Relasi antara Sustainable Development, CSR dan Comdev : sebuah tinjauan terhadap CSR PT Unilever Indonesia Tbk.
Konsep Sustainable Development dan Perkembangannya
Ide tentang sustainability atau suatu keberlanjutan pada dasarnya berakar dari pemikiran
yang menyuarakan kesadaran untuk menjaga lingkungan dari kerusakan agar tetap bisa
mendukung keberlangsungan hidup manusia (Kingsbury 2004 : 289). Dalam aspek
pembangunan, ide berkelanjutan disadur dan menjadi bentuk terbaru dari rangkaian ide tentang
pembangunan. Kingsbury menjelaskan posisi ide tersebut di ranah pembangunan.
As a consequence of the high costs of development, in environmental as well as other terms, there has increasingly been discussion about ‘appropriate development’ and ‘sustainable development’, two ideas that often overlap. What is commonly referred to as ‘appropriate development’ is where the level of technology is suitable for the needs and conditions of the area undergoing the process of development and does not require environmentally destructive or economically unsustainable industry. Sustainable development similarly means the idea that development can be sustained primarily in ecological terms, but also economically, politically, and socially. (Kingsbury 2004 :283)
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) ini pada awalnya didefinisikan
secara umum oleh World Commision on Economic Development (WCED) sebagai pembangunan
yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987). Tetapi definisi ini kurang
operasional. Kemudian Ismail Seragaldin dari World Bank mengemukakan definisi yang lebih
operasional, yaitu “pembangunan berkelanjutan dapat dilihat dari jumlah total kapital--sosial,
ekonomi, lingkungan, budaya, politik, personal-- yang ditransfer dari satu generasi ke generasi
berikutnya minimal sama” (Seragaldin 1996). Setelah itu, Daly (dalam Jalal 2011), menjelaskan
keberlanjutan tersebut berupa piramida yang didasari oleh Environment, Economy, Society dan
Well-Being sebagai puncak. Menurut Daly, tanpa berfungsinya sistem alam, semua akan runtuh,
tanpa berfungsinya sistem ekonomi, masyarakat tidak akan maju, dan tanpa berfungsinya sistem
sosial, masyarakat tidak bisa berkembang. Oleh karena itulah tiga sistem tersebut harus berjalan
secara seimbang untuk menciptakan kebaikan yang berkelanjutan.
Ide Sustainable Development dalam Corporate Social Responsibility (CSR)
Di sisi lain, pelaku bisnis, terutama perusahaan-perusahaan raksasa multinasional sedang
berupaya memperbaiki citranya yang serakah dan merugikan banyak pihak melalui
pengungkapan nilai-nilai kebajikan melalui media yang mereka sebut sebagai tanggungjawab
sosial perusahaan (Corporate Sosial Responsibility/CSR). CSR memuat nilai etika bisnis yang
menunjukkan perilaku etis dari perusahaan. Etika bisnis tersebut dianggap sudah ada sejak lama,
namun resminya konsep CSR baru didefinisikan sejak tahun 1953 dalam buku Social
Responsibility of Bussinesmen yang ditulis Howard Browen (Sukada dkk 2007:xiv).
Pada awalnya, bentuk CSR yang paling umum adalah pemberian bantuan terhadap
organisasi-organisasi lokal dan masyarakat miskin di negara-negara berkembang. Pendekatan
CSR yang berdasarkan motivasi karitatif dan kemanusiaan ini pada umumnya dilakukan secara
ad-hoc, partial, dan tidak melembaga. CSR pada tataran ini hanya sekadar do good dan to look
good, berbuat baik agar terlihat baik. Perusahaan yang melakukannya termasuk dalam kategori
”perusahaan impresif”, yang lebih mementingkan ”tebar pesona” (promosi) ketimbang ”tebar
karya” (pemberdayaan) (Suharto, 2008).
Seiring dengan perkembangan ide sustainability development, dunia usaha pun mulai
menyerapnya ke dalam kebijakan bisnis mereka, terutama dipahami sebagai upaya keberlanjutan
dari keuntungan yang bisa mereka peroleh (Kingsbury 2004 : 289). Adopsi prinsip sustainability
development kemudian menelurkan gagasan bussines sustainability atau corporate sustainability
yang merupakan pengakuan dan pengintegrasian tujuan dunia bisnis dengan tujuan
pembangunan berkelanjutan (Wilson 2002 dalam Sukada dkk 2007:35). Kebijakan tersebut
melihat peran potensial perusahaan dalam pembangunan berkelanjutan adalah sebagai berikut :
“For the business enterprise, sustainable development means adopting business strategies and activities that meet the needs of the enterprise and its stakeholders today while protecting, sustaining and enhancing the human and natural resources that will be needed in the future.” (Business Strategy for Sustainable Development (IISD), 1992 dalam Jalal 2011)
“…If sustainable development is to achieve its potential, it must be integrated into the planning and measurement systems of business enterprises.” (Robert Steele, AtKisson Group International dalam Jalal 2011)
Ide tentang sustainable development juga menjadi inspirasi bagi John Elkington dalam
melahirkan prinsip utama triple bottom line, yakni relasi yang seimbang antara profit, people,
and planet dalam manajemen perusahaan. Perusahaan dituntut tidak hanya memburu keuntungan
ekonomi belaka (profit). Melainkan pula memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan
(planet) dan kesejahteraan masyarakat (people) (Elkington 1998 dalam Suharto 2008).
Prinsip triple bottom line inilah yang kemudian menjadi tempat berpijak bagi konsep
CSR yang modern, karena itu, konsep CSR yang modern dianggap sebagai pembumian gagasan
besar “pembangunan berkelanjutan” (Sukada dkk 2007: 8). Sejarah panjang yang
mempertemukan konsep dan praktik dari CSR dan sustainable development dapat kita lihat dari
gambar di bawah ini yang merupakan time-line yang disarikan oleh Loew (2004 dalam Jalal
2011).
Gambar 1 : Pertautan Sustainable Development dan CSR (sumber : Loew 2004 dalam Jalal 2011)
Pengadopsian prinsip triple bottom line tersebut pada akhirnya membuat pemahaman
akan CSR semakin kompleks dan terukur. Oleh karena itulah, dengan meliputi beragam sudut
pandang dalam satu definisi terbuka tentang CSR, Blowfield and Frynas (2005, dalam Fynas
2009 : 6) mengajukan pemikirannya tentang CSR sebagai suatu istilah yang memayungi beragam
teori dan praktik dari (a) tanggungjawab perusahaan terhadap dampak operasionalnya bagi
masyarakat dan lingkungan alam, (b) perilaku bertanggungjawab dari perusahaan dalam
berbisnis dengan shareholder (pemilik saham) dan stakeholder (karyawan, pemasok/supply
chain, dll), dan (c) kebutuhan bisnis untuk mengelola hubungan perusahaan dengan masyarakat
luas, apakah untuk alasan menjaga kepentingan bisnis maupun untuk alasan kebaikan bagi
masyarakat. Lembaga standarisasi International Standard Organization (ISO) turut menguatkan
pemahaman tersebut dengan memberikan batasan pada CSR sebagai:
“Responsibility of an organization for the impacts of its decisions and activities on society and the environment, through transparent and ethical behaviour that contributes to sustainable development, health and the welfare of society; takes into account the expectations of stakeholders; is in compliance with applicable law and consistent with international norms of
behaviour; and is integrated throughout the organization and practiced in its relationships. ” (ISO 26000: 2010 Guidance on Social Responsibility dalam Jalal 2011)
ISO 26000 menempatkan CSR sebagai pendekatakan yang integrative dan holistik, serta
saling ketergantungan antara ruang lingkup CSR dengan core business perusahaan. Adapun
ruang lingkup CSR yang menjadi standar dari ISO 26000 adalah the environment, community
involvelment and development, human rights, labour practices, fair operating practices dan
consumer issues. Relasi antara ruang lingkup CSR tersebut dapat dilihat dari gambar yang
sertakan dalam lampiran ISO 26000 (dalam Jalal 2011).
Gambar 2 : Cakupan CSR (sumber ISO 26000: 2010 Guidance on Social Responsibility dalam Jalal 2011)
Praktik CSR melalui Community Development (comdev)
Implikasi dari pedoman ISO 26000 tersebut membuat prinsip-prinsip good corporate
governance, yang menjadi pijakan untuk mengukur keberhasilan program CSR. CSR yang baik
memadukan empat prinsip good corporate governance, yakni fairness, transparency,
accountability dan responsibility, secara harmonis, karena perbedaan mendasar diantara keempat
prinsip. Tiga prinsip pertama cenderung bersifat shareholders-driven, karena lebih
memerhatikan kepentingan pemegang saham perusahaan. Sementara itu, prinsip responsibility
lebih mencerminkan stakeholders-driven, karena lebih mengutamakan pihak-pihak yang
berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Di sini, perusahaan bukan saja dituntut mampu
menciptakan nilai tambah (value added) produk dan jasa bagi stakeholders perusahaan,
melainkan pula harus sanggup memelihara kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya itu.
Dalam prinsip responsibility ini pendekatan community development semakin banyak diterapkan
karena lebih mendekati konsep empowerment dan sustainable development (Supomo dalam
Suharto 2008)
Berdasarkan tinjauan dari beberapa peneliti, pelaksanaan CSR di negara berkembang
lebih cenderung ke arah program comdev (lihat Kemp 2001, Susanto 2007, Sukada dkk 2007,
Mursitama dkk 2011). Seperti contoh, Lembaga Konsultan A+ CSR Indonesia (2009),
menyatakan bahwa program comdev adalah praktik CSR paling populer di Indonesia karena
dianggap sebagai langkah strategis perusahaan berkontribusi positif bagi pembangunan rakyat
Indonesia. Oleh karena itulah CSR saat ini memiliki peran penting dalam kancah pembangunan
internasional. Di Negara berkembang, aktivitas-aktivitas CSR mengutamakan pengembangan
aspek pendidikan, kesehatan dan kesejahteran masyarakat di level lokal melalui program
comdev. Bahkan melalui CSR ini perusahaan juga berkomitmen untuk berperan serta pada
pencapaian United Nations Millennium Development Goals (MDGs) (Fynas 2009 : 103).
Akan tetapi, studi yang dilakukan oleh Jalal (2011) menunjukkan bahwa memang hanya
comdev yang menjadi sorotan CSR di negara berkembang. Sementara itu di negara maju, CSR
lebih kompleks, dengan tekanan ke banyak hal seperti perilaku bisnis berektika, HAM, hak
buruh, anti korupsi dan kepedulian lingkungan. Kemudian, penelitian tersebut juga menemukan
bahwa filantropi perusahaan adalah bentuk CSR yang memang paling umum dilakukan di negara
maju maupun negara berkembang. Ilustrasi dari penelitian tersebut dapat dilihat dari gambar di
bawah ini.
Gambar 3 : Penekanan CSR yang berbeda di negara maju dan negara berkembang (sumber : Kiroyan 2008 dalam Jalal 2011)
Selain itu, ISO 26000 juga menyarankan kegiatan CSR perlu diintegrasikan ke dalam inti
bisnis yang dilakukan perusahaan, dengan tujuan bisa memberikan keuntungan bagi perusahaan
(Sukada dkk, 2007). Sebagai bentuk keseimbangan dari profit, people dan planet, tidak dapat
dipungkiri, perusahaan sebagai entitas bisnis turut menyertakan kepentingan mereka dalam
aktivitas CSR-nya. Hal itu, dapat diwujudkan melalui penerapan comdev pada stakeholders
perusahaan (Charolinda 2006). Menurut Sukada dkk (2007:97), program comdev penting
dilakukan pada stakeholders, terutama pada komuniti lokal sekitar perusahaan atau komuniti
yang menjadi pemasok bahan baku (supply chain) bagi perusahaan, karena mereka memiliki
peranan yang menentukan bagi kelangsungan hidup perusahaan, yakni memberi dukungan untuk
menjaga keamanan dan kesinambungan operasional perusahaan. Dengan program comdev
diharapkan terjadinya peningkatan kapasitas dan partisipasi stakeholders dalam bekerjasama
dengan perusahaan (Pardede & Finnahari, 2007 : 208).
Dalam program CSR, jenis dan prioritas stakeholders relatif berbeda antara satu
perusahaan dengan lainnya, tergantung pada core bisnis perusahaan yang bersangkutan. Sebagai
contoh, penelitian Supomo (2004) menunjukkan perusahaan ekstraksi seperti PT Aneka
Tambang, Tbk. dan Rio Tinto menempatkan masyarakat dan lingkungan sekitar sebagai
stakeholders dalam skala prioritasnya. Kemudian stakeholders dalam skala prioritas bagi
perusahaan manufaktur produk konsumen seperti Unilever atau Procter & Gamble adalah para
customer-nya. Selain itu, studi Susanto (2007), menunjukkan bahwa Unilever juga termasuk
perusahaan manufaktur yang menempatkan supplier bahan baku sebagai stakeholders
prioritasnya.
Praktik comdev sebagai CSR yang dilakukan oleh PT Unilever Indonesia
Prioritas program comdev terhadap pemasok (supplier) tersebut merupakan salah satu
cara yang ditempuh Unilever dalam mengembangkan kriteria pertanian yang berkelanjutan atau
yang disebut dengan The Unilever Sustainable Agricultural Code (Unilever SAC). Unilever SAC
ini mencakup praktek-praktek yang harus dipenuhi seluruh pemasok termasuk petani, sebagai
acuan praktek pertanian yang berkelanjutan.
Parameter yang tercakup dalam Unilever SAC adalah : perbaikan secara terus menerus, Agro-kimia dan bahan bakar, Tanah, Air, Keanekaragaman Hayati, Energi, Limbah, Modal Sosial dan Sumber Daya Manusia, Kesejahteraan Hewan, Rantai pasok dan perekonomian petani, dan pelaksanaan pelatihan (Sumber:Kabar Tani edisi 07/2011).
Unilever SAC ini merupakan perwujudan misi Unilever Sustainable Living Plan (Misi ini
mencakup (1) peningkatan kesehatan dan kesejahteraan; (2) pengurangan dampak lingkungan;
(3) peningkatan penghidupan), yang akan dicapai pada tahun 2020 sebagai komitmen Unilever
pada tujuan pembangunan berkelanjutan. Sesuai dengan kode tersebut, Unilever mengajak
partisipasi pemasok dan juga petani untuk mengadopsi praktek pertanian yang berkelanjutan di
lahan pertanian mereka. Di Indonesia, Unilever SAC akan diterapkan untuk komoditi kedele
hitam, gula kelapa, teh, lalu komodii lainnya secara bertahap (Kabar Tani, edisi 07/April 2011).
Terkait dengan itu studi Susanto (2007), terhadap CSR PT Unilever Indonesia
menunjukkan bahwa pembentukan Yayasan Unilever Indonesia Peduli (YUI) bertujuan untuk
menciptakan lembaga khusus yang menjalankan aktivitas CSR Unilever. Dalam pelaksanaan
CSR, YUI bekerjsama dengan berbagai kalangan masyarakat, baik dari LSM, pemerintah,
lembaga pendidikan, maupun kalangan bisnis. Salah satu prinsip CSR Unilever yang utama
adalah membangun sinergi kesuksesan bagi stakeholder (sebagai dampak rantai nilai). Dalam
CSR terhadap supplier, Unilever menerapkan Supplier Quality Management Programme
(SQMP) guna meningkatkan kinerja dalam setiap rantai pasoknya.
Selain itu, studi Radyati (2008), yang meneliti program comdev petani kedelai hitam
sebagai pemasok bagi produksi Kecap Bango untuk PT Unilever Indonesia menemukan tujuan
program ini adalah untuk menjaga keberlanjutan rantai pasok kedelai hitam yang berkualitas.
Program ini menjalankan strategi pemberdayaan yang memberikan peningkatan kapasitas
pengetahuan dan keterampilan pada kelompok tani binaan agar bisa menciptakan dan
memelihara varietas kedelai hitam unggulan. Dalam program ini, ada dua prinsip utama yang
menjaga keberlanjutannya, yaitu ; (1) adanya peran Unilever sebagai penjamin ketersediaan
pasar bagi petani, (2) adanya aspek technical assistance dalam pelaksanaan comdev, yakni
melalui kerjasama antara Unilever (YUI), perguruan tinggi (Universitas Gadjah Mada), LSM
pemberdayaan (Persada, Spektra dan FIELD) dan pemda setempat (Radyati, 2008 : 94-96).
Diposkan oleh soel el noya di 21:40 Reaksi: Senin, 26 Desember 2011 Jurnal Penelitian 0 komentar
ADAPTASI KULTURAL TERHADAP POTENSI BENCANA LONGSOR
ADAPTASI KULTURAL TERHADAP POTENSI BENCANA LONGSOR
(Studi Kasus pada Masyarakat Kampung Cipicung Girang, Kelurahan Ciumbuleuit, Kecamatan
Cidadap, Bandung)
Oleh :RAHMAD EFENDI
170510080013Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran,
Jatinangor 2011
Lanskap Cipicung Girang
LATAR BELAKANG DAN RUMUSAN MASALAH
Kawasan Ciumbuleuit merupakan wilayah perbukitan yang padat penduduk di Kawasan
Bandung Utara (KBU). Kampung Cipicung Girang merupakan salah satu kampung berpenduduk
padat di kawasan Ciumbuleuit yang berada tebing perbukitan. Kepadatan penduduk tersebut
tentunya beresiko meningkatkan potensi terjadinya tanah longsor yang bisa menjadi bencana
bagi masyarakat Cipicung Girang itu sendiri. Oleh karena itulah, penelitian ini ingin mengkaji
bagaimana perspektif masyarakat Cipicung Girang terhadap potensi bencana tanah longsor di
lingkungan tempat tinggal mereka. Hal tersebut kemudian dapat menunjukkan bagaimana
strategi adaptasi yang dilakukan masyarakat Cipicung Girang terhadap kondisi lingkungannya.
Berdasarkan masalah tersebut, pertanyaan pokok dalam penelitian ini mempertanyakan
mengenai :
1. Bagaimanakah potensi bencana longsor di daerah Cipicung Girang ?
2. Bagaimana adaptasi kultural masyarakat Cipicung Girang terhadap potensi bencana longsor yang
ada di sekitar mereka?
3. Bagaimanakah tindakan masyarakat Cipicung Girang menghadapi potensi bencana longsor di
lingkungan sekitar tempat tinggal mereka ?
STUDI PUSTAKA
Bencana Alam Tanah Longsor
Kajian antropologi melihat bencana sebagai kejadian yang meliputi kombinasi dari
berbagai agen yang memiliki potensi merusak dan memperlemah kondisi masyarakat. agen
perusak tersebut dapat berasal dari lingkungan alam, teknologi atau dari masyarakat itu sendiri
(Oliver & Smith, 1996). Sementara itu UU No. 24 tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai
“peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis”. Kemudian Asian Disaster
Preparedness Center (ADPC) mendefinisikan bencana dalam formulasi “The serious disruption
of the functioning of society, causing widespread human, material or environmental losses,
which exceed the ability of the affected communities to cope using their own resources”
(Abarquez & Murshed, 2004). Definisi bencana seperti dipaparkan tersebut mengandung tiga
aspek dasar, yaitu : (1) Terjadinya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak
(hazard). (2) Peristiwa atau gangguan tersebut mengancam kehidupan, penghidupan, dan fungsi
dari masyarakat. (3) Ancaman tersebut mengakibatkan korban dan melampaui kemampuan
masyarakat untuk mengatasi dengan sumber daya mereka.
Bencana dapat disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster) maupun oleh ulah
manusia (man-made disaster) (BKNPB, 2006). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan bencana
antara lain:
(1) Bahaya alam (natural hazards) dan bahaya karena ulah manusia (man-made hazards) yang menurut United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR) dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi (geological hazards), bahaya hidrometeorologi (hydrometeorological hazards), bahaya biologi (biological hazards), bahaya teknologi (technological hazards) dan penurunan kualitas lingkungan (environmental degradation). (2) Kerentanan (vulnerability) yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur serta elemen-elemen di dalam kota/ kawasan yang berisiko bencana. (3) Kapasitas yang rendah dari berbagai komponen di dalam masyarakat.
Bencana dapat terjadi, karena ada dua kondisi yaitu adanya peristiwa atau gangguan yang
mengancam dan merusak (hazard) dan kerentanan (vulnerability) masyarakat. Bila terjadi
hazard, tetapi masyarakat tidak rentan, maka berarti masyarakat dapat mengatasi sendiri
peristiwa yang mengganggu, sementara bila kondisi masyarakat rentan, tetapi tidak terjadi
peristiwa yang mengancam maka tidak akan terjadi bencana.
Bencana terdiri dari berbagai bentuk, UU No. 24 tahun 2007 mengelompokkan bencana ke dalam tiga kategori yaitu: bencana alam, bencana non-alam dan bencana sosial. Fokus dalam kajian ini adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam tanah longsor. Tanah longsor adalah suatu peristiwa geologi yang terjadi karena pergerakan tanah seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar tanah. Meskipun penyebab utama kejadian ini adalah gravitasi yang mempengaruhi suatu lereng yang curam, namun ada pula faktor-faktor lainnya yang turut berpengaruh : (1) erosi yang disebabkan aliran air yang menciptakan lereng-lereng yang terlalu curam, (2) lereng dari bebatuan dan tanah diperlemah melalui saturasi yang diakibatkan hujan lebat, (3) gempa bumi menyebabkan tekanan yang mengakibatkan longsornya lereng-lereng yang lemah, getaran dari mesin, lalu lintas, (4) perusakan hutan dan pemanfaatan lahan yang tidak tepat. Akibat pertumbuhan penduduk yang menuntut terjadinya perluasan wilayah.
Tanah longsor adalah suatu peristiwa alam yang pada saat ini frekuensi kejadiannya
semakin meningkat seiring meningkatnya laju perusakan hutan. Selain itu, intensitas curah hujan
yang tinggi dan kejadian gempa yang sering muncul, secara alami akan dapat memicu terjadinya
tanah longsor (Suranto, 2008). Fenomena tanah longsor akan berubah menjadi bencana alam
tanah longsor manakala menimbulkan korban baik berupa korban jiwa maupun harta benda
manusia. Jadi bencana tanah longsor merupakan peristiwa bergeraknya massa tanah dalam
volume relatif besar yang menimbulkan korban baik harta maupun jiwa manusia.
Relasi Manusia dan Alam
Rambo (1981) menggambarkan hubungan antara manusia dan lingkungan dalam bentuk
hubungan fungsional yang kemudian dikenalkan sebagai pendekatan sosio-biofisik. Hubungan
fungsional tersebut dapat digambarkan dalam bentuk hubungan interaksi dan interdependensi
antara sistam alam (natural system) dan sistem sosial (social system). Kedua sistem tersebut di
alam bertumpang-tindih karena setiap dinamika dalam sistem sosial akan mempengaruhi dan
juga dipengaruhi oleh sostem alamnya.
Otto Soemarwoto (1979) mengemukakan bahwa di dalam hubungan fungsional antara
lingkungan alam dan lingkungan manusia terdapat dua aliran yaitu : (1) aliran imanen ; manusia
dalam lingkungan sosial digambarkan terpisah dari lingkungan alamnya (biofisik), manusia
merasa terlepas dari sistem alamnya karena merasa mempunyai kemampuan untuk
menguasainya; dan (2) aliran transenden, manusia dengan sistem sosialnya membentuk satu
kesatuan, merupakan bagian integral dari sistem alamnya; mansia secara arif bijaksana merasa
mempunyai kepentingan yang sama dengan lingkungan hidupnya.
Selanjutnya Totok Gunawan (1983) mengemukakan bahwa Cliffort Gertz (1979) melihat
perkembangan kebudayaan manusia dari cara dan strategi manusia dalam menghadapi kondisi
dan situasi lingkungan alamnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) pendekatan
deterministic; disini dalam menghadapi lungkungan alam sekitar, kebudayaan manusia masih
dipengaruhi dan ditentukan atau tergantung kepada kondisi lingkungan alamnya dan (2)
pendekatan posibilisme, mansia dengan peningkatan kebudayaannya mampu melakukan seleksi
dan adaptasi terhadap kondisi lingkungan alam yang dihadapi, disesuaikan dengan kehendaknya.
Kelemahan pendekatan pertama kebudayaan lambat untuk bekembang, sedang kelemahan
pendekatan kedua keserakahan manusia dapat menyebabkan terjadinya tekanan-tekanan terhadap
ekosistem yang menjurus kepada degradasi kualitas lingkungan.
Adaptasi Kultural terhadap Kondisi Lingkungan
Banyak pendapat dan pendekatan tentang adaptasi. Diantaranya: Pendekatan
Deterministik (Semple et al), Pendekatan Posibilistik (Kroeber et al), Pendekatan Cultural
Ecology (Stewart, Geerzt et al), dan Pendekatan Ekosistem (Rappaport et al). Tapi pada dasarnya
adaptasi adalah usaha dari makhluk hidup (terutama manusia) untuk bereaksi terhadap keadaan
luar/lingkungan yang berubah, termasuk intervensi, gangguan dan ancaman. Hal ini sesuai
dengan konsep homeoesthasis yang dikemukakan oleh Eugene P.Odum: "Homeoesthasis adalah
suatu sistim biologis untuk tetap bertahan terhadap adanya perubahan dan untuk tetap berada
dalam keseimbangan dinamis (state of equilibrium) dengan sekitarnya." (Odum, 1996).
Adaptasi dalam ekologi juga sejalan dengan konsep-konsep tersebut. Terry Rambo
mengemukakan bahwa manusia akan melakukan strategi yang sesuai dengan pengetahuan
budayanya untuk menghadapi perubahan. Manusia yang mempunyai strategi yang tepat akan
berhasil, yang tidak mempunyai strategi yang tepat akan gagal dan mati (process of natural
selection) (Rambo, 1983).
Adaptasi dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Adaptasi Fisiologis : Berhubungan dengan sistim metabolisme, seperti juga seseorang yang
tinggal di dataran rendah harus tinggal di dataran yang sangat tinggi (Pegunungan Himalaya).
Orang tersebut harus menyesuaikan suhu, tekanan udara dan kadar oksigen yang lebih tipis untuk
bisa bertahan hidup.
2. Adaptasi Morfologis : Berhubungan dengan struktur tubuh. Misalnya orang Eskimo pendek dan
kekar karena tinggal didaerah Artik, dan orang Afrika tinggi dan langsing karena tinggal di udara
panas.(Soemarwoto, 1985).
3. Adaptasi Kultural : Berhubungan dengan teknologi, yang disesuaikan dengan keadaan sekitar.
Jadi adaptasi masyarakat terasing terhadap pembangunan banyak berhubungan dengan Cultural
Adaptation, bukan pada fisiologis dan morfologis. Adaptasi sosial-budaya tentunya tak dapat
dilakukan secara tiba-tiba, melainkan dilakukan secara bertahap. Pada tahap pertama akan terjadi
adaptasi karena perubahan teknologi (yang termudah), perilaku, pendidikan, kegiatan
bermasyarakat, rumah tangga, agama dan kepercayaan. Cohen (1974) menyebutkan bahwa
adaptasi dapat diterangkan dalam empat tahap:
Tahap pertama adalah adaptasi yang paling mudah dengan perubahan habitat: perubahan
teknologi dan organisasi yang didapat dari hubungan-hubungan sosial/bermasyarakat/pergaulan.
Tahap kedua adalah terhadap bentuk hunian, rumah tangga, organisasi politik, dan kekerabatan.
Tahap ketiga adalah dalam agama dan kepercayaan.
Tahap keempat adalah yang paling sulit karena ini merupakan persepsi subyektif terhadap habitat,
lingkungan, nilai-nilai/norma-norma yang berhubungan dengan mata pencaharian, pemeliharaan
anak, taboo (pantangan), incest (hubungan sedarah), ritual-ritual/upacara-upacara, termasuk
musik dan tarian (kebudayaan).
Adaptasi lingkungan dalam tulisan ini ditekankan pada proses bagaimana seorang individu
melakukan pengambilan keputusan untuk mengadakan pilihan-pilihan interaksi dengan
lingkungan hidupnya. Bennet dalam bukunya “The Ecological Transition, Cultural
Anthropology and Human Adaption, mengatakan bahwa adaptasi adalah tingkah laku adaptasi
yang menunjuk pada tindakan. Adaptasi terhadap lingkungan dibentuk dari tindakan yang
diulang-ulang dan merupakan bentuk penyesuaian terhadap lingkungan. Adaptasi adalah “refers
to the coping mechanism that humans displays in obtaining their wants or adjusting their lives to
the surroundings milieu to their lives and puposes” (Bennet, 1976 : 274).
Pendekatan antropologi terhadap respon perilaku individu dan organisasi terhadap
bencana memiliki kajian utama mengenai upaya masyarakat dalam mengantisipasi kemungkinan
buruk dari bencana. Dalam kajian ini kebudayaan dilihat sebagai sistem adaptif yang
memfasilitasi masyarakat dalam mengantisipasi terjadinya bencana. Perkembangan sistem religi,
sistem pengetahuan dan teknologi, mata pencaharian dan organisasi sosial dilihat sebagai upaya
penyesuaian manusia terhadap kondisi lingkungannya, termasuk di dalamnya melalui persepsi
masyarakat mengenai potensi bencana dalam lingkungan tersebut (Oliver & Smith, 1996).
Persepsi merupakan tanggapan atau pengertian yang terbentuk langsung dari suatu peristiwa
atau pembicaraan tapi dapat juga pengertian-pengertian yang terbentuk lewat proses yang diperoleh
melalui pancaindera. Persepsi adalah suatu proses pemberian arti atau proses kognitif dari seseorang
terhadap lingkungannya yang dipergunakan untuk menafsirkan dan memahami dunia yang ada
disekitarnya (Winarso, 2002, dalam Suranto, 2008). Jadi persepsi mencakup penafsiran objek atau
tanda dari sudut pandang individu yang bersangkutan dan persepsi dapat mempengaruhi perilaku dan
pembentukan sikap. Lebih lanjut dijelaskan bahwa persepsi sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain: situasi, kebutuhan dan keinginan begitu juga keadaan emosi.
Sebagai suatu hasil akal budi, persepsi merupakan bagian kehidupan sesorang yang
dipengaruhi kebudayaan milik suatu masyarakat. Artinya persepsi dipengaruhi kebudayaan
setempat. Dalam teori determinis lingkungannya, Marvin Harris (1979) menunjukkan bahwa
alasan-alasan materialismelah yang mendasari berkembangnya sebuah budaya di masyarakat.
Harris mengungkapkan adanya watak budaya yang dapat menerangkan bagaimana sebuah
masyarakat berevolusi dan beradaptasi terhadap kondisi lingkungan. Watak budaya tersebut
merupakan cara pandang masyarakat terhadap dunia sekitarnya, yang dengan kata lain bisa
dikatakan sebagai persepsi terhadap lingkungan.
Sistem pengetahuan masyarakat, watak budaya, persepsi dan sistem keyakinan disebut
Harris masuk dalam kategori suprastruktur. Oleh karena itu, berbagai pengetahuan lokal yang
mentradisi pada berbagai kebudayaan merupakan produk dari interaksi masyarakat dan
lingkungan tempat tinggalnya. Terkait dengan hal tersebut persepsi masyarakat di berbagai
daerah mengenai bencana sangat bervariasi tergantung perkembangan kebudayaan di tengah
masyarakat di suatu daerah. Kemunculan berbagai pandangan tersebut dipengaruhi aspek-aspek
kepercayaan, adat istiadat serta riwayat sejarah masyarakat setempat. Berbagai pandangan yang
bervariasi tersebut melahirkan definisi yang berbeda di berbagai kebudayaan dan bahasa yang
berbeda. Pada akhirnya hal ini akan membedakan bentuk respons masyarakat terhadap bencana
tersebut (Putra, 2010).
Ada dua pengertian persepsi manusia terhadap lingkungannya (environment perception).
Pertama adalah proses manusia memperoleh pengetahuan lingkungan (objective environment)
melalui rangsangan-rangsangan yang diterimanya. Kedua tanggapan manusia terhadap
lingkungan (image of the environment) yang terdapat dalam pikirannya. Proses manusia
memperoleh pengetahuan lingkungan ditentukan oleh pandangan yang sifatnya individual
terhadap lingkungan, sesuai dengan kebudayaan yang dianutnya. Sebaliknya pandangan hidup,
motivasi ekonomi dan tradisi yang dianut masing-masing individu merupakan pertimbangan
yang menentukan bagaimana eksistensi kebudayaan itu mampu melakukan seleksi atau
menyaring rangsangan dari luar (objective environment). Dalam hal ini kebudayaan lebih bersifat
menyaring rangsangan-rangsangan dari lingkungannya. Hal ini kemudian dipelajari manusia
yang memungkingkan kebudayaan itu membentuk respon terhadap lingkungan yang lebih
bersifat kultural dan kemudian disosialisasikan kepada individu warga masyarakat yang lain,
akhirnya menjadi pola perilaku yang diterima dan diakui oleh masyarakat. (Ahimsa, 1994).
Menurut Mulyadi (2010) persepsi masyarakat Indonesia mengenai bencana terbagi atas dua
sisi yang berbeda. Sisi pertama disebut sebagai pandangan agamawi yang melihat kepercayaan
masyarakat mengenai terjadinya suatu bencana alam lebih sering dipandang sebagai sesuatu
peristiwa yang disebabkan oleh ulah manusia yang melanggar tabu atau sering berbuat dosa. Sang
Pencipta atau kekuatan di luar manusia lah penyebab segala sesuatu bencana di muka bumi ini.
Berdasarkan pandangan tersebut, sikap manusia menjadi pasrah menghadapi resiko bencana yang
akan menimpa mereka.
Sisi kedua disebut Mulyadi sebagai pandangan duniawi yang melihat bencana alam
disebabkan oleh kesalahan yang dilakukan oleh manusia. Artinya, manusialah penyebab dari segala
bencana alam yang terjadi. Hal itu disebabkan oleh kelalaian manusia dalam menjaga kelestarian,
keseimbangan alam atau merusak alam secara tanpa sadar, sengaja, atau bahkan terstruktur. Bukan
“kutukan” atau cobaan sang Pencipta, tetapi manusia sendiri lah penyebabnya. Sesuatu yang dapat
diterangkan akal sehat yang dicari, bukan berdasarkan keyakinan atau sistem kepercayaan semata.
Mulyadi berpendapat bahwa pada saat ini masyarakat lebih cenderung pada pandangan
duniawi, yang terlihat dari berbagai upaya dalam mitigasi bencana berupa pengkajian, sosialisasi,
simulasi, pengembangan teknologi dan lainnya. Akan tetapi, unsur-unsur agamawi tidak sepenuhnya
hilang. Masih nampak hal-hal yang menandai unsur-unsur agamawi dalam melihat kasus bencana
alam. Bahkan dalam beberapa kasus pandangan masyarakat yang duniawi dan agamawi berjalan
beriringan.
KERANGKA PEMIKIRAN
Kawasan kampung Cipicung Girang memiliki kerentanan dalam sistem alam berupa
rawan longsor dan kerentanan dalam sistem sosial berupa kepadatan pemukiman penduduk.
Relasi antara dua sistem yang mengandung kerentanan tersebut pada dasarnya bisa menghasilkan
suatu potensi bencana. Terkait dengan kondisi tersebut, masyarakat cipicung girang melakukan
adaptasi agar tidak terkena bencana tersebut. salah satunya adalah melalui adaptasi secara
kultural. Dalam adaptasi cultural masyarakat menyaring informasi yang mereka dapat dari alam
untuk mereka pelajari dan dijadikan pedoman dalam menyikapi kondisi rawan di lingkungannya.
Terkait dengan itu adaptasi kultural menghasilkan persepsi yang bersifat duniawi atau agamawi.
Dimana kedua persepsi tersebut pada akhirnya akan menentukan bagaimana tindakan masyarakat
dalam menghadapi potensi bencana longsor di sekitarnya.
PEMBAHASAN
Potensi Bencana Longsor di Cipicung Girang
Dilihat dari kondisi fisik, derah Cipicung Girang sangat rentan terhadap bencana longsor.
Lereng perbukitan di sebelah Barat dan Timur yang menjadi lokasi hunian penduduk memiliki
kemiringan antara 45-80 derajat. Kemiringan sebesar itu sangat rawan terjadinya pergerakan
tanah. Tidak tersedianya cukup banyak pepohonan besar sebagai penahan membuat tanah lereng
semakin labil, jika terjadi hujan, air menggerus tanah dengan mudah sehingga menghasilkan
saluran-saluran air yang semakin lama semakin dalam. Selain itu banyaknya sampah yang
menumpuk di saluran air juga membuat semakin besar wilayah tebing yang tergerus air,
sehingga memancing terjadinya pergerakan tanah yang berujung longsor.
Potensi bencana tersebut bersifat laten, karena tanah longsor adalah suatu
peristiwa geologi yang terjadi karena pergerakan tanah yang disebabkan gravitasi yang
mempengaruhi suatu lereng yang curam. Artinya, secara alami kejadian longsor sangat mungkin
terjadi pada lereng yang terjal. Selain itu, di Cipicung juga ditemukan penyebab longsor lainnya
seperti terjadi erosi yang disebabkan aliran air yang menciptakan lereng-lereng yang terlalu
curam, merapuhnya lereng dari bebatuan dan tanah akibat saturasi yang diakibatkan hujan lebat,
adanya tekanan dari getaran dari mesin dan lalu lintas di jalan raya punclut, serta adanya
perusakan hutan dan pemanfaatan lahan yang tidak tepat akibat pertumbuhan penduduk yang
menuntut terjadinya perluasan wilayah. Sejarah desa juga menunjukkan intesitas longsor yang
sering terjadi. Bahkan untuk saat ini daerah Cipicung Girang memiliki setidaknya empat titik
rawan terjadi longsor. Dalam kasus ini, daerah terjal yang dihuni ratusan rumah penduduk akan
sangat mungkin mengundang terjadinya bencana longsor.
Masalahnya, pertumbuhan penduduk di Cipicung Girang tidak di ikuti perkembangan
wilayah hunian karena lahan warga telah dibatasi tanah PT DAM dan tanah pemerintah. Hal
tersebut akhirnya meyebabkan terjadinya pembangunan rumah yang menumpuk di lereng terjal
bagian Timur dan Barat. Berdasarkan sejarah kampung pada awalnya masyarakat Cipicung
menghuni daerah lembah yang agak landai. Akan tetapi karena pertumbuhan penduduk,
pembangunan rumah terus dilakukan hingga mencapai perbukitan.
Masyarakat Cipicung yang membangun rumah di lereng perbukitan tentu beresiko
menjadi korban dari kerentanan fisik lingkungannya tersebut. Harta benda dan jiwa mereka
terancam oleh dinding perbukitan yang tidak dapat diprediksi kapan akan runtuhnya.
Berdasarkan kemungkinan tersebut, daerah Cipicung Girang memiliki potensi bencana bagi
masyarakatnya. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa dalam sistem alam lingkungan Cipicung
Girang, terdapat unsur kerentanan berupa potensi terjadinya peristiwa longsor, sementara itu
dalam sistem sosial juga terkandung kerentanan berupa kepadatan pemukiman penduduk.
Pertemuan dua kerentanan tersebut berdasarkan teori akan mengakibatkan terjadinya bencana.
Namun saat ini, bencana itu baru potensi, karena belum benar-benar menjadi bencana.
pendapat itu dinyatakan berdasarkan definisi Asian Disaster Preparedness Center (ADPC) yang
cukup jelas menunjukkan tiga point utama dari ciri bencana. Ciri pertama bencana adalah
terjadinya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak (hazard), hal ini memang
terjadi di Cipicung Girang, yakni seperti kejadian longsor yang sering terjadi.
Ciri kedua dan ketiga adalah terjadinya peristiwa atau gangguan tersebut mengancam
kehidupan, penghidupan, dan fungsi dari masyarakat, ancaman tersebut mengakibatkan korban
dan melampaui kemampuan masyarakat untuk mengatasi dengan sumber daya mereka. Dilihat
dari besaran pengaruhnya, kejadian-kejadian longsor di Cipicung Girang belum mencapai skala
sebesar ciri kedua dan ketiga tadi. Oleh karena itulah, longsor belum menjadi bencana bagi
masyarakat Cipicung Girang, tapi sudah tentu berpotensi menghasilkan bencana juga.
Adaptasi Kultural Masyarakat Cipicung Girang
Wilayah perbukitan terjal memiliki potensi terjadinya tanah longsor. Tanah longsor
tersebut bisa menjadi bencana apabila mendatangkan kerugian. Sebagai suatu peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat, longsor bisa menjadi
bencana yang ditakuti oleh masyarakat. Sewajarnya masyarakat yang berada di wilayah rawan
bencana longsor memiliki pemahaman yang baik akan upaya pengurangan risiko bencana
longsor bagi mereka. Setidaknya masyarakat tidak membangun pemukimannya di daerah yang
rawan tersebut. Akan tetapi tidak demikian yang terjadi di kampung Cipicung Girang yang
tinggal di wilayah perbukitan Kawasan Bandung Utara. Meski diketahui memiliki potensi
bencana longsor, wilayah Cipicung Girang saat ini semakin padat dihuni penduduk.
Kemungkinan bencana ternyata tidak membuat takut masyarakat Cipicung Girang.
Persepsi adalah suatu proses pemberian arti atau proses kognitif dari seseorang terhadap
lingkungannya yang dipergunakan untuk menafsirkan dan memahami dunia yang ada disekitarnya
(Winarso, 2002). Persepsi mencakup penafsiran objek atau tanda dari sudut pandang individu yang
bersangkutan dan persepsi dapat mempengaruhi perilaku dan pembentukan sikap. Terkait dengan
pendapat tersebut, masyarakat Cipicung Girang tentunya memiliki suatu persepsi terhadap
lingkungannya, terutama pada potensi longsor. Dalam bayangan masyarakat Cipicung Girang,
rupanya konsep bencana merujuk pada kejadian yang bersifat mengancam keselamatan hidup
mereka, dan longsor adalah salah satunya. Sebagian besar informan sadar bahwa kejadian
longsor memiliki potensi menjadi bencana.
Setelah mengetahui konsep mereka tentang potensi bencana longsor, perlu dilihat seperti
apakah mereka memandang penyebab bencana tersebut. Hasil penelitian menunjukkan, di satu
sisi, secara keyakinan, masyarakat Cipicung Girang melihat bencana terjadi akibat
ketidakbersyukuran mereka terhadap nikmat dari Tuhan. Sementara di sisi lain masyarakat
Cipicung menilai wilayah mereka rentan terhadap longsor, karena tidak tersedianya infrastuktur
saluran air hujan yang baik ditambah pembangunan rumah yang menumpuk hingga ke bagian
atas bukit.
Melalui pendekatan antropologi ekologi, respon perilaku individu dan organisasi terhadap
bencana sesungguhnya dapat dilihat dipengaruhi kebudayaan masyarakat tersebut. Dalam
pendekatan ini kebudayaan dilihat sebagai sistem adaptif yang memfasilitasi masyarakat dalam
mengantisipasi terjadinya bencana. Perkembangan sistem religi, sistem pengetahuan dan
teknologi, mata pencaharian dan organisasi sosial dilihat sebagai upaya penyesuaian manusia
terhadap kondisi lingkungannya, termasuk di dalamnya melalui persepsi masyarakat mengenai
potensi bencana dalam lingkungan tersebut
Persoalan tersebut kemudian dapat menunjukkan apa yang disebut Rambo sebagai relasi
antara sistem sosial dan sistem alam. Dimana dalam berhadapan dengan kondisi lingkungannya,
masyarakat Cipicung kemudian mengembangkan sistem sosial yang diupayakan adaptif untuk
mengatasi masalah lingkungannya. Hal tersebut dapat dikategorikan dalam suatu adaptasi
kebudayaan yang dilihat Cohen memiliki empat tahapan, yakani : Tahap pertama adalah
adaptasi yang paling mudah dengan perubahan habitat: perubahan teknologi dan organisasi yang
didapat dari hubungan-hubungan sosial/bermasyarakat/pergaulan. Tahap kedua adalah terhadap
bentuk hunian, rumah tangga, organisasi politik, dan kekerabatan. Tahap ketiga adalah dalam
agama dan kepercayaan. Tahap keempat adalah yang paling sulit karena ini merupakan persepsi
subyektif terhadap habitat, lingkungan, dan nilai-nilai/norma-norma.
Dalam pendekatan ini persepsi merupakan salah satu bentuk produk budaya hasil
interaksi masyarakat Cipicung dengan lingkungannya. Pengalaman panjang mereka dalam
berinteraksi dengan lingkungan telah mengajarkan mereka sejauhmana kemungkinan potensi
bencana tersebut terhadap keamanan hidup mereka. Jika dilihat dari sudut pandang persepsi,
pandangan duniawi dan pandangan agamawi memiliki peluang yang sama dianut oleh
masyarakat Cipicung Girang.
Pandangan duniawi melihat pendekatan kebudayaan adaptif mestinya berjalan disini.
Pandangan duniawi memungkinkan masyarakat Cipicung telah memahami kondisi wilayah
mereka dengan baik, sehingga mereka telah mengerti dan mampu beradaptasi dengan kondisi
rawan di lingkungan hidupnya tersebut, sehingga mereka tidak takut lagi dan bisa bertahan di
sana. Dari sudut pandang ini kita melihat masyarakat mempelajari dan memiliki pengetahuan
tentang potensi bencana tersebut. tidak hanya itu, pengetahuan tersebut juga mempengaruhi cara
hidup mereka, seperti dalam pemanfaatan lahan, pola pemukiman, aktivitas di lingkungan dan
sebagainya. Dengan demikian, masyarakat diasumsikan memiliki pengetahuan antisipatif
terhadap bencana yang terwujud dalam aktivitas keseharian seperti mencari pemukiman yang
relatif aman, tidak merusak lingkungan dan bijaksana dalam pemanfaatan lahan.
Terkait dengan itu, pandangan duniawi dan agamawi tersebut sesunggunhya
menunjukkan apa yang disebut Gertz sebagai pendekatan posibilisme dan deterministic, serta
konsepsi Soemarwoto tentang aliran imanen dan transenden dalam hubungan fungsional manusia
dengan alam. Pandangan duniawi masuk dalam kategori pendekatan posibilisme atau aliran
imanen, yang melihat manusia dalam lingkungan sosial digambarkan terpisah dari lingkungan
alamnya (biofisik), manusia merasa terlepas dari sistem alamnya karena merasa mempunyai
kemampuan untuk menguasainya, karena itu dengan peningkatan kebudayaannya mampu
melakukan seleksi dan adaptasi terhadap kondisi lingkungan alam yang dihadapi, disesuaikan
dengan kehendaknya.
Sementara itu pandangan agamawi sendiri masuk dalam pendekatan deterministic atau
aliran transenden, yang melihat manusia dengan sistem sosialnya membentuk satu kesatuan,
merupakan bagian integral dari sistem alamnya; manusia secara arif bijaksana merasa
mempunyai kepentingan yang sama dengan lingkungan hidupnya. Dalam menghadapi
lingkungan alam sekitar, kebudayaan manusia masih dipengaruhi dan ditentukan atau tergantung
kepada kondisi lingkungan alamnya.
Tindakan yang dihasilkan dari adaptasi Masyarakat Cipicung Girang terhadap Potensi
bencana Longsor
Relasi fungsional antara masyarakat cipicung girang dan lingkungannya telah berjalan
sejak lama, mengingat sejarah kampung cipicung girang yang sudah berdiri lebih dari seabad
silam. Dalam relasi tersebut, kondisi-kondisi lingkungan kemudian akan mempengaruhi sistem
pengetahuan masyarakat akan strategi mereka untuk hidup di wilayah tersebut. Salah satunya
terkait dengan kondisi lingkungan yang rawan longsor, masyarakat cipicung beradaptasi dengan
berbagai cara dan termasuk di dalamnya juga melakukan adaptasi secara kultural.
Dari hasil penelitian ditemukan adanya adaptasi kultural yang mengacu pada pandangan
agamawi dan duniawi yang ditunjukkan masyarakat. Dalam pandangan agamawi, masyarakat
memiliki semacam kepercayaan bahwa untuk menjaga keselamatan kampung dari marabahaya,
nenek moyang mereka mengajarkan untuk melakukan ritual pengorbanan hewan. Hal tersebut
masih mereka jalankan sampai sekarang. Namun ritual ini mengalami kemunduran karena faktor
mahalnya biaya yang akan dikeluarkan. Dalam hal ini dapat dilihat adanya pergeseran nilai
akibat perubahan kondisi perekonomian masyarakat. Pergeseran nilai ini tentunya akan
menurunkan tingkat keyakinan masyarakat akan ritual tersebut.
Sementara itu dalam pandangan duniawi, masyarakat Cipicung Girang mengembangkan
mekanisme antisipatif dan sistem gawat darurat bencana secara mandiri. Masyarakat melakukan
upaya pembersihan saluran air, karena mereka memiliki pengetahuan bahwa kerusakan saluran
air sebagai penyebab utama longsor. Menurut mereka, saluran air yang rusak akan membuat
tebing-tebing terkena erosi sehingga memicu terjadinya gerakan tanah yang berujung longsor.
Kemudian masyarakat selalu siap siaga jika terjadi longsor. Mereka akan segera memperbaiki
kerusakan-kerusakan yang terjadi akibat longsor karena mereka takut jika dibiarkan akan
memancing longsor yang lebih besar. Karena mekanisme antisipatif dan sistem tanggap darurat
bencana ini telah banyak memberikan manfaat, hingga saat ini masyarakat Cipicung Girang
mempertahankan keberlanjutannya melalui kerja bakti di setiap RT.
Berdasarkan perilaku dan tindakan di atas, dapat dilihat bahwa masyarakat Cipicung
masih memegang pandangan agamawi meski hanya sebatas keyakinan, namun mereka lebih
mengutamakan pandangan duniawi dalam menghadapi potensi bencana di sekitar mereka. Jadi
sejalan dengan pendapat Mulyadi, pada masyarakat Cipicung Girang saat ini lebih dominan
pandangan duniawi yang membuat mereka mengembangkan sistem adaptif terhadap potensi
bencana longsor. Mereka mengembangkannya sebagai produk dari interaksi mereka dan
lingkungan, dan itulah apa yang disebut Harris sebagai kebudayaan.
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, kajian terhadap persepsi masyarakat
Kampung Cipicung Girang terhadap potensi bencana longsor dapat disimpulkan dalam beberapa
point, yakni ;
1. Potensi bencana longsor di Kampung Cipicung Girang bersifat laten, karena lingkungan
pemukiman masyarakat ada disekitar lingkungan fisik yang rentan berupa lereng perbukitan
yang terjal.
2. Lingkungan pemukiman masyarakat Cipicung menjadi padat karena faktor pertumbuhan
penduduk tidak didukung dengan pengembangan wilayah. Artinya jumlah penduduk meningkat
akan tetapi jumlah lahan tetap.
3. Dalam menyikapi potensi bencana longsor yang ada di sekitarnya, masyarakat Cipicung Girang
dominan menganut pandangan duniawi dengan mengembangkan sistem adaptif berupa
mekanisme antisipatif dan sistem tanggap darurat bencana. Sementara itu pandangan agamawi
semakin melemah, karena ritual sebagai salah satu aktivitasnya dinilai masyarakat akan
mengeluarkan banyak biaya sehingga tidak efektif dan efesien.
4. Sistem adaptif yang dikembangkan merupakan respon masyarakat terhadap kondisi
lingkungannya. sistem adaptif menjadi suatu produk dari interaksi masyarakat Cipicung Girang
dan lingkungannya.
SARAN
Saran untuk masalah penelitian
Berdasarkan kesimpulan dari penelitian ini, sumbangan pemikiran peneliti dalam menanggapi
masalah penelitian ini adalah menyarankan agar masyarakat Cipicung Girang perlu lebih peduli
dan memahami wilayah tempat tinggal mereka agar semakin mampu mengantisipasi
kemungkinan terjadinya bencana. Kemudian masyarakat perlu lebih meningkatkan sistem
adaptifnya yang berupa mekanisme antisipatif dan sistem tanggap darurat bencana tersebut.
sistem adaptif tersebut perlu dikembangkan ke seluruh masyarakat agar mengundang partisipasi
masyarakat yang lebih besar. Selain itu penting juga memberikan pendidikan akan sistem adaptif
tersebut kepada anak-anak, karena merekalah yang nantinya akan meneruskan estafet kehidupan
para orang tuanya.
Saran untuk penelitian selanjutnya
Dalam penelitian ini, peneliti tidak sampai mengkaji bagaimana permasalahan tekanan
penduduk dan keterbatasan wilayah yang menjadi sebab utama kepadatan kampung Cipicung
Girang, dimana kepadatan tersebut memberikan kerentanan pada masyarakat terhadap potensi
bencana longsor dari lingkungannya. Oleh karena itu, peneliti menyerankan penelitian
selanjutnya bisa mengkaji persoalan tersebut, agar bisa lebih menjelaskan mengapa masyarakat
Cipicung harus terkungkung di wilayah rawan bencana tersebut.
Daftar Pustaka
Abarquez, I. and Murshed, Z. (2004). Community Based Disaster Risk Management: Field Practitioner’s Handbook. Bangkok : ADPC.
Ahimsa, H.S.P.(1994). Antropologi Ekologi. Beberapa Teori dan Perkembangannya dalam Masyarakat Indonesia, XX (4), p: 1-44.
Arce, Wilfredo F. (2001). Systematic Qualitative Data Research : An Introduction for Filipino Practitioners. Manila : Ateneo de Manila University.
Babbie, Earl. (2001). The Practice Social Research. USA : Wadsworth.
Bannet, J.W. (1978). The Ecological Transition: Cultural and Human Adaptation. New York: Pergamnon, 9 : 45-73.
Bell, A.P.(1980). Environmental Phsycology. Philadelpia : W.B. Sanders Co.
BKNPB.(2006). Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana Tahun 2006-2009. Jakarta : Perum Percetakan Negara RI.
Cohen, A.Y. (1974). "Man in Adaptation, The Cultural Present". Chicago: Aldine Publishing Company.
Creswell, John W.(1998). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Tradition. London: SAGE Publications.
Geertz, Clifford C.(1979). Involusi Pertanian: Proses perubahan ekologi di Indonesia. Terj. Jakarta : Bhratara.
Gunawan, Totok. (1983). Analisis Ekologi dalam Kajian Geografi. Seminar peningkatan relevansi metode pendidikan. Fakultas Geografi, UGM.
Hagget, P. (1993). Geography, A Modern Synthesis. Revised Third Edition. Harper & Row Publisher, New York.
Harris, Marvin. (1979). Cultural Materialism : The Struggle for a science of Culture. New York: Random House.
Herawati, Erna.(2010). Proses Pengembangan Masyarakat. Materi Perkuliahan Pengembangan Masyarakat. Jurusan Antropologi Fisip Unpad. Tidak Diterbitkan.
Mulyadi, R Muhammad. (2010). Lumpur Lapindo: Melihat Bencana Alam dalam Bingkai Budaya?. Artikel lepas. Tidak diterbitkan.
Odum, Eugene P. (1996). "Dasar-Dasar Ekologi", (Terjemahan Ir.Tjahjono Samingan, Msc, FMIPA-IPB, Bogor). Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Oliver, Anthony & Smith. (1996). Anthropological Research on Hazard and Disasters. Annual Review of Anthropology, Vol. 25. 303-328.
Putra, Ardian Perdana. (2010). Paper Paradigma Seputar Bencana : Evolusi Cara Pandang Terhadap Bencana. (http://ardee.web.id/blog)
Rambo, Terry A. (1981)."Conceptual Approaches to Human Ecology: A Sourcebook on Alternative Paradigms for the Study of Human Interactions with the Environment. Honolulu: East-West Environment and Policy Institute.
Rambo, Terry A.(1983). Conceptual Approaches to Human Ecology Eas-West Centre. Honolulu: East-West Environment and Policy Institute.
Salinan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.
Soemarwoto, Otto. (1979). Pendekatan Ekosistem Terhadap Masalah Waduk. Dalam Prisma tahun VII, No.6.
Soemarwoto,Otto. (1985)."Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan". Jakarta : Jembatan,.
Suranto, Joko Purwoko. 2008. Kajian Pemanfaatan Lahan pada Daerah Rawan Bencana Tanah Longsor di Gununglurah, Cilongok, Banyumas. Tesis Program Pascasarjana Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro Semarang. Tidak diterbitkan.
Yin, Robert K. (2006). Studi Kasus : Desain & Metode. Jakarta: Raja GrafindoPersada .
Top Related