleh
ninik mamak pemangku adat dalam suatu negeri untuk
mewujudkan aturan pokok yang disebut adat yang
diadatkan, yang pelaksanaannya disesuaikan dengan
situasi dan kondisi setempat. Oleh karena itu
adat yang teradat ini dapat berbeda antara satu
negeri dengan negeri lain menurut keadaan, waktu
dan kebutuhan anggotanya. Bila diperbandingkan
antara adat yang teradat dengan adat yang
diadatkan, terlihat bedanya dari segi keumuman
berlakunya.
Adat yang diadatkan bersifat umum
pemakaiannya pada seluruh negeri yang terlingkup
16 Idrus Hakimi Dt. R. Penghulu, Mustika Adat Basandi Syara’, CV. Rosda, Bandung, 1978, halaman 136 17 Datuk Maruhun Batuah, Hukum Adat dan Adat Minangkabau, Pusaka Asli, Jakarta, 1990, halaman 12
dalam suatu lingkaran adat yang dalam hal ini
adalah seluruh lingkungan Minangkabau. Walaupun
kemudian mungkin mengalami perubahan, namun
perubahan itu berlaku merata diseluruh negeri.
d. Adat Istiadat
Adat istiadat dalam pengertian khusus berarti
kebiasaan yang sudah berlaku dalam suatu tempat
yang berhubungan dengan tingkah laku dan
kesenangan. Kebiasaan ini merupakan ketentuan yang
dibiasakan oleh ninik mamak pemangku adat sebagai
wadah penampung kesukaan orang banyak yang tidak
bertentangan dengan adat yang diadatkan serta
tidak bertentangan pula dengan akhlak yang mulia.
Adat istiadat ini tidak berlaku secara umum
dan lebih terbatas lingkungannya. Dalam
pelaksanaannya kadang-kadang menjurus kepada
kebiasaaan buruk menurut ukuran umum.
Keempat macam adat yang disebutkan diatas berbeda
dalam kekuatannya, karena berbeda kekuatan sumber dan
luas pemakaiannya. Yang paling rendah adalah adat
istiadat. Adat istiadat ini dapat naik ketingkat adat
nan teradat bila telah dibiasakan secara meluas serta
tidak menyalahi kaidah pokok yang disepakati. Begitu
pula adat yang teradat dapat menjadi adat yang
diadatkan, bila kebiasaan itu sudah merata diseluruh
negeri dan telah disepakati kebaikannya oleh orang
banyak.18 Bila telah diyakini kebenarannya dan telah
diterima oleh masyarakat sebagai suatu norma yang
mengikat, dapat pula naik menjadi adat yang sebenarnya
adat.
Keempat tingkatan adat itu dalam penggunaan
sehari-hari dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu:
adat, yang tersimpul di dalamnya adat yang sebenarnya
adat dan adat yang diadatkan. Kedua istiadat, yang
tersimpul didalamnya adat yang teradat dan adat
istiadat dalam arti sempit. Keseluruhannya menyimpulkan
kata “adat istiadat Minangkabau”.19
Dalam hubungannya dengan pengertian adat dan hukum
adat, walaupun keduanya sangat tipis perbedaannya, dua
kelompok pertama yang disebut adat, mempunyai daya
mengikat dan dijalankan oleh badan yang mempunyai
kekuasaan dalam masyarakat, dapat disebut hukum adat.
Sedangkan kelompok kedua yang banyak bersifat tuntunan
tingkah laku yang baik, tidak dapat disebut hukum.
18Nasrun, op cit, halaman 45 19 Idrus Hakimi, op cit, halaman 106
Adat Minangkabau dapat menyesuaikan diri dengan
suatu perubahan yang terjadi. Namun ada bagian-bagian
adat yang mengalami perubahan dan ada pula yang sama
sekali tidak mengalami perubahan. Adat yang sebenarnya
adat, yaitu ketentuan yang berlaku dalam alam kodrat
Ilahi dan adat yang diadatkan yang dirumuskan
berdasarkan kepada adat sebenarnya adat itu, termasuk
kepada adat yang tidak mungkin mengalami perubahan,
sebagaimana tidak berubahnya Kodrat Ilahi dan Wahyu
Allah.
Adapun adat yang dapat mengalami perubahan ialah
adat yang teradat dan adat istiadat karena keduanya
dirumuskan oleh ninik pemuka adat sesuai dengan tempat
dan keadaan tertentu. Dalam pelaksanaannya, adat
seperti ini dapat berbeda dalam nagari yang satu dengan
nagari lainnya.
Karena sifatnya yang tidak tertulis, adat ini
dapat menyesuaikan dirinya dengan perkembangan
masyarakat. Pemeliharaan terhadap adat itu adalah
dengan selalu dipakai dan diamalkan. Dengan adanya
bagian adat itu yang tidak mengalami perubahan dan ada
pula yang terus mengalami perkembangan masyarakat, maka
sifat adat Minangkabau disebut tetap dan berubah
Keseluruhan hukum adat Minangkabau tergambar dalam
Undang-Undang yang empat, yaitu :
a. Undang-undang luhak dan rantau
Undang-undang luhak dan rantau mengatur tugas dan
wewenang penghulu dan raja di tempat masing-masing.
Keseluruhan daerah Minangkabau secara garis besar
terbagi kepada dua bahagian yaitu luhak dan daerah
rantau. Pengertian luhak (secara sempurna disebut
luhak yang tiga) ialah daerah asal Minangkabau yang
berada diselingkungan gunung merapi, yaitu Luhak
Agam, Luhak Tanah Datar, dan Luhak Lima Puluh Kota.
Dalam pengertian geografis adaministratif sekarang
luhak itu disebut juga dengan kabupaten. Luhak
merupakan federasi longgar dari negeri-negeri.
Setiap negeri mempunyai pemerintahan sendiri,
mempunyai rakyat sebagai anggotamasyarakat dan
kekayaan sendiri dalam bentuk tanah ulayat negeri
serta mempunyai pimpinan sendiri. Sebuah negeri
telah merupakan suatu masyarakat hukum yang keluar
merupakan suatu kesatuan dengan tata adat istiadat
sendiri.
Pengertian rantau menurut asalnya berlaku bagi
pertemuan sungai dengan laut. Kemudian berlaku untuk
daerah diluar tempat asal. Dalam pengertian
Minangkabau, rantau berarti daerah Minangkabau yang
berada diluar luhak yang tiga. Pada hakikatnya
rantau adalah daerah perluasan dari luhak yang tiga
dalam usaha menampung perkembangan anggota yang
berada dalam luhak itu.
b. Undang-undang negeri
Undang-undang negeri, yaitu ketentuan yang
mengatur susunan masyarakat dalam negeri, syarat
terjadinya negeri dan kelengkapan suatu negeri. Setiap
negeri mempunyai penduduk yang antara sesamanya terikat
dalam suatu kesatuan genealogis yang disebut suku.
Lingkungan itu baru sah disebut negeri bila terdapat
didalamnya empat kesatuan genealogis yang berbeda.
c. Undang-undang dalam negeri
Undang-undang dalam nagari atau disebut juga
undang-undang isi negeri yaitu ketetuan yang mengatur
anak negeri dan sesamanya. Undang-undang ini mencakup
bidang perdata, bidang pidana dan bidang ekonomi.
d. Undang-undang dua puluh
Undang-undang yang dua puluh menyangkut berbagai
bentuk kjahatan yang harus dihindarkan oleh seseorang
dengan sanksi tertentu, bukti terjadinya kejahatan-
kejahatan serta cara pembuktian. Undang-undang ini
terbagi dua yaitu delapan diantaranya mengenai hukum
materil dan dua belas lainnya menyangkut cara
pembuktian.
Hukum adat Minangkabau memiliki perpaduan yang
sangat selaras dengan hukum Islam.dimana dapat
digambarkan sebagai berikut :20
a. Adat keseluruhan yang diterima oleh hukum Islam dan
untuk selanjutnya menjadi Hukum Islam.
b. Hukum Islam merubah hukum adat seluruhnya dengan
arti Hukum Islam menggantikan hukum adat dan hukum
adat tidak berlaku lagi untuk selanjutnya.
c. Hukum Islam membiarkan hukum adat hidup tanpa usaha
menyerapnya kedalam hukum Islam. Hal ini umumnya
berlaku pada bidang muamalat dalam arti yang umum
tidak dalam bidang akidah, karena akidah harus
didasrkan dengan dalil yang kuat, tidak pila pada
bidang ibadat karena ibadat harus didasarkan kepada
petunjuk yang nyata.
Penjelasan yang disebutkan diatas adalah bentuk
penyesuaian adat Arab sebelum Islam terhadap Hukum
Islam yang datang kemudian atau cara-cara penerimaan
Hukum Islam terhadap adat yang sudah berjalan. Hal
tersebut akan menjadi petunjuk dalam peneyesuaian adat
dengan hukum Islam ditempat lain.
20Amir Syarifuddin, Op cit, halaman 169
C. Hukum Kewarisan Adat
Syarat beralihnya harta seseorang yang telah
meninggal kepada yang masih hidup adalah adanya
hubungan silaturrahmi atau kekerabatan antara
keduanya. Adanya hubungan kekerabatan ditentukan
oleh hubungan darah dan perkawinan. Pada tahap
pertama, seorang anak yang lahir dari seorang ibu
mempunyai hubungan kerabat dengan ibu yang
melahirkannya itu. Hal ini tidak dapat dibantah
karena sia anak keluar dari rahim ibunya tersebut.
Oleh karena itu hubungan yang terbentuk ini adalah
alamiah sifatnya.
Dengan berlakunya hubungan kekerabatan antara
seorang anak dengan ibunya, maka berlaku pula
hubungan kekerabatan itu dengan orang-orang yang
dilahirkan oleh ibunya itu. Dengan begitu secara
dasar terbentuklah kekerabatan menurut garis ibu
(matrilineal).21
Berdasarkan hubungan perkawinan, maka seorang
istri adalah ahli waris suaminya dan suami adalah
ahli waris bagi istrinya. Berlakunya hubungan
21 Kuntjaraningrat, Skema dari Pengertian-Pengertian Baru untuk Mengenal Sistim Kekerabatan, Laporan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional, Jakarta, halaman 443
kewarisan antara suami dan istri dengan didasarkan
telah dilangsungkan antara keduanya akad nikah yang
sah. Pengertian sah menurut hukum Islam adalah telah
dilaksanakan sesuai dengan rukun dan syarat yang
ditentukan serta terhindar dari segala sesuatu yang
mengahalangi.
1. Asas-asas Hukum Kewarisan
Hukum adat Minangkabau mempunyai asas-asas
tertentu dalam kewarisan. Asas-asas itu banyak
bersandar kepada sistem kekerabatan dan
kehartabendaan, karena hukum kewariasan suatu
masyarakat ditentukan oleh struktur kemasyarakatan.22
Sistem kewarisan berdasarkan kepada pengertian
keluarga karena kewarisan itu adalah peralihan
sesuatu, baik berwujud benda atau bukan benda dari
suatu generasi dalam keluarga kepada generasi
berikutnya. Penegrtian keluarga berdasarkan pada
perkawinan, karena keluarga tersebut dibentuk
melalui perkawinan. Dengan demikian kekeluargaan dan
perkawinan menentukan bentuk sistem kemasyarakatan.23
22 Iskandar Kamal , Beberapa Aspek dari Hukum Kewarisan Matrilineal ke Bilateral di Minangkabau, Center of Minangkabau Studies, Padang, 1988, halaman 153 23 Hazairin , Hendak Kemana Hukum Islam, Tintamas, Jakarta, 1976, halaman 14
Adat Minangkabau mempunyai pengertian tersendiri
tentang keluarga dan tentang tata cara perkawinan.
Dari kedua hal ini muncul cirri khas struktur
kemasyarakatan Minangkabau yang menimbulkan bentuk
atau asas tersendiri pula dalam kewarisan. Beberapa
asas pokok dari hukum kewarisan Minangkabau adalah
sebagai berikut :
a. Asas Unilateral
Yang dimaksud asas unilateral yaitu hak
kewarisan yang hanya berlaku dalam satu garis
kekerabatan, dan satu garis kekerabatan disini
adalah garis kekerabatan ibu. Harta pusaka dari
atas diterima dari nenek moyang hanya melalui
garis ibu kebawah diteruskan kepada anak cucu
melalui anak perempuan. Sama sekali tidak ada yang
melalui garis laki-laki baik keatas maupun
kebawah.
b. Asas Kolektif
Asas ini berarti bahwa yang berhak atas harta
pusaka bukanlah orang perorangan, tetapi suatu
kelompok secara bersama-sama. Berdasarkan asas ini
maka harta tidak dibagi-bagi dan disampaikan
kepada kelompok penerimanya dalam bentuk kesatuan
yang tidak terbagi.
Dalam bentuk harta pusaka tinggi adalah wajar
bila diteruskan secara kolektif, karena pada waktu
penerimaannya juga secara kolektif, yang oleh
nenek moyang juga diterima secara kolektif. Harta
pusaka rendah masih dapat dikenal pemiliknya yang
oleh si pemilik diperoleh berdasarkan
pencahariannya. Harta dalam bentuk inipun diterima
secara kolektif oleh generasi berikutnya.
c. Asas Keutamaan
Asas keutamaan berarti bahwa dalam penerimaan
harta pusaka atau penerimaan peranan untuk
mengurus harta pusaka, terdapat tingkatan-
tingkatan hak yang menyebabkan satu pihak lebih
berhak dibanding yang lain dan selama yang berhak
itu masih ada maka yanag lain belum akan
menerimanya.
Memang asas keutamaan ini dapat berlaku dalam
setiap sistem kewarisan, mengingat keluarga atau
kaum itu berbeda tingkat jauh dekatnya dengan
pewaris. Tetapi asas keutamaan dalam hukum
kewarisan Minangkabau mempunyai bentuk sendiri.
Bentuk tersendiri ini disebabkan oleh bentuk-
bentuk lapisan dalam sistem kekerabatan
matrilineal Minangkabau.
2. Ahli waris
Pengertian ahli waris disini adalah orang
atau orang-orang yang berhak meneruskan peranan
dalam pengurusan harta pusaka. Pengertian ini
didasarkan pada asas kolektif dalam pemilikan dan
pengolahan harta serta hubungan seorang pribadi
dengan harta yang diusahakannya itu sebagai hak
pakai. Menurut adat Minangkabau pemegang harta
secara praktis adalah perempuan karena ditangannya
terpusat kekerabatan matrilineal.24
Dalam beberapa literatur tradisional adat
yaitu tambo dijelaskan bahwa menurut asalnya
warisan adalah untuk anak sebagaimana berlaku
dalam kewarisan bilateral atau parental. Perubahan
ke sistem matrilineal berlaku kemudian suatu sebab
tertentu.
Ahli waris atas harta pencaharian seseorang
yang tidak mempunyai anak dan istri adalah ibunya.
24 DH. Bagindo Tanameh, Hukum Adat dan Adat Minangkabau, Pusaka Asli, Jakarta 1990, halaman 48
Kalau ibu sudah tidak ada, maka hak turun kepada
saudaranya yang perempuan dan untuk selanjutnya
kepada ponakan yang semuanya berada dirumah
ibunya.25 Sedangkan ahli waris terhadap harta
pencaharian seorang perempuan adalah kaumnya yang
dalam hal ini tidak berbeda antara yang punya anak
dengan yang tidak mempunyai anak.
Perbedaannya hanya antara yang dekat dengan
yang jauh. Kalau sudah mempunyai anak, maka
anaknya yang paling dekat.26 Seandainya belum punya
anak, maka yang paling dekat adalah ibunya,
kemudian saudaranya serta anak dari saudaranya.
Adat Minangkabau tidak mengakui kewarisan istri
terhadap harta mendiang suaminya begitu pula
sebaliknya.27 Hal ini didasarkan kepada ketentuan bahwa
harta tidak boleh beralih keluar kaum, sedangkan
suami atau istri berada diluar lingkungan kaum
berdasarkan perkawinan eksogami. Namun dalam
perkembangannya, setelah Islam masuk ke
Minangkabau barulah dikenal hak kewarisan janda atau
duda, itupun tertentu pada harta pencaharian.
25 Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan Subakti Pusponoto, Pradya Paramita, Jakarta, 1989, halaman 212 26 Ter Haar, Op cit, Halaman 197 27 Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Soeroengan, Jakarta 1980, halaman 122
3. Cara-cara Pewarisan
Cara-cara pewarisan yang dimaksud ialah proses
peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris dalam
pengertian adat Minangkabau lebih banyak berarti
proses peralihan peranan dari pewaris kepada ahli
waris dalam hal yang menyangkut penguasaan harta
pusaka. Cara-cara peralihan itu lebih banyak
tergantung kepada macam harta yang akan dilanjutkan
dan macam ahli waris yang akan melanjutkannya.
Pewarisan harta ini di Minangkabau terbagi atas :
a. Pewarisan harta pusaka
Harta adalah harta yang dikuasai oleh kaum
secara kolektif, sedangkan ahli waris adalah
anggota kaum secara kolektif pula, maka kematian
seseorang dalam kaum tidak banyak menimbulkan
masalah. Harta tetap tinggal pada rumah yang
ditempati oleh kaum untuk dimanfaatkan bersama
oleh seluruh anggota kaum itu.
Penerusan harta atau peranan pengurusan atas
harta pusaka hanya menyangkut harta pusaka tinggi
yang murni, dengan arti belum dimasuki unsur harta
pencarian yang kemudian menjadi harta pusaka
rendah. Bila harta pusaka telah tercampur antara
pusaka tinggi dan pusaka rendah maka timbul
kesukaran.
Timbulnya kesukaran ini ialah karena adanya
pemikiran bahwa harta pencarian suatu kaum atau
rumah, hanya berhak dilanjutkan oleh keturunan
dalam rumah itu dan tidak dapat beralih kerumah
lain walaupun antara kedua rumah itu terlingkup
dalam pengertian satu kaum dalam artian yang lebih
luas.
b. pewarisan harta bawaan
Harta bawaan ialah harta yang dibawa oleh
seorang suami kerumah istrinya pada waktu
perkawinan. Harta bawaan dapat berbentuk hasil
pencarian sendiri yang didapat menjelang
berlangsungnya perkawinan atau hibah yang
diterimanya dalam masa perkawinan dan harta kaum
dalam bentuk hak pakai genggam beruntuk yang telah
berada ditangan suami menjelang kawin atau
didapatnya hak tersebut dalam masa perkawinan.
Kedua macam harta bawaan itu, karena timbul
diluar usaha suami istri, adalah hak penuh si
suami, maka tidak ada hak istri didalamnya. Bila
suami meninggal, maka yang menyangkut harta bawaan
berlakulah ucapan adat “bawaan kembali, tepatan
tinggal”.
Pengertian harta bawaan kembali ialah
pulangnya harta itu kembali ke asalnya yaitu kaum
dari suami. Tentang kembalinya harta yang berasal
dari harta pusaka adalah jelas karena hubungan
suami dengan harta pusaka itu hanya dalam bentuk
hak pakai atau pinjaman dari kaum.
Sebagaimana layaknya, harta pinjaman kembali
ke asalnya. Sedangkan harta bawaan yang berasal
dari hasil pencarian pembujangan si suami sebelum
kawin juga kembali kepada kaum sebagaimana harta
pencaharian seseorang yang belum kawin.
Bila dibandingkan status kedua bentuk harta
itu, maka pada harta pusaka, hak kaum didalamnya
lebih nyata sedangkan pada harta pencaharian,
adanya hak kaum lebih kabur. Oleh karena itu pada
bentuk yang kedua ini lebih banyak menimbulkan
sengketa. Pada bentuk yang pertama sejauh dapat
dibuktikan bahwa harta itu adlaah harta pusaka,
pengadilan menetapkan kembalinya harta itu kepada
kaum dari suami.
c. Pewarisan harta tepatan
Yang dimaksud dengan harta tepatan atau harta
dapatan ialah harta yang telah ada pada istri pada
waktu suami kawin dengan istri itu. Harta yang
didapati oleh suami di rumah istri itu dari segi
asal-usulnya ada dua kemungkinan yaitu harta
pusaka yang ada di rumah itu dan harta hasil
usahanya sendiri.
Kedua bentuk harta itu adalah untuk anak-
anaknya kalau ia telah meninggal. Perbedaannya
ialah bahwa harta hasil usahanya adalah untuk
anak-anaknya saja, sedangkan harta pusaka di
samping hak anak-anaknya, juga merupakan hak bagi
saudara-saudaranya karena harta itu diterimanya
bersama dengan saudara-saudaranya.
Bila si suami meninggal, maka harta tersebut
tidak akan beralih keluar dari rumah istrinya itu.
Kaum si suami tidak berhak sama sekali atas kedua
bentuk harta itu. Apa yang dilakukan selama ini
hanyalah mengusahakan harta itu yang hasilnya
telah dimanfaatkannya bersama dengan keluarga itu.
Suami sebagai pendatang, karena kematiannya itu
tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap harta yang
sudah ada di rumah si istri waktu ia datang
kesana.
d. Pewarisan harta pencarian
Harta pencarian yang didapat seseorang
dipergunakan untuk menambah harta pusaka yang
telah ada. Dengan demikian, harta pencarian
menggabung dengan harta pusaka bila yang
mendapatkannya sudah tidak ada. Dengan
menggabungkannya dengan harta pusaka, dengan
sendirinya diwarisi oleh generasi ponakan.
Perubahan berlaku setelah kuatnya pengaruh
hukum Islam yang menuntut tanggung jawab seseorang
ayah terhadap anaknya. Dengan adanya perubahan
ini, maka harta pencaharian ayah turun kepada
anaknya. Dalam penentuan harta pencarian yang akan
diturunkan kepada anak itu, diperlukan pemikiran,
terutama tentang kemurnian harta pencarian itu..
Adakalanya harta pencarian itu milik kaum namun
adakalanya pula harta pencarian itu merupakan
hasil usaha yang modalnya dari harta kaum, jadi
tidak dapat dikatakan bahwa semuanya adalah harta
pencarian secara murni. Dalam keadaan demikian
tidak mungkin seluruh harta pencarian itu diwarisi
oleh anak. Dalam bentuk yang kabur ini maka
berlaku cara pembagian menurut alur dan patut.
Tidaklah adil bila semua harta diambil oleh
anak.28
Bila harta pencarian tercampur langsung
dengan harta pusaka, maka masalahnya lebih rumit
dibandingkan dengan harta pencarian yang
didalamnya hanya terdapat unsur harta kaum.
Kerumitan itu disebabkan oleh karena hak ponakan
pasti terdapat didalamnya, hanya kabur dalam
pemisahan harta pencarian dari harta kaum.
Oleh karena tidak adanya kepastian tentang
pemilikkan harta itu, sering timbul sengketa yang
berakhir di pengadilan antara anak dan ponakan.
Ponakan menganggap harta itu adalah harta pusaka
kaum sedangkan si anak menganggap harta adalah
harta pencarian dari ayahnya. Penyelesaian
biasanya terletak pada pembuktian asal usul harta
itu.
e. pewarisan harta bersama
Yang dimaksud harta bersama disini ialah
harta yang didapat oleh suami istri selama ikatan
28 Nasrun, op cit, halaman .51.
perkawinan. Harta bersama ini dipisahkan dari
harta bawaan yaitu yang dibawa suami kedalam hidup
perkawinan dan harta tepatan yang didapati si
suami pada waktu ia pulang ke rumah istrinya itu
wa;aupun sumber kekayaan bersama itu mungkin pula
berasal dari kedua bentuk harta tersebut.
Harta bersama dapat ditemukan secara nyata
bila sisuami berusaha dilingkungan istrinya, baik
mendapat bantuan secara langsung dari istrinya
atau tidak. Dengan demikian hasil usaha suami
diluar lingkungan si istri dalam keluarga yang
tidak, disebut harta bersama.
f. Lembaga Hibah
Hibah adalah istilah Hukum Islam yang
terpakai secara luas dan menjadi istilah hukum
dalam Hukum Adat Minangkabau. Dalam istilah Hukum
Islam hibah berarti penyerahan hak milik kepada
orang lain selagi hidup yang mempunyai hak tanpa
ada suatu imbalan.29 Yang dimaksud penyerahan
dalam definisi tersebut ialah usaha mengalihkan
sesuatu kepada yang lain.
29 Said Sabiq, Fiqhu as Sunnah III, Daru Alkitabi al Arabi, Beirut, 1971 Hal.535.
Usaha pengalihan itu dibatasi oleh sifat-
sifat yang menjelaskan hakikat dari hibah itu.
Pertama kata “hak milik” yang berarti bahwa yang
diserahkan itu adalah materi dari harta hingga
kalau yang diserahakan hanya memanfaatkannya saja,
perbuatan itu disebut pinjaman.30 Kata “selagi
hidup” mengandung arti bahwa perbuatan pemindahan
itu berlaku sewaktu yang punya hak masih hidup dan
beralih hak itu secara efektif selama ia masih
hidup. Kalau perbuatan itu berlaku semasa hidup
dan beralih sesudah matinya yang punya hak, maka
perbuatan tersebut dinamai wasiat.
Sedangkan “tanpa adanya imbalan” berarti
bahwa perbuatan itu adalah semata-mata kehendak
sepihak dan tanpa mengharapkan apa-apa. Seandainya
mengharapkan imbalan dalam bentuk materi pula
disebut tukar-menukar atau imbalan pahala dari
Allah disebut sedekah
Bila diperhatikan hakikat hibah sebagaimana
dijelaskan diatas dan dibandingkan dengan
pengertian hibah yang berlaku dilingkungan adat
Minangkabau, maka akan dijelaskan bahwa yang
30 Kamaluddin ibn al Humam, Fathu al Qadir IX, Mustafa al Babi, Mesir, 1970. Hal.3.
berlaku di Minangkabau adalah hibah yang terdapat
dalam Hukum Islam. Hal ini berarti bahwa hibah
yang telah melembaga dalam lingkungan adat
Minangkabau adalah pengaruh Islam, yang dalam
pelaksanaannya disesuaikan dengan keadaan yang
berlaku di Minangkabau.
Tentang sejauh mana penyesuaian hibah itu
dalam lingkungan adat Minagkabau dapat diketahui
dari prinsip hibah menurut Hukum Islam dan
bagaimana yang berlaku dalam kenyataan.Lembaga
hibah diterima di lingkungan adat sebagai suatu
jalan keluar terhadap sesuatu norma yang berlaku
tanpa keinginan untuk mengubah norma tersebut.
Hasil dari pelaksanaan hibah itu kelihatan seperti
mengoreksi suatu hukum yang berlaku.31 Bila
diperhatikan adat Minangkabau sebelum adanya
pengaruh Islam yang berhubungan dengan harta
terlihat beberapa prinsip.
Pertama bahwa seseorang laki-laki hanya
bertanggunga jawab terhadap kehidupan ponakannya
yang sewaktu-waktu akan menggantikan peranannya
dalam suatu kerabat matrilineal. Kedua bahwa harta
itu adalah kepunyaan kaum dan hanya dapat
31 Ter Haar, op cit, hal 208.
digunakan untuk kepentingan anggota kaum dan tidak
dapat beralih keluar lingkungan kaum.
Lembaga hibah masuk ke Minangkabau seiring
dengan kesadaran orang-orang Minagkabau yang sudah
memeluk agama Islam untuk bertanggung jawab secara
moral dan materil dirumah istrinya. Pada waktu
lembaga hibah mulai berlaku, belum ada pemisahan
secara tegas antara harta pusaka dengan harta
pencarian, dengan arti keduanya berbaur dalam
bentuk harta kaum. Dengan demikian, menhibahkan
harta kepada anak berarti membawa harta kaum
keluar lingkungan kaum.
Setelah harta pencarian terpisah dari
pengertian harta pusaka, maka harta pencarian itu
lebih mudah untuk di hibahkan karena harta
tersebut kurang kuat kaitannya dengan harta kaum.
Pada waktu itu terhadap harta pencarian masih
diperlakukan lembaga hibah dan bukan pewarisan,
karena pewarisan harta pencarian masih belum
melembaga di Minangkabau, sebab masih ada anggapan
bahwa harta tersebut menggabung dengan harta
pusaka setelah meninggalnya yang punya harta
pencarian itu.
D. Harta Pencarian
1. Pemisahan harta pencarian dari Harta Pusaka
Harta Pusaka sebagai unsur pokok dalam
organisasi kekerabatan Matrilineal Minangkabau
menurut asalnya diperoleh oleh nenek moyang yang
mula-mula mendiami suatu tempat. Ditempat itu
mereka mengolah hutan tinggi menjadi tanah
pertanian dan perumahan. Di tempat itu pula mereka
mendirikan tempat tinggal untuk keluarganya.
Pengertian keluarga menurut sistem
Matrilineal, terbatas pada ibu dan anak-anaknya,
baik laki-laki atau perempuan, berikutnya kebawah
bersama anak-anak dari anak perempuannya.32
Keseluruhannya berada dalam satu lingkungan tempat
tinggal dalam bentuk rumah gadang. Harta yang
diperoleh oleh ibu itu dipergunakan untuk
kepentingan seluruh keluarga dalam rumah itu dan
menjadi milik bersama bagi seluruh anggota
tersebut.33
Di tangan suatu keluarga terdapat dua bentuk
harta. Pertama, harta yang sudah ada yang
32 Hazairin, op cit, halaman 6 33 Ter Haar, op cit, halaman 197
dipeolehnya sebagai peninggalan generasi
sebelumnya dirumah itu. Harta tersebut disebut
harta pusaka dalam arti yang sebenarnya. Kedua,
harta yang didapatnya sendiri melalui hasil
usahanya. Harta yang demikian kemudian disebut
harta pencaharian. Walaupun pada waktu itu telah
kelihatan bentuk harta pencaharian, namun harta
pencaharian itu masih terkait secara rapat dengan
harta pusaka.
Terkaitnya harta pencarian dengan harta
pusaka pada waktu itu adalah karena seluruh harta
pencarian itu berasal dari harta kaum. Dari segi
penggunaan tidak ada perbedaan antara harta yang
didapat melalui pusaka dengan yang didapat melalui
usaha sendiri. Keduanya dipergunakan untuk
kepentingan anggota matrilinealnya.
Pada bentuknya yang pertama yaitu harta
pusaka memang digunakan untuk kepentingan keluarga
matrilinealnya. Dalam bentuknya yang kedua yaitu
harta pencarian, karena modalnya dari harta
pusaka, maka wajarlah digunakan untuk kepentingan
keluarga matrilinealnya itu. Ditinjau dari segi
lain, adat tidak memberati seseorang untuk
membiayai anggota yang berada diluar lingkungan
rumah ibunya itu, termasuk anak istrinya. Oleh
karena itu tidak ada yang mendorong seseorang
untuk membawa harta itu keluar dari lingkungan
kaumnya.
Ada beberapa hal yang masih menyebabkan
seseorang merasa belum perlu untuk membawa harta
hasil pencariannya keluar dari rumah ibunya, yang
hal tersebut erat kaitannya dengan sistem
matrilineal itu sendiri yaitu pertama sikap dan
rasa keterikatan seseorang dalam lingkungan
keluarga matrilinealnya hal ini disebabkan oleh
keberadaannya dilingkungan keluarga ibu dalam
waktu yang lama. Kedua, sebagai pendatang ia hidup
dilingkungan rumah istrinya dalam waktu yang
sedikit sekali karena sebagian besar waktunya
sudah dipergunakan dirumah ibunya. Hal tersebut
itdak menimbulkan keintiman dan kasih sayang
timbal balik antara dirinya dengan anak dan
istrinya.
Bila seseorang laki-laki belum merasa perlu
untuk membawa harta pencariannya keluar
lingkungannya maka tidak ada pula dorongan untuk
memisahkan pencariannya dari harta pusaka karena
keduanya dipergunakan untuk keperluan yang sama
yaitu untuk kehidupan keluarga dirumah ibunya.
Terpisahnya pengertian harta pencarian dari
harta pusaka dapat dipastikan berlaku semenjak
Islam masuk di Minangkabau. Hal yang demikian
merupakan pengaruh langsung dari Hukum Islam.
Harta pusaka tidak dapat dipergunakan untuk
membiayai anak istri, maka untuk keperluan itu
harus dicarikan dari luar lingkungan harta pusaka.
Dengan demikian timbul dorongan untuk mengeluarkan
hasil usahanya sendiri dari harta pusaka, yang
sebelumnya dua bentuk harta itu berbaur dalam
bentuk harta kaum. Selanjutnya mulailah pemisahan
harta pencarian dari harta pusaka.
Adanya pemisahan harta pencarian itu
merupakan titik awal dari pemilikkan perorangan
dalam harta di Minangkabau. Ada beberapa faktor
yang menyebabkan timbulnya pemilikkan perorangan
tersebut. Diantaranya yang dianggap pokok adalah
sistem ekonomi modern yang menyebabkan seseorang
berusaha diluar harta pusaka.34 Namun dalam hal
34 B.Schrieke, Indonesian Sosiological Studies, Sumur Bandung, Bandung, 1980 hal.95.
pemisahan harta pencarian itu, faktor kesadaran
akan tanggung jawab terhadap anak sebagai pengaruh
ajaran Islam lebih menentukan.
Adanya pemisahan harta pencarian itu
menyebabkan timbulnya pengakuan akan adanya hak
anak pada harta tersebut. Tetapi sesampainya hasil
pencarian itu menjadi hak penuh bagi seseorang
laki-laki yang mendapatkannya untuk kemudian
diwariskannya kepada anak-anaknya memerlukan waktu
yang panjang.
Terpisahnya harta pencarian seseorang dari
harta pusaka berlaku secara berangsur-angsur.
Adanya kebebasan pribadi dalam menggunakan harta
pencaharian, besar sekali pengaruhnya atas si
laki-laki untuk berusaha, karena ia meyakini apa
yang diperolehnya dari usahanya itu adalah untuk
kepentingan keluarganya sendiri. Segi kelemahan
dari kebebasan pribadi dalam harta pencaharian
ialah tidak terjaminnya kelestarian harta itu,
karena bila seseorang bebas dalam memanfaatkan
harta yang diperolehnya, juga bebas untuk
bertindak mengalihkan harta tersebut.
2. Pewarisan Harta Pencarian Menurut Hukum Islam
Untuk mengetahui pewarisan harta pencarian
dalam lingkungan adat Minangkabau menurut tinjauan
Hukum Islam, dapat dilihat dari membandingkan
bagaimana pewarisan itu semestinya menurut Hukum
Islam dan bagaimana kewarisan itu yang berlaku
menurut hukum adat Minangkakabau.
Dengan memperbandingkan kedua asas-asas
kewarisan tersebut, terlihat banyak titik
perbedaan diantara keduanya, terutama dari segi
lahirnya. Dalam harta pencarian bagi masyarakat
Minangkabau menurut lahirnya ahli waris yang
kelihatan adalah ponakan, sedangkan anak bukanlah
ahli waris. Hukum Islam menetapkan anak-anak
sebagai ahli waris yang berhak, sedangkan ponakan
berada didalam urutan belakang. Oleh karena itu,
bila dilihat lahirnya secara sepintas lalu, dapat
dikatakan bahwa pelaksanaan pewarisan harta
pencarian adat Minangkabau, menyalahi Hukum Islam.
Akan tetapi, dalam menetapkan hukum, terutama
yang menyangkut sah dan batal, halal dan haram
tidaklah semudah itu. Tidak hanya dilihat secara
sepintas lalu, namun harus dari segala segi.
Adapun segi-segi yang harus diperhatikan adalah
yang menyangkut hak, pemilikan harta, dan
peralihan harta. Pewarisan menurut adat bukanlah
berarti peralihan harta dari pewaris kepada ahli
waris, tetapi peralihan peranan atas pengurusan
harta pusaka itu. Dengan demikian terlihat adanya
perbedaan dalam sistem. Kematian seseorang tidak
membawa pengaruh apa-apa terhadap status harta
pusaka, karena yang mati itu hanya sekedar
pengurus.
Hal tersebut sangat berbeda dengan pewarisan
dalam Hukum Islam, pewarisan berarti, peralihan
hak dari yang mati kepada yang masih hidup. Yang
beralih adalah harta. Dalam bentuk harta yang
bergerak, harta itu berpindah dari satu tempat ke
tempat lainnya, sedangkan dalam bentuk harta yang
tidak bergerak, maka yang beralih adalah status
kepemilikan hartanya.
Di Minangkabau, dari segi orang yang
menghasilkan harta pencarian, maka harta tersebut
dikelompokkan pada dua kelompok, yaitu
1. Harta pembujangan, yaitu harta pencaharian yang
dipeoleh seseorang yang belum kawin atau tidak
mempunyai keluarga. Dalam hal ini, keseluruhan
harta itu adalah milik pribadi yang
memperolehnya. Walaupun kemudian harta ini
dibawanya kedalam perkawinan, harta tersebut
tetap berada diluar harta bersama.
2. Harta perkawianan, yaitu harta pencarian yang
diperoleh bersama suami istri selama
berlangsungnya perkawinan, selama tidak terkait
dengan harta bawaan atau harta tepatan
Untuk dapatnya harta perkawinan dijadikan
harta warisan, harus diadakan pemurnian dengan
jalan mengeluarkan hak suami atau istri, namun
hal ini dilakukan hanya bila suami atau istri
mempunyai ahli waris di luar lingkungan
rumahnya. Harta pencaharian yang sudah bebas
dari harta pusaka, sudah memenuhi syarat untuk
dijadikan harta warisan, sebagaimana yang
terkandung di dalam ajaran Hukum Islam.
Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan, bahwa
harta pencarian sama sekali tidak tercampur dengan
harta pusaka, bagi masyarakat Minangkabau harta
pencaharian tersebut dibagi sesuai ajaran Hukum
Islam.
BAB III
METODE PENELITIAN
Di dalam penyusunan penulisan tesis yang berjudul
“PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARISAN ATAS HARTA PENCARIAN
DALAM LINGKUNGAN ADAT MINANGKABAU DI KECAMATAN LUBUK
KILANGAN KOTA PADANG” ini membutuhkan data yang akurat
baik data primer maupun data sekunder, guna memperoleh
jawaban atas permasalahan yang dirumuskan pada Bab
Pendahuluan.
Guna mendapatkan data yang diperlukan sehingga
memberikan gambaran secara jelas mengenai permasalahan-
permasalahan seperti penulis maksudkan, maka diperlukan
suatu langkah-langkah atau metode dalam penelitian.
Metode pada hakekatnya membentuk pedoman tentang
tata cara seseorang mempelajari, menganalisa, dan
memahami lingkungan yang dihadapinya. Kegiatan
penelitian dilakukan apabila seseorang melakukan usaha
untuk bergerak dari teori ke pemilihan metode.
Metode penelitian merupakan suatu bagian dalam
penelitian yang menyajikan bagaimana cara atau langkah-
langkah yang harus diambil dalam suatu penelitian
secara sistematis dan logis sehingga dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.35
35Sutrisno Hadi, Metode Riset Nasional, AKMIL, Magelang, 1987, hlm.8.
Seorang peneliti harus menguasai secara seksama
metode penelitian baik penguasaan teori-teori
penelitian, praktek penerapannya maupun tata cara
penulisan laporan yang benar.
Dalam hal ini tidak mungkin seorang peneliti akan
melakukan penelitian dan menuliskan laporan hasil
penelitiannya secara sempurna bila ia tidak menguasai
metodenya.
Penguasaan metode penelitian akan bermanfaat
secara nyata bagi seorang peneliti dalam melakukan
tugas penelitian. Peneliti akan dapat melakukan
penelitian lebih benar sehingga hasil yang diperoleh
tentu berkualitas prima.36
Dari uraian di atas metode merupakan unsure mutlak
guna melakukan penelitian. Sehingga dalam penyusunan
tesis ini penulis menggunakan beberapa metode
penelitian, yaitu:
A. Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini terutama adalah pendekatan yuridis empiris. Yuridis
empiris artinya adalah mengidentifikasikan dan
36Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hlm.17.
mengkonsepsikan hukum sebagai institusi sosial yang
riil dan fungsional dalam sistem kehidupan yang
mempola.37
Pendekatan secara yuridis dalam penelitian ini
adalah pendekatan dari segi peraturan perundang-
undangan dan norma-norma hukum sesuai dengan
permasalahan yang ada, sedangkan pendekatan empiris
adalah menekankan penelitian yang bertujuan memperoleh
pengetahuan empiris dengan jalan terjun langsung dari
objeknya.
Dengan demikian metode pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini terutama adalah pendekatan yuridis
empiris mengingat permasalahan yang diteliti dan dikaji
adalah Pelaksanaan Pembagian Warisan Atas Harta
Pencarian Dalam Lingkungan Adat Minangkabau di
Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang.
B. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini merupakan tipe penelitian
deskripsi, dengan analisis datanya bersifat deskriptif
analitis. Deskripsi maksudnya, penelitian ini pada
37Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, 1984, hlm.51.
umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara
sistematis, faktual dan akurat tentang pelaksanaan
pembagian warisan atas harta pencarian dalam lingkungan
dat Minangkabau di Kecamatan Lubuk Kilangan Kota
Padang.38 sedangkan deskriptif, artinya dalam
penelitian ini analisis datanya tidak keluar dari
lingkup sampel, bersifat deduktif, berdasarkan teori
atau konsep yang bersifat umum yang diaplikasikan untuk
menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan
komparasi atau hubungan seperangkat data dengan data
lainnya,39 serta analitis artinya dalam penelitian ini
analisis data mengarah menuju ke populasi data.40
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Kantor Kerapatan
Adat Nagari Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang yang
diperkirakan menyimpan berbagai bahan hukum yang
diperlukan dan berkaitan dengan masalah pewarisan harta
pencarian dalam lingkungan adat Minangkabau.
D. Jenis dan Sumber Data
38Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm.36. 39Ibid, hlm.38. 40Ibid, hlm.39.
Jenis data dalam penelitian ini merupakan data
yang diperoleh langsung dari masyarakat (data
empiris) dan dari bahan pustaka.41 Adapun jenis data
dilihat dari sudut sumbernya meliputi:
1. Data Primer
Adapun data primer atau data dasar dalam
penelitian ini diperlukan untuk memberi pemahaman
secara jelas dan lengkap terhadap data sekunder
yang diperoleh secara langsung dari sumber
pertama, yakni dari responden.
2. Data Sekunder
Dalam penelitian ini data sekunder merupakan
data pokok yang diperoleh dengan cara menelusuri
bahan-bahan hukum secara teliti.
E. Populasi dan Sampel
Populasi atau universe adalah sejumlah manusia
atau unit yang mempunyai ciri-ciri atau karakteristik
yang sama.42 Sampel yang dipergunakan dalam penelitian
dengan judul “Pelaksanaan Pembagian atas Hart Pencarian
dalam Lingkungan Adat Minangkabau di Kecamatan Lubuk
41Soerjono Soekanto, Op. Cit, hlm.51. 42Ibid, hlm.172.
Kilangan Kota Padanga” adalah purposive sample.
Penarikan sampel secara purposive yaitu penentuan
responden yang didasarkan atas pertimbangan tujuan
tertentu dengan alasan responden adalah orang-orang
yang berdasarkan kewenangan dianggap dapat memberikan
data dan informasi dalam hal ini adalah Ketua Kerapatan
Adat Nagari Kecamatan Lubuk Kilangan, Mamak Kepala
Waris dan Orang-orang yang pernah membagi warisan.
F. Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data diusahakan sebanyak mungkin
data yang diperoleh atau dikumpulkan mengenai masalah-
masalah yang berhubungan dengan penelitian ini. Oleh
karena metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis
empiris, maka penulis akan mengunakan data primer dan
data sekunder.
1. Data Primer
Data primer diperoleh melalui penelitian lapangan
(Field Research). Penelitian lapangan yang dilakukan
merupakan upaya memperoleh data primer berupa
observasi, wawancara, dan keterangan atau informasi
dari responden.
Dalam hal ini adalah Ketua Kerapatan Adat Nagari
Kecamatan Lubuk Kilangan, Mamak Kepala Waris dan
Orang-orang yang pernah membagi warisan.
2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh melalui penelitian
kepustakaan (Library Research) atau studi
dokumentasi. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk
mendapatkan teori-teori hukum atau doktrin hukum,
asas-asas hukum dan pemikiran konseptual serta
penelitian pendahulu yang berkaitan dengan objek
kajian penelitian ini yang dapat berupa peraturan
perundang-undangan, literatur dan karya tulis ilmiah
lainnya.
G. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian
kepustakaan dan penelitian lapangan, selanjutnya akan
dilakukan proses editing atau pengeditan data. Hal ini
dilakukan agar akurasi data dapat diperiksa dan
kesalahan dapat diperbaiki dengan cara menjajaki
kembali ke sumber data. Setelah pengeditan data selesai
dilakukan, maka proses selanjutnya adalah pengolahan
data yang akan dilakukan dengan cara coding atau
pemberian kode-kode tertentu, kemudian data
dikelompokkan dan selanjutnya di tuangkan dalam bentuk
tabel. Setelah pengolahan data selesai dilakukan,
selanjutnya akan dilakukan analisis data secara
deskriptif-analitis-kualitatif, dan khusus terhadap
data dalam dokumen-dokumen akan dilakukan kajian isi
(content analysis),43 Lexy Moleong mengemukakan bahwa
kajian isi adalah metodologi penelitian yang
memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik
kesimpulan yang sahih dari suatu dokumen untuk kemudian
diambil suatu kesimpulan sehingga pokok permasalahan
yang diteliti dan dikaji dalam penelitian ini dapat
terjawab.
43Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT.Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hlm.163-165.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Gambaran Umum Tempat Penelitian
Dalam bab ini akan dibicarakan tentang apa
yang sebenarnya berlaku dalam masyarakat yang
menyangkut pewarisan harta pencarian. Namun
sebelum masuk ke pokok permasalahan, pada bab ini
akan digambarkan terlebih dahulu mengenai tempat
Penulis melakukan penelitian. Penelitian ini
dilakukan di Kerapatan Adat Nagari Kecamatan Lubuk
Kilangan Kota Padang. Kerapatan Adat Nagari ini
berfungsi sebagai lembaga peradilan adat.
Keberadaan Kerapatan Adat Nagari merupakan
pengukuhan kembali lembaga adat yang sudah ada
sejak zaman Belanda melalui Peraturan Daerah
(PERDA) Pemerintah Sumatera Barat Nomor 13 Tahun
198344. Kerapatan Adat Nagari ini adalah salah
satu usaha untuk memperkuat peran Ninik Mamak
masyarakat Minangkabau terutama di Kecamatan Lubuk
Kilangan. Ninik Mamak oleh masyarakat Minangkabau
mempunyai peran yang sangat penting dalam
kehidupan sehari-hari. Kerapatan Adat Nagari ini
memiliki berbagai fungsi yang salah satunya adalah
menyelesaikan sengketa di bidang warisan.
Kerapatan Adat Nagari ini berdiri di setiap
Kecamatan. Sistem yang dipakai dalam kegiatan
sehari-hari Kerapatan Adat Nagari ini tergantung
kelahiran dan suku yang ada pada kecamatan
tersebut. Kerapatan Adat Nagari yang dibentuk
beranggotakan “Tungku Tigo Sajarangan” yang
merupakan perwakilan masyarakat yang ada di
Kecamatan yang terdiri dari alim ulama, cerdik
pandai (kaum intelektual), dan ninik mamak para
pemimpin suku dalam Kecamatan. Setiap suku
diwakili oleh para pengulu sukunya di Kerapatan
44 Data tentang pendirian Kerapatan Adat Nagari Kecamatan Lubuk Kilangan
Adat Nagari ini. Semua permasalah yang ada
diselesaikan secara “bajanjang naik batanggo
turun”, artinya, setiap permasalahan yang ada
diselesaikan mulai dari bawah, bila tidak
ditemukan pemecahannya baru di bawa ke Kerapatan
Adat Nagari. Namun apa yang diputus di Kerapatan
adat Nagari tidak memiliki kekuatan formal.
Kerapatan Adat Nagari Lubuk Kilangan terdiri
dari enam suku, yaitu suku koto, suku sipanjang,
suku tanjung, suku jambak, suku melayu dan suku
caniago. Berarti, di Kerapatan Adat Nagari
Kecamatan Lubuk Kilangan ini memiliki 6 (enam)
orang Penghulu yang bertindak sebagai Mamak Kepala
Waris dalam hal pembagian harta warisan. Penghulu
ini dipilih oleh anggota suku sesuai dengan
criteria yang sudah ditentukan.
2. Pelaksanaan Pembagian Warisan atas Harta
Pencarian dalam Lingkungan Adat Minangkabau di
Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang
Harta peninggalan yang turun temurun
diperoleh dari nenek moyang tidak dapat dibagi,
jadi ahli waris harus menerima secara utuh. Harta
peninggalan yang tidak dibagi ini oleh masyarakat
Minangkabau disebut juga dengan Harta Pusaka
Tinggi, seperti yang sudah disebutkan oleh bab
sebelumnya. Setiap anak menjadi anggota dalam
kompleks famili yang memiliki harta pusaka. Jika
jumlah anggota famili ini terlalu besar, maka
anggota famili tersebut akan dibagi menjadi dua
famili yang masing-masing berdiri sendiri,
sehingga harta pusaka tersebut juga dibagi menjadi
dua bagian. Hal yang demikian disebut dengan
istilah “gadang manyimpang”. Masing-masing famili
mempunyai harta pusaka sendiri yang tidak boleh
dibagikan kepada para anggotanya.
Anggota famili hanya boleh menikmati harta
pusaka tersebut secara bersama-sama. Namun, jika
si anggota famili memiliki harta sendiri yang ia
dapat pada masa hidupnya, maka harta inilah yang
disebut harta pencarian “pusaka rendah”45. Harta
pencarian yang akan dibahas pada bab ini adalah
harta pencarian yang dimiliki suami-istri
sepanjang melangsungkan perkawinan.
Pewarisan harta pencarian dapat dilihat dari
dua segi, yaitu :
45 Wawancara dengan Masran Rajo Nan Putiah, Mamak Kepala Waris Suku Caniago Kecamatan Lubuk Kilangan
1. Pihak yang menerima harta warisan
Harta pencarian yang tidak tersangkut di
dalamnya harta pusaka di warisi oleh anak-anak dan
istrinya. Kesimpulan tersebut diperoleh Penuls
dari hasil wawancara terhadap responden yang sudah
ditentukan, yaitu orang-orang yang pernah membagi
warisan dan mamak kepala waris. Di Minangkabau,
pada saat ini sudah menjadi suatu kebiasaan bahwa
pewarisan harta pencarian diatur dengan hukum
Islam dengan tidak mengenyampingkan aturan
pembagian warisan Minangkabau secara Matrilineal.
Dikatakan tidak mengenyampingkan karena harta
pencarian pewaris yang meninggal dunia akan tetap
disisihkan untuk para ponakannya sebagai tanda
bahwa si ponakan memiliki “mamak” yang tetap
memikirkan kelangsungan hidup ponakannya meskipun
ia sudah meninggal dunia.
Bila terjadi sengketa perebutan harta warisan
yang berasal dari harta pencarian, khususnya di
Kecamatan Lubuk Kilangan masalah ini akan tetap
dianggap masalah adat bila para pihak yang
bersengketa menyelesaikan masalah tersebut di
Lembaga Kerapatan Adat Nagari, bila masalah ini di
bawa ke Pengadilan maka para pemangku adat di
Kecamatan ini menganggap masalah tersebut adalah
masalah perdata murni bukan lagi masalah waris
adat yang harus diselesaikan di Lembaga Kerapatan
Adat Nagari yang sudah disediakan.46
Kesimpulan tersebut dapat diperoleh dari
pengalaman responden yang bertindak sebagai pihak
yang dalam kedudukannya ikut membantu pengurusan
harta warisan, dari pihak responden yang mengalami
sendiri kasus peralihan harta tersebut dan dari
keinginan seseorang tentang apa yang seharusnya
berlaku terhadap harta pencariannya. Dari kelompok
responden yang terdiri dari mamak kepala waris dan
orang yang pernah membagi warisan mengatakan bahwa
harta pencarian setelah si pewaris meninggal
diserahkan kepada anak dan istrinya secara hukum
syara’ atau faraid. Namun penyerahan harta
pencarian kepada ponakan terkadang masih dijumpai
tapi hal ini bila si pewaris tadi tidak
meninggalkan anak dan istri.
Perbedaan tingkat pendidikan mayarakat yang
tinggal di Kecamatan lubuk Kilangan juga
mempengaruhi dalam pembagian harta pencarian
46 Wawancara dengan Basri Datuak Rajo Sani, Ketua Kerapatan Adat Nagari Kecamatan Lubuk Kilangan
tersebut. Masyarakat yang sudah mengenyam
pendidikan formal yan lebih tinggi menganggap
aturan adat terhadap pembagian harta pencarian
bukanlah suatu hal yang kaku. Mereka menganggap
adat adalah suatu yang fleksibel yang mampu
menerima pembaruan sepanjang tidak merubah dasar-
dasar hukum adat yang sudah digariskan oleh nenek
moyang.
Jadi, pewarisan harta pencarian itu sebagian
besar sudah berdasarkan hukum Islam dimana istri
dan anak adalah pewaris utama yang harus
diperhitungkan.
2. Cara Pemilikan Harta Warisan
Bila pada penentuan ahli waris yang berhak
atas harta pencarian terdapat pernyataan mayoritas
bahwa adalah anak dan istri adalah orang yang
berhak atas harta pencarian, maka kalau dilihat
dari cara anak dan istri itu memiliki harta
warisan atas harta pencarian terdapat variasi.
Dari responden mamak kepala waris sebagai
orang yang mengikuti penyelesaian harta warisan
diperoleh data bahwa harta warisan oleh ahli waris
diterima secara hukum Islam. Terhadap harta pusaka
tinggi bahwa pewarisan bukanlah berarti peralihan
harta dari pewaris kepada ahli waris, tetapi
peralihan pengurus terhadap harta pusaka tersebut.
Dengan demikian terlihat adanya perbedaan sistem
peralihan harta antara harta pusaka tinggi dan
harta pusaka rendah yang dikenal sebagai harta
pencarian.
Dalam menyelesaikan pembagian warisan atas
harta pencarian ini, pihak keluarga mengundang
alim ulama yang dianggap lebih mengetahui cara
pembagian warisan menurut hukum faraid atau secara
hukum Islam47. Alim ulama yang dimaksud dalam
kesehariannya yaitu hakim pengadilan agama, namun
pembagian tersebut tidak dibawa ke Pengadilan
Agama karena kalau masalah tersebut sampai dibawa
ke Pengadilan maka pembagian warisan tersebut
dianggap bukanlah sebagai masalah adat dan
diantara para pihak merasa tidak perlu membawa ke
Pengadilan karena tidak ada sengketa diantara
mereka.
Namun pada kenyataannya, masyarakat
Minangkabau yang bermukim di Kecamatan Lubuk
Kilangan ini yang tingkat pendidikannya masih
47 Wawancara dengan Bachtiar Rajo Johan, Malin pada Kerapatan Adat Nagari Kecamatamatan Lubuk Kilangan
rendah, menganggap bahwa harta warisan itu
bukanlah suatu hal yang perlu untuk dibagi setelah
pewarisnya meninggal. Harta warisan itu lebih
bermanfaat jika dinikmati bersama. Dari data yang
penulis peroleh, harta warisan yang sudah tiga
turunan tidak dibagi maka akan masuk kedalam
golongan harta pusaka. Mereka tidak memikirkan
dampak dari pikiran komunal yang mereka miliki
untuk dikemudian hari.
Pewarisan secara faraid yaitu pewarisan untuk
anak dan istri. Dari hasil penelitian diketahui
bahwa pembagian ssecara faraid merupakan persoalan
keluarga yang dapat diselesaikan secara
kekeluargaan. Mereka tidak mengalami kesukaran
dalam pembagian warisan atas harta pencarian
tersebut. Mereka menghindari penyelesaian di
Pengadilan karena mereka beranggapan dengan
menyelesaikan melalui Pengadilan berti mereka
membuka masalah intern keluarga mereka sendiri.
Timbulnya sengketa dalam pembagian warisan
atas harta pencarian ini umumnya karena adanya
pihak yang ingin menguasai harta secara perorangan
dan menuntut bagiannya atas harta warisan. Faktor
ekonomi merupakan faktor utama dan satu-satunya
memicu masalah dalam pembagian warisan tersebut.
Perbandingan antara Hukum Kewarisan Islam dengan
Pewarisan Harta Pencarian di Minangkabau
Pada pembahasan di bagian atas telah
diuraikan tentang hukum kewarisan Islam yang
dikenal dengan hukum Faraid. Hukum tersebut berisi
ketentuan-ketentuan yang seharusnya diikuti oleh
setiap muslim pada waktu pembagian warisan atas
harta pencarian dan ketentuan yang dijadikan dasar
oleh pihak-pihak yang berfungsi dalam penyelesaian
sengketa pembagian warisan.
Dalam pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan
pula bagaimana sebenarnya yang terjadi tentang
pewarisan harta pencarian di lingkungan
Minangkabau. Dalam pembahasan pada bagian ini,
akan dibahas perbandingan yang meliputi persamaan
dan perbedaan antara ketentuan yang seharusnya
berlaku dan apa yang sebenarnya terjadi pada saat
ini. Dari pembahasan ini akan diketahui sejauh
mana hukum kewarisan Islam yang secara teoritis
harus berlaku dan dapat berjalan dalam lingkungan
adat Minangkabau. Pembahasan ini bertitik tolak
dari analisa perbandingan teori dan praktek.
1. Persamaan
Untuk mengadakan perbandingan antara dua hal
terutama untuk mencari persamaan dapat dilihat
dari asas atau kaidah teoritis pelaksanaan yang
berlaku yaitu :
a. Asas Bilateral
Hukum kewarisan Islam menjalankan asas
kewarisan bilateral yang berarti bahwa jalur
pewarisan baik garis keatas maupun garis
kebawah berlaku menurut garis keturunan laki-
laki dan garis keturunan perempuan. Hal ini
berarti bahwa ayah dan ibu dapat menjadi
pewaris dari anak-anaknya. Di lain pihak anak
laki-laki dan anak perempuan sama berhak
menjadi ahli waris atas harta peninggalan
orang tuanya.
Pewarisan harta pencarian pada waktu ini
dalam lingkungan dat Minangkabau sudah
berbeda dengan harta pusaka menurut adat
lama. Menurut adat lama pewarisan berlaku
menurut sistem matrilineal, yaitu pewarisan
hanya melali garis kerabat yang perempuan
saja. Pada saat ini, sistem pewarisan
demikian hanya diberlakukan untuk harta
pusaka saja. Terhadap harta pencarian telah
diberlakukan asas bilateral.
Secara umum dijelaskan dari hasil
penelitian bahwa harta pencarian seorang ayah
telah diwarisi oleh anak-anaknya dengan arti
ayah sudah berkedudukan sebagai pewaris bagi
anak-anaknya.. Dalam kedudukan ibu sebagai
pewaris bagi anak-anaknya memang sudah ada
sejak dulu, yang dalam hal ini sudah
digariskan secara adat.
Dalam garis ke bawah terlihat pula bahwa
keturunan laki-laki dan keturunan perempuan
sama-sama berhak atas peninggalan orang
tuanya. Hal ini merupakan sutu perubahan atas
hukum adat yang berlaku, dimana yang berhak
menerima warisan adalah pihak perempuan. Adat
ini masih berlaku dalam harta pusaka. Hasil
penelitian menunjukkan bahw anak-anak adalah
ahli waris yang sah atas harta pencarian
orang tuanya tanpa dibedakan antara laki-laki
dan perempuan. Terhadap pewarisan harta
pencarian ini, asas bilateral yang
dikehendaki Islam ini sudah berjalan hampir
keseluruhannya pada saat ini. Dalam hal ini
terlihat kesamaan antara ketentuan teoritis
dan ketentuan prakteknya.
b. Asas Individual
Hukum kewarisan Islam menjalankan asas
individual yang berrti bahwa harta warisan
diwarisi secara terbagi-bagi dan dimiliki
secara perorangan dikalangan ahli waris yang
berhak. Setiap ahli waris berhak atas bagian
tertentu dari kelompok warisan. Jika harta
warisan dapat dibagi secara fisik maka akan
langsung diadakan pembagian, namun bila tidak
bisa dibagi maka harganya diperhitungkan baru
diadakan pembagian atas perhitungan harga
tersebut.
Menurut kenyataannya yang berlaku di
lingkungan adat Minangkabau khususnya di
Kecamatan Lubuk Kilangan terdapat dua cara
dalam pelaksanaan pembagian warisan atas
harta pencarian, yaitu :
1. Cara Pertama
Harta warisan dimiliki secara bersama
oleh semua ahli waris yang berhak. Hal ini
berarti bahwa dalam peristiwa meninggalnya
seseorang tidak dilakukan pembagian harta
warisan secara nyata. Kenyataan ini terlihat
dalam pendekatan yang dilakukan penulis
terhadap responden yaitu melalui pihak yang
berperan dalam penyelesaian harta warisan,
melalui pihak yang pernah membagi warisan dan
pihak yang berkeinginan terhadap harta
peninggalannya. Dari ketiga cara pendekatan
tersebut rata-rata dari responden menyatakan
bahwa harta warisan dimiliki bersama dan
tidak dibagi secara fisik.
Bentuk tidak dibaginya harta warisan itu
ada tiga kemungkinan, yaitu : harta warisan
tidak terbagi karena memang tidak ada yang
pantas untuk dibagi, ada harta yang mungkin
dibagi di kalangan ahli waris, tetapi harta
tersebut tidak mungkin dibagi secara terpisah
seperti rumah dan tanah, dan harta warisan
ada dan dapat dibagi tetapi tidak diadakan
pembagian karena ahli waris tidak
menginginkan pembagian harta tersebut secara
terpisah-pisah.
Cara tidak terbaginya harta warisan itu
hanya dimungkinkan diketahui dari penelitian
yang dilakukan terhadap pihak yang langsung
mengalami peristiwa meninggalnya seseorang
atau dari pihak yang karena kedudukannya
dalam masyarakat dianggap tahu terhadap
kejadian tersebut. Tidak terbaginya harta
warisan umumnya terhadap harta peninggalan
yang besar yang pada umumnya berbentuk barang
tidak bergerak atau barang berharga lainnya.
Sedangkan dalam barang yang kecil dan dapat
dipindahkan diadakan pembagian secara
kekeluargaan sesuai dengan bentuk dan
kegunaannya.
Dalam bentuk harta yang tidak terbagi,
setiap ahli waris menyadari akan haknya itu
dan masing-masing akan tetap menerima haknya
atas harta warisan itu. Dalam bentuk ahli
waris yang masih tinggal satu rumah, mereka
secara bersama-sama akan menikmati harta
tersebut. Sedangkan terhadap ahli waris yang
sudah tidak tinggal satu rumah maka
penggunaan hak warisan diatur secara
bergantian atau berbagi hasil.
2. Cara Kedua
Bentuk kedua dari pewarisan harta
pencarian adalah terbagi, dengan arti setiap
ahli waris menerima haknya secara perorangan
. Cara ini berlaku terhadap barang bergerak
dan barang tidak bergerak. Inilah yang
mengikuti asas individual dalam kewarisan
Minangkabau.
Dari jawaban responden dapat dilihat
sejauh mana hukum kewarisan harta pencarian
ini telah meninggalkan cara pewarisan menurut
adat lama yang menuntut sepenuhnya asas
kewarisan kolektif. Namun cara individual ini
belum sepenuhnya mengikiuti hukum kewarisan
Islam yang secara mutlak diberlakukannya asas
kewarisan individual menurut perincian yang
ditentukan.
Dari keterangan responden dapat
disimpulkan bahwa asas kewarisan individual
menurut yang dikehendaki hukum kewarisan
Islam sudah dapat berjalan tetapi belum
merata pelaksanaannya. Berlakunya pewarisan
secara kolektif pada saat ini dapat dianggap
sebagai penyimpangan yang dapat dibenarkan.
Dalam pelaksanaan asas individual tersebut
diatas, dari segi penentuan porsi bagian
masing-masing, terdapat dua cara, yaitu
pembagian yang sesuai dengan perincian dalam
hukum Islam dan pembagian menurut perdamaian
dan musyawarah bersama dari seluruh yang
berhak atas dasar keperluan masing-masing.
Dari segi cara pembagiannya terlihat
dalam hasi penelitian bahwa sebagian besar
responden menjelaskan bahwa pembagian
dilakukan sendiri oleh pihak keluarga. Hal
ini menunjukkan bahwa dalam pembagian harta
warisan, ahli waris tidak banyak mengalami
hambatan dan dapat diselesaikan dengan jalan
perdamaian.
Pembagian warisan keluarga, ada yang
menghasilkan kesepakatan untuk membagi persis
menurut ketentuan faraid. Bagi keuarga yang
tidak memahami cara pembagian menurut faraid
mereka dibantu oleh orang yang dianggap tahu
dalam bidang tersebut.
c. Asas Ijabari
Hukum kewarisan Islam menganut asas
ijabari dengan arti bahwa segala sesuatu
mengenai ahli waris dan kadar bagian masing-
masing sudah ditentukan oleh Allah. Hamba
Allah baik yang akan meninggal maupun yang
akan menerima warisan tidak berhak merubah
ketentuan tersebut.
Dari segi bahwa pewaris tidak dapat
menentukan kedudukan dari ahli waris, sudah
jelas dalam pelaksanaannya sudah mengikuti
asas ijabari tersebut. Seseorang yang akan
meninggal yang tidak dapat berbuat apa-apa
terhadap harta pencariannya, maka ia tidak
dapat mengurangi hak ahli warisanya terhadap
hartanya, maka dapat dikatakan bahwa asas
ijabari tersebut sudah terlaksana dalam
pewarisan harta pencarian. Dalam asas
ijabari, peralihan harta berlaku dengan
sendirinya tanpa usaha dari orang yang akan
meninggal.
2. Perbedaan
Sebenarnya dalam membicarakan setiap asas
sebagaimana disebutkan diatas, pada waktu
membicarakan setiap adanya persamaan dalam asas
itu, dalam batas tertentu sudah dibicarakan
sekaligus perbedaannya. Oleh karena itu, pada
uraian ini tinggal disimpulkan dua hal pokok yang
secara teoritisdikehendaki oleh hukum kewarisan
Islam dengan apa yang secara nyata terjadi dalam
pewarisan harta pencarian.
Pertama : adanya kesepakatan di antara ahli
waris yang berhak untuk memiliki harta warisan dan
tidak mengadakan pembagian secara nyata, yang
menurut lahirnya dianggap tidak sejalan dengan
asas individual yang dikehendaki oleh ajaran
Islam.
Kedua : adanya keinginan bersama ahli waris
untuk menggunakan hak mereka atas harta warisan
menurut yang mereka sepakati, yang mungkin dalam
beberapa hal tidak persis seperti hukum faraid.
Dua perbedaan tersebut diatas menrupakan
penyimpangan dari pelaksanaan hukum kewarisan
dalam lingkungan adat Minangkabau.
3. Kendala Yang Timbul Dalam Pelaksanaan Pembagian
Warisan Atas Harta Pencarian Dalam Lingkungan Adat
Minangkabau dan Upaya Untuk Mengatasinya.
3.1. Kendala yang timbul dalam pelaksanaan
pembagian warisan atas harta pencarian dalam
lingkungan adat Minangkabau.
Dalam pembahasan sebelumnya telah
dijelaskan bahwa pelaksaan pembagian warisan
atas harta pencarian dalam lingkungan adat
Minangkabau dipengaruhi oleh Hukum Kewarisan
Islam. Tentang sejauh mana pelaksanaannya
sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum
Faraid dalam bentuknya murni, ternyata dari
hasil penelitian bahwa Hukum Kewarisan Islam
atau Faraid dalam kualitas yang sempurna sudah
berlaku di Minangkabau tetapi dari segi
kuantitas belum merata di seluruh umat Islam.
Hal ini bararti bahwa Faraid yang dalam bentuk
yang murni yaitu yang sesuai dengan apa yang
telah dijabarkan oleh para mujtahid yang
selama ini kita ikuti telah berlaku. Tetapi
tidak semua umat Islam melakukannya menurut
cara tersebut.
Sebaliknya secara kuantitas umat Islam
Minangkabau telah melaksanakan Hukum Kewarisan
Islam, tetapi dalam kualitas yang belum
sempurna, dengan arti secara prinsip seluruh
umat Islam Minangkabau telah melaksanakan
perintah agama dalam hal kewarisan, tetapi
dalam pelaksanaanya menggunakan pertimbangan
hingga tidak seluruhnya persis seperti apa yang
sudah diatur hukum Faraid.
Hal ini berarti hukum Faraid dilaksanakan
dengan mempertimbangkan keadaan dan lingkungan
setempat sejauh tidak melanggar hal yang
bersifat prinsip ajaran agama.
Beberapa faktor yang merupakan kendala
dalam pelaksanaan pembagian warisan atas harta
pencarian ini adalah :
1. Faktor adat
Islam telah lama masuk di lingkungan adat
Minangkabau. Dalam perkembangannya secara
bertahap hukum Islam telah banyak mengubah
dan menyempurnakan tata susunan adat lama.
Islam telah memperkenalkan susunan
kekeluargaan baru dalam bentuk keluarga inti
yang pada saat ini sudah dikenal luas oleh
masyarakat Minangkabau. Islam sudah mengubah
tata adat yang menyangkut harta pusaka dengan
memberi arti khusus pada harta pencarian dan
memisahkan harta pencarian tersebut sari
harta pusaka. Islam juga telah mengubah
bentuk kewarisan dengan membawanya beralih
keluar lingkungan rumah gadang dan menyatakan
anak berhak atas harta pencarian orang
tuanya.
Dalam wawancara yang diadakan terhadap
responden yang diperkirakan mengerti Hukum
Kewarisan Islam dan mengetahui pelaksanaannya
pada saat ini, diantaranya menjelaskan bahwa
pelaksaan hukum kewarisan Islam dalam
bentuknya sekarang ini diantaranya adalah
karena pengaruh adat yang pada saat ini masih
kuat.
Pengaruh adat masih terasa kuat dalam
kehidupan nyata ialah pemikiran dalam hal
mendapatkan dan menggunakan harta. Pernyataan
untuk mendapatkan harta secara kolektif masih
terlihat jelas dalam pemilikan dan penggunaan
harta pusaka. Sampai saat ini, asas
matrilineal kolektif masih berlaku terhadap
harta pusaka.
Cara pengurusan harta pusaka yang
berbentuk kolektif atau pemilikan bersama
atas harta warisan itu sangat berpengaruh
terhadap harta pencarian. Yang berubah hanya
orang yang berhak menerima warisan dari harta
pencarian, namun pengurusan dan pembagian
terhadar harta pencarian masih dipengaruhi
budaya kolektif sehingga hukum Faraid tidak
sepenuhnya terlaksana.
2. Faktor Penyiaran Agama
Sebagian responden yang diwawancarai dalam
penelitian ini memberikan jawaban bahwa
berlakunya hukum Faraid dalam bentuknya yang
saat ini disebabkan oleh karena kurangnya
pengertian masyarakat terhadap hukum Faraid.
Khusus mengenai ilmu Faraid sukar sekali
diajarkan di luar sekolah karena menyangkut
pembahasan angka-angka yang memerlukan
kemampuan khusus untuk berhitung. Secara umum
masyarakat hanya memahami konsep dasar
tentang Faraid dimana harta pencarian orang
tuanya kan diwarisi oleh anak-anaknya. Karena
pada waktu ini yang menyangkut harta
pencarian orang tua telah diwarisi oleh anak,
maka orang Minangkabau dalam pengertian awam
sudah merasa melaksanakan penyelesaian harta
warisan secara faraid.
Tentang bagaimana cara pembagiannya,
karena menyangkut matematis tidak banyak yang
dapat mengetahuinya. Oleh karena itu
pelaksanaan pembagian warisan menurut
perincian sebenarnya dari ilmu faraid belum
merata dapat mereka jalankan.
Di samping kekurangan pengertian itu
mereka juga merasa tidak perlu untuk meminta
pihak yang mengetahuinya untuk membantu
menyelesaikannya, selama dalam keluarga
sendiri tidak terdapat perbedaan pendapat.
Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara
dengan pihak yang pernah membagi warisan
dimana sedikit sekali yang melibatkan pihak
luar. Yang terbanyak adalah menyelesaikannya
dalam keluarga atau tidak dibagi sama sekali.
3. Faktor Hubungan Kekeluargaan dan Ekonomi
Yang dimaksud dengan faktor hubungan
kekeluargaan di sini ialah perasaan dari
anggota keluarga untuk hidup dalam persatuan
yang kompak. Dalam hubungannya dengan harta
warisan, hal ini berarti bahwa warisan itu
jangan sampai mengurangi atau menghilangkan
kekompakan mereka. Ada anggapan dari sebagian
orang yang mengalami peristiwa pembagian
harta warisan bahwa bila harta itu dibagi-
bagi secara terpisah dalam bentuk pembagian
yang pasti maka akan menimbulkan hubungan
yang tidak harmonis karena pembagian materi
dapat membawa ketidakpuasan dikalangan ahli
waris terhadap ahli waris lainnya.
Anggapan demikian berpengaruh terhadap
pemikiran mereka dalam menyelesaikan
pembagian harta warisan. Untuk menjaga
keutuhan keluarga, mereka merasa tidak perlu
untuk mengadakan pembagian harta warisan. Hal
inilah yangakan menimbulkan persoalan
dikemudian hari. Bila warisan terhadap harta
pencarian itu tidak dibagi pada waktunya dan
sesuai bagian seharusnya, maka pada masa yang
akan datang, terhadap ahli waris yang merasa
keadaan ekonominya dibawah keadaan ekonomi
ahli waris lainnya, ia akan menuntut haknya
atas bagian harta warisan tersebut. Sehingga
hal ini akan menimbulkan konflik diantara
para ahli waris.
3.2. Upaya Yang dilakukan Untuk Mengatasi Kendala
Yang Timbul
Adapun kendala yang dilakukan untuk
mengatasi kendala yang timbul terhadap
pembagian warisan atas harta pencarian adalah
sebagai berikut :
1. Dalam menyampaikan pengajian, para alim
ulama di Minangkabau khususnya di
Kecamatan Lubuk Kilangan sudah banyak yang
menyampaikan materi tentang bagaimana
pembagian warisan atas harta pencarian
yang sebenarnya diatur dan dikehendaki
hukum Faraid. Materi pengajian saat ini
tidak saja terbatas pada pembicaraan
mengenai ibadah, akidah dan akhlak. Materi
mengenai muamalat sudah banyak
diperbincangkan. Hal ini dilakukan karena
pada kenyataannya dalam kehidupan sehari-
hari masyarakat Minangkabau cara ini lebih
mudah diterima dan dicerna oleh
masyarakat, terutama masyarakat yang
pendidikan formalnya tidak tinggi. Karena
bahasa pengajian dirasa lebih mudah untuk
dipahamai dibandingkan dengan bahasa
formal.
2. Mengadakan seminar dan penyuluhan dalam
waktu yang sudah dijadwalkan mengenai
pembagian warisan atas harta pencarian ini
baik untuk orang-orang yang selalu
berhubungan dengan pembagian warisan ini
maupun terhadap masyarakat umum yang ingin
mengetahui mengenai hal tersebut. Sehingga
masyarakat Minangkabau Islami benar-benar
dapat mengetahui dan mengerti bahwa
kehidupan sehari-hari terutama mengenai
pewarisan harta sudah memasuki ajaran
Hukum Islam sebagai agama yang dipeluk
oleh sebagain besar masyarakat
Minangkabau.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Adat Minangkabau menjalankan asas kekerabatan
Matrilineal. Kehidupan mereka ditunjang oleh
harta yang dimiliki secara turun temurun. Harta
tersebut dimiliki oleh seluruh anggota
keluarga. Dalam mekanisme peralihan harta
berlaku asas kolektif. Dengan masuknya agama
Islam di Minangkabau telah memberikan pemahaman
yang baru terhadap harta yang ada di dalam
sebuah rumah. Agama Islam dan adat telah
menyatu dalam tingkah laku suku bangsa
Minangkabau. Ajaran Islam memberikan istilah
baru terhadap harta yang diperoleh suami-istri
selama melangsungkan perkawainan sebagai harta
pencarian. Harta pencarian diwariskan oleh
orang tua kepada anak-anaknya. Harta pencarian
tidak lagi diwarisi oleh keponakan secara adat,
tetapi diwarisi oleh anak dan istri secara
hukum Faraid.
2. Masyarakat Minangkabau khususnya yang bermukim
di Kecamatan Lubuk Kilangan masing kurang
mengerti tentang perincian pembagian warisan
atas harta pencarian di kalangan ahli waris
sebagaimana dikehendaki oleh Hukum Faraid, maka
para ahli waris yang ada tidak menyadari secara
pasti jumlah hak sebenarnya yang mereka terima.
Yang mereka sadari secara jelas hanya mereka
sebagai ahli waris dan berhak atas harta
warisan yang ditinggalkan oleh pewaris. Cara
pengurusan dan pemilikan harta masih banyak
memakai sistem kolektif. Hubungan kekeluargaan
juga sangat mempengaruhi terhadap proses
pembagian warisan atas harta pencarian. Maka
dalam menyampaikan pengajian saat ini sudah
banyak alim ulama yang memberikan materi
mengenai pembagian warisan munurut Faraid ini.
Hal ini dianggap sebagai cara yang baik untuk
menyampaikan ilmu tersebut, karena bahasa
pengajian akan lebih mudah untuk dipahami oleh
masyarakat terutama oleh masyarakat yang
pendidikannya rendah.
B. Saran
1. Masuknya ajaran Islam di Minangkabau sebaiknya
harus disadari secara penuh oleh masyarakat
Minangkabau bahwa ajaran Islam itu membawa
banyak perubahan kepada hal yang jauh lebih
baik dengan tidak meninggalkan ajaran adat yang
sudah digariskan oleh nenek moyang orang
Minangkabau. Jika hal ini sudah dapat disadari
secara penuh barulah terhadap pembagian warisan
khususnya harta pencarian dapat terlaksana
dengan baik dan konflik yang timbul dalam
pelaksanaan pembagian tersebut dapat
diminimalisir, sehingga falsafah “adat basandi
syara’ dan syara’ basandi Kitabullah” artinya
adat berpedoman kepada agama, dan agama
berpedoman kepada kitab Allah yaitu Al quran
dapat berjalan sebagaimana mestinya.
2. Ulama-ulama, para pakar Hukum Islam dan Lembaga
Kerapatan Adat Nagari dapat menyadari fungsi
dan keberadaan masing-masing sehingga
masyarakat dapat benar-benar memahami ilmu
Faraid yang terkandung dalam pembagian warisan
harta warisan terhadap harta pencarian di
Minagkabau dan dapat dipraktekan dalam
kehidupan sehari-hari oleh masyarakat
Minangkabau.
DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan hukum Kewarisan Islam Dalam lingkungan Adat Minangkabau” Gunung Agung, Jakarta, 1990
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998 B.Schrieke, Indonesian Sosiological Studies, Sumur
Bandung, Bandung, 1980 hal.95. Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1991 Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum
Adat Minangkabau, Rieneka Cipta, Jakarta, 1997
Datuk Maruhun Batuah, Hukum Adat dan Adat
Minangkabau, Pusaka Asli, Jakarta, 1990
DH. Bagindo Tanameh, Hukum Adat dan Adat Minangkabau, Pusaka Asli, Jakarta 1990
Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, Tintamas,
Jakarta, 1976 I. Gede A.B.Wiranata, Hukum Adat Indonesia
Perkembangannya dari Masa ke Masa, P. T Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005
Iskandar Kamal, Beberapa Aspek dari Hukum Kewarisan
Matrilineal Bilateral di Minangkabau, Center of Minangkabau Studies Padang, 1988
Idrus Hakimi Dt. R. Penghulu, Mustika Adat Basandi
Syara’, CV. Rosda, Bandung, 1978
Kamaluddin ibnu al Humam, Fathu al Qadir IX, Mustafa al Babi, Mesir, 1970.
Kuntjaraningrat, Skema dari Pengertian-Pengertian Untuk Mengenal Sistem Kekerabatan,
Laporan Hasil Kongres Ilmu Pangetahuan Nasional, Jakarta
Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif,
PT.Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (Editor),
Metode Penelitian Survai (Edisi Revisi), Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan dan Sosial, Jakarta, 1995, halaman 263
Nasrun. Hukum Waris dan Hukum Tanah, dalam Muchtar
Naim, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris di Minangkabau, Center For Minangkabau Studies, Padang 1968
Rasyid Manggis, Minangkabau, Sejarah Ringkas dan
Adatnya, Sri Darma, Padang, 1971
Said Sabiq, Fiqhu as Sunnah III, Daru Alkitabi al Arabi, Beirut, 1971
Sanafiah Faisal, Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar
dan Aplikasinya, Malang, 1990 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI
Press, Jakarta, 1984
Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Soeroengan, Jakarta 1980
Suryono Sukanto, Pengantar Sosiologi Hukum, Bharata,
Jakarta, 1977 Sutrisno Hadi, Metode Riset Nasional, AKMIL, Magelang, 1987
Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat,
terjemahan Subakti Pusponoto, Pradya Paramita, Jakarta, 1989
Winarno Surachmad, Pengantar Ilmiah Dasar, Metode
dan Teknik, Tarsito, Bandung
http://www.cimbuak.com Tanggal 21 Maret 2008
http://www.my.opera.net Tanggal 21 Maret 2008
Top Related