0
REFLEKSI KASUS
DERMATITIS VENENATA DAN EKTIMA
PEMBIMBING:
DR. KETUT D. A., SP.KK.
DISUSUN OLEH:
MICHAEL CARREY (2012-061-040)
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
PERIODE 02 DESEMBER 2013-11 JANUARI 2014
UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA
RUMAH SAKIT KEPOLISIAN PUSAT R. S. SUKANTO
1
BAB I
KASUS
I. IDENTIFIKASI KASUS
Nama : An. Rossa Arni
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 10 tahun
Agama : Islam
Alamat : Jl. Robusta No. 82 RT 02/RW 07, Pondok Kopi, Jak-Tim
Suku : Jawa
Tanggal Periksa : 06 Januari 2014
II. ANAMNESIS
Diperoleh secara alloanamnesis ibu pasien pada tanggal 06 Januari
2014, pukul 12.40 WIB
A. Keluhan Utama
Perih dan Gatal
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit
Kepolisian Polri RS. Sukanto dengan keluhan perih dan gatal dileher sejak 3
hari sebelum datang ke Poliklinik. Awalnya, pasien merasa di gigit serangga
di daerah leher pada hari jumat sore. Pasien mengeluhkan timbul bentol,
gatal, perih, rasa tersengat dan panas. Rasa perih dirasakan lebih berat
dibandingkan dengan rasa gatal. Keesokan harinya, sabtu pagi, pasien
merasa bekas gigitan tersebut mulai melebar. Kemudian, pasien
memberikan obat krim betason dan betadine pada daerah bekas gigitan
tersebut. Pengobatan didapatkan dari apotek. Hingga datang ke Poliklinik,
pasien merasakan adanya perubahan pada kemerahan menjadi lebih
mengering.
2
Selain itu, pasien juga mengeluhkan adanya beberapa koreng yang
timbul pada kaki kiri, setelah luka jatuh sekitar 2 minggu yang lalu.
Sekarang, pasien merasa keluarnya nanah dari luka tersebut.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien menyangkal adanya riwayat alergi makanan, debu,
obat-obatan, udara dingin.
Pasien menyangkal adanya riwayat penyakit asma.
Pasien menyangkal mengalami riwayat penyakit seperti ini
sebelumnya.
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Dalam keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan
yang serupa dengan pasien.
Pasien menyangkal riwayat alergi dan penyakit asma pada
keluarga.
E. Riwayat Kebiasaan
Pasien menyangkal memiliki kebiasaan bermain didaerah
pepohonan yang terkadang banyak serangga.
Pasien menyangkal kebiasaan memakai perhiasan seperti
kalung di leher.
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik.
Kesadaran : Kompos Mentis.
Suhu : Afebris.
Berat Badan : 40 kg.
Hasil Pemeriksaan Status Generalisata:
Kepala : Normosefali, deformitas.
Wajah : Simetris.
3
Mata : Konjungtiva merah muda, sklera putih, pupil
isokor ø 3mm/3mm.
Hidung : Septum nasi di tengah, sekret -/-, mukosa
hidung lembab.
Mulut : Mukosa oral lembab, gigi-geligi lengkap, oral
hygiene baik.
Telinga : MAE +/+, Serumen -/-.
Leher :
I : Trakea ditengah.
P : Trakea ditengah, KGB tidak teraba membesar.
A : Tidak diperiksa.
Toraks Paru :
I : Simetris pada keadaan statis dan dinamis.
P : Tidak diperiksa.
P : Tidak diperiksa.
A : Tidak diperiksa.
Abdomen :
I : Datar, tidak terdapat lesi kulit atau kelainan lain.
A : Tidak diperiksa.
P : Tidak diperiksa.
P : Tidak diperiksa.
Punggung :
I : Simetris pada keadaan statis dan dinamis.
P : Tidak diperiksa.
P : Tidak diperiksa.
A : Tidak diperiksa.
Ekstremitas :
Akral hangat, CRT < 2 detik, deformitas -, motorik baik pada 4
ekstremitas, tidak ada gerak involunter, sensorik baik pada 4
ekstremitas.
4
B. Status Dermatologis
Lesi terletak di regio leher, terdapat 3 lesi, dengan lesi primer:
patch eritema, vesikel, lesi sekunder: krusta, skuama keratotik,
berukuran plakat (7x5cm) dan nummular (2x1cm dan 1x1cm),
susunan: anular, bentuk lesi: teratur (lonjong), distribusi:
sirkumskrip, regional, diskret.
Lesi terletak di regio tungkai kiri bawah, terdapat 4 lesi, dengan
lesi primer: patch eritema, lesi sekunder: erosi, ulkus superfisial
dengan dasar eritema, tepi indurasi, tepi tidak teratur, krusta tipis,
masing-masing berukuran nummular (2x2cm, 2x1cm, 2,5x1,5cm,
2x2cm), susunan: anular, bentuk lesi: teratur (bulat), distribusi:
sirkumskrip, regional, diskret, unilateral.
Foto Lesi
Gambar 1. Leher.
5
Gambar 2. Leher.
Gambar 3. Tungkai bawah kiri.
Gambar 4. Pergelangan kaki kiri.
6
C. Status Venerologi
Tidak diperiksa.
D. Kelainan Rambut
Tidak ada kelainan.
E. Kelainan Kuku
Tidak ada kelainan.
F. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan.
G. Pemeriksaan Anjuran
Tidak diperlukan.
IV. DIAGNOSIS
a. Diagnosis Kerja :
Dermatitis venenata.
b. Diagnosis Banding :
Reaksi gigitan serangga.
Dermatitis kontak alergik e.c. kalung.
c. Diagnosis Kerja :
Ektima
d. Diagnosis Banding :
Impetigo krustosa
V. PENATALAKSANAAN
a. Tatalaksana umum dermatitis venenata :
i. Edukasi pasien: sebaiknya hindari bermain di taman yang
banyak serangganya, hindari bermain di rerumputan, hindari
tidur diatas karpet.
ii. Kontrol kembali jika tidak mengalami perbaikan.
b. Tatalaksana khusus dermatitis venenata :
i. Betamethasone dipropionate 0,05% cream, 2 dd ue.
7
ii. Loratadine tab 10mg, 1 dd 1.
c. Tatalaksana umum ektima :
i. Edukasi pasien: sebaiknya berhati-hati saat bermain supaya
tidak terjatuh, serta kalau ada luka, sebaiknya langsung
diobati, apabila dalam beberapa hari tidak sembuh, kontrol ke
dokter.
ii. Kontrol kembali jika tidak mengalami perbaikan.
d. Tatalaksana khusus ektima :
i. Gentamycin cream, 2 dd ue.
VI. PROGNOSIS
a. Quo ad vitam : bonam.
b. Quo ad functionam : bonam.
c. Quo ad sanationam : dubia ad bonam.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dermatitis Kontak Iritan (Dermatitis Venenata)
2.1.1. Definisi
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai
respons terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen,
menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema,
papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal.
Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh
bahan/substansi yang menempel pada kulit. Dikenal dua jenis dermatitis
kontak yaitu dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergik;
keduanya dapat bersifat akut maupun kronis. Dermatitis iritan merupakan
reaksi peradangan kulit non imunologik, jadi kerusakan kulit terjadi
langsung tanpa didahului proses sensitisasi. Sebaliknya, dermatitis kontak
alergik terjadi pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap
suatu alergen.
Dermatitis Venenata adalah Dermatitis Kontak Iritan yang disebabkan
oleh terpaparnya bahan iritan dari beberapa tanaman seperti rumput, bunga,
pohon mahoni, kopi, mangga, serta sayuran seperti tomat, wortel dan
bawang. Bahan aktif dari serangga juga dapat menjadi penyebab.
2.1.2. Klasifikasi
Berdasarkan penyebab dan pengaruh faktor-faktor tersebut ada yang
mengklasifikasi DKI menjadi sepuluh macam, yaitu: DKI akut, lambat akut,
reaksi iritan, kumulatif, traumateratif, eksikasi ekzematik, pustular dan
akneformis, noneritematosa, dan subyektif.
DKI Akut
Luka bakar oleh bahan kimia juga termasuk dermatitis kontak iritan
akut. Penyebab DKI akut adalah iritan kuat, misalnya larutan asam sulfat dan
asam hidroklorid atau basa kuat, misalnya natrium dan kalium hidroksida.
Biasanya terjadi karena kecelakaan, dan reaksi segera timbul. Intensitas
reaksi sebanding dengan konsentrasi dan lamanya kontak dengan iritan,
9
terbatas pada tempat kontak. Kulit terasa pedih, panas, rasa terbakar, kelainan
yang terlihat berupa eritema edema, bula, mungkin juga nekrosis. Pinggir
kelainan kulit berbatas tegas, dan pada umumnya asimetris.
DKI Akut Lambat
Gambaran klinis dan gejala sama dengan DKI akut, tetapi baru
muncul 8 sampai 24 jam atau lebih setelah kontak. Bahan iritan dapat
menyebabkan DKI akut lambat, misalnya podofilin, antralin, tretinoin, etilen
oksida, benzalkonium klorida, asam hidrofluorat. Contohnya ialah dermatitis
yang disebabkan oleh bulu serangga yang terbang pada malam hari
(dermatitis venenata); penderita baru merasa pedih esok harinya, pada
awalnya terlihat eritema dan sore harinya sudah menjadi vesikel atau bahkan
nekrosis.
DKI Kumulatif
Dermatitis ini adalah jenis dermatitis yang paling sering terjadi; nama
lain ialah DKI kronis. Penyebabnya ialah kontak berulang-ulang dengan
iritan lemah (Faktor fisik, misalnya gesekan, trauma mikro, dan kelembaban
rendah, panas atau dingin; juga bahan, misalnya deterjen, sabun, pelarut,
tanah, bahkan juga air). DKI kumulatif mungkin terjadi karena kerjasama
berbagai faktor. Bisa jadi suatu bahan secara sendiri tidak cukup kuat
menyebabkan dermatitis iritan, tetapi baru mampu bila bergabung dengan
faktor lain. Kelainan baru nyata setelah kontak berminggu-minggu atau
bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian, sehingga waktu dan rentetan
kontak merupakan faktor penting.
Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit
tebal (hiperkeratosis) dan likenifikasi, difus. Bila kontak terus berlangsung
akhirnya kulit dapat retak seperti luka iris (fisur), misalnya pada kulit tumit
tukang cuci yang mengalami kontak terus menerus dengan detergen. Keluhan
penderita umumnya rasa gatal atau nyeri karena kulit retak (fisur). Ada
kalanya kelainan hanya berupa kulit kering atau skuama tanpa eritema,
sehingga diabaikan oleh penderita. Setelah dirasakan mengganggu, baru
mendapat perhatian.
DKI kumulatif sering berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu
lebih banyak ditemukan di tangan dibandingkan dengan di bagian lain tubuh.
10
Contoh pekerjaa yang berisiko tinggi untuk DKI kumulatif yaitu: tukang cuci,
kuli bangunan, montir dibengkel, juru masak, tukang kebun, penata rambut.
Reaksi Iritan
Reaksi iritan merupakan dermatitis iritan subklinis pada seseorang
yang terpajan dengan pekerjaan basah, misalnya penata raambut dan pekerja
logam dalam beberapa bulan pertama pelatihan. Kelainan kulit monomorf
dapat berupa skuama,, eritema, vesikel, pustule, dan erosi. Umumnya dapat
sembuh sendiri, menimmbulkan penebalan kulit (skin hardening), kadang
dapat berlanjut menjadi DKI kumulatif.
DKI Traumatik
Kelainan kulit berkembang lambat setelah trauma panas atau laserasi.
Gejala seperti dermatitis numularis, penyembuhan lambat, paling cepat 6
minggu. Paling sering terjadi di tangan.
DKI Noneritematosa
DKI noneritematosa merupakan bentuk subklinis DKI, ditandai
perubahan fungsi sawar stratum korneum tanpa disertai kelainan klinis.
DKI Subjektif
Juga disebut DKI sensori; kelainan kulit tidak terlihat, namun
penderita merasa seperti tersengat (pedih) atau terbakar (panas) setelah
kontak dengan bahan kimia tertentu, misalnya asam laktat.
2.1.3. Epidemiologi
Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari berbagai
golongan umur, ras, dan jenis kelamin.
Jumlah penderita DKI diperkirakan cukup banyak, terutama yang
berhubungan dengan pekerjaan (DKI akibat kerja), namun angkanya secara
tepat sulit diketahui. Hal ini disebabkan antara lain oleh banyak penderita
dengan kelainan ringan tidak datang berobat, atau bahkan tidak mengeluh.
2.1.4. Etiologi
Penyebab munculnya dermatitis jenis ini ialah bahan yang bersifat
iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali, dan
serbuk kayu. Termasuk toksin (bahan aktif) dari serangga juga dapat
menjadi penyebab. Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran
11
molekul, daya larut, konsentrasi bahan tersebut, dan vehikulum, juga
dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu: lama kontak,
kekerapan (terus menerus atau berselang), demikian pula gesekan dari
trauma fisis. Suhu dan kelembapan lingkungan juga ikut berperan.
Faktor individu juga ikut berpengaruh pada DKI, misalnya perbedaan
ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan perbedaan permeabilitas;
usia (anak dibawah 8 tahun dan usia lanjut lebih mudah teriritasi); ras (kulit
hitam lebih tahan dari kulit putih); jenis kelamin (insidens DKI lebih banyak
pada wanita); penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami (ambang
rangsang terhadap bahan iritan menurun), misalnya dermatitis atopik.
2.1.5. Gejala klinis
Gejala klinis yang terjadi sangat beragam, bergantung pada sifat
iritan. Iritan kuat memberi gejala akut, sedang iritan lemah memberi gejala
kronis meskipun faktor individu dan lingkungan sangat berpengaruh.
Kelainan kulit bergantung pada stadium penyakit, pada stadium akut
kelainan kulit berupa eritema, edema, vesikel, atau bula, erosi dan eksudasi,
sehingga tampak basah. Stadium sub akut, eritema berkurang, eksudat
mengering menjadi krusta, sedang pada stadium kronis tampak lesi kronis,
skuama, hiperpigmentasi, likenifikasi, papul, mungkin juga terdapat erosi
atau ekskoriasi karena garukan. Stadium tersebut tidak selalu berurutan, bisa
saja sejak awal suatu dermatitis memberi gambaran klinis berupa kelainan
kulit stadium kronis demikian pula efloresensinya tidak selalu harus
polimorfik, mungkin hanya oligomorfik.
2.1.6. Gambaran lesi
12
Lesi dermatitis kontak iritan
2.1.7. Diagnosis
Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan
gambaran klinis. DKI akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih
cepat, sehingga penderita pada umumnya masih ingat apa yang menjadi
penyebabnya. Sebaliknya, DKI kronis timbulnya lambat serta mempunyai
variasi gambaran klinis yang luas, sehingga adakalanya sulit dibedakan
dengan dermatitis kontak alergik. Untuk ini diperlukan uji tempel dengan
bahan yang dicurigai untuk menyingkirkan diagnosa bandingnya.
Berdasarkan buku Fitzpatrick, kriteria diagnosis dermatitis kontak
iritan, yaitu:
Mayor
o Subjektif
Onset gejala dalam beberapa menit sampai jam dari
paparan.
Nyeri, rasa terbakar, tersengat, atau tidak nyaman
melebihi rasa gatal.
o Objektif
Makula eritema, hyperkeratosis, atau fisura
mendominasi vesikel.
Proses penyembuhan dimulai saat menghindari
paparan bahan iritan.
Tes tempel negatif.
Minor
o Subjektif
13
Onset dermatitis dalam 2 minggu paparan.
Beberapa orang dilingkungan sama sama terpengaruh.
o Objektif
Dermatitis batas tegas.
Cenderung kurang menyebar.
Perubahan morfologi menunjukkan perubahan
konsentrasi atau waktu paparan mempengaruhi kerusakan
kulit.
2.1.8. Diagnosa banding
Dermatitis Atopik.
Dermatitis Kontak Alergik.
2.1.9. Tatalaksana
Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalalh menghindari pajanan
bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisik maupun kimiawi, serta
menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila hal ini dapat dilaksanakan
dengan sempurna, dan tidak terjadi komplikasi, maka DKI tersebut akan
sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan topikal, mungkin cukup
dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering.
Apabila diperlukan, untuk mengatasi peradangan dapat diberikan
kortikosteroid topikal, misalnnya hidrokortison, atau untuk kelainan yang
kronis dapat diawali dengan kortikosteroid yang lebih kuat.
Pemakaian alat pelindung diri yang adekuat diperlukan bagi mereka
yang bekerja dengan bahan iritan, sebagai salah satu upaya pencegahan.
2.1.10. Prognosis
Bila bahan iritan penyebab dermatitis tersebut tidak dapat
disingkirkan dengan sempurna, maka prognosisnya kurang baik. Keadaan
ini sering terjadi pada DKI kronis yang penyebabnya multifaktor, juga pada
penderita atopi.
2.2. Ektima
2.2.1. Definisi
14
Ektima adalah ulkus superfisial dengan krusta diatasnya disebabkan
oleh infeksi streptococcus. Infeksi menyebar sampai dermis.
2.2.2. Klasifikasi
Termasuk dalam pioderma. Dalam pembagiannya, ektima menyerang
bagian lebih terdalam dari kulit yaitu dermis.
2.2.2. Epidemiologi
Terjadi pada usia anak-anak dan dewasa.
2.2.3. Etiologi
Streptococcus B hemolyticus.
2.2.4. Faktor Predisposisi
Gigitan serangga, trauma minor pada diabetes, pasien usia tua, tentara.
2.2.5. Gejala klinis
Tampak sebagai krusta tebal berwarna kuning, biasanya berlokasi di
tungkai bawah, yaitu tempat yang relatif banyak mendapat trauma. Jika
krusta diangkat ternyata lekat dan tampak ulkus yang dangkal. Lesi nyeri
tekan dan berindurasi. Durasi lesi dari mingguan sampai bulanan.
2.2.6. Gambaran lesi
15
Ektima: S. aureus, ulserasi kronis besar, batas tegas, dengan eritema
disekitarnya di region pretibial.
2.2.7. Diagnosis banding
Impetigo krustosa. Persamaannya, kedua-duanya berkrusta berwarna
kuning. Perbedaannya, impetigo krustosa terdapat pada anak, berlokasi di
muka, dan dasarnya ialah erosi. Sebaliknya, ektima terdapat baik pada anak
maupun dewasa, tempat predileksi di tungkai bawah, dan dasarnya ialah
ulkus.
2.2.8. Pemeriksaan laboratorium
Pewarnaan gram atau kultur.
2.2.9. Pengobatan
Jika terdapat sedikit, krusta diangkat lalu diolesi dengan salep
antibiotik. Kalau banyak, juga diobati dengan antibiotik sistemik.
2.2.10. Prognosis
Impetigo yang tidak diterapi bisa berkembang menjadi ektima. Ektima
sering sembuh dengan skar.
2.3. Impetigo krustosa
2.3.1. Sinonim
Impetigo kontagiosa, impetigo vulgaris.
2.3.2. Klasifikasi
Termasuk dalam golongan pioderma, dalam pembagian lapisan yang
terkena, impetigo krustosa hanya menyerang epidermis, sedangkan ektima
menyerang sampai dermis.
2.3.3. Epidemiologi
Infeksi lebih sering terjadi pada anak-anak.
2.3.4. Etiologi
16
Biasanya Streptococcus B hemolyticus.
2.3.5. Gejala klinis
Tidak disertai gejala umum, hanya terdapat pada anak. Tempat
predileksi di muka, yakni di sekitar lubang hidung dan mulut karena
dianggap sumber infeksi dari daerah tersebut. Kelainan kulit berupa eritema
dan vesikel yang cepat memecah sehingga jika penderita datang berobat
yang terlihat ialah krusta tebal berwarna kuning seperti madu. Jika
dilepaskan tampak erosi dibawahnya. Sering krusta menyebar ke perifer dan
sembuh dibagian tengah. Durasi lesi dari harian sampai mingguan.
Komplikasi: glomerulonephritis (2-5%), yang disebabkan oleh sero
tipe tertentu.
2.3.6. Gambaran lesi
Impetigo krustosa: S. aureus, eritema dengan erosi disertai krusta
menjadi berkonfluens di hidung, pipi, bibir, dan dagu pada anak dengan
karier S. aureus dari hidung dan ekzema fasial ringan.
2.3.7. Diagnosis banding
Ektima.
17
2.3.8. Pemeriksaan laboratorium
Pewarnaan gram atau kultur.
2.3.9. Pengobatan
Jika krusta sedikit, dilepaskan dan diberi salep antibiotik. Kalau
banyak diberi pula antibiotik sistemik.
2.3.10. Prognosis
Karena menyerang lapisan epidermis, maka luka penyembuhan tidak
meninggalkan skar.
18
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
Penemuan Pada Kasus Teori
Anamnesis:
Perih, gatal, rasa tersengat dan
panas.
Awalnya pasien hanya merasa
digigit serangga, timbul bentol,
keesokan harinya telah tampak
kemerahan yang meluas di daerah
leher.
Pasien telah memberikan betason
cream dan betadin, dan pasien
merasa lebih mengering lukanya.
Obat diperoleh dari apotek.
Anamnesis:
Reaksi toksin dari serangga dapat
menyebabkan rasa nyeri dan gatal
pada individu yang terkena.
Kontak dengan serangga dapat
memicu terjadinya peradangan
pada kulit (dermatitis), toksin
serangga dapat menjadi suatu
bahan yang iritatif. Pada
dermatitis kontak iritan tipe akut
lambat. Reaksi gigitan tersebut
memerlukan waktu 8 sampai 24
jam setelah kontak. Gigitan pada
sore hari dapat menimbulkan
reaksi lebih berat pada keesokan
harinya.
Leher biasanya merupakan
daerah yang tidak tertutup
pakaian. Daerah yang terpapar,
seperti leher, ekstremitas,
merupakan regio yang mungkin
untuk terpapar oleh serangga.
Terapi pada DKI dapat diberikan
kortikosteroid topikal, misalnya
hidrokortison. Pada tipe kronis,
dapat diberikan steroid yang lebih
kuat. Hal ini menjelaskan
perbaikan kondisi lesi pasien
setelah diberikan krim betason
19
Pasien menyangkal adanya
riwayat alergi baik pada pasien
maupun keluarga dan pasien
menyangkal adanya riwayat
pemakaian kalung atau
pemberian obat lain selain
betason pada leher yang
mengalami kemerahan.
Pasien juga mengeluhkan adanya
beberapa koreng yang timbul
pada kaki kiri, setelah luka jatuh
sejak 2 minggu yang lalu, disertai
dengan keluarnya nanah
(betametason dipropionat 0,05%
cr).
Pada DKA, terdapat riwayat atopi
baik pada yang bersangkutan
maupun keluarganya. Selain itu,
biasanya terdapat kontak dengan
logam (nikel).
Ektima dalam bahasa awam
disebut koreng, merupakan ulkus
superfisial yang disebabkan
infeksi bakteri Streptococcus B
hemolyticus. Biasanya berlokasi
pada tungkai bawah, pasien
memiliki riwayat trauma,
sehingga dapat menimbulkan
ulkus
Status dermatologi:
Lesi terletak di regio leher,
terdapat 3 lesi, dengan lesi
primer: patch eritema, vesikel,
lesi sekunder: krusta, skuama
keratotik, berukuran plakat
(7x5cm) dan nummular (2x1cm
dan 1x1cm), susunan: anular,
bentuk lesi: teratur (lonjong),
distribusi: sirkumskrip, regional,
diskret.
Status dermatologi:
Stadium akut kelainan kulit
berupa eritema, edema, vesikel,
atau bula, erosi dan eksudasi,
sehingga tampak basah. Stadium
sub akut, eritema berkurang,
eksudat mengering menjadi
krusta, sedang pada stadium
kronis tampak lesi kronis,
skuama, hiperpigmentasi,
likenifikasi, papul, mungkin juga
terdapat erosi atau ekskoriasi
karena garukan.
20
Lesi terletak di regio tungkai kiri
bawah, terdapat 4 lesi, dengan
lesi primer: patch eritema, lesi
sekunder: erosi, ulkus superfisial
dengan dasar eritema, tepi
indurasi, tepi tidak teratur, krusta
tipis, masing-masing berukuran
nummular (2x2cm, 2x1cm,
2,5x1,5cm, 2x2cm), susunan:
anular, bentuk lesi: teratur (bulat),
distribusi: sirkumskrip, regional,
diskret, unilateral.
Ektima: lesi berupa ulkus
superfisial. Biasanya tampak
krusta tebal berwarna kuning,
biasa berlokasi ditungkai bawah.
Jika krusta diangkat, tampak
ulkus dangkal.
Diagnosis Banding Dermatitis Venenata:
Reaksi Gigitan Serangga
Biasanya mengalami resolusi spontan dalam berberapa jam sampai
beberapa hari. Lesi klinis berupa: bentuk berkubah, tidak berskuama, papul
merah 4-8mm, terdapat central punctum (bekas tusukan di tengah), selalu
terasa gatal. Bisa juga muncul sebagai urtikaria, vesikel, bula, nekrosis,
ulserasi, reaksi hipersensitivitas.
Dermatitis Kontak Alergi
DKI DKA
Gejala Akut Tersengat -> gatal Gatal -> nyeri
Kronis Gatal/nyeri Gatal/nyeri
Lesi Akut Eritem -> vesikel ->
erosi -> krusta ->
skuama
Eritem -> papul ->
vesikel -> erosi -> krusta
-> skuama
Kronis Papul, plak, fisur,
skuama, krusta
Papul, plak, skuama,
krusta
Margin Akut Batas tegas hanya
daerah yang terpapar
Batas tegas hanya daerah
yang terpapar; biasanya
21
papul ukuran kecil;
menjadi meluas
Kronis Sulit terlihat batasnya Sulit terlihat batasnya,
menyebar
Evolusi Akut Cepat (beberapa jam
setelah paparan)
Tidak terlalu cepat (12-
72jam setelah paparan)
Kronis Bulanan sampai
tahunan paparan
berulang
Bulanan; eksaserbasi
setelah paparan
Penyebab Tergantung
konsentrasi dan
barrier kulit, terjadi
jika diatas ambang
Tergantung derajat
sensitisasi
Insidensi Terjadi pada setiap
orang
Hanya terjadi setelah
sensitisasi
Diagnosis Banding Ektima:
Impetigo Krustosa
Perbedaannya, impetigo krustosa biasanya terdapat pada anak,
berlokasi di muka, dan dasarnya ialah erosi, bila krusta diangkat. Sebaliknya,
ektima terdapat baik pada anak maupun dewasa, tempat predileksi di tungkai
bawah, dan dasarnya ialah ulkus.
22
DAFTAR PUSTAKA
Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed ke-6.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2011.
James WD, Berger TG, Elston DM, editor. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
Dermatology. Ed ke-10. USA: El-Sevier; 2006.
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Ed ke-7. USA: The McGraw-
Hill Companies; 2008.
Wolff K, Johnson RA, Suurmond D, editor. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of
Clinical Dermatology. Ed ke-5. USA: The McGraw-Hill Companies; 2007.
Top Related